Ceritasilat Novel Online

Riak Riak Kehidupan 4

Riak Riak Kehidupan Karya Marga T Bagian 4



"Tante tahu. Tak apa. Nanti Tante bangunkan dia."

"Tidak usah, Tante." Memangnya jauh-jauh aku datang mau melihat anakmu?! liih, ge-er kebangetan! Lalu tiba-tiba rasa dongkolnya tak terbendung lagi. Perempuan gemuk ini tidak lagi dikenalnya sebagai adik kandung ayahnya, melainkan monster belaka yang telah menyakiti gadis yang dicintainya. Dia masih mau berlagak tak punya dosa padahal barangkali saat ini Nafisah sedang mengerang kesakitan? Entah sudah

disiksa seperti apa gadis itu. Dan algojonya masih bisa tersenyum simpul?!

Ditelannya ludah dan dikumpulkannya keberaniannya. Ditatapnya orang di depannya tanpa berkedip.

"Tante, saya datang bukan mau ngobrol dengan Sabina. Saya sama sekali tidak peduli padanya! Saya kemari sebab mau membawa Nafisah pulang. Di mana dia, Tante? Di kamar mana dia dikurung?"

Bibinya jadi pucat dan merah bergantian. Suara Dono yang begitu keras sangat tidak disukainya. Dia paling benci pria yang suka bicara menggeledek pada wanita. Dia tak tahu, Dono saat itu tidak lagi menganggapnya sebagai wanita. Apalagi yang perlu diperlakukan dengan lemah lembut! Perempuan lembut tentunya tidak akan menculik dan menganiaya!

"Apa sih yang kaukatakan ini? Tante sama sekali tidak mengerti. Barangkali kau mabuk?"

"Saya tak pernah minum, Tante. Saya belum pernah mabuk. Tapi barangkali saya bisa juga mabuk di sini, lalu melakukan hal-hal yang tidak diinginkan! Kalau Tante terus mungkin.."

Sudah tentu Tante Tina tidak suka diancamancam! Apalagi oleh anak yang masih bau kencur. Matanya serentak melotot seolah mau menyemburkan api buat memanggang bibir yang lancang itu.

Melihat bibinya sudah mau membuka mulut lagi, Dono cepat menyela.

"Pendeknya, saya mendapat info yang sangat bisa dipercaya. bahwa calon istri saya disekap di sini! Ayo, Tante, keluarkan dia!"

Mendengar Dono blak-blakan menyebut 'calon istri" segala, naiklah darah Nyonya Lilo yang memang sudah tinggi tensinya itu. Dia sadar sekarang, anaknya betulbetul tak punya harapan lagi. Dan suaminya takkan mendapat modal tambahan untuk proyek-proyeknya

Hatinya yang panas membakar kepala. Digebraknya meja, sehingga Pak Lilo yang sedang membaca koran dalam kamar, terkejut. Memang sudah disepakati, yang akan menghadapi Dono adalah Nyonya Lilo seorang. Suami dan anak akan menunggu perkembangan di kamar masing masing. Tapi dalam keadaan terpaksa, tentu saja mereka akan keluar memberi bantuan.

"Apa-apaan kau ini, Dono!" gelegar sang bibi, marah besar.

"Kau mau mengacau di rumahku? Jangan menuduh sembarangan! Jaga mulutmu supaya jangan kelewat lancang! Kalau aku panggil polisi..."

"Saya yang akan memanggilnya, Tante," potong Dono. tenang.

"Oh, kau sudah terlalu kurang ajar! Pa, Pa! Mari sini! Lihat keponakanmu yang kurang ajar ini! Orang begini mau kita pungut mantu? Orang begini yang kita percayai menjaga anak kita semata wayang? Haram! Cis!"

Pak Lilo bergegas keluar. Dia tahu. istrinya tidak boleh dibiarkan naik darah. Segala perkataan yang bisa menyinggung perasaan akan meluncur ke luar bertubitubi. Bisabisa urusan malah jadi tambah runyam kalau Dono sampai sakit hati!

Sabina, sebaliknya, malah bertambah erat memeluk bantal guling. Dia tidak berani keluar. Tidak sanggup rasanya menentang mata Dono waktu dia menuntut dikembalikannya 'calon istri'nya. Oh! Apa nanti kata Titin yang jahat mulut itu? Bagaimana nasibnya dalam gelanggang pergaulan kalau Dono tidak jadi kawin dengannya? Padahal dia sudah gembar-gembor, Dono telah membelikannya gaun pengantin di Amerika!

"Ada apa? Ada apa ini?" seru Pak Lilo dengan rambut acak-acakan seolah baru saja dibangunkan dari mimpi. Wajahnya yang angker tak membuat Dono jadi keder. Dengan lantang dia mengulang tanpa salam lagi.

"Saya minta agar calon istri saya segera dibebaskan! Kalau tidak..."

"Hm. Jadi kau menyangka kami menyembunyikan gadismu? Buat apa?"

"Mana saya tahu! Barangkali buat memaksa saya mengawini Sabina!"

"Astaghfirullah!" pekik Nyonya Lilo.

"Ini adalah penghinaan mahabesar yang tidak bisa kita terima, Pa. Harus kita sampaikan pada orang tuanya! Anjing buduk! Kaukira anakku takkan laku, sampai mesti disodor-sodorkan ke depan hidungmu. Kurang ajar! Kita kan tidak kenal setan mana yang jadi pacarmu, tunanganmu, calon istrimu! Kenapa jadi menuduh yang bukan-bukan?"

"Silakan kaugeledah rumah ini, Dono!" kata Pak Lilo dengan tegas.

"Cari sendiri apa yang kaukira ada di sini. Kecuali kamar Sabina, kau boleh memasuki

ruangan mana saja. Silakan geledah...." Dengan lagak menantang, laki-laki setengah baya itu merentangkan tangan ke arah dalam.

Dono mengangkat bahu dan bangkit dari kursi.

"Itu memang maksud saya, Oom. Maaf, saya terpaksa mengganggu...." Lalu tanpa mempedulikan bibinya yang melongo, dia melangkah ke dalam.

Dia mulai dengan kamar-kamar di bawah. Kamar Paman dan Bibi dilewatinya. Dia tahu, tak mungkin Nafisah disekap di sana. Kamar Sabina juga tidak dimasukinya. Selain dilarang, dia tahu, hati Sabina yang panas takkan membuatnya tidur senyenyak sekarang (dikiranya Sabina masih tidur lelap sampai tidak mendengar kegaduhan dan tidak keluar) seandainya ada Nafisah di situ.

Dua kamar di bawah, ruang kerja dan ruang musik, kosong melompong kecuali perabot lemari dan meja kursi, serta sebuah organ.

Tanpa sungkan dia naik ke loteng. Ada tiga kamar tidur yang diberi perabot biasa, ranjang dan lemari. Selain itu, kosong. Rupanya disediakan untuk tamu menginap. Kamar paling ujung terasa hangat begitu dibuka. Ketika diperhatikan, ternyata semua jendela tertutup rapat dan pendingin ruangan tidak bekerja. Lampu neon di langit-langit dibiarkan bernyala. Tumben, pikirnya sinis. Kan Oom Lilo itu pelit sekali!

Di situ tak ada tempat tidur. Lemari juga tidak. Yang ada hanya sebuah sofa butut yang sudah robek kainnya. dekat jendela.

Tak ada Nafisah. Betapa kecewanya dia. Sambil lalu dia menghampiri sofa. Lekukan di tempat duduk menarik perhatiannya. Dirabanya dengan tangan kanan. Jok terasa hangat. Padahal kasur di kamarkamar sebelah terasa dingin dan sejuk. Hm. Apakah belum lama ini ada orang di sini?

Dia memandang berkeliling. Lalu menghela napas. Percuma lama-lama membuang waktu di smi. Tak ada bukti bahwa Nafisah pernah disekap di kamar ini. Seandainya itu benar, lantas mana gadis itu sekarang? Masakan bisa dibikin lenyap dalam sekejap?

Dengan cepat dia ke luar kamar lalu menggabrukkan pintu. Dia tidak peduli lagi akan kesopanan. Dia yakin, paman dan bibinya telah berdusta. Biarlah seisi rumah kaget dan terbangun mendengar gabrukannya!

Dari loteng dia berlari turun tangga ke bawah, langsung menuju ke bagian belakang. Para pembantu kaget melihat sikapnya yang seperti kerasukan setan, membukai setiap pintu, mengintip ke dalam lalu membantingnya dengan sikap marah dan kecewa.

Seorang pembantu yang tengah menyapu halaman belakang dibentaknya. 'Ada melihat seorang gadis dibawa ke sini, Bi?"

Melihat sikapnya, seakan siap mau menempeleng, perempuan itu malah ketakutan dan berlari masuk sambil menjerit memanggil kawan-kawannya. Dono menyumpah, menggertakkan geraham saking kesalnya, tapi pergi juga memeriksa seluruh pelosok halaman yang penuh tempat sembunyi di balik semak-semak yang rimbun.

Hasilnya nihil. Dengan sangat kecewa dia terpaksa balik ke dalam rumah menemui wajahwajah yang menatapnya dengan sinis. Tapi pamannya masih mencoba bersikap manis.

"Nah, apa kami bilang?! Masakan kami akan menculik calon istrimu, Dono! Apa-apaan memangnya? Istrimu kan artinya menantu kami juga. bukan? Orang gila mana sih yang sudah memompakan ide konyol itu ke dalam pikiranmu?"

"Hasan bukan orang gila, Paman!" sahut Dono dengan kesal, tidak menyadari bahwa dia sudah masuk perangkap. Pamannya memang belum tahu pasti siapa biang keladi kemarahan Dono. Sekarang, hm!

"Hasan? Kalau yangkaumaksud itu mandor ayahmu, wah dia kan manusia yang paling busuk, Dono! Kenapa kaupercayai dia? Orang itu selalu bersedia membual macam apa saja, asal diberi duit! Tentunya kau sudah menawarkannya harta karun, sampai fantasinya berkembang begitu hebat!" Pamannya menyeringai palsu sambil melirik istrinya sekilas.

Tapi Dono tidak memperhatikan dan tak peduli. Dia sibuk memeras otak, di mana kiranya mereka telah menyembunyikan Nafisah. Sebab dia tahu. Hasan tidak berdusta. Kenapa kok tidak berhasil ditemukannya?

Melihat Dono terdiam, sang bibi mengira dia sudah ragu. Diambilnya taktik baru.

"Sudahlah," bujuknya dengan suara manis.

"Jangan pikirkan lagi hal itu buat sementara. Sekarang sarapan saja dulu. Mengisi perut adalah paling penting apa pun yang terjadi. Apalagi

kau kelihatannya belum puas dan masih mau mencari terus." lalu dia berteriak ke dalam,

"Cah, tambah piring satu lagi!" Dan seperti tadi, dari dalam terdengar suara pembantu menyahuti perintah itu.

"Tak usah," kata Dono dengan pendek, lalu bangkit.

"Saya permisi sekarang saja."

"Tapi kau kan belum makan apa-apa sepagi ini, Don?!" Suara bibinya persis calon mertua yang penuh perhatian. Bulu kuduknya merinding. Perempuan galak kayak ini yang akan merajai hidupnya sampai mati? Oh, banyak terima kasih!

"Saya sudah sarapan di rumah!" Lalu dengan anggukan acuh tak acuh dia memutar kakinya dan berjalan ke arah depan. Paman dan bibinya berpandangan di kursi masing-masing. Ketika mobil kedengaran distater, pintu kamar Sabina terbuka. Gadis itu muncul.

"Apa katanya, Mam? Kok dia sampai tahu, sih?"

"Hasan keparat itu gara-garanya! Pa, kau harus hajar dia sampai kapok! Rupanya orang itu sudah tak bisa dipercaya lagi. Lihat duit sedikit saja, matanya sudah ijo! Gimana kalau dia nanti ngadu sama abangku, dia disuruh jadi mata matamu di..."

"Huss! Jangan terlalu keras, nanti didengar orang! Jangan khawatir, aku pasti akan menghajarnya! Rupanya Dono sudah memberinya uang. Aku dengar, dia sekarang punya motor."

"Papa sih, barangkali kurang memberinya uang!" omel Sabina. ,

***

kau kelihatannya belum puas dan masih mau mencari terus." Lalu dia berteriak ke dalam,

"Cah, tambah piring satu lagi!" Dan seperti tadi, dari dalam terdengar suara pembantu menyahuti perintah itu.

"Tak usah," kata Dono dengan pendek, lalu bangkit.

"Saya permisi sekarang saja."

"Tapi kau kan belum makan apa-apa sepagi ini, Don?!" Suara bibinya persis calon mertua yang penuh perhatian. Bulu kuduknya merinding. Perempuan galak kayak ini yang akan merajai hidupnya sampai mati? Oh, banyak terima kasih!

"Saya sudah sarapan di rumah!" Lalu dengan anggukan acuh tak acuh dia memutar kakinya dan berjalan ke arah depan. Paman dan bibinya berpandangan di kursi masing-masing. Ketika mobil kedengaran distarer, pintu kamar Sabina terbuka. Gadis itu muncul.

"Apa katanya, Mam? Kok dia sampai tahu, sih?"

"Hasan keparat itu gara-garanya! Pa, kan harus hajar dia sampai kapok! Rupanya orang itu sudah tak bisa dipercaya lagi. Lihat duit sedikit saja, matanya sudah ijo! Gimana kalau dia nanti ngadu sama abangku, dia disuruh jadi mata-matamu di..."

"Huss! Jangan terlalu keras, nanti didengar orang! Jangan khawatir, aku pasti akan menghajarnya! Rupanya Dono sudah memberinya uang. Aku dengat, dia sekarang punya motor."

"Papa sih, barangkali kurang memberinya uang!" omel Sabina. .

"Ah, kau tahu apa! Orang seperti dia memang mesti dihadapi dengan tangan besi. Kalau perlu, Papa akan kirim dia lagi ke belakang terali, biar dia tahu rasa!"

"Untung sudah keburu kita usir gadis itu dan kita kembalikan anaknya!" kata Nyonya Lilo.

"Aku juga pusing mengurus anak kecil yang nangis terus semalaman."

"Kan ditaruh di kamar lcah, bukan, Mam? Dan sudah saya suntik?"

"Ya, tapi kan kedengaran juga ke dalam? Dan obatmu tidak tahan lama. Sudahlah. Pendeknya, untuk sementara kita masih aman. Dono tidak berhasil menuduh kita yang bukan bukan!"

"Tapi dia masih curiga, Ma. Selama dia belum berhasil menemukan gadis itu." Pak Lilo mengepalkan tinju.

"Karena itu kau harus secepatnya membungkam si Hasan!"

"Jangan..."

Dering telepon memecah pembicaraan mereka. Pak Lilo mengangkatnya dan mendengarkan sejenak.

"Wah, gawat, Riso. Tapi, tidak. Dia tidak berhasil menemukan bukti apa pun. Untung sekali!"

"Kau harus cegah bajingan itu ditemui anakku!" seru Pak Kusmanto dari ujung sana.

"Jangan takut. Semua beres." Pak Lilo meletakkan telepon dan menoleh pada istri dan anaknya.

"Hasan mesti secepatnya dibereskan!"

TAPI Hasan juga sudah mencium gelagat tidak baik. Ketika Dono menendang pintu rumah kontrakannya, dilihatnya laki-laki itu tengah mengemasi semua pakaiannya ke dalam tas butut yang semula bergambar burung garuda.

"Ha, mau ke mana begini kamu, Bang Hasan?" tegur Dono dengan sinis. Tetkejut, Hasan menoleh dan lebih kaget lagi melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.

Hasan kelihatan seperti mau lari dari pintu yang terbuka lebar, tapi dengan gesit Dono menyepak pintu hingga menggabruk tertutup.

"Nafisah tidak ada di sana, San! Kau coba-coba membohongi aku. ya?" Mendengar suara bengis yang penuh ancaman itu, diam-diam Hasan menggigil juga dalam hati. Tapi dia berlagak tenang.

"Saya sama sekali tidak bohong, Pak Dono! Sungguh mati! Gadis itu memang ada di sana. Disekap di loteng."

Tiba-tiba Dono teringat akan kamar penghabisan yang kosong melompong. Sofa di situ hangat. Mungkinkah monyet ini memang tidak berdusta?

"Hm. Kalau memang benar dia ada di sana, kenapa tidak bisa aku temukan? Sudah aku geledah seluruh rumah, tahu! Dia tak ada di sana! Tidak ada! Dengar???

Senyum iblis tersungging di wajah garang. Hasan tahu, Dono mulai ragu apakah dia bohong atau tidak.

"Barangkali mereka sudah tahu Pak Dono akan datang. Dan mereka lepaskan gadis itu beserta anaknya."

"jangan ngomong yang bukan-bukan! Tak ada orang lain yang tahu bahwa aku akan mencari Nafisah kecuali kau!!! Cuma kau yang tahu, aku akan ke sana!!! Apa kau menelepon mereka buat mengisiki?"

Mendengar guntur menggelegar itu mendadak Hasan tahu kesalahan bicaranya. Dia sudah memasang perangkap untuk dirinya sendiri. Dia berada dalam kesulitan! Keringat dingin mulai keluar sementara dia gelisah mencari jalan molos.

"Sungguh mati, Pak Dono! Saya tidak menelepon ke mana-mana. Biar disambar geledek kalau saya betul nelepon! Memang saya ke..." Hasan mengutuk diri sendiri. Hampir saja keterlepasan bicara. Cepat cepat ditutupnya mulutnya. Tapi Dono sudah terlanjur mendengar.

Dicengkeramnya leher kemeja bajingan itu.

"Kau ke mana?" tanyanya dengan mata mendelik penuh ancaman maut.

"Saya tidak kemana-mana, Pak Dono," kuiknya mulai gemetar.

Dono melayangkan tinjunya ke rahang.

"Nah, barangkali sekarang ingatanmu sudah lebih terang. Kau ke mana, katamu?"

Hasan masih bungkam. Tinju kembali melayang. Darah meleleh dari hidungnya. Sakitnya tak usah dibilang lagi. Hasan mengaduh. Dia takluk. Tangannya

terangkat melambai-lambai seakan minta agar hujan tinju itu mereda.

"Sa...sa...ya ke gu...dang..."

"Gudang di mana? Mau apa?" Tinju disiapkan, mengancam di udara.

' Urusan kerjaan, Pak."

"Dan gadis itu? Dia ke sini?"

"Ti...dak, Pak."

Dono menggeleng putus asa. Dia menunduk dan menghela napas. Hasan mungkin betul-betul tidak bohong. Hidungnya sudah jadi bubur, tapi dia masih tetap ngotot Nalisah tidak ke situ. Mungkin betul... tiba-tiba matanya melotot dan jantungnya berdebaran. Di bawah kursi dilihatnya sehelai sampul putih yang dialamatkan pada Nafisah!

Dipungutnya benda itu dan ditunjukkannya pada Hasan. Orang itu tetap bungkam. Dono jadi mendidih. Tinju lagi-lagi melayang.

"ini bukti jelas! Gadis itu kemari tadi! Masih mau mungkir? Kalau kau masih juga berlagak gagu, lebih baik aku panggil polisi!"

Hasan menyadari, tak mungkin lagi berdusta. Paling banter, berusaha meloloskan diri tanpa cacat. Mencari ketika yang baik selagi Pak Dono lengah....

Hasan menunduk dan melenguh. Diusapnya hidung dan sudut bibirnya. Darah merah membasahi telapak tangan membuatnya metingis. Biasanya dia tidak gentar melihat darah, selama itu bukan darahnya sendiri! .

"Gadis itu memang kemari tadi. Pak," katanya hampir tidak kedengaran.

"Awas kalau kau bohong!!!" hardiknya.

"Enggak, saya enggak bohong! Sungguh, Pak. Gadis itu sudah mereka lepaskan. Tahu kenapa. Dia datang menemui saya. Katanya mau minta tolong sampaikan surat buat Pak Mantik."

Tahulah Dono, Hasan tidak bohong. Tak mungkin dia bisa tahu tentang Pak Mantik segala. Tapi kenapa Nafisah mendadak dilepaskan? pikirnya. Karena mereka tahu dia akan datang? Bagaimana mereka bisa tahu? Karena... pusing kepalanya.

"Saya bilang, mendingan ditelepon saja. Jadi saya antar dia ke Pulogadung."

"Kenapa ke sana? Kan telepon umum banyak di pinggir jalan?"

"Lantaran dia bilang, tak boleh ketahuan orang. Karena itu juga dia enggak bisa datang sendiri ke tempat Pak Mantik, katanya. Jadi saya ajak dia ke gudang di Pulogadung. Di sana ada telepon."

"Gudang siapa itu? Kenapa kau bisa tahu sampai ke sana?"

"Saya jadi centeng di sana, Pak Dono. Berdua dengan kawan. Itu gudangnya Pak Lilo."

"Paman saya?"

Hasan mengangguk tapi sesuatu pada mata Dono membuatnya ngeri. Apakah dia sudah mengatakan sesuatu yang salah lagi?

"jadi kau bekerja sebagai penjaga malam pada Pamanku?"

"Ya, Pak. Saya kira Pak Dono memang sudah tahu...."

Dono tidak menanggapi.

"Sudah berapa lama kau kenal dia?"

"Lama, Pak. Sudah tahunan."

"Dan kau kerja di pabrik tenun atas usahanya?"

"Iya, Pak. Apa Pak Kusmanto enggak pernah bilang?"

Dono tidak menggubris pertanyaannya.

"Lantas, setelah menelepon, apa yang dilakukan gadis itu?"

"Saya kurang tahu, Pak. Setelah menelepon dia pemiisi sama saya, lalu pergi ke halte bis. Kali pulang ke rumahnya, Pak."

Dono menatap Hasan dengan tajam seakan mau membuktikan kalau-kalau dia berdusta. Tapi Hasan menunduk dan tak mau beradu pandang.

"Baiklah. Mari kita ke sana!"

"Ke...mana, Pak?" Hasan mendadak jadi gemetar. Dia tahu, Nafisah takkan ada di rumahnya.

"Ya. ke gudangmu itu! Ayo, kita berangkat sekarang. Aku tak banyak waktu!" Dono menghentakkan kaki dan membuka pintu. Dia berdiri di ambang pintu menunggu Hasan beranjak dari tempat.

Hasan sama sekali tak mau pergi. Tapi keadaan memaksa. Ibarat musang sudah terpojok, tak ada jalan lolos. Tetang-terangan melawan Dono, dia belum berani. Dia masih berharap akan ada kesempatan untuk melepaskan diri. Mungkin sesampainya di gudang nanti, masih ada ketika...

Itulah rupanya yang telah menyelamatkan nyawanya. Sebab beberapa menit setelah dia berangkat bersama Dono, datang sebuah jip berisi empat lakilaki tegap berkaca mata hitam. Mereka membuka pintu dengan paksa dan menggeledah rumah. Seorang tetangga yang mengintip sempat melihat pucuk senjata menyembul di ikat pinggang salah seorang.

Tapi jiwa Hasan rupanya masih harus tinggal di dunia. Dia tiba dengan selamat di Pulogadung.

Dono segera menyuruhnya membuka pintu gudang. Mula-mula dia berniat bilang, kuncinya ketinggalan. Tapi dipikir lagi, tak ada gunanya. Cuma mengulur waktu saja. Pak Dono pasti akan memaksanya kembali pulang untuk mengambilnya. Lebih baik dibereskan sekarang. Buka pintu, biarkan dia melihat sendiri tak ada siapa-siapa di dalam.

"Gadis itu sudah enggak ada di sini, Pak," dia mendumal seraya membuka gembok.

Dono seakan tidak mendengar. Begitu gembok diangkat, dia sendiri yang menarik pintu hingga terpentang lebar. Lalu didorongnya Hasan ke dalam. Lelaki itu mengeluh dalam hati. Niatnya, dia mau lari begitu Dono sudah melangkah masuk. Dia mau mengunci pintu gudang kembali.

Tapi terlambat. Rupanya Pak Dono bisa membaca pikiran orang! Dengan terpaksa dia melangkah juga. Pintu segera ditutup lagi.

Dono menyalakan lampu dan mendorong Hasan agar berjalan di depannya.

"Pak Dono mau cari apa di sini? Gadis itu sungguh mati, sudah keluar tadi, Pak. Katanya sih mau pulang. Kenapa kita tidak ke rumahnya saja, Pak?"

"Tadi kau bilang tidak tahu dia ke mana!" seru Dono murka.

"Jangan plintat plintut kalau bicara denganku, mengerti?!"

Hasan keder. tapi masih dicobanya membela diri.

"Sa...ya memang enggak tahu pasti. Tapi rasanya, pasti deh dia pulang, Pak. Kita ke rumahnya saja, Pak?"

Melihat sikap Hasan yang ketakutan dan desakannya agar mereka berlalu saja, Dono malah makin curiga. Didorongnya tulang rusuk Hasan supaya berjalan terus.

"Kita ke meja telepon itu. Aku perlu menelepon."

Mereka tiba di meja panjang. Hasan bersandar di pinggir seperti orang tak bertulang. Dono menjangkau pesawat telepon tanpa melepaskan Hasan dari matanya. Lelaki itu tengah menunduk, tapi sebenarnya matanya jelalatan mencari-cari senjata sekaligus melihat lihat kalau-kalau ada bukti yang bisa menyeretnya.

Ketika dia sudah hampir bernapas lega itulah tibatiba matanya menangkap sehelai sapu tangan dan sebatang palu di bawah meja. Letaknya tidak cukup ke dalam, sehingga bila orang menunduk. akan segera kelihatan.

Napasnya terhenti. Itu adalah senjata yang telah dipergunakannya beberapa jam yang lalu. Seandainya Pak Dono sampai memandang ke bawah...

Kakinya bergerak hendak menyepak benda itu ke arah dalam. Tepat saat itu Dono melepaskan sejenak pandangannya dari pesawat telepon untuk mengawasinya lagi. Dilihatnya gerakan Hasan. Disangkanya setan itu tengah merencanakan sesuatu yang membahayakannya. Atau mau lari!

Dengan segera dilepasnya telepon, lalu diayunnya tinjunya. Kena pinggir rahang. Hasan mengaduh dan sempoyongan. Kakinya terdorong dan dia tersungkur, sia-sia mencoba menggapai tepi meja. Dono mengikuti pandangannya barusan. Dia menunduk dan melihat palu serta sapu tangan.

Dia kaget. Itu adalah sapu tangan yang dibawanya dari Amerika! Dia membungkuk, menjepit sapu tangan itu lalu menjejalkannya ke dalam kantung celana. Kemudian dia membungkuk lagi untuk memungut palu. Warna merah yang melekat di situ disentuhnya dengan ujung telunjuk. Lengket dan basah. Darah ini masih baru! Darah apa?

Dia meluruskan badan sambil menoleh. Saat itulah dilihatnya Hasan melontarkan kunci inggris ke arah mukanya. Untung sekali gerak refleksnya masih bagus. Dia sempat berkelit. Benda itu jatuh tepat di sampingnya, nyaris menimpa ujung kaki.

Dengan geram dihampirinya bajingan itu dan mau ditinjunya. Tapi Hasan sudah siap memasang kudakuda. Tinjunya dengan gampang dielakkannya. Dia langsung melancarkan serangn balasan.

"Wah, kau berani melawanku, ya?! Rupanya sudah tidak mau uang yang aku janjikan subuh tadi?" ejek Dono seraya melakukan serangan bertubi-rubi.

Hasan tidak menjawab. Dia sibuk memusatkan perhatian pada kepalan serta tendangannya. Sebentar Dono sempat terdesak. Tapi dia juga bukan anak kemarin dulu. Dono pernah latihan pencak silat Bangau Hitam yang cukup bisa diandalkan. Hasan mula-mula kelihatan unggul. Tapi itu cuma taktik Dono untuk memeras tenaga lawan. Ketika napasnya sudah mulai kelihatan memburu, barulah dilancarkannya pelbagai serangan yang aneh-aneh. Hasan segera kateter. Perutnya kena hantam telak. Sekali. Dia membungkuk menahan sakit. Ketika dia berdiri mau membalas, tinju kedua sudah melayang dan mampir lagi di dadanya. Buk! Rasanya begitu nyeri, badannya sampai berguncang hebat. Jantungnya serasa meloncat putus ke leher!

Tapi serangan berikut masih belum reda. Dua kali lagi bogem mentah menghajar perutnya. Hasan menyemburkan darah segar semangkuk banyaknya. Matanya penuh bertabur bintang. Dia tahu, dia sudah terluka parah di dalam. Dia berusaha berdiri dan mengepalkan tinju untuk membela diri lagi.

Tapi tenaganya sudah lenyap. Tinjunya seakan tak bisa lagi dikepalnya. Tanpa dikehendakinya, dia sudah ngusruk ke lantai, lalu berdebam terbanting di semen dingin.

Tak ada lagi harga diri. Tak ada lagi pembalasan. Tak ada pembelaan. Hasan muntah sekali lagi. Semangkuk darah kehitaman. Tapi dia tidak sempat lagi memperhatikan cairan lengket yang membasahi mulut dan bajunya.

Dono menyepak tulang kering Hasan. Ketika tak ada reaksi, tahulah dia orang itu sudah pingsan. Diacak-acaknya rambut. Habislah kesempatannya untuk mengorek di mana Nafisah kini berada. Diperhatikannya sejenak telapak tangannya yang berotot kuat. Dikepal dan dibukanya tinjunya berkalikali.

"Aku terlalu keras menghajarnya." gumamnya pada diri sendiri. Dia mengangkat bahu. Tak ada jalan lain. Polisi.

Setelah menelepon polisi, dia langsung memutar nomor Murdo. Astari yang menerima.

"Ah, Dono, betapa leganya aku mendengar suaramu. Hermes sudah kembali beberapa jam yang lalu."

"Siapa yang mengantarkan?"

' Entah. Bel berbunyi. Ketika Wati membuka pagar. menurutnya, anak itu sudah berdiri di depan pintu. Tidak kelihatan ada orang. Tapi yang membunyikan bel pasti bukan Hermes. Dia tidak sampai."

"Hm. Nah, ya yang penting dia sudah kembali pada...mu." Tiba-tiba dia menyadari siapa sebenarnya Hermes. Rasa nyeri seakan memilin di rongga dada, namun dia tak tahu apa sebabnya. Cuma dengan susah payah dia bisa memaksa diri bertanya,

"Apa dia terluka?"

"Sama sekali tidak, Don. Syukurlah. Murdo barusan pergi ke kantor untuk mengurus acara hariannya dengan wakilnya. Dia akan segera kembali ke rumah, sebab dia masih khawatir memikirkan nasib Nafisah dan tidak tahu kau ada di mana."

Dono menelan ludah. Oh, kalau sampai terjadi apaapa dengannya, dia bersumpah takkan mau mengenal Paman Lilo sekeluarga lagi. Dan bila ayahnya juga terbukti ikut mendalangi, dia akan memutuskan hubungan sebagai anak!

"Jadi, Nafisah tidak menelepon tadi pagi?"

"Tidak."

Benar dugaannya. Hasan telah berdusta. Kenapa?

Suara hiruk-pikuk di luar menarik perhatiannya.

"Aku harus meletakkan telepon ini, As. Polisi datang. Nanti akan kuceritakan semuanya." Cepat-cepat ditaruhnya kembali pesawat tanpa menunggu reaksi Astari.

Dua orang polisi sudah berada dalam gudang. Dono menceritakan dengan singkat jalannya peristiwa. Polisi ketiga yang muncul belakangan segera memanggil anak buahnya untuk menggotong Hasan dan membawanya Pergi
Riak Riak Kehidupan Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bawa ke rumah sakit dulu. Dari sana masukkan tahanan. Mudah-mudahan lukanya tidak parah."

Dono juga tidak diperbolehkan berlalu. Untuk mengecek kebenaran cerita yang didengarnya, polisi pertama segera mengerahkan orang-orangnya untuk menggeledah gudang. Setiap jengkal diteliti, setiap pojok disenteri. Kira-kira sepuluh menit kemudian, seseorang berseru dari sudut gelap di sebelah belakang. Mereka berlarian ke sana.

Dono segera mengenali tas gantung Nafisah. Dia berjongkok untuk memeriksanya. Polisi menghalangi.

"Jangan disentuh!" ,;

"ini tasnya, Pak."

"Kami yang akan memeriksa! Ini barang bukti. Harjo. ambil sidik jari. Sukri, geledah dan catat apa isinya!"

Seorang polisi lain segera menemukan tas pakaian yang juga diperiksa dengan cermat. Kotak perhiasan kosong ditemukan di kolong meja.

Ternyata dalam tas gantung itu tidak ditemukan barang berharga apa pun. Bahkan dompet uang pun tak ada. Tentu saja ini mencurigakan. Mana mungkin seseorang tidak membawa uang sedikit pun dalam tasnya?

Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah tas pakaian itu. Di dalamnya terdapat sehelai sampul berisi uang tunai satu juta lebih! Polisi sampai capai menghitung lembar lima ribuan dan seribuan, tidak juga habishabis.

Tahulah mereka, Hasan telah menguras habis isi tas gantung, tapi tidak sempat atau tidak terpikir untuk memeriksa tas pakaian. Isinya kelihatan masih rapi dan utuh. Kedua benda itu segera diamankan sebagai barang bukti.

"Jadi di mana tunangan saya itu, Pak?" tanya Dono nyaris mau menangis. Polisi yang memimpin rombongan menepuk-nepuk bahunya dengan sikap optimis.

Sabar, Pak Dono. Kami akan berusaha menemukannya. Begitu Hasan sudah siuman. kami akan segera mengorek keterangan darinya. Sekarang

lebih baik Bapak pulang saja dulu, tapi jangan ke manamana, agar sewaktu-waktu diperlukan bisa menghadap ke kantor kami."

Polisi memintanya ke luar, lalu menyegel gudang itu. Dono tidak bisa berbuat apa-apa selain berjalan lunglai ke arah mobilnya. Sebelum membuka pintu, tiba-tiba dia teringat sesuatu dan menoleh. Letnan Polisi Sudarman sudah bersiapsiap menjejakkan kaki ke dalam jip.

"Pak Letnan, jangan lupakan paman saya! Pak Lilo! Warman Lilo! Dia tahu banyak!"

****

Hari baru setengah tujuh. Sepagi itu Dokter Faruk sudah bersiul-siul gembira sambil mengendarai mobilnya dengan tidak terlalu cepat. Dia memang ingin lekas tiba di rumah dan sarapan, tapi dia juga masih ingin menikmati kegembiraannya. Sejam yang lalu dia telah berhasil membantu pasiennya melahirkan sepasang anak kembar. Kedengarannya memang tidak luar biasa. Dokter kandungan. Menolong bersalin.

Tapi ini adalah kasus yang maha-istimewa. Si kembar adalah hasil jerih payahnya selama tiga tahun merawat pasangan jutawan yang sudah sepuluh tahun merindukan keturunan yang akan mewarisi harta kekayaan mereka.

Ini adalah hasil karyanya yang paling hebat. Metoda yang dipergunakannya belum dipakai di mana pun")

Bukan bayi tabung. Bukan pembuahan buatan. Bukan pil. Bukan semua. Dia akan membeberkannya dengan terperinci dalam makalah yang akan dibawakannya di Sidney akhir tahun ini. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi pasien-pasien sejawat lain.

Ah, kepuasan seperti sekarang ini sungguh berbeda sekali dengan kepuasannya ketika membeli mobil bagus langsung dari dealer. Dia bangga sekaligus bahagia, sebab dia tahu pasti, dia telah membahagiakan dua manusia lain yang telah menderita selama sepuluh tahun. Kini dukacita mereka telah dilaburnya dengan rona kuning ceria penuh sinar matahari. Dan bila kelak dia mati, paling sedikit akan ada dua pasien yang akan teringat padanya. Membeli mobil, cuma diri sendiri yang senang. Tapi kelahiran anak kembar itu telah menyentuh hati nenek-kakek. pamanbibi. di samping orang tua mereka sendiri. Aah, puasnya bisa punya kepandaian untuk menolong manusia lain!

Pulogadung sudah dilaluinya. Dia kini melewati Cempaka Putih. Dekat lampu merah dia berhenti. Di kejauhan samar-samar dilihatnya bungkusan panjang menggeletak di pinggir jalan. Dia jadi tertarik dan ingin tahu. Tapi setelah dekat, ternyata itu cuma seorang perempuan yang sedang tidur. Huh. Sangkanya itu mayat dalam karung dan sudah dibayangkannya betapa kawannya di bagian otopsi akan mendelik padanya, sok lancang pagi pagi sudah menyediakan kerjaan! Selain itu, tentu namanya akan masuk koran, walau cuma inisial saja.

Sekarang setelah semua itu takkan terjadi, ditancapnya gas. Dengan sebal digantinya persneling. Pasti itu perempuan malam yang tidak sempat pulang ke rumah!

Sejam kemudian melaju sebuah jip patroli. Melihat seorang perempuan tergeletak di pinggir jalan, serentak patroli berhenti. Seorang polisi meloncat turun. Berlari. Jongkok. Memeriksa tanpa menyentuh. Lalu menoleh dan melambai ke mobil.

"Luka kepalanya," serunya.

"Masih hidup?"

"Masih bernapas."

Yang duduk di sebelah sopir rupanya pemimpin meloncat turun. Diamatinya korban sejenak, lalu cepat memberi perintah.

"Ke rumah sakit!"

Dokter Faruk memasukkan mobilnya ke dalam jalur parkir di halaman rumah sakit yang memang telah disediakan untuknya. Pada tiang pendek terpancang nomor pelat mobilnya. Setiap pagi, dia tak pernah bosan membaca nomor-nomor itu dan selalu heran kok dia bisa mendapat kehormatan seperti ini. Anak badung yang suka menyembunyikan penghapus papan tulis atau memasukkan kacoa ke dalam tas temanteman perempuan, kok akhirnya bisa terdampar ke sini! Ke rumah sakit yang ternama ini!

Setelah selesai mengulang baca nomor pelarnya untuk kedua kali, barulah diraihnya daun pintu. sementara tangan kiri menjangkau tas kerjanya yang tua berwarna hitam. Biar sudah raja! rajit tak mau digantinya selama inisial universitas luar negeri yang tercetak di situ masih belum pudar.

Dia keluar dan mengunci pintu. Dilihatnya di depan poli gawat darurat ambulans tengah sibuk mau menurunkan pasien. Sebenarnya dia segan lewat dari situ, tapi pagi ini dibuatnya kekecualian. Melalui poli darurat cuma tinggal belok ke kiri, lurus, naik lagi ke tingkat empat. Kebidanan. Kalau melalui pintu utama yang di seberang timur, berarti dia harus mutar dua kali. Padahal mobilnya diparkir dekat dengan poli itu.

Biasanya dia selalu mutar. Dia segan pagi-pagi sudah disuguhi pasien-pasien gawat yang bergelimang darah. Pasien-pasiennya sendiri juga bergelimang darah, tapi mereka bukanlah korban senjata tajam! He, he, dia terkekeh mengingat leluconnya yang sedikit 'kotor'.

Pagi ini dia perlu lekas-lekas sampai di tingkat empat. Dia sudah tak sabar hendak melapor pada atasan tentang keberhasilannya menyuburkan pasangan yang sudah sepuluh tahun mengidap keputusasaan. Dia juga ingin melihat rekan-rekannya mendelik dengan kagum mendengarkan suksesnya yang begitu selangit! He, he!

Dia melangkah dengan lebar. Tasnya dikepit dengan lengan kiri. Sebenarnya dia tidak ingin menoleh ke arah usungan. Khawatir sarapan di lambungnya akan naik ke leher. Tapi rasa ingin tahu membakar hatinya

dan sertamerta kepalanya sudah menoleh. Toh sifat ini bukanlah aneh, tapi sangat manusiawi, hiburnya.

"Selamat pagi. Dok," sapa perawat yang mengenalinya.

"Selamat pagi. Nita. Korban tabrak-lari, nih?"

"Entahlah. Dok. Kelihatannya seperti dihantam dengan senjata tumpul. Mungkin barang besi...."

"Hm." Dokter Faruk jadi ingin membuktikan kebenaran ulasan perawat yang mahatahu ini. Dia melangkah lebih dekat dan memperhatikan.

Rambut pasien yang tergerai ke dahi sebagian lekat oleh darah yang masih basah. Dan darah itu masih terus mengalir ke luar. Rupanya luka di kepalanya cukup besar juga. Pasien belum sadar. Matanya yang terkatup membuatnya tidak mengenali pasien itu seketika. Tapi waktu terlihat olehnya andeng-andeng di pinggir cuping telinga kanan, hatinya seakan berhenti berdetak.

Diawasinya perempuan itu dengan lebih seksama. Tubuhnya yang terbalut rok dan blus masih tetap ramping seperti tiga tahun lalu. Atau empat tahunkah itu? Dia agak lupa. Namun andengandeng di dekat kuping masih diingatnya. Sebab mirip dengan putrinya sendiri, yang disebutnya "tanda lacak': kalau hilang, wah gampang lapornya ke polisi, yang bertahi lalat di kuping. Pak!

"Siapa pasien ini. Nita?"

"Belum tahu, Dok. Tak ada identitas apa-apa di badannya. Tas, kantung, ataupun KTP, semua tidak ada."

"Hm. Saya tahu namanya. Nafisah. Tapi alamatnya tidak saya ingat. Sebaiknya kauhubungi polisi!"

"Justru polisi yang membawanya kemari, Dok. Mereka menemukannya tergeletak di pinggir jalan lapas; Cempaka Putih."

"Ha?" Tiba-tiba perempuan yang tidur di pinggir jalan tadi terbayang kembali di depan matanya. Dia bergegas masuk ke dalam gedung.

"Lekas beri tahu polisi namanya. Saya sendiri akan menghubungi keluarganya."

Dokter Faruk cuma bisa menelepon keluarga Mantik. Dia tidak tahu siapa keluarga Nafisah sebenarnya. Kalau tidak salah ingat, mereka ada di luar Jawa. Mantik adalah satu-satunya nama yang bisa dikaitkannya dengan eks pasiennya itu.

Astari menyambuti telepon dengan tangan berkeringat. Jantungnya berdebaran. Dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Nafisah. Selama bertahun-tahun mengenalnya, dia telah jatuh sayang pada gadis malang itu dan menganggapnya benarbenar sebagai adik sendiri. Mendengar bahwa dia kini pingsan, diambil dari jalanan dan berada di rumah sakit, rasanya ingin menangis. Baru saja Hermes kembali. Baru saja dia merasa lega sedikit, sekarang berita ini! Murdo belum lagi kembali dari kantor. Setelah Hermes dipulangkan, Murdo permisi ke kantor sebentar untuk merundingkan urusan hari ini dengan wakilnya. Setelah itu dia berjanji akan pulang lagi untuk membantu mencari Nafisah.

Sekarang yang dicari sudah ditemukan. Tapi keadaannya! Oh, Tuhan, lindungilah adikku yang malang itu. doanya sambil menyusut mata.

"Saya akan segera memberi tahu suami saya dan Dono, Dokter. Terima kasih atas perhatian Anda. Kami akan ke rumah sakit secepatnya."

"Siapa itu Dono?"

"Dia adalah calon suaminya. Anu, ayah " Dia tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Hermes tengah duduk di lantai dengan mainannya dan sebentarsebentar anak itu menengadah mengawasinya. Anak itu sangat cerdas. Dia tak ingin Hermes mendengar sesuatu yang tak boleh didengarnya. Cepat diucapkannya terima kasih lalu diputusnya percakapan.

Betapa pilu hati Astari menyaksikan Dono menubruk tubuh yang tidak bergerak itu dengan air mata bercucuran. Murdo berusaha melepaskan pelukannya dan menariknya berdiri.

Nafisah belum sadar, tapi luka di kepalanya telah dijahit dan dibalut dengan rapi.

"Sabarlah, Don," bujuknya.

"Nafisah pasti akan selamat."

Dono menyusut air mata dan membersit hidung.

"Tapi kenapa dia pingsan terus?"

Susrer Nita yang mendengar pertanyaan itu spontan menjawab,

"Dokter Rudal tadi bilang, rupanya pasien

ini dilemparkan orang dari mobil atau kendaraan lain. Kepalanya terantuk semen beton. Mungkin gegar otak."

"Kenapa tidak di-rontgen?" teriak Dono.

Suster Nita menatapnya dengan pandang meremehkan. Siapa sih anak cengeng ini, sok-soknya memberitahu! Kayak yang lebih tahu!

"Sudah tadi. Hasilnya sedang ditunggu."

Untunglah cuma gegar otak biasa dan ringan. Nafisah sadar sejam kemudian. Dono sudah seperti orang sinting. Sebentar ketawa, sebentar menggeram kalau teringat orang yang telah menganiaya gadisnya dan sebentar berlinang air mata, bila teringat olehnya apa yang telah dialami Nafisah.

Tapi gadis itu sendiri kelihatan tabah. Begitu membuka mata dan melihat mereka bertiga, yang pertama-tama ditanyakannya adalah bagaimana dengan Hermes.

"Dia sudah selamat di rumah!" jawab mereka serempak.

Nafisah tersenyum bahagia. Barulah diulurnya lengannya dan disentuhnya Dono.

"Jadi aku masih hidup?" tanyanya antara menangis dan ketawa, lalu terisak. Astari ikut-ikutan, sehingga kedua pria itu salah tingkah. Mau menyuruh diam, mereka sendiri sudah kepingin mencucurkan air mata. Mau dibiarkan, aduh pilunya melihat dua wanita saling peluk bersimbah duka lara.

Tapi akhirnya Murdo mengeraskan hati dan meredakan suasana. Perawat juga masuk meminta mereka keluar. Pasien perlu banyak istirahat.

Mereka berlalu setelah masing-masing menciumi Nafisah dengan penuh haru. Dono sebenarnya masih ingin tinggal, sebab penasaran belum tahu siapa yang mencelakai gadis itu. Nafisah tidak mau menjawab. Dia cuma bergumam,

"Nanti. Nanti." Tapi Dono ingin sekarang.

"Nanti saja," perawat menegaskan.

"Sekarang Bapak harus pulang."

Suster galak itu berhasil melecut hati Dono, sehingga tidak lagi bisa cengeng. Terpaksa mereka semua keluar. Akhirnya diputuskan bahwa mereka akan menunggui Nafisah dengan bergilir. Siang Astari. Dan malam, Dono. Murdo akan kembali ke kantor.

Pada hari dia diperbolehkan keluar dari rumah sakit, sepuluh hari kemudian, barulah Nafisah menceritakan di rumah Murdo semua yang telah terjadi padanya.

Kemarahan Dono menggelegak seperti adonan dodol di wajan besi. Hasan! Bajingan yang harus mampus itu! Dan perempuan galak yang gemuk berdaster sutra! Bukankah itu...! Oh, betulkah di dunia ini ada makhluk sejahat itu? Betulkah ada macan memakan anak sendiri? Kalau betul, aku akan hajar mereka semua!!!

Tapi Nafisah melarang balas dendam. Itu syaratnya kalau Dono ingin mereka segera menikah. Dan Dono tidak tahan lagi terpisah dari Nafisah walau cuma

sehari pun. Memikirkan kemungkinan gadis itu akan mengalami musibah yang lebih gawat lagi, sudah membuatnya setengah kelengar. Apa pun kehendak Nafisah akan diturutinya asal mereka bisa secepatnya menikah.

Dan itu terlaksana tiga hari kemudian. Cuma dihadiri oleh Astari dan Murdo. Orang tua Dono maupun paman dan bibinya belum tahu apa-apa.

Setelah menikah, mereka tinggal sementara di rumah Nafisah. Murdo mau mencarikan rumah lain agar jejak mereka bisa dihapus. Tapi rupanya pasangan itu punya rencana sendiri.

Tanpa setahu istrinya, Dono diam-diam menghubungi polisi untuk memberi kisikan apaapa saja dosa Hasan. Kepada orang tuanya dia juga akhirnya berterus terang. Setelah mereka kini resmi kawin, Dono tidak lagi merasa takut pada siapa pun. Secara hukum, tak ada yang bisa memisahkannya lagi dari Nafisah. Secara bukan hukum, dia sudah punya rencana untuk menyingkir.

Orang tuanya tetap tidak setuju. Ibunya ngambek, tak sudi punya menantu "asal kampung,. Ayahnya tetap tidak percaya bahwa Paman Lilo ingin merebut perusahaannya. Bahwa Hasan adalah mata-mata yang dipasang oleh Lilo.

"Memang betul, orang itu bekas anak buah Lilo. Tapi Warman Lilo kan iparku sendiri, masa sih sampai sejahat itu?"

Dono merasa tak ada jalan lain. Mereka harus pergi.

***

SORE-SORE begini mereka paling senang dudukduduk di teras belakang sambil ngobrol. Di halaman belakang yang luas, Hermes sedang bermain-main dengan anjingnya, bergulingan dan berkejaran.

Angin sepoi menghembus di antara dedaunan akasia dan palma mengipasi udara yang resah gerah seharian.

"Sudah lama tidak hujan," keluh Astari. Matahari senja sudah berganti warna kejinggaan, menyapu pemandangan dengan nuansa abadi dambaan sapuan para pelukis sepanjang masa. Alangkah sementaranya hidup manusia! Itulah arti matahari Sesungguhnya. Mengingatkan pada kefanaan. Juga bukit-bukit yang tampak di sebelah selatan, kelihatan kelabu terselaput kabut sore. Pucuk-pucuk pohon di lambungnya cuma tampak bagaikan siluet biru kehijawan yang gelap penuh bayang.

Semua ini. pikir Murdo. akan tetap berdiri walau mereka sekalian sudah tak bisa menikmati lagi. Bumi ini masih bisa dianggap abadi terbanding hidup sesosok makhluk bernyawa. Ah, seandainya semua ini takkan berakhir, keluhnya sendiri. Paling tidak, takkan begini cepat berakhir.

Gelak ketawa Hermes serasa pisau yang menusuknusuk hati. Dan senyum yang memoles wajah Astari membuat lukanya pedih berdarah. Tapi dia harus tabah. Di antara mereka berdua, dialah yang mesti lebih menahan perasaan.

"Urusan dengan Dono sudah selesai." katanya menoleh. Astari tidak segera menangkap katakatanya. Dia tengah ketawa, menyaksikan petak lari Hermes dan Bella. Baru sesaat kemudian dirasanya suaminya menoleh dan mengatakan sesuatu.

Dia menengok.

"Oh, apa katamu barusan? Urusan dengan Dono sudah beres? Jadi mereka benar-benar akan pindah ke Lampung?"

"Aku rasa itu memang jalan yang paling baik untuk mereka. Di sana Dono bisa menjadi manager perusahaan bata dan genteng kita. Kalau dia ternyata bisa bekerja dan dinamis. aku juga merencanakan untuk mendirikan pabrik botol dan gelas. Perusahaan minuman ringan se Sumatra tak perlu lagi membeli botol khusus dari Jakarta. itu akan mengirit ongkos produksi. Malah pabrik semen juga aku mau, asal bisa mendapat izin!"

Astari cuma tersenyum. Dia sudah biasa menghadapi Murdo dengan ide-idenya yang serba melambung. Tapi anehnya, kebanyakan dari ide itu memang akhirnya menjelma jadi kenyataan juga.

"Untunglah Dono bisa segera mendapat pekerjaan. Tapi aku sebenarnya lebih senang kalau mereka tetap saja di sini. Aku akan kesepian tanpa Nafisah. Kau tahu sendiri, betapa aku merindukan seorang adik. Terpaut begitu jauh dengan kakak-kakak membuat kami jadi kurang akrab. Rasanya aku lebih dekat dengan Nafisah. Ah, seandainya mereka tidak usah ke Lampung...."

"Nah, kau sudah jadi egois!" tuduh Murdo ketawa.

"Bukan begitu," sangkal Astari, ketawa malu sambil mencubit suaminya.

"Aku cuma ingin dekat-dekat selalu dengan Nafisah. Rasanya aku tidak rela kalau dia sampai kenapa-kenapa lagi. Dia sudah banyak menderita. Kalau dipikir, malah lebih menderita dari aku sebelum kita memiliki Hermes."

Inilah saatnya. Istrinya sendiri yang sudah menyentuh topik yang mengerikan itu. Hermes.

"Ya," angguknya.

"Dia sudah sangat menderita. Dan Hermes bisa mengobati semua deritanya yang dulu."

Tiba-tiba Astari duduk lebih dekat, menoleh, dan membelalak. Sesaat diamatinya wajah Murdo seakan mau mencari sebab kenapa dia sudah bilang begitu. Tapi wajah Murdo tenang-tenang saja, seakan yang telah diucapkannya tidak luar biasa.

"Apa maksudmu?" bisiknya.

Murdo bukannya menjawab. tapi malahan melingkarkan lengannya sekeliling bahu istrinya dan menariknya ke dekatnya. Disapunya pipi dengan ulas bibir perlahan, lalu berbisik tepat ke telinga,

"Aku sayang padamu. Asta. Aku tahu kau pantas kucintai. Kau adalah seorang wanita yang berhati lapang...."

Astari mengernyitkan kening dan merenggangkan diri supaya bisa menatap suaminya. Dia menggeleng. tersenyum.

"Ada apa sih sebenarnya?"

"Asta, kalau seandainya aku mempunyai permintaan yang amat sulit kaupenuhi. maukah kau tetap mempertimbangkmnya?"

"Serta mengabulkan?" sambung Astari tersenyum. Diletakkannya kepalanya dengan manja ke bahu suaminya. Tangannya bermainmain dengan rambut Murdo.

"Ada apa sih sebenarnya, Murdo?" tanyanya untuk kedua kali.

"Baiklah akan kujelaskan. Tadi siang Dono datang ke kantor. Dia punya problem yang tidak bisa dipecahkannya sendiri."

Astari tersenyum.

"Soal uang? Kalau begitu orang tuanya betul-betul sudah tidak mengakuinya sebagai anak lagi? Cuma gara-gara dia kawin dengan Nafisah? Keterlaluan sekali!"

"Soal uang bukan masalah nomor satu. Aku kan sudah mengangkatnya sebagai manager. Selain itu. mobilnya sudah dijual untuk ongkos. Problemnya sekarang menyangkut Nafisah "

"Kenapa dia?" Astari duduk tegak kembali, suaranya penuh kekhawatiran mengenai keadaan Nafisah.

"Nafisah tak mau ke Lampung tanpa... Hermes!" Murdo menatap Astari sejenak, lalu menunduk menekuri lantai. Ketika tidak juga didengarnya reaksi dari istrinya, diangkatnya kepala dan dipandangnya Hermes yang tengah berkejaran dengan Bella.

Cengkeraman yang tiba-tiba pada lengannya membuatnya menoleh. Wajah Astari pucat pasi. Butirbutir keringat tampak bermunculan di bibir atas. Digigitnya bibir seakan menahan nyeri.

"Betulkah itu?" bisiknya ketakutan. Murdo cuma sanggup mengangguk. Tiba-tiba Astari bergerak menjauhkan diri. Dia menggeleng keras-keras. Bisiknya setengah kalap.

"Tidak! Takkan kuizinkan! Hermes adalah anakku! Anak kita! Takkan ada yang boleh mengambilnya dariku!"

"Tenang, Asta. Tenang. Kita pikirkan jalan keluar yang terbaik."

"Tak ada jalan keluar!" Astari menolak bujukan Murdo dengan suara yang kian meninggi. Hermes yang tengah berkejaran dengan Bella sampai ke dekat teras menoleh kaget mendengar suara ibunya tidak seperti biasa. Dia langsung meninggalkan Bella dan berlari menghampiri ibunya.

"Mama, ada apa. Ma? Kenapa Mama jeritjerit? Kenapa Mama begitu pucat?" tanyanya sambil merebahkan diri di pangkuan dan menengadah memandangnya.

Astari memaksakan sebuah senyum kuyu. Dipeluknya anak itu kuat-kuat dan dipangkunya.

"Sana, makan dengan Bibi," perintah Murdo sambil tersenyum halus. Karena memang sudah lapar, anak itu menurut. Dia merosot turun setelah mencium pipi ibunya.

"Hermes makan dulu ya, Ma."

Astari mengangguk. Tapi ketika anak itu sudah tidak keliharan, air matanya turun bercucuran sepanjang pipi. Murdo mengeluarkan sapu tangan dan menyusut

pipinya dengan mesra. Seolah tanpa sadar, sebentar. sebentar tangannya menggerai rambut atau membelai pipi istrinya.

"Alangkah menderitanya perempuan yang tidak punya anak, Mur. Aku cuma boleh dititipi anak selama ibunya tidak sanggup merawat. Setelah sanggup, cintaku mau direnggutkan dengan paksa. Rupanya kedamaian dan kebahagiaan bukanlah milikku yang abadi. Bukan milik kita, Murdo," isaknya.

"Hus, hus. Nanti ketahuan Hermes. Hentikan isakmu. Asta, kalau kita pikir pikir, mereka sebenarnya jauh lebih menderita dari kita. Dono sudah tidak diakui sebagai anak. Hak warisnya sudah dicabut. Nafisah sudah menderita begitu hebat. Kalau dia dipaksa juga tinggal berjauhan dengan Hermes, sungguh kita terlalu kejam."

"Tapi tidakkah kejam juga merenggut anak itu dariku yang telah memeliharanya bertahuntahun? Mengasihinya seperti darah dagingku sendiri? Kenapa sih, mereka tidak berdiam saja di Jakarta?"

"Dono tidak mau, Asta. Kalau aku jadi dia, aku juga Segan. Aku takkan bisa berdekatan lagi dengan orang tua yang sudah mengharamkan diriku. Atau dengan paman dan bibi culas yang telah menimbulkan begitu banyak kesulitan. Menurut Dono, ide untuk mengawinkannya dengan anak bibinya sebenarnya berasal dari mereka, bukan dari orang tuanya. Katanya, pamannya sudah lama mengincar harta ayahnya. Bibinya merasa bahwa pembagian warisan di antara dia dan ayah Dono tidak

adil. Dia menuduh abangnya mendapat lebih banyak. Sedang sebenarnya, yang diwariskan cuma sebidang tanah. Lain-lainnya adalah hasil jerih payah ayahnya sendiri."

"Aku tidak mau tahu urusan mereka!" seru Astari menentang dengan suara ketus. Disusutnya air matanya, lalu bangkit berdiri. Tangan Murdo yang ingin meraih dan memaksanya duduk lagi, ditepiskannya.

"Pendeknya, aku takkan mengizinkan mereka membawa Hermes! Kita sudah resmi menjadi orang tuanya! Semua surat ada pada kita. Anak itu takkan bisa dibawa tanpa seizinku! Kau rupanya tidak begitu menyayangi Hermes seperti aku! Sehingga dengan mudah saja kau merelakannya dibawa pergi!"

"Aku juga sangat menyayanginya, Asta. Sama besar seperti sayangmu. Tapi aku masih memikirkan orang lain. Penderitaan mereka."

"Ah, Nafisah kan masih muda. Dia masih bisa beranak selusin lagi. Sedang aku..."

Nafisah tak mau beranjak dari ranjang sebelum melihat Hermes. Tiket pesawat yang sudah dibeli oleh Dono terpaksa di-cancel. Istrinya sama sekali tak mau berangkat tanpa anak itu.

Setiap hari Dono mendatangi kantor Murdo. Berjam-jam lamanya kedua laki-laki itu duduk berhadapan, saling pandang, menghela napas. menggeleng. tanpa berkata sepatah pun. Dono tak bisa menyalahkan Astari. Dia juga tak bisa memarahi Nafisah. Kedua perempuan itu samasama dilecut rasa cinta yang tak bisa diadili benar salahnya.

Begitu juga Murdo. Dia tak bisa menyalahkan Nalisah. Tapi pemikiran Astari juga tak bisa dikesampingkan.

"Bagaimana aku akan hidup setelah Hermes diambil, Mur?" isaknya di tempat tidur semalam.

"Ibumu akan tahu hal yang sebenarnya. Juga kakakkakakmu. Mereka semua pasti akan lebih mencemooh aku daripada sebelumnya. Mungkin juga ibumu akan marah besar, sebab kita telah menipunya. Bukankah Hermes sudah dimasukkannya ke dalam deretan ahli waris? Oh, Murdo, lebih baik aku mati dulu sebelum hal itu terjadi."

Setiap malam Murdo merangkul istrinya dan mencoba membujuknya. Nafisah sudah makin gawat keadaannya. Tak mau makan. Tak mau turun dari ranjang. Bahkan untuk keperluan mendesak pun, dia tak mau. Astari bukannya jatuh kasihan mendengar itu. Tapi malahan tambah menderita, sebab dia khawatir bahwa pada akhirnya dialah yang terpaksa mesti menyerah. Atau lebih celaka lagi, kalau dia tetap kepala batu dan Nafisah kenapa-kenapa, dialah yang harus menanggung dosanya.

Akhirnya persoalan itu pun sampai ke telinga ibu Murdo. Ketika seorang anak kakaknya Suki berulang tahun. Astari tak mau datang. Galau dalam hatinya

tak bisa rasanya dibawanya berhandai-handai dalam pesta di mana ibu dan ayah mertuanya pasti akan memanjakan Hermes berlebihan.

Murdo adalah anak lelaki mereka satu-satunya. Hermes merupakan penyambung silsilah nama keluarga. Tidak heran bila anak itu disayang melebihi cucu yang lain. Karena Hermes pula, Astari kini amat disayang oleh mertuanya yang biasanya cerewet itu. Oh, betapa akan murkanya mereka sekiranya tahu bahwa...

Sang nenek tak mau menerima alasan bahwa Hermes sedang sakit, tak bisa datang dan orang tuanya dengan sendirinya juga tidak. Sorenya, sehabis pesta, dia datang bercitra dengan sang kakek. Tentu saja bukan main heran mereka melihat Hermes tengah asyik berlarian di kebun belakang bersama Bella.

Murdo terkejut melihat kedatangan orang tuanya. Dia tidak sempat lagi mengisiki Astari supaya diam di kamar, berlagak sakit. Istrinya saat itu tengah duduk di kursi teras, termenung memperhatikan anak dan anjing berkejaran. Itu saja yang dilakukannya setiap sore. Hermes mengira, ibunya tengah asyik menikmati permainannya dengan Bella, sehingga dia lebih semangat lagi melempar bola yang dikejar mati-matian oleh anjingnya. Dia tak tahu, setiap gelak ketawa yang keluar dari bibirnya menghunjam bagai sembilu ke lubuk hati ibunya.

"Nah, apa-apaan ini?" pekik sang ibu mertua membuat Astari terkejut melebihi takutnya seandainya dia melihat setan. Cepat-cepat dia berdiri sementara

Hermes sudah berlari menghampiri kakek dan neneknya. Anak kecil memang paling mengerti siapa-siapa yang sayang padanya. Dia langsung bergelantungan pada kakeknya setelah mendapat cium mesra dari Nenek.

Murdo memberi isyarat agar ayahnya membawa anak itu menyingkir. Sang kakek rupanya mengerti gelagat kurang baik untuk anak itu. Dia menurut.

Ketiga orang itu kemudian pindah duduk ke ruang keluarga yang berkunci. Sang nenek menuntut penjelasan untuk sikap mereka yang dianggap kurang kekeluargaan itu.

"Nah, jadi kenapa kalian tidak membawa cucuku ke pesta ulangtahun Suki? Apa kalian mau menjauhkannya dari kami?"

Pertanyaan yang disertai nada bengis itu menguncupkan hati Astari. Dia tercenung menunduk bermain-main dengan ujung bantal sulam. Firasatnya mengatakan. sore itu adalah kiamat baginya.

Ketika Murdo tak bisa menjawab dengan cukup memuaskan, ibunya malah bertambah garang.

"Apa?" serunya hampir berteriak kalau saja dia tidak teringat Hermes mungkin akan kaget mendengar bentakannya.

"Tadi siang di telepon kau bilang anak itu yang demam. Sekarang, ibunya yang pening. Nyatanya, kedua orang itu menurut aku, sehat-sehat saja. Apa bukannya kau sendiri yang sudah jadi gila?!" hardik ibunya dengan murka.

Astari meringis mendengar bentakan itu. Walau ditujukan pada suaminya, dia merasa terkena juga.

Terlebih waktu mertuanya merepet terus,

"Kalian rupanya memang kurang memperhatikan orang tua. Kurang menghormat. Kurang takzim. Maunya kurang ajar, bertindak sesukanya dan tidak tahu membalas budi orang tua. Kurang memperhatikan perasaan orang lain. Kalian tak mau berpikir. alangkah kecewanya kakakmu ketika kalian tidak muncul bersama Hermes. Bukan main khawatirnya ayahmu mendengar anak itu sakit, sehingga dia memaksa pulang lebih dulu dan terus kemari. Tidak tahunya!! Sungguh kurang ajar! Anak-mantu tak tahu diuntung! Jangan sampai aku menyumpahi kekurangajaran kalian, ya! Jangan keterlaluan melewati batas! Sabarku sudah hampir habis! Aku tak mau tahu siapa sebenarnya yang punya usul supaya kalian tidak datang. Aku cuma tahu, kau berdua dengan Sengaja telah menyakiti hati kami!!!"

"Kami tidak sengaja, Bu," bisik Astari makin meringis mendengar gelegar suara mertuanya. Dia paling takut dengan mulut perempuan itu. Dulu, dia sudah kenyang mendengar sindiran dan makian. Oh, janganlah sekarang lagi, jangan sampai Hermes tahu, ibunya tengah dimarahi oleh nenek yang dicintainya.

"

"Kami tidak sengaja!' Huh! Mana buktinya? Bukti bahwa kalian tidak sengaja? Rupanya kau ya yang telah menghasut anakku!!!"

Astari tidak tahan lagi. Air matanya menetes turun satu-satu. Murdo jadi serba salah melihat kesusahan istrinya. Diambilnya sapu tangan dan diberikannya pada Astari.

Tak ada jalan lain, pikirnya. Mereka harus membuka kartu! Selama empat puluh tujuh menit yang tegang. Murdo menceritakan semuanya dari a sampai z. Astari menunduk terus, tak berani memandang siapa pun. Dia yakin, sebentar lagi dia mungkin akan dibunuh oleh mertuanya atau paling ringan, diusir dari rumah itu. Atau ditampar. Oh, dia lebih suka dibunuh saja daripada ditampar! Ah, moga moga cerita Murdo takkan berakhir, sehingga mertuanya takkan punya kesempatan untuk memakinya. Dia paling takut dimaki perempuan ini.

Ibu Murdo kelihatan melongo ketika apa yang didengarnya sudah dicerna dalam otaknya. Matanya memandang ke depan, tapi seakan tidak melihat apaapa. Dia termenung, sehingga lupa untuk menghardik menantu yang bukan saja tidak sanggup meneruskan silsilah mereka, tapi malahan menipu dengan begitu berani.

Harapan Astari tadi rupanya takkan kesampaian. Baru saja Murdo mengatupkan bibir, selesai bicara, tibatiba telepon berdering nyaring. Seperti disengat listrik, Murdo meloncat bangun dan menyambar pesawat.

Halo, di sini Murdo " Lalu dia tampak mendengarkan dengan serius. Ketika pesawat sudah diletakkannya, dia menoleh pada istrinya. Suaranya mirip terdakwa yang menyesali tindakannya yang telah mencelakakan seseorang.

"Nafisah sudah diangkut ke rumah sakit! Dia perlu diinfus. sebab sudah seminggu tak mau makan!"

Hening. Astari dan mertuanya bersamaan mengangkat muka menatap Murdo. Kedua wajah itu tercengang seakan tak mengerti apa yang barusan mereka dengar.

Murdo berdiri mematung di depan mereka, seolah tidak punya akal lagi. Sebenarnya dia ingin mengusulkan agar Astari mau menemaninya ke rumah sakit. Tapi dengan keadaan istrinya seperti ini...

lbunyalah yang pertama-tama sadar dan mengeluh seraya menggelengkan kepala. Dia menghela napas.

"Yah! Sudah takdir Tuhan! Tak bisa kita elakkan. Barangkali Ibu yang salah selama ini, sampai-sampai kalian bertindak sejauh itu, menipu kami semua. Aku yakin kalian tidak bermaksud jahat. Kalian bukan mau mengecoh kami. tapi barangkali cuma semata-mata didorong rasa takut. Betulkah?"

Sebelum Murdo sempat mengiakan, Astari sudah terisak lagi.

"Memang be...tul, Bu, kami se...benarnya sa ma se kali tak ber niat me nipu si...apa pun. Tapi kami sa...ngat i ngin menye...nang...kan hati Ibu dan Ayah. Selain itu saya ju...ga su...dah tak ta... han ha...rus men...dengar kan sin diran se...tiap kali kami menghadiri pesta-pesta ke...luar...ga. Ka... ka..."Astari tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Isaknya bertambah.

"Kami bukannya sengaja merencanakan itu, Bu," kata Murdo menambah.

" Ketika dokter secara kebetulan memberitahukan persoalan yang dihadapi Nafisah, kami pun merasa, inilah jalan yang ditunjukkan Tuhan
Riak Riak Kehidupan Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagi kami. Hermes-lah yang boleh menjadi anak kami. Tapi sungguh tak terduga, kejadian itu masih akan merembet sampai hari ini."

Perempuan setengah baya itu memandang anak dan menantunya bergantian. Kedua suami-istri itu menunduk seperti anjing-anjing yang menunggu hukuman dari tuannya. Sikap mereka yang begitu pasrah tiba-tiba menimbulkan kasihan di hatinya yang biasa tegar. Perempuan itu berlinang air mata.

Mendadak dipeluknya Astari yang duduk di sofa yang sama, tidak jauh darinya. Untuk pertama kali, dipeluknya perempuan muda itu seakan dia anaknya sendiri. Dielusnya rambutnya. Isak Astari makin bertambah. Tapi kali ini disertai isak mertuanya.

"Sudahlah, Nak. Hentikanlah tangismu. Maafkan Ibu. Aku telah memaksa kalian mengambil tindakan itu. Seharusnya kita pasrah dan tawakal menerima takdir. Sebab semua itu cobaan dari Tuhan. Pasti Dia ingin agar kita semua bahagia, cuma jalannya mungkin tidak sama bagi setiap orang. Sudahlah, Tari, sudahlah, Nak. Maafkan Ibu. Kalau memang Hermes bukan milik kita, relakanlah dia kembali pada ibunya. Nafisah, menurut cerita Murdo, Ibu rasa jauh lebih sengsara dari kita semua. Biarkanlah dia merasakan secercah matahari dalam hidupnya. Sebab Hermes memang darah dagingnya. Relakanlah, Tari. Ibu berjanji tidak akan menyalahkan kau. Kedua orang tuamu takkan mempermasalahkan lagi soal keturunan ini, Murdo. Juga kakakkakakmu takkan ada yang boleh

menyindir nyindir lagi. Ibu akan memberi tahu mereka. Relakanlah, Tari. Kalau memang nasibmu baik, anak itu takkan melupakanmu. Dan Ibu rasa, Nafisah juga takkan keberatan bila anaknya itu mempunyai dua ibu...."

"Oh, Ibu! Terima kasih untuk pengertian ini," bisik Astari tersedu.

"Se...benar...nya sa...ya sa ngat be...rat ber...pisah de...ngan Her...mes. Ta pi se...karang sa... ya re...la. Sa ya sa...dar, Na fisah ti...dak me...mi liki apa-apa se lain su ami d...an a...naknya. Sa ya ma...sih pu...nya mer...tua, ka kak i...par dan be... gitu ba nyak ke ponakan. Bi...arlah me reka sa ja yang a...kan ja...di anak-anak kami...."

Ibu mertua itu mengambil sapu tangan Murdo dari genggaman Astari lalu menyusuti sisa air mata menantunya.

****

PENGADILAN yang memeriksa Hasan mendapat sorotan luar biasa. Tidak heran. Sebab adik perempuan Lilo adalah menantu seorang pejabat tinggi negara. Ada yang bilang. menteri. Ada lagi yang bilang sekjen atau dubes. Pokoknya. pejabat tinggi. Kalau Lilo sampai terseret, kemudian dijatuhi hukuman, dikhawatirkan kedudukan orang tua sang ipar bisa terguncang.

Tapi apa boleh buat. Rupanya Hasan memang tahu banyak dan bisa bicara. Gudang Pak Lilo digeledah. Maka terbongkarlah banyak rahasia yang terpendam di laci laci lemari tua yang sudah bau jamur dan lapuk. Untuk pelabi, gudang itu dijadikan tempat fotocopy dan cetak blue-print, tapi sebenarnya merupakan markas gelap.

Lilo agaknya memang punya rencana untuk mendaulat pabrik tekstil Pak Kusmanto, iparnya sendiri. Hubungannya dengan pejabat itu mertua adiknya memberinya peluang untuk mendekati oknum-oknum tertentu yang bisa mempercepat jatuhnya Kusmanto ke dalam pailit. Misalnya mencegahnya dapat kredit. sehingga mesin-mesin tak bisa dibeli atau diperbaharui. Hutang-hutang tak bisa dilunasi. Malah kuota ekspornya dijegal. Dan lain-lain.

Murdo mengguntingi semua berita itu dan mengirimkannya dengan rajin ke Lampung. Dia tahu. koran sedikit lambat tiba di daerah dan harganya pun

empat kali lipat di Jakarta. Kantor di sana memang berlangganan koran, tapi tentu saja itu untuk dibaca beberapa orang sekaligus. Dono takkan sempat mengguntinginya. Kalaupun sempat, pasti akan menimbulkan tanda tanya: kenapa?! Lama kelamaan bisa bisa semua orang akan tahu riwayat Dono.

Karena itu kliping yang dikirimnya selalu diterima oleh Dono dengan gembira dan disimpannya baikbaik, walau sebenarnya dia juga kurang mengerti apa gunanya. Bahwa ayahnya kini sudah tahu keculasan Paman Lilo, sama sekali tidak berarti apa-apa bagi dia sekeluarga. Ayahnya sudah terlanjur membuangnya, tidak lagi mengakui dia sebagai anak dan ahli waris. Ibunya juga mengutuknya. Bahkan kakak perempuan yang biasanya sepaham dengannya dalam menghadapi front orang tua, sekali ini pun menyesali tindakannya.

Tidak. Dia sama sekali tidak menyesal. Jauh dari itu. Bersama Nafisah dan Hermes, hidupnya boleh dibilang sudah di puncak kebahagiaan. Finansial pun mereka tidak kekurangan, berkat uluran tangan Murdo yang mempercayakan pengelolaan pabrik'pabriknya di Lampung dan Jambi. Uang penjualan rumah Murdo tak mau menerimanya kembali. Katanya, itu sudah milik Nafisah dan mobil dimasukkan ke bank untuk keperluan darurat.

Tidak. Dia tidak punya alasan untuk menyesal. Nafisah pun kelihatan selalu berseri. Bahkan Hermes yang semula selalu merengek menanyakan mana "Mama Astari', setelah tiga bulan pun tampak bermain.

lagi dengan gembira, seakan memang sejak dulu mereka tinggal bertiga dan tak pernah mengenal kehidupan lain.

Orang tua Nafisah yang tinggal enam puluh kilometer dari mereka ternyata amat sayang pada Hermes. Begitu pula ketiga adiknya. Hermes senang sekali mendapat nenek-kakek baru serta dua orang paman, dan seorang bibi.

Hari baru pukul tujuh. Sebenarnya masih terlalu pagi. Tapi ternyata Titipan Kilat sudah menekan bel. Membawakan paket dari Tanjung Karang.

Murdo masih tengah sarapan dengan Astari ketika Bi Uni pengganti Wati yang ikut diciduk juga oleh polisi masuk memberikan paket.

"Ha, dari Dono sekeluarga!" seru Murdo seraya menjangkau pisau buah dan mulai memotongi tali-tali pengikat. Paket itu penuh dengan penganan kering. Tapi yang menarik perhatian Murdo hanyalah sampul surat yang terselip di tengah. Diambilnya surat itu lalu disorongkannya paket beserta isinya ke depan istrinya.

Astari mengeluarkan kotak keripik pisang, keripik kentang kesukaan nya, dendeng, manis dan... Dia melirik Murdo mmbil tersenyum. Banyak betul kiriman ini. Ah, Nafisah masih belum melupakannya. Dilihatnya Murdo tersenyum sendirian membaca surat.

Di atas meja tergeletak sehelai potret. Cepat

diraihnya. Ah! Hatinya kembali tertusuk. Senyum yang begitu manis. Sudah berapa bulankah dia di sana? Rasanya sudah lama sekali, padahal kalau dihitung sebenarnya baru lima bulan. Oh, sudah makin besar saja. Dan makin kasep. Juga makin mirip... Dono.

Astari termenung menatap potret Hermes yang sedang ketawa, tanpa menyadari bahwa Murdo sejak tadi tengah memperhatikannya sambil mengulurkan surat yang sudah selesai dibaca.

"Asta," katanya untuk kedua kali,

"ini suratnya. Tidak mau kaubaca?"

Mendadak Astari melepaskan gambar di tangannya ke atas meja, lalu membungkuk, menekan perut.

"Eh, kau kenapa?" seru Murdo kaget. Saat itu telepon berdering. Terpaksa dia meraih dan menerimanya.

"Ya, halo. Betul. Saya sendiri Murdo Mantik. Oh, ini Pak Kusmanto?" Dia melirik untuk memberi tahu isrrinya, tapi Astari sudah tidak kelihatan.

"Ya, Pak Kusmanto, apa yang saya bisa tolong?"

Suara dari sana kedengaran lelah dan sudah tua.

"Nak Murdo, saya kepingin tahu di mana alamat Dono..."

"Oh, eh " Dia tidak bisa segera menyahut. Harus berpikir dulu adakah untung-ruginya bagi Dono bila alamatnya diberitahukan pada ayahnya?!

Rupanya Pak Kusmanto bisa menebak keraguan Murdo, sebab dengan cepat dia sudah menyambung,

"Saya rindu ingin melihat... cucu..."

Barulah lega hati Murdo. Dia percaya lelaki tua itu tidak berdusta. Dengan tidak syak lagi dikatakannya apa yang ingin diketahuinya. Malah ditawarkannya potret yang baru saja diterima.

"Kalau Pak Kusmanto mau lihat potret Hermes. akan saya antarkan nanti ke rumah."

"Oh, terima kaSih. Nak Murdo. Banyak terima kasih!" Suaranya kedengaran seperti mau menangis, sehingga Murdo cepat-cepat minta diri dan meletakkan telepon kembali. Dia segera bangkit mencari istrinya.

"Di mana Ibu?"

"Di dalam kamar, Pak," sahut Bi Uni.

Ditemuinya Astari di kamar mandi yang terletak dalam kamar tidur. Dia sedang muntah-muntah di depan wastafel.

"Kau kenapa?" tanyanya khawatir seraya menguruti punggungnya.

"Entahlah. Mungkin aku salah makan...." Dia kembali ongkek-angkek.

"Itulah! Sudah tahu punya sakit maag, masih juga getol makan semua yang asam dan pedas. Asinan, rujak. Asinan, rujak. Hampir tiap hari!" omel Murdo.

Astari terima salah dan tidak membantah. Ketika akhirnya episode itu selesai, wajah Astari kelihatan pucat, sehingga Murdo membimbingnya ke ranjang dan memaksanya rebahan.

"Tak usah mengantar aku pergi," cegahnya. Ditutupinya Astari dengan selimut dan dipesannya agar segera menelepon kalau tambah gawat. Untunglah

ternyata tidak. Ketika dia pulang sore harinya, didapatinya sang istri sudah berseri lagi, tengah asyik menanam bunga.

***

Namun ketika hal itu terulang lagi untuk kedua dan ketiga kalinya, diputuskannya bahwa Astari harus ke dokter. Tapi yang sakit berkeras menyatakan tidak apa-apa.

"Kalau sudah muntah, baik lagi kok! Aku juga sudah minum obat antimuntah dan obat maag." Tapi Murdo tetap khawatir. Dia berkeras memaksa Astari. Paling sedikit, ke Dokter Faruk yang sudah lama mereka kenal.

"Apa-apaan sih kau ini!" Astari terpaksa ketawa.

"Mau bikin aku malu saja! Nanti disangkanya aku mau berpura-pura hamil! Seperti pasiennya yang sakit jiwa tempo hari! Aku kan tidak hamil, Mur."

"Peduli apa? Yang penting, penyakitmu diketahui dan diobati! Habis, kita kan tidak kenal dokter lain, Asta. Siapa sih yang bilang, orang yang tidak hamil tak boleh pergi ke dokter kandungan? Kan sebelum jadi spesialis, dia juga seorang dokter umum, bukan?"

Astari menyerah semata-mata untuk menyenangkan hari suami dan meredakan kekhawatirannya.

Namun hasilnya sungguh di luar dugaan.

***

Mereka datang kembali untuk kedua kali, sesuai dengan instruksi Dokter Faruk. Dokter rupanya sedang memeriksa pasien di kamar sebelah. Lama sekali keduanya dibiarkan duduk di dalam kamar praktek yang kosong.

Hati mereka kebat-kebit. Terkadang, dokter enggan menemui pasien untuk sebuah kabar jelek dan biasanya dia akan mengulur waktu. Apakah itu yang tengah dilakukannya kini, pikir Murdo setengah panik. Tinjunya sebentar dikepal dan sebentar dibukanya, saking senewen.

Apakah dokter sedang mengulur waktu? Mencuci tangan dua kali lebih lama? Oh, dia tidak berani membayangkan istri tercinta diserang penyakit gawat! Oh. dia tak berani menatap Astari.

Apakah dokter sedang pura-pura mencari sesuatu dalam buku tebal yang sebenarnya sudah dihafalnya luar kepala? Apakah...

Astari juga dicekam kekhawatiran. Dia merasa lesu dan lemas saja akhir-akhir ini. Tak ada nafsu makan. Tak bisa tidur. Tak ada kemaunan untuk melakukan apa pun. Selalu mau marah karena sebab sepele. Apakah dia tengah menderita penyakit berat? Kanker? Ah, seharusnya mereka pergi ke internis, bukannya kemari! Sekarang apa yang bisa dilakukan oleh Dokter Faruk, selain mengirimnya pada seorang ahli penyakit dalam! Membuang-buang waktu! Dan uang!

Greeekkk! Derit pintu menyadarkan mereka.

Keduanya segera duduk lebih tegak, senyum dipasang dan telinga disiapkan.

"Ah," seru Dokter Faruk seraya menjatuhkan diri ke dalam kursi.

Astari terpana. Jantungnya berdebar. Suara itu terdengar bagaikan keluhan putus asa di telinganya. Dia tak bisa menunggu lagi. Rasa ingin tahu tak bisa dibendung lebih lama.

"Bagaimana, Dokter? Apa penyakit saya?"

Tapi dokter lambat-lambat saja membuka lampiran-lampiran yang terselip di kartunya.

"Sabar. Sabar," gumamnya seakan mau bilang, tidak baik selalu terburu-buru.

Setelah dibacanya sesuatu, diangkatnya kepala dan ditatapnya Astari sejenak, lalu Murdo dua jenak. Kemudian dia menggeleng.

"Hasilnya belum ada di sini. Kemarin, bukan?"

"Ya, Dokter," sahut Murdu sementara tangan Astari sudah terasa dingin dan diremas-remasnya di atas pangkuan.

"Tunggu sebentar. Akan saya tanyakan pada laboran saya."

Dokter Faruk memang punya labor sendiri. Selain memeriksa khusus wanita hamil, labor itu juga menerima pasien umum dari dokter lain. Kemarin, Astari sudah diambil urine. darah, dan cairan lambungnya.

Dokter menekan tombol interkom dan mengangkat pesawat. Disebutkannya nama pasien dan tanggal pemeriksaan. Lalu dicatatnya dengan cermat apa yang didengarnya. Terlalu sebentar. Rupanya hasilnya nyata sekali, tak perlu disebutkan terperinci.

Pesawat diletakkan. Wajah dokter amat serius tapi kalem ketika memandang Astari dan Murdo bergantian. Yang ditatap makin panas-dingin. Terlebih ketika dokter menggeleng-geleng sambil berkata pelan.

"Tidak saya sangka! Sungguh tidak! Apa...kah kalian bercitra siap mendengarnya?"

Hati Murdo mencelos. Bibirnya yang pucat kemakkemik,

"Sakit apakah istri saya? Berapa ga...wat?"

Tapi dokter tidak mengacuhkannya. Dia tengah menatap Astari dengan bibir-bibirnya yang menggeletar menahan perasaan takut.

"Siap? Tabah?"

Astari mengeraskan hati agar jangan menangis. Dokter mengulurkan tangan mau menghibur.

Tapi, tiba-tiba wajah yang gemuk dan bulat itu bercahaya seperti bulan empat belas hari. Astari terkesiap heran. Dia bersiaga.

"Akhirnya! Yang selama ini begitu Anda rindukan! Selamat!"

"Anda Hamil!"

Tamat


Pendekar Slebor 69 Kalung Setan Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Roro Centil 20 Kemelut Di Negara Siluman

Cari Blog Ini