Ceritasilat Novel Online

Sonata Masa Lalu 1

Sonata Masa Lalu Karya Marga T Bagian 1



Sonata Masa Lalu

Marga T

Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 1991

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

****

KETIKA dia melangkah ke beranda samping dengan talam untuk minum teh, Anita melihat suaminya baru saja melipat koran yang selesai dibacanya. Diletakkannya talam itu di atas meja kecil di situ, lalu dibereskannya dulu baju kaftannya sebelum duduk. Dibukanya cangkir untuk suaminya, diletakkannya kembali ke atas tatakan, dan dituangnya teh dari teko kecil yang terbuat dari tanah liat, kemudian dipindahkannya cangkir itu ke depan suaminya.

"Pakai gula?" tanyanya.

Dokter Darwus Rasid, dosen pada beberapa fakultas kedokteran negeri dan swasta di Jakarta, tidak segera menyahut. Dia tampak agak melamun atau tengah memikirkan sesuatu. Barangkali ada persoalan dengan para mahasiswa. pikir Anita sambil mengulangi tawarannya. Benar saja, setengah terkejut dia menoleh dan tanpa senyum mengangguk tanpa menyebutkan berapa banyak yang dikehendakinya. Jadi Anita memberinya satu sendok teh saja, seperti hampir selalu. Cuma bila teh terlalu pekat atau memang pahit, seperti merk Sumatera, maka Darwus akan minta sesendok lagi.

Karena laki-laki itu tidak juga bergeming, maka Anita mengaduk teh itu untuknya, lalu disentuhnya lengan kemejanya dan ditunjuknya cangkir itu ketika dia menoleh. Anita kemudian mulai menuang teh untuknya sendiri. Cangkir untuk Charloti dibiarkannya telungkup sampai gadis itu datang.

Mereka duduk berjajar, dibatasi meja kecil, masing-masing dengan secangkir teh hangat dan seberkas pikiran yang entah apa intinya. Pandangan mereka menghadap ke taman kecil yang membentang indah di muka beranda. Anita menekuri percikan-percikan air yang ditimbulkan ikan-ikan emas di kolam, sementara Dokter Darwus memberikan perhatiannya sebentar ke langit yang menjanjikan hujan, dan sebentar lagi ke tanah, di mana dia baru menyemai bibit-bibit Annemonc yang dikirimkan rekannya dari Negeri Belanda.

Dokter itu berusia empat puluh enam tahun, rambutnya boleh dibilang sudah tidak ada lagi warna hitamnya. Ini merupakan ciri keturunan dari pihak ayahnya. Tapi kecuali itu, belum ada tanda ketuaan yang nyata. Wajahnya segar dan

sehat. Kacamatanya belum berat benar, bila dibandingkan dengan caranya menghabiskan waktu di antara buku-bukunya hampir empat belas jam sehari, di rumah maupun di fakultas. Air mukanya biasa, air muka seseorang yang tahu bahwa dirinya penting, kedudukannya terpandang, dan hartanya banyak.

Selebihnya tidak ada yang luar biasa kecuali tinggi badannya. Hidungnya sedang, tidak terlalu mancung, tapi besar. Bibirnya yang kebanyakan selalu terkatup berwarna merah segar, tidak tipis, dan tidak genit. Dia memang lebih mencintai kerjanya daripada wanita. Kumisnya yang tipis nyaris membuatnya dituduh rekan-rekannya meniru bintang film David Niven. Tapi dia bersumpah, belum pernah menonton The Guns 0J Navarone, atau film-film David Niven yang lain. Tidak mengherankan, Dokter Rasid memang hampir tidak pernah pergi ke bioskop. Bila istrinya ingin menonton, dia pergi dengan anaknya pada pertunjukan sore jam tujuh.

Sebenarnya, keseluruhan wajah Dokter Darwus memberi kesan halus, mulus, bahkan agak menjurus ke arah feminin, lebih-lebih rambutnya yang masih lebat pada usia di mana sebagian pria sudah mulai agak botak. Cuma dahinya yang lebar dan licin memberikan kesan intelek.

Yang luar biasa adalah tungkainya, yang melebihi panjang rata-rata orang di sini. Sehingga membuat tinggi dokter itu tidak kurang dari seratus delapan puluh lima sentimeter. Ayah dan ibunya sia-sia mengingat-ingat kalau-kalau ada di antara moyang mereka yang setinggi itu.

Darwus sangat perasa dengan tinggi badannya. Ketika masih kecil dia selalu menjadi bahan olok-olok teman-temannya. Di samping itu, celana dan bajunya yang kebanyakan diwariskan dari abangnya, selalu harus ditambal supaya lebih panjang. Ini juga menambah kepekaannya. Apa boleh buat. Waktu itu ayahnya belum menjadi kaya.

Julukan Jerangkong yang diterimanya di sekolah menengah, membuat dia jadi suka menyendiri. Membaca dan membaca. Kegiatan lain tidak dikenalnya. Akibatnya, walaupun dia lulus dari sekolah dokter dengan suma cum laude, tidak ada calon istri yang menunggu dengan dekapan yang hangat. Orangtuanya juga yang akhirnya melengkapi kekurangan itu. Dan nama gadis itu: Anita

Dalam usia tiga puluh sembilan tahun, dia masih bisa disebut muda, bahkan awet muda. Apalagi dia memang mempunyai banyak waktu untuk merawat diri. Rambutnya yang dipotong

pendek menambah kesan kesegaran dan kelincahan pada wajahnya yang cerah. Untuk waktu yang lama, kiranya dia belum perlu merisaukan kulit-kulit yang akan mulai turun mengikuti daya tarik bumi, belum perlu memikirkan di mana ada ahli bedah plastik yang pandai. Yang sedikit mengkhianatinya adalah lipatan dagunya bila dia menunduk. Tapi hidungnya yang kecil dan mancung, matanya yang selalu bercahaya, alisnya yang hitam dan bibirnya yang merah merekah, telah mampu membuat orang melupakan usianya. Lebih-lebih karena dia secara alamiah selalu suka duduk dengan kepala lurus ke muka, menatap semua di sekitarnya, yang selalu ingin diketahuinya. Rasa ingin tahunya ini pula yang telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Ke dalam bencana yang bernama Charloti. Ke dalam pertengkaran yang tak putus-putus dengan suaminya. Dan ke dalam kesunyian yang menjadi sonata hidupnya.

Bukan tanpa perhitungan orangtua Darwus memilih Anita. Setelah mencari kian kemari, akhirnya mereka temukan juga seorang gadis yang cukup tingginya, walaupun masih dua puluh sentimeter lebih pendek dari anak mereka. Seorang Belanda bernama van Hooydonk yang mengawini ibu dari nenek Anita, ternyata telah berjasa dalam menurunkan beberapa orang buyut yang besar-besar. Di antaranya Anita, seratus enam puluh lima senti.

Seekor burung gagak terbang di atas rumah dan hinggap di pohon kantil. Tak henti-hentinya dia berkaok dengan suaranya yang tidak enak itu.

"Ah, mengapa burung jahanam itu tidak mau pergi!" keluh Anita dengan jengkel.

"Jangan mulai takhyul lagi!" tegur suaminya menoleh sejenak.

"Apa kau senang mendengarnya?"

"Dia tak dapat dipersalahkan. Memang begitu suaranya!"

"Tapi tidak enak. Seakan-akan..." Anita tidak meneruskan kalimatnya.

"Seakan apa? Ada yang mau mati? Kau mau bilang begitu, kan?!"

Anita menahan senyum sementara pipinya merona kemerahan. Malu. Dia merasa Darwus senang sekali membuatnya malu. Dia takkan pernah memaafkan, pikirnya.

"Itu kan pendapat zaman dulu, Net," didengarnya kembali suaranya.

"Dulu, memang orang-orang yang meninggal suka dibiarkan di suatu tempat, misalnya bila terlalu banyak yang meninggal sekaligus dan tidak ada tenaga cukup untuk mengubur mereka. Nah.

baru gagak-gagak itu berfungsi untuk memakan bangkai.... Jelas?"

Darwus menoleh. Bibir-bibirnya membentuk garis lurus yang sukar ditafsirkan maknanya. Matanya yang hitam menusuk ke lubuk hatinya. itu adalah salah satu detik-detik kemenangan suaminya, di mana didapatinya istrinya makin tersipu malu, sementara rona pipinya makin merah. Pasti dia akan berceramah lebih lanjut, pikir Anita.

"Kalau kau masih ingin lebih tahu, malah sekarang pun di Tibet masih ada orang yang membawa jenazah ke atas gunung tinggi dan membiarkannya di sana...."

Anita menggigit ibu jari kirinya. Ikan-ikan di kolam makin diberinya perhatiannya. Supaya dia tidak usah bertemu pandang dengan Darwus yang tengah menatapnya dari samping. Darahnya berdesir. Setelah hampir dua puluh tahun kawin, laki-laki di dekatnya masih tetap asing baginya, jauh dari jangkawannya. Sudah lama dia pasrah, ketika menyadari takkan mampu dia bersaing dengan segala macam buku-buku ilmiah yang dicintai Darwus.

Sekadar menghilangkan kecanggungan, diletakkannya cangkir yang sejak tadi dipegangnya, lalu diraihnya koran.

"Ada berita apa sih?" tanyanya mengambil kesempatan ketika Darwus sedang menghirup teh.

"Ehm, bacalah halaman pertama di bawah," kata Darwus sambil meletakkan cangkirnya, lalu meraih sepotong kue bapel.

Sayup terbawa angin senandung Charloti dari loteng. Rupanya dia mau turun ke bawah. 0 Ina Ni Keke merupakan lagu kesayangannya sejak Taman Kanak-Kanak.

Anita membuka koran untuk segera mencari apa yang dimaksud suaminya. Sebuah judul yang hitam pekat menumbuk bola matanya.

"Pemerkosa dan pembunuh Andi Lumirang alias Andi Bamabi sudah tertangkap". Anita terdiam seakan binasa. Jari-jari yang menggenggam koran terasa dingin dan tiba-tiba hilang rasa. Cuma debur jantungnya yang seolah bagaikan palu menghantam dada. Dipejamkannya matanya sejenak, kemudian dipaksanya membuka kembali. Dia tahu Darwus akan memperhatikan, dan bila dia terus mematung begitu, pasti tak bisa ditolaknya pertanyaannya yang akan penuh ejekan.

Pandangannya merayap ke bawah lagi. Sebuah potret. Pasfoto. Kecil. Cuma dua kali empat. Buram lagi. Mungkin itu gambar yang diambil sekian tahun yang lalu, waktu dia masih

muda. Tapi itu cuma membuat pengenalannya semakin jelas. Ya, dialah Andi. Alias Bamabi, kata mereka. Dari mana diperolehnya nama alias itu? Andi. Andi Lumirang. Bagaimana kau dapat melakukannya? Oh, Andi!

"Sudah kaubaca?"

Anita kaget. Ada ejekan dalam nada suaranya. Sudah dikiranya. Apa dayanya. Laki-laki ini bertekad hendak membuatnya membayar terus utangnya padanya dan dua puluh tahun masih belum cukup.

"Sebentar lagi," sahutnya tergesa, lalu cepatcepat membaca artikel itu.

Begitu ia selesai membacanya, genggamannya menjadi lunglai. Koran itu nyaris terjatuh. Lengkaplah kau menyayat dan mengobrak-abrik hidupmu, katanya dalam hati. Jadi kau ditemukan di sarang pelacuran. Dilaporkan oleh seorang WTS itu masih belum cukup. Rupanya polisi harus menemukan kau dalam keadaan bugil. Oh, Andi, sejauh itukah kau sudah terjun ke dalam jurang? Kauperkosa dulu ibunya, lalu kaucekik. Dan ketika anak perempuannya yang baru delapan tahun itu akan lari kautangkap dan... dan... kaucekik pula!

Darwus mengambil koran itu dari tangannya.

Tentunya dia masih belum puas menikmati kemenangannya terhadap dirinya.

"Entah berapa orang korbannya selama empat belas tahun ini!" cetus Darwus.

Apakah aku mendengar dengung kepuasan dalam suaranya, pikir Anita. Dia tidak menjawab. Darwus juga pasti tidak menunggu jawaban. Semua orang sudah tahu, korban Bamabi sudah tak terhitung jumlahnya. Semua diperkosa. Beberapa malah juga dibunuh. Seorang pejabat kepolisian sempat menganugerahinya julukan Jack the Ripper. Sebuah nama yang menyayat hati Anita dan membuatnya bermalam-malam tidak dapat tidur.

Andi hilang-timbul. Ada masanya dia tidak kedengaran selama beberapa tahun. Sebagian pers mengatakan penjahat itu sudah menyelundup ke luar negeri sebagai awak kapal. Sebagian lain bilang, dia sudah mati. Malah ada yang memberitakan, ada orang yang menemukan mayatnya. Sebuah goresan melintang di dahi. Tanda mata dari SMP. Itu cirinya.

"Hah! Akhirnya kan kena juga! Seperti ramalanku!" Dokter Darwus meletakkan koran itu ke atas meja, menutupi cangkir-cangkir dan teko. Sikapnya menghina penuh. Anita menelan saja

tanpa pembelaan. Dia sendiri juga sudah sukar sekali menemukan alasan untuk membela Andi. Lebih-lebih apa yang dilakukannya bulan lalu... memperkosa dan membunuh seorang ibu serta mencekik putrinya... bulan lalu.... Barangkali Tuhan, atau entah-siapa, sudah bosan melindungi Andi selama ini, jelas sudah dia takkan bertobat, jadi...

"Coba kau dulu berkeras mau cerai, demi dia... di mana kau sekarang? Apa yang akan terjadi dengan Loli? Mungkin sudah dilacurkannya anak itu!"

Aku tahu, rintihnya dalam hati memandangi kolam ikan di mana kata-kata pembelaannya tenggelam ke dasar tanpa pernah lahir. Dia tidak punya kata pembela sesuku pun. Tapi belum cukupkah kau menyiksa aku selama ini? Aku sudah rela menjadi budakmu, menjadi pelayanmu, menjadi perempuanmu, tapi kau masih selalu mencambuk ingatanku agar luka hatiku takkan pernah menyembuh namun meleleh basah sepanjang masa.

Senandung Charloti tidak terdengar lagi. Dalam ketegangan masing-masing, mereka lupa, gadis itu akan muncul setiap saat. Barangkali bahkan pada saat yang paling kritis, yang tidak boleh didengarnya. Tapi dia justru malah men

dengarnya! Dengan jelas. Apakah itu nasib atau cuma kebetulan?

"Kalau Loti tahu, siapa ayahnya! Macam apa dia!"

Kalimat itu tidak begitu mengandung kebencian, namun lebih tepat penghinaan. Keluar dari bibir yang sudah bertahun-tahun menunggu, dicetuskan oleh rasa puas yang sangat, dari sebuah hati yang iri. Iri dalam kesepian dan ketidakmampuan.

Anita tersayat. Di balik pintu kaca bertirai putih yang membuka ke beranda, Loti juga terhenti. Bibirnya digigitnya keras-keras. Darahnya seakan berpacu semua ke kepala. Siapa ayahnya! Macam apa dia! Ketika didengarnya tadi, kata-kata itu seolah-olah tak bermakna. Tapi kini, sedetik dua kemudian, dengan hati berdebar dia tersadar. Siapa ayahnya! Macam apa dia! Jelas didengarnya ayahnya-ayahnya? Papa bukan ayahnya? bilang begitu. Apa maksudnya? Kalau Loti tahu, siapa ayahnya...

Keheningan menggugah Anita. Diangkatnya pandangan ke pohon kantil. Pohon itu hening sendirian, daun-daunnya sudah mulai berganti warna kelabu hitam menyongsong malam. Gagak itu sudah terbang pergi. Di mana anak itu?

"Titi...," serunya ke arah dalam,

"tehmu sudah dingin, Sayang."

Loti menggigit kuku ibu jari kanannya. Mama selalu bilang sayang, padahal dia sudah mulai sebesar itu. Bahkan di depan Otto! Akibatnya, anak itu kini mulai-mulai memanggilnya Sayang, juga di depan teman-teman. Kadang-kadang dia senang mendengarnya, kalau hatinya sedang ringan. Tapi saat itu, setelah dia seakan dipalu kepalanya oleh omongan Papa jadi dia bukan ayahnya? panggilan Sayang cuma tambah merumitkan jalan pikirannya. Dia tidak mau dituduh mendengarkan orangtuanya bicara. Perlahan-lahan dia mundur beberapa langkah, sampai ke pinggir piano, lalu melangkah sedikit keras sehingga terdengar ke beranda. Ibunya menoleh.

"Ah, ini dia. Ke mana saja? Ayo, teh sudah dingin."

Loti tiba-tiba tidak ingin minum teh, apalagi duduk di dekat mereka. Tapi dia tidak punya alasan yang masuk akal, kecuali bila dia mau bikin ribut dan menuntut penjelasan atas perkataan Papa. Ah, dia bukan Papa... terasa pedih pikiran seperti itu. Dia bukan Papa... ayahku orang lain. Dan kalimat itu terngiang kembali, bergema tak putus-putus dalam kepalanya. Siapa ayahnya! Macam apa dia! Kalau Loti tahu...

Anita tersenyum mesra menatap wajah yang menunduk itu. Digesernya kursi untuknya. Di

angkatnya koran dan dipindahkannya ke bawah meja. Lalu dibukanya cangkir untuk Loti. Tangannya yang mengangkat cerek kecil itu untuk menuang isinya tampak ayu dan memikat, sebab berpoleskan kebahagiaan dan cinta yang meluap dari hatinya bila berdekatan dengan putrinya.

"Dengan gula dan susu, ya, Sayang?"

"Tanpa," kata Loti pendek.

Ibunya tidak membantah. Cangkir disorongkannya padanya, lalu piring kue bapel digesernya agar lebih dekat dengan jangkawannya.

"Ah, akan hujan juga rupanya," keluh Dokter Darwus dengan putus asa.

"Semua bibit akan tersapu. Kalau tidak, mereka akan busuk kena air tergenang. Dan itu persediaanku yang terakhir."

"Mengapa menyemai dalam bulan Oktober? Kan sudah tahu, mulai September musim hujan sampai '-ber' terakhir, Desember!"

Pada keadaan biasa, Loti tentu sudah ikut nimbrung. Kali itu dia cuma membawa cangkirnya ke bibir, menyentuh tanpa meneguk isinya, sambil bepikir-pikir kenapa hari ini menjadi lain dari yang lain. Mengapa dia tiba-tiba mendengar hal yang aneh itu! Mengapa dia harus mendengarnya! Mengapa setelah hampir sembilan belas tahun baru dia tahu bahwa Papa bukan ayahnya! Mengapa! Mengapa!

Dihirupnya teh seteguk, lalu diletakkannya cangkir kembali. Ibunya menoleh, tersenyum dan menggeser piring kue kembali, walaupun sebenarnya sudah berada di depannya. Tangan Anita mengelus kepala Loti, membereskan rambut-rambut di pelipisnya.

"Engkau tidak mau mencuci rambut sore ini, Ti?"

Loti menggeleng. Piring kue dijauhkannya. Tidak ada seleranya sore itu. Ibunya keheranan.

"Bukankah itu kue kesukaanmu?"

"Kenyang," sahutnya.

"Otto nanti datang?" tanya ibunya seakan itu penjelasan mengapa dia tidak mau mencuci rambut.

"Entahlah, Mam," katanya sambil menggerakkan kepalanya menjauh sedikit sehingga ibunya melepas elusannya.

Loti sejak tadi belum memandang ke arah Darwus. Mimpikah dia, pikirnya. Laki-laki itu bukan ayahku! Tiba-tiba Dokter Darwus bangkit dan meninggalkan kedua orang itu tanpa permisi. Seperti petir berkilat ingatan itu dalam kepalanya yang cantik. Loti mengerti. Mengerti sekarang. Apa yang kadang-kadang merisaukan hatinya, kini sudah dimengertinya.

Papa tidak sayang padaku, katanya sesekali mengajuk pada Anita. Ibunya tentu saja menertawakan dan menenangkan kekhawatirannya. Tapi dia kini mengerti. Papa memang tidak sayang padanya. Karena dia bukan anaknya!

Suara tongkat ayahnya seolah-olah memukulmukul hatinya. Perih dan nyeri terasa olehnya. Laki-laki yang dikaguminya itu ternyata bukan ayahnya. Laki-laki yang dikagumi olehnya dan oleh Otto, ternyata cuma suami ibunya. Orang asing baginya. Tidak ada darahnya yang mengalir dalam tubuhnya. Tidak setetes pun.

Oh, ingin rasanya dia mengejar ke dalam, memeluk kaki-kakinya yang selalu diganggu rematik itu dan mendengar sendiri bahwa itu semua mimpi. Bahwa Dokter Darwus Rasid memang betul ayahnya. Ayah kandungnya. Ayahnya di dunia dan di akhirat.

Oh. Oh. Apa kata Otto bila dia tahu? Apa kata pacarnya itu bila mereka sudah tahu siapa ayah Loti yang sebenarnya? Mengapa Papa bilang: macam apa dia! Macam apakah dia?! Macam apakah ayah kandungnya? Firasatnya mengatakan, kalimat itu bernada buruk. Seandainya ayah kandungnya itu ternama atau hebat, pasti bukan begitu lagu suara Papa. Pasti ringan, berirama, sedikit dengan rasa sesal dan pasti, dengan rasa iri juga. Bukan seperti tadi. Apakah arti nadanya? Mengejek? Benci? Marah?

Dan ibunya diam saja. Mama tidak membantah, pikirnya. Mama malah menunduk. Apakah Mama bersalah? Apakah Mama pada suatu tempat, pada suatu waktu

"Lihatlah ikan-ikan itu, Titi!" seru ibunya, menoleh. Kursinya terletak di antara kedua kursi yang lain, agak ke belakang. Karena mereka semua duduk menghadap ke taman, maka ibunya harus menoleh bila bicara dengannya.

"Hei, mengapa kau melamun sore-sore? Sakitkah kau, Sayang?"

"Ah, tidak," katanya memaksakan sebuah senyum.

"Ujiannya tadi sulit."

"Oh, ya, Mama sampai lupa. Bagaimana kira-kira?"

"Tahulah. Sulit."

"Ah, jangan dipikirkan. Siapa tahu nanti lulus. Kita bikin nasi kuning. Ayo, jangan termenung. Kan belum tahu hasilnya. Andaikan gagal pun, tidak perlu kecil hati. Masih dapat diulang. Yang penting kau sudah belajar dengan baik."

Loti senang dapat mengalihkan ibunya dan dirinya sendiri-untuk sementara-dari persoalan yang mengganggu-nya.

"Itu sih, tadi tidak ada kesempatan menyontek Otto!" tukas Loti ketawa, membuat ibunya terkejut.

"Ah, Mama, menyontek itu bukan dosa selama tidak ketahuan! Tapi asisten yang jaga tadi memang genit. Pernah coba-coba mengajak nonton. Rupanya dia tahu kami pacaran, dan Otto dipindahkannya ke depan sekali. Supaya tidak bisa kerja sama. Barangkali juga, dia cemburu...." Loti tertawa cerah. Dia selalu senang membicarakan laki-laki yang menurut perkiraannya jatuh hati padanya. Dan memang ada alasannya. Tuan van Hooydonk akan hidup abadi dalam diri Loti dan saudara-saudara sepupunya dengan menandai mata, hidung, serta bibir mereka yang indah memukau. Anita kagum mendengar setiap dongeng anaknya. Dinamakannya itu dongeng, sebab katanya pada Loti, tidak mungkin begitu banyak laki-laki bodoh yang suka pada anak Mama yang manja. Tapi sinar mata Anita yang penuh cinta dan kebanggaan setiap kali menatap putrinya, telah membeberkan isi hatinya. Loti tahu, ibunya bangga padanya. Cinta padanya. Dan akan selalu menuruti permintaannya.

"Lihatlah ikan-ikan itu, Titi," katanya mengulang kalimatnya tadi.

"Aku tidak melihat mereka, Mam. Dari sini tidak tampak."

"Ya, memang. Tapi gerakan mereka. Lihatlah

riak-riak kecil itu. Mama tadi baru memberi mereka makan, sebelum minum teh."

"Bolehkah aku lempar kue bapel ini ke kolam?"

"Loti! Tempo-tempo Mama tidak percaya kau sudah duduk di tingkat satu fakultas kedokteran dan kelak mau jadi dosen seperti ayahmu! Bicaramu seperti orang tanpa otak!" Tapi Anita tertawa, bukan marah.

Ayahmu! Bukan, Mam, bukan ayahku. Bukan. Bukan. Bukan. Ah, pedih sekali. Loti memandang ibunya. Cuma sisi kiri wajahnya yang tampak. Ibunya cantik dan awet muda. Beda usia dua puluh tahun itu sama sekali tidak tampak. Banyak orang mengira mereka kakak-beradik. Ketika Loti berduaan dengannya, Otto nyengir.

"Lot, mana kakakmu tadi. Suruh keluar dong, biar berkenalan juga denganku!"

"Hus, sinting, lu,' tegur Loti waktu itu.

"Itu kan ibuku!" Malam harinya seperi biasa Anita masuk ke kamar Loti dan duduk di tepi ranjang bercakapcakap sebentar. Loti berbaring memeluk bantal. Diceritakannya apa yang dikatakan Otto siang tadi. Ibunya terpingkal-pingkal, barangkali juga untuk menutupi kegembiraannya.

Loti masih memperhatikan ibunya. Mam, siapakah ayahku, bisiknya dalam hati. Mengapa selama ini tak pernah kaukatakan siapakah dia... siapa... siapa... Oh, Mam, siapakah dia? Siapakah dia? Di manakah dia?

Anita menoleh ke langit. Awan hitam makin tebal. Angin pun mulai kencang.

"Kasihan Papa. Tanamannya takkan tumbuh. Pasti akan hanyut. Tanah di situ sudah mulai erosi, entah kenapa."

Bukan Papa, teriaknya dalam hati. Bukan ayahku! jeritnya. Tapi ibunya tidak dapat mencernakan pandang matanya. Ibunya tidak berani mengintai ke dalam celah-celah hati anak gadisnya. Takutkah dia? Apa yang ditakutkannya? Takutkah dia akan saat seperti ini yang dikhawatirkannya pada suatu waktu akan tiba? Takutkah dia membaca isi hati putrinya?

"Kalau begini, pasti Otto tidak dapat datang," katanya lagi, tanpa menoleh.

Loti sejak tadi tidak menanggapi kata-kata ibunya. Yang mengenal ayahnya-ah. bukan ayahnya! Lalu apanya? Akan disebutnya apa orang yang selama ini disebutnya Papa?-sekarang tidak lagi menarik hatinya.

"Pasti akan hujan. Loti, bila kau sudah selesai, lebih baik kita kemaskan meja ini. Kau akan main piano, bukan?"

"Pukul berapa sekarang. Main?"

Biasanya, sambil menanti makan malam pukul tujuh, Loti bermain piano. Di antara kegemarannya yang sedikit itu, main piano dan gitar masih merupakan kegiatan yang disukainya. Saat itu lonceng menunjukkan pukul lima lewat.

"Ah, sore ini aku lebih suka membaca koran saja, Mam. Atau Mama ingin sekali aku main?"

Anita tertawa penuh sayang.

"Tentu saja tidak. Pergilah ke kamarmu supaya tenang. Mama mau memutar kaset saja."

Loti mengangguk sambil menggerakkan kepalanya ke samping, memutar tubuhnya yang langsing semampai, lalu sambil tersenyum menghilang ke dalam ke arah tangga loteng. Anita berdiri sejenak mengawasi, masih tersenyum. Bangga. Seumur Loti, dia juga masih seceria itu. Bedanya, dia telah menyimpan rahasia. Bersama Andi....

Anita menoleh memandang ke beranda, lalu bergerak hendak memasukkan meja kursi ke dalam. Biasanya perabot itu dibiarkan di luar. Tapi sekarang musim hujan dan angin yang kencang selalu membuat kursi meja kebun itu basah bila hujan. Sebagian besi-besinya tampak mulai karatan. Dia sudah berpikir mau membeli cat untuk memperbagusnya kembali.

Mula-mula diangkatnya nampan dengan cerek dan cangkir-cangkir, lalu diletakkannya di atas meja dalam ruang duduk. Kemudian diangkatnya kursi sebuah. Minah, yang rupanya diberitahu oleh Loti, muncul untuk membantunya. Meja mereka gotong. Lalu masing-masing mengangkat sebuah kursi. Akhirnya Minah berlalu lagi dengan nampan.

"Supnya jangan lupa ditambah garam!" pesan Anita pada pembantu yang disayangnya itu. Minah sudah lima belas tahun bekerja di situ. Dulu tubuhnya kecil dan langsing. Sekarang, menjelang usia tiga puluh, dia menjadi montok. Pernah kawin dan dikecewakan. Anak tunggalnya tinggal bersama ibunya di kampung, disekolahkan atas biaya majikannya.

"Ya, Nya," sahutnya hormat.

Anita membuka lemari kecil di sebelah piano. Sebuah kaset rekorder meluncur ke luar ketika Anita menarik papan alasnya. Dicarinya kumpulan instrumentalia yang lembut. Dia tidak peduli apa. Pendeknya, sore itu dia tidak pemilih. Asal dapat membuatnya santai. Instrumentalia dan lembut.

Setelah musik mulai berkumandang, dia pergi ke atas kursi yang menghadap ke halaman depan. Ruang duduk dan ruang tamu, tempat dia sekarang duduk, merupakan sebuah ruang besar

yang dibelah oleh sebuah rak buku yang tingginya hampir dua meter. Dari celah-celah di atas buku, orang dapat melihat siapa yang tengah bermain piano. Hampir tiap sore dia duduk di situ, sebentar-sebentar menoleh dan memperhatikan jari-jari langsing anaknya yang menari-nari di atas balok-balok putih serta hitam. Bangga rasa hatinya. Setiap ibu pasti bangga bila mempunyai anak seperti Loti, pikirnya. Dua hal yang jarang bertemu ternyata bersatu pada gadis itu. Kecantikan dan kepandaian.

Tapi sore itu Loti tidak berada di depan piano. Untungjuga. Jadi dia dapat menyendiri sebentar. Dari balik kaca ami-sinar di ruang tamu dilihatnya awan-awan yang makin banyak dan tebal. Semua tampak kelabu. Seperti pikirannya saat itu.

Andi, rasanya aku tidak jadi meneruskan ke Ekonomi, diingatnya dia berkata, lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Andi Lumirang, dengan matanya yang tajam mempesona, dengan dagunya yang kuat ditopang rahang yang penuh karakter, dengan hidungnya yang mancung, dengan bibirnya yang romantis, yang pandai meluluhkan hati perempuan, menatapnya tanpa berkedip. Anita tertunduk seakan bersalah. Kenapa, tanya pacarnya. Anita tidak segera menjawab. Sukar sekali rasanya berdusta. Lebih

sukar lagi berterus-terang. Kenapa, ulang Andi. Kenapa! Diguncangnya bahu Anita. Karena... karena... aku harus... kawin! Andi melepas cengkeramannya di bahu. Atau lebih tepat, tangannya terlepas dari situ sebab terkejut. Apa! serunya setelah sadar betul. Kau mau...? Anita mengangguk. Dicobanya menatap kobaran api yang ingin menyambarnya dari kedua mata yang hitam jernih itu. Aku harus. Orangtuaku sudah bilang ya pada orangtuanya. Adikku masih lima. Aku anak sulung. Mereka perlu uang. Jadi kau dijual? ejek Andi. Terserah apa pendapatmu, tapi ayahku kelihatan lega bila dapat melepas aku. Siapuh! Jadi zaman sekarang masih ada orang goblok macam kau? Jadi perempuan itu masih tetap menjadi makhluk dungu yang tidak punya pendirian sendiri?

Anita menatap lurus ke depan. Ah, awan kelabu dapat pula membuat orang tersenyum, pikirnya. Dengan bentuknya, bila tidak dengan warnanya. Maksudnya, beruang kelabu yang kini tengah dilihatnya, nun jauh di langit. Mirip sekali dengan mainan Loti. Ah, mengapa anak itu cepat betul berangkat dewasa. Ke mana beruangnya sekarang? Barangkali sudah dieampakkannya ke sudut gelap hatinya tanpa pernah dirindukan lagi. Dia merasa mulai tua melihat anaknya, merasa mulai tidak diperlukan. Ah. seandainya

Darwus dan dia mempunyai anak juga tapi dia tidak pernah mengandung. Entah kenapa. Pernah sekali diusulkannya untuk memeriksakan diri ke dokter, namun Darwus dengan ketus mencemooh keinginannya. Aku akan tahu, katanya, kapan kau sudah perlu ke dokter. Dia menjadi terdiam dan tidak pernah mempercakapkannya lagi. Nah, ya, pikirnya pasrah, suaminya pasti tahu. Bukankah dia sendiri dokter?

Kemudian Andi menghilang. Musnah. Lenyap dari hidupnya. Kalang-kabut dia menanyai kawan-kawan mereka. Tidak seorang pun yang melihatnya. Dia bahkan tidak datang ke fakultas untuk mendaftar ulang.

Dua minggu sebelum pesta pernikahannya, ketika Anita datang mencarinya ke rumahnya, wajahnya yang lesu cuma membuat ibu Andi tambah marah-marah. Andi memang sering bercerita, dia tidak betah di rumah. Ibunya tukang marah dan bersama ayahnya, mereka perang terus. Andi lebih senang bersama Anita, santai, bebas, dan mesra. Karena itu kepergian Anita menuju perkawinan rupanya sangat memukul harga dirinya. Dia seakan tiba-tiba insaf kecilnya makna dirinya, sehingga tidak dapat memberi Anita apa yang sedang ditawarkan orang kepadanya saat itu.

Rupanya ini orangnya yang membuat Andi minggat dari rumah, hardik ibunya tanpa tanggung-tanggung. Anita merasa kepalanya pening. Darahnya serentak membeku di seluruh tubuh. Terasa berdenyut nyeri. Sudah lama dia tidak pulang, aku tak tahu ke mana dia! Anak haram-jadah seperti itu tak perlu aku mengakuinya lagi! Anita lari tunggang-langgang, menangis tersedu-sedu. Pikirannya penuh dengan Andi yang malang. Kasihan dia. Di mana dia bersembunyi? Andai dia tahu. Anita sudah rela untuk kawin lari. Tapi ke mana harus dicarinya?! Bagaimana mesti dikabarkannya keadaan dirinya?! Loti takkan mau menanti. Anita tahu itu dengan pasti. Selama itu haidnya selalu teratur. Tapi bulan lnl...

Andi baru muncul lima tahun kemudian. Setelah semuanya terlambat. Loti sudah masuk TK. Dan Darwus tidak henti-hentinya menagih utangnya dengan berbagai cara. Andi bukan membujuk, namun menuntut dan setengah memaksa dia agar bercerai. Anita menurut. Tapi Darwus naik pitam. Masih diingatnya peristiwa itu, seakan baru kemarin dulu terjadi. Di kamar tidur.

"Jangan ingat dirimu sendiri!" hardik suaminya.

"Ingat anakmu! Akan jadi apa dia kelak?

Dapatkah kekasihmu itu mengongkosinya seperti aku? Kau juga harus pikir, apa jadinya karier yang selama ini aku bina! Berantakan, tahu! Dapatkah seorang dokter dengan skandal serupa yang hendak kauciptakan, dipercayai masyarakat? Apalagi bila aku mau jadi dosen! Dapatkah aku mendidik generasi baru, bila rumah tanggaku sendiri kalang-kabut? Sebagai anakku, Loti akan menjadi tanggung jawabku. Kerja apakah kekasihmu itu? Dapatkah ia menjamin hari depan anak itu?"

Anita juga masih ingat pembelaannya yang lemah. Dia duduk di tepi tempat tidur, sedang Darwus berdiri di mukanya. Tangan-tangannya sebentar masuk ke dalam saku piyama, sebentar lagi dilipatnya ke belakang. Kadang-kadang dia berjalan selangkah dua langkah, lalu kembali ke hadapannya. Dan telunjuk yang menudingnya, penuh ejekan. Darwus tahu siapa dirinya.

"Tapi Andi adalah ayahnya," katanya pelan, setengah berbisik, barangkali juga ragu.

"Dan dia ingin mendapatkan Loti "

"Lalu mengapa dulu dia lari?" ejek Darwus.

"Dulu dia belum tahu...."

Darwus berjalan hilir-mudik dengan kedua lengan terlipat di punggung. Anita menunduk, mengawasi langkah-langkahnya. Darwus berdiri kembali di mukanya.

"Tidak! Kau tidak akan kuceraikan! Bila kau tidak mau memikirkan nasib anakmu, terserah. Tapi paling sedikit, kau harus memikirkan karierku! Aku tidak mau menjadi bahan tertawaan orang, ditinggal lari istri! Tidak!

"Andi berhak," katanya masih pelan, mulai ragu apakah cinta namanya yang telah mengikatnya dengan Andi. Berkilat sekejap bayangan keluarganya yang tidak pernah kaya. Apakah setelah lima tahun mengecap kecukupan, bahkan kemewahan, dia akan rela kembali ke dalam hidup yang serba kekurangan?

"Ya, dia berhak," ulangnya seakan meyakinkan dirinya sendiri.

"Dia berhak. Loti, anaknya!"

"Kerbau! Tidak ada yang tahu!" hardik Darwus. Lalu mengancam,

"Kalau kau mencintai anakmu, dia harus tetap di sini, menjadi anakku!"

Darwus melontarkan tinjunya ke atas meja rias, seolah itu palu yang memutuskan perkara dan menghentikan perdebatan. Anita mencintai anaknya. Di atas segalanya, dia mencintai Loti. Dipandangnya punggung suaminya sementara laki-laki itu membetulkan letak botol-botol yang terguncang tadi oleh tinjunya.

Anita memejamkan matanya sejenak. Dibukanya kembali. Beruang kelabu itu sudah cerai-berai tertiup angin. Hening. Rupanya kaset lagu sudah lama berhenti. Dia malas membaliknya. Dari loteng terdengar lagu muda-mudi dari radio Loti.

Walaupun aku menyukai kekayaan, katanya dalam hati, namun aku tinggal di rumah Darwus demi Loti. Demi anak kita. Kau harus percaya itu, Andi. Aku ingin memberi Loti semua yang terbaik yang dapat kita berikan padanya. Anita masih ingat bunyi surat yang ditulisnya. Dia dapat mengulangnya di luar kepala dan dilakukannya pada saat-saat tertentu. Biasanya, setiap kali dia membaca di koran tentang kejahatan yang telah dilakukan oleh Andi. Seperti sekarang.

Surat itu tidak berbalas. Loti sering pulang dari TK membawa bonbon yang diperlihatkannya pada ibunya.

"Dari ibu guru?"

"Bukan, Mam. Dari Oom."

"Oom siapa?"

Loti tidak tahu. Sopir ditanyai.

"Ah, laki-laki iseng. Hampir tiap hari nongkrong di muka sekolah. Duduk di pinggir pagar. Bila Neng Titi lewat, dia ketawa dan diambilnya bonbon dari saku celananya. Diberikan pada Neng Titi. Tempo-tempo saya pikir, dia sepertinya mau memeluk Neng Titi. Tapi saya

selalu siap di dekat situ. Neng Titi segera saya sambar dan saya bawa ke mobil."

Mang Ujang ketawa ramah, merasa perlu meyakinkan Nyonya Dokter, bahwa putri ciliknya aman bersamanya. Anita tahu, siapa laki-laki itu. Loti dipindahkan ke TK lain dan pada gurunya dimintanya supaya tidak memberitahu siapa pun ke mana dia dipindahkan.

"Sekarang banyak laki-laki yang suka menculik anak-anak," katanya sebagai alasan untuk Mang Ujang.

Dentang lonceng enam kali dari ruang duduk menyadarkannya. Dia bangkit untuk mematikan tape recorder dan menutup lemarinya, lalu berjalan ke arah dapur. Darwus akan marah bila dia tidak memasak sendiri makanannya. Suaminya selalu mencurigai kebersihan dan keapikan pembantu.

***

SETELAH selesai makan malam, masing-masing kembali ke kamar. Sementara di luar kilat dan guntur makin gencar menggelegar. Tidak ada yang berminat menonton film seri. Setelah melihat tiga kali, bosan, keluh Loti. Anita cuma suka film-film romantis yang diputar di bioskOp. Film cerita di televisi kok seperti apkiran semua, tuduhnya tidak pada siapa-siapa, pada suatu pertemuan ramah-tamah. Dokter Rasid sendiri tidak punya komentar. Dia hampir tidak pernah menonton. Membuang waktu, katanya. Bahkan siapa itu James Bond, dia nyaris tidak tahu. Rekreasinya cuma di dalam kamar kerjanya, bersama buku-buku ilmiahnya. Impian terpendamnya melangit. Dia ingin punya nama intenasional dalam bidang riset. Dia marah pada dirinya sendiri dan pada kenyataan, bahwa hingga saat itu bangsa Indonesia cuma menerima dan menggunakan hasil kesimpulan penyelidikan bangsa lain, tapi tidak memberikan sumbangan yang juga dapat diterima seluruh dunia. Dokter Rasid

ingin mengorbitkan nama bangsa. Untuk itu dia tak ada waktu bagi bintang-bintang film.

Atas rengekan Loti melalui ibunya, beberapa bulan yang lalu mereka membeli video recorder. Barulah Darwus kini mau juga ikut menonton sekali-sekali.

Untuk masuk ke kamar belajarnya, Darwus harus melalui kamar tidur. Tongkat yang sudah dipakainya sejak empat tahun yang lalu tidak menimbulkan bunyi di atas karpet. Tungkai sebelah kanan dirasanya berdenyut nyeri. Begitulah rasa nyeri di dalam tulang. Tidak dapat dikurangi dengan pijitan maupun balutan, seperti nyeri di otot. Musim-musim seperti ini memang selalu membuat encoknya kambuh. Untuk mudahnya, dia selalu bilang pada siapa pun bahwa dia eneok. Melihat jalannya yang timpang itu, Anita tahu suaminya tengah kesakitan lagi.

"Encokmu kambuh?" tanyanya, bukan tanpa kemesraan. Tapi laki-laki itu cuma mengangguk. Baginya, kata mesra sudah ketinggalan zaman. Dia lebih kenal nama-nama jurnal yang terbit di seluruh dunia. Demamnya muncul setiap kali dia membaca di mana saja, nama baru yang diorbitkan orang karena telah menemukan sesuatu. Dia akan termenung bermenit-menit, bahkan berjam-jam. Bilakah dia juga akan menemukan

sesuatu? Bilakah orang akan hilang: ah, itu Rasid syndrom, dinamakan menurut penemunya !

Kira-kira lima menit setelah mereka masuk ke kamar, hujan pun turun selebat-lebatnya. Bagaikan ada keran raksasa di langit yang bocor dan airnya tak tertahan lagi. Anita menengok jam. Pukul delapan kurang sepuluh menit. Alangkah nikmatnya berpelukan di atas tempat tidur pada keadaan seperti sekarang, pikirnya. Tapi suaminya bukanlah bintang film yang romantis. Untuk kekayaan dan kehormatan yang diperolehnya sebagai Nyonya Dokter Darwus Rasid, harus pula dia membayar. Kontan. Dengan kesepian dan kerinduan.

Ditutupnya jendela kamar yang bervitiase putih, dan ditariknya tirai tebal berwarna hijau mosaik. Lalu dinyalakannya lampu. Yang pertama dilihatnya adalah tirai itu. Segala macam hijau ada di situ. Hijau tua, hijau muda, hijau kehitaman, hijau lumut, hijau kekuningan....

Anita melangkah dan berdiri sejenak di muka pintu tertutup yang menembus ke kamar belajar Darwus. Keinginan hatinya masuk ke sana, namun diputuskannya untuk tinggal di kamar tidur.

Setelah dua puluh tahun, perlahan-lahan Darwus berhasil membuatnya mengerti, bahwa dia tidak mau diganggu bila tengah menyendiri,

berpacaran dengan buku-bukunya. Apalagi kalau pintu ditutupnya pula. Tabu untuk orang lain masuk ke situ. Walaupun dia seorang istri!

Anita mengambil sebuah buku yang tengah dibacanya. Novel mutakhir yang basah dengan air mata dan ramai sekali seperti pasar malam. Ah. Diletakkannya kembali buku itu. Dia teringat sulaman dinding yang tengah dikerjakannya untuk hadiah ulang tahun Loti. Sudah diperolehnya bingkai yang cocok baginya. Karena itu rahasia, tidak dapat dikerjakannya setiap saat, di mana saja. Loti tidak boleh tahu.
Sonata Masa Lalu Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dibukanya lemari. Dari bawah tumpukan baju-baju tidur, agak ke dalam, ditariknya ke luar sebuah kantong plastik. Dibawanya ke sofa dan ditaburnya isinya di atasnya. Diangkatnya kain sulaman yang dijepit kayu bulat agar menjadi tegang dan rapi bila dijahit.

Tiba-tiba cahaya kilat menyambar. Moga-moga Loti tidak kaget. Anak itu masih saja takut pada petir dan guruh, walaupun sudah sebesar itu. Dia menggeleng dan berpikir-pikir apakah dia telah terlalu memanjakan gadis itu?! Kalaupun ya, dia tak dapat berbuat lain daripada yang biasa dilakukannya seharihari. Ah, semoga dia takkan manja pada suaminya nanti. Anita diamdiam berharap, agar Otto tidak karatan cintanya

pada Loti. Dia suka anak itu. Dia juga suka pada orangtuanya. Ayahnya juga dokter, walaupun bukan dosen. Ibunya seorang sarjana hukum yang halus sekali tutur bahasanya. Ramah dan baik hati. Perempuan seperti itu harus diperoleh anaknya. Tidak boleh menjadi ibu mertua gadis lain, pikirnya. Anita juga berusaha agar hubungan pada tingkat orangtua selalu terpelihara. Pada waktu-waktu tertentu, diundangnya Tuan dan Nyonya Dokter Lukman untuk bersantap malam. Biasanya, beberapa minggu kemudian, mereka pasti akan mendapat undangan balasan.

Ketika petir menyambar lagi, diangkatnya kepalanya dan diraihnya tirai hijau, dikuaknya tepinya. Ah, lebatnya hujan. Untung itu hari Rabu dan suaminya tidak usah pergi ke tempat praktek. Menyusul tiba-tiba bunyi guruh menggelegar, seolah mau meruntuhkan rumah itu. Anita mendengar debur jantungnya melompat ke tenggorokan. Moga-moga anak itu tidak kaget, sempat dia berpikir dan berharap.

Sejak dia diminta mengajar juga pada fakultas kedokteran swasta, Dokter Darwus cuma berpraktek pada hari Senin, Selasa, Kamis, dan Jumat. Rabu dan Sabtu diserahkannya kepada asistennya. Kalau Loti sudah lulus nanti, katanya, akan diopernya seluruh praktek itu padanya.

Dia sendiri ingin menggunakan seluruh waktunya di antara labor riset dan buku-buku.

Dia bersandar ke sofa. Tungkai kanannya disilangnya ke atas yang kiri. Anita menyulam dengan bahagia. Benang-benang itu dipalutnya dengan warna keemasan cintanya yang sebening embun pagi. Setiap tusukan penuh dengan geletar keibuannya yang sarat dengan kebanggaan dan harapan. Setiap simpul membawanya melayang ke kamar sebelah. Jari-jarinya yang langsing bekerja terus dengan teliti, namun hatinya sebentar-sebentar menjenguk buah hatinya.

Kamar di situ ada tiga, semuanya besar-besar. Setiap kamar dilengkapi dengan tempat tidur, lemari pakaian, meja rias, sofa dan mejanya, rak buku, dan khusus di kamar Loti ada meja belajar yang besar. Anak itu perlu tempat banyak bila belajar. Semua buku yang mungkin diperlukannya atau ingin dilihatnya saat itu, dibukanya di atas meja, berserakan sampai ke tepi-tepi. Kehausannya akan ilmu dan keingintahuannya barangkali ditularkan oleh Darwus. Andi sendiri, seingat Anita, agak malas belajar. Mungkin juga karena suasana rumahnya yang selalu seperti kapal pecah.

Anita yang tidak membiarkan hal sekecil apa pun lolos dari pengamatannya bila itu menyangkut keluarganya, menarik kesimpulan bahwa suaminya tidak pernah memarahi Loti, karena laki-laki itu menghargai kecerdasannya.

Diambilnya gunting kecil untuk memisahkan benang yang sudah disimpulnya. Diletakkannya kembali benda itu. Jarum ditusukkannya pada bantalnya. Lalu diambilnya jarum lain yang telah berisi benang coklat. Dipandangnya sejenak sulamannya. Sebuah taman yang penuh aneka macam bunga. Loti pasti menyukainya.

Ketika Darwus menghadiri kongres kedokteran di kota Atlanta, dia diajak serta. Pada suatu hari gerahamnya sakit tak tertahan. Dia dibawa ke dokter gigi yang masih sangat muda. Ramah. Suka tertawa. Sulaman sepanjang dua meter yang tergantung di dinding sangat menarik hatinya. Pasti dibuat oleh istrinya, pikirnya. Diliriknya jari-jari dokter itu. Kosong. Atau oleh pacarnya.

Ternyata lubang pada geraham itu cukup besar. Untung masih dapat ditambal. Sementara diobati, matanya terus menatap ke dinding di mukanya, menikmati sulaman itu. Warna-warnanya segar, banyak hijau.

"Indah sekali sulaman itu," cetusnya tak berdaya menahan pujiannya.

Dokter itu menoleh sejenak sambil terus mencari bor yang diperlukannya.

"Ibu saya yang membuatnya ketika saya mulai praktek sendiri. Saya belum lama di sini. Dulu saya praktek di tempat lain, berdua."

Ah, bila Loti nanti mulai mulai praktek, akan dibuatkannya juga sulaman serupa itu, bahkan lebih bagus. Akan dijahitnya sendiri tirai-tirainya, akan dipesannya meja, lemari, dan dipan yang terbaik untuknya. Pasti prakteknya akan laku. Walaupun Loti agak pendiam, tapi dia berhati lembut.

Anita masih ingat waktu anak itu masih kecil. Setiap kali Darwus mau membunuh kacoa atau serangga lain, dia selalu berteriak,

"Papa, jangan!" Setelah dia besar sedikit dan dapat mengerti, Darwus menerangkan padanya bahwa kelinci yang bermata sayu pun harus dibunuh bila dia membawa kesulitan bagi manusia. Dan kacoa itu pembawa penyakit bila dibiarkan merayap misalnya pada makanan, sebab dia berasal dari tempat kotoran. Semua ingatan itu dilukisnya di atas kain sulaman. Dan diam-diam senyumnya merekah di tengah badai hujan yang belum mau berhenti.

Tidak. Dia tidak merasa telah mengambil keputusan yang keliru dengan tinggal terus di samping Darwus. Dengan menolak Andi. Semua itu demi Loti. Supaya dia jangan diterkam kemiskinan yang menyertai sebuah hidup di samping Andi. Meskipun semua itu harus dibayarnya dengan cukup mahal.

Bertahun-tahun kemudian, ketika nama Andi sudah mulai terkenal sebagai pemerkosa dan pembunuh, Darwus sering kali mengingatkannya pada keinginannya untuk bercerai dulu.

"Apa kau sekarang masih tetap mau cerai?" tanyanya sambil memegang koran yang memuat berita tentang Andi.

"Silakan. Tapi akan kukatakan pada Loti dulu, siapa sebenarnya ayahnya! Setelah itu kalian boleh pergi."

Anita betul-betul mati kutu. Maulah dia saat itu menjilat telapak kaki Darwus atau melakukan apa saja, asal Loti jangan sampai tahu siapa Andi. Waktu itu dia sudah duduk di bangku akhir SD, cerdas dan perasa. Bila Darwus benarbenar melaksanakan aneamannya, pastilah putik yang segar itu akan gugur ke bumi sebelum kembang.

Ah, semoga Otto kekal dengan Loti. Pemuda itu lembut, sabar, baik, dan setia. Loti akan merana dalam dekapan tangan-tangan yang kasar. Sepasang orangtua yang selembut Dokter Lukman dan istri tentu saja akan membuahkan anak yang juga sama. Ditambah lagi, seperti Loti, Otto juga anak tunggal. Jadi Loti tidak perlu khawatir akan bentrok dengan siapa pun. Di mana lagi akan

ditemukannya pasangan yang demikian cocok untuk putrinya?

Petir sekali lagi menembus ke dalam kamar. Ditunggunya dengan berdebar. Namun sekali itu guruhnya terdengar jauh sekali dan datang setelah beberapa menit. Ah, biarlah hujan sepanjang malam. Supaya tidur dapat lebih nyenyak dalam kesejukan. Tapi segera juga diingatnya bibit-bibit bunga yang baru disemai suaminya. Dia menghela napas. Dalam sepuluh urusan dunia, sembilan tidak berjalan sesuai dengan kemauan kita. Siapakah yang telah menciptakan kalimat itu? Tagore? Rizal? Atau pujangga lain?

Kasihan Darwus. Dia pasti akan kecewa. Bertanam bunga merupakan satu-satunya kesibukan lain di luar jangkawan buku-bukunya.

Diambilnya kembali gunting kecil di sampingnya. Sebelum menggunting, ditengoknya radio-clock di atas meja rias. Oh, sudah pukul sembilan lewat. Pintu kamar kerja Darwus masih tertutup. Dari dalam tidak keluar bunyi sekecil apa pun. Lebih baik ditengoknya Loti sebentar. Anita tidak berusaha menghilangkan kebiasaan itu. Sejak Loti masih kecil, dia selalu masuk ke kamarnya dulu sebelum tidur. Anak itu kini sudah remaja. Februari tahun depan dia akan genap

sembilan belas. Tapi bagi Anita tidak ada bedanya.

Dibereskannya benang-benang bersama kain sulaman, jarum-jarum serta gunting, dan dimasukkannya ke dalam kantong plastik. Lalu dia bangkit untuk meletakkannya kembali ke tempatnya semula. Ditolehnya pintu kamar kerja suaminya sebelum melangkah ke luar. Mungkin ini akan menjadi salah satu dari malam panjang Darwus bersama kekasih-kekasihnya.

Diketuknya dulu pintu sebelum mendorongnya dan melangkah masuk. Loti tengah duduk di atas karpet, bersandar ke tepi ranjang. AC dimatikan, tapi jendela dibuka lebar-lebar. Udara terasa sejuk. Malah agak dingin menurut perasaan Anita. Nyamuk tidak ada. Sebab semua jendela dan lubang angin ditutupi kawat halus.

Melihat ibunya, diletakkannya buku catatannya ke lantai.

"Belum tidur?" tanya Anita sambil menjatuhkan diri di sampingnya.

"Mana mungkin tidur! Besok ada kimia anorganik. Sebelum kuliah mulai, senang betul dosen itu membuat kejutan di pagi hari. Barang

kali supaya kami semua betul-betul terjaga dari mimpi. Tapi mautnya, pakai diberi angka segala!" Loti menggeleng, berdecah-dceah. Rupanya dia tidak bisa mengerti ada dosen sekejam itu.

"Itu baru namanya kuliah," Anita tertawa.

"Bila kau belajar terus sedikit-sedikit, waktu ujian nanti kan jadi ringan tugasmu?!"

Di sudut kiri dekat lemari tertegak sepi sebuah gitar, hadiah ulang tahun Loti dari Darwus ketika anak itu di kelas tiga SMP. Suaminya mulai menampakkan minat pada anak itu sejak dia masuk sekolah menengah. Sedang Loti sendiri bila bercakap-cakap dengan teman-temannya, sering didengar Anita membawa-bawa nama Darwus.

"Ayahku bilang, begini-begini...."Atau,

"Menurut ayahku, begitu.. begitu...." Betulkah Darwus bilang begitu-begini, atau itu cuma khayalan anak remaja, Anita tidak tahu. Yang terang, dia jarang melihat Darwus bicara dengan Loti. Ketika dia masih kecil, anak itu dihindarinya seakan-akan dia kuman penyakit yang ditakuti Darwus.

"Memang betul juga. Tapi kan tidak usah pakai angka segala?" Loti memandang ibunya, dan pikiran itu kembali menerkamnya tanpa kasihan. Siapakah ayahku, Mama, pikirnya dengan penasaran. Wajah ibunya diamatinya.

Tenang. Tersenyum manis. Tidak tampak sedikit pun, bahwa perempuan itu menyimpan rahasia. Siapakah dia? Siapakah yangtelah menyinggahi rahimmu, Mama dan meninggalkan aku di sana? Macam apakah dia? Seperti Papa? Ah, dia bukan Papa sebenarnya. Dia... siapakah dia? Papa adalah... siapakah Papa? Suamimu? Cuma suamimu, Mama. Tapi siapakah orang itu yang telah memberimu sebuah tanda mata sebesar aku?

"Kau jarang berlatih gitar lagi sekarang," kata Anita seakan mengerti kesepian yang dibisikkan oleh senar-senar itu ke dalam hatinya, lalu ditolehnya anaknya.

"Jangan terlalu menjenuhkan otakmu dengan semua buku-buku itu. Kau harus pula mencari rekreasi. Misalnya malam ini... tadi pagi kau baru saja ujian. Tidurlah lebih awal. Apalagi hujan lebat. Pasti nyenyak, dan esok kau akan merasa lebih segar dan lebih bergairah untuk belajar lagi. Petiklah gitarmu. Mainkan untuk Mama sebuah ballada."

Tidak biasa-biasanya Loti menolak permintaan ibunya. Hatinya menggeram. Siapakah lakilaki itu, jeritnya. Siapakah dia? Macam apakah dia?

"Maaf, Mam,jangan malam ini. Ah, Mama tidak kenal sih perangai si Kumis Kucing! Dengan mahasiswa ganteng, dia anti. Dengan mahasiswi cakep apalagi. Tahulah apa yang diingininya.

Kata orang dia pernah patah hati, jadi dendam sama yang disebut kesenangan. Tidak tahan dia melihat kami semua santai."

Loti memandang ibunya sambil melontarkan pertanyaan itu dengan kedua matanya yang jernih, coklat tua. Tapi ibunya tidak mengerti. Dia cuma membelai rambut Loti sambil tertawa, dan membiarkan hati putrinya memar terpukul katakata yang didengarnya sore tadi di teras.

"Tidak dingin, Titi?" tanya ibunya akhirnya.

Loti menggeleng. Anita bangkit. Dia menggeliat sambil meluruskan punggungnya.

"Baiklah, Mama pergi kalau kau masih mau belajar. Jangan lupa menutup jendela bila kau tidur."

Loti bangkit menghampiri ibunya. Seperti biasanya, dilekatkannya sebuah kecupan pada pipi ibunya. Anita membalasnya dengan mesra. Dipegangnya kedua bahu anaknya dan diperhatikannya air mukanya. Dia menggeleng. Tersenyum.

"Kau tampak lelah. Jangan terlalu memaksakan diri belajar."

Lalu dia melangkah ke pintu, membukanya dan keluar. Loti menutup pintu dan bersandar di belakangnya. Matanya terpejam. Air matanya nyaris keluar. Ditelannya liurnya. Dia berbisik lemah. Siapakah dia. Mama? Di manakah dia?

Tapi Anita tidak mengerti dan tidak mendengar. Di luar kamar Loti, dia berdiri sejenak memandang ke arah kamar tamu yang saat itu kosong. Barangkali orangtua Darwus akan jadi datang pada perayaan ulang tahun Loti. Dan kamar itu akan terisi kembali untuk beberapa minggu. Anita tidak suka dengan kamar yang tidak berpenghuni. Rasanya udara di situ penuh kelembaban dan bau kacoa. Menerima kos, walaupun untuk seorang mahasiswi yang manis dan sopan, adalah mustahil. Darwus pasti akan ngamuk.

Dibukanya pintu kamar tamu dan dinyalakannya lampu. Setelah melihat bahwajendelajendela sudah ditutup oleh pembantu, dan langit-langit tidak bocor, dimatikannya lampu kembali dan ditutupnya pintu.

Pelan-pelan dia berjalan ke kamarnya sendiri. Dibukanya pintunya dan ditutupnya tanpa bunyi. Sunyi senyap. Di bawah remang-remang lampu tidur di samping ranjang, tampak benda itu seakan kosong melompong. Permukaannya yang luas tampak menganga kesepian. Kapankah mereka terakhir bicara soal cinta di bawah gulungan selimut tipis yang hangat itu?

Dibukanya kimononya. Dalam cermin dilihatnya dirinya seperti yang akan dilihat suaminya. Kulit putih berselaput baju tidur kuning pucat. Renda-renda putih di lehernya membuatnya kelihatan masih muda, bahkan hampir serupa remaja. Lebih-lebih bila diangkatnya rambutnya yang sepanjang bahu itu dan diikatnya dengan seuntai pita kecil di bagian puncak kepalanya.

Dadanya yang masak dan padat tampak menyibak gaunnya ke muka. Dia tidak mengenakan penutup di situ. Pinggulnya yang pantas menjadi milik wanita dewasa seperti dia, memberi lekukan bulat yang manis di kiri dan kanan, samar-samar di bawah bayangan benang-benang batis, bagaikan sebuah janji kenikmatan yang dikirim ke alamat yang salah dan dibiarkan saja, tidak dijemput oleh penerimanya.

Dan di antara kedua bagian tubuh itu benangbenang batis kuning meliuk ke tengah mengilhami pandangan akan adanya sepotong pinggang yang tidak lagi perawan, bukan langsing kerempeng, namun matang dan menggairahkan dalam bulatan lekukan-lekukannya.

Anita menghela napas. Dihampirinya meja rias. Diambilnya botol krem untuk malam hari. Dibukanya tutupnya. Dari sebuah kotak Wedgewood berwarna biru berhiaskan Venus dan Apollo diambilnya sebuah spatel kecil. Dengan itu disendoknya sedikit krem dan diolesnya tipis-tipis ke seluruh muka. Kemudian dibereskannya kembali semuanya.

Anita sengaja berlambat-lambat. Antara sebentar dia berhenti. Di tengah gemericiknya hujan, ditegakkannya telinganya, mencoba menangkap bunyi dari dalam kamar kerja Darwus. Bahkan setengah berharap akan mendengar pintu ditolakkan ke luar. Dan Darwus pasti akan menghampirinya. Baju tidur itu, dikatakannya pada Anita, yang paling menggairahkannya.

Tapi dalam kamar sunyi-senyap. Dari cermin dapat dilihatnya pintu berlapis plywood itu seakan-akan menertawakannya. Sinar lampu yang dinyalakannya ketika masuk tadi berseloroh bagaikan gadis baru belajar menari, di atas permukaannya yang berkilat. Pantulan cahaya bergoyang ke sana kemari, setiap kali angin mengayun bola lampu bersama penutupnya.

Dipadamkannya lampu meja rias. Kemudian lampu di lan git-langit. Dia duduk di tepi ranjang. Dilepasnya sandalnya satu-satu, lalu dengan gerakan terpaksa direbahkannya kekecewaannya ke atas kasur. Ditolehnya ke samping. Dalam sinar lampu tidur yang lembut, dilihatnya seprai yang licin dan tegang, menusuknusuk kepedihan dalam hatinya. Sungguh aneh. Pada malam-malam hujan seperti ini, Darwus justru makin bertambah semangatnya untuk mendekam dalam kamar kerjanya. Pada musin kemarau, dia lesu dan lekas tidur.

Dielusnya sarung bantal yang licin. Wangi detergen menerpa. hidungnya samar-samar. Aku mencintainya, pikirnya. Ah, seandainya dia mau membedah perasaanku, pasti keraguannya selama ini akan lenyap. Tapi Darwus tidak mau menggerakkan skalpelnya. Kekecewaannya pada malam pertama mereka telah menelan habis setiap kemungkinan pendekatan yang mesra. Dan kecambah cinta yang barangkali mengendap di dasar hatinya pada pertemuan pertama mereka, hanyut disapu amarahnya yang tidak sempat diledakkan.

Darwus tidak pernah memaki atau mengeluarkan kata-kata kasar terhadapnya. Ketika dia disembilu oleh kekecewaan yang mahatajam itu, dia cuma menuntut pengakuan. Tidak sepatah pun keluar kata makian.

Anita menelentang. Matanya dibiarkannya terpejam. Kenangannya melonjak ke masa silam. Untuk kesekian kalinya dicabiknya hatinya dan diraihnya sonata yang tersembunyi di dalamnya. Sonata hidupnya, miliknya, yang tidak diketahui siapa pun. Tidak juga Darwus. Dia tidak pernah menangis di depan suaminya.

Malam di masa silam itu, Darwus melepas dekapannya dengan tergesa. Kegelapan yang menyelubungi mereka dengan mesra dikuaknya dengan nyala lampu tidur. Anita tersipu menyadari keadaannya. Dia tidak mengenakan apa pun. Betapa malunya dia saat itu.

Laki-laki itu kini menatapnya. Bibirnya setengah terbuka. Matanya yang kiri dipicingkannya, sementara yang kanan menatapnya dengan tajam. Air mukanya seperti binatang jinak yang mengharapkan kasih sayang dari tuannya setelah lama tak jumpa, namun terkejut dan kaget mendapati tuannya menyediakan pecut dan hukuman baginya. Matanya yang tidak mengerti, penuh kepedihan dan kekecewaan.

"Tahukah kau dirimu tidak lagi perawan?" Suaranya dicobanya tenang dan profesional, seolah tengah menghadapi seorang pasien.

Anita tidak menjawab. Tidak ada keberaniannya. Darwus menafsirkan kebisuan itu sebagai ya.

"Dengan siapa?" tanyanya lagi, ketika dia sudah mengenakan kembali piyamanya. Baju-baju Anita diambilnya dari lantai dan dilemparnya ke atas tempat tidur. Dipeluknya baju-baju itu untuk menutupi ketelanjangannya, sebab dia tidak berani bergerak.

Darwus duduk di atas sofa. Tangannya dipeluknya dan matanya nanar menatap kecantikan yang telah mempermainkannya.

"Dengan siapa?" ulangnya lagi.

Anita menoleh. Oh, Darwus masih cukup kejam untuk membiarkannya melihat kecambah-kecambah cinta dalam matanya yang menggelepar-gelepar mencoba tumbuh, namun bibirnya yang terkatup rapat membuat percobaan itu sia-sia dan memberitahunya tanpa kata, bahwa cintanya takkan pernah menjadi milik Anita.

"Andi," bisiknya gemetar, berharap akan sebuah pengampunan. Namun geletar pengharapan itu dibunuh dalam hatinya oleh sinar mata suaminya yang menjadi dingin. Harapannya gugur sebelum sempat dilahirkan sebagai kata.

"Mengapa kau tidak berterus-terang?"

Anita terdiam. Digigitnya bibirnya. Dengan kecantikannya yang telah membuatnya sedikit pongah, dikiranya akan dapat menyelubungi kenyataan itu dari pandangan Darwus. Di samping itu, dia takut. Bila dia gagal kawin, berarti kiamat dunianya. Pertama, orangtuanya akan harus mengongkosi dia terus. Kedua, dengan kehadiran anaknya, di mana akan diletakkannya gengsi keluarganya.

"Aku bukan orang picik, Anet," kata suaminya lagi, ketika dia tidak menjawab.

"Aku dapat dan penuh pertimbangan. Tapi aku mau kau jujur padaku! Aku tidak boleh kautipu. Aku tidak

pernah mengizinkan diriku ditipu! Sudah berapa lama kau berhubungan dengan orang itu?"

"Setahun lebih." Suaranya lemah.

"Siapa nama lengkapnya?"

"Lumirang. Andi Lumirang."

"Di mana kau mengenalnya?"

"Dia teman sekelas," bisik Anita, ketakutan dengan tanya-jawab itu. Dia tidak berani membayangkan apa akhir proses verbal itu. Akan dibunuhkah dia? Atau dicerai?

"Sudah berapa jauh?" Darwus terdengar menghela napas. Tentu saja Anita tidak tahu, laki-laki itu tengah mengasihani dirinya sendiri. Sudah tidak mampu mencari istri, kini orang melemparkan sampah padanya.

Anita tidak mengerti maksud pertanyaan itu, jadi dia membisu. Darwus menunggu beberapa menit. Kemudian hilang nafsunya untuk mengetahui kebenaran. Dia bangkit dan masuk ke dalam kamar kerjanya. Dia tidak keluar lagi sampai istrinya terlelap.

Kehangatan yang asin tereecap di sudutsudut bibirnya. Anita menghapus air matanya. Tapi malam itu, yang sudah jauh di masa silam, masih selalu membawa air mata setiap kali dia mengenangnya. Dia menyesal mengapa tidak berterus-terang ketika Darwus sudah mengan

cam bahwa dia tidak mau ditipu. Seandainya dikatakannya waktu itu bahwa Loti sudah berada di tengah mereka, mungkin Darwus akan mau menerima anak itu sepenuh hatinya. Apalagi mereka juga tidak mempunyai anak lain. Tapi dalam kebodohannya dia mengira keterlambatan haid tiga minggu takkan menyolok benar. Namun suaminya adalah dokter. Dia lupa. Pasti Darwus tahu, mana bayi cukup bulan, mana yang tidak. Air mukanya yang penuh kepedihan selalu menghantuinya. Bahkan ketika dia mulai gendut, Darwus tahu hal yang sebenarnya.

Dan malam yang satu itu kembali menjadi malam yang takkan pernah dilupakannya. Walaupun sudah jauh tertelan masa lalu.

"Mengapa tidak kaukatakan bahwa kau sudah mengandung waktu itu?" tuntutnya.

Anita terdiam, merasa bersalah. Seandainya dia kadang-kadang berpikir seandainya dia waktu itu bersumpah tidak tahu bahwa dia hamil waktu menikah atau mengajuk menyilakan Darwus menceraikannya bila laki-laki itu merasa ditipu, mungkin keadaan takkan seperti sekarang. Darwus akan mau menerima sumpahnya. Dia juga mungkin takkan menceraikannya, sebab di kemudian hari Anita mendapat kenyataan, bahwa suaminya amat peka terhadap

perceraian yang akan mengobrak-abrik kariernya.

Tapi waktu itu dia belum tahu, dan dia juga amat takut diceraikan. Selain nama baiknya akan musnah, Anita juga tidak sanggup membayangkan dirinya bersama anak yang akan dilahirkannya, harus hidup dalam kekurangan.

Jadi dia membisu. Dan jurang di antara mereka mulai muncul lebih jelas, sementara jembatan gantung yang selama itu menghubungkan jiwa mereka mulai goyah ditampar-tampar badai kian kemari.

Hadirlah serentetan malam-malam yang menakutkannya. Darwus selalu memulainya dengan harapan, seakan sarat dengan pengampunan dan pengertian, namun selalu mengakhirinya dengan ketergesaan yang hampir menjadi buas. Dan dalam tuduhan tanpa kata itu, Anita merasa bagaikan sepotong kayu yang dibakar dan ditiup-tiup, namun dibiarkan padam sebelum berkobar jadi nyala api yang hangat. Yang tertinggal cuma asapnya yang penasaran, mengotori udara, menyesakkan napasnya.

degup-degup hatinya mencoba menjangkau hati Darwus, mengajak bersalaman dan berdamai. Tapi laki-laki itu melingkar masuk ke dalam dirinya sendiri pada setiap sentuhan, seperti

cong-cong-balicong yang mengerut masuk ke dalam rumahnya pada sentuhan pertama keasingan.

Di depan umum, apalagi di depan rekanrekannya, Darwus adalah seorang laki-laki yang sangat penuh perhatian pada istrinya. Anita berdoa semoga timbul komplikasi kecil yang akan mengharuskannya tinggal lebih lama di rumah sakit. Namun tubuhnya yang muda dan sehat tidak kurang suatu apa. Bayinya juga sehat. Mereka dipulangkan dalam waktu lima hari. Betapa kecewanya Anita. Dia ingin sekali berlama-lama di rumah sakit, mendapat kunjungan-mesra tiap hari dari suaminya, diberi peluk dan cium yang selama itu asing baginya.

Ibu mertuanya yang menjemputnya pulang. Bahkan pada hari ter'akhirnya di rumah sakit, Darwus sudah berusaha menghindarinya dengan alasan harus melakukan asistensi untuk para mahasiswa. Dia tidak mau memperpanjang kesandiwaraan yang mesra itu lebih dari seperlunya. Anita merasa dicampakkan dengan kejam. Setiap kali mereka bertatapan, pandangan bisu suaminya seolah mencabik-cabik harga dirinya. Mereka hidup dalam dunia yang tidak saling menyentuh. Dalam dunia yang saling berbeda. Darwus tidak pernah mau mendengarkan cerita-cerita Anita

mengenai rumah tangga mereka. Sebaliknya, dia juga tidak pernah memperbincangkan suka-dukanya di tempat kerjanya.

Sesekali kebahagiaannya membuat Anita lupa dan tercetus pelan dari bibirnya,

"Ah, lihatlah, lucunya!", atau "Ah, manisnya Titi!" Darwus cuma mendengus dan mengerutkan hidungnya, membuat Anita tersadar dari mimpi-tengahharinya yang terlalu muluk.

Darwus tidak pernah menyentuh, apalagi menggendong Loti. Dia bahkan tidak mau ikut campur dalam pemberian nama. Mengatakan,

"Nama apa yang mau kaupilih?" pun dia ogah. Setelah dua minggu lewat, Anita mengatakan padanya, bayi itu akan bernama Charloti seperti nama almarhum neneknya yang dicintainya. Darwus mengangguk. Kesopanannya kadang kadang membuat hati Anita berdarah. Dia jauh lebih suka bila Darwus mau memakinya, menamparnya dan kemudian mengampuninya serta menerima cintanya. Tapi jiwa laki-laki itu bagaikan sebuah lubang hitam di angkasa luar. yang tidak terkira-kira dalamnya, tanpa dasar. Dan apa saja yang masuk ke sana, setiap dendam sena kemarahan, takkan pernah keluar lagi. Tersimpan sepanjang segala abad.

Seandainya Darwus merupakan buku yang terbuka dan Anita mampu membacanya, tentu dia akan mengajukan tantangan untuk memperlihatkan setinggi apa harga dirinya. Dia akan berkata,

"Ceraikan aku, bila kau tidak suka kami!" Tapi dalam ketakutannya menghadapi kemungkinan harus kembali hidup miskin seperti di rumah orangtuanya, Anita melupakan harga dirinya. Dia tidak tahu, Darwus paling meremehkan manusia yang tidak mempunyai harga diri, sebab harga dirinya sendiri amat rapuh. Ejekan temanteman sekolahnya dulu masih terus mengekorinya, membuatnya tercambuk untuk menunjukkan bahwa dia lebih dari mereka. Membuatnya bagaikan gila menghirup semua ilmu pengetahuan yang dapat diteguknya dari dasar-dasar setiap buku. Jerangkong, kata teman-temannya dulu. Ya, namun Jerangkong yang istimewa, Jerangkong yang jenius, Jerangkong yang terkenal ke seluruh dunia.

Anita tidak tahu semua itu. Sebab Darwus tidak pernah membiarkannya membaca hatinya. Buku kehidupannya ditutupnya rapat-rapat dari pandangan istrinya yang mungkin ingin menyelidik.

Hujan mulai reda. Petir dan guruh yang sambung-menyambung sebelum dan selama hujan kini tidak terdengar lagi. Anita mencoba lelap. Dibayangkannya sesuatu yang indah. Misalnya pemandangan di pinggir pantai ketika matahari terbenam. Dia berbaring lena di bawah sebuah payung raksasa berwarna senja. Nun jauh di seberang, matahari seakan melambainya, mau menyongsong malam.

Atau lagi, pemandangan senja dia suka sekali-ketika mereka mengudara di atas kota Memphis. Lampu-lampu di bawah tidak ubahnya seperti ribuan bintang-bintang di langit malam. Udara cerah waktu itu. Musimnya permulaan musim panas. Sungai Mississippi meliuk-liuk bagaikan seekor ular raksasa. Pada detik-detik pertama, Anita merasa terkejut dan takjub melihat keindahan alam serupa itu. Kemudian, pesona perasaannya berubah menjadi keterharuan dan ketenteraman. Siapa pun yang telah menciptakan semua itu, Dia pasti akan melindunginya dengan kasihNya. Sebab cuma orang atau jiwa yang penuh kasih yang mau mempergunakan kekuasaanNya untuk mencipta yang indah-indah. Dia takkan mau menggunakan kekuasaanNya untuk membuat teror dan kejelekan yang kejam. Hormat dan kagumnya pada Sang Pencipta terlahir

sebagai titik-titik hangat yang menggenang di sudut-sudut matanya ketika dia menengok kembali ke luar jendela pesawat udara. Betapa kecil dirasanya dirinya. Betapa ringan dirasanya dosanya pada Darwus.

"Kau menangis," bisik suaminya menyentuh lengannya.

Dia menoleh, mencoba menghias wajahnya dengan senyum. Mata Darwus juga lembap. Barangkali dia juga mempunyai perasaan serupa. Sayang, pendekatan itu tidak berkembang. Selama kongres, Darwus sibuk. Dan ketika pulang kembali ke tanah air, cuma kopor-kopornya yang penuh dengan barang-barang buatan Amerika. Hatinya sendiri kosong.

Sekonyong-konyong terdengar suara pintu berderit. Anita sengaja tidak mau meminyaki engsel pintu itu, sebab dia senang mendengar suaminya keluar dari' kamar kerjanya. Merdu rasanya bagi telinganya. Dan harapan-harapannya tidak pernah absen.

Juga malam itu. Diamatinya tungkai-tungkai yang didera encok itu mendekat bertumpu pada sebatang tongkat. Darwus menyandarkan tongkat itu ke lemari kecil di samping tempat tidur. Dia menoleh sekejap tanpa kata. Dilihatnya Anita masih membelalak segar.

"Ah, bibit-bibit bungaku akan habis terhanyut hujan," keluhnya sambil merebahkan diri.

"Tidak ada lagi?"

"Tidak." Dilepasnya kacamatanya, diletakkannya di tak di atas kepalanya, lalu diusap-usapnya kening dan kepalanya untuk menghilangkan penamya.

"Nanti akan kusurati bibiku di Delft," kata Anita.

"Ah, tidak usah!" Suaranya sedikit ketus. Darwus senang menolak jasa yang ditawarkan orang lain. Seakan-akan setiap kali dia menerima jasa orang lain, berkurang pula harga dirinya yang selalu dikaitkannya dengan kemampuannya berdikari.

"Aku dapat minta lagi pada Profesor Appelmoes."

Anita ingin sekali mengulurkan tangan, membelai dan menyentuhnya. Akan tetapi Darwus tidak segan menepiskan tangannya dan ketika itu sudah berulang beberapa kali, Anita jadi kehilangan keberaniannya untuk menyatakan bahwa dia seorang istri. Peranannya kini hanya menunggu. Kadang-kadang dirasanya harga dirinya terluka. Dalam keadaan begitu, dia ingin sekali pergi

meninggalkan Darwus. Ke mana saja, asal jauh darinya. Tapi cintanya pada Loti memakunya di tempat. Dia tidak ingin anak itu mengenal arti sengsara. Dia tidak ingin kemulusan hidup gadis itu menjadi retak-retak dipalu oleh kepentingan dirinya yang haus cinta serta penghargaan. Ditelannya semua.

Sayup-sayup terdengar musik lembut dari kamar Loti.

"Sedang apa dia malam-malam begini?" tukas Darwus sedikit terganggu. Bila dia memutuskan sekarang waktu tidur, maka seluruh alam harus sunyi-senyap. Bahkan jangkrik-jangkrik yang takut padanya segera menghentikan nyanyian mereka pada derap langkahnya yang pertama di dalam kebun. Malam hari, mereka tidak terdengar bila jendela ditutup rapat dan AC dinyalakan.

"Besok dia akan mendapat tanya-jawab dari dosennya," kata Anita, berhati-hati agar tidak kedengaran seperti pembelaan.

Darwus akan selalu memaafkan segala kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran. Sejak Loti menjadi juara kelas berturut-turut selama di SMP, Darwus mulai menaruh perhatian padanya, walaupun belum dapat dikatakan sayang. Apa saja yang diminta Loti. bila itu berhubungan dengan sekolah. pasti akan dikabulkannya

dalam sekejap mata. Karena hal ini pula, Anita bertekad untuk tetap di samping Darwus, betapa mahal pun harga yang harus dibayarnya.

"Bagaimana ujiannya tadi pagi? Bukankah dia ujian hari ini?"

"Katanya baik-baik saja," sahut Anita berdusta. Tidak ada gunanya meneruskan kekhawatiran Loti. Secara intuisi, Anita tahu Darwus takkan menyukai seorang anak yang pandir. Loti harus selalu tampak pandai dalam matanya. Lagi pula, belum tentu anak itu takkan lulus dalam ujian tadi.

"Ehm!" Itulah tanda yang terdekat bagi Darwus untuk menyatakan kesenangan hatinya. Seorang anak yang cemerlang tentu saja akan ada gunanya baginya. Akan menarik perhatian rekan-rekan serta atasannya. Dia masih ingat kata-kata iri yang dilontarkan rekan-rekannya dan pujian yang diberikan oleh profesor-profesor ketika Loti diterima masuk setelah lulus tes dengan gemilang.

"Buah takkan jauh jatuhnya dari pohon, bukan begitu, Rasid?" puji atasannya, membuat dadanya serasa bertambah bidang.

"Ah, seandainya anak laki-laki kami juga sepandai anakmu!" keluh rekannya.

Setiap ujian yang dilaluinya dengan angka bagus, akan membuat ayahnya makin dekat dengannya, pikir Loti. Kerinduan yang abadi akan peluk-cium ayahnya, membuat Loti matimatian mengejar angka bagus. Dia selalu resah setiap kali selesai ujian, walaupun menurut perasaannya dia telah membuatnya dengan baik. Sebab tidak ada yang cukup baik untuk Papa, pikirnya. Dia harus membawa pulang angka yang terbaik. Bahkan lebih baik dari Otto. Seandainya Otto juga dicambuk orangtuanya untuk selalu meraih yang terbaik, pasti mereka takkan mungkin menjadi kekasih-kekasih yang mesra seperti sekarang. Untungnya, Otto hidup dalam keluarga yang tenang, gembira, penuh cinta, malah sedikit kesantaian bukanlah dianggap desa di situ. Otto cukup asal lulus saja. Yang penting, dia mengerti apa yang dipelajarinya dan menyukai studi yang dipilihnya. Berlawanan dengan Loti yang tidak diizinkan memilih jurusan lain oleh Darwus, Otto dipersilakan menentukan sendiri ke mana dia mau pergi. Seandainya dia ingin menjadi pelaut yang punya kekasih di setiap pelabuhan, orangtuanya tetap akan merestuinya.

Anita sesekali merasa pedih melihat kelakuan anaknya. Kehausannya akan cinta ayah telah membuat anak itu menjadi budak setiap keinginan ayahnya. Dan cuma Anita yang tahu serta mengerti betapa kejamnya Darwus. Dia menuntut agar anak itu menghasilkan angkaangka yang paling jempolan untuk menghias kebanggaan dirinya sebagai bapak, namun sebagai imbalannya tidak pernah dia memberi Loti penawar bagi dahaganya. Entah berapa ratus kali sudah Anita mendengar keluh kesah anaknya bahwa ayahnya tidak mencintainya. Pening kepalanya. Pekak telinganya. Tapi dia cuma dapat menghibur dan meyakinkan Loti, bahwa Darwus sungguh-sungguh mencintainya, bangga sekali padanya, dan bahwa itu memang pembawaannya yang agak kaku, yang membuatnya tampak jauh dari orangorang serumah.

"Kalau dia naik tingkat, boleh dia ikut Otto tur keliling Eropa selama liburan."

Mau rasanya Anita mendeka pdan mengecupnya. Air matanya mengancam akan turun. Tapi Darwus membalik diri, tidak mengharapkan terima kasih. Tentu saja, bila dia naik tingkat dengan angka-angka terbaik, katanya dalam hati. Malam itu Anita tidur nyenyak. Dia lupa akan kegersangan hidupnya. demi Loti.

****

LOTI mencari tempat parkir bagi metor honda-nya. Sebenarnya dia tidak kesiangan. Tapi pada kuliah Anorganik, anak-anak memang cenderung untuk datang lebih pagi. Tabu bila kelihatan oleh dosen masih mencari-cari tempat duduk. Lebih pantang lagi, masuk setelah kuliah dimulai. Kalau begitu, malah lebih baik pulang lagi dan lain kali menghadap dengan sepotong surat sakit dari dokter.

Sepasang tangan tiba-tiba muncul dari belakangnya mengambil alih kemudi Honda yang tengah didorongnya pelan-pelan sambil memandang berkeliling. Loti menoleh, agak kaget. Walaupun di bawah sadarnya dia sudah tahu siapa orang itu. Bahkan mengharapkan kehadirannya. Dilepasnya motornya ke tangan Otto setelah mengambil tasnya yang tergantung di depan.

"Aku sudah menyiapkan tempat bagimu," kata Otto menyeringai sambil memanggil seseorang yang tengah berdiri melamun di teras gedung. Laki-laki berbaju biru itu segera meng

hampiri. Terlihat Otto menyisipkan selembar ratusan ke dalam saku kemeja orang itu. Pegawai tata usaha itu memindahkan sepeda motornya dari lingkungan parkir dan menaikinya menuju ke halaman belakang, di mana terdapat lapangan untuk para pegawai. Otto melambaikan tangannya dan memarkir Honda-bebek itu di tempat tersebut.

Loti tersenyum menyambut kunci motor.

"Jadi sekarang parkir sudah bayar? Seratus?"

"Ah, aku iseng. Tidak diberi pun orang itu takkan marah-marah. Apa artinya seratus perak. Untuk beli rokok pun tidak cukup. Kebetulan saja orang itu tidak merokok."

"Kau juga sudah menyediakan tempat untukku?" kerling Loti dengan jenaka.

"Habis! Apa aku mau membiarkan kau duduk di baris belakang di antara musang-musang yang gemar anak ayam?! Di mana wibawaku sebagai laki-laki!"

Loti tersenyum melirik Otto dengan mesra. Tapi dia tidak menimpali dengan kata?kata. Pikirannya ruwet, sisa tadi malam. Begitu terjaga, berkilat kembali ingatan kemarin sore di beranda samping.

"Kalau Loti tahu, siapa ayahnya! Macam apa dia!"... dan ibunya membisu tidak berkutik. Siapakah ayahnya? Seperti apa dia?

Seperti pegawai tata usaha tadi, yang merendahkan diri di hadapan lembaran ratusan, karena terpaksa? Miskinkah ayahnya? Mengapa ibunya tidak pernah menyebutnya barang sekali pun? Di manakah dia?

"Di sini, Lot," kata Otto menyentuh sikunya ketika dia tampak mau berjalan terus ke depan.

Ruang kuliah sudah hampir penuh. Bukan karena Anorganik itu istimewa menarik, tapi karena absensi ketat yang dijalankan dosen.

"Harap maklum," kata ketua tingkat yang mempunyai tugas tidak enak untuk mencatat nama-nama yang absen.

"Dokter Piri masih merupakan produk zaman feodal dan aristokrasi. Beliau tidak percaya pada kebebasan individual."

Mula-mula absensi itu diisi oleh masing-masing mahasiswa. Namun segera juga kesetiakawanan mereka membuat daftar itu penuh terisi, lengkap dengan tanda tangan, padahal ruang kuliah setengah kosong. Akhirnya, ketua tingkat diberi tugas yang tidak enak itu.

Dokter Piri datang tepat pada pukul delapan kurang lima belas menit. Arloji milik ketua tingkat yang disetel untuk jam itu selalu berbunyi pada langkah dosen yang pertama menginjak ruang kuliah. Suara bip-bip-bip itu terdengar lucu sekaligus berguna untuk menyadarkan mereka

yang masih mengobrol atau bertandang agar mengatupkan bibir dan kembali ke bangku.

Maka mulailah ketegangan yang akan berlangsung selama sembilan puluh menit. Pada akhir jam pelajaran, arloji Miswar akan berbunyi, juga tepat pada saat dosen memasukkan kembali catatannya ke dalam tas.

Loti berusaha menyimak agar dapat menulis semua yang dikatakan dosen. Kimia Anorganik adalah pelajaran yang kurang memikat hatinya. Penuh keabstrakan seperti garis-garis lukisan kontemporer yang tidak dapat dihayatinya, yang tergantung dalam kamar belajar ayahnya... ah, bukan ayahnya. Hatinya tertusuk, namun untung suara Dokter Piri menolongnya mengenyahkan pikiran-pikiran sedih itu dari kepalanya. Dia dipaksa mencatat dan mendengarkan. Saat itu mereka tengah melakukan acara penyegaran-lima-menit sebelum kuliah. Ada lima pertanyaan yang diberikan. Cuma separuh yang dapat dijawab dengan betul oleh para mahasiswa.

Kimia Anorganik yang rumit itu makin bertambah rumitnya dengan tidak adanya hubungan batin antara dosen dan mahasiswa. Mereka makin segan belajar karena wajah serius tanpa senyum itu telah menghilangkan semua kegairahan mereka. Malah pedantika sang dosen

telah ditafsirkan oleh sebagian sebagai tangan besi yang harus dipenggal dan dilaporkan pada pimpinan. Tapi mencari dosen sepandai Dokter Piri tidaklah mudah.

Pagi itu Loti tidak membuat tesnya dengan baik. Dan dia juga secara tidak sadar tidak peduli. Bukankah orang itu, untuk siapa dia selama ini membawa pulang angka-angka terbaik, bukan ayahnya? Jadi untuk apa dia harus mati-matian menghendaki peluk cium yang tidak pernah dirasakannya? Ayah nya adalah seseorang lain. Di tempat lain. Di... mana?

Otto menyentuh pelan sikunya. Rupanya Loti tidak sadar, dosen telah memperhatikan pikirannya yang mulai tenggelam dalam lautan penasaran yang penuh pertanyaan. Megap-megap dihirupnya napas, diangkatnya kembali pikirannya menghadapi kelima pertanyaan yang enggan dijawabnya.

Lima menit cepat berlalu. Seseorang telah mulai mengambil inisiatif untuk mengumpulkan kertas-kertas jawaban. Begitu tumpukan kertas itu menyentuh mejanya, Dokter Piri segera mulai dengan kuliahnya. Anak yang mengumpulkannya tadi setengah berlari kembali ke bangku.

"Catatanmu tidak lengkap," kata Otto seusai

kuliah, ketika mau melengkapi lubang dalam tulisannya.

"Ya."

"Kau tadi banyak melamun," tuduhnya.

"Ah, tidak. Nanti aku pinjam bukumu itu."

"Catatanku juga tidak lengkap. Aku sibuk memikirkan kenapa kau melamun."

"Sudah aku bilang, aku tidak melamun!" tukas Loti jengkel pada diri sendiri.


Pendekar Slebor 30 Peta Rahasia Lembah Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti

Cari Blog Ini