Ceritasilat Novel Online

Sonata Masa Lalu 2

Sonata Masa Lalu Karya Marga T Bagian 2



Otto tersenyum mengerti. Aku kan tidak menuntut ingin tahu apa lamunanmu, isyaratnya sambil menaikkan sebelah alis matanya sementara kedua matanya dengan hangat menyelimuti kehadiran Loti di depannya. Gadis itu mencibir sedikit, bukan dengan rupa mengejek, sambil mengangkat bahu tanda menyerah.

"Kita pinjam nanti catatan Dewi," usul Otto.

"Tapi jangan kaubilang aku juga mau ikut pinjam."

Otto tertawa pelan. Bukan salahnya bila dia dikeroyok cinta semua teman kuliahnya yang masih sendirian. Itu sudah lumrah. Ganteng, tegap, pandai, baik hati, banyak humor, anak tunggal dan kaya. Bahwa Loti sudah menjadi pacarnya sejak di SMA, tidaklah membuat mereka mundur atau gentar. Dan mereka juga tidak malu-malu menyatakan perang terhadap Loti, walaupun tanpa kekasaran. Pendeknya, sebelum

melihat cincin polos, Otto masih bebas .

Tapi hari itu Loti sedikit pun tidak peduli akan saingan-saingannya. Malah bila tidak ada praktikum, mau rasanya dia kabur pulang setelah kuliah Anorganik. Sayang ada praktikum. Dan itu tidak bisa disontek begitu saja seperti catatan kuliah. Kalan tidak hadir sekarang, harus diulang pada kesempatan berikutnya. Dan Loti tidak senang menunda-nunda sesuatu yang memang harus dihadapi.

Jadi disandangnya tasnya, lalu mengikuti arus teman-temannya menuju ke ruang praktikum. Otto dengan setia berjalan di sampingnya. Teguran-teguran manis yang menggelitik dan merayu hati jantannya cuma disambutnya dengan hai atau ah atau oh. Loti sendiri tidak mendengarkan. Kata-kata ayahnya kemarin sore kembali melilit dalam kepalanya. Kenapa Ayah bilang begitu? Ah, bukan Ayah, bantahnya. Lantas bagaimana mau disebutnya laki-laki itu? Darwus, seperti Ibu memanggilnya? Atau Dokter Rasid, seperti orang-orang lain menyebutnya? Ah, betapa hambar dan asing kedengarannya. Dokter Rasid! Tapi dia merasa lebih janggal lagi dengan Darwus. Seakan itu hak seorang istri. Hanya Ibu yang berhak memanggilnya begitu.

Tapi soal panggilan itu kurang penting. Sebab dia tahu, dia akan terus menyebutnya Papa, meskipun kata itu penuh diliputi keraguan dan kegusaran. Dalam pikirannya, di mana tidak ada orang yang mendengar, dia akan menyebutnya dengan "dia" saja, tanpa huruf besar.

Itu semua soal sepele. Yang penting adalah masalahnya. Siapa ayahnya dan di mana dia?

Sambil berjalan mereka penuh seloroh. Sebagian anak-anak di belakangnya tengah asyik membicarakan soal tertangkapnya Andi Barnabi, seorang pembunuh kawakan yang sangat ditakuti. Loti juga sudah membaca kisahnya di koran kemarin.

"Orang itu pasti sakit jiwa!" didengarnya kata Opus yang selalu menghubungkan semua hal aneh di dunia dengan penyakit jiwa.

"Barangkali dia sakit hati pada wanita," ulas seseorang, mungkin Nida.

"Buktinya, dia cuma membunuh wanita."

"Orang itu kejam. Kalau cuma mau mencoba, mengapa mesti membunuh?"

"Tentu saja karena dia takut dilaporkan!"

"Ternyata dia toh akhirnya dilaporkan juga. Oleh WTS lagi!"

"Ha... ha... ha."

"Pokoknya aku sekarang tidak takut lagi keluar malam sendirian," kata Nida.

"Eh, mau apa kau keluar malam? Tidak takut nama baikmu diculik orang?" tanya Frans.

Loti tidak menguping lebih lanjut. Gairah ngobrolnya tidak ada sejak pagi tadi. Lidahnya terasa kaku. Otto tahu itu, tapi di depan umum dia tidak mau menanyai Loti dan membuatnya malu.

Titrasi kali ini diselesaikannya dengan sedikit main kayu. Mula-mula dia meneteskan cairan Kalium itu dengan pelan sekali. Asisten sudah tiga kali singgah di tempatnya, tapi dia belum juga selesai. Yang terakhir kali, asisten itu seolah-olah memberi isyarat akan membantu titrasinya kalau dia mau diajak nonton sepak bola. Loti paling benci dengan bola. Mungkin karena Dokter Rasid juga membencinya. Aneh sekali, seorang laki-laki membenci bola. Entah mengapa. Tapi Dokter Rasid memang tidak menyukai segala macam olahraga. Waktu Loti masih kecil, radio mesti segera dimatikan bila dia menyiarkan pandangan mata pertandingan bola.

"Kalau kau selambat itu, takkan selesai praktikum ini sampai sore!" tukas asisten itu tertawa geli.

"Biarlah," kata Loti berani.

"Bukankah ada Anda yang akan menemani?"

Merah juga wajah asisten ganteng dan muda itu. Awas kau pada kuis nanti, ancamnya dalam hati. Ketika asisten sudah berlalu, Loti dengan cepat menoleh ke meja samping di mana Otto tengah sibuk. Gadis itu menantikan hasil yang diperoleh Otto, supaya dapat disesuaikannya dengan titrasinya. Hari itu dia merasa segan mencoba sendiri.

"Sebentar lagi," kata Otto pelan, penuh pengertian. Loti mengangguk, lalu kembali menetesi cairan di hadapannya.

Kepalanya pening. Tegang dan berat rasanya. Haru-biru beberapa buah kalimat telah melumat habis daya pikirnya yang biasanya cerah dan penuh fantasi. Namun sekali ini, fantasinya menemui kebuntuan. Dia tidak sanggup menerka siapa dan di mana ayahnya. Bahkan semalaman terjaga tidak juga membawa terang ke dalam hatinya. Kadang-kadang dia menyesal telah mendengar percakapan di beranda kemarin sore. Tapi pada saat lain, dia juga bersyukur telah mendengarnya. Kedua perasaan itu masih tetap

berperang dalam batinnya. Sebagian dari dirinya ingin dibohongi terus, tidak apa hidup dalam kegelapan, asal aman, sentosa, dan penuh musik. Tapi sebagian lagi ingin tahu kenyataan, merasa dihina karena dibohongi atau dijauhkan dari fakta, gusar karena dianggap seperti anak kecil yang cuma diberi kata-kata manis melulu.

Sudah tiba saatnya kau berhenti jadi anak kecil dan manja, katanya dalam hati. Sebuah kenyataan pahit akan segera mencabik perasaan dan menggoyahkan duniamu.

Entah mengapa, Loti tahu, kenyataan yang menyelubungi ayahnya bukanlah beledu halus berwarna kuning, namun kegelapan pekat yang buruk, lusuh dan hina. Itu semua tersirat dalam nada dan kata kedua kalimat kemarin sore: kalau Loti tahu, siapa ayahnya! Macam apa dia!

Kemarin malam dia berdiri lama di muka cermin. Diamatinya wajahnya yang manis serta kulitnya yang mulus. Keseluruhan dirinya telah membuat banyak perempuan iri serta beberapa laki-laki patah hati. Mungkinkah di dalam pembuluh-pembuluhnya mengalir darah yang hina penuh nista? Mungkinkah ibunya sampai hati mencelakakan dirinya dengan setetes keaiban? Apakah ayahnya penuh keaiban? Di mana dia? Ah, seandainya dia dapat menjumpainya,

barangkali akan didengarnya kisah yang lain. Mungkin hati ayahnya biru menyimpan kerinduan bertahun-tahun. Barangkali... barang-kali... Ibu meninggalkannya...? Karena ayahnya miskin? Loti tahu, ibunya paling peka terhadap kemiskinan. Rumah kakeknya berupa gedung tua bertingkat peninggalan zaman Belanda, penuh dengan lumut-lumut kemiskinan yang kotor dan bau. ibunya enggan ke sana. Bahkan pekarangan luas, yang dulu barangkali penuh dengan pesta-pesta dansa, kini cuma meninggalkan kesan becek menjijikkan.

Miskinkah ayahnya? Loti tahu, Dokter Rasid kaya, dan terhormat. Kedua hal itu dibutuhkan ibunya setiap saat. Ayahnya pasti miskin, pikirnya. Tapi dia tidak menjadi kecil hati. Heran. Dia tidak peduli apakah ayahnya miskin atau tidak. Bahkan, bila miskin, akan lebih disukainya. Dia akan punya alasan nanti untuk lebih mencintainya, sekaligus juga mencarikan alasan bagi Ibu untuk kepergiannya dari sisinya. Loti tidak dapat menganggap ibunya buruk. Perempuan itu terlalu sayang padanya. Selalu manis, sabar dan lemah lembut. Tidak mungkin Ibu berlaku tidak setia, pikirnya. Bila dia toh meninggalkan Ayah, itu pasti ada sebabnya.

Otto tiba-tiba berada di dekatnya, menyentuh sikunya dan mengatakan dengan pelan hasil

yang diperolehnya. Loti tersenyum penuh terima kasih. Karena asisten ada di depan, membelakangi mereka, Otto dengan cepat membuka keran titrasi, membiarkan cairan mengalir deras. Ketika hampir mencapai titik yang diperolehnya, diperlambatnya. Dan tepat ketika muncul perubahan warna dari putih menjadi merah distopnya.

Loti tertawa lega. Otto segera kembali ke tempatnya sebelum asisten sempat berbalik. Ketika dia tiba kembali di tempat Loti untuk keempat kalinya, didapatinya gadis itu sudah asyik membuat laporan praktikum.

"Hm, cepat juga kerjamu," pujinya. Diamdiam Dewi mendelik di belakang Loti, tapi dia tidak berani mengadukan apa yang dilihatnya. Dia sendiri sebenarnya mau juga punya pacar seperti Otto, yang siap membantunya dalam setiap praktikum.

Karena Loti pura-pura tuli, asisten kemudian duduk di depannya memperhatikan putri Dokter Rasid dengan saksama. Hari itu perempuan muda belia ini mengenakan blus katun berwarna biru tua berbunga putih kecil-kecil dan gaun berwarna krem dari bahan jeans. Gaun model sepan itu menambah kedewasaannya dan memberi kesan serius, sementara ekor kudanya membuat Loti tampak manis, lugu, dan apik. Dari balik

lengan Iab-jasnya menyembul sedikit manset biru tua. Kerah biru tuajuga melapisi kerah putih lab-jasnya. Gambaran yang manis sekali dan serasi, pikir asisten sambil melayangkan pandang sejenak ke arah seorang mahasiswi yang mengenakan pakaian pesta, lengkap dengan hiasan bunga, kalung, dan anting-anting.

Otto tidak menyukai tingkah asisten serupa itu. Dia menggeser bangkunya ke dekat Loti dan mulai bertanya-jawab dengan asisten. Melihat kesempatan itu, Dewi meninggalkan tempatnya untuk menimbrung. Kapan lagi bisa berdekatan dengan Otto dan asisten tersebut. Tidak dapat yang satu, yang lain pun jadilah.

Asisten lain, yang selama itu mendekam di sudut belakang, dekat seorang mahasiswi lincah, tiba-tiba muncul juga minatnya untuk berhandai-handai dan melangkah ke arah mereka. Asisten ketiga, yang kecil, kurus, berkacamata serta berponi, mengira ada semacam diskusi yang penting untuk menambah pengetahuan. Dia pun bergegas meninggalkan sudut favoritnya dan maju ke depan. Setibanya di sana, dia kecewa sekali mendengar pertanyaan yang sifatnya sepele sekali. Lalu menyusul diskusi tentang kelainan jiwa yang diderita Andi Bamabi serta rekan-rekan seprofesinya seperti Jack the Ripper.

Desas-desus mengatakan bahwa salah seorang dosen Psikiatri akan diminta oleh kepolisian untuk memeriksanya.

"Orang itu pasti membenci ibunya," tukas Dewi.

"Semua korbannya dianggapnya sebagai pengganti ibu. Bukan begitu, Ot?"

"Boleh jadi," sahut Otto netral.

"Mungkin juga dia pernah dikecewakan atau dihina oleh seorang wanita, jadi dia membalas dendam," usul asisten kedua.

"Mungkin," sahut asisten pertama.

"Bagaimanapun, orang itu sakit jiwa. Apakah kita perlu membunuh semua perempuan di atas bumi, bila misalnya kita dikecewakan oleh seorang di antaranya? Misalnya saja..." asisten menunjuk Loti yang tengah asyik menulis,

" aku ini selalu dibuat kecewa oleh Loti. Cintaku tidak dibalasnya."

"Eiit...." protes Otto.

"Ini kan cuma misal, Bung Otto," seru asisten itu agak sengit, padahal memang betul dia sudah lama menaksir putri Dokter Rasid.

"Misalnya, aku dikecewakan olehnya. Lalu? Masakan aku harus membunuh Dewi atau Nida setelah memperkosanya lebih dulu?! Jelas sakit jiwa, bukan? Bagaimana pendapatmu, Lot?"

"Jangan bawa-bawa dia, ah. Cukup tanya pendapatku saja. Pendapat kami sama kok," kata Otto menggeram.

Semua orang tertawa. Loti yang sejak tadi bersituli terus terpaksa ikut juga ketawa.

"Yah! Betapa naasnya orang tua yang mempunyai anak seperti Andi Bamabi," kata asisten kedua, sambil menopang kepalanya yang gepeng itu di atas telapak tangannya.

"Betapa malu dan aib. Barangkali ibunya menyesal telah melahirkan dia. Tapi itu memang risiko menjadi orangtua. Kadang kala bayi mereka tumbuh menjadi orang yang terhormat, kadang kala menjadi bajingan. Menurut pendapatku, orang yang betul-betul bahagia adalah mereka yang tidak mempunyai anak. Orang seperti itu tidak mengenal kesusahan dan kepedihan yang diderita para orangtua. Mereka susah bila anak mereka sakit, bila anak mereka bodoh, bila anak mereka cacat, bila anak mereka mati. Kesedihan mana yang lebih besar daripada kesedihan karena anak meninggal? Atau anak hilang? Misalnya diculik, hilang dalam pengungsian, dan lain-lain. Lalu, kemudian hari, setelah anak mereka menjadi dewasa, lain pula kesedihan yang menanti mereka... misalnya seperti Andi Bamabi.

"

"Singkat kata, apa maksudmu sebenarnya?" tanya asisten pertama dengan tajam.

"Kau mau bilang, bahwa kau tidak ingin punya anak?"

Asisten kedua terkekeh. Diusapnya rambutnya, sehingga harum pomade menerpa sejenak hidung-hidung di sekitarnya.

"Entahlah. Menikah pun belum lagi, bagaimana aku mesti menjawabmu? Tapi rasanya, aku akan mengikuti aliran yang dianut kebanyakan orang. Menikah untuk punya anak. Aku tahu kepedihan dan kesusahan yang menyertai kebahagiaan beranak, tapi aku tidak berdaya melepaskan diri dari impuls manusiawi itu. Setiap dari kita diberi keinginan yang sangat mendalam untuk mempunyai anak. Kita bahkan menderita rasa bersalah dan sedih bila tidak menghasilkan seorang anak pun guna menyambung nama kita. Perempuan yang mandul dianggap terkutuk dan boleh diperlakukan sekehendak hati suami. Dicerai atau diapakan saja. Semua itu pada dasarnya termasuk impuls manusia untuk mempertahankan diri supaya tidak musnah. Cuma orang-orang bijaksana yang dapat mengatakan, tidak, aku tidak mau punya anak, dunia sudah terlalu penuh. Cuma mereka yang bijaksana yang bersedia melepaskan hak untuk kebahagiaan bersama anak. Mereka rela. tidak merasakan kegembiraan yang dibawa oleh seorang bayi, rela rumah mereka sunyi sepanjang masa, rela tidak dapat membanggakan sesuatu di depan teman-teman. Sebagai imbalannya, mereka juga takkan pernah merasakan kepedihan sepasang orangtua bila anak mereka meninggal atau tumbuh menjadi dewasa yang terkutuk."

"Sejak kapan kau belajar filsafat?" ejek asisten pertama.

"Ah, itu cuma pikiranku sendiri. Bukan filsafat siapa-siapa. Aku cuma mau bilang, aku bukanlah seorang bijaksana. Aku egois dan barangkali serakah. Aku ingin punya anak empat. Kesedihan dan kesusahannya, biarlah menanti. Selama belum muncul, aku takkan pusing. Tapi aku sudah bermimpi keempat anakku akan menjadi orang-orang ternama, berpangkat, serta kaya. Soal kepadatan dunia bukan urusanku. Selama aku dapat memberi makan anak-anakku, tidak ada orang yang berhak melarang aku agar membatasi jumlah mereka. Cuma orang-orang bijaksana yang suka memikirkan masa datang. Aku hidup untuk masa kini. Aku tidak suka menghitung-hitung berapa lama lagi persediaan energi bumi akan habis. Berapa lama lagi dunia akan kekurangan pangan.... Lagi pula, Walaupun aku memandulkan diri, dunia toh memang sudah

kelebihan orang. Dan yang disebut kiamat itu akan datang juga manakala matahari kita nanti meledak."

"Bukan meledak," kata asisten ketiga yang sejak tadi diam saja.

"Aku baca, menciut. Dan panasnya meningkat. Karena itu es Kutub Utara sudah mulai mencair. Bumi akan tenggelam kena banjir. Dan bila matahari sudah demikian kecilnya nanti, maka seluruh kehidupan pun akan musnah."

"Matahari akan meledak," ulang asisten kedua sungguh-sungguh.

"Tapi manusia masih punya waktu lima ribu tahun untuk mencari tempat kediaman yang baru. Karena itu Amerika repot menyelidiki angkasa luar. Kelak, bila sudah mereka temukan sebuah planet baru, maka rakyat mereka akan dipindahkan ke sana. Sudah tentu, dipilih yang pandai-pandai dan berguna. Bangsa-bangsa lain yang masih bodoh, mungkin akan dibiarkan saja. Atau diambil sepasang-sepasang agar berkembang lagi di planet baru itu."

"Di mana Anda baca itu semua?" tanya Otto tanpa berusaha menyembunyikan rasa kagum dan herannya.

"Ah, tampang seperti dia, segala apa pun dia baca. Sampai-sampai bungkus pisang goreng yang berminyak pun disimpannya dalam tas,"

ejek asisten pertama. Asisten kedua tidak tersinggung. Dia seakan sudah mabuk, lupa diri bila sudah bicara soal seperti itu.

"Entahlah. Aku membacanya di mana-mana. Tapi ini bukan omong kosong. Aku rasa, planet Tau Ceti akan cocok untuk manusia. Sayang belum ada yang sampai ke sana...."

"Busyet!" Asisten pertama mengeluarkan rokok tanpa menyalakannya. Digigit-gigitnya ujungnya.

"Bicara soal perempuan kan lebih asyik dan gembira? Kenapa mesti mengingat-ingat kiamat yang masih lima ribu tahun lagi?"

"Aku pernah baca tentang Atlantis... juga tenggelam... barangkali kena kiamat?" kata Dewi ragu, sekadar ikut bicara, peduli amat asisten yang satu itu mendelik padanya. Bila dia menaksir Loti, silakan. Dewi sendiri lebih senang pada orang yang ingin beranak empat dan belum punya calon istri.

"Ya, ya, mungkin saja," sahut yang ditanya.

"Seperti misalnya bangunan-bangunan purbakala. Aku pikir-pikir, mungkinkah jutaan tahun yang lalu pernah hidup manusia di planet lain? Lalu menjelang kiamat, mereka mencari planet baru, tiba di bumi dan mulai menetap di sini? Mereka tentunya sangat superior. Mereka dapat membuat piramid, mereka juga sudah mengenal

listrik, peradaban mereka tinggi. Lalu tiba-tiba, semua kepandaian itu lenyap. Terkubur menjadi batu. Manusia kembali menjadi barbar. Dan mulai lagi dari nol. Sampai akhirnya pelan-pelan kita mendapatkan kembali apa yang hilang itu. Listrik, misalnya ...."

Asisten pertama mencocokkan arlojinya dengan jam yang tergantung di dinding. Ditepuknya tangannya.

"Sudah waktu!" serunya.

"Bereskan semua alat untuk bikin laporan, masih ada lima menit."

Loti sejak tadi sudah selesai dengan laporannya dan diam termangu seakan mendengarkan obrolan mereka. Tapi sebenarnya dia sibuk dengan pikirannya sendiri, sekitar asal-usulnya. Bagaimana dia dapat memikirkan ke mana manusia akan pindah lima ribu tahun lagi. bila dia belum tahu dari mana dia datang? Bila dia tidak mengenal ayahnya sendiri?

"Sudah selesai?" tanya asisten.

Loti mengangguk dan menyerahkan kertas laporannya. Kemudian dia mulai mencuci serta membereskan alat-alat. Otto membantu mengeringkan dan menyimpan perabotnya dalam laci.

Setelah itu mereka akan pergi makan ke kantin. Sore nanti latihan ujian dengan preparat tulang-belulang Tiba-tiba Loti ingin pulang.

"Badanku kurang enak," katanya pada Otto.

"Kau memang tampak lesu dan pucat. Mau pulang?" tanya Otto khawatir.

"Ya. Maukah kau ikut makan di rumahku?"

"Oke," sahut pemuda itu dengan gembira.

"Sore nanti bila kau merasa enak, kita dapat pergi bersama lagi. Kalau tidak, kita tinggal saja di rumah, belajar dari Spalteholz."

Anita senang dan heran melihat kedatangan mereka. Segera disiapkannya sendiri meja makan dan ikut bersantap. Darwus sudah menelepon tidak pulang untuk makan.

"Tidak menunggu... m... Papa?" Loti mulai mendapat kesulitan dan hambatan setiap kali mau mengucapkan kata itu.

"Oh, tadi dia menelepon. Katanya akan makan di restoran dengan seorang kolega. Ayo, mari, Otto. Anggap seperti di rumahmu sendiri saja."

Ketika mereka selesai makan, tiba-tiba Loti sadar, dia tidak boleh membiarkan Otto tinggal bersamanya di rumah. Dia teringat betapa antusiasnya pemuda itu mempersiapkan diri untuk latihan ujian nanti sore. Otto tidak jadi pergi semata-mata karena ingin menemaninya.

"Nanti kau harus pergi latihan, Ot," kata Loti ketika mereka tengah duduk di ruang tamu bertiga.

"Kau tidak pergi, Sayang?" tanya Anita.

"Bila kau tidak mau pergi, biarlah aku temani belajar dari buku," kata Otto sebelum Loti sempat menyahut.

Gadis itu menghela napas. Dipandangnya Otto dan ibunya bergantian. Mereka tengah menantikan jawabannya. Barangkali lebih baik pergi saja, daripada diam di rumah melamun tak habis-habis? Apa yang sudah mendera telinganya kemarin sore dan tertulis pahit dalam jiwanya takkan mungkin terhapus lagi, walaupun dia akan melamun seribu malam, sampai otaknya pecah bercampur darah. Lebih baik dia pergi.

"Mengapa kau tidak mau pergi, Titi? Kau tidak enak badan?"

"Aku akan pergi, Mam. Tapi aku mandi dulu, ya, Ot?"

"Oke."

"Nah, bila kau juga mau mandi, Tante akan sediakan handuk bersih bagimu," kata Anita pada Otto yang menerima tawaran itu dengan gembira.

"Kau tidak usah naik motor, Lot. Boncengan saja denganku."

"Ya, Sayang, itu betul. Naik skuter Otto saja. Pulangnya tentu lewat pukul tujuh dan sudah gelap."

Loti tidak memberi komentar. Dibiarkannya kedua orang itu mengatur apa-apa yang mereka anggap terbaik bagi dirinya. Dia sendiri punya kesibukan lain. Perhatiannya cuma melulu tercurah pada teka-teki yang telah menampar gendang telinganya kemarin, di balik tirai pintu.

Memang, dia tahu alangkah egoisnya menyita semua waktu dan pikiran bagi diri sendiri. Namun saat itu Loti merasa kasihan pada dirinya. Dia mulai meragukan kebahagiaan yang selama ini meliputi hidupnya di setiap sudut. Betulkah gaun yang diberikan ibunya semuanya tenunan benang cinta kasih yang asli dan tidak luntur? Bagaimana dengan "dia"? Hangatkah kemurahan hatinya yang berlimpah ruah itu? Ataukah dingin dan kaku seperti semua textbook yang dibelikannya? Selimut apakah yang selama itu dihamparkannya di atas tubuhnya kala penat? Kapas halus tanaman hati ibunya yang putih mulus ataukah cuma jaring laba-laba yang penuh jerat-jerat mematikan?

Siapakah dirinya? Siapakah asalnya? Macam

apakah ayahnya? Mengapa Ibu belum pernah sekali pun menyebut namanya? Mengapa Ayah tidak pula berusaha menemui aku? Apakah... Loti tiba-tiba merasa dingin... apakah... ayahnya sudah meninggal? Kapan? Di mana? Tidak. Tidak mungkin. Bukan begitu nadanya bila mereka kemarin mempercakapkan seseorang yang sudah tiada. Ya, ayahnya masih hidup. Pasti. Pasti.

Tapi mengapa kemarin mereka mempercakapkannya? Alasan apa yang membuat"nya" menyebut-nyebut ayahnya? Pasti ada sesuatu yang terjadi pada ayahnya, yang telah membuat mereka teringat kembali atau mempercakapkannya. Siapa tahu... ya, siapa tahu... ibunya bilang begini: tadi ada surat dari ayah Loti. Dia ingin anak itu berlibur bersamanya!

Nah, mungkinkah "dia" marah-marah, melarang, lalu mengucapkan kedua kalimat yang membuat dunianya kini gelap pekat begini? Mungkinkah ayahnya ingin berlibur dengannya? Ingin melihatnya? Mami, betulkah ayahku telah mengirim surat menanyakan diriku? Apakah dia ingin bertemu denganku? Di manakah dia, Mam? Mengapa Mama selama ini membisu seperti ikan-ikan di kolam yang tak pernah tahu bercakap? Bijakkah kiranya berdiam diri bila Mama tahu bahwa aku selalu ingin mendengar

kesunyian, betapa sumbang pun bait-bait lagunya dalam kenyataan? Mama kan tahu, bagiku lebih baik tusukan kejam sesaat di hati daripada keheningan penuh ragu sepanjang masa, yang kelak akan terasa pekat dan buas. Siapakah yang ingin Mama lindungi dengan dekapan kebisuan itu? Aku? Ayah? "Dia"?

"Hei, Lot, kalau mau mandi, sudah waktunya," kata Otto memecah permukaan lamunannya, yang terburai-burai seperti air kolam dilempari kerikil. Loti menoleh melepas senyumnya yang sayu, lalu melirik arlojinya. Otto tahu, pacarnya itu tengah dilanda kemurungan, sementara cerah ceria yang biasa mewarnai segala gerak dan kata di sekitar Loti kini meredup senyap. Sapuan kemurungan itu telah mengubah lukisan ceria tengah harinya menjadi lukisan dini hari yang penuh kabut serta halimun. Dia ingin sekali menguak halimun itu untuk memeluk dini harinya, namun seperti tadi pun, Otto tidak mau membuat Loti tersipu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dia akan menunggu dengan sabar hingga hati muda yang permai itu bersedia membuka pintu dan menyilakannya menengok ke dalam untuk menemui sebab-musabab kemurungannya.

"Di atas ada dua kamar mandi," kata Loti.

"Kau juga dapat mandi sekarang."

"Oh,baiklah."

Anita yang sejak beberapa menit tadi menghilang, kini muncul lagi dan mendengar pembicaraan mereka.

"Ya, betul. Mandilah, Ot. Handuk dan sabun sudah Tante letakkan di sana."

Suara Anita lembut sekali, seakan Otto itu anak kesayangannya. Tapi memang begitu idamannya. Otto harus menjadi anaknya dan Loti menjadi anak Nyonya Dokter Lukman.

"Terima kasih, Tante," kata Otto mengikuti Loti ke loteng. Dia sudah tahu di mana letak kamar mandi untuk tamu.

Loti masuk ke kamar mandi di ujung sebelah kanan. Dikuncinya pintu. Seakan dalam mimpi ditatapnya wajahnya dalam cermin. Siapakah dia? Siapakah wajah yang kini tengah ditatapnya? Rahasia apakah yang disimpan sel-sel tubuhnya selama sembilan belas tahun ini? Bukan darah Darwus Rasid yang meronai pipinya, tetapi seseorang lain yang mengalirkannya baginya. Siapakah namanya? Seperti apa rupanya? Loti tahu, dia mirip dengan ibunya, jadi sulit sekali membayangkan bagaimana rupa ayahnya.

Sayup-sayup didengarnya bunyi air diciduk dengan ganas dari kamar mandi seberang. Dengan lesu dihampirinya pancuran. Diputarnya

keran habis-habis lalu dia kembali ke depan cermin untuk memasang penutup kepala. Hari ini dia tidak bergairah menyiduk air dari bak. Juga tidak berminat untuk mengangkat pancuran dari gantungannya. Dia tidak ingin menyentuh apaapa, kecuali sepotong sabun yang licin dan harum.

Dibukanya bajunya, lalu dia melangkah ke bawah tirai-tirai air yang menyejukkan kulitnya dengan percikan-percikan kecil yang tajam namun lembut, seperti ribuan ujung-ujung rerumputan yang menyerbunya ketika dia bergulingan di sana dalam masa-masa liburannya waktu kecil.

Ah, masa kecil. Mengapa manusia harus meninggalkanmu untuk menjadi dewasa? Mengapa dunia menjadi lebih kecil dengan bertambahnya tinggi badannya? Rumahnya dulu terasa besar. Halamannya seluas taman kota. Bila dia berputar-putar di atas sepeda roda tiganya, ah serasa dia sudah keliling kota. Nyaman sekali rasanya dapat bergerak bebas dengan roda tiganya. Ke mana perasaan itu sekarang? Ke mana kenyamanan itu telah menguap? Mengapa dia tidak merasa sebebas merdeka itu di atas Honda-bebeknya? Mengapa kedewasaan harus pula disertai serangkaian larangan serta patokan yang mengekang kemerdekaan dan kebebasan

hati? Dan mengapa sudut-sudut benaknya yang semuanya cerah semasa kanak-kanak, kini mulai membentuk bayang-bayang gelap yang tak terkuakkan oleh pancaran cinta ibunya, yang dulu merupakan segalanya baginya? Mengapa berkas cinta yang dulu dirasakannya hangat serta manis kini terasa menyembunyikan pengkhianatan yang dingin serta pahit? Siapakah ibunya? Kenalkah dia bagaimana bentuk hati nurani ibunya? Bila Ibu seagung dan sesuci gambarannya selama ini, mengapa dia tidak hidup bersama ayahnya? Ibukah yang meninggalkan Ayah? Atau sebaliknya?

Mengapa Ayah meninggalkan Ibu? Laki-laki macam apakah yang sanggup meninggalkan perempuan secantik dan selembut Ibu? Tidak. Ayah takkan mungkin sanggup meninggalkan Ibu. Tidak ada laki-laki yang sebodoh itu. Apalagi bila aku sudah ada di antara mereka. Tidak. Bukan Ayah. Ibulah yang telah meninggalkannya. Mengapa?

Terdengar ketukan di pintu kamar mandi. Loti terkejut. Dia lupa tengah berada di mana. Lonceng di dinding menyadarkannya bahwa dia sudah dua puluh menit di bawah pancuran. Astaga. Bisa keriput kulitnya nanti. Segera dimatikannya keran dan disambarnya handuk.

Tiba-tiba dia gembira akan pergi latihan ujian. Untuk sejenak nanti akan dapat disingkirkannya pikiran yang mengganggu itu ke sudut paling gelap dalam kotak ingatannya.

***

MEREKA latihan selama empat jam. Ketika pulang, jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Langit Jakarta sudah ditinggalkan rembang petang, menyongsong malam yang jernih penuh kerlipan bintang serta semilir angin sejuk mendamaikan hati.

Loti dan Otto mengenakan jaket kemahasiswaan yang dikancing rapat, sebab Otto bilang dia akan ngebut. Dari kampus ke rumah masinginasing di bilangan Kebayoran memang jauh.

Ketika tiba di rumah Loti, jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan. Otto menolak tawaran makan, sebab tahu ibunya masih menunggunya. Di iumahnya, jam makan adalah bila seluruh keluarga sudah berkumpul. Bukan pukul tujuh seperti di tempat Loti.

Anita langsung menggandeng anaknya ke kamar makan dan mendudukkannya ke dalam kursi. Lalu dibukanya tudung saji. Loti menatapnya, tersenyum. Ibu yang demikian penuh cinta... mungkinkah hati nurani beliau penuh kebOhongan sisa-sisa pengkhianatan di masa lalu? Tidak, rintihnya dalam hati. Ibu tidak mungkin berkhianat. Tidak mungkin. Mesti ada penjelasan untuk semua itu!

"Piringinu," tegur ibunya menyorongkan sendok nasi yang berisi penuh.

Loti lekas-lekas membalikkan piringnya dan ibunya meletakkan nasi itu ke atasnya.

"Terima kasih, Mani," lalu tergesa disambungnya ketika melihat gerakan tangan ibunya.

"Cukup, Mam. Jangan ditambah."

Anita tersenyum mengerti.

"Jangan khawatir, Sayang. Lingkar pinggangmu pasti masih mengizinkan kau makan sesukamu. Bentuk tubuhmu takkan terganggu bila kau sedikit lagi menambah daginginu, sebab kau tinggi."

"Ah, Mam!" tukas Loti tersipu, sambil mulai menyuap.

Betulkah ibunya tidak dapat melihat betapa gundahnya hatinya? Betulkah ibunya tidak tahu, bahwa dia resah sejak pagi? Betulkah ibunya penuh perhatian padanya, ataukah dia mencinta hanya untuk kepuasan diri belaka, sedang perhatiannya sebenarnya berada di tempat lain?

"Nah, makanlah sekenyangmu. Mama tinggal dulu."

Loti mengangguk. Anita berjalan ke depan dan memutar TV untuk mendengarkan warta berita pukul delapan. Loti juga dapat mendengarnya dari tempat dia duduk. Mula-mula berita tentang kegiatan presiden, DPR, bencana alam, hasil pertanian, masalah ekonomi, defisit negara, lalu beralih pada topik sekitar keberhasilan polisi meringkus penjahat Andi Bamabi. Residivis tersebut, kata penyiar, ditangkap di kompleks WTS Kramat Tunggak dan kini ditahan di Kantor Polisi Glodok untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tiba-tiba suara TV menghilang. Hening. Loti mempertajam pendengarannya. Tetap hening. Eh, kenapa, pikirnya. Orang tengah asyik mendengarkan! Dia bangkit dan melangkah cepat ke ruang duduk. Ibunya masih ada di sofa di depan pesawat.

"Dia" duduk di sudut dekat lampu gantung, membaca koran.

Loti menoleh pada ibunya sambil bergumam, kenapa TV mendadak mati, tanpa menghentikan langkahnya.

"Ssst," bisik ibunya meraih lengannya, lalu menoleh ke Sudut.

"Papa yang suruh mematikannya."

Kenapa, tanyanya dalam hati. Dipandangnibunya dengan heran, namun bibirnya tidak

bersuara. Loti sudah tahu, ibunya takut pada "dia". Diliriknya laki-laki yang kelak akan menjadi salah satu dosennya. Koran yang lebar itu dengan aman menutupi wajahnya. Sebuah perisai yang membatasi pembacanya dari dunia sekelilingnya saat itu. Sambil mengangkat bahu Loti melepaskan pegangan ibunya dan berjalan balik ke belakang. Selera makannya yang tipis tadi kini betul-betul hilang. Sisa nasi tidak dihabiskannya. Setelah minum segelas air dingin, dia langsung ke loteng. Mula-mula ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Lalu mengunci diri dalam kamar.

Sepanjang hari ditekannya perasaannya. Keinginannya yang meledak-ledak untuk menjerit atau marah-marah atau menangis atau bahkan melempar barang-barang disembunyikan-nya dengan rapi di balik air muka sopan yang alim. Kadang terhias senyum, sedikit linglung, murung juga, dan kalem. Sekarang, dalam lindungan keempat dinding kamarnya, Loti tidak mau lagi berpura-pura. Dilemparnya dirinya telungkup melintang ke atas tempat tidur, lalu menangis puas-puas. Bantal yang didekapnya memang meredam suara isaknya, sehingga dia tidak berusaha menangis pelan-pelan. Lagi pula, ibunya takkan naik ke atas sebelum pukul sembilan. Bila udara cerah seperti itu, Ibu senang

duduk-duduk. ikan-ikan.

pinggir kolam memperhatikan

Tubuh remaja yang ramping dan mulus itu teisentak-sentak oleh gerak isak tangisnya. Kedua lengannya terletak di atas bantal, melingkari kepalanya yang cantik. Rambutnya yang hitam kebiruan terurai lepas menutupi tengkuknya. Ujung-ujungjari kakinya menjuntai sebagian di tepi ranjang. Dalam telungkup pun Loti masih tampak penuh pesona. Kesedihannya malah seakan makin membuatnya jelita. Kulitnya yang putih, berkilat bening tertimpa cahaya lampu. Bajunya masih gaun krem berblus biru yang dikenakannya tadi pagi. Jaketnya terhampar di lantai dekat gitar tempat dia mendarat ketika dilempar seenaknya penuh ketergesaan oleh pemiliknya.

Loti belum pernah menemui kesusahan dalam hidupnya yang muda itu. Penyakit, kematian, dan kemiskinan tidak dikenalnya. Bahkan patah hati yang dianggap wabah pada usia remaja, tidak menghinggapinya. Sejak dia mengenal cinta, Otto sudah berada di sampingnya. Sejak SMA sampai sekarang.

Boleh dibilang, dia tidak mempunyai daya tahan terhadap kesulitan. Beberapa patah kata yang didengarnya secara kebetulan telah mampu menghancurkan ketenangan batinnya. Dia

tidak dapat menjaga perasaannya terhadap gempuran yang dirasanya dahsyat itu. Berulang kali ditanyanya dirinya siapakah gerangan ayahnya, macam apakah dia, di mana dia kini berada, dan mengapa Ibu tidak bersamanya, namun sekian kali pula jawabnya diembus angin darinya. Cuma semilir angin sejuk menyentuh wajahnya, pertanyaannya berlalu tanpa jawab. Seakan tiada yang hirau. Dia tahu, hanya ibunya yang dapat memuaskan keraguannya serta menyalepi keperihan di hatinya. Ibunya. Padanya akan dihadapkannya seribu satu pertanyaan yang telah mengharu-biru mengacaukan dunianya yang selama itu tenang dan damai.

Ibu harus dapat menjawab semua! Semua. Juga bila itu mencabik hati mereka berdua. Seperti hatinya kini telah tercabik. Dia berduka karena terpaksa menangisi dirinya sendiri. Juga karena dia tidak tahu, pada siapa akan diurainya pintalan benang kusut yang telah dicurinya tanpa sengaja itu dan kini disembunyikannya dalam saku perasaannya yang koyak-koyak.

Biasanya dia selalu menceritakan semua perihal dirinya, senang dan susahnya, pada Otto. Namun kini Otto merupakan orang pertama yang tidak boleh mendengar soal ini. Firasatnya mengajarkan, udara yang melingkupi ayahnya agaknya tidak harum bagi penciuman. Itu merupakan

alasan besar mengapa Otto harus dijaganya agar berdiri di luar batas dan jangan mendekat. Sebab dia lebih baik mati daripada mendapat malu di depan Otto. Demi Otto Lukman, dia harus menjadi bunga cempaka, mawar, dan melati. Seandainya dia tepercik lumpur, pacarnya takkan boleh tahu. Rela dia, lebih baik mati.

Demang lonceng menyuruhnya bangkit, walaupun enggan sangat. Setengah sembilan. Sekitar pukul sembilan ibunya tentu akan naik. Mungkin langsung ke kamarnya. Loti tidak mau mengejutkan ibunya. Lebih-lebih lagi, dia benci kehebohan. Bila Ibu mendapati kamarnya terkunci lalu mendobraknya dan mendapatinya dalam keadaan seperti ini, pasti akan terbit heboh yang akan sulit dipadamkan. Ibu akan bertanya melit. Dia takkan mau berterus-tetang, setidaknya bukan di hadirat... Papa... ah, mengapa dia bukan menjadi ayahku... keadaan akan menjadi lebih wajar dan sentosa... hidupku akan terus damai abadi.... Ah! Ibu akan terus melit. Pa...

"dia" akan menyuruh Ibu diam. Anak tidak boleh dipaksa. Ibu akan meradang barangkali... dan mereka akan bertengkar.... Hatinya akan makin tercabik dibebani rasa bersalah telah menjadi penyebab pertengkaran di rumah. Dan cabikan-cabikan itu mungkin akan bergelantungan panjang-panjang di jendela perasaannya, tak

dapat disembunyikannya lagi sehingga akhirnya terlihat pula oleh Otto. Dan itu, dia tahu, akan menjadi kiamatnya.

Tidak. Dia tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Semua hal di dunia ini, bukan cuma Kimia Anorganik dan Biologi, mempunyai penjelasan. Orang cuma perlu mencarinya. Penjelasan itu ada di mana-mana, kata seorang dosen. Untuk kita temukan.

Loti bangkit. Dibereskannya rambutnya di muka cermin. Bah. Betapa sembab dan lusuh wajahnya, walaupun tidak berkurang serinya. Itu memang harus diakuinya. Loti biasanya gembira melihat wajahnya. Namun kali ini, tidak. Setengah mengentak, dikaitnya sandal karetnya dengan dua jari kaki, lalu dikenakannya.

Di kamar mandi dibasuhnya mukanya habishabisan. Kemudian dilekatkannya sehelai saputangan basah di atas kedua matanya, agar sembabnya berkurang. Setelah lima belas menit, hasilnya tidak memuaskan. Tapi bolehlah. Dia tidak dapat berbuat apa-apa. Salahmu sendiri. kutuknya dalam hati. Kenapa menangis macam kucing kematian pasangan. Kenapa tidak kaudatangi ibumu dan tuntut jawaban mutlak dari hati nuraninya.

Dia kembali ke kamar. Pintu tidak dikuncinya, sebab dia tahu ibunya akan datang menjenguk. Setiap malam selama hampir sembilan belas tahun, atau seingat dia, Ibu tidak pernah absen. Kecuali barangkali bila selesma. Ibu tidak mau menularinya. Tapi Ibu jarang sekali selesma.

Loti duduk di meja belajar, mencoba memperbaiki catatan Anorganik tadi pagi dengan catatan Dewi yang berhasil dipinjam oleh Otto. Tidak ada gunanya berbaring-baring lesu macam anjing kekenyangan. Gundah-gulananya takkan berakhir, sementara Ibu cuma akan melahirkan serangkaian pertanyaan-pertanyaan khawatir yang tidak ingin disambutnya.

Untuk mengurangi kecurigaan Ibu, diputarnya radio. Lagu meriah sekalian. Biar membantu ikhtiarnya menyenangkan suasana kamarnya. Toh cuma kamar yang akan tampak oleh Ibu, beliau tidak dapat mengintai ke dalam hatinya.

Air mukanya diperlunak dengan manis. Lekuk kejengkelan di sudut-sudut bibirnya dihapusnya dengan garis kemerahan yang melintang ramah menjangkau kedua belah pipinya yang merona merah menawan.

Loti menanti kunjungan ibunya....

***

LOTI bergolek-golek di ranjang, walau pagi sudah tinggi. Sebentar lagi ibunya tentu akan menjenguk menyuruhnya bangun. Tapi hari itu dia tidak ingin kuliah. Malah tidak ingin lagi rasanya meneruskan kuliah. Peduli apa "dia" akan marah! Toh selama itu "dia" pun tidak pernah menunjukkan sayang, padanya. Jadi apa pula bedanya bila "dia" marah?! Cuma keacuhtakacuhan sehari-hari yang didandani dengan kata dan suara.

Kepalanya pening. Badannya lesu. Barangkali wajahnya juga pucat. Tak mungkin rasanya memperlihatkan rupa seperti itu pada Otto. Dia harus diam di rumah. Seandainya dia berhenti kuliah... apa yang akan terjadi? Akan marahkah Ibu? Akan sedihkah dia? Bagaimana Otto? Akan direbutkah hatinya oleh Dewi yang sudah menanti lama seperti kucing kelaparan? Dan terakhir, bagaimana dengan "dia"? Ngamuk? Marah? Mengusirnya pergi? Kalau dia diusir, lalu apa yang akan dilakukannya? Ke mana dia akan pergi? Ke rumah Kakek yang kotor berlumut

itu? Dengan WC-nya yang sering mampet dan model jongkok? Lalu apa yang akan dilakukannya di sana? Bekerja? Pekerjaan apa yang dapat dilamarnya dengan ijazah SMA?

Yang dipikirkannya adalah Ibu. Akan hancurkah hatinya yang terbuat dari emas itu? Kalau soal "dia", tak dipusingkannya benar. Di mana tak ada sayang, di situ takkan muncul pula rindu atau patah hati. Juga Otto, tak perlu dirisaukannya sekali. Otto masih muda dan menurut kata orang, hati laki-laki, apalagi yang masih muda, akan mudah sekali lupa. Hati laki-laki, fasih sekali menyebut cinta, namun lebih fasih lagi mengatakan lupa. Tidak. Otto takkan kenapa-kenapa.

Tapi dia masih belum puas. Rencananya untuk berhenti kuliah terasa belum pas benar dengan keinginannya untuk berontak. Berontak? Mengapa? Tentu saja berontak. Masa akan dibiarkannya orang tua-tua membodohinya seperti itu tanpa reaksi apa-apa?! Sembilan belas tahun lamanya dia telah dikeeoh. Sembilan belas tahun lamanya sia-sia dia menanti peluk sayang dari "nya" yang takkan pernah muncul, tentu saja. Sebab "dia" bukan ayahnya.

Ya, dia tahu. Dia harus mencari di mana ayahnya berada. Bila dia berhenti kuliah, ha

rus digunakannya waktunya untuk mencarinya. Lalu, dari mana dia akan hidup? Sebab, bila dia diusir dari rumah ini, tentu Ibu akan dilarang memberinya uang. Dia juga akan malu menerima uang itu. Berapa jumlah simpanannya? Loti mengingat-ingat. Mungkin ada dua ratus ribu. Berapa lama jumlah itu dapat bertahan bila dia hemat sekali? Dia dapat juga menjual perhiasan dan sebagian baju-bajunya. Tapi, berapa lama dia dapat hidup dari hasilnya? Dan, bila ayahnya belum juga ditemukannya?
Sonata Masa Lalu Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu-satunya jalan, menanyai Ibu. Ibu pasti tahu di mana Ayah. Ibu harus tahu! Rahasia memang jarang bisa ditutupi sampai seratus tahun. Seperti api di kejauhan, Walau tak nampak, asapnya tercium juga. Dan asap ini sudah sangit baunya. Sudah hampir membakarnya. Dia tidak dapat menanti lagi.

Didengarnya ketukan halus. Cepat-cepat dipejamkannya matanya. Ibunya harus mengira, bahwa dia sakit. Toh dia merasa sungguh sakit.

Gerendel diputar pelan. Pintu tidak kedengaran dibuka, sebab engselnya belum berkarat. Tapi pasti tengah dibuka. Suara langkah ibunya tentu saja takkan berbunyi diredam oleh karpet.

Nah.

"Titi, kenapa kau tidak bangun, Sayang?"

Bahkan sebelum suara itu berhenti, elusannya yang lembut sudah mendarat di dahinya. Ibu selalu harus memeriksa suhu, bila Loti dikiranya sakit. Dan tentu saja anak rajin itu sakit, bila dia tidak bangun untuk pergi kuliah.

Ah, Ibu. Pikiranmu cuma hilir-mudik antara kesehatan dan bangku ilmu. Tak adakah kaupikirkan segi-segi kehidupan yang lain?

"Kau kenapa, Sayang? Sakit? Tapi suhumu tidak naik."

Dia terpaksa juga membuka mata. Ibu duduk di tepian ranjang, menyediakan senyum mesra yang seharusnya membuat hari baru penuh janji keindahan. Tapi tidak sekali itu. Dia melengos.

"Kau pusing?"

Dia mengangguk sebelum selesai merancang kebohongan yang akan diajukannya sebagai dalih. Ah, pusing kepala kira-kira cukup baik. Lumayan untuk dapat tinggal di rumah. Dan dia masih tetap diperbolehkan melahap makanan biasa.

"Kalau begitu, tinggallah di kamar. Mau Mama urut? Dikerok sedikit, ya, dengan Vieks?"

"Tak usah, ah, Mam."

"Kalau begitu, nanti Mama buatkan susu coklat dan roti panggang. Dengan telur dadar, ya?"

Loti mengangguk, sebab perutnya mendadak berkeruyuk mendengar nama semua makanan itu. Setan! Kalau makannya demikian gembul, takkan lama bertahannya uang simpanannya nanti.

Ibunya keluar lagi dan didengarnya turun ke bawah. Dapat dibayangkannya dialog di meja makan. Atau tepatnya, laporan ibunya. Sebab "dia" jarang bersuara. Paling-paling mengangkat kedua alisnya sebagai tanda ingin tahu.

"Loti sakit kepala."

Tentu begitu kata ibunya. Akan diambilnya panci kecil dan diisinya dengan susu karton, lalu dijerangkannya. Sementara menanti panas, akan dimasukkannya dua potong roti ke dalam panggangan. Disetel pada bagian "hitam", sebab Loti gemar roti panggang yang kehitam-hitaman, bukan putih garing seperti kesukaan"nya". Pernah sekali Loti ditegur. Kata"nya", roti yang hitam tidak begitu baik untuk kesehatan, sebab yang hangus itu mengandung karbon yang dianggap dapat menimbulkan kanker.

Hah! Kini dia takkan peduli lagi pada segala kata-kata"nya".

"Boleh aku beri dia Novalgin?" tanya ibunya, tentu.

Takkan dijawab segera. Tenang dikunyah"nya" roti dan ditunggu"nya" sampai mulut"nya" kosong.

"Tidak usah bila dia tidak terlalu sakit," jawab"nya" akhirnya, tentu.

Roti pun hampir hangus. Susu sudah lama mendidih. Cepat diangkat oleh ibunya dan dituangkan ke dalam gelas berisi setakar Ovaltine. Lalu roti dioles margarin dan disemir dengan selai tomat buatan sendiri. Potongan yang kedua juga dioles margarin dan dilapis dengan keju serta telur dadar. Kemudian mereka disuruh berciuman dan diletakkan ke atas piring kecil. Itu pikiran Loti ketika masih kanak-kanak. Hei, Mam, roti ini berciuman! Ibunya akan tergelak. Tidak begitu ayahnya. Ah, bukan Ayah, keluhnya.

"Dia" pun akan selesai dengan sarapannya. Dibersihkan"nya" bibir-"nya" yang selalu bersih itu dengan lap makan berwarna putih dari kain damas yang diseterika mahalicin.

Ibu akan mengantar sampai ke halaman depan, di mana Bang Ujang yang sudah tua siap membukakan pintu mobil yang berkilat macam kaca. Ibu akan mengambil tongkat"nya" untuk disimpan dalam ruang duduk. Setelah mobil pergi, barulah ibunya akan naik ke atas membawa sarapannya. '

Benar juga. Beberapa menit setelah mobil menderu pergi, pintunya terbuka dan Ibu muncul dengan nampan yang sudah lama ditunggu. Loti segera duduk di ranjang, tapi tidak boleh terlalu gesit supaya Ibu jangan curiga.

"Mama tinggal, ya. Si Minah belum diberi tahu harus membeli apa."

Loti mengangguk. Memang lebih baik dia ditinggal sendiri, agar nafsu makannya yang tidak sesuai untuk orang sakit jangan dilihat ibunya. Anita berlalu setelah yakin anaknya dapat makan sendiri. Setiap pagi ditulisnya daftar barang belanjaan yang harus dibeli oleh Minah di pasar. Itu untungnya bila mempunyai pembantu yang pandai membaca. Tapi pembantu seperti Minah memang sudah sulit ditemukan zaman sekarang.

Anita mempunyai dua orang pembantu wanita dan seorang tukang kebun. Kedua pembantunya dapat membaca. Tapi berlainan dengan Minah, Daniah itu sangat gemar membaca. Sehingga sering kali melalaikan tugas dan Minah makan hati jadinya. Sebab dia yang terpaksa menyelesaikannya.

Ketika ibunya sudah keluar, Loti turun dari ranjang membawa piring dan gelasnya ke atas karpet. Di situ dia duduk bersandar ke ranjang, sambil melayangkan pikiran ke angkasa, mengunyah sarapannya.

Sudah pukul delapan, dilihatnya loncengnya. Kuliah sudah mulai. Otto mulai berpikir-pikir kenapa dia tidak hadir. Apalagi itu kan Anatomi yang ruwet. Mana mereka saat itu sedang menguraikan jaringan saraf dan segala fungsinya yang berbelit-belit. Belajar sendiri, aduh sulitnya. Sedang belajar dari textbook, belum terbiasa mereka. Semua menunggu eekokan dari dosen. Tak ada yang punya gagasan untuk meluaskan kuliah dan menambah suapan dosen dengan buku-buku. Apalagi bahasa asingnya tidak begitu mereka kuasai. Betul, Loti mampu juga membacanya kalau mau. Tapi untuk apa sih, bila dengan catatan kuliah saja sudah lulus?!

Digigitnya roti setengah hangus yang harum itu. Khas baunya. Bau setengah hangus.

Apakah Dewi duduk di tempatnya di sebelah Otto? Ah, peduli amat! Kalau dia mampu memikatnya, silakan. Urusannya sekarang bukan pacaran, tapi mencari di mana ayahnya. Ah, banyak tingkah barangkali ayahku? Mengapa mesti dicari-cari segala? Mengapa ayah orang lain sudah ada di rumah tiap saat? Sejak lahir sampai sekarang? Kenapa Ayah bukan ayahku dan ayahku bukan Ayah?

Ah, langit biru nian. Seakan mengajak tamasya ke sana. Barangkali inilah yang disebut proses

kedewasaan. Proses memecahkan persoalan. Proses menemukan diri sendiri. Memang sakit menemukan diri sendiri. Kadang yang ditemukan tidak sesuai dengan impian atau bayangan tanpa cemiin.

Mengapa sebagian manusia ditimbuni kebahagiaan, mengapa sebagian yang lain harus mencarinya dulu, malah sebagian lagi tak pernah menemukannya walau dia telah mengaduk-aduk tempat sampah sepanjang hidupnya?

Otto misalnya. Ayahnya, bukan main. Ibunya, luar biasa. Dia sendiri, hm, tak jauh dari itu semua. Dan orangtuanya termasuk komplet, artinya grup A. Menurut Loti, grup B adalah orangtua yang penuh kasih sayang, tapi miskin. Grup C, kaya tapi tidak memiliki kasih sayang. Seperti... ya, seperti "dia". Grup D, adalah kutukan: miskin dan papa, baik berbentuk harta maupun kasih sayang. Nah, grup A milik Otto, komplet! Ya, harta, ya kasih sayang, semua serba berlebih.

Mengapa bisa begitu, ya Tuhan? Minggu lalu. dia melihat dari balkon kamarnya seorang bocah perempuan kira-kira berumur sembilan tahun tengah mengais tempat sampah mereka, entah mencari apa. Dia membawa ember merah yang tampak terlalu besar baginya. Dan ember itu su

dah setengah penuh dengan hatta persampahan. Loti bergegas turun dan keluar ke jalan di mana anak itu masih asyik mencakar-cakar dengan tangannya. Begitu asyik, sehingga tidak disadarinya kehadiran orang lain di situ.

"Apa yang kaucari?" tegur Loti pelan, tapi anak itu toh kaget juga dan bergerak mau lari.

"Jangan takut," cegahnya.

"Katakan apa yang kaucari. Barangkali dapat saya berikan?"

"Saya disuruh Ibu mencari sisa-sisa makanan...." sahutnya gemetar.

"Untuk apa?"

Anak itu tidak mau mengatakannya. Wajahnya yang kecil, sebenarnya manis walau kotor. Bibirnya yang terkatup erat itu bagaikan mengunci sebuah rahasia. Ibu manakah yang sanggup menyuruh anak perempuannya berkeliaran di tempat-tempat kotor dan bau begini? Kepapaankah yang mendesaknya? Di mana ayahnya? Pantaskah memaksa melahirkan anak bila tak mapu menghidupinya dengan layak? Loti geram sekali. Tapi ibunya mengatakan, mereka tidak boleh mengadili orang lain. Semua itu harus diserahkan pada Tuhan. Sebab Dia pula yang mengizinkan anak-anak itu terlahir. Orangtua mereka cuma manusia biasa yang tak mengerti rencana alam semesta.

Anak itu diajak masuk olehnya dan dibawa ke dapur. Minah dan Daniah serentak memekik keheranan. Tapi Loti melotot dan keduanya menutup kembali bibir mereka. Dengan ramah Loti membawa anak itu mencuci tangan, lalu mengeringkannya dengan serbet yang harum. Di mana-mana di rumah ini bau detergen, sebab itu kehendak yang punya rumah. Seakan dengan baunya hendak diusirnya segala jenis kuman yang biasa merajalela.

Anak itu ditawari roti dengan selai nenas bikinan sendiri. Tinggal tersisa dua sendok teh. Dihabiskannya. Kan Ibu sudah membeli tiga kilo tomat untuk selai baru, pikirnya.

Setelah beberapa kali ditanya, barulah keluar jawabnya: Tina. Hm, ya, nama yang manis. Tina diajaknya ke kebun. Duduk di pinggir kolam sambil mengunyah roti dan remah-remahnya dibuang ke tengah ikan-ikan emas yang hiruk-pikuk hilir-mudik, heboh kejatuhan rezeki istimewa. Tina tertawa. Betapa putih gigi geliginya. Loti ingin sekali memeluknya, seolah-olah ia adik sendiri. Tapi dia masih ragu akan haknya. Memberi roti berlapis nenas barulah tanda perkenalan, belum boleh menyayang. Belum boleh tahu di mana rumah, siapa orangtua.

"Apakah kau lewat di sini tiap hari?"

Tina mengangguk.

"Kalau begitu, ketuk saja pintu dapur. Tidak perlu kaucari di tempat sampah."

Mata yang hitam mulus itu berbinar kesenangan. Seolah mendapat sebuah boneka baru. Loti menggeram dalam hati. Ingin rasanya diremuknya sang ayah dan menampar sang ibu, biar matang hitam seperti pisang ambon. Untuk kesenangan mereka yang tak kenal batas tentunya, telah dijelmakan oleh mereka sepotong kesengsaraan yang begitu rawan. Ke mana boneka yang masih harus dibujuk dan ditidurkannya? Ke mana beruang yang selalu menantinya bobo? Yang selalu siap menanti di samping bantal berendanya? Apakah Tina memiliki bantal berenda? Barangkali dia bahkan tidak mempunyai tempat tidur. Menyelip saja dan meringkuk sekecil-kecilnya di kaki orangtuanya. Dan bila malammalam mereka ulangi kesenangan yang bernama sengsara itu, Tina harus berpura-pura tidur. Atau mungkin juga sudah betul-betul tertidur, kelelahan.

"Berapa saudaramu, Tina?"

"Tujuh."

Bagus. Bagus. Tujuh. Mengapa tidak dijadikan selusin, tanggung kan, geramnya dalam hati.

"Kau yang tertua?"

Dia mengangguk.

"Kau sekolah?" Menggeleng.

"Mau sekolah?" Mengangguk.

Hari ini akan ditunggunya Tina. Sejak Sabtu minggu lalu, dia tidak melihatnya, karena kuliah terus. Tapi dia tahu, Tina muncul setiap hari, mengetuk pintu dapur dan Minah atau Daniah sudah siap dengan seikat kantung plastik yang berisi makanan sisa dan sepasang roti selai yang asyik berciuman.

Hm. Bagaimana kalau dikunjunginya rumah Tina? Dia ingin sekali tahu, siapa laki-laki kurang ajar yang menjadi ayahnya. Dan perempuan macam apa yang dipanggilnya Ibu setiap hari? Dia juga ingin membicarakan bagaimana memasukkannya ke sekolah.

Ibu masuk tidak ketahuan. Rupanya pintu tanpa derit terkadang bisa berkhianat juga. Untung dia tidak punya rahasia terhadap ibunya, kecuali yang tersimpan dalam kepala. Itu hak asasi tiap pribadi. Ibu juga pasti akan menyimpan rahasia di kepalanya. Misalnya tentang ayahnya!

Ah! Mengapa pula Ibu mesti tersenyum mes

ra begitu. Seperti induk kuda menyongsong bayinya yang pertama.

"Sudah hilang sakit kepalamu?" tegur ibunya manis.

Loti tersenyum malu. Mudah betul kita jatuh di bawah tatapan intel hati seorang ibu, keluhnya.

"Mengapa tidak kuliah, Ti? Bosan? Malas?"

"Dua-duanya."

Dipandangnya ibunya. Hatinya sudah berdesah ingin melontarkan pertanyaan yang telah membelah dunianya berkeping-keping seperti kayu bakar di tempat Kakek. Tapi lontaran itu dibatalkan oleh kicawan merdu ibunya yang tumben sekali itu membereskan ranjangnya. Padahal selama ini Ibu selalu cerewet, Loti mesti membereskan sendiri kamarnya.

"Tina biasa datang pukul berapa?" tanyanya setelah mengaku kalah, tak berani menyerang Ibu.

Mungkin belum dewasa dia. Masih takut Ibu. Masih takut tidak diberi uang saku. Nah, itulah. Selama belum punya penghasilan sendiri, selama itu pula tidak bisa berdikari. Berarti juga, tidak bisa menuntut yang bukan-bukan dari Ibu, pemberi uang. Jadi, dia belum bisa tahu siapa dan macam apa ayahnya! Ah, sedih. Sedih jadi manusia tanggung. Perasaan sudah ada, sudah

dapat tersinggung atau merasa ditipu. Tapi akal belum berkembang. Untuk mencari uang.

"Biasanya pukul sembilan atau sepuluh. Mama terkadang memberinya juga kue untuk adik-adiknya. Sebab makanan sisa itu mustahil akan mereka makan?"

"Lantas untuk apa?"

"Entahlah. Anak itu tidak pernah mau mengatakannya."

"Justru karena itu. Justru karena mau mereka makan, dia jadi malu mengatakannya. Biadab sekali, memelihara anak serupa itu!"

"Titi," tegur ibunya sambil menggeleng.

"Tidak boleh mengadili orang lain. Seburuk apa pun tindakan seseorang, janganlah menistanya sebelum kau tahu alasannya. Yang tampak mulia, sering kali menyimpan bangkai di hatinya. Sebaliknya, yang kelihatan bengis kadang kala menjadi begitu karena terlalu sering ditipu."

Wah, Ibu dapat bertele-tele kalau sudah ceramah filsafat hidup seperti itu. Persis ikan-ikan di kolam yang tak henti-henti membuka moncong mereka, megap-megap mencari udara. Kcbalikannya dengan ibu Otto, yang alim seperti siput. Tak pernah kedengaran berbunyi. Malah babu dan kokinya yang selalu mengisi ruang udara di rumah itu, dengung-berdengung macam

lebah kematian ratu. Baiklah. Dia takkan mengadili bajingan tengik yang mengayahi Tina, sebelum melihatnya sendiri.

Diteguknya habis Ovaltine yang tawar itu. Iiih, Ibu terlalu pelit dengan gula. Apa sih salahnya diberi gula pasir lagi barang sesendok makan? Tapi Ibu memang anti gula. Katanya, empat dari lima temannya kena penyakit gula. Yang absen dari penyakit itu, mungkin akan kena juga, bila beliau tidak keburu tewas sewaktu ikut balap mobil bebas di sirkuit jalan raya. Teman Ibu memang aneh. Masa perempuan mau balap! Pakai mobil suami lagi, yang sudah jelas bercabang hatinya. Siapa tahu, suami itu dipecuti bayangan istri barunya yang montok dan mendadak dia lupa memperbaiki rem, misalnya. Lupa yang sengaja, misalnya. Ayo! Ke mana mau menuntut? Percumalah. Toh takkan bisa turun lagi dari langit. Zamannya bidadari biasa turun mandi, sudah lama lewat. Mereka ngeri dengan polusi udara kita. Salah-salah selesai mandi, pulang ke kahyangan bau bensin.

Tapi, kembali urusan gula pasir. Ibu kan tidak percaya, bahwa gula dapat menimbulkan penyakit gula? Ah, yang benar saja, Mam. Tanya tuh sama Pa...

"dia". Hm. Mungkin harus ditowelnya Daniah, agar sembunyi-sembunyi

mau menambah gula ke dalam gelasnya. Asal saja jangan salah masuk. Kalau gelas Ibu, wah! Dia harus menyediakan gelas spesial baginya. Susahnya, di rumah ini semua gelas sama. Pakai inisial D dan R. Hadiah kawin dari profesor luar negeri, kata Mama. Tapi kok hadiah kawin banyak nian. Biasanya kan cuma setengah lusin. Taruhlah, teman baik. Paling-paling selusin. Ini lebih kali dari dua puluh. Termasuk yang masih dalam simpanan. Belum lagi yang pernah pecah? Selama dua puluh tahun, masakan tak satu pun yang pecah? Atau barangkali itu bukan dari gelas? O, mungkin juga pabriknya selalu memberi ganti setiap kali hilang atau pecah. Seperti sendok garpu pisau buatan pabrik beken di Amerika yang terbaca iklannya dalam sebuah majalah.

***

Hm. Yang penting, dia harus punya gelas sendiri. Yang ditulisi tanda zodiak itu bagus. Akan dibelinya yang berbintang Pisces. Daniah akan disogoknya dengan bonbon. Heran, setua itu barangkali hampir empat puluh usianya bila kita lihat keriput di tangannya-masih senang gula-gula. Ah, mungkin juga belum setua itu. Wajahnya yang senang menyeringai kelihatan simpatik sekali, kata Bang Ujang jail. Seperti simpanse pakai baju batik! tambahnya. Dan wajah Daniah yang sudah cerah, kembali mendung seperti matahari pertengahan Desember.

Wajah dapat dipelitur semaunya dengan segala macam merek. Tapi tangan mana bisa, kata seorang dosen yang ingin tetap anonim, demi penjagaan diri terhadap ratu rumah tangganya, Dani-es dapur, serta KOSEK kamar tidur. Dosen itu selalu melihat usia seorang wanita pada punggung tangannya.

"Bagaimana kalau wanita itu tak pernah bekerja?" tanya seorang mahasiswa, kepala sektor Kramat Tunggak.

"Saya kan tidak mempersoalkan kerja atau tidak! Istri saya punya koki, mesin cuci pakaian, dan dua orang jongos. Setiap hari dia cukup duduk mematung seperti Lincoln atau mengikir kesepuluh kukunya, tapi usianya melanjut juga. Bahkan makin banyak dipoles krem, makin laju inflasi alam itu. Sebab kulit bereaksi dengan segala macam bahan kimia yang secara rahasia diselundupkan ke dalam alat-alat pemercantik diri itu. Kebanyakan wanita pada saat tidur, sudah hampir tidak dapat dikenali lagi, kecuali dari suaranya. Wajahnya sudah mirip kue taait yang dipoles tebal dengan krem mentega, sedang rambutnya penuh ulat-ulat besi yang bertugas menggulung poninya. Wah, kalau mau berdekapan, mesti pasang strategi, supaya kawat besi itu jangan menusuk mata...."

Dosen yang satu itu memang pengkhianat. Rahasia rumah tangga dibeberkannya di atas mimbar kuliah. Sangkanya, tengah jual obat di pinggiran Kramat Raya?

Ibunya sudah selesai merapikan ranjang. Aduh, seprainya tegang seperti selai nenas yang terlalu lama di atas api. Tempo hari dia berlagak bisa dan mengambil alih kayu centong dari langan Ibu.

"Ujian masuk kedokteran lulus, masakan tak dapat membuat selai?" katanya penuh aksi. Ibu tersenyum mengundurkan diri.

Loti terus-menerus mengacau dan mengacau. Adonannya tidak juga mau mengental. Sampai mendidih. Sampai warnanya bagus kecoklatan. Dia memang senang warna-warna yang menjurus ke arah hangus. Minah lewat dan melongok ke dalam panci, seperti cecunguk yang selalu ingin tahu.

"Wah, Allah! Neng, sudah, sudah. Apa mau bikin lempok?"

"Ah, tutup mulutmu," katanya dalam hati, sambil mengangkat panci.

Adonan selai yang mendidih itu bepercikan, kena juga tangannya.. Wah, wah, wah, panasnyaaaa! Huh, huh, huh, ditiup-tiupnya setelah menyeka percikan itu pada celemeknya.

Celemek kurang ajar. Gara-gara mau mencoba hadiah dari Tante Buyung inilah dia terpaksa mengaduk selai, lalu melepuh sepotong jarinya kena percikan. Sepuluh hari lamanya kelingkjng kanannya terpaksa absen main piano.

Akan halnya selai itu! Astaga, ampuuun! Setelah dingin kok jadi tegang membatu. Tidak bisa dikeluarkan dari panci! Untung Ibu manisnya bukan main seperti gula batu dan tidak marah. Panci direndam sehari semalam. Minah tergopoh-gopoh pergi lagi ke pasar membeli nenas, supaya besoknya jangan ada yang bertanya waktu sarapan,

"Kenapa nasi goreng? Mana selai nenasku?"

"Tidak mau mandi?" tanya ibunya sambil mengangkat piring dan gelas dari karpet.

Loti berdiri. Sebentar dia tegak di depan ibunya. Bibirnya sudah merekah, tapi keberaniannya menciut lagi, seperti lintah yang mulai bergerak namun memutuskan untuk tidur kembali.

Dia berjalan lesu membawa gundahnya ke bawah pancuran dingin. Jadi Ibu sudah tahu, bahwa dia tidak sakit. Ibu takkan mengadukannya pada"nya", tapi pasti dia ingin tahu kenapa hari itu dia tidak kuliah. Alasannya? Cekcok dengan Otto? Perlu merampungkan diktat Anorganik yang akan distensil? Atau malas saja tanpa ala

san? Mana yang paling masuk akal seorang ibu yang demikian penuh pengertian seperti ibunya?

Ah, yang mana saja. Soalnya, yang penting, mana yang masuk akal"nya". Jangan sampai dia kena sindir, bahwa orang membiayai kuliahnya bukan untuk santai di rumah memandangi langit yang birunya aduhai.

Setelah mandi, dirasanya lebih segar. Semangatnya juga menggemuk lagi dan keinginannya untuk mengungsi ke rumah Kakek lenyap. Apalagi bila terbayang olehnya WC jongkok itu dengan lubangnya yang selalu hitam menganga, tempat para kawula raja kacoa bermukim.

Dia pergi ke dapur, masih dengan muka basah. Loti pantang mengeringkan wajah. Selalu dibiarkan menguap sendiri, seperti yang dianjurkan oleh ratu Hollywood, juara kawin setengah lusin kali.

Minah sudah ke pasar. Daniah tengah mengintip dari kaca mesin cuci, kalau-kalau semua pakaian sudah matang. Sudah berkali-kali dia diberi tahu, mesinnya pandai, dan akan berhenti sendiri kalau cucian sudah bersih. Tapi Daniah tidak bisa percaya sebuah mesin bisu. Dia merasa harus mengamatinya dan menjaganya, supaya jangan kelamaan, nanti semua jadi bule.

"Eh, Niah," tegur Loti, sengaja tiba-tiba, sebab pagi itu ingin sekali dia mendengar perempuan itu melatah.

Sudah tentu dia akan dimarahi Ibu kalau ketahuan, karena itu Niah tidak boleh terlalu lama latah.

"Cukup, cukup," katanya seakan itu pesanan.

"Kalau Tina datang, beritahu aku, ya."

"Iya, ya, Neng."

Dan sebelum latahnya kambuh lagi, Loti cepat menghilang ke loteng untuk berdandan. Di tangga dia berjumpa dengan ibunya yang membawa turun piring dan gelasnya tadi, serta sarung-sarung bantal yang kotor. Loti cepat menyimpan kembali senyumnya yang ditimbulkan oleh Daniah tadi, supaya ibunya tidak curiga.

Selesai dandan, dia turun kembali mengenakan celana jeans dan blus karo berlengan panjang. Dikeluarkannya Honda-bebeknya dari garasi, lalu dibersihkannya dan diperiksa mesinnya. Kemudian dipasangnya standarnya dan disiapkan di depan pintu muka.

"Mau ke mana kau?" tanya ibunya sambil melepas vitrase pintu.

"Ada perlu. Urusan diktat," dustanya.

Alangkah mudahnya berdusta. Bukankah Ibu sendiri yang memberi contoh? Sembilan belas

tahun lamanya dia sudah didustai oleh semua orang dewasa. Mengapa dia tidak boleh membalas? Atau, bila membalas tidak boleh, meniru diperkenankan, bukan? Setiap kanak-kanak diharapkan begitu. Meniru orang dewasa! Meniru orangtua sendiri, apalagi, sangat dianjurkan.

Lalu dia kembali ke kamarnya dan menunggu Tina.

Anak itu datang lebih cepat dari dugaannya. Pukul setengah sembilan dilihatnya dia melenggang masuk ke samping, ke arah dapur. Cepat dia turun ke bawah. Anak itu baru saja menggenggam roti selainya, sedang kantung plastik tipis yang berkuping dua terikat keras, menggeletak dekat kakinya di lantai.

Rupanya Daniah baru saja mau mengabarinya. Dihentikannya langkahnya ketika mendengar suara Loti menyapa Tina. Dan anak itu menyahut dengan mulut penuh. Loti mengambil teh hangat yang diberinya gula dan diletakkannya di atas meja dapur, tempat ibunya meracik sayuran. Tina duduk di bangku dan Loti menanti.

Ketika Daniah tengah sibuk mengeluarkan cucian dari mesin, Loti memberitahukan maksudnya untuk mengunjungi rumah Tina. Anak itu mengangguk tanpa bantahan. Terlalu nikmat rupanya roti itu. Dan terlalu lapar perutnya. Kasihan!

"Maukah kau membawa pulang roti untuk adik-adikmu?" tanya Loti didera haru.

Tina kembali mengangguk.

"Berapa adikmu?"

"Tujuh," sahutnya dengan mulut setengah penuh, ditelannya dulu isinya, lalu sambungnya,

"tapi yang paling kecil belum makan roti. Masih nenen."

"Umur berapa?"

"Dua bulan."

Hm. Loti bangkit. Dan tahun depan muncul satu lagi? Mau diberi makan angin?

Diambilnya kaleng roti, dibawanya ke meja dapur. Diangkatnya juga margarin dan selai dari lemari dingin ke sana. Lalu diambilnya dua buah pisau roti. Yang sebuah diberikannya pada Tina dan diajarnya bagaimana menyemir roti. Anak itu cepat-cepat menghabiskan makanannya, lalu dengan mata berbinar diikutinya contoh Loti. Rupanya dia belum pernah menyemir roti. Barangkali sesekali dibelikan roti manis, satu dibelah empat. Tapi bukan roti tawar yang mesti dipoles.

Loti menatapnya tersenyum. Tampaknya dia masih dapat melahap sepasang lagi.

"Ambillah ini, kalau masih mau."

Dan tawaran itu tak perlu diulang lagi. Tina segera meletakkan pisaunya dan melahap lagi

roti yang kedua. Alangkah penuh ham hati gadis itu, sekaligus geram pada keadaan, pada semua. Bila orangtua cuma tahu dan mengerti semacam rekreasi saja, tidaklah kita perlu heran bahwa mereka terus-menerus mengenakan topi tukang sulap dan mengeluarkan kelinci-kelinci rakus dari dalamnya.

Jumlah potongan mti tidak cukup untuk enam mulut. Cuma ada delapan potong, sebab yang dua potong lagi sudah masuk pula ke perut Tina. Tapi, tidak mengapa. Anak-anak tidak banyak makannya. Sepasang untuk berdua, pasti cukup.

Tina makan cepat sekali. Digeseknya telapak tangannya untuk membersihkannya dari remahremah, lalu diambilnya kembali pisau dan mulai lagi memoles roti. Rupanya itu kegiatan yang amat disukainya. Dan tangannya bersih. Dia langsung ke situ dari rumah. Ember merah yang diletakkannya di muka dapur masih kosong.

"Marahkah ibumu bila kau langsung pulang lagi dari sini?" tanya Loti.

Tina menggeleng. Anak itu miskin sekali celotehnya. Barangkali hari-harinya penuh diisi kesibukan melulu, tanpa jeda untuk main.

"Kau masih harus keliling mengisi embermu?"

"Nanti saja," sahutnya pelan.

Agaknya dia terlalu bernafsu untuk mengan

tarkan tumpukan roti berselai tomat itu kepada adik-adiknya. Matanya yang jernih dan indah memancarkan kesederhanaan perasaan yang cuma mengenal hari ini. Esok, bagaimana nanti.

Tiba-tiba ibunya muncul. Sebelum timbul sebuah reaksi, Loti dengan sigap mendaratkan sedecah cium ke pipi ibunya, untuk membuatnya tersenyum saja sambil belajar membisu.

"Kau masih harus mengisi embemiu, Tina?" tanya Anita, yang memikirkan akan diletakkan di mana roti sebanyak itu.

Tina mengangguk.

"Aku akan mengantarnya pulang, Mam," kata Loti dan melihat sebuah protes akan lahir, Lekas disambungnya.

"sekalian mengurus stensilan diktat."

"Di mana? Bukankah semua kawanmu tengah kuliah?"

"Ah, Mam, jangan mau tahu rahasia anak muda dong. Kan ruang kuliah tidak pernah bisa pol seratus persen. Selalu mesti ada mahasiswa pintar yang boleh diam di rumah!"

"Jadi kau sudah pintar?"

Anita tertawa. Loti senang melihat ibunya tertawa seperti itu. Berarti hatinya penuh angin silir yang sejuk. Dan sebuah lelucon tidak berbahaya.

"Ya, dong. Pintar... bohong. Hihihhiiii."

Ibunya menyerah dan pergi ke taman mengumpulkan daun-daun kuning yang pantas direnggut.

Di samping rumah terdapat tempayan plastik berwarna hijau setinggi kira-kira delapan puluh sentimeter. Seorang laki-laki sekitar tiga puluhan berpakaian celana pendek hitam dan kaos oblong biru muda, tampak tengah melihat isi sebuah kantung plastik, mengguncangnya sedikit. Rupanya oke, lalu dituangnya ke dalam tempayan itu. Dua anak laki-laki tampak memperhatikannya dengan serius. Usia mereka mungkin lima-enam tahun atau lebih tua lagi. Kekurangan gizi membuat kulit mereka kelihatan lebih tua, sedang tinggi badan mereka kurang sesuai dengan usia.

Tina segera melompat turun dari boncengan dan mendadak jadi lincah.

"Hai!" serunya mengacungkan bungkusan roti tinggi-tinggi sementara ember merah dilemparnya saja ke mana dia berguling.

Anak itu berlari masuk ke rumah, meninggalkan Loti sendirian di luar pagar semak beluntas. Dengan tenang diparkirnya Honda lalu dikuncinya. Seorang perempuan berkain lusuh menjenguk dari jendela. Di dadanya bergantung nyaman

sebuah kepala kecil berambut hitam asyik menyusu. Loti menganggap itu sebagai undangan, seperti juga teriak Tina yang disambut dengan tempik-sorak oleh kedua bocah laki-laki itu yang segera berlari pula masuk ke dalam. Tapi dari dalam tidak terdengar suara apa pun. Mungkin tengah dibagikan jatah, pikir Loti tersenyum. Diputuskannya untuk meninjau isi tempayan dulu.

Laki-laki itu kelihatan sedikit malu didatangi Loti, tapi dia bekerja terus memeriksa isi kantung plastik maupun bungkusan daun, lalu menuangnya ke dalam tempayan.

"Sedang mengerjakan apa, Bang?" tegur Loti.

"Ini... untuk makanan babi," sahutnya tanpa mengangkat muka.

"Oooh."

Mengertilah Loti. Tina dan kedua adik laki-lakinya disuruh mengumpulkan sisa-sisa makanan untuk babi mereka.

"Punya berapa ekor, Bang?" tegur Loti.

"Apa? Babi? Saya mah engga punya. Ini mau dijual lagi. Diangkut ke Pecah Kulit."

"Oooh. Laku berapa?"

"Setempayan dua ratus lima puluh."

Loti melihat ada dua tempayan. Jadi sebulan dia memperoleh lima belas ribu rupiah. Untuk delapan anak?

"Tidak kerja lain, Bang?"

"Kalau subuh, saya mengangkut sampah dengan gerobak bersama kawan. Sebulan dapat lima belas ribu."

Jadi, sebulan tiga puluh ribu. Sehari seribu. Untuk sepuluh mulut.

"Dulu, pernah narik becak. Tapi sekarang engga sanggup lagi. Dapatnya juga engga lebih banyak. Dipotong setoran dan makan serta rokok, ya seribu juga sehari. Kalau kerja begini, saya masih bisa sambilan membetul-betulkan pagar atau genteng orang. Dulu pernah jadi tukang kayu dan kerja bangunan dua tahun."

Loti melongok ke dalam tempayan. Huuiii, mau muntah dia. Nasi, kepala ikan, sisa-sisa sayur... baunya... minta ampun.

"Itu kepala ikan, juga?"

Laki-laki itu menengok ke dalam tempayan, lalu memasukkan tangannya dan mengambil kepala ikan. Dilemparnya ke sudut halaman, di mana seekor kucing malas berwarna jingga kelabu tengah menanti dengan mata setengah terpicing. Nikmatnya melihat kucing kelaparan melahap kepala ikan yang digoreng garing itu.

"Kenapa tidak kerja di pabrik?"

Laki-laki itu tertawa santai. Tidak menjawab. Rupanya lebih enak begitu. Waktu dan kesantaiannya milik sendiri.

"Mana zaman sekarang tak ada pabrik yang aman untuk buruh-buruhnya, ya Bang?..."

"Bener, juga Neng."

"Abang ini kan bapaknya Tina, ya?"
Sonata Masa Lalu Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, bukan," dia mel engos malu.

"Anak-anak saya sih hideung-hideung. Tina pan kasep.

"Jadi?"

"Bapak tirilah," katanya mengangguk.

"Oh!"

Loti bingung. Jadi dia kawin dengan ibu Tina? Aah, ibu Tina kawin lagi. Suaminya yang dulu, mati atau lari.

"Oh, jadi anak-anak itu satu ibu, lain bapak,

ya?

"Bukan. Itu mah istri saya, bukan ibunya Tina."

"Lho!"

Loti pusing sekarang. Bukan bapak, bukan ibu. Anak angkat? Laki-laki itu mengambil sebatang tongkat lalu mengaduk isi tempayan. Loti menyingkir sepuluh senti, agar tidak terpandang olehnya adonan gaib yang kelak akan menjadi gurih bergelantungan di kios-kios daging di pasar.

"Bagaimana, Bang? Boleh dong dijelaskan sedikit, saya kurang paham."

"Begini, Neng," katanya spontan tanpa mengangkat wajahnya.

"Maknya Tina dulu istri saya

di kampung. Dia pergi ke sini mau cari kerja, katanya. Lewat setahun, dia saya susul. Eh, tahu-tahu sudah punya anak. Diserahkan begitu saja sama saya. Dia sendiri terus ngacir. Lewat setahun lagi, batu saya kawin dengan istri sekarang, maknya si Udin."

"Jadi dengan ibunya Tina, cerai?"

"Ah, engga. Pisah begitu saja."

"Tina itu sebenarnya anak siapa?"

"Tahulah. Ibunya engga pernah mau ngasih tahu. Tapi dia bilang, bapaknya Tina orang kaya."

"Dan Tina tidak tahu, bapaknya bukan Abang?"

"Engga. Saya juga engga pernah bikin perbedaan. Jelek-jelek, ibunya kan bekas istri saya dan boleh dibilang masih sepupu jauh."

"Ibunya masih hidup?"

Menarik sekali kisah ini, pikir Loti, seketika lupa sama sekali riwayatnya sendiri yang sumbang.

"Ya, masih, Neng."

"Di mana?"

"Ah, susah dibilang, Neng."

"Kenapa?"

Ibu si Udin datang menyapa dan mengundangnya masuk ke rumah. Bayinya sudah tidur rupanya. Kebayanya sudah dikancing kembali.

Apa boleh buat, Loti terpaksa mengikuti dan pertanyaannya masih mengambang di udara seperti layang-layang ketemu angin.

Rumah setengah permanen itu terbuat dari bilik dan tanah, tapi atapnya dari genteng. Di dalam sejuk. Tidak ada ruang dan perabot untuk menerima tamu. Rumah itu terdiri dari sebuah ruangan seluas enam kali delapan meter, bila Loti tidak salah berkalkulasi. Sebab dia payah sekali dalam matematik dan perspektif.

Di sudut kanan sebelah dalam terdapat balaibalai yang diberi tirai kain batik disambung dengan poplin putih yang sudah kekuningan. Itu pasti pelindung rahasia perkawinan, pikir Loti. Di sudut sebelah luar, di seberang "kamar" ayahibu, terdapat sebuah balai-balai yang besar. Untuk semua anak.

Bayi tampak terayun sentosa dalam goyangan kain batik yang digerakkan oleh salah seorang adik perempuan Tina. Malam hari mungkin dia tidur bersama orangtuanya.

Nah, Loti memandang berkeliling. Tidak tampak secuil pun tanda bahwa mereka baru saja kebagian ransum roti. Semua wajah tampak memandang tenang, penuh ingin tahu dan masih lapar.

Loti dipersilakan duduk di atas balai-balai besar, tempat anak-anak tidur, yang rupanya dipergunakan juga untuk makan. Dia duduk di tepi, tidak berani melanggar hak pribadi manusia-manusia kecil yang mengelilinginya seakan dia itu semut marabunta yang belum pernah mereka lihat. Ibu si Udin duduk dengan lutut terlipat ke atas, di tikar yang mengalasi tanah.

"Si Tina udah sering cerita... Neng kebeken deh di rumah ini. Cuma, rumah Bibi begini ini. Namanya engga punya, Neng. Mau minum?"

"Tidak usah, Bi. Saya belum lama sarapan. Anu, siapa namanya Abang itu?"

"Laki saya? Bang Jaya. Puguh, Neng, belon jaya-jaya."

Perempuan itu tertawa. Giginya putih dan rata dipangkur.

"Dan Bibi sendiri, siapa namanya?"

"Icah."

"Bi Icah."

Karena banyaknya antene yang menguping, Loti tidak berani mengajukan pertanyaan mengenai ibu kandung Tina. Dia sibuk mencari akal bagaimana mengusir kuping-kuping kecil itu.

"Apa di dekat sini ada yang jual bonbon, Tina?" tanya Loti.

Semua wajah serentak terjaga dan maju satu senti. Antene terpasang tegak. Betul Bang Jaya.

Anak-anaknya semua hitam, walau manis. Tina sendiri yang putih dan cantik.

"Ada, di warung," angguknya dari tempatnya berdiri di sudut kiri, bersama dua adiknya.

"Ajaklah semua adikmu ke warung," kata Loti,

"belilah bonbon."

Dia tidak tahu berapa harga bonbon sebutir. Diberikannya selembar lima ratusan.

"Seorang atu aja, ye," kata ibu mereka setengah berteriak sebelum laskar terakhir menghilang ke luar.

Sunyi kini. Hidup terasa berhenti di sini. Bagi Bang Jaya dan Bi Icah, inilah hidup. Tak ada waktu terbuang bagi mereka untuk merangkai mimpi-mimpi menjadi hari depan. Tak ada pikiran dalam benak mereka apa itu hari depan. Sebab hari depan mereka adalah sekarang. Hari ini adalah hari depan dan hari kemarin. Anakanak cuma merupakan kelumrahan hidup, bukan cita-cita memperbaiki yang telah ada. Bagi mereka, tak ada simpanan keinginan untuk mengajar anak-anak melukis fajar baru yang lebih bening, lebih segar, dan lebih sentosa. Mereka sudah belajar mengenal kepasrahan yang tenang dan menelan kerelaan yang hambar seperti helaan napas di malam gelap yang panas bernyamuk.

Bi Icah memandangi halaman, barangkali menanti ajakan Loti untuk bicara. Di dekat tempat air-tempayan kecil yang licin berkilat-terdapat sebuah kaleng kerupuk.

"Bibi jualan?"

"Iya. Gado-gado. Sekarang sih lagi prei. Nanti bulan depan mulai lagi."

"Saya dengar dari Bang Jaya, Tina itu bukan anak Bibi, ya?"

"Emang, bukan. Dia itu anak dari bekas istrinya."

"Lantas...di mana ibu Tina sekarang?"

"Ah, Neng, engga pantaslah kalau Neng dengar."

"Kenapa begitu?"

"Pendeknya, engga pantas buat Neng."

"Jangan takut, Bi. Saya kerja di rumah sakit," kata Loti bohong sedikit.

"Sudah sering saya lihat semua yang engga pantas. Saya ingin tahu di manakah ibunya? Mengapa tidak dibawanya anak itu? Dan tidak pernah ditengoknya?"

"Laki saya engga cerita?" tanya Bi lcah, curiga jangan-jangan suaminya menolak memberi tahu.

"Baru dia mau menyahut, Bibi tadi sudah muncul. Ya, kalau Bibi keberatan, saya takkan memaksa. Saya cuma ingin menolong Tina."

"Ah, Bibi sih engga ada keberatannya, Neng. Cuma, Tina lebih baik jangan tahu. Ibunya itu sudah jadi... brengseklah!"

"Oh!"

"Tinggalnya pun di Kramat Tunggak!"

"Oooh. Siapa namanya, Bi?"

"Dulu sih waktu di kampung, Kokom. Di sini mah, apa ya, kalau engga salah, Rosita. Coba tanya Abang, dia lebih ingat."

"Dan bapaknya?"

"Wah, itu sih Bibi engga tahu. Bang Jaya juga engga tahu."

"Kan kalau kita tahu, Tina dapat disekolahkan."

"Betuljuga. Anak itu rajin."

Perempuan itu sederhana dan jujur, pikir Loti. Geramnya yang dibawa dari rumah sudah sirna seperti embun dijilat matahari Iohor. Tina bukan dipaksa menjadi gembel, tapi keadaanlah yang memaksanya bersama kedua adiknya mengais memeriksa tong sampah orang. Keadaan pula yang menyebabkan perempuan itu dikaruniai tujuh anak. Dia tentu tak dapat berbuat lain. Alam harus selalu diturut dan disembah, dikagumi dan dipuasi. Di luar itu, perempuan jujur ini tidak tahu apa-apa. Bukan karena bodoh. Bukan karena tak peduli. Tapi di sini alam belum terjamah

oleh pemikiran, oleh rencana, oleh perhitungan. Dia masih bebas seperti harimau yang tak terkena larangan membatasi kelahiran.

Kejujurannya juga tidak mempersoalkan Tina sebagai penambah beban dalam kemiskinan mereka, tapi sebagai tenaga pembantu tambahan.

Jadi ibunya itu WTS. Bagaimana mesti dicarinya? Akan sendiriankah dia ke sana? Gilakah dia? Tidakkah terlalu berlebihan membantu sampai ke sana? Bukankah Tina itu cuma kebetulan belaka ditemukannya? Tanpa dia pun, anak itu akan hidup terus, nyaman terus, bukan?

Tapi sesuatu menggelitik di hati seperti gatal di telapak kaki yang tak dapat diusir dengan garukan seribu kali. Dia tahu, dia harus mencari di mana ayah Tina sebenarnya. Dia tahu, dia menolong bukan semata-mata demi anak itu sendiri. Tapi demi dirinya juga. Seakan ayahnya Sendirianlah yang harus ditemukannya. Ayah yang tidak bertanggungjawab. Betulkah? Tidak semberonokah mengambil kesimpulan terlalu dini? Bukankah pikirannya tadi pagi tentang orangtua Tina, tentang Bang Jaya, dan tentang Bi lcah tidak benar? Mereka bukan orang-orang kurang ajar yang main cinta seperti meneguk air, tapi mereka terbelenggu dalam lingkaran kemiskinan yang sudah merupakan warisan. Sudah


Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Jennings Si Iseng Karya Anthony

Cari Blog Ini