Sonata Masa Lalu Karya Marga T Bagian 3
dari kakek-nenek miskin, sehingga mereka tak lagi berusaha bangkit dan menguak lingkaran itu. Mereka seakan menganggap kemiskinan itulah hidup yang dipantaskan oleh Yang Maha Kuasa untuk mereka. Kekayaan, dipantaskan untuk orang lain. Kakek mereka hidup juga, beranak juga, walau miskin. Dan pada akhirnya, mungkin begitu pikir mereka, toh semua harus mati. Tak peduli sekaya apa. Jadi apa gunanya kaya. Cuma pembeli sedan dan rumah bagus. Sedang kedua benda itu mereka memang tidak mau. Lingkaran itu stop di sana. Tanpa perlu sedan dan rumah gedung, apakah lagi yang perlu? Kan cuma nasi, lauk-pauk, dan pakaian? Dan bila itu semua sudah didapat, apa lagi selain membunuh pelita, naik ke tempat tidur, dan main cinta?
Anak-anak kembali dengan segenggam bonbon. Tina mengembalikan uang logam empat ratus. Loti memberinya seratus dan pada keenam adiknya masing-masing lima puluh.
"Kau belum membawa apa-apa hari ini, Tina," ujar Bi Icah menunjuk ember merah di halaman yang berguling kosong.
"Tidak usah," jawab Bang Jaya yang muncul di pintu.
Lengannya masih basah terbasuh air. Dihampirinya kendi dan dituangnya segelas air putih
yang habis sekali teguk. Seperti gelas-gelas di rumahnya, gelas di situ seragam dan bercap merek sabun.
Udara mulai panas. Loti merasa sudah cukup lama mengganggu. Di pojok, di tanah menggeletak beberapa ikat daun ubi kayu, dan di atas piring kaleng tergeletak beberapa kerat ikan asin serta lombok. Mungkin dia menghalangi kegiatan nyonya rumah.
Dia bangkit dan permisi. Mula-mula terpikir olehnya ingin meninggalkan uang, tapi ketika dilihatnya air muka Bang Jaya, dibatalkannya. Dia khawatir laki-laki itu akan tersinggung. Otot-ototnya yang besar dan tubuhnya yang sehat sekarang sudah ditanggalkannya kaos oblongnya-seakan menolak setiap rasa kasihan sebagai tamparan yang menghina. Dia memutuskan lebih baik menolong dengan pemberian makanan melalui Tina. Yang penting, laki-laki yang bertanggungjawab atas Tina harus ditemukan.
Ketika dinyalakannya motor, anak-anak tetangga ikut pula berkumpul menyaksikan. Sedang ibu-ibu mereka cukup mengintip dan memperhatikan dari jauh. Rupanya tamu seperti dia tidak datang tiap hari ke situ.
***
DOKTER RASID pulang membawa senyum puas di wajahnya. Anita tergopoh membukakan pintu, melihat senyum itu, namun tidak berani bertanya soal alasan. Hatinya saja diam-diam mekar berseri. Pasti sesuatu yang menyenangkan telah terjadi. Siapa tahu itu menyangkut Loti.
Dan dia benar. Seorang sejawat Dokter Rasid telah memuji gadis itu. Rajin, berbakat, penuh perhatian, sayang tidak suka nonton sepak bola. Dan Rasid ketawa! terus ketawa, makin lebar dan makin lebar.
"Saya juga tidak suka bola," cetusnya.
"O, pantas" kata sejawat itu mengangguk.
Sinting orang itu! pikir Dokter Rasid geli. Jelas dia menghendaki Loti. Tapi bukan sembarang orang yang akan memetiknya. Anak itu merupakan investasi yang mahabesar. Seorang menantu yang sedang-sedang saja kepandaiannya tentu akan merusak seluruh pola dasar monumennya. Tidak usah kaya, cukup asal berbakat dalam riset. atau menunjukkan minat ke situ.
Sejawat muda ini tampaknya sudah cukup puas dengan pakaian putihnya yang menyapu udara di sepanjang gang rumah sakit dan fakultas. Dia tidak kelihatan ingin meroket ke bulan, mencoba membawa kuman Syphilis ke sana, kalau-kalau bisa hidup. Tidak. Tidak bisa, sejawat itu. Bagus bahwa Loti menolak nonton bola.
Tapi pujiannya mengenai anak gadis itu dapat diterimanya. Malah dikumpulkannya. Dalam pikirannya, sudah tersedia sebuah map besar, ke mana selalu dimasukkannya cuplikan-cuplikan pujian yang didengarnya dari sejawat-sejawat kanan-kiri tentang anaknya.
Loti memang berbakat dan tekun. Barangkali kelak, bila dia sudah lulus, dan ayahnya moga-moga saja sudah menjadi dekan, dapat diusahakannya agar anak itu bisa ikut tim riset di salah satu rumah sakit di luar negeri. Riset apa saja. Untung-untung yang boleh memakai namanya. Charloti Rasid. Tentunya untuk mudahnya disebut Sindrom Rasid saja.
Dokter Rasid duduk di kursi kebesarannya. menunggu Anita mengambilkan sandal dengan tergopoh. Sandal dijajar teratur di depan kakinya. Santai dibukanya sepatu. Mula-mula kaki kanan naik ke lutut kiri. Talinya dibuka, dilonggarkan. Sepatu dilepas. Kaos yang sudah harum kena
keringat juga dilepas. Berganti kaki kiri naik ke lutut kanan. Berulang kembali acara yang sama. Lalu kedua kaki masuk ke dalam sandal kulit berwarna coklat. Bukan sandal jepit, tentu saja. Dia kan bukan rakyat jelata. Sebentar lagi dunia akan kaget mendengar Sindrom Rasid yang datangnya dari pelosok bumi yang paling santai. Bila dia tidak berhasil menemukan sindrom semacam itu, maka Loti harus berhasil. Tidak percuma orangtua membesarkan dan menyekolahkan anak. Tentu ingin pahala. Anak harus mengangkat nama orangtua yang tidak mampu diangkatnya sendiri. Dokter Rasid sejak dulu, sejak masih bujangan, sudah tidak setuju dengan sejawat-sejawat Barat, khususnya para ahli jiwanya, yang mengimbau agar orangtua mempunyai anak dengan maksud membahagiakan anak itu. Omong-kosong! Sudah tentu setiap orang punya anak karena ingin hari tuanya terjamin, mega-moga sih anaknya berpangkat dan temama. Kalau tidak pun, paling sedikit dapat memberinya makan di hari tua. Bah, bila orangtua sudah mahakaya sehingga tidak perlu menunggu suapan dari anak, tentunya dia ingin imbalan jenis lain. Misalnya, mengharumkan namanya. Untuk itu, anak pandir tak berguna. Hm, dulu dia waswas terhadap Loti. Tapi sejak di SMP, anak itu jelas menonjol kecerdasannya. Kalau diukur,
paling sedikit di atas rata-rata, mungkin juga sudah masuk kategori luar biasa.
Bila para ayah di Barat sana khusus cuma ingin menunjukkan cinta mereka pada sang anak, tanpa menuntut balas jasa, itu jelas hak asasi mereka. Tapi dia, dia ingin beranak bukan untuk membongkar simpanan cinta dalam hatinya, bukan. Dia ingin membanggakan diri pada si anak, sekaligus meminta agar anak itu juga membuatnya bangga. Menaikkan derajatnya. Seperti misalnya ketika Loti lulus ujian masuk kedokteran. Bukan main itu. Perempuan lagi. Sebuah bintang kecil sudah disematkannya dalam map koleksi di otaknya. Loti harus menjadi monumen keluarga Rasid.
Anita yang tadi sudah menghilang kini muncul kembali dengan nampan hijau, teko teh serta cangkir-cangkirnya, yang semuanya buatan Jepang. Anita juga membawa api lilin untuk menghangatkannya. Dalam stoples tersusun rapi berdiri berbelas kue semprong.
Hm, memang licik Jepang itu. Sudah kalah menjajah secara politis, mereka kini ternyata berhasil menjajah secara ekonomis-konsumeris. Di seluruh Asia Raya mereka kini merajalela. Bahkan bagian bumi sebelah utara tak pula dapat mempertahankan diri.
Bila komputer diajak berhitung, sebenarnya bangsa itu tak pernah kalah, walau ratusan ribu rakyatnya binasa diterkam jamur Hiroshima. Sebab, bukankah tujuan menguasai Asia Raya itu guna mencari bahan mentah dan pasar untuk melempar barang-barang mereka? Nah, apa kini bukan begitu itu yang mereka peroleh? Secara halus, penuh senyum dan uang pelicin bagi Bapak Terhormat yang punya tanda tangan?
Kalau Dokter Rasid sudah memikirkan kehebatan bangsa National-Sanyo-Toyota-Mitsubishi ini, rasa penasarannya sudah tak dapat diukur dengan Geiger Counter biasa, sebab radiasinya sudah melampaui apa yang dipancarkan pada pagi enam Agustus empat-lima, oleh uranium-235, hadiah dari Paman Truman untuk Hiroshima tercinta.
Coba, yang menemukan basil disentri kenapa mesti Tuan Shiga, bukan Tuan Atmodirjo? Waktu Tuan Shiga mengorbit tahun 1898 itu, bersama Herr Kruse, apa Tuan Atmodiijo masih jadi wedana yang terima uang Belanda? Atau malah tidur nyenyak walau tak punya jabatan apa-apa? Betapa ketinggalannya kita, keluh Dokter Rasid. Penyakit pembuluh darah saja, sudah keburu dinamakan penyakit Takayasu, sebelum sempat direbut oleh Rasid ayah atau anak! Sekarang semua penyakit sudah punya nama. Penyakit apa
lagi yang masih dapat diperolehnya? Bahkan penyakit gajah bengkak direbut juga oleh tuan Belanda yang keisengan.
Barangkali Loti dan suaminya nanti-yang tentu saja juga harus dokter mesti pergi ke Irian Barat. Di sana pasti masih ada penyakit yang belum dikenal orang. Penyakit kuru, misalnya, belum ada namanya.
Meja dan kursi kebun di beranda samping sudah siap menantinya. Suara Anita yang lembut memanggilnya. Dengan otak berat penuh kalkulasi bagaimana menjebol supremasi anak-anak Dewi Amaterasu, dia bangkit dan berjalan pincang ke serambi.
"Sudah kaulihat bibit yang kutabur kemarin?" tanyanya sambil menarik kursi ke belakang sedikit dan menjatuhkan diri ke situ.
"Masih ada. Sudah aku timbuni tanah lagi," sahut Anita sambil mulai dengan upacara membuka cangkir, menuang teh, dan menanyakan gula.
"Tidak adakah cangkir-cangkir buatan Hong Kong atau Klender?" tanyanya keki.
"Eh, kenapa kau sore ini?"
"Pesanan Toyota-Crown batal! Mereka minta persekot dulu. Tidak percaya rupanya pada bangsa miskin. Lebih baik aku cari BMW sekalian."
"Ah, sudahlah. Pakai saja yang lama."
"Tidak pantas untukku bila tiap bulan harus masuk bengkel. Sedangkan manusia yang lebih rapuh cuma perlu cek-up setahun sekali. Apalagi mobil para mahasiswaku sudah begitu mentereng sekarang ini. Masakan kita mesti kalah? Sudah kalah dari Jepang, harus pula kalah dari mahasiswa?"
Anita membuka stoples dan menyorongkannya pada suaminya. Ngamuk begini sebenarnya jarang terjadi pada Dokter Rasid. Biasanya dia sunyi menyepi dalam kamar belajarnya bila sedang keki. Rupanya tadi ada mahasiswa yang unjuk gigi dengan mobilnya. Lalu, kenapa tadi dia pulang membawa senyum?
Sebenarnya tak ada mahasiswa yang pamer kekuatan. Mobil berjejer itu sudah pemandangan biasa. Malah makin keren mobilnya, dapat pula diketahui makin ingusan mahasiswanya alias baru masuk. Makin buruk dan tua, makin besar kemungkinannya itu milik dosen atau profesor.
Dokter Rasid sebenarnya tengah dirongrong oleh frustrasinya, tidak juga bisa mengorbit dalam riset walau sudah setua itu. Sudahlah, bangsa kulit putih mungkin memang tidak bisa ditandingi. Sebab mereka memang sudah lama maju. Tetapi Jepang kan sama-sama bangsa Asia, kalah perang lagi! Sedang kita kan menang perang! Kenapa begitu jauh ketinggalan?
"Kenapa kita masih tetap menjadi budak mereka?" tanyanya mendelik pada Anita, seakan dia seorang geisha yang menjadi tempolong kesusahan langganan.
"Coba, dari kamfer kakus sampai penanak nasi listrik, sampai mainan anak, sampai mobil, sampai seribu satu perabot rumah tangga, semuanya buatan Jepang. Lihat saja nampanmu dan alat-alat minum di atasnya! Mereka itu sudah menjadi bandit-bandit yang memeras uang kita secara halus. Dan... sudah merampok begitu banyak, mereka masih tidak percaya kejujuran kita. Aku diminta bayar persekot? Aku akan beli kontan, nanti. Tapi merek lain!"
Anita mengangguk diam. Dokter Rasid sedikit tenang sekarang. Sudahlah, dia tidak mampu menemukan penyakit apa pun. Tapi bagaimana dengan sejawat-sejawat muda yang begitu banyak? Masakan mereka lebih melempem dari keripik tempe? Sudah puas dengan gelar kebanggaan dan baju putih berkibaran?!
"Di mana Loti?" tanyanya, tiba-tiba ingat siapa yang haius mengorbit dalam keluarganya.
"Di kamarnya," jawab Anita hati-hati, jangan sampai salah.
"Masih sakit kepala?"
Tidak biasanya Darwus menaruh perhatian pada penyakit tetek-bengek seperti itu. Kalau belum tifus atau kolera, selama itu masih dapat ditangani oleh nyonya rumah biasa, tak ada waktu dia untuk mengurusnya.
"Sudah baikan," sahut Anita, lalu disambungnya cepat, tapi hati-hati,
"barangkali masih lemas seharian tidur, belum bisa turun kemari."
"Ehm. Kalau tidak apa-apa, besok biarkan kuliah. Tiduran memang bikin badan makin lemas. Di kedokteran tidak ada malas-malasan. Sehari tidak kuliah, berarti sehari ketinggalan."
"Besok dia pasti kuliah," kata Anita mengangguk.
Senang hati Darwus dan diambilnya kue semprong, tiga sekaligus. Apa, makan angin begini kok, satu-satu, segigit-segigit! Sekaligus tiga, gigit menjadi dua, itu baru nikmat dan gurihnya terasa.
Di dalam kamarnya, Loti tengah duduk di depan meja dengan diktat Anatomi berhamburan di sekitarnya. Tapi pikirannya tidak terpusat di situ. Wajah Tina dan nama Rosita mengganggunya. Bagaimana akan dikunjunginya perempuan itu di sana? Di mana letak Kramat Tunggak pun dia
tidak tahu. Loti tepekur. Sebenarnya, untuk apa diurusnya Tina?! Bukankah urusannya sendiri cukup memusingkan kepalanya?! Bukankah dia sendiri belum tahu siapa ayahnya, lalu untuk apa dia sekarang lancang mencampuri urusan orang lain?!
Ayahnya! Siapakah dia?! Di manakah dia?! Apakah Ibu akan mengatakannya bila ditanyakannya?! Tidak, dia mungkin takkan berterus terang! Tapi dia harus! Ibu harus berterus terang! Ah, asal saja dia tahu bagaimana caranya menyinggung masalah yang peka itu!
Besok dia harus kuliah lagi. Bukan begini caranya bila ingin tahu siapa dan di mana Ayah. Dia tidak dapat melamun berhan-hari di rumah. Di samping itu, dia ingin tahu di mana ibu Tina. Siapa ayah anak itu! Di manakah letak tempat yang disebut Kramat Tunggak? Dengan siapa dia akan ke sana? Ya, dia tahu, ada beberapa mahasiswa yang gemar bicara porno, tapi belum tentu mereka kenal prakteknya.
Sementara pikirannya diseret lamunan, senja pun berlalu diseret ke barat. Ibunya naik ke loteng menyuruhnya turun makan.
"Papa sudah menunggu, Sayang," kata Anita.
Huh! Papa?! Kenapa Mama membodohi aku terus?! Papa, katanya! Loti merasa sengit dalam
hati. Hampir saja dilontarkannya pertanyaannya. Untung perutnya yang sudah lapar berhasil menyabarkannya. Dia harus mencari saat yang baik.
"Bila kau naik dengan angka-angka bagus, kau boleh pergi tur ke Eropa bersama Otto," kata Darwus di tengah makan.
Loti diam saja tanpa komentar. Bila itu didengarnya sebulan yang lalu, wah, betapa senangnya. Tapi kini! Dia sudah tahu, laki-laki itu tidak sayang padanya. Sudah tahu juga sebabnya. Jadi sia-sia saja melempar umpan untuk memikat hatinya. Dia sudah yakin, pasti ada maksudnya.
"Kau kelihatan tidak antusias," sambung Dokter Rasid.
"Sebab aku pasti takkan mendapat angka-angka paling bagus," sahutnya lesu.
"Malah mungkin juga aku mesti her."
"Hm," Dokter Rasid terpekur. Tentu saja sulit juga kalau mesti her. Anaknya tidak boleh dibiarkan her.
"Ah, tidak boleh pesimis," kata Anita menimbrung, khawatir kalau-kalau suaminya kehilangan nafsu makan dan menjadi uring-uringan.
"Ya," kata Darwus menimpali.
"Kau tidak boleh pesimis. Anak muda zaman sekarang terlalu cepat putus asa. Terlalu cepat bilang selamat tinggal. Padahal orang-orang dulu yang hidupnya
lebih sukar masih berhasil mempertahankan diri. Malah membuat riset segala!"
Ketika Loti masih diam saja, Dokter Rasid menyambung.
"Nah, apakah kau tidak tertarik pada riset?"
"Riset apa?"
"Apa saja. Untuk riset, tak ada batas "apa'. Semua dapat diriset. Tidak pernahkah terpikir olehmu untuk menemukan sebuah penyakit baru? Atau kuman baru? Atau sindrom baru?"
"Penyakit apa yang belum ditemukan? Dan kuman apa yang belum dikenal?"
"Ah, ada begitu banyak! Kita ambil contoh virus influenza. Kenapa dia mengadakan pandemi? Kita tahu keganasannya berubah-ubah karena terjadinya perubahan susunan kimia dan proteinnya. Kenapa terjadi perubahan? Lalu contoh lain, kenapa basil lepra belum dapat dibiak? Contoh lain lagi, kenapa banyak orang menderita kencing manis? Dan kenapa penyakit itu menurun? Nah, bila kita dapat memberikan jawab atas pertanyaan-pertanyaan serupa itu, bukankah kita akan menaikkan nama bangsa? Tidak sadarkah engkau, bahwa sudah waktunya bagi kita untuk ikut memberi bagian dalam perkembangan kemanusiaan di bumi ini?"
"Jangan ber-hm saja! Aku tahu, ada orang beranggapan bahwa bangsa kulit putih tidak mau dunia ketiga berkembang setarafdengan mereka, sebab negara-negara kelas satu itu memerlukan kehadiran negara-negara yang belum berkembang untuk melempar hasil produksi mereka. Tetapi ada sebuah negara Asia yang tidak mau diperlakukan serupa itu. Dia bangkit menentang supremasi kulit putih. Dia bahkan berhasil mengejek negara'negara besar itu yang terpaksa mengepalkan tinju-karena marah-sambil menelan liur karena iri melihat dominasi bangsa kecil yang dulu selalu diremehkan!"
"Maksudmu, Jepang?" tanya Anita tersenyum mengingat kejengkelan suaminya tadi sore.
"Nah, kau tahu, kok?! Kita tidak boleh membiarkan orang lain memberi terus. Menerima melulu, pada suatu saat hal itu tidak lagi merupakan sedekah, tapi penghinaan. Cobalah kita berikan sumbangan kita dalam ilmu pengetahuan. Banyak sekali penyakit tropis yang belum jelas benar bagi kita. Dulu kaum penjajah yang menyelidikinya. Kini, setelah mereka tidak lagi menjajah, tidak lagi tinggal di tropis, mereka tidak mempunyai kepentingan lagi untuk riset mati-matian. Tergantung kita sekarang!"
Dan Dokter Rasid menatap gadis di depannya seakan bertanya,
"Apa kau mau?" ,,
"Lulus pun belum," gumamnya seolah mengerti.
"Gampang," kata Darwus.
"Yang penting, setelah lulus, kau harus pergi ke pulau-pulau terpencil, mencoba menemukan penyakit yang belum pernah didengar orang! Apakah Otto senang riset?"
"Dia senang golf!"
"Ah, tidak soal. Di mana saja ada padang rumput, kita dapat main golf. Bersama kerbau-kerbau pun jadilah."
Dicambuk oleh penghinaan harus bayar persekot Toyota, malam itu Dokter Rasid kumat penyakitnya yang disebut Tuan Beuler atau tuan lain: megalomania. Dia rindu akan kebesaran. Dan pada bahu Loti semua itu ditumpahkannya. Untung gadis itu sibuk memikirkan di mana dan siapa ayah kandungnya, jadi dibiarkannya saja omongan Darwus lalu-lalang dari telinga kiri ke telinga kanan, bolak-balik. Dia sendiri sibuk memikirkan kapan akan muncul saat yang baik untuk menggedor pintu kenangan ibunya. Kenangan yang membuahkan anak sebesar dia takkan mungkin pudar dimakan waktu. Kenangan itu pasti makin membengkak dari hari ke hari.
Kapankah saat yang baik itu?! Dia belum menaruh minat untuk menyamai bangsa kulit putih. Itu masih dapat menunggu sampai dia sudah
menemukan asal-usul hidupnya. Bila yang baik itu sudah tiba...
Namun kira-kira seminggu kemudian, ketika saat itu tiba, dia terempas nyeri dan ngilu, berguling-guling ke dalam jurang gelap yang penuh duri. Ibunya mula-mula tidak mau menjawab.
"Ayahmu adalah Dokter Darwus Rasid, Titi," katanya penuh bujukan.
Loti memejamkan mata menahan gejolak perasaan yang menjerit menyebut ibunya bohong. Ketika ditatapnya kembali ibunya sesaat kemudian, perasaannya sudah tenang sedikit.
"Mama, belum cukupkah aku dibohongi? Sembilan belas tahun lamanya! Tidak bolehkah seorang anak tahu siapa ayahnya? Haruskah aku seumur hidup meraba-raba mencarinya? Mengapa dusta ini, Main?"
"Tidak ada dusta, Sayang."
"Main, aku tidak boleh tahu siapa ayahku. Dan Mama bilang.. Pa... pa... adalah ayahku, padahal bukan! Apakah itu bukan dusta?"
"Tapi dari mana kau tahu dia bukan ayahmu?"
"Jadi Mama mengakui sekarang, bahwa Pa... pa bukan Ayah???!"
Anita menjadi pucat seketika. Dia sadar, tidak mungkin lagi berdalih. Masa lalunya yang tersendat-sendat bagaikan sonata yang belum
siap, berputar kembali dalam ingatannya. Senandungnya pilu melilit kalbu. Anita menunduk kena tampar di sudut hatinya yang paling peka.
"Siapa, Mam? Di mana?"
Anita menjadi pucat, tapi Loti tidak melihatnya lagi, karena didera penasaran yang ingin menguak tabir hitam yang menutupi dirinya.
"Siapa, Mam? Katakanlah. Hidupku takkan tenang sebelum aku tahu namanya."
Anita menghela napas. Dia menggeleng pelan.
"Hidupmu akan makin tidak tenang setelah kau tahu!" ujarnya.
"Biarlah."
Didesak serupa itu, Anita menyerah. Dia sudah berusaha melindungi anaknya. Tapi Loti yang meningkat dewasa tidak dapat lagi dikekangnya.
"Namanya, Mam!" desak gadis itu seakan di ambang kematian.
Anita menghela napas berat. Betapa tidak, anaknya akan diseretnya ke tali gantungan.
"Andi," bisiknya hampir tak terdengar,
"Andi Lumirang. Alias Barnabi."
"Maksud Mama?" desah Loti, tidak segera mengerti maksud ibunya, namun ngeri mendengar suaranya.
Anita diam menatapnya. Oh, duka di matanya terlalu pekat. Loti menunduk lalu sekonyong-konyong dia mengerti. Bagaikan kilat munculnya ingatan itu.
"Maksud Mama?" ulangnya ngeri.
Anita mengangguk. Loti membelalak.
"Mama dusta!"
Anita diam menatapnya.
"Mama dusta!" ulangnya seperti anak kecil yang tak mau mengerti, lalu tersedu, jengkel, sebab ibunya tidak mau menghibur dan menghapus dusta itu.
Anita meraih dan memeluknya erat-erat. Sambil membelai kepala yang cantik itu, dia mengisahkan bait-bait sonatanya yang sumbang. Suaranya pelan, seolah cuma untuk didengar sendiri. Loti mengisak pelan penuh kengerian. Dia sadar kini. Sadar sesadar-sadarnya. Ibunya tidak berdusta. Oh, Tuhan, mengapa dia telah memaksa ibunya bicara?! Mengapa dibukanya tutup keranjang yang penuh misteri itu? Disangkanya semula isinya barangkali emas permata?! Tak tahunya, cuma ular berbisa!
Oh, hitam pekat warna hidupnya kini. Dan masa mendatang. Di mana tempat Otto sekarang? Di mana akan diletakkannya mukanya? Sudikah Otto duduk berimpitan dengan seorang
pembunuh kelas utama? Apalagi setelah ibunya mengadili...
"Oh, Mam! Bukankah ibu si Otto yang menjadi hakim ketuanya?" tanyanya ngeri.
"Ya," sahut Anita berbisik.
"Oh, Mam!" keluhnya penuh kepedihan.
Tamatlah sudah riwayatnya dengan Otto. Habislah harapannya yang manis-manis. Mimpinya yang indah sudah usai.
"Oh, Mam!"
"Jangan takut, Sayang," bisik ibunya membelai pelan kepalanya.
"Takkan ada yang tahu. Mereka takkan tahu!"
"Seandainya Ayah mengatakannya?"
"Dia takkan mengatakan apa-apa!" suara Anita tiba-tiba menjadi keras sementara pelukannya bertambah erat.
"Dia takkan mengatakan apaapa, Titi."
Loti terdiam penuh penyesalan. Mengapa tidak dibiarkannya hidupnya seperti apa adanya? Walau tidak mesra, bukankah Dokter Rasid selama ini selalu baik padanya? Seorang ayah memang tidak harus semesra ibu. Laki-laki terkadang kikuk bila harus menunjukkan isi hatinya. Ah, mengapa diinginkannya ayah yang jauh itu? Mengapa dipaksanya meneliti bayang
samar yang disembunyikan ibunya? Sekarang, bagaimana?!
"Kalau orang sampai tahu, aku akan bunuh diri!" Ibunya terkejut mendengar pikiran yang buntu itu.
"Aku akan mengunjunginya dan memintanya supaya jangan membawa-bawa engkau. Percayalah, Mama akan melindungi engkau, Sayang."
Betul saja. Beberapa hari kemudian di dalam koran-koran dimuat hasil pemeriksaan jiwa Andi Lumirang alias Barnabi. Dia mengatakan, bahwa hidupnya sangat menderita karena dia kehilangan istri dan anak perempuannya. Tapi siapa mereka itu, tidak mau dikatakannya. Sebuah sumber mengatakan, bahwa Andi telah menerima kunjungan seorang wanita cantik yang misterius yang telah memintanya supaya menutup mulut.
Karena dikhianati oleh wanita yang dicintainya, Andi menaruh dendam pada setiap wanita dan bencinya itu lambat-laun dikuasai oleh hasrat untuk menganiaya.
Persoalannya sekarang: bila Andi mau menyebutkan siapa dan di mana wanita itu berada, di mana anak perempuannya yang dirindukannya itu, maka hukumannya pasti akan
diperingan. Namun penjahat kaliber utama itu menolak buka mulut.
"Bila saya harus mati," katanya,
"biarlah saya buktikan dulu cinta saya pada mereka. Janganlah nista dan aib ini saya wariskan pada anak saya!"
Tapi Loti tidak terhibur membacanya. Walau dunia tidak tahu itu, itu tidak dapat menghapus kenyataan bahwa darahnya hitam. Bahwa ayahnya rusak. Bahwa Otto harus dilepasnya. Tidak sekarang, tapi barangkali nanti. Yang pasti ada, suatu ketika Otto pasti akan tahu. Tidak ada bangkai yang tidak berbau. Tidak ada asap yang dapat disekap sepanjang abad.
Dan aneh, meskipun dia ingin menolak ayah yang hitam itu, tapi hatinya merasa dia toh sebagian dari laki-laki itu. Darah hitam yang penuh utang itu mengalir pula dalam tubuhnya. Sekarang dia tidak begitu segan lagi memikirkan sebuah kunjungan ke Kramat Tunggak, menjumpai ibu Tina.
Aneh memang. Kenapa pikirannya berubah begitu? Kepalang, pikirnya sinis. Toh hidupnya sudah tidak mulus lagi seperti dulu. Otto sudah boleh dilupakannya.
Dia sudah menemukan ayahnya! Hm! Mengapa sekarang tidak dibantunya Tina agar menemukan ayahnya juga? Siapa tahu, ayahnya itu orang ternama?!
****
HARI itu kuliah riSiologi. LOti sengaja datang terlambat, tepat lima menit setelah dosen masuk.
Sambil berjalan melangkahi ambang pintu, matanya menjelajahi daerah belakang. Dari sudut kanan dilihatnya seseorang melambai. Dia tahu, itu Otto. Sengaja dia tidak menoleh ke sana. Matanya hinggap ke baris akhir.
Dihampirinya Frans. Itu lurah Kramat Tunggak. Dengan senang hati Frans memindahkan tumpukan bukunya dari kursi di sebelahnya dan Loti menjatuhkan diri di situ.
Frans memanjangkan lehernya ke depan. Apakah Otto tidak datang?! Bangsat itu biasanya selalu rajin. Nah, itu dia. Malah kursi di sebelahnya sudah disediakannya bagi Loti. Kenapa anak itu duduk dibelakang?!
Frans menoleh dan menyeringai, Loti tersenyum manis. Ah, barangkali mereka bertengkar. Biasa memang, kekasih-kekasih senang bertengkar. Makin cinta. makin senang bertengkar. Supaya dapat rujuk kembali dengan lebih
manis. Tapi moga-moga sekali ini mereka putus saja. Selamanya.
Frans memang sudah lama mengintai Loti. Tapi mobil Corolla saja rupanya tidak cukup lagi zaman sekarang. Gadis-gadis kita banyak tingkah, keluhnya pada teman-teman senasib. Sudah kita tawarkan mobil, tidak usah naik bccak, masih juga jual mahal! Termasuk Loti tentu saja. Entah apa yang dilihatnya pada Otto yang lembek dan lembut itu! Laki-laki bukan begitu ujudnya. Body memang boleh, tampang juga lumayan. Tapi jangan lembek seperti domba, ampun!
Teman-teman senasib Frans, yang lumayan jumlahnya, paling senang mengejek Otto. Di belakangnya tentu saja.
"Kalau kita cerita, kemarin dulu kita mengobrak-abrik sarang WTS, wah merah selebar wajahnya.' "Anak pingitan, tuh. Laki-laki kok begitu!" tukas yang berikut. 'Habis, Mami hakim, Papi alim, bagaimana anaknya mau jadi bajingan?" kata yang lain. Mereka mengikik. Otto beginilah, begitulah. Tapi sebab utamanya adalah iri. Otto dengan gampang telah menukik ke dalam hati Loti, incaran nomor wahid di kampus.
Karena itu dapat dibayangkan puasnya hati Frans pagi itu ketika tercium olehnya wangi
parfum halus di sebelahnya. Aih, orang sabar memang selalu dapat pahala, pikirnya penuh semangat.
"Kenapa tidak duduk di depan, Lot?" bisik
nya.
"Apa tidak boleh duduk di belakang?" Loti mengkik balik.
Wah, bukan main senangnya hati Frans. Serin gainya sudah melebar sehingga hampir terlihat oleh dosen yang untung sekali agak rabun.
"Tentu saja boleh. Setiap hari pun boleh."
Seseorang mendengar ucapan itu dan menyepaknya dari belakang. Untung cuma kena bokong.
"Jangan tengik, ah!" didengarnya bisik halus di telinga.
Tapi Frans mana peduli. Masa bodoh tengik atau tidak. Yang penting, impiannya dapat menjadi kenyataan!
"Kau ribut dengan Otto. ya? Tempo hari aku lihat dia bersama Dewi!" katanya berdusta, sekadar menuang minyak ke dalam api. Tujuan menghalalkan cara.
Loti tidak bereaksi. Matanya sendiri sudah hampir pegal dibuka lebar-lebar memperhatikan Otto dan Dewi. Tempat di sebelah kanan Otto memang kosong, tapi Dewi duduk di sebelah
kiri. Sudah beberapa kali dilihatnya Dewi miring-miring ke kanan, seolah menanyakan sesuatu dan Otto tampak menjawab dengan manis.
"Kau tidak mencatat?"
Loti tersentak oleh tanya yang tiba-tiba itu. Setan si Frans ini! Mau rasanya dia mendelik, namun teringat seketika bahwa dia perlu bantuannya. Jadi ditelannya rasa jengkelnya dan senyumnya dikembangkannya. Yang manis sekalian. Frans sampai megap-megap mendapat karunia seperti itu.
"Apakah kau ingin sesuatu dari aku?" pikirnya heran.
"Frans," bisik Loti seolah dapat membaca pikirannya,
"aku perlu bantuanmu. Boleh?"
"Siap!"
"Sst, jangan ribut!" bisik dari belakang, menghardiknya.
Pasti itu suara Lindung yang iri! Peduli apa ribut, selama dosen belum protes. Dan dosen mana berani protes! Apa sudah lupa ban mobilnya yang kena paku?! Ha... ha....
"Aku ingin mengunjungi seseorang. Mau kau antar?" bisiknya halus, dekat ke telinga.
Frans terperanjat. Wah, tidak salah lagi, dia sudah putus dengan Otto! Aduh, rezeki sebesar ini! Sampai gemetar tangannya menahan gejolak
degup jantungnya yang menari-nari di atas sebungkah harapan manis.
Sonata Masa Lalu Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja. Ke mana?"
Loti lebih mendekatkan bibirnya ke telinga Frans. Laki-laki itu melongo, seakan kurang percaya.
"Kau kan lurahnya!" bisik Loti tersenyum.
"Kau gila!" bisik Frans.
"Kenapa? Ada urusan yang harus aku bereskan!" bisik Loti mendesak.
Apakah dia mau cari perkara?! Apakah Otto diam-diam suka ke sana dan ketahuan?! Hiii... dia tidak mau tersangkut perkelahian antara Venus dan Apollo. Kalaujadi tukang tadah, itu lain.
"Kau mau bikin ribut apa di sana?"
"Siapa yang mau bikin ribut? Aku cuma ingin menemui seseorang," bisik Loti.
Dilihatnya Frans kurang percaya dan sudah mau menolak. Cepat dilontarkannya sepotong dusta.
"Pembantuku di rumah punya keluarga yang nyasar ke sana. Aku dimintanya memanggil pulang anak itu. Tapi tentu saja, aku takut sendirian ke..."
Loti mengerling dengan jenaka. Frans berdebar. Dan si Lembek itu tentu saja tidak berani juga, pikirnya bersukacita. ..
"Baiklah," angguknya.
"Kapan?"
"Habis kuliah!"
"Kau gi..."
Tapi Frans cepat menelan kembali kata-katanya. Peduli amat Loti gila atau tidak, pokoknya siip! Memang selama masih hidup, masih ada harapan.
Begitu dosen keluar Loti berdiri.
"Aku tunggu kau di belakang kantin," katanya lalu bergegas pergi.
"Bangsat," kata anak yang tadi menyepak Frans.
"Ada main apa kau dengan bini orang?"
"Ooiit! Jangan kalap, Bung. Masing-masing punya rezeki sendiri. Tidak boleh in' lihat teman senang," kata Frans menyeringai.
"Pokoknya, kalau kau tidak hadir nanti, jangan pinjam catatanku!"
"Wah, di dunia masih banyak urusan lain yang lebih penting dari kuliah!"
Frans menyeringai seperti kuda melihat bor gigi. Nyaris disepak lagi dia bila tidak segera menggelinding pergi.
Sementara itu Otto melihat Loti dan tergesa-gesa dikejarnya.
"Lot!" serunya.
Hati gadis itu rasa teriris. Ah, suaranya seolah mengatakan dia sudah tahu siapa ayahnya. Ya,
bila ibunya tahu, pasti Otto juga akan tahu. Dan ibunya pasti tahu. Andi Lumirang tidak mungkin cinta pada anaknya. Kalau dapat menolong diri sendiri, pasti itu akan dilakukannya! Walau harus menyebut dan menyeret anak perempuannya sekalipun.
Loti berhenti sebentar dan menoleh. Ah, hatinya berdarah melihat Otto di sana, juga berhenti, untuk memperhatikannya. Wajahnya heran. Ah, bila kau kini belum mengerti, tidak lama lagi kau pasti akan mengerti. Selamat tinggal. Pergilah dengan Dewi.
"Aku ke WC sebentar," serunya, lalu berjalan lagi tanpa menunggu reaksi.
Baru saja lima menit dia berdiri di belakang kantin memperhatikan seekor kupu-kupu mencumbu putik, Frans sudah tiba.
"Mana mobilmu?" tanya Loti tanpa membuang waktu. Dia khawatir Otto akan mencarinya.
"Siap," sahut Frans.
Rupanya Loti sudah dewasa sekarang. Sudah dapat membedakan skuter dari Corolla. Mana enak sih duduk di belakang Otto, apalagi skuternya sudah tua begitu, tanpa alas kaki lagi!
Frans berlari pergi dan muncul semenit kem udian. Loti segera masuk. Ada beberapa anak
yang melihat dari dalam kantin. Semoga tidak disampaikan pada Otto, pikirnya.
"Keluar dari pintu belakang saja, Frans."
"Oke," sahut laki-laki itu, menandak-nandak dalam hati karena gembira.
Mereka pasti sudah putus, pikirnya. Atau mau putus. Kalau tidak, masakan perlu jalan belakang?!
Kramat Tunggak pagi itu sepi. Walau Frans bertampang garang, dihiasi bekas-bekas jerawat, tapi Loti berwajah alim dan ayu. Mereka segera menarik perhatian beberapa orang yang duduk di warung kopi.
Loti turun untuk menanyakan keterangan.
"Rosita? Di sini ada tiga Rosita," kata perempuan pemilik warung.
"Orangnya seperti apa?" tanya seorang laki-laki yang tengah meram-melek menikmati rokok.
"Tidak tahu. Tapi dia mempunyai anak."
"Semua orang di sini punya anak," kata seseorang, lalu terdengar suara tertawa yang ceriwis.
Loti menggigit bibirnya. Di tempat serupa itulah ayahnya ditangkap! Dalam keadaan bugil
yang melihat dari dalam kantin. Semoga tidak disampaikan pada Otto, pikirnya.
"Keluar dari pintu belakang saja, Frans."
"Oke," sahut laki-laki itu, menandak-nandak dalam hati karena gembira.
Mereka pasti sudah putus, pikirnya. Atau mau putus. Kalau tidak, masakan perlu jalan belakang?!
Kramat Tunggak pagi itu sepi. Walau Frans bertampang garang, dihiasi bekas-bekas jerawat, tapi Loti berwajah alim dan ayu. Mereka segera menarik perhatian beberapa orang yang duduk di warung kopi.
Loti turun untuk menanyakan keterangan.
"Rosita? Di sini ada tiga Rosita," kata perempuan pemilik warung.
"Orangnya seperti apa?" tanya seorang laki-laki yang tengah meram-melek menikmati rokok.
"Tidak tahu. Tapi dia mempunyai anak."
"Semua orang di sini punya anak," kata seseorang, lalu terdengar suara tertawa yang ceriwis.
Loti menggigit bibirnya. Di tempat serupa itulah ayahnya ditangkap! Dalam keadaan bugil
pula! Siapakah yang telah mengkhianatinya?! Seorang Rosita?
"Ada perlu apa?" tanya seorang bapak yang pakaiannya paling rapi di situ.
Loti tertegun sejenak. Dia tidak dapat mengatakan untuk apa. Mungkin orang akan menertawakannya. Dia diam sejenak. Berpikir.
"Anu, kami berdua wartawan," sahutnya tangkas, sambil menunjuk ke mobil yang berhenti kira-kira seratus meter dari situ.
"Ah, Ibu mau ketemu dengan Rosita yang melaporkan Andi Lumirang?!" seru bapak itu.
Loti mengangguk tak berdaya. Ayah, betapa terkenalnya kau! Tapi mengapa di sini?! Bukan di tempat yang lebih terhormat?!
"Min, antar Ibu ini ke tempat Sita," perintah bapak itu.
Dari sebuah sudut gelap dalam warung yang tidak diperhatikan oleh Loti, tahu-tahu muncul sesosok tubuh langsing kecil. Mungkin baru empat belas tahun. Entah sudah berapa malam yang dapat dihitungnya. Melihat bentuk tubuhnya, jelas anak itu tidak lagi perawan.
Loti mengucapkan terima kasih dan berjalan di samping Min.
"Namamu siapa?"
"Sumina."
"Boleh saya panggil Mina?"
Anak itu mengangguk pelan, malu. Loti melambai ke mobil. Frans membalas.
"Kau tunggu di sini, ya?"
"Ya."
Tentu saja Frans tidak mau ikut. Salah-salah dia dikenali orang, kan gawat! Bagaimanapun, Loti itu anak dosen. Mana mungkin dia mengaku pada "ayah mertuanya" nanti, bahwa dia kenal seluk-beluk tempat itu seperti telapak tangannya!
Loti diajak masuk ke dalam lorong sempit yang pasti becek bila hujan. Dilihatnya rumah-rumah yang kecil, berdinding kayu atau setengah tembok. Walau ada pintu terbuka, penghuninya tidak tampak.
Mereka berhenti di muka rumah nomor....
"Ada tamu," seru Sumina, lalu pergi tanpa menunggu penghuninya keluar.
Loti memberinya selembar lima ratusan. Anak itu menerimanya tanpa ragu.
"Terima kasih," ujarnya menunduk, lalu berlari.
Seorang wanita gemuk muncul di ambang pintu.
"Ya, ada apa?" tanyanya dengan nada sibuk.
"Saya mencari seorang yang bernama Rosita."
"Ya, sayalah orangnya. Anda wartawan?"
Loti mengangguk saja. Rupanya wanita itu sudah sering dikunjungi wartawan, yang tentunya ingin menyadap kisah dari tangan pertama. Loti memperhatikan perempuan itu. Kulitnya coklat bersih. Badannya tegap. Usianya pertengahan tiga puluh. Puncak gairah kehidupan tengah dijejaknya kini. Rambutnya dikeriting halus seperti bulu domba, melayang turun sampai ke bahu. Wajahnya manis. Cuma tahi lalat di sudut bibir terlalu besar. Mungkin nanti menjadi ganas!
Loti menatap mata yang nyaris tertutup oleh polesan biru, coklat, dan putih berkilat. Hm, beginilah tampang seorang pengkhianat.
"Nama Anda dulu Kokom?"
"Bukan."
"Saya mencari Kokom."
"Tapi sayalah yang melaporkan penjahat itu!" katanya, tidak mau mengerti mengapa rezekinya harus jatuh ke tangan Kokom yang tidak dikenalnya.
"Saya tahu," sahut Loti dingin.
"Di mana tinggal Rosita yang lain?"
"Saya tidak tahu," sahut perempuan itu meraj uk, marah.
"Di sana," tiba-tiba didengarnya suara dari belakang.
Loti menoleh. Seorang bocah laki-laki tengah menunjuk ke depan.
"Rosita yang beranak dua atau yang beranak enam?" tanyanya.
Loti bingung.
"Tolong antarkan saya pada keduanya," katanya akhirnya, lalu minta permisi pada si gemuk yang mukanya asam itu.
Mereka pergi dulu mencari Rosita dengan enam anak.
"Ibu bernama Kokom?" tanya Loti.
"Ya, betul," sahut perempuan berkain sarung itu tertawa manis.
"Silakan masuk."
"Berapa anak Ibu?"
"Banyak. Enam. Itu salah satu," katanya menunjuk bocah yang mengantarnya.
Loti memberikannya uang seratus dan anak itu pergi meninggalkan mereka.
"Anak-anak yang lain?"
"Tidak di rumah."
Mereka duduk di ruang tamu yang sempit, diperaboti ala kadarnya. Loti melihat kemiripan dengan Tina pada wajah perempuan itu. Bungkus rokok yang tergeletak di atas meja diraih oleh Kokorn dan diambilnya sebatang. Lalu disulutnya. Loti memandang berkeliling dengan cepat. Semua menunjukkan tanda kemiskinan yang
rawan. Dia tidak dapat membayangkan Tina hidup di sini. Barangkali lebih baik mencari sampah atau membantujualan gado-gado.
"Ibu sudah lama di sini?"
"Sudah," sahutnya tersenyum.
Usianya barangkali masih di ambang tiga puluh, tapi Loti tahu, perempuan itu sudah kehilangan sarinya. Putiknya telah berguguran dari tahun ke tahun, helai demi helai. Yang tersisa cuma perabot-perabot tua-barangkali dibeli ketika jaya-dan setengah lusin anak.
"Saya datang karena Tina," kata Loti, tidak mau membuang waktu.
"Tina?" Perempuan itu mengerutkan keningnya seakan mencoba berpikir. Rokoknya dijepitnya di antara telunjuk dan jari tengah, menjauhi wajahnya.
"Anak Ibu yang sulung!" kata Loti memban
"Ah!"
Perempuan itu menunduk. Geletar halus menyapu bibirnya yang tidak dipoles merah. Barangkali pagi-pagi begini takkan ada langganan datang. Jadi buat apa membuang-buang polesan.
Loti menunggu. Tapi Rosita alias Kokom tidak kelihatan mau membuka mulut.
"Kalau Ibu tidak keberatan, saya ingin tahu di mana ayah Tina...."
"Ah!"
Ada rasa segan dalam suaranya. Tapi Loti tidak mau berhenti di situ saja. Dia sudah datang ke situ, dia harus mendapat hasil.
"Ini untuk kepentingan Tina, Bu. Saya ingin membantunya mencari ayahnya, supaya dia dapat disekolahkan."
"Ah!"
Perempuan itu menatap Loti sedikit ngeri. Diisapnya rokoknya kuat-kuat seolah mencari ketenangan dari setan nikotin.
"Dari mana Neng tahu tentang ayahnya?"
Loti menceritakan dengan singkat perkenalannya dengan anak itu dan kedatangannya ke rumah Bang Jaya. Perempuan itu terhenyak. Rokoknya tergesa-gesa digemsnya dalam asbak kaleng yang kotor. Kemudian dilipatnya kedua tangannya.
"Waktu itu saya bekerja di rumah gedung. Baru saja datang dari desa. Belum punya pengalaman. Majikan saya orang kaya. Rumahnya besar. Anaknya dua, laki-laki. Yang seorang sudah kawin. Yang bujang masih mahasiswa dan tinggal di situ. Pada suatu hari, kedua majikan saya pergi ke luar kota. Ke Puncak, katanya.
Mereka memang punya rumah di sana. Kebetulan tukang cuci sakit, dan tukang kebun pulang libur. Dia memang mendapat libur sebulan dua kali. Jadi rumah cuma ditunggui oleh saya sendiri bersama pembantu lain yang masih kecil. Anak ini siang-siang sudah tidur. Saya masih terjaga untuk membuka pintu bila anak majikan saya pulang. Pukul sebelas malam baru terdengar suara motornya. Saya sudah ngantuk dan mau cepat masuk ke kamar saja. Tahu-tahu, saya disambar dari belakang. Saya berusaha melawan, tapi tenaga tidak ada. Yah! Apa mau dikata, sudah nasib saya. Padahal saya sudah punya suami di desa. Sejak itu, entah berapa kali lagi saya diseret ke kamarnya. Majikan saya boleh dibilang hampir tiap minggu pergi ke Puncak dan anaknya tidak pernah ikut. Akhirnya, saya hamil. Ketika majikan perempuan saya tahu hal itu, saya dikeluarkan. Diberi ongkos untuk bersalin dan diancam tidak boleh buka mulut. Saya kemudian diantarkan kenalan ke sini. Ada seorang perempuan setengah tua yang merawat saya sampai bayi itu lahir. Ketika suami saya datang dari desa, saya serahkan anak itu padanya. Saya sendiri menetap di sini, menemani ibu tua itu." Loti mengerti, Kokom sudah terjatuh ke tangan scorang mucikari. Barangkali dia juga telah mengubah namanya. ,.
"Siapa nama laki-laki itu? Di mana tinggalnya?"
"Neng, buat apa bikin ribut? Walaupun anak saya tidak diakui, tapi orang itu sebenarnya tidak pernah menyakiti hati saya."
Loti bingung. Kau diperkosa puluhan kali, dan kau bilang tidak sakit hati?!
"Dia sering memberi saya uang. Apa yang dilakukannya tidak berbeda dengan apa yang ingin dilakukan setiap laki-laki kalau ada kesempatan. Di samping itu, saya insaf, saya tidak mungkin berpasangan dengannya. Saya tidak akan mau kawin dengannya. Saya tidak sakit hati, Neng. Begitulah nasib orang yang tidak berdaya. Lemah, tanpa perlindungan."
"Tapi saya tetap ingin tahu nama dan alamatnya," desak Loti.
Perempuan itu bermain-main dengan bungkus rokok. Loti membuka tas dan mengeluarkan dompetnya. Diambilnya selembar lima ribuan, digerak-gerakkannya di hadapan perempuan itu. Entah sudah berapa lama dia tidak pernah lagi menerima uang yang licin dan baru seperti itu?!
"Katakanlah siapa namanya," pinta Loti dengan kekuatan dalam tangannya.
"Sembiring," desah perempuan itu tak berdaya.
"Alamatnya?"
"Jalan Abu Nawas, nomor...."
Loti kaget. Apakah itu Dokter Sembiring, salah satu pembantu ayahnya? Bukankah dia tinggal di jalan itu juga? Ada berapa Sembiring di sana? Dokter tampan yang perlente itu memang masih amat muda. Seandainya dia betul ayah Tina....!
Loti meletakkan uang itu di atas meja, lalu permisi. Perempuan itu segera meraihnya dan menyembunyikannya ke balik bajunya. Loti bergegas jalan ke luar lorong. Frans tentu sudah tidak sabar lagi. Betul saja. Dia sudah berdiri di samping mobil sambil bercekak pinggang.
"Aduh, lama betul. Aku sangka, kau disekap mucikari !" ujarnya tertawa.
"Alamatnya sukar dicari," gumam Loti seraya masuk ke mobil.
"Apa sih sebenarnya yang kaulakukan?"
"Kan sudah aku bilang, aku mencari keluarga pembantuku."
"Untuk apa?"
"Ah, kau terlalu mau tahu urusan orang!" kata Loti pura-pura mau marah.
Frans tidak berani mendesak. Pasti gadis itu sudah mendengar selentingan tentang Otto dan dia rupanya ingin tahu siapa wanitanya! Aha! Pura-pura alim bangsat itu rupanya! Ha, tahu rasa
dia! Loti tentu saja tidak boleh dibuat permainan. Kabar ini harus sampai ke telinga Otto secepat mungkin. Melalui Dewi, tentu saja. Biar kapok bangsat itu, dan menyerah kalah. Biar tahu dia, permainannya yang kotor itu sudah ditelanjangi oleh Loti. chura-puraannya yang munahk itu sudah tamat peranannya.
Mereka kembali ke kampus, sebab siang itu ada praktikum kimia. Lagi pula, Loti telah meninggalkan motornya di sana.
Berdua dengan Frans, Loti pergi ke kantin untuk makan. Tidak disangkanya, anak-anak masih banyak di sana. Untung Otto tidak ada.
"Lot, ke mana saja kau?" seru Dewi lantang, diikuti gelak beberapa anak, laki-laki dan perempuan.
"Otto hampir saja ke kantor polisi mau melaporkan anak hilang!"
Loti tertawa. Berdua dengan Frans dia pergi memesan makanan. Kemudian mereka menghampiri yang lain, mencari tempat untuk menikmati nasi rames.
"Kenapa sama Frans, Lot?" tanya Lindung penasaran.
"Fiat-ku juga tidak kalah dengan Toyota-nya!"
"Tak tahu diuntungl" handik Frans.
"Fiat karatan tahun lima-tiga mau kaupamerkan? Disuruh ngebut sebentar pun pasti sudah ngosneosan!"
"Ah, tapi pipiku licin tanpa jerawat!" ejek Lindung, panas.
"Sejak kapan orang menilai laki-laki dari wajahnya?" tanya Frans menghina.
Loti tidak ambil pusing. Dengan tenang dilahapnya isi piringnya. Sebab dia sudah kelaparan betul. Duet kedua temannya tidak didengarkannya. Tapi tahu-tahu telinganya menangkap sebaris kalimat yang menggigit perasaannya.
"Pokoknya, kalau dia putus dengan Otto, aku akan merebutnya!" ancam Lindung, dan Frans tidak mau kalah angin.
"Coba saja!" teriaknya.
"Dan Otto untukku!" terdengar suara perempuan, siapa lagi kalau bukan Dewi.
"Siapa yang tidak setuju, boleh bersaing denganku!"
Loti menghela napas. Aduh! Belum lagi Otto dan dia putus, ribuan hiu sudah menanti dengan moncong terbuka lebar. Cepat dihabiskannya makannya, lalu bangkit.
"Tak usah dibayar," cegah Frans melihat Loti siap membuka tas.
Tapi Lindung dengan langkah lebar sudah berjalan ke depan, lalu mengeluarkan dompet kumalnya di depan kasir.
"Berapa?" tanyanya dengan suara keras Sekali, supaya Frans jangan berlagak tuli.
"Dua atau satu?"
"Dua dong, sekalian," serunya gagah.
"Sialan! Tak usah kau menderma padaku!"
"Wah, trims, ya," seru Loti tertawa.
"Boleh sering-sering, nih."
Lindung menoleh dan menatap Loti dengan wajah bercahaya. Loti mengangkat tangannya dan memandang berkeliling.
"Ayo, semua, aku harus pergi dulu, ya. Kalau ada yang masih lapar, silakan makan lagi, jangan malu-malu. Aku yang traktir, Lindung yang bayar," seru Loti tertawa dan cepat mengelak ke luar kantin, melihat Lindung siap melemparnya dengan botol kosong.
"Yuhuuiii!" sambut Dewi dan yang lain-lain, persis kera kelaparan.
"Ayo, kita serbu!"
"Rasain!" kata Frans bersukacita.
"Lot, sini kau, Manissss!" teriak Lindung yang sudah didaulat dompetnya oleh Karmila.
Tapi Loti sudah jauh. Jalannya cepat. Jantungnya berdebar. Sejak tadi, sebuah pertanyaan merayapi benaknya. Di mana Otto? Pulang ke rumah?
Dia pergi ke WC dulu. Ketika keluar lagi, Otto sudah menunggu.
"Lama betul kau di situ," katanya menggeleng, tapi tersenyum.
"Hampir empat jam aku cari ke sana kemari, rupanya kau masih di WC!"
Sonata Masa Lalu Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah Loti merona merah. Sindir yang halus itu kena betul ke hatinya. Bukankah dia berdusta tadi, mengatakan mau ke WC? Siapa sangka, dia kepergok waktu keluar. Tapi seperti biasanya, Otto yang lembut tidak mau menanyakan apaapa. Kalau Loti mau memberi tahu, tentu dia akan bicara. Kalau tidak, dia takkan bertanya melit.
"Aku dengar, kau hampir ke kantor polisi, ya," godanya.
Kini giliran Otto merah padam. Mereka berjalan menuju bagian kimia. Loti bimbang dan ragu. Bagaimana caranya bilang selamat berpisah tanpa pedih?!
"Habis kau sih! Lain kali kalau mau diculik bilang-bilang dulu ya padaku. Supaya dapat disediakan tebusan!" Otto tersenyum, melirik Loti.
Gadis itu tertawa manis. Andai saja tidak ada persoalan dengan ayahnya dia tentu sudah menceritakan tentang Tina padanya. Bahkan mungkin akan pergi mencari Rosita bersama Otto, tanpa lurahnya.
"Ot, tahukah kau di mana rumah Dokter Semhiring?"
"Dokter Sembiring yang mana? Alex Sembiring?"
"Yang mana lagi?"
"Memang dia tampan dan gagah, tapi kan sudah beranak bini?!" godanya.
"Ciss! Orang tanya yang benar!"
"Nah, tanya kok pakai di mana rumahnya segala! Apa kau terpikat padanya? Mau kaukunjungi dia? Aku dengar, istrinya galak! Lebih baik tetap padaku!"
Otto melirik dengan senyum rindu. Loti kewalahan. Akhirnya terpaksa ketawa juga. Dipukulnya lengan Otto pelan.
"Aku serius, Ot. Ada perlu."
"Temui saja di Bagian Interne. Atau... takut ketahuan ayahmu pacaran dengan suami orang?!"
"Ot, sinting kau!" sembur Loti dengan gelak tertawa.
"Mau bergurau, boleh. Tapi yang benar sedikit. Didengar orang kan malu aku! Aku cuma ingin tahu nama jalan rumahnya."
"Tapi kau tidak boleh ke sana!" ancam Otto.
"Nanti kau diculik benar-benar!"
"Oke, deh."
"Janji?"
"Janji!"
Otto menatapnya dengan senyum aneh, seak
an ada yang lucu. Matanya berkilawan seperti bintang timur di atas padang pasir.
"Nah, ayo, katakan, di mana rumahnya!"
"Aku tidak tahu!"
"Ot, jangan main-main."
"Siapa yang main-main? Aku sungguh tidak tahu!"
"Brengsek!" gerutu Loti, tapi tidak marah. Malah beberapa menit kemudian meledak ketawa mereka berdua.
Frans yang tengah mendatangi bersama anakanak lain hampir menyumpah melihat adegan itu.
"Enak betul bangsat itu," gerutunya.
"Dia terima senang, aku yang dijadikan sopir. Awas saja kalau Loti ternyata menipu aku dan sekarang tengah menertawakan kebodohanku!"
"Sabar, sabar," kata Lindung bersukacita melihat saingannya naik darah.
"Siapa tahu itu yang disebut "gelak terakhir sebelum badai'. Nah, kalau badai sudah datang, boleh kita berdua mengadu untung. Kau yang dapat atau aku. Jelas, tak mungkin kau dan aku!"
"Kau tahu, ke mana tadi kami berdua?" kata Frans uring-uringan.
"Bagaimana aku tahu? Goblok!" kata Lindung. Kapan lagi dapat mengejek Frans?!
Dalam keadaan biasa, Frans tentu akan berusaha mengembalikan harga dirinya, paling sedikit dengan sepotong tinju. Tapi kali itu tidak didengarnya ucapan yang menyakitkan itu.
"Kami ke Kramat Tunggak!"
"Apa? Kramat Tunggak?" seru Lindung kaget.
"Mau apa kalian ke sana?"
"Kramat Tunggak?" ulang Dewi membeo.
Frans menyeringai penuh misteri. Setiap orang dipersilakannya mengambil kesimpulan sesuka hati.
Dan akhirnya, tidak lebih dari dua puluh empat jam, kabar itu sudah tiba di pelabuhan akhir, telinga Otto.
Malam harinya, Otto datang ke rumah Loti. Tidak seperti biasa, kali ini dia minta duduk di kebun, jauh dari telinga orang tua. Bulan sepotong, pucat dan rawan seperti anak gadis yang kurus-kering. Bintang-bintang pun tidak menyemarakkan pertemuan itu, seolah tidak sudi menjadi saksi perpisahan sebuah cinta.
"Lot, betulkah kau kemarin pergi dengan Frans ke Kramat Tunggak?" tanya Otto, tidak dapat lagi menahan keingintahuannya.
"Ya," sahut Loti biasa.
"Jadi... be tul?" suaranya menjadi gugup.
"Ya, kenapa? Apa salahnya?" tanya Loti heran. Minta diantar saja apa salahnya?!
Otto menatap gadis itu dengan pandangan yang nyeri dan kabur. Lampu kebun dengan warnanya yang hangat kemerahan membuat wajahnya makin jelita. Dan kejelitaan itu menusuk hatinya tak terkira-kira.
"Tidak, tentu saja kau tidak salah," sahutnya memaksakan sebuah senyum.
"Engkau tidak mau menanyakan untuk apa aku ke sana?"
"Jangan, Loti," katanya menggenggam kedua tangan gadis itu.
"Jangan izinkan aku menyakiti hatimu. Aku tidak boleh menanyakan apa yang tidak mau kaukatakan sendiri. Aku akan menanti saja, tapi aku siap mendengarkan kapan saja kau mau mengatakannya."
Suaranya yang hangat begitu penuh dengan cinta, sehingga mau rasanya Loti mengisak. Sebab dia tahu, suara itu takkan menjadi miliknya. Takkan membangunkannya setiap pagi, takkan mengantarnya tidur setiap malam. Siapakah yang akan memperolehnya?! Dewi?! Oh, Tuhan!
"Aku takkan bilang apa-apa selama kau tidak bertanya!" tukasnya sedikit angkuh.
"Kalau begitu, tentunya kawanggap aku tidak perlu tahu. Dan aku percaya padamu," kata Otto tersenyum.
"Kita lupakan saja soal itu!"
Loti tidak tahan lagi. Cinta sebesar itu harus
diserahkannya ke tangan Dewi! Betapa menyakitkan.
"Pulanglah, Ot. Aku tidak suka laki-laki pengecut seperti kau. Berlagak murah hati, ya. Padahal sebenarnya kau takut mendengar kenyataan! Kau takut kalau-kalau aku telah berbuat yang tidak-tidak dengan Frans! Kau mau pura-pura tidak tahu! Pengecut!" seru Loti setengah kalap.
Otto melongo. Sesaat kemudian diguncangnya gadis itu pada bahunya.
"Jadi... kalian..?"
"Bukankah kau tidak ingin tahu?" ejek Loti.
Air muka Otto berubah. Senyumnya hilang. Matanya membelalak berkilawan.
"Semurah itukah, engkau?" tuntutnya dengan nada keras.
"Apa pedulimu, hai pengecut?!" ejek Loti.
"Kau... kau...
" parau suaranya. Tangannya Sudah bergerak hendak menampar Loti, tapi sesaat kemudian diturunkannya lagi. Dilepasnya bahu gadis itu.
"Mengapa?" bisiknya setengah mau menangis.
"Pulanglah!" usir Loti seperti mengibas lalat.
"Jangan takut," kata Otto marah.
"Aku akan pulang. Dan tidak akan datang lagi kemari. Kau tidak usah khawatir akan terganggu bersama
kekasihmu itu! Aku menyesal, kenapa baru sekarang aku tahu belangmu! Kenapa bukan sejak dulu! Frans memang lebih mahir. Julukannya kan "Iurah" sana!"
Loti berlari' balik ke rumah. Sengaja dipilihnya bagian kebun yang gelap, supaya pedih hatinya jangan dilihat Otto.
"O, ya," seru Otto dari belakang.
"Barangkali kau perlu tahu, rumah Dokter Sembiring di Jalan Abu Nawas nomor...! Siapa tahu, sesudah kau bosan dengan Frans...!"
Mengejek sekali nada suaranya. Loti menjatuhkan diri di rumput dalam kegelapan dan mengisak. Otto yang selama ini begitu lembut sudah mulai mengejeknya. Dan tidak lama lagi, dia tentu akan bergandengan dengan Dewi!
Otto melihatnya bersimpuh di tanah.
"Tidak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi," katanya sinis, lalu berjalan pulang menghampiri skuternya.
Oh, Ayah, semua ini gara-garamu! Mengapa namamu Andi Lumirang? Dan mengapa kaukatakan, bahwa kau mempunyai anak perempuan? Sekarang mereka ingin tahu siapa anak itu! Dan mereka akan tahu! Otto akan mencampakkan aku. Oh, aku akan membencimu, Ayah, bila dia mencampakkan aku karena engkau. Lebih baik
begini. Lebih baik kami berpisah karena sebab lain. Seperti sekarang. Kelak, bila dia tahu siapa engkau, Ayah, dia tentu akan tambah sinis padaku. Pantas! Bapaknya begitu, anaknya mana bisa suci?! Ketika sampai pada pemikiran demikian, Loti terisak lagi. Dia tahu, tidak ada jalan baginya untuk membersihkan diri di hadapan Otto.
Tapi dia juga tidak mau membenci ayahnya. Baginya, darah merupakan cairan yang paling pekat, walau penuh dosa dan nista. Cinta harus berkorban. Ot, semoga kau bahagia. Janganlah benci aku.
****
SEMUA orang akhirnya tahu mereka putus. Loti tidak banyak komentar, walau hatinya pedih. Otto tidak lagi menyediakan kursi kosong di sebelahnya. Dewi sekarang yang duduk di situ. Di sebelahnya yang lain duduk orang lain. Lebih sering gadis. Nida atau Karmila. Dan Loti kebagian bangku di belakang. Dia sengaja datang pas-pasan.
Sekarang Frans yang rajin menyediakan tempat. Hati Loti berdarah. Apalagi kalau kebetulan pandang Otto memanah wajahnya. Terasa ada tuduhan di situ. Tuduhan yang tidak dapat dielakkannya.
Dan dia kesepian. O, ya, Frans dan Lindung cukup membuat hidup semarak dengan pertengkaran kecil-kecilan dalam merebut hatinya. Tapi Loti adem saja. Dingin hatinya. Semua laki-laki toh sama saja. Pada dasarnya sama rusaknya seperti ayahnya. Cuma ada yang berhasil menutupinya dengan titel dan kedudukan, ada yang sembrono tidak peduli orang lain. Ada pula yang
berhasil menekan keinginan itu dalam-dalam ke bawah sadar. Tapi keinginan itu ada. Pola sentral laki-laki cuma perempuan! Huh!
Cinta? Apakah itu? Di mana adanya? Barangkali dia seperti jaring laba-laba yang halus dan indah dipandang, namun pada sentuhan cemburu yang pertama sudah rusak berantakan.
Dan Otto seakan memaksanya untuk menyaksikan betapa mesranya dia dengan Dewi atau Nida. Nida merupakan saingan Dewi. Karmila tidak ikut-ikutan, sebab rupanya sudah terikat dengan orang lain.
Otto menyayatnya sedikit demi sedikit setiap hari. Loti merasa seperti orang hukuman yang ditaruh di alun-alun. Setiap orang yang lewat diperbolehkan menyayat sedikit kulitnya. Lalu mereka teteskan seiris jeruk limau ke atas sayatan mereka. Betapa pedihnya.
Tapi itu belum seberapa dibandingkan dengan luka hatinya saat itu. Dia terpaksa mesti tetap tersenyum, seakan acuh tak acuh. Dan untuk menunjukkan kebesaran jiwanya, Otto masih suka menyapanya. Malah terkadang menanyakan kalau-kalau Loti perlu meminjam catatannya.
"Bila duduk di belakang pasti payah menangkap kuliah dosen yang suaranya halus. Kalau mau pinjam, ini catatanku," katanya.
Berdarah hati perawan itu mendengarnya. Dia selalu menolak dengan manis. Mengatakan tidak perlu. Andaikan perlu pun, takkan mau dia meminjamnya. Tapi Otto tidak pernah bosan menawarkan. Akhirnya Loti tahu, itulah cara Otto untuk menghukumnya. Dia tidak mau membiarkan Loti melupakan dirinya. Melupakan kehadirannya. Gadis itu diingatkannya setiap hari, bahwa cintanya yang manis sudah tidak lagi menjadi miliknya.
Kuliah menjadi siksaan baginya. Dia terpaksa dan dipaksa menyaksikan senda-gurau Otto dengan gadis-gadis lain. Terlebih Dewi yang sangat spontan dan posesif. Loti sering kali terpaksa membuang muka secara halus karena malu melihat tingkah Dewi yang manja betul pada Otto.
Sekarang dia jarang masuk ke kantin. Terpaksa dicarinya tempat makan di luar yang dekat dengan kampus. Frans dan Lindung tentu saja selalu ingin ikut ke mana pun Loti pergi. Dan bersama mereka, ikut pula konco-konco mereka. Loti kini merupakan semacam ratu dari sekawanan perampok liar atau begitulah tampaknya. Sebab tingkah laku Frans dan kawan-kawannya kasar, bicara mereka keras. Di mana pun mereka berada, suara mereka yang hiruk-pikuk sudah terdengar dari jarak satu kilometer.
Dan Loti tidak dapat menjauhkan diri dari mereka. Daripada terisolasi sama sekali! Frans dan Lindung sangat memperhatikan dan menghargainya. Tapi Loti bersikap manis pada setiap orang. Dia tidak mau membiarkan hatinya terjerat lagi.
Terkadang dia merasa jenuh dengan segala keributan dan kekasaran itu. Dia merindukan ketenangan dan kelembutan. Tapi di mana akan dicarinya?! Cuma di dalam kamarnya dapat dihidupkannya kembali Otto yang lembut di sampingnya dan air matanya melimpah turun seperti Cimandiri di musim hujan. Tapi di muka orang banyak, Loti bagaikan benteng kokoh yang tidak dapat dirembesi kesusahan.
Sementara itu Andi Lumirang diperiksa oleh seorang ahli ilmu jiwa. Di mana-mana dapat dibacanya nama itu. Di koran. Di TV. Di tembok kotor. Di hatinya.
Pada suatu hari Loti melihat kesempatan untuk bicara empat mata dengan Dokter Sembiring. Mereka duduk di lorong depan Bagian Kulit, menghadap ke taman.
"Alex, ada waktu sebentar untukku?" tanya Loti memasang senyum manis.
"Wah, pakai tanya lagi! Tentu saja," sahut laki-laki itu menyeringai.
Senyumnya mirip dengan Tina! Loti sudah memeriksa buku telepon. Tidak ada Sembiring lain yang tinggal di Jalan Abu Nawas. Di seluruh kota barangkali sulit mencari seorang Sembiring yang demikian tampan dan memukau seperti Alex. Pantas Rosita alias Kokom jatuh hati padanya!
"Begini, Lex," kata Loti setelah mereka duduk berdekatan supaya dia tidak usah bicara keras-keras.
"Kau jangan marah, ya. Janji dulu!"
"Lho, belum tahu soalnya sudah mesti janji!" gumam Alex ketawa.
"Bagaimana kalau aku nanti dibikin marah?"
"Tidak boleh! Kan sudah janji!" Loti mengangkat telunjuknya mengingatkan.
"Lho, kapan? Aku belum bilang apa-apa!" goda Alex.
"Brengsek! Tidak bisa diajak serius!" Loti menggerutu.
"Oh, serius toh ini?! Soal apa sih? Kepalaku jadi gatal, ingin tahu."
"Setahu aku, kepala gatal itu karena ketombe. Pakailah Vidal Sassoon."
"Wah, kau sudah jadi salesgirl, ya?!"
"Brengsek kau. Sudahlah, kalau tidak bisa diajak bicara," Loti sudah mengangkat diri, tapi Alex menarik tangannya kembali.
"Payah berurusan sama anak manja. Setiap permintaannya harus dituruti," Alex menghela napas. Loti tersenyum kembali.
"Kalau kau mau berjanji, baru aku mau bicara."
"Dilihat begini, pasti soal ini akan bikin naik darahku!"
"Belum tentu. Tergantung kepribadiamnu. Ayolah!"
"Soal apa sih? Istriku main gila?"
"Huss! Omong yang lebih sinting sedikit, dong. Biar lekas masuk kerangkeng Psikiatri. Cepatlah! Nanti ada orang datang."
"Baiklah," Alex membuka tangannya tanda menyerah.
"Kau berjanji tidak akan marah?"
"Ya."
Loti menatap wajah tampan itu beberapa saat lamanya tanpa mampu melahirkan sepatah kata pun. Lidahnya kelu. Kini gilirannya untuk menjadi ragu. Alex balas menatap dengan serius. Table mereka mirip sepasang merpati yang sedang mengukir janji. Bolehkah dia mencampuri urusannya dan menyakitinya?!
Baru saja mau disuruhnya Loti agar cepat membuka mulut, ketika seseorang lewat dan menyapanya.
"Hai, Lex, lagi apa?"
Dia menoleh.
"Hai, Ot! Halo. Bagian kulit minta konsultasi," sahutnya.
Loti juga menoleh. Wajahnya pias seketika melihat Otto, tapi laki-laki itu sudah berjalan terus tanpa mengacuhkannya. Barangkali tidak diperhatikannya siapa perempuan di samping Alex. Adalah lumrah bila dokter seganteng Alex dikerubuti eks pasien, atau perawat, atau mahasiswi.
Ah, semoga dia tidak mengenali aku, pikir Loti. Tapi tentu saja harapan itu kosong belaka. Otto mengenalinya bahkan dari jarak sepuluh meter, depan-belakang.
"Lekaslah katakan, Lot. Waktuku tak banyak," desak Alex yang menjadi ingin tahu.
"0, ya, ya" Loti menelan liurnya yang menyekat kerongkongan.
"Lex, ini soal masa lalu. Mungkin kau sudah lupa atau menganggapnya tidak penting. Maaf ya, atas kelaneanganku ini. Tapi tanggung jawab tidak dapat kauusir dari hidupmu. Itu sebuah kenyataan, Lex. Kenyataan yang berusia sembilan tahun, manis dan cerdas. Karena itu, Lex, kau harus menanggung sekolah dan hidupnya."
Loti nyerocos seperti pompa bensm Pertamina yang tak mau sudah, dan baru berhenti ketika pembelinya mengangkat tangan untuk menyeka keringat.
Sementara itu Alex mendengarkan dengan berbagai perasaan yang tergambar jelas di atas wajahnya. Pada detik pertama, heran dan bingung. Pada detik berikutnya waswas. Digigitnya bibirnya. Kemudian, merah karena malu. Akhirnya, pucat sebab khawatir dan takut.
"Dari mana kaudapat isapan jempol ini?" tanyanya parau.
"Ini bukan isapan jempol Lex. Anak itu lebih besar dari jempol. Dia sudah sembilan tahun dan kerjanya setiap hari mengais di tong sampah! Aku tidak bohong."
"Dari mana..."
"Dari ibunya."
Alex menyeka keringat di dahinya. Bibirnya pucat sekali. Matanya setengah membelalak. Pupilnya terlihat melebar. Dan mulutnya bergetar ketika dia berbisik.
"Lot, tahukah ayahmu tentang ini? Atau Otto atau orang lain?"
"Tidak ada yang tahu," Loti menggeleng.
"Tidak ada yang akan tahu. Aku akan menjaga rahasia ini baik-baik, dengan syarat "
Loti meliriknya penuh ancaman.
"Ya, katakan!"
"Kau harus mengakui anak itu! Memelihara dan menyekolahkannya!"
Alex terpana. Diadunya punggungnya dengan kursi kayu yang keras itu. Duk! Tapi tidak terasa sentuhan itu olehnya.
"Tidak mungkin," gelengnya sambil menyeka lagi keringatnya dengan sapu tangan.
"Tidak bisa."
"Kalau begitu
Udara menjadi berat penuh ancaman yang belum ketahuan ujudnya.
"Dengar, Lot, aku sudah beristri dan beranak satu. Mana mungkin akan kubawa pulang anak itu? Bagaimana reaksi istriku nanti?"
"Itu urusanmu!" kata Loti dingin.
"Berbuat, harus bertanggung jawab! Anak itu merupakan belahan dirimu! Sedangkan binatang pun tidak akan membuang bayinya!"
Alex terdiam direndahkan lebih dari binatang. Dokter ganteng dan luwes itu mati kutu dihadapkan pada masa lalunya yang gelap dan penuh bara hangat dikala rumah kosong.
"Tapi ibunya, Lot?"
"Anak itu tidak tahu siapa ibunya. Ibu kandungnya tinggal di Kramat Tunggak, tapi..."
"Di...?!" Alex menegaskan dengan ngeri, seolah teringat tarantula yang berbisa.
"Ya." Loti mengangguk.
"Dan bila istriku bertanya siapa dan di mana ibu anak itu? Tidak, Lot, tak mungkin!" suara Alex kini minta dikasihani.
"Tapi anak itu tinggal dengan orang bailebaik yang dikiranya orangtuanya. Ibunya menjual gado-gado. Ayahnya pekerja bangunan musiman dan penjual makanan babi. Lex, aku minta dengan sangat, ambillah anak itu. Dia cerdas dan mirip sekali denganmu. Sangat cantik. Sampai hatimu membiarkan dia berlimpah kemiskinan seperti itu? Mengais-ngais sampah?"
"Pe... pe... rem... pu an?" tegasnya dengan bibir gemetar.
"Ya. Namanya Tina. Sangat manis."
Loti tahu dari ayahnya, Alex cuma mempunyai seorang anak. Laki-laki. Dan dia rindu sekali ingin mendapat anak perempuan, tapi anak sulung yang sudah berusia tiga tahun itu agaknya takkan mempunyai adik lagi. Entah apa sebabnya. Kandungan istrinya lemah atau semacam itulah.
Setelah hening dan berpikir sesaat, Alex menawar.
"Lot, tidak mungkin anak itu aku bawa ke rumah. Mengertilah, Lot. Kau kan juga perempuan. Bagaimana perasaanmu bila kau di tempat istriku?!"
"Hm."
"Begini saja, Lot. Anak itu akan kukirimi uang. Aku masukkan ke sekolah, tapi biarlah dia tetap tinggal di rumahnya yang sekarang. Siapakah kedua suami-istri itu? Keluarganya?"
"Bekas suami ibunya!"
Alex menggigit bibirnya kuat-kuat.
"Terimalah usul ini, Lot."
"Kapan mau aku antarkan kau ke sana?"
"Ti... dak," kata Alex gugup.
"Aku mohon pertolonganmu. Kau saja yang memberikan uang itu tiap bulan. Atau kaueatat alamatnya, nanti aku kirimi poswesel."
"Jadi kau tidak ingin menemui anakmu?"
"Lebih baik begitu. Untuk kepentingannya. Supaya ketenteraman hidup anak itu tidak terganggu. Supaya dia jangan bingung."
"Kau tidak rindu pada anakmu? Tidak sayang? Setiap ayah rupanya begitu!"
Alex terdiam menatapnya. Loti membalas tatapan itu dengan gusar. Tapi, betulkah matanya berlinang?! Loti melihat kedua matanya berkacakaca dan binar-binar di situ menjadi buram.
"Barangkali kelak, Lot, bila dia sudah besar, bila dia sudah dapat mengerti, kau dapat mengajak aku menjumpainya. Tapi, sekarang..."
"Tidak!" kata Loti menolak.
"Aku tidak mau menerima usul ini! Kaupikir dengan uang, kau lantas dapat mencuci bersih tanganmu? Kaukira segala apa di dunia ini akan beres dengan uang? Tidakkah terpikir olehmu, ada sudut-sudut tertentu dalam kehidupan di mana uang menjadi bisu! Dia tidak dapat lagi bicara menyombongkan harganya! Kau harus mengakui anak itu, Lex. Kau harus membawanya ke rumahmu! Di adalah seorang manusia juga, seperti kau dan aku. Cuma dia masih kecil. Belum dapat membela diri. Apa jadimu, seandainya kau dibuang di antara gelandangan? Di mana kau kini?"
"Lot, kau harus ingat kedudukanku. Aku seorang dokter. Aku hidup dari kepercayaan masyarakat padaku. Kalau hidupku coreng-moreng, apa jadinya dengan karierku? Siapa yang mau pergi ke dokter yang sudah tidak dipercayai masyarakat? Yang tidak dapat dijadikan teladan? Jabatan lain barangkali takkan sekeras itu dinilai orang, tapi dokter! Kalau orang tahu, bahwa aku pernah main-main dengan pembantu rumahku, habislah sudah riwayatku sebagai dokter."
"Kau dapat membawanya ke rumahmu tanpa gembar-gembor. Katakan saja mula-mula, itu keponakanmu. Lebih baik dia diakui sebagai keponakan dulu daripada dibiarkan terus menggee luti kepapaan yang setawan itu. Di samping itu, Tina hidup dengan tujuh adik!"
Sonata Masa Lalu Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tujuh?!"
"Kau harus mengambilnya pulang."
"Tapi istriku..."
"Itu urusanmu!!" suara Loti sudah mulai ketus sedikit, padahal biasanya dia lembut.
Menghadapi bajingan, perlu juga ketus, pikirnya.
"Aku perlu waktu..." desah Alex setengah menyerah.
Loti melihat seorang perawat muncul di ujung lorong. Dia tidak mau pertemuan itu dibicarakan orang.
"Baiklah," katanya sambil bangkit.
"Beritahu aku kapan kau siap ke sana. Akan kuantar. Kalau tidak, aku akan minta bantuan Ayah untuk membujukmu!"
Dan ditinggalkannya dokter itu dengan kengerian melompat-lompat dalam matanya. Campur-tangan Dokter Rasid berarti genta kematian baginya. Kariernya pasti akan musnah.
Setelah membelok ke lorong lain, Loti tiba-tiba teringat Otto yang lewat tadi. Betulkah dia tidak melihat? Atau melihat? Dan bila melihat.
barangkali disangkanya aku sudah mulai kencan pula dengan Alex? Setelah bosan dengan Frans?
Betapa menyedihkan hati pikiran serupa itu. Loti berjalan pelan didera kepedihan. Seolah setiap langkah yang membawanya ke dekat Otto, menyebabkan luka hatinya berdarah lagi.
Tapi gelepar hatinya berhenti ketika didapatinya Otto tengah menghapus papan tulis untuk kuliah berikut. Dilihatnya Loti masuk. Dia turun ke lantai.
"Lot, mau bantu menyusun diktat lagi?" tanyanya biasa, sementara wajahnya tidak menunjukkan, bahwa dia telah mengenali Loti di sebelah Alex tadi.
Loti mengangguk lega. Hatinya berdebar. Otto seakan maju selangkah. Di situ tak ada orang lain. Dia mundur. Otto tersenyum tiba-tiba.
"Kau takut padaku sekarang? Tidak perlu, Lot. Aku takkan mengganggumu. Apalagi mesti bersaing dengan Alex yang tampan begitu!"
Sssrtt! Darahnya naik ke kepala. Loti serentak merasa pusing. Jantungnya berpacu seperti mobil balap mencium landasan sirkuit. Jadi, dia mengenalinya! Dan disangkanya aku !"
Loti berbalik dan lari ke luar. ke WC untuk
menyembunyikan
air matanya dari otto.
Sejak pagi Anita sudah senewen. Hari itu dia ingin memasak yang istimewa, sebab dia telah mengundang Tuan dan Nyonya Lukman untuk makan malam. Memang kedua keluarga itu sudah biasa saling mengundang. Tapi sekali ini, Anita mempunyai maksud tersembunyi. Dia ingin tahu sampai di mana kelanjutan perkara Andi Lumirang alias Andi Barnabi yang tengah ditangani oleh Nyonya Lukman. Apakah barangkali Andi sudah mengatakan siapa anaknya? Atau dia masih tutup mulut seperti yang dijanjikan ketika dia datang mengunjunginya dalam tahanan'??
Minah yang sangat dekat dengan majikan, ikut-ikut senewen sehingga nyaris dituangnya kecap ke dalam santan yang mau dijadikan kinca durian. Untung kebetulan ada Daniah di situ.
"Cen, itu gula jawanya di panci."
Dengan muka pucat Minah meletakkan kembali mangkuk berisi kecap itu, lalu menyaring cairan gula.
***
Petang hari senewen Anita sudah bertambah satu derajat. Masih untung siangnya dia masih
dapat tidur setengah jam, sehingga kepalanya tidak pusing. Biasanya dia tidak segugup itu. Baginya, jamuan makan malam adalah hal yang rutin, sebab Dokter Rasid terkadang mengundang sejawatnya ke rumah. Atau sesekali, sejawat luar negeri yang kebetulan berkunjung.
Senewennya kali itu berkaitan dengan Andi. Seandainya laki-laki itu sudah membuka rahasia, berarti suami-istri Lukman paling tidak, istrinya-sudah tahu siapa mereka. Malu, bukan?! Tapi seandainya Andi bungkam, Anita masih juga khawatir, jangan-jangan Nyonya Lukman akan curiga mengapa dia begitu penuh perhatian pada kasus itu. Tapi bagaimanapun, Anita sudah memutuskan, dia harus tahu.
Kalau Andi sudah buka mulut, akan dimintanya Nyonya Lukman agar merahasiakan hal itu. Bila tidak mungkin, dia harus mencari jalan untuk menyelamatkan Loti. Misalnya mengirimnya ke tempat bibinya di Holland. Pokoknya, anak itu tidak boleh dibawa-bawa Andi!
Putusannya itu mantap sekali. Tapi senewennyajuga kuat. Menggerogoti ujung-ujung sarafnya. Ketika dia tengah santai sebentar di dalam kursi empuk, didengarnya suara yang tidak asing lagi. Praaang! Pasti Minah itu! Asal jangan gelas kesayangan Darwus, pikirnya tanpa mempunyai minat untuk menyelidiki dapur.
Ketika sejam kemudian Anita pergi ke kamar mandi, dia terpaksa mengelus dada. Ini tentu Minah lagi, pikirnya. Kertas WC yang baru saja dibukanya ternyata masuk ke dalam bak mandi yang penuh air. Bagaimana ini dapat terjadi?! Betul hebat kalau senewen si Minah sudah angot! Untung ketahuan, jadi dapat diganti lagi.
Anita menggeleng-geleng. Senewennya sudah mencapai puncaknya. Kalau Darwus tidak segera pulang, dia bisa gila, pikirnya.
Tapi senewennya mendadak hilang ketika sesaat kemudian didengarnya Loti memainkan lagu Mattinata. Anita tidak dapat main piano, tapi dia ingat ucapan anaknya beberapa bulanatau mungkin setahun-yang lalu: ini lagu patah hati, Main.
Anita terhenyak ke atas kursi meja makan. Kepalanya ditopangnya dengan tangannya. Dia mulai menjumlahkan satu dengan satu dengan satu. Tadi pagi anak itu bilang, nanti malam tidak mau ikut jamuan. Aneh. Pertama kali dalam sejarah. Biasanya Loti justru sibuk menghias meja dan lain-lain. Kenapa?!
Otto juga tumben sudah lama tidak muncul, padahal normalnya, dalam seminggu paling tidak satu kali datang. Kenapa?! Apakah keduanya bertengkar? Kalau cuma itu, tidak apa. Asal jangan sampai putus. Harus aku tanyakan. J
Anita bangkit di kala lagu tengah meliuk, mengaduh. Dia ingat, Connie Francis juga menyanyikannya ketika dia masih di SMA.
Ketika lagu berhenti, dia berdiri di samping piano. Disapunya anaknya dengan pandang sayang penuh kebanggaan. Jari-jari yang runcing lentik itu beristirahat dengan manisnya di keyboard.
"Lagu patah hati itu, ya?!" tanyanya sambil tersenyum memancing.
"Iya."
"Kau patah hati?!" masih tersenyum dia.
"Ah, jangan jadi intel ah, Mam," elaknya memaksakan senyum, tapi cinta Ibu dapat membedakan seribu satu macam senyum.
Anita tahu, anaknya patah hati. Dengan Otto?!
"Karena itu Otto sudah lama tidak datang, Titi?"
"Ah!" anak perawan itu menghela napas.
"Janganlah sebut nama itu lagi, Mam."
"Kenapa, Sayang?" tanya Anita membelai rambut anaknya.
"Kalian bertengkar? Itu kan biasa?! Asal berbaik lagi."
Tapi Loti bagaikan tuli. Dia segera membalik buku dan sesaat kemudian mulai main mars dari Wagner. Under the Double Eagle, judul yang dibaca Anita.
Suara klakson memaksanya beraniak ke arah
luar. Tukang kebun tengah membuka pintu pagar. Mobil masuk dan Dokter Rasid segera keluar. Anita memberi isyarat supaya mereka duduk saja di beranda samping. Loti masih asyik main, tapi berlainan dari biasa, sekali ini tersendat-sendat seolah-olah kurang konsentrasi.
Anita mengambilkan sandal suaminya. Minah dipesannya agar membawa teh ke samping.
"Darwus," katanya setelah duduk di seberang suaminya.
"Aku rasa ada apa-apa yang tidak beres antara Loti dan Otto."
"Aku rasa begitu juga," sahut Darwus tenang.
"Kau sudah tahu?" tanya Anita kaget, seakan disengat kalajengking.
"Aku den gar-den gar, Otto sering kelihatan dengan gadis lain. Dan aku pernah lihat Loti bersama Frans."
"Siapa Frans?" tuntut Anita.
"Teman kuliahnya juga. Aku rasa cocok. Frans lebih berjiwa petualang. Ya, ya, aku rasa Frans akan cocok dikirim ke irian untuk riset," kata Darwus mengangguk-angguk setengah linglung.
"Kau! Yang kauingat cuma riset!" tegur Anita marah.
"Lho! Kalau mereka cocok dan kebetulan Frans senang riset, mau apa?!"
"Siapa bilang mereka cocok? Loti patah hati, tahu!"
"Jamak saja. Kalau masih muda tidak apaapa. Patah hati itu semacam penyakit pubertas, boleh dibilang pandemi juga, tapi tidak berbahaya sebenarnya. Ketika aku masih kuliah, ada dosen yang membuat diagnosa fractur'a hepatis, padahal aku condong mengatakan anemi. Pasiennya masih muda, gadis, tapi lesu, pucat, dan sering bengong. Tidak tahunya cuma ditinggal pacar!"
Dokter Rasid terkekeh geli sambil bangkit untuk memeriksa bibit bunganya, tapi Anita tidak mau menyambuti gelak itu. Ketika Minah muncul, dituangnya teh tanpa banyak bicara. Dimasukannya gula sesendok ke dalam cangkir suaminya tanpa bertanya lagi.
Loti beralih kini pada lagu Come Back to Somento. Aduh. Aduh. Anita merasa ikut teriris hatinya mendengar alunan nada seperti itu. Tidak salah lagi. Tidak salah lagi. Hancur sudah impiannya untuk Loti. Ibu mertua yang begitu manis takkan dimilikinya. Dan laki-laki sesabar dan selembut Otto di mana mau dicari duanya?!
Dokter Rasid tidak dapat mengimbangi perasaan istrinya. Dia sibuk menceritakan undangan kongres yang baru saja diterimanya tadi.
"Di Manila," katanya.
"Kau boleh ikut bila mau. Urus paspormu selekasnya. Kalau tidak salah, pasponnu harus diperpanjang, bukan?"
Anita tidak bergairah. Perhatiannya cuma ke piano yang sudah berhenti. Ditegangkannya telinganya. Tapi tak ada lanjutnya. Ditunggunya beberapa menit. Didengarnya derit halus kursi digeser, lalu bunyi kelom menuju ke belakang.
"Ti, kau tidak mau teh?" serunya.
"Tidak, Mam," sahut yang ditanya tanpa berhenti melangkah.
Dokter Rasid menoleh dan geli sendiri meli* hat tampang istrinya yang lesu.
"Kau atau dia yang patah hati sebenarnya?" tanyanya.
"Jangan berolok-olok, ah."
"Tidak usah menambah uban di kepalamu. Mereka pasti akan baik kembali!"
Tapi Anita terpaksa tidak dapat mempercayai ramalan suaminya ketika malamnya pasangan Lukman datang berdua.
"Mana Otto?" tanyanya masih di depan pintu, ketika menyambut tamu.
"Wah, sibuk katanya. Entahlah. Urusan diktat, mungkin," sahut Dokter Lukman. '
"Mana Loti?" balik bertanya ibu Otto.
"Juga sibuk," sahut Anita menggeleng.
Ketika mereka mendapat kesempatan untuk duduk berdua setelah makan, Anita membuka bendungan hatinya.
"Laksmi, saya rasa anak-anak kita bertengkar, lho."
"Ah, masa'?"
"Otto sudah lama tidak datang!"
"Wah, tidak saya perhatikan sampai ke sana. Coba, nanti saya tanyakan di rumah," janjinya.
"Telepon nanti, ya," pinta Anita dan Nyonya Lukman mengangguk.
"O, ya, apa kabarnya Andi Lumirang? Masih tidak mau buka mulut?"
Nyonya Hakim menggeleng. Kacamatanya tampak serasi betul dengan wajahnya yang bujur telur, menambah wibawanya, bukan menambah tua seperti yang kebanyakan ditakuti perempuan.
"Bandel sekali laki-laki yang satu itu, Anita. Katanya, walaupun dia akan dihukum mati, dia takkan menyeret anak perempuannya ke dalam dosanya!"
Anita mendengarkan dengan jantung berdegup kencang. Jadi Andi masih sayang pada Loti! Syukurlah. Kisah selanjutnya tidak menarik hatinya. Hatinya menjadi tenang setelah mendengar keterangan Laksmi.
Tak lama kemudian muncul kedua laki-laki itu dari kamar buku, asyik masih memperbincangkan sebuah penyakit.
"O, ya," seru Dokter Lukman seakan baru ingat,
"aku dengar kau mau diutus ke Manila? Hebat, tuh! Kongres eneok!"
Kedua laki-laki itu tertawa geli.
"Kongres apa, Pa?" tanya Nyonya Lukman.
"Kongres Rheumalologi," sahut yang ditanya.
"Kawan kita ini memang banyak rezekinya. Tempo hari ke mana, tuh? ke Amerika, ya?! Kali ini, Manila!"
"Ah, mereka terpaksa mengirim aku. Sebab tak ada yang berminat pada encok, Kemudian ada yang ingat bahwa aku mengidap penyakit itu. Jadi mereka harap kongres ini akan mememberi manfaat padaku."
"Pasti. Pasti," seru Dokter Lukman.
Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Pendekar Naga Putih 95 Utusan Dari
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama