Ceritasilat Novel Online

Sonata Masa Lalu 4

Sonata Masa Lalu Karya Marga T Bagian 4



"Kau kan calon dekan sepuluh tahun lagi! Harus kaujaga kesehatanmu!"

Dokter Rasid tersenyum senang, sebab kalimat itu kena betul di hatinya. Dia memang diamdiam sering mimpi ingin menduduki kursi dekan yang empuk itu. Dan pada saat yang bersamaan, anak serta menantunya akan menemukan sebuah

penyakit baru di belantara Irian Jaya. Ah, lengkap sudah mimpinya sampai di situ. Kalau boleh ditambah lagi, barangkali dia ingin menulis surat pada Brezhnev, untuk melamar kerja di Stasiun Antariksa Salyut-7. Di sana pasti penuh riset!

Malam cerah itu diakhiri dengan rasa puas bagi semua orang kecuali Anita. Berjuta bintang mengerling dan mengedip dengan jenaka, namun hatinya beku. Angin bertiup lembut, menggesek dedaunan begitu merdu, bagaikan beribu harpa di tengah galaksi melagukan nasib setiap manusia. Tapi Anita tidak mendengar. Kalbunya penuh duka untuk putri tercinta.

Dan kekhawatirannya memang menjadi kenyataan. Setibanya di rumah, Nyonya Lukman segera masuk ke kamar anaknya.

"Ot, ada salam dari Loti," katanya dengan nada gembira.

Otto tidak segera menyahut. Ibunya melihat tangannya mengepal seolah ingin menyumbat perasaannya yang tidak boleh terlontar ke luar.

"Bohong!" desisnya sesaat kemudian, hampir tak terdengar.

Nyonya Lukman maju selangkah lagi, sampai tepat di belakang kursi anaknya. Diusapnya rambut anaknya seraya mengintai ke meja tulis.

"Itu diktat yang harus kaubereskan?"

"Ya."

Hening, Otto menunggu.

"Ot, kabarnya kau sudah lama tidak bermain ke sana. Kenapa? Musuhan? Harus berbaik lagi, kalau begitu," bujuk ibunya.

"Ah, Mam," Otto menghela napas,

"belum cukup repotkah Mama mengurus para pelanggar hukum? Masih mau mencampuri urusan orang muda?"

"Otto Lukman," kata Ibu Hakim menggeleng,

"ini bukan urusan orang muda biasa. Ini urusan anakku! Engkau tampaknya bersusah hati. Aku harus tahu kenapa dan menolongmu kalau mungkin. Katakan, Nak."

Otto menunduk bisu.

"Kau bertengkar dengan Loti?" tanyanya membujuk.

"Kami sudah putus!" desis anaknya.

Nyonya Lukman terkejut, walau sudah diduganya juga.

"Kenapa, Ot?"

"Barangkali kami masih terlalu muda untuk urusan cinta, Mam."

"Tapi kan tidak perlu sampai putus? Boleh berteman terus, bukan? Loti itu anak yang manis dan baik!"

Otto merapatkan kedua gerahamnya. Ya, katanya dalam hati, memang Loti manis dan baik. Aku pun terkecoh olehnya. Setelah Frans, kemudian Alex! Setelah Alex, lalu siapa?!

"Mam, lupakanlah nama itu. Aku mohon," suara Otto tidak gagah dan lantang seperti biasa. Lesu.

Dan begitu pula suara ibunya ketika menelepon Anita.

"Anita, gawat!" katanya pelan.

"Mereka sudah putus!"

PARA assisten pun akhirnya tahu hubungan Loti dan Otto sudah putus digerigiti rayap kecemburuan. Maka asisten Kimia ikut pula bersaing dengan Frans dan Lindung. Tentu saja lebih banyak keuntungan ada di tangan Samin. Dengan mudah dia dapat menekan kedua mahasiswa itu dalam ujian. Dan secara halus disinyalirnya hal itu, walau dibumbui ketawa ceria. Di depan Loti, lagi!

"Hati-hati, Bung!" tegur Samin pada Frans.

"Jangan ganggu adik saya." Lalu ditambahkannya di bawah napas, supaya gadis itu tidak mendengar,

"Aku gencet kau di ujian, tahu rasa!"

Frans ngeri juga, tapi belum menyerah. Asisten itu tidak kurang pula akalnya. Tahu bahwa Loti tidak suka sepakbola, ditukarnya karcis bolanya dengan karcis bioskop. Pelan-pelan dia merencanakan untuk mengajaknya ke bioskop drive-in.

Dan untuk mengambil hati Dokter Rasid, Samin mendaftarkan diri sebagai tenaga sukarela di Bagian Riset Biokimia. Setiap orang tahu,

ayah Loti sudah riset-maniak. Biar dia tahu, bahwa calon menantunya juga dihinggapi kegilaan yang sama, pikir Samin.

Sementara itu Loti masih belum berhasil mengambil kembali hatinya yang sudah diberikannya pada Otto. Pemuda itu pun tidak kelihatan berniat mengembalikannya.

Gambar Otto sudah lenyap dari atas meja. Tapi bayangannya sudah menjadi serat-serat jaringan tubuhnya, tak mungkin lagi disadap ke luar. Loti menyadari kini betapa sulitnya melupakan orang yang selalu kita lihat setiap hari. Dan masih kita lihat di kuliah, di rumah, di kamar, bahkan dalam mimpi.

Aku terkutuk dengan cinta ini, pikirnya. Cinta yang tidak dapat menjadi miliknya. Tidak ada yang mau menjadi menantu Andi Lumirang. Takkan ada yang sudi ketetesan darahnya. Darah terkutuk. Otto, betapa kau kudambakan! Wajahmu takkan PUPUS dan ingatanku. Tapi, mengapa?! Mengapa tidak kaubiarkan aku melupakan masa kini yang tidak lagi menjadi milik kita, dan masa datang yang masih berserakan di segenap penjuru?

Di mana tak ada cinta, di situ tak ada harapan. Di mana tiada harapan, di situ tiada ketenangan. Dan di mana tiada ketenangan, di situ takkan

ada kebahagiaan. Tapi, sedikitnya, biarkanlah aku lupa. Biarkanlah aku tidur nyenyak dalam dekapan mimpi sepanjang masa. Jangan biarkan aku pernah terjaga. Supaya tidak usah aku tahu, bahwa masa lalu bukan masa kini, bukan masa depan.

Namun Otto tidak peduli lagi. Dia seakan selalu hadir di mana ada Loti. Bahkan setengah memaksanya melihat senyum kemenangan memoles wajah Dewi tiap hari. Dan Loti tak berdaya. Dia insaf, hatinya sendiri yang membawa Otto ke mana-mana. Dia takkan terlepas lagi. Belenggu cintanya sudah terlalu lama mengikat dirinya dan kuncinya ada dalam tangan Otto. Barangkali sudah dilemparnya ke tengah lautan dendam untuk menghukumnya. Dia kini menjadi budak dari perasaannya sendiri! Betapa mengerikan! Seumur hidup tak mungkin lagi baginya mencintai orang lain, sebab hatinya masih di tangan laki-laki itu. Dan tak mau dikembalikannya!

Itu pun masih belum cukup. Frans datang menusuk hatinya.

"Lot," katanya,

"Dokter Sembiring, memang tampan. Tapi dia kan sudah beristri. Haruskah kaurusak rumah tangganya?"

"Siapa yang bilang?" lengking gadis itu kaget.

"Ada burung hinggap di bahu dan berkicau di telingaku," sahut Frans.

Dewi! Pasti dari Dewi! Dan dia mendapatkannya dari Otto! Dari mana lagi?

"Frans, kelak bila kau sudah menjadi pacarku, bolehlah kawatur aku sesukamu. Sekarang kan masih taraf pemilu?! Jangan campur urusanku, ah!"

Tapi Frans tidak menjadi gusar ditegur begitu. Sama sekali tidak. Dia malah hampir berjingkrak karena senang.

"Jadi, kauizinkan aku bersaing dengan Samin dan Lindung? Jadi, masih ada kesempatan? Aku boleh...?!"

"Dapatkah aku melarang?" tanya Loti tersenyum.

"Itu kan urusanmu!"

Loti sebenarnya berniat menemui Alex Sembiring lagi, sebab tampaknya dia tidak dapat mengambil keputusan. Malah menjauhi Loti. Tapi, mengingat desas-desus yang tersiar, terpaksa Loti membatalkan niatnya. Salah-salah, sampai ke telinga istrinya, bahwa suaminya ada main dengan mahasiswi. Dia tidak mau menambah beban hidup perempuan lain. Mempunyai suami setampan dan seluwes Alex, sudah merupakan beban, walau tanpa cerita burung.

Di samping itu, dia sibuk memperhatikan perkembangan perkara Andi Lumirang, orang yang telah mengirimnya ke dunia ini.

Pada suatu siaran warta berita TV, Loti mendengar bahwa penjahat itu masih terus membungkam, tidak mau menyebut siapa dan di mana wanita yang dicintainya itu serta anak perempuan mereka. Andi bilang, dia tidak pernah mendapat kesempatan untuk mencintai anaknya. Biarlah tindakannya sekali ini menjadi bukti bahwa dia mencintainya, di mana pun anak itu berada. Dia tidak mau menyeretnya ke dalam kancah dosanya. Dia tidak mau melumurinya dengan nista, cuma demi keingintahuan yang dangkal dari manusia-manusia yang senang sensasi.

Kata penyiar,

"Bila terbukti Andi mempunyai anak, dan kejahatannya selama itu disebabkan oleh tekanan batin karena terpisah dari anaknya, maka dia dapat diberi keringanan hukuman. Tapi kalau dia tetap bungkam seperti sekarang, kemungkinan besar dia akan dibuang seumur hidup ke Nusa Kambangan! Satu-satunya harapan kini, keluarganya sendiri yang akan sukarela memperkenalkan diri, untuk menolongnya. Andi mengancam akan melakukan mogok makan bila dia didesak terus. Dia menyatakan tidak gentar, walau terhadap hukuman mati sekalipun. Dia tahu, dia pantas dihukum."

Loti tidak bergerak. Anita mendengarkan dengan tegang, tapi tanpa komentar. Dokter Rasid

santai saja, seolah itu berita di Ujung langit sana yang tidak menyangkut mereka.

Loti ingin sekali melihat rupa Andi Lumirang. Tapi TV agaknya tidak sudi memotretnya. Sedang koran tidak lagi memuat gambarnya, setelah pasfotonya yang tua dulu.

Hatinya resah mengingat ayahnya akan dibuang ke Nusa Kambangan seumur hidup. Dia bingung bagaimana caranya untuk menolong tanpa ikut terseret. Bila hakim ketuanya bukan ibu Otto, barangkali dia sudah datang padanya untuk memperkenalkan diri, sekaligus minta supaya identitasnya dirahasiakan. Tapi terhadap Nyonya Laksmi Lukman SH, tak mungkin dia berbuat seperti itu. Akan makin bersyukur saja Otto dalam hati dan Dewi pasti akan getol menyebarkan hal itu ke seluruh kampus. Tidak, pada Ibu Hakim Lukman tak dapat dia menitip rahasia.

Habis pada siapa? Manusia mana yang dapat menolongnya? Ibunya bungkam. Dia tidak berani pula membuka mulut di depan Pa di depan "dia".

Loti bergulat dengan perasaannya dan diamdiam diputuskannya sesuatu. Dia harus melihat Andi Lumirang. Sebelum laki-laki itu dibuang ke Nusa Kambangan!

Anita masih menyulam pada waktu senggang di kamarnya. Dia membereskan paspor dan surat-surat yang diperlukan dengan setengah hati. Enggan rasanya ke Manila meninggalkan Loti yang tengah patah hati. Tapi, kalau dia tidak ikut, tentu Darwus akan kecewa. Dan bila dia kecewa, apa saja mungkin terjadi.

Darwus paling ahli menekan batin istrinya, menguras habis air matanya. Cuma dengan mimik dan gerak. Dia tidak pernah memukul, tentu saja. Tapi terkadang pukulan yang tidak turun itu dapat lebih kejam daripada celetar cambuk yang hinggap di punggung.

Sudah bulan Desember. Sering hujan malam hari. Bumi yang gersang dari siang tampak meneguk air mata angkasa itu dengan girang, sementara dedaunan menari seolah bersyukur terlepas sudah dari terik matahari.

Anita menyulam cintanya ke atas hadiah ulang tahun anaknya. Pikirannya yang tidak perlu konsentrasi, merayap dan berjingkat membuka-buka kenangan lama.

Waktu itu, Desember juga. Loti sudah hampir tiba. Perutnya sudah buncit sekali. Dia berbaring diam. Hatinya meratap, merindukan sepotong belaian. Darwus baru saja keluar dan ruang belajarnya. Anita menoleh. Laki-laki itu berdiri di

muka pintu, menatap perempuan gendut yang berbaring di tempat tidurnya.

Hidungnya bergerak-gerak. Bibirnya terkatup rapat. Matanya sedikit terpicing. Dan air mukanya seakan jijik. Anita menggigil seolah terlempar ke dalam sungai yang dingin.

Darwus mendekat, lalu berbaring. Seperti malam-malam sebelumnya dan malam-malam sesudahnya, dia mendekati Anita, mengambil haknya. Tanpa belaian. Tanpa sepatah kata. Anita ditinggalkannya sendirian dalam lorong gelap, menggelepar-gelepar kesepian dan kering kehausan. Engkau takkan pernah mau memaafkan, apalagi mencintai aku, pikirnya.

Dan semua itu sudah ditanggungnya selama sembilan belas tahun lebih, demi Loti. Darwus sudah membalas sakit hatinya selama itu pula. Dia dianggap tidak lebih dari jambangan kotor tempat orang membuang air cucian. Perasaan, nya sudah didera ribuan kali oleh penghinaan kecil-kecilan yang takkan mungkin diadukannya pada siapa pun, sehingga lambat-laun dia terbiasa. Harapannya akan sepotong cinta sudah lama direbusnya dalam golakan perasaannya, dan dibiarkannya menguap tanpa bekas. Dia sudah merasa bersyukur, bahwa Darwus tidak mengusirnya bersama Loti.

Anita demikian terbenam dalam lamunan, sehingga tidak didengarnya derit pintu kamar belajar. Tahu-tahu Darwus sudah berdiri di depannya. Anita mendadak sadar, bahwa dia telah menangis. Dengan malu disekanya matanya, lalu pelan dia tengadah menatap wajah yang menunduk penuh selidik.

"Kenapa kau menangis, Net?"

Heran sekali perempuan itu mendengar ada perhatian baginya. Mungkin untuk pertama kali. Dia tidak ingat yang dulu-dulu. Dan tidak mungkin dia lupa, kalau pernah terjadi.

"Tidak apa-apa," sahutnya makin pelan, mencoba mengelak untuk menunduk kembali.

Tapi jari-jari suaminya menggenggamnya kuat sekali, walau tanpa menimbulkan nyeri.

"Setiap air mata pasti ada sebabnya!" tuduhnya. Lalu disambungnya dengan sedikit sinis,

"Apakah akan kukatakan padamu sebabnya?!"

Darwus membungkuk, sehingga wajahnya cuma beberapa senti lagi dari Anita. Bibirnya tersenyum, mungkin sinis, mungkin pula penuh kemenangan. Anita tidak berdaya melepaskan diri. Jantungnya berdegup kencang. Wajahnya merona merah, menambah kecantikannya. Apalagi yang akan diperbuatnya denganku, pikirnya. Oh, Darwus, tidak pernahkah terpikir olehmu bahwa aku cinta padamu? Bahwa Loti

yang tersayang sebenarnya cuma buah keingintahuan kami yang tak kenal bahaya?

"Anita van Hooydonk," desisnya, dan napasnya membelai hangat puncak lehernya,

"engkau baru saja menangisi kekasihmu, bukan? Engkau menangisi Andi Lumirang, bukan? Hm! Kau ingin bersamanya, bukan? Tapi sungguh sayang, kau adalah milikku. Kaudengar? Kau adalah perempuan milikku! Dan aku takkan mengizinkan engkau menjumpainya. Menyedihkan, bukan? Seorang nyonya muda yang masih cantik terbang melayang menjumpai bekas pacarnya, tapi sayang seribu sayang, cuma dalam mimpi. Lihatlah kenyataan! Kau berada dalam genggamanku! Seperti saat ini!" dan di guncangnya dagunya beberapa kali untuk mengingatkannya.

"Aduh, kau menangis lagi. Aku sudah menyakiti hatimu, bukan?" suaranya sangat sinis. Tidak salah lagi, dia tengah membalas dendam untuk kekecewaan yang pernah diserahkan Anita pada malam pertama mereka.

"Ya," lanjutnya,

"selama ini aku selalu menyakiti perasaanmu, bukan? Aku selalu meninggalkan engkau menggelepar sendirian di tengah jalan, bukan? Kau harus tahu, itulah bagian perempuan yang suka memperdaya suami! Ya. ya, kuraslah air matamu puas-puas. Aku senang

sekali dapat membuat kau menangis. Jadi, kau akan tahu bagaimana rasanya disakiti dan dikecewakan oleh orang lain! Dan supaya kau tambah penasaran, marilah aku beritahu sebuah rahasia. Net, dulu aku cinta sebenarnya padamu. Tapi cinta itu sudah kaucemooh dan kauinjak-injak dalam pelukan bajingan itu! Dan kautambah kemarahanku dengan memilih manusia seperti Andi Lumirang! Mengapa tidak kaupilih manusia yang lebih baik? Tapi Andi, pemerkosa dan pembunuh! Dan kau lebih suka mencintai dia daripada aku! Betapa pedih hatiku! Padahal aku cinta... aku..." Suaranya berubah menjadi parau, menjadi pelan, lalu mendadak dilepasnya tangannya. Laki-laki itu menghela napas, seakan baru sadar dari sebuah mimpi buruk. Diambilnya sehelai sapu tangan dan diberikannya pada Anita. Sekarang dia menyesal telah membuatnya menangis.

Baru saja mau dihiburnya Anita, dia sudah teringat kembali bahwa perempuan itu tidak mencintainya. Bahwa hingga detik itu dia masih menangis untuk kekasihnya. Dikepalnya tinjunya. Marahnya naik lagi.

"th," katanya sinis,

"hentikan tangismu. Walaupun sampai buta, engkau takkan kulepas. Engkau takkan mungkin hidup bersama dia lagi.

Engkau milikku! Ya, kau tidak mencintai aku, tapi aku puas dapat memiliki dirimu dan menyiksamu seperti ini!"

"Darwus!" desis Anita tiba-tiba.

"Lebih dari sembilan belas tahun lamanya kausiksa aku! Belum cukupkah?"

"Sampai seumur hidupmu, Nyonya!" ejeknya, berdiri di depannya, kemudian diletakkannya kedua tangannya di punggung sofa, sehingga Anita terkurung.

"Rupanya kau takkan puas sebelum aku mati!" bisik Anita diantara sedu sedan.

"Aku baru akan puas bila kau sudah bertekuk lutut mengantarkan cintamu padaku dan melupakan orang itu!"

"Tapi.... tapi.... oh, Darwus," isaknya,

"aku kan cinta padamu! Aku... aku... berharap kau akan... kau akan... cinta juga padaku. Tapi... tapi sikapmu membuat aku... putus asa... aku tidak berani lagi berharap..."

"Terus... terus, enak sekali berdusta, ya. Kau memang jempolan!"

Anita menatapnya. Tiba-tiba jarum sulam dilepasnya, dan tanpa disadarinya tangannya sudah terangkat lalu mendarat di atas wajah suaminya. Sejenak laki-laki itu keheranan. Pipinya memerah bekas tamparan. Diusapnya pelan. Lalu

tahu-tahu Anita ditariknya berdiri. Di pegangnya kedua bahunya erat-erat.

"Kapan kau pernah bilang, kau cinta padaku?!" tuntutnya dengan bengis.

"Kapan?!"

"Aku tidak berani mengatakannya," sahut Anita sambil mengisak.

"Jadi, bagaimana aku akan tahu?"

"Dari sikapku.

"

"Net, aku tidaklah sepeka itu," gelengnya.

"Apa yang tidak aku dengar, takkan aku ketahui! Jangan lupa, kau telah membius perasaanku dengan kebohongan yang sangat mengecewakan. Hatiku menjadi kasar, penuh bisul cemburu. Setiap kali teringat bahwa kau lebih menghargai seorang bajingan daripada aku, mau rasanya kusakiti terus perasaanmu."

"Aku tidak pernah men... cintai... nya," bisiknya dengan isak terakhir.

Darwus tiba-tiba mendekap Anita erat-erat.

"Katakanlah sekarang," pintanya.

"Aku ingin sekali mendengarnya."

"Aku... cinta padamu."

Hening sesaat. Lalu, seakan teringat sesuatu, dilepasnya pelukannya. Dipegangnya kembali bahu Anita dan ditatapnya.

"Tapi, kenapa kau menangis tadi?"

"Aku tidak sadar, bahwa aku telah..."

"Ya, tapi kenapa?"

"Sesekali aku terbenam dalam lamunan. Aku rindu akan belaianmu. Sekali pun jadilah. Aku berkhayal, alangkah bahagianya bila kau dapat mencintai aku. Tapi selama ini, batinku kausiksa melulu. Dan aku menghibur diri, bahwa semua penderitaan itu demi Loti. Biarlah."Anita mengisak lagi dan berusaha menunduk, menyembunyikan air matanya.

"Aku tahu, kau takkan pernah mau memaafkan."

Suaranya makin pelan dan makin pelan. Darwus memandang wajah cantik yang sebenarnya sudah lama menjadi miliknya. Sayang dia tidak tahu. Dia tidak pernah riset perasaan wanita!

Tiba-tiba didekapnya kembali perempuan itu dan diremuknya seerat-eratnya.

"Net, aku akan menghidupkan kembali cintaku bagimu. Aku berjanji!"

***

RUANG sidang penuh sesak. Pengunjung Kebanyakan wanita. Hari itu giliran Andi Lumirang untuk tampil ke depan mempertanggungjawabkan dosanya. Para saksi sudah diajukan pada sidang-sidang sebelumnya. Sejauh itu, sudah muncul delapan saksi. Semuanya memberatkan. Mungkin masih akan datang beberapa lagi, semuanya korban atau keluarga korban.

Di belakang meja panjang beralas kain hijau duduk tiga orang hakim. Ketuanya seorang wanita. Berkacamata. Tampak agung dan penuh wibawa dalam toganya. Kemudian ada beberapa meja di sebelah kiri dan kanan untuk jaksa, pembela, dan penulis.

Loti duduk di baris ketiga dari depan, supaya tidak mudah terlihat oleh Ibu Hakim Ketua. Tapi sebenarnya dia tidak usah khawatir, sebab Nyonya Lukman SH tidak memperhatikan setiap wajah yang hadir.

Loti terpaksa bolos kuliah, karena tak tertahan hatinya ingin melihat Andi Lumirang. Seperti

apakah...? Dia tertegun ketika orang tahanan itu dibawa masuk.

Dia mengira laki-laki itu pasti menakutkan, dengan kumis dan brewok yang kasar. Tapi yang dilihatnya adalah seseorang berumur empat puluhan, kurus, berpakaian rapi walau dari bahan murah, tinggi badannya sedang dan wajahnya simpatik. Ada goresan melintang di dahinya. Matanya kelihatan ramah. Hidungnya mancung. Bibirnya menyimpulkan senyum. Dia tampan, pikir gadis itu tiba-tiba. Ayahku tampan! Ada seberkas rasa bangga menyapu dadanya. Sekejap. Sebab segera juga dia menyadari siapa ayahnya. Loti menghela napas.

Dan suaranya begitu kalem, pikirnya tergugu. Andi dengan jelas dan sopan menjawab semua pertanyaan jaksa dan hakim. Dia mengakui semua perbuatannya dan menyatakan menyesal.

"Huh!" desis seorang pengunjung.

"Enaknya, menyesal! Segampang itu? Hutang jiwa, bayar jiwa!"

"Tembak saja," usul yang lain, tidak berani keras-keras sebab beberapa penjaga sudah melotot ke arah mereka.

"Enak betul ditembak! Siksa dulu! Kerja paksa! Jangan diberi makan!" Loti tidak mempedulikan orang-orang itu.

Perhatiannya tertuju bulat-bulat ke depan. Wajah ayahnya yang sendu, sebentar lagi akan lenyap dari dunia, ditelan Nusa Kambangan. Dan dia pasti akan mimpi mengunjunginya, berusaha menyeberangi selat kerinduan yang memisahkan mereka.

Tibalah kini titik yang menentukan itu. Andi dibujuk, kemudian diminta, lalu diperintah, agar menyebutkan nama anaknya. Demi keringanan hukumannya.

"Saya tetap pada pendirian saya seperti dalam pemeriksaan pendahuluan."

Suaranya tenang. Tidak begitu jantung perawan itu yang melonjak-lonjak seolah mengancam akan putus.

"Ketika anak itu masih di Taman KanakKanak, saya biasa menantikannya dengan sebuah bonbon di pinggir pagar. Setiap hari. Ibunya sudah menikah dan dia menjadi anak orang lain. Saya tidak rela. Saya bujuk ibunya agar mau kembali pada saya. Tapi saya tidak punya apa-apa. Tidak ada rumah. Tidak ada kerja. Tidak ada yang dapat saya tawarkan. Sedang suaminya kaya. Perempuan itu tidak mau. Mungkin juga dia sakit hati sebab telah saya tinggalkan lima tahun lamanya. Demi Tuhan, saya tidak tahu tentang kehadiran anak itu. Saya pergi men

gadu nasib. Untuknya juga. Untuk hari depan kami. Setelah ditolak begitu, saya menuntut anak itu. Bagaimanapun, itu anak saya. Ingin saya pelihara dan rawat sendiri dengan seadanya. Saya tidak rela anak itu memakai nama laki-laki lain. Saya tidak rela dia memanggil ayah pada orang itu. Tapi ini juga tidak saya peroleh. Ibunya menerangkan panjang lebar, betapa akan menderitanya anak itu bila hidup dalam kemiskinan bersama saya. Malah diejeknya saya. Gubuk pun tidak saya miliki. Di mana akan saya suruh anak itu tinggal? Kalau saya pikir-pikir sekarang, memang ada benarnya juga. Bersama saya, anak itu cuma akan mengenal penderitaan saja. Tapi saat itu, panas hati saya. Anak itu hak saya, yang telah direnggutkan orang dari samping saya, semata-mata karena saya tidak dapat menyediakan kemewahan dan harta benda. Saya merasa sakit hati pada dunia. Tidak adil. Sama sekali tidak adil. Saya benci perempuan yang cuma memikirkan gemerlapnya surga uang. Mula-mula saya benci ibu anak itu. Lambat-laun, saya merasa sakit hati pada setiap wanita. Menurut saya, karena wanitalah saya jadi menderita. Saya sangat penasaran. Oh, waktu itu saya sangat penasaran. Tapi sekarang saya sudah sadar. Saya menyesal. Anak itu pasti sudah besar. Pasti cantik seperti ibunya ." Andi tersenyum, matanya memandang ke muka, tapi tidak melihat apa-apa.

Loti menyeka matanya diam-diam. Dibersitnya juga hidungnya. Perempuan di sebelahnya mengisak pula.

"Apakah anak itu tinggal di kota ini?" tanya Jaksa.

Andi cuma melanjutkan senyumnya.

"Siapa namanya?" desak Jaksa.

Senyum itu belum juga hilang.

"Manis sekali," gumam Andi.

"Dan saya beri bonbon, tapi sopirnya dengan cepat menariknya pergi. Ah. sedangkan sopir masih lebih berhak menuntun tangannya yang mungil itu. Saya, tidak. Sungguh penasaran rasanya hati saya."

Jaksa berpandangan dengan seseorang yang duduk di sebelah kanan. Loti mengenalinya. Dosen Psikiatri. Dokter itu bangkit dan menghampiri Andi.

"Pak Andi," tegurnya dengan sabar.

"Bapak belum menjawab pertanyaan Pak Jaksa."

Andi menoleh. Dia sadar lagi dari lamunannya.

"Memang sering ngaco," bisik dokter itu ke telinga Jaksa.

"Sering kembali ke masa lalu."

"Tanya apa?"

"Katakan di mana anak itu, Pak. Kalau tidak, bagaimana kami akan tahu betul tidaknya cerita Bapak?" ulang Jaksa lagi.

Andi menggeleng.

"Saya tidak akan membawa-bawa anak saya. Bapak tidak usah mempercayai cerita saya. Mau hukum, boleh hukum. Mau tembak, boleh tembak. Tapi anak itu tidak boleh tahu siapa saya. Bapak juga punya anak, bukan? Anak perempuan? Dan Bapak juga sayang padanya, bukan? Kalau Bapak menjadi saya, maukah Bapak mencelakakan anak itu dengan menyebut-nyebut namanya? Bapak pasti tahu, anak itu akan diejek oleh kawan-kawannya. Dijauhi. Dimusuhi. Sampai hatikah Bapak membiarkan itu terjadi? Saya tidak mampu merawat anak saya. Tidak mampu memberinya rumah dan mobil bagus. Tidak mampu menyekolahkannya. Tapi saya sangat cinta padanya. Tidak sehari pun lewat tanpa saya kenang dia dan saya sebut namanya. Apakah sekarang akan saya khianati orang satu-satunya yang saya cintai?" Andi menggeleng lagi.

"Tapi Bapak akan mendapat keringanan hukuman. Dan kami juga dapat merahasiakannya demi anak itu. Bapak dapat menuliskannya pada secarik kertas dan cuma para Hakim, Pembela, serta saya yang akan membacanya."

Jaksa meminta secarik kertas pada Penulis dan menyorongkannya pada Andi. Laki-laki itu menepiskan kertas itu.

"Apakah saya akan dihukum seumur hidup? Silakan. Atau mau dihukum mati? Saya rela. Saya menyesal atas perbuatan-perbuatan saya. Tapi pada saat terakhir saya dalam dunia ini, berilah saya kesempatan untuk memperlihatkan cinta saya pada anak yang tidak pernah mengenal saya. Apakah Bapak dan Ibu sekalian masih mau juga merampas kesempatan terakhir saya ini? Apakah saya mau dianggap seperti binatang yang tidak dapat menyayangi anak sendiri? Nasib saya buruk. Kalau saja saya kaya, anak itu pasti ada di samping saya saat ini.

"

Andi menunduk. Bahunya bergerak-gerak. Loti tahu, laki-laki itu menangis. Matanya sendiri sudah penuh air. Jaksa hilir-mudik dengan rasa putus asa. Pembela juga tampak gelisah. Andi dapat diancam hukum buang seumur hidup! Dan itu lebih ganas daripada tembak sekali mati.

Tiba-tiba, sebelum orang menyadari apa yang sebenarnya terjadi, seorang pengunjung keluar dari kursi, melangkah setengah berlari ke depan dan sebelum penjaga sempat mencegah sudah menubruk Andi.

"Ayah!"

lsak tangis terdengar membelah udara yang tiba-tiba menjadi senyap. Andi kaget. Diangkatnya mukanya yang basah dan ditatapnya wajah ayu yang menggeletak di dadanya.

"Loti! Kau?! Ah, sudah sebesar ini! Kau cantik sekali. Mirip ibumu. Kau cantik, Nak. Jangan menangis. Kau banyak susah? Apakah mereka mencintaimu di rumah?" Andi mengusap-usap wajah anaknya, seakan dia masih bocah cilik yang datang mengadu setelah kalah bermain.

Loti tidak sanggup berkata-kata. Dia cuma mengangguk-angguk saja. Seakan baru terlepas dari mantra sihir, seluruh ruang sidang geger. Dari pengunjung sampai Ibu Hakim Ketua. Dia mengenali gadis itu.

Pada saat itulah sebuah kamera menjepretnya. Loti yang tengah menyaksikan warta berita TV itu kaget setengah mati melihat dirinya dipotret dalam pelukan Andi Lumirang. Tapi lebih kaget lagi Dokter Rasid.

"Astaga!"

Lebih dari itu tak mampu dikoreknya dari gudang kata-katanya. Dia tertegun beberapa menit. Wajah Loti jelas sekali. Tengah menangis. Setiap kenalan dan teman pasti akan mengenalinya.

"Apa-apaan!" teriak Dokter Rasid setelah ingatan kata-katanya pulih lagi.

"Apa-apaan, hah?"

Pertanyaan itu ditujukan pada Anita yang sejak tadi membatu di kursinya, dingin dan pucat. Dokter Rasid bangkit dari sofa dan berjalan mondar-mandir. Kaki encoknya mendadak tidak timpang lagi.

"Dari mana dia tahu?!" hardiknya setelah pertanyaan pertamanya tidak terjawab. Wajahnya merah. Tinjunya terkepal di belakang punggung.

Anita menoleh dengan wajah beku.

"Dia mendengar obrolan kita sore dulu itu," jawabnya pelan.

"Hm."

Hening sejenak. Dokter Rasid sedang mengingat-ingat. Dan teringat!
Sonata Masa Lalu Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi aku tidak menyebutkan namanya waktu itu. Kaujuga tidak!"

Anita terdiam merasa bersalah.

"Dari mana dia tahu, ha?! Kau, ya?! Dan kau, Loti! Kaubikin aku malu, ya!!!"

Sekonyong-konyong bangkit perawan itu dari duduknya.

"Dia ayahku!" serunya keras.

"Aku berhak

tanu! dia sayang padaku dan aku juga cinta padanya!"

Loti berlari ke luar ruangan sambil menangis. Didengarnya ibunya marah.

"Kau terlalu, Wus! Kausakiti perasaannya! Itu kan ayahnya!"

Oh, untuk pertama kali didengarnya kedua orang itu bertengkar. Dan itu karena dirinya. Dia tidak melihat Dokter Rasid menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mengaduh pelan, sambil membanting diri ke dalam kursi.

"Oh! Sekarang aku tidak lagi punya anak!"

"Dia masih tetap anakmu, Wus," bisik Anita, mendekat dan membelai sebelah tangannya.

"Dia akan tetap menjadi anak kita. Tapi dia juga berhak tahu siapa ayah kandungnya."

"Aku begitu ingin melindunginya dari bencana seperti ini. Aku ingin hidupnya mulus. Aku ingin dia menjadi anak kandungku," keluh laki-laki itu sambil mengangkat kembali tangannya.

Di luar tiba-tiba terdengar derum motor.

"Ah!" seru Anita terperanjat, bergerak mau bangkit.

Darwus mencegahnya.

"Kalau dia masih tetap anak kita, dia akan kembali." bisiknya.

Perasaan Loti bercampur-aduk. Maran, sebel, jengkel dan putus asa. Honda bebeknya mengaum membelah kegelapan malam, menuju ke ujung dunia. Dia belum tahu akan ke mana.

Langit mendung. Tak ada bulan, apalagi bintang. Angin dingin mengiris tubuhnya. Dalam kejengkelannya, dia telah lupa mengambil jaket. Bagaimana dia sempat naik lagi ke loteng? Suara Pa... suara "dia" begitu menyakitkan! Itulah pertama kalinya Loti dihardik oleh Dokter Rasid. Hatinya pedih. Seumur hidupnya dinantikannya sebuah senyum, sebuah bujuk, sebuah peluk, dari orang yang dipanggilnya Papa. Tapi, ketika dia membuka mulut, suaranya telah mendinamit ketenteraman hidupnya. Rindunya yang tak pernah terpuaskan memacunya kini ke arah tak bemama.

Loti ingat kembali belaian sayang Andi. Bisikannya yang penuh rindu.

"Mengapa kau datang, Nak? Mengapa kau susah-susah untukku? Nanti orang-orang akan mengejekmu! Teman-temanmu, tetangga, kenalan. Mengapa kau kemari? Ah, Loti, betapa Ayah rindu padamu!"

Dan belaian semesra itu belum pernah didapa

tnya dari "dia". Air mata Loti bercucuran. Sambil mengganti persneling, dikertaknya giginya dan dihapusnya matanya dengan sengit. Kenapa aku harus menangisi cinta yang tidak akan diberikan padaku? Aku bukan anaknya,jadi tidak perlu kuharapkan sayang dari hatinya!

Tapi, Otto! Ah, kalau Otto masih bersamaku, takkan terlalu berat beban ini bagi kalbuku yang mulai binasa. Otto akan mampu menghidupkannya kembali. Dia pasti dapat menghibur dan mengisi kekosongan hatiku. Tapi di manakah dia? bersama Dewi? Atau Nida? Atau sendirian di kamarnya? Bersama bayangan cintanya yang baru? Nida atau Dewi?!

Tidak terasa dia sudah memasuki Jalan Jendral Sudirman. Dibiarkannya bebeknya melaju ke arah kota. Pikir-annya kosong. Didengarnya suara mobil, dilihatnya mereka berpacu saling mendahului, tapi semuanya seakan jauh, jauh sekali. Seperti terlihat dari balik kacamata yang salah.

Air matanya yang sunyi bergelantungan di sudut-sudut pelupuknya, seperti stalaktit yang kesepian, putih, bening, dan penuh rindu.

Di Bundaran Thamrin ada taksi yang mogok. Penumpangnya keluar dengan marah. Walaupun Loti tidak mendengar apa yang dikatakannya,

jelas kelihatan kemarahannya mengangkasa bersama awan hitam yang terserak penuh ancaman. Dan perempuan di sampingnya berpakaian sangat gelap, segelap malam-malam milik empu sihir. Apakah mereka dalam perjalanan asmara ke tempat rahasia yang penuh janji?! Tapi awan hitam juga punya janji. Seperti wajah penuh dengki, mengawasi manusia dari ketinggian abadi, siap menumpas semua kecerahan di bumi.

Tapi Loti tidak peduli. Dia melaju terus. Setelah lewat Lapangan Merdeka, barulah niatnya mengambang ke alam sadar. Dia ingin menemui ayahnya dalam tahanan. Andi Lumirang divonis seumur hidup dalam rumah sakit jiwa! Laki-laki itu tersenyum acuh mendengarnya. Entah, mengertikah dia saat itu? Atau tidak? Wajahnya acuh terus. Perasaan dan pengertiannya sudah disita penuh oleh kehadiran masa lalu yang cantik.

Ketika dia tiba di Glodok, hujan sudah mulai menari-nari di udara. Dihentikannya motor dan didekatkannya ke pintu gerbang. Penjaga tengah menjalankan ritual menyulut sebatang Gudang Garam dan tidak melihatnya. Atau sengaja tidak memperhatikannya.

Dimasukkannya dua jari ke dalam mulut dan ditiupnya. Penjaga itu hampir tersungkur mendengar siulan nyaring itu. Rokoknya terpelant

ing ke dalam hujan. Loti tersenyum. Kepandaian masa kecil itu rupanya belum pudar.

"Sialan!" kutuknya sambil mengangkat kembali rokok itu dari tanah dan menggosok-gosoknya ke kaki celananya, lalu dihampirinya gerbang.

"Mau apa?!" tegurnya kaku, teringat kemontokan yang mesti ditinggalkannya di rumah kala malam begini sepi dan dingin.

"Selamat malam, Pak. Saya permisi mau menengok tahanan," kata Loti semanisnya.

"Siapa?" Matanya jelalatan mengukur kecantikan perawan itu.

"Andi Lumirang."

"Hm. Lumirang? Tunggu sebentar."

Dia berjalan masuk ke dalam kantor, berbicara dengan seseorang, lalu kembali berdua dengan seorang laki-laki gemuk yang kumisnya melintang sepanjang Jembatan Semanggi.

"Nona siapa?" tanyanya dengan logat seberang.

Loti berpikir cepat. Tentu saja tidak dapat dia berterus-terang. Dia tidak mau menimbulkan heboh atau menjadi tontonan.

"Keluarganya."

Si gemuk melihat keragu-raguan gadis itu. Betulkah, pikirnya? Setahu dia, Andi tidak per

nah ditengok keluarganya. Bukankah ini salah satu korbannya? Atau keluarga dari korban itu?

"Mau apa?"

"Mau ketemu, Pak."

"Kalau begitu, harus datang pagi. Senin, Rabu, atau Jumat. Tidak bisa sekarang."

Loti sekonyong-konyong teringat, bahwa dia lupa membawa uang. Brengsek. Dia takkan berdaya memaksakan kehendaknya.

"Pulanglah cepat," kata orang itu lagi.

"Nanti kehujanan."

Tiba-tiba muncul orang ketiga yang jangkung kurus seperti galah jemuran.

"Ada apa? Ada apa?"

"Ini, ada yang mau bezoek Andi Lumirang."

"Wah, bajingan itu memang simpatik. Saudari bukan yang pertama jatuh hati padanya! Ha... ha... Perempuan memang senang yang anehaneh. Senang diperkosa!"

"Huss! Gendeng!"

Loti berpikir keras. Dia ingat arloji dan cincinnya. Dapatkah itu melicinkan jalannya?

"Pak, tolonglah saya," imbaunya.

"Jasa Bapak takkan saya lupakan."

Diputar-putarnya cincinnya untuk menarik perhatian.

"Sebenarnya ada urusan apa sih?"

Loti tidak dapat menjawab. Dia sendiri kurang tahu, sebenarnya mau apa dia menemui ayahnya. Dia cuma ingin ketemu.

Melihat keraguannya, si gemuk tambah curiga. Pasti gadis ini mau membalas dendam! Barangkali ia membawa racun! Barangkali dia kerasukan setan pembalasan!

"Tidak bisa!" katanya menggeleng.

"Kalau tidak ada urusan penting yang mendesak. Itu pun, pengunjung harus digeledah habis-habisan. Jadi, besok saja kalau ada petugas wanita!"

"Bagaimana kalau rindunya dioperkan pada saya saja, Dik?" kata si tiang jemuran cengar-cengir.

Dengan hati panas dinyalakannya motor, lalu diinjaknya gas sekeras-kerasnya. Sambil mengaum, dia terbang pergi meninggalkan tiga petugas yang geleng-geleng dan cengar-cengir.

Hujan makin deras. Loti melaju tanpa tujuan. Kejengkelan bukan reda, melainkan malah bertambah. Dia merasa terhina mendengar kata-kata si kurus. Hari itu semua orang tampaknya ingin menyakiti hatinya.

Karena tidak jelas ke kiri atau ke kanan maunya, beberapa kali hampir saja dia berciuman dengan kendaraan lain yang juga bergegas mau keluar dari hujan.

Loti membelok ke arah Grogol. Sampai di Slipi bajunya sudah basah kuyup. Hujan deras bukan main. Dan dia tidak mau berhenti. Kepalang, pikirnya. Tempat belteduh juga tidak ada. Atau dia takut. Menunggu di tempat gelap? Salah-salah datang memedi atau rampok!

Akan ke mana dia?! Oh, begini rasanya orang yang tidak punya tempat untuk pulang. Ke rumah Kakek? Terlalu jauh. Ke rumah Paman? Ah, istrinya agak cerewet dan terlalu mau tahu urusan orang. Ke rumah Bibi? Yang mana? Ada dua bibi. Satu di Kebayoran Lama. Satu di Pulo Mas.

Sebuah mobil memasang lampu besar. Loti menjadi silau. Hampir ditubruknya trotoar karena silau. Brengsek, kutuknya. Air hujan sudah mirip tirai yang tak tembus, seperti venen'rm blind yang melindungi sebuah rendez-vous Dan setiap pantulan lampu menyilaukan, terlebih lampu besar.

Loti mulai dilayapi ketakutan. Dia tidak dapat melihat lebih dari beberapa meter di depannya. Tidak ada mobil polisi. Tidak ada gardu telepon. Tidak ada apa pun yang dapat menolongnya. Tidak ada seorang pun manusia yang dapat dihubunginya.

Ah, lebih baik dia pulang! Pikiran itu tiba-tiba meravan masuk ke dalam benaknya menembus

kedinginan. Badannya basah-kuyup. Dia tidak tahan lagi. Kalau mau minggat juga, biarlah diulangnya besok. Dengan membawa baju dan uang. Dalam keadaan kering.

Loti masih melaju dengan kecepatan tinggi. Dia ingin Lekas sampai ke rumah dan berganti baju.

Ditengoknya ke kiri dan kanan. Dia tidak dapat mengenalijalan apa itu. Di mana aku kini? Di mana harus belok? Dia mulai panik. Di mana lampu hijau? Di mana ini? Diusapnya air hujan yang menutupi matanya. Entah sudah berapa sendok yang tertelan olehnya. Sambil melaju, pikirannya bekerja keras. Apakah dia sudah terlalujauh? Ke mana ini? Mengapa jalan ini panjang betul?

Dari arah depan datang sepasang lampu yang amat menyilaukan. Loti terkejut. Dia tidak melihat persimpangan itu, dan mobil yang membelok dari kiri. Dia bahkan tidak tahu dan tidak sempat berpikir, apa atau siapa yang telah membuatnya terpelanting. Bunyi rem berdecit-decit. Kedua mobil itu berhenti menyusul beberapa kendaraan yang di belakang mereka. Ada yang menggerutu karena perjalanan mereka menjadi terganggu.

Mobil yang menabrak itu berhenti di tengahtengah jalan. Pengemudinya pucat-pasi. Di atas

jalanan, dalam hujan, menggeletak seorang gadis yang tidak bergerak. Tidak pula mengerang. Kepalanya menghantam pinggir trotoar!

Telepon berdering nyaring dalam rumah Dokter Rasid. Seperti kebiasaannya selama ini, dilihatnya arloji. Hampir setengah sebelas. Bukan pasien. Dia bangkit dan melangkah lebar menyongsong kengerian yang menanti....

Untung di atas Honda itu tertempel kertas kecil berisi nama, alamat, nomor telepon Loti. Dalam beberapa menit setelah dering yang mengobrak-abrik perasaannya itu, Dokter Rasid telah berada dalam mobil bersama istrinya.

Dia ikut masuk memeriksa Loti. Anita disuruh menunggu di luar, menggeluti kecemasan yang makin memuncak seperti hujan yang yang tak mau berhenti.

Setelah melewati berbagai pemeriksaan, para dokter akhirnya sepakat. Perdarahan subdural, contzisio otak, dan patah tulang kering sebelah kanan.

Anita merasa sudah menunggu seabad lamanya, ketika dilihatnya suaminya berjalan menghampirinya.

"Bagaimana?" bisiknya hampir tidak terdengar, dibelenggu ketakutan.

Dia berdiri menyongsong Darwus. Laki-laki itu meletakkan tangannya di bahunya, seolah mau menenangkannya. Dipaksanya mengulum senyum supaya perempuan itu jangan panik.

"Bagaimana?" ulangnya dengan desakan yang tidak dapat dibantah.

"Tidak apa-apa," sahut Darwus pelan. Dilihatnya air muka istrinya tenang sedikit. Lalu disambungnya,

"Ada sedikit perdarahan di bawah selaput otak sebelah kanan. Tulang betisnya juga patah."

"Oh. Oh!" Anita menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis.

Darwus memeluknya erat-erat.

"Jangan khawatir," bisiknya parau.

"Dia akan sembuh kembali."

"Aku mau melihatnya!"

"Jangan. Dia masih harus di-roentgen, dikatheter, dan lain-lain. Tapi pemeriksaan otaknya bagus. Cuma sedikit perdarahan yang harus segera dioperasi."

"Di...?!" Mata perempuan itu membelalak ketakutan.

"Aku harus menenangkannya. Dia paling takut operasi!"

Anita bergerak melepaskan diri, tapi suaminya memegangnya dengan ketat. Dikecupnya bibirnya sejenak.

"Tidak perlu, Net. Dia belum sadar."

Suara laki-laki itu pelan sekali, dicengkam berbagai macam emosi yang menegangkan. Baru detik itu dia insaf, bahwa dia selalu mencintai Loti. Bahwa dia selalu menganggapnya sebagai anak kandungnya. Bahwa keacuhannya selama ini cuma merupakan cemburu, menyadari bahwa Loti sebenarnya milik seorang ayah lain. Bahwa dia ingin memilikinya dalam hatinya. Bahwa dia takut, pada suatu hari anak itu akan diambil kembali oleh Iaki-laki lain. Oleh Andi Lumirang.

Di antara derai air matanya yang bisu, Anita mendengarkan curahan isi hati suaminya. Mereka duduk bei-dekapan di atas kursi kayu yang tua, dalam ruang tunggu yang suram penerangannya.

Waktu serasa berhenti. Anita memaksa ingin menunggui Loti, tapi setelah operasi berhasil, pada pukul lima pagi dia dapat dibujuk supaya pulang untuk beristirahat, mandi, dan sarapan. Loti masih pingsan.

Dan berita itu dengan cepat menjalar seperti api kebakaran. Otto mendengarnya dari Dewi, yang mendengarnya dari Alex, dan Alex dari Dokter Rasid.

Berbeda dengan sikapnya di depan Anita, pada Alex Dokter Rasid tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.

"C'rmtusin, Lex," katanya mengacak-acak rambutnya yang penuh uban.

Tentu saja bersamaan dengan itu berita tentang jepretan kamera di TV sudah meluas di kampus dan rumah sakit. Hampir setiap temannya sudah tahu, bahwa ayah Loti sebenarnya Andi Lumirang.

Alex yang paling memikirkan soal itu. Dia dihantui perasaan bersalah. Loti seakan mengejeknya dengan pengakuannya terhadap ayah kandungnya. Suara yang tidak jelas asalnya berkumandang terus dalam kepalanya. Sedangkan seorang jahat saja masih mau diakuinya sebagai ayah, mengapa aku buang seorang anak yang tidak berdosa?! Mengapa? Mengapa? Mengapa???

Dan kini di hadapannya berdiri seorang dosen yang sudah hampir menangis karena cinta, padahal gadis itu bukan anak kandungnya!

"Lex," didengarnya suara parau itu lagi,

"aku tidak dapat berangkat ke Manila. Kau saja yang pergi. Nanti aku lapor pada Boss. Aku yang ber .

tanggung jawab. Ini kertas kerjaku yang harus kaubacakan di sana. Pelajari baik-baik. Masih ada waktu sepuluh hari. Dapat kautanyakan mana yang tidak jelas."

Alex menerima tumpukan keras itu dengan gemetar. Dia sampai lupa untuk menolak maupun mengucapkan terima kasih.

"Bawalah. Aku mau menengok Loti dulu. Kalau ketemu Otto, boleh kauberitahu dia."

Alex mengangguk seperti robot yang belum dipasangi kaset suara. Diawasinya tungkai panjang yang encok itu berjalan timpang menjauh, membawa duka untuk esok.

Ketika dia tengah bengong di lorong dekat kamar kerj anya, Dewi lewat.

"Hai, kalau ketemu Otto, beritahu dia Loti ketabrak. Coma, Confusio!"

"Tahukah kau, ayahnya kan Andi Lumirang?!" kata Dewi dengan nada puas.

"Apa urusannya denganmu?!" hardik Alex keki. Kadang-kadang otak perempuan itu di dengkul barangkali, pikirnya. Mendengar orang sedang coma dia masih mau bicara soal tetekbengek.

Dewi merasa juga bahwa teguran itu betul. Tanpa banyak bicara dia berlalu.

Loti baru tersadar pukul sepuluh esoknya. Setelah pulang dua jam, pukul tujuh Anita sudah berada kembali di sisi anaknya. Sementara itu banyak teman-temannya yang datang menjenguk. Tapi Anita tidak melihat Otto. Barangkali belum tahu, pikirnya, dan dia juga tidak mau menanyakan di mana pemuda itu.

Tentu saja tidak ada yang tahu, kecuali Anita sendiri, bahwa selama pingsan Loti memanggil Otto tiga kali. Dan setiap kali mendengarnya, perasaan keibuannya tersayat. Panggilan itu seperti gema dari jurang gelap yang tersembunyi dalam hati setiap manusia.

"Mam," erang gadis itu, dan Anita yang selalu mengawasinya segera memegang tangannya.

"Mama di sini, Sayang. Kau sudah sadar?"

Perlahan-lahan matanya membuka, seperti putik merekah dalam elusan sinar bulan. Cerah dan indah. Loti menatap ibunya heran. Kemudian dirasanya nyeri di kepala dan kakinya. Diangkatnya tangannya dan dirabanya kepalanya. Dia kaget. Penuh balutan.

"Mam," bisiknya ketakutan,

"kenapa aku? Di mana ini?"

Anita teisenvum dengan senyum seorang ibu

yang sudah menjelajahi lautan cinta yang tidak terbatas.

"Kau di rumah sakit, Titi. Kepalamu luka sedikit. Tidak apa-apa," hiburnya.

"Dan betisku? Aduh, nyeri."

"Kakimu patah. Kulitnya terluka sehingga terpaksa dijahit. Itu sebabnya nyeri. Tapi Papa sudah bilang, tidak berbahaya."

"Pa..." Loti berhenti. Sebenarnya dia ingin menanyakan di mana "dia", tapi tiba-tiba sulit baginya mengucapkan nama panggilan itu.

"Mam, apakah aku kena celaka? Di mana?"

"Ssst... jangan bicara dulu. Kau harus tenang dan beristirahat."

"Adakah korban lain?" tanya gadis itu bandel.

Dia takut, jangan-jangan dia telah membunuh orang. Secara tidak langsung, orang akan bilang, itu karena tetesan darah hitam dari Andi Lumirang.

Dia lega melihat ibunya menggeleng.

"Tidak ada, Sayang. Sekarang diamlah, ya."

Bersamaan dengan ronde para dokter, muncul Darwus. Dia tidak membuka mulut, tapi matanya jelas berkejap-kejap dan berbinar melihat Loti sudah sadar kembali. Dipegangnya tangan gadis

itu kuat-kuat, seakan tidak mau dilepaskannya lagi. Lalu dia keluar menghampiri sejawat-sejawatnya dan lama berbincang dengan mereka tentang keadaan Loti.

Lewat tengah hari, Frans datang bersama Lindung dan Dokter Samin. Anita tidak mengenal nama-nama mereka.

"Loti sedang tidur," katanya.

"Kalau begitu, besok saja kami kembali," kata Dokter Samin mewakili yang lain. Otto masih juga belum kelihatan. Sebenarnya dia sudah ingin menengok, tapi mendengar bahwa gadis itu sudah sadar kembali dan keadaannya tidak mengkhawatirkan, dia membatalkan niatnya. Segan dia ketemu Loti, apalagi dengan ibunya. Jangan-jangan tidak dapat ditutupinya isi hatinya. Loti sudah menyerahkan cintanya pada orang lain. Sebagai laki-laki, dia harus tahu diri dan bersedia mundur teratur. Menerima kekalahan dengan tabah, sebenarnya sudah merupakan kemenangan atas diri sendiri, hiburnya.

Yang muncul petang itu justru Alex. Anita mengenalnya, sebab Dokter Sembiring yang menggantikan praktek suaminya pada hari Rabu atau bila dia cuti.

"Ibu Rasid, bagaimana Loti? Saya dengar sudah sadar kembali?" tanyanya di luar kamar.

"Ya. Kini masih tidur."

"Ah, syukurlah. Barangkali Ibu tahu, saya ditugaskan menggantikan Dokter Rasid ke Manila. Doakan, Bu, biar selamat." Alex ketawa.

Anita senang sekali mendengarnya. Dia memang sudah segan pergi.

"Ibu belum sempat bicara dengan Bapak hari ini. Tentu saja ibu doakan. Ajaklah istrimu. Nanti Ibu berikan tiket kami berdua supaya ditukar namanya."

Alex mengangguk, lalu menatap Anita beberapa lama tanpa mengucapkan sepatah pun. Bibirnya gemetar halus. Ketika akhirnya dia bicara, suaranya gagap.

"Anu... aaah, sa ya... de... ngar... a... da... a nak... pe... rem... pu... an... su... ka... da... tang men... ca ri... sam... pah...?"

Peluhnya muncul seperti manik-manik di dahi. Sulit sekali mengucapkannya. Anita keheranan mendengar pertanyaan itu. Tak tahu tujuannya.

"Ya, betul. Tina datang setiap hari, tapi oleh Loti tidak diizinkan lagi mengais-ngais tong sampah. Dia harus ke dapur minta sisa makanan. Di samping itu, dia juga diberi roti untuknya dan adik-adiknya."

Hati laki-laki itu berdegup kencang. Nyaris terdengar dari luar.

"Pukul be ra pa dia... da... tang....?" tanyanya gugup.

"Oh, sekitar pukul sembilan," sahut Anita makin keheranan.

"Sa... ya... ah, nanti saja saya jelaskan. Sekarang saya harus pergi. Tolong, ya, jangan Ibu katakan pada Loti tentang hal ini," lalu dia berjalan dengan cepat seolah dikejar hantu.

Anita menggeleng. Baru dia tahu, Dokter Sembiring yang ganteng itu suka senewen juga rupanya. Jangan beritahu Loti? Tiba-tiba dia menggigil. Apakah Loti putus dengan Otto karena ini? Dokter Sembiring dan anaknya? Loti tidak sejahat itu, bukan? Oh, tidak. Loti takkan berbuat begitu. Loti takkan mengambil suami orang. Anaknya yang tercinta! Oh, tidak. Pasti lain soalnya. Tapi mengapa Tina dibawa-bawa?! Mereka mau mengangkat anak?! Atau dokter Sembiring... ya, dia ingat sekarang! Darwus pernah bilang, pembantunya ingin sekali anak perempuan! Ha... dan Loti menawarkan Tina! Anita tersenyum.

Malam itu dia mau dibujuk supaya pulang saja. Loti sudah sadar, sedang dia sendiri sudah tidak tidur sejak kemarin malam.

Udara sejuk malam itu, tapi awan mendung tidak nampak lagi. Bulan sabit yang pucat

menampakkan dirinya seperti gadis cantik yang kurus pucat dimakan rindu.

"Tadi siang Nyonya Lukman menelepon ke kantor menanyakan Loti," kata Darwus ketika mereka tengah berbaring.

"Katanya, dia diberi tahu oleh Otto."

"Heran! Anak itu sendiri tidak muncul."

"Belum muncul?"

"Belum. Yang datang malah Alex. Dia mengatakan kau menyuruhnya pergi ke Manila...."

"Mana tega aku tinggalkan anakku dalam keadaan begini?"

Anita terharu sekali mendengar Darwus menyebut Loti "anakku". Dan dia tidak tega meninggalkannya! Ah, Darwus-ku yang tercinta!

"Kau ingin sekali ke sana?" tanya Darwus ketika Anita diam saja sekian menit.

"Oooh! Darwus, kau belum tahu juga hatiku? Kau sendiri tidak tega meninggalkannya, apalagi ibunya? Sebenarnya aku sudah segan pergi, mengingat anak itu sedang patah hati ."

"Ha... ha ha...." Darwus tergelak.

"Perempuan! Tidak adakah soal lain yang lebih penting dari cinta?"

Anita menjadi malu, terperangah.

"Besok aku bereskan Otto," janji suaminya, lalu meminta sebuah keeup yang menghangat

kan kesejukan malam, sampai tak tahu lagi mana akhirnya.

Baru dua hari kemudian dijumpainya Otto tengah berjalan dekat kantin.

"Hallo, Ot."

"Selamat pagi, Dok."

"Hari ini repot?"

"Ada tugas apa, Dok?" Otto balik bertanya.
Sonata Masa Lalu Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tengoklah Loti, kalau kau sempat. Barangkali dia ingin ketemu denganmu."

"Baik, Dok," angguk pemuda itu tanpa menunjukkan emosinya.

Mana mungkin dia ingin ketemu, tukasnya dalam hati ketika sudah berjalan pergi. Yang benar adalah: para orangtua memaksa kami berjodoh! Tak usah, ya! Disepaknya sebuah botol kosong Fanta yang berdiri di lorong, sehingga menggelinding ke tanah, nyaring beradu dengan kerikil. Barangkali pecah.

Tapi menolak perintah dosen, tidak berani dia. Akhirnya setelah berpikir pergi datang, diajaknya Opus, Karmila, dan Dewi.

Loti sudah diperbolehkan menerima tamu, tapi dia tidak banyak bercakap. Badannya masih

lemah dan kepalanya sering pusing.

Tidak lama setelah itu, muncul juga rombongan Frans. Suasana jadi meriah. Frans mengambil tempat duduk paling dekat dengan Loti. Lindung membayangi di sampingnya. Otto berdiri di kaki ranjang, menyerahkan kursinya untuk Nida.

"Apa kabar Edo, Mila?" tanya Frans.

"Sedang bernapas!" sahut Karmila.

"Oh," Frans menyeringai.

"Aku kira sedang mengecupmu! Dari jarak jauh, barangkali?!"

"Cis! Itu saja yang ada di otakmu! Pantas Anatomi tidak lulus! Kaukecup barangkali phantom-nya?!" ejek Kamiila sambil membelalak lucu.

Frans k .o.

"Untung aku bukan Edo," gumamnya.

"Payah menjinakkan betina yang satu ini!"

Semua orang tertawa. Loti dan Otto, seakan sudah berjanji, sengaja saling berhindar pandang. Anita pergi berjalan-jalan ketika mahasiswa-mahasiswa itu datang. Dia tidak tega melihat kehancuran hati anaknya memercik berkeping-keping dipanah cinta.

Seorang perawat lewat di luar kamar. Opus bersiul.

"Aduh, tuh suster!" keluhnya seakan ngidam.

"Kaliber berapa?" tanya Frans yang tidak melihat, sebab duduk di dalam. ,.

"Paling tidak tiga-delapan. Ya, kan, Ot?"

"Berkat BASF," kata Otto menimpali.

"Apa itu?" tanya Dewi.

"Karet busa!" Frans menjelaskan.

"Ha... ha... ha...." Semuanya mengikik seperti kuda naik berahi.

Kemudian Karmila mengusulkan agar mereka menulisi gips yang membalut betis kanan Loti.

"Izinkan aku yang pertama, Lot," kata Frans dengan sigap.

Loti tertawa tanpa komentar. Frans segera bangkit, mencabut spidol dan menulis namanya sebesar anak gajah. Spidol kemudian diedarkan. Dalam sekejap gips putih itu sudah belangbelang biru. Loti mengawasi dengan senyum manis. Dia masih dapat tersenyum bila kepalanya tidak sakit.

Kemudian... Loti tidak melihat wajahnya, tapi dia mengenali jari-jarinya. Agak gemetar dia, sehingga kedua huruf"O" itu bergerigi. Atau mungkin gips-nya yang tidak rata?!

Setelah itu giliran Dewi. Namanya ditulis di samping yang terakhir. Lalu, seolah cuma iseng, dibubuhinya tanda silang di antara kedua nama itu. Semua orang melihatnya.

"Terima kasih," gumam Loti tersenyum, sebab Dewi merupakan penulis terakhir.

Dalam hati dia menangis. Otto tidak mencegah atau menegur. Dia tertawa malah! Ketika semuanya sudah pamitan, Loti menengok kembali ke ujung kakinya. Jelas terbaca olehnya

"Otto+ Dewi".

Entah berapa kali hari itu dipandangnya tulisan yang menyakitkan itu. Dan matanya mengantar tusukan yang menujam ke lubuk sanubarinya.

Malam hari, ketika sudah sepi tak ada orang, Loti tidak dapat lagi membendung air matanya. Suster yang kebetulan sedang ronda menjenguknya.

"Wah, Loti, saya ditugaskan mencatat setiap kegiatanmu dalam status. Apa tidak malu bila dibaca dokter-dokter kau menangis?" tanyanya tesenyum simpul.

"Ah, brengsek kau!" kata Loti yang terpaksa ketawa.

"Brengsek, tapi manis, Lot. Tidak judes," kata perawat itu sambil menyeka air mata pasiennya.

"Jangan dilaporkan, ya," pinta Loti.

"Siip," angguknya.

"Tidurlah. Kalau sulit, minumlah pil kecil ini."

***

TAK terasa Loti sudah sebelas minggu di rumah sakit. Yang paling menjengkelkan adalah tungkainya. Dia tidak bebas bolak-balik. Dan telentang terus-menerus amat membosankan. Terkadang rasanya dia akan menjadi gila karena tidak tahan. Tapi sakit kepalanya sudah jarang sekali muncul. Cuma berdenyut sedikit pelipisnya bila dia jengkel atau sedih. Namun itu sudah sangat jarang, sebab dia berusaha membunuh waktu dengan kaset-kaset lagu. Di samping itu, Otto tidak pernah muncul lagi. Cuma sekali-sekalinya dia datang tempo hari.

Loti repot bermimpi. Bila kita berbaring, kita akan cenderung untuk lebih banyak berpikir, kata Samin. Dia repot merencanakan tugasnya nanti setelah lulus. Cita-citanya ingin mempunyai sebuah klinik berjalan. Sasarannya terutama ibu dan anak. Pernah dikatakannya tentang ini pada Anita. Ibunya tersenyum. Anita cukup cerdik untuk tidak meneruskan cita-cita Loti pada Darwus. Itu tidak sejalan dengan angan-angan suaminya. Pasti akan dikatakannya, bahwa

itu impian mosaik seorang remaja yang indah untuk direnungkan, namun mustahil dapat dilaksanakan.

Tengah dia sibuk menganyam mimpinya yang banyak menelan waktu itu, tahu-tahu hari ulang tahunnya sudah tiba. Sulaman Anita sudah pula selesai. Loti menolak pesta walau sekecil apa pun.

"Nanti saja, Mam. Tahun depan, bila Nenek dan Kakek datang dan tanggal dua puluh sembilan muncul," katanya.

Loti memang dilahirkan pada tahun kabisat yang datang cuma empat tahun sekali. Tahun itu dia harus meminjam tanggal dua puluh delapan Februari. Kakek-neneknya juga tidak bisa datang, sebab Pak Rasid Tua tengah selesma hebat.

"Tapi minuman dan kue satu macam harus ada," kata ibunya berkeras.

Loti mengalah. Makanan ini dipesan dari kantin. Anita minta supaya teman-teman anaknya datang. Alasannya adalah untuk merayakan izin pulang yang sudah diperoleh anaknya dari Profesor Bahar. Tentang ulang tahun, tidak disebutnya.

Karena itu betapa terkejutnya Loti ketika Dewi datang dengan sebuah kado.

"Hadiah ulang tahun dari kami," bisiknya tersenyum, lalu dikecupnya Loti.

Sengaja tidak disebutnya siapa "kami" itu, tapi Loti tentu saja mengerti. Senyumnya merekah ketika mengucapkan terima kasih, namun hatinya berdarah. Otto merasa tidak perlu lagi datang pada hari ulang tahunnya. Cukup diwakilkan oleh pacarnya saja. Untuk apa diberitahukannya pada Dewi kapan ulang tahunku, geramnya marah. Bila dia tidak sudi datang, tak perlu juga disuruhnya Dewi kemari! Tidak tahukah dia, bahwa kehadirannya membuat hatiku pilu?!

Untung musibah itu tidak berlangsung lama. Dewi cepat pamitan, ketika rombongan Frans muncul. Mereka membuat suasana meriah lagi. Semuanya memuji sulaman Anita yang ditunjukkan oleh Loti. Tapi hadiah Dewi disembunyikannya dalam laci. Segan dia membukanya.

Ketika saat ronde tiba, semuanya minta diri. Dan seperti biasa, Dokter Rasid datang untuk memegang lengan Loti sebentar, lalu keluar dan berbincang-bincang lama dengan rekan-rekannya.

Hari itu dia datang dengan seikat bunga mawar. Betapa heran dan girangnya Loti, sam

pai matanya berlinang. Tidak sanggup dia mengucapkan terima kasih.

"Ada apa ini?" tanya Profesor Bahar yang kebetulan memimpin ronde itu.

"Genap sembilan belas tahun," sahut Dokter Rasid dengan kebanggaan yang tidak dapat disembunyikannya.

"Wah, itu titik kulminasi kecantikan!" seru Profesor yang senang berseloroh.

Wajah tuanya yang lembut dibingkai rambut kelabu, kelihatan meriah ketika disalaminya pasiennya.

"Dan hadiah saya adalah izin pulang itu, ya," katanya mengedip.

"Tapi ingat, tungkai dan kepalamu masih harus istirahat. Gips itu tidak boleh kotor. Jadi, jangan kautunggang dulu bebekmu. Jangan ke disko juga!" Lalu dia membungkuk dan berbisik jenaka, cukup keras untuk didengar oleh orang lain,

"Pacarmu sudah datang belum?"

"Yang mana, Prof? Banyak sih," sahut Loti tertawa, tak mau kalah jenaka.

Semuanya tergelak, sementara Dokter Rasid dan istrinya saling mencuri pandang. Barangkali cuma mereka yang tahu, betapa palsunya ketawa Loti itu.

Petang hari, ketika Anita sudah pulang dan tidak ada orang di kamarnya, Alex datang. Dia kelihatan gembira mendapati Loti sendirian.

"Lot!" serunya terengah, sambil bertepuk tangan.

"Aku mempunyai kabar gembira untukmu sebagai hadiah ulang tahun!"

"Bahwa kau akan dikirim lagi ke luar negeri?!" Loti mengerling sambil tertawa.

Alex mendekatinya dan membungkuk, lalu diletakkannya telunjuknya di atas bibir perawan lm.

"Sst," cegahnya.

"Dengar dulu! Kau pasti tidak dapat menerka!"

Alex jeda untuk membangkitkan rasa ingin tahu Loti. Dan memang, Loti menjadi penasaran, matanya membelalak penuh ketidaksabaran.

"Katakan, Lex," pintanya.

"Lot," bisiknya tegang,

"Tina... sudah tinggal di rumahku!"

"Oh, Alex!" teriak Loti nyaring, menggema di lorong, terdengar oleh siapa saja yang tengah berjalan di situ.

"Dan istriku ternyata menyayanginya!"

"Oh, Alex!" keluh Loti dengan mata gemerlapan.

"Ini adalah hadiahku yang paling manis!"

"Masih ada lagi!"

"Oh, Alex! Aku sangat bahagia! Masih ada lagi?! Apa?!"

"Ini!"

Alex menunduk lalu mengecupnya di pipi, sambil kedua tangannya merangkum wajahnya.

"Terima kasih, Lot," bisiknya patau.

Loti terharu sekali. Sesaat lamanya kedua orang itu tidak bergerak dari posisi mereka. Kamar hening. Loti dapat melihat kebahagiaan melonjak-lonjak dari dasar matanya yang hitam pekat, menatapnya dengan penuh terima kasih.

"Aku sudah memberitahu ayahmu!"

"Oh."

"Dia malah memuji sikapku. Utang budiku padamu tak terkira besarnya, Lot!"

Lalu tiba-tiba dikecupnya Loti sekali lagi. Pada pipi yang lain. Loti terpana.

"Ehem!" terdengar dehem seseorang dan keduanya menoleh ke pintu dengan kaget.

Loti pucat seketika melihat Otto berdiri di ambang pintu. Berapa banyak yang dilihatnya, pikirnya saat itu.

"Apakah aku mengganggu?" tanyanya dengan suara bening.

"Oh, tidak," sahut Alex.

"Silakan, Ot. Aku baru saja mau pamitan. Kalau begitu, ayo deh, Lot. Aku permisi sekarang saja!"

Alex melirik Otto dan mengedip pada Loti.

"Ayo, Ot," serunya menepuk bahu pemuda

"Mari, silakan," kata Otto, lalu melangkah ke tempat tidur.

Diulurkannya tangannya.

"Jangan mengira aku telah melupakan hari jadimu!" katanya tersenyum.

"Selamat, ya. Dan selamat pulang juga."

"Oh, terima kasih, Ot. O, ya, terima kasih untuk hadiahmu bersama Dewi."

Otto menatapnya penuh tanda-tanya. Tangannya masih menggenggam jari-jari Loti, terlupa dilepasnya.

"Dia memberi apa?" tanyanya kemudian sambil melepas pegangannya.

"Ah! Kau ini!" Loti tertawa.

"Kan itu hadiah kalian? Masa tidak tahu?!"

"Aku tidak tahu apa yang dibelinya."

"Mau lihat? Aku belum membukanya," Loti mengaku dengan wajah merah karena malu.

Dibukanya laci. Otto mencegah.

"Bila kau segan, tidak usah."

"Tapi aku ingin tahu."

Diambilnya kado itu dan dibukanya. Sebuah plakat kayu berukir namanya yang indah! Di be

lakangnya tertulis: dari Otto dan Dewi. Laki-laki itu menarik napas panjang dan menggaruk kepalanya, tapi dia tidak berkata apa-apa.

"Oh, bagus, bukan?" seru Loti.

"Akan kuletakkan di atas mejaku!"

Otto tidak menanggapi. Matanya melirik bunga mawar dalam jambangan. Loti tahu, tapi sengaja tidak mau dikatakannya dari siapa bunga itu. Biar disangkanya dari... hm, siapa kek!

Setelah beromong kosong beberapa menit, Otto mendadak ingat bahwa dia harus mengurus semacam tetek-bengek yang tak mau dikatakannya apa. Dia permisi dan Loti pun tidak menahannya.

Setelah pemuda itu pergi, Loti meraih telepon di samping tempat tidur dan menelepon ibunya.

"Halo, Mam!" serunya gembira.

"Mama sekongkol ya dengan Alex?!"

"Dia sudah datang? Dia minta dengan sangat supaya kau jangan diberi tahu! Katanya untuk hadiah ulang tahunmu!"

"Memang betul. Hadiah yang amat indah. Seindah sulaman Mama!"

SUDAH seminggu Loti (11 rumah. tidak ada lagi yang datang. Rupanya semua orang sibuk. Cuma Tina yang sudah muncul dua kali. Dan Frans tentu saja. Tiap hari. Sekali, dia datang tanpa Lindung.

"He, he, berhasil juga aku melepas bayanganku," katanya.

Samin menelepon tiga kali. Menjanjikan ini bakso dan jajan lain begitu dia boleh kencan. Serta menceritakan warta berita kampus.

Sakit kepalanya sudah hilang. Dia boleh berjalan dengan tongkat, tapi harus berdiam di loteng. Semua makanan dan minuman dibawa ke atas. Seminggu sekali masih harus kontrol kaki dan tengkorak.

Dia bosan sekali dengan hidupnya. Terasa hampa seperti rumah siput yang sudah ditinggalkan penghuninya. Ada rasa tidak puas menyekap diri dalam hatinya. Dia tetap merasa tidak disayang dan tidak diinginkan oleh orang yang masih juga dipanggilnya Papa. Dia rindu senyum lembut dan kata penghibur seorang ayah. Belaian

Andi Lumirang yang singkat itu bermain terus dalam ingatannya. Tiba-tiba muncul keinginannya untuk selalu berdekatan dengan ayah kandungnya. Entah ke rumah sakit mana dia akan dikirim. Bagaimana nasibnya kini?!

Kalau saja dia dapat bekerja di rumah sakit itu! Dia bosan sekali diam di rumah ini. Tanpa kasih. Tanpa belai. Dia ingin pergi dari rumah Pa "dia".

Pikirannya yang sedih melukis berbagai macam gambar tandus dan kelabu sekitar masa depannya. Bila dia mencoba membayangkan yang indah-indah, semuanya lenyap seperti ditelan kabut.

Dan pada suatu malam Anita mendapatinya tengah menangis di tempat tidur.

"Kenapa, Sayang?" tanyanya kaget.

Mula-mula dia tidak mau menjawab, tapi setelah didesaknya terus, akhirnya tersendat-tersendat lahir juga isi hatinya sepotong-sepotong.

"Tapi Papa mencintaimu, Titi," kata Anita meyakinkan.

"Tidak!!! Dia tidak mencintai aku, Mam. Tidak pernah! Sejak kecil, tidak pernah! Aku mau pergi dari sini. Aku mau berhenti kuliah. Aku mau menjadi perawat ayahku!"

"Titi, sabarlah." ;

Tapi dia tidak mau lagi dibujuk. Malah tangisnya makin menjadi. Darwus yang kebetulan ada di kamar sebelah mendengarnya. Dia keluar mau melihat ada apa. Di ambang pintu kamar Loti yang setengah terbuka, didengarnya semua kata-kata Loti.

"Tidak, Mam! Papa tidak pernah mencintai aku! Sebab aku bukan anaknya!"

Dia tersedu-sedan. Dokter Rasid terkejut. Cepat dia melangkah masuk. Dihampirinya gadis yang tengah meronta tak mau dibujuk itu. Anita bangkit dan membiarkan suaminya duduk di tempat tadi ia duduk, di pinggir ranjang.

Loti telungkup. Dia tidak tahu ayahnya datang. Tengkuknya bergidik pada sentuhan Darwus yang pertama.

"Loti, Papa mengerti perasaanmu. Papa minta maaf atas sikap Papa selama ini. Janganlah kau berhenti kuliah. Demi masa depanmu sendiri. Bila kau ingin berdekatan dengan ayah kandungmu, Papa takkan melarang. Tapi selesaikanlah dulu sekolahmu. Setelah itu, sebagai dokter, kau akan lebih berguna baginya dan bagi orangorang lain, bukan?"

Suara Darwus sabar sekali. Dibaliknya anak itu dengan lembut, ditatapnya mata jelita yang banjir itu. Tiba-tiba ditariknya Loti dan didekapnya.

"Oh, Nak," bisiknya parau.

"Anakku sayang, betapa besar kesalahanku. Aku sebenarnya sangat sayang padamu. Aku selalu ingin kau menjadi anakku. Anak yang takkan pernah aku peroleh... Loti, Papa menderita kelainan kromosom yang disebut sindrom klinefeller. Papa tidak mungkin mempunyai anak. Dan tulang-tulang yang nyeri ini bukan encok, Nak. Tapi kekurangan testosteron. Papa mungkin penasaran kenapa kau tidak dapat menjadi anakku. Kenapa kau milik ayah lain. Papa begitu bangga padamu. Kalau Papa bisa punya anak, Papa tidak ingin yang lain daripadamu. Loti janganlah pergi. Tinggallah tetap di sini. Menemani Papa. Tetaplah menjadi anak Papa. Anak kandung Papa!!! Mau, ya? Kau mau, Nak? Paling sedikit, sampai kuliahmu selesai?!"

Untuk pertama kalinya Loti merasakan kehangatan sayang dari jari-jari kuat yang mengelus rambutnya. Luka operasi di kepalanya sudah mengering. Rambut di situ masih kasar. Dan jarijari ayahnya membelai lembut.

"Papa," isaknya seperti anak kecil yang dulu selalu merindukan belaian seperti itu dan kini kembali lagi untuk menuntutnya.

Anita berdiri mematung di dekat mereka, ikut mengisak. Dokter Rasid membenamkan kepala anaknya ke dadanya. Dia baru sadar, betapa kesepiannya hati anaknya selama ini. Seperti hatinya sendiri.

Pada suatu hari Frans datang ketika Loti sedang tidur. Anita mengajaknya duduk di ruang tamu.

"Frans, Tante ingin bicara sedikit bila kau tidak keberatan."

"Tentu saja tidak, Tante."

Anita menghela napas.

"Beberapa hari yang lalu, Loti menceritakan kenapa dia putus dengan Otto."

Frans membelalak dan mendengarkan dengan hati berdebar.

"Menurut pikiran Loti, Otto pasti takkan mau lagi padanya setelah tahu siapa ayah kandungnya! Kau kan pasti tahu tentang Andi Lumirang?"

Frans mengangguk.

"Nah, Loti berpikir, lebih baik putus sebelum Otto tahu, supaya ayahnya jangan menjadi penyebab. Rupanya Otto tahu, bahwa kalian ke... Kramat Tunggak dan dia mendapat kesan, bahwa kau dan Loti..." Anita tidak dapat melanjutkan.

"Jadi karena itu Otto lalu marah?" tanya Frans yang mengerti maksudnya.

"Rupanya begitu!"

"Dan Loti sebenarnya masih mencintainya," bisik Frans seakan pada diri sendiri.

Anita mengangguk pelan, sambil mengejapkan kelopak matanya. Esoknya, Frans menciduk Otto ke dalam mobilnya dan membawanya keliling kota, jauh dari telinga usil.

"Sebenarnya ada apa, sih?!" tanya Otto ketika mereka sampai di Jalan Gatot Subroto.

"Bangsat, kau!" hardik Frans menoleh.

"Soal apa?" Otto heran.

"Loti! Bagus, ya. Jadi selama ini kausakiti hatinya!"

"Itu bukan urusanmu!" Suara Otto menjadi dingin. Kalau tabiatnya kasar, mungkin sudah lama dia berkelahi dengan Frans. Dianggapnya laki-laki itu merampas miliknya, walau tentu saja, takkan terjadi bila Loti sendiri tidak mau.

"Tentu saja menjadi urusanku bila kalian putus gara-gara aku!"

"Lantas kau mau apa?"

"Aku mau menerangkan betapa bangsatnya kau! Pikiranmu kotor. Kausangka, aku mainmain dengan anak dosen?"

"Itu dikatakannya sendiri. Kalian ke... bukan?"

"Ya."

"Nah!"

"Nah, apa?! Belum merupakan bukti, bahwa..."

"Tapi dia tidak menyangkal!"

"Tidak dikatakannya bahwa aku menunggu di mobil?"

"Tidak."

"Ot, ibunya bilang, dia mengira kau pasti tidak sudi lagi dengannya setelah tahu siapa ayah kandungnya. Karena itu, dia bersiasat agar bisa putus sebelumnya!"

Otto terpana. Membisu.

"Dan dia menderita, Ot. Cuma tidak mau diakuinya"

"Sebenarnya, untuk apa dia ke sana?"

"Mana aku tahu! Katanya urusan pembantu rumahnya."

Otto menghela napas.
Sonata Masa Lalu Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi?"

"Aku serahkan kembali tongkat komando padamu!"

Frans menoleh. Senyumnya pucat sekali, tapi itu senyum seorang laki-laki.

Dan sore itu Anita tidak mau menggangmereka. Itu kedatangan Otto yang pertama

setelah entah berapa bulan berlalu. Dokter Rasid sedang praktek. Jadi rumah lengang sekali.

Loti kaget, sehingga dia lupa bangkit dari ranjang. Otto menyuruhnya tetap berbaring. Dia duduk di tepian kasur.

"Aku sudah tahu dari Frans! Semuanya!" Otto langsung bicara ke tujuan.

"Semua apa?"

"Bahwa kau dan dia, tidak..."

"Kalau ya?" tantang Loti dengan senyum rahasia.

"Lot, aku adalah seorang laki-laki yang sangat posesif Aku tidak suka pacarku mencintai orang lain, walau cuma dalam lamunan!"

"Maksudmu, kau mau kita menyambung lagi...?"

"Sebelum aku kembali padamu, aku harus tahu dulu kenapa kau tempo hari berteriak,

"Oh Alex!" senyaring itu, dan kenapa dia mengecupmu?! Dua kali lagi!"

"Ah, cuma pipi!"

"Tak peduli! Kenapa???"

"Akan kujawab," sahutnya tersenyum.

"Pasti takkan menyakitkan hatimu. Yang penting... oh, betulkah kau ingin ?"

Loti bertanya dengan matanya. Otto

mendekatkan wajahnya beberapa senti lagi dari senyum misterius yang menawan itu.

"Lot," bisiknya,

"kenapa kita menipu diri sendiri? Aku cinta padamu. Dan kau cinta padaku. Mau apa lagi?"

"Ot!!! Betulkah? Oh, betulkah? Dan ibumu? Ayahmu? Andi Lumirang?"

"Tidak ada kesulitan."

"Ah, betapa bahagianya!"

Loti menyorongkan kedua tangannya. Otto menggenggamnya dengan tangan kiri dan mendekapkannya ke dada. Tangan kanannya membelai lengan mulus perawan itu.

Tiba-tiba wajah Loti muram.

"Tapi... bagaimana dengan Dewi?"

"Kau boleh percaya atau tidak," kata Otto menatapnya,

"aku tidak pernah memberi harapan. Tidak pernah menyuruhnya membeli kado Segala."

Pemuda itu menghela napas.

"Dewi sebenarnya anak baik. Dia sangat penuh perhatian pada orang yang dicintainya. Semoga kelak dia mendapat orang yang mampu membalas cintanya. Apa boleh buat, daripada kami berdua menderita. Aku tidak tahu berapa lama kunerlukan untuk belajar mencintainya.

Aku tidak tahu malah, apakah aku akan berhasil. Saat ini memang hatinya hancur, tapi aku percaya dia akan bahagia juga akhirnya di samping orang yang mencintainya. Daripada dua hati yang patah, kan dan aku, terpaksa Dewi...!"

Otto mengangkat tangan dengan sedih.

"Dan Frans!"

"Frans?!"

"Ya. Dia menulis surat. Setiap katanya merupakan jeritan cinta. Sekarang aku mengerti maksudnya minta diri. Mau kaubaca?"

Loti menyentuh sampul putih di meja. Otto menggeleng. Dia tidak mau berpesta atas kekalahan orang lain dengan matanya.

Hening.

"Oh, ya, menurutmu, sebaiknya aku pakai nama Lumirang atau tetap Rasid?"

"Bagaimana kalau Lukman? Loti Lukman?" dia mengundang senyum manis.

"Sungguh? Mau kau berikan aku namamu?"

"Tergantung"

"Pada apa?"

"Pada jawabanmu kenapa Alex mengecupmu dua kali!"

"Ha-" ha... ha... si necemburu! Sabar. sabar.

AKu tidak tahu matan, apakan aku akan bernas". Saat ini memang hatinya hancur, tapi aku percaya dia akan bahagia juga akhirnya di samping orang yang mencintainya. Daripada dua hati yang patah, kau dan aku, terpaksa Dewi...!"

Otto mengangkat tangan dengan sedih.

"Dan Frans!"

"Frans?!"

"Ya. Dia menulis surat. Setiap katanya merupakan jeritan cinta. Sekarang aku mengerti maksudnya minta diri. Mau kaubaca?"

Loti menyentuh sampul putih di meja. Otto menggeleng. Dia tidak mau berpesta atas kekalahan orang lain dengan matanya.

Hening.

"Oh, ya, menurutmu, sebaiknya aku pakai nama Lumirang atau tetap Rasid?"

"Bagaimana kalau Lukman? Loti Lukman?" dia mengundang senyum manis.

"Sungguh? Mau kau berikan aku namamu?"

"Tergantung"

"Pada apa?"

"Pada jawabanmu kenapa Alex mengecupmu dua kali!"

"Ha... ha... ha... si pecemburu! Sabar, sabar

mu akan tahu. sebelumnya, maman aKu centakan tentang kunjunganku ke Kramat Tunggak...."

Tamat


Pendekar Bodoh 3 Setan Selaksa Wajah Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga

Cari Blog Ini