Ceritasilat Novel Online

Yang Mendendam Dan Mencinta 1

Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari Bagian 1



Yang Mendendam dan Yang Mencinta

V Lestari

Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 1987

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

***

jALAN Gatot subroto basah dan becek. Hujan lebat barusan mengguyur bumi, lalu berlanjut dengan gerimis yang sepertinya tak berkesudahan. Hujan yang turun sore-sore.

Pada hari-hari kerja, saat itu pasti memperlihatkan pemandangan biasa. Kemacetan lalu-lintas. Orang berbondong-bondong pulang kerja. Tapi sore-sore yang basah itu adalah hari Minggu. Dan pada hari itu hampir seluruh jalan raya Ibukota lengang dan sepi. Terkadang begitu sepinya hingga ada saja pengendara yang main terjang walaupun lampu lalu-lintas menyala merah. Tentunya kalau tak ada polisi yang nampak.

Di tempat dan saat seperti itulah, Erie Siahaan meluncurkan mobil mulus putihnya dengan kecepatan lumayan. Jalan lengang dan sepi memang menggoda setiap pengendara untuk melaju berlomba dengan angin. Dan kalau dilaksanakan dapat menimbulkan sensasi yang menyenangkan. Perasaan jadi superior. Seperti jagoan. Lebih dari orang lain, terutama mereka yang berjalan kaki atau berdiri di tepian jalan. Tapi

bukan cuma itu. Orang pun akan cenderung kurang waspada.

Eric, pemuda berusia tiga puluhan, keturunan Batak-Jawa. Penampilannya cukup gagah dan meyakinkan. Tubuhnya kekar dan atletis. Wajahnya jantan dengan ekspresi agak keras. Rahangnya mengatup erat dengan hiasan kumis yang terawat rapi. Sebentar-sebentar kumis itu dielus-elusnya. Entah apa karena kurang yakin akan kerapiannya atau gerak kebiasaan semata-mata. Tapi pada saat itu perasaannya memang sedang kurang mantap.

Sesekali dia merasa seakan mobilnya tengah melayang di udara bagaikan pesawat terbang. Lain kali dia merasa dirinya bagai Superman. Matanya nampak kemerahan, hingga membuat dirinya sendiri ngeri kalau kebetulan terlihat di kaca. Sudut-sudut bibirnya pun suka bergetar sendiri tanpa bisa ditahan. Berulang-ulang ia bersendawa sambil mengeluarkan bau yang tidak sedap.

"Huh, huh," keluhnya jengkel. Ingin benar ia cepat pulang lalu tidur. Sangat ingin. Tubuhnya, pikirannya, semua menuntut tidur.

Itu sebabnya ia menambah kecepatan. Dan hal-hal lain menjadi persoalan kedua. Tidak ada yang penting selain tuntutan tubuhnya sendiri.

Sebenarnya, rumahnya tak jauh lagi. Paling juga dua puluh menit dalam keadaan jalan yang sepi seperti itu. Tapi kondisi tubuhnya tak mau disuruh bersabar walaupun cuma sebentar saja.

Untuk sekadar mengatasi kebosanan dan kegelisahan ia memutar kaset. Maka membahana

lah musik rock Barat yang menggebrak-gebrak. Suara wanita penyanyinya melengking dan mendesah menyuarakan kata-kata porno, mengajak pendengarnya bermain cinta.

Sejenak pikiran Eric teralih. Tiba-tiba ia teringat akan saat-saat sebelum ia memulai perjalanan ini. Begitu saja tubuhnya serasa panas. Bukan karena demam. Tapi ia terkenang akan kehangatan yang diberikan seorang wanita kepadanya tadi. Siapa pula namanya. Apakah Rosi, Rosa, atau cuma Ros saja? Ah, nama bukan persoalan. Itu tidak penting. Yang sedang terkesan sekarang adalah sensasi seksual. Bukan cuma terkesan, tapi seperti benar-benar. Sepertinya dia sedang mengalami halusinasi. Matanya semakin merah, tapi tak disadarinya. Dia malah tersenyum menikmati angan-angannya.

Pada saat-saat itulah ia kehilangan kendali atas mobil yang sedang dikendarainya. Walaupun tangannya terletak pada kemudi, tapi mobil seolah jalan sendiri. Ia tidak sadar bahwa hal itu menyebabkan jalan mobil tidak lagi stabil.

Tiba-tiba ia tersentak. Kejutan luar biasa menimpanya bagaikan hantaman palu besar pada kepalanya. Kejutan yang membuatnya sadar. Tapi sudah terlambat. Tanpa sempat mengurangi kecepatan, apalagi merem, mobilnya sudah menabrak sesuatu. Manusia!

Begitu kerasnya tabrakan itu, hingga sosok yang ditabraknya terpental ke atas, mampir sebentar di depan kaca mobil lalu terlempar lurus ke depan

sejauh belasan meter. Dan yang lebih mengerikan adalah terlambatnya Eric merem membuat mobilnya terus nyelonong ke arah yang sama....

Ketika akhirnya dengan suara mendecit-decit mobil berhenti, Eric tertegun sebentar. Kesadarannya sudah pulih sepenuhnya. Tapi justru hal itu membuat tubuhnya gemetaran. Ia tahu benar apa saja yang barusan terjadi. Ketakutan luar biasa mencekamnya. Untuk beberapa saat ia tak bisa bergerak. Otot-ototnya serasa lumpuh. Ketakutan mencegahnya untuk menengok ke belakang. Tak ada keingintahuan tentang nasib korban itu. Memang tak ada gunanya. Ia sudah bisa memperkirakan. Tabrakan tadi terlalu berat bagi tubuh manusia. Dan dia bukan cuma menabrak, tapi juga menggilas!

Kemudian ia mendengar suara-suara. Dan dari kaca spion ia melihat orang-orang berlarian mendekati. Pemandangan itu memberi kejutan lain. Dan timbul pula ketakutan yang lain. Tapi justru ketakutan yang belakangan ini mampu menggerakkan otot-ototnya kembali. Tanpa berpikir lagi ia menghidupkan mesin mobil, lalu menjalankannya dengan cepat. Tapi berbeda dengan tadi, kali ini dia memandang ke sekitarnya dengan lebih waspada. jangan sampai ia melakukan kesalahan lagi.

Suatu keuntungan bahwa cuaca mulai gelap. ia berharap keadaan itu membuat orang susah mengenali nomor mobilnya. Tentunya kalau ada orang yang teringat ke situ. Dan ia berharap tak ada

yang mengejarnya. Nampaknya memang tak ada. jalan di belakang dan sekitarnya masih tetap lengang. Ia pun berharap kengerian yang masih saja mencekamnya itu akan segera lenyap. jantungnya yang berdebar-debar dengan cepat itu membuat napasnya sesak. Keringat dinginnya masih saja bercucuran. Sungguh dia merasa dirinya kecil dan kerdil dalam ketakutan. Padahal sejak kecil boleh dikata ia hampir tak pernah mengenal arti takut.

Pulang! Dambaan untuk itu jadi kian berlipat ganda. Kini bukan lagi merupakan tuntutan raga, tapi juga jiwa. Pulang bukan cuma berarti beristirahat, tapi juga berlindung!

Samin berlari secepat-cepatnya menuju pintu pagar setelah ia mendengar klakson Tuan Muda Eric mengiramakan ketidaksabaran. Sambil berlari ia berpikir, kapan kiranya pintu itu dipasangi alat hingga bisa membuka sendiri kalau mobil pemilik rumah berada di depannya. Entah apa namanya ia tidak tahu. Tapi ia tahu mengenai benda itu dari tetangga sebelah. Wah, pokoknya kalau bisa begitu betapa melegakan untuknya. Sebentar-sebentar ia dimarahi kalau kurang cepat membukakan pintu, padahal ia sudah berlari secepat kemampuannya. Dan bukan cuma itu. Kalau ia sedang ngebet ingin ke WC padahal kedua rekannya, si Ali dan Bi Onah, juga punya kesibukan lain. tahu-tahu sang

majikan pulang. Atau lebih celaka lagi kalau ia sudah mendekam di WC. Bisa dibayangkan apa akibatnya. Mana mungkin para majikan itu mau memahami kesulitannya. Padahal mereka pergipulang seenaknya. Memang susah jadi orang kecil.

Dengan napas memburu Samin bergegas membuka pintu. Cukup jauh dia berlari. Maklum kediaman orang kaya. Rumah besar, halamanpun luas.

"Cepat!" hardik Eric sambil melongok ke luar jendela mobilnya.

Sekilas Samin memandang wajah majikan mudanya. Entah kenapa, tiba-tiba ia bergidik. Wajah Eric yang terkena cahaya lampu kebun sungguh tak sedap dipandang. Seram, pikir Samin.

Setelah mobil meluncur masuk terus menuju garasi, Samin mengunci pintu lagi. Lalu ia teringat, majikan tuanya belum pulang. Ia mengeluh diam-diam. Dan kembali merasa iri pada rekannya sesama pembantu di rumah sebelah. Mereka tak perlu bernasib seperti dirinya. Padahal Tuan Siahaan pasti tak kurang kayanya dibanding tetangga sebelah. _jadi mustahil tak mampu membeli alat modern itu. Untuk mengusulkannya jelas ia tak berani. Bisa-bisa ia kena marah. karena dianggap mengajari. Atau mungkin juga dituduh

malas.

Samin menuju garasi. Ia tahu kewajibannya, yaitu membersihkan mobil yang baru pulang kandang itu.

Sebelum masuk garasi Samin berpapasan dengan Eric. Samin menunduk saja. Ia tak berani menatap wajah Eric. Ngeri. Sementara Eric pun tidak berkata apa-apa. Ia melangkah tergesa-gesa.

Baru setelah Eric cuma nampak punggungnya, Samin menoleh dan memandangi. Tapi dari punggung Eric tentu saja ia tak mampu menyimpulkan apa-apa. Kemudian Samin terkejut. Eric enghentikan langkah dengan tiba-tiba lalu menoleh kepadanya. Samin melengos dan jadi salah tingkah. Tapi belum sempat ia melangkah, teguran Eric sudah menghentikannya.

"Pak Samin, sebentar kalau ada orang bertanyatanya tentang diriku atau mobilku, bilang nggak tahu, ya? Ngerti?"

"Ngerti, Tuan," jawab Samin tanpa dipikir lagi. Padahal ia tak mengerti.

Lalu dengan setengah berlari Eric masuk rumah. Samin mengangkat bahu tak peduli kemudian meneruskan langkahnya.

"Waduh kotornya," keluh Samin setelah menginspeksi mobil Eric. Beginilah kalau musim hujan. Sebentar-sebentar kotor. Maklum pergipergi melulu. Dan maunya Tuan Eric itu, mobil selalu mengkilap pada saat mau keluar rumah.

"Aku malu membawa mobil kotor!" begitu gerutunya ketika mobilnya belum sempat dibersihkan saat mau dipakai. jadi paling aman adalah langsung dibersihkan begitu si mobil pulang. Kegiatan lain bisa ditunda.

Tiba-tiba Samin terbelalak. Dan tubuhnya menjadi kaku. Tanpa berkedip matanya terus menatap ke satu arah. Sisi kanan mobil bagian depan, dekat roda. Di situ ada bercak-bercak merah bercampur warna putih. Pada badan mobil bercak putih tak begitu kentara, karena warna mobil itu sendiri juga putih. Tapi pada bagian tengah roda bercak-bercak itu lebih banyak. Demikian pula di bagian sisi ban, yaitu bagian ban yang tidak menapak jalan. Merah dan putih.

Pada mulanya, Samin mengira itu percikan lumpur. Saat itu ia memang melihatnya sepintas lalu. Tapi setelah melihatnya lagi untuk kedua kali, lebih-lebih setelah cermat mengamat-amati, ia yakin itu bukan lumpur. Begitu saja pikirannya bekerja. Merah adalah warna darah. Dan, bukankah otak itu berwarna putih? Bulu kuduknya segera berdiri.

"Astaghfirullah..." ia mengucap dengan tubuh gemetaran. Dia jadi lemas dengan rasa mual yang mengaduk-aduk lambungnya. Apalagi setelah ia membayangkan suatu sosok yang mengerikan.

Kemudian bunyi klakson yang nyaring dan berulang-ulang menyadarkannya. Itu mobil majikan tuanya. Ia tak bisa terpaku terus di situ. Dengan susah payah ia menegakkan tubuh yang rasanya mau rebah ke bumi saja.

"Uh, uh...," keluhnya. Bagaimanapun ia harus berjalan. Tapi pada perasaannya ia harus mengumpulkan dulu sukmanya yang berceceran.

Sri Wahyuni. yang biasa dipanggil Bu Sri oleh para pembantunya, segera menyambut kedatangan Eric, putra tunggalnya. Senyumnya mengembang lebar. Tapi belum sempat mengeluarkan kata-kata ia tertegun. Eric menghindari pandangnya dengan sikap sengaja. Wajahnya murung. Matanya merah. jalannya tergesa-gesa.

Sri mengejar. Tangannya meraih lengan Eric.

"Kenapa, Ric? Kau sakit?" ia bertanya dengan penuh perhatian. Tapi dengan terkejut ia menarik tangannya kembali. Suatu gerak refleks karena kaget. Lengan Eric sangat dingin. Rasanya seperti air es. Tak mungkin itu karena AC mobil.

"Oh, kau pasti sakit, Ric!" seru Sri sambil mengiringi langkah Eric.

"Ya, ya. Aku sakit, Ma," sahut Eric tidak sabar. Ia terus menuju ke kamarnya.

"Mau ke dokter, Ric? Makan obat? Oh, tentunya kau harus makan dulu. Makanlah. biarpun sedikit."

Eric sudah tiba di depan pintu kamarnya.

"Aku cuma mau tidur, Ma," katanya jengkel. Lalu menutup pintu di depan hidung ibunya.

Sri tertegun. Ia merasa khawatir. Perasaannya sungguh tidak enak. Dari dulu sampai sekarang selalu begitu. Sejak Eric lahir sampai di usianya yang sudah dewasa kini. Setiap kali nampak sesuatu kelainan pada diri Eric ia menanggapinya dengan kecemasan yang mendalam. Anaknya cuma satu. Karenanya, jadi bernilai sangat tinggi.

Tapi yang membebani Sri bukan cuma arti Eric bagi dirinya sendiri. Ada lainnya yang sama beratnya. Yaitu. arti Eric bagi suaminya. Jaga Eric baik-baik. Jangan sampai dia kekurangan perhatian dan perawatan, materi dan kasih sayang. Demikian pesan Albert, sang suami, yang mungkin sudah ribuan kali diucapkan bila dihitung sejak Eric lahir. Ya, seolah dia sendiri tidak punya keinginan seperti itu pula. Atau mungkin dianggap kurang. Dan untuk selanjutnya pesan-pesan semacam itu jadi semakin gencar setelah nampak tanda-tanda bahwa Eric akan jadi anak satusatunya.

Akibatnya, Sri jadi selalu merasa disalahkan bila terjadi sesuatu yang kurang beres atas diri Eric. Tapi sering kali bukan cun" perasaan belaka melainkan tudingan sungguhan. Eric sakit? Eric nakal? Ah, kenapa tidak kauperhatikan dia lebih baik? Ingat-ingatlah. Ma, anak kita cuma satu!

Mata Sri akan selalu berkaca-kaca bila merenungkan hal itu. Punya anak cuma satu kok bisa jadi beban seperti itu. Padahal ada orang lain yang sama sekali tidak punya. Tapi kesedihan seperti itu biasanya cuma sesaat. Ia selalu bisa menemukan hal-hal yang menghibur. Ia pun tidak pernah menyalahkan atau menyesali Albert, walaupun cuma dalam hati. Rasanya wajar saja. Semua orang yang memiliki anak hanya satu kiranya akan begitu pula. Dan mereka berdua teramat menyayangi Eric. Ia selalu yakin, bahwa seorang anak seperti Eric, yang memiliki begitu banyak, pasti akan jadi

seorang yang hebat. Lalu diam-diam ia mempersiapkan kebanggaan itu untuk kelak bila saatnya tiba.

Tentu saja bukan berarti bahwa ia jarang atau tak pernah merasa bangga akan Eric. Dalam perjalanan hidup Eric yang sudah begitu dikenalnya sudah terjadi banyak peristiwa yang mampu membangkitkan rasa bangga itu. Misalnya pertumbuhan fisik Eric yang sehat dan bagus. Eric, pemuda yang gagah dan ganteng, yang banyak digandrungi gadis-gadis. Dan kemudian, ketika Eric berhasil menggondol gelar kesarjanaannya. Dia, sarjana ekonomi. Itu sesuai dengan keinginan Albert, yang berharap Eric akan meneruskan usahanya kelak, yaitu usaha perakitan mobil merek tertentu, importir suku cadangnya, dan pemegang monopoli dari merek itu. Sekarang, Eric memang sedang dipersiapkan ke arah itu. Dan nampaknya, tidak ada masalah. Semua berlangsung mulus. Kelihatannya Eric menyukai pekerjaan itu.

Tapi bukanlah kebanggaan seperti itu yang ditunggu-tunggu oleh Sri. Semua itu terasa biasa-biasa saja. Ia yakin, mesti ada sesuatu yang merupakan klimaks dari segala kebanggaan itu. Sesuatu yang khas dari Eric. jadi ia menunggu sambil memperhatikan.

Sebenarnya, ia cukup menyadari bahwa hal itu disebabkan karena ia belum puas. Di samping adanya hal-hal yang membanggakan itu ternyata ada juga hal-hal yang mengecewakan. Ataukah. lebih tepat disebut merisaukan?

Salah satu adalah beban itu. Di usia Eric yang tiga puluh tiga itu mestinya dia sudah lebih dari dewasa untuk dikhawatirkan dan dicemaskan. Ya, dalam usia sekian itu mestinya seseorang sudah mampu mandiri dalam segala hal. Bahkan dalam usia itu Eric sudah tidak pantas lagi disebut pemuda. Sepatutnya dia sudah jadi bapak.

Sri berangan-angan. Barangkali keinginannya itu baru bisa tercapai, kalau tidak seluruhnya ya sebagian saja, bila Eric sudah berkeluarga. Dengan demikian beban itu bisa diambil, sebagian atau seluruhnya, oleh istri Eric. Dan selanjutnya Eric bisa lebih bertanggung jawab dalam hidup. Hal itu juga sejalan dengan keinginan Albert. Mereka berdua jadinya bisa menambah keturunan yang tak bisa mereka peroleh sendiri. Mudah-mudahan Eric akan punya anak lebih banyak, lebih dari sekadar cuma satu.

Tapi Eric tetap saja sendiri dari tahun ke tahun. Dan kalau ditanya atau didorong, dia akan mengelak dengan pintarnya. Namun bukan cuma hal itu yang meresahkan. Sri mendengar gunjingan orang. Entah bagaimana caranya, tapi ada saja yang sampai ke telinganya. Eric itu playboy!

Ketika ia menyampaikan informasi atau isu itu, Albert cuma ketawa terkekeh.

"Ha ha ha! Biar saja toh! Eric kan laki-laki. jamak itu. Bukan persoalan. Lelaki playboy tetap laku sebagai suami!"

"Tapi, bagaimana kalau dia keenakan jadi playboy hingga tak mau jadi suami?"

Bantahan itu rupanya mengena hingga Albert tak merasa geli lagi. Dia jadi serius.

"Ah. benar juga, ya. Nantilah kucari jalan. Kubujuk dia dengan segala akal," katanya sungguh-sungguh.

Tapi sampai saat itu, jalan dan akal yang disebutnya itu belum juga diperolehnya. Eric masih saja pergi-pulang sesukanya sendiri walaupun dia tidak sampai menelantarkan pekerjaan yang dibebankan ayahnya kepadanya. Sementara itu, gunjingan demi gunjingan mampir ke telinga Sri. Dan sudah tentu semuanya negatif. Ia berusaha untuk tidak mempercayainya. Tapi bagaimanapun ia sadar, sangat sulit untuk merasa yakin bahwa

semua gunjingan itu memang tidak benar.

Sekarang, di depan pintu kamar Eric, semuanya itu terlintas lagi dalam pikirannya. Benarkah Eric sakit? Dan kalau benar, sakit apa? Oh, pintu kamar dikunci dari dalam. Bagaimana kalau Eric kenapa-kenapa di dalam padahal ia tak bisa memanggil? Terpikir untuk mengetuk, tapi tak jadi. Sudah cukup sering Eric marah karena merasa diganggu. Pintu terkunci itu sudah berarti bahwa ia tak ingin diganggu, demikian katanya.

Sedang bingung begitu Sri mendengar bunyi klakson mobil Albert. Ia merasa lega tapi kemudian gelisah lagi. Sering kali ternyata bahwa apa yang dilakukan Albert tidak sejalan dengan keinginannya sendiri. Akhirnya ia memutuskan untuk bersikap tenang, menyimpan kegelisahan di dalam hati.

Untuk kedua kalinya Samin kena bentak sore

itu.

"Lama amat sih kau!" hardik Albert.

Samin cuma menggumam. Semangatnya belum pulih.

Semula ia berjalan dengan gontai mengikuti mobil. Tapi kemudian teringat bahwa ia bisa membagi perasaan dan pengalamannya tadi dengan majikan tuanya. Nah, apa gerangan reaksi majikannya itu nanti? Dia ingin sekali melihat. Pikiran itu membuat jalannya lebih gagah dan lebih cepat.

"Cuci yang bersih, Min!" kata Albert, sekeluarnya dari mobil.

"Ya, Pak. Tapi " Samin bingung sebentar.

"Tapi apa? Oh, kau mau makan dulu? Ayo, pergilah makan dulu sampai kenyang baru kerja."

"Bukan mau makan, Pak. Tapi saya mau mau kasih lihat mobilnya Tuan Eric."

"Memangnya kenapa? Apa dia habis tabrakan? Penyok? Biar sajalah. Besok bisa dibawa ke bengkel. Kau tak usah pusing-pusing. Urus saja pekerjaan sendiri!"

"Bukan, Pak. Bukan tabrakan. Bukan penyok. Tapi. .. coba Bapak lihat sendiri.

" Samin menunjuk dengan takut-takut. Ia sudah cukup mengenal gejala pramarah dari majikannya.

Walaupun jengkel, Albert toh ingin tahu juga. Segala sesuatu yang menyangkut diri Eric tak pernah disepelekannya. Jadi ia mendekat ke arah

yang ditunjuk Samin. Semakin dekat dan kemudian membungkuk.

Lalu Samin mendengar seruan tertahan dari mulut Albert. Sementara wajah Albert sendiri tak bisa dilihatnya dengan jelas. Tapi bagi Samin itu sudah cukup. Ia tahu, Albert pun kaget tak ubah dirinya tadi.

Perlahan-lahan Albert berdiri meluruskan tubuhnya. Lalu memalingkan mukanya. Agak susah ia melakukan gerakan itu. Sepertinya ia harus melepaskan diri dulu dari pesona Sihir.

"Apa Tuan Eric tidak bilang apa-apa tadi?"

"Tidak, Pak."

"Sikapnya bagaimana?"

"Ah, bagaimana ya?" Samin garuk-garuk kepala. Pantaskah kalau ia mengatakan bahwa Eric berwajah seram tadi? Ah, kurang pantas itu. Nanti yang rugi malah dia sendiri. jadi buru-buru ia menjawab,

"Kayaknya sih biasa-biasa saja, Pak."

"Oh, begitu, ya?" Albert menarik napas lega.

"Kau tidak usah ribut kalau begitu, Min. Pasti dia sudah menggilas bangkai anjing tanpa sadar. Ya, pasti begitu. Habis, apa lagi? Masa iya manusia? He, kenapa bengong? Ayo, cucilah yang bersih.

jangan sampai meninggalkan bekas. Ayo!"

"jadi... jadi, pasti anjing, ya Pak?"

"Tentu saja! Sudahlah, jangan ribut. Cepat kerjakan!" bentak Albert jengkel.

Samin belum juga bergerak. Setiap kali tatapannya tertuju pada bercak mengerikan itu ia merasa

kacau. Betulkah anjing? Tapi biarpun cuma anjing toh rasanya tetap mengerikan.

Mau tak mau Albert jadi wasvwas melihat sikap Samin. Nalurinya memperingatkan. Cepat ia merogoh saku dan mengeluarkan dompetnya. Selembar uang kertas sepuluh ribuan dicabutnya, dikibarkannya sebentar di depan mata Samin, lalu disodorkannya.

"Nih, buat kamu sebagai upah membersihkan mobil itu. Tapi harus bersih sampai ke kolong-kolongnya, ya. Sebentar akan kutengok lagi hasil kerjamu."

Tergiur juga perasaan Samin melihat uang itu. Selama bekerja di situ belum pernah ia diberi upah untuk mencuci mobil, karena itu sudah termasuk tugasnya sehari-hari. Apalagi upah sebesar itu tentu saja tak pernah terbayangkan. Tapi tiba-tiba ia teringat akan kata-kata majikannya. Harus bersih sampai ke kolong-kolongnya. Ah, bagaimana kalau di kolong mobil bercak bercak itu jauh lebih banyak? Ia membayangkan sebentar. Tapi hal itu cukup membuat kedua lututnya goyah. Ia lupa akan uang sepuluh ribu di depan matanya itu.

Albert pura-pura mau menarik kembali uangnya, tapi melihat Samin tidak bereaksi ia tak jadi melakukan hal itu. Ia khawatir namun gemas. Buru-buru ia mengeluarkan lagi dompetnya, dan memeriksa isinya sebentar. Ia merasa beruntung setelah menemukan selembar lima ribuan di antara lembaran sepuluh ribuan. Bayangkan kalau semuanya sepuluh ribuanTentu masih lebih beruntung bila ia harus mengeluarkan lima belas__

ribu dibanding dua puluh ribu. Luar biasa memang. Lima 'belas ribu untuk hanya mencuci mobil. Tapi dalam menyelesaikan masalah yang tidak biasa ini ia harus melakukan segala sesuatu. Ya, segala sesuatu!

Uang lima belas ribu disodorkannya pada Samin.

"Mau apa tidak?" ia mencoba menggertak.

"Kalau kau tidak mau, kuberikan pada Ali. Biar dia saja yang mencuci mobil ini."

Gertakan itu berhasil. Samin tersadar. Uang mengatasi kengerian. Musrahil rezeki di depan mata harus diberikan pada si Ali. Cepat-cepat ia meraih uang itu dan memasukkannya ke dalam sakunya sambil menggumamkan terima kasih.

"Cepat ya!"

"Ya, ya, Pak."

Samin bergegas membuka gulungan slang plastik yang tadi sudah ia sediakan. Jangan bodoh, kata hatinya. Masa begitu saja ngeri. Dia kan lelaki. Pendapat ini perlu untuk menumbuhkan keberanian.

Albert memperhatikan sebentar. Ah, bagaimana kalau memang anjing yang jadi korban mobil Eric? Atau sesuatu benda yang kebetulan saja berwarna merah? Bila benar demikian, ia rugi besar. Tapi tidak apa-apalah. Hitung-hitung buang sial. Yang

penting ia harus berusaha menghindarkan kemungkinan terburuk. Karena itu tentu saja ia tak akan mengalihkan tugas cuci mobil itu kepada si Ali. Satu orang yang tahu saja sudah lebih dari cukup.

"SemprOt yang keras, Min!" Albert memerintah. Ia memutuskan untuk mengawasi kerja Samin.

Samin mematuhi. Ia senang karena ditemani biarpun ia sudah mengenal kecerewetan majikannya ini. Dengan berteman ia tidak perlu takut. Kegembiraannya tumbuh. Ah, mujur benar dia. Lima belas ribu di dalam saku. Dan ternyata kerjanya pun mudah. Setelah beberapa kali semprot segala bercak yang semula nampak mengerikan itu hilang lenyap. Dan sesudah lenyap maka sisa-sisa rasa ngerinya pun ikut lenyap. Sampai-sampai terpikir, alangkah gobloknya ia barusan.

"Kolongnya semprot juga, Min!"

Samin tak perlu diperintah dua kali. Ia mengerjakan perintah itu dengan sigap.

"Sekarang ambil senter. Periksa kolongnya. Sudah bersih atau belum," perintah Albert lagi.

Kali ini Samin melaksanakan perintah itu tanpa takut-takut.

"Sudah bersih, Pak. Nggak ada apa-apanya."

"Ya, sudah. Teruskan sajalah. Tapi ingat ya, Min. Upah yang tadi kuberikan itu bukan hanya untuk mencuci mobil, tapi juga untuk mengunci mulutmu. Jangan cerita kepada siapa pun, termasuk kepada si Ali dan Bi Onah tentang hal itu. Nanti kau cerita yang bukan-bukan, kautambahi bumbu. Tahu-tahu orang pada ribut. Ngerti?"

"Ngerti, Pak."

"Janji dulu bahwa kau akan mematuhi pesanku."

"janji, Pak."

"Sumpah."

"Ya. Sumpah, Pak," kata Samin tanpa berat hati. Sama sekali tak ada beban. Toh uang sudah di dalam saku. Baru kalau uang itu diminta kembali persoalan akan menjadi lain.

"Bagus. Ingat itu. Dosa kau kalau melanggar sumpahmu itu."

"Ya, Pak."

"Nah, teruskan mencucinya sampai bersih dan mengkilap."

Albert melangkah cepat-cepat ke dalam rumah. Ia perlu melihat Eric. Ia pun perlu menanyai Sri. Barangkali Sri tahu sesuatu. Malah siapa tahu, di dalam rumah sedang berlangsung keributan.

Ia berlega hari. Rumahnya yang besar lengang dan sepi. Tenang-tenang saja. Eric tak nampak. Sri juga tidak. Barangkali memang tidak ada apa-apa.

Sri keluar menemuinya, tersenyum sambil menyambut tas kerjanya. Tapi matanya yang awas melihat senyum Sri tidak wajar.

"Ada apa, Ma?"

Sri memandang heran.

"Ada apa bagaimana, Pa?"

"Ah, nggak apa-apa. Ke mana Eric?"

"Di kamarnya."

"Ngapain ?"

"Entah. Aku tidak tahu. Tapi tadi katanya, dia

sakit. Kelihatan muram dan badannya dingin sekali. Mungkin sekarang dia sedang tiduran."

"Dia tidak bilang apa-apa?"

"Tidak. Oh maksudku, dia cuma mengatakan itu saja. Bahwa dia sakit, ingin tidur, dan tak mau diganggu. Apakah ada... ada sesuatu?"

"Oh. tidak. Tak ada apa-apa." Albert memutuskan tidak akan memberitahukan peristiwa di garasi barusan. Sri bisa ribut dan resah. dengan akibat dia sendiri jadi ikut resah.

"Lantas, apa sudah kausuruh ke dokter?"

"Tentu saja sudah."

"Ya, sudah. Biar dia tidur dulu."

"Dia mengunci pintu kamarnya."

"Memangnya kenapa?"

"Kalau ada apa-apa..."

"Ah, ada apa sih. Sudahlah. Tak usah resah."

Sri memandang heran. Biasanya dalam hal seperti itu justru Albert yang cerewet. Tapi sebelum ia bicara lagi, Albert sudah menggandengnya. ."Yuk, kita makan. Aku sudah lapar."

"Eric tidak diajak?"

"Biar dia tiduran dulu."

Sri membiarkan dirinya digandeng. Rasanya menyenangkan. Teringat masa pacaran dulu. Ketika itu, Albert seorang pelindung yang hebat. Dia sungguh merasa aman bila berada di sisi Albert. Tapi setelah Eric hadir, naluri melindungi dari Albert itu beralih kepada Eric. Sementara dia

yang sudah terbiasa dilindungi harus berubah jadi pelindung juga. Pelindung Eric.

Baru saja mereka selesai makan, telepon berdering. Tak lama kemudian Bi Onah masuk ruangan.

"Ada telepon untuk Bapak. Apa mau diterima, Pak?"

Para pembantu di rumah itu sudah diajar untuk tidak terlalu mengistimewakan para penelepon, meskipun bukan berarti tidak menghormat. Mereka tidak akan segera mengatakan ada bila penelepon menanyakan seseorang di rumah itu melainkan lihat dulu, ada atau tidak. Pendeknya, yang sedang makan, tidur, atau sekadar istirahat pun akan dikatakan sebagai tidak ada atau belum pulang.

Sesudah makan, biasanya Albert ingin istirahat sebentar. Jadi termasuk saat di mana ia tak ingin menerima telepon. Adakalanya kabar yang diberikan si penelepon cuma memberi rasa capek dan pusing yang justru ingin ia hindarkan. Memang perkecualian ada saja, yaitu tergantung pada siapa yang menelepon itu.

Tapi saat itu, berbeda dari kebiasaannya, Albert bersikap siaga.

"Siapa dia, Bi?"

"Dia nggak mau nyebut namanya, Pak. Tapi katanya penting. Soal mobil putih B-...," Bi Onah menyebut nomor mobil Eric.

Albert duduk tegak. Wajahnya tegang.

"Cuma itu?" ia bertanya.

"Ya, Pak. Dia bilang perlu ngomong sama Bapak sendiri. Nggak bisa dititipin."

Sebelum Bi Onah selesai bicara, Albert sudah berjalan setengah berlari menuju pesawat telepon diletakkan. Di belakangnya, Sri memandangi dengan cemas. Setelah bimbang sebentar, Sri berdiri dan menyusul suaminya.

Dengan terkejut Sri melihat wajah Albert memucat dan tangannya mencengkeram pesawat telepon hingga urat-uratnya bertonjolan. Agak lama Alben diam saja mendengarkan. Rupanya si penelepon bicara panjang. Akhirnya Albert berkata dengan suara lemah,

"Baiklah. Anda datang saja sekarang. Saya tunggu."

Telepon diletakkan. Albert bertatapan dengan Sri. Berkali-kali Albert menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya bersuara,

"Si Eric menabrak orang tadi, Ma. Dan dia lari. Ah, dia lari." Lalu ia mengeluh dalam-dalam. Kesedihan dan kecemasan tergambar di wajahnya. Ia membayangkan peristiwa di garasi tadi. Bercak-bercak itu...

"Oh, Tuhan!" seru Sri kaget. Tapi anehnya, ia tidak sampai merasa shock. Mungkin itu disebabkan karena sejak Eric pulang ia sudah punya perasaan tidak enak bahwa sesuatu yang mencemaskan sedang atau akan terjadi. Jadi masalahnya ini. Sebenarnya, juga tidak terlalu buruk. Bukankah yang cedera orang lain, dan bukan Eric? Jelas Eric segar-bugar tadi. Dan orang itu... __

"Bagaimana dengan orang yang ditabrak itu, Pa?" tanya Sri dengan bernafsu.

"Mati."

"Oh."
Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kasihan. Mudah-mudahan arwah orang itu mendapat tempat yang layak di sisi-Nya, Sri membatin. Tapi kemudian dengan kaget ia sadar apa akibat peristiwa itu bagi Eric.

"Siapa orang yang menelepon itu, Pa? Polisi?" tanya Sri takut.

"Bukan. Katanya, dia saksi mata."

"Lho. Saksi mata kok lapor sama kita. Mestinya kan ke polisi."

"Ya, mestinya begitu. Tapi dia belum ke polisi. Pertama-tama dia justru menghubungi kita. Bisa kauperkirakan apa maunya?"

Sri berpikir sebentar.

"jangan-jangan dia mau minta uang."

"Ya, memeras! Itu pun sudah terpikir olehku."

"Lantas, kenapa kausuruh dia datang?"

"Aku ingin tahu ceritanya. Aku harus tahu. Kalau dia benar saksi mata tentu dia bisa bercerita dengan lengkap. Pikirkan. Bila kita segera menolaknya dia pasti akan pergi ke polisi."

"Ah, kau benar, Pa."

"Nah, sekarang kita tunggu saja."

Sri memperhatikan suaminya. Wajah yang tadi nampak cemas dan terpukul itu kini jadi keras kembali. Albert sudah jauh lebih tenang. Di sisi Albert yang seperti itulah Sri dapat merasa aman.

Barangkali situasi tidaklah segawat seperti yang dieemaskannya.

"Apakah kau akan memberinya uang, Pa?"

"Tergantung. Kalau perlu aku tak keberatan."

"Kenapa dia harus diberi uang?" tanya Sri walaupun merasa pertanyaannya itu bodoh.

"Sudah tentu supaya dia tutup mulut! Kau rela kalau Eric ditahan?" hardik Albert.

"Tapi kita belum menanyakan masalahnya pada Eric, Pa. Dia harus ditanyai. Siapa tahu sebenarnya dia tidak menabrak siapa-siapa. Dan orang itu berbohong saja."

Albert menatap Sri tajam-tajam. Ia menganggap. perempuan suka mengkhayalkan yang baik-baik saja dan mencari-cari kemungkinan yang paling gampang. Jadi tak perlu menyembunyikan apaapa.

"Di mobil Eric banyak cipratan darah. Si Samin yang melihatnya lebih dulu. Barusan aku memandorinya kerja mencuci mobil itu sampai bersih Untuk itu dia perlu diberi duit! Lima belas ribu kukeluarkan untuk itu. Semuanya mau duit! Duit melulu!" seru Albert jengkel. Tapi ia terkejut sendiri menyadari kekerasan suaranya. Wah, semua orang di rumah ini bisa mendengar.

"Oh!" Sri menjerit pelan. Mendengar kata "darah" barulah dia membayangkan kengerian.

Tapi Albert tidak melihat kepada Sri.

"Ya, tanpa duit tak ada yang jalan," gerutunya berlanjut. Kini lebih perlahan. Sesudah diam sebentar ia melanjutkan dengan suara lebih mantap dan tatap yang keras,

"Dan dengan duit 5egalanya bisa jalan!"

Laki-laki itu mengenalkan dirinya sebagai Jon. Dia benubuh kurus tinggi, berhidung mancung, dan berkumis tipis. Sekilas tampangnya mirip orang Timur Tengah. Cukup tampan. Tapi menurut Sri, yang diutarakannya sendiri di dalam hati, si Jon ini bermata licik dan kejam. Mungkin juga kesimpulan ini timbul karena prasangka buruk sudah ada sebelumnya.

Dengan singkat jon menceritakan peristiwa mengerikan tadi sore di jalan Gatot Subroto. Begitu mendetil dia bercerita, hingga Sri hampir tak kuat mendengarnya. Ngeri. Tapi Albert mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Saya melihatnya karena saya kebetulan berada di dekat situ. Ketika itu saya berkendaraan motor di jalur lambat yang searah. Jelas kelihatan bagaimana korban yang sedang berdiri di tepi, siap untuk menyeberang, ditabrak dengan kecepatan tinggi...."

"Tunggu sebentar," Albert menyela.

"Korban sedang berdiri di tepi jalan atau sedang menyeberang? Ah, pasti dia menyeberang seenaknya. Banyak orang suka begitu. Mentang-mentang sepi."

jon menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dia sedang berdiri di tepi zebra-cross. Menunggu _

lampu lalu-lintas menyala hijau untuknya. Ya, saya kira begitu. Kalau tidak, ngapain dia di situ."

Albert mendengus.

"Ah, masa orang sedang berdiri di tepi jalan ditabrak begitu saja. Mana mungkin itu. Yang bisa berbuat begitu tentunya orang yang baru belajar mengemudi, atau dia tidak waras. Atau..." Albert menghentikan ucapannya dengan tiba-tiba. Lalu cepat menyambung,

"Pendeknya, susah dipercaya."

"Begini, Pak. jalannya mobil putih itu memang tidak stabil. Tiba-tiba dia nyelonong ke pinggir, lalu menerjang begitu saja." Si jon menggerakkan tangannya di udara membentuk gerakan seperti burung elang mau menyambar mangsanya.

"Bukan main, Pak. Si korban sampai terpental melambung ke atas menimpa kaca mobil lalu "

"Sudah, sudah!" Sri memekik tertahan ketika jon mau mengulang kembali ceritanya.

"Maaf, Bu. Tapi kenyataannya memang begitu."

Sri cepat memulihkan perasaannya.

"Katakan, Dik. Apakah korban itu laki-laki atau wanita?" ia bertanya sambil pura-pura tidak melihat pandang kurang senang Albert kepadanya.

"Laki-laki, Bu."

"Anda bilang, jalanan sedang sepi ketika itu," Albert cepat bicara sebelum Sri keburu melontarkan pertanyaan lain yang dinilainya sentimentil.

"Nah, apakah ada orang lain juga yang mencatat nomor mobil putih itu?"

jon menggelengkan kepala dengan wajah yakin.

"Wah, sudah keadaan sepi mobil putih itu pun kabur. Sebenarnya dia memang tidak langsung kabur, tapi berhenti sebentar. Mungkin ingin tahu, tapi belakangan memutuskan lain. Begitu orang mulai bermunculan, dia segera melesat pergi."

"Dan Anda?"

"Saya juga berhenti sebentar karena melihat mobil itu berhenti. Lalu saya menoleh ke arah korban tergeletak. Wah, kasihan betul. Dia hancur." jon melirik sekilas pada Sri, lalu meneruskan,

"Kemudian saya kaget ketika melihat mobil itu bergerak. jadi saya putuskan untuk mengejarnya. Saya ikuti terus dari jarak yang tidak terlalu dekat. Saya hafalkan nomornya. Akhirnya, saya tahu rumah pengendara mobil itu di sini. Lalu saya bertanya-tanya kepada tetangga sekitar. Lalu mereka mengatakan bahwa pemilik mobil itu bernama Eric Siahaan. Dan Anda adalah ayahnya."

jon tersenyum puas. Ia merasa bangga akan kecerdikannya.

"Lantas, apa yang Anda kehendaki sekarang?" tanya Albert dengan sebal.

"justru pertanyaan itulah yang mau saya ajukan kepada Bapak. Saya pikir-pikir, apakah sebaiknya saya melapor saja kepada polisi?"

"jangan!" seru Sri spontan.

jon melirik sebentar lalu kembali mengarahkan pandangnya kepada Albert.

"Nah. bagaimana, Pak? Terus terang saya simpati kepada Bapak

sebagai orang yang terpandang harus mengalami kejadian seperti ini. Saya sendiri beranggapan, orang yang mati tak bisa hidup lagi. Tapi yang masih hidup itulah yang harus dipikirkan. jadi karena itulah pertama-tama saya datang kepada Bapak."

Cuma sebentar saja Albert merasa bimbang. Bagaimanapun sebalnya, dia terpengaruh juga. Dan bagaimanapun, keinginan yang tersimpan dalam diri pemuda cerdik ini toh sejalan dengan rencana yang terpikir olehnya sendiri.

"Tentu saja, kami berharap Anda mau membantu kami. Ah, tahu sendiri, kan? Kalau Anda tidak mengharapkan sesuatu, Anda tentunya tak akan datang pada kami. Pendeknya, ada timbal-balik. Ada kerja sama. Saya bersedia memberi imbalan yang memuaskan untuk bantuan Anda. Tapi, bagaimana saya bisa yakin bahwa cuma Anda satu-satunya saksi mata?"

Si jon nampak jengkel.

"Sudah saya katakan, jalanan sepi ketika itu. Cuma saya yang mengikuti mobil putra Bapak. Tidak ada makhluk lainnya. Memang saya tidak bisa memberi keyakinan itu. jadi, kalau Bapak meragukan, lebih baik tidak usah ada kerja sama saja."

Setelah bicara, jon bangkit berdiri. Kelihatannya ia sungguh-sungguh akan berlalu.

"Ah, jangan begitu, Dik jon. Duduk dulu," kata Albert buru-buru.

"Bukankah sudah sepatutnya saya khawatir? Bayangkan kalau ternyata ada orang lain yang melapor, padahal saya sudah

merasa aman. Ya, ya, sudahlah. Kelihatannya Anda bisa tersinggung lagi. Baiklah. Tak usah berpanjang-panjang lagi. Katakan terus terang. Berapa yang Anda minta?"

jon tersenyum. Ia sama sekali tidak nampak risi ketika mengatakan dengan serius,

"Tidak mahal, Pak. Hanya lima juta rupiah saja." Sikapnya itu seolah sedang memberi tahu harga barang dagangannya.

Albert terlonjak kaget. Lalu menjadi gusar.

"Keterlaluan!" serunya.

"Anda pikir. di sini pabrik uang?"

"Kalau memang keterlaluan, tidak usah saja, Pak," kata jon tenang.

"Kurangilah, Dik. Masa tidak bisa kurang?" Sri menyela dengan nekat. Ia tak lagi peduli andaikata Albert nanti marah padanya.

Jon menggelengkan kepala.

"Tidak bisa, Bu. Sesudah devaluasi nilai uang jadi banyak mereset, kan? Sayang sekali. Lebih baik saya permisi saja."

Kembali Jon berdiri. Dan kali ini dia sungguhsungguh melangkah menuju pintu. Di wajahnya tak ada keraguan.

Sri memandangi suaminya dengan cemas. Ia sangat ingin memohon supaya Albert menerima saja tawaran itu, tapi melihat wajah Albert yang nampak geram itu ia merasa gentar. Jadi ia hanya terpaku dan mengalihkan pandang pada langkahlangkah kaki si jon. Bila si jon lenyap di balik pintu, maka mereka tinggal menunggu kedatangan polisi. Oh.

"Tunggu!" seru Sri.

"Duduklah dulu, Dik Jon."

Jon berhenti melangkah, tapi ia tidak kembali ke kursinya semula. Ia berdiri saja, menunggu.

Sri mendekati Albert. lalu berbisik,

"Pa, kabulkan sajalah permintaannya. Akan kurelakan perhiasanku."

Albert melotot. Ia mendesis,

"Mestinya kau jangan ikut-ikutan! Biarkan aku saja yang menyelesaikan. Buat apa perhiasanmu? Sudah, kau diam saja!"

Jon menyeringai ketika kemudian Albert memanggilnya kembali. Dia sudah menang. Suatu transaksi terjadi. Tanpa saksi dan tanpa bukti tertulis, karena yang demikian itu bukan saja tidak perlu tapi juga tidak dikehendaki. Ya, mencari uang ternyata bisa mudah sekali. Tanpa keringat setetes pun. Sedang penyebab keberhasilan cuma satu. Sayang anak!

Tapi si anak tersayang tetap berada di balik pintu kamarnya. Ia memang tidak mungkin bisa keluar cepat-cepat. Juga kalau pintunya digedor keraskeras. Eric tidur lelap dengan bantuan sebutir Valium. Tanpa obat penenang ia tak bisa tenang. Dan karenanya tak bisa tidur. Tak peduli fisiknya dalam keadaan lelah.

Dalam tidurnya, wajah Eric seperti bayi. Tak ada beban. Tak ada dosa. Itulah ekspresi tidur. Tapi bila diamati dari dekat, dekat sekali, pipi Eric terlihat basah. Sedang di cekungan antara pipi dan hidung terdapat genangan air. Kumisnya pun

basah. Siapa pun yang melihat pasti akan menyimpulkan bahwa Eric barusan mengalami gejolak emosi. Tapi tidak ada yang melihat!

***

KUSTINI berjalan pelan-pelan menyusun Jalan Gatot Subroto. Tadi ia naik bus dari rumahnya lalu turun di halte yang biasa kemudian berjalan kaki. Mula-mula memang canggung. Ia tak biasa naik bus, tak biasa berjalan kaki di daerah yang kurang dikenalnya itu. Tempat tinggalnya sendiri di sudut lain Ibukota. Tapi setelah beberapa kali mengulang-ulang kegiatan yang sama maka semuanya menjadi hafal. Toh walaupun kegiatan itu sepertinya rutin saja, tetap dijalaninya dengan cermat dan penuh perhatian ke sekelilingnya. Setelah beberapa meter berjalan baru ia menyadari betapa lengangnya jalan itu. Ah ya, tadi bus yang ditumpanginya pun begitu pula. Untuk beberapa saat lamanya ia heran akan perbedaan dibanding hari-hari kemarin itu. Baru kemudian ia teringat dengan terkejut bahwa hari itu adalah hari Minggu. Ah, pikiranku seperti berkabut belakangan ini. pikirnya. Ia juga terkejut karena teringat bahwa hari yang naas dan menyedihkan itu, ketika putranya Emil direnggut maut secara mengerikan, adalah juga hari Minggu. Tepatnya, seminggu yang

lalu. Dan waktunya juga kurang lebih sama. Sore-sore.

jantungnya berdebar lebih keras. Ketegangannya memuncak membuat tubuhnya serasa kaku. Sekarang. Ya, sekarang inilah ia akan merasakan suasana yang lebih riil mengenai peristiwa itu. Ia akan meresapinya. Dan mungkinkah ia juga bisa beroleh sesuatu dari suasana yang lebih riil dibanding sore-sore kemarin itu? Sesuatu yang positif dan memberi kecerahan?

Kustini menghitung-hitung. Hari Rabu yang lalu ia memulai kegiatan ini. Jadi sudah lima kali sampai hari itu ia melakukannya. Dan semuanya atas inisiatif sendiri. Tak ada yang menyuruh atau memberi ide. Bahkan orang-orang yang tahu justru berusaha mencegahnya karena mengkhawatirkannya dan menganggapnya melakukan kesiasiaan belaka. Bahkan ada yang menganggapnya sudah kurang beres. Termasuk suaminya, Arifin, yang berulang-ulang membujuknya agar mau diajak menemui psikolog atau psikiater. Tentu saja ia menolak dengan keras. Aku masih waras. Aku belum hilang ingatan. Lantas mau apa? Oh, yang kucari adalah kebenaran!

Arifin sudah cukup mengenalnya hingga tak lagi menghalang-halangi niatnya. Paling-paling ia cuma bisa berpesan agar berhati-hati. Dan lebih dari sekali mengusulkan Cagar ia dibolehkan menemani. Tapi ditolak. Ia memang bekerja, sibuk dari pagi sampai sore. Setiap pulang, istrinya sudah tak ada. Lalu sejam dua jam kemudian, baru

istrinya muncul dalam keadaan lelah dan lesu. Tapi tak kehilangan semangat untuk mengulangnya lagi esok harinya!

Kebenaran yang dicari Kustini adalah saksi mata. Ia sangat penasaran. Betulkah tak ada satu orang pun yang melihat siapa yang telah membunuh putranya, seperti dikatakan polisi padanya?

Pada hari Senin putranya dimakamkan. Saat-saat itu ia memang hancur luluh. Emil adalah anak sulungnya, laki-laki satu-satunya dari dua bersaudara. Sebentar lagi dia menjadi seorang dokter. Dia pun seorang anak yang baik. Harapan keluarga. Kebanggaan keluarga. Tapi semuanya itu hancur dalam sekejap mata. Gara-gara seseorang yang ugal-ugalan, pengecut, dan tidak bertanggung jawab. Pembunuh sadis tak bermoral. Dan Kustini serasa ikut hancur, ikut terkubur.

Pada hari Selasa bangkit marahnya. Tak ada saksi mata yang bisa ditemukan, demikian kata polisi. Jadi tak bisa diketahui mobil mana yang menabrak dan milik siapakah itu. Dia hanya salah satu dari sekian pembunuh di jalan raya yang berhasil lolos. Cukup banyak kasus tabrak lari seperti itu. Tapi Kustini tidak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Ia berbeda dari Arifin yang mempercayakan penanganan kasus itu sepenuhnya kepada polisi. Tentu bukan berarti Arifin tidak sedih dan kecewa seperti dia. Mereka berdua sepenanggungan.

Kustini bukanlah jenis orang yang suka meratap berkepanjangan. Ia sadar, tak ada mukjizat yang bisa mengembalikan Emil kepadanya. Ia juga sadar. dengan meratap saja ia takkan beroleh apa-apa. Sebagai ganti kesedihan yang tiada tara muncul dendam yang menyala-nyala. Dendam itulah yang memberinya semangat.

Mula-mula ia minta polisi menunjukkan di mana tepatnya lokasi kecelakaan itu. Selanjutnya berturut-turut ia menyusuri sepanjang jalan di situ, sepenggal dari jalan Gatot Subroto yang panjang. Ia menanyai setiap orang yang dilihatnya mangkal di situ. Terus terang ia mengatakan bahwa dirinya adalah ibu korban yang tertabrak. Dari semua orang yang ditanyainya ia memperoleh simpati, tapi tidak memperoleh apa yang diinginkannya.

Yang merasa melihat hanya bisa mengatakan, bahwa mobil penabrak berwarna putih. Hanya itu saja. Nomornya tak ada yang tahu. Tak ada yang ingat untuk mencatat atau mengingat-ingat. Bahkan ada yang mengatakan, tak terpikir ke sana. Rata-rata sepakat mengatakan, bahwa dalam keadaan itu yang terutama menarik perhatian mereka adalah si korban. Apalagi waktu itu keadaan si korban sungguh mengerikan, hingga mereka bagai terpesona. Ketika sadar kembali mobil penabrak sudah kabur.

Setelah berkali-kali melakukan hal yang sama tanpa sadar ia kembali menanyai orang yang sama pula. Adakalanya ia bisa mengenali, tapi terpikir bahwa tak ada salahnya bertanya kembali. Siapa

tahu itu orang lain yang kebetulan lewat di situ dan berwajah mirip. Selalu mungkin bahwa ada orang yang secara teratur lewat di situ atau mangkal di situ. tapi bisa juga ada yang cuma kebetulan lewat. jadi kalau kemarin dia tidak ada sekarang justru ada. atau sebaliknya.

Keadaan itu menyebabkan ia segera dikenali orang-orang yang selalu berada di situ pada jam-jam yang sama. Ah, lihat ibu itu datang lagi. Dan lagi-lagi ia menanyai kita. Pertanyaannya selalu sama. Kasihan. Saking sedih dan kehilangan pasti ibu itu sudah kurang beres. Ia bukan tak menyadari hal itu, tapi memasabodohkan. Rasanya ia sudah tak peduli lagi akan apa kata orang tentang dirinya. Apa yang diperjuangkannya terasa amat agung hingga ia mampu mengatasi rasa malu.

Dan hari itu adalah hari Minggu. Semangat dan ketegangannya meningkat karena terpikir akan berbagai kemungkinan positif. Bukankah selalu mungkin ada orang yang cuma lewat atau mangkal di situ melulu pada hari Minggu dan tidak pada hari-hari lain? Padahal orang-orang itulah yang belum ditanyainya.

Tiba-tiba cuaca menjadi gelap. Kilat di langit menyilaukan mata disusul menggelegarnya guntur yang memekakkan telinga. Sesaat Kustini merasa cemas. Hari hujan bisa mengganggu rencananya. Tapi kemudian begitu saja ada rasa senang menjalari dirinya. Suatu perasaan yang semula membuat bingung karena datangnya tiba-tiba

sebelum timbul pikiran yang mendahuluinya. Pikirannya memang baru datang kemudian. Terpikir, hari hujan akan membuat suasana lebih riil. Seperti inilah suasananya ketika maut menjemput Emil.

Hujan turun kian besar. Air matanya juga menitik. Padahal hari-hari sebelumnya ia melakukan hal semacam ini tanpa air mata setetes pun. Bajunya mulai basah. Tapi ia terus juga berjalan. Ia akan menuju deretan kios di sebelah depan. Langganannya. Kios-kios kecil itu terletak puluhan meter dari zebra-cross di mana Emil kena tabrak. Meskipun cukup jauh tapi dari situ orang bisa melihat agak jelas ke arah lokasi tabrakan.

Ia sudah mendekati deretan kios. Beberapa orang berteduh di situ. Bukan cuma pejalan kaki, tapi ada juga pengendara motor. Harapannya tumbuh. Semakin banyak orang kumpul di sana, semakin besar kemungkinan yang bisa diraihnya.

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Pandangnya terpaku ke arah tempat penyeberangan bagi pejalan kaki. Di ujung zebra cross ada orang berdiri, menunggu giliran menyeberang. Orang itu seperti Emil. Wajahnya dari pinggir, potongan tubuhnya, tingginya, begitu mirip. Memang jaraknya terlampau jauh, tapi cukup menimbulkan pesona. Ia tertegun. Sesaat terlupakan suasana sekitar. Terlupakan juga bajunya yang basah dan tubuhnya yang kedinginan.

"Emil! Emil!" panggilnya lirih.

Orang-orang yang berada di deretan kios hampir semua memandang kepadanya. Bisik-bisik

beredar dari mulut ke mulut. Nah. itu dia ibu orang yang jadi korban tabrak lari minggu yang lalu. Dia selalu datang pada jam-jam begini. Kasihan. Pastilah dia sudah mulai sinting. Lihat, dia berdiri saja di tengah hujan. Oh, kasihan.

Seorang pengendara motor yang sedang berteduh mendengarkan cerita orang dengan penuh perhatian. Dia berambut keriting, berhidung mancung, berkumis tipis. Dan ia memandang ke arah wanita yang dijadikan topik pembicaraan itu dengan takjub.

Seorang wanita pemilik salah satu kios berteriak memanggil Kustini,

"Bu! Ke sini cepat! Hujan tuh!" Ia pun menggapai-gapai. Ketika Kustini cuma memandang saja seperti orang linglung tanpa bergerak, wanita itu tak tahan. Ia menyambar payung, lalu bergegas mendekati Kustini.

"Mari, Bu?" ia mengajak sambil menggandeng lengan Kustini.

"Kita berteduh di sana."

Kustini tersadar. Ia mengikut saja. Sambil berjalan ia memandang ke arah yang tadi. Ah. tak ada apa-apa di sana. Tak ada orang yang mau menyeberang. Tak ada yang berjalan di tengah hujan. Tadi itu cuma halusinasi. Ia menghapus matanya, lupa bahwa air matanya sudah bercampur dengan air hujan. Oh, dinginnya. Ia menggigil. Giginya bercatrukan.

Pengendara motor yang penuh perhatian itu mendekat. Ia membuka jaketnya. lalu memakaikannya ke tubuh Kustini.

"Ini, Bu. Biar hangat,"

Katanya. Kustini cuma mengangguk-angguk terharu. Tak ada kata-kata bisa keluar dari mulutnya.

Kemudian Kustini ingat lagi. Semangatnya tergugah melihat orang banyak berkumpul. Ia melupakan kenyataan bahwa dirinya sedang jadi pusat perhatian. Ia harus bertanya. Mumpung orang-orang ini sedang berkumpul. Siapa tahu saksi mata yang dicarinya berada di antara orang-orang ini. Ia harus menemukan dan kemudian membujuknya. Jangan diam saja. Jangan biarkan seorang pembunuh melenggang dengan bebas. Tapi ia tak bisa bicara. Lidahnya serasa beku. Rahangnya gemetar.

"Sebentar lagi kalau hujan berhenti, saya antarkan Ibu pulang, ya," kata si pemuda pemilik jaket.

Kustini menggelengkan kepala. Ah, pulang? Ia belum lagi mengeluarkan pertanyaan barang satu pun. Mustahil ia harus menyerah. Padahal tadi ia sudah begitu optimis. Dan di sini banyak orang. Ia pun melihat wajah-wajah baru, termasuk wajah pemuda di sampingnya.

Hujan sudah mereda. Gerimis kecil. Beberapa orang yang berteduh bergegas meneruskan perjalanan. Demikian pula mereka yang mengendarai motor. Semua orang ingin cepat pulang. Simpati dan perhatian kepada Kustini cuma sebentar. Cuma sambil lalu menunggu hujan berhenti. Lumayan berbekal cerita untuk dibawa pulang.

Kustini terkejut. Wah, orang-orang pada bubar. Berarti hilanglah kesempatan bagus yang mungkin

bisa diraih.

"Sa saya... saya mau... berta..." Ia menggagap dalam usahanya menarik perhatian orang di sekitarnya.

Tapi tak ada yang menengok. Suara Kustini terlalu perlahan. Yang mendengar cuma pemuda yang di sebelahnya.

"Saya tiap sore lewat di sini, Bu. juga pada hari-hari Minggu," kata si pemuda pelan.

Kustini menoleh dengan terkejut. Wajahnya yang pucat memerah. Harapan membersitkan darah, mergalir lebih cepat, dan menghangatkan tubuhnya. Lidahnya tak beku lagi. Getar rahangnya lenyap.

"Juga pada hari Minggu yang lalu ?" ia bertanya penuh harap. tapi cemas.

"Ya. Dan saya melihatnya, Bu," kata si pemuda dengan tekanan pasti. Wajahnya tak menampakkan ekspresi apa-apa.

Kustini memekik pelan. Beberapa orang menoleh kaget, tapi setelah melihat Kustini tak apa-apa mereka kembali acuh. Toh Kustini sudah ada yang menemani.

"Jadi... jadi Adik ini... melihat mobil itu juga?"

"Ya. Saya melihatnya dengan jelas. Saya tahu, Bu. Saya bisa membantu Ibu."

Oh!

Saking gembiranya Kustini tak bisa berkatakata. Ia cuma memandang dengan kebahagiaan berlimpah.

Si pemuda tersipu karena merasa pandang Kustini begitu mendewakan dirinya. Dia toh bukan dewa. Bukan malaikat yang bisa disanjung

dan dipuja. Terbayang olehnya wajah Albert yang mengandung kemurkaan ketika menyodorkan uang lima juta rupiah kepadanya. Pastilah kemurkaan itu akan berlipat ganda kelak. Si pemuda tersenyum tipis. Ah. dia tidak takut. Ia pun tidak merasa harus malu. Yang harus merasa takut dan malu bukan dia. Dia cuma harus memikirkan bagaimana caranya menghadapi situasi yang sudah berubah.

"Ah, hujan sudah berhenti!" seru Kustini gembira, mengembalikan pikiran si pemuda kepadanya.

"Tolonglah antarkan saya pulang, ya Dik?"

Esok sorenya, hari Senin, Kustini dan Arifin mencari rumah Albert. Arifin mengendarai sendiri mobilnya. Dia sudah cukup senang bahwa Kustini mau mengajaknya serta dan tidak bertindak sendiri. Memang Kustini hebat. Patut dikagumi. Seorang diri ia mencari dalam hujan dan panas. Ternyata berhasil. Seorang saksi mata yang harganya tak ternilai berhasil dibawanya pulang. Sungguh luar biasa.

Tapi betapapun berharganya saksi itu, dia cuma sendirian. Seorang saksi saja jelas kurang. Masih dibutuhkan paling tidak seorang lagi. Harus ada yang memperkuat dan mendukung. Seorang saksi saja bukanlah saksi, demikian bunyi asas-asas dalam KUHAP. Jelas pula bahwa mereka harus

mempersiapkan diri sebaik mungkin Kalau mau mengajukan tuntutan. jangan sampai tuntutan dinyatakan tidak memenuhi syarat. Pihak yang menabrak tentunya akan berusaha menyangkal segala tuduhan. Lebih-lebih bila mereka menemukan kelemahan penuntut.

Pada saat seperti itulah terasa betul-betul betapa susahnya mencari keadilan. Memang tak sedikit orang menasihati,

"Biarkan orang berdosa dihukum Tuhan!" Dan orang lain bilang,

"Bukankah ada hukum karma?" Ah, kalau setiap orang berpendapat begitu tentulah orang jahat akan merajalela, karena mereka pasti tidak sependapat.

Semestinya bukan merupakan kewajiban mereka mencari dan menemukan saksi. Sudah ada polisi untuk itu. Tapi bagaimana kalau polisi sendiri menyatakan tidak sanggup, susah, sulit, bahkan mustahil? Bisa dimaklumi kalau dalam setiap angkatan terdapat oknum-oknum, demikian pula halnya dalam setiap kelompok atau golongan. Itu kalau istilah oknum mengandung makna negatif. Jadi, yang malas ada, yang mau gampangnya saja ada, dan yang brengsek pun ada! Lantas, bisakah kepercayaan dilimpahkan kepada orang-orang seperti itu?

Tapi tidak apa-apa. Dengan berusaha sendiri seperti itu, mereka berdua merasa memperoleh hikmah juga. Naluri untuk melampiaskan dendam, meledakkan emosi dan agresivitas jadi tersalur sebagian. Lebih baik putus asa dalam pencarian daripada dalam penantian!

Si Jon, anak muda yang baik hati itu, telah menceritakan segala yang dilihatnya sampai detil. Seorang saksi mata yang keterangannya serba meyakinkan. Sayangnya dia cuma sendirian. Banyak orang lainnya cuma bisa menjadi saksi perihal mobil sedan yang berwarna putih saja sebagai ciri satu-satunya yang mereka lihat. Apa mereknya saja tidak mereka ketahui. Padahal kalau cuma itu saja jelas tak bisa membuktikan apa-apa.

"Dia orang kaya, Pa," kata Kustini.

"Dia siapa? Oh, si penabrak maksudmu?"

,Ya.,,

"Lantas, kenapa? Kita juga bukan orang miskin walaupun tidak sekaya dia. Jangan khaWatir, Ma. Kita punya kekuatan untuk bertarung. Aku tidak keberatan kehilangan harta."

Suara Arifin kedengaran keras. Kustini menoleh padanya dengan mata berkaca-kaca. Dia sedih tapi semangatnya pun serasa tercambuk. Firasatnya mengatakan, pertarungan bakal seru.

"Menyedihkan, bukan, Pa? Untuk mencari keadilan harus perlu duit."

"Ya. Duit lawan duit."

"Ah, kau membuatku pesimis. Apakah yang duitnya lebih banyak akan menang? Lantas, adakah gunanya perjuangan kita ini?"

"Hei, benarkah kau pesimiS.Jangan dong. Kita baru saja mulai."

Kustini tersenyum. Tentu saja dia tidak pesimis.

Arifin melirik.

"Aku senang. Mulai hari ini kau tidak keluyuran lagi sore-sore." .

"Tentu saja. Tujuan sudah tercapai. Sijon sudah berjanji akan menghubungi kita lagi. Sayang dia tak mau memberikan alamatnya."

"Ya. Kenapa? Aku juga bertanya-tanya, kenapa dia mmyimpan saja apa yang dilihatnya itu. Kalau dia tak bertemu denganmu mungkin akan terus disimpannya. Mestinya sejak hari itu, saat itu juga dia melapor kepada polisi."

"Mestinya memang begitu. Tapi mungkin dia takut. Ada orang yang tak ingin beruru5an dengan polisi. Sudahlah. Sudah bagus dia mau berterus terang. Apalagi kesediaannya menjadi saksi itu harus kita hargai lho. Pa. Untung saja pertanyaanmu itu tidak kawajukan padanya. Dia bisa tersinggung. Dan siapa tahu malah membatalkan niat baiknya."

"Ya, ya. Aku setuju denganmu," sahut Arifin buru-buru. Tentu saja dia pun menganggap si Jon sebagai berkah.

"Mudah-mudahan Lia tidak shock setelah membaca surat kita, ya Pa," kata Kustini mengalihkan persoalan. Pikirannya melayang kepada Amelia, adik Emil. Satu-satunya anak mereka kini. Pada saat itu Amelia berada di Amerika, belajar komputer.

"Ya. Mudah-mudahan dia tabah. Dia sangat menyayangi Emil. Ah, pasti dia sedih. Tapi kuharap dia dapat cepat mengatasi, dan mau mengikuti anjuran kita agar tidak buru-buru pulang. Ujiannya sudah dekat. Tanggung."

"Sudah kusurati Yati agar menghibur sekalian menasihati Lia. Biasanya Lia selalu menghargai dan mematuhi saran bibinya," kata Kustini sambil mengenang putrinya itu. Sesungguhnya ia merasa rindu kepada Lia di saat kehilangan Emil sekarang ini. Sudah dua tahun Lia berada di Amerika dan selama waktu itu baru sekali dia pulang ketika liburan. Itu pun rasanya sudah lama sekali. Lebih-lebih di saat sekarang ini. Diam-diam ia berharap Lia nekat pulang untuk menemani kedua orang tuanya barang sebentar. Ya, sebentar saja. Tapi ah, dia tidak boleh egois tentunya. Tunggu saja nanti bila Lia sudah selesai sekolahnya. Pasti Lia tak akan ke mana-mana lagi.

Sebenarnya Kustini tidak begitu suka Lia pergi bersekolah jauh-jauh. Kalau mau bersekolah komputer dijakarta pun ada, juga yang berkualitas baik. Tapi ia tahu. bagi Amelia masalahnya bukan itu melainkan soal kesempatan. Haryati, adik Kustini yang bersuamikan orang Amerika, menawari Lia sekolah di sana dan tinggal bersamanya. Hubungan antara Lia dengan bibinya itu memang cukup baik. Karena itu Lia sangat senang menerima tawaran itu. Baginya bukan soal sekolahnya, melainkan pengalaman baru di negeri orang. Tak sampai hari Kustini memusnahkan kegembiraan itu. Apalagi suaminya pun setuju saja.

Semula timbul ide untuk menyembunyikan dulu musibah itu dari pengetahuan Lia sampai nanti bila ujiannya sudah berlalu. Maksudnya supaya Lia

bisa belajar tanpa gangguan pikiran dan emosi. Tapi kemudian terpikir lagi bahwa kelak kalau Lia tahu dia pasti akan merasa tidak senang. Tentu saja pasti dia akan tahu. Apalagi selalu ada kemungkinan bahwa Lia dapat mengetahuinya dari sumber yang lam. Mereka pun tahu, bahwa Lia menyukai keterusterangan.

"Aku yakin, Lia seperti ibunya. Tabah dan berani," kata Arifin melihat istrinya termangumangu.

"Ah, apa iya?"

"Ya. Nah, siap-siap mentallah, Ma. Kita sudah hampir tiba."

Keduanya sama-sama menjadi tegang. Banyak hal bisa terjadi. Rasanya mereka akan berhadapan dengan musuh. Sampai saat itu mereka memang belum berhubungan dengan polisi. Sengaja ingin melihat bagaimana reaksi orang-orang itu, terutama si penabrak, dengan mata kepala sendiri. Mereka akan dapat melihatnya pertama kali. Hai, Orang-orang pengecut, jangan mengira tak ada yang tahu. Dan kalau mereka mungkir, seperti apakah gaya kebohongan mereka? Pintarkah atau nampak palsunya?

Urusan dengan polisi bisa besok atau lusa. Kustini tak akan melupakan janji Kapten Polisi Suherman kepadanya.

"Bila Ibu dapat menemukan saksi mata yang mampu menunjukkan atau memberitahukan nomor mobil penabrak itu, kami akan segera menangkap si pemilik pada saat itu juga!" Tak begitu jelas apakah janji itu diucapkan
Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekadar untuk menghibur ataukah semata-mata karena jengkel merasa dirongrong oleh pertanyaan Kustini yang tak henti-hentinya. Tapi bagi Kustini janji itu adalah pegangan.

"Nah, ini dia. Nomornya betul, kan?" tanya Arifin.

"Ya. Betul, Pa," jawab Kustini dengan tegang. Di hadapannya terdapat rumah besar dan mewah. jelas memberi ciri status sosial penghuninya.

Arifin memundurkan mobilnya. Ia tak ingin memarkir mobilnya persis di depan rumah itu. Kurang enak rasanya.

Di depan pintu pagar yang tinggi keduanya memperhatikan sebentar. Suasana nampak sepi. Pintu garasi yang kelihatan tertutup rapat tidak memungkinkan bagi mereka untuk melihat isinya. Adakah mobil maut itu di dalamnya?

"Itu ada belnya di pinggir. Tekan saja, Pa," kata Kustini setelah melongok kanan-kiri.

Arifin melakukannya. Lalu mereka menunggu.

Seorang laki-laki setengah baya yang berpenampilan seperti pembantu berjalan keluar. Langkahnya santai saja. Matanya bersikap mempelajari. Orang asing atau orang yang sudah dikenalkah para tamu itu?

"Apa di sini rumah Tuan Albert Siahaan?" tanya Arifin.

"Betul."

"Orangnya ada?"

"Sedang keluar, Pak. Tapi sebentar lagi juga pulang. Nanti saja kembali lagi."

Arifin berpandangan sebentar dengan istrinya. Dan Samin, si pembantu, ganti memandangi keduanya dengan sikap acuh tak acuh. Para tamu ini tak dikenalnya. Jadi ia merasa tak perlu bersikap terlalu hormat.

"Apa betul mobil sedan putih bernomor B- " Kustini menyebut nomor mobil yang diketahuinya dari Jon,

"dimiliki penghuni rumah ini?"

Wajah Samin segera berubah setelah teringat.

"Oh, barangkali Bapak dan Ibu ini berminat mau membeli mobil itu? Yang punya sih Tuan Eric, tapi Tuan Eric juga sedang keluar. Kalau Ibu ada. Bisa saya panggil," kata Samin buru-buru. Dia sudah dipesan untuk melayani calon pembeli atau peminat dengan baik. Maksudnya supaya mobil itu segera laku. Dan ia sendiri juga sangat ingin mobil itu segera enyah dari rumah ini. Entah kenapa ia selalu merasa tidak enak setiap kali melihat mobil itu. Padahal mobil itu nongkrong terus di garasi. Tuan Eric tak pernah memakainya lagi sejak sore itu. Dia sudah membeli mobil baru.

Arifin dan Kustini sama-sama terkejut.

"Jadi, mobil itu mau dijual?" tanya Kustini hampir memekik.

"Betul, Bu. Kok Ibu malah tanya. Saya kira " Samin merasa bingung.

"Mobil itu tidak boleh dijual, Pak! Tidak boleh! Awas, saya akan beri tahu polisi sekarang juga!" kata Kustini marah. Dia melotot. lupa bahwa Samin bukanlah si pemilik mobil.

"Lho, kok Ibu melarang? Emangnya yang punya siapa?" balas Samin jengkel. Ia hampir yakin bahwa yang dihadapinya adalah orang kurang waras.

"Sabar, Ma. Sabar,

" Arifin menenangkan istrinya. Dan kepada Samin ia berkata ramah,

"Maaf, Pak. Jangan marah, ya. Istri saya memang sedang bersedih. Nanti saya beri tahu. Tapi, mobil itu belum terjual, kan?"

"Belum. Tuh masih di garasi." Samin menunjuk ke arah garasi. Tapi perasaannya mulai cemas.

Arifin menjawil lengan istrinya.

"Kaudengar, Ma? Mobilnya masih ada. Baru mau dijual, tapi belum laku. jadi tenanglah."

"Ya, ya. Aku sudah tenang. Soalnya, aku kaget tadi. Tapi, justru dengan itu, jadinya benar, kan? Tak mengherankan kalau mereka terburu-buru mau menjualnya."

Samin memandang tak mengerti. Tapi ia juga ingin tahu. Ada sesuatu dengan mobil itu. Padahal ia merasa memiliki rahasia juga. Jadi ia bukan hanya ingin tahu tapi juga'harus tahu.

"Ada apa sih, Pak?" ia bertanya tanpa menyembunyikan perasaan hatinya dari wajahnya.

Semula Arifin ragu-ragu. Perlukah menceritakan soal itu kepada seorang pembantu? Tapi tadi istrinya sudah berlaku kasar, dan ia sudah berjanji untuk memberi tahu. Ah, tidakkah paling baik kalau semua orang tahu? Apalagi pembantu rumah tangga di rumah ini sebaiknya tahu seperti apa majikan mereka.

"Begini, Pak. Mobil itu tidak boleh dijual karena sudah menabrak orang sampai mati. Dan orang yang ditabrak itu adalah putra kami."

Mulut Samin ternganga. Dan tetap begitu untuk beberapa saat lamanya. Jadi, persangkaannya dulu itu benar. Firasat buruknya benar. Segala perasaan kurang enak itu punya makna. Punya arti. Pantas. Pantas.

Baru Samin menutup kembali mulutnya setelah pandangnya kembali terarah pada kedua tamunya. Ah, kasihan. Pantas. Pantas. Tapi, dia masih menginginkan ketegasan. Spontan ia bertanya,

"Apakah kejadiannya Minggu sore, satu minggu yang lalu?"

Suami-istri Arifin terlonjak bersamaan. Tanpa sadar keduanya merapat ke pagar yang masih tertutup rapat dan memandang lekat ke wajah Samin.

"Oh, jadi... jadi Bapak tahu? Kok tahu, Pak? Kok tahu ?" tanya Kustini sambil mencengkeram lengan suaminya. Suaranya bergetar oleh emosi. Tidak galak seperti tadi, tapi malah kebalikannya. Dia kelihatan sedih, tapi waspada menanti reaksi Samin. Penuh perhatian dan harapan.

Tak kepalang iba hati Samin. Dia lupa akan janjinya pada majikannya. Dan akan sumpahnya. juga upahnya yang lima belas ribu rupiah. Ia

berbicara oleh dorongan perasaan. Bukan pikiran.

"Saya sebenarnya tidak tahu, Bu. Cuma mengirangira. Pada hari itu, sore itu, mobil Tuan Erie banyak cipratan darahnya dan..." Samin tak

melanjutkan karena merasa ngeri membayangkannya lagi.

"Oh !" Kustini memekik. Sejenak ia menyandarkan tubuhnya kepada Arifin. Keseimbangannya serasa hilang.

"Apakah Tuan Eric mengatakan sesuatu tentang tabrakan itu, Pak?" tanya Arifin bernafsu.

"Tidak. Dia tidak bilang apa-apa."

"Jadi dia tidak mengaku. Apa Bapak tidak beri tahu tentang darah di mobilnya itu?"

"Saya beri tahu pada ayahnya, Pak Albert. Tapi..." Samin terdiam. Dengan terkejut ia teringat, bahwa ia tidak seharusnya menceritakan hal itu pada siapa pun. Mukanya menjadi pucat. Dia lemas.

"Tapi apa, Pak? Ah. kenapa, Pak?" tanya Arifin tak sabar.

Tubuh KuStini tegak kembali. Kini ia ingin sekali meloncati pagar lalu menggoyang-goyang tubuh Samin agar mau mengatakan semuanya.

Arifin menimbang-nimbang sebentar. Ia sadar tak boleh melepaskan kesempatan. Kalau sebentar tuan rumah pulang, maka orang di depannya ini bisa berubah pikiran lalu berkata lain. Cepat-cepat ia menceritakan kepada Samin tentang peristiwa tabrakan itu seperti yang didengarnya dari Jon.

"Jadi coba Bapak pikir. Ah, Pak siapa ya, namanya?" tanya Arifin di akhir ceritanya.

"Samin," sahut Samin pelan. Ia terpengaruh oleh cerita itu.

"Nah, Pak Samin, anak saya berada di pinggir jalan kok ditabrak. Malah digilas pula. Coba, siapa yang salah? Sudah begitu, kabur lagi. Kalau dia memang takut dikeroyok, kenapa tak lapor pada polisi? Tapi dia malah berbuat seakan tak ada apa-apa. Mobilnya mau dijual. Barang bukti mau dihilangkan. Itu artinya tidak jujur, Pak. Sama saja dengan membunuh. Dia tidak tahu, ada orang yang melihat. Coba kalau tak ada yang melihat, pasti tak bisa dilacak. Akhirnya, cuma Bapak sendiri yang bisa mengira-ngira, tapi tidak tahu pasti. Apakah Bapak tidak merasa dihantui oleh perkiraan itu?"

Pertanyaan itu tepat mengena. Samin kian lemas. Ia tahu, tak bisa lari ke mana-mana lagi. Ia merasa terpegang kuat-kuat. Andaikata mau berbohong pun ia tidak tahu mesti bilang apa.

"Benar, Pak. Saya selalu merasa kurang enak sejak saat itu. Sering meremang tengkuk saya. Apalagi kalau mobil itu saya pandangi."

"Dengan membantu kami, pasti perasaan itu akan hilang, Pak."

"Membantu apa?" tanya Samin kaget.

"Bapak bisa menjadi saksi. Yaitu, Bapak menceritakan kepada polisi semua yang Bapak lihat pada mobil itu di hari Minggu yang lalu."

Samin lebih kaget lagi.

"Tapi... tapi Pak Albert pasti marah besar. Saya sudah berjanji. Bahkan bersumpah, tidak akan cerita pada orang lain. Saya takut."

KuStini mendesis geram. Tapi Arifin menekan lengannya sebagai tanda.

"Kalau Bapak tidak mau membantu, berarti Bapak menyembunyikan kebenaran. Bapak sudah membantu orang yang bersalah. Dan Bapak akan terus-terusan dikejar perasaan bersalah."

"Melanggar sumpah itu dosa."

"Bersumpah semacam itulah yang dosa, Pak. itu namanya membantu orang berbuat kejahatan. Ya, terserah kepada Bapak. Mau membantu siapa. Tapi kami sangat mengharapkan bantuan Bapak. Untuk itu kami tidak akan melupakan budi Bapak."

Harapan Samin timbul.

"Kalau saya diberhentikan dari sini?"

"Wah, gampang. Saya bisa mencarikanpekerjaan lain. Kalau Bapak mau kerja di rumah saya pun saya akan merasa senang."

"Uang lima belas ribu yang diberikan Pak Albert kepada saya sudah habis. Pasti dia akan minta kembali."

"Itu pun gampang. Nanti saya gantikan."

Samin sudah tidak lemas lagi.

"Jadi Bapak mau membantu kami? Bapak bersedia bila diminta jadi saksi untuk mengatakan sejujurnya perihal apa yang Bapak lihat dan Bapak dengar sekitar peristiwa itu?"

"Ya, Pak." .

"Oh, terima kasih, Pak Samin." Berbarengan Arifin dan Kustini mengucapkannya.

"Tapi... apakah Bapak dan Ibu akan mengatakannya sekarang juga kepada Pak Albert dan Bu

Sri?" tanya Samin ngeri. Ia membayangkan dirinya jadi sasaran kemarahan majikannya.

"Oh, tidak. Tentu saja tidak. Nantilah kalau sudah tiba waktunya."

Samin menarik napas lega. Lalu bertanya ragu-ragu,

"Apa Bapak dan Ibu mau masuk sekarang? Nanti saya panggil Bu Sri."

Arifin dan Kustini berpandangan. Sama-sama merasakan bahwa persoalan sekarang menjadi lain.

"Bagaimana?" tanya Arifin.

"Kita pulang saja?"

"Ya. Aku juga berpikir begitu. Tak ada gunanya kita temui mereka. Nanti dikira kita mengajak damai. Minta duit," kata Arifin pelan.

Samin sudah membuka pintu.

"Jangan, Pak Samin. Kanu pamit saja. Dan sebaiknya jangan mengatakan apa-apa pada Ibu di dalam. Kita diam-diam dulu," kata Arifin.

Mereka berlalu setelah berpesan sekali lagi pada Samin.

"Kaupikir dia akan menepati janjinya, Pa?" tanya Kustini.

"Apa kau meragukan?" Arifin balik bertanya.

"Soalnya, dia mudah berbalik. Sudah berjanji bahkan bersumpah pada majikannya tapi kem udian mengingkari. Ah, aku takut dia nanti dipengaruhi lagi oleh majikannya. Apakah dia nanti tidak berbalik lagi, Pa?" kata Kustini, berlama-lama memegang pintu mobil tanpa segera membukanya. Lalu ia menoleh ke belakang.

"Oh, dia masih di situ memandangi kita. Kenapa, ya?"

Arifin sudah duduk di belakang kemudi. Mendengar kata-kata istrinya ia menoleh ke belakang. Tak bisa melihat jelas ia keluar dari mobilnya. Ia melihat Samin berdiri di luar pagar dan memandang ke arah mereka.

"Aku pikir, dia masih kaget mendengar cerita kita tadi. Tidak meragukan bahwa dia sudah terpengaruh. Kalau tidak, tak mungkin dia berbalik begitu mudah. Ma. Sudahlah, jangan terlalu khawatir. Percayalah bahwa kita akan menang."

"Oh, rasanya aku akan meninggalkan sesuatu yang sangat berharga. Terlalu berharga untuk ditinggalkan begitu saja."

Arifin memandang istrinya. Ia maklum. Katakata sukar membujuk Kustini. jadi dibiarkannya saja Kustini berdiri sambil memandangi Samin. Ia sabar menunggu. Barangkali kalau Samin masuk rumah, baru Kustini pun masuk mobil. Tapi ia tidak tahu kapan itu akan terjadi. Apakah Samin akan berdiri saja di situ? Lama-lama ia jadi cemas. Kalau Samin sampai menjadi linglung...

Kustini mengeluh panjang, lalu berbalik. Ia membuka pintu mobil. Arifin pun melakukan hal yang sama dengan perasaan lega. Tapi belum sempat ia menjalankan mobilnya, tiba-tiba Kustini berseru,

"Tunggu, Pa! Dia lari ke sini!"

Samin berlari sambil menggapai-gapai.

"Tunggu! Tunggu!" serunya. '

"Ada apa, Pak? Ada apa?" tanya Kustini dan Arifin hampir berbarengan. Dan Arifin sempat menyesal kenapa mereka tak segera berlalu dari

tadi. Berlama-lama mungkin membuat Samin berubah pikiran.

"Saya mau ikut Bapak dan Ibu saja," kata Samin dengan napas lebih cepat.

"Ya, sekarang juga, Pak. Saya takut lama-lama di sana. Tapi tunggu sebentar ya, Pak. Saya mau ambil pakaian saya dulu. Nanti saya bilang sama Bu Sri, saya mau pulang kampung!"

Ketika akhirnya mobil Arifin meluncur pulang, Kustini tersenyum puas. Di belakangnya duduk Samin bersama tas dan buntalannya. Aneh juga, bahwa sesuatu yang berharga itu akhirnya bisa dibawanya pulang. Ya, pulang. Karena itu, ia semakin yakin akan menang. Emil anakku, Mama akan menyeret pembunuhmu ke pengadilan!

***

SENIN malam itu juga Eric ditahan berikut mobil putihnya. Dan ternyata berlawanan dengan anjuran ayahnya, tanpa banyak rewel ia mengaku. Pada mulanya dalam tanya-jawab ia berusaha bersikap tak tahu apa-apa, heran dan takjub kenapa dirinya sampai ditahan. Tapi pertanyaan-pertanyaan polisi yang mendetil dan menyudutkan membuat ia beberapa kali terjebak. Ia pun sadar bahwa memang ada saksi mata yang telah melihat perbuatannya. Lebih-lebih setelah tahu bahwa saksi mata itu adalah si Jon, si kurang ajar yang bermuka dua. Masih ditambah lagi oleh pengkhianatan Samin. Namun sebenarnya bukan cuma hal-hal itu saja yang jadi pendorong. Ada sesuatu dalam dirinya yang menggelisahkan dan menyiksa. Susah menghapus kenangan itu. Pekerjaan yang menyibukkan cuma mengalihkan sebentar. Dan valium hanya mampu menolongnya tidur. Padahal kehidupan bukan cuma itu. Masih ada salah satu segi yang paling penting, berharga, dan perlu, tapi justru tak bisa diperolehnya dengan uang berapa pun. Itu adalah ketenangan. Kapan akan ketahuan?

Kapan diciduk? Oh, ternyata sekarang. _Jadi, ia menyerah. Pengakuannya itu membuat Albert tambah naik darah. Tekanan darahnya sudah mencapai titik didih dan bertahan di situ. Tak kepalang banyaknya hal-hal yang membuatnya gusar tak tertanggungkan. Dimulai dengan ingkarnya sijon dan kemudian Samin. Padahal kedua orang itu telah disumpalnya dengan uang. Dasar mental bejat. Lebih dari itu, ia pun sadar tak bisa menuntut keduanya. Dengan menuntut akan sama saja membongkar keburukannya sendiri. Apalagi kesemua itu berlangsung tanpa saksi tanpa bukti. Hal yang sama itu pun diutarakan oleh Wahyudi SH, pengacara top Ibukota, yang segera dihubunginya begitu polisi datang ke rumahnya. Dalam suatu kesempatan ia berhasil berhadapan dengan si jon. Dia sudah gemas dan geregetan, sementara anak muda itu tenang-tenang saja. Kalau saja tak disadarinya bahwa mereka tak cuma berdua pasti sudah diterjangnya pemuda itu. Bencinya tak kepalang. Tapi ia cuma bisa mendesis dan melotot.

"Kembalikan uangku!"

"Sudah habis, Pak."

"Habis? Enak saja kau mempermainkan aku."

"Maaf, Pak. Saya bukan mau mempermainkan, tapi saya ternyata lebih kasihan pada ibu korban."

"Tapi kau sudah berjanji. Kau sudah dibayar untuk itu!"

"Saya menyesal. Maunya memang begitu, tapi tahu-tahu jadi lain. Wah, Bapak tidak tahu dan tidak melihat bagaimana ibu itu berpanas-panas dan berhujan-hujan mencari saya. Ya, mencari saya. Kasihan "

"Sudah, sudah. Itu bukan urusanku. Ayo, kembalikan uangku."

"Tidak bisa, Pak."

"Tidak bisa? Awas ya!"

"Bapak mengancam?" si Jon mendesis juga. Dan wajahnya berubah jadi seram.

"Ya, saya tidak bisa mengembalikan karena uangnya memang sudah habis. Silakan tuntut kalau Bapak mau. Tapi saya juga bisa mempermalukan Bapak. Malu buat saya dan buat Bapak pasti lain, kan? Ha ha ha!"

"Kau bangsat! Bajingan!"

"Saya memang bajingan, tapi kayaknya sih masih punya rasa kasihan. Ah, saya pikir bajingan itu ada macam-macam, Pak. Tergantung kelas dan derajatnya. Iya, kan?"

"Awas, suatu saat kau bisa babak-belur!"

Si Jon malah tertawa geli.

"Oh, Bapak punya tukang pukul? Tapi saya juga punya banyak teman di daerah Senen!"

Ancaman secara tak langsung itu menyurutkan kemarahan Albert. Ia yakin, si Jon bukan cuma membual. Kelakuannya saja sudah membuktikan kelicinannya. Siapa tahu dia memang salah satu pimpinan bandit Senen.

Wahyudi juga mengingatkan.

"Lebih baik kita

tidak usah melayani cecunguk macam dia, Pak. Konsentrasi saja pada perkara Eric."

"Tapi uangku yang lima juta hilang percuma, Pak Wahyudi! Dan jumlah sekian itu kan tidak kecil."

"Memang tidak kecil, Pak. Tapi coba pikirkan risikonya. Demi menuntut yang lima juta itu kerugiannya malah jauh lebih besar. Sampai saat ini kesaksian si Jon yang ia laporkan hanya berkisar pada apa yang dilihatnya seputar tabrakan itu dan bukan hubungannya dengan Bapak. Cuma Samin yang mengatakan telah menerima uang dari Bapak supaya dia tutup mulut. jadi kalau Bapak meributkan uang itu berarti Bapak sendiri akan menambah persoalan."

Albert cuma bisa mengurut dada. Tentu saja Wahyudi bisa bicara begitu, karena itu bukan uangnya, pikirnya kesal. Dan tentu saja si Wahyudi tidak ingin perkaranya menjadi terlalu rumit hingga menyulitkan dirinya juga. Tapi ia mematuhi saran Wahyudi. Eric harus lebih dipikirkan.

"Kau tidak perlu menyesali diri, Ric! Tak perlu bersedih. Yang sudah terjadi, ya sudah. Bukankah kau tidak sengaja? Kau bukanlah seorang pembunuh berdarah dingin yang sengaja membunuh korbannya. Kau sama sekali tidak punya maksud jahat. Semua itu karena nasib. Ya, nasib!" Albert menasihati Eric sewaktu mengunjunginya di tempat tahanan.

Eric cuma mengangguk lesu." Ia juga meragukan apakah ketenangan yang dicarinya itu berhasil diperolehnya setelah ia mengakui kesalahannya. Kini ada kenyataan lain. Bayang-bayang penjara! Dan itu ternyata tak kalah menakutkan. Bukankah dia masih muda? Dia masih belum kenyang mereguk kehidupan.

"Dan jangan lupa, kau waktu itu sedang sakit. Itu sebabnya kau sampai kehilangan kendali atas mobilmu. Kau perlu diperiksa dokter," sambung Albert.

Kepala Eric menegak. Sewaktu dibuat berita acara ia sudah menyebut-nyebut soal kondisi tubuhnya yang kurang mantap. Tapi ia tidak secara tegas mengatakan dirinya sakit. Tapi Sri dalam keterangannya dengan tegas menyebut Eric sakit karena gejala yang dilihatnya menunjuk ke sana. Ah, sakit. Bukankah dalam keadaan sakit orang biasanya memperoleh keringanan? Eric tersenyum. Ayahnya pun tersenyum.

Pada hari itu juga Eric mengeluh sakit dan ia mendapat "serangan jantung". Ia dilarikan ke RS Polri. Seorang dokter di sana merupakan kenalan baik Albert. Kepadanya Albert sudah menceritakan soal kondisi putranya, lengkap dengan riwayat kesehatan Eric sejak kecil. Bahkan juga dengan surat tertulis dari seorang dokter ahli yang merupakan dokter pribadinya, spesialis penyakit dalam Dokter Sapardi. Dalam surat itu ditulis bahwa Eric berada dalam perawatan dan pengobatannya secara teratur. Jadi jangan sampai dikacaukan dengan obat yang berbeda. Tentu saja hal itu cukup menimbulkan rasa segan. Akibatnya Eric tak mendapat pemeriksaan teliti. Ia hanya diistirahatkan saja, lebih-lebih setelah ternyata bahwa 'serangan jantungnya" sudah berhasil diatasinya sendiri. Cuma kondisinya saja yang 'lemah'. Tapi keadaan itu sudah cukup untuk mengistirahatkan Eric di tempat tidur rumah sakit. Dan tentu saja jauh lebih nyaman dibanding dalam sel tahanan.

"Kalau mungkin kita minta Eric dipindahkan ke klinik Dokter Sapardi. Di sana tentu lebih nyaman. Dokter Sapardi bersedia menanggung, eh, menjamin, maksudku. Eric tidak akan melarikan diri sampai perkaranya diproses," Albert menjelaskan kepada istrinya.

"Kaupikir itu bisa, Pa?" tanya Sri penuh harap.

"Bisa saja," jawab Albert dengan nada tinggi.

"Dengan uang segalanya bisa diatur!"

Sri terdiam. Ada saat tertentu di mana ia tidak menyukai sikap suaminya. Misalnya yang suka menyombong seperti ituTapi menurut Albert, yang diakuinya sendiri tanpa ditanya, sikap semacam itu penting untuk membangkitkan rasa segan orang. Kalau merendah-rendah saja nanti bisa dihina, katanya. Untuk anggapan seperti itu Sri tak mau menanggapi. Bagaimanapun ia pasti akan kalah berdebat. Tapi dalam satu hal ia sependapat. Kekayaan yang mereka miliki memang perlu dimanfaatkan dalam keadaan seperti itu. Lantas, untuk apa uang banyak kalau cuma

disimpan saja? Yang paling penting untuk dibela adalah anak. Dalam hal itu ia mengagumi Albert.

Keyakinan Albert memang jadi kenyataan. Sehari kemudian Eric yang segar-bugar dipindahkan ke klinik Dokter Sapardi untuk menempati ruang VIP di sana. Pindahnya pun memakai ambulans. Di sana ia tercatat sebagai pasien dengan gejala jantung yang perlu beristirahat mutlak. Berdasarkan resep Dokter Sapardi ia mendapat sejumlah obat. Tapi bila tiba saatnya obat-obat itu diantarkan perawat ke kamarnya, ia menyuruh si perawat agar meletakkannya di meja saja. Lalu begitu si perawat keluar kamar ia membuang semua obat itu ke dalam wastafel. Satu-satunya obat yang dimakannya hanyalah valium menjelang tidur. Tanpa obat itu ia tak lagi bisa tidur. Perlahan tapi pasti ia mulai kecanduan.

Kerja Eric sehari-hari hanyalah membaca dan nonton video. Lama-lama memang membosankan. Apalagi ia sudah begitu terbiasa dengan kehidupan di luar rumah. Dan satu hal lagi yang membuatnya resah adalah kerinduannya akan kehangatan wanita. Selama di rumah sakit ia tentu harus berpuasa dari segala foya-foya. jelas, orang sehat yang disuruh sakit pun merupakan suatu siksaan. Tak ada hiburan baginya di segi yang satu itu. Apalagi tak ada satu pun perawat di klinik itu yang muda dan cantik. Rata-rata sudah berkeriput dan memiliki porongan tubuh besar dan gemuk. Menurut Dokter Sapardi, perawat yang bertubuh besar lebih berguna dibanding yang bertubuh

kecil langsing. Tenaganya bisa dipastikan lebih besar berlipat ganda. Sedang perawat muda dan cantik cuma menimbulkan problem, misalnya dapat membuat pasien (laki-laki) lama sembuh karena ingin lebih lama dirawat.

Dengan demikian Eric cuma menghitung hari sambil menunggu tanpa mengetahui perkembangan di luar. Satu-satunya sumber berita adalah kedua orang tuanya. Tapi ayahnya selalu menjanjikan optimisme.

"Tak kusangka, begitu banyak orang amat suka sama duit," begitu diucapkannya berkali-kali. Tak jelas bagi Eric apakah komentar itu cetusan perasaan senang atau jengkel. Walaupun uang punya pengaruh besar bagi keringanan bebannya, tapi jelas ayahnya akan terkuras cukup banyak.

Terkadang Eric merasa sikap ayahnya terlampau berlebihan terhadap dirinya dan itu menjengkelkannya. Tapi sekarang tidak. Ia merasa senang memiliki ayahnya. Mungkin karena ia baru menyadari bahwa segala kesenangan yang pernah dinikmatinya sampai saat itu adalah berkat jasa ayahnya. Bahkan persoalan yang dihadapinya sekarang ini pun nampaknya akan berakhir dengan baik pula. Berkat ayahnya. Optimismenya ikut tumbuh. Ia bisa memandang ke sekitarnya dengan tegar lagi. Bahkan ia pun bisa memandang pada kedua orang tua korban dengan angkuh. Padahal ketika ia baru masuk tahanan dan kedua orang itu datang melihatnya, ia cuma tertunduk dengan malu dan risi. Ia tidak tahu mesti bilang ana.

Sementara kedua orang itu pun tidak bilang apa-apa. Mereka hanya memandanginya seakan ia makhluk langka. Dan ada lagi perasaan lainnya yang membuat ia tak berani membalas tatapan mereka. Yaitu, ia merasa dipandangi dengan takjub, heran, dan juga jijik! Ya, seakan dia binatang yang kotor dan bau. Jadi, perlukah ia mengucapkan kata-kata penyesalan, maaf, atau simpati?

Sekarang, ia bisa balas memandang tatapan suami-istri Arifin tanpa sekali pun mengalihkan pandang. justru merekalah yang tak mau lamalama menatap. Dan karena ia tahu bahwa mereka tak ingin mengajaknya berbicara maka ia pun tak menyapa. Mereka cuma saling tatap dengan membisu.

Ketika itu, mereka datang dengan wajah gusar dan tatap selidik. Eric tahu, mereka tak percaya bahwa dirinya sakit. Apalagi sampai perlu dirawat di situ. Ya, biar saja. Mau percaya atau tidak, itu terserah. Dan ia mendengarkan mereka berkomunikasi dengan Dokter Sapardi dengan perasaan geli.

"Apakah benar dia sakit, Dok? Kok kelihatannya sehat-sehat saja."

"Ya, di luar kelihatannya memang sehat. Tapi di dalamnya? Wah..."

"jadi, mungkinkah dia menabrak anak kami karena serangan penyakitnya itu?"

"Mungkin saja. Cara menabraknya itu saja sudah tak wajar. kan?"

Bravo untuk Dokter Sapardi, seru Eric dalam hati. Ah. dokter yang baik. Dokter yang baik. Tapi baginya tidak jelas apakah kesediaan dokter itu membantunya disebabkan karena uang ataukah hubungan baik semata? Dan bukankah seorang dokter itu terikat pada sumpah jabatan? Begitu luhur dan mulia bunyi sumpahnya. Tapi sudah tentu, yang begitu itu bukan urusannya. Dia harus berSyukur bahwa ada seseorang seperti Dokter Sapardi. Ia pun harus membenarkan ucapan ayahnya. bahwa dokter dan polisi, jaksa dan hakim, semuanya merupakan manusia biasa. Bukan nabi atau malaikat, hingga mampu menaati sumpah mereka kata demi kata. Mereka memiliki kelemahan dan kekurangan, juga kecenderungankecenderungan. Beruntung ada manusia-manusia seperti itu, kan? Ah ya karena itulah hidup ini jadi menarik. Hidup ini suatu permainan.

Dengan royal Albert menjamu para wartawan yang bertugas meliput berita kriminal. Ia mentraktir mereka di restoran mahal. lalu membekali mereka dengan arnpiop berisi sejumlah uang (untuk beli oleh-oleh). Maksudnya sudah jelas. Kasus tabrak lari itu jangan hendaknya dibesarbesarkan. Bahkan kalau bisa, tak perlulah dimuat. Buat apa sih? Itu kan berita kecil. Sepele. Lebih baik muat berita sensasi yang lain. Korupsi. Pembunuhan. Perampokan. Perkosaan. Nah.

yang itu hampir tiap hari terjadi dan jelas lebih kejam daripada hanya tabrak lari. Tak ada orang yang sengaja mau menabrak. Dan kalaupun dia lari, maka itu disebabkan karena kebiasaan masyarakat yang suka main keroyok. Orang jadi pengecut karena mau membela diri. Setiap orang punya naluri membela diri. Saya juga. Dan Anda semua juga.

Para wartawan manggut-manggut kekenyangan. Ya, apa salahnya manggut? Urusan toh boleh datang belakangan.

Ternyata kemudian ada saja koran yang tetap memuat berita itu. Memang nama-nama ditulis dengan inisial, tapi menurut Albert masih bisa ditebak orang. Ia sangat marah. Apakah para wartawan itu pun termasuk manusia yang tak bisa dipegang janjinya? Ataukah ada yang kelupaan diundang hingga tak kebagian? Tapi betapapun marahnya, ia tak berdaya. Berita sudah ditulis dan sudah pula tersebar seperti berikut:

E.S. putra tunggal A.S. seorang pengusaha terkenal yang memiliki usaha perakitan mobil bermerek Jepang dan pemegang monopoli merek itu di Indonesia, terlibat dalam kasus tabrak lari.


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Pendekar Naga Putih 33 Bidadari Iblis Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak

Cari Blog Ini