Ceritasilat Novel Online

Yang Mendendam Dan Mencinta 2

Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari Bagian 2



Peristiwanya terjadi pada hari Minggu sore tanggal 10 Juni tahun ini juga. Tersangka mengatakan, ketika itu ia sedang sakit hingga kehilangan kendali atas kendaraannya. Bahkm semasa dalam tahanan ia sempat mengalami serangan jantung hingga sekarang terpaksa dirawat di rumah sakit.

Menurut saksi mata... dan seterusnya.

Beritanya singkat tapi lengkap. Nah, siapa gerangan pengusaha macam itu yang punya inisial seperti tersebut di atas? Keingintahuan akan mendorong orang untuk menebak-nebak. Pasti tidak susah. Buktinya, Albert kerap ditanyai kenalan dan relasinya. Satu tahu, semuanya akan tahu juga. Tak ada lagi yang bisa disembunyikan. Memang tak bisa disembunyikan. Kelak orang akan tahu juga. Tapi paling tidak ia bisa menghindar dari kepu singan sebelum saatnya tiba. Ditambah lagi dengan rongrongan mental.

Tapi itu semua belum seberapa. Masih ada teror lainnya. Dan barangkali inilah yang merupakan klimaks dari segala teror.

Seorang wanita meneleponnya.

"Oom Albert? Di sini Rosi."

Albert bingung sebentar. Siapa Rosi? Salah seorang keponakan, kenalan, atau relasi?

"Ah, Oom bingung, ya." Kemudian suara ketawa mengikik.

"Saya teman Eric."

"Oh, begitu."

"Bagaimana keadaannya, Oom? Apa sudah sembuh?"

"Belum. Dia masih perlu istirahat," sahut Albert jengkel. Segala cewek genit saja ikut-ikutan tahu.

"Boleh saya tahu di mana dia dirawat. Oom? Saya kepingin besuk."

"Oh, dia belum boleh dijenguk."

"Memangnya dijaga polisi, Oom?"

Alben mulai naik darah. Kurang ajar benar. Tapi sebelum ia membentak, wanita di sebelah sana sudah bicara lagi dengan suara merayu.

"Maaf ya, Oom. Tapi saya serius kok. Ada persoalan penting yang perlu saya bicarakan dengan Eric. Penting sekali." _

Albert menekan emosinya. Dia ingin tahu.

"Sudah saya katakan, Eric belum boleh dijenguk. Apalagi membicarakan persoalan penting. Bicarakan saja dengan saya." _

"Ah, saya tahu dia nggak sakit kok. Apalagi sampai jantungan segala."

Suara itu tidak lagi kedengaran merayu. Albert pun jadi waspada.

"Dari mana kau tahu sampai bisa ngomong begitu?"

"Oh, tentu saja saya tahu, Oom. Saya kenal betul sama Eric. Luar dalam kok. Hi hi hi. Bercanda, Oom. Tapi begini. Saya tahu persoalannya dari koran. Dan saya segera tahu, yang dimaksud itu pasti Eric. Saya juga tahu, cerita tentang sakitnya itu bohong. Pintar ya."

"Kau jangan sembarangan ngomong. Apalagi di telepon," kata Albert was-was.

"Nggak ada yang dengerin kok, Corn. Aman."

"Ayolah cepat katakan. Apa yang mau kaubicarakan?"

"Begini, Oom. Pada hari Minggu sore itu, tanggal 10Juni, kan? Nah, saya tahu betul di mana Eric berada sebelum peristiwa itu terjadi. Dia berada di Horel Jakarta. Saya tahu karenasaya

berada bersamanya. Oh, boleh saja Oom tahu. Saya teman kencannya. Dia memang tidak begitu mengenal saya, bahkan memanggil nama saya pun suka lain-lain. Tapi saya tahu betul siapa dia. Anak orang kaya dan terkenal. Sayang dia agak pelit, ya. Nah, sebelum pulang itu dia minum-minum. Banyak juga minumnya. Ya, dia memang suka minum Karena itu dia pasti dalam keadaan teler waktu nabrak orang. Bukan karena sakit. Mustahil sakit karena sebelumnya dia begitu perkasa kok. Dia sehat, segar-bugar. Ya, dia selalu sehat karena saya sering berkencan dengan dia. Nah, itulah yang mau saya sampaikan, Oom."

Sekujur tubuh Albert menjadi dingin. Memang hal semacam itulah yang dikhawatirkannya sejak semula. Tapi sudah tentu ia tak boleh menyerah begitu saja. Apalagi setelah tahu perempuan macam apa yang tengah dihadapinya kini.

"Huh, siapa yang mau percaya omongan orang seperti kau?" katanya dengan nada menghina.

"Kalau Oom nggak percaya sih terserah. Tapi coba tanyakan sama Eric..."

"Tidak usah! jangan ganggu aku lagi. Pokoknya aku nggak percaya!"

Terdengar ketawa mencemooh.

"Nggak apaapa, Oom. Toh ada orang lain yang akan percaya. Polisi, misalnya?"

Albert mengeluh dalam hati. Ia marah tapi juga cemas. Sesudah segala jerih-payahnya berikut perkembangan yang sesuai dengan harapannya,

tiba-tiba muncul masalah baru. Haruskah semuanya itu hancur?

"Kau mau apa?" akhirnya ia bertanya.

"Saya perlu uang, Oom."

Ya, apa lagi kalau bukan uang, pikir Albert dengan sebal.

"Kalau begitu kita harus bertemu. Kita perlu membicarakan soal itu. Nah, di mana kita sebaiknya bertemu. Dan bagaimana caranya aku bisa mengenalimu. Kau sendiri, apa sudah mengenalku ?" kata Alben tenang. Tapi dalam hati ia sibuk bertanya-tanya. Haruskah ia mengulang pengalamannya dengan si Jon sekaligus berikut kebodohannya?

"Oh, saya pun belum mengenal Oom. Apa kira-kira kayak Eric?" kata Rosi genit.

Albert mencibir. Tapi kemudian ia tersenyum. Ah, belum kenal? Hal itu tentu baik sekali. Ya, sangat baik. Pikirannya bekerja sementara mulutnya berbicara menyebutkan tempat dan waktu. Ia heran sendlri bagaimana begitu banyak ide cemerlang bermunculan dalam waktu relatif singkat. Tapi orang memang harus belajar dari pengalaman. Kepintaran sering kali berawal dari kebodohan, demikian pikirnya menghibur dan memuji diri sendiri.

Beberapa jam sebelum waktu perjanjiannya dengan Rosi, Albert menujukan kendaraannya ke

pemukiman Pondok Indah yang dikenal sebagai wilayah elit. Di situ ia mempunyai sebuah rumah yang tak berpenghuni dan rencananya akan dikontrakkan, tapi belum memperoleh peminat yang sesuai.

Sebagai umumnya wilayah elit, rumah-rumah di situ tidak berdekatan satu sama lain. Kalau tidak dibatasi tembok tinggi tentu memiliki taman atau kebun di sekitarnya. Dan suasananya selalu sepi. jadi sesuai dengan rencana Albert."

Di garasi rumah itu sudah tersimpan sebuah mobil yang siap jalan. Maksudnya memang dipersiapkan untuk orang asing yang berminat mengontrak rumah itu kalau-kalau ia pun sekalian ingin menyewa mobil. Sesuatu yang kebetulan sekali.

Sebelum turun dari mobilnya untuk membuka pintu pagar ia memandang cermat ke sekitarnya. Seperti biasa suasananya sepi. Tak terlihat ada orang berdiri atau kumpul-kumpul tanpa kerja, baik di jalan maupun di rumah-rumah sekitarnya.

Dengan cepat ia memasukkan mobil yang tadi dikendarainya ke dalam garasi yang mempunyai daya muat untuk tiga mobil. Lalu ia menuju ke mobil yang memang sudah ada di situ. Pelat nomor mobil itu dicopotnya lalu digantinya dengan pelat nomor lain yang tadi dibawanya serta. Pelat nomor palsu! Cara kerjanya memperlihatkan ketrampilan seorang montir yang memang merupakan keahliannya sebelum ia jadi pengusaha sukses.

Barang-barang lain yang juga dibawanya tadi dipindahkannya ke mobil kedua itu. Barangbarang kecil yang bisa dimasukkan ke dalam laci. Itu adalah rambut palsu dan kumis palsu!

Albert sendiri sudah setengah betak. Separuh dari bagian atas kepalanya tak lagi memiliki rambut hingga menyatu dengan dahi yang jadi nampak lebar. Dan ia pun aslinya tak memiliki kumis karena kalau dibiarkan tumbuh pasti putih semua padahal ia rajin menyemir rambutnya dengan warna hitam legam.

Kedua benda palsu itu tidak dikenakannya saat masih berada di dalam rumah. Ia khawatir kalau-kalau ada orang yang melihatnya tadi saat membuka pintu pagar lalu melihatnya lagi saat keluar untuk mengunci pintu kembali. Orang itu tentu akan mencurigainya bila melihat dan mengenali penampilannya yang berbeda. Kemungkinan seperti itu harus dicegah. Tapi bisa dipastikan tak perlu ada kecurigaan bila orang melihat ia mengganti mobil. Dan tentang nomor yang berbeda ia yakin tak mungkin orang yang melihat sepintas lalu bisa mengingat dengan jelas. Memang mobil bernomor palsu itulah yang kemudian dipakainya saat keluar dari rumah itu untuk memenuhi janjinya dengan Rosi.

Dari situ ia menyusuri jalan untuk mencari tempat yang sepi lalu parkir sebentar untuk mengenakan rambut palsu dan kumis palsunya. Mudah saja karena ia sudah melatih diri untuk itu. Lalu ia memandangi wajahnya di kaca mobil.

Tidak jelek, pikirnya. Malah tampan dan nampak lebih muda. Barangkali mirip Eric. Ia tersenyum mengenang masa mudanya sendiri dulu. Ya. dia pun dulu bukan anak muda yang alim. Barangkali tidak beda dengan Eric. Yang berbeda hanya isi kantungnya. Ia harus selalu bekerja keras. Tidak ada orang tua yang selalu siap memanjakan dan mengisi penuh kantungnya dengan lembaran uang. Tapi tidak apa. Itu tentu rezeki Eric. Untuk siapa lagi hasil kerja kerasnya itu kalau bukan untuk anak?

Beberapa saat lamanya ia berpikir sambil memandangi dirinya sendiri. Senyumnya jadi nampak keras. Rencananya sudah matang. Ia tidak mau membatalkan atau berpikir tentang penyesalan kelak. Sebaliknya, ia justru merasa senang! Perasaan ditantang memanaskan darahnya membuat kejantanannya bergolak. Jangan lagi ada orang yang menipu dia. Sementara itu dia akan membela milik berharganya mati-matian.

Setelah memandang arlojinya Alben melaju lagi. Masih ada waktu untuk membeli roti, kue-kue, dan minuman kotak di sebuah toko roti yang terkenal. Lalu di suatu tempat yang agak sepi ia kembali parkir. Di situ ia mengeluarkan sebuah benda dalam kantung plastik. Sebuah alat suntik lengkap dengan jarum dan tabung berisi cairan. Alat itu ditusukkannya ke dalam dua buah minuman kotak di antara empat buah yang dibelinya tadi. Isi tabung suntik disemprotkannya ke dalam kotak minuman itu. Lalu keduanya ia

beri tanda dengan spidol. Tak begitu kentara tapi cukup jelas untuknya.

Setelah selesai ia berpikir dulu sambil memandang sekitar mobilnya dengan seksama. Lalu ia memandangi lagi dirinya di kaca. Tak ada lagi yang kurang. Tak ada pula yang salah. Mobilnya berwarna hijau tua sesuai perjanjian. Kemejanya putih dan celananya hitam. Kombinasi warna yang biasa dan sama sekali tidak menyolok. Itu pun sesuai dengan janjinya. Tak ketinggalan pula rambut hitam berombak serta kumisnya. Cuma satu-satunya yang tak diberitahukannya adalah nomor mobilnya walaupun Resi menanyakan. Itu perlu untuk menghindari kemungkinan buruk seperti misalnya kemungkinan Rosi memberitahukan pada orang lain sebelum pergi. Dijawabnya saja bahwa ia belum yakin mobil mana yang pasti bisa dipakainya mengingat mobilnya banyak, demikian pula yang berwarna hijau tua. Dan untung saja Rosi tidak berkeras tentang hal itu. Bagi Albert, masalah nomor mobil menjadi penting setelah pengalamannya dengai si Jon. Para saksi, kalau ada, biasanya akan mulai dengan nomor mobil yang dilihatnya. Memang dalam keadaannya sekarang ia tidak perlu khawatir tentang hal itu. Boleh saja orang mencatat nomor mobil yang dikendarainya ini. Toh palsu. Tapi jangan sampai Rosi bisa mengecek tentang hal itu lebih dulu sebelum pertemuan berlangsung. Ia sendiri tidak yakin bahwa Rosi akan mampu berbuat sejauh itu. Tapi siapa tahu?

Mobil Albert meluncur sepanjang Jalan Thamrin, lalu berbelok memasuki Toko Serba Ada Sarinah. Saat itu jarum arlojinya sudah menunjukkan jam lima sore. Itulah waktu yang sudah disepakatinya bersama Rosi. Sementara Rosi akan menunggu di bawah tangga Sarinah. Dia akan mengenakan gaun terusan hijau tua dengan renda putih. Tas tangannya pun putih.

Jantungnya berdebar lebih keras ketika dari kejauhan dia sudah melihat wanita dengan ciri-ciri dimaksud tadi. Ia menatap tajam. Jadi, perempuan macam itukah yang pernah dikencani Eric? Seperti itukah selera Eric? Untuk sesaat ia sempat merasa heran. Lebih-lebih setelah jaraknya kian dekat. Penampilan Rosi seperti ibu rumah tangga yang biasa-biasa saja. Dia tidak punya daya tarik yang meletup-letup hingga mampu menarik mata laki-laki.

Tapi Albert tidak punya banyak waktu untuk menilai diam-diam. Ia sudah tiba di depan Rosi. Dan ia jadi semakin yakin setelah mata Rosi melebar dan memandang padanya dengan tatap menyelidik. Waktu itu ia sengaja membuka kaca jendelanya.

"Rosi?" tanya Albert.

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum malu-malu.

"Oom Albert?" balasnya.

"Ya. Masuklah," kata Albert sambil membuka pintu mobil.

"Oom tepat sekali," kata Rosi begitu duduk.

"Tentu saja. Aku selalu berusaha menepati janji dengan siapa pun," sahut Albert tenang sambil menjalankan kendaraannya pelan-pelan kemudian memarkirnya di bawah pohon palem.

"Nah, kita berbincang-bincang dulu di sini."

Rosi mengangguk.

"Tapi... apa Oom ini memang benar Oom Alben Siahaan?" ia bertanya ragu-ragu.

"Memangnya kaupikir aku siapa?" Albert balas bertanya dengan nada kurang senang sekalian menutupi rasa was-was. Jangan-jangan perempuan ini sudah mengenalnya hingga mencurigainya sekarang. Tentu saja ia tak mengharapkan Rosi pergi. Rosi tak boleh pergi sebelum tujuannya tercapai.

"Bu bukan be... bukan begitu, Oom. Tapi... tapi saya pikir, jangan-jangan Oom seorang utusan atau suruhan."

Kegugupan Rosi disadari benar oleh Albert. Ia senang. Jadi sesungguhnya perempuan ini tidaklah setegar dan seberani seperti yang dikhawatirkannya semula.

Sebelum menjawab Alben memandang lurus pada Rosi hingga yang dipandangi jadi salah tingkah. Gerak-geriknya canggung. Itu membuat Albert tambah senang. Ia berkesimpulan, Rosi sebenarnya bodoh tapi mencoba nekat. Mungkin karena serakah. Dan jelas kebodohannya itu bisa dibuktikan dengan pertanyaannya barusan. Tidak sadarkah Rosi bahwa dalam persoalan seperti ini jelas tak mungkin baginya menggunakan utusan

atau wakil? Adanya orang lain yang tahu cuma mengundang penyakit baru. Tapi ia sadar, sebaiknya tidak menakut nakuti Rosi.

"Ah, apakah aku kelihatan seperti sopir atau karyawan?" tanya Albert sambil tertawa.

Rosi tertawa juga. Ketegangannya nampak menyurut.

"Sama sekali tidak, Oom. Jangan tersinggung ya, Oom," katanya agak genit.

Kalau sedang btgitu, kelihatannya dia menarik juga. CukUp manis dan menggoda, pikir Alben. Hampir'saja ia bertanya, kenapa Ros: bisa punya niat jadi pemeras. Tapi dengan terkejut ia menyadari bahwa pertanyaan seperti itu bisa membuat Rosi merasa terancam. Kalau Rosi sampai membatalkan niatnya maka itu berani ia akan melenggang pergi sekarang juga. jadi lepaslah ia dari genggaman. Padahal mulut Rosi itu tak bisa dijamin akan rapat tertutup.

"Syukurlah kalau kau percaya. Aku sendiri sempat berpikir tadi, apakah suaramu tidak berbeda dengan suara di telepon tempo hari."

"Orang ngomong di telepon kan bisa lain suaranya, Oom. Bahkan Oom sendiri juga suaranya lain."

"Ya. Betul juga. Tapi coba katakan, apakah Rosi itu namamu yang asli?"

R05i diam sejenak. Ia kelihatan gugup. Lalu menggeleng.

"Oh, aku tahu. Itu tentu nama profesi, seperti halnya Gepeng, Tarsan, dan sebagainya itu. Ya, kan?" kata Albert menyebut nama beberapa pelawak.

Rosi ketawa.

"Ya. Rosi tentu lebih bagus daripada Pariyem."

"jadi namamu yang asli itu Pariyem?" tanya Alben dengan nada berkelakar.

Rosi mengikik.

"Bukan dong, Oom. Masa Pariyem. Saya kan kelahiran kota."

Kalau diajak bicara dengan gaya kelakar Rosi kelihatan rileks, pikir Alben. Dan dengan demikian dia akan cenderung tidak waspada. Maka Alben ikut tertawa seakan melupakan bahwa dia sedang menghadapi seorang pemeras. Ia memang sengaja melupakan.

Tapi Rosi tidak lupa. Ia berharap masalahnya cepat selesai. Ia bisa cepat pulang dengan membawa uang tentunya. Dengan gelisah ia melihat cuaca mulai gelap. Akhirnya ia memberanikan diri bertanya,

"Bagaimana dengan soal itu, Oom?"

"Soal apa? Oh ya, soal itu. Aku hampir lupa. Maklum berdampingan dengan wanita cantik," seru Albert sambil melirik. Ia melihat senyum senang di wajah Rosi.

"Nah. begini ya, Ros. Aku sama sekali tidak keberatan memberimu uang sebagai ganti kesediaanmu tutup mulut perihal Eric. Tapi sebelum kita merundingkan jumlahnya, bagaimana aku bisa mendapat jaminan bahwa kau akan menepati janjimu? Siapa tahu setelah kau menerima uang, kau akan melupakan semua janji, lalu..."

"Tidak, saya tidak akan ingkar, Oom!" seru Rosi penuh semangat. Suaranya penuh kesungguhan.

"Ya. Percayalah kepada saya!"

"Hanya itu? Percaya saja?"

"Ya. Saya akan pergi dari Jakarta untuk selamanya. Saya mau pulang kampung dan tak akan menginjak Jakarta lagi. Saya benci kota ini. Bila saya punya uang saya punya modal untuk berusaha. Ya, usaha apa saja. Saya ingin jadi orang baik-baik. Tidak mau melacur lagi." Rosi nyerocos seakan mau menumpahkan isi hatinya sekaligus. .

Albert memperhatikan Rosi bicara. Ia sempat merasa tersentuh. Tapi dengan cepat perasaan itu hilang. Bila manusia menginginkan sesuatu, lebih-lebih bila sangat menginginkan, maka dia sangat mudah mengucapkan janji. Bahkan bersumpah pun tak keberatan. Tapi kelak bila keinginan itu telah terpenuhi maka tanpa segansegan dia mengingkari janji, bahkan sumpahnya juga. Begitu mudah. Sama mudahnya seperti membalik telapak tangan.

"Baiklah. Aku percaya padamu. Tapi katakan terus terang. Pernahkah kau menceritakan persoalan itu kepada orang lain dan juga tentang pertemuan kita ini? Ini penting. Sebab tak akan ada artinya lagi aku memberi kepercayaan padamu kalau ada orang lain yang tahu."

"Tentu saja tidak pernah. Oom," jawab Rosi cepat.

"Kau pandai menyimpan rupanya."

"Iya dong, Oom. Kalau saya beri tahu orang lain berarti dia harus mendapat bagian juga," sahut Rosi sambil tersenyum.

Albert manggut-manggut.

"Kalau cuma kau seorang yang tahu tentang persoalan Eric bagaimana aku bisa yakin tentang kebenaran ceritamu? Bisa saja kau berbohong, bukan?"

"Eric menyuruh pelayan membelikan bir. Dan pelayan itu tahu saya bersama Eric. Tapi dia tidak tahu siapa Eric. Maksud saya, nama Eric dia tidak tahu, tapi orangnya tahu. Pasti dia kenal kalau dipertemukan kembali," cerita Rosi dengan lancar.

"Baiklah. Aku percaya padamu. Tapi, betulbetul kau tidak bercerita kepada orang lain tentang pertemuan kita ini? Barangkali kepada pacarmu." Albert memperlihatkan sikap ragu-ragu yang diketahuinya pasti akan menggemaskan Rosi.

"Sungguh tidak, Oom. Saya tidak punya pacar. Tadi sudah saya katakan, kalau saya bilang-bilang orang lain nanti saya harus memberinya bagian juga. Tidak, Oom. Percayalah."

Dan Albert percaya. Sungguh-sungguh percaya. Ia yakin, pendapat Rosi itu menandakan keserakahan. Dan seperti umumnya orang yang serakah, mereka lebih suka bekerja sendiri.

"Kau kelihatannya sangat memerlukan uang. Rosi," kata Albert dengan pura-pura iba.

"Tentu, Oom. Kalau tidak begitu, mustahil saya mau berbuat begini."

Kali ini Rosi bicara tanpa kegugupan. Nampak

nya ia sudah menemukan kepercayaan dirinya kembali.

"Jadi kita tidak perlu berpanjang-panjang. Berapa yang kauminta?"

"Sepuluh juta saja, OOm."

Alben terlonjak. Jawaban yang lancar dan tenang itu membuat ia marah. Ingin benar ia menghajar perempuan ini. Setidaknya, si Jon masih lebih baik karena permintaannya cuma setengah dari jumlah itu. Apakah kaum perempuan memang lebih serakah?

Tapi kesadaran Albert segera kembali. Ia tersenyum lebar-lebar menyembunyikan keberangannya.

"Jumlah itu terlalu besar, Ros. Kemahalan."

"Oom boleh menawar."

"Bagaimana kalau seperempatnya?"

"Ah, dua setengah juta, Oom? Wah, uang segitu tak ada artinya sekarang. Apalagi untuk modal."

"Lantas berapa? Masa tak bisa kurang."

"Bisa. Saya kurangi dua setengah."

Albert tak sabaran.

"Sudahlah. Lima juta saja, Ros. Kalau jumlah segitu ada padaku sekarang."

"Sekarang?" tanya Rosi dengan mata membelalak.

"Ya. Sekarang. Tunggu akan kuperlihatkan."

Albert menutup kaca jendela mobil, lalu membungkuk. Dari kolong tempat duduknya ia menarik sebuah tas kecil. Tas anak sekolah. Ia membuka tutupnya dan memperlihatkan isinya kepada Rosi. Lalu diperhatikannya wajah Rosi.

Terlihat olehnya bagaimana mata Rosi berkilat dan membesar.

"Jadi tumpukan uang sekian itu jumlahnya lima juta rupiah?" tegas Rosi seperti anak kecil. Terpikir bahwa uang itu akan jadi miliknya.

"Ya. Benar. Nah, bagaimana?"

Rosi ragu-ragu sebentar. Ia berpikir dulu.

"Kalau lebih dari sekian aku merasa keberatan, Ros."

"Oom orang kaya. Jumlah sekian tidak berarti buat Oom."

"Siapa bilang. Kelihatannya saja begitu. Tapi kau tidak tahu, usahaku mundur belakangan ini."

Setelah diam sejenak, Rosi memutuskan,

"Baiklah. Saya terima, Oom. Saya pikir, Oom cukup baik mau memberikan tanpa mengancam dan marah-marah. Tadinya saya takut..."

"Kalau kau menganggapku orang baik, tentunya kau mau memberiku sesuatu."

"Sesuatu apa, Oom?"

Alben mengulurkan tangannya ke pundak Rosi lalu mengelus-elusnya.

"Ah, biasa. Masa nggak tahu," katanya genit.

"Aku pikir, kau tentunya memiliki keistimewaan hingga Eric memilihmu jadi teman kencannya sampai lebih dari sekali."

"Oh, Oom mengajak kencan?" tegas Rosi tanpa malu-malu. Ia serasa kembali ke dunianya yang lama. Dunia yang belum terlupakan, bahkan masih segar dalam ingatan. Tapi ajakan Albert itu ditanggapinya tanpa gairah. Sesungguhnya ia ingin cepat pulang sambil membawa uang itu. Tapi

laki-laki ini sudah berbaik hati. Apa salahnya memenuhi permintaannya?

"Kalau uang itu kita bawa-bawa ke horel nanti bisa hilang, Oom," Rosi mencoba berdalih.

"Kita tak harus ke hotel, bukan? Bahkan kita tidak perlu meninggalkan mobil."

"Ah, masa..."

"Kita ke Bina Ria!"

Memasuki gerbang Taman Impian Jaya Ancol tak banyak kendaraan yang antri. Hari itu memang bukan malam Minggu ataupun hari libur. Tapi walaupun sepi, kendaraan yang masuk toh ada saja.

Segera mereka mendapat tempat yang strategis di tepi pantai. Suatu keadaan yang pasti sukar didapat bila pengunjung sedang banyak.

Albert mengambil dus kue yang terletak di jok belakang.

"Kebetulan aku beli roti tadi. Maksudnya mau dibawa pulang. Tapi lebih baik kita makan saja. Aku sudah lapar. Dan kupikir kau tentu lapar juga. Ya, kan?"

"Iya, Oom," sahut Rosi tanpa malu-malu.

Albert membuka dus. Di dalamnya terdapat roti keju dan beberapa potong kue basah. Disilakannya Rosi mengambil dulu. Dan sesuai dugaannya, Rosi meraih roti keju yang potongannya besar dan nampak menggairahkan. Orang yang sedang lapar

memang cenderung mengambil makanan yang besar. Tapi bukan cuma itu tujuan Albert. Rasa keju yang asin akan membuat orang ingin minum banyak sesudah memakannya.

Lalu Albert mengambil minuman kotak yang dibawanya tadi. Dua buah yang sudah diberinya tanda diletakkannya di dekat Rosi sedang yang dua lagi sisanya ditaruhnya di atas pangkuannya. Baru kemudian ia makan lambat-lambat sambil bicara. mengobrolkan hal-hal yang ringan. Maksudnya supaya ia bisa makan sesedikit mungkin. Nafsu makannya tak ada. Dan ia pun menghindari minum. Mau tak mau ada rasa ngeri untuk minum walaupun kotak-kotak itu sudah diberinya tanda. Siapa tahu ia sudah melakukan kekeliruan.

Rosi makan dengan lahap. Ia lebih menikmati makanannya daripada omongan Alben. Pikirannya sempat melayang berangan-angan. Sesekali ia melirik ke kolong tempat duduk Alben. Uang itu di sana.

"Ambillah lagi," Albert menawarkan ketika roti di tangan Rosi sudah habis.

"Sebentar, Oom. Saya minum dulu. Asin sih."

Rosi bergegas menarik sedotan sementara Albert memperhatikan dengan tegang. Dan ketika Rosi mulai menghisap ia lupa mengunyah.

"Rasanya kok sedikit lain, ya" kata Rosi setelah beberapa kali menghirup.

"Mungkin karena lidahmu asin."

"Oh ya, mungkin juga."

Lalu Rosi menghirup minumannya tanpa mempedulikan rasanya lagi. Dan Albert berhenti makan.

"Oh...," keluh Rosi sambil mengucek matanya berkali-kali.

"Kenapa?"

Rosi tak bisa menyahut lagi. Ia terkulai lemas ke sandaran. Kotak yang masih ada isinya sedikit terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai.

Dengan sigap Albert membuka laci. Ia mengambil sepasang sarung tangan. Dikenakannya terburu-buru. Lalu ia membungkuk, meraba kolong tempat duduknya. Ia menarik sebuah kaleng. Isinya air keras.

Kemudian ia mendekati Rosi. Kedua tangannya yang bersarung tangan hitam merayapi leher Rosi lalu mengatup erat-erat. Ia menatap wajah Rosi dekat-dekat. Perempuan pemeras, yang mengira dirinya cerdik tapi ternyata bodoh. Mana sih ada orang yang bersedia diperas sambil tertawa? Kemudian ia membayangkan si Jon dan Samin. Semua orang yang telah mengecohnya. Kemarahannya bangkit. Kebenciannya memuncak. Dan kedua tangannya mencengkeram semakin kuat.

Dua hari kemudian Albert membaca beritanya di koran.

Mayat seorang wanita ditemukan dalam keadaan rusak di semak belukar bagian sepi dari tempat

rekreasi Ancol. Tempat itu memang jarang dikunjungi orang. Penemuannya pun secara kebetulan oleh beberapa orang yang tersasar jalan.

Mayat itu mengenakan gaun hijau tua dengan renda putih dan sepatu hitam yang masih melekat pada kakinya. Sedang tasnya berwarna putih terletak di dekatnya. Di dalam tas itu tidak ditemukan kartu pengenal atau sesuatu yang bisa memberi tahu identitasnya. Yang ada hanyalah sedikit uang, beberapa alat kosmetik, pil KB, dan gambar-gambar porno.

Diduga keras mayat itu merupakan korban pembunuhan. Pada lehernya terdapat memar seperti bekas cekikan. Dan yang paling mengerikan adalah mukanya sulit dikenali karena memperlihatkan luka bakar yang hebat. Demikian pula kedua telapak tangannya berikut semua jarinya memperlihatkan tanda yang sama. Tapi pada pemeriksaan selanjutnya tidak ditemukan bekas perkosaan.

Pada penyelidikan di sekitar tempat penemuan korban ditemukan sebuah kaleng berisi sedikit cairan. Belum bisa dipastikan apa cairan itu. Tapi dari percobaan ternyata kain yang ditetesi cairan itu jadi berlubang! Timbul dugaan bahwa cairan itu adalah air keras, cairan sama yang telah merusak muka dan tangan korban. Kesimpulan pertama, perbuatan itu merupakan kesengajaan supaya korban tidak bisa dikenali identitasnya. Ternyata sidik jarinya pun tak bisa diambil.

Untuk memastikan sebab kematian. mayat perlu dictopsi. Dan tentu saja perlu upaya mengidentifikasi korban. Salah satunya adalah laporan masyarakat perihal anggota keluarganya yang hilang. Walaupun muka korban susah dikenali. mungkin pakaian, tas, atau sepatu yang dikenakannya bisa dikenal.

Tangan Albert gemetar. Ia berpikir tentang kesjalan. Memang ia sangat yakin bahwa apa yang sudah dilakukannya cukup cermat dan penuh perhitungan, tapi masih ada satu hal yang belum bisa dipastikannya. Sungguhkah Rosi tidak memberi tahu Orang lain? Andaikata iya, pastilah orang kedua ini dengan mudah bisa menebak siapa gerangan mayat di Ancol itu karena Rosi tidak pulang-pulang dan selanjutnya orang ini akan menudingkan jari kepadanya! Apakah ia akan diciduk polisi karena itu? Tapi ia sudah begitu yakin bahwa Rosi berkata benar.

Kadang-kadang timbul sesal kenapa ia tidak menanyakan pada Eric dulu perihal Rosi. Perempuan seperti apa Rosi itu. Tapi lain kali ia merasa tidak perlu menyesal. Perbuatan seperti itu sebaiknya dilakukan sendiri. Kalau ia bertanyatanya dulu pada Eric, tidakkah Eric bisa mencurigainya suatu saat nanti, bila dia tahu bahwa korban terbunuh itu adalah Rosi? Ia sendiri tidak merasa pasti apakah kira-kira Eric akan menyetujui tindakannya terhadap Rosi. Ya, Eric boleh saja tidak setuju, tapi dia sendiri tetap akan

melakukan hal yang sama andaikata hari dan waktu bisa dimundurkan kembali!

"Oh, kenapa tangan Papa gemetar?"

Teguran Sri menyadarkan Albert.

"Ah, aku nggak apa-apa kok."
Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin beban pikiranmu terlalu berat menghadapi sidang Eric nanti. Aku juga begitu, Pa."

Alben tersentak. Oh ya, sidang terkutuk itu. Pertarungan masih jauh dari selesai! '

***

SIDANG hari pertama dimulai.

Setelah hakim ketua sidang menyatakan sidang terbuka untuk umum, ia mempersilakan penonton memasuki ruang sidang. Ternyata penonton sangat banyak. Mereka memadati ruangan hingga tak muat lagi dan terpaksa harus puas dengan mendengarkan lewat pengeras suara di luar ruang.

Keadaan itu menjengkelkan Albert. Berjubelnya penonton menandakan perhatian masyarakat sangat besar dan ia menganggap hal itu merupakan publikasi yang merugikan untuk pihaknya. Ia menyalahkan para wartawan yang tak tahu terima kasih. Kalau bukan koran yang mempublikasikan dan membesar-besarkan kasus itu, pastilah orang tak akan tertarik.

Walaupun jengkel, ada hal lain yang menghibur perasaan Albert. Sampai hari itu sudah berlalu seminggu sejak peristiwa Ancol dan tak ada perkembangan yang membawanya pada kecurigaan siapa pun. Tak ada yang mengusiknya, hantu sekalipun. Memang menurut berita terakhir yang dibacanya, belum__diperoleh titik terang mengenai

kasus itu. Siapa pembunuhnya dan apa motivasinya, sama sekali masih gelap. Hanya yang bisa diperoleh adalah identitas korban. Dia bernama Mariani, seorang wanita panggilan. Yang mengenalinya adalah seorang wanita, teman seprofesinya. Dan satu hal lain sudah jelas juga, korban memang dibunuh orang. Kematiannya disebabkan karena cekikan, sedang siraman air keras ke tubuhnya dilakukan sesudah kematiannya. Hanya itu saja, dan karena itu cukup menggembirakan Albert. Rasa percaya dirinya kian besar. Ia sudah berhasil menyingkirkan seorang pemeras sekaligus saksi yang merugikan.

Selanjutnya, Eric yang didampingi Wahyudi dibawa masuk. Dengan mengenakan celana hitam, kemeja putih dan berdasi, Eric kelihatan gagah dan juga segar. Atas pertanyaan hakim ketua, ia mengatakan bahwa Dokter Sapardi menilainya cukup sehat dan mampu mengikuti sidang hari itu. Untuk menguatkan keterangan itu, Wahyudi menyerahkan surat dari Dokter Sapardi. Kemudian penuntut umum membacakan surat dakwaan. Terhadap dakwaan itu tak ada sanggahan dari pihak terdakwa.

Setelah itu, para saksi yang sudah disiapkan mulai dimajukan satu per satu. Diawali oleh saksi pelapor, yaitu Kustini bergantian dengan Arifin. Ierhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, baik oleh hakim ketua dan hakim anggota, maupun jaksa dan pembela, mereka jadinya menceritakan kembali segala pengalaman mereka sejak mendapat

kabar kecelakaan sampai mencari saksi-saksi hingga berhasil menemukan. Gumam penonton yang menyuarakan simpati dan kekaguman menjadi bising hingga hakim ketua perlu mengetukkan palunya berulang-ulang.

Lalu kepada Eric hakim ketua bertanya,

"Apakah Anda tidak berusaha mencari tahu siapa korban dan keluarganya?"

"Tidak, Pak."

"Kenapa? Apakah Anda tidak kasihan?"

"Saya kasihan dan saya juga menyesal, Pak. Tapi saya takut diamuk keluarga korban. Saya juga merasa sakit. Sejak periStiwa itu saya sakit."

Kemudian giliran penuntut umum,

"Apakah Anda diam-diam saja karena mengira tak ada saksi yang melihat nomor mobil Anda?"

Eric tak bisa menjawab.

Pembela menyampaikan protes karena menganggap pertanyaan jaksa itu bersifat memancing emosi. Protesnya diterima hakim. Setelah itu tak ada lagi pertanyaan jaksa.

Kesempatan bertanya digunakan oleh pembela,

"Apa saja yang Anda rasakan pada saat-saat menjelang tabrakan itu?"

"Saya merasa kurang enak, berkeringat dingin, pandangan berbayang-bayang dan susah konsentrasi. Lalu saya merasa sakit di sini." Eric menunjuk dadanya.

"Anda kehilangan kendali atas kendaraan Anda?"

"Ya."

Untuk saat itu, pertanyaan bagi Eric dianggap sudah cukup. Selanjutnya, Kustini dan Arifin disilakan keluar ruangan supaya saksi lainnya bisa masuk. Kali ini giliran _Jon Pasaribu. Dalam tanya-jawab yang terjadi, keterangan yang diberikannya memang cocok dengan keterangan yang telah diberikan Kustini sebelumnya, yaitu mengenai perjumpaan mereka di bawah emperan kios saat berteduh.

"Anda begitu bersemangat membuntuti mobil terdakwa sampai ke rumahnya, bahkan menanyai tetangga untuk mengetahui nama terdakwa. Apa morivasinya?" tanya hakim kedua.

"Cuma ingin tahu saja, Pak. Saya punya jiwa petualang, Pak."

"Rasanya kalau petualang itu nggak begitu. Masa cuma kepingin tahu saja. Dan kalau sudah tahu begitu banyak, kenapa tidak Anda laporkan pada polisi? Untuk itu Anda bisa dituntut, lho."

"Saya tahu, Pak. Soalnya, Saya masih takuttakut."

"Lho, kenapa?"

"Ada sebabnya, Pak. Dulu saya pernah punya pengalaman kurang enak dengan polisi. Saya melapor tapi saya yang dibikin susah. Jadi kapok."

Penonton tertawa, tapi segera diam sebelum palu hakim keburu jatuh.

"Tapi kepada Ibu Kustini Anda toh bercerita juga, padahal dengan demikian Anda terpaksa harus berurusan dengan polisi. Apa sudah lupa kapoknya?" tanya hakim anggota. ,.

"Ya. Saya lupa, Pak."

"Kenapa?" tanya hakim anggota kedua dengan cepat.

"Saya kasihan melihat Ibu Kustini. Bergetar jiwa saya melihat dan mendengar usahanya yang gigih. Bayangkan, Pak. Hujanwhujan dia berjalan, padahal tubuhnya gemetaran dan giginya gemeletuk kedinginan." Jon memperagakan dengan gaya yang dramatis.

"Cukup. Anda cuma diminta menjawab pertanyaan, dan bukan mam sandiwara."

Penonton tertawa ditahan. Mereka cepat diam, karena tak sabar ingin mendengar tanya-jawab berikutnya.

"Menurut apa yang Anda lihat, terdakwa menabrak korban yang sedang berdiri di pinggir jalan. Jadi dari tengah jalan dia nyelonong ke pinggir, menabrak terus nyelonong lagi. _Kemudian dia berhenti sebentar baru kabur. Bagaimana jalan mobilnya sesudah itu? Apa tetap tidak stabil?" tanya jaksa.

"Menurut saya, biasa saja. Cukup stabil."

"Apakah waktu itu masih turun hujan?" tanya pembela.

"Tidak. Hujan sudah berhenti."

"Anda melewati jalanan yang banyak genangan airnya?"

"Genangan air yang ada cuma becek saja. Waktu itu saya memang tidak mengalami kesulitan dengan genangan air."

Sesudah Jon, Eric ditanyai lagi.

"Menurut saksi Jon, jalan mobil Anda stabil pada saat kabur. Katanya sakit, kok pada saat itu bisa stabil?" tanya hakim.

"Saya memang sakit, tapi memaksa diri supaya bisa mengendalikan mobil saya."

"Setibanya di rumah, apa Anda lihat-lihat dulu keadaan mobil Anda?"

"Tidak. Saya cepat-cepat masuk kamar."

"Apa yang Anda lakukan di kamar?" tanya jaksa agak sinis.

"Tidur."

"Kok Anda bisa tidur begitu gampang?"

"Saya makan obat tidur. Saya takut dan ngeri mengenang peristiwa itu. Saya merasa bersalah," jawab Eric terus terang.

"Apa nama obat tidur yang Anda makan?"

Pembela protes. Pertanyaan itu tidak relevan dengan permasalahan. Protes diterima hingga pertanyaan itu tidak dijawab.

Saksi berikutnya adalah Samin bin Kahar. Dia nampak gugup dan gemetar. Lebih-lebih waktu disumpah. Tapi ia bisa menjawab pertanyaanpertanyaan dengan terang dan jelas walaUpun dengan cara dan sikap yang lugu.

"Waktu terdakwa pulang, Anda yang membukakan pintu. Ada yang tidak biasa pada dirinya?" tanya hakim ketua.

"Ya. Tuan Eric seperti orang marah-marah. Ah, nggak juga. Kayak apa ya. Mukanya lain gitu. Saya bilang dalam hati, kok serem ya."

"Dia bilang apa?"

"Mulanya nggak bilang apa-apa. Tapi begitu mau masuk rumah, dia balik lagi dan bilang sama saya, kalau ada orang tanya-tanya tentang Tuan Eric atau mobilnya, bilang nggak tahu. Itu saja, Pak."

"Dalam berita acara disebut bahwa Anda melihat percikan darah dan otak pada sisi mobil bagian kanan depan dan juga pada roda di sisi yang sama. Bagaimana Anda bisa langsung mengira bahwa itu darah dan otak?"

"Nggak tahu, Pak. Begitu saja saya kaget. Rasanya seperti ditabok orang yang nggak kelihatan. lh. Merinding begitu. jadi pikiran saya terus aja ke sana."

"Padahal pada pandangan pertama itu belum pasti, kan? Bisa saja itu lumpur. Namanya juga musim hujan. Apa Bapak tidak mencoba berpikir begitu?" tanya hakim anggota.

"Ya. Udah saya coba supaya pikiran tenteram. Tapi kok susah. Baru setelah datang Bapak, saya bisa lebih tenang."

"Bapak siapa?"

"Pak Albert."

"Oh, Anda jadi tenang setelah dikasih uang?"

Samin tersipu.

"Bukan begitu, Pak. Tapi kata Pak Albert, itu pasti bangkai anjing. Bukan manusia. Dan Pak Albert nemenin saya nyuci

mobil."

"Berapa uang yang diberikannya?"

"Lima belas ribu, Pak. Mula=mula dia nyodorin

sebuluh ribu. Saya diem aja. Tapi bukan karena

merasa kurang, Pak. Sungguh mati. Tapi saya masih ngeri aja. Eh, terus chtambahin lagi uangnya jadi lima belas. Saya pikir, lumayan juga. Jadi saya ambil. Tapi uang itu sudah saya kembaliin, Pak Hakim. Saya dipinjamin Pak Arifin."

"Kenapa Anda sampai menyalahi janji pada Pak Albert?" giliran jaksa bertanya.

"Itu sesudah saya ketemu sama Bapak dan Ibu Arifin. Mereka cerita, jadi saya tahu. Ternyata dugaan saya bener. Pantas saya suka merinding kalau ada di garasi. Mobil itu nongkrong terus di situ sih."

"Betul mobil itu mau dijual oleh pemiliknya?"

"Betul, Pak. Saya udah dipesan kalau ada orang yang mau beli supaya menyambut dengan baik."

Hakim ketua menyela dengan pertanyaan kepada Eric,

"Kenapa Anda mau menjual mobil itu padahal Anda tahu itu merupakan barang bukti, atau Anda pikir perbuatan Anda takkan ketahuan?"

Eric sedikit gugup.

"Ya. Saya memang salah, Pak. Saya memang tidak tahan lagi melihat mobil itu."

"Tapi Anda masih mengemudikan mobil?"

"Ya. Mobil yang lain."

"Lho. Anda sudah merenggut nyawa orang dengan mobil. Kok Anda berani berkendaraan lagi. Bagaimana kalau Anda tiba-tiba sakit lagi sewaktu mengendarai mobil?"

Eric tersipu.

"Ya. Saya salah, Pak," jawabnya tak bisa lain.

Kemudian jaksa meneruskan gilirannya bertanya kepada Samin.

"Kenapa Pak Samin begitu terburu-bum ikut Bapak dan Ibu Arifin?"

"Saya takut lama-lama di rumah itu. Kalau belum tahu sih nggak apa-apa. Tapi kalau udah tahu..."

Selanjutnya tiba giliran pembela menanyai Samin.

"Sejak semula Anda kelihatan mudah jadi patuh kalau diberi uang. Apakah Anda ikut Bapak dan Ibu Arifin itu juga karena diberi uang?"

Samin terkejut.

"Tidak. Sama sekali tidak. Bahkan mereka juga nggak ngajak-ngajak. Saya nggak bohong. Saya kan udah disumpah."

Lalu hakim bertanya kepada Eric,

"Apakah Anda tahu bahwa ayah Anda memberikan uang kepada Pak Samin supaya tutup mulut perihal mobil Anda?"

"Pada mulanya tidak tahu, Pak. Ia tak pernah memberi tahu. Baru kemudian setelah ada tuntutan saya tahu sendiri."

"Anda pikir, kenapa ia berbuat begitu?"

"Ia mau melindungi saya."

"Apakah Anda sudah terbiasa dilindungi orang tua Anda?"

Wajah Eric memerah.

"Saya tidak tahu, Pak. Tapi itu hak mereka," jawabnya pelan.

"Apakah Anda dilarang orang tua Anda untuk melapor pada polisi?"

"Oh, sama sekali tidak, Pak." jawab Eric tegas.

"Apakah Anda sudah menyampaikan maaf dan pen yesalan kepada orang tua korban ?" tanya jaksa.

"Saya memang menyesal, tapi saya tidak tahu mesti bilang apa kepada mereka."

"Jadi belum bilang apa-apa?" desak jaksa.

"Belum."

Terdengar desah kemarahan di antara penonton.

Selanjutnya dihadirkan pula Albert dan Sri. Tapi karena keduanya memiliki pertalian keluarga dengan terdakwa maka tak bisa tampil sebagai. saksi. Jadi dari mereka hanya dimintai keterangan tanpa disumpah.

"Kenapa Anda menyuruh saksi Samin tutup mulut perihal mobil terdakwa?" tanya hakim kepada Albert.

"Saya takut, orang akan meributkan yang bukan-bukan, Pak."

"Padahal yang bukan-bukan itu sebenarnya sudah ada dalam pikiran Anda sendiri, bukan?"

"Oh, eh, ya Pak. Saya takut."

"Kenapa Anda tidak menanyakan soal itu kepada terdakwa sendiri?"

"Saya kasihan. Waktu itu kata istri saya, dia kelihatan sakit. Dia memang tidak keluar-keluar dari kamar."

"Tapi besoknya kan keluar juga. Pada waktu itu Anda tak menanyakan?"

"Tidak, Pak."

"Lho. Apa tidak ingin tahu?"

"Ingin, Pak. Tapi saya pikir, lebih baik tidak tahu apa-apa."

"Dia pun tidak mengatakan?"

"Tidak."

"Apa Anda sudah biasa menutup-nutupi kesalahan putra Anda itu sejak ia masih kecil?" tanya jaksa.

"Itu kritik terhadap kebijaksanaan saya sebagai orang tua. Tak ada hubungannya dengan perkara ini," jawab Albert jengkel.

"Baiklah. Tapi apa yang Anda lakukan dalam persoalan ini besar sekali artinya. Yang Anda tutup-tutupi itu menyangkut nyawa orang. Apakah Anda menganggap remeh jiwa seseorang?"

Albert terdiam. Mukanya keliharan merah.

Tapi hakim membebaskannya dari keharusan menjawab pertanyaan itu.

"Ketika koran-koran memuat berita tentang kecelakaan mengerikan di Jalan Gatot Subroto itu apakah Anda membacanya juga?" jaksa masih bertanya.

"Ya, Pak."

"Pada saat itu, apakah Anda bisa memperkirakan bahwa peristiwa itu ada hubungannya dengan putra Anda?"

"Tidak, Pak. Saya tidak berpikir ke situ.-Saya kan tidak tahu apakah anak saya melewati jalan Gatot Subroto pada hari itu atau tidak."

"Jadi, Anda dan putra Anda saling diam-diam saja tentang hal itu sampai tabu-tahu polisi datang ke rumah Anda. Ataukah sebelumnya sudah ada Erasat?"

"Cuma perasaan kurang enak ketika pulangpulang tidak menjumpai Samin lagi di rumah."

"Tahukah Anda ke mana dia pergi?"

"Tidak. Tak ada yang melihat ke mana dan dengan siapa dia pergi. Dia pun tidak bilang-bilang kepada kedua teman pembantunya di rumah."

"Ketika Pak Samin mengembalikan uang yang lima belas ribu itu, apakah Anda terima?"

"Ia tidak menyampaikannya kepada saya, melainkan lewat istri saya. Dia takut."

"Tapi istri Anda menyampaikannya pada Anda dan Anda terima?"

"Ya, Pak."

Pada giliran Sri tidak banyak yang ditanyakan. Ia hanya mengiyakan dan memperjelas apa yang sudah tertera dalam berita acara pemeriksaan oleh polisi.

Semula sidang pada hari itu juga akan mendengarkan keterangan Dokter Sapardi yang akan diajukan sebagai saksi ahli, tapi ternyata ia berhalangan hadir. Karena itu, sidang hari itu dinyatakan berakhir dan akan dilanjutkan pada hari berikut.

Eric kelihatan loyo hingga lengannya dipegangi Wahyudi, pembelanya. Dengan diiringi seorang anggma polisi yang selalu menjaganya selama berada di klinik Dokter Sapardi, ia bermaksud kembali lagi ke sana.

Ketika akan menuju mobil tiba-tiba Eric melihat seorang wanita di antara kelompok penonton yang masih ramai. Wanita itu memandanginya, lama

dan cermat. Sesuatu dalam pandangnya membuat ia kelihatan lain dibanding orang-orang lainnya yang juga sedang memandang kepadanya. Dia memang sedang jadi pusat perhatian.

Untuk sesaat Eric tertegun dan heran. Apakah dia mengenal wanita itu? Memang rasanya sudah terlalu banyak ia mengenal wanita sehingga sering tidak ingat lagi wajah mereka satu-satu. Ya, mungkin juga wanita itu cuma salah satu. Nyatanya wanita itu tersenyum padanya. Tapi Eric tak jadi membalas senyum itu, karena segera menyadari bahwa senyum itu sinis dan di mata wanita itu seperti ada api, menyemburkan kebencian.

Eric memalingkan mukaBelakangan ini banyak orang membencinya, keluhnya dalam hati. Tapi pada saat itu juga ia pun teringat akan saat-saat yang sudah lalu. Ketika itu ia berada di Sebuah hotel bersama seorang wanita, sama-sama menikmati salah satu kesenangan duniawi. Ia pun minum-minum sampai agak teler rasanya. Tapi ia merasa cukup mampu pulang dengan mengendarai mobilnya. Dia toh sudah cukup sering minum. Bukan baru sekali itu saja. Dan tak pernah kenapa-kenapa. Tapi ternyata akibatnya fatal. Satu jiwa melayang di jalan Gator Subroto. Ia tahu betul apa sebabnya. Dan wanita yang bersamanya beberapa saat sebelumnya itu tentu tahu juga andaikata mengikuti perkembangan kasus itu. Pasti dia tahu. Jelas dia mengikuti perkembangannya. Kalau tidak, kenapa ia berada di sini? Ya.

dialah wanita yang tersenyum sinis dan memandang padanya dengan penuh kebencian itu. Dia adalah Rosi! Ataukah Rosa? Atau cuma Ros saja? Ah, semua nama itu memang cuma nama panggilan. Hampir selalu wanita semacam itu memiliki nama samaran. Siapa nama sebenarnya ia tidak tahu!

Eric menoleh lagi untuk memastikan ingatannya. Tapi wanita tadi sudah tak nampak lagi. Alangkah cepatnya dia pergi. Apakah dia menyelinap di antara kerumunan orang seperti ular ataukah mampu menghilang begitu saja? Eric merasa shock. Jantungnya berdebar kencang, mukanya pucat, badannya dingin. Loyo betulbetul. Dan ia sungguh-sungguh setengah bersandar pada Wahyudi.

Keheranan Wahyudi menatap Eric.

"Wah. akting Bung Eric kayak betulobetulan deh," bisiknya, ketika melihat polisi yang mengawal berdiri agak jauh.

Eric diam saja walaupun merasa jengkel. Keseluruhan sandiwara itu memang menjengkelkan. Tapi ia ingat jerih payah ayahnya. Dan optimisme ayahnya. Pasti semua itu akan hancur berantakan kalau ayahnya tahu tentang Rosi. Tegakah ia menceritakan? Ia sendiri merasa malu. Ya, sepertinya baru sekarang ia merasa sangat malu. Padahal ayahnya nampak seolah tahu atau bisa menduga kenapa ia sampai menabrak orang dengan kendaraannya. Tapi dari dulu ayahnya seperti itu. Tak pernah bilang. Tak pernah

bertanya. Selalu menerima dan menutupi kesalahannya dengan sikap tidak tahu apa-apa. Tidak kenapa-kenapa. Dan sering kali bertindak sendiri secara diam-diam. Dari dulu ia sudah tahu bahwa ayahnya suka begitu. Tapi anehnya, baru sekarang ia merasa malu.

Eric merasa khawatir. Sebaiknya ia tak usah bilang-bilang tentang wanita itu. Bilang pun percuma. Nanti ayahnya akan bertindak sendiri. Dan apa yang akan dilakukannya itu tak bisa ia perkirakan. Kemungkinan ia juga tak akan diberi tahu. Memang dalam banyak hal ayahnya dapat bertindak cemerlang. Terutama dalam persOalan bisnis. Tapi yang ini bukan bisnis. Dan sudah terbukti dalam tindakannya terhadap jon Pasaribu itu ayahnya sudah melakukan suatu kebodohan.

jadi ia akan diam saja, dan berbuat seakan perempuan itu tak pernah ada. Tak pernah kenal. Toh belum paSti perempuan itu akan melakukan sesuatu. Lagi pula. apa sih yang kiranya bisa dilakukan seorang perempuan?

Dokter Sapardi hadir dalam sidang berikutnya. Tapi kemudian ia menyatakan keberatan ketika akan disumpah sebagai saksi. Itu berkenaan dengan sumpah jabatan di mana ia diharuskan merahasiakan apa yang diketahuinya tentang pasiennya. Padahal ia mengakui dirinya sebagai dokter pribadi Eric.

Akhirnya, memenuhi permintaan hakim, ia bersedia memberikan keterangan tanpa disumpah dan itu pun terbatas pada pertanyaan yang dianggapnya boleh dan pantas dijawab.

"Pada saat terdakwa nyelonong ke pinggir dengan mobilnya itu bagaimana kondisinya menurut Anda?" demikian pertanyaan hakim.

"Kondisi fisiknya tidak baik."

"Apakah malam itu Anda dipanggil untuk memeriksanya?"

"Tidak."

"Kalau begitu, bagaimana Anda bisa memastikan bahwa kondisi fisiknya tidak baik?"

Agak lama baru Dokter Sapardi menjawab,

"Karena saya bisa memastikan. bahwa kalau kondisinya prima sudah jelas ia takkan mengemudikan mobilnya dengan cara begitu."

"Ah. itu jawaban yang umum sifatnya. Semua orang juga bisa bilang begitu. Yang mau saya tanyakan adalah keadaan fisiknya pada saat tertentu itu. Apa bisa dipastikan bahwa kecelakaan itu terjadi karena penyakitnya. Dan kalau Anda bisa memastikan, apa alasannya berhubung Anda tidak memeriksanya sesudahnya."

"Saya pikir saya bisa, karena saya kenal pasien saya. Saya tahu betul kondisinya."

"Bila kondisinya seperti itu, bukankah semestinya dia tidak diizinkan mengendarai mobil karena bisa membahayakan orang lain?"

"Saya tak pernah mengatakan bahwa kondisi tubuhnya bisa seperti itu. Dia toh tidak

berpenyakit ayan yang bisa mengalami serangan kapan saja dan di mana saja."

"Dalam kondisi seperti itu, apakah ada gejala sebelumnya? Gejala yang ringan begitu."

"Mestinya ada."

Lalu hakim menujukan pertanyaannya pada Eric.

"Kalau gejalanya ada, kenapa pada saat itu Anda tidak melakukan sesuatu untuk mencegah terjadinya kemungkinan buruk seperti kecelakaan itu. Misalnya Anda menjalankan kendaraan pelan-pelan, atau mencari bantuan orang lain."

"Saya pikir, saya sanggup meneruskan perjalanan. Yang saya inginkan waktu itu adalah buru-buru pulang supaya bisa segera istirahat."

Kemudian jaksa bertanya kepada Dokter Sapardi,

"Apakah jawaban saudara terdakwa yang seperti itu bisa dipertanggungjawabkan?"

Dokter Sapardi mengangkat tangannya tanda tak bisa menjawab.

Sementara itu. pembela tidak menggunakan haknya untuk bertanya.

Kemudian tiba giliran beberapa saksi lain. Ali dan Bi Onah menyatakan tahu bahwa mobil putih milik Eric akan dijual, tapi tidak tahu kenapa. Mereka tidak tahu bahwa Samin diberi uang oleh Albert, karena Samin tak pernah cerita. Bahkan saat Samin pergi untuk ikut Arifin beserta istrinya mereka pun tidak tahu dan tidak melihat.

Disamping mereka berdua, masih ada beberapa saksi yang memiliki kios-kios di dekat lokasi
Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecelakaan. Mereka menyatakan mengenal Kustini sebagai orang yang mengaku ibu korban tabrakan dan setiap sore rajin menyusuri jalan untuk mencari saksi mata atas peristiwa kecelakaan itu. Mereka juga mengenal jon Pasaribu sebagai orang yang setiap sore lewat di tempat itu dengan motornya, karena Jon sering mampir entah untuk beli rokok atau minuman. Dan di antaranya ada yang menyaksikan bagaimana Kustini dan Jon berbincang-bincang lalu Kustini diantarkan pulang oleh Jon dengan motornya.

Kemudian sidang hari itu dinyatakan berakhir. Selanjutnya masih ada beberapa kali sidang lagi sampai akhirnya tak ada lagi yang perlu ditanyakan atau diutarakan. Karena itu hakim ketua menyatakan pemeriksaan perkara tersebut sudah cukup lalu mempersilakan jaksa untuk memajukan tuntutan dalam sidang yang akan datang.

Dan selama waktu-waktu itu Eric tak berani lagi memandang ke arah penonton atau arah mana saja yang diperkirakannya ada kerumuman penonton. Ia takut melihat Rosidi sana. Dan bukan hanya itu, ia lebih takut lagi kalau-kalau Rosi memberinya sesuatu isyarat. Jangan sampai dicurigai orang.

Ketika pemeriksaan dinyatakan selesai, ia senang. Selama waktu itu sidang-sidang berjalan lancar. Tak ada gangguan atau hambatanMungkin Rosi memang tak akan melakukan apa-apa. Dia tidak berani. Dia datang cuma untuk melihat. Cuma ingin tahu. Jadi biarkan saja. Dengan kelegaan itu, Eric merasa lebih optimistis. Ia

percaya, ayahnya sudah berbuat banyak. Karena itulah dalam menunggu vonis, ia tidak lagi merasa terlampau tegang.

Bagi sebagian orang, tuntutan yang diucapkan jaksa dirasa sangat mengejutkan. Lebih-lebih buat mereka yang rajin mengikuti sidang. Tapi mereka yang rajin ini pun memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ada yang menganggap, pertanyaan-pertanyaan jaksa cukup tajam, gencar, dan menyudutkan. Tapi ada pula yang berpendapat sebaliknya. Mereka bilang, jaksa agak malas dan ogah-ogahan bertanya, sedang pertanyaan-pertanyaannya pun kurang terarah. Bahkan banyak hal yang semestinya masih bisa dan perlu ditanyakan dilewatkan begitu saja. Timbulnya argumentasi ini disebabkan tuntutan hukuman yang dimintakan jaksa, yaitu enam bulan dengan masa percobaan satu tahun!

Tentu saja yang paling merasa tak puas adalah suami-istri Arifin.

"Tampangnya saja sudah tidak serius begitu. Bertanyanya apalagi," komentar Kustini jengkel.

"Dan alasan yang dikemukakannya pun begitu umum sifatnya. Seolah kasus seperti ini terjadi sehari-hari," tambah Arifin.

"Mungkinkah dia sudah disuap, Pa?"

Arifin terkejut.

"Ah, sebaiknya jangan ngomong sembarangan, Ma. Kalau antara kita sih nggak apa-apa. Tapi hati-hati bicara di luar. Nanti kita dituduh memfitnah. Ingatlah, kita tak punya bukti."

Kustini mendesis gemas.

"Kita tunggu saja keputusan hakim. Yang menentukan kan dia."

"Ya. Aku yakin, hakim lebih serius daripada jaksa. Mudah-mudahan..." Kustini tak meneruskan kalimatnya. Wajahnya nampak beranganangan.

Arifin diam saja memperhatikan. Ia bisa menebak apa angan-angan Kustini. Kira-kira sama seperti harapannya sendiri. Semoga anak muda angkuh dan sombong itu diberi hukuman seberat-beratnya. Tapi toh rasanya sulit juga untuk memastikan berapa kira-kira besarnya hukuman yang setimpal itu. Yang dirasa setimpal itu tentunya yang mampu memuaskan perasaan. Tapi, bisakah kepuasan itu diukur? Entah kenapa pertanyaan seperti itu justru timbul pada saat itu. Setelah melewati proses demi proses dan ketegan g? an terus-menerus, maka yang terasa adalah kelelahan fisik dan mental yang membuat pikiran dan perasaan menjadi lain. Sementara waktu yang berlalu mampu meredakan kesedihan. Begitu pula dendam. Beberapa kepuasan sudah diperoleh. Antara lain dengan melihat bagaimana terdakwa merasa malu dan rendah diri di muka umum,

dicemooh dan dibenci orang. Dengan diadili di muka umum itu saja dengan sendirinya sudah merupakan suatu hukuman berat. Arang sudah tercoreng di kening. Semua orang melihat. Semua orang tahu. Lantas, sudah cukup puaskah dia? Mestinya memang belum. Masih ada satu proses lagi yang harus dilalui. Keputusan hakim.

Karena pikiran seperti itu, Arifin sebenarnya ingin meminta Kustini agar jangan berharap terlalu banyak. Tapi ia merasa tidak pantas berbuat demikian. Bagi Kustini, harapan adalah satusatunya hiburan. Memang dia sudah berbuat begitu banyak. Tanpa jasa Kustini, kiranya takkan ada pengadilan bagi terdakwa. jadi wajarlah bila Kustini mendambakan imbalan yang memadai. Tapi justru karena itu Arifin merasa khawatir.

Selanjutnya, pembelaan yang diucapkan Wahyudi tidak begitu menarik perhatian. Sebagian besar kata-katanya bersifat klise. Tidak ada yang istimewa. Dia hanya menekankan adanya unsur ketidaksengajaan dan di luar kemampuan manusiawi hingga dari terdakwa tidak bisa dimintai penanggungjawaban atas terjadinya peristiwa itu. Karena itu, ia memohon pembebasan tak bersyarat.

Terhadap pembelaan itu pun tak ada tanggapan dari pihak jaksa. Dengan demikian, proses menuntut dan membela itu dianggap sudah selesai dan ditutup. Tibalah kemudian giliran hakim yang akan mengakhiri segala proses. '

Bagi orang-orang yang bersangkutan, hakim adalah tokoh yang akan meledakkan klimaks. Dia adalah tumpuan harapan. Lidahnya serasa bertuah hingga kepadanyalah perhatian orang bergantung. Kata demi kata berhamburan sampai akhirnya keluarlah yang ditunggu-tunggu. Vonisnya, tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan! ,

Hening sebentar. Lalu suasana menjadi riuh oleh gumam orang yang tidak tahan menyimpan perasaan. Tapi Kustini seperti terpaku di kursinya. Arifin memegangi tangannya. Ia ingin berbagi rasa dengan istrinya. Ada rasa pilu yang menusuk dadanya dan kemungkinan Kustini pun mengalami hal yang sama.

Kemudian ternyata, terhadap keputusan itu baik terdakwa maupun jaksa tidak mengajukan banding. Rupanya keduanya sudah merasa puas, walaupun hukuman itu sama-sama tidak memenuhi harapan mereka.

Para penonton mulai meninggalkan tempat mereka. Tapi Kustini masih saja duduk terbengong-bengong. Sedang Arifin dengan sabar mendampinginya. Ia berpikir, Kusrini masih memerlukan waktu untuk menerima kenyataan itu.

Tiba-tiba Kustini bangkit berdiri, lalu bergegas menuju ke meja hakim. Kedua hakim anggnta sudah berdiri akan meninggalkan tempat. Sedang hakim ketua masih berbincang dengan panitera. Arifin yang kaget sebentar, buru-buru mengikuti dari belakang.

"Pak Hakim, boleh saya bicara sebentar?" tanya Kusrini dengan sopan.

Hakim ketua menoleh dengan wajah yang menampakkan perasaan terganggu. Lalu ia mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.

"Saya heran, Pak. Beberapa hari yang lalu ada maling yang mencuri kain jemuran dijatuhi hukuman penjara tiga bulan segera masuk. Tapi kenapa terdakwa yang telah merenggut nyawa orang yang tak bersalah tak perlu masuk penjara sama sekali?" tanya Kustini masih dengan sopan, tapi suaranya bergetar.

Arifin memegang lengan Kusrini. Dingin dan gemetar juga.

Wajah hakim ketua berubah. Jelas ia kurang senang. Alisnya terangkat. Dahinya berkerut. Tiba-tiba ia membanting bukunya ke atas meja.

"Habis. Ibu mau apa?" bentaknya dengan kasar.

Tiba-tiba Kustini berubah juga. Pandang matanya yang semula kuyu dan sedih berubah jadi beringas. Dan sebelum Arifin menyadari perubahan itu, Kustini melompat. Pegangan Arifin terlepas. Kustini menerjang hakim yang tak sempat berbuat apa-apa. Bagaikan harimau lapar ia menerkam, mencakari muka hakim ketua! Dalam sekejap muka hakim berlumuran darah dan kuku Kustini yang panjangvpanjang berhasil membuat beberapa saluran dalam di situ. Dagingnya tergaruk. melekat pada kuku Kustini. Ia menjerit kesakitan dan berusaha melepaskan diri dengan memukul Kustini. Tapi Kustini juga berteriak

teriak memaki-maki,

"Hakim curang! Hakim curang!" Ia seperti tak merasakan sakitnya pukulan. Tenaganya seolah jadi berlipat ganda hingga Arifin dan kedua hakim anggota merasa sulit untuk melepaskan terkaman Kustini.

Suasana menjadi gaduh. Sebagian orang yang sudah keluar dari ruang sidang berusaha masuk lagi untuk menonton, sedang orang yang masih di dalam terpaku di tempatnya. Baru setelah dipaksa pergi oleh petugas keamanan mereka bergerak dengan segan.

Salah seorang dari kedua hakim anggota memegangi tubuh hakim ketua. Sedang hakim anggota yang satu lagi bersama Arifin berusaha menarik tubuh Kustini. Tapi beberapa saat kemudian dengan tiba-tiba kedua orang yang belakangan itu serasa menarik tali putus. Keduanya terhuyung ke belakang, hampir jatuh. Tubuh Kustini ikut bersama mereka! Susah payah mereka berusaha menjaga keseimbangan agar tidak sampai rebah ke lantai. Ternyata tubuh Kustini yang semula kaku, keras, dan kejang itu menjadi lunglai dalam sekejap. Ia jatuh pingsan!

Sementara hakim ketua dibawa pergi untuk diobati, Arifin menunggui istrinya. Seseorang membantu mengoleskan minyak angin. Tapi. ketika Kustini sadar matanya nampak liar kembali. Ia memandang berkeliling dan setelah tak menemukan lagi orang yang barusan diserangnya ia menangis sedih dalam pelukan Arifin. Tak lama ia menangis karena ia segera berteriak-teriak.

"Emil! Emil anakku! Oh, malangnya nasibmu!" Ia pun berontak dari pelukan Arifin. Kepayahan Arifin memeganginya. Tapi tak sedikit orang yang mau membantunya. Walaupun demikian, sudah jelas Kustini tak bisa dibiarkan begitu saja.

Jaksa dan salah seorang hakim anggota tak berani mendekat. Mereka khawatir mengalami nasib sama seperti hakim ketua. Maka seorang polisi diutus untuk menyampaikan pesan kepada Arifin.

"Sebaiknya Ibu dibawa ke Rumah Sakit Jiwa untuk konsultasi sekalian diobati di sana. Mari saya antarkan!"

Kemudian, dengan sedih dan terpaksa An'fin harus meninggalkan Kustini di sana. Ia perlu diobservasi. Bukan cuma untuk kesembuhan agar ia bisa segera pulih kembali dari trauma yang dideritanya, tapi juga untuk dibuatkan visum psikiatrik. Ia dituduh melakukan tindak pidana penganiayaan dan karenanya terancam hukuman penjara!

Dokter Henri Tobing adalah kepala RSJ tersebut. dan dialah psikiater yang dituniuk untuk membuat visum psikiatrik Kustini. Dari dirinyalah akan lahir kesimpulan atau keputusan apakah Kustini layak dituntut atau tidak. Suatu tugas yang sama sekali tidak gampang. Ia harus melakukan seobjektif mungkin. Tidak boleh ada perasaan bermain di situ. Tidak boleh ada rasa kasihan.

Ia menanyai Kustini di saat-saat tenang, dan cermat mempelajarinya. Ia pun mempelajari kasus tabrakan itu serta perkembangannya kemudian, termasuk proses pengadilan sampai terjadinya penyerangan Kustini pada hakim ketua. Ia menanyai Arifin juga. Dan cerita Arifin mengalir deras. Sebagai orang yang paling akrab dan setia mendampingi Kustini dalam musibah itu, dia merupakan orang yang paling tahu.

Memang Arifin sangat senang ditanyai. Ia sendiri membutuhkan seseorang untuk dijadikan tempat mencurahkan isi hati. Lebih-lebih bila orang itu seorang ahli yang ilmunya dibutuhkan bukan cuma untuk menyembuhkan Kusrini tapi juga menyelamatkannya! Bagaimana kalau Kustini sampai dipenjara? Padahal orang yang dianiayanya itu bukan sembarang orang. Bisa saja hakim yang mengadilinya nanti akan menjatuhkan hukuman berat, lebih berat dari semestinya karena solidaritas kepada sesama rekan. Kalau hal itu sampai terjadi mungkin ia pun akan mengalami gangguan jiwa, Sudah jatuh terhimpit tangga.

Ia takut. Frustrasi dan kekecewaan yang barusan dialaminya jadi alasan kuat bagi rasa takut itu. Sesungguhnya, bisakah keadilan itu dicari dan diperoleh? Kalau memang bisa, lantas keadilan yang macam bagaimanakah itu? Versi yang mana? Dan ditilik dagi segi kepentingan siapa? Adil bagi hakim? Adil bagi jaksa? Adil bagi pembela? Adil bagi saksi? Adil bagi terdakwa? Atau adil bagi masyarakat? Tidakkah yang namanya keadilan itu

bisa diatur? Lihat saja bagaimana semuanya mengatasnamakan keadilan. Hakim dalam menjatuhkan vonis selalu mendahului dengan kata-kata Demi Keadilaan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian jaksa menuntut hukuman untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dan pembela meminta kebebasan atau pengurangan hukuman juga demi keadilan. Sedang pihak saksi atau pihak yang merasa dirugikan dan pihak terdakwa punya rasa keadilan sendiri-sendiri. Pendeknya, ia tak percaya lagi akan keadilan buatan manusia. Susah percaya.

Dengan frustrasi seperti itu terasa baginya bahwa yang paling utama dari perjuangannya kini adalah bagaimana menyelamatkan Kustini. Kustini adalah sosok yang nyata, kongkret dan ada, berharga dan satu-satunya. Itu menjadikan perjuangan mencari keadilan bagi kematian Emil tidak berharga lagi. Tidak ada gunanya. Pengorbanannya terlalu besar dibanding nilai yang mereka peroleh. Persetan dengan keadilan! Ya, kalau saja dia tahu dari dulu, dia akan membujuk Kustini dengan segala daya. Biarlah Tuhan saja yang akan menghukum orang-orang itu! Biarlah kita serahkan pada hukum karma!

"Apakah istri saya bisa sembuh, Dok? Apakah dia tidak akan menjadi... menjadi gila?" ia bertanya cemas.

"Menurut saya, bisa saja. Bila dilihat kisahnya, Bu Kustini orang yang tabah dan keras hati. Orang

seperti itu tak mudah menyerah, tak mudah runtuh."

"T api saya justru ingin membujuknya supaya menyerah, Dok. Maksud saya, biarlah dia menerima keadaan karena keadilan yang kami perjuangkan itu sesungguhnya tidak ada."

"Oh, yang saya maksudkan bukan mengenai perkara itu, Pak Arifin. Tapi tentang ini." Dokter Tobing menunjuk dahinya.

"Mengertikah Anda?"

"Ah itu. Ya, saya mengerti, Dok."

"Tapi ada satu hal yang belum pasti buat saya. Apakah anak yang jadi korban tabrakan itu anak Anda satu-satunya?"

"Bukan, Dok. Masih ada satu lagi adiknya. Perempuan. Tapi dia tidak di sini. Sedang sekolah di Amerika."

"Tidakkah dia diberi tahu?"

"Sudah, Dok. Tapi kami berdua, saya dan istri saya, sepakat untuk melarangnya pulang. Soalnya dia mau ujian, Dok."

"Ah, itu tentu dulu. Tapi sekarang masalahnya lain. Sekarang ibunya perlu diselamatkan. Dan lebih cepat lebih baik. Jangan pernah menundanunda dalam soal kesehatan, lebih-lebih kesehatan jiwa. Sedang ujian masih bisa lain kali, kan? Coba bayangkan. Kehadiran anak itu di sini akan menyadarkan ibunya bahwa dia masih memiliki seorang anak yang lain, untuk disayangi dan diperhatikan."

Arifin mengangguk dengan antusias.

"Betul, Dok. Saya akan menghubunginya dengan telepon

hari ini juga!" Dan dalam hati ia bersorak gembira. Oh, Amelia, aku sangat rindu padamu!

Sikap dan gerak-gerik Arifin jadi nampak kekanak-kanakan saking gembiranya. Sepertinya dia memang sudah tahu atau sudah berpikir ke situ, tapi belum merasa pasti. Kini, dorongan seorang yang dianggap ahli bukan cuma memastikan tapi juga membuat ia memiliki dasar yang kuat. Amelia memang harus pulang!

Dokter Tobing terharu. Padahal ia bukanlah orang yang mudah tersentuh oleh kecengengan perasaan. Itu pula sebabnya ia sering kali mampu membuat visum dengan tega hati, dalam arti seobjektif mungkin. Kalau memang menurut penilaian keahliannya visum harus begitu, ya tetap begitu. Tak peduli dengan demikian orang bersangkutan jadi menderita karena harus menanggung hukuman atau kerugian lain. Dalam hal itu yang namanya perikemanusiaan tak boleh ikut berperan. Ia cuma diminta keahliannya untuk menilai, dan itulah yang ia berikan. Tak kurang tak pula lebih. Akibarnya, tak jarang visum yang dibuatnya membuat orang harus masuk penjara atau kehilangan pekerjaan. Tapi ia tetap yakin dirinya telah melakukan hal yang memang seharusnya ia lakukan. Jadi, bila seseorang melakukan tindak kekerasan dengan kesadaran penuh mustahil ia harus berkata sebaliknya? Dalam keadaan itu setiap orang harus bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.

Kini, terhadap Kustini ia punya dua fungsi. Sebagai dokter dan sebagai pembuat visum. Pada yang pertama ia bertugas menyembuhkan, memberikan simpati dan empati untuk pasiennya. Tapi pada yang kedua ia tak boleh memihak, tak ada perasaan boleh diikutsertakan. Kelihatannya sulit. Tapi dari pengalamannya sendiri ia tak pernah mengalami kesulitan. Memang itu benar. Namun sekarang tidak demikian halnya. Simpati dan empatinya terhadap Kustini tak bisa disingkirkan. itu menetap. juga pada saat membuat visum. Ia sadar, semua itu telah menyentuh perasaannya yang paling dalam. Karena itu, dengan kesadaran pula ia tahu apa yang harus ditulisnya.

Apakah dengan demikian ia harus mengakui kelemahan dirinya? Ah. tidak. Dia toh tetap sedrang manusia. Dia seorang psikiater, tapi dia juga manusia!

Koran-koran ramai memberitakan peristiwa itu. Ada yang tak hanya menulis berita, melainkan juga Opini. Dan terang-terangan memihak. Antara lain mereka mengatakan bahwa keputusan hakim itu kontroversial. Tapi yang bisa lebih bebas mengemukakan pendapat adalah para pengirim surat yang membanjiri meja redaksi koran-koran. Yang marah, yang sedih, yang ngenes.

Reaksi semacam itu dinilai tidak seperti biasanya. Sudah cukup banyak keputusan hakim

yang pada-suatu ketika pernah dinilai tidak bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, tapi toh tidak sampai menimbulkan reaksi sehebat itu. Mungkinkah daya tariknya terletak pada Kustini? Ternyata perbuatannya menyerang hakim ketua justru memancing simpati! Bahkan ada yang cukup sadis dan sinis dengan mengatakan, bahwa bekas cakaran Kustini di muka Pak Hakim (ia berharap akan menimbulkan cacat) dapat selalu mengingatkan beliau akan keadilan!

Lalu berkembang pula isu, bahwa hakim dan jaksa menerima suap. Tapi isu itu tetap tinggal isu karena tak ada bukti. Apalagi pihak-pihak yang terkena tak terusik. Mereka diam seribu bahasa, dan percaya bahwa diam adalah emas.

Tapi ada juga yang mengutik-ngutik hal lain. Mereka mempermasalahkan, kenapa Eric selama masa penahanan justru dirawat di klinik kelas satu? Dan kenapa Dokter Sapardi yang diminta jadi saksi ahli tidak disumpah? Apakah itu bukan berarti bahwa ia memang berbohong? Kalau ia tak bersedia jadi saksi, kenapa tak dicarikan saksi ahli yang lain untuk membuktikan bagaimana kondisi fisik Eric yang sebenarnya?

Namun pertanyaan-pertanyaan itu cuma angin lalu. Mungkin karena ada perkara lain menyusul untuk disidangkan, lebih menarik dan lebih sensasional. Ada koruptor milyaran rupiah mencoba membunuh istrinya sendiri karena sang istri yang cemburuan mengancam akan membuka rahasia.

Arifin pun berusaha untuk tidak memikirkan hal itu lagi. Ia memusatkan perhatiannya hanya kepada Kustini. Sementara itu banyak hal yang harus dikerjakannya. Terutama persoalan uang. Memang ia bukan orang miskin. Tapi ia juga bukanlah orang sangat kaya hingga memiliki sumber uang yang tak mudah kering. Sebagai direktur sebuah perusahaan swasta ia tak lebih dari karyawan. Perusahaan itu bukan miliknya. Memang gajinya besar, tapi itu toh cuma gaji yang jumlahnya tetap terbatas. Ia juga punya tabungan berasal dari kelebihan gajinya yang tak terpakai, tapi itu pun tak terlalu besar bila dibandingkan dengan kebutuhannya belakangan ini. Lebih lebih setelah Kustini sakit. Tapi bukan semata-mata untuk biaya pengobatan. Ia pun menghadapi tuntutan dari keluarga Pak Hakim yang dicederai Kustini. Beberapa kuitansi berupa biaya pengobatan muka Pak Hakim dikirim padanya. jumlahnya dirasakan terlampau berlebihan, tapi Arifin membayarnya tanpa banyak ribut. Ia menganggap hal itu merupakan kewajibannya. Ia rela membayar berapa pun yang diminta asal Kustini tidak dihukum penjara. Uangnya memang terbatas, tapi ia toh masih memiliki rumah dan mobil.

Ternyata kuitansi-kuitansi yang disampaikan oleh kurir Pak Hakim itu masih belum cukup. Masih ada klimaksnya. Dan itu diutarakan oleh Bu Hakim sendiri kepada Arifin lewat telepon.

"Begini, Pak. Suami saya perlu dioperasi plastik. Tapi kami tak ingin melaksanakannya di dalam

negeri. Khawatir kurang bagus mutunya. jadi kami punya rencana untuk melakukannya di jepang. Harap Anda menyediakan biayanya," kata Bu Hakim dengan nada suara otoriter.

Arifin ternganga sebentar.

"Op... operasi plastik ke jepang, Bu?" tegasnya seperti orang linglung.

"Tentu! Kalau bukan karena perbuatan istri Anda, muka suami saya tidak akan jadi seperti itu!" suara Bu Hakim meninggi oleh emosi. Rupanya ia menilai pertanyaan Arifin sebagai keraguan.

"Padahal dia seorang hakim," lanjutnya dengan nada tetap tinggi.

"Dia harus berhadapan dengan orang banyak. Dia harus tampil berwibawa agar dihormati dan disegani. Bagaimana dia bisa tampil seperti itu dengan muka berparut-parut seperti digaruk harimau?"

Arifin menggagap.

"Ba... baik. Bu. Nan... nanti sa..."

"Ya. Nanti saya perinci dulu biayanya," potong Bu Hakim tak sabar. Lalu hubungan putus.

Dan Arifin menjadi lunglai. Tapi cuma sebentar. Memang tak ada gunanya merenung bersedihsedih. jadi dengan giat ia mulai mengumpulkan barang-barang berharganya yang punya nilai untuk dijual. Lalu ia membawa mobil pribadinya ke Pecenongan, tempat penjualan mobilemobil bekas. Mudah-mudahan cepat laku. Dan kalau masih belum cukup? Ali, masih ada rumah. Dia bisa mencari rumah lain yang lebih kecil dan lebih jelek.

Tapi sementara ia menunggu berita dari Bu Hakim, ia menerima telepon lain. Suara pria yang tak mau menyebut identitasnya.

"Pak Arifin? Tentang biaya pengobatan Pak Hakim Anda tak perlu risau lagi. Semua sudah beres. Mereka tak berhak minta pada Anda lagi."

Saking bingung, mula-mula ia berpikir orang yang menelepon itu masih keluarga Pak Hakim. Karena itu ia bertanya,

"Tentang operasi kej epang itu, apakah jadi?"

Hening sebentar. Lalu yang di sana bicara lagi,

"Saya kira jadi. Tapi tentang itu pun tak usah Anda pikirkan. Semuanya beres. jadi kalau ada yang mencoba minta lagi pada Anda, tak usah dilayani."

Lalu telepon ditutup sebelum Arifin sempat bertanya apa-apa. Ia tak mengerti walaupun merasa senang. Adakah orang yang begitu baik hati? Ataukah yang tadi itu malaikat? Sebenarnya hal itu perlu diherankan. Cukup membangkitkan keingintahuan. Tapi ia sudah terlalu senang. Lebih baik tak usah susah payah lagi berpikir. Besok ia akan menjemput Amelia di Bandara SukamoHatta. Namun sebelumnya ia harus segera ke Pecenongan untuk mengambil kembali mobilnya. Tak jadi diiual!

Amr masih Sibuk mencari-cari dengan matanya di antara ramainya orang yang hilir-mudik ketika tiba-tiba ia ditubruk orang.

"Papa!" seruan yang sudah dikenalnya mampir di telinganya bagaikan nyanyian merdu. Ia balas memeluk sebelum sempat memandang. Tak bisa lain ini pasti Amelia.

Dia memang Amelia. Dan dalam pelukannya

gadis itu jelas sudah sama tingginya dengan dia. Sebelumnya, hal itu tak pernah disadarinya. Rasanya, terakhir dia memeluk Amelia adalah ketika gadis itu masih bocah yang tingginya baru mencapai pinggangnya. Sesudah Amelia dewasa rasanya memang risi bila berpelukan walaupun mereka ayah dan anak. Tapi kini pelukan itu sangat membahagiakannya tak peduli ditatap banyak orang.

Amelia menangis tanpa malu-malu. Ia sudah tak sabar menunggu sampai di rumah.

"Oh, Pa, kasihan Kak Emil. Kasihan Mama. Dan Papa tentunya sangat menderita. Oh, kenapa Lia tidak dari dulu dibolehkan pulang?" katanya di sela-sela isak tangisnya.

"Tenanglah, Lia. Tenang. Ini nasib, Lia. Nasib. Sudah, jangan menangis lagi. Mari kita pulang."

Amelia melepaskan pelukan lalu mengeringkan mata dan hidungnya. Mukanya merah. Barulah Arifin bisa melihat putrinya lebih jelas. Walaupun mukanya merah dan matanya sembab oleh air mata, dia tetap kelihatan cantik, pikir Arifin bangga. Sayang rambut Amelia yang dulu panjangnya mencapai punggung kini menjadi pendek. Tapi dengan demikian dia jadi tampak lebih gesit dan lincah. Tubuhnya pun lebih tinggi, dan lebih berisi.

Sambil berjalan bersisian sebentar-sebentar Arifin melirik ke arah Amelia. Ia tak pernah bosan melihat dan mengagumi. Inilah keturunanku. Sebagian darah dagingku ada padanya, pikirnya. Kalau Kustini melihatnya pasti dia pun merasakan apa yang kurasakan. Dan seperti kata Dokter Tobing, kehadiran Amelia yang tak disangkasangka oleh Kustini itu bisa menjadi semacam shock therapy atau terapi kejutan.

"Nanti sore kita jenguk Mama. Mau?"

"Oh, tentu saja mau, Pa. Saya sudah kangen sekali."

"Dia akan gembira melihatmu."

"Saya khawatir, sungguhkah Mama akan senang melihatku? Waktu menerima surat Mama tempo hari, saya sedih dan kecewa sekali. Masa nggak boleh pulang. Saya pikir, Mama tidak memerlukan kehadiranku."

"Bukan begitu, Lia. Justru Mama lebih memikirkan kepentinganmu. Papa sendiri juga berpikir begitu. Padahal rasa hati ini ingin sekali memanggilmu. Kita sudah sangat rindu padamu. Ah, kau senang di sana, bukan?"

"Betapapun senangnya, di sana tidak ada Papa dan Mama. Dan dan Kak Emil. Sekarang saya bisa pulang. Saya senang. Tapi oh, tak ada Kak Emil lagi. Kita tak bisa bercanda lagi. Oh..." Amelia berusaha menahan tangisnya.

"Ya. Sedih sekali. Kita semua kehilangan."

Amelia memperhatikan ayahnya dari sisi. Ia terkejut ketika menyadari bahwa ayahnya tampak jauh lebih tua dibanding terakhir dilihatnya. Wajah yang memperlihatkan kedukaan dan keprihatinan. Perasaan Amelia seakan tumpah ruah. Yang merasa sedih dan kehilangan memang bukan cuma dia sendiri. Dan bagaimana dengan Mama?

"Oh, ceritakanlah tentang Mama, Pa!" serunya tak sabar.

Sering kali Kustini merasa kacau dengan waktu. Dia seakan tengah hidup di awang-awang. Kadang-kadang ia merasakan kehadiran Emil kecil di sisinya. Lain kali Emil yang sudah remaja, nakal dan bandel. Lalu Emil dewasa yang berpenampilan tenang dan berpikiran panjang. Ah, betapa senangnya merasakan kehadiran Emil. Tapi kesadaran masih ada, bahwa Emil sebenarnya

sudah meninggal. Lantas terpikir, apakah dia sendiri sudah meninggal juga hingga bisa bertemu kembali dengan Emil? Ia berseru-seru dan memanggilemanggil. tapi terny ata Emil tak datang. Emil tak pernah tampak dalam ujud yang nyata. Lalu ingatannya pun kembali. Dia dan Emil tak mungkin bisa bertemu karena mereka berdua berada di alam yang berbeda. Kalau sudah begitu ia menangis sedih. Kemudian teringat lagi akan penyebab perginya Emil. Kesedihannya berubah menjadi keberangan. Lantas ia ingin mengamuk, menerjang, dan menghancurkan. Emosinya menjadi sulit dikontrol.

Tapi pada saat tenang yang kerap kali terasa adalah kepahitan. Kegagalan dan kesia-siaan. Ia mendengar Dokter Tobing bicara dan memahaminya. Ia pun menyadari kehadiran Arifin di dekatnya. Tapi, betapa sulitnya mengumpulkan kembali dirinya yang sudah berserakan agar menjadi utuh kembali. Sepertinya tak mungkin. Mesti ada salah satu atau beberapa bagian yang hilang. Dapatkah ia kembali seperti dulu? Ia bukan tak ingin. Ia tahu betul, tanpa keutuhan itu kehidupan akan menjadi lain untuknya. Dan itu menakutkan.

Kemudian Arifin datang bersama seorang gadis. Dia gadis yang manis. Sepertinya dia adalah Kustini sewaktu muda. Mirip. Tapi gadis itu berteriak,

"Mama! Mama!" Untuk sesaat Kustini bingung. Mama? Bukankah cuma Emil yang memanggilnya begitu?

Lalu gadis itu memeluknya erat-erat dan membasahinya dengan air mata.

"Ah, Mama lupa? Ini kan Amelia, putri Mama. Ingat? Ingat?"

Ya, dia ingat. Amelia terlalu jauh sampai terlupakan. Atau dia terlalu memikirkan Emil sampai melupakan? Dia ingat, pernah merindukan, pernah mendambakan pertemuan seperti ini, tapi tak pernah mengatakannya. Oh, Amelia, tentu saja aku ingat! Kedua tangannya segera balas memeluk erat.

"Lia, Mama senang sekali melihatmu! Senang sekali. Senaaaang!" serunya sambil tertawa. Seruan yang menyatakan isi hati yang sesungguhnya. Dan Kustini yang senang berarti banyak sekali.

Perkara penganiayaan Pak Hakim oleh Kustini sudah mulai disidangkan. Sidang dipimpin oleh hakim tunggal. Mungkin karena dinilai sebagai perkara ringan.

Kustini yang jadi terdakwa tampil dalam keadaan sehat dan segar. Ia tampak serius dan percaya diri. Di sampingnya pembela yang dipilihnya sendiri, seorang wanita.

Pak Hakim sebagai saksi korban hanya muncul satu kali dalam sidang hari pertama saja. Mukanya sebagian bertutup plester dan sebentar-sebentar ditutupnya dengan sapu tangan seperti remaja pemalu. Dalam sidang-sidang berikut maupun sidang terakhir ia tidak muncul dengan alasan kesehatannya tidak mengizinkan.

Sidang-sidang berjalan lancar dan cepat. Tak ada saksi yang absen hingga sidang perlu diundur. Sampai tiba giliran Dokter Tobing sebagai dokter dan sebagai ahli. Sebagian besar jawaban yang diberikannya atas pertanyaan hakim merupakan pengulangan visum yang sudah dibuatnya dan sudah pula disampaikannya kepada hakim.

Pada pokoknya kesimpulan Dokter Tobing menyatakan bahwa pada saat KuStini melakukan perbuatannya (menyerang hakim), ia tengah mengalami gangguan kesadaran begitu rupa hingga tak bisa disuruh mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.

Mau tak mau orang harus melihat kembali pada kasus tabrakan putra Ibu Kustini, demikian Dokter Tobing. Pada saat itu ia mulai mengalami shock, sebagai seorang ibu yang mendadak kehilangan anak lelaki satu-satunya secara mengerikan. Pikiran dan emosinya mulai terganggu. Lalu ia penasaran karena polisi menyatakan tak bisa menemukan saksi mata. Sebagai orang dengan tipe ta . mudah menyerah dan keras hari ia berusaha sendiri untuk mencari sampai akhirnya menemukan. Perjuangannya itu tidaklah mudah. Bukan cuma melelahkan secara fisik, tapi juga mental. Ia sadar banyak orang menganggapnya sinting karena perbuatannya itu, tapi ia toh jalan terus. Padahal pengalaman dianggap sinting itu sesungguhnya berat sekali, karena kita hidup di tengah masyarakat di mana penilaian orang lain terhadap diri kita itu penting sekali. Lantas selama

berhari-hari ia tidak memperoleh hasil apa-apa. Ia merasa tertekan. Ia stress. Beberapa kali ia mengalami halusinasi, melihat putranya berdiri di lokasi kecelakaan. Sampai akhirnya ia berhasil menemukan apa yang dicarinya. Dan penabrak putranya berhasil disidangkan. Wajarlah bila untuk pengorbanan yang demikian besar ia mengharapkan imbalan yang memadai. Yaitu, keadilan. Tapi setelah keputusan jatuh ia kecewa. Dibandingkannya dengan pencuri kain jemuran yang mendapat vonis tiga bulan penjara segera masuk. Sedangkan penabrak putranya ia umpamakan sebagai pembunuh, tapi kok tidak sampai masuk penjara. Tapi ia tidak bisa apa-apa. Perasaan tertekannya lebih berat lagi. Tapi ia berusaha mengatasi dengan sikap yang normal. Itu terlihat dari sikapnya Sewaktu bertanya kepada hakim ketua yang memimpin sidang. Ia sopan, bertanya baik-baik. Namun sikap kasar Pak Hakim mengakhiri daya tahannya. Dia itu ibarat dam yang jebol karena tak tahan lagi menghadapi gempuran air bah. Emosinya meledak. Kesadarannya menurun begitu rupa hingga tak bisa lagi membedakan mana perbuatan yang sepatutnya dan mana yang tidak. Pada saat itulah penyerangan kepada Pak Hakim terjadi. Lalu ia jatuh pingsan. Setelah sadar ia mengamuk. Ia merasa dikekang dan dihimpit, hingga ingin melepaskan diri. lari dan menghirup udara yang lega. Itu memang merupakan keinginan orang yang sudah terlalu lama menderita dalam tekanan. Untuk beberapa saat lamanya ia sukar

membedakan antara yang riil dan yang khayal. Ia mengalami gangguan kesadaran cukup parah. Tapi melalui pengobatan dan bimbingan serta dukungan psikologis, kini ia sudah pulih.

Di tempat duduknya Amelia mendengarkan dengan tekun. Sambil mendengarkan ia terus memperhatikan ibunya yang duduk di depan. Ibunya duduk tegak dan sesekali menunduk lalu mengusap mata. Amelia merasakan kebanggaan. Mama yang perkasa dan berani. Kak Emil pasti akan bangga juga andaikata dia bisa mengikuti kejadian ini, pikirnya.

Ruang sidang penuh, tapi tidak sesesak seperti pada penyidangan Eric sebelumnya. Dari pembicaraan orang-orang di dekatnya ia tahu bahwa keluarga Siahaan tak pernah datang menghadiri Sidang. Memang tak ada di antara mereka yang diperlukan kesaksiannya hingga diharuskan datang. Tapi sekadar sebagai penonton yang ingin tahu karena merasa terlibat rupanya mereka tak mau juga. Ataukah malu? Padahal Amelia ingin sekali melihat seperti apa pula rupa orang yang telah menabrak Emil dan kemudian melarikan diri secara pengecut. Mungkin suatu ketika nanti ia bisa melihatnya. PaSti bisa.

Untuk saat sekarang ini ia tak mau memikirkan apa-apa lagi selain ibunya. juga ujiannya yang tertunda. Tak usah ujian. Tak usah sekolah di Amerika pun tak apa-apa. Itu bukan soal hidup-mati. Apalagi dia masih muda. Umurnya belum mencapai seperempat abad. Dan ia pun tak

meninggalkan pacar di Amerika. Dia bebas seperti burung. Tapi di sini ia punya tanggung jawab.

Sidang berikutnya menampilkan jaksa dengan tuntutannya. Apa yang diutarakannya membuat perasaan keluarga Arifin kecut dan sedih. Betapa tidak. jaksa menuntut hukuman enam bulan penjara segera masuk berikut membayar semua biaya pengobatan Pak Hakim di samping ongkos perkara. Pertimbangannya, menyerang hakim adalah merusak citra pengadilan. Seorang hakim yang seharusnya dihormati dan disegani malah dianiaya di muka umum. Apalagi dengan membuat cacat mukanya. Padahal muka itu penting sekali artinya buat setiap orang. Apalagi buat hakim yang harus berhadapan dengan banyak orang di samping harus membangkitkan rasa segan dan hormat orang kepadanya. Ia mengesampingkan kesaksian Dokter Tobing dengan menyimpulkan sendiri, bahwa perbuatan Kustini itu hanyalah pelampiasan rasa dendam yang tak terpenuhi. Dan kalau memang Kustini merasa tertekan, tidakkah semestinya ia meledakkan emosinya itu kepada Eric sebagai orang yang jadi penyebab?

Pertimbangan jaksa itu memang bisa dimaklumi. Apa pun yang diutarakan saksi ahli tidaklah pasti akan diikuti oleh jaksa maupun hakim. Keterangan saksi ahli tidak mengikat. Tidak harus mempengaruhi.

Sedang pembela justru berpegang pada keterangan Dokter Tobing dalam menguraikan pembelaannya. Ia berpendapat, seorang wanita seperti

Kustini yang begitu gigih dan pantang menyerah justru harus dikagumi dan dicontoh. Ia punya potensi yang jarang dimiliki wanita Indonesia. Tapi segigih-gigihnya dia toh tetap seorang manusia yang memiliki kelemahan dan sekali waktu bisa salah. Apakah kesalahan itu yang semata-mata karena kekhilafan harus jadi alasan untuk hukuman berat? Bukankah tujuan menghukum itu juga untuk memperbaiki? Tapi di sini, menghukum itu sama saja dengan merusak dan menghancurkan. Padahal Kustini baru saja disembuhkan dengan upaya yang tidak ringan. Dengan alasan seperti itu, pembela memohon agar terdakwa dibebaskan dari tuntutan.

Selanjutnya, mereka menunggu keputusan hakim dengan cemas. Tapi sebenarnya, sesudah mendengar tuntutan jaksa Arifin mulai merasa ragu-ragu. Adakah sesuatu yang salah, atau adakah sesuatu yang tidak mereka lakukan? Ia mengajak Amelia berunding.

"Jangan-jangan kita seharusnya memberi sesuatu untuk jaksa, Lia. Seperti itulah yang kudengar telah dilakukan oleh keluarga Srahaan. Mereka main uang."

"Ah, masa iya begitu, Pa?" tanya Amelia terkejut.

"Tapi kalau toh betul begitu, apa kita harus ikut-ikutan?"

"Entahlah, Lia. Papa jadi bingung. Tapi coba pikirkan. Kalau kita bisa membeli kebebasan dengan uang, kenapa tidak? Toh mereka juga

berbuat begitu. Ya, setidaknya itulah yang kudengar."

"Saya tidak suka begitu. Pa. Muak rasanya."

"Memang betul. Tapi kita harus menyelamatkan Mama. Uang masih bisa dicari. Papa takut, kalau Mama sampai dipenjara..."

"Saya juga takut, Pa. Tapi ada kemungkinan lain yang belum Papa pikirkan. Bagaimana kalau hakimnya tak mau disuap? Atau dia jadi marah dengan segala akibat buruknya? Hakim yang satu dengan yang lain belum tentu sama. Wah, kalau semua sama, bobrok amat...."

Arifin termenung sebentar.

"Ya, kau benar, Lia. Papa tak berpikir sampai ke sana. Tapi semakin dekat kok semakin tak karuan rasanya."

"Bagaimana kalau kita tanyakan Mama saja? Biarlah Mama yang memutuskan."

"Mama?" Arifin terkejut.

"Ya, Pa," jawab Amelia tegas.

Jadi mereka berdua mengunjungi Kustini yang masih ditempatkan di RSJ sambil menunggu vonis. Dan ternyata dugaan keduanya tak berbeda jauh dari kenyataan. Kustini menolak tegas gagasan Arifin itu. Bahkan ia tak perlu berpikir dua-tiga kali.

"Biarlah aku dipenjara kalau memang itu keputusannya. Aku toh memang salah. Jadi, kenapa aku harus menyuapnya?" katanya dengan sikap yang Sudah dikenal betul oleh Arifin.

"Ingat harga diri dong, Pa!"


Pendekar Slebor 15 Permainan Tiga Dewa Irama Seruling Menggemparkan Rimba Mahesa Kelud Banjir Darah Di Ujung Kulon

Cari Blog Ini