Ceritasilat Novel Online

Yang Mendendam Dan Mencinta 3

Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari Bagian 3



Walaupun cemas, Arifin toh senang melihat sikap Kustini. Ketegaran Kustini sudah kembali.

Jadi ia berusaha untuk tidak memikirkan tentang berbagai kemungkinan buruk yang bakal terjadi bila Kustini sampai dipenjara. Satu-satunya yang melegakan adalah ia bisa saling menghibur dengan Amelia.

Sementara itu, Samin yang bekerja pada mereka sejak kepergiannya dari rumah keluarga Siahaan menyatakan ingin berhenti. Ia takut karena merasa diteror oleh orang yang tak dikenal. Beberapa kali ia mengalami dimaki orang bermuka seram, entah saat berada di luar rumah ataupun di jalan. Paling sering ia dimaki sebagai pengkhianat. Bahkan pernah pula ia diancam akan 'dikerjai'.

Tentu saja Arifin tak bisa menahan atau membujuk Samin. Ia merasa kasihan, lalu mengajukan beberapa alternatif. Samin pindah kerja di rumah salah seorang temannya, kerja di kantornya sebagai pesuruh atau Satpam, atau pulang kampung dengan dibekali sejumlah uang yang lumayan besarnya sebagai modal hidup. Arifin yang merasa berhutang budi pada Samin tentu tak mungkin melepasnya begitu saja tanpa jaminan.

Ternyata Samin memilih yang ketiga. Entah karena tertarik pada jumlah uang yang lumayan itu atau memang merasa lebih aman berada di luar jakarta. Tapi bagi Arifin pilihan Samin itu justru lebih banyak memberinya ketenangan. Tentu ia tak menginginkan Samin jadi cedera karena digebuki orang.

Denganjon Pasaribu tak pernah ada kontak lagi sejak selesainya sidang pengadilan terhadap Eric. Sekali-kalinya Jon datang ke rumah Arifin adalah ketika ia mengantarkan Kustim pulang sekalian menyanggupi jadi saksi. Masih beberapa kali kontak terjadi lewat telepon. Itu pun sekitar masalah yang sama. Tak pernah ada permintaan uang dari Jon. Padahal dia dan Kustini sudah sepakat ingin memberikan sesuatu sebagai kenangkenangan. Tidakkah berkat bantuan Jon masalah tabrakan itu jadi terbongkar? Sayang mereka tak pernah ketemu lagi.

Sekali waktu ketika kebetulan ia melewati jalan Gatot Subroto ia mampir di salah satu kios yang diketahuinya pernah dismggahi Kustini dulu. Ia menanyakan perihal jon sekalian menitipkan pesan agar menghubunginya di rumah. Tapi ia diberi tahu, bahwa Jon tak pernah lagi kelihatan lewat di situ dengan motornya. Lalu ada orang lain menambahkan bahwa Jon sudah mudik ke

Sumatra.

"Katanya, di sini ada hantu yang membuatnya kepanasan, Pak!" gurau orang itu.

Arifin mengerti. Rupanyajon mengalami nasib yang sama dengan Samin. Bergetar perasaannya memikirkan hal itu. Rupanya orang kecil memang susah memilih. Kalau tidak terinjak, dia diinjak.

Hakim mulai membacakan vonis. Amelia duduk di samping ayahnya. Keduanya sama gelisahnya. Sementara di depan Kustini bagai

melekat pada kursinya. Mau bergerak takut salah. Sepertinya satu-satunya organ tubuhnya yang bergerak hanyalah jantungnya.

Panjang-lebar hakim menguraikan penilaian dan kesimpulannya. Sampai pada akhirnya ia menyatakan, bahwa ia bisa menerima keterangan saksi ahli. Dan ia juga setuju dengan pendapat pembela bahwa terdakwa adalah seorang wani yang memiliki kelebihan-kelebihan positif, baik Sebagai ibu maupun sebagai wanita. Dedikasi dan cintanya kepada anak sungguh luar biasa. Tidak mengherankan bila ia mampu mendidik dan mengarahkan putranya sampai menjadi calon sarjana. Sayang musibah itu terjadi. Maka wajarlah bila kesedihannya luar biasa. Tapi dalam kesedihan itu ia mampu melakukan hal yang luar biasa pula. Ia berhasil memperoleh apa yang tidak bisa diperoleh polisi. Sudah jelas bila ia mengharapkan keadilan sebagai imbalannya. Tapi belakangan cuma kekecewaan luar biasa yang didapatnya. Segala pengalamannya memang serba luar biasa.

Patut disayangkan, demikian" hakim, bahwa saksi korban yang bertugas sebagai hakim ketika itu tidak mau mempertimbangkan hal-hal di atas. Seyogyanyalah bila kita, para hakim, tidak cuma asal menjatuhkan vonis, tapi juga punya pertimbangan kemanusiaan. Bila tidak bisa dalam tindakan, rob selalu bisa dalam sikap. Ini juga berlaku dalam hubungan kita dengan sesama. Tidak sepantasnya orang berlaku kasar. Apalagi terhadap orang yang barusan mengalami musibah.

jangankan orang yang sedang bersedih, orang yang lagi gembira pun akan marah bila dikasari. Karena itu, penyerangan terhadap saksi korban sebagian besar merupakan kesalahannya sendiri. Di samping itu perlu juga dipertimbangkan keadaan mental terdakwa. Kesadarannya menurun begitu rupa hingga tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya di saat itu."

Selanjutnya hakim masih mengemukakan beberapa hal meringankan lainnya, misalnya penyesalan yang diperlihatkan Kustini, belum pernah dihukum, selalu bersikap simpatik dalam persidangan, dan sudah membayar semua biaya pengobatan saksi korban. Sedang hal memberatkan yang dikemukakannya adalah bahwa orang yang diserang itu justru seorang hakim. Tapi segi yang dinilai memberatkan ini toh masih ditambah lagi dengan catatan bahwa hal itu sesungguhnya bisa dianggap sebagai tamparan yang menyadarkan!

Akhirnya, bisalah diperkirakan apa gerangan keputusan yang menutup kesimpulan hakim. Bebas murni untuk Kustini!

Air mata membasahi pipi Kustini ketika ia dipeluk pembelanya. Dan gemuruh ruang sidang meredam suara palu yang diketuk-ketukkan hakim. Sedang Amelia dengan spontan memekik girang sambil melompat berdiri. Setelah berpelukan sejenak dengan Arifin, mereka berdua segera menyerbu ke depan untuk menyertai Kustini dalam kebahagiaannya.

Sidang yang menegangkan sudah selesai. Kini mereka bertiga kembali. Bertiga, tanpa Emil. Karena itu bisalah dikatakan bahwa kehidupan baru menanti di depan.

Cukup banyak karangan bunga ucapan selamat yang mereka terima. Dari teman, relasi, sanakkeluarga, dan juga dari orang yang tak dikenal. Bahkan ada pula yang tak mencantumkan nama dan kartu ucapan. Salah satu yang seperti itu adalah sebuah karangan bunga anggrek Catleya yang besar, ungu kemerahan. Sangat indah dan menawan. Dan harganya pasti mahal. Siapa yang kirim? Mereka cuma angkat bahu dengan terharu. Tak sempat dan memang tak mungkin mencari tahu. juga tak perlu.

Tak cukup dengan itu, dering telepon pun hampir tak henti-hentinya. Melelahkan tapi juga menggembirakan. Dan salah satunya berasal dari orang yang juga tak dikenal. Amelia yang menerima.

"Ini Ibu Kustini?"

"Bukan. Saya putrinya."

"Oh. Jadi, Anda ini kakak atau adik... ah, siapa ya nama korban tabrakan itu?"

"Emil. Saya adiknya."

"Oh". jadi dia punya adik? Kok saya tidak pernah melihat Anda hadir dalam sidang kasus tabrakan itu."

Amelia berpikir sebentar.

"Lho, memangnya Anda sudah tahu siapa dan kayak apa saya ini?"

Orang di sana tertawa. Suaranya dalam.

"Bukan begitu. Tapi saya tidak pernah melihat ada wanita muda yang menyertai suami-istri Arifin. Mereka selalu berdua saja."

"Tentu saja. Waktu itu saya tidak ada di sini."

"Ada di manakah Anda?"

Amelia segera menyadari, bahwa orang yang mengajaknya bicara itu tidak dikenalnya. Tentu bukan urusannya untuk tahu segala hal.

"Anda ini siapa, ya?"

"Oh, saya cuma seorang pengagum. Saya ingin mengucapkan selamat atas keberhasilan Ibu Kustini."

"Terima kasih. Apa Anda mau bicara sendiri kepadanya?"

"Tidak usah. Tolong sampaikan saja."

"Dari siapa?" tanya Amelia cepat, berharap dapat menjebak si penelepon.

Tapi yang di sana tertawa lagi.

"Ya, dari seorang pengagum. Ah, saya serius kok. Tunggu dulu, Zus. Masih ada yang mau saya tanyakan. Apakah ayah Anda masih dihubungi oleh keluarga Pak Hakim soal biaya pengobatannya?"

"Setahu saya tidak. Ya, memang tidak lagi. Oh, apakah Anda orang yang pernah menelepon Papa tentang soal itu? Nanti saya panggil Papa saja."

"Tidak. Tak usah. Saya cuma mau tahu saja. Syukurlah kalau mereka memang tidak menghubungi Pak Arifin lagi. Persoalannya memang sudah beres."

Pikiran Amelia bekerja dengan cepat. Ia segera teringat akan bunga anggrek yang indah itu.

"Terima kasih, Pak. Dan terima kasih juga untuk karangan bunganya yang indah."

Tapi saat ia berdebar menunggu sahutan, tiba-tiba ia mendengar bunyi tuuut-tuuut-tuuut. Telepon sudah :diputuskan. Keheranan Amelia memandangi pesawat telepon di tangannya seakan benda itu bisa memberinya jawaban.

"Papa! Sinterklas itu menelepon." ia memberi tahu ayahnya.

"Sinterklas?"

Amelia menceritakan percakapannya dengan orang tak dikenal itu.

"Dia laki-laki dan suaranya agak dalam?" tanya Arifin.

"Betul, Pa. Tapi ia tak mau memberi tahu namanya. Berulang-ulang dia menyebut dirinya sebagai seorang pengagum. Itu saja. Ah, kayak dongeng saja, ya Pa. Mungkinkah yang begituan itu memang ada?"

"Entahlah. Tapi, siapa tahu."

"Saya tahu. Dia pasti orang yang kelebihan uang. Orang yang bingung mau dikemanakan uangnya yang berlimpah itu. Atau dia baru menang undian hadiah pertama."

"Mungkin."

Arifin tertawa. Ia menganggap ucapan putrinya

sebagai lelucon. Memang menyenangkan kalau di dunia ini banyak orang baik. Tapi ia tidak tahu. Amelia sangat serius.

***

AMELIA mencabut Kartu ucapan selamat dan karangan bunga anggrek Catleya yang indah mengesankan itu. Pada kartu itu tertera nama dan alamat toko bunga pengirim. Dengan membawa kartu itu ia menuju ke sana.

Seorang wanita setengah baya menyambutnya dengan ramah.

"Begini, Bu. Keluarga saya barusan menerima karangan bunga dari toko ini." Amelia menunjukkan kartu yang dibawanya.

"Tapi sayang sekali, nama dan alamat pengirimnya tidak ditulis. Saya kira kelupaan. Padahal kami ingin mengirimkan ucapan terima kasih. Barangkali Ibu masih ingat?"

Ibu pemilik tokok mengamat-amati kartu itu. Ada kode nomor di sudutnya. Sementara dia mengamat-amati itu Amelia memandang berkeliling. Beberapa foto karangan bunga tergantung di dinding. Lalu perhatiannya tertuju ke salah satu.

"Nah, persis seperti itu, Bu!" serunya sambil menunjuk.

"Ya, ya. Saya tahu," sahut si ibu tanpa menengok ke arah yang ditunjuk Amelia.

"Yang

saya pikirkan bukan modelnya. tapi orang yang memesan. Soalnya, ada beberapa yang memesan model yang sama. Tunggu. jangan ganggu saya dulu. Saya mau mikir."

Amelia pun terdiam. Ia menunggu dengan sabar. Toko bunga ini ditata dengan asri dan apik. Dan kelihatannya cukup terkenal bila dilihat bahwa Sebagian karangan bunga yang diterima ibunya berasal dari toko ini, padahal toko bunga dan penjual karangan bunga di jakarta tak terhitung jumlahnya.

"Apa waktu itu bukan saya yang melayani? Tapi kode ini buatan saya kok," si ibu bicara sendiri sambil terus menatap kartu di tangannya.

Amelia membiarkan. Lama-lama ia kasihan juga melihat kening yang berkerut dalam-dalam itu. Di luar cuaca mulai gelap. Waktu berangkat dari rumah memang sudah sore. Tapi tak mungkin pulang sekarang. Kalau ditunda sampai besok bisa jadi ibu ini lebih susah lagi mengingat.

Akhirnya si ibu memekik' pelan sambil menepuk kartu itu.

"Ah, saya ingat sekarang, Dik! ina langganan kok. Orang kaya. Mestinya saya nggak lupa. Habis ramai sih. Dia pun belum bayar penuh."

Amelia memandang heran.

"Orang kaya kok belum bayar penuh, Bu?" ia bertanya setengah menggoda. Soalnya, ibu itu memberi tekanan pada kata 'orang kaya', seakan mengagungkan.

"justru karena saya tahu dia orang kaya, dan sudah langganan pula maka saya bersedia dibayar

separuh dulu. Coba kalau nggak kenal pasti saya takkan mau. Zaman sekarang banyak orang suka nipu. Dik! Tapi dia pasti tidak akan menyalahi janjinya. Katanya. hari ini juga akan dilunasi. Siapa tahu sebentar lagi datang," si ibu nyerocos dengan senang, dan sempat melupakan apa tujuan tamunya.

"Kenapa dia tidak membayar penuh saja, Bu? Orang kaya pasti uangnya banyak," kata Amelia usil. Untuk sementara ia menunda keingintahuannya.

Si ibu menggeleng-gelengkan kepalanya dan memandang Amelia seakan dia anak kecil yang bodoh.

"Biarpun seseorang itu kaya-raya tidak selamanya dia berjalan ke mana-mana dengan dompet yang penuh. Mungkin saja dia lupa membawa uang. Dan orang yang dandanannya sederhana itu pun belum tentu miskin. Begitu juga sebaliknya. Orang yang keren dan aksi bisa jadi tak punya uang. baik di kantungnya maupun di rumah," ia mengajari.

"jadi Ibu selalu mempercayai orang kaya?"

"Wah. percaya pada orang kaya itu banyak untungnya. Dik. Dia akan senang sekali karena diberi kepercayaan. Lalu untuk selanjutnya dia jadi langganan tetap. Malah kemungkinan dia akan mempromosikan toko saya kepada teman-temannya."

"Ah, Ibu bijaksana. Habis sudah berpengalaman sih, ya? jadi. siapakah nama orang kaya itu, Bu?"

"Namanya? Ah, siapa ya namanya? Orangnya sih kenal benar. Tapi namanya kok lupa." Kening si ibu kembali berkerut.

Amelia mengeluh dalam hati.

"Alamatnya saja, Bu. Kebayoran, Menteng, atau..." katanya,_ menyebutkan beberapa daerah elit.

"Di Kebayoran. Dan nama jalannya... Wah, jangan-jangan saya mulai pikun. Tapi dia adalah pemilik pabrik..."

Ucapan si ibu terhenti oleh kedatangan seseorang, yang masuk sambil mengucapkan salam. Tiba-tiba saja si ibu memekik setelah bengong sebentar.

"Wah, Anda panjang umur, Pak! Baru saja Adik ini menanyakan Anda." Lalu ia berpaling kepada Amelia.

"Nah, Dik, ini dia orangnya yang Anda tanyakan tadi!"

Orang yang baru masuk, seorang pria muda bertubuh tinggi tegap dengan wajah lumayan gagah, menatap Amelia dengan heran. Sedang Amelia balas menatap dengan pandang saksama.

"Anda mencari saya?" tanya pria itu.

Amelia jadi tersipu. Tapi sebelum ia sempat menyahut, ibu pemilik toko sudah mengatakan,

"Adik ini ingin tahu siapa pengirim bunga ini." Lalu ia menyodorkan kartu yang sejak tadi masih ada dalam genggamannya.

Pria itu melihat sekilas. Kemudian wajahnya berubah dengan tiba-tiba. Dia menjadi canggung dan salah tingkah. Amelia yang menangkap perubahan itu jadi heran hingga ia semakin cermat memperhatikan. Tak mungkin pria ini orang

pemalu mengingat tadi ia masuk dengan langkahlangkah yang tegap dan penampilan berwibawa.

"Kebetulan sekali, bukan?" si ibu mengoceh lagi. Ia sama sekali tidak menyadari perubahan wajah tamunya yang kedua itu. Ia justru merasa senang oleh suasana kebetulan yang ditafsirkannya sebagai pembawa rezeki.

"Bayangkan. Pas saya lagi bingung memikirkan nama Bapak, eh, tahu-tahu Bapak sendiri yang muncul."

"Jadi Anda pengirim bunga itu? Dan Anda pula yang menelepon tadi siang. Saya mengenal suara Anda," kata Amelia dengan yakin.

Pria itu berhasil mengatasi kecanggungannya. Ia tersenyum lalu mengulurkan tangannya. Mereka bersalaman. Amelia merasakan jabatan tangan yang ragu-ragu, seolah ngeri menyentuhnya. Maka ia pun cepat menarik tangannya kembali.

"Saya harus mengucapkan terima kasih."

"Ah, itu bukan apa-apa."

Amelia jadi penasaran.

"Masa bukan apa-apa? Itu berarti besar sekali. Tapi Anda tak mau menyebutkan nama Anda."

"Perlukah itu? Saya pikir, itu tidak perlu."

"Ah, tentu saja perlu."

"Baiklah. Nama saya Bonar. Dan Anda?"

"Amelia."

Ibu pemilik toko merasa agak risi. Dia serasa jadi orang ketiga, tapi dia toh tidak mungkin pergi karena tempat itu miliknya. Tapi ketika tamu prianya menyebut nama ia mengerutkan kening. Ah, betulkah namanya Bonar? Ingatannya yang

tercecer sebagian pun tidak mampu membentuk nama itu. Mungkin juga nama lain. Orang Batak memiliki nama panjang-panjang.

"Kenapa Anda begitu baik hati?"

Bonar menjadi canggung lagi.

"Ah, saya tidak baik hati kok. Saya cuma seorang pengagum," katanya agak gugup.

"Ayah saya ingin berkenalan dengan Anda."

"Saya bukan apa-apa. Sama sekali tidak iStimewa. Tapi. .. saya perlu menyelesaikan urusan saya dulu dengan Bu Sandi." Bonar berpaling kepada ibu pemilik toko yang bernama Bu Sandi itu.

Bu Sandi mengangguk. Lalu Bonar menggamit lengan Bu Sandi untuk dibawa agak menjauh dari Amelia. Di sana ia mengeluarkan dompetnya. Sedang Amelia tidak enak hati memperhatikan. Ia juga bingung apakah sebaiknya pulang saja. Tampaknya ia sudah memperoleh apa yang diinginkannya, malah lebih dari itu. Bukan cuma nama yang diperolehnya tapi juga orangnya berhasil ia temui. Tapi ia toh merasa penasaran. Lantas bertahan di situ juga membuat ia malu. Apa lagi yang mau ditanyakannya.Jadi ia berpura-pura melihat-lihat foto di dinding.

Di sudut sebelah sana, Bonar berurusan dengan Bu Sandi.

"Tadi Ibu kan belum menyebutkan nama saya?" bisik Bonar.

"Belum. Soalnya, saya lupa. Tapi sekarang saya sudah ingat. Nama Bapak adalah..."

"Ssst. Jangan disebut. ya Bu. Nama saya adalah Bonar. Itu memang nama saya juga."

Bu Sandi mengangguk tidak keberatan. Yang demikian itu memang bukan persoalannya. Dan ketika ia masuk sebentar untuk mengambil uang kembalian. Bonar yang ditinggalkan sendiri memusatkan perhatiannya kepada Amelia. Tadi ia berharap Amelia segera berlalu. Tapi anehnya kini malah kebalikannya. Ia senang melihat Amelia masih di situ. Gadis yang menarik dan cerdas. Juga enerjik. Kalau tidak. mustahil gadis itu bisa menemukannya disitu. Ia mengagumi. Tapi ia juga takut. Dia bukan cuma Bonar, tapi dia juga Eric. Dia adalah Eric Bonar Siahaan!

Amelia menoleh, merasa dipandangi. Tapi ia tidak jadi tersipu-sipu ketika menyadari bahwa dirinya memang sedang dipandangi. Ia tersenyum. Eric membalas dengan senang. Optimismenya tumbuh. Kepercayaan bahwa dirinya adalah lelaki yang berdaya tarik besar bagi lawan jenisnya muncul kembali. Dan itu mengalahkan rasa waswas tadi.

Bu Sandi keluar lagi. Bonar atau Eric menyelesaikan persoalan dan kemudian pamitan. Ia mendekati Amelia.

"Apakah Anda mau memesan kembang?" ia bertanya sekadar bicara.

"Oh, tidak. Saya datang untuk menanyakan perihal Anda. Itu seperti kata ibu tadi. Tapi saya masih ingin bertanya lagi. kalau Anda tidak keberatan," jawab Amelia terus terang.

"Belum cukupkah jawaban saya tadi?"

Muka Amelia sedikit memerah.

"Maaf, Pak. Saya memang cerewet. Tapi sesungguhnya saya belum puas. Ganjil rasanya menemukan seorang. .. seorang pengagum tanpa pamrih seperti Anda. Orang-orang yang saya kenal dan kebanyakan orang lain juga lebih suka menyibukkan diri dengan urusan masing-masing. Kalaupun mereka merasa tersentuh atau simpati masih terbatas pada perasaan saja. Ah, saya kebanyakan ngomong. Tapi..."

Amelia berhenti bicara ketika melihat Eric menengok arlojinya. Suatu isyarat yang sudah umum dikenal. Tapi ia masih penasaran. Kalau laki-laki ini pergi mungkin takkan bisa ditemuinya lagi. Bisa jadi sudah dipesannya kepada Bu Sandi tadi agar tidak memberitahukan hal-hal yang ingin diketahuinya. Jadi dengan menebalkan kulit ia bertanya lagi,

"Maaf, Pak. Bolehkah saya tahu di mana alamat Anda? Atau telepon?"

Eric tersenyum. Semakin besar keingintahuan Amelia dia jadi tampak semakin menarik. Semakin mempesona. Dan juga dekat. Tapi kelak bila semua keingintahuan itu sudah terpenuhi... Kembali muncul suara peringatan di dalam benaknya. Oh, persetan semua itu.

Tapi ia toh menjawab,

"Nantilah saya beri tahu. Sayang sekarang saya ada janji yang harus dipenuhi. Tapi ngomong-ngomong, apakah sekarang Anda bermaksud pulang atau mau ke tempat lain dulu? Saya senang sekali kalau bisa mengantar

kan. Masih ada waktu kok," katanya sambil meneliti arlojinya sekali lagi.

"Oh, terima kasih. Tapi tidak usahlah. Anda sibuk," jawab Amelia spontan. Tapi kemudian terpikir alangkah bodohnya ia. Bukankah ia bisa menggunakan waktu itu untuk bertanya?

"Saya tidak sibuk. Masih ada waktu," desak Eric.

Pucuk dicinta, ulam tiba, pikir Amelia. Tanpa basa-basi lagi ia segera setuju.

Di dalam mobil, Amelia menyebutkan alamatnya.

"Kenapa sih Anda merahasiakan alamat Anda?" ia bertanya kemudian.

"Tapi coba katakan, apa yang akan Anda lakukan dengan alamat saya?"

"Oh, banyak. Saya bisa mengirimkan sesuatu atau menanyakan sesuatu juga."

"Pentingkah itu? Saya justru pikir, tak ada gunanya. Saya tidak suka disanjung."

Amelia terdiam. Ya, mau apa lagi dia sebenarnya? Dia sudah menerima tapi masih mau mengorek. Bagaikan orang tak tahu membalas budi. Tapi keganjilan yang terasa masih membuat penasaran. Mungkin dia sendiri yang tidak terbiasa menerima kebaikan dan kedermawanan orang. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan yang individualistis hingga kebaikan orang dianggap mencurigakan.

"Anda orang Batak."

"Jelas. Namanya khas, kan?" sahut Eric sambil berharap tidak ditanyakan nama marganya. Dia tak mungkin bisa berbohong.

Amelia tidak ingat ke situ. Pikirannya ke masalah lain.

"Yang menabrak kakakku juga orang Batak."

"Pasti kebetulan. Musibah tidak memandang suku," kata Eric sambil memandang lurus ke depan. Ia tak berani melirik.

"Maksudku bukan begitu. Saya sendiri juga punya darah Batak. Ayahku campuran Minang dan Batak. Sedang ibuku jawa, tapi juga tidak asli karena katanya sudah banyak pula campurannya."

"Wah, gado-gado kalau begitu."

Amelia tertawa.

"Ya. Benar begitu. Saya jadi ingat pengalaman semasa SD, entah kelas lima atau kelas enam. Ibu guru bertanya kepada seisi kelas. Siapa orang jawa? Saya mengangkat tangan. Kemudian dia tanya lagi. Siapa orang Batak? Kembali saya mengangkat tangan. Dan waktu dia tanya, siapa orang Minang? Lagi-lagi tanganku terangkat. Lalu ibu guru memandangku seakan saya dungu atau kurang beres. Padahal waktu itu sudah terpikir olehku, mana mungkin saya bisa tahu darah suku mana yang terbanyak mengalir dalam tubuhku agar bisa kuakui sebagai satusatunya sukuku."

Eric terbahak.

"Yang pandir adalah si ibu guru !" serunya.

Mereka tertawa bersama. Perasaan masinginasing jadi lebih lega.

"Hei, sebaiknya kita jangan bicara formil lagi. Jadi tidak akrab. Bagaimana, Lia? Pasti kau biasa dipanggil Lia, kan? Dan jangan panggil aku Bapak, meskipun umurku memang sudah lebih dari tiga puluh," kata Eric lancar. Kecanggungannya sudah lenyap. Ia memang sudah terbiasa bergaul dengan kaum wanita.

"Setuju. Jadi kupanggil kau, Abang Bonar?" kata Amelia dengan perasaan geli. Ia tak menyangka situasi akan berkembang seperti ini. Semula ia mengira pria di sebelahnya ini lebih suka tak dikenal. Tak ingin dekat, apalagi akrab. Bayangkan kalau ayahnya tahu. Orang misterius ini sudah berhasil ditemukan.

"Sudah dekat," kata Amelia kemudian. Lalu ia menunjukkan jalan.

"Papa ingin sekali berkenalan denganmu, Bang. Dia ingin mengucapkan terima kasih."

Perasaan Eric kembali tidak keruan.

"Bagaimana kalau lain kali saja, Lia?"

Amelia tidak mendesak.

"Dan bisakah aku minta sesuatu darimu, Lia?"

"Bisa saja."

"Jangan ceritakan pada orang tuamu perihal pertemuan kita. Aku sebenarnya ingin tetap tak dikenal. Tapi kita rupanya memang harus bertemu."

"Baiklah kalau Abang ingin begitu," jawab Amelia tak keberatan.

"Dan satu lagi. Lia. Boleh aku meneleponmu kapan-kapan?" .

"Boleh saja."

Sengaja Amelia minta diturunkan pada jarak beberapa puluh meter dari rumahnya. Sebenarnya saat itu sudah menjelang malam, hingga tak akan kelihatan siapa yang mengantarnya pulang. Tapi Eric merasa bersyukur. Ia menyukai sikap Amelia yang seperti itu. Mendesak tapi tidak memaksa.

Dari tempatnya parkir Eric memandangi Amelia berjalan. Ia belum mau pergi sebelum Amelia lenyap dari pandangan mata. Sejak pandang pertama ia memandangi Amelia melulu dari dekat, tapi baru kini ia bisa melihatnya berjalan. Dari atas ke bawah. Pinggirnya. Belakangnya. Dan tiba-tiba saja ia merasa ada yang menyangkut di tenggorokan. Ia menelan dan merasa pedih. Aneh rasanya. Tapi nyata. Sudah begitu banyak pengalamannya dengan wanita tapi yang seperti ini baru terasa sekarang. Mengesankan. Meresap sampai ke dalam. Padahal dia cuma memandang dan berbincang sebentar. Tidak ada kontak fisik, apalagi penguasaan atas raga. Ya, begitu sebentar. Seperti muncul sekejap, lalu lenyap. Tapi getaran yang timbul serasa membuai dan menghanyutkan, namun juga menyejukkan. Tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan setepat-tepatnya. Ah, kenapa yang seperti itu baru sekarang? Dan justru wanita yang itu? Ataukah, justru karena itu?

Ia melihat Amelia membalikkan tubuh, lalu melambai kepadanya. Spontan ia mengangkat tangannya juga., tapi kemudian sadar, Amelia tak

mungkin bisa melihatnya. jadi dibunyikannya klakson pelan saja. Lalu Amelia tak kelihatan lagi.

Sri Wahyuni merasa takjub. Ia sangat menyadari betapa dua orang yang paling dekat dengannya telah berubah banyak. Itu terjadi setelah perkara Eric selesai.

Albert menjadi kian galak sementara kesombongannya pun menjadi jadi. Tak jarang ia membuat Sri takut dan juga merasa asing. Ia tak mengerti. Semakin jauh saja Albert darinya. Kalau dulu mereka masih suka berdua-dua, berbincang dan merundingkan sesuatu bersama-sama, maka kini tidak lagi. Sikap Albert membuat ia ingin menghindar, tapi ia juga punya perasaan bahwa Albert pun menginginkan hal yang sama. Ia sedih karena sadar betul bahwa kasus Eric-lah penyebabnya. Padahal, semua itu sudah berlalu. Mestinya yang sudah ya sudah. Toh akhir perkara itu cukup memenuhi harapan mereka. Ataukah diam-diam Albert menyimpan kegeraman karena dia sudah berkorban terlalu banyak? Albert sudah mengeluarkan uang sangat banyak. Untuk oknum Anu dan Anu. Semua minta bagian. Bahkan ada yang tak malu-malu menelepon untuk menyatakan bahwa dirinya belum kebagian. Rongrongan yang sangat menjengkelkan. Kapankah akan berakhir?

Dan mungkinkah berakhir? Bukankah orang yang bersalah selalu menjadi sasaran pemerasan?

Dengan waswas Sri cuma bisa memperhatikan dari jauh. Ia menduga, Albert menyembunyikan se5uatu atau tidak mau berterus terang, tapi ia tidak berani bertanya. Dalam kondisi Albert seperti hasil pengamatannya itu, bertanya sama dengan mengundang bencana.

Tapi ada yang menggembirakan dan menghibur perasaannya. Itu adalah perubahan yang diperlihatkan Eric. Berlawanan dengan ayahnya, perubahan diri Eric dinilai Sri sebagai positif. Inilah yang dianggapnya menakjubkan.

Eric jadi pendiam, dan lebih suka berdiam di rumah. Sepulang dari kantor ia jarang ke mana-mana lagi. Kegiatannya di rumah kalau tidak menonton video pasti membaca. Tiba-tiba saja Eric jadi punya kegemaran membaca. Sering kali dia pulang membawa bungkusan buku baru. Bukan saja buku mengenai ekonomi dan sosial, tapi juga filsafat dan keagamaan. Dan satu hal lain yang paling menyenangkan buat Sri adalah Eric kini punya waktu untuk menemaninya berbincang-bincang. Eric jadi ganti Albert. Tapi dalam percakapan yang terjalin, tak pernah Sri mendengar Eric mengutarakan isi hatinya mengenai perkara yang barusan berlalu itu. Eric juga tidak memberi sesuatu penjelasan apa sebab ia jadi berubah. Sri cuma bisa mengira-ngira sendiri.

Pada mulanya ia menilai perubahan itu sebagai keadaan wajar sesudah terjadinya periStiwa

semacam itu. Eric malu keluar rumah. Tapi, kenapa ia justru memilih bacaan yang berat-berat? Kalau cuma sekadar mengisi waktu ia bisa memilih yang ringan. Baru kemudian ia menganggap perubahan itu sebagai sikap penyesalan. Apalagi Eric pun suka termenung dan merenung. Dan ia rajin ke gereja! Padahal tak ada yang menyuruh, tak pula ada yang mengajurkan. Rupanya memang benar kata orang bijak, bahwa orang baru ingat dan berpaling kepada Tuhan bila beban batinnya sudah terlampau berat dan sarat dengan penyesalan.

Karena Eric jarang keluar rumah selepas kerja, maka tentunya ia tidak lagi suka berfoya-foya seperti dulu. Begitu Sri memastikan. Apakah Eric sungguh-sungguh berhenti jadi playboy? Mudahmudahan. Tentunya Eric tidak perlu malu menghadapi wanita nakal, karena yang diincar dan dilihat para wanita itu semata-mata adalah uang, bukan apa dan siapanya Eric. jadi kesimpulan Sri serba positif. Rupanya benar pula kata orang bijak, bahwa musibah bisa membawa hikmah.

Mereka bertiga tak pernah memperbincangkan perihal keluarga Arifin. Itu merupakan luka yang pantang dikorek-korek. Cuma dalam benak sendiri sendiri saja pikiran itu muncul sesekali. Tapi sedapat mungkin dihapus. Memikirkannya membuat hati sakit. Dan malu.
Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali dua kali pernah terpikir oleh Sri, betapa melegakan andaikata ia bisa berbicara dengan Kustini. Tapi itu tergantung apakah Kustini mau berbicara dengannya. Tampaknya wanita itu

dendam betul kepada mereka sekeluarga. Dendam yang tidak diucapkan tapi jelas ada di matanya. Padahal Sri sungguh tidak keberatan bila ia disuruh memohon maaf dan ampun. Atau mencium kaki sekalipun. Demi Eric. Tapi ia tentu tidak bisa apa-apa bila pihak sana tidak mau. Bahkan memandang wajah pun seakan muak.

Mereka berdua sama-sama seorang ibu. Samasama membela anak. Tapi Kustini lupa, yang dibelanya itu sudah tiada. Sedang dia membela yang ada. Justru yang adalah lebih penting untuk dibela. Eric masih memiliki hari depan. Sedang Emil sudah beristirahat di alam sana.

Kustini memang wanita perkasa. Sri mengakuinya juga. Tapi perempuan itu juga fanatik. Kemasukan setan. Kalau tidak, masa iya bisa begitu. Memang kasihan karena dia sampai kehilangan anak dengan cara begitu. Tapi gara-gara dia juga maka Eric sampai diseret ke pengadilan. Andaikata dia bersedia diajak musyawarah maka persoalannya tak akan sampai begitu. Pada akhirnya keadilan yang konon dicarinya itu tak bisa diperolehnya. Eric tak sampai masuk penjara. Lantas dia mau apa lagi? Apakah Eric harus digantung baru dia puas? Padahal peristiwa itu terjadi tanpa kesengajaan. Tapi dia menyebut Eric sebagai pembunuh. Sungguh gegabah. Tuduhan yang kejam. Eric bukan pembunuh.

Mengingat tuduhan itu, mendidih darah Sri. Hilang rasa kasihan dan juga rasa bersalah. Bukankah pada akhirnya semua orang akan

membela kepentingannya sendiri-sendiri? Yang namanya keadilan itu adalah yang pas dengan kepentingan sendiri. Dan itu sudah terbukti.

Ketika Kustini diadili, mereka sekeluarga pun tidak membicarakan hal itu. Menyinggung sedikit juga tidak. Masing-masing berbuat seolah tidak peduli. Tapi Sri mengikuti perkembangan sidang demi sidang dari koran. Dan diam-diam ia memperhatikan, bahwa Eric pun melakukan hal yang sama. Cuma dari Albert ia tak bisa memperoleh kesimpulan apa-apa. Albert tidak kelihatan memegang koran kalau ada di rumah. Tapi ia bisa saja membacanya di luar rumah. Mustahil kalau Albert tak ingin tahu sama sekali.

Pengadilan atas diri Kustini menimbulkan kepuasan di hati Sri. Biarlah perempuan itu tahu bagaimana rasanya diadili di depan umum. Seperti apa yang telah dialami Eric. Rasakan. Tapi belakangan Sri menyadari, bahwa justru hal itu membangkitkan simpati orang. Bukannya Kustini mendapat malu tapi malah simpati yang diperolehnya. Dan ketika Kustini dibebaskan, banyak yang mensyukuri dan merasa gembira. Wartawan yang menulis berita pun tidak menyembunyikan kegembiraannya. Padahal, sebaliknyalah yang terjadi dengan kasus Eric.

Bagaimanapun, semua itu sudah berlalu. Ia berharap, kehebohan dan keributan itu segera mereda dan kemudian lenyap. Kehidupan akan tenang kembali. Sedang ia memiliki Eric yang baru.

Sebenarnya, Sri ingin sekali membicarakan perubahan atas diri Eric itu dengan Albert. Pasti Albert akan senang. Sri tidak yakin bahwa Albert menyadarinya juga. Belakangan ini ia jarang melihat Albert: berbincang-bincang dengan Eric. Entah kalau di kantor.

Masih ada hal lain yang juga menggembirakan Sri. Tidak ada tanda-tanda bahwa Eric masih suka minum minuman keras seperti dulu. Belakangan ini ia mengamati Eric dengan cermat dan jadi semakin yakin. Biasanya dalam sehari, kalau Eric di rumah, dia mesti bersendawa berkali-kali. Dan baunya khas minuman itu. Malah kadang-kadang tanpa bersendawa pun mulutnya sudah mengeluarkan bau yang sama. Tapi belakangan tak ada lagi tanda-tanda semacam itu. Sungguhkah Eric tak minum lagi? Sri memang tak pernah melihatnya minum bila sedang berada di rumah. Lain halnya dengan Albert yang dalam sehari tak pernah absen dari minuman itu. Di rumah mereka memiliki bar kecil dengan koleksi minuman yang cukup lengkap. Tapi Sri sendiri tidak suka minum. Dulu ia pernah mencoba, mengira rasanya memang enak seperti kata orang yang ketagihan. Tapi ternyata isi perutnya tak bisa menerima. Dia muntah-muntah dengan perut seperti diaduk. Sampai harus ke dokter. Tapi anehnya, dokter itu bilang ia beruntung karena memiliki perut seperti itu. Alasannya, biarpun ingin minum tapi perut tidak mau dan karenanya perutlah yang menang. jadi dia pun terhindar dari kemungkinan ketagihan. Coba

kalau semua orang punya perut seperti itu, demikian kilah si dokter. Lantas, apakah Eric bisa melepaskan ketergantungannya akan minuman keras? Setahu Sri, hal itu tidak mudah.

Setiap hari Minggu Sri bahagia bersisian dengan Eric menuju gereja. Eric bagaikan si anak hilang yang sudah kembali. Tapi kini, justru Albert yang absen dari gereja. Nyatanya Albert tidak mau ikut bersama mereka. Alasannya ia mau mengikuti kebaktian yang terakhir saja. Memang ia keluar rumah sendiri, tapi tidak jelas apakah tujuannya ke gereja atau tidak. Namun bagi Sri sikap Albert itu tidak penting, walaupun patut disayangkan. Dulu ia selalu ke gereja bersama Albert dan jarang Eric mau ikut serta. Sekarang setelah Eric mau ikut, Albert yang tak mau. Bagi Sri, yang penting untuk diperhatikan adalah Eric. Sedang Albert yang perkasa itu selalu mampu mengurus dirinya sendiri.

"Tempo hari kau menarik uang cukup banyak dari bank. Untuk keperluan apa itu, Ric?" tanya Albert kepada Eric ketika berada di rumah suatu sore. Dalam hal-hal yang belum jelas, mengenai pekerjaan atau bukan, ia tak berani menanyakannya di kantor.

Eric menjadi agak gugup.

"Apakah Papa keberatan?" ia balas bertanya.

"Ini bukan soal keberatan atau tidak. Tapi yang kutanyakan adalah untuk keperluan apa uang

sebesar itu?" kata Albert jengkel. Biasanya ia tak pernah keberatan kalau Eric mengambil uang di luar dana yang tersedia untuknya setiap bulan. Tapi biasanya pun Eric tak pernah mengambil sampai sebanyak itu. Mengingat pengalamannya sendiri ia jadi merasa khawatir.

Eric memutuskan untuk berterus terang.

"Untuk membiayai pengobatan Pak Hakim ke jepang, Pa. Dia mau dioperasi plastik."

"Ha?" Albert bagai disengat kalajengking.

"Bukankah itu tanggung jawab ibu yang beringas itu, siapa pula namanya, karena dia yang mencakarnya? Apa pula urusannya dengan kita?"

Memerah muka Albert karena kemarahan mulai merayapi otaknya. Bodoh betul.

Eric memalingkan muka. Ia tak kuasa melihat tatapan ayahnya yang berapi-api itu.

"Memang bukan urusan kita, Pa. Tapi aku ingin meringankan beban keluarga Arifin. Kalau bukan karena perbuatanku..."

"Kau bodoh!" Albert memutus ucapan Eric.

"Bukankah sudah cukup banyak kita mengeluarkan uang?"

"Tapi semua yang kita keluarkan itu untuk orang lain, Pa. Tak ada sedikit pun yang kita berikan untuk mereka."

Albert diam sebentar. Kemarahannya belum mereda tapi ia merasakan ucapan Eric itu ada benarnya.

"Tapi, siapa suruh mereka tak mau mengajak kita bermusyawarah dulu. Coba kalau mereka temui kita dulu. Jangan main lapor saja.

Berapa pun yang mereka minta, pasti akan kuberi. Asal masuk akal tentunya. Tapi mereka itu sombongnya tak kepalang. Melihat kepada kita seakan melihat setan." Amarah Albert bangkit lagi mengenang pengalamannya yang telah lalu.

Eric merenung saja.

"Hei, katakan!" seru Albert.

"Apakah mereka minta padamu karena sudah kehabisan uang?"

Eric terkejut.

"Sama sekali tidak, Pa. Aku melakukannya secara sembunyi-sembunyi."

Albert kembali melotot.

"Wah, alangkah sia-sianya kerja seperti itu? Apa gunanya berbuat baik tapi tidak diketahui oleh yang bersangkutan?"

"Buat diriku sendiri itu tidak sia-sia, Pa."

"Maksudmu?"

"Sedikit banyak mampu melegakan perasaan."

Albert tertegun. Kata-kata Eric itu di luar dugaannya. Apalagi kata-kata yang seperti itu. Akhirnya ia menggerutu,

"Ya, sudah. Sudahlah. Tapi mestinya kau berunding dulu denganku. Tidak bertindak sendiri saja. Uang itu kan..." Albert diam sebentar. Semula ia mau mengatakan,

"Uang itu kan milikku," tapi tak jadi. Ia khawatir Eric tersinggung, padahal ia ingin sekali mengatakannya supaya Eric tak seenaknya sendiri menggunakan uang. Akhirnya ia meneruskan,

"Uang itu kan susah dicari."

"Betul, Pa. Tapi akan kuusahakan menggantinya nanti."

"Ha? Mengganti? Apa-apaan kau ini? Memangnya aku minta ganti? Uang itu kan milik bersama?

Kepada siapa lagi semua milikku akan kuwariskan kalau bukan kepadamu? Tapi aku harap kau tidak semberono menggunakannya. Pakailah ini." Albert menunjuk dahinya.

"Ya, Pa," jawab Eric baik-baik. Ia tahu, kepada ayahnya ia harus bersikap seperti itu. jangan sekali-kali menentang apalagi menunjukkan kelemahannya. Itu akan sama saja bagai menyiram bensin ke atas api.

Albert tidak menyinggung lagi persoalan itu. Sebenarnya, bukan karena merelakan atau menyetujui tindakan Erie. Tapi ada kata-kata Eric yang menyentuh perasaannya. Eric bicara tentang kelegaan perasaan. Suatu problem yang sebenarnya juga mengganggunya. Ah, mereka berdua memiliki persoalan yang sama!

Pelacakan perihal mayat yang ditemukan di Ancol itu belum menemukan titik terang. Yang sudah pasti diperoleh hanyalah identitas mayat. Baru itu saja. Sedang selebihnya masih gelap. Demikian berita yang dibaca Albert. Tentu saja itu menyenangkan perasaannya. Dia lega. Dan menganggap tak perlu lagi risau. Tapi kata-kata Eric serasa menamparnya. Yang dimaksud Eric dengan "kelegaan perasaan" itu sesungguhnya belum bisa ia nikmati!

***

AMELIA langsung setuju ketika Eric mengajaknya berjalan-jalan sore itu. Ajakan lewat telepon.

"Tapi, maaf ya, Lia, bagaimana kalau aku menunggumu di tempat dulu, di mana kau turun dari mobilku sewaktu pulang dari toko bunga?" tanya Eric ragu-ragu. Rasanya malu mengatakan hal itu. Dan juga khawatir kalau-kalau Amelia mencurigainya. Sudah berhari-hari ia ingin menghubungi Amelia lewat telepon, tapi selalu batal karena takut kalau-kalau yang menerima orang tuanya. Dia senang karena kali ini kebetulan yang menerima Amelia sendiri dan lebih senang lagi setelah Amelia menerima ajakannya. Tapi sayang sekali ada hambatan itu.

Ternyata Amelia malah tertawa.

"Oh, Bang Bonar yang ingin tetap misterius," candanya.

"Jangan khawatir. Orang tuaku sedang tidak di rumah. Mereka lagi jalan-jalan ke Bali. Mau bulan madu kedua sekalian mengistirahatkan Mama."

Lega sekali perasaan Eric. Mau rasanya dia bersorak girang. Tapi kemudian dia buru-buru berkata serius.

"Itu bagus sekali. Maksudku, buat

mamamu. Dia memang perlu dihibur. Bukan cuma istirahat. Kau tidak ingin ikut?"

"Ah, aku menunggui rumah. Lagi pula kalau aku ikut-ikutan nanti malah mengganggu kemesraan mereka. Nggak enak jadi orang ketiga."

"Tapi, tanpa kehadiran mereka kau jadinya tak bisa minta izin untuk pergi denganku."

Amelia tertawa.

"Kaupikir aku anak kecil?"

"Bukan begitu, Lia. Tapi di rumahmu kan ada pembantu. Nanti dia menyampaikan," kata Eric dengan cerdik. Dia teringat pada Samin. Pasti Samin akan mengenalinya dengan mudah walaupun sekarang dia sudah membuang kumis yang disayanginya.

"Pembantuku sudah tua. Orangnya baik."

"Laki-laki atau perempuan?"

"Ih, kok cerewet sih. Perempuan dong. Oh ya, tempo hari memang kami punya pembantu laki-laki, si Samin itu lho, tapi dia sudah pulang kampung."

Kembali Eric menarik napas lega. Oh, beribu syukur.

"Kalau begitu, aku menjemputmu di rumah," katanya girang.

"Hei, kenapa sih kau begitu cerewet, Bang?"

"Ya. Aku memang suka cerewet. Aku harap kau tidak sebal."

"Sebal sih nggak. Cuma heran."

"Heran?" Eric kembali jadi waswas. Amelia adalah gadis yang cerdas.

"Iya. Biasanya perempuan yang suka cerewet. Kau adalah laki-laki cerewet pertama yang kukenal." Amelia tertawa renyah.

"Apakah itu pujian atau ejekan?" Eric tidak merasa tersinggung. Ia lebih suka Amelia bergurau daripada bersikap serius. Keseriusan Amelia bisa membuatnya tegang.

Amelia tidak menjawab. Hanya ketawanya saja yang terdengar.

Lalu sorenya mereka bertemu. Amelia sudah menunggu Eric di rumahnya. Tapi Eric cepatcepat mengajak pergi. Ia tidak merasa kerasan di rumah itu. Ada perasaan kurang enak. Mungkin juga rasa bersalah. Ada kesadaran kuat yang muncul bahwa karena perbuatannyalah maka rumah itu menjadi sunyi. Mestinya dia lari dari situ. Kenapa malah datang?

Eric mengajukan alasan. Ada film bagus yang mau diperlihatkannya pada Amelia sedang jam mainnya sudah dekat. Amelia setuju dan tidak merasa heran. Mereka pergi setelah Amelia berpesan pada pembantunya.

Yang mereka tonton adalah film drama Amerika yang memang bagus. Dan yang sebenarnya sudah ditonton Amelia sewaktu berada di Amerika. Lebih lengkap tentunya. Tapi agar tidak mengecewakan Eric ia tidak bilang-bilang. Ia memang senang melihatnya sekali lagi. Dan berbuat seakan belum pernah melihatnya.

Amelia duduk tegak. Demikian pula Eric. Tangan mereka sesekali bersentuhan. Tapi secara

tak sengaja. Memang tak ada alasan untuk saling memegang, walaupun sentuhan itu membuat darah Eric serasa mengalir lebih cepat. Duludulu, kalau ia menonton bersama gadis pastilah ia tak betah diam. Ketika itu sepertinya tak ada norma yang harus dijaga. Tak ada batas yang harus ditaati. Segalanya begitu gampang.

Berkali-kali Eric melirik ke gadis di sebelahnya. Tak puas-puasnya ia memandangi profil Amelia dan ekspresinya di kala menonton itu. Tapi supaya tidak ketahuan buru-buru ia memandang kembali ke layar. Lalu ikut mengiyakan komentar Amelia.

Selama memandangi itu banyak pikiran yang timbul. Terkadang ringan, seperti,

"Ah. gadis yang manis. Suka bercanda, tapi bisa serius seperti profesor. Tak ada yang seperti dia di antara kenalanku. Mungkin karena para kenalan gadisku umumnya gadis gampangan. Mudah diajak. Senang diajak. Amelia memang mau diajak pergi, tapi sikapnya menunjukkan bahwa dia bukan gadis gampangan. Mau diajak pergi dan mau diajak begituan tentu berbeda sekali. 'Atau, sebaiknya dicoba?"

Tapi pikirannya pun bisa menukik dalam. Lebih dalam daripada saat ia merenung sendirian ataupun merenungi buku filsafatnya. Misalnya saat ia membantah pikirannya barusan.

"Mencoba Amelia? Oh, dosamu bisa berlipat ganda tabu? Dia adalah gadis yang pantas disayangi, dihargai, dan dihormati. Bukan untuk dipermainkan. Nah, main-mainlah dengan gadis yang memang suka

main-main. Oh, dia sangat menarik. Tapi, kenapa aku harus tertarik padanya? Ya, kenapa? Kalau aku ingat kakaknya, aku jadi takut padanya. Aku jadi ingin lari. Menjauh. Menghindar. Membuangnya dari pikiran. Tapi kalau sudah jauh aku ingin dekat. Sedekat mungkin. Selalu dekat. Aku ingin menyayanginya. Mengganti yang sudah hilang."

Lalu ia mendengar suara Amelia. Seperti dari kejauhan. Tapi cukup menyadarkan.

"Wah, tegang juga, ya Bang?"

iya.

"Tapi lucu."

"He-eh."

"Kok nggak ketawa?"

"Ketawa kok. Kau saja tidak melihat."

Amelia tertawa, lalu diam. Biarpun menonton ulang dia masih senang. Ada bagian-bagian yang berkesan, sangat menarik untuk dinikmati dan dihayati.

Dan Eric kembali tenggelam dalam renungannya.

"Apa jadinya kalau kau tahu siapa aku, Lia? Barangkali aku akan diamuk, diusir, dicakar, seperti apa yang telah dilakukan ibunya? Ah, biar. Tapi yang paling menyedihkan tentunya adalah kalau dia tak mau melihatku lagi. Dia jadi membenciku, dan melihatku seolah aku setan. Sama seperti orang tuanya. Ah, biar saja toh? Kan belum tentu perasaanku bisa mendalam terhadapnya. Cuma tertarik saja. Nanti juga bosan. Tapi, aku yakin perasaanku lebih dari sekadar tertarik. Aku tahu betul diriku sendiri. Aku sudah terjerat.

Aneh juga. Padahal aku sudah begini berpengalaman. Apa sebenarnya yang kulihat pada dirinya? Dia merasuk ke dalam diriku seperti... ah, seperti apa ya? Karena itu kalau nanti dia mengusirku atau meninggalkan aku. maka aku tidak akan utuh lagi. Aku tinggal sepotong. _Jadi, tidakkah sebaiknya dari sekarang saja aku menjauh, biar aman? Dunia bukan sedaun kelor. Gadis-gadis seabrek. Tapi .

"

Tiba-tiba film selesai. Eric jadi gelagapan sebentar.

"Abang serius betul menontonnya," kata Amelia saat berjalan menuju parkir mobil.

"Ah, apa iya?"

"Iya. Tapi, memang bagus sih filmnya, bukan?"

"Betul bagus. Kau senang?"

"Ya."

"Sekarang kita makan?"

"Ya, kebetulan. Aku memang sudah lapar."

Sengaja Eric mencari restoran yang belum pernah dimasukinya. Biar tidak dikenal. Sedang di restoran-restoran langganannya dia sudah dikenal sebagai 'Bung Eric'. Ya, memang beruntung tinggal di kota besar.

Setelah memesan makanan, mereka mengobrol. Eric menghindari pembicaraan tentang film tadi. ia hampir tak melihat apa-apa.

"Ada sesuatu yang lucu lho, Bang," mulai Amelia.

"Apa itu?"

"Yang kuketahui dari dirimu cuma nama Bonar saja. Nama marganya, apa?"

"Siahaan."

Senyum Amelia jadi beku. Tapi kemudian ia tertawa.

"Ah, kok sama, ya? Tapi tentu cuma kebetulan. Yang namanya seperti itu pasti banyak, bukan?"

"Ya, memang banyak. Ah, kupikir kau akan membenci nama itu."

"Mustahil. Aku toh tidak sepicik itu."

"Syukurlah." _

"Tapi namamu menimbulkan pertanyaan. Kalau aku boleh tahu tentunya. Apakah kau masih keluarga... emm orang itu?"

Oh, jadi aku disebutnya sebagai 'orang itu', pikir Eric ngenes. Tapi ia menutupi dengan senyum.

"Apakah kau tersinggung bila aku tidak menjawab pertanyaan itu? Aku... aku merasa susah menjawabnya."

Amelia menatap dengan pandang selidik sebentar, hingga Eric jadi berdebar. Tapi kemudian Amelia tersenyum juga.

"Tersinggung sih tidak. Tapi terus terang, ketidaksediaanmu itu jadi menimbulkan pertanyaan lain yang sudah pasti tak mau kaujawab. Itu berhubungan dengan kemisreriusanmu. Ya, kan? Tidak apa-apalah. Nanti juga aku akan tahu."

Kembali Eric menutupi kecemasannya dengan senyum. Ia tak berani memberikan komentar.

"Aku dengar, orang itu sombong. Lebih-lebih bapaknya. Mereka menyombongkan kekayaan, seolah segala apa bisa dibeli, dan semua orang bisa disuap!" kata Amelia sengit.

eric cuma manggut-manggut. Tapi ia merasa seakan sedang dipukuli.

Amelia memperhatikan wajah Eric hingga yang dipandang kembali jadi berdebar. Terpikir, apakah Amelia berhasil menebak identitasnya lalu siap menembaknya tepat di jantungnya? Tiba-tiba ia merasa seakan jadi orang terpidana mati yang sedang menunggu pelaksanaan hukuman. Kapankah saat itu tiba?

Lantas ada kepasrahan. Kalau memang harus terjadi, biarlah terjadi. Ia akan menanggung. Ia harus menanggung. Ia ingin menanggung. Tampaknya sakit yang timbul akan mampu melegakan. Dan mungkin menyenangkan juga. Rupanya dia sudah memiliki kecenderungan seperti orang masocbisr yang senang menyakiti diri sendiri.

Jadi Eric balas menatap Amelia. Mereka berpandangan dengan pikiran sendiri-sendiri. Jelas tidak menyatu dalam pernahaman.

Lambat laun pandang Amelia melembut. Ia tersenyum manis.

"Kau tidak marah. kan?" tanyanya.

"Tentu saja tidak. Kenapa aku harus marah?"

"Rasa-rasanya aku seperti melihat sesuatu di matamu. Ah. barangkali aku mengada-ada. Tapi, bolehkah aku mengatakan sesuatu, Bang? Soalnya kalau aku tidak bilang, aku akan merasa penasaran. Cuma kuharap kau tidak tersinggung."

"Tidak, tidak. Ayolah katakan."

"Begini, Bang. Aku sebenarnya sudah memikirkan tentang motivasi perbuatanmu yang dermawan itu. Apakah betul karena kau mengagumi ibuku saja, dan tak ada sebab lain? Rasanya sulit untuk kuterima dengan akalku. Maka aku punya kesimpulan sendiri. Apalagi setelah tahu bahwa kau memiliki nama marga yang sama. Sekarang akan kukatakan padamu."

Eric merasa jantungnya mau copot. Tapi ia tetap memandang lurus-lurus ke mata Amelia.

"Itu akan kukatakan, tapi tak perlu kauiyakan. Itu karena aku menghargai prinsipmu dan aku pun tidak patut mendesakmu. Begini, Bang. Kau masih keluarga dengan mereka, dan kalau bukan, maka kau tentu merasa punya beban batin berhubung nama yang sama itu. Kau menaruh simpati justru karena itu. Kau malu dan ingin menghapusnya dengan memikul sebagian tanggung jawab yang seharusnya dipikul mereka itu. Kau baik ya, Bang. Itu pula sebabnya kau tak ingin dikenalkan pada orang tuaku. Tapi mungkin juga hal itu disebabkan kau takut mereka akan membencimu karena kau bermarga sama atau kemungkinan masih keluarga dengan mereka. Tapi aku tidak membencimu. Sebaliknya, aku sangat menghargai dan berterima kasih sekali. Karena jasamu, ayahku tak sampai habis-habisan menjual semua hartanya. jadi mereka punya kesempatan untuk pergi ke Bali. Nah, itulah kesimpulanku tentang dirimu. Sekali lagi, terima kasih ya, Bang." '

Eric tertegun. Kesimpulan seperti itu tak pernah ada dalam mimpinya sekalipun. Ia pikir, dirinya akan ditelanjangi dengan cara yang manis tapi

sangat menyakitkan. Aneh, mestinya ia merasa lega. Nyatanya tidak begitu. Ia malah jadi malu dan risi, lalu tersenyum canggung. Tapi Amelia menafsirkan sikapnya itu sebagai suatu sikap yang rendah hati.

Untunglah makanan yang mereka pesan sudah datang, hingga perhatian mereka segera teralih dari masalah itu. Mereka makan pelan-pelan sambil membicarakan persoalan lain, masalah umum yang ringan-ringan. Eric menanyakan sekolah Amelia, lalu Amelia menceritakan sedikit pengalamannya bersekolah di Amerika. Tapi ketika Amelia bertanya perihal Eric, banyak di antara pertanyaannya tak bisa dijawab Eric. Dan Amelia tak mendesak. Ia menerimanya sebagai kewajaran. Ia memang tak terlalu ingin tahu karena keyakinannya, bahwa pada suatu ketika, cepat atau lambat, ia toh akan tahu juga. Lagi pula ia merasa kurang berbudi bila bersikap mendesak.

Eric sangat hati-hati supaya tidak sampai kejeblos dalam percakapan. Lama-lama rasanya jadi menyenangkan, bagaikan suatu permainan yang mengasyikkan dan menegangkan.

"Apakah orang tua Bang Bonar masih ada?"

"Masih ada kedua-duanya."

"Tinggal di Jakarta juga?"

"Ya."

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang segera membangkitkan kewaspadaan Eric. Tapi dalam percakapan lain, yang tidak menyinggung masalah pribadi dan keluarganya, ia lancar berbicara. Santai

dan gembira. Ia akan kembali menjadi Eric yang pandai memikat wanita. Lantas keduanya merasa akrab. Merasa cocok.

Dalam perjalanan pulang menuju rumah Arnelia, tiba tiba Eric menanyakan,

"Apakah kau masih merasa sedih dan kehilangan, Lia?"

"Ya. Masih. Bayangkan aku lama tidak pulang. Aku kangen dan rindu. Tahu-tahu aku pulang dia sudah tidak ada."

Suara Amelia yang sedih membuat Eric terharu. Mestinya dia tidak perlu bertanya-tanya soal itu, tapi entah kenapa terluncur begitu saja. Tak sempat terpikir lebih dulu. Aneh memang. Kadangkadang ia sendiri pula yang memulai percakapan semacam itu, padahal sudah jelas bahwa yang demikian itu akan menyakitkan perasaannya.

"Hubungan kalian akrab tentunya."

"Oh ya. Dia teman main sejak kecil. Dan juga teman bicara. Maklum kami cuma berdua."

"Kau sangat menyayanginya?"

"Ya."

"Aku menyesal sekali."

Suara Eric yang penuh simpati itu membuat Amelia menoleh.

"Ah. kau memang baik. Terima kasih, Bang!"

"Dan kau tentunya sangat membenci orang itu. Ya. kan?" tanya Eric berbareng dengan perasaan aneh yang sama tadi. Semestinya pertanyaan ini tak perlu ia ajukan. Dia akan mendengar pernyataan sangat pahit perihal dirinya sendiri. Toh dia menanyakannya juga. Mungkin yang seperti itu

kira-kira sama dengan keinginan mendekati Amelia walaupun disertai dengan perasaan takut.

"Oh ya. Aku benci orang itu," jawab Amelia, dengan tekanan pada kata-katanya.

"Dan kau dendam?"

"Dendam? Apakah benci itu sama dengan dendam? Aku tidak tahu."

"Dendam adalah kebencian yang terus-menerus. Menetap dan tak mereda."

"Ah, yang itu mengerikan sekali kedengarannya. Tapi aku tidak tahu apakah perasaan itu akan menetap terus dalam diriku. Harus dijalani dulu. Tapi manusia itu konon bisa terobati oleh waktu. Bisa hapus oleh waktu."

"Jadi harus menunggu dulu sampai tua?"

Amelia tertawa.

"Aku tidak tahu, karena aku belum menjalaninya. Apakah kau punya pengalaman yang sama?"

"Ah, tidak. Aku cuma ingin tahu."

"Oh, aku benci orang itu karena sesudah menabrak dia lari. Taruhlah dia lari karena takut dikeroyok, tapi kenapa sesudah itu ia tak mau bertanggung jawab? Ia sembunyi dan pura-pura tidak tahu. Bahkan setelah ditahan ia melakukan segala cara, menghalalkan segala cara, untuk menghindar dari hukuman. Bayangkan saja. Bagaimana mungkin masa penahanan dilaluinya dalam ruang VIP klinik elit?"

"Tapi, kalau bukan karena ada oknum-oknum yang bisa disogok, tak mungkin dia bisa menikmati semua itu."

"Toh menurutku yang punya inisiatif paling dulu itulah yang bersalah. Kalau dia tidak memulai menyogok, maka tak ada pula yang bisa disogok.

"

"Ah, kau betul," Eric membenarkan dengan lesu.

"Tentu saja aku juga membenci oknum-oknum itu. Mereka itu parasit semua. Mereka mencari keuntungan lewat kesengsaraan orang lain. Tidak punya rasa kasihan. Tidak punya malu. Tapi orang-orang seperti itu malah bercokol di tempat-tempat penting."

"jangan membenci terlalu banyak, Lia. Kau lupa tentang kekurangan dan kelemahan manusia?"

Amelia menoleh dan menangkap sudut bibir Eric yang gemetar. Ia mengerutkan kening sebentar.

"Ah, Abang seakan memberi peringatan tentang diriku sendiri sebagai manusia. Rupanya Abang suka filsafat?"
Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang suka. Dulu tidak."

"Pantas."

"Kenapa kau bilang begitu?"

"Nggak apa-apa."

"Kau seperti menyembunyikan sesuatu."

"Oh ya? Tapi kupikir, setiap orang memang menyembunyikan sesuatu dalam dirinya. Kau dan aku juga begitu. Ya, lebih-lebih kita pada saat ini." Amelia tertawa kecil.

"Tapi aku yakin, pada suatu ketika kita bisa berbicara lebih leluasa, lebih terbuka."

"Kau vakin?"

"Y a. ..

Eric diam.

"Kak Emil hampir menjadi dokter," kata Amelia beberapa saat kemudian.

"Ibuku bangga bukan main akan hal itu. Untung saja aku tidak sampai menjadi minder karenanya, atau iri hati. Memang terus terang otakku tidak secerdas Kak Emil. Sedang-sedang sajalah. Tapi mungkin karena dia laki-laki hingga aku bisa menerima kelebihannya tanpa iri hati. Kalau sama-sama cewek, entahlah."

"Dia baik kepadamu?"

"Ya. Dia baik dan sayang padaku. Dia pun seorang pelindung. Beberapa orang yang pernah jadi pacarku tak berani main-main padaku karena segan pada Kak Emil."

"Ke mana para pacar itu sekarang?" tanya Eric ingin tahu.

"Oh, entah di mana. Semua sudah putus baik-baik. Tak ada masalah. Tak ada yang namanya patah hati. Itu sekadar pengalaman hidup, Bang!"

"Kau beruntung, Lia."

"Ya, mungkin juga. Tapi ternyata keberuntungan itu tidak pernah kekal, ya? Kak Emil dipaksa pergi." Suara Amelia jadi sendu.

Dan Eric menggigit bibirnya. Tapi ia bertanya juga,

"Apa kau tidak merelakan kepergiannya?"

"Mau tak mau aku toh harus rela, Bang!"

"Kalau misalnya kau bisa membalas dendam

pada orang yang telah menabraknya, apakah itu akan kaulakukan?"

Amelia agak terkejut. Ia memperhatikan wajah Eric, tapi dalam kegelapan ia tak bisa membaca apa-apa di situ. Setelah berpikir sebentar, baru ia menjawab.

"Andaikata aku bisa membunuhnya pun aku takkan melakukannya. Buat apa? Toh Kak Emil tetap tak bisa kembali, malah aku bisa masuk penjara karenanya. Rugi, kan?"

"Tapi, inginkah kau membalas?"

"Aku cuma ingin dia mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Biar dia tahu bagaimana rasanya sakit itu. Jangan enak-enakan saja! Sayang aku tak bisa membayangkan kayak apa sih dia itu. Dalam kemarahan dan kesedihanku aku menciptakan ujud seseorang dalam khayalan untuk kujadikan sasaran. Kubayangkan dia tersiksa, sakit, dan menderita. Ya, macammacamlah. Tapi karena ujud yang terbayang itu cuma khayalan jadinya berubah-ubah saja. Hanya satu yang pasti. Dia berkumis! Itu menurut gambaran yang diberikan orang tuaku. Sayang di koran-koran pun tak ada gambarnya."

Hampir saja tangan Eric naik ke atas mulutnya untuk meraba dan memastikan apakah kumisnya masih ada di situ atau tidak. Ia bersyukur, bahwa kumis itu sudah ia buang. Potongan rambutnya pun ia ubah menjadi sangat pendek seperti potongan tentara. Tapi rasa syukur itu cepat hilang oleh kesan yang ditimbulkan oleh kata-kata

Amelia. Seperti apakah rasa senang Amelia bila melihat dia tersiksa?

"Kau percaya akan hukum karma. Bang?" tiba-tiba Amelia bertanya.

"Entahlah. Mungkin setengah percaya saja."

"Papa sering bicara tentang hal itu. Mungkin dia sudah frustrasi dalam usahanya mencari keadilan di bumi ini. Atau sengaja mau menghibur Mama supaya tidak penasaran terus-terusan."

"Kau sendiri. apakah percaya?" tanya Eric.

"Sama seperti kau. Aku cuma berharap, bahwa hukum karma itu memang ada. Jadi hukuman akan setimpal dengan perbuatan seseorang. Tidak lebih, tidak kurang."

"Bagaimana kalau dia menyesal?"

"Aku pikir, penyesalan itu pun termasuk hukuman!"

Eric terdiam. Tapi dalam hati ia membenarkan. Penyesalan yang merongrongnya selama ini pun merupakan siksaan. Setelah ketegangan menanti vonis hakim hilang diganti oleh kelegaan menerima hukuman yang ringan, ternyata tak selesai sampai di situ. Perasaannya tak kunjung menjadi tenteram. Malah sekarang ini dihadapinya Amelia dengan kesadaran penuh, walaupun tahu bahwa Amelia bisa tampil sebagai algojo!

"Semestinya kau pun berlibur, Lia. Kau memerlukan itu."

"Sekarang ini aku sedang berlibur."

"Tapi berlibur saja bukan berarti memperoleh hiburan, bukan? Aku ingin menghiburmu kalau

kau bersedia tentunya. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan ke mana saja yang kaukehendaki. Untuk itu aku bisa minta cuti," kata Eric antusias. Ia juga ingin memanfaatkan waktu selama orang tua Amelia pergi. Sayang sekali mereka cuma dua minggu di Bali. Kenapa tidak sebulan, dua bulan, atau lebih?

"Oh. senang sekali, Bang. Rasanya memang akan lain sekali bila pergi dengan orang tua dibanding pergi dengan sesama orang dewasa. Tapi di sini aku punya tugas menjaga rumah, bukan cari hiburan."

"Tapi rumahmu itu tidak bisa lari, kan?"

Amelia tertawa.

"Kau baik ya, Bang. Kadangkadang aku tidak mengerti, kenapa kau sebaik itu padaku."

"Aku ingin menghiburmu, menyenangkan hatimu."

"Tapi kenapa?"

"Karena aku senang padamu," tercetus spontan dari mulut Eric. Serasa tak terpikir lagi. Ia kaget sendiri, lalu buru-buru meneruskan.

"Maaf, Lia._ Jangan salah paham. Bukan maksudku memanfaatkan..."

"Tak perlu maaf, Bang," potong Amelia.

"Masa kau harus minta maaf kalau menyenangi seseorang?"

"Aku khawatir kau akan mencurigaiku. Siapa tahu, kaupikir aku bermaksud mengail di air keruh."

Amelia tertawa keras.

"Air yang keruh, katamu? Tapi aku bukan air yang keruh, Bang! Aku cukup jernih kok. Aku juga bisa berpikir dong. Coba saja. Mustahil aku mau saja diajak ke sana ke sini olehmu kalau aku sendiri tidak senang juga? Pergi-pergi dengan orang yang tidak disukai itu bukan cari hiburan namanya, tapi cari penyakit."

"Jadi kau pun menyukai aku?" tanya Eric seperti orang bodoh.

"Tentu saja!"

Jawaban yang spontan itu membuat Eric serasa di awang-awang. Tapi cuma sebentar. Lantas ia kembali merasakan kepedihan yang biasa. Sebelah tangannya yang sudah terulur untuk menyentuh lengan Amelia buru-buru ditariknya kembali.

"Kenapa, Bang?" tanya Amelia heran. Ia melihat gerakan tangan Eric.

"Kenapa bagaimana?"

"Kau seperti melihat hantu."

"Ah, masa iya," kata Eric sambil tertawa untuk menutupi perasaan hatinya. Tapi tawanya kede_ ngaran aneh di telinganya sendiri. Kemudian ia sadar bahwa Amelia mungkin melihat gerakan tangannya tadi.

"Aku takut kau akan menganggapku lancang."

Amelia mempercayai alasan itu.

"Kau memang harus hati-hati mengemudi, Bang. Walaupun yang bergerak cuma sebelah tangan, tapi bagaimana dengan konsentrasimu?"

"Terima kasih, Lia. _Jadi, kau tidak menganggapku lancang?"

"Kita kan bukan anak kecil, Bang!"

jawaban itu dipahami dan diterima dengan gembira oleh Eric. Bukankah ia sudah berpengalaman? Karena itu, di suatu tempat strategis tak jauh dari rumah Amelia ia menghentikan mobilnya. Lalu ia memeluk Amelia. Dan dalam kemesraan yang menggelorakan darahnya ia merasakan adanya sesuatu yang sangat dingin menyentuh. Bagaikan sepotong besar es batu dimasukkan ke dalam air mendidih. Lantas, masih adakah sisa kehangatan? Tapi ia tak punya waktu untuk menilai dan mengukurnya. Mereka harus berpisah.

"Masih ada waktu besok, Lia?"

"Tentu!"

"Kita jalan-jalan setiap hari?"

"Ya."

Lalu Eric menyimpulkan, bahwa kehangatan itu masih ada!

Hari-hari yang dilalui, esok dan esoknya lagi, memang jauh lebih hangat untuk mereka berdua dibanding hari-hari kemarinnya. Manis dan mesra. Tapi tidak pernah berlaku seperti orang yang tak tahu batas.

Mereka jalan-jalan ke tempat mana saja yang terpikir. Tapi tak terlalu jauh. Ke luar kota paling jauh hanyalah Bogor, Puncak, atau Taman Safari. Yang penting tidak perlu sampai menginap. Itu

berbahaya, demikian kesepakatan mereka. Dan ternyata buat kedua-duanya hal itu juga tidak susah. Amelia merasa harus tahu diri dan percaya diri juga. Selama di Amerika saja ia mampu menjaga diri dengan baik, kenapa di kampung halaman tidak bisa? Masalahnya bukan cuma karena tak mau mengkhianati kepercayaan orang tua, tapi lebih-lebih karena prinsipnya sendiri.

Tapi Eric punya rem yang ampuh untuk membatasi tindakannya. Itu adalah trauma pengalamannya yang pahit. Rem itu selalu mengingatkannya di mana ia seharusnya berada. Toh masih ada hal lain yang juga berfungsi sebagai rem. Itu adalah cinta. Semakin lama ia semakin sadar bahwa ia memang sungguh-sungguh mencintai Amelia. Dan ia yakin tak ada wanita lain yang memiliki segala potensi seperti halnya Amelia. Cinta memang selalu mengandung sesuatu yang eksklusif. Kekhasan dalam diri seseorang itulah yang mengundang cinta. Dan lebih-lebih terhadap Amelia ia yakin cintanya itu memiliki kedalaman. Bukan cinta monyet. Bukan pula cinta gombal. Karena cinta itulah timbul naluri melindungi. Sedang traumanya jadi penguat. Ia takkan berani berbuat tak sepatutnya terhadap Amelia.

Hal itu sungguh merupakan sesuatu yang tidak biasa bagi Eric. Dia, seorang yang dikenal sebagai playboy, sebelumnya tak pernah berpikir seujung rambut pun tentang hal-hal semacam itu. Kalau pasangan wanitanya sudah memperlihatkan sikap suka, maka baginya tak berlaku lagi batas yang

boleh dan tak boleh dilanggar. Wanita yang ada dalam pelukannya adalah wanita yang boleh diperlakukannya sekehendak hatinya. Karena itulah, sadar akan perubahan sikap hidupnya sendiri, ia menilai cintanya terhadap Amelia dengan agung. Ia menaruh respek.

Tapi ia sadar juga bahwa cintanya memiliki bayang-bayang suram. Ia masih dianggap misterius oleh Amelia. Karena itulah Amelia membalas cintanya. Ia masih dianggap sebagai si dermawan yang baik hati. Karena itu bagaimana nasib cintanya bila tak ada misteri lagi yang menyelubunginya tak bisa ia ramalkan. Membayangkannya saja ngeri!

Di satu sisi ia beruntung dan bahagia karena bisa memiliki cinta, tapi di sisi lain ia merana. Kenapa justru cinta yang seperti itu? Cintanya dibayangi kematian Emil!

Selanjutnya Eric menghitungi hari yang masih tersisa. Bila orang tua Amelia kembali, rasanya mustahil bila mereka akan membiarkan Amelia berhubungan dengannya tanpa berusaha mengenalnya juga. Amelia tentu harus mengatakan dengan siapa ia pergi. Dan Amelia juga bukan tipe anak yang tertutup terhadap orang tuanya. Lebih-lebih setelah kakaknya tiada, ia sadar bahwa dirinyalah yang kini jadi harapan satu-satunya. Keadaan itu membuat Eric serasa menanti vonis. jauh lebih menegangkan dan meresahkan dibanding dulu ketika ia menghadapi vonis hakim.

Di tengah perjalanan cintanya itu ia mengalami peristiwa yang hampir membuatnya shock. Ketika itu malam hari ia tengah bermobil bersama Amelia dijalan Gajah Mada. Suasana jalan raya tak begitu ramai. Eric mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sejak kasus tabrakan itu ia tak pernah lagi ngebut. Bahkan selama bersama Amelia, gadis itu selalu memujinya dalam soal mengemudi.

"Kau selalu tenang dan hati-hati," begitu puji Amelia.

Malam itu ia sedang asyik mengobrol dengan Amelia. Dua bis bertingkat berhenti di pinggir, satu di belakang yang lain. Eric akan melewati kedua bis itu. Tiba-tiba dari balik bis yang paling depan seseorang nyelonong begitu saja akan menyeberang tanpa lihat lihat dulu. Amelia berteriak kaget. Orang-orang di jalan yang melihat peristiwa itu pun menjerit. Eric menginjak rem. Bunyi ban berderit-derit menahan laju mobil. Akhirnya mobil berhenti. Tapi orang yang mau menyeberang seenaknya itu sudah terlentang di aspal!

Amelia melompat keluar, lalu lari menghampiri. Ia melihat korban itu seorang laki-laki yang sudah agak tua. Lega perasaannya ketika laki-laki itu duduk.

"Apa yang sakit, Pak?" ia bertanya dengan penuh perhatian. Pandangnya menjalan sekujur tubuh laki-laki itu. Sementara itu orang-orang dengan cepat sudah berkerumun di sekitar mereka.

Amelia tidak melihat ada tanda-tanda perdarahan. Tapi tanda-tanda itu saja memang tidak

memastikan ada tidaknya cedera. Ia memegang kedua bahu si laki-laki untuk dibantu berdiri.

"Ada yang sakit, Pak? Biar kami antar ke dokter?" ia bertanya lagi.

Tiba-tiba laki-laki itu berdiri dengan kekuatan sendiri. Dan sambil melakukan gerakan itu ia mengibaskan tangan Amelia dengan kerasnya hingga gadis itu terhuyung. Untung saja ia tidak jatuh. Belum sempat ia memperoleh keseimbangannya, laki-laki itu sudah mendampratnya.

"He, bawa mobil seenaknya, ya! Mentangmentang orang kaya, ya! Emangnya di situ raja jalanan? Lain kali buka tuh mata biar gede. Orang lagi nyeberang diterabas aja. Sial bener! Huh!" Lalu ia meludah ke jalan. Kemudian ngeloyor pergi sambil menepis-nepis celana dan bajunya. Ia meninggalkan Amelia dan kerumunan orang yang terbengong-bengong di belakangnya.

"Sudahlah. Dia nggak apa-apa, kok," seseorang mengingatkan Amelia yang masih berdiri bengong.

"Memang dia yang salah tadi. Saya lihat sendiri. Nyeberang seenaknya. Dia yang salah, eh, dia yang ngomel," komentar seseorang yang lain.

Amelia segera sadar. Eric tidak kelihatan di sisinya. Buru-buru ia kembali ke mobil. Di sana sudah ramai dengan bunyi klakson mobil-mobil yang merasa terganggu jalannya. Untung juga jalan cukup lebar hingga lalu-lintas tidak sampai mampet. Amelia heran, kenapa Eric masih tetap di

tempat yang tadi. Padahal dia bisa menepi hingga tidak sampai mengganggu kelancaran lalu-lintas.

Amelia sangat terkejut ketika melihat Eric duduk kaku di kursinya, menutup muka erat-erat dengan kedua tangannya. Kedua bahunya tertarik ke depan. Sikapnya seperti orang ketakutan. Tapi dia terus saja begitu walaupun Amelia sudah duduk di sisinya. Bahkan kedua tangannya masih tetap melekat di mukanya.

"Bang! Bang Bonar!" seru Amelia.

Tapi Eric tidak bergerak. Dengan cemas Amelia menubruknya. dan menggoyang goyangnya pelan.

"Bang! Sudah beres kok. Orangnya nggak apa-apa." Baru Eric menurunkan kedua tangannya, lalu bersandar ke belakang dengan gerakan menghentak. Ia membuka matanya dan menatap Amelia. Sesaat pandangnya kelihatan kosong.

"Bang! Kau nggak apa-apa?"

Eric seperti baru tersadar. Ia menggelengkan kepala.

"Apa... apa katamu tadi, Lia?"

"Orang itu cuma kesenggol sedikit. Dia nggak apa-apa. Dia pun tidak menuntut apa-apa. Ayolah kita jalan. Tuh orang-orang pada ngomel."

Tapi Eric kelihatan lemas. Amelia cepat mengambil keputusan.

"Biar aku saja yang mengemudi. Kau perlu menenangkan diri dulu. Nanti kita cari tempat untuk minum. Ayo, kau bergeser, ya?"

Lalu Amelia keluar dari mobil untuk pindah tempat. Tak lama kemudian mobil sudah melaiu

kembali. Dan Eric duduk bersandar dengan lesu. Pada perasaannya otot-ototnya seolah lumpuh sebagian.

"Kau tidak apa-apa, Bang?" tanya Amelia cemas.

"Tidak. Sebentar lagi juga pulih."

"Kita minum dulu?"

"Ya. Aku memang haus."

Di restoran terdekat Amelia mencari tempat parkir. Dan setelah turun dari mobil ia bersikap mau membimbing Eric, tapi dengan tertawa Eric ganti memegangnya.

"Jangan begitu. Nanti orang pikir, aku lumpuh."

Setelah duduk dan memesan minuman, Amelia terkejut melihat muka Eric yang pucat. Kulitnya yang kecoklatan jadi berwarna muda. Dan tangannya dingin.

"Kau sangat kaget tadi, ya Bang?" ia bertanya lembut.

"Ya. Aku teringat akan " Eric menghentikan ucapannya dengan mendadak. Hampir ia keceplosan bicara. Lalu ia buru-buru menyambung.

"Aku pikir dia mati. Dan orang-orang akan mengeroyokku."

"Tapi dia tidak cedera. Cuma jatuhnya itu saja yang mengagetkan, bukan? Ketika aku pegang dia untuk dibangunkan, dia menyentakku. Hampir aku terjatuh. Lalu dia memaki-makiku sebelum ngeloyor pergi. Brengsek benar." *

"Maafkan aku, Lia. Mestinya aku mendampingimu tadi. Tapi aku "

"Sudahlah. Yang tadi sudah berlalu. Kau tidak bersalah kok. Dia yang salah. Nyeberang sembarangan. Tadi juga ada orang yang bilang begitu. Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi."

"Untung ada kau, Lia. Coba kalau tidak."

Tiba-tiba Eric bergidik. Ia terpaksa memejamkan mata sebentar. Sementara itu Amelia memperhatikan. Ketika Eric membuka matanya lagi ia melihat tatapan Amelia tertuju padanya. Pandang Amelia yang bening mengandung tanya, tapi juga rasa sayang. Mereka berpegangan tangan sambil menghirup minuman.

"Bagaimana kalau sebentar kita pulang biar aku yang pegang kemudi, lalu kita ke rumahmu dulu untuk menyimpan mobil baru kemudian kawantar aku pulang naik taksi. jadi kau tidak perlu mengemudi," usul Amelia.

Tentu saja Eric tidak mungkin menyetujui. Dengan cara itu Amelia akan mengetahui di mana alamatnya yang selama itu bisa ia sembunyikan.

"Aku sudah pulih kok. Jangan khawatir," katanya memberi alasan.

"Kita harus memilih cara yang teraman, Bang."

"Sudah kukatakan aku tidak apa-apa." kata Eric kesal. Tapi kemudian ia menyesal. Amelia sudah tentu bermaksud baik.

"Maaf, Lia. Aku kasar, bukan? Jangan marah, ya?"

"Tidak. Aku maklum."

Selanjutnya mereka minum diam-diam. Eric meremas tangan Amelia dan mengajaknya tersenyum.

"Kau tidak kapok untuk jalan-jalan lagi bersamaku besok?"

"Oh, tidak."

jawaban spontan itu melegakan perasaan Eric.

"Syukurlah. Ya, maklumilah aku, Lia. Itulah salah satu kelemahanku."

"Tapi kau terampil mengemudi. Yang tadi itu pun bukan salahmu. Tidak seharusnya kau terlalu cemas." Tiba-tiba Amelia jadi penasaran.

Eric diam. Ia memandang gelas minumnya.

Amelia tidak tahan lagi.

"Apakah Abang pernah menabrak orang dulu?" ia bertanya dengan suara pelan dan lembut. '

Tapi walaupun pertanyaan itu diucapkan dengan sikap yang simpatik. akibatnya bagi Eric seolah tamparan keras. Ia terkejut dan matanya membesar menatap Amelia dengan kecemasan yang tak disembunyikan. Setelah menyadari sikapnya yang tak terkendali ia berkata lirih,

"Sebaiknya masalah itu tak perlu diungkit lagi, Lia. Bagiku itu suatu trauma yang akan menyakitkan sekali kalau diulang. Aku mohon padamu. Bisakah kau, Lia?"

Amelia tertegun. Ia tak menyangka. Bagaikan kilat Suatu kesimpulan muncul. Apakah karena trauma itu pula maka Bonar menjadi seorang dermawan? Sayang sungguh dia tak mau berterus terang. Itu membuat penasaran. Tapi rupanya ia harus terus bersabar.

"Maafkan aku, Bang. Aku terlalu mendesakmu." kata Amelia menyesal.

"Tidak apa-apa. Kau waiar berbuat demikian. Aku memang manusia setengah sakit."

Amelia menatap dengan iba. Mau rasanya ia menemani Eric terus. dan memeluk sambil menghiburnya. Ia membayangkan tempat yang nyaman dan pribadi di mana tak ada mata orang lain memandangi dengan ingin tahu. Ia ingat rumahnya yang sepi. Pada saat seperti itu pembantunya sudah tidur. Mereka dapat leluasa berbincang. Ia hampir pasti bahwa Eric akan mampu mencurahkan isi hatinya di sana. Tapi sudah pasti pula Erie takkan mau. Sejak awal Eric segan berlama-lama di rumahnya. Kalau ada di sana dia seperti cacing kena abu.

"Takut diintip pembantumu. Nanti dia lapor pada orang tuamu," begitu ia memberi alasan. Padahal alasan semacam itu sungguh tak masuk akal.

Mereka pulang dengan Eric yang memegang kemudi. Ia berkeras menyatakan dirinya tak apa-apa. Maka Amelia pun tak bisa lain. Ia cuma bisa menasihati agar Eric berhati-hati, terutama kalau Eric sendirian nanti. Untuk nasihat itu Eric membelai dan mengecupnya mesra. Masalah itu pun terlupakan sejenak.

Tapi Eric merasa dirinya bagai telur di ujung tanduk tadi itu. Suatu shock yang memberi peringatan keras. Namun kemudian ia sama sekali tidak menganggap hal itu sebagai alasan untuk mundur. Daya tarik Amelia terlampau kuat.

***

ALBERT merasa khawatir hingga perlu membicarakannya dengan Sri.

"Eric minta cuti selama dua minggu. Lalu tahukah kau apa saja yang dikerjakannya selama waktu-waktu itu?" tanya Albert.

Sri menggelengkan kepala dengan heran.

"Mana mungkin aku bisa tahu?" ia balas bertanya.

"Barangkali dia menceritakan kepadamu."

"Tidak. Belakangan ini dia sering keluar rumah. Padahal sebelumnya tidak. Bahwa dia mengambil cuti juga aku tidak tahu. Bahkan hari Minggu yang lalu dia tidak ke gereja bersamaku. Pagi-pagi sudah pergi dan pulangnya sudah malam. Memangnya kenapa, Pa? Apakah kau memerlukan dia?" tanya Sri khawatir.

"Perlu sih tidak, tapi..."

"Tapi apa, Pa?"

"Ada yang menceritakan padaku, bahwa belakangan ini Eric sering terlihat bersama seorang wanita."

Sri mengerutkan kening. Bukankah hal itu normal saja? Ataukah Albert khawatir bahwa Eric

akan kembali pada kebiasaannya yang lama? Tiba-tiba saja Sri merasa bosan. Sesudah puluhan tahun terus-menerus mengkhawatirkan diri Eric sampai mencapai puncaknya pada kasus tabrakan itu, rasanya semua itu sudah membuat dia jenuh.

"Biar sajalah, Pa. Eric kan sudah dewasa."

"Ya. Aku tahu itu. Tapi Erie selalu kelihatan bersama seorang wanita yang sama."

"Anehkah itu? Oh, mungkin dia sudah punya pacar, Pa!" seru Sri girang.

Tapi Albert tidak ikut gembira.

"Kalau memang benar dia punya pacar yang serius tentunya dia akan memperkenalkannya pada kita. Bukankah dia tahu bahwa sudah lama kita mengharapkan hal itu? Lantas kenapa dia diam-diam saja? Apa tujuannya mengambil cuti pun dia tak mau bilang."

"Barangkali dia ingin menghindar sebentar dari lingkungannya. Mungkin malu sesudah kasus itu."

"Wah, tak masuk akal itu. Kalau memang malu mestinya dulu-dulu ketika peristiwa itu masih hangat. Nyatanya waktu itu dia masuk kerja seperti biasa. Jadi, kenapa malah sekarang?"

"Sudah kautanyakan hal itu kepadanya?"

"Belum. Kupikir, mungkin kau tahu. Tapi, kalaupun mau kutanyakan, kapan waktunya? Kalau aku di rumah dia tak ada. Dan kalau dia ada,

dia mengunci dirinya di kamar. Tak mau diganggu."

"Di kantor?"

"Wah, kau lupa rupanya. Dia kan tidak masuk kantor. Lagi pula aku tidak suka membicarakan

masalah pribadi di sana, biarpun cuma berdua dalam ruang kerjaku."

Sri menjadi bingung.

"Lantas, apa sih yang sebenarnya kaukhawatirkan? Masa iya hanya karena Eric suka pergi dengan seorang wanita yang sama? Dulu kau sendiri yang bilang, bahwa lelaki yang jadi playboy itu nggak apa-apa."

Albert diam. Ya, apa sebenarnya yang ia khawatirkan? Mestinya memang tak ada lagi. Tapi sejak kasus tabrakan itu dan kemudian pengalamannya dengan Rosi, ia merasa dirinya seakan tak bisa lagi lepas dan bebas dari kekhawatiran itu. Dulu-dulu ia memang suka begitu pula, tapi toh bila dibandingkan dengan yang sekarang jelas terasa ada perbedaannya. Dia sadar akan hal itu. Tapi tak bisa membuangnya. Ia tak bisa membebaskan dirinya. Kekhawatirannya akan Eric bukan lagi sekadar sikap berlebihan orang tua yang kelewat menyayangi anaknya, tapi sudah jadi obsesi! Dan setelah pengalamannya dengan Rosi, bukan cuma masalah keselamatan Eric saja yang mengganggu pikirannya, tapi juga keselamatannya sendiri!

Diam-diam ia memperhatikan tingkah laku Eric dengan cermat. Ketika Sri menemukan perubahan diri Eric yang dianggap positif, ia sudah terlebih dulu menyadari hal yang sama. Tapi ketika itu ia tidak buru-buru merasa senang. Ia berprasangka dulu. Adakah sesuatu yang sesungguhnya negatif di balik apa yang tampak positif itu? Siapa tahu Eric sedang berpura-pura agar dapat menimbulkan

kesan positif. Jadi Albert pun berpura-pura tidak menyadari dengan sikapnya yang acuh tak acuh. Itu perlu supaya Eric tidak merasa dirinya tengah diamati-amati.

Lantas Eric minta cuti. Itu diberikannya tanpa tanya-tanya walaupun Eric pun tidak bilang apa-apa perihal rencana cutinya. Padahal orang yang meminta cuti itu jelas ada tujuannya. Ternyata dalam masa cutinya itu Eric tidak pergi ke mana-mana, dalam arti ke luar kota atau ke luar negeri. Ia tetap di rumah meskipun seharian pergi-pergi. Pendeknya, ia selalu pergi tapi selalu kembali ke rumah. Jadi, apa yang sesungguhnya ia kerjakan? Lalu ada infomasi bahwa Eric sering terlihat bersama seorang wanita yang itu-itu juga. Tentu saja perkembangan semacam itu jadi mengaduk-aduk otak Albert. Masa mau pacaran di dalam kota saja sampai perlu cuti. Kalau dia berniat ke luar negeri itu baru bisa dimaklumi. Ketika Albert tak bisa menemukan sesuatu kesimpulan atau pemecahan, ia yakin bukan dirinyalah yang bodoh. Pasti Eric yang melakukan suatu kebodohan, atau dia tengah terjerumus ke dalam suatu tindak kebodohan. Dan sudah jelas kebodohan Eric bisa menyeret dirinya juga ke dalam bencana. Itu berdasarkan pengalamannya yang sudah lalu. Ya, bencana.

Kemudian beberapa hari belakangan ini sering sekali ada telepon yang menanyakan Eric. Bi Onah yang punya tugas mengangkat telepon bila berdering mengatakan hal itu padanya. Tapi tentu
Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja setiap kali ditelepon Eric sedang tak di rumah. Dan menurut Bi Onah, si penelepon itu wanita yang sama. Suaranya sama. Bahkan menurut Bi Onah, beberapa kali si penelepon itu menggerutu.

"Kok nggak ada melulu sih? Memang nggak ada atau dibilang nggak ada? Jam berapa sih adanya? Ini penting!" Padahal si penelepon itu tidak mau menitipkan pesan. Pembantu tahu apa sih, begitu katanya judes.

Sri tidak begitu merisaukan telepon semacam itu. Ia menganggap pastilah itu teman wanita Eric yang genit yang bermaksud minta ini-itu. Dulu-dulu memang cukup sering Eric menerima telepon dari para wanita. Tak mengherankan. Kalau playboy memang begitu. '

Pada mulanya Albert juga bersikap sama seperti istrinya. Tapi kemudian ia tergugah juga. Benarkah telepon itu penting? Terpikir lagi, kalau setiap kali pergi Eric selalu bersama seorang wanita yang tertentu itu, maka tentunya Wanita yang menelepon itu seseorang yang lain. Ataukah yang belakangan ini bekas pacar yang cemburu? Tapi, kesimpulan ini tidak memuaskan perasaan Albert. Ia berpikir tentang sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih serius. Tapi ia tidak tahu apa itu. Dan akhirnya, semakin lama dipikir jadi semakin mencemaskan.

Tapi kecemasan itu tidak diutarakannya pada Sri. Juga perihal rencananya. Hanya Bi Onah yang dipesannya.

"Nanti kalau telepon itu datang lagi

dan aku di rumah. katakan padanya Tuan Eric ada. Biar aku yang terima."

Kemudian tibalah saat yang ditunggu-tunggu Albert itu. Suatu sore telepon itu datang.

"Ya, halo? Ini dengan Eric," kata Albert menirukan kebiasaan Eric kalau bicara. Ia yakin, suaranya sendiri mirip. Banyak orang bilang begitu.

"Betul ini Bang Eric, ya?"

"Betul. Buat apa sih bohong," kata Albert dengan suara merayu. Kira-kira seperti yang didengarnya kalau Eric sedang berbicara dengan cewek-ceweknya.

"Tapi kau memang suka bohong kok."

Suara itu mengandung sesuatu yang membuat kewaspadaan Albert bangkit sepenuhnya. Tapi ia tidak menunjukkan kewaspadaan itu dalam suaranya yang masih seperti tadi.

"Ah, masa iya? Jangan begitu dong. Tolong katakan. Ini siapa sih, ya?"

"Oh. jadi kau nggak ngenalin? Tidak tahu suara ini milik siapa?" Pertanyaan itu sinis sekali. Bukan main-main.

"Kalau aku tahu, masa aku tanya."

"Baik, aku beri tahu. Tapi pegang dulu jantungmu. Nah, dengar baik-baik. Ini Rosi!"

Hampir Albert melepaskan gagang telepon. Benar-benar ia harus memegang jantungnya. Apakah ini memang benar Rosi atau bukan? Apakah Rosi sesungguhnya belum mati, dia hidup

lagi, atau ini rohnya? Untuk beberapa saat lamanya ia tak bisa bicara. ,

Perempuan itu ketawa terkikik.

"Hi hi hi! Kau boleh menganggap aku hantunya. Ya, hantu! Hi hi hi! Aku masih ingat ketika kau melihatku seusai sidang. Wah, kau hampir semaput, kan? Kentara betul kagetmu. Rupanya kaupikir sudah melihat hantu. Tentu. tentu. Kaupikir aku sudah mati!"

Ketika si pembicara itu mengoceh, Albert mendapat kesempatan untuk menenangkan dirinya. Dan juga mempelajari suara itu. Jelas berbeda dengan suara 'Rosi' yang dulu. Apakah yang dulu itu bukan Rosi sebenarnya, ataukah yang sekarang ini yang mengaku sebagai Rosi? Dia bisa saja melakukan hal itu mengingat Rosi adalah nama samaran. Tapi dalam waktu yang singkat itu otak Albert yang cerdas segera bisa menyimpulkan. Hanya Eric yang tahu perihal Rosi yang sebenarnya, sedang perempuan ini langsung menghubungi Eric. Jadi memang inilah Rosi yang asli. Lantas, perempuan yang dibunuhnya itu siapa? Tapi ia tidak punya waktu untuk berpikir.

"Hei, sudah hilang kagetnya, Bang Eric?"

"Sudah," sahut Albert dengan suara gemetar yang disengaja. Biar perempuan itu berpikir, bahwa ia takut. Bila perempuan itu merasa sok, ia bisa khilaf sendiri.

Perempuan itu tertawa puas.

"Kau tentu sudah tahu apa yang dilakukan ayahmu, bukan? Luar biasa galaknya bapak itu," katanya dengan suara berang. Tapi toh suaranya bergetar.

Mendadak Albert tersenyum. Ia tahu kini kenapa perempuan itu tidak berusaha menghubunginya melainkan mencari-cari Eric terus. Perempuan itu takut kepadanya! Tapi oh, dia tentu lebih cerdik. ia juga bersyukur bahwa pada akhirnya perempuan itu memang tidak berhasil menghubungi Eric. Andaikata berhasil, ia yakin Eric akan melakukan kebodohan. Tapi kini ia harus berpura-pura seakan Eric memang mengetahui perbuatannya tempo hari. Bila tidak begitu, pasti perempuan itu akan berusaha menghubungi Eric lagi sebagai ladang pemerasan yang baru.

"Ya, ya. Aku tahu," kata Albert masih dengan suara gemetar.

"Apa akibatnya juga sudah tahu, kan?" tanya Rosi dengan nada superior.

"Ya. Oh, Ros, cepat katakan apa sih maumu?" tanya Albert dengan nada memelas.

"Biasa."

Albert mengerti. Ia pun tak ingin buang waktu dengan berpura-pura tak mengerti. Justru ia ingin menyelesaikan masalah ini secepat mungkin.

"Ya, aku mengerti, Ros. Tapi, adakah orang lain lagi yang tahu?"

"Tidak."

"Tapi yang dulu itu?"

"Cuma dia seorang." Suara Rosi kedengaran tidak sabaran.

"Baik. Aku setuju saja. Berapa dan di mana?"

Rosi diam sebentar. Mungkin tak menyangka bahwa teman bicaranya bisa secepat itu setuju.

Baru kemudian ia menjawab dengan Suara lebih rendah,

"Sepuluh juta. Tak ada tawar-menawar. Di halaman parkir Sarinah, dekat tangga. Kauparkir dekat halte bis _Jalan Thamrin. Besok jam lima sore,

" kata Rosi lancar. jelas sudah dipersiapkan lebih dulu.

"Wah, dekat pos polisi."

Rosi terkikik.

"Pendeknya kita selesaikan di situ. Aku nggak mau diajak ke tempat sunyi."

Tiba-tiba Albert teringat bahwa dia belum mengenal Rosi. Sedang ia tak mungkin meminta Rosi mengenakan tanda pengenal. Bukankah Rosi menganggapnya sebagai Eric yang jelas sudah tahu dan kenal padanya? Kalau ia memintanya juga Rosi bisa curiga. Tapi ia harus.

"Ros, besok sore sebenarnya aku ada janji. Jadi aku ingin menyelesaikan secepatnya supaya bisa mengejar waktu. Aku pikir di sana selalu ramai dengan orang. Jadi supaya aku bisa cepat mengenalimu kenakanlah baju yang warnanya menyolok. Merah, misalnya. Soalnya, aku repot dan buang waktu kalau harus mencari-cari . Setuju, Ros?" kata Albert dengan serius. Bila merayu, ada kemungkinan Rosi mencurigainya.

"Oke. Aku akan pakai baju merah."

Pembicaraan selesai. Albert termenung. Ternyata firasatnya dulu benar. Kelegaan itu belum bisa ia peroleh. Sekarang, kembali ia harus mencari akal. Terpikir, apakah sebaiknya ia minta bantuan Eric. Tapi dengan terkejut ia segera menyingkirkan pikiran itu. Mustahil ia harus memberitahukan

semuanya. Padahal dulu ia menyingkirkan perempuan yang mengaku bernama Rosi itu justru untuk melindungi Eric. jadi sekarang pun ia harus bekerja sendiri. Sekali melindungi ia harus terus. Sekali tangannya berlumur darah, nodanya tak bisa hapus, sementara dorongan itu terasa terus. Tak bisa bilang. Kalau sudah kepalang basah maunya terus mandi. Rasa tentangan makin lama makin tumpul. Pikiran yang dominan hanyalah bagaimana cara melakukan. Itu saja.

Jam setengah lima Albert sudah menunggu di tempat yang dijanjikan. Tempat parkir masih lega, tapi dia pun tidak menyolok di situ, karena ada beberapa mobil di sebelahnya.


Naskah Laut Mati Makhtutat Al Bahri Al Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini