Ceritasilat Novel Online

Yang Mendendam Dan Mencinta 4

Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari Bagian 4



Penyamaran Albert hampir sempurna. Dia mengenakan kumis palsu yang dulu pernah dipakainya ketika berhadapan dengan Rosi palsu, lalu kaca mata hitam yang besar. Untuk menutupi kepalanya yang setengah botak ia tidak lagi memakai rambut palsu melainkan topi pet. Soalnya, rambut palsu yang dulu pernah dipakainya itu berbau tidak enak.

Dengan pakaian yang sederhana, berupa celana jeans dan kaus murahan lalu membaca koran sambil duduk di belakang kemudi, ia tampak seperti sopir yang sedang menunggu majikannya berbelanja.

Mobil yang digunakannya ketika itu sama dengan mobil yang dulu juga sewaktu ia mengadakan perjanjian dengan Rosi palsu. Nomornya pun yang dulu juga. Dan seperti dulu ia melakukan acara tukar mobil dan penyamaran di rumahnya yang masih kosong di Pondok Indah.

Mobil itu beserta nomornya berarti ia gunakan lagi karena tak ada petunjuk bahwa mobil itu dikenali sebagai kendaraan si pelaku tindak kejahatan di Ancol tempo hari. Ia merasa aman, tapi tak urung matanya sesekali melayang ke arah pos polisi yang letaknya belasan meter dari tempatnya.

Dengan lagak membaca koran dan berlindung di balik kaca mata ia memandang ke sekitarnya dengan leluasa. Ia mencari wanita berbaju merah yang jalan sendirian dan menengok kanan-kiri mencari seseorang. Dari tempatnya itu pun ia bisa menoleh ke tempat perhentian bis untuk meneliti bis-bis yang berhenti. Adakah penumpang wanita berbaju merah turun dari situ?

Sambil menunggu ia berharap agar Rosi benar-benar berbaju merah seperti yang ia janjikan. Hanya itu satu-satunya pegangan baginya untuk mengenali. Untuk bertanya kepada Eric ia tidak berani. Eric pasti bertanya-tanya.

Albert berpikir, kalau Rosi cerdik ia pasti takkan berbaju merah. Malah ia akan sengaja menghindari warna itu. Masalah tanda pengenal bukanlah persoalan bagi Rosi, karena dia mengenal Eric dengan baik. Andaikata Eric tidak segera menge

nali, Rosi bisa. Itu kalau yang datang mencarinya memang Eric. Justru tanpa sesuatu tanda pengenal Rosi akan aman. Dia bisa menghindari kedatangan orang lam, kecuali Eric. Tapi sebaliknya, dengan adanya tanda pengenal pada dirinya ia bisa dikenali orang lain tanpa ia sendiri bisa mengenali orang itu! Masalahnya, apakah Rosi cukup cerdas untuk berpikir ke situ.

Sebuah bis berhenti. Beberapa penumpang turun. Seorang wanita muda yang mengenakan blus kembang-kembang dan rok bawah berwarna merah muda yang menyolok termasuk di antara penumpang yang turun itu. Mata Albert pun melotot memperhatikan. Ternyata bukan mata Albert saja yang melotot, tapi beberapa pria lain di sekitar situ juga berbuat sama. Sebabnya, wanita itu berwajah cantik dan berkulit putih. Rambutnya hitam dan keriting terurai sampai ke bahu. Tubuhnya ramping dengan tinggi yang sedang.

Albert semakin yakin bahwa wanita itulah Rosi. Tentu bukan semata-mata karena gaun merahnya. Di situ ada beberapa wanita lain mengenakan gaun dengan warna yang sama, tapi ciri-ciri fisik yang mereka miliki tidak sesuai dengan apa yang mungkin dimiliki seorang wanita seperti Rosi. Dia memang tidak tahu tapi kira-kira bisa membayangkan. Seorang wanita yang pernah disukai Eric tentunya cantik atau paling tidak memiliki daya tarik tertentu. Dan satu-satunya wanita yang berkualitas demikian di tempat itu dan pada saat itu adalah wanita yang jadi pusat perhatiannya kini.

Lebih-lebih setelah ia melihat gerak-genk wanita itu. Dia memasuki halaman parkir Sarinah lalu memandang berkeliling seakan mencari seseorang. Pandangnya terutama ditujukannya kepada mobilmobil yang sedang parkir. Dan sekali pandang itu mampir kepadanya. Di balik kaca mata hitamnya Albert bisa melihat dengan jelas.

Kemudian wanita itu melangkah menuju tangga. Tapi ia tidak menaikinya, melainkan berdiri saja dengan sikap canggung. Jelas tampak bahwa ia tengah menunggu seseorang. Setelah beberapa saat ia melangkah pelan-pelan sambil terus melayangkan pandang ke sekitarnya.

Albert melihat arlojinya. Jam lima kurang seperempat. Cepat-cepat ia mengeluarkan sehelai kertas yang sudah dipersiapkan lalu mencoretcoret di situ kemudian memasukkannya ke dalam amplop yang ditutupnya rapat-rapat. Di atas amplop ditulisnya 'Untuk Ros'. Tanpa nama pengirim. Setelah itu ia memasukkannya ke dalam sebuah kantung plastik yang sudah berisikan bungkusan kecil. Kemudian ia menunggu dengan sikap sama seperti semula. Koran di tangan ,dan kepala bersandar ke belakang setengah miring seakan terkantuk-kantuk. Tapi matanya tetap terbuka lebar.

Dugaan Albert benar. Ia melihat wanita itu kembali ke tempat semula, ke arah tangga. Gayanya seperti tadi. Berjalan pelan dengan pandang menyapu sekitarnya. Rupanya barusan ia

menjelajahi seputar halaman Sarinah untuk mencari Eric, pikir Albert geli.

Kegelian Albert menjadi rasa senang yang mempertebal percaya dirinya. Wanita itu memang cantik. Tapi dia kurang cerdik karena masih bisa terpancing. Dengan gaun merah dan sikapnya, ia jelas memperlihatkan siapa dirinya. Padahal Albert sempat meragukan. Ia ragu karena mengingat betapa dirinya telah terkecoh dulu. Bahwa Rosi mampu menampilkan seorang Rosi palsu yang ternyata bodoh dan lugu itu tampaknya menunjukkan kecerdikan tersendiri. Tapi dugaan itu rupanya keliru. Bukankah wanita yang cantik itu biasanya kurang berisi otaknya?

Albert masih menunggu beberapa saat lamanya. Tak ada lagi wanita bergaun merah yang memperlihatkan penampilan dan gaya seperti yang diperlihatkan wanita dekat tangga itu. Ia memang harus yakin seyakin-yakinnya.

Kini wanita itu menaiki beberapa anak tangga, lalu duduk di pinggiran dan membuka-buka koran yang dipegangnya. Ia bersikap seakan sedang membaca tapi sesekali ia masih melayangkan pandang ke sekitarnya. Dan setiap kali ada mobil mendekat untuk mencari tempat parkir, matanya nyalang memperhatikan.

Beberapa menit menjelang jam lima, Albert menjalankan mesin mobilnya setelah menutup kaca jendela. Sempat dilihatnya wanita itu menoleh kepadanya. tapi cuma sebentar.

Albert menjalankan mobilnya pelan-pelan. Ia tidak menuju keluar, melainkan mencari tempat parkir lain di halaman yang sama.

Sebentar-sebentar Rosi memandang arlojinya. Ia gelisah. Padahal baru jam lima lebih sedikit. Mungkin dia terlalu cepat datang. Semestinya bukan dia yang menunggu, melainkan Eric. Tapi ia khawatir Eric akan segera pergi bila kesal menunggu. Padahal ia membutuhkan. Ah, bukan Eric yang dibutuhkannya melainkan uang. Tentu saja. Kalau bukan karena itu, ia takkan menempuh pengalaman yang penuh risiko seperti ini. Sesungguhnya ia takut. Tak mungkin ia bisa melupakan kematian Mariani yang mengerikan. Apalagi kalau terpikir bahwa sesungguhnya dialah yang harus mati itu. Kalau bukan karena suatu kebetulan, Mariani takkan mengisi tempatnya dengan akibat dialah yang mati!

Mariani adalah sahabatnya, dalam suka maupun duka. Mereka bisa akrab karena sama-sama satu profesi. Tapi pada mulanya ia tidak menceritakan tentang rencananya memeras Albert pada Mariani. Ia takut karena sadar bahwa perbuatan semacam itu adalah kriminal. jadi lebih baik bila tak ada orang lain yang tahu. Namun apa daya, menjelang pertemuannya dengan Albert ia sakit. Tak mungkin ia bisa pergi. Karena merasa sayang melepas 'rezeki' itu begitu saja, ia mengajak

Mariani bekerja sama. Nanti hasilnya dibagi dua. Dengan antusias Mariani setuju. Bahkan Mariani menenangkan keresahannya,

"Yang kita peras itu toh orang kaya yang jahat. Jadi nggak apa-apa!"

Tapi Mariani sangat malang nasibnya. Dan kejadian itu sama sekali di luar perhitungan mereka berdua. Yang terpikir hanyalah kekayaan Albert yang banyak itu tidak akan membuatnya segan melepaskan uang untuk melindungi putra tunggalnya. Tak sedikit pun timbul perkiraan bahwa Albert bisa menjadi seorang pembunuh.

Setelah kehilangan Mariani, Rosi menjadi bingung. Ia tahu, seharusnya segera melapor kepada polisi. Itu juga sesuai dengan kehendaknya sendiri. Ia sedih dan marah. Tapi ia juga takut. Terpikir, dirinya sendiri tak akan luput dari hukuman. Dalam kebingungan ia tak bisa segera memutuskan. Lalu keingintahuan mendorongnya menghadiri sidang perkara Eric. Ia belum pernah melihat wajah Albert, jadi ingin menggunakan kesempatan ketika Albert tampil sebagai saksi untuk melihatnya. Albert tidak mengenalnya. Tapi Eric melihatnya. Dan sikap Eric yang demikian kaget ketika melihatnya melahirkan kesimpulannya, bahwa Eric tentunya mengira ia sudah mati. Dialah yang mati di Ancol itu. jadi, pastilah Eric diberi tahu ayahnya atau paling tidak mereka bersekongkol. Ketika itu dengan sengaja ia menantang pandangan Eric, puas melihat ketakutan di wajah Eric. Tapi kemudian dia pun merasa takut. Ia buru-buru pergi dan lama tak berani

muncul-muncul di hotel di mana ia biasa mencari langganan. Ia takut kalau-kalau Albert akan mencarinya atau mengirim tukang pukulnya untuk membunuhnya. Seseorang yang sudah pernah membunuh tidak akan segan-segan membunuh lagi untuk kedua kalinya.

Tapi lama tidak terjadi apa-apa. Dia merasa kian aman. Tak pernah ada orang mencari-carinya tanpa tujuan yang jelas. Sampai suatu ketika muncul lagi problem yang sama. Ia membutuhkan uang. Seorang adiknya di daerah asalnya membutuhkan biaya untuk sekolah, padahal orang tua miskin. Dia ingin membantu karena terbiasa membantu. Maka dalam keadaan itu ia pun teringat lagi akan usahanya yang gagal dulu. Berbahaya memang. Apalagi sudah terbukti. Tapi itu merupakan satu-satunya cara memperoleh uang banyak dalam waktu singkat. Apalagi rasa penasaran itu masih ada. Alangkah nyamannya pembunuh itu karena bisa berkeliaran dengan bebasnya. Setidaknya ia masih harus membayar!

Ia menghubungi Eric karena yakin bahwa lelaki ini lebih lemah dibanding ayahnya. Bagaimanapun ia sudah mengenal Eric. Dan menurut perhitungannya Eric tidak akan memberitahukan tentang dirinya kepada ayahnya. Pasti Eric juga takut kalau-kalau ayahnya sampai shock karena menyadari kekeliruannya membunuh. Semua akan berlangsung lebih lancar. Ia pun akan waspada. Tidak akan diulangnya kesalahan Mariani. Ya,

kenapa Mariani mau saja dibawa ke tempat begitu sepi?

Jumlah yang dimintanya memang jauh lebih besar daripada kebutuhannya. Tapi kalau meminta sedikit nanti Eric keenakan, padahal risiko untuk dirinya sendiri begitu besar.

Tiba-tiba Rosi terkejut. Seorang laki laki tiba-tiba sudah berada di sisinya. Ah, dia bukan Eric. Laki-laki itu berseragam tukang parkir dan sudah tua.

"Nona Rosi?" sapa si tukang parkir.

Ya'!

"Ini ada titipan."

Si tukang parkir menyodorkan sebuah kantung plastik berwarna hitam yang tidak tembus pandang. Ragu-ragu Rosi menerimanya.

"Dari siapa?" ia bertanya.

"Nggak tahu. Saya cuma dimintai tolong. Tapi katanya ada suratnya."

Rosi juga sudah melihat surat itu. Lebih-lebih bungkusan persegi di bawah surat. Ia sempat merabanya dan itu membuatnya berdebar. Ia tak sabar ingin melihat apa isinya.

"Ya, Pak. Terima kasih."

Si tukang parkir berlalu sambil tersenyumsenyum. Ia memberi tanda kepada Albert yang berdiri di kejauhan tapi bisa melihatnya. Tugasnya sudah beres. Dan uang lima ribu aman di saku. Lumayan. Sering seringlah ada suami yang janji ketemu pacar di sini takut kepergok istri, seperti

alasan yang dikemukakan lelaki yang menyuruhnya tadi.

Rosi membaca dulu surat itu. Agak susah terbaca, karena tulisan tangan di situ jelek sekali. Tertulis,

"Rosi. aku tidak bisa lama-lama. Ada janji penting. Bagaimana kalau besok pada jam yang sama di tempat ini juga? Kau bisa menghubungi. Tapi supaya kau tidak kecewa, ini kuberikan uang muka. Seperempatnya dulu. Sisanya besok."

Hanya itu saja. Tidak ada tanda tangan atau nama pengirim. Itu bisa dimaklumi. Eric tentu tidak ingin dikenali. Tapi Rosi sudah berdebar dibuatnya. Berapakah seperempat dari sepuluh juta? Ah, dua setengah juta! Itu sudah cukup. Lebih dari cukup. Besok datang lagi ke sini, lalu menunggu lagi dengan jantung berdebar-debar? Siapa tahu besok Eric menyiapkan jebakan untuknya. Sekarang ia diberi uang muka supaya merasa tergiur akan sisanya hingga bersedia datang lagi tanpa curiga. Tapi ia tentu tidak sebodoh itu. ia pun tidak rakus dan serakah. Dua setengah juta cukuplah. Yang penting aman. Biarlah Eric menganggap ia akan datang lagi besok. Untuknya perkiraan Eric itu pun berarti aman. Sementara ini Eric tidak akan melakukan sesuatu sampai besok sore. Padahal besok pagi-pagi sekali ia sudah dalam perjalanan pulang kampung.

Tapi tunggu dulu. Benarkah isi bungkusan itu uang? Siapa tahu kertas koran dipotong-potong. Tapi itu rasanya tidak mungkin. Toh ia tidak tahan

untuk tidak mengoreknya sedikit. Kertas pembungkus dirobeknya bagian pinggir. Ah, benar itu uang.

Bergegas Rosi bangkit. Kantung plastik itu dipegangnya erat-erat. Setelah memiliki barang berharga kewaspadaannya jadi meningkat. Banyak pejambret berkeliaran. Akhirnya ia memutuskan naik taksi pulang. Di situ banyak taksi menunggu penumpang.

Albert terus mengikuti Rosi dengan matanya. Dan ketika taksi yang ditumpangi Rosi bergerak maju, ia pun menjalankan mobilnya. Dalam benaknya bermunculan berbagai rencana.

Tapi diakuinya sendiri, susah menyusun rencana dalam keadaan seperti itu. Apa yang akan dilakukannya masih banyak tergantung pada situasi dan kondisi. Ia memang belum tahu apa saja yang akan dilihat dan ditemuinya nanti. Yang penting ia harus menemukan dulu di mana Rosi tinggal.

***

PADA saat Albert berada di halaman parkir Sarinah, Eric sedang bersama Amelia. Mereka tak punya tujuan yang pasti. Yang terasa paling penting hanyalah untuk berada bersama-sama. Jadi tanpa ke mana-mana pun tujuan utama sudah tercapai.

Kalau sudah tak ada lagi objek menarik untuk dikunjungi, maka mereka cuma keliling-keliling kota jakarta dan memasuki pelosok-pelosoknya. Tak jarang mereka kesasar dan berkeliling di tempat itu-itu juga. Tapi mereka malah jadi tertawa geli. Lebih-lebih kalau sudah terlibat percakapan membingungkan dengan orang yang ditanyai jalan. Misalnya,

"Pak, numpang tanya, ya. Kalau mau keluar jalan mana?"

"Keluar? Keluar ke mana, ya?"

"Pokoknya keluar.... Ah, keluar itu ke mana sih? Kami kesasar, Pak."

"Oh, bilang dong kesasar. Jadi, mau ke jalan besar?"

Sesudah ditunjuki jalan baru mereka terbahak. Lain kali kalau tersesat lagi. mereka sudah tahu apa yang harus ditanyakan. Yaitu, arah ke "jalan besar'.

"Dengan begini, kita jadi mengenal seluk-beluk kota jakarta. Baru kita sadari betapa luasnya kota kita ini," komentar Amelia.

"Biasanya, kalau tidak sengaja mencari alamat seseorang tak mungkin kita sampai keluar-masuk begitu," tambah Eric.

"Dan kalau sendirian pasti jadi pusing."

"Benar. Tapi walaupun berduaan pun kalau bukan denganmu aku pasti tak mau."

Mereka tertawa.

Setelah peristiwa mengagetkan di jalan Gajah Mada tempo hari, mereka sepakat untuk bergantian memegang kemudi. Sedang Amelia pun tidak berusaha mengorek-ngorek lagi. Ia sudah memutuskan untuk bersabar.

"Dua hari lagi mereka pulang, Lia," kata Eric.

"Mereka?"

"Orang tuamu. Wah, masa lupa. Bukankah kau akan menjemput mereka di airport ?"

"Oh, lupa sih tidak. Habis kau ngomong tanpa ujung pangkal.

"

Eric tertawa.

"Kau kangen pada mereka?"

"Tentu saja. Kubayangkan Mama bermuka bundar. Itulah yang ditulis Papa dalam kartuposnya. Mama bertambah gemuk. Dia sudah pulih hampir seratus persen."

"Hampir?"

"Iya. Kata Papa, Mama masih suka menangis dan melamun. Aku yakin, Mama tak bisa melupakan."

"Ibumu masih punya kau sebagai anak."

"Benar. Tapi dulu dia punya dua, bukan satu."

Eric diam. Kembali dia merasakan kecemasan dan keputusasaan yang sama. Semakin dekat saat orang tua Amelia pulang, semakin dekat rasanya dia ke neraka.

Tapi Amelia membayangkan kepulangan orang tuanya sebagai akhir kemisteriusan sikap Eric. Bagaimanapun. Eric harus berkenalan dengan orang tuanya. Mustahil sembunyi-sembunyian terus. Lalu Eric harus menceritakan tentang dirinya secara tuntas. Selama ini dia menerima karena yakin akan hal itu. Ia sabar menunggu karena selama menunggu itu sudah cukup banyak yang ia nikmati, yaitu kebahagiaannya bersama Eric.

Sedang Eric yang mencemaskan kepulangan orang tua Amelia, seakan hanya dari mereka sajalah bencana untuknya bakal datang, jadi melupakan risiko lainnya, yaitu kemungkinan buruk dari orang-orang yang berada di dekatnya. Dan itulah yang terjadi pada hari itu.

Mereka tengah berada di resmran, aSyik menikmati hidangan sambil mengobrol ketika tiba-tiba seorang pria mendekat Eric.

"Hai, Bung Eric, apa kabar " serunya sambil menepuk pundak Eric.

Bukan cuma Eric yang terkejut, tapi Amelia juga. Memang mereka tidak langsung kaget pada saat itu juga. Terlalu cepat waktunya bagi mereka untuk membalas sapaan orang itu, hingga tidak sempat berpikir. Kalaupun teringat mereka

berusaha menjaga sikap. Barulah setelah orang itu pergi keduanya saling memandang. Eric dengan segala kecemasannya, sedang Amelia melotot seakan Eric itu manusia yang belum pernah dilihatnya, bahkan seakan Eric itu monster mengerikan. Kemudian mulutnya membuka tapi tak segera keluar suara. Baru setelah ia berusaha dengan memaksakan lidahnya terucap pelan,

"Eric? Eric Siahaan? Kau? Kau?"

Eric menundukkan muka. Dalam hatinya tak ada suara apa-apa. Dalam benaknya pun tak ada pikiran apa-apa. Semua kosong. Ia hanya menerima saja apa yang akan terjadi.

"Kaubohongi aku selama ini!" desis Amelia.

"Kau pura-pura sebagai dermawan yang baik hati!"

Beberapa orang di dekat mereka menoleh.

"Kita bicara di mobil? Makilah aku di sana," kata Eric pelan.

Amelia berdiri lalu lari ke luar. Dan Eric berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak mengejar. Ia memanggil pelayan untuk mengambilkan bon makanan, lalu membayarnya tanpa mengambil uang kembaliannya. Terburu-buru ia keluar untuk mencari Amelia. Kunci mobil ada padanya.

Amelia tengah bersandar lemas ke mobil. Mukanya tengadah memandang langit dan bibirnya digigit-gigitnya. Kelihatan ia sedang berusaha menahan tangis. Dan setelah Eric membuka pintu

mobil. ia cepat masuk lalu terisak-isak sambil menutup muka dengan kedua tangannya.

Tanpa mengatakan apa-apa Eric menjalankan mobil perlahan-lahan.

"Aku menyesal, Lia. Menyesal sekali. Apa saja mau kulakukan asal bisa memperbaiki..."

"Mana mungkin! Kau tak mungkin bisa mengembalikan Kak Emil pada kami!" Amelia berhenti menangis.

"Ya. Aku berdosa."

"Tapi kau tidak mau menanggung dosamu itu secara ksatria. Kau malah tidak mau mengakui. Kau menyuap sana-sini. Kau mencari enaknya saja. Kau mencemooh usaha kami mencari keadilan. Hukuman yang ringan bagimu itu merupakan tamparan bagi kami! Aku benci kau! Benci! Tahu? Apalagi sekarang, setelah kau merayuku dengan cinta gombalmu. Oh, kalau saja aku tahu. Ya, kalau saja aku tahu.... Tapi, oh, aku tidak tahu..." Tangis Amelia meledak lagi.

Heran, pikir Eric. Aku kok tidak merasa sakit lagi. Seperti hilang perasaanku. Bagaikan habis ditindihi es lalu ditusuk-tusuk. Tak sakit lagi jadinya. Padahal yang seperti ini sudah ditunggutunggunya. Selalu terpikir, mampukah ia menanggung sakitnya? Ternyata seperti inilah.

Belakangan baru ia sadar, sebaiknya tidak terus mengendarai mobilnya dalam keadaan seperti itu. Selama Amelia tidak minta diantarkan pulang ia tidak akan membawanya pulang, walaupun dimaki-maki sepanjang jalan. jadi ia membelokkan

mobilnya ke halaman parkir sebuah pusat pertokoan.

Amelia tidak protes. Ia pun tidak begitu menyadari di mana mereka sekarang berada. Pahit dan sakit sekali rasanya hingga ingin betul ia pingsan sejenak agar bisa melupakan semuanya. Ia merasa ditipu, dibohongi. Dan dia juga bodoh.

"Kalau kau sudah tahu siapa aku, mestinya kau tidak mendekatiku. Tak usah kenal. Tak usah merayu," kata Amelia tajam.

"Ya. mestinya begitu. Tapi entah kenapa, ada dorongan dalam diriku. Aku mencintaimu walaupun takut akan akibatnya."

"Ah, omong kosong. Kau salah. Salah! Kenapa kau harus mencintaiku dan membuat aku mencintaimu juga? Itu kan tidak mungkin!"

"jadi, memang tidak mungkin, Lia?"

"Tentu saja tidak."

"Tak adakah maaf untuk seseorang yang menyesal?"

"Maaf? Maaf hanya ucapan. Tapi di dalam hati segala perasaan negatif masih tetap ada. Tak mungkin hilang."

Eric diam. Rasanya dia seperti sedang diguyur air es. Sangat dingin. Tapi yang dingin itu di dalam dirinya. Dan itu membuat perasaan-perasaannya yang sempat hilang tadi kembali lagi perlahanlahan. Marah, sedih. sakit, cemas.

Lama tak mendengar suara. Amelia menoleh jengkel. Wajahnya masih menampakkan kegeraman. Ia ingin memaki lagi, tapi kemudian tidak jadi.

:

Ia tertegun dan memandang dengan terpesona. Eric menggertak-gertakkan gigi dan di pipinya ada aliran air. Jadi, lelaki yang gagah dan perkasa ini bisa menangis? Wajah Amelia melembut. Sesungguhnya ia berperasaan halus. Tapi tak lama kemudian wajahnya mengeras lagi ketika timbul pikiran yang menyakitkan. Dan ia tak tahan untuk tidak mengutarakannya.

"Sekarang kau menangis, Bang," katanya tanpa nada sinis.

"Tapi dulu, ketika kau barusan menabrak kakakku dan melindasnya sampai lumat, tidakkah kau menangis juga?"

Sesudah bertanya, Amelia menyesal. Sepertinya pertanyaan itu terlalu kejam. Karena itu ia memalingkan muka ke arah lain, tak ingin melihat wajah Eric.

"Ya. Aku juga menangis di dalam kamar," Eric mengaku terus terang.

Kembali Amelia tertegun. jawaban semacam itu tak disangkanya. Tapi kemudian membuat penasaran.

"Tapi kau tetap sembunyi. Kau pengecut. Tidakkah kau menyesal dan merasa bersalah?"

"Ya, ya. Aku memang pengecut. Tapi aku juga menyesal dan merasa bersalah."

"Ah, apa iya? Tempo hari di pengadilan katanya kau kelihatan sombong dan angkuh, seakan tidak melakukan kesalahan apa-apa."

"Kesombongan itu cuma di luar. Tak ada yang tahu bagaimana kalau aku sendirian di kamar. Sejak peristiwa itu aku jadi pecandu valium. Dan belum bisa meleoaskan diri sampai sekarang."

"Tidak ke dokter?" tanya Amelia spontan. Sejenak amarahnya terlupakan.

"Oh, sudah. Sekarang masih berobat. Aku ke psikiater. Dokter Tobing itu. Ingat? Dia jugalah yang mengobati ibumu. Dia tahu tentang aku. Maksudku, mengenai apa yang kurasakan."

"Kenapa kau justru memilih dokter itu padahal dia sudah membela Mama?"

"Aku pikir, dia tidak membela. Dia mengatakan tentang yang sebenarnya. Aku mengaguminya."

"Apa yang menyebabkan kau ingin lepas dari ketagihan?"

"Kau!" jawab Eric tanpa ragu-ragu.

Amelia terkejut. Ia diam. Dan tiba-tiba menyadari bahwa percakapan sudah beralih kepada masalah kepentingan Eric. Sedang emosinya pun sudah pula menyurut. Yang tertinggal adalah beban, berat dan menekan.

Eric menyadari perubahan itu juga. Sedikit kebahagiaan menghangatkan perasaannya. Dengan menanyakan keadaannya berarti Amelia masih menaruh perhatian padanya. Tapi ia tak ingin berharap. Walaupun rasanya sakit ia toh sudah pasrah. Sakit itu memang tak dapat ditolak.

"Andaikata aku mendapat hukuman yang lebih berat, apakah kau akan puas dan tidak marah lagi ?"

Amelia menoleh dengan wajah jengkel.

"Aku marah karena banyak hal. Dan salah satunya adalah karena kau main suap."

"Kuakui, hukuman yang kuperoleh sangat tidak setimpal."

Amelia terkejut.

"jadi, benar kau main suap?"

"Bukan soal itu yang mau kukatakan. Tapi, aku memang berbohong. Sesungguhnya aku tidak dalam keadaan sakit waktu menabrak kakakmu. Tapi aku. .." Eric diam sejenak, lalu dengan ngeri ia meneruskan,

"aku dipengaruhi alkohol!"

Amelia memekik. Untung tak ada orang di dekat-dekat situ. Dan belum lagi gaung pekikannya lenyap ia menubruk Eric, menamparnya lalu memukuli dadanya bertubi-tubi. Eric membiarkan saja. Ia cuma berharap tak ada orang melihat.

Setelah emosinya mereda, Amelia bersandar kelelahan. Dadanya naik-turun oleh napas yang sesak. Kemarahannya terasa luar biasa. jauh lebih besar daripada tadi, saat mengetahui siapa Eric sebenarnya. jadi seperti inikah laki-laki yang beberapa saat lalu sangat dicintainya? Serendah itukah dia? Oh, dia sangat ingin meledak. Tapi ternyata tenaganya sudah tak ada. Air matanya pun seperti sudah kering.

Tapi keberanian Eric justru bertambah.

"Kau bisa menuntutku lagi kalau kau mau. Aku bisa menunjukkan saksinya."

Amelia terkejut. Ia memandang keheranan. Apakah usul itu suatu tak-tik? Atau Eric sudah kurang waras?

"Aku serius, Lia. Sebelum memulai perjalanan waktu itu aku bersama seorang wanita di Hetel jakarta. Dia bernama Ros, ah, Rosi atau Rosa, ya? Tapi kemungkinan besar Rosi. Dengan dialah aku minum-minum. jadi dia tahu betul. Dan aku pikir,

dia memang tahu. Soalnya waktu aku diadili dia datang menonton. Aku heran kenapa dia tidak melapor saja sewaktu mendengar kisah kepalsuan di sidang. Tapi..."

Belum selesai Eric bicara Amelia sudah terkulai pingsan. Ia sudah tak kuat lagi menanggung beban emosinya. Terlalu banyak kejutan yang didengarnya. Semakin lama semakin keterlaluan.

Eric kaget. Ia merabai nadi Lia, memeriksa napasnya. Ia panik. Ah, Lia tidak mati. Lia cuma pingsan. Dan semua itu karena salahnya. Dosanya terlalu banyak. Dengan bingung Eric memeluk Lia, menyandarkan kepala Lia di dadanya lalu membelai-belainya. Andaikata sesuatu terjadi atas diri Lia biarlah ia dihukum mati saja.

Tak lama kemudian Amelia sadar kembali. Sewaktu menyadari dirinya berada dalam pelukan erat Eric ia terkejut lalu meronta melepaskan diri. Eric tidak menahan.

"Kau pingsan tadi, Lia," ia mengingatkan. '

Amelia berusaha mengumpulkan ingatannya lagi. Ia termenung memandang ke luar jendela mobil. Oh, rasanya dia ingin mati saja kalau beban terlalu banyak seperti ini. Kemudian ia tersentak. Ia segera duduk tegak dan menatap Eric lurus-lurus.

"Sadarkah kau akan akibat ceritamu tadi?" ia bertanya.

"Ya. Tentu saja."

"Kau tidak takut?"

"Kalau tidak takut, aku bukan manusia. Tapi aku lebih lega sekarang. Kau sudah tahu semuanya. Tak ada lagi yang kusembunyikan."

Amelia tertegun. Tiba-tiba ia sadar, betapa beratnya beban itu bagi Eric. Bukan cuma buat dirinya sendiri. Bahkan untuk Eric mungkin jauh lebih berat. Dan lagi, tidakkah yang dibencinya itu Eric yang dulu? Padahal Eric yang dulu itu dikenalnya hanya lewat cerita orang tuanya saja. Sedang Eric yang dikenalnya, diakrabinya, dan juga dicintainya, adalah Eric yang sekarang. Tapi bagaimana mungkin menghapus trauma itu? Kini, cara dia melihat Eric tidak bisa sama lagi seperti hari-hari kemarin.

"Maafkan aku, Bang. Tadi aku sudah memukulmu. Sekarang aku menyesal telah berbuat begitu."

"Tidak apa-apaKau sekadar melampiaskan kemarahan. Aku layak menerimanya."

Susah rasanya bagi Amelia mempercayai. Benarkah Eric berjiwa besar? Kalau saja dia belum tahu siapa Eric sebenarnya takkan susah ia mempercayai. Tapi masa lalu Eric yang demikian berbeda membuat sikapnya sekarang jadi meragukan. Jangan-jangan cuma kepalsuan, tak ubah kepalsuan yang pernah diciptakannya dulu.

"Tahukah kau, bahwa apa yang kaukatakan dan kaulakukan itu bisa membuat orang tuamu marah besar?" tanya Amelia kemudian.

"Tentu aku tahu. Tapi aku sudah siap menanggung risikonya. Akan kutanggung sendiri. Cuma ayahku Ah. aku tahu dia bermaksud ingin

melindungiku. Pendeknya aku belum tahu bagaimana menghadapinya," keluh Eric.

"Orang tuaku pun kemungkinan akan marah padaku."

"Kau tak usah menceritakan. Mereka tak akan tahu," kata Eric dengan perasaan pedih.

"Tapi aku tak bisa menyembunyikan. Aku biasa berterus terang."

"Beruntung kau punya orang tua seperti itu."

"Ah, mereka juga punya kekurangan-kekurangan."

"Aku mengagumi ibumu. Tapi aku juga takut padanya."

"Kalau kau tidak punya salah, kau tidak perlu takut."

"Aku ingin sekali menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya pada orang tuamu. tapi mereka memandangku begitu rupa hingga aku tidak punya kemampuan untuk bicara. jadi kaulihat, tak ada penyaluran buat perasaanku yang terhimpit. Baru kemudian kepadamu aku punya kesempatan."

"Tapi kau melakukannya secara salah."

"Lantas, apa sebaiknya aku mengaku terus terang pada perjumpaan kita yang pertama? Kau pasti akan memandangku dengan cara yang sama pula. Berarti tak ada lagi kesempatanku."

"Karena itu kau tega membohongi aku," kata Amelia jengkel. Teringat bagaimana ia memuja dan memuji Eric sebagai orang yang sangat baik.

"Maafkan aku, Lia."

"Huh."

Lalu timbul tentangan dalam diri Eric. Ia sudah melakukan segala sesuatu untuk menyatakan sesalnya. Ia pun sudah terlanjur mencintai Amelia. Apakah itu juga salah? Kalau memang sudah tak diterima, bukankah sebaiknya ia tak usah merengek dan memohon-mohon? Keangkuhannya mulai kembali.

"Aku bisa membantumu mencari Rosi. Dia bisa dijadikan saksi kalau kau mau menuntutku," kata Eric dingin.

"Buat apa? Akhirnya pengadilan toh cuma sandiwara!"

"Apakah pengadilan atas ibumu itu pun sebuah sandiwara?" Eric -balas bertanya.

Amelia tak bisa menyahut.

"Sudahlah. Kita pulang saja. Mungkin di rumah kau bisa memikirkan apa yang akan kaulakukan," kata Eric kemudian.
Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amelia teringat kepada orang tuanya yang akan segera kembali. Bagaimana dia bisa menghadapi mereka dengan ceritanya? Dia sudah berpacaran dengan pembunuh Emil, orang yang paling dibenci ayah-ibunya, orang yang telah membuat ibunya hampir gila! Sekarang, sesudah terlibat seperti itu, begitu saja Eric menyuruhnya mencari jalan keluar sendiri.

"Kau mencari enaknya saja!" bentak Amelia marah.

"Tapi aku sudah mengajukan pilihan. Kau bisa menuntutku, kan? Kali ini pasti hakim tidak akan memberiku hukuman percobaan. Kau akan puas

melihat aku dijatuhi hukuman berat. Kau akan puas menonton aku di sidang, bagaimana aku menunduk malu, dihina dan dicemooh orang!" balas Eric tak kurang kerasnya.

Amelia tertegun. Ya, bagaimana caranya dia melenyapkan rasa penasaran itu? Apakah harus diatasi dengan kepuasan dendam?

"Pendeknya, aku belum mau pulang sekarang. Aku tidak mau disuruh memikirkan persoalan ini sendirian. Paling tidak kita harus mencari penyelesajan bersama sama."

"Aku akan setuju apa pun yang kausarankan dan kauinginkan, Lia."

"Tidak bisa begitu."

"Baiklah. Tapi kita tak mungkin di sini terus. Lihat tukang parkir itu. Sebentar lagi dia pasti akan membawa Satpam kemari."

"Kita ke Ancol saja."

Eric memandang heran.

"Hei, jangan berpikir macam-macam. Di sana kita bisa berbicara leluasa. Kalau aku mau menangis pun tak ada yang peduli."

"Baik," kata Eric sambil menstarter mobilnya.

Sentimentil, pikir Amelia tentang dirinya sendiri. Di tepi pantai, di bawah naungan pohon kelapa, dia dan Eric untuk pertama kalinya saling menyatakan cinta. Tapi di sana pula dia akan menyatakan putus! Lalu menangisi riwayat percintaannya yang begitu singkat.

Ia yakin tak mungkin kisah cinta yang dibayangi kematian itu berlanjut. Dengan melihat Eric maka

dia pun melihat Emil, lalu teringat tragedi kematiannya. Toh harus diakuinya bahwa kisah cintanya dengan Eric telah memberinya pengalaman membahagiakan. Mungkin paling membahagiakan sepanjang usianya. Tapi itu diperolehnya justru karena kematian Emil. Ya, setelah kematian ada cinta.

***

Cuaca sudah gelap ketika Albert membuntuti taksi yang ditumpangi Rosi. Sambil memasang mata ia terus berpikir. Apa yang akan dilakukannya setelah mengetahui alamat Rosi? Bisa jadi Rosi cuma indekos atau menyewa ruangan dan besok lusa dia segera pindah mencari tempat baru, hingga usahanya yang sekarang ini sia-sia belaka. Bukan saja dia kehilangan uang dua setengah juta rupiah, tapi Rosi pun akan terlepas dari tangannya. Siapa tahu Rosi sudah merasa cukup untuk sementara, lalu menghilang untuk kemudian muncul lagi kelak? Itu tak akan habis-habisnya. Padahal selama waktu itu bukan tak mungkin ia bicara kepada orang lain. Sekarang ini saja risiko semacam itu ada. Tapi melihat Rosi jalan sendirian ia optimis Rosi memang belum memberi tahu siapa-siapa. Tapi bukan itu saja yang dikhawatirkannya. Ia takut pengalaman buruknya dengan si Jon akan terulang. Sesudah memperoleh uang dan menghabiskan uang itu, siapa tahu Rosi terdorong untuk melapor kepada polisi. Alangkah bodohnya dia bila sampai dibegitukan untuk kedua kalinya.

Setelah berkelok-kelok ke sana dan ke sini, akhirnya taksi memasuki sebuah wilayah pemukiman menengah, dalam arti rumah-rumah di situ tidak terlalu jelek tapi juga tidak mewah. Kemudian di mulut sebuah gang sempit taksi berhenti.

Albert pun buru-buru meminggirkan kendaraannya karena jalan di situ tidak terlalu lebar. Lalu tanpa berpikir, semata-mata dorongan naluri, ia mengambil pisau yang sudah disediakannya di lantai mobil lalu menyembunyikannya di dalam lipatan koran. Kemudian ia siap keluar dari mobil. Baru setelah Rosi keluar dari taksi ia keluar juga lalu berpura-pura menengok kanan-kiri seakan sedang mencari alamat seseorang. Ia melihat suasana yang sepi di sekitarnya dan menganggapnya sebagai suatu kebetulan yang 'tak boleh dilewatkan. Mungkin karena saat itu sudah magrib. Tak ada orang kelayapan di jalan. Juga tak ada anak-anak yang sedang bermain.

Taksi meluncur pergi dan Rosi melangkah untuk memasuki gang sempit. Cepat-cepat Albert bergerak setengah berlari.

"Bu. numpang tanya, Bu!" serunya. Rosi berhenti dan menoleh. Pada saat itu Albert sudah dekat. Ia mengayunkan pisaunya secepat kilat. Ketika Rosi terhuyung dengan pisau masih menancap di dadanya, Albert menarik kantung plastik hitam dalam genggaman Rosi. Setelah kantung itu pindah ke tangannya ia lari menuju mobilnya. Kemudian kabur.

Baru saat itu ia bisa bernapas. Ia tegang betul tadi. Tak disangkanya bahwa niatnya bisa terlaksana dengan begitu mudahnya. Sangat mudah. Tak ada orang melihat. Tak ada yang mengejar. jadi tak ada saksi. Sudah dua kali ia berhasil. Kebanggaan berhasil mengatasi kecemasan. Jangan lagi ada yang mencoba-coba memerasnya.

Dengan kakinya ia menyentuh kantung plastik yang diletakkannya di lantai. Terasa masih utuh bungkusan di dalamnya. Ia tersenyum. Benar, pengalaman akan membuat orang lebih pintar.

Ia melaju ke arah Pondok lndah untuk melepaskan penyamarannya dan mengganti kembali mobilnya. Nomor palsu itu tentu harus dicabutnya sebelum kelupaan lalu disimpan di tempat tersembunyi. Pada kesempatan lain ia akan melenyapkannya. Demikian pula segala perlengkapan penyamarannya. Ia yakin, semua itu tak lagi ia perlukan. Menyimpannya lama-lama bisa membahayakan kelak.

Kantung plastik hitam tadi ditorehnya sedikit. Isinya masih utuh. Tapi kertas pembungkus uang sudah robek di bagian pinggir. Tentu perempuan itu mau menelitinya lebih dulu. Albert tersenyum lebar. Kini ia tak sampai kehilangan uang itu hingga bisa digunakannya untuk keperluan lain.

Pikirannya melayang kepada Eric. Anak itu tentunya sedang asyik berpacaran. Ya, kalau bukan karena Eric telah menabrak orang dia takkan jadi pembunuh. Tapi rasanya tidak patut

menyesali. Ia sudah melindungi Eric, putra tunggalnya, dengan segala kemampuannya. Tapi jauh di dalam hati ia mengakui bahwa sesungguhnya ia melakukan semua itu bukan semata-mata demi Eric. Bila seorang anak sudah dianggap mutlak milik orang tuanya dan jadi objek kebanggaan orang tuanya, maka salah atau benar si anak harus dibela dan dilindungi. Orang tua sudah terlibat. Harga diri anak, harga diri orang tua. Padahal berapa yang dimaksud dengan harga itu bisa tak terbatas.

Pada mulanya adalah kematian seseorang. Setelah kematian, ada lagi kematian. Kemudian ada lagi kematian berikutnya. Bagaikan balada sedih seseorang yang tengah berada di medan perang.

Esoknya pagi-pagi sekali pintu pagar rumah Albert digedor orang. Bel pun berdering-dering tak sabaran. Gelagapan Ali dan Bi Onah bangun dari tidur mereka, lalu bergegas membuka pintu rumah dan kemudian melongok ke luar. Mereka melihat lima orang berdiri di balik pagar. Yang dua orang berseragam polisi!

"Cepat buka pintu! Polisi!" seru salah seorang.

Gemetar tubuh Bi Onah.

"Jangan dibuka dulu, Li. Barangkali rampok," ia mencegah.

Setelah kebingungan sebentar, Ali berlari lagi ke dalam untuk membangunkan majikannya. Sementara itu gedoran tambah keras.

"Ayo, cepat buka!" terdengar seruan berulang-ulang.

Dengan ketakutan Bi Onah terseok-seok berjalan ke depan. Rasanya dia sudah tak bisa jalan. Dan juga kepingin kencing. Tapi setelah tiba di pintu pagar ia lupa belum mengambil kunci! Orang-orang di luar memaki dan menggerutu hingga dia tambah takut. Akhirnya setelah terpikir bahwa ada kemungkinan ia ditembak dari belakang baru ia bisa lari cepat. Tapi ia beruntung karena

berpapasan dengan Ali yang keluar membawa kunci.

Ketika lima orang itu masuk, Albert dan Sri sudah menunggu dengan wajah pucat.

"Mau apa polisi ke sini, Pa?" tanya Sri cemas. Yang segera terpikir adalah Eric. Keselamatan Eric terancam karena polisi sudah mengetahui kebohongan tentang penyakitnya.

Tapi Albert tidak menjawab. Ia berpikir dengan cepat. Mereka memang polisi. Itu tak bisa diragukan lagi, walaupun mereka tidak memperlihatkan kartu identitas. Dalam hitungan detik ia berpikir. Adakah yang salah dalam perbuatannya kemarin? Padahal ia sudah melakukannya dengan cermat.

Eric keluar dari kamarnya, sudah berpakaian rapi. Ia sudah mendengar tentang keributan itu dan segera mengambil kesimpulan. Pasti Amelia sudah melaporkan perihal dirinya malam itu juga. Dan mereka datang untuk menciduknya. Sudah ada firasat tentang itu semalam ketika ia dan Amelia berpisah dalam suasana yang muram. Ia meninggalkan Amelia dalam keadaan depresi. Ia yakin, Amelia akan melakukan sesuatu malam itu juga walaupun tidak mengatakan apa-apa. Karena keyakinan itulah semalaman ia menunggu. Berlawanan dengan kebiasaannya ia tidak menelan valiumnya. Aneh memang. Padahal biasanya ia harus bergulat mengatasi dorongan itu. Selama ini ia berangsur-angsur mengurangi dosis yang diminumnya karena memang tidak mungkin

menyetopnya secara drastis. Tapi semalaman itu rasanya lain. Dia ingin tampil segar tanpa dipengaruhi obat apa-apa. Dia ingin berjalan dengan tegak pada saat dibawa nanti. Mungkin keangkuhan juga yang jadi penyebabnya. Padahal untuk itu ia harus bergadang dalam deraan pikiran dan perasaan yang menyakitkan. Tentang Amelia, tentang mereka berdua, dan tentang semuanya.

Polisi memperlihatkan surat perintah penangkapan terhadap dua orang. Albert dan Eric! Keduanya saling memandang. Sedang Sri menjerit histeris.

"Apa salah mereka, Pak? Apa salah mereka? Bapak tidak boleh membawa mereka sebelum menjelaskan!" Lalu dengan nekat Sri merentangkan kedua tangannya.

"Mereka ditahan untuk kasus pembunuhan dan percobaan pembunuhan," sahut salah seorang polisi berpakaian preman.

"Pembunuhan?" Sri memekik.

"Jadi menabrak orang tanpa sengaja itu disebut sebagai pembunuhan?"

Sebagian dari para polisi sudah tidak sabar, tapi yang tadi menjawab tidak berkeberatan memberi tahu,

"Bukan soal tabrakan, Bu. Tapi ini tentang kasus pembunuhan wanita di Ancol dan seorang wanita lainnya kemarin sore."

Eric terkejut. Ia tak mengerti. Tapi satu hal segera bisa dipahaminya. Bukan Amelia yang melaporkan. Firasatnya benar, tapi perkiraannya salah. Ia lebih kaget lagi ketika melihat sikap

ayahnya yang menunduk sayu tanpa tentangan. Perasaannya tak kepalang pedih.

Sementara itu Albert yang tertunduk segera memaklumi apa kesalahannya. Ia terlalu yakin. Ia terlalu terburu-buru. Jadi Rosi belum mati! Dan karena itulah ia bisa bicara!

Kemudian Albert tersentak. Ada kesalahannya yang lain. Karena dia mengatasnamakan Eric dalam perbuatannya itu, sudah tentu Rosi menyebut nama Eric. Mereka menyangka Eric-lah pelakunya!

"A nak saya tidak bersalah, Pak! Semuanya saya yang melakukan. Dia tidak tahu apa-apa. Saya cuma memakai namanya. Jangan dia! Bukan dia!" seru Albert panik.

"jelaskan saja hal itu nanti di kantor, Pak. Silakan."

Tak ada jalan lain. Pada saat seperti itu uang tak ada artinya.

Eric sendiri tidak mengatakan apa-apa. Dia ikut saja tanpa protes. Terpikir olehnya akan Amelia. Dia pasti puas. Dan kalau sudah puas mungkin dendamnya akan berkurang atau lenyap. Terlibat kasus pembunuhan tentu saja terkena ancaman hukuman iauh lebih berat daripada tabrak lari karena mabuk. Memang bukan dia yang berbuat. Tapi apa pedulinya sekarang? Yang kuat dalam ingatannya sekarang adalah suasana percakapannya dengan Amelia kemarin malam. Hubungan harus diputuskan, kata Amelia. Sesuatu yang mestinya sudah terbayangkan sejak awal. Apa

yang ditakutkannya selama hubungannya dengan Amelia sudah jadi kenyataan. Dan karena itu mestinya ia sudah lebih siap lalu menerima risiko dengan perasaan rela. jadi tidak terlalu sakit lagi. Tapi sesungguhnya ia masih memiliki sedikit harapan. Dan yang sedikit ini lama-lama jadi banyak. Amelia mencintainya. Jadi mustahil cinta ini tidak punya peran sedikit pun? Tapi ternyata Amelia sangat tegas. Bahkan ia tidak merasa perlu untuk berpikir lebih dulu. Setelah tahu, rupanya cinta Amelia musnah dalam sekejap. Cintanya itu tidak ada artinya sama sekali.

Amelia mengajukan kepentingan orang tuanya sebagai alasan. Ayah-ibunya akan terpukul kalau ia mempertahankan hubungannya dengan Eric. Dan lebih-lebih ibunya bisa sakit lagi. Ditilik dari sudut mana pun pasti sulit bagi ibunya untuk menerima Eric sebagai menantu. Manusia itu peka dan rapuh. Bukan besi baja. Jadi manusia itu gampang terluka dan kalau sembuh meninggalkan bekas. Bekas itu selalu kelihatan dan mengingatkan.

Tentu saja Eric memahami alasan itu. Sejak semula ia sudah tahu bagaimana kebencian orang tua Amelia kepadanya. Lebih-lebih Kustini. Dari pandang matanya saja sudah kelihatan. Tapi Eric sebenarnya berharap Amelia mau mencarikan alternatif untuk masalah itu. Barangkali Amelia mau membujuk orang tuanya agar bersedia mengurangi kebencian itu sedikit demi sedikit. Barangkali dengan cara bicara yang baik-baik tentang dirinya. Bukankah ia sudah berusaha

berbuat baik dan menjadi baik? Ia yakin, ia bukanlah Eric yang dulu lagi. Ternyata harapannya itu sia-sia. Amelia tidak memberikan alternatif apa-apa.

Memang harapan itu tidak ia utarakan sebagai usul. Keangkuhan juga yang mencegahnya. Buat apa? Bila Amelia sudah berpendirian begitu ia tak perlu merengek lagi. Ia pun sadar, bahwa Amelia tidak bisa melihat sisi yang baik dalam dirinya, karena dipengaruhi keburukan masa lalunya. Atau lebih celaka lagi, Amelia menganggapnya cuma berpura-pura baik saja supaya maksud tercapai. jadi memang tak ada gunanya.

Karena itu Eric bisa berjalan dengan angkuh di sisi ayahnya yang loyo. Ia bahkan lupa untuk memikirkan atau mempertanyakan dalam hati apa saja gerangan yang telah diperbuat ayahnya itu!

Koran yang terbit sore hari itu juga mendapat keuntungan karena beroleh kesempatan memberitakan peristiwa menggegerkan itu paling dulu. Tapi kekurangannya mereka tak bisa menyajikan cerita yang banyak untuk memuaskan pembacanya karena tak cukup waktu untuk mencari bahan.

Amelia tidak berlangganan koran sore dan ia pun tidak pergi ke mana-mana hingga tidak melihat berita itu. Tapi andaikata berlangganan pun bisa dipastikan ia tidak bernafsu membaca. Lain halnya bila ia bepergian dengan kendaraan bisa dipastikan

ia akan melihat judul berita yang cukup menyolok di halaman depan karena direntangkan oleh anak-anak penjaja koran saat lampu lalu-lintas menyala merah.

Tak ada gairahnya untuk mengerjakan apa pun kecuali merenungi pengalamannya yang pahit. Ia tidak ingin menangis lagi, tapi biar ditahan-tahan toh air matanya sesekali tumpah. Tapi bila kesedihannya sudah teratasi, ia bingung kenapa ia masih bersedih. Seharusnya ia bersyukur bahwa ia bisa melepaskan diri dari Eric tanpa terlibat terlalu jauh. Hubungan mereka berdua, walau semesra apa pun, toh tidak sampai melanggar batas. Tapi justru karena itu ia menyadari peran Eric dalam hubungan mereka berdua. Eric selalu bersikap sebagai gentleman terhadapnya. Itu juga merupakan salah satu sebab utama kenapa hubungan mereka bisa terjaga dengan baik. Padahal Eric yang selalu khawatir rahasianya akan ketahuan dan pasti ketahuan, entah kapan, bisa saja 'merusaknya' bila suatu ketika ia terlena dan lupa diri. Dengan demikian Eric nyata-nyata memiliki niat baik. Apalagi bila diperhitungkan pula bantuannya untuk memberi biaya bagi pengobatan sang hakim. Penyesalannya juga jelas tampak dari sikap dan tindakannya. Tentu saja Amelia tidak akan melupakan pengalaman mereka berdua di Jalan Gajah Mada setelah Eric menyenggol seorang penyeberang jalan. Di situ jelas betapa Eric menanggung beban akibat perbuatannya terhadap Emil.

Tapi tidak, pikirnya. Ia tidak mau berpikir tentang hal-hal semacam itu. Seharusnya Eric tidak mencintainya, dan tidak membuat ia jatuh cinta juga. Dengan demikian beban tidak jadi berat untuknya. Dan sudah seharusnya pulalah bila Eric yang membiayai pengobatan sang hakim sampai tuntas, karena semua itu berawal dari perbuatan Eric sendiri.

Dengan memikirkan hal-hal yang berlawanan maka tidak akan terlalu sukar baginya menerima keadaan. Ia memang tidak bisa berbuat lain. Bila disuruh berpikir seribu kali pun keputusannya akan tetap. Memang tidak mungkin. Eric selalu bisa menemukan gadis lain kelak, dan dia pun mungkin akan menemukan pemuda lain, tapi orang tuanya hanya memiliki dia satu-satunya. Pendeknya. ia tidak merasa harus menyesali keputusannya. Eric juga harus mengerti. Itu pun merupakan risiko atas perbuatannya. Jadi mestinya tidak ada rasa kasihan. Ya, mestinya. Lantas, perasaan apa yang masih tertinggal mengganjal ini? Apakah itu rasa kehilangan yang sangat ataukah sesuatu yang lain? Ia harus menghilangkannya, meredakannya, atau sedapat mungkin menutupinya dari pandangan orang tuanya. Ia sudah memutuskan untuk menyembunyikan hubungannya dengan Eric dari pengetahuan mereka. Bila tidak ditanyai, bukankah ia pun tidak usah bercerita?

Esok paginya, Amelia pun tidak sempat membaca koran yang datang ke rumah. Ia sengaja menyibukkan diri. Bersama pembantunya ia ke pasar dan berbelanja untuk menyiapkan masakan enak menyambut kedatangan kedua orang tuanya yang akan dijemputnya menjelang siang. Dengan demikian tak ada lagi waktunya memikirkan Eric.

Tapi dalam perjalanan menuju airport, pikiran itu tetap saja sesekali muncul. Ia mencoba mengatasi dengan memikirkan dirinya sendiri. Bagaimanapun itu toh yang terpenting. Ia harus mulai mencari sekolah lagi. Tentu saja di jakarta. Eric pernah menyebutkan sebuah sekolah komputer yang katanya paling baik. Ah, lagi-lagi Eric. Ya, kenapa Eric tidak menelepon barang sekali pun? Apakah Eric benar-benar marah, putus asa, atau sungguh-sungguh merelakan? Oh, sudahlah. Tapi, rasanya pasti akan lebih menyenangkan andaikata mereka bisa membicarakan lagi soal itu dalam keadaan yang tenang. Bagaimanapun mereka tidak perlu berpisah sebagai musuh. Ia tidak ingin seperti ibunya, karena ia toh berbeda.

Dengan pikiran-pikiran seperti itulah Amelia menjumpai kedua orang tuanya. Mereka berdua yang lebih dulu melihatnya lalu menariknya ke dalam pelukan, hingga ia tidak sempat meneliti keduanya dari jarak jauh.

Kustini kelihatan segar dan tambah gemuk. Ia juga sangat gembira. Ketawanya banyak. Sedang Arifin tampak biasa-biasa saja walaupun samasama cerah.

"Mamamu hari ini memang ekstra gembira, Lia!" Arifin memberi tahu.

"Oh ya?" Amelia melirik ibunya sambil tersenyum. Apakah itu disebabkan karena Mama bisa bertemu kembali dengannya? Kalau begitu. ia juga senang sekali.

"Kau tentunya sudah menduga apa sebabnya, ya?" kata Kustini, tertawa riang.

"Karena Mama sudah pulang?"

"Wah, masa cuma itu saja. Banyak deh. Banyak. Tapi kau pasti pura-pura nggak tahu. Ya, masa kau yang di Jakarta saja nggak ..tahu," kata Kustini antusias.

"Nanti sajalah ceritanya," sela Arifin.

Mereka jalan menuju mobil. Sementara itu Amelia bertanya-tanya dalam hati. Ia segera sadar, memang ada hal yang belum diketahuinya. Dan apa pula itu yang bisa membuat ibunya ekstra gembira? Pasti bukan karena bisa bertemu dengannya saja. Ia tidak tahan untuk tidak menanyakannya.

Arifin dan Kustini yang duduk di belakang mobil sementara Amelia mengemudi saling berpandangan. Keduanya tampak heran.

"Oh, kau memang belum tahu?" tegas Kustini.

"Kalau tahu tentunya tidak bertanya lagi, Ma."

"Belum baca koran? Tidak ke mana-mana?"

Amelia menggelengkan kepala.

"Wah, sayang. Kau ketinggalan, Lia. Kedua orang itu, muSuh kita, ditangkap polisi kemarin pagi. Perkaranya juga bukan main-main lho.

Mereka berdua dituduh membunuh seorang wanita di Ancol dan seorang wanita lagi yang untung saja tidak mati, karena kalau dia mati beritanya tidak akan keluar. Rupanya mereka diperas karena berusaha menyembunyikan fakta," Kustini berceloteh dengan penuh semangat.

"Mereka? Mereka?" ulang Amelia bingung.

"Hei! Hati-hati, Lia!" seru Arifin kaget melihat Amelia hampir kehilangan kendali.

"Wah, kenapa kau? Sini, biar Papa yang ganti mengemudi saja."

"Nggak apa-apa, Pa. Nggak usah," sahut Amelia tersipu. Ia mengingatkan diri sendiri supaya hal itu jangan sampai terulang. Tapi ia memang kaget tadi. Bukannya ia tak paham siapa yang dimaksud ibunya. Tapi, kenapa?

"Ya, masa kau nggak bisa menebak," Kustini melanjutkan dengan riang. Ia tidak tergugah oleh sentakan kecil itu. Pikirannya masih tetap kepada materi yang sedang dibicarakannya."Mereka adalah Albert dan Eric Siahaan!"

Itu adalah untuk pertama kalinya Kustini menyebut kedua nama itu. Biasanya ia pantang menyebut nama mereka. Cukup dengan mengatakan 'dia' atau 'orang itu" dengan nada penuh kebencian, maka Arifin atau Amelia akan mengerti siapa yang dimaksud. Dan kalau perlu membedakan antara Albert dan Eric cukup dengan 'bapaknya' dan 'anaknya'.

Arifin dan Amelia menyadari hal itu. Kustini memang sedang amat bergembira. Tapi perasaan

Amelia jadi sangat pahit dengan tiba-tiba. Ia disadarkan kembali bahwa dendam ibunya memang sebesar itulah. Kegembiraannya yang berlebihan sekarang ini juga memperlihatkan hal itu. Ia gembira karena musuh-musuhnya mendapat 'pembalasan' dan karenanya tidak keberatan menyebut nama mereka.

"Sayang sekali koran itu tidak kubawa, Lia," kata Kustini lagi.

"Kalau ada pasti kubacakan untukmu. Sebenarnya kemarin sore juga sudah keluar beritanya, tapi belum sampai di Bali. Tapi kemarin aku sudah tahu bukan dari koran melainkan dari pembicaraan orang. Wah, gegernya sampai ke Bali, lho. Memang di koran sih nama-nama mereka pakai inisial, tapi dari ceritanya orang toh bisa tahu juga siapa yang dimaksud. Siapa lagi sih orangnya yang dulu pernah bikin geger dalam kasus tabrak lari? Bayangkan, Lia. Banyak betul bohongnya orangorang itu. Benar benar pengadilan sandiwara. Si Eric yang katanya sakit payah waktu nabrak Emil itu ternyata sakitnya adalah sakit mabok! Habis minum-minum dia! Anehnya kok bisa dirawat di rumah sakit segala, pakai saksi ahli segala. Wah! Wah! Bisakah kaubayangkan betapa gelisahnya orang-orang yang terlibat?" Ternyata Kustini pun ikut-ikutan jadi gelisah. Dia kelihatan tidak sabaran menanti sampai semuanya terungkap secara tuntas. Dan pada gilirannya, semuanya pun akan memperoleh balasan yang setimpal. Ah, pembalasan. Tidakkah itu terasa amat manis?

Amelia mendengarkan dengan jari-jari kaku mencekam kemudi. Ya, Mama benar, pikirnya. Banyak benar orang yang tak bisa tidur hari-hari terakhir ini. Tapi, kenapa bisa begitu? Ia tak mengerti. Apakah Eric benar-benar membuktikan kata-katanya? Kata Eric tempo hari,

"Kau akan puas kalau aku dihukum berat...." Jadi, sedemikian frustrasinyakah Eric hingga ia melapOrkan sendiri kebohongannya? Dan, sungguhkah memang cara itu yang seharusnya?

"Oh ya, Lia," cerita Kustini melanjutkan.

"Masih ingat kau pada hakim yang kucakar mukanya itu? Dia dimutasikan ke daerah. Sayang cuma itu saja."

Wajah Kustini seperti berangan-angan waktu bercerita itu. Diam-diam Arifin melirik kepadanya. Rona muka Kustini yang bercahaya dan matanya yang bersinar itu seolah ekspresi orang yang penuh kepuasan setelah meraih kemenangan. Tak mengherankan. Kustini memang sepatutnya menang, dan sepatutnya puas. Ia sendiri pun merasakan hal itu. Tapi di samping perasaan itu ia toh tidak melupakan yang lain. Amelia. Kenapa Amelia begitu diam? Sedang Kustini tidak menyadari hal itu. Ia begitu larut dalam kegembiraannya sendiri.

"Kau kelihatan kurang sehat, Lia? Mestinya Papa saja yang nyetir," usul Arifin.

"Ah, sehat saja kok, Pa. Cuma saya sedang merenungi kata-kata Mama. Sekalian konsentrasi ke jalan tentu saja."

"Siapa? Siapa yang kurang sehat?" tanya Kustini yang tak mengikuti pembicaraan.

"Nggak, aku cuma tanya Lia. Soalnya dia diam saja," sahut Arifin.

"Tapi kau sehat, kan?" tanya Kustini pada Amelia.

"Oh, tentu saja, Ma," jawab Amelia sambil memperlihatkan senyumnya ketika melihat mata ibunya menatapnya di cermin. Tapi ia agak kecewa ketika melihat ibunya cepat mengalihkan pandang ke arah lain. Dan tampaknya segera terbenam dalam pikirannya sendiri.

Perhatian Mama sedang tidak tertuju padaku, hibur Amelia pada diri sendiri. Dan itu tentunya bukan karena tidak rindu. Bisa dimaklumi karena pada saat ini sedang berlangsung suatu peristiwa yang amat berarti untuknya. Kustini sedang penuh sesak. Mungkin juga mau meletup-letup oleh kegembiraan dan kepuasan. Entah apakah ini bisa dianggap sebagai suatu terapi yang menuntaskan, hingga dia tidak akan penasaran lagi. Juga tidak akan merenung-renung dan menangis lagi.

Mau tidak mau teringat lagi oleh Amelia kata-kata Eric,

"Kau akan puas bila melihatku dihukum berat. Puas. Puas" Dan karenanya mungkin dendammu bisa mereda lalu lenyap pada suatu waktu." Lantas, begitu saja mata Amelia dipenuhi air. Sekuat hati ia harus berusaha mengendalikan emosinya. Jangan lupa konsentrasi. Jangan sampai mengalami nasib seperti Eric.

Tapi sambil berkonsentrasi pikirannya tetap bekerja. Sesekali matanya terarah ke cermin. Di belakangnya Arifin sudah tertidur. Sedang Kustini memandang ke luar jendela dengan pandangnya yang khas. Itu lebih baik untuknya karena ia jadi terhindar dari pertanyaan-pertanyaan yang menyelidik.

Satu masalah terus mengganggu perasaannya. Sebegitu perlunyakah orang mencari pelampiasan dendam? Dan kalau perlu, untuk apa? Kelegaan ataukah sekadar kepuasan? Entah kenapa, pertanyaan ini menimbulkan rasa sedih.

Setibanya di rumah, Amelia cepat menyambar koran lalu melahap berita perihal Eric dan ayahnya. Setelah selesai ia jadi lemas. Dan ketika menyadari suasana, buru-buru ia masuk ke kamarnya sendiri dan mengunci pintunya. Kedua orang tuanya sedang beristirahat hingga pasti tidak memerlukan dirinya.

Dalam suasana yang tenang dan sepi itulah ia merenungi berita yang tadi dibacanya sambil sesekali membaca ulang. Yang paling menarik minatnya adalah berita, bahwa pada tanggal sekian hari Sabtu sore-sore selepas magrib Eric dituduh telah berusaha membunuh seorang wanita bernama Rosi di jalan Menjangan. Sebelumnya, yaitu hari kemarinnya jumat sekitar jam lima sore Eric dikabarkan menerima telepon dari Rosi yang

kemudian menghasilkan perjanjian untuk bertemu, dan selanjutnya berakhir tragis seperti itu. Dikatakan, Eric menolak tuduhan itu walaupun ia mengakui bahwa dirinya memang telah berbohong dalam kasus tabrak lari beberapa waktu yang lalu, yaitu bahwa sesungguhnya ia tengah berada dalam pengaruh alkohol saat tabrakan terjadi dan bukan karena mengalami serangan jantung.

Amelia menarik napas lalu menengadahkan kepalanya ke sandaran ranjang. Tentu saja Eric menolak tuduhan itu. Pada kedua waktu yang disebutkan itu, baik hari Jumat maupun Sabtu pada jam yang sama, Eric ada bersamanya!

Selanjutnya memang disebutkan, bahwa Rosi sendiri menyatakan tidak bertemu dengan Eric pada saat bungkusan uang diserahkan dan ia juga tidak melihat siapa penusuknya. Ia pun mengakui bahwa perjanjian yang dilakukannya hanya lewat telepon dengan keyakinan bahwa orang yang dihubunginya itu adalah Eric. Di samping itu masih ada lagi pengakuan Albert yang menyatakan bahwa dia merupakan pelaku tunggal pembunuhan di Ancol maupun usaha pembunuhan terhadap Rosi. Tidak ada bantuan dari Eric maupun siapa saja.

Bila ditilik dari kedua hal itu jelas tidak cukup bukti untuk menuduh Eric. Tapi Amelia tidak yakin. Ada banyak hal yang bisa memberatkan Eric atau cenderung menyudutkan. Pertama, yang dipermasalahkan atau yang diributkan itu adalah kepentingan Eric. Dialah yang jadi gara-gara sejak

awal. Nama baiknya yang jadi masalah. Jadi akan mudah timbul keraguan, mustahil dia tidak punya peran sama sekali dalam perbuatan yang nyatanyata bertujuan membersihkan dan membela nama baiknya itu.

Kedua, ia sudah dikenal sebagai pembohong dan pengatur sandiwara yang licin. jadi kata-katanya sekarang menjadi sukar dipercaya orang.

Ketiga, pengakuan Albert tidaklah menjamin kebersihan Eric. Sudah terbukti betapa orang tua itu sangat gigih membela dan melindungi anaknya. jadi, tidakkah mungkin ia kembali melakukan hal yang sama?

Keempat, walaupun Rosi menyatakan tidak bertemu dengan Eric dan tidak melihat siapa penusuknya, mungkin saja timbul dugaan bahwa Eric menyuruh orang lain melakukannya.

Dengan mempertimbangkan hal-hal itu pasti Eric akan menghadapi keadaan yang sulit. Amelia jadi gemetar membayangkannya. Terutama karena ia sadar bahwa dirinya punya peran menentukan dalam posisi Eric. Hanya dia yang bisa membuktikan bahwa Eric punya alibi pada hari jumat dan Sabtu sore itu!

Tapi Eric tidak menyebut-nyebut soal alibi. Walaupun koran dibalik-balik, Amelia tidak menemukan secuil pun tulisan tentang soal itu. Mungkin Eric tidak ingin membuat ia terbawabawa. Tapi bagaimanapun, tidakkah sesungguhnya ia sudah terbawa?

Amelia kian gelisah dan bingung. Padahal pilihannya cuma satu antara dua. Diam saja atau berbuat sesuatu. Tapi itu maha sulit. Kalau ia diam saja, mampukah ia merasa tenteram untuk selamanya? Dan kalau ia ingin berbuat sesuatu, tentu saja dengan melaporkan hal-ihwalnya bersama Eric kepada polisi, mampukah ia? Punyakah ia keberanian menanggung risikonya, menghadapi orang tuanya dan menghadapi umum mengingat ia juga harus mengakui hubungannya dengan Eric? Bayangkan tudingan orang. Dia telah berpacaran dengan orang yang telah memberi musibah bagi keluarga! Memalukan!

"Tidak! Tidak!" serunya sambil meninju-ninju bantal. Terus sampai ia kelelahan dan akhirnya menelungkup di tempat tidur. Ia ingin bisa segera jatuh tertidur, atau jatuh pingsan, atau jatuh apa saja, asal bisa secepatnya melupakan. Tapi tidak bisa. Ia merasa terus dikejar.

Akhirnya ia duduk tegak, menghapus air matanya sampai kering, dan meratakan rambutnya yang kusut.

"Tidak bisa. Tidak bisa begini terus. Aku harus berpikir. Aku harus tenang. Harus. Harus," katanya kepada diri sendiri. Ia mengepalkan tinju, pertanda kekerasan tekadnya. Lalu ia menekuk kedua kakinya, duduk bersila dan kemudian memejamkan mata. Ia seperti orang bersemedi.

***

Kustini menggebrak meja keras-keras. Mukanya merah dan matanya melotot. Pandangnya tajam terarah pada Amelia yang duduk tertunduk bagai terdakwa. Amelia pucat dan diam. tak berani banyak bergerak seakan khawatir setiap gerakan dapat merangsang kemarahan Kustini lebih besar lagi.

Sementara itu Arifin duduk di sisi yang lain. Dia juga diam dan hampir tak bergerak. Susah memastikan perasaannya saat itu setelah mendengar cerita Amelia, karena yang jelas terlihat di matanya adalah kekhawatiran kalau-kalau terjadi sesuatu atas diri Kustini. Selama ini ia sudah jadi begitu terbiasa dengan kekhawatiran itu, hingga susah melepaskan diri dengan keyakinan bahwa istrinya sesungguhnya sudah kembali normal. Kustini jadi tampak seperti anak kecil yang selalu harus dijaga dan diperhatikan. Tapi kali ini kekhawatirannya memang berlipat ganda. Cerita Amelia, betapapun hati-hati dan halus pengutaraannya, tetaplah merupakan suatu pukulan. Lebih-lebih mereka baru saja bergembira. Mereka

baru saja merayakan kemenangan. Sang musuh sudah tumbang dan berada di ambang kehancuran. Suatu wujud pembalasan dendam yang seolah-olah terjadi dengan sendirinya. Kepuasan yang memabukkan. Tapi tibatiba Amelia datang dengan ceritanya. Dan juga keinginannya. Benar-benar bagaikan pukulan dahsyat yang menghapus semuanya dalam sekejap.

Tapi Arifin tidak keburu memberi reaksi. Suasana sudah dikuasai oleh Kustini. Dan wanita yang punya sosok tegar ini jadi kelihatan lebih tegar dan berwibawa.

"Bagaimana mungkin kau bisa melakukan semua itu, Lia? Berkasih-kasihan dengan musuh, orang yang sepatutnya kaubenci! Tidak ingatkah kau pada Emil, kakakmu yang hancur digilasnya? Kau cuma memikirkan dirimu sendiri!" Kustini memaki, mengumbar kemarahannya.

Arifin menggeleng-gelengkan kepala. Bukan begitu semestinya, pikirnya. Melihat kemarahan isrrinya, kemarahannya sendiri menjadi surut berganti oleh rasa iba. Amelia tidak patut dipersalahkan. Kustini terlalu banyak memandang segi yang lain.

Amelia semula tak ingin menjawab, karena berpegang pada teori bahwa orang yang marah sebaiknya jangan disahuti supaya amarahnya cepat mereda. Tapi ia segera menyadari bahwa ibunya melupakan fakta yang lain.

"Saya sudah memutuskan hubungan dengan dia, Ma," ia mengingatkan.

"Tapi kau toh sudah berhubungan dengannya, bermesraan, dan Oh, apa saja yang sudah kaulakukan bersamanya?" tanya Kustini kejam.

Arifin kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Tapi kembali ia tak bisa mengeluarkan suara apa-apa. Tiba-tiba ia sadar, ada sesuatu yang berlebihan pada diri Kustini. Suatu kefanatikan. Sesuatu yang tidak pada tempatnya. Tidak seharusnya ada.

Wajah Amelia jadi semakin putih. Tapi ia menjawab dengan tenang.

"Kami tidak melakukan apa-apa, Ma. Semuanya sudah berlalu. Dan ketika itu saya tidak tahu siapa dia."

"Kau tidak memakai otakmu! Pikir dong! Masa iya sih ada orang begitu baik mau membayarkan biaya pengobatan sebegitu besarnya tanpa ada penyebabnya?"

"Ya. Saya memang salah. Saya bodoh."

Amelia kelihatan kecil. Dan karena itu, Kustini jadi tampak semakin perkasa.

"Lantas, kebodohan itu sekarang mau kauulang? Ya, mau kauceritakan perbuatanmu itu kepada polisi untuk dijadikan bahan tertawaan nanti? Tidak malu kau? He, tidak malu?" semburnya lagi.

Amelia memandangi lantai. Tidak ada apa-apa di situ. Tapi ia melihat wajah Eric. Ia melihat mereka berdua di kala bersama-sama. Apakah semua itu memalukan? Malukah dia mengenang semua itu kembali? Tidak ada darah membersit naik ke mukanya. Tidak ada rasa panas menjalari muka sampai ke belakang telinga. Tidak ada keinginan

bersembunyi atau melenyapkan diri. Tidak! Ia tidak malu! Tapi pengakuan yang nyaring itu cuma terungkap di dalam hati. Bisa fatal akibatnya kalau ia menyuarakannya. jadi ia diam saja.

Diamnya Amelia membuat kemarahan Kustini mulai mereda.

"Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi niatmu itu. Kalau kau memang sudah memutuskan hubungan, artinya sudah tidak ada apa-apa lagi, kan?jadi kau tidak perlu ikut campur lagi dengan urusan mereka. Biarkan saja dia membuktikan ketidaksalahannya kalau memang tidak salah. Hitung-hitung pembalasan. Dulu kita juga susah payah mencari saksi sendiri. Ingat?" katanya dengan nada yang lebih sabar.

Ketegangan Arifin mulai merayap naik lagi. Kini perhatiannya beralih kepada Amelia. Tanpa sadar ia sudah memainkan perannya sebagai penonton dengan sangat baik. Itu memang di luar kehendaknya sendiri. Ia tidak sanggup ikut serta dalam konflik itu karena rasanya memang hanya pantas jadi penonton saja. Bukan karena ia tidak merasa terbawa atau masa bodoh. Persoalan itu sangat berarti juga untuknya. Tapi ia tahu, kedua kutub yang saling berlawanan itu adalah Kustini dan Amelia sementara ia di tengah-tengah, sebagian condong ke kutub yang satu sedang sebagian lagi condong ke kutub yang lain. Ia sendiri lebih mudah menerima keadaan, dan mudah pula berkompromi.

Sekarang, yang dikhawatirkan Arifin adalah reaksi Amelia. Apakah Amelia akan mematuhi

kehendak ibunya? Ketegangan Arifin disebabkan karena ia teringat bahwa putrinya ini juga memiliki kekerasan hati. Mungkin menurun dari ibunya sendiri. Dan kini keduanya berhadapan dengan sifat yang tak banyak berbeda.

Amelia mengangkat kepalanya. Ia memandang ibunya sebentar.

"Lantas, di mana tanggung jawab moral saya, Ma?" ia bertanya lirih.

Kustini kembali meradang.

"Tanggung jawab moral, katamu? Tidakkah terpikir olehmu,di mana tanggung jawab moral mereka ketika melarikan diri sesudah menabrak lalu mengecoh pengadilan kemudian? Kenapa harus kita yang memiliki tanggung jawab moral?"

Amelia sebenarnya sadar, percuma saja mempengaruhi ibunya. Tapi ia tidak tahan untuk tidak mengatakan,

"Dia menanyakan, tidak adakah maaf untuk orang yang menyesal?"

"Tidak ada!" seru Kustini tanpa dipikir lagi.

"Menyesal pun percuma. Dia tidak bisa membawa kembali Emil kepadaku."

Amelia diam.

Kustini memandanginya dengan tatap menyelidik. Lalu mengatakan dengan kecurigaan yang tak disembunyikan,

"Ah, kau masih mencintainya, bukan?"

Di luar dugaan Kustini, Amelia menjawab,

"Ya, Ma. Tapi saya akan berusaha melupakannya."

Jawaban itu membuat kemarahan Kustini bertambah.

"Kalau kau memang berusaha melupaKannya, seharusnya kau tidak mencampuri lagi

urusannya!"

"Mestinya memang begitu, Ma. Tapi saya tidak bisa. Soalnya, saya memang terlibat. jelas saya berada bersamanya di saat kejadian."

"Kau mau membelanya."

"Itu fakta."

"Tapi kau tidak perlu mengemukakan fakta itu karena kau tidak perlu membelanya."

"Ah, Mama, saya kan tidak bisa membelanya."

"Ala, sama saja! Hei, tahukah kau, bila kau berkeras juga maka kau harus tampil sebagai saksi?"

"Ya, Ma."

"Lalu semua orang akan tahu mengenai hubunganmu dengan... dengan dia? Apa kata mereka nanti? Ibunya terseok-seok dalam usahanya menyeret si terdakwa ke pengadilan, tapi putrinya malah berpacaran dengan dia. Tidak malukah kau bila dicemooh orang seperti itu?"

"Saya sudah memikirkannya, Ma."
Yang Mendendam dan Yang Mencinta Karya V Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar bandel! Keras kepala! Aku tidak sudi! Tidak rela kau berbuat begitu! Tahu?" bentak Kustini. Lalu ia pergi ke kamarnya.

Barulah Arifin bergerak. Ia mendekati Amelia yang memandangnya dengan heran seakan baru menyadari kehadirannya. Tapi Amelia diam saja. Juga ketika ayahnya memegang kepalanya dan membelainya sebentar. Memang cuma sebentar karena Arifin segera meninggalkannya dan pergi menyusul Kustini. Pelan-pelan Amelia juga

bangkit untuk masuk ke kamarnya sendiri. Lalu merebahkan dirinya, telentang merenungi langitlangit. Ia tidak tahu lagi apa yang mesti diperbuatnya. *

Pertama kali itulah Amelia terlibat konflik sehebat itu dengan ibunya. Kenapa? Apakah masalahnya yang peka atau ibunya yang berubah? Mungkin juga kedua-duanya.

Entah sudah berapa lama Amelia seperti itu. Mungkin juga cukup lama karena dia serasa bermimpi. Dia ketemu Emil, lalu bermain dan bercanda seperti dulu biasa mereka lakukan. Tapi anehnya sesekali canda itu berubah jadi mesra bagai terhadap kekasih. Ternyata ketika itu Emil berubah menjadi Eric. Ah, Emil dan Eric. Dua nama yang mirip. Ia terbangun dengan kesan seperti itu. Sampai kenyataan menyadarkannya kembali. Dan ta menjadi frustrasi.

Pintu kamarnya diketuk. Mungkin ajakan makan malam.

"Ya," sahut Amelia ogah-ogahan. Dan tanpa beranjak dari posisinya.

Tapi pintu kamarnya terbuka dan Kustini melangkah masuk. Amelia terkejut tidak menyangka. Buru-buru ia duduk dan merasa bersyukur karena barusan tidak menangis. Tidak ada bekas-bekas kecengengan pada dirinya. Dia ingin kelihatan tabah.

Namun Kustini tidak memperhatikan Amelia lama-lama. Ia segera memeluknya.

"Lia, Lia. Maafkan Mama, ya. Tadi Mama sudah bersikap

kasar padamu. Mama menyesal," kata Kustini sambil membelai-belai punggung Amelia. Dengan terharu Amelia balas memeluk dengan erat. Kejutan ini membuat ia tak mampu segera bicara. Ia pun lebih senang diam memejamkan mata menikmati kehangatan pelukan itu. Bagaimanapun, pelukan ibu tidak bisa dibandingkan dengan pelukan kekasih. Tidakkah lewat pelukan ibu seseorang mulai mengenal arti kasih sayang?

"Lia, Mama sudah lupa diri tadi. Oh, Mama begitu membencinya. Begitu membencinya sampai kebencian itu jadi serasa kanker dalam tubuh. Ada yang kurang beres. Mama mesti menemui Dokter Tobing lagi."

"Ya, Ma."

"Tapi, kau mengerti kan, Sayang? Kenapa Mama tidak mungkin bisa menerima dia?"

"Tentu, Ma. Sava sudah menyadari hal itu begitu saya tahu siapa dia. Memang tidak mungkin," sahut Amelia dengan mata tetap terpejam di balik punggung Kustini. Lenyap sudah Segala kesan mimpi tadi. Memang, dia cuma boleh muncul dalam mimpi.

"Kau rela, Sayang?"

"Ya, Ma."

"Tapi Mama setuju mengenai keinginanmu menjadi saksi untuknya. Katakan sajalah mengenai yang sebenarnya."

Amelia tersentak.

"Mama! Apakah Mama tidak...?"

"Mama sudah memikirkannya. Dengan kepala dingin kelihatannya jadi lain. Sungguh Mama tidak berkeberatan. Ya, apa salahnya mengakui hal itu? Nanti kudampingi kau menghadapi segala cemoohan yang datang."

Amelia tersenyum. Mereka berpelukan lagi. Sampai Arifin datang menyusul untuk ikut serta.

Untuk pergi ke kantor polisi di mana Eric ditahan, Amelia diantarkan oleh kedua orang tuanya. Pada mulanya ia menolak karena merasa seperti anak kecil yang harus diantar-antarkan. Tapi Kustini mengatakan dengan sedikit menyombong,

"Mama sudah biasa berhadapan dengan polisi. Mereka sudah kenal aku. Sedang kau sama sekali belum berpengalaman." Terasa ada benarnya juga kata-kata itu. Amelia menurut karena sesungguhnya ia juga merasa gentar.

Benar seperti kata Kustini. Dia sudah dikenal. Banyak yang menyapanya. Di antara mereka terdapat Kapten Polisi Suherman yang sudah mengenal betul siapa Kustini. Wanita cerewet yang gigih, begitu kelakarnya.

Kustini mengenalkan Amelia dan maksud kedatangannya. Lalu dengan wajah yang jelas menampakkan keheranannya, Suherman mengajak Amelia menemui atasannya, Letkol Polisi DarWis.

Pada saat itulah Amelia menampakkan ketegasannya.

"Mama dan Papa, pulanglah. Tak usah menunggui saya. Biar sebentar saya pulang sendiri saja. Saya bisa naik taksi atau kendaraan lain."

Kustini tidak setuju. Demikian pula Arifin. Tapi melihat ketegasan Amelia mereka mengalah juga. Keduanya pulang dengan berat hati. Dan ketika Kustini menengok lagi, Amelia sudah tidak tampak.

Kepada Darwis Amelia berbicara banyak. Pada mulanya tersendat-senda, lama-kelamaan lancar. Tanya-jawab berlangsung seperti mengobrol. Sikap Darwis yang ramah membuat kegugupan Amelia hilang sama sekali.

"Begitulah, Pak. Pada saat ia mengakui perbuatannya kepada saya, ia amat bersungguhsungguh mengajak saya mencari Rosi untuk mendengar sendiri dari mulut wanita itu. Tapi buat apa? Saya tidak mau menanggapinya karena saya pikir ajakan itu karena dia sedang emosi. Saya juga. Apa yang akan terjadi andaikata saya memenuhi ajakannya? Ah, saya kira itu tidak akan mengubah keadaan. Ketika itu Rosi sedang dikejar-kejar oleh ayahnya. Bukan begitu, Pak?"

"Betul."

"Apakah Rosi akan cepat sehat kembali, Pak?"

"Saya kira begitu. Kelihatannya dia memiliki daya tahan fisik yang luar biasa. Nasibnya pun baik. Tusukan pisau di dadanya cuma meleset beberapa senti dari jantungnya."

"Ah, ngeri sekali. Apakah Bapak percaya akan hukum karma?"

"Percaya saja."

"Saya pikir, itu mengerikan."

"Ya, memang. Tapi ngomong-ngomong, tidakkah Anda ingin bertemu dengan Eric?"

Amelia tertegun. Pertanyaan itu tak disangkasangkanya. Tadi, ketika ia meminta orang tuanya pulang duluan sebenarnya juga disebabkan karena ia mempunyai niat itu. Tapi setelah terlibat dalam perbincangan dengan Darwis timbul keraguan. Mungkinkah minta izin seperti itu? Kabarnya permintaan seperti itu susah sekali dikabulkan. Alangkah malunya dia kalau ditolak. Jadi lebih baik tidak usah minta-minta saja. Tapi sekarang ternyata malah ditawari. Nasib baik atau pancingan?

Ia memandang polisi di depannya. Darwis tersenyum saja seolah pertanyaannya itu paling wajar. Tapi sikap itu justru membuat Amelia jadi tersipu.

"Barangkali Anda ingin bertukar sepatah dua patah kata dengannya. Nanti saya panggil orang untuk membawanya ke sini. Ya, di sini saja, ya? Anda bisa melihat bahwa kondisinya baik-baik saja."

Amelia mengangguk. Dan sementara menunggu Eric dipanggilkan, Darwis bertanya,

"Kalau saya boleh bertanya, ehem, apakah Anda masih ada hati dengannya?" Lalu dia kembali senyum-senyum.

Segera Amelia mengerti, kenapa dia ditawari bertemu dengan Eric. Polisi di dekatnya ini rupanya ingin melihat suasana yang romantis atau yang semacam itu. jadi dengan tenang ia menyahut,

"Tidak mungkin, Pak."

"Ah, tidak mungkin? Ya, ya, bisa dipahami. Ibu Anda melarang?"

"Tidak ada yang melarang, Pak."

Darwis kelihatan bingung. Tapi ia masih penasaran.

"Apakah karena dia tersangkut pidana?"

Amelia menggelengkan kepala.

"Anda membencinya karena dia menyebabkan kakak Anda tewas?"

"Sekarang tidak lagi. Pak," Amelia menyahut dengan segan. Tapi tetap ramah.

Darwis menggaruk-garuk kepalanya. Ia tidak mengerti.

"Saya heran, ibu Anda tidak melarang. Bahkan Anda juga tidak membencinya. Padahal..." '

"Ibu saya berjiwa besar, Pak."

"Ya, ya. Betul begitu. Saya setuju. Dan mungkin Anda sebagai putrinya juga mewarisi kebesaran itu?"

Amelia tersenyum. Polisi ini sangat ingin tahu dan karenanya ingin memancing. Tapi dia tentu saja tidak akan membiarkan dirinya terpancing.

"Sesungguhnya kasus Anda itu sangat menarik, ya. Dan unik juga. Ah, pada perasaan saya, kisah ini akan ada kelanjutannya yang seru," kata Darwis sambil mengusap-usap dagunya. Matanya

melintas ke arah Amelia sebentar lalu menerawang jauh seperti membayangkan sesuatu yang sensasional.

Sebenarnya Amelia tidak menyukai sikap Darwis yang seperti itu. Ia merasa, dirinya cuma dianggap objek yang menarik. Tapi kata-kata Darwis yang belakangan toh menggugah. Ya, akankah ada kelanjutannya? Oh, tentu. Selama dia masih hidup kisah dirinya tentu takkan berhenti sampai di situ saja. Tapi ia mengerti apa yang dimaksudkan Darwis. Itu adalah mengenai dirinya dan Eric. Karena itulah tiba-tiba ia jadi tegang sendiri. Apakah pikiran seperti itu merupakan tanda adanya harapan? Oh, tidak. Tidak! Kisah ini tak boleh ada kelanjutannya.

Suasana berubah oleh kedatangan Eric. Dia dikawal seorang polisi. Darwis menyilakannya duduk di seberang Amelia. Barulah pada saat itu ia menyadari kehadiran Amelia karena ketika masuk ia menunduk saja. Jelas ia kaget. Pandangnya bagai terpaku, penuh tanya dan pesona. Untuk beberapa saat ia bengong saja. Sedang Amelia juga tak mampu segera menyapa. Ia cuma memandang dan memandang saja, tanpa bisa menguasai dirinya walaupun dari sudut mata ia menyadari pandangan Darwis ke arah mereka secara bergantian.

Amelia terharu melihat sosok Eric. Bukan karena Eric tambah kurus atau kelihatan kurang sehat. Fisiknya tidak kurang suatu apa pun. Tapi ada yang hilang dari dirinya. Dia kuyu dan tidak tegar lagi. Keangkuhannya seolah sirna. Dia tidak

punya semangat hidup! Tapi rasa haru itu kemudian segera diganti oleh kejutan. ia menangkap kilatan di mata Eric. Kilatan yang muncul setelah mereka beradu pandang. Dan kilatan itu seolah menghidupkan kembali diri Eric yang semula lesu dan kuyu. Sesuatu yang semestinya menimbulkan rasa senang. Tapi ternyata tidak. Amelia justru menjadi sedih. Tidak salah lihatkah dia? Dan tidak salahkah dia menilai? Ada harapan di mata Eric! Dan harapan itulah yang membangkitkan gairah. Tapi yang membuat Amelia lebih sedih bukan cuma itu. Harapan itu pun membakar dirinya!

Pertemuan itulah yang secara tiba-tiba membangkitkan harapan yang semula diyakini sebagai tidak mungkin. Mereka saling lihat lalu dalam sekejap melupakan semuanya, bahkan tak sadar berada di bawah pengawasan mata tajam. Padahal yang demikian itu sudah diyakini sebagai tidak mungkin dan tidak boleh. Amelia harus bergulat untuk menemukan dirinya kembali.

Akhirnya Eric bicara lebih dulu,

"Kau menjengukku, Lia?"

"Ya. Aku habis bicara dengan Pak Darwis."

"Bicara?" tegas Eric heran. Lalu ia melirik sebentar ke arah Darwis yang berpura-pura sedang meneliti sesuatu di atas mejanya.

"Kuceritakan padanya tentang pertemuan kita yang terakhir itu. Jam berapa saja aku bersamamu dan kapan _kita berpisah."

"Oh, begitu?" Eric terkejut.

"Ya."

"Kenapa?"

Amelia tidak menjawab.

"Kau harus tabah, Bang," katanya pelan. Ada yang menghambat di kerongkongan.

"Kenapa?" desak Eric.

Akhirnya Amelia tidak tahan lagi. ia bangkit dari duduknya. Suatu gerakan yang membuat Darwis tersentak. Amelia mengangguk memberi tanda. Darwis mengerti, lalu mengisyaratkan bahwa waktu pertemuan sudah habis. Eric segera berdiri juga. tapi matanya tetap memperhatikan Amelia dengan tatapan yang lekat.

Amelia mengulurkan tangannya. Secepat kilat Eric menggenggam tangan Amelia bagaikan orang kehausan disodori minum. Tangan Eric hangat sekali, pikir Amelia. Tapi makin lama terasa makin panas. Dengan kaget Amelia menarik tangannya cepat-cepat. Ia tak berani menatap mata Eric.

"Kenapa?" Eric bertanya lagi.

Amelia tak bisa menghindar.

"Aku akan jadi saksi untukmu. Saksi yang meringankan!"

Lalu dengan setengah merenggutkan tubuh ia berbalik, kemudian berlari pergi dari situ. Ia harus segera pergi sebelum terlanjur memperlihatkan perasaannya. Bukankah ia harus kuat?

Kemudian ia terkejut, belum berpamitan kepada Darwis. Ia berhenti dan menoleh ke belakang. Mereka semua masih di sana, diam dan memandang kepadanya. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya. Darwis membalas. Dan Eric juga

tersenyum. Cuma sebentar Amelia memandang kepada Eric, tapi waktu yang sebentar itu cukup baginya untuk menyimpulkan. Ia memang tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Eric, atau masihkah ia menyimpan harapan. Tapi ada yang jelas terlihat di wajah Eric. Semuanya cerah. Semangat hidup Eric sudah kembali!

Tamat


Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar Dewi Sri Tanjung 10 Rahasia Ki Ageng Kisah Perjalanan Para Peminang Bidadari

Cari Blog Ini