Ceritasilat Novel Online

Jampi Jampi Varaiya 1

Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng Bagian 1



Jampi Jampi Varaiya

Clara Ng

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 2009

ebook : Syauqy_Arr

***

SESOSOK bayangan tubuh perempuan mengendap'endap memasuki pekarangan rumah yang terletak di pinggir jalan. Sosok itu berdiri beberapa detik di depan rumah, seakan akan menyakinkan dirinya dia berada di tempat yang tepat. Tangannya hendak mencongkel pintu, tapi mendadak berhenti di udara.

"Hmmm, kayaknya nggak mungkin..." Dia menyipitkan matanya seperti seekor kucing yang sedang mengintai daging. Kilatan tajam matanya bersinar dalam kegelapan. Suara yang keluar dari mulutnya terdengar serak.

"Mungkin aja!" lanjutnya dengan penuh percaya diri.

Dia mengambil tongkat panjang. lalu menjauh dari pintu. Dengan hati'hati dia mencongkel celah pintu dengan tongkat tersebut. Dia berbisik, mengucapkan jampi-jampi. Terdengar suara klik halus, lalu pintu perlahan membuka.

...diiringi puluhan pisau dan golok raksasa yang meluncur keluar.

"MEOOONGGG!!!"

Sebentuk senyum sinis melintas di wajahnya. Gigi yang berwarna putih tampak kontras dalam kegelapan.

"Betul, kan?" Dia

melongok memperhatikan tempat pisau dan golok mendarat. Dia mendecak tanpa belas kasihan,

"Kasihan ruh kucing..."

Dengan santai dia menyelinap memasuki ruang depan.

Di dalam ruang depan, yang terlihat seperti restoran mungil, penerangannya gelap gulita. Kursi-kursi ditumpuk di atas meja. Lantai terlihat bersih mengilap. Dia berjalan mengendap-endap di tengah-tengah meja, berkonsentrasi penuh. Matanya melirik ke kiri dan kanan. memperhatikan situasi.

"Menyebalkan!" desisnya kesal.

"Kenapa sih aku nggak ngebobol rumah orang normal aja. Istana presiden juga nggak apa apa, atau seribu restoran lain yang jauh lebih gampang di..." Gerakan' nya terhenti mendadak.

"...Ahhh sialan....!"

Dia melakukan akrobat berputar di udara dengan lincah saat pendulum raksasa bergigi tajam terlempar ke arahnya. Terdengar suara angin yang mendesing membahana dalam kegelapan. Dia terus berputar di udara hingga berhasil melewati halangan mengerikan yang bakal mencabut nyawanya jika lengah sedikit saja.

"Huh!" dia mendengus sebal di antara gemeletuk giginya.

"Awas aja kalau nggak dapat bayaran lebih tinggi."

Sosok itu memasuki ruangan yang tampaknya seperti dapur yang terhubung dengan restoran tersebut. Tampak deretan botol dan stoples yang diletakkan berurutan di rak. Seorang perempuan tampak tidur mendengkur di dipan tipis di sudut dapur. Rambutnya pendek dan berwarna hitam legam; helai-helainya berantakan memenuhi dahi, pipi, dan pelipis. Terlihat buku berwarna merah muda tertelungkup di atas dadanya. Tampaknya dia tertidur saat sedang membaca buku.

Sosok itu menelengkan kepala, berusaha membaca judul buku yang sebagian tertutup tangan perempuan tersebut.

"Bagaimana Cara Memenangkan Hati Lelaki Idaman... hmmm ." Dia mendorong jari kelingking yang menutupi kata

selanjutnya dengan Sihir dan Ilmu Guna'guna yang Tepat." Kepalanya tegak lagi. Bibirnya menipis membelah wajah, menjadikan sebentuk cengiran lebar di sana. Cengiran lebar angkuh seperti seorang pemenang.

"Hehehe "

Sambil berjalan menuju rak. dia memandang sekelilingnya dengan hati-hati. Deretan botol dan stoples ditelusurinya dengan jari telunjuk. Beberapa botol dipindah-pindahkannya setelah dia yakin dia belum menemukan apa yang dicarinya. Setelah rak selesai diacak-acak, dia berpindah ke laci.

Perempuan yang sedang tidur di pojok dapur itu berputar dan menggumam dalam tidurnya.

"Ngg... Cyril... sayang...."

Sosok itu terpaku. Tangannya berhenti di udara, otomatis bergerak menutup mulutnya seakan-akan mencegah suara yang nyaris terlompat keluar.

"Kamu bakal merestui Strawberi dengan Xander? Nggak memohon'mohon lagi jadi pacar Strawberi? jadi kamu bakal melempar dia ke kawah berapi?" Perempuan itu mendesah lega.

"Oke deh."

Sosok itu mengerutkan kening lalu tertawa pelan. Dia melanjutkan pekerjaannya mengacak-acak lemari dapur. Beberapa botol dikeluarkannya. Dua kecoak berlari keluar, terbirit-birit. Sosok itu nyaris menjerit sebab kecoak membuatnya jijik. Tapi untung dia berhasil menggigit bibir pada saat yang tepat. Dia terus mengaduk'aduk laci tidak berniat membuang-buang waktu. Gerakannya berhenti pada dua stoples kecil yang tersembunyi di pojok.

Matanya menyipit dalam kegelapan. berusaha membaca label yang tertempel di sekeliling stoples tersebut.

"Rakam Masak ala Nenek Mayang Edisi Kedelapan, International Best Seller... Ini dia! Akhirnya, ketemu juga. Sekarang harus segera keluar."

Dia mengumpulkan barang barang tersebut, lalu berjongkok di lantai. Dengan perlahan dia menurunkan ransel yang dipanggul di bahunya. ritsleting terbuka tapi macet di tengan. dengan ditarik-tarik beberapa kali, akhirnya berhasil juga ritsleting itu terbuka. Dia memasukkan barang-barang itu ke dalam ransel. Gerakannya cepat. tapi tanpa suara.

Perempuan yang berbaring di dipan bergerak lagi, berputar dalam tidurnya.

"Xander mau meninggalkan Oryza? Yakin-?" Dia mendesah penuh kebahagiaan.

"Strawberi senang banget..."

"Bermimpi saja terus," bisik sosok itu dengan lagak ketus.

"Bermimpi saja terus!"

Dalam kegelapan dia bergerak meninggalkan dapur. Berjingkat-jingkat. Dia menjatuhkan beberapa kelopak mawar berwarna biru kehijawan di lantai lalu bergegas keluar. Di luar dapur, dia melompat beberapa kali sambil berusaha menghindari serangan benda-benda tajam lainnya.

"Ini beneran harus dapat bayaran gede!"

Sementara di dapur, perempuan itu masih berbicara dalam tidur.

"Aqua mau lompat dari atap gedung? Mantap! Oryza mau menelan air aki? Keren!" Dia menghela napas penuh kelegaan, lalu berbalik tidur ke arah kanan.

Di luar bulan bersinar di balik awan ketika sosok tersebut berhasil keluar dari bangunan dan berlari-lari menembus kegelapan jalanan.

**

PAGI hari. Di ruang makan. tampak seorang lelaki sedang duduk menyeruput kopinya dan seorang perempuan sibuk menyiapkan sesuatu. Zea, nama perempuan itu. bekerja sambil menyenandungkan lagu Alicia Keys. Gerakannya cekatan tapi gemulai. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai di belakang punggungnya. Zea mengenakan daster berwarna biru muda. Walaupun belum menikah dan boro'boro punya anak, siapa pun yang memandang perempuan ini bakalan mengira dia sebagai ibu-ibu beranak empat. Lelaki itu mendongak dari koran yang sedang dibacanya, menyadari bangku yang mengelilingi meja makan tidak diisi lengkap oleh manusia yang seharusnya berada di sana.

"Ze?"

"Ya, Dad?" jawab Zea dengan manis. Bibirnya menyunggingkan senyum yang tidak lekang sampai siang tiba.

"Ke mana adik-adikmu?" Dia meneguk kopinya lagi, lalu melirik jam tangan.

"Sudah hampir setengah tujuh. Di mana mereka? Masa keramas selama ini?"

Zea terus tersenvum. tidak menanggapi.

coba Jelaskan, Le, kenapa harus keramas setiap pagi! wah bener-bener nggak mengerti cewek zaman sekarang. Spa, nyalon, meni-pedi. Banyak sekali kegiatan mereka."

"Xander lagi yoga di kebun belakang. Saya tidak tahu di mana Sola, mungkin lagi mengurus uang. mengecek harga saham, atau menghitung nilai investasinya. _Jam seperti ini sih Oty pasti lari pagi. Mana mungkin dia lagi nyalon? Kenapa, Dad, ada yang salah? Gara-gara Ory tidak seperti perempuan yang Dadi inginkan atau ada hal lain yang bikin Dadi cemas!"

Lelaki yang dipanggil Dadi bernama Samudra Raya. Dia meletakkan koran di meja, mengetukkan jarinya.

"Kamu tau, Ze. sejak ibu kalian meninggal..."

Zea menahan napas. sambil tetap tersenyum penuh pengertian. Menghadapi orangtua apalagi yang masih dalam tahap dukacita karena ditinggal mati istri tersayang memang harus sabar. Zea tersedak diam'diam. Hah? Dukacita? Gila, kali? Mom udah meninggal sepuluh tahun lalu. Sepuluh! Coba bayangkan. Tidak cuma baru sebulan atau tiga hari atau beberapa jam lalu. Sepuluh tahun, satu dasawarsa. Waktu itu Zea berumur dua puluh tahun, kuliah kedokteran hewan tahun kedua di IPB, sementara Oryza masih remaja berusia enam belas, dan Solanum setahun lebih muda.

"Ya, Dad, sejak Mom meninggal Ory memang sulit diatur."

Waktu memang hal yang relatif. Untuk hal yang biasa, sepuluh tahun mungkin hal yang lama. Tapi bagi ayah Zea, sepuluh

tahun terasa seperti kemarin.

"Bukan cuma sulit diatur! Ory... Ory itu " Samudra mencari kata yang tepat untuk menggambar anak tengahnya.

"...Ory tomboi. Keras kepala. Semaunya sendiri. Ya kan, Dad?"

"Dadi bertambah tua, nggak mungkin bertambah muda. Ze. Kepala Dadi bisa pecah melihat kelakuan anak perempuan Dadi. Semuanya berandalan."

Samudra menggunakan kata jadul itu lagi. Berandalan. Zen menahan senyum di balik serbet. Kata berandalan adalah kata kunci ayahnya kalau dia mengalami kesulitan menerjemahkan kekesalannya. Semua dianggap berandalan. Makanan yang nggak enak dibilang berandalan. Jalanan macet dikatain berandalan. Kurs dolar naik dinamakan berandalan. Politisi yang korupsi disebut berandalan.

"Dadi, jangan terlalu sensi. Nanti hipertensi Dadi kumat."

Samudra memandang Zea.

"Ah, biarkan hipertensi Dadi kumat. Anak-anak zaman sekarang bikin orangtua cepat mati. Andai saja ibumu masih hidup, Ze. Dulu Dadi tidak seperti ini. Kenapa anakanak Dadi tidak senormal anak-anak perempuan lainnya?"

Zea berhenti memindahkan nasi goreng ke piring. Dia tertawa. Suara tawanya bening seperti lonceng. Terus terang, Samudra paling senang melihat anak pertamanya tertawa, mengingatkannya pada istrinya. Zea manis, benar-benar perempuan sejati. Tidak seperti anak tengahnya...

"Normal seperti apa yang Dadi maksud? Semua anak Dadi penyihir, bagaimana bisa hidup normal seperti kaum jelata?"

"Bukan itu maksud Dadi, Ze."

"Saya tahu, Dadi. Tapi, sudahlah, Dadi jangan mikir begitu. Nanti Dadi stres. Ory sudah 27 tahun. Saya pikir dia sudah cukup mampu menentukan hidupnya. Kalau Dadi masih kuatir. saya akan bicara dengan Ory."

Samudra menggerutu. sayup-sayup suara omelannya hilang di balik koran. Zea melanjutkan senandungnya, mengisi gelaS gelas dengan teh hangat, lalu meletakkan semuanya di depan piringpiring. Dia senang bekerja secara organized. Rumah mereka tampak rapi dan teratur, semuanya hasil kerjanya yang cekatan. Bagi Zea, segala-galanya harus berdasarkan peraturan rumah tangga yang dibuatnya sendiri.

**

Lea Mays Raya. Anak. pertama dari tiga bersaudara. siapa yang tidak kenal keluarga penyihir Raya? Nama putri pertama pasangan Samudra Raya dan almarhum Tru Moon diambil dari bahasa Latin, yang berarti jagung. Kemampuan menyihirnya sudah terlihat sejak dia berumur lima tahun. Dengan kekuatan super yang dimilikinya. dia berhasil menghipnotis anjing kampung galak yang berniat merebut roti yang sedang digenggamnya. Tahu'tahu anak kecil itu sedang duduk di atas punggung anjing, bermain kuda-kudaan. Zoro, demikian nama anjing kampung itu, akhirnya dipelihara dan menjadi bagian dari keluarga mereka.

Adik bungsunya, Solanum Tuberosum Raya. Dalam bahasa Latin. artinya kentang. Anak ketiga alias bungsu dari tiga bersaudara. Ras penyihir level tujuh, satu tingkat di bawah kakak-kakaknya. Kemampuan dan kelenturan tubuhnya tidak usah dipertanyakan. Seakan-akan tubuhnya tidak memiliki tulang yang bisa patah atau kulit yang mudah robek. Gadis itu tidak terlalu bersemangat dengan sihir. Dia lebih terpesona dengan perekonomian dan keuangan dunia kaum jelata. Baginya, bisnis perusahaan. urusan perbankan, dan neraca rugi-laba adalah keajaiban sihir yang sesungguhnya.

Sementara si Tengah. Otyza Sativa Raya...

"Dadi mau makan dulu?" tanya Zea manis.

"Tidak usah menunggu Ory atau Sela."

Ayahnya menggumam, terdengar seperti kata ya. Zea menyodorkan piring yang berisi nasi goreng ke hadapan Samudra. Terdengar suara sendok berdenting ketika beradu dengan barang

pecah-belah.

**

Dapat nggak?"

"Dapat dong. Kamu pikir aku nggak bakal berhasil." ' Gadis

itu mendelik. Dia tidak suka diremehkan.

"jangan suka menghina orang. Peraturan Sihir nomor delapan."

"Jangan bawel. Peraturan Slhir nomor lima. Mana barang, nya?"

Sosok itu menunjukkan barang yang dicurinya tadi malam.

"Ini."

"Buka tutupnya. Jangan coba'coba ngerjain aku ya."

"Hahahaha... Pagi-pagi serius banget. Cepet tua nanti!"

"Halah, berisik. Ayo, buka!"

"Ya deh. Galaknya!" Stoples terbuka, menunjukkan benda yang berada di dalamnya.

"Rempah ajaib berikut buku jampi: jampinya. Ditambah gratis stoples yang satu ini. Isinya daun teh. Hebat, kan?"

"Asyik. Sini, kasih aku."

Tangan itu lebih cepat menutup stoples daripada menyerahkan kepada yang meminta.

"Uangnya dulu! Satu juta. cash."

"Lho? Satu juta? Bukannya tiga ratus ribu? '

"Lho, dari mana angka tiga ratus ribu?! Nggak bisa begitu! Dapatnya sulit sekali. Nyawaku hampir hilang mendapatkan ini."

"jadi, berapa? Beneran satu juta? Amit amit. mahal banget. Satu juta buat daun-daun kering seperti ini? Yang benar saja!"

"Bukan daun-daun kering. Payah kamu! Itu kan rempah."

"Kelihatannya sih cuma daun-daun kering."

"Ada yang nggak beres dengan mata kamu, sis .Nggak heran kamu nggak bisa membedakan mana gula mana lada. Lihat yang bener. Mau melakukan transaksi bisnis atau tidak? '

"Mau, tapi jangan ngotot?

"Baru tau? Nama tengahku Ngotot."

"Nggak, nama tengahmu Tuberosum. Aku hafal nama lengkapmu, adikku tercinta Solanum Tuberosum Raya." Sosok itu

mengeluarkan dompet dari kantong bajunya. Dia mencabut sepuluh lembar uang kertas, menghitungnya dengan cermat.

"Nih, satu juta. Dasar tukang peras. Mana barangnya?"

Stoples kecil dipindahkan, dari satu tangan ke tangan berikutnya.

"Nih. Thaanks banget. Senang berbisnis dengan kakak sendiri, banyak untungnya. Kenapa sih nggak langsung saja bertransaksi dengan nenek yang bersangkutan?"

Mendengar kata "nenek': perempuan itu merinding.

"Hiih. Nggak ada yang mau berurusan dengan nenek lampir satu itu. Apalagi aku. Amit-amit."

Solanum tertawa sambil membayangkan apabila dia benarbenar berurusan langsung dengan si nenek karatan itu. Seram membayangkannya. Untung dia memiliki otak yang lebih brilian dan pastinya, lebih cerdik.

"Untuk apa uang itu?"

"Siapa yang bayar listrik di rumah ini? Telepon? Air? Gas buat masak?" Solanum memasukkan uang ke dalam dompetnya."Aku! Jadi biarkan aku yang bekerja untuk kesejahteraan kita semua."

"Kesejahteraan apa? Uangnya juga uangku."

"Tapi uang itu kamu gunakan untuk kepentinganmu. Beli sepatu olahraga. Perkakas pertukangan. Kaus. Sepeda motor. Kalau dikasih ke aku kan bisa kugunakan untuk kepentingan semua orang." Sola menjulurkan lidahnya.

"Ngomong-ngomong. sebenarnya buat apa sih rempah-rempah itu? '

Oryza menyender di tembok. Kaus yang dikenakannya masih basah karena keringat. Setiap hari dia biasa lari pagi. Rambutnya yang pendek dirapikan sekenanya di belakang telinga.

"RahaSia.

"Oh. jenggot Marlin! Sok gaib banget. Pasti buat Xander."

Senyum Oryza makin melebar dari ujung ke ujung. Sebenarnya dia tampak manis kalau tersenyum. Lebih feminin. begltu kata kakaknya, Zea. Tapi Oryza jarang tersenyum.

"Dadi pasti senang kalau kamu melakukan sesuatu untuk menyenangkan hari Xander."

Mendengar ucapan tersebut, Oryza berdecak seakan akan teringat sesuatu yang mengerikan.

"Ngomongmgomong soal Dadi..." Dia bergidik.

"Pasti Dadi sudah menungguku di bawah sambil curhat dengan Zea. Nggak heran dari tadi pagi pusarku berdenyut. Aku pasti lagi digosipin habis'habisan. Aku mau ke kamar mandi, kamu pergi dulu saja. Nanti aku nyusul."

"Siap, jenderal."

Oryza Sativa Raya. Anak kedua atau anak tengah. Namanya juga diambil dari bahasa Latin, artinya padi. Tidak tahu apa alasan Mom dan Dad menamai anak-anak perempuan mereka dengan nama makanan pokok dalam bahasa Latin. Gara-gara hal itu, mereka terkenal dengan sebutan keluarga Karbohidrat dibandingkan keluarga Raya di kalangan penyihir. Oryza tidak menunjukkan kemampuan sihir apa pun sejak kecil. sehingga dia dikira terlahir sebagai anak perempuan biasa. Tapi mendadak, si tengah memiliki kekuatan super saat mendekati usia remaja.

Oryza masuk ke ruang makan. Raut wajahnya menjadi bingung ketika melihat hidangan di meja makan.

"Mana breakfast nya?" tanyanya kepada Solanum dan Zea yang berdiri bersebenrang seberangan seakan sedang bermusuhan.

"Sori," kata Zea, memunguti piring kotor. Suaranya terdengar menyesal.

"Dadi menyikat semua makanannya."

"Apa? Makan semuanya?"

Lea mengangguk. kamu tahu senam gimana usai. kalau lagi sensi, makannya banyak sekali." Dia menumpukkan piring, membersihkan meja. lalu mendongak memandang adiknya. Tatapannya rileks.

"Coba ya. Oxy, usahakan jangan bikin Dadi stres."

"Jangan sembarangan menuduh dong. Aku nggak bikin Dadi stres." Oryza cemberut.

Zea menghela napas dalam-dalam Dia merapikan rambutnya yang tergerai. Dasternya belum diganti sedari tadi.

"Dadi mernguatirkan kamu. Dadi memikirkan kalian berdua, kamu dan Xander'

"Duh..." Oryza mengempaskan diri ke kursi. Bibirnya merengut."Itu lagi."

Zea menghela napas dalam'dalam lagi, seperti mengalami masalah pernapasan akut.

"Sayang. sekarang udah saatnya kamu memikirkan pacar. jodohmu itu sudah di depan mata! Masa nggak sadar-sadar juga? Kalau tidak dijaga baik baik, cewek'cewek lain pasti mau. Apalagi kaum jelita."

"Ambil aja. Aku nggak peduli."

"Seluruh keluarga sudah merestui sepenuh hati. Apalagi yang kurang? jangan terlalu pemilih."

"Halooo?" Oryza melompat dari kursi, menatap dan dengan pandangan please please. Sejumput rambut jatuh di dahinya, dia menyingkirkan dengan gerakan singkat.

"Ini hidupku yang lagi dibicarakan. Aku punya hak dengan siapa aku mau pacaran, dengan siapa aku mau kawin. Jangan menyodorkan lelaki begitu saja di depan hidungku. Memangnya milih sandal jepit? Apa kelihatannya aku seperti cewek nggak laku yang nggak bisa nyari cowok sampai-sampai langsung menerima penjodohan tanpa ba, bi-bu. Kak? Ini tentang memilih pendamping untuk seumur hidupku. jelas aja aku bakalan cerewet!"

"Cobalah mengerti apa yang diinginkan orangtua kita. Aku mohon." kata Zea manis. Emosinya tidak pernah meledak'ledak

seperti Oryza. Suaranya rendah, tapi siapa saja pasti bisa mendengarkan kata-kata Zen. Menyakiti Zea seperti menyakiti kucing angora yang manis.

"Jangan terlalu galak pada Dadi. Kasian dia."

"Ya, betul. Galak kok dipelihara! Kalau memang kamu nggak tertarik..." Solanum, mendadak membuka mulut setelah lama terdiam. Senyum seriusnya yang jail tampak lebar di wajah. Dia jarang bersikap jail, tapi sekali dia ingin mengusili seseorang. maka akan dllakukannya dengan serius. Tangannya ditenggelamkan jauh-jauh ke dalam kantong celana pendeknya, di sana dia menyimpan dompet yang menggelembung dengan uang satu juta.

"Ikhlaskan saja Xander untukku. Boleh?"

Oryza melengos, tidak menjawab.

"Lihat! Dia jeles. saudara-saudari!"

"Huh. Siapa yang jeles?" tukas Oryza ketus.

"Nggak usah ditutup-tutupi. Aku bisa membaca isi hatimu yang paling dalam. jangan belaga jinak-jinak merpati. Memangnya masih SMP?"

Pipi Oryza memerah. Teror Solanum mulai dilancarkan. Suara adiknya ini memiliki nada yang sangat rendah. Artikulasinya juga selalu rapi dan teratur. Sola jarang berbicara dengan cepat dan terburu-buru. Kebalikan dari dirinya. Oryza tidak pernah berhasil bersikap cool layaknya sang adik.

"Sok tahu! Amit'amit jabang alakazam aku naksir cowok maniak itu."

"Kalau begitu. Xander buat aku. Masih berlaku tawarannya?"

"Kalau mau ambil Xander, Silakan. Dengan senang hati kuberikan padamu. Nggak perlu minta izin segala. Ini bukan transaksi bisnis."

"Dadi ingin kamu mempunyai hubungan yang lebih serius dengan Xander." Suara Zea terdengar tenang dan lembut, kontras dengan suara Oryza yang melengking tinggi. apalagi dengan suara Sola yang dalam dan lambat."Dadi nggak mungkin memberi izin Xander tinggal di rumah ini kalau ayah nggak yakin dengan apa yang dilakukannya. Xander kurang apa lagi? Samasama penyihir, cakep, dan punya karier. Kamu terlalu pemilih."

"Pemilih? Aku? Memangnya siapa yang belum kawin sampai kepala tiga?" seru Oryza sewot dengan kepala mendidih seribu derajat Celsius. Topik soal kawin membuatnya kesal, topik tentang Xander apalagi. Gabungkan dua topik itu. lalu bayangkan kawah gunung berapi yang meletup-letup siap meletuskan jutaan kubik lahar panas. Begitulah pemandangan kekesalan yang bergolak di hati Oryza.

"Kamu dan anjing-anjing dan kucingkucing dan binatang binatang lainnya itu yang bikin bulu merinding. Mau kawin sama mereka?"

Sehabis berkata seperti itu. Oryza menyesal. Dia belum pernah mengucapkan kata-kata yang terlalu pedas kepada kakaknya. Siapa yang pernah mengucapkan kata-kata jahat kepada Zea? Di rumah ini tidak ada yang berani. Zea tampak rapuh dan lembut. tapi juga keras dan keibuan.

Zea menghela napas. Dia mengambil pita dan mengikat rambutnya ke belakang. Sungguh. Zea bisa terkena masalah pernapasan akut kalau berbicara kepada adiknya tentang topik ini.

"Kenapa dikembalikan ke aku? Jangan membahas hidupku. Aku sudah memutuskan tidak mau menikah."

Oryza mendecak memandang kakaknya dengan tatapan tidak percaya. Perempuan yang sangat keibuan ini tidak mau menikah? Ini yang selalu mengherankan Oryza. Apa sih yang ditunggu kakaknya? "Aduh, Mak! Memangnya Dadi udah merestui keputusan kamu, Kak?"

"Ya dong."

"Lalu. kenapa aku yang harus menikah?" seru Oryza kesal. melotot kepada Solanum meminta bantuan dukungan.

"Tidak adil!"

Solanum menyambar dengan tak acuh.

"Itu karena kamu lebih tua daripada aku. Yang lebih tua. lebih dulu kawin."

Ternyata adiknya tidak mendukung dia. Menyebalkan!

"Enak aja. Peraturannya tidak seperti itu."

"Memang begitu. Peraturannya selalu begitu."

"Nggak!"

"Iya."

"Nggak!"

"Iya!"
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oryza tambah merengut.

"Sudah. nggak usah dibahas! Diskusinya tolol, bikin kepalaku mumet. Aku musti ngantor." Ditatapnya kakak dan adiknya dengan pandangan sebal. Zea. seorang dokter hewan yang praktiknya di paviliun samping rumah mereka, balas memandang Oryza sambil tersenyum. Sementara Solanum. adiknya. sedang duduk sambil meluruskan tungkainya. Tatapannya sepertinya tidak berada di rumah. entah apa yang dipikirkannya. Deretan harga saham? Atau jumlah uang mereka di bank? Atau keuntungan dari hasil memeras kakaknya sendiri? Oryza melirik jam tangan.

"Astaga, sudah jam tujuh. Aku lapar. Ada yang mau dibuatin sarapan?"

Sunyi sepi. Semua berpura-pura tidak mendengar.

Oryza mengulangi pertanyaannya,

"Ada yang mau dibuatin..."

"NGGAK USAH! MAKASIH DEH!"

Pintu dapur terbuka. Xander masuk. Air mukanya bertanyatanya saat mendengar teriakan serempak. Oryza menengok ke arah lelaki itu, berusaha memperlihatkan wajah sok cool ala Solanum.

"Aku masih sayang nyawaku. Sudah ya, ditunggu Bos." Solanum berdiri. melenggang pergi dengan anggun.

Oryza mengangkat bahu, merasa gagal bersikap se,-cool adiknya.

"Terserah deh." katanya mulai kehilangan kesabaran.

"Aku akan

menyiapkan makanan buat diriku sendiri." Dia bergegas menuju dapur, tanpa menyadari Xander membuntutinya di belakang.

"Ory! Sebentar, tunggu sebentar!"

Oryza berhenti mendadak. Rasa panas yang tadi menjalari ubun-ubunnya seketika mendingin. Dia menatap kompor di dapur dengan pandangan linglung.

"Apa?" tanyanya, berputar menghadap Xander.

Xandet berdiri di pintu dapur. memandang Oiyza tanpa berkedip. Tatapannya tajam, menembus mata Oryza. Oryza mundur dua langkah, merasakan punggungnya menyentuh bak cuci piring. terdiam. Tidak ada kata-kata yang muncul di kepalanya. Gadis itu menelan ludah. menolak memperlihatkan wajah tersipu. Mungkin Dad benar. Lelaki yang dijodohkan ayahnya memang lelaki baik.

"Aku mau bicara serius denganmu." Xander menghela napas, membuka percakapan. Ditatapnya gadis tomboi yang berdiri menyender di tembok. Kemanisan Oryza sering kali membuatnya terbius. tapi Xander tidak pernah membiarkan perasaannya terhanyut.

"Aku sadar dan tahu diri kalau kita memang sering bertengkar dan nggak pernah akur. Aku telah menyakiti kamu dan kamu juga menyakitiku. tapi kuakui aku sering membuatmu tersinggung. Sebenarnya aku hanya iseng, tapi keterusan. Akhirnya kamu benci setengah mati sama aku. Tapi aku..."

Oryza menghindari kontak mata sambil memasang telinga baik'baik. Mendengarkan apa yang akan Xander katakan.

"..sejujurnya aku care banget sama kamu..."

Suara lelaki itu terdengar berat dan sangat maskulin, mengingatkan Oryza pada Josh Groban.

"Care?" Oryza menyipitkan mata. Care, ulangnya dalam hati.

'..biarpun kamu sama sekali nggak keren dan norak, tomboi dan jauh dari feminin. Terus terang beda dari bayangan model penyihir cewek yang aku suka "

Oryza mengangkat wajah sambil menebak-nebak. ke mana arah percakapan Xander. Air mukanya perlahan-lahan masam. Dia tersinggung dengan kalimat pertama. Kenapa kodok batu itu selalu menyebutnya sebagai perempuan nggak keren, norak. dan tomboi? Memang benar, mereka dijodohkan oleh orangtua mereka, tapi siapa yang mau punya suami kayak Xandet yang belagu dan sok jual mahal? Oryza tidak sudi! Masih banyak penyihir lain di luar sana yang nggak keberatan...

"...aku mau kasih tahu kamu sesuatu..."

Mata Oryza bertemu dengan mata Xander. Menyebalkan. Zea selalu benar. Oryza terpaksa mengakui Xander tampan. Garisgaris maskulin di wajahnya begitu tegas dan sempurna. Matanya lebar berwarna cokelat muda, seperti jendela yang membuka menghadap ke langit biru. Bulu matanya lentik, berjejer dengan rapi. Ada percikan bara di sana. Duhai, apa namanya? Oryza tidak tahu, otaknya mendadak berjalan dengan kecepatan angkot yang sibuk ngerem.

"Oryza Sativa?"

"Eh?" Sambil menatap Xander, Oryza merasakan jantungnya bergemuruh. Xander memanggilnya dengan nama lengkap. Apa artinya? Mungkin ada udang di balik bakwan, ada lumut di tembok tetangga.

"Please, jangan dekat-dekat dengan dapur. jangan coba-coba memasak atau menyiapkan makanan apa pun. Kalau jampi-jampi sihir kamu nggak sukses membuat makanan yang bisa ditelan, bagaimana cara kamu memasak tanpa sihir? Aku bisa stroke kalau harus makan masakan kamu terus." Muka Xander ditekuk.

Hening.

Xander meneruskan pidato keramatnya.

"Kamu masih muda, jalan hidup kamu masih panjang. Jangan membunuhnya begitu aja. Aku mohon dengarkan kataku ya? '

Hening lagi.

"SIALAN'

BLETAK!

"ADUH"

"Rasain! Huh, nyebelin

Xandet keluar dari dapur, berjalan menuju ruang setrika. Bajubaju yang belum disetrika berada di keranjang berwarna hijau. Beberapa baju yang sudah disetrika diatur bertumpuk di sudut. Seekor kucing tidur ber-gelung di dekat sana. Xander memilihmilih. akhirnya dia mengambil kemeja lengan panjang berwarna biru muda. Baru saja Xander iseng ingin menendang kucing itu, tapi dalam hitungan detik dia melihat bayangan Zea. Dia buru' buru menurunkan tungkai kakinya. lalu menjauh.

"Pakai dasi yang kamu beli kemarin. Pasti keren."

"Uuuhh..." Xander mengangguk. Ia harus segera berangkat kerja di perusahaan makanan bayi sebagai manajer produksi.

"Jutek sekali wajahmu. Kenapa, kena tampar Oryza lagi?" tanya Zea sambil mengamati wajah Xander dengan penuh perhatian

Xander mengusap-usap pipinya. Merasa malu ditatap oleh Zea.

"Nggak. Kena sambit majalah."

Zea tertawa kecil.

"Sengit sekali cewek itu."

"Salahmu juga, selalu mengajaknya bertengkar." Zea memungut jas dokternya. Dia melipatnya dan menggantungkan di lengan. Dasternya telah diganti dengan kemeja hitam dan rok selutut. Rambutnya diikat dan poninya dijepit ke samping. Hak sepatunya rata, mungkin hanya setinggi tiga sentimeter. Pada dasarnya Zea tinggi. Dia adalah yang tertinggi dari tiga bersaudara.

"Kalau kamu bersikap baik kepadanya, Oryza juga begitu.

Jangan teruS menerus menggoda dia. Ory sangat sensi untuk urusan yang seperti ini, persis kayak Mom."

"Bukan aku yang mulai! Dia selalu marah duluan."

"Iya. emang bukan kamu yang mulai. Peraturannya, jangan suka memancing Ory marah," kata Zea. Xander tersenyum maksa. Zen melanjutkan nasihatnya dengan lemah lembut.

"Misalnya, tuh si Dakocan. Oryza kan sayang banget sama Dakocan."

Xander menoleh kepada Dakocan. kucing hitam yang masih tidur di dekat mereka, dengan pandangan hina. Dakocan seakan akan tidak peduli dengan percakapan yang terjadi di dekatnya.

"Dakocan jelek itu?"

"Nah, itu dia maksudku! Biarpun faktanya emang jelek, kan kamu tidak perlu mengatakannya keras-keras. Oryza sakit hati kalau kamu selalu mengata-ngatai kucing kesayangannya."

Dakocan terbangun. Matanya membuka sedikit. menatap Zea dengan pandangan berterima kasih. Xander pengin menendang kucing itu bulat-bulat ke Siberia, tapi dia menahannya.

"Oya," Zea berdecak pelan, seperti sedang berbicara dengan bayi.

"Ngomong-ngomong soal makanan, cobalah sekali-kali menghargai hasil masakan ory. Dia berusaha keras. Jangan ogah mencicipinya. apalagi mengejeknya terus-menerus."

"Aku malas kalau harus makan masakannya. Rasanya nggak banget. Dia nggak berbakat jadi koki."

"Memangnya siapa yang berbakat jadi koki? Aku juga tidak. Tapi setidaknya, jaga mulutmu. jangan mengejek. Memasak membutuhkan usaha dan kerja keras. Kalau kamu mengejek masakan Ory, itu sama saja kamu nggak menghargai niatnya. Kamu menginjak-injak perasaan Ory."

"Terus. aku harus bagaimana? Aku bisa ambeien kalau harus..."

"Ingat katamu dulu?" Zea melipat beberapa kain dan menggantungkannya. gerakannya cekatan dan Sigap. kamu bilang kamu sanggup menghadapi segala-galanya. Sebelum Tante Liora meninggal, kamu berjanji pada beliau untuk berusaha menjalankan amanat terakhirnya."

Xander terdiam. Almarhum Tante Liora adalah ibu Xander. Tante Liora dan ibunda Zea bersahabat karib. Mereka berdua meninggal dalam kecelakaan mobil dijalan raya sepuluh tahun lalu. Sewaktu masih muda, mereka bersepakat untuk menjodohkan anak mereka sehingga persahabatan akan bermuara dalam ikatan kekeluargaan. Sayang, mereka telah keburu meninggal sebelum kerinduan tersebut terjawab. Keinginan Tante Liora dilanjutkan oleh ayah Oryza dengan membawa Xander untuk tinggal bersama mereka. berharap terjadi hubungan istimewa antara lelaki itu dengan putri keduanya.

"Aku ingat. Aku cuma tersiksa menghadapi benda yang disebut sebagai masakannya dan..."

Xander mengedip ketika menyadari Zea menatapnya tegas. Tatapan seperti itu mengingatkannya pada tatapan almarhum ibunya kalau dia berbuat nakal.

Xander sangat mencintai ibunya. Liora membesarkan anak lelakinya seorang diri. Ayah Xander meninggalkan mereka berdua sejak Xander masih dalam kandungan. Bagi Xander. ibunya adalah segalanya. Kalau ibunya meminta sesuatu padanya, dia pasti selalu berusaha keras menyanggupi.

"...iya deh. Apa boleh buat. mungkin kamu benar. Lain kali aku berusaha makan masakannya tanpa terkena tertular virus sapi gila, flu burung, dan flu babi."

"Xander!"

"Iya, iya. Bercanda. jangan terlalu serius, Kak!"

Zea tersenyum. Dia berbalik lalu keluar. Seperti senyumnya yang menenangkan, langkah kakinya juga tak terdengar. Dari

ujung tempatnya berdiri, Xander melihat jas dokter Zea ayun-ayun di lengannya.

Setelah yakin dan benar-benar sudah ke luar ruangan, Xander berjalan ke arah Dakocan. Kucing itu masih terlelap tidur ketika kaki Xander menginjak ekornya sekuat tenaga.

"MEOOONGGG!!!"

"Bangun!" kata Xander ketus.

"Pura-pura tidur! Jangan sok jaim!"

Dakocan mendesis galak, lalu pelan-pelan tubuh kucingnya berubah bentuk. Bulu'bulunya berganti kulit dan kepalanya membesar. Kakinya menghilang dan meninggi. Tahu-tahu muncul sosok lelaki di hadapan Xander.

"Apa-apaan sih!" bentak lelaki itu kesal sambil memandang Xander dengan marah.

"Nggak bisa lihat kucing senang ya!"

Xander berdiri melipat tangan. Di hadapannya adalah Pax, penyihir yang dapat mengubah dirinya menjadi binatang.

"Kapan lu mengubah diri jadi kecoak?" Xander paling malas melihat Pax bugil. Dia membuang muka.

"Gue pengin banget nginjak-nginjak bodi lu. Sayang tadi cuma ekor!"

Pax mencari-cari sesuatu di keranjang laundry sambil berusaha menutupi tubuhnya yang telanjang. Setelah memilih-milih, dla mengambil baju Samudra, lalu langsung mengenakannya.

"Heran, masih betah aja tidur di rumah ini!" kata Xander sumbang sambil menggosok hidungnya.

"Sono. pergi ke negara konflik.Jalur Gaza gitu. Atau Afghanistan. Cocok buat lu. Pasti bakal jadi kematian yang agung."

"Rese!" Pax terlihat tersinggung.

"Kalau mau ngomong, bangunin gue dengan sopan. Gue nggak mau dibangunin pagi pagi kayak gini dan mendengar celoteh basi."

Xander menatap Pax dengan pandangan sebal tingkat tinggi. sementara Pax balas memandang Xander dengan air muka membeku sehingga sulit menebak apa yang dipikirkannya. Mereka berdua cemberut. saling menjajal kekuatan masing-masing.

"Kucing paling tulalit," gumam Xander sambil melengos.

"Udah tulalit. sarap, lagi."

Pax mengabaikan perkataan Xander. Dia mencari celah untuk membuat lelaki yang paling dibencinya merasa tersinggung.

"Yang terpenting, Oryza sayang banget sama gue."

"Sebagai Dakocan. Ingat itu, ingat. Simpan di kepala! Sebagai Dakocan."

"Itu nggak penting. Gue yakin suatu hari...," kata Pax menerawang.

"...Dia akan menyadari gue satu-satunya lelaki yang ditakdirkan untuknya. Gue satu-satunya lelaki yang mencintainya dengan sempurna. Gue satu-satunya lelaki yang akan mendampinginya sampai akhir dunia."

"Kapan?" tanya Xander mengejek, memecahkan suasana syahdu Pax berpuitis.

"Sampai lebaran kucing"

Pax tidak membalas ejekan Xander. Dia mengalihkan pandangan ke mesin cuci sambil mengerjap-ngerjapkan mata seperti sedang berpikir tentang sesuatu.

"Pokoknya suatu hari nanti...," ujarnya kaku, beranjak pergi sambil menebak-nebak apa sebaiknya dia mengubah diri menjadi kucing hanya untuk membuat Xander kesal. Mengingat rasa sakit akibat injakan di ekornya, Pax memutuskan tidak mau mengubah diri menjadi kucing untuk sementara waktu... Yah. setidaknya sewaktu Xander ada di sekitarnya.

Xander mengawasi Pax tanpa berkedip. Tiba-tiba dia menyadari sesuatu. Dia merengut melihat bajunya tampak lembap di bagian dada. Tercium bau pesing dari sana.

"Kucing sialan! Gue kebiri lo!"

Mulut Pax mencibir. 'Meong!" desisnya.

**

MEREKA ada di mana-mana. Mereka sungguh ada. Mereka berada di sekeliling manusia. bersikap dan bertingkah laku layaknya manusia biasa. Beberapa penyihir terlihat mencolok, tapi kebanyakan tidak. Mereka menyusupkan diri di antara masyarakat sedemikian rupa. sehingga kehadiran mereka tidak terasa. Mereka ada di mana-mana. mulai dari sekolah, tempat ibadah, pasar, bahkan mungkin di rumah tetangga.

Penyihir selalu ditakuti oleh orang-orang non-penyihir yang kebanyakan memenuhi populasi. Entah apa yang ditakutkan, kebanyakan para non-penyihir ("masyarakat jelata': begitu istilah para penyihir kepada manusia biasa) menganggap kasta penyihir sebagai kasta terendah. atau bahkan menyebutnya sebagai "bukan manusia".

Padahal itu salah.

Salah besar!

Penyihir tidak lebih dari manusia biasa. Mereka diberkahi kekuatan magis yang tidak dimiliki oleh kaum jelata. Kekuatan magis ini juga mempunyai level bertingkat yang berawal dari aneka satu sampai dengan aneka sembilan. Kekuatan satu adalah

Kekuatan magis yang paling rendah, masanya penyihir ini adalah penyihir kanak-kanak. Semakin bertambah usia mereka, semakin besar kekuatannya, walau itu tidak selalu benar. Penyihir rata: rata mempunyai level yang tidak lebih dari angka lima, tapi beberapa mempunyai kekuatan yang sangat powerful hingga mencapai level sembilan.

Tingkat Sihir ini banyak dipengaruhi oleh bakat, tapi juga perlu latihan yang ketat untuk mempertahankan kekuatan itu.

Dan untuk membuktikan betapa tidak istimewanya para penyihir itu, mari lihat apa yang terjadi pada malam hari di keluarga "karbohidrat"

"Aku nggak keberatan masak kok." Zea berdiri di antara bak cuci piring, mengambil panci dari lemari atas.

"Kak, gantian. Aku juga nggak keberatan." Oryza mengambil alih panci tersebut, setengah merebut dari tangan Zea yang tak bisa mempertahankannya.

Solanum mengelap tangannya sehabis mencuci gelas. Dia memandang panci yang disambar oleh Oryza dengan mata menyipit. Dia berkata datar.

"Sebenarnya yang keberatan tuh kita semua. Teknik memasak kamu yang Senin-Kamis bikin aku cepat masuk koran. Di kolom obituari."

Oryza meleletkan lidah.

"Udah dapat restu? ' tanya Zea pelan

"Udah."

Solanum tertawa dengan bibir terkatup rapat. Dia berjalan di antara Zea dan Ory lalu berdiri tepat di antara mereka.

"Astaga, mau masak aja harus dapat doa restu dari Dad."

"Dadi harus tahu, Sol," kata Zea tersenyum. Dia tidak bermaksud mengejek. Dari semua anggota keluarga, Zea adalah orang yang tidak pernah mengeluarkan kata-kata hinaan kepada siapa pun. Kalau ingin mendengar pujian serta kata'kata lembut, semua orang bertanya kepada Zea.

Oryza menghela napas lega.

"Thanks, sis."

Xander masuk ke dapur, berpapasan dengan Solanum yang berjalan keluar. Solanum memberi kode singkat kepada Xander. Lelaki itu berhenti mendadak di antara pintu. Wajahnya menjadi pias. Dia mengerti apa yang Solanum maksud. Oryza dan Zea sama-sama menoleh ke arahnya.

"Baru pulang? Welcome home, Xander dear. Telat ..."

"Lagi ngobrolin apa?" Mata Xander terperangkap antara memandang Oryza dan mencari-cari alasan untuk melihat jam sambil berlari histeris keluar rumah. Dia mengabaikan ucapan selamat datang dari Zea.

"Kamu... masak malam ini?" serunya mulai panik.

Oryza mengangguk. tersenyum penuh kemenangan, Rambut pendeknya terayun'ayun. Tatapan matanya tidak lepas dari pandangan Xander yang berdiri salah tingkah.

"Iya, memangnya kenapa?" tantangnya galak, bersiap menerima sindiran atau cercaan dari Xander.

Xander nyaris menjerit, membenturkan kepala di dinding, lalu pingsan di tempat. Gerakan refleks yang sering kali terjadi saat telinganya mendengar kata "Oryza" dan "masak". Tapi dia ingat percakapannya tadi pagi dengan Zen. Xander berusaha keras mengendalikan diri.

"Eh... uh... nggak apa'apa.... Bagus deh... hehehe."

"Kamu makan di rumah, kan?"

Xander menjilat bibirnya. Keringat turun membasahi punggung. Di kepalanya berkelebat nasi goreng tek-tek yang biasa menjadi langganannya makan malam. Sudah empat hari berturut-turut dia makan nasi goreng tek-tek. Kesibukan pekerjaan kantor membuatnya selalu lembur dan pulang malam. Setelah dia pulang, meja makan telah dibersihkan. Tak tersisa sedikit pun makanan, kecuali memesan nasi goreng. Sebenarnya. Xander bosan setengah mati makan nasi goreng. Tapi kalau hari ini dia

harus makan nasi goreng itu lagi, Xander tidak keberatan. Makan Rinso juga nggak apa-apa, asal jangan makan hasil masakan Oryza!

Xander tertawa tidak wajar. Dia melirik Zea yang tampaknya sedang menghitung jumlah sendok.

"Iya... hehehe "

Wajah Oryza memerah melihat reaksi Xander. Ini berbeda dengan Xander yang dia kenal!

"Hmm," katanya tersipu.

"Kebetulan banget kamu nggak kelayapan malam ini. Tunggu sebentar ya, nanti kusiapkan makan malam istimewa buatmu."

"Makanan..." Bibir Xander kering.

"...istimewa?"

"istimewa dan spesial."

"Kedengarannya... e-enak...."

Oryza mengangguk bersemangat.

"Memang. pasti enak. Sekarang! Semuanya, silakan meninggalkan dapur. Sang koki akan segera beraksi."

Xander merasa sulit bergerak sebab seluruh ototnya kaku akibat serangan panik. Zea menariknya keluar ke ruang tengah. Terakhir Xander melihat bayangan Oryza membuka laci dan lemari dapur; mengambil panci, talenan, pisau, dan teman'temannya.

"Hebat!" bisik Zea mendukung dengan manis.

"Begitu dong."

Xander ngeloyor meninggalkan Zea. Dia menuju kamar mandi, terhuyung-huyung.

"Aku bakal kena internal bleeding!" gumamnya kepada diri sendiri.

Beberapa penyihir diberi anugerah memiliki kemampuan magis yang tinggi tapi terpaksa harus menerima kenyataan bahwa keterampilan kaum jelata yang tampaknya biasa-biasa saja tidak mereka miliki. Itu yang terjadi pada Oryza. Kemampuan sihirnya menduduki level delapan, nyaris mencapai angka sempurna.

tapi ketidakmampuannya memasak menjadi olek-olek seluruh keluarga.

Bel pintu berbunyi nyaring. Zea bergegas kedepan ruman. Terdengar suara pintu berderit membuka dan suara riang Zea.

"Hai, Pax. Apa kabar!"

Telinga Xander mengembang seperti adonan roti yang kalis. Dia melesat secepat kilat ke ruang tamu. menemukan Pax yang berdiri sempurna di sana; tampan dan segar. Tidak kelihatan seperti kucing hitam dekil yang dianggap Oryza sebagai hewan peliharaan kesayangannya.

"Halo, Pax!" sapa Xander bersemangat. Dia tersenyum penuh konspirasi sambil melirik ke arah dapur.

"Selamat malam. Lihat Dakocan nggak?" serunya dengan suara kencang.

"DAKOCAN? DAKOCAN DATANG?" Terdengar teriakan dari dapur.

"SAYAAANG, SINI KE DAPUR. TEMANI AKU MEMASAK!"

Pax berdiri salah tingkah. Xander tertawa terkekeh'kekeh.

"Jangan pikirin ocehan Xander," kata Zea murah hati. Dia menawarkan segelas air kepada Pax yang langsung diteguk sampai tandas.

"Dia hanya menggodamu."

"Terima kasih," kata Pax meletakkan gelas tersebut di meja. Zea tidak langsung mengambil gelas kosong tersebut. Dia malah memandang Pax lekat-lekat yang salah tingkah ditatap Zea. Perempuan itu menelengkan wajah ke arah Pax, tampak serius seperti memikirkan sesuatu.

"Sudah makan?" Xander bertanya dengan ramah.

Pax menatap wajah Xander dengan pandangan datar. Dia mencurigai nada suara Xander. Entah mengapa, rasanya selalu ada monyet di balik semak, eh, maksudnya ada Xander di balik kebusukan. Selalu begitu.

"Aku belum makan."

"Mau makan di sini!" Xander tersenyum lebar.

"Maksudnya?"

Maksudnya sudah Jelas. Jangan ragu ragu. Ayo, makan di sini aja."

"Ajakan apa pun dari kamu selalu pantas dicurigai."

"Jangan sok jadi orang penting. Tidak ada yang mau mencelakai kamu."

Pax menoleh, tanpa sengaja matanya tertambat pada perempuan yang paling dapat diandalkan di keluarga Raya. Zea melempar tatapan manis kepadanya, yang langsung menghapus rasa curiga Pax.

"Kalau tidak mengganggu..."

"Mengganggu? Sama sekali tidak mengganggu!" kata Zea sebelum Pax menyelesaikan kalimatnya.

"Begitu ya?" Pax tidak memercayai kata-kata Xander sama sekali.

"Oke."

Xander tersenyum semakin lebar, memperlihatkan giginya yang putih. Kata Oryza, senyum Xander yang seperti ini selalu terlihat menawan dan... mencurigakan. Tapi tentu saja dia tidak pernah mengatakannya keras-keras, apalagi langsung di depan Xander. Bisa-bisa lelaki itu langsung menggembung seperti balon. Rugi banget memuji Xander.

"Oya. baru ingat!" kata Xander asal-asalan, seperti baru teringat sesuatu.

"Oryza dading'mu itu sedang repot mempersiapkan makan malam."

"Oryza memasak?"

"Iya. yayang kamu."

Pax tersipu'sipu membayangkan Oryza sebagai yayangnya.
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi, sebagai yayangnya, kamu harus berani menikmati maha karyanya. Dia pasti bahagia kalau masakannya dihargai. Apalagi sama kamu."

Zea melirik Xander dengan tatapan menegur ala mami-mami yang memelototi anak balitanya sedang memanjat bufet. Xander langsung menutup mulutnya cepat'cepat, merasa tidak enak dilirik oleh Zea seperti itu. Dia selalu hormat dan segan kepada perempuan tertua di keluarga ini. Tanpa perlu marah-marah atau mengata-ngatai dirinya seperti Oryza atau Solanum, Xander selalu menganggap Zea dapat menegurnya hanya dengan sekilat tatapan.

"Oke," kata Pax mendadak memiliki semangat baru. Apa pun itu, yang penting membuat Oryza bahagia! Ke Manokwari pulang-pergi sepuluh kali pun Pax bersedia.

"Di mana dia sekarang?"

"Di dapur."

Xander menguap. berjalan gontai menuju ruang keluarga. Ruang keluarga terletak di sayap kanan rumah, menghadap ke ruang makan. Ruang makannya sendiri berada paling belakang. Ada dua pintu geser yang membuka ke arah kebun belakang. Xander mengempaskan dirinya di salah satu sofa di sana, menyalakan televisi dengan remote. Pax duduk di sampingnya, agak jauh. Lelaki itu tak sudi berdekatan dengan Xander, bahkan jika terpaksa harus bersebelahan.

"Astaga aku tahu!" tiba-tiba Zea berkata keras. Akhirnya dia mengerti apa yang mengganggu pikirannya sedari tadi!

"Tahu apa?"

"Pax! Bodohnya aku!" Zea tersenyum lebar.

"Aku baru sadar kaus yang kamu pakai persis dengan kaus kepunyaan Dadi."

Pax langsung duduk salah tingkah.

Pukul delapan malam. Gerimis turun pelan-pelan, ritme rintiknya beraturan di atas atap. Butiran air bergulir menetes satu per satu. Dari arah samping hanya terlihat cahaya samar berwarna kuning yang berasal dari dapur. Jendela kecil di depan bak cuci

piring menghadap Ke belakang, persis ke kebun samping, bergabung dengan ruang makan.

Di dapur suasana tampak berbeda dibanding suasana di luar yang lebih gelap dan syahdu. Suara gedombrengan dan gedebukan membelah suara gerimis. Oryza sedang sibuk bergerak dari satu tempat ke tempat satunya lagi. Semuanya terjadi di dapur yang ukurannya hanya 2x3 meter. Buka pintu kulkas-tutup. keran air dibuka-ditutup, potong'potong, rajang-rajang, kerak-ketok, oseng-oseng. Tumpukan panci dan penggorengan berserakan di mana-mana. Sebagian isi panci tampak bergolak dan mengepulkan asap.

Oryza mengambil pisau besar. membelakangi kompor, dan mulai memotong sayur dengan kecepatan tinggi. di atas kecepatan manusia normal. Potongannya kecil-kecil dan persis sama sampai ke satu milimeternya. Sambil memotong, dia menggumamkan beberapa lagu bernada gembira.

"Hmmm masukin daging. Garam dua sendok kecil." Oryza memasukkan gula dua sendok.

"Apa lagi? Oh, rempah Varaiya... satu tuangan. Secukupnya." Oryza mengalihkan perhatiannya dari buku resep masakan. Dia mengambil stoples. Membuka penutupnya, dia berhenti sejenak untuk membaca label.

"Teh Varaiya. Bukan, bukan yang ini! Hmm ini stoples gratis yang dikasih Sola." Oryza mendorong stoples itu ke ujung meja dapur. lalu mengambil stoples yang lain. Setelah membaca label sekali lagi, gadis itu menuangkan seluruh isinya ke dalam panci.

"Beres! Satu tuangan. Rasanya cukup segitu."

Oryza berbalik lagi, memunggungi kompor. Di atas kompor, panci-panci mengeluarkan buih dan gelegak asap yang semakin menggila. Dapur penuh dengan kabut berwarna kelabu misterius. Tanpa terlihat. muncul tangan-tangan seperti gurita dari dalam panci yang masih berbusa-busa. Terdengar suara degupan yang

keras, membuattutup panci terlempar ke atas lalu jatuh kembali ke tempatnya. Oryza tidak memperhatikan fenomena ini.

Suara geraman menderu dari balik panci.

"La hu bona mobula..."

Warna biru keungu-unguan mengubah asap yang tadinya berwarna abu-abu. Seluruh dapur dikepung dengan warna ini, sehingga sosok seseorang tidak terlihat jelas dalam jarak satu meter.

"Ada apa sih di dapur?" Solanum muncul dari kamar tidur, menunjuk dapur dengan dagunya kepada Xander. Rambutnya yang sebahu diikat di belakang menyerupai ekor anjing yang pendek. Tangannya menggenggam kalkulator kecil. Entah apa yang sedang dilakukannya di kamar. Wajahnya tampak terganggu. terlihat dari dahinya yang berkerenyit serius. Tapi wajah Solanum memang selalu serius. jadi tidak ada yang bisa membedakannya apabila dia terganggu atau sedang memandang kucing yang menggelung manja.

"Biasa, Oryza lagi masak," jawab Xander malas'malasan. Dia masih berbaring di sofa. mengganti saluran televisi dari satu saluran ke saluran lainnya. Di sebelahnya, Pax tampak tidak terlalu bersemangat. Kepalanya pusing memperhatikan gambar televisi yang terus berganti-ganti.

"Ada asap merah keluar dari dapur."

"Hah?"

"Asap merah keluar dari dapur." Wajah Solanum yang selalu datar kini terlihat kuatir.

"Ory nggak apa-apa?"

"Menurut kamu?"

Solanum menyelipkan dirinya di antara Xander dan Pax. Dia menyenggol rusuk Xander dengan keras.

"Coba cek ke sana apakah dia baik-baik aja. Sekalian tanya, asap dari mana itu?"

Xander melempar pandangan ogah-ogahan kepada Solanum. Baru saja dia hendak membuka mulut dan menyuruh Pax saja yang pergi ke dapur, sudut matanya menangkap gerakan Zea

yang sedang berjalan ke arahnya. Zea pasti akan mendengar komentar ngaconya jika dia tidak mematuhi perkataan Solanum. Sambil menelan ludah, Xander berdiri.

"Oke Oke...," gumamnya. Dia berjalan ke dapur, menerobos kabut ungu pucat yang sekarang sedang beterbangan di sekitar meja makan. Langkahnya tertahan sejenak. ragu-ragu untuk maju. Kabut semakin padat dan berwarna ungu gelap di depannya.

Xander berdeham keras.

"Uh... halooo? ' serunya, memanjangkan leher.

"Ory?"

Oryza nongol di antara kabut, memburai warna ungu yang tampaknya kedap. Rambutnya lembap, bersinar kemerah merahan. Dari belakang punggungnya, terdengar suara klik-klak-kluk dan kluk-klak-klik yang mengerikan.

"Apa?" tanyanya. Tangan kanannya menenteng golok ukuran raksasa.

"Ngg..." Xander mundur satu langkah.

"Kamu... eh, baik-baik aja?"

Oryza tersenyum. Goloknya diturunkan sehingga tidak tampak mengancam.

"Ya, baik-baik aja. Sebentar lagi makan malam siap. Aku sedang masak rendang."

Terdengar suara menggelegar yang bernada horor dari dalam dapur,

"NGGAK ADA RENDANG, YANG ADA CUMA ZUUL!"

Oryza menoleh ke belakang.

"Ups!" serunya bersemangat.

"Bentar ya!" Dia langsung menghilang di antara kabut ungu.

Xander berdiri terpaku beberapa detik, berusaha memahami kejadian yang bergerak terlalu cepat. Otaknya terlalu lemot untuk diajak kompromi. Akhirnya dia hanya menggeleng. mengangkat bahu, lalu berbalik kembali ke ruang keluarga. Pax dan Solanum sedang duduk menonton sinetron, berduaan. Zea tidak terlihat batang hidungnya. Demikian juga dengan Samudra.

Xander memutuskan untuk berjalan ke kebun belakang. mencari angin. Ada sudut yang menjadi favoritnya, yaitu saung yang dibangun di atas kolam ikan koi. Dia berbaring telentang di sana, menikmati angin sepoi sepoi yang memainkan rambutnya. Gerimis masih belum berhenti. Langit berwarna ungu tua, mengingatkannya akan warna uap yang berasal dari dapur tadi.

Xander ketiduran. Setengah jam kemudian, dia merasa bahunya digoyang goyangkan sehingga terbangun. Wajah Oryza memenuhi pemandangan matanya.

"Yuk makan!" seru perempuan itu dengan suara tinggi.

"Semua sudah berkumpul di meja makan."

Xander mengucek-ucek matanya, melawan rasa kantuk yang menerjang kepalanya. Kalau dia boleh memilih, dia lebih suka berbaring saja di ranjang, lalu tidur sampai pagi. Tapi sekali lagi, ucapan Zea bergema di telinganya. Xander berjalan terhuyunghuyung mengikuti Oryza ke ruang makan. Seluruh anggota keluarga telah duduk di sana. Xander menarik kursi (lagi lagi di sebelah Pax!) dan menunggu.

Oryza keluar dari dapur dengan langkah sigap, menenteng panci berukuran besar. Dia meletakkan panci tersebut di tengah meja dan bergabung dengan yang lain.

"Oke." ucapnya bersemangat.

"Selamat makan semuanya!"

Dia membuka tutup panci dengan dada membusung. Semua memajukan tubuh dan menjulurkan leher, penasaran ingin melihat isi panci.

"Ini dia makanan isti..."

Tutup panci terbuka. Di dalam panci tidak terlihat apaapa. Panci kosong melompong.

Hening. Seluruh wajah di sekeliling meja makan terlihat datar. Yang bereaksi tentu saja, Oryza. Siapa lagi:"

"Ya ampun. masakanku!" jerit Oryza. membelalak panik.

"KE MANA MASAKANKU?!"

Air muka orang yang mengelilingi meja berubah, seketika tertarik melihat. bangun tampak bingung dan terheran heran. Sisanya-temasuk Xander dan Solanum-tampak lega luar biasa. Sementara di belakang punggung mereka, pada pintu besar yang menuju kebun belakang, tampak makhluk berlendir berwarna ungu kemerah-merahan menggeleser keluar, menghilang di antara rumput dan semak.

"XANDER, KAMU NGERJAIN AKU YA?!"

"Hah?!"

Jam sebelas malam. Suasana rumah terasa lengang. Zea masuk ke dapur, menyapu semut-semut yang mengerumuni sisa sisa gula yang tercecer. Bajunya telah berganti dengan daster panjang bermotif batik. Solanum sedang duduk di salah satu kursi meja makan. Di hadapannya tampak kalkulator, laptop, kertas, dan pensil.

"Banyak kerjaan?" tanya Zea kalem

Tangan Solanum memencet-mencet kalkulator. Kepalanya bergerak cepat dari laptop ke arah kalkulator, lalu kembali ke berkas berkasnya. Air mukanya terlihat sangat serius. Zea mengembalikan sapu ke pojok ruangan. Dia kembali bergabung dengan Solanum, menarik kursi di sebelahnya, duduk dalam keheningan.

"Malam yang heboh," kata Zea dengan senyum yang tak lekang. Dia membayangkan apa yang terjadi barusan, bibirnya semakin tertarik menjauh.

"Kamu masih bisa kerja setelah kekacauan seperti tadi?"

Solanum hanya mengangkat dagunya sedikit.

"Bukannya tiap hari terjadi kekacauan?"

Zea mendesah.

"Betul juga kamu."

"Kejadian tadi cuma peristiwa remeh." Solanum berhenti memencet kalkulatornya. Dia meregangkan tubuhnya dengan malas.

"Oryza menuduh Xander mencuri masakannya yang hilang itu. Xander menolak mentah-mentah dan mengejek Oryza atas ketidakmampuannya memasak. Tau sendirilah tabiat Oryza kalau kemampuan memasaknya dihina. Hhh..." Solanum berhenti berbicara. Sebenarnya, gadis ini lebih suka berdiam diri, tapi tinggal bersama kakak-kakaknya yang selalu berbicara membuatnya terpaksa berbicara banyak.

"Peristiwa tadi nggak terlalu kacau. ingat dulu waktu Oryza meledakkan dapur? Itu baru namanya kacau."

Zea mengangguk, membayangkan peristiwa setahun lalu saat rumah mereka nyaris terbelah karena Oryza berusaha menggunakan kekuatan sihirnya untuk memasak. Kekuatan sihir Oryza sangat kuat (dia penyihir level delapan) ditambah dengan kesembronoannya dalam hal masak-memasak, menciptakan malapetaka yang tiada duanya. Dapur meledak. Api memercik hingga radius satu kilometer. Seluruh kompleks perumahan geger.

"Besok ada operasi," kata Zea, mengalihkan topik pembicaraan.

"Hmm?" tanya Solanum, sambil kembali memandangi layar laptop.

"Tumor. Anjing."

"Oh."

Hening kembali jatuh. Zea menengadah, menerawang menatap langit-langit.

"Sol?"

"Ya, Kak?"

"Mau teh? Atau kopi?"

"Teh. Yang kental." Solanum menunjuk cangkir yang berada di samping kalkulator.

"Tadi sudah ngopi."

"Oke." Zea beranjak, menuju dapur.

"Sebentar ya."

"Thanks, sis."

Seseorang keluar dari dapur, tersenyum Kepada Zea. Lelaki ini mengenakan seragam dengan logo bergambar sapu dan tulisan "Broom-Kami Membersihkan Sampah Sihir". Dia berhenti di depan Zea, merogoh rogoh kantongnya dan mengeluarkan berkas-berkas.

"Dapur sudah dibersihkan. Bu. Keadaan telah aman terkendali. Silakan tanda tangan di sini, sini, dan juga di sini."

Zea menghela napas lega, menyunggingkan bibir dengan hangat.

"Syukurlah. Dadi kuatir peristiwa setahun lalu terulang."

Lelaki itu mengangguk. Peristiwa dapur meledak membuat seluruh perusahaan penyihir bekerja keras membersihkan sampah sihir (sampah Sihir: kekacawan yang terjadi karena penyalahgunaan sihir atau kecelakaan dalam menggunakan sihir). Mereka sibuk menutupi perbuatan Oryza dengan menanam ratusan petunjuk yang mengantar polisi kaum jelata pada kesimpulan yang tidak mengarah kepada perbuatan sihir.

"Nggak ada yang perlu dikuatirkan. Cuma..." Lelaki itu terdiam dalam jeda drama yang menegangkan.

"Cuma?" Zea mengerutkan kening.

"Cuma ada sejumput sihir yang mengenai roti dalam lemari dapur. Roti itu bernyanyi lagu-lagu berbahasa Rusia sejak sepuluh menit lalu. Biarkan saja. Nanti berhenti sendiri."

"Bagus." Zea menjentikkan jarinya. dan sebatang bolpoin muncul begitu saja dari udara.

"Tanda tangan di mana? Di sini? Oke... Sini? Oke. Dan di sini juga? Oke."

"Baik, beres semuanya. Selamat malam, Bu."

Zea mengantar lelaki itu menuju pintu depan. Sebelum lelaki itu berlalu dalam kegelapan malam, dia membungkukkan tubuhnya sedikit kepada Zea. Tersenyum lebar menunjukkan gigi-giginya yang sebagian menghitam sebelum berjalan menuju sepeda yang disenderkan di pinggir tembok rumah.

"Terima kasih. Selamat malam, Pak," sapa Zea, lalu dia menutup pintu.

Lelaki itu mengayuh sepeda perlahan'lahan. Samar-samar. sepeda dan lelaki itu menghilang, lebur di udara. Yang tampak kini hanyalah kedip'kedip cahaya, sebentuk kunang'kunang yang terbang dalam gerakan melengkung. lalu lenyap di balik tembok rumah.

Zea berjalan menuju dapur yang kini telah bersih dan mengilap. Dia membuka lemari, terkejut melihat roti yang tadi disebut oleh si lelaki pembersih sampah sihir sedang melakukan salto berkali-kali di udara. Zea, buru-buru membanting pintu lemari. Dia menenangkan dirinya beberapa detik. Setelah jantungnya kembali berdebar dalam ketukan normal, dia menyapu pandangan ke seluruh dapur. Tampak sebuah stoples mungil yang menarik perhatiannya.

"Apa itu," gumamnya perlahan. memutar kaleng stoples mungil di tangannya. Dia membaca label yang ditempelkan di kaleng tersebut.

"Teh Varaiya. Hmmm... siapa yang beli ya?" Dia mengangkat bahu.

"Mungkin Oryza."

Dia membuka tutup stoples, mengendus isinya.

"Wah. wangi!" serunya senang.

"Boleh dicoba."

Zea menyiapkan air panas dalam teko keramik. Menyeduh beberapa sendok daun teh yang diambil dari stoples tersebut. Mempersiapkan dua cangkir yang desainnya senada dengan teko. Dia meletakkan teko, cangkir. sendok. gula, dan susu di atas baki. lalu berjalan membawa semuanya ke ruang makan.

"Gula berapa sendok?" tanyanya kepada Solanum.

"Dua." Solanum mendongak, mengamati kegiatan kakak sulungnya.

"Pakai susu sedikit."

Zea menyiapkan secangkir teh kepada Solanum. Sejak Mom meninggal, Zea menempatkan dirinya menjadi pengganti ibu.

Adik adiknya hormat dan patuh kenadanya. Dadi senang curhat

Kepada Zea tentang Kerumitan menjadi ayah tunggal bagi anak anak perempuannya yang menurutnya susah diatur. Zea mengurus seluruh keperluan keluarga. Dia membuka klinik kecil dokter hewan di samping rumah yang tembus melalui tembok berpintu. Dengan begitu, dia tidak perlu jauh-jauh meninggalkan rumah untuk melayani Dadi dan adik-adiknya yang selalu butuh bantuan dan perhatian.

"Mulai besok aku lembur," kata Solanum, mengangkat cangkir teh dan menyeruput air tehnya. Statusnya sebagai anak bungsu membuatnya tidak pernah terlibat dalam pengambilan peran orangtua apa pun. Setelah Zea bersikap layaknya seperti pengganti ibu, kakaknya yang satu lagi si tomboi-tapi-Cute-Oryza bersikap seperti pemimpin urakan yang mau bertingkah semaunya.

Zea menyiapkan cangkirnya sambil mendengarkan perkataan adiknya dengan seksama.

"Kalau Oryza bakal masak lagi, aku pilih lembur aja. Aku nggak mau makan di rumah."

Solanum bekerja sebagai auditor di kantor akuntan terbesar di Indonesia. Saat saat kesibukan membuat dirinya terkadang pulang lewat tengah malam, bahkan tidak pulang sama sekali.

"Teh ini enak sekali." Solanum memegang kuping cangkir dengan posisi menggantung. Dia menyeruput tehnya sekali lagi, lalu menjauhkan cangkir itu sedikit dari bibirnya.

"Teh dari mana, Kak?"

"Nggak tahu." Zea menggeleng.

"Mungkin Oryza yang beli. Ada di dapur."

Air muka Solanum mendadak berubah. Dia seperti teringat sesuatu. Baru saja dia hendak mengomentari perkataan kakaknya. tiba'tiba laptopnya berdenting. Tanda seseorang memanggilnya di Yahoo! Messenger.

"Sialan," geramnya. Matanya terarah ke layar monitor. Dia

meneguk habis teh di Cangkirnya, lalu buru-buru meletakkan cangkir kosong di meja.

"Bosku nggak bisa membiarkan anak buahnya beristirahat. Jam berapa sekarang? Hhh Hampir setengah dua belas. Gila..."

Zea merogoh saku, mengeluarkan ponselnya yang bergetar tanda SMS masuk. Dia sibuk memencet-mencet keyboard ponsel, tidak memperhatikan perubahan yang terjadi pada teko dan dua cangkir kosong yang terletak di tengah-tengah meja makan. Sepasang kaki dan tangan mencuat pada benda-benda itu, seperti rumput yang tumbuh mendadak dari dasar bumi. Beberapa detik kemudian, kaki-kaki itu mulai bergerak, lalu berlari menjauh meninggalkan meja makan.

"Kamu sudah ngantuk?" tanya Zea. Matanya masih terarah ke ponsel.

"Hmmm," gumam Solanum. Dia mulai mengetik sesuatu di laptop-nya dengan kecepatan tinggi. Kepalanya menggeleng.

"Sudah hampir tengah malam."

"Tidur aja dulu, Kak."

"Aku justru nggak ngantuk. Malah segar sekali rasanya."

"Mungkin kebanyakan minum kopi."

"Aku nggak ngopi sama sekali."

"Mau temani aku begadang? Bosku sudah memberiku asignmen lain. Aku harus menyelesaikan pekerjaan ini."

"Aku mau saja menemanimu. Tapi..." Zea menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tampak santai duduk di kursi meja makan. Mereka bertukar pandang.

"Hm?"

"Lebih baik aku ke klinik aja. Mungkin aku bisa mempercepat operasi pengangkatan tumor anjing yang malang itu."

Solanum mengangguk, tangannya masih tidak berhenti mengetik.

Zea berdiri. berjalan keluar dari ruang makan. Tiba tiba dia

masuk lagi, mengambil sapu, menggeser'geser sofa, dan menyapu kotoran yang terletak di bawah sofa. Dia melakukannya sambil bersenandung.

"Nggak jadi ke klinik?" seru Solanum dari ujung ruangan.

"Nanti. Sehabis aku membersihkan lantai."

Solanum memandang dua detik dari di balik berkas-berkas dan laptop-nya sebelum kembali bekerja. Zea mulai menyapu kolong-kolong bufet dan lemari.

"Kak?"

"Apa?"

"Ajaib. Rasanya seperti mempunyai tambahan energi setelah minum teh itu. Semangat banget rasanya. Kuku Bima aja kalah nih."

"Apa?" Zea berhenti menyapu, merasa aneh dengan ucapan Solanum karena adiknya jarang bercanda.

"Kamu minum Kuku Bima?" Dia berdiri tegak di tengah ruangan, mengamati adiknya dari tempatnya.

Solanum tertawa pelan melihat air muka kakaknya yang berubah total.

"Nggak!" sahutnya.

"Itu cuma bercanda saja.. Jangan terlalu serius, sudah terlalu malam."

Zea tersenyum. 'Kamu ini...," katanya. mencari kata-kata yang tepat.

"Lama-lama semuanya bertingkah seperti Xander."

"Maksudnya?"

"Xander sering membuat orang cemas dan tertawa pada saat bersamaan."

"Hmmm...." Solanum menopang dagu dengan tangannya, merenung..

"Tapi dia melakukan itu bukan untuk kita. Dia melakukan itu hanya dengan Ory."

"Menurutmu begitu?"

Solanum mengangguk singkat, irit dengan kata-kata.

"E-mm Xander. dunia Ory tidak akan pernah berwarna-warna.

Zea Kembali meneruskan aktifitas menyapukan ini ala menyambar kemoceng dan mulai membersihkan debudebu yang menempel di tempat tempat tinggi.

"Anyway, kamu benar, Sol," katanya merdu.

"Ajaib rasanya memiliki tambahan energi seperti ini. Aku mendadak kepingin membersihkan seluruh rumah, memasak buat seminggu, melakukan pengangkatan seratus tumor, dan seribu operasi kastrasi."

Solanum hanya mengguman singkat sewaktu menyetujui perkataan Zea.

Malam meninggi, bulan tergelincir. Saat matahari terbit pukul enam pagi, Solanum masih berada di posisi semula, yaitu di meja makan. jari-jarinya masih mengetik dengan kecepatan tinggi. Oryza membuka jendela kamarnya yang menghadap klinik hewan kakaknya. Di sana. di kebun samping klinik, terlihat Zea sedang mengajak tiga ekor anjing berjalan-jalan. 'wajahnya berseri-seri dan segar.

**

SAMUDRA berjalan keluar. menikmati pagi. Udara cerah, langit berwarna bening dengan awan-awan berkejaran seperti tumpukan kapas. Burung-burung memenuhi dahan pohon mangga yang tumbuh di kebun depan. Sekelebat, Samudra melihat anak perempuan sulungnya sedang berjoging diiringi tiga ekor anjing. Dahinya mengernyit. Seingatnya, Zea tidak pernah berjoging, paling hanya berjalan-jalan.

"Ze!" serunya. sambil melambai. Zea tidak menoleh, malah berlari semakin cepat.

Samudra mengangkat bahu. berbalik. Tiba-tiba dia menyadari kebun depan terlihat sangat bersih. Tidak ada daun-daun kering atau ranting patah berjatuhan di rumput. Tampaknya ada yang pagi-pagi sudah menyapu kebun dengan telaten. Samudra berputar mengelilingi kebunnya. Kebun itu bercabang dua. Yang satu menuju tembok yang berpintu gerbang, menuju pintu samping klinik dokter hewan. Sementara yang satu lagi menuju kebun belakang yang lebih luas.

Samudra menyusuri rumput-rumput liar yang tampak rapi terpotong sama tinggi. Sejenak rasa heran merasuki kepalanya.

Biasanya rumput-rumput ini selalu tumbuh berantakan. tidak ada yang berminat menggunting dan merapikannya. Di kebun belakang, Samudra melongok ke dalam rumah. Di meja makan, anak bungsunya sedang duduk di salah satu bangku. Wajahnya terbenam di balik laptop.

"Sola!" Samudra berseru.
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Solanum mendongak. Dia tersenyum melihat ayahnya berjalan menyebrang menuju teras belakang.

"Pagi. Dad," sapanya otomatis.

"Lapar? Zea sudah menyiapkan sarapan untuk Dadi."

Samudra melepaskan sandal kebunnya, berjalan masuk ke ruang makan. Ruang makan ini didominasi dengan warna biru pucat. Sepanjang temboknya dihiasi foto-foto istrinya sewaktu dia masih hidup. Zea yang mendekorasi. Katanya untuk mengingatkan kehadiran Mom saat mereka berkumpul di meja makan.

"Mana sarapannya'

"Masih di dapur." Solanum berdiri, menggeliat sejenak. Dia masih mengenakan baju kemarin malam, kaus dan celana pendek. Rambutnya juga masih diikat ke belakang dengan kecil kecil. Air mukanya juga masih tetap sama: serius.

"Saya ambilkan untuk Dadi," katanya praktis.

Samudra menarik kursi lalu duduk. Dia meraba kantong celana trainingnya, menarik keluar sebungkus rokok dan pemantik api. Dia menyalakan rokok. menyedotnya dalam-dalam. Tatapan, nya Jatuh kepada foto istrinya yang sedang tersenyum memeluk ketiga anak perempuannya.

Tru, panggilnya dalam hati. Aku cemas tidak bisa memenuhi amanatmu. Ory itu keras kepala, persis seperti kamu. Dia tampaknya nggak bakal naksir dengan Xander, sekeras apa pun usakaku. Mungkin sebaiknya kita membiarkan Ory mengatur sendiri apa yang dia inginkan untuk masa depannya. Itu termasuk memilih jodohnya, seperti dulu kita juga mempunyai kehendak bebas dengan saling mencintai. jika dia memilih kaum jelata...

**

Lamunan Samudra terhenti. Dia menoleh, melihat Solanum berjalan memasuki ruang makan dengan piring piring yang bertumpuk di tangannya. Anak bungsunya berjalan dengan lihai dan gemulai, walau seluruh tubuhnya kelihatan seperti digandoli perlengkapan makan.

"Nasi goreng!" Solanum meletakkan piring pertama.

"Nasi uduk." Piring kedua.

"Kuetiaw goreng. Pangsit rebus. Bubur ayam. Roti panggang. Sereal."

Samudra memandang tanpa berkedip.

"Pilihan dim sum. bakmi ayam. bakso kuah...."

"Ini semua..." Samudra terpana...Sarapan buat kita?"

"Sarapan buat Dadi. Di dapur masih banyak. Silakan makan. Dad."

"Ssiapa yang beli makanan sebanyak ini:" '

"Nggak beli. Zea yang masak. Makanan bergizi dan sehat seharusnya buatan sendiri," ujar Solanum membenarkan sambil merapikan piring-piring di meja.

"Jus mangga, jus semangka, jus apel, jus jeruk. susu segar, teh. atau kopi? '

"Hah? '

"jus mangga, jus semangka, jus apel, jus jeruk, susu segar, teh, atau kopi?" Solanum mengulangi dengan sabar.

"jeruk aja..."

"Okejeruk!" Solanum mendorong gelas tinggi berwarna kuning. Sejenak dia merapatkan kedua tangannya di dadanya, lalu menunduk sedikit. Lagaknya persis pelayan restoran.

"Silakan. Selamat menikmati, Dad."

Samudra masih terlongo saat Oryza masuk ke ruang makan. Rambut pendeknya basah, wangi sampo menguat lembut. Dia habis lari pagi, melakukan kegiatan olahraganya setiap hari. Wajahnya berseri-seri dengan kedua pipi yang memerah jambu. Secara keseluruhan. Oryza terlihat segar dan imut. Solanum

bergerak ke balik laptop-nya lagi. kembali mengetik dengan kecepatan penuh.

"Pagi. Dad."

Gadis itu berputar ke belakang ayahnya, lalu mengecup pipinya. Samudra masih duduk bengong, memandangi meja makan yang penuh dengan piring.

"Wow!" seru Oryza bersemangat.

"Ini baru sarapan."

Sedari tadi Dakocan tidur di bawah hangat sinar matahari, tapi tiba-tiba dia menggeliat bangun. Dengan kegemulajan seekor kucing, dia melompat dari bingkai jendela, berjalan menuju kamar mandi yang terletak di bagian belakang. Dia mendorong pintu dengan tubuhnya.

Xander yang sedang memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci terlonjak ketika mendengar pintu terbuka. Dia langsung memutar tubuhnya mencari sumber suara pintu dan menceracau panik.

"Sumpah bukan aku yang mencuri rendang..."

Dakocan menongolkan kepalanya dari balik pintu tak jauh dari tempat Xander berdiri.

"Sialan!" Xander berhenti memasukkan baju-baju kotor. Dia bertopang sambil merengut masam di dekat mesin cuci. Dakocan berubah wujud menjadi Pax yang sedang tertawa ngakak hingga terbungkuk-bungkuk. Pipi Xander memerah.

"Pakai baju dulu sana! Senang banget sih telanjang di depan gue!"

Pax menyambar baju yang tergantung di belakang pintu. Dia buru'buru mengenakannya di bawah tatapan kecut Xander.

"Lain kali ketuk pintu dulu kalau mau masuk!"

Pax mundur dua langkah, bersandar pada pintu. Dia lemas karena terlalu banvak tertawa.

"Lihat Ory nggak?" tanya Xander, masih belum pulih dari keterkejutannya.

"Dia masih kelihatan kesal?"

Pax membuang muka.

"Nggak tahu."

"Nggak tahu? Lu kan tidur sekamar sama dia!" Mata Xander menggelap saat berbicara seperti itu.

"Gue nggak tidur di kamarnya semalam. Dia terlalu marah sama lu sampai-sampai dia tidak sadar kucing kesayangannya kehujanan di luar."

"Rasain!" Xander memutar tubuh, kembali menekuni pekerjaannya yang tadi terlupakan.

"Kucing hitam memang seharusnya nggak tidur seranjang dengan cewek. Kaum jelata bilang kucing hitam membawa kesialan tujuh turunan."

"Diam, jangan membahas gue!" Wajah Pax gantian yang memerah, bahkan berubah menjadi ungu.

"Ini sial lu, bukan sial gue." Nada Pax seakan-akan berkata.

"Ini cintaku, bukan cintamu!" Tapi untung Xander tidak terlalu memperhatikan, sehingga dia tidak mengeluarkan kata-kata sindirannya yang selalu membuat Pax naik pitam.

"Sumpah, gue tidak melakukan apa-apa!"

"Membuat Ory tersinggung sampai tahap ngamuk lu anggap tidak melakukan apa-apa?"

"Lu budek atau cacat mental?" geram Xander kesal. Dia memasukkan celana pendek ke mesin cuci, nyaris melemparnya kencang'kencang karena frustrasi.

"Gue udah bilang, gue nggak melakukan apa-apa! Semuanya bukan salah gue kalau... kalau... rendang sialan itu hilang dari... panci. Gue nggak melakukan sihir apa pun sejak kemarin!"

Pax mencibir.

"Begitu, ya, Pak Penyihir Tingkat Sembilan? Lu pikir gue anak TK yang pipis di celana? Cerita dongeng lebih cocok buat balita. Siapa yang percaya kalau makanan lari begitu saja dari panci dan..."

Pintu terbuka. Cangkir mengintip, melompat'lompat memasuki ruangan tersebut, terus berjalan menuju kamar mandi. Di sana, cangkir itu memutar keran air hangat. lalu menikmati mandi di bawah air pancuran. Setelah itu, dia mengisi dirinya penuh: penuh dengan air, mematikan keran, dan kembali melompat'lompat keluar. Air berceceran di sepanjang lantai, meninggalkan jejak sepanjang kamar mandi dan pintu ruangan laundry.

Xander dan Pax berdiri terpaku, memandang semuanya tanpa berkedip.

**

Rumah besar bergaya istana itu tampak sepi dari luar. Dua sopir sedang duduk mengobrol dengan satpam yang berjaga-jaga sambil merokok. Dua mobil mewah berwarna hitam tampak mengilat sehabis dicuci. Tukang kebun berjalan keluar dari pintu garasi, menenteng gunting rumput berwarna hijau. Dia menyiapkan pekerjaan rutin paginya, mengambil sapu lidi, lalu mulai menyapu membersihkan kebun.

"Pagi. Pak Kasmin!"

"Pagi. Pak Mukris!"

"Rokok? '

"Makasih. lewat aja. Udah ngopi di belakang tadi."

Di dalam rumah, tepatnya di ruang makan yang luas dan berlantai granit. sepasang lelaki dan perempuan sedang duduk di meja makan besar terbuat dari kayu berpelitur indah. Lukisanlukisan dan patung'patung karya seniman besar menghiasi seluruh ruangan. Pembantu yang berjumlah lima sibuk hilir-mudir. sebagian sedang membersihkan. mengelap. maupun mengepel. sebagian lagi di dapur sedang memasak dan mengurus kebutuhan lain.

"Aqua," panggil si lelaki.

"Jus ini enak sekali. Buah apa yang kamu blender. wahai adikku?"

Perempuan yang dipanggil Aqua tidak mendongakkan wajahnya dari koran yang sedang dibacanya.

"Fruit puneh." katanya dengan suara yang tenang.

"Campuran nanas, jeruk, stroberi, mangga, Sprite, dan trirlosan, sodium iauryi sulpkate, amino oxide, and anhydrous, Mas-ku tersayang."

Kepala Rumah Tangga mereka. ibu Tyas, langsung melotot dari tempatnya berdiri. Dia berlari ke ruangan lain dan menghilang sementara.

"Segar sekali, adikku yang rupawan." Gus-nama lelaki itu. mengangguk dengan anggun. lalu menenggak habis minuman tersebut.

"Kenapa sebelumnya tidak pernah membuat jus sesegar ini:" '

"Karena campuran senyawa itu mengandung racun dan digunakan untuk mencuci tangan. Mas."

Ibu Tyas tergopoh-gOpoh memasuki ruangan. Dia menyodorkan sebutir pil kepada Gus.

"Ndoro Agus," katanya penuh penghormatan.

"Makan obat ini dulu."

"Namaku Gus. bukan Agus." Gus melirik perempuan berusia lima puluh tahun yang kini sedang membungkuk'bungkuk di hadapannya.

"Apa itu?"

"Ini obat penawar racun untuk menetralisir racun yang dibubuhkan pada fruit puneh. Ndoro."

"Aha. bagus!" Gus mengambil pil tersebut lalu langsung menelannya. Dia menoleh kepada Aqua.

"Lain kali kamu harus menyiapkan Jus seperti ini setiap pagi. adikku."

Aqua menggumam. tidak mendengarkan perkataan Gus. Tak ada suara manusia memenuhi ruang makan. Hanya terdengar suara cericit burung'burung yang berasal dari belasan kandang di kebun belakang. Aqua tidak makan apa-apa. kecuali semangkuk kecil sayur-sayuran yang dibubuhi saus hasil racikan isun-icwa di Ruang Ramuan Sihir-nya.

Tiba tiba Gus dan Aqua menoleh. Telinga mereka yang sensi,

menangkap suara sandal sepatu dengan lantai. terdengar lelaki dan perempuan yang saling cekcok mulut terdengar semakin lantang.

"Mbak, nggak boleh begi..."

"JANGAN LARANG-LARANG STRAWBERI!"

"Tapi Mbak, saya..."

"DIAM! KAMU TAHU SIAPA STRAWBERI?"

"Saya nggak tahu, tapi saya tahu nanti Nyonya marah, aduuhh... Mbak, tolong..."

"ENYAH KAMU DARI HADAPAN STRAWBERI!"

Lalu terdengar suara gedebuk diiringi teriakan lelaki yang melolong kesakitan.

Perempuan berambut pendek melangkah cepat memasuki ruang makan. Pakaiannya minim sekali; rok mini dengan kaus ketat bertuliskan "I am A Witch, Beware!" Roknya berkibar'kibar mengelilingi kedua paha. Kacamata bergagang kuning terang bertenger di wajahnya yang mungil. Air mukanya merah padam menahan amarah. Gus terlonjak kaget di tempatnya. Aqua menoleh, matanya menyipit saat melihat tamu perempuan tersebut.

"Kamu!" dia berteriak melengking ala pemain sinetron. Perempuan itu menumpukan kedua tangannya di pinggul.

"Dasar pencuri!"

Gus berdiri. mengibaskan serbet dengan penuh gaya. Serbet itu langsung ditangkap dengan sigap oleh Ibu Tyas seperti seorang pemain sirkus piawai.

"Ibu-ibu," kata Gus dengan gaya angkuh.

"Silakan melanjutkan arisannya. Saya mengundurkan diri. Harus berangkat bekerja sebelum terjebak kemacetan di jalan. Selamat pagi semuanya !"

Ibu Tyas tergopohrgopoh berjalan di belakang Gus sambil menenteng tas kerja dan tas laptop Gus. Sepasang manusia itu menghilang di balik pintu lengkung yang besar. Mereka menuju

gerbang rumah, di sana sopir Bus dan Mercedes Benz pribadinya telah menunggu.

Aqua mengangkat dagu dengan lagak anggun seperti seorang putri keraton. Tidak heran, karena dia memang keturunan bangsawan.

"Aku tidak mencuri apa pun, Nanas!"

"Namaku Strawberi, bukan Nanas." Strawberi maju dua langkah.

"Anda mencuri rempah-rempah dan teh keramat kepunyaan Nenek."

Bibir Aqua merengut tipis ke bawah.

"Sayang sekali Anda salah orang. Aku bukan pencuri. Kalau aku menginginkan sesuatu, aku tinggal memesan dari Katalog Baranng barang Ajaib Para Penyihir di internet. Mengapa harus mencuri?" katanya dengan nada melecehkan.

"Lihat ini!" Strawberi melempar sesuatu ke meja.

"Strawberi menemukan barang'barang ini di dapur Nenek."

"Ini..." Aqua menyipit.

"Kelopak mawar?"

"Nggak, ini keripik kentang. Ya iyalah, ini kelopak mawar."

Aqua mengamati kelopak mawar itu dengan saksama. Dia mendecak, seakan-akan mengetahui sesuatu. Tangannya melakukan gerakan mengibas di busana hitam hitamnya.

"Oke, aku mengerti. Sini, Duku. Ikut aku. jangan pergi jauh-jauh."

"Strawberi."

Aqua berdiri, berjalan dengan langkah anggun. Di belakang Strawberi mengikutinya. Sepatu hak Aqua menimbulkan ketukan berirama, sementara sandal Strawberi hanya menimbulkan suara wuss-wuss pelan. Mereka berjalan melewati beberapa Iorong. pintu-pintu besar, naik melalui tangga, mencapai tempat tertinggi di bawah atap rumah. Seluruh plafon berbentuk miring. Jendela besar menghadap timur, menghadap ke rumah yang sepertinya terbuat dari kaca semua.

"Apa itu?" seru Strawberi. lupa akan kemarahannya kepada Aqua. Rumah ini sungguh membuatnya tercengang. Dia tinggal

di rumah kecil merangkap restoran yang ukuran seluruhnya hanya sebesar ruang makan rumah Aqua.

"Itu rumah kaca. Tempatku menanam sayur'mayur dan tanaman beracun untuk kepentingan ramuan sihirku," Aqua berkata sambil sibuk menyiapkan sesuatu.

"Di sana aku juga membiakkan mawar berwarna aqua. Satu-satunya mawar di dunia yang berwarna biru kehijau-hijawan."

"OW. Cantik."

"Lihat ini!" seru Aqua mengalihkan perhatian dari pembicaraan tentang rumah kaca dan bercocok tanam. Dia mengambil tabung berisi cairan, lalu menebarkan kelopak mawar yang diberikan oleh Strawberi.

"Tabung ini isinya air leding biasa."

Warna biru kehijau-hijawan itu perlahan-lahan luntur, mengubah air bening menjadi biru kehijau-hijawan. Sementara kelopak itu kembali ke warna aslinya.

"Putih," desah Strawberi.

"Ini hanya mawar biasa, bukan berasal dari kebun persilanganku. Sudah kukatakan, aku tidak mungkin melakukan pencurian hina semacam itu. membobol rumah kampung kepunyaanmu. Banyak barang gaib yang bisa didapatkan tanpa harus mengotori tanganku."

Strawberi terdiam.

"Lalu bagaimana..."

"Menurutku. ada orang yang ingin menuduhku sebagai pencari rempah-rempah tolol kepunyaan nenek moyangmu."

"Maksudmu?"

Aqua menatap Strawberi sambil menyipitkan mata, menebaknebak apakah Strawberi' berlagak bodoh atau memang bodoh dari sananya.

"Coba dorong otakmu sedikit ke tengah biar cepat menangkap informasi."

"Otak Strawberi sudah di tengah. Persis, seimbang kiri kanan." Strawberi menunjuk kepalanya.

Aqua pura-pura tidak mendengar sambil memandang tempayan air. Strawberi mengalihkan perhatiannya kepada mawar.

"Oke, oke, kayaknya Strawberi mengerti. Strawberi akui semuanya terdengar masuk akal." Strawberi termenung sesaat sambil mengerutkan kening.

"Kalau begitu, siapa orang yang melakukan perbuatan rendah seperti mencuri dan memasang petunjuk menyesatkan?"

"Apa rumahmu memasang jebakan untuk melindungi diri dari perampokan?"

"Itu dia!" Strawberi menjentikkan jari.

"Siapa pun yang berhasil masuk ke rumah pasti memiliki kemampuan sihir tingkat tinggi. Bukan cuma itu. tubuhnya pun pasti sangat lentur untuk menghindari serangan."

"Kenapa dia mengambil rempah-rempah? Apa yang istimewa dari rempah-rempah itu?"

"Rempah-rempah itu dapat digunakan untuk memasak makanan, menciptakan adikarya kuliner yang bercita rasa tinggi. Seseorang pasti membutuhkan rempah-rempah tersebut untuk memasak..."

Strawberi mendadak terdiam. Dia menoleh kepada Aqua, yang sedang memandangnya dengan air muka yang sama.

"Mungkinkah..." Aqua berkata pelan.

Straberi mengangguk.

"Mungkin. Strawberi tahu apa yang kamu pikirkan..."

Mereka berpandangan sekali lagi. Senyum tipis membelah

wajah. Tanpa diberi aba?aba. mereka berteriak serempak,

"PASTI DIA PELAKUNYA!"

**

Sementara itu... Ruang laundry telah kering. Xander menenteng tongkat

setelah selesai membersihkan lantai dari jejak-jejak air. Mesin cuci mengeluarkan bunyi mendengung. Pax sedang berjongkok di sebelah tiang jemuran.

"Siap?" tanya Xander.

Pax berdiri malas-malasan. Lagi-lagi dia mengenakan kaus milik Samudra. Dia ingin segera pulang ke rumah, mandi, dan bergegas menuju kantor. Pax tidak mau disemprot oleh atasannya karena keseringan terlambat.

"Dengar baik-baik. Sebenarnya gue nggak ada waktu untuk urusan seperti ini. Tapi karena sayang. gue mau melakukan ini untuk Oryza."

Pax sengaja berlambat-lambat ketika mengungkapkan perasaannya tentang Oryza. Hal itu yang paling dibenci oleh Xander. Dia melirik Xander. Wajah lelaki itu memerah sampai ke telinga saat mendengar kata "sayang" yang kelewat mesra.

Xander melambaikan tangannya, tampak tidak peduli. Air mukanya masam. Dia bergerak keluar dari ruangan.

"Silakan, Tante. Nggak perlu pakai pengumuman sok dramatis seperti itu."

"Dan, jangan lama-lama," kata Pax selanjutnya.

"Jam sembilan aku ada meeting di kantor. Gue nggak mau menghadapi voltase regangan tinggi si Botak gara gara melihat gue terlambat datang."

"Memangnya lu saja yang sibuk? ' Xander mendengus.

"Gue juga."

"Pokoknya. gue melakukan ini BUKAN buat lelaki yang nggak tahu bagaimana cara menghargai perempuan. Ingat itu!"

"Gue juga BUKAN melakukan ini buat lelaki yang mengubah diri menjadi kucing culun supaya bisa tidur dengan cewek. jangan kuatir, nggak perlu diingatkan lagi."

Mereka berjalan cepat. Di lorong. mereka berpapasan dengan Solanum yang telah memakai pakaian kerja. Dari ujung rambut sampai ujung kaki dia terlihat rapi. Kemeja biru garis garis lengan panjang, dengan renda di sepanjang kancing depannya. Dia

masakanmu... yan, dengan berat hati Kukatakan sebenarnya bukan salah dia."

**

Suara Pax terdengar mengejutkan Ory. Dia berkedip.

"Oya?" bisiknya heran.

"Kenapa kamu membela dia?"

"Karena." Pax berkata tenang.

"Barusan aku melihat cangkir berjalan ke belakang rumah dan mandi air hangat di pancuran."

Hening.

Pax memandang Oryza dengan air muka serius.

Oryza balas memandang.

Mereka berpandang-pandangan selama beberapa saat.

Xander kepingin menyambit kepala Pax dengan mesin cuci.

"Mungkin aku memang tidak bisa masak." suara Oryza tersendat. Intonasinya tenang, sekuat tenaga dia menahannya.

"...Tapi tolong ya, aku tidak sebodoh itu. Pasti ada orang yang mengira lQ-ku tiarap."

Oryza menyambar pintu, hendak membantingnya sehingga menutup. Tapi Pax lebih cepat. Dia menahan pintu dengan tangannya.

"Tunggu, Ory! Jangan..."
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"KAMU PlKlR AKU IDlOT YA?"

"Sumpah, aku..."

"SUDAH PUAS MENGHINA KECERDASANKU?"

"Tunggu! Aku tidak menghina..." Xander buru-buru maju ke depan, menarik kerah Pax agar menjauh dari Oryza. Tanpa

sengaja kantong plastik yang direntengnya terjatuh. Cangkir melompat keluar dari kantong tersebut, lalu berdiri tegak diiringi tatapan Oryza yang terpaku di daun pintu.

Tiba-tiba cangkir membuka mulut. mengeluarkan suara geraman yang mengerikan.

SEPASANG taring melesak keluar dari mulut cangkir. Dia menggeram sekali lagi, lalu melompat menyerang leher Oryza.

"Minggir!"

Xander mendorong Oryza. lalu menangkap cangkir pada kupingnya. Cangkir itu menggeliat geliat dalam tangkapan Xander. Tiba-tiba dia berhasil melepaskan diri, melompat ke lengan Xander, dan langsung membenamkan taring taringnya di sana.

"ADUHH! SAKIIIT!"

Oryza ikutan menjerit terkejut. Secara insting dia memukul cangkir agar menjauh dari lengan Xander. Cangkir terjatuh, tapi tidak pecah sama sekali. Xander berteriak sambil memegangi tangannya yang berdarah.

"Dia kabur!" teriak Oryza kaget.

"Pax! Tangkap!"

"AAAARRRGGHHHH!"

Mereka berdua berlari mengejar cangkir yang melompat-lompat sepanjang lorong. Pax berhenti. mengambil sepatunya, melakukan gerakan ancang-ancang. lalu melempar. Lemparannya tepat, langsung menghajar cangkir sehingga benda itu langsung roboh.

"Astaga." desis Oryza, mendekat sambil berlari lari di belakang Pax.

"Seperti mengejar tikus."

"Lihat " kata Pax. Xander bergabung di belakang mereka. Bertiga mereka menunduk, menatap ke arah cangkir yang tak bergerak di lantai.

"Itu... berdarah..."

Oryza berjongkok, ragu-ragu mendorong cangkir dengan telunjuknya.

"Daging... bukan porselen. Ya ampun, mengerikan."

Xander terhuyung. Dia menekan lukanya yang terbuka dengan tangannya yang lain. Tapi darah merembes keluar dari selajari.

"Aduh..." keluhnya. Kepalanya berkunang-kunang.

Oryza mendongak ke arahnya.

"Darahmu masih mengucur. Ini harus diobati, kelihatannya parah. Kita harus ke klinik Ze."

Xander mengerang.

"Klinik dokter hewan?!" tanyanya tidak percaya.

"Kenapa nggak sekalian bawa aku ke tempat pemandian kuda nil?"

"Kamu kan spesies babon dengan persilangan unik antara bonsai Jepang dengan cacing pipih," kata Oryza sambil tertawa bermaksud menyindir Xander seperti biasa. Tapi senyumnya berhenti mendadak waktu melihat betapa pucatnya wajah Xander. Luka di tangannya tampak serius.

"Kenapa? Kamu tahu kakakku dokter. Kliniknya punya obat-obatan yang bisa mengobati manusia juga."

"Nggak! Aku nggak mau... diperiksa dokter hewan " Xander mendadak sulit bicara.

"Nanti tumbuh bulu... kayak Dakocan... kucing idiot itu."

Pax melotot.

"Sialan. Ada orang yang masih sanggup menghina biarpun sudah nyaris mati."

Oryza menghela napas melihat bibit pertengkaran yang sudah tumbuh di depan matanya. Sebenarnya dia ingin memarahi Xander dan mengata-ngatainya sebagai lelaki yang berlebihan, tapi melihat kondisi Xander terpaksa dia menelan ludah.

"Ya sudah. Kalau cerewet, kita ke dokter manusia saja."

Xander menutup mata. Cahaya teramat silau menyergap matanya. Sekali lagi dia terhuyunghuyung. Pax menangkap tubuh Xander dengan cepat.

"Aku... pusi... ng..."

Xander kehilangan keseimbangan, tangan Pax terlepas. Dia terjatuh, lalu pingsan.

Oryza menjerit.

"XANDER!"

**

Solanum menyambar kunci mobil lalu berjalan dengan langkah sigap. Dia mengabaikan Xander dan Pax yang menyapanya di lorong. Dia tidak punya banyak waktu. Time is money. Begitu banyak yang harus dikerjakan, begitu sedikit waktu yang dimilikinya. Dia membuka pintu depan, membantingnya hingga tertutup. Mobilnya diparkir di luar karena garasi mereka hanya muat satu mobil. Keluarganya memiliki dua mobil. Satu miliknya dan satu lagi kepunyaan Dad yang dipakai bergantian dengan Zea. Oryza lebih suka mengendarai motor. Sementara mobil milik Xander diparkir di pinggir jalan.

Dia membuka pintu gerbang. Tiba-tiba dua sosok manusia muncul mendadak di hadapannya.

"Solanum Tuberosum Raya."

Perempuan itu melonjak terkejut. jantungnya berdegup lebih cepat. Mata Solanum menyipit memperhatikan perempuan yang menyebut namanya dengan lengkap.

"Bikin kaget aja! Kukira tuyul. ternyata beneran tuyul. Nggak perlu memanggilku dengan penuh cinta seperti itu!" katanya datar.

"Siapa yang tuyul?!"

Solanum melirik jam tangannya. langsung mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Kalau urusan ini diperpanjang dia akan

terlambat ke kantor. Tidak ada yang paling dibencinya selain pekerjaan yang belum rampung.

"Ada apa, mau ketemu Xander? Sana, masuk saja. Dia ada di dalam, belum berangkat ke kantor."

"Aku nggak mencari Xander..."

"Nggak mencari Xander?!" Solanum mengangkat bahu sambil menyeringai tipis. Semburat cool terlihat seketika.

"Wah, turut berdukacita."

Strawberi bengong.

"Titip pesan saja. Bagaimana kalau: dear Xander, maaf mengecewakanmu, tapi Strawberi sudah nggak cinta kamu lagi. Ternyata benar kata nenek moyang, masih banyak lelaki penyihir lain yang lebih rusak daripada kamu. Please, jangan bunuh diri ya, kita tetap berteman, kan? Tertanda, Strawberi." Solanum tertawa sinis.

"Dijamin Oryza pasti termehek'mehek mendengarnya!"

Strawberi merengut. Ditatapnya Solanum dengan mata menyipit.

"Nggak cinta Xander lagi?" serunya emosi.

"Ini namanya pelecehan! Bilang sama Oryza, tunggu dunia kiamat kalau dia berharap Strawberi berhenti mencintai Xander! Itu tidak akan terjadi! Dengar? Pasang telingamu baik-baik, STRAWBERI TIDAK AKAN MENINGGALKAN XANDER! STRAWBERI MENCINTAI XANDER SELAMA-LAMANYA SAMPAI MATAHARI MELEDAK DAN TATA SURYA MENYUSUT MENJADI..."

"Kami mencari Oryza!"

Dahi Solanum berkerut, menoleh kepada Aqua. Seorang gadis bermata pipih dan bertulang pipi tinggi berada di sebelah Strawberi. Dari sikapnya, Aqua selalu tampil angkuh seratus persen. Sementara, Strawberi masih mencak-mencak dengan kata-kata kacau seperti "nggak akan" dan "naksir Xander selama. lamanya" dan "sampai langit runtuh dan bumi terbelah".

"Mencari Oryza? Kenapa?"

Aqua menyenggol Strawberi.

"...RENA NGGAK ADA YANG... apa sih sengggol-senggol!"

"Kenapa kita mencari Oryza? '

Strawberi terdiam sejenak.

"Ganti Frekuensi dulu deh. Dari tadi kita sudah tidak mendiskusikan Xander dan tata surya yang mengelilinginya," kata Aqua menjelaskan tidak sabar.

"Oh?" Strawberi menggaruk kepala, berpikir ulang.

"Hmm... Ooo iya!"

Solanum memutar bola matanya..

"Bagus! Pagi-pagi udah disodorin ketoprak dan lenong digabung jadi satu. Capek deh. Kayak disuruh bangun lima candi, termasuk Borobudur dan piramida Mesir."

Strawberi meletakkan kedua tangannya di pinggul. mendelik kepada Solanum yang sedang menguap secara dramatis tiga kali berturut-turut.

"Eh, ini serius. Dengarkan baik-baik. Oryza harus bertanggung jawab! Kembalikan rempah-rempah dan daun teh Nenek!"

"Rempah apa? ' tanya Solanum dengan datar.

"Kamu mengigau. Kakakku nggak tahu apa yang kamu maksud. Kebetulan dia sudah berangkat ke kantor. Maaf, aku nggak punya waktu untuk meladenimu sekarang."

Solanum berjalan cepat ke arah mobilnya, memencet tombol alarm, dan membuka pintu.

Strawberi mengangkat telunjuknya. Dalam hitungan detik. dia menghilang di udara. Tiba-tiba dia muncul kembali persis di depan Solanum. Jarak mereka hanya satu sentimeter.

"Kakakmu pencurinya!" dengus Strawberi. menarik kerah leher Solanum yang memandang mata Strawberi dengan berani.

"Kamu pikir aku penyihir kemarin sore? Di mana Oryza? Dia

pasti ada di rumah. Panggll dia keluar sekarang! Atau kamu menginginkanku masuk dengan cara hampa?"

Cara hampa adalah teknik menyihir dengan membuat diri menghilang dan trasnparan tanpa bisa terlihat oleh mata biasa.

Solanum menatap Strawberi lurus-lurus dengan dingin. Tongkat sihirnya tersimpan di tas. Dia tidak mungkin mengambil tongkatnya dalam kondisi dipepet seperti ini. Gadis itu menangkupkan kedua tangannya sambil berkonsentrasi. Kilau cahaya bersinar perlahan-lahan saat mulutnya berkomat kamit merapalkan mantra sihir. Dengan gerakan superkilat, dia melepaskan bola energi ke Strawberi. Gadis itu terpental, jatuh berdebum di atas rumput.

"Rasain!"

Solanum bergegas masuk ke dalam mobil. menyalakan mesinnya, lalu mundur dengan kecepatan tinggi. Nyaris menabrak Aqua yang terpaku di tengah pagar.

"Dengar ya, para penyihir bego! Kakakku terlalu terhormat untuk menjadi pencuri. Dia takkan melakukannya sampai kapan pun. Yang membobol rumah bobrok kamu," Solanum menuding Strawberi. meradang,

"...adalah akuuuuu!"

Terdengar suara ciiur saat roda beradu dengan aspal jalanan. Mobil melaju dengan kecepatan tidak wajar meninggalkan pekarangan rumah, satu perempuan penyihir masih terjerembap di rumput. dan satu lagi yang masih terpana dekat pagar.

**

Xander berbaring di sofa ruang tamu Dokter Lukas. Napasnya turun-naik teratur. Dia masih dalam keadaan tidak sadar. Dokter bergerak ke lemarinya, menyiapkan alat suntik.

"Bagaimana, Dok?" tanya Oryza cemas.

"Apa lukanya berbaha

ya?"

**

Di belakang. Pax sedang sibuk berbicara dengan bosnya di telepon.

"Ya... Maaf, Pak saya pusing... nggak bisa bangun dari ranjang... wah, semoga tidak, Pak. Maaf... berkasnya sudah saya siapkan untuk meeting... sudah saya berikan kepada Linda. tinggal di-double check lagi... ya, ya... saya mengerti... Pasti! Pasti saya lakukan... ya ya... ya.... Terima kasih... Maaf sekali lagi... Selamat pagi!"

"Kenapa nggak ngantor sih?" perhatian Oryza terpecah kepada Pax. Dia tahu Pax naksir dirinya, tapi sering kali heran dengan cara Pax menunjukkan rasa sukanya.

"Sst!" Pax menunjuk dokter yang sudah siap dengan suntikannya. Dia tidak mau urusannya diketahui Oryza.

"Dengar dulu apa kata Dokter."

Mereka berdua menoleh memandang Dokter Lukas. Dokter Lukas adalah dokter keluarga yang merawat keluarga Raya selama lima tahun belakangan ini. Dulu ayahnya, Dokter lstzad adalah dokter kepercayaan Samudra selama berbelas tahun. Mereka menjalin hubungan kekeluargaan dan persahabatan yang akrab dan baik. Dokter lstzad yang malang meninggal lima tahun lalu, meninggalkan pasien-pasiennya dalam tangan perawatan anaknya yang juga seorang dokter.

"Lukanya sendiri tidak berbahaya. Justru yang menggigitnya itu yang beracun. Sebenarnya, tadi saya nggak percaya. Saya menganggap kalian semua mengalami halusinasi melihat cangkir yang hidup dan berjalan-jalan. Mungkin karena stres atau kecapekan di kantor. Tapi setelah mengobservasi cangkir itu sendiri, baru saya sadar kalian memang nggak berbohong."

Oryza mengerang.

"Jelas kami tidak akan bohong untuk urusan seperti ini, Dokter Lukas! Apa Xander..."

Dokter Lukas memperbaiki letak kacamatanya. lalu berkata sambil berusaha terlihat santai,

"Ngomong-ngomong. bagaimana kabar Zea?"

"Hah?" Oryza terkejut karena perkataannya dipotong begitu saja. Zea? Sedetik kemudian dia maklum. Dokter Lukas sangat, sangat menyukai Zea, sudah setahun belakangan ini ia berusaha keras mendekati kakaknya.

"Zea," ulang Dokter Lukas sabar. Dokter ini juga memiliki kesabaran yang hanya bisa ditandingi oleh Zea. Seharusnya mereka cocok satu sama lain.

"Kabarnya?"

"Oh. Zea baik-baik saja." Mendadak Oryza ingat percakapannya dengan Zea. Pikirannya menjadi bercabang. Kakaknya yang lemah lembut dan keibuan berkata dia tidak berminat menikah. Ironis, bukan? Padahal Dokter Lukas adalah lelaki baik hati yang juga lemah lembut dan kebapakan. Hati Dokter Lukas pasti akan hancur jika mengetahui fakta tersebut. Apa yang harus dikatakannya kepada Dokter Lukas? "Dok, anda sibuk sekali minggu depan. Maklum, pasiennya banyak sekali."

"Oh." Dokter Lukas terlihat melamun.

Sekelebat ide membayang di kepalanya. Oryza ragu'ragu sebentar, tapi akhirnya nekat berkata,

"Mengapa tidak dengan Sola saja?"

"Sola?" Dokter Lukas mendongak. Bayangan Zea dalam pikirannya seketika hancur, langsung digantikan dengan penampilan anak perempuan lain keluarga Raya yang berbeda banget dengan Zea.


Topeng Terkutuk Sweet Valley Twins Kuda Putih Karya Okt Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam

Cari Blog Ini