Ceritasilat Novel Online

Jampi Jampi Varaiya 2

Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng Bagian 2



"Ah. dia juga cantik. Sola..." Oryza berdehem,

"...perempuan mandiri. tegar, dapat diandalkan. Agak serius dan jarang bercanda, tapi dia sangat cerdas."

"Sola anak kedua ya! '

"Bukan, dia anak bungsu, Dok."

"Bukannya dia punya pacar?"

"Nggak." Oryza buru buru menambahkan.

"Kebetulan Sola sedang cari pacar!"

"Oya? Hmmm " Dokter Lukas tampak melamun lagi.

Inl seperti biro Jodoh. Xander melirik Ke arah oryza dengan pandangan sebal. Tumben mulutnya nggak berkicau. Lelaki itu diam saja di kursi, mengamati percakapan yang ngalor'ngidul.

"Nanti saya sampaikan Dokter titip salam buat dia. Oh, kenapa nggak langsung kirim SMS aja ke dia?"

Dokter Lukas masih tidak sadar dengan usaha Oryza mengalihkan perhatiannya kepada Zea.

"Saya nggak tahu nomor hapenya."

Dasar, Oryza mengumpat dalam hati. Tanpa ragu-ragu, Oryza segera memberi nomor hape Solanum.

"Terima kasih." Dokter Lukas mencatat dengan baik

"Anyway, Dokter." kata Oryza dengan suara keras. berusaha mengembalikan perhatian Dokter Lukas kepada problem yang mereka hadapi. Cukup sudah urusan kontak jodoh ini.

"Bagaimana penyakit Xander?"

"Begini," Suara Dokter Lukas sudah kembali dengan nada normal seorang dokter yang sedang memberikan pendapat mediSA nya.

"Saya akan memberikan suntikan antitoksin dan mengamati perkembangannya. Saya yakin dengan obat ini dia akan sembuh dalam jangka waktu 1 x 24 jam. Sejujurnya, sih, dia akan kembali sehat dengan cepat, tapi efek racun bakal membuatnya sangat kesakitan beberapa jam dari sekarang."

Oryza menerawang.

"Aneh. Sampai sekarang saya masih nggak mengerti bagaimana cangkir mendadak bisa hidup dan berjalanjalan seperti makhluk hidup normal. Cangkir itu kepunyaan Mom yang sering kami gunakan untuk menjamu keluarga. Seumur hidup nggak pernah berbuat aneh."

"Cangkir itu bisa berjalan dengan kekuatan sihir."

"Nah, itu dia, Dok! Saya menduganya begitu."

"Kekuatan sihirnya pasti berasal dari dapur. Apa mungkin kamu yang menyihirnya... maksud saya. menyihir tanpa sengaja sampai menjadi seperti itu?"

Dokter. kata Uryza pelan. kekuatan sihir saya tidak mempan jika berada di dalam dapur. Itu salah satu kelemahan aneh yang terjadi pada diri saya. Dokter tahu, para penyihir diberikan dengan kelemahan-kelemahan ganjil pada kekuatan magisnya. bukan? Pada kasus saya, kekuatan sihir saya lenyap seratus persen jika saya berhadapan dengan panci dan perlengkapan dapur lainnya."

"Dulu setahun yang lalu "

Wajah Oryza memerah.

"Iya. dulu saya pernah mencoba menggunakan jampi-jampi hitam untuk menciptakan sihir putih di dapur. Ternyata tidak mempan! Akibatnya... akibatnya..."

"...dapur meledak dan menjadi perhatian seluruh dunia." Dokter Lukas tertawa pelan.

"Saya hanya ingin memasak. Dok!" Mata Oryza mendadak berkaca'kaca. Wajahnya yang mungil dan imut tampak layu. Usaha kerasnya memasak untuk menyenangkan hati banyak orang selalu berakhir dengan tragedi dan drama. Dia frustrasi.

"Apa saya salah mempunyai keinginan seperti itu?"

Dokter Lukas memeluk Oryza dengan kehangatan yang luar biasa. Dia kenal gadis ini sejak Oryza masih pipis di celana. Usia mereka berbeda sepuluh tahun. Pax memandang dari kejauhan dengan tatapan cemburu. Dia melengos, membuang muka.

"Nggak salah kok kalau ingin menyenangkan hati orang lain. Hatimu baik, Ory. Orang-orang yang dekat denganmu pasti

menyadari kualitas kebaikan hatimu. Yang terpenting bukanlah hasil akhirnya. Kata Nenek, yang terpenting adalah bagaimana kamu berusaha keras..."

"Nenek!" tiba-tiba Oryza tersadar.

"Saya tahu! Saya tahu siapa yang bisa saya tanyakan soal sihir ini."

"Siapa?" tanya Pax ikut campur.

"Neneknya Strawberi," seru Oryza bersemangat.

"Saya punya firasat, dia pasti tahu sesuatu."

Dokter Lukas tersenyum, senang melihat Oryza bergembira walau dia tidak terlalu tahu apa yang dibicarakan oleh Oryza. Dia mengambil suntikan di atas meja dan berjalan menuju Xander. Dia mengukur degup jantung Xander di nadi pergelangan tangan. Mengangguk kepada dirinya sendiri, lalu mulai menyuntik.

"Beres!" katanya, menarik jarum suntik keluar dari lengan Xander.

"Saya tinggal ke klinik dulu ya. Masih ada pasien yang menunggu di sana."

"Baik, Dokter. Terima kasih ya"

"Sama-sama. Kalau Xander sudah terbangun dan mau pulang, lewat pintu belakang saja. Si Bibik akan membukakan pintu."

Oryza memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Dia terlambat satu jam. Diliriknyajam tangan dengan cemas. Seluruh jalan protokol di Jakarta mulai merambat pada pukul sembilan. Untung dia mengendarai sepeda motor, mudah menyelip sana-sini. Pada saat-saat tertentu, dia menyihir motornya sehingga dapat melakukan manuver manuver untuk menyelip di selasela mobil atau motor tanpa pernah menyenggol kendaraan lain.

Penyihir yang mempunyai tingkat sihir rendah kerap melakukan berbagai bantuan magis untuk kehidupan mereka sehari-hari tanpa terlihat oleh kaum jelata. Ada keengganan pada para penyihir untuk menunjukkan diri mereka pada kelompok non'penyihir.

"Pagi, Mbak Ory. Telat? ' Sekretaris manager promosi menyapanya sambil tersenyum lebar.

"Pagi. Mbak Nur. Iya nih, telat. Jalanan macet sekali!" kata Oryza. menyalahkan hal lain untuk keterlambatannya.

Memang benar. jalanan parah banget. tadi pagi aku juga terlambat setengah jam."

Terima kasih untuk informasi ini, pikir Oryza sambil terus berjalan ke departemennya, bagian Human Resources. Di sana dia bekerja di bagian rekrutmen. Staf rekrutmen tepatnya. sambil mengincar jabatan manajer yang kosong karena sang manajer akan pindah ke perusahaan lain.

"Morning semuanya!" Oryza mengempaskan diri di kubikelnya. Kebiasaan pertama setelah mendarat di kursi kerjanya adalah segera menyalakan komputer sambil mencari sisir untuk merapikan rambutnya yang tertekan helm sepanjang perjalanan tadi. Dia juga tahu, dalam hitungan detik, kepala Iris akan muncul dari balik kubikel.

Komputer memanas dengan kecepatan lamban. Oryza mengambil semprotan air, mulai menyemproti tanaman kaktus kecilnya yang diletakkan berderet-deret di dinding kubikel. Dia punya lima pot tanaman kaktus. Kaktus kaktusnya berbunga subur. Lucu sekali bayi-bayinya, kebanggaan Oryza setelah Dakocan. Setelah disemprot, dia membentangkan telapak tangannya menyinari kaktus-kaktus dengan sihir pertumbuhan. Selesai sudah aktivitas rutin paginya. Oryza duduk kembali di kursi kerjanya.

Beberapa menit berlalu tanpa kepala Iris yang terbit di timur. Ke mana dia, pikir Oryza terheran-heran. Ke mana temannya?

Dia berdiri, melemparkan pandangan ke seluruh ruangan. Beberapa kubikel tampak kosong, ditinggalkan oleh pemiliknya. Kubikel Iris juga kosong. Oryza menoleh ke belakang, ke tetangganya.

"jon!" panggil Oryza.

"Kok kantor sepi banget?"

"Lagi menyiapkan pesta perpisahan Mbak Cora. Acaranya nanti diadakan pas makan siang."

"Oh." Oryza mengangguk-angguk. Cora adalah mantan manajer Human Resources di departemen Oryza. Dia mengundurkan diri karena mendapat tawaran pekerjaan di tempat lain. Posisi itu kosong jika dia meninggalkan pekerjaannya. Hari ini Oryza berdebar-debar menunggu pengumuman Ibu Mila tentang siapa yang akan menggantikan Cora. Lagian, kalau tidak mendapat jabatan manajer, ada posisi asisten manajer yang kosong sejak dua minggu lalu. Katanya hendak mencari orang luar. Tapi siapa tahu manajemen berubah pikiran, bukan? Bukan orang luar yang direkrut, tapi pengangkatan dari karyawan sendiri.

Komputer telah selesai memanaskan dirinya. Jendela untuk mengintip dunia di balik mesin telah membuka. Oryza menekan'nekan papan ketik, mencari jendela-jendela yang ingin dilompatinya.

"Pagi. Ya ampun. si ibu satu ini. Telatnya gila'gilaan."

Oryza mendongak, menemukan kepala iris berada di antara pot tanaman kaktusnya. Dia tertawa, ikutan berdiri sehingga dia langsung berhadapan muka dengan Iris.

"Ibu Mila paling antipati dengan keterlambatan"

"Udah tau!" seru Oryza sambil merengut membayangkan Ibu Mila. Ibu Mila adalah Direktur Human Resources, kepala suku yang disegani oleh seluruh anggota kampung yang nyaris seluruhnya berkelamin perempuan. Jabatan-jabatan penting juga dipegang oleh para perempuan.

"Aku udah pasrah deh. Tadi harus mengantar Xander ke klinik dokter."

Iris memajukan kepalanya.

"Kenapa?"

"Kamu pasti nggak per..."

"Tunggu! Aku ke sana!" Kepala Iris menghilang dari antara pot. Tahu-tahu dia sudah berada di dalam kubikel Oryza, duduk di bangku plastik berwarna kuning.

"Ayo, cerita!"

Oryza menatap temannya dengan pandangan geli. Dia memutar otak memikirkan cara yang mudah untuk menerangkan apa

yang terjadi tadi pagi. Dengan hati-hati dia memilih kata-kata untuk menjelaskan semuanya kepada Iris. Begini. sebenarnya Iris bukan penyihir, dia adalah kaum jelata. Sudah lama Oryza bertetangga dengan Iris, jauh sejak pertama kali Oryza masuk bekerja pertama kali. lris telah berada di sana selama setahun. Mereka menciptakan tali persahabatan yang erat, sehingga pada suatu hari, Iris berkata kepada Oryza,

"Aku heran, setiap kali aku kehilangan bolpoin, nggak tau karena jatuh atau hilang atau tertinggal di meja siapa, besoknya bolpoin itu sudah ada lagi di mejaku."

"Maksudnya?" Oryza mengangkat bahu.

"Mungkin kamu pelupa.

Beberapa hari kemudian. Iris berkata lagi,

"Kaktusmu tumbuh terlalu subur. Aneh."

"Maksudnya?"

"Nggak tau. Aneh saja melihat kaktus-kaktus kepunyaanmu. Kadang-kadang janggal, tapi rasanya aku mendengar mereka saling ngobrol. Entah aku mungkin berhalusinasi atau perlu cuti panjang."

Otyza tertawa, tidak menanggapinya.

Seminggu selanjutnya, tanpa angin tanpa hujan, Iris tahu-tahu berkata penuh dramatis,

"Apa pendapatmu tentang penyihir?"

Oryza duduk tegak. bergeming. Dia menatap mata Iris dalamdalam, mempelajari.

"Maksudnya?"

"jangan bertanya balik padaku. Kamu tahu apa yang kumaksud."

Oryza menelan ludah, lalu tersenyum.

"Pendapatku?" katanya buru-buru. Iris masih menunggu komentarnya.

"Aku percaya penyihir itu ada di antara kita."

Mata Iris membelalak.

"Kamu percaya hal seperti itu? Ih, bulu kudukku tiba-tiba berdiri."

"Lho. kok jadi gitu?" sahut Oryza kecewa.

"Iya. kupikir kamu bakal menjawab seperti, 'Nggak Ris, aku nggak percaya hal-hal gaib seperti itu'."

"Sihir bukan gaib, Ris."

"Kalau bukan gaib apa dong?"

"Sihir itu seperti bakat, yang mengalir di darah seseorang. Kadang-kadang bakatnya sudah menonjol sejak balita, tapi kadang-kadang bakat itu baru terlihat saat telah memasuki masa dewasa."

"Bakat?"

"Kemampuan utama tiap penyihir berbeda-beda. Ada yang dianugerahi kemampuan untuk membaca pikiran." Oryza mengingat almarhum ibundanya.

"Ada yang mampu menyihir diri menjadi hampa. melawan gravitasi, melihat masa depan, meramal sebab akibat. berbicara dengan makhluk halus. membaca pergerakan bintang-bintang, menembus benda padat seperti dinding, atau kepandaian mengolah ramuan."

"Jadi tiap penyihir berbeda-beda?"

"Untuk sihir-sihir standar seperti menggelembungkan ban tanpa menggunakan pompa, menerbangkan benda-benda kecil di udara, menemukan benda-benda yang hilang, nyaris semua penyihir bisa melakukannya. Tapi ya, kemampuan khusus tiap penyihir memang berbeda-beda, demikian juga dengan level kekuatannya."

Iris terdiam. memandang sahabatnya dengan pandangan kagum. Dia mengambil bulpoin. lalu menyelipkan bolpoin itu sebagai penjepit rambutnya yang sedagu agar tidak berjatuhan ke pipi.

"Dari mana kamu tahu tentang semua ini?"

Oryza mempertimbangkan sesuatu. jantungnya berdebar debar. Dia menghela napas dalam-dalam, sebelum berkata dengan nada yang terjaga intonasinya.

"Karena aku penyihir."

Diam. Butuh waktu beberapa detik warna merah kembali merana di wajah Iris. Beberapa detik yang bagi Oryza terasa

sangat lama saat memandang: serangan pucat tersebut, Kuatir melihat temannya akan pingsan di tempat.

"Apa? Pe... nyihir?"

Oryza mengangguk pelan'pelan.

"Hah?"

Beberapa menit berlalu dengan cepat. Oryza memberikan waktu kepada Iris untuk mengolah keterkejutannya. Iris memandang Oryza tajam. Oryza tidak membuang muka, malah balas memandang Iris dengan tatapan lembut. Apa pun yang terjadi setelah ini, pikir Oryza tenang, dia pasti akan sanggup menghadapinya.

Hening berjingkat cukup lama.

"jadi..." Iris tercekat.

"...Selama ini kamu berbohong padaku?"

Oryza tersentak, tidak percaya pada pendengarannya. Reaksi Iris kebalikan dengan apa yang diduganya.

"Aku nggak berbohong. Aku hanya tidak memberitahumu. itu bukan berarti..."

"Itu sama saja dengan kebohongan!"

"Aku tidak pernah berniat seperti itu, Ris."

"Kita sudah saling mengenal selama lima tahun. Kupikir kamu menganggapku sebagai teman yang bisa kamu curhatin apa saja."

Oryza terpana melihat reaksi Iris yang tampak sakit hati.

"Sori. Bukan maksudku tidak menghargaimu sebagai temanku. Kami... maksudnya, para penyihir sulit terbuka dengan kaum jelata..."

"Kaum jelata?"

" Itu, eh... maksudnya masyarakat non-penyihir. Mungkin karena trauma masa lalu, di mana para penyihir dianggap orang gila atau berdosa yang pantas dihukum gantung atau dibantai."

lris diam. Suasana hening menjadi kabut yang menjadi dinding di antara mereka berdua. Oryza menunggu dengan sabar. Iris mendongak.

"Berarti," katanya perlahan.

"Penyihir itu sungguh sungguh ada?"

"Kupikir kamu telah menebak aku adalah penyihir sejak dulu. Hanya saja kamu tidak mau mengatakannya padaku."

"Nggak! Aku nggak pernah menyangka kamu penyihir."

"Masa?"

"Sungguh." Mereka bertatapan. Butuh beberapa detik lagi lamanya senyum di wajah Iris berkembang.

"Jadi kamu beneran penyihir?" pekiknya.

"Ssst!" Oryza meletakkan jarinya di mulut.

"jangan keras-keras."

"jadi... tentang kaktus dan benda-benda yang selalu hilang itu..."

Oryza mengangguk.

Iris meletus dalam tawa. Gadis itu memiliki tawa yang meledak-ledak. Berbeda dengan Oryza, Iris adalah perempuan yang mudah tertawa, mudah berbicara, dan gelaknya selalu memenuhi ruangan HRD.

"Sialaaan! Aku pikir aku yang gila sendiri."

Demikianlah bagaimana Oryza membuka diri kepada kaum jelata. Iris adalah satu-satunya sahabat Oryza yang tahu tentang jati dirinya yang sesungguhnya. Sejak saat itu, Oryza tidak pernah ragu bercerita tentang dunianya kepada Iris. Namun, berbicara tentang dunia sihir kepada orang yang bukan penyihir memang membutuhkan bahasa yang berbeda yang mudah dimengerti. Penyederhanaan terhadap kompleksitas.

Seperti hari ini. Oryza bercerita tentang peristiwa yang dialaminya. Iris memandanginya dengan mata terbelalak.

"Cangkir yang bisa menggigit? ' ulang Iris tidak percaya.

"Oi!"

Oryza berhenti bercerita. Dia menoleh. memandang Jonathan yang tadi memanggilnya.

"Kamu dipanggil Bu Mila."

Oryza menoleh ke samping. Tatapan jatuh kepada perempuan paruh baya yang memutar masuk ke dalam ruangan kerjanya. mungkin setelah memanggil Jonathan agar menginterupsi ........ tanpa berbicara apa'apa berjalan meninggalkan kublkel Oryza. Oryza merapikan pakaiannya, bersiap-siap menghadapi Ibu Mila.

**

"Xander, aku mencintaimu."

Angin berembus, mengibarkan rambut Aqua bersama daun. daun yang rontok seperti hujan. Xander berdiri salah tingkah, memandang Aqua yang balas memandangnya dengan tatapan pilu. Heran. tatapan itu yang selalu disodorkan di hadapan Xander sementara orang-orang lain berkata Aqua selalu memandang dengan kerling melecehkan. Harus berapa kali dia menghadapi air muka perempuan seperti ini? Xander mulai bosan.

"Aku tidak mencintai..."

"Apakah sesulit itu untuk mencoba belajar mencintaiku?"

Tidak! Xander ingin berteriak, bahkan untuk mencoba belajar mencintai Aqua pun dia tidak mau! Dia bosan dengan cewek' cewek penyihir yang berusaha mendekatinya. secara halus maupun terang terangan seperti Aqua. Tidak ada perempuan yang benar-benar dicintainya dengan sepenuh hati seperti...

"Bagaimana kalau sama aku?" Tahu-tahu Strawberi muncul di sebelah Xander.. Wo ai ni. Cintai aku saja, jangan yang lain."

"A-aku..."

"Lihat Strawberi."

Xander menghela napas. Bagaimana menjelaskan kepada mereka bahwa dirinya tidak tertarik pada urusan cinta'cintaan? Dia sedang sibuk dengan urusan kantornya! Banyak proyek yang harus diselesaikannya. Proyek proyek yang menguras energi dan waktu agar berhasil dengan sukses. Proyek-proyek yang...

Tiba tiba kancing-kancing baju Aqua terbuka. Bajunya melorot ke bawah. menampilkan tubuhnya yang setengah telanjang. Kulitnya mulus berwarna putih bersih. Dia berjalan mendekati Xander. Tatapannya terlihat menantang; gerak-geriknya sensual.

"Xander sayang. tidak ada yang mengerti dirimu seperti diriku. Sini. kemarilah Sayang, akan ku..."

Ramuan kabut tinta. Xander merinding. Ini spesialisasi sihir Aqua. Perempuan itu pasti menggunakan jampi-jampi yang dia sebar di udara, terhirup oleh hidung Xander. Lelaki itu menutup hidungnya rapat-rapat. berpikir-pikir tentang mantra apa yang bisa digunakan olehnya untuk menghilangkan ramuan ini. Sebelum dia berhasil mendenguskan rapalan itu, tiba'tiba Aqua mengenakan baju lagi. Baju yang dikenakan adalah baju zirah, tertutup rapat dari atas ke bawah.

"Hei, cewek gokil! Seenaknya saja menyihir Xander!"

Tanpa menoleh pun. Xander tahu siapa yang berteriak seperti itu. Pasti Strawberi. Perempuan itu sedang mengacungkan tongkat sihirnya ke arah Aqua. Dia pasti yang menyihir Aqua sehingga Aqua mendadak mengenakan baju zirah.

Xander bergerak cepat. dia mulai berlari. Berlari meninggalkan kegilaan yang berada di belakangnya. Dua perempuan itu menyadari Xander tidak berada di dekat mereka lagi. Mereka mulai mengejar. Bayang-bayang mereka menjadi hitam, sehitam langit yang menggelap, mendekati Xander, mengunci, menghantui...

"TIDAAAAK!"

Sosok itu mengapung mendekati Xander. Kegelapan mulai menaungi Xander. seluruh langit menjadi hitam. Xander terpeleset. Tidak berhasil menemukan pijakan lagi. Dia terjatuh, mendarat duluan dengan kepalanya.

Xander membuka mata. Dia terbaring di ruangan yang putih bersih. Di hadapannya tampak Oryza. Gadis itu mengenakan baju berwarna perak, mengilat dan bersinar. Tangannya terulur, mengenai Xandet. Xander menerima uluran tangan Oryza. Walau oryza tiba'tiba menyeringai. taring taring keluar diantara bibirnya. menyerupai taring-taring cangkir teh yang menggigit lehernya.

"Astaga Jangan j-jangan... JANGAAAAANN!!!"

"Xander? Kenapa?"

Xander membuka mata, tergeragap. Dia melihat langit-langi ruangan berwarna putih. Sofa yang dia tiduri. Kepalanya berputar putar. Samar'samar bayangan Oryza semakin jelas. Perempuan itu sedang berlutut di lantai, memandanginya dengan air muka cemas. Xander melompat cepat, mencengkeram bahu Orvza erat-erat. Pelan-pelan kesadaran memasuki kepalanya.

**

PAX mematikan komputernya. Kepalanya berdenyut-denyut. Seharian ini dia didamprat bosnya karena persiapan meeting yang berantakan serta keterlambatannya menghadiri meeting. Rasanya capek sekali. Dia melonggarkan dasinya, merebahkan tubuhnya ke kursi, menjulurkan kakinya jauh-jauh ke bawah meja.

Sedari tadi ponselnya tidak berbunyi. Tidak ada SMS atau telepon dari Oryza, padahal dia mengharapkan perempuan itu menghubunginya. Saat Xander tidak memiliki punya waktu mendampinginya, Pax mengira Oryza akan membutuhkan bantuannya. Tapi ternyata tidak.

Pax melirik jam tangannya. Sudah pukul delapan malam. Nyaris semua karyawan di kantornya telah pulang, meninggalkan kursi-kursi dan meja meja yang kosong melompong. Hanya tinggal dia sendiri yang berada di biliknya.

Dia mulai bergerak, membereskan berkas berkas yang tergeletak sembarangan di atas meja. Mengumpulkan semuanya jadi satu di dalam map berwarna kuning. Setiap gerak-geriknya menimbulkan bunyi gemeresik. Pax bertanya'tanya apa yang sedang Oryza lakukan.

Ponselnya bernyanyi.

Hatinya melonjak senang. Dia mengira Oryza menelepon. tapi di layarnya berkedip-kedip nomor yang tidak dia kenal.

"Halo?"

"Selamat malam. Apakah saya berbicara dengan Paxxllian Tanjung?"

"Benar, dengan saya sendiri." Pax tidak bersemangat. jika ini bukan orang yang menawarkan kartu kredit, pasti orang yang menawarkan aneka produk dari bank. Tapi tunggu, bukankah ini jam delapan malam? Luar biasa, masih ada orang yang bekerja pada jam larut seperti ini.

"Dengan siapa ini?"

"Nama saya Leyla. Saya bekerja untuk "fitch Development Center. center for Human Resources Rcruitment in Central Companies. Saya headhunter khusus untuk para penyihir eksekutif."

Tangan Pax membeku di udara. Jarinya yang nyaris menekan tombol warna merah di ponselnya berhenti. Apa katanya tadi? Headhunter? Khusus untuk para penyihir eksekutif?

"Mbak Leyla... hmmm," gumam Pax. Dia menggaruk'garuk rambutnya.

"Dari mana tahu nomor hape saya?"

"Soal itu, saya takkan mengungkapkan dari mana sumber yang memberitahu nomor telepon Anda." Leyla tertawa.

"Rahasia perusahaan."

"Oh, oke. Kalau begitu, apa yang bisa saya bantu?" '
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Klien saya perusahaan multinasional mencari eksekutif untuk menduduki jabatan Human Resources Asisten Manager. Mereka mencari penyihir."

Pax mengerutkan keningnya.

"Ada alasan mengapa mereka mencari penyihir?"

"Ada dong." Leyla tertawa. Perempuan ini senang tertawa. Sudah lebih dari sekali Pax mendengar tawanya yang riang dan lepas.

"Biasanya, contact person-nya juga seorang penyihir."

"Maksudnya?"

"Bos yang bersangkutan. Dia menginginkan bawahannya penyihir juga. Karena itu dia menggunakan jalur khusus, perusahan kami, untuk mencari penyihir."

Pax terlalu terpana sehingga tidak sanggup berkata apa-apa.

Komunitas penyihir memang sangat besar. dan kebanyakan rahasia. Beberapa negara mempunyai komunitas penyihir yang berbeda-beda. Misalnya di Inggris. para penyihir bahkan mempunyai sekolah khusus. Penyihir di Jerman, mempunyai ikatan kekeluargaan yang besar dan sangat terbuka di tengah masyarakat yang telah menerima mereka. Penyihir di Jepang, seperti penyihir di Indonesia, mereka mempunyai komunitas underground yang kompak dan lebih terorganisir. Bahkan penyihir di Swiss memiliki pemerintahannya sendiri untuk mengatur warga negaranya.

Memang penyihir di Indonesia belum semaju komunitas penyihir di Swiss. apalagi di Inggris. Tidak ada sekolah khusus penyihir. Kekuatan sihir dipelajari secara otodidak. Para penyihir bergaul di tengah masyarakat, sebisa mungkin melebur tanpa perlu menonjolkan jati diri masing-masing. Beberapa berani menunjukkan kemampuan sihir mereka. Masyarakat menyebutnya guna-guna, atau pelet, ilmu hitam, cenayang. atau sebutan yang terdengar negatif lainnya. Sisanya, para penyihir lebih suka menyimpan sihirnya untuk dirinya pribadi, keluarga atau sahabat terdekat saja. Terkadang digunakan sebagai permainan di tengah tengah acara kumpul kumpul, di mana tidak ada seorang nonpenyihir pun yang menyadari kekuatan sihir yang sedang berseliweran. Para pesulap sering melakukan hal ini.

Pax sendiri adalah penyihir yang tidak pernah mengakui dirinya penyihir kepada kaum jelata. Padahal dia adalah penyihir yang memiliki kekuatan level tingkat sembilan, menyamai kekuatan sihir Xander. Dia dapat mengubah diri menjadi binatang.

Dia dapat menghindari Kecelakaan. Dia dapat melihat masa depan, walau hanya lima menit ke depan. Terkadang begitu besar cara Pax untuk menyembunyikan kekuatan sihirnya, dia pernah membiarkan dirinya tertabrak mobil saat sedang menyeberang bersama-sama teman-teman kantornya. Jika dia menghindari kecelakaan dengan kemampuan sihirnya, Pax kuatir salah seorang rekan kerjanya melihat kejadian tersebut.

Demikianlah bagaimana para penyihir berusaha sekuat tenaga berusaha melenyapkan jejakjejak sihir agar tetap tersembunyi di masyarakat. Beberapa penyihir yang lebih ekstrem menafikan dirinya dengan berusaha keras meniadakan kekuatan sihir. Melenyapkan dan meniadakan adalah dua hal yang berbeda. Para penyihir yang meniadakan sihirnya mati-matian berusaha hidup menjadi kaum jelata.

"Apakah Anda tertarik untuk mengisi jabatan sebagai asisten manajer Human Resources?"

Pax membayangkan atasannya yang tadi marah-marah kepadanya. Atasannya yang berasal dari kaum jelata. Tentu rasanya berbeda jika memiliki atasan penyihir juga. Mungkin bos penyihir dapat lebih mudah mengerti bawahannya yang sama-sama penyihir.

"Tergantung," jawab Pax menekan rasa gugupnya. Tidak, dia tidak boleh terlalu terlihat bersemangat. Jika perusahaan lain menginginkannya, dia harus mempunyai harga diri.

"Jika tawaran yang diberikan cukup bersimpati dengan keadaan saya, maka "

Leyla tertawa.

"Tentu saja! Tawarannya pasti sangat bersimpati dengan keadaan Anda. Jika Anda tertarik. kita akan mengatur jadwal pertemuan interview. Jangan lupa bawa resume yang berisi pengalaman karier Anda dan data diri yang jelas."

"Oke. Di mana tempatnya?" Pax mengambil bolpoin dan mulai mencatat.

Leyla menyebutkan nama tempat wawancara.

**

Dentunan xander membuat oryza Jengkel. LelaKl itu mencengkeram tangannya erat-erat. Matanya membelalak. Jam di tembok berdentang delapan kali.

"Aku a-aku di mana?" tanyanya.

Oryza mendesis menenangkan.

"Tenang, sshhh... Kita ada di klinik Dokter Lukas. Kamu keracunan garangara digigit cangkir. Ingat tidak?"

"Aku..." Mata Xander menyipit serius. berusaha keras mengingat,

"...samar-samar... aku ingat. Aduuh, kepalaku berat."

"Shhh. Tenang. jangan dilawan. Kamu sudah mendapat suntikan untuk menetralisir racun. Tapi kamu harus banyak istirahat."

Cengkeraman tangan Xander mengendur. Dia mengerang lalu terjatuh ke bantal sofa.

"Apa sih yang menggigit... ku tadi? Beneran cangkir?"

"Nggg..." Oryza berpikir keras. Wajah mungilnya berkerut. Tidak cocok sebenarnya membiarkan kerut di dahi Oryza seperti itu, tapi sifatnya yang keras kepala membuatnya jarang terlihat rileks.

"Terus terang, aku nggak tahu. Apa kedengarannya masuk akal kalau kubilang cangkir yang menggigitmu? Besok kita bisa pergi ke neneknya Strawberi untuk mencari tahu."

Xander mengerang semakin keras.

"Makhluk memedi itu?"

Oryza menggelengkan kepalanya.

"Kita tidak punya pilihan lain. Cuma makhluk memedi itu satu'satunya yang dapat diandalkan untuk ditanyakan hal-hal seperti ini."

Xander terdiam, berbaring telentang di sofa. Kepalanya penuh kabut. Dari kabut itu. muncul sosok bayangan wajah nenek Strawberi, perempuan tua yang usianya entah sudah berapa ratus tahun. Wajahnya penuh keriput. kulitnya berwarna abuabu pucat. rambut putih panjang seperti mak lamnir. dan jalannya

tertatih-tatih. biarpun terlihat seperti lemah tidak berdaya. dia adalah penyihir tangguh yang sangat berpengalaman dan mempunyai level kekuatan tertinggi. Pengetahuannya luas. Ilmu sihirnya mengerikan.

"Kalau tidak ada jalan lain "

"Sudahlah, Xander. Tidak usah dipikirkan." Oryza menyentuh lengan Xander hati-hati. Dia tidak membelainya, hanya menyentuhnya. Tapi sentuhan itu seperti rasa hangat yang menembus jantung Xander seketika.

"Istirahat saja."

"Kamu nanti..." Bibir Xander kering. Dia menoleh ke samping, menatap wajah Oryza.

" Pulang?"

"Kamu mau aku pulang?"

Pertanyaan Oryza terdengar seperti pancingan. Tapi otak Xander tidak bisa diajak berkompromi. Rasa ngantuk membekap kepalanya.

"..Nggak," jawab Xander serak. Dia menutup mata, tidak sanggup memandang Oryza terlalu lama. Gadis itu terlalu bersinar. menyilaukan matanya.

"Tinggallah di sini. Temani..."

"Ya, ya. Sudahlah. Tidur dulu. Jangan kuatirkan aku. Nanti aku temani kamu."

Mata Xander mendadak terbuka.

"Baru ingat!" serunya kesal.

"Besok apa pun yang terjadi. aku harus ngantor. Ada Mr. Tanaka yang mau... berkunjung ke site. Dia tidak akan terima cxruse apa pun, apalagi cxcusc keracunan karena digigit... cangkir...."

Oryza menatap Xander. Lelaki itu balas menatapnya. Oryza meletus dalam tawa. sampai tubuhnya terguncang-guncang, Air mukanya melembut. menjadikan wajahnya semakin imut. Xander tersenyum juga. Namun tidak lama, karena sedetik kemudian, kepalanya terkulai. Dia tertidur.

Oryza membentangkan selimut yang terlipat rapi di atas tubuh Xander. Dia memandang Xander beberapa saat, melihat lelaki itu tertidur nyenyak. Bibirnya pun tersenyum.

**

Samudra berjalan keluar dari kamar mandi. Handuk tersampir di bahu. Tidak ada seorang pun dari anak-anaknya yang telah pulang. Rumah sunyi sepi. Dia melangkah menuju ruang makan, terheran-heran mengapa anaknya yang sulung tidak memanggilnya untuk makan.

Ruang makan sepi dan remang'remang. tidak ada seorang pun. Tumben, pikir Samudra. Ke mana Zea? Apakah dia masih di kliniknya, menghadapi pasien yang sedang kesakitan? Samudra mencari tombol lampu. Ketika lampu menyala terlihatlah segala-galanya.

Ruang makan tampak bersih mengilat. Wangi karbol menyapa hidungnya sejak dari tadi. Lelaki paruh baya itu terheran-heran memandang seisi rumah. Ternyata bukan saja kamar makan yang bersih, seluruh rumah terlihat kinclong.

"Habis mandi, Dadi?"

Samudra menoleh cepat. Zea, keluar dari dapur, tersenyum manis kepadanya. Rambutnya digelung ke atas dengan jepitan besar. Dia mengenakan daster seperti biasa.

"Iya, habis mandi." Samudra menarik kursi makan.

"Sepi sekali. Ke mana yang lain?"

"Belum pulang kantor. Tadi Oryza menelepon. katanya dia dan Xander tidak pulang untuk makan malam. Semoga saja mereka sedang kencan. Oryza tidak mau memberitahu mengapa mereka berdua tidak makan di rumah. Dia malah marah-marah waktu kutanya apa mereka kencan malam ini."

Samudra membayanqkan anak tengahnya yang selalu tersinggung setiap kau dijodohkan dengan xander'. Kepalanya mendadak berat.

"Sola bagaimana?"

"Sola bilang dia akan makan malam di rumah, tapi tidak tahu dia akan pulang jam berapa. Dia menyuruh kita berdua makan dulu, jangan menunggunya."

"Kalau begitu, kita makan saja sekarang. Dadi lapar sekali. Kamu masak apa?"

Zea menunjuk tangan Samudra.

"Dadi harus cuci tangan dulu" katanya lemah lembut.

"Untuk apa? Nggak usah. tangan Dadi bersih'

"Ya ampun!" Zea menutup mulutnya dengan tangan. Pipi Zea menggelembung.

"Tangan Dadi kotor sekali! Cepat cuci! jangan lupa mencuci kaki juga!"

"Dadi barusan mandi, Ze!"

"Dadi sudah kotor lagi." Zea mendekati Samudra.

"Dadi, ke kamar mandi dulu! Saya akan membereskan kotoran yang Dadi bawa. Rumah ini harus bersih, rapi, dan bebas hama. Saya nggak mau rumah ini menjadi sarang penyakit."

Samudra menatap Zea dengan air muka heran.

"Tapi Ze "

"DADI, JANGAN BANYAK BICARA! PERGI KE KAMAR MANDI SEKARANG _JUGA'

"Hah?"

Zea mengeluarkan tongkat sihirnya dari balik kaus kakinya, lalu mengayunkan tongkat tesebut dengan cepat. Gerakannya seperti agen mata-mata mengeluarkan pistol dari tempat tersembunyi di balik baju yang dikenakan. Dia merapal deretan katakata yang panjang. Tahu-tahu Samudra melayang dari kursi yang didudukinya, terseret dalam angin ribut yang mendadak masuk di dalam rumah. Sebelum lelaki tua yang malang itu sadar apa yang terjadi dengan dirinya, dia sudah kecemplung di bathtub dalam kamar mandi yang sudah terisi air.

BYUR!

"Aaatggh! Zee, apa y'yang... terjadi dengan... d-dirimu?!" Samudra terduduk di bathtub, basah kuyup, gelagapan, kedinginan, dan kebingungan.

**

Pax menurunkan ponselnya dengan wajah kecewa. Sudah berkali-kali dia menelepon Oryza, tapi tidak ada satu panggilan pun yang diangkat. Ke mana perempuan itu? Apakah sudah pulang dan klinik Dokter Lukas? Dia melewati klinik Dokter Lukas, ragu'ragu untuk memencet bel. Tidak, seharusnya Oiyza sudah pulang.

Pax menyetir dalam diam. melanjutkan menuju rumah Oryza. Dia ingin mengetuk. tapi lagi-lagi keraguan menyergapnya. Rasa tidak enak dan malu menjalar di sekujur tubuh. Bagaimana jika Oryza sudah pulang dan tidak mau menerima dirinya sebagai tamu? Pax melirik jam tangan. Sudah pukul sembilan malam. Tidak pantas bertamu ke rumah perempuan semalam ini. Jangan jangan nanti malah ayahnya yang hobi menjodoh-jodohkan Oryza dengan lelaki kampungan itu bakal melabraknya.

Tidak.

Pax tidak sudi dipermalukan seperti itu. Apalagi di depan Xander.

Satu-satunya jalan adalah mengubah diri menjadi Dakocan. Dia memarkir mobilnya di ujung gang, agak jauh dari rumah Oryza. Dalam kegelapan, diam-diam tubuhnya menyusut, lalu seekor kucing menggantikan tempatnya berdiri. Pax melangkah gemulai. melompat ke atas tembok pagar. lalu menyusup masuk ke dalam rumah melewati kisi-kisi jendela di lantai dua yang sengaja dibuka oleh Oryza bagi Dakocan kesayangannya.

Dia berjalan turun lewat tangga sebab melalui indra penciumannva, dia tahu Oryza tidak berada di dalam kamarnya.

Dakocan!

Pax menoleh. Zea berdiri di koridor, memergoki dirinya yang sedang berjalan mencari Oryza.

"Meong!"

Senyum Zea lebar, suaranya sangat halus,

"Ck, ck, ck, Dakocan. Lihat apa yang kaulakukan, kucing buduk? Kakimu mengotori lantai yang sudah capek-capek kubersihkan."

"Meong?"

"Oh, kaupikir aku suka hewan?" Zea menyeringai. Senyum manis yang sering diperlihatkan seketika menghilang perlahanlahan, digantikan dengan kilatan membunuh.

"Mentang-mentang aku dokter hewan, kamu pikir aku nggak keberatan dengan tingkah lakumu di rumah ini? Ck, ck, ck, Dakocan sayang, salah besar! Menurutku kamu kucing hitam yang paling jelek dan bau di seluruh dunia!"

Zea berjalan dengan langkah-langkah tegap ke arah Pax. Matanya berkilat-kilat penuh amarah dan dendam.

"MEONG?!"

Pax memutar tubuh, berlari ngibrit sekuat tenaga. Di belakangnya, Zea mengejar. Tangannya menggenggam golok yang sangat besar, entah dari mana dia dapatkan golok itu. Pasti hasil dari sihirnya.

**

Solanum membuka pintu. masuk ke dalam rumah persis saat Zea sedang membongkar ruang tamu dengan kecepatan tinggi. Suara gedubrak meja dan kursi yang dipindah-pindahkan membahana di seluruh rumah. Solanum masuk ke ruang tamu sambiL berbicara di ponselnya.

"Sudah saya jelaskan berkali-kali tentang pajak peti kemas. Saya ini auditor, bukan tukang bongkar-muat barang di pelabuhan! Saya..."

Suara lemari digeser berderit keras.

"Kalau begitu caranya. saya bisa menelepon Zurich untuk

mengancam mereka agar tidak... sebentar!" Solanum menjauhkan ponsel dari telinga, menjulurkan kepala kepada Zea. Alisnya bersatu.

"Kak, bisa pelanan dikit? Aku lagi mengurus kepentingan dunia di sini!"

Solanum berlalu. Suara di telepon meninggalkan gema yang semakin menghilang. Suara gesekan sepatu Solanum di lantai semakin samar-samar.

Pax mengerutkan dirinya di balik bufet, mencari celah untuk berlari menghindari Zea.

"Dakocan! Yuhuuu. Dakocaaan!" Zea menoleh ke kiri dan kanan.

"Kemari, Sayang. Zea punya makanan enak buatmuuuu!"

Pax mengintip, melihat kaki-kaki Zea menjauh dari tempatnya bersembunyi. Dia menghela napas lega. Saat dia melemaskan otot, tiba-tiba bayangan samar-samar menerkamnya. Pax melompat terkejut. Bayangan itu terlihat jelas saat berada di bawah cahaya lampu. Benda itu adalah teko. Dalam satu gerakan cepat, teko menyeringai. mengeluarkan gigi-gigi taringnya yang tajam, lalu mendadak menyerang Pax. Pax mengeong keras dan melompat tinggi; berhasil menghindari serangan tersebut. Dia berlari ngibrit ke lantai atas, mencari kisi-kisi jendela yang diperuntukkan baginya keluar rumah.

Di bawah cahaya bulan. tampak bayangan seekor kucing hitam berlari di sepanjang tembok rumah. Ekornya tegak lurus ke belakang.

**

Oryza membuka matanya. Dia berbaring di salah satu sofa di ruang tamu Dokter Lukas. Ruangan tampak remang'remang. Yang bersinar adalah cahaya ponselnya yang tergeletak di pojok ruangan.

Oryza membuka ponselnya. Dia seketika mengerutkan kening. Ada tiga miss calls. semuanya dari Pax. SMS yang belum dibaca berjumlah enam. Lima dari Pax dan satu lagi dari Iris.

Saking Sibuknya tadi, aku sampai lupa mengucapkan selamat atas pengangkatanmu menjadi manajer. Selamat ya. kapan makanmakannya?

Oryza tersenyum dalam kegelapan. Dia membalas SMS Iris.

Thanks : Tenang aja. kapan-kapan makan-makannya, Bu. Pasti!

Selesai mengirimkan balasannya. dia mulai membuka SMS lainnya.

Ory, kamu di mana?

Ory. kok gak balas SMS aku?

Ory. kamu baik-baik ya?

Hiks. Dicuekin.

Ory?

Oryza nyaris tertawa membaca deretan SMS dari Pax. Lelaki itu selalu ingin tahu apa yang dia lakukan. Bukannya Oryza tidak ingin memberi kabar kepada Pax, hanya saja terkadang keadaan tidak membuatnya mudah untuk berhubungan dengan

Pax. Oryza selalu berpikir Pax adalah lelaki baik yang selalu berada dalam keadaan yang salah.

Terdengar suara dengusan Xander lalu gerakannya berbalik. Oryza berdiri, merapikan selimut Xander. lalu menatapnya. Sinar bulan merembes dari gorden tipis yang menutup di jendela. jatuh seperti bayang-bayang pada wajah Xander. Oryza memandang Xander. bertanya-tanya apa yang terjadi pada hidupnya jika orangtua mereka tidak menjodohkan mereka berdua. Ingatan-nya melayang mundur.

Hari itu Oryza baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke:-22. Dia sudah lulus kuliah, sarjana psikologi dari Universitas lndonesia. Ayahnya membuat pengumuman melalui Zea bahwa semua anak perempuannya diharapkan tidak ke mana-mana pada sore jam lima nanti. Seorang tamu akan hadir.

Tamu itu ternyata Xander.

Alangkah terkejutnya Oryza melihat Xander yang berkunjung saat itu.

Lelaki itu tampak lebih tinggi. Lebih tampan. Dan lebih putih.

Oryza dan saudara-saudaranya mengenal Xander dengan baik sebab ibu mereka bersahabat karib dengan ibu Xander. Sejak kecelakaan maut itu. Xander tiba-tiba menghilang. entah siapa yang mengurus anak lelaki yang mendadak menjadi yatim-piatu.

Kini, lelaki itu duduk di hadapan mereka. Terlihat dingin, tidak menatap matanya.

"Anak-anak," kata Samudra.

"Ini Xander. Ingat tidak? Anaknya Tante Liora."

Oryza mencari'cari kemiripan wajah Xander kecil dengan Xander yang sedang duduk di hadapannya sekarang. Hmm, bentuk tulang wajah memang sama, tapi ke mana mata yang dulu selalu tampak bersinar-sinar? Kini mata itu berwarna cokelat gelap dan menatap tak acuh. Ke mana bibir itu yang selalu cemberut dan cerewet? Kini bibir itu mengatup erat dalam garis tipis yang dingin.

"Dia akan tinggal bersama kita. Kamarnya di atas, di sebelah kamar Sola."

Tiba'tiba bibir yang terlihat angkuh itu berbicara,

"Maaf, Om. tidak usah repot-repot. Saya bisa mencari tempat kos untuk saya."

Samudra mengerutkan dahinya, tampak tidak setuju.

"Tidak.

Om tidak setuju kamu tinggal di tempat asmg. ibumu pasti keberatan. dan Om yakin. ibumu tak bisa beristirahat dengan tenang kalau kamu tidak mematuhi perkataannya."

Oryza bertanya-tanya apa yang diinginkan Tante Liora. Keingintahuannya seketika terjawab.

"Oryza," Samudra menoleh ke anak tengahnya. Jantung Oryza berhenti berdenyut. _Jika Dadi memanggilnya dengan nada seperti itu, dia tahu ada hal penting yang ingin Dadi katakan kepadanya.

"Kamu harus mengenal Xander dengan lebih baik."

Mulut Oryza terbuka.

"Kenapa?" Sebelum ia sempat mencetuskan kata apa pun, ternyata lelaki norak ini duluan bertanya.

"Karena..." Samudra melipat bibirnya. Hening sejenak. Samudra menjulurkan tangan, mengambil gelas berisi air putih di hadapannya. Dalam sekali teguk, air itu sudah berpindah ke perutnya. Terus terang, jantungnya berdebar-debar. Biasanya istrinya yang melakukan hal-hal penting seperti ini. Ketiga anak perempuannya dan Xander duduk mematung, menunggu lanjutan kata-katanya.

"...Karena, Mom dan Dadi kepingin suatu hari Oryza menikah dengan Xander."

ORYZA memandang Xander dari ujung meja. Seakan mengerti dirinya sedang diperhatikan, lelaki itu balas memandang Oryza juga. Mereka bertatapan. dengan air muka yang sulit ditebak. Perlahanlahan kesadaran diri Oryza muncul. Dia membuang muka. menghindari tatapan mata Xander.

"Dadi!" serunya lantang.

"Yang bener saja!"

Xander tidak berkata apa apa. Dia hanya melempar pandang ke satu titik di dinding. Oryza juga tidak ingin menebak-nebak apa yang dipikirkan lelaki itu.

"Kenapa saya?" Oryza menoleh kepada kakaknya. 'Kenapa bukan dia aja?"

Samudra menghela napas, suaranya terdengar menembus keheningan.

"Sudah diputuskan, Oryza."

"Diputuskan siapa?" Suara Oryza semakin melengking. Bibirnya merengut.

Mendadak Xander berdiri, sampai meja di depan mereka bergetar. Tanpa berkata apaapa. dia berlalu. Berjalan keluar dari ruang tamu. Ketiga perempuan itu menatap kepergian Xander

tanpa ada seorang pun yang berniat menghentikannya. Samudra membuka mulut, tapi kemudian mengatupkan lagi.

Sepi.

"Siapa sih dia? ' Suara itu ternyata dicetuskan oleh Solanum. Dia yang paling duluan sadar. Dia duduk sambil menopang dagu, memandang ayahnya lekat-lekat. Saking terpananya dia. Solanum tidak terlihat cool sama sekali.

"Penyihir, sama seperti kalian. Keturunan keluarga Banda, yang memiliki bakat menyihir turun-temurun sejak beberapa ratus tahun lalu. Kamu tahu kan, bakat paling unik dan istimewa yang tidak dimiliki oleh penyihir kebanyakan?"

Oryza tahu jawabannya. Bakat ini sering kali dibicarakan oleh para penyihir. Beberapa penyihir memang memiliki bakat umum yang dipunyai oleh penyihir lainnya. Tapi bakat khusus ini yang dibicarakan oleh ayahnya memang hanya dimiliki oleh segelintir penyihir. Dan keluarga Banda-Libra Banda, ibunda Xander. adalah salah satu keluarga terkenal yang mempunyai bakat istimewa ini.

"Xander tidak hanya mempunyai kemampuan menjadi binatang, tapi dia juga dapat mengubah seksualitasnya. Dia..."

"Astaga! Menjijikkan!" Mendadak Oryza berkata keras.

"Saya mual membayangkan bakal menikah dan mempunyai suami yang bisa mengubah diri menjadi... menjadi... pep'p... pe... rem " Gadis itu menutup mata. tidak sanggup melanjutkan katakatanya lagi.

Mengubah diri menjadi lawan jenis yang berbeda adalah salah satu kemampuan sihir paling tinggi yang dimiliki oleh penyihir dengan bakat besar. Tidak semua-bahkan. nyaris semua populasi penyihir tidak mampu melakukan kemampuan sihir seperti itu. Hanya beberapa, seperti keluarga Banda yang melegenda. mempunyai bakat brilian. Seperti bakat seni. bakat menyihir diturunkan terus-menerus selama beberapa generasi. Menjaga

darah sihir agar tidak tercampur dengan darah kaum jelata yang bertujuan tidak melemahkan kekuatan mereka pada garis keturunan selanjutnya sangat diperhatikan oleh keluarga yang memiliki bakat istimewa bawaan. Padahal, cara berpikir seperti ini beberapa kali dikritik oleh para saintis penyihir yang menganggap darah kaum jelata juga memiliki daya ledak menciptakan keturunan penyihir berpuluh-puluh kali lipat dibandingkan dengan persilangan darah penyihir saja.

"Ory." panggil Samudra lembut.

"Dengarkan dulu katakata Dadi. Xander dapat mengendalikan dirinya. Dia tidak begitu saja berubah jadi perempuan setiap saat. Pengendalian dirinya sangat bagus! Kamu tahu kan, bagaiamana Tante Liora mengajarkan serta melatih pengendalian diri pada kalian? Xander memiliki tenaga itu!"

Dulu, sewaktu almarhumah Tante Liora masih hidup, dia datang mengajar ketiga anak perempuan Samudra, khususnya di bidang pengendalian diri. Sihir, apabila tidak dikendalikan, akan berkembang menjadi tidak terkontrol. Di negara yang tidak memiliki sekolah sihir, banyak para penyihir yang memanfaatkan ilmu sihirnya menjadi ilmu hitam yang bertujuan untuk menjahati sesama manusia. Bahkan terkadang, sihir itu menjadi tidak terkendali sehingga menjadi bumerang bagi penyihir bersangkutan. Bayangkan apabila seorang penyihir yang memiliki kemampuan melihat masa depan tapi tidak dapat mengendalikan penampakan tersebut. Maka, dia akan terus-menerus melihat visi-visi yang bekelebatan, membuat dirinya menjadi stres dan dianggap gila oleh orang lain.

"jadi Dadi menjodohkan saya dengan Xander?"

"Dadi tidak menjodohkanmu dengan sembarang orang, Ory. Xander adalah..."

"Saya tidak peduli. Dadi!" sergah Oryza kesal."Saya tidak suka dengan penjodohan seperti ini. Sama sekali tidak bermartabat!"

"Saya nggak mau!" Oryza berdiri. Raut mukanya terlihat keras, menggambarkan kekeraskepalaannya.

"Pokoknya nggak mau!"

Punggung Oryza menghilang di balik pintu. meninggalkan ayah dan kedua saudarinya. Meja makan hening dan penuh ketegangan. Solanum dan Zea saling menatap, lalu memandang Samudra.

"Dad," panggil Zea.

Samudra seakan-akan tidak mendengar perkataan putri tertuanya. Pandangannya kosong ke arah pintu.

Zea mencondongkan tubuhnya ke arah Solanum, lalu berbisik.
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dadi kayaknya kecewa terhadap Oryza."

Solanum memandang kakaknya dengan pandangan yeahsiapa-yang-nggak-kaget-denger-keputusan-soal kawin'kayak-gitu' mendadak-pula'ih'plis-deh? "Kak, jelas'jelas Oryza ngambek. Apalagi kita semua tahu sifat keras kepala dan gampang naik darahnya."

Zea mencondongkan tubuhnya ke arah Samudra dengan satu gerakan mulus.

"Terus terang, Dad, saya juga kaget mendengar pengumuman seperti ini. Saya... saya.... tidak menyangka..." Zea nyaris tidak dapat melanjutkan katakatanya. Matanya berkacakaca. Dia tampak lebih tua sepuluh tahun seketika.

"...menyangka Mom dan Dad mengambil keputusan seperti itu untuk anakanaknya. Tapi..."

Samudra mengangguk.

"Mom benar."

"Hah? Benar apa?" tanya Solanum.

"Mom-mu mengatakan Oryza pasti menolak mentah-mentah. Mungkin sebaiknya Dadi membatalkan amanat dan keinginan Mom dan Tante Liora. Tahu sendiri bagaimana adat adikmu itu."

"Jangan!" Zea membungkuk dan menelengkan kepalanya, langsung berhadapan muka dengan Samudra. Tatapannya tegas tapi lembut.

"jangan, Dad. Jika Mom punya pendapat tentang sesuatu, mungkin insting Mom benar. Kita-lah yang seharusnya mendengarkan kata'kata Mom! Kita-lah yang seharusnya melanjutkan rencana ini," ujarnya dengan suara bergetar.

Solanum menoleh kepada Zea, menatap kakaknya dengan pandangan datar. Zea selalu tercekam emosi yang kental setiap saat dia berbicara tentang Mom. Tidak heran, dia anak perempuan tertua. Hubungannya dengan Mom pasti lebih dalam daripada mereka bertiga.

Samudra tampak ragu sejenak.

"Waktu akan melembutkan hati Oryza," sahut zea ringkas.

"Dia pasti akan tertarik dengan Xander, jika tiap hari mereka berinteraksi di rumah ini. Aku yakin itu. Sungguh yakin."

Solanum terdiam, terheran-heran dengan perkembangan percakapan ini. Sementara Samudra menghela napas.

"Kalau kamu begitu yakin, Dadi percaya denganmu."

"Bagus!" seru Zea.

"Kita akan membuat Oryza jatuh cinta dengan Xander. Kita semua," lanjutnya tegas, sambil menekankan kata "semua" dan melirik tajam kepada Solanum. Solanum hanya mengangkat bahu dengan tak acuh.

Oryza berlari keluar rumah, berjalan tanpa arah di kebun, sampai kakinya melangkah menuju rumah yang persis berada di sebelahnya. Tembok pembatas telah diruntuhkan ayahnya. Samudra baru saja membeli rumah tersebut. Kelak, rumah itu akan menjadi klinik kesehatan hewan yang dikelola oleh Zea. Oryza berjalan sambil menendang-nendang kerikil. Hatinya meradang membayangkan percakapan yang terjadi di meja makan. Dia merasa terhina. Dijodohkan? Hari gini? Seenaknya

saja: Memangnya dia tidak cukup cantik untuk membuat lelaki bertekuk lutut di hadapannya?

Lima langkah dari hadapannya, tampak sosok sedang duduk di batu dekat kolam, kakinya menjulur ke depan. Oryza berusaha mati'matian mengendalikan diri. Sosok itu, dia mengenalnya dengan baik, bahkan sejak mereka masih kecil. Xander. Tapi kini Xander tidak berbentuk seperti yang dia kenal secara umum. Xander terlihat seperti...

"Oh!"

Xander tahu seseorang berada di belakang punggungnya, mematung. Dia tidak mengindahkan kata-kata Oryza, malah membuang muka. Hening menyelimuti mereka.

"Kata Dadi " Suara Oryza tercekat.

"Kamu... dapat mengendalikan sihirmu... dengan baik. Tahu nggak apa rasanya melihat kamu seperti ini?"

"Apa?" Xander mengangkat bahu.

"Jijik!" bentak Oryza.

"Bagaimana mungkin aku terlihat puas kalau lelaki... lelaki yang... y-yang... dij-j-jo-jodoh... kan denganku ternyata bukan lelaki tulen seratus persen. Lelaki banci! Yang menggunakan sihir untuk kepentingan seksnya yang nggak sehat!"

Saking kesalnya Oryza, percik-percik sihir berlompatan dari tangannya. Apa yang terjadi kemudian membuat percik-petcik itu menyinari bunga-bunga dan rerumputan yang berada di sekitar mereka. Wajah Xander yang tadinya datar dan tanpa ekspresi mendadak tersenyum lebar. Senyumnya angkuh sambil menatap wajah Oryza tanpa berkedip.

Gadis itu merasa gemuruh di jantungnya bergetar seperti gempa bumi dashyat. Kepalanya pusing. Di hadapannya, tampak lelaki eh salah. perempuan yang mengenakan baju yang tadi dikenakan oleh seorang lelaki yang mengaku bernama Xander.

"Kamu tahu?" kata Oryza ketus.

"Tadi. kata Dadi kamu adalah Keturunan Keluarga Banda yang memiliki bakat dibandingkan dengan keluarga keluarga lainnya. Aku nyaris memercayai kata-kata Dadi..." Dia mengambil napas karena berbicara terlalu cepat.

"Tapi ternyata aku salah. Salah besar! Kamu bu kan..."

Xander bergerak dengan cepat, tahu-tahu dia sudah berdiri dua meter di hadapan Oryza. Dalam kecepatan seperti itu pula, terjadi perubahan singkat yang menakjubkan Seperti sulap, dalam satu kedipan tahu-tahu Xander telah berubah wujud. Oryza membelalak, tak memercayai penglihatannya. Xander telah berubah menjadi lelaki lagi. Lelaki yang berdiri dengan gaya angkuh sambil melipat tangan di hadapan Oryza. Tersenyum melecehkan.

"Kalau kamu berpikir seperti itu," terdengar suara Xander yang dingin dan sombong.

"Kamu justru yang salah besar. Aku dapat mengubah seksualitasku kapan saja aku mau. Lihat."

Seketika Xander berubah menjadi perempuan berambut panjang, berbeda dengan sosok perempuan yang tadi dilihat oleh Oryza.

"Nah, yang ini. Lihat lagi."

Menjadi lelaki berewokan.

"Seperti ini. Mudah."

Menjadi perempuan gemuk.

"Atau mau yang seperti ini?"

Menjadi lelaki berambut pirang.

"Dan ini..."

"EH, GOBLOK!"

PLAK! PLAK! PLAK!

Suara tamparan menggelegar, membuat Xander tersentak ke belakang. Di depannya, perempuan itu berdiri sambil melotot. Bernapas dengan normal terasa begitu sulit, karena seluruh tubuh Oryza gemetar menahan amarah.

"Sarap' teriak Oryza meradang. Wajah mungilnya bersinarsinar dalam kemarahan.

"Sakit jiwa! Penyihir belagu! Huh! Aku kasih tahu ya, aku tidak akan bersedia menjadi isrrimu! Catat kata-kataku dengan baik. Sampai kiamat, OGAH!" Oryza berlari meninggalkan lelaki itu sendirian.

Xander berdiri tegak, tangannya menyentuh kedua pipinya yang berdenyut oleh rasa sakit. Terpancar reaksi terkejut, tapi cepat menghilang. Kemarahan membakar seperti ledakan matahari. Bibirnya merengut. lalu keluarlah gumaman kesal tentang calon istri yang dijodohkan oleh ibunya.

**

Sekarang empat tahun telah berlalu. Empat tahun Xander telah tinggal bersama mereka. Tidak banyak yang berubah. Sifat Oryza masih tetap keras kepala, tidak sabaran, dan mudah marah. Xander masih saja ngeyel, tidak sensitif, dan sama-sama keras kepala.

Oryza berdiri memandang Xander yang tertidur selama beberapa menit. Air mukanya melembut. Dia melihat Xander mengOrok dan berbaring dalam keadaan posisi yang aneh di sofa.

"Jelek...," gumamnya pelan sambil meleletkan lidah kepada Xander.

Oryza membaringkan dirinya di lantai, mencoba menemukan posisi yang enak di ranjang busa yang dipinjamnya dari Dokter Lukas. Dokter Lukas sendiri masih belum pulang, mungkin pasiennya memang sangat banyak dan membutuhkan perhatiannya. Suara napas lelap Xander terdengar jelas.

Hanya butuh waktu beberapa menit, Oryza telah tenggelam. tertidur dalam kegelapan yang tak bertepi. Dia tidak menyadari kegiatan yang terjadi di beberapa blok perumahan dari tempat klinik Dokter Lukas.

**

"Sekali lagu AYO mam lagi"

"Huh, bete. Nggak mau."

"Kenapa?"

"Soalnya kamu curang!"

"Curang bagaimana? Peraturannya nggak boleh ada sihir sama sekali, kan? Nih, udah nggak ada sihir sama sekali."

"Dengar ya. Nggak ada sihir nggak membuat seseorang menjadi jujur."

"Tuduhan yang nggak beralasan! Karena Srrawberi menang. kamu menuduh aku curang."

"Dengar ya, Ketela! Aku nggak menuduh kamu sembarangan. Dari..."

"Srrawberi."

"...tadi kulihat kamu curang."

"Salah Strawberi apa sih? Begini Pocari, kalau nggak bisa

main catur, ngaku aja!"

"Aqua."

"Terserah."

Strawberi dan Aqua sedang duduk di ruang tamu Aqua. menghadapi permainan catur. Mereka berpandangan dengan sengit. Sudah tiga kali pertandingan berturut-turut dimenangkan oleh Strawberi. Aqua menuduh Strawberi curang dan Strawberi menganggap Aqua berlebihan.

Terdengar suara berderit. Otomatis mereka menoleh ke pintu. Gus tiba dengan sopirnya. Pak Mukris yang berjalan di belakangnya. menenteng tas Gus. Ibu Tyas tergopohgopoh keluar, mengambil tas yang Pak Mukris ulurkan kepadanya. Para sopir dilarang masuk ke dalam rumah jika tidak berkepentingan apapun.

'Wahai, Mbak mbak yang cantik sekalian. Malam telah tiba tapi mengapa kulihat dua perempuan masih duduk di depan kamar mereka masing-masing? Aku bertanya pada diriku sendiri apakah kalian belum bisa memejamkan mata dan terhanyut ke alam mimpi?"

Aqua mendongak, wajahnya langsung keruh melihat saudaranya. Dia mengangkat bahu.

"Masih jam delapan malam. Masih siang."

"Sungguhkah ini permainan catur?" Gus duduk di salah satu sofa. Tangannya menopang dagu, memperhatikan permainan Strawberi dan Aqua.

"Alangkah pandainya adikku bermain catur. Mari kita bermain yang lain!"

"Apa?" seru Strawberi dan Aqua serentak.

"Mah'yong!"

"Mahyong? Apa itu, sejenis kungfu?"

"Bukan. Kungfu adalah ilmu bela diri. Mahyong lebih sederhana, semacam game board."

Aqua berdiri dari tempatnya. Dia menghilang di balik ruangan yang luas tersebut, lalu kembali dengan menenteng kotak besar.

"Awas, jangan coba-coba menggunakan sihir! Mah-yong yang ini sudah disihir antisihir."

"Strawberi nggak tau permainan ginian," kata Strawberi memperhatikan Aqua meletakkan butir-butir mah-yong di atas meja, lalu mulai mengacak-acaknya. Lalu mendadak, dia menepuk meja dengan keras.

"Yaaaaaa! Strawberi tahu! Strawberi tahu!"

"Hah?" Aqua memutar bola matanya seakan-akan berkata kakakku-bilang aku'cewek-penyihir'yang-nggak waras'ternyata ada-yang-lebih-idiot-lagi. Bayangkan sebelumnya perempuan ini berkata nggak tahu, mendadak dalam waktu satu detik. dia berubah pikiran.

"Strawberi tahu apa yang harus kita lakukan sekarang!"

"Apa?! Sikat WC? Terjun payung? Nangkep kuntilanak?"

"0, bukan. Nggak seru. Strawberi ingin membahas apa yang terjadi tadi siang."

'Hmm. Balik ke urusan itu lagi?"

"Mending membahas rempah-rempah yang dicuri Sola." Strawberi mengerutkan dahi.

"Aneh, kan? Untuk apa Sola mencuri rempah-rempah seperti itu?"

"Aku nggak tahu. Tadi katanya kamu sudah tahu."

"Strawberi juga sebenarnya nggak tahu."

"Lho?!"

"Tadi Strawberi sempat berpikir untuk bertanya kepada Nenek Gray yang tahu segala-galanya. Mungkin beliau tahu."

Gus menopang dagu. Wajahnya terlihat lelah, rambutnya agak kusut. Duduk di antara dua perempuan yang merepet tiada henti membuat kepalanya berdenyut-denyut.

"Mau tanya sama nenek jompo itu?!"

"Sialan. Maksudmu apa 'Nenek Jompo ltu'?"

"Timun Mas, maksudku kan udah jelas. Nenekmu memang udah jompo."

"Ih, namaku Strawberi, bukan timun, tau! Nenek Strawberi nggak jompo. Dia adalah penyihir tertua yang hidup di bumi!"

"Wahai, mbak-mbak cantik, apakah kita akan bermain mahyeng?"

"Tertua?" Aqua mendengus.

"Yang bener aja."

"Untuk mengingatkan, Milo. umurnya udah 130 tahun. Dia masih sehat wal afiat! Dia bisa lari sepuluh kilometer tiap pagi! Dia bisa memasak seribu nasi tim bebek."

"Aqua, bukan Milo. Bengek, kudis. dan berpenyakitan disebut sehat walafiat' '

"Itu bukan kudis. Dan Nenek nggak bengek."

"Izinkan aku bertanya sekali lagi, kapan kita main mahyong!!!"

"Sialan. Strawberi tersinggung. Menantang tanding sihir nih?!"

"Ayo aja! Siapa takut!"

"Mah-yong... anybody?"

Malam semakin gelap, percakapan dua perempuan di ruang tamu yang luas itu masih menggema sampai ke mana-mana. Gus, lelaki itu, tertidur di sofa, dengan butir butir mah-yong bertebaran di atas meja. Ibu Tyas berjingkat-jingkat memasukkan makanan ke dalam kulkas setelah yakin majikannya tidak akan terbangun dan berteriak kelaparan.

**

Matahari belum sepenuhnya terbit di langit. Hanya remang-remang dini hari yang masih berkuasa. Xander telah bangun sejak sepuluh menit lalu. Dia memperhatikan Oryza yang sedang menyikat rambutnya, lalu berdiri menuju kamar mandi.

Beberapa menit berlalu.

Wajah Oryza berubah masam ketika melihat Xander keluar dari kamar mandi. Lelaki itu menyihir dirinya menjadi perempuan.

"Kenapa sih berpenampilan seperti itu?" serunya tidak ramah.

"Iseng."

"Nggak lucu."

"Memang nggak mau melucu."

"Capek deh."

Xander bergegas pamit kepada Dokter Lukas yang sedang terkantuk kantuk menyiapkan kopi. Setelah itu dia membuka pintu rumah dan berlalu. Oryza buru'buru melakukan hal yang sama. Di luar cahaya pagi masih terlihat malu-malu mengintip.

Xander menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya lagi. Oryza terdiam sepanjang jalan.

"Ke mana mobilku?" tanya Xander heran.

"Dibawa pulang oleh Pax."

"Kenapa?"

"Karena perumahan di daerah sini nggak aman. Banyak mobil yang hilang."

"Mobil penyihir kok bisa hilang. Aku sudah memenuhinya dengan jampi-jampi keamanan."

"Kalau yang mencurinya juga penyihir. apa gunanya jampi jampi itu? Semakin hari pencurian mobil semakin canggih." Oryza mendorong Xander.

"Awas, ada lubang got besar!"

"Iya, aku tahu!" Xander bergidik. lalu menjauhi got tersebut.

Oryza melihat reaksi Xander, tersenyum menyindir.

"Sejak kapan kamu takut terjatuh?"

Xander terdiam. Dia berjalan perlahan-lahan. Mimpi kemarin malam berulang lagi di benaknya. Sosok yang sedang mengejarnya terus-menerus serta pemandangan tinggi yang membuatnya terjungkal jatuh. Raungan suara ketakutan...

Xander berhenti berjalan.

Oryza tertegun. Dia berjalan menghampiri Xander.

"Ada apa? Ada yang sakit lagi?" tanyanya lembut.

"Mukamu pucat sekali."

Xander terlihat gemetar, tapi dia berusaha keras mengendalikannya.

"Nggak ada apa-apa. Mungkin racunnya belum benarbenar lenyap. Tadi aku mendadak... ingat kejadian kemarin malam... mimpi yang nggak jelas..."

"Mimpi yang bikin kamu menjerit seperti itu? Mungkin itu pengaruh racun jadi tidurmu nggak tenang."

Xander menggeleng seakan-akan berusaha keras menghilangkan kenangan atas mimpi tersebut.

"Mungkin juga. Tapi... mimpi itu begitu seram sampai-sampai aku sangat ketakutan. Belum

pernah gitu... Ketakutan seperti itu... kecuali....

" Kecuali...?' '

" waktu... waktu... kematian..." Xander tidak sanggup meneruskan.

Oryza mengerti apa yang Xander maksud. Pasti Xander sedang mengingat kenangan saat ibunya meninggal. Oryza tahu bagaimana sulitnya menghadapi kenyataan ketika ditinggalkan akibat kematian. Dia mengerti rasa takut itu. atau rasa kehilangan yang mencekam, dan kebingungan memandang masa depan. Dia melirik. mencari wajah Xander. Lekuk wajahnya yang tomboi terlihat melembut. tubuhnya yang mungil makin kelihatan mungil.

"Mimpi itu wajar banget. Apalagi mimpi seram. Kita tidak punya kontrol apa pun terhadap mimpi-mimpi buruk. Ditambah lagi kamu terpengaruh racun serta obat penawarnya yang disuntikkan oleh Dokter Lukas. Jangan terlalu dipikirin, lupain aja. Santai."

Xander mengangguk ragu-ragu.

"Mungkin kamu benar, aku nggak boleh terlalu memikirkannya." Semenit kemudian wajahnya memerah.

"Oya, aku mau bilang... terima kasih karena sudah... membawaku ke Dokter Lukas dan menemaniku semalaman waktu aku sakit."

Wajah Oryza memerah. Dia berhenti di tengah jalan, begitu mendadak sehingga Xandet yang berada di sebelahnya berjalan tiga langkah lebih dulu. Xander menoleh, lalu kembali kepada Oryza. Mereka berdua berdiri berhadapan, sangat dekat. Udara menjadi hangat. Jantung Oryza berdebar dalam ketukan yang lebih cepat. Ketika Xander memandangnya tepat di mata, gadis itu melipat bibirnya. salah tingkah. Rasanya ada yang aneh...

Oryza mendorong Xander kuat-kuat.

"Huh? '

"Geser sedikit, tolol," bisiknya di antara gemeletuk gigi "Kamu berdiri terlalu dekat denganku. Aku nggak mau kelihatan bermesraan dengan cewek di tengah jalan seperti ini."

"Hahahaha."

Senyuman Xander melebar dari ujung ke ujung. Dalam sekian detik, dia berbalik menjauhi Oryza. Bentuk tubuhnya yang melekuk feminin mendadak berubah menjadi lelaki lagi. Dia berjalan sambil melompat beberapa kali meninggalkan Oryza yang ada di belakangnya.

**

DI mana ya?"

Seorang perempuan tua berambut panjang tapi kelabu sedang mengamati lemari dapurnya yang terbuka lebar. Tubuhnya pendek dan bahunya melengkung. Seluruh kulitnya tampak berkeriput. Kali ini dia mengernyit. Tangan kurus dan runcingnya terulur, menyentuh beberapa botol dan tabung yang dijejer, mengatur-aturnya, membolak-baliknya. Tapi dia tampaknya tidak menemukan apa yang dicarinya.

"Hmmm " katanya pelan kepada dirinya sendiri.

"Aneh. Pertama-tama rempah dan daun tehku hilang dicuri persis di depan hidung cucuku. Sekarang dia nggak pulang semalam suntuk tanpa bilang apa-apa." Dia melirik ponsel yang tergeletak di meja dapur. Tidak ada tanda-tanda SMS yang masuk.

"Nggak tahu harus cemas atau marah..."

Terdengar suara ketukan yang berasal dari pintu restoran di ujung.

Nenek Gray menoleh ke arah suara tersebut.

"Restoran nggak buka hari ini!" teriaknya lantang.

"Tukang masaknya pulang kampung?

Terdengar suara sayupsayup berasal dari arah pintu yang tertutup.

"Selamat pagi! Ini saya, tolong buka pintunya!"

Suara itu. Nenek Gray mengenali suara itu. Mengenalinya dengan sangat baik. Senyum lebar merekah di bibirnya yang telah keriput. Dia selalu senang mendengar suara Xander. Suara lelaki yang diincarnya untuk dijadikan calon suami cucunya, Strawberi. Dia tahu Strawberi juga naksir berat. Hanya tinggal tunggu waktu dan kesempatan sampai Xander membalas perasaan Strawberi.

Perempuan tua itu bergerak pelan menuju pintu. Kakinya yang kecil dan kurus tertatih-tatih membawanya menuju ruang depan.

"Tunggu sebentar," serunya. Dia melepaskan jampi-jampi sihir untuk membuka kunci pintu. Perlahan-lahan pintu membuka. memperlihatkan Xander dan Oryza berdiri menunggu.

"Xander, anakku," katanya hangat penuh senyum. Matanya menghilang di balik keriputnya yang berlapis-lapis.

"Silakan masuk."

Xander masuk, diikuti Oryza. Nenek Gray memperlihatkan rasa tidak suka kepada Oryza yang membuntuti Xander. Dia tahu siapa perempuan itu dan apa hubungannya dengan Xander. Oryza adalah saingan cucunya dalam memperebutkan perhatian Xander. Saingan adalah musuh! Nenek Gray mendelik judes sambil mengabaikan Oryza, tidak berkata apa-apa.

"Saya punya beberapa pertanyaan." Tanpa basa-basi, Xander menarik kursi di meja lalu duduk. Oryza mengambil posisi di sebelahnya dengan manis. Nenek Gray mengambil tongkatnya yang terletak di pinggir lemari, lalu berjalan dengan bantuan tongkat itu, seperti merayap. Dia duduk di depan Xander.

"Ada apa? ' tanya Nenek Gray serius. Dia mengamat-amati Xander dengan lebih teliti. Lehernya ditekuk sehingga wajahnya menjadi miring.

"Kamu sakit. Nak? Kelihatannya kamu tidak sehat."

"Itulah alasannya kenapa kami kemari." kata Oryza cepat. Dia
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak suka dengan perhatian berlebihan Nenek Gray kepada Xander. Dia tahu mengapa Nenek Gray tergila-gila dengan Xander. Dan dia membenci nenek lampir itu setengah mati. Membencinya sampai ke tulang sumsum.

"Xander digigit cangkir."

"Digigit... apa-?"

"Cangkir," seru Xander menjelaskan.

"Saya dan Pax melihat cangkir itu berjalan-jalan dan mandi di bawah air pancuran. Terus waktu mau ditangkap. cangkir itu mengeluarkan taring tajam, lalu menggigit tangan saya."

"Hmm..."

"Terus. makanan yang saya masak melarikan diri dari pancinya."

Sejenak beberapa detik berlalu dalam hening. Tidak ada kilasan heran pada paras Nenek Gray. kemampuan mengendalikan dirinya sangat hebat. Tapi Oryza melihat mata kelabu tua Nenek Gray yang memancarkan sinar keterkejutan. Sedetik. itu lebih dari cukup.

Seakan'akan tidak menyadari keheningan yang janggal (sebab Oryza terlalu sering melihat kejadian yang lebih gila), Oryza menambahkan dengan tenang.

"Oya, Nek, terima kasih karena sudah bermurah hati pada Solanum. Saya pikir Nenek tidak akan pernah mau menjual apa pun buat saya."

Nenek Gray menoleh kepada Oryza. Segalanya yang terpancar dari paras Nenek Gray berwarna kelabu, seperti nama aslinya yaitu Nenek Kelabu. Tapi demi kepentingan komersil dan berkesan modern, sejak pindah ke Jakarta Nenek Kelabu mengganti namanya menjadi Nenek Gray. Untuk pertama kalinya, matanya bertabrakan dengan mata Oryza. Mata tua itu memancarkan kesombongan. jarak, dan jeda. Tatap yang hanya diberikan kepada Oryza.

"Apa sih yang kamu bicarakan? '

"Rempah rempah, daun teh, dan buku memasak yang Nenek jual kepada adik saya."

Nenek Gray terlonjak dari kursinya. Bibirnya langsung merengut.

"Oh, jadi begitu ceritanya! Dengarkan baik'baik. Nak, saya tidak pernah menjual apa-apa kepada siapa-siapa, kecuali nasi tim bebek fenomenal yang dijual di restoran ini. Benda yang kamu sebutkan tadi hilang dicuri beberapa malam lalu."

Oryza tampak terkejut. Air mukanya seketika memerah. Dia menatap Xander lalu memandang Nenek Gray bolak-balik dengan nanar.

"Apa?" serunya melengking tidak percaya.

"Dicuri?"

Nenek Gray kembali duduk di kursinya. Dia mengangguk sambil terus melotot ke arah Oryza.

Oryza tergagap-gagap. Rasa sebal terhadap nenek lampir itu lenyap, digantikan dengan rasa tidak enak.

"S.. s'saya tidak menyangka sama sekali. Dasar penipu! Sola nggak cerita apa'apa. Dia bilang... dia bilang.... rempah'rempah dan buku itu dijual kepadanya.... Astaga..." Oryza mengumpulkan ketenangannya lalu mengalihkan perhatiannya kepada Nenek Gray yang duduk cemberut. Tatapannya serius.

"Maaf, Nek. Saya minta maaf atas kelakuan lancang adik saya."

Kini giliran Xander yang tampak kesal.

"Tunggu, tunggu," serunya.

"Jadi kemarin malam itu kamu menggunakan rempah rempah aneh buat masakan itu!"

Oryza mengangguk malu-malu. Pipinya memerah.

"Rempah-rempah apa? Sejenis bubuk yang bisa bikin jatuh cinta, kebelet terus-terusan, naksir mati-matian, atau semaput? Rempah-rempah buat ramuan kayak gitu? Iya?" Xander metadang.

"Aku..."

"Ini percobaan pembunuhan!"

"Percobaan..." Lidah Oryza seperti tergigit.

"Maksudnya?!"

"Kamu mencoba meracuniku."

"Meracunimu?! Ge-er amat sih! Memangnya kamu orang terkenal yang harus dibunuh demi mendapatkan keuntungan? Sori

ya. Aku hanya pengin memasak dengan baik. Memangnya itu salah? Melawan peraturan?"

"Ya iyalah kalau kasusnya seperti ini! Tahu kan sepuluh perintah yang melarang orang mencuri? Itu termasuk penyihir."

Nenek Gray menoleh kepada Xander dan berkata lemah lembut,

"Tenang, tenang. jangan emosi. Nak." Dia berbalik. memandang Oryza yang tampak kacau. Tatapannya tidak bersahabat.

"Kamu masak apa kemarin malam?"

"Rendang."

"Berapa porsi rempah-rempah yang kamu masukkan ke dalam masakanmu?"

"Seluruh stoples yang dikasih Sola."

"Apa?!" Mata kelabu tuanya berputar. Kerut di sekitar bibirnya tampak menajam.

"Nak. kamu nggak baca tulisan yang tertempel di stoples? Di situ dibilang satu sendok teh."

"Tapi kan itu untuk satu kali memasak aja. Buat dua orang! Rumah kami penuh orang. Ada empat perempuan dan delapan lelaki, plus mau disimpan buat besok dan..."

"Delapan lelaki?!"

"Tenaga makan Dadi sama dengan tiga lelaki. Dan sisanya itu tenaga makan kami!" kata Oryza ketus.

"Sebentar... sebentar..." Nenek Gray memotong pembicaran pasangan itu sebelum meledak menjadi pertengkaran yang tak berujung pangkal. Kepalanya terasa berat.

"Satu sendok teh rempah-rempah dapat digunakan untuk makanan yang dimasak buat pesta besar. Setidaknya yah, lima ribu orang. Itu tertera jelas di tulisan yang tertempel di stoples."

"Hah?"

Sunyi mendadak selama beberapa detik.

"Jadi..." Xander membelalak sebal.

"Artinya apa?!"

"Rempah-rempah itu disebut juga dengan rempah-rempah kehidupan. Sesendok kecil dapat membantu memperkuat otot.

meningkatkan daya tarian. dan mempercepat refleks. Jaman dulu, para bajak laut memakan masakan yang dibubuhi rempah Varaiya sebelum berlayar."

"Dan hubungannya dengan rendang yang lenyap dari panci adalah..."

"Dalam dosis besar, rempah rempah itu mampu menghidupkan benda-benda mati menjadi makhluk yang dapat bergerak."

Sunyi kembali mengisi udara.

Nenek Gray memandang Xander lama lalu menatap Oryza singkat. Begitu berganti-ganti selama beberapa menit.

"jadi rendang... rendang itu..."

"Ya, pasti kabur! Sekarang mungkin sedang berjalan-jalan di tengah kota. mungkin lagi menawar bajaj. Saya rasa, hal ini juga terjadi dengan cangkir."

"Maksudnya?!"

"Sola kan juga mencuri daun teh Varaiya. Daun teh itu juga memiliki kekuatan yang sama dengan rempah-rempah."

"Rempah itu telah habis kumasak tanpa ada sisa lagi." Oryza merenung.

"Berarti... berarti... Cangkir itu hidup karena seseorang merebus daun teh Varaiya!"

"Kesimpulan yang tepat."

"Kalau teh tersebut diminum oleh seseorang. bukankah hasilnya menjadi baik? Nenek bilang hasilnya positif, dapat menambah energi. memperkuat tubuh, dan bla-bla'bla lainnya itu."

"Ingat prinsip Varaiya: berlebihan tidak baik."

Xander memutar bola mata.

"Jadi hanya gunakan sehelai kecil daun teh saja kalau mau merebus teh. Kalau seseorang menelan makanan yang dibubuhi rempah-rempah overdosis atau meminum teh Varaiya berlebihan, pikirannya menjadi kacau. Dia tidak bisa bersikap seperti layaknya orang normal."

Bibir Oryza Kering. Dia terdiam.

"Dengan kata lain," kata Nenek Gray melanjutkan, penuh dramatis. Senyum lebar membelah wajahnya. Dia senang apabila keluarga Oryza tertimpa bencana.

"Orang bisa menjadi gila."

"jadi gila? Yey, seram."

Oryza menyikut tangan Xander yang sedang menopang kepalanya dengan kesal. Kepala lelaki itu seketika terkulai ke meja. Xander melirik Oryza dengan tatapan terganggu.

"G... gila?"

"Ya, Nak, gila."

Oryza tergagap.

"Tapi... kesimpulanku tadi... seseorang telah merebus daun teh Varaiya yang mengakibatkan... cangkir menjadi hidup..."

"Siapa yang meminumnya? Itu pertanyaannya, bukan? Adakah orang yang sempat meminumnya?" Xander memotong sambil memandang Oryza. Alisnya terangkat tinggi.

"Wow. Kita bakal jadi Alfred Hitchcock sekarang. Yey. Yey."

"Berhentilah menggunakan nada sinis yey yey yang menyebalkan itu," kata Oryza ketus.

"Serius. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menghinaku'

"Aku sudah serius sejak kamu menggunakan rempah'rempah aneh buat memasak rendang abnormalmu yang sekarang nggak tahu berada di mana. Kalau udah bolot dari sononya. memang bolot terus."

"Sialan."

Tiba tiba terdengar suara langkah kaki yang berasal dari luar restoran. Suara kunci berputar dan suara lantang jampi-jampi yang segera membukakan daun pintu.

"Nenek!"

Nenek Gray melompat berdiri. Wajahnya diam tak bergerak, menunggu sosok yang segera muncul dari balik kegelapan restoran. Penampilan Strawberi tampak seperti hantu. Kulitnya putih

seperti tembus cahaya, rambutnya panjang dan hitam berderaiderai begitu halus sehingga tampak menyatu dengan background sudut restoran yang gelap.

"Dari mana aja. Nak?" seru Nenek Gray.

"Strawheti menginap di rumah Buavita yang gede."

"Aqua."

Perempuan itu berdiri di ambang pintu, persis di belakang Strawberi. Air mukanya tidak kelihatan. Dia menunggu sampai Strawberi bergerak maju, lalu dia mengikuti.

"Xander!" seru Strawberi girang saat menyadari ada seseorang sedang duduk di samping neneknya. Dia menarik kursi yang berjejer di meja lain, mendesakkan kursi tersebut di sebelah Xander. Dia langsung duduk di sana.

"Strawberi kangen," katanya manja sambil tertawa.

Oryza melirik Xander, memperhatikan reaksi lelaki itu. Tatapannya kesal. Xander duduk salah tingkah dipelototi oleh Oryza.

"Hai... Llama nggak k-kelihatan..."

"Strawberi nggak ke mana-mana kok. Di sini aja, menunggu Xander."

Xander tampak gelagapan. Dia selalu senewen jika bersamasama dengan Strawberi. Apalagi di bawah tatapan kejam Oryza yang kini tampak seperti Mao Tse Tung memimpin partai komunis di Cina dulu.

"Sayang," Strawheri mengusap-usap lengan Xander.

"Strawberi kangen kangen tauuuu!"

"Hehehe... iya, tau... hehehe...."

Oryza menggebrak meja dengan pelan. lalu berdiri menjauhi pasangan yang sedang duduk berdempet'dempetan seperti kembar siam. Wajahnya merengut.

"Tadi pagi kami ke rumahmu." kara Aqua memecah keheningan. Suaranya terdengar anggun. seakan'akan dia sedang mengucapkan Kalimat yang penting. Oryza menoleh Kepada Aqua, Bersyukur seseorang mengganti topik pembicaraan. Dia berusaha keras agar tidak melirik kepada Strawberi yang sedang menggelendot manja di bahu Xander. Xandet sendiri tampak gelisah dan tidak nyaman.

"Oya?" kata Oryza dengan suara yang sengaja diriangkan.

"Kenapa aku nggak tahu?"

"Karena Sola nyaris menabrakku dengan mobilnya. Untung aku berhasil menghindari serangannya. Sepertinya dia berniat membunuhku."

"Sola tidak punya alasan untuk membunuhmu. Kalau dia punya alasan, dia akan membunuh Xander terlebih dulu."

"Dia sengaja menabrakku."

"Sola dapat menyetir dengan baik. Dia tidak mungkin sengaja menabrakmu."

"Dia sengaja menabrakku di tengah jalan! Sambil berteriak kayak Tarzan mabuk bahwa dia yang mencuri rempah-rempah Nenek Gray."

"Strawberi juga melihat Zea membawa-bawa golok di kebun belakang sambil mencari sesuatu. Dia bilang Dakocan... Dakocannn..." Strawberi tertawa manja sambil memejamkan mata. Dia tampak bahagia dengan kehadiran Xander di sebelahnya.

Oryza mengerling judes kepada Xander.

"Dasar keluarga gila," kata Aqua angkuh.

"jaga mulutmu! Apa mulut musti pergi ke sekolah ya?!"

Aqua melotot memandang Oryza yang tak gentar balas melotot kepadanya. Mereka berdua berdiri berhadapan, siap menyemburkan jampi-jampi sihir satu sama lain.

"Mengejek keluargaku?"

"Siapa lagi? Tentu kamu."

"Ayolah, Nonanona..." Xander mendorong Strawberi. perempuan itu seperti memiliki gravitasi ke arah tubuhnya.

"Jangan bertengkar di sini."

Oryza mendengus keras. Aqua juga mendengus.

"Mari kembali ke topik yang tadi. Sejauh ini, kesimpulannya adalah kita tahu siapa yang meminum teh Varaiya." Xander berusaha terdengar serius, tapi gagal karena Strawberi tidak bergerak sedikit pun. Dia gerah digelayuti seperti itu. Di atas semuanya, dia nggak suka melihat Oryza dan Aqua saling menjajaki seperti dua pemain sumo siap memiring tubuh satu sama lain.

"Jadi, bagaimana kesimpulannya, Nek?"

"Dengar, Nak," kata Nenek Gray kepada Xander dengan pandangan sayang. Dia senang melihat cucunya berdekatan dengan lelaki pilihannya.

"Orang yang meminum teh dengan dosis berlebih akan menjadi berbahaya bagi siapa pun yang berhadapan dengannya."

Oryza memecahkan adegan lotot-melotot dengan Aqua, memandang Nenek Gray dengan waswas.

"Bagaimana dengan Dadi "

"Ayahmu penyihir hebat. Dia pasti bisa melawan kalau disakiti," kata Xandet menenangkan.

"Tapi Zea dan Sola penyihir hebat juga..."

'ditambah dengan kekuatan teh Varaiya, maka kekuatan itu berlipat ganda. Demikian juga dengan kegilaan mereka," ucap Nenek Gray sambil mengangguk takzim.

Oryza tidak tersenyum sedikit pun. Wajahnya tampak prihatin.

"Apa Dadi meminum teh Farach itu?"

"Varaiya!'

"Kalau benar seperti itu," kata Nenek Gray tenang.

"Berarti ada tiga orang gila mempunyai kekuatan luar biasa ditambah dengan rendang berkeliaran dan cangkir bertaring yang senang menggigit orang." Dia terkekeh.

"Grup yang sempurna."

"Nggak lucu sama sekali."

bisa nggak., Kata Xander. Dia mendorong tubuh strawberi, tapi perempuan itu kembali menempelkan tubuhnya di lengan Xander."Kita biarkan saja sampai efek sihir itu lenyap sendiri?"

"Rendang dan cangkir tidak tahan hidup selama lebih dari dua minggu. Namun untuk manusia yang menelan rempah-rempah Varaiya..."

Nenek Gray meneguk air teh. Oryza menatapnya dengan tegang. Bahkan suara angin mengembus di bawah celah pintu pun tidak dapat terdengar.

"Apa?"

"Efeknya bakal jadi pemicu."

"Efek..."

"Efek kegilaannya."

"Kenapa..."

"Karena dosisnya kelewat banyak."

Air muka Oryza menjadi pucat. Emosinya membunuh. Dia sangat ketakutan sampai tidak tahu harus berkata apa.

**

Pax menatap alamat di atas kertas yang tercetak dalam tulisan tangannya. Dia menimbang-nimbang sambil membaringkan tubuhnya di atas kasur. Dia tahu alamat tersebut. Itu adalah alamat kantor Oryza. Rasanya hatinya meledak membayangkan bahwa dia-Paxilian Tanjung, memiliki kemungkinan untuk bekerja dalam satu perusahaan bersama Oryza, bahkan dalam satu departemen! Hmm... Tiap hari bertemu. Mungkin makan siang bersama. Aha. Ini kesempatan yang langka dan terlalu istimewa untuk ditolak. Selamat tinggal Xander, bisiknya dalam hati. Sebentar lagi perhatian Oryza pasti beralih kepada Pax. Pikirannya melayang pada apa yang terjadi tadi sore. Dia mampir di restoran Nenek Gray karena kangen dengan nasi tim

bebek yang rasanya maknyus itu. Tapi restorannya tutup. Ini tidak biasanya. Biasanya orang-orang sudah mengantri: dari jam enam pagi. Iseng iseng, Pax mengetuk pintu.

Siapa yang nyangka ternyata di dalamnya ada Oryza?

Bukan cuma itu saja.

Pax melihat Xander yang sedang digayuti Strawberi dan diapit oleh Aqua di sebelah kanannya. Sementara Oryza-yayangnya tercinta-sedang berdiri merengut masam di dekat pintu dapur, melotot memandangi Nenek Gray.

"Ada apa?" tanya Pax tidak mengerti. Ada sesuatu yang salah di sini. Sesuatu yang SANGAT SALAH.

Tidak ada yang menjawab apa-apa. Tapi yang ada malah terdengar pertanyaan dari mulut Oryza.

"Bagaimana prosesnya sampai bisa permanen?"

"Energi rempah'rempah dan teh tersebut sangat besar sampai. sampai saat memasuki tubuh manusia, aliran darah langsung dipenuhi oleh efeknya. Kalau seluruh racun yang berada di dalam tubuh memasuki jantung, paruparu, dan otak, maka daya tahan tubuh takkan sanggup lagi menanggungnya' Nenek Gray mengangkat bahu.

"Orang yang menelannya bisa langsung... almarhum."

Oryza tersentak.

"Pasti ada antitoksin-nya, Nek!" seru Xander, mendorong tubuh Strawberi. Tapi perempuan itu kembali terkulai ke lengannya.

"Bagaimana cara meramu rempah-rempah penawar racunnya?"

"Nggak ada."

"Aku nggak percaya."

"Benar."

"Bohong!"

"Anakku..."

"Jangan sebut anakku. Aku bukan anakmu!"

Nenek Gray mengetuk-ngetukkan jarinya yang keriput dan

panjang di atas meja. Xander melotot memandangnya, tampak tidak sabar dan mulai marah. Nenek Gray berpikir keras. Dia tidak suka Xander tersinggung dan kesal kepadanya. Xander adalah calon suami Strawberi. Dia harus melakukan segala cara agar Xander merasa nyaman dengannya.

"Sebenarnya ada caranya sih," katanya lambat, malas mengungkapkan.

"Cara yang kemungkinan kecil bakal berhasil."

"Apa itu?"

"Pernah dengar rempah bernama Tamerit?"

Semua menggeleng.

"Kalau kita masak atau seduh Tamerit di dalam teh lalu kita berikan kepada orang yang keracunan rempah'rempah dan daun teh Varaiya, maka efeknya langsung mengalahkan efek racun tersebut."

Oryza menghela napas lega mendengar penjelasan Nenek Gray.

"Tapi..." Nenek Gray berhenti sejeda.

Oryza tampak tegang.

"Tapi?"

"...tapi racun Varaiya hanya dapat disembuhkan dalam waktu dua minggu. _Jika kita terlambat, maka pemberian Tamerit tidak ada gunanya."

"Dua minggu? Kita hanya punya waktu dua minggu?"

"Betul."
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?"

"Karena memang seperti itu aturannya."

Aqua menguap lebar-lebar.

"Buset." katanya mengantuk.

"Omongan ini membuatku bosan setengah mati. Yuk, Perkedel. aku pulang dulu. Kalau mau nginap lagi. langsung datang aja. Kita bisa main mah'yong sampai kelenger."

"Strawberi. Namaku Strawberi," kata Strawberi.

"Besok Strawberi mampir di sana setelah jam makan siang. Kalau Nenek mengizinkan, Strawberi bakal nginap di rumah Frestea."

"Aqua."

"Terserah."

Aqua meninggalkan ruangan restoran. Pax melipat tangan, menyender di tembok. Wajah Xander tampak serius.

"Di mana aku bisa dapatkan Tamerit ini?" tanyanya penasaran.

Nenek Gray diam.

"NEK!" teriak Xander tidak sabar.

"DI MANA AKU BISA DAPATKAN TAMERIT INI?"

"Tidak perlu teriak-teriak, Nak," kata Nenek Gray.

"Telingaku masih bagus."

"Kalau begitu. sebutkan tempat di mana aku bisa dapatkan Tamerit!"

Nenek Gray menatap Xander lamalama, memikirkan tekanan yang dilancarkan lelaki itu kepadanya. Dengan sangat keberatan. dia berkata,

"Racun dan penawar racunnya sama'sama berasal dari Varaiya. Pulau kecil bernama Pulau Varaiya di daerah Timur Sumatra."

Mata Oryza membelalak.

"Di... mana?" tanyanya heran.

"Pulau Varaiya. Sebelah Timur Sumatra."

"Persisnya di mana?"

"Nggak ada yang tahu."

"Lho?"

"Tidak ada yang tahu di mana pulau itu," ulang Nenek Gray dengan nada menang.

"Petanya?"

"Nggak ada di peta."

"Hah?"

"Pulau itu sangat kecil dan hanya dapat dicapai dengan perahu. Lautnya tenang, jadi jangan kuatir bakal tenggelam dihantam ombak."

Semua hening.

"Memangnya..." Pax memecah suara. Nadanya ragu'ragu.

" Pulau varaiya ini nggak mengenal Kata ekspor ya.maksudku, nggak ada yang jual rempah-rempah itu di Jakarta? Di Pasar Senen atau di Tanah Abang atau di Pasar Ular? Atau di black market sekalian."

Nenek Gray menggeleng.

"Nggak, Pulau Varaiya ini pulau sihir. Makanya nggak pernah kelihatan di peta Indonesia. Suku yang tinggal di sana menyebut diri suku Varaiya. Mereka semua adalah penyihir dan sangat tertutup. Karena itu. sulit sekali penyihir dari mana pun dapat menembus dan memasuki teritori mereka. Kalian harus masuk ke Varaiya dengan perahu. Kaum jelata... ehm, maksudku para non-penyihir yang tinggal di Sumatra, mempunyai gosip turun temurun tentang pulau tersebut. Mereka menyebutnya sebagai pulau gaib atau pulau hantu."

Hening lagi.

"Kenapa mesti pakai perahu? ' tanya Oryza.

"Nggak bisa naik pesawat?"

"Ya, naik perahu! Karena begitu aturannya." Nenek Gray melotot memandang Oryza.

"Ceritaku sudah kelar, Nak. Tutup mulutmu, nanti tungau masuk."

Oryza menutup mulutnya yang belum sempat membantah Nenek Gray. Tubuhnya terasa lemas.

"Jadi?"

"Jadi tidak ada jalan lain," kata Xander.

"Kita harus ke sana, ke Pulau Varaiya untuk mendapatkan Tamerit."

Oryza menoleh kepada Xander dengan pandangan kosong.

"Kamu serius?"

"Bukan cuma serius. Kita harus melakukannya tanpa melewati deadline dua minggu."

Oryza mendesah.

Strawberi ikut-ikutan mendesah.

Dua desahan yang berbeda. Dua reaksi yang berbeda.

Ory benci pada desahan Strawberi.

Strawberi benci pada desanan Oryza. Pax menoleh kepada Xander. Mendadak dia lihat yang terjadi dalam waktu lima menit ke depan.

**

Aqua masuk melewati pintu gerbang rumahnya yang besar. Pembantunya membuka pintu, lalu menunduk sedikit kepada nyonya rumah. Perempuan itu berjalan terus, memasuki pintu depan dan melewati ruang tamu.

Di luar senja telah turun, menenggelamkan matahari di ujung horison. Suara televisi terdengar menggelegar.

"Breaking news dari Jakarta, polisi menginvestigasi laporan yang menyatakan beberapa saksi mata melihat tuyul atau sosok yang tidak jelas berwarna ungu kemerah-merahan sedang berlarilari di pinggir jalan. menyiuli remaja perempuan yang sedang menyeberang. atau mengempeskan ban-ban motor. Ada laporan yang menyatakan kemungkinan sabotase terhadap pipa-pipa air leding jakarta dengan limbah yang dapat meracuni manusia menjadi seperti tuyul ungu kemerah-merahan tersebut. Berita yang diperoleh redaksi masih simpang siur."

Aqua berdiri di depan televisi. Mulutnya menganga. Di sofa. Gus tertidur. Suara ngoroknya balapan dengan suara televisi. Aqua menggeleng-gelengkan kepalanya, mengalihkan perhatiannya dari televisi, lalu berlalu.

"Jakarta memang sudah gila..."

Hapenya berdering. Dia merogoh kantung dan mengeluarkan hape tersebut. Nomor telepon Strawberi berkedip-kedip di

sana.

"Halo?" sapanya.

"Halo. Strawberi udah mendengar semuanya dari Nenek Gray. Ini ceritanya..."

**

"YUHUUU! Dakocan, di mana kauuuu?"

Zea mengintip seluruh rumah. Tangan kanannya mengayun; ayunkan golok dengan penuh semangat. Tiba-tiba terdengar suara bel pintu. Dia bergegas ke luar.

"Halo," sapanya manis setelah membuka pintu. Suara lembutnya tak berubah

"Selamat datang. Aku barusan mau menyiapkan makan malam."

Oryza memandang Zea dan golok di tangannya dengan pandangan heran. Kakaknya menggenggam golok seakan-akan seluruh hidupnya tergantung di sana.

"Kak, klinik udah tutup?" tanyanya bertambah heran ketika memperhatikan klinik yang gelap.

"Bukannya selalu buka sampai jam delapan?"

"Tadi aku membersihkan klinik sampai mengilat dan suci hama. Sayang kalau kedatangan klien dekil dan pasien bau. Bakalan kotor lagi."

"Tapi kan..." seru Oryza, merasa omongan kakaknya tidak masuk akal.

"Mana mungkin klinik bisa mengilat terus-menerus?"

"Bisa aja!" seru Zea.

"Selama nggak ada klien, klinik bakalan kinclong!"

"Hah? ' Oryza melongo.

"Kalau nggak ada klien, ngapain punya bisnis klinik hewan? Aduh aneh banget teorinya. Aku bingung."

"jangan bingung. Pokoknya semuanya berdasarkan keputusan logis."

Xander berpandangan dengan Oryza yang masih melongo memandangi kakaknya. Dia hendak membuka mulut ketika kesadaran Oryza membelah otaknya.

"Oya, cepat berkemas sekarang juga. Kak. Kita harus berangkat ke Pulau Varaiya untuk mendapatkan Tamerit buat Dadi dan Sola yang keracunan rempah-rempah."

Tatapan mata Zea tampak datar.

"Astaga. Benarkah?"

"Ke mana Dadi? Sola? Tolong bantu aku mencari Dadi dan Sola. Habis itu, kita harus berangkat!"

Zea menggeleng dengan ketenangan luar biasa.

"Sori. darling, aku nggak bisa ikut. Pekerjaanku banyak banget."

"Ya ampun. Kak! Kerjaan apa sih? Tinggalkan saja, ini nih masalah hidup dan mati. Kita harus segera berangkat malam ini juga!"

"Naik apa?"

"Perahu."

"Perahu? Hihihi, lucu." Zea terkikik tidak wajar.

"Tapi sori, aku nggak bisa."

"Kenapa?"

Zea tersenyum manis.

"Kalian bakalan makan malam di sini atau mau makan malam di luar saja?"

"Apa?"

"Ory, makan di sini atau..."

"Aku serius, Kak, aku nggak main-main!"

"Aku juga nggak main-main."

kak... oryza mengulurkan tangan, menyentuh jemari zea. Sesaat mereka bersinggungan.

"ADUH, ORY! APAAN-APAN SlH! JANGAN SENTUH TANGANKU!"

Oryza terkejut. Dia melompat mundur.

"DENGAR KAKAKMU BAIK-BAIK YA! jANGAN BAWA-BAWA KUMAN KEDALAM RUMAH! INGAT?! JANGAN! BAWA! KUMAN! KUMAN ITU MENJIJIKKAN SEKALI, TAUK!"

"K-kuman... apaan?"

Zea mendorong Oryza lalu mengayunkan goloknya sampai golok tersebut memancarkan cahaya dan mengubahnya menjadi tongkat sihir. Percik api berhamburan di sekujur tubuh Zea. seketika bergerak kilat ke arah Oryza. Gadis itu sama sekali tidak mengelak atau mempertahankan diri. Dia terlalu terpana.

"ORYZA" teriak Xander.

"Memanggil-Perlindungan!"

Sebentuk cahaya berwarna biru melindung Oryza dari serangan magis Zea. Xander menjerit sekali lagi sambil berlari mendekati Oryza. Gadis itu terpelanting ke taman sampai jatuh terduduk. Dengan ketus, Zea membersihkan tangannya dengan lap yang tergantung di bahu. Tatapannya nyalang saat dia berputar lalu membanting pintu kuatkuat di belakang punggungnya. Terdengar suara gubrak yang menggetarkan dinding rumah. Oryza memandang adegan itu dengan air muka shock.

"Kalau?" bisiknya tidak percaya. Matanya membelalak menatap ke arah pintu yang tertutup.

"Gawat." seru Xander terkejut.

"Dia pasti yang minum teh itu. Bener dugaanku. Zea keracunan berat."

Tiba-tiba pintu terbuka kembali. Wajah Zea yang cerah dan selalu ramah muncul di baliknya. Kepalanya meneleng ke samping. Dia tersenyum memandang Oryza dan Xander yang terduduk di kebun dengan pandangan seakan'akan tidak pernah terjadi apa-apa.

"jadi." katanya manis.

"kalian bakal makan malam di rumah nggak?"

Oryza dan Zander ternganga, seakan-akan terhipnotis.

"Meong!"

"Oh." Mata Oryza berkerlip.

"Dakocan."

Tiba-tiba kegelapan menghantam kepala Xander, mendapati dirinya berdiri di tengah-tengah langit. Mengapung. Di bawahnya tampak pegunungan dan pohon-pohon hijau yang kecil-kecil. Di sebelahnya tampak sosok yang tak terlihat. Xander membelalak. Sosok itu juga mengapung seperti dirinya.

"Aku di mana?" tanya Xander ketakutan.

"Varaiya. Di bawah sana."

"Di... d'di mana?"

"Yang kaulihat. Di sana. Di sini."

"Di sana?"

"Lihat."

"Ogah! Aku nggak mau lihat!"

Kegelapan menghilang. Xander merasa melayang jatuh...

"Xander? Xander? XANDER!"

"Huh?" Xander menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Oh."

"Kamu kenapa? Melamun?"

"A-aku cuma agak pusing aja. Efek racunnya belum benar-benar hilang. Aku..."

Oryza hendak berkata sesuatu tapi tidak jadi. Pandangan mata nanar Xander ke arah belakang bahunya membuatnya menoleh cepat. Zea sedang mengangkat Dakocan tinggi-tinggi. Seringai kejam menghiasi wajah Zea.

"Kucing busuk ini," katanya puas.

"akhirnya ketangkap juga. Aku lagi menyiapkan panci dan bawang bombay. Bagaimana kalau kita makan sate kucing?"

wajah Oriza langsung berkeringat. Ia ampun, Kak BlSlKnya pucat pasi. Tidak pernah terbayangkan kakaknya bersikap sekejam itu.

Xander memandang Zea dengan tatapan horor.

"Kucing nggak bisa dimasak," katanya berusaha terdengar tenang.

"Turunkan dia sekarang juga. Berikan Dakocan padaku, cepaaat..."

"Turunkan? Bah. sori ya! Nangkapnya udah setengah mati, mana mungin kulepas begitu aja!" Zea mendelik.

"Kenapa nada suaranya jadi Jelek banget?" Mereka bertiga saling menatap satu sama lain. Tatapan Zea terlihat seram, tidak gentar memandangi Xander dan Oryza.

"Di mana Dadi?" tanya Oryza berusaha mengalihkan perhatian sambil melongok ke dalam rumah. Rumah tampak sepi. semoga jangan terjadi apa-apa dengan Dadi, pikirnya cemas.

"Dadi? Udah kuamankan di kamar mandi. Dadi terlalu kotor dan bau kayak gelandangan. Dia nggak pantas tinggal di dalam rumah."

"Diamankan..." Oryza bertanya-tanya apakah dia sedang mengalami mimpi buruk.

"Ddadi nggak apa-apa?"

"Kelihatannya baik-baik aja. Kenapa? ' seru zea.

"Kamu mau aku memanggang Dadi seperti kita bakal memanggang Dakocan?"

"KAK... Ngaco banget ngomongnya."

Xander melangkah maju.

"Zea." desaknya lebih tegas.

"Jangan sadis sama Dakocan. Sini, kasih Dakocan sekarang juga."

Zea meledak dalam tawa.

"Kamu nggak sopan sekali! Emangnya kenapa? Udah kelaparan ya? Ugh. padahal aku belum menyiapkan apa-apa. Tunggu satu jam lagi deh..."

Xander bergerak secepat mata berkedip. Dia menyambar Dakocan dari tangan Zea tanpa mendapat perlawanan sedikit pun. Mata Zea membara. Dia tak menduga Dakocan menghilang secepat itu. Kehilangan Dakocan sangat mengagetkannya.

Dia tersadar lelaki yang berdiri di depannya tidak boleh dianggap sepele. Tenaga dan daya sihirnya pasti luar biasa. Zea menggali ingatan tentang kemampuan sihir Xander, namun otaknya tidak mau bekerja sama. Dia tidak sanggup mengingat apa pun tentang Xander.

"Sialan!"

Dengan gerakan tak kalah cepat. Zea maju dua langkah. Tanpa kelihatan, tahu-tahu dia sudah balas menyambar Dakocan, menarik kepalanya.

"Meeeooong!"

Dakocan terjepit di antara Zea dan Xander, dibetot kencang ke arah yang berlawanan. Kucing hitam itu menjerit-jerit histeris diperebutkan seperti itu. Xander mempertahankan Dakocan dengan menggenggam ekornya kencang-kencang.

"Lepasin!"

"Nggak!"

"Meeeoongg! Meeooongg, meee..."

"Aku yang dapat lebih dulu! Weks!"

"OGAH!"

"...ooongggg."

"LEPASIN!"

"NGGAK MAU!"

Rasa cemas dalam hati Xander ketika merasakan tenaga sihir Zea yang berlipat ganda daripada Zea yang biasanya. Xander berancang'ancang menggunakan sihir yang bertenaga kuat untuk kabur dari situasi, namun dia takut Zea terluka. Di antara semuanya. Xander paling menghormati Zea. Di mata Xander, perempuan yang paling tua itu mengagumkan dan keibuan. Menggunakan mantra di saat seperti ini dapat mencederai Zea. Apa yang harus dia lakukan?

"MEEEEOOOONGGGGGGG!"

"Nina'Bobo-Kalau'Tidak'Bobo'Disihir-jadi'Spageti!"

sebelum xander memutuskan melakukan apa'apa, tiba-tiba Zea jatuh terkulai. Oryza berdiri di sebelah Zea, menangkap tubuh kakaknya. Xander terpana, nyaris terjengkang karena tenaga yang tiba-tiba menghilang.

"Sori, Kak." Terdengar suara Oryza gelisah.

"Aku terpaksa membuat Kakak seperti ini."

Xander melepaskan Dakocan ke tanah. Bulu'bulu kucing itu berdiri tegak ke atas. Setelah berdiri diam selama lima detik untuk mengembalikan orientasi posisi, Dakocan lansung ngibrit meninggalkan Xander. Dakocan melompat ke pagar dan lenyap dalam kegelapan malam.

"Totok tidur?" tanya Xander terpana.

Oryza mengangguk.

"jangan bawel. Bantu aku," katanya.

Xander membantu Oryza menggotong Zea ke dalam rumah. Waktu membuka pintu sambil membiarkan Zea memberati tubuhnya, lengannya tak sengaja bersentuhan dengan Oryza. Oryza buru-buru menjauh sehingga berat Zea semakin membebani Xander.

Rumah sunyi senyap. Mereka membaringkan Zea di atas sofa.

"Kita harus mencari Dadi."

Xander tidak menjawab apa'apa. masih terpana.

"Nah! Selesai!" Oryza berdiri, memandang Zea yang telah berbaring rapi di sofa.

"Yuk. Cepatan berangkat sebelum Sola datang dan merepotkan kita semua."
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Xander masih terpana...

"Xander?! Hei..."

"Oh Oke, oke."

**

Samudra terduduk di bak kamar mandi, kaku dan basah kuyup. Dia mencoba menggunakan sihirnya, tapi tampaknya kamar

mandi Ini telah dibuat antisihir oleh Zen. Oh Zea, my little darling Zea. pikirnya kacau. Zea adalah anak perempuannya yang paling disayang. Dapat diandalkan, terpercaya, dan sigap seperti ibunya. Sekarang mengapa dia...?

"HALOOOO?" teriak Samudra.

"SOLAAAA? ORYZAAAA?"

"Dadi!"

Samudra terlonjak. Dia mendengar suara Oryza menyambut teriakannya.

"Oryza?"

"Dadi?"

"Oryza? Oryza! Di sini!"

"Dadi? Bentar. saya mau mendobrak pintunya."

Baru tiga detik rasanya. tiba-tiba terdengar suara keras BRAAAK! Samudra terlonjak. Pintu kamar mandi terbuka. Oryza memburu masuk ke kamar mandi. Wajahnya pucat pasi.

"Dad!" serunya kelabakan.

"Ory..." Samudra mendesah lega.

"Dadi!" Oryza membantu Samudra berdiri.

"Sinting! Kenapa basah kuyup seperti ini?"


Rimba Dan Gunung Hijau Karya Nein Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Wiro Sableng 148 Dadu Setan

Cari Blog Ini