Ceritasilat Novel Online

Jampi Jampi Varaiya 3

Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng Bagian 3



"Dadi nggak tahu harus mulai dari mana. Yang jelas. Zea menyihir Dadi supaya mandi terus. Katanya kalau Dadi nggak mandi. kuman-kuman bakal menginvasi rumah ini."

Perkataan Samudra mengingatkan apa yang telah Oryza lakukan terhadap kakaknya. Sambil tersedu, Oryza berkata,

"Saya... saya tadi membuat zea tertidur..."

Samudra memandang anak perempuan tengahnya dengan air muka bingung. Air menetes'netes dari bajunya.

"Dadi, panjang banget ceritanya. Saya nggak punya waktu untuk cerita macam-macam..." Oryza mendesah.

"Gini deh, Dadi, yang jelas saya nggak bermaksud menjahati Zea. Saya... menyesal..."

Lho, yang tahu Kan bukan Lea yang sebenarnya. Lagian, love, kamu hanya menyihir-nya dengan sihir tidur." Xander berdiri menyender di dinding dengan tangan terlipat di depan dada.

Oryza terkejut mendengar kata "Iove" yang diucapkan Xander. Dia menoleh ke lelaki itu sambil menebak apakah Xander bersungguh-sungguh. Xander tidak menoleh ke arah Oryza, melainkan menunduk seperti menghitung jumlah kaki semut. Oryza pelan-pelan mengangguk, menyetujui perkataan Xander, namun air muka penyesalan tetap tidak lenyap di wajahnya.

"Dadi, saya sudah menyiapkan baju Dadi di tas travel. Cepat ganti baju. Sesudah Dadi ganti baju. kita akan segera berangkat."

Samudra menoleh ke arah Oryza.

"Berangkat?" tanyanya bingung.

"Berangkat ke..."

"Dadi. jangan tanya-tanya sekarang. Nanti aja Forum tanya-jawabnya. Pokoknya kita akan pergi. Nanti saya akan jelasin semuanya dalam perjalanan. Ayo, cepat, Dadi!"

Samudra membuka mulut hendak memprotes, tapi pikiran warasnya mengingatkan semua peristiwa aneh yang terjadi sejak tadi pagi. Dengan terpaksa dia berbalik ke dalam kamar tidurnya. meninggaan Oryza dan Xander.

"Berat rasanya. Aku menyesal terpaksa menyihir Zea," kata Oryza memecah keheningan. Dia menatap nanar ke arah pintu yang menghubungkan dengan ruang tengah.

"Berat apa? Kamu nggak pernah menyesal menyihirku dan memukulku dan menamparku dan menjampi-jampiku dan meracuniku dan..."

"Beda dong. Itu karena kamu memang layak mendapatkannya."

"Huh."

"Nyebelin!"

Samudra keluar dari kamar tidur. Bajunya yang basah telah

berganti dengan kaus kering. Dia masih tampak bingung dengan peristiwa yang terjadi. Ketika hendak menanyakan sesuatu, terdengar suara pintu depan terbuka.

"Memangnya pintu depan nggak terkunci?" tanya Oryza heran.

"Kayaknya nggak," jawab Xander sambil mengingat ingat.

"Tuh. lihat Dakocan datang!"

Oryza memandang berkeliling dengan penuh antisipasi.

"Oya, mana? Mana?!"

"Eits salah." kata Xander datar.

"Ternyata Pax."

Oryza memandang Xander dengan pandangan prihatin.

"Ajaib. Pengaruh racun sepertinya belum seratus persen lenyap sampaisampai kamu nggak bisa ngebedain kucing hitamku dengan Pax."

Xander menggaruk kepalanya, tersenyum garing.

"Nggak tahu deh. Seingatku ada orang lain yang nggak bisa ngebedain hal yang sama."

"Maksud?!"

Pax menutup pintu depan dengan hati-hati, berjalan ke arah Oryza. Dia berusaha mengabaikan seringai menyebalkan Xander. Padahal dia ingin sekali memukul lelaki itu sampai tidak bangun selama setahun.

"Ory!" serunya penuh perhatian.

"Kamu baikbaik saja? Nggak terluka. kan?"

Oryza memandang Pax dengan heran.

"Ya iyalah, aku baik, baik saja. Memangnya aku sedang sekarat? Kenapa harus terluka?"

"Oh, soalnya tadi kulihat Zea mendor..." Pax tibatiba menyadari kesalahan yang dikatakannya. Oryza tidak mengetahui "rahasia kecil" tentang Pax dan Dakocan. Waktu peristiwa tadi terjadi, dalam pikiran Oryza Pax tidak berada di sana. Yang ada hanyalah Dakocan.

"...nnggg... maksudku tadi Zea..."

"Ya?" Oryza penasaran ingin mendengarkan lanjutan perkataan Pax yang kini berdiri salah tingkah dan keringanan.

**

Strawberi memandang dengan takjub benda yang terapung di depannya.

"Apa itu?"

"Itu adalah," kata Aqua dengan bangga,

"kapal pesiar."

"jelas aku tahu itu kapal pesiar, bukan lumbung padi."

"Lalu maksud kamu apa sih?"

"Maksudku adalah..? Strawberi berpikir keras mencari kalimat yang tepat. Dia mengubah intonasi suaranya.

"Kamu punya kapal pesiar?"

"Perusahaan milik keluarga kami mempunyai bisnis di bidang perkapalan. Kami mempunyai pabrik di Florida yang membuat besi baja kapal selam. USS Growler yang dibuat tahun 1946 di Amerika masih kepunyaan keluarga kami lho!" kata Aqua santai.

"Interiornya udah direnovasi dan mesinnya dimodernisasi. Rencananya mau dipamerkan di museum New York tapi masih sering digunakan oleh Gus untuk traveling ke luar negeri. Lebih enak naik kapal selam daripada pesawat terbang. Jadi ya, belum dipindahtangankan kembali kepada pemerintah Amerika."

Strawberi memandang Aqua, mulutnya ternganga.

"Apa hubungannya dengan kapal pesiar ini?"

"Nggak ada. Aku cuma mau pamer kekayaan aja."

Muka Strawberi berubah hijau.

"Hus! Udah deh, jangan heran, aku memang prototipe narsis terbaru. Besok kita akan berlayar ke Pulau Varaiya, sambil berusaha membantu Xander mendapatkan Tamerit. Aku yakin setelah itu Xander akan mengetahui siapa yang sesungguhnya mencintai dan melindunginya..."

" Yaitu Strawberi." jawab Strawberi sambil melamun.

"Bukan. Aqua."

"Strawberi."

"Aqua!"

"Strawberi'!"

"Aqua!"

'Strawberi! Ikatan-Bakmi-Keriting-Ayam!"

Aqua melompat tepat saat sihir Strawberi yang berbentuk sulur-sulur panjang nyaris membelit tubuhnya.

"Sialan! Pisang busuk, rasain ini, Kutukan-Bunga Bangkai!"

**

Bulan berada tinggi di kaki langit. Kilatan-kilatan sihir berpendar. bersaingan dengan bintang-bintang yang berserak. Pelan-pelan, kapal pesiar yang tertambat di pinggir dermaga tenggelam terhantam jampi-jampi sihir sebelum berubah-ubah menjadi bakmi, bunga, kodok, tikus, kelabang, piza, dan kembali menjadi kapal pestar.

"hi hi hi hi "

**

...JADI begitu ceritanya. Kesimpulannya, Tamerit itu harus didapatkan sebelum dua minggu. Kalau tidak, Zea dan Sola akan mat... eh, me meninggal." Oryza mengusap matanya yang mendadak lembap. Mengingat bahaya yang mengancam kakak dan adiknya membuat Oryza merasa sedih dan tak berdaya.

"Jadi begitu," sela Samudra yang dari tadi berdiam diri mendengarkan cerita anak perempuannya.

"Sekarang bagaimana rencananya? Apa kita siap? "

"Nggak ada rencana. Dad. Kita lihat situasi aja."

"Lalu perahunya?"

"Perahu apa? Nanti aja kita pikirin."

**

Di taksi yang meluncur membelah Jakarta. mereka duduk berdesak-desakan di belakang.

"Udah tahu mau ke mana, Pak?" Si tukang taksi menoleh kepada mereka. Sedari tadi instruksi para penumpangnya adalah mencari tempat yang "ada laut. ada perahu". Bikin gila, nggak? Kayak teka-teki saja. Di mana cari tempat seperti itu di Jakarta?

"Stop di sini. Mas!" seru Pax.

"Eh, tunggu! Kok main stop aja sih? Memangnya kita ada di mana?"

"Entah."

"Kita ada di jalan tol," kata Pak Sopir. Suaranya terdengar tidak sabar. Siapa yang sabar coba? Penumpangnya ajaib. aneh, nggak masuk akal. Pokoknya bukan penumpang biasa.

"Udah tiga kali mengelilingi Jakarta di jalan tol ini."

"Kenapa nggak pakai..." Suara Xander memelan, mencegah agar suaranya tidak terdengar oleh pak sopir. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Oryza.

"...transforsi untuk cari perahu?"

"Kamu tahu di dermaga mana kita harus bertransforsi'" Oryza mendelik.

"Nggak mungkin tahulah! Kita kan bisa menebak-nebak."

"Sori deh," Oryza mencibir.

"Aku nggak mau berakhir dengan kecemplung di lautnya."

"Aku juga nggak mau." Pax ikutan bicara setelah mendengar bisik-bisik antara Xander dan Oryza. Dia mengeraskan suaranya kepada sopir taksi.

"Pak, keluar di gerbang tol depan."

Pak sopir dengan senang hati membelokkan mobilnya keluar dari jalan tol keramat itu.

"Lalu ke mana?" tanyanya datar.

"Ke Ancol aja, Pak."

Taksi segera menepi. Suara'suara protes langsung bersahut-sahutan.

"Lho kenapa?"

"Kenapa Ancol?"

"Karena ada laut di Ancol."

Pax mengernyitkan dahi.

"Varaiya," desisnya kepada dirinya sendiri seakan akan tidak ada yang mendengar padahal seluruh penumpang di taksi sedang seru memandangnya.

"Kayaknya... nama itu familiar deh. Mungkin aku pernah nggak sengaja mampir di sana sewaktu aku traveling."

Orvza Yang duduk diapit di antara Xander dan Samudra mencondongkan tubuhnya ke arah Pax sehingga Xander terdesak ke arah pintu.

"Beneran?!" serunya bersemangat. Dia tahu Pax sanngat suka traveling. Setiap cuti atau ada waktu liburan, Pax pasti bepergian. Dengan membawa ranselnya, Pax pergi ke negeri-negeri jauh yang belum pernah dikunjungi Oryza.

Xander melirik kesal kepada Oryza. Lengannya terjepit pegangan pintu mobil.

"Kayaknya begitu," kata Pax, berpikir keras.

"Sungguh nih? Menurut Nenek Gray, tempat itu terpencil banget. Kalau ada yang tahu tempatnya, dia bisa jadi pemandu kita. Biar bisa lebih mudah menemukan pulau keramat itu. Kamu harus ikut buat cari Tamerit."

"Wow. Serius? Boleh? B-boleh ikut mencari... Tamerit?" Wajah Pax langsung berbunga'bunga dan berkupu-kupu. Dia tidak perlu berpikir dua kali untuk menjawab ajakan Oryza.

"Oke deh. Sip."

"Hah, oke? Sungguhan oke? Waaah, terima kasih, Pax! Kamu memang penyihir yang penuh perhatian, superbaik, peduli, dan setia kawan!"

Xander mendelik sebal mendengar reaksi Oryza yang menurutnya norak dan berlebihan.

"Nggak perlu minta izin cuti dari kantor dulu?" tanyanya sinis kepada Pax.

Yang disindir seperti kena stroke, tidak mampu mendengar apa-apa. Ucapan Xander meninggalkan gema'ma-ma-ma di telinga Pax. Air mukanya menerawang di awang-awang, di negeri antah berantah posisi sepuluh derajat lintang utara langit kedua belas setengah. Tempat unta berpunggung emas dan kaktus yang mengalirkan sirup lobi lobi."0h itu, soal cuti?" desah Pax penuh perasaan.

"Ah. Itu sih nggak ada masalah..."

"Wow, hebat. Liburan sama Pax pasti bakalan jadi petualangan yang asyik abis." Mulut Xander maju sedikit, bersiap menyemburkan kata-kata sindirannya.

"Sayang banget kita nggak bisa

pergi barengan Dakocan. Malah kita terpaksa harus meninggalkan Dakocan entah di mana.'

"Diam!" seru Oryza bete.

"Jangan sebut nama Dakocan dengan tidak hormat!"

"Kucing buluk itu sangat tidak terhormat. Seandainya aja kamu tahu apa yang dilakukannya kalau lagi ngantuk..."

Oryza mendorong Xander dengan sebal dengan sikutnya.

"Setidaknya Dakocan setia, daripada kamu yang berpoligami."

"Hah? Poligami?! Seenaknya!"

Taksi bergoyang karena Xander terhuyung ke kanan. Sopir mendongak ke arah kaca spion. Tatapannya garang.

"Mau turun nggak di sini? Atau mau masuk ke tol lagi?"

"Di Sini aja, Pak. Kami lanjut dengan jalan kaki."

Sopir dengan senang hati meminggirkan mobilnya. Penumpangnya ini... sudah berisik, sering sekali saling dorong yang membuat taksi menjadi miring ke kiri dan ke kanan seperti perahu terkena ombak. Semua berbondong'bondong berdiri di tepi jalan sambil meregangkan tubuh. Oryza membayar taksi, lalu keluar paling akhir. Sopir langsung tancap gas meninggalkan empat manusia di pinggir jalan.

Xander menoleh ke kiri dan kanan.

"Di mana kita sekarang?"

"Aku nggak tau."

"Maksudnya...?"

"Artinya begitu. Nggak tau artinya... nggak tahu. Dodol deh."

"Kalau nggak tahu kenapa minta sopir taksi berhenti?"

"Begini ya. kalau kita di mobil terus, kita bakal nggak tahu mau pergi ke mana."

"Ck. ck, ck, Pax! Jawabanmu jenius banget. Memangnya kalau jalan kaki kita bakal tau mau ke mana? '

"Nggak juga."

"PAX!" Xander berteriak sambil meraih kerah baju Pax.

"SIALAN LU! GUE NGGAK PUNYA HOBI BERCANDA KAYAK GINI!"

"SAMA DONG! GUE JUGA NGGAK PUNYA HOBI..." Pax balas menarik kerah Xander.

"...BERCANDA KAYAK GINI!"

"KALAU LU UDAH PERNAH SAMPAI DI VARAIYA, KENAPA NGGAK TRANSFORSI AJA LANGSUNG KE SANA?"

"LU INI BEGO TULEN ATAU BEGO BENERAN, KAN TADI UDAH GUE BILANG GUE NGGAK INGAT DI MANA PERSISNYA TUH PULAU KAMPRET! GUE NGGAK MAU ASAL TRANSFORSI, KALAU KITA MENDADAK MUNCUL DI KUWAIT SIAPA YANG MAU TANGGUNG JAWAB? '

"Kalian berdua, udah deh. Tolong jangan berantem di sini."

"DIA YANG MULAI DULUAN."

"DIA YANG IDIOT DULUAN."

"Hei..."

"SIALAN! SIAPA YANG IDIOT?!"

"YA ELU. NGERTI BAHASA INDONESIA NGGAK?"

"Halooo?!" Oryza melambai-lambaikan tangannya dengan kalap di depan wajah Pax dan Xander. Wajahnya pucat.

"Udah

udah Coba ya... Jangan berantem di tengah Jalan kayak gini. Ada sesuatu yang ngeliatin kita dari tadi...."

Mereka berdua menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Oryza.

"Sesuatu" yang dimaksud Oryza berdiri tidak jauh dari mereka, balas memandang mereka.

"Sesuatu" itu berwarna merah keungu-unguan.

"Sesuatu" itu bersinar-sinar dengan terang.

Empat pasang mata terpana. Terpaku tak bergerak.

Lima detik berlalu dalam senyap.

"Apa itu?" bisik Oryza tak berani berkutik seinci pun.

"Nggak tau," desis Xander tegang.

"Kayak sesuatu yang sering Oryza masak."

PLAK!

"Sialan." Oryza berdiri sambil berkacak pinggang.

"Aku nggak pernah masak benda kayak gitu."

Xander mengusap-ngusap lengannya yang kena tampar.

"Tapi lihat dong baik-baik! Itu kan memang benda yang kamu masak kemarin malam! Benda yang hilang dari panci."

"Coba ya denger baik-baik! Aku memasak rendang, bukan benda itu!"

Makhluk yang berdiri di depan mereka menggelesor cepat ke arah Oryza.

"Hiiiih!" Oryza melompat ke samping Pax.

Xander menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap makhluk itu tanpa berkedip.

"Buset. Kamu beneran serius nyuruh kita sekeluarga makan rendang seperti itu? Tega banget."

"Rendangnya kan nggak seperti itu waktu masih di dapur!"

"Yeah, yeah, aku percaya kok. Mari kita lihat Fakta yang ada. Satu, ternyata seorang Oryza bukan cuma masak rendang. tapi dua, dia juga berhasil menciptakan Monster Rendang Terbaik abad ini. Selamat ya, Mbak. Ini trofi dan hadiah jalan-jalan ke Zimbabwe. Pengin tahu, siapa sih yang ngajarin kamu masak?"

Kemarahan Oryza naik sampai ke ubun-ubun.

"Memangnya monster yang pernah kamu ciptakan sekeren siapa, hah?! Orlando Bloom? Kalau..."

Pax menjawil tangan Oryza.

"Ngg... kalau kita lagi dalam keadaan biasa... terus terang... jujur nih, aku pasti bahagia banget ngelihat kalian nggak harmonis. Tapi sori. terpaksa harus mengganggu pertengkaran. Benda itu... eh, makhluk rendang itu... masih ngeliatin kita..."

Xander menelan ludah.

"Itu...." katanya.

"...Itu... pandangan

bersahabat atau pandangan-keliatannya-memusuhi-sedap'banget-enaknya dimakan-dengan-sayur-apa-ya?"
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ngg... hehehe... mungkin yang kedua?"

"Haduh. Brengsek, aku nggak suka kalau tebakanku benar. Apa yang harus kita lakukan nih?"

"Cari polisi? Atau satpam?"

" Nggg lupain polisi atau satpam. Gimana kalau kita lari sekarang juga?"

"Ya, tumben nyumbang ide brilian, Pax. Kayaknya emang harus seperti itu. Kita KABUUUUURRRR!"

Bulan menerangi bayangan empat penyihir yang lari pontangpanting dikejar makhluk menggelesor yang warnanya bersinarsinar keunguan dalam kegelapan. jakarta memang tidak pernah tidur. Mobil-mobil melintas cepat, cahaya lampunya menyorot tajam sebelum lenyap di kegelapan. Lagu dangdut mengisi udara malam yang panas.

Oryza berlari tanpa menghentikan kecepatan kakinya. Dia tersaruk'saruk mengikuti Pax yang berlari di depannya. Beberapa gang dilewati dengan langkah cepat. Warga masih belum tidur. Sebagian duduk di warung. bermain gitar. Sebagian lagi memandang mereka dengan tatapan heran.

"Bisa nggak sekarang kita pakai sihir hampa biar... bah . nggak dipelototin sama... heh... orang-orang? ' Oryza terengah-engah.

"Nggak usah. Kayaknya kita berhasil... menghindari rendang ganteng itu."

"Terus aja nyindir. Puas ya? Sedap?"

Xander mengabaikan nada sinis Oryza.

"Kita di mana sekarang?"

"Nggak tau. Di antara Suriname dan Madagascar?"

"Eh, coba lihat! Laut di depan mata. Apa kita udah sampai di pelabuhan?" Pax mengerutkan dahinya.

"Tapi kok kayak gini?"

"Entahlah. Aku belum pernah melihat Ancol seperti ini. Aku taunya cuma Dufan."

Langit hitam legam, bulan hanya mengintip sejenak dari balik awan. Samar-samar tercium bau asin laut dan amis ikan. Rumahrumah kayu dengan cat yang sudah luntur berbaris berdempetan di sepanjang jalan. Xander menduga di mana pun mereka berada, mereka pasti berada di dekat pelabuhan. Besi-besi berkarat terhampar di sepanjangjalan, memperlihatkan pemandangan yang tidak rapi. Sesuatu yang tak pernah dipikirnya ada di Ancol

Xander berjalan menyusuri kayu-kayu lapuk. Dia menebaknebak mereka berada di daerah para penyihir yang bekerja sebagai nelayan dan pelaut. Pasti daerah ini tidak terbuka untuk umum sehingga tidak ada masyarakat yang menyadari sepetak kecil perkampungan milik penyihir di tengah daerah wisata Ancol. Kalau kamu bukan penyihir, kamu tidak akan dapat melihat daerah ini. Tapi terkadang kaum jelata pun dapat tersasar ke sana jika pikirannya sedang tidak fokus, melayanglayang. Memasuki tembok tak kasatmata yang menjadi pelindung daerah tersebut, tahutahu berada di daerah yang mem-buat bulu kuduk merinding.

"Jadi, bagaimana nih?"

"Tenang.Jangan panik. Coba, kita tanya orang itu." Pax menunjuk seorang lelaki yang memakai kaus lusuh dan kotor. Lelaki itu sedang mengisap rokok, duduk di kursi kayu dalam pos jaga yang tua dan tak terawat. Angin malam meniup pelan, mengenakkan plastik penutup jendela pos penjagaan.

Mobil dan motor lewat beberapa kali di tengah jalan. Lampu terang mereka menyilaukan mata beberapa saat, kemudian menggelap lagi.

Pax berjalan mendekati orang itu. samudra, Uryza, dan Xander mengikuti di belakangnya.

"Selamat malam, Pak," sapa Pax sopan.

"Kami ingin mencari perahu buat berlayar ke Pulau Varaiya. Bapak pernah dengar nama tempat itu? '

"Maaf? Saya nggak ngerti."

"Am, amgghh arr ar."

"Bapak berbicara dalam bahasa apa sih? Bahasa Indonesia? jawa? Sunda? Betawi? Inggris? Bahasa isyarat? Bahasa kalbu?"

"Har. Har. Har. Har. Har. Har. Afraighhhh."

Oryza berbisik kepada Pax,

"Maksudnya, dia nggak pernah dengar Pulau Varaiya atau apa pun itu. Dia nggak bisa berbicara dalam bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Betawi, Inggris; tapi dia mengerti bahasa isyarat dan bahasa kalbu. Dia juga mengerti pertanyaan kamu. Terus saja tanya."

Pax melirik ke arah Oryza sedetik, lalu kembali kepada lelaki itu.

"Di mana tempat penyewaan perahu, Pak?"

"Am, art-gb arr ar atrrgghhhh hat." Tangan lelaki itu membuat gerakan.

Oryza berbisik lagi kepada Pax,

"Maksudnya jalan lurus... belok kanan... kanan lagi... perempatan kedua kiri... sampai mentok baru kanan... terus aja... ya, sudah sampai."

"Ehm... terima kasih, Pak."

Mereka berlalu dengan cepat. Pax menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sinar bulan tampak benderang di kubah langit. Mereka melewati beberapa jangkar kapal raksasa yang telah berkarat, potongan-potongan besi. dan tumpukan jala ikan yang ditebarkan begitu saja. Bau amis laut mengisi udara.

"Emangnya dari mana kamu belajar bahasa seperti itu?"

Oryza mengangkat bahu.

"Aku kan tipe yang cepat belajar."

"Dengan kata lain " Xander mencibir, "..dia sih cuma nebaknebak doang."

"Aku nggak..."

"Sudah, jangan ribut. Kita tanya sama orang itu aja!"

Mereka memasuki warung yang isinya penuh dengan para lelaki bermain kartu. Warung hanya diterangi oleh lampu sepuluh watt berwarna kuning remang-remang. Para lelaki itu berambut panjang dengan tato-tato besar yang terpampang di lengan dan perut mereka yang terbuka. Kulit mereka terlihat hitam terbakar matahari. Beberapa parut dan luka tampak memanjang di raut wajah yang keras. Pasti mereka pelaut atau nelayan. tebak Xander dalam hari. Kan tidak mungkin kalau mereka peselancar? Memangnya di Kuta?

Oryza berjalan dengan langkah kecil'kecil. Sejujurnya dia cemas melihat gerombolan yang tampaknya tak bersahabat itu. Dia memilih berada di belakang Xander sambil mengintip melalui bahu lelaki itu. Adakah yang penyihir? tanya Oryza diamdiam. Dia mencuri pandang mereka baik'baik, berusaha menebak aura penyihir yang terpancar dari mereka.

Tidak ada.

Oryza mengembuskan napas kecewa. _Jika pun ada, mungkin saja dia pandai memblokir auranya sehingga membuat sesama penyihir takkan mengetahui kehadirannya.

"Maaf, mengganggu. Selamat malam. Saya mau numpang tanya; sapa Pax. Orang-orang itu menoleh memandang Pax.

"Adakah yang bisa kasih tahu di mana kami dapat menyewa perahu?"

Lima lelaki yang sedang bermain kartu berhenti bermain. Seorang lelaki mengisap rokoknya dalam-dalam sehingga kedua

pipinya tersedot, sementara teman-temannya duduk sambil menyender bermalas-malasan.

"Pherahu?"

"ya perahu untuk disewa.

"Sewa berapa hari?"

Pax menoleh ke arah Oryza, memohon pendapat dari pertanyaan tersebut. Mereka berpandang pandangan beberapa saat. Xander melempar jawaban melalui matanya. Akhirnya Pax menoleh lagi ke arah mereka, mengangkat bahu.

"Saya tidak tahu berapa hari. Mungkin cukup lama."

Seorang lelaki yang merokok menimpali,

"Sewulan? Setawun?"

'.Apa?"

Oryza mencondongkan tubuhnya ke arah Pax.

"Maksudnya sebulan dan setahun?"

"Oh..." Pax menggeleng.

"Mungkin hanya seminggu."

"Geminggu gendek. Gita gak gisa galau geminggu. Galing gepet, gegulan."

"Hah?"

"Mereka nggak bisa kalau hanya menyewa seminggu."

"Oh..." Pax menggaruk kepala.

"Kalau begitu, bisa kasih tahu di mana penyewaan yang bisa menyewakan perahu selama seminggu saja?"

"Cowa di sana. Lelaki witu. Yang sedang duduk di werabu."

"Mana?" '

"Witu."

"Aduh, nggak kelihatan dari sini. Gelap."

"Wim. Werahunya. Werah."

"Oh "

Oryza langsung mengingat-ingat. Lelaki ini, yang merokok. pasti penyihir. Dia bisa melihat dalam kegelapan. Menunjuk langsung pada seseorang yang berada tepat dalam keremangan.

"Terima kasih ya."

"Wama-wama." Lelaki itu kembali menyedot rokoknya sampai pipinya menghilang.

"chiong-womong, kahan wau ke wana,

weminiam werahu?"

"Kami mau pergi ke Varaiya."

"Waraiya?" Lelaki itu membelalak. Napasnya tersentak. Seperti dikomando, demikian juga dengan empat lelaki lainnya: membelalak dan napas mereka tersentak.

"Varaiya, bukan Waraiya."

Oryza menyenggol lengan Xander.

"Maksud dia Varaiya."

"Untuk awa wergi ke Waraiya?"

Pax tidak tahu harus berkata apa.

"Kami... mau mencari sesuatu di sana," kata Pax akhirnya setelah terdiam beberapa jeda. Dia memberanikan diri untuk protes,

"Memangnya kenapa?"

Lelaki itu memajukan tubuhnya. Tatapannya menggelap. Oryza mengedipkan mata, takut dengan pancaran mata tersebut.

"Wati-wati pergi ke Wataiya. Banyak yang pergi ke hana. Wereka tidak kembali lagi.

"wati wati!"

Pax menjulurkan tubuhnya ke Oryza.

"Apa itu wati-wati?" bisiknya bingung.

"Hati hati."

"Oh..."

Suasana berubah menjadi tidak enak. Mata lelaki itu mengedar, menimpa tiap pasang mata yang balas memandangnya dengan takut. Xander yang pertama-tama sadar dari pesona sihir lelaki itu. Dia mengangguk ragu-ragu.

"Ya, Pak, terima kasih atas nasihatnya. Kami akan sangat berhatthati."

"Banyak yang pergi ke hana, tidak balik lagi. Wereka pasti telah wati wati... WATI!"

Oryza melompat terkejut. menggenggam lengan Xander eraterat. Wajahnya pucat pasi.

"Apa artinya wati?" Pax terpaku tak bergerak.

"Hati?"

"Mati."

"Oh..."

eng... baiklah... kami permisi dulu. Nasihat bapak pasti akan kami ingat selamanya... Terima kaSih."

Samudra berjalan tersaruk saruk mengikuti langkah putrinya. Dia melempar tatapan ke belakang, memperhatikan wajah-wajah lelaki yang masih bermain kartu di warung. Bulu kuduknya mendadak meremang.

"Seram sekali." Oryza nyaris tidak berkata apa-apa. Bibirnya gemetar. Dia masih menggenggam tangan Xander erat-erat.

Pax mengangguk dalam keheningan.

"Apa sih dengan aksen aneh dari orang'orang itu? Dengan huruf w yang berlebihan, g yang ngaco, dan yang didenguskan seperti itu?"

"Aksen dari pulau-pulau terpencil, tampaknya. Para penyihir nonlokal."

"Penyihir? Menurutmu mereka semua penyihir?"

Oryza mengangguk. Pelan-pelan dia melepaskan pegangan tangannya dari Xander.

"Benar nggak sih banyak yang nggak kembali dari Varaiya?"

"Nggak benar itu!" jawab Pax lantang.

"Buktinya aku bisa kembali."

"Lu sih nggak masuk hitungan," dengus Xander.

"Kenapa nggak?"

"Otak lu kena brain defect. Itu akibat elu kembali dari Varaiya."

"Sialan. Dengar baikbaik, gue kembali karena gue seorang penyihir yang kuat dan berpengalaman."

"eh. Berpengalaman seperti kucing yang tahu harus tidur dengan siapa untuk mendapatkan kehangatan abadi."

Pax melengos. Dia tidak tertarik bertengkar dengan Xander.

Samudra melihat keributan di depan matanya dengan reaksi yang tidak berlebihan. Dari mereka semua, tampaknya Samudra yang paling jarang menampilkan ekspresi dan ucapan ekstrem. Dia terbiasa menghadapi kehidupan rumah tangganya yang diisi

oleh tiga perempuan yang selalu ramai dan riuh rendah seperti di pasar.

"Mari kita pergi ke sana," kata Samudra memecah keheningan.

"Katanya di sana ada orang yang bisa menyewakan perahu, kan-?"

"Dadi bisa lihat di mana orangnya?" tanya Oryza. Keadaan dermaga yang gelap gulita dengan sedikit penerangan lampu samar-samar membuat dirinya kesulitan menavigasi arah. Apalagi tempat ini bobrok dan tak terurus. Bau pula.

"Di sana," kata Samudra.

"Dadi bisa melihat. Orang itu menggunakan sihir yang dulu terkenal di zaman Dadi: 'melihat dalam kegelapan'. Sihir ini sekarang tidak terkenal lagi. Para penyihir angkatan sekarang lebih suka memasang lampu daripada repotrepot menghafal jampi-jampi sihir seperti itu. Anak-anak muda sekarang sok modern. lebih suka tergantung dengan perlengkapan teknologi rakyat jelata daripada belajar memperdalam seni sihirnya. Mereka..."

"Dadi?" panggil Oryza manis. memotong perkataan Samudra. Kalau diteruskan, Oryza yakin ayahnya pasti akan terus berceloteh.

"Kita sudah sampai nih. Kasih kesempatan buat Xander yang mau tanya tentang penyewaan kapal kepada orang itu, Dadi."

"Selamat malam, Pak." sapa Xander tanpa menunggu komentar Samudra.

"Katanya Bapak menyewakan perahu. Apa benar?"

Lelaki itu mengenakan bandana berwarna kuning yang diikat melintang menutupi seluruh rambutnya. Rambutnya berwarna hitam, pendek. Cukup aneh melihatnya berambut pendek setelah tadi berhadapan dengan gerombolan lelaki berambut panjang. Kausnya tampak rapi, tidak tua ataupun luntur. Dia mengenakan penutup mata hitam di sebelah kanan matanya, seperti seorang bajak laut dalam buku-buku cerita. Suaranya serak dan berat, mempunyai kebiasaan menyeret kata terakhir yang diucapkan.

Dewa peranu: ia, disini tempat penyewaan peranu. Mau pergi ke mana, Nak?"

"Kami mau pergi ke Varaiya."

Mata lelaki itu menyipit.

"Varaiya?"

"Iya."

"Varaiya?"

"Y-ya."

"VARAIYA?"

"Nggg... ada yang salah?"

Lelaki itu tertawa keras.

"Kalian lebih cocok ikutan Indonesian Idol daripada pergi ke Varaiya. Sejauh ini nggak ada orang yang mau pergi ke sana."

"Kenapa?"

"Tempat itu bukan tempat wisata bagi turis."

"Kami tidak sedang berwisata dan kami bukan turis;'

Lelaki itu menautkan alisnya.

"Ho!"

"Kalau tidak bisa..."

"Tempat itu berbahaya. Banyak yang mati."

"Ini urusan hidup-mati kami."

"Akan jadi kematianmu, Nak. Kalian tidak akan sanggup bertahan di sana lebih dari semenit."

"Jangan kuatir. Kami punya nyawa cadangan."

"Dengarkan baik-baik. Nak. Saya sudah menjadi nelayan selavma lima puluh tahun. Saya juga telah mengantar puluhan orang yang penasaran ke pulau Varaiya. Para fotografer, pencari berita. jurnalis, dan lain'lain. Tidak ada seorang pun yang balik lagi."

"Kami dapat mengurus diri kami sendiri dengan baik."

"Sungguh. Saya makin prihatin dengan semangat kalian yang terlalu menggebu." Dia menoleh ke arah Samudra lalu berkata sangat serius.

"Pak, mungkin Bapak yang paling tua di antara mereka. Bisa memberikan sedikit nasihat rasional buat mereka.

Samudra menggelengkan kepalanya.

"Dengan sangat menyesal," Samudra menghela napas.

"Kali ini saya terpaksa harus menyetujui cara berpikir anak-anak muda ini. Ada dua orang yang meletakkan tumpuan harapannya di bahu kami."

Lelaki itu menautkan alisnya, mengucapkan kata keramatnya,

"Ho!"

"Begini, Pak," kata Xander menyela.

"Saya dengar dari omongan orang-orang,. Bapak adalah nelayan terbaik dan sekarang adalah kapten kapal terbaik."

Lelaki itu tersenyum lebar.

"Aha! Itu berita yang tepat sekali, Nak!"

"Kalau saya tidak menyewa perahu Bapak, logisnya saya akan menyewa perahu dari tempat lain. kan?"

"Ehm betul juga..."

"Bapak akan kehilangan uang sewa kalau menolak kami." Xander diam, membiarkan katakatanya menyesap di kepala lelaki itu.

"Mau berubah pikiran, Pak? Masih mau menyewakan perahu buat kami?

Lelaki itu mengangkat bahu.

"Ehm, belum bisa mengambil keputusan..."

wajah Oryza terlihat kesal. Dia menyengol lengan Xander.

"Yuk, kita pergi aja dari tempat ini. Nggak ada manusia yang cukup berani untuk pergi ke Pulau Varaiya."

"Hei, tunggu! Tunggu dulu!" Lelaki itu terburu-buru berkata. Dia melompat keluar dari perahunya, lalu melongokkan kepalanya ke belakang, ke arah gudang yang terletak beberapa meter jauhnya.

"Unaaaaa! Coba kemari sebentar. Ada para pelanggan

yang mau bertanya."

Semua kepala menoleh ke arah gudang. menunggu sesuatu. Tiba-tiba, seorang perempuan bertubuh langsing berjalan keluar.

Rambutnya hitam panjang, tergerai di punggung begitu saja. Dia

mengenakan kemeja ketat berwarna merah Jambu dan celana panjang hitam.
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, Papa?" sapanya. Setelah dekat, baru terlihat fitur wajahnya. Bibirnya tipis dan tulang pipinya menonjol.

"Mereka..." Ayahnya berkata sambil menunjuk ke arah Xander,

"mau pergi ke Varaiya. Bagaimana menurut pendapatmu?"

"Mereka mau menyewa perahu kita?"

"Mereka mau menyewa perahu kita."

"Nggak apaapa. Kenapa memangnya, Pak? Ayo berangkat sekarang juga!"

"Ho!"

"Papa keberatan?"

"Papa nggak keberatan kalau kamu nggak keberatan?

"Sama sekali nggak, Papa!" Perempuan muda itu menoleh ke arah Xander. Bibirnya menyunggingkan senyum manis.

"Hai, selamat datang di perahu kami, Duyung Tergoda. Perahu ini memiliki tiga kabin. Silakan pilih kabin mana yang hendak digunakan. Namaku Nuna. Ini ayahku, namanya nggak penting karena susah di. ingat. Semua orang di sini memanggilnya Pak Kapten."

Xander tersenyum sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Nuna.

"Syukurlah. akhirnya ada juga orang waras yang bisa diajak ngomong normal. Namaku Xander. yang di sana Pax. Ini Oryza dan itu ayahnya."

Nuna menjabat tangan mereka satu per satu.

"Lihat!" Nuna menunjuk ke langit.

"Udara cerah. Tak ada badai di depan mata. Cuaca yang tepat untuk berlayar sekarang juga!"

Xander menoleh kepada Oryza dan Oryza balas memandang Xander. Mereka bertatapan beberapa detik. Untuk pertama kalinya dalam satu hari, di tengah kegilaan mereka, Oryza melihat Xander tersenyum dengan senyuman khasnya yang menawan itu.

Mau tidak mau, Oryza juga balas tersenyum.

Di sebelahnya, Pax membelalak, sepertinya dia mendapat penglihatan lima menit kemampuannya. Penglihatan lima menit yang selalu terjadi; yang menjadi bagian dari kekuatan sihir Pax. Tapi Pax tidak berkata apa'apa. Pertama karena memang telah terbiasa mendapat berbagai penglihatan; kedua, karena dia sering mengabaikannya.

"Kita bertemu di dermaga sembilan nol."

"Lho!" seru Oryza terkejut. Membaca angka yang tertera di papan. Tulisannya dermaga dua.

"Bukan kapal yang ini?"

"Yang ini?" Nuna tertawa.

"Bukan. Ini kepunyaan salah satu miliarder Indonesia. Papa bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Duyung Tergoda ditambatkan di dermaga sembilan nol. Kita hertemu di sana satu jam lagi."

**

TERDENGAR suara kecipuk air yang menerjang pinggiran dermaga. Oryza berjalan hati-hati, takut terpeleset. jembatan berbahan kayu dan besi itu tampaknya sudah lapuk dan licin sekali. Sebagian besinya berkarat dimakan oleh asin laut.

"Dermaga sembilan nol, kan?" tanya Oryza bingung.

"Sembilan nol."

"Di mana perahunya?"

Xander mengangkat bahu.

"Mungkin nanti dia datang dengan perahunya... Lihat, tuh dia datang."

"Dia..." Oryza menoleh ke arah yang Xander maksud.

"Maksudnya Pak Kapten itu?"

"Siapa lagi? Pasien gila RSJ kamar nomor tujuh tujuh."

Pak Kapten muncul dari sebuah perahu yang berada di balik kapal lain. Dia melambai dengan penuh semangat ke arah mereka.

"Hei..! Di sini nih!"

Empat orang terpana.

Begini pemandangannya. Jangan bayangkan Duyung Tergoda sebagai kapal pesiar yang gagah perkasa berwarna putih mengilat terapung di lautan. Sama sekali tidak! Yang ada hanyalah kapal

tongkang kayu yang tidak bertingkat, berkarat di beberapa bagian, berdiri dengan miring karena digoyang oleh ombak-ombak kecil. Jangan pikirkan catnya mengilat ditimpa sinar bulan. Catnya sudah terkelupas di nyaris seluruh tempat. Hanya meninggalkan jejak tulisan "Duyung Tergoda" dengan huruf 0 yang berbentuk seperti c.

"Kamu punya obat penenang nggak?"

"Nggak. Kenapa butuh obat penenang?"

"Buat mati dengan damai. Rasanya bakal kena rabies kalau begini terus."

Samudra menjawil tangan Oryza.

"Ngg. Ory sayang, sepertinya Dadi nggak cocok dengan laut. Ya, ya. Dadi tahu nama Dadi Samudra, tapi terus terang, Nak, Dadi nggak pernah ngerasa serasi dengan nama Dadi. Dadi nggak cinta samudra, Dadi lebih cinta daratan. Mendingan Dadi tinggal di jakarta saja menjaga kakak dan adikmu. Kamu dan Xander aja yang pergi ke Varaiya buat cari Tamerit."

Oryza memeluk Samudra dengan penuh kasih sayang.

"Dadi, jangan takut," katanya.

"Saya lebih takut kalau ninggalin Dadi sendirian sama Zea dan Sola. Kita tidak pernah tahu kekuatan sihir mereka. Bisa-bisa mereka nanti mencelakai Dadi."

"Itu... perahunya...?" tanya Pax tergagap memandang perahu yang terapung'apung di depannya

"Siapa yang nggak gila menaiki perahu setengah tenggelam seperti itu?" seru Xander sebal.

Kepala Nuna muncul dari balik dek.

"Halooo!" sapanya riang.

"Selamat datang di Duyung Tergoda. Silakan masuk. Ayo, jangan manja."

"Manja?! Nggak banget! Aku cuma mau tanya dulu." Xander mengamati Duyung Tergoda.

"Apa perahu kayak gini masih sanggup menampung empat penumpang lagi?"

"Dia pernah membawa dua belas penumpang ke Korea? seru

nuna tersenyum. Jadi Jangan Kuatir. kalau hanya Ke Pulau Varaiya, Duyung Tergoda akan sanggup sepuluh kali bolakbalik."

Xander memandang dengan tatapan tidak yakin. Dia menoleh ke arah Pax.

"Pax!" serunya geram.

"Sihir lu kan bisa lihat lima menit ke depan. Masa pemandangan seperti ini nggak keliatan dari tadi?!"

'Gue sudah lihat sebenarnya." kata Pax.

"Cuma gue sering mengabaikan penglihatan itu. Terlalu sering terjadi. Malas mengingatnya."

"Bagaimana sih, kok nggak memanfaatkan kemampuan sihir?!"

"Jadi tuduhan ini cuma buat menyalah-nyalahkan gue? "

"Sudah pasti! Masa salah dukun beranak?!"

Mereka saling membuang muka. Pax perlahan-lahan melompat tiga langkah. menyeberang ke arah perahu. Perahu bergoyang-goyang keras saat Pax memasuki deknya.

"Yakin kapal ini tidak bakal tenggelam nih?" tanya Xander ragu-ragu.

"Kapal ini sudah teruji kemampuannya? kata Pak Kapten dengan paras bangga sambil menepuk-nepuk pintu kabin.

"Dia sanggup menghadapi badai terhebat sek..."

KLONTANG!

Pintu kabin terjatuh dengan suara keras.

"...lipun."

"ADUH!" Pax melompat menghindari daun pintu yang terjatuh dekat ke arah kakinya. Nyaris Pax tertimpa pintu. Dia melotot ke arah Pak Kapten yang berdiri tanpa merasa bersalah.

"Sori."

Oryza dan Xander terpaku, memandang daun pintu yang tergeletak di lantai dek tanpa suara.

"Silakan masuk lewat sini," kata Pak Kapten tenang seolah

olah yang jatuh tadi bukan daun pintu tapi daun semangka. Dia menunjuk ke arah pintu yang tanpa daun pintu.

"Di sana tempat kabin kalian."

Samudara berjalan melewati balok'balok kayu yang terhampar di sepanjang dermaga. Dia tiba di kapal dengan selamat, membuat kemiringan yang kacau ke segala arah. Wajah Pax memucat, berdiri menjaga keseimbangannya mati matian. sementara Nuna dan Pak Kapten telah terbiasa sehingga terlihat tidak terganggu dengan goyangan apa pun. Xander memandang dengan tatapan semakin waswas dan tidak yakin.

"Itu..."

"Ayo!" Oryza mendorong tubuh Xander. mendahuluinya cepat. Dengan satu lompatan, dia sudah berada di dek. Lompatannya menimbulkan goncangan yang keras sampai-sampai Pax harus berpegangan dengan tembok kabin agar tidak terjatuh.

Ragu-ragu Xander mengikuti gerakan Oryza.

"Seperti yang tadi aku udah bilang," kata Nuna. Lagaknya persis seperti awak pesawat terbang.

"Kami memiliki tiga kabin. Siapa yang mau tidur dengan siapa tergantung kalian semua."

"Yang jelas aku nggak akan tidur dengan dia!" seru Xander sambil mendelik ke arah Oryza.

"Idih! Siapa yang mau tidur denganmu?" jawab Oryza ketus. Dia menunjuk kabin yang dekat dengannya.

"Aku mengambil kabin ini! Sendirian!"

Samudra berjalan ke kabin yang berada di sebelahnya. Tanpa banyak bicara dia melongok sedetik, lalu memasuki kabin tersebut. Tidak ada yang mengikutinya di belakang. Samudra menutup pintu dengan suara berderak keras.

Xander dan Pax berdiri berpandangan.

"Berarti kalian harus tidur berdua!" kata Nuna sambil menangkupkan tangan di dada.

"Jangan kuatir. tiap kabin memiliki panjang susun."

Xanner mengerang keras. mana Kamar kami: tanyanya malas-malas". Membayangkan sekamar dengan Pax bisa membuatnya terserang diare mendadak.

SRAK!

Pintu kabin Samudra mendadak terbuka. Lelaki paruh baya ini berlari keluar dengan cepat, menabrak Xander sampai-sampai dia nyaris terjungkal. Napas Samudra terengah=engah.

"Ada apa? Ada apa?" tanya Pax panik.

"Tikus! TIKUS DI KABIN!" Mata Samudra membelalak sambil bergidik berkali'kali.

"GILA, BANYAK BANGET!"

Pax mundur tiga langkah.

"Ugh," katanya jijik.

"Ada tikus di kapal ini?"

"Tikus'tikus itu naik setiap kami membuang sauh dan merapat di dermaga. Silakan minum dulu, Pak, biar shocknya hilang," Nuna tersenyum menenangkan. Dia menyodorkan segelas air putih kepada Samudra.

"Nah, begitu kita berada di laut, mereka akan hilang dengan cepat. Tenang saja."

Oryza memandang Nuna dengan tatapan bingung.

"Aku nggak mengerti bagaimana caranya mereka menghilang di tengah laut. Bukannya tikus terjebak di kapal bobrok ini dan malah nggak bisa pergi ke mana-mana?"

"Ho!"

"Bener kok. Mereka nggak bisa ke mana mana."

"Maksudnya apa sih?"

"Percaya deh. Mereka nggak bisa ke mana mana. Mob Ibb

menangkap mereka semua."

"Mobil?"

"Mob lbb."

"Siapa... Mobibb? ' "Mob lalu Ibb. Bukan Mobibb."

"Iya, maksudku Mob Ib."

"Ibb panjang. Ibb. Coba ulangi. Mob Ibb."

"MOB IBB!" Oryza menunjukkan wajah tersinggung.

Pak Kapten tertawa. Pax terlihat sangat gelisah. Sedikit-sedikit dia bergerak seperti screen saver yang muncul di layar monitor kalau kamu berhenti mengetik selama lima menit.

"Siapa Moh lb ini?"

"Mob..."

"SIAPA ORANG INI?" Tatapan Oryza penuh ancaman.

"Dia bukan orang. Dia kucing kapal." Tatapan Pak Kapten mengawang, membayangkan kucing kesayangannya.

"Oh, Moh Ibb sayang. kucing putih yang legendaris."

Pax benar benar terlonjak seperti dicocok linggis.

"KUCING? Ada kucing di kapal ini?!"

"Yup. Mob lbb adalah kucing paling berani, galak, kejam. dan haus darah yang tidak akan melepaskan korbannya begitu saja. Kebayang nggak?"

Pax terlihat tidak nyaman.

"Mob ldd ini " Dia menelan ludah.

" di mana tidurnya? Dia nggak sering mondar-mandir di sini, kan?"

"IBB bukan IDD. Namanya..."

"Bisa nggak sih kita lewati aja urusan nama ini?! Aku bisa perdarahan akut kalau disuruh menyebut namanya sekali lagi."

"Oke. oke." Nuna menengahi.

"Kalau kesulitan memanggil namanya. panggil aja dengan Manis."

Pax masih terlihat cemas dan kuatir. Matanya bergerak ke arah kiri'kanan seperti kipas sate.

"Makhluk ini nggak akan gentayangan di mana-mana, kan? Dia punya kandang, kan?"

"Mob lbb nggak punya kandang. Jangankan kandang. pintu terkunci aja nggak akan bisa mengurungnya. Dia paling senang

memasuki ruangan ruangan di kapal ini. Kalau dilarang, dia akan ngamuk dengan menggaruk-garuk dan menghancurkan daun pintu yang menahannya! Pokoknya dasyat deh!"

Pax tampak pucat.

"M'menghancur... kan?"

"Jangan lupa untuk selalu tidur di balik selimut tebal kalau malam. Kalau Mob lbb Manis kehabisan tikus, dia akan mendatangimu."

"Hiiii," tukas Oryza kaget.

"Kedengarannya seperti kucing dari Film horor."

"Memang si Manis Mob lbb berubah horor kalau kehabisan tikus. Dia haus darah."

Pax langsung lemas. Gerakannya terhuyung-huyung. Xander menangkap tubuh Pax. menopangnya agar tidak terjatuh.

"Kenapa dia?" tanya Pak Kapten.

"Mabuk laut?"

Oryza menoleh ke arah Pax, terheran heran melihat Pax semaput.

"Kenapa. Pax?" tanyanya ingin tahu. Pax memejamkan mata, sepertinya dia tidak mendengar pertanyaan Oryza. Xander mengangkat bahu. menyeringai lebar.

"Pax terserang penyakit ketergantungan sama Dakocan kalau sedang mendengarkan cerita tentang kucing. Tau kan, perasaan melankolia yang dramatis..."

Nuna tertawa.

"Nggak lucu, tau!" Oryza tidak tertawa sama sekali.

"Oi-y, keluar yuk," ajak Samudra yang mulai bosan berdesakdesakan di lorong sempit bersama Pax yang setengah pingsan, Pak Kapten dari RSJ kamar tujuhltujuh, anak perempuannya yang aneh, dan tikus-tikus yang berkeliaran dalam kabinnya.

Perahu bergoyang-goyang sewaktu Samudra keluar dari deretan kabin, menghirup udara segar malam hari. Oryza mengikuti ayahnya keluar dari ruangan sebelum melempar tatapan curiga ke arah Xander.

"Bawa dia ke kabin, Xander," kata Oryza.

"Mungkin dia butuh istirahat."

"Okie'dokie."

**

Bel pintu berdering Keras. Zea yang telan terbangun (dari totok tidur Oryza) sejak satu jam lalu. berhenti menyapu. Kepalanya pusing dan matanya masih mengantuk. Tapi lantai kotor memaksanya menyeret tubuhnya bangun dari sofa, mencari sapu.

"Siapa yang datang malam-malam seperti ini?" gumamnya.

Dia berjalan menuju pintu, membuka selotnya, lalu membentangkan pintu kayu itu. Seorang lelaki berambut panjang sehahu yang diikat di belakang berdiri di depannya. Lelaki itu berkaca: mata dan penampilannya tampak serius.

"Oh!" seru Zea manis.

"Cyril. Apa kabar?"

"Selamat... malam," kata lelaki yang dipanggil Cyril dengan sopan kepada Zea.

"Baik," jawab Zea. Lalu hening beberapa saat. Sudah agak lama Zea tidak melihat Cyril. Mungkin terakhir dua bulan lalu saat lelaki itu mencari-cari Strawberi di rumah ini dan menyebabkan keributan besar antara dia dan Xander.

"Ada apa?"

Cyril. Lelaki kurus tinggi, hidungnya lancip seperti burung beo. Ditambah rambut panjangnya yang diikat ke belakang menjadi ekor kuda. penampilannya terlihat seram dan aneh. Lebih aneh lagi Cyril itu sebenarnya sepupu jauh Strawberi.

"Mmm..."

"Apa?"

"Hmm... saya lupa. Sebentar, saya pikir dulu. Saya... mmmm... o iya, saya ingat, saya mencari Strawberi," kata Cyril lirih. begitu lirih sampai Zea merasa tidak akan mendengar kata selanjutnya.

"Apa dia ada di sini?"

"Strawberi nggak ada di sini."

Nggak ada di sini:

"Bener."

"Yakin?"

"Yakin."

"Serius?"

"Aku serius. Ada apa?"

Cyril menyeka dahinya dengan tangannya. Dengan enggan dia berkata,

"Saya... nggak tahu Strawberi pergi ke mana. Dia hilang begitu saja. Dan Nenek... Nenek tidak mau ngomong apa-apa tentang kepergian gadis pujaanku..."

Zea tersenyum manis.

"Mau makan malam di sini? Kebetulan aku baru masak nih. Yuk, silakan masuk."

Cyril mengundurkan diri.

"Nggak, nggak usah," katanya sopan.

"Terima kasih banyak."
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin Strawberi akan mampir sebentar lagi."

Mendengar kata "Strawberi" dan "mampir sebentar lagi", mata Cyril bersinar. Dia berpikir-pikir sejenak selama beberapa jeda.

"Baiklah," katanya akhirnya dengan bersemangat. bersiap-siap melangkah memasuki ruangan.

"Tunggu dulu, ya!" seru Zea, menahan Cyril. Lelaki itu berhenti mendadak, memandang Zea heran. Nada suara Zea melengking tinggi.

"Kamu harus membersihkan diri dengan bydrocbloric and supaya kuman kumannya mati semua."

"Hah? '

**

Strawheri' melakukan inspeksi di sepanjang buritan. Lantainya kayu berpelirur mewah. ia terpesona dengan pemandangan sekelilingnya. Para kru kapal berbaris rapi menyambut mereka. Seluruh kapal itu dicat dengan warna putih. Strawberi menoleh ke arah Aqua.

"Memangnya kamu punya berapa kapal pesiar?"

"Ini yang kedua," kata Aqua tak acuh. Dia berdiri menikmati angin malam. Rambut panjangnya berkibar-kibar di samping pipinya.

"Kamu menghancurkan kapal pesiarku yang pertama oleh sihirmu yang sembarangan."

"Enak aja. Bukan sihirku ya! Aku nggak sembarangan kalau menyihir!"

"Selamat malam, Nona Aqua," terdengar suara berat maskulin. Lelaki berpakaian seragam putih dan bernuansa baju Popeye.

"Laporan!"

Aqua tidak memperhatikan ucapan Strawberi. Dia menjawab,

"Silakan."

"Kapal tongkang yang diisi oleh para penumpang yang Nona Aqua targetkan berada tidak jauh di depan. Kecepatan 15 knot."

"Cegat mereka. Siapkan torpedo Canon jarak 23, dan segera beritahu kru kapal yang Lain."

"Perintah akan segera dilaksanakan. Bu Kapten!"

Strawberi membelalak.

"Torpedo?!" teriaknya meradang.

"Gila, kita nggak bakal menorpedo Xander!"

"Pastinya nggak. Kita hanya mencari cara untuk membuatnya tidak berada di kapal kumuh itu lagi. Kita buat kapal setengah karam. lalu kita selamatkan Xander ke kapal ini. Kita biarkan yang lain tenggelam di lautan. Hebat kan ideku?"

Strawberi memandang Aqua dengan kagum.

"Ide yang bagus sekali. Tapi bagaimana kalau Xander marah sama kita?"

"Xander tidak akan tahu bahwa kita yang menorpedonya. Pokoknya jangan sampai dia tahu dong! Memangnya kita cewekcewek bego?"

**

"Eh, bangun!" Xander mendorong Pax sambil mengusap keringat yang mengalir di dahinya. Perahu bergerak menembus ombak-ombak, membuatnya tergoyang-goyang ke kiri kanan. Xander berharap semoga dia tidak akan mabuk laut.

Pax membuka mata. Pupilnya membesar, memancarkan ketakutan.

"Nggak usah lebay seperti itu." Xander mendengus.

"Gue..." Suara Pax tertahan di tenggorokannya.

Xander melompat ke dipannya yang berada di atas dipan Pax. Dia berbaring telentang menghadap langit-langit yang sangat pendek. Satu jangkawan tangan sudah berhasil menyentuh langitlangit kabin. Beberapa saat mereka diselimuti hening.

"Oke, Bu," kata Xander.

"Kalau lo mau curhat, curhat aJa sekarang. Nggak akan ada yang dengar kok. Apa sih masalah antara elo dan kucing?"

"Gue..." Pax tersendat.

"...fobia... kucing..."

Xandet melongokkan kepalanya ke bawah. Setengah tubuhnya tergantung'gantung. Suaranya selantang Tarzan yang terjatuh dari sulur tempatnya bergantung.

"Hahahaha! Gue belum pernah dengar lelucon segaring ini. Kucing fobia dengan kucing?"

"Jangan ngejek dulu." Wajah Pax merah padam.

"Gue... selama jadi kucing, gue pernah... dikejar-kejar kucing jantan... yang lagi berahi..."

Kenangan Pax melayang. Demi berdekatan dengan Oryza, Pax rela jadi Dakocan. Tapi bayangan menjadi kucing membuatnya selalu ketakutan. Ternyata kehidupan kucing itu sangat keras di luar sana. Siapa yang kuat dialah yang menang. Kucing-kucing jalanan menguasai teritori mereka. Jika Pax tidak mengerti hirarki kepemilikan tempat, dia akan diserang kucing jalanan yang galak luar biasa.

Xander meledak dalam tawa. Kabin mereka penuh dengan suara tawa yang membahana. Pax merengut.

"Hahahaha... jadi lu hahahaha... pernah disodomi. hahaha... kucing... hahahaha...."

"Nggak lucu! Ketawa lu kayak nenek lampir! Kalau..."

BRAK! BRAK!

Pax seketika terlonjak cepat. Matanya membelalak ketakutan.

"Suara... suara apa i-itu?" tanyanya panik.

Xander menarik tubuhnya ke atas lagi, berbaring di dipan. Mulutnya monyong. memperlihatkan air muka bosan.

"Cuma ombak. Udah, diam, Pax. Gue mau tidur."

"Oke. oke. Sori."

Xander menutup mata. Goyangan kapal membuainya perlahanlahan. Lama'lama dia mengantuk. Sudah Jam tiga dini hari. Matanya tertutup sempurna. Kesadaran menghilang bertahap.

BRAK! BRAK! BRAK! BRAK!

"AAAAAUUUUUUUGGGGHHH!!! APA ITU? APA ITUUU?! PASTI KUCING!"

Xander terlompat dari dipan atas sampai kepalanya terjeduk langit-langit. Dia berteriak kesal,

"Sialan. Dasar pengecut kelas teri! Sudah nekat menghancurkan hidup gue, sekarang masih berani mengganggu ketenangan tidur gue dengan Jeritan ala nenek-nenek mau mampus!"

"Brengsek! Siapa yang lu sebut dengan nenek-nenek?!"

"Ya elu! Siapa lagi? Memangnya tetangga sebelah?"

"Belum pernah ngerasain bogem mentah gue:" Sini turun!"

"Boleh! Memangnya siapa takut!"

Xander menjejakkan kakinya dengan sekali lompat dari dipan atas. Pax bergegas bangkit dari ranjangnya. Mereka berdiri berhadap hadapan, penuh kemarahan dan sakit hati. Bergaya siap melompat ke arah leher masing-masing ala vampir sedang beraksi.

"Meong?"

Pintu terbuka perlahan-lahan. Seekor kucing berwarna putih menyelinap masuk ke dalam kabin mereka. Pax dan Xander menoleh, masih dengan posisi ancang-ancang mereka.

"Ooooww..." kata Xander terpana, memecah kesunyian yang menegangkan sedari tadi.

"Lucunya kucing itu."

"Mecoong!"

"Mob lbb?"

"Meeoooong..."

"Ya ampun! Kamu kucing yang disebut-sebut oleh Pak Kapten sinting itu? Yang bikin Pax ketakutan setengah mati? Kamu yang dianggap monster? Kamu?"

Mob Ibb berguling, memperlihatkan perutnya yang berwarna putih. Xander mendekat, berjongkok, lalu mulai membelai belai bulunya. Pax menggigil di pojok ruangan, tidak berani bergerak sedikit pun.

"Aduhh, lucunya. Lebih lucu daripada Dakocan norak itu. Suka diusap-usap seperti itu, Sayang? O... Suka? Suka ya?"

Mob lbb mendengkur keenakan.

"Pax, lihat. Dasar tolol. Kucing imut seperti ini nggak bakal mengganggu kita."

Mob lbb terus mendengkur keenakan.

**

JADI besok kamu yang menyiapkan sarapan?"

Nuna merajang bawang dengan kecepatan tinggi.

"Papa suka nasi goreng. Bagaimana kalau kita makan nasi goreng? Aku menyiapkan semua perlengkapan buat masak malam ini jadi besok tidak perlu repot-repot lagi."

Oryza memandang Nuna bekerja dengan tatapan kagum.

"Eh, saus tomatnya dituangkan sebanyak satu botol?"

"Nggak perlu sebanyak itu. Cukup satu mangkuk saja.."

"Kecapnya semangkuk ini!"

"Nggak! Cukup beberapa sendok makan aja."

"Nggak perlu pake ketumbar? '

Kali ini, Nuna berhenti memasak. Dia memadang Oryza dengan tatapan bingung.

"Apaan, ketumbar? Nasi goreng nggak butuh ketumbar."

Oryza sibuk mencatat cara memasak nasi goreng ala Nuna. Perahu Duyung bergoyang melaju dengan kecepatan medium. membelah ombak. Langit terang, bintang-bintang tampak gemerlap di atas sana. Tiba'tiba...

'AAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHH!!!"

samudra terjungkal dan kursinya mendengar teriakan seram

seperti itu. Oryza terpaku di tempatnya.

"Suara apa itu?" tanya Nuna heran.

"Arahnya dari kabin!"

Mereka menoleh dan mendapati Xander dan Pax berlari menghambur keluar terbirit-birit dari dalam kabin. Wajah Xander merah padam dan tampak ketakutan. Napasnya memburu. Pax terseret di belakangnya.

"Pax!" seru Oryza terkejut.

"Ada apa?!"

Pax menoleh ke arah Xander. Reaksi bingung dan kesal berbaur menjadi satu. Siapa yang nggak bingung? Tahu-tahu Xander menjerit dan menarik tangannya cepat-cepat. Dia sendiri tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi. Dia hanya sedang menjaga jarak sejauh-jauhnya dengan Mobb Ibb. Dalam hitungan detik, dia sudah terseret keluar kabin.

"Nggak tahu! Kakek tua ini menjerit norak lalu menarikku keluar?

"Dia? Dia menarikmu keluar?" Oryza menoleh cepat ke arah Xander, merasa heran stadium 39. Xander ketakutan? Itu perlu masuk Guiness Book of Record.

"Kenapa menjerit, Xander?"

Xander berdiri gelagapan, seakan-akan tidak menyadari kehadiran Oryza. Tangannya menggapai-gapai udara kosong seperti sedang melakukan pengusiran setan.

"Pergi! Pergi!" teriaknya panik.

Oryza mendekati Xander. Semua memperhatikan dengan cermat apa yang akan Oryza lakukan sambil menahan napas. Menahan napas di sini memiliki definisi lain pada setiap orang. Samudra menahan napas karena menunggu dengan berdebar debar apa yang akan anak perempuannya lakukan terhadap lelaki yang dijodohkan padanya oleh keluarga mereka. Akankah Oryza mencium Xander? Memeluknya dengan penuh kasih sayang? Atau... ngamuk lalu menamparnya? Pertanyaan terakhir hanya muncul di benak Pax.

Oryza menyentuh, memegang pergelangan Xander erat erat tidak melepaskannya. Sejenak mereka berpandangan. Xander menutup mata, menghitamkan pemandangan yang berada di depan-yang sangat dekat dengannya. Di bawah sinar bulan. mata Oryza berbinar begitu cerah, memesona Xander sehingga lelaki itu tidak tahan. Dia merasakan sentuhan lembut di pergelangan tangannya. Sentuhan yang membuatnya berdebar. Dalam kegelapan, dia memikirkan Oryza. Memikirkannya dengan sempurna, sampai pada wangi dan setiap gerakan bibirnya. Bibir yang tersenyum maupun merengut. Oryza... dia memanggil sebentuk nama yang selalu diingatnya dalam hati.

"Xander," terdengar suara Oryza lembut.

"Ada apa?"

Oryza baru menyadari sesuatu. Wajah Xander tidak mulus. Ada guratan besar membelah pipinya, membuat kulit putihnya menjadi berwarna merah jambu.

"Lihat," desah Oryza. Tangannya melepaskan genggaman pergelangan tangan Xander. Dengan lembut dia menyentuh luka tersebut.

"Sakit?"

Xander meringis merasakan lukanya disentuh oleh Oryza.

"Ada apa?"

Dibelai, digenggam, dan disentuh oleh Oryza membuat Xander salah tingkah. Dia berkata serak, penuh ketakutan,

"Kucing itu! Kucing horor itu! Aku cuma membelai belainya doang. tahu tahu dia berubah menjadi monster! Aku..." Xander tersedak, "..nggak tau deh. mungkin dia nggak suka cara aku membelainya. Dia langsung lompat ke arahku, mencakar-cakar. dan mengeong'ngeong seram!"

Pax membelalak. Bola matanya berputar ke atas, tubuhnya lemas, lalu langsung terjatuh pingsan.

"Pax... pingsan!" jerit Oryza kalang kabut. Dia bergegas menangkap tubuh Pax sebelum jatuh berdebum ke lantai. Pax terkulai di tubuh Oryza.

iwaksuomu moon mo: tanya Nuna.

"Sumpah, aku nggak pernah lihat kucing kayak gitu. Itu sih bukan kucing biasa. Pasti kucing neraka! Kucing setan! Kucing memedi! Kucing jadi-jadian!"

Tangan Xander bergerak-gerak histeris sambil berusaha menceritakan apa yang terjadi dan juga menjelaskan deskripsi kucing yang dia maksudkan. Semakin dia berbicara. semakin Oryza melotot memandangi Xander, merasa lelaki itu bertingkah tolol untuk menarik perhatian.

"Kalau kamu mengada-ada...," geramnya mulai naik darah.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki ringan. Semua menoleh melihat dari mana suara itu berasal. Seekor kucing berwarna putih menongolkan wajahnya di balik sudut. Malu-malu. Kumisnya panjang, berwarna senada dengan bulunya. Mata hijaunya bersinar dalam kegelapan.

"Meong?"

"Owww." Mata Oryza melembut. Dia melepaskan Xander dan membiarkan lelaki itu telentang di dek. Oryza melangkah mendekati Mobb Ibb lalu berjongkok pelan-pelan. Kucing itu raguragu melangkah mendekati Oryza.

"Ini kucing yang tadi kamu sebut kucing jadi jadian' '

Tubuh Xander merinding.

"Jangan dipanggil. Ory! jangan dekatdekat. Kamu dengar. Ory? jangan dekati kucing sial itu..."

"Dia nggak "

"Ory, awas! Mundur! Siapin tongkat sihirmu!"

"Aku..."

"Pokoknya aku nggak mau ikut-ikutan! Aku udah kasih tahu kamu bahayanya. Kalau tetap nekat terserah!"

Xander melompat, lari terbirit-birit ke dalam kabin.

Mobb Ibb mendengkur keenakan, seakan-akan tidak memperhatikan kekacawan yang terjadi. Pax pingsan, Xander pontang panting. Oryza bengong, terpaku tidak bergerak. Samudra-seperti biasa, tampak tidak sadar dengan pemandangan yang berada di depannya.

"Hah?" bisik Oryza kepada dirinya sendiri heran.

Nuna mengernyitkan dahi. Bolak-balik memandangi bayangan Xander dan Pax yang masih telentang di dek. Seorang lelaki pingsan dengan sukses di perahunya, sementara yang satunya lagi menghilang histeris dalam kegelapan.

"S-sihir...?" tanyanya bingung.

"Kalian penyihir?!"

**

Matahari terbit perlahan-lahan di timur. Cakrawala memamerkan warna yang paling menakjubkan dari seluruh palet cat yang dimiliki alam raya. Kuning kebiru-biruan. Subuh selalu angkuh, menjaga jarak dengan bumi. Berbeda dengan tembang petang yang lebih hangat. Langit seakan-akan memiliki dua anak kembar yang mirip tapi tak sama.

Nuna membuka mata, mendengar suara deburan ombak yang sangat dikenalnya sejak masih kecil. Dia sangat mencintai lautan. Dibesarkan dengan nyanyian buih melagu. bau puting susu bercampur dengan asin pasir .Dia juga mengenal setiap bisik yang disampaikan kerang'kerang yang menunggangi ombak. Segala hal yang menjadi bagian dari pantai dan samudra adalah segala hal tentang dirinya.

Sambil mengulet keenakan, dia berbaring miring menatap punggung ayahnya yang masih mengorek keenakan di dipan seberangnya. Perahu dibiarkan bergerak mengikuti arah angin bertiup selama dua jam, selama ayahnya sang kapten sedang beristirahat. Nuna memandang punggung ayahnya yang turun-naik dengan perasaan sayang yang berlebih. Dia mencintai ayahnya. Ayahnya adalah satu-satunya orang yang selalu berada di sampingnya sejak dia masih bayi.

Nuna tidak mengenal Ibu. Dia sudah lupa wajah Ibu, tapi ayahnya memiliki banyak sekali foto ibu dari masa lalu. Ibunya meninggal ketika Nuna masih berusia tiga tahun. Penyakit demam berdarah yang menyerang di perkampungannya menyerang ibunya juga. Setelah demam selama lima hari berturut turut tanpa bisa disembuhkan oleh sihir ayah, Ibu meninggalkan Nuna untuk selama-lamanya. jenazah Ibu disemayamkan di lautan, tempat mereka bertiga menemukan cinta keluarga.

Nuna tidak pernah mencintai lelaki lain selain ayahnya. Belum pernah! Ayahnya adalah sumber kegembiraannya. Tiang sandarannya saat dia sedih atau kecewa. Dia belum pernah menemukan lelaki lain yang dapat dipercaya selain ayahnya.

Namun

Namun kemarin berbeda.

Lelaki itu yang menyewa perahunya.

Lelaki itu... yang tampan dan berlidah tajam.

Lelaki itu... yang ternyata penyihir juga.

Xander.

Namanya Xander, bukan? Ya. Xander.

Xander membuat jantungnya melompati degupan tiga kali lebih cepat. Xander membuat Nuna ingin mencuri pandang ke arah wajah pria itu. Xander membuat Nuna ingin menatapnya lama-lama. Xander membuat Nuna senang mendengarkan suara maskulinnya.

Ada apa dengan dirinya?

Nuna memejamkan mata. membayangkan wajah tampannya. Lelaki itu lebih jangkung darinya. walaupun Nuna juga termasuk perempuan jangkung. Xander tampaknya tak acuh, tapi itu yang membuatnya menarik hati. Xander seolah sama sekali tidak meliriknya. tapi itu yang membuatnya menjadi gregetan dan penasaran. Semakin dia membayangkan Xander, semakin hatinya menghangat. Pipinya memerah.

Nuna membuka mata dengan cepat.

Mungkinkah... dia jatuh cinta? Inikah... namanya jatuh cinta?

Memikirkan perasaannya dan membayangkan wajah Xander membuat Nuna tersenyum-senyum sendirian di dalam kabinnya yang gelap. Dia menoleh ke arah jendela kecil. Di luar langit menyembur-at malu-malu dalam warna oranye kebiru'biruan. Pagi telah tiba.

Nuna menoleh ke arah satu-satu meja tulis kecil yang berada di antara dipannya dan ayahnya. Di meja tulis kecil itu terpasang sebuah foto perempuan yang sedang menggendong bayi dengan pigura kayu. Foto ibunya dan dirinya saat dia masih berusia tiga bulan. Nuna tersenyum hangat kepada foto itu, membayangkan wajah ibunya kalau-kalau beliau mengetahui apa yang dia rasakan sekarang.

Perlukah dia memberitahu ayahnya? Memberitahu perasaannya bahwa anak perempuan tersayangnya untuk pertama kalinya jatuh cinta?

Nuna bergerak bangkit dari dipan. Gerakannya pelan, tenang, dan tidak tergesa-gesa. Selain tidak ingin membangunkan ayahnya. dia juga selalu bergerak dengan kelenturan seperti seekor angsa. Ya angsa. Nuna selalu disebut sebagai "my little swan" oleh ayahnya. Keanggunannya dalam bergerak memang tidak ada duanya.

Udara laut pagi hari menyapa hidungnya ketika Nuna membuka pintu kabin, menyambut angin semilir. Dia melangkah ringan, terkejut ketika melihat lelaki tua-siapa namanya, oya. Samudra-sudah berdiri di buritan, menyender di jelujur kayu sambil menatap laut lepas.

"Selamat pagi, Pak!" sapa Nuna sopan.

"Ah!" Samudra menoleh, tersenyum melihat Nuna.

"Selamat pagi juga. Nak."

"Cuacanya bagus ya, Pak. Kalau begini terus, sebentar lagi kita bakal mencapai Pulau Varaiya."

Samudra mengangguk'angguk. Air mukanya tampak prihaatin.

"Lho, Pak?" tanya Nuna heran.

"Yang semangat dong! Kita kan mau sampai."

Samudra tampak tepekur sesaat. Dia membuang muka ke arah burung burung yang beterbangan di atas lautan.

"Laut ini..." dia tersendat, mendecak lembut.

"Laut ini mengingatkan saya dengan mendiang istri saya. Dia... sangat menyukai laut. Saya masih merasakan dirinya hidup di hati saya."

"Oh!" Nuna tersentak. Perlahan-lahan air mukanya melembut.

"Sori, saya nggak tau."

"Nggak apa-apa." Samudra menghela napas panjang.

"Kejadiannya baru-baru ini. Jadi harap maklum kalau saya masih sangat berduka."

"Iya. Iya... Maaf ya."

Nuna menunduk. Dia juga mengingat ibunya yang telah meninggal lama sekali. Nuna menghela napas, menatap Samudra dari samping. Ah, lelaki ini baru saja ditinggalkan istrinya. Betapa menyedihkan. Lihatlah air mukanya yang melukiskan betapa hancur hatinya. Pikiran Nuna melayang kepada Oryza, anak perempuan Samudra. Berarti Oryza juga sama-sama seperti dirinya, tidak memiliki ibu!

Angin membelai rambutnya, membuatnya beterbangan. Nuna menghela napas sekali lagi. Perpisahan-oleh kematian, selalu sangat berat. Dia tahu rasanya seperti apa. Berarti ada perempuan lain di perahu ini yang memiliki duka yang sama seperti

dukanya. Rindu yang sama kepada mendiang seperti rindu yang dimilikinya. Perempuan itu adalah Oryza. Mungkin seharusnya dia mendekatkan diri kepada Oryza, bercakap-cakap dengan perempuan itu. Menjadikannya sahabat.

"Kapan meninggalnya, Pak?"

"Barubaru ini sih. Tapi kenapa rasanya seperti dua puluh empat jam lalu?"

"Biasanya memang selalu seperti itu." Nuna tepekur, membayangkan dirinya.

"Kapan persisnya, Pak?"

"Sepuluh tahun lalu."

Burung camar menikam ke laut, menyambar seekor ikan yang menggelepar di paruhnya. Langit telah terang sepenuhnya.

"Se... puluh tahun lalu?"
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Samudra mengangguk melankolis.

Nuna melengos. Air mukanya sebal.

**

Bukan matahari pagi yang membangunkan Pax, tapi dering hapenya yang menggelegar. Dia merogoh-rogoh kantungnya, menemukan benda kecil itu, lalu langsung menempelkan di pipinya. Sialan. Dari bosnya.

"Ya... apa? Maaf, Pak... hari ini saya nggak bisa masuk lagi... saya sakit... radang tenggorokan.... radang... RADANG! Nggak. nggak... bukan rendang... ya. ya. RADANG. PAK. Apa? Saya nggak bisa fax apa pun... yang wawancara? Oh. ada tiga... ada tiga... TIGA... TIGA, PAAAK! Satu dua tiga... ya. tiga... Semuanya sudah dihandel oleh Fira. Baik. maaf, Pak. Nggak kedengeran. Putus-putus... apa... PUTUS-PUTUS... NGGAK KEDENGARAN! APA? HAH? Saya mengerti... ya koneksinya buruk. Ya, ya... tiga kali nggak masuk tanpa pemberitahuan akan dikenakan SP oleh perusahaan, kan? Ya. saya tahu peraturan itu... baik. baik... Koneksinya jelek nih. nggak ada sinyal..."

Klik. Pax mematikan telepon. Napasnya terengahvengah. Sebagian mengutuki bosnya agar berubah menjadi mesin jahit, sebagian lagi berdebar-debar karena merasa cemas. Berapa hari dia

tidak bisa ngantor gatagara urusan ini! Kalau dia dipecat, dia harus bersiap-siap berganti perusahaan.

Pax mengulet, berbalik ke sebelah kanan. Seluruh tubuhnya mendadak mengejang. Tanpa sengaja tangannya menyentuh bahu seseorang.

"Nggg... beriSik banget..."

Seseorang itu bangun. Menggeliat juga sepertinya. Lalu berbalik ke arah yang berlawanan, menghadap Pax, lalu membuka mata.

Xander.

Sebelum Pax berkata apa-apa, terdengar ketukan di pintu. Tiga kali. Lalu pintu langsung menjeblak terbuka.

"Pax! Xander! Bangun! Sudah pagi..."

Oryza yang berdiri di depan pintu terpana memandang ke dalam kabin. Pemandangan yang terpampang di depannya membuatnya membeku di tempat. Dua lelaki-Pax dan Xander-sedang berbaring berduaan di balik selimut. berpandang-pandangan, bergabung di dipan yang sama. Dipan tingkat di atasnya tampak kosong melompong, tidak ditiduri.

"Heh eh iya..." Pax terkekeh. Dia bergerak, mendorong Xandet sejauh-jauhnya.

"...aku bangun.... hehehehe...."

Oryza memutar bola matanya. Dia hanya berkata cepat.

"Cepat keluar. Sarapan telah menunggu kalian berdua." Kata kalian berdua sengaja diucapkan lambat-lambat dengan nada sebal. Setelah berkata seperti itu, dia berbalik. membanting pintu keras-keras.

Ditinggal Oryza. Pax dan Xander berpandangan.

BRUK! Pintu terbuka lagi. Nuna berdiri di depan pintu.

"Selamat pagi! Aku..." Nuna terkesima menatap Pax dan Xander yang sedang berbaring bersempit-sempitan di dipan bawah. Matanya membelalak.

"Eh. nngggg... sori ganggu. Tapi

cuma mau kasih tahu, sarapan udah siap." Dia berbalik lalu buru'buru membanting Dintu.

Ditinggal Nuna, Pax dan Xander kembali berpandangan.

"Mau bangun nggak?" tanya Xander lega.

"Akhirnya gue berhasil ngelewatin malam dengan selamat."

"Yup," kata Pax, mendorong selimut jauhjauh, lalu melipatnya baik-baik.

"Selamat datang di klub pengecut kelas teri."

"Nyindir lu?" Xander ingat apa yang dikatakannya kepada Pax kemarin malam.

"Terserah kalau lu mikir begitu."

Xander berdiri memandangi Pax yang sedang merapikan dipan.

"Kita harus selalu berjaga-jaga.Jangan sampai kita tercerai berai. Kucing monster itu bakal nggak bisa ditandingi dengan satu penyihir tangguh saja."

"Gue setuju."

"Nanti malam lu tidur seranjang dengan gue lagi?"

Pax merasa ada yang salah dengan pertanyaan Xander, tapi dia nggak sempat mikir apa-apa. Disetujuinya saja pertanyaan lelaki itu."Selamat datang di Club Pengecut abad 21," sahutnya.

"Aya, aye, Kapten."

**

Sudah dua jam Iris menongolkan kepalanya dari kubikel ke arah kubikel temannya, Oryza. Tapi sampai sekarang kubikel itu kosong. Komputernya belum nyala. Kursinya belum ditarik keluar dari meja. Ke mana Oryza. pikirnya bertanya-tanya. Kenapa terlambat lagi?

Iris mencari hapenya, menekan-nekan beberapa tombol. Dia mengirim SMS kepada Oryza.

Or, kamu di mana? Telat? Macet lagi? Atau bolos?

Iris menekan tombol kirim.

Lima detik.

Sepuluh detik.

pesan belum terkirim.

Iris menunggu lebih sabar.

Beberapa detik berlalu.

Semenit.

Lebih sabar lagi.

Pesan gagal terkirim.

Iris menabahknn diri, mencoba mengirim ulang. Menunggu Lagi. Sabar. sabar. Namun kali ini pesan masuk ke dalam status pending.

Bete banget.

Iris meletakkan hapenya sembarangan, berputar menghadap layar monitor, lalu mulai mengetik. Mungkin Oryza telat, atau mungkin dia memiliki halangan keluarga sehingga tidak masuk ke kantor hari ini. Tapi apa pun alasannya. Oryza pasti akan menghubungi dirinya.

**

ITU dia perahu busuknya!"

"Mana?" Aqua merenggut teropong yang sedang digunakan oleh Strawberi. Dia meletakan benda itu di depan matanya.

"Itu dia! Target kelihatan.."

"Siap mengarahkan ke target?"

"Siap mengarahkan ke target!"

"Tiga puluh derajat ke timur. Nggg... begitu deh."

Aqua menurunkan teropongnya. mendelik ke arah bawahannya. Tanda namanya menempel di baju. Tertera Bidik. Namanya Bidik.

"Begitu deh?" tanyanya galak.

"Maksudnya?!"

"Torpedonya baru, Bu Kapten. Canggih banget. Saya agak bingung." Bidik masih berdiri tegak dengan posisi menghormat.

"Sudah baca buku petunjuknya?"

"Petunjuknya pakai bahasa Belanda. Saya nggak ngerti."

"Ini produk buatan Belanda?"

"Bukan. Buatan Jerman."

"Kenapa mereknya Canon?"

"Canon berarti meriam, kan? Jelas aja mereknya Canon.

Hm, ya. Aqua mendecakkan . tumben Kamu pinter. Lalu kenapa pakai bahasa Belanda? '

"Karena kalau pakai bahasa Jerman saya nggak ngerti, Bu Kapten."

"Ah ya, betul juga." Aqua menumpukan kedua tangannya di pinggang. Matanya berubah menjadi berapi-api. Dia mengangkat tangan lalu menjatuhkan ke depan seperti gaya Napoleon ketika memerintahkan kapal untuk menyerang, lalu berseru,

"Tekan tombol on. Biarin mesinnya panas beberapa saat. Ukur jarak baik-baik. Pencet tombol itu, yang bergambar api berkobar. Lalu tembak!"

Strawberi menoleh ke Aqua.

"Hmm, Strawberi lapar. Belum sarapan dari tadi pagi. Kangen sama nasi tim bebek Nenek."

Aqua memperbaiki perintahnya.

"Tekan tombol on. Biarin mesinnya panas beberapa saat. Ukur jarak. Pencet tombol yang bergambar api berkobar. Siapkan dua roti isi selai kacang dan dua gelas susu cokelat madu. Lalu tembak!"

"Roti dan susunya ditembak?" Bidik mengerutkan kening.

"Bukan, bodoh. Roti dan susunya buat saya dan Strawberi."

"Siap, Bu Kapten!" Bidik menghormat sigap, lalu ribut mengutak-atik mesin torpedo dan menyuruh dapur menyiapkan roti dan susu.

"Bidik!"

Bidik berhenti. lalu menoleh ke Aqua. Menghormat sigap.

"Aya. Bu Kapten?"

"Saya nggak memanggil kamu."

"Tapi..."

"Tadi saya menyuruh kamu membidik baik-baik."

"Oh." Bidik menghormat lagi.

"Siap. Bu Kapten!"

**

Nuna membagikan sarapan kepada penumpang kapal yang langsung menikmati nasi goreng hangat yang nikmat. Sebagian duduk, sebagian lagi berdiri. Xander berada jauh di buritan, paling ujung bersama Pax. Berdempet dempetan. Nuna memandangi Xander dengan heran. Mengapa lelaki yang disukainya tampaknya akrab sekali dengan Pax?

"Nasi goreng ini lezat sekali," kata Samudra. Tatapannya melankolis ketika dia berpikir tentang Zea.

"Mengingatkanku pada masakan anak pertamaku."

Nuna melirik Samudra dengan curiga.

"Dan anak pertama Bapak sudah... eh, sudah m-meninggal baru-baru ini."

"Dia belum meninggal..." Suara Samudra menerawang.

"Yah, Setidaknya belum sih..."

Nuna melengos sebal. Dasar bapak bapak gila.

**

Seorang lelaki berpakaian koki keluar dari dek dan berjalan mendekati Strawberi dan Aqua. Tangannya menenteng nampan yang di atasnya tampak dua tumpuk sandwich dan dua gelas susu hangat. Dia meletakkan makanan itu di depan Aqua.

"Silakan, Bu Kapten," katanya sopan.

"Sarapan sudah siap."

Aqua mengangguk.

Strawberi tercengang.

"Wah" serunya.

"Cepat banget pelayanannya."

"Bu Kapten selalu menekankan perlunya kecepatan dan kesempurnaan dalam mempersiapkan segala hal."

"Terima kasih." Aqua menatap lurus kepada koki kapal.

"Sekarang, segera persiapkan makan siang. Saya ingin menu Indonesia hari ini. ya! Jangan lupa kerupuk dan sambal terasinya." Dia mencomot roti. lalu mulai mengunyahnya.

"Siap. Bu Kapten! Masakan hari ini adalah menu Indonesia." Koki mengangguk takzim dan berlalu.

"Bidik!" seru Aqua lantang, membuat lelaki bawahannya melompat terkejut. Lalu segera menghormat.

"Mana laporannya?"

"Siap, Bu Kapten! Yang Bu Kapten makan adalah roti cokelat keju, dengan cokelat merek Choco dan keju merek Chazy. Susunya diproduksi dari peternakan sapi di..."

"Goblok! Bukan itu maksud saya!" teriak Aqua kesal.

"Maksudnya laporan perahu di depan, bego!" Aqua menelan rotinya buruburu dan membilasnya dengan susu.

"Oh. Siap!" Bidik tersipu'sipu dimaki oleh atasannya. Dia memperbaiki posisi berdirinya. lalu berkata dengan kecepatan tinggi.

"Target berada dalam jarak tembak torpedo. Mesin torpedo sedang dipanaskan. Sepuluh detik lagi akan siap ditembakkan. Menghitung mundur dari sekarang. Sepuluh sembilan delapan..."

Aqua tertawa keras-keras seperti tokoh jahat di sinetron.

"Hahahahaha! Rasakan Oryza! Sebentar lagi Xander akan menjadi milikku!"

"Bukan, dia bakal jadi milik Strawberi!"

"Aqua!"

"Strawberi!"

"...tujuh. enam, lima..."

"Aqua!"

"Strawberi!"

"...empat, tiga, dua..."

"AQUA!"

"STRAWBERI!" Strawberi menggebrak instrumen torpedo dengan tinjunya sekuat tenaga.

"SATU..."

BRAK!

"...Asraga! Jangan ditekan di sana, Nona Strawberi!"

Lampu-lampu digital berganti'ganti cepat. Angka berubah. Terdengar suara bip-bipebip tidak keruan. Posisi torpedo bergeser.

"A-asap! Ada asap!" jerit Aqua.

"Api! Kebakaran! Kebakaran!"

"Aye. aye, Bu Kapten. Torpedo siap ditembakkan!"

Bidik menekan tombol yang bergambar api beberapa kali. Terdengar suara debum keras. Kapal pesiar mereka bergetar.

"GOBLOOOK!"

Strawberi menyambar kerah Bidik lalu membanting lelaki itu ke instrumen torpedo. instrumen itu kembali memunculkan kedip-kedip merah di berbagai tempat. Angka-angka berubah cepat. Terdengar suara bip-bip bip-bip-bip-bip keras.

"GILA! KAMU NEMBAK XANDER?!" jerit Strawberi sambil mencekik Bidik.

"Gahh... T-tadi katanya api..."

"Lemot banget sih!" jerit Aqua.

"Maksudnya api di instrumen! Bukan pencet tombol api!"

Bidik menoleh ke arah yang ditunjuk Aqua. Api membumbung pelan-pelan dari mesin instrumen torpedo di sebelah Strawberi. Dia melompat panik.

"AUUGGH! KEBAKARAAAN! ADA API!"

"Aye, aye, Mister!" Anak buah Bidik menekan tombol bergambar api. Kapal pesiar bergetar lagi. Terdengar suara debum yang lebih keras.

"GILA!" jerit Aqua. Matanya membesar penuh kemarahan..

"SASARAN TORPEDO KE ARAH MANA TADI? LANGSUNG KE LAMBUNG PERAHU?! BEGOOO! HUHUHUHU... XANDERRRRR!!!"

Bidik berkeringat dingin.

"O-oh."

**

Pak kapten sedang berdiri di buritan sambil menyesap Kopi panas. Dia memperhatikan anak perempuannya yang sedari tadi melamun menghadap ke arah Xander.jangan-jangan... pikirnya ragu-ragu. Insting seorang ayah membuncah tumpah ruah.

Tiba'tiba...

Matanya menangkap gerakan sesuatu.

"Heh, apa itu?" Dia menyipit. menaungi matanya dengan tangan.

"Demi otot seksi Neptunus! Itu kan... itu kan torpedo!"

Nuna menoleh cepat ke arah yang sedang dilihat oleh ayahnya.

"Apa, Papa?"

"TORPEDO! HOOOI, DENGER NGGAK?! ADA TORPEDO! EVAKUASI SEKARANG JUGA!!"

Xander melompat setinggi tingginya. Pax juga ikut-ikutan melompat, menyergap Xander. Dia mengira Moh lbb datang lagi. Telinganya menjadi sensitif jika mendengar nada perintah, apalagi jika diteriakkan dengan lantang.

Oryza berhenti menyuapkan nasi goreng ke mulutnya waktu melihat Pak Kapten berlari kencang di depannya.

"MINGGIR! MINGGIR! TORPEDO DARI ARAH JAM TIGA! TORPEDO DARI ARAH _JAM TIGA!"

Pax menggigil sambil menjambret kerah kemeja Xander eraterat.

"Apaan sih!"

"SELAMATKAN DIRIMU SEKARANG JUGA! TINGGALKAN KAPAL DAN PERGI KE PERAHU PENYELAMAT! DENGAR SEMUANYA?! KE SEKOCI PENYELAMAT!"

Nuna bergerak sigap. Dia menarik tangan Oryza sehingga sendoknya berdenting jatuh.

"Ayo, ikuti perintah Papa." Dia berlari di sepanjang dek sambil menyeret tangan Oryza. Oryza

menyambar tangan Samudra. Samudra menyambar tangan Xander. Xander masih digelayuti oleh Pax.

Sekoci diturunkan oleh Nuna. Gerakannya sigap dan tangkas. Dia membagi-bagikan pelampung ke tiap penumpang.

"Pakai ini!" serunya.

"Lolosin lewat kepala. Udah? Nah. yang udah cepat masuk ke sekoci penyelamat. Kita nggak punya banyak waktu sekarang. Cepat. cepat, cepat!"

"Kita meninggalkan perahu ini? " Kepala Oryza mendadak berdenyut cepat.

"Iya! Jangan banyak tanya. Kerjain aja. Nggak ada waktu untuk bertan..."

Tepat pada saat itu torpedo menghajar lambung kiri perahu. Terdengar debuman yang teramat keras. Duyung Tergoda seketika miring ke kanan. Ombak besar memecah. Sekoci mereka terdorong tinggi, terseret ombak.

"AAAAUUUGGGHHHHHH APAAN SIH!"

"SIAPA ORANG TOLOL YANG NEMBAKIN KITA?!"

"MEMANGNYA ZAMAN PERANG?"

Torpedo kedua menghajar lambung kanan perahu. Debuman kedua yang lebih keras terdengar. Duyung Tergoda langsung pecah berantakan, pelan-pelan tenggelam di lautan. Sekoci penyelamat semakin terseret oleh ombak raksasa.

"Astaga..." Oryza mendesah tidak percaya. Matanya membelalak. Kepalanya seperti ditampar bolak-balik pakai setrika. berkunang'kunang.

"Kenapa bisa begini:" Samudra memandang bingung ke arah lautan, disorientasi pikiran, disorientasi seksual... eh salah, mata sucinya disorientasi psikis. Oryza duduk gemetar. tanpa sengaja memeluk Xander erat-erat. Nuna mulai menangis.

"Duyung Tergoda... huhuhu..." isaknya.

"Teng gelam... habislah sudah... huhuhu...."
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oryza langsung memeluk Nuna yang kini sedang dirundung nestapa.

"Ssshhh...," bisiknya menenangkan.

"Cicilannya belum lunas... udah tenggelam... huhuhuhuhu...."

"Sssshhhh.... Sudah, sudah... jangan nangis."

Nuna mendongak menatap penumpang duduk mengelilingi dirinya di perahu karet. Satu per satu dipandangnya baik-baik. Mulai dari Oryza. Ke arah kiri. Lalu Samudra. Di sebelahnya Xander. Dan Pax yang sedang... Tatapannya berhenti pada Pax duduk menempel erat dengan Xander.

"Pax..." Dia tersedak karena isaknya masih meluncur keluar.

"Kamu... kalian..." Dia menoleh ke arah Xander hati hati. mengintip dari rambutnya yang bagai tirai hitam menutupi wajah.

"...aku tahu ini bukan saat... yang tepat untuk bertanya... tapi aku ingin tahu... demi hatiku yang rapuh dan remuk redam... apa k'kalian... pasangan gvgay?"

Xander seketika merengut. Pax melompat setinggi tingginya seperti tersengat sisik ikan pari, menyeberang ke penumpang lain yang duduk di hadapannya. Dia mendesakkan diri di sebelah Samudra dan Oryza.

"Tolong minggir sedikit! Aku nggak mau duduk di sana."

"Aduh, gila. ini sempit sekali!"

Nuna masih menatap Xander, menunggu jawaban. seakanakan tidak melihat Pax blingsatan seperti ayam kena ayan.

"Enak aja!" seru Xander sebal.

"Apa aku kelihatan seperti gay? Kalaupun gay, aku nggak akan tertarik dengan Pax. Masih banyak cowok keren lainnya yang gay tulen."

"Sialan!" kata Pax sebal.

"Jadi gue bukan gay tulen?!"

"Read my lips. Jelas nggak!"

"Ini penghinaan atau pujian sih?!"

Nuna menghela napas diam-diam.jadi mereka bukan pasangan gay. Hore! Setidaknya itu menggembirakan hati Nuna yang

sedari tadi dilanda cemburu buta. Dia memandang kapal Duyung Tergoda sambil melamun. Tangannya ditopang ke dagu.

"Ya ampun!" teriak Oryza menepuk pahanya keras-keras, seakan-akan baru mengingat sesuatu.

"Pak Kapten!"

Duyung Tergoda perlahan-lahan menghilang, tenggelam di dalam samudra. Lenyap tak berbekas, kecuali beberapa potong kayu yang berserakan terapung-apung di manamana.

"Oh... Pak Kapten... yang malang. Dia gugur dalam tugas...," desis Oryza sedih. Menit berlalu dalam kesenduan. Semua menundukkan wajah dengan pilu. Mendadak Oryza teringat sesuatu. Dadanya seketika bertambah perih.

"Dan Mob Ibb! Oh. Mob lbb yang lucu. Hilang di tengah lautan."

Mata Pax seketika bercahaya. Apa? Kucing gila itu telah lenyap? Dia nyaris menari nari kegirangan. Oh, hari yang indah! Oh, hari yang membahagiakan! Siapa pun yang menorpedo meneka, Pax berterima kasih! Sujud syukur kepada mereka! Pax melempar tatap kepada Xander yang balas tersenyum lebar kepadanya. Di kepalanya tampak bayangan kucing seram yang dimasak menjadi gulai di pojok dapur kerajaan ikan.

"Lihat!" Terdengar suara Samudra menggelegar. Dia menunjuk ke bayangan hitam di lautan yang bergerak cepat ke arah mereka.

"Itu torpedo ya?"

"Hah, ada lagi?!"

"Bukan! Itu sih ikan tombak!"

"Bukan! Itu pasti paus biru!"

"Bukan! Itu Superman!"

"BUKAN! ITU... MOB IBB!"

"Hah. lagi?!"

Pax terlonjak (sekali lagi) dan memeluk Oryza (dua kali) erat-erat. Penumpang kapal darurat menahan napas ketika bayangan hitam yang disangkanya torpedo/ ikan tombak/paus biru/Superman meluncur cepat. melewati perahu mereka.

**

Xander menghela napas lega, melempar pandang ke arah Oryza. Mukanya seketika masam melihat Pax duduk berdempetan dengan perempuan itu. Pax tampak kehilangan akal, tidak memperhatikan sekelilingnya.

Oryza mendelik ke arah Pax. 'Ahem," serunya.

Pax langsung tersadar dan merasa nggak enak. Dia segera melepaskan pelukannya cepat-cepat.

"Sori. sori," katanya penuh penyesalan.

"T-tapi... kukira kucing sialan itu..."

"Eh, Pax. itu beneran bukan ibb!" Samudra menuding'nuding lautan. Lelaki setengah baya itu menyipitkan matanya. Dia yakin itu bukan ikan. Ada sesuatu yang aneh dengan benda tersebut. Mungkinkah kucing? Kucing setengah mutan yang hidup di kapal? "Kayaknya beneran... Mob Ibb."

Otot Pax mengejang, langsung menyambar lengan Oryza eraterat.

"Aduh! Apa-apaan!"

Oryza kaget setengah mati dengan cengkraman Pax di lengannya. Dia bergerak tanpa sadar. mendorong Pax ke kanan.

Adegan selanjutnya semakin kacau. Pax terjerembap ke samping, kehilangan keseimbangan. langsung tercebur ke laut.

BYUR!

"Ya ampun!" Oryza berusaha meraih tangan Pax. tapi tidak berhasil.

"PAX!"

Pax terbatuk'batuk menelan air. Dia menyemburkan air asin dari mulut. Bayangan hitam itu menyembulkan dirinya ke atas air. Perlahan lahan tampak bentuk segitiga berwarna abu abu membelah permukaan laut.

"Itu..." Xander menyipitkan matanya, memandang dengan curiga,

"...lumba-lumba?"

"WOW!" seru Samudra ternganga kagum.

"Ini seperti nonton

National Geographic. Ada lumba-lumba menolong Pax dari lautan. Begitu sih biasanya..."

Tiba-tiba benda segitiga itu muncul di permukaan. Bayangan hitam semakin jelas terlihat. Oryza tercekat.

"Liat! Itu sih bukan lumha-lumba... Itu... ITU IKAN HIU!" jeritnya panik.

"PAX! AWASSS! DI BELAKANGMU!"

Pax terapung-apung, menoleh ke belakang mendengar teriakan Oryza. Darahnya seketika meluncur ke mata kaki ketika melihat pemandangan menyeramkan. Dia berbalik, tepat pada saat ikan hiu melompat ke atas air, menghajar Pax dengan keras.

Xander ternganga.

Samudra terpaku di kursinya.

Oryza merasa ingin kebelet kencing saat itu juga.

Nuna tidak melakukan apa?apa. Hanya termangu menatap ke arah kosong tempat Duyung Tergoda tenggelam.

"AWASSS!" Oryza melejit berdiri sambil menumpukan tangannya di ujung perahu penyelamat. Dia meraung seperti kehilangan ingatan. 'PAXXX! PAAAAAAAXXXXXXX!!!"

PAX mereguk air asin, matanya tenggelam dalam kedalaman laut. Buih putih memenuhi pandangan matanya. Kegelapan mulai melingkupi seluruh kesadarannya. _jadi beginilah rasanya mati, pikirnya tenang. Seluruh jiwanya merasakan damai. Musik indah mengalun di kepalanya. Dia berjalan menuju cahaya terang.

Di atas sekoci penyelamat, Oryza menangis tersedu-sedu.

"Ya ampun. Pax... huhuhuhu. Aku nggak... n-nggak s-sengaja... mendorong dia...," katanya putus asa.

"Gimana kalau Sola tau? Aku bisa disihir..."

Xander menoleh ke arahnya begitu cepat sampai wajah Oryza langsung memucat.

"Apa hubungannya dengan Sola?"

Oryza menungkupkan wajahnya ke tangan, menangis semakin keras.

"K_karena... kupikir Sola selalu naksir... Pax."

"Kamu ngomong apa? '

"INI-nggak "

"Bukannya kemarin kamu jodohin Dokter Lukas dengan Sola?"

Oryza tergagap.

"Nggak apa'apa. kan? Siapa cepat dia dapat"

"Jadi Dokter Lukas nggak tertarik dengan Zea lagi?"

"Ya... aduh, nggak aku nggak tahu..."

"Kenapa Dokter Lukas..."

"Bisa nggak sih berhenti ngegosip? Aku masih mau nangis nih!"

Xander mendengus. kembali mengalihkan perhatiannya kepada Pax yang pelan-pelan menghilang di tengah lautan.

Pax menutup mata erat-erat, merasakan tubuhnya panas oleh sinar matahari. Dengan bingung dia menyentuh tubuhnya. Eh, dia masih hidup! Dia belum mati! Matanya membuka pelan-pelan, tanpa disadari kakinya menjejak-jejak air membuatnya muncul di permukaan. Pelampung yang mengalungi lehernya membuatnya terpental naik, tidak menyeretnya ke dasar samudra.

"Lihat! Si idiot muncul di permukaan!" seru Xander menunjuk.

"Pax belum mati!"

Oryza berhenti menangis. menoleh ke arah yang ditunjukkan Xander. Senyumnya merekah melihat Pax berjuang habis-habisan berusaha berenang kembali menuju sekoci penyelamat mereka. Tapi ketika tatapannya membentur ikan hiu yang sedang berenang tak jauh dari Pax. kembali dia menjerit dan menutup matanya.

Ikan biu itu muncul di samping Pax. membuka mulutnya besar-besar sehingga tampak gigi-giginya yang runcing. Pax melonjak di air, seketika menutup mata. Habislah dia, habislah dia selamanya! Sebentar lagi dia akan menyongsong dunia kematian. Selamat tinggal, kehidupan. Selamat tinggal bumi tercinta. Selamat tinggal, Oryza, dia tetap mencintai wanita itu selama lamanya.

Pax menunggu kematiannya dengan ikhlas. Detik demi detik berlalu.

Tapi kepalanya tidak copot dihantam apa pun. Tangannya tetap menempel di tempatnya dengan sempurna. Ikan hiu tidak

menggigit bahu Pax yang berada sangat dekat dengannya, tapi malah mendorong Pax dengan lembut seperti seekor anjing yang mencium majikannya. Pax membuka mata dengan heran. Tanpa disadari tahu-tahu dia telah berada di atas punggung hiu itu, berenang mendekati perahu penyelamat.

Xander terpana.

"Apa-apaan... Pax..."

"Hah?"

Pax melaju di atas punggung ikan hiu. Tahu-tahu dia telah berada dekat sekali dengan perahu. Samudra yang duluan terbangun dari keterkejutannya buru-buru menarik Pax sehingga laki laki itu tiba di dalam perahu dengan selamat.

"Pax!"

Pax berdiri di perahu penyelamat dengan linglung. Seluruh tubuhnya basah kuyup.

"Pax!" seru Oryza sekali lagi. Dia membentangkan tangannya, menubruk, langsung merangkul Pax. Air laut menetes-netes di seluruh perahu. Baju dan rambut Oryza juga ikutan basah. Tapi gadis itu tidak peduli. Dia terlalu gembira.

"Kamu selamat! Brengsek. Pax, aku cemas banget."

Xander melirik Oryza dengan tatapan kesal, air mukanya menggelap. Kesempatan banget sih! Namun berbeda 180 derajat dengan Xander, wajah Pax memancarkan kebahagiaan. Dia nyaris pingsan oleh rasa gembira. Dia rela dilempar ke laut berkalikali, menghadapi jutaan ikan hiu, atau bahkan bertemu dengan Ratu Laut Kanjeng Nyi Roro Kidul jika setelahnya dia akan mendapatkan pelukan erat dan sinar kebahagiaan pada air muka Oryza. Dia rela! Dia sungguh rela!

"Permisi."

Xander menyenggol tubuh Oryza dengan santai, seakan-akan tindakannya tanpa sengaja. Kalau mereka masih berpelukan dalam lima detik ke depan, Xander akan melempar Pax sekali lagi

ke laut. Oryza melepaskan rangkulannya, membebaskan diri. Pipi Pax memerah muda, napasnya tersendat. 0 dunia, betapa indahnya dunia! Pandangan matanya melayang-layang nggak jelas. Dia seperti berada di surga.

"Gue pikir prosedur standar ikan hiu waktu bertemu manusia adalah mencabik-cabiknya tanpa ampun."

"Tadinya menurut gue juga begitu. Jarang ikan hiu yang kepengin main peran sebagai penjaga pantai Baywaleb." Pax menurunkan tubuhnya, duduk di perahu penyelamat. Air tergenang di beberapa tempat.

"Eh. ini bukan cerewet karena sudah diselamatkan lho. Maksud gue..."

Tahu tahu ikan hiu muncul di samping kapal penyelamat mereka. Menempelkan hidungnya di pinggir perahu, tak bergerak. Semua menjerit beberapa saat. Yah, siapa yang nggak kaget melihat ikan hiu menongolkan hidungnya dan memandang mereka dengan tatapan imut? Bukannya seharusnya anjing yang melakukan hal itu?

Xander terpana.

"Mau apa dia sekarang!" tanyanya.

Oryza ter-gagap heran,

"Mungkin... mungkin dia udah kenyang? Cuma memohon supaya kita melemparin makanan kecil aja. seperti camilan atau biskuit?"

"Biskuit? Memangnya anjing?"

"Eh ya, ngomong'ngomong soal anjing." kata Xander.

"Gue mendadak kangen berat sama Dakocan. Coba ada makhluk norak itu. kan bisa kita lempar dia buat camilan ikan hiu. Beres!"

Oryza mendelik pedas.

"Dasar perusak suasana," serunya menggerutu.

"Selalu ngomong jelek tentang Dakocan."

Xander nyaris membuka mulut hendak berkata sesuatu, tapi ada hal yang mengganggunya. Ternyata ikan hiu itu menatap mereka satu per satu. Tatapannya seperti sedang menyampaikan sesuatu, suatu pesan yang sulit dimengerti.

"Dia..." Pax berpikir pikir, kayaknya menunggu kita melakukan sesuatu..."

"Melakukan sesuatu?" Xander mendelik. 'Apa? Nyanyiin ninabobo? Dengerin gosip seleb terbaru? Ngajakin hom-pim-pa? Bacain buku cerita?"

"Lu nggak perlu sinis seperti itu deh."

"Sinis? Siapa yang sinis?" Xander menoleh kepada Oryza sebal.

"Memangnya siapa yang melempar Pax ke tengah laut dan mengundang ikan hiu segede Godzilla ini mengemis di depan kita." '

"Itu nggak sengaja!" Nada suara Oryza meninggi. Bete banget dengan Xander yang tahunya cuma menyalah-nyalahkan orang saja.

"Lagian, mana aku tahu ada ikan hiu berkeliaran di sekitar sini!"

"Duh, Ory, halooo?! Kamu nggak tahu apa-apa tentang laut? Ikan hidup di laut. Jerapah mati di padang savanna. Ikan hiu berenang di samudra. Gajah mandi di Sungai Gangga. Cukup jelas?"

Pax menjulurkan tubuhnya memotong pembicaraan Xander.

"Eh, lihat, tuh! Ikan hiunya menghilang!"

"Nggak usah sok menguliahiku! Aku juga tahu di mana binatang-binatang itu hidup!"

"Setiap kali ada kapal tenggelam, selalu ada ikan hiu! Sama seperti setiap kali kamu tersinggung, pasti selalu marah-umrah seperti lagi PMS!"

"Sialan." Oryza merengut.

Samudra menghela napas, berusaha melerai,

"Nak." katanya putus asa.

"Jangan bertengkar di sini dong. Nanti ikan hiunya trauma."

Ikan hiu itu berenang berputar di bawah perahu penyelamat. Tahu-tahu dia muncul di sisi satunya lagi, menyambar tali yang

tergantung keluar dari dalam perahu.

"Ngapain dia?" teriak Pax. Dia menelan ludah cemas.

"Mati deh kita Semua. Dia bakal ngebalikin kapal penyelamat ini. Kita akan tenggelam dan mati. Habis! Habis! Beneran habis!"

"Pax, Pax lu lagi deklamasi pantun di sini?" cetus Xander sebal.

"Tenang dong! Ikan hiu itu..."

Pax menoleh kepada Oryza. memegang tangan perempuan itu erat-erat. Wajah Pax sangat serius membuat Oryza perlahanlahan menunjukkan wajah melongo asli.

"Kalau ini kesempatan terakhirku untuk minta maaf, aku akan lakukan detik ini juga," bisik Pax lemah lembut. Hatinya galau.

"Maafin aku kalau aku pernah menyakiti hatimu. Sejujurnya, aku pengin bilang aku selalu mencin..."

"Eh?!" Xander buru-buru memotong perkataan Pax. Dari tadi dia sibuk memandang dua kejadian yang sama-sama penting. Yang kesatu, ikan hiu superajaib yang memesona itu. Yang kedua, menahan diri agar tidak melempar Pax ke Galaksi Andromeda.

"Ikan hiunya menarik kita!"

Benar. lkan hiu itu menggigit tali perahu penyelamat, lalu mulai berenang ke arah berlawanan. Perlahan-lahan perahu bergerak terpental-pental akibat ombak-ombak kecil. Angin meniup di segala sisi sehingga rambut mereka berkibar-kibar seperti bendera. Oryza menarik tangannya dari genggaman Pax.

Beberapa menit berlalu. Para korban kapal karam di perahu penyelamat masih seperti terbius. Keheningan menyebar seperti virus yang menginfeksi tubuh. Xander menjulurkan tubuhnya, mengamati apa yang ikan hiu lakukan. Pax ikut'ikutan menjulurkan tubuhnya, melihat apa yang terjadi dengan perahu mereka.

Sepi sejenak.

Yah. tapi hanya sejenak.

Mulut memang mudah robek.

Gigi seperti marshmallow.

Dan lidah tidak bertulang.

"Kalau aja aku punya tombak." kata Pax spontan.

"Kita bisa makan sushi nanti siang. Hehehe..."

Tiba-tiba ikan hiu itu berhenti menarik. Dia menoleh ke belakang. menatap Pax dengan matanya yang hitam. Pax langsung terdiam seketika. Lidahnya pahit seperti habis menelan pasir. jantungnya berhenti berdenyut satu detik seperti ketahuan menyontek di mata pelajaran yang gurunya killer. Dunia berhenti berputar.

"Eh!" Oryza berdeham heran melihat adegan itu.

"Mungkin aku gila setelah abis ditorpedo berkali-kali. Mungkin juga pasca. trauma. Tapi terus terang nih, kenapa aku merasa ikan hiu itu mengerti apa yang tadi kamu omongin, Pax? Kelihatannya dia sakit hati."

"Sakit hati?" Pax berhasil menemukan suaranya. Sejak dipelototi ikan hiu. tenggorokannya kering.

"Iya, memang kedengarannya aneh sih..."

"Bukan cuma aneh. Ini judulnya nggak masuk akal."

"Pax." panggil Oryza menoleh ke arahnya dengan air muka dramatis.

"Kelihatannya kamu harus minta maaf sama dia."

'Apa?" Pax menoleh bingung.

"Minta maaf? Sama siapa?"

"Siapa lagi? Pastinya sama si ikan hiu! Dia nggak mau menarik tali itu kalau kamu nggak minta maaf."

"Dan apa salahku kepadanya?"

"Kamu pengin nembak dia dan bikin sushi di atas piring. Itu menyakiti hati ikan hiu yang sedang menolong kita."

Pax bengong beberapa saat sementara Otyza menatapnya serius. Xander ingin menjerit keras keras lalu menari telanjang. Atau melubangi sekoci penyelamat dan mencium Pax. Apa saja asal bisa mengalihkan perhatian. Apa saja asal Oryza tidak perlu memandang Pax dengan tatapan intens seperti itu. Pelan pelan dia merasa diabaikan.

"Kamu bercanda ya?"

"Memangnya aku terlihat bercanda? Aku nggak main-main soal minta maaf."

"Aku..." Pax menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ditatap Oryza seperti itu membuatnya gugup dan salah tingkah. Begitu banyak perasaan membuncah yang memenuhi hatinya. Dia tidak tahu bagaimana menyortirnya satu per satu.

"...Bagaimana caranya? Kalau aku nggak dimaafkan?"

"Begini caranya meminta maaf," kata Oryza serius, melirik ke arah Xander sambil sengaja meninggikan suaranya.

"Bicaralah dengan nada lembut. Hadapi dia dengan kesabaran. Tata ucapanmu dengan dengan ketulusan. Kamu juga bisa menggoda dia dengan beberapa kata-kata pujian. Dia pasti bisa memaafkanmu."

Pax berusaha tetap tenang, tapi sebenarnya dia tidak keruan.

"Seperti itu. Perlu aku ulangi?" Oryza melirik Xander sekali lagi, meninggikan suaranya.

"Teknik meminta maaf dengan sopan. Bicaralah dengan nada lembut. Hadapi dia dengan kesabaran..."

Xander terlihat kesal.

"Kenapa targetnya selalu aku sih !"

Ragu-ragu Pax memajukan tubuhnya ke arah bagian depan perahu di mana ikan hiu tersebut sedang mengambang tenang tanpa melakukan apaapa.

"Ikan hiu." panggilnya bingung.

"Suaramu kurang keras." Oryza menasihati dengan nada bijak.
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nadanya kurang memohon."

Pax menghela napas dalam-dalam. Ini konyol, katanya dalam hati. Berbicara dengan ikan hiu? Sinting. geblek, abnormal. Menggoda sambil memohon ampun kepadanya? Lebih sinting. lebih gila, dan lebih abnormal. Tapi kalau Oryza ingin dia melakukan hal aneh bahkan merayu ikan hiu supaya tidak punah. Pax rela melakukannya!

Oke, man mulai.

"Ikan hiu yang baik hati. Ikan hiu yang telah menyelamatkam

Ku dengan gagah berani. ikan hiu yang rela berkorban demi sesama.

" rayu Pax menahan cengirannya..

"Maafkan perkataanku yang telah menyakiti hatimu yang rapuh. Aku mohon demi nenek moyangku dan nenek moyangmu, ampuni aku."

Ikan hiu melirik. Pax memandangnya sambil mengulum senyum menahan tawa, tapi lama-lama dia tidak bisa rileks. Lirikan itu seakan-akan berkata bahwa dia menerima permintaan maaf Pax. Pax masih tercengang ketika pelan-pelan terdengar suara kecipuk air. Ikan hiu kembali menggigit tali dan menarik perahu mereka membelah lautan.

"Tuh. betul kataku!" seru Oryza.

"Dia ngerti."

"Ini adegan paling bodoh yang pernah kusaksikan seumur hidup," timpal Xander sambil mendengus.

"Biarin bodoh," Oryza mencibir.

"Tapi berhasil."

"Tapi tetap saja bodoh."

Tiga orang itu memandang ikan hiu dengan napas tertahan. Dahi Oryza berkerut, susah payah dia menata kata-kata.


Kuda Putih Karya Okt Dewi Ular 41 Terjebak Bencana Gaib Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S

Cari Blog Ini