Ceritasilat Novel Online

Jampi Jampi Varaiya 4

Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng Bagian 4



"Bagaimana cara ikan hiu itu dapat mengerti perkataan manusia? Bukannya dia binatang yang tidak memiliki akal? Seharusnya binatang tidak bisa menger..."

"Coba ingat-ingat dulu deh," celutuk Xander memotong percakapan."Hitung aja berapa kali Dakocan menghilang setiap kali aku menghinanya? Dakocan mengerti semua perkataan manusia. Jeng Oryza."

Oryza merengut ketika diingatkan Dakocan. Dia tidak suka mendengar nada suara Xander tiap kali lelaki zaman Neolitikum itu berbicara tentang kucing kesayangannya.

"Dengar ya, Bung Xander. Dakocan kan berbeda. Dia nggak akan bisa disamakan dengan hewan lain."

Xander nyengir lebar dari ujung ke ujung. Dia menatap Oryza. Lama.

"Kamu nggak tahu apa-apa. Sayang...."

"Seenaknya saja mengambil kesimpulan! Nggak tahu apa-apa

dari Hong Kong? Salah besar!" tegas Oryza.

"Aku tahu persis perasaan Dakocan sampai sedalam dalamnya. Sebenarnya intonasi suaramu yang membuat kucing manis itu sakit hati, bukan kata-katamu secara harfiah. Ngerti? Kamu tuh mampu membuat sepotong batu bata aja tersinggung."

"Hebat," desis Xander.

"Mengagumkan. Kamu bisa mengerti isi hati batu bata. Jangan-jangan kalian bersaudara."

Oryza ingin mengambil dayung dan menghajar Xander sampai gepeng. Hatinya seperti gunung berapi yang meletus. Lava panas membludak keluar sampai menyebabkan kebakaran di ubun-ubun. Dia menyesal salah melempar orang ke laut. Seandainya Xander yang tercebur di sana dan tidak ada ikan hiu... oh, pasti senang melihat Xander menjadi spiry tuna sushi di dasar lautan.

"Pinter ya! Menghina saja terus! Kamu tipe manusia yang menyebalkan. nggak sensitif, suka memanfaatkan cewek untuk kepentingan diri sendiri. nggak peduli dengan perasaan orang lain "

"Enak aja. Aku nggak seperti itu." Xander menunjuk Pax dengan jempolnya.

"Kalau itu sih dia."

"Jangan bawa-bawa Pax! Dia tuh lelaki baik yang nggak bakal melakukan penghinaan dan pelecehan kepadaku. Dia selalu melindungiku! Nggak seperti kamu!"

Wajah Pax langsung berseri-seri mendengar perkataan Oryza.

"Begitu ya!" semprot Xander.

"Jadi kamu membela kucing kurap itu? '

Pax tercekat. Wajah berseri-serinya langsung luntur seketika. Kegembiraannya hilang begitu saja. Dia melotot memandang Xander.

"Maksud lu?!"

Samudra terlihat capek dan putus asa melihat pertengkaran tanpa henti antara anak perempuannya dan Xander. Wajahnya

pelan-pelan berubah, dari ungu menjadi hijau, hijau menjadi merah, merah menjadi biru, terakhir kuning lalu transparan. Dia menoleh kepada Nuna yang sampai saat ini masih pelit dengan kata-kata dan terus melamun.

"Kayaknya saya udah mati dan sekarang berada di neraka." desah Samudra lemas.

"Biar saya ceritakan bentuk neraka: terapung'apung di sekoci penyelamat dengan suara pertengkaran yang tak berkesudahan sejak zaman dinasti Chin. Sementara istri tersayang berada di ujung surga sana, terbebas dari siksaan abadi. Oh, istri tersayang, semoga kau berbahagia di alam sana!"

Nuna melirik Samudra. Sejujurnya hatinya jatuh kasihan melihat lelaki setengah baya yang tampak frustrasi ini. Dia menepuk-nepuk punggung Samudra dengan lembut.

"Sudahlah, jangan bersedih terus ya. Pak," bujuk Nuna.

"Istri Bapak pasti berbahagia. Kita lihat aja segi positifnya, yuk. Biarin aja mereka berisik; yang penting kan cuma tiga orang aja yang ngomong. Bayangin kalau semuanya ngomong... Bisa gila."

Samudra mengangguk,

"Setidaknya, kita bertiga nggak bawel."

Samudra menatap Nuna dengan heran.

"Kita bertiga? ' komentarnya bingung. Dia mencoba menghitung, tapi gagal.

"Siapa orang ketiga?"

"Si ikan hiu."

Samudra melengos. Bukan saja dia berada di sekoci penyelamat. terapung'apung di lautan dengan ikan hiu yang menghela sekoci mereka di ujungnya, mendengarkan pertengkaran tiga orang yang saling membenci, ternyata dia juga duduk bersama perempuan varia Ella karena kena torpedo.

**

PEMANDANGAN di kapal pesiar tumpang tindih dan berantakan. Istilah "seperti kapal pecah" yang menjelaskan keadaan serba-berantakan benar-benar tepat. Strawberi berdiri dengan dua tangan bertumpu di pinggang. Aqua memandang semua kru yang bekerja dengan pandangan marah. Rambut dua warnanya, hitam dan oranye tampak berwarna semakin kontras seperti nyala api yang berkobar-kabar. Tampak tabung pemadam kebakaran di tangan kanannya.

"Bidik!" teriak Aqua keras.

"Mana laporannya?"

"Siap, Bu Kapten! Laporan..."

"Jangan buat laporan makan siang! Saya mau mendengar laporan kerusakan kapal!"

Bidik tampak bingung sesaat dihantam pelototan bosnya. Tapi kemudian kesadarannya kembali normal.

"Siap. Bu Kapten! Kita mengalami kerusakan kecil saja seperti pengaturan pengendalian kapal, torpedo, dan kecepatan. Di luar itu, tampaknya tidak ada kerusakan yang perlu dikuatirkan."

Strawberi menutup mulutnya dengan tangan ketika mendengar kata "torpedo". Mendadak otaknya teringat sesuatu. Sesuatu

yang membuatnya sedih.

"O iya. baru ingat Xander," serunya tanpa sadar.

"Apa dia kena torpedo kita?"

Aqua mengambil teropong dan menempelkannya di matanya.

"Lihat deh. Perahu butut itu sudah karam, sekarang menjadi penghuni samudra. Hmm kelihatannya mereka sih berhasil menyelamatkan diri di sekoci. Terapung-apung di lautan..."

"Gimana Xander? Dia selamat nggak! '

Aqua menyipitkan mata.

"Nggak kelihatan apa-apa. Terlalu jauh."

"Bisa nggak kita transforsi ke sana aja?"

"Nih ya, sebelumnya coba dulu kencengin baut di kepala. Mungkin ada yang longgar jadi efek pendengaranmu terganggu. Tadi kan sudah kubilang. aku nggak tau di mana persisnya mereka. Kalau kita transforsi sembarangan, kita bisa muncul di tengah laut. Aku nggak mau basah kuyup atau tenggelam di lautan!" sergah Aqua sok galak. Dia menurunkan teropongnya, menoleh ke arah Strawberi.

"Lagian, buat apa transforsi ke sana? Kapal pesiar ini juga nggak bisa ke mana-mana kalau kita berhasil menculik Xander ke sini. Xander pasti menolak bertransforsi sama kita."

Strawberi termangu-mangu mendengar penjelasan Aqua. Perasaannya masih terguncang membayangkan Xander terdampar di tengah lautan dengan sekoci kecil.

"Kalau kerusakan mesin udah selesai diperbaiki, kapan pesiar keren ini pasti dapat menyusulnya! Kita bisa merebut Xander dan ninggalin yang lain mati terpanggang di tengah lautan."

"Oke, oke. Kedengarannya sih ide yang bagus!" Strawberi melipat tangannya, telinganya siap mendengar.

"Mereka nggak mungkin mencapai Pulau Varaiya dengan sekoci payah kayak gitu. Sebelum maju lebih jauh lagi, mereka akan tenggelam atau hancur ditelan ikan hiu." Aqua nyaris tersedak bangga membayangkan pemikirannya yang brilian.

"Pulau Varaiya terlalu jauh."

"Asyiik! Kesimpulannya Solanum tetep bakal mampus karena mereka nggak berhasil dapat Tamerit."

"Kita dong yang bakal dapetin Tamerit sekalian mencuri perhatian Xander. Abis itu, kita pura-pura kasih Tamerit ke Sola tapi sebenarnya kita kasih bubuk yang lain aja. Buntut-buntutnya sih dia tetap bakalan lewat." Aqua tertawa ala nenek sihir waktu melihat perubahan wajah Strawberi yang berseri-seri.

Strawberi menatap Aqua dengan pandangan kagum. Dia tersenyum ceria."Kamu manis deh kalau ketawa jahat seperti itu."

"Makasih," Aqua berdebam.

"Untuk sementara, sekarang kayaknya nggak ada yang bisa kita lakukan. Mesin kapal mati. Kru mesin sedang berusaha memperbaiki kerusakan. Mungkin bakalan makan waktu beberapa saat lagi. Kamu sibuk nggak? Yuk. main mah'yong!"

"Yuk!" Strawberi tersenyum.

"Nggak nyangka kalau traveling sama kamu menyenangkan banget. Kapan'kapan traveling lagi ya!"

"Well. bulan depan kita juga udah bisa cabut buat traveling lagi, Nangka."

"Strawberi."

"Terserah deh."

Bidik sedang sibuk menekan-nekan beberapa tombol sambil memberi perintah ke sana kemari. Kru kapal bolak-balik di sekitar Strawberi dan Aqua. Aqua menjulurkan tubuhnya, mengamati apa yang Bidik lakukan.

"Bilang ke bagian mesin. Bidik, mereka harus buruan!" seru Aqua tidak sabar.

"Kalau nggak bisa kasih tau mereka, saya yang bakal bicara langsung. Ngerti? Ke satu per satu kru."

Bidik menelan ludah dan langsung memucat. Dia tahu apa yang bosnya maksud.

"Berbicara" ala Aqua adalah sihir yang tidak main-main. Bidik beserta seluruh kru dan para pembantu keluarga Aqua hanyalah penyihir level kecil dengan kemampaun sihir yang sangat sederhana. Sebenarnya mereka tidak perlu bekerja di bawah tekanan kesewenang-wenangan bersama keluarga penyihir tingkat tinggi. Bidik dapat bekerja di masyarakat umum, menyembunyikan diri dan bergaul sebagai manusia awam. Tapi kebanyakan para penyihir level kecil punya gengsi setinggi langit yang membuat mereka menjadi bego. Bekerja dengan bos penyihir yang top lebih terhormat daripada harus merendahkan diri menjadi pembantu kaum jelata.

"Siap. Bu Kapten Aqua! Perintah segera dilaksanakan!"

Aqua berjalan mendekati Strawberi, menjauh dari kesibukan kemudi.

"Lelaki tuh yah...," katanya ketus dengan gaya gosip mode on,

"...selalu bikin masalah. Mereka tolol dan menyebalkan. Yah, kecuali Xander, pastinya."

Strawberi tidak akan dapat dihentikan kalau diajak bergosip. Tombol gosip dipencet, full power.

"Bener, bener banget. Sepupu Strawberi tuh, si Cyril juga lelaki yang ngebosenin," sahutnya bersemangat. Matanya menyipit penuh konspirasi. 'Huuuuhh! Lelaki memang selalu bikin kesal kok. Cuma Xander yang beda dari lelaki buaya kebanyakan."

Bidik berpaling kepada Aqua.

"Bu Kapten!" panggilnya lantang.

"Penjaga lambung kiri kapal mau kasih laporan. Usul saya. suaranya dimuat di speaker biar Bu Kapten bisa ikut mendengar. Bagaimana Bu Kapten, usul saya diterima atau tidak?"

"Diterima!"

"Oke!" Bidik berseri-seri sewaktu usulnya diterima.

"Speaker dinyalakan!"

Terdengar suara kresekkresek seperti statis.

"Silakan masuk. Penjaga?"

"..Gini' ya. lu buruan kasih tahu bos gila lu yang di atas sana. biar dia nyusul ke bagian mesin di bawah sini..."

Semua kru kapal mendadak menemukan pemandangan yang mengasyikan di sekitar kapal yang berantakan. Tidak ada seorang pun menoleh ke arah Aqua yang mukanya perlahan-lahan memerah seperti warna rambut oranyenya.

"Bos gila yang Anda maksud sedang mendengar perintahmu," kata Aqua dingin. Tangannya terlipat di dada.

"Ada masalah apa di bawah sana sampai butuh ditemenin, Sayang?"

Hening beberapa jeda. Suara kresek-kresek terdengar beberapa saat, dilanjutkan suara menggerutu seperti kumur-kumur " siapa orang goblok yang sok ngejilat nyalain speaker? Belum ngerasain golok gue ya...!" Lalu strawberi menelan ludah.

"Aha, Bu Kapten, ahahahaha... ehm. saya tadi cuma bercanda kok."

"Lucu sekali. Hahahaha! Beneran lucu!" Aqua tertawa dibuatbuat. Tawa Strawberi kontan juga ikutan menyembur. Bidik menoleh kiri-kanan dengan bingung, lalu ikut tertawa terbahakbahak juga. Aqua melirik Bidik, mendelik tajam kepadanya.

"Apa apaan ketawa? Nggak lucu!"

Bidik mengatupkan mulut cepat-cepat.

"Ada masalah apa di bawah sana? ' tanya Aqua sekali lagi. Suaranya terdengar dingin, membekukan udara.

"Uhm..." Terdengar suara kresek-kresek.

"Di sini ada sesuatu yang sedang mengunyah bagian mesin."

Aqua tertegun sesaat.

"Me... ngunyah' '

"Ya, mengunyah. Mengunyah seperti menggigit. Saya dengar suara mengunyah... krauk, krauk, krauk... gitu seperti suara anak saya lagi mengunyah krupuk. Tapi ini sih suara besi dan metal yang bertumbukan. Kling, kling, kling... Begitu bunyinya. Kayak suara baut yang jatuh ke lantai..."

Aqua berbalik ke arah Bidik. Dahinya berkerenyit. Mata melotot sampai bolanya seperti mau melompat dari sana.

"Bidik!" panggilnya kencang.

"Tambah kecepatan kapal!"

" saya nggak bisa nambahin kecepatan kapal." Bidik

berdiri takut takut sambil melirik ke arah atasannya. Tubuhnya yang kecil semakin mengerut seperti liliput.

"Bagian mesin kan sedang memperbaiki kerusakan..."

Suara kresek-kresek terdengar lagi dari speaker.

"...ada yang datang! Suaranya udah berhenti. Bayangan itu... OOOH, lucu sekali. Lihat nih! Ooooh, sini, sini... sama Papa ya... Aih, lucunya kamu. kucing kecil yang manis. Sini, sini, si... AAAAWWWWW! ADUH! AWAASS! AWW' W TOLOOOONGGGG!"

Suara statis mengisi suara di speaker. Tidak ada suara lain selain kresek-kresek yang menegangkan. Semua orang di atas dek saling memandang lalu menatap speaker dengan pandangan memohon, mengharapkan keajaiban speaker akan berubah menjadi televisi flat sereen yang menampilkan apa yang sedang terjadi di lantai mesin.

Aqua melangkah maju, mengambil mikrofon yang menghubungkannya ke ruang mesin.

"Halo?" panggilnya ragu-ragu.

"Bagian mesin? Halo? Siapa yang ada di sana? Jawab dong! Ada apa sih! Spadaaa..."

Tidak ada suara apa pun. Hanya statis yang mengisi udara.

**

"Ini benar-benar nggak normal. Sumpah deh. Sampai kucing jadi vegetarian, mana ada ikan hiu yang mau menghela kapal seperti kerbau menarik gerobak?"

"Berisik melulu. Bisanya nyela aja dari tadi," sentak Xander.

Oryza menyambut ucapan Xander dengan dahi berkerut. Dia nyaris menyemburkan sesuatu untuk membuat Xander sakit hari. tapi Pax lebih cepat menengahi.

"Ini pasti perbuatan sihir. Rasanya kita sudah dekat sekali dengan Pulau Varaiya," komentar Pax lirih.

"Pikirin aja. kucing mendadak menjadi preman. lkan hiu bergaya aktris Baywatch. Torpedo muncul begitu saja dari tengah lautan."

Oryza tertegun memandang Pax yang sedang termenung. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Tanpa sadar, dia tergagap melihat lirikan mata Pax bergerak ke arahnya, memandangnya.

"Aku bersyukur ikan hiu itu nggak jadiin kamu bakso." Hati-hati disentuhnya punggung jari Pax.

"Tapi sepertinya prediksi kamu betul, kita semakin mendekati Pulau Varaiya'

"Aku sudah nggak sabar mendarat di pulau sok nyeleb itu." Xander terkesiap melihat gerakan Oryza, melototi Pax yang tampak bahagia duduk di sebelah gadisnya.

"Jangan keliatan terlalu senang dulu. Si ikan hiu nggak ngebaksoin kamu mungkin karena kamu bau badan. Atau mungkin dia keliatan cukup cerdas untuk ngerjain kita semua ke skenario yang lebih hebat."

"Skenario apa?" Pax berusaha mengabaikan kata-kata Xander yang tentang bau badan. Tentu dia akan buat perhitungan, tapi yang jelas nggak sekarang.

"Skenario yang bakal menghancurkan kita semua. Dengan lebih menderita, mengenaskan, sengsara, pilu, hancur lebur..."

Oryza mendelik ke arah Xander.

"Inspiratif sekali."

"Aduh, nggak perlu sinis deh. Pikirin baik-baik pakai nalar. Alam menciptakan sesuatu dengan tujuan tertentu. Ya, kan? Ingat pelajaran biologi? Coba lihat gigi ikan hiu yang banyak dan supertajam itu. Kamu pikir untuk apa gigi-gigi itu? Merangkai bunga? Memasang jemuran baju? Atau mencabik-cabik kita semua?"

Pax berusaha keras tidak memikirkan ikan hiu. Dia membayangkan reaksi bosnya yang pasti sudah tiba di kantor pada jam seperti ini. Dia membayangkan kemarahan bosnya setelah tahu lagi-lagi dia tidak masuk. Dia membayangkan rapat tanpa persiapan apa-apa sebab materinya hanya dikuasai oleh dirinya seorang. Dia membayangkan...

Memikirkan kantor membuatnya sakit perut. Lebih baik memikirkan hal lain. Seperti, memikirkan ikan hiu.

**

Ruang kemudi dan torpedo hening. Seluruh kru yang berada di sana berdiri dengan posisi tegang tanpa sanggup berkata apaapa. Wajah mereka mendongak memandang speaker seperti menunggu keajaiban. Lima menit berlalu, tidak ada apa-apa.

Strawbeti menautkan alisnya sehingga bertemu.

"Apa yang dia bilang tadi? Kucing? Hewan bisa ngeong-ngeong yang lucu itu atau sebenarnya kucing adalah kata gaul para pelaut yang artinya 'monster paling menyeramkan dari dasar lautan?"

Aqua menggelengkan kepalanya keras-keras seperti berusaha membangunkan dirinya dari tidur panjang. Dia mulai curiga dia sedang bermimpi sepanjang waktu ini.

"Mbak Strawberi benar atau nggak sih? ' tanyanya kepada Bidik.

Bidik masih dalam keadaan shock. belum dapat ditanya apa, apa. Suara statis dan kresek-kresek yang berasal dari speaker mengencang lagi. Seorang kru, bawahan Bidik, menghormat kepada Aqua.

"Lapor, Bu Kapten! Kita sudah tersambung dengan bagian mesin. Dia ingin sekali menyampaikan laporannya kepada Bu Kapten! Siap dilaksanakan perintah Bu Kapten!"

"Ya, kita dengerin laporannya. Perbesar volume speaker!"

Orang itu menekan beberapa tombol. Suara kresek-kresek dan statis semakin terdengar mengganggu.

"...Bu, tidak bisa dikendalikan lagi! Demi jenggot Neptunus, binatang itu menyerang Mas Ito! MAS ITO, BAYANGIN! Kucing itu... kuping Mas itu..."

Semua terpaku. Terdengar jeritan dan suara besi beradu kencang dengan material lain. Lalu suara ledakan berkalikali.

'i..di mana pistol sekuriti? Tembak aja tuh kucing pembawa

sial! Tembaak! Apa? Hah, nggak mati... ulangi... nggak mati. Kucing itu tidak mempan ditembak dengan pistol..."

Aqua mendekatkan mikrofon ke mulutnya.

"Bentar, bentar. Saya jadi bingung dengernya. Kita samakan persepsi dulu. Hewan yang kamu sebut kucing itu kucing beneran? Empat kaki, berbulu, punya kumis, dan mengering? Yang senang tidur dan bermalas-malasan? Yang pinter nangkap tikus dan lari kalau dikejar anjing? '

"Benar, Bu Kapten. Tambahan lagi, penampilannya benar benar lucu dan gendut. Tapi... AAAAAAAAWVVVVWW!" Terdengar suara berisik sebagai latar belakang.

"ADUH! SAKIT!!!"

Terdengar suara statis lagi sebelum hubungan terputus seketika. Aqua dan Strawberi berpandangan. Mata mereka membelalak.

"Orang'orang tolol," dengus Aqua sambil mengangkat dagu tinggi tinggi.

"Begitu saja heboh, nggak bisa ngendaliin diri. Ayo, Cempedak. kita urus sendiri masalah ini! Kita tuntasin sampai ke akar'akarnya. Seorang kapten kapal memang harus turbo alias turun ke bawah."

"Eh. capek deh, namaku Strawberi. Straw-be-ri! Bukan cempedak atau jus nanas atau minuman rasa mangga!" Air muka Strawberi berubah, dia memasang wajah skeptis.

"Kamu yakin kita bisa menyelesaikannya?"

"Cis!" Aqua mendengus dengan lagak sombong.

"Itu hanya seekor kucing kok. KUCING! Kucing, bukan harimau atau macan kumbang. Apa yang perlu ditakutin dari seekor kucing?"

Bidik takut takut menghormat di antara mereka.

"M-maaf; Bu Kapten, memotong pembicaraan. Tadi barusan dapat laporan dari kamar mesin. Keliatan orangorang di bawah sana coba pakai granat dan tetap nggak mempan. Katanya granat malah membuat kucing itu semakin menggila. Mereka mohon supaya

dikirimi roket ke bawah. Yang buatan Amerika, bukan Cina. Yang asli. bukan aspal. Yang pakai garansi tiga tahun, jangan yang BM."

Aqua mengabaikan ucapan Bidik, malah menggamit tangan Strawberi.

"Mereka nggak butuh roket. Kucing keparat itu belum tahu kekuatan sihir kita berdua. Ayo cepat, kita kuliti dia hidup-hidup! Aku sudah nggak sabar melakukan pembalasan dendam."

"Jangan cuma dikuliti," Strawberi mengikuti langkah Aqua menjauh dari ruangan kemudi.

"Kira buat tongseng kucing!"

**

Tiga puluh menit berlalu. Sekoci penyelamat terseret dengan kecepatan stabil berkat helaan ikan hiu. Lautan berubah warna. dan biru kehijau-hijawan menjadi biru zamrud. Untuk pertama kalinya, Nuna berdiri, tangannya menuding.

"Lihat pulau di sana?" tanyanya bangga.

"Itu Pulau Varaiya. Sebentar lagi kita bakal tiba di sana."

Seluruh penumpang berdiri berdesak-desakan, membuat perahu kecil itu bergoyang-goyang keras.

"Mana? '

"Mana?!"

"Jangan berdiri semua!" perintah Nuna tegas.

"Nanti sekoci akan kehilangan keseimbangan dan terbalik."

Semua duduk, kecuali Pax yang masih berdiri di sebelah Nuna. Tangannya diletakkan di dahi, menutupi mata dari sengatan matahari. Dahinya berkerenyit.

"Bener deh, aku sangat kenal dengan pulau ini. Kayak temen dekat. Dari jauh, sangat mirip..."

Nuna menoleh kepadanya.

"Eh gini ya." katanya dengan air muka datar.

"Semua pulau tuh pasti kelihatan sama dari jarak sejauh ini."
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh ya?

**

Suara berisik membelah ruang mesin yang pengap karena kekurangan cahaya. Bau oli memenuhi udara. Percikan sinar dan cahaya bei-pendaran sejak lima belas menit lalu, tapi sekarang lampu padam dan ruangan gelap gulita. Terdengar suara derap kaki yang berlari sembarangan. Suara terengah-engah dan jeritan perempuan.

"Lari! Ke sana! Cepetan!" Sosok gelap yang di belakang mendorong sosok yang berada di depannya. Terdengar suara gedebuk dan teriakan mengaduh.

"Bukan lewat sana! Itu tembok, goblok! Sini! Lari ke sini!"

"Aku nggak bisa lihat apaAapa nih! Gelap banget sih. Aku nyalakan sihir..."

"Jangan pakai sihir. Kucing kampret itu bisa mendeteksi di mana kita berada! Biarin saja ruangan gelap gulita seperti ini."

Langkah kaki semakin tersaruk'saruk. Terdengar gerutuan, membalas ucapan tadi.

"Tapi ini gelap sekali! Ya ampun, beneran deh aku nggak bisa lihat apa-apa!"

"Lewat sini!" Strawberi menyambar lengan baju Aqua dalam kegelapan."Lihat. itu pintu, kan. Ada cahaya. Kita lari ke sana!"

Pintu ditarik terbuka dengan kencang. Sinar yang masuk langsung menyilaukan mata Aqua. membuat pemandangan matanya menjadi putih total. Dia mengerjap'ngerjapkan mata mencari penglihatan tapi malah seperti kehiLangan ingatan.

"Kucing setan!" makinya dengan tubuh gemetar ketakutan.

"Itu sih bukan kucing. Itu beneran setan dari neraka."

Hebat banget. sihir strawberi nggak ada yang mempan. "Dia bisa menahan!" seru Strawberi, campuran antara panik, marah, dan tersinggung.

Aqua buru-buru menutup pintu, menguncinya, dan menyegelnya dengan palang kayu yang ditemukan di lantai kapal. Terdengar suara meongan, lalu suara benda-benda bergesekan dan runtuh. Strawberi menoleh ke belakang, seakan-akan berusaha mencari sosok yang ditakutinya dalam kegelapan. Tapi tatapannya hanya terbentur pintu. Dia terlalu nervous untuk menyadari bahwa jarak antara mereka berdua telah dipalangi pintu.

"Apa sih yang lagi dikejarnya? Pasti bukan cuma tikus." Aqua bergerak ke arah kanan. Dia berbisik ke telinga Strawberi,

"Cepat, kita lewat sini saja!"

"Ke mana?"

"Sekoci penyelamat." Aqua menghela napas panjang.

"Aku nggak seneng ngebayangin bakal kehilangan dua kapal pesiar dalam tempo dua hari. Tapi ini dalam keadaan darurat. Kalau kita selamat melewati ini semua, ingatin aku untuk memesan asuransi tambahan dan empat kapal pesiar sekaligus.."

Tiba-tiba mereka melihat Bidik sedang berlari ke arah mereka. Tatapannya tidak lebih panik daripada mereka berdua. Kancing bajunya di bagian atas terbuka dengan kerah yang berkibar-kibar. Rambutnya basah sebagian karena keringat yang mengucur di dahi.

"Bu Kapten!" serunya terengah-engah. Dia sampai lupa memberi hormat yang biasa dilakukan. Tampaknya ada hal lebih penting yang ingin disampaikan.

"Anda selamat. Bu Kapten? Syukur kepada nenek moyang penyihir. Saya tadi dengar gosip Anda tewas di ruang mesin karena diserang kucing."

"Tewas?!" lengking Aqua kesal.

"Seenaknya saja! Sungguh suatu penghinaan! Pelecehan! Pecat orang yang nyebarin gosip Jelek tentang pemimpin kapal ini!"

"Ngg..." Bidik semakin berkeringat. Dia menyeka tetes-tetes air yang membasahi pipinya.

"...orang yang nyebarin gosip dalam keadaan pingsan. Kucing itu... menyerangnya."

Ada gempa yang mengguncang hati Aqua. Sejenak dia tegang, tidak berkata apa-apa. Strawberi memandang Aqua, melihat perubahan air muka gadis itu. Dia memberanikan diri untuk bertanya kepada Bidik.

"Apa ini jalan yang benar menuju sekoci penyelamat?"

"Benar! Kenapa emangnya?"

Aqua tampak malu diserang pertanyaan yang tak terduga itu.

"Aku tahu kapten kapal tak akan meninggalkan kapal dan krunya begitu saja. Tapi ini dalam keadaan darurat! Keadaan darurat tidak..."

"Ah! Ah hahaha..." Bidik tertawa salah tingkah.

"Saya rasa begitu... tapi... ahahaha, ada sesuatu yang harus Bu Kapten... ahahaha, tahu...

"

"Apa?" tanya Aqua tak sabar.

"Cepat deh kalau ngomong, jangan bertele-tele. Situasi lagi nggak aman."

Bidik menarik napas, lalu mengembuskannya pelan-pelan.

"Begini, Bu Kapten, jangan marah ya. Sebenarnya kami lupa menyiapkan... eh... itu. lupa menyiapkan sekoci penyelamat di kapal pesiar ini."

**

SEKOCI itu bergoyang-goyang mengikuti gerakan ombak, terseret ke pantai. lkan hiu melepaskan gigitannya. Gerakan maju sekoci menjadi lebih lambat. Terdengar suara debur ombak memecah pantai. Warna pasir cokelat keputih-putihan yang dari jauh sebenarnya lebih pucat, membentang dari ujung ke ujung. Suasananya sepi. Langit biru tampak seperti payung besar yang melindungi terik matahari pantai.

"Ini yang namanya Pulau Varaiya?"

Nuna mengangguk. Dia melompat turun dari sekoci. Laut hanya setinggi lututnya. Kecipak air membasahi bagian atas celananya yang sudah dia gulung sampai ke paha. Dengan sigap dia membuat simpul tali di ujung sekoci, lalu mulai menariknya menuju pantai.

"Kenapa kita dapat melihatnya sekarang? Katanya pulau ini disihir hilang?"

"Sebenarnya semua orang dapat melihat kalau sudah memasuki radius perlindungannya. yaitu sekitar beberapa kilometer lepas laut. Selewat itu, pulau ini tak pernah tampak."

"Bahkan di peta?"

"Ya."

Oryza menoleh ke belakang, memandang ikan hiu yang berusaha mendekati sekoci mereka.

"Ikan hiu itu aneh banget deh," katanya heran.

"Maksudnya apaan sih? Kita harus pamit dan bilang selamat tinggal sama dia?"

Xander melompat turun dari sekoci, membantu Nuna menarik sekoci sampai ke daratan. Satu per satu turun dari sekoci, menyentuh pasir lembut yang terasa hangat. Matahari pagi belum lagi menyengat. Pax melempar tatap ke arah laut, tangannya melindungi wajah.

"Hmmm...," gumamnya. Dia berjalan menembus ombak laut yang memecah di kaki pantai.

"Pasti tebakanku betul kan. Nuna? Betul nggak? Betul? Betul, kan? Pasti betul!"

Nuna menyusulnya. Gadis itu hanya mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa. Ombak semakin tinggi ketika mereka berjalan menjauhi pantai.

"Pax." Oryza baru menyadari Pax tidak berada di pantai. melainkan bersama Nuna berjalan menuju ikan hiu.

"Ngapain sih dia di sana? ' serunya heran.

Xander ikut-ikutan mendongak. memperhatikan dua sosok yang semakin mendekati ikan hiu.

"Pax beneran ngidam sushi."

"Mereka..." Oryza ternganga tidak percaya.

"...mereka... menyeret ikan hiu. ke sini. Gawat. Mereka ngapain sih?"

Bayangan Pax dan Nuna menyeret ikan hiu semakin jelas. Binatang raksasa itu semakin meraksasa ketika mendekati pantai. Oryza menjerit, otomatis melangkah mundur beberapa kali sehingga bahunya menabrak pohon kelapa yang ada persis di belakangnya.

"Udah gila ya?" jeritnya kepada Pax.

"Bawa hiu itu balik ke laut!"

"E-eh, tunggu, jangan gitu. Lihat dulu baik baik nih."

Ikan hiu itu menyentuh pantai, lalu membalikkan tubuhnya

menghadap horizon. Nuna berlari ke arah sekoci, menyambar tas yang berada di sana. Dia kembali, melempar tas tersebut di sebelah ikan hiu. Dalam hitungan detik. ikan hiu berwarna abuabu itu mendadak berubah wujud. Sosoknya meninggi, berubah warna, dan berambut.

"Hai?"

"Pak Kapten!"

Kini tidak ada lagi ikan hiu, yang ada seorang lelaki bugil yang memandang ke arah berbeda. Dia buru-buru mengenakan pakaian yang berada di dalam tas, lalu menoleh ke arah rombongan yang sedang memandangnya dengan ekspresi berbedabeda. Dia melakukan gerakan menghormat kepada Xander dan Oryza yang maSIh melongo.

"Kayak yang sudah aku tebak dari tadi. Pinter deh gue." gumam Pax sambil melipat tangan di dada.

"Seumur-umur aku nggak pernah percaya sama ikan hiu."

Oryza terlalu terkejut sehingga suaranya terdengar serak sewaktu bertanya,

"A-anda seorang penyihir? '

Xander menoleh jengkel kepadanya.

"Apa yang kamu pikirin memangnya? Tukang sulap keliling? Ya iyalah, sudah pasti dia penyihir?

Pak Kapten tertawa lebar. Kulitnya yang berwarna cokelat tua mengilat keemasan dipantulkan matahari pantai. Sekali lagi dia membungkuk hormat kepada semuanya.

"Maaf, saya mengagetkan kalian semua dengan cara ini. Mari kita berkenalan sekali lagi dengan lebih normal. Saya Elvhuiq Hui Lowhg. Seperti yang Nuna bilang kemarin, kan sulit menyebutkan nama lengkap saya. Panggil saja saya dengan Pak Kapten, penyihir level sembilan."

"Level sembilan!" ucap Samudra kagum.

Xander menoleh ke arah Pax dengan jengkel.

"Kalau lu dapat mengubah diri jadi binatang, kenapa nggak mengubah diri lu jadi ikan hiu tadi?"

Pax berdiri salah tingkah. Dia berharap Oryza tidak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan Xander.

"Sebenarnya gue..." bisiknya, berusaha keras tak terdengar. Tapi sepertinya gagal, Oryza tertarik ingin mendengarkan.

"Ngak pinter-pinter banget buat mengubah diri menjadi jenis ikan ikanan. Lagian, tadi gue kelewat panik sampai lupa panggilan mantranya."

"Payah!"

Oryza mendelik ke arah Xander.

"Lalu kenapa kamu juga tidak punya ide kayak gitu?"

"Karena aku tidak sudi menyihir diriku menjadi binatang," katanya angkuh sambil mengangkat dagu.

"Cuih cuih, apa pun yang terjadi."

Oryza menipiskan bibirnya. Kesebalannya berlipat ganda melihat gaya Xander yang menyebalkan. Para penyihir yang mampu menjadi manusia dengan wujud lain sering kali merasa terlalu sombong untuk menyihir diri menjadi binatang. Padahal mungkin saja mereka lupa cara merapal jampi-jampinya karena jarang latihan.

Jampi-jampi atau ucapan sihir yang menghasilkan pemanggilan daya sihir tidak semudah itu dilakukan. Perlu latihan dan penguasaan tekniknya, ditambah dengan bakat sihir yang mereka punyai. Para penyihir tingkat tinggi yang mampu mengubah diri menjadi manusia lain sering kali hanya menyempurnakan latihannya pada tingkat manusia saja. Pada level binatang. mereka acap kali lupa dan malas. Entah apa penyebabnya. Mungkin karena gengsi atau sok. Ini sih menurut Oryza, setelah bertahun. tahun hidup dan mengenal Xander dengan baik.

Setiap pagi. Oryza melatih pernapasan. yoga. olah Fisik. dan konsentrasi. Empat hal yang dibutuhkan seorang penyihir tingkat tinggi untuk mencapai kesempurnaan rapalan sihir. Sihir bukan terjadi begitu saja saat jampi-jampi diucapkan, tapi dibutuhkan kekuatan daya tahan Fisik dan kemampuan konsentrasi

tingkat tinggi. Apalagi jampi-jampi sihir' yang mengubahkan diri menjadi manusia atau hewan.

Dan transforsi tentu saja.

Transfor-si adalah pemindahan fisik secara tak kasatmata dari satu tempat ke tempat lain. Penyihir yang memiliki kekuatan level tujuh ke atas seharusnya mampu melakukan aktivitas sihir ini. Transforsi membutuhkan keterangan yang jelas dari poin A ke poin B. Misalnya dari sofa cokelat yang ada di depan TV ke ranjang berseprai bunga-bunga kecil di kamar tidur. Penyihir membutuhkan konsentrasi yang sangat kuat untuk memvisualkan tempat yang akan ditujunya. Ranjang berseprai bunga-bunga kecil bisa berada di mana-mana, tapi secara spesifik berada di kamar sana. Kesalahan-kesalahan penyihir saat bertrasnforsi bisa mengakibatkan kecelakaan-kecelakaan yang fatal, seperti muncul di tempat lain yang tidak dimaksudkan. Misalnya, ranjang berseprai bungabunga kecil bisa saja membawa seorang penyihir yang salah bertransforsi dengan berakhir di penjara, pameran ranjang di mal, atau di rumah orang lain di negara lain. Tidak banyak penyihir yang mampu bertransforsi dengan sempurna tanpa terjadi kecelakaan-kecelakaan. Sebab itu. banyak penyihir yang enggan melakukan transforsi untuk menghindari efek yang tidak diinginkan.

Dengan tingginya kemajuan teknologi yang dikembangkan oleh kaum jelata, banyak penyihir yang akhirnya menunggangi teknologi. Kemalasan mereka untuk menghasilkan daya sihir kreatif semakin menjadi-jadi sehingga menciptakan keprihatinan di komunitas penyihir. Kritik-kritik sosial tentang hal ini bertebaran di masyarakat penyihir, menjadi obrolan minum kopi. tertulis di esai'esai buletin dan koran penyihir intelektual, sampai dengan debat berkepanjangan di forum penyihir profesional.

"Saya sih senang bisa mengubah diri menjadi ikan hiu. Enak

bisa berenang di lautan luas seperti tadi." Pak Kapten tertawa terbahak'bahak.

Xander melirik Pax lalu tersenyum jail.

"Oww, saya ngerti maksud Pak Kapten kok. Saya pernah dibilangin sama penyihir yang juga merasa happy kalau mengubah diri menjadi binatang peliharaan."

Serta-merta Pax merengut, melirik Xander. Yang dilirik tampak tidak peduli terhadap efek tantangannya.

"Terima kasih Pak, karena sudah menarik kami ke pantai," kata Oryza. tidak menyadari keganjilan yang terjadi di depannya.

"Terima kasih juga sudah menyelamatkan Pax."

Pak Kapten mengangguk takzim.

"Saya sudah dibayar untuk membawa kalian ke Pulau Varaiya. Ini adalah bentuk servis dan tanggung jawab saya."

Oryza memandang sekeliling dengan penuh perhatian. Rasa senangnya karena telah mencapai pulau yang ingin didatangi membuat Oryza melupakan marabahaya yang menghadang mereka semua di masa depan.

"jadi ini adalah Varaiya?"

"Yup." Pak Kapten menggulung tali, lalu menyangkutkan di cantelan yang berada di dalam sekoci.

"Parlemen Penyihir Varaiya memiliki istana yang berada di balik hutan sana. Agak ke arah barat. Kalian bisa ke sana untuk mencari Tamerit."

Mata Xander seketika berkilau mendengar obat yang dapat menyembuhkan Zea dan Sola.

"Orang-orang parlemen ini..." Dia menelan ludah.

"...Tahu apa yang kita cari? Apa kita harus nyogok mereka atau kasih sesuatu buat mereka?" Suara Xander memelan. Dia tidak bisa membayangkan mereka harus menyiapkan uang dalam jumlah besar demi mendapatkan barang spesial itu.

Pak Kapten mengangkat bahu.

"Entahlah. Saya tidak pernah bertemu dengan mereka. Biasanya sih saya cuma menunggu para penumpang balik ke pantai. Tapi berdasarkan pengalaman, yah... mereka nggak pernah balik."

"Pak Pak... Jangan menakut-nakuti seperti itu dong! Bikin patah semangat aja," potong Oryza berdeham keras.

"Tapi saya nggak efek ditakut-takutin kayak gitu. Ini urusan serius, Pak, nyawa kakak dan adik saya berada di tangan saya. Mereka benar benar berada dalam bahaya."

"Kalau saya . Saya nggak mau kehilangan anak perempuan saya seperti...." Samudra ikut berbicara setelah tersendat,

"...s-saya kehilangan i-istri... baru-baru ini." Air muka Samudra tampak sedih seketika. Dia melamun, melempar pandang ke arah cakrawala. Matanya berkaca-kaca.

Nuna menoleh ke arah Oryza, mencondongkan tubuhnya sedikit ke arahnya.

"Sori nih, aku mau tanya. Blak-blakan aja ya, pernah nggak terpikir untuk membawa papamu mengikuti terapi? Biar dapat pertolongan profesional dari psikolog. Maksudku biar dia tenang aja. Sori ya, sori, jangan tersinggung, niatku baik. Ini sekadar saran kok."

Oryza mau menjawab omongan Nuna, namun Pak Kapten melambaikan tangannya. Ucapan Pak Kapten membuatnya urung berkata apa-apa kepada Nuna.

"Sana pergi sebelum terlalu malam. Saya akan menjaga sekoci." Pak Kapten mendongak, mengamati pohon-pohon.

"Hmmm lihat deh. Batang-batang pohon yang tumbuh di pulau ini keliatan kokoh. Saya mau buat perahu dari kayu. gantiin Duyung Tergoda. Kalau kalian udah selesai berbisnis, baliklah segera. Perahu chip Mata Duyung pasti udah siap."

Wajah Oryza berkerut mendengar chip Mata Duyung.

"Berapa lama Pak Kapten bakal menunggu kami?"

"Sampai mayat kalian ditemukan."

"Mayat... Maksudnya?!" Xander seperti kesetrum listrik tegangan tinggi. Dia tidak kuat menahan rasa sewotnya, langsung menunjukkan dengan jelas.

Pak Kapten tertawa terbahak'bahak.

"Eh, saya bercanda ding,

jangan Kasih tampang sengsara seperti itu. bukan begitu maksudnya. Saya akan menunggu di sini sampai waktu yang lama sekali. Nggak usah kuatir! Saya tidak akan meninggalkan kalian."

Oryza merengut seperti Xander. Air mukanya masam, matanya mendelik penuh arti.

"Nasihat yang sungguh'sungguh menenangkan jiwa-raga."

"Papa!" panggil Nuna tiba-tiba. Sebisa mungkin dia terlihat tenang, tapi gugupnya tidak dapat ia pungkiri. Nuna melirik Xander, membulatkan tekad dan niat. Terasa angin berembus, mempermainkan rambut Xander, membuat lelaki itu semakin keren di matanya. Nuna tak membiarkan keheningan mengisi jeda di antara mereka.

"Boleh saya ikut mereka?" tanyanya lembut kepada Pak Kapten.

"Ikut? Ngapain?" Pak Kapten geleng-geleng,

Nuna melepaskan napas panjang. berharap napas itu dapat menjawab pertanyaan ayahnya yang sulit dijawabnya.

"Nggak ngapa'ngapain. Kepingin ikut aja."

Pak Kapten telah mengendus sesuatu jauh sebelum mereka mendarat di pantai. Dia memperhatikan air muka anak perempuannya yang mendadak bersinar-sinar secerah bintang di langit malam. Coba bilang. siapa yang belum pernah jatuh cinta? Walaupun dia lelaki, dia tahu seperti apa seorang perempuan yang sedang jatuh cinta. Almarhum istrinya dulu mati-matian mencintainya. Dan Nuna adalah replika istrinya. Sebagai ayah. tentu saja dia mengerti.

Pak Kapten memandang anak perempuannya sambil tersenyum.Jawaban Nuna menggaung memenuhi seluruh jantungnya yang bergemuruh. Sebagai ayah. dia merasa kebahagiaan yang sangat gamblang.

"Boleh," cetusnya lembut.

"Tapi kamu harus bisa menjaga diri. Jangan pulang-pulang menjadi mayat."

Rahang Oryza seperti terjatuh.

Nuna melonjak senang. Pipinya seketika memerah jambu saat

izin dari ayahnya berhasil keluar. Dia berlari, memeluknya erat' erat, dan mencium kedua pipi Pak Kapten. Dia berharap. ciuman itu dapat mengalirkan rasa yang memenuhi hatinya ke dalam hari ayahnya.

"Sudah, sudah!" kata Pak Kapten tertawa-tawa.

"Pokoknya hati-hati. Jangan sampai terbunuh."

"Nggak banget. Papa!"

Rahang Oryza seperti terjatuh (lagi).

Berlima mereka berbalik, berjalan pelan-pelan menuju ke arah yang berlawanan dari laut. Pasir terasa empuk di kaki. Sandal mereka meninggalkan jejak-jejak berantakan di sepanjang pantai. Sejauh mata memandang, tidak ada jejak manusia. Sepanjang pasir cokelat muda tampak lubang-lubang tempat kepiting kecil membuat Uangnya. Semakin menjauhi pesisir, rumput hijau mulai menampakkan dirinya.

Tiba-tiba Xander berhenti melangkah. Dia berdiri tegak,jarijarinya menyentuh dagu. Tatapannya terlihat bingung.

"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Oryza ikut-ikut berhenti berjalan. Dia menatap Xander dengan penuh selidik. Aura tegang terlihat memberontak pada sepanjang kedua sisi samping wajahnya.

"Kok aneh. Rasanya tempat ini sangat familier."

"Familier?"

"Sepertinya... gue pernah ke sini."

"Tuh. betul kan? Lu juga bisa ngerasain ya?" tanya Pax seketika bersemangat.

"Dari tadi gue merasa seperti pernah ke sini."

Xander menoleh ke kiri. melempar pandangan jauh sambil melamun seakan akan dia sedang terjadi dalam keadaan koma yang tak dapat dibangunkan. Matanya menerawang. Oryza berdiri di sebelahnya dengan rapat, diam diam memperhatikan Xander. Orvza segera mencium wangi tubuh lelaki ini. Sangat

maskulin, terasa begitu dekat dengannya. Wangi yang berbeda dari wangi lelaki lain yang dikenalnya. Wangi yang mengingatkan masa kecil mereka berdua. Wangi yang mengingatkan akan segelas lemon dingin di hari yang panas. Wangi yang mengingatkan akan segenggam ruang yang hanya dimiliki mereka berdua.

"Ini cuma pantai biasa," kara Oryza memecah kebisuan.

"Pantai biasa ," gumam Xander menghela napas sambil melempar pandang kepada Oryza. Dia ingin menggenggam tangan perempuan itu untuk menyalurkan perasaannya yang dingin, namun seperti yang sudah-sudah, Xander tak melakukannya.

"Bukan pantai biasa. Aku punya perasaan yang berbeda..."

"Saya ngerti apa yang dimaksud Xander. Ini bukan pantai biasa. Bagi saya, pantai ini mengingatkanku pada mendiang istriku " gumam Samudra pelan.

Mereka bertiga menghela napas.

Nuna memutar bola mata.

Oryza masih terbius mencium wangi tubuh Xander.

**

Bidik berdiri mengerut dihunjam pelototan tajam dari dua perempuan. Langit berwarna biru terang dengan cahaya matahari yang masih hangat jatuh di dek. Walaupun sinarnya belum menyengat, lelaki itu sudah mandi keringat.

Aqua melotot memandang Bidik.

"Oke, jadi begini kesimpulannya, kita bertiga terjebak di kapal pesiar yang mogok bersama kucing jadi-jadian dari neraka?!"

"Yah " Bidik menggigit bibirnya, cuma itu yang bisa dia bilang. Matanya mengerjap panik seperti kucing yang terjebak di ruang sempit tanpa jendela."Seperti itu gambarannya. Kurang-lebih."

Hening itu terasa jelas. Tidak ada suara kecuali deburan ombak dan teriakan burung di atas laut.

"Oke!" seru Strawberi menepuk tangan, memecahkan kebisuan di antara mereka. Dia nggak tahan dengan kebisuan.

"Peraturan pertama perlautan: Jangan panik."

"Iya hehehe..." Bidik terkekeh salah tingkah. Dengan segala daya, dia membuka mulutnya agar terdengar suara dari dalam dirinya.

"Jangan panik, siap beraksi. menyelamatkan geladak, beserta isinya. Siap, Bu Kapten!"

"Bagus!" Aqua tertegun sejenak mendengar ketegasan suara Bidik.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang? Ada saran?"

"Saran nggak ada." Bidik mengangguk dengan hati berat.

"Cuma mau bertanya kepada Bu Kapten yang murah hati apa sekarang saat yang tepat buat minta kenaikan gaji?"

Aqua melempar tatapan kejam ke arahnya.

"TIDAK!" tegasnya dengan nada marah. Bidik kembali mengerut seperti seekor trenggiling yang kehujanan.

Strawberi tidak tahan lagi.
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana kalau kita melancarkan serangan balasan?"

Aqua memandang Strawberi lekat'lekat, tahu mereka memiliki waktu yang tak banyak. Dia langsung berpikir tentang sesuatusesuatu yang dapat menyelamatkan mereka bertiga. Mungkin benar. Strawbeti, seorang penyihir hebat. Seperti neneknya yang mampu hidup sampai ratusan tahun, Aqua yakin Strawberi juga memiliki kekuatan Fisik seperti neneknya. like grandmother. like granddaughter . Bukankah begitu peribahasanya? Beda sedikit tidak apa-apa sebab semua perlu modifikasi untuk bertahan di zaman sekarang. Membayangkan rencana itu, sebentuk senyum merekah di wajah Aqua.

"Ya. kamu jenius." gumamnya perlahan.

"Mungkin kamu benar. Sepertinya kita harus melakukan rencana balasan..."

Strawberi tersenyum tenang. Betul, kan? Aqua selalu tahu segala-galanya.

**

Pax bergerak paling lambat, berjalan paling belakang. Otaknya penuh pikiran yang simpang siur. Terbayang wajah bosnya yang pasti bete berat karena dia tidak masuk hari ini. Sudah lima tahun dia bekerja di bawah tekanan si botak. Mungkin sudah saatnya dia berkembang dengan pindah ke tempat lain.

Maksudnya, seperti bekerja di perusahaan tempat Oryza bekerja.

Memikirkan bekerja bersama Oryza membuat hati Pax menghangat. Kapan ya wawancaranya? Dia tidak boleh lupa tanggal wawancaranya. Dia akan mempersiapkan diri dengan sempurna untuk wawancara tersebut. Lihat saja nanti! Kalau Pax bekerja di sana, betapa menyenangkannya. Dia bisa dekat dengan Oryza. setiap hari setiap saat setiap waktu. Setelah itu pelan-pelan dia akan merebut hati Oryza dari Xander. Mengingat nama Xander membuat jantung Pax seperti tergoreng di wajan panas. Dia tidak mengerti hubungan Xander dengan Oryza. Betapa pengecutnya lelaki itu! Kalau memang tidak tertarik dengan Oryza, kenapa tidak mengatakannya saja dengan terus terang? Kalau tidak tertarik, kenapa dekat-dekat gadisnya terus-terusan dan tidak berhenti menyakiti hati Oryza? Dasar buaya! Menyebalkan! Sombong! Lihat saja perbuatannya sekarang. Gara-gara Xander, sekarang mereka berada di pulau antah berantah yang tidak jelas letaknya di mana.

Pax mengusir nyamuk yang berdengung di sekitar lengannya. Biarpun matahari belum tinggi, udara terasa sangat panas. Keringat meleleh turun di leher dan punggungnya, menjadi lengket di baju. Pax merindukan AC yang menyejukkan di kamar kos dan kantornya. Apakah nanti gedung parlemen Pulau Varaiya dilengkapi dengan penyejuk ruangan, kulkas. dan mesin cuci

baju tunggu. Mungkin Pax harus mengingat-ingat sekali lagi apakah dia benar benar pernah ke sini.

Jangan-jangan...

Matanya tertumbuk pada pohon-pohon tinggi yang merapat di kiri-kanan. Batang dan ranting pohon tidak berwarna cokelat, melainkan biru kehijau-hijauan. Pax menyipitkan mata, memperhatikan semuanya dengan saksama. Aneh. Kayu jenis apa? Dia menghampiri sebatang pohon yang nyaris seluruh batangnya dipenuhi warna biru kehijau-hijauan yang bersinar-sinar. Dia memperhatikan baik-baik. lalu melongo. Tertegun tak percaya. Ternyata seluruh pohon di Pulau Varaiya ditutupi lumut yang berwarna biru kehijau-hijauan.

Diterpa matahari pagi yang keemasan, lumut itu memantulkan sinar berkilau. Pax memandang tarian cahaya kuning, hijau. dan biru yang dipancarkan dari batang pohon dengan kagum. Indah sekali. Belum pernah dia melihat hal seperti ini di tempat lain.

"Hei!" serunya mendongak, memanggil teman temannya.

"Coba lihat nih! Gila deh. Ada..."

Omongannya terputus.

Pax menengok kiri dan kanan.

Sepi.

Bisu.

Hening yang mencekam.

Hanya suara burung yang berkicau bersahut-sahutan. Tak ada suara lain yang memenuhi kepalanya. Pax terpana, seumur hidup dia tak pernah dijajah perasaan seperti ini. Perasaan ganjil yang memesona. Sekelilingnya hanya pohon'pohon rapat di dengan batang yang berwarna biru kehijau-hijawan memerangkap pemandangannya.

Dia sendirian.

Teman-temannya telah berlalu di depannya, entah ke mana.

Pax membuka mulut dengan penuh keraguan.

"Oryza?" serunya. Ekspresinya berubah drastis ketika gema suaranya memantul balik. 'Oryza? Nuna? Pak Samudra? Xander?"

Tidak ada suara jawaban. Tidak ada yang membalasnya. Pax memandang sekeliling 360 derajat. Kiri dan kanan maupun depan dan belakang tidak tampak perubahan sejak Pax bergerak memasuki hutan. Semuanya memantulkan cahaya biru kehijauhijawan yang asing dan aneh. Hanya limpahan sinar matahari dan hutan dedaunan yang menyatakan dengan jelas bahwa Pax tidak berada di Jakarta.

Pax membuat corong dengan kedua tangannya. Mendongak sedikit ke atas, lalu berteriak,

"YUHUUUUU!"

Sekali lagi gema pantulan membalas panggilan Pax. Lelaki itu terpaku di tengah kesendiriannya. Otot pikirannya melumpuhkan. Apa yang harus dia lakukan? Teman-temannya hilang. Dia sendirian di tengah tengah hutan. Astaga. Pax tidak bisa berdiri bengong sendirian seperti ini. Dia harus bergerak menembusnya, sebelum malam turun dan langit menjadi gulita. Dia harus bergerak mencari teman-temannya.

Pax berjalan perlahan. Langkahnya lambat. Diperhatikan sekelilingnya dengan saksama, kalau-kalau ada binatang buas yang akan menyerangnya atau kalau-kalau dia melihat kelebatan temannya.

Entah sudah berapa lama Pax menembus timbunan daundaun, tiba-tiba terdengar suara gemeresik. Pax tertegun sekali lagi. Dia memicingkan mata, merasa ragu dengan pendengarannya. Tiba-tiba terlihatan bayangan berkelebat cepat di antara pepohonan. Hati Pax berdebur dua kali kecepatan normal.

"Oryza?!" panggilnya gembira.

"Aduh. Akhirnya ketemu!"

Dia berjalan bergegas.

"ORYZAI ORYZA! TUNGGU! ORYZAAAA!"

Empat orang mengenakan seragam yang sama tiba-tiba muncul dari balik bayangan kegelapan.

Pax berhenti mendadak.

Warna yang ditampilkan empat orang itu adalah warna merah. Mulai dari hiasan kepala sampai dengan sepatu, penuh dengan pernik dan rumbai merah. Mereka berdiri tegak, memegang tongkat setengah pendek yang ujungnya berbentuk bola berwarna merah keemasan yang memantulkan cahaya. Tampak gambar yang menghiasi dada mereka. Tapi sampai detik ini, Pax tidak berhasil menebak gambar apa karena otaknya serasa copot detik itu juga, langsung menggelinding ke laut.

"Suara siapa itu?" salah seorang lelaki bertanya. Dia menatap Pax tajam-tajam.

Pax balas menatap lelaki itu tajam-tajam.

Ada sesuatu yang salah di sini.

Sesuatu yang sangat familiar.

Sesuatu yang

Jantung Pax berhenti berdetak. Memang saat yang tepat untuk mati di tengah hutan ini.

"ITU DIA!" teriak salah seorang lelaki.

Semilir angin terasa halus, lembut menyentuh kulit membuat pikiran Pax seketika terang benderang. Ingatannya muncul dengan sempurna.

"Apa? Saya?" Suara Pax terdengar bagaikan erangan putus asa, benar-benar kebanting dengan teriakan gagah lelaki itu. Seruan Pax bagai seruan ketakutan. Seruan panik. Seruan hewan yang terjerat.

"Oohh... pantas aku ngerasa ada yang

aneh..."

Empat lelaki itu mengacungkan tongkat sihir mereka ke arah Pax.

"Tangkap makhluk hina itu! Ini perintah!"

**

POHON'POHON semakin menebal ketika mereka tiba di jantung hutan. Oryza berjalan tersaruk-saruk. Beberapa kali dia nyaris terjatuh, tapi tidak pernah benar'benar terjatuh. Selalu ada tangan kuat yang menarik dan menopangnya. Oryza berpura-pura tidak tahu, tapi sebenarnya dia tahu siapa yang menolongnya dari belakang.

Xander.

Lelaki itu berada di belakangnya. Tidak terlalu dekat. tidak terlalu jauh. Tapi dia selalu ada saat Oryza tergelincir atau terpeleset. Tangannya yang kuat dan maskulin akan cepat-cepat menarik Oryza atau bahkan memeluknya sekali saat dia nyaris tersandung batu besar. Hati Oryza menghangat setiap kali dia tertolong. Dia tahu walaupun tidak mau mengakuinya terang

terangan, Xander berada di belakangnya setiap saat untuk menjaga dan melindungi Oryza.

Xander tidak menggandengnya, tidak juga meletakkan tangannya di bahu demi melindunginya dari apa pun. Seakan-akan Xander memberi ruang kepada Oryza untuk menjaga dirinya sendiri. Memberinya kebebasan untuk melangkah tanpa perlu membantunya menavigasi. Namun, tanpa menoleh pun, Oryza tahu Xander berada di belakangnya, tidak akan lengah untuk menopangnya di saat dia terjatuh. Dengan perlindungan seperti itu. Oryza merasa kehangatan yang sangat nyaman.

"Lihat!" Terasa sentuhan lembut di punggungnya. Nada suara itu penuh dengan kekaguman.

"Hutan ini berwarna biru!"

Oryza berdiri terpaku, menikmati pemandangan hutan yang belum pernah dilihatnya. Di matanya, dia melihat sinar meliukliuk yang memancar keluar dari setiap batang pohon dan daun, bercahaya hijau kebiru-biruan atau biru kehijauhijauan. Tapi apa pun warna itu, Oryza menganggapnya sebagai warna luar biasa yang dipantulkan oleh hutan. Indah sekali. Luar biasa. seumur hidup Oryza belum pernah melihat pemandangan seperti ini. Tangan Xander yang menyentuh punggungnya tidak bergeser, tidak juga bergerak.

Untuk pertama kalinya sejak berpapasan dengan makhluk rendang yang berwarna ungu, cangkir yang menggigit, perahu bobrok yang ditorpedo, sampai ikan hiu yang menghela sekoci penyelamat, Oryza merasa bahagia. Di sini, di hutan bersinar biru, bersama Xander yang berdiri tegak di belakangnya. hatinya tergenapi. Tubuh lelaki itu terasa rapat, dekat di belakangnya sampai terdengar napasnya yang meyakinkan dan teratur. Wangi lelaki itu juga sangat disukainya. Terasa sangat maskulin, gagah, dan menenangkan.

"Luar biasa. Cantik sekali," decak Oryza kagum.

Bukan, bukannya Nuna tidak bisa mendengar suara gembira

Oryza apalagi mencuri lihat cahaya matanya yang berkelip saat memandang Xander. Bukan, bukannya Nuna tidak peduli. Bahkan orang buta pun dapat melihatnya! Nuna merasakan gelegak cemburu seperti air yang dipanaskan di panci melihat lelaki yang disukainya berdiri berdekat dekatan dengan Oryza. Hatinya tumpah ruah. Selama berada di kapal, dia melihat pertengkaran tanpa henti antara Xander dan Oryza. Dia mengira memiliki kesempatan dengan Xander. Tapi sekarang, melihat mereka berdua berdekat-dekatan seperti itu sungguh membuatnya kesal. Sejujurnya dia lebih suka melihat Xander dan Oryza bertengkar dan saling mengacu-ngarai.

"Mana Pax?" seru Nuna, memecahkan suasana romantis yang menyesakkan dada.

Oryza tersentak. Dia baru sadar pada kenyataan itu. Gadis itu memandang sekelilingnya. Tatapannya terlihat cemas.

"Aku tadi melihat dia berada persis di belakang..."

Xander menoleh ke belakang. tidak merasa heran ketika dia tidak menemukan Pax.

"Halah. Biarkan saja, Pax sudah besar. Dia bisa jaga diri kalao kalau dia tersasar di hutan ini. Dia juga bisa jaga diri kalaukalau mendadak nongol di Tibet."

"Apa kita harus menunggunya.," tanya Oryza cemas.

"Kalian berangkat saja dulu. Aku akan menunggu dia. Mungkin dia hanya ketinggalan di belakang."

"Menunggu Pax?!" teriak Nuna dan Xander bersamaan.

"Nggak usah!" Jawaban yang kompak berasal dari pikiran yang (tidak) kompak. Nuna tidak mau Oryza menunggu karena Xander akan menemaninya. Xander tidak mau Oryza menunggui Pax.

"Kita nggak punya waktu," kata Samudra mendadak ikut campur. Matanya terlihat tua sekali dalam satu hari ini. Dia menerawang jauh menembus hutan.

"Kita harus mendapatkan Tamerit

sebelum waktunya habis. kita harus menyelamatkan... anak perempuanku tersayang... sebelum... sebelum... semuanya menjadi bubur... sama seperti istriku yang hamba ini... m'mening... gal "

Oryza menepuk-nepuk lengan ayahnya, menenangkan.

Nuna mencondongkan tubuhnya ke arah Oryza, berbisik pelan,

"Aku kenal psikolog yang khusus menangani masalah proses dukacita dan berkabung. Coba dulu deh! Kalau cocok diterusin. Mungkin dia bisa membantu."

Oryza mengangguk cepat, mencatat saran Nuna dalam hati. Mungkin Nuna benar, ayahnya butuh bantuan profesional untuk membantunya melewati masa berduka sejak kematian ibunya sepuluh tahun lalu. Ya, ulangi, sepuluh tahun lalu.

"Hmmm... ya, kita lihat saja nanti."

Hutan yang tebal ditembus dengan mudah pada tiga puluh menit selanjutnya. Udara panas menjadikan keringat turun membasahi punggung. Nuna membuka ranselnya dan mengeluarkan botol air minum. Dia membagi-bagikan kepada semua orang yang langsung meneguk minuman itu dengan dahaga seperti bintang iklan minuman ringan. Empat orang berjalan semakin jauh. meninggalkan hutan. Tanah semakin menanjak, semakin berwarna cokelat. Agak sedikit licin. Pohon'pohon yang rapat semakin merenggang memberikan jalan jelas. Jalan itu menuju pegunungan tinggi yang terbentang di depan.

"Oh!" seru Oryza takjub.

"Ada gunung di pulau terpencil ini?"

"Ada gunung, hutan, pantai," cetus Xander.

"Spot pariwisata yang lengkap."

Pohon cemara berjejer di depan mereka, seperti payung-payung berwarna hijau yang masih kuncup. Rumput dan semak tumbuh dengan subur di sekitarnya. Hutan biru kehijau hijauan menghilang, digantikan pemandangan lain yang berbeda. Gunung berjejer di belakang pemandangan itu. memberikan lengkungan

lengkungan unik yang menghiasi langit. Deretan gunung tersebut berwarna biru kehijau hijawan dari kejauhan.

"Pulau ini..." Oryza mendesah.

"Kenapa semuanya bernuansa biru?"

"Pulau ini bersinar," kata Xander ikutan kagum.

Mereka berjalan beberapa langkah mengikuti belokan-belokan jalan yang menajam. Oryza berjalan hati-hati, takut terpeleset di batu yang berbenjolan aneh. Setelah jalan sedikit melandai, Xander berhenti, memandang pegunungan yang berjejer di kejauhan sambil melamun. Oryza memperhatikan lelaki itu dengan cermat, ikut melempar tatapan ke arah pegunungan lalu kembali ke arah Xander.

"Xander?" tanyanya prihatin.

"Ada apa? Mimpi itu lagi?"

Xander masih terlihat mengawang-awang. tidak menjejak bumi. Ia tampak tidak yakin dengan penglihatannya. Seluruh aliran darah di tubuhnya membawa rasa dingin yang mengancam.

"Mimpi itu..." desahnya tersendat,

"menjadi kenyataan. Ini dia pemandangan yang muncul dalam mimpiku sewaktu aku digigit cangkir. Ini juga pemandangan yang selalu muncul setelahnya."

"Termasuk air terjun dan jembatan itu?"

Xander mengerutkan kening, menggeleng. Sepasang matanya dan mata Oryza bertemu.

"Aku nggak ingat."

Air terjun itu turun dari bebatuan yang tinggi, yang mungkin sungainya berasal dari sungai-sungai yang membelah pegunungan di sekitarnya. Airnya berwarna biru bening, jatuh di sungai yang dijembatani jembatan kayu. Jika diperhatikan baik'baik. sebenarnya airnya tidak sungguh'sungguh berwarna biru. Ada pendar, pendar aneh seperti kunang'kunang yang memantulkan cahaya kehijau hijauan.

Detik itu juga Oryza sadar, apa yang membuat air itu tampak berkilau kilau dari kejauhan. Kedua kakinya beku memandang

keindahan yang terhampar di hadapannya. Dia masih mematung dengan keadaan yang seperti itu ketika Xander berdiri di sebelahnya, ikut-ikutan terhipnotis.

Sungai dipenuhi batu berlumut. Dari sanalah, pendar pendar kehijawan itu berasal. Sama seperti hutan, lumut itu bersinar memantulkan spektrum warna yang berbeda. Kalau lumut di sepanjang pohon di hutan menghasilkan sinar kebiru-biruan, maka lumut di sekitar air memantulkan cahaya kehijau-hijauan. Pada akhirnya, semuaya selalu merupakan gabungan warna hijau dan biru.

"Wah!" desah Oryza kagum.

"Kayak foto pemandangan di majalah National Geographic."

Mereka berjalan menyebrangi jembatan. 'Wangi daun pinus bergabung dengan kelembapan yang tinggi berkat air terjun yang menjadikan suasana seperti berada di negeri dongeng. Oryza ingin berlambat-lambat menikmatinya. Mana mungkin dia mendapatkan keindahan seperti ini dijakarta? Apalagi di tempattempat liburan lainnya.

"Lihat!" Xander berseru gembira.

"Ada gedung di sana! Itu parlemen mereka, bukan?"

**

Aqua tidak memiliki kemampuan sihir untuk mengubah diri menjadi binatang. Sekuat dan setekun dirinya mencoba mempelajari jampi-jampi itu, ia tak berhasil. Aqua tidak akan bisa menerobos batas kemampuannya. Menjadi seorang penyihir level tinggi tidak hanya dibutuhkan ketekunan mempelajari ilmu. melainkan juga membutuhkan bakat. Aqua dianugerahi bakat dan kemampuan meramu, karena itu dia mengembangkan dirinya pada daerah sihir itu.

Seorang penyihir level tinggi seperti Xander juga mampu

mempelajari ramuan dengan mudah, akan tetapi karena luasnya pengetahuan dan pembelajaran ilmu sihir, bahkan seorang penyihir jenius pun takkan mampu menguasai seluruh area persihiran. Sebab itu, banyak penyihir membaktikan dirinya di satu area tertentu dan menguasainya dengan baik.

Aqua membuka pintu dan mereka bertiga memasuki satu ruangan yang isinya penuh dengan tabung-tabung, panci, dan bergentong-gentong benda aneh. Strawberi memandang semuanya dengan tatapan biasa. Neneknya, Nenek Gray. juga seorang penyihir hebat yang berkonsentrasi pada bidang ramuan. Rumahnya memiliki ruangan khusus yang sering digunakan neneknya untuk memasak dan mengolah aneka jenis tanaman, daun, rumput, rempah-rempah. dan organ-organ binatang.

"Kamu punya ruangan ramuan di kapal pesiar ini?" tanyanya kepada Aqua sambil berdecak.

Aqua mengangguk.

"Bukan cuma ruangan ramuan. Kapal pesiar ini juga memiliki ruangan fitnes, sauna, boling, teater, ballroom. lapangan tenis, basket, kolam renang..."

"Kereeeeen" Strawberi cengengesan.

"Strata-beri udah tahu."

"Ada kapal pesiar yang punya lapangan golf. Ada juga yang punya lapangan rumput untuk berkuda. Kapan-kapan aku mau pesan satu."

Strawbeti mengangguk-angguk kagum sambil mengikuti langkah Aqua. Gadis itu berjalan mendekati meja kerjanya, menatap deretan tabung dan stoples yang berjejer dengan rapi. Berbagai stiker menempel di tabung dan steples. tertulis nama, kode, dan angka angka aneh dengan cetakan yang berwama-warni. Tanpa banyak berbicara, Aqua mulai bekerja. Dia menurunkan beberapa tabung dan stoples. mengendus'endus untuk mengecek baunya. lalu mulai mengeluarkan benda-benda yang di dalamnya.

Bidik menarik kursi, lalu duduk tenang di sana. Strawberi memperhatikan gerak-gerik Aqua.

" sedang membuat ramuan apa?" tanyanya neran.

Aqua merebus beberapa daun di atas panci kecil sehingga daun daun itu menjadi lembek, hancur, dan berubah warna. Air rebusan menjadi kuning-oranye terang. Aqua memasukkan beberapa bubuk, membuatnya menjadi kental dan bersinar-sinar.

"Aku membuat ramuan yang dapat mengubah manusia menjadi binatang."

Strawberi terpana.

"Untuk apa?"

"Untuk mengubahmu menjadi kucing."

Strawberi menjengit.

"Aku?"

"Biar kamu bisa bertemu dengan si kucing dari neraka itu."

"Tapi..."

"Kenapa? Takut? Ini satu-satunya cara. Cara kita..."

"Tapi..."

"...selamat bakal tergantung dari negosiasimu antara kalian berdua. Tanyain..."

"Tapi..."

"..apa yang kucing itu mau. Kita bakal memenuhinya. Kita..."

"Tapi..."

"Woi! Omonganku belum kelar nih! Ngapain sih tapi'tapi melulu!"

"Tapi untuk apa repot-repot membuat ramuan?" tanya Strawberi bingung.

"Aku bisa menyihir diriku menjadi kucing."

Aqua menoleh ke Strawberi, bibirnya merengut. Pancinya masih bergolak, tapi diabaikannya.

"Kenapa nggak bilang dari tadi? '

Strawberi balas menatap Aqua dengan pandangan polos.

"Itu kan," katanya.

"karena kamu nggak tanya."

**

bangunan itu berwarna metan, tampak mencolok ai tengan-tengah pemandangan yang sedari tadi hanya memiliki warna biru kehijau-hijawan dan hijau kebiruan-biruan. Tidak terlalu tinggi, tapi cukup luas memanjang. jendelanya melengkung-lengkung. berjejer rapi seperti gigi. Bangunan tersebut tidak pantas disebut istana, karena tidak mirip istana sama sekali. melainkan mirip benteng pertahanan.

"Aduh! Gimana caranya masuk? Mungkin kita harus mengetuk pintunya dulu," usul Oryza.

"Kamu paham budaya di sini, Nuna?"

"Nggak tuh, aku nggak paham sama sekali. Kan udah kubilang aku nggak pernah memasuki pulau ini. Biasanya aku "

"...menunggu di sekoci bersama ayahmu. iya. ya? Don't worry. aku ingat kok."

Xander maju duluan dengan cepat. Tanpa basa basi atau terlibat pertengkaran mulut dengan cewek cewek ini, dia langsung mengetuk pintu yang menjulang di hadapannya.

Pintu itu terasa aneh ketika diketuk. Tidak berbunyi seperti tak. tok, tok, tapi berbunyi seperti bel yang nyaring. Ting, tong, ting, tong. Samudra, Oryza, dan Nuna terperanjat. Penuh rasa penasaran. Oryza menyentuh daun pintu. Terbuat dari apa, tebaknya cemas dan ragu. Oh. Ternyata dari kayu biasa. Pasti pintu itu disihir sedemikian rupa sehingga kalau diketuk menciptakan bunyi yang sesuai dengan yang mereka inginkan.

"Ini ide yang bagus," kata Samudra sambil mendecak kagum. sukar memercayai matanya.

"Mungkin kita dapat menyihir gerbang rumah kita seperti pintu kayu ini."

Mereka menunggu beberapa saat. Jantung Oryza berdebar'debar menunggu kejadian selanjutnya sampai rasanya jantung itu siap melompat ke luar dan lari terbirit-birit meninggalkan rongga dadanya. Seperti rendang karya spektakulernya yang meninggalkan panci.

**

"hamba datang memohon dengan hormat agar dapat dipertemukan dengan Yang Mulia. pemimpin besar Pulau Varaiya. Saya percaya Anda sudah tahu alasan mengapa kita semua kemari," Oryza mencuri napas dengan cepat lalu melanjutkan kalimatnya dengan agak ragu-ragu.

"tapi saya akan menjelaskan sekali lagi dengan rendah hati. Kami sudah berjuang mati-matian dan melewati banyak cobaan sampai bisa datang di tempat ini. Kami berasal dari jauh, pulau besar lain ratusan kilometer jaraknya. Ini sangat mendesak. Kami sungguh berharap kiranya permohonan kami dikabulkan."

Lelaki itu tampak senang dengan sopan santun dan kelembutan nada suara Oryza. Matanya berkilau.

"Baiklah. tidak ada masalah, saya bisa mengaturnya. Sebenarnya tidak banyak pengunjung asing yang tertarik pada pulau ini. Yang Mulia akan sangat senang mendengar berita dari luar pulau. Mari, ikut saya?

Dia membuka pintu semakin lebar, mempersilakan empat orang melewatinya. Oryza berjalan pelan-pelan, terpesona dengan keindahan interior lorong penerima tamu. Mereka berhadapan dengan ruangan besar berbentuk bulat yang sekelilingnya dipenuhi foto raksasa bergambar pemandangan. Pemandangan itu pasti pemandangan Pulau Varaiya karena didominasi oleh warna biru kehijau hijauan.

Foto foto itu tidak seperti foto'foto statis yang biasa beredar di kalangan kaum jelata. Foto-foto itu mengeluarkan gambar tiga dimensi. Misalnya, Foto air terjun memperlihatkan air terjun yang benar-benar bergerak jatuh. Kalau didekati. terdengar suara deburan air terjun, bahkan kalau didekati lagi-seperti yang Oryza lakukan-pipinya tepercik butiran-butiran air halus. Tercium wangi daun'daun pinus yang menghambur di hidung.

Foto berikutnya memperlihatkan gambar lukisan langit. Awan'awan putih yang bergerombol, mengarak-arak, pecah berhamburan ditiup angin, lalu memadatkan diri kembali. Langit berwarna biru cerah. Dari jarak sedekat itu, orang yang berdiri sangat dekat dengan foto akan merasakan dirinya terbang seperti burung.

Oryza memandang sekelilingnya dengan takjub.

"Ini pasti... sihir." bisik Xander yang berdiri di sebelahnya, terpana.

"Seluruh pulau ini dipenuhi sihir."

"Bukan sembarang sihir. Ini sihir tingkat tinggi."

Lelaki yang menyambut mereka berdehem.

"Itu bukan foto biasa. Itu layar CCTV."

Mata Oryza mengerling tak percaya.

"Apa?" serunya keras. Butuh beberapa detik untuk sadar.

"Layar CCTV? Ada kamera

di luar sana?"

Lelaki itu mengangguk. Tangannya terangkat, memberi pesan agar mereka segera berangkat, tidak usah berlama-lama. Dengan rasa kagum memenuhi seluruh rongga dadanya. Oryza mengikuti ke mana lelaki itu berjalan. Mereka berjalan beriringan berjalan memasuki sebuah lorong lagi, lorong yang lebih lapang daripada lorong yang mereka temui di awal. Diam-diam Nuna menyenggol lengan Oryza. berbisik-bisik.

"CCTV-nya bukan CCTV biasa. Pasti udah diutak-atik dengan disihir?

"Gila ya. CCTV'nya seperti jendela beneran."

"Aku sampai bisa mengulurkan tangan dan memetik rumput dari layar itu."

Mereka bergerak melalui ruangan demi ruangan yang semakin melebar. Mereka berakhir di ujung lorong yang ternyata terlihat terbuka dari berbagai arah dan penjuru. Tidak ada dinding ting.gi atau jendela lancip. Yang ada hanya tiang-tiang, ruangan tanpa sekat, dan taman. Taman sangat luas, jaraknya tak terlihat sepanjang mata memandang seperti padang rumput luas yang
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentang dari ujung ke ujung. Aneh, batin Oryza bersungguh-sungguh. Bagaimana mungkin ada taman seluas ini di dalam gedung? Lihat saja pohon-pohonnya. Pohon-pohon besar dengan barang yang menjulur dan akar yang tersangkut-sangkut di rerumputan. Lautan bunga berwarna putih, ungu, biru, dan ltuning bertebaran seperti karpet.

"Silakan tunggu di sini. Yang Mulia akan hadir sebentar lagi."

"Di sini? Di mana?" Mata Oryza langsung membeliak tak percaya.

"Di sini."

"Nggak ngerti. Di sini mana maksudnya?"

"Ini adalah ruang pemerintahan Yang Mulia Paduka Terhormat."

"Ruang pemerintahan? Oh!" Oryza kaget sendiri.

"Kebun disehut sebagai ruang pemerintahan?"

Lelaki itu menghilang dalam sekejap. seperti lenyap di udara. Oryza berpandangan dengan Xander, tersenyum pahit ketika menyadari sampai detik ini pun dia terpukau melihat ketenangan Xander menghadapi kegilaan yang mereka hadapi.

"Ini sihir juga, kan? ' tanya Oryza pelan.

"Bagaimana mungkin menempatkan padang rumput seluas ini di dalam gedung yang keliatannya nggak terlalu besar dari luar?"

Xander mengelilingi sekelompok batu yang bertumpuk-tumpuk di samping pohon raksasa. Dia memandang semuanya dengan tatapan cermat.

"Kenapa sihir seperti ini nggak pernah bisa dipakai di Jakarta:" Buat gedung perkantoran kita, misalnya?" tanya Xander bersungguh-sungguh.

"Duh, coba bayangin apa yang terjadi kalau kita menggunakan sihir berlebihan! Kaum jelata akan menghubungkan semua itu dengan kegiatan perdukunan dan mulai menghasilkan film-film horor di bioskop buat menakut'nakuti diri mereka sendiri."

"Halah!" dengus Xander.

"Ngak perlu sihir lebay. Tanpa sihir pun mereka udah tergila-gila pada cerita horor."

Tiba-tiba angin bertiup kencang. Rumput-rumput rebah tertiup angin. Tidak jauh dari mereka, muncul beberapa sosok dari asap berwarna kelabu yang menggulung padat.

Waktu asap menipis. terlihat seorang lelaki mengenakan pakaian kebesaran berwarna merah di sekujur tubuhnya. Kepalanya tampak mahkota berwarna kuning keemasan yang sepertinya dipenuhi lidah lidah api.

Tenggorokan Xander mengering melihat pemandangan itu. Kakinya terpancang di tempatnya berdiri, perlahan-lahan rasa dingin merambati jari'jarinya, naik, dan bercokol di dadanya. Wajah lelaki itu! Sepertinya dia pernah melihatnya...

"Hormat dan pemuliaan yang mahatinggi kepada Yang Mulia Paduka Tei-hemat Tsungta Vzar, pemimpin besar Parlemen Penyihir Varaiya!" Seorang lelaki memberikan pengumuman dengan dada membusung.

Oryza menyenggol lengan Xander yang masih melongo di sampingnya. Dengan kaku, Xander mengikuti apa yang Oryza lakukan: mengangkat dagu sedikit ke atas, menoleh ke kiri sedikit, ke kanan sedikit, lalu mengangguk.

Yang Mulia Tsungta Vzar tersenyum, mengendurkan ototnya melihat tamu yang mengerti sopan santun.

"Kami menyambut kedatangan kalian dengan tangan terbuka. Katakan. apa yang kalian inginkan dari Kami?"

Xander tertegun, tidak yakin dengan apa yang dia lihat. Sedetik berlalu dalam jeda yang terasa teramat panjang. Tanpa bisa Xander tahan. dia berbisik kepada Nuna.

"Kenapa dia berbicara seperti itu? Menyebut kata 'kami' dengan gaya?"

"Sinting!" Nuna balas berbisik.

"Jangan tanya yang aneh'aneh. Namanya juga pemimpin tertinggi, nggak heran kalau nyentrik."

Oryza berusaha keras tidak menoleh kepada Xander dan

Nuna yang sedang berbiSlk satu sama lain agar perhatiannya tidak terpecah.

"Yang Mulia, Pemimpin Besar Parlemen penyihir Varaiya, kami datang jauh-jauh untuk meminta pertolongan Yang Mulia," kata Oryza. Hanya itu yang sanggup dia katakan. Selebihnya. semenit jatuh dalam jeda lagi.

"Katakan apa yang kalian butuhkan!"

"Dua saudari saya keracunan dan kami mencari penawar racun yang dapat menetralisir efeknya."

Wajah Tsungta menggelap. Mendadak langit yang berada di atas kepala mereka berubah warna menjadi kelabu. Petir merobek langit, seperti jelujur kain yang terlepas karena ditarik. Awan tebal beriring datang bagai prajurit yang berbaris menuju perang besar.

"Maksudnya rempah Varaiya? Atau teh Varaiya?" tanya Tsungta dingin.

"Oh. bukan Yang Mulia Paduka Terhormat. Kami mencari penawar racun yang bernama Tamerit'

Tsungra tersenyum. Mendadak langit yang berada di atas kepala mereka seketika berubah warna menjadi biru. Petir yang sedari tadi menyambar-nyambar menghilang begitu saja, digantikan matahari yang bersinar terang benderang. Kelompok awan pun berubah warna. dari kelabu menjadi putih seperti susu. Xander mendongak menatap langit. mengernyitkan dahinya melihat perubahan cuaca yang sangat mendadak.

"Kalian sungguh datang ke tempat yang tepat. Sebab Tamerit hanya dapat ditemukan di kerajaan Kami. Siapa yang keracunan? Saudari'saudari kalian?"

"Ya, Yang Mulia. Mereka akan mati apabila tidak mendapat penawar racun."

Tsungra menganggukangguk sambil membelai-belai dagunya.

Jari-jarinya lentik, berkuku tajam berwarna merah manyala. Cocok dengan warna pakaian kebesarannya.

"Tujuan kalian sungguh

terdengar sangat mulia. Kami sangat kagum dengan kebaikan dan ketulusan hati. Inilah keputusan Kami hari ini. dengarkan wahai rakyatku! Kalian akan mendapatkan...

Pintu yang menghubungkan padang rumput dengan lorong panjang di belakang tiba-tiba menjeblak terbuka. Enam penjaga masuk sambil menyeret Pax yang tak berdaya. Wajahnya bengkak, berwarna kebiruan seperti dipukuli. Langkahnya terhuyunghuyung seperti pelaut mabuk. Tatapannya kosong ke segala penjuru.

Oryza memandang Pax. Telapak tangannya mendingin seketika. Keheningan menyebar sangat cepat.

"Astaga!" desis Oryza yang duluan sadar. Hanya itu yang bisa dia ucapkan. Selebihnya, dia memanggil nama yang selalu terasa familier di hatinya.

"Pax!"

XANDER terpaku memandang Pax. Butuh beberapa detik untuk mengembalikan kesadarannya kembali. Dengan kesal, dia menoleh kepada Tsungta, lalu mendamprat keras.

"Apa-apaan ini! Apa yang terjadi?!"

Wajah Tsungta seketika menghitam. Pertama, karena mendengar reaksi Xander yang terlalu kasar di ruang kebesaran Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya. Kedua, karena dia melihat wajah Pax.

"Kalian mengenal..." tanyanya dengan nada dingin dan berjarak. Keramahan dan kehangatannya seketika membubung hilang.

"...orang ini?" '

"Ya!" seru Oryza tegang.

"Dia teman kami. Para penjaga itu..." Oryza tersendat.

"Penjagamu... Gila banget, apa yang mereka lakukan? Main keroyokan?"

Tsungta melipat tangan di dadanya.

"Jadi," katanya ketus,

"memasuki daerah kekuasaan Kami, membawa makhluk hina yang tidak tahu diri dan kotor, mengacak-acak dan berniat melakukan kudeta pada pemimpin Kami?"

Xander melongo.

"Hah?"

" malah sekarang kalian memohon diberikan Tamerit?"

Tsungra menunjukkan jarinya ke arah Oryza.

"Sungguh suatu penghinaan!"

Sejenak waktu berjalan sangat lamban. Tidak ada yang terdengar masuk akal. Xander melirik Pax, melototinya. Dasar tolol kuadrat! Apa sih yang kucing buduk itu lakukan sampai membuat kepala pemerintahan tersinggung?

"Me-memangnya," tanya Oryza kebingungan.

"Apa yang Pax lakukan?"

"Apa yang dia lakukan?!" sambar Tsungta menggelegar.

"Apa yang dia lakukan?! Dia telah menghancurkan hati suci para penyihir Varaiya di pulau ini! Dia telah merusak kedamaian yang selalu dipertahankan selama berabad-abad! Dia telah melakukan kejahatan yang takkan mungkin terampuni seumur hidupnya!"

Oryza kehilangan katakata.

"Penjaga!" teriak Tsungta marah.

"Penjaga, bawa semua kutu ini ke penjara bawah tanah! Semua kutu! Dengar? SEMUA KUTU... eh, tunggu. tunggu!" Tsungta terdiam beberapa saat. berpikir sambil menimbang-nimbang.

"Kecuali kutu yang paling cantik. Itu di sana! Ya, bawa dia ke ruang peristirahatan Kami!"

Seorang penjaga berjalan mendekati Oryza dan menyambar lengannya.

Oryza memberontak. Disentakkan lengannya erat'erat. tapi tangan itu sangat kuat menggenggamnya. Dia menjerit sambil menendang'nendang.

"Kampret! Lepasin! Jangan pegangpegang sembarangan!"

Xander melompat ke arah Oryza, berancang-ancang hendak merapalkan jampi sihir.

"Oryza, tunggu! Jangan..."

"GOBLOK" Tsungra meraung.

"BUKAN DIA! Kami berkata yang paling cantik! Yang paling cantik! Dengar tidak?! Kami tidak membutuhkan dia! Yang itu hanya rata rata."

Penjaga melepaskan tangannya dan lengan Oryza. Bergerak ke arah Nuna, lalu menyambar Nuna dengan cepat. Gadis itu menjerit mengetahui tangannya diremas dengan sangat keras.

"Bangsat!" makinya, menampar salah satu penjaga.

"Lepaskan! Sialan. Sakit, tau!Jangan pegang-pegang! Xandeeeeerr!"

Xander meninggalkan Oryza, meluncur ke Nuna dengan cepat.

"Dengar ya, monyet bego, lepasin dia! Belum pernah merasakan sihirku?! jangan sampai aku ngamuk!"

Oryza terhuyung. Serbuan yang mengimpit tubuhnya terlepas begitu saja. Sambil merengut dia melihat kegiatan Xander yang berusaha membebaskan Nuna dari keroyokan para penjaga.

"Sialan!" serunya kepada Tsungta. Sakit hatinya waktu dibilang kecantikannya rata-rata. 'Apa-apaan ini!"

"Itu," kata Tsungta, pipinya terbakar oleh warna merah. Rambutnya berubah warna, terlihat memerah juga. Dengan pakaian kebesaran yang berwarna merah. lelaki itu seperti dikelilingi oleh api.

"Adalah akibat dari perbuatan semena-mena yang menganggap enteng Kami. para penyihir Varaiya. Siapa pun yang melawan Kami akan menanggung akibatnya. Penjaga! Bawa semuanya ke penjara bawah tanah lalu siksa mereka sampai mati!"

Xander mengacungkan tongkat sihirnya ke arah Tsungta. Kemarahan menggelora seperti sapuan tsunami di setiap jengkal kepalanya. Pelan-pelan, seluruh tubuhnya dipenuhi gelombang padat berwarna ungu tua.

"Jangan coba'coba!" ancamnya naik darah.

Suasana menjadi tidak terkendali. Cuaca padang rumput menjadi tak bersahabat. Payung kelabu menggayuti langit, kilat dan petir sambar menyambar. Xander melepaskan beberapa rapalan sihir yang langsung mengenai beberapa penjaga. menjatuhkan mereka seketika. Pintu menjeblak terbuka dengan cepat. Semakin banyak penjaga yang memasuki padang rumput, berkelompok rapat-rapat seperti gelombang ombak. Oryza melepaskan

beberapa rapalan, menjegal para penjaga, menghindari hantaman sihir. Mau tak mau, Nuna juga mulai beraksi. Tapi perjuangan mereka tampaknya semakin tak terbandingkan. Penjaga yang masuk meluber dengan cepat seperti semburan lumpur dari bawah tanah.

Tcungta mengambil sesuatu dari kantongnya. Sehelai daun. Dia menelan, lalu mengunyahnya cepat. Seketika tubuhnya dipenuhi lingkaran besar berwarna biru kehijau-hijauan.

"Kalian takkan kuat melawan Kami," serunya dingin.

"Kami tak pernah terkalahkan."

"Penyihir belagu! Udah kampungan belagu, lagi !"

Tsungta bergerak ke tengah, ke arah keributan. Bahunya membusung.

"Lawan Kami."

Oryza menoleh ke arah Xander dengan tatapan bingung.

"Kami?" bisiknya.

"Aku cuma lihat satu orang."

Seakannakan mendengar bisikan Oryza, Tsungta berkata menggelegar,

"Kami adalah tentara yang menjadi Satu."

Nuna melindungi Samudra dari serangan sihir. Dia berbalik dan berkata kepada Oryza.

"Dari tadi orang gila itu menyebut dirinya dengan Kami. Sadar nggak sih? '

Kekesalan Xander mencapai ubun-ubun. Kepalanya mendidih, menggelegak menggelora menggeram. Setelah berjam-jam menghadapi ketidakmasukakalan yang seakan-akan tak bisa berhenti: digigit cangkir, terapung-apung di lautan, ditorpedo berkali-kali, ditolong ikan hiu, sekarang harus menghadapi kepala negara yang mengidap skizofrenia atau multiple disorder. Dia kurang tidur, sakit kepala, dan tertekan. Tanpa babibu, Xander maju tiga langkah. berdiri tegak menghadapi Tsungta. Tongkat sihirnya teracung tinggi.

"Menyerang-Kecepatan-Tinggi-Seperti Kilat-Guntur-dan-Langit-yang Sakit Perut'

Sihir meluncur keluar dengan kekuatan penuh dari ujung

tongkat Xander, meluncur cepat Ke aran tsungta. Nyaris sedetik kekuatan sihir menyambar Tsungta, tiba-tiba terlihat cahaya besar yang terpental balik. Tsungta bergetar, seperti terhantam gempa bumi. namun ajaibnya, dia tidak terjatuh. Pemimpin pulau edan berbaju rumbai-rumbai itu tetap berdiri tegak.

"Huh?!" desah Oryza terkejut melihat hasil serangan sihir Xander yang tak mempan.

"Wow."

Xander melirik sengit ke arah Oryza.

"Apaan wow?!"

Tsungta tersenyum melecehkan, lalu meludah ke lantai.

"Menarik. Hanya itu saja sihir yang bisa kalian rapalkan?" Lelaki itu mengangkat tongkat sihirnya ke arah Xander. Sambil menutup mata, mulutnya berkomat-kamit tanpa henti. Tongkat sihir miring sedikit ke arah kanan saat sinar berwarna perak meluncur ke arah Xander.

"Serangan!Fajar'Varaiya'yang-Bombastis!"

Hantaman sihir itu langsung meluncur tegak lurus, melesat cepat ke arah perut Xander, menghajarnya dengan mantap. Rasanya seperti dihantam oleh pukulan tangan simpanse dan tendangan kanguru. Xander terhuyung'huyung mundur ke belakang menahan serbuan itu. Tongkat sihirnya terlepas dari tangannya tanpa sengaja.

"Xander!" Oryza berlari ke arah Xander. Menyambar tongkat sihir lelaki itu yang tergeletak, lalu memeluk tubuh Xander yang sedang menyender lemah di pohon. Oryza mengacungkan tongkat sihirnya ke arah Tsungta.

"Brengsek! Keparat! Serangan Kecepatan-Super.Tinggi-Seperti-Lompatan-Angsa-Emas!"

Dua kali sinar keemasan meluncur cepat dari tongkat sihir Oryza, mengontraskan keadaan ruangan. Tapi serbuan itu berakhir seperti yang terjadi tadi. Hantaman keras sihir Oryza hanya membuat Tsungta bergetar sejenak; dia tidak terjatuh. apalagi melemah. Seluruh tubuh lelaki itu semakin berwarna merah seperti berada di bawah kawah kobaran api.

"Cukup! Kami sudah bosan bermain-main!" bentaknya.

"Gabungan'Serangan'Fajar-dan Senja-Varaiya-yang-Tak-Terkalahkan Bombastis!"

Tsungta hanya membalikkan tangan, tiba-tiba pohon yang menopang tubuh Xander lenyap. Xandet terjengkang ke belakang bersama-sama Oryza. Tubuh Oryza terjatuh, menindih Xander yang telentang tak berdaya di padang rumput. Mendadak ratusan ranting rontok seakan-akan ada pohon besar di atas langit yang sedang melayang. lalu langsung roboh berjatuhan seperti hujan menimpa tubuh Oryza dan Xander.

Nuna membelalak melihat Xander tertimbun ranting bersama Oryza. Dia meronta. membebaskan diri dari cekalan tangan penjaga yang mengerubunginya. Tapi sia sia. Di sebelahnya, Samudra juga telah dikelilingi para penjaga. Tidak ada celah untuk lengah.

"Urusan sepele!" Tsungta menepuk-nepuk tangannya seperti membersihkan diri. Dia berteriak, memerintah kepada para penjaga,

"Bawa tahanan ke bawah tanah! Pergi dari hadapan Kami!"

Langit kembali menjadi terang benderang. Nuna diseret ke arah yang berbeda sementara Samudra. Pax, Xander, dan Oryza ditarik ke arah yang berlawanan. Sebelum Tsungta menghilang dalam keremangan kabut, lelaki itu menoleh untuk meyakinkan diri bahwa seluruh tawanannya tidak ada yang memberontak atau membuat masalah.

"Pax, manusia buduk yang tidak pantas hidup! Akhirnya ketangkap juga!" katanya kepada dirinya sendiri sambil tersenyum lebar.

"Kami selalu mengingat nama itu. Nama yang akan mati beribu-ribu kali untuk kembali menerima pembalasan Kami."

Tsungta menghilang di balik kabut pekat.

**

Aqua memandang Strawberi lekat-lekat.

"Kamu bisa mengubah diri menjadi binatang apa saja?"

Strawberi menggoyang-goyangkan kakinya dengan santai.

"Hmm, coba Strawberi hitung. Kucing, tikus, anjing, kelelawar. burung pipit... dan oya, landak. Tidak banyak. Nenek Gray belum mengajarkan banyak jampi-jampi binatang kepada Strawberi. Nenek Gray lebih senang mengajarkan Strawberi cara membuat ramuan."

Aqua membersihkan perlengkapan ramuannya. Dia memasukkan bumbu, rempah. biji, dedaunan. dan benda-benda aneh lainnya ke tempat masing-masing. Laci terbesar ditarik dan Aqua mengeluarkan tongkat sihir dari balik sana. Tongkat sihirnya berwarna pink, panjangnya sekitar tiga puluh sentimeter dengan ujung berwarna perak.

"Tongkat sihirmu keren banget!" seru Strawberi kagum.

"Beli di mana?"

"Di internet. Ada pemesanan on line, bisa beli pakai kartu kredit khusus penyihir." Aqua membalik tongkat sihirnya.

"Ini keluaran Hello Kitty. Ada Signature gambarnya di sini."

"Masa? Lihat! Ohh... wow."

"Aku juga punya beberapa merek lain. Strawberry Shortcake. Snoopy. Bahkan merek Versace dan Armani yang matching dengan tas, sepatu, dan jaket luarannya."

"Mereka... mereka juga penyihir? ' tanya Strawberi kagum.

"Nggak, mereka bukan penyihir. Tapi mereka kan punya bisnis dengan penyihir. Desainernya juga penyihir. Biasanya tongkat sihir itu dibuat khusus dengan pemesanan personal. Tidak dijual di mana mana, apalagi di butik-butik mereka."

Strawberi mengambil tongkat sihir Aqua, membalik-baliknya dengan kagum. Mulus sekali. berwarna pink ngejreng yang menarik perhatian. Dari dulu dia menginginkan tongkat sihir yang seperti ini, tapi dia tidak punya uang untuk membelinya. Tongkat sihirnya sendiri hanya ada dua (biasanya penyihir selevel dia memiliki koleksi tongkat sihir yang banyak), itu pun sudah tidak terlalu bagus. Strawberi tidak pernah punya uang saku sebab dia tinggal dengan neneknya yang mengurus seluruh keperluannya.

Secercah pikiran muncul di kepalanya.

Mungkin, mulai besok dia akan meminta bayaran sama Nenek Gray atas pekerjaannya sebagai pelayan di restoran nasi tim bebek. Mungkin, dengan begitu dia akan memiliki uang pribadi yang akan digunakan untuk membeli beberapa barang kebutuhan seperti tongkat sihir yang sedari dulu diidam-idamkannya. Mungkin, dia tidak perlu minder lagi dengan barangbarang kepunyaan Aqua kalau dia sudah punya uang.

Strawberi malu dengan tongkat sihirnya yang sudah kusam dan tua. Dia butuh tongkat sihir baru. Yang mengilat dan indah seperti kepunyaan Aqua. Kalau uangnya cukup banyak, syukursyukur dia bisa membeli tongkat sihir dengan merek terkenal.

Tongkat Sihir merupakan barang penting bagi semua penyihir. Peraturan tongkat Slhir ini berbeda'beda di tiap negara. Di Indonesia, hanya penyihir berusia enam belas tahun yang dapat membeli tongkat sihir secara legal. Usia enam belas tahun sering kali dirayakan secara meriah mengingat seorang penyihir dianggap sudah dewasa dan dapat bertanggungjawab mengendalikan sihirnya. Berbeda dengan jepang misalnya. yang membolehkan penyihir dari berbagai usia membeli dan memiliki tongkat sihir pribadi.

Tongkat sihir dibawa ke mana-mana, tidak akan berjauhan dari seorang penyihir. Seperti ponsel, begitu maksudnya, selalu berada di kantong baju atau di tas. Para penyihir yang kaya raya biasanya memiliki koleksi tongkat sihir seperti lmelda Marcos mengoleksi sepatu. Tongkat Sihir itu harus matching dengan warna, jenis, dan gaya baju, sepatu, dan tas yang dikenakan. Ada perusahaan jasa khusus untuk tongkat sihir yang merawat maupun menciptakannya.

"Jadi begini rencananya..." Aqua berbisik ke telinga Stmwberi menjelaskan apa yang harusnya Strawberi lakukan. Gadis itu mengangguk-angguk mengiyakan ucapan Aqua.

"Mengerti nggak?"

"Strawberi mengerti."

"Siap dijalankan?"

"Siap dong."

"Mari laksanakan."

"Max-em.."

**

Ruangan itu lembap semu. baunya tajam menyengat. bersinar dalam cahaya kelip-kelip biru kehijau hijauan. Tidak ada jendela yang menghadap keluar kecuali sepotong pintu dari besi dengan lubang kecil yang dijeruji. Hanya ada dipan reyot dengan selimut lapuk tersungkur di pojok. Lantainya dingin, terbuat dari batu kasar yang dipotong miring-miring. Di antara batu baru itu tumbuh lumut yang sama seperti lumut yang berada di sepanjang hutan dan sungai. Lumut yang tumbuh subur di seluruh ruang penjara bawah tanah, mulai dari lantai, dinding, sampai langitlangit. Lumut yang membuat seluruh ruangan bersinar berwarna biru kehijau-hijawan.

Xander duduk di lantai, bersender di tembok. memandang ke langit-langit penjara. Otaknya kosong, tidak ada yang dipikirkannya kecuali perasaannya yang penuh kekuatiran.

Di sebelahnya tampak Pax.

Pax berbaring miring di sudut. Wajahnya babak belur. bengkak di kedua belah pipi dan berwarna kebiruan. Matanya tertutup rapat, seperti tertidur lelap. Pelan-pelan terdengar gumamannya dalam keheningan. Pax bergerak. Menguler.

Xander menggeser bokongnya, berpindah duduk ke depan Pax. Dia menatap Pax tajam-tajam.

"A... ada apa?" Suara Pax terdengar serak. Dia mengusap wajahnya yang kotor.

"D-di... mana kita?"

"Udah bangun, kucing kudis?" kata Xander ketus. dingin, berjarak. Kekesalannya tidak dapat ditawar-tawar kali ini. 'Welcome back. Lu benar-benar bego tingkat mahir."

Kelopak mata Pax yang bengkak terbuka seluruhnya. Sosok Xander terlihat samar-samar. Sulit melihat satu objek dengan penuh konsentrasi, butuh beberapa detik untuk menajamkan fokus. Tubuhnya lemas dan meriang, beberapa tempat terasa sakit lebam. Pipinya beku tidak bisa digerakkan. Pax mengerang sekali lagi. Tangannya mengusap-usap dagunya yang terasa lebih besar daripada biasanya.

"Sakit ya, Mbak?" Xander melipat tangan di depan dada.

"Nike mari deh rasa sakitnya. Kapan lagi bisa jalan-jalan di pulau yang ngangeni, digebukin rame-rame pake sihir, dan terjebak di penjara bawah tanah menanti ajal."

"Lhu tuh ya... ngghak... punya perashaan..." Mulut Pax sulit dibuka. Suaranya seperti orang sedang berkumur.

"Emang! Hebat ya gue! Siapa yang bakal berperasaan lembut sama orang yang membuat kita semua terpenjara di tempat asoy ini?!"

Pax berusaha membuka matanya, memperlihatkan reaksi keterkejutan.

"Apha? Shemua? '

"Ya, semuanya! Terima kasih banyak, kucing kurap!"

"Merekha juga menangkhap Oryza?"

Xander merepet seperti tidak berbicara selama seminggu.

"Waktu lu tertidur dengan manisnya. gue dan semuanya semua diseret ke ruang bawah tanah yang mewah dan indah ini. Oryza ditaruh di sel seberang. Dan Pak Samudra entah dibawa ke mana. Nuna juga entah. Gue lebih nggak tahu karena dia disuruh

nemenin ahli nujum kepala negara error itu, yang senang banget nyebut'nyebut. tentang penyiksaan abadi. Gue udah nggak tahu lagi!"

"Lu ngebiarin kita semua dijebloskan ke penjara?"

Kemarahan Xander mendapatkan salurannya.

"Eh, Dakocan kuman, seumur-umur gue nggak akan pernah membiarkan kita semua dijebloskan ke penjara. Penjara bawah tanah, lagi. Catat ya! Catat baik-baik! Kuntilanak kebakaran itu menyihir gue dengan Sihir superkuat, membuat gue setengah pingsan dihajar ranting-ranting pohon. Waktu gue mencoba balik menyihirnya, semua sihir gue mental ke mana-mana. Dia pasti menelan sesuatu yang ditelan oleh Zea dan Sola di Jakarta!"

Mata Pax membelalak mendengar cerita Xander.
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Xander menggebrak dinding sel dengan tinju. Wajahnya terlihat frustrasi.

"Sialan banget semuanya! Lu sih kelewatan! Semua garagara lu! Dia nyaris memberi kita semua Tamerit waktu lu muncul begitu saja dengan muka bonyok. Apa sih yang pernah lu lakuin sampai-sampai membuat mereka semua tersinggung?! Si kutil itu menggambarkan lu dengan sempurna seperti teroris yang pernah meledakkan rumah suci mereka atau melakukan pedofil dengan seluruh penyihir anak-anak di pulau ini!"

"Fitnah!" jerit Pax.

"Kejadiannya nggak seperti itu!"

"Lalu apa?"

Pax terdiam. Melempar pandang ke arah lain dengan bimbang.

Xander menggebrak dinding sel.

"Pax!" teriaknya kesal.

"Bicara!"

Pax berdeham. Dia membuang muka sambil tergagap pelan,

"Gue... ehm, mereka mengira gue mencuri dewa suci mereka."

Mata Xander membelalak lebar.

"Apa??

"Mereka mengira gue mencuri dewa suci mereka."

"Nggak usah diulang. Gue dengar, nggak budek!" Xander mengamati Pax dalam pandangan yang bisa melumatkannya sampai sehalus garam. Kegaguan kata menyelimuti mereka beberapa saat. Pax melengos, tidak ingin bertabrakan mata dengan Xander.

"jadi lu beneran mencuri? Mencuri benda penting milik mereka? Begitu kisahnya?"

"Nggak!" seru Pax cepat.

"Eh, maksud gue ya." Pax mengedikkan bahu dengan lagak santai.

"Nggak jelas deh. Begitu, kuranglebih."

"Kurang-lebih?!" potong Xander heran.

"Denger gue baik-baik, ngak ada kata kurang-lebih buat tindakan mencuri. Mencuri ya mencuri. Nggak mencuri ya nggak mencuri. Nggak ada ruangan samar-samar atau kamar abu-abu di antaranya. Mengerti nggak? Ini pelajaran moral untuk anak umur tiga tahun!"

Pax membasahi bibirnya dengan ujung lidah, gugup. Untuk pertama kalinya, tatapan Xander membuatnya gentar. Xander memajukan tubuhnya. matanya terlihat berapi-api seperti induk naga yang senewen. Entah apa yang terjadi sewaktu Pax pingsan. Pasti pemimpin besar Varaiya sungguh-sungguh menghajar Xander sampai klenger dan membuatnya kehilangan muka di hadapan Oryza.

"Iya. iya, gue juga tau yang itu."

Xander duduk bersila di hadapan Pax, menohoknya abis-abisan dengan pelototan.

Pax melanjutkan.

"Kalau yang lu sebut tadi sebagai definisi mencuri, berarti gue... eh. gue tuh benar-benar masuk kategori mencuri Hehehe..."

"Gue nggak ngerti dongeng konyol ini." Kepala Xander mendadak berat.

"Buat apa sih lu harus mencuri? Butuh uang banget? Kerjaan lu kan bener, ngapain harus mencuri? Dan yang paling penting, sebenarnya apa yang lu curi? Kayaknya mereka nggak punya duit dengan gaya hidup macam gini. jangan'jangan lu

mencuri semacam patung dewa atau ukiran penting: Atau benda suci yang ada di dalam kuil mereka?"

"Pertanyaannya banyak banget. Gue nggak bisa jawab semuanya. harus menjawab satu-satu."

"Silakan. Gue nggak ada kerjaan seharian. Kalau lu nggak buruan buka mulut, gue bisa bengek menunggu lu menjelaskan semuanya."

Pax menarik napas dalam-dalam.

"Oke. Oke. Pertanyaan n0mor satu itu tentang mengapa gue mencuri sebaiknya diloncati dulu. Pertanyaan berikutnya tentang apa yang gue curi. Gue sebenarnya mencuri dewanya itu sendiri..."

Xander seketika mengembuskan napas panjang.

"Dewanya itu sendiri? Maksud lo?"

"Iya! Eh, maksud gue nggak juga! Begini, dewanya itu sendiri artinya dewa yang bukan dewa yang sebenarnya."

"Gue nggak nyambung. Lu kayaknya mulai menceracau. Suhu badan lu tinggi?"

Pax nyengir salah tingkah, memegang dahinya dengan telapak tangan.

"Gue nggak demam."

Mara Xander berkedip-kedip. tanda dia berpikir keras.

"Gue beneran mumet. Kayaknya mereka mukul kepala lu terlalu keras sampai otak lu pasti mengalami trauma dan peradangan akut sekarang."

"Yah. ceritanya panjang sebenarnya."

"Cepat-yang ngomong dong sebelum kita berdua melakukan upacara gantung diri." Xander mengeretakkan buku jari-jarinya, melipatnya menjadi tinju. Dia meletakkan tinju itu persis di bawah dagu Pax yang masih bengkak.

"Gue si tukang jagalnya dan lu bintang utama yang gue gantung."

"Kejam!" Pax memperbaiki posisi duduknya. bersila di hadapan Xander. Dia menyingkirkan tinju Xander.

"Jadi, begini ceritanya...

**

SOLANUM mengetik dengan kecepatan di luar kecepatan normal. Kepalanya menunduk begitu dekat dengan layar laptop sehingga nyaris terbentur di sana. Lima menit kemudian terdengar suara ponsel berdering. Solanum tidak melirik benda komunikasi itu sama sekali. Dia hanya menjulurkan tangannya. mengambil ponsel, dan menempelkan di pipi.

"Selamat siang, dengan Solanum Consulting."

Pembicaraan telepon terjadi selama beberapa menit. Solanum masih mengetik ketika pembicaraan berakhir. Pintu kamarnya diketuk.

"Ya? Masuk saja."

Kepala Zea nongol di balik pintu.

"Sol." katanya.

"Di luar, tamumu sudah datang. Aku nggak mau membiarkannya masuk. Mereka semuanya kotor! Mereka..."

Solanum tersenyum.

"Tenang saja, Kak." Dia berdiri dan bergerak ke arah pintu.

"Hari ini aku bakal dapat gedung untuk perusahaan ini."

"Gedung!" Zea tertawa.

"Bagus! Nanti pulang jam berapa?"

Solanum mengambil tas laptopnya, mengaca di cermin. Penampilannya rapi dan kinclong. Dia mengenakan jas berwarna hitam dengan blus berwarna putih. Roknya ketat sepanjang lutut. Rambutnya yang sudah agak panjang digelung menjadi konde kecil yang rapi. Dia tinggal mengenakan sepatu hak tinggi runcing yang sangat disukainya.

"Aku akan pulang malam sekali, Kak. Ada janji dan undangan penting sampai larut. Kakak tidur aja, nggak usah menungguku pulang."

"Wow!" seru Zea riang, menutup mulutnya dengan tangan. Matanya berbinar binar.

"Perusahaanmu cepat sekali berkembang. Senang ya jadi motivator?"

Solanum berdiri dengan penuh gaya di depan Zea.

"Menurut Kakak bagaimana? Apa aku cocok jadi motivator?"

"Oya. pastinya! Kamu cocok jadi motivator. Kakak punya moto hari ini. Motivator yang sukses adalah motivator yang bebas kuman!"

"Hebat! Kakakku memang inspiratif." Solanum berjalan keluar.

"Ngomong'ngomong, kemarin malam aku harus menyelesaikan satu naskah nonfiksi tentang cara uang bekerja untuk kita. Beberapa penerbit sudah memohon-mohon agar naskahku diterbitkan oleh mereka."


Legenda Golok Halilintar Karya Lan Li Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar Assasins Credd Karya Oliver Bowden

Cari Blog Ini