"Hore! Adikku memang hebat."
Solanum mengangkat dagunya dengan lagak cool. berjalan keluar rumah dengan penuh percaya diri. Di belakangnya, Zea sedang menyikat lantai dengan sikat besar. Dia berdendang riang. Nada-nada suaranya yang lembut memenuhi seluruh lorong dan pojok rumah yang tampak kosong dan mengilat.
Cyril sibuk menggosok tumpukan piring yang semakin menggunung. Sejak Strawberi menghilang. pekerjaannya menjadi bertambah. Perlengkapan makan di dapur yang harus dibersihkan dikerjakan sendiri. Itu pun sudah dengan bantuan sihir diamdiam. Ini gara gara Nenek Gray menginginkan dirinya mengerjakan semuanya tanpa sihir. Kayaknya pocong tua bangka itu memang ingin membuat dirinya menderita.
Nasi Tim Bebek Nenek Gray selalu ramai sejak dibuka pukul enam pagi. Restoran ini akan tutup pada pukul tiga sore karena biasanya sudah habis. Tidak ada menu lain selain nasi tim fenomenalnya Nenek Gray. Para pengunjung mengalir dari berbagai daerah, bahkan yang sangat jauh. Restoran itu tidak berada di jalan besar, melainkan agak menyempil di perumahan yang jalanan depannya hanya sanggup menampung dua mobil. Itu pun berdempet-dempetan.
Bukan orang Jakarta namanya kalau tidak tahu makanan. Sejak gaya hidup yang menyebut dirinya sebagai "wisata kuliner" booming, restoran Nenek Gray semakin ramai. Bahkan pernah diliput oleh stasiun TV swasta. diulas di berbagai majalah dan koran, dan terakhir resep nasi tim bebek yang bukan berasal dari resep warisan turun-temurun keluarga Nenek Gray beredar di toko-toko buku. Pokoknya judulnya, siapa yang tidak kenal Nasi Tim Bebek Nenek Gray berarti ketinggalan zaman.
Restoran sederhana yang terdiri atas ruang tempat makanitu pun tidak besar hanya memampung sekitar sepuluh meja kecil-dan dapur kecil di belakang memang tidak terlihat sebagai restoran mewah. Tapi jangan ditanya siapa pengunjung yang pernah datang membeli nasi tim bebek. Ajudan Presiden RI pernah memesan beberapa bungkus untuk keluarga kepresidenan. Para menteri beserta istri dan anak-anaknya juga tergila-gila dengan nasi tim tersebut. Itu tidak termasuk para selebriti, pebisnis, dan orang-orang ngetop lainnya yang pernah datang dan membeli, bahkan tidak sedikit yang makan di sana, restoran kecil yang amat bersahaja.
Tiap pukul tiga pagi, Nenek Gray sudah sibuk mengolah nasi tim bebeknya. Dia mempersiapkan bahan-bahan sejak restorannya tutup dan memasaknya pada pukul tiga pagi. Biasanya Strawberi sudah ikut sibuk di dapur pada pukul lima, membantu neneknya. Ketika restoran buka jam enam, orang-orang mulai berdatangan. Srrawberi bekerja sebagai penerima order dan mengurus kasir. Nenek Gray akan menjadi kepala koki di dapur, mempersiapkan ratusan nasi tim bebek yang pasti terjual dalam satu hari.
Sementara Cyril...
Cyril tidak punya jabatan dan tanggung jawab yang spesifik. Dia harus menghafal siapa yang mau nasi tim bebek tanpa lada, siapa yang tidak mau ditaburi bawang goreng. siapa yang mau pakai esktra daun bawang, siapa yang minta tambahan kuah. Dia yang harus menelepon penjual galon air kalau air minum restoran mendadak habis. Dia harus menenteng barang-barang berat belanjaan dari bajaj kalau Nenek Gray tiba dari pasar. Dia harus membersihkan dan mengelap meja makan kalau Ujang dan Upi, sepasang suami-istri yang bekerja di bawah perintah Nenek Gray sebagai pelayan, tidak masuk hari itu.
Pokoknya. Cyril yang bekerja paling berat.
Tapi apakah Cyril pernah mengeluh?
Ya nggaklah.
Dia tidak pernah mengeluh karena cintanya pada Strawberi.
Cinta mati. Cinta sejati. Cinta habis-habisan. Cinta setia sampai selama'lamanya.
"Nek," katanya sambil merajang daun bawang.
"Mungkin Strawberi pulang."
Nenek Gray diam. Tidak menjawab apa apa biarpun dia mengerti apa yang Cyril maksudkan. Pulang-yang dikatakan Cyril itu, berarti pulang ke Pontianak, kota asal mereka semua.
"Tapi, ah. nggak mungkin." Cyril memindahkan kuah rebusan
bebek dari ember ke panci raksasa yang sedang dipanaskan.
"Di sini hidup lebih enak."
Hening lagi. Nenek Gray menyibukkan dirinya dengan membersihkan meja dapur. Kecap, bumbu, sambal, dan rempah dijejerkan dengan rapi. Di luar, televisi sudah dinyalakan. Ujang dan Upi mulai menurunkan kursi dari atas meja, mengambil mangkuk-mangkuk sambal dari kulkas dan kotak-kotak tisue untuk ditaruh di atas meja. Dalam waktu sekitar sepuluh menit, restoran mereka akan buka. Di luar, sudah berdiri dua orang yang menunggu. Mobil Honda Jazz berwarna merah tampak parkir miring di pinggir jalan. Pemandangan seperti itu adalah hal yang biasa di lingkungan dan tetangga sekitar mereka. Tiap hari mobil mobil mewah berjejer di sana: para penumpang dan sopirnya pasti berada di restoran nasi tim bebek Nenek Gray.
"Nek?"
"Hmm..."
"Strawberi pasti kembali, kan?"
"Hmmm.."
"Saya kangen dia. Nenek kangen Strawberi?"
"Hmmm...."
"Rasanya sepi tanpa kehadiran Strawberi. Kebawelannya. Keceriaannya. Kecantikannya. Ah, Nek. saya bener-bener kangen!"
Bayangan Strawberi hidup dalam kepala Nenek Gray. Dia memandang kalender harian yang menempel di tembok. Sudah dua hari cucu kesayangannya menghilang. Entah ke mana dia pergi. tapi Nenek Gray punya feeling, Strawberi pasti pergi untuk urusan Xander. Segala hal yang berurusan dengan Xander, Nenek Gray tidak memiliki keberatan apa pun. Dia percaya pada Strawberi, cucu yang dibesarkannya dengan tangan tangannya.
Tapi Cyril memang benar. Nenek Gray belum pernah kehilangan Strawberi sampai selama ini. Rasanya memang kangen.
Dan Kangen adalah penyakit tua yang susah disembuhkan dengan sihir apa pun.
Mata Nenek Gray berkaca-kaca. Sebutir air mata meluncur turun di pipinya yang keriput.
"Nek!" tiba-tiba terdengar seruan lagi.
"Nenek nggak apa! apa?"
Cyril berjalan bergegas ke dapur. Di tangannya tampak sehelai tisu. Tatapannya kelihatan prihatin. Nenek Gray melengos. Dia tidak sudi diketahui sedang bersedih oleh siapa pun, apalagi oleh Cyril.
**
"Udah selesai?" Seorang editor menatap mata Solanum. Bengong.
"Sudah."
"Berapa halaman?"
"Dua ratus sekian. Kira-kira jadi berapa halaman kalau dicetak? '
"Sekitar tiga ratusan."
"Bagus."
"Tapi cepat banget mengerjakannya? Editor itu membalikbalik naskah tebal yang disodorkan oleh Solanum. Rasanya baru kemarin dia mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan Solanum di acara talkshow bertajuk "Takut? Siapa yang Takut dengan Takut?" dengan Solanum sebagai pembicara dan motivator. Eh. tunggu. Dia terpana. Memang benar baru kemarin kok.
"Sudah dikerjakan sebelumnya?"
"Nggak."
"Lho, nggak?"
"Aku mengerjakannya selama dua puluh empat jam kemarin"
Editor itu mengangkat wajahnya.
"Semalam suntuk, Pak. Kelar." Air muka sang editor bengong total.
**
Hari ini bakal menjadi hari yang panjang. Kelihatannya jumlah pengunjung restoran yang datang akan membludak. Baru buka sepuluh menit saja. tiga mobil dan empat sepeda motor telah parkir di pinggir jalan. Semua beli bungkus. Total sudah dua puluh lima nasi tim bebek laku terjual.
Cyril mengusap keringat yang turun di dahinya. Kipas angin di dalam dapur tidak membantu membuat ruangan menjadi sejuk. Api selalu menyala. Kesibukan di dapur tidak berhenti. Suhu semakin naik ketika matahari menuntaskan inspeksi pagi harinya.
"Dua nasi tim bebek. dengan bawang goreng yang banyak." Nenek Gray menaruh dua mangkuk di atas nampan. Cyril langsung mengangkat nampan dan berjalan keluar ruangan.
Di luar, Ujang menggamit lengan Cyril, memberitahu bahwa ada pengunjung yang hendak membayar makanan mereka. Cyril langsung bergegas menuju kasir. Dia mengambil rencengan kunci dari sakunya. membuka laci meja. dan melayani mereka. Sejak Strawberi menghilang. urusan kasir dikendalikan langsung olehnya.
"Pak," panggil orang itu sambil mencabut uang dari dompetnya.
"Ya." tanya Cyril hangat.
"Nggak tertarik buat franchise-nya nih?"
"Franchise?" Cyril tidak siap dengan tembakan seperti itu.
"Maksudnya?" tanyanya heran.
"Saya melihat nasi tim bebek ini terkenal sekali. Kenapa
nggak bekerja sama dengan orang luar sehingga punya cabang di tempat lain! Makin besar, makin terkenal, makin laku, makin banyak uang yang mengalir masuk."
Cyril tersenyum sambil menerima uang itu.
"Begini, Pak, banyak restoran papan atas yang berasal dari warung-warung kecil dan sederhana seperti ini. Selama makanannya enak, siapa pun bisa bertarung di bisnis makanan. Jangan takut gagal. Bisnis makanan selalu menguntungkan."
Cyril menghitung kembalian.
"Sedang dipikirkan kemungkinan itu," katanya mengelak.
"Mungkin dalam jangka waktu dekat."
Orang itu tampak bersemangat.
"0, begitu ya?" Dia merogoh kantongnya lagi, mengeluarkan kartu nama.
"Ini kartu nama saya. Saya pengusaha, biasa bermain urusan restoran. Kalau berminat, silakan menghubungi saya. Kita akan pikirkan jalan terbaik bagi dua belah pihak, sehingga saling menguntungkan."
Cyril menerima kartu namanya.
"Baik, terima kasih ya."
"Ya, sama-sama. Nasi tim bebeknya luar biasa enak. Sayang kalau tidak dikembangkan. Hanya terpuruk di lingkungan sini saja. sementara semua orang sudah mengenal dan menyukai rasa nasi tim ini. Saya bisa merancang manajemen yang oke dan penghitungan rugi laba yang menguntungkan?
"Oke. oke."
"Hubungi saya._Jangan lupa."
"Pasti."
Orang itu tersenyum hangat, lalu berlalu. Cyril menarik laci. mengeluarkan kotak yang terletak di ujung laci. Kotak itu ditempeli stiker Strawberry Shortcake. Dia membuka kotak itu, meletakkan kartu nama si pengusaha. Sejenak dia mengamati kartukartu nama lain yang bertumpuk di sana. Kartukartu nama yang disodorkan orang-orang yang tertarik berbisnis dengan mereka.
Ah, Strawberi, pikirnya dalam hati. Satu lagi pengusaha yang akan kita kecewakan.
**
PAX terpana, di depannya terbentang jembatan yang dialiri sungai berwarna biru kehijauan. Sungai itu terbuat dari kayu dengan tali-temali yang menahan dan menggabungkan papan-papan tersebut. Pax menggoyanggoyangkan jembatan, menguji kekuatannya. Hatinya merosot lemas ketika merasa jembatan itu sangat rapuh.
Dia menoleh ke belakang. Mundur lagi, atau terus?
Hari itu adalah hari pertama cutinya ketika dia memutuskan untuk kembali ber-ransel alias berpetualangan. Rencana Pax sebenarnya hanya ingin pergi ke pulau tersembunyi yang katanya eksotis, terletak di antara Pulau Sumatra dan Jawa. Pulau itu memang luar biasa indah. tapi rasanya dia mendarat di pulau yang salah.
Nelayan yang mengantarkan dirinya ke pulau tersebut langsung kabur terbirit-birit begitu Pax mendarat di pantai. Menyebalkan! Padahal Pax berkali-kali bertanya kepada nelayan. apakah ini benar benar pulau yang Pax maksudkan. Nelayan itu tidak berkata apa-apa, hanya gumaman-gumaman aneh berasal dari mulutnya yang hitam bekas nikotin.
"Hmmm...?" Dahi Pax berkerenyit, berpikir keras. Parasnya bingung. Jembatan itu tampak ringkih, tidak mungkin menampung seluruh tubuhnya yang ditambahi ransel besar yang tergantung di punggung. Dia harus memikirkan kemungkinan lain. Menggunakan sihir sudah pasti!
Transforsi? Ya. bisa! Tapi dalam jarak sedekat ini. transfor-si tak susah dilakukan. Jangan tanya mengapa, yang jelas sampai detik ini Pax belum berhasil menguasai transforsi Fisik secara sempurna. Transforsi adalah pekerjaan yang sulit dan melelahkan. tidak semua penyihir mampu melakukannya dengan sempurna. Sekarang yang bisa Pax kerjakan adalah memindahkan ranselnya ke ujung jembatan dengan sihir melayangkan benda.
Setelah meyakinkan diri tidak ada orang yang melihat, Pax menarik tongkat sihirnya. merapalkan beberapa kalimat panjang sambil berkonsentrasi. Tiba-tiba, ransel bergerak naik di udara seperti ada yang membopongnya. Tas itu terayun-ayun di atas sekitar satu meter dari atas jembatan, bergerak maju perlahanlahan melewati jembatan. Hanya butuh tiga menit buat si tas untuk berhasil menyeberang dengan sukses.
Pax tersenyum lebar sendirian melihat keberhasilan sihirnya. Sekarang, persoalan berikutnya adalah bagaimana dia menyeberang? Dengan berat badan tujuh puluh lima kilogram, apakah jembatan dapat menahannya? Hmmm... Pax mencoba melangkah. Satu langkah. Dua langkah. Jembatan bergoyang keras. Pax mundur, terkejut. ternyata jembatannya memang rapuh! Dia melongok ke bawah jembatan. jembatan itu menghubungkan dua tepi jurang yang tinggi. Di bawahnya tampak sungai dan beberapa titik-titik berwarna merah keemasan yang tidak tidak terlalu kelihatan dari atas.
Jadi? Bagaimana?
Masa dia harus mengubah diri menjadi binatang yang lebih
ringan?
Aha! Mungkin itu ide yang tepat.
Hmm... Bagaimana kalau kucing?
Terbayang di benaknya: Dakocan menyeberangi jembatan gantung dengan anggun.
Memikirkan ide itu membuat Pax tersenyum. Dia merapalkan beberapa baris kalimat yang sangat dihafalnya. Dalam hitungan detik, seluruh tubuhnya lenyap. bajunya terjatuh ke tanah. Dari balik tumpukan baju. keluar seekor kucing berwarna hitam, melangkah gemulai dengan kaki depan kirinya. Kucing hitam itu berjalan dengan penuh percaya diri, menjejak jembatan tanpa ragu. Dimulailah satu ayunan kaki. Dua ayunan kaki. Tiga ayunan kaki. Empat ayunan kaki.
jembatan bergoyang-goyang sedikit.
Dengan kelincahan seekor kucing, Pax terus melangkah. Semakin jauh dan jauh ke tengah jembatan. Tidak ada suara lain di sekitarnya, hanya suara angin kencang yang mendesau'desau. Dia menjejak sebilah kayu lapuk.
KREK!
oh-oh. Mata Dakocan membelalak.
Terdengar suara krek yang nyaring. Kayu itu pecah. Terbelah dua. Hancur, berkeping, langsung jatuh ke bawah.
Pax tergelincir. Keempat kakinya menggapai-gapai di udara. Perut kucingnya terbalik, berputar sekali. berputar dua kali, tiga kali, sebelum kembali ke posisi berdiri. Bersama pecahan kayukayu yang konon menjadi penyambung jembatan itu, ia ikut terjun bebas.
"MEEEOOONNNNGGG!"
Kok nggak mati?"
"Lu kepingin gitu?
Itu kan pertanyaan normal. Lu cerna lu Jatuh dan ...., tapi ternyata lu masih ada di sini, nggak mati."
"Mau gue lanjutin ceritanya atau nggak? Protes mulu!"
"Mau deh."
"Nggak usah cerewet potong-potong cerita gue!"
"Galaknya. Emangnya nggak ada sesi tanya-jawab?"
**
Tempat pemujaan itu telah penuh orang. Pintu dan tembok kuil dihias dengan berbagai bunga, buah, dan dekorasi yang terbuat dari dedaunan dan pohon. Mereka berkumpul menghadap lingkaran yang terbuat dari batu, yang di atasnya diletakkan ranting ranting lembut seperti sarang burung raksasa. Kuil terletak di tengah'tengah sungai yang mengalir deras. Terdengar suara air bergelora kencang di sekeliling kuil. Suara'suara keras alam tidak membuat para manusia yang berkumpul di tempat pemujaan merasa takut. Mereka tampak bersemangat dan bergairah.
Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya Tsungta Vzar berdiri di hadapan kerumunan manusia, mengenakan jubah berwarna merah keemasan. Dia memimpin upacara persis di depan altar.
"Para penyihir Varaiya!" serunya menggelegar.
"Hari ini adalah hari istimewa. Hari Kepulangan! Setelah beristirahat selama seribu tahun, Yang Tersuci Kwa Kwaa akan mengubah diri menjadi makhluk hidup dan kembali bersama kita semua. Beginilah yang telah diramalkan akan terjadi!"
Orang-orang menjerit dan berteriak-teriak bersemangat. Drum berdebum-debum diiringi bunyi-bunyian lain yang berasal dari alat musik tiup dan dawai petik. Api dinyalakan di berbagai tempat.
"Kedatangan Yang Tersuci Kwa Kwaa akan menandai zaman yang baru. Zaman keemasan! Zaman keindahan! Zaman yang
membuat segalanya lebih cerah! Kedatangan zaman ini telah tertulis dan diramalkan selama beratus-ratus tahun oleh para tetua kita. Damai dan kemakmuran akan selalu bersama kita selama-lamanya?
Orang-orang semakin keras menjerit seperti kesurupan. Musik menggelegar keras. Kelompok penari lelaki dan perempuan mulai memasuki altar. Mereka mengenakan kostum yang berwarna merah terang. Diiringi lagu dan tetabuhan, mereka menyentaknyentakkan tubuh, meliuk-liuk liar. Mereka melompat. berjongkok, berputar, melangkah cepat. berjingkat-jingkat. dan berteriak. Rambut panjang mereka yang dipenuhi hiasan bunga tampak terayun-ayun ke sana kemari. Seluruh tubuh yang tampak dipenuhi gambar dan coretan-coretan yang melambangkan berbagai simbol.
"SAATNYA TIBA!"
Para penari menuntaskan tariannya dengan segera, langsung mengundurkan diri dengan anggun. Orang-orang berhenti berteriak. Keheningan merambat di sekeliling kuil dan manusia-manusianya. Yang ada hanya terdengar suara deburan sungai dan kecipak air.
"0, yang Tersuci, Terhormat. Terpuja Kwa Kwaa kembalilah bersama kami, kami mohon dengan segenap hati. Kembalilah sesuai dengan janji dan ramalan yang akan tergenapi. Kami setia menunggumu sejak beratus-ratus tahun. Kami..."
Dakocan tejatuh dengan kecepatan tinggi, langsung mendarat di sarang burung raksasa yang diletakkan di tengah batu.
"MEEEEOOOONNNNNGGG!"
BRUK!
Orang-orang membelalak. Terdengar suara desahan keras, lalu diam. Menit-menit berlalu dalam ketegangan. Mereka menanti dengan tatapan tak percaya, seakan'akan sedang menunggu mukjizat.
Dakocan menyembulkan kepalanya dari sarang burung raksasa. Napasnya terkesiap melihat gerombolan manusia mengenakan baju berwarna merah dengan aksesori beragam berkumpul menghadapnya. Pantas! Rupanya ini adalah pemandangan yang terlihat dari atas. Warna-warna merah berasal dari baju yang dikenakan mereka.
Tsungta berkata dengan kencang, langsung diikuti oleh suarasuara manusia lainnya.
"Salam Yang Tersuci Kwa Kwaa! Salam Yang Terpuja Kwa Kwaa! Yang Terhormat Kwa Kwaa sungguh kembali kepada kita!"
Tsungta berlutut menghadap Dakocan.
"Kami mengagungkanmu, Yang Tersuci Kwa Kwaa! Kami memujamu, Yang Tertinggi Kwa Kwaa! Sebutkan saja perintahmu kepada kami, maka kami akan mematuhinya!"
Dakocan mengedipkan mata.
"Mering?"
Tsungta mengangkat kedua tangannya ke atas.
"DENGAR!" serunya nyaring.
"Yang Tersuci telah mengatakan sesuatu! Dengar. dengarkan sabdaNya!" Tsungta meletakkan tangannya di telinga, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Dakocan.
"Ya, inilah sabdaNya! Patutlah kita mendengarkan katakataNya. Yang Tersuci Kwa Kwaa menginginkan kuil indah yang dibangun untuk memuja dirinya!" Tsungta merendahkan wajahnya sehingga menyentuh tanah. Dia melakukan gerakan penghormatan.
"Yang Tersuci akan mendapatkan apa yang diinginkan."
"Meong?"
"O, dengar! Yang Tersuci telah bersabda kembali! Dia menginginkan sumbangan besar untuk kuilnya."
"Mering?"
"Siapa yang menyumbang akan membuka pintu-pintu keindahan langit dan mendapati dirinya berada di sana saat kematian menjemputnya. Demikianlah apa yang dikatakan oleh Yang TerSuci.
Orang'orang bergerak cepat. Mereka berkumpul menjadi barisan panjang. Sebelum Dakocan menyadari sesuatu, sarang burung raksasa besar dan empuk telah penuh dengan persembahan. Berbatang-batang emas, dupa, rangkaian bunga, piring-piring penuh makanan lezat, dan buah-buahan.
Tsungta merendahkan kepalanya ke tanah lagi.
"Demikianlah persembahan sederhana kami, Yang Tersuci Kwa Kwaa. _Jika Yang Tersuci membutuhkan hal-hal lainnya, bersabda saja maka para pengikutmu yang hidup di dunia fana siap melayanimu sepenuh hati."
"Meong."
Xander tertawa sampai terguling'guling.
"Ada yang lucu?"
"Hahahahahaha! Jadi lu... yang disembah... hahahahahaha... sama mereka? Lu dewanya ? Hahahaha... Siapa SlH yang bego... hahahaha... di sini buat percaya yang jadul kayak gitu? Haha: haha...."
"Masih mending diangkat jadi dewa daripada jadi kurban persembahannya. Lagian, ini kan kesempatan emas! Begitu ada celah, gue pasti kabur secepatnya."
Xander merendahkan kepalanya ke lantai.
"0. Yang Tersuci Dakocan! Kami menyembahmu! Kami memujamu. Kami "
"Diam!" bentak Pax sambil merengut.
"Nggak lucu sama Sekali. Nggak usah berlebihan."
"Gue nggak berlebihan. Tenang, kok, tenang... hahaha... Nggak bakal deh Oryza mendengar cerita tolol ini. Bakal jadi rahasia gue juga... hahahahaha..." Xander membuat gerakan menyilang di dada. Dia berhenti tertawa, menghapus air mata.
"... oke. Sori, sori. Nggak... hahahaha.... gue nggak... tahan kalau nggak
ketawa kayak... hahahaha... gini... Pppfiiff...! Sori... sori. Ayo, lanjutin..."
Pax mendelik.
"Yakin? Nggak mau ketawa dulu? Gue kasih kesempatan sebanyak-banyaknya buat ketawa sampai keblinger."
"Gue nggak mau mati karena ketawa. Ayo. lanjutin."
Pax terdiam beberapa saat, mengembuskan napas kesal. Hatinya gondok setengah mati. Xander bersusah payah menutup cengiran wajahnya. Dia mencoba terlihat serius, tapi beberapa kali gagal.
Susah payah Pax membuka mulut. melanjutkan ceritanya.
"Setelah sebulan berada dalam pengasingan..."
"Hah. sebulan? Nenek lu doyan ikan asin! Lama amat! Katanya mau melarikan diri begitu punya kesempatan?"
Pax memberikan wajah tersinggung.
"Yah, wajar kan. Gue juga perlu waktu buat berpikir dan merencanakan..."
"Halah, tipu banget. Lu pasti keenakan di sana. Tunggu, lu dapat apa aja? Oya, pemujaan, cewek-cewek, dan makanan gratis. Dasar narsis dot com."
"Mau mendengarkan lanjutan cerita gue atau nggak sih?!"
"Mau."
"Kalau begitu jangan berisik!"
Yang Mulia Tsungta memasuki kuil diiringi oleh para pengikutnya. Dakocan baru saja terbangun. Matanya membuka setengah. memandang rombongan berbaju merah berjalan ke arahnya. Mereka berlutut di hadapan Dakocan.
"Meong?"
"Oh, Yang Tersuci Kwa Kwaa, kami telah membangun ruang mandi yang besar dan luas untuk Yang Tersuci. Sudah sebulan
Yang Tersuci tidak mandi, kami sangat menguatirkan kebersihan tubuh mortal Yang Tersuci. Bilakah Yang Tersuci menerima persembahan kami?"
Mandi? Sejak jadi kucing, Pax tidak pernah mandi. Mereka membangun kamar mandi yang besar di samping kuil pemujaan. Pasti terasa segar dan menyenangkan sekali kalau bisa mandi.
"Meong!"
Dakocan melompat dari tempat tidurnya. bergerak ke arah deretan manusia yang berbaris menghormat. Di ujung barisan itu, tampak pintu terbuat dari batu yang dipenuhi dengan pahatan gambar kucing hitam. Dakocan bergerak semakin ke ujung. berbelok. dan memasuki pintu. Di balik kerimbunan daun. untuk pertama kalinya setelah sebulan, Dakocan sendirian.
Dengan cepat. sosok kucing menghilang. digantikan oleh Pax yang berdiri telanjang di bawah pepohonan. Dia mengendap sejengkal, mengagumi pemandangan kamar mandi alamiah yang dibangun oleh suku penyihir aneh itu. Ada kolam luas, menyerupai danau buatan yang sangat bersih. Airnya menggelegak dari mata air dengan bebatuan indah yang mengelilinginya. Rumputrumput mungil tumbuh di sekitarnya seperti karpet yang halus terbentang.
Uap hangat perlahan-lahan muncul dari air danau. Uap yang memenuhi seluruh udara. Ah, sauna alami. Pax mendesah keenakan. Nikmatnya hidup di sini, jauh dari keramaian dan kekacawan kota. Dia sudah melupakan kesibukan kantor, kerumitan perasaannya kepada Oryza. dan kebenciannya pada Xander. Kata Nenek, memaafkan adalah perbuatan yang mulia. Jadi mungkin ini adalah takdirnya; terlahir menjadi dewa. Takdir yang indah, hari yang hebat. Pax merenung sambil tersenyumsenyum. Hari ini adalah saat tepat baginya untuk melepaskan masa lalu, melupakan Xander, dan merelakan Oryza.
Pax berjongkok. menyentuh air danau. Air itu terasa hangat
di tangannya. Matanya terpejam dalam buaian kenikmatan. Baru saja kakinya menjejak ke dalam danau, tiba-tiba terdengar suara manis yang entah berasal dari mana.
"Yang Tersuci Kwa Kwaa. izinkan saya memandikan Yang Tersuci."
Terdengar suara gemeresik dedaunan.
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pax membeku.
Seseorang memasuki kamar mandi.
Gawat. Pax harus segera mengubah diri la...
Dalam keremenangan uap, dia melihat dua sosok yang berjalan ke arah danau. Dua pasang tangan sosok-sosok itu menggeliat. melakukan gerakan membuka kancing bersama sama. Samar-samar jubah yang dikenakan merosot ke bawah.
Pax menelan ludah.
"Yang TersuCi? Di manakah Yang Tersuci?"
Pax masih terpaku di tempat.
"Yang Tersuci diam saja. Apakah Yang Ter-suci menikmati kamar mandi kami? '
"Di mana Yang Tersuci?"
"Mari kita cari bersama-sama."
Pax komat komat, berusaha keras merapalkan sihir. Harus cepat. Kalau tidak cepat, mereka akan memergoki dia sedang berdiri bugil di pinggir batu. Aduh, sialan, kenapa salah melulu merapalkan sihir? Pasti karena grogi! Siapa yang nggak grogi ketika harus menyihir di tengah suasana remang'remang dan penuh uap dengan pemandangan sosok dua perempuan telanjang di hadapannya?
"Flunkeding, aku dapat ekornya!"
"AWWW!"
"SUARA APA ITU?!"
"ADUH!"
"Itu bukan ekorku!"
Pax melompat, menepis tangan perempuan yang sedang menggenggam XXX-nya.
"Apa ituuuuuu tadiiii?!"
Pax berlari, menyambar handuk yang tersangkut di salah satu ranting pohon. Dia segera menyelubungi dirinya dengan handuk. Dia ngibrit seperti Superman lagi ganti baju. Cepat. cepat! Tidak ada waktu untuk mengubah diri. Tangan perempuan menyambar lengannya, tapi dia buru-buru mendorongnya jauh-jauh. Perempuan itu terjerembap ke danau.
"AAAAHHHHH..."
BYUR!
"Aduh! Ampun, ampun. Nggak sengaja."
Pax melongok memandang perempuan itu yang panik tercebur di air. Perempuan itu memandangnya dengan tatapan ngeri. Pax membuang muka. Tidak ada waktu berlamalama. Dia berbalik, menerobos pepohonan, menuju pintu kamar mandi. Waktu berbelok di pintu, tubuhnya menabrak Yang Mulia Tsungta yang hendak memasuki kamar mandi karena mendengar teriakan. Lelaki itu langsung terjengkang ke belakang.
"Ups. Sori, sori."
Terhuyung-huyung Yang Mulia Tsungta berusaha bangkit berdiri, tapi jatuh terjengkang lagi karena terpeleset air. Dayang-dayang perempuan yang tadi bersama Pax di kamar mandi muncul di pintu. Napasnya terengah-engah. Rambutnya awut-awutan. Keringat dingin mengaliri punggungnya.Jubah merahnya dikenakan dengan asal-asalan. Terbalik.
"Tuanku Yang Mulia" jeritnya panik.
"Seorang lelaki menerobos gedung parlemen kita. Dia berhasil masuk ke kamar mandi Yang Tersuci."
Mata Yang Mulia Tsungta membelalak. Dia bangun dengan grogi. Pikirannya berkabut sebab dipaksa berpikir cepat.
"D-di mana Y'yang Tersuci? ' tanyanya terbata-bata.
Dayang-dayang perempuan satunya lagi muncul di belakang dayang dayang yang masih berdiri di depan Yang Mulia Tsungta. Air mukanya pucat pasi. Rambut dan tubuhnya basah kuyup. Jubah yang dikenakan juga ikut-ikutan basah.
"Yang Tersuci hilang!" jeritnya panik.
"Dia pasti diculik oleh lelaki biadab itu!"
"Diculik?" Yang Mulia Tsungta terpana.
"Apa!" Dia segera memejamkan mata, merapalkan jampi-jampi sihir yang teramat panjang. Lima menit berlalu dalam ketegangan. Semua memandang pemimpinnya dengan penuh harap, tapi ternyata tak ada satu sihir pun yang berhasil membawa Pax kembali di hadapannya.
"SIALAN!" jeritnya marah.
"Tidak berhasil!"
"Di mana Yang Tersuci, Yang Mulia? '
"Di mana lelaki itu, Yang Mulia?!"
"Kurang ajar! Penghinaan! Biadab!" Tsungta mengepalkan jari-jarinya.
"Lelaki yang mencuri Yang Tersuci," serunya geram.
"adalah penyihir tingkat tinggi. Dia mementalkan sihirku!"
Dayang-dayang memandang pemimpinnya dengan tatapan cemas.
".A-apa yang harus kita lakukan? Huhuhuhu... di mana Yang Ter-suci... huhuhuhu... Pencuri itu harus ditangkap-.?
"PENJAGA!" teriak Yang Mulia Tsungta kesal.
"PENJAGAAAA!"
**
Xander memandang Pax dengan tatapan kalau'ada-pohon-pisang-sebaiknya?Pax-gantung-diri'di'sana.
"Gue lari terbirit-birit meninggalkan Varaiya tanpa ada seorang pun yang tahu. Untung ada nelayan yang kebetulan lewat dekat-dekat pulau. Tapi tampaknya Yang Mulia Tsungta berhasil melihat wajah gue. Sialan! Dia pasti menyebarkan gambar muka gue ke setiap orang."
"Jelas aja, bego, lu udah jadi selebriti di pulau ini."
Pax merengut mendengar nada suara Xander yang terdengar menggodanya.
"Bukan selebriti, ah. Buronan, kali."
Xander menggaruk pahanya. Mereka duduk bersila berdua, saling memandang. Xander menahan senyumnya. Pax membuang muka, sebal melihat air muka Xander.
"Kenapa nggak bilang jujur saja sih? Mengakui perbuatan lu? Bahwa Yang Tersuci..." Xander menahan napas mati-matian agar tidak meletus dalam tawa.
"...Y-yang Tersuci itu adalah lu selama itu."
"Ide yang bagus," dengus Pax.
"Kalau orgil-orgil itu menjadi lebih tersinggung, tanggung jawab ya!"
Xander mengerutkan kening, berusaha memasuki wilayah serius yang dari tadi sulit dicapai.
"Nggak ada jalan lain sih," katanya setelah berpikir selama beberapa saat.
"Kita harus melarikan diri dari penjara sialan ini. Menyelamatkan yang lain, lalu berusaha menemukan Tamerit. Abis itu kita cabut. kembali ke Jakarta.
Pax mendecak.
"Idenya keren, tapi terlalu idealis. Mending kita mulai dari yang paling dasar. Pertanyaan nomor satu, bagaimana cara keluar dari penjara? Selanjutya, pertanyaan nomor satu setengah. lu tahu sihir menembus dinding?"
"Nggak. Lu?"
"Nggak."
"Tuh. Goblok season pertama."
"jangan putus asa. Ingat pesan para motivator. Dahsyat! Semangat! Luar biasa!" Xander bertolak pinggang.
"Pakai cara lain dong."
"Apa?"
"Mantra meruntuhkan dinding? Ingat?"
Senyum Pax tiba-tiba merekah.
"Oh!" serunya bersemangat.
"Oh ya! Lu pinter juga!"
"Udah inget!"
"Inget!" Pax memandang dinding dengan tatapan serius. Dahinya berkerut. Dia berkonsentrasi.
"Nah, ada lumut yang menutupi dinding. Sihir gue nggak bakal bisa nembus. Kita bersihin dulu aja. Sini, bantu gue."
Xander berdiri di samping Pax, mengorek ngorek lumut yang bersinar-sinar berwarna biru kehijau-hijawan. Mereka bekerja cepat tanpa suara. Segumpal demi segumpal lumut rontok ke bawah, meninggalkan dinding batu yang berwarna hitam. Sel penjara menjadi lebih gelap karena bagian dinding yang ditumbuhi lumut kini telah tampak botak.
"Cah!" Xander mengernyit jijik.
"Lumut ini nempel di tangan gue. Lihat, tangan gue bersinar-sinar norak." Dia menempelkan tangannya ke hidung, lalu menciumnya. Hidungnya mengeriput.
"Waks! Baunya nggak kira-kira. Gue bakal semaput kalau keterusan mencium bau ini! Bisa masuk ICU!"
"Jangan komplain aja. Korek terus, sebentar lagi bersih."
"Kalau gue ketemu lagi sama si Kami itu. gue mau nimpukin lumut sialan ini ke mulutnya biar tahu rasa!"
"Setuju!" kata Pax.
"Nih. ambil yang banyak. taruh di kantung. Biar kita jejalkan di mulutnya nanti!"
**
NUNA duduk dengan wajah mual di kursi yang terletak di ruangan mahaluas dengan keempat dindingnya dicat dengan warna lembut. Di sana-sini. terlihat benda-benda bergerak cepat secara ajaib. Teko menuangkan teh ke cangkir dan cangkir terbang sendiri ke arahnya lalu mendarat di meja kopi. Kemoceng bergerak membersihkan bufet dan rak-rak buku. Sapu berlarilari sendirian di sepanjang lantai, entah apa yang dilakukannya, mungkin sedang menyapu atau mengejar tikus.
Nuna sedang tenggelam dalam lamunan ketika pintu kembar yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan di sebelahnya menjeblak terbuka. Yang Mulia Tsungta masuk. Lelaki itu datang sendirian, tanpa diiringi pelayan dan dayang-dayangnya.
Seketika Nuna menoleh dan memandang Tsungta dengan bibir cemberut. Masa bodoh dengan sopan santun! Dia tidak peduli siapa yang dihadapinya. Dasar pemimpin tolol. Lelaki brengsek. Kunyuk. Bego. Idiot
"Kami tahu apa yang kamu pikirkan." Tsungta berdiri di depan Nuna. Dia menyunggingkan senyum lebar tak ambil pusing.
"Kamu sedang sibuk mengata ngarai Kami."
Nuna melonjak berdiri. Mereka langsung berhadap-hadapan. Tubuhnya ternyata tidak lebih pendek daripada Tsungta sehingga tatapan mata mereka selevel.
"Dengar ya," kata Nuna tajam.
"Lepasin aku sekarang juga! Nggak ada alasan untuk menahanku di sini. Kami datang bukan untuk mengganggu, tapi cuma untuk membawa sedikit Tamerit.
Di tempat lain. nyawa manusia menjadi taruhannya."
Tsungta tetap tersenyum dengan tenang, seakan-akan dia sering melakukan ini berulang kali di atas singgasananya.
"Bermurahhatilah kepada kami." suara Nuna melembut.
"Kabulkan permohonanku. Raja yang bijaksana?"
Tsungta menggelengkan kepala dengan luwes, terlihat enggan mengangkat isu ini.
"Terlambat," katanya ringan.
"Sayang sekali keputusan sudah diambil. Kami takkan pernah mengubahnya."
"Kenapa?" Nuna memandang Tsungta dengan tatapan naik darah. Dia merasa terintimidasi dengan cara Tsungta menjawab omongannya. Raja keparat ini bukan hanya mengolok-olok dirinya, tapi juga mencari gara-gara dengan cara yang halus.
Tsungta tidak menjawab apa-apa.
"Lalu kami bagaimana? Kami akan diapain?" tantang Nuna kesal. Dia cukup kaget dengan keberaniannya bersuara lantang menghadapi Tsungta.
"Yang lain, mereka akan menghadapi kematiannya. Tidak ada kata maaf dari suku Varaiya. Tapi untukmu..." Tsungta berhenti berkata, dia memperhatikan Nuna. Pancaran matanya menyihir gadis itu sehingga Nuna tidak mampu bergerak,
"...akan Kami jadikan selir dan hidup bersama-sama dengan selir-selir yang lain."
Nuna terperanjat. Air mukanya meledak dalam keresahan, penuh gelora kemarahan. Dia tidak tahan lagi. Suaranya gemetar ketika berhasil membuka mulut,
"Ogah! Nggak akan! Nggak
bersedia! Enak aja menunjuk'nunjuk orang untuk dijadikan selir! Memangnya sekarang zaman apa?!"
Tsungta mengangkat bahu tidak peduli.
"Begitulah peraturan di pulau ini. Memasukinya berarti harus patuh dengan peraturan yang telah berjalan selama ratusan tahun."
Nuna menelan ludah. Ekspresinya berubah drastis.
"Nggak mau," katanya susah payah, berusaha tetap keras kepala. Dia mati-matian melawan sihir yang menggerogoti seluruh pemikiran dan kehendak bebasnya.
"Kamu dan pasukan sintingmu nggak akan bisa membuatku jadi selir. Coba aja!"
Tsungta menangkat dagunya serius, meniupkan napas pelanpelan dari mulutnya. Dia menambahkan jampi-Jampi sihir ke arah Nuna, sihir untuk membelokkan pikiran. Aneh. sekuat tenaga dia berusaha melakukannya, semakin lemah dirinya. Ternyata tenaga pertahanan Nuna melawannya habis-habisan. Gadis itu memiliki sihir tolak yang kuat juga. Tsungta tertegun. Bukan, bukan sihir tolak. Dia tidak menggunakan sihir apa pun. Gadis itu hanya memusatkan perhatian dan berkonsentrasi untuk merapatkan keteguhan hatinya.
"K-kamuuu..." Nuna menggeram kesal. 'i..nggaakk... akaan bbissaaa... membelokkaaan pikiran... kuuu..."
Tsungta menyambar lengan Nuna. menggenggamnya erat-erat. Nuna menjerit, menepiskan tangan Tsungta.
"Lepasin!"
"Kamu harus patuh pada Kami!"
"mit-amit!"
"Jangan bersikap tak pantas di hadapan raja!"
"Ke laut aja!"
"Kurang ajar! Apa..."
BRAK!
Pintu menjeblak terbuka dengan suara yang sangat keras, memotong perkataan Tsunqta. Nuna dan Tsungta melompat terkejut.
**
Mundur sekitar satu jam lalu...
Sepasang lengan Pax lurus, searah dari bahu ke depan dengan telapak jari-jari yang membuka lebar. Dengan posisi seperti itu, dia nyaris menyentuh dinding. menumpukan seluruh kekuatannya pada kaki kiri yang maju satu langkah pendek daripada kaki kanan. Matanya terpejam. Mulutnya kumat-komit.
Telapak tangan Pax mengeluarkan sinar ungu. Terdengar suara kruk halus yang menjalar menjadi krak yang semakin kencang. Perlahan-lahan terlihat retak yang berpusat di balik telapak tangan Pax, membesar ke segala arah. Dalam hitungan detik. tembok yang berada di depannya terbelah oleh retakan-retakan, lalu seketika runtuh.
BRUK! BRUK!
"Oke! Selesai? kata Pax dengan wajah lega dan berbinar. Tampak raut kepuasan terpancar di mukanya.
"Ternyata gue masih ingat mantra sihir yang paling sederhana ini."
Xander melongok memandang lubang besar yang terpampang di depan mata.
"Silakan," katanya sambil membentangkan lengan ke arah luar. Matanya menatap Pax dengan senyum yang tak terkulum di mulut.
"Cewek duluan."
"Sialan." Pax mendengus keras. Dia menahan diri agar tidak menyemburkan hinaan lain kepada Xander. Sama sekali tidak lucu kalau mereka berantem di dalam penjara dan langsung ketahuan oleh penjaga. Akhirnya dia berjalan keluar, melewati bongkahan-bongkahan batu bata yang hancur berserakan di sekeliling mereka.
"Kita ke mana?" tanyanya kepada Xander. Lorong yang mereka hadapi sepi. Tidak ada seorang pun di sana.
"Gue juga nggak tau. Sekarang kita cari Oom Samudra, Nuna, dan Oryza dulu. Kita harus..."
"XANDEEERRRR!"
Xander terenyak, melempar tatap risau ke arah Pax. Kakinya terasa lemas mendadak. Mereka berpandang-pandangan beberapa detik, pelan-pelan mengunyah arti gema yang barusan menghantam gendang telinga mereka.
"Itu kan suara Ory!" kata Pax lirih.
"Dari arah mana?"
Xander tidak menggubris pertanyaan Pax. Dia telah meninggalkan Pax yang masih mematung di tempatnya berdiri. Xander berlari dengan langkah-langkah panjang, menikung cepat, mengikuti gema suara Oryza. Setelah berlari beberapa saat, Xander berhenti. Memandang tembok yang berada di depannya.
"Buntu!" terdengar suara Pax dari belakang.
"Itu jalan bun..."
Xander menggumam. Dari tempatnya berada, Pax tidak terlalu mendengar apa yang diucapkan Xander. Yang tersimak hanya,
"Kuba mohadi habis hus hum hum bubola..."
BRUK. BRUK, BRUK!
Tembok runtuh.
Mulut Pax ternganga lebar. Dia berhenti berlari. tidak bergerak di tempatnya, memandang kepingan kepingan tembok yang hancur berantakan di lantai.
"Lu tuh ya...." katanya tergagap.
"bisa... sihir meruntuhkan... dinding?"
"Baru aja bisa." Xander menoleh ke arahnya sambil nyengir lebar.
"Lu yang ngajarin."
Perhatian Xander terpecah sewaktu tiba-tiba Oryza melongokkan wajahnya dari balik tembok yang runtuh. Wajah mungilnya tampak pucat pasi dan tak bersinar. Ada ketakutan yang jelas terpancar dari sana. Belum sempat Xander menyapanya, Oryza sudah melompat keluar. Tanpa ba-bi'bu, gadis tomboi itu berlari dan memeluk Xander erat'erat. Kedua tangan mungilnya
merengkuh leher Xander. Terasa kehangatan yang bikin Xander
gugup setengah mati, membuat jantungnya berdebur lebih cepat. Ini kehangatan yang aneh, kehangatan yang sejak dulu sering diabaikan oleh Xander.
Terdengar suara isakan tertahan. 'Kamu..." bisik Oryza bergetar.
"...aku takut..."
"Shhh..." Tangan Xander ragu-ragu naik. Berhenti lima sentimeter di atas rambut Oryza. Tangan itu gemetar, terasa kebimbangan yang membuatnya tidak tahu harus melakukan apa. Tapi isakan itu terus-menerus melagu, seperti ombak yang menggoyangkan lautan bergerak dengan teratur. Xander menutup mata, membiarkan seluruh penahanannya runtuh. Telapak tangannya membuka, menyentuh kepala Oryza perlahan. Mengusapnya lembut. Membelainya halus. Menenangkannya.
"sudah... sudah. Jangan menangis. Kita akan pulang. jangan menangis..."
"Aku..." Suara Oryza lirih, tersedak, dipenuhi isak,
"...takut sekali. Kupikir aku... nggak bakal... bisa ketemu kamu lagi..."
Gadis itu melonggarkan pelukannya, untuk pertama kalinya dia mendongak menatap mata Xander. Lelaki itu tersentak ketika matanya bertabrakan dengan mata Oryza. Mata itu memandangnya dengan secercah pesan kerinduan yang tidak pernah terlihat memancar keluar dari mata Oryza sebelumnya. Mata itu juga dipenuhi genangan air mata. membuat Xander tak mampu berkata-kata.
Xander ingin bergerak, menghapus butiran air mata yang bergantungan di bulu mata seperti embun. Tapi seluruh ototnya seakan sulit digerakkan saat itu. Dia terlalu berdebar sehingga otaknya berkarat. tidak mampu memberi perintah sederhana sekalipun. Xander melihat gadis yang berdiri di depannya, tak berhenti memandangnya seakan'akan hendak menyampaikan pesan.
"Aku... nggak apa'apa...
" Xander berusaha tersenyum setelah akhirnya dia berhasil menggerakkan ototnya. Pelan-pelan dia
membelai punggung Oryza. Dia membaca makna yang dipancarkan mata gadis itu.
" Nggak usah kuatir. Aku... baik-baik saja."
Oryza tersenyum. Bibir Xander yang berada di posisi aneh karena salah tingkah, perlahan-lahan bergerak menyamping. Ada sesuatu yang menggelitiki hatinya melihat senyum Oiyza. Senyum gadis itu membuatnya menjadi lebih tenang. Seakan akan dia mendapat kumpulan energi baru yang disuntikkan ke dalam tubuhnya.
Xander balas tersenyum.
Beberapa langkah di belakang Xander, Pax memandang adegan itu dengan rasa pahit yang mendera seluruh tubuhnya.
Selanjutnya...
Nuna dan Tsungta melompat terkejut ke arah pintu yang terbuka lebar. Di ambangnya, berdiri Xander. Beberapa wajah yang tidak kelihatan bertumpuk di punggungnya. Mereka masuk tanpa menunggu diundang oleh Tsungta. Tanpa melihat pun. Nuna tahu. mereka adalah Oryza. Pax, dan Oom Samudra. Wajah mereka tidak terlihat bahagia. Yah, memangnya siapa yang bahagia kalau habis dipenjara?
"Xander!" seru Nuna senang. Dia melihat Pax dan Oryza di belakang Xander, tapi dia tak merasa segembira saat melihat Xander.
Tsungta melepaskan genggaman erat di lengan Nuna. Dia merogoh kantong bajunya yang berwarna merah keemasan. mengeluarkan sesuatu yang langsung ditelannya.
"Brengsek!" makinya keras.
"Seenaknya aja mendobrak pintu ruang kerajaan! Kalian harus membayar kerusakannya!"
Xander menumpukan tangan di pinggang. Matanya menyala
penuh Kemarahan dan ancaman. kirim aja tagihannya! Nanti dibayar lewat ATM! Apa kerajaan miskin ini punya bank? '
Beberapa penjaga berhamburan masuk. mengelilingi mereka. Tongkat sihir mereka teracung lurus. Oryza dan teman-teman yang tongkat sihirnya disita oleh Tsungta, berdiri berjaga-jaga. Mereka penyihir yang mampu menyihir tanpa menggunakan tongkat sihir, walaupun kekuatannya memang lebih lemah. Banyak penyihir yang tergantung sepenuhnya dengan tongkat, sehingga mereka tidak dapat melakukan mantra apa-apa tanpa bantuan tongkat. Namun Oryza telah terlatih menyihir dengan menggunakan kekuatan energi sihir yang tersimpan di dalam dirinya, sehingga dia tidak merasa gentar sedikit pun.
Oryza melirik Pax. Lelaki itu mengambil posisi kuda-kuda di sebelahnya. Rautnya terlihat sedih, tapi berusaha keras berkonsentrasi terhadap keadaan genting yang mereka hadapi.
Tsungta mengangkat tangannya tinggi di udara, mengacungkan tongkat sihirnya ke arah Xander.
Kilatan berwarna hijau menerkam keluar ke arah Xander dari ujung tongkat sihirnya. Xander berusaha menghindar, tapi kilatan itu masih menerjang punggung Xander sampai dia terpelanting. Bahunya terasa memar dan panas. Dia meringis di lantai, terjatuh. Terhuyung huyung, Xander berusaha bangun dan berdiri tegap. Kakinya menjejak lantai susah payah. Lantai tampak mengapung sebab pandangannya langsung mengabur. Di belakangnya. terjadi pertempuran antara para penjaga dengan Oryza dan Pax.
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bodohnya!" Tsungta tertawa.
"Masih nggak mau menerima kenyataan Kami tak terkalahkan?"
Xander merapatkan bibirnya. Emosinya sudah mencapai tahap ngamuk nggak ketolongan. Dia berusaha menenangkan diri sebaik-baiknya sebab tanpa tongkat sihir, dibutuhkan tingkat konsentrasi dan ketenangan tiada banding untuk mengeluarkan sihir dengan sempurna.
"Nggak perlu kampungan begitu." Xander menepuk jidatnya dengan gerakan dramatis.
"Oya, aku lupa. kalian memang kampungan. Menyerang:Kecepatan tinggi Seperti-Kilat!"
Cahaya berwarna ungu keluar dengan cepat dari ujung-ujung jari Xander, menderu ke arah Tsungta, lalu langsung memudar hilang begitu mendekati lelaki tersebut seakan-akan Tsungta mengisapnya sampai habis. Wajah Xander langsung memucat. Tidak mungkin. pikirnya panik, lelaki ini benar-benar penyihir luar biasa. Ada mantra hebat di pulau ini yang melindungi mereka semua dari serangan sihir mana pun. Xander menoleh ke arah Oryza, raut wajahnya cemas.
Gadis itu sedang dikepung oleh tiga penjaga yang menciptakan sihir pengikat.
Tidak mungkin melarikan diri. Xander tidak mungkin melarikan diri tanpa Oryza. Xander tidak mungkin meninggalkan Oryza.
"Udah? Segitu aja?!" Tsungta tertawa angkuh.
"Kasihan deh! Serangan-Fajar-Dan-Senja-Vataiya!"
Cahaya bersinar sangat tetang menyetrum keluar dari tongkat sihir Tsungta, meluncur cepat ke arah Xander. Lelaki itu terperangah dengan kecepatan sihir Tsungta. Dia barusan memandang Otyza, tahu-tahu di depannya hantaman kilat menyerbu ke arahnya. Refleks kedua lengannya bergerak ke depan menahan serangan agar tidak langsung seketika menghantam dadanya.
Sihir itu menerjang telapak tangan Xander yang terbuka lebar.
Xander menutup mata, mengantisipasi hajaran keras yang bakal menjatuhkannya.
Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu...
Tidak terjadi apa'apa.
Xander tidak terpelanting.
Sihir itu lenyap.
Hilang.
Seperti terserap di tangan Xander.
Xander membuka mata dengan heran.
"Huh? ' serunya bingung. Dia memandangi tangannya dengan heran. Tangannya berpendar dalam warna biru kehijawan, penuh dengan lumut yang menempel di sana. Kotoran yang didapatkannya setelah bekerja keras mengorek tembok penjara bersama Pax.
Xander menoleh ke arah Tsungta, yang juga bingung dengan fenomena terserapnya sihir di tangan musuh. Xander berpikir cepat sambil mereka-reka semuanya. Ada yang salah eh, ada yang benar dalam hal ini. Sesuatu... tapi apa? Dahi Xander berkerut memandang telapak tangannya. Dia harus menenangkan diri, melakukan ketajaman fokus. Konsentrasi sepenuhnya. Pasti dia mendapatkan pencerahan dari kesalahan yang terjadi di depan hidung. Xander mmejamkan mata. berpikir keras. Semenit berlalu dalam kecepatan yang tidak terbayangkan. Dalam kegelapan, secercah sinar muncul, menebas kekelaman pikiran.
Mendadak Xander membuka mata. Air mukanya berubah seketika.
"Huuuaaaah! Aku tahuuu!"jeritnya kegirangan. Rasa percaya diri membludak. bergulunggulung dari sekujur pori-porinya. Tanpa pikir panjang. Xander melompat cepat ke arah Tsungta. Lelaki itu mengacungkan tongkatnya dengan spontan dan mengucapkan rapalan... tapi terlambat! Xander menepiskan tongkat itu. sehingga sihirnya memantul ke tempat lain.
"Hei!" jerit Tsungta.
"Berani sekali pada pemimpin besar..."
"Nih, ketua keparat, mau rasain bogem mentahku?! Nggak
usah main sihir-sihiran lagi. Sihirmu norak. tau nggak!"
Xander sudah berdiri berhadap-hadapan dengan Tsungta.Jarak mereka sangat dekat.
BUK!
BUK!
BUK!
Tiga tonjokan Xander menghantam telak di bahu, pipi, dan hidung Tsungta, membuat Yang Mulia Pemimpin Penyihir Varaiya seketika terjatuh ke lantai. langsung pingsan dan terkulai. Darah mengalir keluar dari hidungnya.
"BERHENTI!" teriak Xander kepada seluruh penjaga.
"Menyerah semuanya sekarang juga! Kalau tidak, kupatahkan leher pemimpinmu yang mulia ini!"
Semua penjaga berikut para dayangdayang menjerit, terpaku di tempatnya masingmasing. Mereka memandang Xander dengan tatapan bingung dan ketakutan. Pax berhenti berkelahi dengan salah satu penjaga. Xander memberikan kode khusus kepadanya agar datang. Pax bergegas ke arah Xander.
"Nggak usah disihir," ucap Xander kepada Pax sambil menunjuk Tsungta yang tergeletak di lantai.
"Pegangin aja dia."
"Kenapa...?"
Xander tidak menjawab pertanyaan Pax yang masih tergantung. Dia berjalan dengan tenang ke arah Nuna, tersenyum kepada gadis itu.
"Kamu balk-baik aja?" tanyanya.
"Ya ampun, Xander!" Nuna berdiri gemetaran.
"Aku... aku... ah!" Nuna terbata-bata.
"Maksudnya... kamu nggak apa-apa? Aku baik-baik saja. Aku... aku senang... kamu datang dan menyelamatkan... menyelamatkan..." Omongan Nuna berakhir dalam gumaman yang tidak jelas.
Xander tidak berhenti memperhatikan perkataan Nuna. Dia tidak berjalan ke arah Nuna. Dia hanya melewati Nuna.
"...menyelamatkan... ku..." Nuna baru sadar dia hanya berbicara
gagap ke arah punggung Xander. Dia tergugu sendiri, sedih, dan kikuk. Perasaan yang paling mengecewakannya, dia merasa ditinggalkan.
Xander sesungguhnya berjalan ke arah Oryza.
"Oryza." Xander menjulurkan tangan, membantu Oryza membebaskan diri dari sihir ikatan.
"Kamu baik-baik aja?"
Itu adalah pertanyaan yang sama yang diajukan kepada Nuna, tapi dalam nada yang berbeda, tatapan mata yang berbeda, arti yang berbeda. jadi. begitulah judulnya: semuanya beda.
Nuna mengusap matanya. mendengar gaung yang samar-samar hidup di kepalanya. Dia tidak tahu gaung apa itu, tapi dia merasakan sakit yang perih di dalam tulang rusaknya. Dia tersenyum pilu penuh penyesalan.
"Aku baik-baik saja kok." Oryza balas tersenyum. Dia memegang tangan Xander erat-erat dengan penuh syukur.
"Lecet nggak?"
"Nggak."
"Lebam?"
"Nggak."
"Berdarah?"
"Nggak kok."
"Sakit hati?"
"Kurang-lebih. Tersinggung, tepatnya." Oryza terpaksa tersenyum lagi mendengar komentar Xander. Sudah dua kali dia tersenyum dalam sepuluh detik ini.
"Apa yang terjadi?" tanyanya lagi dengan kibasan tangan gemetar yang tak biasa.
"Kenapa dia bisa begitu?"
Xander membuka telapak tangannya ke arah Oryza.
"Lihat!" serunya bersemangat.
"Astaga, apa-apaan sih!" Oryza mendorong tangan Xander secara spontan, mengeluarkan desah napas gusar. Sungguh terkejut melihat tangan Xander yang berpendar seperti cahaya bintang. Tapi sayangnya pendar pendar itu berasal dari benda yang terlihat menjijikkan.
"Jorok banget sih!"
"Love, perhatikan baik-baik! Ini adalah lumut yang menempel di dinding penjara waktu aku dan Pax berusaha mengikisnya bersih."
Love. Sekali lagi Xander memanggilnya dengan love. Oryza memandang ke arah Xander dalam keheningan beberapa jeda, lalu menutup hidungnya dengan tangan.
"Bau banget!" Hanya itu reaksinya.
"Aku baru sadar tentang lumut tak wajar sewaktu sihir dari Yang Mulia Norak menyerbuku. Aku menahannya pake tangan ini."
"Maksudnya? '
"Lumut ini adalah Tamerit!" seru Xander lantang. penuh semangat.
"Pantas sihirku nggak mempan buat menyerang manusia-manusia yang berada di sini. Mereka terbiasa hidup dikelilingi Tamerit. Tamerit bekerja sebagai antiracun, antibumbu, antisihir. Anti segala-galanya. Ingat?"
Pax mendadak berada di tengah mereka, memandang tangannya yang juga bersinar-sinar oleh cahaya biru kehijau-hijawan.
"jadi, dari tadi kita sebenarnya dikunci di sel penjara yang dipenuhi Tamerit?"
"Bener! Kita juga sebenarnya nggak perlu sampai sejauh ini untuk mendapatkan Tamerit. Di hutan yang kita tadi tembusi juga banyak."
Mata Oryza membelalak.
"jadi. dengan kata lain. kita sudah dikelilingi Tamerit sejak mendarat di pulau ini?"
"Tepat."
"jadi. sebenarnya kita nggak perlu disiksa seperti ini?"
"Begitulah."
"Astaga. Nggak heran pulau ini selalu terlindungi dari sihir manapun."
Mata samudra seketika berkaca kaca mendengar percakapan antara Xander dan anak perempuannya. Dengan bahagia, dia menabrak dan memeluk Oryza.
"Kita berhasil, Ory?" tanyanya dengan keluguan seorang ayah.
"Kita berhasil menyelamatkan Zea?"
Oryza mengangguk dalam pelukan rapat Samudra.
"Ya, Dadi. Kita berhasil. Senangnya bisa pulang lagi nanti. Mendadak kangen makan martabak buatan Zea." Mata ayahnya tampak seribu kali lebih tua sejak perjalanan mereka dari jakarta. Sejumput kesedihan dan penyesalan muncul di dalam hati Oryza. Seharusnya Samudra tidak perlu terlibat dalam kekacawan ini."Dan, Dadi, masih ingat nggak? Dadi masih punya satu anak lagi. Namanya Solanum. anak Dadi paling bungsu. Dia juga terkena racun."
Samudra tidak menjawab, malah semakin memperketat pelukannya.
Diam-diam Nuna menyenggol Oryza.
"Psikolog itu...," bisiknya.
"Bawel, aku tahu. Tunggu nanti kalau kita pulang."
Dari jarak tempatnya berdiri. ujung mata Oryza melihat Xander sedang terpaku ke arahnya. Hanya sekilas tatapan mata tidak lebih daripada itu tapi jantung Oryza terguncang. Tangannya masih terasa hangat oleh genggaman Xandet. Pikirannya masih dipenuhi wajah Xander yang memanggilnya dengan love dengan nada hangat. Oryza balas melirik dan diam-diam melemparkan senyuman terbaiknya kepada Xander.
Xander merasa pipinya memanas dan untuk pertama kalinya, dia merasa kikuk. Xander mendongak, memecahkan perhatiannya sambil memandang cahaya matahari yang masuk melalui jendela dan kisi kisi. Melihat semuanya. dia merasa lega. Petualangan telah berakhir. Mereka akan kembali pulang dan melanjutkan hidup masingmasing. Xander menoleh ke arah Oryza. memandangnya sesaat, lalu balas tersenyum.
**
Nun jauh di tempat lain, Strawberi mengendap masuk. gerakannya sangat lembut, tenang, dan tanpa suara. Seluruh tubuhnya seakan-akan terbuat dari kapas. Tidak ada berat badan yang berlebiban yang membuatnya sulit bergerak gemulai.
"Meong."
"Meong."
Dua kucing bertatap-tatapan. Yang satu bernama Mob Ibb, sementara yang lain adalah Strawberi. Dia menyihir dirinya sendiri menjadi kucing berbulu pendek putih susu.
Moh lbb melengos. Dia berjalan meninggalkan Strawberi.
kemana saja, ke tempat yang kamu inginkan, seperti yang banyak tikus atau apa saja...>
Mob ibb memandang Strawberi dengan tatapan curiga.
(Begini...) Strawberi memandang Mob Ibb dengan pandangan serius, (...aku kenal dengan Bu Kapten Kapal. Dia mau mendengarkan pesanku, malah beliau yang mengirimku ke bawah sini untuk berbicara langsung kepadamu. Jadi, katakan aja apa yang kauinginkan! Nanti akan kubantu bernegosiasi dengan mereka!>
Mob Ibb menelengkan wajahnya.
(Terserah kehendakmu. Mau ke Jakarta? Atau Surabaya, Medan, Padang... Bali?)
Mob Ibb berpikir sejenak.
Dalam keadaan normal, Strawberi ingin sekali melempari kucing itu dengan golok lalu mencincangnya kecil-kecil, akan dijadikan Nasi Tim Kucing. Dia tidak sabar. Sayangnya, keadaan sekarang tidak normal dan dia harus ekstrasabar. Kucing yang dihadapi juga bukan sembarangan kucing, apalagi kucing normal.
(Tentu saja!) Strawberi kegirangan. menahan diri agar tidak melompat-lompat. (Kami akan mendaratkanmu di Bali. Tapi catat nih, kamu nggak boleh menghancurkan mesin kapal atau benda'benda penting lainnya di dalam kapal ini. Tidak boleh menyerang manusia. Kamu dengar? Setuju dengan perjanjian ini?)
(Ah, sebenarnya aku cuma iseng menggigiti mesin itu. Menjajaki kekuatan gigiku.>
(Dan ingat kata'kataku tadi,> Strawberi terus mendesak.
(Tidak boleh melukai orangorang? Yah )
Mob Ibb mengangguk pelan. Kumisnya bergetar.
(Rasa apa?>
Mob Ibb tersenyum lebar.
Strawberi mengedipkan mata Ekornya bergoyang-goyang ketika membayangkan kegembian Aqua dan seluruh kru kapal. Dia membuang muka ke samping, menjaga agar Mob Ibb tidak perlu melihat kebahagiaannya. Sebagai kucing, Strawberi menarik napas lega dengan mendengkur keenakan.
"Meong!" serunya.
"Meong!" Mob Ibb membalas.
**
XANDER berada di dapur, sibuk dengan panci dan peralatan dapur lainnya sejak pukul empat pagi. Boleh dibilang mereka tidak sempat beristirahat. Tiba pukul tiga pagi di jakarta setelah berjam-jam menembus badai dan hujan deras di tengah lautan. Pax mabuk laut, Xander juga. Mereka berdua duduk memojok di sudut kapal tidak bergerak dengan wajah ungu sampai'sampai Nuna kembali menduga bahwa mereka sungguh-sungguh sepasang kekasih.
Yang Mulia Tsungta melepaskan mereka dengan terpaksa di bawah pitingan Xander. Sebelum mereka naik perahu. dan Tsungta berdiri di pantai masih iseng bertanya pada Nuna.
"Kalau berubah pikiran, datang saja ke pulau Kami. Lowongan menjadi selir akan selalu terbuka lebar untukmu. Ini kartu namaku." Dia bahkan sempat melambai dan mengedipkan mata pada Nuna.
Nuna melengos kesal. tapi kartu nama itu tetap diterima.
Tapi apa pun itu. yang jelas mereka berhasil melewati semua perjuangan mendapatkan Tamerit. Sekarang setelah tiba di rumah, yang pertama dilakukan adalah segera merebus Tamerit untuk diberikan kepada Zea dan Solanum yang terikat erat di
ruang makan dengan gabungan jampi jampi sihir Oryza, Xander, dan Samudra.
"Sini aku yang merebus Tamerit."
"Hah. Nggak usah!" seru Xander terburu-buru.
"Aku saja yang mengurus semuanya di dapur. Kamu menjaga mereka agar tidak melarikan diri."
Oryza mengerutkan alis mendengar nada suara Xander. tapi tidak mau melawan perkataannya. Tanpa berbicara sepatah kata pun, Oryza berbalik dan kembali ke ruang makan. Xander yang tadi siap merasa dongkol karena yakin akan dibantah merasa heran dengan sikap Oryza yang berbeda. Paras Xander diamdiam berseri.
Satu jam kemudian, Tamerit berhasil diseduh. Kini Xander menuangkan air seduhan Tamerit ke dalam dua gelas. Dia meletakkan dua gelas itu di atas nampan, menentengnya keluar.
"Kak, minum dulu," kata Oryza menyodorkan gelas ke mulut Zea.
"Apa itu?"
"Obat. Buat menyembuhkan Kakak."
"Aku nggak sakit!"
"Please, Kak."
"Aku nggak mau!"
"Kak!"
"Pokoknya aku nggak mau!"
"Ya ampun."
Membutuhkan sihir, jampi-jampi, dan jeritan'jeritan histeris baru akhirnya Zea dan Solanum berhasil menandaskan seluruh air rebusan Tamerit. Meja terbalik, barang barang berhamburan di lantai, dan tembok hangus terbakar.
Tamerit bekerja cepat. Hanya tiga puluh menit. Perlahan-lahan kepala Zea dan Scolanum terkulai dalam lima menit pertama
setelah tegukan terakhir Tamerit memasuki tubuh mereka. Mereka lemas, mengantuk, dan jatuh tertidur.
"Mereka... kenapa?" tanya Samudra panik melihat dua anak perempuannya merebahkan kepala di atas meja makan.
"Tidur, Dadi," kata Oryza menenangkan.
"Nanti kalau mereka bangun lagi, mereka akan kembali menjadi sedia kala. seperti Zea dan Sola yang kita kenal dari dulu."
Kata-kata Oryza tepat. Sewaktu Zea dan Solanum terbangun. wajah mereka tampak berbeda. Pancaran mata Juga berbeda. Zea menggaruk rambutnya.
"A-apa yang terjadi?" tanyanya bingung.
Mata Oryza langsung berkaca-kaca melihat perubahan tersebut. Dia merangkul Zea, memeluknya erat. menahan air mata yang menyeruak perlahan-lahan.
"Kak." bisiknya lirih.
"Kakak udah sembuh. Aduuh... aku senang sekali..."
"Ada apa?" Di seberang meja, Solanum juga tampak bingung dan heran.
Oryza memeluk Solanum, sementara Zea sedang dimonopoli oleh Samudra yang terlalu gembira melihat anak perempuan kesayangannya telah kembali seperti dulu.
"Ceritanya panjang," kata Xander yang hanya duduk di seberang meja makan, memperhatikan keluarga Raya bergembira.
"Nanti kapan-kapan kalau ada waktu, akan kujelaskan kepada kalian. Ngomong-ngomong." katanya lagi,
"kapan bukumu terbit?"
Solanum mengedipkan mata, tidak mengerti pertanyaan Xander.
Xander mengacungkan surat resmi yang isinya dari perusahaan penerbitan mapan yang memberitahu bahwa naskah buku Solanum telah diterima. Surat itu tebal, karena di baliknya ternyata ada perjanjian kontrak penerbitan buku.
"Wow." Xander berdecak.
"Nggak nyangka racun ternyata memberikan rahmat yang tak terduga. Kita bertambah kaya."
**
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pagi hari. Di rumah mewah milik Aqua. Gadis itu sedang duduk di meja kerja di ruang kerjanya yang menghadap kebun depan. Dia sedang menyortir tumpukan surat yang tidak dibaca selama seminggu gara-gara petualangannya bersama Strawberi.
"Hmm undangan pernikahan," gumam Aqua memandang amplop besar berbentuk segi empat lebar beraura mewah. Tulisan emasnya digravir membentuk nama kedua mempelai. Aqua membaca nama dan alamat yang diundang.
Kepada Yth.
Bapak/Ibu
R.M. Panji Wahidin Marthodarsono, MD. FACP. FACC. FCGC. FAHA. & keluarga
Di tempat
ltu nama ayahnya. Oh. ini pernikahan saudara sepupunya. Di mana ya? Aqua membuka undangan indah itu, membaca cepat, mencari-cari kata kunci yang menjelaskan rasa penasarannya. Upacara, siraman, sungkem, dan lainlain diadakan di Jakarta, di hotel mewah bintang lima dan rumah mempelai perempuan. Resepsi kedua khusus untuk kalangan keluarga sendiri diadakan di pulau pribadi yang terletak di antara Singapura dan Pulau Bintan.
Aqua mengangkat telepon yang terletak di sampingnya. Dia menelepon ayahnya, yang aktif bekerja sebagai dokter dan profesor internal medicine di universitas di Amerika. Selama sepuluh menit. Aqua bercakap-cakap dengan ayahnya. lalu menutup telepon. Tangannya merogoh tas, mengambil ponsel. dan kembali melakukan panggilan Ke tempat yang berbeda. Pada dering kedua, hubungan telepon baru diangkat oleh orang yang berada di seberangnya.
"Kakakku tersayang," kara Aqua menyapa.
"Sudah baca undangan pernikahan Nugroho dan Ayu?"
"Tentu saja sudah. Ada apakah yang terjadi?"
"Bisa datang? Kudengar Ayah dan Ibu nggak bisa datang. Mereka nggak bisa pulang dari Amerika. Katanya masih banyak pekerjaan, conference, dan tugas lainnya."
Gus mendecak.
"Ah, adikku manis, alangkah sayang sekali sebab aku juga tidak bisa datang."
"Kenapa? '
"Dengan segala cinta. aku harus berangkat ke Paris menghadiri undangan Yves Saint Laurent pada pameran musim panas."
"jadi hanya aku yang mewakili keluarga?"
"Begitulah, wahai adikku satu-satunya. Sebaiknya memang begitu."
Aqua meletakkan telepon, berpikir-pikir. Pulau pribadi. Hmmm... Tempatnya pasti keren dan hebat. Aqua pernah sekali diundang merayakan ulang tahun mereka bersama sultan di Brunei Darussalam. Pesta meriah semalam suntuk yang luar biasa mewah dan berkelas. Pernikahan ini pasti juga sangat jetset.
Mungkin dia bisa mengajak seseorang untuk menemaninya.
Siapa? Xander?
lde yang bagus. Aqua memencet nomor hape Xander.
"Halo..."
Lelaki di ujung telepon sudah menjawab duluan,
"Sori. aku sibuk. Nggak ada waktu untuk menonton, atau menghadiri lelang, atau clubbing di club terbaru, atau mendatangi pameran lukisan, atau bergabung dengan kegiatan Penyihir Society, atau gala dinner dengan Perdana Menteri di Australia, Malaysia, atau Thailand. Atau hanya mengantar belanja di mal di Singapura, atau bahkan di Jakarta saja, atau nonton bioskop dan teater, atau menemani pembukaan butik sepatu dan baju. Pokoknya aku sibuk. judulnya aku sibuk. Maaf ya, seribu maaf."
Klik. Telepon langsung dimatikan.
Paras Aqua langsung masam. Ugh. Sialan. Memikirkan Xander selalu membuatnya sebal dan marah. Kurang apa lagi sih dirinya? Dia, Raden Ajeng Aqua Maharani, memiliki keningratan yang tidak dapat dibeli dengan uang. Dia berpendidikan sihir tinggi, lulusan sekolah sihir terhormat di Inggris. Dia berasal dari keluarga kaya raya, memiliki perusahaan keluarga yang jumlahnya tidak bisa dihitung dengan jari tangan. Lingkaran pertemanan yang ekslusif dan berkelas.
Tapi penyihir sombong-Xander, itu tak sudi melirik ke arahnya.
Huh. Huh. Huh.
Menyakitkan.
Satu nama melintas di kepalanya. Bagaimana kalau menelepon dan mengajaknya menemani menghadiri resepsi pernikahan mewah? Mungkin dia mau.
Aqua mengangkat telepon lagi dan menghubungi satu nomor lainnya.
**
Pax duduk menghadapi atasannya yang sedang naik pitam. Dari tadi pagi si Botak tidak berhenti memindahkan topan badai yang menderu'deru di Kansas ke departemen mereka. Seperti
kurang diamuk prahara pada sepanjang perjalanan pulang dari Pulau Varaiya, kini Pax harus menghadapi topan jenis lain.
"Pokoknya saya tidak percaya dengan alasan kamu sakit!" maki si Botak kencang. Dia sudah ngamukmgamuk nggak jelas gara-gara pertemuan dengan Departemen Tenaga Kerja dibatalkan. Tekanan dari Serikat Pekerja membuatnya sakit kepala.
Pax bekerja di hotel bintang lima yang terletak di kawasan segitiga emas Jakarta sebagai supervisor divisi remuncration alias pergajian. Dia melapor langsung ke Manager Human Resources yang bertindak sebagai kepala dari seluruh departemennya. Serikat Pekerja di perusahaan tempat Pax bekerja sangat kuat. Memiliki organisasi dan pemimpin yang terkenal sepak terjangnya. Siapa pun yang bekerja sebagai manajer di sana memiliki tantangan luar biasa berat menjadi perantara antara Serikat Pekerja dan pihak manajemen hotel.
Tidak heran rambut Pak Kurniawan semakin menipis dan kolesterolnya naik gara-gara masalah yang bertubi-rubi datang di mejanya. Plus ditambah lagi dengan anak buahnya yang bolos bekerja selama beberapa hari tanpa penjelasan yang masuk akal.
"Saya minta maaf, Pak," kata Pax mencoba bersikap tenang dan lemah lembut. Dia tahu bosnya akan berubah jika kata maaf sudah terucap dari mulutnya. 'Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi."
"Janji. janji!" tukas Pak Kurniawan kesal.
"janjimu tinggal janji. Saya akan melayangkan Surat Peringatan pertama. Ini akan menjadi angka merah di rapor kariermu."
Pax meremas tangannya di bawah meja. Sudah lima tahun dia bekerja di perusahaan ini sejak lulus kuliah. Dari hanya staf biasa, kini dia sudah menjadi supervisor. Tapi, apakah lima tahun sudah lebih dari cukup? Apakah dia harus berani mendobrak zona nyamannya dan melanjutkan melangkah ke jalan yang berbeda atau meneruskan kariernya di tempat yang tak sama?
"Pak." panggilnya kepada bos lirih.
"Saya ingin tahu, apakah perusahaan masih membutuhkan saya di perusahaan ini?"
Pak Kurniawan terperangah sedetik mendengar pertanyaan Pax. Parasnya melongo.
"Tentu saja perusahaan masih membutuhkanmu. Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Sudah lima tahun saya bekerja di perusahaan ini." Wajah Pax menjadi serius.
"Saya bahagia. hanya terkadang kegembiraan saya tidak seratus persen saat saya tidak dihargai. Saya merasa pekerjaan saya sering kali disepelekan dan tak diberi wewenang kuat. Mungkin..."
Pax terdiam, tidak sanggup melanjutkan. Keheningan yang merontokkan tulang belulang seketika mengisi udara. Pak Kurniawan mengelus dagunya, memandang tajam-tajam kepada bawahannya. Dia mengenal Pax sejak lelaki itu baru lulus kuliah. Anak muda yang penuh semangat dan polos. Pak Kurniawan sangat menyukai Pax. Dia sudah menyiapkan jalan karier yang mulus di depan Pax apabila Pax berminat. Pax jarang bermasalah di dalam pekerjaan. hanya saja belakangan ini tampaknya dia tidak fokus.
"...mungkin saat yang tepat bagi saya untuk mengundurkan diri."
"Hah!" Pak Kurniawan memajukan tubuhnya, sehingga perutnya membentur meja.
"Baru-baru ini saya mendapat tawaran bekerja sebagai asisten manajer di perusahaan lain, Pak." Pax berusaha jujur.
"Saya memikirkan tawaran ini bolak-balik. Saya..."
"Tidak boleh!" Pak Kurniawan mengerakkan jarinya ke meja dengan keras. Ciri khasnya apabila sedang senewen dan memikirkan sesuatu.
"Saya. tidak mengizinkan kamu keluar dari perusahaan ini."
Pax terdiam. Gagap menyelimuti mereka selama beberapa saat.
Pak Kurniawan menghela napas dan berusaha tersenyum menenangkan. tapi kacau di tengah jalan.
"Oke deh," katanya nggak sabar.
"Nggak bakal ada Surat Peringatan."
Pax masih terdiam. Dia memandang Pak Kurniawan tanpa gentar.
"Apa lagi-?" tanya Pak Kurniawan.
Pax menelan ludah.
"Saya ingin... mendiskusikan gaji dan jabatan saya, Pak."
Pak Kurniawan balas memandang Pax dengan tajam. Keheningan jatuh bergasing-gasing. Keheningan itu dipecahkan dengan senyum Pak Kurniawan yang kali ini terlihat tulus.
"Oh! Saya suka dengan gaya kamu." Dia melipat tangan di atas meja.
"Cool abis. Sebutkan apa yang pengin kamu diskusikan."
Pax menatap bosnya yang sedang tersenyum dengan gaya sangat rileks. Sudah lima tahun dia kenal atasannya ini. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. lima tahun dia bekerja sama di bawah keputusannya. Dia mengerti sekali perilaku dan sifat Pak Kurniawan sampai ke butiran sumsum dan darahnya. Setiap hari dari Senin sampai Jumat. lebih dari 12 jam dia menghadapi Pak Kurniawan, mulai dari amukannya sampai kebaikan hatinya. Jika Pak Kurniawan menggeser kerut wajahnya sedikit saja, Pax bisa membaca arti yang tersirat. Dan sekarang lelaki tengah baya
itu melipat tangan di atas meja, itu artinya pintu diskusi terbuka
lebar. Pelan pelan senyum di wajah Pax tertarik dari ujung ke ujung.
"Saya mohon gaji saya dinaikkan dan kenaikan jabatan mendapat pertimbangan."
**
Cyril menyiapkan gelas-gelas bersih dengan hati riang. Dia melirik Strawberi yang sudah duduk di meja kasir dengan tenang. Ternyata gadis itu tidak pulang ke Pontianak. Syukurlah. Mereka sudah bisa kembali bertiga di Jakarta, mengurus restoran Nasi Tim Bebek Nenek Gray yang terkenal. Hari-hari akan berlalu dengan normal lagi. senormal-normal yang Cyril ketahui.
"Nasi tim bebek lima porsi, semuanya tanpa daun bawang!" rerdengar suara Strawberi dari luar, memberi perintah.
"Bungkus!"
Cyril sibuk menyiapkan orderan. Matahari sudah condong ke barat. Nasi tim bebek sisa dua. Mungkin sudah saatnya mereka menyiapkan pembersihan untuk penutupan restoran. Cyril mengelap meja, memasukkan mangkuk mangkuk sambal ke dalam lemari es. Strawberi sedang sibuk menghitung uang pendapatan hari ini. Di belakang, Nenek Gray sedang beristirahat.
Ponsel Strawberi berbunyi.
"Halo?" Strawberi menghentikan gerakan menghitung uang. Diletakkan uang dengan hati hati di dalam laci.
"Oh. hei, apa kabar!"
Cyril menutup pintu restoran. Terdengar suara klik keras menandakan selot yang bekerja. Dia membisikkan jampijampi di pintu agar tidak ada seorang pencuri pun berhasil membukanya. Para pegawai mulai menyapu dan mengepel.
"Wah!" Wajah Strawberi tampak berseri-seri ketika mondengar omongan di seberang sana.
"Ke mana. ke pulau? Serius nih? Oh, asyiiik! Oke, nanti Strawberi tanya Nenek dulu ya!"
Ponsel mati.
Cyril memandang Srrawberi dengan tatapan ingin tahu. Gadis itu kembali asyik menekuni kegiatan hitung-menghitung uangnya. Dengan santai gadis itu berkata dengan ceria,
"ryl, aku mau menghadiri pesta jet-set di pulau pribadi. Mungkin dua hari lamanya. Temani Nenek ya."
Cyril menghela napas. Tibatiba tenggorokannya terasa kering.
**
ORYZA memiliki ruangan baru. terletak di tengah. dengan jendela kaca menghadap langsung ke departemen Human Resources yang dipimpinnya. Hari ini adalah hari kepindahan. Beberapa barangnya telah siap di kardus, tinggal ditata ulang di ruangannya yang baru.
Iris masuk ke dalam kamar, menenteng pot-pot kaktus Oryza.
"Pagi, Bu Bos. Kaktusnya mau ditaruh di mana?"
Oryza meluruskan punggungnya dari berjongkok di depan kardus.
"Nggak usah manggil Bu Bos dong." katanya sambil tertawa ceria.
"Norak! Oya, kaktusnya ditaruh di pinggir jendela saja. Biar yang lewat bisa mengagumi kaktus yang berbunga."
Iris menata kaktus di bingkai jendela sehingga tampak berderet-deret dengan rapi.
"Kapan bos baru tiba?" tanya Iris.
"Asisten manajer?"
Iris mengangguk.
"Kudengar sih minggu depan."
"Siapa namanya' '
Oryza mendadak berhenti merapikan barang-barang di atas mejanya. Dia tersenyum, membayangkan wajah seseorang.
"Namanya..." Dia memanggil Iris dengan lambaian tangan. Iris mendekat seketika, penasaran. Oryza menarik bahu Iris, mendekatkan mulutnya ke arah telinga.
"Apa?" tanya Iris heran.
"Sini, kubisikkan siapa asisten manajer yang baru. Rahasia ya! Biar yang lain tidak perlu dengar dulu."
Iris maju dua langkah, mempermudah Oryza berbisik di telinganya. Namun tidak sampai satu menit, hanya dibutuhkan dua detik untuk menciptakan reaksi cepat. Mata Iris membelalak.
"Hah?! Sungguh?"
Oryza mengangguk.
"Benar."
Mata Iris bercahaya.
"Kamu nggak bohong, kan? Memberikan janji-janji palsu? '
"Nggak! Sumpah! Itu benar kok. Ibu Meita yang mengatakannya padaku."
Iris terpaku di tempatnya. Raut wajahnya menegang Oryza tersenyum memperhatikan perubahan air muka sahabatnya, tapi dia tidak mempermasalahkannya. Oryza kembali membungkuk, mengeluarkan barang-barang dari kardus. Ditinggal bekerja, Iris berjalan keluar dengan linglung. Seakan-akan teringat sesuatu, tiba-tiba perempuan itu berhenti berjalan, berbalik dengan cepat.
"Nanti siang masih mau makan kuctiaw goreng bareng?"
Oryza mendongak. menatap Iris dengan bingung.
"Ya, tentu aja. Kenapa nanya pertanyaan aneh gitu?"
"Kukira kalau udah jadi manajer harus jaim. Udah jelas nggak mau makan bersama staf."
Oryza menoleh cepat ke dalam kardus, meremas kertas bekas yang dianggapnya tidak diperlukan lagi menjadi bola, lalu langsung menimpuk Iris.
"Jelek!" teriaknya lantang. Iris mengelak
timpukan bola kertas dengan gesit sambil tertawa-rawa. 'Nyindir ya!"
"Enggaaaak!"
Oryza terkekeh.
"Ada yang ngidam kuetiaw goreng nih! Udah tiga hari berturut-turut makan kuetiaw."
"Sebenarnya nggak mau ngajak makan kuetiaw sih."
"Lalu apa?"
"Seharusnya yang baru pindah ke ruangan baru..." Iris terdiam, meninggalkan jeda yang tergantung di udara. Bibirnya melengkung ke atas. menahan senyum lebar yang hendak ditebarkan.
"TRAKTIRAN !"
Oryza tertawa-tawa.
"Oke deh," katanya.
"Nanti siang kita makan sushi, gimana?"
Iris melempar tangannya ke atas. bertepuk tangan, berlalu keluar dari ruangan Oryza.
"Asyik! Bos mau mengajak keluar kantor!"
Oryza menarik kursi manajernya yang berwarna hitam terbuat dari kulit. Dia mengempaskan diri di sana, memencet radio yang terletak di samping mejanya. Radio peninggalan manajer terdahulu yang pernah duduk di sini. Dia menekan-nekan beberapa kali, mencari gelombang yang tepat, lalu merapal dua kata singkat sambil berbisik. Terdengar suara sapa penyiar radio yang empuk.
"...selamat pagi para penyihir sekalian, berita singkat untuk hari ini yang bakalan panas. Para kuli pelabuhan Gilimanuk Bali bekerja keras untuk membersihkan beberapa bangkai kapal yang mendadak hancur karena diserang binatang tak dikenal. Kebetulan kami akan bercakap-cakap dengan seorang saksi mata yang pernah melihat binatang tersebut. Silakan, Putu. Halo. Bli?"
Terdengar suara kresek-kresek. Siaran dipindahkan melalui hubungan telepon.
"Ya! Halo, selamat pagi. Di sini Putu."
"Bli. selamat pagi. Bagaimana keadaan di sana? Siap memberikan laporan?"
"Ah, Mbak Anna. siap memberikan laporan. Para penyihir sekalian, keadaan di sini berantakan. Di sebelah saya berdiri seorang saksi mata. Mari kita tanyakan pendapatnya. Bagaimana Pak Ketut, binatang apa itu? Harimau Sumatra yang sudah punah? Atau macan kumbang? Atau gajah?"
"Nggak, bukan seperti itu. Itu cuma seekor kucing. Kucing putih yang gemuk."
Putu tertawa.
"Kucing gemuk? Kucing yang galaknya amitamit? Yang gede seperti Godzilla? Kucing yang dianggap kucing jadi-jadian oleh kaum jelata? '
"Nggak, sama sekali nggak seperti itu. Udah pasti kucing ini memiliki ilmu sihir. Penampilannya tidak seseram itu kok. Kucing ini sebenarnya imut imut banget, menggemaskan malah."
Wajah Oryza memucat seketika. Dia buru-buru menjulurkan tangan mematikan radio. Baru saja ruangannya menjadi hening, mendadak ponselnya berdering mengisi suara radio yang barusan dimatikan Tulisan Home berkedip kedip sebelum Oryza memencet tombol nyala. Terdengar suara lembut Zea, kakaknya yang periang, menyapa.
"Halo? '
"Halo. Kak, sudah merasa enakan?" tanya Oryza cepat.
"Nggak usak praktik dulu kalau masih merasa nggak enak badan."
"Aku sudah enakan. jangan kuatir. Klinik sudah kubuka dari tadi pagi. Aku bakal bekerja lagi nanti setelah makan siang, jadwal praktikku jam dua siang."
"Oh begitu. Gimana keadaan rumah?"
"Rumah juga baik. Semuanya baik. Cuma..." Suara Zea menggantung.
"Cuma?" tanya Oryza penasaran.
"Yaah, aku masih merasa nggak enak buat semuanya setelah peristiwa itu..." Suara Zea memelan dan nyaris berakhir.
"Malu kalau memikirkannya lagi. Rasanya pengin minta maaf berjutajuta kali ke seluruh dunia, khususnya kepada Dadi yang udah kusiksa lahir-batin."
Oryza menyenderkan tubuhnya jauh-jauh ke belakang kursi. Dia meregangkan tangan kiri.
"Nggak usah kuatir, Kak. Kalau orang terkena racun, pasti nggak sadar. Kami mengerti kok."
"Oya! Aku baru ingat. Satu lagi! Ngomong-ngomong soal Pax..." Zea tiba-tiba mengubah arah percakapan.
"Aku nggak pernah lihat Pax mampir ke rumah. Ke mana dia? Lucu sekali dia, Pax selalu menghindariku dan nggak mau bicara apa-apa sama aku. Kadang-kadang dia histeris sampai pucat pasi kalau melihatku di dapur sedang memotong daging. Kenapa ya? Kurang darah? Kurang sehat? Heran aku. Apa yang telah kulakukan padanya? Dia..."
"Ah, Kakak," potong Oryza.
"Jangan terlalu sensi. Santai aja, jangan berhalusinasi. Semuanya sudah dalam keadaan baik baik saja. Pax mungkin juga butuh beristirahat, mengendurkan stresnya."
Zea mendesah.
"Yah, mungkin kamu benar. Ada baiknya aku juga beristirahat. Nanti malam mau dimasakin apa?"
"Bagaimana kalau aku bawa makanan dari restoran? Sekalian merayakan aku pindah ruangan kerja."
"Serius?"
"Serius dong. Perayaan pindah ruangan kerja sekaligus pesta keberhasilan kita semua yang selamat dan nggak mampus gara gara petualangan tolol kemarin."
Zea tertawa, lalu ikut menyetujui. Oryza mengobrol beberapa menit dengan kakaknya. lalu menutup pembicaraan. Sambil meletakkan telepon di meja. dia bersenandung gembira. Pandangannya jatuh di sekeliling ruangan kerja barunya. Ruangan itu
cukup luas, dengan satu teman yang paling kanan yang akan digunakan untuk meletakkan buku-buku kesayangannya dan jendela besar yang dapat memandang kegiatan departemen Human Resources.
Ponselnya bergetar lagi. Tanda SMS masuk. Perhatian Orya terbuyarkan dengan SMS itu. Dia membacanya cepat. Dari Xander.
09.30 WIB Yuk nanti malam dinner bersamaku.
Bibir Oryza tersenyum. Tumben. Lelaki menyebalkan itu mengajaknya keluar makan. Otak Oryza berputar cepat. Oke atau tidak! Oke atau tidak? Oke atau tidak? Xander belum pernah mengajaknya makan berduaan seperti ini. Apa sih maksudnya?
Oryza melirik kalendernya. Coba lihat, apakah dia punya janji atau rapat sampai larut? Hmm. Ah tidak. dia bebas malam ini. Mungkin malam ini adalah saat yang tepat untuk menikmati makan malam bersama Xander. Tapi, aduh... bukankah ini akan seperti... kencan? Pipi Oryza memerah dalam deru na-pas yang menghangat. Tangan lentiknya ingin memencet tombol reply. tapi kepalanya mendinginkan kecepatan geraknya. Tepat sebelum Oryza mengetikkan kata-kata balasan, tahu-tahu SMS masuk lagi. Dari Xander juga.
09.34 WIB
Mau makan di mana? Yang mahal juga nggak apa-apa. Aku traktir! Lebih baik makan di luar daripada dimasakin kamu nanti malam. Aku cemas kejadian kemarin terulang lagi hehehe.
Oryza ternganga.
sialan.
Bibirnya merengut. Dasar kutu kupret kebal ketabrak ketoprak. Dia mengayun-ayunkan kaki, pengin melempar ponsel jauhjauh dari jarak pandangnya. Kalau Xander berada di dekatnya, dia mungkin sudah akan melempar lelaki itu dengan botol air mineral isi satu setengah liter penuh air plus meja makan berpelitur ala jepara. Oh, sekalian tambahkan tiga durian Monthong. Tapi pelan-pelan senyum manisnya mengembang. Tenang, tenang. dia menenangkan dirinya. jangan marah-marah seperti letusan gunung berapi. Dia tahu cara membalas yang manis tapi menyakitkan agar Xander tahu diri. Dipencetnya keypad dengan cepat.
09.40 WIB Aku nggak bisa dinner sama kamu. Aku sudah janji makan malam bersama Pax. Sori ya. Mungkin kapan-kapan deh.
jarinya bergerak lincah. Pesan pun dikirim.
Tamat
Mau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Jangan sampai ketinggalan, ikuti kisahnya di buku selanjutnya!
RAMUAN DRAMA CINTA
Samudra akhirnya mengikuti terapi psikolog. Nuna mencari teman kencan, ikutan program blind date.
Pax mengambil kursus tiga bulan mempelajari mantra sihir mengerikan.
Xander dipecat karena krisis ekonomi dan punya pekerjaan baru yang menantang maut.
Dan di tengah-tengahnya, ada ramuan cinta yang menyebarkan kekacawan di manamana
Jampi Jampi Varaiya Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bersiaplah tergelak sampai keluar air mata
Terimakasih
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mengungkit Pembunuhan Five Little Pigs Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya