Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P Bagian 1
12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID I
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang - Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid I
KOTA Lam-koan ini ratusan tahun yang silam hanyalah
sebuah desa nelayan kecil di tepi sungai Se-kiang.
Tetapi sejak kota Makao dan Koan-tong di mulut
sungai menjadi pelabuhan antar bangsa yang ramai
dan berkembang pelat, maka desa nelayan itu pun ikut
berimbang. Kapal-kapal dari pedalaman mengangkut
hasil bumi ke Makao atau Koan-tong dan harus
melewati desa kecil itu. Perdagangan terang-terangan
maupun penyelundupan memakmurkan desa kecil itu.
Lama-lama penduduknya bertambah banyak, lalu
desa kecil itu bertambah Luas ke arah daratan,
sehingga letaknya miring menghadap sungai. Makin
dekat ke sungai, makin ramai tempatnya. Ada tempat
penukaran uang, tempat mengisap candu, tempat
judi, tempat pelacuran, rumah-rumah makan,
penginapan dan sebagainya. Atau bahkan ada yang
merangkap sekaligus semuanya itu di satu gedung, ya
tempat pelacuran, ya tempat judi, ya rumah makan, ya
tempat penginapan, dan kalau mau mengisap candu
juga tersedia.6
Bagian yang jauh dari dermaga, yang lazim
disebut "kota atas" karena letaknya lebih tinggi,
adalah bagian yang suasananya "lebih terhormat" dari
kota bawah. Di sini berdiri gedung-gedung para
hartawan yang besar-besar, bahkan ada beberapa
hartawan yang membangun kediamannya meniru
bangunan-bangunan gaya Portugis di Makao, maklum
kalau pengaruh Portugis terasa di situ, sebab letaknya
tidak lebih seratus li dari Makao melalui jalan air, yaitu
Sungai Se-kiang. Di Lam-koan juga banyak orang-orang
bule entah Potugis entah Inggris, baik sebagai
pemabuk-pemabuk di "kota bawah" maupun sebagai
penyebar-penyebar agama di "kota atas".
Setiap hari ratusan kapal singgah dan berangkat
dari dermaganya. Tidak heran, kalau pejabat
pemerintah Manchu yang ditempatkan di dermaga
Lam-koan selalu cepat kaya.
Siang itu, bandar sungai sangat ramai seperti
biasanya. Sebuah kapal besar muncul dari arah timur,
tetapi tidak dapat merapat ke pinggir karena air di
tepian sungai tidak cukup dalam untuk kapal-kapal
besar. Maka para penumpang, maupun barang
barang yang ingin ke daratan harus berpindah ke
perahu-perahu kecil, dan untuk mendapatkannya,
tidak perlu dirisaukan, sebab ada puluhan perahu kecil7
langsung mengerubungi kapal besar itu seperti lalat
mendatangi udang busuk.
Di geladak kapal, di antara penumpang
penumpang yang sibuk menurunkan barang-barang
ke perahu-perahu kecil, ada seorang penumpang yang
tetap berdiri sambil memandangi kota Lam-koan yang
membentang sampai ke bukit di sebelah utara
dermaga itu, dengan tembok-tembok gedung
gedungnya yang putih dan genteng-gentengnya yang
merah. Penumpang ini seorang pemuda, berjubah
warna biru laut, ikat pinggang hitam, kuncir
rambutnya panjang sampai ke pantat, kepalanya
memakai topi berbentuk belahan semangka.
Tubuhnya tegap namun sengaja disembunyikan di
balik jubahnya yang agak longgar, bahkan masih diberi
rangkapan rompi pula, meski udara cukup panas.
Barang bawaannya hanyalah sebuah bungkusan kain
digendong di belakang pundak kanannya.
Seorang awak kapal mendekatinya, dia
bertubuh raksasa, wajahnya adalah wajah blasteran
Cina-Portugis, memakai kalung salib dari kayu.
Katanya kepada si pemuda berjubah biru, "Sudah
sampai di Lam-koan, Tuan. Bukankah ketika Tuan naik
di Koan-tong, Tuan bilang akan turun di Lam-koan?"8
Pemuda jubah biru itu cuma mengangguk. Matanya
terus mencari-cari di antara tukang-tukang perahu
kecil yang mengerumuni lambung kapal besar itu,
berebut rejeki mencari penumpang.
Akhirnya Si Pemuda baju biru melihat juga yang
dicarinya. Seorang tukang perahu yang kulitnya
agaknya terlalu bersih sebagai tukang perahu yang
setiap hari bergelut dengan nasib di bawah cahaya
matahari. Tetapi tubuhnya sekekar tukang-tukang
perahu lainnya. Dan Si Tukang Perahu yang "agak
bersih" ini berusaha agar penampilannya tidak terlalu
mencolok dengan memakai pakaian yang buruk, dan
topi rumput yang sudah butut pula.
Tetapi pandangan matanya bertemu dengan
pandangan mata Si Pemuda jubah biru dari kapal yang
dari Kanton itu, dan keduanya bertukar anggukan kecil
tanpa kentara.
Lalu turunlah Si Pemuda jubah biru melalui
tangga tali di lambung kapal, langsung ke perahu Si
Tukang Perahu yang bertukar isyarat dengannya tadi.
Sementara ia duduk dengan buntalannya, Si tukang
perahu menggunakan galah panjang mendorong
dasar sungai, menggerakkan perahunya ke tepian.9
Bibir Si Pemuda jubah biru sudah bergerak
hendak bicara, tetapi Si Tukang Perahu sudah
menukasnya dengan suara perlahan, bahkan
bicaranya tanpa memandang lawan bicaranya.
"Jangan di sini bicaranya. Nanti malam, rumah
pelacuran Ban-hoa-teng, kamar nomor dua belas."
Si Pemuda jubah biru pun menurut. Ia tidak bicara
apa-apa. Sampai di tepian, ia membayar Si Tukang
Perahu sebagaimana penumpang-penumpang lain
nya. Kemudian mereka berpisah di dermaga tanpa
menimbulkan kesan bahwa mereka saling mengenal di
mata banyak orang. Si Pemuda jubah biru menghilang
ke Kota Bawah dan Si Tukang Perahu pun kembali
sibuk dengan penumpang penumpangnya.
***
Malam harinya di rumah pelacuran Ban-hoa-teng.
Itulah sebuah rumah pelacuran "kelas
ekonomi" yang letaknya menyelusup jauh di dalam
gang yang sempit dan becek. Untuk sampai di depan
Ban-hoa-teng, Si Pemuda jubah biru haruslah
beberapa kali menaiki undakan batu. Agaknya Ban
hoa-teng ini letaknya agak ke Kota Atas.
Namun pelanggan-pelanggannya dari kelas bawah.10
Tiba di depan pintu yang berhiaskan lampion
lampion merah itu, Si Pemuda jubah biru langsung
diserbu dan ditarik-tarik tangannya oleh belasan gadis
berbedak tebal, dengan gaya manja serta dibuat-buat,
semuanya berusaha menarik perhatian si "pelanggan
baru" yang kelihatannya berdompet cukup tebal itu.
Juga tampan dan masih muda.
Tetapi Si Pemuda jubah biru hanya tertarik
kepada seorang pelacur yang dengan genit menarik
tangannya sambil berkata manja, "Marilah, Tuan
muda... kamar nomor dua belas menunggu Tuan."
Maka beriring-iringanlah mereka ke dalam
kamar yang dimaksud. Meninggalkan gerutuan
pelacur-pelacur lain yang merasa "direbut rejekinya".
Tetapi mereka segera gigih kembali menjerat mangsa
mangsa yang lain. Masih banyak si hidung belang yang
datang, tidak apa-apa biarpun tua dan tidak tampan,
asal kantongnya penuh. Penuh datangnya, kosong
pulangnya.
Si Pemuda jubah biru sudah berada di kamar
dua belas, kamar penuh bau minyak wangi murahan,
tirai-tirai dan cat perabotan-perabotannya dipenuhi
warna merah jambu, begitu juga sepreinya dan
bantalnya. Si Tukang Perahu siang tadi masih dalam11
pakaian dekilnya, tengah telentang di kasur dengan
tangan memegangi botol arak yang sudah kosong. Ia
melompat bangun begitu melihat Si Jubah Biru masuk.
Si Tukang Perahu memberi uang kepada Si
Pelacur, dan berkata, "Jaga di ujung lorong, dan
beritahu kalau ada yang datang kemari."
Si Pelacur menyeringai dan keluar. Si Tukang
Perahu menutup pintu dan memalangnya dari dalam.
Lalu duduk menghadapi Si Jubah Biru.
"Saudara Kui, kenapa sendirian? Menurut surat
Jenderal Wan Lui yang kuterima..."
"Aku memang sengaja tidak mengajak Liu Yok."
"Kenapa? Dalam suratnya itu, Jenderal Wan
menyebutkan bahwa orang yang bernama Liu Yok ini
seolah-olah diciptakan oleh alam khusus untuk
menghancurkan ilmu-ilmu Pek-lian-kau (Sekte Teratai
Putih). Tidak pernah sengaja belajar apa pun, tetapi
setiap ilmu gaib Teratai Putih berantakan di
hadapannya."
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saudara Lo, kau belum bertemu secara pribadi
dengan orang yang namanya Liu Yok, kau hanya
mengetahui tentang dia di dalam surat Jenderal Wan.
Sedangkan aku sudah bertemu pribadi dengan dia."12
"Maksudmu, Jenderal Wan keliru pendapatnya
tentang orang yang bernama Liu Yok ini?"
"Bukan keliru. Cuma kurang lengkap."
"Kalau begitu, lengkapi gambaranku tentang Liu
Yok ini dari pertemuan pribadimu dengan Liu Yok,
Saudara Kui."
Si pemuda berjubah biru Kui Tek-lam
mengangguk dan berkata. "Tidak keliru yang ditulis
Jenderal Wan dalam suratnya kepadamu, bahwa Liu
Yok ini dengan gampang bisa menghancurkan semua
ilmu gaib Pek-lian-kau, meski sepertinya tidak sengaja.
Tetapi aku berpendapat, Liu Yok sungguh tidak patut
diikut-sertakan dalam urusan kita kali ini. Pertama, dia
tidak bisa berkelahi, membela diri sendiri pun tidak
bisa, nah, ini kan bakal merepotkan kita? Kedua, Liu
Yok ini adalah calon menantu Gubernur Ho-lam, kalau
sampai mengalami apa-apa seperti cidera atau bahkan
tewas, mau omong apa kita di depan Gubernur Ho
lam? Ke tiga, Liu Yok ini sangat fanatik keyakinan
agamanya, dia tidak mau berbohong sedikit pun,
bahkan seandainya untuk keselamatannya sendiri.
Nah, pikir, operasi kita di Lam-koan ini bakal penuh
dengan tipu-muslihat, saling menyembunyikan siasat,
kalau di pihak kita ada orang seperti Liu Yok, bukankah13
musuh dengan gampang akan memperoleh semua
keterangan tentang gerak-gerik kita? Itulah sebabnya
aku tidak mengikut sertakan dia."
"Jenderal Wan bagaimana?"
"Dia hanya menganjurkan keikut-sertaan Liu
Yok. Menganjurkan, bukan memerintahkan. Kalau
memerintahkan, tentunya aku tidak berani melawan
atasanku, tetapi karena hanya mengajurkan, ya aku
berhak menentukan menurut perhitunganku sendiri.
Dan kelak, aku yakin, Jenderal Wan bisa memahami
penjelasanku kelak."
"Tetapi... bagaimana untuk menghadapi ilmu
ilmu gaib Pek-lian-kau?"
"Jangan terlalu dikuatirkan. Menurut
keterangan yang kukumpulkan, Pek-lian-kau itu
terpecah dua, yaitu Pak-cong (Sekte Utara) dan Lam
cong (Sekte Selatan). Yang suka main gaib-gaiban itu
hanya golongan utara, sedangkan Lam-koan ini di
bawah pengaruh golongan selatan. Ilmu gaib golongan
selatan tidak hebat, mereka lebih mengandalkan otak,
dan di sini mereka adu otak dengan kita. Adu siasat,
bukan adu ilmu gaib. Karena itu tenang sajalah,
Saudara Lo. O, satu lagi, kabarnya bahkan Pek-lian-kau
golongan Lam-cong ini bahkan tidak mau disebut 'kau'14
(Agama) lagi, tetapi 'hwe' (perkumpulan). Jadi, bukan
Pek-lian-kau tetapi Pek-lian-hwe. Cara kerja mereka
tidak jauh berbeda dengan cara-cara organisasi
rahasia mereka, meskipun istilah-istilah rahasianya
sudah tentu berbeda. Tetapi ini bukan masalah,
Jenderal Wan sudah memberi tahu aku tentang
isyarat-isyarat rahasia mereka."
Si tukang perahu gadungan Lo Lam-hong cuma
menarik napas mendengar Kui Tek-lam begitu
mengandalkan otak, tetapi dia pun berharap mudah
mudahan semua perhitungan rekannya itu tidak ada
yang meleset. Jauh di dalam hatinya tetap tersisa
sedikit was-was. Betapapun Pek-lian-hwe di wilayah
selatan ini ilmu gaibnya sudah tidak sehebat yang di
utara, tetapi bagaimanapun tetap mendebarkan. Cara
menghadapinya sudah tentu harus dibedakan dengan
kalau menghadapi organisasi lain.
"Pokoknya berhati-hatilah." akhirnya hanya Itu
yang bisa dikatakan Lo Lam-hong.
"Jangan kuatir, kita akan lebih berhasil tanpa Liu
Yok daripada kalau dengan Liu Yok. Aku tidak mungkin
keliru memperhitungkan ini."
"Ya. Mudah-mudahan."15
"Nah, Saudara Lo, yang menjadi beban pikiran
Jenderal Wan selama ini kabarnya Pek-lian-hwe di
selatan ini menumpuk senjata api sampai ribuan
pucuk banyaknya, dengan mesiu dan pelurunya yang
berlimpah. Ini berbahaya. Mereka bisa menggunakan
itu untuk berontak melawan kerajaan. Kita harus
menemukan di mana mereka simpan senjata-senjata
itu, dan merampasnya, kalau tidak bisa merampas ya
menghancurkannya. Saudara Lo, kau sudah setengah
tahun di kota ini, penyelidikanmu sudah menghasilkan
apa?"
Lo Lam-hong merasa mendapat kesempatan
untuk memperingatkan Kui Tek lam agar tidak terlalu
meremehkan Pek-lian-kau Golongan Selatan alias Pek
lian-hwe. Mulailah bercerita.
"Setengah tahun yang lalu, ketika Jenderal Wan
menyuruh aku kemari, aku pikir segalanya akan lancar
seperti tugas-tugasku yang lalu. Langsung ketemu
jejaknya, aku ikuti, langsung ketemu pentolan
pentolannya, aku tangkap dan aku paksa dia
mengatakan apa yang ingin aku ketahui lalu dia
katakan dan selesailah tugasku. Tetapi ternyata,
angan-angan tinggallah angan-angan. Setengah tahun
aku berada di Lam-koan, dan yang aku dapati sungguh
tidak berarti. Pek-lian-hwe benar-benar tidak boleh16
disamakan dengan organisasi-organisasi rahasia
bawah tanah yang lain. Yang satu ini benar-benar rapi
sekali cara kerjanya. Maklum, mereka adalah
organisasi rahasia yang berusia lima ratus tahun lebih,
bahkan sudah aktif ketika dinasti Beng belum lahir."
Kui Tek-Iam tertawa, "Saudara Lo rupanya ingin
menakut-nakuti aku, ya?"
Lo Lam-hong tidak ikut tertawa, mukanya tetap serius.
"Saudara Kui, bukankah kau minta aku ceritakan
apa yang kudapati selama ini? Ya sekarang ini aku
sedang memenuhi permintaanmu, malah kauanggap
aku sedang menakut-nakutimu?"
"O, maaf, maaf. Silakan bercerita terus, Saudara
Lo."
"Sebelumnya aku memperingatkanmu, Saudara
Kui, aku sebagai rekan akrabmu yang tidak ingin
melihatmu mengalami bencana, hati-hatilah terhadap
Pek-lian-hwe. Aku tahu Saudara Kui tidak takut mati,
tetapi bagaimana kalau Saudara bukan dibunuh oleh
Pek-lian-hwe, melainkan hanya disantet sehingga gila,
dan Saudara berlari-lari sambil bernyanyi-nyanyi
telanjang bulat di jalan-jalan raya di Lam-koan ini?"
Kui Tek-Iam agak merinding juga.17
"Baiklah, Saudara Lo, peringatanmu aku simpan
dalam hati dengan rasa terima kasih. Aku akan
bertindak sangat hati-hati dan tidak gegabah."
"Baiklah, aku lanjutkan ceritaku yang tadi. Jejak
Pek-lian-hwe memang muncul di tempat ini, baik
dalam bentuk tempat-tempat maupun peristiwa
peristiwa. Soal tempat, di kota ini ada sembilan belas
rumah pemujaan, dan sepuluh buah di antaranya
menaruh patung Dewa Kuan Kong di tengah."
Kui Tek-Iam mengangguk-angguk. Sebelum diterjun
kan ke tugas ini, dia sudah dibekali pengetahuan
tentang Pek-lian-hwe. Di rumah-rumah pemujaan,
biasa dipuja juga tiga panglima dari jaman Sam-kok
(Tiga Kerajaan), yaitu Lau Pi, Kuan Kong dan Tio Hui.
Dalam bentuk patung maupun gambar, biasanya Lau
Pi ditaruh di tengah, diapit dua saudara angkatnya,
yaitu Kuan Kong dan Tio Hui. Tetapi orang-orang Pek
lian-hwe maupun Pek-lian-kau utara, punya kebiasaan
yang berbeda dengan tradisi, yaitu menaruh Kuan
Kong di tengah, Lau Pi dan Tio Hui mengapitnya.
Dalam bentuk patung maupun gambar. Maka para
telik-sandi pemerintah Manchu dibekali pula dengan
pengetahuan ini, agar mengamat-amati dan
mencurigai rumah-rumah pemujaan di mana gambar
atau patung Kuan Kongnya ditaruh di tengah.18
"Terus bagaimana, Saudara Lo?"
"Aku amat-amati tempat-tempat pemujaan itu
siang malam, bahkan sering juga coba menyelundup di
malam hari, tetapi jejak-jejak orang Pek-lian-hwe tidak
kutemui sedikit pun."
"Apakah tempat-tempat yang Saudara selidiki
hanyalah tempat-tempat pemujaan yang patung atau
gambar Kuan Kongnya ditaruh di tengah? Apakah
tidak ada tempat-tempat lain?"
"Tentu saja ada, kalau sampai tidak kucurigai
tempat-tempat lain, aku ini cuma kantong nasi yang
tidak becus apa-apa. Di seluruh Lam-koan ini ada
puluhan rumah candu, rumah judi, rumah bordil dan
bahkan toko-toko biasa yang keuntungannya masuk
ke kantong Pek-lian-hwe. Dan aku pun tahu pasti,
berani taruhan leher. Tetapi untuk menyelidikinya,
sungguh rasanya seperti terbentur tembok."
"Terbentur tembok bagaimana?"
"Begini caraku, aku dekati orang-orang yang
bekerja di tempat-tempat yang kucurigai itu. Aku ajak
ngobrol mereka, aku pancing-pancing dengan hati
hati. Ternyata orang-orang itu tidak tahu banyak
tentang rahasia tempat mereka bekerja. Mereka itu
tahunya terjma gaji setiap bulan, tetapi tidak pernah19
tahu siapa pengendali/tempat-tempat kerja mereka."
Kui Tek-Iam tertawa, "Mungkin Saudara Lo mengambil
cara yang keliru."
"Kalau menurut Saudara Kui?"
"Kalau kita hanya mendekati kaum keroco yang
tidak tahu apa-apa tentang organisasi mereka, ya kita20
takkan dapat apa-apa. Mungkin yang harus kita dekati
adalah tokoh-tokoh masyarakat terhormat di Lam
koan ini. Dari mereka bisa diharapkan keteranganMenaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keterangan yang agak berarti. Pernahkah Saudara Lo
coba mendekati orang-orang macam itu?"
Lo Lam-hong menyeringai.
"Sulit. Selama setengah tahun ini masyarakat
kota bawah Lam-koan sudah terlanjur mengenali aku
sebagai tukang perahu melarat. Aku begitu
menghayati peranan-ku, sampai-sampai alam bawah
sadarku sendiri hampir-hampir percaya bahwa aku
memang ditakdirkan jadi tukang perahu. Kalau tiba
tiba ada penduduk Lam-koan yang melihat si tukang
perahu melarat ini berpakaian bagus dan duduk
bersantap bersama tokoh-tokoh masyarakat
terhormat, kan mencurigakan sekali? Dan aku tidak
bisa menyamar, mengubah wajah."
"Kalau begitu, biar aku yang lakukan itu."
"Boleh aku ketahui rencana Saudara Kui?"
"Begini. Kota ini setiap harinya kedatangan
orang-orang baru, lewat sungai maupun lewat darat.
Kedatanganku di kota ini pastilah kurang menarik
perhatian, seandainya ada mata-mata Pek-Iian-hwe di
kota ini."21
Lo Lam-hong menukas.
"Bukan seandainya ada, tetapi memang betul
betul ada. Dan bukan cuma satu dua orang, tetapi
seluruh kota Lam-koan ini penuh dengan mata dan
telinga mereka, di bawah kendali mereka."
"Darimana Saudara Lo tahu itu? Katanya
Saudara tidak berhasil melacak jejak mereka sedikit
pun?"
"Beberapa bulan yang lalu, ada pejabat dari
pemerintah pusat ditempatkan di sini. Dengan
mengandalkan kekuasaannya, dia langsung meng
undangkan peraturan-peraturan baru tanpa
musyawarah dengan siapa pun di kota ini. Beberapa
hari kemudian, puterinya tiba-tiba kerasukan siluman.
Tidak ada yang bisa menyembuhkan, kecuali seorang
tabib tak dikenal. Setelah puterinya itu sembuh, si
pembesar mencabut kembali semua peraturan
peraturan barunya dan mengembalikan peraturan
peraturan yang lama."
"Kelihatannya tidak ada kaitannya antara puteri
pembesar yang kerasukan siluman dengan pember
lakuan dan pencabutan kembali peraturan-peraturan
baru."22
"Ya, kelihatannya tak ada hubungannya. Itu
karena begitu halusnya cara kerja Pek-lian-hwe di
belakang layar."
"Seandainya Si Pembesar itu tidak mencabut
peraturan-peraturannya?"
"Pek-lian-hwe akan mengirimkan peringatan
yang lebihi berat. Misalnya, puteri pembesar itu aKan
menggantung diri tanpa sebab-musabab yang masuk
akal. Kerasukan siluman itu hanya peringatan pertama
yang tergolong ringan."
"Saudara Lo, ini hasil rekaanmu sendiri?"
"Peristiwa itu betul-betul ada dan belum lama
terjadinya, silakan Saudara Kui tanya penduduk Lam
koan yang mana saja, semuanya tahu. Soal hubungan
antara peristiwa itu dengan Pek-lian-hwe, memang itu
dugaanku. Tetapi cara berpikirku yang sangat hati-hati
itulah yang menyebabkan aku masih hidup sampai
sekarang. Dan kau pun harus seperti itu, Saudara Kui."
Kui Tek-Iam menarik napas, agak kurang senang
juga dinasehati seperti anak kecil. Namun demi
menyenangkan Lo Lam-hong yang bakal bekerja sama
dengannya, dia mengangguk juga. Kemudian
melanjutkan keterangannya tadi, "Aku akan tampil23
agak menyolok sedikit di kota ini, supaya menarik
perhatian orang-orang Pek-lian-hwe."
"Misalnya apa?"
"Menghambur-hamburkan uang di rumah judi,
karena aku dibekali uang banyak. Membual di tempat
tempat ramai."
"Kalau orang-orang Pek-lian-hwe sudah
tertarik?"
"Di saat itu, Oh Tong-peng dan beberapa orang
kita lainnya juga akan datang ke tempat ini, pura-pura
mencari aku sebagai buronan yang dicari pemerintah
kerajaan, dan aku akan pura-pura menghindarinya."
Lo Lam-hong mengangguk-angguk, "Suatu umpan
yang bagus. Pihak Pek-lian-hwe suka menampung
orang-orang yang dimusuhi pemerintah, untuk
memperkuat pihak mereka sendiri. Akal yang bagus,
Saudara Kui. Namun tetaplah berhati-hati. Kalau tiba
tiba mendapat tawaran dari pihak mereka untuk
bergabung, jangan terus mengiyakan saja, mereka
malah bisa curiga dan mungkin akan tahu kalau kau
diselundupkan oleh pihak pemerintah. Berpura
puralah ragu-ragu dan berpikir- pikir."
"Baik, Saudara Lo. Nasehatmu sangat berharga."24
Mereka berpisah.
***
Beberapa hari kemudian, masyarakat kota
bawah Lam-koan mendapatkan bahan perbincangan
yang menarik. Tentang seorang pemuda jubah biru
yang dengan gampang mengeruk ribuan tahil emas
dan perak di rumah-rumah judi besar kota bawah
Lam-koan. Dan uang yang begitu banyak itu
dihamburkannya kembali seperti pasir saja,
dihadiahkan ke sana ke mari.
Pengelola rumah judi yang kena "rampok" itu
pun melapor kepada pengendali yang sebenarnya dan
segala macam usaha itu.
"Keberuntungan seolah tidak menyentuh kami
sama sekali." lapor Si Pengelola. "Bandar sampai
ketakutan kalau diberhentikan olehmu, Tuan."
"Suruh dia tenang-tenang saja. Kalau orang itu
datang lagi, perhatikan saja. Kalau dia menang banyak,
bayar saja. Percayalah, takkan mempengaruhi
keuangan kami. Perdagangan candu sedang ramai."
"Tuan tertarik orang berjubah biru itu?"
"Tidak terlalu. Kalau cuma orang macam dia
harus menyita seluruh perhatian kita, kita bisa25
kerepotan sendiri. Terlalu banyak orang di Lam-koan
yang seperti dia, datang dan pergi. Pergi setelah
uangnya habis, atau menjadi gelandangan di Lam
koan."
"Jadi...."
"Suruh satu orang saja untuk terus membayangi
dia. Hanya tindakan jaga-jaga."
"Baik."
Beberapa hari kemudian, sebuah kapal lagi
merapat di dermaga Lam-koan menumpahkan
penumpang-penumpangnya. Kali ini di antara
penumpang-penumpang itu ada tiga lelaki yang
kelihatannya satu rombongan. Seorang lelaki
setengah baya bertubuh tegap, dengan rambut
berwarna kelabu dan kumis jenggot tercukur pendek.
Matanya menyorot tajam. Dua orang lainnya ialah dua
lelaki muda, yang penampilannya sama, sorot mata
mereka seolah ingin meneliti segala jenis manusia
yang ada di pelabuhan itu.
Ketiga orang ini naik ke daratan dengan naik
perahu kecil Lo Lam-hong pula. Dan sementara
mendorong perahunya, bibir Lo Lam-hong
mendesiskan keterangan singkat, "Nanti malam
Saudara Kui di rumah judi Ban-kong."26
Ketiga penumpangnya tidak menanggapi,
kecuali sebuah anggukan kecil hampir tak kentara dari
Si Lelaki setengah baya yang berjenggot pendek itu.
Malam harinya, rumah judi Ban-kong yang
terletak di tepi jalan raya itu ramai seperti biasanya.
Orang-orang memasukinya berbekal harapan akan
melipat-gandakan uangnya, tetapi kebanyakan keluar
kembali dengan kantong sudah kempes dan ditunggu
palang pintu is-terinya di rumah. Toh tidak ada habis
habisnya orang berdatangan, menanggapi ajakan
memerangkap dari si setan judi.
Kui Tek-Iam datang dari penginapannya dengan
menyewa tandu, lalu memasuki rumah judi dengan
gaya jutawan muda berkantong tebal.
Dalam beberapa hari ini, Kui Tek-Iam memang
sudah dikenal di kalangan setan judi. Maka
kedatangannya ke rumah judi Ban-kong mendapat
perhatian besar dari penjudi-penjudi yang lain.
Bahkan banyak penjudi yang bernyali kecil, selama ini
memang menunggu-nunggu kedatangan Kui Tek-Iam
untuk ikut pasang di nomor pasangan Kui Tek-Iam.
Mereka sudah mendengar berita santer tentang
keberuntungan Kui Tek-Iam.27
Di seberang jalan, tepat di hadapan rumah judi
Ban-kong, tiga orang lelaki duduk nongkrong di atas
bangku kecil Si Tukang Pangsit pikulan yang mangkal
di pinggir jalan. Sambil asyik menikmati pangsitnya.
Mereka adalah tiga lelaki yang siang tadi turun dari
kapal, seorang lelaki setengah umur dan dua orang
lelaki muda, namun ketiga-tiganya punya persamaan,
yaitu bermata tajam dan bertubuh tegap, meskipun
ketegapan itu dicoba disembunyikan di balik jubah
longgar mereka.
Meskipun mereka kelihatannya menunduk
asyik menikmati mi-pangsit, tapi mereka
memperhatikan dengan cermat semua yang terjadi di
jalan raya itu, melalui sudut mata mereka yang
terlatih. Kedatangan Kui Tek-Iam yang penuh gaya itu
juga tidak luput dari pengamatan mereka.
Si lelaki setengah baya menahan senyumnya
dan berdesis, "Boleh juga lagaknya."
Seorang temannya yang muda ikut
menimbrung, "Enak yang disuruh jadi orang kaya.
Dihormati orang di mana-mana, dikerumuni
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan-perempuan cantik. Kasihan yang kebagian
peranan tukang perahu. Kepanasan, hasilnya kecil,
sering dimaki penumpang."28
Lelaki muda yang satu lagi tertawa sampai
hampir tersedak karena ia sedang menyeruput kuah
dari mangkuknya.
Percakapan itu dilakukan dengan perlahan. Si
Tukang Pangsit ikut menimbrung pula, "Yang kebagian
tugas jadi tukang pangsit, antara enaknya dan tidak
enaknya seimbang. Bisa makan semaunya tanpa takut
rugi, tetapi kalau harus memikul ke sana kemari, lelah
juga."
Ketiga pembeli pangsit itu cepat menghabiskan
isi mangkuk mereka, menaruhnya. Mereka lupa
membayar agaknya, tetapi anehnya Si Tukang Pangsit
tenang-tenang saja.
"Kita masuk sekarang." kata Si Lelaki setengah
baya yang berjenggot pendek. "Ingat, pertama,
berlagak tidak ingin menarik perhatian, tetapi tetap
menarik perhatian juga. Mengerti?"
"Mengerti. Pura-pura tidak ingin menarik
perhatian tetapi tetap menarik perhatian juga. Hem,
sulit juga, tetapi bisa dicoba."
"Gampang. Berlagaklah seperti telik sandi yang
masih hijau. Ingin tidak ketahuan tetapi tetap
ketahuan juga."29
"Baik. Kita coba."
"Yang ke dua, kalau berbicara, tonjolkan dialek
utara kalian."
"Baik."
Mereka kemudian menyeberang jalan, langsung
ke pintu gerbang rumah judi Ban-kong. Mereka
mencoba mempraktekkan "seolah-olah tidak ingin
menarik perhatian, toh menarik perhatian juga",
berlagak "agar kelihatan wajar tetapi canggung". Dan
memang mereka bertiga segera menjadi perhatian
dua tukang kepruk yang berjaga di depan pintu rumah
judi itu. Kedua tukang kepruk itu hanya saling
memberi isyarat dengan sudut mata mereka, namun
tidak bertindak apa-apa.
Mereka biarkan saja ketiga orang ini masuk. Dua
lelaki muda pengiring lelaki setengah baya itu segera
berpencar di dalam, mengambil tempat duduk di
sudut yang berseberangan. Gaya mereka yang seperti
"intel amatiran" itu memang segera diperhatikan
orang-orang di dalam rumah judi. Sedang Si Lelaki
setengah baya mengambil tempat agak di tengah.
Sengaja mereka bersikap seolah-olah tegang namun
berpura-pura tenang.30
Ketika itu, di tengah-tengah ruangan, di atas
meja besar sedang berlangsung permainan "besar
kecil" yang makin menghangat. Tetapi taruhan
taruhan besar belum keluar, baru taruhan-taruhan
kecil yang perlahan-lahan meningkat jumlahnya. Kui
Tek-Iam si "bintang" yang sedang cemerlang
keberuntungannya dalam beberapa malam ini, juga
kelihatan di tepi saja, namun belum "turun ke
lapangan". Ia masih jadi penonton, meskipun ikut
bersorak-sorak memberi semangat. Banyak penjudi
yang kurang berani ambil resiko, juga belum pasang
taruhan atau hanya bertaruh kecil-kecilan, mereka
menunggu sampai nanti Kui Tek-Iam turun ke
gelanggang dan mereka akan memasang dengan
pasangan yang sama, untuk bisa "membonceng"
keberuntungan Kui, Tek-Iam.
Beberapa orang sudah tidak sabar dan
membujuk-bujuk Kui Tek-Iam untuk segera bertaruh.
Namun yang dibujuk-bujuk masih tersenyum-senyum
saja, dengan "bijaksana" memberi kesempatan
petaruh-petaruh kecil-kecilan untuk mengadu nasib
lebih dulu. Juga buat si bandar untuk mengeruk
keuntungan lebih dulu, sebab nanti begitu Kui Tek-Iam
turun tangan, peluang keberuntungan si bandar akan
seperti asap ditiup angin.31
Kui Tek-Iam sudah melihat kedatangan tiga
orang tadi, dan dia pun mulai menjalankan peranan
nya.
Orang-orang mulai bersorak, ketika melihat Kui
Tek-Iam mulai mengeluarkan kantong uangnya dari
balik jubahnya. Para "pembonceng" segera
menyiapkan uangnya, bahkan orang-orang yang
tadinya hanya duduk-duduk di seputar ruangan,
sekarang maju berdesakan di tepi meja besar itu
sehingga penuh. Bandar mulai berkeringat dingin dan
dalam hati berdoa kepada semua dewa besar maupun
dewa kecil, mohon keberuntungan.
Orang setengah baya berjenggot pendek itu pun
bangkit dari duduknya dan mulai ikut berdesakan di
pinggir meja.
Semua perhatian ditujukan kepada Kui Tek-Iam,
yang mengeluarkan sepotong perak dari kantongnya.
Orang-orang siap memperhatikan di angka yang mana
uang itu akan ditaruh.
Setelah merasa perhatian orang tercurah
kepadanya, Kui Tek-Iam mengangkat wajahnya. Dan
ketika melihat wajah si lelaki separuh baya, dia pun
berlagak terkejut sekali.32
Maka adegan berikutnya di luar dugaan para
penjudi. Kui Tek-Iam menjatuhkan sekenanya uang
yang dipegangnya, lalu dia sendiri pun cepat-cepat
meninggalkan tempat itu dengan mendesak-desak
orang-orang di sekitar meja.
Si lelaki separuh baya melompat juga dari
kerumunan sehingga tiga orang ambruk tertabrak
tubuhnya yang kekar. Ia berteriak dengan dialek
utaranya yang menonjol, "Hadang di pintu!"
Dua orang lelaki muda yang menyertainya
serempak melompat hendak mencegat larinya Kui
Tek-Iam. Yang satu agaknya kurang siap, sehingga Kui
Tek-Iam merobohkannya dengan dua jotosan. Tetapi
yang satu lagi lebih siap, ia sempat beradu ketrampilan
dalam beberapa gebrakan cepat yang mencengang
kan orang-orang di rumah judi Ban-kong, sebab belum
pernah mereka melihat gerak silat sehebat itu. Toh
akhirnya penghadang Kui Tek-Iam itu pun roboh dan
Kui Tek-Iam melewatinya sebelum dia dijangkau oleh
si setengah baya.
Dua tukang kepruk rumah judi Ban-kong
menyerbu masuk. Mereka membiarkan Kui Tek-Iam,
sebab mereka sering mendapat tip darinya, sebaliknya
mereka menghalang-halangi tiga lelaki berdialek utara33
yang asing dan dianggap pengacau itu. Tetapi agaknya
kedua Jukang kepruk bertubuh raksasa itu sama sekali
bukan tandingan seimbang dari si lelaki separuh baya
itu. Satu tukang kepruk terhempas oleh bantingan
kerasnya, terhempas begitu keras di lantai, sehingga ia
tidak bisa bangun lagi dan cuma cengar-cengir.
Satu lagi kena tendangan perutnya dan kena
jotosan rahangnya, dan selama beberapa hari
berikutnya ia akan mengalami kesulitan mengunyah
makanan sebab rahangnya sakit bila digerakkan.
Si setengah baya dan kedua pengiringnya pura
pura memburu sampai ke tengah jalan di depan
rumah judi Ban-kong, namun tidak terus mengejar Kui
Tek-Iam. Mereka pura-pura membanting-banting kaki
dengan kesal.
Ketika pengelola rumah judi memprotes kepada
tiga orang berdialek utara ini, si lelaki setengah baya
menjawab, "Orang tadi buronan pemerintah kerajaan.
Kami akan menangkapnya biar harus mengaduk
seluruh kota ini."
Jawaban garang itu membuat orang-orang tidak
berani bertanya-tanya lebih lanjut.
Kejadian ini segera menjadi bahan pembicaraan
orang-orang Lam-koan, terutama di kota bawah.34
Dan orang yang menugaskan orang memata
matai Kui Tek-Iam pun melaporkannya kepada
atasannya lagi.
"Jadi ada perkembangan baru, ya?"
"Benar. Orang itu bukan sekedar orang yang
hendak membuang uang dan kemudian pergi lagi. Dia
ternyata buronan pemerintah kerajaan."
"Mau apa kemari?"
"Mungkin hendak mencari tempat sembunyi
yang aman dari kejaran anjing-anjingnya Kaisar.
Apakah kita tawari dia untuk bergabung?"
"Jangan sekali-sekali lakukan itu. Soal itu,
akulah yang memutuskan."
"Maaf, Tuan, aku hanya mengusulkan. Sebab
kelihatannya dia hebat."
"Apa yang kaunilai hebat?"
"Silatnya."
"Itu hal yang terlalu umum. Bukan sesuatu yang
cukup istimewa sampai dipertimbangkan untuk
bergabung dengan kita. Di kolong langit entah berapa
ribu jagoan yang setaraf dengan dia. Kita tidak bisa
sembarangan menambah anggota baru yang tidak35
menambah kekuatan kita secara berarti, sebaliknya
menambah resiko bocornya kerahasiaan organisasi
kita."
"Jadi, peristiwa di Ban-kong itu...."
"Bukan sesuatu yang berarti. Tetapi tetapiah
bayangi dia. Mungkin akan ada sesuatu pada dirinya
yang bisa menguntungkan atau merugikan kita."
"Baik, Tuan."
"Satu hal lagi. Kalau ingin tahu apakah si Kui
Tek-Iam itu punya sesuatu yang berharga atau tidak,
pasang kuping juga buat anjing-anjing Kaisar itu.
Barangkali dari pembicaraan mereka, kita bisa dapat
keterangan tambahan tentang Si Jubah Biru."
"Baik, Tuan."
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
***
Di dalam kamar penginapan yang disewanya,
Kui Tek-Iam berbaring-baring sambil tersenyum
senyum sendirian membayangkan apa yang terjadi di
rumah judi Ban-kong tadi. Tetapi ia agak menyesali
juga jotosannya sendiri yang ke-lewat keras tadi,
"Mudah-mudahan tidak membuatnya cidera."36
Kemudian ia mulai berpikir-pikir, bagaimana
kira-kira reaksi yang bakal terjadi di kota Lam-koan itu
dengan adanya peristiwa tadi? Apa dan siapa yang
bakal muncul?
"Menurut keterangan Lo Lam-hong, rumah judi
Ban-kong adalah salah satu dari sekian banyak rumah
judi di Lam-koan yang dikontrol oleh Pek-lian-hwe.
Mudah-mudahan dengan kejadian tadi, Pek-lian-hwe
terpancing untuk menunjukkan jejaknya, betapapun
samarnya." pikir Kui Tek-Iam. "Tetapi menurut Lo
Lam-hong, Pek-lian-hwe menyembunyikan diri
dengan rapat sekali di tempat ini, harus sabar sekali
menunggu mereka muncul sendiri. Lo Lam-hong yang
sudah setengah tahun di sini saja tidak mendapatkan
apa-apa."
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk, ketukannya
takut-takut.
Kui Tek-Iam turun dari pembaringannya, "Siapa
di luar?"
Jawaban dari luar pintu adalah suara seorang
yang sama sekali tidak dikenal oleh Kui Tek-Iam, "Saya,
Tuan Kui."
Nama Kui Tek-Iam dalam beberapa hari saja
memang sudah terkenal di kota bawah Lam-koan,37
terutama di "dunia" perjudian, maka Kui Tek-Iam tidak
heran kalau orang tli luar pintu itu sudah tahu
namanya. Namun ia waspada juga, "Saya siapa? Punya
nama kan?"
"Saya Ma Liang-beng, ingin berjumpa dengan
Tuan Kui."
Dengan waspada Kui Tek-Iam membukakan
pintu, la melihat seorang lelaki gemuk, berjubah
indah, usianya kira-kira empat puluh. Tampangnya
bukan tampang cukong yang cerdas dan jeli melihat
kesempatan untuk mengeruk keuntungan, bukan,
melainkan lebih tepat dikatakan tampang anak cukong
yang cuma pintar berfoya-foya dan tidak becus apa
apa. Pintar menghamburkan uang, tetapi tidak pintar
mengumpulkannya. Dan rasanya Kui Tek-Iam tadi
melihat orang ini di rumah judi Ban-kong. Bukan
perkara aneh.
Kui Tek-Iam tidak lupa memainkan peranannya
sebagi buronan yang sedang ketakutan. Ia berlagak
celingukan cepat memeriksa keadaan di luar kamar,
kemudian mencengkeram pergelangan tangan Ma
Liang-beng untuk ditarik masuk ke dalam kamar.
Dengan cara itu, sekaligus ia ingin menjajagi apakah
Ma Liang-beng ini mengerti bela diri atau tidak, sebab38
yang dicengkeram Kui Tek-Iam itu tepat pada urat
nadi penting di pergelangan tangan, kalau
dicengkeram musuh bisa melumpuhkan setidaknya
se-paroh tubuh orang itu. Jago silat rendahan pun
tahu artinya cengkeraman di pergelangan tangan.
Namun ternyata Ma Liang-beng tidak bereaksi sebagai
orang yang mengerti silat. Ia biarkan pergelangan
tangannya dicengkeram dan ditarik, dan Kui Tek-Iam
bisa merasakan yang dipegangnya hanyalah otot-otot
kendor yang tidak bereaksi sama sekali.
"Seharusnya sudah aku duga, orang yang hidup
enak sejak kecil macam ini, kecil kemungkinannya mau
bersusah-payah dan berprihatin menggembleng diri."
pikir Kui Tek-iam.
Betapapun, Kui Tek-Iam belum tahu Ma Liang
beng ini siapa dan berada di pihak mana. Maka Kui
Tek-Iam tetap saja berpura-pura sebagai buronan
yang ketakutan. Seteiah menarik masuk Ma Liang
beng, ia buru-buru menutup pintu kembali dengan
wajah tegang, dan berkata kepada tamu tak
diundangnya itu, "Tuan Ma, apa maksudmu kemari?
Apakah tidak ada orang yang mengikutimu ke sini?
Aku ini sedang...."39
"Aku tahu, Tuan Kui. Aku tadi berada di rumah
judi Ban-kong, ketika peristiwa Hu terjadi. Bahkan aku
mendengar lelaki setengah baya yang mengejar Tuah
itu berteriak dengan logat utaranya bahwa Tuan ini
katanya buronan pemerintah."
Ma Lian-beng memucat wajahnya ketika
melihat Kui Tek-Iam tiba-tiba wajahnya menjadi
beringas dan mengeluarkan sebuah pisau belati
mengkilat. Sedetik kemudian, Kui Tek-Iam sudah
mencengkeram leher baju Ma Liang-beng dan
menempelkan belati yang dingin itu di pipi Ma Liang
beng, "He, babi tolol, kau sengaja menunjukkan
persembunyianku kepada anjing-anjing Kaisar itu ya?"
Waktu itu seandainya pipi Ma Liang-beng
terkena pisau, pasti takkan mengeluarkan darah
setetes pun, karena pucatnya. Bibirnya bergerak
gerak sekian lama sebelum berhasil dengan susah
payah mengeluarkan beberapa patah kata ketakutan,
"Tid...tidak... aku tid... tidak ada hubungan apa-apa
de... de... de... dengan ketiga orang tadi...."
Diam-diam Kui Tek-Iam tertawa dalam hati,
menikmati permainannya sendiri, sudah tentu dia
tidak benar-benar marah. Dia berpura-pura bersikap
garang untuk memperkuat kesan orang-orang Lam-40
koan bahwa dirinya benar-benar buronan
pemerintah. Selain itu, Kui Tek-Iam tahu, dari
pendengarannya yang tajam, bahwa di luar jendela
juga ada orang sedang menguping. Maka kata-kata Kui
Tek-Iam itu ditujukan juga kepada orang yang mencuri
dengar di luar jendela.
Begitulah.
Kui Tek-Iam berlagak semakin marah dan
memperhebat cengkeramannya di leher baju Ma
Liang-beng, sehingga ujung lidah si anak cukong itu
sudah terjulur keluar sedikit.
Geram Kui Tek-Iam, "Babi tolol, meskipun kau tidak
sengaja menuntun anjing-anjing Kaisar itu kemari, tapi
kalau kedatanganmu kemari dibuntuti mereka, sama
saja kau mencelakakan aku."
"Tid... tidak... aku... tidak dibuntuti siapa-siapa.
Aku ke sini naik joli tertutup."
Kui Tek-Iam melepaskan cengkeramannya.
"Baik, kali ini aku percaya. Nah, apa maksud
kedatanganmu?"
Ma Liang-beng nampak masih ketakutan, tubuhnya
yang gemuk merapat di tembok, dalam hatinya
merasa "buronan pemerintah" yang tampan ini41
ternyata galak juga. Matanya melirik-lirik dengan
takut-takut ke arah belati yang masih dipegangi Kui
Tek-Iam.
"He, aku tanya kamu!" bentak Kui Tek-Iam.
"Iya... iya."
"Apa maksud kedatanganmu?"
"Aku... sebenarnya ingin minta tolong. Tetapi...
tetapi kalau Tuan Kui tidak setuju, aku juga tidak
berani memaksa."
Kui Tek-Iam merasa kasihan juga, tetapi ia terus
menunjukkan sikap garangnya.
"Hem, tentu saja tidak ada orang di Lam-koan
ini yang berhak memaksa aku. Tetapi aku tertarik juga
mendengar maksudmu datang kemari. Kau mau minta
pertolongan apa? Nanti aku pertimbangkan."
"Aku tidak minta pertolongan secara gratis,
pasti ada imbalannya."
Kui Tek-Iam tertawa dan bergaya bajingan tulen, "Ini
pun jelas. Siapa sudi menolongmu dengan cuma
cuma? Nah, apa?"
Ma Liang-beng sekarang tidak sepucat tadi,
sekarang mulai yakin bahwa Kui Tek-Iam42
sesungguhnya adalah bajingan tulen yang bisa
dimanfaatkan asal ada imbalannya. Dan ini dirasa
memudahkan buat Ma Liang-beng.
Katanya sambil cengengesan, "Kelihatannya kerja
sama kita bakal lancar, Tuan Kui. Bagaimana kalau aku
suruh pelayan penginapan ini menghidangkan
makanan dan arak di ruangan ini, supaya kita bisa
berbincang dengan suasana lebih santai? Aku yang
bayar."
"Tidak usah. Langsung katakan saja persoalan
mu yang kaumintakan tolong dari aku."
"Baik. Ayahku, Ma Ji-siok, adalah pedagang hasil
bumi terbesar dan terkaya di sepanjang, Sungai Se
kiang ini. Hartanya tidak habis dimakan tujuh turunan.
Tetapi belakangan ini kakakku, Ma Hoat-beng,
nampaknya berusaha mengangkangi semua harta
ayahku. Kakakku orang baik, tetapi isterinya itu terlalu
berpengaruh atas dirinya. Isterinya adalah penganut
agama yang fanatik, dan dia punya rencana kelak
setelah Ayah meninggal maka semua harta akan
disumbangkan kepada perkumpulan agamanya...
tetapi aku rasa itu hanya kedok untuk menutupi
kebusukannya yang ingin mengangkangi seluruh harta
Ayah."43
"Agama apa yang dipeluk isteri kakakmu?" '
"Agama aneh."
"Agama aneh?"
"Ya, Buddha ya bukan, Khong Hu-cu ya bukan,
Tao ya bukan..."
"Agamanya orang-orang Portugis itu?"
"Juga bukan. Karena tempat Ini dekat dengan
Makao dan Kanton, lewat sungai, agama itu tidak aneh
lagi buat kami di sini. Sebagian penduduk Lam-koan
mengikuti agama itu."
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu apa? Eh, keluarga kalian she Ma, dan
orang she Ma biasanya adalah orang-orang suku Hui
yang beragama Islam."
"Juga bukan. Agama itu aku tahu. Tetapi yang
dianut isteri kakakku ini adalah agama tanpa nama."
Kui Tek-Iam mulai melihat setitik harapan untuk
keberhasilan tugasnya. Pek-lian-kau adalah agama
yang secara resmi dilarang oleh pemerintah Manchu,
sebab tokoh-tokoh agama itu menganjurkan pengikut
pengikutnya untuk membenci pemerintah Manchu
dan membangkitkan kembali dinasti Beng yang sudah
terkubur hampir seabad. Sebagai agama terlarang,44
sudah tentu Pek-lian-kau tidak terang-terangan
membuka rumah ibadahnya sendiri, bisa jadi yang
disebut "agama tanpa nama" oleh Ma Liang-beng ini
adalah Pek-lian-kau.
Hati Kui-tek-lam sudah melonjak kegirangan,
namun tidak ditampakkan di wajahnya. Ia
memperhitungkan kemungkinan orang yang sedang
menguping di luar jendela itu adalah mata-mata Pek
lian-hwe, karena itu Kui Tek-Iam tidak Ingin
membuktikan kecurigaan dan kewaspadaan di pihak
Pek-lian-hwe dengan bertanya terus-menerus soal
"agama tanpa nama" itu. Ia ingin menimbulkan kesan
sebagai orang jahat yang tidak berminat akan perkara
perkara kerohanian, minatnya hanya kepada uang.
Karena itulah dia berkata, "Aku tidak ambil
pusing isteri kakakmu itu agamanya apa, sekarang
katakan maksudmu apa?"
"Menyelamatkan separuh bagian harta ayahku
yang menjadi bagianku." sahut Ma Liang-beng. Tetapi
ketika teringat bahwa orang yang dimintai tolong itu
adalah "bajingan besar" maka permintaan tolongnya
pun jadi tidak tanggung-tanggung, menuruti
keserakahannya. "... tetapi kalau bisa seluruh harta45
Ayahku jatuh ke tanganku, he-he-he, bagianmu
pastilah juga tidak kecil, Tuan Kui."
Kui Tek-Iam harus menahan rasa muaknya
melihat muka Ma Liang-beng, namun pura-pura
setuju. "Baik. Jadi aku harus membunuh Kakakmu dan
isterinya?"
"O, tidak. Bagaimanapun.... aku tidak mem
benci mereka."
"Tidak membunuh, lalu?"
"Kakakku itu punya kegemaran yang sama
denganmu, Tuan Kui. Suka berjudi, tetapi kemahiran
nya tidak seimbang dengan nafsunya. Ajak dia berjudi,
sampai amblas seluruh hartanya... dan... tentu saja
hartanya itu jatuh ke tanganku dan Tuan Kui akan
mendapat imbalannya."
"Hem, aku yang susah-payah di meja judi,
kenapa harus kuserahkan kepadamu?"
"Tuan Kui, kalau kau bekerja menurut rencana
ku, aku bisa menolong Tuan lebih dari sekedar imbalan
uang. Paman jauhku ada yang menjadi pembesar
kerajaan di tingkat propinsi, wilayahnya mencakup
Lam-koan ini. Dengan perlindungannya, Tuan akan
mendapat status warga Lam-koan yang masa lalunya46
bersih, bahkan petugas-petugas dari pusat pun takkan
dapat mengutik-ngutik Tuan lagi. Bukankah itu lebih
baik daripada Tuan selalu berkurung ketakutan dalam
kamar."
"Siapa bilang aku ketakutan?" bentak Kui Tek
Iam beringas. "Mereka bertiga dan aku sendirian,
kalau aku lawan mereka, namanya bukan gagah berani
tetapi goblok! Apalagi mereka masih bisa saja
kedatangan bantuan lagi sehingga lebih dari tiga, dan
aku tetap saja sendiri."
"Maaf atas kekeliruan kata-kataku, Tuan Kui.
Tetapi aku berani menjamin, kalau Tuan menjadi
warga terhormat kota Lam-koan ini, Tuan tidak bakal
sendirian lagi. Itu imbalan yang kujanjikan."
Demi sengaja memperkuat citranya sebagai
penjahat yang rakus, Kui Tek-Iam berkata, "Ya,
imbalan yang kaukatakan itu, ditambah dengan
separuh dari harta yang bakal kaudapatkan dari
Kakakmu."
Wajah Ma Liang-beng berubah hebat, "Tuan
Kui, apakah Tuan bisa memperkirakan seberapa
banyaknya separuh dari keseluruhan harta Ayahku
yang diincar Kakakku itu? Bahkan bisakah Tuan
memperkirakan sepersepuluh dari harta itu?"47
Kui Tek-Iam tertawa dingin, "Tentunya banyak sekali,
bukankah tadi kau sendiri yang bilang bahwa harta itu
takkan habis dimakan tujuh turunan? Tetapi aku tidak
peduli betapapun banyaknya, aku tetap minta
separoh,"
"Tuan Kui, tidakkah Tuan...."
"Mau atau tidak?"
"Kalau... kalau...."
"Kalau tidak jadi, ya gampang saja. Aku
tancapkan belati ini ke jantungmu, lalu malam ini aku
kabur dari sini. Memangnya aku ini tidak punya siapa
pun di dunia ini, aku bebas ke mana saja dan tak ada
tempat yang bisa mengikat aku."
Dalam hatinya Kui Tek-iam memuji dirinya sendiri,
"Ternyata begini hebat bakatku main sandiwara.
Seandainya aku main di panggung, dan kawan
kawanku menontonnya, sungguh keterlaluan kalau
sampai mereka tidak bertepuk tangan."
Ma Liang-beng menggigil, agak menyesal telah
menghubungi "penjahat" ini untuk mohon
bantuannya, ternyata taripnya begitu mahal. Tetapi ia
sudah terlanjur gentar melihat gaya Kui Tek-Iam, tak
ada jalan mundur lagi, terpaksa dia menyetujuinya.48
"Baik. Separoh."
Sementara dalam hatinya Ma Liang-beng
berkata lain, "Kau takkan menikmati satu sen pun,
bangsat rakus! Jangan dikira aku tidak kenal orang
orang sewaan yang mampu membunuhmu!"
Sementara Kui Tek-Iam pun berseri-seri
wajahnya, "Baik. Kapan kaukenalkan aku dengan
Kakakmu? Tetapi aku harus dijemput dengan joli
tertutup, aku enggan dilihat oleh...."
"Aku tahu, aku tahu."
"Kapan?"
"Besok siang, Tuan tunggu di tempat ini."
"Baik. Dan jangan coba-coba berkhianat
kepadaku!"
"Tentu saja tidak, Tuan Kui. Kalau aku ingin
mengkhianati Tuan, bukankah sekarang aku di sini
bersama ketiga orang berdialek utara yang rumah judi
tadi?"
Ma Liang-beng kemudian berpamitan pergi.
Orang yang mencuri dengar di luar jenndela itu
pun bergeser pergi perlahan-lahan, namun49
gerakannya menimbulkan suara yang sekalipun sangat
lirih tetapi tertangkap juga oleh kuping Kui Tek-Iam.
Tiba-tiba timbul pikiran Kui Tek-Iam, "Orang
yang menguping di luar jendela itu kemungkinan besar
adalah suruhan Pek-lian-hwe yang hendak memata
matai gerak-gerikku. Sekarang ada baiknya aku
ringkus dia, aku tanyai dia, mumpung aku sedang
punya alasan. Bukankah aku sedang dianggap buronan
yang senantiasa harus waspada dan curiga setiap
saat?"
Begitu berpikir, begitu pula ia bertindak.
Tubuhnya tiba-tiba melesat cepat ke arah jendela,
kedua telapak tangannya mendorong daun jendela
sehingga terbuka. Ia lihat dikegelapan di luar ruangan
ada sesosok tubuh sedang merunduk menjauh
menyusur kaki tembok, tubuh Kui Tek-Iam meluncur
ke arah orang itu, dan sedetik kemudian orang itu
sudah tercengkeram tengkuknya, lalu dihempaskan ke
tanah dan dadanya diinjak oleh Kui Tek-Iam.
Itulah seorang lelaki berusia empat puluhan
yang mukanya seperti tikus, kini matanya bergerak
gerak ketakutan di bawah sorot mata tajam Kui Tek
Iam.50
"Kau memata-matai aku, ya?" gertak Kui Tek
Iam. "Apakah kau diupah oleh anjing-anjing Kaisar
itu?"
Kui Tek-Iam tahu, pihak Pek-lian-hwe sangat
anti pemerintah kerajaan, dan selalu menyebut orang
orang yang bekerja di pihak kerajaan dengan istilah
"anjing-anjing Kaisar". Itulah sebabnya Kui Tek-Iam
pun berulang kali memperdengarkan istilah itu untuk
menarik perhatian pihak Pek-lian-hwe dan me
mancing mereka keluar.
"Ampun... ampun... aku bukan... anj... eh,
orangnya kerajaan...."
"Kalau bukan orangnya pemerintah, kenapa
mengintip aku? Ingin hadiah yang disediakan atas
kepalaku?"
"Ti... tidak... tidak... aku tidak mengintip Tuan.
Aku tidak sengaja lewat di halaman yang masih sepi
ini...."
"Rupanya aku perlu memotong satu kupingmu
lebih dulu sebelum mendengarmu bicara dengan
jujur."
"Jangan! Jangan!"51
"Kalau begitu, katakan kenapa kau di sini, dan
tadi berada di bawah jendela kamarku!"
Si Muka Tikus gentar, menyangka Kui Tek-Iam
benar-benar "penjahat besar" yang takkan segan
segan memotong kuping orang demi memperoleh
secuwil keterangan. Dan Si Muka Tikus sendiri
bukanlah anggaota inti Pek-lian-hwe yang sudah52
menjalani serangkaian upacara prasetia dengan
ancaman serangkaian kutukan. Si Muka Tikus ini cuma
orang luar yang diupah, maka menghadapi ancaman
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedikit saja, lenyaplah semua pikirannya untuk main
gagah-gagahan dan "bertahan sampai titik darah
penghabisan" segala.
"Baik... baik saya mengaku, Tuan... memang aku
disuruh untuk memperhatikan gerak-gerik Tuan,
tetapi bukan orang-orang berdialek utara itu yang
menyuruhku. Tetapi... Majikan rumah judi Hong
kui...."
"Kenapa? Apa aku masih punya hutang di sana?"
"Aku tidak tahu kenapa Majikan Hong-kui
menyuruhku, tetapi... barangkali karena tertarik akan
kehebatan Tuan dalam berjudi...."
"Kalau tertarik, terus mau apa?"
"Mana aku tahu, Tuan?"
Kui Tek-Iam melepaskan injakannya dan Si
Muka Tikus buru-buru bangkit lalu mengucapkan
terima kasih sampai mem-bungkuk-bungkuk. Kui Tek
Iam berkata dingin, "Kedengarannya kau sudah bicara
jujur. Aku tidak membunuhmu, sebab tikus jelek
semacammu takkan mampu membahayakan aku53
sedikit pun. Bahkan orang-orang berdialek utara itu
sebenarnya juga tidak aku takuti. Kalau aku
menghindar, itu bukan karena takut, melainkan
supaya tidak terjadi keributan saja. Dan aku pun tidak
mau repot-repot. Sekarang pergilah."
"Terima kasih, Tuan...."
Dan ngacirlah Si Muka Tikus.
Di kegelapan, Kui Tek-Iam mengusap-usap
dagunya sambil tersenyum-senyum sendiri. Pikirnya,
"Hem, malam ini mulai kelihatan dua jejak di depanku,
meski masih samar-samar dan belum pasti ke mana
arahnya. Yang pertama adalah Ma Liang-beng yang
akan mengantar aku kepada isteri kakaknya dengan
agama tanpa namanya. Yang ke dua, Majikan rumah
judi Hong-kui. Bagus. Aku akan melacak dua jejak ini
bersamaan."
Lalu ia masuk kembali ke kamarnya.
***
Sementara Si Muka Tikus ngacir ke rumah judi
Hong-kui dan langsung bertemu dengan majikan
rumah judi itu, di sebuah ruangan belakang yang
tertutup. Diceritakannya semua yang didengarnya,
tidak terkecuali pengalamannya diancam oleh Kui Tek-54
Iam. Ia tidak berani bohong, sebab pernah
didengarnya kawan-kawannya bercerita bahwa
Majikan Hong-kui ini punya ilmu gaib bisa
mendatangkan penyakit kepada orang-orang yang
membohonginya. Benar tidaknya cerita itu memang
susah dibuktikan, tetapi Si Muka Tikus tidak berani
ambil resiko.
"Jadi, karena diancam olehnya, kau sudah
mengaku kalau aku yang menyuruhmu?"
"Terpaksa sekali, Tuan. Penjahat she Kui ini
meskipun wajahnya tampan dan banyak senyuman,
ternyata wataknya kejam bukan main. Kalau aku tidak
menggubris ancamannya, pastilah dia tidak ragu-ragu
memotong kupingku. Tuan Muda Kedua Ma saja
diperlakukan seperti copet kelas teri yang tertangkap
di pasar."
"Hem, tidak ada halangannya dia tahu kau
disuruh aku. Kalau dia tidak datang, malah akulah yang
akan mengundangnya."
"Buat apa?"
"Berkenalan."
"Hanya berkenalan?"
"Eh, kenapa kau jadi ingin tahu urusanku?"55
"O, maaf, maaf, Tuan. Upahku?"
"Ini. Pergilah."
Setelah menerima upahnya, Si Muka Tikus pun
berlalulah.
Kemudian Si Majikan Hong-kui juga bergegas
menemui seseorang. Di tempat orang itu, ia
menceritakan semua yang sudah didengarnya dari Si
Muka Tikus.
"Jadi si gembrot Ma Liang-beng itu menemui
Kui Tek-Iam, ingin memanfaatkan kelihaian berjudi Kui
Tek-Iam untuk merampok Kakaknya sendiri?"
"Betul. Dengan imbalan si bandit Kui Tek-Iam itu
akan mendapat separoh."
"Separoh? Tidak tanggung-tanggung. Memang
sudah kucium gelagatnya kalau Kui Tek-Iam ini bukan
maling kelas teri. Dan kalau melihat kelasnya, apa yang
dilakukannya di utara sehingga sampai diuber-uber
tiga ekor anjing Kaisar, pastilah bukan sekedar nyolong
celana kolor."
"Sudah dapat keterangan lebih lanjut dari
orang-orang kita yang membayangi anjing-anjing
Kaisar itu?"56
"Belum. Tetapi aku suruh terus mengamati
mereka dengan cermat."
"Tentang Ma Liang-beng...."
"Dia akan mendapat peringatan seperlunya."
***
Matahari sudah naik agak tinggi, tetapi seperti
biasanya, Ma Liang-beng belum bangkit dari
ranjangnya. Di rumahnya yang megah, berhalaman
luas, berarsitektur campuran Cina-Portugis, meniru
niru "mode" para hartawan Lam-koan.
Pintu kamarnya diketuk-ketuk oleh seorang
pelayan rumahnya.
"Tuan Muda... Tuan Muda...."
Ma Liang-beng menggeliat di ranjangnya sambil
menguap lebar, lalu berteriak jengkel, "Budak tidak,
tahu aturan! Tidak tahu kalau aku masih tidur?"
Budak yang di luar pintu menahan tertawanya,
katanya masih tidur kok sudah bisa berkata-kata?
"Maaf, Tuan, bukankah Tuan sendiri yang
semalam berpesan kepadaku, agar hari ini aku
membangunkan Tuan agak pagian? Kata Tuan57
semalam, hari ini Tuan akan mengantarkan seorang
tamu penting kepada Tuan Muda Pertama?"
Ma Liang-beng diingatkan akan rencananya
sendiri memperkenalkan Kui Tek-Iam dan kakaknya,
Ma Hoat-beng. Maka dia pun dengan ogah-ogahan
berteriak dalam kamarnya, "Sediakan air hangat!"
Suara di luar pintu menjawab, "Baik, Tuan."
Masih dengan mata terpejam, Ma Liang-beng
menggerakkan tangannya ke samping tubuhnya,
sehingga menyentuh semacam hewan berbulu. Ia
kaget dan bangun, lalu menjerit dan pingsan.
Orang-orang seisi rumahnya mendengar jeritan
Itu, dan bergegas ke dalam kamar. Pintu kamar
dengan mudah didorong dari luar, sebab palangnya
sudah tidak terpasang. Isteri Ma Liang-beng selalu
bangun jauh lebih pagi dari suaminya untuk memuja
Buddha di pagoda keluarga. Seorang wanita yang
rajin, cantik dan lembut, dan banyak yang heran
kenapa sampai bisa berjodoh dengan pemalas macam
Ma Liang-beng yang hanya mengandalkan harta
pemberian orang tua.
Orang-orang melihat apa yang membuat Ma
Liang-beng pingsan. Karena di atas tempat tidurnya
ada bangkai burung beo kesayangan Ma Liang-beng.58
Dalam keadaan sudah hampir putus lehernya karena
terpotong pisau yang tajam, dan secarik kertas
bertulisan singkat saja, "Jangan kau teruskan!"
Tidak terpecahkan kenapa semalam isteri Ma
Liang-beng tidak merasa apa-apa, dan kenapa
pegawai rumah yang sampai belasan orang itu sampai
tidak tahu semua?
Satu hal yang pasti, Ma Liang-beng benar-benar
kehilangan nyali untuk meneruskan rencananya.
***
Itulah sebabnya Kui Tek-Iam yang menunggu
nunggu di penginapannya, sampai tengah hari, batang
hidung Ma Liang-beng tidak kelihatan sama sekali.
Meskipun demikian, Kui Tek-Iam tidak merasa
keberatan sedikit pun. Pikirnya, "Toh dari mulut Si
Gembrot itu sudah kudengar tentang kakak ipar
perempuannya yang katanya mengaku beragama
tanpa nama. Selanjutnya bisa kuselidiki ini, mungkin
dibantu Lo Lam-hong."
Bersambung jilid II.5960
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi
file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk
mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan
dikompilasi menjadi file TextPDF.
Credit untuk :
? Gunawan A.J.
? Kolektor E-Books12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID 2
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang - Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid II
KEMUDIAN, baru saja pikirannya ini melayang
ke rumah judi Hong-kui, tahu-tahu malahan sudah
datang surat undangan yang isinya penuh hormat, dari
Majikan Hong-kui sendiri. Bahkan disertakan tukang
tandunya dan tandunya sekalian di depan rumah
penginapan. Tanpa pikir panjang, Kui Tek-lam pun
memenuhi undangan itu.
Duduk dalam tandu dengan gaya senyaman
mungkin, Kui Tek-lam berpikir, "Mungkin Ma Liang
beng mundur teratur setelah mendengar taripku,
tidak sanggup kehilangan separuh dari harta
bapaknya. Hem, sekarang yang penting, di hadapan
Majikan Hong-kui, aku harus bersikap sesuai dengan
perananku. Seorang buronan yang selalu curiga
karena menyembunyikan sesuatu yang penting.
Mudah-mudahan ini akan cukup menarik perhatian
pihak Pek-lian-hwe."
Meskipun tirai tandu tertutup (karena Kui Tek
lam ingin sempurna peranannya sebagai buronan),6
tetapi Kui Tek-lam tetap dapat melihat keluar tandu,
karena tirai jendela tandu yang terbuat dari kain
ringan itu sering tersingkap-singkap oleh angin.
Sampai Kui Tek-lam melihat seorang tukang
pangsit sedang duduk terkantuk-kantuk di atas
dingkliknya di belakang pikulannya. Agaknya karena
tidak ada pembeli. Namun Kui Tek-lam tertawa dalam
hatinya, sebab ia tahu pasti kalau Si "tukang pangsit"
ini tidak pernah mengantuk selama bertugas. Di
bawah lindungan topi rumputnya yang rombeng itu,
mata Si Tukang Pangsit tetap setajam mata elang
mengawasi sekitarnya. Dan Kui Tek-lam juga tahu
kalau pikulan pangsit yang kelihatan terbuat dari
bambu hitam itu pernah menggulung habis belasan
penjahat bernama besar.
Dengan tangan kanan, Kui Tek-lam menyingkap
sedikit tirai jendela tandu, dan tangan kirinya
menunjukkan jempo! kirinya kepada Si Tukang
Pangsit, isyarat yang artinya, "Semuanya serba
lancar".
Si Tukang Pangsit mengangguk, meski gerak
anggukannya dibuat seperti gerakan orang
mengantuk. Begitulah Kui Tek-lam dan Si Tukang7
Pangsit bertukar isyarat tanpa diketahui orang lain.
Tirai jendela tandu pun tertutup kembali.
Jalanan mulai menanjak. Agaknya, meskipun
rumah judi Hong-kui terletak di "kota bawah" Lam
koan, tetapi rumah tinggal Sang Majikan Hong-kui
sendiri ada di "kota atas", bagian kota yang tinggi dan
mendapat sinar matahari dan mendapat
pemandangan yang bagus, baik ke arah sungai
maupun ke arah pegunungan. Daerah tempat tinggal
orang-orang terpandang di Lam-koan dengan rumah
rumahnya yang besar-besar dan halamannya yang
luas-luas. Rupanya "kota bawah" adalah tempatnya
Majikan Hong-kui mengeruk keuntungan dari para
setan judi, sedangkan " kota atas" adalah tempatnya
menikmati keuntungan itu dalam hidup sehari-hari
yang seperti pangeran.
Mereka masuk ke halaman berumput hijau dari
sebuah rumah luas bergaya setengah Cina setengah
Barat, dengan pot-pot bunga yang besar-besar
berjajar mengapit jalan setapak berlapis lempengan
lempengan batu.
Diam-diam Kui Tek-lam membatin, "Di wilayah
selatan yang dekat dengan kota Makao yang diduduki
Portugis selama berabad-abad, bangunan bergaya8
Portugis membang lalu banyak ditiru orang berduit.
Berbeda dengan kota-kota di pedalaman yang masih
bergaya tradisional"
Di halaman depan Majikan Hong-kui sendiri
menyambut tamunya. Tampangnya seperti rata-rata
kaum saudagar di wilayah selatan. Gemuk, memakai
jubah satin, memegang pipa candu yang belum tentu
dinikmati tetapi hanya untuk sekedar bergaya
mengikuti mode saja. Para pemadat tidak nanti
bertubuh sesegar ini.
Begitu Kui Tek-lam keluar dari tandu, Majikan
Hong-kui menyambutnya dengan sikap amat hormat,
"Terima kasih atas kedatangan Tuan Kui. Tuan Kui
sudah sudi membuang waktu untuk mengunjungi
pondok reyotku"
Sebagai "buronan", Kui Tek-lam menunjukkan
sikap waspada yang agak kelewatan dengan menoleh
kiri kanan dengan mata tajam. Melihat itu, Majikan
Hong-kui tertawa dan berkata, "Jangan kuatir, Tuan
Kui. Biarpun aku bukan orang berpangkat apa-apa,
tetapi aku berusaha menjadi tuan rumah yang baik
dengan menanggung keselamatan tamuku."
Kui Tek-lam mengangguk-angguk, lalu sikapnya
pun mengendor. "Aku senang undanganmu, Tuan"9
"Namaku Nyo In-hwe"
" Oh, aku berbahagia Tuan Nyo sudi
mengundang aku, meskipun Tuan sudah tahu siapa
diriku. Orang-orang Tuan pasti sudah memberitahu
Tuan tentangn diriku"
Nyo In-hwe tertawa tersipu, "Maaf, Tuan. Kalau
tindakanku mungkin mengesalkan hati Tuan dengan
menyuruh orang-orang mengawasi pendatang
pendatang baru yang menonjol di Lam-koan ini"
"Buat apa?"
"Emm semacam tindakan berjaga-jaga,
begitulah."
"Tuan punya musuh?"
Nyo In-hwe tertawa, "Lebih tepat disebut saingan,
maklum, orang dagang. Tetapi bukan musuh seperti
yang diartikan di kalangan Tuan, kalangan
persilatan...."
"Aku dari dunia yang berbeda, Tuan Nyo. Aku
tidak bisa sedikit pun berdagang. Daganganku ya...
dagang tanpa modal itulah..." Kui Tek-lam tertawa,
sebab istilah "dagang tanpa modal" adalah istilah
"halus"nya orang-orang di jalan hitam.10
Nyo In-hwe ikut tertawa, lalu memberi hormat sekali
lagi, "Tuan Kui, aku mohon maaf karena aku sudah
mengesalkan Tuan dengan menyuruh orang
membayangi Tuan. Sudilah Tuan memaafkan."
"Tidak jadi soal. Aku sudah melupakan soal kecil itu."
"Tuan Kui ini sungguh berdada lapang. Dan
setelah aku mengetahui sedikit tentang Tuan Kui,
melalui orangku, aku langsung merasa bahwa Tuan Kui
ini bukan musuh, tetapi justru teman yang bisa
diandalkan. Tentu saja kalau Tuan mau bersahabat
dengan saya...."
"Aku ini merasa tidak pantas bersahabat
dengan Tuan Nyo, tokoh masyarakat yang
terhormat...."
"Nanti Tuan Kui akan tahu siapa aku. Tetapi
sekarang, janngan biarkan jamuan sederhana yang
kusediakan menjadi dingin, mari, Tuan Kui, silakan
masuk...."
Berjalan berdampingan dengan tuan rumahnya, Kui
Tek-lam melangkah ke dalam rumah. Mau tidak mau
Kui Tek-lam kagum juga melihat kebesaran dan
kemegahan rumah itu. Ia pikir Lam-koan ini benar
benar kota kecil yang makmur, sebab di Ibu Kota Pak
khia saja tidak banyak rumah sebesar ini, kecuali11
kediaman para pembesar. Tetapi jumlahnya dengan
yang di Lam-koan kalah jauh. Ketika masuk ke dalam
rumah, kekaguman Kui Tek-lam bertambah-tambah.
Ruang-ruang dalam rumah besar itu terasa dingin
hawanya karena lantai berlapis pualam dari Eropa.
Nyo In-hwe mengajak temannya naik ke tingkat dua,
dan tempat yang akan dijadikan tempat perjamuan itu
adalah sebuah balkon setengah terbuka dengan
pemandangan terbuka ke arah selatan, timur dan
barat. Karena letak rumah itu di "kota atas maka dari
balkon itu kelihatanlah aliran Sungai Se-kiang sampai
jauh, dermaga Lam-koan, dan punggung-punggung
bukit yang mengapit batang sungai. Angin semilir yang
segar terasa di seluruh ruangan.
Kui Tek-lam diam-diam membatin, "Hem, kalau
hasil rumah judi Hong-kui bisa menopang kehidupan
semewah ini, aku tidak percaya. Orang she Nyo ini
pasti punya tambang uang yang selainnya rumah judi
Hong-kui, mungkin yang ada sangkut pautnya dengan
Pek-lian-hwe. Inilah yang harus kuselidiki"
"Silakan duduk, Tuan Kui"
"Terima kasih"
Meja perjamuan berbentuk bulat, penuh
berbagai macam makanan sedap. Kui Tek-lam12
mempersilakan tuan rumahnya duduk di sebelah
timur, tempat yang secara adat dianggap paling
terhormat, namun Nyo In-hwe ganti mempersilakan
Kui Tek-lamlah yang menempati kursi itu. Setelah
saling menawarkan dan saling menolak mereka
bersepakat untuk sama-sama menghadap ke luar
balkon, jadi sama-sama mengambil posisi di utara dan
berdampingan menghadap ke selatan.
Diam-diam Nyo In-hwe heran dalam hatinya, "Kalau
Kui Tek-lam ini bandit seperti laporan orang-orangku,
nyata dia bandit kelas tinggi yang agak terpelajar juga.
Kelihatan dari caranya menanggapi semua pengMenaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hormatanku. Hem, harus berhasil kukorek keterangan
dari mulutnya, apa yang menyebabkan dia ka bur dari
utara sampai ke selatan ini...."
Begitulah, dua orang duduk makan semeja
dengan menghamburkan kata-kata ramah, namun
menyimpan niat untuk saling menyelidiki. Tetapi
sampai beberapa saat lamanya, kedua belah pihak
tidak memperoleh keterangan apa-apa tentang lawan
bicaranya, karena kebanyakan basa-basi.
Akhirnya Nyo In-hwe lah yang tidak sabar. Ia ingin
melempar umpan yang lebih merangsang, agar Kui
Tek-lam lebih membuka diri. Nyo In-hwe ingat pesan13
dari atasannya dalam organisasi rahasia, agar hati-hati
menghadapi orang luar ini dan tidak sembarangan
menawarinya jadi anggota organisasinya. Tetapi Nyo
In-hwe ternyata punya sikap sendiri, untuk lebih cepat
mengetahui tujuan dan bobot Kui Tek-lam, haruslah
dirangsang dengan umpan yang lebih menarik. Kalau
cuma kata-kata basa-basi saja, bisa jadi semalam
suntuk pun takkan mendapat keterangan apa-apa.
Nyo In-hwe juga punya prinsip, kalau toh kelak
terbukti keliru memasuk kan orang ke dalam
organisasinya, penyelesaiannya gampang saja, bunuh
orangnya.
Karena itulah, Nyo In-hwe tiba-tiba berkata,
"Tuan Kui, makin bicara denganmu rasanya makin
cocok. Barangkali karena latar belakang kita yang
sama...."
Kui Tek-lam pura-pura kaget, "Maksud Tuan
Nyo?"
"Rasanya sudah tiba saatnya aku bicara terus
terang kepada seorang sahabat sepertimu, Tuan Kui.
Aku pun dahulunya adalah pedagang tanpa modal
seperti Tuan, modalku ya hanya sebatang golok"
"Ah, Tuan Nyo...."14
"Betul. Itulah sebabnya aku bersimpati
kepadamu, Tuan Kui. Dan sebagai sahabat, kalau
boleh aku memberikan nasehat"
"Dengan senang hati aku mendengarkan, Tuan
Nyo...."
"Tuan Kui, ikuti jejakku. Setelah kita
memperoleh cukup banyak dari usaha tanpa modal,
kenapa terus-terusan membahayakan diri dengan
tetap berkecimpung di dalamnya? Lebih baik keluar
dari dalamnya, lalu mulai masuk dalam kehidupan
orang-orang terhormat dan menikmati jerih-payah
kita. Mumpung Tuan Kui sendiri masih muda...."
"Tuan Nyo, darimana Tuan tahu aku sudah
memperoleh cukup banyak dari usaha tanpa
modalku?" ketika mengucapkan ini, Kui Tek-lam
berusaha menegangkan wajahnya, seolah-olah yang
dikatakan Nyo In-hwe itu tepat mengenai sesuatu
yang seharusnya ia sembunyikan. Kui Tek-lam
berusaha menimbulkan kesan itu sebab ia tahu, kalau
dirinya "punya sesuatu yang berharga", barulah pihak
Pek-lian-hwe akan ada perhatian kepadanya.
Nyo In-hwe tertawa, menuangkan arak buat
tamunya dan berkata, "Gampang saja menebaknya,
Tuan Kui. Tuan diuber oleh tiga orang anjing Kaisar,15
jauh dari Pak-khia, tentunya yang Tuan ambil bukan
sekeping dua keping perak...."
Kalau buru-buru mengiakan tentu Nyo In-hwe
malah akan curiga, maka Kui Tek-lam justru sebaliknya
berusaha ingin menyangkal tetapi tidak punya kata
kata.
"Tuan Nyo, aku tidak tahu apa maksudmu."
"Tuan Kui, kita sudah mulai merasa cocok
sebagai sahabat, kenapa masih mencoba berpura
pura terhadapku? Aku tidak punya maksud apa-apa
dengan usulku tadi, kecuali untuk kebaikanmu
sendiri... apakah Tuan tidak bosan terus di kejar-kejar
anjing-anjing Kaisar ke sana kemari?"
Kui Tek-lam dengan lihai menunjukkan mimik
putus asa, sambil geleng-geleng kepala dan menarik
napas berulang kali. Lalu ditenggaknya araknya
dengan cepat.
Nyo In-hwe tertawa dalam hati, nampaknya
umpannya mengena. Ia tuangkan secawan arak lagi.
"Bagaimana, Tuan Kui?"
"Memang rasanya bosan juga diuber-uber
terus. 3adi tidak sempat menikmati hasil kerja keras
dengan pertaruhan nyawaku...."16
Nyo In-hwe merasa tepat untuk maju selangkah
lagi. "Apa sebenarnya yang Tuan Kui ambil dari anjing
anjing Kaisar itu?"
"Hal ini belum bisa kukatakan kepada Tuan
Nyo."
"Baiklah, baiklah. Sebagai sahabat, tidak pantas
aku mengorek sesuatu yang ingin Tuan Kui rahasiakan.
Tidak jadi soal kalau Tuan Kui tidak suka mengatakan
kepadaku, namun pertimbangkanlah nasehatku tadi."
"Tuan Nyo, kau baik hati. Aku benar-benar
mempertimbangkannya. Namun rasanya di seluruh
Tiong-goan ini tidak ada sedikit pun tempat untuk
kakiku berpijak. Bayangkan sudah sejauh ini aku kabur
sampai hampir ke sudut paling selatan dari negeri ini,
toh jejakku tercium juga oleh anjing-anjing Kaisar itu.
Nasehatmu menarik, Tuan Nyo, tetapi sulit dilaksana
kan."
"Kau keliru kali ini, Tuan Kui. Di kota Lam-koan
ini, uang begitu berkuasa, sehingga hitam bisa jadi
putih dan putih jadi hitam. Tempat ini adalah sorga
bagi orang-orang buruan yang tidak punya tempat di
tempat-tempat lain. Di sini bandit-bandit bisa disulap
jadi tokoh-tokoh terhormat yang hidup tenteram
sampai hari tua."17
"Apa iya?"
"Tentu saja. Akulah contohnya. Dan masih ada
beberapa contoh lain, tetapi aku tidak berani
menyebutkan namanya terang-terangan."
"Lalu anjing-anjing Kaisar yang memburu aku
itu?"
"Mereka gampang diurus. Kalau bisa diurus
secara baik-baik, mereka akan kembali ke Pak-khia
sambil mengantongi sedikit oleh-oleh buat anak isteri
mereka, dan melaporkan kepada atasan mereka
bahwa tugas mereka sudah selesai. Tetapi kalau tidak
bisa diurus secara baik-baik... ya artinya mereka itu
akan cari penyakit. Mereka akan hilang di Lam-koan
ini, kalau tidak jadi makanan cacing dalam tanah, ya
jadi orang hilang ingatan yang menari-nari telanjang
bulat di jalan raya dan tidak ingat siapa-siapa lagi,
bahkan tidak ingat dirinya sendiri."
Kui Tek-lam merinding. Ingat hal serupa yang pernah
dikatakan oleh Lo Lam-hong ketika ia baru datang ke
Lam-koan ini. Sekaligus menggumpal juga kemarahan
Kui Tek-lam. Tetapi sudah tentu ia tidak akan
membiarkan rekan-rekannya sendiri yang menyamar
sebagai petugas-petugas kerajaan yang sedang
memburunya itu "diurus secara tidak baik-baik".18
"Bagaimana, Saudara Kui?" desak Nyo In-hwe,
sekarang dia sudah mengubah sebutan "tuan"
menjadi "saudara" yang lebih akrab.
Kui Tek-lam mulai merasa bahwa lawan
bicaranya itu mulai kehilangan kesadaran, dan dalam
keadaan seperti itu, justru Kui Tek-lam seperti
mengulur-ulur persoalan sehingga lawannya tidak
sabar lagi.
"Aku berterima kasih, Tuan Nyo, tetapi..."
"Sebentar. Bagaimana kalau sebutan 'tuan?
yang terlalu resmi dan merenggangkan jarak ini
diganti saja dengan 'saudara' biar kedengaran lebih
akrab? Atau kalau Saudara Kui mau, boleh panggil
Kakak Nyo kepadaku."
"Terima kasih, Kakak Nyo. Suatu kehormatan
besar bagiku. Aku benar-benar ingin mempertimbang
kan nasehat Kakak, berilah waktu beberapa hari.
Bukankah kiamatnya dunia ini bukan besok pagi?"
Ternyata dalam "permainan" adu kesabaran ini, Nyo
ln-hwe yang kalah sabar. Dan dia mulai nekad
menyodorkan umpan yang lebih "merangsang" lagi.
Tiba-tiba saja dia mengangkat cawan araknya yang
dijepit dengan jari telunjuk dan jempol, sementara jari19
tengahnya berada di pantat cawan, katanya, "Saudara
Kui, wajahmu kelihatan pucat!"
Kui Tek-lam bersorak dalam hati. Sebelum la
bertugas, ia dibekali sedikit pengetahuan tentang Pek
lian-kau dan Pek-lian-hwe oleh Jenderal Wan Lui
sendiri, antara lain beberapa isyarat rahasia yang biasa
digunakan oleh orang orang Pek-lian-kau maupun
Pek-lian-hwe untuk saling berkomunikasi, atau
mencari tahu orang yang di hadapannya itu kawan
atau lawan. Dan cara Nyo ln-hwe memegang cawan
serta kata-katanya itu adalah isyarat rahasia itu, yang
intinya menanyakan Kui Tek-lam itu "orang sendiri"
atau bukan.
Kui Tek-lam mengetahuinya, dan kalau ingin
dianggap "orang sendiri", haruslah la mengangkat
cawan dengan cara yang sama, tetapi dengan tangan
kiri, sambil menjawab, "Wajahku pucat, tetapi
semangatnya merah menyala".
Harusnya demikian, tetapi Kui Tek-lam masih
ragu-ragu, kalau dia akhirnya diterima di dalam Pek
lian-hwe, kemudian ada isyarat rahasia lain yang tidak
terjawab, bukankah akan ketahuan kalau dia itu
petugas kerajaan yang berusaha menyusup dan dia
akan disantet sehingga "berlari-lari telanjang bulat di20
jalanan", suatu yang masih lebih mengerikan dari
kematian? Begitulah, susah payah Kui Tek-lam
mencari "pintu masuk" ke dalam Pek-lian-hwe, dan
sekarang setelah "pintu" itu ada di depannya, dia
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malah ragu-ragu melangkah memasukinya.
Ia cuma menjawab samar-samar, "Pernah
kulihat isyarat macam itu di utara."
"Saudara Kui tahu kalau ini sebuah isyarat
rahasia?"
"Ya."
"Bagaimana tahunya?"
"Karena pernah dalam sehari saja aku diajak
omong seperti itu sampai empat lima kali. Karena aku
tidak bisa menjawabnya, ya semuanya berlalu begitu
saja tanpa ada sangkut-paut denganku. Tak terduga
sekarang di Lam-koan aku lihat Kakak Nyo mem
peragakan isyarat rahasia itu."
"Dalam pengalaman Saudara Kui ketemu isyarat
ini di utara dulu, Saudara anggap kawan atau
lawankah orang-orang yang memperagakan isyarat
rahasia ini?"21
"Karena aku tidak tahu-menahu urusannya, ya
aku tidak menjawab. Dan aku tidak bersangkut-paut.
Artinya, bukan kawan ya bukan lawan."
Kui Tek-lam berharap mudah-mudahan
"kejujuran" nya itu "mendapat nilai" di mata pihak
Pek-lian-hwe. Dan sekarang ia sudah pasti kalau Nyo
In-hwe ini adalah orang Pek-lian-hwe. Mungkin bukan
hanya orang biasa, melainkan tokoh yang agak
penting.
Nyo In-hwe mengangguk-angguk, tidak ada
alasan untuk tidak mempercayai perkataan Kui Tek
lam itu. Selanjutnya mereka melanjutkan makan
minum seperti biasanya, dan Nyo In-hwe sempat
menyinggung bahwa pihaknya atau organisasi
organisasinya bisa membuat alias menyulap Kui Tek
lam dari "buronan" menjadi "tokoh terhormat" yang
tidak perlu diuber-uber lagi. Bahkan usaha dagangnya
bisa berkembang pesat di Lam-koan yang strategis itu.
Tetapi Nyo In-hwe belum menyebutkan Pek-lian-hwe
secara terang-terangan, ia baru menyebutnya
"teman-temanku".
Kui Tek-lam pura-pura tertarik dan mencatat
semua yang penting dalam benaknya.22
Dua jam kemudian, Kui Tek-lam berpamitan
pulang ke penginapannya. Sebagaimana datangnya,
perginya pun Kui Tek-lam diantar dengan joli.
Malam harinya Nyo In-hwe menghadap
atasannya dalam organisasi rahasianya, melaporkan
pembicaraannya dengan Kui Tek-lam.
"Orang itu ternyata belum mau bicara tentang
apa yang telah dilakukannya sehingga diuber-uber
anjing-anjing Kaisar. Rupanya nalurinya benar-benar
naluri orang-orang dari Jalan Hitam, yang selalu kuatir
kalau barang rampokannya dirampok oleh pihak lain
lagi."
"Hem, lalu?"
"Terpaksa aku lempar umpan yang lebih
merangsang. Meski aku tidak menyebut terang
terangan nama Pek-lian-hwe kita, tetapi aku mencoba
mengiming-iming dia dengan kehidupan yang
tenteram di bawah payung organisasi rahasia kita.
Bahkan aku cobakan isyarat rahasia 'muka pucat hati
merah menyala' kita, dia katanya pernah melihat
isyarat itu tetapi tidak tahu dari pihak mana, dan tidak
tahu menjawabnya. Kelihatannya dia menjawab
dengan sesungguhnya."
"Lalu?"'23
"Dia kelihatannya memperhatikan ajakanku,
tetapi belum mengambil kepastian. Mungkin belum
yakin apakah kekuatan organisasi kita benar-benar
bisa melindunginya, sehingga juga belum berani
mempertaruhkan harta rampokannya."
Orang atasan Nyo In-hwe dalam organisasi
rahasia itu pun tertawa, "Saudara Nyo, sekarang aku
tugaskan kau untuk menarik dia masuk ke organisasi
kita."
"Lho, kemarin Tuan bilang."
"Kemarin ya kemarin, sekarang ya sekarang.
Kemarin aku belum tahu dia punya apa yang berharga
untuk kita, tetapi sekarang kita sudah tahu dan aku
rasa menguntungkan kalau dia masuk organisasi kita."
"Lho, jadi...."
"Ya, hari ini aku sudah terima laporan dari
orang-orangku yang kusuruh mencuri dengar dari
pembicaraan anjing-anjing Kaisar itu. Ternyata yang
dicolong si orang she Kui ini memang tidak tanggung
tanggung, yaitu lima ribu pucuk senjata api yang dibeli
pemerintah kerajaan. Senjata-senjata itu dilabuhkan
di bandar Hang-ciu, namun orang she Kui itu bekerja
sama dengan orang dalam dan berhasil menggondol
kabur lima ribu pucuk senapan, si orang dalam itu24
sudah tertangkap dan sekarang sudah jadi setan tak
berkepala."
"Lima ribu pucuk? Astaga, sama dengan yang
kita kumpulkan bertahun-tahun. Pantas anjing-anjing
Manchu kelabakan senjata-senjata itu lepas dari
tangan mereka. Ini bisa mempersenjatai sebuah
pasukan besar."
"Ya, dan ada kelebihan satu lagi."
"Apa?"
"Senjata-senjata api ini modelnya lebih baru
dari kepunyaan kita. Pertama, lebih pendek sehingga
dapat dioperasikan satu orang saja. Kedua, yang ini
mesiunya maupun pelurunya diisikan dari belakang,
bukan dari moncong laras. Jadi sudah model yang
terbaru."
"Orang-orang Portugis di Makao sudah
memilikinya sejak bertahun-tahun yang lalu."
"Ya, tetapi mereka tidak mau menjualnya
kepada kita, juga kepada Pemerintah Manchu, takut
kalau membahayakan mereka sendiri. Karena itulah
bangsat-bangsat Manchu itu membelinya bukan dari
Portugis, tetapi dari bangsa kulit putih lain yang
menjadi musuh Portugis. Bangsa kulit putih yang25
sekarang menguasai kepulauan rempah-rempah di
selatan."
"Hebat, Tuan sudah tahu semuanya."
"Cuma belum tahu tempatnya menyembunyi
kan senjata-senjata itu. Anjing-anjing Kaisar itu pun
belum tahu tempatnya, dan itulah yang membuat
mereka begitu bernjafsu menangkap Kui Tek-lam.
Tetapi kita harus mendapat Kui Tek-lam lebih dulu,
dialah petunjuk ke arah simpanan senjata itu!"
"Aku mulai mengerti. Kita tarik dia ke organisasi
kita, agar dia mau memberi tahu kita."
"Ya, tawarkan kepadanya keamanan, masa
depan yang bagus, pokoknya apa saja. Bahkan yang
tidak kita punyai pun tawarkan kepadanya."
"Lho, tidak dipunyai kok ditawarkan."
"Ya. Kalau sudah masuk organisasi kita, kan
lebih gampang mengatur dia? Segala tawaran dan janji
kita, tidak wajib kita memenuhinya, bukan?"
"Baik."
"Lakukan secepatnya."26
"Harus hati-hati, jangan sampai dia curiga. Dia
kelihatannya curiga kepada siapa pun. Maklum,
buronan."
"Gunakan So-hun-liam (mantera pengikat
sukma) yang pernah kuajarkan kepadamu."
"Baik. Boleh juga aku tahu perkembangan
tentang... keluarga Ma?"
"Ah, semuanya berjalan lancar sesuai dengan
rencana kita. Memang semula si gembrot Ma Liang
beng kepingin macam-macam, tetapi peringatan kecil
yang kita kirimkan membuatnya tidak berani macam
macam lagi."
***
Ketika Kui Tek-lam masuk ke kamar
penginapannya, ia terkejut melihat seseorang sudah
berada di tempat tidurnya tanpa melepas sepatunya
yang butut. Namun kejutnya segera hilang setelah
melihat yang ada di tempat tidur itu adalah Lo Lam
hong, rekannya, si tukang perahu gadungan.
"Saudara Lo..." desis Kui Tek-lam, tetapi kata
kata berikutnya dia tahan lebih dulu. Dengan gerakan
bagai kilat, dia membuka jendela dan menjenguk
keluar. Dengan gerakan secepat itu, Kui Tek-lam yakin,27
kalau ada orang yang menguping di luar, tentu takkan
bisa menghindarkan diri. Tampaknya Kui Tek-lam
teringat pengalamannya dengan Si Muka Tikus.
Sedangkan Lo Lam-hong tenang-tenang saja
berkata, "Tenanglah, Saudara Kui, tidak ada yang
mengawasi kita. Memang, kemarin ada Si Muka Tikus
yang membayangimu, dan hari ini orang yang
membayangimu sudah diganti dengan seorang yang
menyamar sebagai ahli nujum tunanetra di seberang
penginapan ini. Tadi ketika kau pergi dan kembali dari
rumah Nyo In-hwe, aku menggunakan kesempatan
untuk masuk ke kamarmu dan menunggumu di sini."
Kui Tek-lam sendiri malah belum tahu
bagaimana tampang "pengawas"nya setelah Si Muka
Tikus digebah ketakutan-ternyata malahan Lo Lam
hong yang memberitahu. Kui Tek-lam merasa lega
juga, itu suatu bukti kalau dirinya tidak dibiarkan saja
menyelonong masuk ke mulut musuh sebagai umpan,
tetapi ada "tali" yang mengikatnya. Bukan umpan
sembarang umpan, tetapi umpan di ujun tali yang
setiap saat bisa ditarik atau diselamatkan dari
caplokan musuhnya.
"Apa yang ingin kaukatakan, Saudara Lo?"28
"Hanya sedikit. Teman-teman kita telah sengaja
membocorkan keterangan palsu ke pihak musuh,
keterangan palsu, yang menyebutkan bahwa kau
mencuri lima ribu pucuk senjata api dari pelabuhan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hang-ciu dengan kerjarsama dengan orang dalam, dan
orang dalam itu sudah ketahuan dan dipenggal
kepalanya. Lima ribu pucuk senjata itu dibeli oleh
pemerintah kerajaan dari bangsa kulit putih yang
menguasai kepulauan rempah-rempah di selatan,
bangsa kulit putih saingan Portugis. Begitu yang kami
sengaja bocorkan ke kuping lawan. Keteranganmu
kepada Nyo In-hwe harus cocok dengan keterangan
palsu yang sampai ke kuping musuh. Kau belum
memberi keterangan lain yang tidak cocok dengan
yang ini kan?"
"Belum, karena belum ada rinciannya. Takut
tidak cocok."
"Bagus, sekarang kau sudah punya rinciannya
dan katakanlah seperti itu. Oh, kau sudah berhasil
menjadi anggota Pek-lian-hwe?"
"Belum. Mereka tentu tidak gegabah menarik
sembarangan orang yang baru dikenal sebagai
anggota mereka. Tetapi kalau pendekatan yang29
menyerempet-nyerempet soal itu, Nyo In-hwe sudah
menampakkannya."
Secara singkat Kui Tek-lam menceritakan
kepada Lo Lam-hong tentang pembicaraannya dengan
Nyo In-hwe tadi.
"Lalu jawabanmu, Saudara Kui?"
"Terus terang saja, aku memang agak gentar
untuk memasukinya begitu saja. Pertama, kuatir
mereka curiga bahwa aku memang 'semilir angin' yang
hendak diselundupkan ke 'peternakan kuda mereka,
kalau aku cepat-cepat menerimanya. Kedua, aku tidak
malu mengaku bahwa nyaliku memang bergetar,
mengingat mereka adalah organisasi rahasia yang
berkecimpung dalam banyak ilmu gaib yang
menyeramkan, seperti membuat orang jadi gila dan
sebagainya. Aku seperti akan terjun ke suatu dunia
yang sangat asing bagiku."
Istilah "semilir angin" biasa digunakan orang
orang Pek-lian-kau maupun Pek-lian-hwe untuk
menyebut petugas kerajaan atau polisi. Dan istilah
"peternakan kuda" adalah kode untuk organisasi
mereka sendiri. Sebelum Jenderal Wan Lui
menugaskan orang-orang terpilihnya, bahkan sangat
terpilih, untuk membongkar kekuatan Pek-lian-hwe di30
wilayah selatan, ia sudah membekali orang-orangnya
dengan istilah-istilah rahasia yang biasa digunakan
kaum Pek-lian-kau atau Pek-lian-hwe itu. Di antara
kaum Pek-lian-kau Pak-cong (Sekte Utara), istilahnya
sudah banyak yang diganti karena mereka sadar
banyak kode rahasia mereka yang sudah diketahui
oleh Wan Lui, sejak Wan Lui berhasil menyusup ke
dalam Pek-lian-kau dan keluar kembali (Baca "Kemelut
Tahta Naga" - II). Namun Pek-lian-kau Lam-cong (Sekte
Selatan) yang lebih suka menyebut diri "hwe"
(organisasi) daripada "kau" (agama) ini, belum
merasakan ancaman seperti di utara, sehingga mereka
masih memakai kode-kode rahasia yang lama.
Ditambah dengan hubungan buruk antara Golongan
Utara dan Golongan Selatan biarpun berasal dari satu
sumber, Golongan Utara sengaja membiarkan
Golongan Selatan "kena batunya" oleh para "semilir
angin" alias agen-agen pemerintah. Golongan Pak
cong masih dendam karena Lam-cong tidak mau
membantu Pak-cong ketika dulu mengadakan
kekacauan di Ibu Kota Pak-khia di jamannya Kaisar
Yong-ceng almarhum ("Kemelut Tahta Naga" - I).
Dengan demikian, soal istilah tidak jadi masalah besar
buat agen-agen kerajaan yang disuruh oleh Jenderal
Wan Lui itu.31
Namun Lo Lam-hong mengerti bahwa rekannya
sekarang menghadapi masalah baru. Dan ia bersyukur
rekannya itu berterus terang menyebut masalahnya :
ketakutan menghadapi sesuatu yang asing, apalagi
berbau gaib. Lo Lam-hong tahu benar rekannya ini
bernyali besar, benar-benar pemberani dan bukannya
diberani-beranikan. Kadang-kadang sampai rekan
rekannya sendiri pun cemas melihat tindakannya yang
terlalu nekad. Lo Lam-hong juga cemas, karena pada
awal kedatangan Kui Tek-lam di Lam-koan, rekannya
ini sudah menunjukkan sikap memandang remeh Pek
lian-hwe, menganggap ilmu gaib Pek-lian-hwe sudah
tidak sehebat Pek-lian-kau golongan Pak-cong, dan
sebagainya. Lo Lam-hong menguatirkan rekannya itu
kena batunya dan mengalami bencana, misalnya sakit
ingatan tak tersembuhkan. Kini mendengar rekannya
terang-terangan menyatakan kekuatirannya, Lo Lam
hong malahan lega, dia berharap rekannya ini jadi
akan lebih berhati-hati. Tetapi dia pun sadar, saat itu
Kui Tek-lam tidak butuh dituduh atau disalah
salahkan, melainkan diteguhkan kembali hatinya. Dan
memang itulah yang dilakukan Lo Lam-hong.
"Saudara Kui, kemisteriusan Pek-lian-hwe
memang akan menjadi bencana bagi orang yang
gegabah, tetapi kalau kita bersikap lebih hati-hati dan32
tidak memandang rendah mereka, kita akan selamat.
Yang penting adalah keteguhan pikiran. Ketidak
teguhan hati adalah makanan empuk buat ilmu-ilmu
gaib."
Kui Tek-lam mengangguk-angguk, "Terima
kasih, Saudara Lo. Kalau Nyo In-hwe menawari aku
sekali lagi, aku akan menerimanya."
"Teguhkan hatimu, Saudara Kui. Dengan
memasuki Pek-lian-hwe tidak berarti kau putus
hubungan dengan kami. Kita akan tetap
berhubungan."
Kui Tek-lam mengangguk-anggik. Sementara Lo
Lam-hong punya rencana sendiri dalam hatinya.
Tiba-tiba di samping rumah penginapan itu
terdengar suara ketokan bambu yang biasa dibawa
tukang-tukang mi-pangsit. Lo Lam-hong pun segera
pergi, keluar lewat jendela dan melompat tembok dan
lenyaplah di kegelapan malam.
Kui Tek-lam menutup jendelanya, memadam
kan lilin dan berbaring menenteramkan hati,
membulatkan tekad.
***33
Beberapa hari kemudian, Kui Tek-lam "bentrok"
dengan "anjing-anjing Kaisar" di rumah judi Hong-kui
kepunyaan Nyo In-hwe. Bentrokan itu membuat Kui
Tek-lam dengan mimik ketakutan menemui Nyo In
hwe di rumahnya, minta perlindungan. Tentu saja Nyo
In-hwe menerimanya karena memang inilah yang
diharapkannya.
"Saudara Kui, diamlah di sini sampai keadaan di
luar sudah aman. Senangkan dirimu di sini. Nanti biar
kusuruh orang-orangku mengambil barang-barangmu
yang ketinggalan di penginapan."
Kui Tek-lam pura-pura mengepalkan tinju
dengan gusar. "Keterlaluan anjing-anjing Kaisar itu,
tidak bosan-bosannya mereka mengintai setiap
langkahku."
"Tenanglah, Saudara Kui. Kau aman tinggal di
sini."
"Tetapi, Kakak Nyo, tidakkah ketenteraman
keluargamu bakal terguncang kalau anjing-anjing
Kaisar yang rakus itu mencium jejakku bersembunyi di
sini?"
"Semuanya gampang dibereskan, Saudara Kui.
Kami berpengalaman membereskan anjing-anjing34
yang lebih galak dari tiga ekor yang sedang
memburumu itu, Saudara Kui."
"Bagaimana Kakak akan membereskan
mereka?"35
"Dengan cara baik-baik dulu, kalau berhasil ya
syukur, kalau tidak berhasil ya pakai cara lain yang
lebih menyakitkan."
Kui Tek-lam lega. Bagaimanapun ia tidak ingin
rekan-rekannya yang berperanan sebagai pemburu
buronan itu celaka, dan mereka pasti akan menerima
"cara baik-baik" yang disusulkan pihak Pek-lian-hwe
dan akan mengantongi banyak uang malah. Meskipun
mereka akan tetap di Lam-koan, sampai tugas
menemukan gudang senjata kaum Teratai Putih ini
ketemu.
Malam harinya, Nyo In-hwe mengadakan
perjamuan khusus buat Kui Tek-lam, dan baru malam
itulah Kui Tek-lam melihat seluruh keluarga Nyo In
hwe. Isteri Nyo In-hwe berusia sekitar tiga puluh lima
tahun dan nampak terpelajar, begitu pula kedua
anaknya yang masing-masing berusia lima belas dan
delapan tahun. Menurut Nyo In-hwe sendiri, anak
anaknya itu dipanggilkan guru sastra, masih ditambah
guru berkebangsaan Portugis yang datang dari Makao
sebulan dua kali lewat sungai, untuk belajar membaca
dan menulis Latin bersama anak-anak hartawan
hartawan Lam-koan lainnya.36
Melihat keluarga yang nampak begitu ideal, Kui
Tek-lam membatin, "Kalau Nyo In-hwe tidak mengaku
sendiri, sulit menduga keluarga macam ini kepala
keluarganya adalah bekas tokoh golongan hitam.
Hem...."
Kui Tek-lam pun bersikap manis, ketika kedua
anak perempuan Nyo In-hwe memberinya hormat dan
memanggilnya "Paman Kui". Sementara dalam
hatinya Kui Tek-lam membatin, "Sinar mata kedua
anak ini begitu jernih, mereka tidak tahu menahu
dengan perbuatan busuk bapaknya. Suatu kali bila
kejahatan Pek-lian-hwe ditumpas, anak-anak manis ini
tidak boleh mengalami hal-hal yang buruk, secara lahir
maupun batin."
Demikianlah, belum-belum Kui Tek-lam sudah
mendapat "beban" dalam hati.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika hari mulai malam, Nyo ln-hwe mengajak
Kui Tek-lam ke ruangan perpustakaan untuk berbicara
empat mata. Ruangan perpustakaan yang jarang
dimasuki karena buku-buku di situ yang diatur model
barat juga hanya untuk pajangan, sekedar untuk
gengsi atau mode. Bahkan ada buku-buku bahasa
asing juga, dengan huruf-huruf latin.37
Di ruangan itu, Nyo In-hwe bertanya, "Saudara
Kui, apakah niatmu untuk bergabung dengan kami itu
sudah tetap?"
Kui Tek-lam menjawab, "Aku belum tahu nama
organisasi rahasia yang Kakak ikuti, tetapi aku sudah
pikirkan selama beberapa hari, bagaimanapun juga
lebih baik kalau aku punya teman-teman di bawah
suatu payung organisasi yang kuat, daripada sendirian
diuber-uber seperti kelinci di padang belantara."
"Keputusan yang bijaksana, Saudara Kui. Jadi
Saudara belum tahu apa nama organisasi yang
Saudara masuki ini?"
"Belum..." Kui Tek-lam berbohong dengan gaya
amat meyakinkan.
"Baiklah, karena Saudara Kui sudah memutus
kan untuk bergabung, Saudara harus mengetahuinya.
Kami ini sebenarnya bukan organisasi rahasia biasa,
sekedar persamaan kepentingan saja, bukan seperti
itu. Di antara kami ada ikatan sumpah mati hidup
karena persamaan kepercayaan, suatu kepercayaan
kuno dari negeri Persia. Apa kira-kira Saudara Kui
sudah mendapat gambaran?"
Kalau berlagak tidak tahunya keterlaluan, tentu
akan janggal juga. Mengakunya buronan hebat kok38
tidak tahu apa-apa, maka Kui Tek-lam pura-pura
menebak namun sengaja dikelirukan sedikit, "Dulu
waktu aku masih malang-melintang di utara, aku
dengar tentang suatu agama rahasia yang disebut
Tiau-yang-kau (Agama Penyembah Api), apakah...."
"Hampir tepat. Kepercayaan yang kami anut
adalah cabang dari Tiau-yang-kau, namanya Pek-lian
kau."
Kui Tek-lam harus pura-pura kaget, "Ah, agama
yang dibenci oleh anjing-anjing Manchu?"
"Betul."
Kui Tek-lam menarik napas, "Sudah sering aku
mendengar, dan diam-diam aku mengagumi
keberanian orang-orang Pek-lian-kau. Belum pernah
ada kelompok agama ataupun organisasi rahasia
mana pun yang bernyali besar berani membuat
kekacauan besar di Ibu Kota Pak-khia, dan menculik
Putera Mahkota Hong-lik yang sekarang bertahta
dengan nama Kaisar Kian-liong. Bahkan di buku
sejarah juga tercantum jasa Pek-lian-kau mengusir
penjajahan Mongol dan mendirikan dinasti Beng.
Bukankah raja dinasti Beng yang pertama, Kaisar
Hong-bu, juga adalah seorang bekas hulu-balang Pek
lian-kau?"39
Kui Tek-lam bersikap demikian menggebu-gebu
dan antusias, sehingga mengesankan Nyo In-hwe.
Kata Nyo ln-hwe kemudian, "Nah, Saudara Kui,
bagaimana setelah kautahu bahwa kami ini musuh
pemerintah Manchu? Takut?"
Kui Tek-lam menjawab dengan gagah,
"Bergabung atau tidak bergabung dengan Pek-lian
kau (sengaja Kui Tek-lam salah sebut "kau" dan bukan
"hwe") toh aku sendiri juga musuhnya para anjing
Kaisar itu. Lebih baik bergabung."
Nyo In-hwe mengangguk puas. "Kalau Saudara
sanggup, akulah yang akan menjadi penanggungrnu,
sebab setiap anggota baru haruslah ada penanggung
nya seorang anggota lama yang terpercaya."
"Terima kasih, Kakak Nyo! Mimpi pun belum
pernah bahwa aku akan menjadi anggota organisasi
para pecinta tanah air yang terhormat ini, yang
membuat kaisar-kaisar Manchu dari Sun-ti, Khong-hi,
Yong-ceng sampai Kian-liong tidak nyenyak tidurnya."
"Simpan dulu kegembiraanmu, Saudara Kui, aku
akan sedikit meluruskan pengertianmu tentang
organisasi yang bakal kaumasuki ini. Memang antara
kami dan ... teman-teman kami di utara itu satu
sumber, tetapi harap Saudara ketahui bahwa sudah40
ratusan tahun antara Utara dan Selatan mengambil
jalan sendiri-sendiri."
Dan panjang lebar Nyo In-hwe menjelaskan
tentang perbedaan Pak-cong dan Lam-cong, yang
sebenarnya sudah diketahui Kui Tek-lam. Toh Kui Tek
lam berlagak memperhatikannya benar-benar dan
terus mengangguk-angguk.
"....nah, itulah kami, Saudara Kui." Nyo ln-hwe
menutup penjelasannya.
"Tidak jadi masalah buatku, Kakak Nyo.
Mungkin motifku masuk Pek-lian-hwe agak rendah,
agak diwarnai kepentingan pribadi, tidak semulia
motif kalian yang berusaha mengenyahkan Manchu
dari bumi Tiong-goan, tetapi ketahuilah, aku benar
benar gembira bisa bergabung. Semua ini karena jasa
jasa Kakak Nyo."
"Untuk itu, Saudara Kui, kau harus menyatakan
sumpah setiamu kepada Ratu Langit, ibunda dari
sesembahan kami Dewa Api Ahusta. Dalam suatu
upacara yang benar-benar suci."
"Tidak jadi soal, Kakak Nyo. Aku memang tidak
punya agama, agama apa pun sama saja."41
"Tidak sama!" suara Nyo In-hwe tiba-tiba
meninggi, mengejutkan Kui Tek-lam. "Agama kami
jauh lebih unggul dari agama-agama cengeng lainnya
yang mengajarkan perdamaian dan kasih sayang!
Agama kita mengajarkan keberanian berkorban dan
mengorbankan apa saja, dengan demikian roh kami
kelak bisa diterima di pangkuan Bu-seng Lo-bo (Ibu
Abadi Tanpa Asal-usul)!"
Kui Tek-lam memang agak kaget melihat sikap Nyo In
hwe, tidak menduga kalau Pek-lian-hwe di selatan
yang konon sudah "duniawi" itu masih juga punya
pengikut macam Nyo In-hwe yang begitu fanatik
memegang keyakinannya dan tidak mau kalau
keyakinannya disejajarkan dengan agama-agama lain.
"Maafkan kata-kataku, Kakak Nyo, aku harus
belajar agama lebih lanjut dari Kakak."
"Tidak apa-apa, asal diingat saja satu hal. Yakini
dan teguhkan ajaran Pek-lian-kau di jiwamu, yang bisa
disingkat hanya dalam sepatah kalimat : berani
mengorbankan diri sendiri maupun orang lain demi
Ratu Langit dan anak laki-lakinya, Dewa Ahusta!
Mengerti? Tanpa tekad seperti itu, mustahil kita bisa
mengusir Manchu dari bumi Tiong-goan."
"Mengerti, Kak."42
"Tanggal lima belas nanti, kebetulan ada
upacara penerimaan anggota baru. Tahun ini, hanya
ada sepuluh calon anggota baru, karena ketatnya
penyaringan. Bersyukurlah, kau akan berkesempatan
mengabdi kepada Ratu Langit dan Dewa Ahusta."
"Aku mengerti, Kak."
"Nah, kau sebagai salah satu calon anggota,
harus jujur kepada kami."
"Tentu saja, Kak."
"Nah, ceritakan persoalannya sampai kau
diuber-uber anjing-anjing Kaisar itu!"
Kui Tek-lam pura-pura menarik napas, "Kalau
dipikir-pikir, aku memang kurang perhitungan.
Mengincar sesuatu yang tadinya kusangka
menguntungkan, tak terduga malah membuat aku jadi
buronan tanpa sempat menikmati jerih-payahku."
Lalu berceritalah dia tentang "mencuri lima ribu
pucuk senjata api pesanan pemerintah Manchu" itu.
Tepat seperti yang "dibocorkan" kawan-kawan Kui
Tek-lam ke kuping tokoh-tokoh Pek-lian-hwe.
Nyo In-hwe pun mengangguk-angguk puas.
Cerita Kui Tek-lam cocok sampai hal yang sekecil
kecilnya yang sudah didengarnya dari atasannya43
dalam Pek-lian-hwe, dan atasan Nyo In-hwe itu
mendengarnya dari mata-mata yang mencuri dengar
pembicaraan antara "anjing-anjing Kaisar", tanpa
mata-mata itu menyadari bahwa para "anjing Kaisar"
itu sebenarnya tahu kalau sedang disadap dan mereka
pun bocorkan keterangan palsu yang akan
memperlancar Kui Tek-lam menyelundup ke dalam
organisasi rahasia Pek-lian-hwe.
Kemudian mulailah Nyo In-hwe mengajarkan
tata-cara upacara tanggal lima belas kelak. Kui Tek-lam
mendengarkan namun sambil menjaga hatinya sendiri
agar tidak percaya. Ia masih ingat pesan Lo Lam-hong,
ketidak-teguhan hati akan jadi makanan empuk buat
ilmu-ilmu gaib. Selama Nyo In-hwe berbicara, dalam
hatinya Kui Tek-lam berkata, "Omong kosong segala
tahyul ini."
***
Hari itu tiba. Kui Tek-lam agak berdebar-debar
juga. Namun ia berharap hari ini setidaknya dia akan
mendapati dua hal : pertama, tempat yang digunakan
untuk upacara penting itu. Ke dua, ia akan melihat
wajah-wajah dari tokoh-tokoh Pek-lian-hwe di kota
Lam-koan, wajah-wajah yang sehari-harinya berkedok
sebagai tokoh-tokoh terhormat masyarakat Lam-koan44
namun sebenarnya penga-nut-penganut kepercayaan
keji yang tidak segan-segan mengorbankan manusia.
Kui Tek-lam akan berangkat dari rumah Nyo In-hwe. Ia
sudah melihat Nyo In-hwe mengenakan dandanan
yang agak istimewa. Dandanan seorang panglima
perang model kuno, dan membawa sebuah
bungkusan besar dari kain hitam, entah apa isinya.
Diam-diam Kui Tek-lam membatin. "Kalau dia jalan di
tempat ramai dengan pakaian seperti itu, pastilah
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikira anak wayang yang hendak pentas di panggung."
Tetapi Nyo In-hwe berangkat lebih dulu, dengan joli
tertutup.
Kemudian Kui Tek-lam juga diangkut dengan joli
tertutup. Ternyata ada sebuah peraturan keparat yang
membuat Kui Tek-lam kecewa bukan main, sebab
peraturan itu memusnahkan harapan Kui Tek-lam
untuk mengetahui tempat upacara itu berlangsung.
Soalnya, Kui Tek-lam diharuskan memakai penutup
mata dari kain' tebal berwarna hitam, masih ditambah
dikerudungi lagi dengan kantong kain hitam yang
sama tebalnya dengan penutup mata. Dengan
demikian, sepanjang perjalanan Kui Tek-lam cuma bisa
merasakan goyangan jolinya dan suara langkah para
pemikul tandu, tetapi tidak tahu dibawa ke mana.45
Sebentar naik, sebentar turun, belok kanan, belok kiri,
belok kanan lagi.
"Bukan mustahil memang sengaja diputar-putar
dulu supaya aku bingung...." geram Kui Tek-lam dalam
hati.
Tetapi akhirnya berhenti juga setelah
perjalanan lebih kurang setengah jam. Seseorang
menyingkap tirai tandu dan berkata, "Kuda Kui Tek
lam, sudah tiba di peternakan kuda."
"Kuda?" gerutu Kui Tek-lam dalam hati. "Kurang
ajar. Aku dianggap kuda."
Tetapi dia pun mendengar di kanan-kirinya para
"kuda" dipanggil, jadi agaknya memang itu istilah
untuk calon-calon anggota baru. Disesuaikan dengan
sebutan "peternakan kuda" untuk organisasi dan
"penggiring kuda" untuk anggota lama yang bertugas
mencari anggota baru.
"Para kuda boleh melepas tutup mata."
Kui Tek-lamlah yang paling cepat melepas tutup
matanya sebab ingin cepat-cepat melihat tempat apa
itu dan bagaimana tampang orang-orangnya. Dan ia
melihat suatu halaman luas berbentuk bujur sangkar,
temboknya tinggi. Ada pintu besar yang terbuka di46
satu sisi, dan sebuah pintu lain yang tertutup di sisi
yang berseberangan. Saat itu matahari tepat di atas
langit dan Kui Tek-lam tidak tahu mana timur mana
barat, mana utara mana selatan.
Kemudian Kui Tek-lam memperhatikan orang
orangnya. Ada lebih kurang lima puluh orang di situ,
semuanya memakai seragam tentara model dinasti
Beng lengkap dengan topi besinya. Mereka berjajar
tegap di bawah kaki tembok, ada yang memegang
senjata api. Tetapi jangan harap mengenali wajah
mereka, sebab semuanya mencat wajahnya dengan
warna-warna hitam, putih, merah dan biru dengan
berbagai corak, bahkan akan sulit ditebak laki-laki atau
perempuan.
Selain itu, Kui Tek-lam melihat dua orang lelaki,
umur tiga puluh tahun yang juga sedang celingukan
sambil memegangi kain hitam bekas penutup mata.
Agaknya mereka juga "kuda-kuda baru" seperti Kui
Tek-lam.
Merasa ada teman, Kui Tek-lam melangkah
mendekati dengan wajah ramah, siap berbincang
bincang atau saling memperkenalkan diri, dan kedua
orang itu pun siap menyambutnya. Tetapi langkah Kui
Tek-lam terhenti ketika seorang perwira yang47
wajahnya digambar seperti wajah Sun Go-kong Si Kera
Putih Sakti membentak keras, "Sesama kuda dilarang
saling bicara satu sama lain! Harap tata tertib ditaati,
atau bakal terkutuk tiga puluh enam keturunan!"
Kui Tek-lam dan kedua "kuda baru" lainnya
terdiam. Terpaksa mereka hanya berdiri, tak tahu
harus berbuat apa, entah sampai kapan.
Orang sebanyak itu di tempat itu, ternyata tak
satu pun buka mulut. Suasananya memang jadi
mencekam, tetapi Kui Tek-lam berusaha untuk tidak
terpengaruh suasana itu. Pikirnya, "Hem, Pek-lian
hwe, kalian boleh bikin orang takut dengan permainan
yang kekanak-kanakan ini. Tetapi kami, prajurit
prajurit sandi terbaik yang langsung di bawah perintah
Baginda Kian-liong, takkan mudah rontok nyali kami di
dalam suasana seperti ini."
Kemudian dari pintu gerbang yang terbuka,
berdatanganlah para "kuda" yang lain, semuanya naik
tandu, semuanya ditutup matanya, dan Kui Tek-lam
yakin pasti mereka juga sudah diajak "putar-putar
kota" dulu seperti dirinya. Dan dilihat dari pakaian
mereka, nampak kalau mereka dari berbagai
kalangan, ada orang kaya, ada pengemis, ada yang
usianya baru dua puluh tahunan, ada yang sudah di48
atas lima puluh, ada yang kelihatannya bisa silat dan
ada yang nampaknya tidak mampu bersilat sama
sekali. Tetapi kalau orang yang sudah tersaring masuk
Pek-lian-hwe, teranglah mereka "punya sesuatu" yang
bakal menguntungkan Pek-lian-hwe. Mungkin di
antara para "kuda" itu ada seorang yang pandai
berdagang, atau punya kedudukan strategis di
pemerintahan, atau yang lainnya lagi.
Yang mencengangkan Kui Tek-lam adalah ketika
melihat di antara salah satu "kuda" itu ternyata
adalah... Lo Lam-hong. Ketika turun dari tandu dan
membuka tutup matanya dan melihat Kui Tek-lam, Lo
Lam-hong mengedipkan satu matanya.
Karena adanya peraturan tidak boleh bicara, Kui
Tek-lam hanya menyatakan rasa terima kasihnya
kepada sahabatnya itu hanya dengan sorot matanya.
Hatinya bertambah lega, setidak-tidaknya ia tidak
sendirian lagi di tengah-tengah sarang para pemuja
Dewa Api ini.
Seorang perajurit berwajah coreng-moreng
mengabsen para "kuda" yang sudah hadir. Semuanya
sepuluh orang dan sudah lengkap. Lalu ia memberi
isyarat agar pintu gerbang tempat masuknya para
"kuda" tadi ditutup dan dipalang dari dalam.49
Kini yang terbuka adalah pintu yang
diseberangnya. Muncul sepuluh orang berwajah
Fear Street Malam Mencekam Ii Silent A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama