Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P Bagian 2
coreng-moreng pula, namun tidak berseragam
prajurit dinasti Beng. Masing-masing membawa
nampan yang di atasnya ada seperangkat pakaian
terlipat.
"Para kuda mengenakan pakaian upacara!"
teriak si "perwira" berwajah kera Sun Go-kong.
Kui Tek-lam dan sembilan orang lainnya pun
mencopot pakaian mereka, bukan di tempat tertutup
melainkan di tengah-tengah halaman itu juga. Mula
mula Kui Tek-lam menyangka, cukup kalau pakaian
luarnya saja yang dicopot dan pakaian dalamnya tidak
usah. Ternyata peraturannya tidak begitu. Gertak Si
Perwira berwajah Sun Go-kong, "Harus telanjang bulat
dan mengenakan pakaian upacara! Kalian dianggap
mati dan hidup lagi hanya untuk mengabdi Ratu Langit
dan Dewa Ahusta!"
Keruan Kui Tek-lam dan beberapa orang "kuda"
yang terpelajar lainnya jadi kelihatan kikuk. Tetapi Lo
Lam-hong memberi contoh rekannya, tanpa ragu-ragu
mencopot seluruh pakaiannya dan cepat-cepat
mengenakan pakaian upacaranya.50
Kui Tek-lam pun dengan serba canggung dan
tergesa-gesa mengikuti jejak rekannya itu, saking
gugupnya sampai ia hampir terbalik mengenakan
celana upacaranya. Katanya dalam hati, "Untunglah ...
kami bersebelas semuanya sesama lelaki, jadi dapat
mengurangi rasa sungkan... tetapi... di antara prajurit
prajurit lenong itu, siapa tahu ada juga perempuan
nya? Dengan muka dicoreng-moreng begitu, lelaki
atau perempuan susah dibedakan."
Toh dengan gerak serba canggung, akhirnya Kui
Tek-lam berhasil mengenakan pakaian upacara itu,
selesainya berpakaian hampir bersamaan dengan
"kuda-kuda" lain. Pakaian upacara itu ternyata
hanyalah sepotong celana belacu putih yang
buatannya asal-asalan, seperti yang biasa dipakai
dalam keluarga yang sedang berkabung. Dan sehelai
baju yang dari belacu putih juga, namun dengan
pundak kanan serta lengan kanan terbuka. Ditambah
dengan kain merah untuk mengikat kepala, sepatu
jerami menggantikan sepatu-sepatu para "kuda".
Masih ada satu peraturan lagi, yaitu pipa celana
sebelah kiri harus digulung naik sampai ke lutut,
sehingga celananya jadi panjang pendek.
"Aneh-aneh saja." gerutu Kui Tek-lam dalam
hati.51
Si Perwira berwajah Sun Go-kong berteriak
pula, "Berbaris satu-satu, siap-siap memasuki Kota
Bunga Persik!"
Kota Bunga Persik adalah tempat tiga pahlawan
legendaris sejarah kuno, Lau Pi, Kuan Kong dan Thio
Hui mengangkat saudara. Sudah tentu sekarang di
Lam-koan ini yang dimaksud Kota Bunga Persik
hanyalah kiasan, mungkin ingin mengisyaratkan
betapa memasuki Pek-lian-hwe sebagai anggota sama
bobotnya dengan sumpah angkat saudara ketiga
tokoh sejarah itu.
Para "kuda" pun berbaris satu-satu. Kebetulan
Lo Lam-hong ada di belakang Kui Tek-lam, sehingga
sempat membisiki rekannya, "Ingat. Jangan gentar,
tetapi juga jangan memandang remeh. Lakukan
semuanya seolah-olah bersungguh-sungguh."
Untuk mengurangi ketegangannya, Kui Tek-lam
coba berkelakar. Ia menjawab dengan berbisik pula,
tanpa menoleh, "Terima kasih, Kuda Lo Lam-hong."
"Jangan main-main."
Matahari sudah miring dan tidak lagi di tengah
tengah langit, dengan demikian Kui Tek-lam mulai
dapat menentukan kiblat. Tadi ia masuk dari arah52
timur, dan sekarang ia akan memasuki "Kota Bunga
Persik" dari arah timur pula.
Pintu gerbang yang tertutup sejak tadi, kini
pintunya dipentang lebar. Si Perwira berwajah kera
sakti Sun Go-kong memimpin para "kuda" memasuki
pintu gerbang "Kota Bunga Persik" itu, dari dalam
"kota" terdengar suara gong dan tambur ditabuh
lambat-lambat, berusaha menimbulkan suasana
magis.
Di belakang pintu yang baru saja dibuka,
ternyata ada tembok tinggi yang berfungsi sebagai
sekesel, penghalang pandangan dari luar, tembok itu
dilukis indah dan didominasi gambar teratai putih dan
api yang menyala garang. Iring-iringan "kuda"
dipimpin membelok ke sebelah kanan agar tidak
menabrak tembok. Mereka melalui sebuah lorong
yang dindingnya berlukis seribu satu dewa, siluman
atau mahluk-mahluk gaib pujaan Pek-lian-kau, yang
semuanya tidak dikenal dalam legenda pribumi.
Mereka sampai ke depan sebuah meja besar, meja
pendaftaran. Petugas di belakang meja pendaftaran
itu berdandan seperti salah satu bintang setan,
dengan wajah tertutup topeng seram. Yang dimaksud
pendaftaran bukan dalam arti untuk memperkenalkan53
diri secara nyata, sebab hal itu sudah diketahui
sebelum para "kuda" itu mendaftar. Pendaftaran di
sini hanya bermakna simbolis. Pertanyaannya sudah
ditentukan dan jawabannya sudah ditentukan pula.
"Kuda" yang paling depan ditanya oleh petugas
pendaftaran, "Siapa kau?"
Si "kuda" menjawab dengan sikap khidmat,
"Aku tidak punya masa lalu, yatim-piatu, tak punya
orang tua, adik, kakak. Aku mohon kau menjadi
saudaraku."
"Kenapa?"
"Siapa memasuki Gerbang Merah, masa lalunya
terbakar habis api suci."
Orang itu pun diijinkan lewat dan memasuki
sebuah ruangan lain di sebelah meja pendaftaran.
Lalu "kuda" berikutnya dalam antrian itu
ditanyai pertanyaan yang sama dan menjawab hal
yang sama. Tidak peduli seseorang masih punya
keluarga belasan orang jumlahnya, dia tetap harus
menjawab seperti itu. Dia berubah jadi sebatang kara
begitu melewati "Gerbang Merah". Ini adalah
persiapan batin untuk menelan mentah-mentah dan
tunduk tanpa syarat kepada ajaran inti Pek-lian-kau,54
sanggup berkorban maupun mengorbankan orang
lain, biarpun keluarga dekatnya sendiri.
Kui Tek-lam yang antriannya agak di belakang,
diam-diam gusar juga mendengar tanya jawab macam
itu. Inilah penjungkir-balikan tradisi leluhur yang harus
memuliakan orang tua dan keluarga. Di sini malahan
keluarga dan orang tua dianggap sudah tidak ada
karena "hangus" oleh "api suci" segala. Namun Kui
Tek-lam tetap menahan diri. Dia pun siap
mengucapkan kata-kata yang sama, meski menolak
dalam hatinya.
Waktu tiba giliran Kui Tek-lam, dia pun ditanyai,
dan menjawab menurut aturan. Kui Tek-lam pikir tidak
apa-apa berbohong, pokoknya dia berhasil
menyelundup Pek-lian-hwe dan menghancurkan
organisasi ini dari dalam, begitu tekadnya.
"Toh cuma omongan." pikirnya.
Tak terduga, setelah la mengucapkan yang
dianggapnya "cuma omongan" itu, ia merasa ada
angin dingin yang meniup tengkuknya, hanya sedetik,
kemudian ada rasa tidak enak dalam hatinya. Entah
kenapa.
Setelah melewati meja pendaftaran. Kui Tek
lam bersama "kuda-kuda" terdahulu berada di sebuah55
ruangan tertutup, menunggu sampai yang lain juga
selesai melewati tahap pertama upacara penerimaan
anggota baru Itu. Selama itu, suara gong dan tambur
di luar masih terdengar terus tanpa berhenti.
Meski Nyo In-hwe sudah menceritakan garis
besar jalannya upacara kepada Kui Tek-lam, namun
ceritanya belum terperinci benar. Mungkin Nyo In
hwe sengaja menyembunyikan sedikit untuk menjadi
"kejutan" bagi Kui Tek-lam. Nyo In-hwe menyimpan
harapan agar upacara yang bersuasana magis dan
sedikit seram itu bakal menghapus kalau-kalau di
pikiran Kui Tek-lam ada pikiran untuk menyeleweng
atau mengkhianati Pek-lian-hwe.
Setelah semua "kuda" terkumpul di ruangan itu,
pintu berikutnya dibuka, dan Si Perwira berwajah Sun
Go-kong memberi petunjuk dengan lagu suara seperti
orang bersyair, "Jembatan golok menguji ketulusan
hati. Yang hatinya menyimpan ketidak-tulusan, akan
jatuh ke lautan golok dan terpotong jadi tiga puluh
enam bagian, terkutuk oleh Ratu Langit!"
Salah seorang "kuda" nampak memucat
wajahnya, agaknya mulai terpengaruh suasana. Di
dalam antrian, ia mendapat nomor tiga.56
Di belakang pintu berikutnya, ada sebuah
ruangan besar, tetapi seberapa besarnya sulit
diperkirakan. Sebab ruangan itu penuh kabut, asap
dupa dan suasananya remang-remang sekali, tidak
ada jendela yang memasukkan cahaya matahari. Di
seluruh ruangan itu bergema mantera bernada
rendah. Dan satu meter dari lantai ada kabut tebal,
sehingga orang-orang yang berjalan di lantai akan
kelihatan berjalan di atas mega.
Di dekat dinding kiri dan kanan, berderet orang
orang yang berdandan dan bertopeng bermacam
macam siluman dan dewa. Merekalah yang
menyuarakan mantera dari balik topeng mereka.
Yang agak menyeramkan, di sebelah kiri
nampak ada tiang gantungan tinggi dengan sesosok
tubuh tergantung-gantung di talinya. Kui Tek-lam tahu
kalau yang tergantung itu hanya orang-orangan
seukuran manusia sungguhan, yaitu boneka yang
didandani seperti seorang hwesio Siau-lim. Itulah
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lambang dari seorang pengkhianat.
Toh banyak "kuda" yang mulai terpengaruh
suasana.
Kui Tek-lam juga pernah mendengar dari
atasannya, Jenderal Wan Lui, dalam upacara-upacara57
seperti ini di utara, sering ada peserta upacara yang
benar-benar kesurupan oleh roh dewa atau siluman
yang diperankannya. Jadi misalnya orang yang
mengecat wajahnya menjadi wajah Sun Go-kong, atau
memakai topengnya atau dandanannya, tiba-tiba saja
bcrtingkah-laku seperti tokoh yang diperankannya dan
melakukan suatu perbuatan yang sehari-harinya tidak
mampu dilakukannya.
Tepat di hadapan para "kuda", ada tangga kayu
delapan belas tingkat yang nampak remang-remang
dalam kabut. Di atas tangga, kelihatannya seperti ada
jembatan sempit, hanya selebar telapak tangan yang
menjulur ke dalam kabut dan tidak kelihatan
ujungnya.
Orang di antrian terdepan mulai mendaki
tangga, lalu melewati tangga sempit itu. Orang kedua
juga.
Orang ke tiga yang sudah gugup dan panik sejak
semula, sangat ketakutan oleh kata-kata si "muka Sun
Go-kong" tentang "yang menyimpan ketidak-tulusan
akan jatuh ke lautan golok", tidak dapat menghindari
gilirannya. Dengan telapak tangan dingin dan basah
keringat, ia mulai menaiki tangga itu, dan mulai meniti58
jembatan sempit itu. Kabut begitu tebal sehingga tidak
kelihatan yang di depan maupun di bawah.
Karena hatinya goyah terus, ketenangan dan
keseimbangannya pun terganggu. Kakinya tergelincir
dan jatuh ke bawah, ke dalam kabut. Tidak panjang
teriakannya, pendek, saja, dan tidak terdengar apa
apa lagi. Tak ada "kuda" yang tahu apa yang
dialaminya di dalam kabut di bawah jembatan itu.59
Bersambung jilid III.6061
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi
file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk
mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan
dikompilasi menjadi file TextPDF.
Credit untuk :
? Gunawan A.J.
? Kolektor E-Books12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID 3
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang - Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid III
ORANG-ORANG yang berwajah coreng-moreng
di ruangan itu tidak menggubris, tetap saja meng
gumamkan mantera bernada rendah.
Satu persatu mereka meniti jembatan itu, dan
kalau mereka melihat ke bawah jembatan, maka
memang tidak kelihatan apa-apa. Entah apa yang ada
di dalam kabut itu.
Begitu pula Kui Tek-lam ketika tiba gilirannya.
Semula ia menyangka jatuhnya si nomor tiga tadi
karena kegugupannya sendiri. Tetapi setelah dia mulai
menapaki, dia memang mulai merasakan ada sesuatu
"yang lain" yang bersangkut-paut dengan jembatan
itu. Kata-kata si "muka Sun Go-kong" yang meng
hubungkan ketidak-tulusan dengan kutukan Ratu
Langit itu agaknya ada alasannya. Tiba di tengah
tengah jembatan, tiba-tiba Kui Tek-lam merasa
tengkuknya dingin, perasaan tidak enak di meja
pendaftaran tadi tiba-tiba kambuh. Bahkan tiba-tiba
dalam pikirannya seperti ada yang menuduh, "Kau6
pasti jatuh. Kau menyimpan niat tidak jujur ketika
bergabung di sini, kau hendak menyelidiki Pek-lian
hwe dan menghancurkannya dari dalam. Kau tidak
jujur, kau dikutuk Ratu Langit!"
Kui Tek-lam nekad melangkah terus, tetapi
karena pikirannya kacau, ia hampir tergelincir.
Terpaksa Kui Tek-lam berhenti dulu, mengambil waktu
untuk memantapkan pikirannya dan membantah
ketakutannya sendiri. "Omongan orang-orang Pek
lian-hwe ini omong kosong semuanya! Tidak ada
kutukan, tidak ada Ratu Langit, dan aku akan sampai
ke seberang dengan selamat."
Toh pikiran yang menakutkan itu tidak segera hilang,
sehingga Kui Tek-lam bisa dibilang melangkah dengan
mendua hati, dengan perang hebat dalam pikirannya
sendiri.
Lo Lam-hong melihat langkah tertatih-tatih rekannya
itu dengan heran. Ia kenal siapa Kui Tek-lam.
Seandainya dia disuruh meniti tali sebesar jari tangan
pun, dia bisa melakukannya dengan berlari sambil
tertawa-tawa tanpa jatuh. Tetapi yang dilihat Lo Lam
hong saat itu sungguh mengherankan. Rekannya itu
melangkah serba ragu, setapak demi setapak, dan
sering berhenti cukup lama untuk memulihkan7
konsetrasi. Seperti ada yang mengganggu dalam
dirinya sendiri. Apa terlalu tegang karena terpengaruh
suasana buatan di upacara itu? Tanya Lo Lam-hong
dalam hati. Rasanya kurang masuk akal, sebab Kui Tek
lam bernyali kelewat besar sehingga sering membuat
cemas teman-temannya sendiri. Atau Kui Tek-lam
sengaja berpura-pura untuk menyembunyikan ilmu
silatnya yang tinggi? Kalau yang ini agak bisa diterima
akal, demikian Lo Lam-hong menimbang-nimbang
dalam hatinya.
Kemudian waktu tiba giliran Lo Lam-hong,
ternyata dia pun mengalami apa yang dialami Kui Tek
lam. Seolah "ada sesuatu" yang ingin membuyarkan
konsentrasinya dan "mengirimnya ke "sungai golok" di
bawah jembatan.
Lo Lam-hong sampai juga ke seberang, dan
bertukar pandangan tanpa kata dengan Kui Tek-lam.
Sama-sama saling memperingatkan bahwa upacara
penerimaan anggota baru yang kelihatan sepele itu,
bisa jadi tidak sepele, karena ada sesuatu yang gaib
ikut campur di situ. Bagaimanapun Pek-lian-hwe di
selatan ini dianggap sudah "duniawi" dibanding Pek
lian-kau di utara yang masih kental suasana gaibnya,
namun yang "sudah duniawi" ini tetap memiliki
sesuatu yang patut diperhitungkan.8
Ujian "jembatan golok" ternyata mengubah dua
"kuda" menjadi "bangkai kuda".
Lalu si "perwira muka Sun Go-kong" yang dalam
upacara seperti itu biasa disebut Sian-hong (penunjuk
jalan), memimpin para "kuda" ke tahap selanjutnya.
Tidak semua tahap berwujud ujian fisik.
Misalnya, setelah "sungai golok" maka calon-calon
anggota baru dihadapkan "Pintu Merah" yang dijaga
dua orang yang bertopeng dan berdandan seperti
siluman dalam dongeng, yang dipanggil "dua panglima
langit" oleh peserta-peserta upacara. Di tempat ini,
para calon anggota baru satu-persatu hanya disuruh
mengucapkan sumpah "sedia berkorban dan
mengorbankan". Kelihatannya ringan, tetapi Kui Tek
lam melihat seorang calon anggota tiba-tiba jatuh ke
lantai dan kesurupan.
"Tekadnya tidak teguh, tidak berguna!" dengus
salah seorang "panglima langit" mengomentari si
kesurupan itu. "Bawa pergi!"
Dua "prajurit siluman" menggotongnya pergi
dan entah bagaimana nasibnya.
Waktu giliran Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong
mengucapkan sumpah, mereka merasa ada udara
yang padat di sekitar kepala mereka, menekan pikiran9
mereka. Patah kata demi patah kata yang mereka
ucapkan terasa begitu berat, sampai mereka
berkeringat. Bahwa mereka tidak pingsan seperti
orang tadi, hanya karena kekerasan hati mereka.
Calon yang tadinya berjumlah sepuluh,
sekarang tinggal tujuh. Dua gugur di sungai golok, satu
mendadak gila di "pintu merah" tadi.
Berikutnya mereka dibawa ke pintu Belas
Kasihan, dan setelah melewati ini mereka tidak lagi
disebut "kuda" melainkan "kesatria-kesatria berbudi".
Ini membangkitkan semangat para calon. Diam-diam
Kui Tek-lam membatin, "Orang-orang ini dipermain
kan perasaannya, sebentar ditakut-takuti, sebentar
dipuji, kalau terus-terusan akan mudah dikendalikan
pikiran mereka."
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan Kui Tek-lam sendiri merasa, kalau ia ikut
upacara macam ini dua atau tiga kali lagi, bisa-bisa
semangat Pek-lian-hwe yang ditentangnya itu akan
merasuk ke dalam jiwanya.
Habis Pintu Belas Kasihan, menyusul Lingkaran
Langit Bumi, lagi-lagi para calon anggota baru "hanya"
disuruh mengucap sumpah berat. Lagi-lagi Kui Tek-lam
dan Lo Lam-hong mengalami perjuangan berat dalam
diri sendiri. Bagi orang lain yang tanpa perlawanan10
"melarutkan diri" ke alam pikiran Pek-lian-hwe
dengan mengkesampingkan pikirannya sendiri,
memang ringan saja mengucapkan sumpah itu. Lain
dengan Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong yang kuatir
kalau pikiran mereka sendiri bakal hilang, seperti dua
butir gula yang dicemplungkan ke air panas. Larut.
Suatu kesadaran mulai masuk dalam benak
mereka. Melawan Pek-lian-hwe ternyata tidak sama
dengan musuh-musuh biasa, melainkan melawan
musuh yang pintar menyusupkan musuh tak terlihat
ke dalam pikiran. Inilah suatu perlawanan yang
"medan tempur"nya akan lebih banyak di dalam
pikiran sendiri.
Lalu berikutnya lagi adalah terowongan api.
Beberapa "kesatria berbudi" (bukan lagi "kuda")
menerobos terowongan api itu sambil meneriakkan
pujian dan permohonan perlindungan kepada Ratu
Langit dan Dewa Api, dan mereka pun lolos dengan
ringan seolah-olah tidak merasakan panas sama
sekali. Padahal mereka nampaknya berilmu silat kelas
kambing atau bahkan tidak kenal ilmu silat sama
sekali.
Giliran Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong, dua
prajurit istana yang terpilih dari yang pilihan-pilihan,11
terowongan api itu hampir-hampir tak berhasil
mereka lewati. Sebagian rambut mereka menjadi
keriting kena panas, Lo Lam-hong bahkan kehilangan
satu alisnya sehingga dia jadi manusia satu alis.
Setelah beberapa tahapan upacara, ada yang
berat secara fisik, ada yang berat secara mental buat
Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong yang secara sadar
bertahan terhadap kepercayaan-kepercayaan Pek
lian-hwe yang hendak dijejalkan ke pikiran mereka,
puncaknya adalah mengucapkan sumpah yang terdiri
dari tiga puluh enam butir di altar Bunga Merah.
Disusul sama-sama minum arak berdarah. Lalu para
anggota baru diberi selamat oleh anggota-anggota
lama dan dipanggil "saudara". Mereka menanggalkan
pakaian upacara dan mengenakan pakaian semula,
lalu diantar pulang. Pulangnya tetap dengan tandu,
dengan mata tertutup dan tentu saja "putar-putar
kota" lebih dulu. Ternyata biarpun mereka sudah
"menjadi saudara", tempat upacara itu tetap
merupakan tempat rahasia yang belum boleh
diketahui letaknya. Kaum Pek-lian-hwe bersikap
kelewat hati-hati terhadap kaum "semilir angin" alias
agen-agen pemerintah.
Di dalam tandunya yang digotong, dengan mata
tertutup kain hitam, Kui Tek-lam duduk dalam12
keadaan lelah mental, bukan lelah fisik. Lelah mental
karena harus bersusah-payah untuk tidak mem
percayai kata-katanya sendiri ketika mulut itu
mengucapkan serangkaian sumpah dalam upacara
tadi. Sumpah yang dibarengi kutukan terhadap diri
sendiri atas nama Ratu Langit dan Dewa Api Ahusta.
"Omong kosong dengan segala Ratu Langit,
Dewa Api Ahusta dan entah tahayul apa lagi..." itu
yang selalu diserukan Kui Tek-lam dalam hatinya.
"Orang yang jatuh ke sungai golok tadi pastilah hanya
karena kurang konsentrasi, terpengaruh oleh kata
kata Si Perwira muka monyet. Orang yang kesurupan
tadi mungkin bukan kesurupan benar-benar, mungkin
dia punya penyakit ayan yang memang tidak tahan
terhadap ketegangan yang mencekam...."
Agak sulit juga mencarikan penjelasan kenapa
orang-orang lain dengan mudah melewati
terowongan api sambil menyerukan nama Ratu Langit
dan Dewa Ahusta, sedang kenapa dirinya sendiri dan
Lo Lam-hong hanpir-hampir terbakar?
"Pasti ada penjelasannya, meskipun belum
kutemukan sekarang..." demikian Kui Tek-lam yang
sudah dilatih untuk hanya mempercayai otaknya itu
tidak mau menyerah akan peristiwa ganjil tadi. Tetapi13
dalam hati, dia pun mengakui, "Benar-benar berhasil
bangsat-bangsat Pek-lian-hwe itu membuat suasana
seolah-olah ada mahluk-mahluk gaib hadir di tempat
upacara. Seandainya aku ikut upacara sinting itu dua
tiga kali lagi, barangkali aku akan benar-benar menjadi
pengikut fanatik kepercayaan gila mereka, sampai
mati."
***
Sekarang Kui Tek-lam harus mempersiapkan
jawaban yang meyakinkan, sebab pihak Pek-lian-hwe,
entah melalui siapa, tentu akan segera menanyakan di
mana disembunyikannya "lima ribu pucuk senjata api"
yang cuma bohong-bohongan itu. Tempat menyem
bunyikan itulah yang dulu belum ditanyakan Nyo In
hwe.
Kui Tek-lam masih diam di rumah besar Nyo In
hwe, tetapi selama beberapa hari dia tidak melihat
Nyo In-hwe. Entah di mana. Dan keluarganya kelihatan
tenang-tenang saja, agaknya sudah terbiasa ditinggal
kan sampai berhari-hari. Selama ini Kui Tek-lam
diperlakukan baik dan akrab oleh keluarga Nyo. Kedua
anak Nyo In-hwe juga senang bermain-main dengan
"Paman Kui" ini, agaknya selama ini mereka kurang14
diperhatikan oleh ayah mereka sendiri dan kini
mereka senang diperhatikan oleh "Paman Kui" ini.
Bergaul dengan anak-anak yang polos dan
mempercayainya ini, sekali-sekali Kui Tek-lam tergoda
juga untuk coba-coba mengorek keterangan dari
mulut anak-anak ini tentang kegiatan rahasia ayah
mereka. Namun setiap kali mulut Kui Tek-lam batal
mengucapkannya. Biarpun sebagai seorang petugas
rahasia ia sudah dilatih untuk tega menggunakan cara
apa saja demi mendapatkan secuwil keterangan,
namun sebagai manusia biasa, ia tidak sampai hati
melihat kejujuran yang terpencar di mata anak-anak
itu. Tidak sampai hati mengkhianati kepercayaan
anak-anak itu kepadanya.
Jadi kalau Kui Tek-lam tidak bertanya apapun
kepada anak-anak itu, bukan karena hampir setiap
waktu di samping anak-anak itu ada seorang wanita
pengasuh setengah baya yang berwajah seram dan
selalu berpakaian serba hitam. Melainkan karena Kui
Tek-lam benar-benar tidak tega mengikut-sertakan
anak-anak itu dalam "urusan kotor" orang-orang
dewasa.
Suatu sore, ketika Kui Tek-lam sedang bermain
bola rotan dengan kedua anak Nyo In-hwe di halaman15
samping rumah Nyo In-hwe yang luas, tiba-tiba dari
balik tembok halaman terdengar suara ketokan
bambu Si Tukang Pangsit. Kui Tek-lam tidak segera
terburu-buru menghentikan permainan bola, lalu
menemui Si Tukang Pangsit yang adalah rekannya,
sesama petugas rahasia. Ia tidak lakukan itu, sebab Si
Pengasuh anak-anak yang bermuka seram itu selalu
mengawasi. Kui Tek-lam yakin, bukan hanya meng
awasi anak-anak Nyo In-hwe tetapi mungkin juga
diberi tugas mengawasi dirinya.
"Mungkin inilah salah satu Pa-siau jin (dukun
santet, arti harfiahnya sendiri adalah "pemukul rakyat
kecil") dari kaum Teratai Putih yang terkenal." pikir Kui
Tek-lam.
Karena itulah Kui Tek-lam pura-pura tidak
terpengaruh suara ketukan bambu si Tukang Pangsit,
melainkan terus bermain bola dengan asyik. Hanya
saja, suatu kali Kui Tek-lam pura-pura menendang
bola rotan itu terlalu keras sehingga melewati dinding
halaman dan jatuh di luar.
"Aduh, Paman!" keluh anak Nyo In-hwe yang
tua. Gadis cilik berusia lima belas tahun yang bernama
Nyo Lian-in. Biasa dipanggil A-lian saja.16
Kui Tek-lam tertawa dan berkata, "Biar Paman
ambil."
Lalu dia pun melompati dinding halaman
setinggi dua meter itu, disorak-kagumi oleh kedua
anak Nyo In-hwe itu. Namun Si Pengasuh setengah tua
berwajah tetap dingin saja.
Kui Tek-lam sampai di luar dinding, mengambil
bola rotan itu, sambil melangkah mendekati Si Tukang
Pangsit pikulan yang kebetulan sedang sepi pembeli.
Sambil tetap mengetok-ngetok bambunya, tukang
pangsit itu berdesis, "Nanti malam di kuburan Portugis
sebelah timur-laut kota."
Kui Tek-lam hanya mengangguk, lalu melompati
dinding kembali ke dalam, sambil membawa bola
rotannya. Ternyata memang hanya sependek itulah
percakapan mereka. Si Tukang Pangsit pun setelah
menyampaikan pesannya, masih di situ sebentar,
kemudian pergi bersama-sama pikulan pangsitnya,
dan suaranya yang parau menawarkan dagangannya.
Sementara di halaman samping rumah besar
Nyo In-hwe, permainan bola rotan masih berlangsung.
Sampai seorang pengasuh lainnya memperingatkan
kedua puteri Nyo In-hwe agar segera mandi, sebab
sebentar lagi guru bahasa Latin dari Makao akan tiba.17
Mereka benar-benar sudah terpengaruh sedikit cara
cara hidup orang Barat yang banyak berdiam di Makao
dan Kanton.
Tetapi buat Kui Tek-lam, yang penting adalah
menyiapkan diri untuk hadir di kuburan Portugis
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti yang dipesankan Si Tukang Pangsit itu. Sesaat
Kui Tek-lam berpikir, akan keluar secara terang
terangan, atau menyelundup diam-diam? Setelah
berpikir masak-masak, Kui Tek-lam memutuskan
untuk terang-terangan minta ijin "jalan-jalan cari
angin" daripada menyelundup diam-diam dengan
resiko terlihat oleh mata musuh. Kalau bukan mata
biasa ya "mata gaib". Entah kenapa Kui Tek-lam tiba
tiba mempercayai hal yang berbau tahyul demikian,
yang dulunya ia tertawakan. Namun ia teringat kata
kata peringatan Lo Lam-hong, ditambah pengalaman
nya sendiri ketika mengikuti upacara penerimaan
anggota baru, ia memutuskan tidak ada jeleknya
bersikap hati-hati.
Malam itu, Kui Tek-lam ikut dalam jamuan
makan menghormat Si Guru Portugis. Meski Nyo In
hwe sedang tidak di rumah, isteri Nyo In-hwe
bertindak sebagai nyonya rumah mewakili suaminya.18
Dalam kesempatan itu, Kui Tek-lam dengan halus juga
menyatakan keinginannya untuk "berjalan-jalan di
seputar kota". Nyonya Nyo ternyata dengan bijaksana
mengijinkannya, karena tahu kalau teman suaminya
ini tentu tidak akan betah terus-terusan berkurung
dalam rumah.
Begitulah, usai jamuan makan, Kui Tek-lam pun
keluar dari rumah besar itu. Untuk menghindari
kemungkinan ia dibuntuti orang, ia tidak langsung ke
tempat yang dituju, melainkan sengaja putar-kayun
dulu. Dulu beberapa tempat seperti persimpangan
jalan atau tempat-tempat gelap, ia sering mengecek
apakah dirinya dibuntuti atau tidak. Kalau di tempat
gelap yang sepi, gampang saja ia pura-pura minggir
dan kencing di tepi jalan, sekaligus matanya menyapu
keadaan sekitarnya.
Akhirnya ia yakin dirinya tidak dibuntuti.
"Entah kalau orang Pek-lian-hwe menyuruh
mahluk gaib untuk membuntuti aku tanpa kelihatan."
pikir Kui Tek-lam. "Ah, tidak, kenapa aku jadi begini
ketakutan dan berpikir yang bukan-bukan? Aku tidak
merasa apa-apa, tengkukku tidak merinding."
Maka langkah Kui Tek-lam pun tertuju ke
tempat yang diberitahu oleh Si Tukang Pangsit tadi.19
Kuburan orang-orang Portugis di sebelah timur-laut
kota Lam-koan.
Kuburan itu terletak di kaki bukit, dengan pagar
besi di sekitarnya. Pintu gerbangnya sudah hilang
daun pintunya, di atasnya tertulis beberapa huruf latin
yang tidak terbaca lagi. Di tengah-tengah kuburan ada
sebuah kapel kecil setengah ambruk yang salibnya
sudah miring dan setengah somplak. Nisan-nisan
kuburan juga sudah banyak yang rusak, agaknya
kuburan itu sudah agak lama tidak dipelihara. Tetapi
tempat yang gelap dan sepi itu adalah tempat yang
cocok untuk pertemuan antara Kui Tek-lam dan
kawan-kawannya.
Di pintu gerbang, Kui Tek-lam bertemu dengan
petugas rahasia kerajaan yang di rumah judi Ban-kong
dulu pernah terlibat perkelahian pura-pura dengan
nya. Tetapi sekarang keduanya berjabat tangan dan
saling menyapa dengan akrab.
"Mana kawan-kawan kita?" tanya Kui Tek-lam.
Orang itu menunjuk ke tengah-tengah lautan
batu nisan. "Di sana. Masuk saja ke sana."
"Kau ditugaskan mengawasi di sini?"
"Ya."20
"Eh, di rumah judi Ban-kong dulu apakah aku
memukulmu terlalu keras, maaf...."
Yang ditanyai tertawa.
"Memang agak keterlaluan. Tetapi bisa
diperhitungkan kelak. Sekarang temui dulu Kakak Oh
dan teman-teman kita lainnya, mereka sudah
menunggu."
Kui Tek-lam melangkah di antara nisan-nisan
rusak kuburan yang cukup luas itu.
Tiga orang sudah menunggunya, duduk di
dalam kegelapan tanpa menyalakan setitik api pun.
Mereka adalah Oh Tong-peng, si lelaki setengah baya
bertubuh tegap. Yang lainnya adalah Lo Lam-hong dan
Si Tukang Pangsit yang namanya adalah Pang Hui
beng. Satu lagi yang mengikuti Oh Tong-peng, tidak
ikut duduk di situ sebab ditugasi untuk mengawasi di
sebelah lain dari areal kuburan Itu dan memberi
isyarat kalau ada apa-apa, selain yang berjaga di pintu
gerbang dan ditemui Kui Tek-lam tadi.
Memang regu yang ditugaskan Jenderal Wan
Lui untuk menemukan dan menghancurkan gudang
senjata api Pek-lian-hwe yang hanya terdiri dari enam
orang inilah. Hanya enam orang, tetapi pilihan dari
pilihan semuanya. Mereka berangkat dari Pak-khia21
tidak bersama-sama, menurut jalannya masing
masing dan dalam kedok samarannya masing-masing.
Harusnya bukan enam, melainkan tujuh. Waktu
mereka hendak berangkat dari Pak-khia, Jenderal Wan
Lui memberi pertimbangan kepada regu kecil ini untuk
mengikut-sertakan Liu Yok, saudara sepupu isteri
Jenderal Wan Lui, yang berdiam di rumah keluarga
Sebun Beng di Lok-yang. Jenderal Wan hanya
mengusulkan, bukan memerintahkan. Kui Tek-lam
yang ditugaskan oleh teman-temannya untuk mampir
ke Lok-yang dan melihat "seperti apa orang yang
namanya Liu Yok" yang kalau menurut Jenderal Wan,
katanya Liu Yok adalah orang yang "sambil tidur pulas
saja sanggup menghancurkan ilmu-ilmu gaib Pek-lian
kauw" (Baca "Sekte Teratai Putih"). Kui Tek-lam pun
mampir ke Lok-yang, dan setelah bertemu Liu Yok dia
pun kecewa sekali. Ternyata Liu Yok "cuma" seorang
yang hatinya kelewat baik, dan selebihnya tidak ada
keistimewaan lain, bahkan mempunyai beberapa
"kekurangan" di mata Kui Tek-lam. Liu Yok tidak bisa
berkelahi, memilih untuk dipukul babak-belur
daripada balas menyakiti orang lain, sejurus ilmu silat
pun dia tidak mau belajar, bahkan memandang ilmu
silat dengan jijik. Yang lainnya, adalah "kelemahan"
bahwa Liu Yok tidak bisa bohong. Dalam tugas rahasia
menumpas Pek-lian-hwe itu, kebohongan jelaslah22
suatu "keperluan" mutlak, bagaimana mungkin dalam
anggota regu ada yang tidak bisa bohong sama sekali?
"Celaka"nya, Liu Yok ini sulit "disadarkan" dan bahkan
menganggap kelemahan"nya itu sebagai kekuatan.
"Makin aku lemah, makin sempurna aku
menjadi saluran kekuatan-Nya." demikian yang
pernah diucapkannya kepada Kui Tek-lam, dan
membuat Kui Tek-lam geleng-geleng kepala. Akhirnya
Kui Tek-lam memutuskan untuk tidak mengajak Liu
Yok, daripada "merepotkan". Dalam urusan Liu Yok ini,
toh Jenderal Wan juga hanya mengusulkan, bukan
memerintahkan. Demikianlah, petugas-petugas
kerajaan yang ditugaskan di Lam-koan itu jadinya
hanya enam orang.
Sejak berangkat dari ibu kota Pak-khia, baru sekali
inilah mereka berenam berkumpul komplit tanpa
kedok samaran masing-masing, meskipun yang dua
tidak ikut ngobroi karena harus mengamat-amati
keadaan di sekitar tempat pertemuan.
Begitulah, dengan duduk-duduk di kegelapan,
berkumpullah Oh Tong-peng si lelaki setengah baya
yang menjadi pimpinan dari operasi rahasia itu, Lo
Lam-hong yang menyamar sebagai tukang perahu di23
dermaga Lam-koan, Pang Hui-beng si tukang pangsit
gadungan dan Kui Tek-lam sendiri.
Beberapa saat mereka saling menanyakan
keadaan, saling berkelakar, untuk mengendorkan
urat-syaraf. Maklum, tugas dalam penyamaran adalah
tugas menegangkan, menyelundup masuk di tengah
tengah musuh.
Pada kesempatan itu, barulah Kui Tek-lam
menyampaikan terima kasihnya kepada Lo Lam-hong,
"Saudara Lo, terima kasih kau ikut menyelundup
masuk sebagai anggota baru Pek-lian-hwe. Jadi aku
tidak sendirian di dalam."
"Kakak Oh yang memerintah aku..." sahut Lo
Lam-hong sambil menunjuk Oh Tong-peng.
Kui Tek-lam memberi hormat kepada Oh Tong
peng, dan Oh Tong-peng cuma mengibaskan tangan
nya sambil berkata, "Sudahlah, sekarang aku ingin
mendengar laporan Kui Tek-lam dan Lo lam-hong
tentang jalannya upacara itu."
Bergantian mereka berdua menceritakannya. Dan
cerita mereka agak mengecewakan Oh Tong-peng,
"Sudah, cuma begitu saja?"24
"Ya cuma begitu itu..." sahut Lo Lam-hong.
"Kakak Oh kira, kami sebagai anggota-anggota baru
akan langsung diberitahu segala rahasia organisasi
mereka? Bahkan wajah-wajah yang bisa kami lihat pun
hanya wajah sesama calon anggota baru. Selebihnya
adalah wajah yang bercoreng-moreng cat merah
hitam putih dan tertutup topeng."
"Kalau suasananya, bagaimana?"
Kui Tek-lam lah yang menjawab sekarang,
"Kalau soal suasana dalam upacara itu, aku jujur saja
harus mengacungkan jempol kepada perancang
suasananya. Mereka berhasil membentuk suasana
sedemikian rupa, sehingga orang-orang baru
cenderung percaya bahwa di tempat itu benar-benar
hadir segala mahluk gaib yang mereka percayai
sebagai ratu langit, dewa api, panglima-panglima
angkasa, tentara langit dan entah apalagi. Usai
upacara itu, aku sampai harus berjuang keras untuk
meluruskan pikiranku kembali, bahwa segala macam
Ratu Langit itu adalah omong kosong yang tidak masuk
akal. Aku hampir-hampir percaya segala sumpah yang
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuucapkan sendiri waktu upacara itu."
Lo Lam-hong mengangguk-angguk membenar
kan pendapat temannya itu, dan menambahkan, "Ya.25
Kalau kami ikut upacara semacam itu dua atau tiga kali
lagi, kami bakal menjadi orang Pek-lian-hwe luar
dalam. Dalam cara berpikir dan keyakinan juga."
Dalam hati Oh Tong-peng mengomentari,
"Itulah caranya kaum Teratai Putih mencetak
pengikut-pengikut fanatik. Suatu cara mengendalikan
pikiran pengikut-pengikutnya."
Oh Tong-peng pernah mendengar cerita Jenderal Wan
Lui tentang beberapa jenis ilmu gaib Pek-lian-hwe di
utara untuk mengendalikan pikiran pengikut
pengikutnya. Pek-lian-hwe yang di selatan ini, agaknya
juga punya cara, meskipun sedikit berbeda.
Meski demikian, Oh Tong-peng tidak mau melemah
kan hati Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong. Katanya,
"Mereka berusaha mengendalikan pikiran kalian lewat
dongeng-dongeng yang berkaitan dengan kepercaya
an mereka. Hati-hatilah kalian, kalian harus tetap
teguh hati dan menjaga akal-sehat kalian baik-baik.
Waktu menerobos terowongan api maupun
menyeberangi sungai golok, nyatanya biar kalian tidak
percaya perlindungan Ratu Langit, toh kalian lolos
juga."
"Benar, Kakak Oh. Cuma untuk menjaga akal
sehat itulah yang berat, karena melihat hal-hal ganjil26
di depan mata." sahut Lo Lam-hong sambil mengusap
usap alisnya yang terbakar ketika melewati
terowongan api.
Oh Tong-peng mengangguk-angguk, "Memang.
Kalau tidak ada hal-hal ganjil bukan Pek-lian-hwe
namanya. Tetapi yang perlu kalian pegang teguh
dalam hati adalah, kalau pribadi kalian kuat, ilmu-ilmu
gaib akan berkurang dayanya terhadap kalian, bahkan
kehilangan daya sama sekali. Jadi menjaga keteguhan
hati, itulah yang penting."
"Baik, Kakak Oh."
"Sebagai anggota-anggota baru, kalian
mendapat kedudukan sebagai apa?"
"Belum ditentukan. Mungkin dalam beberapa
hari ini akan ada operasi ke luar, untuk menentukan
kedudukan."
Oh Tong-peng menarik napas, sudah tentu ia
belum bisa menanyakan di mana pihak Pek-lian-hwe
menyimpan senjata-senjata apinya. Masih jadi
"anggota tanpa kedudukan", kedudukan yang paling
rendah pun belum didapat, sudah tentu belum tahu
apa-apa yang penting.
"Kalian kenali tempat upacara itu?"27
"Kalau kami masuk ke dalamnya kembali,
barangkali kami masih bisa mengenali bentuknya,
biarpun dekorasi untuk upacara sudah dibersihkan."
"Maksudku, letak tempat itu."
Kui Tek-lam menjawab, "Kami datang dengan tandu
tertutup. Mata ditutup kain hitam, kepala dikerudungi
kain hitam, sebelum tiba di tempat upacara diputar
putarkan dulu ke segala arah dengan sekian puluh
belokan, bahkan hanya sekedar berbalik-balik,
sehingga aku benar-benar kehilangan kiblat."
"Kalau kau?" sekarang Lo Lam-hong yang
ditanya Oh Tong-peng.
Lo Lam-hong menjawab. "Aku mengalami hal yang
sama. Tetapi aku sudah menduga hal itu sebelumnya,
sebab aku mohon Saudara Pang untuk membuntuti
tandu yang mengangkutku. Tanyalah Saudara Pang."
Si tukang pangsit Pang hui-beng menarik napas,
nampak kurang bersemangat dengan laporannya,
"Aku akan melaporkan, sebisa-bisa tetap mengguna
kan akal sehatku. Tetapi kalau ada yang tak dapat
dicerna akal sehat, ya namanya saja kita memang
sedang berurusan dengan kaum Teratai Putih...."28
"Kata pembukaan"nya saja sudah membayang
kan adanya pertentangan dalam diri Pang Hui-beng,
pertentangan antara akal sehatnya sendiri dengan
kenyataan yang dialaminya.
Lo Lam-hong tertawa geli, "Jangan kuatir, kami
takkan menganggapmu sinting, sebagaimana kami
sendiri pun tidak ingin dianggap sinting waktu
menceritakan pengalaman kami dengan orang-orang
Pek-lian-hwe."
"Ceritakan saja." perintah Oh Tong-peng.
"Baik, Kakak Oh. Sehari sebelum hari upacara
itu, aku diberitahu Kakak Lo bahwa dia akan dijemput
dengan tandu ke tempat upacara, Kakak Lo juga sudah
memperhitungkan kalau dia akan ditutup matanya
sehingga tidak tahu tempatnya. Esoknya aku bersiap
di sekitar rumah sewaan Kakak Lo, dan melihat Kakak
Lo dibawa. Aku ikuti terus, tandu itu di bawa ke kota
atas."
"Kalau begitu, tempat upacarra itu ada di Kota
Atas. Terus?"
"Ternyata tandu itu sengaja dibawa berputar
putar, kadang-kadang toh hanya berputar-balik ke
tempat yang sama atau sekedar bolak-balik dua tiga
kali di rongo yang sama."29
"Cocok!" Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong
menanggapi serempak.
"Tiba di suatu lorong, aku masih membuntuti
terus. Pikulan pangsitku tidak kubawa, aku kuatir
kalau di tengah jalan ada orang menghentikanku
untuk beli pangsit, tentu langkahku akan tertahan dan
kehilangan jejak."
Ketiga orang lainnya tertawa mendengar itu.
"...tiba di sebuah lorong, tiba-tiba saja ada angin
dingin dan kabut tebal yang menutupi lorong itu,
sehingga aku tidak dapat maju selangkah pun karena
tertahan oleh angin yang amat keras dari depan."
"Ini kan belum musimnya?" Kui Tek-lam heran.
Tetapi demi teringat duduk persoalannya, dia pun
meralat sendiri erkataannya, "O ya, aku lupa, kita
berhadapan dengan Pek-lian-hwe. Nah, teruskan,
Saudara Pang."
"Ganjilnya, kalau aku tertahan oleh angin yang
begitu keras dan dinginnya menembus tulang, tukang
tukang tandu itu enak saja berjalan terus dan
menembus kabut, sampai hilang dari penglihatan.
Mulut mereka berkomat-kamit membaca mantera."30
"Itu pekerjaan sehari-hari orang-orang Teratai
Putih. Terus?"
"Terus aku kehilangan jejak. Itu saja."
"Lho, kehilangan jejak ya kehilangan jejak,
tetapi kan ada penjelasannya?"
"Penjelasannya pun singkat. Aku tidak bisa
menembus kabut dan angin itu, bahkan darah di
tubuhku hampir beku rasanya, dan aku pun pergi
sebelum benar-benar berubah jadi manusia es."
"Tidak kauteliti lagi tempat itu sehari sesudah
peristiwa itu?"
"Tentu saja. Bukan hanya sehari, tetapi tiga hari
berturut-turut aku datangi lagi tempat itu, dan tidak
kutemukan apa-apa. Rumah-rumah di sekitar situ juga
aku jenguk diam-diam di malam hari, ternyata
semuanya adalah keluarga baik-baik. Tidak ada yang
mencurigakan, Tidak ada tanda-tanda sangkut-paut
dengan Pek-lian-hwe."
Lo Lam-hong coba membantu, "Rumah yang
dipakai upacara itu berbentuk empat persegi, luas,
ada pintu gerbang yang menghadap timur, temboknya
tinggi"31
"...dan ada dua buah pohon cemara menjulang
di pojok timur..." Kui Tek-lam menambahkan.
"Baiklah, keterangan tambahan kalian mudah
mudahan bisa membantu. Aku akan menyelidikinya
lagi. Kalau gagal, aku malu disebut 'pencari jejak
terbaik' lagi."
Memang di antara rekan-rekannya itu, Pang
Hui-beng disebut sebagai "pencari jejak terbaik".
Tetapi kali ini Si Pencari Jejak Terbaik ini agaknya
mengalami sesuatu yang memukul reputasinya.
Oh Tong-peng pun menarik napas. Pertemuan
malam ini ia memperoleh keterangan yang terlalu
sedikit, masih jauh dari sasaran. Tetapi dia tidak mau
mengecilkan semangat anak buahnya dengan
menyalah-nyalahkan mereka. Katanya, "Kita berpisah
sekarang, pesanku hanyalah, tetap bekerja dengan
hati-hati. Kalau ada apa-apa, hubungi aku melalui Hui
beng. Aku pun akan menghubungi kalian melalui dia,
kalau perlu."
Mereka pun bubar.
***
Pagi harinya, ketika Kui Tek-lam bangun,
ternyata Nyo In-hwe sudah ada di rumahnya. Entah32
kapan datangnya, tetapi Kui Tek-lam mengharap
mudah-mudahan Nyo In-hwe tidak curiga.
Ketika berada di meja makan, ternyata wajah
Nyo In-hwe kelihatan tetap ramah. Tanyanya kepada
Kui Tek-lam, "Bagaimana dengan upacaranya, Saudara
Kui?"
Kui Tek-lam yakin Nyo In-hwe tentu hadir pula
dalam upacara itu, di balik topengnya. Kui Tek-lam
menjawabnya sambil tertawa, "Mengesankan, dan
sedikit menakutkan."
"Apanya yang menakutkan?"
"Perpaduan dari segala-galanya berhasil
menimbulkan suasana yang mencekam."
Yang ada di seputar meja makan itu selain Nyo
In-hwe dan keluarganya, juga Kui Tek-lam dan Si orang
Portugis guru bahasa Latin yang semalam menginap di
situ, sebagaimana biasanya, karena sudah kemalaman
untuk mencari kapal yang sampai ke Makao.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kui Tek-lam semalam sudah berkenalan dengan
orang Portugis itu, maka pagi ini bisa bercakap-cakap
dengannya di dalam acara sarapan pagi. Karena sulit
bagi Kui Tek-lam mengucapkan nama Portugis itu, ia33
panggil saja sebutan "Tuan Guru" sebaliknya Si
Portugis bisa berbahasa Cina dengan fasih.
Hari itu Kui Tek-lam tidak punya acara apa-apa
kecuali menemani kedua anak Nyo In-hwe dalam
berbagai permainan anak-anak. 5ebetulnya Kui Tek
lam ingin berbicara dengan Nyo In-hwe agar dapat
segera memancing keterangan tentang gudang
gudang senjata api Pek-lian-hwe. Namun Nyo In-hwe
hari itu malahan sibuk berbicara empat mata dengan
Si Guru Portugis di tempat tertutup. Entah apa yang
mereka bicarakan sampai setengah hari lebih, ingin
juga Kui Tek-lam mencuri dengar. Tetapi niat tinggal
niat, Kui Tek-lam tidak mungkin punya kesempatan di
siang hari bolong begitu merunduk mendekati ruang
tempat pembicaraan itu dari arah mana saja tanpa
ketahuan oleh orang-orangnya Nyo In-hwe.
"Hem, orang Portugis ini nampaknya bukan
sembarang guru bahasa biasa. Jangan-jangan dia ini
sandal jerami kaum Pek-lian-hwe?" Kui Tek-lam
membatin dalam hatinya.
"Sandal jerami" adalah istilah kaum Teratai
Putih, baik utara maupun selatan untuk menyebut
para kurir. Orang yang tugasnya menghubungkan
cabang Pek-lian-hwe yang satu dengan cabang yang34
lain, mengorganisir pertemuan intern atau
pertempuran dengan pihak lain, membagikan nota
nota permintaan bila ada yang perlu ransum, dana
atau perlindungan. Beberapa "sandal jerami" biasanya
dibawahi oleh seorang hulu-balang Pek-lian-hwe yang
disebut si "kutub merah" yang bertugas mengatur
strategi dan melakukan tindakan perang atau
kekerasan lainnya terhadap lawan maupun terhadap
anggota intern yang berkhianat. Dalam urusan-urusan
sehari-hari dalam perkara kekerasan, biasanya cukup
diselesaikan oleh seorang "kutub merah" dengan
beberapa orangnya. Kalau persoalannya lebih berat
dan tak terselesaikan oleh seorang "kutub merah",
barulah minta bantuan ke tingkat yang lebih atas.
Kui Tek-lam menduga Si Guru Portugis itu
seorang "sandal jerami" dan Nyo In-hwe adalah
seorang perwira "kutub merah".
Dugaan Kui Tek-lam semakin kuat, ketika siang
itu, usai mengantarkan Si Guru Portugis ke dermaga
sungai, begitu sampai di rumahnya kembali Nyo In
hwe langsung memanggil Kui Tek-lam dan
mengajaknya bicara. Semula Kui Tek-lam menyangka
si "kakak Nyo" ini akan menanyakan tentang lima ribu
pucuk senjata api curian yang dulu dibualkan Kui Tek
lam itu. Ternyata tidak. Nyo In-hwe cuma berkata35
singkat, "Saudara Kui, siang ini banyaklah beristirahat
dan jangan sampai kelelahan. Nanti malam kita ada
operasi."
Sekian saja perkataan Nyo In-hwe, langsung dia masuk
ke kamarnya sendiri meninggalkan Kui Tek-lam.
Kui Tek-lam berdebar-debar juga. Tetapi timbul
harapannya, "Mudah-mudahan dalam operasi malam
ini aku kelihatan banyak berjasa. Kalau aku mendapat
kedudukan 'sandal jerami' aku bisa berhubungan
dengan banyak tokoh Pek-lian-hwe yang bersembunyi
di balik kedok orang baik-baik dalam masyarakat."
Sebagai seorang perajurit pilihan dari istana
kaisar sendiri, Kui Tek-lam punya daya tahan yang
baik, biar siangnya tidak istirahat pun malam harinya
akan tetap bisa tampil dalam kondisi tubuh amat baik.
Namun demi menyembunyikan identitasnya, juga
untuk menunjukkan diri sebagai "anak manis" supaya
menarik hati Nyo In-hwe, siang itu Kui Tek-lam
beristirahat juga. Ajakan bermain-main dari kedua
anak Nyo. In-hwe ditolaknya dengan halus, meskipun
kedua anak itu jadi cemberut dan menggerutu,
"Paman Kui jahat..."
Siang istirahat, malam harinya seusai makan
malam, Nyo In-hwe mengajak Kui Tek-lam memasuki36
kamar penyimpanan senjata yang berdampingan
letaknya dengan ruang latihan, hanya saja kamar
penyimpanan senjata itu jauh lebih kecil. Di kamar
senjata itu, Nyo In-hwe berkata, "Saudara Kui, aku
lihat kau tidak membawa senjata, karena itu pilihlah
senjata ini. Mana yang kau pilih?"37
Kui Tek-lam melihat Nyo In-hwe sendiri sudah
membungkus sepasang golok Liu-yap-to, yaitu golok
yang kanan panjang dan kiri pendek. Selain itu juga
membawa sebuah bungkusan entah apa isinya.
Pakaian tempurnya yang ringkas tertutup jubah
panjangnya.
Kemudian Kui Tek-lam mulai memilih
senjatanya. Kui Tek-lam ahli memainkan pedang,
tetapi ia justru memilih sepotong pentung kayu hitam
yang mengkilat. Kayu galih yang sudah direndam arak
obat. Kui Tek-lam belum tahu dengan pihak mana ia
bakal bertempur, namun dengan pentung kayu hitam
itu ia berharap akan mengurangi korbannya dibanding
dengan jika memakai pedang.
"Ini saja, Kakak Nyo. Ringan, tidak butuh tenaga
besar, dan nampaknya cukup kuat dibenturkan
dengan senjata tajam."
"Terserah kepadamu, Saudara Kui. Tadinya
kusangka, dengan melihat tubuhmu yang tegap serta
berotot, kau akan memilih jenis senjata yang berat
seperti golok atau gada."
Kui Tek-lam menyeringai, "Sudah lama aku tidak
berlatih, Kakak Nyo. Ototku agak kendor di sana-sini,
jadi aku pilih pentung kayu yang ringan ini saja."38
"Mengetahui kekurangan sendiri, itu tandanya
bijaksana. Tidak apa-apa kau-pakai pentung itu,
Saudara Kui. Ringan tapi kuat."
Mereka berangkat, berdua saja. Kui Tek Lam
semula agak heran karena ia tidak ditutupi matanya.
Ternyata memang tidak perlu dirahasiakan, sebab
yang dijadikan tempat berkumpul adalah suatu tanah
kosong yang gelap di pinggiran kota. Tanah itu
letaknya agak tinggi, sehingga kalau menengok ke
selatan akan terlihat permukaan air sungai Se-kiang
memantulkan cahaya rembulan.
Dari jarak puluhan langkah, Kui Tek-lam sudah
melihat ada tujuh atau enam sosok bayangan
menunggu di ladang kosong itu. Ada yang bersandar
pohon, ada yang duduk di tanggul parit, nampak
semuanya memegang senjata.
Tapi Nyo In-hwe tidak langsung menuju ke
tempat itu, melainkan berhenti di suatu tempat
tersembunyi untuk membuka bungkusannya, yang
ternyata berisi dua buah topeng yang dicat wajah
siluman yang seram. Nyo In-hwe memakai salah satu
topeng itu, yang satu diberikannya kepada Kui Tek-lam
sambil berkata, "Pakailah. Pertama, untuk menjaga
kerahasiaan diri kita. Ke dua, topeng ini bukan39
sembarang topeng, sebab apabila dipakai akan
merasukkan semangat keberanian ke dalam diri kita,
menambah kekuatan kita, sebaliknya menggetarkan
musuh. Pakailah."
Kui Tek-lam mengiyakan dengan mulutnya,
tetapi dalam hatinya teringat pesan Oh Tong-peng
untuk menjaga keteguhan hati. Maka sambil dalam
hatinya menyangkal semua omongan Nyo In-hwe
tentang topeng itu, dia memakai topeng itu dan
mengikatkan talinya.
Kui Tek-lam dapati topeng kayu itu ringan,
tetapi berbau dupa altar sembahyang, agaknya dalam
penyimpanannya pun diberi sesaji. Bau itu memusing
kan kepalanya, tetapi Kui Tek-lam tak berani
mencopotnya.
Mereka mencopot jubah panjang mereka dan
membungkusnya dalam satu bungkusan, lalu
melangkah mendekati orang-orang di ladang kosong
Itu. Orang-orang yang didekati serempak bersiaga
ketika melihat dua sosok bayangan mendekat, namun
mengendor kembali ketika Nyo In-hwe bersuara dari
balik topengnya, "Ini aku!"
Biar tidak melihat wajah Nyo In-hwe, orang
orang itu mengenal suaranya, maka mereka pun40
serempak memberi hormat, "Ah, kiranya Kakak Kipas
Putih Ketiga."
Mendengar itu, otak cerdas Kui Tek-lam diam
diam membatin, "Kiranya Nyo In-nwe ini selain
menduduki sebagai Kutub Merah, juga merangkap
sebagai Kipas Putih alias petugas administrasi. Dan
sebutan 'ketiga' menunjukkan kalau Pek-lian-hwe
cabang Lam-koan ini setidak-tidaknya punya tiga
pejabat yang kedudukannya setara dengan orang she
Nyo ini. Kalau ada yang ke tiga tentu ada yang pertama
dan kedua. Entah ada yang ke empat dan seterusnya
atau tidak? Dari sini bisa untuk mengukur kekuatan
Pek-lian-hwe cabang Lam-koan."
Baru saja Kui Tek-lam berpikir demikian,
terdengar Nyo In-hwe bertanya, "Apa Kipas Putih Ke
Empat sudah datang?"
"Belum, Kakak."
Mereka menunggu sebentar, dan tidak lama
kemudian muncullah rombongan yang terdiri dari
sepuluh orang. Semuanya bertopeng dan bersenjata.
Topengnya macam-macam, ada yang berlukisan
siluman seram bertanduk, ada yang berlukisan dewi
cantik jelita meskipun yang memakai adalah lelaki
tegap. Wajah yang terlukis di topeng adalah pujaan41
mereka di alam gaib, dan dengan memakai topeng itu
mereka berharap mendapat kekuatan dari Sang
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pujaan.
Begitulah, kedua kelompok itu bergabung.
Masing-masing sepuluh orang, jadi semuanya ada dua
puluh orang. Masing-masing kelompok dipimpin
seorang perwira kipas putih. Tetapi mereka tidak
segera berangkat ke sasaran, mereka masih
menunggu sesuatu.
Meskipun dalam kegelapan dan tanpa
penerangan sedikit pun, Kui Tek-lam mencoba
mengamat-amati orang-orang yang berkumpul di situ.
Ia lihat dalam rombongan "Kakak Kipas Putih Ke
Empat" ada seorang yang potongan tubuhnya mirip Lo
Lam-hong, tetapi Kui Tek-lam belum berani
menyapanya sebab kuatir kalau keliru. Maklum, orang
itu pun bertopeng. Tetapi Kui Tek-lam mendekatinya
dan bertanya, "Saudara, siapa namamu?"
Banyak orang-orang yang menunggu itu saling
bercakap, dan anggota-anggota baru juga saling
berkenalan, maka tindakan Kui Tek-lam itu sama sekali
tidak mencurigakan.42
Orang yang didekati itu menjawab, "Aku
anggota baru dan baru sekali ini ikut operasi demi
kejayaan organisasi kita. Namaku Lo Lam-hong."
Kui Tek-lam pun kegirangan, ternyata benar
benar rekannya. Begitulah mereka bercakap-cakap
seperti lainnya. Tentu saja tidak memperbincangkan
tugas rahasia mereka, karena di tempat itu banyak
orang lain.
Tidak lama kemudian, di tempat itu muncul
seorang bertubuh pendek dengan topeng Dewa Mo
Sui dari dongeng Liat-kok. Orangnya pendek dan
kurus, tetapi senjatanya adalah sebatang garu besi
bertangkai sepanjang dua meter yang kelihatannya
berat. Tetapi Si "Dewa Mo Sui" ini menjinjingnya
seringan menjinjing sepotong ranting kering saja.
Kedua orang perwira kipas putih serempak
memberi hormat, "Salam kami untuk Hu-san-cu!"
"Hu-san-cu" atau "wakil penguasa gunung"
adalah orang nomor dua di setiap cabang Pek-lian
hwe. Istilah "gunung" sebenarnya sudah kurang tepat
karena Pek-lian-hwe tidak beroperasi di gunung
gunung seperti dulu, melainkan sudah turun gunung
dan beroperasi di kota-kota yang ramai, yang secara43
ekonomis lebih menguntungkan. Toh istilah itu tetap
saja dipakai.
Si "Dewa Mo Sui" berdiri di atas tanggul parit
sambil menegakkan garu besinya dengan sikap gagah,
topengnya nampak terlalu besar untuk kepalanya
yang kecil, namun terikat erat bersama ikat kepalanya.
Suaranya melengking tajam seperti logam digosokkan
dengan logam, "Sudah berkumpul semua?"
"Sudah, Hu-san-cu." Nyo In-hwe yang
menjawab.
"Bagus. Kalau begitu, kita hormati dulu
sesembahan kita, Ratu Langit dan Dewa Ahusta,
sebelum kita menuju ke sana!"
Mulailah upacara di tempat itu. Sebuah api
unggun dinyalakan, dan semuanya duduk melingkari
nya, tidak peduli tinggi rendah kedudukan masing
masing. Mantera-mantera dilagukan, pujaan kepada
segala macam dewa-dewi, siluman, bintang, panglima
langit, serdadu langit dan segala macam lainnya.
Disela-sela pujaan, juga terdengar kutukan ke arah
lawan mereka. Hampir semua orang demikian larut,
sampai Si Lelaki Tinggi Besar yang bertopeng siluman
wanita itu jatuh terkapar, lalu bangun dan menari
seperti wanita dan suaranya pun berubah jadi suara44
wanita. Lenggak-lenggok tubuhnya benar-benar tidak
kalah dari penari wanita yang paling luwes di istana
sekalipun.
Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong tidak tahu apakah
orang itu benar-benar kesurupan atau dibuat-buat,
namun mereka berdua berusaha keras tidak untuk
larut. Mereka berusaha keras untuk mempertahankan
kepribadian mereka, sesuai pesan Oh Tong-peng.
Sementara, yang kesurupan bertambah satu
lagi. Seorang yang mengenakan topeng siluman
kucing, tiba-tiba bertingkah laku seperti kucing.
"Cukup!" teriak Si Dewa Mo Sui, dan semua
mulut pun serempak bungkam, kecuali orang
bertopeng wanita dan bertopeng siluman kucing yang
tetap dalam keadaan tidak sadar. Yang satu tetap
menari berlenggang-lenggok sambil menyanyi merdu,
yang lain ngeong-ngeong sambil menggaruk-garuk
tanah dengan tangannya sambil melengkungkan
punggungnya tinggi-tinggi.
"Para Panglima langit dan tentaranya beserta
kita, kita pasti menang!" kata Si "Dewa Mo Sui". Lalu
ia keluarkan sehelai kertas kuning bertulisan gaib yang
dijepit dengan dua jari tangannya, mulutnya komat
kamit membaca mantera dan kertas itu menyala45
sendiri dan dikibaskannya ke udara sembari
membentak.
Bersama dengan bentakannya, Si Topeng
Wanita dan Si Topeng Siluman Kucing terbanting
rebah, diam, beberapa saat, lalu mereka bangkit
kembali sambil memijit-mijit pelipisnya.
"Kita berangkat!"
Dengan dipimpin Si "Dewa Mo Sui" rombongan
itu pun berangkat ke sasarannya. Mereka menembus
kegelapan malam, makin menjauhi kota Lam-koan.
Lalu menyelusuri jalan setapak di antara lereng penuh
belukar, kalau dilihat dari jalannya yang menurun
terus, agaknya menuju ke arah sungai Se-kiang.
Tidak lama kemudian, Si "Dewa Mo Sui" tiba
tiba memberi isyarat dengan tangannya agar
rombongannya berhenti. Semua berhenti. Lalu Si
"Dewa Mo Sui" menyuruh semuanya berjongkok
bersembunyi, juga dengan isyarat tangannya.
Semuanya bersembunyi di balik pohon, batu besar,
semak belukar, atau apa saja.
Karena di depan nampak bayangan dua orang
bersenjata yang hilir-mudik. Agaknya dua orang
pengawas dari pihak lawan.46
Si "Dewa Mo Sui" menunjuk dua orang anak
buahnya, dan berdesis, "Serbu mereka!"
Kebetulan salah satu dari yang kena tunjuk itu
adalah Kui Tek-lam. Maka mereka berdua pun
merunduk maju, mendekati kedua penjaga itu secara
diam-diam, kemudian secara hampir bersamaan
menyergap sasarannya masing-masing. Salah satu
penjaga musuh itu didekap mulutnya dari belakang,
lalu lehernya dipotong dengan belati sangat tajam
sampai hampir separoh putus. Waktu dilepaskan, dia
menggelepar sebentar di tanah seperti ayam
disembelih, sebelum diam selama-lamanya.
Penjaga di pihak musuh yang "diurus" oleh Kui
Tek-lam nasibnya jauh lebih baik, cuma dipukul
tengkuknya sehingga tak sadarkan diri, lalu tangan dan
kakinya diikat dengan ikat pinggangnya sendiri, dan
mulutnya disumpal dengan kaos kaki.
Ternyata Si "Dewa Mo Sui" amat puas melihat
pekerjaan anak buahnya yang menggorok lawan,
sebaliknya menggerutui Kui Tek-lam dan mengatakan
Kui Tek-lam "kurang bersifat laki-laki" atau "kurang
berjiwa perajurit" dan sebagainya.
Sementara Kui Tek-lam juga menggerutu dalam
hatinya, "Persetan dengan omong-kosongmu.47
Perkumpulan ini benar-benar perkumpulan orang
orang kejam yang membahayakan masyarakat, makin
kejam makin dijunjung tinggi. Ini betul-betul harus
dihancurkan."
Dan orang yang tadinya oleh Kui Tek-lam cuma
diikat itu pun akhirnya mampus juga. Sebab ia lalu
ditelungkupkan, lalu punggungnya "digaruk" dengan
garus besi Si "Dewa Mo Sui".
"Kita ini organisasai rahasia yang dibenci oleh
anjing-anjing Manchu, jadi segalanya harus diselesai
kan dengan tuntas, tanpa ragu-ragu, untuk meniada
kan resiko kegagalan yang sekecil apa pun." petuah Si
"Dewa Mo Sui" dengan gaya orang tua kepada cucu
cucunya. "Hal ini harap dipahami oleh anggota
anggota baru."
Beberapa anggota baru serempak mengiakan,
sementara Kui Tek-lam tetap mencaci maki dalam
hatinya. Namun sebenarnya caci-maki tersembunyi
Kui Tek-lam Itu juga semacam benteng perlawanan
untuk membendung pengaruh pemikiran-pemikiran
model Pek-lian-hwe, Kui Tek-lam tidak bisa
membohongi dirinya sendiri bahwa dia pun sedikit
demi sedikit mulai dipengaruhi. Sesuatu yang ingin
ditolaknya, tetapi ia makin kewalahan.48
Mereka menyebar dan melangkah menuruni
lereng dengan hati-hati, mendekati sasaran. Di bawah
lereng nampak permukaan air sungai memantulkan
cahaya rembulan. Itulah sebuah lubuk besar di tepi
sungai yang airnya tenang, dan lubuk itu ditumbuhi
banyak gelagah air. Nampak dua buah perahu besar
yang ada rumah-rumahan kayunya berlabuh
berdampingan di situ. Dari dalam rumah-rumahan
kayu di atas kapal itu menyorot keluar cahaya pelita,
di kepala kapal juga bergantungan rangkaian lampion
lampion kertas yang menerangi keadaan di tepian,
nampak tujuh atau delapan orang lelaki hilir-mudik
berjaga-jaga. Semuanya memakai ikat kepala
berwarna separuh hitam putih.
Kui Tek-lam mengenali ciri seperti itu adalah
ciri-ciri anggota-anggota Thian-te-hwe (Serikat Langit
dan Bumi), suatu organisasi rahasia yang tujuannya
sama dengan Pek-lian-hwe dan puluhan organisasi
bawah tanah lain, yaitu bertujuan menumbangkan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemerintahan Manchu. Sama tujuannya, ternyata
organisasi-organisasi bawah tanah ini bukan kompak
bersatu, malahan bermusuhan, tidak jarang terjadi
perkelahian berdarah di antara mereka dalam skala
kecil maupun besar di antara mereka. Masalahnya,
selain cita-cita utama, juga ada "cita-cita sampingan"49
seperti memperluas wilayah pengaruh, bersaing
dalam perdagangan barang-barang terlarang,
penguasaan wilayah-wilayah makmur dan sebagainya.
Begitu juga antara Pek-lian-hwe dan Thian-te-hwe ini.
Usia Thian-te-hwe jauh lebih muda dari Pek-lian-hwe
yang sudah seribu tahun lebih kalau ditelusuri akarnya
sampai ke peradaban Persia kuno. Thian-te-hwe baru
didirikan setelah dinasti Beng runtuh kira-kira seratus
tahun yang lalu, pendirinya adalah seorang bekas
laksamana angkatan laut Kerajaan Beng, Laksamana
The Ci-liong dan puteranya, Laksamana The Seng
kong, yang mendirikannya di pulau terpencil, Taiwan.
Thian-te-hwe punya armada laut serta armada dagang
yang menjangkau sampai ke negeri-negeri kepulauan
sebelah selatan.
Si "Dewa Mo Sui" menyuruh rombongannya
berhenti. Dia sendiri lalu duduk bersila, membaca
mantera dan membakar kertas kuning, ia keluarkan
sehelai bendera segitiga kecil berwarna hitam, yang
dikibar-kibarkan di atas kepalanya.
Hawa udara tiba-tiba saja menurun tajam
temperaturnya, angin dingin berhembus makin deras,
makin deras dan makin deras, sampai terdengar
suaranya gemuruh di atas kepala mereka. Namun
sasaran yang paling kena dampak angin jadi-jadian itu50
adalah perahu-perahu yang berlabuh di teluk sungai
itu, juga orang-orang Thian-te-hwe yang berjaga-jaga
di luar perahu.
Dari atas lereng bisa dilihat penjaga-penjaga itu
menundukkan kepala oleh angin yang berputar-putar
menyambar, air sungai pun terguncang keras sehingga
kedua perahu besar ikut terguncang-guncang. Bahkan
agaknya ada lampion yang jatuh dan membakar
bagian perahu, sehingga orang-orang di dalam perahu
itu berlompatan keluar.
Terdengar mereka berteriak-teriak heran.
"Gila! Sebelumnya langit begitu cerah, dari
mana datangnya angin gila ini?"
"Dinginnya luar biasa!"
"Pasir yang beterbangan membuat mataku kelilipan!"
"Ini pasti angin jadi-jadian!"
"Mungkin kita dikerjai orang-orang Pek-lian-hwe!"
Seorang keluar dari gubuk perahu dan berdiri di
geladak bagaikan tiang besi yang tidak bergeming
bagaimanapun kerasnya angin berhembus. Tubuhnya
tidak besar, namun kelihatan tegap berotot, matanya
bundar besar dan galak, memakai ikat kepala hitam-51
putih ala Thian-te-hwe. Dengan suaranya yang
menggelegar dia berteriak, "Semuanya tenang dan
mengendalikan diri! Dalam keadaan panik, kita akan
lebih mudah diserang musuh!"
Orang-orang terpengaruh oleh semangatnya,
dan mereka berusaha bersikap tenang.
Di atas lereng, Si "Dewa Mo Sui" mendengus
melihat orang yang berdiri di geladak itu, sambil
berdesis, "Agaknya bisnis besar yang sedang ditangani
oleh kurcaci-kurcaci Thian-te-hwe itu, sampai dihadiri
sendiri oleh Pat-hiang-cu (Hulubalang Kedelapan)
mereka."
Si Kipas Putih Keempat dari Pek-lian-hwe
berdesis dari balik topengnya, "Wah, kalau kita harus
berhadapan Kian Kim-hou, kerja kita berarti sangat
berat."
Si Kipas Ketiga alias Nyo In-hwe cepat
membesarkan hati rekannya itu, jangan gentar.
Seluruh tentara langit bersama kita. Biar seumpama
ada sepuluh Kian Kim-hou di tempat itu, kita akan
menggilasnya sekalian."
Sementara itu, angin mulai mereda. Kelihatan
orang di geladak kapal yang disebut Hulubalang
Kedelapan Kian Kim-hou itu menaruh sebelah telapak52
tangannya di depan dada sambil berkemak-kemik
mulutnya, dan angin dan suhu dingin pun mulai
mereda. Agaknya Si Hulubalang Thian-te-hwe ini
sedikit banyak juga punya bekal untuk bermain gaib
gaiban, meski dalam urusan-urusan gaib Thian-te-hwe
tidak seterkenal Pek-lian-hwe.
Orang-orang Thian-te-hwe menjadi besar hati
melihat jago mereka mampu meredakan angin.
Sementara Kian Kim-hou berseru ke arah lereng
lereng di tepi sungai yang gelap, "Sobat-sobat dari
Pek-lian-hwe, kalau ada keperluan dengan kami,
silakan temui kami secara berhadapan!"
Si "Dewa Mo Sui" panas hatinya. Ia memberi
perintah kepada orang-orangnya, "Bunuh habis
semua orang Thian-te-hwe itu, jangan tinggalkan
seorang pun! Aku hadapi si macan kertas itu!"
Lalu dia sendiri pun meluncur turun dari tebing
sungai dengan pesat, tanpa menginjakkan kakinya di
tepian sungai yang landai, ia langsung "terbang"
melompat ke arah perahu-perahu di tepi sungai.
Kecil dan pendek tubuhnya, namun gerakannya
betul-betul luar biasa gesit, ditambah topengnya yang
seram, ia benar-benar mirip siluman yang terjun dari
langit. Garu besinya yang bertangkai dua meter itu53
langsung dihantamkan ke arah ubun-ubun Kian Kim
hou.
Kian Kim-hou tidak jadi panik, dengan gerak
cepat ia melolos pedang di pinggangnya, sambil
menghindarkan diri dari garukan maut Si "Dewa Mo
Sui", pedangnya menebas ke lambung lawan.
Perahu yang tertambat itu sekarang kembali
berguncang-guncang keras, kali ini bukan oleh angin
jadi-jadian, melainkan karena pertempuran dua tokoh
dari dua organisasi rahasia yang bermusuhan itu.
Mereka bertempur sengit.
Si "Dewa Mo Sui" dengan senjatanya yang
sepanjang dua meter itu, lebih panjang hampir dua
kali lipat dari tubuhnya yang pendek, agaknya merasa
sangat terganggu dengan gubuk perahu yang
membuat geladak kapal jadi sempit. Dengan beberapa
ayunan senjatanya dibarengi bentakannya yang
melengking, la hantam roboh tiang-tiang gubuk.
Separuh gubuk itu terlempar dan nyemplung ke air
sungai. Sekarang arenanya lebih lega, dan
bertempuriah kedua tokoh ini dengan hebat.
Sementara, kedua "perwira" Kipas Putih dari
Pek-lian-hwe juga sudah membawa kelompoknya54
masing-masing menuruni lereng dan langsung
menyerbu orang-orang Thian-te-hwe.
Kui Tek-lam ada dalam rombongan Kipas Putih
Ketiga alias Nyo In-hwe. Setelah tahu bahwa yang
dihadapi ajilah orang-orang Thian-te-hwe yang juga
menentang pemerintah, sama seperti Pek-lian-hwe,
maka Kui Tek-lam merasa beban mentalnya jauh lebih
ringan. Ia sebagai agen pemerintah sudah tentu tidak
berkeberatan kalau musuh-musuh pemerintah saling
kepruk satu sama lain.
Begitulah, mendengar anggota-anggota Pek
lian-hwe berlari ke depan sambil mengacungkan
senjata dan berteriak-teriak memuja dewa-dewa.
mereka, Kui Tek-lam pun ikut-ikutan tanpa maksud
apa-apa, kecuali menyamarkan identitasnya sendiri.
Tak terduga, begitu ia ikut berteriak memuja
sebuah nama "panglima langit" yang didengarnya dari
orang disebelah-nya, berteriak tanpa maksud apa
apa, ternyata ada sesuatu semangat membunuh yang
berkobar-kobar tiba-tiba dalam jiwanya. Suatu
semangat yang asing. Meskipun Kui Tek-lam berkali
kali terlibat kekerasan dalam tugasnya, namun
semangat membunuh seperti kali ini belum pernah
dialaminya. Semacam keinginan untuk tidak sekedar55
mengalahkan tetapi memotong-motong tubuh lawan
dan mencium serta menghirup darahnya.
Kui Tek-lam kaget sendiri. Ada suatu semangat
yang asing dalam dirinya, entah kapan datangnya.
Selagi kawan-kawannya berlari ke depan mengacung
kan senjata, ia tiba-tiba malahan berhenti dan berdiri
termangu-mangu.
"Hem, kenapa?" tanya seorang anggota Pek
lian-hwe yang bertopeng siluman kura-kura.
"Tidak apa-apa, cuma agak pusing sedikit."
"Kau sakit?"
"Tidak. Aku anggota baru, aku agak pusing
dengan bau dupa dari topeng kayu ini."
"Topeng-topeng ini tidak sekedar menyem
bunyikan identitas, tetapi punya kekuatan gaib dalam
pertempuran. Menambah semangat diri sendiri,
sebaliknya mempengaruhi semangat musuh agar
merosot. Makin dirawat baik-baik topeng ini, artinya
diberi sesaji dan disembahyangi, makin hebat
kekuatannya dalam pertempuran."
"Iya..." cuma Itu jawaban Kui Tek-lam, dia pun
kemudian berlari ke depan kembali. Tetapi meneguh
kan tekad dalam hatinya, "Aku memang harus56
bertempur dengan orang-orang Thian-te-hwe itu,
tetapi aku tidak mau diubah jadi binatang buas
melakukan kekejaman. Tidak."
Dengan demikian Kui Tek-lam terjun ke
pertempuran di tepian sungai yang landai itu dengan
menghadapi dua lawan. Lawan yang kelihatan di
depan mata, yaitu orang-orang Thian-te-hwe dan
lawan di dalam jiwanya sendiri yang berusaha
mengambil alih kendali kemanusiaannya.
Orang-orang Thian-te-hwe yang jumlahnya
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seimbang, menyongsong lawan-lawan mereka dengan
gagah berani. Orang-orang Thian-te-hwe ini dididik tak
ubahnya perajurit-perajurit, karena mereka memang
ditargetkan suatu kali akan digunakan untuk
merobohkan pemerintah Manchu dan mendirikan
kembali dinasti Beng.
Pertempuran berlangsung seru, karena jumlah
kedua belah pihak seimbang. Meski pihak Pek-lian
hwe mencoba menjepit dengan menyerang dari dua
arah, masing-masing dipimpin Kipas Putih Ketiga dan
Kipas Putih Keempat, namun pihak Thian-te-hwe tidak
tercerai-berai, mereka bukan saja kenyang latihan
tetapi juga kenyang pengalaman.57
Si Kipas Putih Ketiga yang dikenal sebagai Nyo
In-hwe oleh Kui Tek-lam, dengan sepasang golok
tipisnya yang panjang di tangan kanan dan yang
pendek di tangan kiri menyerbu dengan ganas. Tetapi
sebelum ia sempat menjatuhkan korban seorang pun
di pihak Thian-te-hwe, seorang punggawa Thian-te
hwe sudah menyongsongnya. Punggawa ini ber
senjata tombak yang ujungnya bolak-balik disebelah
sini dan ujung satunya lagi. Permainannya lincah,
seperti seekor ular berkepala dua yang mematuk
matuk dan membelit-belit lincah.
Bersambung jilid IV.5859
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi
file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk
mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan
dikompilasi menjadi file TextPDF.
Credit untuk :
? Gunawan A.J.
? Kolektor E-Books12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID 4
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang - Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid IV
Di bagian arena yang lain, Si Kipas Putih
Keempat yang menyerbu dari rah lain. Juga langsung
ketemu tandingan etimpal. Si Kipas Putih Keempat ini
ersenjata sepasang pedang pendek, dan agoan Thian
te-hwe yang melawannya bersenjata tiat-koai,
pentung bengkok yang tajam ujungnya.
Semua orang dari kedua belah pihak udah
ketrmu tandingannya masing-masing. Kui Tek-lam
juga sudah ketemu awan, seorang anggota biasa
Thian-ombing. Dalam keadaan biasa, tentu Kui
[ambing. Dalam kedaan biasa, tentu Kui ek-lam
dengan mudah akan merampung-ah lawannya dalam
satu dua jurus, namun karena Kui Tek-lam ingin
menyembunyikan keadaan dirinya yang sebenarnya,
dia sengaja melawan orang itu berlama-lama.
Dilihatnya Lo Lam-hong juga sudah mendapatkan
"pasangan berlatih" nya. Cocok disebut pasangan
berlatih daripada lawan, karena kedua agen
pemerintah itu seolah-olah memang seolah-olah
hanya berlatih saja, lebih tepat lagi disebut "melatih".6
Makin lama pertempuran berlangsung, makin
terasa semangat haus darah mengental di udara
tempat itu. Perasaan Kui Tek-lam yang tajam dapat
merasakannya, dan ia berusaha bertahan untuk tidak
terseret ke suasana yang tidak sehat itu. Kui Tek-lam
tetap berpegang pada pendiriannya, bahwa
berhadapan dengan musuh pun tidak perlu menjadi
seperti hewan buas dan kehilangan kemanusiaannya.
Namun pengaruh dari luar, maupun dari dalam (dan
yang dari dalam ini yang diherankan Kui Tek-lam),
terasa begitu kuat mendesak-desak, berusaha
merebut kehendaknya secara total.
Yang dialami Lo Lam-hong kurang lebih sama.
Ada musuh tak terlihat dalam diri mereka sendiri yang
jauh lebih berbahaya dari musuh dari luar yang
memegang golok.
Suasana semangat haus darah yang semakin
menebal itu agaknya tidak bisa dilepaskan dari ulah
orang-orang Pek-lian-hwe sendiri. Sambil bertempur,
berulang kali mereka mengeluarkan teriakan yang
memuja roh-roh pujaan mereka sekaligus mengutuk
lawan-lawan mereka dengan kutukan-kutukan yang
menegakkan bulu-roma. Ada juga yang tidak
berteriak-teriak, melainkan terus-menerus meng
gumamkan mantera bernada rendah. Mau tidak mau7
itu mempengaruhi suasana. Membentuk suasan
menjadi magis.
Mungkin Kui Tek-lam, Lo Lam-hong maupun
orang-orang Thian-te-hwe akan merasa semakin
seram seandainya mereka tahu bahwa sebagian besar
dari orang-orang Pek-lian-hwe itu sudah keadaan
setengah kerasukan, kesadaran mereka semakin
kabur, dan mereka bertempur dengan mata terpejam
atau setengah terpejam dengan mulut terus
menggumamkan mantera. Hanya saja, ekspresi
setengah kesurupan itu masih terlindung oleh topeng
topeng mereka. Orang-orang itu sendiri, biarpun
matanya terpejam atau setengah terpejam, ternyata
bisa bertempur dengan hebat, jauh lebih hebat dari
yang bisa mereka lakukan dalam keadaan sadar.
Senjata musuh yang datang dari arah mana saja, dapat
ditangkis, dielakkan, kemudian mereka balas
menyerang.
Menghadapi orang-orang Pek-lian-hwe yang
bertarung begitu ganas, kecuali Kui Tek-lam dan Lo
Lam-hong yang memang hanya anggota gadungan,
mau tidak mau orang-orang Thian-te-hwe harus
mengimbanginya dengan ganas pula, sebab mereka
tidak mau tergilas lumat. Orang-orang Thian-te-hwe
seolah-olah kerasukan, sedangkan orang-orang Pek-8
lian-hwe bukan lagi seolah-olah tetapi memang betul
kerasukan, meski belum semuanya.
Dengan demikian semangat pembunuhan dan
kekejaman semakin menebal menekan setiap orang
yang terlibat dalam pertempuran di tepi sungai itu.
Termasuk Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong yang
bertahan mati-matian agar kepribadiannya tidak larut
dalam suasana, toh pertahanan kedua agen
pemerintah itu rontok segumpal demi segumpal,
perlahan-lahan mereka larut dalam suasana.
Sekarang di antara orang-orang Pek-lian-hwe
sudah ada yang memasuki tingkat lebih tinggi dalam
kesurupannya. Seorang yang bertubuh tinggi besar
namun mengenakan topeng wanita cantik, tiba-tiba
bernyanyi merdu sekali dengan suara sepenuhnya
suara wanita, merdu tetapi menegakkan bulu roma.
Gerak tempurnya tiba-tiba menjadi gemulai, tetapi
bertambah dahsyat berkali lipat.
Seorang yang lain mengeong-ngeong seperti
kucing, bahkan mencakar pula, dan seorang lainnya
lagi memekik-mekik seperti kera.
Lawan-lawan dari ketiga orang yang makin
kesurupan itulah yang langsung merasakan akibatnya.
Mereka segera dirobohkan, dan bukan sekedar9
dirobohkan saja melainkan juga dihancurkan
tubuhnya, diiringi nyanyian merdu bercampur suara
kucing dan jeritan monyet.
"Biadab!!" caci orang-orang Thian-te-hwe
melihat nasib ketiga kawan mereka.10
Tetapi cacian tidak menghentikan ulah orang
orang Pek-lian-hwe. Keseimbangan pertempuran
segera terguncang dengan berkurangnya tiga orang
Thian-te-hwe, apalagi kemudian Si "Siluman Wanita",
Si "Siluman Kucing" dan Si "Siluman Monyet" segera
mencari korban-korban baru. Sementara yang
kesurupan total semakin banyak.
Arena itu segera jadi ajang pembantaian yang
mengerikan, dan yang terbantai semuanya adalah
orang-orang Thian-te-hwe. Ilmu gaib Pek-lian-hwe,
bagaimanapun, tak tertandingi oleh kemampuan
tempur "normal" dari orang-orang Thian-te-hwe.
Di atas kapal, Si Hulubalang Ke Delapan dari
Thian-te-hwe, Kian Kim-hou, secara "normal" silatnya
selapis lebih tinggi dari Si "Dewa Mo Sui" dari Pek-lian
hwe. Apa mau dikata, jalannya perkelahian justru
"tidak normal" karena campur-tangannya kekuatan
kekuatan tak terlihat "undangan" orang-orang Pek
lian-hwe. Tubuh yang tiba-tiba menggigil kedinginan,
konsentrasi yang sulit dipusatkan, penglihatanMenaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penglihatan palsu, mengganggu seluruh orang-orang
Thian-te-hwe tidak peduli pimpinan atau anak buah.
Itu pula yang dialami Kian Kim-hou, makin lama makin
terasa, sehingga suatu kali ia harus terima nasibnya di
ujung garu besi Si "Dewa Mo Sui". Perutnya robek oleh11
garu besi lawannya, lalu oleh lawannya yang kecil
pendek itu "dicongkel" mencebur ke sungai. Waktu
tubuh Kian Kim-hou terjun ke sungai, nyawanya sudah
tidak ikut lagi bersama tubuhnya.
Begitu pula orang-orang Thian-te-hwe lainnya,
bernasib sama, tertumpas habis tanpa sisa sesuai
dengan perintah Si "Dewa Mo Sui" yang ber
kedudukan sebagai Hu-san-cu untuk cabang Lam
koan. Orang nomor dua.
Kui Tek-lam sendiri dalam keadaan sadar ketika
ia berhasil menendang roboh lawannya, kemudian
entah digerakkan kekuatan dari mana, ia gunakan
pentung kayu hitamnya untuk menggebuki puluhan
kali tubuh lawannya dengan kejam. Bahkan setelah
lawannya tidak bergerak pun, Kui Tek-lam pun masih
menggebuk belasan kali sambil berteriak-teriak buas.
Tetapi ketika sepercik kesadaran berpijar di
benaknya, dia terkejut sendiri dan menghentikan
tindakannya. Bahkan dengan bingung dia seolah
bertanya kepada dirinya sendiri, "Gila! Apa yang sudah
kulakukan ini?"
Kata-katanya itu diucapkan cukup keras,
untungnya ditenggelamkan oleh suara hiruk-pikuk
anggota-anggota Pek-lian-hwe yang tengah berpesta12
ala binantang buas itu. Kalau terdengar oleh orang
orang itu, tentu Kui Tek-lam akan mulai dicurigai.
Kui Tek-lam memang agak kehilangan kendali
selelah menyadari apa yang dilakukannya atas
lawannya, ia masih saja berbicara dengan keras,
"Tidak mungkin aku yang melakukan ini! Tidak
mungkin! Aku manusia, bukan binatang yang suka
mencabik-cabik daging korbannya! Bukan aku yang
melakukannya!"
Begitulah, setelah tadi jatuh ke bawah kendali
semangat membunuh yang dahsyat, sekarang Kui Tek
lam jatuh ke bawah kendali yang lain, yaitu semangat
rasa bersalah yang terus menerus menuduhnya.
Terombang-ambing antara dua arus, Kui Tek-lam
merasa kepalanya hampir meledak.
Untung Lo Lam-hong segera mendekatinya dan
berdesis dari balik topengnya, "Kendalikan dirimu,
Saudara Kui, kita masih di tengah-tengah musuh dan
jangan sampai mereka curiga."
Kata-kata ini seperti air dingin yang diguyurkan
ke atas kepala Kui Tek-lam. Kesadarannya cepat
mengambil alih kembali, tetapi guncangan
perasaannya belum terpuaskan. Ia menunjuk korban
nya tadi dan berkata dengan suara lebih perlahan,13
"Aku membunuhnya seperti binatang. Bahkan saat dia
sudah mati, aku masih mcnggebukinya belasan kali.
manusia macam apa aku ini?"
Lo Lam-hong berdesis, "Aku juga mencacah
tubuh lawanku. Tetapi kita bicarakan kelak. Jangan di
sini. Berbahaya."
Ketika itu memang banyak orang Pek-lian-hwe
yang sudah sadar dari kesurupannya, dan mereka
tentu akan curiga kalau melihat Kui Tek-lam dan Lo
Lam-hong bercakap-cakap, apalagi kalau mendengar
apa yang mereka percakapkan.
Hasil akhir dari pertempuran itu ternyata
menakjubkan. Pihak Thian-te-hwe tertumpas habis,
sebaliknya Pek-lian-hwe dengan "pasukan kesurupan
nya" tidak berkurang satu pun, bahkan tidak ada yang
terluka biar seujung rambut. Kui Tek-lam yang sudah
agak tenang, diam-diam membatin, "Kalau Pek-lian
hwe punya puluhan ribu orang macam ini, yang bisa
bertempur hebat dalam keadaan kesurupan, sungguh
mereka bisa membahayakan kerajaan. Mereka akan
jadi lawan berat tentara kerajaan yang terlatih
sekalipun."
Si "Dewa Mo Sui" memerintahkan orang
orangnya untuk menguras isi kedua perahu besar14
Thian-te-hwe itu. Ternyata isinya adalah dua karung
daun candu. Kemudian mayat orang-orang Thian-te
hwe dinaik-naikkan ke kedua kapal itu, lalu kapalnya
dibakar.
Esok hatinya, kapal-kapal itu tenggelam
bersama mayat-mayat hangus di dalamnya, yang
terapung-apung di permukaan air tinggal beberapa
potong kayu hangus.
***
Setelah berada kembali di kamarnya, di rumah
Nyo In-hwe, Kui Tek-lam benar-benar susah tidur,
meskipun fisiknya sebenarnya sangat kelelahan dan
menuntut istirahat yang cukup. Jiwanya bergolak
dengan berbagai perasaan. Gusar, tetapi gusar kepada
siapa? Gusar kepada entah kekuatan darimana yang
membuat dia jadi buas terhadap sesama, biarpun itu
lawan dalam pertempuran. Tetapi kekuatan yang
dijadikan sasaran kegusaran itu tidak berwujud, tidak
tahu di mana tempatnya, bahkan mungkin dalam
dirinya sendiri.
Kui Tek-lam tiba-tiba merasa sangat kecewa
kepada dirinya sendiri, yang begitu mudah larut dalam
suasana, sehingga melakukan kekejaman seperti
orang-orang Pek-lian-hwe yang sedang kesurupan.15
Dalam kegelapan kamarnya, Kui Tek-lam menangis
diam-diam. Air matanya yang banyak meleleh
ternyata tidak membuat ganjalan hatinya mencair,
malah membuatnya semakin sedih. Sedih kehilangan
diri sendiri.
"Apakah aku tadi juga kesurupan?" ia tanya
dirinya sendiri. "Ah, tidak, rasanya masih ada setengah
kesadaranku tadi. Mungkin hanya agak terpengaruh
suasana."
Begitulah, karena tidak suka istilah "kesurupan"
maka Kui Tek-lam menukarnya dengan istilah
"terpengaruh suasana".
Kelelahan lahir batin membuat Kui Tek-lam
akhirnya terlena juga ke alam mimpi.
Dalam mimpinya Kui Tek-lam merasa tenteram
berada di sebuah ruangan, dan ia ingat ruangan itu.
Itulah ruangan rumahnya ketika ia masih kecil sampai
menjadi pemuda remaja, sebelum ia mendaftar
menjadi perajurit kerajaan. Rumah tempat ia
dilahirkan dan tumbuh, di mana ia kenal setiap
sudutnya, bahkan dalam mimpi itu dilihatnya juga
ayah ibunya, adik-adiknya.
Tiba-tiba ia mendengar suara musik yang
merdu, samar-samar seperti pernah mendengar16
musik itu. Itulah musik yang dimainkan ketika upacara
penerimaan anggota baru dulu, cuma bedanya kalau,
dalam upacara dulu lagunya menimbulkan suasana
seram, sekarang sebaliknya. Dalam mimpi itu Kui Tek
lam merasa kuping dan hatinya dibelai lembut oleh
nyanyian tak dikenal dalam bahasa Persia Kuno itu.
Tak terasa Kui Tek-lam ikut bersenandung meskipun
tidak tahu kata-katanya.
Ia membuka pintu dan melihat keluar, dan
nampak mega berwarna pelangi yang indah di langit.
Di atas mega itu melayang seorang dewi cantik jelita
yang sedang bernyanyi merdu, ia melambai kepada
Kui Tek-lam dan ikut bernyanyi. Si dewi di atas mega,
Kui Tek-lam di bumi.
Ibu Kui Tek-lam berusaha menarik Kui Tek-lam
masuk kembali ke dalam rumah, namun ia yang
sedang bernyanyi bersama dewi di atas awan pelangi
itu pun tidak menggubris ajakan ibunya. Bahkan
pegangan tangan ibunya dikibaskannya.
Si dewi jelita menuruni tangga awan, mendekati
Kui Tek-lam dan alam bawah sadar Kui Tek-lam
melonjak gembira. Menyambut sang dewi dan
mengajaknya masuk ke dalam rumahnya. Ibu Kui Tek
lam nampaknya keberatan dan menghalangi di pintu,17
namun tidak berhasil menghalang-halangi pasangan
itu masuk ke dalam rumah.
Keduanya bersama-sama ke dalam rumah,
menyanyikan beberapa lagu pujaan yang dikarang
orang-orang Pek-lian-hwe untuk sesembahan mereka.
Aneh, dalam keadaan sadar Kui Tek-lam tentu tidak
menyukai lagu itu, tetapi dalam mimpinya pesona
sang dewi yang turun dari mega berwarna pelangi
telah membuatnya menyukai lagu itu.
Sampai terdengar pintu diketuk dari luar.
"Itu kawanku yang datang, bukalah pintunya."
rengek sang dewi lembut sambil memeluk dan
menyandarkan diri ke lengan Kui Tek-lam.
Kui Tek-lam beranjak membuka pintu, dan
kaget melihat yang di depan pintu adalah seseorang
yang wajahnya persis wajah topeng yang dipakainya
tadi. Di belakangnya banyak mahluk setengah
manusia setengah srigala, setengah monyet, setengah
kucing, setengah kura-kura.
Kui Tek-lam berusaha menutup pintu kembali,
tetapi si muka topeng berusaha mendorongnya
masuk. Dorong-mendorong pintu terjadi, Kui Tek-lam
sambil menahan pintu berteriak kepada si dewi,
"Bantu aku! Ada siluman hendak masuk rumah!"18
Si dewi enak-enak saja duduk sambil menjawab.
"Biarkan mereka masuk. Mereka kawan-kawanku."
"Tidak! Mereka kawanan siluman!"
"Mereka kawan-kawanku!"
"Bukan, mereka...."
"Ya, mereka kawan-kawanku dan kau harus
mengijinkannya masuk!" suara merdu sang bidadari
sekarang tidak terdengar lagi, yang terdengar adalah
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lengkingannya yang seram. Dan ketika Kui Tek-lam
menengok "bidadari"nya itu maka nampaklah mata
indah sang bidadari sekarang tertarik ke atas dan
berubah jadi sepasang mata merah menyala
menakutkan, hidungnya yang kecil mancung berubah
jadi melengkung, rambutnya yang hitam jadi putih
campur hijau dan sekaku ijuk, lidahnya terjulur
panjang, taringnya keluar, kuku-kuku tangannya
memanjang hitam.
Perubahan dahsyat dari si bidadari yang
mulanya mempesona Kui Tek-lam itu mengejutkan.
Apalagi ketika lidahnya yang terjulur panjang itu
melibat leher Kui Tek-lam, mencekiknya, sehingga Kui
Tek-lam megap-megap sulit bernapas. Ingin berteriak
juga tidak bisa.19
Ia terdorong, dan pintu terbuka, kawanan
mahluk yang wajahnya seperti topeng namun bukan
topeng, menyerbu masuk. Kui Tek-lam bergulat sengit
dengan mereka. Ia lihat kedua orang tuanya dan adik
adiknya pun masuk ke kamar terdalam, Kui Tek-lam
meneriakinya tanpa keluar suaranya. Ia mencapai
pintu tempat keluarganya berlindung dan berdiri di
ambang pintu, mempertahankan pintu dari serbuan si
siluman betina berlidah panjang dan konco-konconya.
Ruang tengah rumahnya berubah jadi arus sungai
yang deras, yang hendak menyeret Kui Tek-lam, Kui
Tek-lam bertahan dengan berpegang erat-erat di
ambang pintu ruang terdalam di mana orang tua dan
adik-adiknya berlindung. Ruang terdalam itu
terangkat oleh air, jadi seperti perahu yang
terombang-ambing, air naik makin tinggi dan Kui Tek
lam hampir tenggelam.
Tubuhnya badan kuyup. Tiba-tiba ia melihat di
seberang arus deras itu ada seorang berdiri, tidak jelas
wajahnya, dan kaum siluman kabur ketakutan
menghindari orang itu.
Kui Tek-lam berteriak, kali ini keluar suaranya,
lalu ia jatuh dari pembaringannya dan sadar dari
tidurnya. Tubuhnya memang basah kuyup, namun
bukan oleh air banjir melainkan oleh keringatnya20
sendiri yang rupanya terperas. Dan ketika ia mencium
bau pesing dari bagian bawah tubuhnya, Kui Tek-lam
sadar bahwa ia bukan cuma berkeringat, bahkan
ngompol! Seorang lelaki dewasa, perajurit istana yang
terpilih dari yang pilihan-pilihan, ngompol!
Dan termenung-menung gentar, tidak berani
melanjutkan tidurnya. Tidak pula berani menoleh ke
arah topeng kayu pemberian Nyo In-hwe ditaruhnya
di meja!
***
Pada saat yang sama.
Tetapi berjarak ribuan li dari tempat beradanya
Kui Tek-lam saat itu, yaitu di kota Lok-yang, ibu kota
Propinsi Ho-lam, di rumah keluarga Sebun, Liu Yok
juga menggeragap bangun dari mimpinya yang
membuatnya berkeringat dingin.
Liu Yok baru saja bermimpi melihat Kui Tek-lam,
itu agen pemerintah suruhan Jenderal Wan Lui yang
pernah mampir ke Lok-yang namun kemudian pergi
lagi tanpa mengajak Liu Yok, seperti dihanyutkan air
deras dan mengangkat tangannya memohon
pertolongan. Tetapi baru Liu Yok hendak berusaha
menolongnya, ia sudah siuman.21
Liu Yok termenung sampai fajar, dan akhirnya
mengambil keputusan esok paginya bahwa ia akan ke
Lam-koan tanpa ditunda-tunda lagi. Ketika ia utarakan
kepada keluarganya, keluarganya tidak terlalu heran
lagi ketika tahu Liu Yok berbuat demikian "hanya"
karena bermimpi yang oleh kebanyakan orang
dianggap hanya sebagai kembangnya orang tidur.
"Lam-koan itu jauh dari sini, dan kau belum
pernah ke sana...." komentar pamannya. Sebun Beng,
pemilik rumah itu. "Apakah kau perlu kutemani?"
"Tidak usah, aku yakin tidak akan tersesat."
sahut Liu Yok yakin. "Mungkin aku harus ke Kui-lim
dulu, lalu dari sana naik kapal menyusur sungai ke
Lam-koan."
Ibunya, Sebun Giok, berpesan sambil
menggenggam telapak tangan anak laki-lakinya itu,
"Jaga baik-baik dirimu, Nak. Ingat, kau sekarang tidak
bebas lagi, kau ada ikatan pertunangan dengan Nona
Sun, puteri Gubernur Ho-larn, kalau sampai ada apa
apa...."
Seperti biasa, Liu Yok menjawab tenang,
"Penjagaku tidak pernah tidur, Ibu. Ibu tenang-tenang
saja di rumah dan jangan cemaskan aku. Dengan22
Nama itu di bibirku, aku melebihi orang yang
berangkat bersama balatentara yang besar."
***
Kembali ke Lam-koan.
Di sebuah rumah yang tidak menyolok sekali,
tidak ada istimewanya dengan ribuan rumah-rumah
lain di Lam-koan, juga ada seorang lain lagi yang
terkejut oleh mimpinya. Ia adalah pimpinan Pek-lian
hwe cabang Lam-koan yang oleh bawahannya dikenal
dengan julukan Sam-gan Sianseng (Tuan Mata Tiga).
Nama aslinya Siau Hok-to, berusia sekitar
setengah abad, kurus, tampang pedagang kecil,
dengan sebuah benjolan kecil di tengah-tengah
jidatnya yang menyerupai mata ketika. Entah karena
benjolannya itu, atau karena ilmu gaibnya yang
disebut Sam-goan Hoat-sut (Ilmu Sihir Mata Ketiga)
yang membuatnya dijuluki Tuan Mata Tiga. Ada juga
yang berpendapat bahwa benjolan kecil di tengah
tengah jidat itu adalah tanda orang-orang yang
mempunyai ilmu mata ketiga. Sehari-harinya ia
menyelubungi kegiatannya sebagai San-cu
(Komandan Gunung alias Kepala Cabang) Pek-lian
kauw di Lam-koan dengan pura-pura membuka
sebuah toko obat kecil-kecilan.23
Malam itu, setelah toko obatnya tutup, ia
kumpulkan lima orang pembantu terdekatnya di
rumahnya, untuk merundingkan tentang firasatnya
itu. Kelima orang yang diundang itu masing-masing
adalah Hu-san-cu (wakil kepala cabang) yang pendek
kecil dan kalau beroperasi suka memakai topeng dewa
Mo Sui. Namanya Thai Yu-tat, kerja sehari-harinya
ialah mengelola suatu kelompok akrobat dan topeng
monyet yang sering dipanggil untuk menghibur di
mana-mana. Di balik topeng Mo Sui itu ternyata ada
wajah yang agak kekanak-kanakan, meski ada jenggot
tiga jalur menghiasi wajahnya. Jenggot tiga jalur itu
agak menolongnya, sebab seandainya tidak ada
jenggotnya itu, dengan wajahnya yang kekanak
kanakan dan tubuhnya yang kecil, ia bisa dianggap
kanak-kanak betulan, padahal usianya lima puluh
tahun lebih. Kalau orang melihat penampilan sehari
harinya, orang takkan menduga bahwa Thai Yu-tat ini
dalam operasi-operasi Pek-lian-hwe sanggup mem
bantai lawan dengan bengis dan mata tak berkedip.
Dalam pertunjukan akrobatnya, dia malah sering jadi
badut yang membuat penontonnya gembira atau
terbahak-bahak geli, terutama anak-anak.
Yang empat lainnya adalah "Perwira Kipas
Putih" yang merangkap "Kutub Merah". Bertugas24
sebagai "Kipas Putih" alias mengurus administrasi
dalam keadaan damai, dan menjadi "Kutub Merah"
alias pengorganisir tindakan kekerasan, bila diperlu
kan. Jumlah pejabat macam ini ada empat orang untuk
cabang Lam-koan.
Yang pertama, seorang hwesio yang hidupnya
jauh dari ajaran Buddha, gemuk, gondrong, matanya
besar seperti harimau, jubahnya selalu kedodoran.
Namanya Ui kong Hwesio. Seorang buddhis gadungan,
sebab aslinya ia adalah penganut ajaran Pek-lian-kau
yang merasuk sampai ke tulang sum-sumnya.
Kipas Putih merangkap Kutub Merah kedua
adalah seorang tukang masak paling terkenal di Lam
koan, mengaku bekas juru masak istana kaisar, namun
orang sulit mendebatnya kalau sudah mencicipi
kelezatan masakannya. Namanya Phu Se-san. Pernah
buka restoran, tetapi restorannya lalu bangkrut
karena pada suatu hari ada seorang tamu menemukan
potongan kuping manusia dalam mangkuk supnya.
Sekarang jadi penganggur, toh tetap ayem-tentrem
saja karena sebagai pejabat Pek-lian-hwe ia tidak perlu
mati kelaparan.
Yang ke tiga adalah Nyo In-hwe.25
Yang ke empat Kang Liong, wajahnya ber
wibawa karena sehari-harinya ia dikenal sebagai
"hamba keadilan" alias hakim di kota itu. Masyarakat
mengenalnya sebagai "penyayang rakyat" yang
dihormati.
Kelima orang itulah yang berkumpul di rumah
Siau Hok-to malam itu, yang letaknya di toko obatnya.
Karena pertemuan itu adalah intern antara tokoh
tokoh teras Pek-lian-hwe cabang Lam-koan, mereka
berkumpul tanpa topeng mereka.
"Nah, Kakak Siau, ada urusan apa Kakak
memanggil kami berkumpul?" tanya Ui-kong Hwesio
sambil gelegekan kekenyangan. Umurnya lebih tua
dari Siau Hok-to, namun harus memanggilnya Kakak
karena kalah kedudukan, dan itulah peraturan
organisasi.
Siau Hok-to Si Tua Mata Tiga menjawab
langsung tanpa berbelit-belit lagi, "Aku memperoleh
firasat kemarin malam."
"Firasat?"
"Ya, dalam bentuk mimpi."
Kelima pembantu Siau Hok-to kenal kekuatan
batin pemimpin mereka itu, dan mereka tidak berani26
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meremehkan kata-kata Siau Hok-to. Si pemimpin
cabang ini bahkan bisa "menitipkan" mata ketiganya
kepada seseorang tanpa orang itu tahu kalau "dititipi"
dan Siau Hok-to bisa ikut melihat apa saja yang dilihat
oleh orang yang ketitipan itu.
"Firasatnya baik atau buruk?" tanya Phui Se-san
si mantan tukang masak.
"Aku belum berani gegabah mengartikan baik
atau buruk, tetapi rasanya kita sedang kedatangan
'sesuatu' dari utara."
"Sesuatu itu musuh atau teman?"
"Aku merasakan bahayanya."
"Mungkinkah anjing-anjing Manchu sudah tahu
persiapan kita, dan mereka mendahului menyerang
dengan mengirim pasukan?" tanya Nyo In-hwe.
Kang Liong tertawa dingin, "Aku pejabat
pemerintah. Kalau akan ada gerakan resmi dari mana
pun di tempat ini, pasti aku mengetahuinya. Setidak
tidaknya orang-orangku- yang terbesar di mana-mana
memberitahu. Tetapi aku tidak mendengar kabar apa
apa."
Ui-kong Hwesio menukas, "Kita perlu bersiap
siap. Hwe-cu (pemimpin organisasi) harus diberi tahu,27
jangan sampai kita dimakan habis tanpa perlawanan
karena tidak bersiap-siap. Kalau perlu, orang-orang
kita bisa dikerahkan untuk menghadang."
Ia menghentikan kata-katanya, ketika dilihatnya
Si Tuan Mata Ketiga menggoyang-goyangkan tangan
sebagai isyarat agar lain-lainnya berhenti bicara.
Setelah keadaan sunyi, barulah Siau Hok-to berucap,
"Dalam firasatku, aku tidak mendapat tanda-tanda
sebuah pasukan. Mata batinku tidak melihat bendera
bendera, kuda-kuda perang dan sebagainya. Ini bukan
pasukan. Yang datang ini hanya satu orang."
"He? Satu orang?" serempak kelima orang
pembantunya menegaskan, tercengang.
"Ya, satu orang. Tetapi ada api yang menyala
dahsyat di depan langkahnya. Api yang...."
"Ah, itu pasti dewa junjungan kita yang datang
untuk membantu kita!" Thai Yu-tat Si Kecil berseru
kegirangan sambil menepuk pahanya. Sepasang
kakinya bergoyang-goyang riang, kalau duduk kakinya
tidak sampai ke tanah karena pendeknya.
Alasan yang agak masuk akal, karena Pek-lian
hwe tidak lain tidak bukan adalah Pek-lian-kau Sekte
Selatan yang merupakan pecahan Tiau-yang-kau28
(Agama Pemuja Api) dari Persia, yang memandang api
sebagai perwujudan dewa mereka.
Ternyata Siu Hok-to menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Aku merasa yang sedang datang kepada
kita ini adalah sesuatu yang bermusuhan, sesuatu
yang ah, sudahlah!"
Hampir saja tercetus dari mulutnya perkataan
"sesuatu yang lebih berkuasa dari kita, bahkan dari
dewa-dewa kita", namun Siau Hok-to sempat
menahan mulutnya. Perkataan seperti itu bisa
melunturkan keyakinan pengikut-pengikutnya dan
merugikan diri sendiri.
"Kakak Siau, bagaimana Kakak memastikan
yang sedang mendatangi kita adalah musuh?" tanya
Nyo In-hwe.
"Dalam mimpi itu, aku melihat altar Dewa
Ahusta di Kota Pohon Persik terbakar habis!"
Akhirnya tercetus juga kata-kata yang
mengguncangkan keyakinan anak buahnya sendiri itu,
dari mulut Siau Hok-to.
Kelima pembantunya terkejut. Altar Dewa Api
yang terletak di "Kota Pohon Persik", istilah rahasia
untuk tempat suci mereka yang letaknya tersembunyi29
di kota Lam-koan itu (karena Pek-lian-kau adalah
agama terlarang oleh pemerintah Manchu). Suatu
tempat suci yang diyakini sebagai sumber kekuatan
batin semua anggota Pek-lian-hwe di cabang Lam
koan itu. Sekarang mendengar "musibah dalam
mimpi" itu, mau tidak mau hati mereka tercekat.
"Siapa orang itu?" tanya Kang Liong.
"Tidak tahu."
"Kakak tidak melihat wajahnya agar kelak bisa
mengenalinya?"
"Tidak. Mataku silau melihat wajahnya yang
berkilat seperti matahari."
"Astaga, alamat apa ini?"
Si wakil kepala cabang Thai Yu-tat mencoba
membesarkan hati rekan-rekannya, "Jangan melihat
segala-galanya dari sisi yang buruk. Lihat juga sisi
baiknya. Kita patut bersyukur bahwa Kakak Siau
mendapatkan firasat itu, itulah tandanya Dewa Api
junjungan kita memberi peringatan agar kita bersiap
siap menyambut musuh. Bukankah ini patut kita
syukuri?"
Siau Hok-to mendukung, "Betul kata Adik Thai
ini. Sekarang dengarkan perintahku."30
Kelima pembantu Siau Hok-to itu pun
memperbaiki sikap mereka, siap mendengarkan
perintah pemimpin cabang mereka.
Kata Siau Hok-to, "Yang pertama dan terutama,
kumpulkan semua perwira kita untuk mengadakan
sembahyang besar di "Kota Pohon Persik' besok
tengah malam. Dan aku perintahkan Kipas Putih
Pertama untuk menyiapkan korbannya. Anak lelaki
umur tujuh tahun persis."
"Siap, Kakak Siau!" sahut Ui-kong
Hwesio gagah, meskipun tahu agak sulit dalam
waktu yang begitu singkat harus menemukan seorang
anak laki-laki umur tujuh tahun.
"... yang kedua, aku memerintahkan keempat
perwira Kipas Putih untuk mulai memasang tirai-tirai
gaib di semua jalan masuk ke kota ini. Ambil
korbannya dari luar kota, jangan dari dalam kota, nanti
menimbulkan kecurigaan orang."
"Baik!" kali ini keempat perwira Kipas Putih
menjawab serempak.
Tirai gaib yang dimaksud adalah dengan
mengubur manusia di tengah jalan dan orang-orang
yang melewati jalanan itu akan jatah ke bawah31
kekuatan mantera orang-orang Pek-lian-kau.
Korbannya adalah manusia-manusia yang punya
syarat tertentu.
"Yang ke tiga, awasi anggota-anggota baru.
Siapa tahu di antara mereka ada 'semilir angin' yang
menyelundup masuk."
"Baik, Kakak Siau."
"Sekaranng kalian boleh pergi, kecuali Adik Nyo
In-hwe. Aku ingin bicara empat mata."
Orang-orang itu pun memberi hormat dan
meninggalkan tempat itu, kecuali Nyo In-hwe
sendirian.
Mereka berbincang lama tentang lima ribu
pucuk senjata api curian dari Hang-ciu itu.
***
Pagi yang cerah itu, seorang hwesio berwajah
lemah lembut berjalan-jalan di sebuah perkampungan
nelayan sederhana di pinggiran kota Lam-koan, jauh
dari keramaian kota.
Di antara rumah-rumah kayu yang sederhana,
beberapa di antaranya berupa rumah panggung
karena letaknya terlalu dekat dengan sungai Se-kiang,32
jadi berjaga-jaga kalau air sungai meluap. Di antara
rumah-rumah ada halaman-halaman tempat jala
dijemur dan diperbaiki, perahu-perahu yang ditelung
kupkan, dan ikan yang dijemur. Bau anyir ikan dan
asinnya garam bercampur-aduk.
Hwesio itu berjalan dengan santun dan
membalas hormat beberapa penduduk yang memberi
hormat, meskipun hwesio itu belum dikenal di tempat
itu.33
Seorang nelayan setengah tua namun bertubuh
masih kekar, meninggalkan pekerjaannya dan
mendekati Si Hwesio, memberi hormat sambil
berkata, "Bapak, apa yang Bapak cari di sini?"
Si Hwesio menjawab dengan salehnya, "Apakah
Tuan penduduk desa ini?"
"Ya. Aku dilahirkan di sini dan tumbuh di sini
juga, kelak ingin dikubur di sini juga. Ada apa, Bapak?"
"Kenal semua penduduk tempat ini?"
"Bapak Pendeta mencari seseorang?"
Si Hwesio menjawab dengan salehnya,
"Kemarin, ketika aku bersamadhi sambil berpuasa tiga
hari lamanya. Aku lihat ada dua buah bintang jatuh ke
perkampungan nelayan ini. Di kitab-kitab kuno,
kudapati arti dari mimpi itu ialah di desa ini akan
muncul dua orang besar yang bakal menguasai negeri.
Seorang anak lelaki berumur tujuh tahun, seorang lagi
masih dalam kandungan ibunya yang berumur tujuh
bulan. Apa di desa ini ada anak lelaki umur tujuh tahun
dan wanita yang sedang mengandung tujuh bulan?"
Si Nelayan agak percaya bualan Si Hwesio,
tanyanya lebih lanjut, "Bapak katakan akan jadi orang
besar. Akan jadi apakah mereka?"34
"Menurut takdir dewa-dewa, ada dua orang
dari desa nelayan ini yang bakal menjadi orang mulia
di negeri ini, tetapi aku tidak tahu akan jadi apa
mereka kelak. Entah jadi jenderal, gubernur, atau....
barangkali bahkan raja...."
"Raja?" Si Nelayan menelan ludahnya.
"Ya, raja. Jangan heran. Bukankah Si Maharaja
pendiri dinasti Song itu asalnya juga cuma perajurit
rendahan Tio Goan-in? Bukankah Jenghis Khan yang
menguasai sepertiga dunia ini asalnya juga cuma
bocah gembala di padang rumput Mongolia?
Bukankah Yang Mahamulia Kaisar Hong-bu, pendiri
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinasti Beng yang jaya, asalnya juga cuma seorang
pendeta melarat dari kuil Hong-kak-si di Hong-yang?
Dewa-dewa bebas menentukan siapa yang akan
dijadikan raja di bumi ini."
Semula Si Nelayan ragu-ragu mendengar
omongan Si Hwesio, curiga jangan-jangan Si Hwesio
cuma ingin menjebaknya dengan membual tentang
"calon kaisar" agar dapat menangkapnya, sebab hal
itu bisa dipandang sebagai pendurhakaan terhadap
pemerintah Manchu yang sekarang sedang berkuasa?
Tetapi pikiran lain menyelinap di benak Si Nelayan,
"Tidak ada alasannya hwesio ini mencoba menjebak-35
ku, kenal pun tidak, dan daerah ini pun aman selama
bertahun-tahun sehingga tidak mungkin mata-mata
pemerintah berkeliaran sampai ke sini. Hem, alangkah
beruntungnya orang yang kejatuhan bintang itu, tidak
bisa tidak, keberuntungan itu harus jatuh ke
keluargaku. Sudah bertahun-tahun aku hidup melarat
tanpa masa depan yang menentu, siapa tahu ada di
antara anak-anakku yang kejatuhan bintang."
Demikianlah, tiba-tiba timbul niat Si Nelayan
untuk "mengakali" para dewa. Cara berpikir yang
umum dalam tradisi turun-temurun, bahwa para dewa
pun bisa diakali. Bukankah setiap menjelang tahun
baru, orang-orang yang memuja Dewa Dapur akan
mengoleskan madu ke bibir arca Si Dewa Dapur,
katanya apabila dewa itu naik ke langit untuk memberi
"laporan tahunan"nya kepada Yang Maha Kuasa,
laporan tahunan tentang keluarga yang ditempatinya
itu, Si Dewa Dapur akan memberi laporan yang baik
baik saja tentang keluarga itu, yang manis-manis saja
seperti madu sebab bibirnya kan sudah diolesi madu?
"Bapak Pendeta, kalau sudah ketemu orang itu,
lalu akan Bapak apakan mereka?"
"Aku bukan dewa, aku tidak bisa mempercepat
atau memperlambat takdir. Tetapi setidak-tidaknya36
bisa memberkati dan mendoakan orang-orang
beruntung itu supaya, terlindungi dari siluman
siluman jahat."
"Bapak Pendeta, rasanya... rasanya... orang
orang yang Bapak Pendeta katakan itu ada di...
keluarga saya...."
"Hah? Jangan main-main, ini menyangkut masa
depan negeri ini, juga menyangkut kehendak para
dewata lho!"
Si Nelayan sudah nekad, demi masa depan
gemilang keluarganya, kehendak dewata pun boleh
dibengkokkan. Dan bohongnya tidak tanggung
tanggung lagi, "Ya, saat ini isteriku sedang hamil...
tujuh bulan. Ia mengandung anakku yang ke enam
belas. Pagi tadi ia bercerita kepadaku, bahwa semalam
ia bermimpi memakan buah persik, tiba-tiba dari
dalam buah persik itu keluar seekor naga emas kecil
yang masuk ke mulutnya dan tertelan ke perutnya.
Begitu pula anak lelakiku... eh, maaf, Bapak Pendeta,
tahun ini umurnya pas tujuh tahun, dan dia memiliki
Pendekar Slebor 17 Piramida Kematian Wiro Sableng 186 Jenazah Simpanan Panji Sakti Karya Khu Lung
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama