Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P Bagian 3
kewibawaan lebih dari anak-anak sebayanya. Kalau
bermain jadi kai-sar-kaisaran, kawannya yang mana
saja pasti menyembahnya dengan sungguh-sungguh.
Sebaliknya kalau anak lain yang dijadikan Kaisar, anak37
itu tidak lama akan sakit cukup lama, kalau sudah di
sembahyangi barulah sembuh. Anakku tidak pernah
begitu...."
Si Hwesio agaknya juga tidak curiga kalau
sedang dibohongi, dipikirnya, siapa berani main-main
dengan "takdir dewata"? Katanya, "Kalau begitu ya
kebetulan sekali. Aku ingin bertemu dengan isterimu
dan anak laki-lakimu yang kauceritakan itu."
"Baik, baik. Rumahku yang diujung itu, silakan
menuju ke sana. Aku akan mendahului, selain agar
isteriku menyiapkan sambutan yang layak, juga agar
aku bisa lebih dulu mencari anak laki-lakiku yang
dimaksud itu. Maklum, dia suka bermain-main dengan
teman-temannya agak jauh."
Lalu tanpa menunggu Si Pendeta setuju atau
tidak, Si Nelayan langsung berlari mendahului. Sampai
di rumahnya, ia kumpulkan keluarganya, diberinya
"briefing" dalam penyambutan Si Hwesio nanti.
Isterinya dipesan wanti-wanti agar mengaku semalam
mimpi tentang "buah persik yang keluar naga emas
kecilnya" itu, dan anaknya yang nomor sebelas,
dipesan agar mengaku berumur tujuh tahun, padahal
sudah delapan setengah tahun. Untung tubuhnya
agak kerdil karena kurang gizi, jadi bisa menopang38
kebohongannya. Ia juga dipesan agar bercerita
tentang "bermain kaisar-kaisar-an" tadi.
Semua petunjuk singkat itu ditutup dengan
ancaman galak dari Si Kepala Rumah-tangga, "Ini
menyangkut masa depan keluarga kita, apakah
keluarga akan terangkat derajatnya ke kemuliaan
tertinggi di negeri ini, ataukah bakal melarat terus
seperti ini! Itulah sebabnya, siapa saja yang tidak
menghiraukan petunjukku tadi, aku tidak akan
menyayanginya lagi, tidak peduli keluarga sendiri!
Mengerti?"
Semua anggota keluarganya mengangguk
angguk patuh. Sementara Si Hwesio sudah tiba di
depan pintu, karena rumah Si Nelayan memang tidak
jauh letaknya dari tempat memperbaiki jala tadi.
Singkat kata, hwesio itu diterima di keluarga itu.
Keluarga itu sudah punya lima belas anak dan yang
sekarang dalam perut ibunya yang "makan buah naga
emas" adalah calon nomor enam belas.
Si Hwesio berkemak-kemik membara doa,
berlagak memberkati. Dan ketika Tuan Rumah
menawarkan Si Hwesio yang mengaku sebagai
pengembara untuk bermalam, Si Hwesio pura-pura
sungkan tetapi akhirnya mau juga. Si Hwesio39
"pembawa berkah" mendapat kamar terbaik meski
berdinding papan berlantai tanah.
Pembawa berkah?
Ternyata tidak, sebab hwesio ini hanya pengikut
gadungan Buddha, sebaliknya adalah penyembah
Ahusta yang ganas, yang ajarannya jauh dari ajaran
Buddha. Hwesio ini bukan lain adalah Ui-kong Hwesio,
Si Hwesio gadungan "perwira" Pek-lian-hwe yang
ditugaskan mencari seorang anak lelaki umur tujuh
tahun untuk dibakar hidup-hidup di kuil tersembunyi
Pek-lian-hwe demi Dewa Api. Sedang Si Wanita hamil
akan dikorbankannya untuk tumbal "tirai gaib" yang
menurut perintah Si Tuan Mata Tiga Siau Hok-to harus
dipasang di sekitar Lam-koan untuk menyambut
"musuh dalam mimpi" Si Tuan Mata Tiga.
Ketika malam tiba, Si Hwesio sudah masuk
duluan ke dalam kamarnya, mengakunya kepada Si
Tuan Rumah "untuk berdoa". Ketika Tuan Rumah
mengintip dari celah-celah dinding papan, ia lihat
memang Ui-kong Hwesio sedang bersila dan mulutnya
berkomat-kamit.
Si Nelayan yang mencoba mengkorupsi "takdir
dewata" itu menyangka Si Hwesio benar-benar sedang
berdoa untuk keberuntungan keluarganya, ia tidak40
tahu bahwa hwesio gadungan pemuja Dewa Api itu
sebenarnya sedang menerapkan ilmu gaibnya.
Maka malam itu mendung yang tebal tiba-tiba
saja muncul di atas kampung nelayan itu. Disertai
tiupan angin yang dingin dan kencang sampai
membuat pasir beterbangan, tidak satu pun penduduk
kampung itu yang berada di luar rumah. Lebih jauh,
suatu suasana aneh yang membuat orang-orang jadi
sangat mengantuk pun menguasai setiap rumah di
kampung nelayan itu. Dengan demikian seluruh
penghuni kampung nelayan itupun tertidur lelap,
kecuali Ui-kong Hwesio sendiri. Sementara di
kejauhan terdengar lolong panjang anjing liar yang
menegakkan bulu roma.
Dalam suasana seperti itulah Ui-kong Hwesio
keluar dari kamarnya, di rumah nelayan miskin itu. la
keluar dengan sikap biasa saja, tidak mengendap
endap, tidak meredam bunyi langkahnya, terlalu
percaya diri bahwa seluruh penghuni rumah itu sudah
pulas semua dipengaruhi ilmunya. Dan nyatanya
memang demikian.
Tanpa takut-takut ia membuka kamar-kamar
yang lain. mengambil Si Wanita dan Si Anak lelaki yang
katanya umur tujuh tahun, keduanya dimasukkan41
masing-masing ke sebuah kantong besar hitam. Dan
keduanya tetap pulas meskipun diperlakukan seperti
itu, begitu juga penghuni rumah yang lain.
Ui-kong Hwesio menyeringai, memanggul dua
kantong besar hitam itu di kedua pundaknya, lalu
keluar dari rumah itu dan berjalan kembali ke kota
Lam-koan. Semuanya dilakukan tanpa sembunyi
sembunyi dan melewati jalan besar. Tanpa takut
diketahui orang sebab ia yakin pengaruh ilmu sihirnya
sudah melelapkan seisi kampung.
Ketika mulai memasuki kota Lam-koan, mau
tidak mau ia harus berhati-hati. Tempat-tempat yang
dilalui tidak lagi di bawah cengkeraman ilmu sihirnya,
terutama "Kota Bawah" di mana sepanjang malam
berlangsung macam-macam kegiatan maksiat. Di sini
selalu ada orang-orang yang berkeliaran sepanjang
malam sampai pagi, dan Ui Kong Hwesio tidak mau
seorang pun dari mereka melihatnya.
Untung wihara kediaman Ui-kong Hwesio
letaknya dekat pinggiran kota. Itulah sebuah wihara
kecil yang dihuni hwesio-hwesio gadungan yang
berjumlah lima orang, semuanya adalah tokoh-tokoh
Pek-lian-hwe. Sebuah wihara yang di aula depannya
memasang arca Buddha berwajah welas-asih, tetapi di42
ruang rahasia bawah tanahnya memasang arca Dewa
Api berwajah ganas. Ke tempat itulah Ui Kong Hwesio
menghilang bersana kedua tawanannya.
Rasanya, tak seorang pun melihatnya.
Entahlah dengan Si Tukang Pangsit di ujung
lorong yang duduk terkantuk-kantuk di atas
dingkliknya, dekat pikulan pangsitnya yang agaknya
kurang laku malam itu.
Namun, begitu Si Hwesio menghilang ke dalam
kuil, Si Tukang Pangsit pun tiba-tiba mengangkat
wajahnya dan terlihatlah pandangan matanya yang
tajam, sama sekali tidak kelihatan seperti orang
mengantuk. Gesit sekali ia menyembunyikan pikulan
pangsitnya ke sebuah tempat yang gelap, lalu ia
sendiri mengendap mendekati kuil kecil.
***
Kampung nelayan itu gempar.
Si Nelayan yang tadinya merasa mampu
"membohongi dewa" sekarang menangis melolong
lolong, tidak peduli tubuhnya yang tegap dan
wajahnya yang brewokan. Kalau cuma kehilangan
jalanya atau perahu penangkap ikannya, ia takkan
sesedih itu, tetapi sekarang kehilangan tiga orang,43
isterinya, anak laki-laki-nya dan bayi dalam kandungan
isterinya.
Anak-anakriya yang berjubel seperti anak-anak
marmut itu pun ikut menangis, mereka kelaparem dan
sedih kehilangan ibu mereka. Yang sudah agak besar
coba menghibur adik-adik mereka, atau coba
memasak makanan seada-adanya.
Para tetangga yang sama miskinnya dengan
mereka coba menolong sebisa-bisanya, menghibur,
memasakkan, dan kaum lelakinya berpencaran ke
sekitar kampung untuk mencari kedua orang yang
hilang itu. Ada juga kaun wanita yang pergi mengantar
sesaji ke kuil Dewi Tin-hau yang menghadap ke arah
sungai Se-kiang, memohon pertolongan Sang Dewi
Laut itu, siapa tahu kedua orang yang hilang itu dibawa
lari lewat sungai.
Demikianlah, kampung itu jadi sibuk.
Menjelang tengah hari, ketika semua usaha
nampaknya sia-sia, suatu gagasan muncul di antara
orang-orang kampung yang berkerumun itu.
"Kita minta tolong kepada Hakim Kang di kota!"
Yang dimaksud adalah Hakim Kang Liong.44
"Kita orang-orang miskin, mana mungkin
digubris oleh kaum pembesar macam dia?"
"Tetapi aku dengar, Hakim Kang ini orangnya
berhati mulia. Tidak jarang dia memenangkan
kepentingan rakyat kecil, tidak doyan suap. Kita bisa
mengadu kepadanya."
"Apa iya? Apa betul ada pejabat yang begitu
jujur dan patuh hatinya awet menduduki jabatannya?
Biasanya kalau terlalu jujur kan cepat mencelat kena
sepak rekan-rekannya sendiri, atasannya atau
bawahannya? Yang awet biasanya yang sama korup
nya dengan lain-lain."
"Anggap saja Hakim Kang ini sebuah
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkecualian."
"He, kita ini jadi mengadu Hakim Kang atau
tidak?"
"Melaporkan orang diculik biasanya ke kepala
keamanan, bukan ke hakim,"
"Aku tahu, kepala keamanannya rakus uang.
Seandainya kita orang sekampung ini mengumpulkan
seluruh uang milik kita ditaruh di hadapannya, belum
tentu dia sudi melirik persoalan kita."
"Jadi?"45
"Ya laporkan saja sama Hakim Kang yang baik
hati itu, nanti Hakim Kang kan bisa mendesak kepala
keamanan sebagai sesama pejabat, dan tentu Si
Kepala Keamanan tidak akan bisa berbantah kalau
yang meminta adalah Hakim Kang."
"Ayo berangkat ramai-ramai, agar kita di
perhatikan."
Orang-orang itu pun berangkat beramai-ramai,
mengiringkan Si Pelayan miskin yang masih saja
menangis sedih. Yang berangkat hanyalah para pria
dewasa, sementara para wanita dengan semangat
gotong-royong menolong anak-anak yang ditinggalkan
sebisa-bisanya, atau berdoa di kuil terdekat.
Ketika melewati kampung-kampung lain, dan
orang-orang dari kampung-kampung yang dilewati
diberitahu apa yang terjadi, banyak yang bergabung
dengan iring-iringan itu. Sebagian karena rasa
setiakawan, sebagian sekedar ingin ikut "nonton
ramai-ramai".
Rombongan jadi berjumlah hampit dua ratus orang.
Ketika memasuki kota Lam-koan, tentu saja
iring-iringan itu jadi menarik perhatian. Banyak
pedagang kecil di pinggir jalan buru-buru menyingkir,
menyangka akan terjadi keributan.46
Ketika tiba di gedung pengadilan, ternyata
rombongan yang datang untuk mengadu bukan hanya
yang datang dari kampung nelayan itu. Melainkan ada
rombongan lain. Rombongan yang lain itu datang dari
sebuah kampung yang letaknya agak di pedalaman,
tidak di tepi lalu-lintas air yang ramai, mengiringi
seorang ibu yang menangis karena kehilangan anak
kembarnya sekaligus. Kembar lelaki-perempuan.
"Bagaimana bisa terjadi?"
Sudah tentu ibu yang sedang dalam kesedihan
mendalam itu tidak bisa menjawab, orang satu
rombongannyalah yang menjawab, "Peristiwanya
begitu aneh, sepertinya ada kekuatan-kekuatan
siluman ikut campur dalam urusan ini. Kampung kami
dalam keadaan terang benderang di siang hari bolong,
tapi mendadak mendung tebal menutup matahari
sehingga jadi sangat gelap, angin meniup kencang dan
dingin. Orang-orang berlarian masuk rumah karena
mengira akan ada taufan. Tahu-tahu cuaca normal
kembali, setelah itu barulah seorang ibu di kampung
kami menangis karena tidak menemukan anak-anak
kembarnya. Seisi kampung dikerahkan mencari kedua
anak itu, sampai ke pinggir sungai dan ke bukit, tetap
tidak ketemu."47
"Kalau di kampung kami, pelakunya seorang
hwesio."
Kedua rombongan itu bertukar cerita dan
mereka pun langsung terikat oleh rasa kesetia
kawanan karena persamaan nasib.
"Bertahun-tahun kota Lam-koan dan sekitarnya
aman tenteram, tetapi sekarang rupanya mulai kurang
aman!"
"Ya, banyak penculik berkeliaran!"
"Bukan sembarangan penculik, mungkin
kelompok orang-orang pemuja siluman, buktinya para
penculik itu bisa mendatangkan awan hitam dan angin
segala. Orang macam apa mereka kalau bukan para
pemuja siluman?"
"Ya, dan hwesio di kampungmu itu pun pasti
gadungan."
"Itu jelas."
"Kenapa pintu gedung pengadilan belum di
buka?"
"Tadi sudah kami gedor."
Bersamaan dengan berakhirnya kata-kata itu,
terdengar suara berkeriut keras ketika sepasang daun48
pintu yang besar, tebal dan bercat merah itu
terpentang. Beberapa perajurit dan pembesar sipil
tingkat bawahan muncul. Orang-orang di luar
langsung hendak menyerbu masuk ke halaman dalam,
tetapi beberapa perajurit memalangkan tombaknya,
menghalang-halangi. Dari belakang perlindungan
pera-jurit-perajurit itu, seorang sipil rendahan
membentak, "Siapa yang hendak mengadukan
perkaranya? Apakah semua orang sebanyak ini?"
Si Nelayan miskin dan Si Ibu yang kehilangan
anak kembarnya menjawab bersamaan.
Si Pembesar rendahan berkata, "Ternyata yang
punya urusan cuma dua orang, kenapa yang
mengantar orang sebanyak ini? Kalau dua orang ini
yang punya urusan, ya mereka saja yang menghadap
Yang Mulia Hakim Kang, selebihnya menunggu di
luar!"
Dari rombongan ibu yang anak kembarnya
diculik muncul seorang lelaki, "Tuan, Kakak
perempuan saya ini masih amat sedih hatinya, tidak
dapat bicara dengan lancar. Saya harus mendampingi
nya masuk ke dalam."
"Ya, nelayan yang kehilangan isterinya yang
sedang mengandung dan anaknya itu juga masih49
gagap bicaranya karena sedih, kalau tidak ada yang
mendampinginya, dia tidak bisa menerangkan dengan
jelas kepada Yang Mulia."
Niat itu didukung oleh orang-orang yang
berkerumun padat di depan pintu gedung pengadilan.
Dan jumlah orang-orang itu pun bertambah-tambah,
sebab banyak orang-orang di jalanan yang bergabung.
Pedagang kecil yang menitipkan dulu dagangannya
lalu ikut berdesakan untuk tahu apa yang sedang
terjadi, orang lewat, orang dari rumah-rumah di
sekitar gedung pengadilan.
Dan seorang penjual mi-pangsit pikulan yang
menyelinap pula ke tengah-tengah orang-orang itu.
Semalam ia tidak mendapat hasil apa-apa ketika coba
coba mengintai wihara kecil di pinggiran kota itu, dan
sekarang rasa penasaran masih tersisa di hatinya.
Si pembesar bawahan Hakim Kang tidak berani
ambil resiko menentang kemauan orang sebanyak itu,
meskipun di pihaknya ada sepuluh orang serdadu. Ia
mengijinkan kedua penngadu itu masuk, didampingi
orang-orang yang akan membantunya bicara kepada
hakim.
Dan rombongan pengantar juga diperbolehkan
masuk sampai ke halaman. Sebab kalau mereka50
dibiarkan terus di depan gedung, mereka meng
hambat jalanan karena banyaknya. Begitulah, dari
halaman mereka bisa mengikuti percakapan antara
Hakim Kang Liong dan kedua pengadu itu.
Duduk di belakang mejanya, Hakim Kang mulai
bertanya, "Apa yang akan saudara-saudara adukan?"
Kedua pengadu pun bergantian mengemukakan
perkaranya masing-masing, karena masih sering
diselingi isak tangis, maka para pendamping ikut
bicara.
Hakim Kang yang berwajah welas-asih itu
mengelus jenggotnya sambil mengangguk-angguk,
katanya, "Saudara-saudara ini sebetulnya salah
alamat. Melaporkan orang diculik itu bukan kepada
hakim, tetapi kepada kepala keamanan, sebab hakim
seperti aku ini tidak punya kekuasaan sedikit pun
untuk mengerahkan perajurit. Yang di bawah
wewenangku hanyalah beberapa petugas pengadilan
yang sangat terbatas jumlahnya, kemampuannya dan
wewenangnya."
"Yang Mulia, kami tahu ini. Tetapi kami tidak
berani menghadap kepada Tuan Komandan, sebab...
sebab... beliau orangnya sulit ditemui...." sahut
seseorang, yang terlalu sungkan untuk mengatakan51
terang-terangan bahwa kalau sampai berurusan
dengan kepala keamanan tentu uangnya akan diperas
habis-habisan.
Hanya segelintir orang di Lam-koan, yang tahu
kalau Kang Liong ini sebenarnya adalah tokoh Pek-lian
hwe yang punya garis perjuangan merobohkan
pemerintahan Manchu. Mendengar keluhan orang itu
tentang kepala-keamanan, Hakim Kang mendapat
kesempatan untuk menaburkan sedikit bibit
kebencian di hati orang-orang Lam-koan itu, bibit
kebencian yang diharap bisa merembet dan menyebar
ke mana-mana sehingga kelak kota Lam-koan akan
menjadi salah satu basis Pek-lian-hwe dalam gerakan
pemberontakannya. Katanya, "Ah, keterlaluan kalau
sampai seorang pembesar sulit ditemui rakyat yang
harus diusahakan kesejahteraannya. Kalau tidak
mendengar sendiri dari rakyat, memangnya mau
mendengar dari siapa? Dari pembesar-pembesar
bawahannya yang hanya cari muka dan laporannya
tidak sesuai dengan kenyataan karena terlalu banyak
polesannya?"
Gerutuan Hakim Kang yang bernada membela
rakyat kecil itu kontan disambut dengan tepuk-tangan
sebagian besar orang yang berkumpul di halaman52
gedung. 5ementara Si Tukang Mi-pangsit yang bukan
lain adalah samaran dari
Pang Hui-beng, agen kerajaan, diam-diam
merasakan adanya nada menghasut, membakar
emosi orang banyak, dalam kata-kata Hakim Kang itu.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Timbul setitik kecurigaannya kepada hakim itu.
Namun Pang Hui-beng belum ikut berbuat apa-apa, ia
cuma ikut apa yang diperbuat orang lain. Orang
bersorak, dia pun bersorak, orang mengepalkan tinju,
di pun mengepalkan tinju.
Hakim Kang tidak ingin kelihatan terlalu
menyolok dalam usahanya menanamkan bibit
kebencian di hati rakyat Lam-koan, kebencian kepada
pemerintah kerajaan. Maka ia segera bertanya, "Nah,
saudara-saudara, aku akan membawa perkara
saudara-saudara itu ke pembesar lain yang lebih
berwenang. Mudah-mudahan mereka mau men
dengarkan aku."
Ketika itu sebagian dari orang-orang yang
berkerumun sudah terpesona oleh kepribadian Hakim
Kang, dan mereka bersiap-siap bubar dari tempat itu
dan mempercayakan segala sesuatunya ke tangan
Sang Hakim "berhati mulia".53
Namun di tengah-tengah kerumunan orang itu,
Pang Hui-beng merencanakan sesuatu. Pang Hui-beng
ingin menggunakan kesempatan mumpung orang
orang berkumpul sebanyak ini dan terikat rasa
senasib, sesuatu yang tidak terjadi di setiap hari, untuk
menggerakkan orang-orang ini membongkar salah
satu tempat yang ia curigai sebagai salah satu "pos
rahasia" Pek-lian-hwe. Yaitu kelenteng kecil yang
semalam diselidikinya tanpa hasil, kegagalan Pang
Hui-beng lebih banyak disebabkan karena kelenteng
itu diselimuti sesuatu yang gaib.
Sekarang Pang Hui-beng berbisik-bisik kepada
orang-orang tentang kelenteng kecil di pinggir kota
itu. Kebetulan orang-orang dari kampung nelayan itu
juga sudah diberi cerita oleh Si Nelayan yang berduka
itu bahwa penculiknya seorang hwesio. Maka hasutan
Pang Hui-beng itu mendapat tanah yang subur.
Kaum nelayan yang biasanya memang ceplas
ceplos itu, sekarang ada yang berteriak, "Yang Mulia,
sebelum penculiknya kabur, ijinkan kami meng
geledah kelenteng kecil di pinggir kota itu!"
Kang Liong kaget, sudan tentu ia tahu kalau
kelenteng itu adalah "sarang" dari rekannya yang54
menyamar jadi hwesio, Ui kong Hwesio, salah satu
"Perwira Kipas Putih" Pek-lian-hwe cabang Lam-koan.
Dan tentu saja Kang Liong akan berusaha
melindunginya, "He, apa sangkut-paut kelenteng itu
dengan penculikan-penculikan ini?"
"Penculik di kampung nelayan itu adalah
seorang hwesio, Yang Mulia."
"Ada puluhan kelenteng Buddha di Lam-koan
ini, dan ratusan pendetanya, kenapa hanya kelenteng
di pinggir kota itu yang hendak kalian geledah?"
Pang Hui-beng berteriak dari tengah-tengah
kerumunan, "Karena semalam ada seorang melihat
seorang hwesio masuk ke dalamnya dengan
memanggul dua bungkusan besar kain hitam yang
bentuknya seperti manusia!"
Umpan itu langsung mendapat sambutan
gemuruh dari orang-orang, terutama orang-orang dari
kampung nelayan.
"Benar! Jangan boang-buang waktu sehingga
penculik-penculik itu keburu kabur dan menyembunyi
kan barang buktinya!"
Kang Liong panik, tidak tahu harus berbuat apa
untuk mencegah arus masa itu. Sebenarnya ia bisa55
saja mengerahkan anggota-anggota Pek-lian-hwe
untuk menyelamatkan salah satu pos rahasia mereka
itu, namun itu berarti orang-orang Pek-lian-hwe harus
muncul terang-terangan di muka umum, padahal
mereka belum siap bertarung secara terbuka dengan
kekuatan pemerintah.
Ternyata "jalan keluar" yang ditawarkan Pang
Hu-beng itulah yang lebih cocok dengan "selera"
orang-orang kalangan bawah itu, apalagi mereka
sedang banyak temannya, sehingga urusan "pukul
dulu bicara urusan belakang" mendapat dukungan.
Begitulah rombongan orang-orang itu pun
meninggalkan gedung pengadilan begitu saja, menuju
ke kelenteng kecil tak bernama di pinggiran kota.
"Celaka...." Kang Liong mengeluh dalam hati.
Sebagaimana Pang Hui-beng mulai mencurigai Kang
Liong, dari arah sebaliknya, Kang Liong juga mulai
mencium adanya "semilir angin" alias agen pihak
kerajaan yang menghasut di antara orang-orang itu. Ia
ingat mimpi kepala cabang Pek-lian-hwe tentang
datangnya musuh. Mungkin ini adalah bagian kecil
dari musibah yang diramalkan dalam mimpi itu.
Kang Liong cepat-cepat masuk ke dalam,
kemudian menyuruh salah seorang petugas di gedung56
pengadilan itu, yang ternyata adalah salah satu
"prajurit" Pek-lian-hwe. Orang itu disuruhnya
mengganti pakaiannya dengan pakaian yang buruk
seperti pakaian orang-orang tadi, menyusup di antara
orang-orang tadi untuk mengetahui siapa
"penggerak" gerombolan itu.
Begitulah, dalam kelompok orang-orang yang
sedang menuju ke kelenteng kecil di pinggir kota itu
keselusupan orang-orang dari pihak-pihak yang
bertentangan. Pang Hui-beng dari pihak kerajaan, dan
dua orang suruhannya Kang Liong.
Kelenteng kecil itu tidak jauh dari gedung
pengadilan, maka orang-orang pun segera sampai ke
sana.
"Ini dia tempatnya!" teriak Pang Hui-beng.
Dua orang suruhan Kang Liong memperhatikan
Pang Hui-beng diam-diam. Sementara orang-orang
mulai hendak bergerak menyerbu ke dalam kelenteng
itu, tetapi orang Pek-lian-hwe yang berada di tengah
tengah kerumunan itu bukan hanya dua orang
suruhan Kang Liong, melainkan ada juga yang lainnya
yang bukan anak buah Kang Liong. Orang Pek-lian-hwe
yang bukan anak buah Kang Liong inilah yang masih
mencoba menyelamatkan kelenteng itu.57
"Tunggu!" teriak salah satu dari mereka. "Kalau
kita merusak dan menginjak-injak tempat suci, apakah
tidak akan kena kutuk?"
Beberapa orang menjadi ragu-ragu, tetapi Pang
Hui-beng kembali membakar keberanian orang-orang.
"Ah, tempat suci yang sudah dijadikan kedok
untuk perbuatan maksiat, pastilah sudah kehilangan
tuahnya! Serbu saja, habis perkara! Takkan ada yang
kena kutuk! Dewa-dewa di pihak kita, kita yang sedang
membasmi kejahatan!"
Orang-orang pun kembali bergerak-gerak
seperti beras ditampi, sambil berteriak-teriak gusar.
Orang-orang mulai mencari balok yang besar untuk
disodok-sodokkan ke pintu kelenteng yang dipalang
dari dalam.
Bersambung jilid V.5859
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi
file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk
mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan
dikompilasi menjadi file TextPDF.
Credit untuk :
? Gunawan A.J.
? Kolektor E-Books12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID 5
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang - Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid V
PANG HUI-BENG sebenarnya tidak sabar
melihat lamanya usaha mendobrak pintu itu. Ingin ia
melompati tembok, lalu membuka palangnya dari
dalam, tapi hal itu berarti ia membuka kedoknya
sendiri. Yang bisa dilakukannya, ia pura-pura ikut
menyodokkan balok itu bersama-sama orang lain,
namun ia menyalurkan kekuatannya meskipun tidak
dengan menyolok. Maka dalam dua sodokan lagi,
terpentanglah pintu depan kuil itu. Orang-orang
menyerbu masuk.
"Tangkap penculik!"
"Hancurkan sarang penjahat yang berkedok
tempat suci ini!"
"Bakar!"
"Jangan dulu! Temukan dulu orang-orang yang
diculik!"
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun begitu orang-orang itu melangkah
masuk, pintu tertutup sendiri, lalu di halaman rumah6
itu tiba-tiba berhembus angin amat dingin sehingga
keadaan jadi gelap-gulita biarpun di siang hari bolong.
Orang-orang berteriak-teriak panik, memejam
kan mata sebab debu dan pasir beterbangan naik. Dan
sekalipun mata sudah ditutup tetapi kulit wajah tidak
terselamatkan dari tusukan pasir terbang yang
membuat perih. Bahkan anginnya menghebat
sehingga kayu-kayu yang agak besar pun mulai
terangkat dan seolah menggebuki orang-orang itu.
Dalam keadaan seperti itu, orang-orang Pek
lian-hwe yang menyusup di antara orang-orang itu
pun menakut-nakuti orang-orang dengan teriakan
mereka.
"Kita akan binasa di sini kalau tidak cepat-cepat
keluar!"
"Ya! Ini tempat suci yang tidak boleh diterobos
semaunya saja!"
"Ayo keluar!"
"Pintunya terkancing, tak bisa dibuka!"
"Celaka! Dewa-dewa benar-benar mengutuk
kita! Melawan kita!"7
Namun Pang Hui-beng semakin yakin bahwa
tempat ini benar-benar salah satu pos rahasia Pek
lian-hwe. Kemampuan gaib untuk mendatangkan
angin semacam ini adalah salah satu ciri khas Pek-lian
hwe di Utara maupun Pek-lian-hwe di Selatan ini.
Pang Hui-beng tidak mau kehilangan
kesempatan untuk membongkar tempat ini dengan
memanfaatkan orang-orang kalap ini. Maka Pang Hui
beng juga takkan membiarkan orang-orang ini
menjadi kalap ketakutan. Di tengah-tengah hiruk
pikuk orang-orang itu, Pang Hui-beng tiba-tiba ingat
cerita atasannya, Jenderal Wan Lui, ketika jenderal
kesayangan Kaisar Kian-liong itu menceritakan
pengalamannya ketika menyusup ke tengah-tengah
orang-orang Pek-lian-kau dulu, cerita yang disengaja
dibekalkan kepada para bawahannya yang akan
bertugas di Lam-koan. Menurut cerita Jenderal Wan,
kebanyakan ilmu gaib Pek-lian-kau maupun Pek-lian
hwe bisa dibuyarkan dengan menyiramkan darah
hewan-hewan berbulu hitam. Entah kuda hitam, sapi
hitam, kambing kita, anjing hitam, kucing hitam, ayam
hitam, pokoknya yang serba hitam. Namun di tempat
dan waktu itu sudah tentu tidak ada benda itu di situ,
tetapi Pang Hui-beng ingat petunjuk lain dari8
jenderalnya. Gigit lidah sedikit sehingga berdarah, lalu
semburkan darahnya bersama ludah.
Itulah yang bisa dilakukan saat itu, dan Pang
Hui-beng melakukannya.
Angin tiba-tiba mereda, Pang Hui-beng
kegirangan dan berteriak kepada orang-orang,
"Jangan kuatir, teman-teman! Gigit sedikit lidah kalian
dan ludahkan darahnya ke segala arah!"
Orang-orang Pek-lian-hwe di antara orang
orang itu terkejut. Mereka makin yakin bahwa "Si
Tukang Pangsit" ini bukan orang sembarangan,
melainkan orang yang mengerti mematahkan ilmu
gaib Pek-lian-hwe, entah sampai di mana mengerti
nya. Memang tidak semua ilmu gaib Pek-lian-hwe bisa
dipatahkan hanya dengan meludahkan darah.
Beberapa ilmu tingkat tinggi seperti "ilmu mata
ketiga" misalnya, tidak akan punah hanya dengan cara
ini.
Sementara, beberapa orang mulai mempraktek
kan petunjuk Pang Hui-beng tadi. Dan mulailah orang
orang meludah-ludah darah ke sana kemari, dan angin
aneh itu pun reda. Beberapa orang masih menggosok
gosok matanya yang tadi kelilipan pasir, atau minta
tolong teman untuk meniupkan pasir dari matanya.9
Pang Hui-beng membangkitkan semangat
orang-orang itu, "Lihat, ternyata segala macam ilmu
siluman tidak mempan terhadap kita, karena niat baik
kita diberkahi Yang Kuasa! Ayo maju terus!"
Kobaran api semangat yang dinyalakan Pang
Hui-beng itu ditambahi "minyak" oleh beberapa
orang, terutama sanak-keluarga dari orang-orang
yang diculik.
"Benar! Yang Maha Kuasa di pihak kita! Ayo kita
geledah sarang penculik ini!"
Begitulah Pang Hui-beng berhasil menunggangi
semangat "main hakim sendiri" itu untuk tujuannya
sendiri. Orang-orang itu menerobos ke bagian dalam
kuil. Namun di aula, di mana ditaruh arca Buddha dan
para bodhisatwa yang digunakan sebagai kedok oleh
penghuni-penghuni kuil itu, orang-orang tidak berani
melakukan perusakan. Bahkan beberapa orang yang
cukup "beragama" menyempatkan sedetik untuk
menghormat Buddha meski agak tergesa-gesa.
Orang-orang itu lalu masuk melalui lorong
lorong di kiri kanan ruang sembahyang, dengan
beringas mereka mengobrak-abrik perabotan kuil itu.
Bahkan sampai ke dapur, kakus, gudang dan lain-lain
tempat juga tidak luput dari amukan massa.10
Tetapi orang-orang itu tidak melihat satu
batang-hidung pun dari penghuni-penghuni kuil itu.
Namun mereka yakin bahwa kuil Itu memang sudah
menjadi "sarang penculik", sebab di bagian belakang
kuil mereka menemukan patung kecil Dewa Api
Ahusta yang ukirannya bergaya Persia.
Kemarahan orang-orang itu jadinya masih
kurang tersalur, maka ketika ada seorang yang
berteriak, menganjurkan untuk membakar, maka yang
lain-lainnya pun bersorak setuju.
Tentu saja anggota-anggota Pek-lian-hwe yang
ada di tengah-tengah orang-orang itu tidak ikut setuju,
namun mereka yang cuma beberapa gelintir itu
merasa tidak berdaya mencegah langkah orang
banyak yang tengah beringas itu. Bisa-bisa mampus
dicincang. Tetapi mereka juga semakin memperhati
kan Pang Hui-beng yang mereka curigai sebagai
"semilir angin". Dengan kode-kode rahasia satu sama
lain, orang-orang Pek-lian-hwe yang di antara orang
banyak itu menetapkan untuk "memberi perhatian
lebih" kepada Pang Hui-beng.
Begitulah. Orang-orang itu menumpuk-numpuk
banyak perabotan kayu di dalam kuil, lalu menyalakan
nya, setelah itu mereka berlarian keluar. Sekejap11
kemudian kuil kecil tak bernama itu sudah menjadi api
unggun raksasa, dan orang-orang yang marah itu
menyorakinya.
Tetapi Pang Hui-beng kecewa. Ia tidak sedikit
pun berhasil menemukan sesuatu yang berarti untuk
menyingkap selubung Pek-lian-hwe. Patung Dewa Api
kecil yang sudah diremuk dan diinjak-injak massa itu
sama sekali tidak memiliki nilai keterangan.
Orang banyak yang sedang menyoraki nasib sial
kuil kecil itu, berlarian bubar ketika sebuah pasukan
pemerintah berlari-lari mendekati.
Pang Hui-beng ikut bubar, memasuki sebuah
lorong. Seseorang berlari-lari di sebelahnya, dan Pang
Hui-beng tidak terlalu menggubrisnya, toh di gang itu
ada belasan orang lagi yang sedang berlari-lari
menghindari serdadu kerajaan.
Di suatu tempat yang dirasa aman dari kejaran
serdadu pemerintah, orang-orang pun berhenti
berlari, bersandar tembok sambil terengah-engah
memperbaiki napas. Pang Hui-beng pun pura-pura
Ikut terengah-engah, meski sebagai perajurit istana
pilihan, lari seperti tadi tidak berarti apa-apa baginya.
"Sudah pergikah serdadu-serdadu itu?"12
Seseorang menjengukkan kepalanya dengan
takut-takut di mulut gang, lalu melapor kepada
kawan-kawannya dalam gang, "Sudah tidak kelihatan
satu pun orangnya."
"Mungkin mereka lebih sibuk dengan api,
sebelum merambat ke rumah-rumah lain di sekitar
kuil."
"Eh, ke mana kira-kira kaburnya kawanan
penculik itu?"
"Mungkin mereka sudah tahu kita akan
mendatangi mereka, lalu mereka kabur duluan."
"Tetapi benarkah kuil itu adalah sarang
penculik?"
"Agaknya benar. Kalau penghuni kuil itu tidak
bersalah, kenapa mereka kabur ketakutan? Kalau
tidak bersalah, tidak perlu lari bukan?"
"Ya. Alasan kedua, kenapa dalam sebuah kuil
Buddhis ada patung aneh itu?"
"Lalu bagaimana kira-kira nasib orang-orang
yang diculik itu?"
"Kita kasihan kepada mereka, dan sebisa-bisa
akan membantu menemukan mereka. Kalau kita lihat13
atau dengar sesuatu yang mencurigakan, kita harus
saling memberi tahu."
"Bagaimana dengan caranya? Kita bertempat
tinggal di kampung yang berbeda-beda."
"Pokoknya hubungi saja kampung nelayan dan
kampung tempat arfak-kembar itu diculik."
"Benar. Kita orang-orang kecil ini harus tolong
menolong satu sama lain. Kalau tidak, siapa akan
menolong kita?"
"Ya. Selama ini keadaan aman tenteram,
sekarang kenapa tiba-tiba ada penculikan segala?"
"Mungkinkah.., ada suatu golongan penyembah
setan akan mengadakan upacara pengorbanan
manusia seperti beberapa tahun yang lalu?"
"Entahlah. Yang penting, kita harus saling
membantu. Meski belum ada keluarga kita yang jadi
korban, tetapi kita tidak akan menunggu itu terjadi,
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan mudah-mudahan penculik-penculiknya segera
tertangkap."
Begitulah, dengan kesepakatan untuk saling
menolong, orang-orang itu berpisahan satu sama lain.
Pang Hui-beng diam-diam senang juga. Ia jadi
memperoleh dua "stasiun berita", yaitu di kampung14
nelayan dan kampung tempat anak kembar yang
diculik itu. Ke tempat-tempat itulah semua
keterangan akan "bermuara", meski untuk mengguna
kannya Pang Hui-beng masih harus menyaringnya lagi.
***
Malam harinya, selesai "berjualan mi-pangsit"
berkeliling, suatu pekerjaan yang sesungguhnya hanya
untuk menyelubungi maksudnya yang sebenarnya,
yaitu mengamat-amati keadaan dan untuk tetap
mengadakan hubungan rahasia dengan teman
temannya di tempat-tempat tertentu. Seperti dengan
Kui Tek-lam, Lo Lam-hong, Oh Tong-peng dan kedua
pengiringnya.
Mi-pangsit bikinan Pang Hui-beng ini, Pang Hui
beng sendiri bahkan tidak doyan. Maka bisa ditebak
kalau orang lain pun jarang yang doyan. Itulah
sebabnya Pang Hui-beng selalu pulang larut malam di
rumah kecil yang disewanya di tengah kota bawah
Lam-koan dengan dagangan yang hampir tidak
berkurang dan akan menjadi basi keesokan paginya.
Tetapi Pang Hui-beng tidak peduli, karena memang
bukan itulah tujuannya.
Begitu pula malam itu, selesai keliling kota, Pang
Hui-beng memikul pikulannya memasuki gang gelap15
berbau air kencing, gang tempat rumah sewaannya
berada. Sengaja ia memilih tempat macam itu untuk
mengamankan samarannya. Hidup di kalangan bawah
menghasilkan lebih banyak keterangan tentang
berbagai situasi.
Namun begitu melangkah di tikungan gang,
sebatang pentung tiba-tiba menyambar kepalanya.
Deru ayunan pentung itu berat, menandakan
penyerangnya bertenaga kuat.
Dalam keadaan antara mati hidup demikian,
Pang Hui-beng tidak dapat terus berpura-pura sebagai
penjual mi-pangsit yang tak berdaya, atau kepalanya
bakal retak. Maka dengan cepat Pang Hui-beng
menunduk dan menaruh pikulannya, dan menyurut
mundur lewat bawah bambu pikulan dengan gerakan
mirip kura-kura menyurutkan kepala.
Sambaran pentung itu cepat, tetapi
penghindaran Pang Hui-beng lebih cepat lagi. Pentung
itu hanya menghantam bagian tengah bambu pikulan
mi-pangsit, dan ternyata bambu pikulan Itu bukan
bambu biasa. Bambu itu tidak patah, melainkan
mementalkan pentung yang menimpanya sehingga
penyerang dengan pentung itu hampir saja
mementung mukanya sendiri.16
Kemudian ternyata penyerang Pang Hui-beng
tidak satu orang. Di depannya kelihatan bayangan dua
orang, yang satu memegang pentung dan yang sudah
menyerangnya tadi, yang satu lagi kelihatannya
memegang senjata sejenis rantai, jenis senjata yang
agak merepotkan di malam gelap itu. Kemudian di
belakangnya muncul pula dua orang. Satu senjata
pentung pula, satu lagi memegang sepasang belati.
Pang Hui-beng jadinya terjepit di tengah-tengah
gang sempit itu. Ia tidak tahu seberapa kekuatan ke
empat orang itu, maka ia tidak mau ambil resiko.
Dengan gerak cepat, Pang Hui-beng merenggut
kayu pikulan mi-pangsitnya, lepas dari pikulannya.
Lalu ia berdiri dalam posisi bersiaga yang dapat
mengawasi ke dua arah, dengan punggung merapat ke
salah satu dinding pembatas gang. Pikulan bambu
dipegang dengan dua tangan agak di tengah-tengah.
"Ikut kami!" geram Si Pembawa Rantai.
"Siapa kalian? Dan kenapa aku harus ikut kalian?"
"Jangan banyak cakap. Lakukan saja perintah kami!"
"Tidak."
"Kalau begitu, kami akan bertindak keras kepadamu!"17
"Semau kalianlah...."
Dua pemegang pentung bergerak serempak
dari dua arah, seolah mereka digerakkan hanya oleh
satu otak. Dan serangan mereka pun menutup
kemungkinan atas-bawah. Yang satu mengemplang
kepala, yang lain menyerampang sebatas lutut.
Di gang sempit itu, di mana kalau dua orang
berjalan kaki berpapasan haruslah keduanya
memiringkan tubuhnya supaya bisa lewat,
penghadang-penghadang Pang Hui-beng itu sudah
memperhitungkan akan menjepit Pang Hui-beng dari
arah depan dan belakang, cuma mereka melupakan
satu arah yang masih terbuka buat Pang Hui-beng,
yaitu atas.
Dan arah inilah yang diarah Pang Hui-beng
untuk meloloskan dirinya. Begitu serangan datang,
sekuatnya ia jejak-kan kaki ke tanah, kemudian kedua
kakinya terpentang menahan tembok di kiri kanannya
sehingga tubuhnya sekarang di atas lawan-lawannya.
Berbareng dengan kayu pikulannya yang sekarang
ganti mementung ke kepala lawan-lawannya.
Salah seorang lawan juga melompat ke atas dan
mementangkan kaki menahan tembok, dengan
rantainya ia hendak melibat leher Pang Hui-beng dari18
arah belakang, sebab posisinya ada di belakang Pang
Hui-beng.
Pang Hui-beng tidak meiihat namun mendengar
deru angin serangan lawannya, dan caranya
menghindar adalah memerosotkan tubuhnya kembali
ke bawah tembok. Sambil meluncur turun, kayu
pikulannya juga menyodok ke belakang lewat ketiak
tanpa melihat. Namun ujung kayu pikulannya tepat
menyodok ke tengah-tengah dari sepasang kaki lawan
yang terpentang itu, alias tempat di mana "pusaka"
kaum lelaki tersimpan. Orang itu meraung kesakitan
dan terbanting jatuh ke tanah, menggeloser di tanah
sambil merintih-rintih dan sepasang telapak tangan
mendekap selangkangannya. Sudah tentu ia tidak bisa
lagi ambil bagian dalam pertempuran.
Namun pertempuran tetap berlangsung tanpa
dia. Masih ada dua pemegang pentung dan satu
pemegang sepasang belati yang siap mencelakakan
Pang Hui-beng bila ada kesempatan.
Tetapi prajurit pilihan dari istana yang
menyamar sebagai bakui mi-pangsit ini ternyata
memang kelewat tangguh buat ketiga lawannya yang
salah menghitung kekuatannya. Apalagi, Pang Hui
beng dengan suatu lompatan bak belalang, berhasil19
mengubah posisinya. Kini tiga sisa lawannya itu tidak
berada di dua arah, melainkan berkumpul di satu arah
di gang sempit itu sehingga lebih gampang dihadapi.
Karena sempitnya gang, maka di pihak lawan tidak
bisa maju serempak semuanya. Paling banyak hanya
dua, dan yang satu harus "antri" di belakang. Dan
karena tidak ada satu pun dari tiga lawan itu yang
mampu melompat seperti Pang Hui-beng tadi, maka
posisi itu tidak berubah.
Kini Pang Hui-beng menggerakkan kayu
pikulannya bagaikan toya dan menggempur dengan
sengit. Ia bernafsu meringkus setidak-tidaknya
seorang dari ketiga lawannya itu, agar bisa ditanyai
tentang rahasia-rahasia Pek-lian-hwe. Begitulah ia
mendesak dengan sengit.
Begitulah, menurut anggapan Pang Hui-beng
secara teori ilmu silat, ia merasa sudah unggul di atas
angin. Ia merasa sudah berhak membayangkan per
olehan kemenangan yang gemilang, dan semangatnya
pun berkobar.
Cuma saja Pang Hui-beng lupa satu hal.
Berurusan dengan orang-orang Pek-lian-hwe atau
Pek-lian-kau, berarti berurusan tidak hanya dengan
perkara-perkara yang kelihatan oleh mata wadag,20
melainkan juga berurusan dengan hal-hal yang
bersangkut-paut erat dengan alam gaib yang tidak
terlihat oleh mata wadag kebanyakan orang. Alam
yang sering disebut "alam tidak nyata" padahal sama
nyatanya dengan alam yang tertangkap mata wadag.
Demikianlah, penyerang Pang Hui-beng yang
secara teori silat tidak mendapat tempat di garis
depan karena sempitnya gang itu, ternyata tidak
tinggal diam.
la mengeluarkan guntingan-guntingan kertas
kuning dari dalam bajunya. Helai-helai kertas kuning
yang sudah digunting dalam bermacam-macam
bentuk mahluk hidup. Ada manusia, dan kerbau, ular,
naga, bahkan salah satu helaian kertas itu digunting
dalam bentuk kuda sembrani, juga ular bersayap.
Sepintas seperti hasil karya anak kecil yang lagi
senang-senangnya bermain gunting dan kertas.
Orang itu berkemak-kemik membaca doa,
"mahluk-mahluk" dari guntingan kertas itu dipegang
di kedua telapak tangannya, lalu tiba-tiba kertas
kertas itu menyala dan dalam sekejap menjadi abu,
entah dari mana apinya. Abu-abu itu ditebarkannya di
langit yang kelam.21
Biarpun Pang Hui-beng sedang menghadapi dua
lawan, tetapi perbuatan orang ketiga yang berada di
belakang kedua lawannya yang lain itu tidak lepas dari
pandangannya. Sekilas dilihatnya cahaya api, lalu abu
kertas yang ditaburkan ke udara.
Hati Pang Hui-beng bercekat, sadar bahwa
lawan-lawannya siap melakukan "sesuatu yang aneh",
dan sekaligus ia juga mulai tahu kalau lawan-lawannya
Itu pastilah orang-orang Pek-lian-hwe. Mungkin
malam ini mereka bertindak sebagai kelanjutan dari
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
peristiwa siang tadi, di mana Pang Hui-beng menjadi
penggerak orang-orang yang membakar pos rahasia
Pek-lian-hwe itu.
Namun Pang Hui-beng tidak gentar. Pikirnya,
"Kalau bangsat-bangsat Pek-lian-hwe ini mau aneh
aneh, aku pun masih punya senjata penangkal yang
manjur. Ludah berdarah."
Meski ia tahu bahwa dengan "ilmu ludah
berdarah"nya maka dalam beberapa hari mendatang,
lidahnya akan banyak menderita luka-luka kecil
semacam sariawan yang bakal mengganggu
kenikmatan makannya.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba angin malam
yang semula bertiup biasa-biasa saja, mulai meningkat22
semakin kencang dan semacam dingin mengiris kulit,
debu dan dedaunan kering di tanah mulai terangkat.
Pang Hui-beng tertawa mengejek, "Hem, kalian
sudah membuka kedok kalian sendiri, bahwa kalian
adalah bangsat-bangsat Teratai Putih. Dan kalian
belum jemu juga mengulang-ulang permainan kalian
yang tidak ada gunanya ini?"
"Lihat sajalah, anjing Manchu!" geram salah
seorang lawannya.
Istilah "anjing Manchu" biasa digunakan oleh
penentang-penentang pemerintah terhadap orang
orang yang bekerja bagi pemerintah.
Pang Hui-beng panas hatinya. Tiba-tiba ia
kerahkan semangatnya dan serangan dengan kayu
pikulannya meningkat tajam secara mendadak. Kedua
lawannya yang sama-sama bersenjata pentung, yang
dalam kemahiran silat memang jauh di bawah Si
"Semilir Angin" Pang Hui-beng, segera saja kedodoran
dalam serangan maupun pertahanan mereka. Dalam
suatu gebrakan, salah seorang dari mereka kehilangan
pentungan yang mencelat ke udara, lepas dari tangan,
karena perge-langan tangannya kena sabetan kayu
pikulan Pang Hui-beng yang mencongkel dari bawah
ke atas. Pada gebrakan berikutnya, lawan Pang Hui-23
beng yang seorang lagi kena gebuk dengkulnya
sehingga ia langsung jatuh berlutut karena sebelah
kakinya tidak lagi mampu menahan bobot tubuhnya.
Pang Hui-beng sudah di ambang kemenangan.
Menurut teori silat. Tetapi suatu yang bukan dari teori
silat pun muncul di gelanggang dan menghambat
kemenangan Pang Hui-beng. Yaitu angin yang semakin
tajam dan kencang itu, yang dirasakan hanya oleh
Pang Hui-beng saja, namun tidak oleh lawan
lawannya.
Namun Pang Hui-beng masih meremehkannya.
Masih percaya keampuhan "ludah berdarah"nya. Dan
ketika ia sudah merasa cukup terganggu oleh angin
itu, ia benar-benar menggigit sedikit lidahnya dan
meludahkannya ke udara.
Ternyata urusan gaib yang dihadapinya kali ini
tidak sama dengan yang dihadapinya di kelenteng pos
rahasia Pek-iian-hwe itu. Angin dingin dan kencang
tidak segera reda, bahkan di depan Pang Hui-beng
tiba-tiba saja muncul seorang lelaki berbaju kuning
dan bersenjata pedang, entah darimana datangnya,
yang langsung saja menempur Pang Hui-beng dengan
sengit. Yang membuat Pang Hui-beng mau tidak mau
jadi bergidik, ialah ketika melihat wajah orang yang24
menjadi lawan barunya itu. Wajah itu bukan wajah
sesuatu yang hidup. Wajah itu seolah-olah hanyalah
selembar kertas yang digambari sepasang mata dan
hidung serta mulut oleh seorang anak kecil yang baru
belajar menggambar. Dan wajah semacam itu bukan
topeng, melainkan wajah asli "lawan" Pang Hui-beng
ini.
Dan ternyata lawan-lawan Pang Hui-beng yang
terdahulu, yaitu lawan-lawan yang "normal",
sepenuhnya mempercayakan perlawanan kepada
"orang" baru berbaju kuning yang entah dari mana
datangnya itu. Buktinya mereka mundur menjauhi
gelanggang sambil membawa kawan mereka yang
cidera tadi, dan mereka membiarkan Si Baju Kuning
bertarung dengan Pang Hui-beng sendirian.
Perkelahian berlangsung sengit, pedang
melawan pikulan bambu saling menyambar dengan
cepat dan bertenaga. Mulanya Pang Hui-beng
menyangka, biarpun lawan baru ini bertampang ganjil,
tetapi hanyalah manusia biasa. Ia beranggapan begitu,
sampai ia temukan beberapa keganjilan selain
wajahnya. Pertama, kalau orang normal bergerak
gerak beberapa menit saja pastilah akan keluar
keringatnya, ternyata orang ini tidak berkeringat sama
sekali, kalau orang-orang normal bertarung sepuluh25
gebrak saja, setidak-tidaknya pasti terdengar dengus
napasnya, tetapi orang ini tidak, bahkan agaknya ia
tidak bernapas! Ketiga, orang baju kuning itu seolah
tidak terpengaruh sama sekali oleh daya tarik bumi,
sering ia terapung-apung di udara kosong seperti
berjejak di atas tanah saja.
Maka Pang Hui-beng pun mulai ragu-ragu,
lawannya ini manusia, atau hantu? Dan Pang Hui-beng
mulai menyadari, memahami, memaklumi, kenapa
kedua orang rekannya sesama perajurit sandi istana
yang berhasil menyusup masuk ke dalam Pek-lian
hwe, yaitu Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong,
menceritakan pengalaman ganjil mereka dengan nada
bersungguh-sungguh, tidak berkelakar.
Meskipun demikian, Pang Hui-beng yang
bernyali besar itu tidak menjadi gentar.
Ia memang sudah siap mental. Sejak berangkat
dari Pak-khia, ia sudah diberi pesan oleh Jenderal Wan
Lui, atasannya, bahwa berurusan dengan kaum Teratai
Putih berarti akan berurusan juga dengan hal-hal aneh
yang tidak masuk akal.
Begitulah, namun Pang Hui-beng tetap tidak
gentar. Untuk membesarkan hatinya sendiri, ia26
membentak keras-keras, "Entah kau ini manusia atau
siluman, aku tetap akan menghajarmu!"
Dan kenyataannya sungguh tidak gampang
menghajar lawan yang aneh ini. Meski lawan Ini sering
kena gebukan karena ilmu silatnya tidak karuan, tetapi
tubuhnya seakan-akan karung beras. Gebukan
gebukan keras Pang Hui-beng tidak berbekas sedikit
pun di tubuhnya, setiap kali ia melompat bangkit
kembali dan menyerbu dengan garang. Dengan
geraknya yang tidak keruan, gerak yang sekedar
melompat-lompat dan menyabet-nyabetkan pedang
nya secara ngawur tetapi amat berbahaya.
Suatu ketika, Pang Hui-beng berhasil menyapu
kan kayu pikulannya mendatar menerpa pinggang
orang itu. Sangat telak, dan Pang Hui-beng mengerah
kan seluruh kekuatannya.
Dan sesuatu yang membuat seluruh tubuh Pang
Hui-beng meremang pun terjadilah. Kayu pikulan Pang
Hui-beng melintas lewat dan memutuskan pinggang
orang itu, namun terdengar suara seperti kertas
dirobek. Pang Hui-beng merasa aneh, tetapi lega,
karena ia sudah memotong tubuh lawannya itu jadi
dua meskipun tidak dapat menjelaskannya kenapa27
kayu pikulannya yang tumpul itu bisa memotong
tubuh orang.
Sekarang, betapapun besarnya nyali Pang Hui
beng, toh semangatnya terguncang juga. Sebab tubuh
musuh yang terpotong itu, bagian atas dan bagian
bawahnya ternyata bertempur sendiri-sendiri
melawan Pang Hui-beng.28
Potongan atas, pinggang ke atas dengan pedang
ditangannya, melayang-layang di udara dan tetap
menyerang dengan ganas. Sementara potongan
bawahnya juga menendang-nendang dengan gencar.
Sekarang, betapa pun besarnya nyali Pang Hui
beng, toh semangatnya terguncang juga. Sebab tubuh
musuh yang terpotong itu, bagian atas dan bagian
bawahnya ternyata bertempur sendiri sendiri.
Mau tak mau Pang Hui-beng berkeringat dingin.
Waktu ia semakin kebingungan menghadapi
lawan yang tidak bisa dibunuh itu, Pang Hui-beng mau
tidak mau harus kembali mencoba semburan ludah
berdarahnya. Namun ia tidak ingin lidahnya hancur
sendiri karena digigiti sendiri terus, maka ia gigit ujung
jari tangan kirinya sendiri sampai berdarah, dan
darahnya dikemut dalam mulut, lalu pada suatu
kesempatan disemburkan ke kedua "potongan orang"
itu.
Pang Hui-beng bersorak dalam hati ketika
melihat kedua potongan jatuh ke tanah, dan
menyusut menjadi bentuk aslinya yaitu guntingan
kertas kuning yang terpotong dua.
Namun kelegaan Pang Hui-beng tidak berumur
lebih dari dua detik. Angin dingin dan kencang yang29
tadi sudah mereda, tiba-tiba sekarang berjangkit
kembali. Baru saja Pang Hui-beng mengedipkan mata
melindungi matanya dari pasir yang beterbangan,
tahu-tahu ia sudah mendapat lawan baru. Bukan
hanya satu, melainkan tiga sekaligus. Dan yang tiga ini
adalah kuda, kerbau dan ular besar, tidak ada
manusianya satu pun. Ketiga hewan di gang sesempit
itu benar-benar merepotkan Pang Hui-beng.
Maka kembali ia memeras tenaga habis-habisan
menghadapi tiga mahluk itu. Ia harus sering melompat
dan mementang kakinya menjejak tembok-tembok
gang, sampai kakinya lama-lama terasa pegal juga.
Dan ia tambah repot ketika tahu bahwa baik ular
maupun kuda itu bisa terbang menyambar atau
melompat tinggi.
Tidak bisa tidak, akhirnya Pang Hui-beng harus
kembali menggigit ujung telunjuk dan menyemburkan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ludah lagi. Ketiga mahluk jadi-jadian itu pun kembali
ke ujud asal berupa guntingan-gun-tingan kertas
kuning. Namun tenaga Pang Hui-beng sudah terkuras
hampir habis.
Saat itulah tiga anggota Pek-lian-hwe tadi sudah
menyerang, bahkan mereka menggunakan kabut
beracun yang membuat Pang Hui-beng sempoyongan.30
Dan ia harus melepaskan kayu-pikulannya ketika
sebuah pentung lawannya menghantam pergelangan
tangannya, dan pentung kedua menghantam
tengkuknya dan merampas kesadarannya.
Pang Hui-beng jatuh pingsan, setelah lebih dulu
tenaganya diperas habis-habisan oleh "mahluk
mahluk kertas" dan kabut beracun lawannya.
Keempat anggota Pek-lian-hwe itu, termasuk
seorang yang tadi terpukul selangkangannya saling
berpandangan. Seorang menggunakan kakinya
menyentuh tubuh Pang Hui-beng untuk memastikan
Si "Semilir Angin" ini benar-benar pingsan.
"Ia pingsan."
"Memang itu yang dikehendaki San-cu
(komandan gunung). Ayo kita bawa dia kepada San
cu."
***
Malam itu Pang Hui-beng yang pingsan itu
digotong ke rumah pemimpin cabang Pek-lian-hwe di
Lam-koan itu, yaitu Siau Hok-to yang sehari-harinya
dikenal masyarakat sebagai pemilik toko obat yang
ramah tamah kepada siapa pun. Namun di kalangan
intern Pek-lian-hwe, Si Pemimpin cabang ini juga31
dijuluki Sam-gan Siang-seng atau Tuan Bermata Tiga.
Pertama karena adanya benjolan kecil di tengah
tengah jidatnya yang mirip "mata ketiga" itu, dan
kedua karena ilmu gaib Sam-gan Hoat-sut (Sihir Mata
Ketiga) yang dikuasainya. Dengan ilmu sihirnya itu,
Siau Hok-to bisa "menitipkan" mata ketiganya kepada
orang lain tanpa disadari oleh orang itu, dan melalui
"mata ketiga" itu dia bisa "ikut melihat" apa pun yang
dilihat oleh orang yang dititipi itu.
Pang Hui-beng yang pingsan itu pun digotong
orang-orang Pek-lian-hwe tersebut ke kediaman Siau
Hok-to. Dibawa langsung ke sebuah ruangan rahasia.
yang bersuasana magis. Semalam suntuk Pang Hui
beng yang tidak sadar itu digarap menurut
serangkaian acara gaib, dipasangi "mata ketiga".
Menjelang dini hari, Siau Hok-to memerintah
kan orang-orangnya agar kembali membawa Pang
Hui-beng keluar rumah dan meletakkannya kembali di
tempat di mana ia dihadang. Tetapi Siau Hok-to
berpesan kepada orang-orangnya, "Hati-hati, jangan
sampai kelihatan orang dan menimbulkan gelombang
keributan lagi. Cara kerja yang kasar dari Ui-kong Hwe
sio dan Phui Se-san ketika menculik calon korban,
sudah cukup memusingkan aku. Jangan sampai
muncul masalah baru."32
Orang-orang itu mengiakan pesan itu dengan
sungguh-sungguh, kemudian dalam suasana berkabut
di pagi yang sangat dini itu, mereka menggotong
tubuh Pang Hui-beng lalu menaruhnya di gang tempat
perkelahian semalam, dan ditinggalkannya begitu
saja.
Dinginnya embun sisa malam membuat Pang
Hui-beng sadar sebelum ada orang melewati gang itu.
Ia menggeliat duduk, memijit-mijit tengkuknya dan
pelipisnya, dan merasa heran menemukan dirinya
masih berada di arena perkelahian semalam. Heran
karena orang-orang Pek-lian-hwe semalam ternyata
hanya membuatnya pingsan tetapi tidak mengapa
apakannya.
Pang Hui-beng lalu mengambil kesimpulan
sendiri, "Mungkin mereka hanya menghajarku sebagai
peringatan agar tidak menghasut orang-orang Lam
koan melawan Pek-lian-hwe. Mereka tidak ingin aku
mati, sebab kalau mayatku ditemukan akan
menimbulkan kemarahan orang-orang Lam-koan. Dan
kemungkinan pula mereka beium tahu kalau aku
adalah agen kerajaan. Kalau mereka tahu, mustahil
mereka membiarkan tubuhku tetap utuh setelah jatuh
ke tangan mereka."33
Tak terpikir oleh Pang Hui-beng tentang
"penitipan mata ketiga" segala, tidak peduli ia sudah
mendapat beberapa petunjuk tentang golongan
Teratai Putih itu dari atasannya, Jenderal Wan Lui.
Pang Hui-beng cuma merasa di tengah-tengah
jidatnya ada sesuatu yang tidak enak, membuatnya
risih, namun ketika ia meraba ke tempat itu ternyata
tidak ada apa-apanya. Ia gosok-gosok dengan kuat,
tetapi perasaan risih ini tidak hilang juga.
Akhirnya Pang Hui-beng bosan sendiri, ia
bangkit sambil menggerutu, "Ah, nanti lama-lama juga
hilang sendiri."
Ia bangkit dan mulai melangkah meninggalkan
tempat itu, sambil memikir-mikir rencananya, "Mulai
besok, aku harus ganti penyamaran, bukan tukang jual
pangsit lagi. Juga ganti bentuk wajah. Tetapi untuk hari
ini aku masih harus menyamar sebagai tukang pangsit,
kalau-kalau kawan-kawanku kebingungan mencari
aku. Dan nanti malam harus aku kumpulkan kawan
kawanku di tempat biasanya, memberitahu
perkembangan terbaru, siapa tahu Kui Tek-lam atau
Lo Lam-hong bisa mencium di mana beradanya orang
orang yang diculik itu."34
Hari itu Pang Hui-beng tetap berkeliling kota
sebagai tukang pangsit, namun dengan lebih berhati
hati. Perkara sesuatu yang merisihkan yang seolah
olah bersembunyi di bawah kulit di tengah-tengah
jidatnya, ia tidak menghiraukannya betul. Ia sempat
menghubungi Lo Lam-hong, Kui Tek-lam serta Oh
Tong-peng dan kedua bawahannya yang lain,
mengajak mereka bertemu nanti malam untuk
bertukar informasi dan mengatur langkah bersama.
Sementara, seharian itu toko obat kepunyaan
Siau Hok-to hanya ditunggui Nyonya Siau saja. Siau
Hok-tonya sendiri mengurung diri di ruangan
pemujaannya, tidak makan tidak minum, dan di
pelupuk matanya tergambar apa saja dan siapa saja
yang ditemui Pang Hui-beng hari itu. Sayang, apa yang
mereka bicarakan tidak bisa ikut didengar oleh Siau
Hok-to, ia hanya bisa melihat orang-orang yang
ditemui Pang Hui-beng itu berkomat-kamit mulutnya.
Ilmu sihir Siau Hok-to memang hanya "mata ke tiga"
dan bukan "kuping ke tiga".
Dalam semedinya Siau Hok-to melihat wajah
wajah yang juga dilihat Pang Hui-beng, bahkan
seandainya Pang Hui-beng sedang terpejam. Karena
Pang Hui-beng berkeliling kota Lam-koan, tentu saja
wajah yang dilihatnya jadi banyak sekali. Sikap Pang35
Hui-beng kepada siapa pun juga nampak wajar, tidak
patut dicurigai, sehingga Siau Hok-to sulit menentukan
yang mana di antara wajah-wajah itu yang agen
kerajaan alias "semilir angin".
Tetapi Siau Hok-to mencurigai seseorang
pemuda berjubah biru yang keluar dari sebuah rumah
besar yang dikenalinya sebagai rumah Nyo In-hwe. Si
Pemuda itu terlihat melalui "mata ketiga"nya yang
dititipkan kepada Pang Hui-beng nampak berbicara
agak lama dan dengan mimik bersungguh-sungguh
dengan Pang Hui-beng. Jelas pembicaraan mereka
tidak sekedar perkara mi-pangsit antara penjual dan
pembeli. Juga seorang tukang perahu di dermaga kota
Lam-koan, dan seorang lelaki setengah baya bertubuh
tegap. Siau Hok-to mengingat-ingat wajah-wajah itu.
Sore harinya Siau Hok-to beristirahat, tetapi
tetap dalam keadaan berpuasa, tidak makan dan tidak
minum, untuk menjaga "hubungan" dengan "mata
ketiganya". Menjelang malam, ia bersembahyang di
altar dewa-dewanya kaum Teratai Putih, lalu kembali
bersemedi untuk ikut melihat apa yang dilihat Pang
Hui-beng.
Kebetulan waktu itu Pang Hui-beng sedang
beristirahat di rumah sewaannya setelah seharian36
berjualan mi-pangsit, ia terbaring di dipan kayu di
kamarnya berbantalkan lengan-lengannya, sehingga
yang dilihat oleh Siau Hok-to di ruang semedinya ya
hanyalah cecak-cecak yang berkejaran di langit-langit
kamar Pang Hui-beng.
Namun Siau Hok-to menunggu dengan sabar,
yakin bahwa suatu saat kelak "mata ketiga"nya yang
"dititipkan" ke Pang Hui-beng itu akan melihat sesuatu
yang berarti.
Ternyata Pang Hui-beng juga tidak ingin tidur
tiduran terus sampai pagi, ia sudah berjanji untuk
bertemu dengan kawan-kawannya tengah malam
nanti di tempat pertemuan yang dulu, kuburan
Portugis yang sudah tidak dipakai lagi di luar kota.
Ketika mendengar tanda waktu menjelang
tengah malam di kejauhan, ia pun bangkit, cepat
mengenakan pakaian ringkas berwarna gelap dan
menyelinaplah ia di antara lorong-lorong kota Lam
koan, menuju ke kuburan tua itu.
Tiba di tempat yang dituju, belum seorang pun
dari kawannya yang muncul di situ. Ia duduk sendirian
di kegelapan, di antara nisan-nisan yang bertulisan
latin yang sebagian besar sudah rusak, patung-patung
malaikat gaya Eropa dan salib-salib yang juga sudah37
banyak yang ambruk atau miring. Kuburan itu sudah
tidak terpakai sejak lima puluh tahun yang lalu, ketika
orang-orang Portugis ramai-ramai meninggalkan kota
Lam-koan, mengungsi ke Makao, karena orang-orang
Pek-lian-hwe melalui gerakan bawah tanahnya
menyebarkan rasa kebencian kepada orang-orang
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
asing.
Yang datang kemudian adalah Oh Tong-peng Si
Pimpinan operasi rahasia di Lam-koan itu, bersama
dua orang bawahannya.
Pang Hui-beng berdiri untuk memberi hormat,
"Selamat malam, Kakak Oh." "Lama menunggu aku?"
"Tidak juga. Saudara Kui Lo juga belum datang."
Namun kedua orang yang ditunggu itu pun
segera muncul berturut-turut. Dengan demikian
sekarang lengkaplah enam orang agen kerajaan yang
ditugaskan Jenderal Wan Lui ke Lam-koan itu.
Ditugaskan untuk menemukan dan menghancurkan
simpanan gudang senjata kaum Teratai Putih
golongan selatan alias Pek-lian-hwe.
"Nah, katakan apa yang mau kaukatakan,
sehingga kau kumpulkan kami di sini." peringah Oh
Tong-peng sebagai pimpinan.38
Pang Hui-beng menceritakan soal penculikan,
dan juga soal ia dihadang malam-malam di gang dan
harus berhadapan dengan beberapa mahluk jadi
jadian dari kertas kuning.
"...untungnya setelah aku dipukuli pingsan, aku
tidak diapa-apakan. Aku dibiarkan saja tergeletak di
gang itu sampai pagi." demikian Pang Hui-beng
mengakhiri laporannya.
Karena Pang Hui-beng belum tahu apa yang
diperbuat orang-orang Pek-lian-hwe atas dirinya
sewaktu ia tidak sadar, maka ia masih berani berkata
"untungnya" pada penutupan laporannya.
Namun Lo Lam-hong yang berpikiran cermat itu
bertanya, "Saudara Pang, kapan waktunya engkau
pingsan dan kapan waktunya engkau siuman?"
Pertanyaan itu terdengar sarat dengan nada
kesungguhan.
Pang Hui-beng ini sifatnya agak mirip Kui Tek
lam, mungkin karena usianya bisa dibilang sebaya.
Yaitu sifat bernyali besar, agak memandang kelewat
enteng segala urusan, dan keduanya agaknya punya
pandangan yang sama terhadap Lo Lam-hong yang
sekitar delapan sembilan tahun lebih tua dari usia
mereka berdua. Yaitu semangat Lo Lam-hong terlalu39
bersungguh-sungguh memikirkan segala sesuatunya
"sehingga cepat tua" kata mereka.
Begitu pula kali ini Pang Hui-beng menanggapi
kesungguhan Lo Lam-hong dengan ringan, "Saudara
Lo, apa sangkut-pautnya antara lamanya aku pingsan
dengan..,."
"Ada sangkut-pautnya. Berapa lama kau tidak
sadarkan diri?"
Pang Hui-beng masih saja cengengesan, "Aku
kira tidak perlu kita membesar-besarkan soal
kehebatan orang-orang Teratai Putih, Jangan-jangan
kita bukan mati oleh pedang, tetapi oleh ketakutan?"
"Saudara Pang, jawab saja pertanyaan Saudara
Lo!" tiba-tiba Kui Tek-lam berkata dengan nada tidak
sabar. "Jangan terlalu mengandalkan otak kita, yang
tidak selalu bisa memecahkan persoalan menghadapi
orang-orang Pek-lian-hwe!"
Nada suara Kui Tek-lam mengagetkan Pang Hui
beng. Di antara anggota-anggota regu kecil itu, yang
paling sering berkelakar adalah antara Kui Tek-lam dan
Pang Hui-beng karena sifatnya paling cocok, kini
mendengar Kui Tek-lam berkata dengan nada amat
bersungguh-sungguh yang jauh dari ramah, sungguh
kuping Pang Hui-beng sendiri sulit mempercayainya.40
Memang sudah sejak sore tadi Pang Hui-beng merasa
heran kepada rekannya ini. Tadi sore ketika ia
menghubungi Kui Tek-lam di rumah Nyo In-hwe, Pang
Hui-beng sudah merasa heran melihat Kui Tek-lam
yang tidak bertemu dalam dua hari saja wajahnya
nampak bertambah tua beberapa tahun, nampak
lelah tetapi bukan lelah secara fisik melainkan secara
batin. Dan malam ini, sejak bertemu dengan Pang Hui
beng, tidak sepatah kata kelakar pun keluar dari
mulutnya, tidak seperti biasanya.
Pang Hui-beng menarik napas, meng
kesampingkan sikap bermain-mainnya dan menjawab
pertanyaan Lo Lam-hong tadi, "Kira-kira menjelang
waktu Macan (istilah untuk menyebut waktu antara
jam tiga sampai jam lima dinihari) sampai
pertengahan waktu Kelinci (lima sampai tujuh) baru
aku siuman."
"Wajarkah Pang Hui-beng, seorang perwira
terpilih dari para pilihan di. barisannya jago-jago
Sribaginda, pingsan selama itu?" Lo Lam-hong mulai
melontarkan masalahnya.
Kini semuanya tahu apa yang dipikirkan Lo Lam
hong. Tetapi sesuai dengan watak Pang Hui-beng, ia
masih mencoba memperingan masalahnya, "Rasanya,41
dengan daya tahan tubuhku, seandainya aku pingsan
pun tidak akan melebihi setengah jam. Tetapi kenapa
aku tidak sadar selama itu? Jawabannya mudah,
mungkin karena aku lelah di siang harinya, maka
selama itu aku sebenarnya pingsan bercampur tidur."
"Selama kau tidak sadar itu, bisa jadi pihak Pek
lian-hwe tidak membiarkan dirimu. Mereka mungkin
sudah mengerjakan sesuatu atas dirimu." kata Lo Lam
hong.
"Aaah..." sahut Pang Hui-beng dengan sikap
meremehkan sambil mengibaskan telapak tangannya
di depan wajahnya sendiri, seperti mengusir lalat yang
mau hinggap ke hidungnya. "Tidak perlu menduga
duga hal-hal yang buruk, tidak perlu membesar
besarkan."
"Berhadapan dengan orang-orang sesat macam
kaum Teratai Putih, pikiran Saudara Lo itu bukan
sesuatu yang terlalu dibesar-besarkan!" kembali Kui
Tek-lam menukas dengan perkataannya yang tidak
ramah.
"Saudara Kui, apa yang harus kukatakan?
Seandainya benar orang Pek-lian-hwe mengerjakan
sesuatu atas diriku, mana aku tahu, karena aku sedang
tidak sadar?"42
"Dalam keadaan tidak sadarmu itu, apakah kau
bermimpi sesuatu?" tanya Lo Lam-hong.
Hampir-hampir Pang Hui-beng tertawa, apa
hubungannya urusan ini dengan mimpi? Tetapi sudah
tentu ia tidak berani tertawa terang-terangan di depan
rekan-rekannya yang sedang strees ini supaya tidak
jadi onar, ia jawab dengan lagak bersungguh-sungguh,
"Tidak, tidurku pulas sekali, mungkin seandainya aku
bermimpi, aku tidak dapat mengingatnya lagi, sebab
hampir tiap malam aku bermimpi namun aku tidak
punya kebiasaan mengingat-ingat mimpiku."
"Apa tidak terasa sesuatu perubahan pada
dirimu? Sesuatu yang... tidak biasa, begitu?"
Pang Hui-beng ingat perasaan tidak enak di
tengah-tengah jidatnya, di antara kedua matanya,
namun ia tetap bertahan dalam sikapnya untuk "tidak
membesar-besarkan masalah", maka dia pun
menggeleng.
Sedari tadi Oh Tong-peng diam saja. Itu adalah
kebiasaannya sebagai pimpinan, membiarkan para
bawahannya saling mengeluarkan isi hati masing
masing sebebasnya, sehingga sebagai pimpinan ia bisa
menduga keadaan mental anak buahnya. Malam ini, ia
tidak menangkap kelakar antara anak buahnya seperti43
biasanya, melainkan justru ketegangan. Khususnya
pada diri Lo Lam-hong dan Kui Tek-lam, kelihatannya
urat-syaraf kedua orang itu sudah sedemikian
tegangnya sehingga cukup dengan sedikit "tarikan"
saja urat-syaraf kedua orang itu bisa putus. Ini
mengherankan Oh Tong-peng. Semua anak buahnya
adalah orang-orang bernyali besar, bahkan
seandainya ada ujung pedang ditempelkan di kulit
leher mereka, mungkin mereka masih bisa bercanda.
Namun kini mereka berdua kelihatan begitu tegang,
begitu mudah marah dan tidak sabaran, bahkan
antara Pang Hui-beng dan Kui Tek-lam yang biasanya
begitu akrab. Kebetulan Lo Lam-hong dan Kui Tek
Iamlah yang diselundupkan masuk menjadi anggota
Pek-lian-hwe, bahkan sudah melalui upacara
penerimaan anggota di "Kota Bunga Persik" dan
mengambil sumpah di depan "altar bunga merah"
yang mereka jalani. Sekarang Oh Tong-peng menduga,
mungkin kedua bawahannya itu sudah menemukan
petunjuk tentang gudang senjata Pek-lian-hwe itu?
Mungkinkah pula muncul masalah lain yang membuat
otak mereka "kelebihan muatan" sehingga jadi
tegang? Karena itu Oh Tong-peng memutuskan untuk
mengkesampingkan Pang Hui-beng dulu, dan lebih
dulu mendengarkan Lo Lam-hong atau Kui Tek-lam.
Supaya mereka berdua lega lebih dulu.44
Dengan suaranya yang berat dan perlahan, Oh
Tong-peng mulai memasuki pembicaraan, "Saudara Lo
dan Saudara Kui, aku merasakan ada beban berat di
pikiranku. Bisa kalian katakan?"
Kedua anak buahnya itu malahan bertukar
pandangan dengan gelisah.
Oh Tong-peng kemudian secara bijaksana
mencairkan suasana resmi antara atasan-bawahan,
"Kita ini meskipun dalam ikatan tugas, tetapi , sehari
harinya sudah seperti keluarga sendiri. Beban satu
orang dipikul bersama. Saudara Lo dan Saudara Kui,
apa yang membuat kalian sulit berbicara?!"
Pang Hui-beng yang lebih tidak sabaran,
malahan sudah langsung ke masalahnya, "Apakah
kalian sudah menemukan petunjuk tentang senjata
senjata api simpanan Pek-lian-hwe itu?"
Bersamaan Lo Lam-hong dan Kui Tek-lam
menarik napas berat sambil geleng-geleng kepala.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lho...."
"Kakak Oh, bahkan aku sering kehilangan
kepribadianku sendiri..." keluh Kui Tek-lam.45
Pendengar-pendengarnya tercengang, Oh
Tong-peng beringsut pada tempat duduknya.
"Maksudmu bagaimana?"
Kui Tek-lam mulai berkisah, "Ketika aku
mengikuti upacara kelompok bangsat-bangsat itu di
tempat yang mereka namai 'Kota Pohon Persik' aku
lakukan apa saja yang termasuk bagian upacara itu,
termasuk mengucapkan sumpah dan memberi hormat
kepada dewa-dewa keparat kaum Terat... ter... ter...."
Tiba-tiba saja rahang Kui Tek-lam menjadi kaku
dan tubuhnya menjadi kejang-kejang, tak bisa
meneruskan bicaranya. Teman-temannya terkejut,
menyangka Kui Tek-lam terkena serangan gelap
senjata beracun, mereka berloncatan mengitari Kui
Tek-lam dalam posisi melindungi, menghadap ke
berbagai arah dalam sikap siaga, sementara Oh Tong
peng merangkul Kui Tek-lam dan mencoba memeriksa
tubuhnya. Namun malam terlalu gelap di kuburan
lama itu, dan orang-orang itu sengaja bertemu dalam
kegelapan untuk menjaga jangan sampai terlihat dari
kejauhan.
Namun demi keselamatan Kui Tek-lam, Oh
Tong-peng menaruh tubuh Kui Tek-lam lebih dulu, lalu
mengeluarkan batu apinya, dan dengan menggunakan46
rumput-rumputan kering di tanah yang ditumpuk, ia
menyalakan, api, lalu menaruh ranting-ranting kecil ke
atas api sehingga apinya makin besar. Ia tidak peduli
seandainya musuh ada di sekitar tempat itu dan
melihat cahaya apinya, keselamatan Kui Tek-lam harus
diutamakan.
Setelah cukup terang, ia mulai memeriksa
tubuh Kui Tek-lam, membuka bajunya dan membolak
balik tubuhnya, tetapi tidak sedikit pun ditemukan
tanda-tanda serangan beracun, bahkan yang paling
lembut, semacam Bwe-hoa-ciam (Jarum Bunga
Sakura) atau bahkan yang lebih lembut lagi seperti Gu
mo-ciam (Jarum Bulu Kerbau), toh Kui Tek-lam tetap
saja kejang-kejang dan megap-megap, bahkan
mukanya mulai membiru perlahan-lahan, seperti ada
tangan tak terlihat yang mencekiknya.
Oh Tong-peng jadi panik, jidatnya sampai
berkeringat meskipun malam itu udaranya dingin. Ia
mengurut-urut dan memijat-mijat sebisa-bisanya,
tetapi keadaan Kui Tek-lam tidak membaik.
Sementara keempat anak buah Oh Tong-peng
yang mengawasi ke empat penjuru, juga tidak melihat
jejak siapa pun, maka mereka mulai berbalik untuk
mengurusi Kui Tek-lam rekan mereka.47
Mereka tidak tahu bahwa ketua cabang Pek
lian-hwe di Lam-koan, Siau Hok-to, mendapat
keuntungan besar begitu wajah-wajah mereka
menghadap ke arah api. Di ruang semedinya, Siau
Hok-to bisa "ikut melihat" apa pun yang dilihat Pang
Hui-beng yang ia "titipi" mata ketiga, dengan demikian
Siau Hok-to dapat melihat juga pertemuan agen-agen
kerajaan di kuburan lama Portugis itu. Tetapi karena
gelapnya, Siau Hok-to juga cuma bisa melihat sosok
sosok bayangan hitam dengan garis-garisnya yang
kabur dan hampir membaur dengan gelapnya malam.
Setelah Oh Tong-peng menyalakan api, kelihatanlah
semua wajah orang-orang yang berkumpul itu. Tak
tertahan Siau Hok-to pun terkekeh-kekeh sendirian di
ruang semedinya, "He-he-he... anjing-anjing Manchu
ini mau coba-coba main gila dengan Pek-lian-hwe,
sebentar lagi mereka akan mengalami hal-hal ajaib
yang tidak ketahuan ujung pangkalnya sampai otak
mereka pecah."
Sementara itu, sekian lama Oh Tong-peng
mengurut dan memijat tanpa hasil, sampai tiba-tiba
dari mulut Kui Tek-lam keluar suara yang asing,
"Bangsat, kau selalu saja ikut campur!"
Habis itu, napas Kui Tek-lam yang tersengal
sengal itu normal kembali secara berangsur-angsur.48
Wajahnya yang biru menjadi kemerah-merahan lagi,
dan tidak kejang-kejang lagi.
Semua yang mengerumuninya lega, sekaligus
juga merinding mendengar suara asing yang keluar
dari mulut Kui Tek-lam tadi. Siapa yang dituduh
sebagai "bangsat yang selalu saja ikut campur" oleh
suara asing tadi? Apakah Oh Tong-peng yang memijat
mijat dan mengurut-urut? Dugaan macam itu rasanya
terlalu tidak meyakinkan.
Sementara Kui Tek-lam telah duduk tanpa
dibantu siapa-siapa, nampak sehat kembali. Ia
mengatur napasnya, di matanya nampak sejenak ada
kebimbangan, namun kemudian nyala tekad berpijar
di mata itu.
"Aku tetap harus menceritakan keadaanku
kepada kalian, tidak peduli hantu dari topeng kayu itu
mengancamku terus."
"Hantu dari topeng kayu?" Pang Hui-beng
tercengang.
Kui Tek-lam cuma mengangguk, namun Lo Lam
hong menjelaskannya lebih terang, "Ketika kami
berdua diterima sebagai anggota Pek-lian-hwe, kami
masing-masing diberi sebuah topeng dari kayu dengan
wajah seram. Kami terima saja, kami anggap topeng49
itu tidak ada apa-apanya, sekedar dipakai kalau kami
sedang diikutkan beroperasi seperti beberapa malam
yang lalu. Memang ada anggota-anggota Pek-lian-hwe
yang menganggap topeng itu bisa menambah
kekuatan, keberanian dan perlindungan dari dewa
dewa yang mereka percayai. Kami semula meng
anggap remeh kepercayaan mereka. Ternyata...."
"Ternyata kenapa? Teruskan!"
Lo Lam-hong menarik napas dulu, baru
melanjutkan, "Ternyata justru melalui topeng yang
sudah diisi kekuatan gaib itulah pentolan-pentolan
Pek-lian-hwe itu mengendalikan anggota-anggotanya.
Begitu topeng itu di dekat kami, segera kami merasa
ada pribadi lain, kehendak lain, pikiran lain, perasaan
lain yang mencoba mendesak, membantah, bahkan
menguasai pribadi kami yang sejati."
"Tandanya?"
"Entah yang kualami ini sama atau tidak dengan
yang dialami Saudara Kui, tetapi penolakanku atas
penguasaan oleh pribadi asing itu membuat aku
tersiksa oleh mimpi-mimpi buruk yang sama dan
berulang-ulang setiap malam, bahkan kadang-kadang
saluran napas seperti tercekik beberapa menit. Persis50
yang dialami Saudara Kui tadi. Itulah yang membuat
aku sangat sedikit tidur dalam beberapa malam ini."
"Yang kualami sama." Kui Tek-lam melengkapi
penjelasan itu. "Dalam mimpi, entah berapa kali aku
didatangi mahluk yang wajahnya persis wajah topeng
yang kumiliki itu."
Sekarang Pang Hui-beng dan lain-lainnya bisa
sedikit meraba penyebabnya, kenapa dalam beberapa
hari saja Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong kelihatan cepat
tua.
Seperti sifatnya yang angin-anginan, Pang Hui
beng mengusulkan, "Kalau begitu, kenapa susah
susah? Buang atau musnahkan saja topeng yang
sudah dimanterai orang Pek-lian-hwe itu."
"Atasan-atasan kami di Pek-lian-hwe pasti akan
segera mengetahuinya dan menanyakannya."
"Kalau begitu, buat topeng kayu lainnya yang
mirip. Bahkan persis."
"Aku sudah mencoba beberapa kali untuk
melakukan seperti yang kaukatakan itu, Saudara Pang.
Tetapi gagal."
"Bagaimana gagalnya?"51
"Ada-ada saja. Misalnya, waktu hendak
membakar topeng itu, tiba-tiba ada orang datang. Di
lain kali, baru aku pegang topeng itu, leherku seperti
tercekik, seperti tadi itu. Dan macam-macam lagi."
"Kalau begitu, memang topeng itu ada setannya."52
Oh Tong-peng memijit-mijit pelipisnya, memikir
kan penderitaan kedua anak buahnya buahnya yang
disuruhnya menyelundup masuk ke dalam Pek-lian
hwe itu. Hasil belum diperoleh, masalah besar sudah
muncul lebih dulu. Apa yang dialami Kui Tek-lam
maupun Lo Lam-hong itu bisa mendorong kedua
perwira istana pilihan ini menderita tekanan batin
yang makin berat, dan tidak mustahil keduanya bisa
jadi gila. Celakanya, Oh Tong-peng tidak tahu
bagaimana memecahkan masalahnya. Ini bukan
perkara adu jotos atau adu ke-trampilan memainkan
pedang atau adu taktik uan adu ketajaman otak. Ini
sudah menyangkut perkara-perkara gaib yang asing
buat Oh Tong-peng, tidak peduli sudah dibekali
beberapa petunjuk oleh Jenderal Wan.
Dalam keadaan seperti itu, tak terasa oleh Oh
Tong-peng berdesah, "Seandainya pemuda yang
bernama Liu Yok, yang diceritakan Jenderal Wan itu
ada di sini... sini...."
Sementara di pihak Kui Tek-lam dan Lo Lam
hong merasa sedikit lega, setelah dapat menceritakan
sedikit pengalaman mereka. Tidak peduli betapa aneh
pengalaman mereka, dan entah yang mendengarnya
percaya atau tidak.53
"Bagaimana kalau kita minta pertolongan
"orang pintar untuk menyembuhkan Saudara Kui
Saudara Lo?" Pang Hui-beng mengusulkan jalan keluar
seperti umumnya orang-orang di kampung kalau
menjumpai penyakit yang aneh-aneh.
Kata pepatah, kalau seorang sedang tenggelam
di sungai yang deras, sehelai jerami pun akan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipegangi erat-erat, diharapkan pertolongannya.
Begitu juga usul Pang Hui-beng itu ibarat "sehelai
jerami" bagi kelompok orang yang sedang
kebingungan itu.
"Siapa orangnya?" berbarengan Kui Tek-lam
dan Lo lam-hong menoleh ke arah Pang Hui-beng.
Mereka berdua sudah jemu tiap malam kurang tidur
karena disiksa mimpi buruk dan sesak napas yang
tidak ketahuan asal-usulnya.
Pang Hui-beng menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. "Wah, kalau soal siapa orangnya....
aku memang belum tahu. Aku harus mencarinya
dulu."
"Aku kenal seorang di Lam-koan ini!" kata Oh
Tong-peng tiba-tiba.
"Siapa?"54
"Seorang pemilik toko obat yang toko obatnya
berseberangan jalan dengan rumah yang kusewa
selama ini di Lam-koan. Perkenalanku dengan pemilik
toko obat ini baru beberapa hari, baru sejak aku di
Lam-koan dan menyamar sebagai saudagar hasil
bumi. Aku tahu dari kata orang-orang, katanya Si
Pemilik Toko Obat itu juga pintar mengobati macam
macam penyakit. Dari penyakit biasa sampai penyakit
yang aneh-aneh."
"Ooo, aku tahu orangnya!" sambung Pang Hui
beng bersemangat. "Aku juga pernah berjualan mi
pangsit dengan pikulanku di depan toko obatnya.
Orang-orang Lam-koan memanggilnya Tabib Siau.
Tetapi...."
"Tetapi kenapa?"
"Orang itu pintar menyembuhkan orang, tetapi
anak perempuannya sendiri makin parah gilanya dan
tidak sembuh-sembuh juga."
"Kau tahu itu?"
"Dengar-dengar dari orang, Kakak Oh. Katanya
anak perempuan Si Pemilik Toko Obat itu sudah
saatnya kawin tetapi tidak kawin-kawin juga, lalu
menderita tekanan jiwa, makin lama makin parah55
sehingga sekarang sering menari-nari di jalanan tanpa
pakaian."
Salah satu agen kerajaan yang selalu bersama
sama dengan Oh Tong-peng, yang bernama Cung
Tong-iiong, tiba-tiba tertawa dan berkata, "Wah,
beberapa hari ini aku menyewa rumah di depan toko
obat itu, kenapa belum bekali pun mataku beruntung
menyaksikan adegan itu?"
Pang Hui-beng ikut tertawa, bahkan Kui Tek-lam
dan Lo Lam-hong yang sedang tertekan pun ikut
menyeringai. Sahut Pang Hui-beng, "Aku sendiri juga
agak rajin mangkal dengan pikulan mi-pangsitku di
depan toko obat itu, setelah mendengar desas-desus
itu, tetapi juga belum beruntung melihatnya biar satu
kali. Belakangan kuketahui dari orang-orang, bahwa
anak perempuan itu sekarang dikurung di sebuah
ruangan tertutup bawah tanah. Tidak boleh keluar,
karena sekali keluar akan bikin malu orang tuanya."
"Wah, jadi Tabib Siau yang kesohor bisa
menyembuhkan orang, ternyata tidak mampu
menyembuhkan anaknya sendiri?" tanya Oh Tong
peng.
"Kabarnya begitu, Kakak Oh."56
"Tetapi aku tetap harus menghubunginya, siapa
tahu dia bisa menyembuhkan Saudara Kui dan
Saudara Lo..." jawab Oh Tong-peng. "Atau sedikitnya
bisa mengatakan kepadaku, menunjukkan tabib lain
mana yang bisa dimintai tolong."
Kui Tek-lam berkata dengan nada berat, "Aku
minta maaf, Kakak Oh, tugasku belum kelihatan
hasilnya sedikit pun, masalah sudah muncul karena
kelemahanku."
"Aku juga." Lo Lam-hong pun ikut minta maaf.
Namun Oh Tong-peng ikut menggoyangkan
tangannya sambil berkata, "Jangan menuduh dan
menyalahkan diri sendiri, itu akan tambah meruntuh
kan jiwa kalian sama sekali. Yang terjadi bukan karena
kelemahan kalian, melainkan karena musuh yang kita
hadapi kali ini kelewat aneh. Bahkan aku kagum kalian
masih bisa bertahan, masih bisa berpikir dan
bertingkah-laku waras."
"Antara kami dan alam kegilaan rasanya tinggal
selangkah lagi." kata Lo Lam-hong.
"Kuatkan jiwa kalian."
Mereka kemudian berpisah setelah memadam
kan api yang dibuat Oh Tong-peng tadi.57
Sementara Pang Hui-beng sambil melangkah
pulang, menggaruk-garuk tengah-tengah jidatnya
yang merasa masih saja gatal-gatal tanpa tahu
sebabnya. Namun ia tidak berpikir terlalu jauh tentang
gatal-gatal itu, malah yang dipikirkannya adalah kedua
temannya, Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong yang mulai
kena dampaknya berurusan dengan Pek-lian-hwe.
Di ruang semedinya, Siau Hok-to tertawa dingin.
Biarpun ia hanya melihat namun tidak mendengar
melalui "mata ketiga" yang "dititipkan" kepada Pang
Hui-beng itu namun ia merasa pihaknya untung besar
malam itu berhasil melihat wajah enam orang agen
kerajaan yang menyamar dan beroperasi di Lam-koan
itu. Salah seorang dikenalnya sebagai pemuda yang
menumpang di rumah Nyo In-hwe, seorang lagi
dikenalnya sebagai orang yang menyewa rumah tepat
ber-seberangan dengan toko obatnya.
Bersambung jilid VI.5859
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi
file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk
mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan
dikompilasi menjadi file TextPDF.
Credit untuk :
? Gunawan A.J.
? Kolektor E-Books12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID 6
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang - Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid VI
"HE-HE-HE, anjing-anjing Manchu, kalian
berada di tempat terang, sedangkan kami di tempat
gelap. Kami bisa melihat kalian sejelas-jelasnya,
sebaliknya kalian masih meraba-raba tentang kami,
meskipun kalian berhasil menyelundupkan dua ekor
anjing Manchu ke dalam organisasi kami. He-he-he...."
***
Malam itu Siau Hok-to berusaha tidur pulas,
tanpa menghiraukan suara anak perempuannya yang
meraung-raung di ruang bawah tanah tempat
penyekapannya. Anak perempuannya yang gila
sebagai tumbal ilmunya, makin lama makin parah.
Kadang Siau Hok-to pilu juga memikir anak
perempuannya yang tanpa masa depan itu, tetapi
setiap kali dalam hatinya muncul suara yang mem
peringatkan bahwa keadaan anak perempuannya
itulah "imbalan" untuk segala yang sudah didapatkan
Siau Hok-to selama ini. Ilmu-ilmu, ketenaran dan nama
baik sebagai tabib yang berhati mulia. Dan kekuasaan6
sebagai ketua Pek-lian-hwe cabang Lam-koan itu
bukankah sesuatu yang nikmat juga? Memegang mati
hidupnya sekian banyak orang? Meskipun kedudukan
itu harus disembunyikan karena Pek-lian-hwe adalah
organisasi terlarang oleh undang-undang Kerajaan
Manchu.
Esoknya Siau Hok-to bangun dalam keadaan
agak segar sudah bertahun-tahun ia tidak pernah
benar-benar merasakan tidur dan bangun pagi yang
benar-benar menyegarkan, cuma "agak segar" dan itu
sudah terhitung baik. Kemudian dengan perasaan
setengah disiplin setengah ketakutan, ia menuju ke
ruang pemujaan untuk memuja Dewa Api, kebiasaan
nya setiap pagi sebelum fajar menyingsing.
Ketika melangkah masuk ke ruang pemujaan
yang selama dua puluh empat jam sehari selalu
berbau dupa itu, dengan patung Ahusta berukiran
gaya Persia di tengah-tengah ruangan, Siau Hok-to
sudah bersikap menunduk ketakutan, tak berani
menengadah. Ia lalu berlutut, dan mulai berdoa.
Ketika ia mengangkat sepasang tangan ke atas
sambil menengadah sebagai bagian dari upacara
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pribadinya, lak sengaja ia melihat ke arah patung dari
batu giok itu. Ia melihat ada semacam garis hitam yang7
samar dari pundak kanan patung itu, memanjang
berkelok-kelok sampai ke bagian ulu hati.
Siau Hok-to agak heran, tetapi ia belum berani
menghentikan sembahyangnya. Ia selesaikan dulu
kewajibannya, kemudian barulah bangkit dari
berlututnya dan memeriksa dengan cermat patung
pujaannya itu.
Dan setelah ia melihat pasti apa sebenarnya
garis hitam itu, kagetnya bukan kepalang, sebab itulah
retakan. Artinya patung batu kemala hijau yang bukan
cuma amat mahal harganya tetapi juga dipercayainya
amat bertuah itu, terancam akan terbelah jadi dua
bagian!
Siau Hok-to lalu mulai mencari sebabnya,
kenapa patung itu sampai bisa retak? Apakah pernah
jatuh? Ia teliti sekitarnya, juga tubuh patung itu,
ternyata tidak ada tanda-tanda bekas jatuh atau
benturan sekecil apa pun. Tadinya Siau Hok-to hampir
saja memarahi pembantunya, karena disangkanya
pembantunya yang telah bertindak ceroboh ketika
membersihkan tempat itu. Tetapi anggapan seperti itu
sebenarnya kurang masuk akal. Tidak gampang
patung batu giok seukuran manusia itu dirobohkan
biarpun didorong oleh dua atau tiga orang, apalagi8
kalau hanya "disenggol" oleh pembantunya yang
bertubuh kurus itu.
Jadi, dipikir bolak-balik bagaimanapun juga,
penyebab retaknya patung itu tetaplah suatu
pertanyaan tak terjawab.
Sebagai orang yang terbiasa mengkait-kaitkan
hal-hal ganjil dengan pemikiran-pemikiran gaib,
akhirnya Siau Hok-to juga mulai mengkait-kaitkan
retak arca itu dengan dugaan-dugaan apa yang akan
terjadi? Kalau arca yang dianggap "dewa pelindung"
orang-orang Pek-lian-hwe di seluruh Lam-koan itu
mengalami nasib demikian, alamat apa yang bakal
menimpa Pek-lian-hwe cabang Lam-koan? Yang
terang bukan alamat baik. Tak terasa Siau Hok-to
gentar.
Ruang pemujaan pribadi itu letaknya tepat di
atas ruang tempat menyekap anak perempuan Siau
Hok-to yang gila. Gadis itu namanya Siau Hiang-bwe.
Ketika Siau Hok-to tengah hendak beranjak
meninggalkan ruang itu, terdengar suara yang
berubah-ubah, "Lepaskan aku dari sini! Kami akan
terbakar hangus di sini! Api yang sejati itu sedang
membakar kami dan semakin dekati"9
Suara itu bukan suara seorang gadis, tetapi
suara laki-laki, bahkan beberapa laki-laki. Siau Hok-to
tidak heran lagi. Bahkan kadang-kadang dari mulut
puterinya itu keluar suara anak-anak, suara nenek
nenek, bahkan bermacam binatang. Suara asli
puterinya sendiri malahan tidak pernah atau jarang
terdengar.
Sudah lama Siau Hok-to tidak menengok
keadaan puterinya, bukan karena tidak sayang lagi,
tetapi karena tidak tega saja. Puterinya itu sudah tidak
mau lagi mengenakan pakaian, sekujur tubuhnya
dilumuri kotorannya sendiri. Maka hanya pelayanlah
yang disuruh mengurusinya, disertai pesan sungguh
sungguh agar tidak menceritakannya kepada orang
luar.
Kini, sementara Siau Hok-to melangkah pergi,
terdengar gemerincing rantai yang diguncang
guncangkan dan teriakan bermacam-macam suara
berganti-ganti namun keluar dari satu mulut, "Biarkan
kami semua pergi! Biarkan kami pergi! Kami tidak mau
jadi abu!"
Siau Hok-to agak heran juga. Yang dipujanya
adalah "Dewa Api" dan siluman-siluman yang masuk
ke tubuh puterinya adalah "penguasa-penguasa api",10
narnun sungguh heran bahwa "penguasa-penguasa
api" itu ketakutan, takut "dihanguskan api yang
sejati". Apinya api!
Siau Hok-to tertegun sejenak, ia cuma
mengibaskan kepalanya kuat-kuat seolah mengusir
semua pikiran yang meresahkan, dan terus melangkah
meninggalkan ruangan itu.
***
Toko obatnya harus buka seperti biasa pagi itu,
dan pasien-pasien yang mengandalkan nama besar
Tabib Siau pun sebentar lagi bakal berdatangan.
Perkara arca yang retak dan teriakan aneh anak
perempuannya, untuk sementara dikesampingkan
dulu.
Ternyata, beberapa saat setelah toko obatnya
buka, Siau Hok-to dikunjungi kenalan barunya.
Seorang lelaki setengah baya bertubuh tegap dan
bermata tajam, yang bicaranya berlogat Propinsi Ho
pak, seorang yang mengaku bernama Ang Kin-liong,
mengaku sebagai saudagar hasil bumi yang sedang
berkelana sampai jauh ke wilayah selatan ini untuk
"mencari kemungkinan perluasan usaha", dan orang
itu juga menginap di sebuah losmen kelas menengah
yang letaknya di seberang toko obat itu. Namun Siau11
Hok-to sebagai seorang tokoh sebuah organisasi
rahasia yang harus selalu bertindak amat hati-hati
agar bisa bertahan hidup, sejak semula tidak
mempercayai omongan Si "saudagar hasil bumi" Ang
Kin-liong ini meskipun kalau berhadapan dengan
orangnya sendiri Siau Hok-to akan pura-pura percaya.
Dan semalam melalui "mata ke tiga" yang "dititipkan"
kepada Pang Hui-beng, Si "Semilir Angin", Siau Hok-to
bisa melihat Si "Saudagar Hasil Bumi" ini ternyata ikut
berada di kuburan tua Portugis itu, dengan demikian
Siau Hok-to pun merasa pasti bahwa Si Kenalan Baru
ini tak lain tak bukan juga seorang agen kerajaan
menyamar, alias musuh!
Tetapi ketika berhadapan dengan orangnya di
toko obatnya, Siau Hok-to tetap menunjukkan sikap
ramahnya, sambil tertawa-tawa ia menyambut Si
Kenalan Baru ini, "Selamat pagi, Tuan Ang, nyenyak
kah tidur Tuan semalam?"
Ang Kin-liong yang sebenarnya adalah Oh Tong
peng, menjawab tak kalah ramahnya, "Selamat pagi,
Tabib Siau. Terima kasih. Aku sehat-sehat saja, dan
semalam tidur nyenyak, malahan bermimpi dapat
untung besar."12
Tabib Siau ikut tertawa, "Dasar Tuan Ang ini
pedagang, tidur pun mimpinya mimpi untung besar.
Tetapi Tuan sudah datang ke toko obatku, ada yang
bisa aku bantu?"
"Ya. Memang. Aku sehat, tetapi kedua pegawai
yang bersamaku itu anehya tertimpa penyakit yang
bersamaan, mungkin mereka kurang tahan akan hawa
yang hangat di wilayah selatan ini."
"O, mereka jatuh sakit?"
Oh Tong-peng mengangguk mantap, sebenar
nya ia sedang mencarikan obat buat Kui Tek-lam dan
Lo Lam-hong, namun diakukan buat kedua agen
kerajaan yang bersamanya itu, yang di depannya Siau
Hok-to diaku sebagai pegawainya. Kemudian Oh Tong
peng menceritakan kepada "tabib" didepannya itu
tentang gejala-gejala yang dialami Kui Tek-lam dan Lo
Lam-hong, ditutup dengan pertanyaan, "Nah,
penyakit macam itu, apa obatnya, Tabib?"
Siau Hok-to berwajah serius ketika mendengar
kan setiap keterangan Oh Tong-peng, namun
sebenarnya tertawa dalam hati. Ia hapal gejala-gejala
"penyakit" macam itu. Itulah tanda-tanda orang yang
mengikuti upacara penerimaan anggota baru Pek-lian
hwe di "Kota Bunga Persik", namun mencoba13
bertahan untuk tidak kerasukan "semangat Pek-lian
hwe" yang hendak dimasukkan melalui topeng yang
dibagikan kepada setiap anggota baru. Kalau si
anggota baru terbuka dan rela dirasuki "semangat
Pek-lian-hwe" maka tak ada masalah. Masalah justru
timbul kalau ada orang yang mengikuti semua upacara
Pek-lian-hwe namun tidak membiarkan dirinya
dikuasai "semangat Pek-lian-hwe" melainkan
mencoba bertahan dengan kepribadiannya sendiri.
Orang macam itu akan mendapat kesulitan, mula
mula kecil, dan kalau terus bertahan maka
kesulitannya akan makin besar. Awalnya hanya
pusing-pusing dan mimpi-mimpi buruk yang berulang
ulang, tetapi lama-lama bisa mengakibatkan kegilaan.
Pihak Pek-lian-hwe tidak ingin kemasukan anggota
yang tidak mau bersungguh-sungguh mengabdi secara
total kepada keyakinan dan tujuan Pek-lian-hwe.
Sekarang, dengan mendengar dari mulut Oh Tong
peng, Siau Hok-to dapat memastikan bahwa
organisasinya sudah kesusupan setidaknya dua orang
anggota palsu yang adalah agen-agen Manchu. Ia jadi
ingin tahu pasti siapa mereka dan di mana tinggal
mereka di kota Lam-koan ini, meskipun yang seorang
sudah dikenalinya melalui "mata ketiga" sebagai Si
Pemuda Baju Biru yang menumpang di rumahnya Nyo
In -hwe.14
Maka dia pun menjawab Oh Tong-peng,
"Mudah, Tuan Ang, aku ini bukan tabib maha sakti
yang bisa menentukan penyakit dan obatnya hanya
dengan mendengar keterangan gejala-gejalanya. Aku
harus menemui sendiri orang-orangmu yang sakit itu
dan memeriksanya sendiri."
Sebaliknya Oh Tong-peng justru ingin
menyembunyikan Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong yang
dalam tugas penyamaran. Maka ia jawab sambil
tertawa, "Mana berani kami merepotkan Tabib? Aku
pikir, obat penenang syaraf sudah cukup buat kedua
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pegawaiku itu. Kalau Tabib punya."
"Sebenarnya kita tidak boleh terlalu gegabah
menentukan suatu penyakit hanya dengan
mendengar perkataan orang yang tidak mengalami
penyakitnya sendiri. Tetapi kalau Tuan Ang begitu
yakin dengan penyakit pegawai-pegawai Tuan, ya
semogalah memang penyakitnya seringan yang Tuan
perkirakan. Apakah Tuan sabar menunggu saya
meramu obat untuk pegawai-pegawai Tuan?"
"Biar aku tunggu."
Sementara Oh Tong-peng dipersilakan duduk di
sebuah ruang tamu kecil yang letaknya tepat di15
sebelah toko obat, maka Siau Hok-to menghilang ke
kamar tempatnya ia biasa meramu obat.
Di ruang tamu, Oh Tong-peng duduk sendirian,
disuguhi secangkir teh. Sesuai kebiasaannya sebagai
seorang agen rahasia yang harus waspada senantiasa,
Oh Tong-peng mencoba mengamat-amati ruang tamu
itu, mencoba mencari ciri-ciri Pek-lian-hwe kalau ada.
Pertama ia melirik ke arah meja sembahyang kecil di
pojok. Ia melihat posisi tokoh-tokoh yang dipuja di
meja sembahyang itu normal saja.
Keluarga ini agaknya ingin menunjukkan kalau
mereka memuja tiga tokoh pahlawan dalam legenda
Sam-kok, yaitu Lau Pi, Koan Kong dan Thio Hui. Maka
gambar tiga orang itulah yang dipasang di meja
sembahyang.
Oh Tong-peng pernah dibekali pengetahuan,
bahwa rumah seorang anggota Pek-lian-kau di utara
atau Pek-lian-hwe di selatan ada ciri khasnya, pada
meja pemujaan keluarganya. Kalau normalnya tiga
tokoh Sam-kok itu disusun dengan Lau Pi Si Saudara
Angkat tertua ditaruh di tengah, maka di rumah orang
orang Teratai Putih biasanya yang ditaruh di tengah
adalah Koan Kong. Itulah sebabnya yang paling dulu
dilihat Oh Tong-peng adalah meja pemujaan keluarga,16
dan dilihatnya patung kecil Lau Pi ditaruh di tengah,
diapit patung-patung kecil Koan Kong dan Thio Hui.
Normal. Oh Tong-peng coba mengamat-amati hiasan
hiasan rumah lainnya, dan ia pun tidak curiga lagi.
Tidak ada tanda-tanda Pek-lian-hwe di ruangan ini.
Malahan dekat pintu yang menembus ke ruang yang
lebih dalam, dihiasi dengan sajak berpasangan yang
terkenal, hasil karya Kaisar Khong-hi, kakek dari Kaisar
Kian-liong yang bertahta sekarang. Mana mungkin
rumah seorang Pek-lian-hwe memasang sajak
berpasangan hasil karya seorang Kaisar Manchu,
sedang kaum Teratai Putih dikenal amat membenci
dinasti Manchu, bahkan bercita-cita menumbangkan
nya? Untuk sementara Oh Tong-peng berkesimpulan
kalau Tabib Siau itu warga masyarakat biasa yang tidak
bersangkut-paut dengan organisasi terlarang itu.
Karena itulah, dengan tenteram dan tanpa
curiga, Oh Tong-peng menikmati teh yang disuguhkan.
Agak lama ia menunggu, sampai Tabib Siau
muncul di ruang tamu sambil menjinjing dua buah
bungkusan kertas yang disatukan dengan seutas tali
pandan. Diserahkannya kepada Oh Tong-peng sambil
berkata ramah, "Inilah, Tuan Ang. Ramuan ini mudah
mudahan bisa meringankan penyakit kedua pegawai
mu, bahkan menyembuhkannya sama sekali."17
Oh Tong-peng menerimanya, dan ketika ia
mengeluarkan kantong uangnya sambil menanyakan
harga obatnya, Tabib
Siau buru-buru menggoyang tangannya sambil
berkata, "Yang ini cuma-cuma, Tuan Ang. Tidak apa
apa. Kebetulan bahan-bahannya juga bisa didapat
cuma-cuma di kebun obatku, jadi tidak ada harganya."
"Tetapi jerih payah Tabib...."
"Jerih payah apa? Aku ini jadi Tabib dan buka
toko obat bukan menomor-satu-kan keuntungan,
tetapi demi menolong sesama semampuku. Simpan
lah uangmu, Tuan Ang."
Melihat tabib ini begitu "mulia hatinya", Oh
Tong-peng tidak enak kalau terus memaksa untuk
membayar. Maka sambil mengucapkan terima kasih,
ia lalu berpamitan sekalian. Dalam hati Oh Tong peng
merasa tidak enak juga, batinnya, "Keterlaluan aku ini.
Orang begitu baik kepadaku, begitu tulus, aku sudah
membohonginya dengan nama palsu dan alasan
palsu. Tetapi apa boleh buat, demi tugas."
Sementara Siau Hok-to mengantar kepergian
"Ang Kin-liong" sambil tertawa dingin dalam hatinya,
"Hem, anjing Manchu, kedua anjing kecilmu itu adalah
orang-orang yang menyusup ke pihakku namun18
mencoba menolak tubuhnya didiami dewa-dewa
kami, makanya menemui masalah-masalah berat.
Dengan obat ramuanku, anjing-anjing Manchu itu
akan segera tidur pulas, dan begitu bangun lagi
mereka akan sepenuhnya dalam kendali para 'tentara
langit? kami, takkan ada perlawanan lagi."
Sementara itu, Oh Tong-peng tiba di
penginapannya yang di seberang toko obat, dan
langsung memanggil kedua perwira bawahannya ke
kamarnya. Ia sodorkan bungkusan-bungkusan obat itu
masing-masing satu kepada kedua bawahannya, "Kau
bawa ini kepada Kui Tek-lam dan suruh dia
meminumnya. Dan kaulakukan tugas yang sama,
tetapi untuk Lo Lam-hong."
Kedua bawahannya itu langsung hendak
beranjak, tetapi langkah mereka terhenti oleh suara
Oh Tong-peng, "Tunggu!"
"Ada apa, Kakak Oh?"
"Kalian pergi lewat pintu belakang."
"Kenapa?"
"Jangan sampai kalian dilihat oleh Tabib Siau di
tokonya di seberang jalan, sebab kalian berdualah
yang kukatakan sakit dan kumintakan obat."19
"Baiklah, Kakak Oh."
Kedua orang itu pun berlalu.
***
Sore itu, Kui Tek-lam sedang bermain-main
dengan kedua orang anak Nyo In-hwe, bermain-main
dengan bola yang terbuat dari rotan. Meski dalam
beberapa malam Kui Tek-lam kurang tidur sehingga
wajahnya agak kuyu, lebih cepat tua, tubuhnya kurus
dan kondisi badannya melorot, namun dengan
bermain sepak raga bersama anak-anak Nyo In-hwe,
ia berharap badannya bisa lebih segar sedikit, lebih
dari itu ia berharap malam nanti tubuhnya akan cukup
kelelahan sehingga bisa tidur pulas. Tidak lagi
diganggu mimpi-mimpi yang seram.
Ia bermain-main di halaman samping rumah
Nyo In-hwe yang berumput hijau, sebuah rumah
bergaya blasteran Cina-Eropa, meniru rumah-rumah
di Makao yang sudah lama dipengaruhi kebudayaan
Portugis. Rumah itu dikelilingi tembok yang tinggi,
sehingga selama bermain-main itu Kui Tek-lam tidak
bisa melihat apa yang terjadi di jalanan.
Dua anak-anak dan satu orang dewasa itu
bermain-main dengnan asyik, berleleran keringat,
memburu bola rotan yang ditendang kian kemari,20
kadang-kadang sambil berteriak senang dan tertawa
berderai-derai. Ternyata Kui Tek-lam juga menikmati
suasana itu sebagai pengendor urat syarafnya.
Kui Tek-lam kembali jadi seperti anak kecil, larut
dalam suasana itu. Ia bahkan tidak mempedulikan
kehadiran wanita berwajah seram dan berpakaian
serba hitam yang menjadi pengasuh anak-anak Nyo In
hwe itu. Mungkin juga tugasnya rangkap dua, bukan
cuma mengasuh anak-anak, melainkan juga
mengawasi Kui Tek-lam, tetapi Kui Tek-lam tidak
peduli.
Kui Tek-lam sedemikian asyik, sampai
kupingnya menangkap suara ketukan berirama dari
bambu yang biasa dibawa tukang pangsit, dari sebelah
luar tembok.
Ia tahu rekannya sesama agen kerajaan
mencoba menghubunginya. Meskipun demikian, ia
tidak serta-merta meninggalkan permainan lalu
menuju keluar, mau tidak mau ia harus menjaga
tindak-tanduknya agar tidak menimbulkan kecurigaan
Si Inang Pengasuh. Kui Tek-lam masih bermain bola
untuk beberapa saat, sampai kemudian dengan
sebuah gerakan seolah-olah tidak sengaja, ia
menendang bola kelewat tinggi sehingga melalui21
tembok dan jatuh di luar. Hal itu memang terjadi
berulang kali setiap kali permainan, dan Kui Tek-lam
berharap Si Inang Pengasuh takkan curiga.
Kedua anak Nyo In-hwe kontan berteriak-teriak
jengkel sambil banting-banting kaki segala, sementara
Kui Tek-lam pura-pura garuk-garuk kepala.
"Paman Kui lagi-lagi menendang terlalu keras
bolanya!"
"Sudah empat kali dengan yang ini!"
"Paman harus memungut bolanya!"
Kui Tek-lam tak langsung menuruti permintaan
anak itu, ia pura-pura sangat enggan, bahkan berkata,
"Anak-anak, hari sudah sore, bagaimana kalau besok
saja kita teruskan permainan?"
Kedua anak Nyo In-hwe terus mendesak,
akhirnya dengan berlagak terpaksa dia pun melompati
tembok halaman yang tingginya dua meter itu. Soal
ilmu silat, Kui Tek-lam memang tidak lagi merahasia
kannya. Bukankah kepada Nyo In-hwe ia mengaku
sebagai buronan yang telah berani mencuri lima ribu
pucuk bedil pesanan pemerintah Manchu? Tentu tidak
masuk akal kalau "buronan" sehebat itu tidak bisa silat
sama sekali.22
Tiba di luar tembok, Kui Tek-lam berharap akan
melihat Pang Hui-beng, rekannya yang suka
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyamar sebagai tukang pangsit itu. Ternyata kali ini
tidak, yang menunggunya di luar tembok adalah
rekannya yang selalu bersama-sama dengan Oh Tong
peng. Rekannya itu juga tidak membawa pikulan23
pangsit, tetapi hanya membawa bambu ketokan-nya
saja.
Kui Tek-lam melihat jalanan cukup sepi,
sehingga ia mendekat dengan berani dan berkata lirih,
"Ada apa?"
Si Tukang Pangsit yang hanya membawa
ketokan bambunya saja itu mengeluarkan sebungkus
ramuan obat dari balik bajunya, disodorkan kepada
Kui Tek-lam sambil berkata, "Aku disuruh Kakak Oh
untuk menyerahkan ramuan ini kepadamu. Dimasak
dengan air, lalu diminum, mungkin penyakit susah
tidurmu akan sedikit tertolong."
Tangan Kui Tek-lam terulur menerima
bungkusan itu, namun ia tidak menjadi besar hati
mendengar perkataan rekannya itu. Penyakit susah
tidurnya bukanlah penyakit biasa, Kui Tek-lam percaya
bahwa penyakit itu sudah melibatkan liku-liku
kekuatan gaib. Buktinya Lo Lam-hong juga mengalami
hal yang sama. Beberapa malam berturut-turut mimpi
didatangi ribuan mahluk yang wajahnya mirip wajah
topeng yang mereka terima sebagai semacam "tanda
anggota" Pek-lian-hwe. Tidak mungkin keadaan
macam itu diatasi dengan obat.24
Tiba di luar tembok, Kui Tek-lam berharap akan
melibat Pang Hui-beng, rekannya yang suka
menyamar sebagai tukang pangsit itu, biasa. Toh
untuk melegakan maksud baik Oh Tong-peng, Kui Tek
lam terima juga bungkusan itu, sambil berkata,
"Sampaikan kepada Kakak Oh, aku mengucapkan
terima kasih atas perhatiannya. Ada pesan lain lagi?"
"Pesan Kakak Oh, agar kau bertahan sekuat
tenaga menghadapi pengaruh gaib Pek-lian-hwe yang
ingin mencengkeram dan merasukimu."
"Tentu saja. Kalau aku tidak bertahan, saat ini
mungkin aku sudah memperoleh malam-malam yang
nikmat dengan tidur yang nyenyak. Tetapi sudah
menjadi orang Pek-lian-hwe seutuhnya, luar dalam."
"Di luar dugaan kita bahwa tugas penyusupan
ini akan begini berat, ya?"
"Sudahlah. Mundur pun tak mungkin lagi.
Tolong titip salam hormatku saja buat Kakak Oh."
Si Tukang Pangsit gadungan itu mengangguk
angguk dan menghilang di ujung jalan.
Sementara Kui Tek-lam cepat-cepat mengan
tongi bungkusan obat itu, kemudian mengambil bola
rotan itu di rerumputan dan melompat kembali ke25
halaman samping rumah Nyo In-hwe dengan
melewati atas tembok.
Jalanan begitu sepi, tak terlihat seorang pun.
Tetapi Kui Tek-lam dan rekannya tidak menyadari
bahwa gerak-gerik mereka diawasi dari jarak belasan
langkah oleh seseorang yang nongkrong di dahan
pohon, di balik rimbunnya dedaunan.
Orang itu adalah Nyo In-hwe sendiri!
Melihat semuanya tadi, Nyo In-hwe merasa
dadanya panas, merasa selama ini dibohongi dan
diremehkan oleh Kui Tek-lam, dianggap sebagai orang
tolol yang hendak diperalat. Untunglah, sebelumnya
Nyo In-hwe sudah bertemu dengan ketua cabang Pek
lian-hwe untuk Lam-koan, yaitu Siau Hok-to, sehingga
ia tidak langsung bertindak kepada Kui Tek-lam.
Pikir Nyo In-hwe, "Ternyata benar apa yang
dikatakan Kakak Siau siang ini di toko obatnya, bahwa
Kui Tek-lam adalah anjing Manchu yang menyusup.
Tadi aku kurang percaya, tetapi sekarang melihat
gerak-geriknya yang mencurigakan, dia berbicara
Ad Iz Karya Eury Athena The Beginning Karya Ariesta Nabirah Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama