Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P Bagian 4
dengan tukang pangsit yang tidak membawa pikulan
pangsit, rasanya aku harus percaya omongan Kakak
Siau, dan mulai lebih ketat mengawasinya."26
Meski mulai percaya, namun Nyo In-hwe tidak
segera bertindak, teringat pesan Siau Hok-to, agar
lebih dulu pura-pura belum curiga, dengan tujuan
lebih dulu memancing apa tujuan sebenarnya dari
para agen-agen kerajaan yang berkeluyuran di Lam
koan itu. Kata Nyo In-hwe dalam hatinya, "Hem,
anjing-anjing Manchu itu mengira kami tolol dan tidak
tahu gerak-gerik mereka, padahal merekalah yang
tolol, merekalah yang lebih dulu kami ketahui gerak
geriknya. He, rasanya aku tidak sabar lagi melihat
mereka meratapi ketololan mereka sendiri. Tetapi aku
harus sabar agar tidak mengacaukan rencana Kakak
Siau. Menurut Kakak Siau, ia sudah memberi obat
pelemah syaraf kepada kedua anjing Manchu yang
menyusup ini, dan agaknya bungkusan yang diberikan
oleh Si Tukang Pangsit gadungan kepada Kui Tek-lam
tadi. Hem."
Mengingat rapinya persiapan di pihaknya
sendiri, kemarahan Nyo In-hwe jadi banyak berkurang.
Ia pun keluar dari persembunyiannya, dan menyelinap
masuk ke dalam rumahnya.
Sementara itu, Kui Tek-lam sendiri, tanpa
menyadari kalau gerak-geriknya sudah diawasi Nyo In
hwe, masih terus bermain bola rotan dengan anak
anak Nyo In-hwe, sampai matahari belum tenggelam.27
Permainan barulah berhenti, ketika pengasuh anak
anak yang berwajah seram itu menyuruh anak-anak
asuhannya untuk berhenti bermain-main dan mandi.
Agaknya anak-anak Nyo In-hwe sendiri pun gentar
kepada pengasuh itu.
Kui Tek-lam sendiri segera membersihkan
badan, mengganti pakaian, ikut makan malam
bersama keluarga tuan rumah seperti biasanya, dan
Nyo In-hwe masih tetap bersikap amat ramah.
Selesai makan malam, Kui Tek-lam sebenarnya
mengeluh dalam hati, ia selalu ketakutan menjelang
saat-saat orang tidur. Itulah saat-saat ia akan segera
bergulat dengan sakit kepalanya, mimpi-mimpi
buruknya yang berulang kali, dengan kantuk yang
hebat tetapi tak terlampiaskan. Suatu siksaan dari
dalam tubuhnya sendiri yang begitu hebat. Tetapi ia
jadi agak tenang mengingat bungkusan titipan dari Oh
Tong-peng melalui Pang Hui-beng tadi. Katanya, obat
ini akan meringankan penderitaannya.
Tetapi Kui Tek-lam tidak segera menyeduhnya,
ia menunggu sampai rumah itu jadi sepi, nanti kalau
sudah sepi barulah ia akan menyelinap ke dapur dan
menyeduh ramuan itu. Sambil menunggu rumah itu28
jadi sepi, Kui Tek-lam coba membunuh waktu dengan
membaca-baca di ruangannya.
Namun selama ini ada kejadian yang cukup
istimewa, yang berbeda dengan kejadian-kejadian
sebelumnya. Ketika tengah membaca-baca, kantuk
yang hebat tiba-tiba menyerang Kui Tek-lam. Kui Tek
lam mencoba bertahan, ia tidak mau tidur, atau lebih
tepatnya takut tidur, takut didatangi mimpi-mimpi
menakutkan itu. Itulah sebabnya ia bertahan untuk
jangan tidur dulu. Alam tidur alias alam mimpi seolah
jadi berubah jadi dunia asing yang menakutkan,
sehingga ia takut memasukkannya. Tetapi pelupuk
matanya terasa makin berat saja, betapapun ia
mencoba bertahan, akhirnya ia tidur dengan wajah
menelungkup di meja, menindih kitab yang sedang
dibacanya. Dan masuklah ia ke dalam alam yang
ditakutinya itu. Mimpi seperti yang kemarin dan
kemarinnya pun datang lagi. Mahluk yang wajahnya
seperti wajah topeng kayu pemberian Nyo In-hwe,
muncul dari kegelapan dan menyerangnya, bahkan
jumlahnya bertambah-tambah sehingga Kui Tek-lam
kewalahan. Kalau sudah mimpi seperti ini, biasanya
Kui Tek-lam akan geragapan bangun dengan
punggung berkeringat dingin, jantung berdebar-debar
dan kepala berdenyut-denyut sakit, dan sulit untuk29
melanjutkan tidurnya, kadang-kadang sampai fajar
menyingsing. Tetapi kali ini lain kesudahannya. Masih
dalam mimpi, selagi Kui Tek-lam hampir dikeroyok
mampus oleh mahluk-mahluk aneh itu, tiba-tiba ada
ribuan titik-titik cahaya di kegelapan, seperti ribuan
kunang-kunang, makin lama makin dekat. Cahaya itu
membesar, sampai terlihat ujudnya sebagai ribuan
orang-orang berjubah putih yang langkahnya bagaikan
terbang, masing-masing memegang pedang yang
bernyala-nyala. Mahluk-mahluk berwajah topeng
kelihatan beringas dan marah menghadapi mahluk
mahluk bercahaya yang baru datang itu, namun
mahluk-mahluk bercahaya yang baru datang itu hanya
mengambil posisi mengepung.
Kui Tek-lam ingin berteriak, menyuruh mahluk
mahluk bercahaya itu segera menolongnya, sebab ia
sendiri sudah megap-megap hampir tak bisa bernapas
di bawah tekanan hebat mahluk-mahluk berwajah
topeng. Tetapi Kui Tek-lam tak bisa berteriak. Ia hanya
bisa membuka lebar-lebar mulutnya, namun tak ada
suara yang keluar. Rahangnya kaku, tenggorokannya
serasa tercekik. Dan dilihatnya mahluk-mahluk
bercahaya itu masih saja berdiam diri di tempatnya
masing-masing.30
Saat itu Kui Tek-lam melihat di kejauhan ada
padang rumput menghijau, dan nampak dua orang
berjalan santai di padang hijau itu. Anehnya, meski
jaraknya jauh, Kui Tek-lam bisa mengenali salah
seorang dari mereka adalah Liu Yok, yang pernah
didatanginya di kota Lok-yang. Liu Yok, keponakan dari
pendekar besar Sebun Beng namun tidak bisa bermain
silat setengah jurus pun, bahkan membenci ilmu silat,
tak terkecuali yang berdalih "demi kesehatan"
sekalipun. Liu Yok yang calon menantu Gubernur di
Ho-lam namun sikapnya sehari-hari tetap rendah hati
dan mau bergaul dengan orang-orang rendahan. Liu
Yok yang mengecewakan Kui Tek-lam sehingga Kui
Tek-lam batal mengajaknya dalam operasi agen-agen
kerajaan di Lam-koan ini. Sewaktu Jenderal Wan Lui
menyuruh Kui Tek-lam mampir ke Lok-yang dan
mengajak Liu Yok, Kui Tek-lam sudah membayangkan
orang yang bernama Liu Yok itu pastilah seorang
jagoan silat yang hebat, otaknya penuh akal muslihat,
sehingga "cukup berharga" untuk diikutkan dalam
operasi berbahaya itu. Tak terduga orangnya tidak
bisa silat sama sekali, bohong sedikit pun tidak mau
bahkan meskipun "bohong demi kebaikan" pun,
sehingga Kui Tek-lam langsung menilainya tidak
memenuhi syarat untuk diikutsertakan dalam gerakan31
itu. Ya, Liu Yok yang itulah yang sekarang dilihat dalam
mimpi Kui Tek-lam.
Sedang lelaki yang bernama Liu Yok itu terlalu
menyilaukan buat mata Kui Tek-lam. Yang tertangkap
oleh matanya hanyalah sesosok bayang-bayang kabur
di tengah-tengah sinar yang sejuta kail cahaya
matahari, namun Liu Yok dapat berdekatan dengan
orang itu dengan leluasa nampaknya.
Kui Tek-lam melihat Si "Manusia Cahaya" itu
berbicara kepada Liu Yok sambil menunjuk ke arah
mahluk-mahluk berwajah topeng, tidak terdengar apa
yang dibicarakannya, hanya kelihatan Liu Yok
menggelengkan kepala dengan wajah enggan. Si
"Manusia Cahaya" masih berbicara lagi, kelihatan Liu
Yok sekarang bersukacita sambil mengangguk-angguk.
Tiba-tiba Si "Manusia Cahaya" seolah-olah lenyap
masuk ke dalam diri Liu Yok, dan Liu Yok sendiri
mengalami perubahan total dalam penampilannya.
Wajahnya bercahaya. Entah darimana, tiba-tiba saja
ada pakaian perang yang berkilau-kilauan melekat di
tubuhnya. Topi besi, baju besi, pedang dan sebagai
nya. Lalu ada lagi seekor kuda yang tubuhnya menyala,
Liu Yok melompat ke atas kuda itu dan berderap maju
ke arah mahluk-mahluk berwajah topeng itu. Ia
kelihatannya seperti meneriakkan sesuatu ke arah32
mahluk-mahluk bersinar lainnya. Dan mahluk-mahluk
bersinar yang tadinya hanya diam saja melihat Kui Tek
lam dikerubut mahluk-mahluk berwajah topeng, kini
serempak bergerak menyerbu mahluk-mahluk ber
wajah topeng. Terjadi perang hebat antara dua jenis
mahluk yang agaknya sama-sama hanya berada di
alam angan-angan, tidak di alam kasar ini. Liu Yok
sendiri dengan kudanya yang menyala ikut menerjang
mahluk-mahluk berwajah topeng. Seperti dalam cerita
dongeng saja, Kui Tek-lam melihat dari mulut Liu Yok
bisa keluar pedang-pedang terbang yang menyala dan
panah-panah yang menyala pula, memporak
porandakan mahluk-mahluk berwajah topeng.
Mahluk-mahluk alam mimpi yang sudah
bermalam-malam membuat Kui Tek-lam tidak bisa
tidur dan kepala sakit itu, sekarang lari lintang-pukang
dan tidak kembali lagi. Kui Tek-lam menjadi tenteram
kembali, dan dapat tidur dengan pulas tanpa
terbangun lagi.
Ia mengalami semuanya itu hanya dalam mimpi.
Namun ternyata ada pula orang lain yang juga
mendapat pengalaman lain dari malam-malam
sebelumnya. Itulah Si Perempuan berwajah seram
pengasuh anak-anak Nyo In-hwe.33
Setiap malam, sejak Kui Tek-lam mulai
bertarung dengan mimpi-mimpi buruknya,
perempuan ini sebetulnya punya peranan. Setiap
malam ia membaca mantera di kamarnya, di bagian
belakang rumah besar itu, sambil berulang kali
menuding-nuding ke arah kamar Kui Tek-lam yang
berseberangan halaman kebun bunga dan kolam
besar teratai dengan kamarnya sendiri. Semua itu
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilakukan dalam kegelapan, tanpa cahaya sedikit pun,
di kamarrya, sebab ia memang sahabat kental
kegelapan itu sendiri. Beberapa malam berturut-turut
ia menyerang alam bawah sadar Kui Tek-lam dengan
kekuatan setannya, dan setiap kali ia dengan sukacita
merasakan serangannya sampai ke sasaran, dan
keesokan harinya akan dilihatnya Kui Tek-lam keluar
dari kamarnya dalam keadaan lesu karena amat
kurang tidur namun tidak berani tidur. Kondisi mental
sasarannya itu makin lama makin melorot, dan kondisi
fisiknya pun terpengaruh pula. Sore ini, sesuai dengan
perintah Nyo In-hwe, serangan gaibnya dilipat-duakan
kekuatannya, karena kata Nyo In-hwe sudah dapat
dipastikan bahwa Kui Tek-lam adalah mata-mata
Manchu. Ia harus digiring ke dalam kondisi mental
sedemikian rupa sampai meminum ramuan pelemah
syaraf dari Siau Hok-to dikiranya sebagai jalan
pertolongan. Begitu Kui Tek-lam meminumnya, maka34
ia akan sepenuhnya jatuh di bawah kendali Pek-lian
hwe, ia akan jadi seperti boneka yang tidak lagi punya
tujuan hidup sendiri, melainkan hanya menjalankan
tujuan-tujuan Pek-lian-hwe. Begitulah Si Pengasuh
anak-anak Nyo In-hwe yang sebenarnya adalah
seorang dukun Pek-lian-hwe menjalankan perintah
Nyo In-hwe. Malam itu ia menyerang Kui Tek-lam
dengan kekuatan dua kali lipat. Bahkan malam itu ia
berpuasa untuk memperkuat serangannya.
Namun di tengah-tengah gumam manteranya,
tiba-tiba jantungnya berdesir hebat. Sesuatu yang di
dalam dirinya, kepekaan seorang dukun, memberita
kan bahwa serangan malam ini terhambat dan bahkan
gagal total! Si Dukun perempuan mulai berkeringat,
gentar membayangkan akibat kegagalannya,
kekuatan-kekuatan tak terlihat yang dia "kirim" ke
sasarannya akan berbalik kepada pengirimnya sendiri
dengan penuh kemarahan dan kekecewaan karena
gagal, dan Si Pengirim sendiri akan mengalami
bencana yang mengerikan. Karena tidak ingin gagal
dan celaka, dukun itu memper-gencar manteranya,
berusaha menembus penghalang yang menghalang
halangi pengirim serangannya. Bahkan ia sampai
menguraikan rambutnya, dan membaca mantera
sambil menari dalam kegelapan. Tetapi serangannya35
menabrak tembok tak terlihat, dan dia jatuh
terlentang di lantai.
Beberapa saat ia merasa lumpuh, jiwanya
dicekam rasa ketakutan luar biasa. Selama ini ia
mengabdi kepada kekuatan dari dunia yang gelap,
majikan yang kejam, yang mencabik-cabik setiap
hambanya tanpa ampun apabila gagal. Rasa takut
memberinya kekuatan untuk memaksakan tubuhnya
bangkit, biarpun dengan susah-payah. Lalu ia keluar
dari biliknya, ia hendak melihat ada apa di kamar Kui
Tek-lam yang menyebabkan serangannya malam itu
membentur tembok tak terlihat meskipun kekuatan
nya sudah dilipat-duakan.
Tertatih-tatih ia melangkah, mengitari tepi
kolam teratai kemudian melangkah di jalan setapak di
tengah-tengah kebun bunga, mendekati kamar Kui
Tek-lam. Ia heran melihat jendela kamar Kui Tek-lam
tetap gelap, tanda orangnya tetap tidur, dan juga
sunyi senyap tanpa suara apa-apa. Ia ingin tahu lebih
dekat, dan sebelum ia menyentuh pintu itu, tiba-tiba
suatu perasaan gentar yang amat dahsyat tercurah ke
atas jiwanya. Gentar oleh apa, ia sendiri tidak tahu,
sebab ia tidak melihat apa-apa yang menakutkan,
bahkan menurut mata jasmaninya, tidak kelihatan
sesuatu pun yang ganjil di kamar Kui Tek-lam maupun36
di sekitarnya. Tetapi rasa gentar itu menyerbu jiwanya
begitu saja, menghentikan langkahnya.
Si Dukun heran sendiri. Ia sudah biasa
"bermain-main" dengan berbagai jenis mahluk gaib
mulai dari tingkatan rendah yang disebut "serdadu
langit" sampai ke tingkat "jenderal langit", dan ia tidak
takut seandainya harus bertemu muka dengan
"kenalan-kenalan"nya itu. Tetapi rasa gentar yang
sekarang, yang tidak ia ketahui sebab-musababnya,
benar-benar mengherankannya.
Akhirnya ia menjauhi kamar Kui Tek-lam dengan
terbirit-birit, hampir saja kakinya tersandung pot
bunga. Ia langsung mengetuk pintu kamar tidur Nyo
In-hwe.
"Kakak Nyo! Kakak Nyo!"
Meskipun ia hanya berkedudukan sebagai
pengasuh anak-anak Nyo In-hwe di rumah itu, namun
sebagai sesama anggota Pek-lian-hwe yang sudah
menjadi "saudara sedarah" lewat serangkaian
upacara, sebuatan "kakak" adalah untuk anggota yang
pangkatnya lebih tinggi meskipun umurnya barangkali
lebih muda.
Larut malam seperti itu, tentu saja Nyo In-hwe
sudah tidur pulas, namun telinganya yang tajam37
mendengar ketukan dan panggilan Si Pengasuh anak
anaknya itu, sehingga Nyo In-hwe dengan terkejut
melompat bangun dan menyambar senjatanya yang
tidak pernah jauh dari tempat tidurnya, yaitu
sepasang golok liu-yap-to, yang kanan panjang dan
yang kiri pendek.
"Siapa?"
"Aku Ang Bwe-cu, Kakak Nyo!" Sambil tergesa
gesa memakai jubahnya dan memakai sepatunya,
sambil tetap menjinjing sepasang goloknya di satu
tangan, Nyo In-hwe mendekat ke pintu dan membuka
nya. "Ada apa?"
Dengan suara ditahan-tahan agar tidak
membangunkan isterinya, Nyo In-hwe, si dukun
perempuan Ang Bwe-cu menceritakan pengalaman
nya, wajahnya tegang. Di matanya terpancar
ketakutan yang luar biasa, ketakutan karena
membayangkan kemungkinan buruk serangan gaib
yang berbalik ke pengirimnya sendiri.
Nyo In-hwe jadi ikut tegang mendengar laporan
Ang Bwe-cu. Ang Bwe-cu adalah salah satu dari
beberapa dukun andalan Pek-lian-hwe cabang Lam
koan, seorang yang dianggap dengan mudah bisa
mengubah berbagai keadaan hanya dengan38
membakar kertas jimat dan membaca mantera. Kini
kalau sampai Ang Bwe-cu mengalami kesulitan, pasti
kesulitannya bukan main-main.
"Aku takut, Kakak Nyo...." suara Ang Bwe-cu
bergetar menutup ceritanya. Seandainya Kui Tek-lam
melihatnya saat itu, pasti akan pangling, la tidak lagi
kelihatan seram dengan tatapan matanya yang
sembunyi-sembunyi mengawasi Kui Tek-lam dan
anak-anak Nyo In-hwe, namun sekarang adalah
seorang perempuan biasa yang ketakutan. Benar
benar ketakutan, Nyo In-hwe pun terpengaruh. Tahu
apa yang menyebabkan Ang Bwe-cu takut.
Sementara Nyo In-hwe masih berdiri termangu
sambil berpikir-pikir, Ang Bwe-cu sudah berlutut,
menangis sambil memegangi ujung jubah Nyo In-hwe.
"Tolonglah aku... Kakak Nyo... kalau tidak, aku...
aku bisa...."
Nyo In-hwe menarik napas, ia tahu benar resiko
nya menolong dukun yang sedang terancam oleh
"kiriman"nya sendiri yang sedang membalik itu. Si
Penolong sendiri bisa ikut "termakan".
"Aku bisa berbuat apa?"39
"Adakan upacara malam ini, memohon Dewa
Cahaya Ahusta turun tangan sendiri beserta seluruh
balatentaranya."
Itulah upacara yang tidak dapat diselenggara
kan begitu saja. Syaratnya harus lengkap, antara lain
korban manusia yang dipotong-potong, sebab yang
bakal diundang adalah sesembahan tertinggi Kaum
Teratai Putih.
"Persediaan untuk upacara itu saja butuh waktu."
"Malam ini akan kucari korbannya, di jalanan
pasti masih ada gelandangan yang berkeliaran. Orang
orang tanpa keluarga itu kalau cuma hilang satu saja
pasti takkan ada yang memperhatikan."
Oleh desakan Ang Bwe-cu, akhirnya Nyo In-hwe
menyetujuinya.
Malam itu, di ruang pemujaan di bawah tanah,
upacara menurut agama Teratai Putih pun
dilaksanakan, dengan korban manusia.
***
Anehnya, Kui Tek-lam yang menjadi sasaran
"santet gabungan" antara Nyo In-hwe dan Ang Bwe
cu itu, tenang-tenang saja, Kui Tek-lam tidur pulas
sampai fajar menyingsing. Begitu pulasnya, sehingga40
ketika akhirnya ia bangun, adalah karena ia
mendengar jerit tangis keluarga Nyo In-hwe. Bahkan
ia mendengar pintu kamarnya digedor-gedor oleh
kedua anak Nyo In-hwe yang memanggil-manggil
sambil menangis, "Paman Kui! Paman Kui!"
Kui Tek-lam melompat bangun dan melihat
jendela kamarnya sudah terang benderang tersorot
matahari pagi. Sejenak ia heran. Sudah belasan malam
ia tidak dapat tidur pulas, selalu diganggu mimpi buruk
yang itu-itu saja, sehingga la mendambakan tidur
pulas melebihi mendambakan seperti intan berlian.
Pagi Ini ia bangun dan detik itu barulah ia menyadari
bahwa semalam tidurnya betul-betul puas. Ia heran
sendiri, ia ingat mimpinya.
Tetapi tidak ada kesempatan untuk memikirkan
hal itu lebih lanjut, sebab pintu kamarnya terus
digedor-gedor. Tergesa-gesa ia bangkit dan langsung
ke pintu. Semalam Kui tek-lam memang tidak tidur di
pembaringan, melainkan duduk di bangku dengan
kepala ditaruh di meja dan berbantalkan lenganMenaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lengannya sendiri.
Begitu pintu dibuka, kedua anak Nyo In-hwe
sama-sama menubruk ke pelukan Kui Tek-lam sambil
menangis. Kedua anak itu, seorang anak perempuan41
berusia lima belas tahun dan adik lelakinya yang
delapan tahun, langsung saja membasahi baju di
bagian dada Kui Tek-lam dengan, air mata dan ingus
mereka.
Biarpun akal Kui Tek-lam sepenuhnya tetap
sadar bahwa Nyo In-hwe ada di pihak musuh, namun
peranan Kui Tek-lam ternyata bersikap lain kepada
kedua anak Nyo In-hwe. Setiap hari Kui Tek-lam
bermain-main dan bercanda dengan kedua anak itu,
sehingga terjalin hubungan batin, seolah-olah kedua
anak itu benar-benar keponakan-keponakannya
sendiri. Maka menyaksikan betapa pilu tangis anak
anak itu di pelukannya, hati Kui Tek-lam tergetar juga.
Ia peluk kepala anak-anak itu, ia usap-usap rambut
mereka, kemudian setelah getaran hatinya mereda, ia
bertanya, "Ada apa ini?"
Anak lelaki Nyo In-hwe yang menjawab parau di
sela-sela sedu-sedannya, "Ayah... dan... Bibi Ang... di...
dibunuh orang!"
Kui Tek-lam terkesiap. Angan-angannya
langsung melayang kepada orang-orang Thian-te-hwe
(Serikat Langit Bumi). Mungkin orang-orang Thian-te
hwe membalas dendam karena orang-orang mereka
terbunuh di tepian sungai, beberapa hari yang lalu.42
Baik Pek-lian-hwe maupun Thian-te-hwe dan juga
banyak serikat-serikat rahasia yang lain, sama-sama
memusuhi pemerintah Manchu, namun meskipun
punya musuh yang sama, mereka sendiri tidak pernah
akur karena berebut rejeki mereka di tepi sungai,
pelabuhan-pelabuhan dan kota-kota. Saling bunuh
antara mereka sudah bukan hal aneh, dan Kui Tek-lam
sebagai agen kerajaan cukup hapal tindakan macam
ini.
"Di mana mereka sekarang?" tanyanya.
Kedua anak Nyo In-hwe itu tidak menjawab
dengan kata-kata, melainkan langsung menarik
tangan Kui Tek-lam ke suatu tempat di rumah itu.
Belasan hari diam di situ, Kui Tek-lam sudah
hapal seluruh sudutnya, namun kali ini ia dibawa
masuk ke suatu bagian rumah yang belum pernah
dilihatnya sama sekali, bahkan diduga-duga dalam
pikiran pun belum pernah.
Ia dibawa ke sebuah ruangan, ruangan buku,
yang Kui Tek-lam juga pernah memasukinya untuk
ngobrol dengan Nyo In-hwe. Namun kini dilihatnya
sebuah rak buku tergeser ke samping, dan di
belakangnya ternyata ada pintu yang biasanya
tersembunyi.. Kini tentu saja tidak tersembunyi lagi43
karena dilihatnya beberapa bujang keluarga Nyo
keluar-masuk dengan bebas, ada yang membawa
baskom air panas, minyak gosok, selimut dan lain-lain.
Di belakang pintu rahasia itu ada undakan batu
yang turun, menuju ke suatu ruangan bawah tanah.
Sambil melangkah menuruni undakan itu, Kui Tek-lam
membatin, "Hampir setiap hari aku bermain-main
dengan anak-anak di halaman berumput di samping
rumah, tidak pernah terpikir olehku kalau di
bawahnya ada ruangan rahasia."
Melangkah masuk ruang bawah-tanah itu,
tengkuk Kui Tek-lam meremang. Agaknya itulah
sebuah ruang pemujaan, namun bukan ruang
pemujaan agama biasa melainkan agama penyembah
setan. Agama yang menganggap kekejaman dan
kekerasan adalah bentuk pengabdian tertinggi. Itu
yang terlihat dari lukisan-lukisan di dinding ruangan
itu, dan juga patung yang dipuja di altar. Pastilah
wajah patung itu adalah wajah setan dalam samaran
wajah manisnya, tidak peduli pengikut-pcngikutnya
memujanya dengan sebutan Dewa Api atau Dewa
Cahaya atau entah apalagi.
Di depan altar terlihat tiga sosok tubuh yang
tergeletak, sudah ditutupi kain. Dan melihat cipratan44
darah di sekitar tubuh-tubuh itu, bahkan serpihan
serpihan daging dan kulit tanpa membuka penutup
nya pun Kui Tek-lam akan mudah menebak kalau
mayat-mayat itu pasti tidak sekedar dibunuh,
melainkan dihancurkan, dicabik-cabik. Yang meng
herankan Kui Tek-lam ada dua hal.
Pertama, anak Nyo In-hwe tadi katakan yang
terbunuh itu "Ayah dan Bibi Ang", artinya dua orang.
Kenapa sekarang dilihatnya ada tiga mayat? Kedua,
dugaan bahwa yang membunuh itu orang Thian-te
hwe agak buyar, agak kehilangan alasan, sebab selama
ini agen kerajaan yang manapun juga belum pernah
ada yang melaporkan orang-orang Thian-te-hwe
melakukan kekejaman sehebat Ini. Orang-orang
Thian-te-hwe terlalu bangga dengan sebutan
"pendekar beradab" yang menempel pada cap
mereka.
Saat itu, di ruangan itu penuh orang. Nyonya
Nyo juga berada di ruangan itu, namun Kui Tek-lam
takkan bisa bertanya kepadanya, sebab nyonya rumah
yang ramah dan baik hati itu sedang tak sadarkan diri.
Ia terduduk di sebuah kursi, kakinya diselonjorkan
dengan diganjal bangkvi, tengkuknya digosok-gosok
dengan minyak seorang bujang perempuan setengah
tua. Beberapa pembantu rumah-tangga lainnya hilir-45
mudik namun kelihatan kebingungan, apa yang
mereka lakukan tidak terarah. Semua bujang itu,
bahkan isteri Nyo In-hwe sendiri, baru tahu saat itu
kalau di situ ada ruangan rahasia macam itu. Selama
ini yang mengetahuinya memang hanya Nyo In-hwe
sendiri dan Ang Bwe-cu, dua orang anggota Pek-lian
hwe terpercaya dan saling mempercayai.
Kui Tek-lam menyerahkan kedua anak Nyo In
hwe kepada seorang bujang, menyuruh bujang itu
membawanya keluar dari ruangan yang bersuasana
tidak baik itu.
Kemudian kepada seorang bujang lainnya, Kui
Tek-lam bertanya, "Apa yang terjadi?"
Bujang yang ditanyai kebetulan cukup tenang
menceritakan apa yang diketahuinya, "Pagi ini A-kau
masuk ke ruangan buku untuk membersihkan, seperti
biasanya. Tetapi kali ini ia heran melihat ada rak buku
yang tergeser, dan pada tembok di belakang rak buku
itu ada pintu tersembunyi. Ia masuk, dan terlihatlah
olehnya apa yang ada di ruangan itu. Ia berteriak
teriak. Nyonya menuju kemari dan ikut melihatnya,
lalu pingsan. Cuma itu."
"Semalam di antara kalian tidak ada yang
mendengar suara-suara yang ganjil?"46
Semua kepala menggeleng. Sementara dalam
hatinya Kui Tek-lam menyalahkan dirinya sendiri,
"Tidak adil kalau aku menyuruh bujang-bujang yang
tidak mengerti silat ini untuk mendengar sesuatu,
sedangkan aku sendiri tidur demikian pulasnya sampai
tidak mendengar apa-apa, meskipun aku disebut salah
satu perajurit istana yang terbaik dari para pilihan."
Mengingat akan tidur nyenyaknya semalam,
kembali Kui Tek-lam heran sendiri, namun sekaligus
juga muncul rasa lega. Ia sudah kembali mendapatkan
"kemampuan tidur"nya, padahal tadinya ia sudah
ketakutan akan jadi orang yang tidak bisa tidur. Sebab
pernah didengarnya cerita ada orang yang seperti itu
karena kerusakan pada syarafnya.
Namun ia simpan dulu rasa leganya itu, rasanya
kurang sopan memperlihatkan kegembiraan di
tengah-tengah suasana dukacita. Dan karena selama
ini menumpang di rumah itu, bahkan orang-orang di
situ sudah mengenalnya sebagai saudara-angkat Nyo
In-hwe (lepas dari niat tersembunyi dari kedua
"saudara angkat" itu), maka sekarang Kui Tek-lam
coba mengatur bujang-bujang itu agar mereka tidak
simpang-siur. Ia atur pembagian tugas mereka. Ada
yang disuruh segera memesan peti-mati, tukang
membalsem mayat, ada yang disuruh melapor ke47
pihak berwajib dan sebagainya. Dalam semua
tindakannya itu, toh Kui Tek-lam tidak lepas dari motif
dasarnya, "Sebentar lagi mungkin orang-orang akan
berdatangan mengucapkan belasungkawa, di antara
mereka pastilah banyak tokoh-tokoh Pek-lian-hwe,
meskipun tidak tampil terang-terangan melainkan
menyamar sebagai tokoh-tokoh terhormat dalam
masyarakat."
Tetapi sebelum tamu-tamu berdatangan, dan
nantinya Kui Tek-lam sebagai "saudara angkat" mau
tidak mau harus menyambut mereka mewakili tuan
rumah, Kui Tek-lam bermaksud meneliti ruangan
pemujaan bawah tanah itu. Inilah kesempatan baik,
siapa tahu ada ruang bawah tanah lainnya? Siapa tahu
menemukan petunjuk tentang tempat penyimpanan
lima ribu pucuk senjata api yang kabarnya dimiliki Pek
lian-hwe itu?
Tetapi ia lebih dulu ingin mengetahui penyebab
kematian Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu, siapa tahu
dengan melihat luka-lukanya bisa menentukan jenis
senjata pembunuhnya, dan mungkin perbendaharaan
ingatan Kui Tek-lam selama berkecimpung di kalangan
"sungai-telaga" bisa mengacu ke suatu petunjuk.48
Ia singkap dulu penutup mayat dari mayat yang
paling dekat. Ternyata itulah mayat seorang lelaki
yang tak dikenal oleh Kui Tek-lam. Seorang lelaki yang
kalau dilihat tampangnya, dandanannya dan terutama
daki tebal di kulitnya, agaknya adalah seorang
gelandangan yang memang tidak sedikit jumlahnya di
Lam-koan itu, terutama dekat dermaga. Tubuh
gelandangan itu tertelikung, kedua tangannya diikat di
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang, dan lehernya hampir putus oleh pisau yang
tajam. Nampaknya tidak terbunuh dalam perkelahian,
melainkan seperti ditangkap dulu baru dibunuh,
mungkin sekali hendak dijadikan korban upacara
kejam kaum Teratai Putih.
Kui Tek-lam kurang terkesan oleh mayat
pertama itu. Ia lalu mendekati mayat Nyo In-hwe dan
Ang Bwe-cu dan langsung membuka tutupnya.
Begitu Kui Tek-lam melihatnya, seketika rasa
mual naik dari perutnya, dan air kecut di mulutnya
diludahkannya kuat-kuat. Mayat kedua orang itu
sudah nyaris menjadi daging cincang yang benar
benar hancur, beberapa tulang putih mencuat.
Mustahil Kui Tek-lam bisa mengenali jenis senjata apa
yang mengenai tubuh-tubuh mereka. Mungkin akan
lebih mendekati kenyataan kalau yang hendak
ditebaknya bukan "jenis senjata apa yang digunakan49
oleh Si Pembunuh" melainkan "binatang buas macam
apa yang sudah menerkam dan mencabik-cabik
mereka". Bahkan untuk menebak jenis binatangnya
pun akan sulit. Kui Tek-lam, biar dengan rasa ngeri,
sempal mengamati adanya bekas cakar raksasa yang
merobek-robek wajah dan tubuh kedua korbannya
itu. Ukuran cakar itu luar biasa besarnya, lebarnya
hampir sama lebar dengan dada manusia dewasa. Kui
Tek-lam sulit membayangkan, beruang di hutan yang
paling besarpun tidak punya cakar sebesar itu.
Binatangnya pastilah berukuran raksasa, entah
binatang apa. Anehnya, selain bekas cakar di tubuh
kedua korban itu, tidak ada jejak-jejak kaki binatang di
seluruh ruangan itu. Kalau betul binatang, dari mana
masuknya dan keluarnya? Apa juga melewati pintu
rahasia di ruang buku? Atau di ruangan bawah tanah
itu masih ada sambungannya dengan ruang lain
"tempat binatang itu" (dalam angan-angan Kui Tek
lam sendiri) yang dihubungkan sebuah lorong rahasia?
Tetapi tidak ada jejak kaki mahluk yang dibayangkan
Kui Tek-lam itu.
Kui Tek-lam jadi pusing sendiri. Sepanjang
pengalamannya menyelidiki ratusan kasus, yang ini
rasanya paling susah masuk akal.50
Ia cuma geleng-geleng kepala sambil
membuang napas beberapa kali. Lalu ia mulai
memberikan perhatiannya kepada altar pemujaan
Dewa Api alias Dewa Cahaya yang dipertuhan oleh
orang-orang Teratai Putih itu.
Model altar tak berbeda dengan altar-altar
umumnya di rumah tangga-rumah tangga lain,
bedanya, kalau di altar-altar lain biasanya ditaruh
patung pujaan yang umum, yang ditaruh di sini adalah
sebentuk dewa jahat berwajah ganas, bisa dibilang
mahluk sepertiga manusia, sepertiga binatang dan
sepertiga iblis. Pikir Kui Tek-lam, "Aneh, mahluk
mengerikan seperti ini kok dipuja-puja, bahkan lebih
gila lagi, ditaati dengan mengorbankan apa pun."
Perhatian Kui Tek-lam tiba-tiba tertuju kepada
telapak tangan dari patung itu. Telapak tangan itu
tidak berbentuk telapak tangan manusia, melainkan
seperti telapak seekor naga, jari-jarinya pendek
pendek namun besar-besar dan berkuku tebal
melengkung. Aneh, tiba-tiba saja melintas dalam
pikiran Kui Tek-lam, seandainya cakar ini yang
merobek-robek tubuh Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu,
rasanya baik ukurannya maupun daya hancurnya yang
mengerikan itu klop.51
Namun cepat-cepat Kui Tek-lam menggoyang
goyang kepalanya mengusir pikiran yang tidak masuk
akal itu. Mana bisa patung batu itu hidup, lalu turun
dari altarnya, lalu merobek-robek kedua pemujanya
sendiri dan kemudian naik kembali ke singgasananya
di altar dan menjadi batu kembali?
"Tidak mungkin. Seaneh-anehnya berurusan
dengan Pek-lian-hwe, yang seaneh ini takkan terjadi.
Aku cuma berhayal."
Toh ia tercengang juga ketika mengamat-amati
pada cakar-naga patung di altar itu ada bekas-bekas
darah yang belum kering benar! Tetapi buru-buru Kui
Tek-lam membantahnya dalam pikiran sendiri, "Tidak
mungkin! Barangkali Nyo In-hwe dalam upacara
sesatnya mengoleskan darah ke tangan patung itu.
Aku baru saja lolos dari nyaris sinting karena tidak bisa
tidur dan mimpi-mimpi buruk itu, aku tidak akan
menjebloskan diriku ke dalam kesintingan yang lain
dengan menganggap patung ini bisa hidup dan
membunuh orang. Tidak."
Demikianlah, Kui Tek-lam akhirnya cuma
berputar-putar pada pertanyaan-pertanyaan tanpa
jawaban.52
Ketika itulah seorang bujang masuk dan
melapor kepada Kui Tek-lam, "Tuan Kui, ada tamu
datang."
"Siapa?"
"Kepala keamanan Lam-koan, Cian-bu (Kapten)
Bong Peng-un, dan Hakim Kang Liong."
Karena Nyo In-hwe sebagai Si Tuan Rumah
sudah mati, dan isterinya tak bisa berbuat apa-apa
karena masih pingsan, apa-apa jadi dilaporkan kepada
Kui Tek-lam.
Kui Tek-lam membenahi pakaiannya, pakaian
yang agak kusut karena tadi begitu bangun tidur
langsung ke sinL Ia melangkah ke ruang depan. Ruang
depan rumah Nyo In-hwe itu ditata dengan gaya
setengah Cina setengah Eropa abad delapan belas.
Suatu yang lumrah di Lam-koan yang letaknya tidak
jauh dari bandar antar-bangsa Makao, sehingga
terpengaruh gaya hidupnya.
Waktu Kui Tek-lam muncul di situ, para tamu
bangkit. Yang berpakaian perwira, mudah ditebak
adalah Si Kepala Keamanan Kota, Bong Peng-un. Ia
seorang lelaki tegap berusia empat puluh lima
tahunan, berkulit muka kehitaman dengan brewok
seperti sapu ijuk. Ia sendiri tidak membawa senjata,53
namun membawa dua anak buah yang membawa
senjata dan borgol, selembar papan tebal berantai
bisa sekaligus untuk memborgol leher dan kedua
tangan.
Sedang Si Hakim juga langsung ketahuan dari
jubahnya, meski Kui Tek-lam pernah bertemu. Ia pun
diiringi dua petugasnya.
Kui Tek-lam saling memberi hormat dengan
orang-orang itu, dan bertindak sebagai wakil tuan
rumah mempersilakan mereka duduk.
Yang agak mengherankan Kui Tek-lam adalah
sikap Hakim Kang Liong. Pemeriksaan belum dimulai,
pertanyaan-pertanyaan belum disodorkan, tetapi
Hakim Kang Liong sudah menatapnya dengan sorot
mata curiga, bahkan benci!
"Ada apa dengan orang ini, sehingga menatap
ku demikian rupa?" Kui Tek-lam bertanya-tanya dalam
hati, namun tetap mengekang diri.
Bong Peng-un yang memulai pembicaraan
dengan suaranya yang seperti logam digosok, "Nah,
Tuan, kami datang karena sudah mendengar laporan
tentang yang terjadi di tempat ini. Namun setelah
berhadapan dengan Tuan, rasanya kami perlu
mengenal diri Tuan lebih dulu."54
Kui Tek-lam sadar, dirinya sebagai orang baru di
kota Lam-koan itu memang menimbulkan pertanyaan
bagi orang-orang setempat, apalagi dengan terjadinya
peristiwa ngeri semalam. Ia menjawab pertanyaan
Bong Peng-un itu dengan tertib, sambil bersyukur
dalam hati bahwa semalam ia tidur nyenyak sehingga
kini bisa berpikir dengan jernih, "Namaku Kui Tek-lam,
Tuan Bong."
"Asal?"
"Propinsi Ho-pak." sahut Kui Tek-lam yang sadar
sulit menyembunyikan logat utaranya.
"Sudah berapa lama berada di Lam-koan ini,
dan selama ini tinggal di mana?'
"Lebih kurang sepuluh hari, dan tinggal di
rumah Kakak Nyo ini."
Dan serentetan pertanyaan lainnya yang
kadang-kadang mengandung jebakan: Tetapi sebagai
seorang perajurit pasukan rahasia pilihan dari istana,
Kui Tek-lam dapat dengan licin menghindari jebakan
jebakan itu. Dalam tanya jawab itu, beberapa kali
Hakim Kang Liong ikut menimbrung, namun setiap kali
Kui Tek-lam merasakan betapa orang itu berusaha
menuduhnya dan memojokkannya.55
Bahkan dalam suatu perkataannya, Hakim Kang
Liong semakin terang-terangan mengungkapkan
kecurigaannya, kepada Bong Peng-pun, "Komandan
Bong, orang ini kabur asal-usulnya, dan setiap
keterangannya kepadamu juga tidak wajib harus kita
percayai. Yang harus kita lihat adalah kenyataannya,
bahwa ada orang asing di rumah Tuan Nyo dan tahu
tahu Tuan Nyo terbunuh. Dan harap dipertimbangkan
pula, bahwa Tuan Nyo mempunyai banyak harta yang
bisa membuat tergiur siapa pun."
Kui Tek-lam mendongkol mendengar kata-kata
itu, seolah-olah dirinya sudah divonis. Tetapi ia diam,
menunggu jawaban Bong Peng-un.
Bong Peng-un berkata, "Tuan Hakim, mau
menangkap orang haruslah ada buktinya yang kuat,
nyata, tidak asal menduga-duga saja. Tuan dikenal
sebagai hakim yang baik di kota Lam-koan ini, harap
tetap berpikir dengan adil."
Ternyata biarpun Komandan Bong dan Hakim
Kang datang bersamaan ke rumah itu, ternyata pikiran
mereka tidak sejalan. Kata-kata Bong Peng-un yang
mengandung teguran itu memerahkan kuping Kang
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liong. Selama ini memang Kang Liong dikenal sebagai
hakim yang baik di mata masyarakat Lam-koan,56
namun sikapnya kali ini dalam perkara kematiaan Nyo
In-hwe, sikapnya yang seolah-olah langsung
menganggap Kui Tek-lam sebagai yang bersalah,
memang di luar kebiasaannya.
Tentu saja, baik Bong Peng-un maupun Kui Tek
lam tidak tahu kalau Kang Liong ini sebenarnya adalah
tokoh dari organisasi terlarang Pek-lian-hwe, bahkan
merupakan salah satu dari "Perwira Kipas Putih" untuk
cabang Lam-koan. Saat itu hatinya diliputi kegusaran
akan kematian rekannya dalam organisasi bawah
tanah itu, Nyo In-hwe, yang juga seorang "Perwira
Kipas Putih". Sebelumnya, Hakim Kang Liong sudah
dibisiki Siau Hok-to bahwa pemuda berjubah biru yang
menumpang di rumah Nyo In-hwe dan mengaku
bernama Kui Tek-lam itu adalah seorang "semilir
angin" alias agen kerajaan yang menyusup. Dengan
demikian, Kang Liong memastikan bahwa Nyo In-hwe
dibunuh oleh Si "Semilir Angin" Kui Tek-lam ini.
Sebagai "Perwira Kipas Putih" yang sudah diberi
keterangan oleh ketua cabangnya sendiri, Kang Liong
pasti bahwa Kui Tek-lamlah pembunuhnya, namun
sebagai "hakim yang adil" ia tidak bisa bertindak tanpa
bukti-bukti yang kuat. Begitulah, Kang Liong jadi
gelisah sendiri.57
Sementara itu, Bong Peng-un langsung berkata
kepada Kui Tek-lam, "Tuan Kui, bolehkah aku periksa
tempat kejadiannya?"
Otak Kui Tek-lam berputar dan ia langsung
melihat sebuah kesempatan. Pikirnya, "Selama ini
Pek-lian-hwe di Lam-koan berhasil menyelubungi
kegiatannya dengan rapi, sehingga petugas-petugas
kerajaan macam Bong Peng-un ini barangkali tidak
tahu kalau di bawah hidungnya berlangsung suatu
kegiatan anti pemerintah. Sekarang biar kutunjukkan
ruang pemujaan Nyo In-hwe, barangkali bisa
menggugah kewaspadaannya setelah tahu Pek-lian
hwe benar-benar ada dan aktif di bawah tanah."
Bersambung jilid VII.5859
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi
file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk
mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan
dikompilasi menjadi file TextPDF.
Credit untuk :
? Gunawan A.J.
? Kolektor E-Books12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID 7
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang - Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid VII
DENGAN demikian, tanpa pikir panjang lagi ia
berdiri dan menjawab, "Tentu saja Tuan berhak untuk
itu. Mari, aku akan mengantar Tuan."
Lalu mereka berjalan beriring-iringan dengan
Bong Peng-un serta Kui Tek-lam berjalan paling depan.
Hakim Kang Liong berjalan di belakang Bong Peng-un
dengan wajah agak cemberut, sambil menggerutu
dalam liati, firasatnya memperingatkan bahwa di hari
hari mendatang Pek-lian-hwe cabang Lam-koan bakal
mengalami "hari-hari mendung dan badai".
Tiba di ruang bawah tanah itu, Bong Peng-un
terkejut. Baik terkejut oleh ruang bawah-tanahnya,
juga karena melihat keadaan mayat-mayat yang
tercabik-cabik mengerikan, dan yang paling
mengejutkannya adalah jahatnya wajah si "Dewa
Cahaya" di altar. Sorot mata patung itu bahkan seolah
hidup dan membuat sekujur tubuh Bong Peng-un
merinding.6
Sesaat ia tidak dapat berkata-kata, sampai Kui
Tek-lam berkata kepadanya, "Inilah tempat kejadian
nya, Tuan Komandan. Silakan periksa."
Bong Peng-un menenangkan debar jantungnya,
lalu mulai berjalan berkeliling memeriksa ruangan itu,
namun sebenarnya pikirannya masih mengambang
karena kagetnya belum hilang.
"Patung dewa siapa ini? Kenapa aku belum
pernah melihatnya di kelenteng mana pun?" tanya
Bong Peng-un sambil menunjuk ke altar. Rupanya
yang pertama menarik perhatiannya malahan patung
seram itu.
Kui Tek-lam sudah tentu dengan senang hati
akan menerangkannya, namun waktu menjawab ia
pura-pura gugup seolah-olah takut terlibat, "Soal
patung ini... soal patung ini... aku benar-benar tidak
tahu sebelum ini kalau Kakak Nyo memuja...
memuja...."
Bong Peng-un menukas, "Kalau tahu, jawab
saja, Tuan Kui!"
Kui Tek-lam pura-pura makin gelisah namun
terpaksa menjawab, "Kelihatannya ini adalah
patung... patung... Dewa Api alias Dewa Cahaya...."7
Bong Peng-un kaget, "Ha? Dewa pujaannya
orang-orang Pek-lian-hwe yang anti pemerintah itu?"
Hakim Kang Liong cepat-cepat menimbrung
untuk menutup-nutupi, "Ah, belum tentu. Kaum
Teratai Putih sudah dihancurkan kekuatannya oleh
Jenderal Wan Lui beberapa tahun yang lalu, mana ada
lagi sekarang? Lagipula Tuan Nyo adalah seorang
tokoh masyarakat yang baik, dermawan, budiman,
mana mungkin dia menjadi anggota kepercayaan jahat
itu?"
Sambil mulutnya menyebut "kepercayaan
jahat", Kang Liong diam-diam mohon ampun kepada
dewanya di dalam lati. Sebab dewanya sama dengan
dewanya Nyo In-hwe.
Bong Peng-un menjawab, "Pek-lian-kau
maupun Pek-lian-hwe sudah beratus-ratus tahun
umurnya, sejak mereka memisahkan diri dari agama
induknya, yaitu Tiau-yang-kau (agama penyembah
api). Sejak Itu Pek-lian-kau maupun Pek-lian-hwe
berulangkah mengalami usaha pembasmian massal.
Bahkan Kaisar Hong-bu, kaisar pertama dinasti Beng
yang sebelum jadi kaisar adalah anggota pek-lian-kau,
setelah bertahta juga ingin menghancurkan Pek-lian
kau. Begitu pula, hampir setiap kali Pek-lian-kau dan8
Pek-lian-hwe hendak dihancurkan, tetapi bangsat
bangsat Itu ulet sekali, mereka masih saja ada dan
sering melakukan perbuatan mengejutkan. Misalnya,
belum lama ini Pek-lian-kau di utara berhasil menculik
puteri Gubernur di Ho-lam. Untung Jenderal Wan Lui
dan kawan-kawannya berhasil membebaskan Nona
Sun Itu. Tuan Kang, berhadapan dengan manusia
manusia ulet ini, kita tidak boleh lengah dan jangan
sampai menganggap mereka sudah tidak ada!"
Dalam hatinya Kui Tek-lam menyambut kata
kata itu. "Bagus kau, komandan berkumis seperti sikat
kakus. Kau harus tetap waspada, jangan sampai
kotamu ini digerogoti Pek-lian-hwe."
Sebaliknya Kang Liong juga berkata dalam hati.
"Terima kasih atas pujianmu terhadap keuletan kami,
anjing Manchu. Suatu saat kau akan kaget melihat
kami bangkit dan menelan budak-budak penjajah
seperti kau."
Dalam hati berkata demikian, di mulut masih
berusaha menutupi jejak kehadiran Pek-lian-hwe di
Lam-koan, "Memang kita patut berhati-hati, namun
tidak usah terlalu ketakutan. Barangkali Tuan Nyo ini
memang penganut suatu kepercayaan yang aneh,
tidak umum, buktinya ruang pemujaannya saja9
disembunyikan di bawah tanah. Tetapi belum tentu
dia pengikut organisasi terlarang itu. Jangan sampai
kita mencemarkan nama baik seorang yang sudah
meninggal."
Kedua pejabat pemerintah itu kemudian
meneliti keadaan seluruh ruangan, dan hasilnya sama
dengan hasil penelitian Kui Tek-lam tadi. Nihil. Mereka10
tidak dapat menduga dari mana datangnya Si Kedua
pejabat pemerintah itu kemudian meneliti keadaan
seluruh ruangan, dan hasilnya sama dengan hasil
penelitian Kui Tek-lam tadi. Nihil.
Pembunuh dan lewat mana perginya.
Kang Liong yang ingin mencelakakan Kui Tek
lam Itu pun tiba-tiba berkata kepada Bong Peng-un,
"Komandan Bong, rasanya aneh kalau Si Pembunuh
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak meninggalkan jejak sama sekali. Jangan-jangan
pelakunya adalah orang dalam yang sudah dikenal
baik oleh Si Korban sendiri?"
Kali ini Bong Peng-un terpengaruh. Tatapan
matanya yang penuh curiga diarahkan kepada Kui Tek
lam. Ia adalah orang yang tidak pandai
menyembunyikan perasaan, agaknya, "Tuan Kui,
semalam Tuan ada di mana?"
"Bukankah tadi sudah kujelaskan, aku tidur
nyenyak di kamarku?"
"Kata seorang bujang di rumah ini, begitu Tuan
keluar dari kamar Tuan karena digedor-gedor oleh
anak-anak Tuan Nyo, Tuan sudah berpakaian lengkap,
meskipun kusut. Apakah Tuan terbiasa tidur dengan
pakaian lengkap, dengan jubah luar?"11
"Semalam aku memang tidur tanpa mencopot
pakaian luar, bahkan tidak mencopot sepatu."
"Sebabnya?"
"Sebab saat itu aku sebenarnya tidak berniat
tidur. Aku hanya ingin minum-minum arak sendirian,
tetapi tiba-tiba saja aku tertidur saking lelapnya. Aku
tidur dengan kepala berbantal lengan di meja, sampai
pagi."
"Kenapa Tuan tidak berniat tidur?" kali ini
Hakim Kang Liong yang menyerobot.
"Tuan Kang mencurigai aku?"
"Terus terang saja, ya."
"Tuan tidak akan menemukan bukti-bukti apa
apa atas diriku, karena aku memang tidak melakukan
nya."
"Hem, tunggu saja...." kata Kang Liong, namun
hanya dalam hatinya.
"Apakah Nyonya Sun sudah bisa ditanyai?"
tanya Bong Peng-un.
"Entahlah."12
"Mari kita coba tanyai dia." ajak Bong Peng-un
sambil melangkah hendak meninggalkan ruangan
yang menyeramkan itu, mengajak Kang Liong.
Kang Liong hendak mengikutinya, tetapi ketika
ia melangkah dekat altar pemujaan untuk
menghindari tiga mayat yang masih terbujur di lantai
itu, mata Kang Liong tak sengaja melihat ke arah
tangan patung yang berbentuk cakar naga raksasa itu.
Ia melihat apa yang sebelumnya juga dilihat oleh Kui
Tek-lam. Noda-noda darah di kuku-kuku cakar itu.
Kalau Kui Tek-lam masih bertanya-tanya soal darah di
kuku patung itu, maka Kang Liong sebagai anggota
bahkan tokoh Pek-lian-hwe langsung mengerti apa
yang terjadi. Mukanya mendadak sepucat kertas,
matanya menatap gentar ke arah patung itu, dan
langkahnya agak terhuyung.
"Kenapa, Tuan Kang?" tanya Bong Peng-un.
"Sakit?"
"Ti... tidak apa-apa...." sangkal Kang Liong.
Kali ini Kui Tek-lam membalas Kang Liong yang
selama ini mencoba menyudutkannya. "Tuan Hakim
agaknya kaget setelah melihat ke arah patung itu, ada
apa dengan patung mahluk jelek itu?"13
Kata "mahluk jelek" itu membuat jantung Kang
Liong terguncang hebat, sebab itu ditujukan kepada Si
Dewa Cahaya yang dia puja-puja. Kontan kemarahan
nya berkobar, dan ia menatap Kui Tek-lam penuh
kebencian. Dari air mukanya itu, Kui Tek-lam langsung
punya dugaan bahwa Hakim Kang Liong ini pun adalah
seorang tokoh Pek-lian-hwe yang berkedok sebagai
tokoh terhormat dalam masyarakat.
Seperti Nyo In-hwe.
"Pantas, kenal denganku saja belum pernah,
tetapi sejak tadi sorot matanya begitu membenci
aku...." Kui Tek-lam membatin. "Kiranya yang mati ini
adalah teman sekomplotannya."
Namun Kang Liong tidak berkata apa-apa, ia
tahu kalau dalam keadaan marah mengucapkan kata
kata, maka bisa terpancing keterangan penting yang
merugikan Pek-lian-hwe.
Bong Peng-un, Kang Liong serta pengiring
pengiring mereka pun meninggalkan ruang berbau
darah itu, diiringi Kui Tek-lam yang tetap bertindak
mewakili pihak tuan rumah.
Sementara orang-orang yang akan mengurus
mayat-mayat itu pun sudah datang karena dipanggil.14
###
Dalam kesibukan hari itu, Kui Tek-lam sempat
juga mengadakan pertemuan diam-diam dengan
rekannya, Pang Hui-beng, yang menyamar sebagai
tukang mi-pangsit. Kedua agen kerajaan itu sempat
bertukar keterangan. Pang Hui-beng menyampaikan
perintah Oh Tong-peng agar malam nanti Kui Tek-lam
bertemu di tempat biasanya, yaitu di kuburan Portugis
yang tidak terpakai itu. Sedangkan Kui Tek-lam
memberitahu rekannya, agar mewaspadai Hakim
Kang-liong. Nampaknya hakim pujaan masyarakat
kota Lam-koan itu ada kaitannya dengan Pek-lian
hwe.
Malam itu, dengan dihadiri banyak tamu-tamu,
di rumah Nyo In-hwe diadakan upacara agama. Tentu
saja upacaranya bukan upacara Agama Teratai Putih
yang terlarang itu. Kemudian peti jenazah pun ditutup
dan dipaku diiringi ratap tangis pihak keluarga.
Dalam suasana itu, tanpa berpura-pura ternyata
Kui Tek-lam juga berkaca-kaca, basah oleh air mata,
namun bukan karena menangisi Nyo In-hwe,
melainkan kasihan kepada kedua anak Nyo In-hwe
yang sudah menjadi sahabat-sahabat kecil Kui Tek-15
lam. Sahabat kecil yang tulus, tanpa maksud-maksud
lain.
Dan mulai malam itu, karena Kui Tek-lam sudah
dianggap adik-angkat oleh Nyo In-hwe, maka dia pun
harus ikut mengenakan pakaian berkabung dari kain
belacu dan topi kain belacu pula yang berbentuk
kerucut.
Tetapi Si Agen Pemerintah yang sedang dalam
tugas rahasia ini, sambil menemui tamu-tamunya juga
coba mengamat-amati mereka. Ia yakin di antara
tamu-tamu itu banyak tokoh-tokoh Pek-lian-hwe,
meskipun tentu saja mereka tidak tampil terang
terangan. Namun Kui Tek-lam coba memperhatikan
dengan cermat, kalau-kalau ada di antara mereka ada
yang bertukar isyarat kata-kata rahasia, maupun
gerakan tangan atau bahkan dengan cangkir arak.
Sebelum meninggalkan ibu kota Pak-khia, Kui
Tek-lam sudah menghapal banyak tentang bahasa
isyarat kaum Teratai Putih ini.
Namun agaknya orang-orang Pek-lian-hwe di
tempat itu terlalu hati-hati, mereka tidak bertukar
isyarat di tempat seramai itu. Agaknya mereka pun
sudah dibisiki kalau di rumah Nyo In-hwe itu
tersembunyi seorang "semilir angin" alias agen16
kerajaan yang sering mereka caci dengan "anjing
Manchu".
Menjelang tengah malam, masih ada saja tamu
tamu yang berdatangan, meski tidak sebanyak sore
tadi. Beberapa di antara para tamu-tamu yang datang
malam hari itu kentara sekali kalau sekedar orang yang
mengaku-aku kenal baik dengan almarhum, namun
tujuan sebenarnya sekedar mencari makanan gratis
karena pihak keluarga memang menyuguhkan
makanan kepada siapa saja yang datang melayat.
Namun Kui Tek-lam tidak ingin meladeni tamu
terus-menerus, ia ingat perintah Oh Tong-peng,
atasannya, untuk berkumpul tengah malam itu. Untuk
melepaskan diri dari tugasnya menyambut para tamu,
ia pura-pura menunjukkan kelelahan yang sangat.
Melihat itu, isteri Nyo In-hwe berkata dengan
lembut, "Adik Kui, kau tidak beristirahat sedikit pun
sejak pagi-pagi buta tadi, dan sekarang sudah hampir
tengah malam. Beristirahatlah sekarang, supaya besok
pagi tubuhmu segar, sebab besok pagi barangkali kami
masih banyak membutuhkan bantuanmu untuk
bermacam-macam urusan."17
Kui Tek-lam tak langsung menurut, tapi masih
pura-pura menolak, "Tidak, Enso (Kakak Ipar
Perempuan), aku masih segar."
Sambil berkata, Kui Tek-lam pura-pura hendak
menguap tetapi ditahan.
Isteri Nyo In-hwe melihat itu dan merasa
kasihan kepada saudara-angkat suaminya ini. Berbeda
dengan Nyo In-hwe yang hanya berpura-pura ramah
untuk mengorek maksud kedatangan Kui Tek-lam di
Lam-koan, maka anggota keluarga Nyo In-hwe yang
lain justru bersikap tulus kepada Kui Tek-lam. Sikap
tulus mereka membuat Kui Tek-lam sering merasa
bersalah dalam hati karena ia bersikap tidak jujur.
Begitu juga kali ini berpura-pura lelah, padahal untuk
mencari kesempatan menemui rekan-rekannya.
Isteri Nyo In-hwe berkata pula, "Adik Kui, kau
harus beristirahat."
Sikapnya benar-benar sikap seorang kakak
kepada adiknya.
"Tetapi tamu-tamu masih...."
"Biar anggota keluargaku yang lain yang
meladeni mereka!" isteri Nyo In-hwe menukas
bantahan Kui Tek-lam itu.18
Memang Nyo In-hwe itu anak tunggal, dulu
dulunya juga pendatang di Lam-koan, dan tidak punya
sanak keluarga di kota itu. Tetapi isterinya adalah
orang kelahiran Lam-koan asli dan banyak sau-dara
daudaranya yang tetap tinggal di situ. Rumah itu
penuh dengan sanak keluarga dari pihak isterinya yang
membantu-bantu ini-ltu.
Maka Kui Tek-lam pun tidak membantah lagi. Ia
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera masuk ke dalam kamarnya.
Waktu itu sudah hampir tengah malam, dalam
keadaan biasa tentu rumah itu sudah sepi, namun kini
masih banyak orang hilir-mudik. Bujang-bujang
keluarga Nyo yang masih hilir mudik dari dapur
mengambilkan hidangan buat tamu-tamu yang masih
saja berdatangan. Menurut adat, bahkan akan banyak
yang berjaga-jaga sampai pagi, selama beberapa hari
sampai jenazah dimakamkan. Tujuannya untuk
melipur pihak keluarga agar tidak merasa kesepian.
Kui Tek-lam masuk ke kamarnya, lalu meniup
mati lilinnya, memberi kesan ia akan tidur. Tetapi di
dalam kegelapan Kui Tek-lam mencopot pakaian
berka-bungnya, menggantinya dengan pakaian
ringkas berwarna gelap yang biasa disebut Yan-hing-ih
(pakaian pejalan malam).19
Tetapi setelah memakai Ya-hing-ih pun Kui Tek
lam merasa sulit untuk keluar diam-diam dari rumah
itu tanpa diketahui orang. Maklum, rumah itu sedang
ramai dengan orang. Kamar Kui Tek-lam terletak di
bagian yang mudah terlihat dari arah dapur, tempat
tersibuk di rumah itu di samping ruangan depan di
mana peti jenazah ditempatkan.
Kui Tek-lam cari akal sebentar, akhirnya ia pakai
kembali pakaian berkabung itu tetapi dirangkapnya di
bagian luar pakaian pejalan malamnya. Lalu ia keluar
dari kamarnya, menyapa beberapa bujang keluarga
Nyo yang masih sibuk, kemudian mampir sebentar di
dapur untuk memberi pesan ini-itu, setelah itu dengan
gerak menyelinap yang tidak kentara, ia menyelinap
ke bagian kegelapan di belakang dapur, di mana
ditumpuk kayu bakar, arang, tong-tong beras dan
macam-macam persediaan lainnya. Tidak ada orang di
situ, kecuali kalau ada orang dari dapur yang hendak
mengambil sesuatu. Di situ Kui Tek-lam dengan cepat
mencopot pakaian berkabungnya dan menggulungnya
kecil, lalu disembunyikan di atas pohon di sebelah
gudang. Lalu ia melompati dinding halaman belakang
rumah Nyo In-hwe, dan tibalah ia di luar.
Sambil mulai melangkah cepat keluar kota, ke
arah kuburan Portugis, Kui Tek-lam berharap dalam20
hatinya, "Mudah-mudahan selama aku pergi tidak ada
orang yang mencariku di kamarku. Kalau ada, bisa
ketahuan kalau aku pergi diam-diam malam ini.
Kecurigaan orang-orang bangkit atasku."
Ketika tiba di tengah-tengah kuburan tak
terpakai itu, yang seperti biasanya dalam keadaan
gelap-gulita tanpa penerangan, dilihatnya semua
sudah berkumpul, kecuali Pang Hui-beng si penjual
pangsit gadungan.
Sedikit berbeda dengan biasanya, dua agen
kerajaan yang selalu bersama Oh Tong-peng, yang
dalam pertemuan macam itu biasanya disuruh
menjaga agak jauh sambil mengawasi keadaan, kali ini
ikut duduk berkumpul. Kui Tek-lam menafsirkannya
sebagai gambaran rasa aman.
Lebih dulu Kui Tek-lam memberi hormat kepada
Oh Tong-peng sebagai pemimpin, kemudian bertegur
sapa dengan yang lain-lainnya sebagai rekan-rekan
sederajat.
"Saudara Pang belum datang?"
"Belum." sahut Oh Tong-peng sambil menyala
kan pipa tembakaunya. Kebiasaan yang sudah agak
lama ditahan-tahan selama menjalankan tugas
rahasianya di Lam-koan. Namun sekarang ia21
menyalakannya kembali, agaknya merasa kalau
pihaknya dalam keadaan aman.
Toh Kui Tek-lam menanyakan juga, "Kakak Oh,
kenapa tidak ada yang berjaga di mulut kuburan?"
Oh Tong-peng menjawab santai, "Kita aman. Lo
Lam-hong sudah mendapat kabar kalau pihak Pek
lian-hwe saat ini sedang dalam keadaan panik,
bingung akan kematian Nyo In-hwe sebagai salah
seorang tokoh mereka. Kupikir, takkan terpikir oleh
mereka bahwa malam ini kita berkumpul di sini."
Kui Tek-lam cuma mengangguk-angguk, lalu
menepuk paha Lo Lam-hong yang duduk di
sebelahnya, "Saudara Lo, bagaimana?"
"Baik." sahut Lo Lam-hong singkat saja. Rekan
yang biasanya senang berkelakar itu sekarang begitu
pendiam, dan mengherankan Kui Tek-lam.
Sementara Oh Tong-peng menanyai Kui Tek
lam. "Saudara Kui, sudahkah kauterima obat kiriman
yang kukirim melalui Saudara Pang kemarin?"
"Sudah, terima kasih. Obat buatan siapa itu,
Kakak Oh?"
"Tabib Siau Hok-to, tabib terbaik di kota ini."22
"Tidakkah dia mencurigakan?"
"Tidak. Ketika dia meramu obat itu, aku duduk
menunggu di ruangan tamunya, dan di ruang tamu itu
kulihat altar pemujaan tiga panglima jaman Sam-kok.
Ketiga patung itu diletakkan secara normal. Lau Pi di
tengah, diapit Kuan Kong dan Thio Hui, tidak ada
tanda-tanda Tabib Siau ini pengikut Pek-lian-hwe.
Malah di ruang tamunya juga bergantungan tulisan
tulisan indah karya Sribaginda Khong-hi, biarpun
tiruan."
Kui Te-lam mengangguk-angguk, agaknya
pemimpinnya yakin betul bahwa Siau Hok-to bukan
orang Pek-lian-hwe. Pertama, meletakkan patung tiga
panglima secara "normal", sedang kaum Teratai Putih
biasanya suka menaruh Kuan Kong yang di tengah.
Kedua, memasang tulisan-tulisan indah karya Kaisar
Khong-hi sebagai hiasan rumah. Kaisar Khong-hi
adalah raja kedua dinasti Manchu, dinasti yang dibenci
dan dimusuhi kaum Teratai Putih.
"Bagaimana khasiat obat itu? Sudah kau seduh
dan kau minum?"
"Belum, Kakak Oh...."
"Lho, kok...."23
"Semalam aku mengalami sesuatu yang ganjil,
Kakak Oh. Aku baru hendak menyeduh obat itu, tetapi
mataku tidak tahan lagi terhadap kantuk. Aku tertidur
dengan kepala di meja berbantal tangan. Dan
nikmatnya tidur yang sudah lama kurindukan pun
kudapati malam itu. Aku begitu pulasnya sampai
pagi!"
"Aneh, padahal kau tidak minum obat itu?"
Lo Lam-hong tiba-tiba berkata, "Kau harus
meminumnya, Saudara Kui. Obat itu ternyata manjur
sekali. Semalam aku meminumnya, dan aku pulas
sampai pagi."
"Aku tidak minum pun pulas sampai pagi...."
"Itu hanya sementara! Kalau kau tidak minum
obat itu, penyakitmu akan timbul lagi lebih parah,
bahkan urat-syarafmu benar-benar akan terganggu!"
Kui Tek-lam agak kaget mendengar nada
memaksa dan mengancam dalam perkataan Lo Lam
hong itu. Selama ini sahabatnya ini belum pernah
bersikap begitu. Kalaupun menegur, tentu dengan
maksud baik, tidak dengan mengancam dan menakut
nakuti begini. Tetapi sekarang.24
Tetapi Kui Tek-lam tak sempat memikirkan hal
itu lebih lanjut, sebab Oh Tong-peng segera
menyodorkan masalah yang akan dibahas malam itu
sehingga mereka berkumpul di situ. "Saudara Kui, kau
tahu kenapa Nyo In-hwe terbunuh?"
"Terus terang saja, Kakak Oh, ini misterius buatku."
"Coba ceritakan."
Dengan ringkas Kui Tek-lam pun menceritakan
apa yang dilihatnya, disertai kesan-kesannya sendiri.
Pendengar-pendengarnya bergidik ketika cerita Kui
Tek-lam sampai ke soal kuku patung pujaan Nyo In
hwe yang bernoda darah itu.
Cu Tong-liang, salah satu agen ke-rajaan yang
selalu bersama-sama dengan Oh Tong-peng, tiba-tiba
memecah kesunyian dengan tertawanya. Katanya,
"Memang kita sedang berhadapan dengan kaum
Teratai Putih yang konon bisa melakukan hal aneh
aneh, dan memang beberapa hal aneh kecil-kecilan
sudah dialami, tetapi jangan sampai pikiran kita
hanyut dalam khayalan-khayalan yang menggelikan,
nanti kita tidak bisa berpikir dengan lurus dan jernih
lagi. Kakak Oh sendiri sering mengajurkan kita untuk
menjaga keteguhan hati, agar tidak mudah25
dipermainkan oleh keanehan-keanehan yang dibikin
oleh orang-orang Pek-lian-hwe."
Kui Tek-lam penasaran, "Khayalan yang
menggelikan yang bagaimana yang Saudara Cu
maksudkan?"
"Soal kuku patung yang berlumuran darah,
memangnya lalu kita pikir patung itu bisa hidup, lalu
merobek-robek tubuh Nyo In-hwe dan korban yang
satunya lagi, dan setelah itu naik kembali ke altar dan
berubah menjadi patung kembali? Tidak masuk akal!"
"Apa aku bilang begitu?"
Cu Tong-liang bungkam.
Sementara Lo Lam-hong berkata dengan tajam
dan dengan wajah dingin, "Dalam Pek-lian-hwe masih
ada banyak hal-hal aneh yang bakal mengejutkan
kalian."
Cu Tong-liang menoleh kepada Lo Lam-hong,
"Lho, omongannya Saudara Lo ini kok seperti
mempromosikan kehebatan musuh kita?"
"Sudah, sudah!" Oh Tong-peng buru-buru
menengahi pembicaraan anak buahnya, agar mereka
tidak sampai bertengkar. Lalu sambil menoleh kepada
Kui Tek-lam, ia bertanya, "Jadi, kau tidak bisa menebak26
siapa pembunuh Nyo In-hwe, dan dengan senjata apa
ia dibunuh, begitu Saudara Kui?"
Kui Tek-lam mengangguk.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Bahkan, kalau menurut yang aku lihat, yang
menyebabkan kematian Nyo In-hwe sepertinya
bukanlah sejenis senjata, tetapi... tubuhnya seperti
dirobek-robek oleh sepasang cakar berukuran
raksasa."
"Kau juga tidak mendengar apa-apa malam itu?"
"Sudah kukatakan, aku tidur pulas sekali malam itu."
"Mungkin tidur pulasmu itu juga tidak normal,
Saudara Kui. Maksudku, barangkali orang yang
membunuh Nyo In-hwe itulah yang melepaskan
semacam ilmu gaib yang bisa membuat orang tidur
pulas, supaya dia dapat beroperasi dengan leluasa."
"Mungkin juga."
"O, iya, Saudara Kui, apa benar tadi kaukirim
pesan melalui Saudara Pang, bahwa Hakim Kang Liong
itu patut dicurigai sebagai salah seorang pentolan Pek
lian-hwe yang menyamar sebagai tokoh di mata
masyarakat?"
"Benar, Kakak Oh."27
"Darimana kauperoleh dugaan macam itu?"
Kui Tek-lam menceritakan sikap aneh Hakim
Kang Liong dalam pemeriksaan di rumah Nyo In-hwe.
"Komandan Bong Peng-un sengaja kugiring
pikirannya agar dia waspada dan sadar kalau Pek-lian
hwe benar-benar aktif di kota ini, bergerak di bawah
tanah, untuk itu aku tunjuki dia kamar pemujaan
"Dewa Cahaya' Nyo In-hwe. Ternyata sikap Hakim
Kang Liong seperti 'menutup-nutupinya."
"Itu bukan kepastian bahwa Kang Liong adalah
anggota Pek-lian-hwe." Lo Lam-hong menukas dengan
suara seperti menggeram.
Sementara Oh Tong-peng mengisap dalam
dalam pipa tembakaunya sambil mengangguk-angguk.
"Baiklah, Saudara Kui, keteranganmu aku
perhatikan, meskipun baru dugaan. Kita akan mulai
mengawasi gerak-gerik hakim itu. Eh, ini Pang Hui
beng kok belum datang juga?"
Perkataan Oh Tong-peng itu mengingatkan yang
lain-lain, bahwa tidak wajar kalau Pang Hui-beng
sampai terlambat hampir satu jam. Semuanya lalu
menoleh ke sekitar, mengharap-harap kedatangan28
Pang Hui-beng. Hanya Lo Lam-hong yang kelihatan
tetap dingin.
Saat itulah di kejauhan nampak sesosok
bayangan berlari-lari mendekat, di kegelapan malam
masih bisa terlihat dia dengan lincah melompati nisan
nisan di kuburan Portugis itu.
"Itu Pang Hui-beng!" desis Oh Tong-peng agak
heran. "Tidak biasanya dia berlari-lari segugup itu."
"Barangkali...."
Belum sampai Kui Tek-lam mengatakan
komentarnya, telah terdengar seruan Pang Hui-beng
bernada panik, "Kakak Oh! Berhati-hatilah terhadap
Lo Lam-hong! Dia di bawah pengaruh."
Suatu perkembangan yang sangat cepat dan
sangat mendadak pun berlangsunglah. Oh Tong-peng
dan lain-lainnya belum sempat benar mencerna
peringatan Pang Hui-beng itu, ketika Lo Lam-hong
yang duduk di tengah-tengah mereka tiba-tiba
melompat bangkit sambil menghunus sebilah belati
berkilat di tangannya dan berteriak geram.
"Anjing-anjing Kaisar Manchu! Ini malam
terakhir dalam hidup kalian!"29
Dan belatinya langsung hendak dihujamkan ke
arah Cu Tong-liang yang duduknya paling dekat
dengannya.
Sebagai seorang perajurit sandi yang terpilih
dalam regu itu, Cu Tong-liang bukannya orang lemah.
Kemampuan tempurnya setara dengan Kui Tek-lam.
Lo Lam-hong, Pang Hui-beng dan lainnya. Namun kali
ini agaknya bakal sulit menyelamatkan diri karena
serangan itu selain amat mendadak, juga tak terpikir
sedikit pun Lo Lam-hong lah yang bakal menyerang
nya, sahabat baiknya sendiri.
Berbeda dengan Kui Tek-lam yang sejak tadi
sudah merasakan sesuatu yang "tidak enak" dengan
Lo Lam-hong. Rasanya Lo Lam-hong yang duduk
bersamanya malam itu bukanlah Lo Lam-hong sahabat
baiknya selama ini, bukan Lo Lam-hong yang sering
berkelakar dan bersama-sama berjuang sehidup
semati dengannya.
Maka begitu melihat kilat belati di tangan Lo
Lam-hong, serempak naluri Kui Tek-lam menuntunnya
untuk bergerak secepat kilat menyelamatkan Cu Tong
liang.
Agen kerajaan yang satu lagi yang selalu
bersama-sama dengan Oh Tong-peng dan Cu Tong-30
liang, yang bernama Thiam Lai, tiba-tiba juga
berteriak, "Aku lihat bayangan orang-orang bersenjata
di kejauhan, di segala arah! Kita agaknya terkepung!"
Kata-kata yang sama maknanya juga diteriakkan
Pang Hui-beng sambil berlari mendekat, "Kita
dikepung! Lo Lam-hong telah mengkhianati kita!"
Segores kepedihan menoreh hati Kui Tek-lam
dan lain-lainnya mendengar istilah "berkhianat
kepada kita" yang diteriakkan Pang Hui-beng itu,
sesuatu yang sulit dipercaya kalau tidak melihat
tindakan Lo Lam-hong baru saja, bagaimanapun juga
Lo Lam-hong lebih dari kawan sekerja, tetapi telah
menjadi kawan sehidup semati dalam beberapa tugas.
Namun mereka tahu Pang Hui-beng tidak mengada
ada, dalam suara Pang Hui-beng sendiri tergetar nada
pedih harus mengucapkan kata "berkhianat" itu
tentang sahabatnya.
Lo Lam-hong sendiri seolah sudah kebal,
perasaannya seperti sudah hilang dari dirinya. Dengan
gerak tangkas ia melompat mundur, lalu bersuit
nyaring untuk memberi isyarat kepada kawan-kawan
barunya, yaitu orang-orang Pek-lian-hwe.
Sementara lima agen kerajaan yang dipimpin
Oh Tong-peng itu sudah membentuk lingkaran yang31
menghadap keluar, saling memunggungi. Karena
mereka tidak siap untuk bertempur, mereka tidak
membawa senjata. Dengan demikian mereka siap-siap
menghadapi lawan hanya dengan tangan kosong. Tapi
mereka nampak mantap.
Musuh-musuh yang muncul ternyata tidak
begitu banyak, kalau dihitung dari sosok-sosok
bayangan yang bermunculan dari empat penjuru. Dari
tiap arah, muncul tiga orang, dan mereka datang dari
lima arah sehingga semuanya berjumlah lima belas
orang.
"Lumayan...." desis Pang Hui-beng. "Mereka
lima belas, kita berlima. Satu lawan tiga...."
Cu Tong-liang menyambung, "Dan mereka
bersenjata, kita tidak."
Tetapi Oh Tong-peng membesarkan hati anak
buahnya, "Dangan lupa bahwa segenggam pasir pun
bisa menjadi senjata kalau ditaburkan ke arah mata."
"Mudah-mudahan yang kita hadapi sekarang ini
adalah manusia betulan." desis Pang Hui-beng ketika
teringat pengalamannya berkelahi dengan manusia
jadi-jadian.32
Makin dekat orang-orang Pek-lian-hwe itu,
makin terasa pula adanya semacam suasana gaib yang
menekan pikiran para agen pemerintah. Oh Tong
peng dan orang-orangnya percaya bahwa suasana
menekan itu tidak disebabkan oleh suasana kuburan
itu di malam hari, sebab kemarin-kemarin mereka
berkumpul malam-malam di tempat itu, toh tidak
merasakan suasana seram karena mereka bernyali
besar. Bukan karena suasana normal di kuburan itu,
melainkan karena dengung mantera yang dilagukan
orang-orang itu sambil berjalan mendekat dalam
posisi mengepung. Mantera semacam iagu bernada
rendah.
Kemudian setelah semakin dekat lagi, di bawah
cahaya rembulan yang lemah di langit, terlihatlah
bahwa musuh-musuh yang mendekat itu semuanya
mengenakan topeng. Topengnya bermacam-macam,
ada topeng siluman-siluman setengah binatang,
dewa-dewa, dewi-dewi dan sebagainya.
Yang agak mendebarkan Kui Tek-lam adalah
ketika melihat di antara penyerbu-penyerbu yang
makin dekat itu ada seorang yang bertubuh pendek
kecil, memakai topeng berlukisan wajah Dewa Mo Sui
dari cerita Liat-kok, itu dewa bertubuh cebol, namun
orang ini membawa senjata berupa garu besi yang33
tangkainya sepanjang hampir dua meter. Kontras
sekali dengan ukuran tubuhnya yang mini. Kui Tek-lam
masih ingat, ketika dulu ia ikut suatu gerakan Pek-lian
hwe membasmi orang-orang Thian-te-hwe di tepian
sungai, Si Orang Kerdil bertopeng Dewa Mo Sui ini
dipanggil sebagai Hu-san-cu (wakil komandan
gunung), artinya kedudukannya berada di ranking
nomor dua dalam Pek-lian-hwe cabang Lam-koan.
Tentu ilmu silatnya dan ilmu gaibnya tidak bisa
dipandang enteng, selain itu Kui Tek-lam juga pernah
melihat sendiri kekejamannya ketika membantai
orang-orang Thian-te-hwe dulu.
Suasana asing yang mendirikan bulu roma itu
terasa semakin menekan, sehingga Oh Tong-peng
merasa perlu memperingatkan orang-orangnya,
"Jangan terpengaruh, perteguh kesadaran kalian!"
Kui Tek-lam mendukung ajaran itu, namun ia
juga ingin memperingatkan rekan-rekannya tentang
lawan-lawannya itu. Desisnya kepada kawan
kawannya tanpa mengalihkan pandangan dari lawan
lawan yang kian mendekat, "Hati-hati terhadap orang
pendek yang memegang garu besi itu. Ia disebut
sebagai tokoh-nomor-dua di Pek-lian-hwe cabang
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lam-koan ini. Selain ilmu gaib, ilmu silatnya juga
lumayan, dan kejamnya bukan main."34
"Biar aku yang menghadapinya." sahut Oh
Tong-peng. Sebagai komandan dalam operasi itu, ilmu
silat Oh Tong-peng memang yang paling tangguh.
Namun Kui Tek-lam masih menyambung, "Dan
topeng-topeng yang mereka pakai itu juga tidak
sekedar untuk menyembunyikan identitas mereka
atau sekedar menakuti musuh, tetapi punya kekuatan
magis yang bisa menyebabkan mereka bertempur
dalam keadaan kesurupan roh dan berbahaya sekali."
Tidak ada rekan-rekannya yang menjawab,
semuanya semakin waspada mengawasi ke depan.
Sementara lawan-lawan mereka berhenti,
membentuk lingkaran besar mengurung kelima orang
agen kerajaan yong sudah terkepung itu. Mereka tidak
langsung menyerang, namun secara kompak
mendengungkan mantera bernada rendah yang
seolah-olah mengisi udara tempat itu dan memadat
menjadi tekanan tak terlihat ke dalam pikiran orang
orang itu.
"Apa yang mereka lakukan?" gerutu Cu Tong
liang. "Kenapa mereka tidak segera mengerang? Apa
mereka pikir kita ini...."
Kui Tek-lam cepat memotong gerutuan
rekannya itu, "Saudara Cu, mereka sudah mulai35
menyerang. Menyerang pikiran kita. Dan kalau kau
tidak berkonsentrasi karena menggerutu terus, kau
akan gagal mempertahankan kejernihan pikiranmu."
Cu Tong-liang pun bungkam, mau tidak mau ia
harus memperhatikan peringatan Kui Tek-lam itu,
sebab Kui Tek-lam sudah punya pengalaman
menyusup ke dalam Prk-lian-hwe.
Sementara orang-orang Pek-lian-hwp itu mulai
menari berputaran. Suara yang mereka keluarkan ,dari
balik topeng mereka tidak lagi seragam, melainkan
mulai beraneka ragam. Ada yang menyanyikan lagu
aneh, ada yang mengeluarkan suara maram-macam
binatang, dan yang masih dikenali oleh Kui Tek-lam
adalan Si Tinggi Besar yang mengenakan topeng dewi
yang cantik, dan orang itu mulai berlenggak-lenggok
seperti seorang perempuan sejati, bahkan
melebihinya, meski tubuhnya tinggi besar dan kasar.
Suaranya juga berubah menjadi suara perempuan
yang merdu.
"Mereka mulai kesurupan...." Kui Tek-lam
memperingatkan kawan-kawannya. Tiba-tiba ia
teringat adegan dalam mimpinya semalam,
bagaimana dia dikerubut ribuan mahluk-mahluk yang
wajahnya seperti topeng-topeng ini. Tetapi Liu Yok36
tiba-tiba muncul dengan pasukan lain yang sepertinya
terbuat dari api dan angin, menolongnya, mengusir
mahluk-mahluk bertopeng ini.
Ingat mimpinya, Kui Tek-lam merasa sayang
bahwa itu hanya terjadi dalam mimpi. Menurut
pikirannya, Lui Yok tidak mungkin melakukan
perbuatan sehebat itu. Ia sudah ketemu sendiri
dengan Liu Yok di Lok-yang, dan menurut
pendapatnya, Liu Yok orangnya "terlalu lemah". Tidak
suka silat, tidak suka tipu muslihat, kelewat baik hati.
Tak terasa Kui Tek-lam menarik napas.
"Kenapa?" tanya Pang Hui-beng yang di
belakangnya.
"Seandainya yang terjadi dalam mimpiku itu
menjadi kenyataan...."
Orang-orang Pek-lian-hwe itu terus menari dan
bersuara sambil berkeliling. Dan akibatnya mulai
terasa.
"Aku pusing, pikiranku kacau." Cu Tong-liong
mulai mengeluh.
"Pusatkan pikiran, teguhkan jiwamu dengan
berkata-kata kepada diri sendiri." Kui Tek-lam
menganjurkan. Entah dari-mana dia mendapatkan37
cara macam itu, tahu-tahu melintas begitu saja dalam
pikirannya dan langsung ia katakan.
Serangan Pek-lian-hwe ternyata bukannya tidak
bisa dilihat sama sekali, sebab di tempat itu mendadak
bangkit angin yang dingin berhembus dengan keras,
mengangkat debu dan rerumputan kering sehingga
membentuk semacam tirai antara agen-agen kerajaan
itu dengan lawan-lawannya. Di luar "tirai" itu
suasananya biasa-biasa saja kecuali orang-orang Pek
lian-hwe yang berlari-lari berputaran, sebaliknya di
sebelah dalam "tirai" Oh Tong-peng dan keempat
anak buahnya sedang kelabakan menghadapi udara
yang makin gelap pekat, sampai akhirnya melihat jari
tangannya sendiri pun tidak bisa, ditambah angin yang
dingin mengiris kulit dan debu-debu yang menyerang
mata. Mereka berlima mulai saling tubruk karena
tidak dapat melihat posisi berdiri masing-masing.
Kui Tek-lam mencoba hasil "penemuan
terbaru"nya, yaitu berkata-kata kepada diri sendiri
untuk meneguhkan hatinya. Namun sekian lama ia
membujuk diri sendiri, keadaan sekitarnya tak
berubah. Angin kencang, debu, kegelapan tak
tertembus oleh mata yang paling tajam sekalipun.38
Pang Hui-beng juga mulai berteriak
mengusulkan, tidak peduli mulutnya kemasukan
debu, "Dulu aku pernah menghadapi yang seperti ini.
Gigit ujung jari, kumur darahnya sebentar di mulut,
lalu semburkan! Ini akan punah!"
Dalam keadaan kebingungan, agen-agen
kerajaan itu tanpa kecuali menuruti usul Pang Hui
beng. Lalu mereka pun meludah-ludahkan ludah
berdarah itu sekenanya, ke segala arah, karena
mereka sendiri bingung dan kehilangan kiblat. Bahkan
ada yang ludah berdarahnya menyembur ke muka
teman sendiri.
Ternyata yang ini pun tidak manjur.
Bahkan serangan musuh lebih meningkat. Kali
ini dalam kegelapan itu samar-samar mulai kelihatan
wajah-wajah siluman yang menyeramkan.
Oh Tong-peng tidak tahu yang dilihat matanya
itu terjadi sungguh-sungguh atau hanya pantulan dari
angan-angannya sendiri, yang ia tahu pasti, anak
buahnya bisa runtuh mentalnya menghadapi keadaan
yang seolah tak tertanggulangi itu. Karena itu Oh
Tong-peng memutuskan, bahwa bertahan di tempat
itu hanyalah suatu kesia-siaan.39
Di antara deru angin jadi-jadian, terdengarlah
perintah Oh Tong-peng, "Terjang keluar! Jalan ke tiga
puluh enam!"
Dalam istilah kaum petualang, ada pepatah "di
antara tiga puluh enam jalan menyelamatkan diri, lari
adalah yang terbaik". Karena Oh Tong-peng dan
kawan-kawannya adalah anggota-anggota pasukan
pilihan yang diperintah langsung oleh Kaisar Kian
liong, tentu saja mereka adalah jagoan-jagoan
bernyali besar tidak gampang kabur dari
pertempuran.
Itulah sebabnya mereka menaruh "lari" sebagai
penyelamatan diri pertempuran sebagai cara yang
terakhir alias yang nomor tiga puluh enam. Kini Oh
Tong-peng sudah meneriakkannya, tanda kalau cara
yang ke satu sampai tiga puluh lima sudah tidak
mungkin dipakai lagi, makanya langsung yang ke tiga
puluh enam.
Ketika itu, suasana begitu gelapnya sehingga
kelima orang itu tak dapat saling melihat, Pang Hui
beng dan Cu Tong-liang berbareng melompat hendak
kabur, tapi karena tidak tahu arah, jidat mereka
berbenturan keras. Mereka mengaduh berbareng dan
jatuh berbareng pula sambil mengaduh-aduh. Pang40
Hui-beng memijit-mijit jidatnya sambil menggerutu.
Selama beberapa hari ini ia sedang jengkel karena di
tengah-tengah jidatnya, di antara kedua matanya,
seperti ada sesuatu yang menempel dan membuatnya
risih, meskipun kalau ia bercermin ternyata tidak ada
apa-apa di situ. Sekarang ia bayangkan di jidatnya
tentu tumbuh sebuah benjolan akibat benturan
dengan Cu Tong-liang tadi.
Sementara Cu Tong-liang sendiri juga diinjak
perutnya entah oleh siapa, karena gelap. Untung
perutnya berotot keras karena terlatih dengan baik.
Sementara Oh Tong-peng dan yang lainnya
tidak mempedulikan kegaduhan itu. Mereka benar
benar berusaha mencari jalan keluar dari situ, kalau
bisa selain menyelamatkan diri sendiri juga
menyelamatkan teman-teman mereka.
Sambil menutup mata agar tidak kemasukan
debu, Kui Tek-lam sekuat tenaga melakukan lompatan
jauh ke depan, tak peduli arahnya. Ia bahkan tak
peduli seandainya lompatannya itu tubuhnya bakal
menyongsong ujung senjata lawan yang tak terlihat
dalam kegelapan.
Ternyata Kui Tek-lam memang menubruk
seorang anggota Pek-lian-hwe yang mengelilinginya,41
untung tidak bertubrukan dalam posisi berhadapan
sebab orang itu membawa golok, melainkan Kui Tek
lam menubruknya dari samping sehingga orang itu
jatuh bergulingan.
Ternyata, meskipun jatuh, orang itu tidak
segera sadar dari kesurupannya, ia tetap saja
bermantera dalam posisi tergeletak di tanah. Yang
lain-lainnya, yang kesurupan total, tidak melihat Kui
Tek-lam berhasil menerobos dari situ.
Menyusul Oh Tong-peng, Pang Hui-beng, dan
lain-lainnya berlompatan keluar dari pusaran angin
buatan yang mengurung mereka itu.
Begitu keluar, Cu Tong-liang langsung
meledakkan rasa jengkelnya kepada orang-orang PekMenaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lian-hwe itu. Ia jotos muka orang Pek-lian-hwe yang
terdekat dengannya, sehingga topeng kayu orang itu
remuk bersama dengan hidung orang itu. Orangnya
sendiri tergeletak tak berkutik.
Cu Tong-liang masih hendak menjotos satu
orang lagi, tetapi Pang Hui-beng meneriaki rekannya
yang berangasan itu, "Saudara Cu, jangan sampai
terlambat pergi dari sini!"
Ternyata tidak semua orang-orang Pek-lian-hwe
yang di situ kesurupan lotal sehingga tidak tahu apa42
yang terjadi di sekitarnya. Ada yang cuma setengah
kesurupan setengah sadar, bahkan dua tiga orang
yang tergolong pimpinan tidak kesurupan sama sekali.
Pikiran mereka tetap jernih, meskipun mereka sambil
melepaskan ilmu hitam mereka lebih ampuh dari
kaum bawahan. Mereka yang tidak kesurupan atau
cuma setengah kesurupan ini, tentu saja tahu kalau
para "anjing Manchu" itu telah berhasil membebaskan
diri dari pusaran angin setan itu.
Di antara orang-orang Pek-lian-hwe yang tidak
kesurupan adalah Si Wakil Ketua cabang Lam-koan,
Thai Yu-tat, Si Cebol yang bersenjata garu besi
bertangkai sepanjang dua meter itu, dan memakai
topeng Dewa Mo Sui, Si Dewa Cebol dalam cerita Liat
kok.
Sejenak Thai Yu-tat tercengang melihat musuh
musuhnya bisa lolos dari pusaran angin jadi-jadian itu.
Kemudian kagetnya berubah menjadi kegusaran,
tubuhnya yang kecil itu mendadak melejit menghajar
Pang Hui-beng. Sambil membentak, "Anjing Manchu!
Jangan pikir bisa pergi hidup-hidup dari sini!"
Garu besinya juga langsung terayun ke
punggung Pang Hui-beng yang membelakanginya.
Begitu cepat, kelihatannya kecil kemungkinan Pang43
Hui-beng untuk tidak cidera oleh orang kedua Pek
lian-hwe Lam-koan ini.
Tetapi Oh Tong-peng yang melihatnya, tidak
membiarkan anak buahnya cidera. Kebetulan di
tangan Oh Tong-peng masih menggenggam pasir yang
tadi disiapkan sebagai "senjata", kini pasir itu
ditaburkannya ke wajah Thai Yu-tat sambil mengejek,
"Dewa gadungan, rasakan ilmu saktiku sekarang!"
Thai Yu-tat memakai topeng kayu, tetapi di
bagian matanya tentu saja ada "jendela"nya.
Beberapa butir pasir masuk ke matanya, membuatnya
meraung marah, konsentrasinya buyar dan
serangannya buyar. Garu besinya hanya menghantam
sebuah salib dari kuburan Portugis itu sehingga
hancur.
Tubuhnya yang kecil dan sedang meluncur ke
depan itu agak sukar untuk "direm" seketika, dan
sialnya, Oh Tong-peng justru berhenti, dan melakukan
teknik tendangan disebut Kau-tui-hoan-tui
(Rendahkan Lutut Sambil Menendang ke Belakang),
seperti kuda. Tendangannya menghunjam ke lambung
Thai Yu-tat dan membuat Si Dewa Mo Sui gadungan ini
mencelat mundur ke aral) orang-orang sendiri.44
Sesaat suasana jadi agak kacau. Orang-orang
Pek-lian-hwe yang masih sadar mencoba menghalang
halangi kaburnya agen-agen kerajaan itu. Kui Tek-lam
sendiri tidak dapat segera pergi karena dihadang... Lo
Lam-hong!
Berhadapan dengan orang yang selama
bertahun-tahun menjadi sahabat sehidup sematinya,
tentu saja tidak mungkin bagi Kui Tek-lam untuk
bersungguh-sungguh. Bahkan sampai saat itu pun
masih ada sepercik pikiran di benaknya bahwa Lo Lam
hong sedang "main sandiwara" di depan mata orang
orang Pek-lian-hwe dengan maksud tertentu.
"Barangkali untuk merebut kepercayaan orang
Pek-lian-hwe, agar dia dapat segera dipercayai untuk
ikut mengetahui di mana tempat penyimpanan lima
ribu pucuk senjata api simpanan Pek-lian-hwe itu."
Tetapi sikap Kui Tek-lam itu hampir-hampir
mencelakakan dirinya sendiri. Kui Tek-lam
menganggap Lo Lam-hong hanya bersandiwara,
ternyata Lo Lam-hong sendiri bertempur dengan
sangat sengit dan nafsu membunuh yang menyala
nyala, dengan pedang di tangannya, Lo Lam-hong
pasti takkan membuang suatu peluang pun apabila45
bisa menghunjamkan ujung pedangnya ke jantung Kui
Tek-lam.
Suatu kesempatan, ketika Kui Tek-lam
melompat mundur menghindari suatu sabetan
pedang, tumitnya tersentuh nisan kuburan sehingga
langkahnya agak terhuyung sejenak. Sebagai seorang
perwira istana pilihan, Kui Tek-lam dengan cepat
dapat menguasai keseimbangan kembali. Tetapi
waktu yang sepersekian detik itu digunakan oleh Lo
Lam-hong untuk memburu dengan ganas. Hampir saja
dada Kui Tek-lam tertikam, kalau tidak cepat-cepat
menyelamatkan diri secara darurat membanting diri
ke samping.
Lo Lam-hong meraung ganas dan kali ini
membacok ke tanah, ke arah Kui Tek-lam.
"Saudara Lo, sadarlah!" pekik Kui Tek-lam
bernada putus asa, saat itu hampir ada peluangnya
untuk menyelamatkan diri lebih lanjut. Teriakan yang
sedikit pun tidak menggoyahkan Lo Lam-hong.
Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong punya
ketrampilan tempur yang lebih-kurang setara, namun
dengan keadaan mereka saat itu, sudah tentu jadi
tidak setara lagi. Kui Tek-lam tidak bersenjata, Lo Lam
hong bersenjata. Kui Tek-lam tidak bersungguh-46
sungguh, Lo Lam-hong sudah kerasukan semangat
membunuh yang menyingkirkan kesadaran atau
kehendaknya sendiri.
Maka nyawa Kui Tek-lam saat itu sudah seperti
bergantung pada sehelai rambut dibelah tujuh.
Namun saat itu Oh Tong-peng masih berada di
sekitar arena itu, berkeliling membantu anak buahnya
yang butuh pertolongan, la bertekad akan lari paling
belakangan, setelah semua anak buahnya selamat
lebih dulu. Baru saja ia menyelamatkan Pang Hui
beng, dan sekarang dia menyelamatkan Kui Tek-lam
dari Lo Lam-hong.
Tubuh Ong Tong-peng yang sudah setengah
baya itu ternyata belum kendor dan kehilangan
ketangkasannya. Jarak beberapa langkah antara
dirinya dengan Lo Lam-hong itu "ditutup"nya dengan
sebuah lompatan sambil menendang, teknik Hui-hou
tui (Tendangan Macan Terbang). Tepat mengenai
lengan Lo Lam-hong yang sedang terangkat tinggi
mengayunkan pedang. Pedang di tangan Lo Lam-hong
terpental, Lo Lam-hong sendiri terhuyung dengan
wajah pucat namun sorot matanya tetap beringas.
Oh Tong-peng menumpuk kegusarannya
kepada Lo Lam-hong, bekas anak buahnya sendiri itu.47
Dalam pendapatnya, entah Lo Lam-hong sedang
"bermain sandiwara" atau bersungguh-sunngguh,
kenyataannya sudah berulang-kali melakukan
tindakan yang membahayakan jiwa bekas teman
temannya sendiri. Sebagai orang yang tegas, Oh Tong
peng sudah merasa layak kalau memberi hukuman
kepada Lo Lam-hong.48
Begitu kakinya mendarat di tanah, tangkas
sekali Oh Tong-peng memutar tubuhnya sambil
kakinya naik lagi dalam gerakan Coa-sin-teng-kak
(Menendang Sambil Memutar Tubuh), tumitnya tepat
kena pangkal leher Lo Lam-hong yang belum sempat
memperbaiki posisinya. Lo Lam-hong terhempas ke
belakang, seandainya punggungnya tidak tertahan
oleh sebatang pohon, tentu sudah jatuh terlentang.
Oh Tong-peng terus memburu. Telapak
tangannya yang terlatih dengan pasir besi dan mampu
meremukkan segumpal batu besar menjadi bubuk,
didorongkan sekuatnya dan secepatnya ke ulu hati Lo
Lam-hong.
"Kakak Oh! Jangan!" seruan Kui Tek-lam itu
menghentikan gerakan tangan Oh Tong-peng dan
meloloskan Lo Lam-hong dari maut.
Telapak tangan Oh Tong-peng tinggal sejari
jaraknya dari kulit dada Lo Lam-hong. Lo Lam-hong
terhempas ke belakang, seandainya punggungnya
tidak tertahan oleh sebatang pohon, tentu sudah jatuh
terlentang.
hong ketika dihentikan mendadak. Dalam
kegelapan Oh Tong-peng menatap sepasang mata Lo
Lam-hong yang berkilat penuh kebencian dan49
permusuhan, jelas sikap permusuhan Lo Lam-hong
terhadap teman-temannya itu bukan berpura-pura.
Kini berhadapan jarak dekat dengan Oh Tong
peng, Lo Lam-hong masih bisa menggeram sengit
tanpa dibuat-buat, "Anjing Manchu, kalian semua
akan musnah dari setiap jengkal buminya bangsa Han
ini!"
Darah Oh Tong-peng menggelegak, ingin
rasanya menekankan telapak tangannya yang masih
berisi penuh kekuatan "Telapak Pasir Besi" itu
sejengkal lagi ke depan untuk membuat ambroK
tulang-tulang dada Lo Lam-hong. Namun suara Kui
Tek-lam menahannya, "Jangan curigai dia, Kak Oh. Dia
sedang dikuasai suatu pribadi lain yang ada dalam
dirinya bukan kepribadiannya sendiri."
Meskipun Oh Tong-peng komandan dan Kui
Tek-lam bawahan, tetapi ternyata Oh Tong-peng
menuruti kata-kata Kui Tek-lam. la lihat sekelilingnya
dan melihat anak buahnya sudah berhasil kabur
berpencaran ke berbagai arah. Ada juga orang-orang
Pek-lian-hwe yang memburu, tetapi kelihatannya
takkan berhasil karena kalah cepat larinya, dan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagian orang Pek-lian-hwe sedang sibuk menolong50
Si "Dewa Mo Sui" yang agaknya luka parah kena
tendangan Oh Tong-peng tadi.
Oh Tong-peng memperhitungkan, biarpun
pihaknya baru saja lolos dari lobang jarum, tetapi
"harga" yang dibayar pihak Pek-lian-hwe nampaknya
cukup pantas juga. Maka dia pun kemudian
mengundurkan diri bernama Kui Tek-lam
meninggalkan kuburan itu.
Sepeninggal agen-agen kerajaan itu, Lo Lam
hong tertegun-tegun sejenak. Pengaruh asing yang
mencekam kepribadian aslinya sedikit mengendor,
dan kepribadian aslinya muncul ke permukaan meski
samar-samar.
"Apa yang terjadi? Apa yang sudah kulakukan?"
ia menepuk-nepuk jidatnya sendiri sambil celingukan
ke sekelilingnya.
Oh Tong-peng dan Kui Tek-lam ke suatu tempat
belukar yang sepi di pinggiran kota Lam-koan, di tepi
sungai Se-kiang. Mereka berhenti. Mereka tidak tahu
ke arah mana teman-teman mereka yang lain
berpencaran, tetapi mereka punya keyakinan bahwa
teman-teman mereka pun tentu akan berhasil
menyelamatkan diri, asal bisa pergi dari kuburan itu.51
"Gila!" Oh Tong-peng mengutuk sambil duduk
di atas sebuah batu besar yang permukaannya rata.
"Benar-benar - gila. Berantakan semuanya!"
"Belum. Kita masih utuh, kecuali Saudara Lo
yang agaknya kena pengaruh gaib. Kita bisa
mendapatkan Saudara Lo kembali, kalau pengaruh
jahat atas kepribadiannya itu bisa dilenyapkan."
Oh Tong-peng yang biasanya sabar, kali ini
kelihatannya jadi gampang marah. Suaranya ketika
menjawab Kui Tek-lam pun bernada tinggi,
"Bagaimana melenyapkan pengaruh itu? Kita tidak
tahu menahu perkara-perkara gaib, bahkan malam ini
kita semuanya bisa lolos saja sudah patut bersyukur.
Sungguh tidak kusangka Lo lam-hong bisa segila itu!"
"Bukan kemauannya sendiri, Kakak Oh. Aku
sendiri mengalami bagaimana beratnya perjuangan
melawan suatu musuh yang tidak menyerang dari
luar, tetapi menyerang lewat dalam, lewat pikiran kita
sendiri. Seakan ada suatu pribadi lain yang hendak
mendesak pribadiku sendiri dan hendak mengambil
alih seluruh diriku."
"Kenapa tidak kauminum obat itu?"
"Obat itu kutinggalkan di kamarku di rumah Nyo
In-hwe. Kemarin malam ketika aku hendak52
meminumnya, tiba-tiba merasa sangat mengantuk
dan...." tiba-tiba Kui Tek-lam berhenti bicara dan
nampak seperti berpikir keras, sehingga Oh Tong-peng
heran.
"He, kenapa berhenti bicara ?"
"Obat itu!"
"Kenapa dengan... oh, aku mengerti! Kau mau
bilang. Lo Lam-hong minum obat Tabib Siau yang
kukirimkan kepadanya, lalu kepribadiannya jadi
terkendali mutlak oleh Pek-lian-hwe, sedangkan kau
tidak meminumnya dan semalam malahan dapat tidur
pulas, begitu?"
"Betul, Kakak Oh."
"Kalau begitu, Tabib Siau itu kemungkinan besar
adalah orang Pek-lian-hwe."
"Kita patut mencurigainya, Kakak Oh. Tadi
Kakak Oh bercerita bahwa di ruang tamu rumah Tabib
Siau ada altar pemujaan yang patung Koan Kongnya
tidak ditaruh di tengah, juga memasang kata-kata
mutiara hasil karya Baginda Khong-hi. Dengan
kenyataan-kenyataan tersebut terus Kakak anggap
mustahil dia orang Pek-lian-hwe, tetapi bisa juga hal-53
hal tersebut sengaja dipamerkan di ruang tamunya
untuk mengelabuhi orang."
Oh Tong-peng menepuk jidatnya sendiri keras
keras sambil memaki diri sendiri, "Alangkah
gegabahnya tindakanku, begitu saja mempercayai
Tabib Siau dan mengirimkan obat kepadamu dan
kepada Lo Lam-hong! Kalau ternyata benar Tabib itu
adalah orang Pek-lian-hwe, tentu ramuan obatnya itu
juga tidak beres, dan secara tidak langsung akulah
yang mencelakakan Lo Lam-hong sehingga jadi lupa
diri seperti itu."
"Sudahlah, Kakak Oh, tidak perlu menyalahkan
diri sendiri. Yang penting, bagaimana langkah kita
selanjutnya."
"Agak sulit sekarang. Pihak kita sekarang sedang
kedodoran."
"Maaf, Kakak Oh, pandangan Kakak ini terlalu
berat sebelah dan tidak adil buat pihak kita sendiri.
Kita memang kedodoran, Lo Lam-hong yang lupa diri
itu mengguncangkan kita dan sedikit mengacaukan
nya. Tetapi jangan lupa. pihak Pek-lian-hwe juga
sedang kedodoran saat ini. Pembunuh Nyo In-hwe
belum diketahui orangnya dan motifnya, malam ini
Pek-lian-hwe juga menderita kerugian, Si Cebol54
bertopeng Dewa Mo Sui itu adalah orang nomor dua
di cabang Larn-koan ini, dan aku percaya dia terluka
parah oleh tendangan telak Kakak Oh tadi, mungkin
takkan bisa melewati malam ini bersama-sama
nyawanya. Tidakkah ini berarti kerugian baginya?
Belum lagi dalam beberapa peristiwa akhir
akhir ini kita mulai bisa mencium tokoh-tokoh yang
kita curigai sebagai orang Pek-lian-hwe, padahal
tadinya susahnya setengah mati untuk mengenali
tokoh-tokoh Pek-lian-hwe yang pintar menyamar di
tengah masyarakat. Paling tidak sekarang kita bisa
mengarahkan kecurigaan kepada Hakim Kang Liong
dan Tabib Siau Hok-to."
Semangat Oh Tong-peng agak menyala kembali
mendengar kata-kata Kui Tek-lam itu. Ia mengangguk
angguk, dan berkata, "Kau benar. Sekarang ini
permainan kita dengan orang-orang Pek-lian-hwe
memasuki tahapan baru, tahap di mana kedua belah
pihak sudah mulai saling bisa melihat lawan yang
tadinya sama-sama tak terlihat, sekarang mulai
terlihat secara samar-samar. Siapa yang lebih cepat
membenahi diri dan mengambil langkah yang tepat,
dia yang menang!"
"Betul, Kakak Oh. Sekarang apa rencana Kakak?"55
"Entah di mana kawan-kawan kita sekarang,
mudah-mudahan Pang Hui-beng berhasil mengumpul
kan mereka, toh kota Lam-koan ini tidak terlalu besar.
Aku merencanakan untuk mengadakan pertemuan
besok malam, menentukan langkah-langkah baru.
Mungkin kita perlu berganti penyamaran, juga
berganti isyarat untuk saling berhubungan, sebab
dengan menyeberangnya Lo Lam-hong ke pihak
lawan."
".... di luar kesadarannya sendiri...." Kui Tek-lam
menyelipkan penjelasan.
Oh Tong-peng tertawa, "Ya, jangan kuatir, aku
tentu takkan melupakan itu. Dengan menyeberangnya
Lo Lam-hong ke pihak lawan, tempat persembunyian
kita saat ini tentu tidak menjadi rahasia lagi buat pihak
musuh. Begitu pula dengan isyarat-isyarat rahasia kita
tentu bukan rahasia lagi."
"Di mana tempatnya pertemuan kita besok malam?"
"Tempat yang paling aman adalah tempat yang
paling tidak terduga bual mereka, yaitu kuburan
Portugis tempat kita biasa bertemu. Tempat itu baru
saja diketahui oleh musuh malam ini, dan mereka
tentu takkan berpikir bahwa di tempat yang sudah
mereka ketahui itulah yang kita pakai lagi untuk56
pertemuan kita. Bahkan hanya semalam setelah
mereka mengobrak-abrik tempat itu."
Kui Tek-lam tertawa, mengagumi cara berpikir
komandannya itu, "Baiklah, Kakak Oh. Besok tengah
malam aku akan ke sana."
"Kita tidak tahu di mana sekarang Pang Hui
beng, padahal tugasnya sebagai penghubung amat
penting dalam gerakan kita. Karena itu, kalau
kautemui teman-teman kita, beritahukan hal itu."
"Baik, Kakak Oh."
"Sekarang aku tanya kamu, kemana kau setelah ini?"
Kui Tek-lam berpikir sejenak baru menjawab.
"Mencoba menyelinap kembali ke rumah Nyo
In-hwe, ingin tahu apakah penyamaranku di tempat
itu sudah terbongkar atau belum."
"Aku anjurkan agar berhati-hati, kemungkinan
besar orang sudah mulai curiga kepadamu. Apakah
perlu aku temani?"
"Terima kasih, Kakak Oh. Kalau aku pulangnya
ditemani orang, pasti semakin mencurigakan, biar aku
sendirian saja."57
Oh Tong-peng bangkit dari duduknya,
mengebas-ngebaskan debu di pantatnya dan berkata,
"Baiklah. Ingat, besok tengah malam di kuburan itu."
"Selamat malam, Kakak Oh."
Oh Tong-peng yang menghilang ke dalam
pekatnya malam dengan sebuah lompatan yang
tangkas dan ringan.
Kui Tek-lam kembali ke rumah Nyo In-hwe. Saat
itu malam sudah amat larut, tetapi rumah yang sedang
berkabung itu masih terang benderang. Rupanya
masih ada orang-orang yang bergadang semalam
suntuk menunggui mayat. Petugas-petugas di dapur
masih saja bergiliran meladeni makan-minum para
tamu itu, meskipun harus bergantian untuk
beristirahat. Mereka harus menghemat tenaga, sebab
perkabungan dengan cara tradisional bisa makan
waktu belasan hari sebelum jenazah dimakamkan.
Sangat melelahkan.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagaimana cara perginya, begitu pula cara
kembalinya, Kui Tek-lam melompati dinding halaman
belakang, langsung menuju pohon tempat ia
menyembunyikan pakaian berkabungnya yang
terbuat dari kain belacu. Pakaian itu masih di
tempatnya, lalu ia kenakan, dirangkapkan pada58
pakaian pejalan malamnya yang ringkas. Begitu pula
topi kain belacu yang berbentuk kerucut.
Dengan pakaian Itu, berjalanlah ia menuju ke
kamarnya. Dalam perjalanan ke kamarnya, ia
berpapasan dengan beberapa bujang keluarga Nyo.
Tapi bujang-bujang itu dalam keadaan terlalu lelah
dan mengantuk untuk memperhatikan Kui Tek-lam,
kecuali tegur-sapa sekedarnya.
Kui Tek-lam langsung memasuki kamarnya.
Namun begitu kakinya melangkahi ambang pintu, ia
tertegun. Kamar itu tidak berubah, biarpun tidak ada
lilin dinyalakan namun ketajaman mata Kui Tek-lam
mampu melihat kalau benda-benda di kamar itu tetap
di tempatnya masing-masing, tidak ada yang berubah
sedikit pun. Tetapi Kui Tek-lam merasakan nalurinya
menyentuh sesuatu yang aneh, rasanya ada yang
pernah memasuki kamarnya. Perasaan itu kuat sekali,
meskipun tanpa bukti.
la tenangkan dirinya dan mewaspadakannya,
lalu melangkah perlahan ke dalam kamar itu.
Baru saja ia meraih batu-api untuk menyalakan
lilin, dari balik kelambu tempat tidurnya terdengar
suara berat seorang laki-laki, dalam bahasa setempat
namun dengan lidah yang masih agak kaku sehingga59
kentara kalau pembicaranya orang asing, "Selamat
malam, Tuan Kui. Kembali dari jalan-jalan malam?"
Bersambung jilid VIII.6061
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi
file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk
mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan
dikompilasi menjadi file TextPDF.
Credit untuk :
? Gunawan A.J.
? Kolektor E-Books12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID 8
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang-Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid VIII
SESOSOK bayangan tinggi besar pelan-pelan
keluar dari belakang bayang-bayang kelambu. Dia
bukan lain adalah Si Guru Portugis yang sering
mengajari tulisan Latin kepada anak-anak orang-orang
kaya di Lam-koan.
Kui Tek-lam terkesiap melihat langkah Si Orang
Portugis yang tanpa suara seperti awan mengalir, juga
napasnya yang terkendali sehingga hampir tidak
kedengaran sama sekali. Pertama kali Kui Tek-lam
diperkenalkan kepada guru bahasa ini oleh Nyo In
hwe, Kui Tek-lam memandangnya tidak berarti dalam
ilmu silat, meskipun mencurigainya sebagai salah satu
"sandal jerami" (kurir atau penghubung) dalam
organisasi Pek-lian-hwe. Walaupun tubuh Si Portugis
ini kekar, Kui Tek-lam menganggap paling-paling
hanya pintar adu jotos yang kasar dan ketrampilan
bermain anggar gaya Eropa. Namun sekarang
penilaian itu agaknya mesti dirubah.6
Orang Portugis itu mengambil tempat duduk
tanpa dipersilakan, dia rupanya mengerti apa yang
sedang dipikirkan Kui Tek-lam, dan dia pun
mengatakannya tanpa diminta, "Tuan Kui tentunya
agak heran, orang barat yang kasar seperti aku kok
menguasai ilmu beladiri timur. Begitu bukan?"7
"Ya. Bahkan dalam tingkatan yang lumayan."
Kui Tek-lam mengaku terus-terang.
"Terima kasih atas penilaian Tuan Kui. Aku
belajar di Goat. Malaka, Makao dan Nagasaki, aku
tahu keahlian macam ini bakal dibutuhkan apabila aku
bertugas di negeri-negeri timur ini. Puas dengan
jawabanku?"
Kui Tek-lam mengangguk. Goa di India, Malaka,
Nagasaki di Jepang dan Makao di daratan Cina
memang tempat-tempat di mana Portugis
mempunyai pos-pos sebagai titik-titik penghubung
untuk melancarkan jalur pelayarannya di benua timur.
Dengan demikian mudah ditebak kalau ilmu beladiri
yang dipelajari orang Portugis ini pasti campur-aduk
antara gaya India, Malaka, Jepang dan Cina.
Tetapi titik pusat persoalannya sekarang
adalah, Si Portugis ini telah memergoki Kui Tek-lam
meninggalkan rumah Nyo In-hwe diam-diam dan
kembali diam-diam pula. Apa maksudnya dia
menunggui Kui Tek-lam? Di pihak mana dia berada?
Ketika Kui Tek-lam hendak menyalakan lilin, Si
Portugis itu berkata, "Lebih baik kita berbicara dalam
gelap saja, Tuan Kui. Jangan sampai dari luar jendela
bayangan kita dilihat orang, dan jangan sampai orang8
tahu sedang ada pembicaraan di kamar ini, apalagi
kalau yang tahu itu adalah bangsat-bangsat Pek-lian
hwe."
Kui Tek-lam batal menyalakan lilin, Dari
perkataan Si Portugis, dia bisa menyimpulkan dua hal.
Si Portugis ini tentu masuk ke kamarnya dengan
menyelinap diam-diam tadi. Kedua, agaknya si
Portugis juga berdiri sebagai musuh pihak Pek-lian
hwe, kalau didengar dari caranya menyebut "bangsat
bangsat Pek-Iian-hwe" tadi.
Meskipun demikian, Kui Tek-lam
memperingatkan dirinya sendiri dalam hati, "Mudah
mudahan raksasa berhidung merah ini juga musuh
Pek-lian-hwe, tetapi aku tidak boleh terlalu gegabah
menentukan sikap dan mengambil keputusan yang
keliru. Tabib Siau Hok-to yang menurut Kakak Oh tidak
menunjukkan tanda-tanda anggota Pek-lian-hwe
sedikit pun, ternyata obat ramuannya membuat Lo
Lam-hong lupa diri."
"Baik, kalau itu kemauan Tuan." sahut Kui Tek
lam sambil duduk pula, berseberangan meja dengan
tamu tak diundang ini.
"Tuan Kui, boleh aku tahu darimana Tuan
malam-malam begini? Maaf, ini bukan seperti petugas9
keamanan menanyai pencuri yang tertangkap,
melainkan hanya semacam penjagaan untuk...
kemungkinan bekerjasama, begitulah. Tetapi kalau
Tuan Kui mencoba tidak menjawab, aku pun tidak
memaksa."
"Dia sedang mencoba menimbulkan rasa
simpatiku..." pikir Kui Tek-lam. Tapi ia jawab juga,
"Ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan di luar."
"Di malam larut begini?"
Kui Tek-lam membungkam, sehingga Si Portugis
harus menjawabnya sendiri, "Ya, sejak semula kita
diperkenalkan oleh Tuan Nyo, perasaanku sudah
mengatakan kalau orang semacam Tuan ini pastilah
tidak seperti yang nampak dari luar. Tuan pasti orang
yang terbiasa "punya urusan" yang harus diselesaikan
larut malam seperti ini."
"Mungkin kita ada sedikit kesamaan."
"Ada di pihak mana Tuan?"
"Atas nama Gubernur Jenderal di Makao, Dan
aku pun tahu Tuan bekerja untuk pemerintah Kerajaan
Manchu."10
Pikir Kui Tek-lam, "Agaknya antara kami berdua
tidak ada lagi tedeng aling-aling. Entah apa maunya
dengan menemui aku."
"Tuan Kui, aku bisa paham kalau pihak
pemerintah Tuan cemas karena pihak Pek-lian-hwe
menyimpan lima ribu pucuk senjata api, jumlah yang
cukup untuk membentuk suatu pasukan yang kuat dan
mematikan. Yang menjadi gelisah bukan hanya pihak
pemerintah Tuan, tetapi juga pemerintahku. Orang
Pek-lian-hwe diketahui anti bangsa asing, sering
menghembuskan desas-desus agar orang-orang
pribumi melakukan gerakan anti orang asing. Kalau
Pek-lian-hwe semakin kuat, posisi kami di Makao bisa
terancam. Di Lam-koan ini saja, lima puluh tahun yang
lalu ada gerakan anti orang asing yang didalangi orang
Pek-lian-hwe, sehingga orang-orang Portugis sekarang
tidak ketinggalan seorang pun di kota ini. Nah,
sekarang tentu Tuan Kui melihat kesamaan tujuan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita."
"Ya. Lalu maksud Tuan?"
"Apa Tuan sudah tahu di mana penyimpanan
senjata api Pek-lian-hwe?"
"Belum. Bahkan, terus-terang saja, malam ini
pihak kami malahan kedodoran."11
"Kedodoran bagaimana?"
Secara singkat Kui Tek-lam menjawab, "Ilmu
gaib Pek-lian-hwe membingungkan kami, terus-terang
saja."
Si Portugis tertawa perlahan, "Jangan kuatir,
Tuan Kui. Sejak aku ditugaskan di negeri-negeri timur
ini dua puluh tahun yang lalu, sedikit banyak aku
belajar juga menangkal pengaruh ilmu gaib. Kalau
pihak Tuan setuju menjadi sekutu kami untuk
menggulung Pek-lian-hwe, tidak sulit mengatasi
permainan hantu-hantuan kaum Teratai Putih itu."
"Wewenang untuk memutuskan apakah
kelompok kita akan bergabung atau tidak, tidak
kupunya. Aku bukan komandan operasi ini..." sambil
menjawab demikian, diam-diam Kui Tek-lam merasa
kalau ia sudah memberitahu terlalu banyak kepada
lawan bicaranya ini, mengingat kerahasiaan tugas
kelompoknya.
"O, jadi Tuan Kui bukan pemimpinnya?"
"Bukan."
"Bisa Tuan Kui antarkan aku bertemu dengan
pemimpin Tuan?"12
Sepercik kecurigaan muncul di hati Kui Tek-lam,
jangan-jangan Si Portugis ini cuma hendak menangkap
agen-agen kerajaan? Meskipun tadi sudah mengaku
kalau dia bekerja bagi kepentingan Gubernur
Jenderalnya di Makao, haruskah pengakuannya
ditelan mentah-mentah begitu saja?
Maka menjawablah ia secara diplomatis, "Soal
pemimpinku mau menemui Tuan atau tidak, itu
terserah keputusan-nya. Tetapi aku akan menyampai
kannya."
Si Portugis menarik napas sambil geleng-geleng
kepala, "Ah, kalian orang-orang timur ini terlalu
bertele-tele dan terlalu banyak pertimbangan, tidak
dapat bertindak cepat mengambil keputusan."
"Kami harus berhati-hati, Tuan."
"Sudah kukatakan tadi kepada Tuan Kui, pihak
kami bermaksud baik, ingin menggabungkan tenaga
untuk membereskan Pek-lian-hwe yang membahaya
kan pemerintah Tuan dan juga pemerintahku."
"Itu akan aku sampaikan kepada pemimpinku.
Secepatnya."
"Kapan aku bisa dapatkan jawabannya?"
"Secepatnya."13
"Ya secepatnya itu kapan? Sehari? Sepuluh
hari? Sebulan?"
"Belajarlah bersabar, Tuan. Pekerjaan macam
kita-kita ini sangat membutuhkan kesabaran. Belajar
jadi orang timur, Tuan." Kui Tek-lam tersenyum.
"Orang yang bekerja seperti kita memang betul
butuh kesabaran, Tuan Kui, tetapi juga kecepatan
dalam bertindak mendahului lawan."
"Aku akan secepatnya menemui pemimpinku
itu dan mengatakan maksud kerjasama dari pihakmu."
Si Portugis nampaknya kesal tetapi berusaha
menahan diri. Akhirnya ia berpamitan dan keluar dari
kamar Kui Tek-lam itu. Kalau dilihat dari caranya ia
menyelinap keluar-lebih dulu membuka pintu sedikit,
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Vertical Run Karya Joseph R Garber Abarat Karya Clive Barker
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama