Ceritasilat Novel Online

Menaklukkan Kota Sihir 5

Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P Bagian 5

lalu menoleh ke sana kemari sambil menunggu sampai

tidak dilihat orang-kelihatannya ia memang tidak ingin

dilihat orang dalam masuknya maupun keluarnya.

Kui Tek-lam memperhatikan itu, namun ia tidak

ingin cepat-cepat mempercayai orang ini. Pikirnya,

"Bisa juga dia memang benar-benar mata-matanya Si

Gubernur Jenderal di Makao, tetapi bisa juga hanya

pura-pura di depanku, pokoknya aku harus

menghitung segala kemungkinan."14

Setelah sendirian ditinggalkan orang itu, Kui

Tek-lam hilir-mudik sendirian di ruangan itu, dalam

kegelapan. Di luar kamarnya juga terdengar hilir
mudik bujang-bujang keluarga Nyo dan percakapan
percakapan pendek. Tentunya mereka sudah lelah

dan mengantuk, tetapi pekerjaan selalu ada saja.

Kui Tek-lam merasa dirinya penat lahir-batin,

tetapi tidak berani tidur. Pertama, ia kuatir orang
orang Pek-lian-hwe sudah mengetahui kalau dirinya

adalah agen kerajaan, meskipun pertempuran di

kuburan tadi dalam kegelapan dan saling tidak bisa

melihat wajah, namun siapa tahu ada hal lain yang

membocorkan penyamarannya di pihak Pek-lian-hwe?

Lo Lam-hong misalnya. Kedua, Kui Tek-lam masih

ketakutan didatangi mimpi-mimpi buruknya.

Meskipun kemarin malam ia bisa tidur pulas, malah

bermimpi ditolong Llu Yok, tetapi ia anggap malam

kemarin hanyalah suatu keberuntungan yang tidak

bisa diharapkan akan berulang kembali.

Tak terasa Kui Tek-lam menoleh dan

memandang sengit ke arah topeng kayu pemberian

Nyo In-hwe yang ditaruhnya di tepi meja. Topeng yang

juga dimiliki anggota-anggota Pek-lian-hwe lainnya

meskipun corak beraneka ragam. Rasanya sulit

dipercaya melihat benda mati itu bisa menghantuinya15

sekian malam berturut-turut. Di bawah cahaya

rembulan yang redup yang menerobos kertas jendela

dan menimpa topeng kayu di atas meja, nampak

topeng itu tidak ada bedanya dengan benda mati

lainnya.

Beku, tidak "memiliki rasa bersalah".

Dengan demikian Kui Tek-lam harus menahan

rasa kantuk dan lelahnya, daripada tidur kemudian

terbangun karena mimpinya, akan menimbulkan rasa

sakit di kepala, la bertekad akan melek sampai pagi,

melihat apa yang bakal terjadi.

"Kalau gelagatnya aku sudah diketahui sebagai

agen kerajaan, aku akan kabur menyelamatkan diri.

Tetapi kalau belum, aku akan tetap menyamar, siapa

tahu masih bisa mendapat petunjuk tentang tempat

penyimpanan senjata-senjata api Pek-lian-hwe itu...."

Maka dia pun duduk dalam kegelapan, la raih

poci arak di atas meja, tetapi poci itu terasa ringan.

Kosong. Araknya sudah diminum kemarin malam dan

hari itu para pelayan lupa menggantinya dengan yang

ada isinya.

Maka Kui Tek-lam duduk-duduk saja tanpa

melakukan apa-apa. Beberapa kali kepalanya

tersentak seperti menahan kantuk.16

Akhirnya kantuk itu tak tertahan lagi, dan Kui

Tek-lam pun tertidur. Seperti semalam sebelumnya, ia

tidur dengan kepala di meja berbantal lengan
lengannya sendiri.

Beberapa saat alam bawah sadarnya melayang

tak berketentuan, seakan yang dilihatnya hanyalah

layar putih kosong. Tetapi kemudian terbentuklah

gambar-gambar, la lihat dirinya sendiri di padang

rumput yang hijau, berjalan bersama-sama Liu Yok,

dan Kui Tek-iam merasa hatinya tenteram bersama Liu

Yok. Dalam keadaan sadar, ia tentu akan heran

terhadap diri sendiri. Merasa tenteram dan aman di

dekat seorang yang menurut penilaiannya serba tidak

memenuhi syarat untuk diikutkan dalam operasi

rahasia itu? Tidak bisa silat dan tidak mau belajar silat,

tidak bisa bohong, bersikap "terlalu baik hati" kepada

musuh sekalipun. Tetapi Kui Tek-lam saat itu sedang

tidak sadar, sedang mimpi.

Dalam mimpinya, tiba-tiba padang rumput yang

hijau dan penuh rumpun bunga warna-warni itu

sampai ke batasnya, tiba di tepian telaga yang airnya

kelihatan hitam seperti tinta dan kental-pekat seperti

bubur, bergolak tanpa henti.17

Kui Tek-lam mendengar sayup-sayup di

kejauhan ada suara memanggil namanya, "Saudara

Kui... Saudara Kui.... tolong aku...."

Kui Tek-lam lihat Lo Lam-hong sedang diseret

mahluk-mahluk berjubah hitam berbulu, dengan

wajah seperti topeng-topeng Pek-lian-hwe. Lo Lam
hong diseret hendak dibenamkan ke telaga hitam

pekat itu, dan saat itu Lo-Lam-hong meronta tetapi

sudah lemah, ia sudah diseret sampai kedalaman

leher. Tinggal kepalanya yang masih kelihatan,

sebentar lagi kalau dibenamkan tentu kepalanya

takkan kelihatan lagi. Lengan-lengannya dicengkeram

mahluk-mahluk itu, namun masih berusaha

melambai-lambai mengharapkan pertolongan sambil

berteriak-teriak.

Sementara di telaga itu, dalam cairan hitam

pekat yang turun naik bergelombang, nampak

potongan-potongan tubuh manusia yang menghitam

semuanya ... di antaranya Kui Tek-lam melihat Nyo In
hwe dan Ang Bwe-cu juga ada di atas gelombang

hitam kental itu.

Kui Tek-lam membuka mulut, ingin berteriak

kepada Lo Lam-hong agar sahabatnya itu lebih

bersemangat karena ia akan menolongnya, tetapi18

tidak keluar suara sedikit pun. Kui Tek-lam ingin berlari

mendekati temannya itu, tetapi bagaimanapun ia

ayunkan kakinya, jaraknya dengan Lo Lam-hong tidak

makin dekat. Rasanya Kui Tek-lam seperti lari di

tempat saja.

Ia ingat Liu Yok dan menoleh ke sampingnya

untuk minta pertolongan Liu Yok, namun Liu Yok tidak

nampak. Lenyap entah ke mana. Kui Tek-lam panik,

berteriak tidak bisa, bergerak juga tidak bisa, cuma

mulutnya yang megap-megap dan tangannya yang

menggapai-gapai tanpa arti. Dilihatnya Lo Lam-hong

makin ditenggelamkan oleh mahluk-mahluk itu, hati

Kui Tek-lam sangat panik namun tidak bisa apa-apa.

Belum lenyap rasa paniknya, dilihatnya

sahabatnya yang lain lagi, Pang Hui-beng, juga sedang

melangkah semakin dekat ke tepian telaga hitam

pekat itu. Pang Hui-beng seolah berjalan tanpa

melihat, jalannya sempoyongan, sebab di atas

kepalanya bertengger seekor burung hitam yang aneh,

tubuhnya burung kepalanya seperti belalang besar.

Pang Hui-beng mencakar-cakar jidatnya sendiri, di

tengah-tengah kedua matanya, seperti mau meng
hilangkan sesuatu yang menempel di situ namun tidak

berhasil. Kui Tek-lam merasa aneh. Burung aneh itu

hinggap di atas ubun-ubun, kok tangan Pang Hui-beng19

ke tengah-tengah antara mata terus? Tentu saja

tangan itu terus-menerus luput menghalau burung

yang seram itu.

Kembali Kui Tek-lam berusaha mendekat untuk

menolong temannya itu, tetapi sepasang telapak

kakinya seperti berakar di tanah. Mau berteriak, tidak

keluar suaranya seperti tadi. Alhasil dengan perasaan

bergolak dia cuma bisa melihat Pang Hui-beng

melangkah makin dekat ke tepian telaga hitam pekat

itu.

Kui Tek-lam meronta sekuat tenaga. Meronta.

Meronta! Dan akhirnya geragapan bangun dari

tidurnya. Tubuhnya basah kuyup dengan keringat, tak

peduli saat itu adalah dini hari yang udaranya dingin

sekali,...

Kui Tek-lam terengah-engah, beberapa saat dia

menenangkan napasnya. Menyeka keringat, dan

menghibur diri sendiri, "Untung cuma mimpi."

Tetapi yang ditakutkannya sejak semula

memang benar, la bangun dengan kepala pening, dan

ia perkirakan bahwa tidurnya tadi tidak lebih dari satu

jam.

Diam-diam ia mengeluh dalam hatinya,

"Apakah aku ditakdirkan seumur hidupi takkan bisa20

menikmati tidur lagi? Dan setiap kali tidur harus

berimpi buruk?"

Ia hilir mudik, dan dalam bingungnya dia

mengambil suatu keputusan, "Aku yakin rumah ini ada

banyak setannya, atau pengaruh jahatnya, mungkin

hong-suinya kurang betul. Entahlah. Dan Nyo In-hwe

sendiri pemuja siluman yang menakutkan di ruang

pemujaan bawah tanahnya itu. Rumah ini pasti lebih

banyak pengaruh jahatnya daripada baiknya, lebih

baik aku tinggalkan rumah ini secepatnya."

Begitulah, dia menyelinap keluar dari rumah itu.

Dan mulai malam itu, dia pun menjadi gelandangan di

kota Lam-koan.

Si Portugis yang tadi berbicara dengan Kui Tek
lam, kini tengah berbisik kepada Hakim Kang Liong di

tempat tamu-tamu yang bergadang di dekat peti

jenazah Nyo In-hwe, "Sudah aku hubungi Si "Semilir

Angin" itu, dia percaya aku benar-benar orangnya

Gubernur Jenderal, tidak lama lagi dia akan

menghubungi teman-temannya dan berkumpul di

suatu tempat dan memberi tahu aku, dan saat itu kita

ringkus mereka semua tanpa ketinggalan satu pun."

Kang Liong cuma mengangguk.

###21

Kui Tek-lam tidur sangat pulas, sampai sorot

matahari tengah hari jatuh tepat ke matanya,

menerobos sela-sela atap ilalang gubuk bambu di

tengah ladang sayuran di luar kota Lam-koan itu.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebuah gubuk yang letaknya di pinggir hutan.

Kui Tek-lam menggeliat duduk dan menguap

lebar. Nyaman benar rasanya tidur yang baru

dialaminya. Gerutunya, "Ternyata di tempat ini aku

tidak sulit untuk tidur nyenyak, sedang di rumah Nyo

In-hwe selalu dihantui mimpi buruk. Aku percaya

rumah itu banyak hantunya karena Nyo In-hwe itu

penyembah setan."

Ia duduk bermalas-malasan beberapa saat,

menatap hamparan ladang sayuran yang amat luas,

letaknya agak miring karena tempat itu ada di

"belakang" kota Lam-koan yang menghadap sungai

Se-kiang dan membelakangi pegunungan. Di kejauhan

nampak satu dua orang desa memikul tong-tong kayu

di tengah-tengah ladang. Kui Tek-lam pernah juga jadi

orang desa sebelum menjadi perajurit istana, dan ia

tersenyum sendiri karena tahu apa isi tong-tong yang

dibawa orang itu. Tinja alias kotoran manusia. Orang
orang desa biasa buang air besar dalam tong-tong

kayu, lalu setiap pagi tong-tong kayu itu dibawa ke

ladang dan isinya digunakan untuk memupuk sayur-22

sayuran. Yang tidak punya ladang, menjual isi tong itu

kepada yang punya ladang, dan... selalu saja ada yang

mau membeli. Kui Tek-lam di masa kecilnya sering ikut

ayahnya menjual "komoditi" istimewa ini.

Kadang-kadang ia membayangkan juga, kotoran

manusia disiramkan ke akar sayur-sayuran sehingga

diserap dan menjadi sayuran itu sendiri. Lalu

sayurannya diambil, dimasak, dengan lahap. Ia heran

bagaimana orang bisa menikmati makanan begitu

nikmat meskipun tahu "asal-usulnya, termasuk dirinya

sendiri.

Beberapa saat Kui Tek-lam melupakan

urusannya yang menegangkan. Ia duduk di dangau itu

sambil mengingat-ingat masa kecilnya di desa. Suka
dukanya.

Karena waktu ia bangun tidur saja sudah tengah

hari, maka ditambah dengan waktu ia melamun dan

berangan-angan, tahu-tahu matahari sudah agak

bergeser ke barat, sudah tiga perempat perjalanannya

hari itu. Dan perut Kui Tek-lam yang sejak semalam

tidak diisi apa-apa itu pun mulai berkeruyukan

menagih isi.

Kui Tek-lam menggeliat. "Aku harus

membersihkan diri, lalu cari makanan, kemudian akan23

kucoba berkeluyuran di kota, siapa tahu bertemu

dengan teman-teman."

Masalahnya, untuk membersihkan diri itu tidak

ada air di sekitarnya. Apa parit kecil yang mengalir dari

hutan, tetapi airnya keruh.

Tiba-tiba dilihatnya asap tipis naik di kejauhan,

Kui Tek-lam kegirangan, "Itu pasti rumah orang desa,

aku bisa minta air di desa untuk mandi, dan mungkin

minta sedikit makanan."

Tanpa pikir panjang, ia turun dari gubuk itu dan

melangkah ke sana. Sambil "menyetrika" pakaiannya

yang kusut dengan telapak tangannya, Kui Tek-lam

membatin. "Jubah biru lautku ini rasanya sudah

dikenali oleh orang-orang Pek-lian-hwe, hem, aku

harus ganti penampilan sebelum memasuki kota. Di

rumah itu, mudah-mudahan juga mau menjual

sepasang pakaian bekas kepadaku."

Rumah pedesaan yang terletak di tengah
tengah ladang sayur yang luas itu, ternyata kurang

ramah menyambut kedatangan Kui Tek-lam. Beberapa

anak-anak kecil yang sedang bermain gembira di

halaman, tiba-tiba berlarian masuk rumah dengan

ketakutan, ada yang diseret oleh kakaknya yang lebih

besar.24

Seorang perempuan desa yang sedang

menjemur pakaian, juga tergesa-gesa menghilang ke

dalam rumah, dan tidak lama kemudian suaminyalah

yang melangkah keluar dengan sorot mata

mengandung kecurigaan dan tangan membawa

parang pembelah kayu.

Kui Tek-lam menjadi heran mendapat

"sambutan" macam itu. Ia merasa bersikap cukup

ramah, dan pakaiannya pun rasanya tidak

menimbulkan kesan sebagai orang jahat, biarpun

pakaiannya agak kusut.

"Permisi...." ia menyapa seramah-ramahnya.

Sambutan Si Tuan Rumah sudah gampang

diduga sebelumnya, ia menjawab tidak ramah sama

sekali, bahkan sambil mengacung-acungkan goloknya,

"Belum puas menculik sepasang anak kembar dari

desa kami? Sekarang siapa lagi hendak kauculik?

Anakku?"

Kui Tek-lam kaget.

"Menculik anak?"

"Ya. Kau tidak usah berpura-pura lagi.

Kedatanganmu pasti berniat jahat, kalau bukan untuk

menculik, untuk apa lagi?"25

Sambil berkata-kata, orang itu dengan garang

juga mulai melangkah keluar dari bawah emperan

rumahnya, mendekati Kui Tek-lam dengan sikap

mengancam. Tubuhnya besar dan berotot, dan

nampaknya ia memandang rendah kepada Kui Tek
lam yang lebih kecil dan ramping.

"Mari, penculik keparat, hadapilah aku."

Sementara Kui Tek-lam teringat perihal

penculikan anak-anak dari beberapa kampung di

sekitar kota Lam-koan, bahkan di kampung nelayan

juga ada ibu hamil yang diculik. Kui Tek-lam dan

kawan-kawannya yakin kalau itu semua adalah ulah

orang-orang Pek-lian-hwe, mungkin korban-korban

culikan itu dibutuhkan untuk upacara-upacara satanik

mereka. Namun rasanya sulit menjelaskan kepada

orang-orang desa yang berpikiran sederhana

semacam yang berdiri di depannya ini.

"Aku bukan penculik. Aku memang bukan orang

daerah sini, aku orang utara, bisa kau kenali dari

logatku."

"Maling memang belum mengaku kalau belum

dihajar!" orang desa itu menukas kata-kata Kui Tek
lam dengan sengit, sambil melompat maju dan

mengayunkan parangnya ke leher Kui Tek-lam.26

Kui Tek-lam menghindarinya dengan langkah mundur

yang amat sederhana.

"Sabar, bung, aku bukan...."

Si Orang Desa tak menggubris dan tak mau

berhenti. Serangan berikutnya dilancarkan, tetapi Kui

Tek-lam dengan gampang menangkap pergelangan

tangan yang memegang parang itu, lalu menelikung

nya, menjejak belakang lutut orang itu dan memaksa

nya berlutut sambil menekan kuat-kuat tangan yang

tertelikung itu ke punggungnya.

Wajah orang itu berubah pucat, menyangka Kui

Tek-lam akan menghabisinya saat itu juga. Namun ia

terheran-heran ketika Kui Tek-lam melepaskannya

begitu saja.

Berhadapan dengan orang desa ini, Kui Tek-lam

merasa perlu membuat sebuah terobosan untuk bisa

mengajaknya bicara baik-baik. Ia singkapkan secara

samar-samar siapa dirinya sebenarnya.

"Baiklah, sobat, aku bisa memaklumi

kecurigaanmu. Bukan di kampungmu ini saja, namun

di kampung-kampung lain pun akan dengar ada orang
orang diculik. Tetapi aku bukan penculiknya. Aku dan

kawan-kawanku justru adalah petugas-petugas

negara yang hendak menyelidiki soal penculikan itu27

dan membekuk pen-culik-penculiknya. Bisa terima

kata-kataku?"

Cukup dengan pengakuan sederhana ini,

ternyata sikap Si Orang Desa berubah drastis. Tidak

perlu Kui Tek-lam sampai menerangkan dirinya adalah

perajurit pilihan dari istana segala.

"Jadi Tuan ini...."

"Sudahlah. Bangunlah. Aku perlu bantuanmu."

Sikap orang itu sekarang jadi merunduk-runduk

penuh hormat, ia ajak Kui Tek-lam masuk ke

rumahnya. Tetapi Kui Tek-lam ingat maksudnya

semula ia datang ke situ, "Terus terang, aku hanya

ingin mandi, makan, kemudian kalau kau tidak

keberatan, aku ingin pinjam sepasang baju bekasmu

untuk menyamar di dalam kota Lam-koan."

Orang itu dengan sukacita memberi apa yang

dibutuhkan Kui Tek-lam. Maka ketika matahari sudah

makin dekat dengan garis cakrawala sebelah barat, Kui

Tek-lam pun meninggalkan rumah itu menuju ke Lam
koan. Dalam keadaan tubuh yang segar dan perut

yang kenyang, namun dalam pakaian orang desa yang

dipinjamkan oleh Si Tuan Rumah, Pakaian yang agak

kedodoran sebab ukuran tubuhnya memang berbeda

agak banyak dengan ukuran tubuh tuan rumahnya,28

ditambah sebuah topi rumput berpinggiran lebar yang

akan menyamarkan wajahnya.

Kota Lam-koan sudah memasang lampion
lampionnya ketika Kui Tek-lam melangkah masuk

kota. Sesaat, ia tidak tahu mau ke mana, tetapi

akhirnya ia berjalan asal jalan saja, menyusuri jalanan
jalanan kota baik yang di "Kota Bawah" maupun Atas",

sambil memperhatikan orang-orang kalau-kalau ada

isyarat rahasia dari teman-temannya, juga

memperhatikan tembok di sudut-sudut jalan di mana

teman-temannya biasa mencoretkan tanda rahasia.

Tetapi yang terlihat hanya coretan-coretan bekas

beberapa hari yang lalu karena cuaca mulai terhapus.

"Barangkali Kakak Oh sudah berhasil

menghubungi mereka dan memberi tahu soal

pertemuan nanti tengah malam...." pikir Kui Tek-lam.

Maka Kui Tek-lam pun hanya sekedar berjalanMenaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan. Menonton tukang jual obat di pinggir jalan,

menonton tukang sulap, berjudi kecil-kecilan dan

macam-macam kegiatan ringan lainnya, sekedar

membuang waktu sampai ke tengah malam nanti.

"Sekali-sekali perlu juga begini, untuk

mengendorkan urat syaraf," katanya dalam hati untuk

membenarkan diri.29

Rasa lapar di perutnya terusik oleh bau mi
pangsit yang sedap, dari seorang penjual setengah tua

yang menaruh pikulannya di dekat sebuah toko,

sambil mengetok-ngetok bambu untuk menarik

pembeli.

Kui Tek-lam tersenyum sendiri, teringat

rekannya, Pang Hui-beng yang dalam banyak

penugasan gemar menyamar sebagai tukang mi
pangsit, entah kenapa. Tetapi tukang mi-pangsit yang

sekarang didekati Kui Tek-lam ini ternyata bukan Pang

Hui-beng. Bentuk tubuhnya saja berbeda jauh. Pang

Hui-beng berperawakan tidak jauh berbeda dengan

Kui Tek-lam, sedang orang ini pendek dan gemuk.

Kedua, mi-pangsit yang ini baunya sangat sedap dan

merangsang selera, bedanya seperti langit dan bumi

kalau dibandingkan dengan bikinan Pang Hui-beng

yang asal jadi, kadang-kadang terlalu asin dan kadang
kadang tidak ada rasanya sama sekali.

Kui Tek-lam langsung menduduki bangku

berkaki pendek di depan pikulan dan langsung

memesan semangkuk besar. Si Penjual melayaninya

dengan ramah, dan masakannya benar-benar lezat.

Kui Tek-lam menyantapnya sambil mengobrol ringan,

dan saking lezatnya, ia menambah semangkuk lagi.30

Obrolan mereka terganggu ketika mendengar

suara sorak-sorai segerombolan anak-anak dari ujung

jalan. Rupanya anak-anak itu mengiring dan

mengolok-olok seorang lelaki dewasa yang agaknya

adalah orang berotak miring. Si Gila itu berjalan sambil

menari dan menyanyi, kadang-kadang berbalik untuk

menghalau anak-anak itu. Kalau dihalau, anak-anak itu

bubar sambil tertawa-tawa dan meng-ejek-ejek dari

kejauhan, tetapi kemudian kembali menggerombol di

belakang Si Gila.

Kui Tek-lam tidak memperhatikan Si Gila itu,

tidak ada istimewanya. Di kota mana pun tentu ada

orang gila yang begini, maka ia tetap saja

membelakangi jalanan dan meneruskan melahap mi
pangsitnya.

Tetapi Si Tukang Pangsit menggeleng-geleng

kepala sambil berdesis, "Kasihan. Masih muda sudah

bernasib seperti itu."

Sekedar untuk mengimbangi, sambil menghirup

kuah panas yang lezat, Kui Tek-lam bertanya namun

tanpa menoleh kepada orang gila yang sedang

dibicarakan itu, "Bapak kenal dia?"

"Ya. Ia menyewa sebuah rumah kecil yang

berhadapan dengan rumahku di sebuah gang sempit.31

Ia seorang pemuda yang mengaku datang dari utara,

dan itu ditandai dengan logat bicaranya, katanya

mengadu nasib di kota ini. Ia juga berjualan mi-pangsit

pikulan seperti aku."

Mendengar sampai di sini, perhatian Kui Tek
lam mau tidak mau tertarik, sebab ciri-ciri yang

disebutkan oleh Si Tukang Mi-pangsit itu ternyata

cocok dengan ciri-ciri Pang Hui-beng.

Ia tunda dulu mencaplok sepotong pangsit yang

sudah di depan bibirnya, untuk menoleh

memperhatikan Si Gila. Meski penerangan di jalan itu

hanya dari beberapa lampion yang bergantungan di

depan beberapa rumah, tapi sudah cukup bagi Kui

Tek-lam untuk mengenali bahwa Si Orang Gila yang

diikuti anak-anak itu adalah Pang Hui-beng!

Ya, Pang Hui-beng. Meski saat itu ia berpakaian

compang-camping dan kotor, rambutnya awut
awutan, mukanya juga kotor.

Hampir-hampir Kui Tek-lam tak dapat menahan

tertawanya, katanya dalam hati, "Bagus, Saudara

Pang, setelah penyamaranmu sebagai tukang mi

diketahui musuh, penyamaranmu kali ini sungguh

cerdik. Dengan pura-pura jadi orang tidak waras, kau32

bisa pergi ke mana saja, mengacau di mana saja dan

apa saja."

Namun sudah tentu Kui Tek-lam harus pura
pura tidak mengenalnya. Ia teruskan makannya, dan

Pang Hui-beng sendiri juga melewatinya begitu saja

bersama anak-anak kecil yang mengikutinya.

"Sejak kapan ia jadi begitu?" tanya Kui Tek-lam

kepada Si Tukang Pangsit yang ternyata jadi tetangga

Pang Hui-beng.

"Baru mulai tadi pagi. Para tetangga tiba-tiba

mendengar dia tertawa dan menangis keras berganti
ganti, kami para tetangga hendak menghiburnya,

tetapi dia mengamuk. Dia seperti tidak kenal lagi. Dia

mengoceh macam-macam."

"Misalnya?"

"Yang diulang-ulang, dia mengaku sebagai

bintang malaikat yang jatuh dari langit dan menjelma

jadi manusia. Kalau menangis dia bilang dia sudah

dikalahkan, katanya tahtanya di langit sudah

dihancurkan entah oleh siapa begitu, dan sekarang dia

bersumpah akan mencelakakan umat manusia

sebanyak-banyaknya."33

"Permainan sandiwara yang bagus." komentar

Kui Tek-lam dalam hatinya. Namun jauh di dasar

hatinya timbul juga setitik perasaan kurang enak.

Jangan-jangan...., tetapi ia batalkan pikirannya

sendiri dengan mengibaskan kepalanya, dan

meyakinkan dirinya sendiri, "Tidak mungkin. Saudara

Pang adalah orang yang berjiwa teguh. Lagaknya kali

ini pun pasti hanya pura-pura, untuk mengelabuhi

pihak Pek-lian-hwe."

Ia habiskan mangkuk ke dua dari mi-pangsitnya

dengan cepat, membayarnya, lalu bergegas pergi dari

situ.

Sekilas terpikir untuk mengikuti Pang Hui-beng

dari kejauhan, mencari kepastian apakah dia cuma

pura-pura gila, atau .... Tetapi langkah Kui Tek-lam

tertegun-tegun, dihambat perasaan bimbang yang

membadai di hatinya sendiri. Ia justru takut kepada

kepastian itu sendiri, kalau-kalau tidak seperti yang

diharapkannya.

Akhirnya Kui Tek-lam malahan melangkah ke

jurusan yang sama sekali berbeda dengan Pang Hui
beng dan anak-anak kecil tadi. Ia hibur hatinya sendiri,

"Aku percaya, nanti tengah malam pastilah Saudara

Pang akan datang berkumpul dengan kami di kuburan34

Portugis itu, sambil cengengesan dan menceritakan

lagak sintingnya."

Kui Tek-lam melangkah terus, melewati tempat

yang ramai dan sepi sekedar "meringankan

pikiran"nya. Tidak terasa dia lewat di jalan di mana

terletak gedung kediaman Nyo In-hwe yang sedang

berkabung. Tiba-tiba muncul keinginan Kui Tek-lam

untuk menjenguk rumah yang pernah menjadi tempat

"indekos"nya itu.

Rumah itu masih tetap ramai dan akan tetap

begitu sampai jenazahnya diperabukan. Sebagai

penganut Pek-lian-kau yang memuja Dewa Api,

jenazah Nyo In-hwe dan rohnya akan diserahkan

kepada yang mereka sebut Bu-seng Lo-bo (Ibunda

Abadi Tak Berasal-usul) melalui api. Jenazah akan

dikeluarkan dari peti, ditelanjangi bulat-bulat, barulah

dibakar sampai jadi abu. Entah bagaimana caranya

upacara itu hendak dilaksanakan, sebab upacara ganjil

demikian pasti akan menarik perhatian pemerintah

Man-chu dan ini pasti tidak dikehendaki orang-orang

Pek-lian-hwe.

Kui Tek-lam menduga dalam hati, "Mungkin

jenazah akan pura-pura dimakamkan menurut

upacara agama yang tidak dilarang pemerintah, lalu35

malamnya jenazah diam-diam akan diambil dari

Kuburannya dan kuburannya dipulihkan ?embali,

sedang tubuh Nyo In-hwe akan diupacarai sendiri

orang-orang Pek-lian-twe di suatu tempat rahasia.

Mungkin di tempat yang mereka sebut Kota Pohon

Persik."

Tetapi kali ini Kui Tek-lam dalam samarannya

tidak mungkin masuk ke tempat itu. Maka ia cuma

berjongkok di seberang rumah itu sama-sama dengan

jelandangan-gelandangan yang sedang nenunggu sisa
sisa makanan.

Menjalankan "peranan"nya itu diam-am ia geli

sendiri, "Kalau Pang Hui-beng bisa pura-pura jadi

orang gila, kenapa aku tidak boleh pura-pura jadi

gelandangan?"

Ia berjongkok tepat di seberang pintu gerbang

yang senantiasa terbuka lebar untuk dilewati tamu
tamu yang datang dan pergi. Dari tempatnya ia bisa

melihat ke ruangan depan, di mana peti jenazah

ditaruh di belakang tirai-tirai biru dan putih. Seluruh

ruangan seperti diliputi kabut karena asap dupa yang

tak henti-hentinya dibakar. Sanak keluarga berlutut di

samping dalam pakaian berkabungnya (kemarin36

malam Kui Tek-lam juga masih di situ, membalas

penghormatan tamu-tamu.

Hati Kui Tek-lam tersentuh melihat dua anak

Nyo In-hwe yang selama ini akrab dengannya. Kui Tek
lam tidak pernah punya rasa benci atau permusuhan

kepada kedua anak yang tidak tahu apa-apa tentang

perbuatan ayahnya itu. Nampak kedua anak itu masih

dengan wajah yang sedih ikut menghormati tamu
tamu yang datang.

Kui Tek-lam berani memastikan, bahwa
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesedihan kedua anak itu bukan hanya karena ayah

mereka terbunuh, melainkan juga karena Paman Kui

yang menghilang begitu saja.

Tak terasa Kui Tek-lam menarik napas.

Gelandangan yang berjongkok di sebelah Kui

Tek-lam agaknya salah tafsir tentang helaan napas Kui

Tek-lam itu, lalu berkata menghibur Kui Tek-lam,

"Sabar, sobat. Sebentar lagi sisa-sisa roti pastilah

dibawa keluar, untuk kita."

Sedikit rasa masygul Kui Tek-lam digantikan rasa

geli, tetapi dia diam saja, menjaga agar logat utaranya

jangan sampai kedengaran.37

Gelandangan di sebelah Kui Tek-lam tu lalu

bertanya, "Kau sudah tidak tahan lapar, anak muda?

Ni, aku masih punya nah punya rasa benci atau

permusuhan potong bakpao."

Dan dikeluarkannya bakpao yang tinggal

separuh dari balik bajunya yang menebal dengan daki,

disodorkan kepada Kui Tek-lam. Sepotong bakpao

yang entah sudah berapa hari, dan beraroma keringat

manusia.

Kui Tek-lam cuma menggeleng sambil tersenyum.

Ketika itu, di ruang tempat peti jenazah terjadi

keributan kecil. Anak Nyo In-hwe yang kecil, pemuda

cilik berusia delapan tahun yang bernama Nyo Lam
beng, tiba-tiba menangis. Beberapa sanak keluarga

mencoba menghiburnya, juga beberapa bujang.

Tetapi Nyo Lam-beng malahan berteriak sambil

menangis dan Kui Tek-lam bisa menangkap teriakan

anak itu dari luar, "Aku mau Paman Kui! Aku mau

Paman Kui!"

Keruan orang-orang jadi sibuk mengurus anak

yang mulai rewel. Apalagi ketika anak itu mulai

menyepak-nyepak ketika beberapa bujang keluarga

Nyo hendak membawanya ke dalam. Rupanya hendak38

disuruh tidur, karena memang saat itu sudah larut

malam.

Di luar, mata Kui Tek-lam basah menyaksikan

semuanya itu.

Ia lalu bangkit meninggalkan tempatnya, ke

pojok jalanan yang gelap tak terjangkau lampu,

menyempatkan diri mengusap matanya yang basah,

sementara gelandangan yang di sebelahnya tadi

menggerutu, "Dasar tidak sabaran. Padahal sebentar

lagi sisa-sisa makanan itu pasti dibawa keluar oleh

bujang-bujang Tuan Nyo."

Di tempat gelap itu, Kui Tek-lam mengatur

emosinya, kemudian memutuskan suatu tindakan

yang agak beresiko namun untuk memuaskan

dorongan hatinya. Ia akan menyelundup masuk ke

rumah keluarga Nyo, meskipun dengan sangat hati
hati, sebab mungkin sekali di sekitar dan di dalam

rumah itu sudah ada orang-orang Pek-lian-hwe dalam

berbagai penyamaran.

Di bagian dinding belakang yang sepi dan

dikenalnya baik-baik, dia melompat masuk. Lalu ia

menuju ke kamar bujang untuk mencuri satu setel

pakaian berkabung. Ia tebalkan alisnya sendiri dengan39

arang, lalu kumis dan berewok palsu dengan arang

juga.

"Asal aku tidak berdiri tepat di bawah lampu,

orang-orang takkan tahu kalau kumis dan berewok ini

palsu." pikirnya.

Lalu ia pun berjalan memasuki rumah itu,

menuju ke kamar Nyo Lam-beng yang sudah diketahui

tempatnya. Untuk memperkuat penyamarannya, ia

mampir dulu ke dapur untuk mengambil nampan,

menaruh beberapa mangkuk makanan dan minuman

di atasnya, karena pelayan-pelayan keluarga Nyo saat

itu masih hilir mudik dengan nampan di tangan,

melayani tamu-tamu yang terus datang dan pergi.

Pelayan di dapur sudah dikenali oleh Kui Tek
lam, sebaliknya pelayan itu menatap Kui Tek-lam

dengan tatapan asing, namun tidak bereaksi apa-apa.

Saat itu yang bertugas di rumah Nyo In-hwe memang

bukan hanya pelayan-pelayan rumah itu, tetapi juga

beberapa tenaga dari luar. Maka kehadiran Kui Tek
lam tidak menimbulkan masalah, apalagi buat orang

yang sedang mengantuk dan kelelahan Si Petugas di

dapur yang sibuk tak henti-hentinya.40

Bahkan Kui Tek-lam mendengar pelayan itu

menggerutu, "Habis Tuan Nyo dimakamkan, akulah

yang akan dimakamkan. Mampus kelelahan."

Kui Tek-lam tidak menggubrisnya, ia segera

meninggalkannya dengan nampan di tangan. Menuju

langsung ke kamar Nyo Lam-beng di bangunan sayap

kanan.

Tiba di depan pintu kamar, ia mendengar Nyo

Lam-beng masih menangis dan sedang dibujuk-bujuk

oleh inangnya agar diam. Tetapi kegigihan Si Inang

tidak membuahkan hasil.

Kui Tek-lam mengetuk pintu.

"Siapa?" tanya Si Inang dari dalam.

Kui Tek-lam menjawab dengan suara yang

dibuat berbeda dari suara aslinya, "Aku bawakan

bubur hangat untuk Tuan-muda...."

Yang menjawab lantang adalah Nyo Lam-beng.

"Emoh! Aku emoh makan apa-apa! Aku mau

Paman Kui!"

Si Inang membujuk, tetapi malahan diusir. Si

Inang mencoba bertahan dalam kamar, tetapi41

akhirnya harus keluar juga karena Nyo Lam-beng

menjerit-jerit tak terkendali.

Setelah Si Inang keluar, Kui Tek-lam melangkah

masuk kamar, meletakkan nampannya di meja dan

mengunci kamar itu dari dalam.

Nyo Lam-beng masih mengamuk, melihat

pelayan "bermuka aneh" yang belum dikenalnya itu,

ia berkata dengan sengit, "Sudah kubilang aku emoh

makan! Aku emoh makan!"

Yakin di luar ruangan tidak ada yang sedang mencuri

dengar, Kui Tek-lam menjawab dengan suara aslinya,

"A-beng, kau harus makan agar jangan sakit."

Nyo Lam-beng tertegun mendengar suara yang sangat

dikenalnya itu, ia amat amati saja Kui Tek-lam,

meskipun ber-corengan arang tetapi anak itu dapat

juga mengenalinya. Kontan kegembiraannya meluap,

ia melompat hendak memeluk sambil berteriak,

"Pam...."

Kui Tek-lam cepat memeluknya dan mendekap mulut

anak itu . "Ssst...."

Nyo Lam-beng heran, terlihat dari sorot matanya yang

berputaran. Tapi juga gembira. Suaranya melirih.

"Paman Kui kau...."42

Kui Tek-lam mendekap anak itu, menyalurkan aliran

hangat dari jiwanya sendiri ke dalam jiwa anak yang

tengah tergores itu, tanpa kata.

"Paman pergi ke mana saja? Kenapa tidak

biiang? Biar kupanggilkan Kakak Lian-in, dia pun rindu

kepada Paman."43

Sebenarnya Kui Tek-lam rindu juga kepada

Kakak Nyo Lam-beng, namun ia kuatir rumah itu sudah

diawasi orang-orang Pek-lian-hwe di luarnya maupun

dalamnya. Tindakan Nyo Lam-beng mengundang

kakaknya bisa memancing kesulitan buat dirinya.

Maka Kui Tek-lam pun terpaksa

membohonginya, "Paman pergi untuk suatu urusan di

tempat lain, nanti kalau urusannya sudah selesai,

Paman pulang lagi...."

"Bermain bola lagi dengan kami?"

"Tentu."

"Jadi kupanggilkan Kakak Lian-in atau tidak?"

"Tidak usah. Nanti aku temui sendiri dia."

Maka bercengkeramalah kedua orang itu.

Mereka mengobrol dan bercanda, Kui Tek-lam

membuat beberapa lukisan atas permintaan Nyo Lam
beng dan juga membuat beberapa mainan dari kertas.

Ia juga membujuk Nyo Lam-beng agar mau makan

buburnya, dan ia berhasil.

Keasyikan itu terganggu ketika Kui Tek-lam tiba
tiba ingat, tengah malam itu ia harus di kuburan

Portugis itu untuk bertemu dengan teman-temannya.44

"A-beng, sekarang sudah malam. Kau harus

tidur, supaya sehat dan tidak dimarahi Ibumu, ya?"

bujuk Kui Tek-lam.

"Paman tunggui dan mendongeng ya?"

Kui Tek-lam tak tega menolak permintaan itu.

Maka ia bantu Nyo Lam-beng mencopot sepatunya,

menidurkannya di pembaringan, dan mulai

mendongeng sekenanya sampai Nyo Lam-beng

tertidur.

Setelah yakin Nyo Lam-beng sudah pulas, Kui

Tek-lam sekali lagi merapikan selimut anak itu lalu

menyelinap keluar dari kamar itu, bahkan juga dari

rumah yang sedang berkabung itu.

Ternyata Nyo Lam-beng belum terlalu pulas.

Setelah tertidur sejenak, ia menggapai-gapaikan

tangannya ke samping tempat tidur sambil

memanggil-manggil dengan suara setengah

mengigau, "Paman ... Paman...."

Karena tangannya tidak menyentuh orang yang

dicarinya, dia terjaga. Melihat Sang Paman Kui tidak di

sampingnya, menangislah ia. la merosot keluar dari

pembaringannya, sambil membawa burung-burungan

kertas di tangannya dia pun keluar dari kamarnya.45

Di ruangan depan, masih ada tetamu yang

bergadang. Rata-rata orang-orang terhormat di kota

Lam-koan. Di antaranya nampak Hakim Kang Liong

yang wajahnya nampak murung, duduk semeja

dengan Si Orang Portugis yang menjadi guru bahasa

dan tulisan Latin buat anak-anak orang-orang berduit
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di Lam-koan.

Mereka bercakap-cakap perlahan, sehingga

orang-orang di meja terdekat pun tidak dapat

menangkap apa yang mereka omongkan. Apalagi

suasana di ruangan itu cukup ribut.

"Lolosnya Kui Tek-lam tanpa kuketahui memang

kecerobohanku." bisik Si Portugis dengan wajah

menunjukkan rasa bersalah. "Tetapi aku masih punya

peluang untuk menangkap Si "Semilir Angin" itu

beserta kawan-kawannya. Sampai detik ini Kui Tek
lam pasti masih percaya bahwa aku adalah mata
matanya Gubernur Jenderal di Makao. Kalaupun aku

tidak menemukannya, pastilah dia yang akan mencari

aku."

"Mudah-mudahan saja."

"Percaya sajalah bahwa anjing-anjing Manchu

itu akhirnya akan kita bereskan semuanya. Buktinya

kita sudah dapat dua."46

Percakapan terhenti. Semua orang di ruangan

itu beralih perhatiannya kepada Nyo Lam-beng yang

melangkah keluar sambil menangis mencari Paman

Kui-nya, sambil memegangi burung-burungan kertas

bikinan Paman Kui-nya di tangannya.

Para sanak keluarga pun berebutan menghiburnya.

"Sudahlah, A-beng, Paman Kui akan pergi

sebentar, kapan-kapan kembali lagi." dan macam
macam bujukan lagi.

Tetapi Nyo Lam-beng mengangkat burung
burungan kertas itu sambil berkata, "Tidak. Baru saja

Paman Kui di kamarku, kami berbicara dan bermain
main...."

Perkataan terakhir ini menggugah perhatian

Hakim Kang Liong serta Si Guru Portugis. Hampir

bersamaan mereka bangkit dari tempat duduk

mereka, mendekati Nyo Lam-beng, pura-pura ikut

menghibur bocah itu namun sebenarnya mencari

keterangan tentang Kui Tek-lam. Si Bocah yang tak

mampu menyelami niat Hakim Kang Liong dan Si Guru

Portugis itu pun bercerita tentang semuanya.

Hakim Kang Liong dan Si Guru Portugis bertukar

pandangan, sama-sama paham, dan ketika mereka

sudah berada kembali di tempat duduk mereka,47

Hakim Kang Liong berkata perlahan, "Rumah ini bisa

menjadi perangkap buat Kui Tek-lam, dan bocah itu

bisa menjadi umpan untuk memancingnya masuk

perangkap."

"Betul."

###

Ketika Kui Tek-lam tiba di kuburan Portugis itu,

tengah malam sebenarnya sudah lewat. Ia merasa

terlambat. Kuburan itu sepi, tidak ada bekas-bekas nya

kalau kemarin malam terjadi keributan di tempat itu.

"Perhitungan Kakak Oh benar-benar tepat.

Pihak Pek-lian-hwe merasa sudah memergoki tempat

ini, dan mereka anggap kami tidak mungkin

menggunakan lagi tempat ini. Tetapi kami justru

menggunakannya, hal ini pasti tak. terpikir oleh orang
orang Pek-lian-hwe."

Namun Kui Tek-lam heran melihat yang siap di

tempat itu ternyata hanya Oh Tong-peng sendirian.

Sedang duduk bertopang dagu dengan siku

tertumpang di kedua lututnya.

"Kakak Oh, aku kira aku sudah terlambat. Mana

yang lain-lainnya?"

"Duduklah."48

Kui Tek-lam heran mendengar suara atasannya

yang lesu.

Kui Tek-lam duduk di hadapannya, dan

mengulangi pertanyaannya, "Mana yang lain-lainnya?

Apakah Kakak tidak dapat menjumpai mereka?"

"Aku dapat menjumpai mereka."

"Lalu kenapa...."

"Pertama kutemui Cu Tong-liang di sebuah

rumah bobrok di pinggiran kota. Ia kutemui dalam

keadaan lumpuh kedua kakinya, bisu dan tatapan

matanya kosong, tak bisa mengingat-ingat apa-apa."

Kui Tek-lam terkesiap, mulutnya terbuka namun

tak dapat berkata apa-apa.

Oh Tong-peng melanjutkan, "Hatiku hancur

waktu itu, namun aku tidak berlambat-lambat, segera

kubawa Cu Tong-liang ke tempat tersembunyi yang

aman."

Kui Tek-lam mengepalkan tinjunya dengan

geram, "Bangsat, ini pasti ulah orang-orang Pek-lian
hwe. Kemarin saja Saudara Cu masih sehat-walafiat."

"Entah apa yang dia alami, aku tidak bisa

menanyainya karena dia bisu dan matanya kosong."49

"Lalu?"

"Beberapa jam kemudian, setelah ku-kelilingi

kota Lam-koan, aku temui Thiam Gai dalam

penyamaran sebagai pengemis."

"Dia... tidak kurang suatu apa, bukan?"

"Ya, dia sehat-sehat saja kecuali sedikit tegang

karena pengalaman kemarin malam. Tetapi ia masih

sempat berkelakar begitu bertemu denganku."

"Syukurlah, mana dia sekarang?"

"Aku suruh dia menjaga Cu Tong-liang."

Kui Tek-lam sedikit lega, meski dia prihatin juga

akan nasib Cu Tong-liang.

"Jadi kita tinggal menunggu Pang Hui-beng,

Kakak Oh?"

"Kita tidak perlu menunggunya."

"Kenapa? Apakah Kakak tidak dapat menjumpai

nya? Tidak aneh, karena Saudara Pang sudah berganti

samaran. Ia tidak lagi menyamar sebagai tukang mi
pangsit pikulan, melainkan sebagai.... orang gila!"

Kui Tek-lam lalu tertawa geli sendiri, dan

berharap Oh Tong-peng akan ikut tertawa juga.50

Namun kata-kata Oh Tong-peng kemudian malah

melenyapkan tawa Kui Tek-lam, "Aku sudah ketemu

Pang Hui-beng. Ia tidak pura-pura gila. Ia memang

gila!"

Kalau ada petir meledak di atas kepala Kui Tek-lam,

takkan sekaget mendengar perkataan komandannya

itu. Hari itu ada dua pukulan hebat buat jiwanya. Kabar

Cu Tong-liang menjadi lumpuh, bisu dan hilang

ingatan, disusul kabar Pang Hui-beng menjadi gila.

Keduanya adalah rekannya yang sama akrabnya

dengan Lo Lam-hong.

"Kakak Oh... be... benarkah itu?"

Oh Tong-peng cuma mengangguk lesu.

"Kakak sudah pasti? Pang Hui-beng itu pintar

bersandiwara lho, dan kadang-kadang kelakarnya

kepada kita agak keterlaluan. Kita sudah lama

mengenal dia!"

"Aku semula juga mengira dia main-main. Aku

ikuti dia terus, di suatu tempat yang sepi, aku ajak

bicara dia. Ternyata dia memang sudah miring

otaknya. Hampir saja aku...."

"Apa, Kak?"51

"Jiwaku terguncang demikian hebat, aku sudah

kerahkan kekuatan telapak pasir besi untuk

membunuh Pang Hui-beng, rasanya lebih rela melihat

dia sebagai mayat daripada melihatnya seperti itu.

Tetapi...."

Lalu Oh Tong-peng terisak. Sungguh suatu

pemandangan langka menyaksikan salah satu

komandan pasukan istana menangis, sedang kemarin

malam Oh Tong-peng masih dengan gagah menganjur

kan kepada anak buahnya, "Teguhkan jiwa, teguhkan

jiwa. Jangan terpengaruh."

Sebaliknya darah Kui Tek-lam mendidih,

menggelegak dengan kemarahan.

"Ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, Kakak

Oh. Kita bertindak kelewat hati-hati, sementara satu
persatu dari kita dihantam dengan ilmu gaib. Pertama

Lo Lam-hong, lalu Cu Tong-liang, lalu Pang Hui-beng.

Siapa lagi berikutnya? Aku? Thiam Gai? Ataukah Kakak

Oh sendiri?"

"Tenanglah. Duduklah."

Kui Tek-lam duduk kembali, namun disuruh

tenang jelas mustahil. Jantungnya serasa membara

oleh kemarahan.52

"Kakak Oh, sekarang ini masih sisa tiga orang di

pihak kita. Kakak Oh sendiri, aku dan Saudara Thiam

Gai. Lebih baik kita terang-terangan muncul ke

permukaan dan kita hantam orang-orang yang kita

curigai sebagai tokoh-tokoh Pek-iian-hwe, seperti

Tabib Siau Hok-to, Hakim Kang Liong. Kita tangkap

hidup-hidup mereka dulu, lalu kita peras keterangan

dari mulutnya, kita tanyai nama tokoh-tokoh lain.

Setelah mereka mengaku, kita gantung mereka untuk

melampiaskan sakit hati kita atas tindakan mereka

terhadap kawan-kawan kita."

"Tenanglah. Dengarkan dulu."

Bukannya diam dan mendengarkan, Kui Tek
lam masih saja berbicara dengan emosi meluap-luap,

"Kalau kita begini-begini terus, kita dimakan satu

persatu. Besok barangkali ada di antara kita yang

mengalami sesuatu. Entah mendadak gila, atau

mendadak lumpuh, dan habis sama sekali! Lebih baik

malam ini juga kita buat perangnya jadi perang

terbuka, tidak main sembuni-sembunyian lagi!"

"Kita akan celaka."

"Diam terus juga celaka. Sama-sama celaka,

lebih baik kalau kita beri perlawanan sebisa-bisanya!53

Biar Pek-lian-hwe dapatkan nyawa kita, tapi tidak

gratis, keenakan buat mereka."

Oh Tong-peng sebenarnya juga marah, ingin

rasanya mencincang orang-orang Pek-lian-hwe. Tetapi

umurnya yang jauh lebih banyak dari umur Kui TekMenaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lam mempengaruhi cara berpikirnya, darahnya lebih

"dingin" dari Kui Tek-lam. Ia masih bisa berpikir agak

jernih. Ia sadar, saat itu tidak mungkin bicara baik-baik

dengan Kui Tek-lam yang sedang meluap-luap

amarahnya. Maka ia memakai taktik mengulur waktu.

Katanya, "Mari kita bicara di tempat aman.

Paling tidak di pihak kita masih ada tiga orang waras,

kalau kita bertiga berkumpul, mungkin lebih sukar

diserang."

Mereka bangkit meninggalkan tanah

pemakaman itu, dan berjalan menuju ke tempat yang

dikatakan Oh Tong-peng itu. Sepanjang jalan kaki Kui

Tek-lam masih menggerutu sambil mengepal-ngepal

tinju, Oh Tong-peng harus terus menyabar-kannya,

agar anak buahnya yang satu ini tetap berada di

bawah kendalinya.

Mereka memasuki sebuah jalan yang sepi di

pinggiran kota, jalanan itu banyak gedung-gedung

model Eropa, namun semuanya sudah menjadi54

reruntuhan berlumut dan dipenuhi semak belukar.

Satu dua buah masih kelihatan pilar-pilar yang

menghitam. Tempat itu dulunya adalah daerah

kediaman orang-orang Portugis dan orang-orang

Eropa lainnya sebelum timbul kerusuhan anti orang

asing. Lima puluh tahun yang lalu, ketika terjadi

kerusuhan anti orang asing yang digerakkan dari

belakang layar oleh Pek-lian-hwe, terjadi

pembunuhan orang-orang asing dan pembakaran

rumah-rumahnya, sehingga penghuni tempat itu

mengungsi ke Makao dan Kanton. Sejak itu, tempat itu

tidak terurus, jalanannya pun sepi bukan hanya di

malam hari tetapi juga di siang hari, dan jalanan yang

dulunya lebar serta bisa dilalui kereta, sekarang

ditumbuhi semak belukar dan menyempit menjadi

jalan setapak.

Di salah satu gedung besar tak terpakai itulah

Oh Tong-peng memakainya untuk menyembunyikan

Cu Tong-liang yang katanya mendadak lumpuh, bisu

dan kehilangan ingatan itu. Itu pun yang dipakai hanya

sebuah sudut kecil dari rumah itu, sekedar tempat

untuk berlindung dari udara dingin.

Kedatangan Oh Tong-peng dan Kui Tek-lam

disambut oleh Thiam Gai yang ditugasi menjaga Cu

Tong-liang. Wajah Thiam Gai nampak murung sekali.55

"Bagaimana keadaan Saudara Cu?" tanya Kui

Tek-lam.

Thiam Gai cuma menggeleng lemah, putus harapan.

Mereka melangkah masuk ke sebuah kamar, di

dalamnya ada penerangan lilin. Nampak ruangan itu

sudah dibersihkan. Pandangan Kui Tek-lam langsung

terpusat ke arah Cu Tong-liang yang duduk di lantai

dengan punggung bersandar tembok, kedua kakinya

diluruskan ke depan, kedua tangannya terkulai lemas,

kedua matanya menatap kosong ke depan. Satu-satu

napasnya terdengar lemah.

Kui Tek-lam berjongkok di sebelahnya,

mengguncang-guncang pundaknya sambil memanggil

manggil. Tetapi Cu Tong-liang tidak memberi tanggap
an sedikit pun, bahkan biarpun hanya dengan gerakan

biji matanya sedikit pun.

Tak tertahan Kui Tek-lam menangis, makin lama

makin keras, sampai seperti anak kecil. Maka sibuklah

Oh Tong-peng dan Thiam Gai menghibur Kui Tek-lam.

Untung tempat itu sepi, sekitarnya belukar belaka

sehingga tangis pilu Kui Tek-lam tidak menarik

perhatian siapa-siapa. Bahkan kalau ada yang

mendengarnya, mungkin malah akan lari terbirit-birit.56

Setelah tangisnya agak reda, Kui Tek-lam

membuang ingusnya yang keluar berlimpah-limpah,

dengan mata masih merah dan basah ia berkata, "Kita

harus menuntut pembalasan hebat terhadap orang
orang Pek-lian-hwe!"

Thiam Gai yang sama mudanya dengan Kui Tek
lam, juga mendukung, "Aku setuju, Saudara Kui. Sudah

tiga orang teman kita jadi korban, jatuh ke dalam

keadaan yang jauh lebih buruk daripada mati. Saudara

Lo Lam-hong yang kehendaknya begitu dikuasai,

sehingga dia hanya boneka belaka di tangan orang
orang Pek-lian-hwe, lalu Saudara Pang Hui-beng yang

dijadikan orang gila, dan Saudara Cu yang dibuat mati

tidak hidup pun tidak! Panas rasanya hati ini! Musuh

tidak mau berhadapan dengan kita secara jantan,

tetapi beraninya hanya main santet dari kejauhan,

mengandalkan ilmu setan mereka. Kalau kita tidak

segera membalas, kita akan dihabisi dengan cara

demikian. Tetapi kalau kita gempur mereka malam ini,

biarpun kita binasa, setidak-tidaknya juga bisa

membinasakan beberapa orang di pihak mereka!"

"Mau menggempur ke mana?" tanya Oh Tong-peng.

Kui Tek-lam menjawab, "Cukup banyak tempat

di kota Lam-koan yang kita curigai sebagai sarang atau57

pos mereka! Rumah obat kepunyaan Siau Hok-to,

rumahnya Hakim Kang Liong misalnya!"

Sahut Oh Tong-peng.

"Kita mencurigai mereka, tetapi belum ada

bukti-buktinya. Kalau kita gempur tempat-tempat itu,

mungkin tindakan kita hanyalah suatu tindakan tolol,

sesuai dengan pepatah "mengusik rumput mengaget
kan ular" yang tidak banyak hasilnya."

"Tidak banyak hasilnya adalah lebih baik

daripada kita cuma duduk di sini sambil dijadikan

bulan-bulanan oleh mereka!" sergah Thiam Gai emosi.

"Kita tidak akan tinggal diam. Kita akan

mengupayakan sembuhnya teman-teman kita lebih

dulu." sahut Oh Tong-peng. "Kalau kalian berdua

masih menganggap aku sebagai komandan kalian,

kalian harus menyesuaikan diri dengan rencanaku.

Kalau tidak, silakan bertindak sendiri-sendiri, aku tidak

akan menghalang-halangi kalian."

Kui Tek-lam dan Thiam Gai bertukar pandangan,

perlahan-lahan sikap ngotot mereka pun mengendor,

meskipun tidak berarti kegeraman mereka terhadap

Pek-lian-hwe mereda.58

Kui Tek-lam lalu perlahan-lahan duduk di lantai,

karena di ruangan itu tidak ada perabotan apa-apa.

Lilin pun ditaruh di lantai.

Tanya Kui Tek-lam, suaranya merendah, "Apa

rencana Kakak?"

"Pertama, seperti kukatakan tadi, sembuhnya

ketiga orang kawan kita haruslah menjadi sasaran

utama jangka pendek kita saat ini. Lupakan dulu

tentang mencari tempat penyimpanan senjata
senjata api Pek-lian-hwe itu, jangan sampai

kemarahan kita membuat kita mengabaikan keadaan

teman-teman kita yang menderita."

"Yang ke dua?"

"Coba hubungi alat-alat negara di Lam-koan.

Bisiki mereka agar waspada terhadap kaum Teratai

Putih. Sampai sekarang undang-undang kerajaan

masih menganggap mereka sebagai kaum terlarang

dan undang-undang itu belum dicabut."

"Kemungkinan besar, banyak alat negara yang

adalah kaki tangan Pek-lian-hwe juga. Misalnya Hakim

Kang Liong, la seorang hakim yang mestinya

menegakkan undang-undang negara di kota ini, tetapi

kita meragukan ketulusannya."59

"Apa boleh buat, seperti kata Saudara Thiam

Gai tadi, daripada kita duduk diam-diam dan dijadikan

bulan-bulanan ilmu gaib musuh?"

"Menurut Kakak Oh, siapa yang harus mencari

tabib, dan siapa yang harus menghubungi alat-alat

negara di Lam-koan?"

Oh Tong-peng menatap kepada Kui Tek-lam dan

berkata, "Saudara Kui, mungkin kita telah keliru

karena mengabaikan anjuran Jenderal Wan."

"Anjuran Jenderal Wan yang mana?"

"Anjuran agar kita mengajak Liu Yok."

Bersambung jilid VIII.6061

PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di

pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih

mediakan menjadi file digital.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial

dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.

File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi

file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk

mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan

dikompilasi menjadi file TextPDF.

Credit untuk :

? Gunawan A.J.

? Kolektor E-Books12

Kolektor E-Book

Gunawan A.J

Foto Sumber oleh Gunawan A.J

Editing oleh D.A.S3

Rp 725,
MENAKLUKKAN

KOTA SIHIR

JILID 9

Karya : STEVANUS S.P.

Pelukis : SOEBAGYO

Percetakan & Penerbit

CV "GEMA"

Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII

Telpun 35801-SOLO 571224

Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada

Pengarang di bawah lindungan Undang-Undang.

Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin

tertulis dari Pengarang.

CETAKAN PERTAMA
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

CV GEMA SOLO ? 19925

MENAKLUKKAN KOTA SIHIR

Karya : STEVANUS S.P.

Jilid IX

KUI TEK-LAM termenung mendengar kata-kata

Oh Tong-peng itu. Teringatlah ia akan mimpinya,

ketika ia dikerubut mahluk-mahluk seram, lalu

ditolong Liu Yok dalam pakaian perangnya yang

bercahaya. Kui Tek-lam tidak pernah menganggap

serius mimpi itu, meskipun malam pada waktu ia

bermimpi itu ia justeru mengalami kejadian luar biasa,

yaitu bisa tidur pulas sampai pagi setelah beberapa

malam sebelumnya tidurnya dirampas mimpi buruk

yang sama terus-menerus. Kui Tek-lam menganggap

bahwa mimpi itu terjadi sekedar karena ia terlalu

memikirkan "seandainya di sini ada Liu Yok" di dalam

jiwanya yang terdalam.

"Tetapi mimpiku tentang Lo Lam-hong

tenggelam di telaga hitam, dan Pang Hui-beng yang

berjalan ke arah telaga itu." pikirnya.

Kui Tek-lam mengangkat wajahnya menatap Oh

Tong-peng, "Menurut Kakak Oh, tindakanku mem
batalkan mengajak Liu Yok itu suatu kesalahan?"6

"Aku tidak sedang mendakwamu, Saudara Kui.

Aku sendiri, sebelum mengalami kejadian pahit yang

menimpa anak buahku, pasti akan sependapat

denganmu, Saudara Kui. Seandainya aku yang keba
gian untuk mampir ke Lok-yang untuk menjemput Liu

Yok, dan melihat pribadi Liu Yok yang kata Saudara Kui

dia itu tidak bisa silat sejurus pun, tidak bisa

berbohong sedikit pun dan penuh welas asih, maka

aku pun akan mengambil sikap seperti Saudara Kui.

Meninggalkan Liu Yok. Tetapi kalau Jenderal Wan

sendiri, jenderal yang kenyang pengalaman

menghadapi kaum Teratai Putih dengan segala ilmu

gaibnya, menganjurkan Liu Yok ikut bersama kita,

tentu anjuran itu ada alasannya. Tentu Liu Yok ini ada

apa-apanya."

Thiam Gai mengangguk-angguk, katanya

menyambung, "Aku masih ingat kata-kata Jenderal

Wan ketika berpesan kepada kita sebelum kita

berangkat. Katanya, Liu Yok ini punya pembawaan

istimewa, ilmu gaib Pek-lian-kau yang bagaimanapun

hebatnya, runtuh dan buyar berantakan begitu saja di

depannya. Jenderal Wan juga pernah berserita secara

pribadi denganku, katanya Liu Yok ini orang aneh.

Orang yang hampir-hampir meniadakan batas antara

kejadian dalam mimpi dengan kejadian di alam nyata."7

"Jadi?"

Oh Tong-peng berkata kepada Kui Tek-lam,

"Terpaksa kau harus kembali ke Lok-yang untuk

menjemput Liu Yok kemari, Saudara Kui?"

"Aku siap menjalankan perintah, tetapi apa

hubungannya dengan kesembuhan teman-teman

kita?"

"Bukankah Liu Yok itu membikin berantakan

ilmu-ilmu gaib Pek-lian-hwe? Dan bukankah

penderitaan ketiga teman kita ini adalah gara-gara

ilmu gaib Pek-lian-hwe?"

"O..." Kui Tek-lam menampar perlahan jidatnya

sendiri. "Baiklah, besok aku berangkat."

"Naik kapal dulu mudik ke hulu, sampai ke Han
lim. Dari Han-lim menempuh perjalanan darat ke Lok
yang."

"Baik."

"Jadi rencana pertama Kakak Oh, yaitu

menyembuhkan teman-teman kita, adalah dengan

mendatangkan Liu Yok kemari?" tanya Thiam Gai.

"Ya."8

"Lalu rencana ke dua, perwujudannya

bagaimana?"

"Aku sendiri akan menghubungi perwira
perwira kerajaan di koia ini."

"Hati-hatilah, Kakak Oh. Tidak mustahil di

antara mereka banyak yang sudah menjadi kaki

tangan Pek-lian-hwe."

"Tentu saja aku akan berhati-hati, aku akan

melakukan penjajagan diam-diam lebih dulu sebelum

mulai menghubungi orang-orang itu. Aku tidak mau

menyodorkan leher untuk mereka bekuk."

"Lalu tugasku?" tanya Thiam Gai.

"Mudah-mudahan kau tidak menganggap

tugasmu ini yang paling remeh, Saudara Thiam.

Tugasmu menjaga Saudara Cu."

Ternyata Thiam Gai mengangguk ikhlas.

Setelah pembagian tugas itu selesai,

percakapan mereka beralih ke soal-soal yang lebih

ringan.

Tanpa ujung pangkal, tiba-tiba saja Kui Tek-lam

menyodorkan sebuah pertanyaan kepada Oh Tong-9

peng, "Kakak Oh, apakah kau mempercayai makna

mimpi ?"

Oh Tong-peng, perwira pasukan pribadi Kaisar

Kian-liong, pasukan terbaik di seluruh wilayah

kerajaan, yang sudah pernah menghadapi seribu satu

macam kasus, sekarang agak kebingungan meng
hadapi pertanyaan "ringan" Kui Tek-lam itu. Soal

mimpi. Soal yang oleh banyak orang dianggap sekedar

"kembangnya tidur".

Beberapa saat Oh Tong-peng mengerutkan

jidatnya, lalu menjawab ragu-ragu, "Entahlah. Aku

bahkan tidak mengenai diriku sendiri, apakah aku

mempercayai tanda-tanda melalui mimpi atau tidak."

"Kenapa, Kak?"

"Dulu ketika aku berusia remaja, masih belasan

tahun. Pernah ada suatu mimpi yang kuingat sampai

sekarang. Aku bermimpi berjaian lewat di depan

rumah paman ke empatku, di mana Kakekku tinggal.

Aku lihat rumah itu banyak tamu keluar-masuk,

banyak karangan bunga, banyak tirai-tirai putih. Dan

beberapa hari kemudian Kakekku meninggal dunia,

padahal tidak sakit apa-apa. Saat itu aku mempercayai

mimpi itu ada maknanya, tetapi kemudian semakin

bertambah usiaku, dan kualami ribuan mimpi, bahkan10

yang aneh-aneh dan seram-seram. Namun semuanya

tak bermakna."

"Itulah sebabnya Kakak katakan antara percaya

dan tidak percaya?"

"Ya. Dan lebih banyak tidak percaya."

Thiam Gai menimbrung, "Saudara Kui, kenapa

tiba-tiba kau tanyakan soal ini?"

"Terus terang saja, pada malam di waktu Nyo In
hwe terbunuh, aku mimpi. Kemudian kemarin malam,

sebelum Saudara Pang Hui-beng.... mendapat

musibah seperti itu, aku juga bermimpi."

"Kau anggap mimpi-mimpi itu semacam isyarat,

begitu?"

Kui Tek-lam ragu-ragu untuk menjawab secara

tegas, dan jawabannya pun akhirnya seperti

mengambang, "Aku pun pernah mengalami ribuan

mimpi yang tidak ada artinya sama sekali. Tetapi

mimpi-mimpiku yang dua ini, bolehlah dianggap sama

bobotnya dengan mimpi Kakak Oh ketika masih

remaja dulu, menjelang meninggalnya Kakek dari

Kakak Oh."11

Oh Tong-peng tertawa, "Pintar kau cari teman

agar mimpi-mimpimu itu tidak menjadikanmu

dianggap mengkhayal atau tukang mimpi."

Thiam Gai menegakkan punggungnya dan

berkata, "Saudara Kui, coba ceritakan mimpi-mimpi

itu."

Oh Tong-peng yang berusaha mengendorkan

suasana, yang sedari tadi tegang terus, mencoba

berkelakar, "Waduh, lagaknya seperti ahli nujum yang

hebat."

Thiam Gai tertawa, "Bukannya aku mau

berlagak, tetapi... barangkali saja kita dapatkan

sesuatu dari cerita mimpi Saudara Kui."

Kui Tek-lam agak sungkan-sungkan juga pada

mulanya, tetapi setelah didesak-desak, lagipula Kui

Tek-lam sendiri juga merasa perlu melegakan

perasaannya dengan menceritakannya, maka dia pun

ceritakan dua mimpi itu.

Selesai bercerita, ia berkata, "Nah, seperti

itulah...."

"Bagaimana pendapatmu?" tanya Oh Tong
peng kepada Thiam Gai.12

"Menurutku, mimpi yang pertama itu, mimpi di

mana Saudara Kui dikerubut siluman-siluman topeng

lalu ditolong oleh Liu Yok yang bercahaya sekujur

tubuhnya, adalah mimpi karena Saudara Kui kelelahan

setelah beberapa malam tidak bisa tidur. Kelelahan,

bercampur ingatan mendalam akan Liu Yok yang

Saudara Kui tinggalkan di Lok-yang."

"Tetapi malam itu aku berhasil tidur nyenyak

sampai pagi, sampai tidak mendengar apa-apa ketika

Nyo In-hwe terbunuh."

Thiam Gai menjawab ringan, "Mudah saja

menerangkan ini. Orang mimpi buruk, otomatis akan

sulit tidur. Orang mimpi bagus, otomatis tidurnya

nyenyak. Bahkan aku pernah melihat Saudara Cu

tersenyum-senyum dan tertawa-tawa sendiri dalam

tidur nyenyaknya."

"Tentang mimpi ke dua?"

"Mimpi Lo Lam-hong tenggelam di dalam bubur

hitam dan Pang Hui-beng melangkah mendekati

telaga?"

"Ya."

Kali ini Thiam Gai kelihatan berpikir sebentar.13

"Mimpi yang ini barangkali diakibatkan

kecemasan Saudara Kui akan nasib Saudara Lo dan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pang. Saking cemasnya lalu bermipi, begitulah. Aku

juga sering."

"Misalnya?"

"Waktu aku punya hutang kepada Komandan

Lim di Pak-khia, padahal sehari sebelum saatnya

membayar aku sedang tidak punya uang sama sekali.

Malamnya aku bermimpi Komandan Lim berubah

menjadi raksasa berkepala tiga dan bertangan enam,

mendatangi rumahku."

Kui Tek-lam menarik napas, agak jengkel,

namun ia tahu Thiam Gai bukankah pakar dalam soal
soal seperti itu. Kalau didesak untuk menjawab,

malahan akan berlagak pakar dan jawabannya bakal

ngawur.

Sementara Oh Tong-peng tertawa mendengar

cerita Thiam Gai itu, tanyanya. "Lalu bagaimana?"

"Esoknya kujelaskan baik-baik kepada

Komandan Lim bahwa aku belum bisa melunasi

hutangku, eh, ternyata Komandan Lim bilang tidak

apa-apa sambil dengan ramah menepuk-nepuk

pundakku."14

Oh Tong-peng menyambung sambil tertawa,

"...lalu malamnya kau mimpi Komandan Lim tampil

bagaikan dewi welas asih yang menunggang bunga

teratai dan memberi berkat kepadamu?"

Kali ini Kui Tek-lam mau tidak mau ikut tertawa,

sedang Thiam Gai cuma nyengir.

Oh Tong-peng membaringkan tubuhnya di

pojok ruangan, sambil berkata, "Lebih baik kita tidur

sekarang. Yang mau mimpi mimpilah, tapi tolong

mimpinya yang bagus-bagus saja, apalagi kalau

berkenaan denganku."

Lalu ia pun menguap, memejamkan mata, dan

beberapa saat kemudian terdengarlah dengkurnya.

Thiam Gai pun berkata kepada Kui Tek-lam.

"Saudara Kui, besok kau harus menempuh perjalanan

jauh ke Lok-yang untuk menjemput Liu Yok. Karena

itu, tidurlah dan segarkan tubuh serta pikiranmu. Biar

aku yang berjaga sambil mengawasi Saudara Cu."

Tanpa sungkan-sungkan Kui Tek-lam segera

membaringkan diri, namun untuk segera tidur ia

memang mengalami kesulitan. Sulit tidur

membayangkan tiga sahabat karibnya yang

mengalami nasib lebih mengenaskan dari kematian.

Lo Lam-hong yang berubah jadi boneka hidup di15

tangan musuh, Pang Hui-beng yang berjalan keliling

kota sambil menari dan menyanyi tanpa ingat dirinya,

lalu Cu Tong-liang yang tergeletak lumpuh dan bisu,

sepanjang hari matanya cuma menatap hampa tanpa

bergerak-gerak.

Namun kantuk itu akhirnya datang juga, dan ia

mulai tertidur. Untung mimpi dikerubut siluman
siluman berwajah topeng itu tidak datang. Sebaliknya,

ia malah bermimpi berlayar di sungai dan melihat

pemandangan indah sepanjang sungai, lalu bertemu

dengan Liu Yok, lalu mimpi bersama-sama Liu Yok

berjalan-jalan di atas air.

Tidurnya berakhir ketika sorot matahari

menerobos jendela dan jatuh tepat di matanya. Ia pun

terbangun, dan melihat Oh Tong-peng daan Thiam Gai

sudah bangun lebih dulu.

"Kau pasti bermimpi lagi, kulihat wajahmu

tersenyum-senyum dalam tidur...." sapa Thiam Gai.

"Benar, aku bermimpi." jawab Kui Tek-lam

sekalian mengolok-olok Thiam Gai. "Aku mimpi semua

orang yang meminjamkan uang kepadaku, tiba-tiba

membebaskan aku dari utang-utangku."

"Enak betul."16

"Sayangnya cuma mimpi."

"Tetapi dalam kenyataan pun aku tidak pernah

getol berhutang seperti kau..." kata Kui Tek-lam

kepada Thiam Gai sambil tertawa.

"Sudahlah...." Oh Tong-peng menengahi kedua

bawahannya itu. "Saudara

Kui, sebaiknya kau segera bersiap-siap untuk

berangkat. Mudah-mudahan hari ini ada kapal yang

menuju Han-lim."

Kui Tek-lam pun segera mencari tempat mandi

umum di pinggiran kota. Habis mandi, ia cari warung

untuk makan, kemudian melangkah menuju ke

dermaga masih dalam pakaian pinjamannya yang

kedodoran. Tak ketinggalan topi rumputnya untuk

menyamarkan wajahnya.

Dermaga di tepi Sungai Se-ho itu sudah sibuk

sejak pagi, Kui Tek-lam tanya ke sana kemari tentang

kapal yang berlayar mudik, kalau bisa yang langsung

sampai ke Han-lim. Ternyata kapal itu tidak ada. Yang

ada adalah kapal yang tidak sampai ke Han-lim, dan

untuk ke Han-lim harus berganti kapal lain, kalau ada.

Kapal yang bakal ditumpanginya itu pun ternyata

berangkatnya nanti tengah hari, sebab akan

mengangkut berkarung-karung daun teh yang saat itu17

belum tiba di dermaga. Terpaksa Kui Tek-lam harus

menunggu.

Sementara menunggu, Kui Tek-lam duduk
duduk tanpa pekerjaan di sebuah tanggul dermaga,

duduk bergoyang kaki dengan air sungai di bawah

kakinya. Hidungnya diterpa bau amis ikan, namun

tidak asin, sebab ikan di sungai pedalaman berbeda

dengan yang di lautan. Hiruk-pikuk orang di dermaga

tidak digubrisnya.

Sambil duduk, Kui Tek-lam melihat tukang
tukang perahu yang hilir-mudik antara tepian dengan

kapal-kapal yang tak bisa merapat, mengangkut orang

dan barang.

Melihat tukang-tukang perahu itu, hati Kui Tek
lam masygul, teringat akan Lo Lam-hong yang dulu

menjemputnya di dermaga ini juga dengan menyamar

sebagai tukang perahu. Tak terasa tinjunya mengepal

menyalurkan kegeramannya, "Entah dengan cara apa

bangsat-bangsat Pek-lian-hwe itu membuat Saudara

Lo jadi semacam boneka hidup yang bisa mereka

peralat semaunya seperti itu."

Tetapi selain kemarahannya, sebagai seorang

yang terbiasa memecahkan masalah dengan pikiran,

Kui Tek-lam juga mulai memikirkan bagaimana Lo18

Lam-hong sampai bernasib demikian, la ingat-ingat

dan urut-urutkan peristiwa-peristiwanya sejak

semula. Mula-mula ia dan Lo Lam-hong menyelusup

masuk Pek-lian-hwe dan menjalani serangkaian ritual

penerimaan anggota baru di "Kota Bunga Persik" yang

letaknya dirahasiakan. Upacara penerimaan anggota

yang tadinya mereka jalani dengan perasaan tak

percaya, ternyata menghasilkan akibat yang semula

tak terpikir oleh Kui Tek-lam maupun Lo Lam-hong.

Mereka berdua tiba-tiba saja jadi "langganan" mimpi

seram yang anehnya sama, dan kepribadian asli

mereka seperti dirongrong untuk ditukar dengan

suatu kepribadian asing yang seolah mendesak

hendak menguasai. Kui Tek-lam dan Lo Lam-hong

berdua dapat bertahan, meskipun mereka jadi kurang

tidur, mengalami tekanan batin yang berat seolah
olah menjepit kepala, dan akibatnya kondisi jasmani

mereka pun merosot drastis. Sampai Oh Tong-peng

menemukan "jalan keluar" dengan minta obat kepada

Tabib Sjau yang terkenal di Lam-koan, seorang tabib

yang menurut keyakinan Oh Tong-peng pastilah bukan

anggota Pek-lian-hwe, lalu Kui Tek-lam dan Lo Lam
hong pun mendapat kiriman obat dari Oh Tong-peng.

Kui Tek-lam tidak meminumnya, dan ia pun waras

sampai hari itu. Lo Lam-hong meminumnya, karena

sudah tidak tahan beberapa malam sulit tidur, dan19

akibatnya, Lo Lam-hong pun jadi boneka hidup di

tangan Pek-lian-hwe.

"Aku merasa pasti, bahwa penyebab Saudara Lo

jadi demikian pastilah obat itu...." kata Kui Tek-lam

gusar dalam hati. "Entah apa yang masih menahan

Kakak Oh untuk tidak membekuk Tabib Siau dan

memaksanya menyerahkan obat pemunahnya."

Namun Kui Tek-lam pun maklum, perhitungan

Kakak Oh-nya itu berbelit-belit, tidak main tabrak saja.

Mungkin disamping ingin menyembuhkan anak

buahnya yang kena teluh, Oh Tong-peng juga harus

memikirkan jalan untuk menyelesaikan tugas yang

dibebankan ke pundaknya, yaitu menemukan tempat

penyimpan lima ribu pucuk senjata api kepunyaan

Pek-lian-hwe.

Kui Tek-lam sebagai anak buahnya terpaksa

hanya ikut dalam rencana atasannya.

Baru saja Kui Tek-lam memikirkan Tabib Siau

Hok-to, tiba-tiba sekilas sudut matanya menangkap

sosok tubuh Siau Hok-to di antara hillr mudiknya

orang-orang di dermaga itu. Kui Tek-lam

memperhatikannya lebih cermat, dan la tidak salah

lagi. Memang itu Siau Hok-to. Benjolan sebesar mata

uang yang di tengah-tengah jidatnya itu adalah ciri20

khas yang jarang dimiliki orang, yang membuatnya

berjulukan "Tuan Mata Tiga" (Sam-gan Sian-seng).

Tetapi hanya segelintir orang yang tahu, bahwa

julukan itu lebih disebabkan oleh kemampuan sihirnya

yang disebut "sihir mata ketiga" daripada karena

benjolan di jidatnya itu.

Kegeraman membara di jantung Kui Tek-lam,

melihat tampang orang ini. Seandainya menuruti

emosinya, ingin rasanya menerkam Siau Hok-to dan

membenamkannya ke sungai saat itu juga.

Namun mata Kui Tek-lam yang tajam segera

melihat, bahwa Siau Hok-to ternyata tidak sendirian di

tempat itu. Ia membawa banyak pengawal ternyata,

hanya saja pengawal-pengawalnya itu tidak terang
terangan melainkan menyamar di antara orang-orang
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di dermaga. Biarun mereka menyamar, tapi Kui Tek
lam yang sudah terbiasa dalam "permainan" macam

itu dengan mudan dapat mengenalinya. Salah seorang

"pengawal" Siau Hok-to bahkan tidak jauh dari Kui

Tek-lam, menyamar sebagai seorang yang sedang

duduk memancing namun agaknya belum mendapat

seekor ikan pun.

"Hem, kedudukan Siau Hok-to dalam Pek-lian
hwe cabang Lam-koan pastilah cukup penting. Kalau21

tidak, tidak akan dia membawa pengawal sebanyak

ini. Hampir sepuluh orang. Entah dia hendak

menyambut seseorang, ataukah hendak bepergian?!"

Kui Tek-lam bertanya-tanya dalam hatinya.

Dilihatnya Siu Hok-to cukup gelisah hilir-mudik

di dermaga. Kadang-kadang membalas tegur sapa

orang-orang yang mengenalnya. Siau Hok-to memang

dikenal sebagai seorang tabib yang baik hati di Lam
koan.

Tidak lama kemudian, dari arah timur, nampak

sebuah kapal berukuran sedang di atas air sungai

sedang melaju mendekati dermaga. Kapal itu bercat

merah seluruhnya, di geladaknya ada rumah-rumahan

yang bertirai warna merah pula. Di kedua lambung

kapalnya, sederetan kuli pendayung bersama-sama

menggerakkan dayung dalam satu irama, menurut

tambur yang ditabuh oleh seseorang di buritan kapal.

Kalau perlahan irama tambur, perlahan pula gerak

para pendayung, kalau cepat iramanya, cepat pula

gerakan para pendayung. Saat mendekati dermaga,

gerakan para pendayung makin lambat.

Perahu mewah itu kelihatannya adalah kapal

pribadi, dan kedatangannya menarik perhatian orang-22

orang di dermaga sebab kapal itu belum pernah

kelihatan di Lam-koan.

Kapal itu makin merapat, dan karena bukan

kapal besar maka agaknya akan bisa merapat ke

daratan. Yang menarik adalah sikap Siau Hok-to yang

tergopoh-gopoh mendekati kapal itu, menyongsong.

Kui Tek-lam jadi tertarik pula, "Entah orang

macam apa yang dinanti oleh tabib bangsat itu.

Mungkin tokoh Pek-lian-hwe dari tingkatan yang lebih

tinggi."

Tirai rumah-rumahan di atas kapal itu

disingkapkan, seorang melangkah keluar dari

dalamnya. Seorang bertubuh amat gemuk namun

kelihatan keras ototnya, seperti karung pasir raksasa.

Tampang orangnya sendiri beralis tebal bersambung

seperti sepasang ulat bulu yang menempel di jidatnya,

dan berewoknya kaku seperti sikat kakus sehingga

menutupi mulutnya. Matanya besar.

Orang ini mengenakan jubah hitam mulus tanpa

warna lain. Dan begitu ia memunculkan dirinya, maka

orang-orang di seluruh dermaga itu seolah-olah

dicekam oleh semacam perbawa gaib yang baik atau

jahatnya pengaruh itu susah ditentukan. Kui Tek-lam

yang berada puluhan meter dari orang itu pun23

merasakan getaran aneh seolah terpancar dari orang

itu.

Kui Tek-lam mencoba menarik kesimpulan

dalam hatinya, "Tentu ini tokoh Pek-lian-hwe dari

tingkat yang lebih tinggi. Mungkin sekali

kedatangannya ada hubungannya dengan kematian

Nyo In-hwe. Hem, aku bisa merasakan pengaruh jahat

yang kuat yang terpancar dari dirinya, mungkin punya

ilmu siluman yang lebih dahsyat dari tokoh-tokoh di

Lam-koan."

Siau Hok-to sendiri kelihatan bersikap begitu

hormat kepada orang itu. Mereka bercakap-cakap

sebentar setelah orang itu menginjak daratan, tentu

saja Kui Tek-lam tak bisa mendengar apa yang mereka

lakukan, namun mimik wajah mereka kelihatan

bersungguh-sungguh.

Kemudian dari atas kapal bercat merah itu juga

diturunkan sebuah joli yang dipikul dua orang. Joli

yang juga bercat merah dan bertirai merah. Orang itu

naik ke dalam joli, kemudian menuju ke arah kota

dengan Siau Hok-to berjalan di samping tandu. Orang
orang Pek-lian-hwe yang menyamar dan mengawasi

dermaga itu pun satu-persatu menghilang.24

Kui Tek-lam menyaksikan semuanya itu namun

tak bisa berbuat apa-apa. "Seandainya aku tidak

sedang ditugaskan untuk menjemput Liu Yok, aku

ingin membuntuti orang itu dan mengetahui siapa

dirinya."

Sementara itu, kapal kecil yang akan

ditumpanginya mudik, meskipun takkan sampai di

Han-lim melainkan harus menyambung dengan kapal

lainnya, nampaknya masih lama berangkatnya. Barang

muatan yang akan dibawanya belum kelihatan

ujudnya di dermaga.

Tempat duduk Kui Tek-lam mulai panas oleh

cahaya matahari karena tidak ada pelindungnya, maka

Kui Tek-lam pun bangkit meninggalkan tempatnya

berganti ke tempat yang lebih teduh.

Dengan tatapan mata yang kosong, Kui Tek-lam

mengawasi kapal-kapal berbagai ukuran yang datang

maupun yang pergi. Sampai suatu kali tiba-tiba

dilihatnya sebuah kapal besar dari arah barat berhenti

di depan dermaga, lalu penumpang-penumpang

maupun barang-barangnya didaratkan dengan

perahu-perahu kecil.

Dan mata Kui Tek-lam pun terbelalak, serta
merta kantuk dan rasa jemunya terusir lenyap, karena25

ia melihat seseorang melompat dari perahu ke

daratan. Seorang yang justru sedang hendak

dijemputnya. Liu Yok. Terlihat pemuda itu berpakaian

jubah berwarna coklat cerah yang modelnya

sederhana dan kainnya pun biasa, ikat pinggangnya

kain coklat tua, rambutnya yang dikuncir tidak

memakai hiasan apa-apa. Yang dibawanya pun hanya

sebuah bungkusan kain warna biru tua, mungkin isinya

tidak lebih dari dua atau tiga pasang pakaian. Ia

sendirian, tanpa teman. Sungguh kalau orang melihat

tampang dan dandanan Liu Yok yang seperti itu akan

sulit mempercayai kalau orang ini adalah calon

menantu Gubernur Ho-lam yang kaya raya.

Dengan wajah berseri dan mata berkilat-kilat

ramah, Liu Yok melangkah di antara orang ramai di

dermaga. Kadang-kadang tubuhnya terhuyung karena

didesak atau didorong orang-orang, namun suasana

yang sumpeg itu tidak mampu mengubah wajahnya

yang teduh jadi ikut-ikutan beringas seperti umumnya

orang-orang di pelabuhan. Bahkan, meski dengan

susah payah ia menyempatkan diri menolong seorang

wanita tua yang jatuh dan hampir terinjak-injak.

Kui Tek-lam sejenak terpesona menatap wajah

itu. Lalu melompat, menyusup di antara orang-orang26

ke arah Liu Yok. Langsung disambarnya tangan Liu Yok,

"Saudara Liu...."

Liu Yok pun agaknya masih mengenali Kui Tek
lam yang pernah mampir ke Lok-yang dulu, dan

nampak lega melihat Kui Tek-lam selamat, "Saudara

Kui, aku lega melihatmu selamat. Beberapa kali aku

memimpikan Saudara di dalam bencana, itu yang

mendorong aku datang kemari...."

Kui Tek-lam merasa tersentuh hatinya. Omong

soal mimpi kalau bersama Thiam Gai boleh jadi hanya

akan ngawur saja, tetapi omongan Liu Yok mendapat

bobot yang lain di kuping Kui Tek-lam. Dulu ketika Wan

Lui memberitahu Kui Tek-lam bahwa Liu Yok adalah

seorang yang "hidup di dua dunia" dan "membuat

antara dunia kasar dan dunia mimpi seolah tak ada

batasnya", Kui Tek Lam kurang percaya. Bahkan waktu

Kui Tek-lam ketemu sendiri dengan orangnya di Lok
yang, ia makin kecewa melihat Liu Yok, dan

dianggapnya Liu Yok tidak layak diikut sertakan dalam

tugas rahasia di Lam-koan itu. Namun setelan

beberapa pengalaman Kui Tek-lam sendiri, yang sulit

dicerna akal, juga pengalaman teman-temannya, Kui

Tek-lam mulai berubah pandangannya terhadap Liu

Yok. Mulai menganggap barangkali kata-kata Jenderal

Wan Lui tentang Liu Yok dulu "ada benarnya".27

Sekarang begitu bertemu, Liu Yok langsung

bicara soal dunia mimpi, Kui Tek-lam pun bertanya.

"Apa saja yang Saudara Liu mimpikan tentang aku?"

Sahut Liu Yok, "Suatu kali kulihat Saudara Kui

dikeroyok mahluk-mahluk siluman yang wajahnya

seperti topeng, aku ingin menolong tetapi cuma28

mampu melihat dari kejauhan sambil melihat tanpa

daya. Tiba-tiba kulihat guruku datang mendekatiku,

menyuruhku menolongmu, tetapi aku merasa takut

dan tidak mampu meskipun ingin. Lalu guruku masuk

ke dalamku, aku mendapat kekuatan untuk

mengobrak-abrik barisan siluman itu."

Kui Tek-lam menarik napas. Itulah mimpi Kui

Tek-lam pada malam terbunuhnya Nyo In-hwe itu.

Malam untuk pertama kalinya Kui Tek-lam dapat tidur

nyenyak sampai pagi, setelah bermalam-malam sejak

ia ikut upacara di "Kota Bunga Persik" itu ia tak mampu

tidur nyenyak. Malam yang nyaman bagi Kui Tek-lam,

sebaliknya malam bencana buat Nyo In-hwe.

Namun Kui Tek-lam tertarik akan perkataan

"guru" dalam kata-kata Liu Yok tadi. Umumnya

langsung orang membayangkan guru silat. Kui Tek-lam

jadi heran, Liu Yok ini katanya membenci ilmu silat dan

kekerasan, kenapa punya guru pula?

"Guru? Guru silat, maksud Saudara Liu?"

"Bukan. Guruku itu malah mengajari aku, kalau

wajahku dipukul dari sebelah kanan, biarkan dipukul

lagi dari sebelah kiri."

"Guru aneh...." pikir Kui Tek-lam dalam hatinya.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untung aku tidak punya guru seaneh itu. Kalau punya29

guru macam itu, tentu sekarang aku sudah tidak punya

gigi karena rontok dipukul lawanku tanpa membalas."

Jawaban Liu Yok tentang gurunya tadi membuat

Kui Tek-lam kehilangan selera untuk membicarakan

"guru aneh"-nya Liu Yok itu. Meskipun mengakui

bahwa Liu Yok adalah "jagoan di dunia mimpi".

Liu Yok dan Kui Tek-lam kemudian berjalan

bersama-sama meninggalkan dermaga itu. Sambil

berjalan, sekali waktu Liu Yok menengadah ke langit

dan bergumam, "Seperti kota-kota lain, udara kota

Lam-koan ini pun kotor."

Kui Tek-lam ikut-ikutan menengadah dan heran

melihat langit berwarna biru bersih dengan matahari

di tengah-tengahnya. Langit seperti ini kok dibilang

kotor?

"Kotor?"

"Ya. Kotor dengan kuasa-kuasa jahat yang

berkeliaran bebas, bahkan dimanjakan dengan sesaji

oleh orang-orang bodoh karena disangka dapat

menolong."

Kui Tek-lam menggaruk-garuk pahanya tanpa

menjawab, sambil melangkah terus. Ia tidak mampu

mengikuti jalan pikiran Liu Yok.30

Kemudian, sambil berjalan dan bercakap-cakap

meskipun Kui Tek-lam sering tidak mengerti, suatu

masalah muncul di hati Kui Tek-lam. Liu Yok ini

orangnya sangat jujur, tidak mampu berdusta kepada

siapa pun, bahkan kepada orang yang bermaksud

jahat sekalipun. Kalau Liu Yok dikumpulkan bersama

agen-agen kerajaan, jelas akan membahayakan agen
agen kerajaan itu, bisa-bisa agen-agen itu dengan

mudah bisa ditemukan oleh orang-orang Pek-lian
hwe. Maka Liu Yok ini harus dicarikan tempat yang

lain. Ketika Kui Tek-lam memikir-mikir tempat untuk

Liu Yok, tiba-tiba teringatlah akan sebuah rumah

pedesaan di luar kota Lam-koan namun tidak jauh dari

kota, rumah di tengah-tengah hamparan ladang

penduduk. Kui Tek-iam memutuskan untuk, mengajak

Liu Yok ke situ.

Menjelang sore, tibalah mereka di tempat itu.

Kebetulan Si Tuan Rumah yang bernama Giam Lim

juga baru pulang dari ladangnya. Begitu melihat Kui

Tek-lam memasuki halaman rumahnya, ia langsung

menyongsong tergopoh-gopoh sambil berseru, "Tuan

Perwira, ke mana saja Tuan pergi semalam? Aku kuatir

terjadi apa-apa atas diri Tuan,"31

Kui Tek-lam tertawa, "Kuatir akan keselamatan

ku, atau kuatir bajumu yang kupinjam ini tidak bakal

kembali kepadamu?"

"Ah, Tuan, tentu saja aku lebih mencemaskan

keselamatan Tuan. Soal pakaian, bukankah jubah biru

Tuan Kui yang dititipkan aku itu jauh lebih bernilai dari

pakaian kumuhku yang Tuan pinjam?"

"Terima kasih."

Pandangan Giam Lim beralih kepada Liu Yok,

tanyanya, '"Dan Tuan yang ini...?"

Liu Yok memberi hormat lebih dulu sehingga

Giam Lim tergopoh-gopoh membalasnya. Liu Yok

memperkenalkan diri, "Namaku Liu Yok, jangan

panggil aku Tuan. Lebih baik panggil saja A-yok seperti

yang lain-lainnya, agar lebih akrab dan lebih enak

suasananya, sebab aku akan tinggal di sini beberapa

hari."

"Apakah... Tuan Liu ini juga seorang perwira

kerajaan?"

"Bukan, karena itu kumohon Kakak memanggil
ku A-yok saja. Aku pun dulu seorang peladang dan

peternak biasa di lereng bukit Pek-him-nia di Se-shia

di Propinsi Kam-siok."32

Keramahan Liu Yok "mencairkan" kecanggungan Giam

Lim si orang dusun yang menganggap orang-orang

kota selalu lebih hebat. Maka dia pun tertawa

terbahak-bahak sambil berkata, "Baiklah, A-yok, kau

begini tulus, aku senang berteman denganmu!"

Giam Lim lalu mempersilakan tamu-tamunya

masuk ke dalam rumah. Sementara menyeberangi

halaman, terlihat hamparan luas ladang penduduk

yang bisa dipandang melalui pagar bambu yang

rendah. Matahari yang sudah rendah di uful< barat

menyapukan sisa-sisa cahaya ke. emasannya di pucuk
pucuk pepohonan sementara di tempat-tempat gelap

dekat hutan di kaki pegunungan sudah terlihat

kunang-kunang beterbangan. Pemandangan yang

terjadi tiap pergantian dari siang ke malam,

"Aku jadi ingat kampung halamanku di Se
shia...." kata Liu Yok sambil melangkah perlahan.

"Apakah tempat tinggalmu juga seperti ini, A
yok?" tanya Giam Lim yang sudah berani bersikap

akrab kepada Liu Yok.

"Keadaan alamnya berbeda sedikit. Wilayah

selatan ini banyak pegunungan dan banyak sungai
sungainya dengan tebing-tebing terjal di kiri kanan,

yang pun-puncak-puncaknya tinggi menembus awan.33

Di tempat asalku, tempatnya banyak yang rata dan

berupa padang rumput tak terkirakan luasnya.

Pencaharian penduduknya juga berbeda, kalau di sini

banyak yang bersawah-ladang, di tempatku banyak

yang memelihara ternak. Sampai ribuan ekor jumlah
nya."

Kemudian Kui Tek-lam dan Liu Yok dipersilakan

membersihkan diri di sebuah sumur di tengah ladang.

Sementara tuan rumah dan keluarganya sibuk

menyiapkan perjamuan kecil-kecilan. Buat orang desa

yang polos seperti Giam Lim, didatangi tamu dari

kampung sebelah saja sudah merupakan kegembiraan

besar, apalagi kali ini tamunya dari tempat yang jauh,

dan yang seorang adalah perwira kerajaan pula. Giam

Lim punya sepuluh anak dan yang sulung sudah

berusia lima belas tahun sehingga bisa membantu

menyembelih ayam.

Ketika Kui Tek-lam dan Liu Yok sudah selesai

membersihkan diri, Giam Lim mengajak mereka

minum teh sebentar di ruangan tengah, sampai

isterinya memberitahu bahwa masakan sudah siap.

Giam Lim bangkit mempersilakan, "Nah, Tuan

Kui dan A-yok...."34

Tetapi Kui Tek-lam menukas, "Saudara Giam,

anggap aku saudaramu dan jangan lagi panggil 'Tuan'

kepadaku. Perlakukan aku dan Saudara Liu dengan

adil."

"Tetapi Tuan adalah seorang perwira."

"Aku sedang menyamar, dan panggilanmu

kepadaku bisa membuka penyamaranku, lagipula

membuatku merasa canggung." sahut Kui Tek-lam.

Sambil melanjutkan, tetapi hanya dalam hati "...kalau

kuberi tahu kau bahwa di depanmu ada calon

menantu guberbur di Ho-lam sekaligus ipar dari

Jenderal Wan Lui, jenderal tangan kanannya kaisar,

kau bakal semaput mendadak."

Giam Lim terdesak, dan akhirnya ia pun berkata,

"Baiklah, Saudara Kui."

Kui Tek-lam tertawa, "Nah, kalai sudah begini,

barulah aku tidak akar sungkan-sungkan lagi

menggasak semua hidangan yang kausediakan,

Saudara Giam."

Liu Yok ikut tertawa. "Apakah memang itu

tujuanmu ingin dianggap akral oleh Kakak Giam,

Saudara Kui?"

"Ya... antara lain."35

Mereka pun mulai pesta kecil itu dalam suasana

akrab. Anak Giam Lim yang banyak itu pun ikut

mengerumun meja dan makan dengan ributnya, isteri

Giam Lim ikut makan juga meski sambil berulang kali

menertibkan anak-anaknya.

Dalam suasana kekeluargaan yang akrab

demikian, sulit bagi Kui Tek-lam dan Liu Yok untuk

tidak makan banyak. Apalagi Kui Tek-lam yang siang

harinya tidak makan karena harus di dermaga,

makannya hanya pagi hari saja. Tanpa sungkan
sungkan ia comot sana comot sini, namun hal itu

malah memuaskan tuan rumah dan keluarganya.

Suatu kali, sambil menggerogoti sepotong paha

ayam goreng, Kui Tek-lam memuji, "Enak. Bumbunya

pas. Nyonya Giam, anda benar-benar ahli masak

nomor satu di Lam-koan dan sekitarnya."

"Itu dari ayam peliharaan kami sendiri. Saudara

Liu, kau tidak mencicipinya?"

"Perutku hampir penuh, namun baiklah aku

mencicipinya juga. Oh, perut yang beruntung."

Giam Lim dengan bangga menerangkan,

"Semua yang ada di meja ini adalah hasil ladang dan

kandang ternak kami sendiri, tidak ada yang beli dari36

luar. Kecuali garam. Bahkan bumbu-bumbu pun kami

buat sendiri."

"Oh, itu bagus."

"Tetapi belakangan ini, hasil ladang kami agak

menurun. Ada hama tikus dan babi hutan yang sering

menyerang tanaman-tanaman kami."

Liu Yok menunda makannya sebentar, lalu

katanya dengan bersungguh-sungguh, "Kapan hewan
hewan perusak itu datang?"

"Babi hutan biasa datang malam-malam. Kalau

tikus, kapan saja. Bahkan mereka membuat liang di

ladang kami dan beranak cucu di liang itu. Kurang ajar

mereka."

Kata Liu Yok, "Mulai detik ini, hewan-hewan itu

takkan mengganggu ladang Kakak Giam Lim lagi. Juga

ladang-ladang orang lain di seluruh desa ini. Tikus
tikus yang sudah bersarang di tanah ladang akan pergi

sekarang juga."
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua yang ada di sekeliling meja makan itu

tercengang mendengar kata-kata Liu Yok, heran

mendengar Liu Yok bicara seolah-olah ia rajanya

hewan-hewan yang bisa memerintahkan hewan
hewan semaunya.37

"Maksudmu...." kata Giam Lim ragu-ragu.

"Maksudmu, A-yok, malam ini kau akan

menjaga ladang-ladang penduduk di sini dan

menghalau binatang-binatang perusak itu?"

Isteri Giam Lim menyambung.

"Rasanya tidak perlu, Saudara Liu. Sebab itu

berarti Saudara harus semalaman berjaga di ladang,

tidak tidur, dan karena ladang-ladang penduduk desa

ini begitu luas maka belum tentu Saudara Liu bisa

menjaga seluruhnya. Di jaga di sini, lolos di sebelah

sana."

Liu Yok menatap suami isteri itu, "Siapa bilang

aku mau berjaga semalaman di ladang? Malam ini,

tentu saja aku tidur nyenyak sambil sukmaku

menyerap kekuatan dari tahta-Nya."

Kalimat terakhir tentang "sukma yang

menyerap kekuatan dari tahta-Nya" itu tetap saja tak

dimengerti oleh orang-orang lain, apalagi oleh Giam

Lim dan keluarganya, sedang oleh Kui Tek-lam yang

lebih banyak membaca buku saja tidak dimengerti.

Maka yang bisa dibicarakan hanyalah kalimat

sebelumnya.38

Tanya Kui Tek-lam, "Bukankah tadi Saudara Liu

bilang, mulai detik ini hewan-hewan itu tak akan

mengganggu? Bukankah itu berarti Saudara Liu akan

menjaga ladang penduduk di sini?"

"Tidak, aku tidak perlu berbuat begitu. Hewan
hewan itu takkan mengganggu karena kita, mahluk

termulia yang mewakili Sang Maha Pencipta, sudah

mengucapkannya."

"Hanya mengucapkan dan tidak perlu tindakan

apa-apa?"

"Ya."

"Masa iya?"

"Mengucapkan sudah merupakan suatu

tindakan di jagad sukma yang akibatnya akan segera

terasa di jagad raga. Apa yang kularang di jagad raga,

terlarang juga di jagad sukma. Apa yang kuijinkan di

jagad raga, diijinkan juga di jagad sukma."

Kui Tek-lam menarik napas sambil memijit

pelipisnya, "Yah, mudah-mudahan hewan-hewan itu

tidak merusak lagi."

"Bukan mudah-mudahan, tetapi pasti. Jadilah

sedemikian."39

"Iya, iya...." Kui Tek-lam mengiyakan tetapi

sebenarnya masih bingung.

Sementara orang-orang masih bingung oleh

perkataan Liu Yok, Liu Yok sendiri malahan menaikkan

sebelah kakinya ke bangku, dengan santai

menggerogoti potongan ayam goreng di tangannya

sambil berkata pula, "Ayam yang baik, kau sudah rela

mengorbankan diri untuk mengisi perutku. Mulai

besok biar teman-temanmu bertelur dua kali lipat

banyaknya, ya?"

Giam Lim hanya menyeringai. Ia anggap kata
kata itu hanyalah sekedar basa-basi dari seorang tamu

yang dipuaskan oleh hidangan Si Tuan Rumah.

Sementara itu Kui Tek-lam telah berkata, "Kakak

Giam, terima kasih buat pestamu yang luar biasa sore

ini. Kalau boleh, aku ingin menitipkan Saudara Liu ini

selama beberapa hari di sini."

"Kami sangat senang menerima Saudara Liu di

sini, bahkan mau tinggal seterusnya juga boleh."

"Terima kasih. Sekarang aku mohon pamit dulu,

aku harus menemui teman-teman lebih dulu. Jangan

sampai mereka gelisah."

###40

Sementara itu, orang yang disambut oleh Siau

Hok-to di dermaga tadi sekarang sudah tiba di rumah

Siau Hok-to. Langsung dipersilakan masuk ke ruang

tamu dengan penuh kehormatan.

Ketika orang itu melangkah masuk ke rumah

Siau Hok-to, secara tidak bisa dimengerti udara dalam

ruangan tiba-tiba menurun sedikit suhunya. Seolah

ada udara dingin yang ikut mengalir masuk membuat

beberapa orang menggigil seram tanpa tahu sebab
sebabnya. Anjing peliharaan Siau Hok-to tiba-tiba saja

melompat ketakutan, menjauh, lalu menggonggong

Sang Tamu dari kejauhan dan kemudian melolong

panjang menyeramkan.

Semua tanda-tanda itu mengisyaratkan kepada

Siau Hok-to sebagai pimpinan Pek-lian-hwe cabang

Lam-koan, bahwa tamunya yang menjadi utusan

Hwee-cu (Ketua Pusat) ini memang tidak main-main.

Kehadiran seakan diikuti suatu balatentara gaib yang

tak terlihat mata kasar. Siau Hok-to yang sudah biasa

main gaib-gaiban itu pun sekarang merasa gentar

hatinya.

Tamunya ini bernama Hong Pai-ok dan dalam

organisasi menduduki posisi yang diberi istilah Tau
sing-hoa (Yang Kepalanya Berbunga), suatu posisi41

yang tidak memiliki kedudukan di tempat atau cabang

tertentu, melainkan bebas bepergian ke mana saja dia

diutus oleh ketua umum, dan kekuasaannya di atas

para kepala cabang seperti Siau Hok-to.

Sambil menikmati hidangan teh sebagai ucapan

selamat datang, di ruangan tamunya Siau Hok-to,

Hong Pai-ok tajam mengawasi ruangan itu. Dilihatnya

syair-syair ciptaan Kaisar Khong-hi terpajang di

dinding, juga sebuah meja altar yang umum terdapat

di hampir semua rumah di daratan Cina, dengan

patung atau gambar tiga pahlawan Sam-kok yaitu Lau

Pi, Kuan Kong dan Thio Hui.

Melihat hiasan-hiasan kamar itu, Hong Pai-ok

mengangguk-angguk sambil memuji, "Samaran yang

bagus, Saudara Siau, Dengan demikian orang takkan

tahu kalau kau adalah tokoh Pek-lian-hwe di Lam
koan."

Hong Pai-ok mengatakan demikian, karena Pek
lian-hwe adalah sebuah organisasi bawah tanah yang

menentang Man-chu dan membenci segala sesuatu

yang "berbau" Manchu. Padahal Kaisar Khong-hi yang

syairnya dipajang di ruangan itu adalah Raja Manchu,

kakek dari Kaisar Kian-liong yang bertahta jaman itu.

Selain itu, pemasangan patung tiga pahlawan Sam-kok42

yan disusun normal di altar, juga dipuji sebagai

selubung penyamaran yang berguna. Susunan normal

ialah patung atau gambar Lau Pi di tengah, kemudian

Koan Kong dan Thio Hui di kanan-kirinya, tetapi orang

Pek-lian-hwe biasanya menyusun Koan Kong yang di

tengah, barulah Lau Pi dan Thio Hui di sebelah
menyebelahnya. Tetapi yang di rumah Siau Hok-to itu

diatur normal secara biasa, bukan menurut cara Pek
lian-hwe.

Namun Siau Hok-to tidak begitu senang akan

kata-kata Hong Pai-hok itu, tak lain karena Hong Pai
hok hanya menyebutnya sebagai "tokoh Pek-lian-hwe

di Lam-koan" dan tidak menyebutnya sebagai "ketua

cabang".

Dengan halus Siau Hok-to mencoba

"mengingatkan" Hong Pai-ok, "Kakak Hong, karena

samaran inilah maka para anjing Manchu yang

berkeliaran di kota ini bahkan tidak tahu kalau aku

adalah ketua cabang di sini."

Kata-katanya terhenti karena Hong Pai-ok

sudah menukas sambil menggoyang-goyang tangan
nya, "Tidak, jangan lagi sebut-sebut tentang ketua

cabang itu. Hwe-cu sudah menerima laporan lengkap

tentang keadaan di sini, dan terus terang saja Hwe-cu43

agak kecewa mendengar hasil kerjamu yang

kedodoran di sini. Bahkan sampai Nyo In-hwe dan Ang

Bwe-cu mati. Karena itu, posisi ketua cabang

diputuskan untuk dikosongkan dulu. Ini keputusan

Hwe-cu sendiri. Siapa pengisi jabatan itu yang akan

datang, aku dilimpahi wewenang oleh Hwe-cu untuk

menunjuk dan mengangkatnya."

Siau Hok-to merasa geram dalam hati, namun

sudah tentu tidak berani menunjukkan isi hatinya

terang-terangan di hadapan Hong Pai-ok. Cuma dalam

hatinya ia mengutuk Thai Yu-tat, wakilnya, yang

disuruhnya membawa laporan kepada Hwe-cu,

"Bangsat benar manusia cebol she Thai itu. Dia hanya

kusuruh menceritakan sekedarnya keadaan di sini

kepada Hwe-cu, tetapi entah apa yang dikatakannya

di hadapan Hwe-cu sehingga Hwe-cu sampai

mengeluarkan keputusan semacam ini. Hem,

mestinya sudah sejak dulu kuwaspadai monyet cebol

itu, yang agaknya memang mengincar posisiku sebagai

ketua cabang. Keparat!!"

Dalam hati berpikir demikian, namun di luarnya

ia pura-pura rela. Katanya. "Apa yang dipikirkan dan

direncanakan Hwe-cu tentu baik dan sempurna. Aku,

biar tanpa kedudukan sekalipun, rela untuk tetap

mengabdi sampai terwujudnya cita-cita kita. Mengusir44

anjing-anjing Manchu kembali ke luar perbatasan dan

tegaknya kembali dinasti Beng!"

"Bagus. Sekarang kumpulkan semua perwira

bawahanmu di "Kota Bunga Persik dan aku malam ini

akan berbicara di sana, atas nama Hwe-cu. Hanya

Perwira Kipas Putih, Kutub Merah, Penggiring Kuda

dan Tongkat Merah yang berkumpul. Bawahan
bawahan seperti Saudara Malam, Sandal Jerami atau

Palang Pintu Besi tidak usah."

"Baiklah, Kakak Hong. Pertemuan malam

nanti... eh, apakah... apakah,..."

"Apa yang mau kaukatakan?"
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah Kakak Hong akan sekalian menunjuk

dan mengangkat ketua cabang yang baru?"

"Itu urusanku."

Siau Hok-to mengumpat dalam hati, namun ia

benar-benar keder untuk membantah perintah Hong

Pai-ok. Ia segera menyuruh orang kepercayaannya

untuk menyebar undangan pertemuan kepada

pembantu-pembantu terdekatnya. Khusus undangan

untuk Thai Yu-tat yang dicurigainya telah menjelek
jelekkan dirinya di hadapan Sang Ketua Umum, Siau

Hok-to sengaja mengirim undangannya agak45

terlambat. Agar Thai Yu-tat datang terlambat dan

mendapat nilai yang buruk di mata Hong-pai-ok

sebagai "orang pusat".

"Antar aku lebih dulu ke 'Kota Bunga Persik'

kalian, Saudara Siau."

"Bukankah pertemuan baru dimulai menjelang

tengah malam nanti?"

"Ya, tetapi aku ingin di sana dulu, untuk

bersemedi dan memuja dewa kita. Dan kalau

mungkin, aku juga ingin menghubungi arwah Saudara

Nyo In-hwe untuk mengetahui penyebab kematian
nya."

"Baik, Kakak Hong. Mari kuantar."

Ternyata "Kota Bunga Persik" itu terletak persis

di sebelahnya toko obat Siau Hok-to. Sebuah tempat

yang luas dikelilingi tembok tinggi, berbentuk empat

persegi. Sekelilingnya dikelilingi rumah-rumah

penduduk yang sebenarnya adalah "perajurit
perajurit" Pek-lian-hwe yang terpercaya, sebagai

samaran.

"Tinggalkan aku sendirian." perintah Hong Pai
ok setelah berada di tempat sepi itu. Di bangunan yang

besar, lengkap dengan tempat-tempat yang46

merupakan tahapan-tahapan penerimaan seorang

anggota baru dalam suatu upacara. Mulai dari "pintu

merah" lalu "jembatan golok", "lingkaran semesta"

sampai ke "altar bunga merah" tempat anggota
anggota baru disumpah dan diwajibkan menaruh tiga

puluh enam kutukan atas diri sendiri apabila

melanggar sumpah.

Namun saat itu Hong Pai-ok sendirian di tempat

itu, di tempat sebesar itu, setelah Siau Hok-to

meninggalkannya. Selain hening, juga gelap, karena

saat itu hari sudah gelap namun di tempat itu tidak

sebatang lilin pun dinyalakan.

Dalam kegelapan yang memang akrab dengan

dirinya itulah Hong Pai-ok berjalan-jalan. Pertama
tama ia bersujud di depan patung dewa sesembahan

Pek-lian-hwe, patung Dewa Api dan ibunya Si Ibu

Abadi Tak Berasal-usul. Ia menggumamkan mantera

pujaan dalam bahasa Persia kuno, kemudian berjalan

perlahan-lahan mengelilingi tempat itu. Memeriksa

bagian-bagiannya, terutama tempat-tempat yang ada

sangkut-pautnya dalam rangkaian upacara.

Kelihatannya Hong Pai-ok hanya berjalan biasa

perlahan-lahan, namun ia sedang memeriksa tempat

itu bukan hanya dengan mata jasmaninya (yang tak47

banyak hasilnya karena tempat itu gelap), melainkan

juga dengan batinnya. Yang diperiksa juga bukan cuma

keadaan fisik tempat-tempat itu, melainkan juga

tingkat kegaibannya.

Dan ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya

sambil mengeluh sendiri, "Inilah kecerobohan orang
orang di Lam-koan Ini. Bagaimana mungkin sampai

tempat-tempat penting ini tidak ada penjaga-penjaga

gaibnya yang kuat dan berjumlah banyak? Dan hanya

penjaga-penjaga gaib yang kecil-kecil dan lemah?

Pantas kalau kedodoran, sampai Nyo In-hwe dan Ang

Bwe-cu terbunuh."

Lalu Hong Pai-ok duduk bersila dalam

kegelapan, mulutnya berkomat-kamit membaca

mantera, dan tiba-tiba dari mulutnya keluar suara

seorang perempuan, "Hong Pai-ok, tolong kami

sebelum kami hangus jadi abu karena terbelenggu di

tempat ini, tidak bisa pergi ke mana-mana, sedang

yang lain-lainnya sudah pergi. Bahkan balatentara

langit yang kami harap-harapkan tidak datang-datang

juga, entah kenapa mereka di perjalanan kemari."

Berikutnya mulut Hong Pai-ok bersuara lagi,

namun kali ini suara Hong Pai-ok sendiri yang keluar,

bertanya, "Siapa Anda?"48

"Aku penguasa daun-daunan, yang ditugaskan

untuk membantu Siau Hok-to menghasilkan

kesembuhan bagi orang-orang sakit yang datang

kepadanya. Hi-hi-hi, tentu saja kesembuhan yang

mendatangkan kerat bagi orang-orang itu, dan

akhirnya mereka akan makin ketagihan dan menjadi

budak-budak dari Tuan kita, hi-hi-hi...." suara

perempuan itu terdengar lagi, dari mulut Hong Pai-ok.

Dan suara yang keluar dari mulut Hong Pai-ok

berubah lagi, masih suara perempuan namun lebih

halus, jelas merupakan pribadi yang berbeda, "Dan

aku adalah ratu dari angkasa sebelah barat yang di sini

dipuja sebagai Bu-seng Lo-bo (Ibu Abadi Tanpa Asal
usul). Tugasku adalah menguasai semua bentuk

ramalan atau nujum dan mengatur agar apa yang

diramalkan itu terlaksana, sehingga orang-orang

mempercayaiku dan menghamba kepadaku. Tetapi

aku butuh bantuan, dan bantuan itu tidak datang
datang juga. Bahkan belakangan ini...."

Dan Si "Ratu Angkasa dari Barat" itu pun

menangis terisak, tangis ketakutan yang memelas,

lewat mulut Hong Pai-ok. Dan ketakutan yang sama

menjalar ke dalam hati Hong Pai-ok sendiri. Kalau

"ratu angkasa" yang juga dipuja sebagai "Ibu abadi" itu49

pun begitu putus asa, kesulitan sedahsyat apakah yang

menghadangnya?

Suara dari mulut Hong Pai-ok sekarang berubah

menjadi suara seorang laki-laki yang setengah serak

setengah menggeram, namun bukan, suara Hong Pai
ok, "Sudah, percuma kita bersikap lemah. Percayalah,

bala bantuan akan datang dan kita akan menang."

Disambung suara Si "Penguasa Daun-daunan"

tadi, "Hong Pai-ok, percepat datangnya bantuan, atau

lepaskan kami agar pergi dari sini."

Ratapan dan keluhan pribadi-pribadi tak terlihat

itu membingungkan Hong Pai-ok. Tanyanya, "Apa

yang mengancam kalian?"

Si "Ratu Angkasa" menjawab, "Selama ini kami

mengendalikan orang-orang di Lam-koan melalui

tokoh-tokoh masyarakat yang kami mainkan seperti

wayang boneka di tangan kami. Tetapi tiba-tiba saja

ada kekuatan lain yang menyusup, membuat

cengkeraman kami atas orang-orang itu mengendor,

sulit dipertahankan. Selain itu, saluran kekuatan dari

teman-teman di langit juga mulai tersendat-sendat.

Kami makin lama makin lemah."

"Tidakkah Anda bisa menyebut apa atau siapa

yang menyebabkan demikian?" desak Hong Pai-ok.50

"Rasanya ini... musuh lama kami sejak ribuan

tahun. Dia... datang ke kota ini dalam tubuh seorang

manusia." keluh Si "Ratu Angkasa". "Kami sudah

berkelahi dengannya dan...."

Suara di mulut Hong Pai-ok tiba-tiba berubah

menjadi geram laki-iaki tadi, "Jangan kecil hati, teman!

Kau bicara seolah-olah semuanya sudah tak tertolong

lagi. Kita akan menang!"

"Aku hanya teringat dulu, ketika aku dari langit

dihempaskan ke dalam debu dan jubah kemuliaanku

ditukar dengan kain berkabung." keluh Si "Ratu

Angkasa".

"Takkan terulang. Kita akan bertahan di sini, dan

teman-teman kita pasti datang!"

"Sudahlah, jangan bertengkar." Hong Pai-ok

menengahi. "Apa kalian tahu apa yang dialami oleh

Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu? Bagaimana mereka

terbunuh dan siapa pembunuhnya?"

Tiga macam suara yang tadi berbicara melalui

mulut Hong Pai-ok, kini mendadak bungkam semua.

Tak satu pun menjawab pertanyaan Hong Pai-ok.51

Hong Pai-ok mengulang pertanyaannya,

"Tidakkah Anda dengar aku bertanya? Sudikah kalian

menjawabku?"

Bukannya memperoleh jawaban, tiba-tiba

tubuh Hong Pai-ok malah diterpa oleh suatu kekuatan

tak kelihatan, dihempaskan ke lantai. Lalu diangkat

dan dihempaskan lagi, berulang-ulang. Angin dingin

bertiup di ruangan itu, dan baju Hong Pai-ok pun

dirobek-robek sampai hampir telanjang. Semua yang

melakukan itu tetap tidak terlihat.

Hong Pai-ok pun terbanting-banting, dan

merintih-rintih, namun dengan suaranya sendiri,

"Ampun... ampun... kalau kalian tidak mau menjawab,

tolong jangan menyiksaku."

Permohonan ampun itu sia-sia, tubuhnya terus

saja dibanting-banting dan dirobek-robek pakaiannya,

bahkan kulitnya mulai berdarah dan entah darimana

datangnya, muncul bekas-bekas cakaran di

permukaan kulitnya. Hong Pai-ok pun menangis

melolong-lolong seperti anak kecil.

Sampai tiba-tiba dari mulut Hong Pai-ok sendiri

keluar bentakan keras yang sangat berwibawa, lebih

berwibawa dari tiga suara yang semula, "Hentikan!

Kalian ingin menghancurkan tempat tinggalku?"52

Hempasan-hempasan keras dan cakaran
cakaran ganas oleh mahluk-mahluk tak terlihat itu pun

berhenti. Hong Pai-ok terengah-engah di lantai,

pakaiannya hancur, kulitnya berdarah, tetapi suara

dari mulutnya sangat berwibawa karena bukan

suaranya sendiri, "Katakan apa yang terjadi dengan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu!"

Ratapan Si "Ratu Angkasa" terdengar lagi dari

sela-sela bibir Hong Pai-ok, "Tolong... jangan paksa

kami menceritakan nya. Ini... menyangkut martabat...

Maharaja Yang Bercahaya sendiri"

Sunyi sekian lama, hanya terdengar engah

napas Hong Pai-ok. Kemudian Hong Pai-ok dengan

bersusah-payah mencoba untuk duduk. Hatinya

masygul, mau "cari info" tentang kematian Nyo In
hwe dan Ang Bwe-cu dari alam gaib, tak terduga

pertanyaannya itu malah menimbulkan kemarahan

penghuni-penghuni alam gaib sehinga ia babak belur.

Untung "penghuni" Hong Pai-ok lebih berwibawa

sehingga dapat menghentikan penganiayaan lebih

lanjut.

Terpaksa pertanyaan tentang kematian

misterius kedua tokoh Pek-lian-hwe di Lam-koan itu

tak terjawab.53

Sementara itu, karena saat itu sudah menjelang

tengah malam, maka Siau Hok-to pun muncul kembali

di tempat itu sambil membawa lilin. Kemudian

menyalakan lilin-lilin di tempat itu sehingga tidak

segelap semula. Ia terkejut melihat keadaan Hong Pai
ok yang berantakan.54

"Kakak Hong...." desahnya tertahan.

Hong Pai-ok menggoyang-goyang tangan sambil

berkata, "Jangan banyak omong. Cepat carikan jubah

pinjaman dulu untukku, sebelum orang lain

berdatangan dan melihat keadaanku seperti ini."

Siau Hok-tok bertubuh kurus dan tidak begitu

tinggi, sedangkan Hong Pai-ok tinggi dan gemuk,

terang Siau Hok-to tidak mungkin meminjamkan

pakaiannya kepada Hong Pai-ok. Tetapi ia ingat

sesuatu, "Kakak Hong, Bukankah Kakak membawa

pakaian lain selain yang ini? Bagaimana kalau kuambil

kan satu?"

"Iya, iya. Cepat."

Siau Hok-to pun muncul kembali di tempat itu

sambil membawa lilin. Kemudian menyalakan lilin-lilin

di tempat itu sehingga tidak segelap semula, la

terkejut melihat keadaan Hong Pai-ok yang

berantakan.

Untung "Kota Bunga Persik" itu letaknya

memang bersebalahan persis dengan rumah Siau Hok
to di mana Hong Pai-ok menginap, Maka Siau Hok-to

pun cepat kembali ke rumahnya. Namun sebetulnya

Siau Hok-to punya niat tersembunyi, ia ingin punya

kesempatan menggeledah barang-barang bawaan55

Hong Pai-ok, siapa tahu ada suatu rahasia tersembunyi

yang bisa diintipnya, terutama dalam rangka

mempertahankan kedudukannya sebagai ketua

cabang di Lam-koan. Kalau terang-terangan tentu

tidak berani, maka ya inilah kesempatannya.

Ternyata, waktu ia menggeledah bungkusan

bawaan Hong Pal-ok tidak ditemukannya apa yang

diharapkannya. Secarik kertas catatan pun tidak ada.

Yang ada ya hanya pakaian-pakaiannya. Dan selama ia

menggeledah, Siau Hok-to merasa seolah-olah ada

sepasang mata sedang mengawasinya tajam-tajam,

namun kalau ia menoleh, tidak dilihatnya apa-apa.

"Hem..." desah Siau Hok-to sambil mengusap

tengkuknya. "Aku dijuluki Si Tiga Mata dan punya ilmu

Mata Ketiga yang bisa melihat jauh melewati jangkau
an kedua mataku, tetapi sekarang Si Tiga Mata ini

tidak mengawasi tetapi agaknya sedang diawasi...."

Karena yang diharapkannya tidak ditemukan,

cepat-cepat ia ambil satu setel pakaian Hong Pai-ok

untuk dibawanya kepada Hong Pai-ok. Baru saja ia

melangkah keluar dari kamar yang ditempati Hong

Pai-ok, didengarnya dari ruang bawah tanah lolong

tangis anak perempuannya yang dipasung di situ.

Sayup-sayup terdengar kata-katanya, "Ooo, Raja56

Langit Yang Perkasa, lepaskan hamba dari sini, biarkan

hamba pergi sebelum hangus jadi abu."

Orang yang mendengarnya pasti akan bergidik,

apalagi di malam sunyi seperti itu, namun tak ada

tetangga-tetangga Siau Hok-to yang bisa mendengar

nya. Karena ruang bawah tanah itu agak dalam,

sehingga orang-orang di rumah Siau Hok-to sendiri

hanya bisa mendengarnya sayup-sayup.

Setiap kali mendengar rintihan anaknya satu
satunya itu, sebagai ayah, hati Siau Hok-to tersentuh

juga. Tetapi hatinya sudah dilapisi lapisan-lapisan

ketamakan dan kehormatan sebagai tabib yang hebat,

sehingga lapisan-lapisan di hatinya itu membuat

sentuhan-sentuhan di hatinya makin tidak terasa.

Setiap kali ia hanya bisa mohon maaf kepada anaknya

dalam hatinya, "Maaf, Nak, Ayah tidak sengaja

membuatmu menderita seperti itu. Dulu ketika Ayah

mempelajari Ilmu pengobatan gaib, sungguh tak

terpikir Ayah bahwa yang diminta jadi tumbal sebagai

harga untuk semuanya itu adalah dirimu. Kau

terkatung-katung antara keadaan hidup tidak mati

juga tidak, sementara Ayah hidup enak dan dihormati

orang."57

Namun Siau Hok-to tak berdaya mengubah

nasib itu. Perjalanan hidupnya seperti sebuah lorong

panjang yang tujuannya hanya searah, tidak ada

pilihan lain. Suka atau tidak suka, menyesal atau tidak,


Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Frostbite Vampire Academy 2 Karya Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh

Cari Blog Ini