Ceritasilat Novel Online

Menaklukkan Kota Sihir 6

Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P Bagian 6

itulah yang harus dijalaninya.

la pun kembali ke "Kota Bunga Persik" dan

menyerahkan pakaian kepada Hong Pai-ok. Hong Pai
ok cepat-cepat ganti pakaian. Siau Hok-to yang di

dekatnya, sambil mengamat-amati pakaian Hong Pai
ok yang robek-robek, juga berpikir, apa yang sudah

terjadi dengan Si Kakak Hong ini? Namun ia tidak

berani bertanya-tanya kalau Hong Pai-ok tidak

menceritakannya sendiri. Dan Hong Pai-ok tidak

menceritakannya.

Kemudian mulailah tokoh-tokoh Pek-lian-hwe

di Lam-koan berdatangan lewat pintu rahasia.

Pertama-tama yang muncul adalah Si Pendeta

Gadungan Ui-kong Hwesio, yang berkedudukan

sebagai "perwira kipas putih" (di waktu damai)

sekaligus "perwira kutub merah" (di waktu

pertempuran) nomor satu. Ia memberi hormat kepada

Hong Pai-ok dan Siau Hok-to, kemudian mengambil

tempat duduknya dan diam tak berkata-kata sambil

menunggu yang lain-lainnya. Pertemuan itu diadakan

di sebuah ruangan kecil di belakang ruang pemujaan.58

Menyusul muncul "kutub merah" merangkap

"kipas putih" nomor dua, Phui Se-san Si Bekas Tukang

Masak di istana kerajaan itu.

Disusul "pentung merah" alias pemegang

keuangan, seorang yang bertubuh ramping,

nampaknya pesolek sekali biarpun laki-laki, umurnya

kira-kira empat puluh lima tahun. Namanya Im Yan
kong. Di tangannya, keuangan Pek-lian-hwe

bertambah makmur. Ia memang tidak bisa bersilat

sehingga tidak pernah diikut-sertakan dalam

pertempuran, namun karena kesetiaannya mengabdi

organisasi, ia berhasil masuk dalam jajaran segelintir

kecil Orang yang mendapat kedudukan menentukan

arah organisasi di Pek-lian-hwe cabang Lam-koan.

Lagipula, ia punya kemahiran khusus, pintar bicara

dan merayu orang-orang kaya di Lam-koan sehingga

mereka mau merogoh kantong untuk menyumbang

(tentu saja tidak pernah dikatakan kepada Si

Penyumbang bahwa sumbangannya untuk sebuah

organisasi bawah tanah yang menentang pemerintah

kerajaan), sehingga kas Pek-lian-hwe cabang Lam
koan mengembang terus. Pimpinan-pimpinan cabang

lainnya juga menutup mata meskipun tahu kalau Im

Yang-kong ini sedikit menyelewengkan sumbangan-59

sumbangan itu untuk kepentingan pribadi. Toh

jasanya lebih besar dari kesalahannya.

Lalu Kang Liong, yang di Lam-koan dikenal

sebagai "hakim yang baik hati", namun sebenarnya

sikap munafiknya itu hanya untuk mengambil hati

rakyat Lam-koan, apabila kelak Pek-lian-hwe bergerak

terang-terangan mengerek bendera pemberontakan,

diharapkan akan mendapat banyak pengikut. Bukan

hanya di Lam-koan, di setiap kota ada tokoh-tokoh

Pek-lian-hwe yang berperanan sebagai "orang-orang

baik hati" ini. Kedudukan Kang Liong dalam Pek-lian
hwe cabang Lam-koan adalah "kutub merah"

merangkap "kipas putih" nomor empat. Yang nomor

tiga sudah almarhum, yaitu Nyo In-hwe.

Bersambung jilid X.6061

PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di

pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih

mediakan menjadi file digital.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial

dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.

File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi

file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk

mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan

dikompilasi menjadi file TextPDF.

Credit untuk :

? Gunawan A.J.

? Kolektor E-Books12

Kolektor E-Book

Gunawan A.J

Foto Sumber oleh Gunawan A.J

Editing oleh D.A.S3

Rp 725,
MENAKLUKKAN

KOTA SIHIR

JILID 10

Karya : STEVANUS S.P.

Pelukis : SOEBAGYO

Percetakan & Penerbit

CV "GEMA"

Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII

Telpun 35801-SOLO 571224

Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada

Pengarang di bawah lindungan Undang-Undang.

Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin

tertulis dari Pengarang.

CETAKAN PERTAMA

CV GEMA SOLO ? 19925

MENAKLUKKAN KOTA SIHIR

Karya : STEVANUS S.P.

Jilid X

YANG datang paling akhir adalah Si Pendek Kecil

yang dalam pertempuran atau upacara gemar

mengenakan topeng Dewa Mo Sui. Itulah Thai Yu-tat,

Si Wakil Ketua Cabang. Meski Siau Hok-to sengaja

mengirim terlambat undangan pertemuannya kepada

wakilnya yang dicurigainya bicara merugikan di

hadapan Hwe-cu (Ketua Umum), ternyata Thai Yu-tat

datang tidak terlambat, meskipun datang paling akhir.

Begitu datang, Si Pendek Kecil berjenggot

panjang ini langsung lebih dulu memberi hormat

kepada Hong Pai-ok, namun waktu ia memberi hormat

kepada Siau Hok-to, ia menyindir, "Hampir saja aku

tidak datang di pertemuan ini, Kakak Siau. Undangan
nya datang terlambat sekali, entah disengaja entah

tidak. Kalau disengaja, orang yang sengaja

memperlambat pengiriman undangan itu pasti

kecewa sekali melihat aku ternyata tidak terlambat."

Hati Siau Hok-to panas, namun ia menahan diri

dan berusaha agar wajahnya kelihatan tetap tenang.6

Katanya, "O, begitu? Kalau begitu, aku akan menegur

orang suruhanku yang membawa undangan

pertemuan untukmu itu. Maklumlah, Saudara Thai,

utusan-utusan jaman sekarang memang banyak yang

kurang ajar. Kalau disuruh, bukannya menjalankan

urusan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya, malahan

suka menambah-nambah atau mengurang-ngurangi

demi kepentingannya sendiri."

Dengan kata-kata itu, Siau Hok-to balas

menyindir Thai Yu-tat yang oleh Siau Hok-to disuruh

menghadap Hwe-cu, tetapi agaknya menjelek
jelekkan Siau Hok-to di depan Hwe-cu karena Thai Yu
tat sendiri ingin menggantikan Siau Hok-to sebagai

ketua cabang di Lam-koan.

Pertengkaran agaknya akan berlanjut, seandai
nya Hong Pai-ok tidak segera berkata, "Apakah sudah

berkumpul semua?"

"Sudah, Kakak Hong."

"Kalau begitu, kita bisa mulai. Aku ingin laporan

lengkap tentang kejadian di Lam-koan!"

"Bukankah laporan lengkapnya sudah ku
sampaikan sendiri di hadapan Hwe-cu?" sergah Thai

Yu-tat dengan nada agak memprotes. Ia yang sudah7

jauh-jauh menemui Hwe-cu, jadi merasa kalau

laporannya kepada Hwe-cu diabaikan.

Yang menjawab adalah Siau Hok-to, "Saudara

Thai, Kakak Hong ingin laporan yang lebih sungguh
sungguh, yang belum ditambah atau dikurangi."

"Siapa yang...." tanya Thai Yu-tat dengan

gemas, tetapi terpotong oleh suara Hong Pai-ok yang

menukas keras, "Siapa yang akan menceritakan

padaku kejadian yang sesungguhnya?"

"Biarlah aku, Kakak Hong. Aku kan ketua cabang."

"Kedudukanmu sebagai ketua cabang sedang

dipertimbangkan kembali, Saudara Siau. Tetapi

baiklah kau yang bercerita."

"Terima kasih."

Siau Hok-to pun mulai bercerita, diawali dari

upacara penerimaan anggota baru yang ternyata

kesusupan dua orang 'semilir angin" yaitu Kui Tek-lam

dan Lo Lam-hong. Disusul peristiwa-peristiwa berikut
nya di mana akhirnya kedua "semilir angin" itu

tersingkap kedoknya karena kegelisahan kedua agen

kerajaan itu sendiri. Tetapi kematian Nyo In-hwe yang

misterius masih belum mampu dijelaskan dengan

memuaskan oleh Siau Hok-to.8

Namun untuk menimbulkan kesan bahwa

sebagai ketua cabang ia "tidak selalu gagal" dan "ada

sedikit prestasi" maka Siau Hok-to menceritakan juga

dalam laporannya, "...namun karena kewaspadaan

orang-orang kami, maka gerakan rahasia anjing-anjing

Manchu itu tercium juga oleh kami. Dan kami mulai

mengambil tindakan. Pertama-tama kami ringkus

anjing Manchu yang menyamar sebagai tukang mi
pangsit, namanya Pang Hui-beng. Lalu aku titipi 'mata

ketiga' padanya tanpa dia sadari dan dia kami lepas

lagi. Melalui ia kami dapat melihat siapa saja orang
orang yang ditemuinya, jadi bisa kuperkirakan siapa di

antara orang-orang itu yang adalah anjing Manchu.

Lalu salah satu pentolan anjing Manchu itu, yang

namanya Oh Tong-peng, datang ke toko obatku untuk

mintakan obat bagi kedua anak buahnya. Kedua anak

buahnya adalah orang-orang yang menyusup ke

dalam organisasi kita. He-he-he... benar-benar seperti

ular mencari gebuk. Kuberi obat pelemah syaraf, agar

kedua anjing Manchu itu makin terbuka terhadap
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cengkeraman gaib kekuasaan kita. Tetapi entah

kenapa, yang kena hanya satu, yang namanya Lo Lam
hong. Sekarang anjing Manchu yang namanya Lo Lam
hong ini jadi anjing peliharaan kita yang jinak kepada

kita namun buas terhadap orang lain, disuruh

menggigit teman-temannya sendiri pun tidak akan9

menolak. He-he-he. Tetapi entah kenapa yang

namanya Kui Tek-lam, yang menginap di rumah

Saudara Nyo In-hwe, lolos dari ramuan pelemah

syarafku itu. Meski demikian, bisa dibilang kalau kita

unggul.

Bahkan dua anjing Manchu lagi berhasil aku

serang dengan kekuatan gaib. Yang menyamar

sebagai tukang mi-pangsit itu sekarang sudah

kehilangan ingatan dan tiap hari menari berkeliling

kota Lam-koan. Satunya lagi lumpuh, bisu, sekaligus

kehilangan ingatannya. Kakak Hong, keadaan di sini

tidak segawat yang Kakak dengar dari laporan

terdahulu yang dibawa Saudara Thai."

"Sayang, soal kematian Saudara Nyo In-hwe dan

Ang Bwe-cu justru masih tetap gelap."

Thai Yu-tat pura-pura geleng-geleng kepala

sambil menarik napas. Tujuan perkataannya ialah agar

Hong Pai-ok tidak terlalu terkesan oleh kesuksesan

Siau Hok-to.

Siau Hok-to melirik dengan mendongkol ke arah

wakilnya itu, namun sebelum ia berkata-kata pun,

Hong Pai-ok telah mendahuluinya, "Soal kematian

Saudara Nyo dan Ang, rupanya memang sulit10

disingkap, dengan cara gaib sekalipun. Aku sudah

mencobanya tadi, dan belum menemukan petunjuk."

Siau Hok-to lalu ingat keadaan Hong Pai-ok yang

compang-camping dan babak belur tadi, rupanya

keadaan macam itu karena usahanya menembus tirai

misteri kematian Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu.

Keadaan babak belur macam itu cukup dikenal oleh

orang-orang yang bermain-main dengan kekuatan
kekuatan dari dunia yang gelap seperti Siau Hok-to,

yaitu akibat dari kegagalan mencari keterangan dari

dunia gaib, bahkan membuat gusar penghuni
penghuni dunia gaib. Hong Pai-ok tadi tergolong

ringan keadaannya kalau dibandingkan nasib yang

dialami Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu yang tubuhnya

terobek-robek.

"Apakah Nyo In-hwe membuat gusar para

dewa, seperti dugaan Kang Liong?" Siau Hok-to

bertanya-tanya dalam hati. "Tetapi dalam perkara apa

dia sampai membuat gusar para dewa?"

Sementara Hong Pai-ok bertanya kepada orang
orang dihadapannya, "Siapa di antara kalian yang

mempunyai dugaan atau perkiraan tentang kematian

Nyo In-hwe? Aku tidak peduli dugaan atau perkiraan11

itu gaib atau alamiah biasa. Barangkali bisa menemu
kan penyebab kematian Saudara kita itu."

Thai Yu-tat yang pertama meraih kesempatan

menjawab itu untuk kembali melemahkan posisi Siau

Hok-to sebagai ketua cabang, "Kakak Hong, aku rasa

memang Saudara Nyo menjadi korban kemarahan

para roh junjungan kita. Mungkin karena selama ini

kita kurang memberi sesajian yang memuaskan para

hulubalang di langit itu."

Secara terselubung Thai Yu-tat menuduh Siau

Hok-to telah lengah menjalankan kewajiban rohani
nya terhadap dunia gaib, meskipun barangkali sukses

mengelola organisasinya dalam urusan-urusan

duniawi.

Kang Liong yang diam sedari tadi, sekarang

angkat bicara, "Kakak-kakak yang terhormat, aku rasa

pendapat Kakak Thai memang ada benarnya.

Barangkali kematian Kakak Nyo dijadikan peringatan

keras oleh para sesembahan kita agar kita lebih

mempererat hubungan dengan sumber kekuatan

sejati kita yaitu penguasa-penguasa di langit."

"Nah, benar tidak omonganku?" Thai Yu-tat

semakin berani karena merasa mendapat dukungan,12

"Dalam hal ini, rasanya Kakak Siau yang paling

bertanggung jawab."

"Maaf, Kakak Thai." Kang Liong menukas.

"Rasanya ini bukan kesalahan satu orang, tetapi

kesalahan kita semua."

Hong Pai-ok mengangkat tangannya, menyuruh

semuanya diam, lalu ia berbicara, "Saudara Thai dan

Kang mungkin benar. Sesaji kita kurang berkenan. Aku

bisa membuktikannya. Tadi sebelum pertemuan ini

dimulai, aku berkeliling Kota Bunga Persik kalian dan

aku merasakan betapa kekuatan gaib di tempat ini

sangat sedikit. Ketika aku mencoba berkomunikasi

dengan pelindung-pelindung tempat ini, beberapa di

antara mereka mengaku semakin lemah dan minta di
ijinkan pergi dari sini."

"Padahal baru beberapa hari yang lalu kami

selenggarakan pemujaan besar dengan sesajian yang

banyak di altar utama." kata Siau Hok-to.

"Tetapi mungkin tidak lengkap. Pakai korban

manusia atau tidak?" tanya Hong Pai-ok seperti

mendesak.

Sahut Siau Hok-to, "Soal korban manusia, kami

menyelenggarakannya setahun sekali."13

"Kurang! Bahkan itu sangat kurang!" kata Hong

Pai-ok. "Di cabang-cabang lain menyelenggarakannya

sebulan sekali, saat bulan purnama. Bahkan ada

cabang yang menyelenggarakan sebulan dua kali, saat

purnama dan saat bulan mati. Di pusat, bahkan kami

selenggarakan setiap hari! Itulah sebabnya kami

benar-benar merasakan kehadiran para panglima

langit dan tentara langit. Dan karena kalian demikian

kendor menyelenggarakan korban manusia, maka tadi

ketika aku berkeliling tempat ini, aku tidak merasakan

adanya kekuatan gaib yang besar di tempat ini.

Bahkan ketika aku berkomunikasi dengan beberapa

penghuni tempat ini, aku dengar di antara mereka ada

yang sudah tidak betah tinggal di tempat ini!"

Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe cabang Lam-koan itu

pun bungkam semua. Mereka bukannya tidak

merasakan adanya semacam kemerosotan dalam

kekuatan gaib yang mereka pelihara dan "pasang" di

kota itu. Bahkan mereka telah menculik dan

menyembelih korban-korban manusia yang

diperlukan, seperti ibu yang mengandung tujuh bulan,

anak lelaki umur tujuh tahun, anak kembar dan

sebagainya, yang menimbulkan kegemparan

beberapa waktu yang lalu. Tetapi rasa-rasanya para

anggota "balatentara langit" mulai dari "jenderal"14

sampai "prajurit" semakin ogah-ogahan menolong

mereka. Seakan-akan mahluk-mahluk gaib itu merasa

ada sesuatu yang ditakuti sedang datang ke Lam-koan

itu.

Siau Hok-to merasa, sejak mimpinya melihat

cahaya gemilang dari langit dulu, disusul dengan

retaknya patung Dewa Cahaya yang terbuat dari batu

giok itu, retak tanpa penyebab yang jelas, kehebatan

penyembuhannya juga mulai merosot. Dulu tidak

pernah ada pasien yang mengeluh penyakitnya tidak

sembuh setelah diobati olehnya, sekarang ia dengar

banyak yang mengeluh "Tabib Siau sudah tidak

sehebat dulu".

Thai Yu-tat yang sehari-harinya memimpin

suatu rombongan akrobat dan topeng monyet yang

biasanya menyedot banyak penonton karena "jimat

penglaris" nya, dan pada setiap kesempatan ia selalu

mengumandangkan ajaran-ajaran Pek-lian-kau

kepada penonton-penontonnya, meski secara

terselubung, sekarang mulai merasakan sepinya

penonton dan seretnya pemasukan. Jimatnya agaknya

sudah kurang manjur lagi.

Kang Liong merasa wibawanya yang ditopang

kekuatan gaib itu mulai runtuh pelan-pelan. Phui Se-15

san yang dulu nujumnya hampir selalu tepat, sekarang

mulai dikritik banyak langganan-lamanya, dianggap

nujumnya banyak yang meleset.

Dan semua tokoh-tokoh Pek-lian-hwe harus

mengakui dalam hati akan kemerosotan gaib mereka.

Akhirnya Siau Hok-to lah yang berkata, "Mungkin

Kakak Hong benar."

"Bukan mungkin benar, tetapi pasti benar!"

sanggah Thai Yu-tat menjilat atasannya. "Kakak Hong

pasti benar!"

Siau Hok-to mendongkol, namun menahan diri

untuk tidak bertengkar dengan wakilnya itu. Ia ingin

terlihat sebagai "pemimpin yang baik" di mata Hong

Pai-ok. Katanya, "Kita akan adakan upacara besar,

dengan korban manusia besar-besaran! Kita akan

kembalikan kekuatan kita!"

Hong Pai-ok kelihatan puas, "Itu baru langkah

tepat. Kemudian harus ada langkah lain."

"Kami siap mendengar segala petunjuk Kakak

Hong." kata Thai Yu-tat, merendah di hadapan utusan

pusat itu, namun sikapnya sudah amat yakin kalau

dirinyalah yang bakal ditunjuk menjadi ketua cabang

menggantikan Siau Hok-to.16

Hong Pai-ok berkata, "Anjing-anjing Manchu itu

tidak boleh berkeliaran terus. Mereka terlalu

berbahaya, hidung mereka terlalu tajam, padahal di

kota inilah kita menyembunyikan ribuan pucuk senjata

api dan mesiu serta peluru-pelurunya yang merupa
kan harapan kita untuk perjuangan di masa datang.

Kalau sampai tercium oleh anjing-anjing Manchu

itu...."

Siau Hok-to mendapat kesempatan untuk

memamerkan prestasinya, "Aku ingatkan lagi kepada

Kakak Hong, bahwa Si Bangsat Kian-liong itu hanya
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengirimkan enam orang kemari, mungkin karena

dianggapnya keenam orang itu sudah hebat betul.

Tetapi tiga di antara mereka sudah di tangan kita. 5atu

sudah secara total kita kuasai, satu kita bikin gila, satu

lagi kita bikin lumpuh, bisu dan kehilangan ingatan."

"Sisanya?" tanya Hong Pai-ok.

"Sudah tidak berani muncul lagi. Mungkin

mereka sudah mencawat ekor terbirit-birit pulang ke

kandang mereka di Pak-khia. Melapor kepada Si

Jahanam Kian-liong."

"Tetapi mungkin juga bisa saja mereka masih di

kota ini, bersembunyi sambil menantikan datangnya

balabantuan yang lebih kuat." kata Hong Pai-ok.17

"Menurut Kakak Hong, apa yang harus kita

perbuat tentang diri mereka?"

"Memancing mereka keluar dari persembunyi
an mereka dan menangkap mereka."

"Bagaimana cara memancingnya?"

"Kita akan atur sebuah sandiwara di kota ini.

Kang Liong sebagai hakim kerajaan, aku perintahkan,

buatlah gerakan seolah-olah kau menangkap

beberapa tokoh Pek-lian-hwe di kota. Bahkan

umumkan bahwa tokoh-tokoh yang ditangkap itu

akan dihukum mati. Kalau mendengar kabar ini,

anjing-anjing Manchu itu tentu akan muncul dari

persembunyiannya dan menjumpai Saudara Kang

Liong. Mungkin mereka akan menunda pelaksanaan

hukuman mati, mereka berkepentingan menanyai

lebih dulu tokoh Pek-lian-hwe yang tertangkap,

menanyai soal tempat penyimpanan senjata-senjata

api itu."

"Akal hebat! Akal sempurna!"

Thai Yu-tatlah yang pertama kali mendukung

gagasan itu. "Kakak Hong, sudah lama kudengar kau

adalah gudangnya segala siasat yang cemerlang! Hari

ini kusaksikan sendiri bahwa berita itu memang

benar!"18

Kata-kata menjilat lainnya masih akan

berhamburan, kalau tidak Im Yan-kong, Si Pemegang

Keuangan, habis sabarnya. Dalam organisasi, Im Yan
kong adalah pendukung setia Siau Hok-to, ada sedikit

kong-kalikong dalam urusan keuangan organisasi yang

diselewengkan. Ia tidak senang melihat usaha Thai Yu
tat menjatuhkan ketua cabangnya sendiri. Selama Ini

la menahan kejengkelannya, dan kail Ini ia tidak dapat

bersabar lebih lama lagi, ejeknya, "Kakak Thai, Kakak

juga terkenal sebagai ahli memanfaatkan setiap

kesempatan lho!"

Thai Yu-tat mendengus, "Kenapa? Tidak suka

aku memuji-muji Kakak Hong?"

Begitulah, Thai Yu-tat dengan cerdik

"mengarahkan" serangan kata-kata Im Yan-kong tadi

seolah-olah menyerang Hong Pai-ok. Keruan Im Yan
kong kelabakan, dengan ketakutan ia menatap Hong

Pai-ok sambil berkata geragapan, "Kakak Hong, kata
kataku tadi tidak bermaksud...."

"Tidak apa-apa." potong Hong Pai-ok dingin. Ia

sebenarnya senang menikmati kata-kata jilatan Thai

Yu-tat, dandalam hatinya sudah semakin cenderung

untuk menunjuk Thai Yu-tat sebagai ketua cabang

Lam-koan menggantikan Siau Hok-to. Pada gilirannya19

nanti, cabang Lam-koan di bawah pimpinan Thai Yu
tat akan merasa berhutang budi kepadanya, dan

mungkin bisa menjadi pendukung Hong Pai-ok untuk

naik tingkat di jajaran kepemimpinan pusat. Tak

terduga "kenikmatan" dijilat itu dibuyarkan oleh kata
kata Im Yan-kong, sedikit banyak timbul rasa tidak

senangnya kepada Im Yan-kong.20

Im Yan-kong bisa merasakannya, meskipun

Hong Pai-ok mengatakan "tidak apa-apa" namun sorot

matanya yang kejam menyiratkan lain di mulut lain di

hati. Im Yan-kong jadi takut sendiri. "Kakak Hong, aku

benar-benar tidak bermaksud...."

"Sudah kubilang tidak apa-apa. Urusan sekecil

itu tidak ada artinya buat aku. Sekarang lebih baik kita

lanjutkan pembicaraan kita yang tadi. Siapa yang

setuju gagasanku tadi?"

Thai Yu-tat mendukung dengan bersemangat,

Im Yan-kong juga ikut mendukung, untuk

"memperbaiki" kesalahannya yang tadi. Yang lain
lainnya pun nampaknya ikut-ikutan saja.

Kang Liong kemudian bertanya, "Kakak Hong,

lalu siapa yang harus kutangkap?"

"Di antara kalian, siapa yang kira-kira sudah

dicurigai oleh anjing-anjing Manchu itu sebagai tokoh
tokoh Pek-lian-hwe?"

Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe itu saling menoleh,

kemudian Siau Hok-to berkata dengan agak ragu-ragu,

"Nampaknya diriku sudah dicurigai. Pemimpin

kawanan anjing Manchu, yang bernama Oh Tong
peng, pernah datang ke toko obatku. Memintakan

obat bagi dua orang yang dikatakan sebagai dua21

pegawainya, dia sendiri mengaku sebagai saudagar,

tetapi aku tahu pasti dua orang yang dimintakan obat

itu pastilah dua anak buahnya yang diselundupkan ke

dalam organisasi kami. Anak buahnya yang langsung

meminum obat itu, Lo Lam-hong, langsung jatuh ke

bawah pengaruh kami, dan sekarang menjadi anak

buah kami. Karena itu, Oh Tong-peng pastilah sudah

mencurigai aku. Biar Saudara Kang pura-pura

menangkap aku."

Kang Liong menatap Hong Pai-ok, minta persetujuan.

Hong Pai-ok mengangguk. "Jalankan saja.

Laporkan setiap perkembangan kepadaku di sini."

Pertemuan itu pun kemudian dibubarkan.

###

Matahari mengintip dari balik bukit-bukit di

sebelah timur. Cahaya emasnya yang masih malu
malu membuat permukaan Sungai Se-kiang yang

berliku itu memantulkan cahaya keemasannya

sehingga seperti sehelai pita emas raksasa yang

digelar di antara lekuk-lengkung pegunungan, tetapi

bagian-bagian sungai yang terlindung bayang-bayang

tebingnya masih gelap. Cahaya matahari pagi juga

menyapu pucuk-pucuk pepohonan di perkebunan

yang luas di luar kota Lam-koan.22

Giam Lim dan keluarganya bangun pagi-pagi

seperti umumnya orang-orang desa. Namun Giam Lim

tidak ingin mengusik Liu Yok sebagai tamunya, yang

disangkanya masih tidur. Maka dia pun memberi tahu

anak-anaknya agar tidak ribut.

Sedangkan kepada isterinya, ia berkata,

"Cepatlah memasak, sehingga ketika tamu kita

bangun nanti, sarapan sudah tersedia. Aku akan

memeriksa pagar, kalau-kalau dirusak oleh babi hutan

atau monyet."

Pengrusakan pagar dan tanaman kebun

penduduk adalah perkara rutin di desa itu, karena

letaknya yang dekat hutan di mana kawanan besar

babi hutan dan monyet sering menyerbu mencari

makan. Di dalam kebun sendiri ada hama lain yang tak

kalah merugikan, yaitu tikus-tikus tanah yang

bersarang di dalam tanah dalam jumlah ribuan karena

sudah beranak cucu di situ bertahun-tahun. Setiap

kerusakan biasanya langsung diperbaiki meskipun

malam berikutnya bakal dirusak lagi. Sebab orang
orang desa yang rajin-rajin itu tidak mau membiarkan

kerusakan makin parah kalau didiamkan saja. Begitu

pula yang akan dilakukan Giam Lim pagi itu.23

Isterinya menjawab, "Tamu kita sebenarnya

sudah bangun, bahkan bangunnya jauh lebih pagi dari

kita. Tadi waktu aku melewati kamarnya di dekat

dapur, kudengar dari balik pintu dia sedang

bersenandung perlahan."

"Bersenandung?"

"Ya. Suaranya tidak indah, senandungnya juga

biasa saja, namun jiwa ini rasanya jadi tenteram sekali.

Aneh, belum pernah kurasakan pagi sedamai ini."

Giam Lim tersenyum mendengar ucapan

isterinya itu, namun diam-diam ia mengakui dalam

hati, bahwa suasana pagi itu memang terasa agak

berbeda dari biasanya. Biasanya kampung itu juga

bersuasana tenang, namun pagi ini suasana damainya

seperti berlipat ganda. Entah apa sebabnya.

"Sudahlah, aku pergi dulu." Giam

Lim menyambar seonggok tali rami di sudut

rumah untuk membetulkan pagar-pagar.

Tetapi sebelum sampai keluar dari pekarangan

rumahnya, ia sudah dihadang anak-anaknya yang

menunjukkan telur-telur ayam dari kandang.

"Ayah! Ayah! Aneh, pagi ini ayam-ayam kita

bertelur jauh lebih banyak dari biasanya. Dan telurnya24

bagus-bagus, tidak ada yang membusuk satu pun.

Sudah kami teropong semuanya."

Giam Lim agak tercengang, namun ia tidak

segera menghubungkan kejadian itu dengan

perkataan Liu Yok kemarin, perkataan yang seperti

menyuruh ayam-ayam untuk bertelur lebih banyak.

Kata-kata itu dianggap oleh Giam Lim hanya sebagai

basa-basi seorang tamu yang menyukai hidangan tuan

rumahnya.

Sementara Sang Anak sudah menambahkan

laporannya, "Bahkan Si Coklat yang sudah lama tidak

bertelur, sekarang bertelur lagi!"

"Sudah, sudah. Sekarang simpan baik-baik

telur-telur itu. Dalam beberapa hari ini kita butuh

banyak persediaan untuk menjamu tamu kita."

Kemudian Giam Lim meneruskan langkahnya

hendak memeriksa pagar ladangnya. Untuk itu ia

harus melewati pohon-pohon kebunnya.

Sambil melangkah di lorong-lorong di antara
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanaman-tanaman itu, Giam Lim masih berpikir-pikir

soal ayam-ayam yang tiba-tiba saja meningkat

produksi telur-telurnya itu.25

Tetapi kemudian, sambil melangkah, dia pun

mulai melihat dan tertarik sesuatu yang dilihatnya di

tanah. Di atas tanah yang masih sedikit basah oleh air

embun itu, nampak jejak-jejak kecil yang banyak

sekali. Jejak-jejak kaki tikus. Bahwa banyak tikus tanah

yang "berkerajaan" di bawah tanah di kebun itu, Giam

Lim dan penduduk desa lainnya sudah tahu, dan itu

sangat merugikan sebab banyak tanaman bawah

tanah seperti kentang dan umbi-umbian lainnya juga

digerogoti dari bawah tanah. Jejak kaki tikus-tikus di

pagi hari bukanlah perkara aneh. Tetapi pagi ini, yang

aneh adalah jejak itu sangat banyak dan semuanya

menuju ke satu arah, yaitu ke luar perkebunan itu.

Sudah-payah Giam Lim harus menentang akalnya

sendiri untuk membayangkan tikus-tikus tanah itu

seperti digerakkan suatu kekuatan untuk keluar

meninggalkan lubang-lubang bawah tanah mereka

dan berbaris ke satu arah, meninggalkan ladang
ladang itu, tanpa seekor pun yang menyeleweng ke

kiri atau ke kanan untuk keluar dari barisan. Tidak ada

"jejak penyelewengan" itu.

Giam Lim garuk-garuk kepala tak mengerti.

Perginya tikus-tikus tanah itu tentu saja suatu

keuntungan besar buat para peladang, namun caranya

sungguh tidak masuk akal.26

Giam Lim berjongkok, berlutut dan

menempelkan kupingnya di tanah, ia bisa menangkap

suara lemah anak-anak tikus yang mencicit di

sarangnya. Anak-anak tikus itu pasti kelaparan karena

ditinggalkan ayah ibunya begitu saja, sedangkan

mereka belum bisa berjalan sendiri untuk ikut

"pengungsian" besar-besaran itu. Anak-anak tikus itu

akan habis sendiri nanti.

Giam Lim berdiri kembali, dan bergumam

sendiri, "Pagi ini saja sudah ada peristiwa aneh...."

Ia pun meneruskan langkahnya ke bagian

pinggir ladang yang berbatasan dengan hutan. Bagian

yang biasanya pagarnya dirusak kawanan babi hutan

dan monyet.

Sampai di sana, dilihatnya tidak ada pagar yang

rusak sedikit pun, apalagi tanaman-tanamannya. Juga

tidak sedikit pun ada jejak kehadiran babi hutan atau

monyet semalam. Yang kelihatan di situ malahan dua

orang lelaki, para peladang tetangga Giam Lim.

Mereka kelihatan sedang berbicara dengan wajah

sungguh-sungguh.

Giam Lim melangkah mendekati mereka sambil

berkata, "Ada apa, A-hong, A-iai?"27

Yang bertubuh kurus dan kulitnya kecoklatan

berkata, "Kakak Lim, heran. Pertama-tama kulihat

jejak tikus."

Dan seterusnya, yang ternyata persis sama

dengan yang Giam Lim lihat, begitu pula sama dengan

peladang yang satu lagi. Kemudian laporan itu

dilengkapi keterangan bahwa pagar sepanjang pinggir

hutan itu tidak ada kerusakan sedikit pun, dan tidak

ada jejak hewan-hewan perusak.

"Ya, itu juga yang kualami...." Giam Lim

menimpali. "Aneh ya?"

"Tikus-tikus itu barangkali takut ular."

"Mustahil. Pernah juga tikus-tikus itu didatangi

ular, namun kalau demikian pasti larinya berpencaran

dan jejaknya bisa dilihat di tanah. Ini seperti berbaris

rapi ke satu arah. Lagipula tidak mungkin ular muncul

serempak di tempat seluas ini."

"Ya memang aneh. Tetapi kalau begini terus,

aku jadi bisa membayar hutang-hutangku yang

sekarang menumpuk, dan meningkatkan kesejahtera
an keluargaku."

"Mungkin yang Maha Kuasa berbelas kasihan

kepada kita."28

Mereka kemudian berpisahan, kembali ke

rumah masing-masing. Tiba di rumahnya, Giam Lim

menceritakan kepada isterinya yang terheran-heran

mendengarnya.

"Benar ada kejadian begitu?"

"Benar. Aku pun sulit percaya, teman-teman

juga sulit percaya. Tetapi kenyataannya demikian?"

"Ya sudahlah, yang penting menguntungkan."

"Tamu kita sudah bangun?"

"Sarapan sudah hampir siap, tetapi agaknya A
yok masih asyik bersenandung di kamarnya. Coba kau

yang bangunkan dia."

Giam Lim melangkah mengendap mendekati

pintu kamarnya Liu Yok. Ditempelkannya kupingnya ke

pintu, dan ia memang mendengar suara senandung

lirih, semacam nyanyian yang dilakukan dengan

sepenuh hati, sehingga biarpun suara Liu Yok tidak

merdu, terasa menyentuh kedalaman hati Giam Lim

yang terdalam. Giam Lim mencoba menangkap kata
kata dalam senandung lirih itu.

"....kuasa-Mu termasyhur di seluruh bumi.

Keagungan-Mu lebih tinggi dari lapis-lapis langit,

mulut bayi dan anak-anak mendendangkan-Mu.29

Pemerintahan-Mu teguh tak tergoyahkan,

membungkam musuh-musuh-Mu. Kupandang langit

cip-taan-Mu, bulan dan bintang yang Kaupasang, dan

apakah aku sehingga Kau selalu mengingatku? Siapa

aku sehingga Kau pelihara aku? Tetapi Kauangkat aku

hampir setara dengan-Mu. Kau mahkotai aku dengan

keagungan dan kehormatan. Kauberi aku kuasa atas

alam raya, seluruh ciptaan-Mu Kautundukkan

kepadaku. Semua mahluk di padang belantara di

lautan dan di angkasa. O, Kekasih, aku mabuk dan

tergila-gila oleh Pesona-Mu."

Giam Lim pernah mendengar nyanyian
nyanyian indah. Kalau ia masuk ke kota Lam-koan dan

lewat di rumah-rumah makan ternama di kota itu, dari

luar akan terdengar nyanyian bagus mengalun dari

dalam, sebab memang umum rumah-rumah makan

menyediakan pemusik-pemusik dan penyanyi
penyanyi handal untuk bisa menarik langganan lebih

banyak. Lagu yang didukung teknik menyanyi dan

bermain musik yang baik, didukung penjiwaan yang

memadai. Tapi senandung Liu Yok yang tanpa iringan

musik bahkan suaranya agak sumbang itu, alangkah

bedanya. Setiap kali kata "aku" dalam senandung itu

mengandung rasa syukur, terima kasih yang keluar

bukan saja dari pengertian tapi dari alam bawah sadar30

si luar pengertian. Dan setiap kata "Kau" diucapkan

begitu hormat, tunduk, kagum, cinta, bahkan tergila
gila! Giam Lim seolah sedang menguping sepasang

kekasih yang sedang berkasih-kasihan, namun cinta

kasih antara "aku" dan "Kau" ini berjuta-juta kali lebih

besar dari cinta sepasang kekasih yang pernah dikenal

dalam dongeng-dongeng macam Sam-pek Ing-tai

sekalipun.

Tangan Giam Lim yang sudah terangkat hendak

mengetuk pintu itu pun tertahan, tidak jadi mengetuk.

Berjingkat-jingkat Giam Lim menjauhi pintu sambil

geleng-geleng kepala.

"Sudah mau keluar kamar?" tanya isterinya di

samping dapur.

"Biarkan dia keluar kamar kapan saja, semau

nya. Kita jangan mengganggunya."

"Lho, sedang apa dia di kamar?"

"Kedengarannya bercakap-cakap dengan

seseorang yang amat dia cintai."

"Lho, padahal dia sendirian di kamar itu.

Jangan-jangan dia... wah, gawat ini."

"Apa yang kaupikirkan, isteriku?"31

"Kalau orang bercakap-cakap sendiri, bukankah

itu namanya... gila?"

"Entahlah. Tetapi seandainya A-yok itu gila,

dialah orang gila yang paling menyenangkan dan

paling tidak berbahaya. Aku pun mau kalau gilanya

seperti dia. Kelihatannya bahagia sekali."

Isteri Giam Lim agak semberut.

"Lalu sarapannya diapakan? Didiamkan sampai

dingin di meja?"

Agaknya wanita ini sedikit tersinggung, seolah
olah suaminya masih kurang bahagia bersamanya.

Giam Lim dapat menangkap gerak hati isterinya,

dan dia pun tertawa, "Tentu saja aku pun berbahagia

sekarang, punya isteri pintar masak seperti kau. Tetapi

nyanyian A-yok tadi rasanya memang lain, bukankah

tadi pagi pun kau mengakui kalau hatimu merasa

damai mendengarnya? Aku mengakui itu memang

betul, dan itulah sebabnya aku tidak cemburu

kepadamu."

Sekarang isteri Giam Lim ikut tertawa, "Iya, iya.

Nah, sekarang sarapan pagi ini mau diapakan?"

Ketika itulah Liu Yok muncul di pintu dapur,

wajahnya sangat cerah seperti matahari, katanya,32

"Kakak Giam Lim dan Enso (Kakak Ipar Perempuan)

sangat baik kepadaku. Tentu saja takkan kusia-siakan

sarapan yang sudah kalian sediakan. Kebetulan

perutku juga sudah keroncongan."

Begitulah, pihak tamu dan Tuan Rumah sama
sama bersikap terbuka dan akrab, maka suasanya jadi

enak dan tidak canggung sama sekali. Liu, Yok segera

pergi ke sumur untuk mandi, sementara isteri Giam

Lim menata meja. Tak seperti biasanya, isteri Giam Lim

melakukannya sambil bersenandung. Tetapi Giam Lim

tidak cemburu, ia memang merasakan suasana rumah

yang tenteram sehingga dia pun ikut-ikutan

bersenandung.

Tidak lama kemudian, makan pagi pun siap dan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang yang akan menikmatinya sudah

melingkarinya. Ketika Giam Lim mempersilakan,

semuanya segera menikmati hidangan itu.

Giam Lim duduk berseberangan meja dengan

Liu Yok. Wajah Liu Yok kelihatan tenteram dan amat

cerah, bahkan entah perasaan Giam Lim sendiri atau

bukan, wajah itu kelihatan memancarkan semacam

cahaya yang lembut. Tidak menyolok sekali, namun

bisa dirasakan oleh orang-orang yang peka.33

Sambil menikmati hidangan beramai-ramai,

Giam Lim kemudian memberanikan diri bertanya, "A
yok, agamamu apa?"

Jawaban Liu Yok di luar dugaan, "Aku tidak beragama."

Giam Lim tercengang sampai berhenti

mengunyah, matanya melebar. "Lha tadi di dalam

kamar itu, kau sedang apa?"

"Mengobrol."

"Mengobrol sendiri?"

"Tidak. Kalau mengobrol sendiri kan namanya

gila? Padahal aku tidak gila." ketika Liu Yok berkata

sampai di sini, isteri Giam Lim berdebar-debar hatinya.

Jangan-jangan Liu Yok mendengar perkataannya tadi?

Sementara Giam Lim terus bertanya, "Kalau

tidak mengobrol sendiri, terus dengan siapa? Di kamar

itu kan tidak ada siapa-siapa lagi?"

"Ada. Sahabatku. Meski dia tidak terlihat."

Bulu tengkuk Giam Lim agak meremang, ia

menoleh kiri kanan, ingin melihat "sahabat Liu Yok"

itu, namun tidak kelihatan apa-apa.

"Sahabatmu itu... di mana dia sekarang?"34

"Di dalam sini." sahut Liu Yok sambil memegang

dadanya sendiri.

Giam Lim merasa tidak mampu melanjutkan

percakapan, maka ia meneruskan makannya.

Tetapi serangkaian kejadian langka yang

berturut-turut terjadi pagi itu, seperti ayam-ayam

yang bertelur jauh lebih banyak dari biasanya, tikus
tikus tanah yang pergi, hewan-hewan perusak yang

tidak datang, tidak bisa ditahan lama-lama oleh Giam

Lim dalam hatinya. Ia pun menceritakannya kepada

Liu Yok.

Mendengar itu, ternyata jawaban Liu Yok

ternyata tidak istimewa, jawabannya kurang lebih

sama dengan agamawan-agamawan dari golongan,

apapun juga, "Itu bagus. Berterima kasihlah kepada

Yang Maha Kuasa."

"Kami, penduduk desa ini, mungkin akan

mempertimbangkan untuk membangun sebuah kuil

pemujaan di desa ini, sebagai tanda terima kasih kami.

Di desa ini belum ada satu tempat pemujaan pun."

"Kalian sudah punya kuil pemujaan yang baik,

kalau kalian sadari dan kalian mau."

"He, di mana?"35

"Diri kalian sendiri itulah kuil pemujaan, di mana

Yang Maha Kuasa sangat mengingini untuk berdiam."

Giam Lim dan isterinya tidak mengerti,

sementara anak-anak lebih menggubris makanan yang

di atas meja daripada mendengarkan percakapan

orang-orang tua ini.

Karena Giam Lim kembali tidak mengerti

perkataan Liu Yok, maka percakapan kembali jadi

buntu. Dan waktu percakapan dilanjutkan juga, yang

diomongkan ialah perkara-perkara ringan. Namun

dalam hati Giam Lim berkembang rasa penasaran dan

ingin tahu lebih jauh tentang Liu Yok dan keyakinan

nya.

"Mudah-mudahan ia cukup lama tinggal di sini,

jadi aku ada kesempatan untuk banyak bertanya

kepadanya. Tetapi aku akan minta agar ia

menerangkan dengan pelan-pelan dan sabar, jangan

menggunakan istilah-istilah yang susah dimengerti."

tekad Giam Lim dalam hatinya.

Ketika matahari sudah agak tinggi, Kui Tek-lam

pun muncul di rumah itu, sambil berkelakar, "Wah,

kedatanganku terlambat. Meja sudah bersih dan

makanan sudah lenyap ke dalam perut semua.

Saudara Liu, bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?"36

Liu Yok menjawab, "Nyenyak sekali. Saudara

Kui, dari mana kau?"

Sahut Kui Tek-lam, "Saudara Liu, ada kawanku

yang harus Saudara tolong. Dia menunggu di suatu

tempat."

Sahut Liu Yok, "Sebenarnya Saudara Kui sendiri

pun perlu disembuhkan."

"Lho, aku?"

"Ya."

Dengan wajah terheran-heran, Kui Tek-lam

menepuk-nepuk badannya sendiri sambil berkata,

"Aku ini sehat kok. Apanya yang perlu disembuhkan?"

"Jiwamu."

Seandainya yang bicara itu bukan Liu Yok, yang

bagi Kui Tek-lam adalah "penolong dalam mimpi",

mungkin sekali Kui Tek-lam akan tersinggung, sebab

sama saja ia dibilang sakit jiwa.

"Saudara Liu, kau tidak maksudkan aku... aku...

gila bukan?"

"Tidak. Sakit jiwa belum tentu gila lalu menari
nari di jalan raya tanpa celana. Tetapi dalam jiwanya37

masih tersembunyi sesuatu yang tidak beres.

Kemarahan, ketakutan dan sebagainya."

"Aku tidak marah kepada siapa-siapa."

"Kepada orang-orang Pek-lian-hwe?"

"Ya... itu... marah juga, tapi sedikit."

"Tetapi marah kan?"

"Wajar saja, kan mereka musuh?"

"Selama Saudara Kui menganggapnya wajar,

Saudara belum bisa disembuhkan."

Kui Tek-lam agak jengkel. Kedatangannya itu

disuruh Oh Tong-peng untuk menjemput Liu Yok agar

menyembuhkan Cu Tong-san. Malah Kui Tek-lam yang

dibilang sakit jiwa.

Liu Yok tertawa melihat air-muka Kui Tek-lam. Ia

bangkit dari duduknya dan menepuk pundak Kui Tek
lam sambil berkata, "Jangan marah, Saudara Kui, nanti

penyakit jiwamu tambah parah. Sekarang antar aku ke

tempat temanmu itu."

Kui Tek-lam menarik napas lega, "Saudara Liu

mau menyembuhkannya?"38

"Bukan aku, tetapi Temanku yang berdiam di

dalam aku."

Mendengar jawaban itu, Kui Tek-lam

membatin, "Nah, terbukti siapa yang sakit jiwa

sekarang?"

Namun bibirnya tidak berkata apa-apa lagi.

Bersama-sama Liu Yok, mereka berjalan menuju ke

tempat di mana Cu Tong-liang berada.

Mereka melewati ladang-ladang penduduk

yang terbentang luas dengan seribu satu macam

tanaman pangan. Terlihat indah karena perkebunan

itu bertingkat-tingkat di lereng pegunungan.

Kui Tek-lam agak takut mengajak bicara Liu Yok,

takut kalau Liu Yok bicara aneh-aneh yang tak bisa

dilayaninya. Tetapi ternyata Liu Yok bicara soal biasa,

seperti keindahan alam pegunungan, keramah
tamahan keluarga Giam Lim, dan kemudian

menanyakan tugas Kui Tek-lam sebagai agen

pemerintah kerajaandi Lam-koan itu. Kui Tek-lam

menerangkannya secara garis besar saja, tidak

terperinci, bukan takut Liu Yok akan berkhianat

melainkan takut kalau Liu Yok yang kelewat jujur ini

tanpa sengaja akan membocorkannya ke telinga39

musuh. Toh kelihatannya Liu Yok sudah puas akan

jawaban yang garis besar itu.

Tiba-tiba wajah Liu Yok berkerut, dan ia

berhenti melangkah, sehingga Kui Tek-lam ikut

berhenti dan memandang dengan heran. Mereka

sedang di sebuah jalan setapak di pinggir hutan dan

belum sampai ke tujuan, bahkan masih jauh.

"Kenapa Saudara Liu?"

Liu Yok tiba-tiba mendorong pundak Kui Tek
lam keras-keras sambil berkata tegang, "Saudara Kui,

cepat berlari sebisa-bisamu untuk menemui teman
temanmu dan cegahlah mereka melakukan tindakan

yang mencelakakan diri sendiri!"

"Lho, saat ini teman-temanku sedang...."

"Cepat! Jangan terlambat!" kali ini Liu Yok

berteriak sampai Kui Tek-lam kaget. Kui Tek-lam tidak

tahu apa yang terjadi, namun sikap Liu Yok yang begitu

sungguh-sungguh membuatnya tak berani ayal
ayalan, lagi. Segera ia ayun sepasang kakinya secepat
cepatnya menuju ke tempat teman-temannya.

Sedangkan Liu Yok tidak bisa berlari secepat Kui

Tek-lam. Ia justeru masuk ke dalam hutan, menjauhi

jalan setapak, mencari tempat yang rindang untuk...40

tidur! Namun dalam tidurnya nampak wajahnya

berkerut-kerut seakan menghadapi masalah berat.

Kui Tek-lam tiba di tempat teman-temannya

bersembunyi. Waktu itu Oh Tong-peng, seperti biasa,

sedang menjalankan pengamatan di Lam-koan.

Sedang Cu Tong-liang yang disantet orang Pek-lian
hwe itu ditunggui oleh Thiam Gai seorang diri.

Seperti hari-hari sebelumnya, Thiam Gai

merawat temannya itu dengan sabar, bahkan penuh

belas kasihan. Meskipun saban-saban la dapati celana

temannya itu basah, entah di bagian belakang atau di

bagian depannya, maka Thiam Gai tidak ragu-ragu

mencopoti pakaian temannya itu untuk membersih
kan tubuhnya, membuang kotorannya, mencuci

pakaiannya dan kemudian memakaikan pakaian

kering pada temannya. Semuanya dilakukan tanpa

rasa kesal. Sementara Cu Tong-liang sementara
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diperlakukan demikian, diam saja tak bergerak-gerak,

lemas tak bertenaga.

Pagi itu setelah membersihkan dan memakai
kan pakaian bersih kepada "momongan"nya itu,

Thiam Gai duduk bersantai sambil menunggu

kembalinya entah Oh Tong-peng entah Kui Tek-lam. Ia

juga berwaspada terus kalau-kalau ada kaki tangan41

Pek-lian-hwe yang mencium jejak sampai ke situ,

meski tempat itu sepi sekali.

Tiba-tiba di luar terdengar suara seekor burung

gagak yang keras dan mengejutkan Thiam Gai. Dengan

tangkas ia melompat keluar dan melihat ke sekitarnya.

Tidak nampak seorang pun kecuali semak belukar dan

reruntuhan gedung-gedung model Eropa di tempat

itu. Namun ketika ia menengadah, dia lihat seekor

burung gagak terbang berputaran di atas tempat

persembunyiannya, dan berkaok-kaok keras.

Thiam Gai merasa kupingnya tidak enak

mendengar suara itu, bahkan samar-samar merasakan

bulu kuduknya meremang, meskipun saat itu matahari

sedang bercahaya gemilang di ufuk timur. Thiam Gai

lalu mengambil batu dan melempar burung gagak itu.

Si burung gagak berkoak kaget dan terbang lebih

tinggi, tetapi turun kembali dan tatapan matanya yang

tajam berpengaruh itu memandang Thiam Gai.

Thiam Gai merasa seluruh kulit tubuhnya

dirambati semacam aliran dingin yang lembut, namun

tidak tahu apakah itu. Ia cuma memungut lagi sebutir

batu dan menghalau burung itu.

Burung itu terbang menghilang ke angkasa.

Thiam Gai menghembuskan napas lega, namun42

sepercik kejengkelan tak juga hilang dari hatinya dan

membuatnya jadi merasa tidak nyaman.

Ketika ia kembali melangkah masuk, hidungnya

langsung disongsong bau yang sudah dihapalnya

dalam beberapa hari terakhir ini. Bau kotoran manusia

yang dihasilkan oleh Cu Tong-liang, itu artinya Cu

Tong-liang sudah buang air besar lagi dalam

duduknya, padahal Thiam Gai baru saja selesai

membersihkan tubuhnya dan pakaiannya dan

menggantikannya dengan pakaian bersih.

"O, Langit, berilah aku kesabaran tambahan lagi

untuk mengurus momongan besar ini...." keluh Thiam

Gai dengan suara agak keras, meluapkan kesalnya.

Sesabar-sabarnya ia, sekarang merasa jengkel juga.

Kejengkelan sedikit karena dikejutkan burung gagak

tadi, sekarang bertambah besar dengan tugas yang

dihadapinya. Bukan tugas di medan tugas, tetapi tugas

menceboki, mencuci pakaian kotor, mengganti

pakaian.

Sambil menggerutu, ia mulai bekerja. Makin

menggerutu, kejengkelannya makin menyesak di

rongga dadanya, dan makin besar kejengkelannya,

makin banyak gerutuannya, makin banyak gerutu,

makin besar lagi kejengkelannya.43

Namun ia bersihkan juga tubuh rekannya yang

sedang tak berdaya itu, bahkan tak bisa mengingat diri

sendiri, sebab mata Cu Tong-liang hanya menatap

kosong ke depan. Thiam Gai. lalu mencuci pakaian

kotor dan langsung menjemurnya di luar, kemudian

pakaian yang kering mulai dipakaikan, terdengar suara

"breet" dan "brooot" dari pantat Cu Tong-liang dan

bau busuk kembali menyengat di seluruh ruangan.

Kalau biasanya buang air cukup sekali sehari, hari ini

rupanya ia sedang sakit perut.

Kejengkelan Thiam Gai pun meledak.

Ia berteriak, sekerasnya, tak peduli apakah

bakal ada yang mendengar atau tidak. Ia memukul
mukul lantai sampai tinjunya berdarah. Kutuknya,

"Persetan dengan bayi tua inil Biarkan saja tubuhnya

kotor dan berbau sepanjang haril Kalau Oh Tong-peng

atau Kui Tek-lam merasa keberatan, biar mereka yang

menggantikan tugasku!"

Lalu ia keluar dari ruangan, berjalan hilir-mudik

di udara terbuka dengan hati yang terasa panas. Ia

tidak menggubris lagi Cu Tong-liang. Kesabarannya

dan belas-kasihannya selama, ini, entah kemana

lenyapnya.44

Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba aliran

udara dingin yang lembut yang dirasakannya tadi,

kembali dirasakannya. Thiam Gai tidak menyangka

apa-apa, dan menganggap itu hanyalah sentuhan

angin pagi di kulitnya. Dan kemudian, serentetan

pikiran pun menyerbu benaknya, "Saudara Cu sudah

tidak berdaya apa-apa, mengurus diri sendiri pun tidak

mampu lagi. Makin lama ia hidup, makin menderitalah

dia. Aku sebagai sahabatnya, tidak boleh membiarkan

penderitaan ini berkepanjangan...."

Pikiran yang muncul mendadak itu

kedengarannya begitu masuk akal, begitu bersahabat,

seolah-olah demi kepentingan Cu Tong-liang. Toh

Thiam Gai kaget sendiri demi mendapati dirinya

berpikir demikian. Ia menampar jidatnya sendiri dan

buru-buru membantah pikiran itu, "Apakah aku sudah

gila, sampai berpikiran untuk menghabisi nyawa

teman sendiri?"

Namun pikiran pertama tadi, yang kelihatannya

seperti pikiran Thiam Gai sendiri, muncul kembali

dengan alasan yang lebih kuat, "Bukan membunuh

teman, tetapi justeru menolong teman dari

penderitaan yang berkepanjangan. Penderitaan yang

lebih buruk dari kematian. Aku sendiri tentu akan

memilih mati daripada mengalami demikian. Cu Tong-45

liang, Pang Hui-beng dan Lo Lam-hong sendiri pun

akan memilih untuk mati apabila mereka masih punya

sisa kesadaran untuk memilih sendiri nasibnya. Ya,

kematian akan menolong. Justeru aku amat kejam

kalau membiarkan Saudara Cu begini terus...."

Pikiran Thiam Gai dibanjiri dengan gencar oleh

pikiran untuk "menolong" Cu Tong-liang itu, sampai

akhirnya ia berpendapat bahwa Cu Tong-liang

memang perlu "dibebaskan" dari penderitaannya. Ia

pun membulatkan pikiran itu, lalu melangkah masuk

kembali ke dalam rumah, berjongkok di sebelah Cu

Tong-liang, dan berkata, "Saudara Cu, kau yang paling

tahu bahwa aku begitu menyayangimu. Entah kau

sadar atau tidak, Langit jadi saksiku, bahwa dalam

beberapa hari ini aku membuang kotoranmu tanpa

jijik, bahkan ketika aku sedang makan. Aku

membersihkan tubuhmu, membersihkan pakaianmu,

mengenakan pakaian bersih kepadamu. Aku

menyuapimu makan. Saudara Cu, seorang ibu kepada

bayinya sendiri pun barangkali tidak setelaten aku

terhadap kau. Tapi karena aku sangat menyayangimu,

aku tidak tahan melihatmu dalam keadaan seperti ini

lebih lama lagi. Mati tidak, hidup juga tidak, cuma

teronggok terus seperti sebuah boneka. Karena itu,

Saudara Cu, aku tidak akan membiarkanmu menderita46

lebih lama, aku akan membebaskan dari

penderitaanmu. Aku tetap menyayangi, Saudara Cu,

aku mau saja tetap membersihkan kotoranmu dan

merawat dirimu, asalkan dirimu masih ada harapan

disembuhkan. Sayang, harapan itu tidak ada dan

terlampau dibuat-buat atau diada-adakan oleh Kakak

Oh atau Saudara Kui. Karena itu, daripada

penderitaanmu berlarut-larut, aku sebagai teman

setia akan membebaskanmu, Saudara Cu, selamat

jalan."

Setelah "pidato selamat jalan" untuk Cu Tong
liang yang entah bisa mendengar entah tidak itu,

Thiam Gai mengerahkan tenaga ke jempol tangan

kanannya dan siap menekan jalan darah kematian di

dada Cu Tong-liang. Bahkan Thiam Gai sendiri

mempercayai ketulusan hatinya sendiri, buktinya, ia

siap melakukan "pembebasan sukma" itu dengan air

mata berlinangan.

Saat tangannya mulai bergerak itulah Kui Tek
lam melompat masuk melalui tangan Thiam Gai sambil

berseru, "Saudara Thiam! Apa yang akan

kaulakukan?"

Thiam Gai geragapan, tak langsung bisa

menjawab. Pikirannya yang sudah bertekad bulat47

"menolong" Cu Tong-liang itu sekarang goyah kembali

setelah kemunculan Kui Tek-lam.

"Saudara Thiam, mau kauapakan teman kita

ini?" Kui Tek-lam bertanya pula, sambil melepaskan

tangan Thiam Gai. "Kau ingin membunuhnya?"

Thiam Gai menarik napas, sahutnya, "Jangan

pakai istilah 'membunuh' Saudara Kui, aku bertujuan

membebaskan dirinya dari penderitaan."

"Apa pun istilahnya, itu adalah melenyapkan

nyawa orang lain yang bukan hak kita."

"Saudara Kui, apakah kau sampai hati melihat

teman baik kita ini terus-terusan hidup seperti boneka

begini? Tidak tahu apa-apa...."

"Dia akan sembuh."

"Ah, harapan kosong itu terlalu diada-adakan.

Untuk menipu diri sendiri saja."

"Tidak, Liu Yok yang mampu menghancurkan

pekerjaan-pekerjaan jahat kaum Teratai Putih itu

sedang menuju kemari. Kau lupa? Bukankah kemarin

malam sudah kuberitahu kalau Liu Yok sudah tiba di

kota ini?"48

Thiam Gai garuk-garuk kepalanya yang tidak

gatal, tiba-tiba dia pun merasa heran terhadap dirinya

sendiri. Kenapa tiba-tiba pikiran untuk "membebaskan

sukma" Cu Tong-liang itu begitu saja membanjiri

pikirannya dan ia serta-merta melaksanakannya?

Pikiran membunuh seorang teman adalah sesuatu

yang berat, apalagi antara teman karib seperti Thiam49

Gai dan Cu Tong-liang. Seandainya pikiran itu muncul,
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti Thiam Gai akan mempertimbangkannya dalam

waktu yang cukup lama sebelum sampai pada

kebulatan tekad, mungkin selama masa itu akan ada

kegelisahan. Tetapi ini benar-benar aneh, pikiran itu

muncul demikian saja dan Thiam Gai merasa dirinya

seperti didikte atau dituntun untuk melakukannya

begitu saja tanpa pikir panjang.

"Saudara Thiam, kau bosan merawat teman kita?"

Hati Thiam Gai tersentuh, ia menarik napas,

"Tidak. Aku selalu senang melakukan sesuatu buat

sahabat karib. Tetapi... pikiran untuk membunuh

Saudara Cu tadi benar-benar muncul begitu saja."

"Tentu sudah lama kau memikirkannya."

"Tidak. Sungguh."

"Itu bukan sifatmu, Saudara Thiam. Sifatmu

lebih memikirkan masak-masak suatu rencana

sebelum bertindak."

"Kau menuduhku, Saudara Kui?"

"Tidak. Yang kumaksudkan, mungkin kau sudah

terkena pengaruh Pek-lian-hwe juga. Seperti Lo Lam
hong, Pang Hui-beng dan Cu Tong-liang sekarang,50

bukankah mereka juga tidak dalam kepribadian

mereka sendiri sekarang?"

Thiam Gai menarik napas dan menggeleng
gelengkan kepalanya, tak mengomentari sepatah pun

perkataan Kui Tek-lam itu.

"Sekarang bagaimana perasaanmu?" tanya Kui

Tek-lam.

"Rasanya tiada sesuatu yang berubah pada diriku."

"Masih ada keinginan untuk membunuh Saudara Cu?"

"Masih ragu-ragu."

"Tadi kau tidak ragu-ragu...."

"Sebelum kau datang, aku juga ragu-ragu,

Saudara Kui. Tetapi pikiran untuk membunuh Saudara

Cu itu terus membanjiri pikiranku dan keragu
raguanku hilang. Sekarang setelah bertemu dengan
mu, Saudara Kui, keragu-raguanku datang lagi."

"Baiklah, Saudara Thiam, aku percaya bahwa

Pek-lian-hwe sedang menyerang kita dengan sesuatu

pengaruh. Pertahankan pikiranmu untuk tidak

membunuh Saudara Cu. Aku harus pergi lagi untuk

menjemput Liu Yok yang tadi kutinggalkan di tengah

jalan."51

"Ya, ya, aku akan mengukuhkan jiwaku agar

tidak terombang-ambing oleh pikiran yang merugi
kan."

"Kau pasti mengalami sesuatu pagi ini."

Thiam Gai mengangguk, dan secara singkat

menceritakan tentang burung gagak tadi.

Mendengar itu, Kui Tek-lam menarik napas.

Berhadapan dengan Pek-lian-hwe benar-benar jauh

berbeda dengan menghadapi organisasi bawah tanah

lainnya. Dengan penguasaan ilmu gaib orang-orang

Pek-lian-hwe, maka hal-hal yang tidak masuk akal pun

bisa terjadi dan harus diwaspadai. Tetapi Kui Tek-lam

lega bahwa Liu Yok sudah tiba di Lam-koan. Bukankah

tadi ketika Liu Yok menyuruhnya untuk mendahului
nya membuktikan ketajaman firasat Liu Yok akan apa

yang sedang terjadi dikejauhan? Dan ketika Kui Tek
lam tiba di tempat itu, nyatanya Thiam Gai hampir saja

membunuh Cu Tong-liang seandainya tidak dicegah

Kui Tek-lam.

Timbul harapan di hati Kui Tek-lam, bahwa

teman-temannya akan sembuh oleh "kesaktian" Liu

Yok. Seandainya Kui Tek-lam tadi sempat mendengar

Giam Lim bercerita ayam yang bertelur lebih banyak,

tikus yang berbaris keluar dari sarang bawah tanah52

mereka dan meninggalkan perladangan dan

sebagainya, tentu ia akan lebih yakin.

Begitulah, dengan keyakinan bahwa Thiam Gai

sudah lepas dari pengaruh keinginan memmbunuh Cu

Tong-liang, meski agaknya belum lepas sama sekali,

Kui Tek-lam lalu pergi meninggalkannya untuk

menyongsong kembali Liu Yok yang tadi ia. tinggalkan

di tengah jalan.

Dan Kui Tek-lam pun mengurut dadanya sendiri

ketika menemui Liu Yok sedang tidur pulas di bawah

sebuah pohon rindang di dekat sebuah perladangan

penduduk.

"Saudara Liu, Saudara Liu." Kui Tek-lam

membangunkannya sambil memanggil-manggil.

Liu Yok pun menggeliat bangun sambil

menguap. Bahkan sebelum Kui Tek-lam berkata apa
apa, ia sudah lebih dahulu berkata, "Ayo kita teruskan

perjalanan."

Sambil mulai melangkah, Kui Tek-lam merasa

perlu membuat semacam "laporan kerja" kepada Liu

Yok, katanya, "Saudara Liu, ternyata perasaanmu

benar. Ketika aku tiba di sana, temanku hampir saja

membunuh temanku yang lain, yang justeru baru

hendak dimintakan kesembuhan darimu."53

Jawaban Liu Yok enteng saja, "Ya, tetapi

temanmu yang tadi dilanda pikiran untuk membunuh

itu sampai sekarang belum bersih sama sekali dari

pikiran itu. Hanya saja untungnya, pikiran itu sudah

jauh lebih lemah. Tapi kita harus cepat-cepat sampai

ke sana juga."

Kui Tek-lam merasa heran bahwa Liu Yok

sepertinya sudah tahu selama tidur pulas tadi. Namun

ia mulai agak terbiasa dengan keluarbiasaan Liu Yok,

dan ia pun berjalan di sampingnya tanpa berkata apa

pun.

"Mungkin benar kata Jenderal Wan Lui

kepadaku." Kui Tek-lam membatin dalam hatinya. "Liu

Yok ini adalah manusia yang dikaruniai kemampuan

gaib tanpa belajar, kemampuan yang menghancurkan

kemampuan gaib jahat secara otomatis. Seperti air

terhadap api yang kodratnya memang saling

mematikan."

Kui Tek-lam pun melangkah bersemangat. Ia

sudah membayangkan begitu tiba di dekat Cu Tong
liang nanti, Liu Yok akan segera berkomat-kamit

membaca mantera sambil mengusap-usap tubuh

pasiennya, lalu sembuhlah Cu Tong-liang.54

Ternyata setelah itu Liu Yok sampai di

reruntuhan rumah model Eropa tempat agen-agen

kerajaan itu menyembunyikan diri, dan melihat

keadaan Cu Tong-liang, Liu Yok tidak segera

melakukan yang sudah dibayangkan oleh Kui Tek-lam.

Liu Yok malah minta ditunjukkan di mana ia bisa

mendapat air.

"Di belakang rumah ini ada sebuah sungai kecil

yang airnya jernih, air dari pegunungan." sahut Thiam

Gai. "Tetapi tebingnya licin, biar aku yang ambil."

Liu Yok mencegah, "Biar aku ambil sendiri.

Mulai saat ini, perawatan Saudara Cu ini biarlah

menjadi urusanku."

"Saudara Liu, air itu mau untuk apa?" tanya Kui

Tek-lam, sambil membayangkan air itu akan di
manterai lalu dipercik-percikkan ke tubuh Cu Tong
liang. Jawaban Liu Yok ternyata jauh dari bayangan Kui

Tek-lam.

"Untuk membersihkan tubuh dan pakaiannya."

Sejak terakhir kalinya Cu Tong-liang buang

kotoran dalam celana tadi, peristiwa yang membuat

Thiam Gai dilanda pikiran untuk "membebaskan"nya,

memang Cu Tong-liang belum sempat dibersihkan,

sehingga waktu Liu Yok tiba di situ suatu bau yang55

kurang sedap dari kotoran manusia yang mulai

mengering memenuhi ruangan itu.

Mendengar jawaban itu, Kui Tek-lam bertanya,

"Lalu... kapan Saudara Liu hendak mulai menyembuh
kannya?"

"Jangan salah paham, bukan aku yang

menyembuhkan."

"Lho, lalu siapa?"

"Temanku yang berdiam di dalam aku."

Kui Tek-lam menarik napas sambil menggerutu

dalam hati, "Nah, mulai aneh-aneh lagi omongan

orang ini."

Tetapi Kui Tek-lam harus mulai menyesuaikan

diri dengan Liu Yok, ia berkata, "Baiklah. Kapan teman

Saudara yang berdiam di dalam Saudara itu hendak

mulai menyembuhkan temanku ini?"

"Waktunya terserah Dia." kata Liu Yok kalem.

"Tetapi pastilah Dia suka, sebab Dia memang sudah

dilantik untuk itu, dan aku pun dilantik oleh Dia untuk

tugas yang sama dalam hubungan ketergantungan

sepenuhnya dengan-Nya."56

Kui Tek-lam menggaruk-garuk tengkuknya

sambil saling memandang dengan Thiam Gai, lalu

tanyanya kepada Liu Yok, "Tidak bisakah Saudara Liu

menyuruh temanmu itu."

"O, tidak, tidak bisa. Bukan aku yang menyuruh

Dia, tetapi Dialah yang menyuruhku. Dan sekarang ini,

menurut perintah-Nya dalam hati nuraniku, aku harus

cari air untuk membersihkan tubuhnya dan mencuci

pakaiannya."

Begitulah, Liu Yok lalu bangkit mencari air dan

kemudian membersihkan tubuh Cu Tong-liang, persis

yang dilakukan Thiam Gai sebelumnya.

Ketika Liu Yok pergi mengambil air, Thiam Gai

bertanya kepada Kui Tek-lam, "Bagaimana ini, Saudara

Kui? Dia diharapkan datang jauh-jauh dari Lok-yang

untuk menyembuhkan Saudara Cu, Pang dan Lo,

bukan untuk sekedar merawat dan membersihkan

orang sakit yang aku sendiri pun bisa melakukannya.

Jangan-jangan kabar tentang kemampuan hebatnya

itu hanya kabar burung belaka?"

"Aku pun merasa bahwa dia tidak seperti yang

kubayangkan sebelumnya, Saudara Thiam, tetapi...
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku percaya kepadanya. Dan hati-hati, jangan57

membicarakan dirinya meskipun dia sedang tidak ada,

atau sedang tidur, sebab barangkali saja dia tahu."

"Ah, apa iya?"

"Sudahlah, biarkan dia berbuat semau-nya, kita

lihat saja perkembangannya."

"Eh, Kakak Oh kok belum kembali juga ya?

Sudah setengah hari lebih ia pergi."

"Kemana perginya dia?"

"Seperti biasa, ke kota. Untuk mencari berita
berita baru."

"Tenang saja. Dia orang yang kelewat tangguh

untuk ditundukkan dengan cara kasar maupun dengan

cara gaib. Ia pasti tidak apa-apa."

###

Setelah malam tiba, barulah Oh Tong-peng

kembali ke tempat persembunyian itu. Wajahnya

nampak berkeringat dan berlapis debu, kerut-kerut

tegang terlihat di kulit wajahnya, namun demikian la

tidak lupa lebih dulu memberi salam kepada Liu Yok,

"Selamat bergabung dengan kami, Saudara Liu."58

Liu Yok menanggapi dengan ramah, "Terima

kasih. Tentunya ini adalah Kakak Oh. Tadi Saudara. Kui

dan Thiam sudah menceritakan tentang Kakak."

Oh Tong-peng pun sudah mendengar tentang

calon menantu Gubernur Ho-lam yang tidak sok dan

rendah hati ini, maka Oh Tong-peng berani juga

berkelakar, "Saudara Kui dan Thiam menceritakan

diriku kepadamu itu hal-hal yang baik atau yang

jelek?"

"Semua manusia punya sisi baik dan jelek

sekaligus." sahut Liu Yok.

Selama berbicara dengan Liu Yok, Oh Tong-peng

mengamat-amati tampang dan potongan Liu Yok, dan

ternyata memang tidak terlihat tanda-tanda yang

menonjol sedikit pun. Liu Yok "terlalu biasa" dan di

masyarakat di satu kota saja bisa diketemukan ribuan

orang seperti itu. Kalau mau disebut sesuatu yang

istimewa dari dirinya, barangkali hanyalah sorot

matanya yang lembut dan hangat serta jernih.

"Pantas dulu Kui Tek-lam meninggalkannya di

Lok-yang, karena Liu Yok dianggap sebagai orang yang

kurang cocok untuk medan tugas yang keras di Lam
koan ini." Oh Tong-peng membatin. "Mudah-59

mudahan kehadirannya di sini untuk membantu,

bukan untuk merintangi atau menjadi beban."

Bersambung jilid XI.6061

PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di

pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih

mediakan menjadi file digital.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial

dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.

File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi

file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk

mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan

dikompilasi menjadi file TextPDF.

Credit untuk :

? Gunawan A.J.

? Kolektor E-Books12

Kolektor E-Book

Gunawan A.J

Foto Sumber oleh Gunawan A.J

Editing oleh D.A.S3

Rp 725,
MENAKLUKKAN

KOTA SIHIR

JILID 11

Karya : STEVANUS S.P.

Pelukis : SOEBAGYO

Percetakan & Penerbit

CV "GEMA"

Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII

Telpun 35801-SOLO 571224

Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada

Pengarang di bawah lindungan Undang-Undang.

Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin

tertulis dari Pengarang.

CETAKAN PERTAMA

CV GEMA SOLO ? 19925

MENAKLUKKAN KOTA SIHIR

Karya : STEVANUS S.P.

Jilid XI

SETELAH bertegur-sapa dengan Liu Yok,

mulailah Oh Tong-peng membicarakan apa yang

ditemuinya hari itu, dan karena yang dibicarakan itu

dianggapnya bukan rahasia, maka ia bicara bebas

meskipun di situ ada Liu Yok, "Terjadi sesuatu yang di

luar dugaan di kota hari ini."

"Peristiwa apa, Kakak Oh?"

"Hari ini jenazah Nyo In-hwe dimakamkan.

Wah, luar biasa jumlah para pelayatnya, tokoh-tokoh

penting di Lam-koan hadir semua, bahkan tamu-tamu

dari luar kota. Kata seorang penduduk Lam-koan,

belum pernah ada pelayat sehebat Ini. Maklum, tokoh

penting."

"Lalu?" tanya Kui Tek-lam.

"Sebentar!" Thiam Gai mencela. "Nyo In-hwe ini

tokoh Pek-lian-hwe, organisasi yang memuja Dewa

Cahaya dan dianggap sebagai kepercayaan terlarang6

di seluruh kekaisaran kita ini. Lalu upacaranya

menurut tatacara agama apa?"

"Tata-cara campur aduk, sebab kulihat ada

hwesio dan ada imam pula, dicampur adat-istiadat.

Tetapi itu tak penting. Yang mengejutkan ialah, begitu

upacara di kuburan itu selesai, Hakim Kang Liong

beserta Komandan Keamanan Kota Bong Peng-un

membawa sepasukan prajurit, langsung menangkap

Tabib Siau Hok-to yang ada di antara para pelayat. Ini

menggemparkan Lam-koan. Maklum, Kang Liong

maupun Siau Hok-to sama-sama tokoh populer di

Lam-koan. Yang menangkap dan yang ditangkap sama

populernya."

Kui Tek-Iam tercengang mendengar itu,

"Selama ini, kita mencurigai baik Hakim Kang Liong

maupun Tabib Siau Hok-to sebagai kaki tangan Pek
lian-hwe. Kini tiba-tiba Kang Liong memusuhi Siau

Hok-to, bagaimana ini?"

"Mungkin kita yang agak meleset mem
perhitungkan." sambung Thiam Gai. "Mungkin hanya

salah satu dari mereka yang benar-benar kaki tangan

Pek-lian-hwe, entah yang mana, dan yang lainnya

adalah setia kepada pemerintah kerajaan. Lalu yang7

setia kepada pemerintah kerajaan itulah yang

meringkus yang kaki tangan Pek-lian-hwe."

"Kemungkinan besar, Siau Hok-to itulah yang

kaki tangan Pek-lian-hwe. Bukankah gara-gara obat

pemberiannya, Lo lam-hong jadi seperti sekarang ini,

jadi boneka Pek-lian-hwe dengan kehendaknya sendiri

terbelenggu. Dan Kang Liong itulah yang setia kepada

pemerintah kerajaan."

Kui Tek-Iam mengangguk-angguk mendengar

analisa itu, "Kalau begitu, dulu aku keliru menuduh

Kang Liong sebagai orang Pek-lian-hwe. Ketika itu

Kang Liong dan Bong Peng-un memeriksa rumah Nyo

In-hwe setelah malamnya Nyo In-hwe terbunuh di

ruang rahasia tempat ia memuja patung Dewa Cahaya.

Waktu itu aku mencurigai sikap Kang Liong dan

perubahan-perubahan air mukanya, sehingga aku pun

menganggap dia ada sangkut-paut dengan Pek-lian
hwe. Namun waktu itu mungkin aku yang keliru.

Perubahan air-mukanya mungkin disebabkan setelah

dia mengetahui Nyo In-hwe adalah anggota Pek-lian
hwe, meskipun sehari-harinya adalah tokoh

terhormat di masyarakat Lam-koan."

"Kenapa baru sekarang Kang Liong bertindak?"8

"Sebagai abdi kerajaan yang setia, mungkin

Kang Liong sudah lama bisa merasakan kegiatan

bawah tanah Pek-Uan-hwe di kota ini, namun belum

bisa bertindak sebab masih kurang bukti dan mungkin

juga kurang kekuatan. Setelah sekarang buktinya kuat

dan dukungan kekuatan ia peroleh dari Bong Peng-un

Si Komandan Kota, maka barulah ia berani menggebuk

Pek-lian-hwe. Bahkan di tempat umum pula. Di

tengah-tengah orang banyak yang selesai mengikuti

upacara pemakaman Nyo In-hwe, ini sebuah

tantangan terbuka kepada Pek-lian-hwe!"

"Menurut Kakak Oh, setelah Kang Liong

menangkap Siau Hok-to, lalu akan dia apakan?"

"Mungkin diperas dan disiksa untuk mengakui

dan menunjukkan siapa tokoh-tokoh Pek-lian-hwe

yang bersembunyi di Lam-koan, lalu berikutnya orang
orang itu akan diringkus sekalian."

"Kang Liong dalam bahaya!" desis Thiam Gai

khawatir.

"Ya." Oh Tong-peng sepakat. "Kang Liong dan

Bong Peng-un mungkin hanya mengandalkan dan

memperhitungkan kekuatan fisik, jumlah tentara,

situasi kota dan sebagainya. Kemungkinan besar,9

mereka mengabaikan kemampuan orang Pek-lian
hwe dalam melakukan serangan gaib."

"Benar, Kakak Oh. Pek-lian-hwe pasti tidak akan

tinggal diam. Mereka pasti akan bertindak, setidak
tidaknya dengan serangan teluh."

"Kang Liong harus diingatkan, jangan sampai dia

sebagai abdi kerajaan bernasib seperti Lo Lam-hong,

Pang Hui-beng atau Cu Tong-liang."

"Kita akan temui Kang Liong, dan mengaku

bahwa kita adalah agen-agen Kaisar?"

"Tidak buru-buru seperti itu, lihat-lihat dulu
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana keadaannya. Malam nanti biarlah diam
diam kutemui Kang Liong, kujajagi sikapnya lebih

dulu."

"Nanti malam, Kakak Oh?"

"Ya."

"Kenapa tidak besok saja?"

"Karena penangkapan ini, Kang Liong pasti jadi

orang sibuk di siang hari untuk mempersiapkan tindak

lanjutnya. Tindak lanjutnya itu mungkin termasuk

pengiriman Siau Hok-to ke ibu kota propinsi, bahkan10

mungkin ke Pak-khia. Jadi lebih baik kutemui dia

malam hari, waktu sepi."

Begitulah, malam itu Oh Tong-peng hanya

beristirahat sebentar di tempat persembunyiannya.

Kemudian menjelang tengah malam, ia mengganti

pakaiannya dengan Ya-hing-ih (pakaian pejalan

malam) yang ringkas dan berwarna gelap. Tidak lupa

dari bungkusan pakaiannya ia keluarkan sekeping

lencana emas berbentuk segi empat, tanda yang

dimiliki setiap anggota pasukan rahasia kaisar, siapa

tahu diperlukan.

Tiba-tiba saja Thiam Gai berkata, "Kakak Oh,

bagaimana kalau aku pergi bersamamu?"

Oh Tong-peng tertegun sejenak, menatap

wajah Thiam Gai. Perasaannya yang tajam dapat

merasakan bahwa Thiam Gai yang selama beberapa

hari terkurung karena harus menunggui Cu Tong-liang

Itu, sedikit banyak timbul kejemuannya juga. Oh Tong
peng menyadari bahayanya kalau jiwa tertekan, suatu

kali bisa "meledak" dalam bentuk tindakan yang tak

terkendali.

Maka ia pun ijinkan Thiam Gai ikut, supaya bisa

"melihat-lihat" sejenak di luaran. "Baik, cepat pakai

Ya-hing-ihmu."11

Thiam Gai segera berdandan, dalam waktu

singkat ia pun siap. Tidak lupa dibawanya senjatanya

yang berupa Bit-ciat-kun (Ruyung Tujuh Ruas), senjata

berbentuk tujuh lempengan logam pipih yang satu

sama lain dihubungkan dengan cincin, dan dimainkan

seperti orang memainkan cambuk. Senjata itu

dilingkarkan di pinggangnya.

Liu Yok yang sedang merawat Cu Tong-liang itu

pun menampakkan ketidak senangannya melihat

senjata-senjata yang dibawa Oh Tong-peng maupun

Thiam Gai, namun tidak berkata apa-apa.

Kui Tek-Iam menangkap kilat mata Liu Yok itu,

namun juga tidak berkata apa-apa, cuma membatin

dalam hati, "Kalau menurut maunya Liu Yok, dunia ini

harusnya aman tenteram dan tidak ada pertikaian,

sehingga senjata-senjata tidak diperlukan."

Oh Tong-peng dan Thiam Gai pun berangkat,

menghilang ke dalam kegelapan malam.

Mereka menyusuri jalan-jalan kota Lam-koan,

menuju ke rumah kediaman Hakim Kang Liong di

bagian barat kota, dekat jalan ke arah kampung

nelayan.

Ketika mereka tiba, nampak rumah itu sepi.

Namun ketajaman kuping Oh Tong-peng cukup untuk12

menangkap bahwa di sebelah dalam tembok ada

penjaga-penjaganya.

"Bagaimana?" tanya Thiam Gai berbisik.

"Kang Liong cukup berhati-hati, mungkin dia

juga memperhitungkan tindakan balasan dari pihak

Pek-lian-hwe. Sayang, tindakan berjaga-jaganya ini

takkan banyak berarti kalau Pek-lian-hwe mengguna
kan ilmu gaibnya."

"Apakah kita akan melompati tembok?"

"Tidak. Untuk menunjukkan bahwa kita bukan

musuh, kita akan mengetuk pintu depan."

Begitulah, kedua agen kerajaan itu mengetuk

pintu depan yang tebal dan bercat merah. Mengetuk
nya dengan gelang tembaga yang tergantung di pintu.

Sebuah lubang persegi di pintu terbuka, sebuah

wajah lelaki berkumis rapi muncul di lubang itu. Suatu

sikap hati-hati.

"Siapa datang malam-malam begini? Apa tidak

ada waktu lain?" bentak lelaki berkumis itu dari balik

pintu.

"Aku ingin menemui Yang Mulia sekarang juga."

sahut Oh Tong-peng.13

"Orang tak tahu diri, tidak tahukah kalau Tuan

Hakim juga butuh istirahat setelah menjalankan tugas
tugasnya seharian? Sana, pulang. Besok saja datang."

"Persoalan yang kubawa sangat penting."

"Hem, semua orang mengaku persoalannya

paling penting. Sana, pulang!"

"Bung, kami ini sebenarnya bisa dengan mudah

melompati tembok setinggi tiga meter ini, kalau mau.

Tetapi kami ingin datang sebagai tamu yang sopan

dengan mengetuk pintu. Namun kalau kau yang

bersikap tidak sopan kepada kami, kami pun akan

menerobos masuk dengan cara kami."

Orang berkumis di belakang pintu itu cuma

tertawa mengejek, lalu dengan sikap kasar ia menutup

kembali lubang persegi di pintu itu.

Oh Tong-peng lalu berkata kepada Thiam Gai,

"Saudara Thiam, kita lompati tembok,"

Bersamaan dengan berakhirnya kalimat itu,

tubuh Oh Tong-peng melambung ke atas melompati

tembok yang hampir tiga meter itu, hampir

bersamaan dengan Thiam Gai.

Penjaga-penjaga di sebelah dalam tembok itu

semuanya adalah lelaki-lelaki yang memakai seragam14

pegawai bawahan seorang hakim, dengan berbagai

macam senjata. Jumlah mereka ada dua puluh orang,

bahkan di antaranya ada juga beberapa ekor anjing

penjaga yang besar-besar.

Ketika tubuh Oh Tong-peng dan Thiam Gai

mendarat di sebelah dalam tembok, anjing-anjing

penjaga langsung menyalak dan menerkam,

sementara penjaga-penjaga bersenjata langsung

menyerbu sambil berteriak-teriak.

Oh Tong-peng masih sempat membisiki Thiam

Gai, "Beri sedikit pelajaran, tetapi jangan sampai ada

yang terbunuh atau terluka parah."

"Baik, Kakak Oh."

Dan seekor anjing besar sudah menerkam

bagaikan kilat, mengincar leher Thiam Gai. Agaknya

anjing-anjing ini memang terlatih benar. Tetapi kali ini

yang diincarnya adalah seorang perwira istana yang

terpilih, maka Thiam Gai dengan tangkas berkelit ke

samping sambil tangannya menyambar salah satu kaki

belakang anjing itu, langsung tubuh anjing itu diputar

dua kali di atas kepalanya untuk kemudian dihempas
kan ke tubuh anjing lain yang menubruknya. Dan

anjing-anjing itu terhempas di tanah sambil

melengking kesakitan, dan selanjutnya kedua anjing15

itu hanya berani menggonggong dari kejauhan sambil

memamerkan gigi-gigi putihnya yang runcing-runcing.

Sementara Oh Tong-peng sendiri dalam satu

gebrakan saja sudah berhasil membanting Si Orang

Berkumis yang tadi menampakkan wajah di lubang

pintu. Orang itu tadinya menyerang Oh Tong-peng

dengan sebatang pentung kayu hitam, tetapi Oh Tong
peng berhasil memegang pergelangan tangannya dan

memelintirnya serta membantingnya di tanah.

Orang-orang yang berjaga itu kaget melihat

ketangkasan kedua tamu tak diundang itu, namun

mereka kelihatannya takkan mundur begitu saja.

Mereka saling berteriak satu sama lain.

"Hati-hati! Kedua bangsat Pek-lian-hwe ini

cukup tangguh!"

"Jaga semua sudut! Mungkin bangsat-bangsat

Pek-lian-hwe ini masih punya teman-teman lain!"

"Lindungi Tuan Hakim, bangsat-bangsat Pek
lian-hwe ini mungkin mendendam terhadap Tuan

Hakim!"

Setiap kali bicara tentu terdapat kata-kata

"bangsat-bangsat Pek-lian-hwe" yang membuat Oh

Tong-peng dan Thiam Gai berpikir, bahwa orang-16

orang ini agaknya sudah dipesan betul-betul oleh Kang

Liong untuk berjaga dari pembalasan pihak Pek-lian
hwe.

Sambil saling berteriak, sambung-menyambung

serangan mereka juga tidak pernah putus. Untung Oh

Tong-peng dan Thiam Gai cukup mahir, kalau tidak

tentu sudah remuk digebuki orang-orang itu. Bahkan

meskipun dikeroyok, kedua agen kerajaan itu sempat

merobohkan beberapa orang, tetapi tidak ada di

antara mereka yang terbunuh atau luka parah. Paling
paling salah urat atau memar sedikit.

Oh Tong-peng kemudian merebut sebatang

toya rotan dari salah satu penjaga, digerakkannya

dengan tangkas untuk menangkis semua senjata

tanpa membalas, dan sambil berbuat demikian ia pun

berteriak, "Tahan senjata kalian! Kami ini teman,

bukan musuh! Kalau sudah bertemu dengan Tuan

Kang maka kalian akan tahu bahwa kami bukan

musuh!"

Orang-orang itu terus saja menyerbu, sampai

dari halaman samping terdengar bentakan,

"Mundur!"

Orang-orang itu berlompatan mundur, sebagian

tetap dengan waspada mengawasi Oh Tong-peng dan17

Thiam Gai, sebagian lagi coba menolong teman-teman

mereka yang tertatih-tatih bangun.

Dari samping rumah, dalam bayangan gedung,

melangkah perlahan penuh siaga seorang lelaki

setengah abad yang bertubuh tegap dan menjinjing

pedang. Dialah Hakim Kang Liong sendiri, masih

mengenakan pakaian tidurnya. Rupanya terbangun
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena dikejutkan oleh ribut-ribut di halaman

rumahnya.

Dengan wajah bersungguh-sungguh ia menatap

Oh Tong-peng dan Thiam Gai yang dikepung oleh

orang-orangnya, "Siapa Tuan-tuan ini?"

Si Lelaki Berkumis tadi mendahului menjawab,

"Barangkali mereka adalah cecurut-cecurut Pek-lian
hwe yang coba-coba membebaskan kawan mereka,

atau mungkin mengambil tindakan balasan kepada

Tuan."

Kang Liong tertawa dingin dan menatap Oh

Tong-peng berdua, "Apa benar demikian? Kalau

benar, aku katakan terus terang kepada kalian berdua

tidak akan mendapat hasil apa-apa. Orang-orang yang

kutangkap itu adalah anggota sebuah organisasi

bawah tanah yang sangat membahayakan negara dan

rakyat. Aku tidak gegabah menyimpan tawanan itu di18

rumahku yang pengawalannya lemah ini, tetapi aku

taruh dia di suatu tempat yang tidak bisa kuberitahu
kan kepada kalian. Kalau kalian marah dan mengamuk

di sini paling-paling kalian hanya bisa membunuhku

dan orang-orangku, tetapi teman kalian itu akan tetap

mengakui semua rahasia dan membongkar kegiatan

kalian. Lebih baik kalian pun menyerah, aku akan

mohonkan keringanan hukuman buat yang menyerah

secara baik-baik."

Begitulah liciknya Kang Liong, Si "Perwira Kipas

Putih" Pek-lian-hwe itu, segala omongannya

menimbulkan kesan bahwa dia benar-benar sudah

bertekad membasmi Pek-lian-hwe. Ini menimbulkan

kesan baik di hati Oh Tong-peng.

Oh Tong-peng tidak lebih lama lagi menyem
bunyikan dirinya, ia keluarkan lencana emas dari

kantongnya, ia sodorkan kepada Kang Liong sambil

berkata, "Tuan Kang, kami bukan musuh. Lihat ini."

Kang Liong bersorak dalam hati, memang

tujuannya "menggelar sandiwara" penangkapan Siau

Hok-to itu, seperti anjuran Hong Pai-ok, adalah untuk

memancing keluarnya para "anjing Manchu" dari

persembunyiannya. Kini di depannya sudah muncul

dua orang, girangnya Kang Liong bukan main. Tapi ia19

terus bersandiwara agar tidak dicurigai, ia tidak

langsung percaya, melainkan pura-pura masih ragu
ragu ketika menerima lencana emas itu dan

memeriksanya.

Ia kembalikan lencana itu setelah diperiksa,

katanya dingin, "Maaf, aku tidak dapat segera

mempercayai Tuan-tuan. Pihak Pek-lian-hwe terkenal

kelicikannya dengan menyusupkan orang-orangnya ke

tubuh pemerintahan. Itulah yang menyebabkan aku

tidak dapat segera bertindak atas mereka, meskipun

sebenarnya sudah bertahun-tahun lamanya aku

mencium kegiatan rahasia mereka di kota ini."

Oh Tong-peng senang melihat "sikap hati-hati"

Kang Liong ini.

Katanya, "Tuan Kang cukup berhati-hati,

memang seharusnyalah demikian kalau menghadapi

organisasi selicik Pek-lian-hwe. Tetapi, kalau Tuan

ijinkan, aku ingin berbicara dengan Tuan."

"Katakan di sini dan sekarang."

"Soal pertama, adalah keselamatan diri Tuan

sendiri setelah kejadian siang tadi. Pihak Pek-lian-hwe

tentu takkan tinggal diam.!'20

"Hem, kalian coba menakut-nakuti aku? Demi

kesejahteraan rakyat yang selama ini sudah cukup

menderita karena perbuatan-perbuatan gelap Pek
lian-hwe, aku tidak segan mempertaruhkan nyawaku.

Sekali melangkah, aku takkan surut."

"Tuan Kang benar-benar seorang abdi kerajaan

yang mengagumkan, patutlah semangat pengabdian

Tuan dijadikan teladan. Tetapi aku tidak menakut
nakuti, aku justru menguatirkan keselamatan Tuan.

Pengawalan seperti maaf, bukannya aku menghina

teman-teman yang ada di sini, adalah pengawalan

yang terlalu tidak memadai untuk menanggulangi

tindak pembalasan Pek-lian-hwe. Selain itu, pihak Pek
lian-hwe bukan saja bisa menyerang tempat ini

dengan cara kasar, tetapi juga dengan cara gaib. Sudah

tiga orang anak buahku, perwira-perwira yang baik,

tetapi sekarang mereka menjadi korban ilmu gaib Pek
lian-hwe."

Kang Liong mentertawakan dalam hati, namun

di luarnya ia pura-pura kelihatan mulai mempercayai

Oh Tong-peng. "Benarkah Tuan ini... perwira istana?"

"Ya, dan bukan kebetulan kami ada di kota ini.

Kami mengemban perintah langsung dari Kaisar21

sendiri untuk menyelidiki di mana kaum Pek-lian-hwe

menyembunyikan lima ribu pucuk senjata apinya."

Kang Liong membatin dalam hati, "Ternyata

memang benar bahwa anjing-anjing Manchu sudah

mencium soal senjata-senjata api itu. Hem, sekarang

pentolannya sudah mendekati perangkap kami, aku

harus bersikap demikian rupa sampai kawan
kawannya yang lain juga menyusul masuk perangkap."

Kang Liong pura-pura menarik napas lega, dan

berkata, "Aku mempercayaimu, Tuan."

"Namaku Oh Tong-peng, berpangkat Cong-peng

dalam barisan perwira rahasia Kaisar."

"Tuan Oh, lega rasanya bertemu dengan teman

yang sama tujuan di tengah-tengah keadaan tak

menentu ini. Terus-terang saja, Tuan, aku menindak

Pek-lian-hwe hari ini dengan keberanian yang agak

dipaksakan. Kalau ditanya apakah aku punya rasa

takut, jujur saja aku jawab aku agak takut juga

mengingat kaum Teratai Putih ini terkenal sebagai

kaum yang ganas. Tetapi aku harus memaksakan diri

untuk berani bertindak, demi rakyat yang sudah tidak

tahan lagi melihat ulah mereka."

Oh Tong-peng menganggap kata-kata Kang

Liong itu jujur, dan ia senang. "Semua orang normal22

punya rasa takut, Tuan Kang. Kami juga takut, apalagi

tiga orang anak buahku sudah menjadi korban

serangan gaib Pek-lian-hwe. Satu orang sudah diguna
guna sehingga demikian patuh kepada Pek-lian-hwe,

satu orang menjadi gila dan sekarang berkeliling kota

sambil menari-nari tanpa ingat diri, satu orang lagi

sekarang lumpuh dan bisu, meskipun matanya

terbuka namun kehilangan seluruh kesadarannya."

Bicara sampai di sini, suara Oh Tong-peng

bergetar parau karena rasa haru mengingat ketiga

anak buahnya itu.

Sementara Kang Liong pura-pura terkejut,

suaranya dibuat seolah-olah gugup, "Se... sehebat

itu... kah... guna-guna para bangsat Teratai Putih itu?"

"Ya. Itulah sebabnya aku datang untuk

memperingatkan Tuan, setelah mendengar Tuan

melakukan tindakan berani terhadap Pek-lian-hwe.

Penjagaan kasar orang-orang Tuan seperti malam ini,

takkan bisa menahan serangan guna-guna Pek-lian
hwe."

Kang Liong berlagak semakin panik, "Lalu... apa

yang harus kulakukan supaya aman dari tenungan

mereka?"23

"Soal ini, aku sendiri tidak bisa memberi usul

apa-apa, kecuali hanya memperingatkan agar berhati
hati. Mungkin ada baiknya Tuan Kang menghubungi

imam atau biksu yang mengerti ilmu gaib putih untuk

memasang sedikit jimat perlindungan di rumah Tuan

ini."

"Nasehat Tuan Oh sungguh sangat berharga,

aku akan bersungguh-sungguh melakukannya.

Sekarang aku persilakan Tuan Oh berdua untuk duduk

di dalam dam menikmati teh hangat,"

"Terima kasih, Tuan Kang. Malam sudah larut,

dan kami sudah merasa lega setelah menyampaikan

peringatan kepada Tuan. Rasanya tidak perlu kami

merepotkan Tuan lebih jauh. Kami hanya ada satu

permintaan kepada Tuan, dalam rangka tugas kami."

"Katakan, Tuan Oh."

"Tangkapan Tuan itu, tolong jangan buru-buru

dikirim ke Koan-tong atau ke Pak-khia, kalau boleh

kami ingin ikut menanyai tentang tempat

penyimpanan senjata-senjata api Pek-lian-hwe itu."

"Aku janjikan kerja-samaku sebagai sesama

abdi kerajaan, Tuan Oh. Aku pun ingin tanya suatu hal

kepada Tuan Oh."24

"Silakan, Tuan Kang."

"Tadi Tuan katakan bahwa penjagaan di tempat

ini kurang memadai. Aku tidak tersinggung, bahkan

berterima kasih untuk peringatan itu. Aku percaya

bahwa Tuan dan anak buah Tuan adalah perwira
perwira yang tangguh karena dipercaya oleh Kaisar

sendiri. Bagaimana kalau Tuan Oh membantu

pengamanan di tempat ini?"

Oh Tong-peng berpikir keras. Itu artinya ia dan

anak buahnya harus keluar dari tempat per
sembunyian dan muncul secara terbuka di depan

umum, padahal tugas yang dibebankan oleh Kaisar

Kian liong bersifat rahasia. Namun permohonan Kang

Liong itu kedengarannya "begitu tulus" dan "tidak

mengandung maksud apa-apa", bagaimana harus

menjawabnya?

Akhirnya Oh Tong-peng ketemukan juga suatu

"jalan tengah" untuk menjawab itu, "Tentu saja, Tuan

Kang, bukankah ini adalah tugas bersama demi

kepentingan kerajaan yang sama-sama kita abdi? Aku

dan orang-orangku akan ikut mengawasi tempat ini

dari tempat tersembunyi. Harap maklum, sifat amat

rahasia dari tugas kami memaksa kami harus bergerak

secara terselubung, tidak bisa terang-terangan."25

Kang Liong mengumpat dalam hati, "Apakah
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anjing Manchu ini tahu kalau ini adalah perangkap?"

Namun di luarnya ia cukup pintar untuk berpura-pura

memaklumi, "Aku bisa memaklumi, Tuan Oh. Aku

tetap berterima kasih untuk itu."

Oh Tong-peng dan Thiam Gai kemudian

berpamitan. Namun demi keamanan mereka dari

penguntitan orang Pek-lian-hwe, mereka sengaja

berjalan berputar-putar kota, kemudian di suatu

tempat yang sepi mereka bergerak melejit ke tempat

persembunyian mereka.

Pagi harinya, orang-orang yang bersembunyi di

reruntuhan gedung model Eropa itu bangun di waktu

fajar. Liu Yok nampak sibuk dengan tugas barunya

untuk merawat Cu Tong-liang, sementara yang lain

ada yang menyalakan api untuk memasak kentang liar

yang tumbuh di lereng-lereng bukit di belakang

bangunan.

Oh Tong-peng memulai pembicaraan sambil

mencucuk biji kentang liar rebus untuk digigitnya

pelan-pelan.

"Pekerjaan semalam berjalan lancar. Kang Liong

mengijinkan kita ikut menanyai tawanan itu, dan hari26

ini juga aku akan ke kota untuk menemui tawanan itu,

tentu saja setelah menemui Kang Liong."

Liu Yok yang baru saja selesai mengenakan

pakaian kering dan bersih pada Cu Tong-liang, setelah

membersihkan tubuh dari kotoran dan mencuci

pakaian yang kotor, tiba-tiba saja menimbrung bicara,

"Tuan Oh, jangan pergi ke sana."

Oh Tong-peng tercengang, "Kenapa?"

"Itu perangkap buat Tuan."

"Darimana Saudara Liu mengetahuinya?"

"Aku tidak bisa menjelaskan, pokoknya sesuatu

dalam hatiku berkata bahwa itu perangkap. Kalau

Tuan pergi ke sana, Tuan masuk perangkap."

"Saudara Liu, kami ini sudah membiasakan,

kalau memutuskan untuk bertindak atau tidak

bertindak, harus ada alasannya yang kuat dan bisa

diterima akal."

Jawaban Liu Yok enak saja, "Aku tidak punya

alasan yang diterima akal seperti yang diminta Tuan

Oh ini. Tetapi aku hanya tahu kalau suatu perangkap

menunggu di sana."

"Ah, bagaimana Saudara tahu?"27

"Aku sudah melihatnya."

"Saudara sudah melihat perangkap itu?"

"Ya."

"Kapan?"

"Semalam."

"Bukankah semalam suntuk Saudara Liu tidur

nyenyak? Kapan perginya?"

"Justeru waktu tidur itulah aku bisa bepergian

bebas ke mana-ana. Dan aku melihat sebuah

perangkap disiapkan di gedung penjara kota Lam
koan, untuk Tuan Oh."

Oh Tong-peng cenderung mengabaikan

pendapat yang dianggapnya asal-asalan dan angin
anginan itu. Masa seorang perwira pilihan dari istana

harus menuruti nasehat yang berasal dari mimpi

orang lain?

Tetapi Kui Tek-Iam yang sudah berkesempatan

melihat sedikit dari "kelebihan aneh" Liu Yok, tiba-tiba

ikut berkata, "Kakak Oh, barangkali... bijaksana untuk

mempertimbangkan kata-kata Saudara Liu."

Oh Tong-peng tercengang, tak menduga kalau

perkataan itu keluar dari mulut Kui Tek-Iam, salah28

seorang bawahannya yang selama ini mendasarkan

tindakannya berdasarkan otak, bukan mimpi.

Kui Tek-Iam jadi tersipu-sipu sendiri, ketika Oh

Tong-peng dan Thiam Gai menatapnya dengan heran.

Lalu Kui Tek-Iam seperti meralat kata-katanya yang

tadi, "Maksudku... tidak ada jeleknya kalau... kita

berwaspada dan tidak sembarangan mempercayai...

Kang Liong. Aku melihat sikapnya kepadaku agak aneh

ketika dia memeriksa kematian Nyo In-hwe di

rumahnya."

Oh Tong-peng mengangguk-angguk, "Soal

kewaspadaan, itu wajib. Bukankah kita tidak pernah

menanggalkan kewaspadaan itu sedetik pun? Tentang

sikap aneh Kang Liong kepadamu di rumah Nyo In-hwe

dulu, barangkali itu disebabkan karena kaget

mengetahui bahwa Nyo In-hwe yang merupakan

tokoh terhormat di Lam-koan ini ternyata adalah

anggota organisasi terlarang. Dan sikapnya kepadamu,

Saudara Kui, mungkin karena menyangka kau adalah

teman Nyo In-hwe alias sesama orang Pek-lian-hwe,

padahal Kang Liong ini nampaknya adalah pembenci

Pek-lian-hwe."

"Ya. Jadi Kakak Oh tetap akan menemui Hakim

Kang Liong hari ini?"29

"Ya. Tetapi sesuai dengan peringatan Saudara

Liu, aku akan berwaspada. Memang mungkin saja di

antara aparat-aparat pemerintah di Lam-koan ada

kaki tangan Pek-lian-hwe yang menyusup. Terima

kasih untuk peringatanmu, Saudara Liu."

Kata-kata Oh Tong-peng itu hanya sekedar

basa-basi agar Liu Yok jangan sampai merasa

omongannya tidak digubris. Bagaimanapun, Liu Yok

adalah calon menantu Gubernur di Ho-lam, dan

saudara-sepupu dari isteri Jenderal Wan Lui.

Kui Tek-Iam berkata pula, "Kakak Oh, ada

baiknya kita berangkat bertiga. Kakak Oh sendiri, aku

dan Saudara Thiam. Kalau kita bertiga, bagaimanapun

akan lebih kuat kalau menghadapi apa-apa."

"Kalau kita berangkat semua, lalu siapa yang di

sini menjaga Saudara Cu?"

"Bukankah ada Saudara Liu?"

Oh Tong-peng bimbang sejenak, "Maksudku...

kalau sampai terjadi... ya katakanlah, sesuatu yang

tidak dikehendaki, misalnya kekerasan, apakah

Saudara Liu bisa... bisa... mengatasinya?"

Keraguan Oh Tong-peng bisa dimaklumi. Ada

kemungkinan tempat itu diketemukan orang-orang30

Pek-lian-hwe, bagaimanapun tersembunyinya.

Sedangkan Liu Yok dianggap orang yang tidak mampu

membela dirinya sendiri, bahkan ia tidak menyukai

ilmu beladiri, maka keselamatan dirinya dan

keselamatan Cu Tong-liang jadi sangat rawan.

Namun Liu Yok sendiri malah bersikap begitu

tenang tenteram, "Jangan menguatirkan aku, Tuan

Oh. Kawan-kawanku berkemah di sekitar tempat ini."

Oh Tong-peng lalu menatap ke sekitarnya,

kemudian menjenguk keluar jendela untuk melihat di

mana kawan-kawan Liu Yok yang katanya berkemah di

sekitar situ. Tidak kelihatan seorang pun, yang

kelihatan cuma semak belukar dan tanaman yang liar

serta reruntuhan gedung-gedung model Eropa di

kejauhan.

"Mana kawan-kawanmu, Saudara Liu?"

"Mereka tidak kelihatan, tetapi aku tahu

mereka banyak sekali di sekitarku."

Oh Tong-peng merasa kehabisan akal

berhadapan dengan Liu Yok yang cara berpikirnya

dianggap "kurang normal" itu. Sudah tentu ia takkan

berani mempertaruhkan keselamatan Liu Yok dan Cu

Tong-liang hanya kepada "kawan-kawan tak

terlihatnya" Liu Yok itu. Oh Tong-peng sudah terbiasa31

bahwa segala sesuatunya harus bisa dilihat dengan

mata.

Celakanya, Kui Tek-Iam malahan mendukung

usul Liu Yok itu, "Kakak Oh, kita berangkat saja bertiga.

Percayalah, tempat ini aman dengan Saudara Liu dan

Cu di tempatnya."

"Apa dasar pemikiranmu itu, Saudara Kui?"

"Ya... cuma... aku merasa yakin begitu...."

Oh Tong-peng mengeluh dalam hatinya,

"Celaka, Kui Tek-Iam rupa-rupanya mulai ketularan

cara berpikirnya Liu Yok.".

Namun demikian Oh Tong-peng tetap

mengambil suatu keputusan yang tegas, "Aku rasa,

aku bersama Saudara Thiam sudahlah cukup. Saudara

Kui tetap di sini untuk menemani Saudara Liu merawat

dan menjaga Saudara Cu."

Oh Tong-peng dan Thiam Gai pun berangkat,

lebih dulu ke rumah Kang Liong, sebab Kang Lionglah

yang mengetahui di mana ditempatkannya tawanan

itu.

Setelah mereka berdua pergi, Liu Yok tiba-tiba

berkata kepada Kui Tek-Iam, "Saudara Kui, bisakah

Saudara menjaga Saudara Cu sebentar?"32

"Lho, memangnya Saudara Liu mau ke mana?"

"Aku hanya ingin tidur."

Kui Tek-Iam heran bukan main, "Sepagi ini?

Bukankah fajar baru saja terbit?"

"Ya, tetapi aku mau tidur."

Dan tidurlah Liu Yok beralaskan tikar di pojok

ruangan, tanpa mempedulikan Kui Tek-Iam lagi.

Sementara Oh Tong-peng dan Thiam Gai

dengan semangat yang menyala-nyala melangkah

memasuki kota Lam-koan, langsung ke rumah

kediaman Kang Liong di sebelah barat kota. Ketika

sampai di tempat itu, ternyata rumah itu sudah dijaga

oleh sepasukan prajurit yang jumlahnya kira-kira

seratus orang, bahkan ada sebuah regu kecil yang

membawa senjata api. Sedangkan pegawai-pegawai

bawahan Kang Liong sendiri ada lima puluh orang.

Dengan dijaga orang sebanyak itu, nampaknya Kang

Liong sudah merasa cukup aman, pikir Oh Tong-peng.

Tetapi ketika Oh Tong-peng dan Thiam Gai

hendak melangkah masuk, mereka dihalang-halangi

para prajurit yang memalangkan tombak mereka. Di
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapan mereka, sudah tentu Oh Tong-peng tidak

sembarangan menunjukkan lencana emasnya, ia33

hanya berkata, "Semalam aku sudah berbicara dengan

Hakim Kang. Kalau tidak percaya, silakan temui dia."

Seorang penjaga berlari masuk untuk

melaporkan, maka tidak lama kemudian Kang Liong

pun melangkah keluar didampingi Si Komandan

Keamanan Kota, Bong Peng-un, yang membawa golok

besar di pinggangnya.

Oh Tong-peng memberi hormat lebih dulu,

"Selamat pagi, Tuan Kang."

Kang Liong pun membalas, "Selamat datang,

Tuan Oh. Aku memang sedang menunggu-nunggu

Tuan."

Kang Liong lalu diperkenalkan dengan Bong

Peng-un. Bong Peng-un menatap agak curiga kepada

Oh Tong-peng berdua, namun menjawab tegur sapa

Oh Tong-peng dengan baik.

Pikir Oh Tong-peng, "Dalam situasi seperti ini,

wajar kalau saling mencurigai antara orang-orang."

Kata Kang Liong kemudian, "Tuan Oh, kita akan

ke penjara untuk memeriksa tawanan itu. Tuan kami

persilakan ikut, sesuai dengan kesepakatan semalam."

"Terima kasih."34

Para prajurit dan pegawai bawahan Kang Liong

segera mengatur diri, mengawal Kang Liong, Bong

Peng-un serta Oh Tong-peng berdua di tengah-tengah.

Lalu rombongan itu pun bergerak, melewati jalanan
jalanan kota Lam-koan, menuju ke gedung penjara.

Ketika melewati sebuah simpang jalan yang

ramai, terlihat ada segerombolan orang sedang

mengerumuni sesuatu. Sesuatu yang dikerumuni itu

tidak terlihat karena tertutup orang-orang, namun

bisa ditebak kalau yang dikerumuni itu adalah seorang

ahli nujum. Sebab di atas kepala orang-orang terlihat

tiang bambu dicanteli kain kuning menurun bertulisan

"Meramal Nasib di Masa Depan".

Di antara orang-orang yang berkumpul itu ada

yang bersungguh-sungguh ingin tahu masa depannya,

tetapi tidak sedikit juga yang sekedar iseng-iseng.

Yang terang, tanpa diketahui siapa pun, Kang

Liong merasa lega melihat Si Juru Nujum dan orang
orangnya ada di tempat yang sudah ditentukan.

Orang-orangnya menyamar sebagai orang-orang yang

ingin diramal masa depannya di tengah-tengah

kerumunan itu.

Kemudian di simpang jalan berikutnya, ada

rombongan akrobat yang juga sedang dikerumuni35

penonton. Akrobat sekaligus topeng-monyet. Si

Pemimpin Rombongan itu bertubuh pendek dan kecil,

memakai topeng wajah Dewa Mo Sui. Meskipun

tubuhnya kecil, tetapi bisa diduga kalau usianya sudah

tua, sebab kelihatan jenggotnya yang putih dan

panjang di belakang topengnya. Biar usianya tidak

muda lagi, namun ia mampu menakjubkan penonton

dengan atraksi memanjat tangga pedang dengan

telapak kaki telanjang, bahkan kadang ia berpindah

dari satu anak tangga, ke anak tangga lainnya tidak

dengan melangkah pelan-pelan, melainkan dengan

bersalto. Dan kakinya tetap tidak terluka.

Kembali Kang Liong mengangguk puas sendiri

melihat rombongannya itu, tapi ia pura-pura tidak

memperhatikannya dan berjalan terus.

Di jalanan yang ramai, tentu saja banyak orang

lalu-lalang, tetapi Kang Liong hanya memperhatikan

orang-orang tertentu. Setelah Si Ahli Nujum dan Si

Tukang Akrobat tadi, Kang Liong menjumpai Si Gemuk

yang duduk terkantuk-kantuk di depan sebuah warung

tanpa dinding, kemudian seorang hwesio yang sedang

meminta-minta sedekah, tepat di pintu-pintu rumah

di seberang gedung penjara.36

Waktu melihat Kang Liong dan rombongannya

sudah masuk ke gedung penjara lewat pintu yang

tebal dan besar serta terjaga kuat itu, Si Hwesio segera

menuju ke ujung jalan untuk menjumpai Si Ahli

Nujum.

Si Ahli Nujum bukan lain adalah samaran dari

Hong Pai-ok. Si Pondok Kecil pimpinan rombongan

akrobat, siapa lagi kalau bukan Thai Yu-tat, wakil ketua

cabang Lam-koan? Orang yang bersiaga di depan

warung adalah Phui Se-san, dan Si Hwesio adalah Ui
kong Hwesio. Selain mereka, di sekitar gedung penjara

di Lam-koan itu sebenarnya ada lebih dari dua ratus

anggota Pek-lian-hwe yang dalam berbagai samaran.

Mereka semua tinggal menunggu isyarat, dan "topeng

tempur" mereka yang diyakini bisa memberi

tambahan kekuatan, bahkan ada yang percaya bisa

membuat tubuh kebal, disembunyikan di balik pakaian

masing-masing.

Sambil melangkah masuk ke dalam gedung

penjara, Kang Liong diam-diam membatin dalam hati,

"Hem, persiapan berjalan semestinya, dan

pelaksanaan pun mudah-mudahan akan sebaik

diperhitungkan. Aku yakin. Aku yakin pula di udara di

atas kota Lam-koan ini saat ini sudah berkumpul

ribuan tentara langit, panglima-panglima langit, yang37

siap membantu, sebab kemarin kami sudah

mengadakan upacara besar di Kota Buah Persik. Hem,

anjing-anjing Manchu ini akan terbunuh semua,

termasuk Bong Peng-un, kemudian rakyat Lam-koan

akan memilihku jadi pemimpin sipil sekaligus militer

sebab tidak ada tokoh yang lebih pantas daripadaku,

mengingat reputasiku selama ini. Dan itu berarti kota

ini sepenuhnya ada dalam genggaman Pek-lian-hwe

kami."

Begitulah Kang Liong berangan-angan.

Sementara itu, komandan penjara itu sudah

menyambut Kang Liong sekalian dengan hormat.

"Kami akan langsung ke sel bangsat Pek-lian
hwe itu." kata Kang Liong tegas.

"Silakah. Mari kuantar, Tuan Kang."

Para prajurit bawahan Bong Peng-un dan

pengawal-pengawal Kang Liong menunggu di halaman

dalam, sementara Kang Liong, Bong Peng-un, Oh

Tong-peng dan Thiam Gai mengikuti Si Komandan

Penjara berjalan di lorong di antara sel-sel. Dan

berhenti di depan pintu se! yang paling ujung. Sel

sempit berdinding batu tebal dan berpintu besi yang

amat tebal. Untuk bisa melihat dari dalam keluar, atau38

sebaliknya, hanya bisa lewat lubang persegi kecil yang

panjang dan lebarnya tidak lebih dari sejengkal.

"Apakah Tuan Kang dan Komandan Bong ingin

pintunya dibuka?" tanya Si Komandan Penjara.

Kang Liong balas bertanya, "Aku mau tahu dulu,

bagaimana sikap tahanan itu sejak kita tangkap

kemarin?"

"Nampaknya ia berusaha bersikap setenang

mungkin, atau mungkin juga berpura-pura tenang.

Kalau diberi makan, ia makan tanpa rewel. Namun

setiap kali ia mengeluarkan ancaman bahwa kawan
kawannya akan membebaskan dengan kekuatan

gaibnya, tidak peduli bagaimana kuatnya penjagaan di

tempat ini. Dan semalam...." Si Komandan Penjara

berhenti berbicara dan kelihatannya ragu-ragu untuk

meneruskan kata-katanya.

Kang Liong tertawa dingin, "Hem, gertak

sambalnya boleh juga...."

Oh Tong-peng menukas dengan hormat,

"Kuharap sungguh-sungguh Tuan Kang tidak

meremehkan ancaman itu. Pek-lian-hwe benar-benar

gudangnya segala macam ilmu gaib yang aneh-aneh."39

Sementara Bong Peng-un berkata kepada

perwira bawahannya yang menjadi komandan penjara

itu, "Kenapa kau berhenti bicara? Ada apa semalam?"

"Semalam, semua prajurit yang bertugas di

tempat ini merasakan suasana yang mencekam, tidak

enak, entah kenapa. Dan ada kabut tebal di atas

tempat ini, ada juga burung gagak yang terbang

berputaran di atas sini."

"Lalu kalian ketakutan? Sungguh memalukan."

Si Komandan Penjara agak tersipu, namun

menjawab, "Meskipun merasa ganjil, tidak berarti

ketakutan, Komandan Bong. Tapi kalau suasananya

seram, terus terang memang kuakui, namun kami

tetap bertugas dengan baik."

"Kalian terpengaruh cerita tentang Pek-lian
hwe, yang barangkali sengaja disebarluaskan dan

dibesar-besarkan oleh orang-orang Pek-lian-hwe

sendiri."

"Sekarang, Tuan Kang dan Tuan Bong, aku harus

membuka pintu besi ini atau tidak?"

"Buka, kami semua ingin berhadapan muka

dengan gembong Pek-lian-hwe itu. Ingin kami lihat

apakah dia sudah berubah menjadi siluman yang40

berkepala tiga, bertangan enam, dengan lidah

menjulur sampai ke lantai."

"Hati-hatilah, Tuan Kang." Oh Tong-peng

memperingatkan.

"Demi ketenteraman rakyat Lam-koan yang

dibawah tanggung jawabku, aku tidak gentar

berhadapan dengan siluman seganas apa pun." sahut

Kang Liong gagah.

"Biarpun tidak gentar, kalau sampai Tuan Kang

mengalami apa-apa, kan rakyat Lam-koan yang rugi?"

"Baiklah, aku berhati-hati."

Pintu besi itu pun didorong ke samping dengan

menimbulkan suara gemuruh. Di dalam sel sempit

yang remang-remang itu, terlihat Siau Hok-to, yang

dikenal sebagai tabib baik hati di Lam-koan, duduk

bersila dengan kaki berbentuk "sila bunga teratai",

matanya terpejam, tidak menggubris kedatangan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kang Liong dan lain-lainnya.

Tetapi di lantai terlihat ada beberapa tetes

darah, dan ujung telunjuk Siau Hok-to berdarah.

Terlihat di tiga sisi dinding dan di sebelah dalam dari

pintu besi itu ada gambar lambang-lambang sihir yang

tak dimengerti. Agaknya Siau Hok-to telah menggigit41

ujung telunjuknya sendiri sehingga berdarah, lalu

dengan darah Itu melukis lambang-lambang sihir

tersebut, mungkin maksudnya sebagai perlindungan

gaib bagi dirinya.

Bong Peng-un menyepak lutut Siau Hok-to,

sambil membentak, "Bangsat Pek-lian-hwe, jangan

pura-pura buta terhadap kedatangan kami! Kami mau42

tanyakan beberapa hal kepadamu, dan kalau

jawabanmu jujur serta memuaskan, hukumanmu bisa

diringankan. Kalau jawabanmu berbelit-belit serta

mempersulit kami, hem, jangan kausangka aku

sungkan menjatuhkan hukuman penggal kepala

terhadapmu, meskipun kau adalah tabib kesayangan

orang Lam-koan."

Siau Hok-to memang membuka matanya, tetapi

jawabnya sungguh menggusarkan Bong Peng-un,

"Anjing-anjing Man-chu sebentar lagi kalian akan

merasai betapa lihainya Pek-lian-hwe kami."

"Omong kosong! Aku tidak percaya," bentakan

Bong Peng-un itu terputus karena di langit tiba-tiba

terdengar suara halilintar memekakkan telinga, dan

deru angin topan yang dahsyat, bahkan obor-obor

yang ada dalam lorong di antara sel-sel itu pun

terhembus padam sehingga keadaan jadi gelap gulita.

Bong Peng-un, Oh Tong-peng dan lain-lainnya

jadi agak bingung, Kang Liong juga kelihatan bingung

namun hanya pura-pura, bahkan tertawa dalam hati.

Dalam keadaan serba gelap itu, masing-masing tidak

bisa melihat apa yang terjadi dengan orang lain dan

saling berteriak untuk mengetahui posisi masing
masing.43

Dalam keadaan seperti itulah Kang Liong

menyelinap ke dekat Siau Hok-to dan melepaskan

semua belenggu Siau Hok-to tanpa dilihat seorang

pun. Sambil melakukannya, ia berteriak berulang kali,

"Awas! jangan sampai tahanannya lepas!"

Bong Peng-un sudah menghunus goloknya,

tetapi tidak tahu harus menyerang ke mana, sebab

keadaan gelap gulita. Kalau main barok saja, la kuatir

kena teman sendiri.

Saat kacau-balau demikian itu, terdengar derap

langkah berlari-lari mendekat dalam kegelapan. Dan

teriakan dari arah suara derap kaki itu, "Lapor,

komandan! Suasana di luar tiba-tiba jadi gelap,

mendung hitam sangat tebal dan turun rendah sekali

dan halilintar menyambar-nyambar hebat. Angin juga

sangat keras!"

Pelapor itu hanya memanggil "komandan!

tanpa diketahui siapa yang dimaksud dengan

komandan itu, entah Si Komandan Penjara ataukah Si

Komandan Keamanan Kota Bong Peng-un?

Maka kedua komandan itu pun menyahut

bersamaan.44

Si Komandan Penjara berteriak, "Bertahan di

tempat masing-masing! Jangan sampai para tawanan

lolos!"

Sementara Bong Peng-un memberi perintah

lain, "Nyalakan kembali semua obor!"

Waktu itu sebenarnya saat mendekati tengah

hari, keadaan terang-benderang, namun dalam lorong

di antara sel-sel itu tetap ada obor yang ditaruh di

tembok batu untuk penerangan, dan sekarang obor
obor itu padam semua.

Suasana ribut sekali, saat itulah terdengar Bong

Peng-un tiba-tiba mengeluh pendek dan tidak

terdengar suaranya lagi. Tubuhnya jatuh ke tanah dan

terinjak-injak atau tertendang-tendang orang-orang

yang sedang ribut, namun tubuh itu diam saja dan

tidak mengeluh sedikit pun.

Suara Kang Liong terdengar pula, "Saudara

Bong! Saudara Bong! Ada apa? Jawab aku... aduh!

Keparat! Siapa menyerang aku?"

"Ada musuh! Ada musuh di tengah-tengah kita!

Hati-hati!"

Kegelap-gulitaan itu sudah membingungkan,

ditambah lagi dengan pemberitahuan tentang musuh45

di tengah-tengah mereka, menambah kacaunya

keadaan.

Oh Tong-peng yakin bahwa Pek-lian-hwe mulai

menyerang, maka ia berseru, "Semuanya keluar dulu!

Cepat!"

Baru selesai ia berkata, nalurinya

memperingatkan ada serangan dari sebelah kanan,

getar anginnya terasa. Dia pun menunduk dan

mendengar tembok batu di sebelah kirinya berbunyi

seperti dibacok senjata. Itulah serangan yang

seharusnya buat Oh Tong-peng tadi. Oh Tong-peng

sekenanya menyikut ke sebelah kanan dan

mendengar suara seseorang mengaduh, rasanya sikut

Oh Tong-peng kena tubuh seseorang dalam

kegelapan, dan rasanya suara mengaduh itu pernah

dikenalnya. Oh Tong-peng susulkan sebuah

cengkeraman tangan kiri untuk coba meringkus

sekenanya orang di sebelah kanannya itu, namun

cengkeramannya hanya kena angin kosong. Agaknya

orang itu sudah berpindah tempat dalam kegelapan.

Oh Tong-peng sendiri tidak ingin terlibat terlalu

lama dengan lawan yang tak terlihat itu. Ia melihat

cahaya samar-samar di kejauhan dan ia tahu itulah


Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Dewi Ular 41 Terjebak Bencana Gaib Animorphs 26 Pertarungan Di Planet

Cari Blog Ini