Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P Bagian 7
ujung dari lorong tersebut. Ia pun bergerak ke sana, ia46
merasa menabrak seseorang dan tidak tahu siapakah
yang ia tabrak itu. Ia segera meninggalkan ribut-ribut
itu dalam kegelapan di belakangnya.
Ia tiba di luar lorong itu hampir bersamaan
dengan Thiam Gai.
Keadaan di luar ruangan tidak segelap di dalam,
namun nampaknya malahan lebih kacau. Matahari
tidak nampak di langit, langit seolah dicat dengan
warna hitam legam, dan hamparan hitam itu
sebentar-sebentar seolah retak oleh cahaya kilat yang
disusul dengan ledakan dahsyat. Angin bertiup amat
keras, dingin menyayat kulit, membuat debu dan pasir
terangkat tinggi menggelapkan keadaan.
Di tengah-tengah keadaan alam yang demikian
mengerikan, di atas genteng maupun di halaman
penjara itu ada ratusan orang bertopeng macam
macam yang sedang bertempur dengan pongawal
pengawal penjara yang bergabung dengan prajurit
prajurit yang dibawa Dong Peng-un dan juga orang
orangnya Kang Liong.
Oh Tong-peng lihat korban di pihak pemerintah
sudah cukup banyak, ada belasan tubuh berseragam
yang rebah tak bergerak-gerak lagi di tanah, sedang
orang-orang Pek-lian-hwe belum kelihatan satu pun47
yang gugur. Diam-diam Oh Tong-peng membatin,
"Mungkinkah benar desas-desus yang mengatakan
bahwa topeng-topeng bermacam dewa-dewi serta
siluman-siluman itu punya kekuatan gaib yang
membuat pemakainya menjadi tak kenal lelah,
bertempur lebih hebat, dan bahkan kebal dari segala
macam senjata?"
Tapi Oh Tong-peng tak bisa merenung-renung
saja sementara prajurit-prajurit kerajaan meng-alami
kesulitan dengan lawan-lawan mereka yang lebih
sedikit itu, apalagi secara aneh angin yang
menerbangkan pasir itu seolah-olah berpihak dalam
pertempuran. Yang matanya bisa kelilipan debu dan
pasir hanya prajurit-prajurit kerajaan, sedangkan
orang-orang Pek-lian-hwe tidak. Meskipun orang
orang Pek-lian-hwe bertopeng, tetapi bukankah pada
topeng itu ada lubangnya untuk mata? Namun tak
sebutir debu pun mau "mampir" ke mata orang-orang
Pek-lian-hwe. Maka di segala sudut kelihatan prajurit
prajurit pemerintah yang harus bertempur sambil
melindungi matanya, atau kalau matanya sudah
terlanjur kemasukan debu, tentu saja gerak
tempurnya jadi repot sekali. Tidak heran kalau
prajurit-prajurit pemerintah jadi begitu gampang
menjadi korban orang-orang Pek-lian-hwe.48
Oh Tong-peng segera melompat ke tengah
tengah pertempuran setelah menyambar sebatang
toya rotan yang tergeletak di dekat sesosok mayat
pegawai kantornya Kang Liong. Oh Tong-peng sendiri
membekal senjata andalannya sendiri berupa
bandringan berujung mata tombak. Tetapi senjata
lemas macam itu akan sulit dikendalikan di tempat di
mana ada angin ribut seperti itu, arahnya akan sangat
terganggu oleh angin liar. Setelah itu, Oh Tong-peng
menduga di antara orang-orang bertopeng itu
barangkali terdapat Lo lam-hong, dan Oh Tong-peng
tidak ingin melukai Lo Lam-hong seandainya bertemu
di medan itu.
Berada di dalam pertempuran, Oh Tong-peng
tidak dikecualikan dari hembusan angin pembawa
debu yang mengganggu mata itu. Ia harus bertempur
dengan mata setengah terpejam, namun panglima
dari istana ini memang hebat. Biarpun bertempur
dengan gangguan angin dan debu, toya rotannya
dalam waktu singkat sudah merobohkan dua orang
lawan.
"Mereka bukannya orang-orang tak terkalah
kan!" seru Oh Tong-peng kepada Thiam Gai yang juga
sedang bertempur dengan memakai sebatang toya
rotan, juga dengan mata setengah terpejam. Sengaja49
Oh Tong-peng meneriakkan itu keras-keras agar
didengar oleh Thiam Gai dan prajurit-prajurit kerajaan
lainnya demi membangkitkan semangat mereka.
Waktu itulah seorang bertopeng melompat ke
hadapannya, senjatanya ternyata sepasang golok
pencincang daging babi, tubuh pemegangnya sendiri
gembrot seperti babi dan bukan kebetulan kalau
topeng yang dipakainya juga topeng Ti Pat-kai,
siluman babi dalam dongeng "Perjalanan Ke Barat".
Orang itu adalah Phui Se-san, salah seorang
"perwira kipas putih" dalam Pek-lian-hwe.
Begitu berada di hadapan Oh Tong-peng, ia
langsung membentak, "Anjing Manchu, aku ingin
memotong-motong tubuhmu untuk kucampurkan ke
dalam sup-anjing!"
Berbarengan dengan sepasang golok
pencincangnya menebas sejajar dari atas ke bawah,
hendak memotong sepasang pundak Oh Tong-peng.
Agaknya ia benar-benar memperlakukan Oh Tong
peng seperti hewan potong yang hendak dicincang
sesuai dengan ruas-ruas tulangnya.
Oh Tong-peng tahu toya-toyanya tak mungkin
menahan sepasang golok tajam itu secara keras lawan
keras, maka ia menyabet dari samping ke arah50
sepasang golok itu. Menyusul pangkal toya rotannya
menyabet ke pinggang Phui Se-san. Ternyata karena
tubuhnya yang gendut itu, Phui Se-san jadi tidak cepat
gerakannya, pinggangnya tersodok toya dan ia pun
jatuh terduduk.
Namun tubuh yang lamban itu ternyata juga
tubuh yang tahan pukul, ia cepat bangun kembali dan
siap meneruskan pertempuran. Bahkan sekarang
sambil berkelahi ia juga membaca mantera dari balik
topengnya.
Belasan gebrak berlangsung antara kedua orang
itu, dan karena geraknya yang lamban, maka belasan
kali pula tubuh Phui Se-san kena gebukan telak toya
rotan Oh Tong-peng. Ternyata Phui Se-san seolah
tidak merasakan, padahal Oh Tong-peng yakin, kalau
gebukannya itu dikenakan ke sasaran lain, paling tidak
pasti menyebabkan patah tulang. Apalagi tubuh
manusia, kalau toya itu digerakkan Oh Tong-peng
untuk memukul tembok pastilah temboknya akan
runtuh.
Oh Tong-peng jadi agak terdesak, sebab Phui
Se-san terus merangsek dengan sepasang golok
pencincangnya. Ia menyerang dengan ganas sekali
tanpa merasa perlu membuat pembelaan diri yang51
baik kecuali mengandalkan kekebalan gaib yang
meliputi seluruh tubuhnya yang dihasilkan oleh
topeng silumannya. Itulah yang membuat Oh Tong
peng terdesak.
Bahkan makin lama Phui Se-san agaknya makin
"menyatu" dengan siluman babi yang dipujanya,
sambil bertempur ganas gerak serudukannya makin
mirip babi, dan dengan suara-suara dengkur babi
berulangkah di mulutnya.
Oh Tong-peng merasa tekanan berat, namun
jiwanya yang teguh itu tidak gampang ditaklukkan
untuk menyerah, meskipun selain menghadapi Phui
Se-san yang kebal gebukan ia juga harus menghadapi
angin dan debu yang memihak kepada Pek-lian-hwe.
Sambil tetap berkelahi dengan hati-hati dan sambil
melindungi matanya dari debu terbang, ia mulai
menganalisa keadaan dengan otaknya, "Topeng yang
dipakainya itu bukan hanya untuk menutupi wajah
agar tidak dikenali oleh petugas-petugas kerajaan,
melainkan agaknya juga menjadi semacam jimat yang
membuat ketahanan tubuhnya luar biasa. Aku harus
bisa memukul lepas topeng itu dari wajahnya."
Demikianlah Oh Tong-peng mulai menetapkan
rencananya, dan menunggu suatu kesempatan. Da ia52
pun sadar, andaikata ada kesempatan pun tidak
mudah untuk membuat topeng itu lepas dari wajah
lawannya, sebab topeng Itu tidak sekedar diikat
dengan benang, melainkan dengan selendang kain
yang diikatkan ke belakang kepala.
Phui Se-san sendiri agaknya sudah kehilangan
kesadarannya dalam berkelahi, la sudah sepenuhnya
dirasuki kekuatan asing yang entah darimana
datangnya. Ia bahkan bertempur sambil memejamkan
matanya, namun aneh bahwa incaran sepasang
goloknya tidak pernah ngawur.
Oh Tong-peng menggerutu dalam hati, "Kali ini
aku berkelahi bukan dengan Si Gendut ini, melainkan
dengan siluman yang menggunakan tubuh Si Gendut
ini."
Dan perkara kesurupan, maka memang seluruh
annggota Pek-lian-hwe yang bertempur di tempat itu
sudah kesurupan semua, tanpa kecuali. Kekuatan
tempur mereka jadi berlipat ganda, sambil mereka
ada yang mengeong-ngeong seperti kucing, ada yang
tertawa cekikikan seperti perempuan dan suaranya
berubah menjadi suara perempuan dan gerakannya
menjadi lemah gemulai seperti tarian meskipun53
orangnya sendiri adalah lelaki tinggi kekar, dan
bermacam lagak-lagu lainnya.
Para prajurit pemerintah yang belum pernah
mengalami hal itu, bergidik mengalami sesuatu
pertempuran yang luar biasa anehnya itu. Sebagian
dari mereka tetap gigih, namun sebagian lagi pecah
nyalinya, merosot semangatnya dan makin jadi
makanan empuk buat lawan-lawannya.
Oh Tong-peng sendiri mengeluh dalam hati. Ia
sendiri bersama Thiam Gai memang sudah siap mental
menghadapi suasana demikian, namun tidak demikian
dengan prajurit-prajurit Lam-koan.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Oh Tong-peng memperhitungkan bahwa
kehadirannya bersama Thiam Gai di tempat ini takkan
banyak mempengaruhi atau menolong keadaan
pihaknya. Saat itu tiba-tiba dilihatnya Kang Liong juga
keluar dan bertempur melawan orang-orang Pek-lian
hwe.
Awalnya Oh Tong-peng tidak menggubris hal
itu, ia anggap wajar saja kalau Kang Liong bertempur
melawan musuh-musuh pemerintah. Dilihatnya ilmu
silat Kang Liong biasa saja, sehingga cukup dihadapi
oleh seorang anggota Pek-lian-hwe.54
Kemudian ada sesuatu yang ganjil dan menarik
perhatian Oh Tong-peng pada diri Kang Liong. Yaitu,
Kang Liong nampaknya tidak terganggu oleh angin dan
debu yang sangat mengganggu orang-orang di pihak
pemerintah, namun Kang Liong agaknya sebuah
perkecualian.
"Apakah Kang Liong punya ilmu untuk
menangkal ilmunya Pek-lian-hwe?" Ong Tong-peng
bertanya-tanya dalam hatinya, "Dan kenapa Bong
Peng-un tidak kelihatan bersamanya? Apakah masih
ketinggalan di dalam?"
Tetapi secara keseluruhan, keadaan tidak
bertambah baik melainkan bertambah rusak bagi
tentara negeri. Lawan Oh Tong-peng sendiri, masih
saja melancarkan serudukan-serudukan berbahaya,
dan toya rotan Oh Tong-peng yang berulang-ulang
menimpa tubuhnya seperti tidak dirasakannya.
Sebaliknya kalau sampai sepasang golok pencincang
daging di tangan Phui Se-san itu kena tubuh Oh Tong
peng, pasti tubuh Oh Tong-peng akan berubah
menjadi daging-cincang betul-betul.
Repot juga Oh Tong-peng, sampai muncul suatu
pikiran, "Setelah peristiwa ini, kalau aku masih
selamat, mungkin perlu juga dipertimbangkan buatku55
dan orang-orangku untuk sedikit mempelajari ilmu
gaib, bukan hanya ilmu silat yang mengandalkan fisik."
Yang terang, saat itu yang terpenting buatnya
adalah pergi dari situ bersama Thiam Gai, dan kalau
perlu juga "menyelamatkan" Kang Liong dari situ.
Kang Liong masih dipandang sebagai "fajar
pengharapan masyarakat di Lam-koan" oleh Oh Tong
peng yang belum tahu siapa sebenarnya Kang Liong.
Maka di tengah deru angin dan dentang senjata
serta hiruk-pikuknya orang-orang Pek-lian-hwe yang
kesurupan, berteriaklah Oh Tong-peng kepada Thiam
Gai, "Saudara Thiam, kita bawa Kang Liong keluar dari
sini! Urusan lain bisa belakangan!"
"Baik!" sahut Thiam Gi.
Meskipun sudah menyanggupi demikian, tetapi
tidak mudah bagi Thiam Gai untuk lepas dari lawannya
yang memakai topeng kucing, dan mengenakan
sarung tangan berkuku besi di kedua tangannya dan
bertempur sambil mengeong-ngeong. Thiam Gai
sudah lama melepaskan toya rotannya yang telah jadi
compang-camping kena cakaran musuh, dan sekarang
Thiam Gai menggunakan senjata andalannya yang
berupa sepasang pedang pendek. Namun masih tetap
kerepotan, sebab ia harus berkelahi sambil berusaha56
agar matanya tidak kelilipan debu, sedang lawannya
tidak mempunyai masalah itu.
Oh Tong-peng bisa memahami kesulitan Thiam
Gai, maka dia pun berusaha keras untuk bisa lepas
lebih dulu dari Phui Se-san. Usahanya untuk
merenggut topeng Phui Se-san yang dianggapnya
sebagai sumber kekuatan gaibnya, belum juga
berhasil. Pernah sekali hampir berhasil, tangan Oh
Tong-peng sudah menempel di topeng itu dan tinggal
merenggutnya sekuat tenaga, tapi pada saat yang
bersamaan perut Oh Tong-peng juga terancam oleh
sepasang golok pencincang Phui Se-san, apa boleh
buat, Oh Tong-peng belum mau brodol ususnya dan
terpaksa membatalkan usahanya untuk merenggut
topeng itu.
Namun suatu kali Oh Tong-peng berhasil
memancing Phui Se-san untuk menyeruduk tembok
penjara di belakangnya. Dengan takjub Oh Tong-peng
melihat tembok itulah yang runtuh, dan tubuh Phui
Se-san lenyap tertimbun reruntuhan tembok.
"Tak terbayangkan kalau serudukan itu kena
tubuhku." pikir Oh Tong-peng, kemudian ia melompat
ke arah lawan Thiam Gai yang bertingkah laku
bagaikan kucing marah itu. Beberapa gebukan toya57
rotan Oh Tong-peng mengenai tubuh Si "Manusia
Kucing" dan gebukan terakhirnya begitu keras
membuat Si "Manusia Kucing" terguling-guiing.
Namun seperti juga "Manusia Babi" tadi, Si "Manusia
Kucing" ini seolah tidak merasakan apa-apa. Ia
langsung melompat bangkit lagi.
Namun Oh Tong-peng dan Thiam Gai sudah
meninggalkannya.
Oh Tong-peng dan Thiam Gai menerobos
pertempuran yang riuh-rendah, melewati prajurit
prajurit pemerintah yang bertempur dengan putus asa
maupun orang-orang Pek-lian-hwe yang kesurupan,
mereka berdua terus menuju ke arah Kang Liong.
Angin dan debu tidak mereda begitu pula langit yang
menghitam dan halilintar yang sambung
menyambung dengan ganas.
Ketika itu, Kang Liong sedang "bertempur"
melawan seorang anggota Pek-lian-hwe. Tentu saja
Kang Liong yang sebenarnya adalah pentolan Pek-lian
hwe itu hanya bertempur pura-pura, untuk
mengelabuhi orang-orang pemerintah. Tahu-tahu
Thiam Gai dan Oh Tong-peng datang ke dekatnya.
Thiam Gi langsung menyambar tangan Kang Liong dan
menariknya ke samping sambil berkata, "Tuan Kang,58
Tuan harus tinggalkan tempat ini dengan selamat.
Jangan sampai berkorban sia-sia di tempat ini dan
membuat masyarakat Lam-koan kehilangan
pimpinan."
Sementara Oh Tong-peng mengambil-alih
anggota Pek-lian-hwe yang menjadi "lawan" Wang
Liong itu. Oh Tong-peng menangkis senjatanya dan
menendang mencelat orang itu, meskipun kemudian
orang itu melompat bangkit kembali tanpa rasa sakit.
Rupanya ilmu gaib Pek-lian-hwe tidak membuat
ketrampilan tempur pemakainya meningkat,
melainkan terbatas hanya membuat tubuh kebal dari
rasa sakit dan dari senjata apa pun.
Sementara Kang Liong dengan didampingi oleh
Oh Tong-peng dan Thiam Gai berusaha menerobos
keluar dari riuh-rendahnya sabung nyawa di gedung
penjara itu. Kang Liong sebagai seorang Pek-lian-hwe,
sebenarnya menyiapkan semua perangkap itu buat
agen-agen kerajaan seperti Oh Tong-peng dan orang
orangnya yang dianggap ancaman bagi Pek-lian-hwe,
sudah tentu sekarang Kang Liong tidak akan
membiarkan Oh Tong-peng dan Thiam Gai lolos begitu
saja.
Bersambung jilid XII.5960
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi
file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk
mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan
dikompilasi menjadi file TextPDF.
Credit untuk :
? Gunawan A.J.
? Kolektor E-Books12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID 12
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang-Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid XII
MAKA Kang Liong pun berpura-pura berlambat
lambatan dalam upaya pelariannya. Ia berharap agar
kawan-kawannya sempat menghadang larinya Oh
Tong-peng berdua dan bahkan menangkapnya. Untuk
berlambat-lambatan, macam-macam saja alasannya
yang dikemukakan Kang Liong kepada kedua
penyelamatnya. Katanya tidak bisa berjalan cepat
cepat-lah, matanya kelilipanlah dan harus mengeluar
kan pasir dari matanya, atau bilang tidak rela
membiarkan bandit-bandit Pek-lian-hwe berkeliaran.
Oh Tong-peng serta Thiam Gai merasa kesal
juga, tetapi belum sampai curiga kalau Kang Liong ini
sesungguhnya juga pentolan Pek-lian-hwe.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akal Kang Liong itu agaknya membuahkan hasil.
Dua orang tiba-tiba muncul di depan Oh Tong-peng
dan Thiam Gai. Mereka bukan anggota-anggota biasa
Pek-lian-hwe, melainkan pentolan-pentolannya. Yang
seorang bertubuh kecil dan pendek, namun pasti
sudah tua sebab dari bawah topengnya terlihat6
jenggot kelabunya yang memanjang, topeng yang
dikenakannya adalah topeng Dewa Mo Sui, Si Dewa
Cebol dalam cerita Liat-kok. Senjata yang dipegangnya
adalah sebatang garu besi bertangkai panjang,
panjangnya hampir tiga kali lipat panjang tubuhnya.
Lucu juga melihat Si Kecil ini memegang senjata
demikian panjangnya. Dialah Thai Yu-tat, wakil ketua
cabang Lam-koan yang terkenal kekejamannya.
Yang seorang lagi adalah Hong Pai-ok sendiri, Si
Utusan Pusat berpangkat Tau-siang-hoa (Bunga Di
Atas Kepala) yang sihirnya melebihi tokoh Pek-lian
hwe cabang mana pun di Lam-koan. Dialah yang
mendatangkan awan hitam dan halilintar serta angin
sedahsyat itu. Kalau orang-orang Pek-lian-hwe lainnya
memakai topeng, maka Hong Pai-ok hanya sekedar
menggambari wajahnya dengan warna-warna, putih,
hitam, merah dan biru..
Entah wajah tokoh dongeng mana yang
digambar di wajahnya, yang jelas wajah itu adalah
wajah siluman yang menakutkan.
Begitu berdiri berhadapan dengan Oh Tong
peng dan Thiam Gai berdua, Hong Pai-ok tertawa
dingin, "Anjing-anjing Manchu, kenapa kalian hendak7
lari terbirit-birit dari sini? Takut oleh kelihaian Pek
lian-hwe kami?"
Naluri Oh Tong-peng memperingatkan bahwa
kedua lawan ini pasti jauh lebih kuat dari anggota
anggota biasa Pek-lian-hwe, bahkan juga dari "siluman
babi" yang bersenjata sepasang golok cincang tadi.
Oh Tong-peng pun berkata, "Saudara Thiam,
daripada didahului, lebih baik mendahului !"
Berbareng dengan kata-katanya, Oh Tong-peng
melompat ke depan secepat kilat melancarkan
tendangan Hui-hou-tui (Tendangan Harimau Terbang)
dengan tubuh terbang menyamping dan kaki
meluncur ke kepala Hong Pai-ok.
Tubuh Hong Pai-ok yang seperti karung besar
itu menunduk sedikit, kemudian mengangkat
wajahnya dan membuka mulutnya, meniup ke arah
Oh Tong-peng. "Jurus" macam itu sungguh belum
pernah ditemui Oh Tong-peng. Oh Tong-peng yang
sedang memperbaiki keseimbangan setelah
tendangan macan terbangnya luput tadi, tiba-tiba saja
seluruh tubuhnya terasa diselimuti udara dingin, amat
dingin, sampai membuat darahnya serasa membeku
dalam pembuluh-pembuluhnya dan tubuhnya kaku.8
Oh Tong-peng terkejut, sia-sia ia coba meng
gerakkan tubuhnya yang seolah terbungkus es yang
membatu.
Sementara Thai Yu-tat juga sudah bergebrak
beberapa jurus dengan Thiam Gai. Dan ketika Thai Yu
tat membaca manteranya, Thiam Gai tiba-tiba merasa
pusing, tubuhnya lemas dan roboh.
Begitulah, nampaknya kedua agen kerajaan itu
lumpuh dan ditawan oleh Pek-lian-hwe dalam
segebrakan saja.
Saat itulah terjadi sesuatu yang diluar dugaan.
Oh Tong-peng yang hampir membeku itu tiba-tiba saja
merasakan tubuhnya hangat kembali secara aneh.
Secara aneh, sebab Oh Tong-peng sudah kehabisan
daya untuk menghangatkan tubuhnya termasuk
dengan cara menjalankan pernapasan dan rasa hangat
itu datang begitu saja dan tidak tahu dari-mana
asalnya.
Berbarengan Thiam Gai juga mengalami
sesuatu yang aneh. Rasa pusingnya lenyap mendadak,
tubuhnya menjadi segar kembali.
Waktu itu Hong Pai-ok dan Thai Yu-tat sedang
saling bertukar pandang dengan bangga, mem
banggakan kehebatan ilmu gaib mereka masing-9
masing yang dapat merobohkan musuh begitu
gampang. Tetapi kebanggaan mereka berubah
menjadi kejut yang luar biasa ketika mereka melihat
Oh Tong-peng dan Thiam Gai melompat kabur dengan
segar bugar, bahkan Oh Tong-peng sambil menarik
tangan Kang Liong yang masih disangkanya "kawan
seperjuangan" sambil berseru, "Ayo Tuan Kang,
jangan berlama-lama di sini!"
Sesungguhnya Kang Liong sendiri belum hilang
kagetnya, dan sekarang ia pontang-panting diseret Oh
Tong-peng.
Sejenak setelah kagetnya hilang, Hong Pai-ok
menjadi gusar. "Keparat, rupanya anjing-anjing
Manchu itu punya suatu pegangan yang bisa untuk
menangkal tiupan udara dinginku. Tetapi sekarang
mereka akan melihat ilmuku yang lebih tinggi!"
Lalu Hong Pai-ok mengeluarkan selembar kertas
jimat berwarna kuning dari balik bajunya. Kertas itu
dijepit dengan jari telunjuk dan tengah dan ketika
dikibarkan maka menyala dengan sendirinya dan
dalam sekejap menjadi abu. Abunya lalu dihamburkan
ke langit yang kelam. Menyusul Hong Pai-ok keluarkan
sehelai bendera segitiga kecil, yang dikibar-kibarkan10
nya di atas kepala sambil mulutnya berkomat-kamit
membaca mantera.
Tiba-tiba halilintar meledak keras sekali dan
begitu dekat dengan permukaan tanah, sampai orang
orang Pek-lian-hwe sendiri pun banyak yang kaget.
Menyusul munculnya seekor naga terbang bersisik
hitam dari antara mega-mega yang langsung
menerkam ke arah Oh Tong-peng bertiga bersama
Thiam Gai dan Kang Liong yang mereka "selamatkan".
Orang-orang di arena pertempuran ternganga
kaget, termasuk orang-orang Pek-lian-hwe sendiri.
Maklum, tiba-tiba saat itu mereka melihat mahluk
yang adanya hanya dalam dongeng atau dalam
lukisan-lukisan, namun belum pernah ada yang
melihat naga sesungguhnya, paling-paling ular besar.
Namun kali ini mereka sungguh-sungguh melihatnya,
bentuknya persis seperti dalam lukisan-lukisan,
sisiknya hitam kehijauan seperti tembaga berkarat.
Dan hewan dongeng itu menerkam dengan suara
gemuruh ke arah Oh Tong-peng bertiga. Nampaknya
naga itu takkan memandang bulu dalam menghabisi
lawannya, tidak peduli Kang Liong yang adalah "kawan
sendiri".11
Tetapi kuku-kuku naga itu tiba-tiba tertahan
gerakannya, Si Naga mengangkat kepalanya dan
seolah-olah memandang sesuatu yang besar di
depannya. Naga itu bergeliatan hebat, seperti sangat
marah namun tidak dapat maju lagi biarpun seujung
rambut. Dan yang tidak diperhitungkan oieh Hong Pai
ok pun terjadilah, naga itu berbalik dan menghilang di
langit. Nampaknya sangat ketakutan terhadap
sesuatu.
Hong Pai-ok kaget sekali. Ilmu gaib andalannya
tercerai-berai tanpa diketahui alasannya.
Sebenarnya Oh Tong-peng dan Thiam Gai
sendiri pun heran, sejak mereka "bebas otomatis" dari
serangan gaib Hong Pai-ok dan Thai Yu-tat tadi, dan
kini naga siluman dari dunia sukma itu pun tiba-tiba
lari ketakutan tanpa terlihat apa yang membuatnya
takut.
Tetapi Oh Tong-peng dan Thiam Gai tidak
mengendorkan langkah mereka, dan mereka terus
saja berlari meninggalkan tempat itu sambil
menggandeng Kang Liong. Mereka keluar dari
halaman penjara itu, mereka lari di lorong-lorong, dan
akhirnya tiba di sebuah tempat di mana tak seorang
pun anggota Pek-lian-hwe bertopeng yang nampak.12
Jalanan-jalanan kelihatan sepi, tak nampak penduduk
satu pun di jalanan. Semua penduduk bersembunyi
dalam rumah, sebab langit yang hitam serta halilintar
dan angin itu tidak hanya di atas gedung penjara,
melainkan juga di atas seluruh kota Lam-koan.
"Gila orang-orang Pek-lian-hwe itu, ternyata
mereka benar-benar menyiapkan serangan sehebat
ini!" gerutu Oh Tong-peng. "Tuan Kang, benar tidak
kata-kataku?"
Kang Liong sendiri sebenarnya heran,
bagaimana kedua "anjing Manchu" ini seolah bisa
kebal terhadap serangan-serangan gaib Pek-lian-hwe,
bahkan yang dilancarkan oleh Hong Pai-ok yang lebih
ampuh dari yang paling ampuh di antara tokoh-tokoh
Pek-lian-hwe Lam-koan? Namun Kang Liong
mengangguk saja ketika ditanyai demikian, bahkan ia
pura-pura ikut mengutuk Pek-lian-hwe, "Ini sudah
perang sihir. Senjata-senjata kasar macam golok dan
tombak sudah tidak berguna lagi."
"Ternyata benar kata-kata Liu Yok." sambung
Thiam Gai.
"Benar, kita terlalu meremehkan peringatan
nya." kata Oh Tong-peng.13
Kang Liong yang mendengarnya jadi tertarik dan
ingin tahu siapa Liu Yok itu.
"Tuan Oh, siapakah Liu Yok itu?"
Oh Tong-peng ragu-ragu sejenak untuk
membuka rahasia Liu Yok kepada Kang Liong yang
belum lama dikenalnya. Tetapi melihat gigihnya tadi
Kang Liong "mempertaruhkan nyawa demi rakyat
Lam-koan." maka Oh Tong-peng pun menganggap
Kang Liong cukup pantas untuk dianggap teman, dan
seorang teman patut diberitahu apa adanya.
Sahut Oh Tong-peng, "Saudara Liu ini adalah
orang yang baru saja bergabung dengan kami. Dia
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang yang memiliki naluri amat tajam, dialah yang
sudah memperingatkan kami untuk bahaya tadi,
namun kami tidak menghiraukannya. Ia diusulkan oleh
Jenderal Wan Lui sendiri karena konon punya bakat
aneh, semua ilmu gaib kontan runtuh di depannya,
bahkan kalau ia hanya mengucapkan sepatah kata."
Diam-diam Kang Liong mencatat baik-baik ini
dalam hatinya, sambil membatin, "Hem, kiranya
anjing-anjing Manchu ini juga membawa seorang ahli
ilmu gaib untuk menopang operasi mereka."
Timbul niat Kang Liong untuk lebih jauh
mengorek keterangan dari mulut kedua "anjing14
Manchu" itu tentang Liu Yok. Siapa tahu bisa
mendapat keterangan tentang kelemahan-kelemahan
si "ahli sihir" (demikian sangka Kang Liong) Liu Yok ini.
Namun belum sampai pertanyaan pancingan
nya keluar, tiba-tiba mata Kang Liong terbelalak15
ketakutan menatap ke sebelahnya Oh Tong-peng dan
Thiam Gai, kemudian Kang Liong membalikkan tubuh
dengan cepat dan lari pontang-panting.
Oh Tong-peng dan Thiam Gai sama -sama kaget
melihat kelakuan Si Hakim yang demikian di luar
dugaan. Mereka berteriak, "Tuan Kang! Tuan Kang!"
Namun Kang Liong sudah lenyap di ujung jalan
sana, sama sekali tidak menggubris seruan kedua agen
kerajaan itu. Oh Tong-peng dan Thiam Gai berdiri
terheran-heran, saling mengangkat pundak tanda
ketidak-tahuan.
"Aneh, kenapa dia?"
"Sebelum lari, dia seperti menatap ketakutan ke
arah kita."
"Apakah ada yang menakutkan pada diri kita?
Wajah kita?"
Oh Tong-peng dan Thiam Gai saling memeriksa,
kalau-kalau ada yang "menakutkan" pada diri mereka,
yang membikin Kang Liong tunggang-langgang.
Ternyata mereka beres-beres saja. Kepala
mereka tetap masing-masing satu dan tidak menjadi
tiga, mulut mereka tidak keluar taringnya, lidah
mereka tidak meleler panjang sampai ke tanah.16
"Aneh, jadi apa yang membuat Kang Liong tiba
tiba kabur ketakutan?"
"Mungkin bukan sesuatu yang pada diri kita,
tetapi di sekitar kita."
Mereka mulai memeriksa sekitar mereka dan
tetap saja tidak menemukan sesuatu yang pantas
untuk ditakuti. Singkatnya, mereka benar-benar tidak
menemukan alasan kenapa Kang Liong sampai kabur
ketakutan tadi.
"Mungkin karena hatinya masih tegang oleh
peristiwa di gedung penjara tadi. Terlalu tegang, dan
orang yang urat syarafnya tegang memang bisa saja
membayangkan suatu yang sebenarnya tidak ada
namun bagi dia dianggapnya benar-benar ada."
"Ya, mungkin begitu."
Demikianlah, karena kesimpulan yang pasti
belum diperoleh, maka terpaksa hanya main kira-kira
saja.
Mereka kemudian berjalan pulang kembali ke
pinggiran kota, tempat persembunyian mereka. Langit
masih gelap, halilintar masih menyambar-nyambar
dan angin masih bertiup kencang dan dingin
mengangkat debu dan ranting-ranting kering. Seluruh17
kota Lam-koan masih berkerut ketakutan terhadap
gejala-gejala alam yang aneh, yang munculnya tidak
keruan ujung pangkalnya itu.
###
Di reruntuhan bangunan Eropa di pinggiran kota
itu, Liu Yok menggeliat bangkit dari tidurnya yang
nyenyak. Begitu bangkit, ia mengerutkan alisnya
karena cuaca yang gelap, angin dingin yang kencang,
dan suara halilintar yang menyambar-nyambar. Meski
di pinggiran kota itu tidak sedahsyat di tengah-tengah
kota.
"Apa aku tidak tidur sepanjang hari, dan
sekarang sudah malam?" tanya Liu Yok sambil
menggosok-gosok matanya.
"Belum. Bahkan tengah hari saja belum"
"Kenapa begini gelap?"
"Entahlah. Beberapa waktu yang lalu sinar
matahari tiba-tiba menghilang lenyap dikerudungi
awan hitam, lalu angin dan halilintar mengamuk."
Liu Yok menggeliat sehingga pinggangnya
berbunyi gemeretak, lalu dengan langkah lamban
yang enggan ia ke jendela, berdiri di jendela dan
memandang keluar jendela, bajunya dan rambutnya18
berkibar-kibar diterpa angin yang dingin. Lalu
berkatalah Liu Yok, "Wah, tidak beres ini."
Di ujung kata-katanya, angin pun tiba-tiba
berangsur-angsur reda, langit yang semula hitam tiba
tiba menjadi cerah kembali sebab terbawa angin ke
arah lain dan halilintar-halilintar pun berhenti
bersipongah dengan suaranya yang dahsyat. Tadi
begitu mendadak gejala alam itu muncul, dan
sekarang begitu mendadak pula perginya. Langit tiba
tiba menjadi cerah kembali dan matahari yang berseri
muncul kembali.
Kui Tek-lam tercengang melihat itu semua, dan
ia hanya bisa mendukung perkataan Liu Yok tadi, "Ya,
guntur dan angin itu datangnya mendadak, perginya
juga mendadak, memang kelihatannya tidak beres."
"Tetapi sekarang sudah beres," sahut Liu Yok
sambil duduk di lantai, lalu mulai memeriksa tubuh Cu
Tong-liang. Ternyata tidak basah celananya,
menandakan kalau ia tidak ngompol atau berak dalam
celana selama Liu Yok tidur tadi. Pakaian yang
dipakainya juga masih yang tadi.
Masih terheran-heran oleh keganjilan
keganjilan alam tadi, kembali Kui Tek-lam cuma bisa
membeo, "Ya, kalau sekarang memang sudah beres."19
"Tadi selama aku tidur, apakah Saudara Cu tidak
merepotkan Saudara Kui?" Liu Yok menanyakan
"momongan"nya.
"Tidak. Ya begitu itu terus. Berbaring tak
bergerak-gerak, mata melotot kosong, seperti tak
melihat apa-apa yang di hadapan matanya. Saudara
Liu, kapan kau mulai mengobatinya sehingga
sembuh?"
"Aku sedang mengobatinya sekarang."
Kali ini Kui Tek-lam heran melebihi keheranan
nya terhadap gejala-gejala alam tadi. Yang ia lihat, Liu
Yok hanyalah sekedar membersihkan tubuh Cu Tong
liang, mengganti pakaiannya, mencuci pakaiannya,
menyuapi makan dan minum. Memang terlihat
betapa pekerjaan itu membutuhkan kesabaran dan
ketelitian luas biasa, misalnya waktu memberi makan
itu karena mulut Si Pasien sama sekali tidak bergerak,
maka haruslah Liu Yok yang membuka mulut Cu Tong
liang dengan menekan menyuapkan makanan yang
sudah dilembutkan lalu mendorongnya dengan air.
Lebih sulit dari menyuapi bayi, sebab mulut bayi paling
tidak bisa bergerak menanggapi makanan yang masuk
ke mulutnya. Memang dibutuhkan kesabaran luar
biasa untuk merawat Cu Tong-liang, namun belum20
dilihatnya Liu Yok melakukan pengobatan apa-apa,
hanya merawat dengan sangat sabar. Bagaimana Liu
Yok berani berkata bahwa ia sedang mengobati Cu
Tong-liang? Model pengobatan macam apa ini?
"Saudara Liu nampaknya tidak memberi obat
atau melakukan upaya lain untuk menyembuhkan
Saudara Cu. Saudara Liu memang merawat dengan
baik dan telaten sekali, tetapi... kapan sembuhnya
Saudara Cu kalau setiap hari hanya dibersihkan
tubuhnya, diganti pakaiannya, disuapi, diminumi,
diselimuti? Itu namanya sekedar dirawat, bukan
disembuhkan."
"Saudara Cu akan sembuh."
"Hanya dengan"
"Penyakit Saudara Cu bukan di tubuhnya,
melainkan karena batinnya kemasukan kekuatan
kekuatan dari luar. Barangkali sukma-sukma
gentayangan kiriman orang-orang Pek-lian-hwe."
Kui Tek-lam mengangguk-angguk, katanya
dalam hati, "Kata-kata Liu Yok ini cukup masuk akal.
Coba kutanyai dia terus, barangkali aku bisa mendapat
sesuatu pengetahuan yang berguna bagiku."
Tanya Kui Tek-lam, "Cara mengobatinya?"21
"Ada kekuatan yang jahat dan yang baik di alam
semesta ini. Manusia bisa menjadi saluran dari kedua
kekuatan itu, terserah mana yang mau dia pilih.
Kekuatan yang jahat kelihatannya saja bisa memberi
kekuatan, kekayaan, jodoh, pangkat dan sebagainya,
tetapi sebenarnya adalah belenggu besar untuk raga
dan sukma penganutnya. Sedang kekuatan yang baik
disediakan untuk kesejahteraan manusia."
Kui Tek-lam mengangguk-angguk dan
menjawab sok mengerti, "Ya, ya, aku mengerti.
Maksud Saudara Liu, ada sihir hitam, ada sihir putih,
begitu?"
"Semua sihir adalah hitam."
"Lho! Kok...."
"Ya, Saudara Kui. Yang dikatakan sihir putih itu
adalah perangkap jahat, dan tujuannya tidak lain
adalah menyesatkan orang-orang dari penyembahan
yang benar terhadap Sang Maha Pencipta."
"Tetapi kenapa banyak orang tertolong dengan
sihir putih?"
"Namanya juga perangkap, tentu harus
menggunakan umpan yang disenangi oleh calon
korbannya. Kalau kita memancing ikan, tentu saja22
harus memakai umpan cacing yang disenangi ikan,
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau umpan-umpan lain yang disenangi ikan. Kita
takkan mendapat ikan seekor pun, kalau kita
gantungkan batu di ujung tali pancing."
Kui Tek-lam termangu-mangu, dan Liu Yok
meneruskan kata-katanya, "Kekuatan-kekuatan di
alam semesta tadi, memasuki kehidupan manusia
melalui manusia itu sendiri. Ada yang masuk melalui
kemarahan, misalnya kutukan seorang dukun entah
dibayar orang entah untuk keperluan si dukun sendiri.
Kemarahan dan kebencian bisa menjadi pintu masuk
yang memberi kesempatan kekuatan-kekuatan jahat
masuk dalam kehidupan seseorang, bahkan bisa
'dikirim' kepada orang lain melalui kutukan atau teluh
atau ramalan buruk, atau ramalan yang kelihatan baik
padahal merupakan jalan bagi kekuatan-kekuatan
jahat."
"Itukah yang dialami Saudara Cu?"
"Mungkin saja."
"Sehari sebelum mengalami musibah ini,
Saudara Cu memeriksakan garis-garis wajahnya
kepada seorang ahli nujum untuk ditebak masa
depannya."23
"Dia membukakan pintu bagi kekuatan
kekuatan jahat."
Kui Tek-lam sendiri teringat upacara-upacara
yang dilakukannya ketika dia pura-pura masuk
menjadi anggota Pek-lian-hwe. Namun ia tidak
katakan itu di depan Liu Yok.
"Lalu kekuatan yang baik, yang kata Saudara Liu
disediakan untuk kesejahteraan manusia itu?"
"Lawan dari kebencian dan kemarahan itu apa?"
"Kasih sayang, belas kasihan, memaafkan lahir batin."
"Nah, Saudara Kui, itulah yang sedang
kulakukan. Kalau kemarahan dan kebencian menjadi
saluran kekuatan-kekuatan jahat untuk memasuki
kehidupan manusia, maka belas kasihan dan lain
lainnya itu pun adalah saluran untuk kekuatan
penyembuhan, kesejahteraan dan lain-lain, yang
semuanya sejati, bukan tiruan, karena berasal dari
Sumber Yang Sejati."
"Jelasnya, yang sedang Saudara lakukan atas
Saudara Cu ini."
"Merendam jiwa dan raga Saudara Cu dalam
suasana belas kasihan sejati, suasana yang paling
dibenci oleh kekuatan-kekuatan jahat."24
Kui Tek-lam berpikir, "Secara teori memang
gampang dibicarakan. Tapi apa benar Cu Tong-liang
bisa sembuh hanya dengan dirawat baik seperti itu?"
Tentu saja kata-kata itu tidak diucapkan di
hadapan Liu Yok. Malah Kui Tek-lam bertanya, "Kalau
orang macam aku, apakah bisa mempelajari ilmu
macam kepunyaan Saudara Liu itu?"
"Kalau manusia ada di tempat yang semestinya,
sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa,
maka tanpa belajar apa-apa pun dia otomatis menjadi
penyalur dari tenaga kehidupan dari Yang Maha
Kuasa. Manusia sejati bisa dibilang adalah ranting
yang menempel pada Batang Pohon Kehidupan yaitu
Yang Maha Kuasa. Begitulah gambarannya, Saudara
Kui."
"Aku mengerti, Saudara Liu. Tetapi kubayang
kan alangkah sulitnya menemukan tempat yang
semestinya itu, tempat sang ranting menempel
dengan batang pokoknya. Tentunya harus
memperbanyak doa, perbuatan baik, penyiksaan diri
untuk menyucikan pikiran, dan...."
"Bukan cuma sulit, Saudara Kui, bahkan
mustahil. Juga seandainya upaya-upaya keagamaan
yang Saudara anut itu dilakukan semua."25
"Tetapi kalau mustahil, kenapa Saudara Liu...."
"Karena tempat yang semestinya itu sebenar
nya sudah didekatkan kepada kita, dan kita tidak perlu
berupaya sia-sia lagi, melainkan tinggal menerimanya
dengan ucapan syukur."
"Dengan kata lain, kalau berupaya malah
ketemu jalan buntu, begitu Saudara Liu?"
"Betul."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena untuk bisa mendapatkan tempatnya
kembali, manusia itu harus mengalami pemulihan
kodrat aslinya. Kodrat aslinya dimana manusia adalah
bagian dari Diri Pribadi Yang Maha Kuasa sendiri,
karena dalam manusia ada Roh-Nya, nafas kehidupan
Nya, meskipun itu ditempatkan di wadah tanah liat
yang disebut tubuh ini. Bukan mulanya manusia itu
serupa dengan Dia, meskipun tidak setingkat."
"Serupa tidak setingkat...." Kui Tek Lam
berkomat-kamit sendirian. "Kalau begitu, Yang Maha
Kuasa itu seperti kita?"
"Salah. Terbalik. Kita seperti Yang Maha Kuasa,
dalam ukuran yang jauh lebih kecil, makanya manusia26
ini diberi tugas untuk mengelola bumi dan seisinya
mewakili Dia."
"Kalau begitu, kenapa Saudara Liu tadi katakan
begitu sulit, bahkan mustahil, manusia mendapatkan
kembali tempatnya seperti ranting yang menempel di
pokok batangnya?"
"Karena kodrat mulia yang begitu hebat itu
pernah dicampakkan sendiri oleh manusia dalam
kehendak bebasnya. Yaitu ketika manusia dengan
sadar melangkahi larangannya, terpancing ambisinya
untuk menjadi setingkat dengan Yang Maha Kuasa.
Itulah saatnya kodrat mulianya, kodrat sukmawi,
terlepas darinya dan ia jatuh dalam kodrat-kodrat
ragawi yang penuh kelemahan dan kegagalan. Sang
ranting telah melepaskan dirinya sendiri dari Sang
Maha Kehidupan dan makin kering karena tidak
beroleh zat kekekalan lagi dari-Nya. Untuk bisa
kembali ke tempatnya, harus ada pemulihan kodrat,
kembali dari kehinaan ke kemuliaan, kembali dari
kodrat ragawi ke kodrat sukmawi. Dan inilah yang
mustahil tanpa pertolongan dari atas."
"Jadi segala perbuatan baik itu tidak berguna?"
"Tidak berguna kalau itu dijadikan alat untuk
menggapai kembali tempat sejatinya yang asli, tetapi27
sangat berguna kalau manusia sudah menemukan
tempatnya kembali, menempel pada Pohon
Kehidupan itu, perbuatan baiknya menjadi saluran
dari berkat-Nya bagi umat manusia."
Wajah Kui Tek-lam jadi murung mendengarnya,
kebanggaannya sebagai seorang yang dalam hidupnya
sudah menetapkan tekat untuk "jadi orang sebaik
baiknya" dan "berguna bagi orang banyak" terpukul.
Kebaikannya yang banyak itu ternyata menurut ajaran
yang dianut Liu Yok, belum apa-apa, belum cukup
banyak untuk disebut "manusia sejati" di hadapan
Yang Maha Kuasa, padahal di hadapan manusia sudah
cukup terpuji.
Liu Yok tersenyum, lalu berkata, "Saudara Kui
merasa tak berpengharapan?"
"Ya, karena kebaikanku dianggap sia-sia. Aku
emoh jadi penganut ajaran yang dianut Saudara Liu."
"Sebetulnya bagus, kalau Saudara Kui sudah
kehilangan harapan terhadap upaya-upaya diri
sendiri."
"Kehilangan harapan kok bagus? Apanya yang bagus?"28
"Kitab suci yang kuyakini berkata, terkutuklah
manusia yang mengandalkan manusia. Termasuk
mengandalkan diri sendiri."
"Coba tunjukkan jalan keluarnya, Saudara Liu."
"Kan sudah kubilang tadi?"
"Yang mana?"
"Saudara Kui tidak usaha berupaya, tinggal
menerima, maka benih ilahi akan masuk dalam jiwa
Saudara dan mulai mengerjakan kodrat itu. Pemulihan
kodrat bukan urusan kita, itu urusan Yang Maha
Kuasa, dan kita tinggal meminta dan kemudian
percaya sudah menerimanya."
Kui Tek-lam tercengang.
"Begitu mudah?"
"Ya, saking mudahnya sehingga banyak orang
tidak percaya, karena sudah terlanjur berpikir bahwa
jalan untuk menjumpai Yang Maha Kuasa itu harus
sulit, mentaati seribu satu pantangan, menyiksa diri,
dan sebagainya."
Kui Tek-lam harus jujur kepada dirinya sendiri,
bahwa dia pun merasa jalan yang dikatakan Liu Yok itu29
terlalu mudah, bagi orang seperti Kui Tek-lam terasa
"tidak menantang".
"Saudara Kui agaknya kurang mempercayai apa
yang aku katakan?" suara Liu Yok bernada wajar saja,
tanpa menunjukkan rasa kecewa atau marah atau
menekan.
"Perlu waktu untuk merenungkannya." Kui Tek
lam tidak menjawab tegas, hanya berkelit.
Liu Yok pun tidak berkata lagi, cuma berpikir
dalam hatinya, "Kebanyakan orang memang merasa
bangga kalau bisa melakukan sesuatu yang tidak dapat
dijalani oleh orang lain. Termasuk di bidang
keagamaan. Sedangkan sesuatu yang mudah, apalagi
cuma-cuma, yang bisa dilakukan oleh semua orang,
terasa kurang memberi kebanggaan."
Sementara di luar terdengar suara langkah
langkah kaki mendekat. Kui Tek-lam segera bersiaga,
sedangkan Liu Yok tetap bersikap tenang-tenang saja.
Kemudian Kui Tek-lam pun mengendorkan sikapnya
setelah melihat yang datang adalah Oh Tong-peng dan
Thiam Gai.
"Bagaimana, Kakak Oh?" sambut Kui Tek-lam.
"Berhasil menemui tawanan itu dan mendapat
keterangan daripadanya?"30
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Oh Tong-peng menjatuhkan diri duduk di lantai
sambil geleng-geleng kepala, "Wah, kacau semuanya."
"Kenapa kacau?"
Dengan singkat lalu Oh Tong-peng mencerita
kan apa yang terjadi di gedung penjara Lam-koan,
tentang Pek-lian-hwe yang secara besar-besaran
bukan cuma mengerahkan anggotanya, tetapi juga
kekuatan gaibnya.
"Jadi kami belum sempat menanyai tawanan
itu, tahu-tahu sudah terjadi kekacauan. Maka kalau
kami berdua bisa lolos saja, itu sudah untung."
demikian Oh Tong-peng mengakhiri keterangannya.
Selama ketiga perwira sandi istana itu saling
berbincang tentang kegagalan mereka, mereka
sungkan memandang ke arah Liu Yok. Dalam hati
mereka ada perasaan malu sendiri, karena tadi
sebelum berangkat mereka sudah diperingatkan oleh
Liu Yok, namun mereka mengandalkan cara berpikir
dan perhitungan mereka sendiri dan tidak menggubris
Liu Yok.
Tetapi Liu Yok sendiri kelihatannya tidak
bersikap menyalah-nyalahkan, ia lebih sibuk
mengurus Cu Tong-liang yang ngompol lagi dan harus31
dibersihkan tubuhnya, dicuci pakaiannya dan diberi
pakaian yang bersih.
"Sekarang, apa rencana kita selanjutnya?"
tanya Thiam Gai kepada Oh Tong-peng.
Oh Tong-peng berpikir sebentar, kemudian
berkata, "Kita harus benar-benar melindungi Kang
Liong. Dialah satu-satunya orang Lam-koan yang bisa
diharapkan, mencintai rakyat, dan dialah sekarang
yang mungkin diincar orang Pek-lian-hwe sebagai
sasaran balas dendam."
Sambil berkata, Oh Tong-peng memberanikan
diri melirik kepada Liu Yok, kali ini diam-diam
mengharapkan Liu Yok memberi nasehat seperti tadi
pagi, dan kalau demikian Oh Tong-peng bertekad akan
mempertimbangkan nasehat itu, tidak berani
mengabaikan lagi. Tapi untuk minta nasehat terang
terangan ia malu.
Ternyata Liu Yok diam saja dan tetap sibuk
dengan Cu Tong-liang, sehingga Oh Tong-peng diam
diam membatin, "Kurang ajar, rupanya dia tahu kalau
sedang kubutuhkan, lalu jual mahal."
Namun sikap Liu Yok selanjutnya ternyata tidak
sedikit pun menunjukkan sikap orang "jual mahal"
atau merasa sedang dibutuhkan atau sombong.32
Bahkan Liu Yok menunjukkan sikap "banting harga",
harga dirinya, melayani dengan teliti semua orang
orang di situ, seperti mengambilkan minum dan
sebagainya.
Sampai Oh Tong-peng bertiga merasa sungkan
sendiri, apalagi kalau mengingat bahwa Liu Yok ini
calon menantu gubernur di Ho-lam.
Kui Tek-lam dan Thiam Gai kemudian ikut
membantu-bantu Liu Yok, dan setelah selesai
semuanya, mereka pun mengobrol ringan. Tetapi Kui
Tek-lam sudah "kapok" bicara soal keyakinan yang
diyakini Liu Yok, dan ternyata Liu Yok juga tidak
membicarakan soal itu kalau tidak dipancing.
Kemudian Oh Tong-peng pergi lagi, kali ini
sendirian, tidak mau ditemani, katanya ia ingin
mengawasi keselamatan Kang Liong dari kejauhan.
Malam itu, waktu semua orang sudah tidur, Liu
Yok justru belum tidur. Ia duduk di dekat tubuh Cu
Tong-liang yang bagaikan boneka besar itu. Hati Liu
Yok dipenuhi rasa belas kasihan yang meluap ke sinar
matanya, menatap tubuh Cu Tong-liang. Namun rasa
ibanya bukanlah rasa iba yang cengeng dalam
keputus-asaan, melainkan bercampur harapan dari33
hati yang teguh dan percaya bahwa semuanya akan
bisa diatasi.
Cu Tong-liang tidak berhadapan dengan Liu Yok,
melainkan menyamping, dengan demikian Liu Yok
tidak dapat melihat mata Cu Tong-liang.
Seandainya Liu Yok bisa melihat mata Cu Tong
liang. Sebab mata Cu Tong-liang yang biasanya kosong
hampa tanpa ekspresi, tiba-tiba sekarang berkilat
kilat. Berkilat-kilat marah, benci, dan putus harapan
seperti orang yang menjelang saat kekalahan dan
kehancurannya.
Sementara Liu Yok merasa pelupuk matanya
mulai memberat dan dia mulai tertidur dengan
punggung menyandar dinding dan kepala miring ke
samping.
Dengan cepat Liu Yok beralih ke alam yang lain
dari alam benda yang dilihatnya sehari-hari. Ia melihat
Cu Tong-liang sedang diseret oleh beberapa orang
berwajah kejam, diseret masuk sebuah benteng yang
tinggi. Cu Tong-liang meronta-ronta, berteriak-teriak,
namun orang-orang yang menyeretnya tidak
menggubrisnya.
Liu Yok tidak bisa menolong Cu Tong-liang
sebab jaraknya terlalu jauh, namun Liu Yok berlari34
mengejarnya juga. Dan dilihatnya Cu Tong-liang sudah
masuk ke dalam benteng kokoh-kuat itu bersama
penangkap-penangkapnya, lalu pintu gerbang yang
dilewati itu pun ditutup kembali sebelum Liu Yok
sempat mendekatinya. Pintu kayu yang tebal berlapis
besi, bukan main kokohnya. Dan dari balik pintu itu
suara Cu Tong-liang yang minta tolong masih
terdengar, makin lama makin sayup-sayup dan
akhirnya tak terdengar pula.
Liu Yok menggedor-gedor pintu tebal itu,
namun tak bergeming sedikit pun. Berteriak-teriak
dan tidak ada jawaban sedikit pun. Ia marah dan
menendang pintu itu. Ia berlari mengelilingi benteng
itu dan berusaha menemukan pintu yang lain, tetapi
tidak ada, pintunya ya hanya satu dan itulah pintu besi
yang kokoh tadi.
Kemarahan Liu Yok bertambah-tambah, ia
menendang-nendang dan berteriak-teriak. Makin ia
marah, tembok benteng itu rasanya tumbuh kian
tinggi. Dan kian tinggi temboknya, kian marah Liu Yok.
Kian marah Liu Yok, kian tinggi temboknya, kian tinggi
temboknya, kian marah Liu Yok.
Sampai Kui Tek-lam membangunkannya dari
tidurnya.35
"Saudara Liu, kau bermimpi hebat rupanya! Kau
berteriak-teriak dan menendang-nendang." kata Kui
Tek-lam. Sementara Thiam Gai juga ikut terbangun,
sedangkan Oh Tong-peng belum kembali meskipun
saat itu sudah larut malam.
Liu Yok bungkam, menenangkan debar
jantungnya dengan menarik dan menghembuskan
napas beberapa kali. Lalu ia berkata, "Tidak apa-apa.
Terima kasih, Saudara Kui."
Kui Tek-lam yang sudah mengalami sendiri
bahwa mimpi Liu Yok sering "ada nilainya", dan
kebetulan malam itu Kui Tek-lam dan Thiam Gai sama
sama sedang gelisah menantikan Oh Tong-peng yang
belum pulang-pulang, timbul niat Kui Tek-lam untuk
menanyakan mimpi Liu Yok.
"Saudara Liu, kau bermimpi apa?"
"Apakah Saudara Kui ingin mengetahuinya?"
"Apakah... Saudara Liu mendapat firasat
tentang... Kakak Oh?"
"Tidak, melainkan tentang Saudara Cu."
"Maukah Saudara Liu menceritakannya?".36
Dengan singkat Liu Yok menceritakannya, dan
Kui Tek-iam berdebar-debar mendengarnya.
Sementara Thiam Gai masih acuh tak acuh saja,
dalam hatinya menggerutu, "Mengapa dengan Kui
Tek-lam ini? Kenapa ia tiba-tiba saja begitu berminat
dengan urusan mimpi? Mengganggu orang tidur saja."
Sementara Kui Tek-lam melirik ke tubuh Cu
Tong-liang yang tergolek beku, dan berkata dengan
cemas, "Apakah itu artinya... Saudara Cu takkan
tertolong dari keadaannya sekarang?"
Bukannya menjawab, Liu Yok malah menyandar
kan punggungnya kembali ke dinding dan berkata
kepada Kui Tek-lam, "Silakan tidur kembali, Saudara
Kui. Beri waktu aku untuk merenungkan kesalahanku."
"Lho, aku tidak tanya soal kesalahan Saudara
Liu. Aku tanya apakah Saudara Cu Tong-liang ada
harapan tertolong atau tidak?"
"Tertolong atau tidaknya Saudara Cu,
tergantung dari cara yang kugunakan benar atau
salah. Dan baru saja aku menggunakan cara yang
salah. Kemarahan."
"Harusnya?"
"Belas kasihan."37
"Jadi?"
"Dengan kemarahan dan kebencian, aku jatuh
ke wilayah kekuasaan musuhku. Dengan belas
kasihan, aku mengurung dan melemahkan lawanku."
Kui Tek-lam ini makin lama bergaul dengan Liu
Yok, sedikit demi sedikit makin mengerti jalan pikiran
Liu Yok yang aneh, meskipun tidak berarti Kui Tek-lam
mau mengikutinya. Mendengar omongan Liu Yok yang
terakhir ini, Kui Tek-lam tahu bahwa yang dimaksud
"musuh" dan "wilayah musuh" serta kata kerja
"mengurung" dan "melemahkan" itu semuanya ada di
alam angan-angan, bukan alam kasar yang terindera
dengan panca indera jasmaniah. Dulu Kui Tek-lam
menganggap alam angan-angan ini tidak banyak
artinya, tetapi beberapa pengalaman yang dialaminya
bersama Liu Yok, baik di dalam mimpi ketika ia mimpi
ditolong Liu Yok dan teman Liu Yok waktu dikeroyok
mahluk-mahluk berwajah seperti topeng, baik
pengalamannya bersama Liu Yok di alam kasar,
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat Kui Tek-lam tidak lagi sepenuhnya percaya,
tetapi juga sudah tidak berani lagi tidak percaya sama
sekali. Setengah percaya setengah tidak.38
Tanyanya, "Tadi Saudara Liu sudah marah,
sudah menggunakan cara yang salah menurut Saudara
Liu sendiri. Jadi Cu Tong-liang tidak tertolong?"
Sambil masih bersandar dinding, Liu Yok
memejamkan matanya dan berkata, "Kesalahan Itu
bisa diperbaiki. Karena itu berilah kesempatan, aku
akan mengurung benteng itu dengan belas kasihan.
Banjir belas-kasihan. Saudara Kui, silakan tidur. Aku
juga mau tidur."
Kui Tek-lam menarik napas, lalu dia pun
membaringkan tubuhnya miring di lantai. Namun ia
tidak benar-benar tidur, ia cuma pura-pura tidur, dan
matanya masih bisa mengintip apa yang dilakukan Liu
Yok. Dilihatnya mulut Liu Yok bergerak-gerak seperti
membisikkan sesuatu, yang kuping tajam Kui Tek-lam
tak mampu menangkapnya, dan dilihatnya dua jalur
air bening mulai mengalir turun dari sepasang mata
Liu Yok.
"Ia menangis dalam tidurnya."' desis Kui Tek
lam dalam hati.
Tiba-tiba secara aneh, ruangan itu dipenuhi
suasana belas kasihan sehingga Kui Tek-lam sendiri
kaget ketika merasakan matanya jadi basah. Buru
buru ia mengusap matanya, hampir-hampir tak39
percaya melihat jari-jari tangannya yang digunakan
untuk mengusap itu basah air mata, air mata yang
jarang sekali diteteskannya. Namun sejak di Lam-koan,
sudah beberapa kali ia teteskan air mata. Waktu anak
anak Nyo In-hwe memeluk dan menangis di dadanya
sambil melaporkan kematian ayah mereka. Waktu
mendengar berita bahwa Pang Hul-beng jadi gila
sungguhan, ia juga menangis. Namun untuk kedua
peristiwa itu, ada alasannya. Sekarang? Menangis
untuk Cu Tong-liang? Beberapa hari sudah Kui Tek-lam
menghadapi sahabatnya itu, sedihnya memang sedih,
ibanya memang iba, tetapi tidak sampai menangis
sebab jiwanya sudah lebih dulu tergembleng oleh
peristiwa-peristiwa emosional sebelumnya. Atau ia
menangis hanya karena melihat Liu Yok menangis.
Buru-buru ia menghapus air matanya sambil
dengan kuatir menoleh ke arah Thiam Gai. Kuatir kalau
Thiam Gai mengetahui ia menangis, ia kuatir dikira
cengeng. Perwira istana pilihan kok cengeng.
Dilihatnya Thiam Gai tidur dengan tubuh miring di
lantai, pulas sekali, dan air matanya mengalir, mene
tes-netes ke lantai, ingusnya juga keluar sendiri. Hanya
saja karena Thiam Gai sedang dalam keadaan tidak
sadar, sedang tidur teramat pulas, maka ia tidak repot
repot menghapus air mata seperti Kui Tek-lam.40
Kui Tek-lam jadi heran. Perasaan belas kasihan
yang tiba-tiba saja dengan kuat menyelubungi tempat
itu, benar-benar tidak dapat dijelaskan. Agak mirip
dengan suasana kemarahan dan kebencian apabila
orang-orang Pek-lian-hwe membaca manteranya.
Tetapi ini adalah belas kasihan.
Di alam lain, Liu Yok sedang berdiri di atas
sebuah bukit sambil dengan air matanya yang
bercucuran menatap benteng tempat disekapnya Cu
Tong-liang.
Di kaki bukit tempatnya berdiri, tiba-tiba
terlibat aliran air jernih yang bergerak lembut ke arah
benteng itu. Aliran air itu tidak kelihatan berbahaya,
rasanya anak-anak kecil pun dapat bermain-main di
sungai itu tanpa dicemaskan orang tuanya. Tetapi
ketika air yang jernih dan mengalir lembut itu mulai
menyentuh kaki dinding benteng yang dahsyat itu,
bumi terasa bergetar. Dinding benteng yang amat
kokoh dengan batu-batu besarnya yang terekat kuat
itu pun bergetar. Pintunya bagaikan diguncang
guncang, reruntuk semen-semen perekatnya rontok
segumpal kecil demi segumpal kecil ke bumi, dan
beberapa batu mulai hendak lepas dari pasangannya.41
Padahal aliran air sungai itu tidak bergelora,
tidak menggelegak, tidak deras. Tetapi seluruh
benteng itu terguncang seluruhnya.
Di atas benteng terdengar seorang berteriak
dengan suaranya yang seram, "Bangsat! Apa yang
kaulakukan di situ?"
Yang diteriakinya adalah Liu Yok.
Liu Yok tetap berdiri di bukit, tidak menjawab.
Belas kasihannya terhadap Cu Tong-liang terus
meluap dari hatinya. Dan aliran air di bawah bukit itu
seakan dikomando oleh gerak hati atau naik turunnya
rasa belas kasihan Liu Yok. Apabila rasa belas
kasihannya menghebat, makin hebat pula guncangan
benteng itu akibat sentuhan lembut air jernih itu.
Kalau rasa belas kasihannya menurun, menurun pula
guncangannya. Tetapi belas kasihan Liu Yok terus
mengalir tanpa habis. Takkan habis sebab sumbernya
adalah Sumber Maha Sumber. Liu Yok hanya berfungsi
sebagai penyalur, bukan sumber itu sendiri. Ia hanya
ranting yang menempel di pokok batangnya dan
menyerap serta menyalurkan segala sesuatu yang
dimiliki pokok batang itu.
Orang yang berdiri di atas benteng yang sedang
berguguran sedikit demi sedikit itu, semakin jelas di42
mata Liu Yok, seorang perempuan rupanya.
Dandanannya seperti seorang puteri bangsawan dari
negeri-negeri gurun pasir di sebelah barat, pakaiannya
yang indah berwarna serba merah tua. Pada
pakaiannya tersulam lambang-lambang rasi bintang
yang sering terlihat di tempat praktek ahli-ahli nujum.
Wajah perempuan itu cantik, tetapi rias
mukanya tebal dan didominasi warna ungu dan merah
tua, sehingga bukan menambah kecantikannya, tetapi
membuatnya seram.
Dengan suaranya yang serak, perempuan itu
berteriak ke arah Liu Yok sambil terhuyung-huyung di
atas bentengnya yang bergoncang makin keras, "He,
manusia hina! Apa maumu?"
Sementara itu, di alam kasar, Kui Tek-lam masih
sibuk berurusan dengan air mata dan ingusnya yang
tak berhenti mengalir karena kuatnya rasa belas
kasihan yang menyusupi jantungnya. Namun Kui Tek
lam terkejut waktu tiba-tiba mendengar dari mulut Cu
Tong-liang keluar suara serak seorang perempuan,
"Manusia hina! Apa maumu?"
Kui Tek-lam tertegun. Mulut Cu Tong-liang yang
berhari-hari kelu sejak kena tenungan orang-orang
Pek-lian-hwe, bahkan untuk menyuapkan makanan43
saja harus ditekan rahangnya, sekarang tiba-tiba bisa
berbicara. Dan yang keluar bukan suara Cu Tong-liang
sendiri melainkan suara seorang perempuan!
Kui Tek-lam bergidik seram. Dalam ketidak
tahuannya akan apa yang sedang terjadi di tempat itu,
dia sudah mengulur tangannya untuk membangunkan
Liu Yok seperti tadi. Namun kali ini tangannya ditahan44
oleh tangan Thiam Gai. Agaknya Thiam Gai juga
terbangun oleh suara perempuan tadi. Sebagai
seorang prajurit pilihan, kuping Thiam Gai sangat
terlatih. Biarpun sedang tidak nyenyak, suara
mencurigakan yang selirih apa pun pasti akan
membangunkannya.
"Jangan bangunkan!" desis Thiam Gai kepada
Kui Tek-lam.
"Kenapa?"
"Aku tidak bisa menjelaskannya, tetapi firasatku
yang terdalam memberitahu aku, bahwa sesuatu
sedang terjadi dalam proses penyembuhan Saudara
Cu."
"Saudara Thiam, kenapa kau menangis dalam
tidurmu, sampai air mata dan ingusmu berleleran?"
Thiam Gai jadi tersipu-sipu sendiri, secara buru
buru ia menghapus mata dan hidungnya dengan
lengan-lengan bajunya secara sembarangan saja.
Alangkah malunya, perwira istana ketahuan
menangis. Tetapi Thiam Gai heran ketika melihat di
wajah Kui Tek-lam juga ada bekas-bekas air mata dan
ingus.
"Saudara Kui, kau juga."45
"Kuakui, ya. Tetapi aku tidak tahu kenapa."
Keduanya kehabisan kata-kata, sama-sama
tidak bisa menerangkan apa yang sedang terjadi.
Akhirnya mereka cuma duduk sambil jadi penonton
yang baik.
Kemudian dari mulut Cu Tong-liang kembali
terdengar suara perempuan itu, "Hentikan! Hentikan!
Dengar tidak? Hentikan!"
Dan keluarlah serangkaian kata kutukan yang
membuat Kui Tek-lam dan Thiam Gai mengkirik.
Suasana penuh belas kasihan yang syahdu dan indah
tadi, yang mampu membuat laki-laki garang macam
Kui Tek-lam dan Thiam Gai mencucurkan air mata,
sekarang rasanya disusupi suasana lain yang jahat,
menakutkan dan sangat merusak keindahan. Suasana
penuh belas kasihan jadi agak buyar karena
bercampur-aduk suasana baru yang tidak
mengenakkan itu.
Kui Tek-lam dan Thiam Gai merasa tidak senang,
namun mereka benar-benar tidak mampu berbuat
apa-apa untuk memulihkan suasana yang tadi. Ini
urusannya bukan sekedar main jotos atau adu siasat
otak yang menjadi keahlian kedua agen kerajaan itu.46
Ini urusannya sudah ada di "dunia seberang akal" yang
tak terjangkau oleh Kui Tek-lam dan Thiam Gai.
Suasana jahat terasa makin kuat bersamaan
dengan ribuan kutuk yang keluar dari mulut Cu Tong
liang. Kui Tek-lam dan Thiam Gai merasa hati mereka
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti ditekan dan diremas oleh tangan-tangan
bercakar tajam yang memedihkan, namun mereka tak
berdaya apa-apa.
Sampai dari mulut Liu Yok yang tengah tidur
pulas itu, terdengar suara seperti orang mengigau. Liu
Yok bernyanyi lembut dengan bahasa yang tidak jelas.
Suasana indah penuh belas kasihan tadi berangsur
angsur pulih, bahkan makin kuat dan makin mendesak
dan menghalau suasana yang menekan perasaan tadi.
Kui Tek-lam dan Thiam Gai bisa merasakan bagaimana
beban mereka dalam perasaan itu dibayarkan, dan
mereka mulai bernapas lega.
Sementara, kutukan suara perempuan yang
keluar dari dalam mulut Cu Tong-liang itu sekarang
berubah menjadi semacam suara mengerang, suara
orang yang sangat menderita, diakhiri dengan suara
pekikan kekalahan.
Di alam lain, Liu Yok melihat perempuan
berpakaian merah tua itu tak dapat lagi berdiri di atas47
bentengnya, benteng yang terus bergoncang makin
keras. Perempuan itu terjungkal jatuh ke sebelah
dalam benteng, sambil memekik putus asa.
Pada benteng itu muncul retakan-retakan yang
makin memanjang dan bercabang-cabang, dan
benteng itu benar-benar ambruk.
Liu Yok melihat di belakang benteng itu ternyata
ada sebuah lembah yang entah berapa luasnya, dan
jauh di sana kelihatan sebuah bukit dengan benteng
lain di atasnya. Ketika tembok benteng yang pertama
runtuh, Liu Yok melihat segerombolan mahluk-mahluk
ganjil membawa bermacam-macam senjata lari bubar
menghindari tembok yang runtuh itu. Mahluk-mahluk
itu berlarian menuju bukit di kejauhan.
Di sekitar Liu Yok sendiri, tahu-tahu nampak
banyak sekali prajurit-prajurit bersenjata lengkap.
Masing-masing prajurit itu wajahnya bercahaya indah.
Salah satu saja dari setiap prajurit itu, yang mana saja,
kalau berada di alam kasar, pasti akan menjadi orang
orang paling tampan di dunia. Ini ribuan orang
bertampang sama eloknya, sama gagahnya.
Kecuali itu, tubuh para prajurit itu seperti
memancarkan cahaya yang bisa menembus pakaian
perang mereka. Gerak-gerik mereka juga ringan tanpa48
bobot. Sepertinya mereka tidak "terbuat" dari
"bahan" darah daging tulang seperti manusia,
melainkan dari api dan udara.
Herannya, mahluk-mahluk cemerlang itu
bersikap hormat kepada Liu Yok yang manusia biasa.
Salah seorang dari prajurit-prajurit itu, agaknya adalah
komandan mereka, melangkah sigap mendaki lereng
bukit untuk mendekati Liu Yok. Lalu memberi hormat
dalam sikap gagah kepada Liu Yok, dan berkata, "Kami
menunggu penugasan Tuan."
Menuruti bisikan hatinya yang terdalam, Liu Yok
berkata, "Kuasai seluruh lembah itu."
"Bagaimana dengan bukit di kejauhan dengan
benteng di atasnya itu?"
"Biarkan dulu."
Maka dengan satu gerakan pedang sebagai
tanda komando, prajurit-prajurit itu menyerbu ke
depan. Gerak mereka ringan dan tangkas, cepatnya
melebihi orang-orang berkuda. Mereka seolah-olah
tidak berlari, tetapi lebih tepat kalau disebut
berhembus. Ya, berhembus. Mereka melewati
reruntuhan tembok dinding yang pertama dan segera
menyerbu ke dalam lembah.49
Mahluk-mahluk ganjil pengikut ratu berjubah
merah darah tadi, mencoba memberi perlawanan.
Tetapi perlawanan mereka tidak berarti. Sebagian dari
mah luk-mahluk ganjil itu berhasil masuk ke benteng
di atas bukit dan buru-buru menutup pintu
gerbangnya, sebagian lagi berhasil ditangkap dan
diikat oleh prajurit-prajurit Liu Yok. Dan mereka
diseret untuk dikeluarkan dari dalam lembah, keluar
dari batas tembok yang runtuh itu. Sebagian lagi dari
mahluk-mahluk ganjil itu terbirit-birit sendiri keluar
dari lembah.
Kembali ke alam kasar, Kui Tek-lam dan Thiam
Gai tercengang ketika melihat mulut Cu Tong-liang
menggelogokkan cairan kental berwarna kuning
kehijauan yang baunya busuk menyengat. Entah
cairan apa itu, meskipun warnanya agak mirip ingus
orang sedang pilek, tetapi baunya jelas lain. Yang ini
jauh lebih dahsyat.
Kui Tek-lam dan Thiam Gai menutupi hidung
mereka setelah meludah-ludah, kemudian mereka
saling berpandangan. Tanya Kui Tek-lam dengan suara
sengau karena hidungnya ditutupi, "Perlu kita
mambangunkan Saudara Liu atau tidak?"50
"Aku tidak tahu, yang terjadi benar-benar di luar
batas pemikiran kita." sahut Thiam Gai dengan suara
sengau pula. "Pendapatmu, Saudara Kui?"
"Biarkan saja." sahut Kui Tek-lam setelah
berpikir sebentar. "Barangkali beginilah proses
penyembuhannya."
Sementara itu Liu Yok telah meluncur turun dari
bukit, ikut bersama para prajurit itu mengejar mahluk
mahluk ganjil di lembah. Liu Yok tidak merasa heran
sedikit pun bahwa gerak tubuhnya sendiri pun begitu
ringan tak berbobot, mengabaikan hukum-hukum
alam kasar, bahkan Liu Yok pun tidak berlari melainkan
berhembus.
Mahluk-mahluk ganjil yang semula menguasai
lembah, semakin bubar berantakan. Yang lari ke atas
bukit dan bersembunyi di kota benteng di atas bukit,
akan selamat dari kejaran Liu Yok dan kawan
kawannya. Tetapi yang tidak sempat lari ke situ, akan
terus diuber-uber sampai keluar dari lembah itu.
Pemimpin dari mahluk-mahluk ganjil itu adalah
sesosok mahluk yang bisa dibilang setengah menusia
setengah kelabang, la berdiri dengan dua kaki seperti
manusia, punya dua tangan seperti manusia, bahkan
tangan-tangan itu memegang tombak bercabang dua51
(canggah) yang bentuknya seperti ekor kelabang.
Tetapi kepalanya bukan kepala manusia, melainkan
kepala kelabang, begitu juga punggungnya yang
bersusun-susun mengkilap berwarna coklat tua
adalah punggung kelabang, dan di pantatnya ada ekor
kelabang.
Akal pikiran Liu Yok tidak bisa menentukan
apakah dia ini siluman kelabang, atau manusia biasa
yang sengaja berdandan seperti itu. Satu yang
nampak, orang ini kelihatannya kuat sekali. Ia
bertempur sengit dengan beberapa kawannya Liu Yok,
dan sedikit pun tidak nampak terdesak.
Ada dorongan dari daiam jiwa Liu Yok agar ia
maju menghadapi orang ini. Liu Yok hanya membuka
mulutnya, dari mulutnya keluar pedang cahaya
menghantam Si Manusia Kelabang ini. Si Manusia
Kelabang jatuh terkapar, kemudian bangkit lagi untuk
lari terbirit-birit, ia hendak lari ke arah benteng di atas
bukit rupanya, namun di kaki bukit itu sudah dikuasai
oleh prajurit-prajurit teman-teman Liu Yok.
Sambil menjerit putus asa, Si Manusia Kelabang
berbalik dan terpaksa kabur ke arah luar lembah itu.
Liu Yok terus "berhembus" memburunya, dan Si52
Manusia Kelabang begitu ketakutan sehingga larinya
amat kencang.
Tak lama kemudian, dengan teriakan yang
menyayat, ia meninggalkan lembah itu sama sekali.
Teriakan menyayatnya itu menandakan bahwa ia
sangat keberatan meninggalkan lembah itu, namun
Liu Yok begitu menakutkannya dan ia tidak bisa
melawannya. Pedang cahaya yang keluar dari mulut
Liu Yok terlalu ampuh untuk dilawan.
Bersamaan dengan itu, di alam kasar, Kui Tek
lam dan Thiam Gai hampir-hampir menjerit seperti
perempuan, ketika melihat di antara cairan kental
hijau kekuning-kuningan yang keluar dari mulut Cu
Tong-liang itu tiba-tiba keluar juga seekor kelabang
sebesar jempol tangan dan panjangnya hampir
sejengkal. Kelabang itu jatuh ke lantai di antara cairan
cairan menjijikkan itu, menggeliat-geliat sebentar
meregang nyawa sebelum akhirnya mati.
Kui Tek-lam dan Thiam Gai memang berhasil
menahan diri untuk tidak menjerit seperti perempuan,
tetapi perut mereka yang mual tidak dapat ditahan
lagi. Dan keluarlah kentang rebus yang mereka makan
sore ini.53
Sementara Liu Yok sudah terbangun dari tidur
nyenyaknya dan igauannya yang mirip nyanyian tadi
berhenti. Ia membuka matanya dan menanyai,
"Saudara Kui, Saudara Thiam, apa yang terjadi?"
Sambil tetap menutupi hidungnya, Kui Tek-lam
menunjuk cairan hijau kekuning-kuningan yang
bertebaran di lantai, dan bangkai kelabang yang
berkubang di tengah-tengahnya.
Liu Yok ikut menutup hidungnya, kemudian
bangkit dan berkata, "Biar aku bersihkan."
Kui Tek-lam dan Thiam Gai pun bangkit
serempak, sama-sama digerakkan oleh rasa sungkan,
sungkan membiarkan Liu Yok bekerja sendiri.
Bagaimanapun juga, Liu Yok adalah calon menantu
seorang gubernur, meskipun Liu Yok sendiri sukarela
melakukan tugasnya.
Begitulah mereka bertiga di larut malam itu
mereka menimba air di sumur, untuk membersihkan
kotoran di lantai. Diuruk tanah dulu, lalu disapu
dengan daun-daunan. Baunya bukan kepalang
sehingga mereka sering meludah-ludah, tetapi
akhirnya tempat itu bersih juga.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyusul kemudian mereka bertiga juga harus
membersihkan tubuh Cu Tong-liang dan mengganti54
pakaiannya dengan yang bersih dan kering. Itu
dikerjakan bertiga.
"Saudara Liu, tadi Saudara Cu mencaci-maki
dengan suara perempuan," kata Kui Tek-lam.
"O, ya?" Liu Yok heran.
"Saudara Liu tidak tahu apa yang terjadi?" tanya
Thiam Gai.
"Yang bisa kuketahui adalah yang di alam
mimpiku. Selama aku tidur nyenyak tadi, tentu saja
yang terjadi di alami kasar tidak aku ketahui."
"Apa yang sebenarnya terjadi tadi?" Sahut Liu
Yok, "Secara ringkas : belas kasihan adalah kekuatan
yang paling dahsyat, di atas kekuatan kemarahan,
kebencian dan maut sekalipun. Alam kematian pun
guncang kalau ada orang yang menjadi saluran belas
kasihan Sang Pencipta mendekatinya. Tetapi itu di
alam gaib. Sedangkan di alam kasar, belas kasihan
justru, dianggap kelemahan. Orang yang dianggap
kuat adalah yang mengumbar kemarahan dan
kebenciannya tanpa ditahan-tahan lagi."
"Apakah sekarang Saudara Cu sudah sembuh?"
"Baru tubuhnya. Jiwanya belum."55
"Kenapa belum?"
"Perang belum selesai."
Kui Tek-lam tahu kalau pembicaraan mulai
mengarah ke hal-hal aneh, maka Kui Tek-lam buru
buru menghentikan percakapan dan pura-pura sibuk
membersihkan. Ia belum percaya benar kalau Cu
Tong-liang sembuh. Sebab Cu Tong-liang masih saja
tergolek dengan matanya yang melotot tak berkedip
kedip, hampa dari semangat kehidupan. Apanya yang
sembuh?
Sementara Thiam Gai mengibas-ngibaskan
telapak tangannya di depan hidung, sambil berkata,
"Kotorannya sudah hilang, kenapa baunya belum
hilang-hilang juga? Bagaimana kalau Kakak Oh kembali
dan baunya masih seperti ini?"
"Kita taruh bunga-bunga di dalam ruangan."
Begitulah mereka bertiga mencari macam
macam bunga untuk ditaruh di ruangan, dengan
harapan bau bunga akan mengusir bau busuk itu.
Ternyata sedikit demi sedikit bau busuk itu terusir
juga.
Liu Yok bertiga kemudian tertidur kembali.
Sebab waktu masih. Fajar masih beberapa lama lagi.56
Dan sampai fajar tidak terjadi apa-apa lagi.
Kecuali Kui Tek-lam dan Thiam Gai yang gelisah,
karena Oh Tong-peng belum kembali juga.
"Saudara Liu, apakah dengan firasat Saudara
yang tajam itu, Saudara tidak mengetahui keadaan
Kakak Oh sekarang ini?" akhirnya Kui Tek-lam
bertanya.
"Pemberitahuan itu tidak datang dan pergi
sesukaku, tetapi tergantung Yang Maha Tahu kalau
Dia memberitahu kita. Aku patuh saja. Dan sekarang
ini aku belum diberitahu, jadinya ya belum bisa
memberitahu."
Kui Tek-lam garuk-garuk kepala, toh nekat
bertanya lagi, "Tetapi kenapa ada orang lain yang bisa
menggunakan kemampuan lebihnya sesukanya,
kapan saja dia mau?"
"Entahlah dengan orang lain, aku tidak akan
menghakimi mereka. Tetapi aku lebih suka jadi ranting
yang menempel terus di pokok batangnya, dan salah
satu syaratnya adalah: kepatuhan."
"Jadi Saudara Liu saat ini tidak tahu apa-apa
tentang Kakak Oh?"
"Belum diberitahu."57
"Kami kuatir ada apa-apa dongan dia."
"Kita doakan saja dia selamat."
Thiam Gai tidak sabar lagi mengikuti
percakapan Itu, lalu berkata, "Saudara Kui, habis
makan pagi, kita selidiki ke kota untuk mencari tahu
tentang Kakak Oh."
"Ya."
Mereka bertiga pun menyiapkan sarapan pagi
darurat seperti biasanya, tidak lupa menyiapkan
makanan lembut yang mudah ditelan, untuk Cu Tong
liang. Mereka bertiga betul-betul belajar seperti bayi.
"Ada baiknya, kalian berlatih kalau kelak punya
bayi. Kalian masih bujangan kan?" kelakar Liu Yok.
Thiam Gai menyeringai, "Kalau besok aku punya
anak bayi, ya isteriku yang merawatnya, bukan aku."
Kemudian mereka makan, lalu Liu Yok
menyuapi Cu Tong-liang. Biasanya kalau Cu Tong-liang
disuapi, kepalanya harus ditengadahkan dan mulutnya
dibuka supaya gampang untuk menuangkan cairan
makanan lembut ke tenggorokannya, Cu Tong-liang
pasif mutlak. Tetapi pagi ini, begitu makanan
didekatkan mulutnya, otomatis mulut Cu Tong-liang58
membuka, dan otot-otot tenggorokannya mulai
menelan makanan itu meski tidak mengunyahnya.
Kui Tek-lam dan Thiam Gai tercengang melihat
itu. Meski hanya gerakan kecil mulut Cu Tong-liang, itu
sudah bisa dianggap sebagai kemajuan besar.
"Inikah hasil dari peristiwa ganjil semalam?"
tanya Kui Tek-lam dalam hatinya. "Tetapi tatapan
mata Saudara Cu masih kosong, tanda bahwa
pikirannya masih dikuasai kekuatan-kekuatan asing
seperti yang dikatakan Saudara Liu."
Selesai sarapan pagi, Kui Tek-lam dan Thiam Gai
pun berangkat untuk mencari Oh Tong-peng di Lam
koan.
Pada saat yang sama, di sebuah ruangan batu
bawah tanah yang pengab, Oh Tong-peng dalam
keadaan letih, lapar dan babak belur dengan kedua
tangan dan kedua kaki dirantai ke tembok. Tubuhnya
menggelayut lemah, pergelangan tangannya terasa
sakit karena menahan berat tubuhnya, tetapi ia sudah
tidak kuat berdiri dengan kakinya. Yang membuatnya
masih berdiri adalah karena rantai yang. tertahan di
tembok.
Bersambung jilid XIII.5960
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi
file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk
mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan
dikompilasi menjadi file TextPDF.
Credit untuk :
? Gunawan A.J.
? Kolektor E-Books12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID 13
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang-Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid XIII
TERDENGAR suara gemuruh pintu besi yang
didorong ke samping, lalu mata Oh Tong-peng yang
berkunang-kunang itu melihat seorang prajurit masuk,
membawa nampan kayu kasar dengan tiga mangkuk
di atasnya. Tetapi sisa akal sehat Oh Tong-peng masih
memperingatkannya bahwa prajurit ini adalah prajurit
gadungan. Ia sebenarnya adalah anggota Pek-lian
hwe. Begitu juga semua prajurit di tempat itu yang
sebenarnya adalah kaki tangan Kang Liong.
Perut Oh Tong-peng sebenarnya memberontak
mencium bau asap makanan yang dibawa oleh prajurit
itu. Tetapi Oh Tong-peng takut memakannya. Ia
khawatir makanan Itu dicampuri racun pelemah
syaraf, sejenis dengan yang membuat Lo Lam-hong
jadi "boneka hidup" Pek-lian-hwe. Maka biarpun
perutnya kelaparan setengah mati, ia tetap menolak
makanan itu. Ia bertekad lebih baik mati kelaparan
daripada berubah jadi "boneka hidup" macam Lo Lam
hong.6
"Kau benar-benar tidak mau makan ini?" bentak
si prajurit.
Oh Tong-peng menggeleng lemah.
"Kau benar-benar bandel. Sebentar lagi Tuan
Kang akan datang dan menanyaimu. Kalau jawabanmu
menyenangkan hatinya, kau akan mendapat peng
ampunan dan mungkin dibebaskan dari penderitaan
ini."7
Oh Tong-peng tetap membungkam. Namun
tidak habis-habis rasa sesal dalam hatinya, bahwa ia
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah melakukan tindakan begitu tolol, yaitu
mempercayai Kang Liong sepenuhnya. Ia datang tanpa
curiga, lalu dibius, dan jadilah ia tawanan yang dihajar
semalam suntuk, disuruh mengaku di mana kawan
kawannya bersembunyi. Melalui perkataan Kang Liong
juga dapat disimpulkan bahwa Si Komandan
keamanan kota Bong Peng-un sudah mati dalam
keributan di penjara. Sekarang, kekuasaan atas
seluruh kota Lam-koan dipegang sepenuhnya oieh
Kang Liong. Berarti juga oleh Pek-lian-hwe.
Karena Oh Tong-peng tetap menolak makanan
itu, Si Prajurit meletakkannya di lantai di depan Oh
Tong-peng. Sengaja agar bau masakan itu menggoda
selera Oh Tong-peng.
Oh Tong-peng memang harus berjuang mati
matian melawan selera makannya sendiri, disamping
rasa sakit di sekujur tubuhnya. Tetapi sekarang ia
malahan bisa bersyukur buat rantai-rantai yang
menahannya di dinding, sebab tanpa rantai-rantai itu,
barangkali ia sudah menerkam makanan itu dan
jadilah ia seperti Lo Lam-hong.8
Dalam keadaan demikian, sempat juga Oh Tong
peng menggerutui Liu Yok dalam hati, "Kurang ajar
bocah she Liu itu. Kalau dia memberitahu aku waktu
hendak ke penjara, kenapa kali ini tidak memperingat
kan aku? Mungkin dia jengkel karena peringatannya
yang dulu tidak kugubris, kupandang remeh, kuanggap
hanya hasil mimpi?"
Angan-angannya terganggu oleh suara pintu
besi yang terbuka sekali lagi, dan suara langkah
langkah kaki yang mendekat. Maka muncullah Kang
Liong, tepat seperti yang diduganya.
Bedanya, kalau semalam Kang Liong bersikap
pongah sebagai "pemeriksa tunggal" yang bahkan
dengan tangannya sendiri menyiksa Oh Tong-peng,
maka kali ini Kang Liong mengiringi seorang bertubuh
tinggi gemuk dan berewokan, memakai jubah orang
sipil berwarna merah darah. Sikap Kang Liong
terhadap orang ini ternyata sangat menghormat,
bahkan begitu ketakutan, ini mengherankan Oh Tong
peng.
Begitu orang itu melangkah masuk ke dalam
ruang. tempat Oh Tong-peng disekap, segera sesuatu
dalam jiwa Oh Tong-peng bisa merasakan adanya
semacam suasana yang jahat, amat jahat, bahkan9
seolah seluruh kejahatan di dunia bisa ada di ruangan
itu bersamanya. Begitu juga dengan sorot matanya
yang amat jahat, membuat Oh Tong-peng yang amat
tabah pun tidak mampu menatap matanya secara
langsung.
"Inikah orangnya?" tanya Hong Pai-ok, si tinggi
gemuk brewokan itu, kepada Kang Liong, sambil
mengamat-amati Oh Tong-peng.
"Betul, Kakak Oh." sahut Kang Liong hormat.
"Kemarin dia... yang hampir diterkam oleh naga
siluman itu, namun naga silumanku itu batal
menerkamnya, dan kawannya?"
"Betul, Kakak Hong."
Oh Tong-peng tiba-tiba mengangkat wajahnya
yang babak belur, menyeringai mengejek dan berkata,
"Naga silumanmu batal menerkam karena takut
kepadaku."
Hong Pai-ok mengayunkan tangannya
menampar mulut Oh Tong-peng, sehingga bibir yang
sudah pecah-pecah itu sekarang memancarkan darah
lagi.10
Geram Hong Pai-ok, "Anjing Manchu, sebutkan
di mana teman-temanmu berada. Atau kau akan kami
siksa lebih hebat lagi?"
Meskipun tidak berani menatap mata Hong Pai
ok karena kuatir kena pengaruh sihir, namun nyali Oh
Tong-peng tetap besar. Jawabnya, "Tebak saja sendiri.
Bukankah ilmu gaibmu hebat, dan bisa menujum letak
benda-benda atau orang-orang yang hilang?"
Dengan gusar Hong Pai-ok menampar kembali.
Sudah tentu ia sungkan mengakui bahwa ilmu
nujumnya yang biasanya lancar, tiba-tiba sekarang
mendapat hambatan-hambatan yang tak diketahui
sebab-sebabnya. Biasanya, amat mudah bagi Hong
Pai-ok untuk menemukan orang atau barang yang
tersembunyi, tetapi sekarang begitu ia mulai
bersemedi memasuki alam gaib, pandangan mata
sukmanya seolah dibutakan oleh cahaya amat
menyilaukan di atas Lam-koan. Cahaya yang seribu kali
lebih dahsyat dari cahaya dewa pujaannya orang
orang Pek-lian-hwe meskipun dewa pujaan itu disebut
Dewa Cahaya atau Penguasa Api Suci.
Kegagalan yang paling mengejutkan Hong Pai
ok ialah ketika terjadi keributan di gedung penjara,
waktu ia gunakan sihir naga silumannya untuk11
menghancurkan Oh Tong-peng berdua, tetapi naga
siluman yang dilepaskannya malah berbalik dan kabur
ketakutan. Kemudian ditambah laporan Kang Liong,
waktu Kang Liong tiba-tiba lari terbirit-birit
meninggalkan Oh Tong-peng dan Thiam Gai sesudah
peristiwa di penjara itu. Kang Liong kabur, karena saat
itu ia melihat ada seorang berpakaian panglima,
wajahnya bercahaya, memegang pedang yang
menyala, yang berdiri di dekat Oh Tong-peng dan
Thiam Gai, itulah yang membuat Kang Liong
ketakutan. Demikian diakuinya di depan Hong Pai-ok.
Orang-orang Pek-lian-hwe sendiri akrab dengan
penghuni-penghuni alam gaib yang mereka sebut
"tentara langit" dan "perwira langit" dan bahkan ada
"jenderal langit" segala, dan pernah juga mahluk
mahluk alam gaib itu menampakkan diri kepada
tokoh-tokoh Pek-lian-hwe, penampilannya juga
seperti manusia dengan dandanan menurut
kedudukannya di "kerajaan angkasa", jadi ada yang
berdandan pangeran, puteri, panglima yang tampan
dan elok, tetapi ada juga "prajurit-prajurit rendahan"
yang berwujud siluman-siluman setengah manusia
setengah binatang, atau binatang-binatang yang
ganjil. Dengan demikian, perkara dinampaki oleh
mahluk gaib bukan perkara asing buat Kang Liong.
Namun "panglima berwajah menyala" yang muncul12
mendampingi Oh Tong-peng dan Thiam Gai itu
membuat Kang Liong kabur ketakutan, sebab "radar"
dalam dirinya langsung memperingatkan bahwa yang
dilihatnya itu bukan kawan melainkan musuh.
Sedangkan Oh Tong-peng dan Thiam Gai sendiri
malah tidak melihat apa-apa, dan tidak tahu kenapa
Kang Liong (yang waktu itu masih dianggap teman)
terbirit-birit.
Sementara di kalangan tokoh-tokoh Pek-lian
hwe di Lam-koan sendiri muncul suatu keyakinan,
bahwa pihak "anjing-anjing Manchu" agaknya juga
mempunyai "penyihir sakti" yang berhasil
menggagalkan ilmu-ilmu gaib Pek-lian-hwe. Si
"Penyihir Sakti" yang entah bersembunyi di mana di
kota Lam-koan itu, bahkan ilmu gaib Hong Pai-ok tidak
sanggup menemukannya. Dalam usaha menemukan Si
"Penyihir Sakti" itulah orang-orang Pek-lian-hwe
terpaksa menggunakan "cara-cara normal" dengan
menjebak Oh Tong-peng, sebab cara-cara gaib sudah
tidak mempan.
Celakanya, setelah dihajar semalaman, agaknya
Oh Tong-peng sendiri kelihatannya tidak tahu menahu
soal "penyihir sakti" (menurut anggapan Pek-lian
hwe) di pihaknya.13
Timbul niat Hong Pai-ok untuk menakut-nakuti
Oh Tong-peng dengan Ilmu gaibnya, agar Oh Tong
peng cepat mengaku. Hong Pai-ok lalu tertawa
terkekeh-kekeh.
"Anjing-anjing Manchu, kau pikir kalau kau
menolak makanan, kau bisa selamat dari kemauan
kami? Kau pikir lalu kau tidak akan memberitahukan
tempat persembunyian teman-temanmu? He-he,
tidak tahukah, dengan satu usapan telapak tanganku
di wajahmu, kau akan berubah menjadi boneka hidup
yang sepenuhnya dibawah kendali kami? Saat itu
jangan lagi hanya disuruh memberitahukan tempat
teman-temanmu, bahkan disuruh membunuh teman
temanmu pun kau akan jalankan dengan sukacita."
Itulah yang paling ditakuti Oh Tong-peng,
keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya.
Hong Pai-ok menangkap gejolak hati Oh Tong
peng melalui wajahnya. Katanya pula, "Ada baiknya
aku mendemonstrasikan sedikit kehebatan ilmuku,
agar aku mau mempertimbangkan omonganku yang
tadi."
Lalu Hong Pai-ok menyapukan pandangan ke
arah orang-orangnya, mencari orang yang akan
dijadikan contoh sasaran. Orang-orang itu semuanya14
adalah anggota-anggota Pek-lian-kau yang menyusup
masuk menjadi tentara kerajaan. Biarpun mereka
adalah anggota Pek-lian-hwe, namun mereka belum
benar-benar menghayati ajarannya, dan kalau disuruh
berkorban tidak mau. Kini melihat Hong Pai-ok
menatap mereka, mereka serempak berdesakan
mundur dengan ketakutan, tidak berani menatap
pandangan Hong Pai-ok.
Hong Pai-ok tertawa.
"Kenapa ketakutan? Kenapa tidak sayang
kehilangan kesempatan untuk berkorban demi
kemuliaan Ibu Abadi Tak Berasal-usul? Yang berani
berkorban, dalam waktu kurang dari ratusan hari akan
lahir kembali menjadi orang yang derajatnya lebih
tinggi."
Namun orang-orang itu tetap saja enggan,
hingga Oh Tong-peng yang dirantai di tembok itu
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawa mengejek, "Wah, rupanya orang-orangmu
sendiri tidak meyakini khotbahmu. Bagaimana mau
menyuruh orang percaya untuk yakin?"
Hong Pai-ok malu bercampur gusar. Telunjuk
nya sudah siap menuding salah seorang, namun
mendadak seorang anak buah Kang Liong berlari
masuk dan melapor, "Kakak Kang, dua anjing Manchu15
datang kemari, katanya ingin bertemu dan berbicara
dengan Kakak sendiri."
Tempat itu memang tempat kediaman Kang
Liong, lumrah kalau ada orang yang mencari ke situ.
"Bagaimana potongan mereka?"
"Yang seorang pernah datang bersama anjing
Manchu yang ini." sahut Si Pelapor sambil menunjuk
Oh Tong-peng. Yang satunya lagi berusia sebaya
namun lebih sedikit. Alisnya tebal dan matanya
tajam."
Dari penjelasan itu, Oh Tong-peng tahu kalau
yang datang adalah Kui Tek-lam dan Thiam Gai. Oh
Tong-peng diam-diam mengeluh dalam hati,
mengkhawatirkan kedua anak buahnya, karena
mereka belum tahu siapa Kang Liong sebenarnya,
mereka akan lebih mudah dijebak. Ingin rasanya Oh
Tong-peng berteriak menyuruh kedua anak buahnya
itu pergi, namun ia tahu hal itu percuma. Ia ada di
ruangan bawah tanah dan suaranya takkan terdengar
sampai ke atas.
Sementara Kang Liong tertawa gembira
mendengar laporan itu, katanya kepada Hong Pai-ok,
"Ini namanya ular mencari gebuk, Kakak Hong.
Bagaimana kita tangani mereka?"16
Jawab Hong Pai-ok, "Sekarang seluruh kendali
pemerintahan Lam-koan di tangan kita, kita bisa
berbuat apa saja tanpa takut karena rakyat Lam-koan
menyangka kita sedang membela mereka. Jadi,
tangkap saja kedua orang itu dengan ke.kerasan. Aku
akan membantu memperlemah perlawanan mereka
dari tempat persembunyian dengan sihirku."
"Baik."
Oh Tong-peng lalu ditinggalkan sendirian, hanya
dijaga dua orang.
Sementara di ruang tamu dari rumah Kang
Liong, Kui Tek-lam dan Thiam Gaj tanpa curiga duduk
menikmati teh sambil menunggu munculnya Kang
Liong. Mengapa harus curiga kepada Kang Liong yang
"pengabdian"nya kepada rakyat Lam-koan begitu
besar?
Cangkir teh itu hampir habis, waktui mereka
tiba-tiba merasakan kepala mereka agak pusing. Mula
mula Kui Tek-lam yang mengatakannya, sambil
memijit pelipisnya, karena menyangka hanya dirinya
yang mengalami. Waktu melihal Thiam Gai juga
menyeringai sambil memegangi kepala, barulah kedua
agen kerajaan itu sama-sama paham bahwa mereka
sedang terancam.17
"Kita diracuni...." desis Thiam Gai sambil bangkit
terhuyung dari kursinya
Mungkin tempat ini sudah dikuasai orang-orang
Pek-lian-hwe, dan Kang Liong sudah menemui
bencana di tangan mereka."
Waktu itu mereka masih berdua saja ruang
tamu, belum ada yang keluar nemuinya. Kui Tek-lam
bangkit pula dan berkata.
"Sebelum kita tak mampu berjalan lagi, kita
harus pergi."
Mereka berjalan menuju pintu keluar. Namun
dari arah pintu dalam muncullah Kang Liong dan
orang-orangnya ang bersenjata, sambil tertawa Kang
iong berkata, "Jangan buru-buru pergi, tuan-tuan.
Kami mempersilakan Tuan-an tinggal di sini."
Betapapun Kui Tek-lam dan Thiam Gai adalah
orang-orang tangguh, meskipun sudah keracunan,
tetapi dengan sedikit menata pernapasan dan
mengumpulkan tekad, mereka dapat mempertahan
kan kesadaran mereka, biarpun daya perlawanan
mereka takkan seperti biasanya. Mereka juga melihat
sikap Kang Liong dan langsung tahu bahwa Kang Liong
bukan kawan lagi.18
Tanpa banyak omong agar tenaga dan
semangatnya tidak terhambur sia-sia, Kui Tek-lam
melompati pintu keluar dan segera tiba di halaman.
Gerakannya disusul Thiam Gai.
Kang Liong melihat gerakan kedua mangsanya
itu ternyata masih cukup tangkas. Nampaknya
pihaknya akan masih mengerahkan banyak tenaga
untuk menangkap mereka. Mudah-mudahan sihir
Hong Pai-ok bisa mempercepat penyelesaian.
Tiba di halaman, Kui Tek-lam dan Thiam Gai
tidak dapat segera mencapai ke pintu keluar. Sebab
halaman itu sudah ditebari belasan orang-orang Pek
lian-hwe yang berpakaian serdadu-serdadu
pemerintah. Dengan macam-macam senjata, bahkan
ada empat orang bersama-sama memegangi sebuah
jaring lebar di keempat ujungnya, seolah-olah siap
menangkap binatang.
"Tangkap hidup-hidup!" perintah Kang Liong.
"Kita akan gantung mereka di depan mata orang
orang Lam-koan sebagai orang-orang Pek-lian-hwe!"
Empat orang pemegang jaring mulai bergerak
serempak mencari posisi untuk dapat menjaring
kedua mangsanya. Yang lain-lain pun menyesuaikan
diri. Karena diperintah menangkap hidup-hidup, maka19
mereka tidak ada yang membawa benda tajam seperti
pedang atau tombak, melainkan benda-benda tumpul
macam pentung, toya atau kaitan yang tidak tajam
untuk menarik kaki. Itu pun akan cukup merepotkan.
Empat pemegang jaring serempak berseru,
jaring mereka melambung di atas kepala Kui Tek-lam
dan Thiam Gai, namun kedua agen kerajaan itu masih
mampu menggulingkan dirinya dan lolos. Keempat
pemegang jaring mengubah teriakan mereka dan
serentak juga mengubah gerakan mereka, kali ini
jaring mereka bergerak hampir rata dengan tanah
untuk "menciduk" dari bawah. Kembali Kui Tek-lam
dan Thiam Gai berhasil menghindar, tetapi semakin
terpojok ke sudut halaman yang ada tembok
tingginya.
Agaknya keempat orang itu memang
merupakan sebuah regu yang sudah berlatih macam
macam taktik, teriakan-teriakan mereka juga bukan
sembarang teriakan, melainkan semacam isyarat
untuk bergerak begini atau begitu.
Di tempat tersembunyi, Hong Pai-ok
menggunakan dua buah boneka yang masing-masing
ditulisi nama Kui Tek-lam dan Thiam Gai, nama-nama
yang diketahuinya dari Kang Liong. Sambil tertawa-20
tawa, sebentar-sebentar Hong Pai-ok meremas kepala
dua boneka itu dengan tangannya, dan setiap kali ia
lakukan hal itu, maka di luar sana Kui Tek-lam dan
Thiam Gai merasa sakit kepalanya berdenyut hebat.
Gerakan jadi kacau.
Dengan demikian, mereka bukan hanya
menghadapi lawan dari luar, tapi dari dalam tubuh
mereka sendiri juga.
Suatu kali, dengan lompatan laksana harimau
lapar, Kui Tek-lam hampir berhasil menjotos roboh
seorang pemegang jala, tetapi tiba-tiba kepalanya
sakit sekali, akhirnya bukan berhasil menjotos
lawannya, malah Kui Tek-lam sendiri terbanting
berguling-guling sambil memegangi kepala dengan
kedua tangannya sendiri.
Ia hampir tertangkap, Thiam Gai hendak
menolongnya, tetapi mendadak Thiam Gai juga
kesakitan kepalanya.
Kang Liong mentertawakan kedua agen
kerajaan itu, "Sudahlah, menyerah sajalah. Pemimpin
kalian yang bernama Oh Tong-peng itu sudah di
tangan kami."
Namun Kui Tek-lam berdua belum mau
menyerah. Dengan kepala sakit berdenyut-denyut dan21
tenggorokan serasa amat kering, dan mata kabur,
sambil sempoyongan mereka tetap melawan.
Beberapa gebukan sudah mengenai tubuh mereka,
namun beberapa lawan juga kena tendangan atau
pukulan mereka. Hanya saja pukulan atau tendangan
itu pun tidak sehebat kalau Kui Tek-lam dan Thiam Gai
sedang waras, tendangan dan pukulan mereka kali ini
tidak menyakitkan.
Kang Liong sendiri melihat kelemahan kedua
perwira istana itu, dan ia tidak mau kehilangan pahala.
Maka Kang Liong sendiri turun ke gelanggang dengan
sebatang pentung rotan, seperti hendak menghadapi
kucing pencuri ikan asin saja.
Saat itu terjadi sesuatu yang diluar perkiraan
siapa pun, bahkan juga di luar perkiraan Kui Tek-lam
dan Thiam Gai sendiri.
Hong Pai-ok yang bosan bermain-main dengan
boneka-bonekanya, sekarang ingin Kui Tek-lam
berdua segera mengakhiri perlawanannya. Maka
kalau sebelumnya ia hanya sekedar memijit sedikit
sedikit kepala boneka-boneka sihirnya, sekarang dia
meremas kuat-kuat kepala boneka itu dengan kedua
tangannya.22
Di halaman, Kui Tek-lam dan Thiam Gai tiba-tiba
seperti melihat ada dua buah bukit batu yang besar
turun dari langit hendak menimpa kepala mereka.
Namun kurang sedikit dari kepala Kui Tek-lam berdua,
tiba-tiba ada semacam tali cahaya yang lembut
menghadang sepasang bukit batu itu dan bukit-bukit
batu itu lenyap begitu saja.
Kui Tek-lam dan Thiam Gai menggosok-gosok
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya, tak percaya yang mereka lihat. Kemudian
terasa ada udara hangat yang sangat nyaman
menyelubungi tubuh mereka, seketika rasa pusing,
tenggorokan kering dan mual-mual lenyap entah ke
mana.
Sementara Hong Pai-ok tiba-tiba melepaskan
cengkeramannya atas dua kepala boneka itu sambil
berseru kaget dan kesakitan. Telapak tangannya tiba
tiba berdarah, seolah-olah di dalam kepala boneka
boneka itu ada jarum jahit yang kelupaan diambil
waktu membuatnya dulu.
Sementara Kui Tek-lam dan Thiam Gai juga
heran akan tubuh mereka yang segar mendadak itu.
Dengan kondisi fisik demikian, mereka tidak lagi
mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari23
lawan-lawan mereka dan kemudian kabur dengan
melompati tembok halaman.
Kang Liong penasaran, ibarat dua ekor "ikan"
yang sudah dalam jaring mendadak lolos lagi.
Perintahnya, "Kejar! Kerahkan orang-orang kita!"
Sambil memerintah, ia heran juga, mana
keampuhan sihir Hong Pai-ok yang digembar
gemborkan tadi? Sudah tentu ia takkan berani
menanyakan itu, tetapi nalurinya memberitahu
bahwa sesuatu yang adi-kodrati1 baru saja terjadi di
gelanggang. Hanya saja ia tidak tahu itu apa, cuma
dapat merasakannya.
Kang Liong mengejar keluar untuk memimpin
sendiri orang-orangnya melakukan perburuan itu.
Kui Tek-lam dan Thiam Gai berlari-lari di jalanan
kota Lam-koan. Mereka lupa bahwa seluruh kota
sudah dikuasai Kang Liong dan konco-konconya.
Sambil berlari mengejar, Kang Liong juga
berteriak-teriak kepada orang-orang di jalanan sambil
menuding kedua buruannya, "Saudara-saudara warga
Lam-koan yang gagah berani! Dua orang itu adalah
bandit-bandit Pek-lian-hwe yang belakangan ini
1 Luhur secara Kodrat24
banyak mengacau dan melakukan pembunuhan!
Tangkap mereka!"
Yang berseru-seru di jalanan adalah tokoh
terhormat masyarakat Lam-koan, tentu saja
seruannya segera menghasilkan akibat. Memang tidak
semua warga Lam-koan cukup bernyali untuk
menghadang larinya "bandit-bandit Pek-lian-hwe" itu,
namun juga tidak semua bernyali kecil.
Di jalanan itu kebetulan sedang berjalan-jalan
seorang guru silat bernama Kwe Oiok. Tubuhnya besar
dan kekar, di Lam-koan ia mempunyai banyak murid,
dan seorang ahli dalam tehnik-tehnik meringkus dan
membanting orang.
Mendengar teriakan Kang Liong, Kwe Jiok
memperhatikannya, dan semangatnya sebagai warga
Lam-koan pun terbangkit. Ia mencopot jubah luarnya
dan dengan sebuah lompatan lebar dan cepat maka
tubuhnya yang kekar besar itu sudah berpindah
tempat ke depan dua "bandit Pek-lian-hwe" itu.
Sambil mengulurkan sepasang tangannya yang
kekar untuk sekaligus mencengkeram pundak Kui Tek
lam dan Thiam Gai, guru silat ini membentak, "Kalian
dengar tidak, seruan Tuan Kang untuk menyerah? Dia25
hakim yang adil pasti takkan menghukum melebihi
kesalahan kalian."
Tetapi Si Guru Silat ahli meringkus dan
membanting itu kaget bukan kepalang, waktu sedetik
kemudian bukan "bandit-bandit Pek-lian-hwe" yang
dapat diringkus, malah dirinya sendiri yang berhasil
disapu kakinya sehingga rebah. Ia dipermalukan di
depan mata masyarakat Lam-koan yang ada di jalanan
itu.
Sedangkan Kui Tek-lam dan Thiam Gai
melompati tubuh Si Guru Silat dan terus berlari.
Kwe Jiok Si Guru Silat meneriaki orang-orang di
jalanan, "Yang mengaku sebagai muridku, hadang
mereka!"
Hampir semua anak remaja dan pemuda di
Lam-koan adalah murid Kwe Jiok, atau setidaknya
pernah belajar sedikit cara-cara beladiri dari Kwe Jiok.
Begitulah Kwe Jiok menggunakan pengaruhnya untuk
ikut berjasa menangkap kedua "berandal Pek-lian
hwe" itu.
Kwe Jiok sendiri bangkit dari tanah dan segera
ikut mengejar bersama Kang Liong dan orang
orangnya.26
Begituilah, Kui Tek-lam dan Thiam Gai, dua
perwira istana yang dekat dengan Kaisar Kian Liong
sendiri, sekarang diuber-uber di jalanan oleh orang
banyak, diteriaki seperti maling jemuran saja.
Sambil berlari, Thiam Gai masygul juga,
gerutunya, "Seluruh Lam-koan sudah di bawah
pengaruh sihir Pek-lian-hwe. Dan sialnya, kitalah yang
malah dianggap sebagai penjahat-penjahatnya."
Tiga orang pemuda menghadang dengan
senjata seadanya. Seorang memakai pikulan bambu,
seorang membawa golok pencincang daging, seorang
lagi membawa palang pintu. Merekalah murid-murid
Kwe Jiok yang menanggapi seruan guru silat mereka.
Kui Tek-lam dan Thiam Gai tak sempat bersikap
lemah-lembut kepada tiga orang itu. Si Pembawa
Pikulan bambu melongo kaget ketika pikulan
bambunya ditebas patah oleh Kui Tek-lam hanya
dengan telapak tangannya. Waktu Kui Tek-lam pura
pura hendak memukul, ia membuang potongan
potongan bambunya dan lari terbirit-birit. Tak peduli
ditertawakan sebagai "warga kota yang kurang
bertanggung jawab".
Yang memegang pisau daging agaknya malu
kalau sampai ditertawakan, apalagi di pinggir jalan itu27
juga ada pacarnya ikut menonton sikap sok
pahlawannya. Maka dia putar-putar pisau dagingnya
dengan gaya pendekar top, lalu menerjang maju.
Dengan akibat dia terbanting tertelungkup di tanah
dan wajahnya masuk ke dalam debu, karena digebrak
Thiam Gai.
Orang yang ketiga mengambil jalan yang aman
tetapi juga jangan sampai malu. Kalau lari terbirit-birit
seperti saudara seperguruannya yang tadi, tentu
ditertawakan orang. Namun nekad menyerang seperti
saudara seperguruannya yang satu lagi juga terlalu
berbahaya. Maka lari tidak, menyerang juga tidak, ia
cuma pamerkan beberapa jurus kembangan untuk
pembukaan yang indah dipandang. Indah dipandang
namun tidak digubris oleh kedua agen kerajaan itu dan
ditinggal lari terus.
Tetapi sulit bagi Kui Tek-lam dan Thiam Gai
untuk bisa lolos. Dari belakang Kang Liong terus
mengejar, dari depan satu regu prajurit muncul dan
menghadang dengan panah-panah sudah terpasang di
tali busur. Sementara beberapa warga masyarakat
yang cukup bernyali besar bergabung untuk ikut
menangkap "bandit-bandit" ini.28
Akhirnya Kui Tek-lam dan Thiam Gai terkepung
di sebuah lorong. Dinding-dinding di kedua sisi terlalu
tinggi untuk dilompati, hampir enam meter tingginya.
Dari ujung lorong yang satu, Kang Liong, Kwe
Jiok dan beberapa orang lainnya mendekat dengan
sikap mengancam. Dari ujung lorong lainnya,
sepasukan prajurit juga melangkah makin dekat.
Thiam Gai menarik napas, "Apakah kita akan
berdiam diri saja dicincang oleh mereka? Apakah tidak
perlu kita tunjukkan kepada warga kota bahwa kita ini
petugas-petugas dari istana?"
"Percuma, orang-orang Lam-koan ada di bawah
pengaruh Pek-lian-hwe, mereka akan lebih mem
percayai kata-kata Kang Liong daripada kita. Kita ini
kan orang asing di sini?"
"Kalau begitu, demi membela diri kita sendiri,
tidak patut disalahkan kalau sampai jatuh korban
diantara mereka. Meskipun itu adalah penduduk yang
tidak tahu apa-apa."
Kui Tek-lam bungkam.
Sementara musuh-musuh semakin dekat, Kui
Tek-lam dan Thiam Gai sudah saling membelakangi,
menghadap ke kedua arah.29
Saat itulah tiba-tiba seutas tali seolah terulur
dari langit, bergelantungan tepat di depan hidung Kui
Tek-lam, bersama suara serak seorang tua yang
memasuki kuping Kui Tek-lam.
"Pegang ini kuat-kuat!"
Kui Tek-lam tercengang, ia menengadah ke asal
suara itu, dan melihat seorang tua bertubuh kurus dan
kecil, berjubah putih, berjongkok di atas dinding itu
sambil mengulurkan tali.
Kui Tek-lam ragu-ragu menuruti kata-kata orang
tua itu, takut kalau bukan dirinya yang terangkat ke
atas tetapi malahan orang tua itu yang tertarik ke
bawah, sebab orang tua itu kelihatannya kurus dan
kecil, tak bertenaga.
"Cepat pegang!" orang tua itu berkata lagi.
Ada pengaruh luar biasa dalam kata-katanya,
maka Kui Tek-lam tidak membantah lagi. Ia pegang
kuat-kuat tali itu. Dan baru saja tali itu terpegang,
tubuhnya tersentak naik ke atas tembok. Tembok
yang tak mungkin Kui Tek-lam lompati dengan
kekuatan tolakan kakinya, sekarang dapat Kui Tek-lam
lampaui dengan tarikan Si Orang Tua, padahal Kui Tek
lam tidak sedang menolakkan kakinya. Tinggallah Kui30
Tek-lam mengatur lompatannya supaya tidak jatuh.
Namun ia sudah tiba di balik tembok.
Kemudian Thiam Gai juga mengalami hal yang sama.
Kang Liong terkejut. Tergopoh-gopoh ia
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membagikan perintah agar orang-orangnya
menghadang ke sana kemari, tetapi yang jelas tak
seorang pun mampu melompati tembok itu. Bahkan
Kang Liong sendiri maupun Kwe Jiok Si Guru Silat tidak
bisa juga.
Sementara kedua perwira istana itu sudah
dituntun oleh Si Orang Tua untuk berlari-lari
menyelamatkan diri. Di balik tembok tinggi itu
ternyata adalah pekarangan belakang sebuah rumah
besar, Si Orang Tua menuntun Kui Tek-lam dan Thiam
Gai menyeberangi pekarangan itu sampai ke sebuah
pintu di sebelah sana.
Ada beberapa orang di pekarangan itu yang
melihat mereka bertiga, namun sikap mereka acuh tak
acuh, seakan-akan tak melihat, sehingga Kui Tek-lam
membatin, "Mungkin orang tua ini sudah kenal
dengan penghuni rumah ini."
Si Orang Tua membuka pintu, di luar pintu ada
sebuah gang lain tetapi tidak ada orang yang31
menguber-uber di situ. Si Orang Tua berkata, "Kita
akan jalan terus sampai ke tempat kalian yang aman."
Sahut Kui Tek-lam, "Terima kasih Tuan sudah
menolong kami. Tetapi kami tidak berani merepotkan
Tuan lebih jauh. Tempat ini sudah aman, dari sini kami
bisa jalan sendiri."
Sambil berkata demikian, Kui Tek-lam punya
kesempatan lebih memperhatikan penolongnya itu.
Ternyata sekarang kelihatan tidak setua waktu di atas
dinding tadi. Tadi Kui Tek-lam lihat orang ini rambut,
alis dan jenggotnya sudah putih semua dan kulit
mukanya sudah berkeriput rapat. Sekarang
kelihatannya lebih muda dua puluh tahun, ada
sebagian kecil rambutnya yang masih hitam dan kulit
wajahnya tidak sekeriput tadi.
Orang ini menjawab, "Tidak bisa, aku harus
mengantar kalian sampai ke tempat kalian. Sebab aku
sudah dimintai tolong oleh sahabatku, dan aku tidak
berani melanggar kesepakatan."
"Siapa sahabat Tuan?"
"Liu Yok."
"Nama Tuan sendiri?"32
"Ah, itu tidak penting. Yang perlu sekarang ialah
cepat-cepat pergi dari sini. Ayo."
Kui Tek-lam tidak bisa memaksa orang itu
menyebutkan namanya, dia dan Thiam Gai lalu
mengikutinya saja. Karena mereka masih ada di
lorong-lorong kota Lam-koan, maka Kui Tek-lam dan
Thiam Gai masih melangkah dengan tegang sambil
menoleh waspada ke sana kemari. Sebaliknya orang
tua yang mengaku sahabat Liu Yok itu berjalan dengan
tenang saja, bahkan sambil bersiul-siul menyanyikan
lagu dan cukup merdu.
"Biarpun otot-otot pipi sudah kendor dan gigi
sudah berkurang, siulan kakek ini boleh juga." pikir
Thiam Gai.
Siulan Si Orang Tua bahkan tidak berhenti ketika
di ujung lorong kelihatan ada satu orang prajurit
bersenjata. Agaknya mereka ditugaskan untuk
menjaga persimpangan jalan di situ.
Si Orang Tua melangkah terus dengan santai,
namun Kui Tek-lam dan Thiam Gai langkahnya sudah
tertegun-tegun, bahkan sudah berpikir untuk
memutar tubuh dan lari ke arah lain.
Namun Si Orang Tua berkata, "Tidak apa-apa.
Jalan terus. Percayalah kepadaku."33
Lagi-lagi perkataan itu mengandung suatu
pengaruh yang kuat, yang membuat Kui Tek-lam dan
Thiam Gai tak berkuasa membantah. Dengan jantung
berdegupan mereka mengikuti saja Si Orang Tua yang
tetap melangkah santai sambil bersiul-siul. Ternyata
setelah mereka cukup dekat dengan prajurit-prajurit
yang mengawasi persimpangan itu, para prajurit itu
tidak menunjukkan reaksi apa-apa, seolah-olah tidak
melihat kehadiran mereka bertiga. Prajurit yang
mengawasi melotot ke ujung jalan tetap saja melotot
ke ujung jalan. Yang bercakap-cakap tetap saja
bercakap-cakap, yang mengawasi warga Lam-koan
yang lewat di jalanan tetap saja menjalankan
tugasnya. Tetapi Si Orang Tua bersama dua orang yang
menjadi buruan para prajurit itu justru melangkah
terang-terangan di depan hidung para prajurit itu.
Sambil melangkah dengan tegang dan keringat
dingin membasahi tubuhnya, Thiam Gai mengumpat
dalam hati, "Kenapa aku jadi ikut-ikutan sinting
melakukan ini? Menuruti saja kata-kata orang tua ini?"
Ternyata berhasil juga mereka melewati para
prajurit itu tanpa pertempuran segebrakan pun!
Si Penolong tersenyum kepada Kui Tek-lam,
"Nah, tidak apa-apa kan?"34
Kui Tek-lam menghembuskan napas dan
menyahut, "Kita beruntung bahwa prajurit-prajurit itu
agaknya belum diberi tahu ciri-ciri orang-orang yang
Pendekar Aneh Seruling Sakti Karya Sin Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Si Pemaki Tuhan Karya Karl May
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama