Ceritasilat Novel Online

Menaklukkan Kota Sihir 8

Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P Bagian 8

harus mereka tangkap. Lain kali, rasanya kurang

berakal kalau hanya menggantungkan diri kepada

keberuntungan."

Kui Tek-lam menghentikan kata-katanya dan

menatap penolongnya itu dengan tercengang heran.

Begitu pula Thiam Gai. Sebab sekarang nampak Si

Penolong itu ternyata sudah kelihatan muda lagi dua

puluh tahun! Tadi waktu pertama menarik Kui Tek-lam

berdua dengan tali, ia kelihatan berusia tujuh puluh

tahun. Waktu membuka pintu ke lorong, kelihatannya

jadi seperti berusia lima puluh tahun. Sekarang Kui

Tek-lam hampir-hampir tidak mempercayai matanya

melihat penolongnya ini sudah berujud seorang lelaki

tiga puluh tahunan! Rambutnya masih hitam semua,

kulit wajahnya tidak berkeriput sedikit pun bahkan

samar-samar dari pori-pori kulitnya seperti

memancarkan cahaya yang lembut.

Tak terasa Kui Tek-lam dan Thiam Gai

memikirkan hal yang sama, "Teknik penyamaran

orang ini sungguh hebat. Bahkan sambil berjalan dan

tak pernah berhenti, dia bisa berubah-ubah semaunya

Dan tidak kami lihat dia membuang tempelan-35

tempelan palsu di wajahnya. Atau... orang ini jangan
jangan punya Ilmu Pian-hoa (mengubah wujud)?"

Orang itu tersenyum melihat Kui Tek-lam dan

Thiam Gai menatapnya ter-heran-heran.

"Kenapa menatapku seperti itu? Apa hidungku

ada tiga? Atau letaknya terbalik dengan lubangnya

menghadap ke atas?"

"Ilmu penyamaran Tuan sungguh hebat." Kui

Tek-lam mengakui. "Kami juga belajar menyamar

dalam tugas-tugas rahasia kami, namun sungguh

belum sekuku hitamnya dibanding Tuan yang seolah
olah bisa Pian-hoa."

Orang itu cuma tertawa kemudian ajaknya,

"Ayo kita jalan terus. Liu Yok sudah menunggu."

Mereka sudah tiba di pinggiran kota, dan

mereka berjalan perlahan-lahan, tidak lagi terburu
buru. Sambil berjalan, Kui Tek-lam diam-diam

mengawasi penolongnya. Ingin tahu bagaimana

caranya "bertambah muda" lagi. Sebab kalau tadi

seperti orang berumur tujuh puluh, lalu lima puluh

dan sekarang tiga puluh, jangan-jangan setibanya di

tempat Liu Yok nanti sudah menjadi bocah umur

sepuluh tahun? Namun ternyata sepanjang jalan

orang itu tidak berubah lagi, sampai di luar reruntuhan36

gedung model Eropa tempat persembunyian mereka

selama ini.

"Nah, sudah. Selamat tinggal." kata orang itu

terus hendak berlalu, namun Thiam Gai menahannya,

"Kalau Tuan mengaku sebagai sahabat Saudara Liu

Yok, silakan masuk dan duduk-duduk sebentar di

dalam."

"Ah, buat apa? Setiap saat aku bisa menemui Liu

Yok dan sebaliknya Liu Yok juga bisa menemui aku.

Aku masih banyak urusan. Selamat tinggal."

Lalu orang itu melangkah pergi.

###

Sementara di Lam-koan, Kang Liong me
merintahkan agar Oh Tong-peng dipindahkan ke

tempat ibadah rahasia kaum Pek-lian-hwe yang

disebut "Kota Bunga Persik".

"Kalau anjing-anjing Manchu itu datang lagi

untuk mencoba menolong pentolannya ini, mereka

akan terjerumus dalam perangkap gaib kita. Mereka

akan masuk dalam keadaan waras dan keluar dalam

keadaan gila, kena kutuk dewa-dewa kita." dalihnya.

Waktu Kui Tek-lam dan Thiam Gai melangkah

masuk, mereka tercengang melihat Cu Tong-liang37

sudah bisa mengunyah makanannya sendiri,

rahangnya bergerak-gerak, meskipun untuk masuknya

makanan itu ke mulutnya tetap harus dibantu Liu Yok

dengan disuapi. Selain itu, mata Cu Tong-liang juga

sudah seperti mata orang yang sadar, cahayanya

hidup, bisa melirik ke sana kemari meski wajahnya

pucat.

Waktu melihat Kui Tek-lam dan Thiam Gai,

kelihatan mata Cu Tong-liang bersinar-sinar hangat

menyambut kedua sahabatnya ini. Bibirnya bergerak

sedikit berusaha membentuk senyuman tipis.

Liu Yoklah yang tersenyum lebar menyambut

kedatangan kedua perwira istana ini, "Bagaimana?

Kalian selamat bukan?"

"Hampir mati dikeroyok orang she Lam-koan

seperti maling jemuran." keluh Thiam Gai sambil

menyambar tempat air dan meneguk habis isinya.

"Tetapi Saudara Thiam kelihatan utuh."

"Itu karena pertolongan seorang sahabatmu,

Saudara Liu."

"Sahabatku?"38

Dengan ringkas Thiam Gai menceritakan

tentang orang itu, lengkap dengan "perubahan"nya.

Mendengar itu, Liu Yok tertawa.

"Saudara Liu kenal dia?"

"Ya."

"Siapa namanya? Dan kenapa ilmu merubah

wujudnya demikian lihai?"

"Wah, soal nama, aku sendiri tidak tahu

namanya."

"Di antara tiga penampilannya, mana yang

sebenarnya? Yang seperti orang tua, orang setengah

baya, atau pemuda?"

"Menurutku, ketiga-tiganya tidak tepat."

"Lalu?"

Liu Yok bimbang sebentar, tetapi akhirnya

berkata juga, "Umurnya lebih tua dari umur bumi ini."

Thiam Gai terbelalak, Kui Tek-lam yang sedang

minum itu pun tersedak sedikit, leher dan dadanya

jadi basah, dan buru-buru diusapnya dengan telapak

tangannya.39

"Tetapi kenapa dia kelihatan... terakhir kalinya

hanya kelihatan seperti orang berusia tiga puluhan

tahun?"

"Karena dia datang dari tempat di mana proses

penuaan tidak berlaku sama sekali. Suatu tempat di

mana hukum-hukum alamnya lebih tinggi dari hukum
hukum di alam yang terindera ini. Di tempat itu,

kerjanya hanya bernyanyi dan bersuka ria, dan dia

tinggalkan tempat itu kalau ditugasi sesuatu oleh Yang

Maha Kuasa. Dia sering memasuki alam terindera ini,

tetapi dapat membebaskan dari hukum-hukum alam

ini."

"Dewakah dia?"

Thiam Gai bertanya ragu-ragu. Ia jadi ingat

dongeng tentang dewa-dewa yang diceritakan

neneknya ketika ia masih kecil dulu. Dan sekarang

dilihatnya Liu Yok menceritakannya dengan sikap

bersungguh-sungguh. Thiam Gai sendiri sudah melihat

keganjilan orang yang menolongnya tadi.

Liu Yok menjawab.

"Dia dan mahluk-mahluk sejenisnya adalah

mahluk yang diciptakan juga, seperti kita manusia. Jadi

bukan Sang Pencipta sendiri. Kedudukannya dengan

manusia adalah sama-sama mahluk yang diciptakan,40

itulah sebabnya manusia dilarang keras menyembah

mahluk-mahluk itu, apalagi sampai mempertuhankan
nya. Mahluk-mahluk itu sendiri tidak suka disembah.

Mereka dan kita saling mengajak, saling mengingat
kan, untuk hanya menyembah kepada Sang Pencipta

Yang Satu itu."

Thiam Gai menarik napas.

"Bagaimana dengan Kakak Oh?" tanya Liu Yok

kemudian.

Kui Tek-lam menggeleng sedih, "Kami gagal

membawanya keluar, bahkan hampir dicincang

seluruh warga kota Lam-koan."

"Maksud Saudara Kui, rakyat Lam-koan ikut

memusuhi kalian?"

"Ya. Aku percaya seluruh Lam-koan sudah

dibawah pengaruh sihir orang-orang Pek-lian-hwe,

sehingga rakyatnya dengan mudah bisa disuruh ke

sana kemari. Bahkan ditipu oleh Kang Liong dengan

mengatakan bahwa kami berdua inilah yang anggota

Pek-lian-hwe, sedang Kang Liong sendiri mengaku

sebagai pembela kepentingan warga Lam-koan.

Apalagi Kang Liong sekarang ini adalah pemegang

kekuasaan resmi di Lam-koan."41

Liu Yok mengerutkan alisnya.

Sedang Thiam Gai sambil mengepalkan

tinjunya, "Kota Lam-koan sudah menjadi kota Pek
lian-hwe, sudah cukup layak menjadi pijakan untuk

mengawali sebuah pemberontakan terhadap

kerajaan. Letaknya mudah dipertahankan dari daratan

karena dikelilingi bukit-bukit. Sisinya yang menghadap

sungai Se-kiang juga dengan gampang bisa

dipertahankan, apalagi kalau benar desas-desus yang

mengatakan Pek-lian-hwe punya lima ribu pucuk

senjata api. Senjata sebanyak itu bukan hanya bisa

untuk bertahan, tetapi juga untuk menyerang kota

terdekat. Dermaganya yang ramai menghasilkan

pemasukan uang yang tidak sedikit dan bisa untuk

membiayai gerakannya. Ini tidak bisa dibiarkan terus!"

"Apa yang Saudara Thiam pikirkan?" Tanya Kui

Tek-lam.

"Aku akan pergi ke Koan-tong, bicara dengan

gubernur militer di sana dan minta kiriman pasukan

yang kuat untuk menumpas bibit pemberontakan ini,

mumpung belum meluas!"

"Harap Saudara Thiam ingat, yang

memberontak itu hanya segelintir orang Pek-lian-hwe

yang berambisi membangun kembali dinasti Beng.42

Rakyat Lam-koan tidak memberontak. Rakyat LamMenaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

koan hanya tertipu oleh orang-orang macam Kang

Liong. Kalau datang tentara kerajaan dari Koan-tong

lalu terjadi pertempuran, siapa yang paling banyak

menjadi korban?"

"Tak dapat disangkal, memang rakyat Lam
koanlah yang bakaian paling banyak yang terbunuh.

Mereka, pasti akan disuruh maju ke garis depan oleh

gembong-gembong Pek-lian-hwe yang menyamar

menjadi pembela rakyat itu. Tetapi apakah akan

dibiarkan saja pemberontakan ini meluas?"

"Tentu saja takkan kita biarkan. Kita pikirkan

jalan keluarnya, yang jangan sampai terlalu

mengorbankan rakyat."

Liu Yok tiba-tiba ikut bicara, "Biarlah aku pun

berbuat sesuatu."

"Apa yang akan Saudara Liu lakukan?"

"Menurut cara yang diajarkan bukuku yang

kupercayai."

"Bolehkah aku mendapat sedikit gambaran
nya?"

"Aku ingin meruntuhkan tembok-tembok yang

mengurung jiwa-jiwa di Lam-koan."43

"Kota Lam-koan tidak ada temboknya." celetuk

Thiam Gai.

"Yang kumaksud adalah tembok-tembok sihir

yang memenjarakan pikiran dan kehendak rakyat

Lam-koan sehingga mereka dapat dikendalikan oleh

orang-orang Pek-lian-hwe. Bahkan aku juga berharap

membebaskan jiwa tokoh-tokoh Pek-lian-hwe sebab

jiwa mereka pun terkurung tembok yang bahkan jauh

lebih tinggi, tebal dan kuat dari tembok yang

mengurung rakyat Lam-koan."

"Silakan Saudara Liu memakai cara yang

Saudara yakini, dan aku akan tetap ke Koan-tong

untuk melaporkan situasi di sini." kata Thiam Gai.

"Dalam waktu kurang dari sepuluh hari, pasukan besar

dari Koan-tong akan melanda Lam-koan."

"Mungkin sebelum pasukan itu datang, tembok
tembok sihir itu sudah runtuh lebih dulu."

"Itu lebih baik."

Selama mereka bercakap-cakap, Cu Tong-liang

yang sudah sadar itu ikut mendengarnya. Ia sudah bisa

mengerti semua yang didengarnya, tetapi masih

terlalu lemah untuk menggerakkan mulutnya untuk

ikut bicara.44

"Kapan Saudara Thiam akan berangkat ke Koan
tong?" tanya Kui Tek-lam kepada Thiam Gai.

"Besok pagi mungkin dari dermaga akan ada

kapal yang ke Koan-tong."

"Hati-hatilah. Mungkin orang-orang Pek-lian
hwe akan mulai mengawasi dengan ketat semua jalan

masuk keluar Lam-koan, termasuk jalan air."

"Baik, Saudara Kui. Saudara Liu, terus terang

saja selama ini aku belum pernah mempercayai hal
hal gaib, sampai kualami peristiwa tadi. Aku mohon

Saudara Liu melindungi aku dari pengaruh gaib Pek
lian-hwe, selama dalam perjalananku ke Koan-tong."

Liu Yok menggeleng.

"Saudara Thiam salah alamat. Minta per
lindungan kok kepada aku, sedangkan aku sendiri

setiap harinya masih minta perlindungan Yang Maha

Kuasa? Aku tidak bisa melindungi Saudara Thiam, aku

hanya bisa memintakannya dari Yang Maha Kuasa."

"Terima kasih, Saudara Liu."

Mereka bercakap-cakap sampai malam hari,

dalam percakapan itu Kui Tek-lam dan Thiam Gai

sedikit banyak bisa memahami jalan pikiran Liu Yok

meskipun ada yang kedengarnya ganjil. Antara lain,45

ketika , Kui Tek-lam memperingatkan bahwa Pek-lian
hwe mempunyai banyak dewa dan siluman yang

hebat-hebat, Liu Yok dengan enteng menjawabnya,

"Dewa mana yang sanggup menahan perkataanku?

Sebab perkataanku adalah pedang Yang Maha

Kuasa?"

Kui Tek-lam dan Thiam Gai hidup di sebuah

negeri dengan sejuta dewa dan dewi, sejuta malaikat

dan siluman, sejuta cerita tentang bintang-bintang di

langit yang menyamar sebagai manusia di bumi.

Sekarang tiba-tiba saja ketemu manusia macam Liu

Yok yang berani berkata demikian, tetapi Liu Yok

mengucapkannya tidak dengan sombong atau

pongah, melainkan begitu wajar. Kemudian Kui Tek
lam dan Thiam Gai tahu, bahwa Liu Yok memang

berpikir bahwa manusia lebih tinggi dari dewa,

manusialah yang diberi tugas mengelola bumi dan

bukan dewa.

Setelah makan malam, mereka membaringkan

diri untuk tidur. Kui Tek-lam dan Thiam Gai melihat,

sebelum tidur Liu Yok membaca buku kesayangannya,

kemudian duduk tepekur lama sekali dengan mata

terpejam, setelah itu baru tidur. Hal seperti itu sering

mereka lihat malam-malam sebelumnya, bahkan Liu

Yok juga melakukan yang sama di pagi-pagi buta,46

namun kali ini Kui Tek-lam dan Thiam Gai melihatnya

dengan khidmat.

Waktu Liu Yok mulai tidur, dia pun mulai bermimpi.

Liu Yok melihat sebuah tanah yang kering
kerontang di depannya. Tanah yang begitu gersangnya

sampai retak-retak, dan di dalam tanah itu tak cukup

air biarpun hanya untuk menghidupi sehelai rumput.

Tiba-tiba Liu Yok melihat seorang perempuan

datang mendekat dengan memanggul sebuah buyung

tanah liat yang besar, dan kelihatan berat. Liu Yok

melihat perempuan itu berdiri di tengah tanah

gersang itu dan menumpahkan isi buyungnya ke

tanah. Buyung itu berisi air. Tapi aneh, buyung yang

begitu besar ternyata isinya hanya air sedikit, air yang

tidak ada artinya dibandingkan gersangnya tanah di

situ. Air yang segera lenyap terserap di tanah dan

kemudian tanpa jejak sama sekali.

"Sayang...." desis Liu Yok. Lalu ia mengikuti dari

jauh ke mana perginya perempuan itu.

Ternyata perempuan itu pergi ke sebuah sungai,

menenggelamkan buyungnya di air untuk mengisinya

penuh-penuh dan dibawanya kembali ke tanah

gersang tadi untuk menumpahkan isinya. Agaknya47

ingin menyuburkan tanah itu. Namun lagi-lagi Liu Yok

melihat hanya sedikit air yang tertumpah.

Berulang kali Liu Yok melihat perempuan itu

bolak-balik ke sungai dan ke tanah gersang itu, namun

hasilnya tidak berarti sama sekali. Tanah itu tetap saja

gersang meranggas. Sampai Liu Yok berkesimpulan

sendiri, "Buyung tanah liat itu hanya bisa memuat

begitu sedikit air, pasti karena di dalamnya belum

kosong benar. Mungkin masih ada benda-benda lain,

yang membuatnya tidak bisa penuh air."

Mimpi yang sama ternyata berulang-ulang

sampai pagi hari Liu Yok bangun.

Begitu bangun, Thiam Gai segera bersiap-siap

untuk pergi ke Koan-tong. Namun sebelumnya,

bertiga bersama Kui Tek-lam dan Liu Yok, mereka

melakukan pekerjaan harian seperti memasak,

memandikan Cu Tong-liang dan sebagainya. Mereka

bertiga girang melihat Cu Tong-liang semakin sehat.

Sekarang Cu Tong-liang sudah bisa menggerakkan

tangannya sedikit-sedikit, agak mempermudah waktu

diganti bajunya. Dan bibirnya sudah bisa mendesiskan

perkataan "terima kasih" yang lirih sekali.

Usai berbenah diri, Thiam Gai segera berangkat.48

Setelah Thiam Gai berangkat, Kui Tek-lam

menanyai Liu Yok, "Nah, Saudara Liu, bagaimana

rencanamu yang kaukatakan kemarin?"

"Aku mulai hari ini...." sahut Liu Yok sambil

beranjak ke pintu.

"Lho, Saudara Liu mau ke mana?"

"Berkeliling kota Lam-koan."

"Apa tidak berbahaya? Seluruh penduduk Lam
koan sudah di bawah pengaruh Pek-lian-hwe."

"Tidak seorang pun penduduk Lam-koan yang

pernah mengenal aku. Jadi tidak berbahaya buatku."

"Apa yang akan Saudara Liu lakukan berkeliling kota?"

"Membebaskan orang Lam-koan dari pengaruh jahat."

Mendengar jawaban itu, Kui Tek-lam langsung

saja membayangkan bahwa Liu Yok akan berbicara

dengan orang-orang Lam-koan, menasehati mereka,

dan alangkah berbahayanya tindakan seperti itu

menurut Kui Tek-lam. Liu Yok bisa ditangkap oleh

penguasa Lam-koan yang sekarang, Kang Liong.

Kui Tek-lam tidak sampai hati membiarkan Liu

Yok pergi sendiri, ia ingin mendampinginya meskipun

dengan menyamar. Tetapi ia ragu-ragu kalau harus49

meninggalkan Cu Tong-liang yang belum kuat benar

itu sendirian di situ.

Liu Yok agaknya dapat membaca gerak hati Kui

Tek-lam. "Saudara Kui, ada yang mau Saudara

katakan?"

"Aku ingin pergi bersama Saudara Liu. Tetapi

Saudara Cu...."

"Kalau Saudara ingin pergi bersamaku, marilah.

Jangan cemaskan Saudara Cu. Ia tidak akan sendirian.

Ada sahabat-sahabatku yang akan menjaga dia."

Bicara soal "sahabat-sahabat Liu Yok" Kui Tek
lam jadi ingat orang yang kemarin. Hati Kui Tek-lam

menjadi mantap. Ia bangkit dari duduknya di lantai,

sambil membersihkan celananya dari kotoran dia

berkata, "Kalau begitu, aku pergi bersama Saudara

Liu."

Namun dalam hatinya Kui Tek-lam membatin,

"Kalau Liu Yok punya teman aneh seperti yang

kemarin menolongku, tentu saja tanpa ditemani pun

dia akan aman-aman saja. Tetapi aku harus ikut."
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau Kui Tek-lam jujur terhadap diri sendiri,

sebenarnya keinginannya untuk ikut itu bukan karena50

mencemaskan Liu Yok, melainkan karena ingin

mengalami hal-hal aneh bersama Liu Yok.

Kata Liu Yok, "Baiklah. Mari kita mulai berjalan.

Tetapi ada sebuah syaratnya."

"Apakah syaratnya?"

"Jangan Saudara Kui mengajak bicara kepadaku

sepatah kata pun."

Syarat aneh, pikir Kui Tek-iam. Namun tanpa

pikir panjang ia menyatakan setuju?

Mereka berangkat, meninggalkan Cu Tong-liang

sendirian. Tetapi menurut Liu Yok, Cu Tong-iiang tidak

sendirian, melainkan "ada yang merawatnya". Entah

apa yang mendorong Kui Tek-lam, sehingga dia mulai

mempercayai omongan Liu Yok.

Keluar dari reruntuhan gedung model Eropa itu,

mereka melangkah ke arah barat, membelakangi

matahari yang baru saja bangkit dari tidurnya. Mereka

menyusuri jalan setapak di lereng bukit, kota Lam
koan kelihatan di bawah mereka. Sungai Se-kiang yang

permukaannya memantulkan cahaya mentari,

nampak seperti sehelai pita emas yang melingkar
lingkar di kaki pegunungan. Terputus-putus sebab

beberapa bagiannya tertutup tubuh perbukitan.51

Kapal-kapal yang melayari sungai jadi kelihatannya

hanya sekecil potongan-potongan lidi belaka.

Burung-burung berkicau di pepohonan dan

puncak-puncak pepohonan pun bermandikan cahaya

keemasan sinar, mentari pagi. Pemandangan sungguh

indah untuk dinikmati, seandainya Kui Tek-lam tidak

ingat bahayanya perjalanan ini, meskipun ia sudah

menyamar.

Namun Liu Yok mulai melangkah sambil bersiul
siul, bersenandung diselang-seling siulan. Kadang
kadang tangannya ikut bergerak-gerak mengikuti

irama.

Kui Tek-lam menemukan persamaan antara

lagu yang sedang didendangkan Liu Yok itu dengan

lagu yang kemarin disusulkan oleh orang aneh, yang

kata Liu Yok berasal dari suatu tempat yang penuh

nyanyian. Hati Kui Tek-lam tergerak ingin ikut

menyanyi, sebab kedengarannya enak, tapi ia tidak

mengerti kata-katanya. Jadi Kui Tek-lam mulai bersiul
siul saja, sepotong-sepotong, di beberapa bagian

kadang-kadang agak salah sedikit, namun jalan terus.

Liu Yok menoleh sambil tersenyum senang, tetapi

tidak berkomentar sedikit pun.52

Mereka berdua berbelok ke arah sungai,

dengan demikian menyusuri sisi barat kota Lam-koan.

Kui Tek-lam agak berdebar, mengingat di sisi barat

Lam-koan ini akan melewati rumah pribadi Kang Liong

yang dekat dengan jalan ke kampung nelayan.

"Apakah Liu Yok ini akan mulai pidato

pembebasannya justru di dekat rumah Kang Liong?"

Kui Tek-lam bertanya-tanya dalam hati. Dalam

bayangannya, upaya pembebasan yang akan

dilakukan Liu Yok ialah mengumpulkan orang-orang

dan berbicara kepada mereka tentang kenyataan yang

sebenarnya.

Ternyata, selama berjalan dan bertemu dengan

beberapa orang, Liu Yok tidak berbicara sepatah kata

pun dengan, mereka, bahkan juga bila disapa, la tetap

saja bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi.

Kui Tek-lam mulai bimbang.

"Apa-apaan ini? Inikah yang dinamakan upaya

membebaskan rakyat Lam-koan dari tembok-tembok

sihir Pek-lian-hwe? Hanya berjalan keliling kota sambil

bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi? Wah, jangan
jangan Liu Yok ini mulai kena santet Pek-lian-hwe dan

penyakitnya sama dengan Pang Hui-beng?"53

Sebab Kui Tek-lam ingat Pang Hui-beng yang

berkeliling kota sambil menari dan menyanyi tak ingat

dirinya, dan diikuti anak-anak kecil.

Tetapi Kui Tek-lam terus bersama Liu Yok.

Selesai menyusuri sisi barat kota Lam-koan, Liu Yok

berbelok ke kiri dan mulai menyusuri sisi selatan Lam
koan. Masih tetap bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi.

Ketika lewat dermaga yang banyak orangnya,

Liu Yok tetap saja demikian, sehingga orang-orang

yang berpapasan dengannya banyak yang menatap

dengan kasihan sambil geleng-geleng kepala dan

berdesis, "Kasihan. Masih muda dan tampan, kok

gila."

Yang diajak bicara pun menjawab, "Bertambah

lagi jumlah orang gila di kota ini. Beberapa waktu yang

lalu, seorang tukang mi-pangsit yang masih muda tiba
tiba saja juga gila."

"Kenapa ya, kok gila?"

"Mungkin gagal mempersunting gadis idamannya,"

"Atau mungkin malah menolak cinta seorang

gadis, lalu disantet oleh si gadis."54

Apa pun kata orang, Liu Yok tetap melakukan

tindakannya yang ganjil itu, dan Kui Tek-lam yang

mengiringinya jadi agak malu juga.

Kui Tek-lam jadi berdebar-debar ketika melihat

satu regu prajurit berjaga-jaga di dermaga itu.

Memang betul yang dikatakan Thiam Gai, Kang Liong

sudah mengawasi seluruh sudut kota Lam-koan itu.

"Tingkah laku Liu Yok pasti menarik perhatian

prajurit-prajurit itu, dan aku yang berdekatan dengan

Liu Yok akan ikut diperhatikan pula." pikir Kui Tek-lam,

ia kuatir dikenali meski sudah menyamar.

Benar juga. Si Komandan Regu yang bertubuh

tegap, tiba-tiba saja melangkah mendekati Liu Yok dan

membentak. "He, apa yang sedang kaulakukan?"

Liu Yok tidak menjawab, ia agaknya begitu

tenggelam dalam keadaannya dan tidak menggubris

keadaan di sekitarnya. Kui Tek-lam kuatir sikap Liu Yok

itu akan menggusarkan Si Perwira.

Apa yang dikuatirkan Kui Tek-lam itu terjadi, Si

Komandan Regu sudah siap menjotos Liu Yok yang

tidak menggubrisnya, tetapi tiba-tiba dari antara

kerumunan orang-orang di dermaga itu muncul

seorang nenek-nenek bungkuk yang berlutut di depan

Si Komandan Regu sambil memohon dengan suara55

memelas, "Jangan, Tuan, aku mohon. Berbelas

kasihanlah kepadanya."

Si Komandan Regu menahan tinjunya di udara,

tanyanya kepada Si Nenek, "Ada hubungan apa antara

dirimu dengan bocah sinting ini?"

"Tidak ada hubungan apa-apa, tetapi kumohon

kasihanilah dia. Masa Tuan seorang perwira yang

gagah perkasa di medan tempur, tega berbuat

kekerasan terhadap seorang yang lemah?"

Perwira yang garang itu serasa meleleh hatinya.

Ia tidak jadi memukul, bahkan menjauhi Liu Yok sambil

menggerutu, "Betul juga, kalau aku mengurusi orang

kurang waras, aku pun jadi kurang waras juga."

Kui Tek-lam lega, Seandainya perwira itu

melanjutkan niatnya memukul Liu Yok, Kui Tek-lam

sudah siap membela meski kedok penyamarannya

bakal terbongkar. Untung ada nenek-nenek itu. Dan

ketika ia mencari nenek-nenek itu, Kui Tek-lam tidak

menemukannya lagi. Nenek-nenek itu hilang begitu

saja. Bahkan ketajaman mata Kui Tek-lam, ketajaman

mata seorang penyelidik kawakan, juga tidak berhasil

melihat bayangan nenek-nenek itu lagi. Ini

mengherankan, masa nenek-nenek itu bisa

menyelinap pergi sedemikian cepat? Apakah nenek-56

nenek itu sejenis dengan mahluk yang mengaku

sahabat Liu Yok, yang kata Liu Yok umurnya lebih tua

dari umur bumi dan datangnya dari tempat di mana

proses menua tidak berlaku?

Kui Tek-lam ingin bertanya kepada Hu Yok,

namun ingat janjinya untuk tidak saling berbicara

selama "upacara aneh" Liu Yok itu.

Liu Yok dan Kui Tek-lam kemudian menyusuri

sisi timur kota Lam-koan, kali ini bakaian melewati

daerah kota yang menjadi tempat kediaman

almarhum Nyo In-hwe. Hati Kui Tek-lam digerakkan

rasa rindu akan dua anak Nyo In-hwe yang dulu sering

bermain-main dengannya.

Kemudian, Liu Yok dan Kui Tek-lam tiba kembali

di reruntuhan rumah tempat Cu Tong-liang ditinggal
kan. Cu Tong-liang tidak kurang suatu apa.

Kui Tek-lam tidak tertahan untuk tidak

bertanya, "Saudara Liu, sekarang sudah boleh aku

bicara kepadamu?"

"Silakan, Saudara Kui."

"Saudara Liu bilang hendak membebaskan

penduduk Lam-koan dari pengaruh Pek-lian-hwe,

benar?"57

"Benar."

"Kenapa Saudara hanya berjalan keliling kota

sambil bernyanyi-nyanyi seperti orang gi..." Kui Tek
lam menahan kata-katanya, tak sampai hati

mengatakan "gila" kepada Liu Yok yang jelek-jelek

calon menantu gubernur di Ho-lam.

Liu Yok duduk dan meluruskan kakinya dengan

santai, "Mau Saudara Kui mendengar penjelasanku?"

"Penjelasan Saudara Liu akan menambah

pengetahuanku tentang alam tak terindera yang

selama Ini sedikit sekali kuketahui," belum-belum Kui

Tek-lam sudah menebak kalau penjelasan Liu Yok

bakal bersangkut paut dengan "alam tak terindera".

Liu Yok tertawa.

"Kemarin ketika kurenungi bukuku, aku

mendapat petunjuk dari sebuah cerita lama. Cerita

tentang seorang panglima yang terhambat gerak

majunya oleh sebuah benteng musuh yang amat kuat.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima ini bingung, apalagi pasukan yang

dipimpinnya bukanlah pasukan yang bersemangat

baja, melainkan terdiri dari sekumpulan orang-orang

yang penakut, mudah putus harapan dan pengomel.

Panglima ini memutar otak, bagaimana caranya58

menaklukkan kota benteng musuh yang kuat ini

dengan pasukannya yang berkwalitas rendah itu?"

Kui Tek-lam sendiri sebelum ditarik ke dalam

istana sebagai anggota pasukan istimewa,

sebelumnya adalah perwira militer di lapangan yang

tahu seluk-beluk Peng-hoat (ilmu kemiliteran). Cerita

Liu Yok itu jadi amat menarik baginya. Ia ingin tahu

siasat militer macam apa yang bakal digunakan oleh

panglima dalam cerita itu, untuk menaklukkan

benteng musuh itu. Hambatannya ada dua. Kuatnya

pihak musuh, dan rendahnya kwalitas pasukannya

sendiri.

"Lalu bagaimana, Saudara Liu?"

"Secara akal manusia, jalan buntu. Mutlak buntu."

"Apakah Si Panglima lalu membawa mundur

orang-orangnya, menyerah begitu saja?"

"Panglima itu mendapat petunjuk gaib dari

Yang Maha Kuasa. Ia disuruh mengelilingi tembok

musuh sambil membunyikan terompet tanduk domba

jantan. Sehari satu putaran, sampai enam hari

lamanya. Hari yang ke tujuh harus tujuh putaran."

Kui Tek-lam tercengang.59

"Petunjuk macam apa ini? Masa tidak ada

petunjuk untuk memanjat benteng musuh, atau di

malam hari diam-diam membuat terowongan di

bawah tembok? Masa petunjuk hanya disuruh

memutari benteng sambil membunyikan terompet."

"Namanya juga petunjuk yang bersifat adi
kodrati. Di luar hukum alam. Di luar nalar yang wajar."

"Terus?"

"Panglima itu patuh. Nah, waktu kubaca kitab

itu, aku berkeyakinan bahwa itu petunjuk buatku."

Bersambung jilid XIV.6061

PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di

pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih

mediakan menjadi file digital.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial

dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.

File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi

file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk

mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan

dikompilasi menjadi file TextPDF.

Credit untuk :

? Gunawan A.J.

? Kolektor E-Books12

Kolektor E-Book

Gunawan A.J

Foto Sumber oleh Gunawan A.J

Editing oleh D.A.S3

Rp 725,
MENAKLUKKAN

KOTA SIHIR

JILID 14

Karya : STEVANUS S.P.

Pelukis : SOEBAGYO

Percetakan & Penerbit

CV "GEMA"

Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII

Telpun 35801-SOLO 571224

Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada

Pengarang di bawah lindungan Undang-Undang.

Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin

tertulis dari Pengarang.

CETAKAN PERTAMA

CV GEMA SOLO ? 19925

MENAKLUKKAN KOTA SIHIR

Karya : STEVANUS S.P.

Jilid XIV

"JADI... Saudara Liu ingin mengelilingi kota Lam
koan satu putaran setiap hari selama enam hari, dan

tujuh putaran di hari ke tujuh? Tembok apa yang ingin

Saudara Liu runtuhkan, padahal kota Lam-koan tidak

bertembok?"

"Sudah kukatakan kemarin, tembok yang

memenjarakan seluruh Lam-koan adalah tembok

pengaruh jahat yang dibangun oleh tokoh-tokoh Pek
lian-hwe. Tembok yang tidak memenjarakan raga,

tetapi memenjarakan jiwa. Inilah yang harus kita

runtuhkan."

"Kalau begitu, Saudara Liu agaknya melupakan

sebuah benda yang diperlukan. Terompet yang

terbuat dari Tanduk domba jantan."

"Tidak, aku tidak lupa. Justru benda yang

kelihatan sepele itulah kunci inti dari keberhasilannya.

Bukan kehebatan siasat si panglima, bukan ke
unggulan pasukan, sebab pasukan itu sesungguhnya

tidak berkwalitas."6

"Mana terompetnya?"

"Terompet tanduk itu hanya lambang. Kalau

ingin tahu dari lambang itu, haruslah menyimak cerita

yang lain."

Kui Tek-lam penasaran.

"Aku mau mendengarnya."

"Jaman dulu, ada seorang yang sangat

beribadah kepada Yang Maha Esa. Ia bahkan

meninggalkan negeri leluhurnya yang berlimpah harta

benda, karena sanak keluarganya menyembah

berhala semuanya, berbenteng dengan keyakinannya.

Suatu hari, Yang Maha Kuasa ingin menguji kesetiaan

orang ini. Yang Maha Kuasa mewahyukan sebuah

perintah untuk menyembelih anaknya sendiri. Orang

yang sangat taat ini mematuhi perintah ini. Tetapi ini

hanya ujian kesetiaannya, dan Yang Maha Kuasa tidak

pernah bersungguh-sungguh menghendaki kematian

anak orang itu. Sebaliknya, untuk dikorbankan sudah

tersedia seekor domba jantan yang tanduknya terbelit

semak duri sehingga tidak dapat lari. Domba inilah

yang akhirnya dibunuh, menggantikan si anak yang

seharusnya mati."7

Kui Tek-lam terus mendengarkan. Cu Tong-liang

yang sudah sadar meskipun belum dapat berbuat

banyak, ternyata juga ikut mendengarkan sejak tadi.

"Kepatuhan orang itu patut diteladani.

Kepatuhan anaknya yang bersedia dikorbankan demi

keyakinan ayahnya, juga harus dihargai tinggi-tinggi.

Namun pusat perhatian kita adalah domba jantan itu."

"Kenapa dengan hewan itu?"

"Dia adalah lambang seseorang yang pernah

datang ke dunia, menggantikan kematian umat

manusia dengan kematiannya sendiri. Ia datang dari

Tempat Maha Tinggi, namun mencopot kekuasaannya

sendiri waktu datang sebagai manusia bumi.

Kekuasaan dilambangkan dengan tanduknya,

sedangkah semak berduri melambangkan kutukan

atas bumi. Si domba jantan dapat disembelih karena

tanduknya tersangkut semak duri. Orang itu dapat

dibunuh sebagai ganti umat manusia, karena

kemuliaannya ditinggalkan dan ia melibatkan dirinya

dengan umat bumi yang terkutuk."

Kui Tek-lam mulai melihat pertemuan antara

dua kisah itu. Kisah seorang panglima yang

menghadapi benteng musuh, dan kisah seekor domba

jantan yang menggantikan kematian manusia.8

Katanya. "Saudara Liu, mungkinkah tanduk domba

yang tersangkut semak duri itu punya arti yang sama

dengan tanduk domba yang dijadikan terompet dan

dibawa mengelilingi benteng musuh si panglima?"

Liu Yok bersyukur Kui Tek-lam begitu cepat

menangkap makna kisah-kisahnya. Dan Cu Tong-liang

agaknya juga demikian.

"Tanduk domba jantan yang tersembelih itu,

kemuliaan Orang yang telah mengorbankan dirinya

itulah yang sekarang kubunyikan sambil mengelilingi

kota Lam-koan."

Kui Tek-lam mengangguk, tetapi untuk percaya,

nanti dulu. Ia belum melihat buktinya.

Liu Yok juga tidak memaksa Kui

Tek-lam untuk percaya. Saat itu sudah saatnya

makan siang. Liu Yok dan Kui Tek-lam bekerja sama

menyiapkan makan siang darurat mereka, juga

meladeni Cu Tong-liang.

###

Kegagalan Hong Pai-ok pada detik-detik terakhir

ketika hendak "merebut sukma" Kui Tek-lam dan

Thiam Gai, menyadarkan tokoh Pek-lian-hwe ini

bahwa di pihak musuh ada "dukun"nya juga.9

"Dulu waktu Siau Hok-to berhasil menyantet Lo

Lam-hong dan Pang Hui-beng, mungkin dukun

Manchu itu belum terjun ke gelanggang. Tetapi

setelah dukun itu datang, dan sekarang entah

bersembunyi di mana, dia dapat mempengaruhiku,

bahkan menghalangi setiap tindakanku."

Hong Pai-ok penasaran. Ia sudah menyebar

undangan agar malam itu setiap pengurus Pek-lian
hwe Lam-koan yang berpangkat "kipas putih" ke atas

berkumpul untuk berunding malam itu.

Namun sebelum pertemuan di "Kota Bunga

Persik" dimulai, jauh sebelumnya, sejak matahari

terbenam, Hong Pai-ok sudah berada di "Kota Bunga

Persik" untuk melakukan pemeriksaan.

Pemeriksaan yang dilakukannya bukan sekedar

pemeriksaan fisik, misal kebersihan bangunannya,

melainkan dengan kepekaannya sebagai jagoan ilmu

gaib Hong Pai-ok juga memeriksa "penjaga-penjaga
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak terlihat" yang ditaruh di tempat-tempat tertentu.

Dan Hong Pai-ok kecewa dengan hasil

pemeriksaan itu. Gerutunya, "Teledor sekali orang
orang Lam-koan ini memelihara kehadiran tentara

angkasa dengan se-saji-sesaji yang diperlukan."10

Kemudian Hong Pai-ok bersemedi sendirian di

depan altar, mencoba berhubungan dengan "tentara

angkasa" yang ada di tempat itu. Tidak lama

kemudian, tubuhnya bergetar hebat, lalu rebah dan

kejang dengan mulut berbusa. Dan dari mulutnya

sendiri terdengar suara seorang perempuan, "Suara

sangkakala perang sudah dibunyikan... Sangkakala

perang sudah dibunyikan...."

Dengan mulutnya sendiri yang tiba-tiba menjadi

kaku, Hong Pai-ok bertanya, "Siapa kau?"

Dan mulutnya sendiri juga yang menjawab,

tetapi suaranya suara perempuan.

"Bersikaplah sedikit hormat! Panggil aku

paduka Ratu!"

Lalu tubuh Hong Pai-ok menggeliat-geliat

sambil berdesis kesakitan agaknya sangat tersiksa. Di

tengah-tengah kesakitannya itulah ia paksakan

mulutnya untuk berkata sepatah demi sepatah,

"Maafkan hamba, Paduka Ratu. Maafkan kelancangan

mulut hamba."

Biarpun sudah minta maaf, siksaan tidak segera

berhenti. Hong Pai-ok masih menggeliat-geliat seperti

cacing kepanasan beberapa saat lagi, sebelum11

akhirnya berhenti dengan napas terengah-engah,

keringat bercucuran dan pakaiannya jadi berantakan.

"Bolehkah hamba mengetahui siapa Paduka

Ratu?" tanya Hong Pai-ok.

Suara perempuan dari mulutnya menjawab,

"Aku disebut Ratu Berjubah Ungu, penguasa atas

semua sihir, ramalan nasib, ramalan keberuntungan,

ramalan perbintangan. Tugasku adalah menjebak

manusia sebanyak-banyaknya memasuki bencana

abadi melalui perangkap-perangkap tadi!"

"Ampun Paduka, apa yang Paduka Ratu

maksudkan dengan terompet perang sudah dibunyi
kan tadi?"

"Terompet itu sudah terdengar di Lam-koan,

terompet yang akan meruntuhkan benteng kita di sini,

memaksa kita melepaskan cengkeraman atas jiwa
jiwa di Lam-koan, apabila tidak segera ditanggulangi.

Terompet yang kudengar ribuan tahun yang lalu dan

memaksaku kabur dari bentengku yang dulu.

Terompet yang kudengar ratusan tahun yang lalu juga,

dan membuatku dilucuti, dan sekarang aku tidak mau

harus pergi lagi dari benteng ini. Lakukan sesuatu

untuk mempertahankan benteng ini!"12

"Mohon petunjuk Sang Ratu, apa yang harus

kami lakukan?"

"Selenggarakan upacara korban manusia yang

lengkap. Undang bala bantuan lebih banyak lagi dari

kerajaan angkasa. Jangan terlambat."

"Perintah Sang Ratu akan kami jalankan."

"Kalau sampai gagal, aku akan mengejarmu

kemana pun kau pergi, Hong Pai-ok. Jiwamu milikku."

Hong Pai-ok menjawab kecut, "Hamba paham,

Sang Ratu."

Suara perempuan tak berwujud yang berkata
kata lewat mulut Hong Pai-ok itu sekarang tertawa

terkekeh-kekeh. Ketika tawa itu terhenti, Hong Pai-ok

terhempas sehingga kepalanya membentur lantai

cukup keras, kemudian perlahan-lahan bangkit duduk

kembali. Kekuatannya seperti terhisap habis.

Ketika ia sedang mengumpulkan tenaga sambil

merapikan pakaian dan rambutnya, maka tokoh-tokoh

Pek-lian-hwe cabang Lam-koan yang diundang pun

mulai berdatangan.

Siau Hok-to Si Ketua Cabang, Thai Yu-tat Si Wakil

Ketua Cabang yang berambisi mendongkel ketuanya

untuk menggantikan kedudukannya, Ui Kong Hwesio.13

Si Pendeta Gadungan yang tidak tahu-menahu

sedikit pun ajaran kasih sayang Sang Buddha, sebab

sesembahannya yang sesungguhnya adalah Dewa

Cahaya yang menuntut keberanian mengorbankan

orang lain. Dalam Pek-lian-hwe cabang Lam-koan ia

adalah "perwira kipas putih" pertama. Kemudian Phui

Se-san Si "Perwira Kipas Putih" ke dua, dan akhirnya

Kang Liong Si "Perwira Kipas Putih" ke empat. "Perwira

Kipas Putih" ke tiga adalah Nyo In-hwe yang sudah

mati secara misterius. Itulah segelintir manusia yang

mengendalikan Lam-koan saat itu dengan ke
bohongannya dan sihirnya.

Masing-masing memberi hormat kepada Hong

Pai-ok, namun tak seorang pun berani menanyakan

tentang pakaian dan tampang Hong Pai-ok yang agak

berantakan itu.

Sesuai dengan sifatnya, Hong Pai-ok tidak

mendengar dulu laporan-laporan atau usul-usul dari

pengurus setempat, tetapi langsung saja berbicara

dengan gaya memerintahnya, "Tadi sengaja aku

datang lebih awal untuk memeriksa tempat ini, aku

terkejut menemukan betapa kendornya kalian

merawat tempat suci ini. Meskipun perawatan secara

fisik cukup baik, tetapi perawatan yang gaib, yang

membuat roh-roh penolong kita betah tinggal di sini,14

ternyata telah kalian abaikan. Pantas kalau selama ini

kalian gagal mengatasi anjing-anjing Manchu itu!"

Bicara sampai di sini, pandangan Hong Pai-ok

tertuju ke arah Siau Hok-to Si Ketua Cabang, dengan

sorot mata menyalahkan.15

Thai Yu-tat Si Wakil Ketua yang mengingini

kedudukan Siau Hok-to, kini berkesempatan untuk

mencari muka terhadap Hong Pai-ok dengan ikut

menyalahkan Siau Hok-to, "Nah, Kakak Siau, benar

tidak yang kukatakan dulu?"

Siau Hok-to melirik wakilnya itu dengan

mendongkol, tetapi untuk menghindari pertengkaran,

ia hanya menjawab kepada Hong Pai-ok, "Mungkin

aku memang bersalah, Kakak Hong."

"Bukan mungkin bersalah, tetapi pasti ber
salah!" bentak Hong Pai-ok. "Pasti! Sadari itu!"

"Baiklah, aku mengaku bersalah. Tetapi aku tak

mengabaikan sama sekali sesaji-sesaji untuk

mempertahankan kehadiran pengaruh kita di kota

Lam-koan ini. Belum sampai sebulan yang lalu, bahkan

kuperintahkan menanam empat macam korban

manusia di empat penjuru kota."

Thai Yu-tat menyela, "Tetapi kita tetap

kebobolan. Buktinya Saudara Nyo dan Saudara Ang

terbunuh."

"Itu suatu tanda bahwa kalian tidak sungguh
sungguh memuja dewa-dewa kita, maka dewa-dewa

kita pun tidak sungguh-sungguh melindungi kita. Tadi

aku mendapat peringatan dari salah satu pelindung16

kita, Sang Ratu Berjubah Ungu, pelindung dan

penguasa semua jenis sihir dan nujum, bahwa

cengkeraman kita atas Lam-koan bisa lepas, kalau kita

lengah!"

"Mohon petunjuk Kakak Hong, apa yang harus

kita lakukan?"

"Adakan korban delapan belas manusia!

Cengkeraman kita atas Lam-koan takkan tergoyahkan

lagi!"

Siau Hok-to terbungkam. Meskipun ia adalah

ketua cabang, dan wataknya juga sudah terpengaruh

oleh ilmu sihir yang dipelajarinya, namun upacara

yang diusulkan oleh Hong Pai-ok itu membuatnya

bimbang. Itulah upacara tertinggi menurut

kepercayaan kaum Teratai Putih, di mana delapan

belas manusia dibakar hidup-hidup di depan dewa
dewa pujaan Pek-lian-hwe. Memang akan

menghasilkan peningkatan pengaruh yang luar biasa,

tetapi Siau Hok-to bimbang.

"Kenapa diam, Saudara Siau?"

"Upacara selengkap itu... apakah sudah diperlu
kan sekarang?"17

Thai Yu-tat yang menjawab, "Apa yang Kakak

Hong katakan, pasti benar! Kalau Kakak Hong bilang

perlu upacara itu, pasti perlu!"

"Masalahnya, apakah di Lam-koan ini terdapat

delapan belas manusia memenuhi syarat untuk

dikorbankan dalam upacara itu?"

Siau Hok-to katakan itu, sebab dalam upacara

itu yang dikorbankan bukan manusia-manusia biasa,

melainkan harus memenuhi syarat. Yaitu manusia

yang sama sekali tidak rela akan kematiannya.

Manusia yang sedang menyongsong hari depan yang

indah, sedang melambung harapannya, pokoknya

manusia yang sedang tidak rela mati. Bukan manusia
manusia yang memang kepingin mati, misalnya yang

putus asa karena banyak hutang. Manusia-manusia

yang tidak rela mati inilah yang justru akan dibunuh,

orang-orang Pek-lian-hwe percaya bahwa ketidak

relaan orang-orang ini akan menghasilkan "kekuatan"

waktu mereka menemui detik kematiannya,

"kekuatan" itu adalah kebencian, dan "kekuatan" yang

terpancar itulah yang akan digunakan Hong Pai-ok dan

kawan-kawannya untuk dijadikan kutukan yang

diarahkan kepada lawan-lawan mereka. Maka Siau

Hok-to mengutarakan keraguannya tadi.18

Namun Thai Yu-tat yang sedang bersemangat

"mengumpulkan nilai baik" di mata Hong Pai-ok,

menjawab dengan gagah, "Kalau kita benar-benar

berniat, bertekad bulat dalam hati, pastilah kita akan

dapatkan kedelapan belas orang itu. Hanya orang
orang bersemangat lembek saja yang belum-belum

sudah putus asa."
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara Thai sudah punya pandangan tentang

delapan belas calon korban ini?" pertanyaan Siau Hok
to bernada sinis dan bertujuan memojokkan Thai Yu
tat.

Tak terduga Thai Yu-tat benar-benar sudah

nekad, sahutnya, "Dalam waktu setengah bulan ini,

adik perempuanku akan menikahkan salah seorang

puterinya. Keponakan perempuan itu sedang penuh

harapan menyongsong hari bahagianya, nah,

bukankah dia cocok untuk korban? Begitu juga calon

suaminya. Nah, dengan demikian kita sudah .dapat

dua. Tinggal kurang enam belas orang."

Bicara soal menyembelih keponakan

perempuannya dan calon suaminya itu, ternyata Thai

Yu-tat mengucapkan dengan datar dan ringan saja, tak

ubahnya seperti secara menyembelih tikus saja.19

Dan itu dipuji oleh Hong Pai-ok, "Saudara Thai

ini sungguh luar biasa penghayatannya terhadap

ajaran luhur Pek-lian-hwe kita, yang mengajarkan agar

berani berkorban dan mengorbankan apa saja demi

kejayaan Ibu Abadi Tanpa Asal-usul dan puteranya

Sang Dewa Cahaya!"

Thai Yu-tat mengangguk-angguk dengan bangga

sambil melirik ke arah Siau Hok-to.

Pembicaraan kemudian beralih ke pelaksanaan

upacara besar yang direncanakan itu. Regu-regu yang

akan bertugas menyediakan korban-korban manusia

pun dibentuk. Dan regu-regu ini akan bertanggung

jawab kepada Thai Yu-tat, sebab Hong Pai-ok

sendirilah yang menunjuknya demikian.

Ini semacam isyarat bahwa Hong Pai-ok sebagai

orang pusat agaknya lebih condong kepada Thai Yu-tat

dibanding Siau Hok-to yang nampak ragu-ragu dan

tidak setegas wakilnya itu.

Kemudian pertemuan dibubarkan.

Siau Hok-to pulang ke rumahnya dengan

perasaan masygul. Dalam beberapa hari ini cukup

banyak persoalan yang membuatnya masygul. Tak

diketahui sebab-musababnya, ilmu pengobatan Siau

Hok-to yang dulunya hebat karena ditopang sesuatu20

yang gaib, sekarang menurun. Banyak pasien yang

tidak sembuh dan mulai meninggalkan Siau Hok-to.

Siau Hok-to heran, padahal dirinya tidak kendor

ibadahnya kepada Sang Dewa Cahaya, bahkan anak

satu-satunya jadi tumbal ilmu pengobatan gaibnya

sehingga anak itu gila dan harus terus dikurung di

ruang bawah tanah.

Selain soal itu, soal Thai Yu-tat yang semakin

getol berusaha mendesak kedudukannya sebagai

ketua cabang, dan nampaknya Hong Pai-ok memberi

angin. Rasa masygul dan kecewa bertumpuk-tumpuk

di hati Siau Hok-to, rasanya percuma ia telah

mengorbankan anak satu-satunya sebagai tumbal

kesuksesannya, sekarang bintang terangnya mulai

pudar sementara anak perempuannya terkatung
katung dalam nasib yang lebih buruk daripada mati.

Siau Hok-to melangkah perlahan di halaman

belakang rumahnya, sebab "Kota Bunga Persik" yang

sangat dirahasiakan letaknya itu sesungguhnya saling

membelakangi dengan kediaman Siau Hok-to.

Lewat sebuah pintu tembus kecil, Siau Hok-to

bisa langsung sampai ke halaman belakang rumahnya.

Saat itu tengah malam. Di saat-saat seperti itu,

biasanya sayup-sayup akan terdengar suara lolong21

tangis bercampur tawa dan teriakan anak Siau Hok-to

yang gila itu, yang ruang penyekapannya tepat di

bawah halaman belakang itu. Suara yang setiap kali

menyayat hati Siau Hok-to. Namun malam itu, ketika

ia melangkah di halaman belakang, sama sekali tidak

terdengar suara itu,

Siau Hok-to menghentikan langkahnya,

tertegun, memiringkan kepalanya agar kupingnya bisa

mencengar lebih tajam. Tetap tak terdengar suara itu.

Tiba-tiba Siau Hok-to seperti disadarkan, bukan hanya

malam itu suara anaknya tidak terdengar, tetapi

rasanya sudah beberapa malam sebelumnya. Tiba
tiba perasaan Siau Hok-to bergetar, campur aduk

antara perasaan cemas. Perasaan lega yang tidak

pernah muncul terang-terangan, bahwa seandainya

anak itu mati, artinya bebas dari penderitaan

berkepanjangan.

Tapi cemas juga kalau membayangkan anaknya

itu mati.

Ia tak mau memikul beban perasaan itu

sendirian, dia lalu berteria, "A-hoooook!"

A-hok adalah seorang bujang di rumahnya yang

setia merawat puteri Siau Hok-to sehari-harinya,22

karena Siau Hok-to sendiri tidak tahan melihat

keadaan puterinya.

Kamar tidur A-hok memang di bagian belakang

rumah itu, maka ketika majikannya meneriakinya

berulang kali dia pun muncul dari kamarnya sambil

menggosok-gosok matanya yang masih mengantuk.

"Ada apa, Tuan?"

"Bagaimana keadaan A-kui belakangan ini?

Kenapa dalam beberapa hari ini tidak kudengar

suaranya?"

Bicara soal momongannya ini, A-hok tiba-tiba

hilang kantuknya. Lalu jawabnya. "Sudah tiga empat

hari ini, memang terjadi perkembangan yang aneh,

Tuan. Perkembangan yang tidak masuk akal."

"Perkembangan ke arah membaik atau mem
buruk?"

"Membaik, Tuan."

"Coba ceritakan."

"Belakangan ini Nona A-kui menunjukkan

tanda-tanda kesembuhan. Tidak berteriak-teriak,

tidak melumurkan kotorannya ke tubuhnya, tidak23

mengamuk. Dan mau makan secara teratur, meski

sedikit."

"Wah, itu kemajuan besar. Apakah dia juga

sudah mau berpakaian dan mandi?"

"Yang ini belum, Tuan."

Hati Siau Hok-to tiba-tiba meluap dengan rasa

haru. Selama bertahun-tahun jiwanya terkurung

perasaan berdosa, ia menikmati kesuksesan sebagai

tabib hebat yang dipuja-puja di Lam-koan, sementara

anak satu-satunya menghabiskan waktu di

kerangkeng bawah tanah sebagai tumbal ilmunya.

Mendengar berita dari A-hok ini, tentu saja Siau Hok
to gembira. Tapi dia lalu menghubungkan berita

membaiknya puterinya ini dengan kemerosotan

wibawanya sebagai ketua cabang Pek-lian-hwe di

Lam-koan, kemerosotan ilmu penyembuhannya, dan

juga menurunnya rejekinya lewat toko obatnya.

Apakah karena tumbalnya hampir "habis masa

berlaku"nya maka ia mulai merosot sedangkan

anaknya mulai sembuh?

Belum ada jawab i yang pasti, namun Siau Hok
to tiba-tiba jadi ingin melihat keadaan anaknya malam

itu juga.

"Aku ingin melihat dia. Sekarang."24

"Mari kuantarkan, Tuan."

Mereka berdua menuju ke tempat penyekapan

A-kui. Mereka memasuki ruang bawah tanah yang

pertama, yang adalah ruang pribadi tempat Siau Hok
to memuja dewanya.

Lalu turun satu tingkat lagi, dan di situlah ruang

penyekapan A-kui yang tidak pernah diinjak Siau Hok
to selama bertahun-tahun. Ruangan itu setiap hari

dibersihkan oleh A-kui Si Bujang setia, toh baunya

tetap busuk juga. Dan udaranya menyesakkan. Kalau

malam hanya diterangi sebatang obor yang

ditancapkan di dinding. Pergantian udara terjadi lewat

pipa-pipa yang terjulur ke permukaan tanah.

Mencium udara dari situ, Siau Hok-to hampir

muntah, tetapi A-hok yang sudah terbiasa itu tidak

terpengaruh, la cabut obor dari dinding, didekatkan ke

arah terali besi agar majikannya bisa melihat lebih

jelas keadaan puterinya.

Mata Siau Hok-to berkaca-kaca melihat anak

satu-satunya itu tertidur miring di lantai, tanpa alas

apa pun. Tanpa sehelai benang pun menutupi

tubuhnya, dengan tubuh kotor dan berbau sebab

bertahun-tahun tidak mau mandi, rambutnya yang

panjang juga gembel bergumpalan. Namun Siau Hok-25

to tidak dapat melihat wajahnya sebab puterinya itu

membelakanginya.

Suara nurani yang sudah lama ditindasnya, tiba
tiba serasa bangkit dan mendakwa Siau Hok-to, "Kau

jual anakmu demi kepuasanmu sendiri."

Suara lain membantahnya, suara yang selama

ini begitu berkuasa atas pikiran Siau Hok-to. "Tidak,

aku tidak mementingkan diri sendiri. Aku akan

korbankan anakku untuk kepentingan banyak orang.

Aku memperoleh ilmu pengobatan yang hebat, dan

aku dapat menolong banyak orang."

Tetapi suara yang pertama tidak segera diam,

melainkan terus menggugat, "Untuk kepentingan

banyak orang, atau untuk kemasyhuranmu? Banyak

orang yang kelihatannya tertolong olehmu itu,

ternyata tidak sungguh-sungguh tertolong, tetapi

justru kau dorong masuk perangkap yang lebih dalam

ketergantungan dengan obat-obat buatanmu."

Siau Hok-to mengepalkan kedua tinjunya untuk

menahan emosinya, dia malu kalau sampai gejolak

perasaannya itu diketahui A-hok bujangnya. Toh tak

terkendali ia berdesis juga, "Semoga cepat sembuh,

anakku. Kurangilah beban rasa berdosa ayahmu ini,

hiduplah bahagia di hari depan."26

Tak terduga desisan yang sangat lirih itu, begitu
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lirihnya sampai A-hok yang di sebelahnya pun tidak

mendengar, ternyata malah membuat mata A-kui

terbuka dan langsung meraung, "Tidak! Kami memiliki

tubuh ini dan akan berdiam terus di sini! Persetan

dengan suara terompet itu! Kalau kami harus pergi

juga, akan kami hancurkan tempat tinggal kami ini!"

Siau Hok-to berkeringat dingin. Sebagai seorang

yang berkecimpung ilmu gaib, ia tahu bahwa yang

menjawab itu bukan puterinya melainkan "penghuni"

puterinya. "Penghuni" puterinya yang selama ini

membantu keberhasilan Siau Hok-to sebagai tabib

top.

Siau Hok-to heran, tadi di "Kota Bunga Persik"

Hong Pai-ok menyinggung sekilas tentang "terompet

perang yang sudah didengar" dan sekarang

"penghuni" puterinya juga menyinggung soal

terompet itu. Terompet apa? Agaknya mah-luk
mahluk gaib sesembahan Pek-lian-hwe itu merasakan

ancaman yang sama.

Betapa pun besar pengharapan Siau Hok-to

akan pulihnya puterinya, tapi lebih besar lagi

ketakutannya terhadap mahluk-mahluk gaib yang

selama ini sudah terlanjur disembah, dimanjakan dan27

dipenuhi semua tuntutannya. Apalagi waktu ingat

nasib Nyo In-hwe dan Ang Bwe-cu yang tubuhnya

hancur terkoyak-koyak di depan altar pemujaan

mereka sendiri. Ada dugaan bahwa sang sesembahan

sendiri yang menghancurkan pemuja-pemujanya

sendiri.

Mendengar kata-kata kemarahan dari mulut

puterinya itu, Siau Hok-to gemetar ketakutan dan

menjawab, "Maafkan kata-kataku tadi. Dalam

mengharapkan kesembuhan anakku, aku sama sekali

tidak berniat mengusir kalian. Kusangka kedua hal itu

adalah urusan yang berbeda."

"Ketahuilah, anakmu adalah kepunyaan kami!"

Siau Hok-to kasihan kepada anaknya, artinya

anaknya akan terus dianiaya oleh "penghuni-penghuni

asing" dalam dirinya itu, namun ia tidak berani

menentang mahluk-mahluk gaib itu.

Buru-buru Siau Hok-to mengajak bujangnya

berlalu dari tempat itu. Dan sepanjang malam itu,

suara raungan, teriakan, tangisan, ancaman dan

sumpah serapah yang sudah beberapa malam tak

terdengar, sekarang terdengar lagi.

###28

Fajar belum merekah di balik bukit. Namun Liu

Yok sudah bangun dan duduk merenung di lereng

bukit di belakang reruntuhan rumah yang jadi "markas

darurat" agen-agen kerajaan dari Pak-khia itu. Liu Yok

duduk merenung dan melihat kota Lam-koan jauh di

bawahannya masih remang-remang.

Kemudian Liu Yok memejamkan matanya, dan

melihat dengan matanya yang lain. Ia melihat kota

Lam-koan terkurung suasana yang suram, kabut tebal

melingkupinya, seluruh kota ditumbuhi semak belukar

termasuk jalanan-jalanannya. Seluruh kota juga

dipenuhi hewan-hewan buas yang berkeliaran seperti

singa, serigala, buaya, ular, burung-burung pemakan

bangkai yang kelihatan bertengger di setiap tempat.

Dalam suasana yang mirip padang belantara

itulah terlihat rakyat Lam-koan melakukan

kegiatannya sehari-hari. Nampak orang-orang yang

keluar masuk rumah, berjual beli, berbicara, berada di

jalanan. Dan kelihatan betapa orang-orang Lam-koan

itu hidup di bawah ancaman dan kendali hewan
hewan liar itu. Sebagai contoh, Liu Yok melihat

seorang penduduk Lam-koan sedang berjalan gontai

dan di depannya ada seekor anjing besar yang

mendahului jalannya. Ada seutas tali yang

menghubungkan antara dua jenis mahluk itu. Kalau29

tidak diperhatikan benar, Liu Yok akan menyangka

bahwa orang itu sedang berjalan-jalan sambil

menuntun anjingnya, suatu kebiasaan yang ditiru dari

orang-orang Portugis di Makao dan Kanton. Manusia

dan anjing itu melewati sebuah rumah judi.

Manusia ingin berjalan terus, namun si Anjing

Besar dengan mulutnya menarik-narik tali itu dan

mengajak orang itu berbelok ke rumah judi. Kemudian

terlihat jelas, bahwa bukan manusia yang menuntun

anjing, melainkan sebaliknya, anjing yang menuntun

manusia. Anjing itu menggigit ujung tali dan

menuntun manusia ke mana pun yang si Anjing

kehendaki, ujung tali lainnya menjerat leher Si

Manusia.

Liu Yok menarik napas. Apa yang dilihatnya itu

tidak wajar.

Seluruh Lam-koan kelihatan berkabut, tak ada

cahaya setitik pun. Situasi demikianlah manusia
manusia dikuasai hewan-hewan liar itu.

Tetapi tiba-tiba Liu Yok melihat di pinggiran kota

ada cahaya yang redup bergerak-gerak. Liu Yok

mempertajam pandangannya, terlihat seorang

berjalan membawa obor. Cahaya obor itu ternyata

menakutkan hewan-hewan liar itu, terbukti waktu Si30

Pembawa Obor lewat maka hewan-hewan minggir

ketakutan dan orang-orang yang dikuasai hewan
hewan itu bebas untuk sementara. Tetapi Si Pembawa

Obor berjalan lewat, dan setelah dia jauh dan cahaya

obornya tidak kelihatan lagi maka hewan-hewan liar

kembali mendikte dan menggiring manusia.

Liu Yok tidak suka melihat adegan itu, ia juga

jengkel melihat Si Pembawa Obor itu ternyata berjalan

membawa obornya sambil menudungi obornya

dengan sebuah buyung tanah liat. Pantas kalau

obornya hanya menyala redup, dan tidak terlalu

menakutkan hewan-hewan liar itu.

"Seandainya buyung tanah liat itu dibuang atau

dipecahkan sama sekali." Liu Yok berpikir penasaran

sekali dalam hatinya.

Liu Yok tergagap dan matanya terbuka, ketika

Kui Tek-lam menepuk pundaknya sambil berkata,

"Makan pagi sudah siap, Saudara Liu. Bukan kentang

rebus lagi seperti biasanya. Bosan. Aku baru saja

berlari pulang-balik membeli bak-pao di kampung

sebelah. Ayo, masih hangat."

Begitu Liu Yok membuka mata, yang dilihatnya

tentang Lam-koan yang dipenuhi hewan-hewan liar itu

pun menghilang. Pandangannya sekarang adalah31

pandangan mata ragawinya yang memandang tidak

berbeda orang lain memandang. Yang kelihatan dari

atas tebing sekarang adalah Lam-koan yang cerah

menyongsong fajar, dengan dermaga sungainya yang

sibuk sepanjang hari melayani kapal-kapal yang

datang dan pergi.

Sambil melangkah menuruni tebing menuju ke

reruntuhan rumah, Liu Yok tidak berkata apa-apa,

sebab ia sedang sibuk merenungkan isyarat-isyarat

yang diterimanya.

"Kemarin malam aku bermimpi tentang buyung

tanah liat yang berisi batu, sehingga tidak dapat berisi

banyak air sungai yang bisa menghidupkan kembali

tanah gersang. Baru saja aku melihat obor yang

ditudungi buyung tanah liat, sehingga cahaya obor

yang mestinya dapat menghalau hewan-hewan liar,

hanya membuat hewan-hewan itu mundur sesaat

namun kemudian menguasai mangsanya kembali.

Buyung tanah liat, inilah kuncinya. Buyung tanah liat

ini harus dikosongkan, dibersihkan, bahkan kemudian

diremukkan."

"Saudara Liu sedang memikirkan apa?"

"Suatu isyarat yang belum terpecahkan."32

Kui Tek-lam tidak bertanya lagi. Tahu diri. Tahu

bahwa urusan Liu Yok jauh berbeda dengan urusan di

dunianya Kui Tek-lam.

Maka Kui Tek-lam lebih suka tanya soal lain, soal

yang masih termasuk "dunianya Liu Yok" namun

sedikit-sedikit sudah dapat dipahaminya, "Saudara

Liu, hari ini apakah Saudara akan mengelilingi kota

Lam-koan lagi, seperti kemarin?"

"Ya. Saudara Kui masih mau ikut?"

Kui Tek-lam berpikir sejenak, akhirnya men
jawab, "Baik."

Liu Yok tersenyum, "Saudara Kui agaknya lebih

punya minat terhadap soal-soal macam ini, daripada

Saudara Thiam."

"Saudara Thiam lambat laun juga akan percaya

bahwa hal-hal adi-kodrati itu ada. Sampai detik ini, aku

yakin, dia masih terheran-heran soal orang yang

menolong kami kemarin dulu."

"Baru sampai tahap terheran-heran."

"Ya. Pertama heran. Kedua ingin tahu rahasia
nya. Ketiga belajar."

"Saudara Kui sendiri sudah di tahap berapa?"33

"Barangkali tahap ke dua. Ingin tahu."

Mereka tiba di reruntuhan, lalu makan bak-pao.

Ternyata Cu Tong-liang sekarang sudah bisa

mengangkat punggungnya sehingga tidak lagi

bersandar tembok, jari-jarinya sudah bisa memegang

bak-pao dan lengannya sudah bisa bergerak sehingga

dia pun bisa makan sendiri meskipun perlahan. Dia

juga sudah bisa berbicara, meski hanya kata-kata

pendek.

Hari itu, Liu Yok dan Kui Tek-lam kembali

berjalan berkeliling kota Lam-koan. Liu Yok bernyanyi
nyanyi sepanjang jalan, seperti kemarinnya, tidak

menggubris orang-orang yang menganggapnya gila.

Bahkan ada anak-anak kecil beberapa orang yang

mengikutinya dan melempari batu ke arah "orang gila

baru" di Lam-koan ini. Waktu sebutir batu mengenai

kepala Liu Yok, anak-anak kecil itu bersorak lalu berlari
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjauh, namun segera berkerumun kembali. Kui

Tek-lam jadi sibuk menghalau anak-anak itu, namun

tiap kali anak-anak itu balik kembali.

Diam-diam Kui Tek-lam menggerutu dalam hati,

"Kalau kulaporkan tindakanku ini kepada Jenderal

Wan Lui, entah dia mau percaya atau tidak?"34

Tetapi pikiran lain membantahnya, "Namun

Jenderal Wan sendirilah yang mengusulkan kepada

kami untuk membawa Liu Yok dalam operasi ini."

Ketika tiba di dekat pasar, "orang gila" Liu Yok

berpapasan dengan orang gila yang sesungguhnya.

Yaitu Pang Hui-beng. Kui Tek-lam hampir tidak35

mengenali lagi rekannya sesama perwira istana itu,

sebab Pang Hui-beng sekarang lebih kurus, kulitnya

lebih hitam kena cahaya matahari dan juga karena

daki hasilnya tidak mandi belasan hari, pandangan

matanya kadang liar kadang hampa. Pakaiannya

compang-camping dan celana di bagian pantatnya

somplak besar sehingga sebelah pantatnya kelihatan.

Ia kadang menangis, tertawa, mencaci-maki,

mengejar anak-anak.

Kui Tek-lam hampir menangis melihat keadaan

sahabatnya itu.

Saat itu terjadilah sesuatu ketika Pang Hui-beng

berpapasan dengan Liu Yok. Sebelumnya Pang Hui
beng sedang berjongkok sambil makan nasi sisa di

depan sebuah warung, alas nasinya hanya selembar

kertas kumal. Sambil makan juga diganggu oleh anak
anak kecil.

Tetapi begitu melihat Liu Yok, Pang Hui-beng

tiba-tiba berdiri, terbelalak ketakutan menatap Liu

Yok. Sisa nasinya dibuang begitu saja, lalu berteriak

menuding Liu Yok, "Hentikan suara terompetmu!

Hentikan! Kami tidak tahan lagi!"

Karena Liu Yok tidak menuruti perintahnya, dari

mulut Pang Hui-beng pun terdengarlah lolongan36

keputus-asaan, kemudian dia lari terbirit-birit sambil

menutup kedua belah kupingnya.

Orang-orang di dekat pasar dan di pinggir jalan

itu banyak yang tertawa melihat adegan lucu

"bertemunya dua orang gila" itu. Anak-anak kecil pun

bersorak-sorak. Namun Liu Yok sendiri dengan sikap

acuh tak acuh terus melangkah sambil terus

bersenandung. Karena merasa agak malu, Kui Tek-lam

mengikutinya dari jarak agak jauh, belasan langkah.

Tetapi di antara orang-orang yang duduk di

warung di depan pasar, ada dua orang yang tidak ikut

tertawa menyaksikan kejadian tadi. Dua orang itu

dandanannya biasa, tidak terlihat berbeda dengan

pengunjung-pengunjung warung lainnya.

Namun setelah melihat adegan "lucu" tadi,

yang seorang berbisik kepada temannya, "Mungkin ini

orangnya yang dikehendaki oleh Kakak Hong Pai-ok. Si

Dukun Manchu yang sering menggagalkan sihir kita."

"Bagaimana kau bisa sampai berpendapat begitu?"

"Tidakkah kau dengar teriakan Pang Hui-beng

tadi? Yang berteriak itu sebenarnya bukan Pang Hui
beng, melainkan roh-roh yang di dalam tubuh Pang

Hui-beng, yang dimasukkan oleh Kakak Siau melalui

'sihir mata ke tiga'-nya."37

"Teriakan tentang... suara terompet itu?"

"Betul. Menurut Kakak Thai, Kakak Hong

mendapat isyarat gaib berulang kali tentang 'suara

terompet' itu. Jadi Si Dukun Manchu itu barangkali

sedang mengelilingi kota untuk menyebarkan

pengaruh gaibnya menentang kita, lagak gilanya itu

mungkin hanya dibuat-buat."

"Kalau begitu, kita harus cepat bertindak.

Kaulaporkan kepada Kakak Thai, sedangkan aku biar

menguntit dukun Manchu itu diam-diam, sambil

sepanjang jalan kutinggalkan tanda-tanda agar kalian

bisa mengikutinya."

"Baik."

Kedua orang itu bergegas membayar makan

minum mereka dan kemudian meninggalkan warung.

Di luar warung, mereka berpisah. Satu orang

mengikuti Liu Yok diam-diam, satu orang hendak

melaporkannya kepada Thai Yu-tat yang sedang

berada tidak jauh dari situ.

Liu Yok yang sedang "tenggelam" dalam

pemujaannya kepada Yang Maha Esa, tidak sadar

kehadiran orang-orang sekelilingnya, bahkan kepada

dirinya sendiri pun tidak sadar, apalagi diikuti orang.38

Namun Kui Tek-lam lain. Sebagai orang yang

berpengalaman dalam soal mengekor orang, naluri

Kui Tek-lam terasah tajam. Ratusan langkah kemudian

Kui Tek-lam sudah merasakan ada yang membuntuti
nya, dan tidak lama setelah itu Kui Tek-lam pun sudah

tahu siapa orangnya, meskipun jalanan itu sedang

ramai orang berlalu-lalang.

Mengetahui hal itu, Kui Tek-lam ragu-ragu,

apakah Liu Yok harus diberitahu meskipun Liu Yok

sudah berpesan agar jangan diajak bicara? Akhirnya

Kui Tek-lam memutuskan, Liu Yok tidak akan

diberitahu lebih dulu, kecuali kalau keadaan sudah

cukup mengancam.

Ketika tiba di bagian pinggiran kota yang sepi
dan banyak semak belukarnya, Kui Tek-lam tahu

bahwa yang mengikutinya sekarang bukan cuma satu

orang, melainkan ada enam-tujuh orang yang

semuanya bersenjata.

"Permainan dimulai...." desis Kui Tek-lam dalam

hatinya, la sendiri tidak membawa senjata, sebab tadi

ketika hendak membawa senjata, Liu Yok melarang
nya dengan alasan: membawa benda yang berbau

kekerasan sama dengan mengundang semangat

kekerasan.39

"Tetapi sekarang tanpa benda-benda berbau

kekerasan di tubuh kami berdua pun, kekerasan bakal

dijalankan atas kami." keluh Kui Tek-lam dalam hati.

Di tempat belukar yang benar-benar sepi,

orang-orang yang membuntutinya tidak lagi

sembunyi-sembunyi, melainkan muncul terang
terangan menghadang dan mengepung Liu Yok

berdua. Semuanya memakai topeng yang dicat warna
warni, dan yang memimpin mereka agaknya adalah

orang yang bertubuh pendek dan kecil serta

bertopeng wajahnya Dewa Mo Sui. Dialah Thai Yu-tat,

wakil ketua cabang Pek-lian-hwe di Lam-koan. Kali ini

ia tidak membawa senjata andalannya yang berupa

garu besi bertangkai panjang, mungkin karena

ukurannya terlalu mencolok untuk dibawa-bawa di

siang hari bolong. Sekarang ia cuma membawa

sepasang golok yang tadi disembunyikannya dalam

jubah.

"Anjing-anjing Manchu, menyerahlah!" ancam

Thai Yu-tat, sambil di balik topengnya berkomat-kamit

melancarkan serangan gaib untuk melemahkan

korbannya. Namun kali ini Thai Yu-tat kecewa, karena

serangan gaibnya amblas entah ke mana.40

Maka Thai Yu-tat memutuskan akan memakai

"cara biasa" saja, sambil berharap jumlah yang banyak

di pihaknya akan memperlancar urusan.

Ketika melihat Liu Yok dan Kui Tek-lam tidak

menunjukkan tanda-tanda menyerah, Thai Yu-tat pun

memerintahkan orang-orangnya untuk bergerak.

Kui Tek-lam sadar, itu artinya dirinya sendirilah

yang harus menghadapi tujuh orang. Liu Yok tak

mungkin diikut-serta-kan, sebab Liu Yok sama sekali

tidak bisa berkelahi, menganggap ilmu bela diri

sebagai "ilmu kekerasan". Padahal di pihak lawan ada

Thai Yu-tat, yang pernah Kui Tek-lam saksikan

kehebatan dan kekejamannya waktu membantai

orang-orang Thian-te-hwe dulu. Waktu itu Kui Tek-lam

"masih anggota" Pek-lian-hwe.

Orang-orang itu mulai bergerak, dan Kui Tek
lam pun siap meladeni mereka, tetapi Liu Yok

memegangi lengannya sambil berkata, "Jangan,

Saudara Kui."

"Saudara Liu, aku tahu kau cinta damai dan

benci kekerasan. Tetapi kali ini bukan kita yang mulai,

merekalah yang cari gara-gara, apakah kita akan

biarkan diri kita ditangkap atau dicincang mereka?"41

"Kalau itu jalan Yang Maha Kuasa untuk bisa

berdialog dengan mereka, apa salahnya?"

Percakapan Liu Yok dan Kui Tek-lam itu

mengherankan Thai Yu-tat dan orang-orangnya,

sehingga meskipun mereka sudah mengepung dengan

bersiaga, mereka belum bertindak juga.

Thai Yu-tat bertanya kepada Liu Yok, "Kaulah

yang selama ini menggagalkan sihir-sihir kami?"

Liu Yok menyahut, "Menggagalkan? Aku tidak

pernah menunjukkan tindakanku kepada kalian. Aku

hanya seorang pelaksana dari hukum-hukum kerajaan

Yang Maha Kuasa, dan aku hanya bertindak

semestinya."

"Bukan di sini tempatnya berkhotbah, sekarang

mau ikut aku atau tidak?"

Liu Yok menoleh kepada Kui Tek-lam, bertukar

pendapat hanya melalui tatapan mata. Kui Tek-lam

menggeleng, namun Liu Yok termenung.

Tiba-tiba di kejauhan sayup-sayup terdengar

suara seseorang berdendang tanpa kelihatan

orangnya, "Kalau buyung tanah liat masih berisi

gumpal-gumpal batu iba diri, sayang kepada diri

sendiri, bagaimana bisa mengalirkan banyak air untuk42

tanah gersang? Kalau buyung tanah liat belum

dipecah-remukkan, bagaimana manusia sejati bisa

memancar keluar dan menerangi dunia?"

Thai Yu-tat, Kui Tek-lam dan lain-lainnya tidak

mendengar suara itu, yang mereka lihat hanyalah Liu
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yok yang memiringkan kepalanya seperti sedang

mendengarkan sesuatu. Sehingga Thai Yu-tat berkata,

"Apa yang kau dengar?"

Ditanya demikian, Liu Yok malahan mendesis
kan terima kasih yang lirih dan keputusannya

mencengangkan kawan maupun lawan, "Tangkap

aku!"

Kui Tek-lam terkejut. "Saudara Liu, kau...."

"Saudara Kui, aku memahami benar yang

kulakukan saat ini. Bahkan aku menyesal kenapa tidak

dari kemarin aku lakukan ini. Aku terlalu sayang

buyung tanah liatku alias selubung perasaan sayang

diri sendiri."

"Sayang diri sendiri tidak ada salahnya."

"Ya, tetapi membuat kemuliaan Sang Pencipta

yang terpancar keluar jadi amat terbatas."43

Thai Yu-tat membentak, "Jangan berdialog soal

kepercayaan di sini. Kau, anjing Manchu yang satu lagi,

lebih baik kau menyerah seperti kawanmu ini!"

Kui Tek-lam saat itu ada di antara dua pilihan

yang sulit. Kalau tidak mempedulikan nasib Liu Yok,

tidak sulit baginya untuk kabur dari situ. Tapi kalau la

ingin menolong Liu Yok, mau apa kalau yang ditolong

sendiri malah lebih suka direndahkan jadi tawanan?

Kui Tek-lam belum setabah Liu Yok untuk membiarkan

dirinya ditawan, apalagi mengingat Cu Tong-liang yang

masih butuh perawatan.

Saat dia ragu-ragu itulah tiba-tiba di kejauhan

terlihat seorang tua berjalan tertatih-tatih menuruni

lereng. Kui Tek-lam menajamkan matanya, dan

mengenali bahwa orang tua itulah yang pernah

menolongnya bersama Thiam Gai. Orang tua yang

dalam perjalanan pulang berubah rupa beberapa kali.

Hati Kui Tek-lam melonjak, berharap Si Orang

Tua kembali menunjukkan kehebatannya untuk

menolongnya dan menolong Liu Yok juga.

Mulut Si Orang Tua kelihatan bergerak-gerak di

kejauhan, dan Kui Tek-lam mendengar bisikan lembut

di kupingnya, lebih lembut dari dengingan nyamuk.44

"Biarkah Liu Yok. Itu jalan kemenangan untuk

membebaskan seluruh Lam-koan."

Kui Tek-lam tergerak hatinya, maka dia tiba-tiba

melompati kepada orang terdekat dan kemudian

berlari sekencang-kencangnya.

Thai Yu-tat terkejut, serunya kepada anak

buahnya, "Tangkap! Kejar!"45

Thai Yu-tat sendiri menyambitkan sepasang

golok pendeknya ke punggung Kui Tek-lam. Namun

Kui Tek-lam berhasil menghindarinya dengan

bergulingan di tanah. Seorang anggota Pek-lian-hwe

yang mencoba mementungnya, malah kena

tendangan Kui Tek-lam yang dilakukannya sambil

berguling.

Kui Tek-lam tidak tercegah lagi.

Sementara Liu Yok segera dibelenggu dan

kemudian digiring ke "Kota Bunga Persik". Tetapi

untuk menjaga kerahasiaan letak tempat paling

keramat bagi orang-orang Pek-lian-hwe itu, Liu Yok

dinaikkan joli tertutup dan matanya pun ditutup kain

hitam.

Liu Yok tidak melihat apa-apa selain warna

hitam pekat, dan ia merasakan guncangan tandu. Ia

tidak tahu sudah sampai di' mana, namun ketika

memasuki "Kota Bunga Persik" nalurinya yang sangat

tajam bisa merasakannya. Dari dasar hatinya

membubung tinggi doa untuk melindungi jiwa dan

raganya dari kekuatan-kekuatan maha jahat yang

sekarang terasa begitu kental seolah-olah bisa diraba.

Hong Pai-ok yang jarang meninggalkan "Kota

Bunga Persik", amat bersuka-cita melihat tawanan46

yang dibawa Thai Yu-tat. Inilah "dukun Manchu" yang

menghantui pikirannya selama ini. Selain gembira,

Hong Pai-ok agak berdebar juga.

Ketika ia berhadapan dengan Liu Yok yang

sudah keluar dari joli dan sudah dibuka penutup

matanya, Hong Pai-ok langsung merasakan wibawa

yang terpancar dari dalam diri Liu Yok amat besar,

menekan wibawa Hong Pai-ok sendiri sehingga

rasanya ada sesuatu yang meronta di perut Hong Pai
ok.

"Siapa namamu?" tanya Hong Pai-ok segarang

mungkin, sambil dalam hatinya berdoa memohon

kekuatan dari dewa-dewanya. Sialnya, di saat

dibutuhkan seperti saat itu, dewa-dewa pujaannya

entah bersembunyi di mana, tidak ada yang terasakan

kehadirannya oleh Hong Pai-ok.

Liu Yok menjawab ramah, "Liu Yok."

"Ooo, pantas. Nama besarmu pernah dikenal

oleh kaum Teratai Putih di Sekte Utara. Kau hebat dan

berhasil membuat mereka gagal dalam pertemuan

besar di Puncak In-hong."

Ada rasa bangga menyelimuti jiwa Liu Yok,

tetapi ia kaget sendiri ketika suara lembut di hatinya

memperingatkan bahayanya kesombongan.47

Kesombongan berarti mempertebal lapisan

"buyung tanah liat" keakuan, mempersulit pecahnya

"buyung tanah liat" itu dan dengan demikian juga

mempersulit terpancarnya manusia sejati, citra Sang

Pencipta sendiri.

Liu Yok memohon ampun dalam hati, kemudian

menjawab Hong Pai-ok, "Aku sama sekali tidak

berkuasa apa-apa. Aku hanya sebuah alat di tangan
Nya."

"Apa pun yang kaukatakan kau sudah

menggagalkan banyak serangan gaib kami kepada

anjing-anjing Manchu yang mengganggu kami. Dan

karena itu, kami menganggapmu berpihak kepada

anjing-anjing Manchu itu."

"Aku tidak bermaksud menggagalkanmu. Aku

hanya merasa keberatan, kalau manusia sebagai

ciptaan termulia, hidupnya ditaruh di bawah kekuasa
an mahluk-mahluk gaib dan tunduk di bawah mereka,

padahal seharusnya manusialah yang memerintah

mereka."

"Sihir apa yang kaupelajari?"

"Aku tidak belajar sihir. Itu terkutuk."48

"Sihir putih juga? Sihir yang untuk menolong

sesama, untuk mengobati, memperlancar dapat

jodoh, memperlancar rejeki, menolak bala?"

"Di kitabku dikatakan bahwa semua sihir adalah

terkutuk, entah hitam entah putih. Yang mengandal
kan kepadanya bukan mendapatkan pertolongan,

tetapi memasuki perangkap dan menjual jiwanya."

Kembali Hong Pai-ok merasa ada yang meronta

di bawah ulu hatinya. Ia merasa geram dan tidak

senang melihat ketenangan Liu Yok, yang paling

menggusar-kannya adalah perkataan Liu Yok yang

menganggap dewa-dewa di langit lebih rendah

kedudukannya dari manusia. Sulit dibedakan, yang

marah itu Hong Pai-ok ataukah dewa-dewa yang

bersemayam dalam tubuh Hong Pai-ok.

Hong Pai-ok lalu memerintahkan orang
orangnya, "Masukkan si mulut besar ini ke sel yang

paling kecil. Pasung tangan dan kakinya!"

Liu Yok pun digiring orang-orang Pe-lian-hwe ke

tempat penahanan di bawah tanah yang sangat

kokoh. Bukan hanya sangat kokoh secara fisik, tetapi

juga secara gaib. Waktu perbuatannya dulu sudah

mengikut-sertakan perhitungan-perhitungan gaib

berdasarkan letak bintang, letak tanah, letak49

"punggung naga" dan sebagainya. Kemudian waktu

dibangunnya juga dengan sesaji besar-besaran

termasuk korban-korban manusia, setiap pintu dan

lorongnya digantungi jimat-jimat penangkal. Kata

orang-orang Pek-lian-hwe sendiri, tempat itu sering

didatangi mah-luk-mahluk aneh yang bisa menghilang,

di lain saat kedengaran suara orang merintih-rintih

tanpa kelihatan orangnya.

Namun ketika Liu Yok dijebloskan ke sel sempit

yang ukurannya hanya satu kali dua meter, tingginya

hanya satu meter setengah dan udaranya berbau

bukan kepalang, gelap dan lembab, banyak

kecoaknya. Sebelum sampai ke sel neraka itu, Liu Yok

melewati lorong-lorong dan pintu-pintu. Melihat

jimat-jimat penangkal yang bergelantungan di atas

pintu-pintu itu, Liu Yok menarik napas dan berkata

dalam hati, "Inilah ujud kebodohan manusia,

membangun penjara bagi jiwanya sendiri dengan

menundukkan diri ke bawah kuasa-kuasa yang

sebenarnya tidak patut ditunduki. Demi uang,

kekuasaan, kekuatan, kecemerlangan duniawi."

Ketika melewati sel-sel berterali besi, Liu Yok

melihat beberapa sel sudah ada isinya, meskipun lebih

banyak yang kosong. Di sebuah sel ia melihat Oh Tong
peng sedang meringkuk tidur miring di lantai dengan50

tangan dan kaki dibelenggu. Di sel yang lain, nampak

seorang lelaki gemuk berpenampilan sebagai

saudagar sukses, berpegangan terali besi dengan air

mata bercucuran, memohon-mohon, "Tolonglah...

apa kesalahanku sehingga aku dimasukkan kemari?

Aku berdagang dengan jujur, seumur hidup belum

pernah merugikan orang lain satu sen pun. Keluarkan

aku dari sini, kubayar berapa pun yang kalian minta."

Penjaga-penjaga Pek-lian-hwe itu tidak mem
pedulikannya.

Di sel lain, seorang pemuda tampan juga sedang

memohon-mohon agar dilepaskan. Beberapa sel

kemudian, seorang gadis cantik melakukan hal yang

sama di bawah deraian air matanya.

Tergerak belas kasihannya, Liu Yok bertanya

kepada orang-orang yang menggiringnya, "Siapa
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tawanan-tawanan itu?"

Seorang penjaganya menjawab, "Lelaki

setengah baya tadi adalah pedagang paling jujur dan

paling tekun di Lam-koan. Karena kejujuran dan

ketekunannya, maka selagi saudagar-saudagar lainnya

cepat kaya dengan main sikut kiri-kanan, Si Jujur ini

lambat menjadi kaya. Hartanya terkumpul sedikit

demi sedikit selama puluhan tahun, tetapi akhirnya51

menjadi orang kaya juga. Sebenarnya dia sedang

menghadapi hari-hari cemerlang. Dia baru saja teken

kontrak dengan seorang pedagang rempah-rempah

besar di Kanton, untuk memasok sejumlah besar

rempah-rempah dan hasil bumi dari pedalaman

kepada Si Saudagar Kanton. Si Saudagar Kanton akan

mengapalkannya ke negeri-negeri asing."

"Ooo, begitu? Lalu kedua muda-mudi tadi?"

"Mereka sepasang calon pengantin yang sedang

menyongsong hari bahagia mereka. Mereka sudah

berpacaran bertahun-tahun dengan mengalami

banyak hambatan, namun cinta mereka teguh melaiui

semua gelombang kehidupan, hingga akhirnya

perjodohan mereka direstui keluarga kedua belah

pihak. Rencananya bulan depan ini mereka akan

menikah. Seluruh kota Lam-koan rasanya ikut

berbahagia buat mereka."

Liu Yok mengerutkan keningnya.

"Mereka adalah orang-orang yang justru

sedang mendekati saat-saat puncaknya kehidupan,

kenapa mereka kalian kurung? Apa kesalahan

mereka?"

"Tidak bersalah apa-apa."52

"Kenapa kalian tangkap?"

"Karena orang-orang yang sedang mendekati

puncak kehidupan yang demikian itulah yang justru

cocok dijadikan korban kami. Mereka akan mati

penasaran, dan kebencian serta kemarahan yang

mereka lepaskan bersamaan dengan lepasnya nyawa

mereka, adalah saluran yang baik untuk memperkuat

pengaruh kami."

Liu Yok mulai mengerti. Rupanya orang-orang

Pek-lian-hwe ini menggunakan semangat kebencian

dan kemarahan sebagai saluran kekuatan adi-kodrati

mereka, tidak ubahnya Liu Yok menggunakan belas

kasihan dan pengesampingan kepentingan diri sendiri.

Tiba-tiba saja Liu Yok berkata, "Lepaskan orang
orang itu, biar aku menggantikan mereka. Aku rela."

Orang-orang Pek-lian-hwe yang mengantarnya

tertawa, "Justru si calon korban yang rela mati itu yang

tidak laku. Rela, tidak penasaran, maka waktu mati

pun tidak ada semangat kebencian dan kemarahan

yang terpancar, jadi tidak ada gunanya."

Kemudian Liu Yok pun dijebloskan ke dalam sel

sempitnya. Penggiring-penggi-ringnya menyangka Liu

Yok akan menggerutu, setidak-tidaknya menunjukkan

sikap tidak senangnya melihat buruknya tempat itu.53

Ternyata Liu Yok tidak menunjukkan sikap yang

diharapkan pengi-ring-pengiringnya. Liu Yok tetap

kelihatan damai, bahkan ketika ia diduduk
selonjorkan dan kakinya dipasung dengan balok-balok

kayu yang. besar dan berat dan tangannya dipasangi

rantai.

Sorang anggaota Pek-lian-hwe yang pangkatnya

agak tinggi rupanya, membaca mantera dan

menempelkan kertas jimat ke kayu pasungan Liu Yok

dan juga ke rantai besinya. Agaknya kuatir Si "Dukun

Manchu" ini menggunakan "sihir" nya untuk kabur.

Kemudian pintu besi ditutup, dan Liu Yok

tertinggal dalam kegelapan yang bagi orang lain akan

terasa menyesakkan napas. Namun Liu Yok berkata

kepada dirinya sendiri, mengulang sebuah perkataan

kitab yang sangat meresap di jiwanya, "Terang

bersinar bagiku dalam kegelapan. Pujilah Dia, hai

segenap batinku, puj...."

Suara Liu Yok tiba-tiba lenyap, udara dalam

ruangan itu tiba-tiba saja seolah-olah menghilang

semua sehingga ruang yang sudah pengab itu seakan

berubah menjadi ruang hampa udara di mana tak

secuil udara pun bisa dihirup. Namun udara juga

seakan-akan memadat dan menekan serta mencekik54

Liu Yok. Kedalaman jiwa Liu Yok bisa merasakan

adanya kemarahan dan kebencian tak berwujud yang

mempribadi yang ingin menggencetnya hancur

dengan kekuatannya.

Kini tinggal jiwa Liu Yok yang dapat berseru

kepada Sumber Hidupnya karena lehernya tercekik

tak dapat mengeluarkan suara.

Tiba-tiba tekanan terasa melonggar, dan Liu Yok

dapat berkata lagi. Perkataannya ditujukan langsung

ke dalam kegelapan yang mengurungnya, "Kalian tidak

senang mendengarnya? Kalian ingin merampas pujian

itu dari mulutku? Kalian telah gagal, dan akan tetap

gagal."

Udara semakin longgar, beberapa kali terasa

memberat seperti hendak menekan kembali tetapi

kemudian melonggar kembali. Liu Yok tidak berhenti

bernyanyi riang meskipun telah mengalami kejadian

seperti tadi.

Di ruangan gelap itu, jalannya waktu tidak

diketahui. Tetapi tentu sudah berjam-jam, sebab Liu

Yok sudah merasakan perutnya lapar. Namun tak

seorang pun muncul membawakan makanan maupun

minuman. Tenggorokan Liu Yok mulai terasa kering,

meskipun ia berulang kali membasahinya dengan55

menelan ludahnya. Rasa lapar masih lebih mudah

ditahan daripada rasa haus. Tetapi dalam keadaan

haus itu Liu Yok tetap saja bersenandung.

Waktu rasa lapar dan haus telah demikian

menyiksa, Liu Yok baru mulai mengerti artinya

"memecahkan buyung tanah-liat".

Akhirnya mulut Liu Yok tak bisa bersuara lagi,

kaku dan kering, tetapi sorak-sorai dalam jiwanya

tidak menurun malahan semakin menghebat. Jiwanya

seperti sebuah kota yang sedang berpesta.

Pesta suci.

Dalam keadaan setengah sadar, pintu sel dibuka

dan seorang anggota Pek-lian-hwe masuk membawa

nampan. Di atas nampan ada semangkuk makanan

lezat, buah-buahan dan minuman harum. Baunya

merangsang selera.

"Anjing Manchu, makanlah. Kami belum ingin

kau mati," kata si anggota Pek-lian-hwe sinis.

Dorongan alami tubuh Liu Yok yang sedang

kelaparan dan kehausan itu langsung menanggapi

tawaran itu secara alamiah. Tangan Liu Yok sudah

terulur ke arah mangkuk minuman, tetapi ada susuatu

dalam jiwa Liu Yok yang menahan gerakan itu, dan Liu56

Yok bertanya lebih dulu, "Darimana makanan dan

minuman ini?"

"Dari dapur, tentu saja."

"Semewah ini untuk seorang tawanan seperti aku?"

"Apa salahnya?"

"Katakan, apakah makanan ini sudah ditaruh di

altar dewa-dewamu sebagai persembahan?"

Si orang Pek-lian-hwe ragu-ragu. Ia bisa saja

menjawab sekenanya, atau membohongi Liu Yok,

namun ada suatu cahaya dalam sorot mata Liu Yok

yang membuatnya takut berbohong, entah kenapa.

Cahaya mata Liu Yok sendiri bukannya menakutkan

atau garang, sama sekali bukan, bahkan lembut,

hangat dan bersahabat.

"Jawab, sobat," desak Liu Yok.

Tanpa berani menentang mata Liu Yok, orang

itu menjawab, "Apa bedanya sudah ditaruh di altar

atau belum?"

"Jadi sudah ditaruh di altar?"

"Ya." jawab Si Penjaga tidak tegas.57

Maka dengan mengkesampingkan tuntutan

hebat dari tubuhnya untuk makanan dan minuman,

Liu Yok menjawab lembut dan sopan, "Maaf, silakan

Saudara bawa kembali hidangan itu."

"Kenapa?"

"Aku tidak bisa makan minum satu meja dengan

dewa-dewamu."

"Kau bisa mati."

"Tidak. Mati hidupku tidak tergantung makanan

jasmaniah."

Si Penjaga kemudian undur, namun waktu ia

hendak menutup kembali pintu sel, Liu Yok berkata,

"Saudara, kalau yang menyuruhmu bertanya kenapa

hidangannya masih utuh, katakan saja aku yang

menolaknya. Supaya jangan kau yang kena marah."

Si Penjaga tercengang, kalau kupingnya tidak

salah dengar, ia dengar kata-kata Liu Yok yang

mencemaskan diri Si Penjaga. Si Penjaga heran,

tawanan yang satu ini kok aneh? Tidak mencemaskan

dirinya sendiri yang tertawan, malah mencemaskan

penjaganya kena marah atasannya? Sebuah sentuhan

hangat di hati Si Penjaga yang sudah sekian lama

terlapisi watak keras yang menular dari58

lingkungannya. Belum pernah ia diberi perhatian

seperti itu, bahkan oleh sesama "saudara sedarah

yang sudah melewati Gerbang Merah", yang sudah

sama-sama minum arak berdarah di Aula Kesetiaan.

"Apa pedulimu kalau aku dimarahi atau tidak?"

"Tentu saja aku harus peduli, sebab kalau kau

dimarahi, itu gara-garaku. Sudahlah. Bawalah pergi

hidangan itu."

Si Penjaga pergi sambil terheran-heran, "Orang

aneh. Dirinya sendiri hampir mampus, tapi masih

memperhatikan orang lain. Tetapi... dia orang baik."

Begitulah, Liu Yok melewatkan sebuah
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan untuk mengisi perutnya dan memuaskan

tenggorokannya. Ia tidak tahu berapa jam sudah

berlalu, sampai tubuhnya makin lemah dan

kesadarannya makin menurun. Seluruh pribadi Liu Yok

perlahan-lahan tenggelam ke alam bawah sadar,

meninggalkan alam sadarnya.

Namun alam bawah sadar itu ternyata bukan

alam yang gelap gulita seperti sel sempit itu. Liu Yok

justru melihat cahaya cemerlang yang melebihi seribu

matahari digabung jadi satu, cahaya itu menyelubungi

Liu Yok, membuatnya jadi ringan dan tiba-tiba bisa

berdiri dan melangkah ke pintu sel dan Liu Yok59

melangkah menembusinya, tubuhnya jadi lebih

lembut dari udara. Waktu Liu Yok menoleh ke

belakang, ia lihat tubuhnya sendiri masih terpasung.

Bersambung jilid XV.6061

PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di

pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih

mediakan menjadi file digital.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial

dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.

File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi

file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk

mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan

dikompilasi menjadi file TextPDF.

Credit untuk :

? Gunawan A.J.

? Kolektor E-Books12

Kolektor E-Book

Gunawan A.J

Foto Sumber oleh Gunawan A.J

Editing oleh D.A.S3

Rp 725,
MENAKLUKKAN

KOTA SIHIR

JILID 15

Karya : STEVANUS S.P.

Pelukis : SOEBAGYO

Percetakan & Penerbit

CV "GEMA"

Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII

Telpun 35801-SOLO 571224

Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada

Pengarang di bawah lindungan Undang-Undang.

Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin

tertulis dari Pengarang.

CETAKAN PERTAMA

CV GEMA SOLO ? 19925

MENAKLUKKAN KOTA SIHIR

Karya : STEVANUS S.P.

Jilid XV

"APAKAH aku sudah mati, dan sekarang ini aku

keluar meninggalkan tubuhku?" Liu Yok bertanya

kepada diri sendiri, namun waktu ia menoleh ke arah

tubuhnya sendiri maka dilihatnya tubuh itu masih

bernapas, dadanya masih bergerak-gerak naik turun

biarpun lemah.

Liu Yok tahu dari cerita orang-orang dekatnya,

bahwa dia sering melakukan perbuatan-perbuatan di

luar wadag1, namun itu terjadi pada waktu ia tidak

sadar alias tidur, dan baginya seperti mimpi saja.

Tetapi kali ini ia sadar sepenuhnya. Ia dapat bergerak

ke mana pun ia kehendaki, tidak ubahnya dengan

tubuhnya, hanya saja sekarang terasa lebih ringan dan

tidak dapat dihalang-halangi benda-benda kasar.

Kesadarannya yang mengikutinya berkata,

"Inilah saatnya suluh2 itu memancarkan terang tanpa

terhalang buyung tanah liat. Pedang itu berkelebat

1 jasad, jasmani

2 obor, kayu yang dibakar untuk penerangan6

keluar dari sarungnya, tidak tertutup sarungnya.

Tetapi ingat, kau hanyalah pedang di tangan-Nya.

Sebatang pedang tidak menggerakkan diri sendiri."

Liu Yok menengadah khidmat dan memohon,

"Pimpin aku."

###

Jalan-jalan di kota Lam-koan mulai gelap,

cahaya matahari baru saja meninggalkan langit,

diganti cahaya lampion-lampion di pinggir-pinggir

jalan, atau sekedar obor yang sederhana, sedang di

depan rumah orang-orang kaya di "Kota Atas"

kerudung lampionnya bukan kertas melainkan kaca,

yang waktu itu hanya bisa dibeli di Makao atau

Kanton.

Siau Hok-to tengah berjalan dengan wajah yang

murung dan hati yang panas, sehingga beberapa

orang yang berpapasan dan menyapanya dijawabnya

dengan acuh tak acuh.

Soalnya, ia baru saja mengunjungi seorang

bekas pasiennya. Dulu si bekas pasien ini menderita

sakit selama belasan tahun, setelah "diobati" Siau

Hok-to dengan ilmu gaibnya, keadaannya membaik.

Tetapi sifatnya pun mengalami perubahan, kabarnya

sering mendapat mimpi seram, sering ketakutan7

sendiri, sering merasa diajak bicara orang-orang yang

sudah lama mati, cepat marah, keranjingan ramalan

nasib dan ketakutan kalau melanggar pantangan yang

ditunjukkan oleh ramalan.

Soal "akibat sampingan" seperti itu, Siau Hok-to

sebenarnya sudah memperhitungkan sebelumnya.

Siau Hok-to sadar, karena ia "menyembuhkan"

pasiennya dengan bantuan kekuatan-kekuatan jahat,

maka ia menjual jiwa si pasien dpngan bantuan

kekuatan-kekuatan jahat, maka ia menjual jiwa si

pasien kepada kekuatan-kekuatan jahat itu. Dan tidak

aneh kalau kekuatan-kekuatan jahat itu pun

"menuntut harganya" atau minta balas jasa. Tentu

saja rahasia macam itu tidak

Siau Hok-to beritahukan kepada pasien-pasiennya.

Tetapi mantan pasien yang baru saja Siau Hok
to kunjungi itu sekarang kabarnya sedang

menghubungi tabib lain, tabib yang mengandalkan

sepenuhnya pada pengetahuannya tentang khasiat

tetumbuhan. Dan entah mendengar dari mana,

keluarga si mantan pasien ini rupanya lama-lama

mendengar juga kalau Tabib Siau mempelajari ilmu

gaib, maka keluarga si mantan-pasien tidak mau lagi

mengobatkan anggota keluarga mereka kepada Tabib8

Siau. Tadi sewaktu Siau Hok-to berkunjung,

penerimaan mereka juga tidak ramah, membuat Siau

Hok-to tidak betah dan cepat-cepat pulang. Inilah

yang membuatnya murung dan panas hati. Nama

masyhurnya sebagai seorang tabib dan ahli obat
obatan terancam runtuh, sebutannya bakal ditukar

dengan "dukun yang mengandalkan setan",

Tiba-tiba langkah Siau Hok-to tertegun, di

sebuah jalan yang sepi ia berpapasan dengan seorang

yang bertubuh pendek dan kecil namun berjenggot

putih panjang, seorang yang dikenal masyarakat Lam
koan sebagai pemimpin sebuah kelompok topeng
monyet plus akrobat terkenal. Orang itu bukan lain

adalah wakil Siau Hok-to sendiri, yaitu Thai Yu-tat.

Kedua belah pihak punya perasaan tidak enak

satu sama lain belakangan ini. Thai Yu-tat semakin

terang-terangan menunjukkan keinginannya untuk

mendepak Siau Hok-to dan menggantikan

kedudukannya sebagai ketua cabang, sebaliknya Siau

Hok-to pun semakin muak melihat wakilnya yang

makin pintar mencari muka kepada Hong Pai-ok untuk

menyudutkan posisinya.

Namun begitu, waktu keduanya berpapasan,

toh saling menyapa meskipun hanya pura-pura.9

"Kakak Siau dari mana?" tanya Thai Yu-tat lebih dulu.

"Menengok seorang... pasien."

"Pasien atau bekas pasien?" pertanyaan Thai

Yu-tat menyodok dengan ejekan halus. "Kudengar

banyak bekas pasien Kakak yang sekarang berpindah

kepada tabib lain?"

Siau Hok-to yang sedang pepat3 dadanya itu

sekarang makin panas, ia membalas, "Rombongan

akrobatmu sendiri bagaimana? Kudengar kemarin ada

anggota rombonganmu yang terluka parah waktu

mendemonstrasikan menusuk lidahnya dengan

kawat?"

Wajah Thai Yu-tat memerah, dalihnya,

"Memang terjadi demikian. Itu cocok dengan yang

dirasakan oleh Kakak Hong, bahwa pengaruh gaib

yang kita pupuk bertahun-tahun untuk men
cengkeram kota ini, sekarang sudah jauh merosot. Aku

dengar ilmu pengobatan Kakak sendiri menurun

banyak."

"Ya, memang."

Setelah berdalih, Thai Yu-tat sekarang hendak

pamer apa yang telah didapatnya, "Meskipun

33 sesak karena emosi10

demikian, tanpa yang gaib-gaib pun aku berhasil

berbuat sesuatu untuk kepentingan organisasi kita,

khususnya dalam persiapan upacara besar

mendatang. Aku sudah menangkap Juragan Wan, dan

calon pasangan suami isteri yang wanitanya adalah

keponakanku sendiri. Mereka bertiga cocok untuk di
jadikan korban dalam upacara kelak. Aku sudah dapat

tiga dari delapan belas korban yang diperlukan, Kakak

sudah dapat berapa?"

Siau Hok-to bungkam, karena ia memang belum

memperoleh satu pun.

Sementara Thai Yu-tat terus saja pamer, "Satu

hal lagi, Kakak tahu siapa yang berhasil kutangkap

kemarin siang?"
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sudah dengar. Liu Yok bukan?"

"Ya, Si Dukun Manchu yang kehebatan sihirnya

menggagalkan...." Thai Yu-tat tiba-tiba menghentikan

omongannya, kalau dilanjutkan sama dengan me
remehkan Hong Pai-ok dan hal itu bisa diadukan oleh

Siau Hok-to. "Pokoknya sudah berhasil kutangkap

penyebab kekacauan itu. Ternyata dia tidak berarti

sama sekali. Begitu gampang tangannya diikat, lalu

kubawa ke Kota Bunga Persik, dan kujebloskan ke sel

sempit itu."11

"Adik Thai, jangan-jangan kau salah tangkap?"

"Apa maksud Kakak?"

"Yang kautangkap itu mungkin betul kaki tangan

Manchu, tetapi hanya keroconya, bukan pentolannya.

Kalau pentolannya mana bisa ditangkap begitu

mudah? Setidak-tidaknya pastilah timbul perlawanan

hebat lebih dulu, entah perlawanan fisik atau

perlawanan gaib."

Thai Yu-tat termangu, kecurigaan Siau Hok-to

itu masuk akal juga dan dia sendiri pun berpikiran

begitu. Tetapi kalau mengakuinya terang-terangan,

bukankah sama dengan meremehkan hasil kerjanya

sendiri?

Siau Hok-to agak puas bisa mengecewakan Thai

Yu-tat yang sedang sombong-sombongnya itu. Dia pun

mengucapkan salam dan berlalu.

Tiba di rumahnya, Siau Hok-to tidak langsung

menyantap makan malam yang sudah disediakan oleh

pembantu-pemban-tunya, melainkan langsung ke

belakang untuk mendengar-dengarkan kalau ada

suara dari ruang bawah tanah, ruang tempat

puterinya yang gila itu dikurung. Sunyi. Tidak

terdengar apa-apa.12

"Menurut yang kudengar dari A-hok, keadaan

A-kui terus membaik dari hari ke hari." renungnya.

Tiba-tiba dalam hatinya seperti ada yang berbisik.

"Kau gembira melihat perkembangan membaik

puterimu, kenapa kau gusar melihat orang lain juga

mengalami perkembangan ke arah kesehatan, meski

ditangani tabib lain?"

Kepala Siau Hok-to seperti diguyur air dingin

mendengar suara itu, suara dari dasar jiwanya yang

terdalam.

Tiba-tiba muncul keinginannya untuk pergi ke

sel penahanan di "Kota Bunga Persik" dan melihat

macam apa tampang Si "Dukun Manchu" yang

bernama Liu Yok itu.

Usai makan malam, ia langsung menerobos ke

"Kota Bunga Persik" lewat pintu belakang rumahnya.

Sebagai sopan-santun saja, tentu ia harus lebih dulu

menemui Hong Pai-ok yang menghabiskan banyak

waktunya untuk bersemedi di altar utama. Namun

waktu dilihatnya Hong Pai-ok memang sedang

khusyuk dalam semedinya, Siau Hok-to melewatinya

saja dan langsung ke sel-sel bawah tanah.13

Penjaga-penjaga di sel itu memberi hormat

kepada ketua cabang Lam-koan itu, meskipun ketua

cabang sedang terguncang pengaruhnya.

"Bagaimana dengan tawanan-tawanan kita?"

tanya Siau Hok-to.

"Seperti biasanya, San-cu. Si Pedagang

merintih-rintih sambil menawarkan uangnya.

Sepasang calon pengantin itu juga mencoba

menimbulkan belas kasihan kami. Si Anjing Manchu

Oh Tong-peng itu agaknya sudah tidak peduli lagi mati

hidupnya, la tidur terus, dan bangun hanya pada

waktu makan datang."

"Tawanan yang datang paling akhir, bagaimana?"

"Yang ini orangnya aneh. Ditaruh dalam sel

sempit itu, dia menyanyi-nyanyi gembira, tapi

akhirnya berhenti, mungkin karena kelelahan.

Kemarin sengaja tidak kami beri makan sehari

semalam, atas perintah Kakak Hong, agar tenaganya

habis dan nyanyiannya berhenti. Pagi tadi baru kami

kirimi makan lagi, tetapi meski dia kelaparan dan

kehausan, dia menolak."

"Apa alasannya?"14

"Katanya karena makanan itu bekas ditaruh di

altar. Ia bilang tidak mau makan satu cawan dengan

dewa-dewa kita."

Namun soal Liu Yok menguatirkan Si Pengantar

makanan dimarahi oleh atasannya tadi, tidak

dikatakan kepada Siau Hok-to. Anggota Pek-lian-hwe

yang mana pun tidak akan menceritakan bahwa dia

telah "beramah-tamah" dengan "anjing Manchu".

Bisa dicap tidak setia kepada perjuangan.

Siau Hok-to kemudian berkata, "Buka pintunya,

aku sendiri ingin melihatnya."

Pintu besi besar dibuka, Siau Hok-to melangkah

memasuki lorong remang-remang yang sangat kurang

cahayanya itu, diantarkan seorang penjaga. Dibawa

langsung ke depan sel sempit yang berisi Liu Yok.

"Buka!" perintah Siau Hok-to.

Pintu dibuka, dan nampaklah tubuh Liu Yok

yang tergolek lemah dengan tangan dirantai dan kaki

dipasung. Tetapi wajah yang matanya terpejam tidur

itu alangkah jernihnya, meskipun pucat di bawah

cahaya obor Si Penjaga yang mengantarkan Siau Hok
to. Siau Hok-to heran, orang macam inikah yang

menurut katanya Thai Yu-tat telah menggagalkan15

banyak cengkeraman sihir Pek-lian-hwe atas kota

Lam-koan?

Tiba-tiba mata Liu Yok terbuka, dan Siau Hok-to

merasa melihat cahaya gemilang jiwa yang sangat

bersih terpancar lewat sepasang mata itu. Siau Hok-to

harus mengerahkan kebandelannya agar ia tidak

kehilangan wibawa atau kelihatan gugup di depan

anak kemarin sore yang namanya Liu Yok ini.

Toh terasa agak gugup juga. Dan untuk

mengendorkan kegugupannya, Siau Hok-to pura-pura

menanyakan sesuatu yang sebenarnya amat tidak

perlu, "Siapa namamu?"

Seolah untuk menyindir Siau Hok-to, Liu Yok

menjawab, "Teman Tuan yang tinggi gemuk dan

berewokan itu sudah menanyai aku, namaku Liu Yok."

"Pekerjaanmu?"

"Menghibur orang sedih, membebaskan orang
orang tertawan."

Siau Hok-to tertawa, "Kau sendiri terkurung di

sini, bagaimana bisa membebaskan orang? Coba

bebaskan dirimu sendiri kalau bisa."

Mendengar kata-kata ejekan itu, Liu Yok tidak

tersinggung, malahan tiba-tiba merasa sangat bangga16

dan berbahagia. Ingat bahwa Gurunya pun pernah

diejek orang, "Biarlah Dia menyelamatkan diri-Nya

sendiri." Liu Yok bahagia bahwa ia mengalami apa

yang dialami Gurunya.

Bukan menjawab ejekan itu, Liu Yok menerus
kan jawabannya yang tadi, "...memberitakan datang
nya jaman anugerah, menghukum para penindas."

Lagi-lagi Siau Hok-to tertawa, "Kekuatan hebat

apa yang kau miliki sehingga berani bicara sebesar

itu?"

"Bukan kekuatanku sendiri, tetapi kekuatan

yang dari atas."

"Kenapa kekuatan dari atasmu itu tidak

menolongmu ketika kau tertangkap?"

"Kekuatan itu sedang mengalir melalui aku,

melanda benteng para penindas. Kekuatan itu

mengalir keluar kalau penghalangnya, yaitu keinginan

ragawiku, dikesampingkan."

Entah kenapa, Siau Hok-to tiba-tiba diselubungi

perasaan gentar mendengar kata-kata itu. Kata-kata

seorang yang lemah kelaparan dan terbelenggu

sehingga hampir tak dapat menggerakkan tubuhnya.17

Siau Hok-to hampir menyuruh Si Penjaga untuk

mengunci kembali pintu sel itu, waktu mendengar Liu

Yok bertanya lirih, "Apakah kau adalah Tabib Siau?"

"Ya, kau kenal aku?"

"Semua orang di Lam-koan mengenalmu."

"Kau bukan orang Lam-koan. Logat bicaramu

logat daerah barat-laut."

"Aku sudah beberapa hari di Lam-koan."

"Apa yang mau kaukatakan."

"Tuan Siau akan segera melihat bukti kekuatan

yang dari atas itu. Puteri Tuan, Nona A-kui, akan bebas

dari cengkeraman penindas-penindasnya."

Siau Hok-to terkejut. Keadaan puteri-nya yang

menyedihkan itu selalu disembunyikan rapat-rapat

oleh Siau Hok-to. Bahkan sanak-kerabat dekat serta

sahabat-sahabat sesama pentolan Pek-lian-hwe juga

tidak ada yang tahu, bagaimana sekarang Liu Yok

mengetahuinya?

"Bagaimana kau... bisa bicara begitu?"

"Aku kan baru saja mengunjungi dan bercakap
cakap dengannya di ruang kurungannya."18

Siau Hok-to tambah bingung. Liu Yok tahu

tentang A-kui dan masalahnya, itu sudah membingung

kan. Kemudian kata-kata Liu Yok bahwa ia "baru saja

mengunjungi A-kui" juga membingungkannya, bukan

kah Liu Yok terbelenggu dan terkurung?

Waktu Siau Hok-to menoleh kepada Si Penjaga,

Si Penjaga dengan agak gugup membela dirinya.

"Aku tidak melepaskannya biar sedikit pun.

Sumpah! Anjing Manchu ini barangkali hanya

membual, ingin menanam kecurigaan antara sesama

Pek-lian-hwe."

"Kalian jangan bertengkar!" sergah Liu Yok.

"Tuan Siau tidak perlu mencurigai atau memarahi

bung penjaga ini. Aku tadi memang keluar sebentar,

tetapi tidak dengan cara biasa."
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Penjaga yang terlanjur mendongkol itu hanya

mendengus dingin, "Dia sengaja membuat aneh

omongannya, agar dikira benar-benar sakti."

Namun Siau Hok-to yang merasakan semacam

pengaruh diri Liu Yok, tidak menaruh perkataan

penjaga itu di hatinya. Ia batal pergi, malah bertanya,

"Tadi kau menolak makan dan minum, kenapa?"19

"Sudah kujelaskan kepada pembawa makanan

dan minumannya. Karena makanan itu diambil dari

altar dewa-dewa kalian. Dan aku tidak makan

sehidangan dengan mereka."

"Kenapa?"

"Untuk menjaga hubungan baik kita, sebaiknya

tidak usah kujelaskan alasannya."

"Kita tidak ada hubungan baik, bahkan musuh.

Jelaskan alasanmu menolak makanan dan minuman

itu. Atau mau bunuh diri pelan-pelan dengan cara

mogok makan?"

"Aku tetap tidak akan menjelaskan, dan

kuanggap kalian bukan musuh, melainkan tawanan
tawanan yang perlu kubebaskan."

Memang lucu bahwa seorang yang terkurung

dan terbelenggu seperti Liu Yok malahan menjanjikan

kebebasan kepada orang bebas seperti Siau Hok-to

dan orang-orang Pek-lian-hwe lainnya. Siau Hok-to

diam-diam membatin, "Kalau aku bicara terlalu lama

dengan orang ini, otakku bisa ikut jungkir balik

menurut jalan pikirannya. Aku bisa ikut sinting. Hem,

Thai Yu-tat salah sasaran rupanya."20

Kali ini Siau Hok-to benar-benar menyuruh Si

Penjaga menutup pintu sel dan menguncinya kembali.

Lalu meninggalkan tempat itu.

Waktu ia tiba kembali di lingkungan rumahnya

sendiri dan melangkah di halaman belakangnya, ia

melambatkan langkahnya kalau-kalau mendengar

suara dari ruang bawah tanah tempat puterinya

dikurung. Ternyata memang ada suara itu. Siau Hok-to

hampir-hampir tak percaya kupingnya sendiri, bahwa

suara yang didengarnya itu bukan teriakan, tangisan

atau caci-maki kotor seperti biasa keluar dari mulut A
kui, melainkan nyanyian lembut. Ya, sebuah nyanyian

kanak-kanak yang dulu sering dinyanyikan A-kui

sebelum gila.

Nyanyian itu rasanya begitu jauh terkubur di

alam bawah sadar Siau Hok-to, dari suatu waktu yang

sudah lama di belakangnya. Satu waktu ketika Siau

Hok-to masih sering dengan perasaan bahagia

memperhatikan puteri kecilnya berlari-lari mengejar

kupu-kupu atau memetik bunga sambil menyanyikan

lagu itu. Suatu masa ketika Siau Hok-to masih sebagai

tabib kampung kecil-kecilan yang dengan

pengetahuannya akan daun-daunan obat-obatan

tidak punya tujuan lain dalam hidupnya kecuali

menolong sesama yang memerlukan, semampunya.21

Ketika ia belum dipacu ambisi untuk menjadi tabib

termasyhur, ketika ia belum terperangkap tawaran

manis setan untuk mempelajari "ilmu pengobatan

gaib" agar lebih hebat lagi, dan ternyata sihir tetap

sihir, omong kosong yang membedakan "sihir hitam

untuk kejahatan" dengan "sihir putih untuk

kebajikan". Sihir tetap adalah perangkap besar bagi

manusia yang mendambakan jalan pintas. Waktu itu

Siau Hok-to berambisi dan melangkah masuk ke dalam

perangkap itu, dan harganya ternyata kelewat mahal.

Kini di saat pengharapan rasanya sudah tidak ada,

nyanyian kanak-kanak itu tiba-tiba terdengar lagi.

Hati Siau Hok-to terkoyak, sebagian tertarik ke

kenangan masa lalu yang indah, sebagian lagi

merentang ke pengharapan di masa depan yang

barangkali sama indahnya, namun mungkinkah itu

menjadi nyata? Tetapi kenapa A-kui bernyanyi?

Siau Hok-to tersentak dari berdirinya yang

mematung, dihapusnya matanya yang basah, dan tak

peduli malam yang sudah larut, ia menuju ke ruang

bawah tempat puterinya ia kurung sendiri.

Bau busuk dan suasana redup gelap tak

dihiraukannya, dan hampir-hampir tak percaya dia

melihat puterinya sedang duduk sendirian, menyanyi22

lagu kanak-kanak itu. Yang keluar dari mulut puterinya

adalah suara puterinya sendiri, bukan suara-suara

asing.

Melihat ayahnya, A-kui hendak berdiri

menyongsong, tetapi ingat keadaannya yang tidak

berbusana sama sekali sedang dia bukan gadis kecil

lagi, maka dia pun kembali berjongkok malu.

Siau Hok-to makin meluap hatinya, kalau

anaknya sudah punya rasa malu kembali, bukankah itu

artinya tanda-tanda pulihnya jiwanya? Jiwa yang

pernah dijual oleh ayahnya sendiri kepada penguasa
penguasa dunia yang gelap sebagai bayaran

kesuksesan sang ayah.

Siau Hok-to mencopot jubah luarnya, lewat

sela-sela terali besi dia lemparkan jubah itu kepada

anaknya sambil berkata, "A-kui, pakai ini dulu."

Gadis itu memakai jubah luar itu untuk

menutupi badannya, kemudian berlari memeluk

ayahnya, meskipun ayah dan anak itu tak mungkin

leluasa berpelukan karena terali besi di antara

mereka. Tetapi mereka bergenggaman tangan, dan

sama-sama mengucurkan air mata.

"Ayah, aku takut sekali, rasanya bertahun-tahun

tidak melihat Ayah."23

Siau Hok-to cuma mengangguk-angguk, tak

mampu berkata karena tenggorokannya tersumbat

keharuan. Bukan cuma air mata, ingus pun ikut keluar.

"Ayah... jangan tinggalkan aku lagi. Jangan lagi

serahkan aku kepada orang-orang bertanduk berjubah

hitam itu...."

Siau Hok-to menjawab sesenggukan, "Tidak, A
kui... tidak akan terjadi lagi... maafkan Ayah...."

"Aku sulit melupakan saat-saat itu, Ayah. Ketika

aku sedang memetik bunga, tiba-tiba Ayah menarik

tanganku dan membawaku kepada orang-orang

berjubah hitam itu, Ayah menyerahkan aku kepada

mereka dan meninggalkan aku. Aku panggil-panggil

Ayah, tetapi Ayah tidak mendengar dan terus makin

menjauh. Aku dikurung di tempat gelap, rasanya


Pendekar Pedang Matahari 2 Misteri Batu Dewa Arak 02 Dewi Penyebar Maut Ajal Sang Penyebar Maut Karya Arman

Cari Blog Ini