Ceritasilat Novel Online

Ramuan Drama Cinta 1

Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng Bagian 1



Ramuan Drama Cinta

Clara Ng

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 2011

ebook : Syauqy_Arr

***

HUJAN di luar seakan-akan berkonspirasi dengan keadaan di dalam ruangan. Lukisan Sudjoyono dan Basuki Abdullah yang menjadi focal point di dinding tidak bersinar dalam keanggunannya. Seorang gadis mengambil tisu untuk mengelap keringat dan air mata yang mulai bercampur. Tisu diremas lalu digenggam erat di jemarinya.

Siang telah tiba, tapi langit memayungi warna kelabu membuat semuanya tampak sendu. Cangkir kopi di atas meja yang isinya penuh telah kehilangan uap panasnya sejak sepuluh menit terakhir. Mata yang memandang dari balik kacamata bergagang putih tampak tajam dan serius, memperhatikan diam diam hujan yang semakin deras di balik jendela.

Dia mendengar suara telepon berdering di luar dan dapat menebak siapa yang menelepon pada jam seperti ini. Tanpa mengecek ke dalam kantong celananya, dia juga merasakan telepon genggamnya bergetar. BlackBerry-nya yang diletakkan di atas meja kerja berkedip-kedip menandakan e-mail dan panggilan teks yang menunggu dibaca.

Sungguh hari yang Sibuk untuk seorang Budianto Dean.

psikolog yang bekerja di sudut selatan jakarta. Dia sedang membaca catatannya dan berkata dengan nada yang sangat terjaga iramanya.

"Jadi Bapak memiliki tiga anak perempuan yang sangat Anda sayangi. Saya ulangi lagi ya Zea Mays Raya tertua. dokter hewan yang boleh dibilang mengendalikan seluruh rumah tangga setelah istri Anda meninggal sepuluh tahun lalu. Dia punya pacar? Nggak? Baiklah. Oryza Sativa Raya anak tengah, paling keras kepala, dan tomboi. Ah, kenapa Anda berkata seperti itu?"

"Karena dia suka melawan. Pemberontak. jagoan demo. Sifatnya berbeda 180 derajat dengan kakaknya yang keibuan. Dia juga..." Samudra menunduk, menyeka air matanya,

"...nggak mau memenuhi permintaan terakhir almarhum i-i-ibunya."

"Dan apakah permintaan terakhir itu?"

"Menikah dengan Xander. lelaki anak sahabat baik i-istri saya..." Mata Samudra kembali berkaca-kaca ketika menyebut almarhum istrinya. Wajahnya? Pucat pasi.

"Oh." Budianto mengangguk dengan wajah Serius.

"Almarhum i-istri saya ingin Oryza menikah dengan Xander. Dia yakin Xander lelaki yang pantas untuk Oryza. Tapi kenapa Oryza sama sekali tidak tertarik?"

"Kenapa?" tanya Budianto sopan.

"Padahal Xander bukan penyihir sembarangan. Istri saya pasti melihat sesuatu yang baik dalam diri Xander. Saya yakin Xander suami yang tepat untuk Oryza."

"Tapi?"

"Tapi tiap hari mereka bertengkar. Nggak pernah bisa akur. Kepala saya seperti mau pecah mendengar pertengkaran mereka."

"Pak, mungkin saja Oryza punya selera yang berbeda. Kita nggak bisa maksa orang lain untuk jatuh cinta. Apalagi soal

kecocokan. Mereka bisa saja tepat satu sama lain, tapi belum tentu cocok."

"Kalau saja Oryza nggak mudah marah karena urusan sepele. Kalau saja Oryza bisa menjaga dirinya agar tidak terpancing. Kalau saja Xander juga mau mencoba."

"Mereka tidak saling mencintai."

"Istri saya yakin." Samudra mengusap matanya.

"Dia sungguh yakin Oryza dan Xander akan saling menjaga dan mencintai suatu hari nanti."

"Bapak kelihatan stres kalau berbicara tentang Oryza." Budianto membetulkan letak kacamatanya.

"Sebaiknya tak usah mengurus masalah percintaan anak-anak Anda. Toh mereka sudah besar. Bukankah begitu?"

Samudra membuang ingus, memajukan wajah, dan menatap Budianto dengan pandangan sedih. Budianto kembali melirik kertas catatannya. Dia tidak bersuara beberapa saat karena masih mencerna percakapan mereka.

"Anak ketiga, Solanum Tuberosum Raya, yang sebenarnya paling Anda sayangi. Kenapa susah mengungkapkan perasaan Anda kepadanya? Apa karena dia dingin dan suka jaga jarak? Secara logika, anak bungsu sering berbeda dengan kakak-kakaknya."

"Oh! Sebenarnya Sola yang paling disayang sama istri saya. Seluruh kemauannya dituruti, nggak ada yang ditolak. Dia juga selalu dilepaskan dari tanggung jawab yang dibebankan pada kedua kakaknya."

Budianto memandang Samudra lekat-lekat.

"Kelihatannya saya mulai mengerti situasi keluarga Anda."

"Saya selalu sedih."

"Sejak kapan Anda punya perasaan ini?"

"Itu sejak... sejak... kematian istri saya yang tercinta..." Samudra membuang pandangannya ke arah lukisan. Penampilan dan siluetnya putus asa.

tapi, pak... suara budianto pelan, itu sepuluh tahun yang lalu," katanya lembut. mengingatkan.

Tangan Budianto bergerak, mencatat di notesnya dengan cepat. Dia menunggu sampai Samudra selesai membersihkan hidung dengan tisu. Pagi-pagi begini, dia sudah tertular stres. Sebagai psikolog, dia memang terbiasa dengan masalah-masalah kejiwaan. Tapi bapak yang satu ini benar-benar magnet yang menarik kutub arus gila. Tidak heran anak'anaknya mengirimnya ke kliniknya.

"Baiklah. mari kita coba pelan pelan supaya semuanya nggak terlalu terdramatisir. Pak, apa Anda punya hobi?"

"Punya. Saya suka main catur dengan anak-anak perempuan saya, khususnya dengan si tengah. Ory pandai sekali bermain catur. Jagoan! Benar benar seperti istri... tercinta..." Samudra berkaca-kaca lagi. Dia mencabut tisu dari kotaknya.

Budianto memperhatikan Samudra lekat-lekat. Gile aje, semuanya berbuntut di tangisan. Dia belum pernah mendapat pasien separah ini.

"Sekarang ceritakan tentang kejadian dua bulan lalu."

"Mengerikan. Petualangan yang mengerikan. Zea dan Sola keracunan teh. Ada rendang yang dibubuhi bumbu mematikan kabur dari panci. Bersama Pak Kapten dan anak perempuannya. kami pergi ke Pulau Varaiya. tempat suku penyihir yang memiliki sihir hebat. Mereka punya obat penangkal racun untuk Zea dan Sola. Di sana ada kucingnya. Kucing seram yang ditakuti semua orang." Samudra mengambil tisu.

"Mengerikan sekali perjalanan ke sana. Kami semua nyaris terbunuh. Kalau istri saya masih hidup..."

Sekarang Budianto memandang Samudra dengan benar-benar kagum.

"Sebentar ya," katanya sopan.

"Sebentar..."

Samudra tidak memperhatikan Budianto. Dia berbisik seolah'

olah kepada dirinya sendiri,

"Maafkan aku. Tru, maafkan. Kamu tau nggak sih betapa lelahnya mengurus anak anak perempuan kita yang bandel-bandel!"

Budianto berjalan menuju pintu dengan kepala dikepung ketidakpercayaan. Negeri penyihir sekalian. tadi dengar. kan? Dia kedatangan pasien penyihir yang pantas diteliti! Ini harta karun!

"Maaf mengganggu sebentar. Saya mengalami kesulitan berkomunikasi dengan ayahmu. Dia sensitif. Labil. Menangis terus-terusan. Omongan apa saja selalu dihubung-hubungkan dengan almarhum istrinya. Ibu kalian."

Solanum menampilkan wajah datar.

"Dadi selalu begitu. Sebab itu kami membawanya kemari."

"Ayahmu kelihatannya sehat dalam segala hal. Hanya saja, setiap menyentuh isu ibu kalian. dia berubah."

"Begitulah ayah saya."

Solanum kembali menekuni bacaannya. Budianto berjalan menuju kantornya. Di dalam, Samudra sudah tampak tenang dan lebih rileks.

"Oke, I'm back. Maaf tadi saya keluar sebentar."

"Tidak apa-apa."

"Pak. dengarkan saya baik-baik. Pada dasarnya, kita akan bekerja sama untuk menghilangkan siksaan batin yang Bapak rasakan. Sekarang demi kotak tisu saya yang isinya sebentar lagi habis, kita akan memasuki sesi tanya-jawab yang santai. Lemaskan tubuh Anda. Ambil napas dalam-dalam. Ya begitu. Tahan. Lalu embuskan. Tarik lagi. Bagus. Begitu terus ya." Budianto diam beberapa detik."Anda makan apa nanti malam?"

Samudra menarik napas panjang. Dia sudah kelihatan lebih tenang. tidak dikocok emosi lagi.

"Saya senang masakan rumah. Anak perempuan saya, Zea jago sekali memasak kari ayam. Anda suka kari? Saya doyan kari

ayam buatan Zea. Lezat dan mantap. Seenak masakan..." Samudra tercekat.

Budianto menatap Samudra. berdebar-debar.

"Masakan istriku tercinta." Mata Samudra kembali berkaca kaca.

Budianto terpana diam. Seumur-umur sebagai psikolog. dia belum pernah melihat yang seperti ini. Terpesona dia.

"Astaga, ini luar biasa. Anda tau artinya?"

Samudra menggeleng.

"Bayaran yang lebih mahal?"

"Bukan. Menurut pengamatan saya, kasus Anda tergolong kasus unik. Saya senang sebab saya bisa melakukan penelitian penting. Saya harap penelitian saya akan menghasilkan esai dan jurnal ilmiah tentang kesehatan mental Anda. Ini bagus sekali! Suatu terobosan yang segar. Atas nama ilmu pengetahuan, kita harus bekerja sama dengan sungguh-sungguh dan lebih sering melakukan konseling. Kita bisa memulainya dengan tiga kali seminggu."

Samudra mengamati Budianto. Seserius ini?

"Kita akan kembali ke masalah-masalah yang mendasar selama konseling. Nah. hari ini sesi kita sudah berakhir. Pak. Silakan pulang dan tak usah berpikir yang terlalu berat. Santai saja. nikmati hidup. Ingat. jangan melakukan hal-hal yang berbahaya sampai kita bertemu lagi minggu depan. Bagaimana? Anda paham semuanya? '

"Paham. Terima kasih atas bantuannya."

"Ngomong-ngomong." Budianto mengambil pandangan mata Samudra, seakan-akan membaca pikiran.

"Nama anak-anak perempuan Anda unik. Apa nama nama tersebut memiliki arti?"

"Zea Mays artinya jagung. Oryza Sativa artinya padi. Solanum Tuberosum artinya kentang. Semuanya nama bahan pokok dalam bahasa Latin. Gara-gara nama itu, kami sering disebut dengan keluarga karbohidrat, bukan keluarga Raya."

"Hmm... menarik."

Samudra meninggalkan ruang hening di belakang punggungnya. Hujan masih belum berhenti.

**

KUDA maju. Sekak." Xander membungkuk sedikit ketika tangannya memindahkan biji catur. Wajahnya berseri-seri.

"Nih! Rasain!"

Oryza menggeleng dengan tatapan sedih.

"Padahal aku sudah kasih mantra supaya kamu nggak bikin gerakan bodoh itu." Dia memajukan menteri, mendoplak kuda milik Xander, dan meletakkan menteri di sana.

"Lihat. sekakmat. Mampus!"

Solanum. adik Oryza, menoleh ketika mendengar kata "sekakmat", memecahkan perhatian dari buku ekonomi yang sedang dibacanya. Dia bersenyum datar sambil memandang wajah Xander yang pelan-pelan bersemburat hijau muntah.

"Seumur hidup aku nggak pernah lihat orang yang main catur sejago Xander."

Xander melotot.

"Nggak usah menyindir."

"Nggak menyindir sama sekali, Cuma heran kalau ternyata masih ada Pithecanthropus Erectus yang main catur dengan rasa pe-de seperti kamu tapi tetap saja kalah melulu." Tatapan Solanum kembali ke bacaannya.

"Hehehe... Jangan terlalu sensi," kata Oryza dengan nada

'

lembut yang berlebihan. Xander langsung curiga. Oryza lemah lembut? Dia kan galaknya mengalahkan malaikat maut.

"Masa kehilangan fighting spirit gara-gara dengerin omongan Sola? Kamu cuma perlu latihan yang banyak supaya lebih lancar bermain catur."

"Aku... ." Xander berbicara seperti orang berkumur.

Jam dinding menunjukkan waktu empat sore. Hari Minggu petang yang panas memang enaknya bermalas-malasan di kebun belakang. Tumben. mereka semua tidak pergi ke mana-mana melainkan duduk bersama di sofa. Ini seperti keajaiban. Sebab pada hari Minggu, biasanya rumah kosong melompong.

"Apa? '

"Aku sudah latihan main catur sejak umur tujuh tahun."

Oryza menyeringai.

"Tujuh tahun? Oh, dari zaman Cut Nya Dien."

"Diam ah." kata Xander sambil membereskan biji-biji catur ke kotaknya.

"Catur adalah permainan taktik dan konsentrasi. Sebenarnya gampang gampang susah. tapi selama kamu rajin berlatih pasti bisa."

Xander meletakkan kotak catur di rak sambil mengambil remote televisi. Dengan sekali sentuhan. televisi menyala.

"Aku sudah main catur sejak kecil. Aku melawan ibuku. Kami selalu main setiap selesai makan malam, lima menit sekali."

"Cuma lima menit? Wuah!" Oryza menggeleng-geleng dengan raut wajah heran.

"Nggak ada orang yang bisa lihai bermain catur kalau hanya lima menit."

"Mama cuma butuh lima menit buat mengalahkan aku."

Oryza menumpangkan kedua telapak tangannya di paha.

"Sadis. Ini bercanda. kan?"

Xander pura-pura tidak memperhatikan. Matanya tertuju ke

televisi. menghindari tabrakan mata dengan Oryza. Sesungguhnya Oryza ingin tertawa, tapi ditahannya. Namun akhirnya dia tidak tahan juga melihat gaya Xander yang pura'pura cuek. Maka dia tertawa hinggga tersedak. Tanpa sadar ujung kakinya bersentuhan dengan ujung kaki Xander.

Xander menoleh ke arahnya, menatap Oryza. Mata Xander sesuatu yang terpancar di sana-memaku Oryza tanpa ampun. Pipi Oryza merona. Mata Xander memang mematikan.

"Aku suka monopoli." Mendadak Solanum angkat bicara, mengisi hening janggal yang sering kumat saat Oryza berpandangan dengan Xander.

"Nggak pernah terkalahkan. Satu kali pun nggak pernah! Mc, moi! Monopoli adalah permainan kaum jelata yang paling keren."

Biarpun penyihir, Solanum tidak memiliki ketertarikan kuat untuk mengembangkan kekuatan sihirnya. Baginya. dunia ekonomi dan neraca rugi-laba adalah Sihir keuangan yang sesungguhnya. Dia jatuh cinta pada angka dan cara manusia berbisnis. Coba pikirkan. bagaimana manusia non-penyihir (alias kaum jelata, istilah yang digunakan oleh kaum penyihir) bisa mengubah angka. menghilangkan. atau menambahkannya? Luar biasa bukan? Bagaimana dengan korupsi? Ah, bukankah korupsi adalah sihir juga? Beginilah bentuk sihir kaum jelata. Mereka menggunakan angka.

Tidak ada yang memperhatikan kata-kata Solanum tentang monopoli. Berita di televisi lebih menarik. Xander memperbesar volume suara lewat tombol remote control yang dipegangnya.

"Pamong Adat tidak mau ikut campur, tapi polisi tidak mau juga mengurusnya sebab komisaris polisi memberikan pernyataan bahwa urusan tersebut terdengar sangat sepele dan bukan tanggung jawab polisi untuk membersihkannya. Mereka sepakat untuk melemparkan tanggung jawab ke Bali Animal Restue."

Xander membelalak.

"Sudah berapa bulan keadaannya seperti itu:"

Tidak ada yang mengomentari. Suara televisi masih memenuhi ruangan.

"Para pekerja Gilimanuk memutuskan tidak mau bekerja sebelum pelabuhan bersih dari makhluk mengerikan yang mengganggu pekerjaan mereka siang dan malam..."

"Kamu yakin perbuatan itu pasti pekerjaan kucing imutnya Pak Kapten? Bukannya sudah tenggelam di laut?"

"Tanya aja sama Pax. Dia pasti setuju."

"Ngomong-ngomong soal Pax." Wajah Oryza berubah serius.

"Ke mana dia. ya? Kangen nih. Udah lama nggak ada yang menghina kamu. Sepi rasanya."

Pax Tanjung, penyihir yang mencintai Oryza tapi tidak pernah memiliki keberanian untuk mendekati perempuan itu. Dia mengubah dirinya menjadi kucing bernama Dakocan supaya bisa berdekatan dengan perempuan yang dicintainya. bahkan sampai tidur bersama.... Oryza memelihara dan menyayangi Dakocan tanpa mengetahui bahwa kucing peliharaannya sesungguhnya adalah Pax. Tidak ada yang tahu rahasia gila itu kecuali Xander.

"Katanya dia cuti seminggu. Mau pergi backpacking entah ke mana, mengeksplorasi tempat-tempat terpencil yang menginspirasi hidupnya. Filosofis sekali." Xander mendengus. Kepalanya langsung membentuk bayangan Pax yang bertemu dengan manusia-manusia aneh bin ajaib.

"Pax itu unik. Aku nggak heran kalau dia terdampar di tempat aneh lalu menciptakan masalah di tengah-tengah suku penyihir yang tidak waras. Dia seperti memiliki magnet untuk bertemu dengan orang-orang yang seru."

"Pengalaman seperti itu pasti bikin pencerahan buat hidupnya yang garing dan kurang setrum."

Oryza mendelik.

"Aneh. Kamu selalu nge-bully dia. Ada apa sih..."

"Sebenarnya Pax kan cuma cari-cari alasan aja. Dia nggak kepengin cuti atau tracking lintas benua. Dia menghilang karena mau menghindari kucing setan di televisi itu, mungkin juga meninggalkan kamu yang judesnya kayak jin, dan " Xander mengacungkan jempolnya ke arah dapur.

"Zea." cetusnya.

"Aku nggak judes." Kemarahan Oryza muncul bergelora.

"Nggak ada alasan Pax meninggalkan Jakarta tanpa sebab. Kenapa harus menghindari aku? Nggak masuk akal.

"Begini, Oryza Sativa Raya. kakakmu tercinta itu, Zea Mays Raya, dulu hampir membunuhku juga." Suara Xander meletupletup.

"Ingatanmu masih tersimpan di kepala atau sudah nyemplung ke kali?"

"Begini ya! Catat nih, Xander Bandara Soekarno Hatta, itu bukan Zea yang sebenarnya. Nenek-nenek yang nggak gaul juga tahu, yang salah itu pasti bukan dia. tapi gara-gara racun yang dia telan. ini seharusnya diinvestigasi dulu sebelum buka mulut. Mengerti?"

Nama lengkap Xander adalah Xander Banda. tapi Oryza sering memelesetkannya menjadi bandara. Solanum mendongak dari kesibukannya membaca buku.

"Racun itu mengubahku jadi orang lain." Dia memutar-mutar pensilnya "Nah, Mas Xander. menurut nasihat Masyarakat Penyihir artikel delapan ayat dua A. tak baik menyimpan dendam. Zea sudah meminta maaf berkali-kali kepada kalian semua. Apa lagi yang kurang? Apa dia harus masuk penjara buat membayar semuanya?"

"Aku sudah memaafkan dia, Neng Solanum. Tadi adalah penjelasan hiperbolaku kepada Miss Lemot satu ini. Sepertinya dia masih tulalit dalam segalanya."

Sepulang dari petualangan di Varaiya. sebenarnya Oryza berjanji pada dirinya sendiri agar tidak terlalu mudah naik darah pada Xander. Dia ingat serangan stroke dan penyakit darah

tinggi yang bisa dipicu dari amarah. Males banget nggak sih kalau jatuh sakit gara-gara dedemit milenium macam Xander ini?

"Aku bukan hanya kehilangan Pax."

"Kehilangan apa lagi? Sandal?"

"Aku kehilangan Dakocan. Ada nggak yang menyadari hal ini? Dakocan juga menghilang."

"Apa hubungannya?"

"Nah, itu dia! Nggak ada hubungannya sama sekali. Aku mengerti kenapa Dakocan kapok tinggal di rumah ini lagi. Dia pasti trauma dikejar-kejar Zea dengan golok. Siapa yang nggak? Pasti dia mengalami mimpi buruk."

Oryza selalu nelangsa kalau memikirkan hewan kesayangannya.

"Kalau ada psikolog hewan, aku yakin Dakocan sedang meminta pertolongan profesional."

"Terus apa hubungannya?"

"itu kan Dakocan. Pertanyaannya sekarang adalah: bagaimana kalau Pax? Apa alasan Pax nggak mau bertemu kita lagi?"

"Mungkin Dakocan sebenarnya Pax. Dia menyihir dirinya sendiri supaya bisa berdeket-dekatan sama kamu."

Xander ternganga. Ucapan itu menggelinding keluar dari mulut Solanum.

**

"Haatcehiiieee!"

Pax berada di tengah pegunungan. Dia bersin berkali-kali. Rasanya karena efek-sedang-dibicarakan oleh manusia manusia lain ratusan kilometer dari tempatnya berada. Sayangnya Pax tidak sadar dengan kenyataan itu.

Di mana Pax?

Ransel besarnya terpanggul di pungung. Dia memandang

deretan rumput yang terbentang luas di kiri dan kanannya. Beberapa kambing dan sapi berkeliaran dengan bebas. Pax maju beberapa langkah, berjalan menuju jalan setapak yang berkerikil dan berbatuan hitam. Udara jam sepuluh pagi terasa jernih dan segar, berbeda dengan udara pengap dan berdebu yang biasanya dihirup oleh orang-orang Jakarta.

jauh di sebelah utara, pohon-pohon tinggi seperti para serdadu berbaris. Batang dan ranting pepohonan bergerumbul, di ujung-ujungnya penuh daun berwarna hijau dan kuning. Kontras sekali dengan langit yang menaungi seperti payung biru muda.

Sekali lagi, Pax di mana sih?

Mulanya dia terbang ke Jambi dari Jakarta. Melalui internet, dia menemukan infomasi penting tentang perguruan penyihir-an di daerah Jambi. Setelah mengambil cuti dua minggu. dia memutuskan untuk mengikuti peta dari internet yang dia dapatkan dengan susah payah. Setelah tersasar ke sana kemari. dia menggambar peta sederhana dari hasil bertanya-tanya dengan penduduk yang dia temui di tengah perjalanannya. Berjam'jam tersesat, menumpang truk. dan berjalan kaki, dia menemukan tikungan kecil menuju bukit yang dipasangi plang bertulisan:

WELCUM TOO BEUTIFULL MUNTILAN. POP. 2300 AN STILL GLOW'IN!

Pax memandang plang kayu yang tampak lapuk tanpa berkedip. Muntilan! Nama tempat ini Muntilan? Muntilan seperti nama kota dijawa Tengah? Aneh. Dan bahasa Inggris-nya... semuanya serba nggak benar. Glowing? Growing mungkin.

Pax memandang print out yang dia genggam di tangan kanannya. Kepalanya sakit karena bingung. Setelah bolak-balik tercenung dan menatap plang kayu. Pax memutuskan untuk

menembus belukar dan berjalan Ke arah yang ditunjukkan pengumuman plang itu.

"Kenapa sih plang'nya harus pakai bahasa Inggris?" Pax berdiri tegak ke plang kedua yang dia temui, sekitar 100 meter dari plang yang pertama. Tulisannya:

DON LET DE SUN SET ON YER HEAD IN MUNTILAN, OR ELSE.

Pax menghapus keringat yang mengalir di dahi.

"Oke deh. Mungkin ada yang lagi belajar bahasa Inggris. Ada kursus bahasa Inggris di sini?"

**

Suara Solanum seperti gong yang pecah di tengah keheningan alam semesta. Wajah Xander pucat. Tak ada yang berbicara selama beberapa saat. Solanum memecahkan kekakuan itu dengan tersenyum geli.

"Betul, kan? Aku jenius banget. Penjelasan tadi masuk akal! Dakocan adalah Pax dan Pax adalah Dakocan. Dakocan pergi, demikian juga dengan Pax. Ini menjelaskan kenapa keduanya berbarengan lenyap."

Xander ingin selekasnya kabur. Dia tidak bisa menyelamatkan situasi. Solanum duduk di pojok dengan tenang. bersama cengiran lebarnya.

"Aku nggak percaya Pax tega melakukan hal-hal yang rendah seperti itu." Suara Xander memelan. lalu hilang. Tidak ada yang menyambar perkataannya.

"Please, deh, jangan percaya pada omongan Sola. Bicaralah yang benar. jangan gosip murahan. Aku nggak percaya. Aku..."

"HAHAHAHAHAHAY'

Seperti tidak melihat betapa pucatnya wajah Xander. Solanum dan Oryza tiba-tiba meletus dalam tawa histeris.
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gokil. Hahaha... Kamu hebat banget, Sol. Analisis yang tajam. Kenapa aku nggak pernah berpikir ke arah sana?" Oryza mengambil napas di tengah tawanya.

"jadi Dakocan itu sebenarnya... hahahahaha... Pax... lalu Pax adalah hahahahalm... Dakocan?"

Solanum menghapus air di matanya karena kebanyakan tertawa.

"Siapa dulu yang pernah bilang gue tipe perempuan dingin ala Margaret Thatcher yang nggak punya sense of humorir?"

"Aku. Hahahaha "

"Ngaco lu. Hahahaha..."

Xander melipat tangannya di depan dada memandangi Oryza yang tertawa di balik bantal. Ada yang menggelitiki hatinya saat melihat Oryza tertawa seperti itu. Pada satu momen, kesadarannya terbangun. Oryza menciptakan pesona janggal yang membuat isi perutnya terbalik.

"Sola sebenarnya pendiam, tapi sekali ngomong pasti tulalit."

Xander kepengin melempar bom ke tempat Solanum duduk dan meledakannya hingga ke kerak bumi.

Tawa Solanum pelan-pelan menghilang. Dia mengarahkan matanya kembali ke buku bisnis yang sedang dibacanya. Entah apa ini sekadar perasaan Xander atau bukan, tapi dia merasa yakin Solanum melirik ke arahnya sejenak. lalu mengedipkan mata. Jantung Xander berhenti dua detik. Aje gile. sumpah!

**

Beberapa jam kemudian. Samudra bangun dari tidur siang. Dia membuka pintu kamar, menggaruk'garuk kepala Sambil berjalan menuju ruang tengah. Dia berdiri di tengah-Dengah ruangan memandang Solanum yang masih asyik membaca buku dan Xander calon menantu yang diharapkannya sedang menopang dagu dengan mata masih tertuju pada televisi.

"Lihat Oryza?" tanya Samudra. mengambil tempat di sofa favoritnya.

"Di garasi. Sedang mengutak'atik motor," kata Solanum, mengangkat kepalanya sedikit tapi kemudian kembali lagi membaca buku.

"Tolong beritahu Oryza," kata Samudra dengan suara kebapakannya yang khas.

"Dia nggak boleh telat makan. Kasihan, nanti maagnya kambuh lagi."

Xander menoleh ke arah Samudra.

"Oom, jangan kuatir. Berani taruhan. Oryza nggak pernah lupa makan. Makan adalah panggilan alamnya yang melebihi cita-cita dan semangat hidupnya."

"Oryza kelihatan kurus karena kurang makan."

"Badan Oryza seberat gorila yang perlu diet."

Samudra melempar pandangan memelas ke arah Solanum. Solanum ingin menjerit ditatap seperti itu. seperti dia barusan melakukan seven deadly sins. Lirikan ayahnya-entah bagaimana selalu berhaSil membuatnya lumer. Solanum meletakkan buku yang dibacanya lalu berjalan ke arah garasi.

"Siap dilaksanakan. Dadi." Dia menahan diri agar tidak bersungut-sungut.

"Nanti saya kasih tahu Oryza."

**

Di garasi, Oryza sedang berjongkok di samping motornya. Rambut pendeknya tampak mengilar di bagian depan karena berkuah peluh. Pintu garasi terbuka lebar.

"Dadi titip pesan supaya kamu nggak lupa makan."

Oryza berhenti bekerja. Dia memilih untuk bengong sebentar.

"Maksudnya?"

'Jangan lupa mak..."

"Aku nggak tuli." sergahnya kesal.

"Really? Aku dengar kok. Aku hanya kaget kenapa Dadi titip pesan nggak penting seperti ini lewat kamu."

Solanum menaikkan alisnya sambil mengangguk meyakinkan.

"Ini penting. menurut Dadi. Urusan hidup dan mati. Dia nggak mau kamu jadi kurus kering."

Oryza tertawa kecil.

"Kayak kamu nggak tahu aja. Dadi jadi makin sensi untuk semua urusan."

"Duh, omongan kamu mengingatkan aku sama obrolan tantetante di arisan."

Solanum tertawa getir.

"Ayah kita semakin ngaco. Dari dulu. Dadi nggak pernah sayang sama aku. Yang ada di pikirannya cuma kamu dan Zea."

Oryza berdeham pelan sebelum memulai.

"Dadi pilih kasih?"

"Persis."

"Ayah kita kehilangan pijakan sejak Mom meninggal sebelas tahun yang lalu. Dia tergantung sepenuhnya kepada Zea. Sebenarnya Dadi sangat sayang sama kamu. Kejadian kehilangan Mom membuatnya sulit mengekspresikan rasa sayang itu. Dia jadi depresi. Kasihan Dadi. Padahal dari dulu, kamu yang paling dimanja."

"Aku? '

"Aduh, kamu mesti di-upgrade deh, biar cepet donwload-nya?

Solanum segera menjadi pendengar yang berbudi.

"Siapa sih yang nggak sayang sama anak bungsu? Kontradiksi dua kutub ini membuat Dadi semakin sedih kehilangan semuanya; Mom. kamu. dan dirinya. Dia tergantung pada Zea dan menganggapku sebagai bagian dari dirinya dan Mom."

Solanum kehilangan semangat untuk mempertanyakan apa pun.

"Sebelum aku lupa." kata Oryza,

"tolong antar Dadi ke klinik psikolog untuk sesi berikutnya dong."

"Oke," ujar Solanum sambil meringis.

"Boleh juga ilmu Oryza Sativa Raya. Nimba di mana nih?"

"Di sumur belakang." Oryza tertawa.

Obrolan nyaris bubar, tapi tiba-tiba ponsel Solanum berbunyi. Alis Solanum bertaut membaca pesan.

"Ada apa?"

Solanum menjentikkan jarinya.

"Nggak jelas nih. Ada yang menyuruhku datang ke rumahnya besok pagi. Dia bilang dia punya pekerjaan buatku di kantornya. Kasih alamat lengkap segala. Katanya: rumah terbesar di seluruh kompleks." Solanum mendengus.

Oryza memandang Solanum tanpa kedip.

"Alamatnya di mana?"

"Alamat rumah Aqua." Kepala Solanum penuh dengan skenario.

"Siapa lagi? Mendadak perasaanku nggak enak."

**

kencan. Baiklah... aku harus berkencan."

Nuna tepekur di ranjang dalam kamarnya yang kecil. Dia berbalik berkali-kali. ke kiri dan ke kanan, memeluk bantalnya erat-erat. Sampai seprainya lecek, gadis itu belum berhasil menemukan posisi yang nyaman. Nuna menghela napas, terduduk di tepi ranjang. Rambutnya yang panjang diikat seadanya sehingga menjadi kusut.

Malas-malasan Nuna berjalan menuju laci meja. mengeluarkan tumpukan kartu nama. Disortirnya satu-satu sambil menggumam pelan-pelan kepada dirinya sendiri,

"Nah. siapa yang berkelamin jantan dan single? Bobby? Cakep sih, tapi egonya segede utang negara ini. Nggak ah." Dia menyingkirkan kartu nama itu.

"Johan? Ogah. dia nggak tinggal di Jakarta dan sumpah. aku mendingan menjadi belut daripada pacaran sama dia. Monty?" Nuna bengong lalu tertawa keras.

Tibatiba terdengar suara ketukan dari balik pintu.

"Nuna." panggil Pak Kapten. ayahnya.

"Lagi apa?"

Nuna buru-buru menutup mulutnya.

"Lagi baca buku, Pa!"

serunya. langsung mengambil buku. Papa nonton di televisi deh. Lucu banget. Saluran CPTV."

CPTV-Citta Penyihir Televisi, salah satu saluran televisi favorit para penyihir. Ketukan di pintu berhenti. Tidak ada suara lagi. Nuna kembali asyik mengecek kartu kartu nama tersebut.

"Oke. sampai mana? Monty jelas nggak masuk hitungan. Dikha? Cakep sih. tapi malas. omongannya nggak nyambung. Kenny?" Nuna merinding.

Setelah beberapa menit berlalu ditambah kartu nama yang berserakan di mana-mana. Nuna menggigit-gigit bibirnya. Keringat menitik di dahi. Tumpukan kartu di tangannya semakin menipis.

"Brengsek." katanya sebal,

"susah amat sih."

Matanya membelalak menatap kartu terakhir yang berada di tangannya. Dia menimbang-nimbang beberapa kali. berpikir keras. Ini pekerjaan sulit. Sudah puluhan nama diabaikan. mungkin satu nama ini bisa menjadi pertimbangannya. Mungkin... Tidak ada salahnya mencoba, kan? Nuna. mengambil ponselnya, memencet nomor-nomor yang tertera. lalu menunggu beberapa detik.

Nun jauh di sana. di negeri antah berantah tempat orang yang ditelepon Nuna-terlonjak mendengar suara dering ponsel.

"Suara apa itu?" Hulubalang kerajaan berdiri.

"Suara musuh datang dengan sihir supersakti yang akan menaklukan peradaban kita? Suara dari langit yang menyampaikan tanda bahwa akhir zaman telah tiba? Suara..."

Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya merogoh kantongnya dan mengeluarkan ponsel. Dia memencet tombol lalu mendekatkan ponsel itu di telinga nya.

"Anda berhasil menghubungi kerajaan Varaiya yang dipimpin

oleh Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya. Apa yang Anda butuhkan dari Kami?"

"Aduh. masih gila juga..." Nuna menggigit bibirnya cepatcepat.

"Halo? Halo?"

"Maaf, maaf. Abaikan kata-kataku tadi. Halo. apa kabar? Masih ingat suara saya? Pasti enggak. Langsung saja ya, saya nggak nawarin asuransi atau kartu kredit. Saya Nuna. cewek yang pernah datang ke kerajaanmu dulu. ditawan, lalu nyaris dijadikan selir. Ingat? Oh. kamu ingat. Hehehe, bagus. Aku masih punya kartu namamu. Eh ngomong-ngomong. mau nonton nggak minggu depan?"

Nuna menghela napas, tegang. Lima menit berlalu dalam keheningan. Rasanya Nuna menyesal setengah mati mendengar nasihat psikolog kondang itu. Sambil menunggu jawaban, pikirannya mundur.

**

"...dia melewati saya begitu saja. Bayangin! Nggak ada perhatian dan rasa iba. Malah dia juga enggak sadar dia melengos persis di tengah-tengah pidato saya tentang rasa terima kasih dan blabla-bla lainnya."

Raut wajah lelaki berkacamata gagang putih tidak berubah. Tak ada keduran. tak ada kerutan. Dia mendengarkan semuanya dengan sabar. Dia tahu-tanpa menoleh ke arah jam dinding yang terletak di sampingnya-waktu yang mereka miliki tinggal lima menit lagi. Perutnya sudah menagih makan stang. lima menit lagi. Keajaiban waktu akan segera tiba.

"Oke. lanjutkan."

"Dia ninggalin saya untuk mengecek keadaan Oryza." Suara Nuna terdengar pahit.

"Oryza..." Dia mendengus berat.

"Oryza lagi! Selalu Oryza. Selalu. Huh!"

Nuna memejamkan mata, mengingat kejadian yang menyakitkan hatinya. Beberapa bulan lalu, mereka berada di pulau antah berantah, pulau yang terkenal dengan nama Pulau Varaiya, negeri suku penyihir gila yang memiliki kekuatan sangat besar. Setelah pertarungan yang tidak seimbang, dia ditawan oleh sang raja, rencananya akan diangkat menjadi selir yang entah keberapa. Tapi untunglah, akhirnya mereka berhasil menyelamatkan diri. Air mata Nuna berlinang turun. Sekejap saja, pemandangan seluruh ruangan tampak kabur.

"Padahal saya yang bakal dijadiin selir oleh raja keparat itu. Saya! Bukan orang lain! Menjadi selir benar-benar penghinaan dan pelecehan luar biasa di abad ke-21 ini. Tapi apa dia peduli? Dia sama sekali nggak peduli." Terdengar penekanan pada kata "tidak peduli".

"Sama sekali tidak! Nggak ada pertanyaan sederhana seperti 'ada yang lecet? atau 'sakit di mana?. Dia cuma senyum doang. memunggungi saya. lain lewat begitu aja."

Budianto mengangguk beberapa kali.

"Kenapa? Kenapa Xander bersikap kayak gitu?" Nuna memandang Budianto dengan tatapan putus asa. 'Kenapa dia ngak peduli? Kenapa dia nggak perhatian sama saya? Kenapa?"

"Pertanyaan bagus sekali. Kamu penyihir cerdas. Menurutmu." Budianto mengusap dagunya.

"Kenapa Xander nggak peduli?"

"Dia mencoba pamer sama Pak Samudra..."

Suara maskulin memotong, terdengar berwibawa dan berat.

"Ahem."

Nuna mengerucutkan bibirnya. menolak memandang ke arah Budianto. Ada apa ini? Sesi obrolannya menyebalkan. Omongannya selalu dipotong psikolog itu seperti murid nakal yang ditegur pak guru galak. Nuna tidak suka ditegur terang terangan.

"Saya serius. Nuna. jangan mencari-cari alasan. Saya akan bertanya sekali lagi, harap dijawab dengan kepala dingin. Kenapa Xander kelihatan lebih perhatian sama Oryza daripada kamu?"

"Karena Xander diam-diam menyayangi Oryza." Nuna menelan ludah dengan berat. masih sulit memisahkan emosi. Dia nggak terima kenyataan itu. Dia nggak terima sama sekali! Huh. Nuna langsung menyergah,

"Eh, salah. Bukan begitu maksudnya..."

"Sungguh?" tanya Budianto cepat.

"Masa bukan begitu?"

Muka Nuna bersemu merah. Pikirannya terbang ke setiap celah episode dan kejadian yang telah berlalu. Diam-diam hatinya sakit lagi.

"Nah? Nuna?"

'Iya." Dua kali Nuna mengerjapkan mata. berharap air di pelupuknya bisa berhenti.

"Iya. Iya. Iya." bisiknya.

Ruangan kembali menjadi hening.

"Bagus. bagus sekali, Nuna. Pengakuan, aaahh akhirnya. Pengakuan penting. Biar tidak ada penyangkalan lagi."

Nuna memicingkan mata.

"Pekerjaan rumahmu untuk hari ini sampai ke pertemuan kita selanjutnya adalah..." Budianto menata kata-katanya dengan rapi.

"Kamu harus berkencan."

"Berkencan?"

Budianto mengangguk.

"Tapi saya udah berusaha berkali-kali mengajak Xander nonton atau makan malam..."

'Yang jelas bukan dengan Xander," tandas Budianto.

"Dengan cowok lain."

"Hah? Tapi..."

"Nggak ada tapi. Nggak ada komplain atau cari masalah. Carilah cowok lain, pasang iklan cari jodoh di internet. ajak dia pergi keluar. Makan malam kek. Nonton kek. Atau jalan-jalan ke mal. Pergilah berkencan."

Nuna tepekur.

"Nuna." panggil Budianto tenang.

"Kamu harus segera melihat

dunia. . Xanaer bukan satu-satunya penyihir yang paling keren di muka bumi ini. Masih banyak cowok lain. Cobalah buka mata lebar-lebar, bertemanlah sama cowok-cowok lain. Kalau nggak cocok atau nggak nyambung. seenggak-enggaknya kamu bisa makan malam atau nonton gratis."

Nuna tampak tidak terlalu bersemangat. Dia melirik jam tangan. Waktu sesi konselingnya sudah habis. Dia memandang jendela yang basah kena hujan dengan lesu.

"Baiklah," katanya kecewa. Hilang semangatnya.

"Nasib. Cari jodoh saja susah banget."

"Bagus! Bagus sekali, Nuna." Budianto tidak putus asa menyemangati.

"Kamu penyihir yang kuat dan hebat. Saya lihat kamu sudah membuat banyak sekali kemajuan sejak pertama kali kita bertemu. Kita teruskan minggu depan ya. Pengalaman masa lalu akan kita simpan di gudang saja. Oke?"

"Oke." Nuna membuang tisu ke keranjang sampah di sebelahnya. berusaha keras tidak terlihat suntuk.

"Thanks buat semuanya.

**

Pax tidur gelisah. Malam ini dia mendapat tempat di salah satu rumah penduduk. Dipannya kecil, kasurnya lembek dan tipis. Tapi tidak apa-apa, yang penting di atas kepala Pax ada langitlangit yang melindungi. Kalau hujan. dia takkan kebasahan. Kalau angin kencang, dia takkan kedinginan.

Pax bermimpi. Tentu saja, dia sering bermimpi dalam tidurnya. Tapi saat bermimpi, dia tidak pernah tahu bahwa dia bermimpi. Seperti mimpi-mimpinya yang dulu, dia bermimpi bertemu dengan Oryza.

Oryza. Lagi-lagi Oryza. Gadis itu kerap hadir di mimpi mimpinya saat Pax berjauhan dengan Oryza.

"Pax!" seru Oryza, di dalam mimpi Pax. Oryza datang dengan senyum lebar dan lengan yang terbuka lebar. Gadis itu memeluk Pax. Hangat. Menenteramkan. Pax belum pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.

"Pax, aku mau cerita sama kamu." Oryza memeluk Pax semakin ketat.

"Coba tebak apa yang membuat aku bahagia sekarang."

Bibir Pax tersenyum. Dia balas memeluk Oryza.

"Hmmm... Oom Samudra menang hadiah mobil dari bank?"

"Salah."

'Xander memutuskan menelan racun." '

"Salah."

"Aqua bangkrut?"

"Salah." Oryza merenggangkan pelukannya. Wajahnya mendongak menatap Pax.

"Aku aku akan menikah!"

"Oh " Mata Pax membelalak.

"Hah?!"

"Aku dan Xander!" Pipi Oryza bersemu merah.

"Akhirnya... akhirnya dia melamarku!"

'Xander?" Kaki Pax membeku.

"K... kenapa? K... kapan?"

Oryza tersenyum lebar sekali.

"Surprise-!' ' bisiknya.

Pax Shark bukan alang kepalang. Dia terpaku memandang Oryza. tak bergerak.

"K... kamu ba... bahagia? H happy. maksudku?" Pax menelan ludah.

"Dengan Xander, maksudku."

Oryza mengangguk.

"Kamu... kamu nggak kena mantra a-ajaib? Ramuan a-aneh? K-kena pentung di kepala?"

Otyza mendorong tubuh Pax dengan lembut.

"Nggak! Masa aku menikah karena itu? Orang menikah kan karena cinta."

Pax merasa tanah yang dipijaknya terbelah. Bumi terbuka, dan Pax tenggelam bulat bulat di kedalamannya. Gelap. Semua gelap. Hanya hitam yang ada di sekeliling Pax. Pax ingin menjerit, tapi tak ada suara yang Keluar dari mulutnya. seluruh tubuhnya serasa melayang. Dia terjatuh... terjatuh... terjatuh....

"AAAARRRRGGGGHHHHHHH!" Rambutnya basah kena keringat. Pax terbangun. Matahari sudah tinggi. Cahayanya masuk lewat jendela kecil di kamar sempitnya.

**

Rumah Gus masih disiram cahaya matahari pagi yang cerah. Tim pengurus rumah tangga sudah bolak-balik membersihkan lantai dan sudut-sudut ruangan sejak dini hari. Gus duduk di teras belakang yang menghadap kebun besar. Kebun besar itu terbentang dari ujung tempatnya duduk sampai ujung terjauh yang tidak kelihatan. Pohon-pohon besar yang berbuah tumbuh dipenuhi perdu yang mengelilinginya.

"Di mana adikku tercinta Raden Ajeng Maharani Aqua?"

Kepala pengurus rumah tangga. Ibu Tyas, yang sudah bekerja dengan keluarga Gus berbelas tahun lamanya menjawab dengan sopan,

"Ndoro Agus, Putri Aqua semalam tidak pulang. Katanya dia mau tidur di apartemen saja bersama temannya yang bernama Strawberi."

Apartemen yang dimaksud oleh Ibu Tyas adalah apartemen yang dimiliki oleh keluarga mereka, terletak di daerah Sudirman. Menghadap ke utara, apartemen itu terletak di lantai 45, di puncak tertinggi. Sesekali Aqua senang menginap di sana daripada tinggal di rumah.

Gus meneruskan kegiatan mengunyah sarapannya. Seorang pengurus rumah tangga berjalan mendekati lelaki itu dan berkata,

"Pak Gus, seorang tamu ingin bertemu dengan Pak Gus. Katanya sudah membuat janji. Namanya Solanum."

"Izinkan wanita itu muda itu datang di hadapanku, segera!"

Tidak sampai lima menit, Solanum memasuki teras belakang rumah Gus. Senyum di bibirnya tertarik ke sisi wajahnya. tidak terlalu dalam, menimbulkan kesan senyum yang berjarak. Tidak tampak kesombongan sama sekali dari pancaran wajahnya.

Solanum dipersilakan duduk oleh Gus, yang segera mengambil kursi di sebelahnya. Sejenak gadis itu terpana memandang Gus. menikmati wajah tampan lelaki itu yang sedang duduk santai. Lekuk mukanya sangat Jawa, dengan kulit berwarna cokelat langsat yang matang. Matanya bulat, dipenuhi oleh alis yang menaungi di atasnya. Bibirnya berwarna cokelat tua. tampak tegas dengan keseluruhan raut parasnya. Hmm, Solanum meluangkan waktu beberapa menit memandangnya. Ganteng juga lelaki ini.
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Halo," sapanya ramah.

"Selamat pagi."

Sejenak mereka berpandangan. Sejujurnya, Gus mengagumi kecantikan Solanum yang menurutnya berbeda dengan kecantikan kakak-kakaknya yang lain. Dia tidak pernah sreg dengan Zea dan Oryza. Solanum memiliki ketajaman mata yang berbeda bandingkan Zea dan Oryza. Tatapan mata yang seperti elang. tajam. tapi dingin dan menjaga jarak.

"Anda mencari saya? Yang mengirim SMS, kan?" tanya Solanum lugas.

"Ada apa?"

Gus berhenti makan dalam gerakan lamban. Tidak ada yang berbicara apa-apa. Hening yang agak panjang ketika Gus berjalan menuju pantri. Sejenak dia meluangkan waktu di sana untuk menyiapkan dua cangkir kopi. Setelah itu. dia kembali ke meja.

"Kopi. Tanpa gula. Tanpa krim."

"Terima kasih."

Solanum menghabiskan waktu beberapa menit untuk mengaduk kopinya dan menyeruputnya dengan santai.

"Bukan saya yang mengirim SMS. Oh. walaupun SMS itu dikirim dari telepon genggam kepunyaan diri saya. Mengirim SMS adalah pekerjaan sekretaris saya. Tapi ya, Anda benar, wahai perempuan yang cerdas dan berbudaya, saya butuh sosok seseorang seperti dirimu yang jujur. cekatan, dan dapat diandalkan."

Orang bego ini menceracau apa sih? Mulut Solanum menganga. Dia susah payah menyetel wajahnya agar tetap terlihat profesional.

"Saya? Anda memilih saya untuk bekerja di perusahaan Anda?"

"Sori. Apakah kamu terkejut? Memang ini terlalu terburuburu. tapi tidak ada salahnya kalau saya meminangmu sekarang?"

Solanum agak sulit bernapas karena terlalu kaget.

"Saya mendapat namamu dari perusahaan beadhunter. Kamu memang orang yang tepat. disebutkanlah demikian. Saya sanggup menggajimu dua kali lipat dari yang kamu dapat di perusahaanmu sekarang...." Gus mencondongkan tubuhnya. 'jangan bengong. Wajahmu tidak tampak seperti peri yang bersinar lagi."

"Kenapa saya."

"Jodoh itu misterius. Dia datang begitu saja dan lewat begitu saja."

Buset. Dengarkan, warga penyihir! Seseorang sedang menyebut kata keramat 'jodoh" di depan Solanum.

"Sori, saya menggunakan kata jodoh. Saya percaya, jodoh bukan soal urusan cinta saja. Tapi jodoh juga urusan antara karyawan dan bos."

Belum pernah Solanum menjadi salah tingkah seperti ini. Padahal dia terkenal sebagai Ratu Es Batu Kulkas. Seorang lelaki berhasil melelehkannya... Ralat. Bukan melelehkan. Yang benar, lelaki itu berhasil membuatnya nyaris muntah.

"Lihatlah proposal cantik berwarna biru ini? Coba buka halaman dua belas. Di sana tertera bunga rampai dan penjelasan tanggung jawabmu."

Solanum tidak jadi muntah.

"Bacalah, Bidadari Biru..."

Gus menyeruput kopinya dengan tenang. Pagi berlalu terlalu cepat. Percakapan mereka tenggelam di tengah kicau burung yang bersahutan. Semakin jauh obrolan mereka, semakin hilang sikap skeptis Solanum terhadap Gus. Semakin sering Solanum tersenyum, semakin manis dirinya di mata Gus.

Mungkinkah ini awal dari cerita cinta?

**

"Sepuluh nasi bungkus."

Keringat Nuna turun terus'menerus. Dia baru saja menyiapkan sepuluh nasi bungkus pesanan nelayan yang berulang tahun.

"Sekalian lima teh manis."

"Enak jadi nasi bungkus. Ada yang ambil, ada yang mau. Nggak kayak aku." Nuna mengaduk-aduk nasi dengan centong dengan gerakan frustrasi. Mukanya merah padam.

"Udah ikutan program blind date, tapi semuanya nggak jadi di detik terakhir. Nggak ada yang mau sama aku!"

"Berapa, Mbak?"

"Dua puluh lima ribu."

Nuna mengambil uang dan menyimpan di kantong dompetnya. Dia kembali mengaduk-aduk nasi dengan centong sambil terus merepet.

"Eh, sebenarnya enggak semuanya. Yang terhormat kepala suku tonggos Varaiya mempersiapkan pasukan penjemput buat menculikku dari Jakarta. Kalau udah gokil, selamanya pasti

gokil. Aku hanya mau berkencan. Apa sih susahnya? Aku nggak mau dijadiin selir..."

"Nuna?"

Nuna menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Ya, Papa?"

"Sudah selesai pesanan sepuluh nasi bungkus?"

"Sebentar lagi."

Pak Kapten berjalan memasuki warung dengan langkah santai. Perawakannya menjulang seperti tiang listrik. Rambutnya panjang. diikat ekor kuda. Nuna adalah anak perempuan satusatunya.

"Lekas, Sayang. Orangnya sudah nggak sabar."

"Iya, Papa."

Pak Kapten membersihkan salah satu meja, lalu merokok di luar warung. Ditinggal Pak Kapten, Nuna kembali bekerja. Ponsel dijepitkan lagi di antara bahu dan telinganya.

"Pak Budianto?" panggil Nuna pelan.

"Masih di sana? Saya nggak mungkin memenuhi tenggat deadline. Sampai sekarang saya belum berhasil menemukan teman kencan. Satu pun."

"Kedengarannya kamu sedang sibuk sekali."

"Sebenarnya warung sepi. Saya hanya menyiapkan pesanan teman Papa. Saya..." Nuna terdiam sejenak. Ada panggilan di jaringan lain.

"Halo? Nuna?"

"Tunggu sebentar, Pak. Jangan dimatiin." Nuna memencet tombol. hubungan langsung tersambung ke jalur yang lain.

"Halo?"

"Halo, halo, masih ingat Kami? Kami adalah Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya. Kami minta maaf untuk tim penjemput yang berusaha menculikmu kemari. Tak ada niat jelek sama sekali, cuma salah paham aja. Setelah dipikir-pikir, Kami sudah memutuskan me?nerima ajakan kencanmu. Bagaimana? Hari Sabtu minggu depan? Setuju?" Ponsel di tangan Nuna nyaris terjatuh.

**

Kamar Xander tidak terlalu besar, malah boleh dibilang ini kamar terkecil dari seluruh kamar yang ada. Dulu kamarnya sebenarnya gudang tempat menaruh barang-barang yang tidak dibutuhkan lagi. Kamar ini bersebelahan dengan kamar Solanum.

"Boleh masuk?" tanya Solanum ramah. Tanpa dipersilakan, Solanum melongokkan kepalanya.

"Silakan."

Solanum mendekat pelan. takut menyenggol benda yang tergeletak di mana-mana. Kamar Xander selalu penuh barang. Ehm, ralat. Mungkin bukan penuh barang tapi kamarnya memang terlalu kecil. Nggak ada tempat untuk duduk (kursi kerja Xander dipenuhi jaket dan tumpukan buku). Solanum duduk di pinggir ranjang.

Wajah Xander tampak serius.

"Apa? Good feeling keliatannya."

"Kamu pasti nggak bisa nebak." Solanum mendorong selimut Xander dengan perasaan riang.

"Aku dapat tawaran kerja di keluarga ningrat itu," katanya dengan nada biasa biasa saja seperti mengatakan "salju turun di luar, lihat!'

Xander menyipitkan mata. Tatapannya curiga.

"Tawaran kerja apa? Jadi pembantu atau tukang kebun mereka? Sopir? Tukang listrik."

"Tawaran pekerjaan jadi manajer keuangan di salah satu perusahaan keluarga mereka."

'Kamu menerima tawaran itu?"

"Proyek duit adalah haram kalau ditolak. Mengerti?" Solanum memandang Xander tanpa tersenyum. lalu langsung merepet seperti demonstran sedang berorasi di depan gedung MPR/ DPR.

"Perekonomian negara kita sedang sangat tidak bagus. Berapa banyak orang yang dipecat tanpa pesangon? Perusahaan bangkrut? Perusahaan nggak sanggup menanggung biaya? Perusahaanku ngak bangkrut sih, tapi untuk bertahan, mereka memperlakukan budget di mana-mana. Salah satunya dengan tidak memberi bonus dan kenaikan gaji. Parah banget! Ada orang yang sudah bekerja lima tahun tanpa kenaikan gaji. Bagaimana perusahaanmu?"

Xander ingat bisik-bisik dan gosip yang melanda karyawan selama beberapa bulan belakangan ini. Memang, keadaan pabrik sedang tidak bagus. dia harus mengakuinya. Solanum memandangnya tanpa berkedip.

Solanum langsung menyengat,

"Pasti perusahaanmu juga dalam keadaan Senin-Kamis. Apalagi pabrik. tergantung sekali pada produk luar. Kalau mereka gulung tikar, pabrik di Indonesia juga bakal gulung tikar."

Xander duduk bersila, memasang telinga mendengarkan.

"Sekarang. pekerjaan apa aja harus segera disambar. Bisnis apa aja harus langsung diperhitungkan. Masa nggak jelas seperti ini nggak bisa menjanjikan apa-apa, malah bikin semua serba nggak menentu. Klinik Kak Zea juga lagi sepi pelanggan tuh. Pemasukan keluarga ini benar'benar tergantung sepenuhnya padaku. Nggak terbayang kalau kamu dipecat!"

"Lalu bagaimana?

"Berarti kamu harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang. Buka koran, cari pekerjaan. Tanya-tanya koneksi. Mikir-in peluang bisnis dengan modal seadanya. Kalau kamu bisa menulis, jadi novelis aja. Banyak novelis yang punya penghasilan bagus."

"Novelis? Nggak ah. Kenapa kedengarannya serius banget ya?"

"Ini serius! Aku punya teman yang bekerja di Film. Katanya mereka lagi mencari peran pembantu atau Stuntman apalah. Kalau sampai salah satu dari kita bertiga mengalami karier buruk, mungkin karir perfilman bisa dijadikan alternatif."

"Stuntman?" Xander merinding.

"Yang kerjaannya jatuh dari ketinggian, menembus api, atau diledakin? Kedengarannya penuh bahaya dan berisiko tinggi deh. Nggak mau!"

"Pemilih."

"Lagian, aku juga nggak punya asuransi."

"Kalau begitu kamu harus punya asuransi! Hari gini tidak punya asuransi? Nekat banget. Bersihin tuh kuping dengan sikat WC, dengerin aku baik-baik. Bayangin suatu hari kamu jatuh sakit, nggak punya duit seperak pun. Kamu tergeletak tak berdaya. Rumah sakit menolak kamu. lalu kamu tidak punya pengobatan apaapa. Kamu bakal mati pelanpelan di pinggir jalan. Bla, bla, bla, bla. guk. guk, guk, guk, krik, krik. krik..."

Xander bengong.

"Begini aja. Aku juga punya teman yang bekerja di bidang asuransi. Besok kutelepon dia supaya menghubungimu. Buat jaga-jaga."

Kenapa berdekatan dengan Solanum selalu bikin merinding? Xander tahu, keadaan ekonomi memang membahayakan dan penyakit bisa mematikan. Tapi di tangan Solanum, bayang-bayang masa depan selalu terlihat gelap, tak ada harapan, turun bersama kiamat dan kehancuran. Detik ini juga. Setelah berbicara seperti itu, Solanum berdiri dan berjalan keluar. Dia tidak menoleh atau mengucapkan selamat tidur sama sekali.

Ditinggal Solanum. Xander menjatuhkan diri di ranjang. Sial.

Dia memandang tembok. bengong beberapa saat. Pelan-pelan air mukanya menjadi keruh. Aduh, menyebalkan. Apa-apaan sih tadi? Cewek stres itu datang ke kamarnya untuk membagi rasa srresnya?

"Sialan Sola," gumamnya sendirian dengan perasaan marah.

"Dasar manusia kloning pengisap kebahagiaan. Selalu nggak bisa melihat orang lain bahagia."

**

"Aku lagi menghitung kemampuan renangku. Ini putaran yang kesembilan kalinya." Napas Aqua masih megap-megap karena kehabisan udara.

"Kusarankan agar adikku tidak bergaul dengan anak perempuan miskin pemilik restoran kelas murahan itu. Siapa namanya? Strawberi? Kamu terpengaruh menjadi penyihir kampungan."

Aqua mengibaskan rambutnya dengan kesal. Dia membisu, seperti ada biji duren mendadak nyangkut di tenggorokannya. Dengan gerakan luwes, Aqua berenang ke ujung. Tidak mau dia menanggapi perkataan kakaknya. Begitu tiba di sana. dia berbalik cepat dan kembali ke arah Gus yang masih dudukduduk di pinggir kolam renang.

"Telah kuputuskan untuk merekrut Solanum agar bekerja di perusahaan ."

Aqua melompat naik dari air dengan cepat. Hasrat mencubit perut kakaknya yang terlihat penuh lapisan tipis lemak menyeruak ganas.

"Merekrut Sola." Gus mengangkat alis.

"Lho... lho... Ada apa gerangan yang membuat mukamu tampak hijau seperti baju Peter Pan? Nih, mau biskuit? Nggak bikin gemuk."

Aqua mendorong lengan Gus dengan sebal.

"Ada apa?" tanya Gus penuh perhatian sambil mengunyah

biskuit.

"Sensi sekali kau. Apakah kamu masih tergila gila dengan cowok murahan itu. Siapa namanya, Xander?"

"Dia bukan murahan. Dia penyihir hebat.

"Baik, baik." Gus mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

"Kau beruntung. Jatuh cinta dengan lelaki yang ganteng dan mempunyai pesona. Bagaimana akhir kisah percintaan ini?"

"Aku mau menjadi pacarnya."

"Pacar? Apakah kau punya rencana untuk membuat Xander tergila-gila padamu, wahai adikku yang sangat cerdas? Kalau kamu penyihir yang luar biasa hebat, bukankah mudah bagimu untuk menciptakan ramuan yang membuat seseorang jatuh cinta?"

"Yes! Kakakku!" seru Aqua bersemangat.

"Kamu sungguh hebat."

'Maksudmu' '

"Idemu luar biasa gila."

'lde apa?"

'Kamu mengingatkanku dengan ramuan ciptaanku, Love Farian."

Gus berpikir sejenak. Dia berusaha membaca wajah adiknya. tapi tidak berhasil. Dia mengangkat bahu dengan gaya komikal.

"Love Potion. Version 3472."

"Apakah fungsi ramuan yang terdengar sangat sederhana itu?"

"Sederhana?" Aqua tertawa terkikik-kikik seperti seorang nenek penyihir yang ditakuti anakanak dalam kegelapan.

"Memang! Di situlah letak briliannya gabungan idemu dan ideku! Ide yang brilian sebenarnya sangat sederhana. Fungsi ramuan itu membuat orang yang menghirupnya akan jatuh cinta."

"Oh." Mulut Gus membentuk huruf 0 secara dramatis.

"Sunguh mengagumkan."

"Maukah kamu membantuku, wahai kakakku yang bijaksana?"

Malam membentangkan panggungnya. Gus menganggukangguk.

**

Rumah besar itu ramai oleh tawa dua perempuan. Di hadapan mereka biji-biji permainan mahjong tampak tergeletak berantakan. Strawberi menyedot minumannya sampai tandas.

"Labrak! Labraaaak! Aku mau labrak dia!"

Strawberi memandang Aqua yang mendengus kesetanan.

"Apa sih dosa nenek moyangku sampai harus berurusan dengan orangorang yang nggak kompeten di bidangnya? Xander cuekin aku. Sola dan Zea bersantai-santai di rumah mereka yang hangat. Cewek kapal itu, siapa namanya... Muna... Luna... Atau Maya... malahan jadi saingan baru mendapatkan cinta Xander. Belum lagi kucing keparat berkulit brontosaurus yang bikin keramaian di pelabuhan Gilimanuk. Kudengar dari televisi beberapa hari lalu. Ini sungguh menyebalkan. Ekspedisi Varaiya gagal berat."

"Memang sih." Strawberi melipat kakinya.

"Tapi Strawberi senang sudah nggak dihantui sepupu gila Strawberi lagi. Sejak Strawberi pulang, dia berubah. Kayaknya Cyril nggak suka sama kamu. Dia jadi jutek dan pendiam banget. Strawberi rasa dia icalous."

'Agak aneh Cyril-mu itu."

"Halootm? Dia bukan Cyrilnya Strawberi, Pepsi."

"Namaku Aqua. Ingat, Aqua! Bukan Pepsi atau air lemon bersoda atau minyak kayu putih." Aqua memonyongkan bibirnya.

"A. Kyu. A."

Strawberi tampak tidak tertarik mendengar omongan A-KyuA.

"Ngomong-ngomong. aku pengin tanya sesuatu sama kamu."

'Apa?"

'Kenapa sih cara berbicaramu aneh?"

Strawberi menelengkan kepalanya.

"Maksudnya?"

"Kenapa kamu selalu menyebut diri kamu sebagai 'Strawberi' bukan 'aku 'saya: atau 'gue' sih?"

Air muka Strawberi terlihat bingung.

"Ada yang salah? Strawberi pikir penyebutan nama seperti ini kedengarannya cute."

Aqua merengut.

"Cute apanya? Kamu seperti seperti anak umur tujuh tahun."

"Nggak cute." Strawberi memandang Aqua dengan tatapan bingung.

"Lho. Itu nggak cute? Ya ampun! Selama ini Strawberi pikir itu sangat cute."

"Sumpah. nggak cute rapi norak."

"Jadi menurutmu Strawberi anak tolol yang nggak mengerti apa-apa?"

Wajah Aqua berubah seketika menjadi wajah kodok batu.

"Nah. itu dia yang nggak cute. Sebenarnya bukan cuma aku. kami semua termasuk Xander pastinya menganggap kamu anak tolol yang nggak mengerti apa-apa."

Strawberi memekik, menutup matanya dengan kedua tangan. Aqua mendengus.

"Aku punya beberapa solusi. Pertama. jangan norak. Mulai hari ini, kamu nggak boleh menyebut diri sebagai Strawberi."

Strawberi mengintip pelan'pelan dari sela-sela jemarinya.

"Gue. Pake gue."

Strawberi mengangguk serius.

Aqua mencibir.

"Nggak usah mengintip seperti itu. Kamu nggak keliatan cute sama sekali. Norak."

Strawberi buru-buru menarik tangan dari wajahnya.

"Bagus. Dua. jangan pecicilan. Nggak ada lelaki yang suka sama cewek pecicilan. Apalagi sok cute."

"Nggak norak. Nggak pecicilan. Nggak sok cute."

"Harus percaya diri."

"Baiklah. Harus percaya diri."

Aqua melanjutkan omongannya.

"Salak "

"Strawberi' Strawberi mengubah nada suaranya biar terdengar lebih tegas. Pecicilan? Norak? Sok cute? Dia? Cuih, pret, seenaknya.

"Gue ingetin, nama gue Strawberi. Nama gue tuh STRAW... BE... Rl!"

Aqua menyodorkan sepiring salak kepada Strawberi. Tangan satunya lagi mengibas seperti mengusir bebek.

"Jangan terlalu sensi. Aku cuma mau nawarin salak. Nih, salak. Mau nggak?"

"Thanks." Strawberi mengambil salak lalu langsung mengupasnya

"Kamu nggak boleh menunjukkan emosi berlebihan seperti itu. Bersikaplah anggun seperti seorang Putri Penyihir, Mangga."

"Eeeeh." Strawberi berhenti mempreteli salak.

"Capek deh."

**

Kalau tidak kepepet. Oryza tidak pernah mau menjejakkan kaki ke restoran nasi tim bebek itu. Ogah! Nggak sudi! Cih, cih! Tapi tadi dia mendapat SMS dari Solanum yang titip pesan supaya dia memesan lima porsi nasi tim bebek buat nanti

malam. Atas rekomendasi psikolog, ayahnya dilarang makan masakan Zea selama seminggu. 'What the hell? Bikin repot aja.

Nasi Tim Bebek Nenek Gray tidak buka sore hari. Ini menyulitkan orang kantoran seperti Oryza yang hanya bisa keluar dari kantor setelah jam lima. Tapi karena ini adalah tugasnya untuk mematuhi SMS Solanum, Oryza bela-belain keluar kantor pada jam makan siangnya menuju restoran nasi tim bebek tersebut.

"Lunch di luar. Ory?" tanya Iris, teman kantornya.

"Ada urusan." jawab Oryza tergesa-gesa.

jarak antara kantor dan restoran nasi tim bebek tidak dekat. Membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk mencapai ke sana dengan kendaraan bermotor sementara waktu istirahat makan siangnya hanya satu jam. Oryza harus bergegas. Heran, dari seluruh restoran di Jakarta, kenapa Solanum menyuruhnya membeli makanan di sini-? Kenapa ayahnya kepengin makan nasi tim bebek? Menyebalkan sekali.

Oryza berjalan menuju restoran, langsung melihat Strawberi yang sedang di kursi kayu mengipas kepanasan.
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pesan nasi tim bebek," katanya pendek.

"Lima bungkus."

Strawberi mendelik.

"Tumben pesan makanan dari restoran nenek gue."

"Aku tadi pesan..."

Oryza memandang Strawberi dengan tatapan heran selama lima detik lebih lama dari biasanya. Dia mengeluarkan tongkat sihirnya diam-diam dengan ujung menghadap Strawberi. Alisnya bertaut.

"Siapa kamu? Saudara kembar Strawberi? Penyihir yang menggunakan tubuh Strawberi? Penjahat yang menyamar menjadi Strawberi? Ngaku aja, nggak usah berpurapura jadi Strawberi."

Strawberi mengerutkan dahinya.

"Saudara kembar? Gue nggak punya saudara kembar. Ini gue, Strawberi."

"Bohong." desis Oryza. Suaranya tenang tapi penuh gelora.

"Jangan coba coba mengejek kecerdasanku. Strawberi yang aku kenal nggak pernah berbicara kasar. Dia nggak pernah ber-elu gue sama aku. Strawberi juga selalu menyebut namanya dengan santun kalau sedang berbicara. Dia..."

"Gue berubah. Boleh kan kalau manusia berubah? Gue pikir Strawberi yang dulu agak manja, sok cute, dan pecicilan. Sekarang gue adalah Strawberi yang baru."

"Sejak kapan?"

"Kemarin."

Oryza meledak dalam tawa.

"Aku nggak percaya dongeng nenek sihir kayak gitu."

"Terserah." Strawberi mengangkat bahunya.

"Semua nasi tim pesanan ini buat Xander?"

"Memangnya kenapa?"

"Kenapa takut menjawab? Merasa terancam? Gue bukan monster atau makhluk UFO yang mendarat di bumi."

"Justru itu. Karena kamu Strawberi, aku malah merasa terancam."

Cyril tiba-tiba muncul di antara mereka. keluar dari dapur.

"Hai, Oryza. Apa kabar?" sapanya dengan nada riang. Dia tertawa. membetulkan kacamata tebalnya.

"Hai, Cyril." sapa Oryza ramah. Di sebelahnya. Strawberi terdiam.

"Kabarku baik-baik saja. Aku pesan lima bungkus nasi tim bebek."

"Oke. Segera disiapkan." Cyril meninggalkan Oryza menuju dapur.

"Lanjutkan saja gosipnya, ladies. Kalian berdua sudah lama nggak mengobrol. Pasti kangen."

Begitu Cyril menghilang ke dapur, Oryza langsung memandang Strawberi dengan sengit. Strawberi berhenti menghitung. mendongak dari sempoa dan kertas-kertas kerjanya.

'Strawberi yang dulu adalah cewek yang tolol, manja. dan egois. Strawberi yang sekarang adalah cewek yang kuat. yang tahu apa yang dia mau. Xander suka sama cewek yang nggak mencle mencle. Dia juga..."

"Dia udah punya cewek." Oryza merengut.

"Dan ceweknya itu aku!"

"Kalian berdua nggak pernah terlihat seperti pasangan."

"Xander. Adalah. Cowokku. Jangan coba coba dekati dia. Langkahi mayatku dulu."

"This is fair game. Elu nggak bisa menahan Xander kalau dia tertarik sama gue. Logika seperti itu sudah berjalan selama berabad-abad. Udah download logika di kepala belum? '

"Nggak usah mengancamku." Dasar setan alas, sudah beraniberaninya berbuat maksiat, sekarang jago mengancam?

"Di sini bukan lapangan buat latihan militer. Nggak usah teriak-teriak seperti itu. Lu nggak punya hak-hak apa-apa sama Xander."

"Nggak usah belagak jadi aktivis deh. selalu meributkan urusan hak melulu."

"Gue bertemen sama Aqua. Dia kenal pengacara-pengacara hebat yang mengerti urusan hak'hak."

Apa, Strawberi berteman sama Aqua? Gadis itu balas memandang mata Oryza dengan pancaran berapi-api. Memang dia kelihatannya sedang marah, tapi tak ada setitik kebohongan pun yang bisa dideteksi Oryza.

Cyril muncul dari dapur dengan menenteng dua bungkusan plastik. Di dalamnya kotak-kotak makanan disusun menjadi satu tumpuk. Satu plastik isinya tiga kotak dan yang satunya lagi isinya dua. Senyumnya terarah kepada Oryza.

"Silakan," katanya ramah.

"Lima bungkus nasi bebek. Masih hangat."

oryza berhenti berbicara Kepada strawberi. terima kasih. Berapa semuanya?"

Cyril menyebutkan harga. Oryza mengeluarkan dompet, membayar.

"Mari kubantu." kata Cyril.

Oryza menahan diri mati-matian agar tidak kembali dan menyihir Strawberi menjadi siomay. Dia berjalan terus menuju gerbang pagar dengan hati jengkel. Oryza mengambil helm. bersiap memasangnya di kepala. Mendadak Cyril memasang wajah serius.

"Terus terang, aku nggak suka Strawberi berteman dengan perempuan sombong itu. Siapa namanya?"

"Aqua."

"Cewek angkuh yang menganggap dirinya ratu alam semesta." Cyril mencibir. 'Aku sebenarnya lebih suka dia mengobrol sama kamu kayak tadi."

Oryza terkesima.

"Tolong temani Strawberi untuk curhat dari hati ke hati. Kupikir dia butuh sahabat kayak kamu yang setia dan bisa diandalkan."

Air muka Oryza menggelap. Nyaris dia menggampar kepala Cyril dengan helm yang sedang dipegangnya. Nyaris. tapi tidak jadi. Oryza harus buru-buru pulang sebab waktu makan siangnya sudah hampir habis.

**

"Penasihatku!" Yang Mulia Tsungta Zvar berteriak menggelegar.

"Apa yang harus Kami persiapkan untuk kencan Sabtu depan? Suku terhormat penyihir Varaiya tidak rela dipermalukan dengan kencan tanpa persiapan. Cepat ngomong. Penasihatku, apa yang harus Kami lakukan?"

"Apakah Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya tahu mau pergi ke mana dan berapa biaya yang akan dikeluarkan?"

"Tidak."

"Apakah Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya mempunyai uang untuk membayar?"

"Tidak."

"Apakah Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya berencana untuk meminjam uang dari seseorang?"

"Tidak."

"Apakah Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya berencana merampok bank?"

"Tidak."

Penasihat kerajaan memutar-mutar jenggot putihnya.

"Kesimpulannya. Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya...," katanya sambil berpikir keras,

"...harus bekerja agar mendapatkan uang buat kencan hari Sabtu depan."

"Baiklah. Bagaimana mendapatkan pekerjaan?"

**

Dalam khayalannya, nama Xander tidak berhenti terdengar keluar dari mulut Pax. berderet deret bersama sumpah serapahnya. Mimpi itu membuatnya kesal selama berharihari, mengganggu petualangan liburannya. Lebih baik dia mengingat bos kantornya yang galaknya minta ampun daripada memikirkan Xander. Tapi gatagara mimpi sialan itu. Pax terbayang-bayang terus.

Eh! Di sana ada Xander! Kekesalan Pax naik sampai ke

ubun-ubun. Dengan gerakan lincah, dia menarik keluar tongkat sihirnya, lalu menyambar kerah Xander. Tongkat sihirnya diarahkan tegak lurus ke mata Xander.

"Brengsek!"

"Pax... eeek. Elu pasti... eeeek... udah... denger... eeeek... beritanya..." Suara Xander tercekik dalam jepitan tangan Pax.

"Jangan main tipu-tipu di sini!" Suara Pax menggelegar, menatap mata Xander dalam-dalam.

"Oryza beneran menerima lamaran lu?"

"Eeek... Iya."

Pax melonggarkan cekikannya.

"Elu meracuni dia dengan semacam ramuan aneh?"

"Nggak."

"Elu menyihir dia!"

"Nggak!"

Mereka berdua berdiri membeku. Sebenarnya Pax yang membeku, karena Xander sedang dicekik Pax, tidak bisa ke manamana.

"Dan elu... elu beneran sayang sama... dia?"

Xander mengangguk.

"Ya."

Mata Pax berpijar selama beberapa detik, tapi tak lama pijar itu lenyap. Dia melepaskan cekikannya. Suaranya mendesis.

"Dengerin kata gue baik,baik. Kalau elu menyakiti hati dia... sekali saja... sekaliiii saja...."

"SIAPA SIH YANG LAGI DIOMONGIN SEKARANG?

Pax berkedip. Di depannya tampak lelaki tua yang sedang mencak-mencak nggak keruan karena disergap begitu saja sama dia. Ternyata... ternyata... lelaki itu bukan Xander! Pipi Pax memerah sampai ke telinga dan ubun-ubunnya. Dia melamun terlalu parah.

"KURANG AJAR! SEENAKNYA AJA MENYERANG SAYA! POLISIIIII! PANGGIL POLISIII! ADA ORANG GILA DI SINI!"

Tanpa ba-bi-bu. Pax langsung mengambil langkah seribu.

**

"Nama?"

"Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya Tsungta Zvar."

"Jangan bercanda.

"Kami nggak bercanda, Pak. Itu nama lengkap Kami."

Personalia berhenti menulis. Matanya melotot memandang lelaki itu. Penampilannya yang aneh sudah membuatnya sebal, belum lagi soal penyebutan nama yang membuatnya bingung. Lelaki abnormal ini menyebut dirinya sebagai "kami". bukan "saya" atau "aku". Ah, pikirnya. masyarakat memang semakin nggak jelas. Tidak heran makin banyak manusia yang sarap. Dia sepertinya harus memaklumi keadaan penyakit sosial akut yang sedang mewabah ini.

"Tolong sebutkan lagi. Lebih lambat, kali ini."

"Nama kami adalah Yang... Mulia Paduka... Terhormat... Pemimpin... Besar... Parlemen... Penyihir... Varaiya... Tsungta... Zvar..."

Personalia ternganga lagi selama lima detik. Oke, drop it. Sudah delapan jam dia berbicara dengan banyak orang yang butuh pekerjaan. Dia capek. Pantatnya tepos. Punggungnya pegal setengah mati. Dia kepengin pulang. Urusan pencarian staf membuat harinya selalu buruk.

"Apa Anda pernah ditangkap karena masalah kriminal?"

"Tidak."

"Bisa menyetir?"

"Bisa."

"Takut pada binatang?"

"Tergantung jenis binatangnya. Kalau hewan semacam kucing, tentu tidak takut."

"Dua ditambah dua?"

"Empat?"

Personalia berdiri, menjabat tangan Tsungta erat-erat.

"Selamat! Anda telah diterima di perusahaan kami, Kebun Binatang Ragunania Animal Control. Anda bisa melapor hari Senin besok dan kami akan menyediakan seragam buat Anda."

Tsungta membalas jabatan tangan lelaki personalia.

"Eh..." gumamnya heran. 'Bagaimana dengan training-nya? Apakah ada pelatihan sebelum..."

"Karena kebutuhan yang sangat mendesak. kita akan langsung terjun di lapangan. Pelatihan akan menyusul."

"Oke," jawab Tsungta ragu-ragu.

"Kami akan ditempatkan di mana?"

"Di unit mobil atau sering kali disebut dengan Tim Delapan."

"Kenapa delapan? Maksudnya ada delapan orang di sana." '

"Nggak. Memang begitu disebutnya."

"Ada berapa orang dalam satu tim?"

"Dua."

"Hanya dua?"

"Benar sekali."

"Dan itu disebut Tim Delapan?"

"Sebenarnya seharusnya memang ada delapan orang. Tapi karena keadaan mendesak..."

"...maka orang lain akan menyusul." Tsungta melepaskan jabatan tangan orang itu.

"Apa perusahaan ini telah berhasil merekrut dua orang?"

Personalia berdeham kencang.

"Sebenarnya baru satu. Anda."

Tsungta membelalak. Sambil bersungut-sungut Tsungta berkata,

"Nggak heran penasihat Kami merekomendasikan perusahaanmu buat melamar pekerjaan."

lelaki dari bagian personalia itu hanya melirik sebentar, lalu mulai bergegas membersihkan mejanya Dia mau pulang! Segera!

**

"Ada apa dengan Xander?"

Sekonyong-konyong Zea bertanya lembut. Dia muncul begitu saja di depan Oryza yang sedang asyik mengoprek motor di garasi. Zea memutar tubuhnya, memandang Oryza dengan cemas, namun penuh keibuan.

"Begitu pulang. Xander langsung masuk ke kamar tidurnya. Keluar sebentar hanya mengambil air minum. Dia sama sekali tak menyentuh makanan yang ada di meja makan."

"Kakak sudah mengajaknya makan?"

"Sudah."

'Lalu, dia jawab apa?"

"Dia bilang nggak lapar. Aneh. biasanya dia akan bertanya siapa yang masak. Kalau aku yang masak. Xander langsung duduk di meja makan. Dia punya semangat dan lambung yang besar untuk menyantap makanan."

"Kalau aku yang masak?"

"Ada dua reaksi. Menjerit lalu menelepon pesan antar. KFC. Hokben, Bakmi GM, panggil mie tek tek, atau apa aja yang lewat. Reaksi kedua, kabur ke kamar tidur, nggak keluar lagi semalam suntuk."

Otyza menekan rasa sebalnya.

"Apa dia sakit? Nggak enak badan? Ada sesuatu yang terjadi di kantornya?" Zea memandang Oryza dengan tatapan cemas.

"Coba tanyakan. Mungkin dia butuh didengarkan sama kamu."

"Kenapa harus aku?"

"Seharusnya kamu tahu tanpa perlu kujelaskan panjang lebar. adikku sayang."

Oryza membanting lap yang sedang dipegangnya. Rambutnya langsung kusut seperti tersangkut di tiang jemuran. Dia berdiri tanpa berkata apa-apa. Dia tidak mau membantah perkataan Zea, tak mau sama sekali. Oryza naik tangga menuju kamar Xander. Belum lagi dia mengetuk pintu, tahu-tahu pintu terbuka. Xander berdiri di hadapannya.

Keduanya sama-sama kaget.

"Eh!" seru Xander heran.

Mulut Oryza kelu.

"Makan yuk. Dicariin Kak Ze di bawah."

"Oh." Xander membuang muka.

"Aku nggak lapar."

Suara Xander membuat Oryza cemas.

"Ada apa, Xander?" tanya Oryza sambil meneliti raut Xander yang kelihatan sengsara. Lelaki itu tidak bergerak di depan pintu.

"Kamu kenapa?"

Xander menunduk. Tangannya mengusap rambutnya dengan gugup. Untuk sesaat, Oryza punya keinginan gila memeluk Xander.

"Pabrikku..." Xander tersendat.

"Ya?"

Dari jarak sedekat ini, Oryza bisa mencium aroma tubuh Xander. Aroma sabun yang pasti barusan dipakainya ketika mandi. Dia suka wangi itu.

"Pabrikku tutup."

"Apa?"

"Aku...' Xander menarik napas panjang. Matanya meredup. "...kena PHK."

**

RUMAH hening. Tidak ada suara televisi yang berasal dari ruang tengah. Oryza berjalan menuju dapur yang juga hening. Tidak ada tanda-tanda kesibukan di sana. Dia jarang sudah ada di rumah pukul tiga sore. Hari Senin, pula.

Di kantor tadi Oryza merasa tidak enak badan. Kepalanya pusing dan hidungnya berair. Batuknya semakin menggila. Selama meeting dengan staf HRD, dia tidak dapat berkonsentrasi. Akhirnya setelah mencoba bertahan selama lebih dari lima jam, Oryza menyerah. Dia memutuskan pulang dan beristirabat.

Di dapur, dia bergerak ke arah lemari. mencari obat di rak paling bawah tempat Zea menyimpan obat-obatan. Diambilnya beberapa obat obatan hasil racikan para penyihir ramuan yang dijual khusus di pasar penyihir. Matanya mengantuk sekali setelah meminum air. Oryza berjalan ke sofa, menyalakan televisi dengan remote.

Dengan malas. dia berbaring sambil menonton acara televisi yang semakin buram di matanya. Dia menarik bantal besar. meletakkan di bawah kepalanya. Enaknya berbaring seperti ini.

pelan-pelan kesadarannya menghilang secara bertahap.

Oryza tertidur.

Entah berapa lama dia tertidur, dia tidak tahu. Mungkin selama dua atau tiga jam. Sayup-sayup telinganya mendengar percakapan yang pasti terjadi di sekitar ruang tengah.

"Akhirnya dapat di sana."

"Kenapa di sana? Aku sudah merekomendasikanmu melamar jadi kelinci percobaan jaket antipeluru buat teknologi militer..."

"Yang ini gajinya lebih besar."

Mata Oryza membuka lebar. Dia terbatuk-batuk, membuat dua orang yang sedang bercakap-cakap menoleh ke arahnya. Susah payah dia menyalakan tombol kesadaran di kepalanya.

"Gaji apa?" tanya Oryza serak.

Xander memandangnya dengan tatapan kuatir.

"Gajiku. Di perusahaan yang baru."

"Pekerjaan di mana? '

"Kebun Binatang Ragunania, divisi Animal Control."
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Oryza membuka semakin lebar. Sekali gerakan. dia sudah duduk di sofa. Ramburnya acak-acakan sambil memperhatikan Xander seperti melihat monyet menumbuhkan tiga tanduk.

"Maksudnya?"

"Aku nggak mungkin menunggu perusahaan perusahaan mapan merekrutku segera. ini cuma pekerjaan part time kok, sampingan saat aku nganggur dan mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Lagi pula urusanku dengan perusahaan juga belum selesai. Aku masih harus beberapa kali bertemu dengan pihak HRD."

Solanum melipat kakinya.

"Gajinya bagaimana? itu yang paling penting."

"Gajinya lumayan besar. Jam kerjanya juga nggak panjang."

Mata Oryza masih membulat, memandang Xander seperti monyet menumbuhkan tambahan tanduk lagi.

"Apa jenis pekerjaannya?"

"Aku nggak terlalu tahu. Katanya aku akan dipasangkan dengan staf lain dalam satu tim. Mungkin pekerjaannya sih sekadar menyelamatkan hewan yang bermasalah atau mencari hewan yang kabur dari kebun binatang."

Samudra berjalan memasuki ruang tengah sambil membawa koran. Dia mengenakan kaus dan celana pendek. Parasnya berseri-seri, tapi kemudian berangsur-angsur berubah cemas waktu melihat Oryza. Tergopoh-gopoh Samudra mendekati anak perempuannya.

"Tadi Zea titip pesan. Dia sudah menyiapkan sepanci sup ayam di dapur, tinggal dipanasin saja. Zea masih di klinik, operasi caesar."

Oryza tersenyum membayangkan perhatian kakaknya. Sup ayam adalah makanan yang semasa hidupnya pasti dimasak oleh ibu mereka jika ada anaknya yang sakit. Zea mengerti sekali bagaimana merawat adik-adiknya.

"Dadi mau ikut makan?"

"Sudah makan." Samudra tidak duduk di sofa. Dia malah berjalan ke arah belakang. membuka pintu ke kebun. Angin senja meniup masuk "Dadi mau ke klinik sebentar lagi, melihat anak kucing Angora itu."

Oryza menoleh ke arah Xander. 'Kamu sudah makan? Ambil Sup yuk."

Xander mengikuti Oryza berjalan menuju dapur. meninggalkan Solanum dan Samudra di ruang tengah. Tak lama kemudian Solanum beranjak. bergerak menuju tangga-ke kamarnya yang berada di lantai atas. Tinggal Samudra sendirian duduk di teras belakang.

**

Dua bayangan gelap berjalan nyaris berdampingan. Sosok pertama berjalan lebih cepat daripada sosok kedua. Sosok kedua bergerak dengan langkah tersaruk saruk.

"Mas." sosok pertama menoleh ke belakang. Suaranya mendesis kesal.

"jalannya cepetan dikit dong. Dengan kecepatan seperti ini kita baru sampai di sana tahun depan."

"Bersabarlah, adikku yang tidak pernah sabar."

"Idiih! Dari tadi kan udah sabar. Mas!" Sosok pertama mendesis lagi. Dengan nada yang lebih kesal.

"Tuh lihat, kita sudah sampai di depan rumahnya. Kita masuk lewat belakang saja."

"Kenapa nggak lewat depan?"

"Menurut ramalan kelopak mawarku di dasar cangkir, Xander berada di belakang. Mas, bantu aku melompati dinding ini."

Gus memandang Aqua seperti melihat payung bernyanyi.

"Duhai! Sungguhku terkejut! Apakah perempuan terhormat ini mau membobol masuk rumah orang?"

Aqua mendengus.

"Nggak. Aku hanya akan memutari rumah ini ke pintu belakang. Setelah ketemu Xander, aku bakal menaburkan bubuk cinta ini di wajahnya. Simpel banget. Aku mengajakmu. Mas, bukan buat jalan-jalan, tapi membantuku melompati..." Aqua mengarahkan dagunya ke satu titik. tembok tinggi ini."

Dagu Gus seketika terjatuh lemas. Tembok yang dimaksud Aqua tinggi sekali. Seingat Gus, Aqua cuma minta bantuan Gus buat menemaninya ke rumah Xander. Menggendongnya melewati tembok tidak termasuk dalam perjanjian.

"Tapi..."

"Mas, jangan cerewet! Cepat bantuin." '

Dalam kegelapan, bayang-bayang dua orang bergerak di tembok gerbang. Sayangnya hansip yang biasa menjaga daerah keamanan kompleks perumahan Oryza sedang tidak patroli. Seandainya saja mereka ketahuan, hansip malang itu pasti akan disihir oleh Aqua dengan sihir lupa ingatan.

"Ke belakang!" desis Aqua ketika mereka berdua sudah berada di dalam kebun.

Gus mendengus gusar. Sandal Crocs-nya tersangkut di ranting. Napasnya mendengus kelelahan. Membantu adiknya melompati dinding bukan pekerjaan yang mudah. Aqua berat sekali. Dia harus diet minimal mengurangi berat badannya sepuluh kilogram.

"Tuh! Lihat sosok itu yang berdiri di pintu? Itu sepertinya Xander."

Mendadak PLN memutuskan aliran listrik.

BRET!

Mati lampu.

Rumah gelap gulita. Seluruh kompleks gelap gulita.

Sialan. Mati lampu."

"Apinya kegedeaan. Awas!"

"Gelap banget. Aku nggak bisa melihat." 'Gila nih. Kebakaran!"

"Mana? Nggak ada kebakaran."

"Selamat, Jeng. Kamu berhasil menghanguskan satu panci dengan sukses." 'Menghanguskan? Jangan membesar-besarkan deh."

"Buka matamu lebar-lebar. Panci ini sedang terbakar!"

"Aduh!"

"Mati lampu! Uh. mengapa? Mengapa harus terjadi pada kita."

"Jangan cerewet, Mas! Lebih bagus mati lampu daripada terang benderang. Cepat, kita lari ke teras belakang! Itu dia! Itu dia! Mana bubuk yang Mas pegang?"

"Lihat! Ada dua orang di sana. Mataku tidak bisa menembus kegelapan ini. Yang manakah pujaan hatimu, wahai adikku Aqua Maharani tercinta? '

"Yang di kiri... Eh, bukan. Kanan. Kiri. Kanan."

"Kiri atau kanan-?"

"Tunggu. Aku belum bisa lihat. Pandanganku gelap sekali."

"Lho? Mati lampu!" Samudra mengucapkan rapalan sihir. Dalam sekejap api kecil berwarna biru menyala di tangannya.

"Kok nggak datang ke klinik? Ditungguin dari tadi.

"Ah. Zea. Sudah selesai operasi? '

"Kamu nggak pernah mencoba supku sama sekali!"

"Halooo? Supnya udah almarhum dari abad kemarin, Dinda Oryza. Dan pancinya ikutan kebakar karena apinya terlalu besar. Sendok plastiknya juga sampe meleleh. Lain kali jangan menyetel api sampai sebesar itu."

"Tolong ya, jangan membesar-besarkan kejadian. Pancinya cuma kebakar sedikit aja. Sendoknya juga cuma meleleh di ujungnya."

"Apa sih susahnya manasin sup? Ya ampun, bujubuneng. alhambring! Kumohon demi Pax yang nggak tau lagi berada di mana, jangan coba-coba masak apa pun lagi. Cuma kamu satu

satunya orang di dunia yang panasin sup sampai bikin rumah gelap gulita dan nyaris menciptakan kebakaran."

"Sialan! Bukan salahku kalau mati listrik. Itu sih salah PLN."

"Ini dia! Lempar'

"UHUK!"

Terdengar suara batuk-batuk. Sesosok bayang hampiri dari belakang.

"Dadi? Siapa itu tadi?"

Mendadak listrik menyala kembali. Lampu bohlam berwarna putih menyinari rumah menjadi terang benderang. Cahaya lampu menyinari semua sudut. tapi sayang tidak dapat menembus kegelapan kabut pekat berwarna kuning terang hasil serbuk yang dilempar Aqua di depan wajah Samudra.

"Ul-.uk! Uhuk! Apa-apa-uhuk... uhuk!"

Zea berdiri mematung, memandang sosok yang samar-samar di hadapannya. Si... siapa itu? Pikiran terpecah.

"Uhuk, uhuk!"

Astaga. Itu kan suara Dadi terbatuk batuk! Zea terbangun dari kekagetannya. Dadi dilempari serbuk warna kuning norak! Siapa yang melakukanya? Apa yang terjadi? Apa apaan sih.

"Dadi!

Tangan Zea meraba kantong celana, mencari tongkat sihir. Di mana tongkatnya? Aduh, ketingalan di ruang operasi. Tiba-tiba serbuk debu menerobos memasuki hidung Zea, terisap masuk dengan cepat. Membuatnya ikut terbatuk-batuk.

"Uhukl Uhuk! Uhuk!"

Terdengar suara. 'Apa yang akan kaulakukan setelah ini. adikku?

"Lempar bubuk cinta ke udara, lalu pandangi wajahnya. Kalau dia melihatku juga, aku jadi pasangan yang dicintainya selamalamanya."

"HACHIIIEEE!"

"UHUK, UHUK, UHUKl'

**

"Kita cari makanan di mana?"

"Bosan makan yang itu'itu melulu. Mau pergi ke warungnya Nuna? '

"Apa masih buka jam segini?"

"Masih."

"Yuk. Naik motor saja."

"Aku yang menyetir." Xander menyambar kunci motor dari tangan Oryza.

"Aku nggak mau menantang maut sekali lagi. Cukup sudah kamu mencoba meracuniku."

"Huh."

Sayang sekali Xander dan Oryza tidak memperhatikan apa yang terjadi di ruang tengah. Dapur punya pintu tembus ke kebun belakang, yang langsung terkoneksi dengan kebun depan. Di sanalah Xander dan Oryza berjalan menuju pintu depan. Mereka tidak menyadari kekacawan antara Gus. Aqua, Zea. dan Samudra.

Xander menyalakan motor. Oryza melompat duduk di belakang punggung Xander. Tak lama, cahaya lampu motor membelah kegelapan malam.

**

Brengsek. Brengsek. Brengsek. Brengsek.

Pax memaki berkali-kali dalam hati. Mimpi dan halusinasi mulai mengganggu Pax setiap hari. Dia sebal. Dia marah. Dia frustrasi. Pax bukan saja kehilangan arah dalam perjalanannya. tapi pikirannya juga melayang-layang ke sana kemari.

Beberapa kali Pax serasa melihat Oryza. Di persimpangan jalan. Di jembatan. Di warung. Di depan pagar rumah. Atau sesungguhnya itu hanya khayalannya saja? Hatinya tidak sanggup menanggung rasa pedih itu. Setiap Pax melihat bayangan Oryza. Pax membuang muka. Dia tidak mau melihat Oryza lagi.

Mimpi itu terlalu mengerikan untuk diingat-ingat. Bukankah itu hanya mimpi? Tidak selayaknya Pax patah hati hanya karena mimpi. Itu sekadar mimpi! Mimpi adalah bunga tidur, tidak ada urusannya dengan kejadian nyata.

Bukankah begitu?

Pax mau cepat cepat mengakhiri liburannya supaya bisa pulang kembali dan bertemu dengan Oryza. Dia kangen pada gadis ini.

**

Setengah jam kemudian, hujan turun secara mendadak lima menit sebelum mereka tiba di warung Nuna. Deras sekali sampai-sampai mereka harus berteduh di bawah jembatan layang dan mengenakan jas hujan. Tidak terlalu jauh jarak dari jembatan layang ke tempat Nuna, tapi tetap saja, selama hujan, semua perlu jas hujan.

Oryza melepas helm. berlari masuk ke dalam warung Nuna. Di belakangnya, Xander membututi. Baju mereka lembap.

"Halo!" panggil Nuna. Dia memandang Xander dan Oryza yang melepas jas hujan.

"Silakan masuk, silakan masuk. Tumben datang jam segini."

oryza mengambil tempat duduk di paling pojok. Dia mengelap wajahnya yang basah dengan tisu.

"Kami dari rumah."

"Aku lapar." kata Xander. duduk di sebelah Oryza.

"jualan apa di sini:"

Nuna memperlihatkan ekspresi heran.

"Tentu saja jualan makanan. Silakan pilih sendiri, menunya di sana. Kakakmu nggak masak ya?"

"Tadi ada zombie yang menghanguskan sup sepanci sampai melelehkan sendoknya juga. Jadi terpaksa harus cari makan keluar."

"Fitnah! Sendoknya nggak meleleh. Pancinya juga nggak hangus. Itu semua gara-gara mati listrik."

"Nggak ada hubungannya mati listrik dengan kebakaran di dapur. Itu seperti membandingkan muka badak dengan korek api.

"Sialan." Oryza menarik menu dari tangan Xander.

"Aduh. aku makin kangen sama Pax. Dia selalu membelaku. Kamu memang pantas dihina sama Pax."

"Pax udah kapok membela kamu, cewek paling galak seantero dunia akhirat."

"Kapok?" Oryza memajukan bibirnya.

"Oh, oke deh, aku mengerti."

Nuna menyodorkan piring kepada Xander. Kepalanya pusing mendengar kegaduhan Oryza dan Xander.

"Mengerti apa?" tanyanya ingin tahu.

"Mengerti rahasianya."

"Dan apakah rahasianya itu?"

"Pax adalah Dakocan. Dakocan adalah Pax. Pax menyihir dirinya menjadi kucing piaraan. Si goblok ini mengira Pax kabur gara-gara aku."

Nuna terpana "Pax mengubah diri menjadi kucing? "

Oryza mendadak kelabakan.

"Eee... Bukan! Bukan begitu!"

"Bukan mengubah jadi kucing? Jadi anjing maksudnya?"

"Bukan juga." Oryza terkekeh.

"Aku cuma bercanda kok."

Nuna masih kelihatan tersesat di galaksi delapan planet.

Oryza tertawa semakin panjang. menoleh ke arah Xander.

"Ya. kan, Xander? Semua itu hanya bercanda, kan? Kan? Kan?"

Mendadak Xander menjadi teliti memperhatikan piringnya. Wajahnya seperti kena timpuk ulekan. Untunglah demi planet Neptunus. Oryza juga tidak memperpanjang pembicaraan soal kucing versus Pax. Waktu berlalu beberapa saat dalam hening. Hujan terus-menerus mengguyur langit yang gelap. Udara dingin menyelinap masuk di antara kisikisi warung. Nuna kembali lagi dari dapur membawa makanan.

"Silakan."

Di warung. tidak banyak orang-orang yang masih duduk di sekitar meja kayu. Orang-orang yang masih makan sebentar lagi berakhir. Jika hari biasa, Nuna mulai menutup warungnya. tapi sekarang dia terlalu asyik menemani Xander dan Oryza makan. Nuna memperhatikan pasangan itu tergoda diam-diam untuk memberikan pengumuman.Jantungnya berdebar keras. Tak ayal. dia tampak gugup walaupun berusaha keras terlihat sedang menantang.

"Ehem..."

Xander masih sibuk mengunyah makanannya. Nuna tidak mau berhenti berbicara demi mendapat perhatian Xander.

"Pengumuman penting di hari hujan yang dingin dan gelap ini," katanya berusaha tenang. Keringatnya pelan pelan mengucur di dahi.

"Aku punya teman kencan baru."

Oryza memandang Nuna.

"Berita bagus!" serunya bersemangat.

"Siapa!"

Hati Nuna tertoreh. Xander tidak peduli dengan pengumumannya. Lelaki itu tampak sibuk mengunyah makanan seakan

akan lidahnya tergantung pada gigi gigi. Dia mengeraskan dirinya sekuat tenaga agar air matanya tidak runtuh. Sudah cukup dirinya tak dipedulikan Xander. Sudah cukup dirinya tak dicintai Xander. Sekarang saat untuk memulai hidup baru! Jeng jeng jeng!

"Ingat nggak pemimpin besar pasukan pulau sinting Varaiya itu?" katanya memulai dengan kagok.

Oryza mengangguk takzim.

"Yah, bagaimana menjelaskannya ya? Teman kencanku adalah dia."

TRING!

Terdengar suara berdenting keras. Nuna terlontar kaget. Sendok terjatuh dari tangan Xander.

KENAPA, Xander? Kaget?"

"Kenapa? Kamu tanya kenapa? Harusnya kita yang tanya kenapa? Kok bisa bisanya kamu mau sama kutu yang kena brain defect?"

Xander berusaha keras memahami percakapan yang terjadi di depannya, tapi rupanya tidak berhasil. Akhirnya. dia cuma megap-megap kepedasan.

"Sebenarnya nggak ada alasan. Aku sedang mencari teman kencan. syukur-syukur bisa jadi pacar tetap di masa depan. Bosan sendirian melulu. Aku menelepon dia, lalu..."

'Kamu menelepon serangga zaman dinosaurus itu?"

"Aku pernah dikasih kartu namanya. Please. Xander. jangan memotong terus-terusan dengan nada sinis. Katanya mau mendengar ceritaku?"

Xander merengut.

"Mari kuceritakan sedikit. Setelah nyaris diculik dan lainlain... jangan tanya bagian ini pokoknya." Nuna mengacungkan telunjuknya sebelum Xander mengoceh panjang lebar.

"Akhirnya aku berpikir-pikir untuk menyetujui ajakan kencannya. Nah.

kemarin aku menyetujuinya. Alasannya? Sama seperti yang sudah kujelaskan tadi."

Begitu serunya cerita Nuna, sampai-sampai Oryza tidak berkata apa'apa.

Nuna menghela napas.

"Sudah. Ceritaku sudah berakhir."

Tawa yang paling keras tentu saja meledak dari mulut Oryza.

"Kamu diajak kencan ke mana?"

Xander mendelik ke arah Oryza yang tertawa berderai-derai.

"Aku nggak tahu. Lihat aja minggu depan."

Xander merengut.

"Kenapa nggak tahu? Berarti kamu belum kenal orgil ini. Untuk apa kencan sama orang yang nggakjelas?"

Di mata Nuna. Xander tampak cemburu. Eh, cemburu? Benarkah? Mungkin dia tidak perlu berkencan dengan pemimpin suku Varaiya itu. Mungkin dia perlu menunggu saja sampai Xander siap mencintainya. Mungkin...

"Nuna?"

Nuna berkedip. Kesadaran kembali seketika. Tidak. tidak. pikirnya sambil menggeleng. Tidak mungkin dia memaksa Xander mencintainya.

"Aku memang belum kenal. Lihat aja kencan Sabtu minggu depan. Selalu ada waktu yang pas untuk mengenali dia dengan lebih baik."

"Bagaimana kalau orang itu masih sakit jiwa?"

"Aku melihat ramalan daun teh di sini, sepertinya kencanmu bakalan sukses." Oryza tersenyum manis kepada Nuna.

jantung Nuna nyaris berhenti. Detik itu. dengan heran dia sungguh-sungguh menyadari sesuatu. Tak dapat dipercaya tapi itulah kenyataan, Oryza sepertinya happy ketika Nuna memiliki teman kencan. Kadangkala dia tidak mau menerima kebenaran, namun sekarang Nuna harus menelannya mentah-mentah. Oryza memang sayang pada Xander.

"Kamu berkencan sama raja! Bayangkan, sama raja!" Oryza

tertawa riang.

"Sebagai sesama perempuan lajang, kamu wajib sharing sehabis kencan nanti. Aku mau dengar."

Nuna mengeja kalimat Oryza dalam hati. Dia mengatur posisi berdirinya. betapa dia seharusnya bergembira dengan kencannya. Mendadak muncul gambaran perempuan yang mengenakan mahkota. Lucu juga membayangkan dirinya sebagai ratu. Ratu Nuna. Hihihi. Dia? Bakal jadi ratu? Permaisuri? Ya ampun.

**

Ada saat-saat Pax rindu pada Oryza. Rindu sekali sampai rasanya membuat Pax tak bisa bergerak. Malam sudah larut. Pax berbaring di kasur lipatnya. di bawah lengkung langit yang berwarna biru tua. Pax sudah kemalaman ketika hendak masuk ke satu kota kecil di daerah antah berantah. Terdampar di hamparan sawah, Pax memutuskan untuk membuka tenda dan tidur di udara terbuka.

Pax tidak bisa tidur.

Bukan karena udara yang panas. Bukan juga karena nyamuk. Apalagi karena suara kodok yang bersahut-sahutan.

Pax memandang langit. Kedua tangannya dilipat ke belakang kepala. Kepalanya mendongak. memandang langit hening yang terhampar di depan matanya. Berapa jarak antara dirinya dan Oryza? Berapa jarak antara hati yang terbentang? Bisakah jarak itu diukur?
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampai matahari terbit samar-samar di timur, Pax tidak bisa memejamkan mata.

Gerbang depan berwarna biru Kebun Binatang Ragunania cerah, putih disinari matahari pagl. Setelah hujan

lebat mengguyur Jakarta semalaman, subuh tiba dengan warna yang jernih. Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya Tsungta Zvar tiba tepat waktu, sepuluh menit sebelum jam delapan. Dia berjalan mengikuti orang yang dipanggil dengan Pak Supervisor menuju lapangan parkir.

"Mobil ini mobil paling cakep yang pernah kita punya. Jagalah dia baik-baik. Mister Tsungta."

Tsungta bengong memandang mobil yang terparkir di depannya. Warnanya hitam. Bentuknya seperti pickup, tapi ada beberapa penyok dan baret panjang di kiri dan kanannya. Dia berjalan mengitari mobil. Di sebelah sana tampak lebih banyak lagi bagian yang penyok.

"Kenapa penyok seperti ini? Pernah kecelakaan?"

Pak Supervisor menepuk kap mobil dengan bangga.

"Kecelakaan? Hahahaha! Saya jelaskan ya. Mister Tsungta, mobil ini tidak pernah kecelakaan. Penyok ini adalah akibat diserempet waktu lagi bertugas di jalan raya."

Tsungta meraba penyok dengan tangannya. Ada sesuatu yang aneh di penyok itu. Sepertinya tidak terserempet mobil lain. Bentuk penyoknya berbeda-beda. Ada penyok yang bergelombang. Ada penyok yang patah-patah. Ada penyok yang... Dia tertegun mengamati. Kok seperti ditabrak gajah? Tanpa banyak bicara, Tsungta membuka pintu mobil. Terdengar suara derit menyedihkan yang keras sekali.

"Di mana tempat menaruh binatang?"

"Di pick up. Tapi kalau sudah penuh, letakkan di depan, Mister."

"Di depan? Hewan itu bakal dekat sekali dengan Kami. Bukannya itu berbahaya?"

"Berbahaya? Nggaklah. Nggak usah keliatan kuatir begitu dong. Biasa aja. kali."

Pak Supervisor melambaikan tangan dengan santai, tidak

memedulikan pertanyaan bawahan barunya yang pias. Dia menunjuk dasbor mobil.

"Di sini tempat senter dan karung. Radio ada di atas sini, dekat sama sopir dan keneknya. Ini selotip dan tambang. bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Hari ini. coba lihat... jadwal Tim Delapan ke daerah Prapanca, Kelapa Gading. dan Cibubur. Apa Mister tahu jalan?"

"Sejujurnya Kami nggak terlalu tahu."

"Oooh. nggak apa-apa. nggak apa-apa. Ini peta Jakarta. Yang penting, dengarkan baik-baik panggilan radio dari pusat. Jangan lupa, awasi jalanan dengan saksama. Kalau menemukan binatang yang bermasalah, jangan ragu-ragu untuk turun tangan."

"Kenapa tidak pakai hape? Kami bisa dihubungi dengan hape."

"Peraturan perusahaan seperti itu. Mister. Harus dengan radio."

Xander tiba, tergopoh-gopoh karena terlambat. Dia nyaris melompat waktu turun dari motor yang disetir Oryza. Pak Supervisor tersenyum gembira melihat kehadiran Xander. Dia mengulurkan tangan dengan raut wajah ramah.

"Ah, selamat pagi. Mister Xander. Senang sekali kita bisa langsung bertemu di lapangan parkir."

"Selamat pagi, Pak."

Xander berhenti berjalan, langsung mematung. Dari jaraknya berdiri, dia melihat sosok yang sangat dikenalinya. Sosok itu sedang duduk di belakang setir di dalam mobil penyok dan penuh baret.

"Silakan, itu mobil patrolinya." Supervisor menepi. memberi jalan.

"Ini kacamata hitamnya."

Xander mengambil kacamata hitam yang disodorkan dengan ragu-ragu.

"Partner Tim Delapan Mister sudah siap untuk bekerja. Saya permisi dulu. Kalau jam kerja sudah berakhir, Silakan laporan ke saya sebelum pulang."

Xander tidak mendengar perkataan Supervisor lagi. Fokusnya hanya terarah kepada Tsungta yang berkacamata hitam. sedang mencoba menyalakan mesin mobil. Terdengar suara gemuruh ketika mesin mobil dinyalakan. Merasa diperhatikan, Tsungta menoleh. Air mukanya langsung memerah.

"Astaga!"

"Demi nenek moyang penyihir seluruh alam semesta!"

Xander berjalan dengan langkah kaku menuju mobil patroli. Dia berpandangan Tsungta yang sedang balas memandangnya dengan wajah memerah.


Joko Sableng 36 Tabir Peta Shaolin You Got Me From Hello Karya Santhy Senopati Pamungkas I Karya Arswendo

Cari Blog Ini