Ceritasilat Novel Online

Ramuan Drama Cinta 2

Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng Bagian 2



"Uh..." Xander mendengus,

"...ketemu lagi di sini?"

Tsungta mengangguk hormat.

"Selamat pagi. Anda berbicara dengan Yang Mulia Paduka Terhormat Pemimpin Besar Parlemen Penyihir Varaiya Tsungta Zvar."

Xander nyaris berkata sesuatu dengan nada yang bisa menelan Planet Dminotion, namun akhirnya dengan kemuliaan seorang lelaki. dia sadar. Dia butuh pekerjaan ini. Dan demi Linockha Ham Flunked (penyihir yang memimpin Perang Besar II), ini adalah hari pertamanya. Sebaiknya Xander tidak menciptakan masalah seperti bertengkar dengan partner kerjanya yang satu ini.

"Selamat pagi, Bro." ucapnya terdengar penuh semangat.

"Apa kabar? Tidak kuduga seorang raja perlu bekerja juga."

"Butuh uang. Hari gini nggak punya uang. mana bisa buat bayar kencan. Bukan begitu, Bung?"

"Benar. benar." Xander ingat omongan Nuna. Wajahnya menggelap sejenak karena kesal.

"Benar sekali." Xander memutar mobil patroli dari depan dan membuka pintu di sampingnya. Terdengar suara detak dari arah engsel. Mata Xander mendelik dengan pandangan curiga.

"Siap untuk berpatroli?" tanya Tsungta dengan wajah ragu.

"Siap."

Xander memakai kacamata hitamnya. Dia siap beraksi! Menangkap hewan di jalan raya yang bermasalah? Tidak masalah!

Tsungta menyalakan mesin mobil. Bunyi krak-krak-krak menggema di antara deru kendaraan. Baru saja dia menekan kopling dan memasukkan persneling satu, mobil terbatuk-batuk beberapa saat, lalu mati.

"Mobil ini mutakhir banget ya." sindir Xander.

Tsungta mencoba menyalakan mesin. Tidak ada perubahan apa-apa, kecuali bunyi mendecit seperti pintu yang bertahuntahun tak terbuka. Setelah lima kali mencoba ditambah keinginan diam-diam Xander mengajukan surat permohonan mengundurkan diri. akhirnya mobil patroli menyala lagi. Tsungta menginjak pedal gas dalam-dalam. Suara mesin meraung, memekakkan telinga.

"Bagaimana kalau hari ini kita mencari tempat nongkrong? Kita bekerja kalau mendapat panggilan saja."

Tsungta menekan gas dan melepaskan kopling. Mobil melompat-lompat kecil, tapi untunglah maju.

"Setuju."

Tanpa terdugaduga, pintu laci dasbor terlepas, menabrak paha Xander. Xander menunduk. mengambil pintu yang terjatuh di bawah kakinya. Sambil terlonjak'lonjak di dalam mobil. Xander berusaha memperbaiki dasbor. Sampai keringat dingin menetes, pintu itu hanya tergantung-gantung tanpa bisa ditutup kembali.

"Coba pake selotip," kata Tsungta. mendadak teringat barangbarang yang diserahkan oleh manajer tadi pagi. Selotip raksasa dilemparkan ke arah Xander dengan tangan kirinya.

"Selotip?"

"selotip Kedua Sisinya supaya nggak bisa terbuka.

"Siap."

Mulai terbiasa dengan keadaan tidak masuk akal, Xander merasa tidak perlu mempertanyakan apa-apa lagi. Kerjakan saja. pasti beres. Dia menarik selotip sepanjang-panjangnya. lalu memotongnya dengan cutter. Dengan sigap, dia menempelkan selotip di pintu laci dasbor atas dan bawah sehingga tidak bisa terbuka lagi.

"Apa isinya sudah dikeluarkan semua?" tanya Tsungta.

"Isi apa?"

"Isi laci itu."

Xander memaki-maki dirinya. Dia sama sekali tidak ingat mengeluarkan isi barang-barang di dalam laci sebelum ditutup dengan selotip.

"apa sih isinya?" tanya Xander sebal. Dia memandang laci dengan tatapan ingin membunuh.

"Tambang dan senter."

"Apa kita butuh benda-benda seperti itu?"

"Mana Kami tau?"

"Berarti kita biarkan saja."

Tsungta mengangkat bahu.

Jalanan Jakarta mulai sedikit ramai. Tsungta menyetir dengan pelan. Bukan karena dia sopir yang sabar, tapi karena mobil patroli ini tidak bisa berjalan melebihi kecepatan 40 kiiometer per jam. Entah orang iseng siapa yang membuatnya seperti ini! Beberapa kali mobil patroli diklakson kejam oleh mobil-mobil yang tidak sabar mengantre di belakang. Belum lagi klakson bus yang kurang ajar, memaksa mereka harus menepi.

Radio di atas kepala Xander berkedip-kedip dengan suara zip zip yang terdengar serak.

"Kayaknya harus dijawab." kata Tsungta sambil melirik ke arah kaca spion. Truk tronton besar sedang menyusul mobil mereka.

Dengan sigap Xander menyambar radio. Dia terlalu bers-emangat sampai lupa berhati-hati. Cantelan tempat radio bertengger jatuh dari atas, langsung menimpa kepalanya.

"Aduh!"

"Diselotip aja."

Klakson mobil meraung-raung. Tsungta melihat kejadian itu dengan tenang. Dia mulai terbiasa dengan kondisi bobrok kendaraan yang sedang disetirnya.

Xander mendekatkan radio di mulutnya.

"Halo?" sapanya.

Terdengar suara statis yang memenuhi udara.

"Halo?"

'ngulo polikoert syubailalabo."

"Hah!"

"Ringard branflaksi naxbin gargletu."

"Apaan sih? '

Tsungta sadar, dia harus tetap dalam keadaan tenang saat menyetir. Matanya memandang lurus-lurus ke jalan. Menyetir mobil patroli bobrok dan superpelan membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi. Selain mesinnya yang sering melompat lompat tak terkendali. klaksonnya juga susah dipencet.

"Lihat baik-baik. Ada tombol di sebelah sana." Tsungta melambai'lambaikan tangan dari jendela. Dia mau melakukan manuver ke kanan. Lampu tanda belok tidak bisa bekerja. Kembali suara klakson-klakson meraung bersahut sahutan.

"Coba dipencet. Nggak bisa? Pencet."

"Sudah dipencet. Nggak ada reaksi."

"Tarik?"

"Nggak bisa."

'Gigit'

"Brengsek. Jangan bercanda."

Tsungta menarik napas marah.

"Sopanlah sedikit dengan sopir."

Xander mempermainkan tombol tersebut. Dia memencet, menarik. dan memutarnya. Gerakan terakhir sepertinya benar. Terdengar suara yang semakin jelas berasal dari radio.

"Pocong pakai kemben. Berita selanjutnya... kkmr... I love you. Mas. And I love you. too Mbakyu... Mas...! Mbakyu...! Mas...! Mbakyu! Mas! Mbak.... kkkm.... Obat cacing... Melambai-lambai... kkrtrr... Unit Delapan? Unit Delapan? Siapa di sana? Unit Delapan?"

"Unit Delapan!" sambar Xander cepat.

"Di sini Xander dari Unit Delapan siap mendengar perintah."

"Kode Merah. Kode Merah. Antara Jalan Adidaksa Raya dan Pos Pengawalan. Ulangi: Kode Merah. Jalan Adidaksa Raya dan Pos Pengawalan."

"Roger. Segera berangkat ke sana!"

Xander buru-buru meletakkan radio di kursi duduknya. Dia tidak mau pusing merekatkan tempat cantelan radio di atas kepala dengan selotip. Dia menoleh ke arah Tsungta yang masih sibuk menyetir.

"Tahu arti Kode Merah?"

Tsungta mengangkat bahu.

"Nggak tau. Coba lihat di mobil, mungkin ada daftar? Atau catatan yang bisa dipelajari?"

Xander bergerak mengecek ke setiap celah. Dia membongkar kotak P3 K, mengangkat lap berwarna oranye yang kelihatan dekil sekali, mengintip di rak pintu yang kulitnya sudah terkelupas. Tapi ke mana pun dia mencari, tidak ada catatan apaapa.

"Di laci sana?"

Usul yang diajukan Tsungta membuat kepala Xander yang sudah mendidih rasanya meledak berkeping-keping. Laci itu masih tertutup selotip. Dengan gemas. Xander mempretelinya. Pintu laci terjatuh seketika. menimpa kaki Xander.

"Ketemu!"

Xander mengeluarkan buku lusuh tipis. Warnanya sudah menguning. Di ujung-ujung kertasnya, ada sebagian yang sudah robek. Pada halaman depannya ada judul dari mesin ketik yang berjudul Peraturan. Regulasi. dan "Tata TErtib Untuk Tim Penyelamat Satwa. Edisi Keenam. Xander membolak-balik halaman itu dengan cepat.

"Kambing... Kelinci... Kelompok babon menyusui. Kera. Komodo... Lewat. Nih, dia Ketemu Konde... eh. kode!"

"Ketemu."

Tsungta menurunkan kopling perlahan-lahan, dari empat ke tiga. Sial, tidak ada bedanya dengan menyetir pada gigi empat atau tiga. Kecepatannya masih 30 kilometer perjam.

"Ketemu."

"Apa ada daftar jenis'jenis kode?"

'Ada."

"Baca!"

'Kode Merah. Artinya, burung unta dengan rumbai-rumbai sirkus kabur dan menciptakan masalah di antara warga sekitar. Hati-hati dengan patukannya."

NGIIIK!

Suara decit rem menggelegar. Mobil patroli miring ke kiri ketika Tsungta menginjak rem dengan kecepatan supertinggi. Setelah terhuyung-huyung ke kiri dan ke kanan. akhirnya mobil patroli berhenti di pinggir jalan disertai sumpah serapah pengendara mobil lainnya.

Tsungta menoleh ke arah Xander dengan gerakan lamban.

"Tolong ulangi lagi." katanya dengan nada lembut.

Xander menunjuk ke buku petunjuk dan mengulang.

"Kode Merah. Artinya, burung unta dengan rumbai-rumbai sirkus kabur dan menciptakan masalah di antara warga sekitar. Hati-hati dengan patukannya."

Tsungta berada di antara mau pingsan atau meledak marah.

"Pintar penjelasannya." katanya sinis.

Xander tidak memperhatikan teman sejawatnya. Dia sibuk dengan perasaannya sendiri.

"Burung unta!" serunya lemas. mengembuskan napas lega.

"Syukur ke dewa-dewa penyihir, cuma burung unta! Bukan monster kucing putih yang katanya lucu dan imut itu."

Tsungta memutar bola matanya.

"Yeah. Kami setuju. Pastinya lebih aman menyelamatkan burung unta daripada kucing."

Tsungta menekan pedal gas dengan emosi bertumpuk-tumpuk seperti kue lapis. Dia berharap mobil langsung berdecit cepat seperti adegan di film film laga Hollywood. Sayangnya, tidak terjadi aksi laga apa'apa. Mobil patroli terbatuk-baruk semenit sebelum berjalan lelet di tengah lautan klakson mobil yang tak sabaran.

Xander menoleh ke belakang.

"Menurutmu," tanyanya cemas,

"bak mobil bisa menampung burung unta nggak?"

Tsungta mengangkat bahu tak acuh.

Di sebelah jalan. lewatlah gerobak yang berisi segunung sampah didorong lelaki tua. Gerakannya searah dengan mobil patroli mereka. Pemenangnya? Tentu saja si gerobak sampah. Baru saja Tsungta mengganti persneling ke gigi tiga, terdengar suara berisik. Berasal dari arah belakang. Xander menjulurkan kepalanya dari jendela. ingin melihat apa yang terjadi.

BRAK! BRAK! BRAK! SREEETTT...

Bemper belakang terlepas. terseret dengan cantiknya.

Xander menunjuk belakang.

"Itu..."

Tsungta mengangguk.

"Berhenti dulu, kita benerin. Kita..."

Suara benda terseret lenyap. Xander melongok keluar lagi.

'Bempernya terlempar ke halaman kantor polisi, menabrak..." Xander menelan ludah,

"...menabrak mobil patroli polisi. Cepat, cepat! Buruan kabur sebelum kita diberhentikan mereka!"

Tsungra menekan gas semakin dalam. Mobil hitam dengan sepasang penumpang di dalamnya yang berseragam hitam-hitam dan berkacamata hitam meninggalkan jalan raya tersaruk saruk.

**

PAGI yang menjanjikan. Oryza bangun dengan suasana hati yang baik. Semalam dia melihat Xander pulang dengan wajah pucat pasi dan rambut acak-acakan. Di bagian lengan kemejanya ada robekan kecil. Oryza ingin bertanya kepada Xandet apa yang terjadi, tapi pelototan Xander membuatnya malas. Dia nggak mau memberi perhatian, nanti lelaki itu gede kepala. Biarkan saja dia.

Setelah tidur delapan jam. pagi ini terasa segar sekali. Semalaman hujan turun, membuat udara pagi menjadi lebih lembap daripada biasanya. Oryza berjanji dalam hati untuk bersikap lebih baik kepada Xander. Sejelek-jelek dan semenyebalkannya Xander, dia adalah lelaki yang dijodohkan dengannya. Mungkin Oryza bisa memulainya dengan bersikap lebih sabar dan manis.

Gadis itu melemaskan otot otot tubuhnya sebelum bergerak turun dari ranjang. Dia merapikan bantal dan melipat selimutnya. lalu membuka jendela. Dari tempatnya berdiri, dia melihat jendela kamar tidur Xander sudah terbuka. Lelaki itu pasti sudah bangun lebih bagi daripada dia.

Setelah menyelesaikan tugas rutin paginya di kamar mandi, Oryza bergerak ke dapur. Tidak ada siapa-siapa di dapur. Hening. Tumben. ke mana kakaknya? Apa mungkin Zea sedang berada di klinik, menemani pasiennya yang kesakitan atau sedang melahirkan? Biasanya begitu. Oryza membuka beberapa laci, mengeluarkan telur, dan menyalakan api di kompor.

Solanum memasuki dapur. lalu langsung menarik kursi, mengenyakkan diri di kursi itu. Dia menyipirkan mata memandang Oryza.

'Ke mana Zea? ' tanyanya.

"Nggak tau." Oryza mengangkat bahu. Api membesar, semakin besar... Solanum menyeret kursinya mundur dengan gerakan kaget.

"Aku nggak lapar," kata Solanum buru-buru. Dia bergegas berdiri, menyelamatkan diri.

"Aku mau tidur lagi. Hari ini aku cuti."

"Aku nggak menyiapkan kamu sarapan kok." Oryza meleletkan lidahnya. Dia mengocok telor dengan kecepatan tinggi sampai telur berbusa putih seperti foam pencuci wajah.

"Aku menunggu Xander."

"Xander udah pergi dari tadi."

Oryza berhenti mengocok telur.

"Pergi?" serunya lantang. tak percaya.

"Tiga jam lalu."

Oryza menunduk, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.

"Mungkin dia sedang sibuk menyelamatkan anjing kecil yang kesepian dan ditinggal oleh majikannya di tengah jalan," kata Solanum menghibur.

Suara Solanum seperti gema yang lewat di telinga Oryza. Pikirannya melayang-layang. Dia melanjutkan paginya sambil terus mengocok telur.

Di manakah Xander! Di suatu tempat entah di mana, Xander terlihat sedang menunduk di samping pintu mobil patroli bersama Tsungta, mengendap'endap tegang. Mereka sedang berjongkok sangat berdekatan. Di tangannya, Xander menggenggam sebatang tabung yang memiliki gagang dan berpicu di ujungnya. Kacamata hitam bertengger di hidungnya dengan gagah.

"Udah pergi belum?"

"Tes saja dulu."

Xander melepaskan topi kerjanya. memasangnya di ujung tabung itu. Pelan-pelan dia mengangkat tabung dengan ujung yang sudah ditaruh topi. Baru saja topi melewati atap mobil patroli, terdengar suara krak-krak-krak dan peluru-peluru besar berdesing berhamburan.

"Yap." bisik Xander. menghela napas dalam-dalam.

"Dia masih ada di sana."

Tsungta mengambil topi Xander dan mengamati lubang: lubang besar di topi tersebut.

"Gila." katanya.

"Topimu hancur. Ternyata orangutan jago menembak juga."

"Kalau menurut buku Mengenal Hewan Edisi Sembilan yang tadi kulihat di laci dasbor, orangutan punya penglihatan yang bagus."

"Padahal kukira mereka jenis binatang pemalu."

Xander mengangguk.

"Memang benar, mereka mamalia pemalu. Aku sempat baca-baca waktu kamu nyaris digebuki oleh kenek Metromini. Menurut buku juga, orangutan mempunyai tingkat kecerdasan yang nyaris sama dengan manusia."

Tsungta menyandarkan kepalanya ke pintu mobil patroli yang penyok. Ukuran penyoknya sebesar kepala lelaki itu. Dia pusing. Memangnya siapa yang nggak? Sejak tadi pagi, urusan orangutan

yang kabur membuatnya sakit kepala dan emosi jiwa. Bukan itu saja masalahnya. Oknum orangutan itu berhasil merebut senapan bius miliknya.

"Dan ini bukan sembarangan orangutan. Dia satwa. yang punya kemampuan sihir juga."

'jadi sekarang mau bagaimana? tanya Tsungta putus asa. Tsungta rindu hulubalang kerajaan, ah, dia kepingin pulang. Susah amat sih kerja di dunia yang kejam ini. Lebih enak jadi raja saja.

"Begini rencanaku. Kamu melindungiku dengan senapan bius. Aku coba ringkus binatang itu."

Mulut Tsungta kehilangan katakata. Matanya memancarkan binar tidak percaya.

"Binatang yang mau kamu ringkus tuh beratnya sembilan puluh kilogram. Bukan jenis anjing Chihuahua lucu dan manis yang bisa kamu gendong-gendong kapan aja."

"Aku tahulah beratnya. Tapi kita nggak punya cara lain."

"Boleh nggak pakai sihir?"

"Peraturan pekerjaan ini kan..."

"...dilarang menggunakan sihir pada hewan atau menyihir hewan atau berani-berani mencoba mengeluarkan tongkat sihir atau merapal mantra jampi-jampi..." Tsungta meringis sebal.

"Kami tahu peraturan itu! Sudah diulangi ratusan kali sebelum berangkat patroli. Kuping Kami sudah mengalami perdarahan mendengarnya."

Mereka berpandangan beberapa saat. Xander mengangguk pelan.

"Oke. Bro. pada hitungan ketiga, lalu kita langsung mulai ya."

"Siap, Bro!"

Xander menyerahkan senapan biusnya ke tangan Tsungta dengan gagah seperti tentara menyerahkan dokumen rahasia

yang harus dibawa di tengah peperangan. Dia merapatkan diri ke sisi mobil patroli. Terdengar suara di sampingnya, tersendatsendat mulainya, tapi semakin lancar di pengujung kalimat.

"Satu, dua..."

"Tunggu. Ada yang ingin aku kasih tahu."

"Apa?"

"Bisa nggak sih berhenti menggunakan kata Kami yang konyol itu? Pakailah kata pengganti aku. Lebih terdengar normal."

Tsungta melengos.

"...Tiga!"

Xander merapikan kacamata hitamnya, lalu langsung melompat ke depan.

**

Matahari sudah tinggi di langit. Strawberi berjalan pulang dari pasar. Tumpukan sayur dan belanjaan sudah ditaruh di bajaj dan Nenek Gray ada di dalam bajaj itu. Strawberi tidak pernah memilih pulang dengan ojek. Dia lebih suka jalan kaki sendirian.

Di belokan jalan, mendadak dia melihat Nuna sedang duduk di warung. menyedot teh botol. Motornya parkir di pinggir jalan. Gadis itu duduk di kursi, memandang ke arah jalanan yang berdebu dan kering. Angin membelai rambutnya yang panjang.

"Hei, apa kabar?"

Nuna berhenti menyedot teh botol. Dia kaget melihat Strawberi.

"Kelihatannya kabar baik. Lu nggak seperti orang yang sedang patah hati."

Nuna menyipitkan mata, memandang Strawberi. Sebagai sesama penyihir, sebenarnya Nuna mengenal Strawberi. Mereka juga

pernah satu kursus bahasa Inggris bersama-sama selama beberapa bulan. Strawberi' duluan menyerah, alasannya karena pekerjaan di warung nasi tim bebek neneknya menyita perhatiannya.

"Kamu pasti bukan Strawberi!" serunya tajam.

"Kamu makhluk luar angkasa? Memantrai diri agar kelihatan mirip Strawberi?"

Strawberi menghela napas panjang. Dia menutup mata, menghitung sampai sepuluh dalam hati. lalu membukanya.

"Ini gue. Strawberi. Nyantai aja, gue bukan orang lain yang lagi menyamar. Gue bukan makhluk luar angkasa. Gue lagi mengubah image gue."

Nuna memandang Strawberi dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Dia mendengar jelas kalimat mengubah image. Benarkah itu? Buat apa Strawberi mengubah image? Untuk merayu Xander'kah? Kalau benar. betapa mengejutkan perubahan besar itu!
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lihat Xander nggak? Udah lama gue nggak ketemu."

"Kemarin dia datang ke warungku bersama Oryza. Di tengah hujan yang sangat deras."

Strawberi menyipitkan matanya.

Nuna menghabiskan teh botol dengan sekali sedot. Dia berdiri, membayar penjaga warung sambil merogoh kantong mencari kunci motor.

"Mereka mau makan. Nggak usah memandangku penuh curiga seperti itu deh. Xander nggak bakal tertarik sama cewekcewek lain. Sejujurnya, kadang-kadang aku mengira dia gay."

Strawberi terdiam. Terlihat aura keterkejutan seakan-akan Nuna baru menceritakan skandal terbesar abad ini.

Nuna nyengir selebar-lebatnya. Dia menaiki motor, lalu menyalakan mesin.

"Kagaklah, bercanda itu. Nggak usah terlalu dipikirin. Xander masih suka sama cewek. Yang jelas dia nggak akan tertarik sama kamu."

"Memanqnya dia naksir lu?"

nnggak juga., nggak usan ngomong soal itu lagi.

Strawberi mengangkat bahu.

"Lu kurusan." katanya kepada Nuna sambil mengamati mata gadis itu. Ada lingkaran hitam di kedua matanya.

"Aku lagi diet. Buat modal nyari cowok lain."

"Diet atau patah hati?"

Nuna tersenyum samar.

Tidak ada lagi yang dibicarakan di antara mereka. Strawberi juga sudah bosan berdiri di pingir jalan. Tiba-tiba, mobil dengan bentuk penyok di sana-sini lewat di samping mereka. meluncur lamban. Mobil itu oleng ke kiri dan kanan seperti kapal mabuk di tengah badai lautan. Di sisi sebelah kiri, keliatannya ada seikat rambut binatang terjepit jendela tampak melambai-lambai keluar. Terdengar suara klontang'klontang-klontang yang mengganggu pendengaran.

Nuna menunjuk ke arah mobil sampai mobil itu menghilang di tikungan.

"Apa itu?"

"Mobil patroli satwa," kata Strawberi tenang.

"Beberapa kali lewat daerah ini. Biar daerah ini aman dari hewan-hewan buas."

"Begitu? '

Nuna mengelap keringat yang mengucur turun. Ada keheningan yang datang di antara mereka. Tanpa berbicara apa-apa lagi, motor Nuna melaju membelah jalanan.

***

Matahari sudah turun di sebelah barat, menyemburatkan warna oranye di sepanjang kebun. Rumah keluarga "Karbohidrat" menghadap barat, jadi kalau sore, kebun itu seperti kolam mandi emas. Samudra memang memilih rumah yang menghadap barat karena dia tahu istrinya menyukai matahari terbenam. Ada sesuatu yang magis dalam terang yang melarut menjadi gelap.

Oryza mendorong pagar agar terbuka, lalu memasukkan motor ke parkiran teras dekat kebun. Tumben hari ini dia bisa pulang cepat. Beberapa ibu di departemennya meminta izin pulang cepat karena anak-anak mereka yang sakit. Akhirnya Oryza memutuskan pulang on time saat nyaris seluruh pegawai kantornya sudah hilang tepat pukul lima sore.

Solanum membuka pintu depan untuk Oryza.

"Tumben udah pulang," sapanya datar.

Oryza hendak membuka mulut bercerita, ketika terdengar suara pintu gerbang dibuka. Xander tertatih-ratih memasuki kebun. Rambut hitamnya berantakan. Baju seragamnya robek di beberapa bagian. Bagian seragamnya yang tidak robek juga penuh kotoran. Di lengannya ada luka panjang. Di wajahnya tampak darah mengering. Kacamata hitamnya miring di wajah.

Mulut Oryza menganga.

"Astaga! Xander. Ada apa?"

Xander menyandarkan diri di tembok. Suaranya terdengar jauh dan sayup-sayup.

"Orangutan... yang bisa menembak sebenarnya... nggak terlalu gawat. Yang parah waktu... ngeluarin landak di saluran... air. Jariku ketusuk sampai... nembus... Ada kura-kura yang hilang di... got bawah jembatan. Pemiliknya anak umur empat tahun. keponakan menteri siapa ya... nggak inget... Waduh. dia nggak berhenti... nangis menjerit-jerit sampai kurakuranya ditemukan... Terus singa jantan itu harusnya... nggak dicukur rambutnya... jadi ngamuk kayak lagi PMS... Untung Tsungta berhasil menabrak singa dengan mobil jelek itu... kalau nggak. sumpah mati aku bisa lewat diterkam singa..."

Solanum tertawa tanpa simpati.

Xander melotot memandang Solanum.

"Aku nggak bakalan mau ke sana lagi. Ogah! Amit-amit jabang bayi. Tempat itu horor! Pantesan nggak ada orang yang sanggup kerja di sana. Aku bisa bakalan mati ditelan ular phyton."

"Bagaimana kalau bekerja di tempat pengecekan baju antipeluru-?"

"Buat ditembakin?" Xander mengelap keringat yang mengalir deras di dahinya.

"Itu lebih sarap!"

"Mau bekerja seperti apa lagi sih? Kamu terlalu cerewet."

"Cari pekerjaan yang lain. Yang nggak usah mempertaruhkan nyawaku."

Solanum memonyongkan bibinya, dagunya naik. Tangannya bertumpu di pinggang.

"Aku sudah cari ke mana-mana, tapi hanya itu yang bisa aku dapatkan sekarang. jangan protes melulu, Xander. Semua pekerjaan nggak ada yang gampang. Di zaman susah ini. lebih baik punya pekerjaan apa aja daripada bokek atau lebih seram lagi, nggak punya penghasilan apa-apa."

Kalimat Solanum menyusup di dada Xander dengan jitu. Lelaki itu menghela napas panjang, lalu menelan ludah membersihkan kerongkongannya yang kering kerontang.

"Nggak ada salahnya bertahan. Cobalah sekali lagi beberapa hari. Mungkin besok nggak separah ini," kata Solanum tegas.

"Mungkin jadi sales kartu kredit lebih baik daripada pekerjaan mengejar hewan."

"Duitnya?"

Itu lagi. Xander tidak memedulikan perkataan Solanum yang berakhir dengan uang melulu. Dia capek. Dia berkeringat. Begitu banyak kekesalan bertumpuk-tumpuk yang ingin dia utarakan. Satu, kenyataan yang menyebalkan bahwa dia satu tim kerja dengan orang sinting yang dulu menjadi musuh bebuyutannya. Dua, orang sinting itu juga bakal berkencan dengan cewek yang pernah jatuh cinta dengannya. Tiga, dia harus mengurus hewan hewan yang bermasalah. Mengurus manusia saja merepotkan, apalagi hewan.

Oryza berbisik di telinganya.

"Tadi kamu bilang apa sih? Tsungta? Raja dari Pulau Varaiya itu?"

Xander mengangguk. memegang kepalanya.

"Benar. Orang sinting itu."

"Astaga."

"Mengerti kan. kenapa aku nggak kepengin kerja lagi?"

"Mengerti sih. Tapi..."

Oryza belum menyelesaikan omongannya. Di dapur mereka duduk berhadapan. dan Xander mengambilkan air putih untuknya. Dia kira Xander menyuruhnya minum dengan perhatian yang sangat romantis, tapi bukannya menyodorkan untuk Oryza, lelaki itu malah meneguk air putih dengan cepat. Orpa terpana memandang Xander.

"Haus."

Xander meletakkan gelas kosong di depan Oryza dengan tingkat kesopanan skala nol.

Oryza mendelik ke arah Xander.

"Terima kasih," jawabnya sarkastik.

"Salam dari cacing-cacing di perutku."

Solanum menghela napas dalam-dalam.

"Ory, bukannya aku mau sok kasih nasihat, tapi jujur aja. coba deh sekali'sekali jangan judes kalau ngomong. Kalian berdua selalu bikin rumah ini nggak pernah keliatan waras."

Oryza mengerutkan kening. Dia tidak suka ditegur terangterangan tentang hubungannya dengan Xander.

"Kenapa sih harus nyinyir begitu?" sengatnya kepada Solanum.

"Uh..." Solanum mendesis. Dia merapikan rambutnya. Rasanya nggak enak kalau bertengkar dengan kakaknya dalam kondisi tidak rapi. Sebagai manusia penyembah Dewa Rapi, dia

tidak pernah lalai menjaga penampilan.

"Nggak usah nyinyir, jadi nenek aja belum." sembur Oryza yang masih kesal.

Belum selesai Solanum bereaksi terhadap omongan Oryza,

tiba tiba ayah mereka memasuki dapur. Penampilan Samudra terlihat lebih segar daripada kemarin. Rambutnya yang agak sedikit basah tidak terlalu memperlihatkan ubannya. Oryza memandang Samudra dengan heran dan sedikit senang. Ayahnya pasti dalam keadaan mood yang menyenangkan.

"Dadi mau minum?" Oryza bergerak berdiri, tapi tidak jadi karena Samudra menarik lengannya.

"Nggak usah repot-repot, Sayang. Dadi nggak mau apa-apa." Samudra menyandar di tembok. Air mukanya berbinar-binar.

"Dadi lagi senang ngeliat semua orang ngumpul di sini. Kayak lagi pesta aja."

"Nggak semua kok," cetus Solanum heran. Dia merasa ada yang tidak beres dengan Samudra. Satu. sikapnya tidak sama dengan sikapnya yang dulu. Ayahnya selalu mencari Zea, sekarang boroboro menyadari Zea tidak ada di dapur. Dan dua. wangi parfum apa ini? "Zea nggak ada di sini."

Samudra seakan-akan tidak mendengar perkataan Solanum. Dia menepiskan tangannya dengan gaya jumawa.

"Dadi mau kasih pengumuman buat semuanya."

Oryza balik menatap ayahnya. Tiba-tiba jantungnya bertalutalu seperti diajak lari mengelilingi Papua. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang salah tentang Samudra.

"Begini, Ory, Sola. anak-anakku sayang. Sekarang Dadi sudah punya pengganti ibumu."

Oryza tercekat. Terjadilah hening yang luar biasa panjang. Keheningan yang pantas masuk Guiness Book of Record. Semuanya takjub mendengar apa yang dikatakan Samudra.

"Maksudnya:" ' tanya Oryza. Desah napasnya terdengar seperti melenguh.

Samudra tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar.

"Begini, Sayang." Notasinya mengalun riang.

"Dadi sudah punya pacar. Singkatnya, Dadi mau menikah."

"APA?!"

***

PERGI jauh ke mana angin bertiup.

Kalau Pax bisa menulis aumbiogmplay. Pax akan memberi judul bukunya seperti itu. Setiap cuti dan liburan panjang, Pax selalu menghabiskan waktu melanglang buana. menyisiri berbagai kota dan desa di sepanjang perjalanannya. Kadang dia menyetir sampai berkilo-kilometer dalam kesendirian. Kadang dia menggunakan kendaraan umum seperti bus. kereta api, atau motor.

Menghabiskan waktu sendirian di daerah-daerah asing mendatangkan rasa melankolia yang menyenangkan. Seluruh jiwa raganya serasa di-Charge, dipenuhi lagi dengan semangat dan kerinduan untuk pulang. Rindu untuk pulang adalah rasa keindahan yang tiada tara. Manusia sering kali tidak bersyukur atas apa yang dimiliki sampai yang dimilikinya hilang. Itulah apa yang dilakukan oleh Pax... pergi menjauh dari apa yang dimiliki sampai ketika dia sudah merindukannya, Pax selalu dapat pulang untuk bersyukur bahwa apa yang dimilikinya tak benar-benar hilang.

Sudah saatnya pulang sekarang. Liburan kali ini Pax sudah

menghabiskan begitu banyak hari dan mendapatkan begitu banyak petualangan dan pengalaman. Saatnya pulang dan bertemu kembali dengan Oryza.

Pax kangen.

Dengan apa yang dimilikinya sekarang, dan apa yang akan ditemuinya di rumah, Pax akan menjadi penyihir kaya raya yang tak pernah kehilangan apa-apa.

Kereta api meluncur cepat. Pax duduk menyandar sambil sesekali menengok ke arah jendela di sebelah kanan. Kilatankilatan rumah rumah penduduk dan desa terbentang berulang ulang di sampingnya. Pelan-pelan dia menggumamkan sepotong lagu bernada riang.

**

Ruangan hening sebening beningnya. Tak ada yang bergerak. Bahkan udara pun ketakutan mengeluarkan suara. Semua terkesima. Tidak ada yang berbicara satu patah kata pun, seakanakan Samudra baru saja menjatuhkan bom yang bikin telinga langsung tuli dan saraf robek.

Semenit berlalu.

Setelah semenit berlalu dalam sunyi yang bikin landak kebilangan durinya, akhirnya Xander yang duluan sadar. Baiklah, tidak ada yang heran dia cepat sadar. Makhluk sesat selalu mampu bangun dari keterkejutan apa pun.

"Selamat, Oom Samudra. Congrats."

"Terima kasih, Xander. Oom senang ternyata kamu mendukung Oom."

Bengongnya Oryza bertambah sampai di menit-menit selanjutnya. Pancaindranya memang (masih) normal, dia tahu apa yang baru diberitakan ayahnya, tapi daya tangkapnya jongkok.

"Dadi... eh..." Oryza berdeham keras. Alisnya terangkat tinggi.

"...sama siapa. Dadi?" '

Solanum langsung berkomentar.

"Orangnya kaya nggak, Dadi? '

Samudra tertawa. memandang anak-anak perempuannya yang masih terpaku karena shock.

"Sebelum Dadi menjawab satu-satu. Dadi mau tanya dulu." Samudra menyunggingkan senyum lebar dengan gaya artis di press conference.

"Suka nggak punya ibu tiri? '

jantung Oryza berdebar disebabkan ratusan alasan. Samudra bersikap seperti ini pasti ada hubungannya dengan kejutan yang bakal (nyaris) menewaskannya. Oryza tahu banget. Ini mencurigakan! Sebenarnya melihat ayahnya bahagia adalah kerinduan Oryza, tapi entah kenapa ketika saat itu tiba. Oryza malah terkesima. Dia tak sanggup seriang ayahnya.

"Suka enggak?" Samudra mengulangi.

"Suka..." Oryza tertawa tidak normal. Mukanya memerah antara kebingungan dan kaget.

"Tapi si-siapa orangnya? Saya belum kenal, Dadi."

Agaknya Xander sudah berhasil mengatasi keterkejutannya. Dia berdiri, membuka kulkas. mengeluarkan cokelat. Sambil mengunyah cokelat, dia menjaga jarak, seakan-akan dengan seperti Itu dia bisa berpikir lebih objektif di tengah-tengah suasana yang mulai terasa tidak masuk akal. Sementara Solanum masih larut dengan pemikirannya yang aneh'aneh.

"Kamu beruntung. Sayang," kata Samudra dengan mata yang sarat cinta-kepada Oryza.

"Dadi memilih pengganti ibumu dengan seseorang yang sudah kamu kenal baik."

Oryza tidak bisa menjawab. terlalu penasaran.

Samudra keluar sejenak dari dapur, dan dia kembali dengan seseorang. Oryza menoleh.

Perempuan itu berdiri tegak di tengah ruangan. memandang berkeliling, lalu tertawa dengan ciri khasnya yang sangat dikenal Oryza. Matanya melirik kiri-kanan, menanti respons. Ia membuat kaget seluruh penyihir di dapur.

Oh. itulah calon istri ayahnya. Kaki Oryza mendadak lemas.

"Halo, semuanya," sapa perempuan itu, memecah sepi.

Perlu beberapa detik untuk mengembalikan kesadaran yang tiba-tiba terhipnotis. Seisi ruangan. termasuk Xander. tidak sanggup berkata apa-apa.

"Hai!" Sekali lagi perempuan itu menyapa sambil melangkah mendekati Oryza. Suaranya terdengar seksi dan berat.

"Nama saya Aqua. Tapi kalian semua boleh memanggil saya dengan sebutan 'mimi' atau 'bunda'

Oryza mendelik.

Solanum terhuyung'huyung ke ujung dapur.

"As... ta... ga..."

Terdengar suara gedebuk keras. Solanum pingsan, menabrak lantai dengan sukses.

"Ini bohong!" jerit Oryza kepada Samudra. menanggapi dengan cepat.

"Benar. Sayang."

"Ini nggak lucu sama sekali!"

"Sungguh. Dadi tidak melucu."

Oryza mengubah gaya duduk. Dia menyambar lengan ayahnya. lalu berdiri tegak di depan Samudra. Udara memanas seketika. Sungguh luar biasa, Oryza berusaha keras menyembunyikan kemarahannya yang meletup-letup. Aqua mendelik kepadanya. Oryza tidak peduli. Dia tidak peduli bahkan jika semua orang memperhatikan tingkah lakunya yang siap meledak.

"Dadi korslet ya?" cetusnya dengan nada tinggi.

"Ah," seru Samudra. Dia tahu penampilan Oryza tidak bisa menipu. Anak tengahnya pasti sedang kalap.

"Dadi sehat'sehat saja"

"SEHAT DARI DUFAN? YANG BENAR AJA, DADI! INI KAN BUKAN GOSIP. CEWEK YANG MAU DADI KAWINI ITU SEUMURAN DENGAN SAYA!"

Aqua mengerutkan kening. Dia menepuk punggung Samudra dengan gerakan mendukung.

"Betul kan kataku? Anakmu nggak bakal suka sama aku."

Nggak bakal suka? Dengarkan, wahai Dunia! Oryza gemetaran menahan amarah.

Samudra berbisik kepada Aqua,

"Mungkin dia masih shock. Atau sedikit jealous."

"JEALOUS? JEALOUS?!" pekik Oryza sambil melotot memandang ayahnya dan Aqua berganti-ganti. Kepalanya berdenyut-denyut. Ini kejadian paling absurd seumur hidupnya. Mulanya Oryza mengira dia lagi bermimpi, tapi sepertinya tidak.

"UDAH GILA SEMUA YA? DADI NGGAK MERASA GILA?"

Xander menatap Oryza. Gadisnya tampak seperti balon yang semakin menggelembung. Pandangannya berubah ke arah Solanum yang masih pingsan di pojok dapur.

"Ory," panggil Xander, berusaha menurunkan nadanya agar tidak terlalu keras.

Oryza berputar. Betapa cepat situasi berubah. membuat kemarahannya tidak bisa disterilisasi lagi.

"Dengar. nggak usah sok mengatur-ngatur! Ini urusan keluargaku. Mendingan kamu diam saja! Kalau nggak bisa diam, berarti semua ini salah kamu, brengsek!"

Ini siaga satu. Xander tertohok dengan keras. Oryza belum pernah menyuruhnya tidak terlibat dalam urusan keluarganya.

Seburuk-buruknya hubungan mereka, Oryza selalu melibatkan Xander dalam urusan keluarga Raya.

Oryza berjalan keluar dari dapur dengan langkah-langkah cepat. Matanya berkaca-kaca. Sialan. Semuanya Sialan. Benarkah Aqua bakal jadi ibu tirinya? AQUA BAKAL _JADI IBU TIRINYA? Yang benar saja! Oryza mengedip-ngedipkan mata berkali-kali. Tak berani membayangkan nenek sihir sinting itu bakal menjadi ibu tirinya.

Zea. Ya, ya. Zea. Oryza harus mencari Zea.

Rasanya lorong dan ruang-ruangan rumah berlalu dengan samar-samar. Air matanya mengaburkan pemandangan di depannya. Entah berapa lama dia mencari Zea. Jika tak berada di dapur dan klinik dokter hewan, kakaknya pasti berada di kamar tidur. Oryza menggedor pintu. Kali ini dua kali lebih keras daripada ketukan Oryza biasanya.

Zea membuka pintu dengan tangan di telinganya. Dia sedang melayani pembicaraan di telepon.

"Sayang. aku juga tergila-gila sama kamu." Zea tertawa cekikikan, manja. Nadanya kolokan.

"Nanti malam kita akan ketemu, kan? Aku sudah tidak sabar. Bye, sweetheart..."

Oryza terpana.

Zea mematikan telepon. memandang Oryza. Mata besarnya menelusuri wajah adiknya. Zea menaruh telepon karena kaget dengan raut muka Oryza.

"Ada apa? '

Oryza tidak langsung menjawab. Tragedi yang terjadi ditambah dengan shock mendengarkan kakak perempuannya sedang tertawa genit di telepon membuatnya bisu mendadak.

"Ada apa? ' ulang Zea.

Emosi Oryza meluap sekali lagi. Perasaannya yang tadi tak menentu semakin kian tak menentu. Dari marah akhirnya menjadi bingung.

"Kak," kata Oryza dengan nada pecah. Dia berbicara seperti seorang anak yang mengadu kepada ibunya karena mainannya direbut oleh anak yang lebih besar.

"Dadi... mau menikah... lagi."

Zea menelengkan kepalanya.

"Ada yang salah dengan hal itu?" tanya Zea lemah lembut "Dadi kan nggak mungkin terus-terusan sendirian. Bukannya kamu sendiri yang bilang begitu?"

"Kak, aku nggak punya masalah kalau Dadi mau menikah lagi. Tapi problemnya sekarang dia kepingin kawin sama Aqua!"

"Lalu kenapa? '

"Kak? ' Oryza terkejut, seketika sangsi dengan kemarahannya. Apakah dia berlebihan terhadap ayahnya? Kenapa Zea menanggapi dengan wajar? "Kakak nggak kaget? '

Alis Zea bertaut.

"Kaget? Kenapa harus kaget? Aku nggak mengerti." Bibirnya setengah terbuka.

"ini Aqua yang aku bicarakan! Aqua yang bakal jadi ibu tiri kita! Aqua yang dari keluarga sok ningrat itu."

"Dan apa sih yang harus disalahkan dari kenyataan itu? Kayaknya kamu berlebihan."

"Kakak mau Aqua jadi ibu tiri kita? Kakak mau Dadi menikah dengan Aqua?"

"Ory." Zea berkata tenang.

"Mungkin saja mereka bakal cocok satu sama lain."

Oryza membuang muka. Perkataan Zea membuatnya jengkel tak alang kepala. Kenapa Zea seakan akan mendukung ayahnya menikah dengan Aqua? ini aneh. ini berbeda dari kelaziman Zea. Memang benar Zea selalu berpikir lurus dan tiada dengki, tapi Zea selalu mendukung pendapat adik-adiknya.

Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak pada tempatnya. Oryza berusaha terlihat tegar dengan memandang balik ke arah Zea. Mereka berdiri berhadap-hadapan. Zea menatapnya dengan lirikan sabar. Ini menyebalkan! Ayahnya mau menikah dan hanya dia yang satu-satunya tidak setuju? Oh, please.

"Kak, whatever. Aku tetap nggak setuju."

"Aku sih biasa-biasa aja. Kita malah seharusnya bergembira dengan keputusan ini."

"Aku nggak gembira."

"Aku..."

"Kak, tolonglah." Tenggorokan Oryza terasa perih. Susah payah dia menelan ludah.
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa?"

"Pikirkan, Kak, umur Aqua sebaya denganku."

"Memangnya kenapa!"

"Kak!" Oryza nyaris menjerit.

"Kenapa bertentangan seperti ini? Kita kan kakak-beradik. seharusnya kita saling mendukung saat orangtua kita sedang error. Tolonglah turun ke bawah dan berbicara sama Dadi. Setidaknya kasih tahu kenapa aku nggak setuju dan Kakak juga keberatan."

"Tapi sudah aku bilang kan. aku nggak keberat... Oh. ya ampun."

Zea mendesah. Adiknya berdiri di depan, pipinya menghijau. Dia seperti tabung gas yang nyaris meledak.

"Oke, oke deh. Aku bantuin kamu."

Zea berjalan menyamping dan meningalkannya. Oryza mendengar langkah kaki Zea menuju ke arah dapur. Setelah langkah itu semakin lenyap. Oryza berbalik arah, berjalan ke tempat yang sama.

Di dapur, suasana sudah tidak seheboh seperti saat Oryza tinggalkan.Jelas aja, yang bikin gonjang-ganjing tadi kan memang sebenarnya cuma Oryza. Solanum masih semaput di ujung dapur dan Xander sedang berusaha membangunkannya dengan segelas air putih. Ayahnya dan Aqua sedang bercakap-cakap, kelihatannya mereka sedang membicarakan rencana pernikahan.

Perut Oryza seperti sedang digoreng. Hingga garing.

Solanum terbangun setelah diciprati air beberapa kali oleh Xander.

"Kak." kata Oryza, mendorong lengan Zea.

"Ayo dong, ngomong. Please ngomong sekarang."

Zea berjalan mendekati Samudra. Mendadak Oryza tersadar. Di bawah penerangan lampu bercahaya kuning. Zea tak lagi kelihatan seperti ibu-ibu. Kakaknya terlihat bersinar-sinar seperti kunang-kunang yang lagi jatuh cinta. Kenapa Oryza tidak menyadari hal ini?

Zea menggamit lengan Samudra. Dia berdiri di sebelah ayahnya, nyaris sama tinggi.

"Jadi Dadi sudah mengambil keputusan?" Zea tersenyum sambil mengecilkan suaranya yang kedengarannya bersemangat. Eh? Bersemangat? Semakin dirasakan, Oryza yakin ada yang nggak beres, makin nggak beres malah.

"Sudah," jawab Samudra.

"Kamu bagaimana, Sayang?"

"Saya juga. Dadi."

Oryza menatap ayah dan kakaknya dengan bingung.

"Hidup itu dilematik," kata Zea pelan, tapi terlihat sukacita.

"Klise ya kedengarannya? Dulu, aku memutuskan seumur-umur takkan mau menikah. Aku pikir aku bakal bahagia karena aku mendapat kebebasan dan kemerdekaan. Seluruh waktuku bisa kudedikasikan untuk mengurus Dadi. kalian semua, dan hewanhewan yang membutuhkan bantuan medis. Tapi belakangan ini, aku menyadari diriku tidak bisa happy dengan situasi ini. Aku memutuskan sebaliknya..." Zea menggigit bibir sambil tersenyum,

"...aku akan menikah."

Ini dia puncak emosi mencapai ubun-ubun. Oryza terpana. Menikah? Astaga naga mangga muda! Zea akan menikah? Zea akan... menikah? Maksudnya apa ini?

"Sebenarnya kekasihku sudah melamarku beberapa kali. Kubilang padanya supaya memberiku waktu untuk memikirkan jawabannya. Bukannya aku nggak mau jawab cepat-cepat, aku perlu memikirkannya matang-matang. Akhirnya hari ini aku menjawab iya. Nggak tega rasanya menolak dia terus-terusan. Kasihan."

Apa yang dimaksud dengan...

"Adik adikku tersayang, aku akan menikah dengan...... Di pojok dapur, Solanum yang sudah sadar, semaput lagi.

Xander menganga. Sepertinya rumah terbenam ke dalam perut bumi dan dia ikut terseret masuk ke dalamnya. Di sebelahnya, terdengar Oryza menjerit kecil. Xander tidak menoleh tapi dia tahu seperti apa air muka Ory. Pasti berada di antara spektrum shock, kaget, histeris, dan marah. Lantai terasa goyang. Gempa bumi? Bukan. ini memang seperti gempa bumi dengan episentrum di tempatnya berdiri.

"Kakak... sama... siapa..."

"Gus. Sayang. Gus."

Oryza rerbata-bata. Dia menyatukan alisnya rapat-rapat.

"Gila! ini sudah gila! Kakak nggak serius, kan?"

"Aku nggak bercanda. Aku sangat serius."

"Kupingku udah perlu turun mesin." Suara Oryza terdengar serak. diarahkan kepada Xander meminta bantuan moril dan materiil.

"Kenapa omongan ini makin tulalit?"

"Sebab kamu tidak salah dengar?

Oryza nyaris bersimpuh di depan Zea.

"Kenapa? Kenapa? KENAPA HARUS DIA, KAK?"

"Jalan nasib tak bisa ditebak, adikku. Apa salahnya jatuh Cinta pada seseorang yang dulunya tak pernah masuk di pikiran kita? Ini kan manusiawi banget. Jangan antipati dulu dengan orang yang kamu belum kenal baik.."

Glek. Sejak kapan Zea berbicara kayak ini? Aqua mesem mesem. Dia senang melihat wajah Oryza yang semakin lama semakin pias seperti kekurangan darah.

Dalam keadaan yang makin aneh ini, Xander-lah yang ber. gerak duluan. Dia menarik tangan Oryza. menjauhi dapur. Apa boleh buat. Oryza mengikuti tarikan tangan Xander. Dia sudah kehabisan solusi. Situasi membombardirnya dengan keadaan yang tidak dapat dicerna akal sehat.

Zea akan menikah dengan Gus. Dan Samudra akan menikah dengan Aqua.

Sialan. Kenapa kalimat itu bolak-balik gentayangan di kepalanya?

"Ke atas, Ory." bisik Xander.

"Untuk apa?"

"Kita mesti ngomong."

Oryza mengekor Xander menuju kamarnya. Dia dipersilakan masuk ke kamar Xander. Untuk sejenak. Oryza lupa pada masalah yang dihadapinya. Jarang-jarang dia masuk kamar Xander. jadi sedikit kaget melihat betapa penuh dan berantakannya kamar ini. Di lantai. tergeletak tumpukan majalah. buku, dan DVD.

"Ini nggak normal."

Demi ember! Akhirnya ada juga ongol-ongol ungu yang tahu bahwa keadaan tidak normal. Oryza memandang Xander dengan tatapan yang dapat meracuni selusin badak.

"Kalau itu sih aku juga tahu, dodol. Orang di Gunung Kawi juga tahu kalau keadaan tidak normal. Nggak usah ngajak ngomong serius kalau cuma bisa mengganggu pendengaran orang dengan ucapan segampang itu."

"No, tunggu dulu. Maksudku begini. Dulu Oom Samudra dan Zen tidak kelihatan tertarik dengan pasangan dumb and dumber itu. Malah sebenarnya Aqua naksir aku "

Sebuah bayangan melintas cepat. Gambaran Aqua yang naksir Xander dan para pesaingnya yang tidak mau mengakui keberadaan Oryza sebagai pasangan resmi Xander. Kemarahan Oryza meletup cepat.

Jadl intinya Kamu jealous Karena Aqua mau menikah dengan Dadi ?" tanyanya judes.

Napas Xander tertahan. Dia ikut-ikutan terpancing marah mendengar nada suara Oryza yang tidak ramah.

"Kenapa harus sengit banget sih:"

Oryza melengos marah. Belalang sembah ini harus diajar untuk rendah hati. Mentang-mentang menganggap diri cakep dan hebat! Oryza sudah tahu ciri-cirinya penyihir seperti ini. Gaya Xander membuatnya ilfil. Perutnya bergolak.

"Ory..."

Oryza diam. Suara Xander terdengar pelan.

"Serius. Perkataanku yang tadi itu. Aku nggak jealous Aqua menikah dengan Dadi."

"Aku nggak percaya?

"Bagaimana caranya membuat kamu percaya sama omonganku?"

"Kepercayaan itu didapatkan secara alamiah. Bukan dipaksa."

"Kamu berasap kalau sedang marah marah." Mata Xander berkilau. Bukan maksud dia menggoda Oryza, tapi menurut penglihatannya. dia melihat uap keluar dari atas kepala Oryza.

"Maaf, kalau aku tidak bisa memberimu kepercayaan?

Napas Oryza tertahan. Nada suara Xander pelan banget. Dia menoleh, melihat Xander sedang memandangnya agak lama. Tiba-tiba Oryza merasakan sekujur tubuhnya gemetar.

Xander berkata serius,

"Aku nggak percaya mereka mau menikah gara-gara saling suka."

Oryza menyingkirkan rasa gemetarnya. Dia mengangguk lesu.

"Aku setuju. Itu juga yang aku pikirkan. Kurasa ini semua ada hubungannya dengan kekuatan sihir Strawberi." Angkara murka Oryza yang berarak-arak di wajahnya perlahan menipis.

"Ini pasti hasil pekerjaan dia!"

"Kenapa menuduh Strawberi? Bisa aja ini semua akibat sihir orang lain. Nuna misalnya?"

"Pasti Strawberi. Cuma dia yang bisa berpikir selicik ini. Dia ingin menyingkirkan musuh abadinya. si Aqua."

"Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya nggak mungkin. Strawberi berteman baik dengan Aqua. Ngak manusiawi kalau Strawberi menikam Aqua dari belakang seperti ini."

Oryza teringat percakapannya dengan Strawberi beberapa waktu lalu. Memang Strawberi mengatakan bahwa dia berteman dengan Aqua. Xander terdiam, memikirkan pendapat Oryza.

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah." Oryza menarik napas panjang.

"Aku setuju dengan sabda keramat kamu."

Mata Oryza berbinar. Baru kali ini Xander memancarkan tatapan hangat dan senyuman yang bersahabat sewaktu mereka berdiskusi.

"By the way, aku nggak pernah lupa waktu Zea berikrar nggak mau menikah."

Xander mengusap kepalanya. berusaha berpikir. Sungguh, sejujurnya dia ingin memeluk Oryza, mengusap-usap punggungnya agar gadis itu tidak usah memandangnya dengan tegang seperti ini. Tapi dia takut Oryza bertambah marah jika dia melakukan gerakan yang mencurigakan.

"Aku tahu!" Sebuah pemikiran mendesak kepala Xander.

"Mungkin inilah yang bernama keberuntungan! Kalau Aqua menikah dengan Oom Samudra berarti Aqua berhenti mengejar ngejarku lagi."

Oryza tidak bisa membaca aura wajah Xander.

"Menurutku, solusinya instan saja. Kita membiarkan mereka menikah."

"Tokcer banget solusinya!" sergah Oryza. Menyesal dia dari tadi menekuni ucapan Xander dengan serius. Ternyata cuma sesimpel itu.

"Kalau Aqua menikah dengan Dadi. itu berarti dia

akan hidup di Dewan satu atap dengan Kita. Aqua bakal menjadi ibu tiriku!"

"Tapi..."

"...dan manusia dari zaman Majapahit itu. si GUS, bakal menjadi iparku. Seujung kuku pun aku nggak rela dia berhubungan dengan keturunanku. Kalau disuruh milih antara tinggal dengan Aqua atau Gus, aku memilih Jenderal Sudirman."

Xander merapatkan gigi mendengar penuturan Oryza. Air mukanya kelihatan seperti tidak tidur selama delapan tahun.

"Kita harus keberatan dengan perkawinan orang-orang aneh ini!"

"Dari tadi aku udah ngomong seperti itu."

Xandet berputar dan berjalan terburu-buru. Oryza menyambar lengannya.

"Halooo? Mau ke mana?"

"Mau cari tau siapa yang menyihir Oom Samudra dan Zea."

"Caranya?"

"Aku belum tahu."

"Oh, brilian banget. Kamu secerdas Stephen Hawking."

"Nggak perlu menyindir. Kalau punya ide yang lebih hebat langsung aja angkat tangan!"

"Aku nggak mau minta saran ke nenek lampir Strawberi itu lagi."

"Aku ngak nggak mau. Amit-amit."

"Daripada berusaha cari tahu siapa yang bikin gara-gara. mendingan kita berkonsentrasi memikirkan cara mengubah mantra. Repot kalau mencari tahu pelakunya dulu. Mari kita bertanya kepada Dokter Lukas. Dia juga penyihir hebat yang bisa ditanya."

**

Lantai restoran sudah dipel dengan desinfektan dari ujung

ujung dan segenap sudut-sudutnya. Kursi-kursi dinaikkan ke atas meja. Semua pelanggan sudah pulang. tidak ada lagi yang sedang makan di restoran. Dapur dan meja telah bersih dilap. Strawberi sedang menghitung uang recehan terakhir, sebelum bergegas hendak mengunci gerbang.

"Spadaaaa!"

Strawberi melongok dari balik lemari tempat memotong motong sayuran.

"Restoran sudah tutup, Bu," serunya.

"Hei, ini aku. Aqua!"

Strawberi tersenyum senang. Dia melompat ke dinding yang ditempeli paku. Di sana ada beberapa kunci yang tergantung.

"Tunggu sebentar!" serunya.

"Gue ambil kunci pagar dulu!"

Sambil membawa kunci. Strawberi melangkah menuju ke teras. Dia membuka kunci dan menyilakan Aqua masuk. Gadis itu bergerak ke dalam rumah Strawberi yang juga merangkap sebagai restoran nasi tim bebek dengan senyum sumringah di wajahnya.

"Lu seneng banget kelihatannya!"

"Berbunga-bunga."

Strawberi tersenyum.

"Lu kayak siamang lagi kasmaran."

"Sialan. Kamu nggak sopan deh. Nanas!"

Strawberi tertawa.

"Ayo. buruan cerita sama gue, jas Jus."

Air yang disajikan Strawberi mengatasi rasa tegang Aqua. Dia hanya butuh menarik napas beberapa kali untuk mengumpulkan semangat. Sambil mengikik gembira. dia berkata:

"I'm getting married!"

Strawberi menatap Aqua dengan tatapan bingung.

Gaya Aqua seperti sedang berjalan di panggung peragaan

busana.

"Aku akhirnya punya keberanian mengajaknya menikah. Dia langsung menyetujuiku."

Strawberi sama sekali tidak tersenyum. Dia terbelalak sambil mengeluarkan tongkat sihir dari kantong celananya.

"Gue nggak setuju!" bentaknya keras. Strawberi mengacungkan tongkat sihir ke arah Aqua. Awan gelap berarak-arak di wajahnya, seperti musim yang mendadak beralih karena perubahan cuaca yang ekstrem.

"Kenapa?" Tidak ada satu kalimat pun yang dimengerti Aqua. Reaksi Strawberi mengejutkannya. Dia sendiri tidak menunjukkan perlawanan apa-apa. Tongkat sihir masih tersimpan di tasnya.

"Seharusnya kamu senang. Bukannya kamu berniat mendekati Xander?"

"Kalau ada cewek yang suka sama Xander." geram Strawberi. melanjutkan pidato keramatnya.

"Berarti dia harus melewati kuburan gue sekarang juga!.

Sesuatu menyambar kepala Aqua sampai dia mengerti seketika itu juga.

"Dasar mangga manalagi! jangan mempermalukan dirimu sendiri. Nih. dengarkan aku baik-baik. Aku. Nggak. Menikah. Sama. Xander."

Strawberi berhenti mengacungkan tongkat sihirnya.

"Artinya?"

"Artinya aku nggak menikah dengan Xander."

Strawberi mendelik masam, merasa Aqua mempermainkan dirinya.

"Aku menikah dengan Samudra."

Separo otak Strawberi jatuh dan terguling di lantai. Dia menatap Aqua seperti barusan disambar selusin petir.

"Samudra? Bapaknya Oryza?" Strawberi kehilangan kata-kata. Tongkat sihirnya sudah jatuh pada kemiringan tegak lurus dengan lantai.

"Kenapa? Kenapa? Ya ampun, kenapa? '

"Jujur saja. aku juga nggak tahu. Inilah yang namanya takdir. Takdir mengubahku dengan caranya sendiri. Bayangkan. saudariku, dua hari lalu aku masih tergila'gila pada Xander, hari ini aku akan menikah dengan lelaki lain."

"Tapi lu nggak cinta dia."

"Oh, aku cinta Samudra. Aku jatuh cinta sama dia. Aku tergila'gila, Pepaya. tergila-gila sekali."

Strawberi menaikkan alis dan memandang Aqua yang semakin berkarisma di matanya. Sikap Strawberi memberikan tambahan semangat kepada Aqua yang memang sudah bersemangat dari tadi. Dia melanjutkan pidatonya yang berbunga bunga.

"Dunia memang banyak memberikan keajaiban. Sungguh tidak masuk akal kalau kita mencoba memikirkannya mentahmentah. Aku merasa seperti Cinderella, jatuh cinta pada pangeran ganteng." Aqua terkikik.

"Lu lagi waras, kan?"

"Aku beli majalah wedding tadi!" Aqua mengacungkan majalah yang didominansi dengan warna putih pada halaman depan. Dia tidak mengacuhkan kebingungan Strawberi.

"Mau nggak jadi pendampingku '

Butuh beberapa saat bagi Strawberi untuk mencerna ini semua. Tatapan Aqua yang berseri seri menjadi pemandangn penuh gempita ria di depan mata Strawberi.

"Pendamping pengantin? Beneran nih?"

"Benar."

Akhirnya Strawberi tertawa renyah serenyah ayam goreng Crispy.

"Boleh, tapi dengan catatan lu juga harus berjanji menjadi pendamping gue kalau gue kawin sama Xander."

"Kita harus memikirkan taktik dan rencana supaya kamu bisa segera jadian sama Xander. Bayangkan kalau kita bisa bersamasama menikah!"

Apalagi yang harus gue lakukan supaya Xander naksir' gue.Segala cara udah gue lakukan. Ngomong dengan gaya intelek, berpenampilan keren, menjaga tingkah laku. Kenapa ya, dia tetap nggak mau sama gue?"

"Kamu mesti membaca buku-buku berbobot. biar kelihatannya nggak cupu. Sekarang kamu suka baca buku apa?"

"Majalah Emporium Sihir."

"Kenapa majalah itu?"

"Karena gampang dibaca. Katakatanya nggak rumit. Informasinya nggak garing. Isi artikelnya juga praktis dan pas buat gue."

"Nah, itu dia. Lelaki macam Xander nggak bakal suka sama cewek yang bacaannya cuma cetek. Kamu mesti baca tulisan yang berat. Misalnya buku-bukunya Nietzsehe. Atau Foucault. Umberto Eco. Menurut gosip, mereka penyihir juga lho. Tapi sayangnya mereka nggak pernah mau mengaku."

Strawberi mengangguk-angguk.

"Kamu juga mesti mulai belajar sihir yang lebih sophisticated. jangan katro!"

Strawberi menerawang.

"Mulai sekarang gue harus mengupgrade daftar bacaan gue biar lebih berwawasan."

"Kita pergi ke toko buku sekarang yuk. Mumpung pekerjaan udah beres."

"Ya deh."

"Kamu punya duit?"

Strawberi diingatkan lagi dengan duit yang dia punya di dompetnya, hasil kerjanya membantu neneknya.

"Gue cuma punya seratus ribu. Cukup nggak?"

"Aduh, kelewatan banget. Sungguh kamu nggak elite!" Aqua mengibaskan tangannya.

"Sudah. sudah! Pokoknya nanti bayar pake kartu kreditku aja dulu."

***

XANDER. Oryza. dan Solanum masih berada di dapur. Dua dari mereka duduk bengong. dengan pikiran mengawang aawang. Mereka tak merasa apa yang terjadi tadi berada dalam lingkaran realitas. Oryza terseret bersama pikiran-pikirannya. Para calon pengantin yang tadi mendeklarasikan diri tidak berada di dapur lagi. Entah ke mana mereka semua, tak ada yang mencari. Tinggalah kursi yang tadinya ramai kini diisi keheningan yang teramat panjang. Udara ringan karena tidak disusupi katakata penuh emosi. Solanum mengangkat kepalanya. Dia mengerang.

"Asraga. Tadi aku pingsan. ya? Memalukan."

"Kamu seharusnya diabadikan jadi monumen. Kayaknya lucu tuh kalau begitu." Xander menyodorkan air kepada Solanum.

"Kenapa harus pingsan segala sih? Kamu tuh cewek terdingin seperti Kutub Utara yang pernah aku kenal. Biasanya yang dramatis selalu Oryza, bukan kamu." Oryza mendelik ke arah Xander.

"Pergi ke Semarang pakai baju apik, nggak usah ngomong kalau nggak punya topik."

Xander meringis mendengar pantun Oryza.

"Kamu sakit. Sol?" tanya Oryza penuh perhatian kepada adiknya.
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waktu aku mendengar Dadi mau kawin dengan Aqua. aku langsung seperti kejatuhan treadmill. Astaga! Kita bakal dapat setengah harta kekayaan keluarga Raden Ajeng itu. Aku langsung membayangkan kehidupan makmur nan sejahtera yang kita dapatkan dari Dadi. Oh, tak kuasa jiwakuuuu...." Solanum tertawa kegirangan.

Oryza mendelik kesal.

"Terus Zea datang. Dia kasih pengumuman maut yang bikin jantungku copot mendadak. Sasaran kita "

Oryza langsung berdiri.

"Sasaran apa? Ini bukan soal sasaran mendapatkan cowok atau cewek tajir, Sola!"

Xander menarik tangan Oryza supaya duduk lagi di kursinya.

"Sudahlah. jangan ribut sendiri. Kita pikirkan bagaimana solusinya sekarang."

Oryza pelan-pelan mendaratkan tubuhnya kembali di kursi, tapi tatapan matanya tidak henti menghujani adiknya.

"Sampai di mana tadi-.*" tanyanya ke Xander.

"Oh ya. soal pernikahan gila ini. Kamu harus kompak membuat mereka nggak akan kawin."

Solanum bergerak gelisah di kursi. Perhatiannya tidak terarah kepada Oryza.

"Bisa nggak kita membatalkan pernikahan mereka setelah setengah dari kekayaan mereka pindah ke kita?"

"Nggak."

"Bisa nggak tunggu sampai Gus memberikan maskawinnya?"

"Nggak!"

"Bisa nggak tunggu sampai Gus mengajak Zea kencan dan kita semua ikut?"

"Nggak! Sola!!!"

Solanum kelihatan berpikir sejenak.

"Aku mau mendesak Gus supaya memberi banyak hadiah buat Zea. Cenderung ke arah barang'barang berharga yang nggak bisa dikembalikan lagi. Misalnya seperti properti. Tanah. Mobil. Apartemen. Deposit."

"Aduh..." Kepala Oryza langsung berat mendadak.

Xander menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Aku mau ganti seragam," gumamnya sambil meninggalkan dapur.

Dapur lengang. Oryza merasa sendirian. luas sekali dapur ini tanpa saudara dan ayahnya. Harus diakui, Oryza harus mengajak Solanum bekerja sama. Sesama saudara memang tidak selalu mempunyai kata sepakat. Tiba-tiba Solanum memandang Oryza dengan tatapan ibu guru.

"Ory," panggilnya serius.

"Aku tahu ini pikiran yang menyebalkan, tapi tetap harus kita dihadapi. Apa yang kita lakukan kalau kondisi Dad dan Kak Ze nggak berubah?"

Oryza menopang dagu di atas meja.

"Aku nggak tau. Beradaptasi. mungkin? Aku tidak bisa membayangkan sekarang."

"Aku sih bisa membayangkan jadi cewek tajir."

Oryza menggebrak meja. Bola matanya membara. setengah kesal setengah mau tersenyum simpul.

"Udah ah. gila! Kamu terobsesi urusan uang melulu. Nanti lama-lama kita nggak keberatan kalau Zea dan Dad menikah sama dua pocong gaib itu."

"Enggak, Kak, aku bercanda kok."

Sejurus kemudian hening mengalir di dapur dengan pikiran yang menderas di kepala mereka masing-masing. Diam'diam Solanum memperhatikan lantai.

"Lihat," serunya heran.

"jatuh cinta memang membuat segala urusan menjadi berantakan. Perhatikan saja tindak-tanduk Kak

Zea. Dia jadi tidak pedulian lagi gara-gara naksir ongol-ongol

lebam itu. Ada banyak tepung di lantai, nggak disapu sama sekali. Enggak Kak Zea banget deh."

Oryza menunduk, menyimak lantai yang memutih dengan remahan seperti garam. Dia merasa Solanum ada benarnya Juga.

Solanum menjulurkan lengan lalu menempelkan telunjuknya ke arah taburan tepung. Setelah diangkat, dia mengendusnya.

"Hmmm... wanginya nggak seper..." Solanum menegakkan kepalanya. Tanpa sengaja, dia memandang Oryza. Mendadak fokus pandanganya menyempit dan menajam. Secercah sinar yang janggal terbit di air mukanya.

"Sola?" cetus Oryza, merasa heran dipandangi adiknya seperti itu. Dia menggoyang'goyangkan tangan di depan mata Solanum.

"Are you okay?"

Solanum terperangah.

"Uh? Nggak. Eh Aku nggak apa-apa. Uh, aku..." Solanum tergagap. Tatapannya kosong. melayang ke mana-mana. Matanya menembus tubuh Oryza nggak jelas.

"... berenang."

Oryza membelalak.

"Berenang?"

"Berenang. Oke. Sekarang. Berenang."

Belum selesai Oryza mendepat penjelasan, Solanum kabur dari dapur. Oryza mengerutkan kening. merasa aneh ditinggal sendirian secara mendadak. Apaaapaan sih ini...?

Belum selesai kaget Oryza, terdengar suara bel yang keras sampai ke dapur. Tapi Oryza tidak tertarik membuka pintu. Dia naik ke kamar Xander dengan pikiran tak fokus. Di mana Xander? Oryza mau mengajak Xander pergi ke tempat lain. Tidak tinggal di rumah ini! Rumah gila seakan akan melanggar hak hidup Oryza. memberikan pikiran-pikiran sinting kepadanya. Saatnya rehat sebentar.

Zea berjalan tergopoh-gopoh ke depan. membuka pintu.

Di luar. tampak Pax berdiri. terengah engah. Mukanya pucat pasi seperti kekurangan darah. Keringat berhamburan.

"Halo, Pax!" sapa Zea manis. Nada suaranya diisi dengan segenap kegembiraan. Dia tak percaya bisa bertemu kembali dengan Pax setelah sekian lama pria itu menghilang.

"Apa kabar? Sudah lama nggak bertemu. Ke mana aja?"

Masih terbayang golok yang diacungkan Zea. Pax menekan rasa traumanya.

"Kabar baik. Belakangan ini aku sibuk. Apa kabar juga, Kaka"

"Kabar baik. Pax. Senang sekali melihat kamu berada di jakarta. Aku punya kabar bagus."

"Oya? Kabar apa?"

"Kabar bagus tentang pernikahan.' Zea tersenyum manis.

Pax kelihatan bingung.

Zea melanjutkan dengan nada yang pelan dan lembut.

"Bakal ada pesta pernikahan di keluarga ini, Pax."

Pax masih menebak-nebak. Otaknya belum lancar mengurai kalimat yang diucapkan Zea.

"Ini akan menjadi pesta pernikahan yang indah. Aku harap kamu mau hadir untuk merestui. Oryza pasti sangat menghargai kedatanganmu, Pax."

Detik itu adalah saat Pax tersentak dari tidur ala Putri Saljunya Mata Zea menerawang seakan-akan menembus tubuh Pax.

"Ya ampun, aku bahagia sekali sampai sesak napas. Mereka kelihatan serasi seperti telah diciptakan untuk satu sama lain selamanya. Sebenarnya Oryza tidak terlalu suka waktu Dadi mengumumkannya. tapi aku yakin lama-lama dia pasti juga setuju."

Suara Pax menggeram. Kemarahannya naik ke ubun-ubun.

"Xander..."

"Xander? Dia sepertinya kappyakappy aja dengan rencana ini."

"Di. Mana. Xander. Sekarang?

"Xander? Dia baru pulang kerja. Sepertinya dia sudah pergi lagi sama Oryza. Aku nggak tahu ke mana... Lho... Pax?" Giliran mata Zea yang menyipit. Dia memindai Pax dari atas ke bawah.

"Kamu... kamu kena radiasi Cherenkov? Kok biru-biru seperti itu?"

Pax menenangkan dirinya yang nyaris meledak karena naik pitam. Tatapan Zea membuatnya sulit berkonsentrasi. Matimatian Pax menahan dengus napasnya yang terdengar seperti bison hendak menyebrang padang stepa. Ini bukan peristiwa yang ingin dikenangnya. Dia berkata kepada Zea, susah payah.

"T... terima kasih buat infonya... Aku balik dulu."

Bicara Pax tidak bisa tenang lagi. Dia berlari ke depan pagar. tempat mobilnya diparkir. Malam yang hening dibelah deru mobil Pax yang melaju dengan kecepatan tinggi. Ditinggal Pax. Zea menganga takjub. Tangannya bergerak naik, menutup mulutnya yang terbuka.

Tak lama Samudra muncul dari belakang punggung Zea. ikutikutan melongok ke luar pintu.

"Siapa yang datang tadi, Ze?"

"Pax."

Zea melempar pandangan ke kebun sebelum menutup pintu. Tidak ada siapa-siapa lagi di sana.

"Dia ingin tau rencana pernikahan Dadi dan Aqua. Kelihatannya dia bersemangat sekali." Zea tersenyum sambil mengunci pintu.

"Oryza beruntung punya teman sebaik Pax. Lelaki tampan yang bisa diandalkan."

"Seharusnya Oryza juga mempunyai semangat sebesar Pax. Dadi sebenarnya cemas. Ze. Oryza terlalu sensitif."

"Oryza selalu sensitif dan penuh ledakan emosi, Dad. Persis Mom." Zea menoleh.

"Apakah Dadi bisa berkonsultasi sama Pak Budianto besok? Tentang Oryza."

Tidak ada jawaban. Wajah Samudra terlihat ragu-ragu dan tidak nyaman. Zea langsung membaca pikiran ayahnya.

"Ada apa, Dadi?"

"Dadi sudah malas pergi ke Budianto. Sejak sama Aqua. hari Dadi nggak pernah bersedih lagi." Samudra menatap Zea dengan riang.

"Besok Dadi mau mengajak Aqua ke Ancol. Dadi nggak mau pergi ke tempat konsultasi itu lagi. Membosankan."

Zea tersenyum dengan sorot mata bayi.

"Kalau begitu, saya harus beritahu Sola supaya dia membatalkan janji temu dengan Pak Budianto."

"Lakukan, Ze."

Zea berjalan meninggalkan Samudra di ruang depan. Dia melewati beberapa jendela di sepanjang lorong sebelum naik ke atas tangga. Kamar Sola terletak tidak jauh dari kamar Xander.

Nasib kadang menggambarkan keadaan yang di luar rencana. Hidup Zea jauh melenceng dari yang pernah dia rancang sebelumnya. Sambil berjalan. Zea menggelengkan kepalanya sendiri. tersenyum-senyum. Sudahlah, pikirnya ringan. Yang dulu cukup disapu bersih dan dibuang ke tong sampah. Sekarang yang terpenting adalah masa depannya bersama Gus.

Pintu kamar Solanum muncul di depan hidungnya. Zea mengetuk pintu.

"Sola?" '

"Masuk."

Zea membukanya dan langsung masuk. Sebenarnya kamar Solanum tidak pernah terkunci, tapi kebiasaan mengetuk adalah ajaran sopan santun yang Mom selalu ajarkan kepada anak-anaknya.

Pintu terentang terbuka.

Zea tidak jadi masuk.

Dia berdiri terpaku di depan pintu.

Kamar Solanum membuatnya terkejut. Seluruh lantai penuh dengan potongan-potongan foto, robekan-robekan koran, kliping, dan kertas-kertas catatan. Solanum duduk di lantai. bersila, memandangi artikel-artikel tersebut. Zea berdeham.

"Dadi nggak mau pergi ke klinik Pak Budianto besok. Bisa bantu cancel perjanjiannya?"

"Nggak masalah." Solanum tidak mengangkat wajahnya.

"Thanks, Sola."

"Sama-sama, Kak."

Zea menelengkan kepalanya.

"Kamu..." Zea terdiam, mencari kata-kata yang tepat "...lagi ngapain sih?"

"Aku lagi bekerja." Solanum mendongak sejenak. seperti tersadar, tapi dia kembali tenggelam dalam pekerjaannya.

"Itu semua... foto dan kliping berita tentang Oryza?"

Solanum tertawa kecil. Air mukanya berubah menjadi merah padam.

"Lihat, foto yang ini keren ya. Ini kliping berita waktu dia menjuarai Olimpiade Matematika waktu SMA. Yang ini waktu dia ikut seminar HRD. Wajahnya nggak beda sejak sejak SMA sampai sekarang. Selalu cute. Manis. Awet muda."

"Oryza selalu manis kalau tersenyum seperti itu. Kalau dia cemberut. wajahnya masam."

"Aku suka rambutnya. Dia cocok kalau rok pendek dan gaun babydoll seperti ini. Bodyrnya mungil. Pas. Dan yang ini juga..."

Zea mengangguk'angguk menanggapi.

Solanum menoleh. memandang Zen. Kakaknya sedang menatapnya dengan pandangan bingung. Solanum terdiam. Dia

lebih bingung lagi dengan perasaannya. ini memang gila. Sinting. Edan. Gombal. Nggak masuk akal. Solanum sendiri tidak

mengerti. Ditatap kakaknya seperti itu, dia pengin buru-buru mengalihkan perhatian.

"Aku mau menelepon Pak Budianto sekarang aja deh."

Zea merespons dengan senyum dan berlalu. Solanum mengangkat ponselnya dan memencet beberapa nomor.

"Halo? Pak Budianto? Ayah saya. Samudra Raya tidak bisa datang ke klinik besok. Dadi kelihatannya sudah bahagia dan gembira dalam satu kali terapi dengan Bapak. Bapak hebat deh! Saya halo? Halo?"

Solanum mendekatkan telepon di telinganya.

"Pak Budianto, kenapa menangis? Nggak kok, Pak Budianto nggak kehilangan pasien. Cup. cup. jangan sedih, Pak. Saya justru sedang mengajukan diri untuk menjadi pasien Pak Budianto. iya. saya. Saya akan menggantikan ayah saya. Apa? oh, kenapa saya? Saya nggak bisa membicarakan urusan ini di telepon. Besok pagi, jam seperti biasa? Baiklah."

Solanum mematikan telepon. Bibirnya susah mengukir senyum dan kedua alisnya sulit bercerai. Karena terus-menerus dikelilingi rasa gelisah. dia melemparkan diri ke ranjang. berbaring telentang. Solanum mulai terganggu dengan perasaan yang terus-menerus menyelusup. Mungkinkah dia terlalu keras bekerja? Terlalu keras bekerja sampai-sampai dia...

Eh.

Solanum menelan ludah.

...naksir kakak kandung sendiri?

Pemandangan langit-langit di matanya mulai terlihat samarsamar.

***

Dokter Lukas menopang dagu mendengar cerita Oryza. Di sebelahnya, Xander duduk sambil membolak'balik majalah mobil.

Dia beberapa kali tidak memperhatikan omongan serius antara Oryza dan Dokter Lukas. Majalah ini membahas tentang aksesori mobil yang menarik perhatiannya.

"Kemungkinan besar mereka terkena sihir."

Mata Oryza membelalak.

"Saya juga merasa seperti itu. Dok."

"Tapi kenapa Zea' ' Alis Dokter Luka berkerut.

"Siapa yang nggak suka sama Zea sampai menjodohkannya dengan Gus?"

"Zea nggak punya musuh sama sekali. Dia disukai sama semua orang. Kakak yang manis dan baik hati."

"Itu dia. Tapi perhatikan, Oryza. Zea selalu yang menjadi korban."

"Betul juga." Oryza menunduk beberapa jeda.

"Jadi bagaimana mengembalikan mereka ke keadaan yang normal lagi?" gumamnya.

"Saya belum tahu. Saya harus mengambil contoh darahnya untuk dilihat di bawah mikroskop."

"Darah?"

"Iya. darah." Dokter Lukas menekan kata "darah" dengan tegas.

"Selain penyihir, saya juga dokter. Karena itu saya butuh sampel darah."

Oryza mengangguk-angguk. Xander masih tenggelam dalam bacaannya.

***

Sudah beberapa hari Aqua mencari bridal yang cocok untuk kebutuhan pernikahannya. Dia sudah mengunjungi nyaris seluruh bridal yang direkomendasikan oleh kakaknya. Tidak ada yang cocok. Macam'macam seleranya yang salah. Kali ini, dia akan datang mengunjungi bridal yang direkomendasikan oleh Strawberi.

'Kenapa nggak mau pake adat jawa?"

"Ribet. Ini perkawinan kedua bagi Mas Samudra. Dia maunya yang simpel dan sederhana. Perkawinan ala Eropa lebih gampang. Kalau Gus sih maunya adat Jawa. Seperti biasa Zea selalu setuju pada perkataan Gus."

Srrawberi menunjuk gaun yang dikenakan manekin.

"Kalau yang itu bagaimana?"

"Hmmm...." Mata Aqua memandangi gaun pengantin dari atas sampai ke bawah.

"Gue..."

Terdengar suara teriakan marah yang memutuskan selera Aqua memilih gaun.

"Kata nenek bau pepes ikan asin itu Strawberi ke sini! jangan pura-pura nggak kenal ya!"

Hening.

Strawberi melongokkan kepalanya ke luar.

"Ada apa sih? Kayak suara Pax."

Aqua melepaskan tangan yang sedang menilik gaun pengantin berwarna putih pucat.

"Kamu benar, Mangga. Itu rasanya suara Pax. Kita keluar sebelum si lumba'lumba lumutan itu memalukan seluruh kelompok penyihir di sini."

Mereka berdua berjalan melewati beberapa manekin yang berdiri di tengah-tengah ruangan menuju ke arah pintu penghubung yang membawa mereka ke beranda toko bridal. Tampak Pax yang mukanya berwarna ungu karena marah. melotot memandangi penjaga di balik meja kasir. Mereka saling mengacungkan tOngkat sihir di depan wajah masing-masing.

'Di sini bukan restoran. Kami mengurus pengantin. Ada jas warna hitam..."

"GUE UDAH BILANG NGGAK MAU BELI JAS! GUE MAU KETEMU SAMA STRAWBERI!"

Strawberi maju ke tengah ruangan.

"Hei, Pax. Ngapain teriakteriak nyari gue?"

Pax menoleh cepat. Air mukanya langsung terlihat kaget. bingung, bercampur lega. Dia menjauhkan tongkat sihirnya namun lelaki yang berada di depannya tidak bersedia menurunkan tongkat sihirnya sama sekali. Dia malah mengacungkan tongkatnya semakin tinggi ke arah Pax.

"Sudah. sudahlah. Aima.Ngak usah terlalu tegang. Ini teman saya. Dia juga penyihir seperti kita semua."

Lelaki yang disapa Aima menurunkan tongkat sihirnya. Pax mendelik ke arah Aima berulang kali sebelum perhatiannya terarah kepada Strawberi'.

"Nah, Pax," decak Strawberi. 'Kenapa mencari gue?"

"Siapa kamu?" tanya Pax ketus. Dahinya bergabung menjadi satu.

"Android versi terbaru? ZT-2000? Kesurupan roh?"

"Nggak. Nek, ini gue. Gue. Strawberi. Asli, nggak buka cabang. Gue baru meng-upgrade diri gue sendiri."

"Meng-upgrade diri sendiri dengan ber-elu gue sama aku?"

"Kenapa nggak bisa? Harus! Toh ini zaman BlackBerry. Jangan berpurapura nggak kenal gue kayak Oryza."

***

"Ternyata dia masih keterusan gila. Neneknya aja sarap. Generik itu menurun rupanya." Pax bergumam sendiri. seperti bermonolog beberapa saat. Untung Strawberi tidak mendengar. Akhirnya Pax yakin gadis yang berada di ruangan bridal ini adalah Strawberi'. Kelihatan dari caranya menggaruk pipi.

"Si kutil bulat bundar Xander bakal menikah dengan Oryza."

"Maksudnya?" Suara Strawberi meninggi'.

"Begitulah kata Zea beberapa hari yang lalu." Pax mendengus.

"Ada pernikahan, kata Zea, dan kelihatannya Oryza nggak bahagia dengan pernikahan ini. Aku mencari-cari Xander tapi nggak pernah ketemu. Akhirnya aku ke rumahmu. Strawberi, dan ketemu dengan makhluk uzur berkalang tanah itu..."

"Kalau sedang menjelaskan, ya jelaskan saja. Nggak usah pake acara menghina nenek gue."

"Aku ngomong sesuai kenyataan."

"Sebentar. Sebentar," Aqua buru-buru melerai. Kelihatannya Strawberi sudah ingin melempar satu lemari penuh dengan gaun pengantin ke arah Pax.
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu beneran mendengar langsung dari Zea sendiri?"

"Zea bilang seperti itu. Bakal ada pernikahan. Titik. Pernikahan apa lagi kalau bukan Oryza dan Frankenstein abad 21?"

"Wah!" seru Strawberi cepat, lebih cepat daripada reaksi Aqua."Kalau begitu kita berdua harus menggagalkan pernikahan mereka. Kita harus membuat Oryza amit-amit seratus turunan sama Xander yayangku."

"Rencanaku sih juga seperti itu."

Strawberi mengajak Pax duduk di sofa panjang berwarna hijau laut. Aqua mengambil kursi untuk ikut duduk di sebelah Strawberi. Mereka duduk berdua, memandangi Pax.

"Lu punya rencana supaya Xander melupakan Oryza?"

"Punya?

"Seperti apa?"

"Aku punya teknik menyihir baru."

"Maksudnya jampi-jampi baru?"

"Mantra hebat."

Alis Aqua naik. Suaranya menurun.

"Mantra seperti apa? '

"Namanya agak sedikit aneh. Aku mempelajarinya lama sekali. Beberapa bulan."

Strawberi merapikan rambutnya. jelaskan dong.

Untuk pertama kalinya sejak berada di Jakarta lagi. Pax senyum simpul. Dia senang membicarakan kemampuan barunya.

"Jadi ceritanya begini..."

***

Musim gugur sepertinya pindah ke Indonesia ketika Pax pertama kalinya memasuki kota kecil itu. Ada danau luas yang terbentang di sebelah kiri pepohonan dengan sinar-sinar keemasan yang dipantulkan cahaya matahari. Angin tropis bertiup di atas kepala Pax, seolah-olah hendak mengganggu rambutnya. Udara di sekelilingnya beraroma rumput basah dan matahari menyembul malu malu dari sela sela daun menghangatkan sekeliling. Pax berdiri kokoh di sebelah gerumbulan semak, memandang bangunan yang berbentuk seperti kubus di depan matanya.

Gedung kubus itu tampak berbeda di tengah tengah hutan aneh ini. Pintu, gerbang, ornamen, dan hiasan yang menempel di gedung tersebut seakan'akan berlomba'lomba hendak menampilkan diri sebagai yang terkilau. Tidak ada kata sederhana yang pantas dilekatkan pada bangunan kubus ini. Pax menghela napas lega. Dia sudah mencari selama berhari-hari. Berjalan jauh, tersesat. Kebingungan. Kehujanan. Dikejar anjing hutan. Kesulitan mencari toilet bersih...

"Jorok. Nggak perlu menyebut-nyebut toilet."

"Aduh. aku lagi cerita. Jangan dipotong-potong."

"Kalau bertele-tele kayak gitu, gue bisa ketiduran."

"Aku persingkat. Intinya, aku mencari-cari para penyihir cendekia yang pandai merapal ilmu-ilmu sihir tingkat lanjut. Aku ingin berguru dan belajar dari mereka. Tahu sendiri kan. tidak ada sekolah sihir yang mumpuni di Indonesia."

"Ke luar negeri aja."

"Belum punya uang. Aku lagi menabung buat belajar di sekolah sihir Inggris."

"Niat sekali."

"Harus. Semua usaha dimulai dari niat."

**

Pax membetulkan posisi tongkat sihirnya. Dia berdiri berhadaphadapan dengan seorang penyihir berambut putih dan berserat mata tajam. Satu kaki Pax tertekuk dan tangannya lurus mengacung. Angin dingin menerpa rambutnya, membuatnya menggigil. Dia berusaha keras tetap bertahan dengan posisinya. Penyihir itu sedang merapal beberapa mantra sihir.

"Siap?"

"Siap, Guru."

"Mantra sihir kali ini adalah total pengeluaran domestik dari vektor Kegoritma, dihitung dari interval yang tak sama menciptakan lengkung Produksi Bruto di atas Mendolian Fixed Income. Mari asumsi bahwa LJ dan L2 adalah Nilai Kotor, berarti modul Yoyo Zelebin dikalikan dengan Teori Platonik dalam Garis Equalibrium dan Lelalo Quantum. Semua perhitungan akan diambahkan dengan tarif sebesar 56% yang akan kita temukan dari..."

mengalami perdarahan telinga.

Strawberi dan Aqua tertawa hingga terguling-guling "Bagus, ketawa aja terus. Mau dilanjutin nggak?"

"Mau."

"Then shut up and look beautiful."

"Siap, Pak Dosen!"

Semua penyihir cendekia yang ditemui Pax punya seribu satu teknik menyihir yang berbeda-beda. Beberapa menyambut kedatangan Pax dengan dahi berkerut dan tidak ramah. Mereka memberikan jampi-jampi yang kacau dan sengaja membuat Pax salah menyihir. Pernah Pax diberi rapalan sihir menjadi ulat bulu, ada juga yang mengajarkan Pax mengebom dirinya sendiri sampai rambutnya hangus dan kepalanya hitam. Ada juga yang mengajarkan resep membuat larutan yang membuatnya menjadi pendek seukuran anjing Chihuahua. Beberapa penyihir cendekia yang baik memberikan teknik-teknik menyihir kepada Pax. tapi sejauh itu. Pax tidak menemukan jampi-jampi yang dapat dikategorikan luar biasa. Rata-rata dia dapat menguasainya tanpa kesulitan berarti.

Karena itu. ketika dia bertemu dengan sang guru satu ini, Pax terpesona. Pertama, penyihir tua ini sama sekali tidak judes. Dia menerima Pax dengan tangan terbuka di rumahnya yang berantakan dan penuh debu. Pax tidak dicuekin selama berjam-jam, tidak juga disengat listrik. apalagi dilempar ke kuburan. Kedua, penyihir itu bilang dia bersedia menjadi guru Pax. mengajarkan beberapa rapalan sihirnya yang terkenal dan hebat.

Pax terenyak. Dia tersanjung dengan kerendahhatian dan ke relaan sang guru. Dengan rela dia tinggal di rumah itu selama beberapa hari, membantu-bantu kebutuhan gurunya selama pembelajaran berlangsung. Dia bangun jam tiga pagi, menyapu kandang sapi-sapi yang dimiliki sang guru. Jumlahnya lima belas. Dia juga menenteng dan memeras sapi satu demi satu untuk susu segar yang mereka nikmati dan untuk persediaan pasar. Sang guru pandai mengolah susu menjadi es krim, dan es krim-es krim itu disihir dengan rasa yang lezat untuk dijual lagi.

Rumah itu berada di puncak bukit. Setiap senja dan subuh, matahari seperti hinggap dan duduk di atas bubungan pohonpohon yang berderet seperti pagar pembatas antara rumah sang guru dengan tetangganya. Sebenarnya Pax betah berada di sana. Pax selalu betah berada di kampung-kampung dan daerah daerah terpencil yang dia kunjungi. Kalau tidak rindu setengah mati pada Oryza, Pax malas pulang.

Pagi ini. Pax menemukan gurunya sedang duduk tenang menghadap ke barat. Kakinya disila dan matanya terpejam. Tongkat sihir tergeletak di depannya.

"Guru," tanya Pax sopan.

"Kapan Guru akan mengajari saya rapalan sihir yang diberi nama Pukulan'Antena'Parabola-yang Melilit'

Sang Guru membuka matanya sebelah, memandang Pax dengan tatapan aneh.

"Saya tidak pernah mendengar mantra sihir seperti itu. Saya hanya tahu rapalan sihir Cuaca yang-Berubah ubah-Tanpa-Mengikuti=Musim."

"Baiklah." Pipi Pax memerah. 'Yang itu. Saya tadi sudah hampir mengucapkannya, tapi salah sedikit."

Sang guru menutup matanya lagi, kembali tenggelam dalam latihan pernapasannya. Pax masih penasaran. Dia duduk di sebelah sang guru. Di ujung barat, matahari mulai berubah warna

menjadi Keemasan dan tergelincir cepat ke balik perbatasan pohon-pohon.

"Kamu harus bayar."

Pax mendelik dengan cepat.

"Bayar? ' tanyanya.

"Mata uang yang kami terima adalah dolar Amerika."

Pax merasakan ubun'ubun kemarahannya tumbuh secepat matahari bersinar.

"Dolar Amerika? Untuk mantra aneh yang nggak jelas ini?"

"Diskon sepuluh persen kalau bayar di muka."

Pax merengut dengan kebingungan mahahebat. Dia tidak bawa dolar. Di sakunya hanya ada uang rupiah. Bagaimana mencari alasan untuk mengatakan hal itu? Sebab, sejujurnya dia sangat tertarik untuk mengenal dan mempelajari mantra... apa kata lelaki tua ini? Mantra-Cuaca-yang Berubah-ubah-Tanpa Mengikuti-Musim? Hmm, menarik.

'Bagaimana kalau bayar pake rupiah?" tanyanya menawar.

Sang guru mendesah. Desahan napasnya langsung terbaca oleh Pax.

"Saya tidak punya dolar Amerika." Pax menarik napas, berdoa semoga wajah sedihnya membangkitkan rasa simpati.

"Bagaimana kalau tetap dibayar dengan rupiah?"

Sang guru mendesah lagi. Pax menunggu.

"Baiklah. Kita hitung ke dalam kurs dolar Amerika."

"Saya kasih DP dulu tiga puluh persen, sisanya nanti saya bayarkan lewat transfer setelah mantra tersebut sudah saya pelajari."

Sang guru mendesah untuk yang ketiga kalinya.

"Kenapa?" tanya Pax cemas.

"Keberatan?"

"Begini saja," ralat sang guru.

"DP lima puluh persen dan

sisanya dibayar lewat transfer. Ini adalah penawaran mati, tidak ada kompromi lagi. Take it or leave it."

Strawberi tertawa terbahak-bahak. Matanya membesar tidak percaya. penuh dengan air mata.

"Gile, man. Gue baru tahu ada penyihir yang membisniskan mantra sihirnya seperti itu."

"Biasa aja lagi. Di Surabaya, ada sekolah sihir yang berani kasih diskon tiga puluh persen kalau menggunakan kartu kredit tertentu. Juga ada yang buy two get! one free."

Strawberi terkesima.

"Sinting."

"Nggak juga sih kalau kamu udah biasa melihat bisnis seperti ini."

Pax menjulurkan kakinya.

"Mau diterusin atau tidak?"

"Lanjoooot!"

"Mantra ini didedikasikan untuk mengenali musim yang selalu berganti-ganti di seluruh dunia, termasuk gejalagejala alam yang memengaruhi musim. Mantra ini selalu dipertahankan oleh para penyihir yang mempelajari teknik mengenal bumi. Kaum nonpenyihir menyebutnya ilmu geografi; kami para penyihir belajar lebih dalam daripada ilmu geografi. Para penyihir ingin menembus misteri musim. jika kedalaman misteri musim telah berhasil dikuasai, diharapkan para penyihir mendapatkan pencerahan menuju keabadian."

Pax terpesona dan bingung pada saat bersamaan. 'Oooh...' katanya pelan. kehilangan kata'kata untuk menjawab.

***

"D... dalem '

"Memang." Sang guru berkata dengan intonasi yang terjaga. Dia tidak bergerak sedikit pun dari posisi berdirinya.

"Kami adalah para penyihir yang dekat dengan alam. Mantra ini dimulai dari dongeng berabad-abad lampau yang bercerita tentang seorang penyihir, bernama Nii. nenek moyang kami, yang berhasil bertemu dengan Dewa Musim. Mereka berdua jatuh

cinta. Rasa jatuh cinta membuat Dewa Musim mabuk kepayang dan menciptakan urutan musim yang kacau balau. Keadaan itu membuat bumi gonjang-ganjing dan dilanda air bah."

Sang guru terdiam beberapa jeda.

Pax ikut menahan napas.

"Untunglah semua sudah berakhir. Nii berhasil menguasai mantra kekuatan Dewa Musim. Ketika dia mati, dia memilih menjadi rumput untuk menyuburkan bumi. Atas jasanya, Nii diangkat oleh dewa-dewi menjadi Dewi Embun."

Radar Pax segera bekerja. Ini bukan pelajaran mantra yang biasa-biasa saja. Kalau dia bisa menguasainya dengan baik, dia akan menjadi semacam keturunan... Dewa? Begitukah maksudnya?

"Apakah kamu siap secara fisik?"

"Ya."

"Apakah mentalmu juga sehat? '

"Ya."

"Suka gigitin kuku? '

"Eh... enggak."

"Bagus. Sebelum kita mengenal Mantra Cuaca-yang-Berubah ubah-Tanpa-Mengikuti-Musim, kamu harus menguasai Mantra Teori-Kupu-kupu-dalam musim."

"Kupu-kupu?"

"Pernah dengar sains kaum jelata yang judulnya Butterfly Effect?"

Pax menggeleng dan mengangguk bersamaan.

"Butterfly (fen adalah metafora yang menjelaskan konsep ketergantungan yang sensitif pada awal peristiwa dalam teori chaos. Betul nggak. Guru?" tanyanya ragu-ragu.

"Betul. Misalnya. kepak kecil kupu-kupu di India bisa menghasilkan badai di Amerika. Chaos theory oleh kaum Jelata mengajarkan bahwa kejadian kecil bisa menghasilkan akibat yang

besar di urutannya. Teori ini dikembangkan oleh para penyihir dalam menciptakan mantra Musim. Selama tercipta chaos, penyihir yang berpengalaman memanfaatkan efek itu untuk menghasilkan mantra istimewa."

"Seperti...?"

"Seperti ini..

Tangan sang guru terjulur. Tongkat sihirnya menciptakan gerakan menusuk di udara beberapa kali di berbagai tempat. Mendadak awan-awan berkumpul di langit, persis di atas kepalanya. Guntur menggelegar.

"Lihat semak-semak di pagar itu?"

Tongkat sihirnya berputar di atas kepala, lalu langsung melesat. mengacung tegak lurus. Awan-awan di atas kepalanya berpindah, mengikuti petunjuk tongkat. Di atas gerumbulan semak, kilat meluncur turun dengan kecepatan tinggi dari awan-awan itu, langsung menghajar gerumbulan semak, membakarnya. Menghanguskannya.

Pax terpesona.

"Wow."

"Keren, kan?" Sang guru berputar, menatapnya. Tangannya terbentang ke kiri dan kanan.

"Kamu pikir dari mana kesuburan tanah ini berasal? Musim yang selalu ramah dengan para petani? Kami tidak pernah mengalami kekeringan karena para penyihir mengontrol musim di tanah ini."

"Kedengarannya hebat. Daerah yang mengatur cuaca sendiri."

"Belajar mantranya gampang nggak sih?"

"Susah."

"Berapa lama lu di sana?"

'Penuh perjuangan. Sekitar sepuluh hari, setelah aku hangus terbakar petir berkali-kali."

Pax memandang kanvas di depannya dengan tatapan serius. Cat air berwarna-warni bertebaran di sana-sini. Wajahnya sendiri penuh dengan cipratan cat kuning dan merah. Di lengannya biru dan campuran abu-abu. Sekeliling kakinya, tube cat berserakan.

Pax menelengkan kepalanya.

'Bagaimana yang ini, Guru?"

'Bagus. Penuh improvisasi. Lukisanmu sepertinya berjenis ekspresionisme."

"Apa-apaan?" Strawberi melotot heran.

"Lu belajar melukis atau belajar mantra penyihir sih?"

"Aku belajar melukis biar karyaku bisa dijual. Uangku tidak cukup buat bayar kursus mantra yang supermahal."

"Oh, macam mana penyihir yang belajar jadi pelukis supaya tetap bisa menjadi penyihir?"

"Setelah belajar melukis mati-matian dan dompet yang semakin kempes, aku berhasil mempelajari mantra hebat itu."

"Mengagumkan."

"Caramu itu unik."

Mendadak Pax berdiri. Matanya lurus memandang pintu keluar. Dia bergerak dengan air muka sengsara, hilir-mudik ke sana kemari di ruangan itu. Aqua dan Strawberi memandangnya terheran-heran.

"Aku mau pergi dan mencari Xander." Pax sebal kalau menyebut nama itu. Nama Xander membuat seluruh dirinya dipenuhi kemarahan yang tak bisa dihentikan.

"Dia harus bertanggungjawab atas berita nggak jelas ini."

"Betul! Xander harus bertanggung jawab!" Strawberi memanas-manasi situasi.

Melihat Srrawberi marah. Pax menjadi semakin bersemangat. Dia mencak-mencak.

"Aku pengin mengisap darahnya sampai habis!"

Tanpa ada aba-aba, Pax berderap keluar meninggalkan ruangan. Tidak ada kalimat yang sempat meluncur dari blbir Strawberi dan Aqua. Ditinggalkan Pax, mereka berdua berpandangan. Aqua masih terdiam. bingung.

"Jadi, dia pergi begitu aja setelah bercerita panjang lebar tadi?"

Srrawberi tidak berkata apa-apa.

"Aku nggak pernah bisa nyambung sama lelaki itu." cetus Aqua.

"Coba tengok, dia tergopoh-gopoh sampai nggak bawa tasnya."

"Nggak heran Oryza nggak pernah naksir dia."

"Orang aneh."

"Kenapa sih kita ngerjain Pax? Membiarkan dia dengan kesalahan informasi?"

Strawberi tertawa berderai'derai.

"Sebenarnya aku nggak tega menipunya."

"Dia mengira Oryza menikah dengan Xander."

"Padahal bukan."

"Iseng banget deh." Aqua menjotos dahi Strawberi dengan gemas.

"Biarin." Strawberi memeluk Aqua.

"Gue mau lihat kekacawan ini bakal berujung di mana. Gue mau lihat seberapa kuat cinta seseorang kepada kekasihnya."

**

SEPASANG suami-istri keluar dari ruangan klinik psikolog yang berpakaian serbakotak dan tampak rileks. Solanum masuk dari lorong yang terletak paling ujung. Dia mampir di toilet dulu. merasakan hawa gamang memenuhi seluruh dirinya. Tanpa sadar Solanum menggigil. Dia bersandar pada tembok. berusaha agar tidak jatuh. Kakinya lemas.

Ruangan psikolog ini indah. Kenapa dia tidak memperhatikan waktu dia mengantar ayahnya? Dia berjalan dengan langkah gemetar. Matanya memandangi karpet berwarna merah. Sudah sering dia melihat karpet seperti ini di gedung-gedung perkantoran, tapi rasanya dia belum berhasil mengenal warna merah yang terhampar di lantai.

Biar saja, hari ini dia perlu bertemu dengan Pak Budianto. Begitu banyak pertanyaan yang ada di dalam benaknya, yang berdesak'desakan keluar. Pintu ruang psikolog terbuka lalu menutup lagi. Sekretaris Pak Budianto keluar. mengangguk kepada Solanum. Ini dia, Solanum menarik napas. Dia sudah diundang untuk masuk ke dalam ruangan.

Semoga nanti kalau pulang. dia tidak Derlu pulang dengan

perasaan yang sama seperti sekarang: Jantung yang berdebardebar.

"Selamat pagi," sapa Pak Budianto ramah.

"Selamat pagi," jawab Solanum berusaha mengendalikan suaranya yang mendadak serak, tidak seperti biasanya.

"Nona Solanum." Pak Budianto mengulurkan tangannya. Genggaman psikolog itu hangat dan mengalirkan tenaga. Detik itu juga Solanum yakin, Pak Budianto pastilah seorang pengihir juga dengan level yang tinggi. Bisa dirasakan dari kehangatan energi yang dia simpan di tubuh.

"Senang bisa bertemu lagi. Silakan duduk."

Ketika Solanum duduk di sofa bedengan empuk itu, dia melihat Pak Budianto bersandar di kursinya dengan gerakan nyaman.

"Ayahmu sudah sembuh total?"

"Sepertinya begitu. Dia akan menikah dalam waktu dekat." Solanum mengusap-usap pahanya dengan telapak tangan. Dia terlihat cemas.

"Saya minta maaf Dadi tidak bisa datang hari ini. Dia merasa tak perlu berkonsultasi lagi."

"Begitu ya? Saya takjub mendengar kesembuhan ayahmu yang sangat cepat." Pak Budianto memandang wajah Solanum lekatlekat.

"Memang. Fantastis. bukan? Saya juga kaget. Tidak menyangka bisa secepat itu. Semuanya seperti disihir."

Pak Budianto tersenyum memandang Solanum. Betul perasaan Solanum, Pak Budianto pasti seorang penyihir. Ketika dia menyisipkan kata sihir, ada pendar kilat dari mata Pak Budianto yang Solanum tangkap. Seakan-akan mereka sedang saling mengirimkan kode rahasia.

"Begitulah," cetus Pak Budianto dengan raut wajah tenang. Suaranya tetap terjaga. tidak ada reaksi yang berlebihan dari sana.

"Senang mendengar pasien saya sudah sembuh. Sekarang. apa yang bisa saya bantu?"

Solanum sibuk menenangkan debar jantung dan keringat dingin yang mengganggu dahinya. Dia mengambil napas sesaat, menyiapkan suara yang tidak bakal pecah berantakan dengan noraknya.

"Begini, Pak... Baru-baru ini saya... kedatangan perasaan suka yang berlebihan "

"Naksir?"

Solanum berdeham.

"Ya, mungkin. Saya juga nggak mengerti dengan perasaan ini."

"Dengan siapa?"

"Dengan kakak saya."

"Kakak ketemu gede?"

"Kakak kandung."

Pak Budianto diam sebentar. Solanum duduk dengan perasaan penuh getar.

"Perasaan suka ini seperti..." Budianto mencari'cari kata yang tepat.

"Dorongan atau keinginan untuk melindungi?"
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya... nggak."

Pak Budianto memandang Solanum sambil melipat bibirnya.

"jujur saja, saya tidak mengerti maksudmu. Coba. kamu jelaskan dengan lebih detail."

**

Xander berjalan malas'malasan melewati lapangan parkir gedung perkantoran Animal Control Ragunania. Dari jauh, matanya sudah melihat mobil van penyok-penyok yang diparkir dengan posisi miring. Tsungta berjalan dari arah yang berbeda, juga bergerak ke arah mobil.

"Pagi," sapa Xander kepada Tsungta. sambil memakai kacamata hitamnya.

"Pagi." Tsungta sudah memakai kacamata hitam.

Mereka melirik mobil dengan tatapan malas. Tsungra menelan ludah.

"Siap kerja hari ini?"

"Nggak. Kamu?"

"Sama. Nggak."

Kedua pintu mobil berdetak keras ketika Tsungta membuka pintu di sebelah kiri. Hari ini Xander yang akan duduk di kursi pilot. Bunyi detak terdengar semakin keras ketika Xander menutupnya dengan sekali tarik. Dia menyalakan mesin.

"Aku rasa kemarin itu cuma kebetulan doang."

"Betul juga. Rasanya nggak mungkin Jakarta punya masalah hewan separah kayak itu. Kemarin nggak sengaja."

"Yeah. Benar, benar. Aku rasa juga begitu."

"Begitu ya?" Tsungta berusaha menyumbang harapan.

"Hmmm..." Xander menekan pedal gas. Mesin menderu, terbatuk-batuk beberapa saat, lalu mati total. Xander memandang Tsungta dengan tatapan putus asa.

"Aku jadi ragu?

"Apalagi Kami."

Xander mencoba menyalakan mesin sekali lagi. Mesin mobil mengeluarkan bunyi ngik ngok-ngik-ngok keras. Di antara suarasuara aneh itu. terdengar suara panggilan di radio.

"Kami malas angkat."

"Angkat deh!" Xander mulai menyetir mobil keluar dari lapangan parkir.

"Nanti kita nggak dapat bayaran. Aku udah capek bermain tembak-tembakan dengan orangutan kemarin. Pokoknya aku mau dapat gajiku!"

Tsungta menarik kabel radio. mendekatkan ke mulutnya.

"Mau apa?" bentaknya.

"Tim delapan, memanggil tim delapan."

"Iya, tim delapan di sini. Ada apa?!"

"Kode Alfa 670. Jalan Merdeka dan kelokan Jalan Nanas."

"Oke. Dimengerti." Tsungra meletakkan kembali radio di posisi

semula. Dia mencari buku petunjuk dan membacanya cepat untuk Xander.

"Kode Alfa 670. Artinya tygnus atralus sumnermsis menciptakan masalah dengan penduduk."

"Apa sih tygnus atralus sumnermsis? '

"Semacam angsa hitam spesis langka dari Selandia Baru dan kepulawan Chatham. Nyaris punah."

"Kalau nyaris punah, kenapa bisa terdampar di jalan raya seperti itu? Terus menciptakan masalah dengan penduduk pula?"

"Nggak tau deh."

Xander menghela napas.

"Kedengarannya sih nggak terlalu gawat. Tuh angsa langka nggak segede unta dan nggak segalak singa yang kemarin, kan?"

"Seharusnya nggak sih." jawaban datang dari Tsungta penuh dengan nada bimbang.

"Eh, sebenarnya, Kami punya firasat."

"Oya? Firasat apa? Firasat baik atau buruk? '

"Coba tebaklah." Tsungta mendengus.

"jenis firasat baik atau burukkah buat pekerjaan ini?"

Xander menelan ludah.

Tsungta nyengir nggak jelas.

"Ini cuma pekerjaan," cetus Xander sambil mendesis.

"Setuju. Brad."


Wiro Sableng 173 Roh Jemputan Fear Street Adik Tiri Ii Stepsister Ii Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini