Ceritasilat Novel Online

Ramuan Drama Cinta 3

Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng Bagian 3



"Kalau udah kelar kontrak, aku nggak bakal lanjutin."

"Kami juga. Brad."

Xander menatap Tsungta sekilas. Lelaki itu balas melawan tatapannya. Dia memang tak bisa lega selama berada di dalam mobil butut ini, menuju suatu tempat yang tidak jelas, dengan tujuan mengurus binatang dari benua Australia yang nggak jelas juga.

"Ngapain sih raja mesti kerja? Kerajaanmu bangkrut?" tanya Xander tanpa tedeng aling-aling. Dia memutuskan untuk ngomong blak-blakan dengan pemimpin nyentrik ini.

Tsunqta menjadi merah padam wajahnya.

"Eh..." serunya

kikuk, menggaruk rambutnya.

"Ada cewek ini... yang sudah Kami taksir dari dulu..:

Mendadak Xander ingat obrolannya dengan Nuna. Sialan! Tentu saja! Lelaki gokil ini bekerja supaya punya uang buat kencan dengan Nuna.

"Nggak usah dilanjutin..." jawabnya cepat, memotong perkataan Tsungta. Dia membelokkan mobil dengan kecepatan tinggi karena emosi. Tapi sayangnya, mobil ini nggak bisa bergerak dengan kecepatan lebih dari 40 km per jam. Dia hanya merayap pelan.

"Kita udah di Jalan Nanas."

"Kami selalu suka dengan dia. Dari dulu. Waktu dia menerima ajakan kencan Kami, rasanya Kami... Kami... Kami..." Tsungta mendadak kaku. Tangannya mengacung.

"LIHAT, ITU DI SANA! MAMPUS KITA!"

Mereka berdua mematung di kursi masing-masing. Tak mampu bergerak. Apalagi bernapas. Terkutuklah semua yang bisa dikutuk.

**

Pak Budianto menunggu jawaban Solanum. Posisi duduk Solanum sudah setengah rebah di sofa. Napasnya panjang-panjang, seakan-akan dia takut lupa bernapas.

"Apakah ini cuma stres biasa? ' erang Solanum

"Rasanya bukan sekadar stres biasa. Saya kenal pasien-pasien saya yang sudah jelas terkena stres. Tapi mendengar cerita dan pengakuanmu. saya tidak bisa melihat tekanan atau stres."

"Artinya?

"Kamu memiliki orientasi seksual lesbian."

Solanum terjengit.

"Orientasi apa?"

"Kamu lesbian yang saya tebak bakal melakukan inses."

Solanum langsung duduk dengan tegak. Sejenak suasana hening sehingga bunyi AC pun terdengar jelas. Budianto menduga Solanum akan sedih, tapi ternyata tidak.

"Saya! Bukan! Lesbian! Pak!"

Air mukanya tersinggung berat. Berani-beraninya psikolog ini menghinanya!

"Itu kan kesimpulan dari apa yang saya dengar selama tadi. Monologmu..."

Solanum duduk tegak, masih sambil merengut.

"Saya suka sama lelaki. Catat nih, Pak." Wajahnya masam.

"Saya selalu doyan lelaki. Dari dulu sampai sekarang."

"Hmmm... begitu?" Budianto membetulkan kacamatanya. Dia memandang Solanum dengan tatapan bingung. Astaga, anak dan bapaknya memang sama. Otaknya sama-sama nggak beres. Air dari cucuran atap jatuhnya di ember cucian juga.

Solanum tidak suka ditatap seperti itu.

"Bapak salah mengambil kesimpulan kalau menganggap saya lesbian."

"Bagaimana kalau biseksual?"

"NGGAK MUNGKIN? ' Muka Solanum menggelap seperti warna kopi.

"Saya nggak pernah tertarik dengan perempuan mana pun. Dari dulu saya selalu naksir lelaki. Masalah yang saya hadapi sekarang adalah ketertarikan saya dengan kakak perempuan saya. Hanya dia satu-satunya, nggak ada cewek lain! Mengerti, Pak?"

"Saya nggak mengerti." Budianto menggeleng.

"Sejak kapan? '

"Semuanya terjadi secara tiba-tiba."

Budianto mengerutkan alisnya.

"Tiba-tiba? Apa ada perubahan mendadak dalam keluargamu? Sesuatu yang membuatmu berubah?" '

"Perubahan mendadak? Begini, ayah saya bakal menikah dengan cewek yang usianya seumuran dengan anaknya."

Kerutan dahi Budianto langsung hilang. digantikan roman

muka yang biasanya dia pasang Ketika berhadapan dengan Samudra. Roman muka yang menyiratkan rasa heran setengah mati, tapi juga serius.

"Itu perubahan besar sekali."

Senyum Solanum menipis.

"Yah, nggak terlalu besar kok. Bagi keluarga kami, semuanya kelihatan wajar seperti hari-hari biasa yang aman sentosa."

Budianto berdeham dengan cara yang dia tahu mengesankan ketika berhadapan dengan klien.

"Hmmm Setiap kejadian mengakibatkan efek bagi yang lain."

"Jadi aku seharusnya bagaimana?" Solanum kaget, ternyata suaranya melengking.

Budiantor mengusap dagunya.

"Saya yakin kamu mengalami Freuddianisme Raya, reaksi alam bawah sadar dengan yang terjadi di keluargamu, keluarga Raya."

Solanum tidak menyahut. Dia berusaha keras tidak memandang lantai. Dia merasa begitu kesal dengan keadaannya, begitu tak berdaya. Solanum tak tampak seperti cewek yang biasanya. dingin dan beku.

"Kamu harus mengikuti terapi."

Dengan ragu-ragu, Solanum bertanya,

"Terapi seperti apa?"

"Kamu sempat curhat nggak ke kakakmu?"

Solanum menatapnya sambil membisu.

"Sola?" Budianto mengamati gadis ini dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Gila! jelas nggak!" Solanum sadar, suaranya memang menjadi lantang, lebih lantang daripada biasanya. Tapi dia tidak dapat menahan diri. Kepalanya mendidih. Tadi dia merasa dingin, lalu panas. Panas banget. Bolak-balik, kayak demam.

"Bagus," jawab Budianto. Wajahnya menjadi merah karena bergairah. Dia mengalami hari yang sangat menyenangkan bersama keluarga Raya. Kemarin ayahnya, sekarang anak perempuannya. Komplet.

"jangan bilang apa-apa sama kakak perempuanmu dulu."

"Oke."

"Untuk konsultasinya..." Budianto bergumam, melanjutkan kalimatnya.

"Bagaimana kalau kita ketemu seminggu tiga kali?"

Solanum terlihat lega. Mata dinginnya menyorot tajam lagi.

"Berarti bisa disembuhkan? Saya nggak keberatan kalau harus bertemu setiap hari."

**

Mobil penyok itu masih meluncur walaupun Xander sudah menekan rem sedalam-dalamnya. Tsungta mendekatkan kepala ke kaca depan mobil sambil melotot, tidak percaya pada penglihatannya. Mereka sedang memandang seekor angsa hitam sedang bersembunyi di balik rimbun rerumputan. Terdengar suaranya yang menjerit-jerit histeris.

"Kasihan," cetus Tsungta.

"Angsa ini pengin lepas."

Lamunan Xander tentang bekerja menggunakan jas hitam dan ruangan berAC dan wangi dengan interior yang keren hilang sudah. Dia menatap angsa hitam itu dengan pandangan kesal. Pekerjaan ini bisa membunuh dirinya.

"Kita harus mengusir orangorang itu dan meyakinkan bahwa ini adalah angsa yang sudah nyaris punah."

"Bagaimana caranya-.*"

Xander diam. Bengong

"Kita harus menunjukkan wibawa bahwa kita dari Animal Control Ragunania. Ada kartu pengenal?" Tsungta meraba-raba laci mobil.

"Di sini nggak ada."

Kalimat ini menyusup di kepala Xander dengan jitu. Dia baru sadar, mereka berdua tidak pernah dibekali info apa pun. Xander menjulurkan kepalanya keluar.

"Mobil ini ada logo Animal Control Ragunania kok. Nggak perlu kartu pengenal."

Benar-benar nggak jelas. Di tengah-tengah kondisi yang makin nggak jelas. radio di atas kepala Tsungta berbunyi lagi. Tsungta mengangkatnya dengan ogah-ogahan.

"Tim delapan di sini!"

"Tim delapan. sudah berada di lokasi?"

"Sudah."

"Jangan membuat hewan terluka seperti kemarin. Hewan ini adalah hewan yang sangat langka. Diberikan oleh pemerintah Selandia Baru."

Tsungta menghela napas, memuntahkan kekesalannya di udara.

"Roger?

"ingat, nggak boleh ada lecet sedikit pun. Nggak boleh kayak orangutan kemarin yang ditembak, dibius, diseret. Tidak boleh ada luka sedikit pun. Angsa hitam adalah jenis yang paling lemah dari semua jenis .Mereka gampang sekali mati kalau shock atau kecapekan. Jangan dikejar-kejar atau ditakut-takuti. Kalau angsa itu mati, nyawa kalian akan menjadi taruhannya. Mengerti?"

Napas Xander memburu. Dia menyambar radio yang dipegang Tsungta tanpa izin terlebih dahulu. Kemarahannya langsung muncrat tanpa bisa dihentikan.

"KALAU HEWAN LANGKA KENAPA BISA ADA DI JALAN NANAS SIH?! GOBLOK!"

**

Setelah pulang kantor. Oryza ingin mendekam seharian di kamar. Dia tidak mau ke mana-mana lagi. Tadi ajakan temanteman kantornya untuk menonton bioskop ditolaknya. Dia malas keluar kamar, malas melihat kakak perempuannya. Zea

jadi kelihatan aneh. dengan gaya jatuh cintanya yang bikin Oryza mual.

Oryza keluar kamar hanya karena ingin ke dapur, mengambil air. Tenggorakannya haus. Sialnya, dia bertemu dengan seseorang.

":..beli dengan tiga kali lipat harganya juga nggak apa-apa. Aku tahu kakakku. Dia pasti bahagia sekali menerima hadiah itu dari kamu."

"Ide yang sangat, bagus, Solanum Tuberosum Raya! Cintaku kepada Zea sangat besar. Aku rela membeli apa pun untuk kekasih cintaku."

Mau nggak mau, mendengar percakapan yang agak absurd, membuat Oryza berhenti di tengah jalan. Tatapannya terbentur pada Solanum dan Gus.

"Oryza"

Oryza terdiam, mematung. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya untuk membalas ucapan salam Gus.

"Permisi..." Gus tersenyum lebar. berusaha bersikap ramah dengan calon adik iparnya.

"Boleh aku bertemu dengan kekasih jiwaku? Di manakah Zea sekarang-?'

Untuk alasan yang tidak jelas, Solanum tersipu. Dia melempar ratap ke lantai, berusaha menghindari pandangan mata Oryza kepadanya. Jantungnya terbirit-birit berbunyi riuh bagai tetabuhan orkestra, komplet dengan suara nyanyian asmara tentang cinta.

Mulut Oryza masih membeku. Sulit menerima kenyataan ada lelaki yang asing yang mencari kakaknya seperti mencari celana dalam yang hilang.

'Zea di klinik dokter hewan ya?"

Oryza hanya sanggup mengangguk cepat.

Gus tertawa lepas.

"Baiklah. Aku akan segera ke sana. Permisi. gadis-gadis yang cantik." Tanpa dipersilakan, Gus sudah menghilang ke ruang belakang menuju klinik dari kebun belakang. Seakan-akan dia sudah menjadi bagian dari keluarga Raya selama bertahun-tahun.

Oryza memandang punggung Gus. Dia masih terpana. tak bergerak.

"Buset. Kayak kedatangan presiden Amerika," gerutunya.

Solanum tersenyum lebar. merasa lucu mendengar ucapan Oryza. Dia memaksakan pandangannya ke arah Oryza. tapi merasa pipinya terbakar dengan cepat. Aduh, kenapa dia baru sadar betapa manisnya Oryza?

"Sola!" Oryza menegakkan kepalanya. Dia menyipitkan mata.

"Aku kenal banget tatapan matamu yang kayak gitu."

Solanum gelagapan sedikit. Hah? Tatapan mata? Seperti apa tatapan matanya? Jantungnya semakin berdebar-debar tidak keruan.

"Apaan?"

"Matamu membuat jidatmu seperti billboard gede yang judulnya NAFSU."

Solanum tertawa salah tingkah.

Sejujurnya, Solanum pengin kabur ke dapur, lalu bersembunyi di dalam kulkas. Dengan kikuk, dia berdiri di pinggir ruang makan tanpa melakukan apaapa, sementara Oryza sedang menatapnya dengan penuh selidik.

"Kamu berhasil memorot Gus tadi? Berhasil meyuruh dia beli apartemen buat Zea?"

"Apartemen?

"Huh, kelihatan lagi." Oryza menarik napas panjang'panjang. Dia mendesah.

"Nafsu kepengin kaya udah menyala lagi di jidatmu.

Mulut Solanum langsung terbuka lebar. Hah, hah? Bagaimana? Bagaimana? Oh! Tentu saja! Bodohnya dia.

"Apartemen! Cool. maksudmu tadi apartemen?"

Giliran Oryza yang memandang Solanum dengan pandangan bingung.

"Tentu saja. Maksudnya apartemen."

Solanum mengembuskan napas lega. Untung Oryza tidak membahas lebih lanjut soal jidatnya yang bersinar NAFSU dengan definisi lain.

" Aku tadi mengihami Gus supaya membelikan apartemen Da Vinci."

"Da Vinci." Oryza tersedak. Dia menatap Solanum seakanakan di raut wajahnya akan terbaca apakah adiknya serius atau bercanda.

"Apartemen mewah di Sudirman itu."

"Wuih hebat. Kamu memang jago morotin cowok." Oryza tertawa ala iblis. Dia merasa ada yang tetap aneh pada tatapan adiknya. Dia berhenti tertawa tiba-riba.

"Sol? Are you all right?"

"Oh." Solanum kaget karena malu ditanya mendadak.

"Chumha sihress ajha."

"Plis ngomong yang benar dong.'

"Cuma stres kayaknya. Barubaru ini kubaca di majalah, stres bisa membuat orang menjadi gila sementara. It's okay. I'm okay. Nggak usah terlalu dipikirin."

Oryza mendekati Solanum, meremas bahu kanan adiknya. Penampilan Solanum selalu dingin dan menjaga jarak membuatnya sedikit ragu. Sejak kecil. Oryza jarang berdekat-dekatan secara hangat dengannya. Solanum tidak pernah sehangat Zea. Atau Mom. Tapi kali ini tumben... Solanum membiarkan dirinya dirangkul olehnya.

"Kasihan kamu," bisik Oryza penuh perhatian. Pelukan ini membuat suasana lebih hangat lagi daripada biasanya.

"Urusan kawin pasti bikin kamu frustrasi."

"Iya." Solanum berusaha bersikap santai. tapi sentuhan kakaknya di bahu membuatnya deg-degan setengah mati. Dengan

cemas, Solanum mengendalikan degup jantungnya yang berdebur keras sekali. Ini sinting sekali. Mustahil memiliki perasaan yang kacau seperti ini. Dia bergumam bingung,

"Parah."

"Aku juga."

"Sabar ya. pasti semua urusan bakal beres. sis."

Oryza memasang senyumannya yang paling manis. Sambil menarik bahu Solanum, dia memeluknya erat. Oryza berbisik dengan lembut di telinga Solanum.

"Jangan kuatir, Sol, kita akan menghentikan kegilaan ini. Pernikahan Dadi. Pernikahan Zea. Dan..." Ada sesuatu yang salah. Oryza menegang dalam pelukan Solanum.

"Sola?"

"Hmmm?"

"Kamu mencium telingaku." Oryza mengerutkan kening. Dia mendorong Solanum-matanya membelalak. 'Geli."

"Oh!" Solanum mendadak terbatuk-batuk begitu parah sehingga air mukanya menjadi memerah daripada lidahnya.

Oryza bengong menatap perubahan sikap adiknya yang mendadak itu. Segala sesuatu sepertinya nggak keruan, seakanakan ada orang yang mencuri hal-hal normal yang biasanya berjalan di muka bumi ini.

"Amit-amit mencium telingamu!" Solanum menyibakkan rambutnya. jantungnya berdetak semakin kencang.

"Udah deh. jangan lebay."

Oryza masih membelalakkan matanya karena kaget. Apa? Lebay? Dia ingin mengguncang dirinya sendiri supaya tersadar. Mungkin sekarang dia berada di alam mimpi.

"Aku cabut dulu ya."

Dengan kuatir Oryza menoleh kepada Solanum yang sudah menghilang cepat. Adiknya kabur terbirit-birit, meninggalkan Oryza berdiri dengan tatapan bengong akut.

"KU lapar."

**

Xander menyetir susah payah di antara suara raungan angsa. Setelah nyaris sepuluh jam mereka berusaha mati-matian agar angsa tersebut tidak perlu ditembak, dibius. dicekik, diseret, dikejar, atau ditarik. Bahkan menurut informasi dari Animal Control Ragunania, angsa hitam itu tidak boleh... catat baik-baik... tidak boleh DISENTUH agar bulu-bulu indahnya tidak rontok.

Jadilah mereka merayu angsa itu agar naik ke pick up. Tidak ada yang berani menangkapnya langsung dengan tangan. apalagi mengejar-ngejarnya.

"Kita goreng saja angsa itu."

"jadiin sup."

"Pasti enak."

Mereka berdua tertawa histeris.

"Kami bisa gila." Tsungta menghela napas.

"Sekarang Kami beneran lapar, Bro."

Xander melirik jam tangannya. Sudah jam tujuh malam, dan mereka belum makan malam sama sekali. Perutnya juga keroncongan.

Ada warung dekat dekat sini. mau makan di sana:

"Oke. Bro."

"Sebenarnya Kami kepengin makan nasi tim bebek."

"Oh." Bibir Xander merengut.

"Aku kenal yang masak di sana?

"Penyihir juga?"

"Penyihir sarap."

"Kenapa begitu? '

"Karena dia tergila-gila sama aku."

Tsungta nyengir.

"Ternyata banyak cewek yang suka sama kamu."

"Bukan salahku kalau mereka mengejar-ngejar aku."

"Kamu harus menghormati mereka yang naksir sama kamu. Bukan salah mereka juga kalau mereka jatuh cinta. Cobalah berada di posisi mereka. Pasti nggak menyenangkan bertepuk sebelah tangan."

"Astaga. Ternyata kamu bijaksana juga."

Xander menyetir dengan hati-hati. melewati jalanan yang gelap. Dia hafal daerah sini karena... Tunggu. Ke mana dia mau pergi? Ke warung Nuna? Oh, astaga! Kenapa lagi dia lupa bahwa makhluk sinting yang duduk di sebelahnya ini adalah lelaki yang bakal berkencan dengan Nuna? Tapi setelah dua hari bersama Tsungta, kelihatannya lelaki ini adalah lelaki yang tidak sepenuhnya sakit jiwa. Terlepas dia seorang raja, dia bisa bersikap koperatif dan ramah juga.

"Kami kayaknya tabu daerah ini." Tsungta membaca plang jalan.
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"jalan Kebun Rawit. Ini jalan menuju... hmmm. apa ya?"

Xandet terus menyetir dan mulai memarkir kendaraan itu di pinggir jalan tanpa berkata apa-apa. Perutnya lapar. Warung Nuna berada di depan matanya. Tampak beberapa orang sedang makan di bangku-bangku kayu yang panjang dari ujung ke ujung.

Nuna melihat dua sosok yang dikenalnya menghampiri warung makannya. Dahinya seketika berlipat. Alisnya menyatu. Dia berlari keluar dari posisinya di dapur.

"Xander!" sapanya tegang. Dia menoleh ke arah Tsungta. Bengong menatap keduanya yang masih berkacamata hitam. Padahal di luar sudah gelap. 'Tsungta? Kalian... ada apa ini malam'malam datang?"

Xander berusaha mencairkan keadaan. Nuna melotot memandangi Tsungta dan Xander bolak balik. Tsungta terlalu terkejut ketemu dengan Nuna. Dia blingsatan menyembunyikan wajahnya yang tersipu-sipu. Terakhir dia tahu alamat ini ketika tim kerajaannya berusaha menculik Nuna.

"Nggak ada apa-apa." cetusnya.

"Kami baru selesai kerja. Sekarang lapar."

"Kerja?" Nuna menelengkan kepalanya.

"Kalian bekerja di satu perusahaan?"

"Animal Control Ragunania." Mengucapkan kalimat itu tidak membuat Xander bangga. Dia menunjuk Tsungta dengan dagunya.

"ini partnerku."

"Animal Control Ragunania?" tanya Nuna heran.

"Pekerjaan macam apa itu? '

"Semacam menyelamatkan hewan-hewan yang terlepas atau bermasalah di daerah jakarta dan sekitarnya. Seharusnya ada delapan orang yang bekerja di tim ini. Tapi karena... eh. pentingnya pekerjaan ini, maka seleksinya sangat ketat. Jadi, hanya kami berdua yang " Xander menelan ludah,

"...terpilih."

"Wah." Nuna berdecak.

"Kedengarannya hebat."

"Top abis." Xander duduk di salah satu kursi, mengelap keringatnya.

"Tsungta ini... boleh juga. Kami ketemu banyak malapetaka. tapi hanya Tsungta yang berhasil menyelamatkan situasi. Seperti kasus yang barusan tadi di Gang Kepo Dalem."

Tsungta mendelik.

"Plis deh. Itu cuma aniimal."

"Dia berani sekali menangkap hewan itu hidup-hidup dengan tangannya."

"Uhhhh... Anjing tua umur dua puluh satu tahun. Udah kena penyakit paru-paru dan nggak punya gigi."

"Tanpa memikirkan bahayanya. dia melompat..."

"Anjingnya mati dalam perjalanan ke rumah sakit. Kena serangan jantung."

"...dan kota Jakarta aman lagi dari gigitan anjing galak."

Nuna berjalan masuk ke dapur. Bibirnya tersenyum lebar. Inilah keajaiban alam semesta. Dua cowok yang satu bakalan berkencan dengannya. dan satu lagi yang ditaksirny'a habis habisan datang ke warungnya malam ini.

"Hebat banget deh kamu." katanya kepada Tsungta yang kelihatannya menyesal sekali berada di sana.

"Pada mau makan apa nih? '

"Nasi goreng aja."

"Sama."

"Eh, Bro," panggil Xander.

"Bisa bantuin aku lihat si angsa? Janganjangan kekurangan oksigen di mobil butut itu. Nanti dia pingsan."

"Iya."Tsungta berdiri dari kursi dan berjalan ke luar warung.

"Kalian menangkap angsa."

"Cygnus atrarus sumnerensisf'

"Itu apa?"

"Angsa dari Selandia Baru."

"Huaduh."

"Begitulah pekerjaan kami. Menarik, ya? Sumpah deh. sejak aku kerja sama pacarmu. menurutku dia cowok yang oke banget dan nggak manja. Kami benar-benar bisa nyambung dan puas mengobrol ngalor'ngidul."

"Oooh..." Hening sejenak.

"Jadi. kamu setuju kan aku jalan sama dia?"

"Enggak."

"Lho? Gimana sih? Tadi bilang begini, terus bilang begitu."

"Kalau aku suka sama dia bukan berarti kamu bakal suka sama dia juga. kan? '

"Huh?"

Hape Xander berbunyi keras. Nama "Oryza" berkedip-kedip di layar. Nuna melengos. berpurapura tidak melihat pemandangan di depan matanya. Xander mengangkat telepon tersebut dengan ogah-ogahan

Terdengar suara Oryza di ujung sana.

'Xander, aku udah bicara sekali lagi dengan Dokter Lukas. Selain tes darah, katanya dia mau mengecek kondisi kesehatan Zea. Memang sepertinya ada yang nggak beres. Nggak mungkin orang normal mendadak kebelet kawin seperti itu."

Xander mencomot kerupuk, mengunyahnya pelan-pelan. Butuh kesabaran untuk mendengarkan omongan Oryza yang kecepatannya mengalahkan raungan kapal tempur pengintai F-22 Raptor.

"Ngomong-ngomong, kok belum pulang?"

"Aku lagi makan malam di Warung Nuna. Tanggung. Tadi habis menangkap cygnus atmtus sumnerensis."

"Apa itu?"

"Ya, itu deh. Jenis unggas-unggasan... semacam angsa dari Selandia Baru." Muka Xander agak berubah seperti wajah patung Asmat membayangkan perjuangannya menangkap angsa favorit itu. Malas menjelaskannya kepada Oryza. Lagian cewek itu pasti ngak akan bersimpati padanya.

"Anyway, nggak penting banget. Lanjutan aja ceritamu."

"Hmm... apa ya?" Oryza masih mengumpulkan konsentrasi. Dia sempat bengong sesaat waktu mendengarkan jenis unggas yang diucapkan dengan sempurna oleh Xander.

"Oya, tadi Gus mampir ke rumah."

Sejujurnya Xander ingin menguap. Dia lelah. capek, dan mengantuk. Tapi karena Xander tidak mau dituduh Oryza tidak peduli dengan situasi yang kacau ini, dia memutuskan untuk bertanya dengan lebih cerdas,

"Mau apa dia?"

"Cuma mau ketemu sama Zea."

"Terus?"

"Terus mereka berduaan. Pacaran." Mulut Oryza melengkung ke bawah.

"Kok kedengarannya kamu cemburu?"

"Cemburu sama unta? Gila apa! Aku nggak cemburu."

"Hahahaha."

Untuk pertama kalinya sepanjang hari yang melelahkan itu, Xander berhasil tertawa mendengar suara nyinyir Oryza.

Sementara Xander asyik dengan pembicaraannya bersama Oryza, Nuna kembali dari dapur membawa dua piring nasi goreng. Satu diletakkan di depan Tsungta dan satu lagi di depan Xander. Xander tidak memperhatikan apa yang terjadi. Dia menopang dagu, sambil sibuk bertelepon dengan Oryza.

"Pekerjaannya enak?" tanya Nuna berbasa-basi kepada Tsungta.

Enak? Tsungta menjilat bibir. Kata "enak" yang dicetuskan Nuna nggak pas banget. Tsungta langsung mendadak ingin mencari air suci buat cuci muka.

"Lumayan deh," katanya.

"Terberkatilah Kami yang semobil sama Xander."

Nuna tertawa. Xander masih mengobrol di telepon.

**

Aqua membaca wajah gelisah Strawberi. Siapa yang tidak gelisah kalau lelaki yang kamu taksir sejak lama ternyata tidak memiliki perasaan secuil pun untukmu? Aqua telah menemukan cinta sejatinya di hati Samudra. Dia menyadari bahwa cinta yang terindah adalah cinta yang dipertemukan satu sama lain. Bukan bertepuk sebelah tangan saja.

"Jadi ingat ya. Ajak dia ngobrol hal-hal yang cerdas dan berat. Misalnya berdiskusi tentang sistem elektoral pemerintah penyihir di Jepang. Atau membacakan syair Pablo Neruda. Sudah hafal belum syairnya?"

Strawberi mengangguk.

"Coba bacakan sekarang."

Strawberi memperbaiki penampilannya. Dia mengusap rambut dan menegakkan dagu.

'Love is so short. forgetting is so long. Because through nights like this on: I held her in my arms my soul is not satisfied that it has lost her. Though this be the last pain that she makes me and these the last verses that I write for her."

"Kata her diganti dengan him. Biar jelas ditujukan buat Xander."

"Oke."

"Bagus." Dahi Aqua berkerut sambil menyilangkan tangan di dada. Dia memandang Strawberi dari atas ke bawah.

"Kamu sebenarnya cewek yang menarik. Bisa dapetin cowok penyihir mana pun yang kamu mau. Cakep. Jago menyihir. Bisa masak nasi tim bebek, pula."

"Cewek lain juga cakep, jago menyihir, dan bisa masak."

"Ini bukan sembarang nasi tim bebek. Ini nasi tim bebek yang terkenal se-Jakarta. Bahkan Indonesia!"

'Pentingkah itu?" Strawberi mengibaskan rambutnya dengan lemas.

"Penting!" Aqua memeluk Strawberi dengan gerakan sayang.

"Nah, udah pede belum? Udah. kan? Aku mengebel pintu sekarang."

Aqua mengucapkan mantra, dan bel gerbang langsung berbunyi sangat nyaring seperti suara mobil pemadam kebakaran. Mereka menunggu beberapa saat. Aqua mulai berpikir untuk membuat kunci duplikat supaya dia tidak harus mengebel rumah setiap saat dia bertandang. Bukankah ini akan menjadi rumahnya juga? Terlihat Solanum berjalan keluar di teras.

"Ya? Ada apa?" tanya Solanum angkuh.

"Strawberi mau ketemu Xander. Aku mau ketemu Samudra."

Solanum melipat tangan di dadanya.

"Dua-duanya lagi nggak ada di rumah."

Dahi Aqua berkerut.

"Samudra nggak bilang apa-apa dia nggak ada di rumah."

"Dadi pergi dari tadi."

Aqua mengeluarkan tongkat sihirnya. Sekali merapal, dompetnya muncul di tangan satunya lagi. Dia mencabut beberapa helai ratusan ribu. Disodorkan uang itu kepada Solanum dengan gerakan kikuk.

"Di mana Samudra?" tanyanya dengan nada lebih manis.

Solanum menyambar lembaran uang dengan cepat, menghitungnya, lalu langsung memasukkan ke kantong baju. Seringainya melebar dari ujung ke ujung.

"Kubilang dari tadi." katanya lemah lembut.

"Aku nggak tahu di mana Dadi dan Xander. Telepon dulu dong sebelum mau mampir."

Sesudah berkata seperti itu, Solanum berbalik dan kabur.

Strawberi memandang Aqua dengan tatapan prihatin. Aqua menggeram.

"Keparat! Aku mau bakar rumah ini."

"Sayang, ini bakal jadi rumahmu."

"Kalau aku memantrai cewek itu gimana?"

"Cewek itu bakal jadi anak tirimu, Sayang."

"Ah, sialan! Kampret."

"Mau aku yang melakukannya?"

"Apa?"

"Merapal sihir buruk ke Sola."

"Oh!" Mata Aqua berbinar terang.

**

Pax memasukkan mobilnya ke dalam parkiran di tempat kosnya. Dia mengunci pintu pagar dari luar, berhati-hati agar tidak berisik. Ibu kosnya suka cerewet kalau anak-anak kos berisik dengan pintu pagar. Setelah meyakinkan pagar sudah terkunci. Pax berjalan di trotoar. Tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana panjang.

Hatinya pecah berantakan. Hari ini adalah hari terakhir artinya, besok dia sudah harus ke kantor lagi. Rasanya malas sekali pergi bertemu dengan bosnya yang sering marah-marah kalau keadaan kantor kacau balau. Kalau hari ini dia tidak berhasil juga bertemu dengan Oryza setelah berminggu-minggu menghilang, dia memutuskan untuk melupakan Oryza selamanya.

Pax heran, kenapa walaupun dia berkali'kali tersakiti, dia tetap tidak dapat melepaskan Oryza. Seperti tidak ada cewek lain di dunia ini saja. Cuma Oryza yang memenuhi pikiran dan menghangatkan hatinya. Kalau saja dia bisa berguru pada penyihir yang dapat memantrai hati agar bisa melenyapkan rasa jatuh cinta, pasti sudah dilakukannya sedari dulu.

Apakah dia harus menjadi kucing hitam terus-menerus agar dapat selalu berdekatan dengan Oryza? Oryza tidak pernah melirik dirinya. Dia ingat percakapan antara dia dan Oryza saat makan malam berdua di satu restoran:

**

"Xander lelaki yang menyebalkan."

"Kalau dia menyebalkan. tinggalkan dia."

"Aku nggak bisa meninggalkan dia."

"Kenapa? '

Oryza diam.

Oryza selalu diam kalau Pax menembak hal itu. Diam. Diam. Hanya diam. Tidak ada secelah ruang pun yang Oryza bisa berikan untuk Pax. Hati Oryza seakan'akan telah dipenuhi oleh lelaki menyebalkan itu. Xander. Dia membayangkan suatu percakapan yang berbeda.

"Xander lelaki yang menyebalkan."

"Kalau dia menyebalkan. tinggalkan dia."

"Aku mau meninggalkan dia."

"Beneran?"

"Beneran."

"Kenapa? '

"Karena aku mau sama kamu, Pax. Aku mencintaimu diamdiam."

"Aku juga mencintaimu diam-diam. Selalu."

Malam sudah turun sedari tadi. Pax mau pulang ke kamar Oryza, tidur bergelung di sebelahnya. Di atas ranjangnya. Dia kangen sekali. Seandainya dia bisa terus begini bersama Oryza tanpa perlu menjadi Dakocan. Berjalan menunduk, Pax pelanpelan merapal deretan mantra. Tidak perlu sampai semenit, seluruh eksistensinya sebagai manusia lenyap. Tinggal seekor kucing hitam yang ekornya tegak menjulang ke atas. berlari ke

arah timur.

**

Xander sedang menyetir mobil bobrok itu dengan damai mendengar teriakan Tsungta meledak persis di telinganya.

"ITU DIA! YANG TERSUCI!"

Tsungta melompat keluar dari sebelum sempat dicegah oleh Xander. Mobil seketika miring karena pintu yang dibuka terlepas dan terjatuh di aspal. Terhuyung huyung Xander berusaha menghentikan mobil di pinggir jalan. Suara brot-brot-brot terdengar dari dalam mesin.

"YANG TERSUCIII!"

Mata Xander membelalak. Di depannya, Pax... eh. Dakocan, sedang dalam posisi seperti-unta-kesemprot-lampu-jarak-jauh truk-gandeng sementara Tsungta berlari dengan kecepatan penuh ke arahnya. Dalam hitungan sepesekian detik, mata Xander dan Pax bertabrakan.

"Tsungta!" teriak Xander.

"Ada meteor! Ada meteor! Awasss!"

Tsungta menoleh.

"Apa?"

Detik itu juga Dakocan langsung mengubah diri menjadi Pax.

"Nggak jadi deh."

Tsungta berbalik. Kucing yang ditujunya sudah tidak ada di tempat lagi. Kini tampak Pax berdiri tegak telanjang bulat di trotoar dengan wajah yang tidak terbaca. Tsungta celingukan. mencari kucing yang tadi berada di sana. Xander keluar dari mobil dengan gerakan hati'hati. Pintu bagian sopir sudah rombeng. jangan sampai deritnya yang keras menjatuhkan engselnya.

"Pax!" panggil Xander berpura-pura ramah sambil melempar beberapa baju ke arah Pax. Baju hasil sihir yang dilakukan dengan gerak cepat. Sebenarnya Xander tidak mau membantu Pax sama sekali. Dia tahu kenapa Pax mengubah diri menjadi Dakocan. Pasti lelaki idiot itu hendak menyelinap ke kamar Oryza dan tidur di sana.

Pax menunduk, mengenakan baju dengan cepat. Dia memandang Xander dengan tatapan yang terarah lurus. Matanya memancarkan murka dan bara.

"Xander." panggilnya dingin.

"Gue sakit hati."

Xander menyipitkan mata.

"Setelah hilang berhari-hari. kata pertama lu adalah sakit hati?"

Pax mengeluarkan tongkat sihir dengan gerakan luwes. Tatapannya tetap tidak berpindah. Dia mengangkat tongkat sihirnya tinggi-tinggi ke langit. Dia mulai merapal deretan mantra yang rumit.

Langit mendadak menggelap. Segerombolan awal berbaris datang dengan cepat. Angin bertiup kencang seakan badai telah tiba di depan mata.

Tsungta mendongak memandang angkasa.

"Langit gelap sekali."

"Itu karena kacamata hitammu."

"Kacamata hitamku sudah kubuka. Langit tetap gelap."

"Apa-apaan sih ini?"

Gerimis turun pelan-pelan.

Xander ikut ikutan mendongak.

Pax mendesis,

"Mantra-Teori-Kupu-Kupu-dalam-Musim!"

Awan berbentuk seperti gumpalan kabut yang padat berkumpul. bergulunggulung dengan cepat. Di tengahnya, ada lubang bak donat. Dari tengah lubang itu. petir menggelegar turun meluncur dari langit ke tempat Xander berdiri tegak.

"Eh?"

Dalam kecepatan satu detik kalau Xander tidak menghindar, maka petir itu segera menghantamnya. Gelombang kilatnya menghantam trotoar tempat Xander berdiri. Daerah situ langsung hangus dan berlubang. Pecahan semen berserakan.

"Sumpah, jenius banget lu. meledakkan trotoar di depan semua orang!"

Tsungta masih mendongak menatap langit.

"Awan-awan itu

nggak mau pergi," gumamnya kepada diri sendiri, tapi cukup jelas terdengar oleh Xander. Lelaki itu kembali mendongak.

"Kayak ada mengatur pergerakannya."

Petir menggelegar lagi dari atas langit. turun meluncur dengan kecepatan luar biasa tinggi. Arahnya... tentu saja ke arah Xander.

'AAAAARRRGGGHHHH....' Xander melompat, berputar. bersalto di udara.

"SIAAALLL..."

"Dia mengontrol cuaca, Xander!"

Tsungta berlari menuju mobil, langsung masuk ke bagian sopir. Dibantingnya pintu kuat-kuat walaupun bunyinya seperti kaleng rombeng. Hujan mendadak turun deras. Tsungta masih berhasil memasuki mobil tanpa tepercik air sedikit pun. Tapi hujan membuat Xander basah kuyup.

"Xander!" teriak Tsungta.

"Sini, masuk ke mobil!"

Xander menoleh mendengar panggilan Tsungta. Dia berlari ke mobil dengan perasaan campur aduk. Sialan Pax. sialan. Dasar kucing budak berbau busuk.
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tancap!" Xander masuk ke mobil, kuyup kena air hujan. Rambutnya yang basah meneteskan air di kursi.

"Ngebuuuut!"

"Nggak bisa ngebut, dodol. Lu tau sendiri kecepatannya segini doang."

"Tekan gas kuat-kuat."

"Ini udah! Udah sampe abis!"

"Nggak bisa apa'apa lagi? Kami kan penyihir!"

"Apa? Seperti menjampi-jampi mobil ini supaya bisa terbang? Kami mau aja sih. Tapi menurut peraturan..."

"Helooo... Kalau lagi kepepet kayak gini, nggak usah mikirin peraturan!"

Xander mengeluarkan tongkat sihirnya. Dia mengeluarkan kepala dari pintu. diacungkan tongkat sihir persis ke arah belakang. Tujuannya adalah knalpot.

**

ESOKNYA. sehabis pulang kerja, Oryza langsung mengajak Samudra makan cepat-cepat. Mereka duduk di meja makan tanpa berbicara sedikit pun. Pikiran Oryza mumet. tidak ada sedikit pun yang mampu mengalir di sana. Tanpa bicara, gadis itu berusaha menghanyutkan pikirannya. Ayahnya makan lebih perlahan. Tapi wajahnya sangat rileks.

"Kenapa butuh tes darah segala sih?" tanya Samudra memecah keheningan. Dia mendadak ingat permintaan anaknya. Sendok penuh makanan tidak jadi masuk ke dalam mulutnya.

"Ini cuma prosedur standar aja. Dadi. Semua orang yang mau menikah harus cek darah."

"Dadi nggak ingat melakukan hal ini dengan ibumu."

Oryza mendadak sedikit sendu mendengar Dadi menyebut ibunya. Seandainya Mom masih hidup. dia pasti...

"Oryza'

Suara Samudra memecahkan lamunan Oryza.

"Kalau nggak, berkas permintaan Dadi nggak bisa dilaporkan ke Departemen Pernikahan Penyihir."

"Begitu ya?"

Terdengar suara ketuk sepatu hak memasuki ruang makan. Ini bukan ketuk sepatu hak milik Solanum. apalagi Zea. Sepatu Zea biasanya datar, karena dia bekerja sebagai dokter hewan dan selera Zea dalam berpakaian sangat tradisional. Solanum juga bukan. karena walaupun dia modis, tapi Solanum adalah tipe modis profesional. Ini suara sepatu hak runcing, semacam stileto. Ini sepatu kepunyaan...

"Selamat sore, Sayang."

Bulu kuduk Oryza langsung merinding. Tanpa perlu menoleh, dia sudah tahu siapa yang datang.

Aqua.

Samudra tersenyum. Dia buru buru menghabiskan makanannya. Aqua duduk di sebelah Samudra. dengan penuh cinta mengusap bibir Samudra dengan serbet. Oryza nyaris tidak dapat menahan diri untuk menjerit. Dia duduk di depan mereka dengan mulut menganga. Rasa mual dari perut yang bergejolak telah tiba di kerongkongannya.

Dengan gerakan cepat. Oryza berdiri dari meja makan. Dia berlari keluar, ngibrit naik tangga menuju kamarnya. Sampai di depan pintu, dia terengah-engah sendiri.

Gila! Melihat ayahnya berpacaran dengan cewek yang seumuran dengan dirinya...

Telepon rumahnya berdering. Oryza menyeret tubuhnya ke bufet tempat pesawat telepon diletakkan. Ini benda milik kaum jelata. Banyak penyihir tradisional dan kolot yang menolak keberadaan telepon. Bagi penyihir seperti itu, telepon adalah penghinaan kepada sihir yang seharusnya dikuasai dengan baik

seluruh kaum penyihir. Bukan malah seenak enaknya menggunakan teknologi masyarakat jelata.

"Halo," sapa Oryza.

"Ada Xander?"

Dahi Oryza langsung berkerut. Rasanya dia hafal suara di ujung telepon.

"Belum pulang," jawabnya ketus.

"Ini siapa?"

"Strawberi."

Betul kan firasatnya...

"Kenapa nggak menelepon ke hapenya saja:" '

"Nggak dijawab."

"SMS?"

"Sudah gue kirim. Tapi belum dapat jawaban."

Oryza pengin membanting telepon. tapi mengurungkan niatnya.

"Xander mungkin sibuk dengan pekerjaannya menangkap gajah yang tersesat di perempatan lalu lintas yang ruwet."

"Kenapa harus ngomong ketus seperti itu sih?" Strawberi merasa ada yang salah dengan ucapan Oryza. Kok gajah sih? Apa hubungan Xander dengan gajah dan lalu lintas? "Kenapa lu nggak pernah bisa sopan sama gue?"

Oryza terdiam beberapa detik. Pertanyaan Strawberi membuat hidupnya terasa semakin nggak jelas.

"Kenapa?" tanyanya melengking. Oryza nyaris tertawa terbahak-bahak.

"Wah, pertanyaannya cerdas banget. Apa kabar dengan cewek yang berniat merebut cowokku, yang terangterangan bilang bahwa ini pertarungan sehat. dan yang mengancamku supaya mundur teratur? Sudah lupa?"

Strawberi tersenyum samar.

"Oh, begitu alasannya. Tapi sekarang gue nggak begitu. kan?"

"Amnesia berat. Kemarin waktu aku beli nasi tim bebek. kamu masih mengancamku. Dan kalau kecurigaanku benar, pasti kamu yang meracuni Dadi, Zea, Aqua, dan Gus."

Strawberi terdiam.

"Halo?

Strawberi menggeleng tidak percaya. Dia mengabaikan pertanyaan Oryza.

"Aqua diracun?

"Ya. Dia pasti kena racun ramuan cinta."

"Wah... Bukannya... mereka saling... jatuh cinta..." katanya terbata.

"Jadi bukan kamu yang bertanggung jawab?" tanya Oryza heran. Dia sulit menata perasaannya sekarang. Kenapa Strawberi bertanya seperti itu? Bukankah... Ah, Strawberi memang terlalu membingungkan.

"Aqua itu sahabat gue," kata Strawberi tegas. 'Please deh, rileks dong. Nggak mungkin gue yang melakukan itu."

Oryza langsung terjatuh dalam diam yang panjang. Dia tidak punya satu kalimat pun untuk membalas kecurigaannya kepada Strawberi.

"Halo?" panggil Strawberi.

"Oke. baiklah. aku percaya." Oryza memegang gagang telepon kuat-kuat. Dahinya berkeringat.

"Kalau katamu tadi Aqua adalah temanmu. berarti kamu mau membantu mengembalikan Aqua kembali seperti dulu lagi. kan?"

"Enggak?

'Lho?!" Di kepala Oryza seakan sudah mencuat tanduk. jawaban yang menyebalkan.

"Katanya teman?"

"Gue nggak akan meracuni dia. Catat itu baik-baik. ini adalah kebenaran yang nggak bisa diutak atik lagi." Senyum Strawberi mengembang luas.

"Tapi Aqua sepertinya sangat bahagia dengan ayah elu. Gue nggak mau menggantikan kebahagiaan itu. Dan lagi. gue juga kehilangan saingan mendapatkan Xander. Tinggal kita berdua saja'

Jleb! Sepertinya ada jari telunjuk raksasa yang langsung menekan tombol kemarahan Oryza.

"Kamu memang bener-bener gila."

"Tergilagila pada Xander. Ya, itu gue." Srrawberi mendengus. lalu mematikan telepon. Terdengar suara bantingan gagang telepon di tempatnya, menggelegar di kepala Oryza.

Oryza benar-benar tidak berkutik. Dia terlalu marah dan sedih. campur aduk menjadi satu. Kalau suatu hari dia memergoki Strawberi sedang mengubah diri menjadi hewan, sumpah mati dia akan menyuruh kakaknya Zea untuk mengebirinya.

"Ory!" terdengar teriakan ayahnya dari bawah.

Oryza bergegas turun dengan kaki gemetar. Ancaman Strawberi selalu membuatnya sangat, sangat. sangat marah dan tidak nyaman.

Di bawah tampak Aqua berdiri memegangi majalah tebal dan meteran.

"Mau ngapain?" tanya Oryza ketus.

"Ukur gaun buat kamu dan Sola." Aqua merespons sambil tersenyum manis.

"Gaun pengiring pengantin. Ini majalahnya. Suka model yang mana?"

Oryza langsung pura-pura tidak mendengar. Dia melengos. berjalan cepat keluar. Bedebah! Bedebah semuanya! Ini sangat serius dan benar benar harus dicari pemecahannya!

**

Nuna menyapu lantai warung. Sudah nyaris tengah malam. Warungnya sudah tutup sekitar satu jam lalu. Dia menyapu dengan pikiran yang mengalir ke mana-mana, khususnya kepada Xander. Hatinya sering perih kalau mengingat Xander.

Tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketuk.

"Udah tutup!" teriak Nuna dari dalam.

"Ini aku!"

Oh. Nuna berhenti menyapu. Itu kan...

Eh, itu suara siapa ya:"

Nuna menyenderkan sapunya ke dinding. Dia berjalan ke pintu, membuka gerendel. Dia nyaris menjerit melihat penampilan Pax. Bajunya lembap karena basah kuyup. Penampilannya tidak keruan.

"Pax? ' tanyanya melongo. Tidak percaya.

"Ya ampun. Kenapa kacau begitu?"

"Aku kehujanan. Kena tabrak mobil." Pax berdiri di samping pintu. Air masih menetes dari rambutnya. Dia tersenyum tipis.

"Boleh pinjam handuk?"

"Oh!" Nuna tersadar. Pintu ditutup lagi olehnya. Nuna berlari masuk lewat pintu yang menghubungkan warung dengan kamar belakang rumahnya. Hanya butuh lima menit. Nuna kembali dengan handuk kecil berwarna hijau. Dia menyodorkan kepada Pax yang langsung menyambutnya dengan sukacita.

Tanpa disuruh. Pax duduk di salah satu kursi sambil mengeringkan rambutnya. Terakhir dia ke sini ketika mereka akan terlibat dalam petualangan ke Pulau Varaiya. Dulu Pax tidak sempat masuk ke dalam rumah Nuna. Kali ini adalah pertama kali dia berada di warung kecil ini. Nuna menyeret kursi satu lagi. Duduk di sebelahnya. Beberapa menit berlalu dalam kebisuan. Nuna hanya memandangi Pax.

"Ditabrak siapa? ' akhirnya suara itu keluar seperti bisikan.

"Xander."

"Ah!" Nuna cemberut.

"Yang benar saja."

Pax terdiam dalam bisu yang panjang.

'Kamu masih nggak bisa melepaskan Oryza' Tatapan mata Nuna menembus Pax. Pax tersentak. Rasanya seluruh dunia tahu kalau dia menyayangi Oryza.

"Aku tidak mau melepaskan Oryza sama bedebah gila macam Xander." Pax balas memandang Nuna tanpa gentar. Dia juga mengetahui satu rahasia kecil yang disimpan Nuna. Orang buta juga tahu siapa yang naksir siapa! Mata Nuna seperti buku yang terbuka, mengungkapkan perasaan sejujurnya.

"Xander nggak gila."

'Bagaimana dengan kamu? Kelihatannya kamu masih punya harapan buat Xander."

Nuna menggeleng pasrah.

"Aku harus melepaskan Xander. Aku sudah merelakan dia."

Pax terenyak.

"Kamu? Melepaskan Xander? Kok bisa?"

"Buat ketenangan hatiku." Bibir Nuna tersenyum menguatkan diri. Pandangannya menerawang seakan-akan sedang melamun.

"Biarkan Xander merugi sebab nggak bisa bersama cewek keren macam aku."

Pax mengangguk.

"Berarti kamu nggak keberatan dengan perkawinannya?"

Lamunan Nuna langsung rusak. jantungnya seperti meluncur turun ke perut dan dia kehilangan detaknya yang menenangkan.

"Perkawinan? Maksudnya?"

"Perkawinan Xander dan Oryza."

Ada kilatan sakit hati terpancar dari wajah Pax. Mukanya murung. Nuna melihatnya dengan jelas, sejelas melihat matahari terbit di sudut timur. Pax memang lelaki pemurung.

Sementara itu, Nuna juga dalam keadaan seperti kena guncangan gempa.

"jangan bercanda." Dia mendelik kesal.

"Percaya deh. aku nggak bercanda." Pax menunduk.

"Aku juga sebal. Oryza nggak happy dengan perkawinan ini."

"Tahu dari mana info ini? '

"Dari seseorang yang dapat dipercaya."

"Aku nggak percaya dengan seseorangmu yang dapat dipercaya itu."

Pax menaikkan alisnya tinggi-tinggi.

"Kamu nggak percaya pada Zea"

Zea?

"Oh."

Nuna tidak membalas perkataan Pax yang sarat dengan nada sinis. Ucapannya saja sudah membuat Nuna sakit perut.

Nuna tidak bisa menggeleng. apalagi mengangguk.

"Jadi kita harus bagaimana?"

"Bagaimana apa? Katanya udah merelakan Xander?"

"Aku sudah pasrah." Nuna menatap Pax.

"Aku menyerahkan semua ke tangan Xander."

"Begitu? Kamu menyerahkan semua ketangan trenggiling yang nggak bisa dipercaya itu?"

Nuna tepekur.

"Zea b-bilang Oryza nggak happy dengan perkawinan ini?"

"Ya."

"Sejujurnya..." Nuna berpikir, merancang kata demi kata,

"...aku nggak pernah tahu perasaan Xander. Apa dia memang mencintai Oryza? Aku belum pernah mendengarnya langsung dari mulutnya."

Kalimat yang luar biasa. Kesadaran mampir di benak Nuna. Ya, Xander tidak pernah mengatakan hal itu kepadanya. Yang dia tahu. Xander menyayangi Oryza. Itu pun berasal dari kesimpulan pribadinya sendiri. Mengapa? Sebab Xander selalu mengabaikannya. Sebab Xander tidak pernah menyambut perhatiannya. Sebab Xander memandang Oryza dengan tatapan... tatapan... sayang. Jantung Nuna mencelos, turun ke perut.

Nuna dan Pax saling terdiam.

Diam yang terlalu lama bagi mereka berdua.

**

Oryza menahan napas, memandang pantulan wajahnya di cermin. Dia mengenakan kebaya berwarna lembayung. Di ranjangnya. tergeletak gaun berwarna hijau salem. Kakaknya Zea membantunya mematut diri di depan cermin.

Mulanya Oryza mati'matian tidak mau mengepas baju. Mulai dari pura'pura tidak mendengar. pura'pura ketiduran, sampai pura-pura sakit telinga. Namun Zea gigih sekali. Tidak ada jalan lain bagi Oryza kecuali mematuhi permintaan Zea untuk mengepas baju.

"Enak?" tanya Zea sambil tersenyum.

Oryza memandang cermin. Dia tampak anggun dengan kebaya ini. Tinggal rambutnya. Kalau digelung ke atas menjadi konde mungil. maka penampilannya akan menjadi sempurna. Dia cantik dan tidak terlihat tomboi.

"Feminin sekali." Zea tidak berhenti tersenyum.

Oryza menghela napas. Dia menoleh ke arah kakaknya yang duduk di tepi ranjang.

"Kak," panggilnya, tak bergerak dari posisi berdirinya. Tegak lurus di depan cermin.

"Apa Kakak sudah yakin Kakak mengambil keputusan yang tepat?"

"Keputusan menikah, maksudnya?"

"Iya."

"Aku yakin."

"Jangan-jangan Kakak salah. Bisa aja, kan? Kakak dan Dadi mengambil keputusan yang salah."

"Aku sudah memikirkannya baik-baik." Zea bergerak ke arah Oryza. membantunya membuka kebaya.

"Aku rasa ini keputusan yang baik."

"Dulu Kakak juga pernah bilang nggak mau menikah "

"Aku salah."

"Bagaimana kalau sekarang Kakak salah lagi? '

"Nggak mungkin." Kepala Zea bergerak cepat.

"Pasti benar."

"Kenapa?"

"Karena terasa benar."

Oryza terdiam, bibirnya seperti terjahit erat. Tidak ada katakata yang berhasil dia himpun untuk disemburkan kepada Zea.

Kebaya telah selesai dilepaskan. Dengan cekatan Zea bergerak merapikan gaun dan kebaya ke kantong baju. Tidak ada yang berbicara selama itu. Oryza sibuk tenggelam dalam pikirannya. Ketika sudah siap, mereka berdua turun ke bawah.

"Jadi, rencananya aku dan Dadi akan ke Pencatatan Pernikahan Penyihir lusa."

Kaki Oryza seakan keram di tengah-tengah tangga.

"Lusa?"

Zea mengangguk.

"Aduh. Kenapa cepat banget sih?"

Barusan menjejakkan kaki dari tangga, tampak Xander sedang menenteng keranjang dengan seekor binatang di dalamnya.

"Halo, Xander," sapa Zea manis. Dia melirik ke arah keranjang, tidak memperhatikan Oryza yang sudah nyaris semaput di belakangnya. Mata Zea seketika membulat.

"Wow. Cakep sekali. Tunggu. tunggu, jangan bilang apa apa. Aku tahu jenis hewan ini."

Perhatian Oryza segera teralihkan. Dari urusan pernikahan yang mengagetkan hidupnya, sekarang ke urusan Xander. Dia memandang lelaki itu lekat'lekat.

"Bawa pekerjaan kantor ke rumah? ' tanyanya.

"Kantor sudah tutup waktu aku balik. Nggak ada tempat buat meletakkan binatang ini."

"Dan solusinya dibawa pulang?" Oryza berdecak kagum. Tentu saja dibuat buat.

"Jenius."

"Kan sudah kubilang..."

"Ooo, aku tahu!" Zea memutuskan obrolan Xander dan Oryza. yang dilihat dari gejala-gejala umum yang sering terjadi, sepertinya akan terjadi pecah perang galaksi di antara mereka berdua.

"Ini pasti binatang langka"

"Iya."

"Angsa hitam dari benua Australia!"

"Benar."

Zea tersenyum.
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cygnus atmtus sumnermsis."

"Tepat."

Zea menunduk, memandang angsa itu dengan serius. Hilang sudah nada manis yang biasa teralun dari bibir Zea.

"Kalau ketahuan menyimpan binatang ini tanpa surat-surat. kamu pasti akan ditangkap polisi. Ini satwa dilindungi, Xander." Suara Zea sangat tegas.

"Aku tahu. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa. Kantor sudah tutup. Kami kemalaman."

"Hebat. Binatang dilindungi! Kalau mati di rumah ini, gimana?" Oryza tidak tahan untuk ikut berkomentar.

"Aku berani menjamin dia nggak bakal mati!" Xander menenteng keranjang dan meletakkan di sudut ruangan.

"Kita punya dokter hewan terbaik di keluarga ini. Kenapa takut?"

Oryza menggigit bibirnya. Dia mengeluarkan sesuatu dari kantong.

"Apa itu." '

"Tabung darah. Kamu harus membantuku mengambil sampel darah Gus."

Wajah Xander langsung pucat. 'Apa? Aku? Aku?" Nadanya terdengar panik.

"Aku yang mengambil sampel darah Gus?"

"Siapa lagi? Aku sudah mengambil sampel darah Zea dan Dadi tadi. Giliranmu."

Xander mengambil tabung dengan ekspresi yang ogah-ogahan. Oryza membuang muka. langsung berjalan menuju ruang laundry. Ada pekerjaan rumah tangga yang menunggu dicuci. Kepalanya masih berdenyut-denyut dengan urusan pernikahan kakak dan ayahnya. Zea sendiri langsung menghilang di dapur.

Ruang laundry terletak di belakang rumah. Oryza menyalakan lampu agar ruangan tidak gelap gulita. Tidak ada siapa-siapa di

sana kecuali anggukan baju kotor yang siap dicuci di mesin cuci besok pagi oleh Zea. Di antara tumpukan pakaian kotor itu. terlihat seragam kerja Xander yang baru.

Oryza meletakkan beberapa baju kotor di keranjang. Dia nyaris mematikan lampu sebelum menyadari sesuatu. Ada cahaya berkedip kedip. Apa itu? Oryza menjulurkan kepala. Oh. Itu hape. Itu... hape Xander. Dan hape itu sedang berkedip-kedip, menandakan seseorang sedang meneleponnya. Dengan heran Oryza berjalan, memandangi layar hape. Nama ORGIL TSUNGTA berkedip-kedip.

ORYZA mengambil hape dan memencet tombol on.

"Halo?"

"Halo." Suara di sana terdiam sejenak. Seakan-akan bingung.

"Eh, maaf. Salah sambung."

"Mau cari siapa?"

"Ini siapa? '

"Oryza."

"Oh. Ada Xander?"

"Ada. Dia barusan pulang. Tunggu ya. kupanggilkan."

"Eh, angsanya selamat. nggak?"

"Tadi kulihat masih hidup."

Terdengar helaan napas panjang di sana.

"Syukurlah. Kami waswas angsanya bakal pingsan karena tersekap kelamaan di kandang."

"Angsa bisa pingsan?"

"Menurut buku yang baru saja kubaca, angsa jenis itu tidak boleh disekap di ruangan tertutup. Dia harus bebas. dilepaskan di ruangan luas."

"Artinya?"

"Artinya dia harus dibiarkan berkeliaran di rumahmu."

Tsungta tertawa.

"Ribet ya."

"Seperti apa sih kerjaan ini? ' Oryza mengusap rambutnya.

"Sepertinya Kami harus memiliki asuransi dengan angka jaminan yang tinggi."

"Tapi kan pekerjaan ini gampang sekali. Menangkap kucing..."

"...sebenarnya Kami pernah menangkap harimau yang kandangnya nggak sengaja terbuka dan berkeliaran di lab."

"Menolong anjing sakit.-"

"...nggak ada yang bisa mengerti kenapa tiga ekor serigala bisa berkeliaran di Pekuburan Karet."

"Menemukan burung yang terluka di luar kandang?"

"...Xander percaya suatu hari kita disuruh menyelamatkan binatang yang katanya cuma ada di negeri dongeng, yah seperti... naga. Atau burung phoenix."

"Gila."

"Begitulah. Kami mau resign segera. Rasanya uang Kami sudah cukup untuk modal berkencan. Kalau butuh uang lebih banyak lagi, lebih baik melamar jadi anggota penjinak bom saja."

"Astaga. Separah itukah?"

"Yup."

"Xander nggak pernah cerita apa apa."

"Sebab dia butuh uang untuk membayar rumah tangga kalian."

Kepala Oryza tegak, seperti tersambar petir dari langit.

"Maksudnya?"

"Kata Xander, adikmu menyuruhnya mencari pekerjaan agar dia tetap bisa mendukung keuangan rumah tangga kalian."

**

Solanum sedang bekerja di depan komputer ketika pintu kamarnya menjeblak terbuka. Oryza muncul di sana, wajahnya merah padam. Kali ini dia tidak menghabiskan waktu dengan mengetuk pintu. Sopan-santun terlupakan.

Solanum berhenti bekerja. Memandang Oryza dengan mulut menganga.

"Sola, aku dengar kamu memaksa Xander bekerja di tempat yang bisa membunuhnya supaya mendapat gaji besar?"

Solanum terpana memandang Oryza beberapa detik. Pelanpelan senyumnya berkembang lebar.

"Hei, kakakku sayang. Kerennya dirimu dengan kaus itu!"

Oryza mendengus.

"Jangan mengubah topik pembicaraan."

"Aduh, galak bener." Solanum melipat wajah menjadi serius. Dia merentangkan tangannya lebar-lebar.

"Begini, Sayang, dengarkan aku baik-baik. Sebenarnya kita butuh biaya yang luar biasa besar. Pernikahan ini melemahkan keuangan kita. Tanpa kita tahu, Dadi menguras semua tabungan masa tuanya."

Mata Oryza berkedip kaget.

"Serius?"

"Seratus."

Oryza terdiam. Ayahnya membuang semua simpanan keluarga yang susah payah mereka tabung untuk perkara tak penting? Dan sekarang... seorang lelaki yang bukan keluarganya terpaksa menjadi tumbal. harus bekerja keras menghidupi mereka. Bayangan Xander yang sedang nyengir entah kenapa memunculkan sosoknya di otak Oryza. Tanpa Oryza mengerti bagaimana dan kenapa. hatinya menghangat. Rasa jengkelnya menguap mendadak.

Aneh. Seharusnya Oryza malah marah atau takut karena keadaan keuangan mereka yang morat?marit. Kenyataannya jantungnya menggeletar oleh rasa Xander. Bayangkan! Xander bekerja untuk mereka semua! Hening menyelimuti ruangan. Solanum tersenyum.

"Kamu kelihatan cantik sekali dengan kaus seketat itu. Menonjolkan lekuk tubuhmu. Penampilanmu memang tomboi, tapi ngak apa-apa. Seorang perempuan yang terlihat sedikit maskulin menurutku..."

Oryza menggumam tidak jelas. Dia menyender ke dinding sambil berusaha meredakan rasa hiruk-pikuk keceriaan yang tumbuh cepat di hatinya. Ah, Xander. Lelaki itu... Oryza memejamkan mata, mencari kata yang tepat. Lelaki itu...

"Seksi. Sensual. Kelihatan... hot."

Sisa kalimat yang menggantung di kepala Oryza dihabiskan oleh Solanum. Ah, bawel sekali. Apa sih yang dibicarakan Solanum? Yang dipikirkan Oryza dan yang diomongkan Solanum sama sekali nggak nyambung. Oryza memikirkan Xander, Solanum membicarakan bajunya. Oryza menunduk, memandang kausnya. Rasanya biasa aja. Nggak ada yang istimewa dari bajunya.

"Kamu..." Oryza mengamati Solanum. Adiknya seperti habis tersedak lemari baju. Mukanya merana.

"...kayak lesbi yang lagi bernafsu, Sola."

"Bukannya seksi kalau cewek dengan cewek?"

"Nggak ada seksinya seujung kuku pun!" Oryza tidak menduga suaranya sekeras itu.

"Nggak ada! Itu sama dengan gila."

Solanum mencoba cara lain.

"Bayangkan reaksi Dadi kalau tahu anaknya ada yang lesbi. Pasti dia bakal shock."

Oryza memutuskan diam saja.

"Ini akan menjadi ide yang sangat bagus."

Alis Oryza naik setinggi-tingginya.

"Menjadi lesbian bukan ide yang bagus."

Solanum langsung merasa cubitan kecil di dadanya. Dia kecewa melihat reaksi Oryza. Kakaknya memang sering tidak setuju dengan beberapa pendapatnya, tapi kali ini Solanum terganggu dengan ketidaksetujuan Oryza.

"Ngggg..."

Tidak ada kata yang bisa diucapkan. Mata kakaknya sedang tajam menatapnya seperti elang melihat kelinci.

"Bagaimana kalau kita berpura-pura? Buat mengalihkan perhatian. Siapa tahu Dadi terlalu kaget sampai nggak teringat perkawinannya. Semacam shock flat-ram."

Ide yang sama sekali tidak masuk akal. Apakah Solanum habis menelan sekardus pil kina? Mungkin dia mabuk. Oryza membuka mulutnya, ingin protes, tapi tiba-tiba suara kecil dari dalam dirinya mengalahkan akal sehat. Dia disiksa dengan pertanyaan, apakah kematian ibunya semacam shock therapy bagi ayahnya sehingga bertahun-tahun ayahnya menjadi lelaki linglung? Ya, mungkin Solanum benar. Shock therapy harus dibalas dengan shock therapy. Dadi bisa diselamatkan, apa pun caranya.

"Mau dicoba?"

"Hmmm..." Suara Oryza bergetar.

Senyum Solanum merekah melihat Oryza melemah. menerima pendapatnya.

"Bayangkan reaksi Dadi, Kak."

Oryza tidak sanggup membayangkan. Memikirkan rencana itu saja sudah membuatnya terperanjat. tak percaya. Oryza buruburu keluar dari ruangan Solanum, malas berdebat lagi dengannya. Kepalanya berdenyut'denyut tak tertahankan.

"Aku harus kerja dulu. Kita pikirin nanti aja. Bubyc, Say."

Ditinggal Oryza. Solanum menjatuhkan kepalanya di meja kerja. Dihantamnya berkali-kali seperti ingin menghilangkan pusing yang menderanya sejak pagi tadi. Oh brengsek. Brengsek. Brengsek. Kenapa dia seperti ini?

**

Zea memandang Gus dengan manis. Mereka sedang duduk di atas genteng. memandangi langit. Tangan mereka saling bertaut.

"Siapa saja yang akan diundang ke pernikahan kita lusa?"

Gus mendongak memandang langit.

"Aku selalu membayangkan bisa mengundang alien ke pesta pernikahanku."

"Ide yang bagus."

"Kamu setuju, Sayang?"

"Setuju sekali."

"Lihat, bintang jatuh. Sampaikan permohonanmu."

Zea memejamkan mata. Dia beibisik lantang.

"Aku memohon agar keinginan kekasihku tercapai, ingin mengundang alien ke pesta pernikahan kami."

Gus memeluk Zea rapat=rapat.

Malam belum selesai di rumah keluarga Karbohidrat. Seluruh penghuninya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing di kamar masing masing. Ketika jarum jam bergeser di angka nyaris delapan, terdengar panggilan makan malam dari meja makan. Langsung meja makan dipenuhi oleh orang-orang yang sudah saling mengenal satu sama lain.

Tapi malam ini berbeda.

Ada Gus di tengah'tengah mereka.

Berbagai reaksi bermunculan. Oryza sebenarnya tidak nyaman. Solanum cuek. dia hanya memperhatikan Oryza yang tubuhnya super yummy. Ayah mereka, Samudra, tampaknya tidak terpengaruh apa apa-seperti Samudra yang dulu.

"Hei, Kak," bisik Solanum. Suaranya bergetar.

"Ingat rencana kita tadi?"

"Rencana? ' Oryza menoleh memandang Solanum dengan heran.

"Rencana apa?"

"Menciptakan adegan lesbi supaya Dadi buruan sadar dari dunia khayalannya."

"Apa?" Oryza membelalak.

"Kayaknya tadi aku belum setuju sama rencanamu, Sol. Aku... Aku "

Tanpa bisa mengendalikan diri, Solanum melompat ke arah Oryza. Menciumnya dengan mesra.

Detik berlangsung sangat lamban.

Absurditas memang berlangsung sangat lamban.

Bumi berputar sangat lamban.

Otak berjalan sangat...

Xander rerlonjak.

"HEI!" jeritnya terbata.

"Oryza? Sola? Apaapaaann? HEI "

Ruang makan seperti dihantam meteor. Gus terpana memandang kedua calon iparnya yang sedang berciuman.

Solanum mendorong Oryza ke tembok, memepetnya dengan penuh gairah. Terdengar bunyi bruk. Itu hantaman punggung Oryza di tembok.

Tidak ada yang bergerak. Bahkan cicak pun sepertinya ketakutan bersuara. Apalagi angin.

Oryza berusaha bersuara di tengah ciuman Solanum.

"So... la G-gila..."

Xander terbata'bata, tapi tidak ada kata yang keluar dari mulutnya.

"Sol... SOLA. HEI... SIALAAN"

PLAK! PLAK!

Suara tamparan yang keras membahana. Dua kali. Solanum terjengit, mundur.

Mengambil jarak, Oryza menghantamnya lagi dengan satu pukulan telak.

BRUK!

Solanum langsung terjatuh ke bawah meja. Terhantar lantai, tangannya menggapai taplak dan menariknya sehingga vas terseretjatuh. Suara benda berjatuhan terdengar berisik.

Oryza berdiri terengah-engah. Wajahnya merah padam. Kedua tangannya terkepal erat. Di mana... di mana... tongkat sihirnya? Pikirannya berantakan. Astaga. Kenapa nggak mampu menyihir? Air mata Oryza meleleh perlahan-lahan. Rambutnya acak-acakan.

Xander memandang Oryza dengan tatapan terluka, kaget, heran, dan bingung menjadi satu. Dia tergagap.

"Kamu... Kamu..."

Oryza meraung,

"GOBLOK!"

Tubuh Oryza gemetar sejadi-jadinya.

"Aku... nggak selera... makan. Aku..." Dia berbalik. langsung berlari meninggalkan semuanya.

Hening.

Hening.

Hening.

Hanya Samudra yang akhirnya bergerak, seakan tidak ada peristiwa apa apa di ruang makan. Dia berkata kepada Zea,

"Mana sambal botol, Sayang? Kok habis?"

Suaranya memecah kesunyian.

Butuh lima menit yang membeku sebelum Xander berdiri, membantu Solanum yang terkapar di lantai. Zea berusaha membuka tutup botol sambal buat ayahnya.

"Sol? Sakit nggak?" bisik Xander penuh perhatian. Suaranya sengaja dikecilkan. seperti takut merusakan suasana yang memang sebenarnya sudah rusak.

Solanum menggerakkan tungkainya. uuuuugggggnnnn...

"Sakit di mana?"

Solanum duduk di lantai. Dia membelai bibirnya yang basah berdarah. Rasanya ganjil sekali mengusap bibir yang habis mencium kakaknya sendiri.

"Bibirmu kena tonjok?"

"Bibirku kena cium."

Xander menyodorkan gelas minuman ke arah Solanum. Dia mendesah.

"Pilihan timing yang tepat untuk coming out. Jadi, sebenarnya kamu apa? Biseks atau lesbian?"

Solanum nggak jadi minum. Ucapan Xander membuatnya kian merasa ganjil. Adakah yang tidak beres dengan jiwanya? Solanum mendelik ke arah Xander.

"Aku straight, tolol."

"Oke." Xander mengangkat kedua tangannya. Telapak membuka tanda menyerah.

"Aku mungkin tolol. Tapi adegan tadi masih membekas di memori otakku. Jangan suruh aku menghilangkannya begitu saja. Nggak bisa! Oryza adalah calon istriku atas kesepakatan yang tidak pernah bisa aku batalkan."

Suara Xander terdengar getir. tapi terselip kelembutan ketika dia menyebut kata "istri".

Solanum membisu.

"Tapi sekarang abad ke-21. Segala-galanya bisa terjadi..." Xander menjilat bibirnya.

"Tapi terus terang. menurutku tadi sudah agak kelewatan. Namanya incest, bukan..."

Solanum melambai tepat di depan hidung Xander. Rasa kagetnya sudah hilang, tapi dia tidak tampak gembira.

"Nggak usah sok kasih analisis!" pekiknya.

"Kita nggak di ruang kuliah."

"Oh, itu namanya analisis? Aku bukan profesor, ibu dosen Solanum yang terhormat. Sekarang pekerjaanku menangkap binatang aneh yang lepas kandang di jalan raya. Jadi tolong jelaskan dengan akal sehat apa yang terjadi tadi."

"Diam!" desis Solanum dingin.

"Jangan ketularan bawel. Aku bukan lesbian. Aku juga bukan biseksual. Orientasiku masih ke cowok. Mengerti?"

"Aku enggak mengerti."

"Singkatnya. aku cuma suka cowok." Solanum menarik napas.

"...dan Oryza."

"Keterangan itu nggak menolong. Aku masih nggak mengerti. Ada hukum dan peraturan sosial tentang hubungan incest..."

"Aku tahu."

"Ada kalanya aku nggak mengerti kapan kamu lagi bercanda atau kapan kamu lagi berpantun."
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Solanum menghela napas sekali lagi sebelum meneguk air dengan gerakan yang pelan. Setelah selesai, dia membanting gelas di meja.

"Aku nggak tahu dari mana kegilaan ini berasal. Oke? Aku. Nggak. Tahu. Rasanya seperti kena bom. Meledak! BUUUM! Cepat banget. Lalu mataku cuma melihat Oryza yang seksi, menawan. cantik setengah mati."

Xander terdiam. Dapur juga senyap. hanya terdengar bunyi denting sendok yang digerakkan oleh Samudra. Lelaki tua itu masih asyik makan, seakan-akan dia berada di negeri antah berantah, bukan di situasi yang sekarang. Dia seakan akan tidak memperhatikan apa yang terjadi.

"Sori." Solanum menutup wajahnya dengan kedua tangan. Hilang sudah penampilan angkuh dan dinginnya yang selalu terlihat.

Xander membiarkan jam berdetik maju.

"Aku nggak menyangka bisa kelepasan seperti tadi. Kejadian yang terjadi padaku itu seperti..." Solanum melirik ke arah Gus lalu menurunkan suaranya,

"...seperti mereka. Gus dan Zea.

Dadi dan Aqua."

"Mungkin kamu kena mantra yang sama dengan mereka."

Solanum terlihat ragu-ragu.

"Bagaimana kejadiannya? ' Xander mulai bersemangat.

"Aku nggak ingat. Sebentar. Aku harus berpikir dulu. Sepertinya ada... hmm..." Solanum menyipitkan matanya.

"Ada semacam bubuk di lantai ini. Aku mengendusnya. Dan setelah itu aku memandang langsung ke Oryza."

Ingatan Solanum membuatnya terenyak sendiri. Dia tepekur seketika, mengutuki dirinya kenapa harus penasaran dengan bubuk asing dan mengendusnya?

"Nah. Itu dia!" seru Xander gembira.

"Aku rasa itu penyebabnya. Bubuk itu pasti ramuan yang bikin kamu tergila-gila sama Oryza. Masih ada sisa mantra yang tercecer di lantai ini dan kamu nggak sengaja terkena."

"Pekerjaan siapa ini?"

"Mungkin ini pekerjaan Aqua."

"Atau Strawberi."

"Sepasang dumb and dumber itu."

"Efek yang terkena padaku sepertinya nggak sama dengan efek Dadi dan Zea. Mereka nggak sadar diri mereka terkena gunaguna cinta."

"Aku yakin karena porsi ramuanmu jauh lebih sedikit daripada mereka."

Solanum menenggelamkan wajahnya di telapak tangan sekali lagi. Gelombang ketakutan menyapunya.

"Gila, Oryza bakal ngamuk seumur hidup sama aku."

"Sudahlah. Nanti kujelasin sama Oryza. Dia pasti mengerti."

Zea menambahkan nasi di piring Samudra dengan cermat. sepertinya tidak memperhatikan obrolan Xander dan Solanum. Dia sibuk dengan urusannya sendiri, sementara ayahnya sibuk dengan kegiatan makannya.

"Wah. Dadi makannya banyak sekali." Zea berjalan memutari meja makan.

"Oya, setelah berdiskusi dengan Gus, aku memesan katering lewat pelayanan Strawberi saja. Katanya mereka kasih

diskon besar. Nasi tim bebek untuk pernikahan. Bagaimana menurut Dadi?"

Pelan-pelan, Xander dan Solanum berdiri. Kepala mereka diganduli dengan sejuta pertanyaan yang tak bisa terjawab malam itu.

Kalau Oryza dapat mengubah Solanum menjadi kodok, dia pasti sudah melakukannya. Kalau pikirannya nggak normal, tadi dia pasti menghajar Solanum dengan rapalan terkuat sampai dia terpental ke orbit bulan. Sekarang Oryza nggak bisa tidur. Ya, siapa yang bisa tidur setelah dicium tepat di bibir oleh adik sendiri? Padahal dia butuh ditemani oleh Xander. Seseorang yang akan bersamanya di tengah kegilaan ini. Seseorang yang bisa diajaknya berbagi, bukan malah dihina dan berakhir dengan perkelahian.

Oryza mendesah letih. Keadaan rumah terasa banget runyamnya. Semua orang jatuh cinta. Semua jatuh cinta pada orang yang salah.

Sekarang-ketika rumah ini dipenuhi dengan aroma yang salah tentang jatuh cinta, Oryza bertanya'tanya kepada dirinya sendiri, apakah dia satu-satunya yang tidak jatuh cinta? Ataukah dia yang satu-satunya yang benar-benar jatuh cinta pada orang yang benar?

Memikirkan jatuh cinta, otak dan hati Oryza tidak kompak. Kedua duanya saling melengos dan tidak sepakat. Hatinya harus jujur dengan perasaan yang menekannya selama beberapa waktu. Tapi otaknya menumbuhkan satu pertanyaan besar: bisakah lelaki ini menjadi lelaki yang dapat dia jatuh cintai dengan sepenuh hati? Oryza memeluk gulingnya kuat-kuat. Jawabannya sebenarnya cukup jelas. Jatuh cinta itu menakutkan.

Oryza bisa menebak Solanum pasti terkena mantra jatuh cinta yang meracuni Dadi dan Zea. Oh. betapa mengerikan dihantam gelombang jatuh cinta. Rasa yang janggal, rasa yang membuat diri orang yang terkena menjadi orang lain. Ini menakutkan. Gadis itu memutar tubuhnya. Dari tadi Oryza berguling-guling di ranjang dengan perasaan tidak menentu. Bayangan itu, yang selalu dipikirkannya, tak bisa dihentikan...

Xander.

Apakah ini jatuh cinta? Di tengah kegilaan jatuh cinta artilisial yang bikin keadaan menjadi runyam. inikah jatuh cinta sejatinya? Bulu kuduk Oryza merinding.

Dua hari lagi. Pernikahan mereka. kata Zea. Dua hari lagi. Bagaimana Oryza dapat mencegah semua terjadi dalam dua hari?

Oryza tidak bisa tidur. Sampai jam menunjukkan waktu pukul empat pagi, akhirnya dia terlelap dengan perasaan menderita.

**

Pagi tiba.

Perasaan Oryza belum baik juga.

Apakah jatuh cinta itu menyakitkan? Seharusnya tidak. Katanya, jatuh cinta sejuta rasanya. Tapi jatuh cinta ternyata rentan untuk disakiti. Oryza bangun dengan tubuh remuk dan mata super mengantuk di jam tujuh pagi. Hanya tidur tiga jam. Gawat. Sekarang dia harus berangkat ke kantor. Dia terbangun mendengar suara pintunya diketuk keras.

Pasti itu Xander minta diantarkan pergi ke kantornya. Oryza menggeliat malas.

Kejadian kemarin sungguh menghinanya. Gara gara mantra, Oryza harus menanggung rasa terhina itu. Dia tidak sanggup melihat wajah Xander.

Ogah.

Terdengar ketukan di pintu. Berkali-kali. Oryza tidak menjawab apa-apa. Dia tidak mau kalah dengan membukakan pintu. Bantal disambarnya. Dia menutup kepalanya dengan bantal. Oryza tidak mau bangun. Dia capek. Marah. Kesal. Terhina.

Setelah suara ketukan itu terhenti. dia menerima SMS dari Xander. Berkali-kali. Ory. kamu tidak apa-apa? Bukain pintu dong. Kamu nggak kerja?

Oryza sama sekali tidak membalas. Emosinya masih tidak keruan. Rasanya dia tidak peduli apakah besok adalah hari pernikahan dua orang dalam keluarganya. Dia tidak berselera melakukan apa pun hari ini. Dia bahkan tidak tahu harus memulai hari dengan melakukan apa.

"Oryza"

Xander bukan cuma mengetuk pintu sekarang. Dia juga memanggil namanya.

"Kamu mau aku dobrak ini dengan mantraku?"

Oryza tetap diam. Dia mengambil selimut. menyelubungi dirinya di bawah selimut.

"Kamu pasti udah bangun. Ayolah. jangan begitu."

Oryza menelan ludah. Suara Xander terdengar tidak marah, bahkan kesal. Tumben. Suaranya bernada rendah dan membujuk.

"Oryza. dengar ya. Kamu harus buka pintu. Ini darurat. Keadaan di luar kacau balau. Zea harus pergi ke Dokter Lukas. Aku terpaksa tidak masuk bekerja karena terlambat satu jam. Tsungta juga memutuskan tidak mau kerja kalau aku nggak masuk. Sekarang, semuanya gara-gara kamu nggak mau keluar dari kamar tidur." Hening beberapa saat. Ketukan lagi. Kali ini lebih kencang.

Oryza tahu. Dia membuat kerusakan hari yang parah.

"Aku tahu kamu sakit hati, tapi itu kan terjadi gara'gara

mantra yang nggak benar. Bukan cuma kamu yang kena, plis deh. Semua orang di rumah ini kena. Buka pintunya sekarang ju...

Sebelum Xander berhasil menyelesaikan kalimatnya. pintu terbuka dengan cepat. Xander mendongak. Wajah Oryza tepat di depan matanya. Rautnya memerah. Antara menahan tangis dan marah.

Xander menyesal. Kadang-kadang dia tahu, mulutnya lancar mengomentari segala hal yang buruk tentang Oryza. Dia bicara tanpa sadar. Tidak sensitif dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Apakah kata-kata itu keluar dari dalam hatinya? Ataukah karena emosi saja?

Sepi. Oryza tidak berkata apa-apa. Tumben. Xander mengharapkan teriakan. Jeritan. Bahkan kalau dia dilempar pakai sandal jepit. dia lebih ikhlas. Tanpa kontak kata. ini mengerikan daripada yang paling mengerikan. Rongga dada Xander mengering dan meranggas. menggigit dari dalam dan memakannya hidup-hidup. Dia menderita melihat Oryza yang terlihat menderita.

Tidak ada yang cantik pada diri Oryza saat ini. Rambutnya berantakan, tidak dijepit, bertebaran di pipi dan dahi. Kausnya berwarna kuning setengah luntur, kumal dan lecek. Celana pendeknya dari kain bergambar bunga-bunga, sebatas paha.

Jeda yang cukup panjang.

Tidak ada yang bergerak.

Xander memandang Oryza. Kehadiran gadis ini yang begitu

dekat membuat jantungnya berdebur tepat. Sihir memang tidak selalu terlahir dari para penyihir. Sihir, selalu bisa hadir di dunia biasa. Seperti sekarang. Sihir ini diciptakan secara alamiah. Lewat mata. Lewat cahaya.

Tubuh Xander maju selangkah. seluruh tubuh Oryza dekat sekali dengannya. Xander mengulurkan tangannya. Sedikit ragu. tapi tidak lagi setelah dapat kesempatan. Dia menarik Oryza ke pelukannya.

Tanpa bisa ditahan, mata Oryza berkaca-kaca. Dia balas memeluk Xander.

Mereka berpelukan beberapa saat. Di depan pintu kamar Oryza Vang terbuka. tapi seperti berada di pintu lorong waktu.

**

Di ruang klinik Dokter Lukas. Oryza menyentuh jari-jari Zea. Terasa dingin. Oh, bukan dari dingin tangannya Zea. ternyata dari dingin tangannya.

Setelah Xander tidak kerja karena terlambat, akhirnya Oryza memutuskan untuk mengambil cuti mendadak. Mereka berdua mengajak Zea untuk menemaninya (dengan kata lain, sebenarnya memaksa) Zea mendatangi Dokter Lukas.

"Aku kan udah pernah check up ke Dokter Lukas. Belum lama. beberapa hari lalu."

"Kakak harus check up lagi sebelum pernikahan."

"Buat apa?"

"Buat mengecek kondisi tubuh Kakak." Seisi ruangan diam. Oryza menjilat bibirnya.

"Supaya dapat dipastikan Kakak enggak terkena..." Oryza kehilangan kata-kata. Terkena apa-! Dia melirik Xander, minta bantuan.

Xander langsung datang membantu dengan otaknya yang pas pasan.

"Penyakit kelamin yang menular."

Brilian.

Oryza mendelik ke arah Xander. Xander balas memandang Oryza.

Zea tersedak oleh napasnya sendiri.

"Apa? Penyakit kelamin?"

"Bukan! Nggak mungkin penyakit kelamin!" Oryza tergagapgagap, mau membunuh Xander di tempat. Goblok! Selalu asal asalan kalau mencetuskan kalimat! Oryza berusaha keras memperbaiki keadaan.

"Bukan jenis penyakit kelamin seperti yang dimaksud dengan kelamin."

Oryza buru-buru membuat tanda petik di udara dengan kedua jarinya ketika menyebut kata "kelamin".

"Kelamin..." Zea ikutan membuat tanda petik di udara dengan kedua jarinya. Tapi gerakannya lebih pelan daripada Oryza.

"...seperti apa?"

"Kelamin seperti..." Oryza menjawab terbata-bata. Membuat tanda petik di udara sekali lagi dengan kedua jarinya.

"...gejala gejala flu biasa. Kak."

Zea tidak menggeleng. Tidak juga mengangguk. Dia menatap Oryza dengan paras terkejut.

"Flu? Sejak kapan penyakit kelamin menjadi penyakit dengan gejala'gejala flu? Aku nggak tahu apa-apa. Astaga!" Zea memekik kecil.

"Aku nggak bisa napas sejak kemarin. Hidungku tersumbat. Aku kira itu akibat jatuh cinta. Nggak nyangka kalau semua itu karena penyakit kelamin. Aku pasti terkena virusnya.'

Pintu klinik terbuka di tepat pada dua kalimat terakhir yang diucapkan oleh Zea. Dokter Lukas berdiri di sana. Dia nyaris semaput mendengar ucapan zea.

"Apa?" tanyanya kaget.

Zea masih terus berbicara tanpa henti. 'Dokter seharusnya tahu dari mana seseorang terkena penyakit kelamin. Mungkin aku tertular dari Gus yang sering bepergian ke luar negeri. Dengar-dengar Eropa pernah terjangkit penyakit ini..."

Dokter Lukas menarik tangan Oryza ke dalam kliniknya. Buru-buru dia menutup pintu di belakang punggung. Matanya menatap Oryza dengan tajam.

"Ada apa?" Rahang Dokter Lukas mengeras.

"Kemarin Zea terkena mantra jatuh cinta dan sekarang tertular penyakit kelamin?"

"Nggak, Dokter. Ini cuma salah paham. Semuanya gara-gara Xander."

"Maksudnya? Zea tertular penyakit kelamin gara-gara Xander?"

"BUKAN!" Oryza pengin mengguncang-gunung Dokter Lukas lalu memakannya hidup-hidup.

"ZEA NGGAK KENA PENYAKIT KELAMIN!"

Pintu diketuk dan langsung terbuka. Kepala Zea muncul dari balik pintu.

"Eeeh, aku dengar omongan kalian." Wajahnya berseri.

"jadi, aku nggak terkena penyakit kelamin? Syukurlah."

Oryza menoleh, memandang Dokter Lukas dengan tatapan putus asa.

"Dokter..."

"Oke, Zea. Silakan masuk dulu. Saya akan periksa keadaan kamu."

Oryza melangkah keluar, mencari kursi di ruang tunggu. Pintu sudah tertutup lagi. Xander tidak duduk, hanya berdiri tegak di tengah-tengah ruangan.

"Kamu nggak perlu menghina Zea seperti itu." Oryza terduduk lemas. Tulangnya seperti tidak sanggup menopangnya berdiri. Rasanya seluruh dinding di klinik dokter menertawakannya.

"Aku nggak berniat menghina. Kalimat itu tercetus begitu saja di kepalaku. Spontan."

Wajah Oryza merengut seperti sedang mengejan mengeluarkan anak macan.

"Kamu selalu ngomong tanpa mikir."

Xander balas merengut seperti sedang mengejan mengeluarkan anak gajah.

"Kok kamu ngomong begitu?"

"Memang iya kok. Kamu roaming."

"Kamu juga suka menuduh aku sembarangan."

"Memang kamu begitu!"

"Tuh! Ngomong tanpa dipikir lagi."

Oryza ingin menguburkan kepalanya di telapak tangan. Brengsek! Sepertinya kepalanya berubah jadi kotak. Kenapa sih obrolannya dengan Xander jadi berbelit-belit? Kenapa tidak bisa seperti pagi tadi? Kenapa pelukan nggak bisa menjadi jawaban bagi semuanya? Kenapa... oh, kenapa."?

Memikirkan pelukan, membuat pipinya merona merah.

Oryza menyenderkan tubuhnya yang mendadak letih. Dia menunduk.

"Jadi kamu mau apa?"

Gadis itu sukar mencari kata-kata. Kata-kata sudah lenyap beterbangan di kepalanya. Kalau dia mau jujur, dia ingin semuanya kembali ke awal lagi, ketika nggak ada masalah yang berarti di rumahnya. Apa yang bisa dia lakukan untuk kembali ke titik nol lagi? Kesempatan apa yang...

"Stop."

Oryza mendongak terkejut.

Xander bersimpuh di depannya, tepat di depan wajah Oryza. Lelaki itu berlutut, dengan kedua tangan pelan-pelan menyentuh tangannya.

"Cobalah berhenti mengendalikan situasi." Tatapan mata Xander melembut. Tertuju ke arahnya-hanya dirinya. Seakan akan tidak ada lagi yang ingin dilihatnya kecuali Oryza seorang.

"Berhentilah melakukan segalanya dengan caramu."

Xander memburu ke matanya lekat lekat. Oryza tidak bisa berlari dari tatapannya.

"Kita sudah mengalami kegilaan di petualangan Varaiya bersama-sama. Kamu begitu cemas dengan racun yang bisa membunuh kakak dan adikmu. Sudah cukup kesintingan yang bikin jantung copot. Sudah cukup semuanya, Oryza. Sekarang mereka terkena mantra jatuh cinta. Efeknya nggak seburuk racun Varaiya. tapi kamu tetap saja sepanik dulu."

Xander menggengam jemari Oryza. Matanya meredup. Menatap lembut ke mata Oryza, tanpa kedip.

"Mau nggak, sekali saja, kamu tenang? Sekaliiii saja? Kalau tidak bisa disembuhkan, kita biarkan takdir mengatur jodoh. Coba deh lihat. Zea bahagia banget dengan Gus. Oom Samudra juga kelihatan tenang dengan Aqua di sisinya. Apa lagi yang kurang?"

Oryza seperti nyaris kehabisan napas.

"Bagaimana kalau mereka sadar setelah menikah?"

"Nah ini dia. Kamu selalu menguatirkan hal-hal yang nggak terlalu perlu dikuatirkan. Kamu berpikir kelewat jauh."

"Tapi itu pertanyaannya valid. itu...'

"Ssst..." Tangan Xander naik, menyentuh bibir Oryza.

"Kita rileks saja. Lepaskan. Ikhlaskan. Bisa nggak, Sayang?"

Oryza kehilangan kata-kata.

Sayang.

Kata itu menggema di telinganya.

Benarkah apa yang dikatakan Xander? Ini bukan soal benar atau salah. Xander berusaha menyampaikan sesuatu kepadanya dengan caranya yang terhalus dan terlembut. Pelan pelan bibir Oryza membentuk bingkai senyum.

Di luar dugaan Oryza, Xander balas tersenyum.

Pintuk klinik terbuka. Xander buru-buru melepaskan genggamannya dari tangan Oryza. Mereka berdua menoleh. Dokter Lukas melangkah keluar.

"Zea harus tinggal di sini beberapa lama. Kalian pulang saja, nggak usah ditunggu."

Xander mengambil alih pertanyaan yang-dia tahu pasti

sedang berputar-putar di kepala Oryza.

"Bisa disembuhkan, Dokter?"

"Saya sudah mengecek sampel darah yang kalian berikan. Sejauh ini saya menemukan keanehan. tapi saya belum bisa menemukan ramuan mantra pembaliknya. Saya usahakan akan selesai sebelum pernikahan. Kapan pernikahannya?"

"Besok."

"Besok? ' Dokter Lukas terpana.

Oryza mengangguk.

Dokter Lukas mengerutkan kening.

"Saya harus bekerja keras supaya ramuannya selesai selambat-lambarnya besok pagi."

"Baiklah, Dokter. Semoga berhasil."

**

Rumah hening ketika Oryza dan Xander pulang. Lampu sudah mati, hanya lampu redup yang dipasang di lorong, menyala berwarna kuning muda. Keheningan yang menakjubkan. Ada sesuatu yang salah. Oryza bisa merasakan...

"SIALAAAAANNN!"

Lamunan Oryza tentang pulang ke rumah yang damai, hangat, dan tenang seketika hancur berantakan. Betul, kan. Pasti ada yang salah.

"GUE POTONG LO! KAMPRET!"

Tampak bayangan berlari kencang ke arah mereka. Oryza menyingkir ke arah tembok, memberi tempat bagi bayangan itu untuk melewatinya. Ternyata Solanum. Air mukanya yang tajam seketika melembut ketika melihat Oryza.

Brengsek. Oryza nggak suka bertemu dengan Solanum di tengah-tengah keadaan seperti ini. Dia masih trauma. Gadis itu melengos. Air muka Solanum pelan-pelan luruh dalam kekecewaan melihat reaksi kakaknya.

"Ada apa?"

Xander yang bertanya duluan. Bukan Oryza. Bibir Oryza tergembok mendadak.

"Parah. Angsa sialanmu itu menggigiti bukuku."

"Hah?"

"Lihat nih !" Tangan Solanum menunjuk buku yang koyak di bufet. Wajahnya kelihatan dua kali lebih shock daripada biasanya.

Xander tertawa dengan nada datar, setengah salah tingkah.

"Itu buku kesayanganku!" Solanum tidak bisa melepaskan Xander tanpa rasa bersalah.

"Aku dendam. Aku mau jadiin angsa goreng kalau makhluk jelek itu ketangkap!"

"Jangan," Xander buru-buru melarang.

"itu angsa langka."

"Alamah!" Solanum mencibir.

"Angsa langka? Langka apa? Cuma angsa kampung yang kotor aja."

"Itu angsa langka." Sudahlah, Xander tidak sanggup mengumpulkan karakata kreatif lainnya. Dia sudah mentok dengan keabsurdan ini. Nggak bisa jalan ke mana-mana.

"Kamu copy-paste ya? Dari tadi kata'katamu sama terus."

"Apa lagi yang harus aku jelaskan? itu..." Xander menghela napas,
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"...angsa langka."

Solanum memutar matanya.

"Oke. Aku paham. Itu angsa langka." Dia mengangkat alisnya.

"Tapi aku nggak peduli. Kalau kamu nggak bisa mengatur angsa itu, besok dia udah bakal tersaji di piring makanan."

Rupanya Solanum lumayan bebal. Dia sanggup mengeluarkan ancaman sepanjang itu kepada Xander dengan kehadiran Oryza di sebelahnya.

Xander buru-buru mengalihkan perhatian Solanum yang sudah seperti teko yang mendidih.

"Besok hari pernikahan Dadi dan Zea."

"Besok?" Solanum ingin menyengol Oryza, tapi tidak berani.

Tampang Oryza seperti gajah hendak melahirkan kalau berdekat-dekatan dengan dirinya.

"Pantas itu yang menyebabkan kamu kelihatan murung seharian."

"Aku nggak bisa kalem kalau besok Dadi bakal kawin sama lelembut satu itu."

Xander melirik ke Oryza dengan tatapan yang halus sekali. Benak Oryza langsung dipenuhi gambaran ketika Xander berjongkok di depannya, mengatakan bahwa dia harus mengikhlaskan apa yang terjadi. Oryza kalang kabut memikirkan bayangan yang berkelebatan di dalam pikirannya.

Mengikhlaskan...

Bisakah?

Rasanya kata itu terlalu jauh di awang-awang. Napas Oryza menderu. Dia membayangkan adegan itu berulang-ulang. Sampai seluruh dahinya basah berkeringat. Keindahan bayangan itu mengigiti seluruh hatinya, merampok bayangannya.

"Memangnya bisa?" kata Solanum datar.

"Memangnya bisa mencegah mereka?"

Oryza nyaris terpancing lagi. Tapi tatapan kuat Xander ke arahnya, membuatnya bertahan. Seakan akan ada tangan tak kasat mata yang memeganginya sehingga dia tak lagi bisa terguncang dengan kenyataan ini.

"Kayaknya nggak bisa."

Solanum memberikan ekspresi kosong.

Oryza menghela napas dalam-dalam. Jika bukan karena Xander. dia pasti sudah semaput dan kesal tak alang kepalang. Keadaan menjadi tenang terkendali. Tatapan Solanum pelan' pelan berubah mengganas ketika memikirkan bukunya yang rusak ditelan angsa. Dia berbalik, bergerak ke dalam rumah.

"Awas ya. kalau angsa itu sampe kenapa-kenapa!" teriak Xander mengancam.

Solanum seperti tuli. Dia berlagak tidak mendengar. Melengos

lalu kembali serius mengejar ke mana

angsa yang kini entah menghilang

**

Pagi akhirnya datang juga.

Biarpun Oryza ingin menahan matahari agar tidak usah terbit, akhirnya dia terbangun ketika beker berbunyi keras. Pukul tujuh. Uh, betapa menyebalkan hari ini. Oryza yakin. setidaknya bukan dia saja yang bete di hari ini. Semoga Xander, Solanum, Dokter Lukas juga sama-sama bete dengan kenyataan yang ada di depan mereka.

Oryza bangun malas-malasan. Dengan susah payah dia berjalan ke pintu. tersaruk-saruk ke kamar mandi. Sejujurnya kalau menuruti kata hati, Oryza kepengin kabur. Kerja saja. nggak perlu mengurus dua perkawinan yang bikin kepalanya cenutcenut. Tenggelam di tengah meeting atau mengobrol dengan Iris sahabatnya di kantor. Kalau bisa Oryza cuek bebek, pasti dia akan lakukan!

Tapi mana mungkin dia cuek. Yang menikah sekarang adalah kakak perempuan dan ayahnya. Coba dicatat baik-baik: kakak perempuan dan ayahnya! Ke mana rasa cueknya? Setelah kembali dari kamar mandi, Oryza membuka pintu lemari, termangu. Dia harus mulai mengenakan pakaian pengiring pengantin di hari ini.

Sebal.

Dunia tidak boleh tahu dia sebal.

Tadi dia ketemu dengan Zea saat menuju kamar mandi. Kakaknya terlihat berbinar bahagia. Rambutnya yang basah dibungkus dengan handuk. Dia siap berdandan. Sementara Oryza? Dia menarik napas panjang lagi. Boro-boro mau pake baju. bangun saja udah malas setengah mati.

Ngomong-ngomong... Oryza larut dalam pemikirannya sampai lupa sesuatu di mana Xandet ya.

Xander sudah berada di dalam mobil bobrok yang membawanya menyusuri jalan-jalan protokol Jakarta. Dia tahu hari ini Oom Samudra dan Zea menikah, tapi dia terpaksa harus bekerja. Kemarin dia sudah bolos. Hari ini dia tidak mungkin bolos lagi. Xander tidak mau dia dipecat dan gaji yang seharusnya menjadi haknya tidak dibayar kepadanya.

"Nanti jam dua belas, aku harus ke Gedung Perkawinan Penyihir."

"Oke." Tsungta melirik dengan pancaran rahasia. Dia mendecak.

"Dari dulu Kami yakin banget kamu bakal berubah pikiran."

"Apa?"

"Jodohmu kan selalu Oryza. Nenek-nenek buta juga tahu' Tsungta menyetir dengan tenang.

"Kamu udah kebelet kawin sampai harus mendadak kayak gini?"

"Hah? Gila aja kalau kawin." Xander berkata ketus.

"Aku nggak kawin sama Oryza. Aku justru mau menghentikan perkawinan. Dua perkawinan."

"Oh." Kepala Tsungta menengadah bengong. Menghentikan perkawinan? Sejujurnya. sepenuh jiwa. dia nggak mengerti maksud Xander. Apa itu, dua perkawinan? Tapi ah, buat apa bertanya. Segala sesuatu yang gila akan selalu terjadi selama lelaki ini hidup. Tidak ada yang aneh lagi. Buat apa bingung? Kalau Xander berkata dia akan menghentikan pelari juara dunia memecahkan rekor Olimpiade. Tsungta juga nggak akan sebingung ini.

"Pangilan Unit Delapan. Unit Delapan. Panggilan Unit DelaDan.

Xander ragu-ragu menyambar radio.

"Tuh," kata Tsungta tersenyum simpul.

"Pagi-pagi sudah dipanggil."

"Luar biasa. Ini bakalan menjadi hari yang seru." Xander memegang gagang radio. Matanya membelalak.

"Kita sudah siap? '

Biarpun suara Xander terdengar menyindir. Tsungta tidak ingin menjawab dengan nada sindiran juga. Biarlah hari ini menjadi hari yang indah dan bahagia.

"Copy. Unit Delapan di sini. bersiap dengan keberanian seperti monyet dikejar pocong. Di-copy segera."

"Copy, ganti. Nggak usah nyinyir seperti nenek-nenek."

Tumben. Suara radio jernih, nggak berbunyi kresek kresek yang bisa membuat kuping frustrasi. Xander berharap menara radio ambruk terkena gelegar petir.

"Kode Kuku Kuning 90,90. Bergerak dari pelabuhan. Ulangi. Kode Kuku Kuning 90-90. Bergerak dari pelabuhan."

Wajah Xander perlahan memutar.

"Kode Ku... kuku Kuning 90-90?"

"Kode Kuku Kuning 90490. Copy, roger."

"Kuku Kuning 90790...

" Xander menggaruk kepala.

"Kode untuk kucing..."

"Betul sekali. Persisnya dibaca pelan'pelan seperti ini: kode istimewa buat makhluk menyeramkan yang mulai meneror pelabuhan dan memiliki kekuatan yang nggak bisa diprediksi. sampai-sampai membuat siapa pun yang menciptakan Godzilla bakal merasa minder."

"Nggak perlu ber-puisi. Kalau dipersingkat..." Wajah Xander muram.

"Itu maksudnya kucing, kan?"

"NGGAK USAH DITANYA LAGI DEH! UDAH JELAS ITU KUCING!"

Xander langsung ingin lompat ke akuarium penuh ikan piranha.

"Sori, Bos," jawabnya cepat.

"Kami menolak tugas. Kami kebetulan sibuk sekali di sini."

"Telat, Jeng. Apa pun kesibukannya, minumnya tetap teh botol."

Hening.

Kening Xander dan Tsungta berkerut sangat dalam.

"Nggak lucu ya? Hehehe... Oke, baiklah, kita serius sekarang." Terdengar suara dehaman.

"Apa pun kesibukannya, segera tinggalkan!"

"Bos. ayolah," suara Xander merayu.

"Panggil petugas lain aja. Kami beneran sibuk banget. Nggak bisa ditinggal."

"Unit satu sampai unit tujuh nggak pernah eksis. Kami hanya punya unit delapan. Jadi. tinggalin apa pun pekerjaan yang sedang kalian lakukan. Ini perintah yang harus dijalani sebelum makhluk jadi-jadian itu menghancurkan kota tercinta kita. Mengerti?"

Suara radio seketika hening. Hubungan langsung terputus. Tsungta menoleh ke arah Xander yang mematung.

"Sebentar lagi kita mati, kan? Jujurlah pada Raja."

**

Solanum sudah tiba di Gedung Perkawinan Penyihir sejak sejam yang lalu. Dia perlu mengatur semua kebutuhan sebelum pengantin dan para tamu hadir. Heran, ke mana yang lain? Ke mana Oryza? Sejak kapan dia yang diangkat menjadi wedding organizer, terkena urusan perkawinan yang aneh bin ajaib ini?

Sudah tiga puluh menit dia menerima perusahaan Boris yang sedang merangkai bunga. Tema warnanya adalah putih. Seluruh ruangannya didekorasi dengan warna putih. Ini idenya Zea dan Aqua. Bunga-bunga lili yang mendominasi warna putih bertaburan di sepanjang dinding dan meja.

Tiba-tiba seorang lelaki datang ke arahnya dengan wajah pucat pasi.

"Siapa yang bawa makhluk itu?"

Solanum melongo.

"Makhluk apa-?"

Lelaki itu menuding ke ruangan kosong.

"Ada makhluk yang sedang mengunyah dokumen tata cara perkawinan."

Solanum memanjangkan lehernya. Mukanya langsung merah padam setelah tahu apa yang terjadi.

"Sialan." serunya pelan.

"Itu angsanya Xander! Kenapa bisa terbawa ke gedung ini? '

Orang itu terkesima.

"Binatang itu ileran."

Solanum berlari masuk ke dalam ruangan dengan kecepatan peluru. Dia ingat kata-katanya kepada Zea,

"Sini, kubantuin acaranya, Kak!" Lihat, apa yang terjadi. Pinter deh dia. Seharusnya Solanum bisa menebak bagaimana cerita ini akan berakhir. Pasti otaknya kena radioaktif waktu mengajukan diri secara sukarela mengurus acara kawinan massal ini.

"Tangkap binatang itu! Setelah itu kita goreng!"

"Maaf. Pak... Eh. siapa nama Bapak?"

"Pak Herry."

"Oke, Pak Herry." kata Solanum sopan. jidatnya yang licin mengilap dalam kernyit yang dalam. Sesungguhnya dia sedang merutuk habis-habisan.

"Itu angsa langka. Nggak bisa ditangkap dan digoreng begitu saja. Nyawa angsa tersebut dilindungi undang undang."

"Nggak pernah dengar angsa seperti itu."

"Sayang sekali angsa ini eksis. Angsa langka, namanya cygnus atratus sumnerensis."

"Cebok apa?"

"Cygnus, bukan cebok. Pokoknya kalau angsa ini terbunuh, hukumannya masuk penjara."

"Jangan nakut-nakutin. Mbak."

'Saya serius. jangan main-main dengan angsa ini."

"Kalau serius begitu," katanya mulai merasa sebal.

"Kenapa binatang nggak dijaga di kebun binatang?"

Solanum gusar.

"Itu yang jadi pertanyaan saya juga. Kenapa angsa itu bisa masuk ke dalam mobil saya? '

**

MEREKA duduk berdua di ruangan kosong. saling memandang. Pax melempar tatapan ketika merasa tatapan Nuna mulai agak tidak menyenangkan. Dia tidak suka bertabrakan pandang. Itu saja. Dari dulu dia selalu pemalu. apalagi dengan perempuan. Tidak heran dia selalu jatuh hati kepada perempuan yang salah.

"Kita akan pergi ke perkawinan ini." '

Suara Pax terdengar berat.

"Harus. Kita harus datang."

"Aku tidak..." Suara Pax berhenti sejeda.

" kepingin datang."

Nuna ingat petualangan Varaiya yang dilaluinya bersama lelaki ini. Dia ingat Pax yang mengalami kecelakaan berkali-kali selama petualangan itu. Dengan menutup mata pun, dia terbayang wajah Pax yang mudah diingat. Lelaki ini jatuh cinta dengan perempuan yang membuat hatinya pecah berantakan. Bukan karena perempuan itu juga jatuh cinta dengan Pax. bukan! Ironisnya. perempuan itu jatuh cinta dengan lelaki yang dicintainya.

Rumit juga hubungan ini. Hubungan segi empat? Atau segi tiga prisma?

"Kamu harus ikhlas melepaskan Oryza kepada Xander. itu kalau kamu benar-benar menyayanginya dengan tulus. Pakde."

Pax mengangkat bahu. Dia tidak suka percakapan ini, apalagi panggilan Nuna kepadanya. Itu sindiran. Pax tahu. Sebagai lelaki, dia juga tidak suka membahas perasaannya, khususnya perasaannya kepada perempuan. Tidak ada yang bisa dijabarkan. Pax ingin mengalihkan percakapan. Perasaan-perasaan yang mendera di dalam hati tidak seharusnya dibahas. Memangnya ini curhat di radio?

"Dengar-dengar, kamu punya teman kencan?"

Kalau Pax nggak suka membahas perasaannya, Nuna juga ngak suka kalau ditanya soal teman kencannya. Bukan apa-apa. kalau dia mengatakan sedikit aja, pasti ada yang sedikit korslet mendengar nama Tsungta. Nuna diam membisu, seperti yang dilakukan Pax.

"Hei..." panggil Pax datar. Suaranya khas maskulin.

"Jawab dong."

Jawab nggak ya? Bola mata Nuna melirik di antara rimbun bulu mata. Kalau Pax bakalan loncat ke langit dari kursi yang didudukinya, pasti akan menjadi adegan yang menggelikan. Nuna memutuskan untuk menceploskan satu nama begitu saja.

"Tsungta."

"Apa? '

"Tsungta."

"Siapa?"

Nuna nyaris melempar asbak, menimpuk kepala Pax.

"Nggak usah berpurapura tolol. Kamu kenal orang itu."

"Tsungta... raja jadi'jadian itu?"

Mulut Pax menipis cepat. Ada sesuatu yang menggelitiki perutnya. Sudah lama Pax tidak tertawa. Sudah lama banget. Kali ini. tanpa bisa ditahan, dia menyemburkan gelak yang kencang sekali.

Iya. Lucu ya. ketawa aJa terus.

"Kok tersinggung? Kamu serius?"

"Aku serius."

Pax sungguh menjadi serius. Dia mengerem tawanya seketika. Bibirnya terkatup rapat.

"Sudah aku bilang waktu itu, kan?" Nuna melempar napas.

"Karena aku bosan mengharapkan cinta Xander. Sakit hati juga. Sudah saatnya aku mencoba mencari kemungkinan dengan lelaki lain."

'Dan orang itu adalah..."

"Hei, nggak usah sinis sekarang!" sergah Nuna."Mungkin lelaki ini bisa dijadikan harapan. Aku nggak tahu. Murry-tin aja lho."

"Tapi Tsungta itu kan dulu kasar banget sama kamu."

"Sebenarnya enggak. Dia hanya nggak mengerti cara menghadapi perempuan sepertiku."

Pax menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ya, ya. Sepertinya begitu. Yang kasar itu sebenarnya adalah orang gila yang suka menghina orang lain dan meremehkan cewek yang kasih perhatian kepada dia. yang juga sok pinter..."

"Kamu ngoceh apaan sih?" Nuna memandang Pax dengan tatapan bingung.

"Kamu punya masalah kejiwaan, tahu nggak?"

"Masalah kejiwaanku cuma satu. Namanya Xander."

Ini dia. Nuna mendelik. Sudah saatnya Nuna tahu apa yang terjadi di antara Pax dan Xander. Apa sih yang menyebabkan Pax selalu mengalami tekanan darah tinggi sama Xander? Apa murni karena Oryza? Atau masalah lain yang mengganggu?

"Ada apa sih antara kamu dan Xander? Ribut melulu kayak harimau dan pelanduk. Aku udah bosan mendengarnya."

Pax mendadak terdiam.

"Nah, diam lagi deh." Nuna mencibir.


Wiro Sableng 172 Empat Mayat Aneh Animorphs 50 Ultimate Si Teratai Merah Ang Lian Li Hiap Karya

Cari Blog Ini