Ceritasilat Novel Online

A Man Called Ove 1

A Man Called Ove Karya Fredrik Backman Bagian 1

??

N O V E L

Menyajikan kisah

A Man Called Ove

ebook by pustakaindo.blogspot.com

Diterjemahkan dari A Man Called Ove karya Fredrik Backman,

terbitan Sceptre An Imprint of Hodder & Stoughton An Hachette UK Company

En man som heter Ove Copyright Fredrik Backman 2014 Published by arrangement with Partners in Stories Stockholm AB, Sweden

All rights reserved

Penerjemah: Ingrid Nimpoeno Penyunting: Jia Eff endi

Penata letak: CDDC Perancang sampul: Muhammad Usman

ISBN: 978-602-385-023-5

Diterbitkan oleh: Penerbit Noura Books (PT Mizan Publika) Anggota IKAPI Jln. Jagakarsa No. 40 RT 007/RW 04

Jagakarsa, Jakarta Selatan Telp: 021-78880556, Faks: 021-78880563 E-mail: redaksi@noura.mizan.com http://nourabooks.co.id

E-book ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing Jl. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan 12620 Phone.: +62-21-7864547 (Hunting)

Fax.: +62-21-7864272 email: mizandigitalpublishing@mizan.com Bandung: Telp.: 022-7802288 Jakarta: 021-7874455, 021-78891213, Faks.: 021-7864272 Surabaya: Telp.: 031-8281857, 031-60050079,

Faks.: 031-8289318 Pekanbaru: Telp.: 0761-20716, 076129811, Faks.: 0761-20716 Medan: Telp./Faks.: 061-7360841 Makassar: Telp./Faks.: 0411-440158 Yogyakarta: Telp.: 0274-885485, Faks.:

0274-885527 Banjarmasin: Telp.: 0511-3252374 Layanan SMS: Jakarta: 021-92016229, Bandung: 08888280556 FB: Mizan Media Utama | Twitter: @mizanmediautama Digitalisasi: Elliza Titin Gumalasari

1

Lelaki Bernama Ove Membeli Komputer yang Bukan Komputer

OVE LIMA PULUH SEMBILAN TAHUN.

Dia mengendarai Saab. Dia menuding orang yang tampangnya tidak ia sukai, seakan orang itu maling dan telunjuknya adalah senter polisi. Dia berdiri di gerai toko yang didatangi para pemilik mobil Jepang untuk membeli kabel-kabel putih. Ove mengamati asisten penjualan untuk waktu yang lama, lalu mengguncang-guncang kotak putih berukuran sedang ke hadapan asisten itu.

Jadi, ini salah satu O-Pads itu, kan? tanyanya. Si asisten, seorang pemuda yang memiliki indeks massa tubuh satu digit, tampak tidak nyaman. Jelas sekali dia berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak merenggut kotak itu dari tangan Ove.

Ya, tepat sekali. iPad. Bisakah Anda berhenti mengguncang-guncangnya seperti itu & ?



Ove memandang kotak itu dengan sangsi, seakan itu semacam kotak yang sangat mencurigakan, kotak yang mengendarai skuter, bercelana training olahraga, menyebut Ove sobatku lalu menawarinya arloji untuk dibeli. Aku tahu. Jadi, ini komputer, kan?

Asisten penjualan mengangguk. Lalu dia bimbang dan cepat-cepat menggeleng.

Ya & atau, maksud saya, itu iPad. Sebagian orang menyebutnya tablet dan yang lain menyebutnya alat peramban . Ada berbagai cara dalam memandangnya & .

Ove memandang asisten penjualan seakan pemuda itu baru saja bicara secara terbalik, lalu kembali mengguncangguncang kotak itu.

Tapi ini barang bagus, kan?

Asisten itu mengangguk kebingungan. Ya. Atau & . Apa maksud Anda?

Ove mendesah dan mulai bicara perlahan-lahan, mengucapkan kata-katanya seakan yang menjadi masalah di sini hanyalah gangguan pendengaran lawan bicaranya. Ini. Barang. Bagus. Kaaaaaaan? Ini komputer bagus? Asisten itu menggaruk-garuk dagu. Maksud saya & ya & ini sungguh bagus & tapi tergantung dari jenis komputer apa yang Anda inginkan.

Ove memelototinya. Aku mau komputer! Komputer normal sialan!

Keheningan melingkupi kedua lelaki itu selama beberapa saat. Asisten itu berdeham.



Wah & ini tidak bisa dibilang komputer normal. Mungkin sebaiknya Anda memilih & . Asisten itu terdiam, seakan mencari kata yang bisa dipahami oleh lelaki di hadapannya. Lalu, dia kembali berdeham dan berkata, & laptop?

Ove menggeleng keras dan mencondongkan tubuh ke atas gerai dengan sikap mengancam. Tidak, aku tidak mau laptop . Aku mau komputer.

Asisten itu mengangguk sok tahu. Laptop itu komputer. Dengan tersinggung, Ove memelototinya dan menghunjamkan telunjuk ke gerai.

Kau pikir aku tidak tahu, ya!

Hening lagi, seakan dua jago tembak mendadak menyadari bahwa mereka lupa membawa pistol. Ove memandang kotak itu untuk waktu yang lama, seakan menunggu munculnya pengakuan dari sana.

Dari mana keyboard-nya ditarik keluar? gumamnya pada akhirnya.

Asisten penjualan menggosok-gosokkan telapak tangan ke pinggir gerai dan memindahkan bobot tubuhnya dengan gelisah dari satu kaki ke kaki lain, seperti yang sering dilakukan oleh anak-anak muda yang bekerja di toko eceran, ketika mulai menyadari ada sesuatu yang akan menghabiskan jauh lebih banyak waktu daripada yang semula mereka harapkan. Wah, sesungguhnya ini tidak pakai keyboard. Ove menggerak-gerakkan alis. Ah, tentu saja, cetusnya. Karena kau harus membelinya sebagai ekstra , kan?



Tidak, maksud saya, komputernya tidak punya keyboard yang terpisah. Anda mengontrol segalanya dari layar.

Ove menggeleng tidak percaya, seakan baru saja menyaksikan asisten penjualan berjalan mengitari gerai dan menjilati kaca depan etalase.

Tapi, aku harus punya keyboard. Kau mengerti, kan? Pemuda itu mendesah panjang, seakan menghitung sampai sepuluh dengan sabar.

Oke. Saya mengerti. Kalau begitu, saya rasa Anda jangan memilih komputer ini. Saya rasa Anda harus membeli sesuatu yang seperti MacBook saja.

MacBook? tanya Ove dengan sangat tidak yakin. Apakah itu salah satu eReader hebat yang dibicarakan semua orang?

Bukan. MacBook adalah & adalah & laptop, dengan keyboard.

Oke! desis Ove. Sejenak dia memandang ke sekeliling toko. Jadi, baguskah itu?

Asisten penjualan menunduk memandang gerai dengan cara seakan mengungkapkan hasrat luar biasa walaupun sedikit terkendali untuk mencakari wajahnya sendiri. Lalu, mendadak dia berubah ceria, mengulaskan senyum bersemangat.

Begini saja. Coba saya lihat, apakah kolega saya sudah selesai dengan pelanggannya sehingga bisa datang dan memberikan demonstrasi untuk Anda.



Ove menengok arloji dan menyetujui sambil menggerutu, mengingatkan asisten itu bahwa beberapa orang punya pekerjaan yang lebih baik dibandingkan berdiri menunggu sepanjang hari. Asisten itu mengangguk cepat, lalu menghilang dan kembali bersama seorang kolega setelah beberapa saat. Kolega itu tampak sangat riang, seperti orang yang belum bekerja cukup lama sebagai asisten penjualan. Hai, ada yang bisa dibantu?

Ove menghunjamkan telunjuk-senter-polisinya ke gerai. Aku mau komputer!

Kolega itu tidak lagi tampak begitu riang. Dia memandang asisten penjualan pertama dengan curiga, seakan mengatakan dia akan membalasnya nanti.

Sementara itu, asisten penjualan pertama bergumam, Aku tidak tahan lagi, aku mau makan siang.

Makan siang, dengus Ove. Hanya itu yang dipedulikan orang sekarang ini.

Maaf? tanya kolega itu sambil berbalik.

Makan siang! Ove menyeringai, lalu melemparkan kotaknya ke atas gerai dan berjalan keluar dengan cepat.[]



2

(TIGA MINGGU SEBELUMNYA)

Lelaki Bernama Ove Melakukan

Inspeksi Lingkungan

PAGI ITU PUKUL ENAM KURANG lima menit, ketika Ove dan si kucing bertemu untuk kali pertama. Si kucing langsung sangat tidak menyukai Ove. Perasaan yang berbalas layaknya gayung bersambut.

Seperti biasa, Ove telah bangun sepuluh menit sebelumnya. Dia tidak bisa memahami orang yang ketiduran dan menyalahkan beker tidak berdering . Ove tidak pernah punya beker seumur hidupnya. Dia terjaga pukul enam kurang lima belas dan saat itulah dia bangun.

Setiap pagi, selama hampir empat dekade mereka tinggal di rumah itu, Ove menyalakan cerek penapis kopi, memasukkan jumlah kopi yang persis sama seperti pada pagi-pagi lainnya, lalu minum secangkir kopi bersama istrinya. Satu takaran untuk setiap cangkir, dan satu takaran ekstra untuk tekonya tidak kurang, tidak lebih. Orang-orang tidak tahu lagi cara menyeduh



kopi yang layak. Sama seperti sekarang ini, tak seorang pun bisa menulis dengan pena. Kini semuanya dilakukan oleh komputer dan mesin espresso. Mau ke mana dunia ini jika orang bahkan tidak bisa menulis atau menyeduh sedikit kopi?

Sementara secangkir kopi yang layak sedang dalam proses penyeduhan, Ove mengenakan jaket dan celana panjang biru tua, memakai kelom kayu, lalu memasukkan tangan ke saku dengan cara khas lelaki setengah baya, yang menganggap dunia tak berguna di luar sana akan mengecewakannya. Lalu dia melakukan inspeksi pagi jalanan. Rumah-rumah berteras di lingkungannya diliputi keheningan dan kegelapan ketika dia melangkah keluar dari pintu, dan tak seorang pun terlihat. Sudah kuduga, pikir Ove. Di jalanan ini tak seorang pun mau repot-repot bangun lebih pagi ketimbang seharusnya. Sekarang ini hanya orang-orang yang berwirausaha dan jenisjenis tak terhormat lainnya yang tinggal di sini.

Si kucing duduk dengan ekspresi tak peduli, di tengah jalan setapak yang memanjang di antara rumah-rumah. Ekornya hanya setengah, telinganya hanya satu. Petakpetak bulu menghilang di sana-sini seakan seseorang telah mencabuti bulunya sejumput demi sejumput. Bukan kucing yang mengesankan.

Ove maju terus. Si kucing menegakkan tubuh. Ove berhenti berjalan. Mereka berdiri di sana, saling menilai selama beberapa saat, seperti dua calon pembuat onar di sebuah bar di kota kecil. Ove berpikir untuk melemparkan salah satu kelomnya pada si kucing. Si kucing tampak seakan menyesal tidak membawa kelomnya sendiri untuk membalas lemparan itu.



Minggat! teriak Ove, sebegitu mendadaknya sehingga si kucing melonjak ke belakang. Sejenak, si kucing mengamati lelaki berusia lima puluh sembilan tahun dan kelomnya itu, lalu berbalik dan melompat-lompat pergi. Ove berani bersumpah si kucing memutar bola mata sebelum menghilang.

Dasar hama, pikir Ove sambil menengok arloji. Pukul enam kurang dua menit. Saatnya pergi, atau kucing sialan itu akan berhasil menunda inspeksi menyeluruhnya. Dan itu akan menyebalkan.

Ove mulai menyusuri jalan setapak di antara rumahrumah. Dia berhenti di dekat papan lalu lintas yang memberi tahu pengemudi kendaraan bermotor bahwa mereka dilarang memasuki area permukiman. Dia menendang tiang logam itu keras-keras. Tiang itu tidak miring, tapi Ove selalu berpikir, tidak ada salahnya ia memeriksa. Ove adalah jenis lelaki yang memeriksa kondisi benda apa pun dengan menendangnya keras-keras.

Ove berjalan melintasi area parkir dan mondar-mandir di sepanjang semua garasi untuk memastikan tadi malam tak satu garasi pun yang dimasuki pencuri atau dibakar gerombolan perusak. Hal-hal semacam itu tidak pernah terjadi di sekitar sini, tapi Ove juga tidak pernah sekali pun melewatkan inspeksinya. Tiga kali dia menarik pegangan pintu garasinya sendiri, tempat mobil Saab-nya diparkir. Persis seperti pada pagi lainnya.

Setelah itu, dia memutar melewati area parkir tamu. Di sana, mobil hanya bisa ditinggalkan hingga dua puluh empat jam. Dengan cermat, dia mencatat semua pelat nomor di buku catatan kecil yang disimpannya di dalam saku jaket,



lalu membandingkan catatan ini dengan semua pelat nomor yang dicatatnya kemarin.

Terkadang ketika pelat nomor yang sama muncul di buku catatannya, Ove akan pulang dan menelepon Otoritas Perizinan Kendaraan untuk memperoleh detail-detail pemilik kendaraan itu. Lalu, dia akan menelepon orang itu dan memberi tahu bahwa dia adalah orang tolol sialan tak berguna yang bahkan tidak bisa membaca rambu. Tentu saja Ove tidak begitu peduli terhadap siapa yang parkir di area parkir tamu, tapi ini masalah prinsip. Jika rambu itu menyatakan dua puluh empat jam, maka hanya selama itulah kau diizinkan parkir. Apa jadinya jika semua orang parkir begitu saja di tempat mana pun yang mereka sukai? Akan terjadi kekacauan. Akan ada mobil sialan di mana-mana.

Hari ini, untunglah, tidak ada mobil tidak sah di area parkir tamu sehingga Ove bisa melanjutkan ke bagian lain inspeksi hariannya: ruang sampah. Harap diingat, sesungguhnya ini bukanlah tanggung jawabnya. Sedari awal dia telah dengan gigih menentang omong kosong yang dipaksakan brigade jip yang baru-baru ini tiba bahwa sampah rumah tangga harus dipilah-pilah . Sebab begitu diputuskan menyortir sampah, seseorang harus memastikan agar ini benar-benar dilaksanakan. Memang tidak ada yang meminta Ove melakukannya, tapi jika orang seperti Ove tidak mengambil inisiatif, pasti akan terjadi anarki. Akan ada kantong sampah di mana-mana.

Ove menendang pelan tong-tong sampah itu, menyumpah, mengambil sebuah botol beling dari tong daur-ulang sampah kaca, lalu menggumamkan sesuatu



mengenai ketidakcakapan sambil membuka tutup logam yang menutupinya. Dia masukkan kembali botol itu ke tong daur-ulang sampah kaca dan tutup logamnya ke tong daurulang logam.

Dahulu, semasa menjadi ketua Asosiasi Warga, Ove mendesak keras agar kamera-kamera pengintai dipasang sehingga mereka bisa memantau ruang sampah dan menghentikan orang-orang yang membuang sampah secara keliru. Proposalnya ditolak dan Ove merasa sangat jengkel.

Para tetangga merasa sedikit tidak nyaman sehubungan dengan hal itu; lagi pula, menurut mereka, akan terlalu merepotkan untuk mengarsip semua rekaman videonya. Inilah yang terjadi, meski berulang kali Ove mengatakan bahwa mereka yang berniat jujur tidak perlu mengkhawatirkan kebenaran .

Dua tahun kemudian, setelah Ove digulingkan dari jabatan ketua Asosiasi (pengkhianatan yang kemudian disebut Ove sebagai kudeta ), pertanyaan yang sama muncul kembali. Kelompok pembina yang baru itu menjelaskan dengan bersemangat kepada warga bahwa kamera model baru tersedia, diaktifk an oleh sensor gerak, dan mengirim rekaman secara langsung ke Internet. Dengan bantuan kamera semacam itu, seseorang bukan hanya bisa memantau ruang sampah, tapi juga area parkir sehingga mencegah perusakan dan pencurian. Yang lebih baik lagi, materi video itu terhapus secara otomatis setelah dua puluh empat jam sehingga menghindari pelanggaran hak privasi warga . Keputusan bulat diperlukan untuk melanjutkan dengan pemasangannya. Hanya satu anggota yang menolak.



Dan itu karena Ove tidak memercayai Internet. Dia mengeja kata itu dengan I besar dan menekankan kata -net , walaupun istrinya mengomel bahwa kau harus meletakkan tekanannya pada kata inter . Dengan segera, kelompok pembina itu menyadari bahwa internet harus melangkahi mayat Ove terlebih dahulu jika ingin menyaksikan Ove membuang sampah. Pada akhirnya, tidak ada kamera yang dipasang. Baguslah, pikir Ove. Lagi pula inspeksi harian lebih efektif. Kau tahu siapa yang melakukan apa dan siapa yang menjaga agar segalanya terkendali. Siapa pun yang punya setengah otak pasti bisa memahaminya.

Ove mengunci pintu ketika sudah menyelesaikan inspeksi ruang sampah, persis seperti yang dilakukannya setiap pagi, lalu dia menarik pegangannya tiga kali untuk memastikan pintu itu tertutup dengan benar. Kemudian, dia berbalik dan melihat sepeda yang tersandar di dinding luar gudang sepeda, walaupun ada papan besar menginstruksikan warga agar tidak meninggalkan sepeda di sana. Persis di sampingnya, salah seorang tetangga telah menempelkan pesan tulisan tangan bernada marah: Ini bukan area parkir sepeda! Belajarlah membaca pengumuman!

Ove menggumamkan sesuatu mengenai orang idiot tak berguna, membuka gudang sepeda, mengangkat sepeda itu, memasukkannya dengan rapi ke sana, lalu mengunci gudang dan menarik pegangan pintunya tiga kali. Dia merobek pesan bernada marah itu dari dinding. Sebenarnya, dia ingin mengusulkan kepada dewan pembina agar memasang plang Dilarang Menempelkan Pamfl et . Saat ini, orang seakan mengira mereka bisa menempelkan pesan bernada marah
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



di sini, di sana, dan di mana pun sesuka mereka. Ini dinding, bukan papan pengumuman sialan.

Ove berjalan menyusuri jalan setapak kecil di antara rumah-rumah. Dia berhenti di luar rumahnya sendiri, membungkuk di atas batu-batu hampar, dan mengendus kuat-kuat di sepanjang celah-celah.

Kencing. Ini pesing bau kencing.

Dan dengan hasil pengamatan ini Ove memasuki rumah, mengunci pintu lalu minum kopi.

Ketika sudah selesai, dia memberhentikan langganan telepon dan korannya. Dia memperbaiki keran pengatur air panas dan dingin di kamar mandi kecil. Memasang sekrup-sekrup baru pada pegangan pintu dari dapur ke beranda. Menata-ulang kotak-kotak di loteng. Menata-ulang perkakasnya di gudang dan memindahkan ban-ban musim dingin mobil Saab-nya ke tempat baru. Dan kini, di sinilah dia berada.

Kehidupan tidak pernah dimaksudkan untuk berubah menjadi seperti ini.

Saat itu Selasa sore pukul empat pada bulan November. Ove telah mematikan semua radiator, cerek penapis kopi dan semua lampu. Meminyaki permukaan meja kayu di dapur, walaupun keledai-keledai di toko perabot IKEA itu mengatakan kayu tidak perlu diminyaki. Di rumah ini semua permukaan kayu diminyaki setiap enam bulan sekali, tak peduli perlu atau tidak. Tak peduli apa pun yang dikatakan oleh gadis berbaju kaus olahraga kuning dari gudang swalayan.



Ove berdiri di ruang duduk rumah berteras dua tingkat yang dilengkapi loteng seukuran setengah rumah di bagian belakangnya, lalu menatap ke luar jendela. Si sok-pamer berjanggut pendek berusia empat puluh dari rumah di seberang jalan sedang berjoging melewati rumah Ove. Namanya Anders sepertinya. Pendatang baru, mungkin belum tinggal di sini selama lebih dari empat atau lima tahun. Namun dia sudah berhasil membujuk masuk kelompok pembina Asosiasi Warga. Dasar ular. Dia menganggap jalanan ini miliknya.

Sepertinya dia pindah kemari setelah bercerai, lalu membeli rumah dengan harga jauh di atas harga pasar. Yang khas dari bajingan-bajingan ini, mereka datang kemari dan mendongkrak harga properti untuk orang jujur. Seakan ini semacam area kelas atas. Ove memperhatikan bahwa lelaki itu juga mengendarai Audi. Sudah bisa ditebak. Orang yang berwirausaha dan semua idiot lainnya mengendarai Audi.

Ove memasukkan tangan ke saku. Dia mengarahkan tendangan yang sedikit angkuh ke lis dinding. Sesungguhnya, rumah berteras ini agak kebesaran untuk Ove dan istrinya, dan ini memang diakuinya. Namun semuanya sudah lunas. Tak tersisa cicilan satu sen pun. Dan ini jelas melebihi apa yang bisa dikatakan orang mengenai lelaki perlente itu. Sekarang ini semuanya serbapinjaman; semua orang tahu itu. Ove telah melunasi cicilan rumahnya. Melaksanakan tugasnya. Pergi bekerja. Tak pernah mengambil cuti sakit sehari pun. Memanggul apa yang menjadi bebannya. Memikul sedikit tanggung jawab. Tak seorang pun melakukan hal itu lagi, tak seorang pun memikul tanggung jawab.



Kini yang ada hanyalah komputer dan konsultan, sedangkan anggota-anggota dewan mengunjungi klub telanjang dan menjual hak sewa apartemen secara gelap. Surga pajak dan portofolio saham. Tak seorang pun ingin bekerja. Negara dipenuhi orang yang hanya ingin makan siang sepanjang hari.

Bukankah sedikit bersantai akan menyenangkan? kata mereka kepada Ove kemarin, di tempat kerja. Mereka menjelaskan bahwa ada semacam kelangkaan prospek lapangan kerja sehingga mereka memensiunkan generasi tua . Sepertiga abad di tempat kerja yang sama, begitulah mereka menyebut Ove. Mendadak, dia menjadi generasi sialan. Sekarang ini, semua orang berusia tiga puluh satu mengenakan celana panjang yang terlalu ketat, dan tidak lagi minum kopi biasa. Juga tidak mau memikul tanggung jawab. Sejumlah besar lelaki yang berjanggut rumit, berganti pekerjaan dan berganti istri dan berganti merek mobil. Begitu saja. Kapan pun mereka ingin melakukannya.

Ove menatap ke luar jendela. Si sok-pamer itu sedang berjoging. Bukannya Ove terprovokasi oleh joging. Sama sekali tidak. Ove sama sekali tidak peduli terhadap orang yang berjoging. Dia hanya tidak paham mengapa mereka harus membesar-besarkannya. Dengan senyum pongah di wajah, seakan mereka berada di luar sana untuk menyembuhkan pembengkakan paru-paru. Entah berjalan cepat atau berlari pelan, itulah yang dilakukan oleh mereka yang berjoging. Itu cara lelaki berusia empat puluh untuk mengatakan kepada dunia bahwa dia tidak bisa melakukan sesuatu pun dengan benar.



Perlukah berdandan seperti pesenam Rumania berusia empat belas agar bisa melakukan olahraga itu? Atau seperti tim olahraga kereta-luncur Olimpiade? Hanya untuk berjalan tanpa arah mengelilingi blok selama tiga perempat jam?

Dan si sok-pamer itu punya pacar. Sepuluh tahun lebih muda. Ilalang Pirang, begitulah Ove memanggilnya. Perempuan yang keluyuran di jalanan seperti panda mabuk dengan tumit sepatu sepanjang kunci pas, rias wajah seperti badut, dan kacamata hitam yang begitu besar sehingga orang tidak tahu apakah itu kacamata atau semacam helm. Perempuan itu juga punya salah satu hewan yang bisa dibawa dalam tas jinjing. Hewan itu berlarian tanpa tali pengikat dan mengencingi batu-batu hampar di luar rumah Ove. Perempuan itu mengira Ove tidak memperhatikan, tapi Ove selalu memperhatikan.

Kehidupannya tidak pernah dimaksudkan untuk seperti ini. Titik. Bukankah sedikit bersantai akan menyenangkan? kata mereka kepadanya di tempat kerja, kemarin. Dan kini, Ove berdiri di sini, di dekat permukaan meja dapurnya yang mengilap. Ini seharusnya bukan sebuah pekerjaan yang dilakukan pada sebuah Selasa sore.

Ove memandang rumah yang identik dengan miliknya di seberang jalan. Sebuah keluarga dengan anak-anak baru saja pindah ke sana. Kelihatannya orang asing. Ove belum tahu mobil macam apa yang mereka miliki. Mungkin sesuatu buatan Jepang.

Astaga. Ove mengangguk sendiri, seakan baru saja mengucapkan sesuatu yang sangat disetujuinya. Dia



mendongak memandang langit-langit ruang duduk. Hari ini, dia akan memasang pengait di sana. Dan yang dimaksudkannya bukanlah sembarang pengait. Semua konsultan IT, yang menggembor-gemborkan diagnosis kode-data dan mengenakan salah satu kardigan yang bisa dikenakan lelaki maupun perempuan dan seakan wajib dipakai oleh mereka semua sekarang ini pasti akan memasang pengait di bawah standar. Namun, pengait Ove akan sekukuh batu. Dia akan menyekrupnya begitu kencang sehingga ketika rumahnya dihancurkan, pengait itu akan menjadi benda terakhir yang masih bertahan.

Beberapa hari lagi akan muncul semacam agen perumahan pongah yang berdiri di sini dengan simpul dasi sebesar kepala bayi, mengocehkan kemungkinan renovasi dan efi siensi ruang , dan bajingan itu akan punya segala macam opini mengenai Ove. Namun, lelaki itu akan bungkam seribu bahasa mengenai pengait Ove.

Di lantai ruang duduk, terdapat salah satu kotak barangberguna milik Ove. Begitulah cara mereka membagi rumah. Semua barang yang dibeli istri Ove tampak cantik atau nyaman . Semua barang yang dibeli Ove berguna. Benda yang punya fungsi. Dia menyimpan barang-barangnya di dalam dua kotak berbeda, satu besar dan satu kecil. Ini kotak yang kecil. Penuh dengan sekrup, paku, beberapa set kunci pas, dan hal semacam itu.

Orang tidak punya barang berguna lagi. Orang hanya punya sampah. Dua puluh pasang sepatu, tapi mereka tidak pernah tahu di mana sendok sepatu berada; rumah dipenuhi oven microwave dan televisi layar-datar, tapi mereka tidak



bisa mengatakan baut mana yang harus digunakan untuk dinding beton, sekalipun kau mengancam mereka dengan pisau-lipat.

Di dalam kotak barang bergunanya, Ove punya banyak sekali baut untuk dinding beton saja. Dia berdiri di sana, memandang baut-baut itu seakan mereka adalah bidak catur. Dia tidak mau terburu-buru membuat keputusan sehubungan dengan baut untuk beton. Segalanya punya waktu tersendiri. Setiap baut-beton adalah sebuah proses dan punya kegunaannya sendiri. Orang tidak lagi menghargai fungsionalitas yang layak dan sederhana, mereka merasa senang selama segalanya tampak bagus dan gaya di komputer. Namun Ove melakukan segalanya dengan cara yang semestinya.

Dia datang ke kantornya pada hari Senin dan mereka mengatakan tidak ingin memberitahunya Jumat lalu karena itu akan merusak akhir pekannya .

Sedikit bersantai akan baik untukmu, kata mereka bergumam.

Bersantai? Tahu apa mereka mengenai bangun pada hari Selasa dan tidak lagi punya tujuan? Dengan Internet dan kopi espresso, tahu apa mereka tentang memikul sedikit tanggung jawab untuk segalanya?

Ove mendongak memandang langit-langit. Menyipitkan mata. Yang penting pengaitnya harus persis di tengah, pikirnya memutuskan.



Dan, sementara Ove berdiri di sana, asyik memikirkan pentingnya pengait itu, dia diganggu tanpa kenal ampun oleh suara goresan panjang. Sangat mirip dengan jenis suara yang diciptakan lelaki besar tolol yang sedang memundurkan mobil buatan Jepang berkaravan yang menggores dinding luar rumah Ove.[]



3

Lelaki Bernama Ove Memundurkan

Mobil Berkaravan

OVE MENYIBAKKAN TIRAI HIJAU BERBUNGA-BUNGA yang selama bertahun-tahun menjadi bahan omelan istri Ove agar diganti. Dia melihat seorang perempuan bertubuh pendek, berambut hitam, berusia tiga puluhan, dan jelas orang asing. Perempuan itu berdiri di sana sambil menggerak-gerakkan tangan dengan berang, memberi isyarat kepada seorang lelaki supertinggi berambut pirang sebayanya yang menjejalkan diri di kursi pengemudi sebuah mobil Jepang yang menggelikan kecilnya, dengan karavan yang kini menggores dinding luar rumah Ove.

Si Kerempeng, lewat isyarat-isyarat tangan halus, seakan ingin mengungkapkan kepada perempuan itu bahwa ini tidak semudah kelihatannya. Perempuan itu, lewat isyaratisyarat tangan yang agak kasar, seakan ingin mengungkapkan bahwa itu mungkin ada hubungannya dengan ketololan Si Kerempeng.



Wah, dasar sialan & , teriak Ove lewat jendela ketika roda trailer itu bergulir ke dalam petak bunga. Beberapa detik kemudian pintu depan rumahnya seakan melayang terbuka sendiri. Seakan merasa takut Ove akan langsung berjalan menabraknya jika tetap tertutup.

Kau sedang apa, sih? bentak Ove kepada perempuan

itu.

Ya, aku sendiri juga bertanya begitu! perempuan itu membentak balik.

Sejenak Ove kebingungan. Dia memelototi perempuan itu. Perempuan itu balas memelototinya.

Kau tidak boleh mengendarai mobil di sini! Kau tidak bisa baca?

Perempuan asing mungil itu melangkah menghampiri Ove, dan saat itulah Ove baru memperhatikan bahwa perempuan itu entah hamil tua atau menderita apa yang akan disebutnya sebagai obesitas selektif.

Aku tidak sedang mengendarai mobil, kan? Selama beberapa detik, Ove menatapnya tanpa bersuara. Lalu dia berpaling kepada suami sang perempuan, yang baru saja berhasil meloloskan diri dari mobil Jepang itu dan sedang menghampiri mereka, sepasang tangannya melayanglayang ekspresif ke udara, senyum penyesalan tersungging di wajah. Dia mengenakan kardigan rajutan dan posturnya seakan menunjukkan kekurangan kalsium yang sangat nyata. Tingginya pasti mendekati dua meter. Secara naluriah, Ove meragukan semua orang yang tingginya melebihi seratus



delapan puluh sentimeter; darah pasti tidak bisa mengalir sejauh itu hingga ke otak.

Dan, siapa kau? tanya Ove.

Aku pengemudinya, jawab Si Kerempeng dengan ramah.

Oh, benarkah? Kelihatannya bukan! bentak si perempuan hamil yang mungkin lebih pendek lima puluh sentimeter dibandingkan lelaki itu. Dia berupaya menampar lengan Si Kerempeng dengan kedua tangannya.

Dan ini siapa? tanya Ove sambil menatapnya. Ini istriku. Si Kerempeng tersenyum.

Jangan begitu yakin akan tetap begitu, sambar perempuan itu dengan perut hamilnya yang melambunglambung ke atas ke bawah.

Itu tidak semudah keliha Si Kerempeng mencoba bicara, tapi langsung dipotong.

Kubilang KANAN! Tapi kau terus mundur ke KIRI! Kau tidak mendengarkan! Kau TIDAK PERNAH mendengarkan!

Lalu, perempuan itu asyik mengoceh selama setengah menit, yang hanya bisa diasumsikan Ove sebagai peragaan kosakata rumit dalam makian bahasa Arab.

Si suami hanya mengangguk kepadanya dengan senyum teramat sangat damai. Jenis senyuman yang membuat orang awam ingin menampar wajah pendeta Buddha, pikir Ove.

Oh, ayolah. Maafk an aku, kata si suami dengan ceria, sambil mengeluarkan wadah tembakau kunyah dari saku dan



memadatkan tembakaunya menjadi bola seukuran kacang walnut. Itu hanya kecelakaan kecil. Akan kita bereskan!

Ove memandang si Kerempeng, seakan lelaki itu baru saja berjongkok di atas kap mobil Ove dan meninggalkan tahi di sana.

Bereskan? Kau berada di petak bungaku! Si Kerempeng tercenung memandang roda-roda karavannya.

Itu tidak bisa dibilang petak bunga, kan? Dia tersenyum tanpa gentar, lalu membetulkan letak tembakaunya dengan ujung lidah. Aaah, ayolah, itu hanya tanah, desaknya, seakan Ove sedang bergurau dengannya.

Kening Ove memampat menjadi satu kerutan besar yang mengancam.

Itu. Petak. Bunga.

Si Kerempeng menggaruk-garuk kepala, seakan ada tembakau yang menyangkut di rambut kusutnya. Tapi, kau tidak menumbuhkan apa-apa di dalamnya Peduli setan dengan apa yang kulakukan di petak bungaku sendiri!

Si Kerempeng mengangguk cepat, jelas ingin menghindari provokasi lebih lanjut dari lelaki tak dikenal ini. Dia berpaling kepada istrinya, seakan mengharapkan bantuan. Perempuan itu sama sekali tidak terlihat hendak membantu. Si Kerempeng kembali memandang Ove.

Hamil. Tahu sendirilah. Hormon-hormon dan sebagainya & , katanya sambil berupaya tersenyum lebar.



Si Hamil tidak tersenyum. Begitu juga Ove. Perempuan itu bersedekap. Ove menyelipkan tangan ke balik ikat pinggang. Si Kerempeng jelas tidak tahu harus berbuat apa dengan tangan besarnya. Jadi, dia mengayunkan kedua tangan ke depan dan belakang melintasi tubuh, dengan sedikit tersipusipu, seakan tangan itu terbuat dari kain dan berkibaran ditiup angin sepoi-sepoi.

Akan kupindahkan dan kucoba lagi, katanya pada akhirnya, sambil kembali tersenyum manis kepada Ove.

Ove tidak membalas senyum itu. Kendaraan bermotor tidak diperbolehkan di area ini. Ada plangnya.

Si Kerempeng melangkah mundur dan mengangguk bersemangat. Berlari-lari mundur dan sekali lagi menjejalkan tubuh ke dalam mobil Jepangnya yang kekecilan itu.

Astaga, gumam Ove dan perempuan hamil itu dengan kesal, serempak. Dan ini sesungguhnya membuat ketidaksukaan Ove terhadap perempuan itu sedikit berkurang.

Si Kerempeng memajukan mobil beberapa meter; Ove bisa melihat dengan sangat jelas bahwa lelaki itu tidak meluruskan karavannya secara benar. Lalu, si Kerempeng mulai memundurkan mobil lagi. Langsung menabrak kotak surat Ove, membengkokkan logam lembaran berwarna hijau itu.

Ove bergegas maju dan membuka pintu mobil. Si Kerempeng mulai mengepak-ngepakkan lengannya

lagi.



Kesalahanku, kesalahanku! Maaf, kau tahulah, aku tidak melihat kotak surat itu di kaca spion. Karavan ini menyulitkan, aku tidak tahu harus membelokkan rodanya ke mana & .

Ove menghunjamkan kepalan tangan ke atap mobil sebegitu kerasnya, hingga si Kerempeng terlompat dan kepalanya membentur rangka pintu. Keluar dari mobil! Apa?

Kubilang, keluar dari mobil!

Si Kerempeng memandang Ove dengan sedikit terkejut, tapi seakan tidak punya keberanian untuk menjawab. Dia keluar dari mobil dan berdiri di sampingnya seperti bocah sekolahan yang sedang disetrap. Ove menunjuk jalan setapak di antara rumah-rumah bandar, yang memanjang ke gudang sepeda dan area parkir.

Pergi dan jangan menghalangi.

Si Kerempeng mengangguk, sedikit kebingungan. Astaga. Orang yang lengan bawahnya diamputasi dan menderita katarak pun bisa memundurkan karavan ini dengan lebih akurat, gumam Ove sambil memasuki mobil.

Bagaimana mungkin seseorang tidak mampu memundurkan mobil berkaravan, tanya Ove kepada diri sendiri. Kok bisa? Seberapa sulit menetapkan mana kanan dan kiri, lalu melakukan yang sebaliknya? Bagaimana orangorang seperti ini bisa bertahan hidup?

Tentu saja ini mobil bertransmisi otomatis, pikir Ove. Tak mengherankan. Orang-orang tolol ini lebih suka tidak menyetir mobil sama sekali, apalagi memundurkan sendiri mobil mereka ke tempat parkir. Ove memindahkan persneling
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



ke posisi maju dan mulai menjalankan mobil. Apakah SIM pantas diberikan, jika seseorang tidak bisa menyetir mobil yang sebenarnya, alih-alih hanya semacam kendaraan robot Jepang, pikirnya. Ove bahkan bertanya-tanya, apakah orang yang tidak bisa memarkir mobil dengan benar seharusnya diperbolehkan mengikuti pemilu?

Ketika dia sudah bergerak maju dan meluruskan karavan itu seperti yang dilakukan oleh manusia beradab sebelum memundurkan mobil berkaravan dia memindahkan persneling ke posisi mundur. Mobil itu langsung mengeluarkan suara melengking. Ove memandang ke sekeliling dengan marah.

Dasar sialan & . Mengapa kau bersuara seperti itu? desisnya pada panel instrumen sambil menampar setir.

Kubilang, hentikan! raungnya pada lampu merah yang terus berkedip-kedip dengan ngototnya.

Pada saat bersamaan, Si Kerempeng muncul di samping mobil dan mengetuk pelan kaca jendelanya. Ove membuka jendela, memandangnya dengan jengkel.

Itu hanya suara radar mundur, kata Si Kerempeng sambil mengangguk.

Kau pikir aku tidak tahu itu? desis Ove.

Mobil ini sedikit ganjil. Kurasa aku bisa menunjukkan tombol-tombolnya, jika kau mau & .

Aku bukan idiot tahu! dengus Ove. Si Kerempeng mengangguk kuat-kuat. Ya, ya, tentu saja bukan.



Ove memelototi panel instrumen. Ada apa lagi sekarang?

Si Kerempeng mengangguk bersemangat.

Mobil ini sedang mengukur seberapa banyak daya yang tersisa dalam baterainya. Kau tahu, sebelum beralih dari motor listrik ke motor yang digerakkan oleh bensin. Karena ini mobil hibrida & .

Ove tidak menjawab. Dia hanya menutup jendela perlahan-lahan, membiarkan Si Kerempeng di luar dengan mulut setengah terbuka. Ove menengok kaca spion kiri. Lalu, kaca spion kanan. Dia memundurkan mobil Jepang yang sedang menjerit-jerit ketakutan itu, menggerakkan karavannya dengan sempurna di antara rumahnya sendiri dan rumah tetangga barunya yang tidak terampil itu, keluar dari mobil, lalu melemparkan kunci mobil kepada si tolol.

Radar mundur, sensor parkir, kamera, dan omong kosong semacam itu. Orang yang memerlukan kesemuanya itu untuk memundurkan mobil bergandengan seharusnya tidak boleh menyetir mobil sedari awal.

Si Kerempeng mengangguk ceria kepada Ove. Terima kasih atas bantuannya, teriaknya, seakan Ove tidak menghabiskan waktu sepuluh menit terakhir itu untuk menghinanya.

Seharusnya kau bahkan tidak boleh memutar-ulang kaset, gerutu Ove. Si perempuan hamil hanya berdiri di sana sambil bersedekap, tapi tidak kelihatan terlalu marah lagi. Dia berterima kasih kepada Ove dengan tersenyum masam,



seakan menahan tawa. Perempuan itu punya mata cokelat terbesar yang pernah dilihat Ove.

Asosiasi Warga tidak mengizinkan mobil di area ini, dan kalian harus mematuhinya, dengus Ove sebelum berjalan kembali ke rumahnya.

Dia berhenti setengah-jalan di jalan setapak antara rumah dan gudangnya. Dia mengerutkan hidung, seperti yang dilakukan oleh lelaki seusianya, dan kerutan itu menjalari seluruh tubuh bagian atasnya. Lalu, Ove berlutut, memosisikan wajah persis di dekat batu-batu hampar itu, yang dengan rapi dan tanpa perkecualian dibongkar dan diletakkan-ulang olehnya dua tahun sekali, tak peduli perlu atau tidak. Kembali dia mengendus-endus. Lalu mengangguk sendiri. Bangkit berdiri.

Kedua tetangga baru Ove masih mengamatinya. Kencing! Ada air kencing di seluruh tempat ini! gerutu Ove. Dia menunjuk batu-batu hampar.

O & ke, kata perempuan berambut hitam itu. Tidak! Sialan! Tidak ada yang oke di sekitar sini! Dengan makian itu, Ove memasuki rumah dan menutup pintu.

Dia menjatuhkan tubuh ke atas dingklik di lorong dan tetap berada di sana untuk waktu yang lama. Perempuan sialan. Mengapa dia dan keluarganya harus pindah kemari, jika mereka bahkan tidak bisa membaca plang yang ada di depan mata mereka sendiri? Kau tidak boleh mengendarai mobil di dalam blok. Semua orang juga tahu.



Ove pergi menggantungkan mantelnya pada pengait di antara lautan mantel milik istrinya. Dia menggumamkan idiot pada jendela yang ditutupnya demi keamanan. Lalu dia berjalan ke ruang duduk dan mendongak menatap langitlangit.

Ove tidak tahu seberapa lama dirinya berdiri di sana. Dia terhanyut dalam pikiran-pikirannya sendiri. Melayang pergi, seakan dalam kabut. Dia tidak pernah menjadi jenis lelaki seperti itu, tidak pernah menjadi pelamun, tapi belakangan ini rasanya seakan ada sesuatu yang terpilin dalam kepalanya. Dia semakin kesulitan memusatkan perhatian pada segala sesuatu. Dia sama sekali tidak menyukai hal ini.

Ketika bel pintu berdering, rasanya seakan Ove terbangun dari tidur yang hangat. Dia menggosok mata keras-keras, memandang ke sekeliling seakan khawatir ada yang melihatnya.

Bel pintu kembali berdering. Ove berbalik dan menatap bel seakan benda itu seharusnya merasa malu. Dia berjalan beberapa langkah memasuki lorong, merasakan tubuhnya sekaku plester dinding yang sudah mengering. Dia tidak tahu apakah suara berderit itu berasal dari papan-papan lantai atau dari dirinya sendiri.

Dan sekarang apa lagi? tanyanya pada pintu bahkan sebelum dia membukanya, seakan pintu itu punya jawaban.

Sekarang apa lagi? ulangnya sambil membuka pintu sebegitu kasarnya sehingga seorang gadis berusia tiga tahun terlempar mundur oleh embusan anginnya, dan jatuh terduduk secara sangat tak terduga.



Di sampingnya, berdiri seorang gadis berusia tujuh tahun yang tampak benar-benar ketakutan. Rambut mereka hitam legam. Dan, mereka punya mata cokelat terbesar yang pernah dilihat Ove.

Ya? tanya Ove.

Gadis yang lebih besar tampak waspada. Dia mengulurkan wadah plastik kepada Ove. Dengan enggan, Ove menerimanya. Wadah itu hangat.

Nasi! kata si gadis tiga tahun dengan riang, sambil cepat-cepat bangkit berdiri.

Dengan safron. Dan ayam, tambah si gadis tujuh tahun, yang jauh lebih mewaspadai Ove.

Ove menilai mereka dengan curiga. Kalian menjualnya? Si gadis tujuh tahun tampak tersinggung. Kami TINGGAL DI SINI. Kau tahu, kan?

Sejenak Ove terdiam. Lalu dia mengangguk, seakan bisa menerima alasan ini sebagai penjelasan.

Oke.

Gadis yang lebih kecil juga mengangguk puas dan mengepak-ngepakkan lengan bajunya yang sedikit kepanjangan.

Kata Mum kau lapar!

Ove memandang penderita gangguan bicara cilik yang mengepak-ngepak itu dengan sangat kebingungan. Apa?

Kata Mum, kau kelihatan lapar. Jadi kami harus memberimu makan malam, jelas si gadis tujuh tahun



dengan sedikit jengkel. Ayo, Nasanin, imbuhnya sambil menggandeng tangan adiknya dan berjalan pergi, setelah melayangkan tatapan marah kepada Ove.

Ove mengamati ketika mereka berjalan pergi. Dia melihat perempuan hamil berdiri di ambang pintu rumahnya, tersenyum kepadanya sebelum kedua gadis itu berlari memasuki rumah. Si gadis tiga tahun berbalik dan melambaikan tangan dengan riang kepada Ove. Ibunya juga melambaikan tangan. Ove menutup pintu.

Kembali dia berdiri di lorong. Menatap wadah hangat ayam dengan nasi dan safron itu seakan memandang kotak berisi nitrogliserin. Lalu, dia pergi ke dapur dan memasukkan wadah itu ke kulkas. Bukannya dia terbiasa menyantap sisa makanan apa pun pemberian anak-anak asing tak dikenal di ambang pintu rumahnya. Namun di rumah Ove tak seorang pun membuang-buang makanan. Itu prinsip.

Ove berjalan ke ruang duduk. Memasukkan tangan ke saku. Mendongak memandang langit-langit. Berdiri di sana cukup lama dan memikirkan baut dinding-beton macam apa yang paling cocok untuk pekerjaan itu. Dia berdiri di sana sambil menyipitkan mata, hingga matanya mulai terasa sakit. Dia menunduk dengan sedikit kebingungan, memandang arloji penyoknya. Lalu dia memandang ke luar jendela lagi dan menyadari senja sudah tiba. Dia menggeleng pasrah.

Kau tidak bisa memulai pengeboran setelah hari gelap, semua orang tahu itu. Dia akan terpaksa menyalakan semua lampu, dan tak seorang pun tahu kapan lampu-lampu itu bisa



dipadamkan kembali. Lagi pula, dia tidak mau menyenangkan perusahaan listrik gara-gara meterannya melonjak hingga beberapa ribu krona lagi. Sebaiknya mereka tidak berharap.

Ove mengemasi kotak barang-bergunanya dan membawanya ke lorong besar di lantai atas. Mengambil kunci loteng dari tempatnya di belakang radiator, di lorong kecil. Berjalan kembali, menjulurkan tangan ke atas, dan membuka pintu-tingkap menuju loteng. Menarik turun tangganya. Memanjat ke loteng dan meletakkan kotak barang-berguna di tempatnya, di belakang kursi-kursi dapur yang diletakkan Ove di sana atas perintah istrinya karena kursi-kursi itu terlalu sering berderit. Kursi-kursi itu sama sekali tidak berderit. Ove tahu sekali bahwa itu hanya sekadar alasan karena istrinya ingin membeli kursi-kursi baru. Seakan hanya itulah kehidupan. Membeli kursi-kursi baru, makan di restoran, dan bertindak konyol.

Ove kembali menuruni tangga. Mengembalikan kunci loteng ke tempatnya di belakang radiator di lorong kecil. Sedikit bersantai, kata mereka kepadanya. Banyak lelaki sok pamer berusia tiga puluh satu yang bekerja dengan komputer dan menolak minum kopi biasa. Masyarakat yang tak seorang pun anggotanya tahu cara memundurkan mobil bergandengan. Mereka memberitahunya bahwa dia tidak diperlukan lagi. Apakah itu masuk akal?

Ove berjalan ke ruang duduk, menyalakan TV. Dia tidak menonton acara-acaranya, tapi rasanya tidak bisa menghabiskan malam dengan hanya duduk di sana sendirian seperti orang tolol menatap dinding. Dia mengeluarkan



makanan asing itu dari kulkas lalu menyantapnya dengan garpu, langsung dari wadah plastiknya.

Ini Selasa malam dan dia telah memberhentikan langganan koran, mematikan semua radiator, dan mematikan semua lampu.

Dan besok dia akan memasang pengait itu.[]



4

Lelaki Bernama Ove Tidak Membayar

Biaya Tambahan Tiga Krona

OVE MEMBERIKAN TANAMAN ITU KEPADA istrinya. Duaduanya. Tentu saja seharusnya tidak dua. Namun, entah di mana, harus ada batasannya. Ini masalah prinsip, jelas Ove kepadanya. Karena itulah pada akhirnya dia mendapat dua tanaman bunga.

Segalanya tidak berfungsi ketika kau tidak ada di rumah, gumam Ove sambil menendang pelan tanah beku. Istrinya tidak menjawab.

Salju akan turun malam ini, kata Ove.

Dalam berita dikatakan salju tidak akan turun. Namun, seperti yang sering dikemukakan Ove, apa pun yang mereka prediksikan pasti tidak akan terjadi. Dia berkata begitu kepada istrinya; sang istri tidak menjawab. Ove memasukkan tangan ke saku dan mengangguk singkat.

Tidak wajar berkeliaran di rumah sendirian sepanjang hari, ketika kau tidak ada di sini. Mustahil hidup dengan cara seperti ini. Hanya itu yang perlu kukatakan.



Istrinya juga tidak menjawab.

Ove mengangguk, kembali menendang tanah. Dia tidak bisa memahami orang yang ingin pensiun. Bagaimana mungkin seseorang bisa menghabiskan sepanjang hidupnya merindukan hari ketika dia menjadi tak berguna? Berkeliaran, menjadi beban masyarakat, lelaki macam apa yang menginginkan hal itu? Tinggal di rumah, menanti kematian. Atau, yang lebih buruk lagi: menunggu mereka datang menjemputmu dan memasukkanmu ke panti jompo. Bergantung kepada orang lain untuk pergi ke toilet.

Ove tidak bisa memikirkan sesuatu pun yang lebih buruk. Istrinya sering menggodanya, mengatakan dialah satu-satunya lelaki yang diketahuinya lebih suka terbaring di peti mati dibandingkan bepergian dengan layanan mobil van untuk mereka yang berkursi roda. Dan mungkin istrinya benar juga.

Ove bangun pukul enam kurang seperempat. Membuat kopi untuk istrinya dan dirinya sendiri, pergi berkeliling mengecek semua radiator untuk memastikan istrinya tidak menaikkan suhu secara diam-diam. Semua radiator itu tidak berubah semenjak kemarin, tapi dia menurunkan suhu sedikit rendah lagi, sekadar berjaga-jaga. Lalu dia mengambil jaket dari pengait di lorong, satu-satunya dari enam pengait yang tidak dipenuhi pakaian istrinya, dan berangkat untuk melakukan inspeksi.

Hari mulai dingin, pikirnya mengamati. Hampir tiba saatnya untuk mengganti jaket musim gugur biru tuanya dengan jaket musim dingin biru tuanya.



Ove selalu tahu kapan salju akan turun, karena istrinya akan mulai mengomelinya agar menaikkan suhu radiator di kamar. Itu gila, tegas Ove setiap tahun. Mengapa direkturdirektur perusahaan listrik harus mendapat keuntungan garagara adanya sedikit perubahan musim? Menaikkan suhu lima derajat biayanya ribuan krona per tahun. Dia tahu itu karena telah menghitungnya sendiri. Jadi, setiap musim dingin, dia menurunkan generator diesel tua dari loteng. Benda itu dia dapatkan setelah menukarnya dengan gramofon di tempat obral barang bekas. Dia menghubungkan generator itu dengan kipas pemanas yang dibelinya seharga tiga puluh sembilan krona saat obral. Begitu generator telah mengisi daya, kipas pemanas akan berfungsi selama tiga puluh menit dengan baterai kecil yang telah disambungkan Ove ke sana. Lalu, istrinya akan meletakkan benda itu di sisinya, di samping ranjang. Istrinya boleh menjalankan kipas pemanas beberapa kali sebelum mereka pergi tidur, tapi hanya beberapa kali tak perlu boros dalam menggunakannya ( Kau tahulah, diesel tidak gratis ). Dan istri Ove melakukan apa yang selalu dilakukannya: mengangguk dan setuju bahwa Ove mungkin benar. Lalu, dia diam-diam menaikkan suhu semua radiator di sepanjang musim dingin. Setiap tahun, hal sialan yang sama terjadi.

Kembali Ove menendang tanah. Terpikir olehnya untuk bercerita kepada istrinya tentang si kucing jika makhluk kotor setengah botak itu memang bisa disebut kucing. Hewan itu duduk di sana lagi ketika Ove kembali dari inspeksinya, tepatnya persis di luar pintu depan rumah mereka. Ove menuding dan meneriaki si kucing begitu keras, hingga



suaranya menggema di antara rumah-rumah. Si kucing duduk saja di sana memandang Ove. Lalu hewan itu berdiri dengan santainya, seakan sengaja menunjukkan bahwa dia bukannya pergi gara-gara Ove, tapi karena ada hal-hal yang lebih baik untuk dilakukan, lalu menghilang di belokan.

Ove memutuskan untuk tidak bercerita tentang si kucing kepada istrinya, mengira istrinya hanya akan mengomelinya karena mengusir hewan itu. Seandainya istrinya yang berkuasa, seluruh rumah akan dipenuhi gelandangan, tak peduli mereka berbulu atau tidak.

Ove mengenakan setelan biru tuanya dan mengancing kan kemeja putihnya hingga kancing teratas. Istrinya menyuruh Ove membiarkan kancing teratas terbuka jika dia tidak sedang memakai dasi. Ove memprotes bahwa dia bukan gelandangan yang menyewakan kursi lipat, lalu sengaja mengancingkan kemejanya hingga kancing teratas. Ove mengenakan arloji penyok tuanya, arloji yang diwarisi Dad dari ayahnya ketika berusia sembilan belas tahun. Arloji yang lalu diwariskan kepada Ove setelah ulang tahun keenam belasnya, beberapa hari setelah ayahnya meninggal.

Istri Ove menyukai setelan itu. Dia selalu mengatakan Ove tampak begitu tampan jika mengenakannya. Seperti orang waras mana pun, Ove berpendapat, hanya orang sok pamer yang mengenakan setelan terbaik pada hari kerja. Namun pagi ini dia memutuskan untuk membuat pengecualian. Dia bahkan mengenakan sepatu hitam resminya, yang dikilapkan dengan semir sepatu secukupnya.



Sebelum pergi keluar, ketika sedang mengambil jaket musim gugur dari pengait di lorong, Ove melayangkan pandangan menerawang pada koleksi mantel istrinya. Dia bertanya-tanya, bagaimana mungkin manusia semungil itu bisa memiliki begitu banyak mantel musim dingin? Jika kau berjalan menembus kumpulan mantel ini, kau nyaris bisa berharap mendapati dirimu berada di Narnia, canda salah seorang teman istri Ove pada suatu ketika. Ove sama sekali tidak paham perempuan itu bicara apa, tapi dia memang setuju kalau mantelnya banyak sekali.

Ove melangkah keluar rumah sebelum siapa pun yang tinggal di jalanan itu terbangun. Berjalan menuju area parkir. Membuka garasinya dengan kunci. Dia punya remote control untuk pintu itu, tapi tak pernah memahami kegunaannya. Orang jujur bisa saja membuka pintu itu secara manual. Dia membuka pintu mobil Saab-nya, juga dengan kunci. Sistem ini selalu bekerja dengan sempurna, tidak ada alasan untuk mengubahnya. Dia duduk di kursi pengemudi dan memutar tombol pencari stasiun radionya setengah putaran ke depan, lalu setengah putaran ke belakang, sebelum membetulkan semua kaca spion. Seperti yang dilakukannya setiap kali memasuki mobil Saab-nya. Seakan seseorang telah secara rutin memasuki Saab itu dan iseng mengubah semua kaca spion dan stasiun radio Ove.

Ketika menyetir melintasi area parkir, dia melewati perempuan-asing-hamil tetangganya. Perempuan itu sedang menggandeng tangan putrinya yang berusia tiga tahun. Si Kerempeng berambut pirang berjalan di sebelahnya. Mereka bertiga melihat Ove dan melambaikan tangan dengan ceria.



Ove tidak membalas lambaian itu. Mulanya, dia hendak berhenti dan menegur perempuan itu karena membiarkan anak-anak berlarian di area parkir seakan di taman bermain umum. Namun, dia memutuskan bahwa dirinya tidak punya waktu.

Ove terus menyetir, melewati deretan-deretan rumah yang identik dengan miliknya sendiri. Kali pertama mereka pindah ke sini, hanya ada enam rumah; kini ada ratusan. Dulu ada hutan di sini, tapi kini hanya ada rumah-rumah. Tentu saja, semuanya dibeli dengan cicilan. Itulah cara mereka sekarang. Berbelanja dengan cicilan, menyetir mobil listrik, dan menyewa tukang untuk mengganti bola lampu. Memasang papan-papan lantai siap pakai, perapian listrik, dan bertingkah konyol. Sebuah masyarakat yang tampaknya tidak bisa memahami perbedaan antara baut yang benar untuk dinding beton dan penghinaan. Jelas ini sudah ditakdirkan.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlu waktu tepat empat belas menit untuk menyetir ke toko bunga di pusat perbelanjaan. Ove terus mematuhi setiap batas kecepatan dengan ketat, bahkan di jalanan berkecepatan 50 km per jam, yang ditempuh oleh para idiot berbaju setelan yang baru saja pindah itu dengan kecepatan 90 km per jam. Mereka memasang beberapa polisi tidur dan sejumlah besar plang Banyak Anak kecil di kawasan rumah-rumah mereka sendiri. Tapi, ketika sedang menyetir melewati rumah orang lain, semuanya itu seakan kurang penting. Itulah yang dikatakan Ove kepada istrinya setiap kali mereka berkendara selama sepuluh tahun terakhir.



Dan ini semakin lama semakin parah, imbuhnya, kalaukalau karena semacam keajaiban istrinya tidak mendengar perkataannya tadi.

Hari ini, dia bahkan belum menempuh dua kilometer, ketika sebuah Mercedes hitam menempatkan diri di belakang Saab-nya dengan jarak sehasta. Ove memberi isyarat dengan mengedipkan lampu rem tiga kali. Mercedes itu mengedipngedipkan lampu sorot jauhnya dengan kesal. Ove mendengus pada kaca spion. Seakan dia harus menyingkir saat orangorang tolol ini memutuskan bahwa pembatasan kecepatan tidak berlaku untuk mereka.

Yang benar saja. Ove tidak bereaksi. Mercedes itu kembali mengedip-ngedipkan lampu sorot jauhnya. Ove mengurangi kecepatan. Mercedes itu membunyikan klakson. Ove mengurangi kecepatan hingga 20 km per jam.

Ketika mereka mencapai puncak sebuah bukit, Mercedes itu meraung melewati Ove. Pengemudinya, seorang lelaki berusia empat puluhan yang berdasi dan dengan kabel putih memanjang dari kedua telinganya, mengacungkan jari tengah kepada Ove lewat jendela. Ove membalas isyarat itu dengan cara yang dilakukan oleh semua lelaki berusia tertentu yang telah dibesarkan dengan baik: perlahan-lahan mengetukngetukkan ujung telunjuknya ke sisi kepala. Lelaki di dalam Mercedes berteriak hingga ludahnya menciprati bagian dalam kaca depan mobilnya, lalu menginjak gas dan menghilang.

Dua menit kemudian, Ove tiba di lampu merah. Mercedes itu berada di antrean paling belakang. Ove mengedipkan lampu depan. Dia melihat pengemudi Mercedes menoleh ke



belakang. Earphone putihnya terlepas dari telinga dan jatuh di dasbor. Ove mengangguk puas.

Lampu lalu lintas berubah hijau. Antrean itu tidak bergerak. Ove membunyikan klakson. Tidak terjadi apa pun. Ove menggeleng-gelengkan kepala. Pasti ada pengemudi perempuan. Atau perbaikan jalan. Atau mobil Audi.

Ketika tiga puluh detik berlalu tanpa terjadi sesuatu pun, Ove memindahkan persneling ke posisi netral, membuka pintu mobil, dan melangkah keluar dari Saab dengan mesin masih menyala. Dia berdiri di jalanan dan mengintip ke depan sambil berkacak pinggang, dipenuhi semacam kejengkelan luar biasa: seperti gaya berdiri Superman seandainya pahlawan super itu terjebak dalam kemacetan lalu lintas.

Lelaki di dalam Mercedes membunyikan klakson. Idiot, pikir Ove. Pada saat bersamaan, lalu lintas mulai bergerak. Mobil-mobil di depan Ove bergerak maju. Mobil di belakangnya, sebuah Volkswagen, mengedipkan lampu depan. Pengemudinya melambai-lambaikan tangan kepada Ove dengan tidak sabar. Ove membalas dengan memelotot. Dia memasuki Saab dan menutup pintunya dengan santai.

Menakjubkan betapa terburu-burunya kita, dengusnya pada kaca spion, lalu dia menjalankan mobil.

Di lampu merah berikutnya, Ove kembali berada di belakang Mercedes itu. Mengantre lagi. Ove menengok arloji dan berbelok ke kiri memasuki jalanan yang lebih kecil dan sepi. Ini mengakibatkan rute lebih panjang menuju pusat perbelanjaan, tapi lampu lalu lintasnya lebih sedikit. Bukannya Ove kikir. Tapi, siapa pun yang mengetahui segalanya pasti



sadar. Mobil menggunakan lebih sedikit bahan bakar jika terus bergerak, dibanding yang berhenti sepanjang waktu. Dan, seperti sering dikemukakan istrinya, Jika ada satu hal yang bisa ditulis dalam obituari Ove, maka itu adalah: Setidaknya dia menghemat bensin .

Ketika mendekati pusat perbelanjaan dari jalanan kecil, Ove bisa melihat ada dua tempat parkir saja yang tersisa. Ove tidak mengerti apa yang dilakukan semua orang ini di pusat perbelanjaan pada hari kerja biasa. Jelas orang tidak punya lagi pekerjaan yang harus didatangi.

Biasanya, istri Ove akan mulai mendesah begitu mereka mendekati area parkir yang seperti ini. Ove ingin parkir di dekat pintu masuk. Seakan ada kompetisi mengenai siapa yang bisa menemukan tempat parkir terbaik, kata istrinya selalu, ketika Ove terus berputar-putar dan menyumpahi semua orang tolol yang menghalangi jalannya dengan mobil asing mereka.

Terkadang, Ove memutar enam atau tujuh kali sebelum menemukan tempat yang baik, dan jika pada akhirnya harus menyerah kalah dan memuaskan diri dengan tempat parkir yang berjarak dua puluh meter lebih jauh, maka suasana hatinya akan buruk seharian. Istrinya tidak pernah memahami hal ini. Namun, sekali lagi, istrinya memang tidak pernah pintar dalam memahami masalah prinsip.

Ove berpikir untuk berputar perlahan-lahan beberapa kali, sekadar mengecek tata letak area parkirnya, tapi mendadak dia melihat Mercedes itu meraung di jalanan besar menuju pusat perbelanjaan. Jadi, ke sinilah tujuan lelaki itu, dengan setelan dan kabel plastik di telinga. Ove tidak



bimbang sejenak pun. Dia menginjak pedal gas dan melesat keluar dari tikungan kecil menuju jalanan besar. Mercedes itu menginjak pedal rem, membunyikan klakson keras-keras, dan membuntuti tepat di belakangnya. Perlombaan dimulai.

Plang di pintu masuk area parkir mengarahkan lalu lintas ke kanan, tapi ketika mereka tiba di sana, agaknya Mercedes itu juga melihat kedua tempat parkir kosong itu karena dia mencoba menyalip Ove dari kiri. Ove berhasil menempatkan mobil di depan Mercedes itu untuk memblokir jalannya. Kedua lelaki itu mulai saling berkejaran melintasi aspal.

Dari kaca spion, Ove melihat sebuah Toyota kecil berbelok dari jalanan di belakang mereka, mengikuti plang-plang jalanan, lalu memasuki area parkir dengan memutar lebar dari kanan. Mata Ove mengikuti Toyota, sementara mobilnya sendiri bergerak maju ke arah berlawanan, dibuntuti oleh Mercedes. Tentu saja, Ove bisa mengambil salah satu tempat parkir kosong itu, yang terdekat dengan pintu masuk, lalu berbaik hati membiarkan Mercedes itu mengambil tempat parkir yang satu lagi. Tapi, kemenangan macam apakah itu?

Ove malah berhenti mendadak di depan tempat parkir pertama, dan tetap berada di sana. Mercedes itu mulai membunyikan klakson dengan beringas. Ove bergeming. Toyota kecil itu mendekat dari arah kanan yang jauh. Mercedes itu juga melihatnya dan, dengan terlambat, memahami rencana jahat Ove. Klaksonnya meraung marah ketika dia berupaya melewati Saab, tapi tidak pernah punya peluang: Ove sudah memberi isyarat pada Toyota itu untuk memasuki salah satu tempat parkir kosong. Begitu Toyota itu



sudah terparkir dengan aman, dengan santainya Ove berbelok memasuki tempat parkir yang satu lagi.

Jendela samping Mercedes itu dipenuhi ludah ketika melintas sehingga Ove bahkan tidak bisa melihat pengemudinya. Dia melangkah keluar dari Saab dengan penuh kemenangan, bagaikan gladiator yang baru saja membantai lawannya. Lalu, dia memandang Toyota itu. Oh, sialan, gumamnya jengkel.

Pintu mobil Toyota itu terbuka lebar.

Hai! sapa si Kerempeng riang sambil melepaskan diri dari sabuk pengaman di kursi pengemudi. Halo, halo! sapa istrinya dari sisi lain Toyota, sambil menggendong anak mereka yang berusia tiga tahun.

Dengan menyesal, Ove menyaksikan Mercedes itu menghilang di kejauhan.

Terima kasih untuk tempat parkirnya! Sialan! Sangat luar biasa! Wajah si Kerempeng berseri-seri.

Ove tidak menjawab.

Siapa sih namamu? tanya si gadis tiga tahun. Ove, jawab Ove.

Namaku Nasanin! ujar gadis itu senang. Ove mengangguk kepadanya.

Dan, aku Pat Si Kerempeng mulai bicara. Namun Ove sudah berbalik pergi.

Terima kasih untuk tempat parkirnya, teriak Si Perempuan-Asing-Hamil.



Ove bisa mendengar tawa dalam suara perempuan itu. Dia tidak senang. Dia hanya bergumam Sama-sama dengan cepat tanpa menoleh ke belakang, lalu berjalan melewati pintu-putar menuju pusat perbelanjaan. Dia berbelok ke kiri di belokan pertama dan memandang ke sekeliling beberapa kali, seakan khawatir keluarga dari rumah sebelah itu akan membuntutinya. Namun mereka berbelok ke kanan dan menghilang.

Ove berhenti dengan penasaran di luar pasar swalayan, mengamati poster yang mengiklankan tawaran-tawaran istimewa minggu itu. Bukannya Ove bermaksud membeli ham dalam tawaran khusus itu. Namun, mengamati hargaharga selalu patut dilakukan. Jika ada satu hal yang tidak disukai Ove di dunia ini, maka itu adalah saat seseorang berupaya menipunya. Terkadang istri Ove bergurau bahwa tiga kata terburuk di dunia ini menurut Ove adalah Tidak termasuk baterai . Biasanya, orang tertawa ketika mendengar istri Ove berkata begitu. Namun Ove tidak tertawa.

Ove meninggalkan pasar swalayan, lalu melangkah memasuki toko bunga. Dan, di sana, tidak perlu waktu lama bagi Ove untuk memulai adu mulut , begitulah istilah istri Ove. Atau diskusi , begitulah yang selalu ngotot dikatakan Ove.

Dia meletakkan selembar kupon bertuliskan 50 krona 2 tanaman di gerai. Mengingat Ove hanya perlu satu tanaman, dia menjelaskan kepada penjaga toko, dengan segala macam alasan, bahwa dia seharusnya bisa membeli tanaman itu dengan harga 25 krona, yaitu setengah dari 50 krona.



Namun penjaga toko itu seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang selalu sibuk ber-SMS dan tidak punya otak tidak mau menyetujuinya. Dia mengatakan, satu tanaman bunga harganya 39 krona dan 2 untuk 50 hanya berlaku jika seseorang membeli dua tanaman bunga. Manajer harus dipanggil. Perlu waktu lima belas menit bagi Ove untuk membuat lelaki itu paham dan setuju bahwa Ove benar.

Atau, sejujurnya, manajer itu menggumamkan sesuatu yang kedengarannya sedikit mirip dasar tua bangka sialan , lalu mengetuk angka 25 krona begitu keras ke papan kunci mesin kasir sehingga siapa pun pasti akan mengira mesinnya agak macet. Tidak ada bedanya bagi Ove. Dia tahu, toko-toko ini selalu mencoba menipumu agar mengeluarkan uang. Tak seorang pun boleh menipu Ove dan bisa lolos.

Ove meletakkan kartu debitnya di gerai. Manajer itu tersenyum asal, lalu mengangguk tak peduli dan menunjuk plang yang bunyinya: Pembelian dengan kartu sejumlah kurang dari 50 krona akan dikenai biaya tambahan 3 krona .

Kini, Ove berdiri di depan istrinya dengan dua tanaman. Ini masalah prinsip.

Mustahil aku mau membayar 3 krona, keluh Ove, menatap batu-batu kerikil di bawah kakinya.

Istri Ove sering bertengkar dengannya karena Sang suami selalu mendebat segalanya.

Namun Ove tidak mendebat. Dia hanya menganggap benar adalah benar. Apakah itu sikap yang tak masuk akal dalam menjalani hidup?



Dia mengangkat kepala, menatap istrinya. Pasti kau jengkel karena kemarin aku tidak datang seperti yang kujanjikan, gumamnya.

Istrinya diam saja.

Seluruh jalanan berubah jadi rumah sakit jiwa, katanya membela diri. Kekacauan total. Sekarang ini, kau bahkan harus keluar dan memundurkan karavan mereka. Dan kau bahkan tidak bisa memasang pengait dengan tenang, lanjutnya, seakan istrinya tidak setuju.

Ove berdeham.

Jelas aku tidak bisa memasang pengait ketika di luar sudah gelap. Jika itu kulakukan, mustahil tahu kapan lampulampu bisa dipadamkan. Kemungkinan besar lampu-lampu itu akan terus menyala dan memboroskan listrik. Itu pasti.

Istrinya tidak menjawab. Ove menendang tanah beku, seakan mencari kata-kata. Berdeham singkat sekali lagi. Segalanya tidak beres ketika kau tidak ada di rumah. Istrinya tidak menjawab. Ove meraba-raba kedua tanaman itu.

Aku lelah, hanya berkeliaran di seputar rumah sepanjang hari, sementara kau tidak ada.

Istrinya juga tidak menjawab perkataan itu. Ove mengangguk. Dia mengangkat kedua tanaman itu agar bisa dilihat oleh istrinya.

Bunganya berwarna dadu. Kesukaanmu. Di toko dikatakan ini tanaman tahunan, tapi sialan, ini sama sekali tidak sesuai dengan sebutannya. Jelas tanaman ini akan mati



dalam udara sedingin ini, di toko juga dibilang begitu. Tapi itu hanya agar mereka bisa menjual banyak sampah lainnya kepadaku.

Ove tampak seakan menunggu persetujuan istrinya. Tetangga baru memasukkan safron ke dalam nasi mereka dan melakukan kekonyolan semacam itu; mereka orang asing, katanya dengan suara rendah.

Keheningan lagi.

Ove berdiri di sana, perlahan-lahan memutar cincin kawin di jari tangannya. Seakan mencari sesuatu yang lain untuk dikatakan. Dia masih merasa sangat kesulitan menjadi orang yang memimpin percakapan. Dulu, itu selalu menjadi urusan istrinya. Biasanya, dia hanya menjawab. Ini situasi baru bagi mereka berdua. Akhirnya, Ove berjongkok, menggali tanaman yang dibelinya pekan lalu, dan dengan hati-hati memasukkannya ke kantong plastik. Dia membalik tanah beku itu dengan cermat, lalu memasukkan kedua tanaman barunya.

Mereka menaikkan harga listrik lagi, kata Ove kepada istrinya sambil bangkit berdiri.

Dia memandang istrinya untuk waktu yang lama. Akhirnya, dia meletakkan tangan dengan hati-hati di atas batu besar itu, lalu membelainya lembut dari kiri ke kanan, seakan sedang menyentuh pipi istrinya.

Aku merindukanmu, bisiknya.



Sudah enam bulan berlalu semenjak istrinya tiada. Namun, Ove masih memeriksa seluruh rumah dua kali sehari, untuk merasakan panasnya semua radiator dan mengecek apakah istrinya tidak menaikkan suhu secara diam-diam.[]



5

Lelaki Bernama Ove

OVE TAHU BENAR, TEMAN-TEMAN ISTRINYA tak paham mengapa perempuan itu menikah dengannya. Dia tidak bisa terlalu menyalahkan mereka.

Orang mengatakan dia pemberang. Mungkin mereka benar. Ove tidak pernah terlalu memikirkannya. Orang juga menyebutnya antisosial . Ove menganggap ini berarti dia tidak begitu tertarik dengan orang lain. Dan dalam hal ini, dia bisa setuju sepenuhnya. Orang memang sering bersikap tidak masuk akal.

Ove bukan jenis orang yang suka berbasa-basi. Dia menyadari, setidaknya belakangan ini, bahwa itu cacat karakter yang serius. Kini, seseorang harus bisa mengoceh mengenai hampir segalanya dengan orang tua mana pun yang kebetulan berada dalam jangkauan lengannya, hanya karena itu sikap yang manis. Ove tidak tahu cara melakukan hal itu. Barangkali itu gara-gara caranya dibesarkan. Mungkin



generasinya tidak pernah disiapkan secara memadai untuk dunia yang orang-orangnya bicara mengenai hal-hal yang mereka lakukan, walaupun tampaknya hal-hal itu tidak lagi patut untuk dilakukan.

Kini, orang berdiri di luar rumah mereka yang baru saja direnovasi dan membanggakannya seakan mereka membangunnya sendiri dengan tangan telanjang, walaupun sebenarnya mereka sama sekali tidak mengangkat obeng. Dan, mereka bahkan tidak mencoba untuk berpura-pura menyangkalnya. Mereka membanggakannya! Tampaknya, tidak ada lagi nilai dalam kemampuan memasang papanpapan lantai sendiri, atau merenovasi ruangan yang bermasalah dengan kelembapan, atau mengganti ban-ban mobil untuk musim dingin. Dan jika kau bisa pergi membeli segalanya begitu saja, apa nilai semua kerepotan itu? Apa nilai seorang manusia?

Teman-teman istrinya tidak bisa mengerti mengapa istrinya itu bangun setiap pagi dan secara sukarela memutuskan untuk menghabiskan waktu seharian bersamanya. Ove juga tidak bisa mengerti. Dia membuat lemari buku untuk istrinya, dan istrinya mengisi lemari itu dengan buku-buku karya orang yang menuliskan perasaan mereka hingga berlembar-lembar.

Ove memahami hal-hal yang bisa dilihat dan disentuhnya. Semen dan beton. Kaca dan baja. Perkakas. Hal-hal yang bisa dicari jawabannya. Dia memahami sudut tegak lurus dan manual instruksi yang jelas. Model dan gambar rakitan. Hal-hal yang bisa digambarkan di kertas.

Ove adalah lelaki hitam-putih.



Sementara itu, istrinya berwarna-warni. Ialah seluruh warna yang dimiliki Ove.

Satu-satunya yang dicintai Ove sebelum berjumpa dengan istrinya adalah angka. Dia tidak punya ingatan tertentu mengenai masa mudanya. Dia tidak pernah digencet dan bukan pengecut, tidak pintar dalam olahraga dan tidak payah juga. Dia tidak pernah berada di jantung peristiwa dan tidak pernah berada di luarnya. Dia adalah jenis orang yang ada di sana begitu saja. Dia juga tidak begitu ingat masa tumbuh besarnya; tidak pernah menjadi jenis lelaki yang terus mengingat segalanya, kecuali jika itu diperlukan. Dia ingat, dirinya cukup bahagia dan beberapa tahun setelahnya tidak bahagia itu saja.

Dan dia mengingat hitung-hitungan. Angka-angka memenuhi kepalanya. Dia ingat merindukan pelajaran matematika di sekolah. Mungkin bagi yang lainnya, pelajaran itu merupakan penderitaan, tapi tidak baginya. Dia tidak tahu alasannya, dan tidak mau menduga-duga. Dia tidak pernah memahami adanya keinginan untuk merenungkan mengapa sesuatu berakhir sebagaimana adanya. Kau adalah sebagaimana adanya dirimu. Kau melakukan apa yang kau lakukan, dan itu sudah cukup bagi Ove.

Dia berusia tujuh tahun ketika ibunya libur seharian pada suatu pagi awal Agustus. Ibunya bekerja di pabrik kimia. Pada masa itu, orang tidak tahu banyak mengenai kebersihan udara, Ove menyadarinya belakangan. Ibunya juga merokok, sepanjang waktu. Itulah ingatan terjelas Ove mengenai ibunya. Perempuan itu duduk di jendela dapur rumah mungil tempat mereka tinggal di pinggiran kota, dengan asap mengepul



di sekelilingnya, mengamati langit setiap Sabtu pagi. Dan terkadang ibunya menyanyi dengan suara parau.

Dahulu, Ove biasa duduk di bawah jendela dengan buku matematika di pangkuan, dan dia ingat, dirinya suka mendengarkan ibunya. Dia mengingatnya. Tentu saja, suara ibunya parau dan nada ganjil itu lebih sumbang dibandingkan yang disukai orang. Namun, dia ingat, dirinya tetap saja suka.

Ayah Ove bekerja di jawatan kereta api. Telapak tangan lelaki itu mirip kulit yang diukir dengan pisau, dan keriputkeriput di wajahnya begitu dalam sehingga ketika dia sedang mengerahkan tenaga, keringat mengalir lewat keriput-keriput itu hingga ke dada. Rambutnya tipis dan tubuhnya ramping, tapi otot-otot di lengannya begitu nyata seakan dipahat dari batu.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pernah, ketika Ove masih sangat kecil, dia diperbolehkan ikut kedua orangtuanya ke pesta besar bersama teman-teman ayahnya dari jawatan kereta api. Setelah ayahnya menenggak habis beberapa botol bir, beberapa tamu lain menantang lelaki itu untuk mengikuti kompetisi panco. Ove belum pernah melihat orang-orang yang seperti raksasa ini duduk mengangkangi bangku di seberangnya. Beberapa di antara mereka tampak seakan berbobot dua ratus kilogram. Ayahnya mengalahkan mereka semua. Ketika mereka pulang malam itu, ayahnya merangkul bahu Ove dan berkata: Ove, hanya bajingan yang menganggap ukuran dan kekuatan adalah hal yang sama. Ingat itu. Dan Ove tidak pernah melupakannya.

Ayahnya tidak pernah melayangkan pukulan. Tidak terhadap Ove maupun orang lain. Ove punya teman-teman sekelas yang datang ke sekolah dengan mata menghitam atau



memar-memar akibat sabetan gesper ikat pinggang. Namun Ove tidak pernah merasakannya. Dalam keluarga ini kita tidak berkelahi, kata ayahnya, dulu. Tidak dengan satu sama lain ataupun dengan orang lain.

Ayah Ove sangat disukai di tempatnya bekerja. Dia pendiam, tapi baik hati. Ada beberapa orang yang mengatakan, lelaki itu terlalu baik . Ove ingat betapa, sebagai anak, dia tidak pernah memahami bagaimana hal itu bisa menjadi sesuatu yang buruk.

Lalu Mum meninggal. Dan Dad menjadi semakin pendiam. Seakan ibu Ove membawa pergi segelintir kata yang dimiliki ayahnya.

Jadi, Ove dan ayahnya tidak pernah bicara secara berlebihan, tapi mereka saling menyukai. Mereka duduk dalam keheningan di masing-masing sisi meja dapur, dan punya cara-cara untuk terus menyibukkan diri.

Setiap dua hari sekali, mereka meletakkan makanan untuk keluarga burung yang tinggal di dalam pohon membusuk di belakang rumah. Ove paham mengenai pentingnya hal itu dilakukan setiap dua hari sekali. Dia tidak tahu mengapa, tapi itu tak masalah.

Pada malam hari mereka menyantap sosis dan kentang. Lalu bermain kartu. Mereka tidak pernah hidup mewah, tapi selalu berkecukupan.

Kata-kata yang tersisa pada ayahnya hanyalah mengenai mesin (tampaknya, ibu Ove merasa puas menyisakan katakata ini). Lelaki itu bisa menghabiskan banyak waktu ketika membicarakan mesin. Mesin memberimu apa yang patut



kau peroleh, jelasnya dulu. Jika kau memperlakukan mesin dengan hormat, dia akan memberimu kebebasan; jika kau berperilaku seperti bajingan, dia akan merampas kebebasan itu darimu.

Untuk waktu lama Ove tidak punya mobil sendiri, tapi pada 1940-an dan 1950-an, ketika para bos dan direktur di jawatan kereta api mulai membeli kendaraan mereka sendiri, dengan segera tersebar desas-desus di kantor bahwa lelaki pendiam yang bekerja di rel kereta api itu patut dikenal sebagai ahli mesin. Ayah Ove tidak pernah menyelesaikan sekolah dan tidak terlalu memahami hitung-hitungan dalam buku-buku sekolah Ove. Namun, dia memahami mesin.

Ketika putri direktur menikah dan mobil pengantinnya mogok, alih-alih memindahkan mempelai perempuan ke mobil lain dan mengantarnya ke gereja, ayah Ove dipanggil. Lelaki itu datang bersepeda sambil mengangkut kotak perkakas yang begitu berat di bahunya sehingga perlu dua lelaki untuk mengangkat kotak itu ketika dia turun dari sepeda.

Apa pun yang jadi masalah ketika ayah Ove tiba, sudah tidak ada lagi ketika lelaki itu bersepeda pulang. Istri direktur mengundang ayah Ove ke resepsi pernikahan. Namun lelaki itu mengatakan, tidaklah pantas duduk bersama orang-orang elegan, orang yang lengan bawahnya ternoda begitu banyak minyak sehingga noda itu seakan menjadi bagian alami dari warna kulitnya. Namun dengan senang hati dia akan menerima sekantong roti dan daging untuk bocah laki-laki di rumah, katanya. Ove baru saja berusia delapan tahun. Ketika ayahnya menyiapkan makanan pada malam itu, dia merasa seakan sedang menghadiri perjamuan istana.



Beberapa bulan kemudian, direktur memanggil ayah Ove lagi. Di area parkir di luar kantor, terdapat mobil Saab 92 yang sangat tua dan bobrok. Itu kendaraan pertama yang pernah diproduksi oleh Saab, walaupun belum diproduksi lagi sejak kemunculan Saab 93 yang mengalami banyak peningkatan di pasaran. Ayah Ove sangat mengenal mobil itu. Bersistem penggerak roda depan dan bermesin samping yang kedengarannya seperti cerek penapis kopi. Mobil itu telah mengalami kecelakaan, direktur menjelaskan, sambil mengaitkan jempol pada bretel di balik jaketnya. Badan mobil berwarna hijau tua itu penyok parah. Kondisi dari yang terlihat di bawah kapnya, jelas tidak bagus. Namun, ayah Ove mengeluarkan obeng kecil dari saku overal kotornya dan setelah memeriksa mobil itu untuk waktu lama menyimpulkan, dengan sedikit waktu, perawatan, dan perkakas yang tepat, dia bisa membuat mobil itu berfungsi kembali.

Milik siapakah ini? tanya ayah Ove lantang, ketika menegakkan tubuh dan membersihkan minyak dari jari-jari tangannya dengan lap.

Milik seorang kerabatku, jawab direktur sambil mengeluarkan kunci dari celana panjang setelannya lalu meletakkannya di telapak tangan ayah Ove. Dan kini menjadi milikmu.

Setelah menepuk bahu ayah Ove, direktur kembali ke kantor. Ayah Ove tetap berada di tempatnya, di pekarangan, berupaya menenangkan diri. Malam itu dia harus menjelaskan segalanya berulang kali kepada putranya yang terbelalak, dan



menunjukkan segala yang perlu diketahui mengenai monster ajaib yang kini terparkir di kebun mereka itu.

Dia duduk di kursi pengemudi selama setengah malam, dengan bocah laki-laki itu di pangkuan, menjelaskan bagaimana semua bagian mekanisnya terhubung. Dia bisa menjelaskan setiap sekrup, setiap selang kecil. Ove belum pernah melihat lelaki yang sebangga ayahnya malam itu. Usianya delapan tahun, dan malam itu, dia memutuskan untuk tidak pernah mengendarai mobil apa pun selain Saab.

Setiap kali mendapat libur pada hari Sabtu, ayah Ove membawanya ke pekarangan, membuka kap mobil, dan mengajarinya nama berbagai bagian beserta fungsinya. Pada hari Minggu mereka pergi ke gereja. Bukan karena salah seorang dari mereka sangat antusias akan Tuhan, tapi karena ibu Ove selalu bersikeras soal itu. Mereka duduk di bagian belakang, masing-masing menatap petak di lantai hingga kebaktian berakhir.

Dan, sejujurnya, mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk merindukan ibu Ove dibanding memikirkan Tuhan. Bisa dibilang itulah waktu untuk ibu Ove, walaupun perempuan itu tidak lagi berada di sana. Setelah itu, mereka akan berkendara jauh ke pedesaan dengan Saab. Itulah bagian favorit Ove setiap pekan.

Tahun itu, agar Ove tidak berkeliaran sendirian di seputar rumah, dia juga mulai ikut bersama ayahnya bekerja di emplasemen kereta api seusai sekolah. Itu pekerjaan kotor dan bayarannya payah. Namun, seperti yang dulu biasa digumamkan ayahnya, Itu pekerjaan yang jujur dan layak dilakukan.



Ove menyukai semua lelaki di pekarangan kereta api, kecuali Tom. Tom adalah lelaki berisik, bertubuh jangkung, dengan kepalan tangan sebesar truk bak terbuka, dan mata yang seakan selalu mencari semacam hewan tak berdaya untuk ditendangi.

Ketika Ove berusia sembilan tahun, ayahnya mengutusnya untuk membantu Tom membersihkan gerbong kereta api bobrok. Dengan kegembiraan mendadak, Tom menyambar tas kerja yang ditinggalkan penumpang yang terburu-buru. Tas itu terjatuh dari rak barang, lalu isinya tersebar di lantai. Tom segera merangkak, mengumpulkan semua yang terlihat olehnya.

Yang menemukan, yang memiliki, katanya kepada Ove. Sesuatu di dalam mata Tom membuat Ove merasa seakan ada serangga yang sedang merayap di balik kulitnya.

Ketika berbalik pergi, Ove tersandung dompet. Dompet itu terbuat dari kulit yang begitu lembut sehingga rasanya seperti kapas di ujung jemari kasar Ove. Dan dompet itu tidak diikat dengan karet agar isinya tidak jatuh berantakan seperti dompet tua milik ayahnya. Dompet itu memiliki tombol perak kecil yang berbunyi klik ketika dibuka. Di dalamnya, ada lebih dari enam ribu krona. Jumlah yang sangat besar bagi siapa pun pada masa itu.

Tom melihat dompet itu, lalu berupaya merenggutnya dari tangan Ove. Dikuasai oleh insting untuk membangkang, Ove melawan. Dia melihat betapa terkejutnya Tom dengan sikapnya, dan dari sudut matanya, dia sempat melihat lelaki bertubuh besar itu mengepalkan tangan. Ove tahu dia



tidak akan pernah bisa lolos, jadi dia memejamkan mata, memegangi dompet itu seerat mungkin, dan menunggu datangnya pukulan.

Namun hal berikutnya yang diketahui oleh mereka berdua, ayah Ove berdiri di antara mereka. Sejenak mata benci dan marah Tom bertemu dengan mata lelaki itu, tapi ayah Ove tetap berdiri di tempatnya berdiri. Dan akhirnya, Tom menurunkan kepalan tangan, lalu melangkah mundur dengan waspada.

Yang menemukan berarti yang memiliki. Selalu begitu, gerutunya sambil menunjuk dompet itu.

Terserah kehendak orang yang menemukannya, kata ayah Ove tanpa mengalihkan pandangan.

Mata Tom berubah kalap. Namun, dia kembali melangkah mundur, dengan masih mencengkeram tas kerja tadi. Tom telah bekerja di jawatan kereta api selama bertahun-tahun, tapi Ove belum pernah mendengar salah seorang kolega ayahnya mengucapkan sepatah kata pun yang baik mengenai Tom. Lelaki itu jahat dan tidak jujur, itulah yang mereka katakan setelah menenggak beberapa botol bir di pesta-pesta mereka. Tapi Ove belum pernah mendengar perkataan semacam itu dari ayahnya. Empat anak dan istri yang sakit. Hanya itulah yang dulu biasa dikatakan oleh ayahnya kepada rekan-rekan kerjanya, sambil memandang mata mereka satu per satu. Lelaki yang lebih baik dibanding Tom bisa saja berakhir dengan lebih buruk menyangga nasib Tom. Lalu biasanya rekan-rekan kerjanya akan mengubah pokok pembicaraan.



Ayah Ove menunjuk dompet di tangan bocah itu. Kau yang memutuskan, katanya.

Dengan gigih, Ove mengarahkan pandangan ke bawah, merasa seakan mata Tom melubangi puncak kepalanya. Lalu, dia berkata dengan suara rendah tapi mantap bahwa dompet itu sebaiknya diserahkan ke kantor barang hilang. Ayahnya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu menggandeng tangan Ove ketika mereka berjalan kembali selama hampir setengah jam. Menyusuri rel tanpa satu kata pun terucap di antara mereka. Ove mendengar Tom berteriak di belakang mereka, suaranya diluapi kemarahan yang luar biasa. Ove tidak akan pernah melupakannya.

Perempuan di meja kantor barang hilang nyaris tidak memercayai matanya ketika mereka meletakkan dompet itu di gerai.

Dan, ini tergeletak begitu saja di lantai? Kau tidak menemukan tas atau yang lainnya? tanyanya. Ove berpaling kepada ayahnya dengan pandangan bertanya-tanya, tapi lelaki itu hanya berdiri saja di sana dalam keheningan. Jadi, Ove melakukan hal yang sama.

Perempuan di balik gerai tampak cukup puas dengan jawaban itu.

Tidak banyak orang yang pernah menyerahkan uang sebanyak ini, katanya sambil tersenyum kepada Ove.

Banyak juga orang yang tidak punya sopan santun, ujar ayah Ove singkat sambil menggandeng tangan Ove. Mereka berbalik dan berjalan kembali ke tempat kerja.



Setelah berjalan beberapa ratus meter menyusuri rel, Ove berdeham, menghimpun sedikit keberanian, dan bertanya mengapa ayahnya tidak menyebut soal tas kerja yang ditemukan Tom.

Kita bukan jenis orang yang mengadukan perbuatan orang lain, jawab ayahnya.

Ove mengangguk.

Mereka berjalan dalam keheningan.

Awalnya, aku berpikir mengambil uang itu, bisik Ove pada akhirnya, sambil mengeratkan cengkeraman pada tangan ayahnya, seakan dia takut melepaskan diri.

Aku tahu, kata sang ayah sambil meremas tangan Ove sedikit lebih erat lagi.

Tapi, aku tahu kau akan menyerahkan dompet itu, dan aku tahu orang seperti Tom tidak akan berbuat begitu, kata Ove.

Ayahnya mengangguk. Dan tidak sepatah kata pun lagi terucap mengenai dompet itu.

Seandainya Ove adalah jenis lelaki yang gemar merenungkan bagaimana dan kapan seseorang menjadi jenis lelaki sepertinya, dia mungkin mengatakan inilah hari ketika dia belajar bahwa benar pasti benar. Namun, dia bukan lelaki yang merenungkan hal-hal semacam itu. Dia cukup puas dengan mengingat, pada hari itu, dia memutuskan untuk menjadi semirip mungkin dengan ayahnya.

Ove baru menginjak usia enam belas ketika ayahnya meninggal. Dia tertabrak gerbong yang meluncur tak



terkendali di rel. Ove hanya mendapat peninggalan sebuah mobil Saab, sebuah rumah bobrok yang terletak beberapa kilometer di luar kota, dan sebuah arloji tua yang penyok. Dia tidak pernah bisa menjelaskan dengan baik hal yang terjadi kepadanya pada hari itu. Namun dia berhenti menjadi bahagia. Dia tidak bahagia selama beberapa tahun setelah itu.

Pada saat pemakaman pendeta ingin bicara dengan Ove mengenai panti asuhan, tapi lelaki itu segera tahu bahwa Ove tidak dibesarkan untuk menerima derma. Saat itu pula, Ove menjelaskan kepada pendeta, dia tidak perlu disediakan tempat di bangku gereja pada kebaktian Minggu di masa-masa mendatang. Ini bukan karena Ove tidak memercayai Tuhan, jelasnya kepada pendeta. Namun karena dalam pandangannya, Tuhan seakan sedikit mirip dengan kepayahan.

Keesokan harinya, Ove pergi ke kantor gaji di jawatan kereta api dan menyerahkan kembali gaji ayahnya untuk sisa bulan itu. Perempuan-perempuan di kantor itu tidak mengerti, jadi Ove harus menjelaskan dengan sabar bahwa ayahnya meninggal pada tanggal enam belas, dan jelas tidak akan bisa datang dan bekerja selama empat belas hari berikutnya pada bulan itu. Dan, karena ayahnya menerima pembayaran gaji di muka, Ove datang mengembalikan sisanya.

Dengan bimbang, perempuan-perempuan itu mempersilakan Ove duduk dan menunggu. Setelah kira-kira lima belas menit, direktur keluar dan mendapati bocah laki-laki aneh berusia enam belas yang duduk di kursi kayu di koridor dengan membawa amplop gaji mendiang ayahnya. Direktur tahu sekali bocah laki-laki ini.



Setelah meyakinkan diri sendiri bahwa mustahil baginya membujuk Ove agar menerima uang yang menurut bocah itu tidak patut diterimanya, direktur tidak melihat adanya alternatif lain kecuali mengusulkan kepada Ove untuk bekerja hingga akhir bulan dan mendapatkan hak atas uang itu. Ove menganggap ini tawaran yang masuk akal dan memberi tahu sekolahnya bahwa dia akan absen selama dua minggu. Dia tidak pernah kembali ke sekolah.

Ove bekerja untuk jawatan kereta api selama lima tahun. Lalu, suatu pagi, dia menaiki kereta api dan melihat perempuan itu untuk kali pertama. Itulah pertama kalinya dia tertawa semenjak ayahnya meninggal.

Dan kehidupan tidak pernah sama lagi.

Orang mengatakan Ove melihat dunia dalam warna hitamputih. Namun, perempuan itu berwarna-warni. Seluruh warna yang dimiliki Ove.[]



6

Lelaki Bernama Ove dan Sepeda yang Seharusnya Ditinggalkan Di

Tempat Sepeda Ditinggalkan

OVE HANYA INGIN MATI DENGAN tenang. Apakah itu permintaan yang berlebihan? Menurut Ove, tidak. Memang, seharusnya dia mengatur hal itu enam bulan lalu, langsung setelah pemakaman istrinya. Namun kau tidak bisa bertindak konyol seperti itu, pikir Ove memutuskan, pada saat itu. Dia punya pekerjaan yang harus diselesaikan. Bagaimana jadinya jika di mana-mana orang berhenti datang ke tempat kerja karena bunuh diri? Istri Ove meninggal Jumat, dimakamkan Minggu. Lalu, pada Senin, Ove pergi bekerja karena memang begitulah cara orang menangani segalanya.

Kemudian enam bulan berlalu. Mendadak, manajermanajer itu datang pada Senin dan mengatakan, tidak ingin menyampaikannya pada Jumat karena tidak ingin merusak akhir pekan Ove . Dan pada Selasa, Ove berdiri di sana, meminyaki permukaan meja dapurnya.



Jadi, Ove telah mempersiapkan segalanya. Dia telah membayar pengurus pemakaman dan menyetujui tempat untuknya di pekarangan gereja, di sebelah istrinya. Dia telah menelepon pengacara dan menulis surat dengan instruksiinstruksi jelas, lalu memasukkan surat itu ke amplop bersama semua kuitansi penting, surat kepemilikan rumah, dan sejarah perawatan mobil Saab-nya. Dia telah memasukkan amplop ini ke saku bagian dalam jasnya dan telah membayar semua tagihan. Dia tidak punya pinjaman ataupun utang, jadi tak seorang pun harus membereskan sesuatu setelah kepergiannya. Dia bahkan telah mencuci cangkir kopinya dan memberhentikan langganan koran. Dia sudah siap.

Dan yang dia inginkan hanya mati dengan tenang, pikirnya ketika duduk di dalam Saab dan memandang pintu garasi yang terbuka. Jika bisa menghindari tetanggatetangganya, dia bahkan bisa melakukannya sore ini.

Ove melihat pemuda yang sangat kelebihan bobot dari rumah sebelah sedang berjalan membungkuk, melintasi pintu garasi di area parkir. Bukannya Ove tidak menyukai orang gemuk. Jelas bukan begitu. Orang boleh berpenampilan seperti apa pun sesuka mereka. Ove hanya tidak pernah bisa memahami mereka, tidak bisa memahami bagaimana cara mereka melakukannya.

Seberapa banyak seseorang bisa makan? Bagaimana mungkin seseorang berhasil mengubah dirinya menjadi orang berukuran kembar? Pasti diperlukan tekad tertentu, renungnya.

Pemuda itu melihat Ove, lalu melambaikan tangan dengan riang. Ove mengangguk singkat. Pemuda itu



berdiri di sana, sambil melambaikan tangan, membuat dada gemuknya bergoyang-goyang di balik baju kausnya. Ove sering berkata, inilah satu-satunya orang yang dikenalnya yang bisa menyerang semangkuk keripik dari segala arah sekaligus. Namun setiap kali dia berkomentar seperti itu, istri Ove memprotes dan mengatakan tidak pantas mengucapkan hal-hal semacam itu.

Tepatnya, istrinya suka berkata begitu dahulu. Dahulu.

Istri Ove menyukai pemuda kelebihan bobot itu. Setelah ibu pemuda itu meninggal, istri Ove mampir ke rumah pemuda itu seminggu sekali dengan membawa kotak makan siang. Agar sesekali dia mendapat masakan rumah, katanya, dulu. Ove memperhatikan bahwa wadah-wadah makanan itu tidak pernah dikembalikan, lalu mengimbuhkan bahwa mungkin pemuda itu belum menyadari perbedaan antara kotak itu dan makanan di dalamnya. Dan saat itulah istri Ove mengatakan bahwa komentarnya sudah cukup. Jadi Ove tidak berkomentar lagi.

Ove menunggu hingga pelahap kotak makan siang itu pergi, lalu keluar dari Saab-nya. Dia menarik pegangan pintu mobilnya tiga kali. Menutup pintu garasi di belakangnya. Menarik pegangan pintunya tiga kali. Berjalan menyusuri jalan setapak kecil di antara rumah-rumah. Berhenti di luar gudang sepeda. Ada sepeda perempuan tersandar di dindingnya. Lagi-lagi. Persis di bawah plang yang menyatakan dengan jelas bahwa sepeda tidak boleh ditinggalkan di tempat ini.



Ove mengambil sepeda itu. Ban depannya kempes. Dibukanya gudang dan diletakannya sepeda itu dengan rapi di ujung deretan. Dia mengunci pintu gudang dan baru saja menarik pegangannya tiga kali, ketika mendengar suara seseorang yang mendekati akhir masa remaja memekakkan telinganya.

Whoa! Apa yang kau lakukan?

Ove berbalik, lalu mendapati dirinya bertatapan dengan seorang remaja yang berdiri beberapa meter jauhnya. Menyimpan sepeda di gudang sepeda. Kau tidak boleh lakukan itu!

Setelah mengamati dengan lebih saksama, Ove menebak remaja itu mungkin berusia delapan belas tahunan, tebak Ove. Dengan kata lain, lebih mirip pemuda bila dibandingkan remaja, jika seseorang ingin mengatakannya secara tepat. Boleh saja.

Tapi, aku sedang memperbaikinya! teriak pemuda itu dengan suara melengking.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, itu sepeda perempuan, protes Ove. Ya, lalu kenapa?

Kalau begitu, mustahil sepeda itu milikmu, jawab Ove mencemooh.

Pemuda itu menggeram, memutar bola mata; Ove memasukkan tangan ke saku seakan persoalan itu sudah selesai.

Muncul keheningan yang menegangkan. Pemuda itu memandangnya seakan menganggap Ove teramat sangat



tolol. Sebaliknya, Ove memandang makhluk di hadapannya dengan pandangan seakan dia hanya memboroskan oksigen saja.

Ove memperhatikan ada remaja lain di belakang remaja itu. Yang bahkan lebih kurus dibanding remaja pertama dan dengan sesuatu yang hitam di sekeliling matanya. Remaja kedua menarik jaket remaja pertama dengan hati-hati dan menggumamkan sesuatu mengenai jangan membuat masalah . Rekannya menendang salju dengan marah, seakan salju itulah yang bersalah.

Itu sepeda pacarku, gumamnya, pada akhirnya. Dia mengucapkan kalimat itu dengan pasrah, alih-alih membangkang. Sepatu olahraganya kebesaran dan celana jinsnya kekecilan, pikir Ove mengamati. Jaket olahraganya ditarik menutupi dagu untuk melindunginya dari udara dingin. Wajah tirus berbulunya dipenuhi komedo dan rambutnya tampak seakan seseorang baru saja menyelamatkannya dari tenggelam dalam tong dengan menarik rambutnya. Kalau begitu, pacarmu tinggal di mana? Dengan susah payah, seakan baru saja disuntik penenang, makhluk itu menunjuk dengan seluruh lengannya ke arah rumah di ujung jauh jalanan rumah Ove. Tempat para komunis yang mendesakkan reformasi pemilahan sampah tinggal bersama anak-anak perempuan mereka. Ove mengangguk waspada.

Kalau begitu, pacarmu bisa mengambil sepedanya di gudang sepeda, kata Ove, sambil mengetuk-ngetuk plang yang melarang sepeda ditinggalkan di area itu secara



melodramatis sebelum berbalik, lalu berjalan kembali menuju rumahnya.

Dasar bajingan tua pemarah! teriak remaja itu di belakangnya.

Sssh! kata rekannya yang bermata jelaga. Ove tidak menjawab.

Dia berjalan melewati plang yang jelas melarang kendaraan bermotor memasuki area permukiman. Plang yang tampaknya tidak bisa dibaca oleh orang asing hamil itu, walaupun Ove tahu sekali bahwa mustahil seseorang tidak melihatnya.

Ove jelas tahu, karena dia sendirilah yang memasang plang itu di sana. Dengan perasaan tidak puas, dia berjalan menyusuri jalan setapak di antara rumah-rumah, mengentakentakkan kaki sehingga siapa pun yang melihatnya akan mengira dia sedang mencoba meratakan aspal. Seakan masalahnya belum cukup buruk dengan semua orang gila yang sudah tinggal di jalanan ini, pikirnya. Seakan seluruh area ini belum diubah pelan-pelan menjadi semacam polisi tidur sialan. Si Sok-Pamer bermobil Audi dan Ilalang Pirang itu tinggal hampir berseberangan dengan rumah Ove, dan di ujung jauh deretan rumah, terdapat keluarga komunis dengan anak-anak perempuan remaja mereka, rambut merah mereka, dan celana pendek mereka yang dikenakan di atas celana panjang, sedangkan wajah mereka persis seperti rakun. Ya, kemungkinan besar saat ini mereka sedang berlibur di Thailand. Namun apa peduli Ove.



Di sebelah rumah Ove terdapat pemuda itu, berusia dua puluh lima tahun dan berbobot nyaris seperempat ton. Dia tinggal bersama ibunya hingga perempuan itu meninggal karena semacam penyakit kira-kira setahun lalu. Ternyata, namanya Jimmy, begitulah kata istri Ove. Ove tidak tahu apa pekerjaan Jimmy; kemungkinan besar sesuatu yang kriminal. Kecuali, jika pekerjaannya menguji daging asap?

Di rumah di ujung yang satu lagi, tinggal Rune dan istrinya. Ove tidak bisa menyebut Rune sebagai musuh & atau, lebih tepatnya lagi, dia mungkin bisa. Segala yang kacau di Asosiasi Warga dimulai dengan Rune. Dia dan istrinya, Anita, pindah ke area itu pada hari yang sama dengan kepindahan Ove dan Sonja ke sana. Pada saat itu, Rune biasa menyetir Volvo, tapi kemudian dia membeli BMW. Kau tidak bisa berunding dengan orang yang berperilaku seperti itu.

Rune-lah yang mendesakkan kudeta penggulingan Ove dari jabatan ketua Asosiasi. Dan, lihat saja keadaan tempat ini sekarang. Tagihan listrik yang lebih tinggi, sepeda yang tidak disimpan di dalam gudang sepeda, serta orang yang memundurkan mobil berkaravan di area permukiman walaupun ada plang yang jelas menyatakan bahwa itu dilarang.

Ove sudah lama memperingatkan mengenai halhal mengerikan ini, tapi tak seorang pun mendengarkan. Semenjak itu, dia tidak pernah nongol dalam setiap pertemuan Asosiasi Warga.

Mulut Ove bergerak-gerak seakan hendak meludah setiap kali dia mengucapkan Asosiasi Warga di dalam hati. Seakan kata-kata itu sangat tidak senonoh.



Ove sedang berada lima belas meter dari kotak pos rusaknya, ketika melihat si Ilalang Pirang. Mulanya, dia sama sekali tidak bisa memahami yang sedang dilakukan perempuan itu. Si Ilalang Pirang bergoyang-goyang di atas tumit sepatunya di jalan setapak, sambil menunjuk-nunjuk fasad rumah Ove dengan histeris.

Makhluk mungil yang menyalak itu yang lebih mirip anjing kampung dibanding anjing layak dan yang telah mengencingi batu-batu hampar rumah Ove, berlarian di sekeliling kaki perempuan itu.

Si Ilalang meneriakkan sesuatu begitu keras hingga kacamata hitamnya meluncur dari ujung hidung. Si anjing kampung menyalak semakin keras. Jadi, gadis tua itu akhirnya kehilangan kewarasannya, pikir Ove sambil berdiri dengan waspada, beberapa meter di belakang Si Ilalang. Saat itulah, dia baru menyadari bahwa sesungguhnya perempuan itu tidak sedang menunjuk-nunjuk rumah Ove. Dia sedang melemparkan batu-batu. Dan dia tidak sedang melempari rumah Ove. Dia sedang melempari si kucing.

Hewan itu duduk meringkuk di pojok, jauh di belakang gudang Ove. Ada bercak-bercak kecil darah pada bulunya, atau pada apa yang tersisa dari bulunya. Anjing kampung memamerkan gigi; si kucing membalas dengan desisan.

Jangan mendesis pada Prince! teriak Si Ilalang sambil memungut batu lagi dari petak bunga Ove, lalu melemparkannya pada si kucing. Si kucing melompat menghindar; batu itu menumbuk birai jendela.



Si Ilalang memungut batu lagi, bersiap melemparkannya. Ove maju dua langkah dengan cepat dan berdiri begitu dekat di belakangnya sehingga kemungkinan besar perempuan itu bisa merasakan napas Ove.

Jika kau melemparkan batu itu ke rumahku, maka aku akan melemparkanmu ke kebunmu!

Si Ilalang berbalik. Mata mereka bertemu. Tangan Ove berada di dalam saku, sedangkan si Ilalang melambailambaikan sepasang kepalan tangannya di depan Ove, seakan sedang mencoba melumatkan dua lalat seukuran oven microwave. Ove bergeming, tidak melakukan gerakan wajah sekali pun.

Makhluk menjijikkan itu mencakar Prince! kata Si Ilalang pada akhirnya, matanya liar oleh kemarahan. Ove menunduk memandang si anjing kampung. Hewan itu menggeram. Lalu, Ove memandang si kucing, yang duduk terhina dan berdarah tapi dengan kepala terangkat menantang di luar rumah Ove.

Kucing itu berdarah. Jadi, tampaknya perkelahian berakhir dengan seri, kata Ove.

Enak saja. Akan kubunuh bajingan itu! Tidak, kata Ove dingin.

Tetangga gilanya mulai tampak mengancam. Hewan itu mungkin dipenuhi penyakit menjijikkan, rabies, dan segala hal semacam itu!

Ove memandang si kucing. Memandang si Ilalang. Mengangguk.



Kemungkinan besar kau juga. Tapi, kami tidak melemparimu dengan batu gara-gara itu.

Bibir bawah si Ilalang mulai bergetar. Dia meluncurkan kacamata hitamnya, menutupi mata.

Awas kau! desisnya.

Ove mengangguk, menunjuk si anjing kampung. Anjing kampung mencoba menggigit kakinya, tapi Ove mengentakkan kaki begitu keras hingga hewan itu mundur.

Makhluk itu harus diikat di dalam area permukiman, kata Ove tenang.

Si Ilalang menyibakkan rambutnya yang dicat dan mendengus begitu keras sehingga Ove setengah berharap ada sedikit ingus yang terbang keluar.

Dan makhluk itu? tanyanya berang sambil menunjuk si kucing.

Itu bukan urusanmu, jawab Ove.

Ilalang memandangnya dengan cara tertentu, seperti orang yang merasa begitu unggul dan sangat terhina.

Anjing Kampung memamerkan gigi sambil menggeram tanpa suara.

Kau pikir jalanan ini milikmu atau apa, dasar orang gila sialan! kata si Ilalang.

Dengan tenang Ove kembali menunjuk anjing kampung. Jika makhluk itu mengencingi batu hamparku lagi, katanya dingin, Batunya akan kualiri listrik.



Prince tidak pernah mengencingi batu hamparmu yang menjijikkan, tukas si Ilalang sambil maju dua langkah dengan kepalan tangan teracung.

Ove bergeming. Si Ilalang berhenti bergerak. Tampak seakan terengah-engah.

Lalu, dia seakan menghimpun sedikit akal sehat yang dimilikinya.

Ayo, Prince, katanya sambil melambaikan tangan. Kemudian dia mengacungkan jari tengah kepada Ove. Aku akan memberi tahu Anders soal ini, lalu kau akan menyesal.

Sampaikan kepada Anders-mu, dia harus berhenti meregangkan selangkangannya di depan jendelaku.

Dasar si tolol tua gila, ujar si Ilalang sambil berjalan menuju area parkir.

Dan mobilnya payah, katakan itu kepadanya! imbuh Ove sekalian.

Si Ilalang membuat isyarat tangan yang belum pernah dilihat Ove sebelumnya, walaupun dia bisa menebak artinya. Lalu, si Ilalang dan anjing mungil sialannya berjalan menuju rumah Anders.


Delusi Karya Mira W Pendekar Naga Putih 28 Laba Laba Hitam Mine To Take Mine 1 Karya Cynthia Eden

Cari Blog Ini