Ceritasilat Novel Online

A Man Called Ove 2

A Man Called Ove Karya Fredrik Backman Bagian 2



Ove berbelok ke samping gudang. Melihat genangangenangan air kencing pada batu hampar di pojok petak bunganya. Seandainya sore ini dia tidak sedang sibuk dengan hal-hal yang lebih penting, dia akan langsung berangkat untuk mengubah anjing kampung sialan itu menjadi keset. Namun dia sedang disibukkan oleh hal-hal lain. Dia pergi ke gudang perkakas, mengeluarkan bor listrik dan kotak mata bor.



Ketika Ove keluar lagi, si kucing duduk di sana memandangnya.

Sekarang kau bisa minggat, kata Ove. Hewan itu tidak bergerak. Ove menggeleng pasrah. Hei! Aku bukan temanmu.

Si kucing tetap berada di tempatnya. Ove menggerakgerakkan kedua tangannya dengan kesal.

Astaga, dasar kucing sialan. Pembelaanku terhadapmu ketika perempuan tolol itu melemparimu batu hanya berarti ketidaksukaanku terhadapmu lebih kecil dibanding ketidaksukaanku terhadap Ilalang gila dari seberang jalan itu. Dan, ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan; kau harus benar-benar mengerti soal itu.

Si kucing seakan merenungkan perkataan ini dengan cermat. Ove menunjuk jalan setapak. Minggat sana!

Tanpa peduli sedikit pun, si kucing menjilati bulunya yang bernoda darah. Dia memandang Ove, seakan ini adalah serangkaian negosiasi dan dia sedang mempertimbangkan sebuah usulan. Lalu, perlahan-lahan, dia bangkit berdiri dan berjalan pergi, menghilang di pojok gudang. Ove bahkan tidak memandang si kucing. Dia langsung pergi memasuki rumah, membanting pintu hingga menutup.

Cukup sudah. Sekarang, Ove hanya ingin mati.[]



7

Lelaki Bernama Ove Mengebor

Lubang untuk Pengait

OVE TELAH MENGENAKAN CELANA PANJANG terbaiknya dan kemeja untuk pergi. Dengan cermat, dia menutupi lantai dengan lembaran plastik pelindung, seakan melindungi karya seni berharga. Lantai itu tidak baru (walaupun dia memang memolesnya kurang dari dua tahun lalu). Dia cukup yakin, orang tidak akan kehilangan banyak darah jika menggantung diri. Itu juga bukan karena kekhawatiran terhadap debu atau pengeborannya. Atau goresan-goresan ketika dia menendang dingklik. Sesungguhnya, dia telah melekatkan bantalan plastik ke bawah kaki-kaki dingklik itu sehingga tidak akan ada goresan sama sekali. Tidak, lembaran plastik tebal yang dibentangkan Ove dengan cermat itu, yang menutupi seluruh lorong, ruang duduk, dan sebagian besar dapur, sama sekali bukan demi kepentingan Ove.

Dia membayangkan akan ada begitu banyak orang yang mondar-mandir di sini, juga para agen perumahan



angkuh dan bersemangat yang berupaya memasuki rumah, bahkan sebelum para petugas ambulans punya waktu untuk mengeluarkan jenazahnya. Bajingan-bajingan itu tidak boleh masuk ke dalam sini dan menggores lantai Ove dengan sepatu mereka. Tak peduli melangkahi mayat Ove atau tidak. Sebaiknya mereka tahu jelas soal ini.

Ove meletakkan dingklik di tengah lantai. Dingklik itu dilapisi setidaknya tujuh lapis cat yang berbeda. Pada prinsipnya, istri Ove memutuskan menyuruh Ove mengecat kembali salah satu ruangan di dalam rumah mereka setiap enam bulan sekali. Atau, lebih tepatnya lagi, istri Ove memutuskan bahwa dirinya menginginkan warna berbeda untuk salah satu ruangan, setiap enam bulan sekali. Dan, ketika dia menyampaikan keinginannya ini kepada Ove, lelaki itu memberi tahu bahwa sebaiknya itu dilupakan saja. Lalu, istrinya memanggil dekorator untuk mendapat perkiraan harga. Dia memberi tahu Ove berapa banyak dekorator itu akan dibayarnya. Lalu, Ove pun pergi mengambil peralatan mengecatnya.

Kau merindukan hal-hal teraneh ketika kehilangan seseorang. Hal-hal sepele. Senyuman. Cara perempuan itu berbalik ketika sedang tidur. Kau bahkan rindu mengecat ulang ruangan untuknya.

Ove pergi mengambil kotak mata bornya. Ini satu-satunya hal terpenting ketika mengebor. Bukan bornya, tapi mata bornya. Sama halnya dengan memiliki ban yang tepat untuk mobilmu, alih-alih menyibukkan diri dengan bantalan rem keramik dan omong kosong semacam itu. Semua orang yang tahu segalanya pasti tahu itu.



Ove berdiri di tengah ruangan dan mengira-ngira. Lalu, seperti ahli bedah yang menunduk memandang alat-alat bedahnya, mata Ove meneliti semua mata bornya. Dia memilih sebuah mata bor, memasukkannya ke dalam bor, lalu sedikit menguji tombol pemicunya sehingga bor itu mengeluarkan suara menggeram. Ove menggeleng, memutuskan bahwa mata bor itu kedengaran tidak pas sama sekali, dan mengganti mata bor. Dia mengulangi hal ini empat kali sebelum merasa puas, berjalan melintasi ruang duduk, mengayun-ayunkan bor di tangan seperti sedang memegang revolver besar.

Berdiri di tengah lantai, Ove mendongak menatap langitlangit. Disadarinya bahwa dia harus mengukur dulu sebelum memulai agar lubangnya berada tepat di tengah. Hal terburuk yang diketahui Ove adalah seseorang yang mengebor lubang di langit-langit begitu saja secara ceroboh.

Diambilnya pita pengukur. Dia mengukur dari keempat sudut satu per satu dua kali, untuk memastikan lalu menandai bagian tengah langit-langit dengan tanda silang.

Ove melangkah turun dari dingklik. Berjalan berkeliling untuk memastikan plastik pelindung itu berada di tempat yang semestinya. Membuka kunci pintu sehingga mereka tidak perlu mendobraknya ketika datang untuk menurunkannya. Itu pintu yang bagus. Masih bisa bertahan selama bertahuntahun lagi.

Ove mengenakan jas dan memastikan amplop itu berada di saku bagian dalamnya. Akhirnya, dia memutar foto istrinya di jendela agar menghadap gudang. Dia tidak ingin membuat istrinya menyaksikan apa yang hendak dilakukannya, tapi juga tidak berani menelungkupkan foto itu menghadap ke



bawah. Istri Ove selalu merasa sangat jengkel jika berada di suatu tempat tanpa pemandangan. Dia memerlukan sesuatu yang hidup untuk dipandang , itulah yang selalu dikatakannya. Jadi, Ove menghadapkan foto itu ke gudang, sambil berpikir bahwa Kucing Menjengkelkan mungkin akan mampir lagi. Istri Ove menyukai Kucing Menjengkelkan.

Ove mengambil bor dan pengait, berdiri di atas dingklik, dan mulai mengebor. Ketika bel pintu berdering untuk kali pertama, dia menganggap dirinya salah dengar dan karenanya mengabaikan suara itu. Ketika bel pintu berdering untuk kali kedua, dia menyadari bahwa sesungguhnya ada seseorang yang sedang membunyikan bel pintu, dan dia mengabaikannya untuk alasan yang sama.

Ketika bel pintu berdering untuk kali ketiga, Ove berhenti mengebor dan memelototi pintu. Seakan hanya melalui kekuatan pikiran, dia bisa meyakinkan siapa pun yang sedang berdiri di baliknya agar menghilang. Itu tidak berhasil. Jelas orang itu menganggap satu-satunya penjelasan mengapa Ove tidak membuka pintu pada kali pertama adalah karena dia tidak mendengar bel pintu.

Ove melangkah turun dari dingklik, berjalan di atas lembaran-lembaran plastik, melintasi ruang duduk, dan memasuki lorong. Sebegitu sulitkah untuk bunuh diri tanpa terus-menerus diganggu?

Ada apa? tanya Ove jengkel sambil membuka pintu lebar-lebar.



Si Kerempeng nyaris tidak sempat menarik kepala besarnya ke belakang untuk menghindari benturan dengan wajah Ove.

Hai! Perempuan Hamil berteriak riang di sampingnya, walaupun setengah meter lebih rendah.

Ove menunduk memandang perempuan itu, lalu mendongak memandang si Kerempeng. Si Kerempeng sedang sibuk menyentuh setiap bagian wajahnya sendiri dengan sedikit bimbang, seakan untuk memeriksa apakah setiap tonjolan masih berada di tempat yang semestinya.

Ini untukmu, kata si Perempuan Hamil dengan semacam suara yang cukup ramah, lalu dia menyorongkan sebuah kotak biru ke lengan Ove.

Ove tampak bimbang.

Biskuit, jelas si Perempuan Hamil bersemangat. Ove mengangguk pelan, seakan untuk menegaskan. Kau berdandan habis-habisan. Si Perempuan Hamil tersenyum.

Kembali Ove mengangguk.

Lalu, mereka berdiri di sana. Mereka bertiga, menunggu seseorang mengucapkan sesuatu. Akhirnya, si Perempuan Hamil memandang si Kerempeng dan menggeleng pasrah.

Oh, ayolah, berhentilah mengotak-atik wajahmu, Sayang, bisiknya sambil menyikut pinggang si Kerempeng.

Si Kerempeng membalas pandangan istrinya, lalu mengangguk. Dia memandang Ove. Ove memandang si



Hamil. Si Kerempeng menunjuk kotak biru itu dan wajahnya berubah ceria.

Kau tahu, istriku orang Iran. Mereka membawa makanan ke mana pun mereka pergi.

Ove memberinya tatapan kosong. Si Kerempeng tampak semakin bimbang lagi.

Kau tahu & itulah sebabnya aku cocok sekali dengan orang Iran. Mereka gemar memasak dan aku suka & , katanya memulai, dengan senyum yang luar biasa.

Lalu dia terdiam. Ove tampak teramat sangat tidak tertarik.

& makan, kata si Kerempeng mengakhiri. Dia tampak seakan hendak membuat gerakan memukulmukul drum di udara dengan jari-jari tangannya. Namun, kemudian dia memandang si Perempuan Asing Hamil dan memutuskan bahwa itu mungkin ide yang buruk. Dan? tanya Ove lelah.

Si Perempuan Hamil menggeliat, meletakkan sepasang tangannya di perut.

Kami hanya ingin memperkenalkan diri karena kini kita akan bertetangga & .

Ove mengangguk singkat dan tegas. Oke. Bye.

Dia mencoba menutup pintu. Si Perempuan Hamil menghentikan Ove dengan lengannya

Dan, kami ingin berterima kasih karena kau telah memundurkan mobil karavan kami. Kau baik sekali!



Ove menggeram. Dengan enggan dia membiarkan pintu tetap terbuka.

Tidak perlu berterima kasih untuk itu. Perlu, kau baik sekali, protes perempuan itu. Tidak, maksudku kau seharusnya tidak perlu berterima kasih kepadaku karena lelaki dewasa seharusnya bisa memundurkan mobil berkaravan, jawab Ove sambil melayangkan pandangan yang sedikit meremehkan kepada si Kerempeng, yang memandangnya seakan bingung ini penghinaan atau bukan.

Ove memutuskan untuk tidak membantu memecahkan kebingungan si Kerempeng. Dia mundur, lalu kembali mencoba menutup pintu.

Namaku Parvaneh! kata si Perempuan Hamil sambil melintangkan kaki di ambang pintu.

Ove menatap kaki itu; lalu menatap wajah si empunya kaki. Seolah-olah dia mengalami kesulitan untuk memahami apa yang baru saja dilakukan oleh perempuan itu. Aku Patrick! kata si Kerempeng.

Ove dan Parvaneh sama-sama tidak menggubrisnya sedikit pun.

Apakah kau selalu tidak ramah seperti ini? tanya Parvaneh yang sungguh penasaran.

Ove tampak terhina. Siapa bilang aku tidak ramah? Kau sedikit tidak ramah.

Tidak!



Ya, ya, ya, setiap perkataanmu menyenangkan, sungguh, jawab Parvaneh, dengan cara yang membuat Ove merasa bahwa perempuan itu tidak bersungguh-sungguh dengan perkataannya.

Sejenak Ove melepaskan cengkeramannya pada pegangan pintu, lalu mengamati kotak biskuit di tangannya. Benar. Biskuit Arab. Patut dimiliki, bukan? gumamnya. Persia, ujar Parvaneh membetulkan.

Apa?

Persia, bukan Arab. Aku berasal dari Iran kau tahulah, yang bahasanya Farsi? jelasnya.

Fantasi? Setidaknya kau bisa berkata begitu, jawab Ove setuju.

Tawa perempuan itu mengejutkannya. Seakan tawa itu berkarbonasi dan seseorang telah menuangnya terlalu cepat sehingga berbuih ke segala arah. Tawa itu sama sekali tidak cocok dengan semen kelabu dan batu-batu hampar taman yang bersudut tegak lurus. Itu tawa nakal serampangan yang menolak untuk mematuhi peraturan dan instruksi.

Ove mundur satu langkah. Kakinya lengket pada selotip di dekat ambang pintu. Ketika berupaya melepaskan selotip itu dengan sedikit jengkel, dia merobek ujung lembaran plastiknya. Dan, saat dirinya berupaya melepaskan selotip dan lembaran plastik itu, dia terhuyung-huyung mundur, menarik lebih banyak plastik lagi. Dengan marah dia memulihkan keseimbangan. Tetap berdiri di ambang pintu, berupaya menenangkan diri. Kembali meraih pegangan pintu,



memandang si Kerempeng dan mencoba mengubah pokok pembicaraan dengan cepat.

Kalau begitu, siapa kau?

Si Kerempeng sedikit mengangkat bahu dan tersenyum, sedikit kewalahan.

Aku konsultan IT.

Ove dan Parvaneh menggeleng-gelengkan kepala dengan koordinasi sedemikian rupa sehingga mirip perenang sinkronisasi. Sejenak, ini membuat ketidaksukaan Ove terhadap perempuan itu berkurang sedikit, walaupun dia sangat enggan mengakui hal itu kepada dirinya sendiri.

Si Kerempeng seakan tidak menyadari semua ini. Dengan penasaran, dia malah memandang bor listrik yang dipegang Ove erat-erat, seperti tentara pejuang dengan senapan AK- 47 di tangan.

Begitu selesai mengamati, si Kerempeng membungkuk, mengintip ke dalam rumah Ove.

Kau sedang apa?

Ove memandangnya, seperti yang dilakukan seseorang terhadap orang yang baru saja mengatakan Kau sedang apa? kepada lelaki yang berdiri dengan membawa bor listrik. Aku sedang mengebor, jawab Ove ketus. Parvaneh memandang si Kerempeng, lalu memutar bola mata. Dan seandainya bukan karena perut perempuan itu, yang membuktikan kesediaannya untuk membantu kelangsungan hidup susunan genetik si Kerempeng, Ove mungkin sudah menganggapnya nyaris simpatik.



Oh, kata si Kerempeng sambil mengangguk. Lalu, dia membungkuk dan mengintip lantai ruang duduk, yang dilapisi lembaran plastik pelindung dengan rapi.

Si Kerempeng berubah ceria dan memandang Ove sambil menyeringai.

Nyaris tampak seakan kau hendak membunuh seseorang!

Ove mengamati lelaki itu dalam keheningan. Si Kerempeng berdeham dengan ragu. Maksudku, itu seperti episode dalam serial Dexter, katanya dengan seringai yang sangat tidak percaya diri. Itu serial TV& tentang lelaki yang membunuh orang. Dia terdiam; lalu mulai menyodokkan ujung sepatunya ke celah di antara batu-batu hampar, di luar pintu depan rumah Ove.

Ove menggeleng-gelengkan kepala. Tidak jelas kepada siapa si Kerempeng menujukan kata-katanya tadi.

Aku harus menyelesaikan beberapa hal, katanya singkat kepada Parvaneh, lalu mencengkeram pegangan pintu eraterat.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Parvaneh menyikut pinggang si Kerempeng dengan sengaja. Si Kerempeng tampak seakan sedang mencoba menghimpun keberanian; dia memandang Parvaneh, lalu memandang Ove dengan ekspresi seseorang yang berharap seluruh dunia akan mulai menembakinya dengan karet gelang.

Wah, begini, sebenarnya kami datang karena aku ingin meminjam beberapa barang & .

Ove menaikkan sepasang alisnya. Barang-barang apa?



Si Kerempeng berdeham. Tangga. Dan kunci Eileen. Maksudmu kunci Allen?

Parvaneh mengangguk. Si Kerempeng tampak kebingungan.

Kunci Eileen, bukan?

Kunci Allen, Parvaneh dan Ove serempak membetulkan. Parvaneh mengangguk kepada si Kerempeng dengan bersemangat dan menunjuk Ove dengan penuh kemenangan. Dia menyebutkannya dengan benar!

Si Kerempeng menggumamkan sesuatu yang tak terdengar.

Dan kau mengatakan Whoa, kunci Eileen! ejek Parvaneh.

Si Kerempeng tampak sedikit kesal. Aku tidak pernah berkata begitu.

Ya.

Tidak! YA!

TIDAK!

Pandangan Ove beralih dari satu orang ke orang yang satu lagi, seperti anjing besar yang sedang mengamati dua tikus yang mengusik tidurnya.

Ya, kata salah seorang dari mereka. Itu menurutmu, kata yang satu lagi. Semua orang bilang begitu! Mayoritas tidak selalu benar!



Mau cari di Google saja atau apa? Tentu! Carilah di Google! Cari di Wikipedia! Mana ponselmu?

Pakai punyamu sendiri! Tidak kubawa, Dasar Tolol! Salah sendiri!

Sementara perdebatan payah itu terus berlangsung, Ove memandang mereka. Mereka mengingatkan Ove pada dua radiator yang gagal berfungsi, yang merengek nyaring satu sama lain.

Astaga, gumamnya.

Parvaneh mulai menirukan bebunyian yang dianggap Ove sebagai semacam serangga terbang. Dia menciptakan suara mendesing dengan bibirnya untuk menjengkelkan suaminya. Itu cukup berhasil. Baik terhadap si Kerempeng maupun Ove. Ove menyerah.

Dia masuk ke lorong, menggantung jas, meletakkan bor listrik, memakai kelom, lalu berjalan melewati mereka berdua menuju gudang. Dia yakin sekali mereka berdua bahkan tidak menggubrisnya. Dia mendengar mereka masih bertengkar ketika mulai berjalan mundur dengan membawa tangga.

Ayo, bantu dia, Patrick, ujar Parvaneh ketika melihat Ove.

Si Kerempeng maju beberapa langkah menghampiri Ove dengan gerakan canggung. Ove mengawasinya, seakan mengamati lelaki buta mengemudikan bus kota yang penuh sesak. Dan baru setelah itulah Ove menyadari, ketika dia



sedang berada di gudang, propertinya telah dimasuki oleh orang lain lagi.

Istri Rune, Anita, yang tinggal agak jauh di jalanan itu, sedang berdiri di samping Parvaneh, menyaksikan tontonan itu dengan senangnya. Ove memutuskan bahwa satu-satunya respons yang rasional adalah berpura-pura tidak melihat perempuan itu. Dia merasa bahwa respons lainnya hanya akan menyemangati perempuan itu.

Dia menyerahkan kotak silinder berisikan satu set kunci Allen yang diurutkan dengan rapi kepada si Kerempeng.

Oh, lihatlah, betapa banyak isinya, kata si tolol dengan serius sambil memandang ke dalam kotak itu. Ukuran berapa yang kau cari? tanya Ove. Si Kerempeng memandangnya, seperti yang dilakukan seseorang yang tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengatakan hal yang ada dalam pikirannya.

Ukuran & biasa?

Ove memandangnya untuk waktu yang sangat, sangat lama.

Kau hendak menggunakan kunci-kunci ini untuk apa? tanya Ove pada akhirnya.

Untuk memasang lemari pakaian IKEA yang kami bongkar ketika pindah rumah. Aku lupa di mana kuncikunci Eileen itu kuletakkan, jawabnya, jelas tanpa sedikit pun rasa malu.

Ove memandang tangga. Dan, lemari pakaian itu bertengger di atap, bukan?



Si Kerempeng terkekeh dan menggeleng. Oh, baiklah, aku paham maksudmu! Tidak, aku perlu tangga karena jendela di lantai atas macet. Tidak bisa dibuka. Dia mengimbuhkan kalimat terakhir itu seakan, jika tidak, Ove tidak akan bisa memahami implikasi kata macet .

Jadi, sekarang kau hendak mencoba membukanya dari luar? tanya Ove.

Si Kerempeng mengangguk dan dengan canggung mengambil tangga itu dari Ove. Ove tampak seakan hendak mengucapkan sesuatu yang lain, tapi kemudian berubah pikiran. Dia berpaling kepada Parvaneh.

Dan, mengapa pula kau berada di sini?

Untuk memberi dukungan moral, celoteh perempuan

itu.

Ove tidak tampak terlalu yakin. Begitu pula si Kerempeng. Dengan enggan, pandangan Ove beralih kembali kepada istri Rune. Perempuan itu masih berada di sana. Rasanya seakan sudah bertahun-tahun sejak kali terakhir Ove melihatnya. Atau setidaknya, sejak Ove benar-benar memandangnya. Perempuan itu sudah menua. Belakangan ini, semua orang seakan menua di balik punggung Ove. Ya? tanya Ove.

Istri Rune sedikit tersenyum, lalu menyatukan kedua tangannya di depan perut.

Ove, kau tahu, aku tidak ingin mengganggumu, tapi ini mengenai radiator-radiator di rumah kami. Kami tidak bisa memasukkan panas ke dalamnya, katanya hati-hati sambil tersenyum kepada Ove, si Kerempeng, dan Parvaneh.



Parvaneh dan si Kerempeng membalas senyum itu. Ove menengok arloji penyoknya.

Apa tidak ada lagi orang di jalan ini yang harus pergi bekerja? tanyanya.

Aku sudah pensiun, jawab istri Rune dengan nada nyaris menyesal.

Aku sedang cuti hamil, jawab Parvaneh sambil menepuk-nepuk perut dengan bangga.

Aku konsultan IT! kata si Kerempeng dengan bangga. Sekali lagi, Ove dan Parvaneh melakukan sedikit gelengan kepala selaras.

Istri Rune mencoba lagi. Kurasa radiator-radiator itu bermasalah.

Sudah dikeluarkan anginnya? tanya Ove. Perempuan itu menggeleng dan tampak penasaran. Menurutmu itu masalahnya?

Ove memutar bola mata.

Ove! Parvaneh langsung meneriakinya, seakan dia adalah kepala sekolah yang sedang marah. Ove memelototi Parvaneh. Perempuan itu balas memelotot. Jangan bersikap kasar, perintahnya.

Sudah kubilang, aku tidak kasar!

Mata Parvaneh bergeming. Ove sedikit menggeram, lalu kembali berdiri di ambang pintu. Menurutnya, kini cukuplah sudah. Dia hanya ingin mati. Mengapa orang-orang gila ini tidak bisa menghargai itu?



Parvaneh meletakkan tangannya di lengan istri Rune untuk membesarkan hati perempuan itu. Aku yakin Ove bisa membantumu memperbaiki radiator-radiator itu.

Kau baik sekali, Ove, kata istri Rune seketika dengan wajah ceria.

Ove memasukkan tangan ke saku. Menendang lembaran plastik yang terlepas di dekat ambang pintu.

Tidak bisakah suamimu membereskan hal semacam itu di rumahnya sendiri?

Istri Rune menggeleng muram. Tidak. Kau tahu, belakangan ini Rune sakit parah. Kata mereka, penyakitnya Alzheimer. Dia juga duduk di kursi roda. Agak berat & .

Ove mengangguk, samar-samar ingat. Seakan dia diingatkan mengenai sesuatu yang telah diceritakan oleh istrinya ribuan kali, walaupun dia masih saja melupakannya sepanjang waktu.

Ya, ya, katanya tidak sabar.

Ove, kau bisa pergi dan mengeluarkan air radiator mereka, bukan? tanya Parvaneh.

Ove memandangnya seakan hendak membantah dengan tegas, tapi kemudian dia hanya menunduk memandang tanah.

Atau permintaan itu terlalu berlebihan? lanjut Parvaneh sambil memandangnya tajam, menyilangkan lengan di perut. Ove menggeleng.

Kau tidak mengeluarkan air radiator, kau mengeluarkan anginnya & . Ya ampun.

Ove mendongak dan memandang mereka sekilas.



Memangnya kau belum pernah mengeluarkan angin radiator atau apa?

Ya, jawab Parvaneh bergeming.

Istri Rune memandang si Kerempeng dengan sedikit khawatir.

Aku sama sekali tidak tahu mereka bicara apa, kata si Kerempeng dengan tenang kepadanya.

Istri Rune mengangguk pasrah. Kembali memandang Ove.

Aku akan sangat berterima kasih, Ove, jika itu tidak terlalu merepotkan & .

Ove hanya berdiri saja di sana, menunduk menatap ambang pintu.

Mungkin seharusnya yang seperti ini dipikirkan terlebih dahulu, sebelum kau mengatur kudeta di dalam Asosiasi Warga, ujarnya tenang, kata-katanya diselingi serangkaian batuk tersamar.

Sebelum dia apa? tanya Parvaneh.

Istri Rune berdeham. Tapi, Ove tersayang, tidak pernah ada kudeta & .

Pernah, jawab Ove ketus.

Istri Rune memandang Parvaneh sambil sedikit tersenyum malu. Wah, kau tahu, Rune dan Ove ini tidak selalu bisa sangat akur. Sebelum sakit, Rune adalah ketua Asosiasi Warga. Dan, sebelum itu, Ove-lah ketuanya. Dan, ketika Rune terpilih, bisa dibilang terjadi semacam percekcokan antara Ove dan Rune.



Ove mendongak dan menudingkan telunjuk kepada perempuan itu untuk membetulkan. Kudeta! Itulah yang terjadi!

Istri Rune mengangguk kepada Parvaneh. Wah, baiklah, sebelum rapat, Rune menghitung suara yang masuk sehubungan dengan sarannya agar kami mengubah sistem pemanas untuk rumah-rumah, dan menurut Ove

Dan, tahu apa Rune soal sistem pemanas? Eh? teriak Ove sengit, tapi Parvaneh langsung memandangnya. Ini membuat Ove berpikir ulang dan menyimpulkan bahwa dia tidak perlu menyelesaikan jalan pikirannya.

Istri Rune mengangguk. Mungkin kau benar, Ove. Tapi, bagaimanapun, kini dia sakit parah & jadi itu sudah tidak begitu penting lagi. Bibir bawah perempuan itu sedikit bergetar.

Lalu, dia memulihkan ketenangan, menegakkan leher dengan berwibawa, dan berdeham. Pihak berwenang mengatakan akan mengambil Rune dariku dan menempatkannya di panti jompo, katanya dengan susah payah.

Ove kembali memasukkan tangan ke saku, lalu dengan mantap, mundur melintasi ambang pintu. Sudah cukup yang didengarnya.

Sementara itu, si Kerempeng seakan telah memutuskan bahwa sudah saatnya mengganti pokok pembicaraan dan mencerahkan suasana. Dia menunjuk lantai di lorong rumah Ove. Apa itu?
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Ove berpaling memandang sepetak lantai yang terlihat gara-gara lembaran plastiknya terlepas.

Tampaknya seakan kau punya, semacam & bekas-bekas roda di lantai. Kau bersepeda di dalam ruangan atau apa? tanya si Kerempeng.

Parvaneh terus mengamati Ove ketika lelaki itu mundur selangkah lagi sehingga bisa menghalangi pandangan si Kerempeng.

Bukan apa-apa.

Tapi, aku bisa melihat kalau itu & kata si Kerempeng kebingungan.

Itu almarhum istri Ove, Sonja, dulu dia & , sela istri Rune dengan sikap ramah, tapi dia baru sempat mengucapkan nama Sonja ketika Ove kemudian menyela dan berbalik dengan kemarahan tak terkendali di matanya. Cukup sudah! Sekarang TUTUP MULUT kalian! Keempat orang itu terdiam, sama-sama terkejut. Tangan Ove gemetar ketika melangkah mundur memasuki lorong rumahnya dan membanting pintu hingga menutup.

Dia mendengar suara lembut Parvaneh di luar sana bertanya kepada istri Rune, Apa sih, masalahnya? Lalu, dia mendengar istri Rune tergeragap mencari kata-kata dan berteriak: Oh, kau tahu, sebaiknya aku pulang. Masalah menyangkut istri Ove & oh, lupakan saja. Perempuan tua sepertiku terlalu banyak bicara, kau tahulah & .

Ove mendengar tawa tegang perempuan itu, lalu langkah kakinya yang sedikit menyeret menghilang secepat mungkin



di pojok gudangnya. Sejenak kemudian, si Hamil dan si Kerempeng juga pergi.

Dan yang tersisa hanyalah keheningan lorong rumah Ove. Ove menjatuhkan tubuh ke atas dingklik, napasnya tersengal-sengal. Tangannya masih gemetar, seakan sedang berdiri di dalam air sedingin es setinggi pinggang. Dadanya berdentam-dentam. Ini terjadi semakin sering belakangan ini. Dia harus sedikit berjuang untuk menghela napas, seperti ikan dalam mangkuk terbalik. Dokter perusahaan mengatakan penyakitnya kronis dan dia tidak boleh kelelahan. Mudah baginya untuk berkata begitu.

Sebaiknya kau pulang dan beristirahat, kata bos-bos Ove di tempat kerja. Kini jantungmu bermasalah.

Mereka menyebutnya pensiun dini , tapi sebenarnya bisa saja mereka berkata jujur. Likuidasi . Sepertiga abad bekerja di tempat yang sama, tapi itulah ganjaran yang mereka berikan kepadanya.

Ove tidak yakin berapa lama dia berada di dingklik itu, duduk dengan bor di tangan dan jantung berdentam-dentam begitu keras hingga denyutnya terasa di dalam kepala. Ada foto Ove dan Sonja di dinding, di samping pintu depan. Usia foto itu sudah hampir empat puluh tahun. Saat itu, mereka berada di Spanyol, mengikuti tur dengan bus. Sonja berkulit kecokelatan, bergaun merah, dan tampak sangat bahagia. Ove berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya. Agaknya, Ove telah duduk di sana selama satu jam, hanya menatap foto itu.



Dari semua hal yang bisa dibayangkan dan paling dirindukannya dari Sonja, hal yang benar-benar ingin dilakukannya kembali adalah menggenggam tangan istrinya. Sonja punya cara untuk melipat telunjuk di dalam genggaman tangan Ove, menyembunyikan telunjuk itu di telapak tangan Ove. Dan, Ove selalu merasa tidak ada yang mustahil di dunia ini ketika istrinya melakukan hal itu. Dari semua yang bisa dirindukan Ove, itulah yang paling dirindukannya.

Perlahan-lahan Ove berdiri. Berjalan ke ruang duduk. Menaiki tangga. Lalu langsung mengebor lubang dan memasang pengait.

Lalu turun dari tangga dan mengamati pekerjaannya. Dia berjalan ke lorong dan mengenakan jas. Merabaraba amplop di sakunya. Dia telah mematikan semua lampu. Mencuci cangkir kopinya. Memasang pengait di ruang duduk. Pekerjaannya sudah selesai.

Dia mengambil tali dari gantungan pakaian di lorong. Dengan lembut, dengan punggung tangan, dia membelai mantel-mantel istrinya untuk kali terakhir. Lalu dia memasuki ruang duduk, membuat simpul tali gantungan, memasang tali itu pada pengait, menaiki dingklik, dan mengalungkan simpul tali gantungan itu ke lehernya.

Ove menendang dingklik.

Memejamkan mata dan merasakan simpul tali gantungan itu mencekik lehernya bagaikan rahang hewan liar besar.[]



8

Lelaki Bernama Ove dan Sepasang

Jejak Langkah Terdahulu Ayahnya

ISTRI OVE MEMERCAYAI TAKDIR. DIA percaya bahwa semua jalan yang kau tempuh dalam hidupmu, dengan satu atau lain cara, akan menuntun pada apa yang telah ditakdirkan untukmu . Tentu saja, Ove hanya menggumam pelan dan sibuk mengutak-atik sekrup atau sesuatu setiap kali istrinya mulai berkata begitu. Namun dia tidak pernah tidak menyetujui istrinya. Barangkali yang disebut sebagai takdir oleh istrinya adalah sesuatu , itu bukan urusan Ove. Namun bagi Ove, takdir adalah seseorang .

Menjadi yatim piatu di usia enam belas tahun adalah sesuatu yang aneh. Kehilangan keluarga, lama sebelum kau sempat menciptakan keluargamu sendiri untuk menggantikannya adalah rasa kesepian yang sangat spesifi k.

Ove menyelesaikan tugas dua pekannya di jawatan kereta api dengan patuh dan bertanggung jawab. Dia terkejut ketika menyadari dirinya menyukai pekerjaan itu. Ada semacam



kebebasan ketika melakukan sebuah pekerjaan. Memegang benda-benda dengan kedua tangannya sendiri dan melihat hasil upayanya. Ove belum pernah membenci sekolah, tapi dia belum melihat kegunaannya juga. Dia suka matematika, dan dua tahun akademik lebih maju dibanding teman-teman sekelasnya. Sementara, mengenai semua mata pelajaran lainnya, sejujurnya dia tidak begitu peduli.

Namun pekerjaan adalah sesuatu yang benar-benar berbeda. Sesuatu yang jauh lebih cocok untuknya.

Ketika mengabsen untuk pulang dari giliran kerja terakhirnya, pada hari terakhir itu, Ove merasa sedih. Bukan hanya karena harus kembali ke sekolah, tapi karena baru terpikir olehnya bahwa dia tidak tahu cara mencari nafk ah. Tentu saja ayahnya hebat dalam banyak hal, tapi Ove harus mengakui bahwa lelaki itu tidak meninggalkan banyak harta kecuali rumah bobrok, mobil Saab tua, dan arloji penyok. Derma dari gereja ditolaknya, seharusnya Tuhan tahu sekali soal itu. Dan itulah yang dikatakan Ove kepada dirinya sendiri saat di ruang ganti, mungkin demi kepentingan dirinya sendiri sekaligus demi kepentingan Tuhan.

Jika kau benar-benar harus mengambil Mum dan Dad, simpan saja uang sialanmu! teriak Ove pada langit-langit.

Lalu dia mengemasi barang-barangnya dan pergi. Apakah Tuhan atau orang lain mendengarkan dia tidak pernah tahu. Namun ketika Ove keluar dari kamar ganti, seorang lelaki dari kantor direktur utama sudah berdiri di sana menunggunya. Ove? tanya lelaki itu.



Ove mengangguk.

Direktur ingin mengungkapkan rasa terima kasihnya atas pekerjaanmu yang sangat baik selama dua pekan terakhir ini, kata lelaki itu singkat dan lugas.

Terima kasih, kata Ove sambil mulai berjalan pergi. Lelaki itu meletakkan tangannya di lengan Ove. Bocah itu berhenti berjalan.

Direktur ingin tahu apakah kau tertarik untuk tetap di sini dan terus melakukan pekerjaan dengan baik.

Ove berdiri dalam keheningan, memandang lelaki itu. Terutama untuk mengecek apakah ini semacam lelucon. Lalu, dia mengangguk perlahan-lahan.

Ketika dia telah maju beberapa langkah, lelaki itu berteriak di belakangnya.

Kata direktur, kau persis seperti ayahmu! Ove tidak berbalik. Namun punggungnya lebih tegak ketika dia berjalan pergi.

Dan dengan cara itulah dia akhirnya mengikuti jejak langkah terdahulu ayahnya. Dia bekerja keras, tidak pernah mengeluh, dan tidak pernah sakit. Para pekerja lama yang satu giliran kerja dengannya menganggapnya sedikit pendiam dan aneh juga. Ove tidak pernah ingin bergabung bersama mereka untuk minum bir sepulang kerja dan dia seakan juga tidak tertarik kepada perempuan, dan fakta ini saja pun sudah lebih dari sekadar aneh.

Namun, Ove persis seperti ayahnya dan tidak pernah memberi mereka alasan untuk mengeluhkannya. Dia



akan membantu jika seseorang meminta bantuannya. Jika seseorang meminta Ove menggantikan giliran kerja, dia akan melakukannya tanpa ribut-ribut. Dengan berjalannya waktu, kurang lebih mereka semua berutang budi satu atau dua kali terhadapnya. Jadi mereka bisa menerimanya.

Ketika truk tua yang biasa mereka gunakan mondarmandir di sepanjang rel kereta api mendadak mogok pada suatu malam, dua puluh kilometer di luar kota, di tengah salah satu hujan lebat terburuk pada tahun itu, Ove berhasil memperbaikinya tanpa alat apa pun, kecuali obeng dan setengah gulung kain kasa. Setelah itu, sejauh menyangkut para pekerja lama di rel kereta api, Ove bisa diterima dengan baik.

Pada malam hari Ove merebus sosis dan kentang, lalu menatap dapur sambil makan. Dan keesokan paginya dia pergi bekerja kembali. Dia menyukai rutinitas itu karena selalu tahu apa yang bisa diharapkannya. Semenjak kematian ayahnya, Ove semakin membedakan antara orang yang melakukan yang seharusnya mereka lakukan, dan orang yang tidak berbuat begitu. Orang yang bertindak dan orang yang hanya bicara. Ove semakin sedikit bicara dan semakin banyak bertindak.

Ove tidak punya teman. Sebaliknya, dia juga nyaris tidak punya musuh kecuali Tom. Sejak diangkat menjadi mandor, Tom meraih setiap kesempatan untuk membuat hidup Ove sesulit mungkin. Dia memberi Ove pekerjaan terkotor dan terberat, meneriakinya, menjegalnya saat sarapan, mengirimnya ke kolong gerbong kereta api untuk melakukan



pemeriksaan lalu menggerakkan gerbong-gerbong ketika Ove sedang berbaring tak terlindung di atas bantalan rel.

Ketika dengan terkejut Ove berguling tepat pada waktunya, Tom tertawa mencemooh sambil berteriak: Berhati-hatilah atau kau akan berakhir seperti ayahmu!

Namun Ove terus menundukkan kepala dan menutup mulut. Dia tidak melihat kegunaan menantang lelaki yang berukuran dua kali lipat dibanding tubuhnya.

Dia pergi bekerja setiap hari dan bekerja sebaik mungkin itu cukup untuk ayahnya, jadi itu pasti cukup juga untuknya. Para koleganya belajar menghargainya karena itu. Ketika orang tidak bicara terlalu banyak, mereka tidak bicara omong kosong juga, kata salah seorang rekan kerja lamanya, pada suatu sore di rel kereta api. Ove mengangguk. Sebagian orang paham, sebagian tidak.

Ada juga sebagian orang yang memahami apa yang akhirnya dilakukan Ove pada suatu hari di kantor direktur, sementara yang lainnya tidak paham. Hampir dua tahun setelah pemakaman ayahnya. Ove baru saja menginjak usia delapan belas. Tom tertangkap basah mencuri uang dari rak di salah satu gerbong. Memang, hanya Ove yang melihatnya melakukan hal itu. Ketika uang itu hilang, hanya ada Tom dan Ove di sana. Dan, seperti yang dijelaskan oleh lelaki serius dari kantor direktur ketika Tom dan Ove diperintahkan datang ke sana, tak seorang pun percaya Ove bersalah. Tentu saja ini memang benar.

Ove ditinggalkan di kursi kayu di koridor, di luar kantor direktur. Dia duduk di sana, memandang lantai selama lima



belas menit sebelum pintu terbuka. Tom melangkah keluar, tangannya terkepal begitu erat hingga kulit lengan bawahnya tampak pucat dan tidak dialiri darah.

Dia terus-menerus mencoba melakukan kontak mata dengan Ove; Ove terus menunduk menatap lantai hingga dia digiring ke dalam kantor direktur.

Ada banyak lelaki serius dan bersetelan yang tersebar di ruangan itu. Direktur sedang berjalan mondar-mandir di balik meja, wajahnya merah padam, seakan terlalu marah untuk berdiri diam.

Kau mau duduk, Ove? tanya salah seorang lelaki bersetelan, pada akhirnya.

Ove memandang lelaki itu dan tahu siapa dia. Ayahnya pernah memperbaiki mobil lelaki itu. Opel Manta biru. Bermesin besar. Lelaki itu tersenyum ramah kepada Ove dan sekilas menunjuk kursi di tengah ruangan. Seakan memberi tahu bahwa kini Ove berada di antara teman-teman dan bisa bersantai.

Ove menggeleng. Lelaki Opel Manta mengangguk paham. Baiklah kalau begitu. Ini hanya formalitas, Ove. Tak seorang pun di sini percaya kau yang mengambil uang itu. Kau hanya perlu memberi tahu kami pelakunya.

Ove menunduk memandang lantai. Waktu setengah menit berlalu.

Ove?

Ove tidak menjawab. Akhirnya, suara parau direktur memecah keheningan setelah waktu yang lama. Jawab pertanyaannya, Ove!



Ove berdiri membisu. menunduk memandang lantai. Ekspresi wajah para lelaki bersetelan itu beralih dari yakin menjadi sedikit kebingungan.

Ove & kau pasti mengerti, kau harus jawab pertanyaan itu. Apa kau yang mengambil uang itu?

Tidak, jawab Ove dengan suara tenang. Jadi, siapa pelakunya?

Ove berdiri membisu.

Jawab pertanyaan itu! perintah direktur. Ove mendongak. Berdiri di sana dengan punggung tegak. Saya bukan jenis orang yang mengadukan perbuatan orang lain, katanya.

Ruangan itu sunyi senyap selama kira-kira beberapa menit.

Kau mengerti, Ove & jika kau tidak memberi tahu kami pelakunya, dan jika kami punya satu atau lebih saksi yang mengatakan kau pelakunya & . Maka, kami harus menyimpulkan kau pelakunya? kata direktur, yang kini tidak begitu ramah.

Ove mengangguk, tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Direktur mengamatinya, seakan Ove hendak menipu dalam permainan kartu. Wajah Ove bergeming.

Direktur mengangguk muram. Kalau begitu, kau boleh pergi.

Dan Ove pergi.

Ketika berada di kantor direktur, kira-kira lima belas menit sebelumnya, Tom menuduh Ove. Sorenya, dua pemuda



yang satu giliran kerja dengan Tom, karena ingin sekali diterima oleh para lelaki yang lebih tua, mengajukan diri dan menyatakan melihat dengan mata kepala sendiri ketika Ove mengambil uang itu.

Seandainya Ove mengadukan Tom, maka itu akan menjadi pertarungan kata melawan kata. Namun, kini, pertarungannya antara kata-kata Tom melawan kebisuan Ove. Keesokan paginya Ove diminta oleh mandor untuk mengosongkan lokernya dan pergi ke kantor direktur.

Ketika Ove berjalan pergi, Tom berdiri di balik pintu kamar ganti dan mengejeknya. Pencuri, desis Tom. Ove melewatinya dengan tetap memandang ke bawah. Pencuri! Pencuri! Pencuri! Salah seorang kolega muda mereka, yang telah bersaksi melawan Ove, mengejek riang dari seberang kamar ganti hingga salah seorang lelaki tua yang satu giliran kerja dengan mereka menampar telinganya, membuatnya diam.

PENCURI! teriak Tom secara demonstratif, begitu lantang hingga kata-kata itu masih berdenging di kepala Ove selama beberapa hari.

Ove berjalan memasuki udara malam tanpa berbalik. Dia menghela napas panjang. Dia berang, tapi bukan karena mereka menyebutnya pencuri. Dia tidak pernah menjadi jenis lelaki yang peduli terhadap julukan apa pun yang diberikan orang lain kepadanya. Namun, perasaan malu itu, karena kehilangan pekerjaan yang dilakukan oleh ayahnya seumur hidup dengan sepenuh hati, terasa membakar seperti tongkat pengorek api panas membara di dalam dadanya.



Ketika berjalan ke kantor untuk kali terakhir sambil membawa buntalan pakaian kerja, Ove punya banyak waktu merenungkan hidupnya. Dia suka bekerja di sini. Tugastugas yang layak, perkakas yang layak, pekerjaan yang sesungguhnya.

Dia memutuskan, begitu polisi sudah selesai melakukan apa pun yang mereka lakukan terhadap pencuri dalam situasi seperti ini, dia akan mencoba pergi ke suatu tempat untuk mendapatkan pekerjaan lain yang seperti ini. Dia mungkin harus pergi jauh, pikirnya. Kemungkinan besar, catatan kriminal memerlukan jarak geografi s yang lumayan jauh, sebelum catatan itu mulai memudar dan menjadi tidak menarik lagi.

Dia menyadari tidak adanya sesuatu pun yang menahannya di sini. Namun setidaknya, dia belum menjadi jenis lelaki pengadu. Dia berharap ini akan membuat ayahnya lebih pemaaf sehubungan dengan hilangnya pekerjaan Ove, begitu mereka dipersatukan kembali.

Ove harus duduk di kursi kayu di koridor selama hampir empat puluh menit, sebelum seorang perempuan setengah baya dengan rok hitam ketat dan kacamata lancip datang dan memberitahunya agar memasuki ruangan kantor. Perempuan itu menutup pintu di belakang Ove. Ove berdiri di sana, masih dengan membawa pakaian kerja. Direktur duduk di belakang meja sambil bersedekap. Kedua lelaki itu saling mengamati begitu lama, seakan salah seorang dari mereka adalah lukisan yang teramat sangat menarik di museum. Tom yang mengambil uang itu, kata direktur.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Dia tidak mengucapkannya sebagai pertanyaan, tapi hanya sebagai penegasan singkat. Ove tidak menjawab. Direktur mengangguk.

Tapi, kaum lelaki dalam keluargamu bukanlah sejenis pengadu.

Itu juga bukan pertanyaan. Dan Ove tidak menjawab. Direktur memperhatikan bahwa Ove sedikit menegakkan tubuh ketika mendengar kata-kata kaum lelaki dalam keluargamu.

Direktur mengangguk lagi. Mengenakan kacamata, memeriksa setumpuk dokumen, dan mulai menulis sesuatu. Seakan pada saat itu Ove telah menghilang dari ruangan.

Ove berdiri di depannya begitu lama, hingga dia mulai benar-benar sangsi apakah direktur menyadari kehadirannya. Direktur mendongak.

Ya?

Orang dinilai dari yang mereka lakukan. Bukan dari yang mereka katakan, kata Ove.

Direktur memandangnya dengan terkejut. Itu rangkaian kata terpanjang dari Ove yang pernah didengar oleh siapa pun di jawatan kereta api, semenjak bocah laki-laki itu mulai bekerja di sana dua tahun lalu. Sejujurnya Ove tidak tahu dari mana kata-kata itu berasal. Dia hanya merasa bahwa kata-kata itu harus diucapkan.

Direktur menunduk, memandangi tumpukan dokumennya lagi. Menulis sesuatu di sana. Menyorongkan sehelai dokumen melintasi meja. Menunjuk tempat yang harus ditandatangani Ove.



Ini pernyataan bahwa kau telah secara sukarela mengundurkan diri dari pekerjaanmu, jelasnya. Ove membubuhkan tanda tangan. Dia menegakkan tubuh, wajahnya menunjukkan watak keras kepala.

Sekarang Anda bisa menyuruh mereka masuk. Saya sudah siap.

Siapa? tanya direktur.

Polisi, jawab Ove sambil mengepalkan tangan di samping tubuh.

Direktur menggeleng singkat, kembali mengaduk-aduk tumpukan dokumennya. Aku benar-benar menganggap pernyataan para saksi telah hilang dalam kekacauan ini.

Ove memindahkan bobot tubuhnya dari satu kaki ke kaki lain, tanpa benar-benar tahu bagaimana cara merespons perkataan ini. Direktur melambaikan tangannya tanpa memandang Ove. Kini kau boleh pergi.

Ove berbalik. Memasuki koridor. Menutup pintu di belakangnya. Merasa pening. Persis ketika dia tiba di pintu depan, perempuan yang tadi mempersilakannya masuk menyusulnya dengan langkah bersemangat dan, sebelum dia punya waktu untuk memprotes, perempuan itu menekankan sebuah dokumen di tangannya.

Direktur ingin memberitahumu, kau dipekerjakan sebagai petugas kebersihan malam di kereta api jarak jauh. Harap melapor ke mandor di sana besok pagi, kata perempuan itu dengan tegas.

Ove menatapnya, lalu menatap dokumen itu. Perempuan itu mencondongkan tubuh semakin dekat.



Direktur memintaku menyampaikan pesan lain: kau tidak mengambil dompet itu ketika usiamu masih sembilan tahun. Jadi, dia akan terkejut jika kini kau mengambil sesuatu. Dan akan sangat menyedihkan baginya jika harus bertanggung jawab melemparkan putra seorang lelaki santun ke jalanan, hanya karena anak itu punya beberapa prinsip.

Jadi akhirnya Ove menjadi petugas kebersihan malam. Dan seandainya ini tidak terjadi, dia tidak akan pernah menyelesaikan giliran kerjanya pada suatu pagi dan melihat perempuan itu. Dengan sepatu merah, bros emas, dan rambut cokelat gelap. Dan mendengar tawa perempuan itu, yang seumur hidup membuat Ove merasa seakan ada seseorang yang berlarian bertelanjang kaki di dalam dadanya.

Istrinya sering berkata bahwa semua jalanan menuju pada sesuatu yang sudah ditakdirkan untukmu . Dan, bagi perempuan itu, mungkin takdir adalah sesuatu.

Namun bagi Ove, takdir adalah seseorang.[]

9

Lelaki Bernama Ove Membuang

Angin Radiator

KONON OTAK BERFUNGSI LEBIH CEPAT ketika sedang mengalami kemerosotan. Seakan ledakan mendadak energi kinetik itu akan memaksa segenap kemampuan mental untuk melakukan percepatan, hingga persepsi mengenai dunia luar berubah menjadi gerak lambat.

Jadi, Ove sempat memikirkan banyak hal yang berbedabeda.

Terutama radiator.

Sebab seperti yang kita semua ketahui, ada cara yang benar dan keliru dalam melakukan segalanya. Dan walaupun bertahun-tahun sudah berlalu dan Ove tidak bisa mengingat secara pasti solusi yang diusulkannya sebagai cara benar dalam perselisihan mengenai sistem pemanas pusat yang harus digunakan oleh Asosiasi Warga, dia ingat dengan sangat jelas bahwa pendekatan Rune terhadap masalah itu keliru.



Namun itu bukan hanya masalah sistem pemanas pusat. Rune dan Ove telah saling mengenal selama hampir empat puluh tahun. Mereka telah berseteru selama setidaknya tiga puluh tujuh tahun di antaranya.

Sejujurnya, Ove tidak bisa mengingat awal mulanya. Itu bukanlah semacam perselisihan yang patut diingat. Perselisihan itu timbul karena ketidaksepakatan-ketidaksepakatan kecil yang akhirnya menjadi begitu rumit sehingga setiap kata baru pasti mengandung ranjau darat berbahaya. Pada akhirnya, mustahil membuka mulut tanpa meledakkan setidaknya empat ranjau dari konfl ik-konfl ik sebelumnya. Perselisihan itu terjadi begitu saja, dan terjadi dan terjadi. Hingga suatu saat berhenti sendiri.

Sesungguhnya bisa dibilang perselisihan itu juga bukan mengenai mobil. Namun Ove mengendarai Saab, sedangkan Rune mengendarai Volvo. Semua orang bisa melihat, pertemanan itu tidak akan berhasil dalam jangka panjang. Pada mulanya mereka memang berteman. Atau setidaknya berteman sejauh lelaki seperti Ove dan Rune mampu berteman. Pada pokoknya, jelas itu demi istri mereka. Mereka berempat pindah ke area itu pada saat bersamaan. Sonja dan Anita langsung bersahabat, sejauh yang bisa dilakukan oleh perempuan yang menikahi lelaki seperti Ove dan Rune.

Ove ingat, setidaknya dia tidak membenci Rune pada tahun-tahun pertama itu, sejauh yang bisa diingatnya. Merekalah yang membentuk Asosiasi Warga, Ove sebagai ketua dan Rune sebagai wakil ketua. Mereka bersatu ketika dewan kota ingin menebang hutan di belakang rumah Ove dan Rune untuk membangun lebih banyak rumah lagi.



Tentu saja, dewan kota menyatakan bahwa rencana pembangunan itu telah dibuat bertahun-tahun sebelum Rune dan Ove pindah ke sana. Namun orang tidak akan menang melawan Rune dan Ove hanya dengan alasan semacam itu.

Ini perang, Dasar Bajingan! teriak Rune kepada mereka lewat telepon. Dan, memang benar: imbauan, perintah, petisi, dan surat di koran yang tak terhitung banyaknya. Satu setengah tahun kemudian, Dewan Kota menyerah dan mulai membangun di tempat lain.

Malam itu, Rune dan Ove minum masing-masing segelas wiski di beranda rumah Rune. Istri mereka mengemukakan bahwa mereka tidak tampak terlalu senang dengan kemenangan. Kedua lelaki itu agak kecewa karena dewan kota menyerah begitu cepat. Perang ini telah menjadi bagian paling menyenangkan dari delapan belas bulan kehidupan mereka.

Apa tidak ada lagi orang yang siap berjuang mempertahankan prinsipnya? tanya Rune.

Sama sekali tidak ada, jawab Ove.

Lalu mereka bersulang untuk musuh-musuh yang tidak sepadan.

Tentu saja itu lama sebelum terjadi kudeta dalam Asosiasi Warga. Dan sebelum Rune membeli BMW.

Dasar idiot, pikir Ove pada hari itu, dan juga pada hari ini, bertahun-tahun kemudian. Dan sesungguhnya, juga setiap hari di antara kedua hari tadi.

Bagaimana mungkin kau bisa bercakap-cakap secara masuk akal dengan seseorang yang membeli BMW? Itulah



yang dulu biasa dilontarkan Ove kepada Sonja, ketika istrinya itu bertanya-tanya tentang kedua lelaki itu yang tidak bisa lagi bercakap-cakap secara masuk akal.

Lalu Sonja tidak punya jalan lain kecuali memutar bola mata sambil bergumam, Dasar payah.

Menurut pandangan Ove sendiri, dirinya tidak payah. Dia hanya merasakan perlunya sedikit keteraturan dalam rencana yang lebih besar. Dia merasa seseorang tidak boleh menjalani hidup seakan segalanya bisa saling dipertukarkan. Seakan kesetiaan tidak ada nilainya.

Sekarang ini, orang begitu sering mengganti barang mereka sehingga keahlian dalam cara membuat segalanya awet menjadi tidak berguna. Tak seorang pun peduli lagi soal kualitas. Juga Rune atau tetangga-tetangga lain, dan juga para manajer di tempat kerja Ove.

Kini segalanya harus terkomputerisasi, seolah-olah orang baru bisa membangun rumah ketika konsultan berkemeja kekecilan mengetahui cara membuka laptop. Seolah itulah cara yang mereka gunakan dalam membangun Koloseum dan Piramida Giza. Astaga, mereka berhasil membangun Menara Eiff el pada 1889. Namun sekarang ini, orang tidak bisa menghasilkan gambar sialan untuk rumah satu tingkat tanpa menunggu seseorang agar lebih dulu mengisi ulang baterai ponsel mereka.

Ini dunia yang penghuninya menjadi ketinggalan zaman sebelum hidup mereka berakhir. Penduduk di seluruh negeri berdiri dan menyoraki fakta bahwa tak seorang pun bisa



melakukan sesuatu dengan benar lagi. Perayaan tanpa batas untuk orang yang biasa-biasa saja.

Tak seorang pun bisa mengganti ban. Memasang tombol lampu jarak jauh. Memasang ubin lantai. Memplester dinding. Menyerahkan perhitungan pajak mereka sendiri. Semuanya ini bentuk pengetahuan yang telah kehilangan relevansinya dan hal-hal semacam ini pernah dibicarakan Ove dengan Rune. Lalu Rune pergi membeli BMW.

Apakah seseorang dianggap payah karena meyakini perlunya beberapa batasan? Menurut Ove, tidak.

Dan ya, dia tidak ingat dengan pasti bagaimana perselisihan dengan Rune itu dimulai. Namun perselisihan itu berlanjut. Mengenai radiator, sistem pemanas pusat, tempat parkir, pohon yang harus ditebang, pembersihan salju, mesin pemotong rumput, dan racun tikus di kolam Rune. Selama lebih dari tiga puluh tahun, mereka mondar-mandir di beranda kembar mereka yang terletak di belakang rumah kembar mereka, sambil melayangkan pandangan penuh arti lewat pagar. Kemudian, pada suatu hari, kira-kira setahun lalu, semua itu berakhir. Rune jatuh sakit. Dia tidak pernah keluar rumah lagi. Ove bahkan tidak tahu apakah Rune masih punya BMW itu.

Dan, ada bagian dari diri Ove yang merindukan tua bangka sialan itu.

Jadi, seperti yang mereka katakan, otak berfungsi lebih cepat ketika sedang mengalami kemerosotan. Seakan memikirkan ribuan pikiran dalam waktu sepersekian detik.



Dengan kata lain, Ove punya banyak sekali waktu berpikir setelah menendang dingklik itu, terjatuh, dan mendarat di lantai dan tenggelam dalam luapan kemarahan. Dia terbaring di sana, telentang, memandang pengait yang masih berada di langit-langit itu untuk waktu yang seakan lama sekali. Lalu, dengan terkejut dia menatap tali itu, yang telah terputus menjadi dua bonggol panjang.

Masyarakat ini, pikir Ove. Apa tidak bisa lagi mereka membuat tali? Dia mengucapkan sumpah serapah sambil dengan berang berupaya melepaskan kakinya yang terbelit tali. Demi Tuhan, bagaimana mungkin orang bisa gagal membuat tali? Bagaimana mungkin kau bisa keliru dalam membuat tali?

Tidak, tidak ada lagi yang namanya kualitas, pikir Ove memutuskan. Dia berdiri, membersihkan debu dari tubuh, memandang ke sekeliling ruangan dan lantai bawah rumah bandarnya. Merasakan pipinya merah padam dan dia tidak begitu yakin apakah ini karena marah atau malu.

Dia memandang jendela dan tirai-tirai yang tertutup, seolah-olah khawatir seseorang mungkin telah melihatnya.

Sialan, ini sungguh tipikal, pikir Ove. Kau bahkan tidak bisa lagi bunuh diri dengan cara yang masuk akal. Dia memungut tali yang putus itu, lalu melemparkannya ke dalam tong sampah di dapur. Kemudian dia melipat lembaran plastik, memasukkannya ke tas-tas IKEA. Dia juga mengembalikan bor listrik dan mata bornya ke dalam kotak; lalu keluar dan meletakkan kembali benda-benda itu di dalam gudang.



Ove berdiri di sana selama beberapa menit dan mengingat betapa Sonja dulu selalu mengomelinya agar merapikan rumah. Dia selalu menolak karena tahu, ruang yang lapang akan langsung memberi alasan pada istrinya untuk membeli barang tak berguna demi mengisinya. Dan kini sudah terlambat untuk merapikan rumah, pikirnya menegaskan. Kini tidak ada lagi orang yang ingin pergi membeli barang tak berguna. Kini kerapian hanya akan menghasilkan banyak celah kosong. Dan Ove benci celah kosong.

Dia berjalan ke bangku kerja, mengambil kunci pas yang bisa disetel dan wadah air kecil dari plastik. Dia berjalan keluar, mengunci pintu gudang, menarik pegangan pintunya tiga kali. Lalu dia menyusuri jalan setapak kecil di antara rumah-rumah, berbelok di dekat kotak surat terakhir di jalanan itu dan menekan bel pintu.

Anita membuka pintu. Ove memandangnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Melihat Rune duduk di sana, di kursi roda, menatap ke luar jendela dengan pandangan hampa. Tampaknya hanya itulah yang dilakukan oleh lelaki itu selama beberapa tahun terakhir ini.

Nah, di mana radiator-radiatornya? gumam Ove. Anita sedikit tersenyum juga terkejut, lalu mengangguk bersemangat sekaligus kebingungan.

Oh, Ove, kau baik sekali, jika tidak terlalu merepot Ove melangkah memasuki lorong tanpa membiarkan Anita menyelesaikan perkataannya dan tanpa melepas sepatu. Ya, ya, lagi pula hari yang payah ini sudah berantakan. []



10

Lelaki Bernama Ove dan Rumah

yang Dibangunnya

SEMINGGU SETELAH ULANG TAHUN KEDELAPAN belasnya, Ove lulus ujian mengemudi, merespons sebuah iklan, dan berjalan sejauh dua puluh lima kilometer untuk membeli mobil pertamanya: Saab 93 biru. Dia menjual Saab 92 tua milik ayahnya untuk membayar mobil itu. Memang, mobil itu hanya sedikit lebih baru dan cukup bobrok juga, tapi bukanlah lelaki sejati kalau dia belum bisa membeli mobil sendiri, pikir Ove. Jadi begitulah.

Saat itu masa perubahan di dalam negeri. Orang pindah, mencari pekerjaan baru, membeli televisi, dan surat kabar, mulai bicara mengenai kelas menengah . Ove tidak terlalu paham soal ini, tetapi sangat menyadari bahwa dirinya bukanlah bagian dari kelas itu. Kelas menengah pindah ke kompleks perumahan baru yang berdinding lurus dan berhalaman rumput terpangkas rapi. Ove segera menyadari rumah orangtuanya menghalangi kemajuan. Dan, jika ada



sesuatu yang tidak disukai oleh kelas menengah ini, maka itu adalah apa pun yang menghalangi kemajuan.

Ove menerima beberapa surat dari dewan kota mengenai sesuatu yang disebut penetapan-ulang batas-batas kota . Dia tidak begitu memahami isi surat-surat ini, tapi mengerti bahwa rumah orangtuanya tidak cocok di antara rumahrumah yang baru dibangun di jalanan itu. Dewan kota hendak memaksa Ove agar menjual tanahnya kepada mereka, agar rumah itu bisa dihancurkan dan rumah lain bisa dibangun untuk menggantikannya.

Ove tidak begitu paham alasan dibalik penolakannya. Mungkin karena dia tidak menyukai nada surat-surat dari dewan kota itu. Atau karena rumah itulah satu-satunya peninggalan keluarganya.

Apa pun kasusnya, malam itu Ove memarkir mobil pertama miliknya di taman dan duduk di kursi pengemudi selama beberapa jam sambil memandangi rumahnya. Sejujurnya, rumah itu memang bobrok. Keahlian khusus ayah Ove adalah menangani mesin, bukan bangunan, dan Ove sendiri tidak jauh lebih baik. Belakangan ini dia hanya menggunakan dapur dan ruangan kecil di sampingnya. Sementara seluruh lantai pertama perlahan-lahan berubah menjadi lapangan rekreasi untuk tikus.

Ove mengamati dari mobil, seakan berharap rumah itu akan mulai memperbaiki diri jika dia menunggu dengan cukup sabar. Rumah itu terletak persis di perbatasan antara dua otoritas kota, di atas garis pada peta yang kini akan dipindahkan ke salah satu otoritas. Rumah itu peninggalan desa kecil yang sudah punah di pinggir hutan, di sebelah



kompleks perumahan gemerlap yang kini menjadi tempat orang-orang bersetelan pindah bersama keluarga mereka.

Kaum lelaki bersetelan tidak menyukai remaja penyendiri di rumah yang seharusnya dihancurkan di ujung jalanan itu. Anak-anak tidak diperbolehkan bermain di dekat rumah Ove. Ove mengerti, kaum lelaki bersetelan lebih suka tinggal di dekat kaum lelaki bersetelan lainnya. Tentu saja, dia sama sekali tidak keberatan soal itu tapi sesungguhnya merekalah yang pindah ke lingkungan Ove, bukan sebaliknya.

Jadi, dipenuhi semacam pembangkangan aneh yang membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat untuk kali pertama setelah bertahun-tahun, Ove memutuskan tidak menjual rumahnya kepada dewan kota. Dia memutuskan melakukan hal sebaliknya: memperbaiki rumah itu.

Tentu saja Ove sama sekali tidak tahu cara melakukannya. Dia tidak bisa membedakan antara sambungan ekor burung dengan sepanci kentang. Menyadari bahwa jam kerja baru membuatnya benar-benar bebas di siang hari, Ove pergi ke lokasi konstruksi di dekat situ dan melamar pekerjaan. Dia membayangkan, inilah tempat terbaik yang memungkinkannya belajar mengenai bangunan. Lagi pula, dia tidak memerlukan banyak tidur. Satu-satunya yang bisa mereka tawarkan adalah pekerjaan buruh, kata mandornya dan Ove menerimanya.

Jadi, Ove menghabiskan malam dengan memunguti sampah di kereta api yang menuju selatan ke luar kota. Lalu setelah tidur selama tiga jam, dia menggunakan berapa pun waktu yang tersisa untuk melesat naik-turun perancah, mendengarkan para lelaki yang mengenakan helm bicara
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



mengenai teknik-teknik konstruksi. Satu hari dalam seminggu, Ove libur. Saat itulah, dia menyeret karung semen dan balok kayu, mondar-mandir selama delapan belas jam penuh, bermandikan keringat dan kesepian. Dia menghancurkan dan membangun kembali satu-satunya benda peninggalan orangtuanya, selain Saab dan arloji milik ayahnya. Otot-otot Ove berkembang dan dia belajar dengan cepat.

Mandor di lokasi konstruksi menyukai remaja pekerja keras itu. Pada suatu Jumat siang, dia membawa Ove menuju tumpukan papan buangan kayu-kayu ukuran khusus yang retak dan hendak dibakar.

Jika aku kebetulan menoleh ke arah lain dan kau melihat sesuatu yang kau perlukan, kuanggap kau telah membakarnya, kata mandor sambil berjalan pergi.

Begitu desas-desus pembangunan rumah Ove menyebar di antara para kolega tuanya, ada saja salah seorang dari mereka yang menanyakannya kepada Ove. Ketika Ove membangun dinding ruang duduk, seorang kolega ceking bergigi depan miring setelah menghabiskan waktu selama dua puluh menit memberi tahu betapa idiotnya Ove karena tidak lebih pintar sejak awal mengajarinya cara menghitung parameter-parameter penahanan beban. Ketika Ove memasang lantai dapur, seorang kolega yang lebih kekar dan satu jari kelingking tangannya hilang menunjukkan cara mengukur dengan benar setelah menyebutnya tolol tiga lusin kali.

Suatu sore, ketika hendak pulang ke rumah pada akhir giliran kerjanya, Ove menemukan kotak perkakas kecil yang dipenuhi peralatan bekas di samping pakaiannya. Kotak



itu diiringi pesan yang hanya bertuliskan: Untuk si Anak Bawang.

Perlahan-lahan rumah itu mulai berbentuk. Sekrup demi sekrup dan papan lantai demi papan lantai. Tentu saja tak seorang pun melihatnya, tapi memang tak seorang pun perlu melihatnya. Pekerjaan yang dilakukan dengan baik mendatangkan ganjaran tersendiri. Itulah yang dahulu selalu dikatakan ayah Ove.

Ove menghindari tetangga-tetangganya sebisa mungkin. Dia tahu mereka tidak menyukainya, dan dia tidak melihat adanya alasan untuk memberikan lebih banyak amunisi kepada mereka. Satu-satunya pengecualian adalah seorang lelaki tua dan istrinya yang tinggal di sebelah rumah Ove. Hanya lelaki ini yang tidak mengenakan dasi di seluruh jalanan rumah mereka.

Sejak ayahnya meninggal, Ove dengan rajin memberi makan burung-burung setiap dua hari sekali. Dia hanya lupa melakukannya pada suatu pagi. Ketika keesokan paginya keluar untuk menggantikan kelalaiannya, dia nyaris menyundul lelaki tua itu di samping pagar, di bawah meja untuk burung. Tetangganya itu memandangnya seakan tersinggung; ia membawa pakan burung. Mereka bukannya sama sekali tidak bertegur sapa. Ove hanya mengangguk dan lelaki tua itu membalasnya dengan sedikit anggukan. Ove masuk rumah lagi, dan sejak saat itu memastikan untuk tetap menjalani hari-harinya sendiri.

Mereka tidak pernah bicara satu sama lain. Namun suatu pagi, ketika lelaki tua itu melangkah ke atas undakan depan rumahnya, melihat Ove sedang mengecat pagar. Ketika sudah



selesai, Ove juga mengecat sisi pagar yang sebaliknya. Lelaki tua itu tidak berkomentar, tapi ketika Ove melewati jendela dapurnya pada malam hari, mereka saling mengangguk satu sama lain. Dan keesokan harinya ada pai apel buatan sendiri di undakan depan rumah Ove. Ove belum pernah menyantap pai apel buatan sendiri sejak ibunya meninggal.

Ove menerima lebih banyak surat lagi dari dewan kota. Nada mereka menjadi semakin mengancam. Mereka tidak senang karena Ove masih belum menghubungi mereka sehubungan dengan penjualan propertinya. Pada akhirnya, Ove mulai membuang surat-surat itu tanpa membukanya. Jika menginginkan rumah ayahnya, mereka bisa datang kemari dan mencoba mengambilnya, sama seperti Tom mencoba mengambil dompet itu dari tangan Ove, bertahun-tahun silam.

Beberapa pagi kemudian, Ove berjalan melewati rumah tetangganya dan melihat lelaki tua itu sedang memberi makan burung ditemani bocah laki-laki kecil. Cucunya, pikir Ove. Diam-diam dia mengamati mereka lewat jendela kamar. Cara lelaki tua dan bocah laki-laki itu bicara dengan suara rendah satu sama lain, seakan sedang berbagi semacam rahasia besar, mengingatkan Ove pada sesuatu.

Malam itu dia menyantap makan malamnya di dalam Saab.

Beberapa pekan kemudian Ove memasang paku terakhir di rumahnya. Dan ketika matahari terbit di cakrawala, dia berdiri di taman dengan tangan dimasukkan ke saku celana panjang biru tua, dengan bangga meneliti pekerjaannya.



Ove menyadari, dirinya menyukai rumah. Mungkin terutama karena rumah bisa dipahami. Bisa dihitung dan digambar di atas kertas. Tidak bocor jika dibuat kedap air, tidak roboh jika disokong dengan benar. Rumah itu adil, memberimu apa yang patut kau terima. Namun, sayangnya, hal yang sama tidak bisa dikatakan mengenai manusia.

Maka hari-hari berlalu. Ove pergi bekerja, pulang ke rumah, menyantap sosis dan kentang. Walaupun tidak ada yang menemani, dia tidak pernah merasa kesepian. Lalu pada suatu Minggu, ketika Ove sedang memindahkan beberapa papan, seorang lelaki periang berwajah bulat dan berbaju setelan kurang pas muncul di gerbang rumahnya. Keringat mengalir dari kening lelaki itu, dan dia bertanya apakah Ove punya segelas air dingin. Ove tidak melihat adanya alasan untuk menolak, dan ketika lelaki itu minum di dekat gerbang rumahnya, mereka berbasa-basi. Atau, lebih tepatnya, sebagian besar percakapan dilakukan oleh lelaki berwajah bulat itu.

Ternyata lelaki itu sangat tertarik dengan rumah. Tampaknya dia sedang membangun rumahnya sendiri di bagian lain kota. Dan, entah bagaimana, lelaki berwajah bulat itu berhasil mengundang dirinya sendiri ke dapur Ove untuk minum secangkir kopi. Jelas, Ove tidak terbiasa dengan jenis perilaku memaksa ini. Namun, setelah percakapan selama satu jam mengenai pembangunan rumah, dia siap mengaku kepada diri sendiri bahwa cukup menyenangkan untuk sesekali ditemani di dapurnya.



Persis sebelum pergi, lelaki itu bertanya sepintas lalu mengenai asuransi rumah. Ove menjawab terus terang bahwa dia tidak pernah memikirkan hal itu. Ayahnya tidak begitu tertarik dengan polis asuransi.

Lelaki periang berwajah bulat itu sangat terkejut, dan dia menjelaskan kepada Ove, akan menjadi bencana besar baginya jika terjadi sesuatu pada rumah itu. Setelah mendengarkan banyak peringatan dari lelaki itu, Ove merasa setuju dengannya. Sebelumnya, dia tidak pernah banyak memikirkan asuransi. Dan kini, hal itu membuatnya merasa agak tolol.

Lalu, lelaki itu bertanya apakah dia boleh menggunakan telepon; Ove tidak keberatan. Ternyata, tamu ini, yang berterima kasih atas keramahan seorang asing pada hari musim panas yang terik, telah menemukan cara untuk membalas kebaikan Ove. Dia kebetulan bekerja di perusahaan asuransi dan bisa mengatur penawaran istimewa untuk Ove.

Mulanya Ove bimbang. Dia bertanya lagi mengenai kualifi kasi lelaki itu, dan dengan senang hati lelaki itu mengulanginya. Lalu, Ove menghabiskan banyak waktu untuk menegosiasikan premi yang lebih baik.

Kau pebisnis tangguh, kata lelaki berwajah bulat itu sambil tertawa. Ove merasa terkejut dan bangga ketika mendengar perkataan ini pebisnis tangguh. Lalu lelaki itu menengok arloji, berterima kasih kepada Ove, dan berpamitan. Ketika pergi, dia memberi Ove secarik kertas bertuliskan nomor teleponnya dan mengatakan ingin sekali mampir kembali pada hari lain, minum kopi lagi, dan bicara lebih banyak mengenai renovasi rumah. Ini kali pertama seseorang mengungkapkan keinginan untuk menjadi teman Ove.



Ove membayar premi setahun penuh dalam bentuk tunai kepada lelaki berwajah bulat itu. Mereka berjabat tangan.

Lelaki berwajah bulat itu tidak pernah menghubungi Ove lagi. Suatu kali, Ove mencoba menghubunginya, tapi tak seorang pun menjawab. Dia merasa kecewa, tapi memutuskan tidak memikirkan hal itu lagi. Setidaknya, ketika wiraniaga dari perusahaan asuransi lain menelepon, tanpa perasaan bersalah Ove bisa mengatakan bahwa dirinya sudah memiliki asuransi. Dan itu cukup penting.

Ove terus menghindari tetangga-tetangganya. Dia tidak ingin punya masalah dengan mereka. Namun, sayangnya, masalah seakan telah memutuskan mendatangi Ove. Beberapa minggu setelah perbaikan rumahnya selesai, salah seorang tetangganya yang berbaju setelan mengalami pencurian. Ini peristiwa pencurian kedua di area itu, dalam periode waktu relatif singkat. Para lelaki berbaju setelan berkumpul pagi-pagi sekali, keesokan harinya, untuk merundingkan berandalan muda di rumah terkutuk itu, yang pasti terlibat dalam pencurian. Mereka tahu sekali dari mana dia mendapat uang untuk semua renovasi itu .

Malamnya, seseorang menyelipkan pesan ke bawah pintu rumah Ove, bunyinya: Minggatlah demi kebaikan dirimu! Malam berikutnya, sebuah batu dilemparkan ke jendela rumah. Ove memungut batu itu dan mengganti kaca jendela. Dia tidak pernah menentang para lelaki berbaju setelan itu. Tidak melihat ada gunanya. Namun dia juga tidak akan pindah.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ove terbangunkan oleh bau asap.



Secepat kilat Ove turun dari ranjang; langsung berpikir bahwa siapa pun yang melemparkan batu itu, tampaknya belum merasa puas. Ketika menuruni tangga ke lantai bawah, secara naluriah dia meraih palu. Ove tidak pernah menjadi lelaki kasar. Namun kau tidak akan pernah bisa memastikan, pikirnya memutuskan.

Ove hanya mengenakan celana dalam ketika melangkah keluar, ke beranda depan. Semua pengangkutan bahan-bahan bangunan selama bulan-bulan terakhir itu telah mengubah Ove menjadi pemuda berotot yang mengesankan, bahkan tanpa disadarinya. Dada telanjang dan palu yang berayunayun di kepalan tangan kanannya membuat kelompok yang berkumpul di jalanan mengalihkan pandangan sejenak dari api, dan secara naluriah melangkah mundur.

Saat itulah Ove menyadari bahwa bukan rumahnya yang terbakar, tapi rumah tetangganya.

Para lelaki berbaju setelan berdiri di jalanan sambil menatap, bagaikan rusa yang menatap lampu depan mobil. Lelaki tua muncul dari asap, istrinya menggelayuti lengannya. Perempuan itu terbatuk-batuk hebat.

Ketika lelaki tua itu menyerahkan istrinya kepada istri salah seorang lelaki berbaju setelan dan berbalik menuju api, beberapa lelaki berbaju setelan meneriakinya, menyuruhnya menyingkir. Sudah terlambat! Tunggulah pemadam kebakaran! teriak mereka. Lelaki tua itu tidak mendengarkan. Benda terbakar jatuh ke ambang pintu ketika dia mencoba melangkah memasuki lautan api.



Ove berdiri menentang angin di samping gerbang rumahnya. Dia melihat betapa bola-bola api yang menyebar telah menyulut rerumputan kering di antara rumahnya dan rumah tetangganya itu. Selama beberapa detik yang terasa panjang, dia menilai situasi itu sebaik mungkin: api akan melalap rumahnya beberapa menit lagi jika dia tidak segera mengambil selang air. Dia melihat lelaki tua itu mencoba menerobos rak buku terbalik dalam perjalanannya memasuki rumah. Para lelaki berbaju setelan meneriaki dan mencoba menghentikan, tapi istri lelaki tua itu meneriakkan nama lain. Cucu mereka.

Ove menimbang-nimbang ketika menyaksikan bara api merambat melalui rerumputan. Sejujurnya, dia mungkin tidak begitu memikirkan mengenai yang ingin dilakukannya, tapi lebih memikirkan yang akan dilakukan oleh ayahnya. Dan begitu pikiran itu terpatri di sana, tak banyak pilihan yang tersisa.

Ove menggumam, merasa jengkel, memandang rumahnya sendiri untuk kali terakhir, dan secara naluriah menghitung seberapa banyak jam yang diperlukan untuk membangunnya. Lalu dia berlari menuju api.

Rumah itu penuh asap tebal lengket sehingga rasanya seakan seseorang menghantam wajah Ove dengan sekop. Lelaki tua itu berjuang memindahkan rak buku yang jatuh dan menghalangi pintu. Ove menyingkirkan rak buku itu, yang baginya seakan terbuat dari kertas, dan membuka jalan ke lantai atas. Ketika mereka muncul memasuki cahaya fajar, lelaki tua itu menggendong cucunya dengan lengan berlapis



jelaga. Ove mendapat goresan-goresan panjang berdarah di dada dan lengannya.

Para penonton hanya berlarian dengan panik sambil berteriak. Udara dikoyak oleh bunyi sirene. Pasukan pemadam kebakaran berseragam mengerubuti mereka.

Dengan masih mengenakan celana dalam dan paruparu yang terasa nyeri, Ove melihat lidah-lidah api pertama merayapi rumahnya sendiri. Dia berlari melintasi halaman, tapi langsung dihentikan oleh sekelompok petugas pemadam kebakaran. Mendadak, mereka ada di mana-mana. Tidak mengizinkannya lewat.

Seorang lelaki berkemeja putih, semacam kepala pemadam kebakaran sejauh yang dipahami Ove, berdiri di depannya dengan kaki mengangkang lebar dan menjelaskan bahwa mereka tidak mengizinkan Ove mencoba memadamkan api di rumahnya sendiri. Terlalu berbahaya.

Sayangnya, seperti yang dijelaskan oleh lelaki berkemeja putih setelah itu, pasukan pemadam kebakaran juga tidak bisa memadamkan api itu hingga mereka mendapat izin yang sesuai dari pihak berwenang.

Ternyata karena rumah Ove kini terletak persis di perbatasan kota, diperlukan izin dari pusat komando lewat radio gelombang pendek sebelum pasukan pemadam kebakaran bisa mulai bekerja. Izin harus diperoleh, dokumen harus distempel.

Peraturan adalah peraturan, jelas lelaki berkemeja putih dengan suara datar, ketika Ove memprotes.



Ove membebaskan diri dan berlari dengan marah menuju selang air. Namun, itu sia-sia ketika pasukan pemadam kebakaran mendapat izin sepenuhnya, rumah itu sudah dilalap api.

Ove berdiri di kebunnya dan menyaksikan, dengan sedih dan tak berdaya, ketika rumahnya terbakar.

Beberapa jam kemudian, ketika berdiri di bilik telepon dan menelepon perusahaan asuransi, Ove diberi tahu bahwa mereka tidak pernah mendengar mengenai lelaki periang berwajah bulat itu. Tidak ada polis asuransi yang sah untuk rumah itu. Perempuan dari perusahaan asuransi mendesah, menjelaskan dengan tidak sabar bahwa penipu sering berkunjung dari rumah ke rumah dan mengaku berasal dari perusahaan mereka. Dia berharap setidaknya Ove belum menyerahkan uang kepada lelaki itu.

Ove menutup telepon dan mengepalkan tangan di dalam sakunya.[]



11

Lelaki Bernama Ove dan Si Kerempeng yang Tidak Bisa Membuka Jendela Tanpa Terjatuh dari Tangga

SAAT ITU PUKUL ENAM KURANG seperempat dan salju pertama pada tahun itu telah terhampar, bagaikan selimut dingin di atas komunitas rumah-rumah bandar yang sedang terlelap. Ove mengambil jaket dari pengait, lalu pergi ke luar untuk melakukan inspeksi harian. Dengan terkejut sekaligus kecewa, dia melihat si kucing duduk di salju, di luar pintu rumahnya. Tampaknya hewan itu telah duduk di sana sepanjang malam.

Ove membanting pintu depan dengan sangat keras untuk menakut-nakutinya. Tampaknya, hewan itu tidak punya akal sehat untuk merasa takut. Dia malah duduk saja di sana, di salju, sambil menjilati perut. Sama sekali tidak peduli. Ove tidak menyukai perilaku semacam itu pada kucing. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan menjejakkan kaki kuatkuat ke tanah. Si kucing memandangnya sepintas lalu, jelas tidak tertarik, lalu kembali menjilati tubuhnya sendiri. Ove



melambai-lambaikan lengan ke arahnya. Si kucing tidak beringsut satu inci pun.

Ini tanah pribadi! kata Ove.

Ketika si kucing masih sama sekali tidak memedulikannya, Ove kehilangan kesabaran dan, dengan gerakan mengayun, dia menendang salah satu kelomnya ke arah hewan itu. Ketika direnungkan kembali, dia tidak berani bersumpah bahwa tindakannya itu tidak disengaja. Tentu saja istrinya akan marah jika melihatnya.

Bagaimanapun, tindakan itu tidak menciptakan banyak perbedaan. Kelom itu melayang membentuk lengkungan mulus dan lewat satu setengah meter di sebelah kiri sasaran yang dituju, lalu memantul-mantul pelan di dinding samping gudang dan mendarat di salju. Dengan acuh, si kucing memandang kelom, lalu memandang Ove.

Akhirnya hewan itu berdiri, berbelok di pojok gudang Ove dan menghilang.

Ove berjalan melintasi salju, dengan hanya berkaus kaki, untuk mengambil kelomnya. Dia memelototi benda itu seakan merasa kelom itu seharusnya malu terhadap diri sendiri karena tidak bisa membidik dengan lebih baik. Lalu Ove menenangkan diri dan pergi melakukan inspeksi.

Hanya karena hari ini dia akan mati, bukan berarti para perusak harus diberi kebebasan penuh.

Ketika kembali ke rumah, Ove menerobos salju dan membuka pintu gudang. Gudang itu berbau spiritus dan jamur, persis seperti bau gudang yang seharusnya. Ove melangkahi ban-ban musim panas Saab dan menyingkirkan



wadah-wadah mur yang belum disortir. Menjejalkan diri melewati bangku kerja, berhati-hati agar tidak menggulingkan wadah-wadah spiritus berisikan kuas. Meminggirkan kursikursi kebun dan panggangan barbeku. Menyingkirkan kunci pas dan meraih sekop salju. Menimbang-nimbang benda itu sejenak di tangan seperti yang dilakukan seseorang dengan pedang yang berat. Berdiri di sana dalam keheningan mengamati sekopnya.

Ketika Ove keluar dari gudang membawa sekop, si kucing sedang duduk di salju lagi, persis di luar rumah Ove. Keberanian hewan itu membuat Ove melotot takjub. Bulu si kucing basah, meneteskan air, atau apa pun itu yang tersisa dari bulunya. Tubuh makhluk itu dihiasi lebih banyak petak botak dibanding bulu. Dia juga punya bekas luka yang memanjang di salah satu mata hingga ke hidung. Jika kucing punya sembilan nyawa, kucing yang ini jelas telah melewati setidaknya tujuh atau delapan nyawa.

Minggat, kata Ove.

Si kucing memberinya tatapan menilai, seakan sedang duduk di sisi meja pembuat keputusan pada saat wawancara kerja.

Ove mencengkeram sekop, menyekop salju, dan melemparkannya ke arah si kucing, yang melompat menghindar dan menatap Ove dengan berang. Meludahkan sedikit salju. Mendengus. Lalu berbalik dan berjalan pergi lagi ke pojok gudang Ove.



Ove mulai bekerja dengan sekopnya. Perlu waktu lima belas menit untuk membersihkan jalan setapak di antara rumahnya dan gudang. Dia bekerja dengan cermat. Garis-garis lurus, pinggiran-pinggiran rata. Orang tidak menyekop salju dengan cara seperti itu lagi. Sekarang, untuk membersihkan jalanan saja, mereka menggunakan mesin penyapu salju dan hal-hal semacam itu. Metode lama lebih baik, tidak menyebarkan salju ke mana-mana. Seakan hanya itulah yang penting dalam hidup: mendesakkan jalan untuk maju.

Ketika sudah selesai, Ove bersandar sejenak pada sekopnya di dekat tumpukan salju, di jalan setapak kecil. Dia menyeimbangkan bobot tubuhnya pada sekop dan menyaksikan matahari terbit di atas rumah-rumah yang sedang terlelap. Dia telah terjaga hampir semalaman, memikirkan cara-cara untuk mati. Dia bahkan telah menggambar beberapa diagram dan bagan untuk menjelaskan berbagai metode.

Setelah mempertimbangkan pro dan kontranya dengan cermat, dia mengakui, yang akan dilakukannya hari ini adalah yang terbaik dari banyak alternatif buruk. Dia memang tidak menyukai fakta bahwa Saab itu akan berada dalam posisi netral dan menghabiskan banyak bensin mahal tanpa alasan yang baik setelahnya. Namun, ini memang faktor yang harus diterima untuk menyelesaikan upayanya.

Ove mengembalikan sekop salju ke gudang, lalu memasuki rumah. Dia kembali mengenakan setelan biru tuanya yang bagus. Setelan itu akan ternoda dan berbau busuk pada akhir dari semuanya ini, tapi Ove telah memutuskan bahwa istrinya harus pasrah menerima, setidaknya ketika Ove tiba di sana.



Ove menyantap sarapan dan mendengarkan radio. Mencuci piring lalu membersihkan permukaan meja. Kemudian pergi berkeliling rumah untuk mengecek semua radiator. Mematikan semua lampu. Memeriksa apakah ketel penapis kopinya sudah tidak terhubung dengan listrik. Mengenakan jaket biru di atas setelannya, lalu memakai kelom dan kembali memasuki gudang; dia kembali dengan membawa selang plastik panjang tergulung. Dia mengunci pintu gudang dan pintu depan, lalu menarik masing-masing pegangan pintu tiga kali. Setelah itu dia berjalan menyusuri jalan setapak kecil di antara rumah-rumah.

Mobil Skoda putih datang dari kiri dan membuat Ove sangat terkejut, hingga dia nyaris terjatuh ke tumpukan salju di dekat gudang. Ove berlari mengejar mobil itu di sepanjang jalan setapak sambil mengacungkan kepalan tangan. Buta huruf, ya? Dasar idiot sialan! teriaknya. Pengemudinya, seorang lelaki bertubuh ramping dengan rokok di tangan, seakan mendengar Ove. Ketika Skoda itu berbelok di dekat gudang sepeda, mata mereka bertemu lewat jendela samping. Lelaki itu memandang lurus ke arah Ove dan membuka kaca jendela. Mengangkat sepasang alisnya dengan acuh.

Kendaraan bermotor dilarang! ulang Ove sambil menunjuk plang bertuliskan pesan yang sama. Dia berjalan menuju Skoda itu dengan kedua lengan terkepal.

Lelaki itu mengeluarkan lengan kirinya dari jendela, dengan santai, menjentikkan abu rokok. Mata birunya sama sekali tidak bergerak. Dia memandang Ove seperti seseorang



yang memandang hewan di balik pagar. Tidak agresif, benarbenar acuh. Seakan Ove adalah sesuatu yang bisa dibersihkan dengan lap basah.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baca plang ujar Ove kasar ketika semakin dekat, tapi lelaki itu sudah menutup jendela.

Ove meneriaki Skoda itu, tapi pengemudinya mengabaikan Ove. Lelaki itu bahkan tidak memelesat pergi dengan rodaroda yang berputar dan berderit. Dia hanya menggulirkan mobil menuju garasi-garasi, lalu meneruskannya ke jalanan utama. Seakan isyarat tangan Ove sama tidak pentingnya dengan lampu jalanan rusak.

Ove berdiri terpaku di tempat, begitu marah hingga kepalan tangannya gemetar. Ketika Skoda itu sudah menghilang, dia berbalik lalu berjalan kembali di antara rumah-rumah, begitu tergesa-gesa hingga hampir tersandung kakinya sendiri.

Di luar rumah Rune dan Anita, yang jelas telah menjadi tempat parkir Skoda putih itu tadi, terdapat dua puntung rokok di tanah. Ove memungut kedua puntung rokok itu seakan mereka adalah petunjuk dalam kasus kriminal tingkat tinggi.

Halo, Ove. Dia mendengar suara Anita, tampak berusaha hati-hati, di belakangnya.

Ove berbalik menghadapnya. Perempuan itu berdiri di undakan, berbalut kardigan kelabu. Tampaknya seakan kardigan itu sedang berupaya memeluk tubuh Anita, seperti dua tangan yang mencengkeram sebatang sabun basah. Ya, ya. Halo, jawab Ove.



Lelaki itu dari dewan kota, kata Anita sambil mengangguk ke arah kepergian Skoda itu.

Kendaraan dilarang di area ini, kata Ove. Kembali perempuan itu mengangguk dengan hati-hati. Katanya, dia mendapat izin khusus dari dewan kota untuk mengemudikan mobil ke rumah.

Dia tidak punya izin sialan & , kata Ove memulai, lalu dia menghentikan dirinya sendiri dan menggertakkan rahang untuk menahan kata-katanya.

Bibir Anita gemetar.

Mereka ingin mengambil Rune dariku, katanya. Ove mengangguk tanpa menjawab. Dia masih memegang selang plastik. Dia memasukkan kepalan tangan yang satunya ke saku. Sejenak dia berpikir untuk mengucapkan sesuatu, tapi kemudian dia menunduk, berbalik, dan pergi. Dia sudah berjalan beberapa meter ketika menyadari bahwa kedua puntung rokok itu masih berada di sakunya, tapi saat itu sudah terlambat untuk melakukan sesuatu.

Si Ilalang Pirang sedang berdiri di jalanan. Anjing Kampung mulai menyalak histeris begitu melihat Ove. Pintu rumah di belakang mereka terbuka dan Ove berasumsi mereka sedang berdiri di sana, menunggu makhluk bernama Anders itu. Si Anjing Kampung punya sesuatu yang mirip bulu di mulutnya; pemiliknya menyeringai puas. Ove menatap si Ilalang ketika berjalan lewat, perempuan itu tidak mengalihkan pandangan. Seringai si Ilalang bahkan semakin lebar, seakan dia sedang menertawakan Ove.



Ketika lewat di antara rumahnya dan rumah si Kerempeng dan Perempuan Hamil, Ove melihat si Kerempeng sedang berdiri di ambang pintu.

Hai, Ove! teriak lelaki itu dengan konyolnya. Ove melihat tangga miliknya tersandar di rumah si Kerempeng. Lelaki itu melambaikan tangan dengan ceria. Tampaknya dia bangun pagi hari ini, atau setidaknya, pagi berdasarkan standar konsultan IT. Ove bisa melihat bahwa si Kerempeng sedang memegang pisau dapur perak berujung tumpul di satu tangan. Dan Ove menyadari, kemungkinan besar si Kerempeng hendak menggunakan pisau itu untuk mengungkit jendela lantai atas yang macet. Tangga Ove, yang jelas hendak dinaiki oleh si Kerempeng, telah ditancapkan miring ke dalam tumpukan salju tebal.

Selamat siang!

Ya, ya, jawab Ove tanpa berbalik, ketika dia berjalan lewat.

Anjing Kampung berada di luar rumah makhluk bernama Anders itu, menyalak hebat. Dari sudut matanya, Ove melihat si Ilalang masih berdiri di sana dengan senyum menghanguskan ke arahnya. Ini mengganggu Ove. Dia tidak begitu memahami alasannya, tapi dia merasa terganggu hingga ke tulang-tulangnya.

Ketika berjalan di antara rumah-rumah, melewati gudang sepeda, dan memasuki area parkir, dengan enggan Ove mengaku kepada dirinya sendiri bahwa dia sedang berjalanjalan mencari si kucing, tapi seakan tidak bisa menemukan hewan itu di mana pun.



Ove membuka pintu garasinya, membuka pintu Saab, lalu berdiri di sana dengan tangan di dalam saku, agaknya selama lebih dari setengah jam. Dia tidak begitu paham mengapa dirinya berbuat begitu, dia hanya merasa sesuatu yang seperti ini memerlukan semacam keheningan yang sakral sebelum dilaksanakan.

Ove berpikir apakah cat mobil Saab itu akan menjadi sangat kotor sebagai akibat dari perbuatan ini. Menurutnya begitu. Sayang sekali, pikirnya menyadari. Namun tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Dia menendang ban-ban Saab itu beberapa kali untuk menilai. Semuanya dalam keadaan baik, sungguh. Masih bagus untuk setidaknya tiga musim dingin lagi, pikirnya memperkirakan, dinilai dari tendangan terakhirnya.

Dan ini langsung mengingatkan Ove pada surat di saku bagian dalam jaketnya. Jadi, dia mengeluarkannya untuk memeriksa apakah dia ingat meninggalkan instruksi mengenai ban-ban musim panas. Ya, sudah. Tertulis di sana di bawah Saab + Aksesori . Ban-ban musim panas ada di gudang , lalu diikuti instruksi yang jelas sehingga orang yang benar-benar tolol pun bisa mengerti di mana baut-baut pelek itu bisa ditemukan di dalam bagasi mobil. Ove menyelipkan surat itu kembali ke dalam amplop dan memasukkannya ke saku bagian dalam jaketnya.

Dia menoleh ke belakang, memandang area parkir. Jelas bukan karena peduli terhadap kucing terkutuk itu. Dia hanya berharap tidak terjadi sesuatu pun pada hewan itu karena dia yakin sekali dirinya akan mendapat hukuman besar dari



istrinya. Dia hanya tidak ingin merasa jengkel gara-gara kucing keparat. Itu saja.

Sirene ambulans yang mendekat terdengar di kejauhan, tapi Ove nyaris tidak memperhatikan. Dia hanya masuk ke kursi pengemudi dan menyalakan mesin. Membuka jendela otomatis di bagian belakang sekitar lima sentimeter. Keluar dari mobil. Menutup pintu garasi. Memasang selang plastik itu erat-erat pada knalpot. Mengamati asap knalpot yang perlahan-lahan menggelegak keluar dari ujung selang yang satunya. Lalu, memasukkan selang itu lewat jendela belakang yang terbuka. Masuk ke mobil. Membetulkan kaca-kaca spion samping. Memutar tombol pencari stasiun radionya selangkah ke depan dan selangkah ke belakang. Bersandar di kursi. Memejamkan mata. Merasakan asap knalpot tebal itu, satu sentimeter kubik demi satu sentimeter kubik, memenuhi garasi dan paru-parunya.

Seharusnya tidak seperti ini. Kau bekerja, membayar cicilan, membayar pajak, dan melakukan yang seharusnya kau lakukan. Kau menikah. Dalam suka dan duka hingga maut memisahkan. Bukankah itu yang mereka setujui? Ove ingat itu dengan cukup jelas. Dan seharusnya bukan istrinya yang meninggal terlebih dahulu. Sialan. Bukankah seharusnya sudah dipahami dengan baik bahwa kematiannya yang mereka bicarakan? Benar, kan?

Ove mendengar gedoran di pintu garasi. Mengabaikannya. Merapikan lipatan-lipatan celana panjang. Memandang dirinya sendiri di kaca spion. Bertanya-tanya, apakah dia seharusnya mengenakan dasi. Istrinya selalu suka ketika Ove



mengenakan dasi. Sonja akan menganggapnya sebagai lelaki paling tampan di dunia.

Ove bertanya-tanya, apakah kini Sonja masih mau memandangnya? Apakah istrinya akan merasa malu karena dia muncul di alam baka sebagai pengangguran dan mengenakan setelan kotor? Akankah istrinya menganggapnya sebagai idiot, yang bahkan tidak bisa mempertahankan pekerjaan jujur tanpa disingkirkan, hanya karena pengetahuannya ternyata tidak memenuhi syarat dengan adanya semacam komputer? Akankah istrinya masih memandangnya dengan cara yang sama seperti dulu, sebagai lelaki yang bisa diandalkan? Lelaki yang bisa memikul tanggung jawab untuk segalanya dan memperbaiki pemanas air jika perlu. Akankah Sonja kini tetap menyukainya seperti dulu, setelah dia hanya menjadi orang tua lontang-lantung di dunia?

Terdengar gedoran yang semakin keras di pintu garasi. Ove menatap masam pintu itu. Gedoran lagi. Ove berpikir ini sudah cukup.

Cukup sudah! teriaknya sambil membuka pintu Saab dengan begitu kasar hingga selang plastik itu terlepas dari jepitan jendela dan jatuh ke lantai beton. Gulungan-gulungan asap knalpot menyembur ke segala arah.

Kini, seharusnya Perempuan Asing Hamil sudah belajar untuk tidak berdiri terlalu dekat dengan pintu ketika Ove berada di baliknya. Namun kali ini perempuan itu tidak bisa menghindari pintu garasi yang menghantam wajahnya, ketika Ove membuka pintu itu dengan kasar.



Ove melihat perempuan itu dan terpaku. Si Perempuan Hamil memegangi hidung. Memandang Ove dengan ekspresi menerawang, seperti seseorang yang baru saja dihantam hidungnya dengan pintu garasi. Asap knalpot menghambur keluar dari garasi dalam bentuk awan pekat, menutupi setengah area parkir dengan kabut tebal beracun.

Aku & dasar sialan & kau harus waspada ketika pintu sedang dibuka & , kata Ove, pada akhirnya.

Kau sedang apa? Si Perempuan Hamil berhasil bertanya ketika melihat Saab dengan mesin menyala dan asap menghambur keluar dari mulut selang plastik di lantai.

Aku? ... tidak sedang apa-apa, jawab Ove marah, tampak seakan lebih suka menutup pintu garasi itu lagi.

Tetes-tetes merah kental terbentuk di lubang hidung si Perempuan Hamil. Dia menutupi wajah dengan satu tangan dan melambaikan tangan yang satu lagi pada Ove.

Aku perlu tumpangan ke rumah sakit, katanya sambil memiringkan kepala ke belakang.

Ove tampak bimbang. Apa-apaan? Tenangkan dirimu. Itu hanya hidung berdarah.

Si Perempuan Hamil menyumpah dalam sesuatu yang diasumsikan Ove sebagai bahasa Farsi, lalu menjepit tulang hidungnya erat-erat dengan jempol dan telunjuk. Lalu dia menggeleng tidak sabar, meneteskan darah ke seluruh jaketnya.

Bukan karena hidung berdarah!

Ove sedikit kebingungan mendengar perkataan itu. Dia memasukkan tangan ke saku.



Ya, ya. Baiklah kalau begitu. Perempuan Hamil mengerang. Patrick terjatuh dari tangga.

Si Perempuan Hamil mendongak sehingga Ove seolah berdiri di sana berbicara dengan bagian bawah dagunya. Siapa Patrick? tanya Ove pada dagu itu. Suamiku, jawab dagu itu.

Si Kerempeng? tanya Ove. Ya, benar, jawab dagu itu.

Dan dia terjatuh dari tangga? tanya Ove menegaskan. Ya. Ketika sedang membuka jendela.

Benar. Betapa mengejutkan; kau sudah bisa menebaknya dari jauh hari& .

Dagu itu menghilang dan sepasang mata cokelat besar muncul kembali.

Mata itu tidak tampak begitu senang. Kita akan berdebat mengenai ini atau apa? Ove menggaruk-garuk kepala, sedikit jengkel. Tidak, tidak & tapi tidak bisakah kau menyetir? Menyetir mesin jahit Jepang kecil yang kalian kendarai sewaktu tiba kemarin itu? tanya Ove, mencoba memprotes.

Aku tidak punya SIM, jawab si Perempuan Hamil sambil membersihkan darah dari bibir.

Apa maksudmu tidak punya SIM? tanya Ove, seakan kata-kata perempuan itu benar-benar tidak dipahaminya. Sekali lagi, si Perempuan Hamil mendesah tidak sabar.



Dengar, aku tidak punya SIM. Itu saja. Apa masalahnya? Berapa usiamu? tanya Ove, yang kini nyaris merasa takjub.

Tiga puluh, jawab perempuan itu dengan tidak sabar. Tiga puluh?! Dan tidak punya SIM? Apa ada yang salah dengan dirimu?

Si Perempuan Hamil mengerang, mengangkat sebelah tangannya di depan hidung, dan menjentikkan jemari dengan jengkel di hadapan wajah Ove.

Fokus sedikit, Ove! Rumah sakit! Kau harus mengantar kami ke rumah sakit!

Ove tampak nyaris tersinggung.

Apa maksudmu dengan kami ? Kau harus menelepon ambulans jika orang yang kau nikahi tidak bisa membuka jendela tanpa terjatuh dari tangga& .

Sudah! Mereka sudah membawanya ke rumah sakit. Tapi, tidak ada tempat untukku di dalam ambulans. Dan kini, gara-gara salju, semua taksi di kota ini penuh dan bus macet di mana-mana!

Bercak-bercak darah mengaliri sebelah pipi perempuan itu. Ove menyatukan rahang begitu keras hingga giginya mulai gemeretak.

Kau tidak bisa memercayai bus-bus sialan itu. Sopir mereka selalu mabuk, katanya tenang, dengan dagu tertunduk yang mungkin membuat orang percaya bahwa dia sedang mencoba menyembunyikan kata-katanya di balik kerah kemeja.



Mungkin, si Perempuan Hamil memperhatikan bagaimana suasana hati Ove berubah begitu dia menyebut kata bus . Mungkin juga tidak. Bagaimanapun, perempuan itu mengangguk seakan, entah bagaimana, ini menyelesaikan persoalan.

Baiklah kalau begitu. Jadi kau harus mengantarkan kami.

Dengan berani, Ove mencoba menudingkan telunjuk untuk mengancam perempuan itu. Namun, yang mengecewakannya, dia merasa telunjuk itu tidak begitu meyakinkan seperti yang diharapkannya.

Tidak ada kata harus di sekitar sini. Aku bukan semacam layanan pengantaran sialan! kata Ove, pada akhirnya.

Si Perempuan Hamil hanya menekankan telunjuk dan jempolnya semakin keras pada tulang hidung dan mengangguk, seakan dia sama sekali tidak mendengarkan apa yang baru saja dikatakan Ove. Dia melambaikan tangan dengan jengkel ke arah garasi dan selang plastik di lantai, yang memuntahkan asap knalpot semakin pekat dan semakin pekat ke langit-langit.

Aku tidak punya waktu meributkan ini lagi. Persiapkan segalanya agar kita bisa berangkat. Aku akan pergi menjemput anak-anak.

ANAK-ANAK??? teriak Ove di belakang si Perempuan Hamil, tanpa mendapatkan jawaban apa pun.



Perempuan itu sudah beranjak pergi dengan sepasang kaki mungil yang tampak benar-benar kekecilan untuk perut hamil besar itu, menghilang di pojok gudang sepeda, dan berjalan ke rumahnya.

Ove tetap berada di tempatnya, seakan menunggu seseorang menyusul perempuan itu dan mengatakan bahwa sebenarnya Ove belum selesai bicara. Akan tetapi, tak seorang pun berbuat begitu. Ove memasukkan kepalan tangannya ke balik ikat pinggang dan memandang selang di lantai. Sesungguhnya, bukan tanggung jawabnya jika seseorang terjatuh dari atas tangga yang dipinjam darinya begitulah menurut pandangannya.

Namun mau tak mau, dia tentu saja memikirkan apa yang akan diperintahkan oleh istrinya dalam keadaan seperti itu, seandainya istrinya ada di sini. Dan tentu saja, tidak begitu sulit mengetahuinya, pikir Ove menyadari. Dengan agak sedih.

Akhirnya, Ove berjalan ke mobil dan melepas selang dari knalpot dengan sepatunya. Memasuki Saab. Memeriksa kaca-kaca spion. Memasukkan persneling ke posisi pertama dan keluar dari area parkir. Ove tidak benar-benar peduli mengenai bagaimana perempuan hamil asing itu tiba di rumah sakit. Namun, Ove tahu sekali kalau istrinya tidak akan habis-habis mengomelinya, jika hal terakhir yang dilakukan Ove di dunia ini adalah membuat hidung perempuan hamil itu berdarah dan membiarkannya naik bus.



Dan, bagaimanapun, jika bensin itu hendak digunakan, sebaiknya dia memberi perempuan itu tumpangan pulangpergi ke rumah sakit. Mungkin setelah itu dia tidak akan menggangguku, pikir Ove.

Namun, tentu saja, itu tidak terjadi.[]



12

Lelaki Bernama Ove dan Suatu Hari

Ketika Dia Merasa Muak

ORANG-ORANG SELALU BERKATA OVE DAN istrinya bagaikan malam dan siang. Tentu saja Ove sadar sepenuhnya bahwa dialah yang disebut malam. Itu tak masalah baginya. Sebaliknya, istrinya selalu merasa geli ketika seseorang berkata begitu. Sebab kemudian, dia bisa menjelaskan sambil terkikik bahwa mereka menganggap Ove sebagai malam karena dia terlalu pelit untuk menyalakan matahari.

Ove tidak pernah mengerti alasan istrinya memilih dirinya. Istrinya hanya menyukai benda-benda abstrak seperti musik, buku, dan kata-kata aneh. Ove adalah lelaki yang dipenuhi seluruhnya dengan benda-benda nyata. Dia menyukai obeng dan fi lter bensin. Dia menjalani hidup dengan tangan dimasukkan mantap ke saku. Istrinya menjalani hidup sambil menari.

Kau hanya perlu seberkas cahaya untuk mengusir semua bayang-bayang, kata istrinya suatu kali, ketika Ove bertanya mengapa dia selalu begitu bersemangat sepanjang waktu.


A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampaknya, seorang biarawan bernama Francis pernah menulis seperti itu dalam salah satu buku milik istrinya.

Kau tidak bisa menipuku, Sayang, ujar istrinya sambil sedikit tersenyum nakal dan menyusup ke balik lengan besarnya. Kau menari-nari di dalam hati, Ove, ketika tak seorang pun memperhatikan. Dan, aku akan selalu mencintaimu karenanya. Tak peduli kau suka atau tidak.

Ove tidak pernah terlalu memahami maksud perkataan istrinya itu. Dia tidak pernah suka menari. Rasanya itu teramat sangat berbahaya dan memusingkan. Dia menyukai garis lurus dan keputusan yang pasti. Itulah sebabnya, dia selalu menyukai matematika. Ada jawaban benar atau salah di sana. Tidak seperti semua mata pelajaran hippie lainnya. Mereka berupaya menipumu agar mempelajari semua mata pelajaran itu, yang membolehkanmu mendebat kasusmu . Seakan itulah cara menyimpulkan diskusi: mengecek siapa yang tahu kata-kata terpanjang. Ove ingin agar apa yang benar adalah benar, dan apa yang salah adalah salah.

Dia tahu sekali bahwa sebagian orang hanya menganggapnya tua bangka pemarah yang tidak memercayai orang. Namun, sejujurnya, itu karena orang-orang tidak pernah memberinya alasan untuk memandang mereka dengan cara lain.

Sebab, akan tiba saatnya dalam kehidupan semua lelaki, ketika mereka harus memutuskan hendak menjadi jenis lelaki macam apa: jenis yang membiarkan orang lain menguasai mereka atau tidak.



Ove tidur di dalam Saab pada malam-malam setelah kebakaran itu. Pada pagi pertama, dia mencoba bersih-bersih di antara abu dan kehancuran. Pada pagi kedua, dia harus menerima bahwa masalah ini tidak akan selesai dengan sendirinya. Rumah itu lenyap, beserta semua pekerjaan yang telah dilakukannya di sana.

Pada pagi ketiga, muncullah dua lelaki yang mengenakan jenis kemeja putih yang sama seperti kepala pemadam kebakaran itu. Mereka berdiri di dekat gerbang rumah Ove, tampaknya tidak begitu tergerak oleh reruntuhan di depan mereka. Mereka tidak menyebut nama mereka sendiri, hanya menyebut nama pihak berwenang yang mengutus mereka. Seakan mereka adalah robot yang dikirim oleh kapal induk.

Kami telah mengirimimu surat-surat, kata salah seorang lelaki berkemeja putih itu, sambil menyerahkan setumpuk dokumen kepada Ove.

Banyak surat, kata lelaki berkemeja putih yang satu lagi sambil mencatat di bukunya.

Kau tidak pernah menjawab, kata lelaki pertama, seakan dia sedang menegur seekor anjing.

Ove hanya berdiri di sana, menantang.

Ini sangat disayangkan, kata lelaki yang satu lagi, sambil mengangguk singkat pada apa yang dulunya rumah Ove.

Ove mengangguk.

Pemadam kebakaran mengatakan penyebabnya korsleting yang tidak berbahaya, lanjut lelaki berkemeja putih



pertama dengan nada datar, sambil menunjuk dokumen di tangannya.

Ove langsung merasa keberatan dengan penggunaan kata tidak berbahaya itu.

Kami telah mengirimimu surat-surat, ulang lelaki kedua sambil melambaikan buku catatannya.

Perbatasan kota sedang ditetapkan ulang. Tanah tempat rumahmu berdiri akan dikembangkan untuk sejumlah pembangunan baru.

Tanah yang dulunya tempat rumahmu berdiri, kata mitranya membetulkan.

Dewan kota bersedia membeli tanahmu dengan harga pasar, kata lelaki pertama.

Well& dengan harga pasar karena kini tidak ada lagi rumah di atas tanah itu, jelas lelaki yang satunya. Ove menerima dokumen-dokumen itu. Mulai membaca. Kau tidak punya banyak pilihan, kata lelaki pertama. Ini lebih merupakan pilihan dewan kota dibanding pilihanmu, kata lelaki yang satunya.


Trio Detektif 06 Misteri Pulau Tengkorak Venus Karya Phoebe Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung

Cari Blog Ini