Ceritasilat Novel Online

A Man Called Ove 3

A Man Called Ove Karya Fredrik Backman Bagian 3



Lelaki pertama mengetuk-ngetukkan pena dengan tidak sabar pada dokumen itu, menunjuk garis di bagian bawah yang bertuliskan tanda tangan .

Ove berdiri di gerbang rumahnya dan membaca dokumen mereka tanpa berkata-kata. Dia menyadari kemunculan rasa nyeri di dalam dadanya; perlu waktu yang sangat, sangat lama, sebelum dia memahami perasaan apakah itu. Kebencian.



Dia membenci kaum lelaki berkemeja putih. Dia tidak bisa mengingat pernah membenci seseorang sebelumnya. Namun kini rasanya seakan ada bola api di dalam dada. Orangtua Ove telah membeli rumah ini. Ove telah tumbuh besar di sini. Belajar berjalan. Ayahnya telah mengajarinya segala yang perlu diketahui mengenai mesin Saab di sini.

Dan, setelah semuanya itu, seseorang dari pihak berwenang kota memutuskan hendak membangun sesuatu yang lain di sini. Seorang lelaki berwajah bulat menjual asuransi yang bukan asuransi. Lelaki berkemeja putih mencegah Ove yang hendak memadamkan api. Kini, dua lelaki berkemeja putih lain berdiri di sini, bicara mengenai harga pasar .

Namun sesungguhnya Ove tidak punya pilihan. Dia bisa saja berdiri di sana hingga matahari terbit sepenuhnya, tapi dia tidak bisa mengubah situasi itu.

Jadi dia menandatangani dokumen mereka sambil mengepalkan tangan di dalam saku.

Ove meninggalkan petak tanah tempat rumah orangtuanya pernah berdiri, dan tidak pernah menoleh ke belakang. Dia menyewa kamar kecil dari seorang perempuan tua di kota. Duduk dan menatap dinding dengan murung sepanjang hari. Pada malam hari dia pergi bekerja. Membersihkan gerbonggerbong kereta api. Paginya, dia dan para pekerja lain diminta tidak pergi ke kamar ganti mereka seperti biasanya. Mereka harus kembali ke kantor pusat untuk mengambil setelan pakaian kerja baru.



Ketika Ove sedang berjalan menyusuri koridor, dia bertemu Tom. Itu pertemuan pertama mereka sejak Ove disalahkan atas pencurian di gerbong. Lelaki yang lebih bijak dibanding Tom mungkin akan menghindari kontak mata. Atau mencoba berpura-pura peristiwa itu tidak pernah terjadi. Namun Tom bukan jenis lelaki yang lebih bijak.

Wah, bukankah ini si pencuri kecil! teriaknya sambil tersenyum menantang.

Ove tidak menjawab. Mencoba lewat, tapi disikut keras oleh salah seorang dari kolega-kolega muda Tom yang mengelilingi lelaki itu. Ove mendongak. Kolega muda itu sedang tersenyum mencemoohnya.

Pegangi dompet kalian, pencurinya ada di sini! teriak Tom begitu lantang, hingga suaranya menggema di sepanjang koridor-koridor.

Dengan sebelah tangan, Ove mencengkeram semakin erat buntalan pakaiannya. Namun dia mengepalkan tangan yang satu lagi di dalam saku. Dia berjalan memasuki ruang ganti kosong. Melepas pakaian kerja lamanya yang kotor, melepas arloji penyok milik ayahnya, lalu meletakkannya di bangku. Ketika dia berbalik untuk pergi ke pancuran, Tom berdiri di ambang pintu.

Kami mendengar tentang kebakaran itu, katanya. Ove bisa melihat bahwa Tom mengharapkan jawaban.

Ayahmu pasti akan merasa bangga kepadamu! Bahkan dia pun tidak cukup payah untuk membakar rumah sialannya sendiri! teriak Tom ketika Ove melangkah ke pancuran.



Ove mendengar para kolega muda Tom tertawa serempak. Dia memejamkan mata, menyandarkan kening ke dinding, dan membiarkan air panas mengaliri tubuhnya. Berdiri di sana selama lebih dari dua puluh menit. Mandi terlama yang pernah dilakukannya.

Ketika Ove keluar, arloji milik ayahnya sudah tidak ada. Dia mencari-cari di antara pakaian di atas bangku, meneliti lantai, menyisir semua loker.

Akan tiba saatnya dalam kehidupan semua lelaki, ketika mereka harus memutuskan akan menjadi jenis lelaki macam apa. Apakah menjadi jenis lelaki yang membiarkan orang lain menguasai mereka atau tidak.

Mungkin karena Tom menyalahkannya atas pencurian di gerbong. Mungkin karena kebakaran itu. Mungkin karena agen asuransi palsu. Atau kaum lelaki berkemeja putih. Atau, mungkin karena Ove sudah muak. Seketika, seakan seseorang telah mencabut sekering di benak Ove.

Semuanya terlihat sedikit lebih gelap. Dia berjalan keluar dari ruang ganti, masih telanjang dan dengan air menetes dari otot-otot lenturnya. Berjalan ke ujung koridor, ke kamar ganti mandor, menendang pintunya hingga terbuka, dan menerobos segerombolan lelaki yang terkejut di dalamnya. Tom sedang berdiri di depan cermin di ujung yang jauh, memangkas jenggot lebatnya. Ove mencengkeram bahunya dan berteriak begitu lantang hingga dinding-dinding berlapis seng itu menggema.

Kembalikan arlojiku!



Tom, dengan ekspresi angkuh, menunduk memandang wajah Ove. Sosok gelapnya menjulang di hadapan Ove seperti bayang-bayang.

Aku tidak mengambil arloji siala

KEMBALIKAN! teriak Ove sebelum Tom menyelesaikan kalimatnya, begitu garang hingga para lelaki lain di ruangan itu tahu diri untuk sedikit merapat ke loker mereka.

Sedetik kemudian, jaket Tom terenggut dari tangannya dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga dia bahkan tidak berpikir untuk memprotes. Dia hanya berdiri di sana, seperti anak terhukum, ketika Ove mengeluarkan arlojinya dari saku bagian dalam jaket.

Lalu, Ove memukul Tom, sekali saja. Itu sudah cukup. Tom roboh seperti sekarung tepung basah. Ketika tubuh besar itu menumbuk lantai, Ove sudah berbalik dan berjalan pergi.

Saat seperti itu akan dialami oleh semua lelaki, ketika mereka memilih akan menjadi jenis lelaki macam apa. Dan, jika kau tidak mengetahui ceritanya, kau tidak mengenal mereka.

Tom dibawa ke rumah sakit. Berulang kali dia ditanya apa yang terjadi, tapi mata Tom hanya mengerjap-ngerjap dan menggumamkan sesuatu mengenai terpeleset . Dan, anehnya, tak satu pun dari para lelaki yang pada saat itu berada di ruang ganti ingat apa yang terjadi.

Itulah kali terakhir Ove melihat Tom. Dan, dia memutuskan, itulah kali terakhir dia membiarkan orang lain menipunya.



Dia mempertahankan pekerjaan sebagai petugas kebersihan malam, tapi berhenti dari pekerjaan di tempat konstruksi. Dia tidak lagi punya rumah yang harus dibangun. Lagi pula, pada saat itu, dia telah belajar begitu banyak mengenai pembangunan, sehingga tidak ada lagi yang bisa diajarkan oleh para lelaki berhelm itu kepadanya.

Sebagai hadiah perpisahan, mereka memberinya kotak perkakas. Kali ini dengan perkakas baru. Untuk si anak bawang. Untuk membantumu membangun sesuatu yang bertahan lama, tulis mereka pada secarik kertas.

Ove tidak langsung membutuhkan kotak perkakas itu, jadi dia menentengnya ke mana-mana selama beberapa hari. Akhirnya, perempuan tua yang menyewakan kamar kepadanya merasa iba dan mulai mencari hal-hal di seputar rumah yang bisa diperbaiki oleh Ove. Cara itu lebih menenangkan bagi mereka berdua.

Menjelang akhir tahun itu, Ove mengikuti wajib militer. Dia meraih nilai tertinggi untuk semua tes fi sik. Petugas perekrut menyukai pemuda pendiam yang seakan sekuat beruang itu. Dia mendesak Ove agar mempertimbangkan karier sebagai tentara profesional. Itu terdengar bagus bagi Ove.

Tentara militer mengenakan seragam dan mematuhi perintah. Mereka semua tahu apa yang mereka kerjakan. Mereka semua punya fungsi. Segalanya punya tempat. Ove merasa sesungguhnya dirinya bisa sebaik tentara. Sesungguhnya, ketika menuruni tangga menuju pemeriksaan medis wajib, hatinya merasa lebih ringan dibanding dengan yang dirasakannya selama bertahun-tahun. Seakan secara



mendadak dia diberi tujuan. Sasaran. Sesuatu yang harus dicapai.

Kegembiraan Ove hanya bertahan selama kurang dari sepuluh menit saja.

Petugas perekrut mengatakan pemeriksaan medis itu hanya formalitas . Namun ketika stetoskop diletakkan di dada Ove, terdengar sesuatu yang seharusnya tidak terdengar. Dia dikirim ke dokter di kota. Sepekan kemudian, Ove diberi tahu bahwa dirinya punya kondisi jantung bawaan. Dia dikecualikan dari wajib militer apa pun selanjutnya. Ove menelepon dan memprotes. Dia menulis surat-surat. Dia mengunjungi tiga dokter lain dengan harapan telah terjadi kekeliruan. Itu tidak ada gunanya.

Peraturan adalah peraturan, kata lelaki berkemeja putih di kantor administrasi tentara, kali terakhir Ove pergi ke sana untuk mencoba membatalkan keputusan itu. Ove merasa begitu kecewa hingga dia bahkan tidak menunggu bus. Dia berjalan kembali hingga ke stasiun kereta. Dia duduk di peron, merasa lebih putus asa dibandingkan kapan pun semenjak kematian ayahnya.

Beberapa bulan kemudian, Ove akan berjalan menyusuri peron itu bersama perempuan yang ditakdirkan untuk dinikahinya. Namun, tentu saja, pada saat itu dia sama sekali tidak mengetahui hal ini.

Ove kembali pada pekerjaannya sebagai petugas kebersihan malam di jawatan kereta api. Dia menjadi semakin pendiam. Akhirnya, perempuan tua yang menyewakan kamar kepadanya merasa begitu jemu melihat wajah murung Ove



sehingga mengatur agar Ove bisa menyewa garasi di dekat situ. Bagaimanapun, Ove punya mobil yang selalu diutakatiknya, kata perempuan tua itu. Mungkin bocah laki-laki itu bisa terus menghibur diri dengan semua kesibukannya?

Keesokan paginya Ove membongkar total Saab-nya di dalam garasi. Dia membersihkan bagian-bagiannya, lalu menyusun kembali semua. Untuk melihat apakah dia bisa melakukannya. Dan agar ada sesuatu yang bisa dikerjakan.

Ketika sudah selesai, dia menjual Saab itu dan mendapat keuntungan, lalu membeli Saab 93 yang lebih baru, walaupun sama persis dengan mobil lamanya. Hal pertama yang dilakukannya adalah membongkar total mobil itu untuk melihat apakah dia bisa menyusunnya kembali. Dan dia bisa.

Hari-hari Ove berlalu seperti ini, lambat dan teratur. Lalu suatu pagi, dia melihat perempuan itu, dengan rambut cokelat, mata biru, sepatu merah, dan jepit kuning besar di rambutnya. Lalu tidak ada lagi ketenangan dan kedamaian bagi Ove.[]



13

Lelaki Bernama Ove dan Badut Bernama Beppo

Ove lucu, kikik si gadis tiga tahun dengan riang. Ya, gumam si gadis tujuh tahun, yang sama sekali tidak terkesan. Dia menggandeng adik perempuannya dan berjalan dengan langkah-langkah dewasa menuju pintu masuk rumah sakit.

Ibu mereka tampak seakan hendak menegur Ove, tapi memutuskan tidak ada waktu untuk itu. Perempuan itu berjalan menuju pintu masuk, dengan satu tangan memegangi perut buncitnya, seakan khawatir janinnya akan mencoba kabur.

Ove berjalan di belakang, menyeret langkah. Dia tidak peduli apakah menurut Si Perempuan Hamil lebih mudah membayar saja dan berhenti berdebat . Ini masalah prinsip. Mengapa petugas parkir itu merasa berhak mendenda Ove hanya karena dia bertanya mengapa orang harus membayar parkir di rumah sakit?



Ove bukan jenis lelaki yang mau menahan diri untuk tidak berteriak: Kau hanya polisi gadungan! kepada petugas parkir. Itu saja yang perlu dikatakan mengenai peristiwa itu.

Seseorang pergi ke rumah sakit untuk mati, Ove tahu itu. Sudah cukup jika negara ingin dibayar atas segala yang orang lakukan semasa hidup. Namun ketika negara juga menagih uang parkir ketika orang akan mati, Ove mengganggap itu keterlaluan. Dia menjelaskan hal ini dengan panjang lebar kepada petugas parkir. Dan saat itulah, petugas parkir mulai melambai-lambaikan buku dendanya kepada Ove. Saat itu juga, Parvaneh mulai berang dan mengatakan dengan senang hati dia bersedia membayar. Seakan itu bagian penting dari diskusinya.

Kaum perempuan seakan tidak memahami prinsip. Ove mendengar gadis tujuh tahun mengeluh di depannya tentang pakaian yang berbau asap knalpot. Walaupun mereka terus membuka semua jendela Saab di sepanjang perjalanan, mustahil untuk mengusir bau itu. Ibu mereka bertanya apa yang sesungguhnya dilakukan Ove di dalam garasi, tapi Ove hanya menjawab dengan suara yang kurang lebih sama seperti ketika kau mencoba memindahkan bak mandi dengan menyeretnya melintasi ubin.

Tentu saja bagi si gadis tiga tahun, bisa bermobil dengan semua jendela terbuka walaupun suhu di luar di bawah nol, merupakan petualangan terbesar dalam hidupnya. Sebaliknya, si gadis tujuh tahun membenamkan wajah ke dalam syal dan mengungkapkan jauh lebih banyak kecurigaan. Dia merasa jengkel karena pantatnya terus menggelincir di atas



lembaran-lembaran koran yang dibentangkan Ove di kursi agar mereka tidak mengotori segalanya .

Ove juga telah membentangkan koran di kursi depan, tapi Si Perempuan Hamil menyingkirkannya sebelum duduk. Ove tampak sangat tidak senang sehubungan dengan hal ini, tapi berhasil untuk tidak mengucapkan sesuatu pun. Dia malah terus melirik perut perempuan itu di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, seakan khawatir perempuan itu bisa mendadak mengalami kebocoran di atas jok kursi.

Nah, tetaplah di sini, kata si Perempuan Hamil kepada kedua putrinya ketika mereka berada di ruang resepsionis rumah sakit.

Mereka dikelilingi dinding kaca dan bangku berbau desinfektan. Ada perawat-perawat berpakaian putih dan bersandal plastik warna-warni, juga para manula yang mondar-mandir menyeret tubuh di koridor sambil bertumpu pada tongkat ringkih. Di lantai, terdapat plang bertuliskan Lift 2 di Pintu Masuk A rusak, jadi pengunjung Bangsal 114 diminta menggunakan Lift 1 di Pintu Masuk C. Di bawahnya, terdapat pesan lain, yang mengumumkan bahwa Lift 1 di Pintu Masuk C rusak, jadi pengunjung Bangsal 114 diminta menggunakan Lift 2 di Pintu Masuk A. Di bawah pesan itu, terdapat pesan ketiga, yang mengumumkan Bangsal 114 ditutup selama sebulan karena ada perbaikan. Di bawah pesan itu terdapat foto badut, yang mengumumkan bahwa Beppo badut rumah sakit hari ini mengunjungi anak-anak yang sakit.

Di mana Ove sekarang? teriak Parvaneh.



Kurasa dia pergi ke toilet, gumam si gadis tujuh tahun. Badot! kata si gadis tiga tahun sambil menunjuk plang dengan riang.

Kau tahu, kau harus membayar untuk bisa pergi ke toilet? teriak Ove tidak percaya.

Parvaneh berbalik dan memandang Ove dengan garang. Kau perlu uang receh?

Ove tampak tersinggung. Mengapa aku perlu uang receh?

Untuk toilet?

Aku tidak perlu pergi ke toilet.

Tapi kau bilang& , kata perempuan itu memulai, lalu terdiam dan menggeleng-gelengkan kepala. Lupakan, lupakan saja& . Kapan tiket parkirnya berakhir? tanyanya. Sepuluh menit lagi.

Parvaneh mengerang. Apa kau tidak mengerti ini akan memerlukan waktu lebih dari sepuluh menit?

Kalau begitu, sepuluh menit lagi aku akan keluar dan memasukkan uang ke meteran parkir, jawab Ove, seakan ini sudah sangat jelas.

Mengapa tidak membayar untuk waktu lebih lama agar kau tidak perlu repot-repot? tanya Parvaneh, dan begitu pertanyaan itu meluncur dari bibirnya, dia tampak seakan berharap tidak bicara.

Karena itulah tepatnya yang mereka inginkan! Mereka tidak bakal mendapat banyak uang untuk waktu yang mungkin tidak akan kita gunakan!



Oh, aku sudah tidak tahan lagi& , desah Parvaneh sambil memegangi kening.

Dia memandang kedua putrinya. Maukah kalian duduk manis di sini bersama Paman Ove, sementara Mum pergi menengok Dad? Kumohon?

Ya, ya. Si gadis tujuh tahun mengangguk-angguk jengkel.

Yaaaaa! teriak si gadis tiga tahun kegirangan. Apa? bisik Ove.

Parvaneh berdiri.

Apa maksudmu bersama Ove ? Kau pikir akan pergi ke mana? Ove terperangah karena si Hamil seakan tidak memahami tingkat kemarahan dalam suaranya.

Kau harus duduk di sini dan mengawasi mereka, kata Parvaneh singkat, lalu menghilang di koridor sebelum Ove sempat menyampaikan keberatan lebih lanjut.

Ove berdiri di sana, menatap perempuan itu, seakan mengharapkannya untuk bergegas kembali dan berteriak bahwa dia hanya bergurau. Namun Parvaneh tidak bergurau. Jadi Ove berpaling kepada kedua gadis kecil itu. Dan detik berikutnya, dia tampak seakan hendak menyorotkan lampu-meja ke mata mereka dan menginterogasi mengenai keberadaan mereka saat terjadi pembunuhan.

BUKU! teriak si gadis tiga tahun seketika, lalu bergegas menuju pojok ruang tunggu. Di sana, terdapat kekacauan besar berupa mainan, papan permainan, dan buku bergambar.


A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ove mengangguk. Setelah menegaskan kepada diri sendiri bahwa gadis tiga tahun ini tampaknya cukup bisa memotivasi dirinya sendiri, dia mengalihkan perhatian kepada si gadis tujuh tahun. Baiklah, dan bagaimana denganmu?

Apa maksudmu denganku? jawab si gadis tujuh tahun dengan berang.

Kau perlu makanan atau perlu pergi pipis atau hal semacam itu?

Anak itu memandangnya seakan Ove baru saja menawarinya bir dan rokok. Aku hampir DELAPAN tahun! Aku bisa pergi ke toilet SENDIRI!

Ove langsung mengangkat kedua lengannya. Pasti, pasti. Sialan. Maaf telah bertanya.

Mmmh, dengus si gadis tujuh tahun.

Kau ngumpat! teriak si gadis tiga tahun ketika muncul kembali, sambil berlarian mondar-mandir di antara sepasang kaki celana panjang Ove.

Dengan ragu, Ove mengamati bencana alam cilik yang tata bahasanya menantang itu. Gadis tiga tahun itu mendongak dan seluruh wajahnya tersenyum kepada Ove.

Baca! perintahnya kepada Ove dengan bersemangat, sambil mengangkat sebuah buku dengan lengan terentang begitu lebar hingga dia nyaris kehilangan keseimbangan.

Ove memandang buku itu, kurang lebih seakan baru saja menerima surat berantai yang bersikeras mengatakan buku itu sesungguhnya adalah pangeran Nigeria yang punya peluang investasi sangat menguntungkan untuk



Ove. Dan ia, hanya memerlukan nomor rekening Ove untuk membereskan transaksinya .

Baca! desak si gadis tiga tahun itu lagi sambil menaiki bangku dengan ketangkasan mengejutkan di ruang tunggu.

Dengan enggan, Ove duduk kira-kira semeter jauhnya di bangku. Si gadis tiga tahun mendesah tidak sabar dan menghilang dari pandangan. Lalu kepalanya muncul kembali beberapa detik kemudian, di balik lengan Ove, dengan sepasang tangan memegangi lutut Ove dan hidung ditekankan pada gambar warni-warni di dalam buku.

Dahulu kala, ada kereta api kecil, Ove membaca, dengan segenap antusiasme seseorang yang sedang membacakan laporan pajak.

Lalu dia membalik halaman. Si gadis tiga tahun menghentikannya dan kembali ke halaman semula. Gadis tujuh tahun menggeleng-gelengkan kepala dengan lelah. Kau juga harus menceritakan yang terjadi di halaman itu. Dan menirukan suara-suara, katanya.

Ove menatapnya. Suara-suara siala Ove berdeham di tengah kalimat. Suara-suara apa? tanyanya membetulkan diri sendiri.

Suara-suara kisah dongeng, jawab si gadis tujuh tahun. Kau ngumpat, kata si gadis tiga tahun dengan riang. Tidak, kata Ove.

Ya, kata si gadis tiga tahun.

Kita tidak akan menirukan suara-suara siala Kita tidak akan menirukan suara-suara!



Mungkin kau tidak pandai membacakan cerita, kata si gadis tujuh tahun.

Mungkin kau tidak pintar mendengarkan cerita! balas Ove.

Mungkin kau tidak pintar MENCERITAKANNYA! Ove memandang buku itu, sangat tidak terkesan. Lagi pula, omong kosong kepar macam apa ini? Kereta yang bisa bicara? Apa tidak ada cerita tentang mobil?

Mungkin ada sesuatu tentang lelaki tua gila, gumam si gadis tujuh tahun.

Aku bukan lelaki tua , desis Ove.

Badot! teriak si gadis tiga tahun kegirangan. Dan juga bukan BADUT! teriak Ove.

Si gadis tujuh tahun memutar bola mata memandang Ove, persis seperti ibunya yang sering memutar bola mata saat memandang Ove.

Maksudnya bukan kau. Maksudnya badut. Ove mendongak, lalu melihat lelaki dewasa yang berdandan habis-habisan sebagai badut sedang berdiri di ambang pintu ruang tunggu.

Lelaki itu juga punya seringai tolol besar di wajahnya. BADOOOT, teriak si gadis tiga tahun sambil melompatlompat di atas bangku, dengan cara yang akhirnya meyakinkan Ove bahwa anak itu berada dalam pengaruh obat.

Dia pernah mendengar hal semacam ini. Mereka menderita Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas dan diberi resep amfetamin.



Dan siapakah gadis cilik ini? Mungkin dia ingin melihat trik sulap? teriak si badut dengan ramah sambil berjalan berdecit-decit menghampiri mereka seperti rusa mabuk, dengan sepasang sepatu merah besar. Ove menegaskan kepada diri sendiri, hanya orang yang benar-benar tak berguna yang lebih suka mengenakan sepatu seperti itu dibanding mencari pekerjaan layak.

Badut itu memandang Ove dengan riang. Mungkin Paman punya koin lima krona?

Tidak, mungkin Paman tidak punya, jawab Ove. Badut tampak terkejut. Dan itu bukanlah ekspresi yang sebaiknya diperlihatkan seorang badut sukses.

Tapi & dengar, ini trik sulap, kau punya koin, bukan? gumam si badut dengan suara lebih normal, yang sangat kontras dengan karakternya dan mengungkapkan di balik badut idiot ini bersembunyilah orang idiot biasa, yang mungkin baru berusia dua puluh lima tahun.

Ayolah, aku badut rumah sakit. Ini demi kepentingan anak-anak. Akan kukembalikan.

Berikan saja koin lima krona, kata si gadis tujuh tahun. BADOOOOT! teriak si gadis tiga tahun.

Ove menunduk memandang si mungil yang cacat bahasa itu dengan jengkel dan mengerutkan hidung.

Baiklah, katanya sambil mengeluarkan koin lima krona dari dompet.

Lalu, dia menunjuk badut. Tapi kembalikan. Segera. Aku akan membayar parkir dengan uang itu.



Badut mengangguk bersemangat dan menyambar uang itu dari tangan Ove.

Beberapa menit kemudian, Parvaneh kembali berjalan menyusuri koridor menuju ruang tunggu. Dia berhenti dengan kebingungan, meneliti ruangan itu dari sisi ke sisi.

Kau mencari putri-putrimu? tanya seorang perawat dengan nada tajam di belakangnya.

Ya, jawab Parvaneh kebingungan.

Di sana, kata perawat, dengan cara yang tidak begitu ramah, sambil menunjuk bangku di samping pintu-pintu kaca besar menuju area parkir.

Ove sedang duduk di sana, bersedekap, tampak sangat marah.

Di salah satu sisinya, duduklah si gadis tujuh tahun, yang mendongak menatap langit-langit dengan ekspresi benar-benar bosan. Di sisi yang satu lagi, duduklah si gadis tiga tahun, yang tampak seakan baru saja tahu akan mendapat sarapan es krim setiap hari selama sebulan penuh. Di kedua sisi bangku itu, berdirilah dua perwakilan petugas keamanan rumah sakit yang bertubuh sangat besar, keduanya menunjukkan ekspresi sangat menyeramkan.

Ini anak-anakmu? tanya salah seorang dari mereka. Lelaki itu sama sekali tidak tampak seakan mendapat sarapan es krim.

Ya, apa yang mereka lakukan? tanya Parvaneh, nyaris ketakutan.

Mereka tidak berbuat apa-apa, jawab petugas keamanan yang satu lagi, sambil menatap Ove dengan tajam.



Aku juga, gumam Ove dongkol.

Ove memukul badot! teriak si gadis tiga tahun kegirangan.

Dasar pengadu, kata Ove.

Parvaneh menatap Ove, ternganga, bahkan tidak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan.

Lagi pula badutnya tidak pintar sulap, gerutu si gadis tujuh tahun. Kita bisa pulang sekarang? tanyanya sambil berdiri.

Mengapa & tunggu dulu & badut & badut apa? Badot Beppo, jelas si gadis tiga tahun sambil mengangguk bijak.

Dia hendak main sulap, kata kakak perempuannya. Sulap payah, kata Ove.

Jadi, dia hendak membuat koin lima krona Ove menghilang, imbuh si gadis tujuh tahun.

Lalu, dia mencoba mengembalikan koin lima krona yang lain! sela Ove sambil menatap kedua petugas keamanan di dekatnya dengan tersinggung, seakan penjelasan ini seharusnya sudah cukup.

Ove MEMUKUL badot, Mum, kikik si gadis tiga tahun, seakan ini hal terbaik yang pernah terjadi sepanjang hidupnya.

Parvaneh menatap Ove, kedua anak perempuannya, dan kedua petugas keamanan itu untuk waktu lama.

Kami kemari untuk menjenguk suamiku. Dia kecelakaan. Sekarang, aku akan mengajak anak-anak masuk untuk



menyapa ayah mereka, jelasnya kepada kedua petugas keamanan itu.

Ayah jatuh! kata gadis tiga tahun.

Baiklah, kata salah seorang petugas keamanan sambil mengangguk.

Tapi, yang ini tetap di sini, kata petugas keamanan yang satu lagi sambil menunjuk Ove.

Aku tidak memukulnya. Hanya sedikit mendorongnya, gumam Ove menambahkan, Dasar polisi gadungan sialan, sekadar membuat dirinya merasa lebih baik.

Sejujurnya dia juga tidak pintar sulap, gerutu si gadis tujuh tahun membela Ove saat mereka pergi menjenguk ayah mereka.

Satu jam kemudian, mereka kembali berada di garasi Ove. Sebelah lengan dan sebelah kaki si Kerempeng diperban dan harus menginap di rumah sakit selama beberapa hari, kata Parvaneh. Ketika perempuan itu mengatakannya, Ove harus menggigit bibir keras-keras agar tidak tertawa. Sesungguhnyalah, dia punya perasaan Parvaneh sedang melakukan hal sama. Saab itu masih berbau asap knalpot ketika Ove mengumpulkan lembaran koran dari kursikursinya.

Kumohon, Ove, kau yakin tidak membolehkanku membayar uang denda parkir? tanya Parvaneh. Apakah ini mobilmu? gerutu Ove. Bukan.

Nah, jawab Ove.



Tapi, itu kan kesalahanku juga, ulang Parvaneh dengan khawatir.

Bukan kau yang mengenakan denda parkir. Dewan kota yang melakukannya. Jadi, itu kesalahan dewan kota sialan, kata Ove sambil menutup pintu Saab. Juga polisipolisi gadungan di rumah sakit, imbuhnya.

Jelas dia masih sangat marah karena kedua petugas keamanan itu memaksanya agar duduk tak bergerak di bangku itu hingga Parvaneh kembali untuk menjemputnya dan mereka pulang. Seakan dia tidak bisa dipercaya untuk berkeliaran dengan bebas di antara para pengunjung rumah sakit lainnya.

Parvaneh memandang Ove untuk waktu lama dalam keheningan yang serius. Si gadis tujuh tahun merasa bosan menunggu, lalu mulai berjalan melintasi area parkir menuju rumah mereka. Si gadis tiga tahun memandang Ove dengan senyum berseri-seri.

Kau lucu! Dia tersenyum.

Ove memandangnya dan memasukkan tangan ke saku celana panjang. Ah ha, ah ha. Ternyata, kau lumayan juga.

Si gadis tiga tahun mengangguk kegirangan. Parvaneh memandang Ove, memandang selang plastik di lantai garasi Ove. Kembali memandang Ove, sedikit khawatir.

Aku bisa sedikit membantu memindahkan tangga itu& , kata Parvaneh, seakan dia sedang berada di tengah pikiran yang jauh lebih panjang.

Ove menendang aspal sambil menerawang.



Dan, kurasa kami juga punya radiator yang tidak berfungsi, imbuh Parvaneh sambil lalu. Maukah kau memeriksanya? Kau tahulah, Patrick tidak tahu cara memperbaiki benda-benda semacam itu, katanya sambil menggandeng si gadis tiga tahun.

Ove mengangguk perlahan-lahan. Ya. Sudah kuduga. Parvaneh mengangguk. Lalu, mendadak dia tersenyum puas. Dan tidak mungkin membiarkan kedua gadis cilik itu mati beku malam ini, kan? Cukuplah sudah mereka harus menyaksikanmu menyerang badut.

Ove memandang Parvaneh dengan masam. Diam-diam, kepada dirinya sendiri, seakan bernegosiasi, Ove mengaku bahwa dia tidak mungkin membiarkan anak-anak itu tewas, hanya karena ayah mereka yang payah itu tidak bisa membuka jendela tanpa terjatuh dari tangga. Akan ada banyak sekali omelan dari istrinya, seandainya Ove pergi dan tiba di alam baka dengan kualifi kasi baru sebagai pembunuh anak.

Ove memungut selang plastik dari lantai, lalu menggantungkannya pada pengait di dinding. Mengunci Saab. Menutup garasi. Menarik pegangan pintunya tiga kali untuk memastikan garasi itu tertutup. Lalu pergi mengambil perkakas dari gudang.

Besok sama baiknya dengan hari lain untuk bunuh diri.[]
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



14

Lelaki Bernama Ove dan Perempuan

Di Kereta Api

PEREMPUAN ITU MEMILIKI BROS KEEMASAN yang disematkan di bagian depan bajunya. Bros itu memantulkan cahaya matahari yang menghipnotis lewat jendela kereta api. Saat itu pukul enam lewat tiga puluh pagi. Ove baru saja mengakhiri giliran kerjanya dan sesungguhnya harus naik kereta api untuk pulang. Namun kemudian dia melihat perempuan itu di peron dengan rambut cokelat kemerahan, mata biru, dan semua tawa riangnya. Dan Ove kembali menaiki kereta api. Tentu saja dia tidak begitu paham alasan dia berbuat begitu. Dia belum pernah bersikap spontan di sepanjang hidupnya. Namun ketika melihat perempuan itu, rasanya seakan ada sesuatu yang gagal berfungsi.

Ove meyakinkan salah seorang kondektur agar meminjaminya celana panjang dan kemeja cadangan sehingga penampilannya tidak seperti petugas kebersihan kereta. Lalu



dia duduk di sebelah Sonja. Itulah satu-satunya keputusan terbaik yang pernah dibuatnya.

Ove tidak tahu yang hendak dikatakannya. Namun dia nyaris tidak sempat duduk, karena perempuan itu berpaling kepadanya dengan ceria, tersenyum hangat, dan berkata halo . Dan Ove mendapati dirinya mampu menjawab halo tanpa mengalami kesulitan apa pun. Dan ketika perempuan itu melihat Ove memandang tumpukan buku di atas pangkuannya, dia sedikit memiringkan buku-buku itu agar Ove bisa membaca judul-judulnya. Ove hanya memahami setengah dari kata-kata itu.

Kau suka membaca? tanya perempuan itu dengan ceria. Ove menggeleng, sedikit tidak percaya diri, tapi perempuan itu seakan tidak terlalu peduli. Dia hanya tersenyum, berkata bahwa dia paling suka membaca dibandingkan segala hal lainnya. Lalu dengan bersemangat, mulai bercerita tentang buku-buku di atas pangkuannya satu per satu. Dan Ove menyadari bahwa seumur hidupnya dia ingin mendengar perempuan itu menceritakan hal-hal yang disukainya.

Ove belum pernah mendengar sesuatu yang begitu menakjubkan seperti suara itu. Perempuan itu bicara seakan dia terus-menerus hampir terkikik. Dan ketika dia terkikik, suaranya seperti gelembung-gelembung sampanye dalam bayangan Ove, seandainya gelembung-gelembung itu bisa tertawa.

Ove tidak begitu tahu apa yang harus dikatakannya agar dirinya tidak tampak tolol dan tidak terpelajar. Namun



ternyata itu tidak menjadi masalah besar seperti yang dipikirkannya.

Perempuan itu suka bicara dan Ove suka membisu. Jika direnungkan kembali, Ove menganggap itulah yang dimaksudkan orang ketika mengatakan adanya dua orang yang saling melengkapi.

Bertahun-tahun kemudian, Sonja mengatakan bahwa dia menganggap Ove agak membingungkan ketika duduk di sampingnya, di gerbong kereta api itu. Secara keseluruhan, Ove kasar dan blak blakan. Bahunya bidang dan lengannya begitu berotot hingga meregangkan kain kemejanya. Dan matanya ramah.

Ove mendengarkan ketika Sonja bicara, dan Sonja senang membuat Ove tersenyum. Bagaimanapun, perjalanan ke sekolah begitu membosankan sehingga punya teman saja rasanya sudah menyenangkan.

Perempuan itu sedang sekolah untuk menjadi guru. Menaiki kereta api setiap hari, berganti kereta api setelah sepuluh atau dua puluh kilometer, lalu naik bus. Secara keseluruhan, bagi Ove itu perjalanan satu setengah jam ke arah yang keliru. Ketika mereka melintasi peron untuk kali pertama itu, berdampingan, dan ketika Ove berdiri di sampingnya di halte bus, barulah perempuan itu bertanya apa yang dilakukan Ove di sana. Dan ketika Ove menyadari dia hanya berada kira-kira lima kilometer dari barak-barak militer yang seharusnya menjadi tempatnya seandainya jantungnya tidak bermasalah, kata-kata itu meluncur keluar dari bibirnya sebelum dia mengerti mengapa.



Aku sedang menjalani wajib militer di sana, kata Ove sambil melambaikan tangan dengan tidak jelas.

Jadi, mungkin kita juga akan bertemu di kereta api dalam perjalanan pulang. Aku pulang pukul lima & .

Ove tidak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan. Tentu saja dia tahu bahwa orang tidak pulang dari gedung militer pukul lima, tapi jelas perempuan itu tidak tahu. Jadi dia hanya mengangkat bahu. Lalu perempuan itu menaiki bus dan menghilang.

Ove memutuskan bahwa ini jelas sangat tidak praktis dalam banyak hal. Namun tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Jadi dia berbalik, menemukan plang yang menunjukkan jalan ke pusat kota pelajar kecil tempatnya kini berada, yang berjarak setidaknya dua jam perjalanan dari rumah. Lalu dia mulai berjalan kaki. Setelah empat puluh lima menit, dia menanyakan jalan menuju satu-satunya penjahit di area itu. Dan setelah akhirnya menemukannya, dia melangkah masuk dengan bimbang untuk bertanya apakah mungkin kemeja dan celana panjangnya diseterika dan, jika bisa, berapa lama waktu yang diperlukan. Sepuluh menit, jika ditunggu, jawab penjahit itu.

Kalau begitu, aku akan kembali pukul empat, kata Ove. Lalu dia pergi berjalan kembali ke stasiun kereta api dan berbaring di bangku ruang tunggu. Pada pukul tiga lewat seperempat, dia berjalan kembali ke penjahit itu, meminta agar kemeja dan celana panjangnya diseterika, sementara dia duduk menunggu dengan bercelana-dalam di toilet karyawan. Lalu dia berjalan kembali ke stasiun dan naik kereta api untuk pulang bersama perempuan itu selama satu setengah jam,



menuju stasiun perempuan itu. Lalu Ove menaiki kereta api selama setengah jam lagi ke stasiunnya sendiri. Dia mengulangi kesemuanya itu keesokan harinya. Dan lusanya.

Pada hari berikutnya, lelaki dari meja kasir di stasiun kereta api menegur dan menjelaskan bahwa Ove tidak boleh tidur di sana seperti pemalas. Jelas dia bisa memahami itu, bukan? Ove memahami maksud lelaki itu, tapi juga menjelaskan adanya seorang perempuan yang sedang dipertaruhkan di sini. Ketika mendengar ini, lelaki dari meja tiket hanya sedikit mengangguk. Sejak saat itu Ove dibiarkan tidur di ruang penitipan bagasi. Bahkan lelaki di meja tiket stasiun kereta api pun pernah jatuh cinta.

Ove melakukan hal sama setiap hari, selama tiga bulan. Akhirnya perempuan itu merasa jemu karena Ove tidak pernah mengundangnya untuk pergi makan malam. Jadi, dia mengundang dirinya sendiri.

Aku akan menunggu di sini, besok malam, pukul delapan. Aku ingin kau mengenakan setelan dan aku ingin kau mengundangku untuk pergi makan malam, katanya ringkas ketika melangkah turun dari kereta api, pada suatu Jumat malam.

Dan begitulah.

Ove tidak pernah ditanya bagaimana hidupnya sebelum berjumpa dengan perempuan itu. Namun jika ada yang bertanya, dia akan menjawab bahwa dia tidak hidup.

Pada Sabtu malam, Ove mengenakan setelan cokelat lama milik ayahnya. Pakaian itu ketat di sekitar bahunya. Lalu dia menyantap dua sosis dan tujuh kentang, yang disiapkannya



di dapur kecil di kamarnya, sebelum berkeliling rumah memasang beberapa sekrup sesuai permintaan perempuan tua pemilik rumah itu.

Kau hendak bertemu seseorang? tanya perempuan tua itu, yang merasa senang melihat Ove menuruni tangga. Dia belum pernah melihat Ove mengenakan setelan. Ove mengangguk singkat.

Ya, jawabnya, dengan cara yang sama-sama bisa disebut sebagai kata atau helaan napas. Perempuan tua itu mengangguk dan, mungkin, berupaya menyembunyikan sedikit senyuman.

Pasti seseorang yang sangat istimewa, jika kau berdandan seperti itu, katanya.

Kembali Ove menghela napas dan mengangguk singkat. Ketika sudah berada di pintu, perempuan tua itu berteriak dari dapur. Bunga, Ove!

Dengan kebingungan Ove melongokkan kepala lewat dinding partisi dan menatapnya.

Dia mungkin menyukai bunga, kata perempuan tua itu dengan semacam penegasan.

Ove berdeham, lalu menutup pintu depan. Selama lebih dari lima belas menit, Ove berdiri menunggu perempuan itu di stasiun, dengan setelan ketat dan sepatu yang baru disemir. Dia meragukan orang yang datang terlambat. Jika kau tidak bisa mengandalkan seseorang agar tepat waktu, kau juga tidak bisa memercayakan sesuatu yang lebih penting kepadanya, gumamnya dulu, ketika orang datang membawa kartu absen dengan masih meneteskan keringat,



terlambat tiga atau empat menit, seakan ini tidak menjadi masalah. Seakan jalur kereta api hanya akan membentang saja di sana, menunggu mereka pada pagi hari dan tidak punya sesuatu yang lebih baik untuk dikerjakan.

Jadi, setiap lima belas menit yang berlalu ketika Ove berdiri menunggu di stasiun, dia merasa sedikit jengkel. Lalu, kejengkelannya berubah menjadi kecemasan tertentu. Setelah itu, dia memutuskan bahwa Sonja hanya menggodanya ketika menyarankan agar mereka bertemu. Dia belum pernah merasa sekonyol itu sepanjang hidupnya. Tentu saja perempuan itu tidak ingin pergi keluar bersamanya. Bagaimana mungkin pikiran itu merasuki kepalanya?

Perasaan tersinggung Ove, ketika pemahaman itu terpikirkan olehnya, meluap-luap bagaikan aliran lava. Dia tergoda untuk mencampakkan buket bunga ke tong sampah terdekat dan berjalan pergi tanpa berbalik lagi.

Ketika direnungkan kembali, Ove tidak begitu bisa menjelaskan mengapa dia tetap tinggal. Mungkin karena dia merasa, terlepas dari semuanya itu, perjanjian bertemu adalah perjanjian. Dan mungkin ada semacam alasan lain. Sesuatu yang sedikit lebih sulit untuk diingat.

Tentu saja Ove tidak mengetahuinya pada saat itu. Namun dia memang ditakdirkan untuk menghabiskan begitu banyak seperempat jam dalam hidupnya dengan menunggu perempuan itu sehingga mata ayah Ove mungkin akan berubah juling jika mengetahuinya. Dan ketika akhirnya perempuan itu muncul, dengan rok panjang bermotif bungabunga dan kardigan yang begitu merah sehingga membuat Ove menggeser bobot tubuh dari kaki kanan ke kaki kiri, dia



memutuskan bahwa mungkin ketidakmampuan perempuan itu untuk tepat waktu bukanlah hal terpenting.

Perempuan di toko bunga telah bertanya kepada Ove mengenai apa yang diinginkannya . Ove menjawab singkat bahwa ini pertanyaan yang sedikit sialan untuk diajukan. Bagaimanapun, perempuan itulah yang menjual semua tanaman itu, sedangkan dia adalah pembelinya, bukan sebaliknya. Perempuan itu tampak sedikit jengkel dengan jawaban Ove, tapi kemudian bertanya, apakah penerima bunga itu mungkin punya warna favorit. Merah jambu , jawab Ove penuh keyakinan, walaupun dia tidak tahu.

Dan kini, perempuan itu berdiri di stasiun dengan buket bunga pemberian Ove yang didekap dengan gembira di dada, mengenakan kardigan merah yang membuat seluruh dunia tampak seakan tersusun dari nuansa kelabu.

Cantik sekali. Perempuan itu tersenyum dengan cara spontan yang membuat Ove menunduk menatap tanah dan menendang kerikil.

Ove tidak begitu menyukai restoran. Dia tidak pernah mengerti mengapa orang bersedia makan di luar dengan harga mahal padahal bisa makan di rumah. Dia tidak begitu terpikat oleh perabot gaya dan hidangan rumit, dan juga teramat menyadari kelemahannya dalam bercakap-cakap. Apa pun kasusnya, setidaknya, Ove sudah makan terlebih dahulu sehingga bisa membiarkan perempuan itu memesan apa pun yang diinginkannya dari menu, sedangkan Ove akan memilih hidangan termurah untuk dirinya sendiri. Dan, setidaknya, jika perempuan itu menanyakan sesuatu, mulut Ove tidak



akan dipenuhi makanan. Baginya itu tampak seperti rencana yang baik.

Sementara perempuan itu memesan makanan, pramusaji tersenyum ramah. Ove tahu sekali yang dipikirkan pramusaji itu dan para pengunjung restoran lainnya ketika mereka masuk. Perempuan itu terlalu bagus untuk Ove, itulah yang mereka pikirkan. Dan Ove merasa sangat konyol. Sebagian besar karena dia menyetujui pendapat mereka sepenuhnya.

Dengan sangat bersemangat, perempuan itu bercerita tentang studinya, tentang buku-buku yang pernah dibacanya atau fi lm-fi lm yang pernah ditontonnya. Dan ketika memandang Ove, dia membuat lelaki itu merasa, untuk kali pertama, bahwa dialah satu-satunya lelaki di dunia ini.

Dan Ove punya cukup integritas untuk menyadari ini tidak benar, dia tidak bisa duduk di sini dan berbohong lagi. Jadi, dia berdeham, menghimpun segenap kemampuan, lalu menceritakan seluruh kebenaran itu. Dia sama sekali tidak sedang menjalani wajib militer dan sesungguhnya dia hanyalah petugas kebersihan kereta api berjantung cacat dan telah berbohong hanya karena teramat menikmati perjalanan kereta api bersama perempuan itu.

Ove menyangka inilah satu-satunya makan malamnya bersama perempuan itu. Dia menganggap perempuan itu tidak patut makan malam bersama seorang penipu. Ketika sudah menyelesaikan ceritanya, Ove meletakkan serbet di meja dan mengeluarkan dompet untuk membayar.

Maaf, gumamnya dengan wajah tersipu, dan dia sedikit menendang kaki kursinya, lalu mengimbuhkan dengan suara



begitu rendah sehingga nyaris tak terdengar: Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi seseorang yang kau pandang.

Ketika Ove bangkit berdiri, perempuan itu menjulurkan tangan dari seberang meja dan memegangi tangan Ove. Aku belum pernah mendengar kau mengucapkan begitu banyak kata sebelumnya. Perempuan itu tersenyum.

Ove menggumamkan sesuatu mengenai betapa hal ini tidak mengubah semua fakta. Dia pembohong. Ketika perempuan itu memintanya untuk duduk kembali, Ove patuh dan kembali menjatuhkan tubuh ke kursi. Perempuan itu tidak marah, seperti yang semula dipikirkan oleh Ove. Perempuan itu mulai tertawa. Pada akhirnya, dia berkata bahwa sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk tahu bahwa Ove tidak sedang menjalani wajib militer karena Ove tidak pernah mengenakan seragam.

Lagi pula, semua orang tahu bahwa tentara tidak pulang pukul lima pada hari kerja.

Ove tidak bisa dibilang secermat mata-mata Rusia, imbuh perempuan itu. Dia menyimpulkan bahwa Ove punya alasan untuk berbuat begitu. Dan dia menyukai cara Ove mendengarkannya. Dan cara Ove saat membuatnya tertawa. Dan itu, katanya, sudah lebih dari cukup untuknya.

Lalu perempuan itu bertanya, apa yang sesungguhnya ingin dilakukan Ove dalam hidupnya, seandainya dia bisa memilih apa pun yang diinginkannya. Ove menjawab, bahkan tanpa berpikir panjang, dia ingin membangun rumah. Mendirikannya. Menggambar rancangannya. Menghitung



cara terbaik untuk membuat rumah itu berdiri di tempat yang seharusnya. Lalu perempuan itu tidak mulai tertawa seperti yang semula dipikirkan Ove. Perempuan itu berubah marah.

Kalau begitu, mengapa itu tidak kau lakukan? tanyanya ingin tahu.

Ove tidak punya jawaban yang sangat bagus untuk pertanyaan itu.

Pada hari Senin, perempuan itu datang ke rumah Ove dengan membawa brosur kursus korespondensi untuk mendapatkan kualifi kasi dalam bidang teknik. Perempuan tua pemilik rumah itu ternganga ketika melihat perempuan muda cantik berjalan menaiki tangga dengan langkah-langkah penuh percaya diri. Belakangan, dia menepuk punggung Ove dan berbisik bahwa buket bunga itu mungkin investasi yang sangat baik. Mau tak mau Ove setuju.

Ketika Ove masuk ke kamarnya, perempuan itu sedang duduk di ranjangnya. Ove berdiri merajuk di ambang pintu dengan tangan di dalam saku. Perempuan itu memandangnya dan tertawa.

Apakah kini kita berpacaran? tanyanya.

Euh, ya, jawab Ove bimbang, Kurasa bisa disebut begitu.

Lalu, itulah yang terjadi.

Perempuan itu menyerahkan brosurnya kepada Ove. Itu kursus selama dua tahun, dan membuktikan bahwa semua waktu yang dihabiskan Ove dengan belajar mengenai pembangunan rumah ternyata tidak sia-sia seperti yang pernah diyakininya. Mungkin Ove tidak begitu mampu untuk



belajar dalam pengertian konvensional, tapi dia memahami angka dan dia memahami rumah. Itu sangat membantunya.

Dia mengikuti ujian setelah enam bulan. Lalu ujian lain. Dan ujian lain. Lalu dia mendapat pekerjaan di kantor perumahan dan tetap bekerja di sana selama lebih dari sepertiga abad. Bekerja keras, tidak pernah sakit, membayar cicilan, membayar pajak, melaksanakan tugasnya. Membeli rumah bandar kecil berlantai dua di kompleks perumahan baru di hutan. Perempuan itu ingin menikah, jadi Ove melamarnya. Perempuan itu ingin punya anak dan Ove mengatakan tidak keberatan. Dan mereka paham bahwa anak-anak harus tinggal di kompleks rumah bandar bersama anak-anak lainnya.

Dan kurang dari empat puluh tahun kemudian, tidak ada lagi hutan di sekitar rumah itu. Yang ada hanyalah rumahrumah lain. Lalu, suatu hari, perempuan itu terbaring di rumah sakit memegangi tangan Ove dan memintanya untuk tidak khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.

Mudah baginya untuk berkata begitu, pikir Ove dengan jantung berdenyut-denyut penuh kemarahan dan kepedihan. Namun perempuan itu hanya berbisik, Semuanya akan baikbaik saja, Ove Sayang, dan menyandarkan lengannya di lengan Ove. Dengan lembut, dia menyorongkan telunjuk ke telapak tangan Ove. Lalu dia memejamkan mata dan meninggal.

Ove tetap berada di sana, menggenggam tangan perempuan itu selama beberapa jam. Hingga staf rumah sakit memasuki ruangan dengan suara hangat dan gerakan cermat, menjelaskan bahwa mereka harus memindahkan jenazah



perempuan itu. Ove bangkit dari kursi, mengangguk, lalu pergi menemui pengurus pemakaman untuk mengurus surat kematian. Pada hari Minggu perempuan itu dimakamkan. Pada hari Senin, Ove pergi bekerja.

Namun, jika ada yang bertanya, Ove akan menjawab bahwa dia tidak pernah hidup sebelum bertemu perempuan itu. Juga, setelah perempuan itu tiada.[]



15

Lelaki Bernama Ove dan Kereta Api

yang Terlambat
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

LELAKI AGAK GEMUK DI BALIK Plexiglas itu memiliki rambut yang disisir ke belakang dan lengan yang dipenuhi tato. Seakan penampilan seperti kepala kejatuhan sekantong margarin itu belum cukup, dia harus melapisi tubuhnya dengan corengmoreng juga. Bahkan, sejauh penglihatan Ove, tidak ada motif yang layak di sana, yang ada hanyalah banyak pola. Apakah itu sesuatu yang akan disetujui oleh orang dewasa dengan keadaan pikiran yang sehat? Berkeliaran dengan sepasang lengan mirip piama?

Mesin tiketmu rusak, kata Ove memberitahunya. Benarkah? tanya lelaki di balik Plexiglas. Apa maksudmu dengan benarkah ? Maksudku .& Aku bertanya, rusakkah? Baru saja kubilang, mesinnya rusak!



Lelaki di balik Plexiglas tampak bimbang. Mungkin ada sesuatu yang keliru dengan kartumu? Ada debu di pita magnetisnya? tebaknya.

Ove tampak seakan lelaki di balik Plexiglas baru saja menyatakan kemungkinan bahwa dia mengalami disfungsi ereksi. Lelaki di balik Plexiglas terdiam.

Tidak ada debu di pita magnetisku, aku yakin itu, semprot Ove.

Lelaki di balik Plexiglas mengangguk. Lalu berubah pikiran dan menggeleng. Mencoba menjelaskan bahwa mesin itu sesungguhnya berfungsi pagi tadi . Tentu saja Ove menganggap perkataan ini benar-benar tidak relevan karena jelas-jelas mesinnya kini rusak. Lelaki di balik Plexiglas bertanya, apakah Ove punya uang tunai. Ove menjawab bahwa ini sama sekali bukan urusan sialan lelaki itu. Muncul keheningan yang menegangkan.

Akhirnya lelaki di balik Plexiglas bertanya apakah dia bisa memeriksa kartu itu . Ove memandangnya seakan mereka baru saja bertemu di gang gelap dan lelaki itu bertanya apakah boleh memeriksa alat vital Ove.

Jangan diotak-atik, kata Ove memperingatkan, ketika dengan bimbang menyorongkan kartunya ke bawah jendela.

Lelaki di balik Plexiglas meraih kartu itu dan menggosokkannya kuat-kuat di paha. Seakan Ove belum pernah membaca di koran mengenai sesuatu yang disebut skimming . Seakan Ove idiot.

Apa yang kau LAKUKAN? teriak Ove sambil menggedorkan telapak tangan ke jendela Plexiglas.



Lelaki itu menyorongkan kembali kartu itu ke bawah jendela. Sekarang cobalah, katanya.

Ove menganggap tua bangka tolol mana pun tahu, jika kartu itu tidak berfungsi setengah menit lalu, maka kartu itu tidak akan berfungsi juga sekarang. Ove mengemukakan hal ini kepada lelaki di balik Plexiglas.

Kumohon? kata lelaki itu.

Ove mendesah terang-terangan. Mencoba kartu itu lagi tanpa mengalihkan pandangan dari Plexiglas. Kartu itu berfungsi.

Benar, kan? ejek lelaki di balik Plexiglas. Ove memelototi kartu itu seakan merasa terkhianati, lalu memasukkan kartu itu kembali ke dompet.

Semoga harimu menyenangkan, teriak lelaki di balik Plexiglas di belakangnya.

Lihat saja nanti, gumam Ove.

Selama dua puluh tahun terakhir ini, nyaris setiap manusia yang ditemui Ove belum melakukan sesuatu pun, kecuali terus mengoceh agar Ove membayar segalanya dengan kartu. Namun uang tunai selalu cukup baik bagi Ove; sesungguhnya uang tunai telah melayani umat manusia dengan sempurna selama ribuan tahun. Dan Ove tidak memercayai bank beserta semua peralatan elektronik mereka.

Akan tetapi, istrinya tetap saja bersikeras untuk memiliki salah satu kartu itu, walaupun Ove sudah memperingatkannya. Dan ketika istrinya meninggal, bank hanya mengirim kartu baru dengan nama Ove untuk menghubungkannya dengan rekening istrinya. Dan kini, setelah membeli bunga untuk



makam istrinya selama enam bulan terakhir, tersisa sejumlah 136 krona dan 54 re di dalamnya.

Dan Ove tahu sekali kalau uang ini akan menghilang ke dalam saku direktur bank tertentu, seandainya Ove meninggal tanpa membelanjakannya terlebih dahulu.

Namun kini ketika Ove benar-benar ingin menggunakan kartu plastik sialan itu, tentu saja kartunya tidak berfungsi. Atau ada banyak biaya tambahan ketika dia menggunakannya di toko-toko. Dan ini hanya membuktikan bahwa selama ini Ove benar. Ove akan mengatakan hal yang sama kepada istrinya, begitu dia berjumpa dengannya, jadi sebaiknya istrinya menyiapkan diri dengan baik.

Pagi ini, Ove sudah pergi lama sebelum matahari menghimpun energi untuk terbit di atas cakrawala, dan sebelum para tetangganya bangun. Dia telah mempelajari jadwal kereta api dengan cermat di lorong. Lalu dia mematikan semua lampu, mematikan semua radiator, mengunci pintu depan, dan meninggalkan amplop berisikan semua instruksi di keset lorong di balik pintu. Dia berasumsi seseorang akan menemukan amplop itu ketika mereka datang untuk mengambil alih rumahnya.

Dia mengambil sekop salju, membersihkan salju dari bagian depan rumah, lalu mengembalikan sekop itu ke gudang. Dia mengunci pintu gudang. Seandainya sedikit lebih memperhatikan, Ove akan melihat adanya lubang berbentuk kucing yang cukup besar pada tumpukan salju besar, persis di luar gudang, ketika dia mulai berjalan menuju area parkir. Namun karena memiliki hal-hal yang lebih penting dalam benaknya, dia tidak memperhatikan.



Mengingat pengalaman buruknya baru-baru ini, Ove tidak menggunakan Saab, tapi berjalan kaki menuju stasiun. Kali ini, perempuan asing hamil, ilalang pirang, istri Rune, atau tali berkualitas rendah tidak akan mendapat peluang untuk merusak paginya. Dia telah mengeluarkan angin dari radiator milik orang-orang ini, meminjami mereka barangbarang, memberi mereka tumpangan ke rumah sakit. Namun kini akhirnya dia menempuh perjalanannya sendiri.

Ove memeriksa jadwal kereta api sekali lagi. Dia benci terlambat. Itu merusak rencana. Mengacaukan segalanya. Istrinya benar-benar payah dalam hal mematuhi rencana, tapi perempuan memang selalu begitu. Ove tahu, mereka tidak akan bisa mematuhi rencana sekalipun rencana itu ditempelkan di tubuh mereka.

Ketika menyetir ke suatu tempat, Ove membuat jadwal dan rencana dan memutuskan di mana mereka akan makan dan kapan akan berhenti untuk minum kopi, semuanya demi membuat perjalanan itu sebisa mungkin hemat waktu. Dia mempelajari peta dan memperkirakan dengan tepat berapa lama perjalanan itu, cara menghindari lalu lintas jam padat, dan mengambil jalan pintas yang tidak akan bisa dipahami oleh orang-orang dengan navigasi-satelit. Ove selalu punya strategi perjalanan yang jelas.

Sebaliknya, istrinya selalu memunculkan kegilaankegilaan semacam pergi mengikuti perasaan dan bersantai . Seakan itulah cara orang dewasa tiba di suatu tempat dalam hidupnya. Lalu, istrinya selalu ingat harus menelepon atau lupa membawa syal atau lainnya. Atau dia



tidak tahu mantel mana yang harus dibawanya pada detik terakhir. Atau sesuatu yang lain.

Dia selalu melupakan termos kopi di rak pengering, yang sesungguhnya adalah satu-satunya hal penting. Ada empat mantel di dalam tas-tas sialan itu, tapi tidak ada kopi. Seakan seseorang bisa berhenti begitu saja di pompa bensin setiap jam, dan membeli kopi gosong rasa kencing-rubah yang mereka jual di sana. Dan menjadi semakin terlambat.

Lalu ketika Ove menggerutu, istrinya selalu menentang pentingnya perencanaaan waktu ketika sedang menyetir ke suatu tempat. Lagi pula, kita tidak sedang terburu-buru, katanya. Seakan itu ada hubungannya.

Kini ketika berdiri di peron stasiun, Ove menekankan tangan ke dalam saku. Dia tidak mengenakan jas setelannya. Pakaian itu telalu kotor dan sangat berbau asap knalpot sehingga dia merasa istrinya mungkin akan mengomelinya, seandainya dia muncul dengan mengenakan pakaian itu. Istrinya tidak menyukai kemeja dan rompi yang kini dikenakannya, tapi setidaknya, pakaian itu bersih dan dalam kondisi layak.

Suhu hampir lima belas derajat di bawah nol. Ove belum mengganti jaket biru musim gugurnya dengan mantel biru musim dingin. Belakangan ini perhatiannya sedikit teralihkan, itu harus diakuinya. Dia belum benar-benar memikirkan bagaimana seharusnya penampilan seseorang ketika tiba di alam baka. Mulanya dia menganggap seseorang harus sangat rapi dan resmi. Kemungkinan besar akan ada semacam seragam di atas sana, untuk menghindari kebingungan. Menurut Ove, akan ada segala jenis orang di sana orang



asing, misalnya, yang masing-masingnya mengenakan pakaian lebih aneh dibandingkan orang sebelumnya. Mungkin kau akan bisa mengatur pakaianmu setibanya kau di sana, pasti akan ada semacam departemen pakaian?

Peron itu nyaris kosong. Di sisi lain rel, ada beberapa pemuda berwajah mengantuk dengan ransel kebesaran yang, menurut Ove, kemungkinan besar dipenuhi narkoba. Di samping mereka ada lelaki berusia empat puluhan dengan setelan kelabu dan mantel panjang hitam. Lelaki itu sedang membaca surat kabar. Sedikit lebih jauh lagi, terlihat beberapa perempuan berusia matang yang sedang mengobrol, dengan logo dewan kota di dada dan rambut beruban. Mereka sedang asyik mengisap rokok mentol panjang.

Sisi rel tempat Ove berada tampak kosong, hanya ada tiga pegawai kota praja berusia pertengahan tiga puluhan yang mengenakan celana kerja dan helm. Mereka sedang berdiri membentuk lingkaran dan menunduk menatap sebuah lubang. Di sekeliling mereka terdapat lingkaran pita pembatas yang dipasang dengan ceroboh. Salah seorang dari mereka memegang cangkir kopi dari 7-Eleven, yang seorang lagi sedang makan pisang, sedangkan lelaki ketiga sedang berupaya memencet ponsel tanpa melepas sarung tangan. Payah sekali.

Dan lubang itu tetap berada di tempatnya. Kita masih terkejut ketika seluruh dunia runtuh dalam krisis keuangan, pikir Ove. Padahal orang-orang tidak berbuat lebih dari sekadar berdiri menyantap pisang dan menunduk memandang lubang di tanah sepanjang hari.



Ove menengok arloji. Satu menit lagi. Dia berdiri di pinggir peron. Menyeimbangkan sol sepatunya di pinggiran. Dalamnya kurang dari satu setengah meter, pikir Ove memperkirakan. Mungkin seratus enam puluh sentimeter. Ada semacam simbolisme ketika dia membiarkan kereta api mencabut nyawanya, dan ini tidak terlalu disukainya. Menurutnya, masinis kereta api seharusnya tidak melihat kengerian itu. Oleh karena itulah dia memutuskan untuk melompat ketika kereta api sudah sangat dekat sehingga bagian samping gerbong pertamalah yang akan melemparkannya ke atas rel, alih-alih jendela besar di depan kereta api.

Ove memandang ke arah kedatangan kereta api dan mulai menghitung perlahan-lahan. Yang penting pengaturan waktunya harus benar-benar tepat, pikirnya memutuskan. Matahari baru saja terbit, menyorot tajam ke dalam matanya seperti anak kecil yang baru saja mendapat obor. Dan saat itulah, Ove mendengar jeritan pertama. Ove mendongak tepat pada waktunya untuk melihat lelaki bersetelan dan bermantel panjang hitam itu mulai berayun ke depan dan ke belakang, seperti panda yang kelebihan dosis Valium. Ini berlanjut selama kira-kira satu detik, lalu lelaki bersetelan itu mendongak, membuta, dan seluruh tubuhnya terserang sejenis kedutan gugup. Lengannya bergetar hebat.

Lalu, seakan momen itu terdiri atas serangkaian panjang gambar tak bergerak, surat kabar terlepas dari tangannya dan dia pingsan, jatuh dari pinggir peron ke atas rel dengan bunyi berdebuk, seakan dirinya adalah satu peti campuran semen.



Perempuan-perempuan tua dengan logo dewan kota di dada, yang sedang asyik merokok itu, mulai menjerit panik. Para pemuda pemakai narkoba menatap rel sambil membelitkan tangan pada tali-tali pengikat ransel seakan, jika tidak, mereka merasa khawatir akan terjatuh. Ove berdiri di pinggir peron di sisi lain dan memandang jengkel dari satu orang ke orang lain.

Demi Tuhan, dengus Ove kepada dirinya sendiri, pada akhirnya, sambil melompat turun ke atas rel. BANTU ANGKAT! teriaknya kepada salah seorang penyandang ransel di peron. Pemuda loyo itu beringsut perlahan-lahan ke pinggir.

Ove mengangkat lelaki bersetelan dengan cara yang cenderung bisa dilakukan oleh lelaki yang tidak pernah menginjakkan kaki di pusat kebugaran namun telah menghabiskan sepanjang hidupnya dengan mengangkut dua alas tiang beton di masing-masing lengan. Dia mengangkat tubuh lelaki itu ke atas lengan penyandang ransel, dengan cara yang tidak mampu dilakukan oleh kaum lelaki pengemudi Audi yang bercelana olahraga warna neon terang.

Dia tidak bisa tetap berada di jalur kereta api, kau mengerti, kan?

Para penyandang ransel itu mengangguk kebingungan, dan akhirnya, lewat upaya bersama, mereka berhasil menyeret tubuh bersetelan itu ke atas peron. Para perempuan dewan kota masih menjerit, seakan benar-benar percaya bahwa itulah pendekatan konstruktif untuk situasi itu. Lelaki bersetelan tampaknya bernapas, tapi Ove tetap berada di atas rel di



bawah sana. Dia mendengar kereta api datang. Ini tidak persis seperti yang direncanakannya, tapi apa boleh buat.

Lalu dengan tenang, Ove berjalan ke tengah rel, memasukkan tangan ke saku, dan menatap lampu depan kereta api. Dia mendengar peluit peringatan berbunyi, suaranya seperti peluit kabut. Dia merasakan rel bergetar hebat di bawah kakinya, seakan seekor banteng bertenaga testosteron sedang mencoba menerjangnya. Ove mengembuskan napas. Di tengah kekacauan getaran, teriakan, dan jeritan mengerikan rem-rem kereta api, Ove merasakan kelegaan mendalam. Akhirnya.

Bagi Ove, momen-momen berikutnya mulur seakan waktu itu sendiri telah menginjak rem dan membuat semua yang ada di sekeliling Ove bergerak dengan gerakan lambat. Ledakan suara-suara teredam menjadi desis pelan di telinga Ove, kereta api mendekat begitu lambat hingga tampak seakan ditarik oleh dua lembu jompo. Lampu depan kereta api berkedip-kedip tanpa daya.

Dan, dalam jeda di antara dua kedipan lampu, ketika Ove tidak sedang dibutakan oleh cahaya, dia mendapati dirinya melakukan kontak mata dengan masinis kereta api. Mustahil pemuda itu berusia lebih dari dua puluh tahun. Dia pasti salah seorang yang masih dipanggil anak bawang oleh kolega-koleganya yang lebih tua.

Ove menatap wajah anak bawang itu. Mengepalkan tangan di dalam saku seakan sedang mengutuk dirinya sendiri atas apa yang hendak dilakukannya. Tapi apa boleh buat,



pikirnya. Ada cara yang benar untuk melakukan segalanya. Dan ada cara yang keliru.

Jadi, kereta api itu mungkin berjarak sekitar lima belas menit jauhnya, ketika Ove menyumpah jengkel. Dan dengan ketenangan yang sama seakan dia sedang bangkit berdiri untuk mengambil secangkir kopi, Ove melangkah minggir dan kembali melompat ke atas peron.

Kereta api sudah sejajar dengan Ove ketika masinis berhasil menghentikannya. Kengerian anak bawang itu telah menyedot semua darah dari wajahnya. Jelas dia sedang menahan keluarnya air mata. Ove dan masinis itu saling berpandangan lewat jendela lokomotif, seakan mereka baru saja muncul dari semacam padang gurun hari kiamat, dan kini menyadari mereka bukanlah manusia terakhir di bumi. Lelaki yang satu merasa lega dengan pemahaman ini, sedangkan lelaki yang satunya lagi merasa kecewa.

Bocah laki-laki di dalam lokomotif mengangguk dengan hati-hati. Ove membalas dengan anggukan pasrah.

Cukup adil jika Ove tidak ingin hidup lagi. Namun lelaki yang menghancurkan hidup orang lain dengan melakukan kontak mata, beberapa detik sebelum tubuhnya berubah menjadi pasta darah di kaca jendela depan orang lain tadi, itu bukanlah Ove. Ayahnya dan Sonja tidak akan pernah memaafk annya untuk itu.

Kau baik-baik saja? tanya salah seorang lelaki berhelm di belakang Ove.

Semenit lagi, maka kau akan tewas! teriak salah seorang lelaki lainnya.



Mereka berdiri di sana menatap Ove, sama seperti cara mereka tadi berdiri dan menatap ke dalam lubang. Sesungguhnyalah, tampaknya inilah bidang utama keahlian mereka: menatap segalanya. Ove balas menatap.

Sedetik lagi, maksudku, jelas lelaki yang masih memegang pisang.

Itu bisa saja berakhir dengan sangat buruk, kata lelaki berhelm pertama sambil tergelak.

Benar-benar buruk, kata lelaki yang satu lagi menyetujui.

Sesungguhnya dia bisa saja mati, jelas lelaki ketiga. Kau pahlawan sejati!

Menyelamatkan nyawa mereka!

Dia. Menyelamatkan nyawa dia , pikir Ove membetulkan, dan dia mendengar suara Sonja di dalam suaranya sendiri.

Jika tidak, dia pasti mati, ulang lelaki ketiga yang langsung menggigit pisangnya.

Di atas rel, ada kereta api yang semua lampu darurat merahnya menyala, meletup-letup, dan berderit seperti orang sangat gemuk yang baru saja menabrak tembok. Sejumlah besar orang, yang diasumsikan Ove sebagai konsultan IT dan orang-orang tidak terhormat lainnya, mengalir keluar dari kereta api itu dan berdiri dengan pening di peron. Ove memasukkan tangan ke saku celana panjangnya.



Kurasa kini akan ada banyak kereta api yang sialan terlambatnya juga, katanya, sambil memandang orang-orang yang berdesakan di peron dengan sangat tidak senang. Ya, kata lelaki berhelm pertama.

Kurasa begitu, kata lelaki yang satunya.

Banyak sekali keterlambatan, kata lelaki ketiga menyetujui.

Ove menciptakan suara seperti lemari berat yang engselnya berkarat. Dia melewati ketiga lelaki itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Kau mau ke mana? Kau pahlawan! teriak lelaki berhelm pertama kepada Ove dengan terkejut.

Ya, teriak lelaki yang satunya. Pahlawan! teriak lelaki ketiga.

Ove tidak menjawab. Dia berjalan melewati lelaki di balik Plexiglas, kembali memasuki jalanan yang tertutup salju, dan mulai berjalan pulang.

Kota perlahan-lahan terjaga di sekeliling Ove, dengan mobil-mobil buatan asing, statistik-statistik, utang-utang kartu kredit, serta semua sampah lainnya.

Maka hari ini juga kacau, pikir Ove menegaskan dengan getir.

Ketika sedang berjalan di samping gudang sepeda di dekat area parkir, Ove melihat Skoda putih itu melesat lewat dari arah rumah Anita dan Rune. Seorang perempuan tegas berkacamata duduk di kursi di sebelah pengemudi, dengan lengan dipenuhi arsip dan dokumen. Di balik kemudi,



duduklah lelaki berkemeja putih. Ove harus melompat minggir agar tidak tertabrak, ketika mobil itu berbelok cepat.

Lelaki itu mengangkat sebatang rokok menyala ke arah Ove lewat jendela depan, lalu sedikit tersenyum pongah. Seakan Ove-lah yang bersalah karena menghalangi mobilnya, namun lelaki itu cukup berbaik hati untuk tidak mempermasalahkannya.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Idiot! teriak Ove di belakang Skoda itu, tapi lelaki berkemeja putih sama sekali tidak tampak bereaksi.

Ove menghafalkan pelat nomornya sebelum mobil itu menghilang di belokan.

Sebentar lagi giliranmu, dasar tua bangka, desis sebuah suara keji di belakang Ove.

Ove berbalik dengan kepalan tangan terangkat secara naluriah, dan mendapati dirinya menatap pantulannya sendiri di kacamata hitam si Ilalang Pirang. Perempuan itu sedang menggendong anjing kampung keparat itu. Anjing itu menggeram pada Ove.

Mereka dari dinas sosial, ejek si Ilalang sambil mengangguk ke arah jalanan.

Di area parkir, Ove melihat si tolol Anders sedang memundurkan Audi dari garasinya. Ove memperhatikan mobil itu punya lampu depan baru berbentuk gelombang, mungkin dirancang agar pada malam hari semua orang tahu bahwa mobil ini dikemudikan oleh orang yang benar-benar tak berguna.

Apa itu urusanmu? tanya Ove kepada Ilalang.



Bibir perempuan itu membentuk seringai, mendekati senyuman yang mampu disunggingkan oleh perempuan yang bibirnya telah disuntik dengan limbah lingkungan dan racun saraf.

Itu urusanku karena kali ini lelaki tua sialan di ujung jalanlah yang mereka masukkan ke panti jompo. Dan setelah itu giliranmu!

Si Ilalang meludah ke tanah di samping Ove dan berjalan menuju Audi. Ove mengamatinya, dadanya kembangkempis di balik kemeja. Ketika Audi itu berputar, si Ilalang mengacungkan jari tengah kepada Ove lewat jendela depan. Insting pertama Ove adalah berlari mengejar mereka dan menghancurleburkan monster logam lembaran buatan Jerman itu, termasuk si tolol, si Ilalang, si anjing kampung yang menggeram, dan lampu depan berbentuk gelombang. Namun mendadak dia merasa kehabisan napas, seakan baru saja berlari dengan kecepatan penuh melintasi salju. Dia membungkuk, meletakkan tangan di lutut, dan dengan marah menyadari bahwa dirinya tersengal-sengal mencari udara dan jantungnya berdentam-dentam cepat.

Setelah beberapa menit, Ove menegakkan tubuh. Mata kanannya sedikit berkunang-kunang. Audi itu sudah menghilang. Ove berbalik dan perlahan-lahan berjalan pulang, dengan sebelah tangan menekan dada.

Setibanya di rumah, dia mampir ke gudang. Menunduk menatap lubang berbentuk kucing pada tumpukan salju. Ada seekor kucing di dasar lubang itu.

Sialan! Seharusnya dia tahu.[]



16

Lelaki Bernama Ove dan Sebuah

Truk di Hutan

HARI-HARI SONJA, SEBELUM PEMUDA MASAM yang sedikit kikuk dengan tubuh berotot dan mata biru sayu itu duduk di sampingnya, di kereta api, hanya dipenuhi tiga hal yang dia cintai tanpa syarat dalam: buku, ayahnya, dan kucing.

Jelas Sonja menerima banyak perhatian pria, jadi bukan itu masalahnya. Pelamar datang dalam segala bentuk dan ukuran. Jangkung, berkulit gelap, pendek, berambut pirang, periang, membosankan, elegan, congkak, tampan, dan serakah. Dan, seandainya tidak sedikit dihalangi oleh desas-desus di desa bahwa ayah Sonja punya satu atau dua senapan di rumah kayu terpencil yang jauh di dalam hutan, kemungkinan besar mereka akan sedikit nekat juga. Namun tidak ada di antara mereka yang memandang Sonja seperti cara pemuda itu memandangnya, ketika duduk di sampingnya di kereta api. Seakan Sonja adalah satu-satunya perempuan di dunia.



Terkadang, terutama selama beberapa tahun pertama, beberapa teman perempuan Sonja mempertanyakan pilihan yang diambilnya. Sonja sangat cantik, dan orang-orang di sekelilingnya seakan merasa ini hal yang sangat penting untuk disampaikan kepadanya. Sonja juga suka tertawa dan, apa pun yang terjadi dalam hidupnya, dia adalah jenis orang yang berpandangan positif. Namun Ove, yah, Ove adalah Ove. Dan orang-orang di sekeliling Sonja juga terus-menerus menyampaikan hal itu kepadanya.

Ove telah menjadi lelaki tua pemberang sejak di sekolah menengah, kata mereka bersikeras. Sonja bisa saja memilih seseorang yang jauh lebih baik.

Namun bagi Sonja Ove tidak pernah masam, kikuk, dan keras kepala. Baginya, Ove adalah buket bunga merah jambu yang sedikit acak-acakan pada saat makan malam pertama mereka. Ove adalah setelan cokelat milik ayahnya yang sedikit terlalu ketat di bahu bidang muramnya. Ove sangat meyakini beberapa hal: keadilan, kesetaraan, kerja keras, dan dunia yang menganggap kebenaran adalah kebenaran. Bukan karena dia ingin mendapat medali, diploma, atau tepukan di punggung, tapi hanya karena memang begitulah seharusnya.

Sonja tahu, tidak banyak lagi jenis lelaki yang seperti ini. Mungkin Ove tidak mengiriminya puisi, merayunya dengan lagu, atau pulang dengan membawa hadiah mahal. Namun tidak pernah ada bocah laki-laki lain yang menaiki kereta api dengan tujuan keliru selama berjam-jam setiap hari, hanya karena dia suka duduk di samping Sonja dan mendengarkannya bicara.



Dan ketika Sonja meraih lengan bawah Ove yang setebal pahanya, lalu menggelitikinya hingga wajah muram bocah laki-laki itu merekah dalam senyuman, rasanya itu seperti peristiwa pecahnya balutan gips yang menyelubungi sebuah perhiasan indah. Ketika hal ini terjadi, rasanya seakan ada sesuatu yang mulai menyanyi di dalam diri Sonja. Dan momen-momen itu hanya menjadi miliknya sendiri.

Sonja tidak marah kepada Ove ketika mereka makan malam untuk kali pertama, ketika Ove mengaku telah berbohong soal wajib militernya. Tentu saja, Sonja marah terhadapnya pada banyak sekali kesempatan setelah itu, tapi bukan pada malam itu.

Konon, lelaki terbaik lahir dari kesalahan mereka sendiri, dan mereka sering kali menjadi lebih baik setelahnya, melebihi apa yang bisa mereka capai seandainya tidak pernah melakukan kesalahan, kata Sonja lembut.

Siapa yang bilang begitu? tanya Ove sambil memandang tiga set peralatan makan di depannya, di meja, seakan dia sedang memandang kotak yang baru saja dibuka dan seseorang berkata, Pilih senjatamu.

Shakespeare, jawab Sonja. Baguskah dia? tanya Ove.

Dia luar biasa. Sonja mengangguk seraya tersenyum. Aku belum pernah membaca buku mengenainya, gumam Ove sambil memandang taplak.

Buku karyanya, kata Sonja membetulkan, sambil memegangi tangan Ove dengan penuh kasih.



Selama hampir empat dekade mereka bersama-sama, Sonja telah mengajar ratusan murid yang mengalami kesulitan belajar membaca dan menulis, dan dia menyuruh mereka membaca kumpulan karya Shakespeare. Dalam periode waktu yang sama itu, dia tidak pernah berhasil membuat Ove membaca satu pun drama Shakespeare.

Namun begitu mereka pindah ke rumah bandar, Ove menghabiskan waktu setiap malam, selama beberapa pekan, di dalam gudang perkakas. Dan selanjutnya, rak buku terindah yang pernah dilihat Sonja pun berdiri di ruang duduk mereka.

Kau harus menyimpan buku-buku itu di suatu tempat, gumam Ove sambil menyodok luka kecil di jempolnya dengan ujung obeng.

Lalu Sonja melangkah ke dalam pelukannya, berkata bahwa dia mencintainya.

Dan Ove mengangguk.

Sonja hanya pernah bertanya satu kali mengenai bekasbekas luka bakar di kedua lengan Ove.

Dan, dari sedikit kata yang terucap, ketika dengan enggan Ove mengungkapkan apa yang terjadi, Sonja harus menyatukan semua kepingan mengenai bagaimana Ove kehilangan rumah orangtuanya. Pada akhirnya, dia tahu bagaimana Ove mendapat bekas-bekas luka itu. Dan ketika salah seorang teman perempuannya bertanya mengapa dia mencintai Ove, Sonja menjawab bahwa sebagian besar lelaki kabur dari kobaran api. Namun lelaki seperti Ove berlari menyongsongnya.



Jumlah pertemuan Ove dengan ayah Sonja bisa dihitung dengan jari tangan. Lelaki tua itu tinggal jauh di utara, jauh di dalam hutan, rasanya seakan dia telah mempelajari peta semua pusat populasi di negerinya, sebelum menyimpulkan bahwa lokasi rumahnya berada sejauh mungkin dari tempat tinggal orang lain.

Ibu Sonja meninggal sewaktu melahirkan. Ayah Sonja tidak pernah menikah lagi.

Aku punya istri. Saat ini, dia hanya sedang tidak di rumah, semprotnya pada beberapa kesempatan, ketika ada yang berani bertanya.

Sonja pindah ke kota setempat ketika mulai belajar untuk ujian SMA semuanya mata pelajaran humaniora di sebuah sekolah. Ayahnya memandangnya dengan kemarahan luar biasa ketika Sonja menyarankan agar ayahnya ikut pindah bersamanya. Bisa apa aku di sana? Bertemu orang? geram lelaki itu. Dia selalu mengucapkan kata orang seakan sedang menyumpah. Jadi, Sonja tidak mengusik ayahnya lagi. Selain kunjungan akhir pekan Sonja dan perjalanan bulanan dengan truk ke toko bahan makanan di desa terdekat, ayah Sonja hanya ditemani Ernest.

Ernest adalah kucing peternakan terbesar di dunia. Semasa kecil, Sonja benar-benar menganggapnya kuda poni. Hewan itu datang dan pergi sesukanya, tapi tidak tinggal di rumah ayah Sonja. Sesungguhnya, tidak ada yang tahu di mana dia tinggal. Sonja menamakannya Ernest seperti Ernest Hemingway. Ayah Sonja tidak pernah memedulikan buku, tapi ketika putrinya duduk membaca surat kabar saat



berusia lima tahun, dia tidak sebegitu tololnya hingga tidak berbuat apa-apa.

Anak perempuan tidak boleh membaca sampah seperti itu: dia akan gila, katanya sambil mendorong putrinya menuju meja perpustakaan di desa. Pustakawan tua itu tidak begitu memahami maksud ayah Sonja dengan perkataan itu, tapi kecerdasan luar biasa Sonja tidak diragukan lagi.

Perjalanan bulanan ke toko bahan makanan menjadi lebih panjang dengan perjalanan bulanan ke perpustakaan. Itu diputuskan bersama-sama oleh pustakawan dan ayah Sonja tanpa perlu membahasnya lebih lanjut. Ketika menginjak usia dua belas, Sonja telah membaca semua buku di perpustakaan itu setidaknya dua kali. Buku-buku yang disukainya, seperti The Old Man and the Sea, dibacanya sebegitu sering hingga tak terhitung lagi.

Jadi, Ernest akhirnya dinamakan Ernest. Dan dia bukan kepunyaan siapa pun. Ernest tidak bicara, tapi suka pergi memancing bersama ayah Sonja yang menghargai sifat-sifat hewan itu. Sesampainya di rumah, mereka selalu berbagi hasil tangkapan dengan adil.

Kali pertama Sonja membawa Ove ke rumah kayu tua di hutan itu, Ove dan ayah Sonja duduk berhadapan dalam keheningan yang kaku, menunduk, menatap makanan mereka selama hampir satu jam, sementara Sonja berupaya memunculkan semacam bentuk percakapan yang beradab. Kedua lelaki itu tidak begitu paham apa yang sedang mereka lakukan di sana, terlepas dari fakta bahwa ini penting bagi satu-satunya perempuan yang mereka sayangi. Mereka berdua



telah memprotes seluruh rencana pertemuan itu dengan gigih dan lantang, tapi dengan sia-sia.

Ayah Sonja cenderung berpandangan negatif sejak awal. Yang diketahuinya mengenai bocah laki-laki ini adalah asalnya dari kota dan, menurut Sonja, tidak begitu menyukai kucing. Sejauh menyangkut kepentingannya, dua karakteristik ini memberinya cukup alasan untuk menganggap Ove tidak bisa diandalkan.

Sementara, Ove sendiri merasa seakan sedang menghadapi wawancara kerja, padahal dia tidak pernah begitu pintar dalam hal semacam itu. Jadi ketika Sonja tidak bicara, dan sesungguhnya itulah yang terjadi hampir sepanjang waktu, muncul semacam keheningan yang hanya bisa terjadi di antara lelaki-yang-tidak-ingin-kehilangan-anak-perempuannya dan lelaki-yang-belum-paham-sepenuhnya-dirinya-telah-dipilihuntuk-membawa-pergi-anak-perempuan-itu.

Akhirnya, Sonja menendang tulang kering Ove, menyuruh nya bicara. Ove mendongak dari piring dan melihat kedutan-kedutan marah di sudut mata Sonja. Dia berdeham dan memandang ke sekeliling dengan semacam keputusasaan, mencari sesuatu yang bisa ditanyakan kepada lelaki tua itu. Inilah yang telah dipelajari Ove: jika seseorang tidak punya sesuatu untuk dikatakan, dia harus mencari sesuatu untuk ditanyakan. Jika ada satu hal yang membuat orang lupa membenci orang lain, itu adalah ketika mereka diberi kesempatan untuk bicara mengenai diri mereka sendiri.

Akhirnya, pandangan Ove jatuh pada truk yang terlihat dari jendela dapur lelaki tua itu.



Itu L10, kan? tanyanya sambil menunjuk dengan garpu. Yep, jawab lelaki tua itu sambil menunduk memandangi piringnya.

Kini Saab yang membuatnya, kata Ove sambil mengangguk singkat.

Scania! teriak lelaki tua itu sambil memelototi Ove. Lalu sekali lagi, ruangan itu diliputi oleh keheningan yang hanya bisa muncul di antara kekasih seorang perempuan dan ayah perempuan itu.

Ove menunduk memandangi piringnya dengan muram. Sonja menendang tulang kering ayahnya. Ayahnya memandangnya dengan berang. Hingga dia melihat kedutankedutan di sekeliling mata Sonja. Dia tidak sebegitu tololnya hingga belum belajar untuk menghindari apa yang cenderung akan terjadi. Jadi, dia berdeham marah dan mengaduk-aduk makanannya.

Hanya karena seorang lelaki bersetelan di Saab melambai-lambaikan dompet dan membeli pabriknya, truk itu tidak berhenti menjadi Scania, gerutu ayah Sonja dengan suara rendah dan sedikit menuduh, lalu dia memindahkan tulang keringnya agak jauh dari sepatu putrinya.

Ayah Sonja selalu menyetir truk Scania. Dia tidak bisa mengerti mengapa orang mau memiliki mobil lain. Lalu, setelah bertahun-tahun menjadi pelanggan setia, Scania bergabung dengan Saab. Itu pengkhianatan yang tidak akan pernah dimaafk annya.



Sebaliknya, Ove, yang telah menjadi sangat tertarik dengan Scania ketika mereka bergabung dengan Saab, memandang serius ke luar jendela sambil mengunyah kentang. Truk itu masih baik jalannya? tanyanya.

Tidak, gumam lelaki tua itu dengan jengkel, lalu kembali memandang piringnya. Tak satu pun truk model itu yang baik jalannya. Tak satu pun dibuat dengan benar. Mekaniknya meminta bayaran tinggi untuk membetulkan apa saja, imbuhnya, seakan dia sesungguhnya sedang memberikan penjelasan kepada seseorang yang duduk di bawah meja.

Aku bisa memeriksanya, jika kau tidak keberatan, kata Ove, yang mendadak tampak antusias.

Sejauh ingatan Sonja, itu kali pertama Ove benar-benar terdengar antusias mengenai sesuatu.

Sejenak kedua lelaki itu saling berpandangan. Lalu ayah Sonja mengangguk. Dan Ove membalasnya dengan anggukan singkat. Setelah itu mereka bangkit berdiri dengan yakin dan pasti, seperti sikap dua lelaki yang baru saja setuju untuk pergi membunuh lelaki ketiga. Beberapa menit kemudian, ayah Sonja kembali ke dapur, bertumpu pada tongkatnya, lalu menjatuhkan tubuh ke kursi dengan gumaman tidak puas yang kronis. Dia duduk di sana selama beberapa saat sambil mengisi pipa tembakaunya dengan cermat, lalu akhirnya mengangguk menunjuk panci dan berhasil mengatakan: Enak.

Terima kasih, Dad. Sonja tersenyum.

Kau yang memasaknya. Bukan aku, kata ayahnya.



Terima kasih itu bukan untuk makanannya, jawab Sonja seraya membawa pergi piring-piring, mencium kening ayahnya dengan lembut, dan pada saat bersamaan, melihat Ove menunduk di atas kap truk di pekarangan.

Ayahnya diam saja, hanya berdiri sambil mendengus singkat dan mengambil koran dari meja dapur. Namun di tengah perjalanan menuju kursi berlengan di ruang duduk, dia berhenti dan duduk di sana dengan sedikit bimbang, sambil bertumpu pada tongkatnya.

Dia suka memancing? gumamnya pada akhirnya, tanpa memandang Sonja.

Kurasa tidak, jawab Sonja.

Ayahnya mengangguk singkat. Berdiri diam untuk waktu lama.

Kalau begitu, dia harus belajar memancing, gumamnya pada akhirnya, sebelum meletakkan pipa di bibir dan menghilang ke ruang duduk.

Sonja tidak pernah mendengar ayahnya memberikan pujian yang lebih tinggi dibanding itu kepada siapa pun.[]



17

Lelaki Bernama Ove dan Kucing Menjengkelkan di Dalam

Tumpukan Salju

APA DIA MATI? TANYA PARVANEH ketakutan, sambil berjalan secepat yang dimungkinkan oleh perut hamilnya, lalu berdiri di sana, menunduk menatap lubang itu.

Aku bukan dokter hewan, jawab Ove bukan dengan cara yang tidak ramah. Dia sekadar menyampaikan informasi.

Ove tidak mengerti dari mana perempuan ini muncul terus-menerus sepanjang waktu. Tak bisa lagikah seorang lelaki berdiri diam dan tenang di samping lubang berbentuk kucing pada tumpukan salju di kebunnya sendiri?

Kau harus mengeluarkannya! teriak Parvaneh sambil menampar bahu Ove dengan sarung tangan.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ove tampak tidak senang dan memasukkan tangan lebih jauh ke saku jaket. Dia masih mengalami sedikit kesulitan bernapas.

Sama sekali tidak perlu, katanya.



Astaga, ada apa denganmu?

Aku tidak begitu cocok dengan kucing, jawab Ove sambil menjejakkan tumit di salju.

Namun tatapan Parvaneh ketika perempuan itu berbalik, membuatnya bergerak sedikit lebih menjauh.

Mungkin dia sedang tidur, kata Ove sambil mengintip ke dalam lubang. Lalu mengimbuhkan: Bagaimanapun, dia akan keluar ketika saljunya meleleh.

Ketika sarung tangan itu melayang menamparnya lagi, Ove menegaskan kepada dirinya sendiri bahwa menjaga jarak aman adalah gagasan yang sangat masuk akal.

Namun hal berikutnya yang diketahui Ove, Parvaneh telah memasuki tumpukan salju. Beberapa detik kemudian perempuan itu muncul sambil menggendong makhluk mungil membeku dengan sepasang lengan kurusnya. Kucing itu mirip empat es loli yang dibalut serampangan dengan syal compang-camping.

Buka pintunya! teriak Parvaneh, yang kini benar-benar kehilangan ketenangan.

Ove menekankan sol sepatunya ke dalam salju. Jelas, dia tidak memulai hari ini dengan niat membiarkan perempuan atau kucing memasuki rumahnya; dia ingin membuat hal ini sangat jelas bagi Parvaneh. Namun perempuan itu berjalan langsung ke arahnya dengan hewan dalam gendongan dan kebulatan tekad dalam langkahnya. Hanya masalah kecepatan reaksi Ove saja yang menentukan apakah Parvaneh berjalan menabraknya atau melewatinya.



Ove tidak pernah menghadapi perempuan yang lebih parah ketika menyangkut mendengarkan apa yang dikatakan orang beradab kepadanya. Dia merasa kehabisan napas lagi. Dia memerangi dorongan untuk mencengkeram dadanya.

Parvaneh maju terus. Ove minggir. Parvaneh berjalan melewatinya.

Buntalan kecil berhias tetesan air beku di gendongannya jelas mendatangkan aliran kenangan di kepala Ove, sebelum dia sempat menghentikannya; kenangan mengenai Ernest. Ernest tua tolol, yang sangat dicintai Sonja hingga kau bisa melambungkan koin lima krona di hati perempuan itu setiap kali dia melihat Ernest.

AYO, BUKA PINTUNYA! teriak Parvaneh sambil menengok ke belakang, memandang Ove sebegitu cepatnya, hingga muncul bahaya lecutan rambut.

Ove mengeluarkan kunci dari saku. Seakan orang lain telah menguasai lengannya. Dia kesulitan menerima apa yang sesungguhnya sedang dilakukannya. Sebagian dari dirinya berteriak TIDAK di dalam kepalanya, sedangkan seluruh tubuhnya disibukkan oleh semacam pemberontakan remaja.

Ambilkan aku selimut! perintah Parvaneh sambil berlari melintasi ambang pintu dengan masih memakai sepatu.

Ove berdiri di sana selama beberapa saat, memulihkan napas, sebelum berjalan mengejar perempuan itu.

Sialan dinginnya di sini. Naikkan suhu radiator! Parvaneh melontarkan kata-kata itu, seakan ini adalah sesuatu yang sudah jelas. Dia memberi isyarat kepada Ove dengan tidak sabar sambil meletakkan si kucing di sofa.



Suhu radiator tidak akan dinaikkan di sini, kata Ove tegas.

Dia menempatkan diri di ambang pintu ruang duduk, dan bertanya-tanya, apakah Parvaneh akan mencoba menamparnya lagi dengan sarung tangan, jika dia meminta perempuan itu untuk setidaknya meletakkan koran di bawah si kucing. Ketika Parvaneh berpaling memandangnya lagi, Ove memutuskan untuk membiarkannya saja. Dia tidak tahu apakah dirinya pernah melihat perempuan semarah itu.

Ada selimut di lantai atas, kata Ove pada akhirnya, sambil menghindari pandangan Parvaneh, secara mendadak merasa sangat tertarik dengan lampu di lorong. Kalau begitu ambilkan!

Ove tampak seakan sedang mengulangi kata-kata Parvaneh untuk dirinya sendiri, walaupun di dalam hati dan dengan nada sok angkuh; tapi dia melepas sepatu dan melintasi ruang duduk, sambil menjaga jarak secara cermat dari jangkauan pukulan sarung tangan perempuan itu.

Sepanjang perjalanan menaiki dan menuruni tangga, Ove bergumam sendiri mengapa begitu sulitnya mendapatkan ketenangan dan kedamaian di jalanan ini. Di lantai atas, dia berhenti dan menghela napas panjang beberapa kali. Rasa nyeri di dadanya sudah menghilang. Jantungnya berdetak normal kembali. Sesekali hal ini terjadi, dan Ove tidak lagi mengkhawatirkannya. Serangan itu selalu berakhir. Dan dia tidak akan memerlukan jantung itu untuk waktu yang jauh lebih lama, jadi itu tidak penting lagi.



Ove mendengar suara-suara dari ruang duduk. Dia nyaris tidak bisa memercayai pendengarannya. Mengingat bagaimana mereka terus-menerus mencegahnya dari kematian, jelas tetangga-tetangganya ini tidak merasa canggung juga ketika menyangkut tindakan yang mendorong seseorang hingga mendekati kegilaan dan bunuh diri. Itu sudah pasti.

Ketika Ove kembali menuruni tangga, membawa selimut, pemuda kelebihan bobot dari rumah sebelah sedang berdiri di tengah ruang duduk, memandang si kucing dan Parvaneh dengan penasaran.

Hei, Pak! sapanya riang sambil melambaikan tangan kepada Ove.

Pemuda itu hanya mengenakan baju kaus, walaupun di luar penuh salju.

Oke, jawab Ove, yang diam-diam merasa takjub karena kau bisa pergi ke lantai atas sejenak dan, ketika turun kembali, tampaknya kau telah mulai menjalankan sebuah losmen.

Aku mendengar seseorang berteriak, hanya ingin mengecek apa semuanya baik-baik saja di sini, kata pemuda itu riang, sambil mengangkat bahu sehingga kelebihan lemak di punggungnya melipat-lipat baju kaus yang dikenakannya menjadi kerutan-kerutan mendalam.

Parvaneh merampas selimut di tangan Ove, mulai membalutkannya pada si kucing.

Kau tidak akan pernah bisa membuatnya hangat dengan cara seperti itu, ujar pemuda itu ramah.

Jangan ikut campur, kata Ove yang walaupun mungkin tidak ahli dalam mencairkan kucing sama sekali



tidak menyukai orang yang berjalan memasuki rumahnya dan mengeluarkan perintah mengenai bagaimana segalanya harus dilakukan.

Diamlah, Ove! kata Parvaneh sambil berpaling kepada pemuda itu dengan pandangan memohon. Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Dia sedingin es! Jangan menyuruhku menutup mulut, gumam Ove. Dia akan mati, kata Parvaneh.

Mati apanya? Dia hanya sedikit kedinginan & , sela Ove, dalam upaya baru untuk kembali meraih kendali atas situasi itu.

Si Hamil meletakkan telunjuk di bibir dan menyuruhnya diam. Ove tampak luar biasa jengkel dengan perlakuan ini sehingga tubuhnya seakan hendak berputar-putar dipicu kemarahan.

Ketika Parvaneh mengangkatnya, si kucing mulai berubah warna dari ungu menjadi putih. Ove tampak sedikit kurang yakin ketika melihat hal ini. Dia memandang Parvaneh. Lalu, dengan enggan, dia melangkah mundur dan memberi jalan. Pemuda kelebihan bobot melepas baju kaus. Tapi, apa & hubungannya dengan & apa yang kau LAKUKAN? tanya Ove tergagap.

Matanya beralih dari Parvaneh di samping sofa, yang sedang menggendong kucing meleleh dengan air menetes ke lantai, menuju pemuda yang berdiri bertelanjang dada di tengah ruang duduk dengan lemak bergetar di dada hingga ke lutut. Seakan dia adalah sekantong besar es krim yang pernah meleleh lalu dibekukan kembali.



Berikan si kucing kepadaku, kata pemuda itu dengan tak acuh, sambil mengulurkan sepasang lengan setebal dahan pohon ke arah Parvaneh.

Setelah diserahkan oleh Parvaneh, pemuda itu menyelubungi si kucing dalam pelukan raksasanya, menekankan hewan itu di dada seakan sedang berupaya membuat lumpia kucing raksasa.

Omong-omong, namaku Jimmy, katanya kepada Parvaneh sambil tersenyum.

Aku Parvaneh, kata Parvaneh. Nama yang indah, kata Jimmy.

Terima kasih! Artinya kupu-kupu . Parvaneh tersenyum.

Kau akan membuat si kucing tercekik, kata Ove. Oh, sudahlah, Ove, kata Jimmy.

Kurasa si kucing lebih suka mati beku dengan cara bermartabat dibanding mati tercekik, kata Ove kepada Jimmy, sambil mengangguk pada bola bulu yang meneteskan air dalam pelukan pemuda itu.

Jimmy mengubah wajah ramahnya menjadi seringai lebar. Tenanglah sedikit, Ove. Kau bisa bilang apa saja sesukamu mengenai orang gemuk, tapi kami luar biasa hebat dalam menciptakan sedikit panas!

Dengan cemas, Parvaneh mengintip ke balik lengan atas bergelambir itu, lalu dengan lembut meletakkan telapak tangannya di hidung si kucing. Lalu wajahnya berubah ceria.



Dia semakin hangat, teriaknya sambil berpaling kepada Ove dengan penuh kemenangan.

Ove mengangguk. Dia hendak mengucapkan sesuatu yang kasar kepada Parvaneh tapi kini, dengan resah, mendapati dirinya merasa lega mendengar kabar itu. Dia mengalihkan emosi dengan memeriksa remote control TV secara saksama.

Dia tidak benar-benar mengkhawatirkan si kucing, tapi Sonja pasti akan merasa senang. Itu saja.

Aku akan memanaskan sedikit air, kata Parvaneh, lalu dengan satu gerakan cepat melewati Ove dan mendadak berdiri di dapur, membuka lemari-lemari dapur.

Apa-apaan ini, gumam Ove sambil melepaskan remote control dan bergegas menyusul.

Ketika Ove tiba di dapur, Parvaneh sedang berdiri tak bergerak, sedikit kebingungan di tengah lantai dengan membawa ketel listrik. Dia tampak sedikit tertegun, seakan baru saja menyadari yang terjadi.

Ini kali pertama Ove melihat perempuan itu kehabisan kata-kata. Dapur itu telah dibersihkan dan dirapikan, tapi berdebu.

Dapur itu beraroma kopi seduhan. Ada debu di celahcelahnya, dan di mana-mana terdapat barang milik istri Ove. Benda-benda dekoratif mungil di jendela, jepit rambut yang tertinggal di meja dapur, tulisan tangan di kertas-kertas Post- It di pintu kulkas.

Dapur itu dipenuhi bekas-bekas roda halus. Seakan seseorang telah mondar-mandir ribuan kali dengan mengendarai sepeda.



Kompor dan meja dapurnya jauh lebih rendah dibanding biasanya. Seakan dapur itu dibangun untuk anak kecil. Parvaneh menatap kesemuanya itu, sama seperti yang dilakukan orang ketika kali pertama melihatnya.

Ove sudah terbiasa. Dia sendiri yang membangun kembali dapurnya setelah kecelakaan itu. Tentu saja, dewan kota menolak membantu.

Parvaneh tampak seakan, entah bagaimana, terpaku. Ove mengambil ketel listrik itu dari tangan terjulur Parvaneh tanpa memandang mata perempuan itu. Perlahanlahan dia mengisi ketel dengan air lalu menyalakannya. Aku tidak tahu, Ove, bisik Parvaneh menyesal. Ove membungkuk di atas bak cuci piring rendah dengan punggung menghadap perempuan itu. Parvaneh mendekat dan meletakkan ujung jemari tangannya dengan lembut di bahu Ove.

Maaf, Ove. Sungguh, seharusnya aku tidak memasuki dapurmu begitu saja tanpa bertanya terlebih dahulu.

Ove berdeham dan mengangguk tanpa berbalik. Dia tidak tahu seberapa lama mereka berdiri di sana. Parvaneh membiarkan tangan lembutnya berada di bahu Ove. Ove memutuskan untuk tidak menyingkirkannya. Suara Jimmy memecah keheningan.

Punya makanan? teriaknya dari ruang duduk. Ove menjauhkan bahunya dari tangan Parvaneh. Dia menggeleng-gelengkan kepala, mengusap wajah dengan



punggung tangan, lalu berjalan ke kulkas masih tanpa memandang Parvaneh.

Jimmy berdecak berterima kasih ketika Ove muncul dari dapur dan memberinya roti lapis sosis. Ove menempatkan diri beberapa meter jauhnya dan tampak sedikit muram.

Jadi, bagaimana dia? katanya sambil mengangguk singkat pada kucing di pelukan Jimmy.

Kini, air menetes deras ke lantai. Perlahan tapi pasti, hewan itu mulai memulihkan bentuk dan warnanya.

Tampak lebih baik, kan? Jimmy menyeringai sambil melahap roti lapis itu dengan sekali gigit.

Ove memandangnya dengan bimbang. Jimmy berkeringat seperti secuil daging babi yang ditinggalkan di atas ketel uap di tempat sauna. Ada sesuatu yang muram di matanya ketika dia membalas pandangan Ove.

Kau tahu & malang sekali istrimu, Ove. Aku selalu menyukai Sonja. Dia memasak hidangan terlezat di kota ini.

Ove memandang Jimmy dan, untuk kali pertama di sepanjang pagi, dia tidak tampak marah sedikit pun. Ya. Dia & pintar sekali memasak, katanya setuju. Ove berjalan ke jendela dan dengan punggung menghadap ruang duduk, menarik pegangan jendela seakan untuk memeriksanya. Dia menusuk-nusuk segel karetnya.

Parvaneh berdiri di ambang pintu dapur sambil membelitkan lengan di tubuh dan perutnya sendiri.



Dia bisa tinggal di sini hingga esnya mencair sepenuhnya, lalu kau harus membawanya pergi, kata Ove sambil mengedikkan bahu ke arah kucing itu.

Dari sudut mata, dia bisa melihat bagaimana Parvaneh memandangnya. Seakan perempuan itu sedang mencoba menebak kartu macam apa yang dimiliki Ove di seberang meja kasino. Ini membuat Ove tidak nyaman.

Kurasa aku tidak bisa, kata Parvaneh kemudian. Kedua putriku & alergi, imbuhnya.

Ove mendengar sedikit jeda sebelum perempuan itu mengucapkan alergi . Dia meneliti pantulan Parvaneh di jendela dengan curiga, tapi tidak menjawab. Dia malah berpaling kepada pemuda kelebihan bobot.

Kalau begitu, kaulah yang harus mengurusnya, katanya.

Jimmy, yang kini bukan hanya bermandikan keringat, tapi wajahnya juga berubah merah dan bebercak-bercak, menunduk memandang si kucing dengan penuh kasih. Perlahan-lahan hewan itu mulai menggerakkan ekor buntungnya dan membenamkan hidungnya yang berair semakin jauh ke dalam lipatan-lipatan besar lemak lengan atas Jimmy.

Jangan menganggap aku mengurus kucing sebagai gagasan hebat, maaf, Pak, kata Jimmy sambil menggerakgerakkan bahu hingga si kucing terjungkir-jungkir dan akhirnya terbalik. Jimmy menjulurkan kedua lengannya. Kulitnya memerah, seakan dia sedang terbakar. Aku juga sedikit alergi & .



Parvaneh menjerit singkat, berlari menghampiri Jimmy, menjauhkan si kucing darinya, lalu cepat-cepat menyelubungi hewan itu kembali dengan selimut.

Kita harus pergi ke rumah sakit! teriaknya. Aku dilarang memasuki rumah sakit, jawab Ove tanpa berpikir panjang.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika memandang ke arah Parvaneh dan melihat perempuan itu tampak siap melemparkan si kucing kepadanya, Ove kembali menunduk dan mengerang sedih. Aku hanya ingin mati, pikirnya sambil menekankan jari kaki ke salah satu papan lantai.

Papan itu sedikit meleyot. Ove mendongak memandang Jimmy. Lalu, memandang si kucing.

Mengamati lantai basah. Menggeleng-gelengkan kepala memandang Parvaneh.

Kalau begitu, kita harus memakai mobilku, gumam Ove.

Tapi, aku tidak akan menyetir mobilku ke sini karena itu dilara

Parvaneh menyelanya dengan beberapa kata bahasa Farsi yang tidak bisa dipahami Ove. Bagaimanapun, Ove menganggap kata-kata itu terlalu dramatis. Parvaneh membalut si kucing lebih rapat dalam selimut dan berjalan melewati Ove menuju salju.

Kau tahu, peraturan adalah peraturan, kata Ove garang ketika Parvaneh berjalan ke area parkir. Namun, perempuan itu tidak menjawab.



Ove berbalik dan menunjuk Jimmy.

Dan, pakai swetermu. Atau kau tidak akan pergi ke mana-mana dengan Saab. Sebaiknya kau jelas soal itu.

Parvaneh membayar ongkos pakir di rumah sakit. Ove tidak meributkannya.[]



18

Lelaki Bernama Ove dan Kucing

Bernama Ernest

OVE TIDAK MEMBENCI ERNEST. DIA hanya tidak begitu menyukai kucing secara umum. Dia selalu menganggap mereka tidak bisa dipercaya. Terutama jika, sebagaimana kasusnya dengan Ernest, tubuh mereka sebesar sepeda kumbang. Sesungguhnya cukup sulit untuk menentukan apakah Ernest hanya kucing yang luar biasa besar atau singa yang teramat sangat kecil. Dan kau seharusnya tidak pernah berteman dengan sesuatu yang mungkin ingin menyantapmu ketika kau sedang tidur.

Namun, Sonja mencintai Ernest sebegitu dalamnya, hingga Ove merahasiakan pengamatannya yang benarbenar masuk akal ini. Dia cukup bijak untuk tidak bicara jelek mengenai apa yang dicintai oleh Sonja. Lagi pula, dia sangat memahami bagaimana rasanya menerima cinta Sonja, ketika tak seorang pun lainnya mampu memahami mengapa dia patut mendapatkannya. Jadi, Ove dan Ernest belajar untuk



berteman cukup baik ketika mereka sedang mengunjungi pondokan di hutan itu, terlepas dari fakta bahwa Ernest pernah menggigit Ove ketika lelaki itu menduduki ekornya di atas salah satu kursi dapur. Atau, setidaknya, mereka belajar menjaga jarak. Persis seperti Ove dan ayah Sonja.

Walaupun Ove menganggap kucing menjengkelkan ini tidak berhak untuk duduk di salah satu kursi dan memanjangkan ekor ke kursi lain, dia membiarkannya saja. Demi Sonja.

Ove belajar memancing. Pada dua musim gugur setelah kunjungan pertama mereka, untuk kali pertama atap rumah itu tidak bocor. Dan mesin truk menyala setiap kali kuncinya diputar, bahkan tanpa meletup-letup. Tentu saja ayah Sonja tidak berterima kasih secara terbuka soal ini. Sebaliknya, dia tidak pernah lagi mengemukakan keberatannya karena Ove berasal dari kota . Dan ini, jika berasal dari ayah Sonja, bisa dibilang sama baiknya dengan bukti perasaan sayang.

Dua musim semi berlalu, juga dua musim panas. Dan pada tahun ketiga, pada suatu malam Juni yang sejuk, ayah Sonja meninggal. Ove belum pernah melihat seseorang menangis seperti Sonja pada saat itu. Beberapa hari pertama setelahnya, Sonja nyaris tidak turun dari tempat tidur. Ove, sebagai seseorang yang telah begitu sering menjumpai kematian dalam hidupnya, tidak terlalu terhubung dengan perasaannya mengenai kematian. Dia mengusir perasaan itu dengan kebingungan di dapur pondok di hutan itu. Pastor dari gereja desa datang dan menjelaskan detail-detail pemakaman.

Orang baik, kata pastor singkat sambil menunjuk salah satu foto Sonja dan ayahnya di dinding ruang duduk. Ove



mengangguk. Tidak tahu apa yang diharapkan darinya untuk dikatakan. Lalu, dia pergi keluar untuk melihat apakah ada sesuatu di truk yang perlu diotak-atik.

Pada hari keempat, Sonja turun dari ranjang. Dia mulai membersihkan pondok dengan energi gila-gilaan sedemikian rupa sehingga Ove menyingkir darinya dengan cara yang sama seperti orang bijak menghindari tornado yang mendekat. Dia berkeliaran di tanah pertanian, mencari hal-hal yang bisa dilakukan. Membangun kembali gudang kayu yang roboh dalam salah satu badai musim dingin. Pada hari-hari selanjutnya, dia mengisi gudang itu dengan kayu yang baru saja dipotong. Memangkas rumput. Menebang dahan-dahan yang menjorok dari hutan di sekeliling. Larut malam pada hari keenam, mereka menelepon dari toko bahan makanan.


Wiro Sableng 162 Badai Laut Utara The Chronicles Of Narnia 5 Kursi Perak Senja Di Himalaya Inheritance Of Lose

Cari Blog Ini