Ceritasilat Novel Online

A Man Called Ove 4

A Man Called Ove Karya Fredrik Backman Bagian 4



Tentu saja semua orang menyebutnya sebagai kecelakaan. Namun, tak seorang pun yang pernah berjumpa dengan Ernest percaya bahwa hewan itu berlari menyongsong sebuah mobil secara tidak disengaja. Kepedihan mengakibatkan hal-hal aneh pada makhluk hidup. Malam itu, Ove menyetir lebih cepat dibanding yang pernah dilakukannya di jalanan. Sonja memegangi kepala besar Ernest di sepanjang perjalanan. Kucing itu masih bernapas ketika mereka tiba di dokter hewan, tapi cederanya terlalu serius dan dia kehilangan darah terlalu banyak.

Setelah dua jam meringkuk di sisi Ernest, di kamar operasi, Sonja mencium kening lebar kucing itu dan berbisik, Selamat tinggal, Ernest tersayang. Lalu, seakan kata-kata yang keluar dari bibirnya berbalut pusaran awan: Dan selamat tinggal kepadamu, Ayahku Tercinta.



Kucing itu pun memejamkan mata dan mati. Ketika keluar dari ruang tunggu, Sonja menekankan keningnya di dada bidang Ove.

Aku merasakan kehilangan yang begitu besar, Ove. Begitu kehilangan, seakan jantungku berdetak di luar tubuh.

Mereka berdiri dalam keheningan untuk waktu lama sambil berpelukan. Dan akhirnya, Sonja mengangkat wajah, memandang lurus ke dalam mata Ove dengan sangat serius. Kini kau harus mencintaiku dua kali lipat, katanya. Lalu, Ove berbohong kepadanya untuk kedua dan kali terakhir: dia mengiyakan. Walaupun dia tahu, mustahil baginya mencintai Sonja melebihi apa yang telah dilakukannya.

Mereka menguburkan Ernest di samping danau, tempat Ove dulu biasa pergi memancing bersama ayah Sonja. Pastor ada di sana untuk membacakan berkatnya. Setelah itu, Ove memuati Saab dan mereka kembali berkendara melewati jalanan-jalanan kecil, dengan kepala Sonja bersandar di bahu Ove.

Di tengah perjalanan, Ove berhenti di kota kecil pertama yang mereka lewati. Sonja telah mengatur pertemuan dengan seseorang di sana. Ove tidak tahu siapa. Itu salah satu sifat yang paling dihargai Sonja dari Ove, begitulah yang sering dikatakan Sonja setelah peristiwa itu. Dia tidak mengenal orang lain yang bisa duduk di dalam mobil selama satu jam, menunggu, tanpa menuntut untuk tahu apa yang sedang ditunggunya atau berapa lama dia harus menunggu. Bukan berarti Ove tidak mengeluh karena mengeluh adalah satu hal yang sangat dikuasainya. Terutama jika dia yang harus



membayar ongkos parkir. Namun dia tidak pernah bertanya apa yang dilakukan Sonja. Dan dia selalu menunggu Sonja.

Lalu, ketika akhirnya Sonja keluar, kembali memasuki mobil, dan menutup pintu Saab perlahan-lahan karena tahu inilah yang diperlukan untuk menghindari lirikan pedih Ove yang seakan Sonja telah menendang makhluk hidup, dengan lembut Sonja meraih tangan Ove.

Kurasa kita perlu membeli rumah kita sendiri, katanya lembut.

Apa gunanya itu? tanya Ove.

Kurasa anak kita harus tumbuh besar di dalam sebuah rumah, jawab Sonja sambil menggerakkan tangan Ove dengan hati-hati ke perutnya.

Ove terdiam untuk waktu lama; bahkan berdasarkan standar Ove. Dia memandang perut Sonja dengan serius, seakan mengharapkan perut itu untuk mengibarkan semacam bendera. Lalu, dia menegakkan tubuh, memutar tombol pencari stasiun radio setengah putaran ke depan dan setengah putaran ke belakang. Membetulkan kaca-kaca spion samping. Dan mengangguk bijak.

Kalau begitu, kita harus membeli Saab estate. []



19

Lelaki Bernama Ove dan Kucing yang Datang Dalam Keadaan

Cedera

OVE MENGHABISKAN SEBAGIAN BESAR HARI kemarin dengan meneriaki Parvaneh bahwa kucing keparat ini harus melangkahi mayatnya jika ingin tinggal di rumahnya.

Kini di sinilah Ove berdiri, memandang si kucing. Dan si kucing balas memandangnya.

Dan Ove sama sekali belum mati. Semuanya ini luar biasa menjengkelkan.

Setengah lusin kali Ove terbangun pada malam hari, ketika si kucing, dengan sangat tidak sopannya, merangkak naik dan berbaring di sampingnya di ranjang. Dan sebanyak itu pula si kucing terbangun ketika Ove, dengan sangat kasar, mengusirnya ke lantai lagi.

Kini, ketika sudah pukul enam kurang seperempat dan Ove harus bangun, si kucing duduk di tengah lantai dapur. Hewan itu memperlihatkan ekspresi kesal, seakan Ove berutang uang kepadanya. Ove membalas tatapannya



dengan kecurigaan yang biasanya dicadangkan untuk kucing yang memencet bel pintu dengan membawa Alkitab, seperti seorang Saksi Yehovah.

Kurasa kau mengharapkan makanan, gumam Ove pada akhirnya.

Si kucing tidak menjawab. Dia hanya menggigiti petakpetak bulunya yang tersisa dan menjilati salah satu telapak kakinya dengan santai.

Tapi di rumah ini kau tidak boleh bermalas-malasan saja seperti semacam konsultan, dan mengharapkan burung pipit goreng terbang ke mulutmu.

Ove pergi ke bak cuci piring. Menyalakan mesin pembuat kopi. Menengok arloji. Memandang si kucing. Setelah meninggalkan rumah sakit, Parvaneh berhasil menghubungi seorang teman yang tampaknya dokter hewan. Dokter hewan itu datang memeriksa si kucing dan menyimpulkan adanya radang dingin serius dan malnutrisi parah . Lalu, dia memberi Ove daftar panjang instruksi mengenai apa yang harus disantap oleh si kucing dan perawatannya secara umum.

Aku tidak menjalankan perusahaan perbaikan kucing, jelas Ove kepada si kucing. Kau hanya ada di sini karena aku tidak bisa memberikan pengertian kepada perempuan hamil itu. Dia mengangguk ke seberang ruang duduk, ke arah jendela yang menghadap rumah Parvaneh.

Si kucing, yang menyibukkan diri dengan berupaya menjilati salah satu matanya, tidak menjawab.

Ove menjulurkan empat kaus kaki mungil ke arahnya. Dia mendapat kaus kaki itu dari dokter hewan. Tampaknya,



Kucing Menjengkelkan memerlukan olahraga melebihi segala hal lainnya, dan Ove bisa membantu mewujudkan itu. Semakin jauh cakar-cakar itu dari kertas pelapis dinding, akan semakin baik. Itulah pertimbangan Ove. Pakai ini, lalu kita bisa pergi. Aku terlambat! Si kucing bangkit berdiri perlahan-lahan, berjalan dengan langkah-langkah panjang dan canggung menuju pintu. Seakan sedang berjalan di atas karpet merah. Mulanya, dia memandang kaus kaki itu dengan bimbang, tapi tidak terlalu rewel ketika dengan agak kasar Ove memakaikan keempat kaus kaki itu. Ketika sudah selesai, Ove bangkit berdiri dan mengamati si kucing dari atas hingga bawah. Lalu menggeleng-gelengkan kepala. Kucing berkaus kaki itu sangat tidak alami. Si kucing, yang kini berdiri di sana mengamati pakaian barunya, mendadak tampak teramat senang dengan dirinya sendiri.

Ove menempuh putaran tambahan di ujung jalan setapak. Di luar rumah Anita dan Rune, dia memungut puntung rokok. Dia menggulirkan benda itu di antara jemari tangannya. Lelaki pengemudi Skoda dari dewan kota itu tampak menyetir di daerah ini seakan dialah pemiliknya. Ove menyumpah dan memasukkan puntung itu ke saku.

Setibanya di rumah, dengan enggan Ove memberi makan hewan malang itu, dan begitu selesai dia mengumumkan bahwa mereka harus menjalankan tugas. Mungkin Ove telah dipaksa tinggal bersama makhluk mungil ini untuk sementara waktu, tapi sungguh sialan jika dia membiarkan hewan liar itu sendirian di rumahnya. Jadi, si kucing harus ikut bersamanya.



Langsung muncul perselisihan antara Ove dan si kucing mengenai apakah hewan itu harus duduk di atas selembar surat kabar di kursi depan Saab. Mulanya, Ove mendudukkan si kucing di atas dua suplemen berita hiburan, tapi si kucing, yang merasa sangat tersinggung, menendang surat kabar itu ke lantai dengan kaki belakangnya. Dia membuat dirinya nyaman di atas jok empuk. Lalu, dengan tegas, Ove mengangkat si kucing dengan memegangi tengkuknya sehingga hewan itu mendesis kepadanya dengan cara yang tidak begitu pasifagresif. Sementara Ove menyorongkan tiga suplemen budaya dan tinjauan buku ke bawah tubuh si kucing. Si kucing memandangnya dengan marah. Ove meletakkan hewan itu, tapi anehnya si kucing tetap berada di atas surat kabar dan hanya memandang ke luar jendela dengan ekspresi muram dan terluka. Ove menyimpulkan, dirinya telah memenangi pertarungan. Dia mengangguk puas, memasukkan persneling Saab, dan menyetir ke jalan besar. Saat itulah, si kucing sengaja menyeret cakarnya perlahan-lahan dan menciptakan robekan panjang melintasi surat kabar, lalu meletakkan kedua kaki depannya di atas robekan itu. Pada saat bersamaan, dia memberi Ove pandangan yang sangat menantang, seakan bertanya: Lalu, kau mau apa?

Ove menginjak rem Saab sehingga si kucing, yang merasa terkejut, terlempar ke depan dan menumbukkan hidung pada dasbor. ITULAH yang hendak kukatakan! Ekspresi kemenangan Ove seakan berkata begitu. Setelah itu, si kucing menolak untuk memandang Ove di sepanjang perjalanan. Dia hanya duduk meringkuk di pojok kursi sambil menggosok hidung menggunakan salah satu kakinya dengan sangat



tersinggung. Sementara Ove berada di dalam toko bunga, si kucing melakukan jilatan-jilatan panjang dan basah melintasi setir, sabuk pengaman, dan bagian dalam pintu mobil Ove.

Ketika Ove kembali dengan bunga dan mendapati seluruh mobil dipenuhi ludah kucing, dia menggoyang-goyangkan telunjuk dengan cara mengancam, seakan telunjuknya adalah pedang melengkung. Lalu si kucing menggigit pedang itu. Ove menolak bicara kepadanya di sepanjang perjalanan.

Ketika mereka tiba di pekarangan gereja, Ove bermain aman dengan meremas sisa-sisa surat kabar menjadi bola, yang digunakannya untuk mendorong si kucing dengan kasar agar keluar dari mobil. Lalu dia mengambil bunga dari bagasi, mengunci Saab dengan kuncinya, berjalan mengitari mobil, dan mengecek setiap pintu. Bersama-sama mereka mendaki lereng beku berkerikil menuju belokan gereja dan mendesakkan langkah melintasi salju, sebelum mereka berhenti di dekat Sonja. Ove membersihkan sedikit salju dari batu nisan dengan punggung tangan dan sedikit mengguncang-guncang bunga itu.

Aku membawa bunga, gumamnya. Merah jambu. Kesukaanmu. Kata mereka, tanaman ini akan mati dalam udara beku, tapi mereka hanya bilang begitu untuk menipumu agar membeli tanaman yang lebih mahal.

Si kucing menjatuhkan pantat ke salju. Ove memandangnya dengan muram, lalu kembali memusatkan perhatian pada batu nisan.

Benar, benar & ini Kucing Menjengkelkan. Kini dia tinggal bersama kita. Nyaris mati beku di luar rumah kita.



Si kucing memandang Ove dengan tersinggung. Ove berdeham.

Dia tampak seperti itu ketika datang, jelasnya, mendadak nada pembelaan diri terdengar dalam suaranya. Lalu, sambil mengangguk pada si kucing dan batu nisan itu:

Jadi, bukan aku yang mencederainya. Dia sudah cedera, imbuhnya kepada Sonja.

Batu nisan dan si kucing menanti dalam keheningan di samping Ove. Sejenak, Ove menatap sepatunya. Menggeram. Berlutut di salju dan membersihkan sedikit salju lagi dari batu nisan. Dengan hati-hati, dia meletakkan tangannya di sana. Aku merindukanmu, bisiknya.

Sekilas, tampak kilau di sudut mata Ove. Dia merasakan sesuatu yang lembut di lengannya. Perlu beberapa detik sebelum dia menyadari si kucing sedang menyandarkan kepala dengan lembut di telapak tangannya.[]



20

Lelaki Bernama Ove dan Seorang

Pengganggu

SELAMA HAMPIR DUA PULUH MENIT, Ove duduk di kursi pengemudi Saab dengan pintu garasi terbuka. Selama lima menit pertama, si kucing menatapnya dengan tidak sabar dari kursi depan. Selama lima menit berikutnya, si kucing tampak sedikit cemas. Pada akhirnya, hewan itu mencoba membuka pintu sendiri. Ketika upaya ini gagal, dia langsung berbaring di kursi dan tidur.

Ove melirik hewan itu ketika dia berguling ke samping dan mulai mendengkur. Harus diakuinya, Kucing Menjengkelkan punya pendekatan yang sangat langsung terhadap pemecahan masalah.

Kembali Ove memandang area parkir di seberang garasi. Pasti dia pernah berdiri di sana bersama Rune ratusan kali. Mereka pernah berteman. Ove tidak bisa mengingat banyak orang dalam hidupnya yang bisa disebut teman. Ove dan istrinya adalah yang pertama pindah ke jalanan dengan



deretan rumah bandar ini, bertahun-tahun silam, ketika kompleks ini baru saja dibangun dan masih dikelilingi pepohonan. Pada hari yang sama itu, Rune dan istrinya pindah ke sana. Anita juga hamil dan, tentu saja, langsung bersahabat dengan istri Ove dengan cara yang hanya diketahui oleh kaum perempuan. Dan sama seperti semua perempuan yang bersahabat, mereka sama-sama punya gagasan bahwa Rune dan Ove harus bersahabat. Sebab mereka punya banyak minat yang sama . Ove tidak bisa memahami sepenuhnya apa maksud mereka dengan perkataan itu. Lagi pula, Rune mengendarai Volvo.

Terlepas dari itu, bisa dibilang tidak ada sesuatu pun yang tidak disukai Ove dari Rune. Rune punya pekerjaan layak dan tidak bicara lebih banyak dibandingkan yang diperlukan. Dia memang mengendarai Volvo. Namun seperti yang selalu ditekankan oleh istri Ove, ini tidak selalu membuat seseorang menjadi tidak bermoral. Jadi, Ove menoleransi Rune. Setelah beberapa saat, dia bahkan meminjaminya perkakas.

Dan pada suatu sore, ketika sedang berdiri di area parkir dengan jempol diselipkan ke balik ikat pinggang, mereka terlibat dalam percakapan mengenai harga mesin pemotong rumput. Ketika berpisah, mereka berjabat tangan. Seakan keputusan bersama untuk berteman adalah persetujuan bisnis.

Ketika belakangan kedua lelaki itu menyadari bahwa segala macam orang pindah ke area itu, mereka duduk di dapur Ove dan Sonja untuk berunding. Ketika muncul dari sana, mereka telah menetapkan kerangka peraturan bersama, rambu-rambu yang menjelaskan yang sesuatu diizinkan atau



tidak, dan kelompok pembina yang baru saja disusun untuk Asosiasi Warga. Ove menjadi ketua; Rune menjadi wakil ketua.

Dalam bulan-bulan berikutnya, mereka pergi ke tempat pembuangan sampah bersama-sama. Mengomeli orang yang memarkir mobil secara keliru. Menawar harga cat dan pipa saluran pembuangan di toko bangunan, berdiri mengapit lelaki dari perusahaan telepon yang datang untuk memasang telepon dan kabel penghubung, dengan ketus menunjukkan di mana dan bagaimana dia bisa melakukan hal itu dengan sebaik mungkin. Bukan berarti mereka sama-sama berpengalaman dalam mengawasi pemuda sok tahu seperti ini agar tidak menipu mereka. Jadi, begitulah.

Terkadang kedua pasangan suami-istri itu makan malam bersama. Sejauh yang bisa dilakukan, ketika Ove dan Rune hanya berdiri saja di area parkir sepanjang malam, menendang ban mobil mereka dan membandingkan kapasitas beban, radius putaran, dan hal-hal penting lainnya. Jadi, begitulah.

Perut Sonja dan Anita semakin membesar dan, menurut Rune, membuat otak Anita sedikit terganggu . Tampaknya, begitu kehamilan Anita menginjak tiga bulan, Rune harus mencari teko kopi di dalam kulkas hampir setiap hari. Sonja, seakan tidak mau kalah. Dia bisa meledakkan kemarahan lebih cepat dibandingkan terbukanya pintu bar dalam fi lm John Wayne sehingga membuat Ove merasa enggan membuka mulut. Ini, tentu saja, semakin menimbulkan kejengkelan. Ketika tidak sedang bermandikan keringat, Sonja kedinginan. Dan begitu Ove merasa lelah berdebat dengannya, setuju untuk sedikit menaikkan suhu semua radiator, Sonja mulai berkeringat lagi, dan Ove harus lari berkeliling untuk



menurunkan kembali suhu semua radiator. Sonja juga makan pisang dalam jumlah sedemikian rupa sehingga orang di pasar swalayan pasti mengira Ove sudah membuka kebun binatang.

Hormon-hormon sedang berperang, kata Rune sambil mengangguk bijak, pada salah satu malam ketika dia dan Ove duduk di ruang terbuka, di belakang rumah. Sementara kedua perempuan itu tetap berada di dapur Ove, membicarakan apa pun yang dibicarakan oleh kaum perempuan.

Rune bercerita bahwa kemarin dia mendapati Anita sedang menangis habis-habisan di samping radio, hanya karena lagunya bagus .

Lagunya & bagus? tanya Ove kebingungan. Lagunya bagus, jawab Rune.

Kedua lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala, samasama tidak percaya dan menatap ke dalam kegelapan. Duduk dalam keheningan.

Rumputnya perlu dipangkas, kata Rune, pada akhirnya. Aku membeli pisau-pisau baru untuk mesin pemotong rumput. Ove mengangguk.

Berapa harga pisau-pisau itu? Maka, persahabatan mereka berlanjut.

Pada malam hari, Sonja memutar musik untuk perutnya karena katanya itu membuat janin bergerak. Biasanya, ketika Sonja sedang melakukan hal itu, Ove hanya duduk saja di kursi berlengan di sisi lain ruangan dan berpura-pura menonton televisi. Di pikiran terdalamnya, Ove mengkhawatirkan apa



yang akan terjadi begitu janin itu akhirnya memutuskan untuk keluar. Bagaimana jika, misalnya, anak itu tidak menyukainya karena Ove tidak begitu menyukai musik?

Bukan berarti Ove takut memiliki anak. Dia hanya tidak tahu bagaimana cara mempersiapkan diri menjadi ayah. Dia telah meminta semacam manual, tapi Sonja hanya menertawakannya. Ove tidak mengerti mengapa. Ada manual untuk segala hal lainnya.

Ove bimbang apakah dia bisa menjadi ayah yang baik. Dia sangat tidak menyukai anak kecil. Dia sendiri bahkan tidak pernah menjadi anak kecil yang baik. Menurut Sonja, Ove harus membicarakan hal itu dengan Rune karena mereka berada dalam situasi yang sama . Ove tidak begitu memahami maksud Sonja dengan perkataan itu.

Rune tidak akan menjadi ayah dari anak Ove, tapi menjadi ayah dari anak yang benar-benar berbeda. Setidaknya, Rune menyetujui Ove, sehubungan dengan tidak banyaknya hal yang harus didiskusikan, dan ini hebat. Jadi, ketika Anita mampir pada malam hari dan duduk di dapur bersama Sonja, membicarakan rasa sakit dan rasa nyeri dan hal-hal semacam itu, Ove dan Rune pamit karena punya banyak hal yang harus dibicarakan, lalu pergi ke gudang Ove dan hanya berdiri saja di sana dalam keheningan, sambil memunguti pernikpernik di bangku kerja Ove.

Ketika berdiri berdampingan di sana dengan pintu tertutup pada malam ketiga, tanpa tahu apa yang seharusnya mereka lakukan, mereka setuju untuk menyibukkan diri dengan sesuatu hal sebelum, seperti kata Rune, tetangga


tetangga baru itu mulai berpikir ada semacam kegiatan ilegal sedang berlangsung di sini .

Ove setuju bahwa dia sebaiknya mematuhi saja perkataan Rune. Jadi, begitulah. Mereka tidak banyak bicara ketika sedang bekerja, tapi saling membantu dengan gambar, pengukuran sudut, dan memastikan pojok-pojoknya lurus dan dibuat dengan benar. Dan, larut malam pada suatu hari, ketika kehamilan Anita dan Sonja menginjak usia empat bulan, dua ranjang bayi biru muda terpasang dalam kamar bayi yang telah disiapkan di rumah bandar mereka.

Kita bisa mengampelasnya dan mengecat-ulang dengan warna dadu jika bayinya perempuan, gumam Ove ketika menunjukkan ranjang bayi itu kepada Sonja. Sonja memeluknya, dan Ove merasakan lehernya basah kuyup oleh air mata Sonja. Hormon-hormon yang benar-benar tidak rasional.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ingin kau melamarku menjadi istrimu, bisik Sonja. Jadi, begitulah. Mereka menikah di Catatan Sipil dengan sangat sederhana. Mereka sama-sama tidak punya keluarga, jadi hanya Rune dan Anita yang datang. Sonja dan Ove memasang cincin kawin, kemudian mereka berempat pergi ke restoran. Ove yang membayar, tapi Rune membantu mengecek tagihan untuk memastikan hitungannya benar .

Tentu saja tidak. Jadi, setelah berunding dengan pramusaji selama kira-kira satu jam, kedua lelaki itu berhasil meyakinkan pramusaji untuk memangkas tagihan hingga setengahnya, atau mereka akan melaporkannya . Jelas, sedikit kabur siapa tepatnya yang akan melaporkan siapa dan untuk apa. Namun



akhirnya, dengan sejumlah sumpah serapah dan lambaian tangan, pramusaji menyerah, pergi ke dapur dan menulis tagihan baru untuk mereka. Sementara itu, Rune dan Ove mengangguk muram satu sama lain tanpa memperhatikan bahwa istri mereka, seperti biasa, telah pulang dengan taksi dua puluh menit yang lalu.

Ove mengangguk sendiri ketika duduk di sana, di dalam Saab, dan memandang pintu garasi Rune. Dia tidak bisa mengingat kapan kali terakhir melihat pintu itu terbuka. Dia mematikan lampu depan Saab, menepuk si kucing untuk membangunkannya, lalu keluar.

Ove? tanya sebuah suara asing mencurigakan.

Mendadak seorang perempuan tak dikenal jelas pemilik suara asing itu melongokkan kepala ke dalam garasi. Dia berusia kira-kira empat puluh lima tahun, mengenakan celana jins belel dan jaket penahan angin hijau yang tampak kebesaran untuknya. Dia tidak mengenakan rias wajah dan rambutnya dikucir ekor kuda. Dia berjalan memasuki garasi Ove dan memandang ke sekeliling dengan tertarik. Si kucing melangkah maju dan mendesis mengancam. Perempuan itu berhenti. Ove memasukkan tangan ke saku.

Ove? tanya perempuan itu lagi, dengan gaya sok akrab seperti orang yang hendak menjual sesuatu, walaupun berpura-pura bahwa itu hal terakhir yang ada dalam pikiran mereka.

Aku tidak ingin apa-apa, kata Ove sambil mengangguk ke arah pintu garasi isyarat yang jelas bahwa perempuan itu tidak perlu repot-repot mencari pintu lain, tidak apa


apa jika dia berjalan keluar dengan cara yang sama seperti kedatangannya.

Perempuan itu tampak sama sekali tak terpengaruh. Namaku Lena. Aku jurnalis surat kabar lokal dan, ya & , katanya memulai, lalu mengulurkan tangan.

Ove memandang tangan itu. Lalu, memandang perempuan itu. Aku tidak ingin apa-apa, katanya lagi. Apa?

Kurasa kau menawariku untuk berlangganan surat kabar. Tapi, aku tidak mau.

Perempuan itu tampak kebingungan. Benar & yah, sesungguhnya & aku tidak menjual surat kabar. Aku menulis untuk surat kabar. Aku jurnalis, ulangnya perlahan-lahan, seakan ada sesuatu yang keliru dengan Ove.

Aku masih tidak mau apa pun, ulang Ove sambil mengusirnya keluar dari pintu garasi.

Tapi, aku ingin bicara denganmu, Ove! protes perempuan itu, dan dia mulai mencoba mendesakkan diri ke dalam lagi.

Ove melambai-lambaikan tangan kepadanya, seakan mencoba menakut-nakutinya dengan mengguncang-guncang karpet yang tak terlihat di depannya.

Kemarin kau menyelamatkan nyawa seseorang di stasiun kereta api! Aku ingin mewawancaraimu soal itu, teriak perempuan itu bersemangat.

Jelas, dia hendak mengucapkan sesuatu yang lain, ketika melihat bahwa Ove tidak memperhatikannya lagi. Pandangan



Ove jatuh pada sesuatu di belakang perempuan itu. Lalu, matanya menyipit.

Dasar keparat, gumamnya.

Ya & aku ingin bertanya kep kata perempuan itu memulai dengan serius, tapi Ove sudah berjalan melewatinya dan mulai berlari menuju Skoda putih yang muncul di samping area parkir dan mulai melaju menuju rumah-rumah.

Perempuan berkacamata itu terkejut ketika Ove menerjang dan menggedor-gedor jendela mobil. Demikian kagetnya sehingga dia melemparkan arsip dokumen-dokumen ke mukanya sendiri. Sebaliknya, lelaki berkemeja putih tetap bergeming. Dia membuka kaca jendela.

Ya? tanyanya.

Lalu lintas kendaraan dilarang di area permukiman, desis Ove sambil menunjuk rumah-rumah satu per satu, Skoda, lelaki berkemeja putih, dan area parkir. Di Asosiasi Warga ini, kami parkir di area parkir! Lelaki berkemeja putih memandang rumah-rumah itu, memandang area parkir, lalu memandang Ove. Aku mendapat izin dari dewan kota untuk menyetir ke rumahrumah itu. Jadi, aku harus memintamu untuk minggir.

Ove begitu berang oleh jawaban ini sehingga perlu waktu berdetik-detik hanya untuk menyusun beberapa kata makian saja sebagai jawaban. Sementara itu, lelaki berkemeja putih telah mengambil pak rokok dari dasbor, yang lalu diketukketukkannya di celana panjangnya.

Maukah kau menyingkir? tanyanya kepada Ove.



Apa yang kau lakukan di sini? tanya Ove. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, jawab lelaki berkemeja putih dengan suara datar, seakan dia adalah pesan suara yang dihasilkan komputer untuk memberi tahu bahwa Ove sudah ditempatkan dalam antrean telepon.

Dia mengeluarkan rokok dan menyelipkannya ke bibir, lalu menyalakannya. Ove tersengal-sengal hebat hingga dadanya naik turun di balik jaket. Perempuan itu mengumpulkan semua dokumen dan arsip, lalu membetulkan letak kacamatanya. Lelaki itu hanya mendesah, seakan Ove adalah anak nakal yang menolak untuk berhenti mengendarai skateboard di trotoar.

Kau tahu apa yang sedang kulakukan di sini. Kami akan membawa Rune, di rumah di pojok sana, ke panti perawatan.

Lelaki itu mengeluarkan lengan lewat jendela dan menjentikkan abu rokok pada kaca spion samping Skoda. Membawanya ke panti perawatan?

Ya, jawab lelaki itu sambil mengangguk tak peduli. Dan, jika Anita tidak menginginkan itu? desis Ove sambil mengetuk-ngetukkan telunjuk ke atap mobil.

Lelaki berkemeja putih memandang perempuan di kursi depan dan tersenyum pasrah. Lalu, dia berpaling kepada Ove lagi dan bicara dengan sangat perlahan-lahan. Seolah-olah, jika tidak begitu, Ove mungkin tidak memahami kata-katanya.

Bukan Anita yang membuat keputusan itu, tapi tim investigasi.



Napas Ove menjadi semakin tersengal-sengal. Dia bisa merasakan denyut jantungnya di leher. Kau tidak boleh membawa mobil ke dalam area ini, katanya dengan gigi gemertak.

Tangan Ove terkepal. Nada suaranya tajam dan mengancam, tapi lawannya tampak cukup tenang. Lelaki berkemeja putih mematikan rokoknya pada pintu mobil, lalu menjatuhkannya ke tanah.

Seakan semua yang dikatakan Ove tidak lebih dari sekadar ocehan tidak jelas dari lelaki tua pikun.

Dan apa tepatnya yang akan kau lakukan untuk menghentikanku, Ove? tanya lelaki itu, pada akhirnya.

Cara lelaki itu mengucapkan namanya membuat Ove tampak seakan seseorang baru saja menyodokkan martil ke perutnya. Dia menatap lelaki berkemeja putih, mulutnya sedikit ternganga, dan matanya bergerak mondar-mandir mengamati mobil itu.

Bagaimana kau bisa tahu namaku? Aku tahu banyak mengenaimu.

Ove nyaris tidak sempat menarik kaki dari depan ban mobil, ketika Skoda itu kembali bergerak dan melaju menuju rumah-rumah. Ove berdiri di sana dengan terkejut, menatap kepergian mereka.

Siapa itu? tanya perempuan berjaket penahan-angin di belakangnya.

Ove berbalik.

Bagaimana kau bisa tahu namaku? desaknya ingin tahu.



Perempuan itu mundur satu langkah. Menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajah tanpa mengalihkan mata dari tangan terkepal Ove.

Aku bekerja untuk surat kabar lokal & kami mewawancarai orang-orang di peron mengenai bagaimana kau menyelamatkan lelaki itu & .

Bagaimana kau bisa tahu namaku? tanya Ove lagi, suaranya bergetar oleh kemarahan.

Kau menggunakan kartu ketika membayar tiket kereta api. Aku memeriksa kuitansi-kuitansi di kasir, jawabnya sambil mundur beberapa langkah lagi.

Dan lelaki itu!!! Bagaimana DIA bisa tahu namaku? bentak Ove sambil melambai-lambaikan tangan ke arah kepergian Skoda itu, dengan pembuluh-pembuluh darah di kening bertonjolan.

Aku & tidak tahu, jawab perempuan itu. Ove bernapas tersengal-sengal lewat hidung dan menusuk perempuan itu dengan pandangannya. Seakan berupaya melihat apakah dia berbohong.

Aku sama sekali tidak tahu, aku tidak pernah melihat lelaki itu sebelumnya, kata perempuan itu.

Ove menghunjamkan matanya semakin dalam. Akhirnya, dia mengangguk muram kepada dirinya sendiri. Lalu dia berbalik dan berjalan menuju rumahnya. Perempuan itu memanggilnya, tapi dia tidak bereaksi. Si kucing mengikuti Ove ke dalam lorong. Ove menutup pintu. Agak jauh di jalanan itu, lelaki berkemeja putih dan perempuan berkacamata memencet bel pintu rumah Anita dan Rune.



Ove menjatuhkan tubuh ke atas dingklik di lorong. Tubuhnya gemetar oleh perasaan terhina.

Dia telah nyaris melupakan perasaan itu. Rasa terhina itu. Ketidakberdayaan itu. Kesadaran bahwa orang tidak bisa melawan kaum lelaki berkemeja putih.

Dan kini, mereka kembali. Mereka belum pernah kemari sejak dirinya dan Sonja kembali dari Spanyol. Setelah kecelakaan itu.[]



21

Lelaki Bernama Ove dan Negeri- Negeri yang Memainkan Musik Asing

di Restoran

TENTU SAJA TUR DENGAN BUS adalah gagasan Sonja. Ove tidak bisa melihat apa gunanya. Jika mereka harus pergi ke suatu tempat, mengapa tidak mengendarai Saab saja? Namun, Sonja bersikeras bahwa bus itu romantis , dan Ove telah belajar bahwa hal semacam itu teramat penting. Jadi, begitulah pada akhirnya. Walaupun semua orang di Spanyol seakan menganggap diri mereka, entah bagaimana, istimewa, karena mereka berkeliaran sambil menguap, minum-minum, memainkan musik asing di restoran, dan pergi tidur di tengah hari.

Ove berupaya keras untuk tidak menyukai semuanya itu. Namun, Sonja begitu menikmatinya sehingga pada akhirnya, Ove juga terpengaruh. Sonja tertawa begitu keras ketika Ove memeluknya sehingga Ove merasakan tawa itu menjalari seluruh tubuhnya. Bahkan, Ove pun mau tak mau menyukainya.



Mereka menginap di sebuah hotel kecil dengan kolam renang kecil dan restoran kecil yang dikelola oleh seorang lelaki yang namanya, sejauh pemahaman Ove, adalah Hosay. Ejaannya Jos , tapi tampaknya orang tidak begitu mementingkan pelafalan di Spanyol. Schosse tidak bisa bicara bahasa Swedia, tapi tetap saja sangat tertarik untuk bicara. Sonja punya buku kecil sebagai rujukan sehingga dia bisa mengucapkan hal-hal semacam matahari terbenam dan ham dalam bahasa Spanyol. Ove merasa bahwa ham tetap saja pantat babi walaupun kau mengucapkannya dengan cara lain, tapi dia tidak pernah mengucapkan hal ini.

Sebaliknya, dia mencoba memberi tahu Sonja agar tidak memberikan uang kepada pengemis-pengemis di jalanan karena mereka hanya akan membeli minuman keras dengan uang itu. Namun Sonja tetap saja berbuat begitu.

Mereka bisa melakukan apa yang mereka sukai dengan uang itu, katanya.

Ketika Ove memprotes, Sonja hanya tersenyum, meraih tangan besar Ove, dan menciumnya sambil menjelaskan, ketika seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain, bukan hanya si penerima yang diberkati, tapi juga pemberinya.

Pada hari ketiga, Sonja pergi tidur di tengah hari. Itulah yang dilakukan orang di Spanyol, katanya, dan orang harus melakukan adat lokal suatu tempat . Ove curiga bahwa ini tidak begitu berhubungan dengan adat, tapi lebih merupakan pilihan Sonja sendiri, dan ini alasan yang sangat cocok bagi Sonja. Dari waktu dua puluh empat jam, dia sudah tidur selama enam belas jam sejak hamil.



Ove menyibukkan diri dengan pergi berjalan-jalan. Dia menempuh jalan yang melewati hotel menuju desa. Dia mengamati bahwa semua rumah terbuat dari batu. Dan, banyak yang tampaknya tidak memiliki ambang pintu di bawah pintu depannya, juga tidak tampak segel karet jendela yang layak. Ove menganggap ini sedikit barbar. Orang tidak boleh membangun rumah-rumah sialan seperti ini.

Dia sedang dalam perjalanan kembali ke hotel, ketika melihat Schosse membungkuk di atas sebuah mobil cokelat yang berasap di pinggir jalan. Di dalam mobil itu, terdapat dua anak kecil dan seorang perempuan tua renta dengan kepala berbalut syal. Tampaknya perempuan itu kurang sehat.

Schosse melihat Ove dan melambai-lambaikan tangan dengan gelisah, dengan sesuatu yang menyerupai kepanikan di matanya. Sennjaur, teriaknya kepada Ove, seperti yang dilakukannya setiap kali dia mengajak Ove bicara semenjak kedatangan mereka. Ove berasumsi bahwa itu berarti Ove dalam bahasa Spanyol, tapi dia belum mengecek kamus Sonja dengan sangat cermat. Schosse menunjuk mobil itu dan kembali menggerak-gerakkan tangan dengan panik. Ove memasukkan tangan ke saku celana panjang dan berhenti pada jarak aman, dengan pandangan waspada di wajahnya.

Hospital! teriak Schosse lagi sambil menunjuk perempuan tua di dalam mobil. Sesungguhnya, perempuan itu tampak kurang sehat, pikir Ove menegaskan sekali lagi. Schosse menunjuk perempuan itu dan menunjuk mesin berasap di bawah kap mobil, sambil mengulangi dengan putus asa, Hospital! Hospital! Ove menilai pemandangan



itu dan akhirnya menyimpulkan bahwa mobil buatan Spanyol yang berasap ini pasti dikenal sebagai hospital .

Dia membungkuk di atas mesin dan memandangnya. Tidak tampak terlalu rumit, pikirnya.

Hospital, kata Schosse lagi sambil mengangguk beberapa kali dan tampak sangat khawatir.

Ove tidak tahu jawaban apa yang diharapkan darinya; jelas seluruh persoalan merek mobil ini dianggap cukup penting di Spanyol, dan jelas Ove bisa berempati dengan hal itu.

Karena itulah, dia berkata Saaaab, sambil menunjuk dadanya sendiri secara demonstratif.

Sejenak Schosse menatapnya dengan kebingungan. Lalu, dia menunjuk dirinya sendiri.

Schosse!

Aku tidak menanyakan nama sialanmu, aku hanya mengata kata Ove, tapi dia terdiam ketika mendapat tatapan sebening danau di pedalaman dari seberang kap mobil.

Jelas pemahaman bahasa Swedia Schosse ini bahkan lebih buruk dibanding bahasa Spanyol Ove. Ove mendesah dan memandang kedua anak kecil di kursi belakang mobil dengan sedikit khawatir. Mereka memegangi tangan perempuan tua itu dan tampak sangat ketakutan. Kembali Ove menunduk memandang mesin mobil itu.

Lalu, dia menggulung lengan kemeja dan mengisyaratkan Schosse untuk minggir. Dalam waktu sepuluh menit, mereka sudah kembali berada di jalanan, dan Ove belum pernah



melihat orang yang selega itu ketika mobil mereka selesai diperbaiki.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebanyak apa pun Sonja membolak-balik kamus kecilnya, dia tidak bisa memahami alasan persisnya mengapa mereka tidak menerima tagihan untuk makanan apa pun yang mereka santap di restoran Jos pada minggu itu. Namun, dia tertawa terbahak-bahak setiap kali lelaki Spanyol kecil pemilik restoran itu berseri-seri seperti matahari saat melihat Ove, mengulurkan kedua lengannya dan berteriak: Seor Saab!!!

Tidur siang harian Sonja dan acara jalan-jalan Ove menjadi semacam ritual. Pada hari kedua, Ove berjalan melewati seorang lelaki yang sedang memasang pagar, dan berhenti untuk menjelaskan bahwa jelas ini cara yang keliru dalam melakukannya. Lelaki itu tidak bisa memahami sepatah kata pun yang diucapkan Ove, jadi pada akhirnya Ove memutuskan bahwa akan lebih cepat jika dia menunjukkan caranya. Pada hari ketiga, dia membangun dinding luar baru untuk bangunan gereja, dengan bantuan pastor desa. Pada hari keempat, dia pergi bersama Schosse ke sebuah ladang di luar desa. Di sana, dia membantu salah seorang teman Schosse, menarik seekor kuda yang terperangkap dalam parit berlumpur.

Bertahun-tahun setelah itu, terpikir oleh Sonja untuk bertanya kepada Ove mengenai kesemuanya itu. Ketika pada akhirnya Ove menceritakannya, Sonja menggeleng-gelengkan kepala kuat-kuat untuk waktu yang lama. Jadi, ketika aku sedang tidur, kau menyelinap keluar dan menolong orangorang yang memerlukan bantuan & dan memperbaiki pagar mereka? Orang bisa mengatakan apa pun yang mereka sukai



mengenaimu, Ove. Tapi, kau adalah pahlawan teraneh yang pernah kudengar.

Di dalam bus, dalam perjalanan pulang dari Spanyol, Sonja meletakkan kepala Ove di perutnya dan Ove merasakan anak itu menendang dengan lembut, seakan seseorang menusuk telapak tangannya yang berbalut sarung tangan oven sangat tebal. Mereka duduk di sana selama beberapa jam, merasakan tendangan-tendangan kecil itu. Ove tidak mengatakan apa pun, tapi Sonja melihatnya mengusap mata dengan punggung tangan ketika bangkit berdiri dan menggumamkan sesuatu mengenai perlu ke toilet . Itu pekan terbahagia dalam hidup Ove.

Itu ditakdirkan untuk diikuti dengan peristiwa paling menyedihkan.[]



22

Lelaki Bernama Ove dan Seseorang

di Dalam Garasi

OVE DAN SI KUCING DUDUK dalam keheningan di dalam Saab, di luar rumah sakit.

Berhentilah memandangku seakan ini kesalahanku, katanya kepada si kucing.

Si kucing membalas pandangan Ove seolah dia bukan marah, melainkan kecewa.

Bukan rencana Ove untuk duduk di luar rumah sakit ini lagi. Lagi pula, dia benci rumah sakit, tapi kini telah berada di tempat sialan ini tiga kali dalam waktu kurang dari sepekan. Ini tidak benar dan tidak layak. Namun, tidak ada pilihan lain yang tersedia untuknya.

Sebab, hari ini sudah kacau-balau sejak awal. Kekacauan itu dimulai dengan Ove dan si kucing, pada saat inspeksi harian mereka, ketika mereka mendapati bahwa plang yang melarang lalu lintas kendaraan di dalam area permukiman telah digilas mobil. Ini membangkitkan sumpah



serapah begitu dahsyatnya dari Ove, hingga si kucing tampak merasa sangat malu. Ove berjalan dengan penuh kemarahan, dan muncul beberapa saat kemudian dengan membawa sekop saljunya. Lalu, dia berhenti berjalan, memandang ke arah rumah Anita dan Rune dengan rahang dikatupkan demikian erat hingga menciptakan suara berderit.

Si kucing menatapnya dengan pandangan menuduh. Bukan salahku jika tua bangka itu berubah menjadi tua, katanya dengan lebih tegas.

Ketika si kucing seakan tidak menganggap ini sebagai penjelasan yang bisa diterima dengan cara apa pun, Ove menudingnya dengan sekop salju.

Kau pikir ini kali pertama aku bertengkar dengan dewan kota? Keputusan mengenai Rune, kau pikir mereka benar-benar telah tiba pada kesimpulan yang sesungguhnya mengenai hal itu? TIDAK PERNAH! Keputusan itu akan melalui proses banding, lalu mereka akan mengulur-ulur dan melewatkannya ke dalam proses birokrasi payah mereka! Kau mengerti? Kau pikir itu akan terjadi dengan cepat, tapi sesungguhnya perlu waktu berbulan-bulan! Bertahun-tahun! Kau pikir aku akan tetap berada di sini hanya karena si tua bangka itu menjadi benar-benar tidak berdaya? Si kucing tidak menjawab.

Kau tidak mengerti! Paham? Ove mendesis dan berbalik. Dia merasakan si kucing menatap punggungnya ketika dia berjalan masuk.



Itu bukan alasan mengapa Ove dan si kucing duduk di dalam Saab, di area parkir, di luar rumah sakit. Namun itu memang berhubungan cukup langsung dengan Ove yang berdiri di sana sambil menyekop salju, ketika perempuan jurnalis berjaket hijau yang sedikit kebesaran itu muncul di luar rumahnya.

Ove? tanyanya di belakang Ove, seakan merasa khawatir Ove telah mengganti identitas semenjak kali terakhir dia kemari untuk mengganggunya.

Ove terus menyekop tanpa menghiraukan kehadiran perempuan itu dengan cara apa pun.

Aku hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan & , kata perempuan itu.

Tanyakan di tempat lain. Aku tidak ingin ditanyai di sini, jawab Ove sambil menyerakkan salju ke sekelilingnya sedemikian rupa sehingga sulit untuk diketahui apakah dia sedang menyekop atau menggali.

Tapi, aku hanya ingin me kata perempuan itu, tapi dia disela oleh Ove dan si kucing yang masuk ke rumah dan membanting pintu di depan wajahnya.

Ove dan si kucing berjongkok di lorong dan menunggu perempuan itu pergi, tapi perempuan itu tidak pergi. Dia mulai menggedor-gedor pintu dan berteriak: Tapi kau pahlawan!!!

Perempuan itu jelas gila, kata Ove kepada si kucing. Si kucing tidak membantah.

Ketika perempuan itu terus menggedor dan berteriak semakin keras, Ove tidak tahu harus berbuat apa, jadi



dia membuka pintu dan meletakkan telunjuk di bibir, membungkam perempuan itu. Seakan pada momen berikutnya, Ove akan mengatakan bahwa sesungguhnya tempat ini adalah perpustakaan.

Perempuan itu berupaya menyeringai kepada Ove, melambai-lambaikan sesuatu yang secara naluriah dianggap Ove sebagai semacam kamera. Atau sesuatu yang lain. Tidak begitu mudah lagi untuk mengetahui seperti apa penampilan kamera dalam masyarakat sialan ini.

Lalu, perempuan itu berupaya melangkah ke dalam lorong. Mungkin seharusnya dia tidak melakukan hal itu.

Ove mengangkat sebelah tangan besarnya dan secara refl eks mendorong perempuan itu kembali melewati ambang pintu sehingga nyaris terjerembap ke salju.

Aku tidak ingin apa-apa, kata Ove.

Perempuan itu memulihkan keseimbangan dan melambailambaikan kamera pada Ove sambil meneriakkan sesuatu. Ove tidak mendengarkan. Dia memandang kamera itu seakan memandang senjata, lalu memutuskan kabur. Jelas orang ini tidak masuk akal.

Jadi, si kucing dan Ove melangkah keluar dari pintu, mengunci pintu, lalu berjalan secepat mungkin menuju area parkir. Perempuan jurnalis itu berlari-lari kecil di belakang mereka.

Agar benar-benar jelas, tidak ada bagian dari peristiwa ini yang berhubungan dengan alasan mengapa Ove kini duduk di luar rumah sakit. Namun, lima belas menit kemudian, ketika



Parvaneh berdiri sambil mengetuk pintu rumah Ove dan menggandeng putrinya yang berusia tiga tahun, dan ketika tak seorang pun membuka pintu, lalu dia mendengar suarasuara dari area parkir, ini bisa bilang sangat berhubungan dengan mengapa Ove duduk di luar rumah sakit.

Parvaneh dan anak itu berbelok ke area parkir dan melihat Ove berdiri di luar pintu garasi tertutupnya dengan tangan dimasukkan ke saku dengan kesal. Si kucing duduk di kakinya dan tampak bersalah.

Kau sedang apa? tanya Parvaneh.

Tidak sedang apa-apa, jawab Ove membela diri. Terdengar suara ketukan dari balik pintu garasi. Apa itu? tanya Parvaneh sambil menatap pintu garasi dengan terkejut.

Mendadak, Ove tampak teramat sangat tertarik dengan bagian aspal tertentu di bawah salah satu sepatunya. Si kucing tampak seakan hendak mulai bersiul dan mencoba berjalan pergi.

Kembali terdengar ketukan dari balik pintu garasi. Halo? tanya Parvaneh.

Halo? jawab pintu garasi itu. Mata Parvaneh terbelalak.

Astaga & apakah kau mengunci seseorang di dalam garasi, Ove!? Ove tidak menjawab. Parvaneh mengguncangguncangnya seakan sedang berupaya menjatuhkan beberapa butir kelapa.

OVE!



Ya, ya. Tapi aku tidak melakukannya dengan sengaja, demi Tuhan, gumam Ove sambil melepaskan diri dari cengkeraman Parvaneh.

Parvaneh menggeleng-gelengkan kepala. Tidak dengan sengaja?

Ya, tidak dengan sengaja, jawab Ove, seakan ini seharusnya mengakhiri diskusi itu.

Ketika melihat bahwa Parvaneh jelas mengharapkan semacam penjelasan, dia menggaruk-garuk kepala dan mendesah.

Dia. Yah. Dia salah seorang jurnalis. Sialan, bukan aku yang mengurungnya di dalam sana. Aku hendak mengurung diriku sendiri dan si kucing di dalam sana, tapi kemudian dia mengikuti kami. Dan, kau tahulah. Segalanya berjalan dengan sendirinya.

Parvaneh mulai memijat-mijat pelipis. Aku tidak bisa menangani hal& .

Nakal, kata si gadis tiga tahun sambil menggoyanggoyang telunjuk di depan Ove.

Halo? tanya pintu garasi.

Tidak ada orang di sini! desis Ove menjawab. Tapi aku bisa mendengarmu! kata pintu garasi. Ove mendesah dan memandang Parvaneh dengan putus asa. Seakan dia hendak berteriak: Kau dengar itu? Bahkan pintu garasi pun mengajakku bicara belakangan ini.

Parvaneh mengisyaratkan Ove untuk minggir, berjalan ke pintu, mencondongkan wajah ke dekat pintu, dan mengetuk



dengan bimbang. Pintu itu balas mengetuk. Seakan berharap bisa berkomunikasi lewat kode Morse untuk selanjutnya. Parvaneh berdeham.

Mengapa kau ingin bicara dengan Ove? tanyanya, memilih untuk mengandalkan abjad biasa.

Dia pahlawan!

Apa?

Oke, maaf. Jadi, namaku Lena; aku bekerja untuk surat kabar lokal dan ingin mewawanca

Parvaneh memandang Ove dengan terkejut. Apa maksudnya dengan pahlawan?

Dia hanya mengoceh! protes Ove.

Dia menyelamatkan nyawa seorang lelaki yang terjatuh di rel! teriak pintu garasi.

Kau yakin menemukan Ove yang benar? tanya Parvaneh.

Ove tampak tersinggung. Aku mengerti. Jadi, kini mustahil aku bisa menjadi pahlawan, bukan? gumamnya.

Parvaneh memandangnya dengan curiga. Si gadis tiga tahun berupaya menangkap apa yang tersisa dari ekor si kucing, sambil berteriak Kitt y! Kitt y tidak tampak begitu terkesan dan mencoba bersembunyi di balik kaki Ove.

Apa yang telah kau lakukan, Ove? tanya Parvaneh dengan suara rendah penuh rahasia, sambil mundur dua langkah dari pintu garasi.



Si gadis tiga tahun mengejar si kucing di kaki Ove. Ove berupaya memikirkan apa yang harus dilakukan dengan tangannya.

Ah, jadi aku mengangkat seorang lelaki bersetelan dari rel. Sial. Itu bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan, gumamnya.

Parvaneh mencoba mempertahankan wajah serius. Atau ditertawakan, sungguh, kata Ove masam. Maaf, kata Parvaneh.

Pintu garasi meneriakkan sesuatu yang kedengarannya seperti: Halo? Kalian masih di sana?

Tidak! teriak Ove.

Mengapa kau semarah itu? tanya pintu garasi. Ove mulai tampak bimbang. Dia mencondongkan tubuh ke arah Parvaneh.

Aku & tidak tahu cara mengusir perempuan itu, katanya. Dan, jika Parvaneh tidak lebih bijak, dia mungkin akan menyimpulkan adanya semacam permohonan di mata Ove. Aku tidak ingin dia berada di dalam sana sendirian bersama Saab! bisik Ove muram.

Parvaneh mengangguk, menegaskan aspek-aspek tidak menguntungkan dari situasi ini. Ove menurunkan sebelah tangan lelahnya untuk menjadi penengah antara si gadis tiga tahun dan si kucing, sebelum situasi di sekitar sepatunya menjadi tak terkendali. Si gadis tiga tahun tampak siap memeluk si kucing. Si kucing seakan siap memilih gadis kecil



itu dalam jajaran tersangka di kantor polisi. Ove berhasil menangkap si gadis tiga tahun, yang tertawa terbahak-bahak.

Mengapa pula kau berada di sini? desak Ove ingin tahu, ketika mengembalikan gadis kecil itu kepada Parvaneh seperti menyerahkan sekarung kentang.

Kami akan naik bus ke rumah sakit untuk menjemput Patrick dan Jimmy, jawab Parvaneh.

Dia melihat betapa bagian wajah Ove di atas tulang pipinya berkedut ketika dia menyebut bus .

Kami & , kata Parvaneh memulai, seakan mengucapkan awal dari sebuah gagasan.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia memandang pintu garasi, lalu memandang Ove. Aku tidak bisa mendengar apa yang kau katakan! Bicaralah lebih keras! teriak pintu garasi.

Ove langsung mundur dua langkah dari sana. Parvaneh langsung tersenyum penuh rahasia kepadanya. Seakan dia baru saja menemukan jawaban teka-teki silang.

Hey, Ove! Begini saja: jika kau memberi kami tumpangan ke rumah sakit, aku akan membantumu menyingkirkan jurnalis ini! Oke?

Ove mendongak. Dia sama sekali tidak tampak yakin. Parvaneh mengangkat kedua lengannya.

Atau, akan kukatakan kepada jurnalis itu bahwa aku bisa menyampaikan satu atau dua cerita mengenaimu, Ove, katanya sambil mengangkat alis.

Cerita? Cerita apa? teriak pintu garasi, yang mulai menggedor-gedor dengan bersemangat.



Ove memandang pintu garasi dengan muram. Ini pemerasan, katanya putus asa kepada Parvaneh. Parvaneh mengangguk ceria.

Ove nyerang badot! kata si gadis tiga tahun sambil mulai mengangguk-angguk pada si kucing. Jelas, karena dia merasa keengganan Ove terhadap rumah sakit perlu dijelaskan lebih lanjut kepada siapa pun yang tidak berada di sana ketika kali terakhir mereka pergi ke sana.

Si kucing seakan tidak tahu apa arti perkataan ini. Namun, jika badut itu sama menjengkelkannya dengan gadis tiga tahun ini, si kucing tidak memiliki pandangan yang seluruhnya negatif mengenai Ove memukul seseorang.

Jadi, inilah alasan mengapa kini Ove duduk di sini. Si kucing tampak memendam kekecewaan pribadi terhadap Ove, yang menyuruhnya duduk di kursi belakang sepanjang perjalanan bersama si gadis tiga tahun.

Ove membetulkan letak surat kabar di kursi-kursi. Dia merasa tertipu. Ketika Parvaneh mengatakan hendak menyingkirkan jurnalis itu, Ove tidak punya gagasan yang sangat jelas mengenai cara Parvaneh melakukannya. Jelas, dia tidak mengharapkan jurnalis itu untuk dilenyapkan dalam kepulan asap atau dipukul dengan sekop atau dikuburkan di padang gurun atau apa pun semacam itu.

Sesungguhnya Parvaneh hanya membuka pintu garasi, menyerahkan kartu namanya kepada jurnalis itu, dan berkata, Telepon aku dan kita akan bicara mengenai Ove. Apakah itu



benar-benar cara untuk menyingkirkan seseorang? Sejujurnya, Ove sama sekali tidak menganggap begitu.

Namun, kini tentu saja sudah terlambat. Kini, dasar keparat, dia duduk di sini, menunggu di luar rumah sakit untuk kali ketiga dalam waktu kurang dari sepekan. Ini pemerasan, sungguh.

Lebih jauh lagi, Ove harus puas mendapat tatapan marah dari si kucing. Sesuatu di mata hewan itu mengingatkannya pada cara Sonja dulu biasa memandangnya.

Mereka tidak akan datang untuk membawa Rune pergi. Mereka mengatakan hendak melakukan hal itu, tapi mereka akan sibuk dengan prosesnya selama bertahun-tahun, kata Ove pada si kucing.

Mungkin dia juga mengatakan hal yang sama kepada Sonja. Dan mungkin kepada dirinya sendiri. Dia tidak tahu.

Setidaknya, berhentilah mengasihani dirimu sendiri. Jika bukan karena aku, kau akan tinggal bersama anak itu, lalu tidak akan banyak lagi yang tersisa dari ekormu sekarang. Ingatlah itu! dengus Ove pada si kucing, dalam upaya untuk mengubah pokok pembicaraan.

Si kucing berguling menyamping, menjauhi Ove, dan pergi tidur untuk memprotes. Kembali Ove memandang ke luar jendela. Dia tahu sekali kalau si gadis tiga tahun sama sekali tidak alergi. Dia tahu sekali kalau Parvaneh berbohong kepadanya agar tidak perlu mengurus si kucing menjengkelkan.

Dia bukan semacam lelaki tua pikun sialan.[]



23

Lelaki Bernama Ove dan Bus yang

Tak Pernah Tiba di Tujuan

SETIAP MANUSIA HARUS TAHU APA yang diperjuangkannya. Tampaknya, itulah kata orang. Atau, setidaknya, itulah yang pernah dibacakan Sonja keras-keras dari salah satu bukunya. Ove tidak bisa mengingat yang mana; selalu ada begitu banyak buku di sekitar perempuan itu. Di Spanyol, Sonja membeli satu tas penuh buku, walaupun dia tidak bisa berbahasa Spanyol. Aku akan belajar sambil membaca, katanya. Seakan memang itulah cara melakukannya. Ove mengatakan bahwa dia sedikit lebih suka berpikir untuk dirinya sendiri, dibanding membaca yang ada di dalam benak banyak orang tolol lainnya. Sonja hanya tersenyum dan membelai pipi Ove.

Lalu, Ove mengangkut tas-tas Sonja yang besarnya tidak masuk akal itu ke dalam bus. Mencium bau anggur ketika melewati sopir bus, tapi menyimpulkan inilah cara mereka melakukan segalanya di Spanyol, dan membiarkannya saja. Duduk di sana, di kursi bus, ketika Sonja memindahkan



tangan Ove ke perutnya, dan saat itulah dia merasakan anaknya menendang, untuk kali pertama dan terakhir.

Ove bangkit berdiri untuk pergi ke toilet dan, ketika dia sudah setengah perjalanan menyusuri lorong, busnya tersentak maju, menyerempet pembatas tengah jalan, lalu muncul keheningan sesaat. Seakan waktu sedang menghela napas panjang. Lalu ledakan kaca pecah. Derit mengerikan logam yang terpelintir. Suara berdebum keras ketika mobilmobil di belakang sana menabrak bus.

Dan semua teriakan itu. Ove tidak akan pernah lupa. Ove terlempar-lempar dan hanya ingat jatuh tertelungkup. Dengan ketakutan, dia memandang ke sekeliling untuk mencari Sonja di antara kekacauan tubuh-tubuh manusia, tapi Sonja tidak ada. Dia menerjang ke depan, melukai dirinya sendiri di bawah hujan kaca dari langit-langit bus, tapi rasanya seakan ada hewan liar marah yang menahan dan memaksanya kembali ke lantai bus dengan perasaan terhina yang tak terjelaskan. Perasaan itu memburunya setiap malam di sepanjang hidupnya: ketidakberdayaan totalnya dalam situasi itu.

Ove duduk di samping ranjang Sonja setiap saat, selama pekan pertama. Hingga para perawat bersikeras agar dia mandi dan berganti pakaian. Di mana-mana, mereka memandang Ove dengan tatapan bersimpati dan mengungkapkan dukacita mereka. Dokter datang dan mengajak Ove bicara dengan suara klinis tak acuh mengenai perlunya menyiapkan diri menghadapi kemungkinan Sonja tidak akan terjaga lagi . Ove melemparkan dokter itu melewati pintu. Pintu yang ditutup dan dikuncinya.



Dia tidak mati, ocehnya di sepanjang koridor. Berhentilah bertingkah laku seakan dia sudah mati!

Tak seorang pun di rumah sakit berani melakukan kesalahan itu lagi.

Pada hari kesepuluh, ketika hujan menampar-nampar jendela dan radio membicarakan badai terburuk dalam beberapa dekade, Sonja membuka mata sedikit dengan susah payah, melihat Ove, lalu memasukkan tangan ke dalam genggaman Ove. Menyelubungi telunjuknya dengan telapak tangan Ove.

Lalu, Sonja tertidur dan terlelap sepanjang malam. Ketika terbangun kembali, para perawat menawarkan diri untuk memberi tahu Sonja, tapi dengan tegas Ove bersikeras agar dialah yang memberitahunya. Lalu, dia menceritakan segalanya dengan suara tenang sambil membelai tangan Sonja dalam genggamannya, seakan tangan itu sangat, sangat dingin. Dia bercerita mengenai sopir yang berbau anggur, bus yang berbelok menabrak pembatas jalan, dan tabrakan itu. Bau karet terbakar. Suara berdebum yang memekakkan telinga.

Dan, mengenai seorang anak yang kini tidak akan pernah lahir.

Dan Sonja menangis. Keputusasaan panjang yang tak terhiburkan, yang berteriak, merobek, dan mengoyakngoyak mereka berdua ketika jam-jam yang tak terhitung banyaknya itu berlalu. Waktu, kedukaan, dan kemarahan mengalir serempak dalam kegelapan pekat berkepanjangan. Saat itulah, Ove tahu bahwa dia tidak akan pernah memaafk an



dirinya sendiri karena bangkit berdiri dari kursi bus tepat pada momen itu, karena tidak berada di sana untuk melindungi mereka berdua. Dan, dia tahu bahwa rasa sakit ini akan bertahan untuk selamanya.

Namun, Sonja bukanlah Sonja jika dia membiarkan kegelapan menang. Jadi, suatu pagi, Ove tidak tahu seberapa banyak hari telah berlalu semenjak kecelakaan itu, Sonja mengungkapkan diri dengan cukup ringkas, menyatakan ingin memulai fi sioterapi. Dan ketika Ove memandang Sonja, seakan tulang punggungnya sendirilah yang berteriak bagaikan hewan tersiksa setiap kali istrinya itu bergerak, dengan lembut Sonja menyandarkan kepala di dada Ove dan berbisik: Kita bisa menyibukkan diri dengan hidup atau dengan mati, Ove. Kita harus melanjutkan hidup. Dan begitulah.

Pada bulan-bulan berikutnya, Ove menemui begitu banyak lelaki berkemeja putih. Mereka duduk di belakang meja yang terbuat dari kayu berwarna muda di berbagai kantor kota praja, dan tampaknya punya banyak sekali waktu untuk memberi tahu Ove mengenai dokumen-dokumen apa yang harus diserahkan untuk berbagai tujuan, tapi sama sekali tidak punya waktu untuk mendiskusikan tindakan-tindakan yang diperlukan demi kepulihan Sonja.

Seorang perempuan diutus ke rumah sakit dari salah satu pihak berwenang kota praja. Di sana, dia menjelaskan dengan penuh percaya diri bahwa Sonja bisa ditempatkan di rumah perawatan untuk orang-orang dalam situasi yang sama . Dia menjelaskan bahwa tekanan kehidupan sehari-hari bisa saja menjadi terlalu berlebihan bagi Ove. Perempuan itu



tidak mengatakannya secara langsung, tapi maksudnya sejelas kristal. Dia tidak percaya bahwa Ove kini sanggup untuk tinggal bersama istrinya.

Dalam kondisi saat ini, ulangnya terus-menerus sambil diam-diam mengangguk ke sisi ranjang. Dia bicara dengan Ove seakan Sonja bahkan tidak berada di ruangan itu.

Kali ini, Ove memang membuka pintu, tapi tetap saja perempuan itu didorongnya keluar.

Satu-satunya rumah yang kami tuju adalah rumah kami sendiri! Tempat kami TINGGAL! bentaknya kepada perempuan itu. Dan dalam kemarahan dan perasaan frustrasi yang luar biasa, dia melemparkan salah satu sepatu Sonja ke luar kamar.

Setelah itu Ove harus pergi dan bertanya kepada para perawat, yang nyaris terkena lemparan sepatu itu, apakah mereka tahu ke mana sepatu itu menghilang. Dan ini tentu saja membuat Ove semakin berang. Untuk kali pertama, semenjak kecelakaan itu, Ove mendengar Sonja tertawa. Seakan tawa itu mengalir keluar dari tubuh istrinya tanpa sedikit pun kemungkinan untuk menghentikannya, seakan Sonja dirobohkan ke tanah oleh tawa terkikiknya sendiri. Sonja tertawa dan tertawa dan tertawa, hingga huruf-huruf vokal menggelinding melintasi dinding dan lantai seakan tidak mau menghiraukan hukum waktu dan ruang.

Ini membuat Ove merasa seakan dadanya perlahan-lahan membusung dari reruntuhan rumah yang roboh setelah gempa bumi. Ini memberi ruang bagi jantungnya untuk berdetak kembali.



Ove pulang dan membangun kembali seluruh rumah, membongkar meja dapur lama dan memasang meja baru yang lebih rendah. Bahkan berhasil menemukan kompor buatan khusus. Membangun ulang kerangka pintu-pintu dan memasang rampa di seluruh ambang pintu. Sehari setelah diizinkan meninggalkan rumah sakit, Sonja kembali mengikuti pelatihan guru. Pada musim semi dia mengikuti ujian. Ada iklan lowongan kerja di koran untuk posisi mengajar di sekolah bereputasi terburuk di seluruh kota. Guru berkualitas dengan semua bagian otak yang tersusun dengan benar tidak akan mau menghadapi kelas itu secara sukarela. Itu kelas dengan Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktif, sebelum Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktif diciptakan.

Tidak ada harapan bagi semua bocah laki-laki dan perempuan ini, jelas kepala sekolah dengan serius dalam wawancara kerja itu. Ini bukan pendidikan, ini gudang.

Mungkin Sonja memahami bagaimana rasanya digambarkan dengan cara seperti itu. Posisi lowong itu hanya memikat seorang pelamar, dan Sonja berhasil membuat semua bocah laki-laki dan perempuan itu membaca Shakespeare.

Sementara itu, Ove begitu terbebani kemarahan sehingga terkadang Sonja harus menyuruhnya pergi ke luar agar tidak menghancurkan perabot. Teramat sangat menyakitkan bagi Sonja ketika melihat bahu Ove begitu sarat oleh kehendak untuk menghancurkan. Menghancurkan sopir bus itu. Agen perjalanan itu. Pembatas jalan itu. Produsen anggur itu. Segala sesuatu dan semua orang. Meninju dan terus meninju hingga semua bajingan lenyap. Hanya itu yang ingin dilakukan Ove.



Dia memasukkan kemarahan itu ke gudangnya. Dia memasukkannya ke garasi. Dia menyebarkannya di tanah selama perjalanan inspeksinya. Tapi bukan hanya itu. Pada akhirnya, dia juga mulai menuliskannya dalam surat-surat. Dia menulis surat kepada Pemerintah Spanyol. Kepada pihakpihak berwenang Swedia. Kepada polisi. Kepada pengadilan. Namun, tak seorang pun memikul tanggung jawab. Tak seorang pun peduli.

Mereka menjawab dengan merujuk teks-teks hukum atau pihak-pihak berwenang lain. Membuat alasan-alasan. Ketika dewan kota menolak membangun rampa di tangga sekolah tempat Sonja bekerja, Ove menulis surat-surat dan keluhan-keluhan selama berbulan-bulan. Dia menulis surat untuk berbagai surat kabar. Dia berupaya menuntut mereka. Secara harfi ah, dia membanjiri mereka dengan pembalasan dendam membingungkan dari seorang ayah yang telah dirampok.

Namun, di tempat mana pun, cepat atau lambat, dia dihentikan oleh kaum lelaki berkemeja putih dan ekspresi tegas angkuh di wajah mereka. Dan orang tidak bisa melawan mereka. Bukan hanya negara berpihak kepada mereka, tapi merekalah negara. Keluhan terakhir ditolak. Pertempuran berakhir karena kaum lelaki berkemeja putih telah memutuskan begitu. Dan Ove tidak pernah memaafk an mereka untuk itu.

Sonja menyaksikan segalanya. Dia paham, di bagian mana Ove terluka. Jadi dia membiarkannya marah, membiarkan semua kemarahan itu menemukan penyalurannya di suatu tempat, dengan semacam cara.



Namun, pada salah satu malam di awal musim panas bulan Mei itu, yang selalu muncul dengan membawa janjijanji lembut mengenai musim panas mendatang, Sonja menggerakkan kursi roda ke arah Ove, meninggalkan bekasbekas roda halus di lantai kayu. Ove sedang duduk di meja dapur, menulis salah satu suratnya, dan Sonja menyingkirkan pena Ove, menyelipkan tangan ke dalam genggamannya, dan menekankan telunjuk ke telapak tangan kasar Ove. Menyandarkan kening dengan lembut di dada Ove.

Cukup sudah, Ove. Tidak ada lagi surat-surat. Tidak ada ruang untuk hidup dengan semua suratmu itu.

Lalu, Sonja mendongak, membelai pipi Ove dengan lembut, dan tersenyum.

Cukup sudah, Ove Sayangku. Jadi cukuplah sudah.

Keesokan paginya, Ove bangun saat fajar, menyetir Saab ke sekolah Sonja, dan dengan tangan telanjangnya dia membangun rampa untuk penyandang cacat yang ditolak pembangunannya oleh dewan kota. Dan setelah itu, sejauh ingatan Ove, Sonja pulang setiap malam dan bercerita, dengan api di matanya, mengenai semua bocah laki-laki dan perempuannya. Bocah-bocah yang tiba di ruang kelas dengan kawalan polisi, tapi bisa mendeklamasikan puisi berusia empat ratus tahun ketika mereka meninggalkan sekolah. Bocah-bocah yang bisa membuat Sonja menangis, tertawa, dan menyanyi hingga suaranya memantul dari langit-langit rumah kecil mereka. Ove tidak pernah bisa memahami anak


anak mustahil itu, tapi dia menyukai mereka karena apa yang mereka lakukan terhadap Sonja.

Setiap manusia harus tahu apa yang diperjuangkannya. Itulah kata mereka. Dan Sonja memperjuangkan apa yang baik. Demi anak-anak yang tidak pernah dimilikinya. Dan Ove berjuang untuk Sonja.

Sebab itulah satu-satunya hal di dunia ini yang benarbenar dipahaminya.[]



24

Lelaki Bernama Ove dan Si Bandel

yang Melukis Warna-Warni

SAAB ITU DISESAKI ORANG KETIKA Ove menyetir dari rumah sakit sehingga dia terus-menerus mengecek meteran bensin, seakan khawatir jarum meteran itu akan menarinari mencemooh. Lewat kaca spion, dia melihat Parvaneh memberikan kertas dan krayon berwarna-warni kepada si gadis tiga tahun dengan tidak peduli.

Apakah dia harus melakukan itu di mobil? bentak Ove. Apakah kau lebih suka melihatnya gelisah sehingga dia mulai bertanya-tanya bagaimana cara mencopot jok dari kursi? tanya Parvaneh tenang.

Ove tidak menjawab. Hanya memandang si gadis tiga tahun lewat kaca spion. Gadis itu sedang menggoyanggoyangkan krayon ungu besar di depan si kucing di pangkuan Parvaneh sambil berteriak: GANBAR! Si kucing mengamati anak itu dengan sangat waspada, jelas merasa enggan untuk menjadikan dirinya sebagai permukaan yang bisa digambari.



Patrick duduk di antara mereka, memutar dan memelintir tubuh untuk mencoba mencari posisi nyaman bagi tulang keringnya yang digips, yang dinaikkannya di lengan kursi di antara dua kursi depan.

Itu tidak mudah, karena dia berupaya sebaik mungkin untuk tidak memindahkan surat kabar yang diletakkan Ove di kursinya dan di bawah kaki bergipsnya.

Si gadis tiga tahun menjatuhkan sebuah krayon berwarna, yang bergulir ke bawah kursi depan. Di sana duduk Jimmy, yang ikut ke rumah sakit untuk membantu. Dengan gerakan yang jelas pantas dilakukan oleh pemain akrobat Olimpiade bagi lelaki berperawakan sepertinya, Jimmy berhasil membungkuk dan memungut krayon itu dari alas kaki di depannya. Sejenak dia mengamati benda itu, menyeringai, lalu berpaling ke kaki Patrick yang tersandar, dan menggambar seorang lelaki besar yang sedang tersenyum di gips itu. Gadis tiga tahun menjerit kegirangan ketika melihatnya. Jadi, kau juga akan mulai mengotori mobil? tanya Ove. Bagus, kan? goda Jimmy. Dia tampak seakan hendak mengajak Ove melakukan toss.

Ove memutar bola mata.

Maaf, Pak, aku tidak bisa menahan diri, kata Jimmy yang dengan agak malu, mengembalikan krayon itu kepada Parvaneh.

Terdengar suara pling di dalam saku Jimmy. Dia mengeluarkan ponsel sebesar tangan orang dewasa dan menyibukkan diri dengan mengetuk-ngetuk layarnya dengan bersemangat.



Kucing siapakah ini? tanya Patrick dari kursi belakang. Kitt y-nya Ove! jawab gadis tiga tahun dengan keyakinan seteguh batu karang.

Bukan. Ove langsung membetulkannya.

Dia melihat Parvaneh tersenyum menggoda lewat kaca spion. Ya! katanya.

Tidak, BUKAN! kata Ove.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Parvaneh tertawa. Patrick tampak sangat kebingungan. Parvaneh menepuk-nepuk lututnya untuk membesarkan hatinya. Jangan mengkhawatirkan perkataan Ove. Ini jelas kucingnya.

Dia kucing kampung sialan. Itulah dia! kata Ove membetulkan.

Si kucing mengangkat kepala untuk mencari tahu keributan apakah ini, lalu menyimpulkan semuanya ini sangat tidak menarik, dan meringkuk kembali di atas pangkuan Parvaneh. Atau, lebih tepatnya, di atas perutnya.

Jadi, hewan ini tidak akan diserahkan ke suatu tempat? tanya Patrick sambil mengamati si kucing.

Si kucing sedikit mengangkat kepala, mendesis singkat kepada Patrick sebagai jawaban.

Apa maksudmu diserahkan ? sela Ove.

Ya & ke rumah penampungan kucing atau semacam kata Patrick memulai, tapi tidak sempat melanjutkan karena Ove berteriak:

Tidak ada yang diserahkan ke rumah sialan apa pun!



Dan dengan perkataan itu, pembicaraan diakhiri. Patrick berupaya untuk tidak tampak terkejut. Parvaneh berupaya untuk tidak meledakkan tawa. Keduanya tidak terlalu berhasil.

Tidak bisakah kita berhenti di suatu tempat untuk membeli makanan? sela Jimmy sambil membetulkan posisi duduknya. Saab itu mulai bergoyang-goyang.

Ove memandang kelompok yang berkumpul di sekelilingnya, seakan dia telah diculik dan dibawa ke sebuah semesta paralel. Sejenak, dia berpikir untuk menyimpang dari jalanan, hingga disadarinya skenario terburuk adalah mereka semua akan menemaninya ke alam baka. Setelah memahami hal ini, dia mengurangi kecepatan dan semakin menjauh dari mobil di depannya.

Pipis! teriak gadis tiga tahun.

Bisakah kita berhenti, Ove? Nasanin ingin kencing, teriak Parvaneh, dengan cara aneh orang yang percaya bahwa kursi belakang Saab berjarak dua ratus meter di belakang kursi pengemudi.

Ya! Dengan begitu kita bisa membeli makanan juga. Jimmy mengangguk penuh harap.

Ya, ayolah, aku juga ingin kencing, kata Parvaneh. Ada toilet di McDonald s, kata Jimmy membantu. McDonald s boleh juga, berhentilah di sini. Parvaneh mengangguk.

Tidak akan berhenti di sini, kata Ove tegas. Parvaneh mengamatinya lewat kaca spion. Ove balas memelotot. Sepuluh menit kemudian, dia duduk di dalam



Saab, menunggu mereka semua di luar McDonald s. Bahkan, si kucing pun ikut masuk bersama mereka. Dasar pengkhianat. Parvaneh keluar dan mengetuk kaca jendela Ove.

Kau yakin tidak mau sesuatu? tanyanya lembut kepada Ove.

Ove mengangguk. Parvaneh tampak sedikit kecewa. Ove membuka jendela lagi. Parvaneh berjalan mengitari mobil dan masuk lewat pintu belakang.

Terima kasih telah berhenti. Dia tersenyum. Ya, ya, jawab Ove.

Parvaneh menyantap kentang goreng. Ove mengulurkan tangan dan meletakkan lebih banyak koran di lantai di depan perempuan itu. Parvaneh mulai tertawa. Ove tidak mengerti apa yang ditertawakannya.

Aku perlu bantuanmu, Ove, kata Parvaneh mendadak. Ove tampak tidak terlalu antusias.

Kurasa kau bisa membantuku agar lulus ujian mengemudi, lanjut Parvaneh.

Apa katamu? tanya Ove, seakan dia pasti salah dengar. Parvaneh mengangkat bahu. Kaki Patrick akan digips selama berbulan-bulan. Aku harus mendapat SIM agar bisa mengantar kedua putriku. Kurasa kau bisa memberiku pelajaran menyetir.

Ove tampak begitu kebingungan, hingga dia bahkan lupa untuk marah.

Jadi, dengan kata lain kau tidak punya SIM? Ya.



Jadi, ini bukan lelucon? Ya.

SIM-mu hilang?

Tidak. Aku tidak pernah punya.

Otak Ove seakan perlu waktu beberapa saat untuk memproses informasi ini, yang baginya benar-benar sulit dipercaya.

Apa pekerjaanmu? tanyanya.

Apa hubungannya dengan SIM? jawab Parvaneh. Jelas itu sangat berhubungan dengan SIM. Aku agen perumahan.

Ove mengangguk. Dan tidak punya SIM? Ya.

Ove menggeleng-gelengkan kepala dengan serius, seakan itulah puncak dari menjadi manusia yang tidak memikul tanggung jawab apa pun. Kembali Parvaneh menyunggingkan senyum kecil menggodanya, meremas kantong kentang goreng kosong, dan membuka pintu.

Lihatlah dengan cara seperti ini, Ove: Apakah kau benarbenar menginginkan orang lain yang mengajariku menyetir di area permukiman?

Parvaneh keluar dari mobil dan berjalan ke tong sampah. Ove tidak menjawab. Dia hanya mendengus.

Jimmy muncul di ambang pintu. Aku boleh makan di dalam mobil? tanyanya dengan sepotong ayam mencuat dari mulutnya.



Mulanya Ove berpikir untuk menjawab tidak, tapi kemudian dia menyadari bahwa mereka tidak akan pernah keluar dari sini dengan kecepatan seperti ini. Jadi, dia membentangkan begitu banyak surat kabar di kursi depan dan lantai sehingga tampaknya seakan dia sedang bersiap mengecat ulang mobil itu.

Masuk sajalah, agar kita bisa pulang, erangnya sambil memanggil Jimmy.

Jimmy mengangguk ceria. Ponselnya berbunyi pling. Dan hentikan suara itu ini bukan tempat bermain pinball.

Maaf, Pak, aku menerima surel pekerjaan sepanjang waktu, kata Jimmy sambil menyeimbangkan makanan di satu tangan dan berkutat dengan ponsel di dalam saku dengan tangan yang satu lagi.

Kalau begitu, kau punya pekerjaan? tanya Ove. Jimmy mengangguk antusias. Aku memprogram aplikasi iPhone.

Ove tidak punya pertanyaan lebih lanjut.

Setidaknya, keadaan relatif tenang di dalam mobil selama sepuluh menit, hingga mereka bergulir memasuki area parkir di luar garasi Ove. Ove berhenti di samping gudang sepeda, memindahkan persneling Saab ke posisi netral tanpa mematikan mesin, lalu memandang semua penumpangnya dengan penuh arti.

Tidak apa-apa, Ove. Patrick bisa berjalan dengan kruknya dari sini, kata Parveneh dengan nada yang jelas ironis.



Mobil tidak diizinkan di area permukiman, kata Ove. Tanpa gentar, Patrick melepaskan tubuh dan gipsnya dari kursi belakang mobil, sementara Jimmy mendesak keluar dari kursi depan dengan lemak hamburger mengotori seluruh baju kausnya.

Parvaneh mengangkat si gadis tiga tahun bersama kursi mobil tambahannya dan meletakkannya di tanah. Gadis itu melambai-lambaikan sesuatu di udara sambil meneriakkan beberapa kata yang tidak jelas.

Parvaneh mengangguk, kembali ke mobil, membungkuk lewat pintu depan, dan menyerahkan sehelai kertas kepada Ove.

Apa itu? tanya Ove yang tidak bergerak sedikit pun untuk menerimanya.

Ini gambar buatan Nasanin. Harus kuapakan itu?

Dia menggambarmu, jawab Parvaneh sambil menyorongkan kertas itu ke tangan Ove.

Ove memandang kertas itu dengan enggan. Kertasnya dipenuhi garis dan lingkaran.

Itu Jimmy, itu si kucing, itu aku dan Patrick. Dan, itu kau, jelas Parvaneh.

Ketika mengucapkan kalimat terakhir itu, dia menunjuk sosok di tengah gambar. Semua hal lainnya di kertas digambar dengan warna hitam, tapi sosok di tengahnya berupa ledakan warna ceria. Keriuhan warna kuning, merah, biru, hijau, oranye, dan ungu.



Kau makhluk terlucu yang dikenalnya. Itulah sebabnya dia selalu menggambarmu berwarna-warni, kata Parvaneh. Lalu dia menutup pintu depan mobil dan berjalan pergi. Perlu beberapa detik sebelum Ove cukup tenang untuk meneriakinya: Apa maksudmu dengan selalu ?

Namun saat itu mereka semua sudah mulai berjalan kembali ke rumah-rumah.

Dengan sedikit tersinggung Ove membetulkan surat kabar di kursi depan. Si kucing pindah dari kursi belakang dan membuat dirinya nyaman di kursi depan. Ove memundurkan Saab ke dalam garasi. Menutup pintu garasi. Memindahkan persneling ke posisi netral tanpa mematikan mesin. Merasakan asap knalpot perlahan-lahan memenuhi garasi dan memandang selang plastik yang tergantung di dinding.

Selama beberapa menit, yang terdengar hanyalah napas si kucing dan letupan-letupan berirama mesin mobil. Ini akan mudah, hanya duduk di sana dan menanti yang tak terhindarkan. Ove tahu, inilah satu-satunya hal yang logis. Kini dia telah menantikannya untuk waktu yang lama. Bagian penghabisan. Dia begitu merindukan Sonja sehingga terkadang tidak sanggup berada di dalam tubuhnya sendiri. Ini akan menjadi satu-satunya hal yang rasional, hanya duduk saja di sini hingga asap knalpot menidurkan dirinya dan si kucing, dan mengakhiri semuanya.

Namun, kemudian Ove memandang si kucing. Dan dia mematikan mesin.



Keesokan paginya, mereka bangun pukul enam kurang seperempat. Yang satu minum kopi dan yang satu lagi menyantap ikan tuna. Ketika sudah menyelesaikan perjalanan inspeksinya, dengan cermat Ove menyekop salju di luar rumahnya. Saat sudah selesai dia berdiri di luar gudangnya, bertumpu pada sekop salju, memandang deretan rumah bandar.

Kemudian Ove menyeberang jalan dan mulai membersihkan salju di depan rumah-rumah lainnya.[]



25

Lelaki Bernama Ove dan Sepotong

Seng Bergelombang

SETELAH MENGELUARKAN SI KUCING, OVE menunggu hingga selesai sarapan. Baru setelah itulah dia menurunkan botol plastik dari rak teratas di kamar mandi. Dia menimbangnimbangnya di tangan, seakan hendak melemparkannya ke suatu tempat, lalu mengguncangnya pelan untuk melihat apakah masih banyak pil yang tersisa.

Menjelang akhir, dokter-dokter meresepkan begitu banyak pil pereda nyeri untuk Sonja. Kamar mandi mereka masih tampak seperti fasilitas penyimpanan untuk mafi a Kolumbia. Ove jelas tidak memercayai obat, selalu merasa yakin bahwa efek nyata obat bersifat psikologis dan, karenanya, hanya mendatangkan hasil pada orang-orang yang batang otaknya lemah.

Namun baru saja terpikir olehnya bahwa zat-zat kimia bukanlah cara aneh untuk menghilangkan nyawa seseorang.

p u s t a k a i n

o . b l o g s p o t . c o m

Ove mendengar sesuatu di luar pintu depan si kucing sudah kembali sebegitu cepatnya, mencakar-cakar ambang pintu dan kedengaran seakan terjebak dalam perangkap hewan. Seakan dia tahu apa yang sedang dipikirkan Ove. Ove bisa memahami bahwa hewan itu merasa kecewa terhadapnya. Mustahil mengharapkan si kucing untuk memahami tindakannya.

Ove membayangkan akan seperti apa rasanya melakukannya dengan cara seperti ini. Dia belum pernah mencoba narkoba. Nyaris tidak pernah berada di bawah pengaruh alkohol. Belum pernah menyukai perasaan kehilangan kendali. Setelah bertahun-tahun dia menyadari bahwa perasaan inilah tepatnya yang disukai dan diburu oleh orang normal. Namun sejauh pemahaman Ove, hanya orang sialan yang benar-benar tolol yang bisa menganggap kehilangan kendali adalah keadaan yang patut diburu.

Dia bertanya-tanya, apakah dirinya akan merasa mual? Apakah dia akan merasakan sakit ketika organ-organ tubuhnya menyerah dan berhenti berfungsi? Atau, akankah dia tertidur begitu saja ketika tubuhnya gagal berfungsi?

Kini, si kucing melolong di luar sana, di salju. Ove memejamkan mata dan memikirkan Sonja. Dia bukan jenis lelaki yang gampang menyerah dan mati, dia tidak ingin Sonja berpikir begitu. Namun sesungguhnya ini keliru, kesemuanya ini. Sonja menikah dengannya. Dan kini, Ove tidak begitu tahu cara melanjutkan hidup tanpa ujung hidung Sonja berada di celah antara leher dan bahunya. Itu saja.

Ove membuka tutup botol dan menjajarkan pil-pilnya di sepanjang pinggiran wastafel. Mengamati pil-pil itu seakan



mengharapkan mereka untuk berubah menjadi robot-robot pembunuh kecil. Tentu saja tidak. Ove tidak terkesan. Dia tidak begitu paham bagaimana bulatan-bulatan putih kecil itu bisa mencederainya, tak peduli seberapa banyak yang ditelannya. Si kucing kedengaran seakan meludahkan salju ke seluruh pintu depan rumah Ove. Tapi kemudian, hewan itu disela oleh suara lain yang benar-benar berbeda. Seekor anjing menyalak.

Ove mendongak. Hening selama beberapa detik, lalu dia mendengar si kucing melolong kesakitan. Lalu salak anjing lagi. Dan si Ilalang Pirang meneriakkan sesuatu.

Ove berdiri di sana sambil mencengkeram wastafel. Memejamkan mata seakan bisa melenyapkan suara itu. Tidak berhasil. Lalu pada akhirnya, dia mendesah dan menegakkan tubuh. Dia membuka tutup botol, memasukkan kembali pil-pil itu ke dalamnya. Menuruni tangga. Ketika melintasi ruang duduk, dia meletakkan botol itu di jendela. Dan, lewat jendela, dia melihat si Ilalang Pirang berada di jalanan, membidik, lalu bergegas menghampiri si kucing.

Ove membuka pintu, persis ketika perempuan itu hendak menendang kepala si kucing dengan segenap kekuatannya. Si kucing cepat-cepat menghindari tumit setajam jarum dan mundur menuju gudang perkakas Ove. Anjing kampung menggeram histeris dengan ludah berhamburan ke sekeliling kepalanya, seakan dia adalah hewan yang tertular rabies. Ada bulu di rahangnya. Ove memperhatikan, seingatnya, ini kali pertama dia melihat si Ilalang tanpa kacamata hitamnya. Kebengisan berkilau di mata hijau perempuan itu. Dia mundur, bersiap menendang lagi, lalu melihat Ove



dan berhenti di tengah jalan. Bibir bawahnya bergetar oleh kemarahan.

Akan kutembak hewan itu! desis si Ilalang sambil menunjuk si kucing.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sangat perlahan Ove menggeleng-gelengkan kepala tanpa mengalihkan mata dari perempuan itu. Si Ilalang menelan ludah. Ada sesuatu dalam ekspresi Ove, yang seakan terpahat dari lapisan batu, yang membuat keyakinan membunuhnya runtuh.

Itu kucing jalanan k-k-keparat & dan dia harus mati! Dia mencakar Prince! katanya tergagap.

Ove tidak mengucapkan sesuatu pun, tapi matanya menggelap. Dan, pada akhirnya, bahkan anjing itu pun mundur darinya.

Ayo, Prince, kata si Ilalang, lalu berbelok dan menghilang seakan Ove benar-benar mendorongnya dari belakang.

Ove tetap berada di tempatnya dengan napas tersengalsengal. Dia menekankan kepalan tangannya ke dada, merasakan detak jantungnya yang tak terkendali. Dia mengerang pelan. Lalu, memandang si kucing. Si kucing balas memandangnya. Ada luka baru di panggulnya. Darah di bulunya lagi.

Sembilan nyawa tidak akan bertahan terlalu lama, bukan? kata Ove.

Si kucing menjilati kakinya dan tampak seakan bukan jenis kucing yang suka menghitung. Ove mengangguk dan melangkah minggir.



Kalau begitu, masuklah.

Si kucing berjalan melewati ambang pintu. Ove menutup pintu.

Dia berdiri di tengah ruang duduk. Di mana-mana, Sonja balas memandangnya. Baru kini terpikir olehnya bahwa dia telah menempatkan foto-foto itu agar mengikutinya di seluruh rumah ke mana pun dia pergi. Sonja berada di atas meja di dapur, tergantung di dinding lorong dan pertengahan tangga. Dia berada di rak jendela di ruang tamu, tempat si kucing kini melompat dan duduk di sampingnya.

Si kucing membuat Ove bersungut-sungut ketika menjatuhkan pil-pil ke lantai dengan bunyi berderak. Ketika Ove memungut botol itu, si kucing memandangnya dengan ketakutan, seakan hendak berteriak, Awas kau!

Ove menendang pelan lis dinding, lalu berbalik dan pergi ke dapur untuk memasukkan botol pil ke lemari. Lalu dia membuat kopi dan menuang air ke dalam mangkuk untuk si kucing.

Mereka minum dalam keheningan.

Ove memungut mangkuk kosong itu dan meletakkannya di samping cangkir kopinya di bak cuci piring. Dia berdiri berkacak pinggang selama beberapa saat. Lalu berbalik dan pergi ke lorong.

Ayo ikut, desak Ove pada si kucing tanpa memandangnya. Ayo kita berikan sesuatu untuk dipikirkan oleh anjing kampung itu.

Ove mengenakan jaket musim dingin biru tuanya, memakai kelom, dan membiarkan si kucing berjalan keluar



dari pintu terlebih dahulu. Dia memandang foto Sonja di dinding. Sonja tertawa kepadanya. Mungkin mati bukanlah sesuatu yang teramat sangat penting sehingga tidak bisa menunggu satu jam lagi, pikir Ove. Lalu dia mengikuti si kucing ke jalanan.

Dia pergi ke rumah Rune, dan perlu beberapa menit sebelum pintu itu terbuka. Terdengar suara menyeret pelan dari dalam, lalu kunci pintu diputar, seakan ada hantu yang mendekat sambil menyeret rantai tebal. Ketika akhirnya pintu terbuka,Rune berdiri di sana, memandang Ove dan si kucing dengan tatapan kosong.

Kau punya seng bergelombang? tanya Ove tanpa membiarkan adanya waktu untuk berbasa-basi.

Rune menatapnya serius selama satu atau dua detik, seakan otaknya sedang berjuang mati-matian untuk menghasilkan ingatan.

Seng bergelombang? tanyanya kepada diri sendiri, seakan merasakan kata-kata itu, seperti seseorang yang baru saja terbangun dan sedang berjuang mati-matian untuk mengingat apa yang dimimpikannya.

Seng bergelombang, ya, benar, jawab Ove sambil mengangguk.

Rune memandangnya atau, lebih tepatnya, memandang lurus menembusnya. Mata Rune berkilau seperti kap mobil yang baru saja dipoles. Dia tampak kurus dan bungkuk; jenggotnya kelabu, cenderung putih. Inilah lelaki tangguh yang dulu selalu mendatangkan sedikit rasa hormat, tapi kini pakaiannya menggantung longgar di tubuh. Dia telah



menjadi tua; sangat, sangat tua, pikir Ove menyadari, dan langsung terpikir olehnya bahwa dia sama sekali tidak menduga. Sejenak mata Rune berkejap-kejap. Lalu bibirnya mulai berkedut.

Ove? teriaknya.

Ya, wah & yang pasti aku bukan Sri Paus, jawab Ove. Kulit menggelambir di wajah Rune perlahan-lahan merekah membentuk senyuman. Kedua lelaki itu, yang pernah menjadi sedekat yang bisa dilakukan oleh jenis lelaki seperti mereka, bertatapan. Salah seorang dari mereka adalah lelaki yang menolak melupakan masa lalu, dan yang seorang lagi adalah lelaki yang benar-benar tidak bisa mengingat masa lalu. Kau tampak tua, kata Ove.

Rune menyeringai.

Lalu suara cemas Anita terdengar dan, pada momen berikutnya, kaki kecilnya berderap secepat kilat menuju pintu.

Ada orang di pintu, Rune? Sedang apa kau di sana? teriaknya ketakutan ketika muncul di ambang pintu. Lalu dia melihat Ove.

Oh & halo, Ove, sapa Anita. Lalu mendadak dia terdiam.

Ove berdiri di sana dengan tangan di dalam saku. Si kucing di sampingnya tampak seakan hendak melakukan hal yang sama, seandainya dia punya saku. Atau tangan. Anita tampak kecil dan pucat dalam celana panjang kelabu, kardigan rajutan kelabu, rambut kelabu, dan kulit kelabu. Namun Ove melihat matanya sedikit merah dan sembap. Cepat-cepat Anita mengusap mata dan mengerjap-ngerjap



untuk mengenyahkan kepedihan. Seperti yang dilakukan oleh perempuan generasinya. Seolah-olah mereka berdiri di ambang pintu setiap pagi dan bertekad mengusir kepedihan dari dalam rumah dengan sapu. Dengan lembut dia meraih bahu Rune dan menuntunnya ke kursi roda di samping jendela ruang duduk.

Halo, Ove, ulang Anita dengan suara ramah sekaligus terkejut, ketika dia kembali ke pintu. Ada yang bisa dibantu? Kau punya seng bergelombang? tanya Ove. Anita tampak kebingungan. Seng gelombang? gumamnya, seakan hanya laut yang punya gelombang.

Ove mendesah dalam-dalam. Astaga, seng bergelombang.

Kebingungan Anita tidak tampak berkurang sedikit pun. Apakah aku seharusnya punya?

Rune pasti punya di gudangnya, jawab Ove sambil mengulurkan sebelah tangan.

Anita mengangguk. Mengambil kunci gudang dari dinding dan meletakkannya di tangan Ove.

Seng. Bergelombang? tanyanya lagi. Ya, jawab Ove.

Tapi kami tidak punya atap seng. Apa hubungannya?

Anita menggeleng. Ya & ya, mungkin tidak ada hubungannya, tentu saja.

Orang selalu punya sedikit seng lembaran, kata Ove, seakan hal ini tidak perlu diperdebatkan lagi.



Anita mengangguk. Seperti seseorang yang dihadapkan pada fakta tak terbantahkan bahwa sedikit seng bergelombang adalah jenis barang yang disimpan oleh semua orang normal dan berpikiran waras di gudang mereka, kalau-kalau diperlukan.

Tapi, kau sendiri tidak punya seng semacam itu? tanyanya, terutama agar punya sesuatu untuk dibicarakan. Punyaku sudah habis kupakai, jawab Ove. Anita mengangguk paham. Seperti yang dilakukan seseorang ketika menghadapi fakta tak terbantahkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang ganjil dari lelaki normal yang rumahnya tidak beratap seng, tapi menggunakan seng bergelombang sebegitu banyaknya hingga kehabisan.

Semenit kemudian, Ove muncul dengan penuh kemenangan di ambang pintu, sambil menyeret seng bergelombang raksasa sebesar karpet di ruang duduk. Sejujurnya, Anita sama sekali tidak tahu bagaimana lembaran seng sebesar itu bisa masuk ke gudang tanpa diketahuinya.

Kubilang juga apa, kata Ove sambil mengangguk dan mengembalikan kunci.

Ya & ya, kau benar, kan? Mau tak mau Anita mengakuinya.

Ove berpaling ke jendela. Rune membalas tatapannya. Dan persis ketika Anita berbalik memasuki rumah, Rune kembali menyeringai, mengangkat sebelah tangan dan melambai singkat. Seakan, persis di sana, selama sedetik saja, dia tahu persis siapa Ove dan apa yang sedang dilakukannya di sana.



Anita berhenti dengan bimbang. Lalu berbalik. Orang-orang dari Dinas Sosial sudah ke sini lagi. Mereka ingin merebut Rune dariku, katanya tanpa mendongak. Suara Anita parau seperti koran kering ketika mengucapkan nama suaminya. Ove meraba-raba seng bergelombang itu.

Mereka mengatakan aku tidak mampu merawatnya karena penyakitnya dan sebagainya. Mereka mengatakan dia harus dimasukkan ke panti jompo, katanya. Ove terus meraba-raba seng bergelombang itu. Dia akan mati jika aku memasukkannya ke panti jompo, Ove. Kau tahu itu & , bisik Anita.

Ove mengangguk dan memandang sisa-sisa puntung rokok yang membeku dalam celah di antara dua batu hampar. Dari sudut matanya dia memperhatikan betapa Anita sedikit bertumpu ke satu sisi. Ove ingat, kira-kira setahun lalu, Sonja menjelaskan bahwa itu karena operasi penggantian panggul. Belakangan ini, tangan Anita juga gemetar. Tahap pertama sklerosis-ganda, jelas Sonja waktu itu. Dan beberapa tahun lalu Rune juga terkena Alzheimer.

Kalau begitu, putramu bisa datang membantumu, gumam Ove dengan suara rendah.

Anita mendongak. Memandang ke dalam mata Ove dan tersenyum sabar.

Johan? Ah & kau tahulah, dia tinggal di Amerika. Dia sudah cukup sibuk. Kau tahulah seperti apa anak-anak muda!

Ove tidak menjawab. Anita mengatakan Amerika seakan itu adalah kerajaan surga tempat putranya yang egois itu pindah. Tak sekali pun Ove pernah melihat anak manja



itu berada di jalanan ini semenjak Rune sakit. Kini dia sudah dewasa, tapi tidak punya waktu untuk orangtuanya.

Anita langsung tersadar, seakan memergoki dirinya sendiri melakukan sesuatu yang buruk. Dia tersenyum menyesal.

Maaf, Ove, seharusnya aku tidak berdiri di sini dan menyia-nyiakan waktumu dengan ocehanku.

Anita kembali ke dalam rumah. Ove tetap berada di tempatnya sambil membawa lembaran seng bergelombang dan dengan si kucing di sampingnya. Dia menggumamkan sesuatu kepada dirinya sendiri, persis sebelum pintu itu tertutup. Anita berbalik dengan terkejut, mengintip dari celah pintu dan memandangnya.

Maaf, kau bilang apa?

Ove tersentak tanpa menatap mata perempuan itu. Lalu dia berbalik dan mulai berjalan pergi, sementara kata-kata meluncur keluar dari bibir tanpa disadarinya.

Kubilang, jika kau punya masalah lagi dengan radiatorradiator sialan itu, kau bisa datang dan memencet bel pintuku. Aku dan si kucing ada di rumah.

Wajah mengernyit Anita menyunggingkan senyum terkejut. Dia maju setengah langkah dari pintu, seakan ingin berkata lebih banyak. Mungkin sesuatu mengenai Sonja, betapa dia sangat merindukan sahabatnya itu. Betapa dia merindukan apa yang pernah mereka miliki, mereka berempat, ketika pertama kali pindah ke jalanan ini hampir empat puluh tahun silam. Betapa dia bahkan merindukan



cara Rune dan Ove biasa berselisih dulu, tapi Ove sudah berbelok dan menghilang.

Sekembalinya di gudang perkakas, Ove mengambil aki cadangan untuk Saab dan dua penjepit logam besar. Dia membentangkan lembaran seng bergelombang itu di atas batu-batu hampar di antara gudang dan rumah, lalu dengan cermat menutupinya dengan salju.

Dia berdiri di samping si kucing, menilai kreasinya untuk waktu yang lama. Perangkap anjing yang sempurna, tersembunyi di bawah salju, dipenuhi listrik, siap menggigit. Tampaknya itu pembalasan dendam yang sangat sepadan. Selanjutnya, jika si Ilalang Pirang lewat bersama anjing kampung sialannya, dan anjing itu mendapat gagasan untuk kencing di atas batu-batu hampar Ove, maka dia akan kencing di atas lempeng seng konduktif beraliran listrik. Lalu lihat sajalah apakah mereka akan menganggap itu menggelikan, pikir Ove.

Si kucing memiringkan kepala dan memandang lembaran seng itu.

Seperti kilatan petir yang menyambar saluran kencingmu, kata Ove.

Si kucing memandangnya untuk waktu yang lama. Seakan berkata: Kau tidak serius, bukan? Pada akhirnya, Ove memasukkan tangan ke saku dan menggeleng-gelengkan kepala.

Ya & ya, kurasa tidak. Dia mendesah muram. Lalu dia mengemasi aki, kedua penjepit itu, seng bergelombang, dan memasukkan semuanya ke garasi. Bukan



karena dia tidak menganggap makhluk-makhluk tolol itu patut mendapat kejutan listrik. Mereka patut mendapatkannya. Namun karena dia tahu bahwa sudah agak lama sejak dia seseorang yang mengingatkannya mengenai perbedaan antara menjadi jahat karena terpaksa atau karena bisa melakukannya.

Tapi itu gagasan yang sangat bagus, simpulnya pada si kucing ketika mereka kembali ke dalam rumah.

Si kucing memasuki ruang duduk dengan bahasa tubuh tak acuh, seakan bergumam: Tentu saja, tentu saja bagus & . Lalu, mereka menyantap makan siang.[]



26

Lelaki Bernama Ove dan Masyarakat yang Semua Anggotanya Tidak Bisa

Lagi Memperbaiki Sepeda

BANYAK ORANG MENGALAMI KESULITAN UNTUK hidup bersama seseorang yang suka menyendiri. Ini menjengkelkan bagi mereka yang tidak sanggup menghadapinya. Namun Sonja tidak mengeluh melebihi yang seharusnya. Aku menerimamu apa adanya, katanya dulu.

Akan tetapi Sonja tidaklah tolol sehingga tidak memahami bahwa orang seperti Ove pun terkadang ingin memiliki seseorang yang bisa diajak bicara. Sudah agak lama semenjak Ove memiliki orang seperti itu.

Aku menang, kata Ove singkat ketika mendengar kotak pos dibanting menutup.

Si kucing melompat dari birai jendela ruang duduk dan berjalan ke dapur. Dasar pecundang, pikir Ove sambil berjalan ke pintu depan. Sudah bertahun-tahun sejak kali terakhir dia bertaruh dengan seseorang mengenai pukul berapa pos akan datang. Dulu dia suka bertaruh dengan Rune ketika mereka



sedang berlibur di musim panas. Pertaruhan itu menjadi begitu serius sehingga mereka mengembangkan sistem rumit perpanjangan selisih dan jangka waktu setengah-menitan untuk menentukan siapa yang paling akurat.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah pada masa-masa itu. Pos tiba pukul dua belas pas, jadi diperlukan batasan yang tepat untuk mengatakan siapa yang menebak dengan benar. Sekarang ini tidak seperti itu. Sekarang ini, pos bisa diantarkan menjelang sore dengan cara apa pun sesukanya. Kantor pos menangani pos seenaknya sendiri dan kau harus berterima kasih. Itu saja. Ove mencoba bertaruh dengan Sonja setelah dia dan Rune berhenti bicara. Namun, Sonja tidak memahami peraturannya. Jadi Ove menyerah.

Remaja itu nyaris terjatuh dari undakan ketika mendadak Ove membuka pintu. Ove memandangnya dengan terkejut. Remaja itu mengenakan seragam tukang pos.

Ya? tanya Ove.

Remaja itu tampak tidak bisa mengeluarkan suara untuk menjawab, malah menyodorkan surat kabar dan sepucuk surat dengan gelisah sebagai gantinya. Dan saat itulah Ove memperhatikan bahwa itu remaja yang sama yang berselisih dengannya mengenai sepeda beberapa hari lalu, di dekat gudang sepeda. Mengenai sepeda yang kata remaja itu hendak dibetulkannya . Tentu saja Ove tahu apa artinya itu. Bagi para berandalan ini, dibetulkan berarti dicuri dan dijual di Internet bagi para berandalan ini. Kurang lebih begitu.

Andai masih bisa, remaja itu tampak, lebih tidak senang lagi ketika mengenali Ove, ketimbang sebaliknya. Dia tam


pak sedikit mirip dengan apa yang terkadang dilakukan pramusaji, ketika tidak bisa memutuskan apakah hendak menyajikan hidangan untukmu atau membawa hidangan itu kembali ke dapur untuk diludahi. Pemuda itu memandang Ove dengan tenang, lalu menyerahkan pos dengan enggan disertai gumaman silakan, Pak . Ove menerima pos itu tanpa mengalihkan mata darinya.

Kotak posmu rusak, jadi aku hendak menyerahkan ini kepadamu, kata remaja itu.

Dia mengangguk menunjuk rongsokan terlipat dua yang dulunya adalah kotak surat Ove, sebelum si Kerempeng yang tidak bisa memundurkan mobil bergandengan itu memundurkan gandengannya ke sana. Lalu dia mengangguk menunjuk surat dan koran di tangan Ove. Ove menunduk memandangi keduanya.

Surat kabar itu adalah salah satu surat kabar lokal yang dibagikan secara gratis, bahkan ketika seseorang telah memasang plang yang jelas menyuruh mereka untuk tidak melakukan hal sialan semacam itu. Dan suratnya kemungkinan besar iklan, pikir Ove. Nama dan alamatnya memang ditulis tangan di bagian depan surat, tapi itu trik periklanan yang khas. Untuk membuatmu berpikir bahwa itu surat dari seseorang yang nyata, lalu kau membukanya dan dalam sekejap terkena sasaran pemasaran. Tipuan itu tidak akan berhasil pada Ove.

Remaja itu berdiri di sana, menimbang-nimbang, lalu menunduk memandang tanah. Seakan dia sedang berjuang dengan sesuatu di dalam dirinya yang ingin keluar.



Ada lagi? tanya Ove.

Remaja itu menyisirkan tangannya pada rambut berminyak akhir masa remajanya. Ah, ya sudahlah& aku hanya ingin tahu apakah kau punya istri bernama Sonja, katanya pada akhirnya.

Ove tampak curiga. Pemuda itu menunjuk amplop. Aku melihat nama keluarganya. Dulu, aku punya guru dengan nama yang sama. Aku hanya ingin tahu& .

Dia seakan sedang mengutuk dirinya sendiri karena mengucapkan sesuatu. Dia berbalik dan mulai berjalan pergi. Ove berdeham dan menendang ambang pintu. Tunggu& itu mungkin benar. Ada apa dengan Sonja? Pemuda itu berhenti semeter lagi jauhnya.

Ah, sialan& . Aku menyukainya, hanya itu yang ingin kukatakan. Aku& kau tahulah& aku tidak begitu pintar membaca, menulis, dan hal-hal semacam itu.

Ove nyaris berkata, Benarkah? . Namun, dia membatalkannya. Remaja itu bergerak-gerak canggung. Menelusurkan tangan pada rambut, agak kebingungan, seakan berharap menemukan kata-kata yang tepat di suatu tempat di atas sana.

Dia satu-satunya guru yang tidak menganggapku setolol keledai, gumamnya, nyaris tercekik emosi. Dia menyuruhku membaca& Shakespeare. Kau tahu,aku bahkan tidak tahu kalau aku bisa membaca hal semacam itu. Dia menyuruhku membaca buku tebal tersulit di dunia. Kau tahu, rasanya sangat menyedihkan ketika mendengar dia meninggal.



Ove tidak menjawab. Remaja itu menunduk memandang tanah. Mengangkat bahu.

Itu saja& .

Dia terdiam. Lalu mereka sama-sama berdiri di sana, lelaki berusia lima puluh sembilan tahun dan remaja itu, terpisah beberapa meter, menendang salju. Seakan mereka sedang menendang ingatan bolak-balik, ingatan mengenai seorang perempuan yang bersikeras melihat lebih banyak potensi di dalam diri lelaki-lelaki tertentu dibanding yang dilihat oleh para lelaki itu dalam diri mereka sendiri. Keduanya tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan pengalaman yang sama ini. Sepedanya mau kau apakan? tanya Ove, pada akhirnya. Aku berjanji kepada pacarku untuk membetulkannya. Dia tinggal di sana, jawab remaja itu sambil mengangguk ke arah rumah di ujung jauh jalanan, di seberang rumah Anita dan Rune. Rumah tempat orang-orang yang suka mendaurulang itu tinggal, jika mereka sedang tidak berada di Thailand atau di mana pun yang mereka datangi.

Atau, kau tahu. Dia belum menjadi pacarku, tapi kurasa aku ingin dia menjadi pacarku. Semacam itulah.

Ove mengamati remaja itu seperti yang sering dilakukan oleh lelaki setengah baya ketika mengamati pemuda yang seakan menciptakan tata bahasa mereka sendiri begitu saja. Kalau begitu, kau punya perkakas? tanyanya. Remaja itu menggeleng.

Bagaimana caramu memperbaiki sepeda tanpa perkakas? tanya Ove, lebih karena terkejut daripada jengkel.



Remaja itu mengangkat bahu. Entahlah. Kalau begitu, mengapa kau berjanji memperbaikinya? Remaja itu menendang salju. Menggaruk-garuk wajah dengan seluruh tangannya, tersipu-sipu. Karena aku mencintainya.

Ove tidak bisa memutuskan harus berkata apa. Jadi, dia menggulung surat kabar lokal dan amplop itu, lalu menepukkannya ke telapak tangan seperti tongkat pemukul.

Aku harus pergi, gumam remaja itu nyaris tak terdengar, lalu dia membuat gerakan untuk berbalik.

Kalau begitu, datanglah seusai kerja, aku akan mengeluarkan sepedanya untukmu.

Kata-kata Ove seakan tercetus entah dari mana. Tapi kau harus membawa perkakasmu sendiri, imbuhnya. Remaja itu berubah ceria. Kau serius, Pak? Ove terus memukul-mukulkan tongkat kertas itu ke tangannya. Remaja itu menelan ludah.

Hebat! Tunggu & ah, sialan & aku tidak bisa mengambil sepeda itu hari ini! Aku harus melakukan pekerjaanku yang lain! Tapi, besok, Pak, aku bisa datang besok. Bolehkah aku mengambilnya besok saja?

Ove memiringkan kepala dan tampak seakan semua yang baru saja terucap itu berasal dari mulut seorang tokoh fi lm kartun. Remaja itu menghela napas panjang dan menenangkan diri.

Pekerjaan lain apa? tanya Ove, seakan dia tidak punya jawaban lengkap dalam babak fi nal kuis tebak-tebakan.



Aku bekerja di sebuah kafe pada malam hari dan akhir pekan, jawab remaja itu dengan harapan baru di matanya, mungkin mengenai kemungkinan menyelamatkan hubungan khayalannya dengan pacar, yang bahkan tidak tahu kalau dirinya adalah pacar remaja itu semacam hubungan yang hanya bisa dimiliki oleh bocah dengan rambut berminyak di akhir masa remajanya.

Aku perlu dua pekerjaan karena sedang menabung, jelasnya.

Untuk apa? Mobil.

Mau tak mau, Ove memperhatikan betapa remaja itu sedikit menegakkan tubuh ketika mengucapkan mobil . Sejenak, Ove tampak bimbang. Lalu, dengan perlahan-lahan tapi waspada, dia kembali memukulkan tongkat kertas itu ke telapak tangannya.


Dewa Arak 68 Biang Biang Iblis Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang

Cari Blog Ini