A Man Called Ove Karya Fredrik Backman Bagian 5
Mobil macam apa?
Kurasa Renault, jawab remaja itu ceria sambil sedikit meregangkan tubuh lagi.
Udara di sekitar kedua lelaki itu berhenti selama kira-kira seperseratus tarikan napas. Keheningan yang mengerikan mendadak menyelubungi mereka. Seandainya ini adegan dalam fi lm, kemungkinan besar kameranya akan punya waktu untuk berputar 360 derajat mengelilingi mereka, sebelum Ove akhirnya kehilangan ketenangannya.
Renault? Renault? Itu mobil PRANCIS sialan! Kau tidak boleh pergi membeli mobil PRANCIS sialan!!!
Remaja itu seakan hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak mendapat kesempatan sebelum Ove mengguncang-kibaskan tubuh bagian atasnya, seakan berupaya menyingkirkan lebah yang keras kepala.
Astaga, dasar anak bawang! Tidak tahukah kau tahu soal mobil?
Remaja itu menggeleng. Ove mendesah panjang dan meletakkan sebelah tangan di kening, seakan mendadak terserang migrain.
Dan bagaimana caramu membawa sepeda itu ke kafe, jika kau tidak punya mobil? tanya Ove pada akhirnya, jelas berjuang memulihkan ketenangan.
Itu & belum kupikirkan, jawab remaja itu. Ove menggeleng-gelengkan kepala. Renault? Ya ampun & .
Remaja itu mengangguk. Ove menggosok-gosok mata dengan frustrasi.
Kalau begitu, di mana kafe sialan tempatmu bekerja itu? gumamnya.
Dua puluh menit kemudian, Parvaneh membuka pintu depan rumahnya dengan terkejut. Ove sedang berdiri di luar, memukul-mukul tangannya sendiri dengan tongkat kertas sambil menerawang.
Kau punya salah satu rambu hijau itu? Apa?
Kau harus punya salah satu rambu hijau itu jika sedang belajar menyetir. Punya atau tidak?
Parvaneh mengangguk. Ya & ya, aku punya, tapi ap Dua jam lagi aku akan datang menjemputmu. Kita akan menggunakan mobilku.
Ove berbalik dan berjalan kembali melintasi jalanan kecil itu tanpa menunggu jawaban.[]
27
Lelaki Bernama Ove dan Pelajaran
Menyetir
SESEKALI, SELAMA HAMPIR EMPAT PULUH tahun mereka tinggal di deretan rumah bandar itu, seorang tetangga yang sembrono dan baru saja pindah akan bertindak cukup berani dengan bertanya kepada Sonja mengenai apa penyebab sesungguhnya dari permusuhan mendalam antara Ove dan Rune. Mengapa kedua lelaki yang pernah bersahabat itu mendadak mulai saling membenci dengan intensitas yang begitu luar biasa?
Biasanya Sonja menjawab bahwa itu mudah saja. Itu hanya mengenai betapa, ketika kedua lelaki beserta istri mereka itu pindah ke rumah mereka masing-masing, Ove mengendarai Saab 96 dan Rune mengendarai Volvo 244. Kira-kira setahun kemudian, Ove membeli Saab 95 dan Rune membeli Volvo 245. Tiga tahun kemudian, Ove membeli Saab 900 dan Rune membeli Volvo 265. Selama berdekade-dekade selanjutnya, Ove membeli dua Saab 900, lalu Saab 9000. Rune
membeli Volvo 265 lagi, lalu Volvo 745, tapi beberapa tahun kemudian dia kembali ke model sedan dan membeli Volvo 740. Sedangkan Ove membeli satu lagi Saab 9000 dan pada akhirnya Rune membeli Volvo 760. Setelah itu, Ove membeli Saab 9000i dan Rune membeli Volvo 760 Turbo.
Lalu, tibalah hari ketika Ove pergi ke dealer mobil untuk melihat Saab 9-3 yang baru saja diluncurkan. Dan, ketika dia pulang pada malam harinya, Rune telah membeli BMW.
BMW! teriak Ove kepada Sonja. Bagaimana kau bisa berunding dengan manusia seperti itu? Bagaimana?
Dan, mungkin itu bukan penjelasan menyeluruh mengenai mengapa kedua lelaki ini saling membenci, jelas Sonja biasanya dulu. Entah kau mengerti atau tidak. Dan jika kau tidak mengerti, tidak ada gunanya menjelaskan sisanya.
Ove sering berkomentar bahwa sebagian besar orang tidak pernah mengerti. Namun sekarang ini orang memang tidak punya gagasan mengenai kesetiaan. Mobil hanya sarana transportasi dan jalanan hanya kerumitan yang membentang di antara dua titik. Ove yakin, inilah penyebab buruknya kondisi jalanan saat ini.
Jika orang sedikit lebih berhati-hati dengan mobil mereka, maka mereka tidak akan menyetir seperti idiot, pikirnya sambil menyaksikan dengan khawatir ketika Parvaneh menyingkirkan surat kabar yang telah dibentangkan Ove di kursi pengemudi. Parvaneh harus memundurkan kursi pengemudi sejauh mungkin agar bisa memasukkan perut hamilnya ke mobil, lalu memajukannya sedekat mungkin agar dia bisa meraih setir.
Pelajaran menyetir itu tidak dimulai dengan begitu baik. Atau, tepatnya, pelajaran itu dimulai dengan Parvaneh mencoba memasuki Saab dengan membawa sebotol jus bersoda. Seharusnya dia tidak berbuat begitu. Lalu dia mencoba mengotak-atik radio Ove untuk mencari stasiun yang lebih menghibur . Seharusnya dia juga tidak berbuat begitu.
Ove memungut surat kabar dari lantai mobil, menggulungnya, dan mulai memukul-mukulkannya ke tangan dengan gelisah, seperti memainkan versi bola-remas yang lebih agresif. Parvaneh mencengkeram setir dan memandang panel instrumen seperti anak kecil yang penasaran.
Dari mana kita memulai? tanyanya bersemangat, setelah akhirnya setuju untuk menyerahkan jusnya.
Ove mendesah. Si kucing duduk di kursi belakang dan tampak seakan berharap setengah mati seandainya kucing tahu cara mengenakan sabuk pengaman.
Tekan pedal koplingnya, kata Ove sedikit muram. Parvaneh memandang ke sekeliling kursi, seakan mencari sesuatu. Lalu, dia memandang Ove dan tersenyum manis. Yang mana koplingnya?
Wajah Ove dipenuhi ketidakpercayaan.
Parvaneh memandang ke sekeliling kursi lagi, berpaling ke arah perangkat sabuk pengaman di sandaran kursi, seakan bisa menemukan kopling itu di sana. Ove memegang kening. Ekspresi wajah Parvaneh langsung masam.
Sudah kubilang aku ingin SIM untuk mobil bertransmisi otomatis! Mengapa kau menyuruhku memakai mobilmu?
Karena kau akan mendapatkan SIM yang layak! sela Ove, dengan menekankan kata layak untuk menjelaskan bahwa SIM mobil bertransmisi otomatis bisa disebut SIM yang layak hanya jika mobil bertransmisi otomatis pantas disebut mobil yang layak .
Berhentilah meneriakiku! teriak Parvaneh. Aku tidak berteriak! balas Ove.
Si kucing bergelung di kursi belakang, jelas tidak ingin berakhir di tengah kesemuanya ini, apa pun itu. Parvaneh bersedekap dan melotot ke luar jendela samping. Ove memukul-mukulkan tongkat kertasnya ke telapak tangan.
Pedal di ujung kiri adalah kopling, gerutunya pada akhirnya.
Setelah menghela napas begitu dalam, hingga harus berhenti di tengah jalan untuk beristirahat sebelum menghela napas lagi, Ove melanjutkan:
Pedal di tengah adalah rem. Pedal di ujung kanan adalah gas. Kau melepaskan pedal kopling perlahan-lahan hingga terasa mulai bekerja, lalu menekan pedal gas, melepas pedal kopling, dan mobil mulai bergerak.
Parvaneh seakan menerima perkataan ini sebagai permintaan maaf. Dia mengangguk dan berubah tenang. Mencengkeram setir, menyalakan mesin mobil, dan mengikuti instruksi Ove.
Saab itu menyentak maju dengan sedikit melonjak, lalu berhenti sebelum melontarkan diri diiringi raungan keras menuju area parkir tamu dan nyaris menabrak mobil lain. Ove menarik rem tangan. Parvaneh melepaskan setir dan
berteriak panik, menutupi mata dengan tangan hingga Saab itu akhirnya berhenti secara mendadak. Ove terengahengah seakan harus berjalan menuju rem tangan dengan memaksakan diri melintasi lapangan-rintangan militer. Otot-otot wajahnya berkedut seperti orang yang matanya disemprot jus lemon.
Kini apa yang harus kulakukan? teriak Parvaneh ketika menyadari bahwa Saab itu hanya berjarak dua sentimeter dari lampu depan mobil di depannya.
Mundur. Kau memasukkan persneling mundur, kata Ove dengan gigi digertakkan.
Aku hampir menabrak mobil itu! teriak Parvaneh terengah-engah.
Ove mengintip ujung kap mobil. Lalu, secara mendadak wajahnya diliputi semacam ketenangan. Dia berpaling dan mengangguk kepada Parvaneh, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi.
Tidak apa-apa. Itu Volvo.
Perlu waktu lima belas menit bagi mereka untuk keluar dari area parkir dan memasuki jalan raya. Begitu mereka berada di sana, Parvaneh masuk ke persneling satu hingga Saab itu bergetar seakan hendak meledak. Ove menyuruhnya mengganti persneling dan dia menjawab tidak tahu caranya. Mendadak si kucing seperti berupaya membuka pintu belakang.
Ketika mereka tiba di lampu merah pertama, sebuah jip hitam besar dengan dua pemuda berkepala plontos di kursi depan berhenti begitu dekat dengan bemper belakang Saab,
hingga Ove yakin sekali pelat nomor mobilnya akan tertera di cat mobil mereka setibanya mereka di rumah. Parvaneh memandang kaca spion dengan gugup. Jip itu meraungkan mesin, seakan menyalurkan semacam pendapat. Ove berbalik dan memandang lewat jendela belakang. Dia memperhatikan bahwa seluruh leher kedua lelaki itu dipenuhi tato. Seakan jip belum cukup jelas untuk mengiklankan ketololan mereka.
Lampu lalu lintas berubah hijau. Parvaneh memasukkan persneling, mesin Saab meletup-letup dan panel instrumennya berubah hitam. Dengan gugup Parvaneh memutar kunci mobil, dan tindakannya itu hanya membuat mesin mendecitdecit memilukan. Mesin itu meraung, terbatuk-batuk, lalu mati lagi. Kedua lelaki berkepala plontos dengan leher bertato itu membunyikan klakson. Salah seorang dari mereka membuat isyarat dengan tangannya.
Tekan kopling dan beri lebih banyak gas, kata Ove. Itulah yang sedang kulakukan! jawab Parvaneh. Bukan itu yang sedang kau lakukan. Ya, itu yang kulakukan!
Kini kau berteriak.
SIALAN! AKU TIDAK BERTERIAK! teriak Parvaneh. Jip itu membunyikan klakson. Parvaneh menekan pedal kopling. Saab bergulir mundur beberapa sentimeter dan menumbuk bagian depan jip. Kedua Tato Leher kini membunyikan klakson seakan itu adalah alarm serangan udara.
Parvaneh mengotak-atik kunci mobil dengan putus asa, hanya untuk diganjar dengan kemogokan lagi. Lalu
mendadak, dia melepaskan semuanya dan menyembunyikan wajah di tangan.
Astaga & kini kau menangis? tanya Ove takjub. SIALAN! AKU TIDAK MENANGIS! raung Parvaneh dengan air mata menciprati dasbor.
Ove bersandar dan menunduk memandangi lututnya. Meraba-raba ujung tongkat kertasnya.
Ini sangat menegangkan, kau mengerti? Parvaneh tersedu-sedu dan menyandarkan kening pada setir, seakan berharap setir itu empuk dan berbulu. Aku sedang HAMIL! Aku hanya sedikit TERTEKAN, tidak adakah orang yang menunjukkan sedikit pengertian terhadap perempuan hamil sialan yang sedang sedikit TERTEKAN?!
Ove bergerak-gerak tidak nyaman di kursi depan. Parvaneh meninju setir beberapa kali, menggumamkan sesuatu mengenai betapa yang diinginkannya hanyalah minum sedikit limun sialan, menjatuhkan lengan ke atas setir, membenamkan wajah ke lengan baju, dan mulai menangis lagi.
Jip di belakang mereka membunyikan klakson hingga kedengarannya seakan kapal feri Finlandia hendak menabrak mereka. Lalu, Ove kehilangan kesabaran. Dia membuka pintu, keluar dari mobil, berjalan perlahan-lahan menuju jip itu, dan membuka paksa pintu depannya.
Kau tidak pernah belajar menyetir atau apa? Pengemudi itu tidak punya waktu untuk menjawab.
Dasar bajingan kecil tolol! teriak Ove di wajah pemuda berkepala plontos dengan tato leher itu, sementara ludahnya berjatuhan di kursi depan.
Tato Leher tidak punya waktu untuk menjawab dan Ove juga tidak menunggunya menjawab. Dia mencengkeram kerah pemuda itu dan menariknya begitu kencang hingga tubuhnya berguling keluar dari mobil dengan canggungnya. Pemuda itu berotot, bobot tubuhnya pasti seratusan kilogram, tapi Ove mencengkeram kerahnya erat-erat.
Jelas, Tato Leher sangat terkejut dengan kekuatan cengkeraman lelaki tua itu sehingga tidak terpikir olehnya untuk melawan. Kemarahan tampak membakar mata Ove ketika dia menekankan pemuda yang mungkin lebih muda tiga puluh lima tahun darinya itu begitu keras ke sisi jip, hingga lambung mobil itu berderak. Ove meletakkan ujung telunjuknya di tengah kepala plontos itu dan menempatkan matanya begitu dekat dengan wajah Tato Leher sehingga mereka bisa saling merasakan napas satu sama lain.
Jika kau membunyikan klakson sekali lagi, maka itu akan menjadi hal TERAKHIR yang kau lakukan di dunia ini. Mengerti?
Leher Tato melirik cepat ke arah temannya yang samasama berotot di dalam mobil, lalu ke arah antrean mobil lain yang semakin panjang di belakang jip. Tak seorang pun beringsut sedikit pun untuk membantunya. Tak seorang pun membunyikan klakson. Tak seorang pun bergerak. Semua orang seakan memikirkan hal yang sama: jika, tanpa sedikit pun keraguan, lelaki tanpa tato leher seusia Ove bisa melawan lelaki bertato leher seusia si Leher Tato ini, lalu
menekankan pemuda itu ke mobil dengan cara seperti itu, maka kemungkinan besar bukan lelaki bertato leher yang harus paling dikhawatirkan karena membuatnya jengkel.
Mata Ove tampak gelap diselubungi kemarahan. Setelah merenung sejenak, si Tato Leher tampak yakin bahwa lelaki tua itu jelas sangat serius. Ujung hidungnya yang nyaris tak terlihat bergerak naik turun.
Ove mengangguk menegaskan dan membiarkan pemuda itu terjatuh kembali ke tanah. Lalu dia berbalik, berjalan meninggalkan jip itu, dan kembali memasuki Saab. Parvaneh menatapnya dengan mulut ternganga.
Sekarang dengarkan aku, kata Ove tenang sambil menutup pintu dengan cermat. Kau telah melahirkan dua anak dan sebentar lagi akan melahirkan anak ketiga. Kau datang kemari dari negeri yang jauh dan kemungkinan besar kau kabur dari perang, penganiayaan, dan segala macam omong kosong lainnya. Kau telah mempelajari bahasa baru dan mendapatkan pendidikan, dan kau menyatukan sebuah keluarga yang jelas tidak kompeten. Jadi, aku akan terkejut jika pernah melihatmu merasa takut terhadap satu hal sialan saja di dunia ini.
Ove memandang tajam mata Parvaneh. Perempuan itu masih ternganga. Dengan galak Ove menunjuk pedal-pedal di bawah kaki Parvaneh.
Aku tidak memintamu melakukan bedah otak. Aku memintamu untuk menyetir mobil. Mobil itu punya gas, rem, dan kopling. Beberapa orang paling tolol dalam sejarah dunia memahami cara kerjanya. Jadi, kau akan paham juga.
Lalu Ove mengucapkan delapan kata yang akan selalu diingat Parvaneh sebagai pujian terindah yang pernah diberikan Ove kepadanya.
Karena kau bukan orang yang benar-benar tolol. Parvaneh menyingkirkan sehelai rambut ikal yang lengket oleh air mata dari wajahnya. Dengan kikuk, dia memegang setir sekali lagi dengan dua tangan. Ove mengangguk, memasang sabuk pengaman, dan membuat dirinya nyaman.
Sekarang injak pedal kopling dan lakukan apa yang kukatakan.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan, sore itu, Parvaneh pun belajar menyetir.[]
28
Lelaki Bernama Ove dan Lelaki
Bernama Rune
DAHULU SONJA SUKA BERKATA BAHWA Ove bukan pemaaf . Contohnya, dia menolak mendatangi kembali toko roti lokal, delapan tahun setelah mereka memberinya uang kembalian yang keliru ketika dia membeli kue pastry pada akhir 1990-an. Ove menyatakan dirinya punya prinsip yang kuat . Mereka tidak pernah setuju ketika menyangkut kata-kata dan arti dari kata-kata itu.
Ove tahu, Sonja kecewa karena dia dan Rune tidak bisa menjaga kerukunan. Dia tahu bahwa permusuhan antara dirinya dan Rune, hingga batas tertentu, merusak kemungkinan Sonja dan Anita bersahabat baik. Namun ketika telah berlangsung cukup lama, mustahil sebuah konfl ik bisa diselesaikan hanya karena tak seorang pun ingat bagaimana asal mulanya. Dan Ove tidak tahu bagaimana asal mulanya Dia hanya tahu bagaimana akhirnya.
BMW. Pasti ada beberapa orang yang mengerti dan beberapa yang tidak. Mungkin ada orang yang menganggap tidak ada hubungan antara mobil dan emosi. Namun tidak akan pernah ada penjelasan yang lebih gamblang mengenai mengapa kedua lelaki ini bermusuhan untuk selamanya.
Tentu saja konfl ik itu dimulai dengan cukup sepele, tak lama setelah Ove dan Sonja kembali dari Spanyol dan kecelakaan itu. Ove memasang batu-batu hampar baru di kebun kecil mereka pada musim panas itu, sedangkan Rune memasang pagar baru di kebunnya. Lalu Ove memasang pagar yang bahkan lebih tinggi di kebunnya, sedangkan Rune pergi ke toko bangunan dan beberapa hari kemudian mulai membual ke seluruh jalanan itu bahwa dia telah membangun kolam renang .
Sialan, itu bukan kolam renang, kata Ove berang kepada Sonja. Itu kolam main kecil untuk bayi Rune dan Anita yang baru lahir. Itu saja. Selama beberapa saat, Ove berencana melaporkan kolam itu pada dinas tata kota sebagai bangunan ilegal, tapi Sonja bertindak dan mengirim Ove ke luar untuk memangkas rumput dan menenangkan diri. Jadi Ove mematuhinya, walaupun jelas aktivitas itu tidak menenangkannya sedikit pun.
Halaman itu berbentuk persegi panjang, lebarnya sekitar lima meter dan menghampar di sepanjang bagian belakang rumah Ove dan Rune serta rumah di antara kedua rumah mereka, yang langsung disebut Sonja dan Anita sebagai zona netral . Tak seorang pun tahu pasti untuk apa halaman itu atau fungsi apa yang diharapkan darinya.
Namun ketika kompleks rumah bandar dibangun pada masa itu, agaknya arsitek kota punya gagasan bahwa halaman harus ada di sana sini, hanya karena itu tampak bagus sekali dalam gambar. Ketika Ove dan Rune membentuk Asosiasi Warga dan masih berteman, kedua lelaki itu memutuskan bahwa Ove harus menjadi pengurus tanah dan bertanggung jawab memangkas rumput. Itu selalu menjadi tugas Ove dulu.
Suatu ketika, tetangga-tetangga lain pernah mengusulkan agar Asosiasi meletakkan meja-meja dan bangku-bangku di halaman itu untuk menciptakan semacam ruang bersama bagi semua tetangga . Namun, jelas Ove dan Rune langsung menghentikan usulan itu. Itu hanya akan menjadi kekacauan sialan dan banyak keributan.
Dan, sejauh itu, segalanya tenang dan menyenangkan. Setidaknya sejauh sesuatu bisa disebut tenang dan menyenangkan ketika lelaki semacam Ove dan Rune terlibat.
Tak lama setelah Rune membangun kolam , seekor tikus berlari melintasi halaman Ove yang baru saja dipangkas rumputnya dan memasuki pepohonan di sisi lain. Ove langsung mengadakan pertemuan darurat Asosiasi dan mendesak semua penduduk setempat agar meletakkan racun tikus di sekeliling rumah mereka.
Tentu saja, para tetangga memprotes karena mereka telah melihat landak-landak di tepi hutan dan merasa khawatir landak-landak itu akan menyantap racunnya. Rune juga memprotes, karena khawatir sebagian racun akan berakhir di kolamnya. Ove menyarankan kepada Rune agar dia mengancingkan kemeja dan menemui psikolog, sehubungan dengan khayalannya tinggal di Riviera di Prancis.
Rune melontarkan gurauan jahat, menyatakan bahwa Ove mungkin hanya membayangkan melihat tikus. Semua orang lainnya tertawa. Ove tidak pernah memaafk an Rune untuk itu. Keesokan paginya, seseorang melemparkan makanan burung ke seluruh ruang terbuka di rumah Rune, dan Rune harus menggunakan sekop untuk mengusir selusin tikus sebesar alat pengisap debu selama beberapa minggu berikutnya. Setelah itu Ove mendapat izin untuk meletakkan racun, walaupun Rune bergumam akan membalas Ove untuk ini.
Dua tahun kemudian, Rune memenangkan Konfl ik Pohon Besar ketika, pada saat pertemuan tahunan, dia mendapat izin untuk menebang pohon yang memblokir sinar matahari malam ke salah satu sisi rumahnya. Pohon yang sama itu, di sisi lain, meneduhkan kamar Ove dan Sonja dari sinar matahari pagi yang menyilaukan. Selanjutnya, Rune berhasil menghentikan usulan Ove yang menuntut Asosiasi agar membayar kanopi baru di rumah Ove.
Akan tetapi Ove berhasil membalas dendam pada saat Pertempuran Pembersihan Salju di musim dingin berikutnya, ketika Rune ingin mengangkat dirinya sendiri sebagai Kepala Penyekopan Salju sekaligus membebani Asosiasi Warga dengan pembelian mesin pembersih salju raksasa. Ove tidak bermaksud membiarkan Rune lolos dengan semacam alat sialan atas biaya Asosiasi dan melemparkan salju ke jendela Ove, dan ini dijelaskannya secara gamblang dalam pertemuan Kelompok Pembina.
Rune masih dipilih untuk bertanggung jawab atas pembersihan salju. Namun, yang membuatnya sangat jengkel, dia harus menghabiskan waktu sepanjang musim dingin
dengan menyekop salju secara manual di antara rumahrumah.
Akibatnya, tentu saja, secara konsisten dia menyekop salju di luar semua rumah di deretan rumah mereka, kecuali di luar rumah Ove dan Sonja. Sekadar untuk membuat Rune jengkel, pada pertengahan Januari, Ove menyewa mesin pembersih salju raksasa untuk membersihkan petak seluas sepuluh meter persegi di luar pintu rumahnya. Rune sangat berang soal itu, dan Ove mengingatnya dengan gembira hingga hari ini.
Tentu saja, Rune menemukan cara untuk membalas Ove pada musim panas berikutnya, dengan membeli traktor pemotong rumput besar. Lalu, pada saat Pertemuan Tahunan, melalui gabungan antara pengkhianatan, kebohongan, dan persekongkolan, dia berhasil mendapat persetujuan untuk mengambil alih tanggung jawab Ove memangkas rumput di halaman, dengan alasan dia punya peralatan yang sedikit lebih memadai daripada milik orang yang memikul tanggung jawab itu sebelumnya .
Sebagai pembalasan sebagian, empat tahun kemudian, Ove berhasil menghentikan rencana Rune memasang jendelajendela baru di rumahnya. Karena, setelah tiga puluh tiga surat dan selusin telepon bernada marah, Departemen Perencanaan Kota menyerah dan menerima alasan Ove bahwa tindakan itu akan merusak karakter arsitektural harmonis area itu .
Selama tiga tahun berikutnya, Rune menolak membicarakan Ove dan hanya menyebutnya sebagai birokrat sialan itu . Ove menganggap ini sebagai pujian. Dan, pada tahun berikutnya, dia mengganti jendela-jendela rumahnya sendiri.
Ketika musim semi berikutnya tiba, kelompok pembina memutuskan bahwa area itu memerlukan sistem pemanas kolektif yang baru. Tentu saja, secara kebetulan Rune dan Ove punya pandangan yang benar-benar berbeda mengenai sistem pemanas macam apa yang diperlukan, dan ini secara bergurau disebut oleh para tetangga lainnya sebagai pertempuran pompa air . Perselisihan ini berkembang menjadi pertarungan abadi di antara kedua lelaki itu.
Dan ini terus berlanjut.
Namun, seperti yang dulu biasa dikatakan oleh Sonja, ada juga beberapa momen lainnya. Tak banyak, tapi perempuan seperti Sonja dan Anita tahu cara memanfaatkan momenmomen itu dengan sebaik-baiknya. Sebab, konfl ik membara tidak selalu berlangsung. Pada suatu musim panas 1980- an, misalnya, Ove membeli Saab 9000 dan Rune membeli Volvo 760. Dan, mereka begitu gembira dengan pembelian ini sehingga berdamai selama beberapa minggu. Sonja dan Anita bahkan berhasil mengumpulkan mereka berempat untuk makan malam pada beberapa kesempatan.
Putra Rune dan Anita, yang saat itu sedang tumbuh menjadi remaja dengan semua ketidakramahan dan ketidaksopanan alami yang mengikutinya, duduk di satu ujung meja seperti aksesori yang menjengkelkan. Bocah itu dilahirkan untuk marah, dulu Sonja suka berkata begitu dengan kesedihan dalam suaranya. Namun, Ove dan Rune berhasil mempertahankan kerukunan dengan sangat baik sehingga mereka bahkan minum sedikit wiski di pengujung malam.
Sayangnya, pada saat makan malam terakhir mereka di musim panas itu, Ove dan Rune mendapat gagasan untuk mengadakan barbekyu. Jelas mereka langsung mulai berseteru mengenai cara paling efektif untuk menyalakan panggangan bulat Ove. Dalam waktu lima belas menit, volume perselisihan itu telah meningkat sedemikian tingginya. Akhirnya, Sonja dan Anita setuju bahwa sebaiknya mereka menyantap makan malam secara terpisah. Kedua lelaki itu sempat membeli dan menjual Volvo 760 (Turbo) dan Saab 9000i, sebelum kembali saling bicara.
Sementara itu, tetangga datang dan pergi di deretan rumah itu. Pada akhirnya ada begitu banyak wajah baru di ambang pintu rumah-rumah bandar lainnya sehingga semua wajah itu berbaur menjadi lautan kelabu. Di tempat yang dulunya berupa hutan, yang ada hanyalah derek-derek konstruksi.
Ove dan Rune berdiri di luar rumah mereka dengan tangan dimasukkan ke saku celana panjang, bagaikan dua relik kuno di era baru, sementara barisan agen perumahan angkuh yang nyaris tidak bisa melihat gara-gara simpul dasi mereka yang seukuran bungkul anggur berpatroli di jalan setapak di antara rumah-rumah dan terus mengawasi mereka berdua seperti burung-burung bangkai yang mengamati dua kuda nil tua. Mereka nyaris tidak sabar menunggu untuk bisa memindahkan beberapa keluarga konsultan sialan ke dalam rumah Ove dan Rune. Kedua lelaki itu tahu sekali.
Putra Rune dan Anita meninggalkan rumah ketika berusia dua puluh, pada awal 1990-an. Tampaknya dia
pergi ke Amerika. Ove mengetahui ini dari Sonja. Mereka jarang melihat pemuda itu lagi. Terkadang Anita menerima telepon menjelang Natal, tapi kini dia begitu sibuk dengan urusannya sendiri , itulah yang dikatakan Anita untuk memompa semangatnya sendiri, walaupun Sonja bisa melihat perempuan itu menahan air mata. Beberapa bocah laki-laki meninggalkan segalanya dan tidak pernah menoleh ke belakang. Jadi begitulah.
Rune tidak pernah berkomentar apa pun soal ini. Namun bagi siapa pun yang telah lama mengenalnya, rasanya seakan dia menyusut beberapa sentimeter pada tahun-tahun berikutnya. Seolah-olah dia meringkuk sambil mendesah panjang dan tidak pernah bernapas dengan benar lagi.
Beberapa tahun kemudian, Rune dan Ove bertengkar untuk kesekian ratus kalinya mengenai sistem pemanas kolektif itu. Ove bergegas keluar dari pertemuan Asosiasi Warga dengan marah, dan tak pernah kembali. Pertempuran terakhir yang diperjuangkan oleh kedua lelaki itu terjadi pada 2000-an, ketika Rune membeli salah satu mesin pemotong rumput robotik otomatis yang dipesannya dari Asia dan dibiarkannya mendengung mondar-mandir di halaman di belakang rumah-rumah.
Rune bahkan bisa memprogramnya dari jauh untuk membuat pola-pola khusus , kata Sonja dengan nada terkesan pada suatu malam, ketika pulang dari mengunjungi Anita. Ove segera menyadari bahwa pola khusus ini membuat sampah kecil robotik itu terbiasa mendengung mondar
mandir sepanjang malam di luar jendela kamar Ove dan Sonja. Pada suatu malam, Sonja melihat Ove mengambil obeng dan berjalan keluar dari pintu beranda. Keesokan paginya, secara misterius robot kecil itu bergerak lurus ke dalam kolam Rune.
Sebulan setelah itu, Rune masuk rumah sakit untuk kali pertama. Dia tidak pernah membeli mesin pemotong rumput lagi. Ove sendiri tidak tahu bagaimana permusuhan mereka dimulai, walaupun dia tahu benar kalau permusuhan itu langsung berakhir. Setelah itu yang tertinggal hanyalah ingatan bagi Ove, dan tidak adanya ingatan bagi Rune.
Dan kemungkinan besar, ada orang yang menganggap seseorang tidak bisa menafsirkan perasaan kaum lelaki berdasarkan mobil yang mereka kendarai.
Namun ketika mereka pindah ke rumah bandar itu, Ove mengendarai Saab 96 dan Rune mengendarai Volvo 244. Setelah kecelakaan itu Ove membeli Saab 95 agar dia punya ruang untuk kursi roda Sonja. Pada tahun yang sama itu, Rune membeli Volvo 245 agar punya ruang untuk kereta bayi. Tiga tahun kemudian, Sonja punya kursi roda yang lebih modern sehingga Ove membeli Saab 900 model hatchback. Rune membeli Volvo 265 karena Anita sudah mulai bicara mengenai punya anak lagi.
Lalu Ove membeli dua lagi Saab 900, dan setelah itu dia membeli Saab 9000 pertamanya. Rune membeli Volvo 265, dan pada akhirnya Volvo 745 estate. Namun tidak ada lagi anak-anak yang muncul. Pada suatu malam, Sonja pulang dan bercerita kepada Ove bahwa Anita sudah pergi ke dokter.
Dan seminggu kemudian, Volvo 740 terparkir di garasi Rune. Model sedan.
Ove melihatnya ketika sedang mencuci Saab. Malamnya Rune menemukan setengah botol wiski di luar pintu rumahnya. Mereka tidak pernah bicara soal itu.
Mungkin kepedihan karena anak-anak yang tidak pernah lahir seharusnya mendekatkan kedua lelaki itu. Namun kepedihan tidak bisa diandalkan dengan cara seperti itu. Ketika orang tidak saling berbagi, kemungkinan besar kepedihan malah akan menjauhkan mereka.
Mungkin Ove tidak pernah memaafk an Rune yang tidak bisa akrab dengan putranya sendiri. Mungkin Rune tidak pernah memaafk an Ove karena Ove tidak bisa memaafk annya untuk itu. Mungkin mereka berdua tidak memaafk an diri mereka sendiri, karena tidak bisa memberikan kepada perempuan yang mereka cintai melebihi segalanya apa yang diinginkan oleh kedua perempuan itu melebihi segalanya.
Putra Rune dan Anita tumbuh besar dan meninggalkan rumah begitu ada kesempatan. Dan Rune pergi membeli BMW sporty, salah satu mobil yang hanya punya ruang untuk dua orang dan sebuah tas tangan. Sebab kini hanya ada dia dan Anita, katanya kepada Sonja ketika mereka bertemu di area parkir. Dan, orang tidak bisa mengendarai Volvo seumur hidup , katanya sambil mencoba tersenyum setengah hati.
Sonja bisa mendengar Rune berupaya menahan air mata. Dan saat itulah Ove menyadari bahwa sebagian dari diri Rune
telah menyerah untuk selamanya. Dan untuk itu, mungkin Ove dan Rune sendiri tidak bisa memaafk annya.
Jelas ada orang yang menganggap perasaan tidak bisa dinilai dari jenis mobil. Namun mereka keliru.[]
29
Lelaki Bernama Ove dan Hombreng
KITA MAU KE MANA SIH!? tanya Parvaneh terengah-engah.
Membetulkan sesuatu, jawab Ove singkat, tiga langkah di depan Parvaneh, dengan si kucing setengah berlari di sampingnya.
Sesuatu apa? Sesuatu!
Parvaneh berhenti dan menghela napas.
Di sini! Ove berteriak dan mendadak berhenti di depan sebuah kafe kecil.
Aroma croissant yang baru matang melayang keluar lewat pintu kaca. Parvaneh memandang area parkir di seberang jalan, tempat mereka meninggalkan Saab. Mereka tidak bisa parkir lebih dekat lagi dengan kafe itu.
Mulanya, Ove benar-benar yakin kalau kafe itu terletak di ujung lain blok. Saat itu Parvaneh menyarankan agar mereka
parkir di sana, tapi gagasan itu dilupakan begitu mereka tahu kalau ongkos parkirnya satu krona lagi per jam.
Akhirnya mereka parkir di sini dan berjalan mengelilingi blok untuk mencari kafe itu. Sebab Ove, seperti yang segera disadari oleh Parvaneh, adalah jenis lelaki yang, ketika tidak begitu yakin harus pergi ke mana, hanya terus berjalan lurus saja ke depan, merasa yakin bahwa jalanan itu pada akhirnya akan ketemu. Dan kini, ketika mereka tahu bahwa kafenya terletak tepat di seberang tempat mereka parkir, Ove tampak seakan inilah rencananya sedari awal. Parvaneh mengusap keringat dari pipi.
Seorang lelaki berjanggut kotor acak-acakan sedang bersandar di dinding di dekat situ. Ada cangkir kertas di depannya. Di luar kafe, Ove, Parvaneh, dan si kucing bertemu dengan pemuda ramping berusia sekitar dua puluhan dengan sesuatu yang sangat mirip jelaga hitam di sekeliling matanya.
Perlu sejenak bagi Ove untuk menyadari bahwa dialah bocah laki-laki yang berdiri di belakang pemuda dengan sepeda itu, ketika Ove bertemu dengannya untuk kali pertama. Pemuda itu tampak sedikit waspada, walaupun dia tersenyum kepada Ove. Ove tidak tahu harus berbuat apa selain mengangguk membalasnya. Seakan dia ingin menjelaskan bahwa, walaupun tidak bermaksud membalas senyuman itu, dia siap menerimanya.
Mengapa kau tidak membiarkanku parkir di sebelah mobil merah itu? tanya Parvaneh ingin tahu, ketika mereka membuka pintu kaca kafe dan melangkah masuk. Ove tidak menjawab.
Aku pasti bisa melakukannya! kata Parvaneh percaya
diri.
Ove menggeleng lelah. Dua jam lalu, perempuan itu tidak tahu di mana letak kopling. Kini dia merasa jengkel karena Ove tidak mengizinkannya menyelinap masuk ke tempat parkir sempit.
Begitu mereka berada di dalam kafe, dari sudut matanya Ove melihat bocah ramping bermata jelaga memberikan roti lapis kepada gelandangan tadi.
Hai, Ove! teriak sebuah suara dengan begitu bersemangat hingga nadanya melengking tinggi.
Ove berbalik dan melihat pemuda dari gudang sepeda. Pemuda itu berdiri di balik meja panjang mengilap di depan ruangan itu, dan Ove melihat bahwa dia mengenakan topi bisbol. Di dalam ruangan.
Si kucing dan Parvaneh bersikap seakan berada di rumah. Parvaneh mengusap keringat dari kening walaupun udaranya sedingin es di dalam sana. Sesungguhnya udaranya lebih dingin daripada di jalanan di luar sana. Parvaneh menuang air dari wadah di meja. Dengan cuek, si kucing meminum sebagian air dari gelas Parvaneh, ketika perempuan itu sedang tidak melihat.
Kalian saling mengenal? tanya Parvaneh terkejut sambil memandang remaja itu.
Aku dan Ove bisa dibilang berteman. Remaja itu mengangguk.
Benarkah? Aku dan Ove juga bisa dibilang berteman! Parvaneh menyeringai, dengan halus menirukan kegairahan remaja itu.
Ove berhenti pada jarak aman dari meja. Seakan seseorang bisa memberinya pelukan jika dia berada terlalu dekat. Namaku Adrian, kata remaja itu.
Parvaneh, kata Parvaneh.
Kalian mau minum? tanya remaja itu kepada mereka. Latt e. Terima kasih, jawab Parvaneh, dengan nada suara seakan bahunya mendadak dipijati. Dia menepuk-nepuk kening dengan serbet. Sebaiknya latt e dingin, jika ada!
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ove menggeser bobot tubuh dari kaki kiri ke kaki kanan dan mengamati ruangan itu. Dia tidak pernah menyukai kafe. Sonja, tentu saja, suka. Bisa duduk di dalam kafe sepanjang Minggu hanya untuk melihat orang-orang , begitulah katanya dulu.
Biasanya Ove mencoba duduk di sana bersamanya, membaca koran. Itu mereka lakukan setiap Minggu. Ove belum menginjak kafe semenjak Sonja meninggal. Dia mendongak dan menyadari bahwa Adrian, Parvaneh, dan si kucing sedang menanti jawaban darinya.
Kopi saja. Hitam.
Adrian menggaruk-garuk rambutnya di bawah topi. Jadi & espresso?
Tidak. Kopi.
Adrian beralih menggaruk-garuk dagu. Apa & maksudnya, kopi hitam?
Ya.
Dengan susu?
Jika diberi susu, namanya bukan kopi hitam. Adrian memindahkan beberapa mangkuk gula di meja. Terutama, hanya agar dia punya sesuatu untuk dilakukan sehingga tidak tampak terlalu tolol. Sudah agak terlambat untuk itu, pikir Ove.
Kopi tapis biasa. Kopi tapis sialan biasa, ulang Ove. Adrian mengangguk.
Oh, itu & Wah. Aku tidak tahu cara membuatnya. Dengan agresif, Ove menunjuk ketel penapis kopi di pojok, yang nyaris tak terlihat di balik mesin perak raksasa mirip kapal ruang angkasa yang, dipahami Ove, mereka gunakan untuk membuat espresso.
Oh, yang itu, kata Adrian, seakan baru saja paham. Ah & aku tidak begitu tahu cara menggunakannya.
Sialan. Seharusnya sudah kuduga & , gumam Ove sambil berjalan memutari meja dan menangani sendiri masalahnya.
Bisakah seseorang memberitahuku untuk apa kita ke sini? tanya Parvaneh.
Pemuda ini punya sepeda yang perlu diperbaiki, jelas Ove sambil menuang air ke dalam wadah.
Sepeda yang kita angkut di bagian belakang mobil? Kau membawanya kemari? Terima kasih, Ove! Kau tidak punya mobil, kan? jawab Ove sambil menggeledah lemari untuk mencari saringan kopi.
Terima kasih, Ove! kata Adrian sambil maju selangkah menghampiri Ove, lalu dia tersadar dan berhenti sebelum melakukan sesuatu yang konyol.
Jadi, itu sepedamu? Parvaneh tersenyum. Bisa dibilang begitu itu sepeda pacarku. Atau cewek yang ingin kujadikan pacar & semacam itulah.
Parvaneh menyeringai. Jadi, aku dan Ove berkendara sejauh ini hanya untuk mengantarkan sepeda itu, agar kau bisa memperbaikinya? Demi seorang cewek?
Adrian mengangguk. Parvaneh mencondongkan tubuh ke atas meja dan menepuk lengan Ove. Kau tahu, Ove, terkadang orang hampir curiga kalau kau punya hati & .
Kau punya perkakas di sini atau tidak? tanya Ove kepada Adrian sambil menjauhkan lengan.
Adrian mengangguk.
Kalau begitu, pergilah mengambilnya. Sepedanya ada di Saab di parkiran mobil.
Adrian mengangguk cepat dan menghilang ke dapur. Setelah beberapa menit, dia kembali dengan membawa kotak perkakas besar, yang cepat-cepat dibawanya keluar. Dan kau, diamlah, kata Ove kepada Parvaneh. Parvaneh menyeringai seakan tidak punya niat untuk tetap diam.
Aku hanya membawa sepeda itu kemari agar dia tidak membuat kekacauan di gudang di rumah & , imbuh Ove. Pasti, pasti, kata Parvaneh sambil tertawa.
Oh, hei, kata Adrian ketika bocah bermata jelaga muncul lagi beberapa saat kemudian. Ini bosku.
Hai semuanya ah, apa & maaf, kau sedang apa? tanya si bos . Dengan tertarik, dia memandang orang asing lincah yang telah membarikade diri sendiri di balik meja kafenya itu.
Anak ini hendak memperbaiki sepeda, jawab Ove, seakan ini adalah sesuatu yang gamblang dan sederhana. Di mana kau menyimpan saringan untuk kopi asli?
Bocah bermata jelaga menunjuk salah satu rak. Ove menyipitkan mata memandangnya. Apa itu riasan? Parvaneh menyuruhnya diam. Ove tampak tersinggung. Apa? Apa salahnya bertanya?
Bocah laki-laki itu tersenyum sedikit gugup. Ya, ini riasan. Dia mengangguk sambil mengusap sekeliling matanya. Semalam aku pergi berdansa, katanya sambil tersenyum berterima kasih ketika Parvaneh, dengan kesigapan seorang konspirator, mengeluarkan tisu basah dari tas tangan dan memberikannya kepadanya.
Ove mengangguk dan kembali pada pembuatan kopinya. Dan kau juga punya masalah dengan sepeda dan cinta dan cewek? tanyanya linglung.
Tidak, tidak, bukan dengan sepeda. Dan kurasa bukan dengan cinta juga. Wah, yang pasti bukan dengan cewek. Dia tergelak.
Ove menyalakan ketel penapis kopi dan, begitu alat itu mulai meletup-letup, dia berbalik dan bersandar di meja, seakan ini hal paling alami di dunia, di sebuah kafe yang tak seorang pun di dalamnya bekerja.
Kau banci, kan?
OVE! kata Parvaneh sambil menampar lengan Ove. Ove menarik lengan dan tampak sangat tersinggung. Apa?!
Kau tidak boleh berkata & kau tidak boleh menyebutnya seperti itu, kata Parvaneh. Jelas dia tidak mau mengucapkan kata itu lagi.
Banci? tanya Ove.
Parvaneh berupaya memukul lengan Ove lagi, tapi Ove terlalu cepat menghindar.
Jangan bicara seperti itu! perintahnya.
Ove berpaling kepada bocah berjelaga itu, tampak benarbenar kebingungan.
Tidak bolehkah orang berkata banci? Apa yang seharusnya dikatakan sekarang ini?
Kau mengatakan homoseksual. Atau LGBT, sela Parvaneh, sebelum dia sempat menghentikan dirinya sendiri.
Ah, kau bisa berkata apa pun sesukamu, tidak apa-apa. Bocah laki-laki itu tersenyum sambil berjalan memutari meja dan mengenakan celemek.
Baiklah, bagus. Bagus karena sudah jelas. Kalau begitu, kau salah seorang banci, gumam Ove. Parvaneh menggelenggelengkan kepala meminta maaf; bocah laki-laki itu hanya tertawa.
Baiklah, kata Ove sambil mengangguk, dan mulai menuang kopi untuk dirinya sendiri ketika ketel penapis kopi itu masih bekerja.
Lalu dia mengambil cangkir kopinya dan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, pergi ke area parkir di luar. Bocah berjelaga tidak berkomentar mengenai Ove yang membawa cangkir ke luar. Itu seakan tidak begitu perlu mengingat situasinya, karena lelaki ini, lima menit setelah kedatangannya di kafe bocah laki-laki itu, sudah mengangkat dirinya sendiri sebagai barista dan menginterogasinya mengenai preferensi seksualnya.
Adrian sedang berdiri di luar, di samping Saab, tampak seakan baru saja tersesat di hutan.
Tidak ada masalah, kan? tanya Ove retoris, sambil menyeruput kopi dan memandang sepeda yang bahkan belum dilepaskan oleh Adrian dari bagian belakang mobil.
Ah & kau tahulah. Ada semacam masalah. Yah, kata Adrian memulai sambil menggaruk-garuk dada tanpa sadar.
Ove mengamatinya selama kira-kira setengah menit. Kembali meneguk kopi. Mengangguk jengkel, seperti seseorang yang baru saja memencet avokad dan mendapati buah itu kematangan. Dengan paksa, dia menyerahkan cangkir kopinya ke tangan bocah laki-laki itu, lalu melangkah maju untuk menurunkan sepeda. Membalik sepeda dan membuka kotak perkakas yang dibawa oleh pemuda itu dari kafe.
Tidak pernahkah ayahmu mengajarimu memperbaiki sepeda? tanya Ove tanpa memandang Adrian, sambil membungkuk di atas ban berlubang.
Ayahku di penjara, jawab Adrian nyaris tak terdengar, sambil menggaruk-garuk bahu dan memandang ke sekeliling, seakan ingin mencari lubang hitam besar untuk dimasuki. Ove
terdiam, mendongak, dan melayangkan pandangan menilai. Bocah laki-laki itu menunduk menatap tanah. Ove berdeham.
Ini tidak sesulit itu, gumamnya pada akhirnya, sambil mengisyaratkan Adrian untuk duduk di tanah.
Perlu waktu sepuluh menit bagi mereka untuk menambal lubang itu. Ove memberikan instruksi-instruksi satu suku kata; Adrian tidak mengatakan apa pun di sepanjang prosesnya. Namun, Ove harus mengakui, Adrian penuh perhatian, cekatan dan, dalam pengertian tertentu, tidak begitu mempermalukan dirinya sendiri. Mungkin bocah itu tidak begitu kikuk dengan tangannya, tidak seperti kalau dengan kata-kata. Mereka membersihkan kotoran dengan lap dari bagasi Saab sambil menghindari kontak mata satu sama lain.
Kuharap cewek itu sepadan, kata Ove sambil menutup bagasi.
Kini giliran Adrian yang tampak kebingungan. Ketika mereka kembali ke dalam kafe, seorang lelaki pendek dengan tubuh berbentuk kubus dan berkemeja ternoda yang sedang berdiri di atas tangga, mengutak-atik sesuatu yang menurut dugaan Ove adalah kipas pemanas. Bocah berjelaga berdiri di bawah tangga, memegang serangkaian obeng yang diangkatnya tinggi-tinggi. Dia terus-menerus membersihkan sisa-sisa riasan di sekeliling matanya sambil memandang lelaki gemuk di atas tangga dan tampak sedikit gugup. Seakan merasa khawatir tepergok. Parvaneh berpaling kepada Ove dengan bersemangat.
Ini Amel! Dia pemilik kafe! kata Parvaneh dengan cara yang sama bersemangatnya. Dia menunjuk lelaki kubus di atas tangga.
Amel tidak berbalik, tapi mengucapkan serangkaian panjang konsonan tegas yang, walaupun tidak dipahami oleh Ove, dicurigainya merupakan kombinasi beragam kata makian.
Apa katanya? tanyanya kepada Adrian. Bocah berjelaga bergerak-gerak tidak nyaman. Ah & dia & sesuatu mengenai kipas pemanas yang sedikit bertingkah seperti banci & .
Dia memandang Adrian, lalu cepat-cepat menundukkan kepala.
Apa maksudnya? tanya Ove sambil berjalan menghampirinya.
Maksudnya kipas-pemanas itu tidak berguna, seperti homo, katanya dengan suara begitu rendah, hingga Ove saja yang bisa menangkap kata-katanya.
Sebaliknya, Parvaneh sibuk menunjuk Amel dengan gembira.
Kau tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya, tapi bisa dibilang kau mengenal hampir semua kata makiannya! Dia mirip versi sulih suara dari dirimu, Ove!
Ove tidak tampak terlalu senang. Begitu juga dengan Amel.
Lelaki itu berhenti mengotak-atik kipas pemanas dan menunjuk Ove dengan obeng.
Kucing itu? Itu kucingmu? Bukan, jawab Ove.
Bukan karena dia ingin mengatakan bahwa itu bukan kucingnya, tapi lebih karena dia ingin menjelaskan bahwa si kucing tidak ada yang punya.
Kucing keluar! Hewan dilarang di kafe! Amel memangkas pengucapan konsonan-konsonannya, hingga semua konsonan itu berlompatan seperti anak nakal yang tepergok di dalam kalimat.
Dengan tertarik Ove memandang kipas-pemanas di atas kepala Amel. Lalu memandang si kucing di bangku bar. Lalu kotak perkakas yang masih dipegang Adrian. Lalu dia kembali memandang kipas pemanas. Dan memandang Amel.
Jika aku memperbaiki kipas pemanas itu untukmu, si kucing tetap di dalam.
Ove cenderung mengatakan hal ini sebagai pernyataan, bukan pertanyaan. Sejenak Amel seakan tidak bisa menguasai diri. Ketika sudah memulihkan ketenangan, dengan cara yang mungkin tidak akan bisa dijelaskannya setelah itu, dia berubah menjadi lelaki yang memegangi tangga, alih-alih lelaki yang berdiri di atas tangga. Ove mengotak-atik di atas sana selama beberapa menit, menuruni tangga, mengusapkan telapak tangan pada celana panjangnya, lalu menyerahkan obeng dan kunci pas kecil kepada bocah berjelaga.
Kau berhasil! teriak Amel seketika, ketika kipaspemanas itu meletup-letup dan menyala kembali. Dengan bersemangat, dia meraih bahu Ove. Wiski? Kau mau? Di dapurku ada wiski!
Ove menengok arloji. Pukul dua lewat seperempat. Dia menggeleng, tampak sedikit tidak nyaman, sebagian karena wiski dan sebagian karena Amel masih memegangi bahunya. Bocah berjelaga menghilang lewat pintu dapur di balik meja, masih menggosok-gosok mata dengan panik.
Adrian menyusul Ove dan si kucing dalam perjalanan kembali ke Saab.
Ove, Sobat, kau tidak akan bilang apa-apa mengenai Mirsad yang& .
Siapa?
Bosku, jawab Adrian. Yang pakai riasan. Si homo? tanya Ove.
Adrian mengangguk.
Maksudku, ayahnya & maksudku, Amel & dia tidak tahu kalau Mirsad & .
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adrian tergagap mencari kata yang tepat. Homo? tanya Ove.
Adrian mengangguk. Ove mengangkat bahu. Parvaneh menyusul di belakang mereka dengan terengah-engah. Kau dari mana? tanya Ove kepadanya.
Aku memberinya uang receh, kata Parvaneh sambil mengangguk menunjuk lelaki berjanggut kotor di samping dinding sebuah rumah.
Kau tahu, dia hanya akan membelanjakan uang itu untuk minuman keras, kata Ove.
Parvaneh membelalakkan mata dan mengucapkan sesuatu yang sangat dicurigai Ove sebagai sindiran. Benarkah? Sungguhkah? Padahal, aku saaangat berharap dia akan menggunakannya untuk membayar pinjaman biaya kuliah fi sika partikelnya!
Ove mendengus dan membuka pintu Saab. Adrian tetap berada di tempatnya di sisi lain mobil.
Ya? tanya Ove.
Kau tidak akan mengucapkan sesuatu pun mengenai Mirsad, kan? Sungguh?
Mengapa pula aku mengucapkan sesuatu? Ove menudingnya dengan jengkel. Kau! Kau ingin membeli mobil Prancis. Jangan terlalu mengkhawatirkan orang lain, kau sendiri sudah punya cukup banyak masalah. []
30
Lelaki Bernama Ove dan
Masyarakat Tanpanya
OVE MEMBERSIHKAN SALJU DARI BATU nisan. Menggali tanah beku dengan gigih lalu dengan cermat mengganti tanaman bunga. Dia berdiri, membersihkan pakaian, dan memandang nama Sonja dengan tidak berdaya, merasa malu terhadap dirinya sendiri. Dahulu, dia selalu mengomeli istrinya karena terlambat. Kini dia sendiri berdiri di sini, tampaknya tidak memiliki kemampuan untuk menyusul Sonja seperti yang telah direncanakannya.
Gara-gara kekacauan sialan itu, gumam Ove pada batu nisan.
Lalu dia terdiam kembali.
Ove tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya setelah pemakaman Sonja. Hari dan minggu melayang pergi bersama-sama, dengan cara sedemikian rupa dan dengan keheningan yang teramat mendalam sehingga dia nyaris tidak bisa menjelaskan apa tepatnya yang dia lakukan. Sebelum
Parvaneh dan Patrick memundurkan mobil ke kotak suratnya, dia nyaris tidak ingat mengucapkan sepatah kata pun kepada orang lain semenjak Sonja tiada.
Terkadang dia lupa makan malam. Sejauh ingatannya, hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Tidak pernah, sejak dia duduk bersama Sonja di kereta api itu hampir empat puluh tahun lalu. Selama ada Sonja, mereka punya rutinitas. Ove bangun pukul enam kurang seperempat, membuat kopi, pergi melakukan inspeksinya. Pada pukul enam lewat tiga puluh Sonja telah mandi, lalu mereka menyantap sarapan dan minum kopi. Sonja makan telur; Ove makan roti. Pada pukul tujuh lewat lima, Ove membopong Sonja ke kursi depan Saab, memasukkan kursi roda Sonja ke bagasi, lalu mengantarnya ke sekolah. Lalu Ove pergi bekerja.
Pada pukul sepuluh kurang seperempat, mereka menikmati rehat kopi secara terpisah. Sonja memasukkan susu ke dalam kopinya; Ove minum kopi hitam. Pada pukul dua belas, mereka menyantap makan siang. Pada pukul tiga kurang seperempat, mereka menikmati rehat kopi lagi. Pada pukul lima kurang seperempat, Ove menjemput Sonja di pekarangan depan sekolah, membopongnya ke kursi depan, dan memasukkan kursi roda ke bagasi. Pada pukul enam mereka berada di meja dapur menyantap makan malam, biasanya berupa daging, kentang, dan saus. Hidangan favorit Ove.
Lalu Sonja menggarap teka-teki silang dengan kaki bersila di sofa, sementara Ove menyibukkan diri di dalam gudang perkakas dan menonton berita. Pada pukul sembilan lewat tiga puluh, Ove membopong Sonja ke kamar tidur di lantai atas.
Selama bertahun-tahun, Sonja mengomelinya agar mereka pindah ke kamar tamu kosong di lantai bawah, tapi Ove menolak. Setelah kira-kira sepuluh tahun, Sonja menyadari bahwa inilah cara Ove untuk menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak bermaksud untuk menyerah. Bahwa Tuhan, semesta, dan segala hal lainnya tidak akan diizinkan untuk menang. Bahwa babi-babi itu bisa minggat saja ke neraka. Jadi Sonja berhenti mengomel.
Pada Jumat malam mereka duduk hingga pukul sepuluh lewat tiga puluh untuk menonton televisi. Pada hari Sabtu mereka menyantap sarapan yang terlambat, terkadang hingga pukul delapan. Lalu mereka pergi untuk mengerjakan beberapa hal. Toko bangunan, toko perabot, dan pusat tanaman. Sonja membeli tanah dan Ove gemar melihat-lihat perkakas. Mereka hanya punya rumah bandar kecil dengan ruangan mungil di luar, tapi tampaknya selalu ada sesuatu untuk ditanam dan sesuatu untuk dibangun.
Dalam perjalanan pulang, mereka berhenti untuk makan es krim. Sonja menikmati es krim cokelat, sedangkan Ove menikmati es krim dengan kacang. Sekali setahun mereka menaikkan harga sebesar satu krona per es krim dan, seperti kata Sonja, Ove akan mengamuk . Setibanya mereka di rumah, Sonja akan bergulir keluar dari pintu teras kecil ke beranda dan Ove akan membantunya bangkit dari kursi dan dengan lembut mendudukkannya di tanah sehingga Sonja bisa berkebun di petak bunga kesayangannya.
Sementara itu, Ove akan mengambil obeng dan menghilang ke dalam rumah. Itulah hal terbaik dari rumah mereka.
Rumah itu tidak pernah selesai. Selalu ada sekrup di suatu tempat yang perlu dikencangkan oleh Ove.
Pada hari Minggu, mereka pergi ke kafe dan minum kopi. Ove membaca koran dan Sonja bicara. Lalu Senin tiba. Dan pada suatu Senin, Sonja tidak ada lagi di sana. Dan Ove tidak tahu persis mengapa dirinya menjadi begitu diam. Dia selalu pendiam, tapi ini sesuatu yang sangat berbeda. Mungkin dia mulai lebih banyak bicara di dalam hati. Mungkin dia sudah gila (terkadang dia memang bertanya-tanya). Rasanya seakan dia tidak ingin orang lain mengajaknya bicara, dia khawatir suara ocehan mereka akan menenggelamkan ingatan mengenai suara Sonja.
Ove membiarkan jemarinya menelusuri batu nisan dengan lembut, seakan menelusurkan jemari pada jumbaijumbai panjang karpet yang sangat tebal. Dia tidak pernah memahami anak-anak muda yang terus-menerus mengoceh mengenai menemukan diri sendiri . Dahulu, dia mendengar itu nonstop dari semua anak muda tiga puluhan di tempat kerja. Yang mereka bicarakan hanyalah betapa mereka menginginkan lebih banyak waktu bersantai , seakan itulah satu-satunya tujuan bekerja: untuk tiba di titik ketika seseorang tidak perlu bekerja.
Dulu Sonja suka menertawakan Ove dan menyebutnya lelaki paling kaku sedunia . Ove menolak menganggap itu sebagai penghinaan. Dia menganggap bahawa seharusnya ada semacam keteraturan dalam segala hal. Seharusnya ada rutinitas-rutinitas dan orang-orang harus bisa merasa aman
dengan semua rutinitas itu. Dia tidak bisa mengerti mengapa itu disebut sifat buruk.
Dulu Sonja suka menceritakan kepada orang-orang betapa Ove, dalam momen gangguan mental sementara pada pertengahan 1980-an, terbujuk olehnya untuk membeli Saab merah, walaupun Ove selalu mengendarai Saab biru selama bertahun-tahun dia mengenal Ove. Itu tiga tahun terburuk dalam hidup Ove, kata Sonja terkikik. Sejak itu, Ove tidak pernah mengendarai apa pun kecuali Saab biru. Istri-istri lain merasa jengkel karena suami mereka tidak memperhatikan ketika mereka baru memotong rambut. Ketika aku memotong rambut, suamiku merasa jengkel terhadapku selama berharihari, karena aku tidak tampak sama. Itulah yang dulu suka dikatakan Sonja.
Itulah yang paling dirindukan Ove. Mendapati segala sesuatunya sama seperti biasanya.
Ove percaya bahwa setiap orang perlu fungsi. Dan dia selalu fungsional, tak seorang pun bisa menyingkirkan hal itu darinya.
Sudah tiga belas tahun berlalu, semenjak Ove membeli Saab 9-5 Estate birunya. Tak lama setelah itu, orang-orang Amerika di General Motors membeli saham terakhir orang Swedia di perusahaan itu. Pagi itu Ove menutup surat kabar dengan serangkaian panjang kata makian yang berlanjut hampir sepanjang sore. Dia tidak pernah membeli mobil lagi. Dia tidak ingin menginjakkan kaki ke dalam mobil Amerika, kecuali jika kaki dan seluruh tubuhnya telah dimasukkan terlebih dahulu ke dalam peti mati. Mereka harus jelas soal itu.
Tentu saja Sonja juga telah membaca artikel yang sama, dan dia punya keberatan-keberatan tertentu dengan versi kaku Ove mengenai nasionalitas perusahaan itu, tapi sama saja. Ove telah memutuskan, dan kini dia mempertahankan keputusan itu. Dia akan mengendarai mobilnya hingga dia atau mobil itu rusak. Bagaimanapun, mobil yang layak tidak lagi diproduksi, pikirnya memutuskan.
Kini hanya ada banyak sampah dan elektronik di dalam mobil. Seperti menyetir komputer. Kau bahkan tidak bisa membongkar mobil tanpa pabrik pembuatnya mengeluhkan garansi yang tidak berlaku . Jadi, begitulah. Sonja pernah berkata bahwa mobil itu akan rusak oleh kesedihan ketika Ove dimakamkan. Dan ini mungkin benar.
Namun ada masa untuk segalanya, itu juga yang dikatakan Sonja. Begitu seringnya. Misalnya, ketika dokterdokter mendiagnosisnya empat tahun lalu. Dia lebih pemaaf dibandingkan Ove. Memaafk an Tuhan, semesta, dan segalanya. Ove malah berubah marah. Mungkin karena dia merasa seseorang harus marah mewakili Sonja, ketika segala yang buruk seakan menimpa satu-satunya orang yang diketahuinya tidak patut menerima keburukan itu.
Jadi Ove melawan seluruh dunia. Dia melawan para pegawai rumah sakit dan para dokter spesialis serta dokter kepala. Dia melawan kaum lelaki berkemeja putih dan para perwakilan dewan kota yang pada akhirnya menjadi begitu banyak, sehingga Ove nyaris tidak bisa mengingat nama mereka.
Ada polis asuransi untuk ini, polis asuransi lain untuk itu, ada satu orang yang bisa dihubungi karena Sonja sakit, dan
orang lain yang bisa dihubungi karena Sonja berkursi roda. Lalu ada orang ketiga yang bisa dihubungi agar Sonja tidak perlu pergi bekerja, dan orang keempat yang bisa dihubungi untuk mencoba membujuk pihak-pihak berwenang sialan itu bahwa inilah tepatnya yang diinginkan Sonja: pergi bekerja.
Mustahil untuk melawan kaum lelaki berkemeja putih. Dan orang tidak bisa melawan diagnosis.
Sonja mengidap kanker.
Kita harus pasrah menerimanya, kata Sonja. Dan itulah yang mereka lakukan. Sebisa mungkin Sonja terus bekerja dengan anak-anak pembuat masalah yang disayanginya itu, hingga Ove harus mendorongnya memasuki kelas setiap pagi karena dia tidak lagi punya kekuatan untuk melakukannya sendiri. Setelah setahun, Sonja hanya bisa mengerjakan tujuh puluh lima persen dari pekerjaan total mingguannya.
Setelah dua tahun, dia hanya bisa mengerjakan lima puluh persennya. Setelah tiga tahun, dia hanya bisa mengerjakan dua puluh lima persennya. Ketika pada akhirnya harus dirumahkan, Sonja menulis surat pribadi panjang untuk setiap muridnya dan meminta mereka menelepon jika memerlukan seseorang untuk diajak bicara.
Hampir semua orang menelepon. Mereka datang menjenguk, membentuk antrean panjang. Pada suatu akhir pekan, ada begitu banyak murid di rumah bandar itu sehingga Ove harus pergi ke luar dan duduk di dalam gudang perkakasnya selama enam jam. Malam itu, ketika rombongan terakhir sudah pulang, Ove pergi berkeliling rumah untuk memastikan dengan cermat tidak ada barang
yang hilang dicuri. Seperti biasa. Hingga Sonja meneriakinya agar tidak lupa menghitung telur di kulkas. Lalu Ove menyerah. Membopong Sonja ke lantai atas, sementara Sonja menertawakannya. Dia meletakkan Sonja di ranjang. Lalu persis sebelum mereka pergi tidur, Sonja berpaling kepadanya. Menyembunyikan jari di telapak tangan Ove. Membenamkan hidung di bawah tulang selangkanya.
Tuhan mengambil seorang anak dariku, Ove Sayang. Tapi Dia memberiku seribu anak lain.
Pada tahun keempat, Sonja meninggal.
Kini Ove berdiri di sana sambil menelusurkan tangan pada batu nisannya. Lagi dan lagi. Seakan dia sedang berupaya menggosok-gosok Sonja agar kembali hidup.
Kali ini aku akan benar-benar melakukannya. Aku tahu kau tidak menyukainya. Aku juga tidak suka, kata Ove dengan suara rendah.
Dia menghela napas panjang. Seakan harus menguatkan diri untuk menentang upaya Sonja yang meyakinkannya untuk tidak melakukan perbuatan itu.
Sampai bertemu besok, kata Ove tegas sambil menyingkirkan salju dari sepatunya, seakan tidak ingin memberi Sonja kesempatan untuk memprotes.
Lalu dia mengambil jalan setapak kecil menuju area parkir, dengan si kucing berjalan mengikuti di sampingnya. Keluar dari gerbang hitam, mengitari Saab yang pintu belakangnya masih ditempeli stiker belajar menyetir. Dia membuka pintu depan. Parvaneh memandangnya, mata cokelat besarnya dipenuhi empati.
Aku sedang memikirkan sesuatu, katanya hati-hati, ketika memasukkan persneling Saab dan menyetir pergi. Jangan.
Namun Parvaneh tidak bisa dihentikan.
Aku hanya berpikir bahwa aku mungkin bisa membantumu membersihkan rumah. Mungkin memasukkan barang-barang Sonja ke kotak dan ...
Parvaneh nyaris tidak sempat mengucapkan nama Sonja, karena wajah Ove berubah gelap, kemarahan mengeraskan wajahnya menjadi topeng.
Jangan ucapkan sepatah kata pun lagi, teriak Ove dengan suara menggelegar di dalam mobil.
Tapi, aku hanya berp
Jangan ucapkan sepatah KATA sialan lagi. Kau mengerti!?
Parvaneh mengangguk dan terdiam. Ove, yang gemetar oleh kemarahan, menatap ke luar jendela di sepanjang perjalanan pulang.[]
31
Lelaki Bernama Ove Memundurkan
Mobil Bergandengan, Sekali Lagi
KEESOKAN PAGINYA, SETELAH MENGELUARKAN SI kucing, Ove mengambil senapan tua milik ayah Sonja dari loteng. Dia memutuskan bahwa ketidaksukaannya terhadap senjata tidak akan pernah bisa melebihi ketidaksukaannya terhadap semua tempat kosong yang ditinggalkan Sonja di dalam rumah kecil hening mereka. Kini sudah tiba saatnya.
Namun tampaknya seseorang, entah di mana, tahu bahwa satu-satunya cara menghentikan Ove adalah meletakkan sesuatu di jalannya, yang bisa membuatnya cukup marah untuk tidak melakukan perbuatan itu.
Untuk alasan inilah, Ove kini berdiri di jalanan kecil di antara rumah-rumah dengan lengan bersedekap menantang, memandang lelaki berkemeja putih dan berkata: Aku ada di sini karena tidak ada acara bagus di TV. Di sepanjang percakapan itu, lelaki berkemeja putih telah mengamati Ove tanpa sedikit pun menunjukkan emosi.
Sesungguhnya, setiap kali Ove bertemu dengannya, lelaki itu menjadi semakin mirip mesin dibandingkan manusia. Persis seperti semua kaum lelaki berkemeja putih lainnya yang dijumpai Ove di sepanjang hidupnya. Yang mengatakan Sonja akan mati setelah kecelakaan bus itu, yang menolak memikul tanggung jawab setelah itu, dan yang menolak untuk membuat orang lain bertanggung jawab. Yang tidak mau membangun rampa kursi roda di sekolah. Yang tidak ingin membiarkan Sonja bekerja. Yang meneliti paragraf-paragraf berhuruf kecil untuk merujuk pada semacam klausul yang berarti mereka tidak akan perlu membayar klaim asuransi. Yang ingin memasukkan Sonja ke panti jompo.
Mereka semua punya mata kosong yang sama. Seakan mereka hanyalah cangkang mengilat yang berkeliaran, menggilas manusia normal, menghancurkan hidup mereka.
Namun ketika Ove mengatakan tidak ada acara bagus di TV, dia melihat kedutan kecil di pelipis lelaki berkemeja putih. Mungkin kilasan perasaan frustrasi. Mungkin kemarahan karena terkejut. Kemungkinan besar perasaan sangat tersinggung. Ini kali pertama Ove melihat dirinya berhasil membuat lelaki berkemeja putih jengkel. Sembarang lelaki berkemeja putih.
Lelaki itu mengatupkan rahang, berbalik, dan mulai berjalan pergi. Bukan dengan langkah-langkah tenang terukur seorang pegawai dewan kota yang memegang kendali sepenuhnya, tapi sesuatu yang lain. Kemarahan. Ketidaksabaran. Dendam.
Ove tidak bisa mengingat hal lain yang membuatnya merasa begitu gembira setelah waktu yang sangat, sangat lama.
Tentu saja seharusnya hari ini Ove mati. Dia telah merencanakan untuk menembak kepalanya sendiri dengan tenang dan damai, persis setelah sarapan. Dia telah merapikan dapur, mengeluarkan si kucing, dan menyamankan diri di kursi-berlengan favoritnya. Dia merencanakannya dengan cara seperti ini karena secara rutin si kucing minta dikeluarkan pada jam seperti ini. Salah satu dari beberapa sifat si kucing yang sangat dihargai Ove adalah keengganan hewan itu untuk buang air besar di rumah orang lain. Ove adalah lelaki semacam itu.
Namun kemudian, tentu saja Parvaneh datang menggedor-gedor pintu, seakan rumah Ove adalah toilet terakhir yang berfungsi di seluruh dunia beradab. Seakan perempuan itu tidak bisa kencing di rumah. Ove meletakkan senapan itu di balik radiator agar Parvaneh tidak melihatnya dan mulai ikut campur. Dia membuka pintu, dan Parvaneh bisa dibilang harus menekankan ponsel ke tangan Ove dengan kasar, sebelum Ove bersedia menerimanya.
Apa ini? tanya Ove ingin tahu, dengan ponsel dipegang di antara telunjuk dan jempol seakan berbau busuk.
Untukmu, gerutu Parvaneh sambil memegangi perut dan mengusap keringat dari kening, walaupun suhunya di bawah nol di luar. Jurnalis itu.
Harus kuapakan ponsel perempuan itu?
Astaga. Itu bukan ponselnya, itu ponselku. Dia menelepon! kata Parvaneh tidak sabar.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu, sebelum Ove bisa memprotes, Parvaneh menyelinap melewatinya dan menuju toilet.
Ya, kata Ove sambil mengangkat ponsel hingga berjarak beberapa sentimeter dari telinganya. Dia sedikit kurang jelas apakah dirinya masih bicara dengan Parvaneh atau orang di ujung lain ponsel.
Hai! teriak perempuan jurnalis itu, Lena. Ove merasa perlu semakin menjauhkan ponsel dari telinga. Jadi, kini kau siap kuwawancarai? lanjut perempuan itu dengan nada sangat antusias.
Tidak, jawab Ove sambil memegang ponsel di depannya, untuk mengetahui cara menutup telepon.
Kau membaca surat yang kukirimkan kepadamu? Atau membaca surat kabar itu? Sudahkah kau membaca surat kabar itu? Kurasa aku akan membiarkanmu melihatnya dulu, jadi kau bisa lebih dulu mendapat kesan mengenai gaya jurnalistik kami!
Ove pergi ke dapur. Mengambil surat kabar dan surat yang diantarkan oleh pemuda bernama Adrian itu beberapa hari yang lalu.
Sudah? teriak perempuan jurnalis itu.
Tenanglah. Sedang kubaca, kan! kata Ove keras-keras pada ponsel sambil membungkuk di atas meja dapur.
Aku hanya ingin tahu apakah lanjut perempuan itu dengan berani.
Bisakah kau TENANG? Dasar perempuan! Ove berang. Mendadak, di luar jendela, Ove memperhatikan adanya seorang lelaki berkemeja putih dalam Skoda, sedang menyetir melewati rumahnya.
Halo? teriak perempuan jurnalis itu, persis sebelum Ove berlari keluar lewat pintu depan.
Astaga, astaga, gumam Parvaneh cemas ketika keluar dari toilet dan sekilas melihat Ove berlari di antara rumahrumah.
Lelaki berkemeja putih keluar dari Skoda di luar rumah Rune dan Anita.
Cukuplah sudah! Kau dengar? Kau TIDAK BOLEH mengendarai mobilmu di dalam area permukiman! Tidak satu METER sialan pun lagi! Kau mengerti? teriak Ove dari jauh, lama sebelum dia mencapai lelaki itu.
Lelaki kecil berkemeja putih itu, dengan sikap sangat congkak, membetulkan letak pak rokok di dalam saku dadanya sambil membalas pandangan Ove dengan tenang. Aku mendapat izin.
Mustahil!
Lelaki berkemeja putih mengangkat bahu. Seakan untuk mengusir serangga yang mengganggu. Dan, apa tepatnya yang hendak kau lakukan, Ove?
Pertanyaan itu sesungguhnya mengejutkan Ove. Sekali lagi. Dia berhenti berlari dengan tangan gemetar oleh kemarahan, dan setidaknya selusin makian sudah siap untuk
digunakannya. Namun, anehnya, dia tidak bisa mengucapkan satu pun di antaranya.
Aku tahu siapa kau, Ove. Aku tahu semua surat yang kau tulis mengenai kecelakaan istrimu dan penyakit istrimu. Kau harus tahu, kau bisa dibilang melegenda di kantor kami, kata lelaki berkemeja putih dengan suara cukup mantap.
Mulut Ove sedikit ternganga. Lelaki berkemeja putih mengangguk kepadanya.
Aku tahu siapa kau. Dan, aku hanya melakukan pekerjaanku. Keputusan adalah keputusan. Kau tidak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya kini kau sudah tahu itu.
Ove maju selangkah ke arahnya, tapi lelaki itu meletakkan tangan di dada Ove dan mendorongnya mundur. Tidak dengan kasar. Tidak dengan agresif. Hanya dengan lembut dan tegas, seakan tangan itu bukan miliknya, tapi dikendalikan langsung oleh semacam robot di pusat komputer salah satu pihak berwenang dewan kota.
Pergilah menonton TV. Sebelum kau punya lebih banyak masalah dengan jantungmu.
Di kursi depan Skoda, perempuan gigih berkemeja putih yang sama itu melangkah keluar dengan membawa setumpuk dokumen. Lelaki berkemeja putih mengunci mobil dengan suara blip nyaring. Lalu dia memunggungi Ove, seakan Ove tidak pernah berdiri di sana dan bicara dengannya.
Ove tetap berada di tempatnya dengan tangan terkepal di samping tubuh dan dagu mencuat ke luar, seakan dia adalah rusa jantan yang sedang marah. Kedua orang berkemeja putih itu menghilang ke dalam rumah Anita dan Rune.
Perlu waktu semenit sebelum Ove berhasil memulihkan sedikit ketenangan untuk berbalik. Namun kemudian dia melakukan itu dengan kemarahan yang luar biasa dan mulai berjalan menuju rumah Parvaneh. Perempuan itu sedang berdiri agak jauh di jalanan kecil.
Suamimu yang tak berguna itu ada di rumah? gerutu Ove sambil berjalan melewati Parvaneh tanpa menunggu jawaban.
Parvaneh hanya sempat mengangguk sebelum Ove, dengan empat langkah panjang, mencapai pintu depan rumah mereka. Patrick membuka pintu, berdiri di sana dengan kruk, gips tampak menutupi setengah tubuhnya.
Hai, Ove! sapanya riang, berupaya melambai dengan kruk, dan akibatnya langsung kehilangan keseimbangan dan menabrak dinding.
Karavan yang kau miliki ketika kau pindah itu. Dari mana kau mendapatkannya? tanya Ove.
Dengan lengannya yang berfungsi, Patrick bersandar ke dinding. Nyaris ingin terlihat seakan dia memang bermaksud menabrak dinding itu.
Apa? Oh & karavan itu. Kupinjam dari seorang teman di tempat kerja & .
Telepon dia. Kau harus meminjamnya lagi. Dan inilah alasan mengapa Ove tidak mati hari ini. Sebab, dia ditahan oleh sesuatu yang membuatnya cukup marah sehingga perhatiannya teralihkan.
Ketika lelaki dan perempuan berkemeja putih keluar dari rumah Anita dan Rune hampir satu jam kemudian,
mereka mendapati mobil putih mungil mereka yang berlogo dewan kota itu telah dipojokkan ke jalan buntu kecil oleh sebuah karavan besar. Karavan yang, ketika mereka sedang berada di dalam rumah, agaknya telah diparkir persis untuk memblokir seluruh jalanan di belakang mereka. Orang nyaris bisa menganggap perbuatan itu dilakukan secara sengaja.
Perempuan berkemeja putih tampak benar-benar kebingungan. Namun lelaki berkemeja putih langsung berjalan menghampiri Ove.
Ini ulahmu?
Ove bersedekap dan memandangnya dingin. Bukan.
Lelaki berkemeja putih tersenyum dengan sikap angkuh. Seperti cara lelaki berkemeja putih, yang terbiasa untuk selalu dituruti kemauannya, tersenyum ketika seseorang mencoba untuk tidak menyetujui mereka.
Pindahkan.
Kurasa tidak, kata Ove.
Lelaki berkemeja putih mendesah, seakan pernyataan mengancam yang diucapkannya setelah itu ditujukan kepada anak kecil.
Pindahkan karavannya, Ove. Atau aku akan menelepon polisi.
Ove menggeleng santai, menunjuk plang di dekat situ. Kendaraan bermotor dilarang di dalam area permukiman. Ini dinyatakan begitu jelas di plang itu.
Tidak adakah pekerjaan lain yang lebih baik, daripada berdiri di luar sini dan berpura-pura menjadi mandor? gerutu lelaki berkemeja putih.
Tidak ada acara bagus di TV, jawab Ove. Dan saat itulah muncul kedutan kecil di pelipis lelaki berkemeja putih. Seakan topengnya merosot sedikit, hanya sedikit saja. Dia memandang karavan itu, Skoda-nya yang terpojok, plang, dan Ove yang berdiri di depannya sambil bersedekap. Sekejap lelaki itu seakan mempertimbangkan apakah akan mencoba memaksa Ove dengan kekerasan, tapi pada detik berikutnya dia menyadari bahwa kemungkinan besar ini gagasan yang teramat sangat buruk.
Kau konyol sekali, Ove. Ini sangat, sangat konyol, desisnya pada akhirnya.
Dan mata biru lelaki berkemeja putih, untuk kali pertama, dipenuhi kemarahan yang nyata. Wajah Ove tidak menunjukkan sedikit pun emosi. Lelaki berkemeja putih berjalan pergi, menuju garasi-garasi dan jalanan utama, dengan semacam langkah yang menjelaskan bahwa ini bukanlah akhir cerita.
Perempuan yang membawa dokumen bergegas mengejarnya.
Orang mungkin berharap Ove menyaksikan mereka dengan tatapan kemenangan di matanya. Sesungguhnya Ove sendiri mungkin berharap begitu. Namun, dia malah tampak lelah dan sedih. Seakan sudah berbulan-bulan dia tidak tidur. Seakan dia nyaris tidak punya kekuatan lagi untuk
mengangkat lengan. Dia membiarkan sepasang tangannya meluncur ke dalam saku, lalu berjalan pulang. Namun baru saja dia menutup pintu, seseorang mulai menggedor-gedor pintu itu lagi.
Mereka akan membawa pergi Rune dari Anita, kata Parvaneh panik sambil menarik pintu hingga terbuka, bahkan sebelum Ove meraih pegangannya.
Bah, dengus Ove lelah.
Kepasrahan dalam suaranya jelas mengejutkan Parvaneh dan Anita yang berdiri di belakangnya. Mungkin kepasrahan itu juga mengejutkan Ove. Dia menghela napas cepat lewat hidung. Memandang Anita. Perempuan itu lebih pucat dan cekung daripada biasanya, matanya merah, bengkak.
Mereka mengatakan akan datang menjemput Rune pekan ini, dan mengatakan aku tidak sanggup merawat Rune sendirian, kata Anita dengan suara yang begitu rapuh, hingga nyaris gagal melewati bibirnya.
Kita harus melakukan sesuatu! teriak Parvaneh sambil mencengkeram Ove.
Ove menyentakkan lengan dan menghindari tatapan Parvaneh.
Bah! Mereka tidak akan datang menjemput Rune hingga bertahun-tahun. Ini akan melalui proses banding, lalu akan melewati semua sampah birokrasi itu, kata Ove.
Dia berupaya kedengaran lebih yakin dan percaya diri daripada yang sesungguhnya dirasakannya. Namun dia tidak punya kekuatan untuk memedulikan seperti apa dia kedengarannya. Dia hanya ingin mereka pergi.
Kau tidak tahu apa yang kau katakan! teriak Parvaneh. Kaulah yang tidak tahu apa yang kau katakan, kau tidak pernah berurusan dengan dewan kota, kau tidak tahu seperti apa rasanya melawan mereka, jawab Ove dengan suara monoton dan bahu lunglai.
Tapi, kau harus bicara & , kata Parvaneh memulai dengan suara tergagap. Rasanya seakan semua energi di dalam tubuh Ove mengalir keluar, bahkan ketika dia berdiri di sana.
Mungkin itu karena wajah lelah Anita. Mungkin itu karena pemahaman bahwa pertempuran sederhana yang dimenangkan tidaklah ada artinya dalam rencana lebih besar menyangkut segalanya. Skoda yang terpojok tidak membuat perbedaan. Mereka selalu datang kembali. Persis seperti yang mereka lakukan terhadap Sonja. Seperti yang selalu mereka lakukan. Dengan semua klausul dan dokumen mereka. Lelaki berkemeja putih selalu menang. Dan orang-orang seperti Ove selalu kehilangan orang seperti Sonja. Dan tidak ada yang bisa membawa Sonja kembali kepadanya.
Pada akhirnya, tidak ada yang tersisa kecuali serangkaian panjang hari kerja tanpa sesuatu pun yang lebih berarti daripada meminyaki meja dapur. Dan Ove tidak sanggup menghadapinya lagi. Pada saat itu dia merasakannya dengan lebih jelas lagi. Dia tidak bisa melawan lagi. Tidak ingin melawan lagi. Dia hanya ingin segalanya berhenti.
Parvaneh terus mencoba berdebat dengan Ove, tapi Ove hanya menutup pintu. Dia menggedor pintu tapi Ove tidak mendengarkan. Ove menjatuhkan tubuh ke dingklik di lorong
dan merasakan tangannya gemetar. Jantungnya berdentamdentam begitu keras hingga rasanya seakan telinganya hendak meledak. Tekanan di dadanya, seakan kegelapan luar biasa telah menjejakkan sepatu bot di lehernya, tidak juga mereda hingga lebih dari dua puluh menit kemudian. Lalu Ove mulai menangis.[]
32
Lelaki Bernama Ove Tidak
Mengelola Hotel Keparat
SONJA PERNAH BERKATA, BAHWA UNTUK memahami lelaki seperti Ove dan Rune, seseorang harus paham sejak awal bahwa mereka adalah dua lelaki yang terperangkap di masa yang keliru. Lelaki yang hanya memerlukan beberapa hal sederhana dari kehidupan, katanya. Atap di atas kepala mereka, jalanan lengang, merek mobil yang tepat, dan perempuan untuk dianugerahi kesetiaan mereka. Pekerjaan yang memberi mereka fungsi yang layak. Rumah yang segala sesuatunya rusak secara berkala sehingga mereka selalu punya sesuatu yang bisa diotak-atik.
Semua orang ingin menjalani kehidupan bermartabat, tapi arti martabat berbeda bagi orang yang berbeda, kata Sonja dulu.
Bagi lelaki seperti Ove dan Rune, martabat hanya berarti bahwa mereka harus berupaya sendiri semasa tumbuh besar dan karenanya, mereka merasa berhak untuk tidak menjadi
bergantung kepada orang lain ketika mereka dewasa. Ada perasaan bangga ketika memegang kendali. Ketika benar. Ketika mengetahui jalan apa yang harus ditempuh dan bagaimana cara memasang sekrup. Lelaki seperti Ove dan Rune berasal dari generasi yang menganggap seseorang dinilai dari apa yang dilakukan oleh orang itu, dan bukan dari apa yang dikatakan oleh orang itu.
Tentu saja Sonja paham bahwa Ove tidak tahu cara menanggungkan kemarahannya yang tak bernama itu. Ove perlu label untuk ditempelkan ke sana. Perlu cara-cara untuk mengategorikan kemarahannya.
Jadi, ketika kaum lelaki berkemeja putih di dewan kota yang nama-namanya tidak bisa diingat lagi oleh orang normal berupaya melakukan segala yang tidak diinginkan Sonja, yaitu membuatnya berhenti bekerja, memindahkannya dari rumah, menyiratkan bahwa dia kurang berharga jika dibandingkan dengan orang sehat yang bisa berjalan, dan menyatakan bahwa dia sedang sekarat, Ove melawan mereka. Dengan dokumen-dokumen dan surat-surat untuk surat kabar dan proses banding, hingga sesuatu yang sederhana seperti rampa kursi roda di sekolah. Dia berjuang begitu gigih melawan kaum lelaki berkemeja putih demi Sonja, hingga pada akhirnya dia mulai menganggap mereka bertanggung jawab secara pribadi atas semua yang terjadi pada Sonja dan pada anaknya.
Kemudian, Sonja meninggalkannya sendirian di dunia yang bahasanya tidak lagi dipahaminya.
Malam itu, setelah Ove dan si kucing menyantap makan malam dan menonton TV sejenak, Ove mematikan
lampu di ruang duduk dan pergi ke lantai atas. Si kucing membuntutinya dengan waspada, seakan merasa bahwa Ove hendak melakukan sesuatu yang belum diketahui olehnya. Si kucing duduk di lantai kamar, sementara Ove berganti pakaian dan tampak seakan sedang berupaya memecahkan sebuah tipuan sulap.
Ove pergi tidur dan berbaring diam, sementara si kucing di sisi ranjang yang biasanya ditempati Sonja, perlu waktu lebih dari satu jam untuk terlelap. Jelas Ove tidak bersusah payah seperti itu karena merasakan adanya semacam kewajiban terhadap si kucing; dia hanya tidak punya energi untuk bertengkar. Dia tidak bisa diharapkan untuk menjelaskan konsep hidup dan mati kepada hewan yang bahkan tidak bisa mengurus bulunya sendiri itu.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika si kucing akhirnya berguling menelentang di bantal Sonja dan mulai mendengkur dengan mulut terbuka, Ove menyelinap turun dari ranjang sepelan mungkin. Berjalan ke ruang duduk, mengambil senapan dari tempat persembunyiannya di balik radiator. Dia mengeluarkan empat kain terpal tebal yang telah diambilnya dari gudang perkakas dan disembunyikannya di lemari sapu agar si kucing tidak memperhatikan. Dia mulai menempelkan keempat kain terpal itu dengan pita perekat ke dinding-dinding lorong. Ove, setelah pertimbangan tertentu, memutuskan bahwa ini mungkin ruangan terbaik untuk melakukan perbuatan itu, karena punya area permukaan terkecil. Dia berasumsi akan ada banyak cipratan darah ketika seseorang menembak kepalanya sendiri, dan dia benci meninggalkan lebih banyak
kekacauan daripada yang diperlukan. Sonja selalu tidak suka jika dia membuat kekacauan.
Ove mengenakan sepatu resmi dan baju setelannya lagi. Setelan itu kotor dan masih berbau asap knalpot, tapi apa boleh buat. Dia menimbang-nimbang senapan di tangannya, seakan sedang mengecek pusat gravitasinya. Seakan ini akan memainkan peranan menentukan dalam keberhasilan upayanya.
Dia membalik dan memutar senapan itu, mencoba mengarahkan moncongnya seakan dia hendak melipat senapan itu menjadi dua. Ove tidak tahu banyak mengenai senjata, tapi kurang lebih orang pasti ingin tahu apakah dirinya punya alat yang layak. Dan, karena Ove menganggap orang-orang tidak bisa menguji kualitas senapan dengan menendangnya, dia memutuskan bahwa hal itu bisa dilakukan dengan membengkokkan dan menariknya, untuk melihat apa yang terjadi.
Ketika Ove sedang berbuat begitu, terpikir olehnya bahwa mengenakan pakaian terbaik mungkin gagasan yang sangat buruk. Akan ada banyak sekali darah pada setelan itu, pikir Ove membayangkan. Tampak konyol. Jadi, dia meletakkan senapan itu, pergi ke ruang duduk, melepas pakaian, melipat setelan itu dengan cermat dan meletakkannya dengan rapi di samping sepatu resminya.
Lalu dia mengeluarkan surat berisikan semua instruksi untuk Parvaneh, dan menulis Kuburkan aku dengan memakai setelanku di bawah judul Pengaturan Pemakaman dan meletakkan surat itu di atas tumpukan pakaian. Dia sudah menyatakan dengan jelas dan gamblang bahwa tidak boleh
ada kehebohan dalam hal lainnya. Tidak ada upacara berlebihan dan omong kosong semacam itu. Kuburkan dia di dalam tanah di samping Sonja. Itu saja. Tempat itu sudah disiapkan dan dibayar, dan Ove telah memasukkan uang tunai ke dalam amplop untuk transportasinya.
Jadi tanpa mengenakan sesuatu pun kecuali kaus kaki dan celana dalam, Ove kembali ke lorong dan memungut senapannya. Sekilas dia melihat pantulan tubuhnya sendiri di cermin lorong. Mungkin sudah tiga puluh lima tahun dia tidak pernah melihat dirinya sendiri dengan cara seperti ini. Jelas bentuk tubuhnya masih lebih baik daripada sebagian besar orang seusianya.Namun sesuatu yang terjadi pada kulitnya membuat dirinya tampak seakan meleleh, dia memperhatikan. Itu tampak mengerikan.
Hening sekali di dalam rumah. Sesungguhnyalah, di seluruh lingkungan. Semua orang sedang tidur. Dan saat itulah Ove baru menyadari bahwa si kucing mungkin akan terbangun ketika mendengar suara tembakan. Makhluk malang itu mungkin akan teramat sangat ketakutan, pikir Ove mengakui. Dia memikirkan ini selama beberapa saat, lalu menyingkirkan senapan dengan mantap dan pergi ke dapur untuk menyalakan radio. Bukannya dia perlu musik untuk mengakhiri hidupnya sendiri, dan bukannya dia menyukai gagasan radio yang terus menghabiskan listrik ketika dia sudah tiada. Namun karena seandainya terbangun gara-gara letusan, maka si kucing akan mengira bahwa suara itu hanyalah bagian dari salah satu lagu pop modern yang diputar di radio sepanjang waktu belakangan ini. Lalu dia akan kembali tidur. Itulah jalan pikiran Ove.
Ketika kembali ke lorong dan memungut senapan itu lagi, Ove tidak mendengar lagu pop modern di radio. Adanya buletin berita lokal. Jadi, Ove tetap berada di tempatnya selama beberapa saat dan mendengarkan. Bukannya penting sekali untuk mendengarkan berita lokal ketika kau hendak menembak kepalamu sendiri, tapi Ove menganggap tidak ada salahnya untuk tetap mengikuti perkembangan. Mereka membicarakan cuaca. Dan ekonomi. Dan lalu lintas. Dan pentingnya para pemilik properti lokal untuk tetap waspada selama akhir pekan, karena sejumlah besar pencurian merajalela di seluruh kota. Berandalan sialan, gumam Ove sambil mencengkeram senapan itu sedikit lebih erat, ketika dia mendengar suara.
Dari sudut pandang yang benar-benar objektif, fakta bahwa Ove sedang memegang senapan adalah sesuatu yang seharusnya disadari oleh dua berandalan lain, Adrian dan Mirsad, sebelum mereka dengan acuhnya berjalan ke pintu depan rumah Ove beberapa detik kemudian. Dengan demikian kemungkinan besar mereka akan mengerti, bahwa ketika mendengar langkah-langkah berderak mereka di salju, Ove tidak akan langsung berpikir, Ada tamu, menyenangkan sekali! tapi malah bergumam Dasar keparat! Dan mungkin mereka juga tahu bahwa Ove, yang tidak mengenakan apa pun kecuali kaus kaki dan celana dalam, dengan membawa senapan berburu berusia tiga perempat abad, akan menendang pintu hingga terbuka seperti Rambo tua pinggiran kota setengah telanjang.
Dan mungkin Adrian tidak akan menjerit dengan suara bernada tinggi yang melengking menembus semua jendela
di jalanan itu, atau tidak akan berbalik dengan panik dan berlari memasuki gudang perkakas, lalu nyaris jatuh pingsan.
Perlu beberapa teriakan kebingungan dan sejumlah besar kegemparan, sebelum Mirsad punya waktu untuk menjelaskan identitasnya sebagai berandalan normal, alihalih berandalan pencuri, dan sebelum Ove memahami apa yang sedang terjadi. Sebelum itu, Ove sempat mengarahkan senapan kepada mereka, membuat Adrian menjerit seperti sirene peringatan serangan udara.
Hush! Kau akan membangunkan si kucing sialan! desis Ove marah, sementara Adrian terhuyung-huyung mundur dengan benjolan sebesar kantong ravioli ukuran medium di keningnya.
Sedang apa kalian di sini? bentak Ove dengan senapan masih terarah dengan mantap kepada mereka. Sialan! Ini tengah malam!
Mirsad memegang tas besar yang perlahan-lahan dijatuhkannya ke salju. Secara naluriah, Adrian mengangkat tangan, seakan dia hendak dirampok, lalu nyaris kehilangan keseimbangan dan terjatuh kembali ke salju.
Ini ide Adrian, kata Mirsad memulai, sambil menunduk memandang salju.
Kau tahu, hari ini Mirsad mengaku! cetus Adrian. Apa?
Dia & mengaku. Kau tahulah. Memberi tahu semua orang kalau dia & kata Adrian, tapi perhatiannya seakan sedikit teralihkan, sebagian karena fakta bahwa seorang lelaki tua marah yang hanya bercelana dalam sedang mengarahkan
senapan kepadanya, dan sebagian karena dia semakin yakin telah mengalami semacam cedera gegar otak.
Mirsad menegakkan tubuh dan mengangguk kepada Ove dengan lebih yakin.
Aku memberi tahu ayahku kalau aku gay. Mata Ove sudah tidak begitu mengancam lagi, tapi dia tidak menurunkan senapan.
Ayahku benci gay. Dia selalu berkata akan bunuh diri jika ternyata salah seorang anaknya gay, lanjut Mirsad.
Setelah terdiam sejenak, dia mengimbuhkan, Dia tidak menerima penjelasanku dengan baik. Bisa dibilang begitu. Dia mengusir Mirsad! sela Adrian.
Mirsad memungut tasnya dari tanah dan mengangguk lagi kepada Ove. Ini ide tolol. Seharusnya kita tidak mengganggu
Menggangguku dengan apa? sela Ove.
Kini, setelah berdiri di sana dengan bercelana dalam saja di dalam suhu di bawah nol, Ove merasa setidaknya dia ingin tahu alasannya.
Mirsad menghela napas panjang. Seakan secara fi sik dia sedang menelan harga dirinya. Dad mengatakan aku sakit, dan aku tidak diterima di bawah atapnya dengan & jalanku yang tidak alami , katanya sambil menelan ludah dengan susah payah, sebelum dia berhasil mengucapkan kata tidak alami .
Karena kau homo? tanya Ove. Mirsad mengangguk.
Aku tidak punya kerabat di kota ini. Aku hendak bermalam di rumah Adrian, tapi pacar baru ibunya sedang menginap & .
Mirsad terdiam. Tampak seakan merasa sangat konyol. Ini ide tolol, katanya dengan suara rendah, lalu hendak berbalik pergi.
Sebaliknya, Adrian seakan menemukan kembali hasratnya untuk berdiskusi. Dengan bersemangat, dia berjalan melintasi salju menuju Ove.
Persetan, Ove! Kau punya banyak ruang di dalam sana! Jadi kami pikir dia mungkin bisa menginap di sini malam ini?
Di sini? Sialan! Ini bukan hotel! jawab Ove sambil mengangkat senapan sehingga dada Adrian membentur moncongnya.
Adrian terpaku. Mirsad maju dua langkah dengan cepat, melintasi salju dan memegang senapan itu.
Maaf, kami tidak punya tempat lain yang bisa didatangi, katanya dengan suara rendah sambil membelokkan moncong senapan dari Adrian.
Ove tampak seakan sedikit tersadar kembali. Dia menurunkan senjatanya ke tanah. Ketika diam-diam, dia mundur setengah langkah ke dalam lorong, seakan baru menyadari udara dingin menyelubungi tubuhnya yang tidak berpakaian layak itu, dari sudut matanya dia melihat foto Sonja di dinding. Gaun merah itu. Perjalanan bus di Spanyol ketika Sonja sedang hamil. Sudah begitu sering Ove meminta Sonja untuk menurunkan foto sialan itu, tapi Sonja menolak.
Katanya itu kenangan yang sama berharganya seperti semua kenangan lainnya.
Dasar perempuan keras kepala.
Jadi, ini seharusnya hari ketika Ove akhirnya mati. Namun malah menjadi malam ketika paginya Ove terbangun bukan hanya ditemani seekor kucing saja, tapi juga seorang homoseksual yang menginap di rumah bandarnya. Kemungkinan besar, Sonja akan menyukai situasi ini. Dia menyukai hotel.[]
33
Lelaki Bernama Ove dan Perjalanan Inspeksi yang Tidak
Seperti Biasanya
TERKADANG SULIT MENJELASKAN MENGAPA BEBERAPA orang mendadak melakukan hal-hal yang mereka lakukan. Terkadang, tentu saja, itu karena mereka tahu bahwa cepat atau lambat mereka harus melakukan hal-hal itu juga, jadi lebih baik mereka melakukan semuanya saja sekarang. Dan terkadang itu karena kebalikannya karena mereka menyadari bahwa seharusnya mereka telah melakukan halhal itu sejak dulu. Sedari awal Ove mungkin sudah tahu mengenai apa yang harus dilakukannya, tapi semua orang pada dasarnya optimis jika menyangkut waktu.
Kita selalu mengira masih ada cukup banyak waktu untuk melakukan segalanya bersama orang lain. Masih ada waktu untuk mengucapkan segalanya kepada mereka. Lalu terjadi sesuatu, dan kita berdiri di sana sambil menggelayuti katakata semacam seandainya saja .
Ketika menuruni tangga keesokan paginya, Ove berhenti di lorong. Rumah tidak pernah beraroma seperti ini semenjak Sonja meninggal. Dengan waspada, dia menuruni beberapa anak tangga terakhir, mendarat di lantai kayu, dan berdiri di ambang pintu dapur, dengan bahasa tubuh seperti lelaki yang baru saja memergoki pencuri yang sedang beraksi. Kaukah yang sedang memanggang roti? Mirsad mengangguk cemas. Ya & kuharap itu tidak apa-apa. Maaf. Maksudku, tidak apa-apa, kan?
Ove memperhatikan bahwa pemuda itu juga sudah membuat kopi. Si kucing berada di lantai, menyantap tuna. Ove mengangguk, tapi tidak menjawab pertanyaan itu.
Aku dan si kucing harus pergi berjalan-jalan sebentar di sekitar sini, jelasnya.
Aku boleh ikut? tanya Mirsad cepat.
Sekilas Ove memandang pemuda itu, seakan Mirsad telah menghentikannya di sebuah gang untuk pejalan kaki, dengan berpakaian seperti bajak laut dan memintanya untuk menebak yang manakah dari ketiga cangkir yang berisikan koin perak.
Mungkin aku bisa membantu? lanjut Mirsad bersemangat.
Ove memasuki lorong dan memakai kelom. Ini negara bebas, gumamnya sambil membuka pintu dan mengeluarkan si kucing.
Mirsad menafsirkan ini sebagai Tentu saja boleh! Cepatcepat dia mengenakan jaket dan sepatu, lalu mengejar Ove.
Hai, Sobat-Sobat! teriak Jimmy ketika mereka mencapai trotoar. Pemuda itu muncul, terengah-engah dan bersemangat di belakang Ove, dengan baju olahraga hijau mencolok yang begitu ketat di tubuhnya sehingga Ove mulanya bertanyatanya apakah itu sesungguhnya pakaian atau lukisan tubuh.
Jimmy! kata Jimmy terengah-engah sambil mengulurkan tangan pada Mirsad.
Si kucing tampak seakan ingin menggosok-gosokkan tubuh dengan penuh kasih ke kaki Jimmy, tapi seakan berubah pikiran mengingat Jimmy berakhir di rumah sakit ketika terakhir kalinya dia melakukan hal serupa. Akhirnya si kucing memilih hal terbaik berikutnya yang tersedia dan berguling-guling di salju. Jimmy berpaling kepada Ove.
Biasanya aku melihatmu berjalan berkeliling kirakira pada jam seperti ini, jadi aku hendak ikut mengecek bersamamu, jika kau tidak keberatan aku ikut. Kau tahu, aku telah memutuskan untuk mulai berolahraga!
Jimmy mengangguk dengan kepuasan sedemikian rupa, hingga lemak di bawah dagunya berayun-ayun di antara kedua bahunya seperti layar utama kapal di tengah badai. Ove tampak sangat bimbang.
Biasanya kau bangun pada jam seperti ini? Tidak, Pak. Aku bahkan belum tidur! Jimmy tertawa. Dan inilah sebabnya seekor kucing, seorang penderita alergi yang kelebihan bobot, seorang homoseksual, dan seorang lelaki bernama Ove melakukan perjalanan inspeksi pagi itu.
Mirsad menjelaskan dengan singkat bahwa dia dan ayahnya sedang bertengkar dan dia menginap di rumah Ove untuk sementara waktu; Jimmy mengungkapkan ketidakpercayaannya bahwa Ove sudah bangun pada jam seperti ini setiap pagi.
Kalau begitu, mengapa kau bertengkar dengan ayahmu? tanya Jimmy.
Itu bukan urusanmu! bentak Ove.
Mirsad melayangkan pandangan berterima kasih kepada Ove.
Tapi, sungguh, Pak. Kau melakukan ini setiap pagi? tanya Jimmy ceria.
Ya, untuk mengecek apakah telah terjadi pencurian. Benarkah? Adakah banyak pencurian di sekitar sini? Tidak akan pernah ada banyak pencurian, sebelum pencurian pertama terjadi, gumam Ove sambil berjalan menuju tempat parkir untuk tamu.
Si kucing memandang Jimmy, seakan tidak terkesan dengan semangat berolahraganya. Jimmy mengerutkan bibir dan menyentuh perutnya, seakan merasa yakin dirinya telah kehilangan sebagian bobot.
Kalau begitu, kau sudah mendengar soal Rune? teriaknya sambil mempercepat langkah hingga setengah berlari di belakang Ove.
Ove tidak menjawab.
Kau tahu, Dinas Sosial akan datang menjemputnya, jelas Jimmy begitu dia berhasil menyusul.
Ove membuka buku catatannya dan mulai mencatat pelat nomor mobil-mobil. Jelas Jimmy menganggap kebisuan Ove sebagai undangan agar terus bicara.
Kau tahu, singkatnya, Anita telah meminta lebih banyak pekerja sosial untuk membantunya di rumah. Rune sangat merepotkan dan Anita tidak sanggup menanganinya lagi. Jadi, Dinas Sosial melakukan semacam investigasi, lalu seorang lelaki menelepon dan mengatakan mereka telah memutuskan bahwa Anita tidak sanggup menanganinya. Dan mereka akan memasukkan Rune ke salah satu institusi itu.
Lalu Anita mengatakan sebaiknya mereka melupakan saja semuanya itu, dia bahkan tidak menginginkan pekerja sosial lagi. Tapi kemudian lelaki itu menjadi sangat agresif dan mulai bersikap sangat tidak menyenangkan terhadap Anita. Dia mengatakan bahwa kini Anita tidak bisa menarik kembali investigasi itu, karena dialah yang meminta mereka untuk melakukan penyelidikan.
Dan kini, investigasinya telah membuat keputusan. Itu saja. Tak peduli apa yang dikatakan Anita, karena lelaki dari Dinas Sosial itu hanya melakukan pekerjaannya. Kau tahu apa maksudku?
Jimmy terdiam dan mengangguk kepada Mirsad, dengan harapan mendapat semacam reaksi.
Tidak menyenangkan & , kata Mirsad bimbang. SIALAN tidak menyenangkannya! angguk Jimmy, hingga tubuh bagian atasnya berguncang-guncang.
Ove memasukkan pena dan buku catatannya ke saku jaket, lalu mengarahkan langkah ke ruang sampah.
Ah, akan perlu waktu lama sekali untuk membuat keputusan semacam itu. Mereka mengatakan hendak menjemputnya sekarang, tapi mereka tidak akan melakukannya hingga satu atau dua tahun lagi, dengusnya. Ove tahu bagaimana cara kerja birokrasi keparat itu. Tapi & keputusannya sudah dibuat, Pak, kata Jimmy sambil menggaruk-garuk rambut.
A Man Called Ove Karya Fredrik Backman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Naik banding sajalah! Akan memakan waktu bertahuntahun! gerutu Ove sambil berjalan melewati Jimmy.
Jimmy memandangnya, seakan berupaya menilai apakah layak mengerahkan tenaga untuk mengikutinya.
Tapi, Anita telah melakukannya! Dia telah menulis suratsurat dan lain-lain selama dua tahun!
Ove tidak berhenti ketika mendengar perkataan itu, tapi dia melambatkan langkah. Dia mendengar langkah berat Jimmy mengejarnya di salju.
Dua tahun? tanyanya tanpa berbalik. Kurang lebih, jawab Jimmy.
Ove tampak seakan sedang menghitung bulan di dalam hati.
Itu bohong. Kalau begitu, Sonja pasti tahu soal itu, katanya acuh.
Aku tidak diizinkan mengatakan sesuatu pun kepada Sonja. Anita tidak menginginkan itu. Kau tahu & .
Jimmy terdiam. Menunduk memandang salju. Ove berbalik. Mengangkat sepasang alisnya.
Aku tahu apa?
Jimmy menghela napas panjang.
Anita & menganggap kalian sendiri sudah punya cukup banyak masalah, jawabnya dengan suara rendah.
Setelah itu, muncullah keheningan yang begitu pekat hingga kau bisa membelahnya dengan kapak. Jimmy tidak mendongak. Dan Ove diam saja. Dia masuk ke ruang sampah. Keluar. Masuk ke gudang sepeda. Keluar. Ove seakan baru saja paham.
Kata-kata terakhir Jimmy menggantung seperti kerudung di atas gerakan-gerakannya, dan kemarahan yang tak terjelaskan memuncak di dalam dirinya, semakin cepat seperti tornado di dalam dada. Dia menarik pintu-pintu semakin kencang. Menendang ambang-ambangnya. Dan ketika pada akhirnya Jimmy menggumamkan sesuatu mengenai, Kini segalanya kacau, Pak. Mereka akan memasukkan Rune ke panti jompo. Kau tahulah, Ove membanting pintu begitu keras hingga seluruh ruang sampah bergetar. Dia berdiri dalam keheningan, memunggungi mereka, bernapas semakin terengah-engah.
Kau & baik-baik saja? tanya Mirsad.
Ove berbalik dan menuding Jimmy dengan kemarahan tak terkendali.
Begitukah cara Anita mengatakannya? Dia tidak ingin meminta bantuan Sonja karena kami sendiri sudah punya cukup banyak masalah ?
Jimmy mengangguk cemas. Ove menunduk menatap salju, dadanya naik turun di balik jaket. Dia memikirkan bagaimana reaksi Sonja seandainya mengetahui hal itu.
Seandainya dia tahu bahwa sahabatnya tidak meminta bantuannya karena Sonja sudah punya cukup banyak masalah . Dia akan sangat sedih.
Terkadang, sulit untuk menjelaskan mengapa beberapa orang mendadak melakukan hal-hal yang mereka lakukan. Dan, sedari awal, Ove mungkin sudah tahu mengenai apa yang harus dilakukannya, siapa yang harus ditolongnya, sebelum dia bisa mati. Namun kita selalu optimis jika menyangkut waktu. Kita mengira masih akan ada cukup waktu untuk melakukan segalanya bersama orang lain. Dan waktu untuk mengucapkan segalanya kepada mereka.
Waktu untuk naik banding.
Sekali lagi, Ove berpaling kepada Jimmy dengan ekspresi serius.
Dua tahun?
Jimmy mengangguk. Ove berdeham. Untuk kali pertama, dia tampak tidak yakin.
Kupikir Anita baru saja mulai. Kupikir aku & punya lebih banyak waktu, gumamnya.
Jimmy tampak seakan sedang berupaya memikirkan kepada siapa Ove bicara. Ove mendongak.
Dan, kini mereka akan datang menjemput Rune? Benarkah? Tidak ada kebusukan birokrasi dan naik banding dan semua omong kosong itu? Kau YAKIN soal ini?
Kembali Jimmy mengangguk. Dia membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu, tapi Ove sudah mulai berjalan pergi. Ove berjalan di antara rumah-rumah dengan gerakan seseorang yang hendak melakukan pembalasan dendam atas
ketidakadilan luar biasa di dalam fi lm koboi. Berbelok ke rumah terjauh, tempat gandengan dan Skoda putih itu masih terparkir, lalu menggedor-gedor pintu rumah itu dengan kekuatan sedemikian rupa hingga sulit untuk mengatakan apakah pintu itu akan terbuka sebelum dia menghancurkannya berkeping-keping. Anita membuka pintu dengan terkejut. Ove langsung melangkah memasuki lorong.
Kau punya dokumen-dokumen dari pihak berwenang di sini?
Ya, tapi aku Berikan kepadaku!
Setelah direnungkan kembali, Anita akan menceritakan kepada tetangga-tetangga lainnya bahwa dia belum pernah melihat Ove semarah itu sejak 1977, ketika terjadi pembicaraan mengenai peleburan antara Saab dan Volvo.[]
34
Lelaki Bernama Ove Dan Bocah
Laki-Laki Di Rumah sebelah
OVE TELAH MEMBAWA KURSI LIPAT plastik biru untuk diletakkan di salju dan diduduki. Dia tahu, ini akan memakan waktu agak lama. Memang selalu begitu, ketika dia harus menyampaikan sesuatu yang tidak disukai Sonja. Dengan cermat dia menyingkirkan semua salju dari batu nisan sehingga mereka bisa saling berpandangan dengan baik.
Dalam waktu kurang dari empat puluh tahun saja, berbagai jenis orang sempat melewati deretan rumah bandar mereka. Rumah di antara rumah Ove dan rumah Rune pernah ditinggali oleh jenis orang yang pendiam, berisik, ganjil, tak tertahankan, dan nyaris tak pernah kelihatan. Keluargakeluarga pernah tinggal di sana, dengan anak-anak remaja yang mengencingi pagar ketika mereka sedang mabuk, atau keluarga-keluarga yang mencoba menanam semak-semak terlarang di kebun, dan keluarga-keluarga yang punya gagasan untuk mengecat rumah mereka dengan warna merah
Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil Pesta Halloween Hallowe Party Karya Delusi Karya Mira W
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama