Ceritasilat Novel Online

A Song For Alexa 1

A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella Bagian 1



A SONG FOR ALEXA

Oleh Cynthia Isabella

GM 312 01 14 0050

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5

Jl. Palmerah Barat 29?33, Jakarta 10270

Ilustrator: Orkha Creative

Editor: Bayu Anangga

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN 978 - 602 - 03 - 0699 - 5

280 hlm; 20 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab percetakan

4

2:46:43 PM

Preface: A Promise

ebook by pustaka-indo.blogspot.com

A Song For Alexa mungkin bukan tujuan utama aku menulis, tapi ini

bentuk usaha untuk menepati janji.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika menempati kursi belakang kelas 3

SMP, seorang teman baik bernama Pingkan Putri Praditha berkata, "Bikin novel aja Thia, bangga tahu punya temen novelis." Tenggelam de

ngan begitu banyaknya buku-buku bacaan, sebuah ide pun muncul.

Tapi, sebuah karya tidak bisa langsung tercipta, ada proses selama bertahun-tahun yang mendukung kualitas akhir karya tersebut. Aku mungkin

bukan penulis yang bisa menyelesaikan sebuah buku dalam kurun waktu

sebulan atau tiga bulan. Aku justru butuh kurang lebih delapan tahun

persiapan untuk belajar bagaimana menulis dengan baik dan menganalisis karakter banyak orang, lalu satu tahun tambahan untuk menulis

dan menyelesaikan sebuah novel yang dikerjakan bersamaan dengan

penulisan skripsi. Akhirnya aku berhasil menciptakan sebuah karya tulis

dan berhasil menepati sebuah janji lama dengan menggunakan ide yang

sama saat itu.

Pingkan bukan satu-satunya yang berperan dalam terwujudnya novel

ini. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa kita bisa memiliki banyak

teman, tapi hanya satu orang sahabat. Di situlah Sabatini Trema berada,

seorang pendengar, pengamat, dan seseorang dengan pola pikir yang

unik. Pendapatnya yang logis menjaga cerita tetap masuk akal.

Lain lagi dengan Johanna Tania dan Christine Pingkan. Sesuatu yang

baru selalu butuh proses uji coba. Di sanalah keduanya hadir, bersedia

meluangkan waktu mereka yang berharga untuk memasuki dunia ima

jinatif yang aku ciptakan.

Mengumpulkan kepercayaan diri untuk mengirimkan draft ke pe

5

2:46:44 PM

nerbit adalah persoalan lain. Keyakinan itu tidak akan ada tanpa dorongan dari belakang yang dilakukan olehImania Kamilla, Devi

Paramitha, Ankatama Ruyatna, Irene Natalie (Bembem), Stephrine,

Lingkan Bella, Azizah Hanum, Leo Utomo, Dominique Sawii, dan (seka

li lagi) Sabatini Trema. Beberapa memberikan saran akan apa yang ha

rus dipersiapkan, beberapa meluangkan waktu untuk mendengarkan

cerita, dan beberapa, begitu baiknya, mengatakan bahwa aku memiliki

material yang bagus.

Usaha ini semakin diyakinkan oleh orang-orang dengan pengalaman

terhebat yang pernah aku temui. Mereka adalah Jasmina Nashya, Natalia

Arlyn, Dipa Andika, Immanuel Fajar, Marrisa Widyanti, Syaiful Akbar,

Pribadi Prananta, dan Magi Pasha, serta Wangsit Firmantika yang juga

bersedia menyediakan waktunya untuk berdiskusi soal konsep visual

cover novel ini.

Thank you, guys. I love all of you and I am of what your positive

attitudes are.

Tidak lupa untuk pria misterius yang menginspirasi kisah di novel

ini, I thank you for giving me one hell ride of a love experience.

Pada akhirnya, aku terus memikirkan bagaimana cerita ini akan disu

kai oleh pembaca. Ketika kali pertama menulis, aku mengharapkan se

buah kisah yang?seandainya aku baca di waktu remaja dengan kondisi

psikologis masih labil?bisa menjadi sesuatu yang memberikan jawaban.

Sebuah cerita yang mengajarkan kita untuk belajar melihat masalah dari

sisi yang berbeda. Itu yang aku lakukan dengan novel ini. Lalu, apakah

usaha itu berhasil?

Hanya kamu yang bisa menilai, selamat membaca!

Cynthia Isabella

A girl whose name was taken from a famous Indonesian female singer and

a famous song at the time she was born.

6

2:46:44 PM

1

BOY MEETS GIRL

ALEXA

Sepertinya usahaku untuk sengaja datang telat ke sekolah hari ini menam

pakkan hasil. Mataku menangkap sosok yang memang ingin kulihat pagi

ini berjalan tak jauh di depanku. Tampaknya dia baru sampai di sekolah.

"Hei, Alexa." Aku menoleh ketika Selwyn memanggilku. Dia mulai ber

jalan agak cepat menyusulku.

"Woi," balasku, "kirain siapa."

"Siapa?"

"Apa siapa?"

"Kirain siapa?"

"Bukan. Bukan siapa-siapa."

"Pasti siapa-siapa," ujarnya. Matanya berkilat jail.

Wah, anak satu ini memang sok tahu. Masih pagi begini sudah cari

gara-gara. "Siapa maksudnya?"

"Kasih tahu nggak, ya?"

Aku berhenti, memasang tatapan minta-dibunuh-ya ke arah Selwyn. Dia

menyadari itu dan langsung mundur menjauh. "Iya, iya, bercanda kok.

7

2:46:44 PM

Soalnya itu," ucapnya sambil menunjuk ke depan. Dan ketika aku meng

ikuti arah yang dia tunjuk, dia berteriak, "DANIEL!"

Cowok yang dipanggil menoleh dan tatapan kami pun bertemu. Aku

langsung membuang muka, terlalu terkejut dan tidak berani menatapnya.

Aku kembali menoleh ke arah Selwyn. "Selwyn!" omelku.

"Dicariin Alexa, Niel!" Dia kembali berteriak dan segera berlari ke pintu

gedung menuju koridor ke kelas kami, berlawanan arah dengan Daniel

yang menuju pintu gedung sebelah.

"Monyong!" teriakku, sambil ikut berlari mengejar Selwyn. Tidak akan

kubiarkan dia lolos.

Aku pertama kali bertemu dengan Daniel saat kelas VIII SMP. Benar

kata orang, you don?t need a reason to love someone. I saw him and then I

just fell for him. Sejak saat itu aku memiliki status baru: penguntit. Aku

mencari tahu hobinya, saudaranya, tempat tinggalnya, nomor teleponnya.

Lalu meningkat seperti dia pernah pacaran sama siapa saja, saat ini lagi

suka siapa, pergi-pulang sekolah jam berapa, sama siapa, tipe cewek yang

disuka kayak apa. Tapi untungnya tidak sampai mengikuti dia pulang

sampai rumah atau muncul di kamarnya ketika dia baru bangun tidur.

Aku masih cukup waras. Hanya saja segala informasi yang kucari tahu

membuatku merasa lebih mengenal Daniel bahkan sebelum aku mengobrol

lebih banyak dengannya, dan secara tidak langsung membuatku makin

menyukainya. Tetapi kalau ada satu hal yang paling kutakutkan, adalah jika

dia tiba-tiba menemui cewek yang menarik hatinya dan jadian.

Dan ada seseorang yang kukhawatirkan. Waktu kelas X, aku sekelas de

ngan cewek ini dan saat itu pula pertama kalinya aku sekelas dengan

Daniel. Karena pernah satu SD, cewek ini juga mengenal Rieska, teman

yang saat itu sekelas juga denganku. Karena waktu kelas X aku dekat de

ngan Rieska, otomatis aku juga jadi dekat dengan cewek ini. Dan itu pula

yang membuatku mulai menyadari Daniel pun dekat dengan cewek ini.

Namanya Vivi. Matanya besar bulat, seperti karakter kartun Jepang. Badan

nya mungil, dia lebih pendek bahkan daripada aku yang terbilang pendek.

Rambutnya panjang lurus kecokelatan, berbeda denganku yang hitam dan

agak bergelombang di ujungnya. Yang jelas, Vivi itu manis.

8

2:46:44 PM

Walaupun sampai saat ini mereka tidak jadian dan masih berteman se

perti dulu, kali ini mereka sekelas lagi di XI IPS 1 sementara aku terpisah

di kelas XI IPA 1, membuatku merasa merana. Sekelas dengan Daniel saja

aku masih malu-malu untuk memulai obrolan, apalagi sekarang setelah

kami berbeda kelas? Rasanya perkembangan kisah cintaku mundur berkilokilometer jauhnya.

Sampai saat ini aku masih heran kenapa aku bisa begitu mudah meng

obrol dengan Daniel melalui telepon dan SMS, tapi sulit sekali apabila

kami bertemu langsung. Tahun ini aku sekelas dengan Arnold, teman dekat

Daniel. Karena itu ketika sesekali dia datang ke kelasku saat istirahat siang

untuk bertemu Arnold. Dan hanya pada saat seperti inilah aku bisa

mencuri-curi kesempatan berbicara dengannya.

Aku sedang berjalan ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas kelompok

fisika pada jam istirahat pertama saat melihat Daniel. Pintu ruang guru

berada di dekat tangga dan koridor kelas XI IPS, dan dia sedang berjalan

ke luar dari kelasnya menuju tangga. Tatapan kami bertemu. Aku terse

nyum dan nyaris menyapanya, tapi seseorang memanggil cowok itu. Vivi.

Bersama beberapa teman Daniel, Vivi berjalan cepat menghampiri cowok

itu. Mereka hendak menaiki tangga, yang kuduga mungkin menuju kantin

di lantai tujuh.

Aku menghela napas dan memasuki ruang guru. Aku sulit mengakui,

tapi sepertinya harus, bahwa kenyataannya tingkahku seperti ABG labil.

Hal seperti ini saja kupikirkan. Aku menyerahkan tugasku kepada guru

fisika, kemudian keluar.

"Hei, Lexa, bengong aja!"

Aku menoleh. Rieska berdiri di depan pintu kelasnya. "Oi! Nggak ke

kantin, Ries?" tanyaku.

"Nggak ah, lagi males." Rieska menghampiriku. Dia salah satu temanku

yang tahu tentang perasaanku terhadap Daniel. "Duduk situ, yuk." Dia

menunjuk bangku panjang di depan ruang guru.

"Apa kabar kakak lo?"

9

2:46:44 PM

"?Set dah, ketemu gue bukannya nanya kabar gue dulu."

"Tenang, coy. Jangan emosi dulu. Hahaha" Rieska menepuk-nepuk

punggungku. Ini memang pembicaraan klasik, kalau bertemu Rieska bahasa

gaulnya mesti balik ke era ?90-an.

"Eh, Lexa, lo nggak ikutan panitia Porseni? Pak Woto kan lagi ngumpulin

murid buat bantu-bantu hias sekolah," ujar Rieska mendadak serius.

"Nggak, nggak ditanyain."

"Ya lo minta dong."

"Lha, masa gue ngajuin diri? Malu ah, nanti aja tunggu diajak."

"Dih, sayang tahu, lo kan emang hobinya jadi seksi repot begini. Ikut

aja gih," desak Rieska, "Woi! Aldo, dari mana lo?" Rieska meneriaki junior

yang lewat di depan kami, yang ikut satu mobil jemputan dengannya.

Junior itu hanya mengangguk dan berjalan menunduk ke kelasnya.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rieska, galak amat," ujarku. Rieska hanya tertawa. Aku tahu dia hanya

bercanda. Dia memang selalu terdengar seperti sedang marah-marah, tapi

gaya bicaranya memang seperti itu. "Eh, terus, emang lo udah ngajuin diri

jadi panitia?"

"Udah," jawabnya, "gue diajak temen gue. Kalo nggak, lo tanya Kenny

deh, setahu gue Kenny juga ikutan."

"Hmm Iya, nanti gue tanya deh."

"Iya, pastiin deh, jadi nanti kan lo bisa nemenin gue. Hehehe" Tatap

an sinisku hanya ia balas dengan tawa. Jadi ini tujuan aslinya, hanya agar

dia punya teman. "Terus, gimana lo sama si Daniel?"

"Akhirnya kita ngomongin topik itu," ujarku. Aku diam sejenak, bi

ngung bagaimana harus memulai. "Yaa sejauh ini biasa-biasa aja."

"Lo udah pernah nyatain ke dia, kan?"

"Pernah," jawabku. Ya, benar, dan itu terjadi enam bulan lalu. Aku ha

nya merasa itulah saatnya dan aku mengungkapkannya melalui telepon.

Bukan nembak, hanya menyampaikan perasaanku.

"Nggak tahu ya, Lex. Kayaknya Daniel makin deket sama Vivi deh

sekarang."

"Tapi bukannya dari dulu emang deket?"

"Iya, tapi sekarang tuh Gimana, ya?" Rieska terhenti. "Gue lupa, ada

yang pernah ngomong ke gue, Vivi dianggep adik gitu sama Daniel."

10

10

2:46:44 PM

Aku berpikir keras, siapa ya yang pernah bilang begitu? Aku tidak ingat,

tapi memang ada.

"Sebenernya salah satunya pasti ada yang suka, cuma biar deket aja

makanya pake istilah itu. Yaah... teman tapi mesra sih sebenernya."

"Gue paling benci deh istilah itu. Itu tameng biar kita bisa deket sama

orang yang kita suka, tapi nggak mampu lebih. Kalo salah satunya nyatain

suka, yang lain bisa nyangkal sambil bi-lang ?Selama ini gue anggap lo

kayak sodara sendiri?. That?s it. Nggak perlu mikir alasan yang susah-susah

buat nolak, kan? Win-win solution. Yang satu mempertahankan fans-nya,

yang satu bisa nempel-nempel sama gebetan mereka," ujarku terbawa emo

si. Tapi memang agak menyebalkan melihat kejadian seperti ini di antara

teman-temanku sendiri. Dan aku mengenal beberapa yang akhirnya patah

hati.

"Nah, menurut gue, si Vivi dan Daniel ini sama aja," Rieska menam

bahkan.

"Hmm Gue nggak tahu juga ya. Dia kan tahu gue naksir Daniel,

dan waktu kelas X gue pernah curhat ke dia, gue lupa tentang apa, terus

dia kasih saran cara ngadepin Daniel dan sebagainya." Ada sedikit bagian

dalam diriku yang merasa aku masih bisa memercayai Vivi, tapi obrolan

dengan Rieska memperbesar bagian lain dalam diriku yang ingin berhenti

memercayai cewek itu.

"Yaa itu kan bisa aja di mulut doang," kata Rieska. Ia terdiam seben

tar, lalu melanjutkan, "Menurut gue sih, dia agak palsu."

"Nggak gitu jugalah, Ries."

"Lexa," potong Rieska, "inget ya, lo jangan terlalu percaya sama dia.

Oke?"

Aku hanya mengangguk. Walaupun begitu, aku kurang yakin. Sejauh

ini Vivi baik-baik saja padaku.

"Nah, sekarang, seandainya aja ya, hubungan mereka kayak yang kita

omongin tadi. Menurut lo," Rieska terdiam sebentar, seolah memikirkan

kata-kata yang tepat, "pihak mana yang lagi pedekate?"

***

11

11

2:46:44 PM

Bel istirahat kedua berbunyi dan semua murid XI IPA 1 serempak me

regangkan badan di kursi masing-masing. Beberapa langsung berdiri dan

keluar kelas, meninggalkan tempat yang membuat mereka penat.

"Argh, gila. Bener-bener diperes otak gue hari ini. Dari pagi fisika, terus

bio, mat," keluh Arnold.

"Tenang, Nold, bakal gini sampai setahun ke depan," tambah Kenny.

Arnold makin menyusut di kursinya.

"Iya, untung abis ini pelajarannya lebih santai," aku menenangkan sam

bil membereskan buku-buku. Sebagian besar teman sekelasku sudah keluar

dan langsung menuju kantin. Di kelas tinggal aku, Selwyn, Kenny, dan

Arnold. Arnold sedang mengeluh lagi tentang pelajaran hari ini yang terasa

membosankan ketika pintu tiba-tiba terbuka dan Raka masuk ke kelas,

diikuti dua temannya yang lain dan Daniel. Ini pemandangan yang biasa,

Daniel dan teman-temannya berkumpul untuk mengobrol dengan

Arnold.

"Kenapa muka lo, Nold?" tanya Raka.

"Argh, stres gue sama pelajaran hari ini," jawab Arnold.

Agak canggung rasanya duduk di samping Arnold sementara semua

teman-temannya berkumpul di sekitarnya serta mengajaknya ngobrol.

Mungkin hal seperti ini tidak terlintas dalam benak mereka, tapi aku

berpikir kalau saat itu juga aku pindah, mungkin mereka akan mengira

aku menjauhi mereka. Kalau aku diam di tempat dan bengong saja, aku

akan terlihat seperti orang bodoh.

Aku kemudian menghadap ke belakang, dan mengajak Selwyn dan

Kenny ngobrol. Aku berusaha tidak memedulikan Daniel dan temantemannya. Sebenarnya sih peduli, terutama karena ada Daniel di antara

mereka, tapi agak sulit rasanya mengajak ngobrol duluan.

"Nggak ngajak ngobrol, Lex?" tanya Kenny, memancing.

"Ah, Lexa mah malu-malu tapi mau," sambar Selwyn.

"Nggak ah, nanti aja," sebenarnya jawabanku mengarah pada hal yang

tidak pasti. "Nanti" itu kapan tepatnya? Aku sadar sebenarnya aku melarikan diri.

"Eh, Lex, ini buku catatan kimia lo yang kemaren gue pinjem, untung

gue inget. Thank you, ya," tambah Kenny tiba-tiba.

12

12

2:46:44 PM

om

"Oke." Aku kembali menghadap ke depan untuk meletakkan buku itu

di laci meja dan baru menyadari Daniel duduk di kursi di depanku.

Tatapan kami bertemu.

"Halo," sapanya.

"Hoi," balasku.

Hening.

Canggung. Ini selalu terjadi. Aku memikirkan kalimat permulaan yang

tepat.

"Ehm," aku memulai, "mashngbandsmayanglayn?"

"Hah?" tanyanya.

Bagus, Lexa. Kapabilitas bicara normalmu semakin menurun.

"Hm, masih nge-band sama yang lain?" ulangku lebih pelan.

"Oh, masih," ujar Daniel, "cuma lagi jarang sih sekarang. Si Raka lagi

nggak bisa mulu."

"Nggak bisa kenapa?" tanyaku, berusaha memperpanjang pembicaraan.

"Sekarang mulai banyak tugas, kan?"

"Oh, iya bener," aku mengiyakan. "Padahal baru masuk tahun ajaran

baru."

Daniel mengangguk.

Kami kembali terdiam. Hening. Canggung.

Aku memikirkan obrolan baru. "Eh, Niel, video yang lo post"

"Alexa."

Aku menoleh, Vivi berdiri tidak jauh dari tempatku. Huh, akhirnya dia

datang juga.

"Lihat Aria nggak?" Aria itu teman dekat Vivi yang sekelas denganku.

"Hm, kayaknya ke kantin," jawabku.

"Oh," balasnya, "apa, Niel?"

"Nggak apa-apa," balas Daniel sambil menahan senyum.

"Ngomongin apa sih kalian? Pasti ngomongin Jepang deh," tambah Vivi.

Dia menghampiri mejaku.

"Dih, sok tahu," ejek Daniel, "lagian kalo emang Jepang juga, lo nggak

ngerti kan?"

"Biarin," balas Vivi.

Akhirnya mereka bercanda berdua dengan sangat seru di depan mataku.

13

13

2:46:44 PM

Aku hanya tersenyum sopan, dalam hati mengutuk keberuntungan yang

berpindah ke Vivi. Seharusnya aku bisa saja menimpali, tidak kalah dengan

Vivi. Tapi entahlah, melihat mereka berdua begitu akrab rasanya langsung

membuatku down.

Aku mengalihkan perhatian dari mereka berdua dan memperhatikan

deretan jendela lantai tujuh yang merupakan tiga ruangan dijadikan satu

yang terpisah sekat dan salah satunya adalah ruang lukis. Sejak setahun lalu

aku sering ke sana untuk mengikuti ekstrakurikuler lukis yang diadakan

setiap Sabtu. Setahuku pada hari biasa pun ruangan itu tidak pernah

dikunci karena dianggap ruang kelas biasa yang sesekali dipakai untuk

pelajaran seni.

Aku kembali menoleh ke arah Daniel dan Vivi yang sedang bercanda,

lalu kembali memandang jendela ruang lukis di lantai tujuh. Aku menghela

napas. Aku hanya mengikuti naluriku untuk lari dari perasaan tidak nya

man ini, dan tidak benar-benar sadar ketika aku berdiri dan berjalan menuju pintu. Pikiranku kosong, tapi perasaanku penuh. Aku ingin melarikan

diri. Aku tahu apa yang bisa menenangkanku. Apa yang ada di ruangan

lukis bisa menenangkanku. Aku pernah berada di sana dalam waktu lama

dan di sanalah aku bisa benar-benar tenang.

Lantai tujuh begitu riuh dengan murid-murid yang memenuhi kantin

di sebelah kiriku. Aku langsung berbelok ke kanan, menuju koridor ruangruang seni. Koridor panjang di depanku tampak sunyi, bertolak belakang

dengan keadaan kantin di belakangku yang hiruk pikuk.

Aku langsung menuju ruang lukis, terdiam sebentar sambil memegang

kenop, memohon dalam hati agar pintu tidak terkunci. Kemudian aku

membukanya, dan aroma cat yang begitu kuat dari ruangan pengap itu

menerjang penciumanku.

Aku masuk dan ruangan kosong langsung menggemakan dentuman pintu

yagn tertutup. Aku bergerak di antara meja dan kursi yang tidak beraturan,

di antara kanvas-kanvas kosong yang bertumpuk, di antara lukisan-lukisan

jadi dan setengah jadi yang disandarkan di dinding, di antara cat, palet, serta

kuas yang bertebaran, menuju jendela di depanku. Aku menarik sebuah meja

ke dekat jendela dan membuka kaca jendela. Angin sejuk langsung menerpa

14

14

2:46:44 PM

om

wajahku, diikuti hawa panas matahari siang. Bau pengap di sekitarku sudah

tidak terlalu tercium, tapi aroma cat yang kuat masih terasa.

Inilah yang kuharapkan. Aku duduk di meja dan bersandar di kisi jen

dela, menatap gedung sebelah. Menatap jendela ruang kelasku yang berada

di lantai empat. Aku yakin Daniel masih ada di sana, masih bercanda bersama Vivi. Mengingat itu, yang terlintas di kepalaku hanyalah kalimat yang

diucapkan Rieska saat istirahat pertama tadi. Di ruangan ini, dengan angin

yang menerpa lembut wajahku, kepalaku terasa lebih ringan.

Di bawah, murid-murid berlalu-lalang. Istirahat kedua ini bersamaan

dengan murid-murid SMP, karena itu selain warna abu-abu, pemandangan

di bawah turut didominasi warna biru tua. Aku mulai melamun. Warna

biru itu kembali membawaku ke masa ketika aku pertama kali bertemu

Daniel. Setahun lebih aku hanya memperhatikannya, berbicara sesekali.

Baru tahun lalu aku benar-benar memiliki kesempatan untuk dekat dengan

nya. Dia meracuniku untuk mendengarkan musik-musik Jepang, terutama
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

L?Arc~en~Ciel. Kami sempat berdebat karena awalnya aku tidak menyukai

nya walaupun ia sudah meminjamiku CD berisi lagu-lagu terbaik mereka.

Semua ini berlanjut pada setiap waktu tertentu ia membawakanku CD

yang berbeda untuk kudengarkan, bertekad ingin mengubah pendapatku

agar menyukai L?Arc~en~Ciel.

Dan ketika akhirnya aku menyukai L?Arc~en~Ciel, ia mengajakku untuk

mendalami musiknya. Melalui dialah aku pertama kali baru benar-benar

mendengarkan permainan gitar bas. Selama ini aku hanya memperhatikan

suara vokalis, ketukan yang dihasilkan drummer, dan melodi yang dicipta

kan gitaris. Dan ia menuntunku untuk mencintai suara bas.

Awal semester dua saat aku kelas X, akhirnya aku membeli gitar bas.

Aku sering membawanya ke sekolah untuk minta diajari bermain bas. Aku

kemudian menekuninya di rumah. Mungkin kegemaranku akan musik dan

niatku untuk membuat Daniel kagumlah yang akhirnya membuatku mam

pu bermain bas. Dan saat ini ketika akhirnya aku lumayan menguasai

instrumen tersebut, mungkin kesempatan untuk menunjukkan kemampuan

ku di depan Daniel sudah hilang. Rasanya aku ingin menyerah saja, me

ninggalkan perasaan yang tidak jelas ini selamanya.

Kata-kata Rieska kembali mengusik benakku. Aku tahu agak jahat

15

15

2:46:44 PM

memang jika Vivi ternyata yang menyukai Daniel. Karena kalau memang

kenyataannya seperti itu, bukankah lebih baik dia jujur padaku? Kalau

ternyata pihak itu Daniel Entahlah, mungkin mulai sekarang aku harus

melepasnya sebelum perasaanku semakin dalam. Dan apa yang akan

dilakukan Vivi, apakah dia akan menerima perasaan Daniel? Itu berarti dia

tidak memedulikanku, padahal jelas-jelas dia tahu aku menyukai Daniel

sejak lama.

Ah, aku baru sadar, sebelumnya kukira ini hanya khayalanku, tapi teli

ngaku tidak salah, aku mendengar musik. Aku menoleh. Dari ruang musik.

Seseorang memainkan piano di sana. Berani juga dia, padahal kepala

sekolah melarang kami menyentuh piano di ruang musik. Memang tidak

dijelaskan kenapa, tapi bukan berarti piano itu boleh dimainkan seenak

nya.

Lagu ini sepertinya aku pernah dengar. Aku mendengarkan. Mengha

yati melodinya.

Smile. Charlie Chaplin.

Aku menyipitkan mata, bertanya-tanya. Siapa orang ini? Dia seperti bisa

membaca pikiranku. Seolah lagu ini mengajakku untuk kembali ceria.

Mengingatkanku untuk tersenyum.

Aku terus mendengarkan. Permainan pianonya menenangkan pikiranku,

mengembalikan semangatku. Ia sendiri terdengar bersemangat sekaligus

tenang. Terdengar jelas bahwa ini hal yang dicintainya. Musik ini, per

mainan ini. Ia begitu menyukai musik, aku bisa merasakannya. Apakah

sebenarnya musik ini bukan untukku? Apakah ini sebenarnya untuk dirinya

sendiri?

Siapa dia? Aku mendekati sekat ruangan. Apakah dia orang yang

kukenal? Aku mengintip di antara celah sekat. Cukup lebar untuk melihat

orang itu. Cowok. Tapi jelas bukan orang yang kukenal. Kalau itu Selwyn,

Bona, atau siapa pun yang kukenal, aku pasti langsung mengetahuinya

walaupun melihat mereka dari belakang. Untuk yang satu ini, aku tidak

yakin. Mungkin dia junior. Atau senior.

Ia memunggungiku, tampak begitu menguasai piano itu. Aku terlalu

penasaran dengan wajahnya sampai tidak menyadari lagu tersebut hampir

selesai dan bel berbunyi. Aku terkejut dan menoleh ke pintu. Dari kaca

16

16

2:46:44 PM

terlihat murid-murid bergerak meninggalkan kantin dan menyusuri lorong

ruangan seni untuk kembali ke kelas. Aku kembali mengintip ke ruang

musik dan mendapati cowok tadi sudah berdiri dan berjalan ke arah pintu.

Tunggu, aku berteriak dalam hati. Aku segera bergerak ke pintu. Kalau aku

tidak bisa melihat wajahnya, setidaknya aku harus mengetahui dia kelas

berapa. Aku harus mengikutinya.

Aku membuka pintu ruang lukis dan mendapati koridor begitu dipe

nuhi murid-murid yang ingin kembali ke kelas. Aku melihat cowok tadi

bergerak di antara murid-murid yang memenuhi koridor, mengikuti arus

yang berjalan menuju tangga besar di sayap timur gedung. Aku berusaha

mengikutinya, tapi dia begitu cepat dan orang-orang di sekitarku berjalan

begitu lambat, padahal ini sudah bel. Saat mataku kembali mencari-cari

cowok itu, aku sudah kehilangan jejaknya.

17

17

2:46:44 PM

2

THE MYSTERY MAN

Baru sekarang aku merasa seaneh ini. Keanehan yang kutemukan ini ber

asal dari orang lain.

Ada yang mengamatiku. Secara intens. Dan terang-terangan.

Awalnya aku tidak menyadari keberadaannya. Yang kurasakan hanyalah

sepasang mata yang memperhatikanku. Rasanya seperti ada yang terus-me

nerus melihat ke arahku, tetapi ketika akhirnya aku menoleh, semua orang

tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Sampai siang ini aku masih memikirkan orang tersebut, tapi kehadiran

Vivi di kelasku akhirnya mengalihkan pikiranku untuk sementara. Vivi,

seperti biasa sebenarnya mengunjungi Aria, tapi tak lama kemudian dia

mendatangiku yang kebetulan memang duduk tidak terlalu jauh dari

Aria.

"Lagi kerjain apa, Alexa?"

"Oh," kataku mengalihkan pandangan dari tugasku dan menatapnya,

"tugas kimia." Aku memperhatikan hari ini pun dia tampil dengan gaya

khasnya: memakai kardigan hitam.

"Hm. Serius amat."

Aku hanya tertawa. Masa untuk hal ini tampangku kelihatan serius?

18

18

2:46:44 PM

Yang benar saja. Kalau yang kukerjakan adalah rencana balas dendam terha

dap Selwyn yang sebelumnya menyebarkan gosip ke semua anak sekelas

bahwa aku membawa komik hentai?tahu kan, komik erotis?baru aku

bisa dibilang kelihatan serius.

"Udah lama nih nggak ngobrol sama Lexa," ujarnya tiba-tiba.

"Ah, nggak juga. Kemarin pas ketemu di depan ruang guru juga kita

ngobrol."

"Bukan, itu cuma nyapa. Hahaha" timpalnya sambil tertawa, "maksud

gue, ngobrol yang kayak waktu kelas X dulu. Gosip, ngomongin orang,

ngomongin pelajaran."

"Oh," kataku baru mengerti maksudnya, tapi masih menebak-nebak ke

mana arah pembicaraan ini, "Iya juga sih."

"Ya, kan?" balasnya. "Lexa, pipi lo kok bisa pink gitu sih?"

"Masa?" tanyaku sambil langsung meraba pipiku yang hangat. "Oh, tadi

gara-gara pelajaran olahraga, kepanasan jadi mateng begini." Aku memang

menuruni gen ibuku yang kalau kepanasan sedikit saja pipiku langsung

merona.

"Oh, lucu banget," ujarnya, "tapi bagus lagi, jadi kelihatan fresh."

Aku hanya tersenyum, tapi sejujurnya dalam hati aku senang dipuji se

perti ini. Yah, bergaul bersama teman-temanku yang dominan cowok mem

buat pujian terakhir yang kuterima adalah akhir-akhir ini aku kelihatan

gemukan. Ini masih termasuk pujian lho, bisa dibayangkan yang bukan

pujian seperti apa?

"Coba lo banyak keluar dari kelas, Lexa. Ke kantin gitu, atau ikut jalan

sama yang lain pas weekend," usul Vivi, "biar ?pancarkan pesonamu?,

Lexa."

Aku tersenyum. "Mungkin kerja jadi salesperson cocok ya buat lo, Vi."

Vivi tertawa. "Tunjukin pesona lo, Lexa," ulangnya, "biar banyak yang

naksir."

Giliran aku yang tertawa. "Nggak usah banyak yang naksir, gue cukup

minta satu aja."

"Ooohhhh," sahutnya tiba-tiba, "Daniel, ya?"

Aku tidak bisa menghindar. Aku menatapnya dan tersenyum.

"Gimana kabar lo sama dia?"

19

19

2:46:44 PM

Sejujurnya perasaanku tercabik, antara ingin jujur atau berpura-pura

baik-baik saja. Tapi aku memilih jujur. Walaupun memang jika dilihat

kembali, hubunganku dengan Daniel sekarang bisa digambarkan dalam

grafik dengan garis lurus mendatar.

"Hmm. Nggak ada perkembangan yang jelas sih. Abis udah beda kelas

kan, jadi rasanya makin jauh," jawabku.

"Ya, lo ajak ngobrol aja, kalian banyak kesamaan, kan?"

"Iya sih. Tapi susah aja, mungkin guenya juga sih, terlalu grogi buat

mulai ngomong duluan."

Dia tertawa ringan. "Jangan gitulah, pede aja, Lex!" ujarnya, menyema

ngati. "Inget, ?pancarkan pesonamu?."

"Iya Tapi gimana ya." Memang inilah masalahku, aku benar-benar

harus mengatasi kegugupan yang selalu menerjangku setiap kali berhadapan

dengan Daniel.

"Hmm" Vivi terlihat berpikir. Baik sekali dia ikut memikirkan masa

lahku. "Atau mau gue bantuin nggak, Lex?"

Aku benar-benar terkejut. "Hah?" Vivi berniat membantuku! Ternyata

benar kata Kitty, kita tidak boleh langsung menilai buruk seseorang sebe

lum ada bukti yang absolut. "Bantuin gimana maksudnya, Vi?"

"Bantu biar lo makin deket sama Daniel. Gue kan kebetulan deket sama

dia, nanti gue bantuin ngomong deh."

Aku terdiam sebentar. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya

membalasnya dengan senyuman dan anggukan. Mungkin saat ini aku

benar-benar butuh bantuan makcomblang. Dan dari orang yang memang

sudah berteman baik dengan Daniel, pas banget! Aku berani menilai bahwa

pendapat Rieska tidak sepenuhnya benar. Vivi sebenarnya baik. Sama

seperti diriku yang masih menghargainya sebagai teman, dia juga pasti ma

sih menghargaiku. Setelah segala keraguan selama ini, aku memilih untuk

memercayainya.

Perpustakaan sekolahku memang unik, dan ini benar-benar perpustakaan

impianku. Di dekat pintu, terdapat sederet panjang meja dengan komputerkomputer yang dipasangi jaringan internet. Di sudut belakang, dekat sofa,

20

20

2:46:44 PM

ada satu rak penuh komik yang hanya boleh dibaca di perpustakaan. Di

dekat meja petugas terdapat satu rak kaca besar yang isinya buku-buku

asing tebal tentang kedokteran, fisika, kimia, berderet-deret majalah

National Geographic, dan masih banyak lagi yang benar-benar menarik per

hatianku. Sayangnya, buku-buku tersebut tidak boleh dipinjam. Dan kalau

kita mencari dengan jeli, kita akan menemukan buku-buku asing tentang

teknik menulis skrip film, sinematografi, ulasan film-film Hollywood ter

baik, dan masih banyak lagi yang tidak kuduga akan kutemukan di perpus

takaan ini. Aku menyukai film dan buku-buku seperti itu benar-benar

menarik untuk dibaca. Yang paling membuatku terkejut, ternyata ada kolek

si lengkap drama karya William Shakespeare!

Dua hari lalu, Selwyn memberitahuku dia menemukan buku desain
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang benar-benar menarik dan harus kulihat. Dia tidak menjelaskan secara

rinci, hanya memberitahu judulnya dan aku harus melihat sendiri. Faktor

lainnya karena dia tidak punya kartu anggota perpustakaan dan minta

tolong padaku untuk meminjamnya.

Ketika membuka pintu, aku tidak terlalu terkejut melihat perpustakaan

cukup ramai. Banyak junior, teman seangkatan, dan senior yang duduk

berkelompok dan sedang berdiskusi mengerjakan tugas. Atau mungkin

"kelihatan" sedang berdiskusi mengerjakan tugas karena aku bisa melihat

satu kelompok murid perempuan kelas X yang cekikikan sambil melirik ke

arah kelompok murid populer dari kelas XII yang duduk di meja di sebe

lah mereka. Beberapa murid lainnya tampak membaca komik di sisi lain

perpustakaan. Sepertinya fasilitas seperti sofa, internet, dan komik cukup

membuat mereka merasa nyaman menghabiskan waktu istirahat dengan

duduk-duduk atau bahkan tidur-tiduran di ruangan ini seperti di rumah

sendiri.

Aku sedang menatap salah satu rak yang seingatku rak untuk bukubuku desain ketika kembali merasakan "mata" itu. Tanganku membeku di

antara buku-buku yang kusentuh. Aku merinding, dan langsung menoleh,

mengamati sekeliling, memperhatikan murid-murid di sekitarku. Aku mulai

gelisah. Cepat-cepat kuambil buku yang kubutuhkan agar aku bisa segera

kembali ke kelas.

"Alexa."

21

21

2:46:44 PM

Aku menjerit pelan dan berbalik. "Daniel." Aku begitu terfokus pada

"orang" itu sampai tidak menyadari ada Daniel di dekatku.

"Kenapa kaget?"

"Nggak apa-apa," aku berbohong, berusaha keras menjaga suaraku agar

tetap stabil, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik ke sana

kemari, penasaran dengan pemilik "mata" itu. "Daniel ngapain?" Perta

nyaan yang lebih tepatnya mewakili pertanyaanku yang lain yaitu, apa yang

dia lakukan di dekatku?

"Cari buku," jawabnya.

"Oh," balasku.

Daniel kembali memperhatikan buku-buku di depannya. Dan kami ter

diam. Canggung. Perasaanku masih campur aduk antara terkejut, gugup,

dan berusaha memusatkan pikiran pada Daniel yang ada di dekatku. Jan

tungku memang masih berdegup keras sejak merasa diamati tadi, tapi aku

tahu debar kali ini yang belum berhenti juga disebabkan hal lain.

"Hmm," ujar Daniel tiba-tiba sambil tetap mencari-cari buku di rak,

"tentang kebudayaan Jepang."

"Oh, ya." Pandanganku yang tadinya lurus ke rak di depanku langsung

teralih pada Daniel. Aku tahu dia begitu menyukai musik-musik Jepang,

tapi aku tidak menyangka dia sampai seserius itu ingin mempelajari buda

yanya juga.

"Gue," tambahnya lagi, "rencananya mau ambil beasiswa ke Jepang."

Aku terdiam sesaat. "Oh, ya?" Tampaknya agak sulit berbicara sambil

menatap matanya, aku takut debar jantungku yang keras ini terdengar

olehnya.

Daniel mengangguk.

"Baguslah. Biar nanti bisa ketemu Tetsu terus belajar main bas sama dia,

ya." Tetsu adalah pemain bas L?Arc~en~Ciel, band yang dia kagumi. Aku

senang mendengarnya, ini memang hal yang dia cita-citakan.

Daniel tersenyum. "Amin," tambahnya.

Dan kami kembali terdiam.

Tapi tidak secanggung sebelumnya dan aku tidak segugup sebelumnya.

Atau mungkin itu harapanku, karena ketika aku melihat tanganku, terdapat

22

22

2:46:44 PM

lapisan tipis debu di permukaan jariku setelah tadi tanpa sadar meraba-raba

buku-buku di rak karena gugup.

Sesaat aku melupakan apa yang sedang kulakukan, ketika akhirnya

Daniel mengingatkan. "Nyari buku juga?"

"Oh," kataku, lalu berpikir sesaat. "Ikon, buku desain grafis. Selwyn bi

lang ada di sekitar rak ini, tapi dari tadi gue cari belum ketemu."

"Hmm," Daniel bergerak ke sisi lain rak, agak menjauh dari tempatku

berada, mengambil sebuah buku, dan menyerahkannya padaku. "Raknya

abis dirapiin ulang. Buku-buku desain tadinya di sebelah sini, tapi kemarin

dipindahin ke sana semua."

"Wow," aku menerima buku tersebut, "thank you."

Ia mengangguk. "Lo suka desain, ya? Bantu persiapan Porseni aja, kema

rin temen gue bilang mereka kurang orang buat tim kreatif."

Giliran aku yang mengangguk. "Oke."

"Gue juga ikut kok," tambahnya, "dipaksa gara-gara butuh orang.

Hahaha"

Daniel tertawa. Dan aku hanya tersenyum. Tapi dalam hati aku tertawa

lebih riang. Rieska menyuruhku ikut persiapan Porseni, tapi aku hanya

menanggapinya asal-asalan. Tapi ketika Daniel yang mengajakku, ditambah

lagi katanya dia sendiri juga ikut, aku jelas akan mengajukan diri.

"Iya, nanti deh gue ngomong ke Pak Woto."

"Ikut aja, biar nanti gue ada temen ngobrol juga," tambahnya, "abis

temen gue yang lain pada males, mereka maunya nonton aja nanti pas

hari-H."

Alasannya juga sama seperti alasan Rieska waktu dia mengajakku ga

bung, bedanya yang satu ini terdengar lebih berharga di telingaku dan

membuatku ingin langsung berteriak "Tenang aja, Daniel, gue pasti ikut

kok!"

"Daniel," Raka muncul tidak jauh di belakang Daniel. "Bentar deh."

"Oh, kalo gitu gue balik duluan aja ke kelas. Thank you ya, udah bantu

nemuin bukunya." Aku sudah berjalan menjauh ketika teringat sesuatu dan

berbalik, menghadap Daniel yang juga sudah berjalan mengikuti Raka,

"Good luck, Daniel."

Dia berbalik. Menatapku. Dan tersenyum.

23

23

2:46:45 PM

***

"Bohong lo, dia nawarin bantuan?!"

Seperti biasa aku dan Rieska duduk di kursi dekat ruang guru untuk

bergosip dan saling tukar informasi. Aku baru saja menceritakan tawaran

bantuan dari Vivi dua hari yang lalu, dan wajah Rieska hanya menampak

kan ketidakpercayaan.

"Aih, serius Rieska."

"Nggak mungkin," timpalnya keras kepala.

"Serius," balasku, "dia bilang dia mau coba bantu, nanti dia mau coba

omongin ke Daniel."

"Ngomongin apa?"

"Hm, nggak tahu," kataku berusaha mengingat-ingat. "Dia sih nggak

kasih tahu spesifiknya mau ngomong gimana ke Daniel. Cuma intinya, dia

mau bantu."

"Bantu nyomblangin gitu?"

"Kurang-lebih. Kayaknya."

Rieska terdiam sebentar.

"Benar kan, Ries," aku mencoba menjelaskan, "dia pasti nggak punya

maksud jahat, buktinya sekarang dia mau bantu gue, kalo"

"Gue nggak percaya."

"Hah?"

"Itu kan bisa aja di mulut doang," ujar Rieska sambil menatapku lekatlekat. "Mungkin kan dia cuma berusaha jaga perasaan lo dengan ngomong

begitu tapi nggak bener-bener niat bantuin."

"Yah, tapi nggak mungkin juga kan dia berani ngejanjiin gue hal be

ginian. Ini kan bukan hal sepele"

"Siapa bilang?" lagi-lagi Rieska memotong penjelasanku. "Kalo nantinya

lo nggak ada perkembangan sama Daniel kan dia tinggal bilang usaha dia

untuk ngomong nggak berhasil. Terus dia ngomongnya gimana ke Daniel

kan dia bisa ngarang aja."

Aku terdiam. Itu pernyataan telak. Tapi tidak, aku masih yakin Vivi

berniat baik.

24

24

2:46:45 PM

"Kita liat perkembangannya dulu aja," balasku dengan lebih sabar,

"cuma kayaknya kita nggak boleh langsung nilai dia negatif begitu aja."

"Percaya deh Lex, gue ngerasa dia agak palsu."

"Jangan ngomong begi" Aku menoleh. Lagi-lagi. Perasaan yang sama

seperti sebelum-sebelumnya. Ada yang memperhatikanku. Rasa merinding

ini, perasaan tidak nyaman di sekujur tubuhku. Rasanya seolah aku akan

ditembak mati bahkan jika hanya menggerakkan satu jari. Menyebalkan,

mau apa dia? Aku memberanikan diri, dengan penasaran melihat-lihat ke

sekitar. Di koridor ini hanya ada beberapa anak kelas X yang duduk-duduk

di depan kelas, beberapa murid yang mungkin senior?tampaknya kelom

pok murid populer dari kelas XII?melewati kursiku dan berjalan ke arah

tangga, dan beberapa anak seangkatanku yang keluar-masuk ruang guru.

Di mana orang itu?

"Lexa!" Rieska mengejutkanku. "Kenapa lo?"

"Nggak apa-apa," ujarku. Aku masih menatap sekelilingku ketika tibatiba Rieska berbicara agak keras.

"Nih, yang diomongin dateng!"

Aku menoleh ke arahnya, lalu ke arah pandangannya. Daniel sedang

berjalan ke arah ruang guru lalu berhenti dan membalas Rieska.

"Apa? Ngegosipin gue, ya?" tanyanya sambil tertawa. "Nggak sehat gosip

siang-siang."

"Yee, orang yang ngajak gosipin lo Alexa," sambar Rieska cukup keras,

dan cukup untuk membuatku malu. Aku langsung memelototinya. Aku

bisa merasakan wajahku memerah. Terlalu malu untuk melihat reaksi

Daniel.

"Bagus deh, gue merinding kalo lo yang mulai ngegosip tentang gue."

"Heh, Daniel," panggil Rieska, tapi Daniel sudah menghilang, masuk

ke ruang guru. "Dasar tuh anak," Rieska kembali menoleh padaku yang

masih membeku karena perubahan reaksi kimia dalam diriku yang begitu

tiba-tiba. "Eh, Lexa, kenapa muka lo begitu?"

"Apa?" tanyaku, agak clueless dan berusaha berpikir jernih.

"Yaelah, baru liat Daniel aja langsung tersipu-sipu begitu," ujar

Rieska.

"Hah? Nggak ah," jawabku, agak terlalu melengking. "Yah," aku menam

25

25

2:46:45 PM

bahkan, "tapi Daniel nggak merinding kan kalo gue mulai gosipin dia?"

Agak telat memang, tapi aku tidak ingin terlihat seolah terguncang karena

melihat Daniel.

"Lexa," kata Rieska, dengan nada ala guru yang sedang memberikan

nasihat, "kata orang tuh ya, kalo makin digodain, biasanya nanti suka be

neran. Nah, maksud gue kan baik, biar lo berdua jadian."

"Ya, ya, ya" timpalku asal-asalan, "udah ah, gue balik ke kelas dulu

ya, abis ini praktikum."

"Eh, tunggu," Rieska menahan lenganku, "inget sama yang tadi kita

omongin, jangan gampang percaya sama cewek itu, ya!"

"Tenang, Ries, mikir positif aja. Oke?"

Aku penasaran dengan orang itu. Apa maunya? Hampir setiap hari aku

merasa diamati. Apa aku pernah melakukan kesalahan dan orang ini datang

untuk balas dendam? Atau sesuatu yang pernah dilakukan orangtuaku dan
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dendam itu diturunkan kepadaku? Atau hal buruk yang pernah kulakukan

di kehidupanku sebelumnya?

Yang pasti bisa kusimpulkan dalam hal ini adalah, aku terlalu banyak

nonton film. Hal-hal seperti itu mana mungkin terjadi.

Aku tidak pernah cari gara-gara dengan orang lain. Kalau pun berteng

kar dengan teman, apa mungkin aku yang pelit memberikan contekaan

bisa membuat orang lain dendam padaku? Yah, memang biasanya ada be

berapa teman cewek menyebalkan yang minta diberi jawaban saat ulangan

dan aku selalu menolak, yang berakhir dengan aku disindir-sindir sampai

seminggu setelahnya. Tapi tidak mungkin kan hal sepele seperti itu mem

buat seseorang dendam sampai mengamati segala gerak-gerikku.

Perbuatan orang ini cukup mengganggu. Aku menoleh ke sekeliling. Di

kelas saat ini hanya ada Selwyn yang sedang menggambar di buku cetak

fisikanya. Arnold seperti biasa sedang memakan bekal di mejanya di

sampingku. Aria dengan beberapa teman cewek dari kelas sebelah sedang

ngobrol di meja guru di depan. Sisanya ke kantin.

Tidak mungkin teman sekelasku sendiri yang melakukan itu. Aku pasti

tahu. Lagi pula, aku tidak pernah merasa seperti ini di kelas, makanya

26

26

2:46:45 PM

selama ini setiap aku merasa diamati di koridor, perpustakaan, atau tempat

lainnya, aku selalu lari ke kelas.

Aku menatap pintu, setengah berharap orang itu tidak mengamatiku,

tapi sekaligus berharap bisa memergokinya. Melihat langsung wajahnya.

Berharap menemukan jawaban atas tingkahnya selama ini yang cukup

menggangguku.

"Alexa," panggil Kenny, menyadarkan lamunanku, "segitunya nungguin

Daniel sampe serius banget ngelihatin pintu."

Cowok satu ini tahu aku menyukai Daniel gara-gara mendengar Selwyn

dan Arnold yang sering mengejekku.

"Oh, nggak kok," jawabku sok manis, "aku nungguin kamu kok,

Kenny."

Kenny langsung diam terpaku menatapku, seolah suara yang dia dengar

keluar dari mulutku barusan suara cowok.

"Wow, gue tersanjung. Sampe agak kesandung tadi."

"Jangan percaya, Ken, itu bukan Alexa, Alexa yang asli nggak mungkin

sefeminin itu!"

Aku menoleh ke arah Selwyn, "Bukannya lo lagi gambar ya, Wyn?" Dia

masih memasang muka serius dan matanya tetap tertuju pada gambar yang

dia kerjakan, tapi telinganya benar-benar mendengarkan sekeliling.

"Oh, pantes gue merasa ada yang aneh sama Alexa!" seru Kenny,

memutar kursinya hingga menghadapku.

"Kenny, lo pernah ditimpuk pake sepatu?"

"Hahaha Oke, cukup, cukup," Kenny tertawa. "Selwyn, temen lo ga

lak nih."

"Dih, Lexa mah emang galak."

"Arnold, seriously. Masa lo ikutan juga, bukannya lo lagi makan?" Aku

menoleh ke arah Arnold yang menghadapku dan Kenny, tapi masih sambil

terus menyuapkan bekal makan siangnya.

Arnold malah berbicara pada dirinya sendiri, atau lebih tepatnya pada

bekalnya, tetapi kata-kata seperti "Lexa salting", "biarin aja", "liatin terus"

terdengar jelas olehku. Selwyn yang sedang menggambar dengan tenangnya

ikut tertawa.

"Arnold, tolong makan dengan tenang, ya."

27

27

2:46:45 PM

Penekananku pada setiap suku kata akhirnya membuat Arnold memu

tuskan untuk diam. Bagus, akting marahku lumayan ampuh.

"Kena lo, Nold," tambah Kenny iseng.

"Oke deh, Kenny, gitu ya mainannya, mentang-mentang sekarang udah

bergaul sama senior."

"Dih, apaan sih?"

Beberapa murid sudah mulai kembali dari kantin ketika Kenny mengajakku bicara lagi.

"Lex, lo ikut bantu Porseni ya, kemarin kayaknya Ketua OSIS punya

ide desain apa gitu. Kan lo aktif juga di Klub Lukis. Siapa tahu, ilmu lo

bisa dipraktikin maksimal gitu. Tolongin ya?"

"Iya, gue ikut kok. Lo orang ketiga yang minta gue ikut," ujarku sambil

tersenyum. Mungkin karena faktor ajakan Daniel, entah kenapa kegiatan

Porseni ini terlihat begitu menarik.

"Oke, berarti Senin depan pas kelas seni ikut gue dulu ngomong ke Pak

Woto, ya. Cuma ngabarin dia kalo lo ikut bantu persiapan Porseni."

"Eh, Senin depan kelas seni ya? Kita ada tugas desain bukan?"

"Iya, kan dikumpulin Senin ini. Belum buat, ya? Tenang aja, masih ada

Sabtu-Minggu besok kok."

"Bukan, buku sketsa gue ketinggalan di ruang lukis. Nanti gue mau

langsung pulang, terus besok gue izin absen Klub Lukis. Sebentar, ya."

Aku langsung beranjak keluar kelas ketika Kenny berteriak di belakang

ku, "Cepetan, sebentar lagi bel!"

Aku berlari secepatnya, koridor mulai dipenuhi beberapa murid yang

baru kembali dari kantin. Saat ini tangga ke lantai atas pasti dipenuhi

murid-murid yang turun dari kantin lantai tujuh.

Aku menunggu lift. Tapi papan LED di atas pintu menunjukkan lift

tertahan di lantai tujuh. Aku mulai memutar otak. Mungkin lewat tangga

masih bisa terkejar?mari berharap tidak banyak murid yang turun lewat

tangga.

Sayangnya dugaanku sepertinya meleset. Kulihat satu-dua murid senior

sedang turun tangga, salah satunya terlihat seperti Rangga, si murid popu

ler, dan sepertinya lebih banyak lagi menyusul di belakang mereka.

28

28

2:46:45 PM

"Alexa," Vivi menghampiriku dari arah koridor kelas XI IPS "mau ke

mana?"

"Hai, Vi, mau ke ruang lukis, buku sketsa gue"

Aku merasakannya lagi. Tatapan itu. Perasaan bergidik yang sama, rasa

geli di tengkukku, perasaan terancam yang membuatku tidak berani bergerak

karena seperti diincar. Berlebihan memang, tapi ini perasaan yang benarbenar menggangguku. Aku melihat sekeliling dengan lebih teliti. Aku harus

menemukannya, harus. Rasanya begitu dekat dan aku pasti bisa melihatnya.

Kalau saja aku bisa menemukannya di antara murid-murid yang hilir mudik

di depanku ini, aku akan mendatanginya, menatap langsung matanya, dan

memaksanya mengatakan alasannya memperhatikanku selama ini.

Dan kali ini aku menemukannya, di koridor kelas di hadapanku. Pan

danganku jatuh pada seseorang yang aku yakin sedetik sebelumnya sedang

melihat ke arahku. Pandangan kami sempat bertemu, sebelum akhirnya ia

kembali memandang orang yang saat ini ia ajak bicara.

Aku berdiri terpaku, masih tidak menanggapi Vivi. Aku meyakinkan

diri bahwa orang yang kulihat sedang mengamatiku beberapa saat yang lalu

adalah dia. Ya, benar dia.

Aku kembali mengingat-ingat kembali ketika aku merasa diamati. Di

perpustakaan, di lorong ini, di tangga utama, dan di tempat lain. Aku

selalu bertemu orang itu.

Kalau begitu, mungkinkah orang yang selama ini diam-diam meng

amatiku itu dia, orang yang kukenal dengan baik, orang yang kusayangi

sepenuh hati?

Daniel?

29

29

2:46:45 PM

3

THE PIANO GUY

Porseni kali ini bisa dibilang ajang yang lumayan besar untuk sekolahku.

Sebenarnya idenya sudah muncul lama, sayangnya persiapannya baru

dimulai bulan lalu. Kenny pernah cerita, dia dan seluruh anggota OSIS

sampai harus masuk beberapa kali saat liburan untuk rapat persiapan acara

ini. Acaranya sendiri akan dimulai bulan Oktober, tapi sekarang sudah

memasuki pertengahan Agustus dan panitianya kelihatannya masih keku

rangan orang.

Pak Woto pun terlihat sibuk, karena beliau diminta mempersiapkan

pameran karya seni murid sekaligus diminta memimpin tim dekorasi. Un

tungnya beliau guru seni, jadi jam mengajarnya agak lebih longgar. Tidak

seperti guru pelajaran biologi, fisika, akuntansi, dan lainnya yang nyaris

tidak boleh meninggalkan murid di kelas hanya dengan tugas. Entah kenapa guru-guru mata pelajaran itu selalu yang paling sehat walafiat dan

tidak absen memberikan tugas nyaris dalam setiap pertemuan.

Pada awal semester ini bahkan Pak Woto cenderung hanya memberikan

tugas yang harus dikumpulkan seminggu kemudian, begitu terus sampai

pertengahan Agustus ini. Dugaanku, setiap tugas itu akan diseleksi untuk

ditampilkan dalam pameran nanti. Uniknya tiap minggu beliau bisa memi

30

30

2:46:45 PM

kirkan ide yang berbeda-beda. Untuk angkatanku sejauh ini kami diminta

membuat sketsa gambar perspektif dari objek yang beliau tentukan. Kulihat

anak-anak kelas X kemarin sibuk membuat karya seni tanah liat di ruang

kriya. Sedangkan kata Arnold, anak-anak kelas XII disuruh membuat karya

seni menggunakan rotan.

Senin kemarin, saat pelajaran seni, Kenny mendatangi Pak Woto di

meja guru dan melaporkan aku akan ikut membantu persiapan Porseni.

Tak lama kemudian dia langsung kembali ke tempat duduknya. Itu saja.

Tidak ada pencatatan nama dan lain sebagainya. Padahal kudengar Pak

Woto agak pemilih dalam menentukan murid-murid yang ingin ikut mem

bantu, karena katanya banyak murid-murid yang memanfaatkan kegiatan

ini untuk sekadar bolos pelajaran.

"Yah, kalo lo mah beda, Lex," kata Kenny, "lo kan bisa dipercaya."

Terima kasih, Tuhan. Setelah Selwyn menyebar gosip buruk yang meru

sak image-ku selama ini, masih ada orang berpikiran jernih yang memerca

yaiku. Kalian bisa sebut itu sebagai the power of words. Setelah Selwyn

menyebarkan gosip tentang komik hentai yang kubawa-bawa di tas, setiap

kali ada yang melihatku mengeluarkan buku selain buku pelajaran, mereka

akan langsung menyahut "Hentai, ya?" atau "Pinjem komiknya dong, Lex".

Padahal mungkin itu novel. Bukan komik. Aku masih belum menemukan

cara untuk membalasnya.

Saat ini pun, ketika Kenny, aku, dan Selwyn izin dari pelajaran bahasa

Indonesia untuk membantu persiapan Porseni di lapangan indoor lantai

delapan, aku masih memikirkan cara jitu untuk membalas Selwyn. Tetapi

apa yang kulihat ketika memasuki lapangan membuatku melupakan niat

jahatku. Hanya ada beberapa murid yang berkumpul di tempat ini. Beberapa

sedang mengumpulkan styrofoam besar di satu tempat. Dua-tiga anak

berkumpul dan mendiskusikan sesuatu. Beberapa berkumpul di sisi lain

lapangan. Bisa kusimpulkan sepertinya mereka terbagi dalam divisi-divisi dan

sedang bekerja sesuai tugas masing-masing. Kulihat hampir semuanya adalah

junior dan anak seangkatanku, tapi sepertinya ada dua orang murid senior.

"Ini semua udah dari pagi di sini, Ken?" tanyaku.

"Nggak dong. Mana boleh? Mungkin kebetulan jam pelajaran sekarang

mereka bisa izin semua."

31

31

2:46:45 PM

Aku juga melihat dua guru yang tampaknya sedang tidak mengajar ber

bicara dengan Pak Woto.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mataku kembali melihat sekeliling. Bukan para guru atau para junior

yang ingin kulihat di sini. Ada satu orang yang membuatku ingin berga

bung dengan mereka. Dan kalau aku beruntung, orang itu seharusnya juga

ada di tempat ini, kecuali dia sedang ada pelajaran yang tidak memungkin

kannya keluar dari kelas.

"Alexa!"

Aku menoleh. Ternyata Rieska.

"Akhirnya ikutan juga lo. Sini, bantuin gue."

Aku pun menghampirinya. Kalau Rieska ada di sini, seharusnya orang

yang sekelas dengannya itu juga ada di sini.

Dan perasaaan familier itu pun muncul lagi?ada seseorang yang meng

amatiku. Tetapi kali aku lebih santai menghadapinya. Apalagi ketika meno

leh, kulihat Daniel berjalan ke arahku serta Rieska.

"Lho, ikut juga lo, Niel?" tanya Rieska. "Kok keluar kelasnya nggak

bareng?"

"Gue kelarin tugas sosiologi dulu," jawab Daniel, "Halo, Lexa."

"Hai."

"Ya udah, mumpung lo dateng, bantuin gunting ini, Niel," Rieska meng

ambil beberapa karton warna-warni yang sudah terpola membentuk hurufhuruf dan menyerahkannya pada Daniel. "Tapi minta dulu guntingnya ke

mereka."

Ketika Daniel menghampiri sekumpulan junior yang sedang menggun

ting karton, Rieska langsung menginterogasiku.

"Jangan-jangan lo udah tahu ya, Daniel ikut?"

Aku mengangguk.

"Oh, jadi kalo dia ikut baru lo mau gabung? Giliran kemarin gue yang

ajak, lo mau pikir-pikir dulu," tuduh Rieska.

"Gimana ya, Ries," aku memasang tampang memelas, "abis kalo dia

yang ngajak kayaknya nggak bisa nolak."

"Hah? Dia yang ngajak?"

Aku mengangguk.

32

32

2:46:45 PM

"Nih, Ries." Tiba-tiba Daniel sudah kembali dan membawa tiga gun

ting.

Rieska sempat melirik ke arahku, memberiku tatapan nanti-cerita-ya,

sebelum akhirnya membagi karton tersebut untuk kami bertiga. Kami lang

sung duduk bersila di sisi lapangan.

"Eh, Daniel," ujar Rieska tiba-tiba, "lo cari kerjaan lain juga nggak apaapa. Gue sama Lexa juga bisa kelarin ini."

"Nggak ah, gue di sini aja." Daniel melihat sekeliling. "Lagian kayaknya

belum banyak yang bisa dikerjain juga."

"Kalo nggak, lo tanya aja ke Pak Woto, bisa bantu apa gitu yang beratberat."

"Males ah, mending di sini aja yang udah jelas."

"Hmm ada Alexa sih, jadi betah," timpal Rieska, pelan tapi jelas.

Aku langsung melirik Rieska yang pura-pura tidak melihatku. Sepertinya

kalau begini terus aku akan jadi korban ejekan Rieska tanpa bisa balas

melawan. Sejujurnya aku senang Rieska mengangkat bercandaan seperti itu,

ini kesempatan untuk melihat bagaimana reaksi Daniel, walaupun sejauh

ini sepertinya dia tidak terganggu. Masalahnya, aku terlalu malu untuk

menanggapi. Aku takut Daniel akan bereaksi negatif. Aku tidak ingin dia

merasa canggung di depanku. Bagaimana nanti kalau dia jadi menjauhiku?

Seandainya aku bisa lebih percaya diri dan bukannya memilih untuk

diam?walaupun itu akan jelas-jelas menunjukkan perasaanku padanya?

tentu dia akan melihat diriku yang sebenarnya.

Aku sedang mempertimbangkan bagaimana sebaiknya harus bereaksi

terhadap ejekan Rieska ketika Kenny datang dan membuyarkan pikiran

ku.

"Alexa, bisa ikut gue sebentar nggak?" ajaknya.

Aku mengangguk. Aku berdiri dan mengikuti Kenny menyeberangi la

pangan. Dari raut wajah Kenny ketika memanggilku tadi, tampaknya ada

sesuatu yang dipikirkannya.

Kulihat sepertinya Kenny mengajakku untuk menemui tiga orang yang

menunggu di salah satu sudut lapangan. Salah satunya Raka, teman Daniel

sekaligus ketua OSIS, yang sedang berbicara dengan dua orang lainnya.

Dua orang lain itu anak kelas XII. Salah satunya murid populer bernama

33

33

2:46:45 PM

Rangga yang dikagumi satu sekolah. Sayangnya aku tidak kenal yang satu

lagi. Wajahnya tampak familier, tapi aku tidak tahu namanya.

"Kenalin, ini Alexa," ujar Kenny kepada tiga orang di hadapanku, kemu

dian menoleh kepadaku. "Lex, kalau Raka udah kenal, kan? Nah, kenalin

ini Rangga." Aku menyalami Raka, kemudian Rangga, yang tampak begitu

ramah karena tersenyum padaku. "Dan ini Kei." Aku beralih ke arah Kei,

menyalaminya, tangannya mengenggamku kuat. Ketika aku menatap wajah

nya, dia menatapku dalam.

"Dia salah satu anggota Klub Lukis," Kenny memulai lagi. "Dia yang

gue bilang mungkin bisa bantu ngelaksanain ide lo." Kalimat terakhir ini

tampaknya lebih ditujukan kepada Raka, yang memperhatikanku dengan

saksama dan sepertinya tampak kurang yakin.

Walaupun cukup dekat dengan Daniel, aku memang tidak terlalu menge

nal teman-temannya. Jadi tidak heran juga kalau Raka tidak tahu apa-apa

tentangku, kecuali bahwa aku sekelas dengan temannya dan (mungkin)

menyukai sahabatnya.

"Lo yakin?" tanya Raka.

"Yakin," jawab Kenny tegas. "Gue percaya sama Alexa."

"Masalahnya, temen gue bener-bener jago, ngerti nggak lo?" timpal Raka.

"Makanya gue dapet ide ini tuh soalnya gue sering lihat dia bikin"

"Alexa, kalo bikin gambar siluet doang lo bisa, kan?" ujar Kenny tibatiba, tanpa mengalihkan pandangannya dari Raka.

Rasanya seolah Kenny memancarkan aura mencekam dan mengerikan

sehingga aku tidak berani mengatakan apa pun, hanya mengangguk.

"Siluet orang yang lagi main basket atau futsal lo juga bisa, kan?"

Aku kembali mengangguk. Aku pernah mencoba membuat sketsa kakak

ku yang sedang main futsal, tidak masalah.

"Bikin sekitar dua belas gambar dalam waktu sebulan juga bisa, kan?"

Kali ini Kenny menatapku. Tatapan mengerikan yang seakan hanya mene

rima jawaban positif.

"Bisa," jawabku pelan.

"Oke, selesai kan masalahnya," ujar Kenny, kali ini ia terdengar lebih

bersemangat daripada sebelumnya. Ia tersenyum?menyeringai pada

Raka.

34

34

2:46:45 PM

"Ya, nggak segampang itu kali, Ken"

"Gini ya, Raka, Porseni ini kan mestinya urusan gue, karena ini bidang

gue. Ya udah, gue terima ide lo, tapi tetap kasih gue wewenang buat milih

orangnya. Oke?"

Raka bersiap membalas ketika tiba-tiba Rangga maju dan menahan

Raka. "Gue setuju," ujarnya. "Tenang aja, bro, justru dengan begini lo

nggak perlu repot, kan? Tinggal terima jadi," ujarnya, lalu menoleh padaku.

"Lagian gue juga denger dari temen gue, Alexa ini jago gambar." Ia terse

nyum. "Ya kan, Kei?"

Cowok bernama Kei itu diam saja, tapi bukan itu yang kupikirkan. Aku

baru menyadari bahwa aku cukup terkenal, bahkan senior yang populer

mengenal diriku yang biasa-biasa saja. Wow, sepertinya aku boleh berbang

ga hati. Tunggu sampai Selwyn dan Arnold dengar. Ha!

"Udah ya, masalah selesai, kan?" tanya Rangga. Kenny mengiyakan.

Raka sempat ragu, kemudian menggangguk.

"Oke, nanti lo jelasin ke dia gimana detail konsepnya." Raka sempat

terdiam sebentar, kemudian menambahkan, "Gue tunggu sebulan lagi."

Kemudian ia meninggalkan kami.

"Thank you," ujar Kenny.

"Sama-sama," balas Rangga. "Dia emang gitu orangnya, selalu mastiin

semua dalam kendali dia."

"Nah, itu yang bikin repot. Jadi kerjaan aja."

Kenny kemudian semakin mengomel tentang Raka dan Rangga semakin

berusaha menenangkan. Aku hanya berdiri mendengarkan omongan mere

ka, kurang-lebih bisa menangkap permasalahan yang terjadi, dan ikut ter

diam bersama senior yang belum kudengar suaranya sama sekali dari tadi,

Kei. Awkward.

Aku memberanikan diri bicara. "Jadi?"

Semua menatapku. Kenny dan Rangga yang sibuk berdua akhirnya me

nyadari keberadaanku.

"Oh, sori Lexa, sekarang kita ke ruang lukis dulu, yuk. Nanti sambil

jalan gue jelasin. Rangga, Kei, nanti diomongin lagi ya."

"Oke. Bye, guys."

Kami pun menyeberangi lapangan. Setelah beberapa langkah aku

35

35

2:46:45 PM

menoleh ke belakang, dan melihat Rangga berbicara dengan Kei. Cowok

itu terlihat santai dan sesekali tertawa, sedangkan Kei terlihat hanya ber

bicara seadanya dan bahkan tidak tersenyum. Tiba-tiba dia melihatku. Aku

langsung berbalik. Aku masih yakin pernah melihatnya, tapi tidak ingat di

mana. Aku tahu Rangga, vokalis salah satu band sekolah yang

beranggotakan anak-anak kelas XII. Dia juga aktif di berbagai kegiatan.

Dia akrab dengan banyak anak, bahkan junior yang mungkin baru dikenal

nya. Sedangkan Kei, aku tidak tahu apa pun tentang cowok itu.

"Lexa, sori ya, gue jadi agak emosi gitu tadi," Kenny memulai. "Raka

tuh emang gitu orangnya. Sebenernya sih bagus, dia pantau kegiatan tiap

divisi kayak gimana, mastiin semua berjalan dengan benar, tapi kadang

suka berlebihan."

Aku mengikuti. Kenny mulai memperlambat langkah ketika kami sam

pai di pintu dan keluar dari lapangan.

"Kayak sekarang nih, dia bilang dia dapet ide buat bikin gambar yang

nanti ditaruh di sepanjang jalur jalan dari tangga utama sampe ke lapangan

indoor. Dia pernah liat temennya bikin, dan menurut dia akan keren ba

nget kalo kita begitu juga. Nah, masalahnya, temennya bukan anak sekolah

ini."

"Hmm, anak sekolah lain?" tanyaku.

"Masih mending," ujar Kenny. "Bomber, Lex."

Oh, seniman yang biasa gambar graffiti di jalan ya.

"Dan kita mesti bayar dia. Padahal budget-nya terbatas, tapi Raka tetap

maksain ide ini."

"Dan waktu lo ngajuin gue, dia kayak nggak setuju."

"Nah, itu yang bikin gue kesel. Emang kenapa sih pake anak sekolah

sini, lebih hemat, kan?"

Kami mulai memasuki koridor lantai tujuh dan menuju ruang lukis.

"Emang lo nggak bisa nolak aja ide dia, Ken?"

"Dia ketua OSIS," jawab Kenny, "tapi menurut gue, dia punya terlalu

banyak ide."

Kenny membuka pintu ruang lukis. "Untung Rangga sama Kei belain

gue."

"Hmm, Kenny, Kei itu siapa? Maksudnya" aku terdiam sebentar,

36

36

2:46:45 PM

mencari kata-kata yang tepat, "kalau Rangga kan satu sekolah kenal, soal

nya dia aktif. Nah, gue merasa nggak asing sama muka Kei ini, tapi nggak

tahu dia siapa."
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, dia temen baiknya Rangga. Mereka bareng terus kok, tapi Kei

nggak ikutan ngeband. Mungkin lo merasa nggak asing karena ngelihat dia

bareng Rangga."

"Oh iya, kalo dipikir-pikir bener juga. Mungkin gitu kali, ya." Aku me

mang sering melihat Rangga berkeliaran di mana-mana bersama "kelompok

bermainnya". Jadi mungkin aku sempat melihat Kei bersama Rangga, tapi

tidak menyangka itu dia.

"Terus, kok lo bisa kenal Kei?"

"Dia ketua bidang olahraga dan seni sebelumnya, makanya pas ngurusin

Porseni ini dia diminta Pak Woto bantuin gue." Kenny mengambil bebe

rapa kanvas dari lemari.

"Pantesan"

"Kenapa?" tanya Kenny.

"Pantesan Arnold bilang lo sombong dan bergaul sama senior sekarang.

Ternyata emang bener." Aku baru mengerti maksud Arnold. Memang sih

urusan Porseni ini pasti akan membuat Kenny lebih banyak menghabiskan

waktu dengan dua orang senior itu.

"Udah, biarin aja dia." Kenny mengambil kertas di meja di dekatku.

"Sini, gue jelasin konsepnya."

"Jadi, orang itu Daniel?"

Aku agak menjauhkan sedikit gagang teleponku, tapi suara Kitty bahkan

masih bisa terdengar jelas. Entah karena dampak les vokal yang sudah lima

tahun ini dijalaninya atau karena dia terlalu gembira.

"Bagus dong, Lexa!"

"Iya, hahaha Tapi bener nggak, ya?" Aku agak ragu.

"Kenapa? Kan setiap lo ngerasa ada yang merhatiin selalu ada dia? La

gian waktu itu lo mergokin dia lagi ngelihatin elo, kan?"

Aku menghela napas. "Iya."

"Akhirnya Lex, setelah tiga tahun menyimpan perasaan sepihak."

37

37

2:46:45 PM

Ucapannya membuatku terdengar begitu menyedihkan.

"Yah, kalo dugaan gue ini salah kelewatan juga sih. Sampai ngasih ha

rapan begini ke gue," kataku pelan.

"Jalanin dulu aja. Pokoknya jangan sampai ada tempat pensil orang lain

lagi yang lo tumpahin ya," Kitty mengingatkan.

"Iya, nggak lagi. Gue juga lagi membiasakan diri supaya nggak terlalu

grogi di depan dia. Kenapa, ya? Sekarang gue bisa ngebayangin mau ngo

mong apa, tapi nanti di depan dia gue bisa tiba-tiba mikir ?kalo ngomong

gini nanti dia marah nggak ya?, ?nanti jadi canggung nggak ya?, nanti salting nggak ya??"

"Itu kan pikiran lo doang, Lex," timpal Kitty.

"Nah, itu dia. Itu yang mesti gue ubah, tapi rasanya sulit." Aku langsung

pasrah memikirkan nasib kemajuanku yang tampaknya kurang signifikan.

"Itu kan butuh proses. Santai saja."

Aku membayangkan tingkahku selama ini tiap kali bertemu Daniel di

sekolah, dan apa yang kurasakan saat itu.

"Bener deh," ujarku sambil memandang kosong tombol telepon, pi

kiranku melayang-layang, "kalau ketemu dia tuh gue gugup banget sampai

nggak berani ngomong. Tapi pas dia pergi dan gue nggak berhasil ngajak

ngomong apa-apa, pasti gue langsung frustrasi."

Kitty menyetujui. "Emang lo begitu, Lexa."

"Yang bikin gue bisa bertahan suka sampe sekarang pun juga karena dia

bener-bener baik. Kadang gue merasa perlakuan dia ke gue beda. Kayak

tahun lalu waktu dia niat banget minjemin segala CD Laruku, sampe nga

jarin gue main gitar. Tapi kadang gue juga merasa ada batas di antara

kami. Makanya kadang gue mikir apa sebaiknya dia nggak tahu perasaan

gue. Mungkin dengan begitu gue bisa lebih deket sama dia. Karena gue

pikir kayaknya perasaan gue ini yang menghambat." Aku kembali menghela

napas, "Duh, nggak tahu deh."

"Menurut gue, lebih baik dia tahu perasaan lo, Lex, daripada nggak

sama sekali," ujar Kitty.

"Oh, ya? Kenapa?"

"Bukannya kita bisa menilai perilaku dia terhadap lo lebih baik setelah

dia tahu perasaan lo daripada waktu dia belum tahu sama sekali?"

38

38

2:46:45 PM

Aku terdiam. Kitty benar.

"Coba pikir: lebih baik ngomong sesuatu dan berharap lo nggak pernah

ngomong sama sekali sebelumnya, atau nggak ngomong sama sekali dan

berharap seandainya lo ngomong sebelumnya?"

Aku menatap lukisan yang kubuat kemarin. Ini lukisan kedua yang kubuat

dan masih ada sepuluh lagi yang harus kukerjakan. Lukisan ini sama

seperti lukisan pertama, entah kenapa kurang memuaskan.

Sudah tiga hari ini aku menghabiskan waktu di ruang lukis, baik saat

istirahat kedua maupun setelah pulang sekolah. Dan masih akan terus

seperti ini sampai beberapa waktu ke depan. Aku berjanji akan menyele

saikan ini dalam sebulan, dan aku tidak akan mengecewakan mereka.

Kemarin Kenny sempat bilang, kalau aku agak bosan, aku bisa bantubantu pekerjaan lain dulu. Istirahat sejenak selama membuat dua belas lu

kisan sangat diperlukan. Bahkan sampai pagi ini pun Kenny masih tidak

habis pikir dengan ide Raka ini.

Soal pertunjukan seni, kudengar dari Arnold bahwa Daniel akan tampil

dengan band-nya. Mereka memilih untuk tampil di acara penutupan. Aku

benar-benar menunggu penampilan itu. Tapi sebelum bisa melihat

penampilan Daniel, aku masih harus menyelesaikan sepuluh lukisan siluet

ini. Aku benar-benar harus bersabar.

Aku memutuskan untuk menghabiskan jam istirahat siang ini dengan

menggambar sketsa kasar lukisan selanjutnya. Aku mengambil beberapa

lembar kertas kosong dari lemari lalu duduk di meja dekat jendela. Aku

menengadah, menopang kepala dengan tangan kiri sementara tangan kanan

ku memainkan pensil. Aku mulai membayangkan apa kira-kira yang akan

kugambar. Sesekali aku menggoreskan pensil, sesekali aku berhenti untuk

mencocokkan gambarku dengan apa yang ada di benakku, lalu aku mene

ruskan menggambar.

Entah berapa lama aku asyik sendiri, hanya berkutat dengan apa yang

ada di hadapanku dan di kepalaku. Namun tiba-tiba telingaku menangkap

sesuatu. Aku mendengar musik dari ruangan sebelah. Oh, orang itu datang

lagi. Aku sempat melupakannya belakangan ini. Dia memainkan piano itu

39

39

2:46:45 PM

lagi, seakan-akan piano itu miliknya. Aku mendengarkan musik yang kali

ini dia mainkan, membuka kembali memoriku akan lagu-lagu yang pernah

kudengar. Bedanya, hari ini permainan pianonya lebih ceria, lebih berse

mangat. Sepertinya suasana hatinya sedang bagus.

Sama seperti sebelumnya, sepertinya orang ini punya tujuan tertentu.

Musik yang dia mainkan seolah sesuai dengan perasaanku saat ini, seolah

dia tahu apa yang ada di pikiranku. Musik yang dia mainkan mendukung

suasana hatiku saat ini, membuatku bersemangat.

Aku teringat saat sebelumnya dia memainkan lagu Charlie Chaplin.

Entah dia memang bermaksud menghiburku atau tidak, tapi itu berhasil.

Aku langsung mengambil kertas HVS dan menulis dengan huruf besarbesar:

THANK YOU FOR THE "SMILE". WELL-PLAYED.

Aku berjalan menuju sekat ruangan, mengintip di antara celahnya. Cowok itu membelakangiku. Aku menatap punggungnya yang tegap dan

nyaris tidak bergerak selama jemarinya menari di tuts piano. Aku masih

tidak yakin mengenal dirinya.

Aku menyelipkan kertas itu ke celah dan mengetuk sekat tersebut keraskeras sampai dia berhenti bermain, lalu kujatuhkan kertas tersebut ke

ruangan musik. Hening sesaat setelah bunyi gemerisik kertas yang jatuh ke

lantai. Aku membeku, dan sepertinya cowok itu juga. Lalu ketika kudengar

suara bergeser?sepertinya suara kursi piano?aku buru-buru kembali ke

mejaku. Ada apa ini? Kenapa aku deg-degan? Tunggu, ini kesempatan yang

tepat untuk melihat wajah cowok itu. Kenapa aku malah lari?

Aku menunggu. Tidak ada suara di seberang sana. Aku bangkit perlahan

dan kembali ke sekat. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di sekat di hadap

anku. Aku tertegun. Tidak lama kemudian secarik kertas diselipkan di ce

lah yang sama dan jatuh ke lantai.

Aku mengambilnya. Itu kertasku sebelumnya. Dia mengembalikan kertas

ku?

Aku mengintip ke celah dan cowok itu sudah kembali ke pianonya dan

bermain lagi, lebih pelan daripada sebelumnya.

40

40

2:46:45 PM

Aku memperhatikan kertas di hadapanku, membolak-baliknya dan mene

mukan tulisan lain di bagian bawah sisi sebaliknya. Cowok itu membalas

pesanku. Tulisannya lebih kecil daripada tulisanku:

You?re welcome. Any request?

Aku tertegun. Kubaca tulisan itu berkali-kali sampai rasanya tidak ber

makna lagi. Request... Request Kenapa pada saat seperti ini justru aku

tidak bisa memikirkan satu judul pun? Cukup lama waktu yang kubutuh

kan sampai kuputuskan menuliskan sesuatu.

Any classical, please.

Aku kembali mengetuk sekat dan menjatuhkan kertasku. Alunan musik

di ruangan sebelah langsung terhenti dan aku bergegas ke mejaku. Me

nunggu. Hening. Kursi di ruangan sebelah kembali bergeser dan terdengar

langkah kaki pelan, kemudian gemeresik kertas. Sampai detik ini bisa ku

simpulkan aku mulai mengidap sindrom remaja labil. Kalau begini terus,

aku tidak bisa melanjutkan sketsaku.

Lalu musik pun dimulai. Aku memejamkan mata, terpaku mendengar

kan. Musik yang menyenangkan, aku menyukainya. Dia mengawalinya

dengan pelan dan sederhana, kemudian tensinya meningkat. Musik semakin

penuh, dengan melodi yang ceria. Dia bermain dengan tempo yang stabil,

tapi dengan penekanan yang lebih. Dan sama seperti cerita di mana se

orang karakter butuh menenangkan diri sebelum kembali bangkit menuju

klimaks, dia pun membawa musik itu dengan pelan, kemudian meningkat

kannya dengan mantap. Aku hanyut di dalamnya, dia menghadirkan cerita.

Aku merasakan jemariku bergerak sesuai irama, lalu kakiku. Pikiranku

bergerak mengikuti musiknya, sampai selesai.

Aku membuka mata, masih tersenyum meresapi musik tadi, tapi kemu

dian aku menatap sketsaku yang masih belum mengalami perkembangan.

Bukan ini yang kuinginkan. Diiringi musik memang menyenangkan, tapi

justru membawaku dalam imajinasi yang lain. Aku mendengar ia memain

kan musik yang berbeda. Oke, kali ini fokus. Musik ceria yang lain, tapi

41

41

2:46:46 PM

ini saatnya aku hanya mendengarkan dan tidak sampai meresapi dengan

dalam. Ada waktunya nanti, sekarang aku harus menyelesaikan tugas ini.

Aku tidak sadar berapa lama kejadian itu berlangsung. Aku baru saja

menyelesaikan sketsa ketigaku ketika mendengar ketukan di sekat. Selembar

kertas terjatuh. Aku bergerak mengambilnya. Kertas yang sama. Hanya saja

kali ini dengan tambahan kalimat:

Next time.

Saat itu juga bel berbunyi. Aku menatap pintu dan melihat beberapa

anak berjalan meninggalkan kantin. Aku langsung mengintip ke arah ruang

musik dan melihat cowok itu berjalan ke arah pintu. Aku langsung berlari

ke luar ruang lukis dan sempat melihatnya menutup pintu dan bergegas

ke kelas bersama rombongan anak-anak yang lain. Aku hanya melihat sisi

wajahnya sekilas, tapi itu cukup membuatku yakin siapa dirinya.

42
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

42

2:46:46 PM

4

FRIEND OR FOE

Dua jam pertama adalah bahasa Indonesia dan di sinilah aku, Selwyn, dan

Kenny berada: lapangan indoor lantai delapan. Seperti biasa, kami izin un

tuk membantu persiapan Porseni, tapi pada dasarnya kabur dari pelajaran.

Aku sebenarnya tidak rela meninggalkan kelas bahasa Indonesia karena itu

salah satu pelajaran favoritku, tapi Kenny dan Selwyn yang memang ingin

cabut dari kelas memaksaku ikut agar alasan mereka dipercaya. Aku tidak

bisa melawan, karena Selwyn mengancam akan menyebarkan aibku. Bukan

nya takut aibku akan tersebar, masalahnya aku sendiri tidak tahu rahasia

buruk apa yang dia ketahui. Lebih parah lagi, apa jadinya kalau itu hasil

imajinasinya belaka? Mungkin saat kuliah nanti aku harus mengambil ju

rusan Public Relations agar mudah membangun kembali image-ku yang

jatuh-bangun ini. Selwyn, entah dia sebenarnya teman atau lawan.

Pada akhirnya, ketika jam tanganku menunjukkan saat ini mulai mema

suki jam pelajaran kedua, aku hanya duduk-duduk di kursi pinggir lapang

an, menatap para murid cowok melakukan pekerjaan berat. Aku berniat

membantu?mengangkat meja saja sih aku bisa?tapi kalau tiap baru me

nyentuh meja saja ada murid cowok yang berteriak "Minggir, ini kerjaan

cowok," aku harus membantu apa? Dan di sinilah aku, akhirnya hanya

43

43

2:46:46 PM

duduk sambil menonton. Akhirnya aku pun bangkit, memutuskan ke

ruang lukis dan mengerjakan tugasku, namun kulihat Daniel dan Rieska

memasuki lapangan.

Benar-benar mood booster. Aku langsung menghampiri mereka. Daniel

menyapaku. Aku membalasnya.

"Izin kelas apa kalian?" tanyaku.

"Ekonomi," jawab Rieska, "topiknya lagi ngebosenin."

"Lo apa?" tanya Daniel.

"Bahasa," jawabku.

"Dih, gue mah sayang Lex kalo keluar kelas bahasa," omel Rieska, "guru

nya kan asyik."

"Yah, gue juga nggak akan keluar kalo bukan karena mereka," aku me

nunjuk Selwyn dan Kenny yang sedang berbicara dengan Rangga di dekat

pintu. "Mereka maksa gue supaya cabut juga."

"Ya udah, sekarang kita bantu apa nih?" tanya Rieska.

"Gua tanya Raka dulu, ya," ujar Daniel.

Aku menatap kepergiannya, mengamati cara jalannya yang khas, mena

tap punggungnya yang lebar tetapi agak bungkuk karena kebiasaan duduk

yang buruk, menatap rambut lurusnya yang dari belakang terlihat sudah

melewati batas yang diperbolehkan sekolah. Aku ingat dulu dia pernah

mencoba memakai gel dan membuat rambutnya jabrik sesuai tren, tapi

rambutnya yang dibiarkan alami seperti saat ini terasa lebih cocok. Daniel

mulai mengajak bicara Raka, sekilas mereka tampak bercanda. Tawanya,

untuk kasus yang satu ini, justru membuat ketampanannya berkurang.

Menurutku, dia lebih tampan kalau sedang diam atau serius, lebih cool.

Tapi justru saat tertawa inilah dia terlihat paling tulus. Dia kembali meng

hampiri kami. Wajahnya selalu agak tertunduk saat berjalan, dengan salah

satu telapak tangan terkepal dan bahu kaku. Ada rasa kurang percaya diri

yang terpancar, sifat pemalunya terlihat dari caranya berjalan. Aku tahu dia

tidak sempurna, tapi aku benar-benar menyukai dia. Aku hanya berharap

dia memiliki perasaan yang sama.

"Alexa, udah puas mandanginnya?" Aku menoleh, Rieska menatap wajah

ku lekat. "Terang aja gue ajak ngomong nggak nyahut," ujarnya.

Aku merasakan wajahku memerah dan langsung memalingkan wajah.

44

44

2:46:46 PM

"Eh, Daniel," teriaknya saat Daniel sudah di dekat kami, "mending lo

bantu Raka aja di sana, kalo di sini kayaknya lo ganggu konsentrasi Lexa

deh."

"Kenapa emangnya?"

"Abis yang dipandangin"

"Jadi, kita bantuin apa?" potongku.

Untungnya Daniel menanggapi. "Oh, katanya kita disuruh masang label

prakarya yang dipilihin Pak Woto buat pameran," jawab Daniel. "Ada di

dekat pintu sebelah sana katanya."

"Oke, kayaknya kerjaan yang butuh konsentrasi penuh ya, Alexa,"

Rieska tersenyum jail padaku. Aku hanya bisa diam. Jujur saja, agak mema

lukan tertangkap basah memandangi orang yang kita suka.

Aku sedang berkonsentrasi menulis nama-nama murid, kelas, dan judul

karya di kertas label dengan perlahan agar tulisanku rapi, mudah dibaca,

dan konsisten, ketika merasakan ada yang berbisik di telingaku.

"Le-xa."

Aku menoleh. Wajah Vivi yang tersenyum muncul di sampingku. Seper

ti biasa dia memakai kardigan, kali ini berwarna pink.

"Serius amat," katanya, lalu menghampiri Daniel yang sedang mem

bantu Rieska menempelkan label yang sudah kutulisi ke karya siswa.

"Eh, Vivi, kelas udah selesai?" tanya Rieska ketika melihat Vivi.

"Iya, yang tugasnya udah selesai boleh keluar duluan." Lalu Vivi menyo

dorkan sekaleng minuman soda kepada Daniel. "Nih, buat lo," ujarnya.

"Ih, tumben baik," Daniel menerima minuman tersebut, membuka dan

langsung meminumnya.

"Enak aja," balas Vivi sambil berusaha menyembunyikan senyum. "Sini,

balikin lagi minumannya."

Aku kembali menaruh perhatianku pada kertas-kertas label di hadapan

ku, berusaha tidak melihat pemandangan di depanku.

"Balikin? Masa mau gue muntahin lagi?" canda Daniel.

"Abis... bukannya terima kasih," keluh Vivi.

"Iya, thank you ya," balas Daniel lembut.

45

45

2:46:46 PM

Aku melirik mereka sekilas. Daniel kemudian meletakkan kaleng minum

an tersebut di meja dan kembali membantu Rieska, tidak menyadari Vivi

tersenyum riang di belakangnya.

"Firasat gue kok bantuannya nggak gratis, ya?" ujar Daniel pelan, tetapi

cukup jelas sehingga terdengar semua orang. Bahkan Rieska yang terlihat

cuek dan serius mengecek setiap karya pasti juga mendengarnya.

"Nggak kok, nggak ada niat apa-apa," balas Vivi.

Daniel menoleh menatapnya. "Kalo nggak salah," ia berpikir sebentar,

"hari ini lo pulang sendiri, kan? Tadi pagi lo bilang ortu lo nggak bisa

jemput, kan?" ujarnya dengan pandangan menyelidik.

"Oh. Iya sih," Vivi menjawab cepat-cepat. "Eh, tapi gue bisa pulang

sendiri kok, tinggal naik angkot, jadi lo nggak perlu"

"Nggak apa-apa," timpal Daniel tiba-tiba, langsung memotong ucapan

Vivi, "nanti gue anterin."

"Yang bener?" Vivi berusaha memastikan. "Thank you, Daniel," ujarnya

begitu melihat cowok itu balas mengangguk.

Keadaan ini membuatku dan Rieska canggung. Aku tidak tahu apakah

dia juga merasakan hal yang sama, tetapi aku sendiri mengharapkan saat

itu juga muncul gelombang pasang yang bisa menghanyutkanku dari

tempat itu, atau gempa bumi yang akan meretakkan lantai dan membuatku

hilang dari tempat tersebut, jatuh ke lantai dasar. Jelas Daniel dan Vivi

merasa dunia milik mereka sementara orang lain, termasuk diriku, hanya

pengontrak. Oh my, sakit sekali hatiku melihat keakraban mereka. Padahal

membangun kedekatan seperti itu dengan Daniel saja rasanya aku membu

tuhkan waktu seribu tahun.

Aku langsung menyelesaikan tugasku dan memutuskan akan langsung

kembali ke kelas. Dan saat itu harapanku terkabul, namun bukan dalam

bentuk gelombang pasang ataupun gempa bumi.

"Eh, Lex, ternyata lo di sini. Gue cariin dari tadi," Selwyn muncul begi

tu saja dan menghampiriku. "Bikin apaan sih?" tanyanya, memperhatikan

apa yang sedang kukerjakan kemudian melihat sekeliling dan tiba-tiba

terpaku pada sesuatu di sudut. "Wah, kebetulan banget! Siapa yang abis

dari kantin?" tanyanya sambil meraih kaleng minuman Daniel. "Gue haus

banget, punya siapa nih?"

46

46

2:46:46 PM

"Itu"

Belum selesai Vivi menjawab, Selwyn sudah menenggak habis minuman

tersebut, lalu bersendawa keras.

"Ah, thank you, ya," jawabnya, "siapa pun yang punya minumannya.

Hahaha" Aku dan Rieska ikut tertawa melihat tingkahnya.

"Sumpah, jorok banget lo, Wyn," timpal Rieska.

"Eh, ganti rugi. Itu minuman gue," ujar Daniel pura-pura marah.

"Balik ke kelas, yuk, Lexa!" ajak Selwyn, pura-pura tidak mendengar

omongan Daniel.

Aku mengangguk. "Gue duluan ya, udah gue tulisin semua kok, tinggal

tempel," ujarku pada yang lain sambil tersenyum. Rieska melambaikan

tangan padaku. Vivi yang masih menatap sedih ke arah kaleng kosong ter

sebut adalah pemandangan terakhir yang kulihat sebelum aku menuruni

tangga bersama Selwyn.

Aku berbisik pelan ke arah Selwyn, "Thank you ya, Wyn."

"Buat?" tanyanya bingung.

"Nyelamatin gue dari neraka."

Perasaan cemburu itu memang tidak sehat, membuatku tidak bisa ber

pikir logis. Bisa-bisanya aku cemburu pada Vivi dan Daniel, padahal mere

ka kan memang dekat. Tidak heran kalau keduanya saling menaruh

perhatian. Kenapa aku sempat kesal? Itu hal yang normal, kan? Atau justru

berpikiran seperti ini membuktikan aku sudah tidak bisa berpikir logis

lagi.

"Alexa," panggil Arnold tiba-tiba. "Mau tanya deh, yang nomor ini kenapa

gue salah ya? Gue udah cek lagi bener kok."

Aku melihat kertas ulangan kimia milik Arnold sekilas. "Ya iya dong,

gambar ikatan karbon lo aja salah, ini kan mestinya begini" Aku meng

ambil pensil dan menggambar jawaban yang benar.

"Eh, tapi kan Oh, gue ngerti! Pantesan!" teriak Arnold berlebihan. Ia

langsung menarik kertas ulangannya dan mengecek nomor-nomor lain yang

salah.

"Makanya belajar sama Alexa, Nold."

47

47

2:46:46 PM

Daniel tiba-tiba muncul dan duduk di depan Arnold. Ternyata jam

istirahat kali ini pun dia datang lagi. Seperti biasa seragamnya tampak

kurang rapi dan rambut hitamnya berantakan karena tanpa sadar sering dia

sisir dengan tangan.

"Ah, kayak lo ngerti aja, Niel," balas Arnold, dengan perhatian yang

masih serius ke kertas ulangannya.

"Stres ya ngajarin dia?" tanya Daniel kepadaku.

"Untungnya gue dikaruniai kesabaran yang besar," jawabku, sambil me

nengadahkan tangan dan menambahkan nada syukur dalam ucapanku.

Daniel tertawa.

"Eh, apaan? Kesannya gue bodoh banget," sambar Arnold tiba-tiba.

Mereka mulai saling mengejek. Daniel yang jail dan suka mengejek
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arnold yang polos makin menjadi-jadi ketika Arnold tidak bisa membalas

ejekannya. Aku mungkin tidak ada di antara mereka, tetapi hanya dengan

ada di sana, melihat tingkah mereka, dan tertawa, rasanya sudah cukup.

Setidaknya aku ada di dekat Daniel.

Tiba-tiba tangan mungil menepuk pundak Daniel. Kami semua menoleh

dan menatap Vivi yang tersenyum dan duduk di hadapanku. Sisa-sisa tawa

perlahan hilang dari wajahku.

"Ke sini nggak ngajak-ngajak?" tuntut Vivi.

Aku melihat sekeliling, ternyata beberapa teman Vivi juga sudah ada di

kelas dan berkumpul di sekitar meja Aria. Tetapi tampaknya hanya Vivi

yang memiliki inisiatif untuk datang ke tempatku.

"Eh, Vivi, kebetulan dateng, bawa temen lo pergi nih, ganggu gue bela

jar aja," sahut Arnold.

"Dih, dia kan temen lo juga," balas Vivi sambil tertawa. "Lagian lo rajin

banget, istirahat gini belajar."

"Tuh kan, Vivi aja sehati sama gue," balas Daniel. Arnold tidak berdaya

menimpali, apalagi dengan kehadiran Vivi yang membela Daniel.

Sekali lagi mereka saling mengejek, bercanda. Sayang, kali ini aku tidak

merasa menjadi bagian dari mereka. Mungkin karena kehadiran Vivi? Aku

tidak memahami perasaan yang tiba-tiba muncul ini. Terlintas di kepalaku

kalimat terakhir yang kuucapkan pada Rieska, bahwa aku masih memerca

yai Vivi sebagai teman yang tidak akan menusukku dari belakang, dan

48

48

2:46:46 PM

bahwa dia sendiri berjanji akan membantuku soal Daniel. Mungkinkah ini

salah satu caranya? Dengan mendekati Daniel dan tahu lebih jauh tentang

dirinya, dia bisa memberiku informasi yang membantu? Atau dengan ber

ada di antara aku dan Daniel seperti ini, dia berusaha mendekatkanku

dengan Daniel? Tetapi mengapa usahanya justru terasa lebih mendekatkan

dirinya dan malah menjauhkanku dari Daniel? Seharian ini yang kulihat

adalah pamer kemesraan antara Vivi dan Daniel yang lebih daripada biasa

nya. Atau jangan-jangan sebenarnya hal itu sudah berlangsung lebih lama

daripada yang kubayangkan? Atau aku terlalu cepat mengambil kesimpulan?

Aku merasa bodoh.

Akal sehatku mengatakan, berdasarkan kejadian-kejadian yang kulihat

sejauh ini, tidak ada bukti kuat bahwa Vivi menyukai Daniel dan berusaha

merebutnya dariku. Istilah "merebut" bahkan tampaknya terlalu berlebihan

karena Daniel bukan milikku. Lagi pula, Vivi sendiri sudah berjanji pada

ku. Aku saja yang terlalu berlebihan.

Sayangnya, firasatku mengatakan Vivi memiliki maksud yang tidak baik,

dan kebodohanku ini hanya akan membuatku patah hati.

Aku menatap pintu putih di hadapanku. Rasanya baru sedetik yang lalu

aku berada di kelas.

Sejak istirahat tadi aku berpikir untuk absen melukis karena merasa ti

dak nyaman kalau harus menyelesaikan lukisanku sambil membawa peras

aan negatif. Namun ketika satu per satu murid mulai meninggalkan kelas

dan pulang, aku melihatnya. Cowok itu membuka beberapa jendela ruang

musik.

Dan di sinilah aku berada.

Aku berdiri sendirian di lorong lantai tujuh, menatap pintu ruang lukis.

Aku bisa mendengar alunan permainan piano yang begitu pelan, nyaris

tidak terdengar. Aku memegang gagang pintu dan mendorongnya hingga

terbuka. Permainan itu kini terdengar lebih jelas.

Aku menutup pintu perlahan. Aroma cat dan lukisan seperti biasa lang

sung memenuhi hidungku begitu aku memasuki ruangan. Aku merasa

lebih familier.

49

49

2:46:46 PM

Aku berjalan menuju jendela dan membukanya satu per satu, membiar

kan udara segar masuk. Permainan pianonya mengiringi suasana hatiku.

Aku ingin terdiam seperti ini untuk beberapa waktu. Mengosongkan pikir

an untuk sementara.

Aku menarik meja ke dekat jendela supaya bisa duduk dan menatap ke

luar. Saat mulai menyandarkan kepala ke bingkai jendela, aku baru menya

dari permainan piano itu berhenti. Mungkin aku terlalu berisik sampai

cowok itu menyadari keberadaanku. Ruangan mendadak hening. Aku mena

tap ke luar jendela, berharap dia akan melanjutkan kembali permainannya

tanpa menghiraukanku.

Terdengar sesuatu di belakangku. Aku melihat sekeliling dan mendapati

secarik kertas di lantai, di dekat sekat. Aku berjalan dan mengambilnya.

Selembar partitur, dengan tanda tanya dituliskan dengan spidol hitam di

tengah-tengah. Aku menatap kertas itu. Dia mempertanyakan sesuatu, mung

kin heran melihat aku tidak melanjutkan lukisanku seperti sebelumnya.

Aku tidak sedang ingin melakukan percakapan melalui kertas seperti ini,

tetapi juga tidak ingin membiarkan dia bartanya-tanya kenapa aku tidak

membalas pesannya. Jadi, aku berjalan menuju pinggir sekat, membuka

kaitannya, dan berusaha menariknya hingga terbuka. Sebelumnya aku pena

saran dengan identitas cowok ini, tetapi ketika akhirnya aku mengenalinya

beberapa hari lalu, akan lebih baik bila kami berkomunikasi layaknya orang

pada umumnya. Toh kami sama-sama saling mengenal.

Agak sulit, tapi aku berhasil menggeser sekat tersebut sampai terbuka

cukup lebar.

Dia berdiri kaku di hadapanku. Kami saling menatap.

Tuan Pianis. Kei.

Aku menghampirinya dan menyerahkan kertas bergambar tanda tanya

itu. Kei menerimanya. Aku tidak tahu harus melakukan apa atau bicara

apa, karena itu selama beberapa waktu aku hanya berdiri diam di hadapan

nya. Dia juga. Aku tidak tahu apakah dia menyadari saat ini perasaanku

sedang buruk.

Aku berjalan menuju kursi yang tidak jauh dari piano dan duduk. Kei

mengikuti dan duduk di kursi pianonya, menghadap ke arahku. Aku tahu

dia menungguku bicara. Hanya saja, aku tidak tahu bagaimana harus me

50

50

2:46:46 PM

mulai. Aku merasa agak aneh kalau tiba-tiba menceritakan perasaanku

padanya. Kami tidak seakrab itu. Kalau dia Selwyn, Arnold, atau Kenny

mungkin aku bisa cerita dengan lebih bebas.

Tiba-tiba Kei memutar tubuhnya menghadap piano, mengelus tutsnya

dan kembali melanjutkan permainannya. Dia bermain dengan tenang. Ini

pertama kalinya aku melihatnya bermain piano sedekat dan sejelas ini. Kei

terlihat berbeda dengan saat aku pertama kali melihatnya di lapangan

indoor. Saat itu dia terlihat serius dan kaku, sedangkan kali ini dia seperti

menampilkan sisi lain dirinya yang lebih ramah.

Aku menyandarkan kepalaku di dinding di belakangku dan memejam

kan mata. Permainannya membawa pikiranku pada berbagai kenangan,

membuatku menyadari begitu banyak hal. Apa yang terekam dalam memo

riku siang tadi kembali terulang di kepalaku. Daniel. Vivi.

"Hampir tiga tahun ini gue suka seseorang." Aku mendengar diriku

tiba-tiba berbicara pelan. Aku membuka mata perlahan dan melihat Kei

bermain dengan lebih pelan dan lambat, berusaha menyimak kata-kataku.

Entah kenapa aku menceritakan perasaanku begitu saja pada orang yang

belum terlalu dekat denganku, tapi Aku hanya merasa, setelah beberapa

kali dia menemaniku melukis di ruangan ini, walaupun tanpa berbicara

atau bertatap muka, aku tahu aku bisa memercayainya.

"Tiga tahun cukup lama untuk membuat banyak bagian dari diri gue,"

aku terdiam, "ada karena dia."

Kei tetap bermain, kali ini hanya satu tangan. Lebih pelan dan lebih

lambat.

"Cukup lama," aku melanjutkan, "dan gue merasa sudah saatnya dia

juga punya perasaan yang sama." Aku menatap lantai, tetapi tidak benarbenar menatapnya. Pikiranku melayang kembali ke kejadian-kejadian yang

lalu, ketika aku memergoki Daniel mengamatiku. "Belum lama ini, gue

yakin akhirnya dia membalas perasaan gue."

Kei berhenti sesaat. Tetapi kemudian mulai bermain kembali dengan

perlahan.

"Mungkin karena itu juga," aku tertawa pelan, hampa, "gue merasa dia

milik gue."

51

51

2:46:46 PM

Kei menatapku sesaat, kemudian menunduk menatap tuts piano, kem

bali memainkannya dengan pelan.

"Ada satu orang yang bilang akan bantu gue untuk lebih dekat dengan

orang yang gue suka ini," aku melanjutkan. "Gue percaya sama omongan

nya, tapi" aku terhenti, "belakangan ini gue malah meragukannya."

Aku kembali terdiam. Aku berusaha menemukan kata-kata yang tepat.

Kali ini aku merasa lebih berani untuk bercerita. Inilah yang sedang men

jadi beban pikiranku. Aku menegakkan diri.

"Gue tahu, bahkan semua temen-temen gue juga tahu orang itu dekat

sama Daniel. Temen gue bahkan ada yang bilang orang itu juga menyukai

cowok yang gue suka, tapi karena gue menganggap dia teman, gue percaya

sama dia," aku melanjutkan. "Entah kenapa belakangan ini gue merasa

mereka jadi lebih dekat daripada biasanya, padahal mungkin biasanya

mereka memang seperti itu."

Aku menghela napas, menenangkan diri sebentar. "Gue masih percaya

dengan omongan dia, karena gue masih menganggap dia temen gue, tapi

gue juga nggak mau perlahan-lahan gue malah semakin meragukan dia.

Maksud gue, apakah tanpa sadar gue mulai nggak menganggap dia sebagai

teman?"

Aku terdiam. Aku lega bisa mengungkapkan isi hatiku. Sebagian diriku

merasa bodoh karena sebenarnya ini bukan masalah besar, tapi sebagian

lagi begitu mempermasalahkan hal ini. Kei juga berhenti bermain dan me

mandang kosong ke depan.

Tiba-tiba Kei berbalik menghadapku dan menatapku dalam-dalam.

Mungkinkah dia bermaksud memberikan solusi? Aku tidak terlalu mengha

rapkannya, karena aku hanya butuh seseorang untuk mendengarkan ceritaku. Well, kalau dia memang berkenan

Kei menegakkan tubuh dan bersedekap. "Agak kecewa juga tahu hal

sesederhana ini bisa membuat Alexa jadi cewek lemah..."

Ini pertama kalinya aku mendengar dia berbicara, suaranya rendah tetapi

tidak mengintimidasi, justru terdengar ramah. Selain itu, kalimatnya yang

cukup menohok.

"karena menurut orang-orang yang saya kenal, Alexa adalah cewek

yang kuat," lanjutnya. "Saya boleh berkomentar?"

52

52

2:46:46 PM

Aku semakin menegakkan tubuh, memandang matanya lurus-lurus dan

mengangguk.

"Satu. Kalau Alexa cukup percaya diri untuk menganggap dia memiliki

perasaan yang sama terhadap Alexa, kenapa menggantungkan harapan pada

janji orang lain yang belum jelas jaminannya? Lagi pula, ini antara kalian

berdua, kan? Apa perlunya melibatkan orang lain?"

Untuk kedua kalinya, wow! Aku baru menyadari Kei memiliki tutur

kata yang jelas, tegas, dan sopan. Tampaknya Kei berasal dari keluarga yang

sangat kaku dan beradab, terlihat dari gestur dan cara bicaranya.

"Kedua," Kei melanjutkan, tubuhnya mulai rileks dan dia kembali meng

hadap piano, seolah-olah akan melanjutkan permainan. "Menurut saya,

teman yang baik menumbuhkan kepercayaan dalam diri kita, bukan kera

guan," ucapnya pelan.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu dia bermain lagi, meninggalkanku memandang kosong tangannya

yang bergerak lincah di tuts. Pikiranku melayang menghayati kata-katanya.

Kei benar. Untuk apa aku memercayakan perasaanku pada Vivi, toh ini

masalah perasaan sukaku pada Daniel. Dia tidak pernah masuk di dalam

nya. Secara tidak langsung aku mengajaknya masuk dengan menganggapnya

sebagai teman yang akan membantu, tetapi tindakanku itulah yang mem

buatku gelisah seperti sekarang. Vivi mungkin teman, tapi aku tidak mem

butuhkannya untuk mendapatkan Daniel. Aku hanya perlu yakin dengan

diriku sendiri.

Aku berdiri dan berjalan ke arah Kei. Aku menarik kedua tangannya,

menghentikan permainannya. Kei terkejut menatapku.

"Kakak Senior, terima kasih!" ucapku sambil menggenggam kedua ta

ngannya erat.

Aku melepaskan tangannya dan bergerak menuju lukisanku yang belum

selesai. Kali ini aku dipenuhi semangat yang berbeda. Aku sedang bergerak

untuk mengambil "persenjataan"-ku untuk melukis ketika kulihat Kei diam

tidak bergerak di depan pianonya.

"Senior!" panggilku, dan ia menoleh menatapku. "Any classical, please,"

pintaku tersenyum. Dia membalas senyumku dan memainkan sebuah kom

posisi.

53

53

2:46:46 PM

Aku tahu memang dalam hatiku masih ada sedikit perasaan negatif yang

beberapa hari ini memenuhiku, tetapi kali ini aku merasa lebih berani.

Lagi pula, aku bukan tipe cewek yang akan membiarkan perasaanku ber

larut-larut dan meninggalkan pekerjaanku. Bukan. Alexa cewek yang kuat.

Dan Vivi tidak mengetahui hal ini.

Aku menekan tombol lantai dua. Agak lama, tetapi kemudian lift bergerak

turun. Kei berdiri di sampingku. Aku menyandarkan kepalaku di dinding

lift dan memejamkan mata. Melelahkan juga ya menyelesaikan empat lukis

an sekaligus. Dengan begini besok aku bisa lebih santai. Mungkin karena

semangat dan emosi yang memengaruhiku untuk bekerja seefisien tadi.

Inikah yang dinamakan kekuatan cinta? Membuat kita mampu melakukan

hal yang tidak pernah kita duga? Mengerikan. Dan terdengar menggelikan.

Bisa-bisanya aku berpikir begitu.

Aku menguap lebar. Tidak berselang lama aku mendengar kuapan seru

pa. Aku membuka mata dan melihat Kei sedang menutup mulutnya.

Aku tertawa. "Nguap emang nular, ya?"

Dia membalasku dengan tatapan tidak-lucu-ya.

Pintu lift kemudian terbuka. Kei membiarkanku keluar duluan. Aku

senang dia mau menemaniku. Entah berapa kali aku menyuruhnya pulang

duluan, tapi dia bilang dia tidak punya banyak kesempatan untuk bermain

piano di rumah, jadi menemaniku adalah salah satu kesempatan untuk

berlatih. Aku tidak berani menanyakan apa yang mencegahnya berlatih di

rumah, terutama melihat kemampuan yang dia miliki, tetapi mungkin akan

datang waktunya aku bisa menanyakan hal tersebut.

Kami sedang menuruni tangga utama sekolah ketika tiba-tiba seseorang

memanggilku. Arnold melambaikan tangan. Dia kemudian berlari ke ping

gir lapangan dan merogoh sesuatu dari tasnya. Aku berjalan ke arahnya,

tampaknya dia sedang ekskul futsal. Kei juga mengikutiku sambil meng

amati lapangan.

"Lex, untung lo belom pulang. Tadi lo ninggalin buku sketsa lo di kelas," ujarnya.

54

54

2:46:46 PM

"Oh, ya?" Aku tidak terlalu ingat. Yah, luapan kegalauanku tadi me

mang cukup mengacaukan pikiranku. Aku menerima buku hitam yang

Arnold serahkan padaku. "Thanks."

"Gara-gara buku ini gue diketawain Daniel," keluhnya.

"Lha, apa hubungannya?" tanyaku penasaran.

"Iya, tadi kan bukunya gue bawa-bawa. Terus gue ketemu dia sebelum

pulang, dia pikir ini buku gambar gue terus dia teriak-teriak bilang nggak

mungkin gue bisa gambar sebagus ini. Sialan tuh orang."

Aku tertawa. "Terus, lo bilang apa?"

"Ya, gue bilang itu punya lo. Eh, dia bilang nggak heran, kalo punya

gue malah aneh."

Aku hanya tersenyum, memasukkan buku sketsaku ke tas.

"Tadi dia liat-liat isinya terus dia bilang gambar lo bagus banget," tam

bah Arnold, sambil mengambil minuman. "Ciee Alexa, seneng tuh."

Aku memang tidak bisa menyembunyikan senyum. Aku senang Daniel

memuji karyaku. Bolehkah aku merasa ini salah satu bukti dia per-hatian

padaku?

Tiba-tiba aku merasa seseorang melewatiku. Aku melihat Kei berjalan

ke lapangan, meninggalkanku. "Kei!" panggilku. Ia menoleh. "Thank you,

ya."

Kei balas mengangguk lalu kembali berjalan. Ternyata Rangga dan senior lainnya memanggil cowok itu. Rangga melihatku dan melambaikan

tangan. Aku membalasnya.

"Lo kenal mereka, ya?" tanya Arnold.

"Gara-gara Porseni," jawabku. "Dah, gue balik ya. Thank you, Nold."

Perasaan senang masih memenuhiku. Memang benar kata wali kelasku

waktu SD. Kalau kita menangis sekarang, kita akan tertawa nanti, begitu

pula sebaliknya. Kemarin aku mungkin tidak sampai menangis, tetapi aku

berani menyebutnya cukup sedih sampai perasaan senang yang kurasakan

sekarang terasa seperti balasan untuk hal itu. Tapi apakah setelah senang

sekarang, aku akan kembali sedih?

Aku melangkah memasuki lift menuju kelas pagi ini, namun tiba-tiba

55

55

2:46:46 PM

pintu terbuka lagi. Seseorang menahannya. Ketika pintu terbuka, Vivi pun

masuk. Dia tersenyum padaku. Aku membalasnya.

Lift mulai bergerak ke atas saat tiba-tiba dia berkata, "Kelihatannya lagi

bahagia nih."

Aku hanya tersenyum. Mungkin terlalu semringah. Entahlah, memikirkan cerita Arnold kemarin tentang Daniel yang memuji buku sketsaku

rasanya membuatku begitu berbunga-bunga. Yah, norak memang.

"Ada hubungannya sama Daniel, ya?" tebaknya.

Aku hanya mengangguk.

"Apa?" desaknya. "Cerita dong."

Aku ingat saran Kei kemarin. Perasaanku dengan Daniel hanya antara

aku dengannya. Untuk kali ini pun aku ingin menyimpan sendiri kebaha

giaan yang kurasakan. Karena itu, akhirnya aku hanya menjawab, "Ceri

tanya panjang."

"Oh," Vivi lalu terdiam.

Pintu lift kemudian terbuka dan aku langsung berjalan ke luar.

"Alexa," Vivi tiba-tiba memanggilku, aku berbalik menghadapnya. "Gue

udah putusin gabung sama panitia Porseni, siang ini gue mau minta izin

ke Pak Woto, ngelihat kalian kerja kemarin keliatannya seru."

Saat ini koridor masih sepi, belum banyak murid lain di sekitar kami.

Karena itu, ucapannya barusan terasa menggema berkali-kali di telingaku.

Aku memandangnya kosong, mempertanyakan maksud ucapannya.

Vivi kemudian tersenyum. "Sampai nanti, Alexa." Lalu berjalan mening

galkanku ke arah lorong kelas IPS.

Aku memandangi kepergiannya. Setiap langkahnya semakin menekankan

persepsiku terhadapnya kali ini.

Itu tadi seruan perang.

56

56

2:46:46 PM

5

THE WORST THING HAPPENED

Rasanya konyol bermasalah dengan teman sendiri karena orang yang ku
suka. Aku selalu menentang apa yang ada di drama atau komik tentang

dua cewek yang akhirnya bermusuhan karena memperebutkan cowok. Me

nurutku, itu sia-sia. Aku selalu heran kenapa mereka tidak memikirkan

pertemanan mereka. Yah, bukannya aku mau menyerah dan melepaskan

Daniel. Aku hanya heran kenapa Vivi tidak mementingkan pertemanan

kami dan merelakan Daniel untukku.

Wow, pikiranku egois sekali. Mungkin sekarang aku mengerti perasaan

karakter-karakter dalam drama dan komik itu.

Aku merasa kali ini memiliki kesempatan dengan Daniel. Aku pernah

yakin dia juga akan membalas perasaanku. Aku pernah benar-benar dekat

dengan Daniel. Dia pernah meminta bantuanku ketika bandnya akan

tampil di sekolah, mulai dari menanyakan pendapatku tentang lagu yang

akan dibawakan, menemaninya latihan, meminta pendapatku akan per

mainannya, aku juga membantu menenangkannya sebelum tampil karena

itu penampilan perdananya. Dia memercayakan banyak hal padaku, seakanakan aku manajer bandnya.

57

57

2:46:46 PM

om

Tapi kemudian tidak terjadi apa-apa. Walaupun pada akhirnya kami

semakin dekat, kami masih melanjutkan pertemanan seperti sebelumnya.

Kali ini berbeda. Aku merasa lebih yakin dan percaya diri. Jadi, kalau

memang Vivi atau ada orang lain yang juga memiliki perasaan khusus ter

hadap Daniel, aku tidak akan menyerah.

"Gue bilang juga apa, Lex," ujar Rieska, "emang pasti ada apa-apanya

tuh si Vivi." Dia begitu menggebu-gebu membahas kejadian di lapangan

indoor. "Udah, sekarang lo nggak usah ladenin dia, nggak usah cerita apaapa lagi ke dia," saran Rieska.

"Iya, tahu kok," jawabku.

Jam istirahat pertama ini aku dan Rieska langsung menuju lapangan

indoor karena kata Kenny, Pak Woto memanggil kami. Aku berniat berta

nya kepada Rieska kenapa Daniel tidak ikut bersamanya, tetapi malah dia

langsung membombardirku dengan topik Vivi. Yah, mungkin yang dipang

gil memang hanya aku dan Rieska, atau Daniel sudah lebih dulu ke lantai

atas.

"Tapi gue nggak mungkin cuekin dia, Ries. Gue sama dia kan pernah

sekelas juga."

"Yah, terserah lo," timpal Rieska cuek. "Gue juga bukannya mau larang

dia buat suka sama Daniel, ya. Tapi gue kecewa aja dia nggak jujur sama

lo. Kalo emang suka mah jujur aja, ngapain pake nawarin bantuan."

Aku teringat apa yang pernah Kitty katakan. "Kalau dipikir-pikir, kita

nggak punya bukti yang kuat kan dia naksir Daniel. Sejauh ini kita masih

menduga-duga," jawabku. "Dan dugaan aja udah bikin sakit begini, apalagi

kalau beneran? Nggak kebayang deh gue."

"Ya ampun, Alexa," omel Rieska, "lo mau bukti konkret yang kayak

gimana? Sampai mereka jadian dulu lo baru percaya kalo dugaan gue ini

benar?"

Aku hanya mengangkat bahu. "Entahlah, tapi mungkin dia punya alasan

sendiri," jawabku tanpa berpikir. Aku sedang tidak tertarik dengan topik

ini dan karena kami sudah sampai di lantai delapan, mataku langsung

mencari-cari Pak Woto.

Rieska memelototiku. "Lo naif banget sih Lex, gue nggak percaya kalo

dia"

58

58

2:46:47 PM

"Hai, Vivi," ucapku canggung saat melihatnya berjalan ke arah kami.

Rieska juga melihat Vivi dan langsung menatapku. Seolah dia berterima

kasih karena aku memotong omongannya, kalau tidak entah kalimat apa

yang akan dia ucapkan dan didengar langsung oleh Vivi.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei, kalian mau lanjut bantu persiapan Porseni, ya? Mau kerjain apa?

Sini gue bantu," Vivi tersenyum dan menatap kami bergantian, menunggu

jawaban.

"Nggak apa-apa, Vi, kerjaan gue sama Lexa udah selesai kok. Lagian kalo

lo ikutan, gue takut ditegur ketuanya kalo ngajak yang bukan panitia."

"Gue udah minta izin Pak Woto kok, gue gabung jadi panitia. Gue juga

sempet bilang ke Alexa. " Dia memandangku. "Iya kan, Alexa?"

Rieska langsung menatapku, menuntut penjelasan. Aku hanya mengangguk. Seandainya aku bisa lari dari tempat itu.

Tangga utama dipenuhi murid-murid yang baru saja keluar dari kelas. Se

pertiganya langsung memenuhi kantin lantai dua dan sisanya di tangga

utama. Tangga utama ini berada di tengah dua gedung tinggi sekolah, kare

na itu selain pada siang bolong, area luas ini selalu berada di bawah ba

yangan dua gedung dan terhindar dari terik matahari, membuatnya enak

dijadikan tempat nongkrong setelah pulang.

Aku membuka handphone dan melihat pesan dari Kitty. Dia mengajakku

jalan akhir pekan ini. Ah, ajakan pada saat yang tepat, tak mungkin

kutolak. Setelah kemunculan banyak hal yang rasanya berusaha memenuhi

pikiranku, tawaran tersebut hal yang benar-benar kubutuhkan saat ini, aku

juga bisa langsung bercerita pada Kitty.

Aku sedang mengetik pesan balasan sehingga tidak terlalu memperhati

kan jalanan di depanku, hanya melihatnya dari sudut mata. Aku berada di

tengah arus murid yang berjalan merayap menuju tangga utama, membiar

kan orang lain yang sedang terburu-buru menyelaku. Aku berjalan begitu

pelan karena terlalu fokus pada layar handphone.

Sambil mengetik jawaban mengiyakan pertanyaan tersebut, tiba-tiba aku

teringat cerita Selwyn di kelas. Dia bilang kemarin dia melihat CD single

terbaru Namie Amuro di toko musik di mal dekat sekolah. Kitty pengge

59

59

2:46:47 PM

mar berat Namie Amuro. Kenapa tidak sekalian saja kami berburu CD itu

pada akhir pekan? Aku melanjutkan mengetik kalimatku.

"?sekalian aja Sabtu ini kita cari CD barunya Namie Amuro?"

Aku berpikir sebentar. Ada yang mengucapkan kalimat yang sama persis

dengan yang kutulis. Aku baru sadar ternyata ada seseorang di sebelahku.

Aku langsung menoleh.

"Woooaa!" Aku melompat ke samping. "Daniel!" Aku benar-benar ter

kejut, wajahnya begitu dekat sekali dengan wajahku tadi.

Daniel tertawa puas sekali melihat tingkahku. Merasa tidak terima, aku

langsung memukul lengannya.

"Aw!"

"Salah sendiri, bikin kaget aja." Aku pura-pura kesal, dalam hati ber

usaha mengatasi jerit kegirangan yang dirasakan sisi lain diriku. Aku kem

bali memfokuskan tatapan ke layar handphone dan mengirim pesan

tersebut.

"Lagian ngetik sambil jalan," Daniel membela diri, masih tidak bisa

menyembunyikan kesenangan sesaatnya. Walaupun sambil mengelus-elus

lengan kanannya, dia tetap tersenyum jail.

"Itu kan penting, harus langsung dibales," aku membela diri.

"Penting apanya?! Orang ngomongin Namie Amuro begitu." Dia tetap

bersikukuh dan terlihat semakin berniat mengejekku. "Oh, gue tahu! Yang

nerima pesannya yang penting ya. Ooh Alexa udah punya pacar nih."

"Nggak! Bukan!" bantahku. "Itu buat Kitty kok, dia ngajak jalan." Yang

benar saja Daniel, konyol sekali kalau dia berpikir aku sudah punya pacar.

Dia sendiri kan tahu orang yang kusuka hanya satu.

"Oh, kirain," balasnya. Aku mencari-cari setidaknya setitik keceriaan di

wajahnya mendengar bahwa aku masih single, tapi yang kutemukan hanya

sisa-sisa ekspresi jail. "Kalian masih suka lagu Jepang, ya?" tanyanya tibatiba.

"Apa? Oh iya, masih," jawabku. Tentu saja masih, dia orang yang mem

buatku menyukai musik Jepang, tidak mungkin aku akan berhenti menyu


Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Rimba Persilatan Naga Dan Harimau Lung Wiro Sableng 013 Kutukan Empu Bharata

Cari Blog Ini