Ceritasilat Novel Online

A Song For Alexa 2

A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella Bagian 2

kainya selama aku masih menyukai Daniel.

"Hmm, baguslah," ujarnya. "Omong-omong soal Jepang, akhirnya gue

dapat beasiswa ke sana."

60

60

2:46:47 PM

"Oh, ya?"

"Iya, maunya tahun depan, tapi kalau memang nggak sempet, ya paling

gue belajar dulu yang bener buat ujiannya baru daftar lagi abis lulus

SMA."

Ternyata Daniel benar-benar serius mengejar cita-citanya. Aku senang

mendengar kabar itu, tapi juga sedih karena berarti jarak antara kami akan

semakin jauh. Saat ini saja rasanya sudah sulit mempertahankan kedekatan

kami. Tapi tidak mungkin aku menghalanginya. Aku tidak berhak begitu.

"Oh, baguslah, tapi berarti nanti jadi susah ketemunya ya," timpalku.

Daniel tersenyum, senyuman hangat yang kusuka. "Tenang Alexa, yang

namanya jodoh nggak akan ke mana-mana kok," jawabnya sambil menepuk

bahuku.

Aku terdiam sebentar. Benar, yang namanya jodoh memang nggak akan

ke mana-mana. Mau beda negara pun kalau memang sudah takdir pasti

bertemu lagi. Lalu, siapa yang dia maksud dengan jodohnya itu? Apakah

ini berarti dia menganggapku sebagai jodohnya? Apakah ini pernyataan ti

dak langsung bahwa dia juga menyukaiku? Entah sengaja atau tidak,

Daniel berhasil membuatku pulang dengan hati berbunga-bunga.

"Nih, jawaban bagian gue, tinggal digabung aja." Aku menyerahkan kertas

jawaban kimia ke Kenny. Selwyn masih mengerjakan bagiannya, sedangkan

Kenny bertugas menyalin semuanya sekaligus mengecek kembali jawaban

kami.

"Akhirnya kelar juga, Lex," sahut Arnold yang sedang memakan bekal

nya di sampingku. Dia satu kelompok dengan teman kami yang jago ki

mia, jadi kelompoknya selesai lebih dulu. Dia beruntung, tugas kelompok

ini memang menyusahkan, terlalu banyak soal yang harus diselesaikan da

lam waktu satu jam pelajaran.

"Baru bagian gue, Nold, yang lain belom," balasku. Aku meregangkan

tubuh di kursi, rasanya pegal sekali. "Haiya, gue butuh pencerahan."

"Hahaha" Arnold tertawa, "Sayang ya Daniel nggak masuk."

Aku langsung menoleh. "Oh, ya?" Pantas saja sejak pagi aku tidak meli

hatnya.

61

61

2:46:47 PM

"Ciee, Alexa khawatir," ujar Selwyn.

"Diem lo, Wyn, cepet kelarin," ujar Kenny tanpa mendongak dari kertas

di hadapannya.

"Dikit lagi, dikit lagi."

Aku kembali memandang Arnold. "Terus? Lanjut, Nold."

"Oh, dia sakit katanya," jawab Arnold.

"Makanya Lex, jangan digangguin terus tiap malem, dia jadi kecapekan,"

timpal Selwyn tiba-tiba.

"Banyak omong, lo, Wyn. Kelarin cepet," omel Kenny.

Selwyn langsung panik, tercabik antara ingin ikut ngobrol atau menyele

saikan kewajibannya. "Iya, iya."

"Awas, jangan ngasal lo, Wyn," Kenny mengingatkan.

Aku menatap mereka bergantian, mereka mengganggu obrolanku dengan

Arnold saja. "Lanjut lagi, Nold, Daniel sakit apa?"

Arnold menggeleng. "Nggak tahu, gue nggak nanya."

"Selesai!" teriak Selwyn, dan langsung menyerahkan kertasnya pada

Kenny. Kenny langsung berdiri dan berlari menuju ruang guru. Rasa tang

gung jawabnya yang tinggi sebagai ketua kelas sepertinya benar-benar

mengalir dalam darahnya.

"Udah, Lex, mending lo sama Kenny aja," tukas Selwyn tiba-tiba begitu

Kenny pergi.

"Nyamber aja lo, Wyn," ujar Arnold.

"Nggak mau," jawabku tegas pada Selwyn. "Kenapa sih dari kemarinkemarin lo jodohin gue sama Kenny melulu?" tanyaku penasaran. Awalnya

kukira memang dia hanya asal ngomong, tapi sekarang aku merasa dia

makin kekeuh.

"Nggak apa-apa," jawabnya singkat, lalu tidur-tiduran di mejanya.

Dia terlihat tidak mau menjawab, jadi kubiarkan saja. Aku mengikuti

Arnold dan mulai membuka bekal.

Tiba-tiba Selwyn yang sedang asyik menggambari buku cetak kimianya

mendongak, "Kalo menurut gue ya," ujarnya, tidak biasanya dia terdengar

seserius itu, jadi aku ikut tegang. Firasatku berkata ini tidak akan enak

didengar. "Lo sama Daniel tuh nggak cocok," lanjutnya.

Mendengar itu aku hanya diam. Aku menatapnya. Selwyn balas menatap

62

62

2:46:47 PM

ku, tapi langsung melanjutkan gambarnya lagi. Dia yang selama ini selalu

mendukungku dengan Daniel, tiba-tiba menyuarakan pendapat yang kon

tras dengan tindakannya.

"Nggak cocok karena?" tanyaku tenang. Aku melanjutkan makanku,

bersikap seakan ini bukan masalah besar.

"Sifat kalian tuh beda," jawab Selwyn, kali ini menghentikan gambarnya.

"Gue sih lihatnya begitu, dan menurut gue nggak cocok. Tapi nggak

masalah sih kalo lo akhirnya jadian, cuma gue rasa nggak akan bertahan

lama." Selwyn begitu blakblakan mengatakannya sehingga aku merasa bela

kangan ini dia memang memikirkan hal tersebut.

"Hmm," aku mengerti maksudnya, tapi tidak setuju. Memang sering

kali aku merasa tidak nyaman dengan sifat Daniel yang selalu menyimpan

masalahnya sendiri dan tidak mau berbagi. Memendamnya sendiri karena

menganggap itu masalahnya, tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain.

Tapi bukankah tiap orang memang berbeda-beda, dan pasangan itu ada

untuk saling melengkapi, bukan? "jadi, menurut lo gue cocoknya sama

yang sifatnya kayak Kenny gitu?"

Selwyn tampak berpikir. "Nggak juga sih Tapi dibanding Daniel, me

nurut gue Kenny lebih cocok."

Mendengar itu, di benakku langsung terlintas wajah Kenny. Memangnya

sifat dia yang bagaimana yang cocok denganku?

"Gue setuju," tiba-tiba Arnold menyahut. Aku dan Selwyn langsung me

mandangnya. "Menurut gue" Arnold memulai dengan hati-hati, "men

dingan lo lupain Daniel, Lex." Arnold mengakhiri kalimatnya dengan

nada menggantung.

Aku menatap Arnold lurus-lurus. "Lo juga, Nold?" Aku memandang

Arnold dan Selwyn bergantian, tiba-tiba menyadari satu hal. "Kalian tahu

sesuatu yang gue nggak tahu, ya?"

"Eh, gue sih nggak tahu," Selwyn membela diri, "gue cuma ngungkapin

pikiran gue, Arnold tuh yang kayaknya punya rahasia."

Kami kembali menatap Arnold. Aku benar-benar penasaran, tapi Selwyn

tampaknya hanya ingin tahu. Arnold seolah mengecil di kursinya. Dia

diam sebentar, mempertimbangkan sesuatu, kemudian menegakkan diri.

"Gue tahu udah lama lo suka Daniel dan pasti nggak mudah buat lu63

63

2:46:47 PM

pain dia, tapi" Arnold terhenti, jelas sekali memilih-milih kalimat yang

tepat. "menurut gue, sebelum lo terlalu suka lagi sama dia, mending

lupain dari sekarang." Kembali dia mengakhiri dengan intonasi yang

mengganjal.

Aku tetap menatapnya. Aku tahu dia bisa menangkap maksudku. Aku

butuh jawaban, bukan nasihat.

Arnold terlihat goyah. "Duh, gue nggak enak ceritanya."

"Kayak cewek aja lo, Nold," timpal Selwyn. Aku melirik Selwyn, seenak

nya mengungkit masalah gender.

"Bukan gitu," Arnold membela diri. "Gue nggak enak juga ke Daniel

kalo dia sampai tahu gue cerita ke Alexa."

"Nggak lah, kami nggak akan ngomong," balas Selwyn. "Lagian siapa

juga yang mau ngadu ke dia."

"Gue nggak bakal bilang siapa-siapa, Nold," aku menegaskan. "Jadi,

karena lo udah telanjur ngaku lo tahu sesuatu, mending cerita ke gue."

Aku benar-benar penasaran dan perasaan bersalah Arnold hanya menyusah

kanku.

Arnold kembali terlihat berpikir. "Ya udah, tapi kalo ketahuan, jangan

bilang lo tahu dari gue, ya?"

Aku mengangguk.

Arnold akhirnya meninggalkan bekalnya dan menggeser kursinya men

dekat ke arahku. "Gini ya, Alexa" dia kembali memulai dengan hati-hati

dan takut-takut. "Pokoknya lo jangan marah atau apa dulu ya, mungkin

aja nggak sesuai yang gue pikirin," ujarnya lalu mengeluarkan handphone

dari tas, lalu mengutak-utik sesuatu.

"Nih," akhirnya dia menyodorkan handphone-nya. Aku menerimanya

dan melihat isi inbox-nya sementara dia melanjutkan. "Tadi pagi kan gue

SMS dia, tanya hari ini masuk apa nggak, soalnya dia janji mau ke warnet

sama anak-anak. Terus abis bilang dia nggak masuk karena sakit, dia

nyuruh gue nyampein salam ke seseorang."

Aku membuka salah satu pesan yang, kuduga, adalah yang Arnold mak

sud.

"Dia bilang ?jangan lupa titip salam buat cewek gue, ya?," lanjut Arnold,

dan tertulis dalam SMS itu kalimat yang kurang-lebih sama. "Terus kan

64

64

2:46:47 PM

gue tanya. Gue pancing nih si Daniel, ?cewek yang mana??" lanjut

Arnold.

Aku membuka pesan selanjutnya.

"Dia bilang ?masa nggak tahu sih, yang di IPS?."

Dan seperti yang Arnold ucapkan, kalimat yang sama juga tertulis da

lam pesan yang dikirimkan Daniel. Aku membuka pesan selanjutnya,

Daniel menambahkan "jangan lupa ya. tks."

"Nah, waktu gue terima SMS ini kan gue lagi bareng Raka, dan dia

bilang Daniel lagi suka sama anak IPS," Arnold semakin mendekat ke arah

ku dan Selwyn, dan mulai berbisik-bisik, aura penggosipnya semakin ke

luar. "Anehnya, Raka nggak tahu siapa ceweknya, soalnya Daniel nggak

suka cerita-cerita."

"Oh, nggak heran," ujarku, cukup mengenal sifatnya yang satu itu.

Daniel tidak akan banyak membicarakan hal yang menurutnya pribadi dan

tidak penting. "Terus, menurut dugaan kalian temen-temen baiknya, cewek

nya siapa?" Aku merasa tahu akan jawaban ini, tapi aku butuh penegas

an.

"Ya lo tahulah, Lex," jawab Arnold. "Siapa lagi kalo bukan Vivi."

Kami terdiam. Aku merasa satu kelasku ikut terdiam. Semua perkataan

dan tindakan Vivi, semua gambaran kedekatan mereka terulang kembali

dalam kepalaku. Ada beban berat yang terasa menekan dadaku. Ada sakit

yang membuatku tidak bisa berpikir jernih dan hal inilah yang belum ku

persiapkan.

"Eh, tapi tunggu." Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan, memandang

Arnold lurus-lurus. "Ini masih pemikiran lo sendiri kan, Nold? Daniel sen

diri aja nggak ngomong apa-apa kan ke lo, Raka, sama yang lainnya. Jadi,

artinya belum tentu dong. Lagian huruf S dan A kan sebelahan, gue aja

sering salah ketik."

"Jadi, maksud lo si Daniel minta disampein ke ?anak IPA?? Lo, gitu?"

tuntut Arnold.

Selwyn tertawa. "Hahahahaa maksa banget lo, Lex."

"Biarin, nggak menutup kemungkinan kok," sahutku tidak mau kalah.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja, setelah membahas masalah "jodoh" kemarin aku tetap dengan

keyakinanku. Tapi tidak mungkin aku menceritakan hal itu pada mereka.

65

65

2:46:47 PM

"Pokoknya Nold, maksud Alexa itu kalian mikir Daniel lagi suka anak

IPS karena kalian ngelihatnya selama ini dia paling deket sama Vivi, kan?"

tanya Selwyn, sekaligus menyimpulkan.

"Iya," Arnold langsung menyetujui.

"Sebenernya gue juga ngerasa begitu," Selwyn ikut mendukung. "Dilihat

dari sifatnya Daniel, menurut gue dia lebih cocok sama Vivi."

Aku memandang Selwyn. Kali ini pun dia tidak terlihat main-main.

Aku tidak peduli. Bahkan kali ini aku tidak bisa langsung memercayai

hal-hal yang berdasarkan dugaan. Aku ingat kata Kitty, sebelum ada bukti

yang jelas, semua belum bisa disimpulkan.

"Oh, iya," sahut Arnold tiba-tiba. "Ada satu lagi." Dia memandangku,

tatapannya melembut dan aku menyadari ada setitik rasa bersalah dalam

kata-katanya selanjutnya. "Menurut satu-dua anak, lo faktor yang meng

hambat perkembangan hubungan antara Daniel dan Vivi. Kalau bukan

karena Vivi yang nggak enak sama lo, dia mungkin udah jadian sama

Daniel dari dulu."

Setelah mendengar cerita Arnold, aku merasa mulai menyadari sesuatu yang

sebenarnya mungkin bukan hal baru, fakta lama yang kukubur dalamdalam karena terlalu menyakitkan. Arnold terus menekankan bahwa itu

belum tentu benar, tetapi aku tahu?mungkin lebih tepatnya naluriku

mengatakan semua itu benar. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan tetap

mengabaikannya. Walaupun begitu aku tahu, waktunya tidak akan lama

lagi.

Aku selalu merasa Vivi-lah yang menjadi pengganggu di antara aku dan

Daniel. Tapi kalau yang dikatakan Arnold itu fakta, berarti akulah peng

ganggunya. Beban di hatiku bertambah, dadaku terasa semakin sesak. Me

mang aku belum merasa aku akan mulai menangis. Belum. Aku tahu,

masih ada satu hal yang mengganjal. Apa sebenarnya yang ada di dalam

pikiran Vivi?

Perasaanku semakin berubah-ubah. Awalnya aku merasa bersimpati, lalu

iba, tetapi sekarang ada sedikit perasaan marah.

Bisa-bisanya selama ini teman-teman Daniel memandangku seperti itu.

66

66

2:46:47 PM

Apa yang membuat mereka bisa berpikiran begitu? Apakah Vivi yang meng

atur semuanya? Apakah dia yang menuntun cara berpikir semua orang?

Hanya ada satu jalan untuk mengetahuinya. Aku harus berbicara langsung

dengan Vivi.

Setelah pembicaraan itu, aku mengajukan diri kepada Arnold untuk

mengetes Vivi dan menyampaikan sendiri pesan Daniel kepada cewek itu.

Arnold sempat takut dengan keputusanku, tapi aku meyakinkannya bahwa

seandainya Daniel menanyakan soal itu, dia bisa bilang aku yang meng

ambil handphone-nya dan membuka-buka inbox-nya. Aku mengizinkan

Arnold menjelek-jelekkan namaku karena terlalu ingin tahu. Tidak masalah,

itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bagaimana teman-teman

Vivi dan Daniel menganggapku sebagai pihak ketiga dalam hubungan te

man baik mereka. Namaku sudah cukup buruk, menambahkan satu hal

kecil tidak akan berpengaruh besar.

Bel istirahat berbunyi sekitar lima menit yang lalu. Aku berusaha meng

atur napas. Aku ingin apa yang kukatakan nanti cukup jelas dan terdengar

tegas.

Sesuai dugaanku, Vivi datang bersama teman-temannya ke kelasku. Se

perti biasa dia tampil dengan gaya berpakaiannya yang khas, kali ini de

ngan kardigan biru. Aku langsung berdiri dan berjalan mantap mengham

pirinya. Aku bisa merasakan dua pasang mata memperhatikanku. Selwyn

yang terlihat menggambar dengan tenang di sudut dan Arnold yang meng

awasiku dengan hati-hati. Aku hanya ingin mereka lebih percaya padaku.

Aku bukan orang barbar yang akan menyerang Vivi dan menjambak ram

butnya sampai dia berteriak-teriak kesakitan. Aku hanya ingin bicara.

Vivi melihatku berjalan ke arahnya. Cewek itu tersenyum riang.

Aku berdiri di depannya, menghalangi jalannya.

"Hai, Alexa," sapanya. "Ada apa?"

"Halo, Vivi," ujarku, cukup terkejut karena suaraku terdengar mantap,

"cuma mau bilang, Daniel titip salam buat lo." Aku merasakan otot-otot

di wajahku membentuk senyum. Bukan senyuman yang keluar dari hati.

Aku bersyukur banyak menonton film kriminal. Aku mempelajari ba

nyak gerakan-gerakan nonverbal yang umumnya dipakai untuk mendukung

kebohongan, yang bodohnya tidak kugunakan sejak awal ketika Vivi meng

67

67

2:46:47 PM

ucapkan janjinya. Tentu saja itu karena aku tidak akan pernah menyangka

akan melihatnya pada diri Vivi.

Sesaat Vivi terlihat salah tingkah. "Ih, apaan sih si Daniel," jawabnya

dengan suara yang nyaris melengking, lalu menggigit bibir. Dia terlihat

bersalah dan sangat tidak nyaman.

Aku berusaha menanggapi hal tersebut dengan biasa-biasa saja. "Nggak

apa-apa juga sih kalau emang bener." Kenyataannya hatiku mulai panas.

Vivi kemudian menambahkan dengan terburu-buru, "Nggak lah, Lex,

dia cuma bercanda, nanti gue marahin deh," ucapnya sambil tanpa sadar

menggosok-gosokkan kedua tangan. Bagiku, dia tampak seolah sedang ber

usaha memercayai dan membenarkan kata-katanya. Dia berusaha nyaman

dengan perkataannya.

Apakah dia berusaha terlihat tidak suka mendengarku menyampaikan

salam dari Daniel, berusaha merasa nyaman setelah mengatakan akan me

marahi Daniel, padahal sebenarnya dia ingin berteriak kegirangan? Atau

dia tidak ingin aku tahu dia merasa seperti itu? Ini mungkin kesimpulan

yang berlebihan.

Aku menatap Vivi lurus-lurus dan tersenyum. Apa pun maksud sebenar

nya, aku senang bisa bicara dengannya secara langsung. Tampaknya bahasa

tubuhnya lebih jujur daripada apa yang lidahnya ucapkan.

"Haiyaaaa" aku meregangkan tubuhku, pinggang dan tangan kananku

pegal sekali. Aku menatap lukisan-lukisanku yang kupajang di sepanjang

dinding dekat pintu. Sekarang tinggal menunggu catnya kering. Mungkin

besok, tapi kalau udara di ruangan ini terlalu lembap, mungkin lusa baru

benar-benar kering. Aku cukup puas dengan apa yang sudah kukerjakan.

Beberapa hari belakangan aku benar-benar menghabiskan waktu luangku

di sekolah dengan menyelesaikan pekerjaanku ini. Sekarang akhirnya

tugasku selesai, tinggal berharap sesuai harapan Kenny dan yang lainnya.

Aku membersihkan tanganku dari cat dan langsung mengempaskan diri

ke kursi di dekat jendela. Aku butuh istirahat, bersih-bersih peralatan dan

tangan bisa kulakukan nanti sebelum pulang. Aku menoleh ke samping,

Kei juga berselonjor dan meletakkan kedua kakinya di atas meja. Kedua

68

68

2:46:47 PM

tangannya dengan santai ditangkupkan di perut dan matanya terpejam.

Tampaknya dia tidur, wajahnya terlihat damai. Aku heran kenapa dia tidak

pulang saja. Tidur di kursi seperti itu kan tidak nyaman.

Aku menatap sekeliling. Sejak aku membuka sekat di antara ruang lukis

dan ruang musik, Kei membukanya lebar-lebar sehingga tidak ada sekat

lagi dan rasanya aku berada di ruangan yang jauh lebih luas. Menurut Kei,

akan lebih bagus kalau aku melukis tanpa perasaan tertekan yang mungkin

saja disebabkan ruangan yang sempit. Memang agak merepotkan karena

setiap Jumat sore kami harus menutupnya lagi dan membukanya lagi Senin

pagi, karena setiap Sabtu selalu ada ekskul lukis di ruangan ini, tapi itu

tidak masalah.

Ya, Kei memang sangat membantu belakangan ini, ikut mengamatiku

melukis dan memberikan saran yang menurutnya mungkin sesuai dengan

keinginan Kenny. Beberapa hari belakangan ini, hampir sepanjang waktu

yang kuhabiskan di sini, aku ditemani Kei. Awalnya dia datang saat istira

hat kedua dan saat pulang sekolah, hanya duduk di depan piano dan me

mainkannya. Lama-lama dia juga datang saat istirahat pertama dan bahkan

tidak hanya bermain piano, tapi juga menghabiskan waktu duduk-duduk

sambil memperhatikan lukisanku. Kadang kulihat dia membaca buku parti

tur atau malah ikut-ikutan melukis di kertas kosong. Kalau kutanya meng

apa dia tidak melanjutkan bermain piano, dia beralasan permainannya ti

dak didengarkan karena aku terlalu serius. Aku tahu dia hanya bercanda.

Komunikasi yang kami lakukan pun benar-benar minim. Kei benar-be

nar diam dan membiarkanku berkonsentrasi dengan lukisanku. Dia tidak

mengajakku bicara kecuali benar-benar penting, misalnya memberikan

saran, mengingatkan soal konsep gambarnya, atau saat dia mau pulang.

Tampaknya dia benar-benar ingin memastikan semuanya berjalan lancar

sampai-sampai memperhatikan pekerjaanku seperti ini.

Tapi sekarang dia malah tidur. Bukankah justru aku yang sudah bekerja

habis-habisan beberapa hari ini lebih butuh tidur? Aku menghela napas.

"Udah selesai melarikan dirinya?"

Aku menoleh. Kei masih memejamkan mata, tapi bibirnya tersenyum.

"Apa?"

69

69

2:46:47 PM

Cowok itu membuka mata dan menatapku. "Udah selesai melarikan

dirinya?"

Aku tidak yakin apakah aku mengerti pertanyaannya, jadi aku diam

saja.

Kei menurunkan kaki dan menegakkan tubuh. Dia menatapku lekatlekat.

Ah, tampaknya ketahuan. Sejak Senin kemarin aku menghabiskan

waktuku di ruangan ini sampai bel masuk pelajaran pertama. Saat istirahat

pertama pun aku ke sini, istirahat kedua aku membawa bekalku dan

makan di sini sebelum lanjut kerja. Pulang sekolah pun aku tetap di sini

sampai sekolah sepi. Begitu terus sampai hari ini.

Ya, mungkin memang aku menghindari sesuatu, atau seseorang.

Aku merasa canggung dan langsung berdiri. Aku berjalan ke meja tem

pat aku meletakkan kuas-kuas yang tadi kupakai, lalu membersihkannya.

Aku membelakangi Kei, tidak berani memandangnya. Ucapannya barusan

membuatku semakin merasa dia bisa membacaku. Benar-benar membaca

apa yang kupikirkan atau kulakukan.

"Kamu bekerja terlalu keras, Alexa," Kei melanjutkan, "deadline-nya ma

sih dua minggu lagi."

"Nggak apa-apa," aku membela diri. "Cuma biar bisa santai lebih cepet

aja."

Kei terdiam sebentar. "Bahkan sampai setiap waktu lengang dipakai un

tuk melukis? Kamu bahkan nggak ke kantin atau tempat lainnya, kan?"

Aku tidak meladeninya. Aku pura-pura tidak mendengar dan terus mem

benahi peralatan lukisku. Suasana pun kembali canggung.

Cukup lama kami terdiam, tapi kemudian aku mendengar suara kursi

bergeser dan melihat Kei bangkit dari kursi, menuju piano. Dia juga tidak

menghiraukanku. Dia duduk di kursi piano dengan santai, membelakangiku, tapi tidak tampak akan memainkannya. Aku meninggalkan peralatan

lukisku, hendak mengambil tas. Mungkin memang lebih baik aku pulang,

beberapa hari ini tenagaku cukup terkuras.

Aku sedang memakai tas punggungku ketika mendengarnya memainkan

sesuatu. Smile oleh Charlie Chaplin. Aku tertegun mendengarnya. Kei

memainkan piano dengan lembut, perlahan, kemudian semakin tegas seolah

70

70
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

2:46:47 PM

mengingatkan, seperti menyatakan sesuatu. Aku terus berdiri, terdiam mena

tap punggungnya. Ia menyuruhku tersenyum, sama seperti saat pertama

kali aku mendengarnya memainkan piano itu di ruangan ini. Aku terus

menatap punggungnya dan mendengarkan permainannya.

Charlie Chaplin pertama kali menciptakan Smile untuk film Modern

Times, kemudian John Turner dan Geoffrey Parsons menambahkan lirik ke

dalam komposisi tersebut tahun 1954. Sampai sekarang keduanya, musik

maupun liriknya, menjadi karya yang benar-benar bermakna.

Aku ingat liriknya dan melihat Kei bermain seperti itu aku merasa dia

seolah mengucapkan liriknya padaku: "Smile though your heart is aching.

Smile even though it?s breaking." Aku kembali merasakan beban yang berat

yang kurasakan beberapa hari lalu. Beban yang seolah menyeretku setiap

kali aku berjalan, beban yang menekan dadaku sampai aku sulit menarik

napas, yang membuatku sulit berpikir jernih sampai aku memutuskan un

tuk menghindari semua orang dan lari dari beban tersebut. Aku tidak ya

kin apakah masih bisa tersenyum setelah apa yang kupendam selama ini.

Aku ingin merasa ringan sehingga dapat melakukan apa pun yang kusuka.

Aku yakin aku bisa kembali tersenyum apabila aku menemukan lagi saatsaat seperti itu. Tapi kapan?

Kei berhenti bermain. Dia berbalik dan menatapku, memperhatikan

wajahku lekat-lekat.

"Dari Senin kemarin sampai beberapa menit yang lalu," dia berdiri dan

menghampiriku, "area ini" dia membuat gerakan seolah melingkari wa

jahku dengan tangannya, "tidak menyenangkan."

Aku tidak mengerti maksudnya. Apa mungkin tanpa kusadari aku me

masang mimik yang aneh? Entahlah.

"Banyak pikiran," lanjutnya. "Dahi berkerut, alis dan mata tegang, bibir

menipis, tertarik ke samping. Mirip waktu itu."

Waktu itu? Maksudnya, saat dia pertama kali memainkan Smile? Aku

menyentuh dahiku. Berkerut? Masa sih?

Kei menatapku lekat sekali lagi sebelum akhirnya berjalan ke jendela

dan duduk di atas meja, menghadap ke langit di luar. Entah apakah dia

paranormal, bisa membaca pikiran, atau detektif hebat yang punya banyak

"mata" di penjuru sekolah, yang dia jelas tahu.

71

71

2:46:47 PM

Aku ikut duduk di sampingnya, ikut menatap ke luar.

"Masih masalah yang kemarin," aku memulai. "Gue menghindari dua

orang itu."

Kei tetap menatap keluar, tapi aku tahu dia mendengarkan.

"Minggu lalu temen gue cerita, temen-temen dekatnya merasa cowok

yang gue suka ini menyukai seseorang dan menurut dugaan mereka, cewek

yang disuka itu adalah cewek yang sebelumnya menawarkan bantuan ke

gue." Aku diam sebentar dan melirik Kei. Dia tidak memperlihatkan reaksi

apa pun. "Yaa, kita sebut si cowok A dan si cewek B. Gue selama ini mera

sa A punya perasaan ke gue, tapi justru menurut dugaan banyak orang, A

naksir B yang menurut firasat gue, menampilkan tanda-tanda menyukai

A."

Aku terhenti sebentar, sekali lagi di bagian yang menyesakkan.

"Kalau memang A dan B saling suka, kenapa dari dulu nggak jadian

aja? Menurut orang-orang, semua ini karena gue yang membuat B jadi

nggak enak untuk menerima perasaan A. Gue nggak tahu kapan tiba-tiba

semuanya diputarbalikkan kayak gini, kenapa justru sekarang gue yang

terlihat jadi pihak yang jahat? Gue jadi merasa bersalah?maksud gue,

karena nggak pernah terpikir sama gue bakal jadi begini Gue selalu

nggak suka ngelihat temen-temen gue yang hubungannya bermasalah kare

na ada pihak ketiga, tapi sekarang gue sendiri jadi pihak ketiga, rasa

nya"

Aku menghela napas. Ini benar-benar perasaan yang menyebalkan. Wa

laupun aku sudah memfokuskan diriku dengan melukis, perasaan menye

sakkan ini terus kembali. Apakah karena aku belum menyelesaikannya?

Apakah benar yang Kei sebut tadi, karena aku melarikan diri?

"Lagi-lagi terlalu memaksakan diri."

"Apa?"

"Kalau memang B benar-benar menyukai A, dia nggak mungkin mena

warkan bantuan ke orang lain buat mendapatkan orang yang dia suka."

"Terus apa hubungannya sama statement sebelumnya? Memaksakan

diri?"

"Kenapa mereka nggak jadian, ini masalah mereka berdua," jawabnya.

"Masalah kamu cuma antara kamu dengan A, nggak lebih, nggak kurang."

72

72

2:46:47 PM

"Kan tadi gue bilang, soalnya si cewek nggak enak sama gue"

Kei menggeleng, "Kalau memang dia bener-bener suka, dia nggak akan

permasalahkan itu. Lagi pula, dia tahu si A juga suka sama dia, kan? Jadi,

jangan menyalahkan diri sendiri dan jangan lari dari semua orang. Terserah

mereka mau bicara apa, mereka nggak tahu sedalam apa perasaan Alexa,

kan?"

Aku menatapnya. Sekali lagi dia benar. Aku bersedih dengan perasaanku

sendiri, begitu memikirkan keadaan orang lain, tapi apakah mereka peduli

dengan keadaanku saat ini? Aku menyusahkan diri sendiri.

Aku melihat ke luar jendela. Langit benar-benar biru jernih, hanya sedi

kit awan putih yang bergerak pelan. Warna itu membawaku kembali ke

kepingan-kepingan memori masa lalu. Biru yang sama ketika kakakku

mengajakku bermain bola di halaman rumah saat aku masih kecil, biru

yang sama ketika aku mengikuti ekskul futsal saat SMP, biru yang sama

ketika tahun lalu aku bertanding futsal bersama teman-teman sekelasku,

dan biru yang sama ketika pertama kalinya Selwyn, Kenny, dan Arnold

menjadi teman baikku sejak kami sekelompok untuk praktikum fotosintesis

di teras lab biologi.

"Mungkin gue juga yang bikin Daniel nggak suka sama gue," aku

memulai.

"Hm?"

"Daniel, namanya Daniel," aku memberitahunya. "Dia orang yang cu

kup kuno. Menurut dia, cowok yang harus selalu memulai inisiatif untuk

mendekati cewek, dia nggak tertarik dengan cewek yang menyukainya lebih

dulu, harus dia yang buat cewek itu suka sama dia."

Kei tertawa kecil, tapi terdengar mengejek. Aku menepuk lengannya.

"Lalu?"

"Yah, sedangkan gue tumbuh dengan menyukai futsal karena dekat de

ngan kakak cowok gue, gue juga lebih banyak bergaul dengan teman

cowok daripada cewek, jadi hmmm" Aku berusaha mencari kalimat

yang tepat. "Gue terbentuk jadi cewek yang cukup tomboi dan mungkin

tanpa gue sadari, bertindak seperti kaum adam dengan memulai mendekati

cowok duluan."

Kei memandangku.

73

73

2:46:47 PM

"Mungkin gue jadi agresif tanpa gue sadari," aku menyimpulkan.

"Selama masih dalam kadar yang wajar, itu bukan hal yang buruk kok,"

Kei menjawab, "Sayangnya, objek yang diharapkan justru orang terakhir

yang bisa menerima sifat yang satu itu."

Kei menepuk kepalaku sambil tersenyum. Aku tertawa. Benar juga.

Rasanya lebih lega. Kei benar-benar membantuku mengurangi beban ini.

Aku beruntung bisa mengenalnya, beruntung aku masuk ke ruangan ini

dan mendengarnya bermain piano saat itu.

"Jadi, rencana selanjutnya?" tanya Kei.

"Yah, nggak mungkin juga gue lupain perasaan ini begitu aja, lagi pula

kabar mereka saling suka dan nyaris jadian itu masih omongan tementemennya," jawabku, teringat isi SMS tersebut yang mungkin hanya istilah

yang dia gunakan untuk menyebut cewek yang dia "suka" sebagai "cewek

gue" dan bukan bermakna sebenarnya. "Besok gue akan datengin Daniel

dan berusaha cari tahu kebenarannya langsung dari dia. Entah gimana

caranya, tapi akan gue pikirkan nanti."

Kei tersenyum.

"Ada hal yang membuat gue benar-benar yakin dia punya perasaan ke

gue." Aku ingat saat aku memergokinya mengamatiku dan omongannya

saat di tangga utama. "Tapi ada pihak lain juga yang berusaha meyakinkan

gue kalo dia justru suka cewek lain, jadi buat tahu mana yang benar me

mang lebih baik langsung tanya ke orangnya, kan?"

Mana yang benar, pikirku, omongannya atau isi SMS itu?

Perasaanku lebih tenang sejak sesi curhat dengan Kei kemarin. Badanku

terasa lebih segar karena tidur cukup semalam. Aku merasa lebih bebas

setelah menyelesaikan kewajiban melukisku. Aku juga sudah latihan bicara

dengan Kitty melalui telepon sore kemarin. Dia benar-benar memberiku

banyak nasihat dan sangat mendukung pendapat Kei. Dia mengajariku

bagaimana harus menghadapi Daniel, bagaimana kalimat yang benar dan

tepat sasaran. Aku benar-benar deg-degan, rasanya seperti mau menyatakan

perasaan ke Daniel. Dulu ketika pertama kali menyatakan perasaan pada

nya, rasanya tidak segugup ini. Aneh sekali.

74

74

2:46:47 PM

Aku agak telat pagi ini. Terlalu banyak melakukan persiapan yang tidak

kurencanakan. Aku merapikan rambut terlalu lama, memakai vitamin ram

but?yang padahal biasanya kupakai setelah mandi sore?agar lebih bersinar. Aku juga mencatok sedikit ujung rambutku agar lebih bergelombang,

tidak lurus seperti biasanya. Hari ini juga pertama kalinya aku mengikuti

saran Mama untuk memakai bedak sedikit, hanya sedikit tepuk-menepuk

di sana-sini. Tidak berlebihan kok. Dan entah berapa kali aku mengecek

penampilanku di depan cermin, memastikan seragamku rapi, wajahku ter

lihat cerah, dan rambutku tampak sempurna. Semua ini membuatku telat

setengah jam. Ada apa denganku?

Saat berjalan memasuki area sekolah, aku menyilangkan jari. Satu, aku

berharap aku akan berhasil dengan Daniel. Kedua, aku berharap Selwyn

tidak akan menyadari penampilanku dan mengejekku seharian.

Aku menaiki tangga utama saat kulihat Daniel berjalan agak jauh di

depanku. Aku mengenali tas dan cara berjalannya yang khas. Rasanya su

dah lama sekali aku tidak melihatnya. Jantungku berdetak semakin ken

cang. Aku berjalan lebih cepat untuk menyapanya. Tiba-tiba aku ingat,

apakah aku harus bicara sekarang atau nanti? Apakah pagi ini tidak masa

lah atau lebih baik aku meminta waktu sepulang sekolah nanti? Bagaimana

ini? Daniel mulai berjalan ke arah kiri, menuju pintu selatan.

Okeh, sekarang atau nanti tidak masalah, yang penting menyapa dulu.

Aku berjalan semakin cepat mendekatinya.

"Daniel!"

Aku menoleh ke arah suara tersebut dan melihat Vivi, berlari ke

arahnya. Vivi berlari cepat dari arah kantin, Daniel kulihat sudah berhenti

dan menunggu. Ekspresi Daniel?aku tidak akan melupakannya?terlihat

begitu senang.

Aku membeku di tempatku.

Vivi sudah semakin dekat ketika Daniel mengulurkan tangan kanannya

pada Vivi. Dia menyambutnya. Mereka berjalan sambil bergandengan me

masuki gerbang selatan sampai hilang dari pandanganku.

Ya Tuhan, buat aku menghilang saja. Sekalian dengan perasaan yang tak

terbendung ini. Pemandangan itu begitu lekat dalam ingatanku. Di mataku

tadi terlihat jelas sosok mereka di antara murid-murid lain yang juga berge

75

75

2:46:47 PM
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gas masuk ke gedung sekolah. Aku masih tertegun di tempatku berdiri saat

tiba-tiba akal sehatku menyadarkanku untuk ke kelas. Aku berjalan menuju

pintu utara dan merasa ada yang memanggil namaku, tapi aku tidak pe

duli. Mungkin itu salah satu teman sekelasku.

Hal lain masih menghantuiku. Gambaran itu masih tampak jelas di

depan mataku.

Mereka akhirnya jadian.

76

76

2:46:48 PM

6

THE MEMORIES

"Kamu sakit?"

"Nggak," jawabku, lebih terdengar seperti bisikan.

"Yakin, Alexa?"

Aku mengangguk.

"Kamu ada masalah?"

Aku menggeleng.

Bu Rani berdiri di depan mejaku, masih memperhatikan wajahku de

ngan saksama. Ketika yakin tidak bisa menemukan apa yang dia cari dari

ku, dia beralih ke trio di sebelahku.

"Kalian bercandanya kelewatan, ya?" tuduh Bu Rani.

"Dih, kok jadi kami yang kena sih," Kenny angkat bicara. "Kami dari

tadi diem aja kok, Bu. Suer."

Bu Rani masih memandangi Selwyn, Arnold, dan Kenny bergantian,

tidak percaya.

"Lah, wong biasanya Alexa rajin pelajaran saya kok sekarang ndak. Ma

lah Selwyn yang nulis. Keajaiban, kan?"

"Wah, Bu Rani menganggap remeh saya," sahut Selwyn sambil tetap

mengerjakan tugas kelompok kami.

77

77

2:46:48 PM

"Tahu nih, Bu Rani." Arnold ikut menyahut asal-asalan, tidak terlalu

memedulikan kehadiran Bu Rani di dekat mereka. Matanya tetap menatap

tulisan Selwyn dan buku cetak bergantian, memastikan apa yang dia tulis

benar.

"Arnold," ujar Bu Rani sabar, "nanti saya aduin ke yang di kelas sebe

lah, ya."

Arnold langsung mendongak memandang Bu Rani yang senyam-senyum

penuh arti. "Emang siapa?" tanyanya, pura-pura tidak mengerti.

"Itu, si A, pacarmu toh?" ujar Bu Rani.

"Ah, Bu Rani mah" Arnold berniat membalas sebelum akhirnya disela

Selwyn.

"Bu Rani, Alexa lagi bete sedikit kok, tapi nanti pas istirahat juga

ilang," katanya lalu melanjutkan, "kan Daniel dateng ke sini tiap istira

hat."

Ya Tuhan, perasaanku semakin memburuk. Aku melamun dan malasmalasan sepanjang pagi ini karena nama itu, tapi mendengar nama itu

disebut kembali justru membuatku semakin merana. Hatiku sesak. Rasanya

ada beban lain di bahuku yang membuatku duduk membungkuk dengan

kepala tertunduk. Rasanya hari ini aku ingin langsung pulang dan berma

las-malasan saja di rumah. Kurasa Selwyn dan yang lain sudah mengetahui

fakta yang kulihat tadi pagi, tetapi mungkin mereka masih mengira aku

belum mengetahuinya. Atau akhirnya sudah karena aku membisu sejak

pagi ini?

Mendengar ucapan Selwyn, Bu Rani yang memang sudah mengetahui

tentang perasaanku pada Daniel, semakin tersenyum semringah dan mem

bungkuk ke arahku.

"Daniel waktu sakit minggu lalu telepon saya lho, Alexa, dia minta

izin." Hal itu tidak mengherankan buatku, karena Bu Rani memang wali

kelas Daniel. "Terus saya ingetin nilai bahasa Indonesia-nya agak turun,

saya godain aja ?minta Alexa ajarin gih, Alexa kan jago?." Bu Rani terse

nyum penuh makna ke arahku.

Aku menatap Bu Rani lurus-lurus, bukan hanya aku yang ikut diam

mendengarkan cerita Bu Rani, tapi tampaknya tiga orang di sebelahku juga

turut mendengarkan. Jantungku yang sebelumnya berdenyut begitu lambat,

78

78

2:46:48 PM

kini menjadi lebih cepat. Tanpa sepengetahuanku dan permintaanku, Bu

Rani menggoda Daniel seperti itu. Memang melihat fakta tadi pagi, aku

tentu sudah tamat, tetapi kali ini saja, aku ingin tahu bagaimana reaksi

Daniel.

"Terus, dia bilang apa?"

"Dia bilang ?Kok Alexa sih, bukan Vivi??."

"Hah?" Aku diam, sekali lagi perasaan menusuk yang sama di dadaku.

"Maksudnya?"

"Ndak tahu, dia jawab begitu," jawab Bu Rani dengan nada yang masih

riang. "Tapi terus saya bilang aja ada salam dari Alexa, dia bilang salam

balik."

Oh, tidak.

"Makanya Alexa jangan sedih lagi, ya, kan ada salam dari Daniel," Bu

Rani menatap wajahku lekat-lekat sebelum akhirnya pergi ke kelompok

lain.

Mana mungkin tidak sedih. Bahkan hari itu ketika Arnold menceritakan

isi SMS tersebut, seharusnya aku mengikuti naluriku yang satu lagi. Sesua

tu yang tidak beres memang sedang terjadi dan cerita Bu Rani tadi sema

kin mempertegas hal tersebut. Kenapa Daniel harus mengharapkan Vivi

dan bukan aku, mungkin saja karena mereka sudah jadian saat itu. Atau

bisa jadi Daniel tahu mereka berdua digosipkan bersama sehingga dia he

ran, kenapa Bu Rani menyebut namaku dan bukan Vivi. Jadi isi SMS

Daniel yang menyatakan Vivi "cewek"-nya tersebut bukan makna kiasan.

Entahlah apa mereka saat itu sudah jadian. Kalaupun belum, yang jelas

hari itu masing-masing sudah mengetahui perasaan satu sama lain.

Kurasa mereka mungkin belum jadian, karena waktu kusampaikan isi

SMS tersebut ke Vivi, dia mengelak.

Atau mungkin Daniel sudah menyatakan perasaannya, tetapi Vivi belum

menjawab. Karena kalaupun mereka sudah jadian, tidak mungkin dia

berani membantah isi SMS Daniel. Mungkin saat itu dia belum yakin de

ngan jawaban yang harus dia berikan kepada Daniel.

Sudahlah. Pada akhirnya toh mereka jadian. Firasatku pun salah.

Ketika akhirnya aku memberanikan diri sekali lagi memastikan perasaan

Daniel terhadapku, kesempatanku rasanya direnggut begitu saja.

79

79

2:46:48 PM

Menyebalkan. Kalau kuputar kembali apa yang terjadi selama ini, aku

merasa benar-benar bodoh. Setelah apa yang kuceritakan kepada Vivi, dia

sendiri juga memendam hal yang sama, entah sejak kapan. Yang lebih ba

gus lagi, dia berhasil memutarbalikkan fakta dengan membuat orang ber

pikir dia mengorbankan perasaannya untukku, lalu belakangan bertingkah

seolah sudah tiba saatnya untuk menuntut haknya sebagai orang yang sebe

narnya disayangi Daniel. Tidak ada orang yang tahu, di balik wajah polos

nya dia sempat menawariku bantuan, membuatku bersimpati dengan

ketulusannya. Entahlah, mungkin di depan orang lain dia mengatakan

akulah yang memohon-mohon padanya agar membantuku. Apakah ada

yang kulakukan yang membuat orang percaya dengan apa pun yang dia

katakan? Oh, aku ingat memang aku dulu selalu bercerita tentang Daniel

padanya. Aku mengobrol dengan Daniel, Daniel menyapaku. Daniel ingat

dengan hari ulang tahunku. Daniel, Daniel, Daniel, selalu Daniel yang

kuceritakan padanya. Tapi apakah ini dipandang sebagai sikap memohonmohon bantuan?

Dan setelah semua itu dia masih menawarkan bantuan kepadaku?! Yang

benar saja! Oh, mungkin dia tidak akan ingat ucapannya sendiri. Sekali

lagi, kalau memang kemampuan terbaiknya adalah memutarbalikkan fakta,

tentu mudah baginya untuk berdalih bahwa ucapan tersebut hanya angin

lalu, sekadar untuk menenangkan hati temannya yang sedang resah. Lagilagi, akulah manusia yang bodoh itu, yang terlalu menganggap penting

janji itu, terlalu membesar-besarkannya.

Argh! Saking kesalnya aku benar-benar ingin menangis. Aku ingin

mengeluarkan semua pikiran dan perasaanku, tapi tidak mungkin kulaku

kan di depan Selwyn, Arnold, dan Kenny. Apa pun yang kuceritakan,

mereka pasti akan mengeluarkan suara baik mendukungku atau memihak

Vivi, mengatakan aku yang salah karena tidak menyadarinya dari awal.

Tidak.

Aku tidak ingin diceramahi.

Ketika aku sedang benar-benar dalam keadaan emosional dalam mengha

dapi masalah, dan aku tahu ini bersifat umum untuk hampir seluruh ce

wek, aku butuh seseorang yang bersedia mendengarkanku tanpa mengeluar

kan pendapat mereka. Cukup ada di sisiku dan mendengarkanku, itu

80

80

2:46:48 PM

memberiku dukungan. Ketiga temanku itu pasti akan menasihatiku, tapi

aku tidak siap menerimanya saat ini. Mungkin aku akan mendengarkan

ketika aku bisa berpikir jernih, tapi tidak saat diriku dipenuhi emosi.

Aku butuh Kitty, tapi aku baru bisa menghubunginya nanti malam.

Aku tahu, saat ini aku butuh Kei.

Ruang sebelah begitu hening. Dia belum datang. Aku membuka jendela

dan duduk di atas meja yang biasa, memandang lautan siswa-siswi SMP

dan SMA yang memenuhi kantin lantai dua dan tangga utama di bawah.

Aku melihat Daniel, berada di antara teman-teman dekatnya. Dan itu dia,

Vivi menghampiri cowok itu dan mereka berdua berpisah dari teman-te

man mereka, berjalan beriringan menuruni tangga utama. Bergandengan

tangan.

Aku berada di lantai tujuh, tapi pemandangan itu tampak jelas di mata

ku.

Bersamaan dengan hilangnya mereka dari pandanganku, tampaknya

perasaan yang selama ini terpendam pun harus kuhilangkan. Bagaimana

caranya? Seandainya cukup dengan menjentikkan jari.

Aku pernah mendengar bahwa jatuh cinta diakibatkan oleh hormon

tertentu yang dihasilkan otak dan dalam beberapa tahun selanjutnya pro

duksi hormon tersebut akan berhenti perlahan-lahan, karena itu mungkin

saja seorang manusia pada suatu waktu tertentu akan berhenti mencintai

seseorang. Bisakah aku menghentikan produksi hormon tersebut lebih

cepat? Kalau perlu besok aku sudah tidak menanggung perasaan ini. Kare

na ini berhubungan dengan otak, apa perlu aku mencederai kepalaku? Ti

dak hanya perasaan sukaku, tapi juga efek samping sakit hati ini yang

ingin sekali kuhilangkan.

Seandainya aku bisa memutar kembali waktu.

Aku ingat pertama kali aku bertemu dengan Daniel. Aku tidak tahu

apakah itu cinta pada pandangan pertama, tapi yang jelas pertama kali aku

melihatnya aku tidak bisa melepaskan mataku darinya. Seandainya saat itu

aku tidak pernah melihatnya.

Saat itu aku masih kelas VIII. Kami berpapasan di koridor tapi dia ti

81

81

2:46:48 PM

dak melihatku karena sibuk membetulkan rambutnya yang berantakan.

Memang bukan momen yang begitu menarik dan spesial, tapi setelah itu

aku selalu memperhatikannya. Anehnya, aku tidak merasa pernah melihat

dirinya waktu kelas VII, mungkin karena aku tidak banyak bergaul di ta

hun pertama SMP. Aku juga menyadari dia selalu berada di sekitar sekelom
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pok orang-orang yang sama. Orang-orang ini, setahuku, adalah orang-orang

yang dikenal oleh satu angkatan, bahkan senior, karena badung, supel, dan

humoris. Orang-orang ini sering kulihat, begitu mencolok karena tingkah

mereka. Beberapa di antara mereka kudengar cukup dikagumi beberapa

murid cewek.

Yang menarik perhatianku adalah di antara orang-orang yang populer

ini, Daniel tidak menonjol, begitu sederhana dan tidak terlihat. Tapi justru

itu yang membuat dia begitu menarik di mataku. Aku merasa ada pesona

tertentu dalam dirinya. Dia bukan yang paling tinggi, bukan juga yang

bertubuh paling besar, juga bukan yang paling tampan, tapi dia juga tidak

jelek. Secara fisik, dia sedang-sedang saja, tapi aku tertarik pada pribadinya

yang tampak berbeda. Aku merasa dia benar-benar baik. Dia tidak begitu

heboh dan banyak tingkah seperti teman-temannya, tapi memang satu-dua

kalimat yang dia ucapkan selalu membuat teman-temannya tertawa.

Saat kelas IX, Kitty ternyata sekelas dengannya. Kitty menemukan infor

masi lain tentang Daniel. Perbedaannya dari teman-temannya ternyata

tampak dari musik favoritnya. Di antara teman-temannya yang begitu

mengagumi Linkin Park, Simple Plan, dan Blink 182, dia justru menga

gumi musisi-musisi Jepang. Aku dan Kitty yang saat itu begitu menyukai

anime, merasa ini kesempatan bagiku untuk mendekatkan diri.

Aku masih tidak terlalu yakin apakah dia mengenalku, tapi aku memu

tuskan untuk bertindak nekat. Aku datang ke kelas Kitty dan berdiri di

dekat mejanya. Kitty kemudian memanggil Daniel. Bahkan sampai saat ini

aku benar-benar yakin Kitty dan Daniel pasti bisa mendengar detak jan

tungku yang begitu keras. Sulit bagiku saat itu untuk berusaha menatap

matanya sambil memulai bicara, tapi setidaknya aku cukup berhasil. Aku

mengajaknya bicara tentang musik Jepang dan selama itu kegugupanku

kualihkan dengan memainkan tempat pensil di meja Kitty. Ternyata itu

tidak cukup mengendalikan diriku yang begitu gugup karena di tengah

82

82

2:46:48 PM

pembicaraan kami, entah bagaimana caranya, aku malah menumpahkan

seluruh isi tempat pensil Kitty. Kitty melirikku penuh arti.

Walaupun begitu, itu bukanlah awal yang buruk. Aku mulai berani

menyapa Daniel, mengobrol dengan lebih tenang. Mungkin yang membuat

ku mulai benar-benar menyukainya adalah saat aku asal bicara ingin memi

liki beberapa lirik lagu-lagu soundtrack anime yang sedang tren saat itu.

Besoknya dia mendatangiku dan memberikan?tidak hanya satu atau

dua?enam kertas lirik lagu. Kertas yang kuterima asli, bukan kertas hasil

fotokopi. Dia mencetak sendiri dan memberikannya padaku. Siang itu

juga, aku hanya memandangi kertas-kertas tersebut, sesekali membalik-balik

nya dan menyanyikan sepotong dua potong bait yang kuingat sampai

teman-teman sekelas yang duduk di sekitar mejaku terheran-heran.

Perlakuannya itu membuatku merasa spesial. Selanjutnya aku semakin

sering mengobrol dengannya melalui telepon, mengirim pesan singkat ke

nomor handphone-nya yang kuperoleh dari Kitty. Deg-degan setiap kali

menunggu balasan. Berharap bisa melihatnya setiap hari. Semakin rajin ke

sekolah hanya untuk bisa mengobrol dengannya dan menantikan hal

menarik apa yang akan terjadi antara aku dengan dirinya.

Sayangnya, sampai saat itu pun, perasaanku belum berbalas.

Aku sadar bukan hanya aku yang memendam perasaan terhadapnya.

Ada beberapa teman seangkatanku dan bahkan junior yang juga menyu

kainya, tapi hobi yang sama membuatku tetap berpikir positif dan berusa

ha.

Kelas X adalah pertama kalinya aku bisa benar-benar dekat dengan

Daniel karena kami akhirnya sekelas. Duduk bersebelahan, pula. Vivi juga

sekelas dengan kami, tapi saat itu dia berpacaran dengan murid dari kelas

lain.

Daniel yang akhirnya mulai melupakan anime pun berusaha mencuci

otakku dengan musik-musik pop-rock Jepang. Dia menyuruhku mulai

mendengarkan musik L?Arc~en~Ciel, bahkan sampai membawakan album

lagu-lagu terbaik mereka. Dia menyuruhku mendengarkan dan besoknya

langsung menanyakan pendapatku. Awalnya aku tidak langsung menyukai

musik mereka, jadi ada beberapa lagu yang kurang begitu kusuka. Ketika

Daniel tahu, dia langsung tidak terima dan besoknya membawakan lebih

83

83

2:46:48 PM

banyak CD lagi. Pada akhirnya dia berhasil membuatku menyukai band

itu. Ia juga menyuruhku mendengarkan bagian gitar bas pada tiap lagu

dan akhirnya ketika ada teman sekelas yang membawa gitar, dia memin

jamnya dan memainkan bagian itu di depanku. Terkadang dia juga me

mainkan musik pop lainnya dan memintaku menyanyikan liriknya. Saat

itu juga aku mulai meminjam gitar kakakku, membawanya ke sekolah

hampir setiap hari dan meminta Daniel mengajariku bermain bas.

Musik selalu menjadi bagian hidupku. Aku mendengarkan musik klasik

sejak kelas VII dan di kelas X Daniel mengajakku untuk mendalami warna

musik baru, yang sebelumnya hanya kukagumi sebatas pada soundtrack

anime. Musik menjadi begitu penting, apalagi setelah aku bisa memainkan

gitar. Daniel menciptakan bagian diriku yang ini, yang begitu mencintai

musik. Mungkin dia tidak menyadarinya, tetapi karena tindakannya terse

but dia membuat menjadi lebih berarti bagiku.

Aku semakin merasa dekat dengannya ketika dia meminta banyak penda

patku untuk persiapan penampilan perdana bandnya di sekolah. Mereka

akan membawakan lagu Jepang dan karena di sekolah lagu-lagu Jepang

tidak begitu populer, Daniel benar-benar mempersiapkan penampilannya.

Dia bahkan memintaku datang saat latihan untuk menilai penampilan

mereka. Dia juga mencariku sesaat sebelum tampil. Secara tidak langsung

aku seperti manajer band mereka.

Aku benar-benar menghargai momen tersebut. Itu adalah saat ketika

aku merasa dia membutuhkanku, setiap pendapatku atau bantuanku. Dan

aku butuh dia untuk ada di sisiku. Bahkan segala hal kecil yang kuterima

darinya seperti pesan singkat berupa ucapan selamat ulang tahun, sapaannya di pagi hari, keisengannya selama di kelas, membuatku merasa dia

memberikan perhatian padaku. Dia bahkan meneleponku tiba-tiba untuk

berdiskusi tentang dirinya yang diharapkan ayahnya masuk ke IPA. Dia

begitu bimbang karena sebenarnya dia ingin masuk IPS. Bahkan untuk

memecahkan masalahnya ini, dia meneleponku. Dia menunjukkan sisi diri

nya yang rapuh yang jarang dia tunjukkan di depan orang lain. Dia begitu

memercayaiku.

Karena semua itu, akhirnya aku memberanikan diri untuk menyatakan

perasaanku. Awalnya itu karena Selwyn, yang juga sekelas denganku, bilang

84

84

2:46:48 PM

terang-terangan di depan Daniel bahwa aku menyukai seseorang berinisial

D. Daniel menggodaku dan mengungkapkan dugaannya bahwa orang yang

kusuka adalah David, teman sekelasku yang lain. Lalu dengan jantung ber

detak keras, dengan mengepalkan tangan yang gemetar, dengan suara pelan

tetapi jelas, aku mengatakan bahwa orang itu dirinya. Dia hanya mengata

kan dia tidak menyangka, lalu mengucapkan terima kasih sambil terse

nyum. Dia memang tidak menjawab perasaanku, tapi saat itu kupikir itu

tidak masalah, yang penting dia tahu perasaanku dan mungkin setelah itu

aku bisa berharap lebih.

Tapi entahlah, mungkin memang aku terlalu agresif. Aku mengakui hal

itu. Aku memberinya cokelat saat Valentine?s Day, aku pernah memberinya

cookies dan bolu mini yang kuhias dengan cokelat putih kesukaannya saat

dia ulang tahun. Tapi bahkan bolu mini yang kuhias sepenuh hati malam

sebelumnya tidak sebanding dengan keceriaan di wajah Daniel saat Vivi

datang dan memberinya permen lolipop yang dibeli di kantin sebagai ha

diah seadanya. Aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku. Ya, memang

saat itu Vivi semakin dekat dengan Daniel. Walaupun hobi, selera musik,

atau artis idola masing-masing begitu berbeda, mereka begitu dekat. Aku

sering melihat mereka saling mengejek, tapi hal itu membuat mereka justru

terlihat begitu akrab.

Kudengar Vivi sudah putus dengan pacarnya saat mulai dekat dengan

Daniel. Itu sempat merisaukanku. Sayangnya, kedekatanku dengan Daniel

membuatku berpikir itu tidak seberapa. Aku yakin dia juga menaruh perha

tian padaku. Aku pun punya kesempatan dengan Daniel.

Aku selalu berpikir begitu.

Aku yang bodoh selalu berpikir begitu.

Kenapa aku bisa begitu bodoh?

Saat ini pun aku masih berusaha mengingat-ingat, semua kenangan anta

ra aku, Daniel, dan Vivi. Apa yang terlewatkan dari perhatianku? Beberapa

hal memang menunjukkan mereka begitu dekat, tapi bahkan sampai tadi

pagi sebelum aku sampai di sekolah, aku masih yakin Daniel tidak mung

kin memiliki perasaan terhadap Vivi. Atau setidaknya ada 50% kemungkin

an tersebut. Dari awal tampaknya aku sudah tak memiliki kesempatan.

Lalu apa yang terlewatkan? Beberapa minggu lalu aku bahkan yakin Daniel

85

85

2:46:48 PM

selalu memperhatikanku. Aku yakin dialah yang selama ini memata-matai

ku. Di perpustakaan, di lapangan indoor, di lorong. Dia selalu hadir saat

perasaan merinding tersebut muncul. Bahkan saat aku akhirnya memergokinya di lorong kelas IPS. Bahkan saat itu juga

Bahkan saat itu

Saat itu

Saat aku berada di depan ruang guru berbicara dengan Vivi.

Vivi.

Apakah sebenarnya dia yang Daniel perhatikan? Saat itu memang Vivi

berdiri di hadapanku dan aku melihat jauh di balik punggung Vivi, Daniel

yang berada di lorong di depanku, berdiri menghadapku dan Vivi.

Jadi benar, sejak awal aku memang tidak punya kesempatan. Dan semua

perhatian yang kurasakan dari Daniel, apakah itu hanya perhatian terhadap

sesama teman? Hanya kepada teman, tidak lebih?

BRAK.

Aku menoleh. Kei menutup pintu di belakang. Aku langsung mem

buang muka. Aku tahu dia akan bisa melihat dari wajahku bahwa suasana

hatiku sedang buruk. Aku bisa mendengarnya berjalan perlahan ke arahku.

Aku semakin menunduk.

Aku melirik sekilas dan kulihat dia meletakkan tasnya di dekat salah

satu kaki piano lalu menghampiriku. Dia menarik meja, menyejajarkannya

dengan mejaku dan duduk di atasnya. Kemudian kami tetap diam. Dia

tidak memulai pembicaraan, aku juga tidak berani memulai.

Kei tetap membisu di sampingku.

Aku semakin tidak tenang. Aku ingin mulai bicara, tapi tidak ada yang

keluar dari mulutku. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Perasaanku

saat ini benar-benar campur aduk. Beberapa kali aku membuka mulut un

tuk mengatakan sesuatu, tapi selalu berakhir dengan tidak ada kata-kata

yang keluar. Lama sekali kami hanya terdiam. Terlalu banyak hal yang

kupikirkan, terlalu banyak hal yang membebani pikiranku. Rasanya ada

yang ingin meledak keluar dari dalam diriku, tapi aku tidak tahu bagaima

na mengungkapkannya dan aku tahu, semakin lama aku menahannya, ke

adaanku akan semakin memburuk.

86

86

2:46:48 PM

Tiba-tiba aku merasakan ada tangan yang hangat menepuk-nepuk kepa

laku perlahan. Seolah ingin mengatakan "Slow down, take it easy." Dan saat

itu juga, pertahananku runtuh. Aku bisa merasakan mataku memanas dan

pandanganku mulai mengabur. Air mata tiba-tiba memenuhi pelupuk mata
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku, mengalir satu per satu, lalu tanpa kusadari semakin deras. Dan aku

mulai terisak. Aku merasa saat ini aku begitu rapuh di sisinya.

Setelah semua perasaan yang kupendam begitu lama.

Setelah semua ratusan pesan singkat yang kusimpan dalam folder khusus

di handphone-ku.

Setelah semua kertas lirik dan kunci lagu Jepang yang dia berikan pada

ku.

Setelah semua CD musik Jepang yang kubeli karena pengaruhnya dan

karena aku ingin mencari topik pembicaraan dengannya.

Setelah semua musik Jepang yang berhasil kukuasai karena dia ajar

kan.

Setelah semua hadiah yang kupikirkan, kusiapkan sepenuh hati, dan

kuberikan dengan mengumpulkan segenap keberanian karena begitu gu

gup.

Setelah semua hari sekolah yang selalu kutunggu-tunggu agar aku bisa

melihat dirinya.

Setelah semua senyuman yang selalu terpancar di wajahku setiap kali

dia menyapaku atau aku berhasil mengajaknya bicara.

Setelah semua hal yang membuat bagian dari diriku ada karena dirinya.

Setelah semua hal yang membuatku sadar bahwa tidak akan mudah

melupakan dirinya karena itu berarti aku juga harus menghapus bagian

diriku yang lain.

Semua kutumpahkan melalui tangisan ini. Berharap semuanya akan

larut dan rasa sesak di dadaku ini hilang saat aku berhenti menangis nanti.

Tapi tidak, semakin aku menangis, semua kenangan-kenangan itu justru

terpatri semakin jelas. Semuanya muncul dan meninggalkan jejak yang

kuat, yang sekarang seolah mengatakan padaku bahwa semua itu sia-sia.

Entah berapa lama aku menangis di sisi Kei. Waktu terasa begitu cepat

sekaligus lambat karena aku tidak tahu berapa lama sakit ini akan bertahan

di hatiku.

87

87

2:46:48 PM

Di dalam ruangan beraroma campuran cat minyak, bau apak, dan udara

segar dari luar, di bawah sapuan sinar matahari terik yang terhalang jendela

serta menyinari tangan dan kakiku, aku menangisi seorang cowok bodoh.

Aku hanya bisa berharap, sambil terus mengepalkan tangan begitu erat

di pangkuanku, ini terakhir kalinya aku menangis untuknya.

Aku memandangi langit. Matahari masih belum sepenuhnya terlihat, terik

nya belum merusak sejuknya udara pagi.

Langit biru yang sama.

Dengan diriku yang berbeda.

Aku menunduk. Aku bersyukur dengan pagi yang cerah ini. Pagi yang

seakan mengajakku untuk ceria dan merayakan keindahan terbaik yang

mampu disajikan alam di tengah deru asap dan debu kendaraan di jalanan

di balik pagar sekolah di belakangku.

Aku setengah menyeret kakiku.

Sampai dua minggu lalu mungkin aku masih bergitu bersemangat me

nyambut hari-hari sekolah, tapi sejak Jumat yang lalu, aku melihat peman

dangan paling mengerikan yang merusak suasana hatiku. Sakitnya benarbenar tidak tertahankan. Aku memang memilih menyimpan perasaan

terhadap Daniel, tapi aku tidak memesan satu paket bersama sakit hati dan

kehampaan yang ternyata efek samping dari kegagalan menyimpan perasaan

tersebut.

Aku seperti botol kosong, dibuang setelah seseorang meminum habis

seluruh isinya. Dan cewek itulah yang meminum isinya sekaligus, sekali

teguk. Atau mungkin dia sudah memperingatkanku sebelumnya, dia sudah

memainkan isinya, mengocok-ngocok botol minuman ini, seakan ingin

mengatakan "aku akan segera meminummu lho".

Kepala tertunduk, kedua kakiku berjalan dengan lunglai dan terseret,

kedua tanganku menggenggam lemah tali tas punggungku, bibirku terkatup

tanpa senyum. Mungkin orang-orang yang melihatku akan menyangka aku

mayat hidup, atau seseorang yang tidur sambil berjalan.

Aku berhenti.

Kenapa aku bisa begini? Alexa yang tegar, bukankah sebelumnya kamu

88

88

2:46:48 PM

juga pernah beberapa kali sedih karena merasa jauh dari Daniel, tapi sela

ma itu juga kamu selalu berhasil selamat dari jurang kesedihan karena

memfokuskan diri pada pelajaran dan hobi? Kali ini sama, hanya saja ada

perbedaan level kesedihan. Kali ini kamu hanya perlu memfokuskan lebih

banyak perhatian pada pelajaran dan hobi, lebih banyak daripada biasa

nya.

"Hah!"

Aku menegakkan diri, menepuk-nepuk pipi kencang-kencang, menajam

kan mata, dan berjalan dengan mantap. Ayo, buang energi negatif itu

jauh-jauh. Aku pasti bisa.

Aku berjalan penuh keyakinan menuju tangga utama, langkahku lebarlebar dan cepat. Aku melihat lurus ke depan, lumayan banyak murid yang

baru sampai di sekolah dan menaiki tangga utama. Aku tidak akan kalah

dengan mereka. Hari ini aku harus lebih bersemangat daripada mereka.

Aku tahu aku kuat, aku sudah menghabiskan waktu untuk bersedih kema

rin, sekarang waktunya untuk maju dan meninggalkan yang telah lalu.

Sayangnya, kebiasaan yang telah kubentuk selama hampir empat tahun

ini, bagian dari dalam diriku yang berada di alam bawah sadar, berusaha

menghancurkan kepercayaan diri yang baru saja kubangun. Mataku me

nangkap sesuatu dan aku menoleh. Saat itu juga aku memelankan langkah.

Pertahanan sementara yang kubangun terkikis sedikit demi sedikit.

Daniel, diikuti Vivi di sisinya, sedang berjalan menuju tangga utama,

hanya sekitar empat meter dari posisiku. Mereka terlihat tertawa, begitu

lepas dan bahagia, seakan berada dalam dunia mereka sendiri.

Saat itu juga dadaku terasa sesak, rasanya tubuhku disiram air yang

sangat dingin. Aku berhenti berjalan dan berdiri kaku menyaksikan peman

dangan itu. Seolah atmosfer di sekitar mereka begitu menyenangkan. Se

mentara suara di sekitarku terasa menghilang tiba-tiba, hanya dengung

kehampaan yang kudengar, mungkin itu kehampaan yang bergaung dari

dalam diriku. Dan pemandangan itu malah menambah kehampaan dalam

diriku. Aku berubah pikiran, sulit tampaknya bersemangat menghadapi hari

kalau hal pertama yang kulihat pagi ini sudah menghancurkan semuanya.

Sejujurnya kurasa aku belum benar-benar siap menghadapi semua cobaan

ini.

89

89

2:46:48 PM

Entah apakah karena tatapanku yang terlalu berlebihan atau memang

pada jarak tersebut tidak mungkin dia tidak menyadari keberadaanku, yang

jelas tiba-tiba Daniel menoleh ke arahku.

Tidak. Jangan. Jangan kemari. Berjalan bertiga bersama kalian benarbenar mimpi buruk lain yang tidak ingin kutanggung. Kumohon menger

tilah. Oh, tidak. Sepertinya kekuatan pikiranku tidak cukup kuat. Daniel

melakukan hal sebaliknya, dia berjalan kemari! Kulihat Daniel mulai mem

buka mulut untuk mengatakan sesuatu. Oke, mungkin ini juga pertanda

aku harus ambil langkah seribu dan pura-pura tidak melihat dia.

"Alexa."

Aku terkejut dan menoleh. Bukan, itu bukan panggilan yang keluar dari

mulut Daniel. Itu orang lain.

Kei berdiri di depanku. Aku tidak terlalu menyadari apa yang sedang

berlangsung saat ini, rasanya dadaku masih sesak dan jantungku masih

berdetak tidak beraturan. Tapi Kei kemudian mundur selangkah dan mem

buka jalan untukku, seakan mengajakku jalan bersamanya. Aku pun meng

angguk dan berjalan menaiki tangga utama bersamanya, meninggalkan

pasangan tersebut di belakangku.

Nyaris saja aku melakukan di antara dua pilihan bodoh, antara berpurapura tegar, menganggap enteng perasaan suka ini dengan tidak terlalu

mempermasalahkan dampak hubungan mereka terhadapku, atau terang-te

rangan menunjukkan kerapuhanku dan sakit hatiku atas hubungan mereka

dengan pura-pura tidak kenal dan meninggalkan mereka.

Kei menolongku. Untung saja. Aku masih memikirkan kejadian tadi,

terlalu sibuk dengan pikiranku sampai tidak menyadari bahwa kami terus

berjalan bersisian dalam diam.

Ternyata hasil "semedi"-ku akhir pekan kemarin belum sempurna. Melihat Daniel dan Vivi seperti itu saja masih membuatku panik setengah

mati. Aku masih belum bisa melupakan Daniel. Sepertinya aku akan mem

butuhkan waktu lama untuk melupakannya.

Aku tidak menyadari bahwa aku sudah berjalan bersama Kei sampai ke

lantai empat, koridor kelas IPA. Kelasku ada di lorong sebelah kiri, Kei di

kanan.

Kei terus berjalan menuju kelasnya.

90

90

2:46:48 PM

Aku merasa bersalah membalas pertolongannya dengan mendiamkannya

sepanjang jalan tadi. "Kei," panggilku.

Kei berhenti melangkah dan menoleh.

"Thank you."

Selama sepersekian detik dia tampak tidak bereaksi, tapi kemudian aku

melihatnya. Dia tersenyum, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan terus

menuju kelasnya.

91

91

2:46:48 PM

7

THE IRRITATED LOVE

Aku langsung menghubungi Kitty sepulang sekolah pada Jumat kelabu

yang lalu. Air mataku rasanya sudah habis setelah menangis di ruang musik

siangnya, jadi yang terdengar oleh Kitty di telepon hanya suara rintihan

sisa-sisa kesedihanku. Sesuai dugaanku, Kitty tidak menceramahiku, dia

membiarkanku bersedih selama akhir pekan kemarin, tapi dia mendorongku

untuk lebih bersemangat saat masuk sekolah minggu ini. Bahkan untuk

menenangkanku saat itu, Kitty ikut-ikutan menghina Vivi. Dia mengkritik

sifat Vivi yang plinplan.

Kitty sudah kukabari, sekarang tinggal Rieska. Aku tahu dia yang paling

bersemangat mengingatkanku bahwa Vivi tidak bisa dipercaya. Aku tahu

dia pasti akan menceramahiku jika aku menemuinya. Sejak seminggu yang

lalu aku tidak melihatnya sama sekali karena aku melarikan diri ke ruang

lukis untuk menyelesaikan tugasku. Tapi minggu ini aku tidak mungkin

menghindarinya, apalagi kalau aku harus membantu persiapan Porseni di

lantai delapan bersamanya seperti biasa. Dan seperti dugaanku, aku bisa

merasakan setiap saat momen ceramah itu akan dimulai.

Sesekali Rieska mengamati wajahku, seperti mencari-cari sesuatu. Tetapi

tiap kali aku memergokinya melakukan itu, dia langsung membuang muka.

92

92

2:46:48 PM

Berkali-kali juga dia tiba-tiba berbalik menghadapku, seperti ingin menga

takan sesuatu, tetapi kembali mengurungkan niat. Ketika akhirnya dia

menghadapku sekali lagi, aku langsung menatapnya dan mengutarakan apa

yang kuduga ingin dia ucapkan.

"?Gue bilang juga apa?." Aku melihat dia menutup kembali mulutnya.

"Mau bilang itu, kan? Sama seperti yang dulu-dulu selalu lo bilang ke

gue."

"Hmmm," dia berpikir sebentar, "nggak juga, sebenernya gue mau bi

lang lo nggak kayak orang lagi patah hati."

Aku tersenyum. Sekarang sih tenang, dia tidak tahu aku sudah menangis

habis-habisan. Belum lagi kejadian pagi ini yang membuatku tampak bo
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

doh.

"Tapi gue juga mau bilang itu sih," Rieska tiba-tiba melanjutkan.

"Eh, apa?"

Dia tampak mengambil napas sebelum akhirnya berkata dengan suara

lantang, "Gue bilang juga apa, Alexa! Kenapa lo nggak dengerin gue?!"

"Sshhh! Iya, iya, gue ngerti." Aku berusaha menenangkan Rieska, karena

para junior di sekeliling kami tiba-tiba menatap ingin tahu. "Sori, sori."

Rieska mengalihkan pandangannya ke tengah lapangan indoor. Kami

sedang duduk di pinggir lapangan. Semakin mendekati hari-H semua sema

kin sibuk, tapi aku dan Rieska sudah menyelesaikan tugas dan memutuskan

untuk menghabiskan sisa jam istirahat siang dengan bersantai di sini

sebelum kembali ke kelas.

"Lihat tuh mereka." Aku mengikuti arah tatapan Rieska, melihat Daniel

dan Vivi mengerjakan sesuatu di seberang lapangan dan tampak begitu

menikmati kebersamaan mereka. Seketika muncul rasa sesak yang sama di

dadaku. "Kalau gini lo juga kan yang sakit. At least kalo sebelumnya lo

nggak kemakan omongan Vivi, sakit hati lo nggak akan separah sekarang,

kan?"

Aku membuang muka dan menenggak minuman yang kubeli di kantin.

"Abis ini lo pelajaran apa, Ries?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Rieska menatapku. "Lo tahu kan abis ini gue pelajaran apa, bukannya

lo pernah nanya hal yang sama ke Daniel buat ngajak dia ngobrol waktu

kita masih tugas bertiga dulu?"

93

93

2:46:48 PM

Tampaknya Rieska benar-benar penasaran dengan masalah ini. Dia keli

hatan bertekad menyelesaikan pembicaraan tentang Daniel, tapi aku tidak

terlalu berminat. Aku melihat sekeliling untuk mencari topik pembicaraan

yang lain ketika melihat Kenny berlari ke arahku.

"Lex, gue denger lukisan lo udah selesai, boleh gue ambil buat tunjukin

ke ketua panitia nggak?" Dia langsung bertanya padaku, tampak begitu

terburu-buru.

"Oh, ya udah, lihat aja," jawabku singkat.

"Yah, lo ikut gue dong. Tunjukin, kan gue nggak tahu yang mana,"

desaknya.

"Oh." Sebenarnya aku sedang tidak mood untuk berdiri, berjalan ke ba

wah, mengangkut lukisan, menunggu penilaian, dan sebagainya. Aku se

dang berniat bermalas-malasan di lapangan indoor ini bersama Rieska, wa

laupun itu berarti aku harus menerima rentetan pertanyaan darinya. "Yang

mau lihat lukisannya siapa aja?"

"Ketua panitianya, sama kalo sempet sekalian kasih lihat Pak Woto."

jawab Kenny. Kemudian dia menambahkan, "Oh, Rangga juga katanya

mau lihat."

"Nah, Rangga lagi bareng Kei, kan?" Kenny mengangguk, mengiyakan

pertanyaanku. "Kalo gitu, minta tolong si Kei aja tunjukin lukisannya yang

mana, dia tahu kok."

Kenny tampak tidak terima, terlihat sekali ini bukanlah jawaban yang

dia harapkan. "Masa tanya Kei sih, dia kan juga mau lihat."

"Lha, dia ngelihat kok waktu gue kerjain lukisannya. Serius." Aku me

nambahkan ketika kulihat Kenny memasang tampang tidak percaya.

"Please, Ken, gue lagi nggak mood ngapa-ngapain nih. Percaya deh sama

gue, Kei tahu kok."

Kenny masih menatapku tidak yakin. Akhirnya dia berjalan menjauh

sambil berjanji akan menyeretku ke bawah kalau sampai Kei tidak tahu

apa-apa.

Ketika Kenny akhirnya sudah pergi, Rieska tertawa pelan di sebelahku.

"Si Kei? Cara ngomong lo kayak udah sohiban aja sama dia."

Aku menatap Rieska sambil tersenyum. Dia balas menatapku, heran

94

94

2:46:49 PM

dengan tingkahku. Dia terus menatapku untuk mencari arti di balik se

nyumanku, sampai aku melihat tiba-tiba matanya membesar.

"Bohong! Kei yang itu? Kok bisa?"

"Lha, gue kan nggak ngomong apa-apa, situ yang bikin kesimpulan

sendiri." Aku tertawa.

"Dasar, pasti bohong," timpal Rieska. "Nggak percaya gue kalo lo deket

sama dia. Lo yang biasa-biasa begini deket sama senior populer, komik abis

hidup lo kalo kayak begitu."

Aku tertawa. "Hahahahaa hidup gue lagi ironis begini juga kayak

serial cantik. Lagian populer apanya? Rangga tuh baru populer."

"Dia populer, Alexa!" tegas Rieska.

"Apanya? Gue nggak pernah tahu. Rangga tuh baru idola, kalo tampil

sama bandnya cewek satu sekolah pada heboh. Dari gue SMP aja nama

dia udah terkenal."

"Yee, emang kalo lo nggak tahu berarti dia nggak populer? Masa takaran

nya diri lo sendiri, ngaco." Rieska tidak mengacuhkan pandangan sinisku

dan terus melanjutkan, "Nih ya, Kei tuh punya fans tersendiri di antara

temen-temen cewek yang gue kenal. Emang sih dia bukan tipe yang cool,

pendiam, misterius, atau dingin gitu. Dia cuma kelihatan kalem, tenang,

pasif. Pokoknya beda banget kalo dibandingin sama Rangga yang supel,

ramah, dan banyak temen. Kei cuma keliatan deket sama Rangga doang,

makanya dia sering dibilang kayak sidekick-nya Rangga. Tapi yang bikin

heboh adalah ada beberapa gerombolan cewek nggak sengaja lihat Kei lagi

senyum dan ketawa bareng Rangga di kantin. Katanya senyumnya tuh

warm banget. Nah, dari situ mulai bermunculan deh yang naksir dia,

emang sih nggak sebanyak Rangga. Rangga kan vokalis band, jadi nggak

heran lah."

Aku menunggu Rieska menarik napas setelah berbicara panjang lebar

dan nonstop, tapi sepertinya dia tidak berniat berhenti.

"Jarang senyum?" tanyaku memastikan.

"Iya, momennya susah banget dilihat, tapi bukannya dia sinis atau ketus

gitu, ya. Pokoknya dia kelihatan biasa aja deh, nggak mencolok gitu di

samping Rangga. Padahal kata temen sekelasnya yang gue kenal, Kei jauh

lebih pinter daripada, dan waktu Rangga terpilih jadi ketua OSIS, dia

95

95

2:46:49 PM

selalu bilang ke yang lain Kei lebih pantes. Emang sih kalo pemilihan

OSIS itu kan cenderung karena menang popularitas. Walaupun gitu

mereka tetep deket banget."

Aku mengangguk. Ini hal yang baru kuketahui tentang Kei. Aku baru

menyadari bahwa selain nama, kelas, dan jabatannya dalam kepanitiaan ini,

aku tidak mengetahui hal lain tentang dia. Kecuali aku mengetahui hal

yang dirahasiakan Kei sendiri dari banyak orang, yaitu bakatnya bermain

piano. Yang membuatku bingung, aku sering melihat Rangga dan temanteman satu gengnya, tapi aku tidak pernah menyadari Kei ada di antara

mereka. Mungkin seperti yang Rieska bilang, Kei tidak terlalu mencolok

atau dia hanya dekat dengan Rangga serta tidak ikut bergaul yang lain.

Entahlah, tampaknya Kei bukan tipe yang menjauhi orang, dia hanya ke

liatan pasif tapi akan menanggapi kalau ada yang mengajaknya bicara.

"Ries, mau tanya deh." Aku menatap Rieska dan hendak bertanya lebih

lanjut tentang Kei ketika aku melihat pergerakan dua orang yang kukenal

ke arah kami. Yang kulakukan selanjutnya adalah tindakan pertahanan diri

yang refleks untuk menghindari rasa sakit yang semakin berakar dalam

diriku. Aku langsung berdiri dan mengambil minumanku.

"Apa?" tanya Rieska. "Kenapa lo pake berdiri segala?"

"Gue ke WC dulu ya, lo nggak apa-apa kan ke kelas duluan?"

"Hah?"

"Oke! Thanks, ya. Bye." Aku langsung berjalan meninggalkan Rieska

yang bingung dan menuju pintu lapangan indoor. Walaupun begitu masih

bisa terdengar jelas olehku suara Vivi yang bertanya kepada Rieska aku

mau ke mana. Maaf Vivi, aku masih memikirkan perasaanmu dengan pergi

seperti ini, karena kalau tidak, aku bakal mengeluarkan kata-kata yang

menyakitkan.

Yah, kurang-lebih seperti itulah aku sekarang. Keinginanku untuk melaku

kan segala hal menghilang. Misalnya hal yang sederhana seperti ke sekolah.

Dulu aku semangat sekali karena ingin bertemu dengan Daniel, atau tidak

sabar menunggu jam istirahat, siapa tahu dia dan teman-temannya datang

ke kelas. Atau tidak sabar pulang sekolah, karena kalau aku menunggu di

96

96

2:46:49 PM

tangga utama mungkin dia akan ada di situ juga, nongkrong dengan te

man-temannya sebelum pulang, atau tidak sabar izin kelas untuk mem

bantu Pak Woto, siapa tahu bisa bercanda bareng dia.

Sekarang semuanya berbeda.

Ketika aku datang ke sekolah sesuai dengan waktu Daniel biasanya da

tang, aku melihat dia datang bersama Vivi. Ketika aku menunggu jam

istirahat supaya bisa bertemu dia, ternyata dia datang bersama pacarnya

itu, pamer kemesraan. Nongkrong di tangga utama sebelum pulang ke ru

mah, ternyata malah menyaksikan dirinya bergandengan mesra dengan ce

wek itu dan pulang bersama. Ingin bercanda bareng saat membantu Porse

ni, ternyata dia sudah punya teman bercanda dan aku malah menyaksikan

serunya dia bercanda dengan cewek itu tanpa menghiraukan kehadiran

ku.

"Ironis banget," ujarku.

"Hm?" tanya Kei.

"Hidup gue sekarang," jawabku.

Kei menatapku dengan pandangan aneh, seakan ucapanku terlalu berle

bihan.

"Ini ucapan orang yang lagi patah hati, harap dimengerti. Kei emang

pernah patah hati?" tanyaku.

Dia tersenyum dan malah membuang muka.

Aku mengerti maksud nonverbal itu. "Oh, belum pernah patah hati,

tapi pernah bikin orang patah hati, ya?"

Dia malah tertawa.

Aku menatapnya dengan ekspresi datar. Dia berhenti tertawa dan menya

dari tatapanku. Dia malah balik menatapku dan memasang ekspresi he

ran.

"Nggak apa-apa, lupain aja."

Dia tetap cuek dan memandang ke luar jendela. Aku juga ikut meman

dang ke luar jendela. Ini menjadi kebiasaan baru, aku kembali ke ruangan

seni ini untuk mengobrol dengan Kei. Dia pun mulai mengikuti hobiku:

duduk di atas meja dan memandang ke luar jendela. Siang ini langit sekali

lagi menampilkan warna biru jernih.

Aku memandangi jendela kelasku.

97

97

2:46:49 PM

"Dulu dari jendela itu gue selalu memandang ke luar, berusaha lari dari

keadaan tidak nyaman yang gue rasain saat berada di antara Daniel dan

Vivi. Sebelum ini gue lari dari sana karena merasa nggak enak dengan me

reka berdua. Gue masih berpikir gue menjadi penghalang di antara mereka.

Sekarang gue lari bahkan sebelum lihat mereka, bukan karena nggak enak,

tapi karena ada rasa benci dalam diri gue."

Kei tetap diam mendengarkan. Dia benar-benar memberiku kesempatan

untuk mengeluarkan isi pikiran dan perasaanku. Setelah menangis di sisinya

waktu itu, baru kali ini lagi aku mengungkit masalah itu. Setelahnya ham

pir setiap jam istirahat aku selalu ke sini dan mengobrol dengan Kei.

"Apa itu salah? Tapi dibanding rasa sedih gue yang ngalahin gue dan
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bikin gue kelihatan nyaris hidup, perasaan marah dan benci ini justru

membuat gue lebih kuat."

Kei menggeleng.

"Yah, gue masih menghargai perasaan dia, nggak kayak dia yang nggak

mikirin perasaan gue. Kalo gue ada di dekat dia nanti gue akan menge

luarkan kata-kata kasar yang akan melukai dia. Jadi, mending gue hindari

aja sekalian. Toh, dia juga pasti sadar kalo gue jauhin dia." Aku puas de

ngan jawabanku, merasa berkuasa selama dipenuhi perasaan marah ini.

Kei menyipitkan mata memandangku, seakan-akan berusaha membaca

hal lain dalam diriku. Dia seolah ingin memastikan aku bicara jujur.

Aku membisu. Perasaan marah ini perlahan menguap dari diriku. Apa

kah dia tahu, sebenarnya karena takut terlihat rapuh dan sedih di depan

mereka, aku menghindar? Aku marah dengan mereka, tapi tidak bisa me

ngatakannya secara langsung karena aku tidak mampu melakukannya. Aku

terlalu takut menghadapi semuanya.

Kami kembali terdiam.

"Mungkin benar," aku memulai. "Walaupun gue suka sama dia, gue

selalu merasa takut di dekat dia." Aku menegakkan diri. "Gue takut kalau

gue kelihatan gugup di dekat dia, dia bakal merasa canggung dan akhirnya

malah nggak bisa ngobrol santai sama gue. Gue takut dia akan menjauh

kalau gue tiba-tiba kasih cokelat putih yang dia suka karena dia nggak

ingin kasih harapan ke gue, padahal gue nggak bermaksud memaksakan

supaya dia juga langsung suka sama gue. Gue takut akan ngeganggu waktu

98

98

2:46:49 PM

nya kalau gue nelepon dia tiba-tiba. Gue selalu takut tiap kali SMS gue

lama banget baru dibalas, mungkin dia nggak ingin diganggu. Gue selalu

takut kalau ngobrol sama dia, takut dia akan tahu kalau gue gugup, takut

dia nggak tertarik dengan topik yang gue angkat, takut candaan gue nggak

menarik."

Aku menghela napas. Belakangan baru kusadari Kei tidak merespons,

kemudian aku langsung menambahkan, "Tapi bukan takut yang kayak

begitu maksud gue, gue cukup berani kok untuk nyatain. Cuma tiap

kali gue akan bertindak setelah itu banyak banget yang gue pikirin."

Aku melirik Kei. Dia mengangguk pelan.

"Padahal semua itu baru dugaan. Gimana kalau begini, gimana kalau

begitu. Sayangnya pemikiran yang seperti itu begitu mendominasi. Bahkan

sampai muncul keraguan apakah menyatakan perasaan ke Daniel sebelum

nya adalah tindakan yang benar," aku mengakhiri.

Kami terdiam selama beberapa saat sampai akhirnya Kei memecahkan

keheningan. "Mana yang lebih baik: mengatakan yang sebenarnya, tetapi

akhirnya menyesal, atau tidak mengatakan sama sekali tetapi akhirnya

menyesal karena tidak mengatakannya?"

Ini pertanyaan yang diajukan Kitty dulu, tapi aku sudah tahu jawaban

nya dengan pasti. "Yang pertama," jawabku tanpa pikir panjang. "Setidak

nya gue nggak akan penasaran seumur hidup dengan pilihan kedua."

Kei tertawa pelan mendengar spontanitasku. "Berani tapi takut. Itu

suka, cinta, atau obsesi?" tanyanya santai.

Mungkin dia menganggap kalimat itu enteng, tapi aku menganggapnya

serius. Kalau yang kurasakan hanya sebatas suka, tidak mungkin bertahan

sampai selama ini. Kalau yang kurasakan cinta, kenapa aku harus takut

dan gugup di dekat Daniel? Kenapa begitu banyak yang kupertimbangkan?

Kenapa banyak yang kupikirkan? Seharusnya aku berani mengajaknya bica

ra atau melakukan tindakan lainnya yang memang mewakili perasaanku,

karena aku tulus menyayanginya. Mungkin karena banyak yang kupertim

bangkan, aku terlihat menahan diri, dan akhirnya perasaanku tidak tersam

paikan seperti yang kuharapkan. Berpikir seperti ini malah membuatku

menyalahkan diri sendiri.

Pilihan terakhir: obsesi. Jangan-jangan yang kurasakan selama ini tidak

99

99

2:46:49 PM

seperti dugaanku. Kalau kuulang kembali, sejak aku mengenal Daniel seluruh hidupku seakan berporos kepada cowok itu. Aku menyukai musik

Jepang karena Daniel. Aku bermain gitar bas karena Daniel. Aku semangat

dan aktif di sekolah karena Daniel. Aku menghabiskan waktu untuk belajar

membuat cokelat karena Daniel. Aku senang berada di dekat Daniel, tapi

lebih sering gugup dan akhirnya tidak berani bicara. Apakah karena aku

terlalu pemalu? Tidak juga, tetapi seharusnya aku lebih percaya diri.

Sekarang aku tidak sedepresi minggu lalu, tapi reaksiku tidak seperti orangorang lain yang butuh waktu lama untuk bangkit kembali. Apakah me

mang karena penerimaan tiap orang terhadap masalah seperti ini berbedabeda? Apakah aku berbeda dari yang lain, atau justru kekesalanku waktu

itu hanya reaksiku terhadap apa yang menjadi cintaku atau obsesiku selama

ini yang direbut?

Apa itu cinta? Aku tidak tahu. Apakah aku pernah merasakan cinta?

Aku mengulang-ulang terus kata "cinta" dalam kepalaku sampai rasanya

kata itu tidak memiliki arti lagi.

"Mungkin itu obsesi," ujarku. "Atau mungkin juga itu cinta. Atau awal

nya cinta, tapi kemudian berkembang menjadi obsesi. Nggak tahu deh.

Tapi yang jelas sudah saatnya untuk menghentikan semua ini. Saatnya un

tuk melangkah ke depan," ujarku mantap, dengan tangan terkepal menan

dakan keseriusanku.

Kalimat dan gaya kerenku diikuti keheningan yang canggung, lalu tibatiba Kei tertawa pelan. Reaksi yang telat. Dia benar-benar tidak mendu

kung, seharusnya kan dia langsung bereaksi.

"Keren, kan?"

Kei mengangguk dibuat-buat, mengejekku, tapi aku yakin dia sedang

berusaha menahan tawa. Dasar.

"Tapi," aku memulai," gimana caranya, ya?"

Kei menatapku dengan pandangan bertanya.

"Caranya melangkah ke depan. Bukan, maksud gue, rasanya pengin

menyatakan ke mereka kalo gue udah nggak akan mempermasalahkan hal

itu lagi. Mau jungkir balik atau apa, terserah, dan gue bakal melanjutkan

hidup. Tapi rasanya butuh tindakan atau statement yang jelas, ibaratnya

sebagai penanda ini tahap akhir sekaligus awal untuk memulai lagi."

100

100

2:46:49 PM

Aku berpikir. Kei malah memainkan kuas-kuas di meja di sampingnya,

mengambil salah satu, dan memutar-mutarnya. Aku mengambil kuas itu

dari tangannya sebelum dia merusaknya. Dia tersenyum menatapku dan

berjalan menuju piano. Aku mengikutinya dan berdiri di sisi piano. Dia

memainkan musik yang bersemangat, dengan irama waltz yang sederhana

dan terdengar ceria. Dia tersenyum padaku sambil tetap bermain. Dia me

naikkan kedua alisnya seakan-akan ingin mengatakan "Mengerti, kan?"

Aku balas menatapnya datar dan menggeleng.

Kei berhenti dan menghela napas. Dia meregangkan jemari, mere

gangkan otot-otot lehernya kemudian menatapku lurus dan menunjuk satu

matanya seakan mengatakan "Watch me!". Lalu dia kembali memainkan

Smile dengan mantap dan sepenuh hati, sambil memejamkan mata. Kali

ini permainannya benar-benar berbeda dengan musik sebelumnya yang

begitu ceria. Saat ini yang kudengar adalah musik yang membawaku pada

ketenangan jiwa, musik yang membuka kembali memori, tetapi tetap

mendorongku untuk kuat.

Kei tiba-tiba berhenti melihat aku begitu sibuk dengan pikiranku. Aku

menatapnya. Aku yakin dia pasti tahu aku masih belum menangkap maksudnya.

"Music conveys emotion," jawabnya pelan.

Aku menatapnya. Kei balas menatapku mantap dan tersenyum. Aku

mengerti sekarang. Ya, dia benar.

101

101

2:46:49 PM

8

SOMETHING I DON?T KNOW

Sebenarnya persiapan di lapangan indoor lantai delapan sudah bisa dibi

lang selesai. Papan nilai sudah rapi di sisi-sisi ketiga lapangan basket, kursikursi suporter dan tim yang akan bertanding juga sudah rapi, hiasan-hiasan

tidak penting di seluruh dinding juga sudah ditambahkan. Itulah sebabnya

sebagian besar panitia dialihkan ke lapangan bawah untuk menyelesaikan

panggung acara pertunjukan seni. Yah, paling kesibukan di lantai atas

adalah memilah-milah hasil prakarya untuk pameran seni. Hanya beberapa

orang yang bersedia melakukannya, karena kegiatan ini menghabiskan

waktu di gudang lantai sembilan yang penuh debu.

Aku salah satunya.

Yah, sebenarnya alasan utamaku adalah aku tidak ingin berjemur di

bawah terik matahari melakukan hal yang tidak jelas. Aku tahu pasti sudah

ada banyak orang di bawah sana yang membantu persiapan panggungnya.

Jadi, kupikir lebih baik aku membantu di gudang saja. Sayangnya, bukan

hanya aku yang berpikir seperti itu. Tampaknya semua panitia cewek

berkumpul di tempat ini.

Apa mereka juga menghindari berpanas-panasan di bawah sana, seperti

yang kulakukan?

102

102

2:46:49 PM

Yang lebih ironis lagi, ternyata pasangan itu juga memilih membantu di

sini. Kenapa tidak terpikir olehku Vivi pasti memilih membantu di sini?

Dan mungkin Vivi memaksa Daniel untuk menemaninya.

Akhirnya aku duduk-duduk di luar gudang, menghindari mereka. Walau

pun begitu aku sempat membantu di dalam. Kupikir aku harus berusaha

menguatkan diri dan bersikap profesional dengan melaksanakan tugasku.

Tapi entah disengaja atau tidak, Vivi tampaknya senang sekali memamerkan

kemesraan dengan Daniel di depanku.

"Aih, debunya ada di rambut," ujar Vivi lumayan keras, mengambil

sesuatu yang dia sebut debu padahal sejujurnya tidak kulihat sama sekali.

Apa Vivi berkhayal atau memang mataku mulai bermasalah?

Yang paling parah saat tiba-tiba dia menjerit di pojokan gudang dan

ketika Daniel bergegas ke tempatnya, dia langsung menjawab manja, "Ada

laba-laba kecil."

Ya Tuhan, itu hewan tinggal diinjak. Diinjak! Saat itu juga aku berusaha

menekan hasrat dalam diriku yang begitu ingin melempar Vivi keluar dari

jendela lantai sembilan dengan duduk di luar. Demi kebaikanku sendiri,

aku perlu menghirup udara segar.

Dan di sinilah aku, duduk bersila di kursi lipat, sambil bertopang dagu

dan melamun menatap lantai.

Malang benar nasibku. Seandainya Rieska ada di sini. Sayangnya, jiwa

nya yang begitu patriotik lebih memilih untuk membantu di bawah. Anda

kurang beruntung, Alexa.

"Alexa," Daniel muncul di pintu, "ngapain lo?"

Aku langsung membenahi cara dudukku. "Istirahat bentar."

"Hah? Baru juga mulai. Nggak ada kali setengah jam." Daniel meman

dangku heran sekaligus meremehkan.

Ah, sial. Kalau bukan karena Daniel dan Vivi kan aku juga pasti niat

kerja.

"Daniel, kamu ngapain?" Vivi muncul di pintu. Ini dia biang keroknya.

"Alexa, lagi ngapain? Kalian ngapain ngobrol di depan gudang begini?"

tanyanya sambil memandangku dan Daniel bergantian.

Daniel melirikku. "Alexa, lo mau kabur dari kewajiban ya?" tanyanya

jail.

103

103

2:46:49 PM

"Hm," aku memulai, "gue alergi debu." Aku sengaja memasang intonasi

manja, menatap sayu, dan berlagak manis seperti Vivi. Sebenarnya aku
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berniat menyindir tingkahnya yang makin lama makin membuatku muak,

tapi tampaknya efek yang dihasilkan tidak seperti yang kuharapkan.

Daniel memandangku datar. "Bohong," ujarnya spontan, lalu langsung

menyuruhku masuk ke gudang lagi.

"Eh, tunggu bent"

"Hei, Alexa." Aku menoleh. Rangga berjalan ke arahku. "Gue cariin dari

tadi."

"Ya?" Aku menatapnya dengan bingung. Tidak ada angin, tidak ada

hujan, Rangga mendatangiku. Mau apa?

"Sini, ikut gue ke bawah sebentar." Rangga berhenti sebentar begitu

melihat Daniel dan Vivi. "Eh, pinjem Alexa sebentar nggak apa-apa, kan?"

Aku langsung berdiri. "Oh, boleh, boleh. Boleh banget."

Panggilan penyelamat! Aku tidak yakin, apa mungkin Rangga mau aku

membantu panitia yang di bawah. Yang jelas, untung dia datang, kalau

tidak, aku bisa mati kutu di sini. Saat ini aku tidak peduli kalau harus

panas-panasan di bawah, di gudang ini rasanya keadaan lebih "panas" lagi

daripada terik matahari.

Aku bergegas ke arah Rangga dan meninggalkan pasangan itu di bela

kangku.

Aku mengikuti Rangga ke lift. Kudengar Daniel sekilas mengatakan

sesuatu, tapi aku berusaha mengabaikannya. Maaf Daniel, tapi aku harus

membiasakan diri dengan tidak memikirkan kamu.

Setelah menekan tombol lift, Rangga melihat sekitar, seolah memastikan

tidak ada orang memperhatikannya.

"Ada apa?" tanyaku, sambil ikut melihat sekitar.

"Nggak apa-apa, sebenernya gue nggak boleh ngomong sama lo," jawab

nya, intonasi bicaranya kontras dengan apa yang dia ucapkan. Dia

terdengar senang sekaligus jail, sepertinya sengaja ingin melakukan hal yang

bertentangan dengan larangan untuk mengobrol denganku.

"Kenapa nggak boleh?" tanyaku sekali lagi.

Rangga tidak menghiraukan pertanyaanku. "Nah, Alexa," ujarnya sambil

mendekatkan kepala seakan-akan takut didengar orang lain, padahal di

104

104

2:46:49 PM

depan pintu lift ini hanya ada kami. "Gue denger lo mau ngisi acara pas

Porseni nanti."

Aku mengangguk.

"Oooh Terus gue denger lagi Kei ikut tampil juga?"

"Iya, gue minta tolong dia main keyboard."

"Dia mau?" tanya Rangga memastikan. Pintu lift terbuka dan kami ma

suk.

Aku kembali mengangguk. Rangga kemudian menekan tombol lantai

dua dan lift mulai bergerak ke bawah.

"Bagus ya, gue berkali-kali minta dia jadi keyboardist di band gue dia

selalu nolak," ujarnya, lebih kepada diri sendiri. Kemudian dia berpaling

lagi padaku. "Selamat Alexa, lo berhasil membuat dia mau tampil di depan

umum."

Aku memandangnya bingung.

Rangga melihat tanda tanya di wajahku. Dia mengangguk, "Kei itu

nggak pernah mau tampil di depan umum, dia nggak terlalu seneng kalau

orang lain tahu bakatnya. Nggak banyak yang tahu dia bisa main piano

dan karena dia nggak pernah kasih lihat, akhirnya nggak ada yang percaya

kalau dia bisa."

Kalau dipikir-pikir mungkin inilah alasannya kaca di pintu ruang musik

ditempeli koran bekas, agar dia bisa bermain dengan bebas tanpa diketahui

orang lain. "Terus, lo sendiri?" tanyaku.

"Oh, kalau gue mah pernah lihat. Cuma sama gue doang dia mau cerita

segala rahasia dia. Hahahaha" Rangga tertawa puas. Tawa yang men

curigakan. Apa pun rahasia yang dimiliki Kei, tampaknya dia memercaya

kannya pada orang yang salah. "Tapi baguslah, ini kemajuan," ujarnya

tiba-tiba. "Dengan begini dia bisa kejar cita-citanya buat jadi musisi."

"Oh, ya? Gue baru tahu." Melihat bakat yang Kei punya sebenarnya ini

tidak mengejutkan.

"Hah? Lo baru tahu? Emang dia nggak bilang?"

Aku menggeleng. Kalau dipikir-pikir, sejauh ini akulah yang lebih ba

nyak bicara daripada Kei. Masih begitu banyak hal yang tidak kuketahui

tentang dirinya.

Lift kemudian berhenti di lantai empat dan dua orang junior masuk.

105

105

2:46:49 PM

Mereka melirik Rangga sekilas lalu lanjut berbicara sendiri. Rangga memu

lai kembali, "By the way, Kei udah sampe fase apa?" bisiknya pelan, pena

saran.

"Hah? Gue nggak ngerti," jawabku, jujur. Memangnya Kei kupu-kupu,

punya fase?

"Lo nggak nyadar, ya? Gue pertama kali ngobrol sama dia aja langsung

sadar." Rangga menatapku untuk memastikan sekali lagi bahwa aku tidak

tahu apa-apa. "Biar gue jelasin. Kei itu selalu pakai bahasa formal kalau

lagi ngomong, sadar nggak?"

Aku mengangguk. Kalau yang ini aku tahu.

"Kalau baru kenal orang atau baru pertama ngobrol, dia pakai ?saya?.

Kalau udah lumayan deket, dia pake ?aku?. Beda kalau ke cowok, ada tam

bahan satu fase lagi. Kalau ke temen yang bener-bener deket kayak gue,

dia ngomong kayak orang normal kok, ?gue-elo?."

"Oooh" Tutur kata Kei memang berbeda, tapi aku tidak pernah me

nyadari ada perbedaan tingkat seperti itu.

"Jadi," Rangga kembali ke pertanyaan sebelumnya, "kalo sama lo, dia

udah pakai fase apa?"

Aku berpikir sebentar. "Kayaknya ?aku?."

"Oh, ya?" Rangga tersenyum. Sejujurnya itu bukan senyum yang kusu

ka. Ada sesuatu yang licik di balik senyum itu.

Pintu lift terbuka di lantai dua dan kami berserta dua junior tadi keluar.

Rangga mengajakku jalan ke arah panggung. Sudah kuduga, dia memang

menarikku untuk membantu di sana. Tapi bukankah sudah ada banyak

panitia? Ya sudahlah, daripada aku mati kepanasan di atas dan emosi

semakin mendidih.

Kembali teringat topik kami barusan, aku bertanya, "Boleh tahu nggak,

kenapa dia punya kebiasaan kayak gitu?" Ini memang membuatku pena

saran.

"Oh, itu kebiasaan keluarganya kok. Keluarga dia kan strict. Hormat

dengan yang lebih tua, kalau bicara dengan perempuan bahasanya harus

sopan. Setahu gue, di rumah dia lebih banyak perempuannya. Jadi, kebia

saan itu dia bawa ke sekolah. Dia juga nggak mau bedain cara bicara di

106

106

2:46:49 PM

sekolah dengan di rumah, karena takut nanti kebiasaan yang di sekolah

kebawa di rumah."

"Emang kenapa kalau dia nggak sengaja ngomong ?gue? di rumah?"

"Oh, dia sih nggak pernah, tapi adiknya pernah nggak sengaja ngomong

begitu dan akhirnya, kalau menurut bahasa sopan Kei, ?mendapat teguran

keras dari orangtua?," jawab Rangga, menambahkan efek dramatis dengan

merendahkan suaranya pada beberapa kata terakhir.

Aku manggut-manggut. "Menarik juga ya keluarganya."

"Menarik apanya?!" Rangga menatapku ketus. "Kaku banget! Dulu wak

tu gue main ke rumah dia aja nih, masa"

Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Rangga dari belakang. Omongan

Rangga terhenti. Langkahnya pun terhenti. Kami berdua menoleh dan

mendapati Kei berdiri di belakang kami dan memandang Rangga dengan

tatapan datar mengerikan. Mungkin dari tadi dia sudah ada di kantin dan

melihat kami lewat.

"Menghilang tiba-tiba, sekarang muncul bawa Alexa?" tanya Kei sinis.

"Eh, gue cuma mau minta bantuan dia bentar, si Raka mau ngomong

soal lukisannya," buru-buru Rangga membela diri.

Kei menatapnya tajam, rasanya seolah berusaha membaca pikiran saha

batnya itu. "Kalau gitu, boleh gue tahu, apa aja yang udah lo omongin,

Rangga?" ucapnya, begitu pelan tetapi mengancam, mungkin barusan dia

melihat Rangga mengajakku bicara. Aku ingat, Rangga memang bilang

sebelumnya ada yang melarangnya bicara denganku, apakah yang dia

maksud itu Kei?

Suasananya memang agak mengerikan, tapi tiba-tiba aku menyadari

sesuatu dan tidak bisa menahan diri. "Oh, fase terakhir!"

"Nah, lo sadar juga, kan?" Rangga tidak meladeni Kei dan malah ceria

mendengar penemuanku, seakan-akan akhirnya menemukan seseorang yang

sepaham dengannya.

Sayangnya, Kei tampaknya tidak tertarik dengan kebahagiaan atas pene

muan kami dan justru semakin menatap Rangga dengan penuh selidik,

meminta penjelasan. Kelihatannya Rangga tidak menceritakan kepada Kei

mengenai pengamatannya terhadap kebiasaan Kei dan teori "fase"-nya

ini.

107

107

2:46:49 PM

"Weits, santai dulu Mas Bro," ujar Rangga sambil merangkul Kei. "Gue

cuma memastikan ke Alexa kalau lo bener-bener mau tampil di Porseni

nanti. Itu doang kok."

Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Memang benar Rangga

terlihat begitu supel sedangkan Kei terlihat kaku dan malah agak sinis, tapi

aku bisa melihat mereka benar-benar sahabat karib. Dan sekarang, kalau

melihat respons Kei yang tetap menatap datar ke arah Rangga dan tidak

membalas segala ucapannya, sepertinya dia yakin omongan Rangga belum

sepenuhnya benar. Rangga pun terlihat tidak peduli dan tetap menyeret

temannya itu menuju tangga utama. Bahkan sampai di tengah tangga pun

Kei masih tidak yakin Rangga hanya membicarakan Porseni denganku.

"Serius, tanya aja Alexa," Rangga bersikeras.

Kei menoleh padaku dengan tatapan bertanya. Karena tingkah mereka

yang membuatku tersenyum dari tadi, Kei tetap tidak percaya dan me

nyangka aku juga sedang bercanda.

"Ayolah, kan gue sohib lo," rayu Rangga.

"Gue nggak kenal istilah sohib."

"Ya udah, gue sahabat lo. Oke, Bro?"

"Nama gue Kei, bukan Bro."

Sejujurnya aku merasa mantap untuk tampil di Porseni nanti, bahkan sam

pai berani mendatangi seksi acara dan mendaftarkan namaku. Sayangnya,

hasil pembicaraanku terakhir dengan Kitty justru membuatku semakin

ragu.

Aku tahu pilihanku untuk melakukan ini diawali dengan Alexa yang

sedang emosi dan berkembang menjadi Alexa yang nekat, tapi sekarang

ketika akhirnya aku mulai berpikir jernih lagi, aku merasa ini tindakan

bodoh.

Aku menghubungi Kitty untuk memohon bantuannya. Sudah lima ta

hun belakangan ini Kitty belajar teknik vokal, karena itu aku berpikir un

tuk menjadikannya vokalis saat tampil nanti. Walaupun begitu dia selalu

merasa masih perlu belajar dan ingin terus mengembangkan kemampuan

nya. Bahkan untuk tampil di acara Porseni nanti, dia ingin memastikan

108

108

2:46:49 PM

kami akan tampil maksimal. Dia harus yakin semuanya sudah ada
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persiapan yang matang.

Aku juga memiliki sifat seperti itu. Aku lebih suka membuat perenca

naan untuk segala hal yang akan kulakukan. Sayangnya, keputusanku kali

ini untuk tampil dalam Porseni hanya berdasarkan spontanitas dan dorong

an emosi, sehingga tidak kupikirkan masak-masak.

Kitty yang akhirnya menyadarkanku dengan bertanya tentang waktu

penampilan kami. Begitu kujawab "dua minggu", dia mengucapkan kalimat

pemungkas yang membuatku, untuk pertama kalinya, berpikir ulang ten

tang keputusanku.

"Lo yakin?"

Pada akhirnya aku tidak berhasil meyakinkan Kitty, karena aku menja

wab "iya" dengan ragu-ragu. Aku baru menyadari dua minggu itu sebentar

dan aku bukan maestro genius di bidang musik. Bagaimanapun, aku mera

sa masih butuh belajar.

Kalau masalah teknis, tentu aku masih bisa mengatasinya. Kei bisa mem

bantuku mengaransemen ulang agar musiknya tetap terdengar menarik

tanpa perlu banyak improvisasi tidak penting. Yang perlu kulatih adalah

mental untuk tampil di panggung. Ini pertama kalinya aku akan tampil di

muka umum. Bagaimana kalau aku ditertawakan, bagaimana kalau aku

terlalu gugup dan justru melupakan semua kuncinya, atau bagaimana kalau

aku memilih kostum yang salah? Yang paling parah, bagaimana kalau tidak

ada respons dari penonton, tidak ada yang menyoraki, atau bertepuk ta

ngan?! Tidak. Setidaknya kalau aku memiliki satu saja pengalaman tampil

di depan banyak orang, tentu aku bisa mengevaluasi diri sendiri. Kalau

begitu banyak hal negatif muncul dalam kepalaku seperti ini, bagaimana

aku bisa membangun kepercayaan diri?

Hal buruk lainnya muncul di kepalaku. Menurut cerita Arnold, temanteman Daniel menilai buruk diriku. Bagaimana kalau tidak hanya mereka,

tetapi juga seisi kelas mereka atau lebih banyak lagi teman-teman seangkatanku yang tidak menyukaiku? Akan sulit bagiku untuk membangun kepercayaan diri kalau yang akan menontonku nanti sudah memiliki persepsi

negatif tentangku.

109

109

2:46:49 PM

"Gue sih nggak apa-apa, tapi lo yakin bisa nguasain dalam waktu dua

minggu?" tanya Kitty.

"Akan gue usahain," jawabku.

Kitty hanya diam. Kemudian dia memberikan saran, "Coba tanya Kei

gih."

Pulang sekolah nanti aku sudah janjian dengan Kei untuk mengaranse

men lagu yang akan kami mainkan. Sebelum akhirnya kami menyia-nyia

kan waktu untuk penampilan yang mungkin tidak akan kami tampilkan,

akan lebih baik kami tidak mulai latihan dulu, kan? Aku harus memberi

tahunya.

Saat membuka pintu ruang lukis, kulihat Kei sudah duduk di depan

piano. Dia sedang menulis sesuatu di buku musiknya namun langsung

berbalik menghadapku begitu menyadari kehadiranku. Mungkinkah itu

musik yang sudah dia aransemen? Duh, kenapa dia sudah mulai mengerja

kannya?

Aku berdiri di depannya dan menatapnya serius. Dia balas menatapku

dengan santai. Aku melirik buku musik di atas piano, berharap itu bukan

aransemen lagu yang akan kami bawakan. Sepertinya Kei menyadari arah

pandangku karena kemudian dia mengangkat tangan dan menggeser buku

musiknya ke belakang tubuhnya, di luar pandanganku. Oke, mungkin itu

bukan hasil aransemen. Untunglah.

"Sebelum kita mulai kerjain apa-apa," aku memulai, "gue mau bilang

sesuatu."

Kei menatapku. Caranya memandangku seolah-olah dia sedang berusaha

membaca pikiranku.

Aku menghela napas. "Kayaknya kita nggak usah tampil deh."

Kei memandangku heran. Aku menunduk, tidak berani menatapnya.

"Soalnya," aku menarik napas, "gue nggak punya pengalaman tampil

dan sekarang gue panik."

Setelah aku selesai mengucapkannya, Kei hanya menatapku datar. Tetapi

kemudian dia tersenyum dan tertawa pelan.

"Serius. Gue nggak pernah tampil di depan orang-orang. Belum lagi gue

nggak yakin pendapat mereka tentang gue dan menurut kabar yang gue

denger, bahkan teman-teman Daniel memandang negatif gue. Mungkin

110

110

2:46:49 PM

malah satu kelasnya. Mikirin ini aja bikin gue nggak pede. Apalagi persiapan

kita cuma dua minggu. Gue makin nggak yakin." Aku makin menunduk.

"Gimana coba kalau gue diteriakin dan dihina-hina di atas panggung?"

Ketika aku yakin Kei tidak merespons, aku menambahkan, "Lagian ini

juga pertama kalinya lo tampil di depan sekolah, kan? Seharusnya lo ngerti

dong rasanya gimana." Aku melirik diam-diam untuk melihat reaksinya.

Kei terlihat tidak nyaman dengan ucapanku.

Kei menghela napas lalu menggeleng. "Ini bukan yang pertama," ucap

nya.

"Oh, ya?"

Dia mengangguk.

Aku tidak salah dengar? Bukannya kata Rangga, Kei tidak pernah

menunjukkan ke semua orang bahwa dia bisa main piano? Ini berarti di

antara kami hanya aku yang tidak memiliki pengalaman tampil di depan

umum, karena Kitty sering tampil dalam berbagai resital dan konser yang

diselenggarakan tempat kursus vokalnya. Kalau begini aku semakin tidak

yakin untuk tampil. Tiba-tiba aku membayangkan Rangga bersama band

nya yang tampil memukau tahun lalu saat acara Valentine sekolah. Seandai

nya aku bisa populer seperti dia.

"Kalau begini gue semakin nggak pede. Coba lihat Rangga, banyak yang

suka dia. Kalau nyanyi sama bandnya, penonton pasti meriah karena semua

nya suka sama dia," ujarku lesu. "Kalau gue yang tampil jangan-jangan

penonton malah bakal sepi-sepi aja karena nggak ada yang kenal atau ma

lah nggak suka sama gue." Aku merasa sudah patah semangat sebelum

tampil.

Kei tetap tidak merespons, tapi kemudian dia menegakkan diri dan wa

jahnya berubah cerah. "Oooh," dia memulai, seakan berhasil menemukan

sesuatu, "kamu nggak sadar, ya?"

Aku menatapnya heran.

Kei tiba-tiba berjalan ke salah satu jendela, menarik meja, dan menaiki

nya. Dia membuka jendela lebar-lebar, mengeluarkan kepalanya dan mena

tap ke bawah. Apa yang dia cari di tangga utama dan kantin di bawah?

Tak lama kemudian, dia menoleh padaku sambil tersenyum. Dia mem

buat isyarat memanggil dengan tangannya.

111

111

2:46:50 PM

"Apaan sih?"

"Sini!" panggilnya lagi.

Aku menghampirinya. Satu jendela saja sudah sempit untuk satu orang,

karena itu kami selalu duduk di depan jendela masing-masing. Sekarang

dia malah menyuruhku ikut melihat ke luar dari jendela yang sama.

Aku ikut menaiki meja. Kei memberiku celah dan menyuruhku ikut

melihat ke bawah. Baru pernah aku sedekat ini dengan Kei, tapi tampak

nya dia tidak peduli, tetap asyik melihat ke bawah. Aku penasaran dengan

temuannya dan menuruti perintahnya. Kei kemudian menunjuk ke satu

arah.

"Apaan?" Aku tidak yakin dengan apa yang dia tunjuk, apakah itu ben

da atau orang?

"Orang yang berdiri dekat patung," tunjuk Kei.

"Oooh, dia." Aku mulai yakin orang yang kami lihat ini sama. "Yang

lagi lepas tasnya, kan?"

Kei mengangguk. "Kenal dia, kan?"

"Iya, dia junior, satu jemputan sama temen gue, Rieska. Gue sering

lihat dia di mobil jemputan Rieska sama di kelasnya waktu gue ngobrol

bareng Rieska di depan ruang guru," jawabku. Walaupun aku tahu dia

siapa, aku tidak melihat ada hal yang relevan antara dirinya dengan masa

lah yang kuhadapi. "Terus, kenapa kalo gue kenal dia?"

"Dia suka Alexa," jawab Kei singkat.

"Haaaahhh?!" Aku memandang Kei dan berusaha menangkap maksud

nya, tapi dia hanya tersenyum.

"Oh, dia!" Kei tiba-tiba kembali menunjuk. Aku mengikuti arah yang

ditunjuknya. Di dasar tangga ada sekumpulan murid senior yang berdiri

agak terpisah dari kerumunan. Salah satunya Rangga.

"Rangga?" tanyaku.

"Bukan, yang di depannya, yang jangkung agak bungkuk"

"Oh iya, iya,"

"tas biru tua. Lihat, kan?"

Aku mengangguk. Setahuku cowok itu ikut bantu Porseni juga.

"Namanya Teddy, bassist di band mereka," jelas Kei. "Dia juga suka

Alexa."

112

112

2:46:50 PM

"Haaahhh?!" suaraku lebih keras lagi, keherananku berlipat ganda. "Tahu

dari mana? Tolong dijelaskan!" pintaku.

Kei tertawa.

"Si junior dulu ya," Kei memulai. "Dia mulai kagum sama kamu sejak

kamu bantu dia saat MOS waktu dia dikerjain sama Kenny."

Awalnya aku benar-benar tidak memahami perkataan Kei, tapi tiba-tiba

aku ingat. Saat MOS awal tahun ajaran ini memang ada satu anak yang

berlari-lari dan tersandung sampai semua atribut MOS-nya berhamburan

ke sana kemari. Aku membantunya berdiri dan memunguti atributnya.

Waktu kutanya kenapa dia lari-lari seperti itu, katanya dia disuruh anak

OSIS bernama Kenny untuk mencari murid cewek yang memiliki nama

"cowok" dalam waktu lima menit dan meminta tanda tangannya. Aku

langsung mengambil buku yang dia pegang dan menandatanginya. Waktu

kulihat dia memandangku heran, kubilang padanya bahwa namaku "Alex".

Dia langsung berterima kasih dan kembali berlari ke tempat Kenny. Siang

nya Kenny memberitahuku, kalau saja aku tidak memberinya tanda tangan,

anak itu akan kena hukum makan jengkol semangkuk. Terang saja dia

bersyukur seperti itu, kalau aku jadi dia sih mungkin aku sudah nangis

darah. Yang benar saja, jengkol?!

"Jadi, dia yang waktu itu ya," ujarku, lebih kepada diri sendiri. "Yang

hampir aja makan jengkol."

Kei mengangguk.

"Tapi gue kan cuma bantu begitu doang, dari mana lo bisa menyim

pulkan dia suka gue?"

"Tampaknya ?begitu doang? itu cukup berkesan buat dia," jawab Kei

singkat.

Kei terlihat kembali berpikir kemudian dia menambahkan. "Nah, kalo

si Teddy," ujarnya tanpa meladeni pertanyaanku, "pernah muji kamu waktu

pertandingan futsal antarkelas tahun lalu. Memang kamu cukup mencolok,

permainanmu beda dengan murid cewek lainnya. Mereka menganggap

kamu keren."

"Mereka?" tanyaku.

"Oh, waktu itu yang nonton satu kelompok itu." Kei menunjuk Rangga

dan teman-temannya di bawah. "Di antara mereka, Teddy yang paling sering

113

113

2:46:50 PM

mengomentari permainan kamu, tapi abis itu dia jadi cukup emosi gara-gara
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

temanmu yang jadi kiper kebobolan dua kali dan bikin kalah 2-0."

"Ah, itu kan cuma permainan."

Kei mengangguk. "Terus Teddy makin kagum waktu kamu mulai bawabawa gitar ke sekolah."

Apa? Jadi, selain kagum karena permainan futsalku, senior itu juga ka

gum karena aku membawa gitar ke sekolah? Membawa gitar kan bukan

berarti aku bisa main, cepat sekali dia mengambil keputusan bahwa aku

bisa main gitar. Wow, aku tidak menyangka ada orang yang memperhati

kanku seperti itu. Padahal mereka mungkin tidak tahu aku bermain futsal

dengan penuh semangat untuk menarik perhatian Daniel, yang sangat kusa

dari sedang menonton pertandingan kelasku saat itu. Mereka juga tidak

tahu aku membawa gitar ke sekolah agar bisa memiliki momen khusus

dengan Daniel yang bersedia mengajariku main gitar. Apakah tanpa kusa

dari aku malah menarik perhatian orang lain?

Ada satu hal yang menimbulkan tanda tanya. "Terus, lo tahu semua ini

dari mana?"

Kei terdiam. Dia tetap menatap lurus ke bangunan-bangunan bertingkat

di samping sekolah. "Intinya bukan itu, kan?" ujarnya. "Kenapa kamu

memberikan perhatian lebih pada orang yang membenci kamu, kalau justru

ada orang lain yang peduli sama kamu?"


Century Karya Sarah Singleton The Propotition Propotition 1 Karya Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar

Cari Blog Ini