Ceritasilat Novel Online

A Song For Alexa 3

A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella Bagian 3

Kali ini aku yang terdiam.

"Nggak hanya mereka berdua. Kenny dan temen-temen sekelas pasti

akan dukung kamu kok."

Kei benar. Kenapa aku baru menyadarinya? Aku punya teman-teman

terbaik yang pasti selalu mendukungku. Porseni itu pun akan terasa menye

nangkan karena aku memiliki teman-teman yang pasti bersedia hadir

mendukungku di depan panggung. Untuk apa susah payah memikirkan

mereka yang tidak menyukaiku, toh mereka tidak peduli dengan perasaan

ku atau apa yang kuhadapi. Bahkan mungkin dengan tampil nanti aku

justru bisa membuat mereka menyukaiku. Semoga saja.

"Hei, Senior, tinggal satu masalah lagi," aku memulai, menatap dasar

tangga utama di bawah yang katanya akan menjadi lokasi panggung. "Bisa

114

114

2:46:50 PM

nggak ya gue ngatasin masalah mental panggung? Gue kan belum berpenga

laman."

Kei mengangguk. "Pasti bisa."

"Oh, ya?" Aku tidak percaya.

Kei mengangguk bersemangat.

Aku tersenyum dan menoleh menatap Kei yang juga sedang menatap

area untuk panggung Pensi. "Oi, Senior," panggilku, dan Kei menoleh,

"thank you."

Sesaat Kei balas menatapku lurus dan ikut tersenyum, tapi kemudian

dia terlihat panik dan membuang muka. Tiba-tiba dia terjatuh dari meja

dan, sambil menahan keseimbangan, malah menabrak tumpukan meja dan

kursi di belakangnya.

"Kei!" Aku langsung turun untuk menolongnya. Dia terlihat sedang

menahan sakit di punggungnya, tapi begitu aku mendekatinya dia langsung

berdiri dan mundur menjauhiku. Bodoh, ini bukan saatnya dia menjaga

jarak seperti itu.

"Nggak apa-apa," ucapnya pelan dan dia terlihat normal lagi, atau ber

usaha terlihat normal. Walaupun begitu ada sedikit keterkejutan di wajah

nya. Tidak hanya dia, aku juga terkejut. Kenapa dia tiba-tiba jatuh seperti

itu? Apa mungkin tanpa kusadari aku mendominasi meja sampai-sampai

Kei terlalu ke pinggir dan jatuh seperti tadi?

"Yakin nggak sakit?" tanyaku lagi memastikan.

Kei menghindari tatapanku dan hanya menggeleng. Dia mulai berjalan

kembali ke arah piano. Terlihat linglung, tapi memang tampaknya dia su

dah baikan.

Aku diam sebentar, masih memperhatikan reaksinya. Kei berdiri di de

pan piano, mulai memencet tuts perlahan. Suara piano berdenting dua kali

lipat lebih tegas dalam ruangan yang hening ini.

"Hei, Kei," panggilku, ketika keadaan terasa semakin canggung.

Kei menoleh sekilas menatapku, tapi kemudian kembali menatap piano

nya.

Ada hal yang masih membuatku penasaran dan sepertinya Kei lupa

menjawab. "Yang Kei ceritain tadi, semuanya, tahu dari mana?"

Kei masih menunduk menatap tuts di hadapannya, tapi jelas sekali ia

115

115

2:46:50 PM

sedang memikirkan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan. Seandai

nya aku bisa membacanya. Lalu tiba-tiba dia tersenyum dan menatapku.

"Rahasia."

Aku menatap tangan kiriku. Sudah lama aku tidak merasakan pegal di

buku-buku jari dan nyeri di permukaan ujung-ujung jari seperti ini. Bukan

berarti ini hal yang menyebalkan, justru ini membuatku lebih bersemangat.

Di balik ketidaknyamanan ini, aku merasa lebih hidup.

Kei memang tidak tanggung-tanggung. Dia merombak lagu seenaknya

tanpa memikirkan kapasitas yang kumiliki. Yang ada di pikirannya hanya

lah dia yakin aku bisa memainkan permainan bas seperti itu, dan hal ini

mendorongku untuk berusaha lebih.

Hmmm.

Aku tahu orang yang melihat wajahku saat ini pasti akan mengira aku

aneh, tapi aku tidak bisa menghilangkan senyum yang sejak berhari-hari

lalu menghiasi wajahku. Semakin tidak masuk akal saran-saran improvisasi

lagu yang Kei berikan padaku dan Kitty, semakin menggebu-gebu pula

diriku. Aku semakin terobsesi untuk menembus batas kemampuanku.

Menyenangkan sekali. Belum pernah aku merasa begitu hidup seperti

ini.

Terlintas dalam pikiranku apakah kegilaan yang muncul dalam diriku

ini salah satu bentuk pelarian diri dari sakit hati yang sedang kualami.

Mungkin saja. Mungkin juga tidak. Aku lebih ingin menganggapnya seba

gai langkah untuk maju dan menerima apa yang telah terjadi. Toh penam

pilan nanti akan menjadi persembahan terakhirku untuk Daniel. Tentu

masih ada rasa sakit itu di hatiku. Aku pun masih belum benar-benar bera

ni menghadapi mereka terang-terangan seperti sebelumnya, terutama saat

Porseni sudah di depan mata dan aku terpaksa bertemu dengan Daniel dan

Vivi nyaris setiap saat. Tetapi setidaknya perlahan-lahan aku sudah bisa

membuat diriku kembali normal kalau aku tidak bertemu pasangan

itu.

Memang ketika emosi sedang tidak stabil seperti saat ini, musik adalah

pelarian yang tepat. Tidak heran kalau dalam keadaan seperti ini begitu

116

116

2:46:50 PM

banyak seniman menghasilkan lagu-lagu cinta. Ah, apalagi kalau bentuk

emosinya adalah patah hati.

"Alexa."

Aku menoleh. Kei dan Kitty yang berjalan beberapa langkah di depanku

tiba-tiba berhenti. Kitty menatapku sambil tersenyum penuh arti.

"Alexa, gue jadi curiga deh kalau lo senyum-senyum sendiri kayak gitu

terus," ujar Kitty. "Belakangan ini lo keliatan bahagia banget."

Aku tersenyum semakin lebar. "Belum pernah gue ngerasa kayak begi

ni."

Kitty kembali berjalan menuju tangga utama sambil tetap memper

hatikan wajahku, "Gue juga belum pernah lihat lo begini. Main bas kayak

kesurupan, nggak inget jam pulang."

"Oh, kalau masalah kesurupan sih salahin Kei. Dia yang buat aranse

mennya," kataku membela diri.

"Tapi kamu bisa main, kan?" Kei menegaskan. Ya, dia benar. Untungnya

aku bisa.

"Kekuatan patah hati tanpa diduga bisa sebegitu besarnya, ya Kei?" ejek

Kitty.

Kei mengangguk-angguk semangat.

Enak saja. Sejak kapan mereka jadi akrab dan kompak mengejekku?

"Hei Kitty, bukannya lo udah dijemput? Hush, hush, cepat pulang

sana," aku mengingatkan.

Kitty semakin memasang senyum jail. "Ah, nggak usah ngusir Alexa,

kalau gue cepet-cepet pulang nanti lo kangen lagi."

Aku memandangnya sinis. Hah Memang tampaknya sulit bagiku un

tuk menang adu mulut dengannya. Selalu berakhir dengan aku yang terlalu

malas menanggapi ejekannya.

"Hari ini thank you, ya, Kitty," timpal Kei.

"Iya, sama-sama. Dah, semuanya. Sampai besok, ya." Kitty mulai berja

lan cepat menuruni tangga, lalu berbalik. "Alexa tetep semangat ya, tapi

jangan kelewat semangat!"

"Iya!" balasku. Aku memperhatikannya berlari kecil menuju sedan hitam

yang menunggu.

Aku melihat jam. Masih jam setengah tiga. Hari ini latihannya selesai

117

117

2:46:50 PM

lebih cepat. Baguslah, tapi aku jadi malas untuk langsung pulang. Apalagi

di sekitarku masih banyak murid yang masih berkeliaran. Banyak di anta

ranya panitia Porseni, tapi banyak juga yang tidak. Biasanya selesai latihan

sekolah sudah sepi dan murid-murid yang masih ada di sekolah hanya

mereka yang ikut ekskul tertentu. Tapi kali ini rasanya berbeda karena

keramaian ini.

Aku makin malas untuk pulang.

Kalau memperhatikan keadaan sekitar sekali lagi, memang tampaknya

keramaian ini disebabkan oleh panggung di area bawah tangga sana yang

sedang dibangun. Atmosfer Porseni sudah sangat terasa dan semuanya sema

kin aktif mengejar waktu untuk mempersiapkannya.

Aku melihat Kei yang tiba-tiba berjalan menuju puncak tangga utama.

Apa dia juga malas pulang? Dia menoleh ke arahku dan melambaikan

tangan memangilku, mengajakku duduk di sampingnya. Aku menurut.

"Belum mau pulang, Senior?" tanyaku.

Kei menggeleng. "Kamu juga, kan?"

"Iya," jawabku.

Terdengar suara orang bernyanyi diiringi dua gitar akustik. Baru kusa

dari ternyata ada sekumpulan junior berkumpul di tengah anak tangga,

tampaknya berlatih untuk Porseni nanti. Sepertinya bukan hanya kami

yang dipenuhi semangat dan berlatih untuk tampil.

"Eh, Senior," panggilku, Kei menoleh. "Kenapa penampilan nanti nggak

pakai piano? Kenapa pakai keyboard? Bukannya kalau orang udah terbiasa

pakai piano akan nggak nyaman ya kalau tiba-tiba main pakai keyboard?

Iya sih, emang ribet kalau kita bawa turun piano segede itu, atau karena

ada larangan dari Kepala Sekolah yang nggak boleh pakai piano itu?"

Tapi kalau dipikir-pikir lagi toh Kei udah melanggar larangan Kepala

Sekolah, hampir setiap hari dia main piano itu seenaknya dan tanpa izin.

Aku melirik wajah Kei, dan dia tersenyum. Seperti biasa aku harus me

nunggu beberapa saat sebelum dia menjawab. Apa ada terlalu banyak hal

yang dipikirkan sampai menjawab satu pertanyaan pun butuh pertimbangan

matang?

"Kalau seseorang biasa main suatu instrumen, kamu tahu apa satu perta

nyaan yang umumnya ditanyakan orang kepadanya?"

118

118

2:46:50 PM

Aku menggeleng.

"?Kamu dari keluarga pemusik??," jawab Kei. "Entah udah berapa kali

aku dengar pertanyaan itu."

"Kalau gitu," potongku, "kamu dari keluarga pemusik?"

Kei tertawa. "Iya," jawabnya. "Ayahku pianis."

Dia terdiam sebentar. Tatapannya kosong, seperti sedang membayangkan

sesuatu. "Yang paling aku ingat," dia melanjutkan, "ibuku yang juga baru

belajar piano setelah bertemu ayahku dan sering bermain piano bersama

ku."

Aku terpana memandangnya. Sepertinya Kei memiliki keluarga yang

bahagia, yang begitu mencintai musik. Kalau dibandingkan dengan ke

luargaku yang biasa-biasa saja, aku membayangkan dia memiliki keluarga

elite.

"Walaupun begitu, kembaran ibuku tidak tertarik dengan piano. Ya,

mereka kembar," Kei mengiyakan tatapanku yang semakin terpana.

"Setahuku dia tidak pernah menyentuh piano sama sekali. Aku juga kurang

yakin apa dia cenderung sebagai penikmat musik saja, tetapi kalau tidak

salah, ibuku pernah bilang kembarannya tidak suka musik. Aku tidak

menyadarinya," Kei menghela napas, "sampai saat aku umur delapan tahun

dan orangtuaku meninggal karena kecelakaan."

Oh, tidak. Sampai bagian ini aku makin yakin hidupnya seperti sinet
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ron. Maksudku, aku benar-benar sedih mendengarnya. Tentu saja, itu bu

kan hal lucu. Masalahnya, aku tidak menyangka Kei yang kukenal ini su

dah tidak memiliki orangtua lagi. Apa mungkin hal ini jugalah yang

membuatnya jadi pribadi yang tidak banyak bicara dan begitu kaku, selain

karena cara hidup keluarganya yang banyak aturan? Aku tidak berani mem

bayangkan apa jadinya kalau sejak kecil aku kehilangan orangtuaku. Ya

Tuhan, pulang dari sini aku akan langsung memeluk mereka.

Kei tersenyum melihat ekspresi suram di wajahku. "Nggak apa-apa, itu

udah sembilan tahun yang lalu."

Aku menatap wajahnya yang begitu tenang sambil menceritakan hal ini,

tapi dulu tidak mungkin dia setenang ini. "Maaf, Senior."

Kei tetap tersenyum. "Yang jelas aku nggak hanya kehilangan mereka,

tapi juga piano itu. Tanteku dengan sukarela menyumbangkan piano itu

119

119

2:46:50 PM

ke sekolah milik sahabat Kakek dulu. Tapi si ?sahabat? ini merasa suatu saat

piano ini harus kembali ke pemilik semulanya, makanya akhirnya piano

itu disimpan di ruang musik dan melarang orang lain selain pemiliknya

memainkannya."

"Eh," aku menyadari sesuatu, "jangan-jangan piano itu..."

"Iya," jawab Kei. "Piano di ruang musik."

Wow, sesuai dengan penampilannya yang kelihatan tua, ternyata piano

itu memang sudah melalui begitu banyak hal. Tidak heran Kei terlihat

begitu menyayangi piano itu. Selama ini kupikir itu hanya perlakuan yang

biasa dilakukan seorang musisi terhadap alat musik yang dia mainkan.

"Bayangkan ketika aku melihat piano itu lagi setelah sekian lama," ujar

Kei.

Nada bicara Kei tetap terdengar datar, tapi kali ini aku bisa merasakan

antusiasmenya terhadap benda kesayangannya itu. Musik benar-benar hal

yang dia cintai. Aku membayangkan dia seperti bertemu teman masa kecil

nya kembali.

"Piano itu terlalu berharga, lebih baik jangan dipindah-pindah," tambah

nya.

Aku mengangguk-angguk. Aku mengerti, dari segi kepemilikan memang

piano itu milik Kei, jadi terserah dia mau melakukan apa terhadap piano

itu. "Berarti peraturan itu dibuat untuk Kei, ya. Terus apa kabar si kakek

pemilik sekolah?"

Kei mengangkat bahu. "Entahlah, tapi untungnya Kepala Sekolah seka

rang ini keponakannya, jadi larangan itu tetap bisa berjalan."

"Hmmm, tapi kasihan juga ya Klub Paduan Suara, pantes mereka ku

rang berkembang. Ada piano tapi nggak boleh dipake." Aku melirik Kei,

dia malah tersenyum jail.

"Ah, kan ada keyboard sekolah."

"Mungkin aja tanpa sepengetahuan Kei mereka pake piano itu."

Kei tertawa pelan, lalu menggeleng, kemudian merogoh kantong celana

nya dan menunjukkan kunci-kunci ruang seni.

Aku tidak percaya dengan yang kulihat. "Bukannya kunci-kunci ruangan

sekolah mesti ditaruh di ruang guru?"

120

120

2:46:50 PM

Kei menggeleng. "Ini punyaku. Duplikatnya Kepala Sekolah yang pe

gang."

Orang ini, bahkan ruangannya saja dimonopoli. Kalau diperhatikan lagi

dari senyumannya saja, aku tidak menyangka dia bisa selicik ini.

Tapi ini pertama kalinya kami membicarakan sesuatu yang berhubungan

dengan dirinya. Pertama kalinya aku melihat dia melenyapkan tameng

kekakuan yang menciptakan jarak antara dirinya dan orang lain. Selama

ini dia selalu membantuku setiap kali aku dalam masalah, dan kali ini aku

benar-benar ingin membantunya. Seandainya dia bisa lebih membuka diri

terhadap orang lain, dia akan menjadi seseorang yang jauh lebih menarik

lagi.

121

121

2:46:50 PM

9

MUSIC CONVEYS EMOTION

Sudah dua minggu terakhir ini Kitty datang ke sekolahku untuk latihan.

Aku selalu menyarankan untuk latihan di studio musik saja dia tidak perlu

repot-repot ke sekolahku, tapi menurutnya itu buang-buang uang dan

dengan waktu sewa yang dibatasi pun kami tentu tidak akan bisa latihan

dengan bebas. Kitty juga menyadari bahwa ruang musik sudah dimonopoli

oleh Kei, jadi tempat itu benar-benar untuk berlatih.

Untungnya selisih waktu pulang sekolah kami pun tidak terlalu berbeda.

Hanya saja, hari ini seluruh kelas dibubarkan jam sepuluh pagi agar panitia

dan staf sekolah bisa menyiapkan Porseni besok. Ya, akhirnya acara yang

ditunggu-tunggu datang juga. Tapi tidak mungkin aku menunggu Kitty

sampai jam pulang sekolah nanti. Padahal besok kami akan tampil, detikdetik menjelang penampilan adalah waktu yang berharga, tidak boleh

disia-siakan.

Seandainya aku bisa menculik Kitty dari sekolahnya. Tapi itu tidak

mungkin.

Mau tidak mau aku akan menunggu Kitty sambil membantu panitia

Porseni. Agak malas, sejujurnya. Terutama karena aku membayangkan akan

melihat pemandangan yang menyebalkan. Daniel dan Vivi.

122

122

2:46:50 PM

Cukup. Cukup. Besok aku harus mulai menerima semua itu dengan

lapang dada.

Inilah kenapa aku harus mulai berlatih untuk penampilan nanti, agar

pikiranku lebih fokus dan hal negatif seperti itu tidak muncul.

Bicara masalah fokus, di latihan terakhir kemarin tampaknya Kei benarbenar tidak konsentrasi. Padahal dua hari sebelumnya dia masih penuh

percaya diri, tapi tiba-tiba kemarin permainannya menurun drastis. Bahkan

sejak dia melangkah masuk ke ruang musik, tanda-tanda itu sudah terlihat.

Ketika berjalan menuju pianonya, dia menabrak meja tempat kuas-kuas

dan cat diletakkan sampai semuanya jatuh berantakan di lantai. Saat mulai

bermain pun dia telat masuk dan membuat permainan kacau, dan tiba-tiba

mengeluh dalam bahasa Jepang. Dia terus melakukan kesalahan dan meng

gerutu pelan, seakan-akan bicara dengan dirinya sendiri dalam bahasa

Jepang.

"Mou ichido," ujarnya pelan, sambil membuat tanda ?satu? dengan telun

juknya.

"Apa?"

"Sekali lagi, sekali lagi," balasnya, tanpa menoleh sedikit pun padaku

dan Kitty.

Aku belum pernah melihatnya kacau seperti itu. Untungnya penderitaan

itu berakhir dengan cepat karena Kitty memutuskan untuk menyelesaikan

latihan sampai di situ saja. Tampaknya dia juga tidak tahan dengan per

ubahan Kei yang tiba-tiba. Anehnya, setelah selesai seperti itu pun Kei

hanya bilang maaf dan langsung meninggalkan ruangan.

Ini tidak boleh terjadi. Penampilan kami sudah dekat, tapi ada masalah

dalam diri Kei. Setidaknya dia kan bisa cerita yang sejujurnya, mungkin

saja kami bisa membantu. Kitty juga tadi pagi menelepon dan menyuruhku

mengajak bicara Kei sebelum latihan terakhir nanti.

Menuruti perintah Kitty, aku pun langsung berjalan menuju ruang musik

begitu bel sekolah berbunyi. Sepanjang perjalanan ke sana, aku berpikir keras

bagaimana aku harus memulai pembicaraan. Bahkan sampai di depan pintu

ruang musik pun aku masih memikirkan kata-kata yang akan kuucapkan.

Sekali lagi

123

123

2:46:50 PM

Ketika membuka pintu, aku menemukan ruang musik dalam keadaan

kosong.

Ah, di mana dia? Sudah susah payah menyusun kata-kata, dia malah

tidak ada. Apa dia membantu panitia di bawah, ya? Kenapa tidak terpikir

olehku? Tentu saja dia pasti membantu anggota yang lain, tidak seperti aku

yang kabur karena alasan pribadi. Tapi kupikir, menyadari banyaknya kesa

lahan yang dia lakukan selama latihan kemarin, seharusnya dia latihan

lebih cepat daripada aku dan Kitty untuk memperbaiki permainannya.

Dugaanku salah, seorang genius seperti Kei tidak mungkin repot-repot la

tihan lebih cepat daripada anggota bandnya.

Keluar dari lift, aku mendapati lantai dua begitu ramai. Banyak yang

pulang sekolah langsung ke kantin, banyak juga yang memang anggota

panitia dan begitu giat membantu Pak Woto, tetapi lebih banyak lagi yang

memenuhi arena ini karena ingin nongkrong dulu sebelum pulang. Ah,

polusi manusia. Mungkin kalau aku ke dasar tangga di sana aku akan bisa

menemukan Kei.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku.

Aku langsung menoleh. "Rangga."

"Kebetulan, ayo sini bantu." Dia langsung mendorongku ke arah tang

ga.

Aku melihat-lihat ke sekeliling kami, berharap bisa menemukan Kei.

"Nyari siapa?" tanyanya.

"Hm, nggak bareng Kei?"

"Oh, kalau dia mah bantu yang di lantai delapan," jawabnya.

Apa?! Aku baru saja dari lantai tujuh, tinggal naik selantai langsung

ketemu dia, dan sekarang aku malah berada berlantai-lantai di bawahnya,

di tengah polusi manusia, dan senior yang mendorongku untuk membantu

nya.

"Udah tenang aja, nanti dia juga turun ke sini kok," ujar Rangga sambil

tertawa, "nggak usah repot-repot naik."

"Eh, gue juga nggak berniat begitu sih, capek juga naik-turun," jawabku.

Kalau memang Kei akan turun, lebih baik aku menunggu di sini, memba

yangkan merayap di antara kerumunan ini, mengantre di lift karena terlalu

banyak orang tidak, menunggu sebentar tidak masalah.

124

124

2:46:50 PM

Ketika kami sedang menuruni tangga, aku merasakan kehadiran mahk

luk-mahkluk yang paling kuhindari. Benar, mereka ada di pinggir pang

gung dan Rangga malah membawaku ke sana. Melihat Daniel dan Vivi di

sini, aku kembali memikirkan Kei yang sedang berada di lantai delapan.

"Ah, Rangga, kayaknya gue mending ke atas aja deh." Aku langsung

menaiki tangga ketika dengan cepat tangan Rangga meraih tasku dan me

narikku kembali.

"Eits, jangan kabur," ujarnya, "gue tahu lo lihat apa. Cuekin aja."

Dia menyeretku. "Ah, Rangga, gue serius. Gue mesti ngomong sama

Kei."

"Kan gue bilang nanti juga dia turun ke sini," balas Rangga, tetap tidak

peduli.

Kami melewati Daniel dan Vivi yang langsung menyapa begitu melihat

ku. Setelah balas menyapa seadanya, aku memutuskan untuk menanyakan

sesuatu pada Rangga.

"Rangga, gue mau tanya deh," aku memulai, "lo kan deket banget ya

sama Kei, kemarin ini dia kenapa sih? Ada yang aneh sama dia."

"Kenapa mikir begitu?" Rangga balik bertanya.

"Soalnya, pas latihan kemarin dia bener-bener nggak fokus, banyak

bikin kesalahan. Yang paling parah dan belum pernah gue lihat adalah dia

ngomel-ngomel sendiri pake bahasa Jepang." Aku melirik wajah Rangga.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kelihatannya dia mengerti maksudku, mungkin di kelas pun Kei juga seper

ti itu.

Rangga tiba-tiba berhenti berjalan dan malah mengajakku duduk di

samping panggung yang hampir jadi. "Ayo, sini istirahat dulu."

Apa?! Tadi kalau tidak salah dia menyeretku ke sini untuk membantunya

bekerja.

"Nih ya, si Kei itu emang seharian kemarin aneh banget," Rangga

memulai, "tapi kalau ditanya dia nggak mau bilang kenapa, jadi gue lang

sung hubungin Aya aja." Rangga langsung menambahkan ketika melihat

tampangku yang keheranan, "Adiknya Kei."

"Oh, dia punya adik?" Aku baru tahu.

"Iya, adik perempuan," Rangga menjawab dengan penuh senyum. "Kei

emang selalu cerita ke gue, tapi kadang ada beberapa hal yang dia pendam

125

125

2:46:50 PM

sendiri. Nah, Aya selalu cerita ke gue karena dia percaya gue bisa bantu

kakaknya."

"Kelihatannya lo akrab sekali sama adiknya. Kasihan dia percaya sama

orang yang salah," aku langsung memotong.

"Enak aja," Rangga langsung membela diri. "Aya manis banget, nggak

mungkin gue nggak lakuin apa yang dia minta." Rangga tersenyum malumalu sehingga aku semakin curiga melihatnya.

"Oh, jadi kalau yang nggak manis"

"Masalahnya ternyata," potong Rangga tegas, "ada di tantenya Kei. Lo

tahu nggak kalau Kei dan adiknya tinggal di rumah tantenya sekarang?"

Aku mengangguk. "Iya, dia pernah cerita."

"Nah, masalahnya, tantenya ini dari dulu ngelarang Kei main piano."

"Oh ya, kenapa?" Aneh sekali, bukannya mereka dari keluarga pemusik?

Kenapa tantenya tidak mendukung hal itu?

"Lo tahu kan mamanya kembar?"

Aku mengangguk.

"Mamanya dan tantenya itu deket banget. Gue punya temen kembar

juga tapi mereka nggak mau disamain, tapi kalau yang satu ini mereka

nggak mau ada yang bisa bedain mereka. Yang bisa bedain cuma orangtua

mereka. Sampai akhirnya muncul papanya si Kei. Kata Aya sih, papanya

ini bikin saudara kembar ini nggak lagi hidup dalam dunia mereka sendiri.

Tantenya Kei benci sama papanya Kei soalnya dia yang bikin mereka nggak

deket lagi kayak dulu. Biasanya mereka selalu berdua, tapi belakangan tante

nya sering sendirian. Kebayang nggak sih pas mereka akhirnya married?"

Aku mengangguk-angguk setuju. "Yang biasanya di kamar ada saudara

nya, biasanya pergi ke mana-mana bareng, yang biasanya orang lain nggak

bisa bedain mereka."

"Nah, itu dia. Mungkin dia ngerasa mamanya Kei ini udah nggak

nganggep dia penting karena ada papanya Kei."

Tiba-tiba kami terdiam, membayangkan kisah tersebut.

"Kalo nggak salah papanya Kei pianis, bukan? Apa karena saudara kem

barnya direbut, makanya tantenya Kei benci piano? Benci musik?"

"Iya, tapi nggak cuma itu," tambah Rangga. "Ada lagi. Lo tahu kan

orangtuanya Kei meninggal karena kecelakaan?"

126

126

2:46:50 PM

Aku mengangguk.

"Orangtuanya meninggal dalam perjalanan ke resital piano pertamanya

Kei."

Aku memandang Rangga tidak percaya.

"Kei udah berangkat duluan, kalau Aya yang waktu itu masih umur tiga

tahun dititipin di rumah neneknya. Dalam perjalanan dari rumah neneknya

ke tempat konser itulah mereka kecelakaan. Papanya Kei langsung mening

gal di lokasi kejadian, tapi mamanya sempat sadar dan bicara dengan Kei

di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal."

Kei tidak menceritakan detail ini padaku, aku membayangkan perasa

annya pasti berat sekali ketika dia memberitahuku bahwa orangtuanya su

dah meninggal. "Ya ampun, Kei nyalahin dirinya sendiri ya gara-gara

itu?"

"Oh, nggak sih. Dulu mungkin iya, tapi sekarang kelihatannya dia udah

bisa nerima. Mungkin juga karena tantenya menanamkan bahwa semua ini

bukan karena kesalahan dia, tapi karena piano. Seandainya Kei nggak main

piano. Seandainya mamanya nggak ajarin dia piano. Ya, kalau dilihat dari

sudut pandang tantenya kan, orang yang dia sayang meninggal ?karena

piano?."

Aku mengerti sekarang, apalagi ditambah kenyataan bahwa keluarganya

tumbuh dalam gaya hidup yang ketat peraturan, tidak aneh kalau tantenya

jadi keras seperti itu pada Kei. "Jadi, tantenya yang buang piano itu?"

"Iya, dia nggak mau terima piano itu. Terus dia minta Kei nggak main

piano lagi. Dia juga udah atur Kei kuliah di jurusan arsitek, sama kayak

tantenya. Semuanya tantenya yang atur, dan kalau menurut Aya, mukanya

Kei paling mirip mamanya dibanding Aya."

Oh, seakan-akan tantenya ingin memperbaiki semua hal yang menyakit

kan di masa lalu melalui Kei. Apalagi karena melihat diri kakak kembarnya

dalam diri Kei, makanya dia mengatur segala hal dalam hidup Kei sebagai

tindakan yang menurutnya harusnya dilakukan di masa lalu untuk mence

gah kematian kembarannya itu. "Tapi ini nggak adil kan buat Kei."

"Menurut gue sih, kayaknya buat Kei asal tantenya nggak menderita lagi

kayak dulu, dia nurut aja sama keinginan tantenya."

Hm, apakah begitu? "Tapi toh Kei tetep main piano kan sekarang?"

127

127

2:46:50 PM

Tiba-tiba sesuatu terlintas dalam pikiranku. "Eh, apa dia selama ini main

nya diam-diam? Pantes dia nggak mau ada orang lain yang tahu dia main

piano, ya?"

Rangga mengangguk. "Dia sih bisa aja main diam-diam di rumahnya,

tapi Aya bilang Kei nggak pernah main. Walaupun begitu Kei maksa ma

suk SMA ini lagi biar bisa lihat piano lamanya. Kepala Sekolah juga kan

tahu tentang ini, makanya Kei bisa pegang kunci cadangan. Bahkan seta

hun pertama di sini aja dia masih nggak berani nyentuh pianonya, baru

pas kelas dua dia akhirnya diam-diam mulai main piano lagi."

Hmm. Aku mengerti. "Tapi Rangga, ada yang aneh. Kalau emang dari

kecil Kei udah menyukai musik, dia nggak akan semudah itu nyerah dan

ninggalin musik. Maksud gue, musik pasti penting banget buat dia karena

kenangan bersama orangtuanya juga melalui musik, kan? Apalagi papanya

pianis. Nggak mungkin dia ngelepasin satu-satunya cara buat mengenang

orangtuanya, kan? Dia kan masih kecil, walaupun tantenya bilang gara-gara

musik makanya orangtuanya meninggal, nggak akan semudah itu dia perca

ya. Tapi kalau Aya bilang Kei nggak pernah main piano di rumah sama

sekali, kok rasanya aneh. Apa ada alasan lain yang bikin dia bisa semudah

itu nurut tantenya, ya? Maksud gue, apa dia nggak pernah berontak sekali

pun untuk diizinin main musik lagi?"

"Hmm," Rangga ikut berpikir. "Bener juga, apa ada hal yang kita nggak

tahu, ya? Atau Aya nggak ngasih tahu gue?"

"Atau Aya sendiri nggak tahu?" sahutku. "Mungkin Kei nggak ingin

adiknya juga tahu. Apa ya kira-kira? Tapi aneh, kan"

Giliran Rangga yang mengangguk. "Nanti gue tanyain Aya lagi." Dia

menatapku sambil tersenyum licik yang seolah berkata "thank you, Alexa,

lo udah ngasih alasan buat gue ngobrol sama Aya."

Ah, kasihan Aya. "Nah, sekarang apa hubungannya sama masalah dia

sekarang. Ini kan udah dia alami dari dulu dan keliatannya udah bisa di

atasi, terus kenapa belakangan ini dia jadi galau begini? Apa berhubungan

sama hal yang belum kita tahu ini, ya?"

"Oh, kalau yang kemarin ini gara-gara Aya yang keceplosan di depan

tantenya dan bilang bakal dateng ke Porseni besok. Yang bikin Kei dan

Aya panik, tantenya yang biasa sibuk di kantor tiba-tiba mau menyempat

128

128

2:46:51 PM

kan dateng buat nonton juga. Dia baru tahu selama ini Kei pulang telat

karena jadi panitia, makanya dia mau liat acaranya kayak gimana. Hasil

kerja keras Kei, anak asuhnya."

"Oh, my." Aku benar-benar tidak bisa membayangkan apa jadinya besok,

"pantes aja dia jadi aneh begitu."

"Soalnya kalau dia ketahuan main piano, tantenya pasti marah banget."

Rangga benar. Di sisi lain aku yang meminta dia membantuku tampil

besok tanpa mempertimbangkan keadaan dirinya yang sebenarnya. Seharus

nya aku sadar ada yang aneh karena dia begitu ingin menutupi kemam

puan bermain musiknya. Tapi melihat dia begitu sukarela untuk tampil di

depan satu sekolah nanti membuatku berpikir dia juga pasti menginginkan

ini. Bukankah itu juga berarti dia sebenarnya tidak keberatan dengan

ajakanku untuk tampil di depan umum?

Asalkan tantenya tidak mengetahui hal ini.

Ya, pasti dia berpikir begitu.

"Rangga," ujarku, "apa kemungkinan terburuk kalau tantenya tahu Kei

main piano lagi tanpa izin?"

"Udah jelas kan," jawab Rangga, "dia pasti pindah sekolah."

Matahari yang semakin terik akhirnya berhasil membubarkan kerumunan

massa di lantai dua. Setidaknya banyak juga yang sudah mulai pulang, tapi

ada juga yang masih tetap nekat berteduh di kantin. Yang benar saja, mereka bisa tahan dengan hawa pengap dan panas dari kompor-kompor di

kantin bercampur terik matahari.

Aku tidak mau membayangkannya.

Karena tahu panasnya akan seperti apa, aku kembali naik ke ruang mu

sik. Aku toh sudah membantu panitia tadi, dan sekarang tidak ada yang

bisa kubantu lagi. Kalau kutanya anggota yang lain, mereka hanya bilang

"Udah, nggak apa-apa, ini kerjaan cowok". Wah, ada ketidaksetaraan gen

der di sini. Tapi khusus untuk kali ini aku menerima dengan senang hati.

Aku juga tidak tertarik menghabiskan tengah hari dengan panas-panasan

di bawah. Memang sih di area panggung sudah ada terpalnya, tapi tetap

saja aku tidak tahan panasnya.

129

129

2:46:51 PM

Aku lebih suka di ruangan ini. Aku sudah menghidupkan pendingin

ruangan dan meski hawa panas masih agak terasa, setidaknya di sini masih

lebih baik daripada di luar sana. Dan karena aku butuh mempersiapkan

mental sebelum penampilan besok, kali ini aku menyingkirkan semua meja

ke sisi ruangan dan berbaring di lantai. Aku tidak peduli walaupun lantai

kotor, yang jelas dinginnya keramik di punggungku bisa menenangkanku.

Aku mengeluarkan earphone dan iPod, mulai memasang lagu-lagu

L?Arc~en~Ciel. Aku benar-benar perlu berpikir. Apalagi setelah pembicaraan

dengan Rangga tadi. Menurut Rangga, tak peduli apa pun yang terjadi

entah itu Kei harus pindah sekolah atau bahkan sampai dikurung di ru

mah, hal yang terbaik yang harus Kei lakukan adalah bermain musik dan

menunjukkan pada tantenya bahwa musik merupakan hal yang dia suka.

Ketika aku mendengar pernyataan ini keluar dari mulut Rangga, aku

cukup tidak percaya. Tapi aku mengerti maksudnya. Kei tidak seharusnya

menutupi jati dirinya. Selama ini dia seolah memakai topeng dan memba

ngun tembok pembatas antara dirinya dengan orang di sekitarnya Dan

semua itu dia lakukan demi menjaga perasaan tantenya, dengan mengorban

kan perasaan dan kepribadiannya sendiri.

Tapi itu semua salah.

Apa benar itu akan membahagiakan tantenya?

Kalau memang selama ini Kei selalu menuruti semua tuntutan tantenya,
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernahkah setidaknya sekali dia mengungkapkan pendapatnya sendiri kepa

da tantenya? Melihat keadaan keluarganya yang kaku seperti itu, sepertinya

belum pernah. Tapi kalau memang selama ini dia selalu menuruti kemauan

tantenya, apa yang akhirnya membuat dia memberontak? Apa pemicu yang

membuat dia berani bermain piano lagi?

Tiba-tiba aku merasakan pergerakan di sekitarku. Aku membuka mata.

Kei juga merebahkan diri di sampingku. Dia memejamkan mata. Mungkin

dia juga mencari ketenangan di tengah masalahnya. Aku tidak menyadari

dia masuk ke sini tadi.

Aku melepaskan earphone dan mematikan iPod. Saatnya mengajaknya

bicara.

"Hei, Senior?" panggilku. Kei tidak merespons, tapi aku yakin dia tidak

tidur.

130

130

2:46:51 PM

"Seberapa besar Kei mencintai musik?"

Lama dia tidak bereaksi, tapi lalu perlahan dia membuka mata dan

menatap lurus ke langit-langit. Wajahnya begitu serius, aku tidak bisa mem

baca raut wajahnya. Apakah saat ini bayangan orangtuanya terlintas dalam

benaknya? Neneknya? Atau ketika dia bermain musik lagi setelah kira-kira

delapan tahun terpaksa meninggalkannya?

"Itu," Kei memulai, "hal terindah yang pernah aku temui."

Aku mengangguk. Hmm, baguslah. Setelah kejadian buruk yang menim

panya dan berhubungan dengan musik, dan paham yang ditanamkan tan

tenya bahwa semua itu karena piano, pada akhirnya Kei tidak bisa mele

paskan musik. Sekarang tinggal bagaimana membuat dia mau jujur pada

dirinya dan menunjukkannya pada tantenya.

"Selama ini yang tahu Kei bisa main piano mungkin cuma gue dan

Rangga, kaca di pintu ruang musik aja ditempelin kertas biar orang lain

nggak bisa lihat kalo Kei lagi main. Kalau ada yang denger dan pengin

tahu siapa yang main pun, mereka nggak bisa masuk karena pintu dikunci,

kuncinya Kei yang pegang. Segitu hati-hatinya supaya orang lain nggak

tahu Kei bisa main piano atau bahkan biar hobi main piano diam-diam

ini jangan sampai terdengar di telinga ?orang itu?."

Kei tiba-tiba menoleh memandangku. Mungkin dia heran aku tahu soal

"orang itu".

Namun Kei kembali memandang langi-langit.

"Gimana rasanya, melakukan hal yang disukai dengan diam-diam dalam

waktu yang lama?"

Kei memasang wajah kesal.

"Gimana rasanya," dia balik bertanya, "melakukan hal untuk orang yang

disukai dengan diam-diam dalam waktu yang lama?"

Apa? Dia menyindirku? Daniel, maksudnya? Aku langsung bangkit dan

duduk.

"Sekarang kan bukan lagi ngomongin masalah gue, lagian gue nggak

diam-diam kok, dia tahu gue suka sama dia."

"Jadi, karena terang-terangan makanya misinya gagal, kan?" Dia juga

bangkit duduk menghadapku. "Perasaan tidak berbalas."

"Ini lain, ini masalah hati, gue nggak bisa maksa kalau dia lebih milih

131

131

2:46:51 PM

cewek lain, kalau emang jodoh toh dia juga pasti balik ke gue," balasku

tegas.

Kei tertawa sinis.

"Masalahku juga masalah hati, aku nggak bisa maksa dia untuk menyu

kai lagi hal yang kusuka setelah penderitaan yang dia alami."

"Setidaknya gue berusaha nyatain perasaan gue ke dia. Sedangkan lo,

tante lo nggak tahu lo suka musik. Pernah nggak lo ngomong ke dia?"

"Gimana mungkin aku ngomong kalau tiap kali ?piano? disebut dia

langsung"

Kei tiba-tiba berhenti melihatku tersenyum puas. Dia mengerti apa yang

kumaksud. Setidaknya dia mengakui dia belum pernah benar-benar bicara

kepada tantenya, atau pernah memulai, tapi tidak dia selesaikan dengan

benar karena keadaan emosional tantenya. Aku tahu, sebenarnya dia yang

paling mengerti masalahnya sendiri, tapi sekarang bagaimana caranya men

dorong dia agar dia menjadi berani, keluar dari kungkungannya dan menye

lesaikan masalahnya.

"Terlambat kalau mau mundur dan pura-pura masih jadi anak yang

baik. Sejak Kei nyuruh gue tampil di acara ini, semuanya udah terlambat.

Bukan, bahkan mungkin sejak Kei akhirnya menyentuh piano itu lagi."

Kei membuang muka. Baru pernah aku melihat dia begitu stres seperti

ini. Aku tahu aku belum benar-benar tahu seluruh permasalahannya, mung

kin ada lagi hal lain yang dia simpan. Apa pun itu, sudah terlambat untuk

menyesalinya sekarang. Ini saatnya mengambil langkah ke depan dan

menghadapi masalah dengan lebih berani.

"Music conveys emotion," ucapku pelan. Kei perlahan menatap wajahku.

"Kei sendiri kan yang bilang? Kalau memang bicara tidak berhasil, mung

kin musik adalah cara yang tepat untuk menyampaikan perasaan yang

sebenarnya. Dengan memutuskan untuk setuju tampil bareng gue, sebe

narnya ada niat dalam diri Kei untuk bisa bebas dan main piano apa ada

nya, kan? Melakukan hal yang Kei suka, menampilkan diri Kei yang

sebenarnya."

Dia menatapku lekat-lekat. Aku membalas tatapannya. Aku tahu, dia

pun tahu. Dia tidak bisa lari dari hal ini selamanya atau semuanya akan

berakhir dengan penyesalan sebelum ia benar-benar mencoba. Aku yakin

132

132

2:46:51 PM

dia akan tetap melakukannya, walaupun salah satu kemungkinan terbu

ruknya adalah pindah sekolah, jauh dari pianonya yang dia sayangi.

Aku tahu, membayangkan apa yang menungguku hari ini saja cukup untuk

membuatku tidak tidur semalaman. Untungnya setelah latihan gila-gilaan

kemarin, meladeni Kei yang kembali bersemangat untuk menebus kesalah

annya, tubuh yang lelah berhasil membantuku tidur lelap.

Cuaca hari ini pun begitu mendukung mood. Dibanding kemarin yang

panas terik, hari ini terasa lebih sejuk. Langit tidak sejernih sebelumnya

karena dipenuhi awan. Tanda-tanda awal Oktober, awal musim hujan, su

dah muncul. Walaupun ada awan, aku yakin hujan tidak akan turun siang

ini. Tidak. Tidak boleh saat aku akan tampil di depan sejuta umat sekolah

ini. Aku sudah memohon kepada Tuhan dan aku yakin Dia pasti mende

ngarkanku.

Atau mungkin aku terlalu berpikiran positif.

Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya.

Tunggu. Pada saat seperti ini aku memang harus membangun pikiran

positif, menghilangkan yang negatif, dan menenangkan pikiran. Situasi di

sekitar begitu mendukungku. Walaupun ada hiruk pikuk keramaian di de

pan panggung sana, panitia di belakang panggung cukup tenang dan tidak

panik berlarian ke sana kemari. Tidak sampai terlalu sunyi memang, tetapi

cukup tenang bagiku untuk

"Woi, Kei!"

Argh, mungkin tidak dengan adanya orang yang satu ini.

"Kasih tahulah nanti mau main lagu apa," suara Rangga tampaknya

terdengar dua kali lipat lebih jelas di telingaku.

Aku membuka mata. Meditasi dadakanku gagal karena orang ini.

"Nanti lihat aja sendiri," balas Kei membalas cuek.

Rangga tidak mau kalah, malah semakin menjadi-jadi.

Aku mengalihkan perhatian dari mereka, dan mulai mencari keberadaan

Kitty. Tadi kalau tidak salah dia pergi sebentar dengan liaison officer kami.

Akhirnya aku menangkap sosoknya berjalan kembali ke arahku.

"Nggak ada masalah, kan?" tanyaku.

133

133

2:46:51 PM

"Nggak kok, cuma disuruh stand by," jawabnya santai.

"Suruh stand by aja ribet amat sampai lama begitu," ujarku, ikut menja

ga intonasi suaraku agar terdengar santai.

"Oh, gue ngecek crowd-nya," jawabnya masih santai.

"Terus?" Jawaban selanjutnya akan memengaruhi keadaan mentalku sete

lah ini.

"Lumayan banyak juga ya," jawabnya, lagi-lagi kelewat santai.

Aku langsung diam.

"Awas ya Kei, pokoknya gue bakal berdiri depan panggung biar lo gro

gi!" teriak Rangga dari belakang.

Ternyata dia masih ada di sekitar sini ya, biang kerok yang merusak

meditasiku. Waktu aku menoleh ke arah mereka, dia melambaikan tangan

pada kami dan langsung berlari ke depan panggung. Senyum di wajahnya

semringah sekali. Aku merinding melihatnya. Entah kenapa aku merasa itu

seperti firasat buruk, ibarat melihat kucing hitam lewat di depan mata dan

sesaat lagi aku akan menghancurkan permainanku di atas panggung.

Aku menepuk-nepuk pipiku. Sepertinya kebanyakan tidur tidak baik

juga, menyebabkan halusinasi berlebihan.

"Alexa, nggak apa-apa?" tanya Kei.

"Ah, nggak apa-apa," jawabku. Tidak mungkin kan aku bilang aku mera

sa kurang enak badan setelah melihat senyum Rangga yang terasa seperti

pertanda buruk.

"Guys, tunggu di samping panggung aja yuk," ajak Kitty.

Kami pun langsung bergegas ke sana. Saat ini ada band lain yang se

dang tampil. Ini sudah lagu kedua. Kitty berjalan agak ke depan untuk

berbicara lagi dengan liaison officer kami. Aku tidak yakin Kitty membicara

kan apa, tapi memang dia selalu berusaha memastikan semuanya berjalan

lancar.

Yang membuatku heran, bahkan pada saat seperti ini bisa-bisanya dia

tetap setenang itu. Dari luar sih aku juga terlihat tenang. Masalahnya, ti

dak ada yang tahu saja apa yang sebenarnya kurasakan. Kalau boleh ingin

rasanya aku naik ke lantai tujuh saat ini juga, membuka jendela, dan berte

riak sekencang-kencangnya sampai aku puas. Bagaimana, ya? Kegugupan

yang begitu besar dan ditahan sekuat tenaga itu memang tidak menyehat134

134

2:46:51 PM

kan! Saat ini aku hanya bisa berdiri kaku, memandang kosong kedua ta

nganku yang terasa dingin meski sudah kugosok-gosokkan terus dari tadi.

Aku merasa tanganku membeku, walaupun dingin yang kurasakan itu da

tang dari dalam diriku sendiri.

Argh, satu lagi. Kenapa pada saat-saat grogi seperti ini selalu saja larinya

ke perut? Perutku rasanya mulas sekali membayangkan akan tampil di

panggung sebentar lagi! Hanya dalam hitungan menit!

Aku benar-benar kaget waktu tiba-tiba merasakan tangan hangat lain

meraih tangan kiriku, menariknya, dan menggenggamnya erat.

Aku melirik Kei. Dia memandang lurus jauh ke arah penonton. Mung

kin dia menyadari kegugupanku yang tidak terkontrol dan berusaha menenangkanku. Tangannya terasa begitu hangat. Genggamannya yang erat

membuatku yakin semua akan baik-baik saja.

Seharusnya dia juga gugup seperti aku. Setidaknya aku tahu dia gugup

karena ada kemungkinan tantenya datang menonton, tapi dia tampak

begitu tenang dan mampu menguasai diri. Kami akan melakukan sesuatu

yang penting sebentar lagi dan kami butuh saling menguatkan. Ini langkah

terakhir bagiku untuk melepaskan Daniel dan langkah awal bagi Kei untuk

mulai mengejar impiannya sebagai pianis. Kami sama-sama membutuhkan

keberanian yang besar.

Untuk segala kenangan akan Daniel yang telah terbentuk dalam diriku
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa tahun terakhir, untuk bagian dari diriku yang menjadi begitu

menyukai musik dan mengetahui musik lebih luas lagi karena dirinya, ini

merupakan pernyataan perasaan terakhirku padanya. Pernyataan bahwa apa

pun yang telah terjadi, dia pernah menjadi bagian yang begitu penting

dalam hidupku, dan akan selalu seperti itu.

Musik di panggung tiba-tiba berhenti, penonton terdengar bertepuk ta

ngan. Penampilan band di panggung sudah selesai dan liaison officer di

depanku memberikan isyarat. Saat itu juga, Kei melepaskan genggamannya

ketika Kitty tiba-tiba berbalik menghadap kami dan berkata, "Teman-te

man, let?s do our best!" kemudian menyalami kami dan berjalan pelan ke

atas panggung.

Kei menepuk bahuku. Aku menganggapnya sebagai dorongan terakhir

agar aku juga memberikan yang terbaik. Dan aku berjalan dengan lebih

135

135

2:46:51 PM

yakin, menerima apa pun yang mungkin terjadi di atas panggung. Saat ini.

Dan setelahnya.

Aku menunduk ketika melangkah ke panggung, tidak berani melihat

apa yang mungkin ada di depanku. Aku mendengar MC berbicara kepada

penonton sambil menunggu kami bersiap-siap. Aku terus berjalan ke posi

siku, mencari amplifier untuk bas akustikku, dan mengesetnya sesuai kebu

tuhanku. Aku mengecek suaranya sekali lagi dan sudah merasa mantap.

Instrumen musiknya sudah mantap, tapi hatiku belum.

Aku berdiri, menghelas napas, dan membulatkan tekad untuk berbalik,

menghadapi kenyataan. Aku berbalik dan saat itu juga rasanya jantungku

berhenti berdetak.

Tampil untuk acara pembukaan memang pilihan yang salah, terutama

di urutan awal. Lumayan banyak murid berkumpul di depan panggung

dengan wajah antusias. Aku bahkan mulai tidak yakin apakah Daniel ada

di antara para penonton, atau Selwyn dan yang lain juga hadir. Ada pa

meran seni di lorong dan kelas-kelas di lantai dua, di lantai delapan,

pertandingan olahraga juga sudah dimulai. Tidakkah mereka tertarik untuk

menonton di sana? Pentas musik di panggung ini kan hanya sebagai ben

tuk asosiasi bahwa acara Porseni dimulai.

MC mulai mengajak bicara Kitty, kemudian Kitty memperkenalkan

kami satu per satu. Ketika dia menyebutkan nama dan posisiku, aku mera

sakan antusiasme berlebihan dari arah kiri panggung di dekatku. Oh, itu

Rangga dan teman-temannya. Aku bisa melihat Teddy dan anggota band

mereka yang lain. Yah, setidaknya kami tidak tampil setelah band mereka,

atau kami akan kalah pamor sekali.

Aku tidak yakin dengan apa yang mereka teriakkan. Pada saat seperti

ini rasanya semua indraku membeku dan tidak bekerja, tapi aku yakin

Rangga dan yang lainnya menunjuk-nunjuk Teddy dan mendorong-dorong

nya ketika Kitty menyebut namaku. Aku melirik Kei yang berdiri santai

di depan keyboard-nya.

Dia memberikan tatapan kubilang-juga-apa.

Aku ingat cerita Kei tentang Teddy.

Sekarang Kitty menyebutkan nama Kei dan entah dari mana (dan entah

136

136

2:46:51 PM

bagaimana tiba-tiba aku merasa pendengaranku berfungsi kembali) aku

mendengar jeritan beberapa cewek dari arah penonton.

Giliran Kei yang melirikku.

Dan giliranku yang memberikan tatapan kubilang-juga-apa.

Main lirik-lirikan dengan Kei membuatku nyaris tidak sadar Kitty sudah

selesai bicara dan saat ini sedang memberikan tanda untuk bersiap. Kitty

memandangku tegas, tetapi terasa menenangkan. Aku tahu dia mengingat

kanku untuk bermain seperti biasanya, seakan-akan kami tidak sedang

berada di panggung.

Dan musik pun dimulai.

Aku memulainya dengan bersih. Di awal musik permainanku masih

belum terlalu rumit, tapi akan ada bagianku untuk menonjolkan hasil latih

an kerasku selama dua minggu ini. Sejauh ini aman. Aku masih terus

menunduk memandang basku sambil mengusahakan agar tidak melakukan

kesalahan, tapi ketika aku mulai memperhatikan yang lain, aku menyadari

sesuatu.

Kitty terlihat bernyanyi dengan penuh percaya diri dan santai. Dia tam

pak meyakinkan. Beberapa kali dia menggerakkan tangan untuk menegas

kan lirik yang dia nyanyikan. Kei juga, mungkin dia tidak sadar, tetapi

tubuhnya bergerak mengikuti irama. Salah satu kakinya bergerak teratur

seakan-akan memberikan ketukan untuk dirinya sendiri. Aura mereka

begitu berbeda.

Itu dia. Yang kulakukan adalah bermain aman dan memastikan bahwa

aku tidak melakukan kesalahan, sedangkan yang mereka lakukan adalah

menikmati musik semaksimal mungkin dan memastikan penonton pun

menikmati.

Aku tersenyum, lebih seperti menertawakan diri sendiri. Bodohnya aku,

tidak menyadarinya dari awal. Latihan selama ini sudah cukup untuk mem

buatku benar-benar menguasai lagu, yang kubutuhkan sekarang adalah

menikmatinya. Lagi pula, bagaimana aku bisa menyampaikan emosi dan

perasaanku kepada Daniel kalau aku tidak bisa mempersembahkan musik

ini dengan benar? Begitu memfokuskan pikiranku untuk merasakan musik

yang kami hasilkan, saat itu juga aku merasa kegugupanku larut dalam

atmosfer yang terbangun saat ini. Aku merasa begitu santai.

137

137

2:46:51 PM

Kitty melihatku sekilas sambil terus bernyanyi. Aku membalasnya de

ngan senyuman, memastikan bahwa aku mengerti maksudnya dan saat ini

sedang berusaha menikmati keadaan.

Ini menyenangkan sekali. Aku belum pernah merasa sebahagia ini saat

sedang menampilkan sesuatu di depan banyak orang. Bahkan ketika akhir

nya aku mulai memasuki bagian permainanku yang paling rumit, aku

memejamkan mata dan membiarkan jemari serta naluriku yang mengambil

alih. Teringat kembali penampilan live Tetsu L?Arc~en~Ciel yang pertama

kali kulihat dalam video yang Daniel tunjukkan. Bagaimana posenya saat

bermain dan kepercayaan diri yang dia tampilkan dengan begitu memeso

na, aku hanya berharap aku bisa memberikan hal yang sama saat ini.

Aku membuka mata dan melirik Kei. Dia memandangku dan tersenyum

lebar ke arahku. Senyumnya berbeda dengan yang pernah kulihat, bahkan

aku yakin senyum yang juga berbeda dengan yang pernah Rieska gambar

kan padaku. Senyum Kei kali ini senyum paling tulus yang pernah kulihat.

Senyum yang menampilkan sisi lain kepribadiannya yang selama ini terlalu

rapuh untuk dia tunjukkan pada orang lain. Senyum dari Kei yang begitu

mencintai musik dan menikmati musik saat ini. Dan senyum ini, untuk

pertama kalinya membuatku merasa jantungku berhenti berdetak selama

sedetik saat aku menatap wajahnya.

DANIEL

Agak jauh dari panggung dan di belakang murid-murid yang cukup padat

memenuhi area penonton, kulihat Raka dan beberapa temannya.

"Oi, Niel," ujar Raka kaget ketika aku menepuk bahunya dari belakang..

"Lo bukannya tugas jaga di lantai delapan?"

"Nggak, gue sama Vivi nanti siang, sekarang lagi gilirannya Rieska,"

jawabku sambil menunjuk Vivi di sebelahku.

"Oh," Raka mengangguk. "Eh, itu yang lagi main bas Alexa, bukan?"

Aku memperhatikan penampil di panggung. Ya, aku tidak salah lihat.

Itu memang Alexa.

"Iya, bener," jawabku.

138

138

2:46:51 PM

"Gue nggak tahu dia bisa main bas juga," timpal Raka.

"Gue juga nggak nyangka dia bisa main sebagus itu."

Rupanya aku mengucapkan itu sambil tersenyum, karena Raka langsung

tertawa dan menoleh ke arah Vivi. "Wah, Vi, cowok lo punya saingan

berat nih sekarang."

Aku melirik Vivi. Dia hanya memandang lurus ke depan.

Aku kembali menikmati penampilan musik di panggung ketika tiba-tiba

Vivi berkata, "Daniel, mending kita ke atas sekarang, yuk, kasihan Rieska

nggak ada temennya."

"Oh, kamu duluan deh, nanti aku nyusul aja," jawabku sambil meng

usap kepalanya sekilas. "Aku mau nonton di sini dulu bentar."

Sejujurnya, aku tidak ingin meninggalkan tempat ini karena ada hal lain

yang lebih menarik perhatianku. Aku ingat pernah mengajari Alexa ber

main bas tahun lalu, tapi aku tidak pernah menyadari ternyata dia mene

ruskan latihannya sampai bisa bermain sebagus sekarang. Aransemennya

yang dibawakan juga menarik, tapi melihat Alexa yang bisa begitu santai

memainkan bagiannya dengan lancar terasa lebih menarik lagi.

139

139

2:46:51 PM

10

THE UNEXPECTED

ALEXA

Dari jendela yang terbuka terdengar musik dari band yang sedang tampil

di penutupan Porseni. Pertandingan olahraga sudah selesai dan mungkin

sebentar lagi pembagian penghargaan kepada para pemenang. Seharusnya

aku membantu di bawah atau setidaknya siap apabila panitia butuh sesua

tu, tapi sejak pagi tadi Selwyn menggangguku. Saat aku membantu meng

gambar desain gantungan kunci di pameran seni, dia sengaja menyenggolku

sampai akhirnya aku mencoret tanganku sendiri. Masalahnya, noda spidol

itu susah dihilangkan dengan air dan sabun. Tidak hanya aku, teman seke

las yang lain pun diganggu, tapi mereka pasrah saja, kecuali Kenny mung

kin yang sempat histeris dengan kejailan Selwyn. Karena itu, mumpung

Selwyn sedang dipenuhi tanggung jawab yang tinggi untuk mengatur flow

acara penutupan di bawah, aku langsung kabur ke ruang musik untuk me

nenangkan diri.

Bersantai seperti ini; mendengarkan playlist musik yang biasa kudengar

kan sambil menggambar di buku sketsaku, sudah lama rasanya tidak sete

nang ini.

140

140

2:46:51 PM

Brak!

Tiba-tiba pintu terbuka. Kei masuk sambil membawa tumpukan tinggi

kanvas yang nyaris menutupi pandangannya.

Aku langsung berdiri dan menghampirinya untuk membantu, tapi dia

berhasil meletakkan bawaannya di meja di sudut.

"Ah, itu dua belas lukisan yang gue buat waktu itu?" tanyaku.

Kei mengangguk. Dia lalu berdiri menatapku dan bersedekap.

Eh, apakah dia marah?

"Dari tadi di sini?" tanyanya pelan tapi tegas.

"Ah, iya, iya, gue bantuin kerja deh, tadi gue kabur dari Selwyn." Aku

langsung bergerak ke arah tempat dudukku tadi dan membereskan tempat

pensilku. "Gue nggak tahu kalau udah mulai beres-beres."

"Ngapain di sini sendirian?" tanya Kei lagi.

Aku mengangkat buku sketsaku. "Gambar," jawabku lalu memasukkannya ke tas. Aku berhenti sebentar lalu memandang piano di depanku.

Melihat piano hitam itu beberapa minggu belakangan ini memang meng

ingatkanku akan sesuatu.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dulu," aku memulai, "gue inget pernah gambar orang lagi main piano.

Itu gambar spontan karena gue habis nonton film tentang musik klasik.

Gue paling suka gambar spontan, karena saat itu biasanya gue benar-benar

gambar sepenuh hati. Tapi gambar itu hilang. Emang sih waktu itu gue

gambar di robekan halaman dan gue selipin di buku sketsa gue, jadi mung

kin jatuh entah di mana."

Aku kembali membereskan isi tasku. "Gue pikir gue bisa gambar ulang,

ternyata memang susah kalau udah direncanain begini."

Aku mengambil tasku dan menghampiri Kei, tapi cowok itu seolah ha

nyut dalam lamunannya sendiri. Dia tersenyum dan memandang tangan

kirinya.

"Oi!"

Kei menoleh memandangku.

Aku menatapnya penasaran. Kenapa dia mendadak melamun?

Muka Kei tiba-tiba kembali serius. "Ayo," ujarnya santai dan langsung

menuju pintu.

Apa sih? Dia benar-benar aneh.

141

141

2:46:51 PM

Kei membukakan pintu. Aku berjalan melewatinya.

Begitu Kei menutup pintu ruang lukis, aku mendengar seseorang me

manggilku. Aku menoleh, dan tampaklah Daniel berjalan ke arahku.

"Oh, bukannya lo tampil di penutupan?" tanyaku, baru ingat Daniel

dan bandnya berencana tampil juga.

"Udah tadi, awal acara," jawab Daniel. "Lo nggak nonton, ya?"

"Eh, tadi ada halangan"

Daniel langsung memasang tampang kecewa. "Yah, padahal waktu lo

tampil kemarin gue nonton," ujarnya.

"Oh, ya?"

"Iya, lo main bagus kok," tambahnya sambil tersenyum. "Lo improvisasi

sendiri, ya?"

"Oh," aku menunjuk Kei, "kalo itu Kei yang..."

Kei tiba-tiba berjalan lebih dulu menuju lift.

"Eh, Kei tunggu." Aku berjalan mengikutinya. "Sori, Daniel, gue mesti

ke bawah buat bantu beres-beres pameran seni."

"Oh, gue juga kok," ujar Daniel, ikut berjalan di sampingku.

Kami berjalan bertiga menunggu lift. Bahkan saat berdiri dalam diam

di depan pintu lift pun rasanya begitu canggung. Itu lima menit terlama

dalam hidupku. Kei tetap diam, aku yang merasa tidak nyaman juga ikut

diam, dan Daniel yang mungkin merasa canggung juga ikut diam.

Aku tidak menyangka Daniel menonton penampilanku. Memang itu

tujuanku. Menyampaikan pesan, perasaanku yang terakhir kepadanya, tapi

saat itu aku tidak terlalu memikirkan tujuan awalku lagi, mungkin karena

terlalu gugup. Lalu, setelah melihat penampilanku kemarin, apakah dia

menangkap lirik lagu yang dinyanyikan Kitty? Apakah dia menangkap

pesannya? Apakah setelah itu dia jadi merasa lebih bebas bicara denganku

karena tahu aku sudah tidak berniat memendam perasaan terhadapnya lagi?

Walaupun begitu, aku tidak menyangka dia menyukai permainanku. Dua

minggu yang melelahkan itu ternyata terbayar.

"Daniel," aku memulai, tiba-tiba suaraku terdengar keras di tengah

suasana yang sepi ini, membuat kedua orang itu menoleh padaku, "thank

you, udah nonton."

Daniel tersenyum.

142

142

2:46:51 PM

Tiba-tiba lift berbunyi. Kedua cowok di sampingku itu bergerak mun

dur. Aku melirik mereka, mereka juga saling memandang. Apa mereka

baru saja serempak memberikan sinyal padaku untuk masuk ke lift duluan?

Ladies first, maksudnya?

"Ah, Daniel! Alexa!"

Suara itu.

Kami semua menoleh ke dalam lift. Vivi berdiri sendirian di sana, terse

nyum dan melambai padaku.

Sem. Pur. Na.

Aku terpaku beberapa saat. Sedang apa dia dalam lift? Maksudku, meng

apa di saat seperti ini? Mengapa hal semacam ini masih harus kualami? Ya,

aku harus membiasakan diri. Lagi pula, aku tidak boleh memusingkan hal

ini lagi. Aku sudah lapang dada melepaskan Daniel. Jadi, mau berapa kali

pun aku melihat mereka bersama, seharusnya tidak lagi jadi masalah.

"Kirain kamu udah turun duluan," ujar Daniel pada Vivi.

"Ini baru mau turun," jawab Vivi.

"Alexa, lo nggak mau turun?" tanya Daniel.

"Oh." Aku berjalan masuk ke lift. "Iya."

Daniel mengikuti, lalu Kei.

Suasana kembali canggung, terutama Kei dan aku. Vivi mengajak Daniel

bicara seperti biasa, tetapi aku?Kei tahu?masih tidak terbiasa dengan

keadaan ini. Aku hanya menatap layar LED terus-menerus. Ketika angka

menunjukkan kami baru saja melalui lantai lima, Vivi mengajakku bicara.

"Hm, sori Alexa," dia memulai, "gue cuma agak penasaran."

"Ya?"

"Mungkin kalian nggak sadar." Dia menunjuk aku dan Kei. Kei yang

tidak menyangka juga diajak bicara, akhirnya ikut menoleh ke arah Vivi.

"Belakangan ini gue sering lihat kalian bareng."

"Oh, gue dan Kei?" tanyaku memastikan.

"Iya." jawab Vivi. "Apa gara-gara bantu persiapan Porseni ini," dia ber

henti sebentar, "kalian jadian, ya?"

"Apa?!" aku dan Kei menyahut berbarengan. Aku melirik Kei, tapi dia

malah membuang muka dan menatap lurus ke layar LED. Aku tidak bisa

membaca ekspresinya.

143

143

2:46:51 PM

Aku kembali menatap Vivi. "Nggak kok, Vivi, lo salah paham," jawab

ku, jujur. "Kami temenan doang."

"Oh, ya?" dia memastikan. "Tapi kok kayaknya"

Pintu lift tiba-tiba terbuka dan Kei adalah yang pertama melesat ke

luar.

"Kei!" panggilku, tapi dia berjalan cepat sekali menuju tangga utama.

Dia benar-benar kelewatan, tadi dia bilang mau bantu beres-beres kelas

bekas pameran seni.

"Alexa, ayo," panggil Daniel.

"Ah, kalian duluan aja ya, nanti gue nyusul."

Daripada terjebak dalam situasi canggung bersama Daniel dan Vivi, le

bih baik aku bersama Kei di luar. Saat ini keadaan Kei lebih aneh, tadi

melamun sendiri, sekarang aku ditinggal begitu saja. Dia benar-benar pu

nya masalah komunikasi.

Pagi ini aku nyaris tidak bangun. Mataku masih terpejam bahkan saat aku

berjalan ke kamar mandi, tapi saat aku melihat jam dinding di kamar, aku

tahu aku dalam masalah besar. Aku terlambat!

Ini gara-gara Porseni, tiga hari berturut-turut yang benar-benar menguras

tenaga. Belum pernah aku bangun kesiangan begini. Aku mulai berlari ke

gedung sekolah begitu melewati gerbang, tapi kemudian aku berhenti berlari

dan hanya berjalan cepat. Aku tidak kuat, rasanya tenagaku terkuras habis.

Aku yakin pasti banyak murid-murid yang izin tidak masuk hari ini dan

beralasan sakit, tapi sayangnya aku tidak bisa. Minggu depan sudah mulai

ujian tengah semester, karena itu minggu ini pasti semua guru akan mereview pelajaran-pelajaran yang sudah dibahas. Aku harus masuk.

Aku melihat sekitar, masih banyak murid-murid yang, sama sepertiku,

juga baru datang. Aku melihat jauh di tangga utama, masih ada guru piket

yang bertugas menyambut murid-murid di sana. Ah, untunglah jamku tidak sama dengan di sekolah, berarti bel masih belum berbunyi. Walaupun

begitu aku yakin sebentar lagi bel akan berbunyi.

"Oh, Daniel." Aku benar-benar kaget, Daniel mendadak muncul di

sampingku.

144

144

2:46:51 PM

"Kesiangan," jawabnya singkat, sambil tersenyum. Aku melihat ke

belakang, sepertinya dia baru saja dari parkiran motor. Tapi aneh, pacarnya

tidak ada.

"Tumben nggak bareng Vivi."

"Oh, gue suruh dia berangkat duluan soalnya gue telat bangun. Kalo

gue jemput dia dulu pasti nanti telat banget sampe sekolah," jawabnya.

Aku menatap wajahnya. Dia juga terlihat kelelahan. "Tepar, ya."

"Iya!" Daniel langsung menimpali. "Padahal gue pulang tuh masih sore,

nggak sampe malem kayak yang lain, tapi capeknya tuh bener-bener nggak

tahan."

Kami sudah sampai di tangga utama dan disapa guru piket.

"Kenapa nggak bolos aja sekalian?" tanyaku, ketika kami semakin meme

lankan langkah selama mendaki tangga utama yang cukup tinggi.

"Ah, nyokap gue pasti ngoceh," jawab Daniel, sambil mengacak-acak

rambutnya, penampilannya benar-benar tidak serapi biasanya. "Mending

gue sekolah aja daripada diomelin seharian."

"Oh, jadi kalo nyokap lo ngizinin bolos, lo pasti bolos?" pancingku.

"Ya, iyalah!" Dia melirikku sambil tersenyum jail.

Aku menepuk bahunya. "Dasar pemalas," ujarku pelan. Aku langsung

berjalan cepat menuju puncak tangga.

Daniel menyusul. "Oi!" panggilnya.

Aku menoleh, melambaikan tangan, dan bergerak meninggalkannya.

"Awas ya istirahat nanti!" teriaknya, sebelum akhirnya berjalan menuju

pintu masuk di samping tangga utama.

Aku juga berjalan cepat menuju pintu utara, tapi sempat menoleh ke

belakang sebentar. Apa aku tidak salah dengar, dia mau datang saat istira

hat nanti? Aku tidak bisa menahan diriku untuk tersenyum. Aku tidak

menyangka aku bisa bebas berbicara dengan dia tanpa beban. Rasanya

seperti melepaskan beban berat di masa lalu dan memulai hal yang baru

yang lebih menyenangkan.

Aku menapaki tangga menuju lantai tiga dengan mantap. Langkahku

terdengar jelas karena suasana yang cukup sepi di tangga ini.

Tunggu sebentar. Rasanya ini salah. Aku memang merasa lebih lega

karena melepaskan bebanku di masa lalu, tapi kesenanganku akan keberha

145

145

2:46:52 PM

silan untuk memulai semua dari awal ini benar-benar terasa salah. Aku

memang memulai kembali, tapi dengan orang yang salah. Tidak seharusnya

aku senang karena bisa mengobrol santai dengan Daniel seperti tadi. Dia

bukan orang yang seharusnya membuatku senang karena berhasil diajak

bicara. Ini salah. Kalau begini aku akan mengulang kesalahan yang sama.

Kalau begini berarti aku menyeret diriku kembali ke masa lalu.

Aku berhenti di tengah-tengah tangga.

Ini bunuh diri.

Tidak seharusnya aku gembira. Bahkan aku sempat menunggu-nunggu

istirahat nanti agar bisa bertemu Daniel. Yang benar saja. Kalau begini

bagaimana aku bisa melupakan dia?

Tiba-tiba ada hal lain yang mengalihkanku dari lamunanku. Aku merasa

ada orang lain di dekatku. Aku menoleh.

"Woaa!" Aku melompat ke samping tangga. "Kei! Sejak kapan ada di

situ?"

Kei tidak menjawab dan hanya menatapku.

"Dari tadi lo ada di belakang gue?" tanyaku, memastikan.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kei mengangguk.

"Oh, ya?" Aku langsung berpikir keras. "Sejak kapan?"

"Tangga utama," jawab Kei datar.

Tangga utama? Aku tidak melihat dia.

Atau aku tidak menyadari keberadaannya.

Kei, apa dia stalker? Aku menepuk-nepuk dahiku. Ah, tidak mungkin.

Aku kembali menatap Kei, dia terus memperhatikan raut mukaku, seakanakan berniat mencari sesuatu.

Kei benar-benar aneh. Sejak kemarin dia benar-benar aneh. Setelah me

ninggalkanku di lift dia terus mendiamkanku, sampai akhirnya dia pulang

diam-diam dan aku baru tahu belakangan dari Rangga dia sudah pulang

lebih dulu.

Kei menghela napas dan melangkah lebih dulu ke atas, menuju kelas

nya.

"Kei," panggilku.

Kei sempat menoleh sekilas, tapi tetap berjalan pelan.

"Kemarin itu akhirnya gimana?" tanyaku. "Tante lo jadi dateng?"

146

146

2:46:52 PM

Setelah penampilan kami kemarin aku memang sempat melihat adiknya

sekilas, tapi tidak melihat ada wanita di sekitar mereka. Itulah sebabnya

kupikir tantenya tidak jadi datang. Tapi tidak menutup kemungkinan kalau

ternyata tantenya datang diam-diam. Karena itu aku ingin memastikannya

dengan Kei. Kalaupun tantenya datang, apakah masalah mereka berhasil

diselesaikan? Apakah sekarang Kei bisa bebas belajar musik seperti harap

annya?

Kei menatapku sebentar, kemudian menggeleng. "Ada rapat mendadak

dan dia nggak jadi datang."

"Oh, jadi masalahnya belum selesai," ujarku pelan. Tapi kurasa Kei

mendengar jelas ucapanku karena dia kemudian mengangkat tangan dan

menepuk-nepuk kepalaku.

Kei lalu berjalan ke kelasnya, meninggalkanku yang berdiri kaku dan

memandang punggungnya pergi.

Aku mendengar bel berbunyi, tapi rasanya bunyinya begitu jauh. Aku

juga melihat banyak murid yang tadinya masih di luar kelas, bergegas

memasuki kelas masing-masing, tapi mereka terasa seperti bayangan. Aku

juga melihat ada beberapa guru mulai menuju kelas tujuan mereka, bahkan

wali kelasku yang saat itu berjalan menuju kelasku untuk memulai pelajar

an pertama, tapi itu terasa tidak penting.

Saat ini aku merasa tubuhku kaku dan aku tetap berdiri di puncak tang

ga.

Tanganku menyentuh puncak kepala. Kesekian kalinya dia menepuk

kepalaku, kali ini pun masih terasa hangat tangannya setelah menyentuh

kepalaku beberapa saat yang lalu.

"Alexa. Alexa!" Itu suara Arnold. Ah, aku tidak peduli. Saat ini aku benarbenar mengantuk. Aku tidak tahan lagi. Setelah pelajaran kewarganegaraan

yang membosankan, aku tidak bisa lagi menahan mataku agar tidak ter

pejam. Jadi, mumpung sedang istirahat kedua, yang untungnya cukup

lama, tiga puluh menit, aku harus memanfaatkan waktu tersebut untuk

tidur. Ah, seandainya aku bisa langsung pulang sekarang dan menemui

bantal serta tempat tidurku.

147

147

2:46:52 PM

"Alexa!" Arnold mulai menguncang-guncang badanku. Aku tetap tidak

mau bangun. Aku menepis tangan Arnold yang benar-benar mengganggu.

Sampai di mana mimpiku tadi?

"Udah biarin aja, Nold."

Eh. Aku kenal suara itu. Daniel?

Aku menengadah sedikit.

"Woi!"

Aku langsung terduduk di kursiku.

Daniel duduk di kursi di depanku. Teman-teman Daniel yang lain juga

ada di sini, tapi mereka sedang sibuk sendiri.

"Ngapain?" tanyaku, masih belum benar-benar bangun. Tanpa sadar, aku

mengangkat tangan dan merapikan rambutku. Apa aku terlihat berantak

an?

"Main aja ke sini, emang nggak boleh?" tanyanya.

"Oh, boleh," jawabku malas-malasan.

Dia benar-benar menepati kata-katanya dan datang saat istirahat kedua.

Niat sekali dia. Tapi kalau dipikir-pikir, memang hampir setiap istirahat

kedua dia datang ke kelas ini. Hanya saja sejak beberapa minggu yang lalu

aku lebih banyak menghabiskan waktu di ruang lukis, jadi rasanya agak

canggung kembali pada keadaan awal di mana aku sering bertemu dengan

Daniel saat jam istirahat.

Oh, tapi kalau hanya Daniel rasanya ada yang kurang. Aku melihat

sekeliling kelas. Aneh, Vivi malah tidak ada di kelas ini.

"Nyari siapa?" tanya Daniel.

"Cewek lo, Vivi," jawabku cuek, "biasanya kalian satu paket."

"Oh, dia lagi ke kantin," ujar Daniel.

"Sama, Lex," timpal Arnold, "tadi pas dia dateng juga gue nanyain si

Vivi."

"Tuh, kan."

"Oh, jadi kalian lebih pengin ketemu Vivi daripada gue?" goda Daniel.

Dia langsung memasang tampang pura-pura ngambek.

"Iya," jawabku datar dan langsung menelungkupkan kepala ke meja

untuk tidur lagi.

148

148

2:46:52 PM

"Dih, sombong, mentang-mentang udah jago main bas," goda Daniel

lagi.

Dia benar-benar tidak mau membiarkan aku istirahat. "Wah, bukannya

mau sombong sih," balasku, "tapi kalau emang penampilan gue kemarin

masih diungkit-ungkit"

"Hahaha Shifu!" ujar Daniel sambil mengepalkan kedua tangan di

depanku sebagai tanda hormat.

"Sumpah, Alexa," Arnold ikut menimpali, "muka lo nyebelin abis."

Aku tertawa melihat reaksi mereka. Mereka tidak tahu, saat akan tampil

kemarin aku deg-degan setengah mati. Sekarang setelah berlalu dan hasil

nya membanggakan, aku merasa bisa menyombongkan diri.

Dengan Daniel dan Arnold yang mengajakku ngobrol, niatku untuk

tidur terlupakan. Aku pernah membayangkan bisa mengajak ngobrol

Daniel dengan santai dan tanpa diikuti ketakutan dia akan menjauhiku

karena tahu aku menyukainya. Dan sekarang aku melakukannya, walaupun

dengan keberadaan Arnold yang juga turut mencairkan suasana, tapi aku

tidak menduga aku bisa selepas ini ketika berbicara dengan Daniel. Aku

bisa bebas mengejeknya, bicara apa saja, mengeluarkan pendapatku tanpa

takut membayangkan penilaian yang ada di pikiran Daniel tentang diriku.

Benar-benar seperti berbicara dengan teman sendiri.

Dan ini menyenangkan.

Penampilanku saat Porseni kemarin tampaknya benar-benar membuah

kan hasil. Aku tidak yakin terhadap Daniel, mungkin dia berpikir dia

menemukan teman sehobi yang juga bermain bas dan mengagumi musisi

yang sama. Yang jelas, aku merasa aku menjadi lebih cuek akan keadaanku

dengan Daniel dan teman-temannya. Dan hal ini justru yang membuatku

lebih ringan dan bebas saat berhadapan dengan Daniel. Aku juga merasa

lebih percaya diri dan mungkin ini jugalah yang membantuku lebih santai

bicara dengannya.

Bukan berarti aku membenci keadaan ini. Aku cukup menikmatinya.

Walaupun saat ini ada Arnold yang juga ikut mengobrol bersama kami,

tetapi suasana terasa lebih menyenangkan dibandingkan dulu.

Sayangnya, baru beberapa detik yang lalu aku berharap situasi ini bisa

bertahan, akhirnya muncullah sosok yang tak bisa kuhindari.

149

149

2:46:52 PM

Ketika kami tengah menertawakan ocehan Arnold yang kocak, Vivi

tiba-tiba muncul sambil menarik bangku dan duduk di antara aku dan

Daniel, seakan-akan dia ingin jadi penengah di antara kami.

Vivi menatapku dan Daniel bergantian, lalu menatap Arnold. "Kalian

lagi ngetawain apa?" tanyanya.

Aku yakin kami tidak bermaksud menyinggung perasaannya, hanya saja

tiba-tiba kami serempak berhenti tertawa. Arnold bingung harus bilang

apa, dan keadaan langsung berubah canggung.

Vivi masih menatap kami bergantian, menunggu jawaban. Senyum terpa

sang di wajahnya, tapi aku bisa merasakan senyumnya itu tidak tulus.

"Lagi ngomongin film horor," jawab Daniel akhirnya.

"Oh, kok ketawa?" tanya Vivi lagi, kali ini semakin terdengar agak me

nuntut.

"Yang lucu reaksinya Arnold, dia cerita dia sampe banting handphone

segala gara-gara kaget," jawab Daniel lagi, kali ini sambil tersenyum karena

membayangkan kembali cerita dan reaksi Arnold.

"Ooh," ujar Vivi lagi, "terus kok nggak lanjut ngobrol lagi?"

Aku dan Arnold masih tetap diam. Daniel dengan sabar kembali men

jawab pertanyaan Vivi. "Nggak apa-apa, cuma kaget tiba-tiba kamu da

teng."

"Oh, jadi mending aku nggak usah di sini aja nih?" tanya Vivi.

"Ya nggak begitu lah," jawab Daniel lagi.

Aku melirik Arnold. Pertengkaran sepasang kekasih bukanlah hal yang

ingin kulihat. Arnold membalas tatapanku seolah mengerti yang kupikir

kan. Semoga setelah ini mereka tidak berlanjut dengan cakar-cakaran atau

jambak-jambakan.

Vivi tiba-tiba melirikku. Aku langsung ambil sikap siaga. Dia tidak ber

pikir untuk menjadikanku target cakarannya, kan?

Vivi tersenyum. "Alexa, kemarin main basnya bagus deh. Daniel sampe

ngomongin lo terus."

Senyumannya sih hangat, tapi auranya terasa dingin.

"Oh, thank you, Vi," jawabku pelan.

"Kapan lo tampil lagi?" tanyanya.

"Eh, gue juga baru aja mau tanyain itu," sahut Daniel. Dia tampak

150

150

2:46:52 PM

begitu ceria, tampaknya tidak menyadari keadaan yang berubah jadi cang

gung dan dingin ini.

"Wah, ternyata Daniel penasaran juga," timpal Vivi.

Apa-apaan ini? Yang satu makin menunjukkan aura kebencian, yang

satu makin tertarik dengan hobi musikku. Aku merasa semakin terpojok.

Mereka ini benar-benar pasangan yang aneh. Aku heran kenapa mereka

bisa merasa cocok. Aku mau menjawab, tapi rasanya sulit sekali mengucap

kan sesuatu. Rasanya tiba-tiba tubuhku terkunci dan tidak bisa bergerak

karena tatapan dingin Vivi.

Sebelumnya dia masih ramah terhadapku, tapi siang ini dia tampak

benar-benar membenciku. Ini salah. Kalau dibandingkan dari segala hal

yang pernah kulakukan dan dia lakukan, seharusnya aku yang benci pada

nya, tapi sekarang malah dia yang merasa terancam.

Seandainya aku bisa lari dari keadaan ini.

Aku langsung melirik Arnold. Dia menatapku tidak berdaya, seolah me

ngatakan dia tidak bisa membantu, lalu mengalihkan perhatian dengan

membereskan laci mejanya. Dasar!

Aku menatap Vivi lagi. Aku sudah membuka mulut untuk menjawab,
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untungnya bel tanda masuk berbunyi. Saved by the bell!

"Oh, udah masuk," ujarku, sambil memasang wajah tidak bersalah.

"Kalian nggak balik?"

Ketika akhirnya Daniel, Vivi, dan semua murid yang bukan penghuni

kelasku kembali ke kelas mereka, aku langsung memelototi Arnold.

"Ah, maaf Alexa, gue juga tadi takut banget sama Vivi, makanya"

"Iya, iya," potongku, memahami perasaannya. "Ada apa sih sama mere

ka, terutama si Vivi?"

Arnold menggeleng. Dia yang biasanya menjadi penghubung dan penya

ji informasi tentang Daniel tidak tahu apa-apa tentang keadaan pasangan

itu saat ini.

"Gue juga baru lihat mereka kayak begitu, Lex."

***

151

151

2:46:52 PM

KEI

Sejak bel istirahat berbunyi aku segera beranjak ke ruang musik dan duduk

di depan piano kesayanganku, memainkan komposisi-komposisi yang kusu

ka. Aku lebih menyukai komposisi waltz dan polka. Komposisi yang dulu

sering kumainkan pun seperti itu.

Dulu aku sering bermain piano bersama Ibu. Kami bermain saling me

lengkapi. Aku ingat aku selalu senang bermain sebagai "tangan kanan" dan

Ibu sebagai "tangan kiri". Ketika aku sedang sedih, Ibu pun bersedia mene

maniku. Kami selalu bersama-sama dan musik menjadi hal yang selalu

menggembirakan.

Tetapi sejak Ayah dan Ibu meninggal, segalanya menjadi begitu sulit.

Aku harus melepaskan segala hal yang mengikatku dengan masa lalu. Aku

tahu mereka akan tetap tinggal dalam memoriku, tetapi aku harus berhenti

bergantung pada orangtua yang telah tiada dan bergerak maju.

Satu hal yang saat itu kusadari, aku tidak bisa melepaskan musik. Musik

telah menjadi bagian dari diriku dan aku tahu aku membutuhkan musik.

Aku bermain kembali seperti sebelumnya, memainkan komposisi-komposisi

yang biasanya membuatku ceria, namun sayangnya saat itu musik gagal

membuatku kembali gembira. Sesuatu yang terjadi pasca kecelakaan tersebut

membuatku takut bermain piano. Hal yang paling kutakutkan pun terjadi.

Mimpiku untuk menjadi pianis mungkin tidak akan bisa terwujud.

Pertengahan tahun lalu akhirnya aku berani menyentuh piano lagi.

Sesuatu menarikku kembali ke dunia musik, dunia yang telah kutinggalkan

cukup lama dan butuh keberanian besar untuk kumasuki kembali. Seseorang

berhasil membuatku kembali terpesona pada piano, dan aku masih menyim

pan sesuatu miliknya. Benda itu yang menjadi penyemangatku untuk ber

main musik lagi, yang mencegahku mengenang kembali masa lalu kelamku.

Benda ini adalah jimatku dan orang itu "tangan kiri"-ku yang baru.

Sama seperti Ibu yang memperkenalkanku kepada musik yang begitu

dicintai Ayah, orang ini pun kembali memperkenalkanku piano melalui

cara yang tidak dia duga. Orang ini, tanpa sadar mendorongku untuk kem

bali mengejar impianku. Orang ini tidak sadar punya peran yang begitu

152

152

2:46:52 PM

besar. Aku tidak ingin kehilangan orang ini, tidak seperti aku kehilangan

Ibu. Tidak akan. Tidak lagi.

Aku terus memainkan piano, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran

negatif dari kepalaku. Namun bayangan-bayangan itu muncul kembali.

Bayangan seseorang yang berusaha mengambil orang penting ini dari

sisiku.

Aku tidak bisa menerima hal itu, tapi aku juga tidak tahu harus berbuat

apa, bagaimana mempertahankan semua hal yang begitu berharga dalam

hidupku.

Piano ini dan orangtuaku.

Piano ini dan orang itu.

Piano ini dan "tangan kiri"-ku.

Aku menghentikan permainanku. Ada yang aneh, dan aku bisa merasa

kannya. Aku melewatkan satu not. Ini tidak mungkin. Tangan kiriku tidak

bergerak sesuai harapanku.

Mungkin aku hanya salah dengar, tapi tidak, aku yakin sekali. Permain

anku barusan tidak sempurna. Apa karena aku terlalu lelah atau terlalu

banyak berpikir?

Mungkin sudah saatnya aku berhenti bermain. Aku melemaskan bukubuku jariku. Secara refleks aku menatap pintu, lalu jam tanganku. Tampak

nya dia tidak datang kali ini. Lima menit lagi bel akan berbunyi, jadi

percuma mengharapkan dia datang.

Kenapa dia tidak bisa datang? Apa karena persiapan mid test minggu

depan? Atau ada seseorang yang menahannya?

Pikiran negatif itu kembali hadir. Aku tidak bisa menutupi kekesalan

yang kini muncul. Salah, lebih tepatnya ada rasa sesak di dada, dan aku

tidak ingin merasakannya.

Aku kembali memainkan piano. Aku harus menenangkan diri.

Aku menganggap penting dirinya, tapi kenapa dia tidak menganggap

penting diriku? Ada orang lain yang pernah menjadi penting di hidupnya

dan walaupun dia berjanji akan melupakannya, itu pasti tidak mudah. Dan

rasanya belakangan ini orang lain itu masih tetap ada di hatinya. Lalu,

mengapa bukan aku yang ada di hatinya?

Aku semakin hanyut dalam permainan dan pikiranku sendiri.

153

153

2:46:52 PM

Tapi sekali lagi permainanku berhenti mendadak.

Kenapa?

Aku memandang tangan kiriku yang gemetaran. Ada apa dengan tangan

ku? Aku membalik-balik telapak tanganku. Mengapa tangan kiriku tidak

bergerak seperti yang kuinginkan?

Aku kembali mengingat kejadian setelah kecelakaan dan alasanku ber

henti bermain piano. Apakah penyakit yang pernah aku derita pasca kece

lakaan kambuh lagi? Tidak mungkin. Aku bisa bermain piano lagi sejak

setahun belakangan ini. Lalu kenapa? Apa memang aku terlalu lelah dan

sedang banyak pikiran? Sudah saatnya aku berhenti bermain.

Aku berdiri dan menutup piano. Aku berjalan pelan menuju pintu dan

sesuatu kembali menyadarkanku.

Alexa benar-benar tidak kemari hari ini.

ALEXA

"Jadi, seharian ini lo akrab sama Daniel?" tanya Kitty. Seperti sebelumnya,

tidak lama setelah pulang sekolah dia langsung meneleponku.

"Iya, kurang-lebih begitu. Pokoknya gue juga jadi lebih santai pas

ngobrol sama dia. Dia juga lebih sering ngajak ngobrol gue dibanding

dulu. Pokoknya awkward moment tiap kali gue ngobrol sama dia dulu tuh

udah nggak ada lagi."

"Oh," sahut Kitty, "terus, lo sendiri gimana? Seneng keadaannya jadi

begini?"

"Kalau dibilang seneng sih, ya seneng, karena gue udah nggak canggung

lagi sekarang di depan dia. Tapi gue cukup kaget aja jadinya begini," jawab

ku.

"Lalu," tambah Kitty lagi, "ceweknya dia gimana? Biasa-biasa aja?"

"Oh, itu dia," aku tiba-tiba ingat sesuatu. "Dia keliatan banget jealousnya, tapi lebih ke arah ?mengintimidasi? gue daripada ?negur? cowoknya."

"Ya, nggak heran sih, apalagi kalau cewek yang deket sama cowoknya

sekarang kan pernah suka sama cowoknya.

154

154

2:46:52 PM

"Iya sih, benar juga. Agak berlebihan aja rasanya," ujarku, mem

bayangkan tatapan Vivi tadi siang yang begitu mengancam.

"Nah, kalau saran gue ya," tambah Kitty, "pegang janji lo sebelumnya,

jangan pernah lupain. Penampilan lo kemarin adalah untuk ngelupain

Daniel, kan? Jadi kalau sekarang tiba-tiba Daniel deket sama lo, menurut

gue sih, itu karena sebatas dia terpesona sama permainan bas lo dan nge

rasa punya teman sehobi."

"Oh," potongku, "gue juga mikir begitu sih."

"Bagus, kalau gitu lo inget itu terus. Lagian bisa aja dia cuma mau nge

cek lo masih suka nggak sama dia."

"Ah, masa sih," kataku tidak terlalu percaya dengan pernyataan Kitty

yang satu itu. "Nggak mungkin."

"Mungkin aja, Alexa," jawabnya sabar. "Lo mana tahu isi hati orang.

Pokoknya ya, Alexa, apa pun yang dilakuin Daniel terhadap lo, jangan

sampe lo suka lagi sama dia. Sebelum dia putusin Vivi, segala tindakannya

yang terkesan berusaha deketin lo itu patut dicurigai. Bener kata Rieska,

mungkin dia nggak mau kehilangan fans-nya."

155

155

2:46:52 PM

11

THE THREATS

Suasana di lorong IPA cukup ramai. Walaupun ada yang pergi ke kantin,

tapi ada cukup banyak murid yang membawa bekal dan makan sambil

duduk-duduk di kursi panjang depan kelas. Ada juga yang kurang peka

dengan makan di dalam kelas dan membuat kelas menjadi bau, seperti

Arnold dan Selwyn (dan aku, kadang-kadang kalau dipaksa mereka). Aku

tidak berharap lorong sepenuh saat ini. Setidaknya kalau di lorong ini ha

nya ada lima sampai enam murid, apa yang kukerjakan sekarang akan lebih

mudah.

Aku melirik beberapa murid cewek dari kelas sebelah yang terdengar

heboh di kursi tidak jauh dari tempatku berada. Sepertinya ada obrolan

seru. Aku kenal beberapa dari mereka, salah satunya yang gosipnya sedang

dekat dengan Selwyn, teman sekelasku waktu SMP. Obrolan mereka

terdengar samar-samar, ada kata-kata seperti "yang bener", "gue bilang juga

apa", "sumpah ya tuh cewek". Mereka memang terkenal sebagai geng gosip.

Aku semakin mencondongkan tubuh untuk ikut mendengarkan apa yang

mereka obrolkan, tapi ketika salah satu dari mereka melihatku, aku

langsung mengalihkan pandangan dan pura-pura mengamati beberapa mu

rid cowok yang baru saja keluar dari WC.

156

156

2:46:52 PM

Telingaku tetap terpasang, tampaknya kehebohan mereka jadi lebih pe

lan sekarang. Apa mereka sadar aku berusaha menguping?

Ah, tapi kenapa aku harus mengurusi hal seperti ini? Tujuanku duduk

di luar kelas kan untuk mencari orang lain, tapi perhatianku malah teralih

kan oleh kelompok itu. Aku kembali memperhatikan lorong kelas XII IPA.

Sudah pertengahan jam istirahat, tapi aku belum melihat Kei keluar-masuk

kelas.

Tiga hari yang lalu aku mencarinya di ruang musik, tapi dia tidak ada.

Saat aku bertanya kepada Rangga ternyata hari itu dia tidak masuk. Ke

esokan harinya pun dia masih belum masuk juga. Anehnya aku tidak bisa

menghubungi handphone-nya, pesan singkatku pun tidak dibalas. Aku me

nunggu di depan kelas ini, untuk memastikan apakah dia sudah masuk.

Aku tidak tahu ada apa dengannya.

Karena rasanya aneh kalau aku hanya duduk-duduk sambil menatap ke

lorong XII IPA sepanjang istirahat, sejak kemarin aku mulai membawa

buku cetak kimia atau biologi sambil belajar untuk mid test minggu depan.

Walaupun hafalannya tidak sepenuhnya masuk ke otakku, setidaknya obser

vasiku tetap bisa berjalan lancar. Hari-hari sebelumnya Kenny dan Selwyn

sempat berusaha menginterogasiku kenapa aku duduk sendirian di depan
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelas seperti ini, tapi sejak melihatku membawa-bawa buku pelajaran, mere

ka langsung meninggalkanku sambil menggerutu.

Satu hal yang tidak kuantisipasi adalah ketika Daniel dan teman-teman

nya datang ke kelasku. Beberapa kali Daniel berhenti untuk menemaniku

duduk di luar kelas dan mengajakku mengobrol. Rasanya memang menye

nangkan, kami membicarakan banyak hal, tetapi semuanya berubah ketika

Vivi datang dan akhirnya aku terjebak dalam situasi canggung yang benarbenar menyebalkan.

Kehadiran Vivi pun terkesan seperti hanya ingin tahu apa yang kami

bicarakan. Masalahnya, Daniel mengajakku ngobrol tentang band Jepang

kesayangannya, yang tidak diketahui Vivi. Daniel membicarakan perkem

bangan musik pop Jepang, yang sayangnya juga tidak Vivi mengerti. Dia

juga membicarakan film horor Jepang favoritnya, padahal horor adalah

genre yang paling Vivi benci. Bisa dibayangkan bagaimana kan bagaimana

rasanya kita begitu gembira membicarakan hal yang kita sukai, tapi pada

157

157

2:46:52 PM

saat yang sama ada orang lain yang membuat kita sulit bebas bicara karena

orang itu tidak suka kita memahami topik tersebut

Aku berharap istirahat kali ini Daniel tidak datang. Keberadaannya dan

Vivi di sini justru akan menggangguku saja.

Aku masih belum melihat targetku sama sekali. Berkali-kali aku melirik

ke lorong kelasnya pun dia tetap tidak muncul. Sejak di tangga pagi itu

aku belum bicara sama sekali dengannya. Tiga hari belakangan ini dia malah tidak masuk. Rangga bilang dia sakit, tapi sakit apa kira-kira yang

begitu parah sampai lama begini belum masuk? Oh, flu memang makin

lama makin parah, mungkin gara-gara terlalu lelah sejak Porseni kemarin.

Walaupun begitu kan seharusnya dia masih bisa membalas pesanku dan

tidak perlu sampai tidak mengangkat telepon dariku. Kalau begitu caranya,

aku harus mengadangnya langsung. Dia pikir aku tidak khawatir?

Oh, ketua kelas sebelah melewatiku. Dia membawa tumpukan kertas,

apa itu hasil ulangan? Kerumunan biang gosip di sebelahku langsung bubar

dan mengikuti ketua mereka memasuki kelas. Mereka terlihat seperti kum

pulan lebah yang sedang mengikuti ratunya. Apa pun yang terjadi mereka

tetap heboh.

Eh, tunggu, lagi-lagi perhatianku teralih. Aku seharusnya mengawasi hal

lain.

Aku kembali memperhatikan lorong kelas XII IPA. Oh, itu dia! Pas

sekali, untung aku melihatnya. Kei baru keluar dari kelas bersama Rangga

dan beberapa teman lainnya. Dia kelihatan sehat-sehat saja, apa benar

kemarin dia tidak masuk karena sakit?

Aku berdiri. Aku sudah mengangkat tangan untuk menyapanya dan

mulutku sudah terbuka untuk memanggil. Dia juga sudah melihatku. Sa

yang takdir berkata lain. Kenny tiba-tiba muncul di depanku sambil mem

bawa tumpukan kertas.

"Kebetulan ada lo, Alexa," ujarnya terburu-buru, sambil menarik lenganku

yang setengah terangkat. "Bantuin gue bagiin latihan soal ini ya, gue mau ke

loker kelas lagi, masih ada ulangan sama tugas yang baru selesai dinilai."

Pemandangan Kei hanya tinggal lalu. Setelah akhirnya bisa melihatnya

lagi, aku hanya mampu melihatnya sekilas. Yah, setidaknya aku tahu dia

sudah sehat kembali, kalau memang absennya selama ini karena sakit.

158

158

2:46:52 PM

Aku membagikan latihan soal kepada teman-teman sekelasku seperti

yang diperintahkan Kenny, sementara dia sendiri langsung melesat ke loker

lagi. Tidak sampai semenit, kumpulan kertas di tanganku sudah habis.

Teman-temanku mengerumuniku dan mengambil kertas milik mereka, ada

juga yang mengambilkan untuk temannya. Setelah masing-masing heboh

dengan nilai yang mereka terima dan saling mencocokkan jawaban, aku

menyadari satu hal yang aneh; kertas latihan soal milikku mana? Aku

mendatangi meja dan teman-temanku, tapi tidak ada yang mengambil atau

tidak sengaja membawa kertas milikku.

"Arnold, lo yakin nggak keselip sama punya lo, kan?" tanyaku lagi

untuk memastikan.

"Nggak, Lexa, beneran," jawab Arnold. "Coba cek ke loker lagi gih, ja

ngan-jangan kebawa anak kelas lain."

Aku langsung berlari ke loker di depan ruang guru. Benar kata Arnold,

mungkin saja Kenny meninggalkan kertas milikku di sana. Hasil latihan

soal ini cukup penting untuk mid test minggu depan, karena dari sini kami

bisa mengira-ngira hasil belajar sejauh ini dan bagaimana model soal yang

akan dikeluarkan.

Saat aku sampai di tempat tujuanku, banyak murid lain mengerumuni

loker tersebut. Tampaknya para ketua kelas yang lain sedang mengambil

hasil nilai kelas mereka masing-masing. Kenny keluar dari kerumunan

tersebut sambil membawa-bawa tumpukan kertas dan buku. Aku langsung

mendatanginya.

"Kenny, latihan soal yang tadi lo bawa kok nggak ada punya gue, ya?"

tanyaku.

"Hah? Kok bisa?" Kenny malah balik bertanya.

"Justru itu gue tanya, kan lo yang ambil dari loker. Apa ketinggalan di

loker, ya?" Aku melirik loker kelas yang masih dipenuhi orang.

"Nggak mungkin," sahut Kenny. "Ini udah gue ambil semua isinya.

Keselip di sini kali." Kenny mengangkat tumpukan kertas dan buku yang

ada di kedua tangannya.

Kami langsung kembali ke kelas. Kenny membagi-bagikan buku dan

kertas hasil ulangan yang sudah dinilai ke teman-teman sekaligus mengecek

latihan soal milikku yang hilang.

159

159

2:46:52 PM

"Nggak ada, Kenny," ujarku, mulai terdengar panik. "Buku tugas sama

ulangan ada, tapi latihan soal sebelumnya nggak ada."

Kenny tampak berpikir sebentar. "Ya udah, kita tanya gurunya aja

yuk."

Aku dan Kenny kembali lagi ke ruang guru. Area di depan ruang guru

masih agak ramai dengan murid-murid yang mengambil hasil nilai dan

guru-guru yang mengobrol sebelum mengajar. Aku melirik kerumunan di

loker. Kalau ramai seperti itu tidak heran kertasku terselip di rak kelas lain.

Loker terlihat penuh dengan buku-buku tugas serta kertas ulangan dan

banyak orang mengerubungi loker tersebut untuk mengambilnya.

"Ini dia anaknya!"

Aku dan Kenny langsung menoleh ke asal suara tersebut. Suara tersebut

cukup keras dan menarik perhatian kami ke arah ruang guru. Dari

kumpulan guru-guru yang sedang mengobrol, wali kelasku langsung menda

tangiku.

"Alexa, saya tahu kamu perfeksionis, tapi bukan berarti kamu bisa

buang begitu aja hasil nilai kamu, kan?" ujar Bu Santi tiba-tiba.

"Hah?" Aku benar-benar heran kenapa Bu Santi bicara seperti itu.

"Ada apa ya, Bu?" tanya Kenny.

"Tadi saat saya sedang piket, di tempat sampah di situ," Bu Santi me

nunjuk tempat sampah dekat loker, "ada yang buang sampah tapi nggak

masuk ke tempatnya dan malah berserakan di bawah. Saya suruh murid

yang lewat masukin sampahnya ke tempatnya. Pas dia ambil kertasnya ter

nyata itu latihan soal."

"Itu latihan soal punya Alexa, Bu?" tanya Kenny.

Bu Santi mengangguk. "Iya, saya tahu kamu cuma dapet tujuh puluh,"

Bu Santi mengeluarkan lembaran kertas lusuh kotor dari map yang dia

pegang, "tapi kan bukan berarti bisa kamu buang begitu saja."

Aku menerima kertas itu.

"Bukan, Bu, itu bukan Alexa, ini aja dia lagi cariin latihan soalnya,

nggak mungkin Alexa yang buang," Kenny membelaku.

"Kalau gitu siapa yang iseng kayak begini? Ini bukan lelucon lho."

Aku menunduk menatap kertas latihan soalku yang kusam. Kertasnya

benar-benar lusuh dan kotor seperti bekas diinjak. Walaupun Bu Santi su

160

160

2:46:52 PM

dah berusaha merapikannya dengan meratakannya, tapi hal itu tidak bisa

menghilangkan luapan kemarahan yang tergambar dari rupa kertas ini. Ya,

Bu Santi benar. Siapa yang tega melakukan ini padaku?

KEI

Aku kembali melihat jam tanganku. Mungkin untuk yang kesekian kalinya.

Lagi-lagi Alexa tidak datang. Istirahat pertama tadi aku sempat melihatnya,

tapi kami tidak sempat berbicara.

Aku ragu apakah Alexa menyadari ketidakhadiranku selama tiga hari ini.

Itu mungkin saja, temannya bilang dia menanyakan kabarku tiga hari lalu,

ketika aku mulai tidak masuk. Apa dia ingin membicarakan sesuatu?

Aku menatap piano hitam di depanku. Diam tidak bernyawa, tetapi

pada saat yang sama terlihat begitu elegan dan mewah, seolah hanya akan

menghasilkan musik terbaik bila dimainkan tangan-tangan dengan kemam

puan musik cemerlang. Aku mengelus piano itu. Sayangnya, aku bukan

salah satu pemilik tangan hebat itu. Mungkin dulu aku mampu, tapi kini

tanganku tidak mampu lagi menghasilkan musik yang indah dengan piano

itu. Itulah alasan aku tidak masuk tiga hari belakangan ini. Tanganku yang

begitu berharga menolak melakukan apa yang kuperintahkan. Terutama

tangan kiriku. Kurasa yang dulu pernah terjadi padaku kini kembali

muncul.

Dulu aku berhenti bermain piano karena tanganku tidak bergerak de

ngan semestinya, sehingga permainanku pun tidak sempurna. Semakin aku

memaksakan diri bermain, semakin parah keadaan tangan kiriku. Karena

itu aku takut bermain piano, aku takut bermimpi menjadi pianis. Aku ta

kut ketika musik telah benar-benar menjadi bagian dari diriku yang begitu

penting, aku justru harus meninggalkannya karena tangan kiriku tidak lagi

bisa bermain.

Tapi setelah beberapa tahun meninggalkan musik, aku semakin yakin

aku telah sembuh dari penyakit itu. Tahun lalu, ketika memberanikan diri

untuk menyentuh piano ini lagi, aku sadar aku bisa memainkan kembali

komposisi-komposisi yang pernah kumainkan. Aku, dan tanganku, meng

161

161

2:46:52 PM

ingatnya begitu jelas. Saat itu juga aku merasakan kembali kebahagiaan

yang pernah kurasakan saat bermain musik. Dan aku tahu, semakin ber

usaha melupakannya, semakin sering pula aku mendatangi ruang musik

untuk mengulang kembali perasaan bahagia dalam diriku itu.

Sayangnya aku tidak tahu mengapa penyakit itu muncul kembali.

Tangan kiriku terasa kaku di tengah-tengah permainan, mengacaukan tem

po permainanku. Aku tidak ingin merasakan lagi saat-saat terburuk ketika

aku dulu memaksakan diri untuk terus bermain sampai akhirnya tangan

kiriku kaku dan buku-buku jariku pun sulit digerakkan.

Aku kembali memandangi tuts-tuts di depanku. Tangan kiriku mengelus

piano itu perlahan. Apakah aku harus meninggalkan semua ini sekali lagi?

Setelah kebahagiaan yang kurasakan selama setahun terakhir ini?

Pada saat yang sama, di tengah kekhawatiran akan kondisi tangan kiri

ku, perasaan khawatir dan marah mulai mengisi hatiku. Ada hal lain yang

kupikirkan. Seandainya aku bisa berbicara dengan Alexa, mungkin bebanku

akan terangkat sedikit.

Aku kembali melihat jam. Kurang dari delapan menit lagi bel akan ber

bunyi. Aku menghela napas. Pandanganku kembali menyapu sekeliling

ruangan. Rasanya ruangan ini begitu kosong, tanpa obrolan dua orang yang

biasa mengisinya ataupun alunan piano yang dimainkan penuh sukacita.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku berdiri dan mulai berjalan meninggalkan ruang musik, lalu mengun

cinya.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, aku kembali memikirkan Alexa.

Selama tiga hari ini aku tidak masuk, yang ada di pikiranku selain piano

adalah dia. Apakah dia juga memikirkanku? Apakah dia juga menunggu

dan mencari-cariku selama aku tidak masuk? Tapi tadi pagi kamu bertemu

pandang sekilas, tidakkah dia penasaran dengan alasanku absen selama tiga

hari ini?

Tapi mengapa ketika istirahat kedua Alexa tidak datang ke ruang musik

seperti dulu? Kalau dia tahu aku akhirnya sudah masuk sekolah, bukankah

seharusnya dia datang sehingga kami bisa mengobrol seperti biasa?

Aku menghentikan langkah dan menyadari aku ada di percabangan kori

dor menuju kelasku di sebelah kiri, dan kelas Alexa sebelah kanan. Aku

menatap koridor kanan yang seolah memanggilku.

162

162

2:46:52 PM

Aku mulai berjalan perlahan menuju pintu kelas terdekat di sebelah

kanan koridor. Aku diam sebentar, merasakan keraguan muncul dalam

diriku. Kalau Alexa melihatku, aku harus bilang apa?

Aku menangkis semua pikiran negatif yang muncul. Tenang, belum ten

tu dia akan melihatku. Tujuanku sekarang hanyalah melihatnya. Aku butuh

melihatnya.

Aku berjalan mantap menuju pintu kelas dan mataku mulai mencaricari.

Itu dia! Aku menemukannya. Wajah Alexa tampak terbebani, seperti

banyak pikiran. Apakah dia sedang banyak masalah?

Seseorang mengajak Alexa bicara. Aku mengenalnya, cowok yang selalu

membuatku sebal setiap kali terlihat di dekat Alexa.

Perasaanku yang tadi sempat melambung karena mengira Alexa sedang

menungguku, memikirkanku karena absen selama tiga hari ini langsung

terempas. Dugaanku salah. Ternyata ini sebabnya dia tidak ke ruang musik

hari ini.

Bodohnya aku, mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin.

"Kei."

Aku langsung menoleh. Ternyata Selwyn, teman sekelas Alexa. Aku

bergeser memberikan jalan untuk Selwyn agar bisa masuk ke kelas, tetapi

dia malah bergeming dan bertanya, "Mau ketemu Alexa?"

Aku menggeleng. Aku menatap Alexa di kelas itu sekilas sebelum akhir

nya terburu-buru menuju kelasku. Kini aku merasa diriku dipenuhi emosi

baru, emosi yang terasa begitu kuat dan terpupuk perlahan, sedikit demi

sedikit sejak beberapa minggu lalu. Dan ketika mengingat kembali masalah

yang sedang kuhadapi dengan tangan kiriku, aku semakin merasa marah,

frustrasi, dan sakit hati.

Saat itu juga, aku membutuhkan Alexa di sisiku.

ALEXA

Aku memainkan bolpoin di tanganku, memutar-mutarnya di meja. Aku

ikut memutar otak, memikirkan apa yang baru terjadi padaku. Isi loker

163

163

2:46:53 PM

kelas harus diambil ketua atau pengurus kelas yang lain, tapi tidak

menutup kemungkinan orang lain juga bisa mengeceknya. Jadi, siapa saja

bisa merusak kertas latihan soalku.

Kalau dipersempit lagi, tentu saja orang yang dendam padaku. Saat

kuingat-ingat, aku pernah punya masalah dengan salah satu anggota geng

gosip di kelas sebelah, tapi itu dulu. Sekarang kami tidak lagi bicara dan

hanya mengakui keberadaan masing-masing, tidak cukup alasan untuk

memulai pertengkaran lagi.

Aku juga bermasalah dengan Selwyn. Tingkah usilnya tidak ada matinya,

tapi aku percaya bahwa dia tidak akan sampai melakukan tindakan seperti

ini.

Ini dendam.

Orang yang saat ini dendam padaku mungkin Vivi, karena aku dekat

lagi dengan pacarnya. Tapi tidak mungkin. Sesuai dengan badannya yang

mungil, dia juga tidak mungkin seberani itu. Dia bukan tipe orang yang

nekat dan sanggup berbuat begini. Mari sisihkan dulu Vivi. Apakah ada

orang lain?

Oh, aku ingat! Dulu aku pernah merasa ada orang yang selalu meng

amatiku. Anehnya belakangan ini aku tidak merasakannya lagi. Mungkin

orang ini beraksi lagi dan aksinya lebih brutal daripada sebelumnya. Aku

benar-benar harus waspada sebelum dia bertindak lebih jauh lagi. Aku

harus menemukan orang ini.

"Alexa," panggil Daniel.

Oh, aku baru ingat dia ada di sini. Pikiranku sedang tidak fokus. Aku

tidak ingat barusan dia membicarakan apa.

Daniel memandangku heran. "Jadi?" tanyanya.

"Apa?" tanyaku balik.

"Udah denger CD yang gue kasih kemarin belom?" tanyanya lagi, tam

pak di wajahnya dia sadar omongannya baru saja tidak dihiraukan.

"Oh, udah. Bagus," jawabku seadanya.

Daniel makin memperhatikan wajahku. Dia tahu aku tidak berminat

membicarakan hal yang ingin dia bicarakan. "Kenapa sih dia?" tanyanya,

justru kepada Arnold.

164

164

2:46:53 PM

Arnold yang sedang membaca komik hanya menggeleng. Aku belum

memberitahunya tentang kejadian yang kualami, baru Kenny yang tahu.

"Nggak apa-apa," sahutku. "Lagi banyak pikiran aja buat mid test ming

gu depan."

Daniel memandangku tidak percaya. Yah, aku kan sedang tidak ingin

mendiskusikan masalah ini. Lebih baik mengalihkan perhatiannya.

"Oh iya," aku memulai, "tumben nggak bareng Vivi?"

Kali ini tidak hanya Daniel, Arnold pun langsung berhenti membaca

komiknya dan memandangku aneh.

"Tadi pertama kali gue ke sini, lo udah nanya itu, Alexa," ujar Daniel.

"Dan Daniel tanya balik kenapa setiap ketemu dia lo selalu tanya hal

yang sama, dia juga udah jawab Vivi lagi ke kantin sama temennya,"

Arnold menambahkan.

"Arnold aja lebih inget obrolan kita dan barusan lo nanya itu lagi?"

Daniel makin memandangku curiga.

"Bener, Niel. Ada yang salah sama Alexa," Arnold makin ikut-ikutan.

Kali ini aku benar-benar merasa terpojok.

"Bukan, maksud gue"

"Alexa," Selwyn tiba-tiba datang dan menepuk bahuku. Perhatian dua

orang itu juga tiba-tiba langsung mengarah kepada Selwyn.

"Ya?" tanyaku.

"Tadi Kei ada di depan kelas," jawabnya. "Kayaknya tadi dia nyariin lo

deh."

Kei? Oh, aku sampai lupa. Tadi pagi aku sudah berencana menemuinya

di ruang musik seperti biasa pada jam istirahat kedua, tapi karena ada

masalah kertas latihan soal tadi, aku jadi lupa. Jangan-jangan aku mem

buatnya menunggu sendirian sepanjang istirahat kedua tadi. Ah, bodohnya.

Mungkin saja dia ingin cerita tentang alasannya tidak masuk tiga hari

kemarin. Aku juga ingin mendengar langsung, sudah menunggu-nunggu

kesempatan untuk berbicara dengannya dari kemarin-kemarin. Mengapa

aku malah melupakannya?

Aku langsung berdiri dan berjalan ke arah pintu, tapi Daniel menahan

ku.

"Alexa, mau ke mana?" tanyanya.

165

165

2:46:53 PM

"Oh," kataku ragu sesaat.

Aku memandang Daniel, lalu menoleh ke pintu. Tentu saja, Kei sudah

tidak tampak lagi di pintu. Apa sebaiknya aku langsung mendatangi

kelasnya saja?

"Sebentar ya Daniel, gue mesti" tapi jawabanku terhenti. Bel masuk

kelas bergema di seluruh ruangan. Aku berdiri kaku. Terlambat. Seharusnya

aku menemuinya dari tadi.

Daniel berdiri dan berpamitan padaku dan Arnold, tapi aku tidak terlalu

memperhatikan. Aku memikirkan Kei. Besok akhir pekan dan minggu depan

sudah mid test, akan lebih sulit untuk menemuinya karena aku pasti mengha

biskan waktu dengan belajar bersama Kenny dan yang lain. Kei pasti juga

begitu. Kalaupun sempat bertemu tidak mungkin bisa sebebas hari biasa.

Hari ini seharusnya aku bisa menemuinya. Ah, sayang sekali. Apa mungkin

pulang sekolah nanti dia masih akan menghabiskan waktu di ruang musik

seperti sebelumnya? Mungkin aku bisa menemuinya nanti?

Ya, kurasa mungkin masih sempat.

Aku sulit fokus di pelajaran terakhir dan perhatianku terus beralih pada

jam dinding di kelas. Ketika kita menunggu-nunggu sesuatu, waktu rasanya

berjalan lambat. Akhirnya begitu bel pulang sekolah berbunyi, aku orang

pertama yang langsung melesat ke pintu.

Arnold sempat menahanku sebentar untuk mengembalikan catatan bio

logiku, tapi untunglah, karena ketika keluar kelas aku sempat melihat Kei

berjalan menuju tangga dan turun. Dia tidak berjalan ke lift untuk menuju

ruang musik di lantai atas. Apa dia terburu-buru pulang?

Aku mengikutinya turun bersama beberapa rombongan senior dan

murid-murid kelas sebelah yang juga memenuhi tangga, tapi aku bisa meli

hat sosok Kei di depan. Perhatianku hanya tertuju padanya. Aku penasaran

kenapa dia langsung pulang setelah kelas selesai, tidak latihan piano dulu

di atas. Lagi pula aku juga ingin bicara dengannya, kalau tidak sekarang

mungkin tidak akan sempat lagi.

Ketika akhirnya aku sampai di lantai dua dan sampai di gerbang, sese

orang memanggil nama Kei dari belakangku. Aku langsung bersembunyi

di belakang gerbang besi yang terbuka lalu mengintip dari terali. Kei ber

ada tidak jauh dari sisi luar gerbang ketika senior cewek itu memanggilnya.

166

166

2:46:53 PM

Tampaknya cewek itu menyerahkan sesuatu pada Kei, tapi aku tidak bisa

melihatnya. Siapa ya dia? Ah, Kei tersenyum. Senior cewek itu juga. Apa

yang dia berikan pada Kei? Apa yang membuat Kei tersenyum seperti itu?

Oh, Kei sudah mulai berjalan lagi, tapi senior cewek itu masih tersenyum

tersipu-sipu di belakangnya. Dia juga mulai berjalan pelan menuju tangga

utama.

Tunggu, mengapa aku jadi memperhatikan cewek itu? Kei, aku harus

mengejar Kei. Aku keluar dari tempat persembunyianku dan mulai terburuburu menyusul Kei. Jalannya cepat sekali, sekarang aku hanya bisa melihat

punggungnya di antara banyak murid yang keluar dari gedung sekolah.

Aku harus menyusulnya.

Bruk!

"Aw!" Aku memegang pipiku yang terasa sakit, aku menabrak sese

orang.

"Oi, Alexa, kalo jalan lihat-lihat."

Aku menoleh. Itu Selwyn. Dia mengelus-elus bahunya. "Selwyn, ngapain

juga lo berdiri diem di sini?"

"Gue nggak berdiri diem di sini, gue lagi jalan tiba-tiba lo nabrak gue,"

keluhnya.

"Iya deh, maaf," balasku. "Lagian lo cepet banget sih turunnya, kayak

nya tadi gue duluan deh yang turun tangga. Aneh banget."

"Lo tuh yang aneh, turun buru-buru tapi sembunyi dulu di situ,"
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selwyn menunjuk tempat persembunyianku.

Aku langsung buang muka. Aksiku tadi ketahuan? Memalukan. Aku ti

dak menyadari ada orang lain yang memperhatikanku sedang mengikuti

Kei. Oh iya, Kei!

Aku buru-buru mencari sosok Kei, tapi dia tidak ada, di tangga utama

pun tidak ada. Aku menghela napas, lagi-lagi aku tidak bisa bicara dengan

nya.

"Oi!" panggil Selwyn, "lo stalker, ya?"

"Ah, nggak kok," jawabku, sambil memasang tampang lugu. "Siapa juga

yang gue ikutin hahaha"

Selwyn memandangku tidak percaya. Dia lalu melihat lurus ke depan.

"Kalau orang yang lo ikutin Daniel, tuh dia ada di sana."

167

167

2:46:53 PM

Aku mengikuti arah pandangnya. Daniel berdiri di dekat pintu gerbang

timur bersama dengan Vivi. Mereka tampak berbicara berdua sebelum

kemudian Daniel menggandeng tangan Vivi dan mereka menuruni tangga

utama bersama-sama.

"Kayak yang gue bilang sebelumnya," ujar Selwyn pelan, "mereka kelihat

an serasi, kan?" Selwyn berjalan lebih dulu meninggalkanku yang masih

berdiri terpana.

"Ya," jawabku pelan, aku tidak yakin Selwyn mendengarnya. Tatapanku

pun masih terpaku pada sosok mereka yang baru saja menghilang di antara

murid-murid yang juga menuruni tangga utama. Jelas sekali, mereka belum

mau terpisahkan.

Selama mid test, aku berusaha sekeras tenaga untuk fokus karena beberapa

kali pikiranku sempat teralihkan ketika aku bertemu Kei. Aku masih tidak

bisa bicara dengannya dan apabila aku menunggu di ruang musik setelah

pulang sekolah, dia pasti tidak ada di sana. Belakangan aku tahu dari

Rangga bahwa sejak absen tiga hari tersebut, begitu keluar Kei selalu lang

sung menuju ke mobil yang menjemputnya dan pulang. Dia tidak pernah

lagi menghabiskan waktu bersama Rangga dan teman-temannya di kantin

atau di lapangan futsal seperti dulu.

Aku makin penasaran, apa yang terjadi dengannya?

Walaupun aku tidak bisa menemuinya setelah pulang sekolah, aku sem

pat beberapa kali bertemu dengannya saat istirahat. Sayangnya, tiap kali

bertemu pasti aku sedang belajar bersama teman-temanku atau dia sedang

bersama teman-temannya dan mengobrol seru. Aku selalu berpikir untuk

mendatanginya walaupun ada banyak orang, tetapi aku tidak ingin perha

tian teman-temanku ataupun teman-temannya mengarah pada kami dan

akhirnya kami jadi harus bicara dalam keadaan canggung. Aku merasa bisa

bicara bebas dengannya ketika kami berada di ruang musik seperti dulu.

Rasanya aku berada dalam dunia sempit yang hanya dipahami kami

sendiri, sedangkan di luar sini, begitu banyak hal yang harus kupikirkan

sebelum aku bisa bebas berbicara dengannya. Aku juga tidak yakin dengan

apa yang dia pikirkan, sehingga akhirnya aku pura-pura tidak melihatnya

168

168

2:46:53 PM

ketika kami berpapasan, atau aku hanya bisa meliriknya diam-diam saat

berjalan melewatiku sambil mengobrol dengan teman-temannya, seolah

tidak menyadari keberadaanku sama sekali.

Sementara itu, orang misterius yang sebelumnya merusak kertas latihan

soalku pun tampaknya tidak ingin membiarkanku hidup tenang selama

mid test. Aku pernah kehilangan sepatuku setelah ujian di lab bahasa. Sepa

tu yang sebelumnya kutaruh di rak sebelum masuk ke lab malah kutemu

kan di tempat sampah. Selain itu, beberapa kali juga aku menemukan


Rumah Judi Pancing Perak Pendekar 4 Bara Naga Karya Yin Yong Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini