Ceritasilat Novel Online

A Song For Alexa 4

A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella Bagian 4

kertas bertuliskan kata-kata kasar terselip di tas punggungku. Aku tidak

tahu kapan orang itu berhasil memasukkannya. Aku juga sempat menemu

kan tisu bekas pakai, aku tidak tahu apakah itu bekas ingus atau apa, yang

jelas tisu tersebut dalam keadaan lembap dan basah. Ini benar-benar kele

watan dan menjijikkan.

Kejadian yang paling kubenci adalah ketika Kenny menyadari ada tinta

pulpen merah yang bocor dan mengotori dasar tas punggungku, beberapa

buku-bukuku, dan ternyata juga mengenai kemejaku di bagian pinggang.

Kenny mengingatkanku untuk hati-hati kalau menyimpan pulpen di tas.

Masalahnya, aku tidak pernah memiliki pulpen warna merah. Jadi, siapa

pun yang melakukan ini, semakin kelewatan dan mengganggu.

Karena kejadian tinta ini akhirnya Kenny memberitahu Selwyn dan

Arnold, lalu menyuruh mereka memperhatikan orang-orang yang mungkin

ingin melukaiku. Kenny selalu bertanya padaku dengan siapa saja aku ber

temu di jalan atau di sekolah sebelum akhirnya aku menemukan gangguangangguan ini. Saat kuingat-ingat kembali, aku bertemu banyak orang. Aku

bertemu Rieska, Daniel, Rangga dan teman-temannya, bahkan Vivi. Aku

juga sering mendatangi anak-anak kelas sebelah untuk bertanya tentang

ujian yang sudah mereka lewati. Selain itu, kalaupun aku naik lift pasti

bersama banyak orang. Aku tidak bisa menentukan siapa orangnya karena

aku juga tidak menyadari pergerakan mereka.

Arnold pernah menduga ini ulah Vivi yang cemburu padaku, tapi

menurut Kenny, Vivi tidak mungkin seperti itu.

"Separah-parahnya Vivi cemburu sama Alexa, paling cuma dalam bentuk

sindiran atau ngomongnya jadi ketus. Toh dia sama Daniel masih awet kan

sampe sekarang."

169

169

2:46:53 PM

Di samping berbagai hal yang terjadi, untungnya setiap ujian masih bisa

kukerjakan sebaik mungkin. Bahkan sampai hari terakhir mid test pun, aku

mampu mengatasi emosiku agar tidak terlalu mencemaskan semua itu.

Suasana hatiku pun menjadi lebih ceria ketika aku berhasil menyelesaikan

ujian praktik biologi dengan sempurna. Saking senangnya bahkan sampai

setelah bel istirahat berbunyi dan teman-temanku sebagian besar sudah

turun ke kelas, aku masih berada di lab untuk mendiskusikan ujianku de

ngan asisten yang memang dekat dengan murid-murid. Baru ketika Kenny

mengingatkanku, kami akhirnya kembali ke kelas.

Begitu sampai di kelas aku hanya menemukan Arnold yang sedang makan bekalnya seperti biasa dan Selwyn yang sedang tidur-tiduran di mejanya.

"Yang lain mana?" tanya Kenny. "Sepi amat."

"Langsung ke kantin," jawab Arnold.

Melihat Arnold makan, aku jadi ingat bekalku. Seingatku hari ini aku

bawa bekal, tapi aku tidak bisa menemukan tas bekalku di mana-mana. Di

laci mejaku tidak ada, di dalam tasku pun tidak ada. Aneh. Apa tadi pagi

tertinggal di mobil? Aku juga tidak terlalu ingat.

"Nyari apa, Alexa?" tanya Kenny.

"Oh, bekal gue," jawabku. "Gue lupa tadi gue bawa turun mobil apa

nggak."

"Jangan-jangan," sahut Arnold, "ulah orang itu lagi."

Kenny langsung memandangku serius.

Aku merasa sikap mereka menjadi terlalu berlebihan. "Sebentar, gue juga

agak lupa."

"Serius Alexa, lo yakin nggak tadi ketinggalan?" desak Kenny. "Arnold,

tadi siapa aja yang ke kelas ini selain anak kelas kita? Ada yang mencuriga

kan nggak yang deket-deket tas Alexa?"

"Gue nggak perhatiin juga, Ken. Pokoknya tadi anak-anak IPS kayak

Daniel sama temen-temennya seperti biasa ke sini. Vivi juga ke sini buat

ngajak Aria ke kantin. Oh, tapi ada anak kelas sebelah sih yang dateng ke

sini buat nanya soal ujian praktik tadi."

Kenny dan Arnold langsung mendiskusikan dugaan-dugaan mereka.

Aku masih tidak yakin. Rasanya aku bawa, tapi aku juga tidak ingat.

170

170

2:46:53 PM

Apa benar bekalku dicuri orang itu? "Iya, kayaknya ketinggalan deh," jawab

ku, menenangkan kedua temanku.

Kenny sempat tidak yakin, tapi kemudian ketika melihat aku tidak ber

bohong, dia langsung memasang ekspresi lega. Arnold sendiri masih terlihat

bingung.

"Apa perasaan gue doang ya, kayaknya tadi gue lihat tas bekal lo," ujar

Arnold pelan.

"Udah, udah, mending kita latihan buat ujian selanjutnya," sahutku.

Aku juga sedang tidak ingin memikirkan tentang masalah itu.

"Udah, nggak usah belajar, lo pasti dapet bagus, Alexa," sahut Selwyn

yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya.

Kenny juga tiba-tiba jadi senewen melihatku membuka buku. "Tahu

nih, gregetan gue ngelihatnya, gue malah tenang-tenang aja."

Aku membela diri, "Ya kalian kan abis sekolah ada les privat lagi, gue

kan nggak ikut, lagian gue bukan genius kayak Anggie. Tiap pelajaran ti

dur tapi tiap ujian bisa dapet nilai sempurna. Mustahil buat gue."

"Si Selwyn juga nggak les, tapi dia biasa-biasa aja kelakuannya," timpal

Kenny.

Aku tetap tidak terima. "Tapi dia lebih pinter."

"Udah, ah," balas Selwyn sambil berdiri. "Beser gue liat lo belajar terus,

Lex."

Aku makin kesal. "Apa hubungannya gue belajar sama lo yang beser,

Selwyn." Tanganku langsung mencari-cari penghapus di tempat pensilku

untuk menimpuk Selwyn. Sayangnya dia berhasil menghindar sambil terta

wa cekikikan.

Setelah situasi terasa agak tenang dan mendukung untuk belajar, Arnold

malah mengangkat topik pembicaraan yang lain.

Dengan mulut setengah penuh, dia memulai, "Tumben cowok lo nggak

dateng, Lex."

"Apa?" Aku agak terkejut sebenarnya, di pikiranku langsung terlintas

wajah cowok itu. "Cowok gue?" tanyaku, pura-pura tidak tertarik, tetapi

sebenarnya menahan gugup yang tiba-tiba muncul.

"Ah, belagak pura-pura. Noh, si Daniel."

"Oh," aku menghela napas lega, "dia." Kupikir

171

171

2:46:53 PM

Kenny langsung menyahut, "Dia sama ceweknya yang bener dulu, Nold,

nanti istirahat kedua baru sama cewek yang ini. Nggak, bercanda... Bercan

da. BERCANDA!" teriak Kenny, langsung berusaha menghindar ketika

melihatku mencari-cari barang untuk dilempar.

"Mampus lo, Ken," kata Arnold.

"Eh, lo juga ya." Aku langsung meliriknya.

"Dih, kok gue," hindar Arnold, tapi matanya berkilat jail. "Noh, si

Kenny!"

"Gue tahu lo kayak cewek-cewek kan suka gosipin gue diem-diem di

belakang."

"Dih, GR! Orang kita gosipin Arnold sama gebetannya," ujar Kenny

menghindar lagi sambil mengangkat tasnya sebagai tameng.

"Sialan lo, Ken," Arnold yang sedang tertawa langsung merasa jadi kor

ban hinaan.

"Kata siapa sih kita ngomongin lo Alexa? Yee" ujar Kenny lagi, berusa

ha tidak menghiraukan Arnold.

"Gue lihat sendiri, kucing! Belakangan ini kalo gue lagi ngobrol di sini

sama tuh orang kalian pada ngumpul di meja Selwyn di pojok sambil

ngelirik gue. Emang gue nggak berasa?"

"Eh, Lexa, lo tahu istilah GR, nggak? Nah, yang kayak lo gini nih,"

kata Kenny sambil senyum-senyum. Dia seolah berusaha menyatakan kebe

naran, tapi ekspresinya yang menahan senyum malah membuatku makin

tidak percaya.

Aku memutuskan untuk diam. Pura-pura ngambek.

"Yah, ngambek kan," kata Arnold. "Nggak asyik ya."

Tiba-tiba pintu kelas terbuka. Kenny dan Arnold melompat kaget.

Arnold yang pertama berteriak, "Monyong!"

"Buka pelan-pelan napa, Wyn," Giliran Kenny yang sekarang menimpuk

Selwyn dengan penghapus.

Selwyn hanya tertawa sambil memegangi perutnya. "Sumpah, muka lo

berdua tuh goblok banget. Ekspresi kagetnya tuh sama. Hahaha!" Selwyn

memeragakan bagaimana wajah kaget Kenny dan Arnold. Aku hanya bisa

ikut tertawa.

172

172

2:46:53 PM

"Eh, Alexa," panggil Selwyn, ketika akhirnya mereka sudah selesai terta

wa, "barusan Kei ke sini lagi tuh."

Oh! Sesaat rasanya jantungku berhenti berdetak. Entah perasaan senang

dari mana yang tiba-tiba memenuhi diriku. Apa itu benar? Mengapa dia

tidak masuk dan memanggilku?

Diriku kembali dipenuhi rasa penasaran. Aku berdiri dan berniat ke

kelas Kei untuk mencari dia ketika tiba-tiba Anggie membuka pintu kelas

dengan heboh dan menyuruh teman-teman sekelas untuk bersiap-siap ke

lab kimia.

"Rese, lo Nggie," Kenny dan Arnold buru-butu menimpuk Anggie de

ngan jas lab, penghapus Arnold, dan barang-barang lain yang bisa mereka

raih. "Pelan-pelan aja buka pintunya, bisa nggak? Sama aja lo kayak

Selwyn!"

Selwyn di pojokan tertawa keras sekali sambil memegangi perutnya.

Aku meninggalkan mereka. Walaupun kejadian setelah ini pasti menarik

dan akan menjadi hiburan seru, ada hal lain yang saat ini kembali meme

nuhi pikiranku. Aku keluar kelas, berpapasan dengan beberapa teman

sekelasku yang berkumpul di depan kelas, tepatnya di dekat tempat sam

pah. Aku mendekati mereka karena agak aneh juga mereka tidak langsung

masuk ke kelas tapi masih berkumpul di sekitar situ.

"Sayang banget dibuang-buang." Aku mendengar salah satu temanku

berbicara.

"Punya siapa, ya?"

"Kenapa, Fel?" tanyaku.

"Lihat deh," kata Feli, "kirain ada bau apaan di lorong, ternyata ada

yang buang makanan."

Aku melongok dan melihat ke dalam tempat sampah. Aku ingat mama

ku membawakan bekal nasi uduk lengkap dengan lauknya. Aku juga ingat

mamaku selalu mengingatkanku untuk tidak makan di kelas karena aroma

nya bisa memenuhi kelas, terutama karena sempat tertutup rapat dalam

kotak makan. Karena itu juga ketika aku melihat makanan itu kini tercecer

di tempat sampah, lengkap dengan lauk yang kuingat jelas mamaku siap

kan pagi ini, aku semakin yakin, orang yang melakukan ini tidak main173

173

2:46:53 PM

main. Karena bercampur dengan sampah sisa makanan yang lain, koridor

jadi dipenuhi bau yang tidak sedap.

Teman-temanku yang tadinya berkumpul di situ bergegas masuk ke

kelas. Walaupun mulai mundur beberapa langkah, aku masih berdiri

menatap tempat sampah itu. Ada yang aneh. Aku tidak menemukan kotak

makan dan tas bekalku. Di belakang tempat sampah tidak ada. Di dalam

tempat sampah jelas-jelas tidak ada karena warna cerah kotak makanku

tidak terlihat sama sekali. Apa dua-duanya masih dibawa orang itu?

"Alexa."

Aku menoleh. Daniel bersama temannya dan beberapa teman sekelasku

sedang berjalan ke arah kelas. Dia berhenti sebentar dan mengajakku bica
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ra.

"Kalau lo mau tanya kenapa gue nggak bareng Vivi," mulainya, "dia lagi

pergi ke WC dulu." Dia lalu menunjuk toilet cewek yang ada tepat di

samping tangga.

"Oh, kali ini gue nggak kepikiran untuk tanya itu kok."

Daniel tersenyum. "Tapi kelihatannya lagi mikirin yang lain. Lo ngapain

berdiri di sini sendirian?"

Tubuh dan wajahku mungkin menghadapnya tetapi pandanganku me

nangkap hal lain yang berada jauh di belakangnya. Kei keluar dari kelas

dan mungkin berniat untuk ke WC cowok di dekat tangga, tapi kemudian

dia memelankan langkah ketika tatapan kami bertemu, dan malah berbalik

menuju kelasnya lagi.

"Sori ya, Daniel," jawabku, tanpa memandangnya lagi. Perhatianku tertu

ju pada orang yang satu itu.

"Kei!" panggilku.

Kei berhenti berjalan, lalu berbalik.

Aku menatapnya. Rasanya lama sekali aku tidak melihatnya sedekat ini.

Aku menyadari wajahnya terlihat lelah dan lingkaran hitam di bawah mata

nya. Apa dia kurang tidur karena belajar? Ataukah ada masalah yang se

dang dipikirkannya yang membuatnya tidak bisa tidur dengan tenang?

"Kata Selwyn lo nyariin gue?" aku memulai.

Kei terlihat berusaha menghindari tatapanku. "Nggak ada apa-apa,"

174

174

2:46:53 PM

jawabnya singkat. Dia terlihat tidak nyaman. Dia di sini, tapi terasa begitu

jauh.

Aku menunggu jawaban lebih lanjut, tetapi Kei malah berbalik, dan

meninggalkanku.

"Tunggu," panggilku lagi.

Kei berhenti, tetapi tidak menghadapku, seakan-akan memberikan sinyal

padaku bahwa dia tidak tertarik berbicara lama-lama denganku. Dia tam

pak berbeda.

"Bener nggak ada apa-apa?" tanyaku sekali lagi, hanya berusaha memasti

kan.

Kei menggeleng, lalu berjalan meninggalkanku.

Sekali lagi aku menatap punggungnya yang bergerak semakin jauh. Aku

juga berbalik menuju kelasku.

Aku tidak mengharapkan ini. Aku membayangkan kami berbicara bebas

seperti sebelumnya, tapi kenapa dia jadi dingin seperti itu? Apa yang ter

jadi dengannya selama tiga hari absen sampai dia jadi tertutup seperti itu?

Lagi pula apa maunya, dari kemarin dia mencariku, tapi ketika kami memi

liki kesempatan untuk bicara, dia malah bilang "nggak ada apa-apa". Apa

ada masalah besar yang terjadi? Atau ada sesuatu yang kulakukan yang

menyinggung perasaannya?

Benakku jadi semakin penuh dengan pertanyaan. Mungkin aku harus

menyeretnya ke ruang musik dan mengajaknya bicara di sana.

Prang!

Aku menoleh. Suara itu berasal dari tangga di samping kiriku. Ada

sesuatu yang terjatuh. Tunggu. Itu tas bekalku, ada yang meletakkannya

tepat di puncak tangga. Kalau begitu, jangan-jangan yang jatuh tadi

Aku langsung bergegas ke arah tangga dan melongok ke bawah. Kotak

makan dan alat makanku berserakan di tangga. Ada yang melemparnya ke

bawah. Siapa? Aku melihat ke sekelilingku. Di dekatku tidak ada orang,

di toilet di sampingku juga tidak ada tanda-tanda seseorang di dalamnya,

sedangkan beberapa murid cewek memang terlihat, tapi mereka sedang

membaca mading yang jauh dari tempatku. Lalu ke mana orang itu pergi?

Apa dia lari ke bawah?

175

175

2:46:53 PM

Dan yang aneh adalah tas bekalku dibiarkan tergeletak di puncak tangga

ini. Kenapa dia tidak menjatuhkannya ke bawah sekalian?

Aku membungkuk untuk mengambil tas bekalku. Tiba-tiba dari arah

belakang aku bisa merasakan ada yang mendorongku kuat semuanya terasa

berputar di depanku.

Bayangan orang itu sekilas sempat tertangkap mataku dan kudengar

diriku menjerit.

Pandangan mulai kabur.

Yang kuingat jelas saat itu adalah tangan kanan dan kepalaku sakit

sekali.

KEI

Langkahku terhenti di depan pintu kelas. Aku yakin baru saja mendengar

jeritan seseorang. Aku menoleh ke lorong yang baru saja kulewati. Alexa

sudah tidak ada. Apa dia sudah kembali ke kelasnya?

Suara siapa itu? Aku yakin baru saja mendengar seseorang menjerit.

Saat itu juga aku melihat sekumpulan murid cewek berlari ke arah tang

ga. Ketika aku melihat sekeliling, ternyata beberapa murid menatap ingin

tahu ke arah yang sama, arah mereka mendengar jeritan tersebut.

Seseorang tiba-tiba berlari dari kerumunan murid cewek di tangga menuju kelas XI IPA. Aku tahu cewek itu. Vivi, kalau tidak salah.

Aku berjalan menjauhi kelas perlahan. Terdengar hiruk pikuk dari kelas

XI IPA dan tiba-tiba saja banyak murid berhamburan ke luar. Aku melihat

Kenny, Selwyn, dan satu orang teman dekat mereka berlari menuju tangga

tempat asal jeritan tadi. Aku juga melihat cowok bernama Daniel, diikuti

Vivi, berlari kembali ke arah tangga. Wajah mereka semua begitu pucat

dan memancarkan kepanikan.

Langkahku terhenti. Tiba-tiba tubuhku terasa kaku. Aku kenal betul

perasaan ini, firasat buruk ini. Tidak mungkin, aku baru saja meninggalkan

Alexa beberapa detik yang lalu, dan sesuatu yang buruk terjadi padanya?

Aku melangkah lebih cepat menuju tangga. Rasanya aku bisa mendengar

bisikan kecil yang mengatakan semuanya terlambat. Kumohon, jangan sam

176

176

2:46:53 PM

pai hal buruk terjadi padanya. Dan penyesalan itu pun muncul. Seandainya

aku tidak meninggalkan Alexa begitu saja.

Semakin banyak orang berkerumun di puncak tangga sampai akhirnya

Selwyn dan salah satu temannya membelah kerumunan. Kenny kemudian

muncul dan terlihat menuntun cowok itu, Daniel. Mereka berjalan cepat

menaiki tangga dan terlihat terburu-buru. Daniel tampak menggendong

seseorang, seseorang yang baru kutinggalkan sesaat lalu.

Alexa, yang terlihat meringis kesakitan dalam pelukan Daniel.

Aku berdiri kaku mengamati kejadian itu tepat di depan mataku, bah

kan setelah mereka hilang dari pandangan.

Penyesalan muncul lebih besar daripada sebelumnya, kali ini diikuti ke

bencian yang semakin mendalam. Hal itu tidak akan terjadi seandainya

aku tidak menuruti egoku dan meninggalkan Alexa begitu saja. Aku menge

palkan tangan, menahan emosi yang semakin tidak bisa kukendalikan.

177

177

2:46:53 PM

12

PEOPLE?S PERCEPTION

ALEXA

Aku menatap tangan kananku yang dibalut perban. Dokter klinik sekolah

bilang tanganku terkilir dan aku akan sulit memakainya selama beberapa

hari ke depan. Walaupun begitu, aku disarankan untuk memeriksakannya

di rumah sakit untuk mencegah kemungkinan adanya keretakan atau otot

yang terkilir. Dokter juga menyarankan agar aku memeriksakan benjolan

di dahi kananku akibat benturan saat jatuh tadi karena takut ada cedera

dalam. Meskipun begitu sejauh ini aku hanya melihatnya sebagai benjolan

biasa. Dokter itu bahkan sampai repot-repot menyarankan agar kepalaku

diperban, tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin menarik perhatian lebih

banyak. Aku tahu dengan dikompres saja bengkaknya akan menyusut, tapi

tentu setelah ini aku akan mengikuti sarannya untuk ke rumah sakit.

"Kejadiannya gimana sih, Alexa? Lo kepleset?" tanya Kenny ketika mem

bantu membereskan barang-barangku setelah bel pulang berbunyi.

Aku menggeleng.

"Terus, kenapa ini ada di sekitar tempat lo jatuh?" giliran Arnold yang

bertanya sambil menyerahkan tas bekalku yang sudah dia rapikan.

178

178

2:46:53 PM

"Kotak makannya udah jatuh berantakan duluan di bawah tangga," ja

wabku pelan, nyaris tidak terdengar oleh mereka. "Tapi tasnya nggak, pas

mau gue ambil"

"Lo jatuh?" tanya Kenny. "Tapi nggak mungkin lo jatuh gitu aja, lo

nggak seceroboh itu, Alexa."

"Lo lagi sakit, ya? Tiba-tiba pusing terus jatuh?" tanya Arnold. "Tapi

kita sempet bercanda bareng, dan lo nggak kelihatan sakit," tambahnya,

yang terakhir ini sepertinya dia ucapkan lebih kepada diri sendiri.

Aku tidak ingin diinterogasi seperti ini, tapi aku tahu ini karena mereka

khawatir.

"Alexa didorong."

Aku, Kenny, dan Arnold serempak menatap Selwyn. Aku tidak tahu

dari mana Selwyn bisa mengambil kesimpulan seperti itu. Dia menatapku

lurus-lurus, seolah ingin memastikan kebenaran pernyataannya. Kenny dan

Arnold pun ikut menatapku, menuntut jawaban akan pernyataan Selwyn

barusan.

Aku memakai ranselku dan berjalan pelan meninggalkan kelas yang mu

lai kosong, berusaha lari dari mereka.

"Alexa," panggil Kenny. Mereka bertiga segera menyusulku.

"Lo beneran didorong?" bisik Arnold.

Aku mengangguk. Aku kemudian menahan Arnold untuk berdiri diam

di depanku, dan membalik tubuhnya agar membelakangiku, kemudian aku

mendorongnya ke depan. "Rasanya kurang-lebih seperti itu," jawabku pe

lan.

Suaraku memang tenang, tetapi reaksi mereka begitu mengejutkan.

Mereka memandangku serius dan tampak sangat khawatir. Mereka lang

sung berjalan begitu dekat denganku seolah melindungiku dari pembunuh

bayaran yang bisa muncul sewaktu-waktu. Ketiganya lalu mengarahkanku

menuju lift yang agak jauh dari kelas. Keputusan yang bagus mengingat

saat ini tangga sedang tidak menjadi fasilitas yang bersahabat.

"Jadi, kejadian spesifiknya gimana?" tanya Kenny lagi, masih berbisik,

dua orang lainnya turut mendengarkan. "Lo ngelihat tas bekal lo, pas mau

ambil lo didorong, jatuh, tangan dan kepala lo cedera?"

"Bukan," jawabku pelan, "awalnya gue denger ada suara benda jatuh di

179

179

2:46:53 PM

tangga. Pas gue lihat itu kotak makan gue, terus gue lihat tas bekalnya masih

ada di puncak tangga. Waktu gue mau ambil tasnya, gue didorong."

"Itu pancingan," ujar Selwyn pelan.

"Waktu jatuh, gue sempet pegangan ke railing tangga, makanya perge

langan tangan gue cedera. Tapi karena itu jatuh gue nggak terlalu keras,

kalo nggak mungkin cedera di kepala gue lebih parah."

Kami sampai di depan lift dan terdiam sebentar. Tampaknya mereka

bertiga sedang membayangkan kejadian tadi, dan menahan diri untuk tidak

bertanya karena saat ini kami berada di tengah kerumunan. Begitu pula

ketika kami berada di dalam lift. Serempak semuanya diam dan dengan

sabar menunggu sampai kami sampai di lantai tujuan.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Barulah begitu pintu lift terbuka dan kami keluar menuju lantai dua,

Kenny mengutarakan pendapatnya. "Lo sempet lihat pelakunya nggak?"

Aku terdiam. Aku tidak terlalu yakin, tapi memang hal ini memenuhi

pikiranku sejak kecelakaan tadi. "Gue sempet sekilas lihat rambutnya doang

sebelum akhirnya dia masuk ke toilet samping tangga."

"Cewek, kalo begitu," ujar Selwyn lagi. Toilet cowok juga ada di sam

ping tangga, tetapi pintunya menghadap ke koridor, sedangkan pintu toilet

cewek berada tepat di samping tangga.

"Rambutnya panjang warna gelap, gue kurang yakin itu hitam atau

cokelat gelap," aku menambahkan.

"Berarti sebelumnya dia sembunyi di toilet, sambil nunggu Alexa kena

pancingannya," ujar Kenny, terdengar lebih bersemangat karena berhasil

mengungkapkan potongan misteri ini.

"Abis itu dia keluar dari toilet, terus dorong Alexa," Arnold melengkapi,

tidak kalah bersemangat dengan Kenny.

"Alexa," Selwyn tetap terdengar tenang. "Sebelumnya lo nggak merasa

ada orang di toilet?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Gue juga awalnya curiga, tapi gue yakin banget

nggak ada orang. Gue tahu maksud lo, dari awal dia pasti sembunyi di

situ, kan?"

Selwyn mengangguk.

Kami kembali terdiam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Di tengah

hiruk pikuk murid-murid yang bubar sekolah dan berjalan menuju tangga

180

180

2:46:53 PM

utama, aku tahu ketiga temanku juga memikirkan hal yang sama. Siapa

pun orang ini, tindakannya semakin kelewatan. Ini melebihi batas normal

tindakan iseng. Orang ini benar-benar berniat melukaiku, bukan lagi seka

dar mengerjai atau menakut-nakutiku.

Tapi ada satu hal yang tidak bisa kuceritakan kepada mereka. Walaupun

hanya sekilas melihat rambutnya, kurasa aku tahu siapa pelakunya. Lagi

pula, seseorang juga sempat mengatakan sesuatu padaku sesaat sebelum aku

jatuh, dan dia mungkin tidak menyadari bahwa dia memberitahukan pela

kunya padaku. Meskipun begitu, aku tidak berani berasumsi. Mungkin saja

itu hanya kebetulan. Aku harus mencari tahu sendiri.

"Hati-hati, Alexa," Selwyn mengingatkan. Aku tahu di balik tingkah

usilnya selama ini, ketika satu temannya dalam masalah, dia orang yang

paling bisa diandalkan.

Ketika kami sampai di dasar tangga, Selwyn, Kenny, dan Arnold tetap

memaksa untuk berada di sisiku sampai aku dijemput dan masuk ke mobil

dengan aman. Mereka benar-benar seperti bodyguard. Saat sedang menung

gu itulah, aku melihat seorang perempuan keluar dari sedan hitam yang

dari tadi terparkir di depan tangga utama.

Perempuan itu turun dari mobil dan berdiri kaku menatap ke tangga

utama. Gayanya begitu menawan dan penuh percaya diri, tetapi rasanya

tak ada satu hal pun yang menyenangkan dari dirinya. Perempuan itu tam

pak begitu tegas dan wajahnya seolah sudah lama sekali tidak pernah terta

wa, atau setidaknya merasa bahagia.

Aku mengikuti arah pandangnya, ingin tahu siapa kira-kira yang dia

tunggu. Dan aku melihatnya.

Kei sedang berjalan cepat menuruni tangga menuju mobil hitam terse

but. Begitu melihat Kei, perempuan itu segera masuk ke mobil diikuti oleh

Kei. Kemudian mobil itu mulai bergerak meninggalkan pelataran parkir.

"Hei, Alexa."

Aku menoleh. Rangga menghampiriku. Dia kemudian menyapa Kenny,

Selwyn, dan Arnold. "Lo gimana? Gue denger tadi lo jatuh dari tangga,

ya?"

"Iya, bener," sahut Arnold, "tadi Alexa"

Omongan Arnold langsung terpotong begitu dia menyadari Kenny

181

181

2:46:54 PM

memelototinya. Memang untuk saat ini, kenyataan tentang kecelakaan itu

bukanlah hal yang bisa disebar kepada semua orang.

"Alexa sempet nggak enak badan, makanya waktu mau ke toilet dia

malah jatuh ke tangga," jawab Kenny, tenang dan meyakinkan.

Rangga mengangguk. Tampaknya dia menerima penjelasan Kenny, tapi

aku juga tidak ingin dia bertanya lebih lanjut, karena itu kupikir ini saat

nya aku mengalihkan perhatiannya.

"Rangga," aku memulai, "tadi gue lihat Kei dijemput, tapi ada orang

lain yang nunggu dia. Lo tahu nggak itu siapa?"

Rangga diam sejenak. "Perempuan? Kira-kira umur empat puluhan?"

Aku mengangguk.

"Itu tantenya," jawab Rangga. "Sejak nggak masuk tiga hari lalu, ka

dang-kadang tantenya ikut jemput Kei di sekolah, kayak hari ini."

Tantenya? Itu tantenya Kei, yang selama ini melarang Kei main piano?

Ada apa? Apa selama tiga hari Kei tidak masuk kemarin itu sebenarnya

berhubungan dengan tantenya? Apa dia juga yang membuat Kei tidak bisa

lagi bermain piano setelah pulang sekolah? Kalau begini berarti masalah Kei

dengan tantenya belum selesai. Seperti yang dia ceritakan saat itu, sebelum

kami tampil, dia ingin memperoleh izin dari tantenya agar bisa mengambil

sekolah musik setelah SMA ini. Apakah itu berarti usahanya untuk

meyakinkan tantenya gagal? Apakah akhirnya tantenya tahu bahwa Kei

bermain piano lagi tanpa izin saat tampil di Porseni sehingga marah besar?

Jangan-jangan sebelum ini Kei mencariku di kelas untuk menceritakan

yang sebenarnya tentang hal ini.

Aku benar-benar ingin tahu.

Apakah Kei gagal meyakinkan tantenya?

Atau yang lebih parah lagi, apakah aku tinggal menunggu waktu sampai

Kei akhirnya akan dipindahkan dari sekolah ini dan kami tidak akan bisa

lagi bertemu?

Pagi ini aku merasa pergelangan tangan kananku sudah lebih baik. Aku

menuruti saran Kitty yang mengunjungiku Sabtu kemarin untuk membiar

kan tanganku tetap diperban sampai sakitnya hilang. Aku benar-benar

182

182

2:46:54 PM

memakai akhir pekan dengan beristirahat sungguh-sungguh. Ketika tanganku

terluka seperti sekarang aku baru benar-benar menyadari betapa penting

tangan kananku ini. Maksudku, tidak hanya untuk melakukan kegiatan se

hari-hari seperti makan, minum, mengambil barang dan sebagainya, tetapi

aku menggunakan tangan kananku untuk hal yang benar-benar menjadi

bagian diriku yang begitu penting. Semua gambar di buku sketsaku ada

karena kananku. Aku juga butuh tangan kananku untuk bermain bas.

Aku benar-benar harus sembuh, aku ingin bisa menggambar dan ber

main musik lagi.

Sedangkan keadaan kepalaku sendiri, sesuai dugaan, memang baik-baik

saja. Untungnya dahiku sudah kembali ke bentuk normalnya pagi ini. Un

tuk menghindari cedera yang parah di kepalaku, memang tangan kananku

lah yang harus dikorbankan.

Tapi selain semua hal itu, Kei adalah masalah utama yang benar-benar

memenuhi pikiranku. Berdasarkan apa yang kulihat Jumat lalu, kalau me

mang tantenya berada di balik apa yang terjadi pada Kei saat ini, itu ber

arti Kei sedang dalam masalah. Selama ini dia selalu membantuku menye

lesaikan masalah, setidaknya aku juga ingin ada di sisinya untuk

membantunya. Sayangnya selama ini aku selalu gagal menemuinya.

Aku tahu Kei berjanji akan meyakinkan tantenya untuk bermain musik

lagi, tapi kalau melihat situasi belakangan ini ada kemungkinan usahanya

itu gagal. Ataukah ada hal lain yang terjadi?

Aku mulai menaiki tangga ketika mobil sedan hitam itu berhenti di

depan tangga utama. Aku merasa tahu itu mobil siapa, karena itu aku

berdiri dan menunggu. Kei melangkah keluar dan ketika menyadari keber

adaanku di depannya, dia berhenti. Keadaan mulai canggung, dan aku ti

dak tahu harus berkata apa, tapi tampaknya dia tidak terlalu memikirkan

hal tersebut dan melewatiku, seakan-akan tidak melihatku.

Secara refleks aku meraih lengannya untuk menghentikannya.

Kei menoleh dan melihat tangan kananku yang menahannya. Sesaat aku

melihat ekspresi terkejut di wajahnya. Aku yakin dia sudah mendengar

tentang kecelakaan yang kualami kemarin, tapi kenapa dia harus terkejut

seperti itu? Lagi pula, aku sudah baik-baik saja. Saat ini orang yang masih

dirundung masalah besar adalah dirinya.

183

183

2:46:54 PM

"Alexa."

Aku menoleh. Bukan Kei yang memanggilku, melainkan Daniel.

"Pagi," sapanya.

Aku agak terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. "Pagi," jawabku

pelan.

"Gimana keadaan lo?" tanyanya.

Aku merasakan sebuah tangan yang menyentuh tangan kananku. Aku

memandang Kei, dia menepis tanganku. Dia lalu berlalu meninggalkanku.

Sekali lagi, dia tidak meladeniku. Sekali lagi, aku hanya bisa melihat pung

gungnya menjauhiku. Sekali lagi, aku merasakan sakit di dadaku.

"Alexa," panggil Daniel.

Aku menatap Daniel. Setidaknya orang yang satu ini masih ada di sisi

ku. Setidaknya dia menanyakan kabarku. Setidaknya orang ini jugalah yang

membopongku dan membawaku ke klinik sekolah saat kecelakaan.

"Thank you, Daniel," jawabku, "gue udah lebih baik."

Daniel tersenyum. Dia mengajakku berjalan ke atas. "Tapi kelihatannya

tangan kanan lo masih sakit?"

Aku mengangguk.

"Kalau udah benar-benar sembuh kabarin gue, ya," ujar Daniel, "gue

mau ngajak lo pergi Jumat ini."

Aku memandangnya heran. "Mau ke mana?" tanyaku.

"Sebenarnya gue mau ajak lo nonton gig perdana band gue. Yah, bukan

perdana juga sih, kemarin di Porseni kan udah, tapi ini perdana di tempat

umum. Gue bakal tampil di kafe kakaknya Raka. Lagian sebelumnya kan

lo nggak sempet nonton penampilan gue, Jumat ini pokoknya lo mesti

dateng," ucapnya, terlihat benar-benar bersemangat.

Aku tidak merespons. Sebenarnya ini terlalu tiba-tiba untukku. Kurasa

ini bukan saat yang tepat.

"Tenang aja, nanti gue yang jemput. Jadi, lo nggak perlu bingung pergi

nya gimana."

Aku makin memandangnya tidak percaya. "Kenapa lo nggak ajak

Vivi?"

"Oh," ia memulai, "Vivi nggak suka yang beginian. Apalagi kafenya

pake konsep komik terus band gue bawain lagu Jepang, dia mana suka."

184

184

2:46:54 PM

"Lo udah tanya dia?" tanyaku lagi.

"Udah, tapi dia nolak. Belakangan ini kalau gue lagi ngomongin apa aja

yang berbau Jepang di depan dia, dia pasti ngambek dan ninggalin gue.

Jadi, nggak mungkin gue ungkit-ungkit lagi soal gig ini ke dia."

Aku makin menatapnya tidak percaya. "Daniel, itu artinya dia minta

diperhatiin. Selama ini mungkin lo cuma ngurusin band Jepang lo."

Daniel tertawa. "Nggak, Alexa. Gue udah cukup perhatiin dia kok,"

jawabnya.

Aku meragukan hal itu.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seseorang memanggil Daniel. Kami menoleh dan melihat Vivi melam

baikan tangan pada Daniel. Vivi berjalan mendekati Daniel dan hanya

memandang ke arahnya, seakan-akan aku tidak ada di tempat. Tapi ketika

dia berjalan aku menyadari sesuatu.

"Vivi, lo berdarah?" tanyaku. Aku melihat noda merah di sisi samping

roknya.

Vivi menatap roknya. "Oh, bukan. Ini bekas tinta. Nggak bisa ilang

nih, padahal roknya masih baru," keluh Vivi.

Tinta merah?

Lagi-lagi aku menemukan hal baru yang membuatku berasumsi, tapi

pasti tidak hanya dia yang memiliki tinta merah di sekolah ini.

Kenapa segalanya mengarah padanya?

Sepanjang hari itu aku tidak berani pergi ke ruang musik atau menunggu

di depan lorong kelasku sama sekali. Aku bahkan tidak berani melihat so

soknya sedikit saja. Aku tidak tahu alasan sebenarnya Kei bersikap dingin

padaku. Karena itu aku tidak berani memaksanya bicara. Aku takut aku

akan semakin sakit hati, walaupun sebenarnya tidak bisa melihatnya seperti

ini rasanya jauh lebih menyakitkan.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sampai hari ini aku masih mengucil

kan diri di dalam kelas, sesekali kalau terpaksa aku buru-buru menuju

toilet dan kembali ke kelas. Aku tahu ini bodoh sekali. Adakah satu cara

agar aku bisa kembali ke keadaan sebelum Porseni, ketika kami mengha

biskan waktu bersama di ruang musik itu?

185

185

2:46:54 PM

Dengan berdiam diri di dalam kelas ini, aku juga harus menerima ke

adaan. Daniel tetap datang dan mengajakku ngobrol. Anehnya sejak

kemarin aku masih belum melihat Vivi. Tumben sekali dia tidak datang

ke kelasku dan mengawasi pembicaraanku dengan Daniel.

Kejadian pagi ini lebih aneh lagi. Cewek yang kukenal sebagai teman

baik Vivi di kelasnya mendatangiku dan menyampaikan sesuatu yang tidak

biasa. Dia bilang Vivi ingin bertemu dan bicara denganku di depan lift

lantai enam saat istirahat kedua.

Lantai enam adalah lantai yang paling sepi karena di sana hanya ada

laboratoium praktik untuk mata pelajaran tertentu, karena itu daerah terse

but hanya dipenuhi murid-murid saat ada jadwal praktik kelas. Janji temu

di lantai enam inilah yang membuatku curiga. Kenapa Vivi memilih tem

pat sepi? Apa yang ingin dia katakan yang jangan sampai diketahui orang

lain? Atau jangan-jangan ini berhubungan dengan Daniel? Mungkin dia

punya masalah dengan Daniel dan butuh pertolonganku. Kalau memikirkan

ajakan Daniel kemarin, tidak heran Vivi ingin membicarakan kelakuan

Daniel padaku.

Tanpa memikirkan apa-apa lagi aku langsung mendatangi tempat yang

dia minta. Begitu pintu lift terbuka di lantai enam, aku langsung melihat

dia baru saja keluar dari toilet. Seperti dugaanku, keadaan di lantai enam

ini benar-benar sepi, hanya terdengar gemerecik air dari toilet cewek yang

cukup menarik perhatianku. Aku sempat memandangi pintu toilet itu, apa

ada orang di dalamnya?

"Hai, Alexa," sapa Vivi. Dia tersenyum.

Aneh, aku membayangkan dia sedang bersedih dan akan langsung memborbardirku dengan curhatannya begitu melihatku keluar dari lift.

"Hai, Vivi," balasku, "siapa yang lagi di toilet?"

Vivi sama sekali tidak mengalihkan pandangan dariku. "Nggak ada

siapa-siapa. Kerannya rusak."

Aku merasa agak tidak nyaman dengan caranya menatapku. Dia sendiri

juga tidak terlihat akan segera mulai berbicara. Dia membiarkan keadaan

terus hening dan canggung.

"Jadi," aku memulai, "mau ngomongin apa?" Vivi terlihat bingung dan

186

186

2:46:54 PM

malah memandangku heran. "Lho, katanya lo mau ngomong sama gue

makanya gue dateng ke sini."

Vivi menggeleng. "Nggak kok, gue nggak pernah bilang begitu."

Aneh. Apa Vivi bohong? Atau temannya yang berbohong? Apa maksud

nya dia melakukan ini padaku?

Vivi tiba-tiba meraih kedua tanganku dan menggenggamnya. "Rasanya

udah lama ya kita nggak ngobrol berdua begini. Gue selalu merasa kita

bisa jadi teman baik, Alexa, seandainya lo bisa lebih pengertian."

Aku ingat ucapan Daniel dan sikapnya yang kurang perhatian terhadap

Vivi. "Vivi, kalau lo ada masalah, nggak apa-apa kok cerita ke gue. Mung

kin gue bisa bantu."

Vivi tersenyum dan melepaskan tanganku. "Thank you, Alexa." Dia mun

dur perlahan dan berbalik menuju tangga. Di tengah jalan ia berhenti dan

kembali menghadapku. "Oh iya, Alexa, kayaknya barusan gue lihat sesuatu

deh di toilet. Kalau nggak salah punya lo."

Aku menatap toilet di sampingku. Benda milikku?

"Hati-hati, Alexa. Belakangan ini lo selalu ceroboh, kan. Masa jatuh dari

tangga cuma karena mau ambil tas bekal?"

"Apa?" Aku menatapnya.

Vivi tertawa. Setelah itu dia kembali berjalan menuju tangga.

Yang tahu tentang fakta itu hanya Selwyn, Kenny, dan Arnold. Selama

ini orang lain hanya mengetahui bahwa aku jatuh dari tangga karena tibatiba pusing. Kalau begitu, Vivi tahu dari mana? Apa salah satu dari temantemanku yang menceritakannya padanya? Kalau memang bukan, lalu sia

pa?

Oh, ada satu orang lagi yang tahu fakta itu: pelakunya. Lalu apakah

Vivi

Aku menoleh ke arah toilet. Suara air dalam toilet itu dari tadi cukup

meresahkanku. Apa benda milikku yang ada di dalam sana?

Aku memegang daun pintu. Aku melihat ke bawah dan air mulai meng

alir melalui kakiku. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu.

Cahaya yang masuk dari jendela kecil di dalam toilet yang luas itu sem

pat menyilaukanku, tapi kemudian cahaya itu menerangi begitu banyak

hal.

187

187

2:46:54 PM

Air keran memenuhi wastafel dan tumpah ke lantai, membanjiri ruang

an dengan genangan air dan bahkan sampai keluar pintu. Tapi tidak hanya

itu. Banyak kertas berukuran A4 berserakan di mana-mana. Aku tidak bisa

melihat jelas kertas-kertas apa itu. Aku maju perlahan dan mengambil sehe

lai kertas yang paling dekat. Aku mengamatinya. Sebuah gambar. Aku tahu

persis gambar itu. Itu gambar sketsa sepupuku yang kuambil tahun lalu.

Aku hanya bisa bertemu dengannya setahun sekali karena dia sibuk bekerja,

karena itu aku sangat menyayangi gambar ini. Sayangnya gambar ini terli

hat berbeda dengan saat pertama kali aku menyelesaikannya. Selain goretan

pensilnya pudar dan kertasnya basah, sekarang di atas gambar itu terdapat

coretan X besar dengan spidol.

Aku memandang ke seluruh ruangan. Kertas-kertas tersebut tersebar di

mana-mana, dirobek dari bukunya dan dibuang seenaknya. Semuanya gam

bar-gambar sketsa yang pernah kubuat. Kemudian mataku terpaku pada

berwarna hitam yang begitu kukenal; buku sketsaku, terendam dalam was

tafel yang penuh air.

Aku mematikan keran lalu mengambil buku itu. Aku tahu itu sudah

terlambat, tapi aku tidak mau menerima kenyataan ini. Aku membuka

buku sketsaku yang sekarang tipis. Tiap lembarnya menempel dan menjadi

lemas. Aku takut bila aku memaksa membukanya malah akan merobek

nya.

Hancur sudah. Kalaupun aku mengeringkan buku ini, kertasnya akan

keriting dan tidak akan kembali seperti semula. Buku sketsa yang sudah

kukerjakan hampir dua tahun terakhir ini, dengan segala kenangan di da

lamnya, dirusak begitu saja.

Aku berdiri diam, tubuhku terasa kaku. Aku tidak tahu harus bereaksi

bagaimana. Saat ini aku merasa begitu lemah dan tidak bisa melakukan

apa-apa. Vivi berhasil mengambil benda paling penting dalam hidupku.

Tidak mudah menggambar ulang semuanya. Sebagian besar di antaranya

adalah gambar spontan yang kubuat karena momen tertentu dan mengikuti

emosi tertentu.

Aku melihat ke sekelilingku. Aku mulai mengambil satu per satu robek

an-robekan halaman buku sketsaku yang tersebar. Mengambil gambar ter

sebut lembar demi lembar rasanya seolah mengambil kembali satu per satu

188

188

2:46:54 PM

kepingan memori dalam kepalaku. Semua gambar itu mewakili banyak hal

dalam hidupku.

Aku tidak akan kalah. Aku tidak boleh lemah. Aku bisa menggambar,

itu bakatku. Aku pasti bisa membuat sketsa lainnya yang lebih baik. Aku

akan menyimpan semua gambar rusak ini, tapi hal ini tidak akan meng

hambatku dan membuatku merasa gagal. Apa pun yang akan dilakukan

Vivi terhadapku, aku pasti bisa melaluinya. Aku bukan cewek lemah. Aku

bisa menghasilkan gambar-gambar bagus lagi.

Aku lalu mengambil gambar terakhir yang masih tercecer. Aku meng

amatinya. Aku sangat mengenal gambar terakhir ini. Itu gambar sketsa

kakekku yang kuambil awal tahun ini ketika keluargaku mengunjunginya.

Sebulan setelah gambar ini diambil, kakekku meninggal karena serangan

jantung. Kejadian itu begitu mendadak, karena aku melihat dirinya masih

begitu sehat.

Karena itulah, dibandingkan gambar yang lainnya aku tidak akan pernah

bisa membuat gambar ini lagi. Tidak akan. Perasaan yang kurasakan ketika

membuat gambar ini benar-benar nyata karena itu terakhir kalinya aku

menghabiskan waktu bersama beliau. Aku tidak mungkin menghasilkan

gambar yang lebih baik kalau aku menggambar ulang dari foto dirinya.

Tidak akan.

Itu tidak mungkin.

Aku semakin menunduk memandang sketsa wajah kakekku yang sedang

tersenyum. Satu-satunya benang yang menghubungkan diriku dengan ke

nangan bersama dirinya telah rusak.

"Harus kuat," bisikku. Aku merasakan mataku memanas dan setetes air

mata mengalir. "Alexa harus kuat."

KEI

Aku berdiri di depan ruang musik. Sudah lama rasanya aku tidak mema

suki ruangan ini lagi. Tak mungkin aku lari terus dari masalah. Rasa

penasaran itu masih menghantuiku. Aku masih ingin mencoba melatih

tangan kiriku. Seiring hari berlalu rasanya aku semakin kesepian karena

189

189

2:46:54 PM

kehilangan Alexa, tapi aku tidak ingin kehilangan pianoku juga. Tidak

keduanya sekaligus. Karena itu ketika sekali lagi memasuki ruangan ini pun

aku bertekad akan menemukan jawaban atas masalahku.

Aku menatap piano itu. Piano hitam indah itu terasa asing, sama seperti

ketika pertama kali aku melihatnya lagi setelah delapan tahun kutinggalkan.

Aku tahu aku tidak memiliki kesempatan untuk menyentuh piano tersebut

setelah pulang sekolah. Karena itu untuk hari ini, aku meninggalkan tiga

jam pelajaran terakhir demi berada di sini. Untuk hari ini saja, aku merasa

harus berada ruangan ini dan duduk di depan piano ini. Aku harus

mencobanya lagi.

Aku berjalan perlahan mendekati piano, dan mengelusnya. Lapisan debu

tipis mulai beterbangan. Aku meletakkan tasku di kaki piano lalu membu

ka piano tersebut. Aku mengelus tutsnya. Dingin.

Aku memejamkan mata dan mengulang kembali jalinan not-not dari
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

komposisi yang kusukai. Kedua tanganku mulai bergerak.

Aku mungkin tidak memasukkan emosi yang tepat untuk melodi yang

terdengar ceria ini, tapi tidak apa-apa. Saat ini aku hanya ingin tahu apa

kah aku bisa memainkan komposi tersebut dari awal sampai akhir.

Sejauh ini baik-baik saja. Aku menatap jemariku menari di atas tuts. Ini

lebih baik daripada permainanku yang terakhir. Benar, aku tidak boleh

kehilangan piano ini. Tidak setelah aku kehilangan Alexa. Kehilangan dia

rasanya begitu menyakitkan, jadi aku tidak ingin kehilangan pianoku

juga.

Hmm. Aku mendengar dan merasakannya. Tangan kiriku melewatkan

satu nada.

Aku berhenti sebentar untuk melemaskan jemari, lalu memulai kembali.

Aku berusaha menenangkan pikiran dan memperhatikan tiap nada. Aku

terus bermain dan memenuhi pikiranku dengan musik yang kuhasilkan.

Segalanya terdengar seperti dulu, seakan diriku tertarik dalam kenangan.

Dan aku berhenti lagi. Kali ini aku merasakannya dengan jelas. Lagi-lagi

tanganku mendadak kaku, lalu rileks kembali. Permainanku tidak sem

purna.

Aku melemaskan tangan kiriku dan mencoba lagi, tapi ketika aku me

190

190

2:46:54 PM

mulai kembali, lagi-lagi aku harus berhenti sebelum permainan selesai.

Bahkan ketika lagu yang kumainkan belum sampai setengahnya, aku terus

berhenti dan mengulang kembali.

Aku tahu aku merasakannya, tapi aku tidak mau mengakui bahwa ta

ngan kiriku tidak bisa lagi berfungsi dengan baik. Aku memandangi tangan

ku. Ini tidak boleh terjadi lagi. Aku tidak ingin kehilangan pianoku. Aku

tidak ingin sendirian lagi ataupun hidup tanpa impian. Mungkin tanteku

benar. Seandainya sejak awal aku tidak diperkenalkan pada musik ataupun

piano, aku pasti tidak perlu mengalami semua ini. Aku merasa seperti anak

kecil yang disodori mainan, tetapi ketika berusaha meraihnya, mainan itu

ditarik kembali. Piano ini ada di hadapanku, tetapi tidak bisa kumain

kan.

Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sehingga tidak menyadari ada ta

ngan asing menggenggam tangan kiriku.

Aku terlonjak. Ketika melihat orang yang menyentuh tanganku, aku

lebih terkejut lagi.

Alexa memperhatikan wajahku dengan saksama. "Kenapa?" tanyanya.

Aku tidak tahu harus menjawab apa karena masih terlalu terkejut meli

hat kemunculannya. Banyak hal terlintas dalam benakku. Sejak kapan

Alexa ada di sini? Aku tidak mendengar pintu dibuka. Ataukah Alexa

sudah ada di sini sejak aku memasukinya tadi? Mengapa aku tidak menya

darinya? Apa karena aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri? Dan kalau

memang sejak tadi Alexa sudah ada di sini, apa dia melihat semuanya?

Lebih tepatnya, apa dia mendengar semuanya?

"Kenapa," Alexa memulai lagi, "tangan kirinya?"

Benar, dia mendengar semuanya.

Alexa tersenyum, lalu mengangkat tangan kirinya. "Gue bersedia pin

jemin tangan kiri gue, asal jangan minta yang kanan," katanya memperli

hatkan tangan kanan yang diperban. "Yang ini lagi nggak bisa diandal

kan."

Alexa berusaha menghiburku, tapi bagiku itu tidak lucu. Melihatku ti

dak bereaksi, Alexa menurunkan tangan. Dia tetap tersenyum, tapi aku

menyadari senyumnya lemah.

"Seperti biasa," ujar Alexa, "Kei selalu simpan semuanya sendiri, ya."

191

191

2:46:54 PM

Dia kemudian mulai berbalik dan berjalan menuju ruang lukis. "Kei

selalu bantu gue, setidaknya gue pengin bisa bantu Kei," ucapnya pelan.

Aku baru menyadarinya sekarang. Selama ini posisi piano membuatku

selalu membelakangi ruang lukis saat aku bermain. Sekarang ketika aku

berdiri membelakangi piano, kulihat ruang lukis begitu berantakan. Lam

punya dibiarkan mati sehingga cahaya hanya berasal dari luar dan ruang

musik. Kemarin pun ruangan itu masih kosong seperti biasa karena peng

huni tetapnya tidak pernah datang lagi, tapi sekarang beberapa tali terben

tang di sepanjang jendela dan digantungi kertas. Seakan-akan semuanya

sedang dijemur atau dikeringkan atau seseorang sengaja memajangnya

seperti itu. Meja-meja disejajarkan sembarangan di bawah jemuran tersebut,

tampaknya digunakan sebagai pijakan

Kuperhatikan Alexa sekarang duduk di tengah ruangan sambil menatap

kertas-kertas tersebut. Bayangannya jatuh di atas wajahnya sehingga aku

tidak bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan atau rasakan.

Alexa mengangkat tangan, menunjuk deretan kertas tersebut. "Semua

gambar ini dirobek dari buku sketsa gue," ucapnya pelan.

Saat itu aku baru menyadari buku hitam yang diletakkan di bawah jen

dela. Aku mengenalinya sebagai buku sketsa Alexa.

"Ini ulah Vivi," Alexa melanjutkan. "Kalau ada yang mempertanyakan

motifnya apa, udah kelihatan jelas di antara gambar-gambar ini."

Alexa kemudian berdiri dan berjalan menyusuri deretan gambar tersebut.

"Di antara semua karya gue yang dirusak Vivi," ujarnya sambil menunjuk

setiap coretan X hitam di atas gambar-gambar tersebut, "cuma satu yang

dicorat-coret kasar dan diremas-remas dulu sebelum berakhir basah seperti

ini."

Alexa berdiri di bawah satu gambar yang kertasnya terlihat lebih lusuh

dibandingkan yang lain, gambarnya sudah tidak jelas lagi karena coretan

spidol.

Aku memperhatikan wajah Alexa, memperhatikan perubahan ekspresinya

yang semakin sedih.

"Objek gambar ini," lanjut Alexa, memandang lurus padaku, "adalah

Daniel."

Saat itu juga aku memahami makna kesedihan di wajah Alexa, dan me

192

192

2:46:54 PM

rasakan sakit di hatiku muncul kembali. Aku mengkhawatirkan keadaan

Alexa, tapi dia malah mengkhawatirkan gambar Daniel. Ini konyol.

Alexa menyentuh gambar itu. "Ada tinta merah yang pudar di kertas

ini, tapi tulisannya masih bisa dibaca. ?Murahan?, ?Menjauh dari Daniel?,

?Jangan rusak hubungan orang?." Alexa diam sebentar dan terlihat berpikir,

"Gue baru lihat cemburu bisa bikin orang bertindak brutal seperti ini."

"Itu mungkin."

Alexa menatapku. Kami terdiam beberapa saat.

"Oh, ya?" Alexa tersenyum. "Tapi cemburunya kali ini benar-benar tidak

berdasar."

Aku menatapnya tidak percaya, setiap kalimat yang kami ucapkan justru

semakin memupuk emosi baru dalam diriku. "Jelaskan."

Alexa tampak agak tersinggung dengan nada perintah dalam ucapanku,

tapi kulihat dia aku berusaha menenangkan diri.

"Vivi cemburu gue deket sama Daniel. Dia minta gue jauhin Daniel.

Jangan-jangan dia malah mikir gue yang pancing Daniel biar ngobrol sama

gue. Dia pikir gue berusaha ngerusak hubungan mereka, padahal bukan

itu. Gue udah nggak suka"

"Kelihatannya nggak begitu," potongku ketus.

Alexa menatapku tidak percaya. Ia mulai kesal. "Apa?"

"Dari luar kelihatannya nggak begitu. Kamu emang kelihatan mau rebut

Daniel dari Vivi, jadi nggak heran kalo reaksi Vivi jadi seperti ini," jawab

ku, ketus.

Justifikasiku terhadap tindakan Vivi membuat Alexa panas. Dia maju

selangkah mendekatiku, tidak bisa menutupi amarah yang masih ia berusa

ha tahan. "Apa maksudnya?" tanyanya, intonasinya mulai meninggi.

Aku memperhatikan reaksi Alexa, tahu semakin banyak kalimat yang

kuucapkan akan semakin memancing amarahnya. Tapi aku sendiri tidak

bisa lagi menahan diri. Yang kuucapkan mewakili apa yang kurisaukan

sejak pertama kali melihat Daniel dan Alexa begitu akrab setelah Porseni.

"Waktu tampil di Porseni kemarin kamu bilang itu usaha terakhir kamu

untuk melupakan Daniel, tapi rasanya kamu cuma jilat lidah sendiri. Bukti

nya sekarang kamu malah makin dekat dengan dia."

Aku bisa melihat mata Alexa mulai berkaca-kaca, tapi aku tidak bisa

193

193

2:46:54 PM

berhenti. Aku sudah memendam perasaan ini begitu lama, karena itu aku

tidak bisa mengendalikan diri lagi. Aku maju beberapa langkah mendekati

Alexa. Menantangnya.

"Kalau orang yang dulu kamu suka sekarang mulai perhatian sama

kamu, nggak mungkin kan kamu cuekin dia? Nggak mungkin usaha buat

lupain orang itu berhasil. Semua orang pasti lebih percaya kamu justru

makin suka sama dia. Pastinya ini jadi kesempatan buat kamu. Kamu jadi

bisa balas dendam sama Vivi yang ngerebut Daniel dari kamu."

"KEI!" teriak Alexa. Wajahnya mulai memerah, napasnya mulai membu

ru. Dia terus menatapku seakan aku bukan orang yang dia kenal selama

ini. Aku balas menatapnya dengan serius. Wajah kami kini begitu dekat.

"Selama ini gue selalu merasa lo nggak banyak omong dan menyimpan

semuanya sendiri, tapi sekarang denger lo banyak bicara kayak gini" Alexa

menghela napas, dia tersenyum getir, "jadi begitu pendapat lo selama ini?"

Aku tidak menjawab dan hanya menatapnya. Aku tahu apa pun yang

kuucapkan akan menyakitinya, begitu pula sebaliknya.

Aku bisa merasakan Alexa semakin marah. Setelah apa pun yang terjadi

antara dirinya dan Vivi, ditambah lagi kata-kataku yang membela Vivi, aku

yakin itu membuatnya makin kesal. Aku bisa melihat tubuhnya gemetar

karena menahan amarah dan tangis. Saat itu juga rasanya aku ingin meng

ulurkan tanganku dan membelai pipinya, tapi semua itu tertahan. Alexa

juga harus memahami apa yang kupikirkan dan rasakan selama ini.

"Lo bukan orang yang tepat buat ngomong ini, Kei," Alexa memulai,

merasa sekarang gilirannya menantangku. "Lo juga sama, kan? Waktu tam

pil kemarin lo bilang itu usaha lo buat nunjukin ke tante lo kalo lo mau

sekolah musik. Tapi sejak saat itu lo nggak pernah main musik lagi"

"Apa?" Aku tidak menyangka Alexa akan mengungkit-ungkit tanteku.

Amarah lain mulai muncul dalam diriku, tapi Alexa jelas sekali tidak

memedulikan hal itu. "Gue sering cari lo di ruangan ini abis pulang seko

lah. Gue selalu percaya lo pasti belajar piano dulu sebelum pulang. Nyata

nya sekarang tiap pulang sekolah lo dijemput tante lo"

"Kamu nggak ngerti"

"Apa pun yang terjadi selama tiga hari waktu lo nggak masuk itu, bu

kan berarti lo bisa berhenti main musik, kan? Lo sendiri yang bilang musik

194

194

2:46:54 PM

hal yang paling penting dalam hidup lo. Bukannya musik satu-satunya

peninggalan penting orangtua lo? Terus kenapa sekarang gampang banget

buat lo ninggalin musik? Gue nggak nyangka."

"Bukan itu"

"Sebelum tampil lo udah janji kan, lo akan usaha terus buat meyakin

kan tante lo supaya izinin lo main musik. Lo sendiri yang bilang musik

membantu menyampaikan perasaan lo ke orang lain. Terus setelah usaha

lo gagal, lo tinggalin begitu aja? Pasrah dan balik lagi dari awal, jadi orang

yang cuma bisa lihatin piano, tapi nggak bisa maininnya? Kalau kayak

begitu, sampai kapan pun lo nggak akan bisa jadi pianis! Cuma segini rasa

suka lo terhadap musik? Cuma segini usaha lo buat mengenang orangtua
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lo?"

"Alexa!" bentakku. Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar, tidak

percaya Alexa bisa mengatakan itu. Aku tidak percaya kalimat-kalimat terse

but bisa keluar dari bibir yang selama ini selalu tersenyum padaku, selalu

mengucapkan kata-kata manis yang mendukungku. Aku ingin menghenti

kan semua itu.

"Kalau makna cinta lo terhadap musik cuma sebatas ini, berarti semua

yang lo bilang ke gue selama ini palsu. Sekarang yang makan omongannya

sendiri bukannya"

Alexa tidak pernah menyelesaikan kata-katanya karena aku tidak bisa

menahan diriku untuk tidak merengkuh wajahnya dan menariknya mende

kat.

ALEXA

Kei menciumku.

Segala hal rasanya tersapu begitu saja dari kepalaku. Pikiranku sesaat

kosong. Tapi begitu bisa merasakan amarahku kembali lagi, aku mendorong

nya dan menamparnya.

Bisa kulihat keterkejutan di wajahnya. Entah apakah karena dia tidak

menyangka dia bisa melakukan itu, atau bahwa aku baru saja menampar

nya. Aku tidak peduli, bagiku itu tidak cukup untuk memaafkannya.

195

195

2:46:54 PM

Emosiku tidak bisa dibendung lagi. Aku berlari mengambil tasku dan

keluar dari ruangan itu.

Aku terus berlari dan air mataku terus mengalir, aku tidak bisa menahan

nya lagi. Mengapa semuanya harus terjadi beruntun seperti itu?

Aku sengaja menunggu Kei di ruang lukis karena mengira aku mungkin

bisa bertemu dengannya hari ini. Aku membutuhkannya. Aku ingin bicara

dengannya. Dia tidak bisa membayangkan betapa bahagianya aku ketika

melihat dia melangkah masuk ke ruang musik dan menuju piano. Aku

tidak menduga dia juga akan membolos kelas dan datang ke sana. Aku

membayangkan dia akan memainkan pianonya seperti biasa, menghiburku

seperti dulu, mendengarkan semua hal yang kuceritakan.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Dalam waktu singkat dia berubah.

Ketika membaca tulisan Vivi, aku merenungkan, apakah yang dia tulis

tidak hanya pendapatnya, tapi juga pendapat semua orang? Apakah bahkan

yang lain juga berpikiran seperti itu? Aku ingat ucapan Arnold dan Kenny

padaku, apakah mereka sendiri juga memercayai hal itu? Mereka percaya

aku sedang berusaha merebut Daniel dari Vivi?

Setelah begitu banyak hal yang kulalui, kupikir bahkan hal ini masih

bisa kuatasi. Aku yakin keadaan tidak mungkin lebih buruk lagi dan aku

pasti masih bisa mengatasinya. Aku tidak peduli lagi dengan persepsi semua

orang. Aku tidak ambil pusing lagi dengan apa yang orang pikirkan, karena

aku tahu Kei pasti memercayaiku. Aku yakin dia pasti bisa melihat mana

yang benar. Asalkan Kei masih melihatku sebagai diriku yang sebenarnya,

aku tidak peduli dengan omongan orang lain.

Sayangnya, aku salah. Mendengar ucapannya barusan, ternyata dia sama

saja dengan orang lain. Aku salah, dia juga memandangku seperti itu.

Aku merasa bodoh. Selama ini aku selalu berusaha menjadi orang baik.

Aku merelakan Vivi mendapatkan Daniel, masih sabar menghadapi tingkah

mesra mereka di hadapanku. Aku tidak memercayai tuduhan yang

dilemparkan padanya atas semua kejadian buruk yang terjadi padaku, aku

bahkan tidak melabraknya begitu melihat perlakuannya terhadap buku

sketsaku. Sedangkan Vivi, dengan segala tindakan buruk yang dia lakukan

terhadapku, dan tanpa perlu banyak berusaha, tetap tampil sebagai orang

196

196

2:46:54 PM

baik yang menjadi korban. Mungkin aku harus munafik seperti Vivi agar

semua orang mau mengubah pandangan mereka terhadapku.

Aku mulai memelankan langkah dan menyadari bahwa pelajaran masih

berlangsung. Aku tidak mungkin kembali ke kelas dalam keadaan seperti

ini. Tidak ketika mataku masih bengkak dan air mataku masih belum bisa

berhenti. Aku bergegas menuju toilet. Aku menyalakan keran dan menatap

pantulan diriku di cermin. Wajahku benar-benar berantakan. Orang-orang

itu berhasil membuatku menjadi seperti ini.

Dan Kei. Ini yang masih tidak bisa kupercaya.

Aku menatap pantulan diri mengangkat tangan dan menyentuh bibir

Aku tidak boleh memikirkannya!

Aku membuka keran dan membiarkan air mengalir deras. Aku member

sihkan wajahku, membersihkan bibirku, membersihkan bekas air mataku.

Aku tidak akan membiarkan orang lain melihatku seperti ini. Tidak

akan.

Aku memperhatikan air yang mengalir di antara jemariku. Aku merasa

bisa berpikir lebih jernih sekarang. Kalau memang harus berakhir seperti

ini, aku akan membiarkan diriku mengikuti arus. Kalau memang ini per

mainan yang dirancang Vivi sejak awal, aku akan mengikuti alurnya.

Perbedaannya, aku bukan Alexa yang lama. Vivi mencari perkara dengan

orang yang salah dan aku yang sekarang bisa jadi lebih jahat daripada

dirinya.

Permainan yang seimbang baru dimulai.

KEI

Aku terduduk di bawah jendela. Terlindung dari sinar matahari yang me

nembus masuk ke ruangan ini, membuatku berada di dalam bayangan

yang seakan mendukung atmosfer kesedihan yang mengelilingiku. Aku ter

duduk di lantai, memegangi pipi kiri dengan sebelah tangan sambil mena

tap nanar. Bayangan kejadian singkat itu masih terus terlintas di benakku.

Tamparan yang tidak terlalu keras?aku tahu aku layak menerima yang

lebih buruk?tapi sampai saat ini panasnya masih terasa di kulit.

197

197

2:46:54 PM

"Menyedihkan," ujar Rangga yang berdiri beberapa langkah di depanku.

"Pemandangan ini," ujarnya sambil menunjukku, "benar-benar menyedih

kan."

Aku hanya menatap tidak berdaya pada sahabatku yang sedang menghi

naku ini. Aku tidak mendengar kedatangannya.

"Belum pernah gue lihat teman baik gue nggak berdaya kayak begini,"

ujar Rangga sambil berjalan mendekat. "Gue tahu belakangan ini lo lagi

ada masalah. Gue juga udah curiga waktu tadi lo bolos dan bilang mau ke

tempat ini. Awalnya gue cuma mau ngecek, nggak nyangka ternyata keada

an lo setragis ini."

Aku menengadah, menatap Rangga yang berdiri menjulang di hadapanku. Aku tidak tahu harus berkata apa, tapi tahu aku bisa mengandalkan

sahabatku.

Rangga berjongkok dan mengamatiku dari dekat. "Hal tolol apa yang

baru aja lo lakuin?" tanyanya.

Aku tidak menjawab dan hanya mengalihkan pandangan

Rangga masih mengamatiku. Ini hal biasa. Ketika ada masalah, aku

jarang terpancing untuk menceritakannya, lebih sering Rangga yang mene

bak. Kali ini pun sama.

"Biar gue tebak," Rangga memulai, "gimana keadaan tangan kiri lo seka

rang?"

Rangga berhasil menarik perhatianku. Aku menatapnya curiga. Dari

mana dia bisa tahu tentang keadaan tangan kiriku? Ah, Rangga pasti tahu

dari Aya. Aku pun kembali mengalihkan pandangan.

"Bukan itu?" tanyanya memastikan. "Gue pikir masalah yang satu itu

udah cukup berat. Oke. Begini lebih seru."

Rangga terlihat senang karena harus menebak lagi. Melihatnya bersema

ngat seperti itu membuatku makin sengsara. Teman baikku lebih menyukai

teka-teki daripada membantuku yang sedang menderita.

"Selain piano, hal yang paling penting dalam hidup lo ya orangtua

lo, kan? Tapi karena mereka udah meninggal, sori, gue yakin lo nggak akan

menghadapi masalah berat yang berhubungan dengan hal itu," ujarnya, kali

ini menatapku lekat-lekat. "Kalau begitu, jawabannya tinggal satu. Alexa,

kan?"

198

198

2:46:55 PM

Mendengar nama itu disebut, aku langsung tertunduk dalam. Bayangan

kejadian itu sekali lagi terlintas di depan mataku.

"Ternyata bener Alexa," ujar Rangga, dalam suaranya terselip sedikit

keceriaan, "sekarang kita langsung ke intinya aja. Lo apain Alexa?"

Aku tetap terdiam, tidak bereaksi.

"Kalian berantem?"

Aku menggeleng perlahan, agak ragu. Lalu mengangguk. Kami memang

bertengkar, tapi kejadian setelah itulah yang menjadi pikiranku.

"Jadi, mana yang bener?" tuntut Rangga. Dia mulai tidak sabar, seolah

sedang meladeni pengakuan dosa anak kecil yang tertangkap basah berbuat

salah. "Lo bentak dia?"

Aku menggeleng sangat perlahan.

"Oke, lo bentak dia, tapi bukan itu masalah besarnya," Rangga menyim

pulkan.

Aku mengangguk.

"Terus, apa?" Rangga berpikir sebentar. "Lo nggak mukul dia, kan?"

Aku langsung memelototi Rangga.

"Kalau gitu, apa masalahnya? Ini kan bisa lebih gampang kalau lo ngo

mong aja terus terang. Gue percaya lo nggak mungkin mukul dia, nendang

dia apalagi." Rangga menghela napas, terlihat pasrah melihatku diam saja.

"Lo nggak mungkin cium dia tiba-tiba juga, kan?"

Hatiku mencelos. Terdengar ratapan merana yang ternyata berasal dari

diriku sendiri. Aku semakin menunduk lalu mengacak-acak rambutku.

"Apa?!"

Rangga tidak percaya melihat reaksiku. Dia lalu ikut duduk di lantai di

depanku. Dia pasti mengerti aku benar-benar menyesali tindakanku. Aku

menengadah sedikit dan melihat Rangga yang tampak benar-benar tak

habis pikir kenapa aku yang selalu tenang ini lepas kendali.

"Lo nggak bisa kontrol diri sedikit apa, Kei?" tanyanya. Melihatku

hanya menghela napas, dia lalu menepuk pundakku. "Menurut gue, men

ding mulai sekarang lo lupain dia deh. Gue rasa dia nggak akan maafin

lo."

Aku lama sekali tidak bereaksi.

"Heh, lo nggak tewas, kan?"

199

199

2:46:55 PM

Aku langsung berdiri dan mulai mengambil kertas-kertas yang digantung

Alexa. "Gue tahu gue nggak akan dimaafin, tapi setidaknya gue harus balik

in ini ke dia."

Rangga baru menyadari kertas-kertas apa yang digantung tersebut. Se

pertinya sebelum ini dia tidak terlalu memperhatikan. "Ini semua sketsanya

Alexa?" tanyanya.

Aku mengangguk.

Rangga melihat buku hitam yang tergeletak di dekatnya. Dia pasti bisa

melihat buku sketsa itu terlalu tipis untuk diameter ring lebar yang menji

lidnya. "Kertas-kertas itu dirobek dari buku ini? Kok bisa? Bukan lo kan

yang ngerobek?" tanya Rangga.

Aku balas menatap Rangga bingung. Aku menggeleng. Aku ingat kertaskertas tersebut sudah tergantung sebelumnya. Tidak mungkin Alexa yang

merobeknya sendiri, ini bukunya yang paling berharga. Aku meraba kertas

di tanganku, yang ternyata terasa lembap, masih setengah kering.

"Kalau bukan lo, ini pasti kerjaan orang itu," jawab Rangga.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku kembali menatapnya bingung.

"Dari sebelum mid test, Alexa sering diteror. Kertas latihan soalnya diro

bek terus dibuang, dia dapet pesan singkat yang isinya ancaman, tasnya

dimasukin bolpen bocor sama tisu bekas," Rangga terdiam sebentar. "Iya,

gue tahu yang terakhir itu emang jorok banget. Yang paling parah ya keja

dian yang lo lihat sendiri itu, Alexa didorong jatuh dari tangga."

Aku menatap Rangga tidak percaya, aku baru mengetahui semua ini

sekarang. "Kenapa lo nggak ngomong?"

"Mana bisa ngomong kalo belakangan ini lo kayak orang gila," jawab

Rangga. "Lagian gue juga baru dikasih tahu Kenny. Dia bilang Alexa tibatiba nggak mau masuk kelas. Dia pikir pasti ada kejadian yang lebih parah,

tapi Alexa nggak mau kasih tahu. Dia minta tolong gue cari pelakunya.

Dia kira gue anaknya kepala yayasan kali yang punya data semua anak,

mentang-mentang gue kenal banyak orang kan nggak berarti"

"Vivi," potongku.

"Apa?"

Aku menatap salah satu kertas yang paling lusuh dan objek gambarnya

sudah tidak bisa diidentifikasi lagi karena coretan kasar spidol, berikut tulis

200

200

2:46:55 PM

an dengan tinta merah yang mulai pudar. Aku ingat apa yang dikatakan

Alexa tadi.

"Vivi pelakunya."

Kemudian aku mengingat-ingat kembali semua perkataanku pada Alexa

saat itu. Semua yang kuucapkan tentu saja memancing amarah Alexa. Aku

hanya memikirkan perasaanku sendiri dan mengucapkan kata-kata kasar

tanpa mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya.

"Argh, sialan." Aku kembali mengacak-acak rambutku. Aku langsung

meraih buku hitam di tangan Rangga dan mengambil tas, meninggalkannya

begitu saja. Kemarahannya bisa aku ladeni nanti.

ALEXA

Aku duduk di kursi kantin di lantai dua, menunggu bel berbunyi dan se

mua murid pulang. Ada target yang kutunggu, dan aku tahu mereka pasti

bersama.

Baru beberapa detik yang lalu bel berbunyi dan aku bisa langsung men

dengar gemuruh langkah kaki terdengar dari pintu di kanan dan kiriku.

Aku tahu walaupun targetku pernah beberapa kali keluar dari pintu di

sebelah tangga utama di sana, mereka lebih sering keluar dari pintu di

samping kantin ini. Saat ini aku hanya perlu menunggu.

Ketika kerumunan murid mulai memenuhi area ini dan bergerak bersa

maan menuju tangga utama, aku melihatnya. Aku melihat Daniel bersama

beberapa temannya, berjalan berdampingan dengan Vivi yang tampak

sedang mengobrol dengan teman baiknya. Inilah yang kuharapkan, aku

bisa melaksanakan rencanaku di depan teman-temannya sekaligus.

Aku berdiri dan mulai berjalan mantap ke arah mereka.

"Alexa!"

Aku menoleh. Dari pintu di sebelah kanan yang biasa kulalui, Kei berja

lan ke arahku. Ini lebih baik lagi. Aku tersenyum pada Kei dan membiar

kannya memperhatikanku.

Aku kembali memfokuskan perhatian pada Daniel dan berjalan lebih

cepat ke arahnya. Aku meraih tangannya dan menghentikannya.

201

201

2:46:55 PM

Daniel berbalik dan memandangku, diikuti teman-temannya yang lain

dan Vivi.

Aku tahu semua mata menatapku, tapi aku hanya memandang lurus

Daniel. Aku tersenyum padanya.

"Gue udah janji sama lo, Jumat ini akan gue tepati," ucapku. Aku senga

ja memilih kata-kata yang mewakili hubungan kami berdua dan tidak ada

kaitan dengan Vivi, untuk membuat Vivi semakin kesal. "Gue mau nonton

gig kalian, kalian mainin lagu L?Arc~en~Ciel, kan?"

Aku melirik Raka yang juga satu band dengan Daniel dan ia mengang

guk.

"Lo tahu tempatnya nggak?" tanya Daniel.

Aku menggeleng. "Bukannya lo mau jemput gue?" tanyaku.

"Iya," jawab Daniel. Vivi menatapnya tidak percaya. Aku tahu Daniel

agak tidak nyaman dengan hal itu, tapi aku tidak peduli.

"Oke, nanti kabarin gue lagi aja." Aku melirik Vivi. "Sayang banget lo

nggak dateng, Vivi. Lo nggak suka hal-hal berbau Jepang begini sih, ya?"

Vivi tidak menjawab, hanya memelototiku.

Aku menggenggam kedua tangan Vivi, sama seperti sebelumnya dia

menggenggam kedua tanganku. Aku tersenyum padanya. "Tenang aja, Vivi,

gue kan dulu mantan manajernya waktu pertama kali dia ngeband. Kalo

sampai dia salah main ya tinggal gue gantiin aja."

Daniel tertawa. "Enak aja. Jangan harap, ya."

Vivi terlihat pucat dan bergerak pelan melepaskan genggaman tangan

ku.

Ini keadaan yang kuharapkan, aku tidak bisa berhenti tersenyum.

"Oke, sampai ketemu Jumat ini, ya. Dah." Aku pun berlalu meninggal

kan mereka. Hanya Daniel yang melambaikan tangan dan menatapku biasa

saja, teman-temannya yang lain terasa sekali begitu memusuhiku. Tapi aku

siap untuk itu.

Aku kenal betul sifat Daniel yang tidak peka. Aku pernah menderita

karena itu dan dari apa yang Daniel katakan kemarin, aku juga tahu Vivi

mengalaminya. Kecemasan yang Vivi alami dia lemparkan padaku dengan

menerorku. Sekarang aku hanya perlu memanfaatkannya dan menjadikan

nya bumerang untuk Vivi. Tampaknya itu berhasil.

202

202

2:46:55 PM

Aku menoleh pada Kei yang masih berdiri kaku di tempatnya. Aku ti

dak bisa membaca ekspresinya. Dia hanya berdiri menatapku. Aku tahu

dia pasti melihat jelas kejadian barusan. Memang itu yang kuharapkan.

Aku tersenyum padanya, kemudian berjalan semakin cepat menuju tangga

utama.

Aku menjadi orang yang mereka pikirkan. Mereka sudah menduga sifat

ku yang jahat sebelumnya. Maka, jadilah aku seperti ini, Alexa yang mere

ka bayangkan. Aku hanya mengikuti arus keadaan. Ini kan yang mereka

harapkan?

Sekarang setelah mereka melihatku seperti ini, aku tidak peduli lagi hal

lainnya. Aku siap merusak hubungan Daniel dan Vivi.

203

203

2:46:55 PM

13

TRUE FEELINGS

ALEXA

Tampaknya takdir pun berniat ikut memanasi keadaan yang sudah kubuat

semakin runyam ini. Aku tidak berharap akan langsung mulai membuat

masalah sepagi ini, tapi kedatanganku ke sekolah yang bersamaan dengan

Daniel seolah memancingku. Daniel yang baru keluar dari parkiran motor

melihatku dan mengajakku jalan ke gedung sekolah bersama-sama. Aku

mengikutinya, walaupun sejujurnya mentalku belum siap untuk berperang

sepagi ini. Aku yakin sekarang Vivi bisa berada di mana pun dan memper

hatikan gerak-gerik kami. Aku berusaha menenangkan diri. Daniel ataupun

Vivi benar-benar bukan orang yang ingin kutemui pagi ini.

"Gimana persiapan gig-nya?" tanyaku basa-basi.

"Lumayan," jawab Daniel, terlihat benar-benar bersemangat kalau dita

nya soal bandnya. "Dari weekend kemarin udah latihan terus di studio

deket rumah."

"Baguslah," aku menimpali, "gue jauh-jauh dateng mengharapkan penam

pilan yang memuaskan, ya."

Daniel tertawa. "Iya, tenang aja. Thank you, ya, udah mau dateng."

204

204

2:46:55 PM

"Hmmm, kelihatannya lo seneng banget gue dateng nonton nanti." Aku

memperhatikan Daniel yang tampak senang sekali, membuatku berniat

untuk menggodanya. "Jangan-jangan malah lebih seneng gue yang dateng

daripada cewek lo sendiri."

Daniel malah terdiam.

Aku sempat tidak enak dengan pernyataanku, tapi tampaknya kebisuan

nya bukan karena apa yang aku ucapkan. Daniel diam karena melihat

sesuatu. Aku mengikuti arah pandangnya.

Oh, ternyata orang itu. Satu lagi orang yang kuhindari pagi ini.

Kei berjalan menghampiri aku dan Daniel. Dia membawa buku sketsa

hitamku yang sudah rusak.

"Ayo." Aku mengajak Daniel untuk tetap jalan ke tangga utama, tidak

mengacuhkan Kei. Tapi begitu aku melewatinya, Kei malah menarik tangan

ku. Sekali lagi aku berusaha tetap berjalan dan melepaskan tangannya, tapi

dia menahan tanganku. Kei menatapku lekat-lekat. Aku heran apa mau

nya.

Aku balas menatapnya tajam, tapi dia tetap bergeming. Apa dia berniat

menciumku dengan paksa lagi? Kali ini di tempat umum? Entahlah, tapi

sepertinya dia bisa membaca pikiranku, karena tiba-tiba dia mengalihkan

pandangan dari mataku. Ini kesempatanku. Aku meraih tangannya yang

menggenggam tanganku dan menepisnya. Aku berjalan cepat menuju tang

ga utama. Daniel mengikuti di sampingku. Aku tidak enak karena telah

mengacuhkan Kei, tapi aku jadi malas berbicara sejak pertemuan dengan

nya barusan.

"Alexa," Daniel memulai, "lo sama senior itu kenapa?"

Akhirnya Daniel mulai mengutarakan penasarannya. Aku menoleh me

mandang Daniel. Aku tidak yakin apa yang dia pikirkan tentang diriku

dan Kei. Kalau dipikir-pikir, belakangan ini mungkin memang aku dan

Kei sering terlihat dalam keadaan canggung. Aku juga tidak yakin harus

menjawab bagaimana, keadaan kami terlalu rumit untuk dijelaskan.

Daniel menunggu jawabanku, tapi aku memutuskan untuk tidak men

jawab. Lagi pula kami sudah sampai di puncak tangga, saatnya kami ber

pisah menuju kelas masing-masing.

Tiba-tiba seseorang mengadang kami. Vivi. Dia tersenyum.

205

205

2:46:55 PM

Huft. Aku menghela napas. Masih sepagi ini aku sudah bertemu dengan

orang-orang bermasalah.

"Daniel, aku nungguin di situ lho dari tadi." Dia kemudian menatapku,

"Hai, Alexa." Vivi menggandeng tangan Daniel. "Ayo, ke kelas."

Ketika Vivi menarik tangan Daniel, aku memutuskan untuk meng

utarakan sesuatu yang tiba-tiba terlintas dalam kepalaku. "Kalian kenapa

nggak berangkat sekolah bareng lagi?" tanyaku mantap, cukup untuk mem

buat Vivi berhenti dan berbalik menghadapku.

Vivi menatapku tajam. Dia terpancing.

Aku melanjutkan kalimatku. "Waktu baru jadian kayaknya kalian sering

berangkat bareng. Kenapa belakangan ini nggak keliatan bareng lagi?" Perta

nyaan dan tatapan mataku tertuju pada Vivi.

Daniel menjawab. "Oh, Vivi nggak enak sama gue. Takut ngerepotin

kalau jemput ke rumah dia dulu, rumah dia kan agak jauh."

"Oh, ya? Kenapa begitu?" tanyaku, mataku kembali memandang Vivi

yang terus menatapku tajam.

"Di deket rumahnya lagi ada perbaikan jalan, jadi belakangan ini sering
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

macet, makanya harus berangkat lebih pagi. Kalau gue jemput dia dulu

berarti gue harus bangun subuh, kan?" jelas Daniel.

Aku menatap Daniel. "Vivi bilang begitu ke lo?"

Daniel balik menatapku heran. Mungkin dia bingung dengan pertanya

anku. Tentu saja aku ingin memastikan apakah itu hanya kebohongan Vivi

atau bukan, karena aku yakin sekali Vivi tidak ingin jauh dari pacarnya

itu.

"Iya," jawab Daniel.

Aku menatap Vivi yang sekarang makin menatapku marah. Aku tidak

yakin. Mungkin itu bohong, tapi untuk apa Vivi berbohong? Kecuali dia

punya rencana lain. Tapi melihat reaksi Vivi, tampaknya itu benar. Yah,

mungkin aku agak berlebihan, tapi apa pun yang terjadi pada mereka

harus kupertimbangkan, karena mungkin saja berdampak padaku. Apa yang

sedang Vivi rasakan, apa yang sedang Vivi cemaskan, apa yang sedang Vivi

alami, atau apakah dia sedang sakit hati karena perlakuan atau perkataan

cuek Daniel, semua itu bisa membantuku melawannya. Tindakannya

semakin berbahaya, karena itu aku juga harus berhati-hati.

206

206

2:46:55 PM

"Hati-hati lho Daniel." Aku menatap mereka bergantian. "Vivi bisa cem

buru kalau ditinggal lama-lama, dia kan harus barengan sama lo terus.

Nanti kalau pas dia nggak ada lo terus direbut cewek lain gimana?" Aku

tersenyum.

Daniel tertawa kecil. "Nggak mungkin."

Tampaknya Vivi benar-benar tidak mendengarkan. Dia lebih memfokus

kan perhatian dan amarahnya padaku. Sayang sekali. Seandainya dia bisa

lebih memperhatikan Daniel, mungkin dia akan sadar pacarnya barusan

membelanya. Yah, kurang-lebih. Setidaknya aku bisa melihat bagaimana

keadaan hubungan mereka sekarang. Sungguh rapuh.

KEI

Aku memperhatikan Alexa berjalan ke arah pintu utara. Aku mengikutinya.

Kedua bahu Alexa turun dan kepalanya agak tertunduk, seolah sedang

memikirkan sesuatu.

Aku hanya mengikuti tetapi tidak berani menyapa. Aku sudah berusaha,

tetapi gagal.

Mungkin ini karma. Dua hari yang lalu Alexa terlihat ingin bicara de

nganku, tapi aku mengabaikannya. Bahkan ketika dia meraih lenganku

untuk menghentikanku, aku malah menepisnya. Saat itu berat rasanya un

tuk menepis tangannya. Aku sempat berpikir untuk menggenggamnya, tapi

karena amarah menguasaiku, akhirnya aku malah melakukan sesuatu yang

hingga kini kusesali.

Dan kali ini keadaan berbalik. Aku merasa begitu sakit ketika Alexa

menepis tanganku. Hanya saja kali ini aku tidak merasakan ada keraguan

sedikit pun ketika dia melakukannya. Aku hanya melihat amarah di mata

nya.

Harus kuakui, setelah yang kulakukan kemarin, aku memang tidak bisa

dimaafkan.

Sambil menatap Alexa yang kini mulai menaiki tangga menuju kelas

IPA di lantai empat, aku semakin merasa mantap. Aku tidak peduli walau

207

207

2:46:55 PM

pun tidak dimaafkan. Aku akan terus berada di dekatnya. Aku akan terus

memperhatikannya. Aku tidak akan membiarkan sesuatu yang lebih buruk

terjadi padanya.

Selama ini aku hanya memikirkan diri sendiri dan tidak menyadari

Alexa sedang dalam masalah. Aku marah karena ketika kecelakaan itu terja

di, justru Daniel yang menolong Alexa, bukan aku. Aku marah terhadap

diri sendiri.

Aku telah memutuskan, suka atau tidak suka, Alexa harus menerima

kenyataan bahwa aku akan terus berada di dekatnya.

ALEXA

Aku buru-buru berlari menuju toilet cewek di samping lift. Aku baru dari

ruang guru dan Bu Santi baru saja memarahiku karena seragamku yang tidak

rapi. Tentu saja tidak rapi, aku belum selesai ganti baju sehabis pelajaran

olahraga ketika teman sekelasku, Anggie, bilang Bu Santi mencari-cariku dan

katanya penting. Kukira sepenting apa, ternyata Bu Santi hanya menanyakan

buku absensi dan jurnal kelas. Alhasil ketika dilihatnya seragamku yang

masih berantakan, aku malah dimarahi. Di depan Bu Santi, murid selalu

salah. Cara bicaranya memang halus dan tenang, tapi pemilihan kata-kata

yang digunakan selalu menusuk. Aku tidak menyukainya.

Aku memasuki salah satu bilik toilet dan merapikan kemejaku. Suasana

toilet benar-benar sepi, tapi tidak lama setelah aku masuk, aku mendengar

pintu toilet terbuka kembali dan beberapa orang masuk. Mereka berisik

sekali. Kalau dari suaranya, kedengarannya ada tiga orang. Tiga orang saja

bisa membuat toilet yang sepi jadi terasa penuh. Mereka berhenti di depan

bilik tempatku berada, yang menghadap ke kaca dan wastafel.

"Makanya, gimana kalau Jumat ini aja?" tanya satu orang di antaranya.

Suara ini sepertinya tidak asing. Mau tidak mau aku mendengarkan.

"Jumat ini kan cowok lo mau tampil, lo mesti nemenin dia. Cari hari

lain aja," salah satunya membalas.

208

208

2:46:55 PM

"Tahu nih, gimana sih. Pacarnya sendiri malah nggak dateng, akhirnya

cewek lain malah mau dateng nonton pacar lo tampil." Suara yang satu ini

terdengar lebih dekat dengan pintu bilikku.

"Hah? Siapa emang yang mau dateng?" Suara kedua bertanya lagi.

Tunggu. Kenapa aku jadi memperhatikan obrolan mereka? Sejak kapan

aku jadi pengintai seperti ini? Aku mengecek seragamku sekali lagi dan

hendak membuka pintu.

"Alexa!"

Aku nyaris refleks membuka mulut. Barusan aku mengira mereka memanggilku, tapi sedetik kemudian aku sadar, ternyata mereka sedang mem

bicarakanku.

"Yang bener, Vi?" Suara kedua itu bertanya lagi.

Oh, pantas aku merasa mengenal suaranya. Suara yang pertama tadi itu

Vivi.

Aku tidak tahu apa yang dilakukan Vivi, apakah dia mengangguk atau

apa, yang jelas mereka mengeluarkan suara seperti kesal dan marah.

"Kok lo biarin aja sih? Lagian gue heran juga kenapa Alexa yang malah

dateng nanti?"

"Daniel yang ajak dia," kudengar Vivi menjawab.

Bunyi air yang mengalir deras terdengar, sepertinya salah satunya mem

buka keran.

"Terus lo nggak diajak?"

"Diajak kok, Lia, tapi kalimat dia tuh beda. Dia cuma bilang mau ajak

ke kafenya Raka, mau kumpul-kumpul, gue nggak tahu mereka akan tam

pil. Jadi waktu dia ajak, ya gue tolak, karena biasanya setiap Jumat malam

nyokap gue ajak doa bersama di rumah temen baiknya. Kalau emang itu

gig perdana dia, gue pasti mau dateng," jawab Vivi, cara bicaranya begitu

sabar dan tenang.

Dia bohong. Daniel sendiri yang bilang padaku dia sudah berusaha

mengajak Vivi untuk menonton gig-nya itu. Lagi pula, Daniel tipe orang

yang bicara apa adanya, tidak mungkin dia hanya mengajak Vivi ke kafe

hanya untuk hang out kalau tujuannya sebenarnya untuk penampilannya.

Aku ingat betul, Daniel sendiri yang bilang Vivi menolak ajakannya karena

tidak suka dengan bandnya yang akan membawakan lagu Jepang. Itu

209

209

2:46:55 PM

berarti Vivi sebenarnya sudah tahu Daniel akan tampil. Lalu, kenapa dia

harus berbohong?

"Kalau gitu lo dateng aja tiba-tiba, bikin surprise," kata suara yang ter

nyata milik Lia.

"Gue nggak tahu tempatnya di mana," jawab Vivi.

"Ya udah, minta jemput Daniel gih," suara yang satu lagi menyahut dan

nada suaranya terdengar sebal dengan cara bicara Vivi yang santai.

"Nggak bisa, si Daniel sendiri kemarin yang bilang dia mau jemput

Alexa," jawab Lia.

"Apaan sih Alexa terus," sahut orang yang tidak kukenal itu. "Sebener

nya pacarnya dia yang mana sih? Gue heran. Sekarang gue tanya ya, Vi,

kenapa tiap pagi lo malah berangkat bareng Lia? Biasanya kan lo dateng

bareng Daniel. Beberapa hari ini gue malah lihat Daniel dateng bareng

Alexa."

"Oh, ya? Jangan-jangan malah sekarang Alexa yang dijemput Daniel tiap

pagi. Bener kayak gitu, Vi? Belakangan ini lo minta bareng sama gue soal

nya Daniel jemput Alexa?"

Suasana terasa hening sesaat, sepertinya mereka berdua menunggu jawab

an Vivi. Aku makin merasa tidak nyaman sekaligus marah, ingin keluar

dari sini. Tapi apa jadinya kalau objek yang sedang mereka bicarakan tibatiba muncul di antara mereka?

"Sebenernya" Vivi memulai, suaranya terdengar semakin pelan,

"Daniel bilang udah nggak bisa jemput gue lagi, katanya rumah gue kejauh

an. Gue nggak enak pas dia bilang begitu makanya karena rumah Lia de

ket sama gue jadi gue bareng Lia aja. Gue juga baru sadar kalau Daniel

malah jadi bareng Alexa. Mungkin Alexa yang minta Daniel jemput."

Dia bohong! Lagi-lagi dia bohong. Pagi ini Daniel sendiri yang bilang

kalau alasannya bukan itu. Lagi pula Daniel tidak menjemputku, kami

kebetulan datang bersamaan. Bahkan hanya dengan mendengar suaranya

saja saat ini aku tahu Vivi sedang merekayasa cerita. Pagi ini ketika kulihat

dia marah saat Daniel menceritakan alasannya, ternyata itu reaksinya untuk

cerita yang sebenarnya. Mungkin sebenarnya dia tidak ingin jauh dari

Daniel, tapi mau tidak mau keadaannya harus seperti sekarang. Hanya saja

yang tidak dia mengira kedatangan Daniel selalu kebetulan bersamaan de

210

210

2:46:55 PM

nganku. Lalu karena dia tidak suka melihat itu, dia berbohong di depan

teman-temannya dan menyalahkanku? Wah, dia benar-benar aktris hebat,

tapi apa tujuannya? Membuatku dimusuhi semua orang?

Tidak lama setelah mereka menjelek-jelekkanku di toilet itu, aku mende

ngar mereka menyebut-nyebut kelasku dan Daniel, lalu meninggalkan

toilet. Aku masih diam di dalam bilik, memastikan tidak ada orang di luar.

Aku membuka pintu perlahan sambil menajamkan telinga. Mungkin salah

satu di antara mereka menyadari keberadaanku dan berusaha menggang

guku. Pikiranku sungguh berlebihan. Ketika membuka pintu yang kulihat

adalah pantulan diriku sendiri di cermin. Aku mendekat ke cermin, wajah

ku terlihat begitu lelah. Masalah ini belum selesai, aku masih harus mem

pertahankan diri, aku tidak boleh terlihat begini.

Aku membuka keran dan membasuh wajah, berusaha menghapus tandatanda kelelahan, berusaha menghapus semua hal buruk di benakku.

Dari semua omongan Vivi, aku bisa merasakan Alexa yang dia maksud

sedang berusaha merebut Daniel darinya. Alexa yang dia maksud meman

cing Daniel untuk tidak menjemputnya setiap pagi dan malah bersedia

menjemputku. Alexa yang dia maksud mampu membuat Daniel tidak be

nar-benar mengajaknya menonton gig pacarnya sendiri dan malah mengajak

cewek lain yang lebih antusias dengan apa yang pacarnya kerjakan. Itu

gambaran Alexa versinya sendiri yang dia tanamkan dalam pikiran temantemannya. Baiklah, kalau itu yang dia mau, aku tidak akan sampai di sini

saja. Apa dia tidak ingat dengan pepatah lama? Hati-hati dengan apa yang

kita ucapkan, mungkin akan menjadi kenyataan. Lihat saja, Vivi.

Aku mengambul sapu tangan dari saku rok dan mengeringkan wajah.

Aku bisa melihatnya di cermin, wajahku terlihat lebih segar. Aku pun berja
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lan mantap keluar dari toilet menuju kelas.

Ketika mulai mendekati pintu kelas, aku bisa mendengar alunan gitar

dengan jelas. Saat keadaan kelas sedang santai seperti ini, tanpa dikejarkejar tugas, ulangan, atau ujian akhir, Selwyn sering membawa-bawa

gitarnya ke sekolah, bahkan dia pernah membawa satu pak kartu remi dan

bermain di sudut kelas.

211

211

2:46:55 PM

Karena itu, ketika memasuki kelas, aku membayangkan akan menemukan Selwyn bersama Arnold dan Kenny sedang bermain gitar dan ber

nyanyi di sudut kelas. Tapi yang kutemukan malah Daniel, ditemani

Arnold yang seperti biasa sedang memakan bekal.

Aku mendekati mereka. Arnold melihatku dan menyapaku, sedangkan

Daniel mengangguk padaku kemudian menunjuk kursi di sampingnya un

tuk kududuki. Pemandangan ini agak mencurigakan. Aku yakin Vivi pasti

ada di sekitar sini. Lagi pula, tadi aku juga mendengar mereka menyebutnyebut kelasku. Aku menoleh memandang ke penjuru kelas, tapi tidak

menemukan sosok Vivi ataupun ketiga temannya. Aku hanya melihat Aria,

tapi tidak ada Vivi. Aku juga melihat Raka, duduk berkumpul bersama

dua temannya dan salah satu teman sekelasku. Kenny tidak terlihat dan

Selwyn sedang tidur-tiduran di tempat duduknya. Aku duduk di tempat

yang ditunjuk Daniel. Dia asyik sendiri memainkan sebuah lagu. Aku tahu

lagu ini. Ini lagu yang dulu pertama kali dia ajarkan padaku, tapi versi

basnya, sedangkan sekarang dia memainkan versi gitarnya.

"Gitarnya Selwyn?" tanyaku.

Daniel mengangguk.

"Mumpung Selwyn lagi ngantuk, jadi dipinjem dulu," sahut Arnold

dengan mulut penuh.

Aku kembali memperhatikan Daniel. Melihatnya bermain seperti ini

benar-benar mengingatkanku pada kenangan yang lalu. Aku ingat ketika

aku begitu rajin membawa gitar ke sekolah dan meminta dia mengajarkan

lagu-lagu kesukaanku padaku.

Tiba-tiba Daniel menghentikan permainannya dan menyodorkan gitar

itu padaku. "Coba mainin," katanya.

Aku menerimanya. Aku tidak terlalu pandai bermain gitar, tapi tangan

kiriku memang sudah cukup lancar memindahkan kunci-kunci gitar seder

hana. Untungnya lagu yang Daniel mainkan tadi masih bisa kumainkan

pelan-pelan.

"Nah, jarinya di sini," ujarnya kemudian sambil meletakkan jemari kiri

nya di atas jari tangan kiriku.

Aku agak kaget dan menarik tangan kiriku.

212

212

2:46:55 PM

"Mau gue ajarin nggak?" tanya Daniel, wajahnya serius. Benar-benar

tidak peka.

Aku melirik Arnold yang pura-pura tidak melihat dan malah membuang

muka. Perlahan tapi pasti dia malah membelakangi kami.

Aku menatap Daniel yang sekarang benar-benar dekat denganku.

"Sini tangannya," perintah Daniel.

Aku menurut.

Kalau kupikir-pikir lagi, seandainya saat ini ada Vivi, pasti menarik.

Aku tidak mengharapkan ini terjadi, tapi ini lebih dari cukup untuk mem

buatnya cemburu dan marah. Bukan aku yang mulai, melainkan Daniel

sendiri. Dulu mungkin aku akan benar-benar bahagia bisa sedekat ini de

ngan Daniel, tapi sekarang aku benar-benar bahagia bisa membalas kelaku

an Vivi tanpa perlu banyak berusaha.

Tidak perlu Vivi, kedua temannya itu juga cukup untuk menyampaikan

kejadian ini kepada sahabat baiknya itu. Sama seperti laporan-laporan yang

mereka laporkan untuk Vivi, bukan?

KEI

Aku berjalan menuju pintu kelas itu karena mendengar alunan gitar. Sua

ranya menggema sampai koridor dan mengingatkanku akan peristiwa masa

lalu. Aku semakin dekat dan melongok ke dalam kelas. Kulihat Alexa ber

main gitar dan tertawa. Sudah lama rasanya aku tidak melihatnya tertawa.

Tapi dia tidak sendiri. Dia ditemani Daniel.

Aku menghela napas. Ini bukan pemandangan yang kuinginkan. Semakin

lama aku menyaksikan kejadian itu aku hanya akan semakin sakit hati.

Aku kemudian berbalik dan berniat kembali ke kelas.

"Ups, sori," ujarku saat menabrak seorang murid cewek yang berdiri

bersama temannya tak jauh di belakang tempatku berdiri tadi. Murid yang

kutabrak itu tidak menghiraukanku dan bersama temannya berbisik-bisik

sambil melihat ke dalam kelas.

Aku bingung dengan tingkah mereka. Kalau memang ingin masuk,

kenapa tidak masuk saja?

213

213

2:46:55 PM

Aku berjalan sambil memikirkan bagaimana beberapa minggu lalu mung

kin aku benar-benar bahagia bisa mengobrol, bahkan bercanda dengan

Alexa. Aku tidak menyangka akan jadi seakrab itu dengan Alexa. Tetapi

sekarang semua seperti kembali ke awal. Dia dekat lagi dengan Daniel, dan

aku sendiri kembali menjadi orang asing. Dan itu semua karena kebodoh

anku sendiri.

Bruk.

"Hei," tegurku.

Dua cewek yang sebelumnya berbisik-bisik di depan kelas itu menubruk

ku ketika berlari menuju seseorang di depan mereka. Mereka tidak meng

hiraukanku dan sibuk berbicara kepada murid cewek lainnya yang kuke

nal

"Vivi, parah banget, lo nggak ada sebentar aja Alexa udah nempel ke

Daniel kayak gitu!"

"Mereka main gitar berdua"

"Alexa ambil kesempatan pas lo nggak ada"

Cukup. Sengaja atau tidak Alexa melakukan ini, dia memancing hal

buruk. Sekarang seharusnya dia tahu dia tidak hanya memancing kebencian

Vivi, tapi juga dari teman-teman Vivi. Tinggal tunggu waktu sampai lebih

banyak teman-teman Vivi yang memusuhinya.

Aku kembali ke kelas Alexa dan langsung masuk tanpa pikir panjang.

Aku sadar semua mata tiba-tiba tertuju padaku. Seorang senior memasuki

"daerah kekuasaan" mereka seolah ini kelasku sendiri. Tawa Alexa terhenti

begitu melihatku menghampirinya.

Dengan cepat aku mendorong Daniel agar menjauhi Alexa, lalu merebut

gitar itu dari tangan Alexa dan hendak menyerahkan gitar itu pada Daniel.

Tiba-tiba Selwyn mengambil gitar itu sambil tersenyum. Ternyata itu milik

nya. Aku kemudian menarik tangan Alexa dan menyeretnya keluar kelas.

Alexa menurut.

Bagus.

Aku mengeratkan genggaman ketika kami melewati Vivi dan kedua te

mannya yang berdiri di depan pintu kelas. Mereka memandang kami tidak

percaya.

Aku tidak peduli. Yang kupikirkan sekarang hanyalah menjauhkan Alexa

214

214

2:46:55 PM

dari Vivi yang mungkin akan menimbulkan masalah karena cemburu. Aku

tidak tahu harus ke mana, yang kupikirkan hanyalah terus berjalan.

Tiba-tiba Alexa menarik tangannya dan genggaman kami terlepas. Aku

menatapnya, berusaha membaca emosinya, tapi dia mengalihkan pandangan. Alexa terlihat kesal atau mungkin menahan tangis, aku tidak bisa

menebak. Belakangan ini aku tidak tahu apa yang Alexa pikirkan atau ra

sakan. Aku hanya bisa mengira-ngira.

Alexa kemudian menghela napas dan berbalik.

Kali ini aku tahu apa yang Alexa maksud dan aku langsung meraih ta

ngannya. "Jangan!" cegahnya.

Wajah Alexa tampak kaku dan tidak berekspresi. Dia tampak seperti

robot, tanpa emosi. Kemudian dia berjalan mantap kembali ke kelasnya.

Benar-benar bodoh. Aku tahu apa pun yang Alexa lakukan, itu hanya

akan menyakiti dirinya sendiri. Dia ingin membalas semua perbuatan Vivi,

tapi dengan begini justru Vivi pun akan semakin gencar menyerang balik.

Kalau terus seperti ini, semuanya tidak akan berakhir. Alexa mungkin

memancing kecemburuan Vivi, menyerang mentalnya, tapi kalau Vivi balas

menyerang secara fisik, seperti yang sudah terjadi selama ini atau bahkan

mungkin semakin parah, apakah Alexa akan tahan?

ALEXA

Saat aku kembali ke kelas, Vivi dan kedua temannya sudah mengerumuni

Daniel, tapi aku tidak peduli. Ini perang antara aku dan Vivi, jadi saat itu

juga aku merebut gitar yang sedang dimainkan Selwyn dan di depan mata

Vivi, meminta Daniel sekali lagi mengajariku lagu yang sebelumnya dia

mainkan. Aku tahu Vivi benar-benar marah, tapi dia kemudian beralih

duduk bersama Aria diikuti kedua temannya. Aku juga bisa mendengar

beberapa kali kedua temannya itu menyindir-nyindirku. Tidak masalah,

aku bisa tahan. Tidak lama setelah itu sindiran mereka lenyap ditelan bel

yang berbunyi nyaring dan mereka semua, termasuk Daniel, akhirnya

meninggalkan kelasku.

Selwyn menepuk kepalaku pelan. "Balas dendam, Alexa?"

215

215

2:46:56 PM

Arnold menggeleng-geleng. "Alexa nekat ya, nantangin Vivi."

Aku tidak menghiraukan mereka.

Kenny yang baru saja duduk di kursinya ikut mendengarkan. "Ada apa

sih?"

Arnold pun menceritakan semuanya secara singkat dan Kenny, seperti

yang sudah kuduga, tidak mendukung aksi balas dendamku. Tapi aku

benar-benar tidak memedulikan satu pun kata-kata yang ia ucapkan.

Kenny akhirnya menyerah. Dia juga menepuk kepalaku pelan, "Hatihati ya, Alexa, gue yakin istirahat kedua nanti bakal ada kejadian."

Dugaan Kenny benar.

Vivi datang ke kelasku dan mengajakku makan siang bersama di kan

tin.

"Katanya Alexa udah nggak bawa bekal lagi, kan? Makanya sekali-kali

makan di kantin, yuk. Jangan sampe nanti pas udah lulus Alexa belum

pernah makan di kantin sama sekali," katanya sambil tersenyum.

Ucapannya manis sekali. Sial, aku juga tidak pernah bawa bekal lagi itu

kan karena dia. Aku membalasnya dengan senyuman. Kalau memang dia

menantangku, aku menerimanya. Aku ingin lihat apa yang telah dia siap

kan untukku.

Kenny awalnya tidak menyetujuiku, tapi kemudian dia dan Selwyn ikut

pergi ke kantin dan menyuruh Arnold untuk tetap di kelas dan menjaga

tasku. Kami mengikuti Vivi pergi ke kantin di lantai tujuh. Selwyn sempat

menghilang sebentar, aku tidak yakin dia ke mana, bahkan saat menyusul

pun dia tidak bilang dia ke mana tadi.

Dan sekarang, di sinilah kami berada. Di salah satu meja di tengahtengah kantin lantai tujuh yang ramai. Vivi langsung menarikku duduk di

sampingnya. Kedua temannya, Lia dan satu lagi yang tidak kukenal, duduk

di depanku. Selwyn dan Kenny akhirnya memutari meja dan duduk di

kursi yang masih kosong di dekat Daniel dan teman-temannya.

"Alexa, udah pernah coba bakso di sini belum?" tanya Vivi. "Enak lho."

Ah, aku memang pernah dengar dari Rieska bahwa bakso di kantin ini

terkenal dan sebenarnya ada restorannya sendiri yang selalu ramai di luar

sekolah. Waktu Vivi mengajakku ke sini, aku memang berpikir untuk

mencoba bakso itu.

216

216

2:46:56 PM
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mau coba, Alexa?" tanya Vivi.

Aku mengangguk.

"Kalau gitu gue nitip, ya," pinta Vivi.

Apa? Oh, jadi ini rencananya. Dalam hati aku benar-benar tertawa, ting

kahnya seperti anak kecil. Mengerjaiku untuk hal-hal sepele seperti ini

demi memuaskan egonya yang begitu ingin mengerjaiku.

Aku langsung melirik kedua temannya yang duduk di depanku. "Kalian

nggak mau juga? Kalau nitip kalian aja gimana?"

"Gue nggak makan," kata Lia.

"Gue udah nitip pesen mie ayam sama Raka, abis ini paling dateng,"

kata teman yang lain yang tidak kuketahui namanya, tapi wajahnya agak

menyebalkan.

Aku kembali melirik Vivi yang saat ini masih menunggu responsku.

Vivi kemudian menghela napas. "Ya udah, gue aja ya." Ia kemudian

berdiri.

Tunggu, jangan-jangan nanti dia akan sengaja menumpahkan mangkuk

baksonya dan menyalahkanku, atau nanti dia akan sengaja menumpahkan

kuah baksonya ke seragamku. Tidak, aku tidak akan membiarkannya.

Aku langsung berdiri. "Biar gue aja."

KEI

"Jadi?" Rangga memulai, "lo ngajak gue ke kantin bukan buat makan?"

Aku menggeleng.

Kami bersandar di pilar. Aku langsung mengajak Rangga ke sana setelah

Selwyn menemuiku barusan. Mataku terpaku pada satu orang.

"Kalau nggak mau makan, terus mau ngapain?" tanya Rangga. "Balik

aja yuk, gerah banget di sini," Rangga mulai membuka ritsleting jaket.

"Kata Selwyn, kemungkinan Alexa nggak aman sekarang."

Rangga langsung menoleh ke arahku. Dia kemudian mengikuti arah

pandangku dan menemukan orang yang dimaksud. "Ah, itu pelakunya,

kan? Yang di samping Alexa."

Aku mengangguk.

217

217

2:46:56 PM

"Tapi Kei, bukannya kita harusnya sembunyi-sembunyi, ya? Kayak di

film-film James Bond atau Mission Impossible. Sambil pura-pura makan,

misalnya. Kalau berdiri begini rasanya kita terekspos banget," Rangga meng

angkat tudung jaketnya dan berusaha menyamarkan diri.

Rangga memang suka berlebihan, tapi kalau melihat keadaan meja-meja

di sekitar kami, hampir semua murid cewek di situ senyum-senyum dan

melirik Rangga. Aku salah membawa orang, seharusnya aku jangan menye

ret idola sekolah ke sini.

"Ah, itu Alexa berdiri," tunjuk Rangga.

ALEXA

Aku menuju stan tukang bakso yang ditunjukkan Vivi. Aku langsung

memesan dua porsi. Aku harus menunggu cukup lama karena memang

agak ramai. Ketika membayar, aku baru sadar, tadi Vivi tidak menitipkan

uang padaku yang berarti aku membayarinya makan siang.

Hahaha, aku tertawa pelan. Dia memang benar-benar pintar. Lagi-lagi

dengan bodohnya aku dimanfaatkan, tapi aku tidak akan membiarkannya

terus merendahkan dan melukaiku.

Akhirnya pesananku siap dan aku menerima nampan plastik untuk

membawa dua mangkuk bakso. Setelah mengucapkan terima kasih aku

langsung berjalan pelan kembali ke mejaku. Uap panas yang menguar

ditambah kantin yang penuh dan gerah membuatku berkeringat. Aku

benar-benar ingin cepat sampai di meja. Pandanganku fokus ke jalan di

depanku dan kedua mangkuk di nampan yang kubawa. Karena itu, aku

tidak terlalu sadar ketika salah satu teman Vivi melemparinya sesuatu dan

mereka bertiga tertawa-tawa. Aku sudah hampir sampai di dekat meja

ketika aku melihat Vivi melempari Lia dengan sedotan bekas dan Lia men

jerit lalu melompat ke belakang, menabrakku yang sedang membawa dua

mangkuk bakso panas.

Bunyi mangkuk pecah dan jeritan Vivi membuat seisi kantin saat itu

juga langsung terdiam dan memperhatikanku. Lia kemudian ikut meringis.

Aku tidak terlalu mendengar apa yang dia keluhkan kepada Alexa atau apa

218

218

2:46:56 PM

yang dia katakan kepada Vivi dan temannya sambil memegang kedua kaki

nya yang terkena cipratan kuah panas bakso.

Semua indraku rasanya tidak berfungsi dengan baik. Suara-suara di

sekitarku rasanya tinggal dengungan. Mulutku rasanya tidak bisa meng

ucapkan apa-apa. Aku hanya terpaku menatap bagian depan kemeja dan

rokku yang sebagian besar terkena siraman kuah panas tadi dan nyeri kare

na panas tersebut mulai menjalari kulitku. Yang lebih menjadi masalah,

kuah bakso tersebut membuat kemejaku tembus pandang.

Saat itu juga aku berharap aku tidak pernah menyetujui ajakan Vivi

untuk ke kantin.

KEI

Aku langsung merampas jaket yang Rangga dan menyerahkan dompetku

kepadanya.

"Bayar ganti ruginya dan beli seragam baru."

Kemudian aku langsung berlari menghampiri Alexa dan menutupi

bagian depan tubuhnya dengan jaket Rangga. Alexa yang masih tampak

terkejut menurut ketika aku menyeretnya menuju lift.

Kulihat Rangga langsung menyuruh Selwyn dan Kenny memunguti pe

cahan mangkuk sementara dia sendiri berusaha memberikan penjelasan

kepada ibu penjual bakso. Beruntung Rangga pelanggan setia, sehingga dia

jadi tidak terlalu mempermasalahkan kejadian tersebut.

Itu pemandangan terakhir yang kulihat sebelum akhirnya pintu lift ter

buka dan aku langsung menyeret Alexa masuk.

Di dalam lift kami hanya diam.

Alexa terlihat seperti melamun, dia jelas masih memikirkan kejadian tadi.

Tapi wajahnya tidak berekspresi, tidak terlihat marah atau ingin menangis.

Dia hanya menatap lurus ke pintu lift. Dia tidak mengatakan apa-apa.

Aku tidak berani mengucapkan satu patah kata pun. Aku sudah mem

peringatkan Alexa dan memarahinya sekarang pun tidak akan mengubah

keadaan. Aku juga tahu Alexa pasti tidak menyangka situasinya akan jadi

seperti ini.

219

219

2:46:56 PM

Melihat wajah Alexa, aku tahu dia sedang berusaha sekuat tenaga untuk

terlihat tegar, menunjukkan baginya itu bukan masalah besar, dan dia baikbaik saja. Tapi aku tahu Alexa tidak bisa melupakan kejadian tersebut. Dia

selalu berusaha memendamnya sendiri, selalu berusaha menanggungnya

sendiri.

Aku menepuk pelan kepalanya.

Sesaat, aku yakin melihat perubahan emosi di wajahnya, sebelum akhir

nya dia mengalihkan pandangan.

Alexa menghela napas, kemudian kembali memandang lurus ke arah

pintu lift yang akhirnya terbuka. Dia keluar terlebih dulu. Kami pun berja

lan menuju klinik sekolah di ujung lorong. Aku membiarkan Alexa selang

kah di depan, agar aku bisa memperhatikannya. Sudah lama rasanya aku

tidak berada sedekat ini dengannya. Tapi sama seperti yang kurasakan hari

sebelumnya, punggung itu terasa menjauhiku.

Aku tidak akan membiarkan Alexa menghadapi semuanya sendirian.

Aku menyusul Alexa dan meraih tangannya. Aku bisa merasakan dia mela

wan dan berusaha menarik tangannya, tapi aku mengeratkan genggaman.

Aku tidak ingin melepaskannya. Kali ini tidak. Tidak seperti sebelumnya.

ALEXA

Aku selalu berusaha sekuat tenaga tidak memperlihatkan sisi rapuhku pada

orang lain. Tapi kenapa selalu di depan Kei aku seolah tidak bisa menahan

emosiku? Ketika merasakan sentuhan tangannya di puncak kepalaku atau

saat tangannya yang hangat menggenggam tanganku seperti ini rasanya

pertahanan diriku runtuh begitu saja.

Aku bisa menunjukkan pada orang lain bahwa aku tidak ambil pusing

dengan apa yang kualami, aku bisa menampilkan diriku yang juga tidak

mau kalah dan egois di depan orang yang kubenci, tapi hanya di depan

dirinyalah aku benar-benar merasakan sesak di dadaku. Ini pertama kalinya

aku sadar sejak berbagai perlakuan jahat yang kuterima dari Vivi, pertama

kalinya aku sadar sejak beberapa hari ini aku berpura-pura kuat, bahwa

220

220

2:46:56 PM

sebenarnya aku takut. Aku takut dan merasa sendirian menghadapi semua

ini. Takut karena aku tidak tahu sampai kapan ini akan berlangsung. Takut

karena tidak tahu sampai kapan aku akan memasang topeng dan

melakukan sesuatu yang sebenarnya aku tahu salah.

Yang menghalangiku untuk mengabaikan Vivi dan lari pada Kei dengan

keinginan untuk membalas dendam adalah harga diri.

Apakah sebaiknya aku menyerah saja? Tapi Vivi tidak melihat apa yang

kulihat. Dia bahkan tidak ingin melihat apa yang kulihat. Dia hanya me

mercayai apa yang dia lihat serta ketahui, dan sekarang bahkan temantemannya mulai memercayai apa yang dia yakini.

Aku benar-benar ingin menangis saat ini, tapi sekali ini saja, aku tidak

ingin menangis di depan Kei, apalagi ketika dia sedang menggenggam ta

nganku. Aku menggigit bibir, berusaha menahan tangis sekuat tenaga.

Sekali lagi, aku memilih mempertahankan harga diri.

KEI

Aku bersandar di dinding samping pintu klinik ketika mendengar derap

beberapa langkah kaki mendekat ke arahku. Rangga berlari ke arahku sam

bil membawa kantong kertas diikuti Kenny dan Selwyn.

Rangga menyodorkan kantong kertas tersebut ke depan wajahku. "Ini,"

ucapnya, sambil terengah kehabisan napas.

"Lama," balasku datar.

"Itu udah paling cepet, monyong!" jerit Rangga, mengenyakkan diri di

kursi terdekat.

"Ssst!!" Kenny mengingatkan Rangga.

Aku tidak memedulikan mereka dan langsung mengetuk pintu. Tak

lama kemudian seorang perempuan muda membuka pintu dan aku lang

sung menyerahkan kantong tersebut.

"Seragam baru."

Perempuan itu mengangguk dan menerimanya. Pintu kemudian ditutup

kembali.

"Terus," Kenny memulai, "dokternya nggak bilang apa-apa?" tanyanya.

221

221

2:46:56 PM

Aku tidak menghiraukan pertanyaannya, masih berdiri di depan pintu.

Tak lama kemudian, pintu terbuka kembali dan perempuan tadi keluar.

"Dia lagi ganti baju," ujarnya pelan, "belum lama ini dia datang ke sini

karena jatuh dari tangga terus sekarang dia ke sini lagi karena kesiram air

panas?"

Aku dan yang lain tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, karena itu

kami tidak menanggapi.

"Bagaimana keadaannya?" tanyaku.

Dokter itu tersenyum. "Luka bakar ringan, kulitnya pasti masih terasa

agak perih karena kuah panas, tapi tadi sudah langsung dikasih salep. Seha

rusnya dia merasa mendingan sekarang. Dia sendiri tadi berinisiatif minta

salepnya, dia takut di sini nggak ada. Dia bilang tangan kirinya pernah

kesiram air panas, jadi dia merasa lebih tenang dan tahu harus bagaimana.

Asal ada salep itu." Dokter muda itu tiba-tiba tertawa pelan. "Kalian mau
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cermin, nggak? Muka serius kalian sekarang ini lucu lho."

Rangga, Selwyn, dan Kenny langsung menanggapi candaan dokter itu.

"Ah, Dokter mah"

"Ini serius, lho."

"Jadi, nggak apa-apa nih?"

Dokter itu tersenyum lagi. "Ah, enaknya Alexa dikelilingin cowok-cowok

perhatian kayak kalian. Pasti banyak yang iri. Mungkin itu juga yang bikin

dia jadi kuat, ya."

Kami menatapnya bingung.

"Yah, kalau dari ceritanya sendiri sih dia memang berpengalaman de

ngan rasa sakit. Jadi, nggak heran kalau dia tahan banting. Kalian nggak

diceritain?" Melihat tidak ada reaksi dari empat murid di depannya, dokter

itu melanjutkan. "Alexa bilang dia pernah jatuh dari sepeda terus luka di

empat tempat sekaligus, pernah juga wajahnya hampir terbakar waktu kecil,

dia juga pernah punya luka gores di sepanjang lengan kanannya. Kalian

nggak tahu?"

Kami berempat menggeleng.

Dokter itu kembali tertawa. "Pokoknya kalian jaga dia baik-baik, ya.

Menurut saya, walaupun fisiknya kuat tapi keliatannya mentalnya saat ini

sedang labil."

222

222

2:46:56 PM

Tiba-tiba pintu di belakang dokter itu terbuka dan Alexa keluar. Wajah

nya tetap tenang dan tidak berekspresi. Dia menenteng kantong seragam

dan tetap memakai jaket merah milik Rangga.

"Sudah?" tanya dokter.

Alexa mengangguk. "Terima kasih, Dokter."

"Sama-sama. Kalau bisa, habis ini kamu langsung pulang ke rumah aja,

ya. Tadi saya sudah kasih surat izin untuk guru piket, kan?"

Alexa kembali mengangguk, kemudian berjalan pelan meninggalkan kli

nik diikuti Selwyn dan Kenny. Rangga dan aku langsung menyusul setelah

berterima kasih kepada dokter muda itu.

Kami berjalan dalam hening. Tidak ada yang berani memulai bicara

lebih dulu.

Ketenangan Alexa yang tidak normal membuat kami berempat justru

merasa tidak tenang. Ini terasa seperti cuaca yang cerah sebelum badai.

Saat kami mulai menuruni tangga menuju lantai empat, koridor begitu

ramai karena sebentar lagi pelajaran akan dimulai dan banyak murid yang

baru kembali dari kantin berkumpul di depan kelas. Alexa mendadak berbelok. Yang lebih mengejutkan, ternyata dia menghampiri Daniel dan Vivi.

Hanya Selwyn dan Kenny yang tetap mengikutinya. Sisanya terdiam di

tempat.

Alexa tersenyum kepada Vivi yang menatapnya terkejut, tapi kemudian

mengalihkan perhatian kepada Daniel.

"Alexa, lo nggak apa-apa?" tanyanya.


Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Wiro Sableng 071 Bujang Gila Tapak Sakti

Cari Blog Ini