A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella Bagian 5
Alexa menggeleng. "Tenang aja. Luka kayak gini nggak akan bikin gue
batal nonton penampilan lo Jumat ini kok."
Setelah berkata begitu, Alexa berjalan menuju kelasnya, meninggalkan
Vivi yang tampak kesal.
Alexa terus berjalan santai dan mantap di sepanjang lorong, ditemani
Selwyn dan Kenny yang mulai berani mengajaknya bicara. Alexa pun terli
hat lebih rileks menanggapi obrolan mereka.
Ketika kami tiba di depan kelasnya, Alexa memelankan langkah dan
berbalik menghadapku.
"Thank you," ucapnya pelan, "jaketnya gue pinjem dulu."
Lalu Alexa bergegas masuk ke kelasnya.
223
223
2:46:56 PM
Walaupun saat ini aku bukan orang yang menempati hati Alexa, aku
tetap tersenyum.
"Tapi itu kan jaket gue."
Ucapan Rangga barusan sukses merusak momen indahku.
Aku langsung menyodorkan tangan pada Rangga. "Balikin dompet
gue."
Rangga balas menatapku sinis. "Yah, kok lo inget sih," ucapnya sambil
merogoh kantong celana.
ALEXA
"Setelah kemarin seharian Anda diam saja sejak peristiwa ?kuah bakso? di
kantin," Kenny memulai, "tolong ungkapkan perasaan Anda yang dari ke
marin dipendam sendiri." Dia kemudian menyodorkan pulpen ke dekat
mulutku, seolah itu microphone dan dia sedang mewawancaraiku.
"Rasanya," aku memulai, "pengin nyebut semua nama-nama penghuni
kebun binatang di depan muka Vivi," jawabku.
"Oh, maksudnya Mas Karto penjaga kebun, terus Mang Agus yang tu
kang sapu, Maysaroh yang jualan suvenir"
"Bukan, Selwyn," potongku, "maksud gue, nama-nama binatangnya."
"Oh, jadi lo mau bilang ke Vivi ?Dasar lo, penguin! Kuda nil! Kupukupu! Lumba-lumba!"
Aku langsung tidak mood lagi menanggapi ucapannya.
"Hahahaa Kok lo bisa tahu nama-nama Mas Karto, Mang Agus,
Maysaroh segala sih, Wyn? Lo kenalan sama staf di sana? Gaul amat," sahut Arnold polos.
"Ya nggak lah, gue ngarang."
Jawaban datar Selwyn langsung menghapus tawa Arnold. Masih kesal,
dia kembali memandangku. "Untung lo nggak apa-apa ya, Lex."
Aku mengangguk.
"Ah, seandainya gue juga ada di kantin, pasti kejadiannya seru tuh."
Aku langsung memelototi Arnold.
"Itu bukan tontonan kali, Nold," timpal Kenny.
224
224
2:46:56 PM
"Eh, sori, sori, Alexa, bukan berarti gue seneng lo kenapa-kenapa."
Arnold langsung menambahkan, "Tapi untung ya Selwyn sempet ngomong
ke Kei dulu, jadi dia bisa nolongin Alexa."
"Oh, omong-omong soal Kei," ujarku sambil berdiri dan mengambil
kantong kertas di sisi tasku, "sebentar, ya."
"Alexa, mau ke mana?!"
Aku berjalan cepat ke luar kelas. Aku memelankan langkah sebentar lalu
mengembuskan napas dan kembali melangkah dengan mantap. Pandanganku lurus ke lorong XII IPA di depanku. Aku tahu beberapa murid senior
yang berlalu lalang di lorong itu pasti tidak terlalu memedulikanku yang
lebih junior, tapi berada di daerah asing begini membuatku merasa semua
mata sedang menatapku. Aku memfokuskan pikiran pada pintu kelas di
sebelah kiriku.
Ah, ada beberapa senior cewek yang melewatiku dan masuk ke kelas itu.
Pintunya dibiarkan terbuka lebar. Aku berhenti. Mungkin lebih baik aku
mengintip ke dalam dulu, siapa tahu Kei tidak ada di sana.
Aku maju sedikit dan menempel ke dinding di sampingku. Aku melo
ngok ke dalam. Suasana kelasnya lebih ramai daripada kelasku. Kalau
teman-teman di kelasku lebih sering pergi ke kantin atau mengunjungi
teman mereka di kelas lain, kelas ini malah dipenuhi murid-murid senior
yang makan, yang duduk-duduk di atas meja dan mengobrol di belakang.
Ada lebih banyak lagi yang duduk di depan dan berkumpul sambil menger
jakan sesuatu yang terlihat seperti buku kumpulan soal. Tidak terlalu meng
herankan memang, karena semester depan kan mereka sudah harus menem
puh Ujian Nasional. Karena itu, mungkin ada beberapa yang lebih memilih
makan di kelas sambil belajar. Tapi tetap saja, bagaimana bisa belajar kalau
kelasnya ramai begini?
Oh, aku melihat Rangga dan teman-temannya. Mereka berkumpul di
dekat deretan meja paling pinggir di depan meja guru. Rangga berdiri
membelakangi Kei yang sedang duduk di kursinya di baris kedua dari
depan. Rangga dan yang lainnya terlihat sedang bercanda, tapi Kei sendiri
an membaca sesuatu. Aku hampir tidak mengenali dia dengan kacamata
nya. Aku baru pernah melihat dia seperti ini. Aku jadi heran kenapa
225
225
2:46:56 PM
Rangga yang lebih populer di sekolah? Kalau mereka lebih sering melihat
Kei yang seperti ini mungkin Rangga akan langsung kalah saing.
"Ah, Alexa!"
Oh, tidak. Rangga melihatku. Semua teman-teman di sekitar Rangga
tiba-tiba langsung melihat ke arahku. Aku semakin merapat ke dinding.
Ah, Kei juga menoleh ke arahku. Apa aku balik ke kelas saja, ya?
Rangga melambai dan mulai berjalan ke arahku. "Alexa, pasti lo nyariin
gue, kan?"
Tiba-tiba Kei berdiri, meraih kerah kemeja Rangga dari belakang, dan
menariknya mundur. Dia melewati Rangga dan berjalan pelan ke arahku,
tidak memedulikan Rangga yang mengomel.
"Jangan peduliin dia," ucap Kei pelan ketika aku masih memperhatikan
Rangga yang sekarang malah ditertawakan teman-temannya. "Kamu udah
baikan?"
Aku mengangguk. Aku menatap Kei yang masih menatapku. Ah, kaca
mata itu membuat dia jadi terlihat lebih dewasa. Aku menunduk meman
dang kantong kertas yang kupegang. Aku jadi ingat tujuanku ke sini. Aku
mengangkat kantong kertas tersebut dan menyerahkannya padanya.
Kei menerimanya.
Seharusnya aku mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba aku melupakan kali
mat yang sudah kupersiapkan. Dia menungguku. Hm, mungkin seharusnya
dia tidak menatapku seperti itu, benar-benar tidak membantu, aku jadi
tidak bisa berpikir jernih.
"Itu" Aku berusaha berbicara sambil menatapnya, tapi rasanya sulit,
sehingga aku melihat ke segala arah. "Yang kemarin... Itu"
Ah, kacamata itu benar-benar tidak membantu, kenapa tidak dia lepas
saja dulu sebelum mendatangiku.
"Jaketnya kemarin thank you."
Ada apa ini? Kenapa aku malah jadi sulit bicara begini? Aku menepuknepuk pipiku. Sadar, Alexa, sadar.
Kei melirik isi kantong kertas tersebut. "Oh, jaket ini," dia mengangkat
jaket merah itu, "ini punya Rangga."
Apa? Apa aku tidak salah dengar? "Punya Rangga?" tanyaku memasti
kan.
226
226
2:46:56 PM
Kei mengangguk.
"Hah?" Aku menatap lagi jaket merah yang dipegang Kei itu. "Kalau
gitu buat apa kemarin gue cuci sampai bersih, setrika pelan-pelan, lipat
rapi-rapi." Aku mengomel pelan pada diri sendiri.
Kei tertawa. "Kamu kira ini punyaku?"
Ah, memalukan. Dia malah menertawakanku. Wajahnya saat tertawa,
kenapa aku merasa seperti baru melihatnya sekarang? Ditambah kacamata
itu dia terlihat benar-benar berbeda. Aku menepuk-nepuk pipiku lagi, seka
rang terasa panas. Apa wajahku memerah? Mungkin sekarang saatnya aku
kembali ke kelas lagi. Aku akan semakin bertingkah aneh kalau berlamalama di sini.
"Eh, tunggu Alexa!"
Aku sudah beberapa langkah menjauh dari pintu kelasnya ketika Kei
memanggilku. Aku berbalik.
Aduh, kira-kira dia mau bicara apa?
Kei menghampiriku. Melihat wajahnya, sepertinya pembicaraannya akan
serius.
Dia berdiri tepat di depanku.
Aku mundur selangkah. Mungkin lebih baik jangan terlalu dekat. Aku
tidak mau detak jantungku yang tiba-tiba berubah cepat ini terdengar.
Well, itu tidak mungkin memang, tapi hanya untuk jaga-jaga.
"Alexa," Kei memulai.
"I-iya?"
Wajahnya terlihat serius, kalau begini aku jadi ikut serius juga. Hal se
rius apa yang mau dia bicarakan kepadaku? Tentang tantenya? Tentang
pianonya? Oh, dia belum cerita tentang tangan kirinya, apa tentang itu?
Tapi kelihatannya bukan, atau tentang hal lain. Hal lain seperti apa?
Mungkin ini bukan waktu yang tepat, mungkin ini juga bukan tempat
yang tepat.
"ALEXA!"
Hah?! Aku langsung menengok ke belakang. Rieska! Dia berdiri di de
pan kelasku. Argh, suaranya yang cempreng itu sampai terdengar ke sini.
Beberapa senior di sekitarku langsung melihat ke arahnya.
Rieska berjalan cepat mendatangiku dan menyeretku kembali ke kelas.
227
227
2:46:56 PM
Ah, kenapa Rieska datang? Aku jadi penasaran dengan apa yang barusan
mau Kei bilang.
"Alexa," Rieska memulai, dia mendudukkanku di kursi panjang di de
pan kelasku. Wajah Rieska terlihat kesal. "Gue selalu percaya sama lo, tapi
gue rasa sekarang tinggal gue doang di kelas gue yang percaya sama lo."
Dia ikut duduk di sampingku dan mendekatkan wajah. Dia mulai berbicara dengan sangat pelan. "Apa bener semalem Vivi dateng ke rumah lo
terus lo lukain tangannya karena lo dendam sama dia?"
"Apa?!" Aku memandang Rieska tidak percaya. Dia punya pemikiran
seperti itu dari mana?
"Gue denger dari Lia tentang kejadian di kantin kemarin. Vivi nggak
enak soalnya gara-gara dia lo kesiram kuah bakso. Padahal yang senggol lo
sebenernya kan Lia, tapi Lia bilang semalem Vivi dateng ke rumah lo."
"Nggak ada yang dateng ke rumah gue, Rieska," jawabku.
Rieska menepuk-nepuk pundakku, menyuruhku bersabar. "Jadi, tadi
pagi Vivi dateng ke kelas terus lengan kirinya diperban. Lia tanya kenapa.
Vivi bilang semalem dia pergi ke rumah lo buat minta maaf. Terus Lia
tanya, apa lo yang lukain lengannya Vivi karena sebel sama tindakan Vivi
di kantin kemarin," jelas Rieska.
"Terus, apa kata Vivi?"
"Vivi justru nggak bilang apa-apa. Dia cuma diem terus kayak nahan
nangis," jawab Rieska.
"Terus?"
"Ya, semua jadi berasumsi lo yang bikin Vivi luka. Apalagi kan lo
emang nggak suka sama Vivi dan sekarang lagi rebut Daniel dari dia. Jadi,
temen-temen Vivi nganggap lo udah kelewatan."
"Apa?!"
Rieska mengangguk.
Aku benar-benar tidak percaya mendengarnya. Jadi, dia berpikir menja
dikanku target kecemburuannya kini gagal karena aku masih tetap dekat
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Daniel. Dan sekarang dia menjadikan dirinya sendiri terlihat seperti
korban supaya semua orang mendukungnya. Dia menjadikanku public
enemy supaya bukan hanya dia yang bisa mendorongku menjauhi Daniel,
tapi juga semua orang. Dia yakin pandangan negatif dan kesinisan orang
228
228
2:46:56 PM
akan membuatku berhenti mencoba merebut Daniel. Sepertinya yang
bermasalah adalah otak Vivi sendiri. Dia hanya meyakini apa yang dirinya
lihat. Kalau Alexa ngobrol Daniel, artinya satunya punya perasaan ke pihak
lainnya. Kalau Alexa dekat lagi dengan Daniel, artinya Alexa ingin merebut
Daniel darinya. Pikirannya hanya dipenuhi hal ini. Dia termakan rasa
cemburunya sendiri sampai bertindak nekat.
Cukup. Kalau begini, dia harus disadarkan. Aku, Daniel, dan Vivi harus
bertemu dan menyelesaikan semuanya.
Begitu bel pulang berbunyi, teman-teman sekelasku langsung berdiri dan
berdesak-desakan keluar kelas. Aku masih membereskan isi tas ketika men
dengar seseorang memanggil namaku. Ternyata Daniel.
"Alexa, Vivi barusan ke sini nggak?" tanyanya, wajahnya terlihat panik
dan khawatir.
Aku menggeleng. "Ini aja baru bubaran kelas, nggak mungkin dia ada
di sini. Emang kenapa?"
"Tadi pas istirahat kedua dia bilang mau pergi sebentar, tapi sampai
pulang nggak muncul-muncul lagi."
Mendengar ini firasatku tidak enak. "Dia nggak bilang mau ke mana?"
tanyaku.
Daniel menggeleng. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu, mungkin
mengira-ngira ke mana Vivi pergi.
"Mungkin nggak dia keluar dari sekolah?" tanyaku lagi.
"Nggak, tasnya dia titip ke Lia, ada dompet dan handphone-nya."
Kalau begitu dia pasti masih di sekolah. Sejauh ini dia sampai nekat
berpura-pura terluka atau bahkan benar-benar melukai dirinya sendiri
untuk membuatku dibenci banyak orang. Kalau melukai lengannya sendiri
saja adalah hal yang mudah untuk dilakukan, bisa saja kan dia Argh,
aku tahu ini hal bodoh, tapi aku benar-benar takut kalau Vivi sampai
nekat bunuh diri. Dia tidak akan sampai seperti itu, kan?
Dan bodohnya aku meladeni kelakuannya dengan semakin membuatnya
cemburu. Kalau sampai dia benar-benar melakukan hal bodoh itu, aku
juga ikut bersalah.
229
229
2:46:56 PM
Aku langsung menghadap Selwyn yang kebetulan mendengar penjelasan
Daniel barusan. "Gue titip tas, ya."
"Mau ke mana?" tanyanya.
"Cari Vivi." Aku langsung menarik Daniel, "Ayo, Daniel. Lo cari dari
lantai empat ke bawah, gue dari lantai lima ke atas, ya!"
KEI
Aku baru saja berjalan menuju tangga ketika melihat Alexa berlari terburuburu ke luar kelas. Yang menarik perhatianku bukan karena Alexa bersama
Daniel, melainkan karena dia tidak membawa tas.
Aku langsung menjauhi tangga dan mendatangi kelas Alexa. Kulihat
Selwyn sedang berbicara dengan Kenny dan Arnold dan langsung menda
tangi mereka.
"Alexa kenapa?" tanyaku.
"Ah, tadi Daniel bilang Vivi tiba-tiba menghilang, terus Alexa bantu dia
cari Vivi," jawab Selwyn singkat.
Kulihat dia menjinjing tas berwarna cokelat. "Tas Alexa?" tanyaku
lagi.
Selwyn mengangguk. "Tadi dia titipin ke gue."
Aku berpikir sebentar. "Dia bilang nggak mau cari ke mana?"
Kenny langsung menyahut. "Daniel cari Vivi dari lantai empat ke ba
wah, Alexa dari lantai lima ke atas."
"Oke," jawabku, "Thanks."
Aku berbalik dan segera meninggalkan mereka bertiga.
ALEXA
Perpustakaan, ruang multimedia, toilet, aula, klinik, semua ruangan di lan
tai lima sudah kudatangi, tapi Vivi tidak ada di sana. Kurasa dia tidak
mungkin mendatangi ruangan atau daerah yang dipenuhi orang. Entahlah,
tapi firasatku mengatakan dia benar-benar ingin sendiri saat ini.
230
230
2:46:56 PM
Apa mungkin dia ada di toilet di lantai enam, tempat sebelumnya dia
merobek-robek buku sketsaku?
Aku langsung berlari menaiki tangga menuju lantai enam. Sesuai dugaan
ku, lantai ini benar-benar sepi. Aku bergegas menuju toilet dan membuka
nya. Kosong. Vivi tidak ada di dalamnya. Bahkan di tiap bilik juga ko
song.
Aku berjalan cepat mengecek setiap ruangan di lantai ini, tapi tidak
mungkin dia ada di dalamnya, lagi pula ruangan-ruangan ini terkunci.
Aku berlari menuju lantai tujuh. Lantai ini juga mulai sepi, tinggal
beberapa orang penjual yang sedang memberes-bereskan barang dagangan
mereka. Aku berjalan menuju lorong di sebelah kananku. Lorong yang biasa
kudatangi beberapa minggu yang lalu. Aku mendatangi tiap ruangan seni.
Ruangan-ruangan ini juga kosong. Memang dari awal tidak mungkin
dia kemari.
Ke mana? Ke mana kira-kira dia bersembunyi?
Aku bergegas kembali ke tangga dan menuju lantai delapan.
Napasku mulai tersengal-sengal, tapi ini tidak seberapa kalau dibanding
kan bayangan hal-hal buruk yang mungkin dilakukan Vivi yang terus
melintas di kepalaku.
Ya Tuhan, kumohon.
Ketika aku menapakkan kakiku di lantai delapan, aku mulai memelan
kan langkah kakiku. Aku menyadari suatu hal di lantai ini yang berbeda
dengan di lantai-lantai sebelumnya.
Aku mendengar suara air mengalir.
Suaranya berasal dari toilet cewek di ujung koridor ini.
Aku berjalan menuju tempat itu. Di sebelah kananku, pintu menuju
lapangan indoor terbuka dan menunjukkan area kosong yang begitu
lengang. Tempat yang sempurna, keadaan sepi dan sunyi ini benar-benar
membuatku merinding. Saking sunyinya aku bisa mendengar telingaku
berdenging. Suara air tersebut terasa dua kali lebih keras karena bergema
di tempat ini.
Aku bergegas menuju pintu toilet tersebut. Aku mengangkat tangan
untuk meraih pegangan pintu, tapi suara lain yang tertangkap telingaku
membuatku kaku.
231
231
2:46:56 PM
Di dalam toilet itu seseorang sedang menangis.
Jantungku berdegup semakin kencang. Aku bisa melihat jemariku mulai
gemetar. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
Apa pun yang terjadi di dalam ruangan ini, aku harus menghadapinya.
Aku menyentuh daun pintu. Aku bisa merasakan detak jantungku, bu
kan karena kelelahan setelah berlarian ke sana kemari, tapi karena ketakut
an baru yang sekarang memenuhi kepalaku dengan segala kemungkinan
yang mengerikan.
Aku mendorong pintu hingga terbuka. Pemandangan di depan mataku
membuatku bernapas lebih lega. Vivi sedang berdiri menghadap kaca. Dia
berdiri di depan salah satu wastafel, kedua tangannya ia biarkan berada di
bawah air keran yang mengalir. Kepalanya tertunduk menatap kedua ta
ngannya dan rambutnya terurai di salah satu sisi, karena itu aku tidak bisa
melihat wajahnya.
Aku masih bisa mendengar dia terisak. Apa mungkin dia belum menya
dari kehadiranku?
Aku berjalan mendekatinya perlahan. Benar-benar pelan dan tanpa
suara.
Ketika aku cukup dekat untuk bisa melihat pantulan dirinya di kaca,
jantungku seolah berhenti berdetak. Tanpa kusadari aku mundur dan
menabrak dinding di sampingku. Embun tipis memenuhi bagian bawah
kaca besar tersebut tetapi tidak mengaburkan apa yang baru saja kulihat:
Vivi dengan wajah masih tertunduk dan rambut terurai, dengan air mata
yang masih mengalir di wajahnya, memandangku tajam dengan tatapan
yang begitu mengerikan, seolah dia bisa saja melukaiku setiap saat.
"Vivi," panggilku dengan suara yang sangat pelan. Walaupun begitu
suaraku terdengar begitu keras di dalam toilet yang sunyi ini.
Vivi menoleh, dan menatapku.
Tanpa kusadari aku mundur selangkah perlahan.
Vivi kemudian tidak menghiraukanku. Dia kembali menatap kedua
tangannya. Gulungan perban bekas pakai tergeletak di sisi keran. Saat
itulah aku baru menyadarinya. Aku melihat lengan Vivi dan tidak ada luka
apa pun, tetapi ada noda merah di perban tersebut. Jadi, dia memang
pura-pura terluka. Tapi saat ini tangan kanannya sedang memegang cutter
232
232
2:46:57 PM
dan dia arahkan ke lengan kirinya. Apakah dia berniat membuat luka yang
sebenarnya?
"Tenang, Alexa," ujar Vivi tiba-tiba, suaranya terdengar sengau, "gue
yakin sakitnya nggak akan seberapa."
Aku terlalu terkejut dengan apa yang kulihat sehingga tidak yakin aku
mendengarkan apa yang Vivi ucapkan. Dia benar-benar berniat melukai
tangannya sendiri. Ini benar-benar kelewatan. Dia benar-benar ingin meya
kinkan semua orang bahwa aku melukainya dan berniat merebut Daniel.
Daniel! Aku harus menghubunginya.
Aku melirik Vivi dan memastikan dia masih sibuk dengan apa yang dia
lakukan. Aku tidak berani menghentikannya. Salah-salah aku malah akan
mengacaukan keadaan. Aku bisa melihat tangannya benar-benar gemetar
dan terlihat ragu, tetapi dia memegang cutter. Dia memegang cutter dan
diarahkan ke lengannya sendiri, dekat dengan urat nadinya!
Tangan kananku bergerak perlahan mengambil handphone di saku rok.
Aku menunduk dan melihat ke layarnya.
Tujuh belas misscalled dari Kei?!
Aku tidak menyadarinya, karena aku mengatur handphone-ku dalam
keadaan silent.
Maaf, Kei. Ada orang lain yang perlu kuhubungi saat ini juga.
Aku mencari nomor Daniel.
"Gue tahu dari awal," Vivi tiba-tiba memecahkan keheningan.
Aku benar-benar terkejut. Kukira dia menyadari apa yang sedang kula
kukan.
"Daniel selalu baik sama semua orang," ujarnya, dia kembali terdengar
terisak dan napasnya semakin cepat. "Baik sama semua cewek."
Aku menemukannya. Aku menemukan nomor Daniel dan mulai menge
tik:
Lt 8.
"Tapi waktu akhirnya dia nyatain perasaan ke gue," lanjutnya, "gue
bener-bener seneng," Vivi kembali terisak. "Di antara banyak cewek yang
lain, dia lebih milih gue."
233
233
2:46:57 PM
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku benar-benar tidak fokus mendengarkan Vivi. Tanganku gemetar dan
rasanya begitu sulit melanjutkan mengetik pesanku:
toilet perempuan.
"Tapi kenapa sekarang jadi begini" tangis Vivi semakin keras. Aku
bisa merasakan jantungku berdetak lebih kencang. Aku masih menunduk
menatap handphone-ku, tidak terlalu memperhatikan Vivi dan fokus
menatap jariku yang bergerak menekan tombol Kirim. Akhirnya pesanku
terkirim.
"Alexa."
Aku terkejut dan menemukan Vivi berdiri tepat di hadapanku, menatap
ku lurus. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi air mata tetap mengaliri pipinya.
Dia menatapku tajam dengan matanya yang mulai membengkak karena
terlalu banyak menangis.
"Siapa yang lo hubungin?" tanyanya.
Aku baru menyadari tangan kanan Vivi masih memegang cutter dan
tangan kirinya menggenggam perban berdarah tadi. Aku mundur per
lahan.
"Daniel?" tanyanya.
Aku bisa mendengar kesedihan yang begitu dalam ketika dia menyebut
nama itu.
Dia maju mendekatiku.
"Tunggu sebentar, Vi," aku berusaha menenangkannya, "lo salah pa
ham."
Aku mundur, tapi dia terus mendekatiku. Jantungku berdegup kencang
sekali hingga dadaku terasa sakit. Tanganku gemetar tidak keruan. Napasku
ikut menderu melihat Vivi yang semakin terisak. Aku tidak menyangka
akan berada dalam situasi seperti ini bersamanya. Daniel, cepatlah datang.
Apa pun yang kuucapkan tidak akan bisa meyakinkan Vivi. Hanya Daniel
yang bisa menenangkannya.
"Apanya yang salah paham?" tanya Vivi, kini kami sudah berada di luar
toilet. "Apa yang gue lihat selama udah cukup jelas."
Mataku bergantian menatap cutter dan wajah Vivi. Keduanya benar-benar
234
234
2:46:57 PM
bukan pemandangan yang bagus. Vivi terlihat tidak fokus dan tidak
menyadari keberadaan cutter di tangannya. Dia terus memainkan cutter terse
but dengan tangannya yang gemetar selagi berbicara, seolah itu mainan.
Vivi mengatakan sesuatu, tapi tak terlalu jelas karena tertelan isak tangis
nya. Dia meraih lengan kananku dan mengguncang-guncang tubuhku.
"Kenapa, Alexa?!"
Aku tidak bisa menanggapinya. Tubuhku lemas membayangkan apa
yang bisa dia lakukan dengan cutter tersebut dalam keadaan emosi yang
tidak stabil seperti ini. Aku merasa mual.
"KENAPA?!"
Tiba-tiba seseorang menarik tubuhku ke belakang, membuat pegangan
Vivi di lenganku terlepas. Sesuatu berwarna hitam terayun di depan mata
ku, menghantam Vivi begitu keras. Cukup keras untuk membuatnya
terlempar menabrak dinding di belakangnya dan terjatuh.
"VIVI?!"
Aku menjerit dan berlari untuk menolongnya, tetapi seseorang menahan
tubuhku. Aku menoleh dan melihat Kei. Dia menatap waswas ke arah
Vivi. Kedua lengannya melingkari tubuhku untuk menahanku. Aku meman
dang ke sekeliling dan melihat tas hitam Kei di dekat kakiku. Dia memakai itu untuk memukul Vivi?!
Vivi merintih, lalu bangkit perlahan. Dia terlihat kehilangan arah. Mung
kin kepalanya membentur dinding. Tangannya bergerak pelan hendak me
raih cutter yang terjatuh dekat kakinya. Melihat itu, Kei segera menendang
cutter tersebut jauh ke dekat tangga.
Atmosfer di toilet begitu menegangkan. Aku dan Kei masih menatap
Vivi yang sekarang terduduk lemas di lantai. Dia masih terus menatap
kaku ke arah cutter yang sekarang berada jauh dari jangkauannya. Dia su
dah berhenti menangis dan tampak lebih tenang.
Tapi melihatnya diam saja justru membuatku takut. Dia sedang berpikir.
Dan dalam keadaan yang begitu emosional seperti ini, tindakannya akan
sulit ditebak. Tak mungkin dia menyerah begitu saja. Tapi Vivi harus ber
henti. Dia tidak boleh lagi melukai orang lain atau dirinya sendiri.
Vivi menunduk memandang lengan kirinya. Aku mengikuti arah tatapan
nya dan melihat garis tipis luka baru yang kelihatannya tidak begitu dalam.
235
235
2:46:57 PM
Ada setitik darah yang muncul di sudut luka tersebut. Apa dia tidak sengaja melukai dirinya sendiri saat Kei memukulnya dengan tas barusan?
"Vivi?" panggilku.
Perlahan, dia menoleh padaku. Wajahnya tanpa ekspresi.
Aku bisa merasakan Kei menarikku mundur dan semakin mengeratkan
rangkulannya padaku.
Tiba-tiba pandangan kami semua teralih ke tangga. Gema langkah kaki
yang berlari cepat menaiki tangga terdengar jelas di koridor. Saat itu juga
Daniel muncul.
Dia berhenti sebentar, terkejut dengan pemandangan yang dia lihat.
Vivi, pacarnya yang terduduk di lantai dan terlihat tidak berdaya, kemu
dian Kei yang tampak sedang menahanku atau melindungiku dari Vivi
atau sebaliknya, melindungi Vivi dariku. Dia kemudian berjalan pelan ke
arah kami, tapi sekali lagi dia berhenti. Ketika melihat ke bawah, dia baru
sadar dia menginjak cutter yang ujung pisaunya masih terjulur keluar.
"Daniel," panggil Vivi, suaranya begitu pelan.
Daniel mendongak menatap Vivi dan segara bergegas menghampiri. Dia
berlutut di depan Vivi dan melihat luka di lengan kirinya.
"Vivi, tangan kamu"
Vivi tiba-tiba mulai menangis lagi. Dia menarik lengan Daniel seolah
ingin bersembunyi di balik cowok itu dan menatapku takut-takut.
Daniel kemudian memandangku dan Vivi bergantian.
Tunggu. Aku tahu pola ini. Aku mengerti maksud Vivi. Dia berusaha
menyalahkanku atas luka itu. Dia berusaha membuat semua orang memben
ciku, tapi dia merasa itu belum cukup, karena tujuannya baru akan benarbenar tercapai apabila dia bisa membuat Daniel membenciku. Kalau Daniel
membenciku, dia tidak akan mendatangiku lagi. Yah, aku berterima kasih
kalau dia memang bisa melakukan itu. Kalau Daniel tidak lagi mendatangiku, semua kesalahpahaman akan terhenti. Tapi bukan begitu caranya.
Daniel menatap Vivi yang semakin terisak di depannya. Satu lengannya
memeluk Vivi dan mengusap-usap kepalanya.
Ini gawat.
"Bukan, Daniel," ujarku berusaha membela diri. "Bukan gue yang nge
lukain Vivi."
236
236
2:46:57 PM
Vivi memeluk Daniel dan semakin terisak. Daniel merangkulnya dan
menepuk-nepuk kepalanya, berusaha menenangkan Vivi.
Oh, tidak. Melihat pemandangan itu rasanya tubuhku semakin kaku.
"Daniel" panggilku pelan. Seharusnya aku tahu, Daniel pasti lebih
percaya pada pacarnya sendiri, apalagi saat ini dibandingkan diriku keadaan
Vivi lebih terlihat sebagai korban.
"Cukup," ucap Daniel pelan.
Kukira dia mengatakan itu padaku. Aku benar-benar merasa harus mem
persiapkan diri untuk kejadian buruk yang akan terjadi di masa depan.
"Udah selesai, kan, Vivi?" tanya Daniel.
Dia mengatakan itu pada Vivi?
Vivi tampak tidak percaya. Dia menengadah dan memandang Daniel.
"Kenapa?" bisiknya. "Kenapa, Daniel?"
Daniel menatap Vivi dengan begitu sabar. "Karena Alexa nggak mung
kin ngelukain orang lain."
Mendengar itu, Vivi semakin memandangnya tidak percaya. Aku juga
tidak percaya dengan apa yang kudengar.
Vivi mendorong Daniel menjauh. "Jadi, kamu lebih percaya sama
Alexa?"
Daniel melanjutkan, "Bukan begitu, kamu juga nggak selemah itu sampai ngebiarin orang bikin luka di tangan kamu kayak gini. Jadi, nggak
mungkin"
"Tapi kamu lebih percaya Alexa daripada aku," Vivi memotong. Ekspresi
dan nada bicaranya berubah, tak lagi terlihat tidak berdaya.
"Aku temenan sama dia dari SMP," Daniel menatap Vivi. "Aku kenal dia
dan dia nggak mungkin kayak yang kamu jelasin, apa pun alasannya."
"Tapi kamu lebih percaya dia daripada aku," Vivi mengulangi.
Mereka membicarakanku seakan aku tidak ada di sini.
"Aku bukan nggak percaya sama kamu, tapi belakangan ini kamu,"
Daniel berhenti sebentar, "bukan Vivi."
Vivi mengalihkan pandangannya dari Daniel, sibuk dengan pikirannya
sendiri.
"Belakangan ini kamu nggak peduli sama aku, kamu nggak peduli sama
apa yang aku omongin, kamu bahkan"
237
237
2:46:57 PM
"Daniel lebih percaya Alexa," sekali lagi Vivi berbisik pelan.
Aku yakin dia tidak mendengarkan omongan Daniel, lebih percaya de
ngan apa yang sedang diproses dalam kepalanya saat ini, apa pun itu.
"Jadi, Daniel lebih sayang Alexa?" ujar Vivi, terdengar lebih seperti per
nyataan daripada pertanyaan. Dia menatap Daniel tajam, seakan-akan dia
sudah tahu apa jawaban yang akan diucapkan Daniel.
"Vivi, biar gue jelasin ya," aku memulai, menurutku kesalahpahaman
ini sudah kelewatan. "Jelas Daniel pasti lebih sayang sama lo daripada gue.
Dia pacar lo, kan? Gue sama Daniel cuma temen satu hobi, susah buat
Daniel ngobrol dengan orang-orang tentang hobinya karena di sekolah ini
sedikit banget orang yang mengerti dengan apa yang kami suka. Orang
lebih sering memandang sebelah mata terhadap musik Jepang, jadi Daniel
nyaman ketika ngobrol dengan gue karena gue ngerti dengan apa yang dia
suka. Tapi cuma sebatas teman. Jadi, intinya"
"Lo manfaatin keadaan itu buat ngerebut Daniel dari gue kan, Alexa?!"
"Bukan, Vivi!!" Aku mulai hilang kesabaran, cewek ini benar-benar keras
kepala. "Dengerin dulu, Daniel cuma anggap gue temen satu hobi. Emang
Daniel jadi sering ngajak ngobrol gue belakangan ini, tapi itu karena dia
lihat gue nggak cuma menyukai musik yang sama tapi juga memainkan
instrumen yang sama. Itu yang bikin kami jadi sering ngobrol belakangan
ini, bukan karena maksud lain. Gue ngerti kalau lo salah paham dan ma
lah jadi cemburu. Ada orang lain yang juga salah paham dengan hal ini,
nggak cuma lo."
Aku bisa merasakan Kei bergerak di sisiku. Dia pasti mengerti yang
kumaksud.
"Tapi sekarang Daniel lebih percaya Alexa," Vivi masih berkutat dengan
pikirannya sendiri. "Cuma karena satu hobi, bukan berarti tiap saat selalu
dateng ke Alexa, kan. Bahkan kalau gue sampe nggak bisa dateng ke
penampilan Daniel, kenapa harus ajak Alexa?" Dia menatapku marah.
Ini bukan salahku. Semua ini kembali lagi ke Daniel. Kalau sampai ba
nyak hal yang tidak dimengerti Vivi dan Daniel satu sama lain, bukankah
itu berarti mereka kurang terbuka? Daniel, seandainya dia lebih dulu ter
buka, mungkin Vivi tidak akan merasa seperti ini. Aku menatap Daniel
yang terlihat jelas ingin mengucapkan sesuatu.
238
238
2:46:57 PM
Daniel menatap Vivi. "Vivi, awalnya aku seneng kamu mau dengerin
semua omonganku tentang musik dan bas, bahkan aku lebih seneng lagi
karena kamu bisa deket sama semua temen-temen satu bandku. Tapi bela
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kangan ini kamu selalu menghindar, selalu buang muka atau mulai ngo
mong hal lain kalau aku ungkit-ungkit tentang musik atau band. Aku
merasa kamu nggak suka itu, makanya aku nggak mau maksa kamu dateng
Jumat ini."
Vivi tidak membalas tatapan Daniel. Kedua tangannya menutupi telinga,
seolah tidak ingin mendengar apa pun yang Daniel ucapkan.
"Daniel lebih pengin lo yang dateng nonton penampilan dia, Vivi, tapi
dia nggak mau maksa lo karena dia takut lo nggak nyaman karena nggak
suka dengan hobinya. Dia ngajak gue karena dia tahu gue suka, dan dia
nggak bermaksud bikin lo cemburu," aku membantu menjelaskan. "Sayang
nya karena belakangan ini lo lebih fokus dengan kecemburuan lo sendiri,
lo nggak sadar dengan hal itu."
Vivi menggeleng. Dia tidak mengatakan apa-apa.
"Vivi," aku memulai kembali, "seandainya lo lebih percaya sama Daniel
dan Daniel lebih perhatian sama lo, lo nggak akan cemburu tanpa alasan
begini"
"Bukan!" Vivi kembali berteriak. "Bukan tanpa alasan. Alexa masih suka
sama Daniel makanya waktu Daniel ngajak ngobrol Alexa, dia manfaatin
itu buat deket lagi sama Daniel. Soalnya dia nggak terima Daniel lebih
milih gue daripada dia."
Suasana tiba-tiba terasa canggung. Tidak ada yang berani bicara karena
semua menunggu jawaban dariku. Tapi kalau begini, kalau aku menjelaskan
yang sebenarnya, itu sama seperti aku menyatakan perasaanku saat itu juga
pada Kei. Kalau tidak ada dia mungkin akan lebih mudah bagiku untuk
mengatakannya, tapi karena ada dia
Aku merasa jantungku kembali berdetak kencang. Aku ingin mengatakan
sesuatu, tetapi tidak siap.
Vivi menatapku sambil tersenyum. Wajahnya mulai menunjukkan ke
puasan karena merasa yang dia pikirkan itu benar.
"Itu nggak bener," Daniel tiba-tiba mulai berbicara, begitu pelan karena
239
239
2:46:57 PM
sepertinya tidak yakin dengan apa yang dia pikirkan. "Menurut gue,
Alexa"
Daniel kemudian melirik Kei.
Semua kenangan beberapa hari yang lalu tiba-tiba kembali berkelebat.
Selama ini kedekatanku dengan Kei hanya sebatas apa yang terjadi di ruang
musik. Kalaupun kami mengobrol lama di luar ruangan itu, menurutku
akan lebih terlihat sebagai obrolan antaranggota panitia Porseni. Tapi
Daniel mungkin melihat hal yang berbeda belakangan ini. Ketika aku ber
usaha berbicara dengan Kei di tangga utama atau sebaliknya, bahkan saat
Kei menarikku dari sisi Daniel waktu dia mengajariku bermain gitar,
Daniel selalu hadir di antara kami. Jadi, kurasa dia sudah memiliki pemi
kiran sendiri tentangku dan Kei.
Hanya saja, Vivi tidak melihat hal ini. Perhatiannya selama ini hanya
padaku dan Daniel.
"Gue tahu gue suka Daniel sejak SMP," aku memulai dengan suara ber
getar, "tapi kalau gue bilang sejak gue lihat kalian jadian gue udah mulai
lupain Daniel, apa lo percaya, Vivi?"
Vivi mendengus dan membuang muka. Dia bahkan tidak ingin berusaha
memercayaiku.
"Lo nggak percaya kalau gue bilang gue udah nggak suka sama Daniel?"
tanyaku pelan.
Vivi kembali menatapku. "Gue nggak percaya."
Ini benar-benar mendebarkan. Kalau aku bisa langsung menjelaskan ke
intinya mungkin dia akan mengerti, tapi aku belum siap mengungkapkan
perasaanku begitu saja. Setidaknya aku ingin mengungkapkannya pada
situasi yang lebih baik daripada ini.
"Nggak mungkin semudah itu lo ngelupain Daniel karena lo udah lama
suka dia, kan?"
Vivi menunggu jawabanku. Aku bisa merasakan Kei juga menatapku.
"Kalau gue bilang," aku bisa merasakan suaraku melemah dan bergetar,
"itu lebih mudah karena ada orang lain yang gue suka sekarang, lo masih
nggak percaya?"
Vivi kembali mendengus. "Jangan bohong, Alexa. Selama ini lo cuma
deket sama Daniel. Dari suara lo aja udah jelas lo nggak jujur."
240
240
2:46:57 PM
"Makanya, Vivi"
"Daniel," potongku. Untuk hal ini harus aku sendiri yang menjelaskan.
Sekali lagi aku menghela napas dan memantapkan diri. Kemudian aku
menatap serius Vivi. "Denger ya, Vi. Lo cuma tahu gue suka Daniel, tapi
sejak lo jadian sama dia, sejak lo buat gue pupus harapan dan nggak punya
kesempatan lagi dengan Daniel, ada orang lain yang selalu hadir di sam
ping gue dan selalu mendukung gue. Ada orang lain" aku berhenti sebentar, "yang nemenin gue ketika gue dituduh menghalangi kalian ja
dian, orang yang nemenin gue ketika gue nangis karena tahu tentang
hubungan kalian. Orang yang" Semakin aku mengingat semua kenangan
itu kembali, semakin aku menyadari betapa penting Kei bagiku. "mem
buat gue sadar gue masih punya temen-temen yang baik. Dia" Aku
membuang muka, merasakan wajahku memanas, "orang yang lebih pen
ting buat gue sekarang."
Keheningan setelah aku menyelesaikan ucapanku tiba-tiba dibuyarkan
tawa pelan Vivi. "Orang ini bener-bener ada atau cuma khayalan lo
doang?" tanya Vivi. "Gue nggak lihat ada cowok lain yang lo deketin ke
cuali Daniel. Atau, maksud lo temen-temen kelas lo?"
Vivi benar-benar hanya mengikuti perasaan cemburunya sendiri. "Gue
udah jelasin, Vivi, gue udah nggak suka Daniel, karena gue suka orang
lain."
"Mana orangnya?!" Vivi meneriakiku. "Kalau emang beneran, tunjukin
orangnya!"
Aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi. Aku benar-benar
kesal dibuatnya. Aku baru hendak membalas ketika tiba-tiba Kei mela
kukan hal yang tidak terduga.
Kei memutar tubuhku agar menghadapnya dan menarikku ke pelukan
nya dengan sikap protektif. "Aku orangnya. Puas?"
Vivi tampak terkejut. Dia menatap Kei ragu-ragu, kemudian membuang
muka. "Nggak mungkin, pasti Alexa minta tolong buat bikin gue"
"Vivi!" giliran Daniel yang sekarang membentaknya. Dia menarik wajah
Vivi agar menghadapnya dan menatap matanya.
Vivi tampak kaget, tapi tidak berani melawan Daniel.
"Cukup!" perintah Daniel. "Kamu masih belum percaya juga?"
241
241
2:46:57 PM
Vivi tiba-tiba terlihat bingung. "Bukan begitu, Daniel"
"Gue nggak akan pergi Jumat ini," potongku, dan kedua orang itu
menatapku. "Gue nggak akan pergi Jumat ini, karena itu gimana kalau lo
yang pergi, Vivi?"
Vivi menatapku dan Daniel bergantian.
Daniel tersenyum pada Vivi, memandangnya dengan tatapan memohon.
Vivi terlihat berpikir sebentar kemudian mengangguk, tapi aku masih mera
sa terganggu dengan ekspresi di wajahnya.
Tidak. Ini tidak akan berakhir semudah itu. Vivi tidak akan dengan
gampang menerima ajakan tersebut lalu menghentikan tindakannya. Tidak
ada jaminan untuk itu.
"Satu syarat," ujarku keras untuk menarik perhatian mereka. "Vivi, lo
mesti janji nggak boleh berusaha ngelukain gue lagi. Gue nggak pernah
berniat rebut Daniel dari lo."
"Ngelukain apa?" tanya Daniel pada Vivi, tapi aku tidak memedulikan
nya.
"Daniel, pertama, lo mesti janji untuk lebih perhatian sama Vivi dan
ungkapin pikiran lo, jangan lo simpen sendiri. Kedua, tolong kurangin
kebiasaan lo datengin gue setiap istirahat, untuk mengurangi kesalahpaham
an."
Daniel mengangguk, tetapi Vivi membuang muka. Dia masih tidak bisa
memercayaiku. Entahlah, mungkin biarkan waktu yang menyelesaikannya.
Aku tahu tidak akan mudah meyakinkannya saat ini juga. Dia juga butuh
belajar untuk percaya pada dirinya sendiri, pada Daniel, dan pada orangorang di sekitarnya.
Aku menyadari wajah Vivi yang memucat. "Daniel, bawa Vivi ke klinik
gih, mungkin dokternya masih ada di sana."
Daniel mungkin juga melihat apa yang kulihat karena kemudian dia
bergegas membantu Vivi berdiri dan memapahnya menuju lift.
"Thank you, Alexa," ucapnya ketika melewatiku.
Vivi masih memandangku sinis dan semakin mengeratkan pelukannya
pada Daniel.
Melihat mereka pergi rasanya begitu menenteramkan hatiku. Aku hanya
benar-benar berharap ini menjadi pelajaran baru bagi mereka untuk lebih
242
242
2:46:57 PM
saling memahami. Aku tahu Vivi begitu menyayangi Daniel. Kenyataan dia
bisa sampai cemburu seperti ini adalah buktinya. Dan aku tahu meskipun
Vivi tampak benar-benar hilang kendali, Daniel masih bisa menerimanya.
Apa pun yang terjadi, mulai sekarang dia harus lebih terbuka pada Vivi.
Bahkan aku pun dengan tulus mengharapkan yang terbaik untuk mere
ka.
Tentu saja. Lagi pula, aku tidak mau cemas dan harus waspada setiap
kali berangkat ke sekolah. Aku juga menginginkan akhir bahagia untuk
diriku sendiri. Dan seandainya aku tidak terpancing emosi dan membalas
Vivi, masalah ini pasti sudah selesai sejak lama. Seandainya aku lebih peka
terhadap perasaanku dan jujur pada diri sendiri, aku mungkin bisa mene
mukan kebahagiaanku sendiri.
Selepas kepergian pasangan itu, suasana kembali terasa canggung. Aku
melirik Kei yang masih menatap ke arah lift. Ketika mengarahkan pandang
an ke bawah, baru kusadari lengan Kei masih memelukku.
"Kei," panggilku pelan.
"Ya?"
"Pelukannya boleh dilepas."
"Oh." Dia langsung melepaskan rangkulannya dan melangkah mundur.
Dia tidak berani menatapku, terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Melihat dia diam seperti itu membuatku ikut gugup. Aku ingat aku
baru saja mengungkapkan perasaanku di depannya, walaupun secara tidak
langsung. Aku masih belum siap dengan aftereffect-nya.
Aku sedang memikirkan apa yang harus kuucapkan ketika tiba-tiba Kei
berjalan menuju tangga dan memungut cutter Vivi. Dia memandanginya
sebentar kemudian menuju tempat sampah dan membuangnya.
Sementara itu aku mengambil tas punggung Kei, yang dia gunakan
untuk menyelamatkanku. Ternyata tas itu cukup berat, aku tidak bisa mem
bayangkan apa yang Vivi rasakan ketika dia dihantam tas ini tadi.
Aku mendengar langkah kaki Kei berjalan pelan ke arahku.
Kami berpandangan. Tidak ada kata yang kami ucapkan tapi aku tahu,
dia juga merasakan hal yang sama, bahwa kami lega semua masalah ini
berakhir.
Untukku, tentunya. Karena aku tahu masih ada satu hal lagi yang se
243
243
2:46:57 PM
dang Kei tunda. Dan dia belum menceritakannya padaku. Mungkin karena
dia sendiri belum menyelesaikan masalahnya. Aku pun tidak berani meng
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ungkitnya sekarang. Tidak ketika kami terlalu lelah untuk membahasnya.
Aku menyerahkan tas punggungnya.
Kei menerimanya.
Aku menatap matanya. Tatapannya belum menemukan kebahagiaan,
tapi telah menemukan titik terang.
"Yuk, pulang."
KEI
Aku berjalan pelan berdampingan dengan Alexa menuju tangga utama.
Sekolah mulai sepi, hanya beberapa murid yang mengikuti ekskul yang
masih berada di sekolah.
Aku meliriknya, tersirat kelegaan di wajahnya. Masalah yang dia hadapi
sudah selesai. Dan dia sudah mengungkapkan yang sebenarnya. Dia sudah
menepati janjinya. Sedangkan aku sendiri belum.
Aku ingat janji kami ketika akan tampil di Porseni yang lalu, bahwa hal
itu langkah akhir bagi Alexa untuk melupakan Daniel dan langkah awal
bagiku untuk mengejar impian menjadi pianis. Alexa sudah melupakan
cintanya dan memulai awal baru, tetapi aku tidak menyadarinya. Aku ma
lah menyangka dia masih terseret masa lalu. Padahal yang masih terseret
masa lalu itu aku sendiri. Aku belum bisa mengungkapkan keinginan dan
mimpiku kepada tanteku. Dan karena penyakit yang pernah kuderita
mendadak kambuh, aku bahkan tidak berani menyentuh piano lagi saat
ini.
Aku takut tidak bisa kembali bermain piano, tapi selagi bisa, aku me
nyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk mengeluh dan melarikan diri. Aku
akan sekali lagi mencoba pergi ke dokter untuk menyembuhkan tangan
kiriku.
Lalu aku akan mengatakannya pada tanteku.
Aku akan menepati janjiku.
Sekali lagi aku menatap Alexa. Aku senang dia berada di sisiku, berjalan
244
244
2:46:57 PM
dengan langkah yang sama, dengan perasaan yang sama. Perasaanku me
luap-luap sehingga aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Itu
membuatku teringat ketika terakhir kali aku tidak mampu mengendalikan
emosi dan aku malah menyakiti perasaannya. Aku benar-benar membenci
diri sendiri karena kejadian tersebut.
Aku menghentikan langkah.
Alexa menyadarinya dan berbalik, menatap heran padaku.
Aku menatapnya dengan serius.
"Alexa," aku memulai, tetapi rasa gugup juga menghampiriku. "Kejadian
waktu itu di ruang musik" Aku ragu untuk melanjutkan. "Itu
benar-benar hilang kendali dan"
Aku menunduk, aku tidak berani menatapnya.
"Kei."
Aku menengadah dan ketika hendak membungkuk, gestur yang menjadi
kebiasaanku sejak kecil tiap kali ingin meminta maaf, tiba-tiba Alexa mena
han bahuku.
Aku menatapnya dengan bingung.
Alexa hanya memandangiku begitu lama. Dia tidak bereaksi atau meng
ucapkan apa pun. Dia terus memandangi dan memperhatikan wajahku,
seolah memastikan kesungguhan ucapanku barusan.
Kemudian dia menggeleng pelan dan tersenyum, lalu menepuk-nepuk
bahuku.
Dan saat itu juga aku tahu Alexa sudah memaafkannya. Saat itu juga,
aku berjanji pada diri sendiri tidak akan pernah lagi membuatnya mena
ngis.
"Alexa!"
Alexa berbalik mengikuti suara yang memanggilnya. Kami melihat
Arnold yang melambai-lambaikan tangan dan Selwyn bersama Kenny ber
diri di dekatnya di puncak tangga utama. Alexa segera berlari menyusul
mereka.
Aku berjalan lambat di belakangnya menuju tangga utama dan melihat
Selwyn memarahi Arnold.
"Kan gue udah bilang panggilnya nanti aja, nggak bisa baca situasi, ya?"
Arnold mengelus-elus lengannya yang dipukul Selwyn. "Tapi gue mau
245
245
2:46:57 PM
cepet-cepet pulang." Arnold kemudian menyerahkan tas Alexa yang dia
bawakan dari kelas.
Aku tersenyum melihat semua itu. Apa pun yang terjadi, Alexa tetap
memiliki teman-teman terbaiknya. Kemudian pandanganku menangkap
mobil yang menunggu di dasar tangga. Aku pun bergegas turun.
Ketika aku mencapai tengah tangga, Alexa memanggilku.
Aku berhenti dan menoleh.
Alexa terlihat berpikir sebentar, tetapi kemudian dia berbicara dengan
mantap. "Yang gue ucapin tadi itu bukan karena gue ingin meredakan
amarah Vivi, tapi karena memang itu yang gue rasain. Itu yang sebenar
nya."
Aku memperhatikan wajah Alexa dan melihat ketulusan di matanya.
"Walaupun gue baru sadar belakangan ini tapi" dia berhenti sebentar,
"gue yakin itu dimulai sejak lagu Smile."
Aku memandang Alexa yang terlihat begitu serius, dengan dahi berkerut
dan alis bahkan tampak nyaris menyatu. Aku berjalan kembali mengham
pirinya, dengan dua jari, memisahkan kedua alis tersebut, membuat wajah
nya terlihat santai kembali.
Alexa mungkin merasa semua ini dimulai sejak dia mendengar lagu
Smile yang kubawakan dulu, tapi bagiku, semua ini justru dimulai sejak
dia meninggalkan buku sketsanya di kelas saat MOS satu setengah tahun
lalu.
Tapi saat ini aku belum berhak menerima perasaan Alexa. Masih ada
yang harus kuselesaikan. Karena itu, aku hanya menanggapi pernyataannya
dengan senyum. Alexa tampak terkejut dan menunduk, berusaha menutupi
wajahnya yang merona. Aku pun berbalik dan berjalan menuju mobil.
246
246
2:46:57 PM
14
IT ALL BEGAN WITH A SKETCH
KEI
Sejak sampai di rumah, aku terus berlatih tanpa henti. Aku menggunakan
keyboard milik Ibu yang kusembunyikan di bawah tempat tidur. Tante
pernah nyaris membuang keyboard tersebut tetapi karena aku berkeras itu
milik ibu yang paling berharga, akhirnya aku diizinkan menyimpannya.
Syaratnya, aku tidak boleh memainkannya lagi. Yang tidak diketahui Tante,
selama setahun terakhir ini aku sering berlatih dengan keyboard tersebut di
kamar, terutama ketika tanteku pergi atau pada malam hari ketika semua
orang sudah tidur. Aku mengecilkan volume suaranya atau bahkan tanpa
suara sama sekali. Aku baru bisa berlatih dengan bebas di sekolah.
Kali ini tujuanku sedikit berbeda.
Aku tahu sebentar lagi tanteku akan pulang dan walaupun sejauh ini aku
berhasil memainkan lagu dari awal sampai akhir, aku masih merasa tangan
kiriku belum sebaik yang kuharapkan. Aku masih belum yakin dengan per
mainanku sendiri. Aku bisa merasakan tanganku agak gemetar dan jantung
ku berdebar kencang, emosiku campur aduk. Aku takut sekaligus senang.
Aku gugup, tetapi hati kecilku mengatakan aku akan baik-baik saja.
247
247
2:46:57 PM
Awalnya aku bermain tanpa suara, hanya ingin merasakan gerakan kedua
tanganku. Setelah itu aku memberanikan diri mengeraskan sedikit volume
keyboard. Sayangnya, hal yang sama selalu terjadi: semua kejadian buruk
di masa lalu menerjang memoriku. Kecelakaan orangtuaku, perasaan bersa
lahku, genggaman erat ibuku sebelum meninggal, tangan kiriku yang terasa
kaku ketika aku masih trauma dan dilarang bermain piano oleh tanteku,
dan Alexa Alexa yang kupikir telah meninggalkanku demi orang lain.
Aku sadar tidak akan berhasil jika membayangkan semua itu.
Aku bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipisku, jemariku
semakin gemetaran. Aku dipenuhi keraguan dan itu semakin membuat
permainanku jelek.
Aku ingin otot-otot tanganku bergerak sesuai pikiranku. Aku ingin je
mariku memainkan melodi yang terekam di kepalaku. Komposisi yang
diciptakan Ayah untuk Ibu, yang berulang kali Ibu ajarkan kepadaku. De
ngan melodi yang gembira serta ringan, aku bisa merasakan cinta dalam
komposisi tersebut. Tidak ada hal lain.
Dan hanya itulah yang dirasakan orangtuaku. Aku yakin itu. Karena
itulah aku juga ingin bermain dengan perasaan yang sama.
Aku pun sadar permainanku tidak akan bagus jika yang kupikirkan ada
lah kenangan buruk. Padahal kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya aku juga
memiliki banyak kenangan menyenangkan.
Aku memejamkan mata dan mengatur napas, berusaha menenangkan
diri. Aku ingat pertama kali Ibu mengajariku bermain piano, saat beliau
bermain sebagai tangan kiri, dan wajah gembiranya setiap kali memainkan
komposisi ciptaan ayahku. Walaupun mereka telah tiada, kenangan itu
tetap terpatri dalam memori. Aku pernah berusaha melupakan semua ke
nangan tentang orangtuaku, tetapi kenangan tersebut kembali ketika aku
bertemu Alexa.
Aku ingat senyum Alexa ketika pertama kali bertemu dengannya. Aku
ingat sketsa miliknya yang membuatku berani bermain piano lagi, juga
perasaan bahagia dan rindu yang begitu dalam ketika jemariku kembali
menyentuh tuts piano.
Aku pun memaksimalkan volume keyboard. Aku ingin semua orang di
rumah tahu apa yang kuinginkan.
248
248
2:46:57 PM
Music conveys emotion, aku sendiri yang mengatakan itu pada Alexa dan
aku jugalah yang akan menunjukkannya.
Aku bermain dengan lembut dan penuh ketenangan, tapi juga ada seti
tik ketidaksabaran karena aku ingin bermain dengan baik. Tanpa sadar aku
tersenyum. Aku memejamkan mata dan merasakan tanganku bergerak lin
cah di keyboard. Aku mendengarkan melodinya, iramanya, dan aku terbawa
jauh ke beberapa tahun lalu, pada diriku yang hidup berlimpah kasih sa
yang orangtua.
Bukan berarti sekarang aku tidak menerima kasih sayang dari keluarga
baruku, hanya saja saat itu merupakan momen yang begitu manis. Dan
aku yakin saat ini aku bisa melihat Ibu.
Bukan. Itu bukan ibu. Itu orang yang begitu mirip dengannya, berdiri
di hadapanku dengan wajah yang sedih sekaligus marah.
Aku sadar Tante baru saja pulang dan pasti mendengar permainanku.
Inilah saatnya.
Aku masih terus bermain tetapi menatap tanteku, memperhatikan
reaksinya.
Tante hanya berdiri kaku menatap permainanku, terus memandang ke
dua tanganku. Selama beberapa saat aku yakin pikiran Tante tidak berada
di sini, tidak berada di masa ini. Tanteku juga terbawa pada kenangan
yang dulu, mungkin lebih lama daripada kenangan yang kumiliki.
Tante berjalan menuju sisi tempat tidur dan duduk di sampingku, mem
biarkanku tetap bermain. Aku gugup karena ini bukan reaksi yang kuper
kirakan. Aku berharap Tante memarahiku, sama seperti ketika dia menge
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahui aku tampil di Porseni beberapa minggu lalu. Aku bersyukur memilih
memainkan komposisi ini. Tapi ini belum selesai, Tante belum mengatakan
apa-apa.
Tante tidak bereaksi. Atau mungkin ini saatnya bicara? Aku memelankan
permainanku dan meliriknya. Tante sedang memejamkan mata dan ketika
menyadari aku nyaris menghentikan permainan, dia menahanku. "Lanjut
kan," ujarnya pelan.
Aku pun terus bermain, membiarkan tanteku tenggelam dalam emosi
dan memori yang dihantarkan musik tersebut. Sesuatu yang berusaha aku
mengerti.
249
249
2:46:58 PM
Ketika selesai, aku menoleh dan mendapati Tante menatapku. Aku meli
hat duka di matanya.
"Masih sedih karena masa lalu?" tanyaku, mungkin terdengar agak ku
rang ajar.
Tante menggeleng pelan. "Sedih karena setelah bertahun-tahun, Tante
masih tidak bisa menerima kepergian mereka." Aku terdiam sebentar dan
menarik napas. "Sedih karena setelah apa pun yang terjadi, mama kamu
tetap jadi orang yang begitu penting dalam hidup Tante. Sedih karena
anaknya juga mengikuti jejak ibunya. Dan takut karena anaknya mungkin
akan meninggalkan Tante seperti dia."
Tanteku tersenyum, tapi itu bukan senyum yang menyenangkan, itu
senyum penuh kesedihan. Selama ini kupikir akulah yang paling menderita,
tetapi sepertinya aku salah. Aku menggeleng dan menatapnya dengan pe
nuh keyakinan.
Melihat itu, Tante memelukku. Pelukan hangat yang sudah lama tidak
kurasakan. Rasanya seperti dipeluk Ibu.
"Bagaimana keadaan tanganmu?" Tiba-tiba Tante bertanya dan menatap
wajahku sambil menunggu jawaban.
"Baik-baik aja," jawabku, setengah jujur karena aku sendiri baru yakin
dengan hal itu beberapa menit lalu.
Tante menatapku tidak percaya. "Tante tahu hari ini akan datang kapan
saja. Hari ketika kamu minta supaya diizinkan sekolah musik. Kamu seper
ti papa kamu, karena kamu punya bakat yang begitu besar di bidang mu
sik. Kamu juga benar-benar seperti mama kamu, karena sulit mengalihkan
pikiranmu dari hal yang kamu tahu kamu butuhkan."
Aku diam dan mendengarkan.
"Tapi kamu punya trauma dan cedera yang tidak mereka miliki."
"Iya, tapi"
"Sebelumnya," potongnya, "waktu Tante hukum kamu karena main pia
no lagi, kamu menurut dan tidak berusaha meyakinkan Tante kalau kamu
menyukai musik karena gangguan saraf itu kambuh lagi, kan?"
Ah, dia tahu. "Iya, sempat, tapi barusan"
"Barusan kamu coba lagi dan kebetulan permainan kamu lancar. Be
nar?"
250
250
2:46:58 PM
Aku menggeleng. "Bukan, bukan kebetulan. Tante juga rasakan sendiri,
kan?"
"Terus kalau nanti kambuh lagi, bagaimana?"
Tante tidak mau mendengarkan. Aku bisa melihat kekhawatiran di
wajahnya. Aku tahu Tante tidak ingin aku menderita kalau tangan kiriku
semakin parah sehingga aku terpaksa berhenti bermain piano. Namun seti
daknya aku ingin terus bermain, bukan hanya menerima keadaan aku be
lum berusaha semaksimal mungkin. Tante pasti tahu aku bukan orang se
perti itu. Dia pasti tahu, aku akan tetap memilih mengambil sekolah musik
bahkan setelah mengetahui dampak terburuk yang mungkin kualami.
"Biarkan Kei berusaha, Tante." Tiba-tiba Aya muncul di pintu. "Kalau
dia seperti ini, itu berarti dia tahu apa yang dia lakukan. Oh, omongomong, makanan sudah siap. Tante mau makan dulu?"
Tante tidak memedulikan Aya dan masih memandangku. Dia masih
belum berhasil diyakinkan.
"Saya akan konsultasi ke psikiater dan dokter," janjiku.
Tante mengalihkan pandangan. "Kamu yakin akan berhasil?" tanya
nya.
Memang waktu masih kecil aku sering ke rumah sakit untuk mengatasi
rasa sakit yang selalu kukira akibat trauma setelah kecelakaan.
Aku melirik Aya yang menatapku serius dan seolah memberikan dorong
an untuk terus berargumentasi. Selama ini dia memang selalu mendukung
ku untuk terus bermain piano. "Tapi setidaknya Tante"
Tiba-tiba Tante berdiri dan berjalan ke pintu. "Kalau tangan kamu ma
kin parah, kamu tahu kan apa yang akan Tante lakukan?"
Tante menatapku sekali lagi. Aku mengangguk, dan Tante pun keluar.
Memang bukan ini yang kuharapkan, tetapi setidaknya ucapan tanteku
tadi sudah cukup untuk saat ini. Yah, setidaknya aku harus sembuh dan
setelah apa yang kualami hari ini, mungkin aku tahu caranya. Aku hanya
harus berlatih.
***
251
251
2:46:58 PM
ALEXA
Aku berdiri di puncak tangga utama dan memandang langit biru yang
jernih. Aku selalu menyukai langit yang bersih dan tanpa awan seperti ini.
Terik matahari pun tidak terasa karena matahari sore ada di belakangku
dan sinarnya terhalang gedung sekolah.
Aku membiarkan murid-murid berlalu lalang di sekitarku. Banyak di
antara mereka segera berjalan menuju mobil jemputan masing-masing dan
langsung pulang. Aku mendengar Rieska memanggilku dari jauh. Waktu aku
melihatnya, dia menjulurkan kepala dari jendela mobil jemputan dan melam
baikan tangan padaku. Aku membalasnya sambil memperhatikan mobil itu
perlahan bergerak bersama mobil-mobil lainnya menuju gerbang.
Aku mengalihkan pandangan ke beberapa murid junior yang masuk ke
mobil mereka. Pemandangan ini mengingatkanku pada seseorang. Aku telat
keluar kelas berbunyi karena harus menyelesaikan tugas kelompok, karena
itu mungkin Kei sudah pulang.
Suara tawa yang sangat keras mengalihkan perhatianku pada kerumunan
murid yang sedang menuruni tangga, tidak jauh dari tempatku berdiri.
Mereka begitu seru tertawa dan bercanda. Di antaranya aku bisa melihat
Daniel dan Vivi. Aku yakin mereka akan ke kafe tempat Daniel dan te
man-temannya tampil nanti malam, atau mungkin ke studio dekat sekolah
untuk latihan dulu.
Daniel melihatku, lalu tersenyum dan melambai ke arahku.
Aku membalasnya. Saat itu juga Vivi menoleh dan ketika melihat ter
nyata Daniel memandang ke arahku, dia memasang tampang sinis lalu
membuang muka. Tidak heran. Pasti tidak akan semudah itu baginya un
tuk melupakan rasa cemburu dan bencinya terhadapku. Aku memperha
tikan mereka berjalan dan berbaur dengan murid-murid lain yang juga
berjalan ke parkiran sepeda dan motor.
Aku senang kalau keadaan mereka sudah normal kembali. Ini lebih baik,
terutama untukku. Hanya saja
Aku menunduk dan memandang kakiku. Aku mengetuk-ngetukkan
ujung sepatuku ke lantai batu.
252
252
2:46:58 PM
Kemarin pagi aku sudah minta izin pada orangtuaku bahwa aku akan
pergi hari ini. Sebenarnya tidak masalah kalau aku langsung pulang dan
bilang pada mereka rencananya kubatalkan, tapi cuaca saat ini begitu
nyaman dan menyenangkan, rasanya sayang kalau harus disia-siakan dengan
mengurung diri di kamar atau hanya menonton TV. Aku ingin menghabis
kan waktu di sekolah, setidaknya sampai sekolah mulai sepi, walaupun
tidak yakin harus melakukan apa.
Aku membuka tanganku dan mengarahkannya ke langit, memandang
langit melalui sela-sela jemari. Warna biru itu terlihat seperti selimut lem
but. Seperti inilah perasaanku sekarang. Setenang birunya langit dan begitu
luas, lapang. Ini jugalah alasannya aku tidak boleh menghabiskan waktuku
berdiam diri di rumah. Aku harus memanjakan diriku sesekali.
Mungkin setelah ini aku menonton di bioskop terdekat sebelum pulang
ke rumah. Itu ide yang bagus.
"Alexa."
Seseorang menepuk bahuku.
Aku menoleh dan mendapati Selwyn, lalu di belakangnya menyusul
Arnold dan Kenny. Mereka sudah mengganti seragam dengan kaus dan
celana pendek. Beruntung ada ekskul futsal hari ini dan mereka mengajakku
menonton, setidaknya sampai aku mulai merasa bosan dan ingin pulang.
"Ke lapangan, yuk," ajak Kenny, lalu kami berempat menuruni tangga
utama.
"Alexa, lo kenapa nggak bikin tim futsal cewek sih?" tanya Arnold
ketika kami sampai di dasar tangga.
"Mana ada yang mau, paling cuma gue yang berminat," jawabku.
"Coba dulu aja, pasang pengumuman biar banyak yang tahu," saran
Arnold.
"Susah lagi, Nold," Kenny menyahut. "Cewek-cewek di sekolah kita
lebih doyan basket daripada futsal. Apalagi tim basket cewek sering menang
kejuaraan."
Selwyn membukakan pintu pagar besi yang membatasi lapangan futsal
dan basket dengan lapangan parkir. Begitu memasuki lapangan, ketiganya
langsung meletakkan tas di kursi panjang yang terletak agak jauh dari
pintu pagar.
253
253
2:46:58 PM
"Titip tas ya, Alexa," ujar Selwyn.
Aku mengangguk dan duduk menghadap lapangan.
Anggota ekskul futsal lainnya sedang pemanasan. Ketika ketiga temanku
itu bergabung dengan yang lain, mereka semua memulai pemanasan bersa
ma-sama dengan peregangan lalu dilanjutkan dengan lari memutari lapang
an.
Saat memperhatikan mereka memutari lapangan itulah aku baru menya
dari ada beberapa murid senior yang sedang bermain basket di lapangan
sebelah. Rangga dan beberapa senior yang kulihat ada di kelasnya juga
waktu itu. Sisanya kurasa dari kelas IPS. Aku jarang melihat wajah mereka
karena kelas XII IPS berada di sisi lain gedung, dekat dengan kelas Daniel.
Aku menyadari tidak ada Kei di antara mereka. Tentu saja, dia pasti sudah
pulang.
Rangga tampaknya melihatku, karena dia menghentikan permainannya,
berpamitan dengan teman-temannya, dan berlari ke arahku.
Aku menurunkan tas Arnold dari kursi, memberikan tempat bagi
Rangga.
"Nggak langsung pulang, Alexa?" tanya Rangga sambil mendudukkan
diri di sampingku.
Aku menggeleng.
"Oi, Teddy," Rangga tiba-tiba berteriak ke arah temannya yang sedang
main basket, "jangan sampe kalah lo, kalo nggak malu-maluin!" Kemudian
Rangga menunjukku, "Ada Alexa nih!"
Teddy mulai tampang panik, tetapi Rangga tidak peduli. Dia kembali
mengajakku bicara.
"Gimana keadaan lo sama Kei?"
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku hanya tersenyum. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Bahkan
hari ini aku belum bicara dengannya sama sekali. Kalau bukan karena Kenny
yang bilang dia melihat Kei di ruang guru siang tadi, aku menyangka dia
tidak masuk. Terakhir kali aku bicara dengan Kei adalah di tangga utama
setelah kejadian kemarin. Dan bagiku itu terasa agak canggung.
"Seniman memang punya buku rahasia masing-masing, ya?" ujar Rangga
lagi.
Aku agak tidak mengerti maksudnya. "Maksudnya buku sketsa gue?"
254
254
2:46:58 PM
Rangga mengangguk. "Lo yang suka gambar, punya buku sketsa," jelas
nya, "Kei yang suka musik juga punya buku rahasia sendiri."
Aku membayangkan Kei membawa-bawa buku hitam seperti punyaku
tetapi bukan buku sketsa, rasanya agak aneh. Aku juga tidak ingat pernah
melihat Kei membawa-bawa buku khusus. "Buku rahasia apa?" tanyaku.
Rangga tersenyum. "Kei punya buku yang fungsinya kayak buku harian
pribadi," lanjutnya, "buku partitur."
KEI
Aku duduk menghadap piano dengan mata terpejam. Aku berusaha menyerap
segala hal yang kurasakan di ruangan itu sepenuhnya. Suara bising dari
lapangan di luar sana yang terbawa masuk melalui salah satu jendela yang
sengaja kubuka. Dengung mesin pendingin ruangan. Bau cat minyak, kanvas
baru, tiner, dan aroma apak dari lukisan-lukisan yang dibiarkan menumpuk
dan berdebu nyaris di setiap sudut, semua itu bercampur dengan bau kayu
yang dipernis.
Aku merekam semua itu, semua perasaan dan kenangan yang pernah
kurasakan selama berada di sini. Kemudian aku membuka mata, dan meraih
buku serta bolpoin. Sesekali aku berhenti untuk memainkan piano sebentar
sambil memandangi buku yang baru kutulisi. Aku tersenyum puas ketika
akhirnya menemukan yang kuinginkan.
Ini konklusinya, pikirku.
Kemudian ketika aku meletakkan buku tersebut di penyangga partitur dan
membalik-baliknya hingga ke halaman paling awal, secarik kertas terjatuh ke
lantai.
ALEXA
"Buku partitur?" tanya Alexa.
Rangga mengangguk. "Di awal-awal masuk SMA ini dia sering ke ruang
musik, duduk di depan piano, tapi nggak pernah dia mainin. Gue sempet
255
255
2:46:58 PM
mikir mungkin dia nggak bisa main, tapi piano itu pasti penting buat dia.
Nah, tahun lalu gue baru lihat dia bawa-bawa buku itu. Bahkan dia
sempet kepergok lagi nulis di buku itu. Gue juga sadar saat itu ternyata
dia udah mulai berani mainin pianonya," jelas Rangga.
Aku mencoba membayangkan cerita Rangga barusan. "Jadi, maksudnya
sejak dia punya buku itu dia jadi berani main piano lagi?" tanyaku.
"Bukan," jawab Rangga, "awalnya itu cuma dugaan gue. Tapi menurut
gue, belakangan ini ada hal lain yang bikin Kei tiba-tiba main piano lagi,
bahkan sampai menulis di buku partiturnya tiap kali dia merasa perlu
mencatat sesuatu."
Aku berpikir sebentar. "Ini emang selalu bikin gue penasaran dari dulu.
Jadi, apa yang bikin Kei akhirnya main piano lagi?"
Rangga tersenyum. "Sketsa."
KEI
Aku mengambil kertas tersebut dari lantai dan mengaitkannya kembali ke
halaman pertama buku partiturku. Aku memandanginya sebentar, lalu meng
alihkan perhatian pada komposisi di halaman tersebut.
Aku memejamkan mata dan tersenyum. Kedua tanganku bersiaga di atas
tuts. Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Kemudian membu
ka mata dan mulai bermain. Melodi yang kumainkan membawaku kembali
pada kenangan masa lalu. Ini bagian pertama. Suatu pembukaan. Suatu per
temuan.
Saat itu aku membantu merapikan meja dan kursi di salah satu kelas yang
baru saja dipakai untuk MOS. Ketika aku sampai di meja kedua dari depan
dekat jendela, aku menemukan buku hitam tertinggal di lacinya. Kupikir itu
pasti milik salah satu murid baru.
Aku mengambil buku itu, hendak menyerahkannya pada anggota OSIS
yang bertugas di kelas ini. Tapi buku itu menarik perhatianku. Aku mem
perhatikan kertasnya yang tebal dan setengah halamannya yang tampak lebih
kusam daripada setengah sisanya, menandakan buku itu sudah setengah terisi.
Aku tergoda untuk membukanya.
256
256
2:46:58 PM
Di halaman pertama aku menemukan sketsa karakter wanita pejuang, mi
rip gambar-gambar anime atau komik. Aku terus membalik halamannya dan
menemukan gaya penggambaran yang sama dengan model yang sama. Yang
terpikir olehku saat itu adalah mungkin si pemilik ingin menjadi animator.
Di halaman selanjutnya aku melihat goresan pensil yang membentuk gambar
wajah seseorang yang terkenal, Brad Pitt. Aku membalik lagi dan menemukan
sketsa Johnny Depp, Daniel Radcliffe, dan actor terkenal lainnya.
Aku tertawa pelan. Aku merasa bisa menebak kepribadian pemilik buku
sketsa ini: cewek yang sangat mengagumi komik atau anime dan aktor-aktor
Hollywood. Aku menebak hal itu bukan hanya dari objek gambarnya, tapi
juga karena aku menyadari goresan pensilnya yang halus dan penuh kehatihatian. Satu hal yang tidak bisa kutebak adalah apakah cewek ini juga manis
atau cantik seperti gambar-gambarnya yang bagus ini. Kalau itu benar dan
aku bisa berkenalan dengannya, Rangga pasti iri setengah mati.
Aku terus membolak-balik buku sketsa tersebut dan ketika membuka halam
an selanjutnya, aku merasa jantungku berhenti sesaat. Kertas robekan halaman
notes kecil terselip di dalamnya dan aku menatap gambar laki-laki yang
sedang bermain piano, dengan tubuh yang tegap tetapi terlihat rileks, matanya
terpejam dan bibir yang membentuk senyum, seolah menikmati musik yang
dia hasilkan sendiri.
Aku sadar itu hanya gambar dua dimensi, tetapi aku bisa merasakan emosi
nya. Aku ingin jadi seperti itu. Sejak kecil aku selalu membayangkan diriku
seperti itu. Tetapi aku telah melepaskan impian tersebut beberapa tahun lalu.
Aku sadar gambar itu membuatku iri, membuatku ingin melanjutkan apa
yang belum aku selesaikan dulu.
BRAK.
Pintu kelas tiba-tiba terbuka dan aku menatap seorang cewek yang terlihat
nyaris kehabisan napas. Dia berdiri diam sambil berpegangan di pintu dan
berusaha mengatur napas.
Aku sadar mungkin dia pemilik buku sketsa yang kupegang ini. Tanpa
sadar tangan kananku langsung bergerak meraih gambar pianis tersebut dan
menyembunyikannya di balik punggung.
Aku memperhatikannya. Apa dia baru saja berlari dari lantai dasar sampai
ke kelas ini? Dia melihatku dan sadar aku sedang memegang buku sketsa yang
257
257
2:46:58 PM
dia cari. Dia langsung berlari ke arahku dan ketika tampak akan mulai bica
ra, aku menutup buku sketsa itu dan menyerahkannya. Dia menerimanya,
wajahnya begitu lega.
"Thank you," ucapnya sambil tersenyum.
Aku memperhatikan cewek di hadapanku. Senyum membuat wajahnya
tampak begitu manis dengan pipi merona merah karena panas akibat berlari.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa sehingga hanya mengangguk. Kemudian
dia berbalik, memasukkan buku sketsanya ke tas dan mulai berjalan menuju
pintu. Aku memperhatikan rambut hitam panjangnya yang tergerai ringan di
punggung, berayun seiring langkahnya.
Cewek itu sudah pergi, tetapi aku masih menatap ke arah pintu. Aku lalu
sadar masih menggenggam sketsa miliknya. Sekali lagi aku mengagumi gambar
itu dan sekali lagi aku memandang pintu. Aku baru saja bertemu dengan
orang yang membuat gambar ini. Kali ini, dialah yang menarik perhatianku.
Sekali lagi aku menunduk dan melihat tanda tangan di bawah gambar itu:
Alexa.
ALEXA
"Ah, gambar piano gue!" Aku baru ingat. "Ternyata ada di dia?"
Rangga mengangguk. "Gue lihat buku itu di laci mejanya tadi pagi.
Waktu gue buka, ternyata ada gambar itu dan akhirnya dia ceritain ke
gue."
"Tapi sebenarnya itu Chiaki Shinichi" jawabku pelan.
"Apa?"
"Sebenarnya waktu itu gue baru nonton drama Jepang, Nodame
Cantabile, dan gue suka tokoh utama di film itu makanya waktu bosen di
kelas akhirnya gue gambar," jelasku.
"Lo suka banget sama drama itu sampe lo gambar karakternya?" tanya
Rangga sambil menatapku aneh.
"Suka banget!" jawabku bersemangat. "Apalagi Chiaki-senpai keren ba
nget, waktu dia main piano, main biola, bahkan waktu jadi conductor"
258
258
2:46:58 PM
Rangga tiba-tiba tertawa. "Yah, apa pun niat awal lo, ternyata gambar
itu yang bikin dia mau coba main piano lagi."
Ya. Dia benar. Aku tidak menyangka kejadiannya seperti ini.
"Nah, sejak saat itu gue rasa dia mulai penasaran sama lo," lanjut
Rangga lagi dengan santai, mengangkat kedua kaki, duduk bersila di kursi.
"Inget waktu lo ikut tanding futsal antarkelas?"
Aku mengangguk. Kei juga pernah menyinggung hal ini ketika bercerita
tentang Teddy.
"Teddy emang yang waktu itu heboh banget komentarin permainan lo,
sampe dia tanya ke anak-anak nama lo siapa. Nah, yang lain sih nggak
denger, tapi karena gue di samping Kei, gue denger dia jawab "Alexa" pe
lan banget. Abis itu dia pergi, mungkin dia nyadar kalo gue perhatiin
tingkahnya."
Aku menatap Rangga tak percaya. Selama ini aku selalu mendengar versi
yang berbeda. Kei selalu menceritakannya dari sudut pandang orang lain,
tapi kalau mendengar versi Rangga yang menceritakannya dari sudut pan
dang Kei, aku semakin ingin tahu. Aku ingin tahu apa yang dia pikirkan
tentangku. Aku senang dia mencari tahu tentangku. Mendengarkan cerita
Rangga seperti ini membuatku semakin berdebar-debar.
"Oh, ada lagi," Rangga melanjutkan, tampaknya senang membicarakan
teman baiknya ini, "nggak lama abis itu lo sering bawa gitar, kan?"
Aku mengangguk bersemangat. Aku juga ingat Kei pernah menyinggung
hal ini.
"Teddy tiba-tiba dateng ke kelas dan bilang dia baru aja lihat lo bawabawa gitar. Di tengah-tengah ocehannya tentang lo yang bisa main bola
dan gitar, Kei tiba-tiba nyahut lagi kayak sebelumnya. Dia bilang, "Dan
bisa gambar". Abis itu dia pergi lagi karena tahu gue denger omongan
dia."
Aku tidak bisa menahan senyum. Selalu lucu kalau mendengarkan cerita
yang berkaitan dengan hubungan dua sahabat ini. Aku bisa membayangkan
ekspresi dan gestur mereka saat kejadian itu berlangsung.
"Waktu itu gue memutuskan," tambah Rangga dengan lagak konyol,
lalu membusungkan dada, "perilaku Kei yang antara sotoy atau beneran
kenal lo itu harus diselidiki. Masalahnya, gue nggak pernah lihat dia ngob
259
259
2:46:58 PM
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rol sama lo, makanya gue juga jadi penasaran. Penyelidikan resmi gue
dimulai waktu dia balik ke kelas sambil senyum-senyum sendiri abis
istirahat kedua."
Aku mengangkat bahu. "Mungkin dia berhasil main satu komposisi de
ngan baik?"
Rangga menggeleng. "Pernyataan dia waktu itu yang aneh."
Aku menatap Rangga penasaran. "Apa?"
"Dia bilang ?I can?t stop smile-ing?."
"Hah?"
"Iya, jadi dia ngucapinnya begitu. Yah, nggak sejelek gue sih, dia ngo
mongnya lebih bagus lagi daripada gue sekarang. Tapi yang jelas dia nggak
bilang ?smiling?, tapi ?smile-ing?. Ada nada panjang setelah kata ?smile? sebe
lum akhirnya lanjut ke ?-ing?."
KEI
Aku tidak bisa berhenti tersenyum. Ironisnya, ada setitik kesedihan yang terasa
di lagu ini. Itu karena aku ingat ekspresi sedih Alexa yang kulihat melalui
sela-sela sekat ruang musik saat itu. Aku lalu ingat senyum Alexa ketika
pertama kali bertemu dengannya. Orang yang mampu membuat gambar
penuh perasaan seperti itu tidak seharusnya bersedih, karena itulah aku
memutuskan untuk memainkan lagu karya Charlie Chaplin tersebut. Aku
berharap bisa melihat senyum Alexa lagi.
Tapi bahkan ketika aku memainkan lagu tersebut, aku tidak hanya ber
usaha menghibur Alexa, aku juga menghibur diriku sendiri.
Aku memainkan pianoku sedikit lebih riang. Bagian ini mewakili ke
adaanku saat itu. Aku merasa panik sekaligus tidak bisa menyembunyikan
kebahagiaanku.
Aku masih tersenyum.
Itu adalah kedua kalinya aku berinteraksi dengan Alexa.
***
260
260
2:46:58 PM
ALEXA
Aku tidak bisa berhenti tersenyum.
"Jadi, lo nggak nemu jawabannya waktu itu?"
Rangga menggeleng. "Itu kan masih awal penyelidikan. Nggak heran
dong. Tapi gue yakin pasti berhubungan sama lo. Apa lagi dengan tingkah
lo yang kayaknya seneng banget begini."
Rangga gantian memperhatikanku dengan saksama, tapi aku tidak akan
cerita. Aku tahu jelas makna "smile-ing" yang Kei ucapkan pada Rangga.
"Terus, selanjutnya?"
"Ya, menurut gue dia pasti sering perhatiin lo, makanya tahu tentang
lo, jadi gue perhatiin tingkah dia," jawabnya dengan lagak seorang genius
sambil menopang dagu.
"Oke," aku berpura-pura berpikir keras, menanggapi tingkahnya yang
konyol, "biar gue simpulin. Jadi, lo perhatiin gerak-gerik Kei yang lagi
perhatiin gerak-gerik gue?"
Rangga tertawa. "Betul. Dan belakangan Kei sadar kalo gue lagi per
hatiin dia. Lo sendiri pernah ngerasa kayak lagi diperhatiin orang
nggak?"
Aku berpikir sebentar. Aku tidak merasa pernah diperhatikan Kei, tapi
kalau maksud Rangga apakah aku pernah merasa ada seseorang yang terusmenerus mengamatiku
"Oh!"
KEI
Aku ingat setelah kejadian di ruang musik, aku tidak yakin apakah Alexa
mengetahui bahwa orang yang memainkan Smile itu aku. Karena itu, aku
jadi lebih sering memperhatikannya. Aku tidak yakin apakah Alexa tahu ten
tang aku, bagaimana reaksinya kalau kami berpapasan, dan bagaimana aku
harus bersikap kalau dia memang ingat aku.
Saat itu Alexa dan teman satu kelompoknya sedang mengerjakan tugas
261
261
2:46:58 PM
kelompok di salah sudut perpustakaan. Aku agak kesal dengan teman-teman
satu kelompokku yang malah memilih membaca komik daripada membantuku
mengerjakan tugas. Aku baru saja menegur Rangga yang tertawa berlebihan
ketika aku melihat Alexa berjalan memasuki perpustakaan.
Aku refleks menunduk. Aku takut Alexa melihatku, tapi aku sadar aku
berada di antara banyak orang sehingga Alexa tidak mungkin menyadari ke
beradaanku. Lagi pula, belum tentu dia mengenaliku.
Kemudian kulihat dia tampak mencari-cari orang di sekeliling per
pustakaan. Aku kembali menunduk. Lagi-lagi aku merasa bodoh. Belum tentu
Alexa akan mengenaliku. Ketika perlahan-lahan aku memberanikan diri melirik Alexa sekali lagi, aku melihatnya berbicara dengan seorang cowok.
Aku langsung merasa miris. Alexa ternyata mencari orang lain.
ALEXA
"Jadi, itu Kei?" tanyaku lagi memastikan.
Rangga mengangguk. "Gue tahu dia lagi kesel, makanya gue curiga wak
tu dia tiba-tiba diem. Pas gue lihat-lihat lagi, ternyata lo baru masuk ke
perpus." Dia tertawa.
Aku menggali kembali ingatanku belakangan ini.
"Jadi, waktu gue ngobrol di depan ruang guru sama Rieska itu
juga?"
"Oh!" Rangga tiba-tiba menyahut. "Gue inget, waktu itu kayaknya gue
bareng sama anak-anak lewat di depan lo, terus"
"Waktu gue di depan ruang guru abis istirahat kedua ngobrol sama
Vivi"
"Ah, itu kejadian yang mana, ya?"
"gue inget lihat lo dan rombongan lo baru dari lantai atas."
Rangga mengangguk-angguk, tapi wajahnya terlihat berpikir keras dan
mencoba mengingat-ingat. Tapi bukan itu yang menjadi perhatianku.
Waktu itu aku merasa Daniel-lah yang memperhatikanku, dan selama ini
setiap kali aku merasa diamati, aku berkesimpulan bahwa itu Daniel karena
aku selalu bertemu dengannya, bukan Kei. Kenapa semuanya begitu kebe
262
262
2:46:58 PM
tulan seperti ini? Karena merasa itu Daniel aku jadi yakin Daniel memiliki
perasaan padaku. Padahal saat itu saat itu aku sedang berbicara dengan
Vivi! Kalau begitu benar, Daniel sudah memiliki perasaan terhadap Vivi
bahkan dari waktu itu, dan orang yang sebenarnya memperhatikanku ada
lah Kei, bukan Daniel.
Aku merasa benar-benar bodoh.
KEI
Musik yang menggema di ruangan itu mulai memelan, tapi masih terus
berlanjut. Aku membalik halaman buku partiturku. Dan sekali lagi melodi
yang kumainkan membawaku ke kenangan yang lalu. Kenangan ketika aku
akhirnya berkenalan dengan Alexa, ketika dia akhirnya mengetahui
namaku.
Aku tahu dia akan menghabiskan banyak waktu di ruang lukis karena
permintaan lukisan untuk Porseni. Dan aku ingin menemaninya. Yang tidak
kuduga, Alexa mengajakku bicara. Walaupun melalui bertukar pesan dengan
kertas, itu cukup membuatku berdebar-debar. Aku tidak bisa menahan
senyum.
Aku ingin menjadi orang yang bisa mendukung Alexa. Sama seperti Alexa
yang membantuku bermain piano kembali.
Sayangnya, ada orang lain yang lebih penting baginya.
ALEXA
"Oh, jadi karena ini dia tahu tentang Teddy dan Aldo? Karena dia sendiri
juga suka perhatiin gue?"
"Yah, ibaratnya kayak sesama predator yang saling menyadari keberadaan
saingannya gitu," jawab Rangga santai. "Tapi Kei jago karena bisa nyembu
nyiin perasaannya, sebelum akhirnya belakangan ini jadi terang-terangan
banget."
"Jadi maksudnya gue mangsanya, gitu?"
263
263
2:46:58 PM
"Tenang, Alexa," Rangga menepuk-nepuk bahuku. "Mangsa di sini mak
sudnya ?mangsa cinta?." Rangga tertawa.
Aku geli mendengarnya. "Tapi kalau Teddy kan teman sekelasnya sen
diri, yang gue heran kenapa dia bisa tahu tentang Aldo?"
"Ah, kalau Aldo mah keliatan," jawab Rangga santai. "Sejak lo bantu
dia pas MOS, dia mulai kelihatan sukanya."
"Oh, ya? Tahu dari mana?"
Rangga memandangku dengan tatapan sok bijak. "Alexa, cewek itu
kalau lagi jatuh cinta kelihatan dari senyumnya, sedangkan cowok kalau
lagi jatuh cinta keliatan dari tatapannya. Lo sendiri nggak lihat cara Kei
mandang lo?"
Kalimat Rangga barusan membuatku tertegun. Aku tidak pernah menyadarinya. Tapi kalau dipikir-pikir benar juga. Aku pernah melihat Selwyn
memandang murid kelas sebelah yang dia taksir dengan tatapan yang
berbeda. Ada kelembutan di matanya. Tapi aku tidak memperhatikan bagai
mana cara Kei menatapku.
Argh, aku benar-benar tidak peka. Kalau aku jadi Kei, tentu saja aku akan
sebal kalau orang yang kusuka sama sekali tidak menyadari perasaanku. Yah,
dilihat dari sudut pandangku, sebenarnya itu masuk akal. Saat itu aku tidak
memperhatikan hal lain karena hanya ada Daniel di hatiku.
Meski Kei mengetahui bagaimana perasaanku terhadap Daniel, dia bah
kan membantuku menenangkan diri ketika aku bermasalah dengan Daniel
dan Vivi. Bahkan ketika aku menangis karena mereka akhirnya jadian, Kei
bersedia menemaniku saat itu. Dia tidak berusaha memaksakan perasaannya
padaku dan malah membiarkanku tetap menyukai Daniel. Aku tahu benar
betapa menyakitkan hal itu.
"Argh! Bego banget sih gue!" Rangga menatapku heran. "Kenapa lo
baru cerita sekarang?!" bentakku.
"Mending gue cerita daripada nggak sama sekali, lagian kemarin-kemarin
kan lo lagi ada masalah juga sama Vivi."
"Tapi kalau begini kan telat, Kei udah keburu pulang dan gue baru bisa
ketemu lagi hari Senin nanti. Nggak enak kalo ditahan sampe minggu de
pan, uuuuuhhh coba kalo dia nggak langsung pulang."
"Siapa bilang dia udah pulang?"
264
264
2:46:58 PM
Aku langsung menatap Rangga. "Emang begitu, kan? Tantenya nggak
mau dia latihan piano di sekolah makanya langsung jemput dia tiap pulang
sekolah?"
"Lho? Emang gue belum bilang, ya?" Rangga memasang tampang ling
lung. "Semalem masalah dia sama tantenya udah selesai. Kei boleh sekolah
musik dan larangan latihan pianonya dicabut"
"Oi, vokalis lima miliar," kataku sambil merenggut bagian depan kemeja
Rangga. "Kenapa nggak bilang dari tadi?!?!"
"Sa-sa-santai, Alexa, lo bisa datengin orangnya di ruang"
Aku tidak peduli dengan omongannya. Aku langsung meraih tas dan
berlari menuju pintu pagar.
"Oi, Teddy," kudengar Rangga berteriak ke seberang lapangan. "Pupus
sudah cinta lo, bro!"
KEI
Aku berdiri kaku ketika Alexa berdiri di hadapanku, menggeser dinding
pembatas yang selama ini memisahkan kami. Alexa menatapku, tapi aku
yakin, bukan aku yang terpantul dalam bayang kesedihan yang tampak di
matanya.
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Itu pertama kalinya Alexa menceritakan isi hatinya. Yang membuatku
sedih, hatinya hanya terisi oleh sosok lain. Namun yang dibutuhkan Alexa
saat itu adalah teman yang mampu menyemangati dan memberikan saran,
dan itulah yang kulakukan. Saat itu, tidak ada hal yang lebih baik dari
Alexa yang tiba-tiba menggenggam tanganku dan berterima kasih. Saat itu
yang ada di pikiranku hanyalah "tidak masalah, seperti ini juga bagus".
Setidaknya untuk saat itu, aku berniat selalu berada di sisi Alexa, selalu
memberinya dukungan. Melihat Alexa yang begitu bahagia dan mampu terse
nyum kembali sudah cukup bagiku. Bahkan mendengar cerita Alexa tentang
perasaannya terhadap Daniel yang berbalas membuatku yakin mereka akan
bahagia bersama.
Pagi itu aku begitu gelisah. Aku menunggu Alexa di kantin lantai dua dan
melihat Daniel dan Vivi. Mereka bergandengan tangan dan aku tahu apa
265
265
2:46:59 PM
artinya. Ketika aku menyadari Alexa juga melihat hal itu, hatiku begitu sakit.
Aku hanya bisa menatap Alexa yang segera berlari menuju pintu utara. Aku
memanggilnya berkali-kali, tapi dia tidak mengacuhkanku.
Bahkan saat siang hari ketika aku menemukan Alexa duduk di ruang lukis
sambil menatap ke luar jendela, aku tahu dia butuh teman. Ketika dia mema
sang ekspresi kaku, aku tahu dia menahan kesedihannya di dalam hati.
Apa yang bisa menyembuhkan seseorang yang sedang patah hati? Aku hanya
ingin menyampaikan bahwa tidak masalah kalau Alexa ingin menangis
sepuasnya, karena itu aku menepuk kepalanya, berusaha menenangkannya.
Ketika akhirnya Alexa menangis di sisiku, aku menyadari satu hal. Aku
benar-benar menyayanginya.
ALEXA
Tangga utama rasanya tak pernah setinggi ini. Bahkan melompati dua anak
tangga sekaligus hanya membuatku dua kali lipat lebih lelah.
Tapi aku tidak boleh menyerah. Demi semua kenangan yang terjadi di
tangga utama ini. Kei yang menyelamatkanku ketika Daniel yang baru saja
jadian dengan Vivi memanggilku. Aku yakin dia sengaja menungguku pagi
itu dan ketika melihatku, dia sengaja mendatangiku agar aku tidak semakin
sakit hati gara-gara pasangan itu. Kei yang menceritakan tentang keluarga
dan pianonya kepadaku. Kei yang menepis tanganku dan meninggalkanku.
Kei yang tersenyum dan menepuk kepalaku kemarin.
Dia menungguku. Selama ini dia yang selalu datang kepadaku, mem
bantuku dengan sepenuh hati, melindungi bahkan tanpa kuminta.
Kali ini aku yang akan datang kepadanya.
Lift berhenti di lantai empat! Ada apa dengan orang-orang di sekolah
ini?
Pada saat genting seperti ini selalu saja terjadi hal-hal tidak masuk akal.
Apa yang sedang dilakukan penghuni sekolah ini sampai harus menahan
lift di lantai empat?
266
266
2:46:59 PM
Aku menoleh ke kiri dan menatap tangga yang terasa begitu tidak bersa
habat. Tangga. Tangga. Kata itu berulang terus-menerus di dalam kepalaku
sampai rasanya tidak ada artinya lagi.
Apa benar cinta butuh pengorbanan?
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya.
Run for your love, Alexa!
Perasaan ini tidak bisa menunggu, tapi aku telah membuat Kei menung
gu lebih lama. Sekarang aku baru menyadari aku begitu membutuhkannya,
bahwa aku selalu bergantung padanya. Dan dialah yang memberikan apa
yang kubutuhkan. Dia memahami apa yang kurasakan. Saat itu aku terlalu
fokus pada satu hal, padahal tanpa kusadari ada pintu lain yang terbuka.
Tapi dia sendiri mungkin tidak sadar berhasil membuatku perlahan berpa
ling.
Anak tangga ini seolah tidak ada habisnya. Perutku terasa nyeri, tapi
masih ada dua lantai lagi. Sebagian diriku mengatakan dia tidak akan pergi
ke mana-mana. Hanya saja sebagian diriku yang lain takut aku tidak akan
bertemu dengannya.
Ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan, tapi aku tidak tahu harus
mulai dari mana. Aku juga tidak tahu bagaimana harus mengatakannya.
Aku tahu Kei selalu memahami apa pun yang kurasakan. Sayangnya, aku
tidak bisa mengharapkan dia bisa membaca perasaanku sepenuhnya. Dia
tidak akan percaya kalau tidak mendengarnya langsung dari mulutku. Aku
juga tidak ingin dia berpikir aku masih menyimpan perasaan pada orang
lain. Aku harus menegaskannya.
Tinggal dua lantai lagi, Alexa.
KEI
Aku bermain semakin cepat. Musik yang kumainkan menggambarkan keru
mitan emosiku. Mataku terpejam, meresapi bayangan yang muncul dalam
kepalaku melalui melodi yang kuhasilkan. Semua pengalaman buruk itu
terekam dalam komposisi ini dan memainkannya lagi rasanya seolah meng
ulang kembali pengalaman tidak menyenangkan tersebut.
267
267
2:46:59 PM
Ketika pikiranku hanya dipenuhi Alexa tanpa mampu benar-benar memi
likinya; gangguan otot di tangan kiriku kembali kambuh; Tante yang
menghukumku karena bermain piano tanpa izin; Alexa yang kembali dekat
dengan Daniel hanya dalam waktu tiga hari selama aku absen; amarah
yang kutujukan kepada Alexa; penyesalan karena tidak mampu melindungi
nya; perasaan yang menerpaku ketika aku merasa kehilangan semuanya,
impian, piano, dan orang yang kukasihi.
Aku lupa diri. Aku lepas kendali. Itu kedua kalinya aku benar-benar
kehilangan kendali dan membiarkan diriku dikuasai emosi yang begitu
besar. Padahal aku selalu membangun diriku untuk menjadi pribadi yang
tenang dan memakai logika, tapi tidak kali itu.
Memaksakan perasaanku kepada Alexa merupakan hal yang paling
kutakutkan. Dan merupakan kesalahan terbesar.
Kata-kata yang Alexa ucapkan di depan Daniel dan Vivi menyadarkanku.
Tidak hanya Alexa yang telah memengaruhi diriku, tetapi perlahan-lahan
aku pun memengaruhinya. Wajah Alexa yang begitu serius dan mengatakan
bahwa semua ucapan tentang diriku memang benar, dan tidak akan pernah
kulupakan.
Alexa begitu penting bagiku. Kemauannya yang keras dan tidak berla
ma-lama bersedih ketika terpuruk, keinginannya yang kuat untuk bangkit
kembali, semua itu ditambah sketsa pianis miliknya membuatku mau me
langkah maju. Dan kenyataan itu tidak akan pernah berubah.
Aku menatap tangan kiriku yang bergerak lincah dan seirama dengan
tangan kananku. Aku tersenyum. Aku telah menemukan kembali "tangan
kiri"-ku.
ALEXA
Lantai tujuh, akhirnya. Lantai ini sudah sepi, semua penjual di kantin su
dah pulang. Rasanya begitu sunyi dan kosong tetapi karena itulah alunan
musik terdengar lebih jelas saat ini.
Piano. Untunglah, Kei belum pulang.
Aku berjalan pelan menyusuri koridor, menuju pintu terdekat ke ruang
268
268
2:46:59 PM
musik. Aku memegang gagang pintu dan berhenti sebentar. Musik itu
terdengar lebih keras.
Kemudian aku membuka pintu perlahan.
Saat itu juga musik yang begitu keras menyambutku. Di ruangan itu,
hanya satu jendela yang tirainya dibiarkan terbuka. Sinar matahari yang
masuk membuat siluet Kei begitu jelas.
Kei masih memainkan pianonya, yang berarti dia tidak menyadari keber
adaanku.
Dengan perlahan dan tanpa suara, aku pun masuk. Mataku terpaku
pada punggung itu. Punggung yang selalu kuperhatikan tiap kali dia
memainkan lagu untukku, yang belakangan sering kulihat berjalan men
jauhiku. Punggung milik seseorang yang selalu berpikir dia cukup kuat
menanggung segala masalah seorang diri, yang dengan mudah memahami
orang lain, tapi sulit membuka diri dan dimengerti orang lain.
Walaupun butuh waktu untuk menyadarinya, aku tahu Kei telah men
jadi orang yang begitu penting bagiku. Dan akhirnya aku tahu sudah sejak
lama aku menjadi orang yang begitu penting baginya.
Musik ini, aku memejamkan mata, dimainkan lebih pelan daripada sebe
lumnya. Seakan memasuki antiklimaks, permainannya yang tenang seolah
ingin mengatakan dia telah mencapai kesimpulan. Permainannya kembali
menyenangkan, sederhana tetapi riang.
Aku membuka mata dan menghampirinya. Ini sama seperti waktu itu,
ketika terakhir kali kami berada di ruangan ini namun dia tidak menyadari
keberadaanku. Perbedaannya, saat itu dia bermain dengan begitu frustrasi
dan begitu terbebani. Namun saat ini dia tampak begitu ringan, begitu
damai, seolah telah menemukan jawaban.
Tangan kirinya. Itu yang berbeda. Sebelumnya tangan kirinya selalu
membuatnya berhenti di tengah permainan. Dia selalu menatap tangan
kirinya dengan sedih dan aku tahu dia pasti takut itu akan mengancam
impiannya.
Apakah Kei telah menemukan jawaban untuk masalahnya?
***
269
269
2:46:59 PM
KEI
Permainanku kian melambat, kini memasuki koda. Namun tiba-tiba aku
merasakan tangan kiriku disentuh seseorang
Brak!
Aku terlonjak. Suara debum kaki-kaki kursi piano masih menggema
pelan.
Ruangan mendadak menjadi lebih hening.
Rasanya sulit memercayai pemandangan di depanku.
Suasana terasa canggung. Aku bisa merasakan jantungku berdebar begitu
kencang. Kami saling menatap dalam diam. Sesaat aku tidak bisa berpikir
dan mengatakan apa-apa. Ketika akhirnya sadar dari keterkejutanku, aku
menatap sekeliling ruangan dengan linglung. Aku tidak menyangka akan
melihat Alexa saat ini, sosok yang selalu menghiasi benakku, inspirasi kom
posisi yang sesaat lalu kumainkan.
ALEXA
Aku bisa menyadari Kei gugup. Aku juga.
Aku tidak menyadari apa yang baru saja kulakukan. Aku hanya ingin
menyentuh tangannya. Seharusnya aku tahu dia pasti terkejut.
Jantungku tidak bisa berhenti berdegup cepat.
Semua yang telah kupikirkan selama aku berjalan ke sini, kata-kata yang
telah kusiapkan, semuanya terhapus begitu saja dari pikiranku. Aku juga
tidak berani menatap wajahnya.
Aku harus mengatakan sesuatu. Aku mengepalkan tangan dan meman
tapkan diri. Aku membuka mulut.
"Alexa."
Kei menyadari aku baru saja hendak bicara, karena itu dia langsung
mempersilakanku bicara lebih dulu.
"Ah, nggak apa-apa. Duluan aja," balasku. Suasana terasa semakin
kaku.
270
A Song For Alexa Karya Cynthia Isabella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
270
2:46:59 PM
Kei menggeleng. Dia tetap memaksaku bicara lebih dulu.
Aku mengerti. Karena itulah aku menunjuk tangan kirinya. "Tangan
kirinya," aku memulai, "udah sembuh?"
Kei menatap tangan kirinya. Dia tersenyum, lalu mengangguk pelan.
Sudah kuduga. Dia berhasil memecahkan masalahnya.
"Ah, untunglah," sahutku. Aku benar-benar lega. Aku memang tidak
tahu persis apa yang dia alami, tapi untunglah tangannya sudah kembali
normal. Aku bisa melihat penderitaannya ketika dia memaksakan diri ber
main dengan tangan kirinya yang bermasalah. Walaupun saat itu aku
sendiri sedang tertekan, aku bisa melihat jelas kekhawatirannya.
Aku tidak terlalu memperhatikan apa yang kuucapkan, tapi tampaknya
aku membuatnya terkejut.
"Alexa," ucapnya sekali lagi, lebih pelan. Kemudian dia maju selangkah.
Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan, tapi tindakannya membuat
ku kembali berdebar-debar. Dia menatapku, tapi aku memalingkan muka,
tidak ingin dia menyadari kegugupanku.
Dan saat aku mengalihkan perhatianku itulah aku menyadari sesuatu.
Buku partitur milik Kei. Buku itu terbuka pada pertengahan halaman, tapi
bukan itu yang menarik perhatianku. Aku bisa melihat secarik kertas men
cuat dari halaman depan buku tersebut. Aku merasa mengenalnya. Aku
mengambil buku itu.
"Jangan"
Terlambat, aku sudah mengambil buku itu dan mengitari piano karena
Kei berusaha merebutnya dariku. Kalau memang seperti yang Rangga
bilang, buku partitur ini seperti buku sketsaku, aku pasti bisa mengetahui
apa yang ada dalam pikiran Kei melalui isi buku itu. Kei masih berusaha
merebutnya. Aku tersenyum melihat wajahnya yang terlihat panik.
"Jadi, ini buku yang Rangga bilang."
Kei tampak pasrah dan hanya menatap dari sisi lain piano. Mungkin
menyesali apa pun yang telah dia katakan kepada Rangga.
Aku mulai membalik-balik halaman buku itu sambil berjalan mengitari
piano, menjauhi Kei.
"Tunggu" ujar Kei, tapi aku tidak mendengarkan.
Buku ini benar-benar menarik perhatianku. Tentu saja aku tidak bisa
271
271
2:46:59 PM
membaca not balok, tapi dari goresan pulpen yang Kei buat, semuanya
berbeda-beda. Dia menuliskan tanggal yang berbeda pada beberapa halaman.
Dia juga menggunakan warna pulpen yang berbeda, membuktikan dia
membuat ini dalam waktu yang lama, perlahan-lahan, seperti menuliskan
apa yang dia rasakan pada satu waktu tertentu.
"Barusan main komposisi ini?" tanyaku. "Kei yang buat sendiri?"
Kei tetap diam. Wajahnya terlihat panik sambil mengawasiku membukabuka bukunya. Buku partitur itu seperti buku hariannya, segala kejadian
yang berhubungan dengan sesuatu yang dia simpan dalam bentuk kenang
an berupa melodi, yang akhirnya dia gabungkan menjadi satu komposisi.
"Apa judulnya?" tanyaku lagi. Aku membuka halaman pertama untuk
mencari judulnya, tapi kemudian menemukan kertas lain. "Gambar ini!"
teriakku. Aku kenal betul gambar tersebut, rasanya sudah lama sekali aku
tidak melihatnya. Aku melepas gambar itu dari penjepitnya dan meletakkan
buku Kei di atas piano. "Pantesan waktu gue bilang gambar gue hilang"
Tanpa kusadari Kei mendekat ke arahku dan tiba-tiba menarik tanganku
dan memelukku.
Saat itu juga segalanya terasa kosong. Aku hanya merasakan keberadaan
nya. Entah berapa lama kami diam seperti itu, tapi pelukannya jelas meng
ungkapkan berbagai hal. Itulah ungkapan atas berbagai hal yang dia pen
dam selama ini. Dan aku memahaminya. Waktu pun terasa berhenti,
seolah mengizinkannya mengungkapkan lebih banyak.
Aku baru hendak membalas pelukannya ketika tiba-tiba Kei melepas
kanku, dan menjauh. Dia hanya menatapku. Aku membalas tatapannya.
Napasku tertahan, tetapi kemudian dia meraih tanganku dan menun
tunku ke bangku piano. Dia lalu duduk di sampingku dan membuka buku
partiturnya, lalu mulai memainkan komposisi tersebut dari awal.
Musik yang lembut menggema dalam ruangan itu.
Aku tidak bisa membaca not balok. Tapi aku bisa membaca perasaannya.
Kebahagiaan, kesedihan, sakit hati, dendam, keputusasaan, emosi yang ter
tahan, keberanian, keyakinan. Aku tidak hanya mendengar semua itu mela
lui permainannya, tapi juga melihatnya melalui ekspresi wajah, gestur
tubuhnya, gerakan jemarinya. Dia mengatakan sesuatu dan kali ini aku
mendengarkan. Kali ini aku ada untuknya.
272
272
2:46:59 PM
Kei masih bermain di sampingku dan aku masih terhipnotis oleh musik
nya.
"Kei."
"Hm?"
"Apa judulnya?"
Tidak ada jawaban yang muncul, tapi musik tetap mengalun. Terus
seperti itu sampai akhirnya Kei bersuara.
"Alexa."
Aku menoleh.
Kei menatapku.
"Judulnya Alexa," jawabnya pelan. Lalu dia menghentikan permainannya
dan terus menatapku.
Saat itu juga aku mengerti apa yang Rangga maksud dengan "tatapan
orang yang jatuh cinta". Aku melihatnya saat ini. Dia menatapku lekat-le
kat seakan berusaha melihat diriku apa adanya. Aku juga bisa melihatnya,
pintu yang terbuka lebar menuju isi hatinya.
Dan sepasang mata itu perlahan mulai mendekat.
Aku memejamkan mata. Aku tahu kali ini tidak akan seperti sebelum
nya. Kali ini perasaannya tulus dan jujur.
273
Tamat
Wiro Sableng 075 Harimau Singgalang Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita Century Karya Sarah Singleton
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama