Ceritasilat Novel Online

Adji Tameng Wadja 2

Adji Tameng Wadja Karya Hartanto Ps Bagian 2

sikap Sindu tadi dan bahkan lantas memerintahkannya untuk meneruskan

pekerjaan Sindu mencambuk Windu Segara.

Oleh karena dipengaruhi olah perasaan terkejut. maka Prana

nampak tertegun.

?Prana, kenapa ragu-ragu? Ayo teruskan pekerjaan Sindu! Cambuk

Windu Segara, hingga mengakui kesalahannya!" terdengar Sri

Amangkurat mengulangi perintahnya dengan suara yang menggemuruh.

Prana seperti dibangunkan dari impian yang menakutkan.

?Ba ..... baik gusti pangeran." terdengar jawabnya terbata-bata

sambil berjalan kearah cambuk yang tadi dipergunakan oleh Sindu dan

kini terletak ditanah.

Cambuk itu segera dipungutnya. Setelah itu Prana lantas bersiap

menjalankan tugas.

Sekali lagi terdengar suara geletar cambuk memecah kesunyian.

Ujung cambuk yang dipegang Prana melejit menyambar tubuh

Windu Segara. Dan . . . sekali lagi terjadi peristiwa yang mengejutkan.

Bersamaan dengan tersentuhnya tubuh Windu Segara oleh ujung

cambuk yang dilucutkan Prana, terdengar jerit tertahan. Tetapi jerit itu

bukan berasal dari Windu Segara yang kesakitan melainkan berasal dari

Prana. Dan suara jerit itu bersamaan dengan terpentalnya tubuh Prana

kebelakang yang kemudian dikuti dengan terlepasnya cambuk dari

tangan Prana.

Tumenggung Nirbita betul-betul terkejut. Kali ini tidak disertai

prasangka bahwa sikap Prana itu adalah sandiwara

Prana adalah salah seorang prajurit Singasari yang berhasil

menangkap basah Windu Segara melakukan perbuatan hina itu. Maka

dapat dipastikan kalau Prana memiliki rasa tidak senang pada Windu

Segara. Bukankah dengan perbuatan Windu Segara itu nama prajurit32

Singasari jadi tercemar? Berdasar sikap Prana terhadap Windu Segara itu

maka Tumenggung Nirbita yakin kalau perintah Sri Amangkurat untuk

mencambuk Windu Segara akan ia jalankan sebaik-baiknya.

Disamping itu kalau toh Prana masih memiliki setia kawan pada

Windu Segara. dan ia tidak sampai hati melaksanakan perintah putera

mahkota itu, maka suatu sikap yang tolol, kalau ia mengulangi sandiwara

yang dipertunjukkan Sindu.

Lantar apa sebetulnya yang telah terjadi?

Apa yang kini tengah memenuhi benak Tumenggung Nirbita itu juga

dirasakan oleh sekalian yang hadir ditempat itu.

Mereka lantas memandang Windu Segara dan tubuh2 Sindu serta

Prana yang terkapar ditanah silih berganti.

Suasana ditempat itu menjadi hening. Mereka sekalian tidak dapat

memahami apa sebenarnya yang telah terjadi.

Mendadak suasana hening itu dipecahkan oleh suara yang

mengguntur.

?Bawa Sindu dan Prana kemari?"

Suara itu menyedarkan sekalian prajurit Singasari yang berada

ditempat itu dari keterpukauannya. Beberapa orang lantas berjalan

mendekati tubuh yang tidak berdaya itu lantas dibawa kehadapan putera

Mahkota.

Sejenak Sri Amangkurat memandangi kedua tubuh yang tidak

berkutik itu, kemudian memberi isyarat pada Tumenggung Nirbita untuk

mendekat.

Tumenggung Nirbita cepat-cepat berjalan mendekat.

Setelah Tumenggung mendekat, Sri Amangkurat lantas

memerintahkan untuk memeriksa keadaan Sindu dan Prana.

?Mereka hanya pingsan, gusti." berkata Tumenggung Nirbita setelah

memeriksa keadaan kedua orang itu.

Tumenggung Nirbira melihat Sri Amangkurat mengangguk

anggukkan kepala. Hanya saja pandang matanya menatap tajam-tajam

kearah Windu Segara yang saat itu berdiri dalam keadaan terikat.

Pemuda itu nampak terheran-heran, dan memandangi semua

kesibukan yang terjadi disekelilingnya dengan pandang tidak mengerti.

?Hmm. Windu Segara sungguh pandai bersandiwsra." terdengar

gumam Sri Amangkurat perlahan. Setelah itu ia menoleh kearah

Tumenggung Nirbita sambil berkata :

?Nirbita, cobalah kau yang mengerjakannya!"

Tumenggung tertegun. Kenapa ia yang kini harus menjalankan

hukuman cambuk itu?

Tetapi mendadak terkilas suatu dalam benak pemimpin Prajurit

Singasari itu, Perintah tadi suatu hal yang kebetulan baginya. Bukankah

dengan menjalankan perintah itu ia akan segera mendapat jawaban dari

peristiwa aneh yang baru saja terjadi?33

Karena itu cepat-cepat Tumenggung Nirbita memungut cambuk

yang tadi terlepas dari pegangan Sindu maupun Prana.

Sejenak dipandanginya Windu Segara, dlihatnya pemuda itu

tunduk, tidak berani beradu pandang dengannya, Setelah itu

Tumenggung Nirbtta lantas bersiap-siap untuk melecutkan cambuk yang

kini telah dipegang erat-erat ditangan kanannya.

Untuk ketiga kali terdengar suara menggeletar. Ujung cambuk yang

berada ditangan Tumenggung Nirbita melejit dengan gerak yang luar

cepat, ke tubuh Windu Segara.

Pada saat ujung cambuk Tumenggung Nirbita menyentuh tubuh

Windu Segara, mendadak ia merasakan telapak tangannya seperti

didorong oleh suatu tenaga yang luar biasa kuat. Dan kemudian tenaga

itu seperti menyusup kedalam tubuh lewat telapak tangannya.

Seketika Tumenggung Nirbita merasakan rongga dadanya

terguncang. Hampir saja ia terpekik, bila ia tidak segera mengerahkan

tenaga batinnya untuk menolak tekanan itu.

Walau demikian keseimbangan tubuhnya nampak sedikit terganggu.

Peristiwa itu tidak nampak oleh sekalian yang hadir disitu. Tak

seorangpun yang mengetahui bahwa Tumenggung Nirbita agak

terhuyung, kecuali Sri Amangkurat.

?Coba! Sekali lagi Nirbita !" terdengar perintahnya.

Sebetulnya tanpa diperintah Tumenggung Nirbita ingin mengulangi

cambukan itu.

Peristiwa yang baru saja ia alami itu, yang hampir saja membuat

malu dimuka anak buahnya, sudah merupakan jawaban dari peristiwa

yang menimpa Sindu dan Prana.

Rupanya dorongan tenaga tadilah yang menyebabkan tubuh Sindu

maupun Prara terpental kebelakang.

Sungguh suatu hal yang mengherankan. Karena dorongan tenaga

itu pasti berasal dari Windu Segara. Tidak bisa lain. Karena kalau bukan

dari pemuda itu lantas dari mana. Walau begitu Tumenggung Nirbita ingin

membuktikan sekali lagi.

Ketika mendengar perintah Sri Amangkurat tadi, Tumenggung

Nirbita lantas bersiap untuk mencambuk tubuh Windu Segara sekali lagi.

Hanya saja kali ini, ia sudah bersedia payung sebelum hujan untuk

menghadapi segala kemungkinan.

Setelah itu dengan suatu gerak yang tangkas cambuk tangan

kanannya kembali ia lecutkan. Suara geletar cambuk itu terdengar

memekakkan telinga

Pada ketika lain ujung cambuk tadi kembali menyentuh tubuh

Windu Segara. Dan . sekali lagi Tumenggung Nirbita merasakan

dorongan tenaga lewat cambuk yang dipegangnya. Bahkan kali ini

dorongan tenaga itu terasa lebih kuat. Sehingga walau Tumenggung

Nirbita telah bersiaga, namun ia tak dapat menahan keterhuyungan34

tubuhnya.

Hanya saja seperti halnya tadi, tubuh Tumenggung Nirbita yang agak

terhuyung itu tidak sempat ditangkap pandang mata sekalian prajurit

Singasari yang hadir ditempat itu. Hanya Sri Amangkurat yang dapat

menyaksikan peristiwa itu.

Mendadak terdengar beliau berkata:

?Nirbira! Coba serahkan cambuk itu padaku! Aku yang akan

mencambuknya!"

Kata-kata itu betul betul mengejutkan. Sekalian orang yang hadir

disitu memandang kearah Sri Amangkurat dengan pandang tidak

mengerti.

Tumenggung Nirbitapun tidak terkecuali, ia merasa terkejut

mendengar kata-kata Sri Amangkurat tadi.

Karena dlpengaruhi oleh perasaan heran itulah maka Tumenggung

Nirbita segera menyerahkan cambuk yang dipegangannya pada Sri

Amangkurat.

?Nirbita! kenapa termenung ?" terdengar Sri Amangkurat berkata

sambil berjalan mendekati Tumenggung Nirbita.

?Serahkan segera cambuk itu padaku! Biar aku yang mencambuk

Windu Segara."

Tumenggung Nirbia tersentak. Dan cepat2 ia menyerahkan cambuk

yang dipegangnya itu pada Sri Amangkurat.

?Pangeran .. . "kata Tumenggung Nirbita. Tetapi perkataan itu

hanya terhenti disitu. Tumenggung Nirbita tak tahu apa yang akan ia

katakan.

Ia merasa binggung, betul-betul bingung. Baru kali inilah

menghadapi peristiwa sedemikian aneh selama ia memangku jabatan

sebagai pimpinan Prajurit Singasari.

Namun Sementara itu Sri Amangkurat tidak menghiraukan apa

yang saat itu tengah bercamuk dalam sanubari Tumenggung Nirbita .

Begitu tangan Tumenggung Nirbita yang memegang cambuk terulur

kepadanya, cepat beliau menyambar. Sebentar saja cambuk itu telah

berpindah tangan.

Setelah itu Sri Amangkurat menatap Windu Segara dengan sinar

matanya yang tajam.

Windu Segara tidak berani beradu pandang. Sinar mata itu luar

biasa tajam, lbarat kilatan pisau belati yang tertimpa cahaya. Karena itu

cepat -cepat menundukkan muka.

?Windu Segara, kenapa kau menudukkan kepala?" terdengar Sri

Amangkurat berkata dengan nada suara dalam.

?Ayo tataplah akul" berkata Sri Amangkurat terlebih lanjut

Namun Windu Segara tidak mematuhi ?perintah" Putcra mahkota

itu. Ia Ia tahu bagaimana sifat Sri Amangkurat

?Windu Segara! Apakah kau tuli? Ataukah bisu?" terdengar Sri35

Amangkurat berkata dengan suara menggeledek. ?Ayo tegakkan

kepalamu dan tetapkan kepalamu dan tataplah aku!"

?Hamba tidak berani, gusti."

?Tidak berani?" desis Sri Amangkurat dengan nada suara yang

aneh. ?Windu Segara kau terlalu merendahkan diri. Sedikit pun tak ada

alasan bagimu untuk mengatakan kata-kata itu."

Windu Segara, bingung. Sangat bingung. Sebingung ketika ia

menghadapi peristiwa2 aneh yang tadi tersaji dihadapannya.

Tadi ketika Sindu melecutkan cambuk ketubuhnya, ia hanya

merasakan tubuhnya seperti dililit oleh seutas tali, dan kemudlan ia lihat

Sindu terpekik sambil melepaskan cambuk yang dipegangnya.

?Ah, Sindu. Kenapa kau sungkan menjalankan tugas?" demikian

katanya didalam hati pada saat.

Tetapi ketika cambuk itu dipegang Prana dan kejadian yang

menimpa Sindu kembali terulang, Windu Segara mulai bingung. Dan

kebingungan itu mencapai puncaknya ketika Tumenggung Nirbita yang

berganti memegang cambuk

Sepertl halnya ketika cambuk itu diayunkan oleh Sindu maupun

Prana. maka ketika cambuk ditangan Tumenggung Nirbita terayun, yang

dirasakan adalah suatu lilitan tali dibagian dadanya.

Dan kini ketika rasa bingungnya belum lenyap, mendadak Sri

Amangkurat yang akan mencambuknya. Bukan hanya itu, bahkan tindak
Adji Tameng Wadja Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanduk Sri Amangkurat terasa aneh.

Apa sebetulnya yang telah terjadi?

Bingung. Seribu kali bingung. Itulah perasaan yang kini tengah

berkecamuk dalam diri Windu Segara.

?Huh. Windu Segara. Apakah kau masih hendak bersandiwara?"

terdengar Sri Amangkurat berkata dengan nada suara berat. Diam

sejenak. Kemudian:

?Kau dapat berbuat semaumu terhadap Sindu, Prana dan

Tumenggung Nirbira, tetapi tidak terhadap Amangkurat." bersamaan

dengan kata-kata terakhir itu terlihat Sri Amangkurat bersiap-siap

melecutkan cambuk. Wajahnya nampak merah padam, suatu tanda

bahwa beliau tengah marah.

Tumenggung Nirbita dan sekalian prajurit Singasari yang sudah

mengenal perangai putera mahkota itu, merasa ngeri terhadap nasib

yang akan menimpa diri Windu Segara.

Suasana ditempat itu terasa tegang. Tak seorangpun yang berani

membuka mulut.

Mendadak terdengar suara seruan:

?Tahan!"

Seruan itu walau tidak begitu keras tetapi terdengar nyata.

Terlebih-lebih nada suara dari seruan itu menimbulkan suatu perasaan

aneh. Suasana tegang yang meliputi tempat itu seakan-akan tersapu36

bersih oleh nada suara tadi.

Sri Amangkuratpun nampak terpengaruh, karena terlihat beliau

menoleh kearah suara seruan tadi.

Seorang tua yang berpakaian bersih dan rapi berjalan mendatangi

dengan langkah bergegas.

?Bapa wiku Jaladri?" sapa Sri Amangkurat.

Memang. Orang yang baru datang itu adalah Wiku Jaladri seorang

wiku yang cukup berpengaruh dikeraton. Sekalian penghuni keraton

menaruh hormat terhadapnya tidak terkecuali Sri Amangkurat

?Angger Amangkurat. Apakah yang telah terjadi?" berkata wiku

Jaladri sambil menyapukan pandang kesekitar tempat itu.37

46==

Secara singkat Sri Amangkurat menceritarakan apa yang telah

terdjadi pada Wiku Jaladri dan Wiku Jaladripun mendengarkan dengan

penuh perhatian.

Setelah Sri Amangkurat selesai berkisah, Wiku Jaladri lantas

menatap Windu Segara.

?Angger Amangkiurat, apabila syaa mempunyai suatu usul apakah

angger mau menerimanya." terdengar Wiku Jalatdri berkata mendadak.

Sri Amangkurat agak tercengang

?Katakanlah bapa Wiku!"

?Bukannya saya mau melindungi anak muda itu, angger

Amangkurat. Tetapi saya mohon sudilah angger menunda pemeriksaan ini

barang sehari dua hari."

?Mengapa, bapa." sahut Sri Amangkurat dengan nada yang kurang

senang.

?Sukar, Angger. Sukar untuk mengatakan apa sebabnya, Tetapi aku

seperti mencium adanya sesuatu yang tidak wajar dalam peristiwa ini."

Sri Amingkurat terdiam. Beliau tidak segera menjawab, melainkan

hanyaa memandang dengan pandang bertanya pada Wiku Jaladri, dengan

cambuk tetap ditangan.

?Aku kenal betul pribadi anak muda ini. Karenanya saya teramat

heran mengapa ia mau melakukan perbuatan itu." sambung Wiku Jaladri.

Sri Amangkurat Nampak mengerut dahi. Sejenak kemudian barulah

ia berkata:

?Baiklah kalau hanya itu yang bapa kehendaki, saya akan.

meluluskannya."

Sehabis berkata begitu Sri Amangkurat lantas menyerahkan

kembali cambuk itu pada prajurit yang biasa menyimpannya.

Sikap Sri Amangkurat itu bukannya tanpa alasan. Sri Amangkurat

tahu bahwa ayahandanya. Sri Sultan Agung, amat menghormati orang

tua itu. Karena itulah maka Sri Amingkurat juga menghormati orang itu,

walaupun hal itu sering kali bertentangan dengan pribadinya yang

berwatak berangasan.

Tumenggung Nirbita lantas memerintahkan untuk mengurung

kembali Windu Segara. Dan tidak lupa diperintahkan pula untuk merawat

Sindu dan Prana dengan semestinya.

Ketika Sindu dan Prana mau dibawa menyingkir mendadak

berkatalah Wiku Jaladri.

?Tunggu sebentar," sambil berkata begitu Wiku Jaladri berjalan

mendekati kearah Prana dan Sindu dan Sindu yang masih terbaring

dalam keadaan pingsan.

Setelah sampai kedekat Sindu dan Prana, Wiku Jaladri lantas mulai

mengurut-urut tubuh kedua orang prajurid tadi. Sebentar kemudian38

terlihat Sindu maupun Prana mulai membukakan mata.

?Nirbita, suruh rawat kedua prajurit ini. Ia membutuhkan istirahat

yang cukup lama," berkata Wiku Jaladri kepada Tumenggung Nirbita.

Prajurid2 Singasari yang masih berada ditempat itu lantas

menjalankan perintah tadi dengan sebaik-baiknya.

Kini ditempat itu tinggallah Sri Amangkurat, Tumenggung Nirbita

dan Wiku Jaladri.

?Angger, saya bermaksud untuk mengadakan pembicaraan empat

mata dengan anak muda tadi." berkata Wiku Jaladri.

Tumenggung Nirbita heran. Demikian pula Amangkurat. Walau

begitu ia toh memberi jawaba juga:

?Bila bapa wiku menghendakinya silahkan.

Dengan pandang mata yang tajam wiku Jaladri menatap Sri

Amangkurat.

?Percayalah, angger. Percayalah pada bapa. Apa yang akan bapa

lakukan demi nama baik pemerintahan ayah andamu."

Sri Amangkurat hanya menjawab dengan anggukkan.

Setelah itu wiku Jaladri berpamit meninggalkan tempat itu.

Kepergian Wiru Jaladri diikuti oleh Sri Amangkurat dan Tumenggung

Nirbita dengan pandang keheranan.

?Nirbita, aku belum pernah melihat bapa Wiru bersikap sedemikian

aneh. Apakah sebetulnya latar dibelakang dari tingkah laku ini?" berkata

Sri Amangkurat.

?Hambapun tidak dapat memahami gusti." sahut Tumenggung

Nirbita.

walau kedua orang tadi berkata begitu, namun keduanya merasa

sikap wiku Jaladri itu berhubungsn dengan peristiwa aneh yang menimpa

Sindu dan Prana.

Tiba2 kedua orang itu dikejutkan oleh munculnya seorang emban

yang datang tergopoh-gopoh.

?Ampun, gusti. Hamba berani mengganggu gusti." berkata emban

tadi dengan ketakutan.

?Lekas katakan apa maksudmu datang kemari." berkata Sri

Amangkurat.

?Hamba diutus oleh gusti putri Sekar Asih."

?Sekar Asih?"

?Betul gusti putri. Gusti Sekar Asih mengharap kedatangan

paduka."

Mendengar kata-kata emban itu, dahi Sri Amangkurat nampak

berkerut. Sebetulnya Sri Amangkurat memang bermaksud menjumpai

adindanya untuk ditanyai tentang peristiwa semalam, tetapi ia merasa

khawatir kalau hal itu akan mengganggu kesehatan puteri Sekar Asih.

Maka ia terpaksa menunda kehadirannya dipuri kediaman adindanya itu,

Diluar dugaan kini ternyata puteri Sekar Asih mengharapkan39

kedatangannya.

Hal ini terasa aneh bagi Sri Amangkurat, karena walaupun mereka

bersaudara, tetapi jarang mereka berhubungan.

Namun akhirnya Sri Amangkurat toh berkata juga:

?Baiklah biung Emban. Segeralah kembali. Katakan pada yayi dewi

Sekar Asih, bahwa aku akan segera datang."

?Baik gusti." jawab emban itu sambil bergegas kembali kepuri

tempat kediaman puteri Sekar Asih.

Sepeninggal emban tadi, Sri Amangkurat nampak bicara sejenak

dengan Tumenggung Nirbita. Setelah Tumenggung Nirbita bermohon diri

maka Sri Amangkurat lantas bergegas menuju kepuri kediaman puteri

Sekar Asih.

Begitu sampai dipuri kedlaman puteri Sekar Asih, Sri Amangkurat

langsung menuju ketempat peraduan adindanya.

Saat itu dilihatnya puteri Sekar Asih berbaring diperaduannya.

Wajahnya nampak pucat. Agaknya peristiwa semalam telah menimbulkan

kegoncangan dalam jiwa puteri itu.

?Yayi dewi, bagaimana? Apakah yayi dewi masih merasa tidak enak

badan?" berkata Sri Amangkurat.

Puteri Sekar Asih hanya menggelengkan kepala. Sejenak kemudian

barulah ia berkata:

?Kamas, aku merasa takut!"

?Takut? Apa yang kau takutkan?" berkata Sri Amangkurat.

?Entahlah kakang. Perasaan semacam itu seakan-akan

membayangiku."

?Yayi dewi. perasaan takutmu itu hendaknya segera kau hilangkan."

kata Sri Amangkurat menenangkan puteri Sekar Asih. ?Orang yang

berbuat tak senonoh pada yayi semalam sudah tertangkap?"

?Sudah tertangkap?"

?Ya. Sudah tertangkap."

Sejenak puteri Sekar Asih nampak tersenyum. Kemudian berkatalah

ia dengan nada suara yang aneh.

?Bila demikian, kamas. Ada sesuatu yang kan saya titipkan pada

kamas."

Kata-kata ini menimbulkan rasa heran dihati Sri Amangkurat.

Dipandanginya puteri Sekar Asih dengan penuh tanda tanya.

Puteri Sekar Asih tidak menghiraukan sikap Sri Amangkurat. Dia

nampak sibuk mencari sesuatu dibawah kasur yang ditidurinya.

"Kamas. Dengan tidak sengaja aku berhasil merampas gelang

pualam ini dari pergelangan tangan orang itu." demikian kata puteri

Sekar Asih sambil menyerahkan sebuah gelang pada Sri Amangkurat."

Serahkanlah kembali gelang ini pada pemiliknya."

Dengan penuh perasaan heran Sri Amangkurat memperhatikan

gelang yang batu diserahkan oleh adindanya. Gelang itu ternyata adalah40

sebuah gelang yang terbuat dari batu pualam.

Mendadak raut wajah Sri Amangkurat berubah.

?Yayi dewi, betulkah apa yang tadi kau katakan itu?"

?Maksud kamas? " puteri Sekar Asih terheran-heran menyaksikan

perobahan sikap kakandanya.

?Betulkah gelang ini berhasil kamu renggut dari tangan orang itu?"

?Kenapa aku mesti membohong, kamas." tukas puteri Sekar Asih.

?Dalam keadaan setengah sadar aku berhasil merenggut gelang ini dari

tangan orang yang menyergapku."

Sri Amangkurat nampak menimang-nimang gelang batu pualam itu

dengan raut wajah yang aneh.

?Yayi dewi. Aku harus cepat-cepat menjumpai Nirbita."

?Siapa? Nirbita""

?Ya. Tumenggung Nirbita. Orang yang diserahi tugas memimpin

kelompok prajurit Singasari."

Setelah berkata begitu Sri Amangkurat cepat-cepat meninggalkan

puteri Sekar Asih dengan membawa gelang batu pualam yang baru
Adji Tameng Wadja Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diserahkan tadi. Puteri Seka rAsih yang nampak keheranan menyaksikan

sikapnya, sama sekali tidak dihiraukan.

X X X

IV. PANGRAN KALINGGOPATI MATI TERBUNUH.

????????????????????????????????????????????????????????????

Begitu sampai ditempat kediamannya, Sri Amangkurat lantas

menyuruh salah seorang pengawalnya untuk memanggil Tumenggung

Nirbita.

Dalam waktu yang tak lama, Tumenggung Nirbita sudah datang

menghadap.

?Gusti memanggil hamba?"

?Ya, Nirbita. Ada sesuatu yang harus kau kerjakan."

Tumenggung Nirbita merasa heran mendengar kata-kata Sri

Amangkurat tadi.

?Nirbita, pergilah segera kerumah Kalinggapati. Katakanlah

padanya, bahwa aku ingin bicara dengannya. Sekarang juga." berkata Sri

Amangkurat terlebih lanjut.

Walaupun hatinya diliputi pertanyaan, Tumenggung Nirbita toh

berangkat juga. Kalinggapati yang disebut oleh Sri Amangkurat adalah

pangeran Kalinggapati, seorang pangeran yang cukup berpengaruh di

Mataram.

Seperginya Tumenggung Nirbita, Sri Amangkurat mengambil41

kembali gelang batu pualam yang tadi disimpan disabuk. Diperhatikannya

gelang pualam itu sekali lagi dengan seksama.

Tak berapa lama kemudian, terlihat Tumenggung Nirbita telah

kembali. Tetapi alangkah heran Sri Amangkurat. Tumeuggung Nirbita

nampak seorang diri dan berjalan dengan bergegas.

?Nirbita. Mana Kalinggapati." berkata Sri Amangkurat ketika

dilihatnya Tumenggung Nirbita telah sampai didekatnya.

?Gusti Pangeran Kalinggapati telah tiada lagi" berkata Tumenggung

Nirbita dengan agak gugup.

?He. Kemana?"

?Be . . . Beliau telah meninggal di . . . dibunuh orang!" terdengar

Tumenggung Nirbita memberi penjelasan dengan kata terputus-putus.

Apa yang dikatakan Tumenggung Nirbita itu betul - betul

mengejutkan Sri Amangkurat.

?Nirbita. Perintahkan segera untuk menyiapkan kuda tunggangku.

Aku segera datang kerumah Kalinggapati. berkata Sri Amangkurat dengan

suara mengguntur.

Sehabis berkata begitu Sri Amangkurat lantas berjalan keruangan

dalam.

Beberapa pengawal yang berada ditempat itu lantas di beri isyarat

oleh Tumenggung Nirbita untuk menyiapkan kuda tunggang sri

Amangkurat. Dengan sigap mereka cepat-cepat menjalankan perintah itu.

Mereka sudah cukup ?berpengalaman" apa yang akan terjadi kalau

mereka lambat menjalankan tugas.

Dalam wakktu singkat kuda tunggang kesayangan Sri Amangkurat

sudah tersedia dipelataran.

Tidak lama kemudian Sri Amangkurat sudah muncul kembali dari

ruangan dalam.

?Nirbita. Ayo ikutlah!" berkata Sri Amangkurat sambil dengan

sigapnya meloncat kepunggung kuda.

Perintah itu dijalankan Tumenggung Nirbita sebaik-baiknya.

Pemimpin prajurit Singasari itu segera mengambil kuda tunggangnya.

Dalam waktu yang tidak lama Sri Amangkurat bersama dengan

Tumenggung Nirbita sudah berada dirumah kediaman Pangeran

Kalinggapati.

Dirumah kepangeranan itu kini nampak banyak orang yang tengah

berkumpul. Ketika melihat dua orang penunggang kuda masuk

kepelataran, semula merasa heran, tetapi rasa heran cepat berubah

menjadi rasa terkejut ketika mengetahui siapa pendatang baru itu.

Segera mereka bergagas memapak kedatangan si penunggang

kuda itu.

?Gusti. Selamat datang . . . "

Sri Amangkurat hanya mengangguk.

?Mana nyi Kalinggapati?" demikian pertanyaan yang terdengar.42

?Didalam gusti?"

Sri Amangkurat dengan diikuti oleh Tumenggung Nirbita dan

beberapa orang yang lainnya lantas berjalan keruangan dalam.

Ketika Sri Amangkurat sampai diruangan dalam, suasana keharuan

lantas menyambutnya. Seorang puteri yang berwajah cantic tengah

menangis disamping seorang yang terbaring di hadapannya. Didada

orang itu terlihat bekas luka yang mengalirkan darah segar. Sehingga

kulit yang kuning dari orang tadi nampak berlumuran darah.

?Kapan peristiwa ini terjadi?"

?Tadi pagi gusti?" jawab salah seorang pengawal pangeran

Kalinggapati yang kebetulan berada dibelakang Sri Amangkurat.

?Tadi pagi, sekira menjelang subuh ketika hamba berpatroli didekat

jamban, hamba menjumpai gusti pangeran Kalinggapati terkapar

berlumuran darah dipelataran jamban. Hamba lantas memanggil kawan
kawan hamba untuk merawat gusti pangeran sebagai mana mestinya."

demikian pengawal itu menjelaskan.

?Tetapi ternyata, bahwa luka gusti pangeran terlalu parah, sehingga

tidak lama setelah kami menemukan tubuh beliau ternyata beliau

menghembuskan nafas yang penghabisan."

Sri Amangkurat hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar

kisah yang dituturkan oleh pengawal itu.

Tiba2 Sri Amangkurat menoleh kearah Tumenggung Nirbita.

?Nirbita, coba suruh salah seorang pengawal Kalingga paten untuk

memanggil Kyai Ontoboga!" berkata Sri Amangkurat dengan nada suara

dalam.

Tumenggung Nirbita tersentak, bagaikan tersengat kala.

?Kyai Ontoboga?" cetusnya.

?Ya, Nirbita. Kyai Ontoboga." Sri Amangkurat memberi keyakinan.

?Aku mengetahui dengan segera siapa sipembunuh Kalinggapa."

Sebetulnya Tumenggung Nirbita masih merasa heran. Walau begitu

ia toh lantas memerintahkan seorang pengawal Kalinggapaten untuk

cepat-cepat melaksanakan tugas itu.

Tidak lama kemudian pengawal yang diutus, datang kembali

bersama dengan seorang yang sudah berusia lanjut.

?Gusti Pangeran memanggil hamba?" berkata orang tua itu.

? Ya, bapa Ontoboga. Saya terpaksa mengganggu ketenangan

bapa." sahut Sri Amangkurat kepada orang tua yang baru datang itu yang

tidak lain dari pada Kyai Ontoboga. Kemudian dengan singkat Sri

Amangkurat menceritakan apa yang baru saja terjadi dengan secara

singkat tetapi jelas. Setelah selesai berkisah berkatalah Sri Amangkurat:

?Bapa Ontobuga. Aku ingin mengetahui dengan segera siapa

pembunuh dari Kalinggapati." kali ini kata-kata itu diucapkan dengan

nada suara yang menggelora. ?Sebelum matahari terbenam aku harus

sudah dapat meringkus sipembanuh."43

Sekalian orang yang hadir ditempat itu tunduk. Tak seorangpun

yang berani membuka bitiara. Mereka tahu perasaan apa yang kini

tengah bergejolak didalam diri Sri Amangkurat.

Kyai Ontoboga pun terdiam. Baru beberapa saat kemudian

berkatalah dia:

?Baiklah gusti. Hamba berusaha sekuat kuasa hamba. Doakan saja

semoga usaha hamba berhasil."

?Marilah, Nirbita. Hantar aku ketempat kejadian itu." kata kyai

Ontoboga selanjutnya sambil menggapai Tuanenggung Nirbita.

Tanpa diperintah para pengawal Kalinggapaten lantas menghantar

Kyai Ontoboga ketempar kejadian.

Sri Amangkurat dan Tumenggung Nirbita lantas mengiring dari

belakang.

Begitu sampai ditempat kejadian kyai Ontoboga lantas mengatasi

keadaan disekeliling tempat itu dengan penuh kewaspadaan.

Setiap jengkal dan lekuk-lekak tanah diamat-amatinya dengan

seksama. Perbuatan itu diulangi berkali-kali. Kalau semula ia hanya

berdiri, maka pada Pemeriksaan selanjutnya ia melakukan perbuatan itu

sambil berjongkok.

Sekalian orang yang hadir ditempat itu menahan nafas. Terlebih
lebih pengawal-pengawal Kalinggapaten yang tadi pagi menolong

Pangeran Kalinggapati. Mereka tahu siapa kyai Ontoboga dan perbuatan

apa yang akan ia lakukan.

Sementara itu kyai Ontoboga masih terus mengamat-amati suasana

ditempat itu.

Mendadak Kyai Onoboga berjalan kearah tembok yang mengelilingi

dalem Kalinggapaten. Tembok itu terletak tidak seberapa jauh dari

jamban. Sesampai ditempat itu Kyai Ontoboga nampak berkemak-kemik

sambil menatap kesuatu bagian tanah dikaki tembok itu.

Dan kemudian dengan perlahan-lahan ia berjongkok. Lidahnya

dijulurkan dan setelah itu dijilatkan ketanah.

Apa yang dilakukan oleh Kyai Ontoboga itu merupakan salah satu

praktek dari orang-orang berilmu pada jaman itu. Dengan jalan menjilat

telapak kaki seseorang, maka orang yang telapak kakinya terjilat akan

menderita sakit berat pada kakinya. Tindakan itu terutama ditujukan

pada seorang pencuri yang baru saja mencuri dirumah seseorang. Dan

dengan perbuatan itu memang sipencuri lekas tertangkap. Hanya saja

resikonya amat berat, yaitu kemungkinan salah jilat selalu ada, sehingga

orang yang tidak bersalah sering menjadi korban.

Tetapi dalam hal ini Kyai Ontoboga merupakan perkecualian. Sudah

lama ia rmenjalankan praktek itu dan selamanya tidak salah jilat. Sasaran

yang dpilihnya selalu tepat. Dan sudah menjadi kebiasaannya ia tidak

akan melakukan hal itu apabila tidak memperoleh suatu keyakinan bahwa

ia tidak akan jilat.44

Oleh karena itulah ia mendapat julukan Ontoboga. Dalam cerita

Wayang Purwa, Ontoboga nenek Ontosena memiliki kesaktian itu

kemudian diturunkan pada Ontosena, schingga untuk mencegah adanya

korban-korban yang tak dikehendaki maka Ontosena terpaksa

dibinasakan sebelum perang Barata Yuda dimulai.

Walau begitu praktek semacam itu kurang disukai rakyat, sehingga

jaranglah orang menggunakannya. 0leh karenanya itu ketika Sri

Amaugkurat memutuskan untuk memanggil kyai Ontoboga, Tumenggung

Nirbita sangat terkejut.

?Gusti." terdengar kyai Ontoboga memecah kelengangan yang

merajai tempat itu. ?Orang itu bukan orang yang sembarangan. Si

pembunuh ternyata memiliki benteng pertahanan batin yang tangguh.

Hanya saja oleh karena dia melakukan perbuatan yang tidak sesuai

dengan suara hatinya, maka benteng pertahan itu berhasil hamba

gugurkan."

Sri Amangkurat mengangguk perlahan.

?Nanti menjelang matahari terbenam, gusti akan mengetahui siapa

dia sebenarnya." berkata Kyai Ontoboga terlebih lanjut.

Sri Amangkurat percaya penuh pada kemampuan kyai Ontoboga.

Setelah memberikan beberapa petunjuk pada keluarga almarhum

pangeran Kalinggapati maka dengan diiringi oleh Tumenggung Nirbita dan

kyai Ontoboga, Sri Amangkurat kembali kekeraton.

X X X

Peristiwa terbunuhtnya pangeran Kalinggapati segera tersiar

dengan cepat keseluruh pelosok Karta. Mereka semua yang mendengar

peristiwa itu sangat terkejut.

Memang. Sebetulnya dikalangan rakyat Mataram Pangeran
Adji Tameng Wadja Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalinggapati kurang populer. Ia seringkali mengganggu ketenangan

kehidupan kawula Mataram yang kebetulan memiliki anak gadis yang

cantik.

Pangeran Kalinggepati sudah beristerl, isteri yang sah, namun

begitu jiwa pemburunya masih tetap berkobar kobar. Setiap kali

terbentur pada wajah yang cantik jelita ia lantas tergoda. Dan kalau

sudah begitu maka segala jalan ia tempuh untuk mencapai maksudnya.

Halal ataupun tidak, asal ia dapat memiliki kuntum bunga yang baru

mekar itu.

Walau begitu peristiwa yang menimpa diri pangeran Kalinggapati

sungguh mengejutkan.

Tetapi jika sekalian penduduk Mataram terkejut ketika mendengar

terjadinya peristiwa itu, lain halnya dengan Tumenggung Nirbita. Walau ia

juga terkejut ketika mengetahui peristiwa itu, namun rasa terkejutnya itu45

terdesak oleh perasaan heran oleh tanduk Sri Amangkurat dalam

menghadapi peristiwa pembunuhan itu.

Ketika kyai Ontoboga telah bermohon diri setelah menerima

sekedar tanda terima kasih dari Sri Amangkurat, dan Tumenggung Nirbita

tinggal berdua dengan Sri Amangkurat maka terdengarlah putera

mahkota itu berkata:

?Nirbita, kau tahu apa sebabnya tadi aku memanggil Kaiinggapati?"

?Tidak gusti, hamba tidak tahu."

Pangeran Amangkurat tersenyum aneh.

?Memang kau tidak akan tahu Nirbita. Dan kalau kau tahu apa

sebabnya kau akan terkejut." kata Sri Amangkurat dengan nada suara

perlahan.

?Tumenggung Nirbita semakin heran. Pada saat itulah ia melihat Sri

Amangkurat seperti mengambil sesuatu dari sabuknya.

?Coba lihat gelang batu pualam ini, Nirbita." kata Sri Amangkurat

tiba-tiba sambil menyodorkan sesuatu pada Tumenggung Nirbita.

Apa yang dilihatnya mengejutkan Tumenggung Nirbita. Benda yang

disodotkan kepadanya tidak lain dari pada sebuah gelang yang terbuat

dari batu pualam.

?Bukankah gelang nii gelang yang biasa dipakai oleh pangeran

Kalinggapati?" kata Tumenggung Nirbita perlahan. ?Da . . ri mana gusti

memperolehnya?"

?Bukan aku yang memperoleh Nirbita, melainkan yayi dewi Sekar

Asih."

Tumenggung Nirbita bagai mendengar ributan guntur yang

menyambar bersamaan ketika mendengar kata-kata Sri Amangkurat tang

paling akhir itu.

?Ya. Nirbita. Yayi dewi Sekar Asihlah yang memperolehnya. Ia

berhasil merenggut dari pergelangan tangan laki-laki yang menyergapnya

tadi malam.

Tumenggung Nirbita nampak tertegun. Entah perasaan apa saat itu

berkecamuk dalam rongga dadanya. la tak tahu. Terkedjut, heran dan

marah bercampur aduk jadi sastu. Dan karenanya ia tak tahu apa yang

mesti akan ia perbuat. Akhirnya seteiah agak dapat menguasai diri

barulah dia berkata.

?Ja . . . . jadi"

Namun belum selesai kata-kata itu ia ucapkan terdengar Sri

Amangkurat memotong:

?Jadi Windu Segara tidak bersalah."

Kata-kata yang terakhir ini ibarat angin sepoi-sepoi basa ditengah
tengah suasana kegerahan. Tumenggung Nirbita segera teringat kembali

peristiwa yang baru saja terjadi pagi tadi Ketika Windu Segara akan

dipaksa untuk mengakui kesalahan.

Kata-kata Sri Amangkurat itu betul - betul menimbulkan rasa lega46

dihati Tumenggung Nirbita. Karena dengan terbebasnya Windu Segara

dari dakwaan itu, sekaligus nama baik Prajurid Singasari yang hampir

tercemar, telah dipulihkan.

Tetapi tiba-tiba Tumenggurg Nirbita kembali teringat kembali

masalah yang tengah ia hadapi. Karena itu dengan cepat ia

memberanikan diri berkata:

?Tetapi, gusti. Kenapa pangeran Kalinggapati dibunuh."

Mendadak Sri Amangkurat memperlihatkan raut wajah yang aneh.

Kemudian katanya:

?Itulah sebabnya Nirbita, kenapa aku ingin lekas-lekas mengetahui

siapa si pembunub Kalinggapati."

X X X

Sementara itu upacara pemakaman jenasah Pangeran Kalinggapati

dilangsungkan sore itu juga. Upacara dilangsungkan dalam suasana yang

khitmat, seperti yang biasa terjadi pada upacara-upacara pemakaman

pangeran pangeran Mataram lainnya.

Sri Amangkuratpun dengan didampingi oleh Tumenggung Nirbita

juga ikut menghantar jenasah ketempat peristirahatan yang terakhir.

Didalam setiap kesempatan yang ada setiap orang selalu mencuri

lihat pada Sri Amargkurat yang kali ini didampingi oleh Tumenggung

Nirbita. Mereka merasakan sesuatu kejanggalan. Tetapi apakah itu,

mereka tidak lahu pasti.

Perasaan rakyat Mataram itu bukan hal yang aneh.

Begitu Sri Amangkurat kembali kekeraton ia segera memerintahkan

seorang prajurit Wiraraja untuk memanggil pemimpin pasukannya,

Tumenggung Suradirja.

Tetapi ternyata prajurit itu kembali seorang diri. Wajahnya nampak

pucat pasi.

?He . . . . mana Suradirja?"

Prajurit itu tidak segera menjawab. Tubuhnya nampak gemetar

menahan ketakutan. Baru setelah dibentak berkatalah dia.

?Am . . Ampun, gusti. Bapa Tumengung ti . . . . tidak dapat

memenuhi panggilan gusti?"

?Mengapa?"

?Beliau sakit?"

?Sakit? Sakit apa?"

Prajurit itu tidak menjawab.

?Sakit apa!" bentak Sri Amangkurat tak sabar.

Namun prajurit itu tetap tidak membuka mulut.

Tumenggung Nirbita heran menyaksikan sikap prajurit itu. Mengapa

ia tidak segera memberikan jawaban pertanyaan Sri Amangkurat?

?Apakah kau bisu. Ayo jawab!" sekali lagi Sri Amangkurat47

membentak.

Namun prajurit tadi masih tetap membungkam. Dan suasana

ditempat itu terasa tenggelam dalam kelengangan yang ganjil.

?Katakanlah! Mengapa Suradirja tidak dapat memenuhi

panggilanku." kembali terdengar Sri Amangkurat berkata kali ini dengan

nada suara yang rendah.

?Am .. Ampun, gusti. Ba . bapa tumenggung tidak dapat berjalan.

Te . . . lapak kakinya . kak !" terdengar jawab prajurit itu terbata bata.

Walau begitu jawaban ltu sudah cukup menggetarkan Tumenggung

Nirbita.

?Ya. Allah apakah sebetulnya yang tengah terjadi?" pekik

Tumenggung Nirbita didalam hati. Namun saat itu ia tidak sempat berfikir

terlebih panjang, karena mendadak terdengar Sri Amangkurat berkata :

?Nirbita, ayolah ikuti aku. Kita harus segera menjumpai Suradirja."

Tumenggung Nirbita tidak membantah, Ia segera mengikuti Sri

Amangkurat berkunjung ke rumah Tumenggung Suradirja.

Disepandjang perjalanan menuju kerumah Tumenggung Suradirja,

Tumenggung Nirbita diliputi perasaan tidak menentu. Peristiwa berantai

yang baru saja terjadi serasa bergulung gulung dibenaknya. Pertama kall

Windu Segara didakwa berusaha melakukan perkosaan terhadap Puteri

Sekar Arih. Kemudian peristiwa itu belum berhasil dibereskan terjadi

peristiwa pembunuhan atas diri pangeran Kalinggapati. Kini mendadak

terjadi perkembangan baru. Tumenggung Suradirja diluar dugaan

mendeeita sakit pada telapak kakinya. Dan dugaan yang buruk segera

timbul.

?Ah, tidak mungkin. Tidak bisa jadi." bantah Tumenggung Nirbita

didalam hati.

Sementara itu mereka telah sampal dirumah kediaman

Tumenggung Suradirja.

X X X

Dibagian lain dari kota Karta, pusat pemerintahan Mataram, Windu

Segara nampak duduk termenung ditepian sungai yang terdapat tak

berapa jauh darl rumah kediaman Ki Wisrawa.

Siang tadi Windu Sagara madh berada didalam kurungan.

Kemudian datang Tumenggung Nirbita. Windu Segara heran, Terlebih
lebih ketika Tumenggung itu berkata:

?Windu Segara, kau dibebaskan."

?Dibebaskan?" ulang Windu Segara setengah tidak percaya pada

apa yang baru didengar.

? Ya,Sri Amangkurat memerintahkan begitu."

Kemudian tanpa berkata kata lagi Tumenggung Nirbita membuka

pintu kurungan itu.

Windu Segara masih belum percaya. Ketika ia berjalan keluar dari48

kurungan ia nampak ragu-ragu.

?Windu Segara, siang ini kau boleh beristirahat dirumahmu."

terdengar Tumenggung Nirbita berkata lagi. Dan sesudah itu ia pergi

meninggalkan Windu Segara.

Dengan langkah bimbang ia terus berjalan. Kebimbangannya lantas

menghilang ketika sekalian pengawal keraton, baik dari kalangan Prajurit

Singasari maupun dari Prajurit Wiraraja tidak menghalanginya. Namun

begitu raut wajah mereka nampak sinis.

Windu Segara tidak bernafsu lagi untuk berada terlebih lama

dikeraton. Karena itu ia cepat-cepat meninggaikan keraton.

Tetapi ketika ia sampai dirumah ki Wisrawa, suatu perkembangan

baru ia hadapi.

Dari ki Wisrawa ia mendengar berita tentang pembunuhan atas diri

Pangeran Kalinggapati.

Pangeran Kalinggapati . . . Ya. Pangeran Kalinggapati. Entah berapa

kali nama itu diulang ulang didalam hati. Nama yang mengingatkannya

pada suatu peristiwa beberapa waktu berselang, Peristiwa yang

menimbulkan kegoncangan dalam jiwanya.

Peristiwa pembunuhan Pangeran Kalinggapati itu seperti

mengingatkan kembali Windu Segara pada peristiwa yang

menggoncangkan jiwanya itu. Karenanya batinnya merasa tertekan.

Untuk mengurangi tekanan batin yang tengah dirasakannya, Windu

Segara lantas pergi kesurgai yang tak seberapa jauh dari tempat

tinggalnya.

?Ah, apakah sebetulnya arti dari peristiwa yang kini terjadi?"

katanya didalam hati sambil memandangi aliran air sungai yang jernih

itu.

Mendadak ia teringat sesuatu. Ya, peristiwa yang terjadi pagi tadi,

ketika ia dipaksa untuk mengakui suatu kesalahan yang tidak ia lakukan.

Peristiwa tertergulingnya Sindu dan Prana ketika tengah

mencambuk tubuhnya, diikuti dengan sikap aneh dari Tumenggung

Nirbita ketika mencambuk tubuhnya. Hal itu menimbulkan perasaan heran

dihatinya. Apakah yang sebetulnya tengah terjadi?

Sementara itu sang Surya muulai condong kebarat. Windu Segara

masih terus berada ditepi sungai itu. Pemandangan indah disedja hari itu

mengurangi banyak ketegangan dihatinya.

?Windu Segara, apa yang tengah kau kerjakan?" terdengar suara

menyapa.
Adji Tameng Wadja Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Windu Segara tersentak. Cepat la menoleh kearah suara yang

menyapanya itu. Dan ia terlebih terkejut lagi, ketika melihat orang yang

menyapanya itu.

?Bapa Wiku Jaladri?"

Orang yang menyapa Windu Segara, yang tidak lain dari pada Wiku

Jaladri, mengangguk.49

?Bermenung-menung tidaklah menguntungkan, Windu Segara.

Marilah ikuti aku, untuk menyaksikan keramaian." berkata Wiku Jaladri.

Windu Segara heran.

?Ayolah lekas. Kenapa ragu-ragu?" ulang Wiku Jaladri.

Akhirnya walau hatinya diliputi perasaan heran, Windu Segara

segera mengikuti Wiku Jaladri yang sudah mulal melangkahkan kaki.

Wiku Jaladri terus berjalan ketengah kota. Saat itu matahari telah

hampir terbenam. Suasana sudah mulai gelap.

Namun begitu Wiku Jaladri terus berjalan.

Ketika suasana sudah gelap sampailah Wiku Jaladri disebuah rumah

yang tidak seberapa jauh dari keraton. Sesampai dirumah itu Wiku Jaladri

lantas masuk kedalam. Windu Segara ragu-ragu untuk mengikutinya.

?Windu Segara! Ayolah segera masuk!"

Walau Windu Segara semakin heran ia toh mengikuti Wiku Jaladri.

Sesampai didalam rumah Windu Segara diajak masuk kedalam

senyong. Sentong itu hanya disinari sebuah lampu teplok. Tak ada

sebuah alat rumah tangga selain sebuah almari.

?Windu Segara! Tolong ingsutkan almari ini!"

Windu Segara heran. Walau begitu ia toh tidak berani membantah.

Dengan cekatan ia melakukan perintah itu.

Dalam waktu yang tidak lama almari itu sudah teringsut kesamping.

Dan . . . Windu Segara tertegun. Dibagian tembok dibelakang almari itu

terlihat sebuah lobang.

?Windu Segara! Mari ikuti aku!" kata Wiku Jaladri, sambil berjalan

memasuki lobang tadi.

Windu Segara semakin heran. Namun begitu ia tidak

membangkang. Dengan tidak ragu-ragu ia lantas berjalan masuk kedalam

lobang mengikuti Wiku Jaladri.

Ternyata lobang itu merupakan awal dari sebuah terowongan yang

panjang dan gelap.

Setelah sekian lama berjalan menyusuri terowongan itu terdengar

Wiku Jaladri berkata:

?Windu Segara, kita telah sampai pada tempat tujuan." bersamaan

dengan akhir dari kata-kata Wiku Jaladri terasalah hembusan angin yang

dingin. Hanya saja ketika Windu Segera melangkah kedepan tubuhnya

bersinggungan dengan ranting2 pohon.

Wiku Jaladri yang berada disamping Windu Segara lantas memberi

isyarat untuk tidak sembarangan bergerak.

?Windu Segara! Perhatikan! Apa yang berada didepanmu.

terdengar Wiku Jaladri berbisik didekat telinganya.

Windu Segara lantas mengikuti arah ditunjuk oleh Wiku Jaladri, Dan

terkesiaplah ia.

Dihadapannya tidak lebih sepuluh langkah darinya terlihat sebuah

puri. Puri yang ia kenal dengan baik. Sangat baik.50

?Putri Sekar Pandan?" bisik Windu Segara.

Wiku Jaladri mengangguk perlahan.

Memang. Puri yang terlihat dihadapan Windu Segara tidak lain dari

puri tempat kediaman putri Sekar Pandan. Windu Segaza tidak sangsi

lagi.

Jadi kalau begitu terowongan itu menghubungkan rumah tadi

dengan keraton.

Namun belum sempat Windu Segara berfikir terlebih panjang,

terlihat Wiku Jaladri menggapai.

Dengan gerak yang lincah Wiku Jaladri menyelipan kebagian

belakang puti. Winda Segara mengikutinya.

Dalam waktu sekejab saja sampailah ke dua orang itu kebagian

belakang dari purit itu. Kemudian mereka menyusuri dinding puri untuk

mencapai ruang samping.

Mendadak Wiku Jaladri berhenti berjalan. Windu segara digapai

untuk mendekatinya.

Pada saat itu terdengarlah suara seorang wanita berkata:

?Anakku. Katakanlah apa maksudmu menjumpai ibu."

Itulah suara putri Sekar Pandan. Windu Segara tidak akan salah

mengenal.

?Ibu mestinya harus sudah tahu maksud kedatangan anda kemari."

terdengar nada suara berwibawa. Windu Segara tidak asing lagi. Itulah

suara Sri Amangkurat.

Sampai disini Windu Segara merasa heran, mengapa Wiku Jaladri

membawanya ketempat kediaman putri Sekar Pandan.

?Amangkurat. jangan berteka-teki. Katakanlah maksud

kedatanganmu kemari." terdengar kembali suara putri Sekar Pandan.

?Baiklah ibu, ananda akan bicara terus terang." berkata Sri

Amangkurat." Bukankah ibu mendengar peristiwa pembunuhan

Kalinggapati?"

?Ya. Aku mendengarnya."

?Untuk mencari si pembunuh, ananda lantas bertindak cepat.

Ananda panggil kyai Ontoboga untuk mencari jejak si pembunuh."

,Ya. Lantas?"

?Kyai Ontoboga bertindak cepat. Jejak kaki yang dicurigainya lantas

ia jilat."

?Hmm."

?Dan sore harinya Tumenggung Suradirja ananda jumpai bengkak

pada telapak kakinya."

Kata-kata Sri Amangkurat yang terakhir ini betul - betul

mengejutkan Windu Segara. Jadi kalau begitu yang membunuh Pangeran

Kalinggapati adalah Tumenggung Suradirja. Ah, tidak mungkin!

Kalau Windu Segara sangat terkejut mendengar kata-kata Sri

Amangkurat, putri Sekar Pandan tidaklah demikian. Ia nampak tenang -51

tenang saja.

?Ah, kasihan Suradirja. Ia menjadi korban kecerobohan."

?Ibu! Jangan meremehkan kyai Ontoboga." potong Sri Amangkurat.

Kali ini nada suaranya meninggi. ?Dia tidak akan bertindak kalau tidak

merasa yakin."

Mendadak nada suara Sri Amangkurat merendah.

?Ibu. sudahlah. Bukalah kartu. Ananda telah mengetahui segala
galanya."

Nada suara Sri Amangkurat itu menimbulkan perasaan aneh dalam

diri Windu Segara.

?Tadi Sore ananda telah berkunjung kerumah Suradirja. Ia telah

mengatakan segala - galanya."

Ruangan itu sunyi sejenak, Kemudian:

?Ya. Ibu dia telah mengatakan segala galanya."

Kata - kata terachir diucapkan dengan nada yang dikenal baik oleh

Windu Segara. Nada suara semacam itulah nada suara Sri Amangkurat

ketika akan mencambuknya.

Oleh karena sangat tertarik pada peristiwa yang tengah terjadi

dihadapannya maka Windu Segara mencoba mengintai dari jendela kaca.

Segera Windu Segara melihat adegan yang terjadi didalam ruangan

itu. Sri Amangkurat yang berdii hanya beberapa langkah dihadapan puteri

Sekar Pandan menunjukkan wajah yang merah padam. Sedang puteri

Sekar Pandan duduk disebuah kursi berukir. Raut wajahnya

mencerminkan perasaan yang sukar diduga.

Saat itulah terdengar seruan tertahan:

?Oh . . . " dan kemudian terlihat puteri Sekar Pandan menutup

muka.

?Suradirja berkata, bahwa ia membunuh Kalinggapati atas

permintaan seseorang." terdengar Sri Amangkurat berkata, tanpa

menghiraukan sikap puteri Sekar Pandan." Orang itu tidak lain dari pada

ibu."

?Oh . . . . " sekali lagi terdengar puteri Sekar Pandan berseru

tertahan.

?Ya, ibulah yang bertanggung jawab!"

Windu Segara terpukau menyaksikan adegan diruangan itu. Sedikit

demi sedikit ia tahu, mengapa Wiku Jaladri mengajaknya datang kepuri

puteri Sekar Pandan.

?Ananda tidak mengerti, ibu. Kenapa justru pada saat Mataram

sedang berprihatin, ibu berbuat semacam ini," kali ini nada suara Sri

Amangkurat sedikit bergetar. Agaknya beliau berusaha menekan

perasaan marahnya.

?Dan ananda lebih-lebih tidak mengerti lagi, karena ibu melakukan

perbuatan ini berdasar alasan yang tidak wajar."

Sri Amangkurat berhenti bicara sejenak, kemudian:52

?Jangan ibu mengira, bahwa ananda tidak tahu, Kesemuanya ini ibu

lakukan semata - mata ibu merasa sakit hati pada Windu Segara yang

telah menolak permintaan ibu untuk melakukan perbuatan terkutuk.

Bukankah demikian, ibu."

Bulu kuduk Windu Segara bangkit berdiri, ketika mendengar

rentetan kata Sri Amangkutat tadi. Ah, sungguh tidak ia duga, bahwa

persoalan ini menyangkut dirinya. Dan yang lebih menakutkan adalah

kata - kata Sri Amangkurat yang terakhir tadi. Dari kata-kata itu jelaslah,

bahwa Sri Amangkurat mnengetahui peristiwa malam itu, ketika puteri

Sekar Pandan berniat yang bukan - bukan.

?Ah, dari mana Sri Amangkurat mengetahui hal itu? Bukankah pada

waktu itu tidak seorangpun yang berada disekitar puri? Kecuali . . . .

?Dan juga ibu bermaksud menghilangkan kepercayaan kawan
kawan Windu Segara terhadap diri pemada itu. Jika rencana ibu

terlaksana maka orang tidak percaya lagi pada Windu Segara. Tidak

percaya pada setiap kata yang diucapkannya. Juga cerita tentang

hubungan gelap ibu dengan Kalinggapati..

Hampir saja Windu Segara mengeluarkan seruan terkejut,

andaikata sebuah telapak tangan yang kuat tidak menutup mulutnya.

Namun begitu tetap terdengar seruan tertahan menggema

diruangan itu, seruan tertahan dari mulut puteri Sekar Pandan.

?Oh . . . ."

Windu Segara merasakan matanya berkunang - kunang. Ah, tidak

la sangka bahwa Sri Amangkurat mengetahui hubungan gelap itu.

Hubungan gelap antara puteri Sekar Pandan dengan Pangeran

Kalinggapati. Dari mana Sri Amangkurat mengetahui hal itu?

Saat itu terkilas kembali bayangan peristiwa yang menimbulkan

perasaan muak itu, dibenak Windu Segara. Peristiwa yang terjadi disuatu

malam yang dingin, ketika secara tidak terduga-duga ia memergokl puteri

Sekar Pandan tengah bercanda dengan pangeran Kaliaggapati. Oleh

kedua orang itu kemudian dia diancam untuk tidak membocorkan rahasia

itu. Dan hingga hari ini memaag rahasia itu tetap disimpan olehnya.

Sungguh tidak diduga bahwa Sri Amangkurat telah mengetahui.

Sementara itu Pandan maupun Sri Amangkurat tidak berkata
kata.

Sesaat kemudian barulah terdengar Sri Amangkurat membuka

bicara:

?Ibu lupa, bahwa sepandai - pandai orang menyimpan bangkai,

suatu ketika akan tersiar bau busuknya."

Berhenti sejenak, kemudian:

? Oh, hampir saja ananda tidak mengetahui persoalan ini andaikata

tidak ada seseorang yang sangat setia pada ananda."

Mendadak puteri Sekar Pandan berseru:
Adji Tameng Wadja Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?Siapakah orang itu, Amangkurat?"53

?Perlu apa ibu mengetahui."

?Perlu apa ibu mengetahui."

?Katakan Amangkurat ! Aku akan mencacah bibirnya!" nada suara

itu adalah nada histeris. Gema suaranya membangkitkan bulu kuduk yang

mendengarnya.

?Tidak, ibu. Aku tidak akan mengatakannya!"

?Hi, hi, hi. Amangkurat! Aku tahu siapa dia! Aku tahu!" Terdengar

kata puteri Sekar Pandan diiringi dengan suara tertawa yang

berkepanjangan.

Windu Segara yang menyaksikan peristiwa itu dari balik jendela

kaca merasa heran. Dipandangnya Wiku Jaladri yang berdiri

disampingnya dengan pandang bertanya. Tetapi Wiku Jaladri nampak

tenang tenang saja.

Mendadak puteri Sekar pandan berlari kebelakang.

?Hi, hi, hi. Amangkurat, lihatlah. Aku akan mencacah bibirnya. Akan

kucacah sepuas hatiku. Sepuas hatiku! Hi, hi, hi ."

Windu Segara tidak menduga, bahwa ia akan menyaksikan

perkembangan peristiwa semacam itu.

?Ibu! Berhentilah! Tak seorangpun akan ibu jumpai di ruang

belakang! Didalam puri ini tidak ada orang selain ibu dan ananda."

terdengar Amangkurat berkata dengan suara menggeledek.

Puteri Sekar Pandan berhenti berlari. Dengan cepat ia memutar

tubuh.

?Hmm. Amangkurat. Kau sembunyikan emban keparat itu?"

Sri Amangkurat mengangguk perlahan.

?Katakan dimana dia!"

Sri Amangkurat tidak menjawab. Melainkan hanya menggeleng.

?Amangkurat, anakku. Katakan dimana dia sekarang. Katakanlah!

Sesudah itu berbuatlah sesukanya terhadapku. Aku tidak akan

membangkang."

?Ibu aku tidak akan berbuat sesuatu, sebelum ajyahanda datang."

berkata Sri Amangkurat perlahan.

Sejenak ruangan itu kembali tenggelam dalam kesunyian. Tetapi

hanya sejenak, karena mendadak terdengar suara tertawa panjang.

?Hi, hi, hi. Amangkurat. Kenapa harus menunggu kakang Mas

Sultan Agung? Kau bebas untuk berbuat Amangkurat Hi, hi, hi

?Mau bunuh aku. Bunuhlah. Hi, hi, hi."

Windu Segara yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri. Raut

wajah putri Sekar Pandan yang cantik jelita hilang tak berbekas dibawah

seringai wajahnya. Suara tertawanya yang tidak berkeputusan itu

membuat suasana diruangan itu menyeramkan.

?Amangkurat. Bunuhlah aku segera! Jangan ragu-ragu! Hi, hi, hi . .

. "

Mendadak Windu Scgara merasa pundaknya disentuh orang Ketika54

ia menoleh kebelakang dilihatnya Wiku Jaladri berjalan kebagian belakang

puri.

Semula Windu Segara heran. Namun begitu ia segera mengikuti.

Dalam waktu yang tidak lama kedua orang itu sudah sampai

dimulut terowongan.

?Windu Segara, kita harus segera kembali. Sri Amangkurat akan

murka kalau memergoki kita mengintip kejadian ini." berkata Wiku

Jaladri. Dan kemudian tanpa menanti reaksi Windu Segara, Wiku Jaladri

lantas menerobos kedalam terowongan.

Bagi Windu Segara tidak ada jalan lain selain mengikuti Wiku

Jaladri. Ketika ia akan memasuki pintu terowongan, sayup2 terdengar

suara tertawa yang membangkitkan bulu roma. Itulah suara tertawa

puteri Sekar Pandan.

Ketika kedua orang itu telah sampai dirumah yang terletak tidak

seberapa jauh dari keraton barulah Wiku Jaladri membuka bicara :

?Windu Segara. Kau tahu bukan maksudku mengajakmu kepuri

Sekar Pandan?"

Windu Segara yang masih tercekam oleh peristiwa yang

disaksikannya, hanya mengangguk.

?Bapa Wrku, apakah disini tersedia air minum?" katanya. ?Dalam

keadaan seperti ini rasa - rasanya aku ingin minum."

Wiku Jaladri tertawa. Segera ia mengambil sebuah kendi yang

terletak didalam almari tadi.

?Nih, Windu Segara. Minumlah sepuas hatimu. Setelah itu ada yang

akan kutanyakan padamu."

Windu Segara lantas meminum air kendi itu sepuas-puasnya.

Setelah minum dirasakannya badannya agak segar.

Mendadak teringatkh ia sesuatu. Cepat berkatalah dia:

?Bapa mengapa Sri Amangkurat menghubungkan peristiwa

pembunuhan pangeran Kalinggapati dengan diriku?"

Wiku Jaladri tersenyum.

?Windu Segara, apakah kau tak tahu, siapa yang sebetulnya telah

mencoba memperkosa puteri Sekar Asih?"

?Sampai sekarang aku belum dapat memecahkan teka-teki ini,

bapa."

?Apakah kau tahu keistimewaan pangeran Kalinggapati."

Windu Segara heran. Ia tidak tahu arah pembicaraan Wiku Jaladri.

?Maksud bapa?"

?Apakah sesuatu yang nampak selalu menyolok dalam diri pangeran

Kalinggapati?"

Windu Segara memutar otak untuk menebak maksud pertanyaan

Wiku Jaladri. Mendadak ia ingat sesuatu.

?Ah, apakah yang bapa maksudkan gelang dari batu pualam yang

sering dikenakan oleh beliau?" demikian Windu Segara memberi55

penegasan.

?Betul, Windu Segara. Kau menebak jitu. Memang itu yang

kumaksud."

?Lantas apa hubungannya dengan peristiwa itu?"

?Gelang itu berhasil dirampas oleh putri Sekar Asih dari

pergelangan tangan orang yang menyergapnya."

?Oh, . . " Windu Segara tersentak." ?Ja . jadi.. "

?Jadi pangeran Kalinggapatilah yang bertanggung jawab dalam

peristiwa itu." potong Wiku Jaladri.

Windu Segera tertegun, la sama sekali tidak menyangka bahwa

pangeran Kalinggapati sampai hati mciakukan perbuatan itu.

?Tetapi, pangeran Kalinggapati melakukan itu atas permintaan

seseorang."

?Seseorang?"

?Ya. Seseorang Seseorang yang mempunyai hubungan rapat

dengan pangeran Kalinggapati."

?Siapakah dia? bapa?"

?Apakah kau belum dapat menebak, Windu Segara?"

Windu Sagara menggeleng.

?Orang itu tidak lain dari pada puteri Sekar Pandan."

Windu Segara merasakan dirinya bagai disambar petir mendengar

keterangan Wiku Jaladri.

?Bapa saya bingung, Bingung, Sangat bingung.

Wiku Jaladri tersenyum, Tersenyum aneh.

?Tak usah kau heran Windu Segara. Memang demikianlah

kehidupan didalam keraton. Penuh tipu, penuh muslihat dan kadang
kadang diselingi dengan tingkah laku yang menjijikkan."

Wiku Jaladri diam sejenak kemudian:

?Puteri Sekar pandan sangat takut ketika hubungannya dengan

pangeran Kalinggapati kau ketahui. Ia khawatir jangan kau akan

membuka rahasia ini. Maka timbullah niatnya untuk menyingkirkan kamu.

Pangeran Kalinggapati dibujuknya untuk mencari siasat. Dan apa yang

terjadi itu adalah siasat yang telah diaturnya."

?Tetapi kenapa setelah rencana itu berhasil pangeran Kalinggapati

lantas dibinasakan?"

?Puteri Sekar Pandan takut pada bayangannya sendiri. Dia ingin

menghilangkan semua jejak dari perbuatan hinanya. Dan ia percaya pada

pangeran kalinggapati. Maka satu satunya jalan ialah dengan

melenyapkan pangeran Kaliaggapati. Tugas untuk melenyapkan jejak ini

dibebankan pada Tumenggung Suradirja."

Windu Segara terlongong - lolong mendengar kisah yang diuraikan

oleh Wiku Jaladri itu. Ia setengah percaya setengah tidak.

?Sekarang tiba giliranku untuk menanyakan sesuatu padamu Windu

Segara?"56

Untuk sejenak Windu Segara terdiam. Demikian pula Wiku Jaladri.

Sehingga karenanya ruangan itu menjadi sunyi.

Tetapi tidak berapa lama terdengar Wiku Jaladri memecah

kesunyian:

?Sekarang tiba giliranku untuk menanyakan sesuatu padamu Windu

Segara?"

Windu Segara tersentak.

?Eh . . . Apakah yang akan bapa tanyakan?"

Wiku Jaladri tidak segera berkata. Ia namapak menatap Windu

Segara.

?Kau tentunya ingat peristiwa yang terjadi pagi tadi Windu Segara?"

?Yang mana?" jawab Windu Segara. Memang hari itu terlalu banyak

peristiwa yang terjadi.

?Petistiwa pagi tadi ketika tubuhmu dililit ujung cambuk."

?Oh, petistiwa itu? Tentu. Saya masih ingat bapa."

?Juga tergulingnya Sindu dan Prana?"

?Ya.. Ya"

?Apakah sebetulnya yang kamu perbuat Windu Segara?"

Pertanyaan itu betul-betul mengejutkan Windu Segara. Ia tidak

menyangka bahwa pertanyaan itulah yang akan diajukan kepadanya

Wiadu Segara tidak tahu bagaimana ia mesti menjawab. Peristiwa itu

betul2 membingungkannya.

?Jawablah dengan sejujur- jujurnya, Windu Segara."

Windu Segara terdiam. Ia semakin kebingungan. Ketika ia

menengadahkan muka, menandang kearah Wiku Jaladri,dilihatnya orang

tua itu tengah menatapnya dengan pandang matanya yang tajam. Windu

Segara tidak berani beradu pandang terlebih lama. Maka cepat-cepat ia

menundukkan mata.

?Bapa, saya tidak tahu Bagaimana saya mesti memberikan

jawaban. pertanyaan bapa ini. Saya tidak tahu. Apa yang sebetulnya

telah terjadi "

?Baiklahh Windu Segara Jika kau tidak mau mengaku. Aku akan

memaksamu menjawab dengan cara lain."

Begitu habis berkata mendadak wiku Jaladri meloncat kehadapan

Windu Segara. Telapak tangannya dihantamkannya kepundak W.indu

Swgara.

x x x

V. AJI TAMENG WAJA.

????????????????????????????????????????????????????????????57

Windu Segara sangat terkejut melihat sikap Wiku Jaladri. Ia sama

sekali tidak mengira kalau Wiku itu akan melancarkan serangan kepada

nya.

Secepat kilat ia berusaha untuk menghindar. Namun usahanya sia
sia belaka. Saat itu Wiku Jaladri sudah sampai dihadapannya sedang

ayunan telapak tangannya sudah menderas.

Apa yang dapat diperbuat Windu Segara hanyalah membiarkan

dirinya terhantam telapak tangan Wiku Jaladri.

Windu Segara lantas merasakan sentuhan tenaga yang sangat kuat,
Adji Tameng Wadja Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika tubuhnya terhuyung kebelakang beberapa langkah. Tetapi

sebaliknya sementara itu Windu Segara melihat wajah Wiku Jaladri

berobah - obah. Tubuhnya juga nampak sedikit tergetar.

Sejenak keduanya tidak bicara. Windu Segara mencoba menatap

Wiku Jaladri, tetapi ia tidak berani beradu pandang terlcbih lama. Sinar

mata Wiku Jaladri yang saat itu menatapnya ibarat kilatan pisau belati.

?Windu Segara, apakah kau tetap bersikeras untuk tidak

mengatakan dengan sebenarnya apa yang telah terjadi?" terdengar Wiku

Jaladri berkata dengan nada suara dalam.

Windu Segara bingung, Namun begitu ia toh berkata:

?Bapa, apa yang mesti kukatakan. Aku bingung, sangat bingung.

Ya. Inilah yang dapat kukatakan."

Sekali lagi Windu Segara melihat Wiku Jaladri menatapnya tajam
tajam.

?Hmm. Bila demikian silakan pulang Windu Segara. Lewatkanlah

malam ini untuk beristirahat."

Windu Segara lantas meminta diri

Sesampai dirumah Ki Wisrawa, tanpa mcnghiraukan ayah

angkatnya yang keheranan menyaksikan tingkah lakunya Windu Segara

langsung menuju kepembaringan. Setelah membaringkan tubuh, Windu

Segara merasa agak lega. Beban pikiran yang tadi serasa memberati

kepalanya agak berkurang.

Hanya saja anjuran Wiku Jaladri untuk menikmati istirahat pada

malam itu tak dapat ia laksanakan.

Semalaman itu ia tidak dapat memicingkaan mata. Segala macam

peristiwa yang ia alami sejak semalam hingga disepanjang hari itu sangat

membekas dalam kenangan Windu Segara. Juga pengalamannya bersama

Wiku Jaladri ketika mengintai puri putri Sekar Pandan masih mencekam

perasaannya.

Kesemuanya itu masih ditambah dengan sikap aneh dari Wiku

Jaladri.

?Ah, mengapa kesemuanya aku alami dalam satu hari saja?"

keluhnya. Kepalanya serasa tidak muat memikirkan segala peristiwa itu.

Keesokan harinya ketika ia mendapat panggilan Tumenggung

Nirbita, ia berangkat ke istana dengan badan tidak enak. Tetapi ketika ia58

berjumpa dengan Sindu dan Prana yang nampak segar bugar ia merasa

gembira.

Lebih2 sikap Prana yang telah pulih terhadap dirinya sangat

menyegarkan Windu Segara. Sama sekali tidak terlihat sinar mata

kecurigaan terpancar dari sinar mata Prana.

Orang yang memergoki dirinya akan berbuat tidak senonoh

terhadap diri putri Sekar Asih, ternyata tidak mengingat-ingat peristiwa

semalam itu.

Disela-sela kegembiraan Windu Segara agak merasa sedih juga

ketika mendengar Sri Amangkurat mengumumkan hukuman yang

dijatuhkan atas diri Tumenggung Suradirja dengan dakwaan atas diri

pangeran Kalinggapati.

Tumenggung Suradirja pemimpin dari prajurit Wiraraja yang tidak

diberangkatkan, dijatuhi hukuman mati. Anjuran Wiku Jaladri kepada Sri

Sultan Agung sebelum hukuman didjatuhkan, tidak dihiraukan oleh Sri

Amangkurat.

Mengenai nasib puteri Sekar Pandan, Windu Segara tidak

mengetahuinya dengan pasti. Hanya saja semenjak itu ia tidak

mengetahuinya dengan pasti. Hanya saja semenjak itu ia tidak pernah

mendapat tugas untuk mengawasi puri. Dan bukan hanya dia melainkan

juga kawan - kawan nya yang lain.

Puri tempat kediaman puteri Sekar Pandan itu seperti tenggelam

dalam kabut keanehan. Sudah barang tentu hal ini menimbulkan rasa

heran dihati sekalian prajurit Singasari. Tetapi perasaan heran mereka itu

tinggal perasaan heran. Mereka tidak berhasil menyingkapkan kabut itu

sedikit jugapun.

Windu Segara yang mengetahui sebab musababnya tetap

membungkam. Ia tidak berani membuka mulut.59

Tanpa terasa sepuluh hari telah lewat. Selama hari-hari itu Windu

Segara berhasil menenangkan diri. Kegoncangan jiwa yang disebabkan

peristiwa sepuluh hari berselang lambat laun sembuh. Pada malam
malam dihari kesembilan dan kesepuluh ia sudah dapat tidur nyenyak

tanpa adanya gangguan impian buruk.

Tiba-tiba Segara teringat sesuatu. ?Ah, mengapa aku sampai

melupakan bapa Bargawa?" demikian katanya dalam hati.

Ya. Saat itu mendadak Wlndu Segara teringat pada orang tua yang

hidup menyendiri ditepi hutan itu.

?Aku harus menjenguknya. Orang tua itu pasti mengharapkan

kedatanganku." demikian pikirnya.60

Keesokan harinya Windu Segara lantas berkemas untuk

mangunjungi Ki Bargawa. Ia berangkat dengan bersemangat. Ia merasa

akan mendapat hiburan segar pada saat2 ber-cakap2 dengan orang tua

itu.

Dalam waktu yang tidak lama Windu Segara sampailah ketempat

yang dituju, rumah Ki Bargawa. Begitu sampai didepan pintu rumah ia

lantas uluk salam.

Tetapi tak terdengar jawaban.

Windu Segara tidak sabar. Pintu rumah itu didorongnya. Dan . . .

alangkah kecewa Windu Segara ketika tidak menjumpai orang tua itu

diatas balai-balainya.

?Apakah ia tengah pergi mencari kayu bakar kehutan?" demikian

pikirnya. Dengan hati kesal Windu Segara duduk di-balai2 tempat ki

Bargawa biasa berbaring.

Mendadak Windu Segara mendengar suara langkah kaki mendekat.

Seketika kekecewaan hatinya lenyap. Cepat ia melangkah keambang

pintu untuk menyambut.

Tetapi begitu kakinya menginjak ambang pintu, ia terkejut bagai

disambar petir.

?Windu Segara, apa yang kau kerjakan disini?" berkata orang yang

baru datang itu yang disagkanya Ki Bargawa.

?Ba . . Bapa Wiku Jaladri?" sapanya tergugu.

Memang. Langkah2 kaki tadi tidak lain dari pada langkah kaki Wiku

Jaladri, orang yang berpengaruh diistana Karta.

?Siapakah penghuni rumah ini Windu Segara. Agaknya kau telah

kenal baik dengannya." berkata Wiku Jaladri terlebih lanjut.

Windu Segara masih belum hilang lanjutnya ketlka menjumpai

kehadiran Wiku Jaladri yang begitu mendadak. Karena itu tidak segera

memberi jawaban, Baru setelah Wiku Jaladri mengulangi pertanyaanya,

barulah ia memberikan jawaban.

Windu Segara lantas berceritera tentang pertemuannya dengan ki

Bargawa, mulai dari diketemukannya orang tua itu dalam keadaan sakit

ditengah hutan hingga usaha-usaha yang ia lakukan untuk merawat

orang tua itu.

?Dan sekarang apa yang kau kerjakan disini?" berkata Wiku Jaladri

setelah Windu Segara selesai bercerita.

?Sudah sepuluh hari ini saya tidak menjumpainya. Saya ingin

bertemu dengannya."

?Windu Segara, kau akan sia - sia menunggunya. Orang yang kau

katakan bernama kl Bargawa itu tidak akan datang."

?Kenapa bapa?"

?Entahlah. Tetapi perasaanku mengatakan demikian." jawab Wiku

Jaladri. Yang jelas kau berhasil menarik keuntungan yang sebesar
besarnya dari pertemuanmu yang amat singkat dengan orang tua itu."61

Windu Segara heran.

Namun tanpa menghiraukan Windu Segara yang keheranan Wiku

Jaladri terus berkata:

?Ia telah menanamkan dasar peryakinan aji Tameng Waja dalam

tubuhmu !"

?Aji Tameng Waja?" Windu Segara tersentak. Ia pernah mendengar

disebutnya nama ajian iiu. Tetapi hanya dalam cerita. Kini mendadak

Wiku Jaladri menyebutkannya.

?Kejadian yang menimpa Sindu dan Prana ketika mencambukmu

adalah berkat aji Tameng Waja yang sudah tertanam dalam tubuhmu."

?Tetapi , . . " Windu Segara akan membantu, tetapi kata-katanya

terhenti. Ia teringat pada pengalamannya ketika sering kali berkunjung

kerumah ki Bargawa, disaat-saat orang tua itu telah sembuh dari

penyakit yang dideritanya.

Ki Bargawa sering memijit-mijit tubuhnya disertai memberikan

petunjuk cara mengatur nafas yang aneh. Dan apa bila hal itu ia lakukan

sebaik-baiknya, ia marasakan kesegaran yang luar biasa.

Windu Sugara lantas menceriterakan hal itu pada Wiku Jaladri.

?Windu Segara itulah salah satu cara yang ia tempuh untuk

menggemblengkan aji Tameng Waja tanpa sepengetahuanmu." berkata

Wiku Jaladri setelah Windu Segara selesai bercerita. Ia memang yakin

bahwa hal itu tidak disadari Windu Segara.

?Nah sekarang marilah kita kembali ke Karta."

Windu Segara tidak berani membantah. Ia lantas mengikuti Wiku

Jaladri kembali ke Karta.

T A M A T.

?


Joko Sableng Pedang Keabadian Roro Centil 14 Manusia Beracun Pengemis Binal 18 Tengkorak Kaki Satu

Cari Blog Ini