Aileen Karya Sherls Astrella Bagian 2
Aileen merasa panas membakar wajahnya diiringi degup jantungnya yang bertambah cepat. " Aku akan memesan sesuatu untukmu," ia menarik tangannya dari genggaman Evans dan memunggungi pemuda itu sebelum wajahnya terlihat.
Evans mengulum senyum senangnya. Ia yakin ia melihat pipi merah Aileen. Saat ini, baginya, itu cukup untuk membuktikan Aileen bukan tidak mempunyai perasaan apa pun padanya.
" Apa kau sudah gila!? Tersenyum-senyum sendiri seperti orang kurang waras!" Leopold tiba-tiba muncul menghardik dan ia memperingati Evans dengan tajam, " Jangan menggoda pekerjaku selama kau di sini." Lalu ia melihat Aileen. " Kalau kau punya waktu untuk bergurau dengan tamu, mengapa kau tidak membantuku berbelanja."
" Baik, Leopold," Aileen melepas apronnya dengan rasa bersalah.
" Ini daftar belanjanya," Leopold mengeluarkan secarik kertas dari dalam kantongnya dan menyerahkannya pada Aileen.
" Aku akan mengambil tas dan segera berangkat," Aileen menerima kertas itu dan langsung melesat ke lantai atas untuk bersiap-siap. Sesaat kemudian Aileen kembali ke lantai bawah siap untuk pergi.
" Kau sudah membawa daftar belanjamu?" Evans berdiri ketika Aileen mendekat.
Aileen melihat Evans dengan heran. Ia semakin bingung ketika Evans membuka pintu untuknya.
" Aku akan mengantarmu," Evans menjawab kebingungan Aileen.
" Tetapi& ," Aileen melihat ke restoran yang kosong.
" Leopold mengusirku. Ia tidak ingin melihatku menggodamu di rumah makannya. Katanya aku hanya akan merusak reputasinya." Tanpa menanti jawaban Aileen, Evans menggandeng tangan gadis itu, " Aku punya banyak waktu kosong hari ini untuk mengantarmu."
Aileen mengikuti Evans tanpa protes lagi. Setelah ia pikir-pikir, pergi bersama Evans lebih baik daripada pergi sendiri. Ia sempat melihat daftar belanja Leopold. Panjangnya daftar belanja itu membuatnya yakin ia tidak sanggup berbelanja seorang diri. Sialnya, Sigrid yang selalu berbelanja bersamanya tidak ada di rumah. Pagi ini Sigrid telah meninggalkan rumah untuk memenuhi janji dengan temannya.
" Kau mau ke mana?" tanya Evans begitu ia sudah menyalakan mesin mobilnya.
" Ke Careffour," jawab Aileen. Hanya itulah satu-satunya supermarket terdekat dan di sana pulalah ia sering berbelanja.
Evans tidak membuang waktu untuk mengantar Aileen. Leopold telah memberinya kesempatan ini. Ia telah membantunya membawa Aileen pergi. Ia tidak punya alasan menyia-nyiakan kesempatan ini. Untuk itu ia telah menyiapkan rencana.
" Kita sudah tiba," Evans menghentikan mobil.
Aileen langsung melangkah keluar ketika Evans mematikan mesin mobil.
Evans tersenyum melihat gadis itu sudah menantinya di sisi mobil dengan wajah tidak sabar. Ia yakin tugas berbelanja ini akan segera usai. Semula itulah perkiraannya namun ia mulai kehabisan kesabaran ketika dua jam hampir berlalu.
Evans melihat Aileen yang berjalan perlahan-lahan di antara rak-rak peralatan dapur. Evans kesal melihat Aileen mengamati panci-panci itu satu per satu dengan teliti. Ia tidak mengerti apa yang mereka lewatkan. Semua barang pesanan Leopold sudah ada di dalam kereta yang ia bawa.
Aileen mengambil sebuah cangkir keramik dan mengamatinya dengan hati-hati.
Apa lagi yang ia cari di sini? pikir Evans lelah. Ia tidak pernah menyangka berbelanja di supermarket bisa begitu lama seperti ini. Dan yang lebih tidak pernah disangkanya adalah seorang gadis muda bisa berlama-lama berkutat di daerah perabotan rumah tangga! Ia tidak tahu mata seorang gadis bisa bersinarsinar hanya dengan melihat barang-barang yang digemari ibu rumah tangga!
Aileen meraih cangkir di deret lain dan mengamatinya baik-baik.
" Kau ingin membeli cangkir?" Evans membuka suara.
" Aku tidak terlalu membutuhkannya tetapi cangkir-cangkir ini sangat lucu," jawab Aileen.
" Kalau memang tidak perlu, jangan membeli."
Aileen merenung. Ia memperhatikan cangkir-cangkir di tangannya satu per satu.
Dari pandangan matanya, Evans tahu Aileen sangat menginginkan cangkircangkir itu. Matanya itu tak berbeda dari para wanita yang bingung antara membeli atau tidak membeli baju yang menarik hatinya. " Kalau kau memang menginginkannya, beli saja."
" Tetapi aku tidak tahu mana yang harus kubeli." Lagi-lagi Aileen menimangnimang dua cangkir itu dengan bingung.
Evans tidak tahu Aileen bisa seperti seorang wanita yang sedang berbelanja ketika menghadapi barang-barang seperti ini. Evans tidak mengerti apa yang menarik dari barang-barang rumah tangga ini.
Tiba-tiba Evans ingat Aileen pernah berkata ia lebih suka melihat-lihat peralatan dapur daripada baju-baju. Daripada department store, ia lebih suka toko buku. Evans ingat ketika menemani kedua ibu mereka berbelanja, Aileen suka mengeluh lelah. Tidak jarang ketika diajak pergi, Aileen lebih suka menanti di dalam mobil merajut!
Evans melihat Aileen yang masih kebingungan menentukan pilihannya. Aileen memang berbeda dengan gadis-gadis yang dikenalnya tetapi ia tetap seorang gadis. Evans mengulum senyumannya. Ia menikmati ekspresi bingung Aileen. Ia menikmati kegundahan hati Aileen. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk menikmatinya.
Tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu di tempat yang membosankan ini, Evans mendesak dengan tidak sabar, " Cepat, putuskan!"
Aileen termenung.
" Apa sulitnya memilih satu di antara dua benda ini!?" Evans tidak sabar melihat Aileen terus memperhatikan dua cangkir itu secara bergantian, " Kau hanya perlu mengambil mana yang lebih kausukai."
" Aku suka keduanya."
" Beli saja keduanya."
" Tapi aku hanya ingin satu."
" Pilih saja salah satu."
" Aku suka gambar ini," Aileen menyodorkan cangkir putih dengan lukisan pemandangan bergaya Cina kuno. " Tapi ini juga lucu." Aileen menyodorkan cangkir dengan gambar beruang coklat.
" Kau benar-benar merepotkan! Aku suruh kau pilih salah satu, kau bilang kau suka keduanya. Aku suruh kau beli keduanya, kau bilang hanya ingin satu."
" Apa boleh buat, aku adalah seorang Gemini."
" Apa hubungannya dengan Gemini!? Kau dari dulu selalu begini!" Evans kesal. Kalau ia tidak segera bertindak, mereka bisa menghabiskan waktu seharian di sini. Evans mengambil cangkir beruang dari tangan Aileen. " Itu lebih cocok untukmu."
Aileen kaget bercampur bingung.
" Cepat! Kita sudah tidak punya waktu lagi," ia menggandeng tangan Aileen dan tangannya yang lain mendorong kereta belanja mereka ke kasir.
Tanpa memberontak, Aileen ikut mengantri di kasir untuk membayar belanjaan Leopold dan cangkir itu.
" Simpan ini," Evans menyodorkan sebuah cangkir pada Aileen ketika gadis itu menyimpan cangkirnya dengan hati-hati. Aileen tertegun melihat cangkir beruang itu.
" Cepat! Kita sudah tidak punya waktu," Evans mendesak dan mengambil tas belanjaan Aileen. Ia sudah tidak sabar sehingga begitu Aileen menyimpan cangkir itu di dalam tasnya, ia segera menarik tangan gadis itu.
" Apa kau punya urusan penting?" tanya Aileen ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
" Ya," jawab Evans. Belum sempat Aileen bereaksi, ia sudah melanjutkan, " Perutku sudah minta diisi."
Aileen teringat tujuan semula kedatangan Evans di restoran keluarga Wilder. " Aku akan menyiapkan makanan untukmu begitu kita tiba," katanya. " Tidak perlu. Kita tidak akan kembali ke sana."
Aileen kaget. " Apa!? Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku." Ini adalah jam kerjanya. Ia tidak pernah meninggalkan restoran ketika ia sedang bekerja kecuali atas perintah Leopold seperti saat ini.
" Aku sudah meminta ijin Leopold," Evans menerangkan, " Hari ini kau boleh pergi bersamaku sepanjang hari. Sigrid akan menggantikan tugasmu."
Aileen tidak pernah mendengar hal ini. Ia tidak tahu apa yang sedang direncanakan Evans tetapi tiba-tiba saja inderanya memberitahunya Evans tidak merencanakan ini seorang diri.
Leopold yang tidak pernah menyukai pria-pria yang mencoba mendekatinya, tidak mungkin memberi Evans ijin dengan mudahnya. Bahkan setelah merestui Geert, Leopold tetap tidak suka bila Geert menggodanya apalagi membawanya pergi seharian.
Bagi Leopold, merestui dan mengijinkan adalah hal yang berbeda. Ia memang menutup sebelah mata ketika Geert mencoba menarik perhatiannya tetapi ia tidak pernah suka ketika ia menjawab godaan Geert. Seperti yang dikatakannya pada Evans, ia tidak mengijinkan tamunya menggoda pegawainya karena itu hanya akan merusak reputasi restoran yang dibangunnya dengan susah payah. Tidak jarang Leopold memanggilnya ketika ia tidak bisa menoleransi sikap Geert. Di lain waktu, ia akan mengusir Geert dan dirinya. " Kalau ingin berpacaran, lakukan di luar! Jangan mencemari tempatku!" katanya tiap kali.
Aileen sama sekali tidak curiga ketika Leopold menyuruhnya berbelanja. Ini adalah satu dari sekian cara Leopold untuk menyelamatkannya dari godaan para tamu lelaki. Ia juga tidak terlalu heran ketika Leopold membiarkan Evans menawarkan bantuan. Leopold sudah tahu Evans adalah sepupunya. Leopold juga sadar ia tidak mempunyai alasan untuk mencegah Evans berhubungan dengan saudaranya. Tetapi, mengijinkan Evans untuk membawanya pergi sepanjang hari?
Leopold yang konservatif itu tidak mungkin memberi Evans ijin! Leopold selalu menekankan pada Geert untuk memulangkannya sebelum jam sembilan malam. Leopold memasang wajah masam ketika ia pulang larut beberapa hari lalu. Ini tidak mungkin!
Sigrid yang selalu mempunyai acara bersama teman-temannya di hari Sabtu juga tidak mungkin mempunyai waktu luang untuk menggantikan tugasnya. " Tidak mungkin," Aileen mengutarakan keragu-raguannya.
" Kau tidak percaya padaku?" Evans bertanya. Ia mengeluarkan handphonenya. " Kau mau menanyakannya langsung?" ia menyerahkan handphonenya.
" Tidak," Aileen cepat-cepat menolak, " Aku percaya padamu."
Evans tersenyum puas.
Aileen menyadari mobil menjauhi restoran Leopold. " Kita tidak pulang dulu untuk menaruh barang belanjaan Leopold?"
" Tidak mengapa," jawab Evans, " Barang-barang itu tidak akan rusak."
Aileen melihat kantong-kantong kertas di bangku belakang. Pantas saja Leopold tidak menyuruhnya barang yang perlu segera disimpan di dalam lemari es.
Aileen kembali melihat Evans.
Pemuda itu sedang tersenyum gembira!??
Aileen tidak yakin akan penglihatannya.
" Ada apa?" tanya Evans menyadari Aileen tengah memperhatikannya.
" Tidak ada apa-apa," Aileen segera memalingkan wajah. Ia pasti telah salah melihat. Evans tidak mungkin gembira hanya karena berhasil mengajaknya pergi. Ia pasti berpikir terlalu banyak. Leopold tidak punya alasan untuk membantu Evans. Mereka juga tahu pernikahan antar saudara bisa menyebabkan mutasi DNA yang berakibat buruk pada keturunan mereka.
Mutasi DNA& Aileen termenung. Satu lagi alasan kuat untuk tidak jatuh cinta pada Evans, muncul. Dengan ini apa ia masih buta? Tidak mungkin! Aileen tidak ingin keturunannya cacat hanya karena keegoisannya.
Sekarang ia pasti bisa membunuh perasaan yang belum berkembang ini. Sekarang ia pasti bisa melihat Evans hanya sebagai seorang kakak! Tak sampai satu jam kemudian, perasaan itu lenyap dari hati Aileen.
Aileen mendesah. Ini adalah satu dari sekian penyebab mengapa sampai sekarang ia tidak pernah berpacaran. Gemini, sang anak kembar, bukanlah orang yang setia. Ia mudah jatuh cinta dan mudah berpaling hati.
Kapankah ia akan menemukan cinta sejatinya? Aileen ragu. Dengan sifatnya yang seperti ini, ia yakin ia tidak akan pernah menemukannya. Lagipula, lelaki manakah yang mampu bertahan dengan sifatnya yang berubah-ubah ini?
Aileen termenung.
Evans sudah bosan dengan keadaan diam mereka. Sejak mereka di dalam mobil, Aileen sudah berdiam diri. Pada awalnya ia tidak mempedulikannya tetapi lama kelamaan ia mulai merasa risih. Ia merasa Aileen sama sekali tidak menganggap keberadaannya!
Selama menyantap makanannya, Aileen berdiam diri. Sekarang setelah selesai menyantap makan siangnya, ia melamun.
Tangan kiri Aileen menopang dagunya sementara tangannya memainkan sendok dalam gelas. Pandangannya menerawang keluar. Entah apa yang tengah dipandanginya.
Evans menggerak-gerakkan tangan di depan wajah Aileen tapi gadis itu sama sekali tidak berkedip juga menoleh. " Apa yang kaulamunkan?" Aileen tidak menjawab.
" Kau melamunkan Geert?"
Aileen tidak membuka suara.
Evans kesal. " Untuk apa kau terus memikirkannya. Toh dia sudah mengkhianatimu."
Aileen terperanjat. Dengan matanya yang membelalak lebar, ia bertanya, " Kau& tahu?"
" Aku tidak buta! Aku tidak tuli! Semua orang tahu Balkanende mengkhianatimu."
" Dia tidak mengkhianatiku," Aileen setengah berbisik. Setiap kali diingatkan hal ini, hatinya selalu sakit. Entah kapan perasaan ini akan hilang. Evans semakin kesal mendengarnya. " Mengapa kau terus berpihak padanya!?"
Dengan suara tenangnya, Aileen membenarkan, " Aku tidak pernah berpihak pada siapa pun. Aku hanya memberitahu kenyataan." Ia tidak punya alasan untuk berbicara atas nama Geert. Ia juga tidak perlu menutupi kesalahan Geert karena pemuda itu tidak pernah melakukan kesalahan yang dituduhkan padanya.
" Aileen!" protes Evans, " Ada apa dengan otakmu!? Dia sudah mengkhianatimu! Untuk apa kau terus membelanya!? Apa kau sudah sedemikiannya butanya hingga otakmu menjadi tumpul. Pria itu tidak memiliki kelebihan apapun yang pantas untuk kau pikirkan!!"
Mata jernih Aileen menjadi sendu. " Jangan bicarakan dia."
" Mengapa tidak?" sahut Evans, " Kau di sini tapi pikiranmu melayang ke sana."
Aileen menatap Evans. " Lalu mengapa?" tanyanya polos.
" Aku tidak suka!" potong Evans, " Pria itu tidak lebih baik dariku. Di sini aku berusaha memulihkanmu tetapi kau tidak memberi kesempatan dirimu sendiri untuk pulih."
Aileen membelalak. Inikah alasannya? " Kau tidak perlu melakukannya. Aku tidak pernah memikirkan Geert."
" Alasan!" Evans tidak mengerti mengapa Aileen masih terus membela Geert. " Kalau kau memang mau memikirkan dia, lebih baik kau pergi!"
Aileen menatap Evans dengan mata sendunya. Ia mengambil tas di sisinya dan dengan tenang, ia berdiri.
Evans panik. " Kau mau ke mana!?" ia menarik tangan Aileen.
Aileen melihat Evans. " Jalan-jalan. Aku bosan di sini," ia memberikan jawaban yang terlintas di kepalanya.
" Aku juga bosan," Evans ikut berdiri.
Aileen menangkap nada lega dalam suara Evans tapi ia diam saja. Ia juga mendiamkan Evans yang mengapit tangannya. Aileen sadar mereka berjalan bergandengan seperti sepasang kekasih tapi ia tidak memusingkannya.
Sejujurnya, saat ini ia tidak mempunyai ruang kosong di kepalanya untuk memikirkan hal itu.
Aileen tidak dapat menghalangi kehangatan yang menghangatkan dadanya. Evans adalah pemuda yang seperti ini. Tanpa segala pesonanya pun, ia pasti dapat dengan mudah mendapatkan wanita yang diincarnya. Karena itu pula ia tidak pernah bosan mengagumi Evans. Walaupun sekarang ada satu keburukannya yang membuatnya bosan, sesaat kemudian pasti ada kelebihannya yang kembali bersemi.
" Evans," Aileen merasa ia perlu mengutarakannya, " Kau adalah kakak yang penuh perhatian. Aku selalu menyukaimu." Hatinya terasa hangat. Kesedihan yang sesaat lalu masih menggerogoti hatinya sekarang sudah hilang.
Langkah kaki Evans terhenti. Matanya yang melebar menatap tajam Aileen.
Aileen tersenyum. " Aku senang mempunyai kakak sepertimu."
Tangan Evans mengepal di sisinya. Ia merasa amarah di dadanya sudah berada di pangkal tenggorokannya.
Dengan wajahnya yang polos dan suaranya yang tanpa dosa, Aileen kembali menekankan, " Selamanya kau adalah kakak yang paling kusayangi."
Evans merasa paku ditancapkan ke hatinya.
" Sekarang kita akan ke mana?" Aileen bertanya manja.
Evans menyerah. Ia tidak mengerti bagaimana harus bereaksi. Gadis ini benarbenar seorang penyihir. Di suatu saat ia dengan wajah malaikatnya, menancapkan paku tepat di hati korbannya. Di saat lain ia dengan wajah genitnya menggaet korbannya.
" Evans?" Aileen menatap Evans dengan mata kekanak-kanakannya.
Ini adalah salah satu bagian dari sang Gemini murni yang membuatnya tidak dapat berhenti memikirkannya.
" Kau punya tempat yang ingin kaukunjungi?" tanya Evans, " Kalau kau tidak punya, aku yang memutuskan."
" Tidak ada," jawab Aileen.
" Maka," Evans mengambil tangan Aileen ke lengannya, " Aku yang mengatur kencan ini."
Aileen hanya tersenyum lebar. Tidak ada salahnya membiarkan mimpi masa kecilnya terkabul.
RatuBuku
Chapter 7
Aileen Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aileen memperhatikan Evans yang sedang berdiskusi dengan serius. Dari cara berpakaian kedua pria itu dan dari sinar mata mereka, Aileen dapat menebak mereka tengah membicarakan masalah bisnis. Yang tidak dimengerti Aileen adalah mengapa Evans harus membicarakan masalah bisnisnya di restoran ini. Ini bukan pertama kalinya Evans muncul di siang hari bersama rekan kerjanya. Entah mengapa Aileen merasa ini juga bukan yang terakhir kalinya Evans mengadakan rapat pentingnya di sini.
" Lagi-lagi kau melihat Evans," Sigrid menggoda.
" A-aku tidak memperhatikannya," Aileen membantah. Demi sepasang mata curiga yang menatapnya itu, Aileen menambahkan, " Aku tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini dia sering mengadakan rapat kerja di sini. Restoran kita bukan kantornya!"
Sigrid mengulum senyumnya. " Kau tidak suka?"
" Tidak ada hubungannya denganku!"
" Tentu saja ada. Dia bisa berada di sini karena seseorang," Sigrid menatap Aileen lekat-lekat, " Dia takut pria lain akan merebut hati orang itu."
" Omong kosong!" sahut Aileen, " Dia tidak punya alasan untuk mengkhawatirkanku." Ia sudah menegaskan hubungannya dengan Geert. Bukan hanya sekali tetapi berkali-kali hingga rasanya tiap mereka bertemu Aileen pasti menegaskannya kembali.
" Oh, kau sudah mengakuinya?" Sigrid terperanjat.
Ingin menyangkalnya pun sudah hampir tidak mungkin. Sikap Evans sudah tidak perlu disangkal. Keluarga Wilder, termasuk Leopold yang selalu kritis pada pengagum Aileen, sudah menegaskan sikap. Satu-satunya yang membuat kekeraskepalaan Aileen bertahan adalah pernyataan Evans di masa lalu.
" Aku akan merapikan meja," Aileen melihat satu keluarga beranjak pergi.
Memperhatikan Aileen merapikan meja, Helena memunculkan kepala di lubang dinding dapur dan berkomentar, " Dia memang keras kepala."
" Aku bisa mengerti kekeraskepalaannya itu," Sigrid menanggapi. " Semuanya itu kembali pada Evans."
" Aku yakin ia bisa membuktikan kesetiaannya pada Aileen," kata Helena, " Aku yakin hanya dia yang sanggup mengobati luka hati Aileen."
" Dia kembali," Sigrid memperingati. Helena segera menghilang ke dalam dapur.
Aileen meletakkan nampan berisi piring-piring kotornya di counter dapur. Matanya menatap Sigrid penuh ingin tahu.
" Ah, ada tamu," Sigrid menyingkir.
Aileen membunyikan bel di counter dapur.
" Letakkan di sana."
Aileen menurutinya. " Helena," Aileen bersandar di sisi counter. Ia ingin mengetahui isi pembicaraan mereka. " Hari ini adalah hari yang lenggang." Ia tidak tahu bagaimana memulai.
" Beginilah resiko membuka restoran. Ada saatnya ramai, ada juga saatnya sepi. Kita tidak bisa menebaknya."
Otak Aileen berputar keras. Bagaimana ia harus membuka memulainya? Bila ia menanyakannya, pasti akan membuat mereka yakin ia juga menyukai Evans. Tidak mungkin tidak. Untuk apa ia mengetahui isi pembicaraan mereka kalau ia tidak peduli? Mungkin sebaiknya ia tidak menanyakannya. Toh ia sudah dapat menebaknya. Tetapi& ia ingin tahu isi pembicaraan mereka.
Aileen terkejut oleh suara bel yang dipasang di dekat pintu. Matanya terpaku pada pemuda yang berjalan ke arahnya dengan senyum lebar. Sesuatu memperingatinya yang dituju pemuda itu tak lain adalah dirinya.
" Kau sudah puas?" Evans mengurung Aileen di tembok.
" Siapa yang sedang melihatmu!?" Aileen membuang muka.
" Aku tidak mengatakannya," Evans tersenyum puas membuat Aileen kesal.
" Mengapa kau di sini? Bukannya kau ada rapat?"
" Rapatku sudah usai." Saat itulah Aileen menyadari tamu Evans sudah tidak ada. " Tanggalkan celemekmu," perintah Evans kemudian.
Aileen hanya melihat Evans dengan bingung.
" Kau ingin aku melepaskanmu untukmu?" Evans menawarkan diri.
" Ti-tidak perlu!" Aileen langsung menolak.
Evans hanya menahan senyum gelinya dan menanti Aileen melepas celemeknya. Segera setelah Aileen meletakkan celemeknya di counter dapur, Evans meraih tangannya, " Ayo kita pergi."
Aileen terperanjat. " Apa yang akan kaulakukan!?"
" Aku tidak akan melakukan apa-apa. Aku hanya akan membawamu pergi," Evans meraih tas kerjanya di meja.
Aileen dengan setengah berlari mengikuti langkah lebar Evans. " Engkau mau membawaku ke mana?"
" Sudahlah ikut saja," Evans membuka pintu.
" Kau bisa membuatku dipecat," protes Aileen.
" Aku sudah meminta ijin pada majikanmu."
" APA!!!?"
Evans pura-pura tidak mendengar seruan Aileen.
Ia bersiul-siul senang sambil menarik Aileen meninggalkan Sigrid dan Helena yang mengulum senyum memperhatikan mereka.
" Evans, kau akan membawaku ke mana!?" Aileen bertanya lagi dengan panik.
Evans terus bersiul-siul gembira. Langkah-langkah lebar dan cepat Evans lamalama membuat Aileen kesal. " Apa kau tidak bisa berjalan pelan?"
Hardikan itu membuat Evans tersadar. " Maaf," katanya ringan sambil memperlambat langkah. " Aku terlalu senang bisa membawamu keluar hingga lupa segalanya."
Aileen mengacuhkannya. Evans seperti baru kali ini berhasil memaksanya pergi. Apakah ia tidak ingat sudah berapa kali ia menculiknya dari tempat kerjanya?
Dasar lelaki, gerutu Aileen di lubuk hatinya, Selalu saja mau menang sendiri.
" Sekretarismu pasti marah-marah."
" Mengapa ia harus marah padaku?"
" Engkau melimpahkan semua tugasmu padanya dan kabur dari kantor."
Evans tersenyum. " Engkau masih perlu mengenalku bila kau ingin menjadi sekretarisku."
" Aku tidak pernah ingin menjadi sekretarismu!" bantah Aileen.
" Sebagai informasimu, aku bukan seorang yang tidak bertanggung jawab. Aku tetap melakukan tugasku walau aku tidak berada di kantor."
" Restoran Wilder bukan kantormu! Jangan seenaknya menjadikan tempat kami ruang rapatmu! Kami tidak menyukainya?"
" Benarkah?" tanya Evans, " Yang aku ketahui, Leopold sangat menyambut kedatanganku. Wilder juga berterima kasih padaku. Aku membantu mengembangkan usaha mereka. Kau tahu rekan rapatku bukan orang biasa. Mereka adalah petinggi perusahaan-perusahaan terkemuka. Kalau mereka puas atas pelayanan kalian, mereka pasti akan datang lagi beserta rekan-rekan mereka yang lain."
Aileen juga menyadari beberapa rekan rapat Evans kembali mengunjungi restoran mereka di kesempatan lain. Beberapa di antara mereka bahkan sudah menjadi langganan Restoran Wilder.
" Masuklah," Evans membuka pintu penumpang.
Aileen menurutinya dan segera setelahnya Evans duduk di belakang kursi kemudi. " Kita akan ke mana?" Aileen membuka pembicaraan.
" Apa yang kaukhawatirkan?" tanya Evans, " Aku tidak akan mencelakaimu. Aku adalah seorang pria yang bertanggung jawab. Jangan selalu berkata aku tidak pernah muncul di kantor. Kau tidak tahu apa yang kulakukan setiap saat."
" Tentu saja," komentar Aileen, " Aku bukan pengasuhmu."
" Walaupun aku tidak ada di kantor, aku tetap mengerjakan tugas-tugasku. Di jaman serba praktis ini, aku tidak harus berada di kantor. Aku bahkan bisa mengadakan rapat melalui internet. Tengah malam pun aku masih berhubungan dengan rekan kerjaku di belahan dunia lain. Apa kau masih berpendapat aku tidak bertanggung jawab?"
" Ya& ya& kau bertanggung jawab," Aileen merasa Evans akan memulai ceramah panjangnya. Aileen merasa perasaannya tidak pernah salah ketika Evans akhirnya menghentikan ceramahnya bersamaan dengan mesin mobilnya.
Tidak menanti ceramah panjang Evans lagi, Aileen langsung turun begitu mobil berhenti.
" Kau mau ke mana?" protes Evans.
" Tidak tahu," Aileen menjawab jujur. " Kau yang membawaku ke sini."
" Kau sadar, rupanya," Evans tidak berusaha menutupi kekesalannya oleh ketergesa-gesaaan Aileen.
Aileen mengulum senyumnya. Tiba-tiba saja setan kecil di hatinya beraksi. " Ke mana kencan kita hari ini?" ia memeluk lengan Evans dengan mesra.
Evans terpaku. Matanya menyelidiki ekspresi gembira Aileen dengan curiga. " Kau sedang mempermainkanku," ia menyadari permainan Aileen, " Tetapi aku tidak membencinya," ia mengakui dan mengapit lengan Aileen di antara sikunya.
Aileen sadar permainannya sudah berbalik arah tetapi ia juga tahu tidak ada kesempatan yang akan diberikan Evans untuknya melepaskan diri. Maka, ia hanya dapat dengan tenang mengikuti langkah kaki Evans ke dalam sebuah restoran.
Aileen kembali kesal pada Evans ketika berpasang-pasang mata tidak melepaskannya. Mengapa Evans tidak memberitahunya terlebih dahulu? Mengapa ia tidak memberinya kesempatan untuk berganti pakaian? Sekarang bahkan para pelayan terus memperhatikan pakaiannya yang terlalu biasa untuk restoran mahal kelas atas ini.
Aileen sadar Evans sudah merencanakan makan siang ini ketika pelayan mengantar menu pembuka tanpa mereka memesan. Dan itu membuat Aileen semakin kesal.
" Sampai kapan kau akan mendiamkanku?" tanya Evans di akhir makan siang mereka.
Aileen masih berdiam diri. Evans menyerah. " Aku punya sesuatu untukmu," ia merogoh sakunya.
" Kau ingin menyuapku?"
" Menurutmu?" goda Evans.
Aileen hanya menatap Evans dengan curiga.
Evans tersenyum samar. " Tutuplah matamu."
Kening Aileen berkerut.
" Lakukan saja," bujuk Evans.
Aileen menutup matanya. Sesaat kemudian ia merasa Evans memegang tangan kirinya. Apa yang sedang dibuat Evans? pikirnya. Aileen merasa Evans memasukkan sesuatu di jari manisnya lalu sesuatu yang lembut dan hangat menekan punggung tangannya. Evans mencium tanganku! Aileen menyadarinya dengan kaget dan heran.
Evans tersenyum simpul. " Selamat ulang tahun."
" Aku tidak ulang tahun."
" Aku tahu," senyum Evans melebar, " Aku yang berulang tahun."
Untuk sesaat Aileen kaget. Namun secepat itu pula ia kembali menguasai perasaannya. " Aneh," Aileen melepas cincin di jari manisnya. Dan lagi, mengapa ia harus memasangnya di jari manis tangan kanannya!?
" Jangan!" Evans mencegah.
Alis mata Aileen terangkat tinggi.
" Hargailah jerih payahku mencari benda yang sesuai dengan kepribadianmu," senyum di wajah Evans menandakan ia sedang bercanda. Tapi raut wajahnya menjadi lebih serius ketika ia melanjutkan, " Aku memberikannya agar tiap kali kau melihat cincin itu kau ingat kapan aku ulang tahun. Tentu saja tujuan utamaku adalah kau tidak lupa merayakannya dan memberiku hadiah." " Aku tahu hari ini ulang tahunmu," gumam Aileen. Tetapi ia lupa.
" Apa kau tidak ingin mengucapkan sesuatu?"
Mata Aileen menatap lurus mata Evans. " Eh?"
" Selamat ulang tahun, misalnya."
Bibir mungil Aileen membentuk huruf O yang manis.
Evans tersenyum. Matanya memandang lekat wajah Aileen. " Dari dulu kau tidak berubah. Pendiam dan sopan. Aku tidak pernah melihatmu tanpa gaun berleher tinggi dan berlengan panjang. Bahkan di musim panas yang menyengat."
" Aku tidak suka," sahut Aileen dingin.
" Aku ingat pertama kalinya kau memakai gaun yang terbuka."
Saat itu juga masih tergambar jelas di kepala Aileen. Ia tidak akan pernah melupakan saat yang mengesankan juga memalukan itu.
Hari itu adalah pesta perkawinan perak orang tua Evans dan itu adalah pertama kalinya Aileen datang pada pesta sebagai seorang remaja. Aileen yang baru empat belas tahun itu ingin tampil menarik dan cantik. Karena ibunya hanya sibuk dengan penampilan Denise, Aileen memutuskan untuk mendandani dirinya sendiri.
Sepanjang hari ia menghabiskan waktu mencari baju pesta yang cocok untuk dikenakannya pada malam special ini. Setelah lama mencari, akhirnya ia menemukan gaun yang menarik hatinya. Gaun merah muda itu terbuat dari sutra lembut dengan rumbai-rumbai pita putih yang menarik. Gaun seperti inilah yang diinginkan Aileen! Tanpa pikir panjang, Aileen memutuskan untuk mengenakan gaun pendek itu.
Akibatnya baru ia rasakan dalam pesta itu.
Aileen tak sadar leher gaun yang rendah itu menampakkan bentuk dadanya yang baru tumbuh. Pundak gadisnya yang segar dan putih kemerahan seperti buah segar memikat hati tiap pria. Belum lagi rok yang hampir tidak menutupi pahanya. Seperti kupu-kupu yang baru lahir dengan segala kecantikan dan kesegarannya, Aileen menarik mata semua lelaki.
Mulanya ia merasa senang mendapat perhatian tapi lama-lama ia merasa risih. Mata mereka bukan mata penuh kekaguman, seperti yang diharapkannya. Mata mereka menyala menakutkan membuat bulu kuduknya berdiri. Mata-mata itu seperti ingin menelannya bulat-bulat. Sinar menyala yang selalu siap menelan itu semakin merisihkan Aileen dalam setiap gerakannya.
Dengan gelisah, Aileen berusaha menutup bagian tubuhnya yang terbuka.
" Salahmu memakai baju terbuka seperti itu."
Pipi Aileen terasa panas oleh hardikan itu. Ia menatap Evans dan dengan menyembunyikan rasa malunya, Aileen berkata dingin. " Aku tidak punya pilihan lain."
Evans melepas jasnya dan mengenakannya di pundak Aileen.
Aileen yakin wajahnya memerah seperti apel. Ia ingin bersembunyi. Ia enggan bertemu Evans tapi sepertinya Evans tidak mau beranjak dari sisinya. Sikap acuhnya membuat Aileen semakin serba salah.
" Nona manis, maukan kau berdansa denganku?"
Sapaan itu mengejutkan Aileen.
" Maaf," Evans merangkulkan tangan di pundak Aileen dan menariknya mendekat. " Ia sudah berpasangan denganku."
Aileen menatap Evans dengan mata penuh pertanyaan dan tuntutan, bersamaan dengan perginya pria itu.
" Jangan pergi jauh-jauh dariku," Evans memperingati.
Aileen menengadah. Pandangan mata Evans tajam dan jauh. Diikutinya jalan pandangan itu dan sampailah ia pada sekelompok pria yang melihatnya dengan mata seram mereka. Sekali lagi Aileen menengadah pada Evans yang terus menatap tajam mereka tanpa melepaskan Aileen. Di sisi lain, Aileen merasa ada yang memperhatikannya. Dilihatnya sekelompok wanita yang menatapnya dengan iri. Aileen makin merasa malu dan serba salah tapi Evans tak pernah menyadarinya.
Inilah salah satu sikap gentle Evans yang terus membuat Aileen terkesan. Aileen takkan lupa bagaimana Evans menjaganya sampai pada akhirnya Evans mengantarnya pulang.
Melihat pesta akan terus berlangsung sampai subuh, Evans langsung mengambil inisiatif. Diambilnya mackingtosh ibunya yang selalu tersedia di gantungan baju dekat pintu besar.
" Pakailah," Evans menyerahkan, " Aku akan mengantarmu pulang."
" Eh& ?"
Evans mendorong dengan lembut. " Pesta ini takkan berakhir sebelum pagi," katanya menjawab kebingungan Aileen.
Tak banyak yang dilakukan Aileen selain mengenakan mackingtosh itu dan mengikuti Evans. Evans sendiri yang mengantarnya dan memastikan ia memasuki rumah dengan selamat. Aileen tak mengeluh walau ia harus pulang sementara keluarganya masih bersenang-senang di pesta itu.
Hari itu menjadi pelajaran bagi Aileen bahwa menjadi menarik tidak selalu menyenangkan. Lebih menyenangkan menjadi gadis biasa daripada pusat perhatian dan kecemburuan.
" Engkau tidak mau mencobanya?"
Aileen Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Aku tak tertarik."
" Kau memang unik seperti gadis jaman pertengahan yang sopan, anggun, dan& "
" Angkuh juga puritan," sahut Aileen dingin. Ia cukup sering mendengar komentar itu.
Evans menggeleng. " Tidak. Tidak seperti itu. Di luar engkau seperti gadis pertengahan yang penurut tapi di dalam penuh pertentangan dan pemberontakan."
" Terima kasih," Aileen menyahut asal.
" Dengan senang hati," Evans memberikan senyumannya yang menawan. " Jadi, M lady, apakah Anda berkenan menerima undangan saya?"
" Undangan?" Aileen keheranan.
" Oh, aku pasti lupa mengatakannya," ujar Evans, " Besok aku ada undangan sosial dan aku harus hadir bersama pasanganku."
" Kau bisa memilih wanita lain," gerutu Aileen. Ia tidak suka cara Evans yang selalu tergesa-gesa.
" Sayangnya, aku hanya tertarik mengajakmu," Evans tersenyum tidak bersalah.
" Aku tidak punya persiapan."
" Jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan semuanya untukmu."
" Kau begitu yakin aku pasti mau."
" Aku selalu percaya diri," lagi-lagi Evans memberikan senyum menawannya yang membuat dada Aileen berdebar-debar.
Aileen juga menyadarinya. Ia pasti sudah buta bila ia tidak menyadarinya setelah hampir tiga bulan sering berhubungan dengannya.
Evans tidak perlu persetujuan orang lain ketika ia sudah memutuskan sesuatu. Dengan sifatnya yang suka berubah-ubah dan sulit membuat keputusan, orang seperti Evans memang diperlukan. Namun ada saatnya ia tidak suka Evans membuat keputusan untuknya seperti saat ini.
" Apa ini?" Aileen menuntut jawaban melihat tiga tas besar di atas meja.
" Gaun pestamu malam ini," jawab Evans ringan, " Sepatu dan sepasang anting sebagai pelengkapnya."
" Pesta?" Aileen bingung.
" Kau tidak lupa undanganku kemarin kan?"
" Aku belum menjawabnya," protes Aileen.
" Aku tidak ingat," Evans memasang wajah tanpa dosa.
Aileen hanya menatap pemuda yang terus memasang wajah tak berdosa itu. Entah sudah berapa kali Evans memutuskan segala sesuatu tanpa persetujuannya. Memang di saat-saat tertentu Evans bisa menjadi seorang yang mau menang sendiri. " Jam berapa?"
" Jam 5 sore aku akan menjemputmu," Evans tersenyum penuh kemenangan. " Sekarang aku harus segera pergi ke kantor sebelum kau mengusirku."
Menyadari matahari sudah tinggi, Aileen cepat-cepat menegaskan, " Benar. Kau harus segera berangkat. Apa kata orang kalau sang direktur terlambat."
" Tapi, sebelumnya," Evans memeluk Aileen dan mencium kening gadis itu. " Pengisian energi ok," Evans melepaskan Aileen dan melangkah pergi dengan senyum mengembang.
" Wah& wah& wah& ini kabar baru," Sigrid sengaja menggoda gadis yang memerah padam itu.
" Aku tidak punya perasaan apa-apa padanya," Aileen menyangkal.
" Aku tidak mengatakannya," Sigrid tersenyum penuh arti.
Wajah Aileen semakin merah padam. " A-aku masih punya urusan," Aileen mengambil tiga tas besar di meja dan menghilang ke dalam.
" Aku bisa memastikan Aileen jatuh cinta pada Evans," komentar Helena.
" Sependapat," ujar Sigrid, " Dia tidak pernah menunjukkan reaksi seperti ini. Aileen selalu tahu bagaimana mengatasi Geert."
" Evans adalah tipe yang tidak mudah diatasi Aileen," Helena sependapat.
RatuBuku
Chapter 8
Aileen menatap gaun yang ia gantung di sebelah cermin besarnya dengan terpesona. Tangannya menyentuh kainnya yang lembut dengan hati-hati. Jahitannya yang rapi membuatnya kagum. Rok panjangnya yang jatuh lembut membuatnya tidak dapat tidak menyukai gaun ini. Potongannya yang anggun membuatnya kian jatuh hati pada gaun itu.
Evans benar-benar mengerti seleranya. Evans tahu ia menyukai gaun yang jatuh lembut dan merumbai-rumbai seperti ini. Evans paham ia tidak suka potongan yang berlebihan. Namun&
Aileen putus asa. Evans tahu ia tidak suka mengenakan baju yang terbuka namun ia masih memberinya gaun ini.
Ia menyukai gaun hitam polos ini. Ia menyukai rok panjang sutranya yang dilapisi kain sifon berwarna senada. Tapi ia tidak menyukai atasannya yang tanpa lengan, tanpa bahu. Bahkan kerutan di bagian depan dapat dipastikan akan menonjolkan bentuk dada pemakainya.
Mengapa Evans membeli gaun seperti ini untuknya? Bagaimana Evans mengharapkan ia muncul dengan gaun ini? Bagaimana ia harus menutupi bagian tubuhnya yang terbuka? Gaun ini bahkan tidak dilengkapi syal sifon hitam yang dapat digunakannya untuk mencegah pandangan orang tertuju pada dadanya.
Aileen melihat jam yang tergantung di dinding. Sekarang ia tidak punya waktu untuk membeli gaun. Kalaupun ia dapat, Evans tidak akan senang. Aileen tidak mengerti akan dirinya sendiri. Di luar ia terus menegaskan ia tidak tertarik atas undangan ini namun matanya tidak henti-hentinya melihat jam. Mulai dari Sigrid hingga Leopold menyadari kebiasaan barunya ini tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa. Hanya Aileen seorang yang tidak menyukainya. Demi menekan perasaan tidak sabarnya, Aileen dengan sia-sia mencegah dirinya terus memperhatikan betapa lambatnya waktu berlalu hari ini.
Sigrid benar. Ia tidak sabar menantikan saat ini.
Akhirnya ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat, ia sudah selesai mandi. Ia siap berdandan cantik untuk pesta sore ini namun ia kehilangan minatnya. Malah, ia berharap Evans tidak pernah datang.
Tetapi& itu tidak mungkin bukan? Tengah hari tadi Evans sudah menelepon untuk mengingatkannya. Beberapa saat lalu Evans kembali meneleponnya hanya untuk mengingatkan ia harus mengenakan gaun yang diberikannya.
Aileen mendesah putus asa. Tahu ia tidak punya pilihan, maka ia pun segera mempersiapkan diri.
Di kesempatan biasa ia hanya memerlukan lima belas menit untuk berdandan. Tetapi kali ini ia merasa satu setengah jam tidak cukup. Ia sudah mencoba beberapa tatanan rambut tetapi ia tetap tidak menemukan satu tatanan pun yang cantik dan dapat menutupi pundaknya yang telanjang. Ketika waktu hanya tinggal setengah jam, Aileen memutuskan untuk membiarkan rambutnya terurai.
" Aku tidak peduli komentar Evans," Aileen menegaskan pada dirinya sendiri, " Ia harus berterima kasih aku sudah berdandan untuknya." Tetapi hatinya berdebar-debar keras ketika ia melangkahkan kaki untuk menemui Evans.
Evans menyambut Aileen dengan senyumannya.
Matanya memperhatikan Aileen yang berjalan mendekat dengan anggun. Tubuh sempurna Aileen terbungkus oleh gaun yang menawan. Warnanya yang hitam membuat kulit putih Aileen tampak kian putih. Potongan gaun itu membuat pinggang Aileen yang ramping tampak kian ramping dan menonjolkan dadanya yang montok. Aileen adalah gadis yang kurus namun ia memiliki buah dada yang diidamkan banyak wanita. Pasti Aileen akan membuat banyak wanita iri padanya.
" Sudah kuduga gaun ini cocok untukmu," Evans mengulum senyum gembiranya.
Aileen tidak gembira mendengarnya. Tetapi dadanya yang bersemi berdebar keras.
" Namun," seperti biasa Evans tidak pernah melupakan protesnya, " Mengapa rambutmu hanya begini?" ia memegang rambut Aileen yang terurai hingga pinggangnya tanpa satu hiasanpun.
Seketika kegembiraan di hati Aileen lenyap. " Aku tidak punya waktu untuk mengatur rambutku."
" Tapi kau punya waktu untuk berdandan."
Aileen tidak menanggapi. Ia memang menyempatkan diri untuk memoleskan dandanan tipis di wajahnya tapi ia tidak berniat mengikat rambut panjangnya. Hanya rambut itulah yang dapat menutupi pundaknya yang terbuka. Aileen melepaskan rambutnya dari genggaman Evans dan menatanya sedemikian rupa untuk menutupi dadanya.
Evans kembali tersenyum. " Aku sudah menduganya," gumamnya.
" Apa?" Aileen bertanya.
" Tidak ada, Tuan Puteri," Evans mengambil tangan Aileen dan meletakkannya di atas lengannya yang sudah terbuka untuk Aileen. " Bagaimana mungkin hamba berani mengomentari penampilan Anda yang menawan?" Evans membawa Aileen ke mobilnya.
Aileen segera duduk diam di dalam mobil namun ia tidak dapat berhenti menutupi belahan dadanya yang terbuka, dengan rambutnya.
Walaupun ia tengah berkonsentrasi menyetir mobil di antara lalu lintas yang padat, Evans tahu apa yang sedang diperbuat Aileen. Ia tidak akan mengomentari perbuatan Aileen yang mengganggu matanya itu. Sebentar lagi gadis itu tidak akan mempunyai cara untuk menutupi dadanya yang menawan itu.
Setelah melewati beberapa rambu lalu lintas dan belokan, Evans menghentikan mobil di depan sebuah salon.
" Kita sudah sampai," ia mengumumkan.
Aileen terperanjat. Ia memperhatikan sekeliling dengan bingung. " Di sini tidak ada restoran," komentarnya. Ini adalah pusat pertokoan. Di sini tidak ada satu tempat pun yang bisa dijadikan tempat jamuan kalangan kelas atas.
Ketika Aileen masih kebingungan memperhatikan sekelilingnya, Evans sudah melangkahkan kaki ke pintu mobil di sisi Aileen.
" Mari, Tuan Puteri," ia mengulurkan tangan pada Aileen.
Aileen yang masih kebingungan, menyambut uluran tangan Evans tanpa protesnya yang selalu mengumandang ketika Evans memperlakukannya seperti nona besar.
" Kita mau ke mana?" tanya Aileen ketika Evans menuntunnya menjauhi mobil.
" Kita akan mendandanimu menjadi seorang puteri," Evans membuka pintu salon.
" Apa?" Aileen kaget.
" Selamat datang, Tuan Renz," seorang pria menyambut kedatangan mereka. " Inikah gadis yang Anda katakan itu?" ia menatap Aileen dengan senyum lembut.
" Tolong urus dia dengan baik," Evans mendorong Aileen dengan lembut.
" Tentu, Tuan Renz. Saya tidak akan mengecewakan Anda." Dengan tidak sabar pria itu menuntunnya ke kursi yang sudah dipersiapkan untuknya.
Dalam setengah jam berikutnya, Aileen hanya bisa duduk diam menahan protes sementara pria itu mendaur ulang tatanannya mulai dari rambut hingga dandanan tipisnya.
Melalui kaca di depannya, Aileen melihat Evans yang duduk di kursi tunggu sambil membaca koran.
Menyadari tatapan Aileen, Evans menengadah dan tersenyum tidak bersalah.
Aileen sadar Evans sudah merencanakan ini. Evans sudah mengatur agar pria ini mendandaninya.
Evans langsung berdiri ketika pria itu menyelesaikan tugasnya. " Sekarang kau benar-benar sempurna," Evans tersenyum menyambut Aileen.
" Terima kasih," Aileen menyambut uluran tangan Evans.
" Saya senang Anda puas, Tuan Renz."
" Aku tahu kau tidak akan mengecewakanku."
" Semoga malam Anda menyenangkan," pria itu mengantar kepergian mereka.
Begitu mereka melangkahi pintu salon, Aileen menarik tangannya dari apitan Evans. " Hei," Evans memprotes, " Di mana terima kasihmu?"
" Aku sudah mengatakannya padamu," Aileen menyahut dingin.
Evans mengulum senyum melihat Aileen langsung memasuki mobil ketika ia membuka kunci mobil. " Tunggu!" Evans menahan pintu mobil.
" Ada& ," Aileen membelalak merasakan bibir Evans di punggungnya yang terbuka. Jantungnya berdegup kencang. Wajahnya terasa panas membakar. Tangan Aileen yang gemetar berusaha membuka pintu mobil. Ia ingin segera bersembunyi di dalam mobil!
" Jangan bergerak," Evans memerintah.
Melalui kaca jendela mobil, Aileen melihat Evans memasangkan sesuatu di lehernya. Aileen terperangah melihat kalung manis di lehernya.
" Sekarang kau sudah menjadi putri cantik."
Bisikan Evans membuat dada Aileen berdebar kian kencang. " K-ki& kita tidak punya waktu," Aileen membuka pintu dan menyembunyikan wajah panasnya di balik kaca mobil.
Evans hanya tersenyum.
Aileen menatap bayangan dirinya di kaca spion mobil dengan putus asa. Sekarang sudah tidak ada rambut yang dapat menutupi dadanya. Rambutnya telah tergulung rapi dengan model terbaru. Riasan wajah tipisnya sudah dirombak total menjadi riasan yang mempesona. Tetapi& Aileen juga menyadari ia tampak cantik mempesona dan seksi.
Aileen berharap Evans melepaskannya. Ia ingin kembali ke kamarnya yang aman.
Evans memperlambat kecepatan mobil. Ketika mobil sudah berhenti, seorang pria membuka pintu untuk Aileen dan mengulurkan tangan.
Aileen melihat pelayan itu dan menerima uluran tangannya. Di saat-saat seperti inilah ia tidak begitu menyukai Evans.
Seorang pria juga membuka pintu mobil untuk Evans. Berlainan dengan pria yang menyambut Aileen, pria itu membawa mobil Evans ke tempat parkir.
Evans mendekati Aileen dengan senyum bangga. Tubuhnya yang gagah membusung penuh percaya diri.
Aileen meletakkan tangan di siku Evans yang terbuka dan berjalan di sisinya tanpa suara. Segera ketika mereka memasuki ruangan pesta, Aileen merasa semua mata tertuju padanya. Suatu hal yang membuatnya merasa tak nyaman.
" Evans!" seorang pria menyambut, " Lama tak berjumpa. Ke mana saja kau bersembunyi?"
" Aku tidak ke mana-mana."
Pria itu menatap Aileen lekat-lekat dengan pandangan yang menakutkan Aileen. " Siapa gadis cantik ini?"
Aileen kaget. Evans merangkulkan tangan di pinggangnya. " Ia adalah Aileen LaSalle," Aileen heran mengapa Evans tidak mengatakan ia adalah saudaranya.
" Aku mengerti maksudmu, Evans," pria itu menepuk pundak Evans dengan keras, " Seharusnya dari dulu kau begini. Jangan hanya bermain-main dengan wanita."
Aileen tak mengerti arah pembicaraan pria asing itu tapi dalam hatinya muncul kecurigaan. " Apa yang dikatakannya?" ia langsung melontarkan pertanyaan itu.
" Tidak ada," Evans menolak menjawab.
Otak Aileen berputar cepat. " Ia pasti mengomentari hobimu," Aileen tanpa ragu-ragu mengutarakan pikirannya, " Makanya, Evans, segera berhubungan serius dengan seorang wanita dan menikah."
" Aku sudah menemukannya," Evans mengakui.
" Oh& ," Aileen tidak dapat menutupi rasa pedih di hatinya.
" Evans!" seorang pria di usia pertengahan mendekat, " Lama tidak bertemu."
Evans segera menyambut uluran tangan pria itu dan dalam waktu singkat terlibat pembicaraan hangat dengannya.
Aileen tetap berdiri di sisi Evans seperti seorang gadis kecil penurut. Telinganya dengan tekun mendengarkan isi pembicaraan bisnis kedua orang itu tetapi tidak satu kalimat pun yang dapat diresap otaknya.
Tak sampai sepuluh menit, seorang pria lain mendekat diikuti pria lain. Lagilagi mereka membicarakan masalah serius dengan melupakan keberadaan Aileen. Dalam waktu singkat, Evans sudah dikerumuni oleh para rekan bisnisnya.
Berdiri di sisi Evans, Aileen makin menyadari perbedaan dunia mereka. Evans dilahirkan sebagai seorang businessman sukses. Ia dididik untuk menjadi seorang direktur handal. Sesungguhnya, sejak kecil Evans sudah menunjukkan bakat bisnisnya.
Bakat ditambah kerja keras, membuat Evans berhasil mendapatkan kepercayaan sebagai direktur anak cabang perusahaan keluarganya hanya dalam waktu singkat. Karena itu pula tidak heran bila Evans sangat terkenal di dunia bisnis dan di antara para wanita. Ditambah kenyataan rupanya yang rupawan dan tubuh atletisnya yang tidak berlemak, Evans adalah dambaan hati banyak wanita.
Aileen Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang tua Aileen juga mempunyai bisnis yang cukup berhasil tetapi keberhasilan itu tidak ada nilainya dibandingkan salah satu anak cabang perusahaan keluarga Renz. Kenyataan ini membuat Aileen semakin berkecil hati.
" Siapakah gadis kecil di sisimu?" seorang pria di antara kerumunan itu akhirnya menyadari keberadaan Aileen.
Evans menoleh pada Aileen yang sekarang sudah hampir berdiri di belakangnya. " Ia adalah Aileen LaSalle," tanpa ragu-ragu Evans melingkarkan tangan di pinggang Aileen dan menariknya ke sisinya.
" Senang berkenalan dengan Anda," Aileen mencoba bersikap sesopan mungkin.
Pria yang menyadari keberadaannya, tersenyum. " Engkau adalah gadis manis yang cantik."
" Terima kasih," Aileen merasa pria itu memandangnya sebagai gadis belasan tahun dibandingkan gadis yang hampir lulus kuliah.
Pria itu tertawa menyadari kekesalan Aileen. " Tampaknya ia tidak suka kami terus menahanmu di sini," ia berkata pada Evans.
Baru saat itulah Evans sadar sejak mereka tiba di sini setengah jam lalu, ia terus mengabaikan Aileen.
" Jangan khawatir. Saya senang mendengarkan pembicaraan Anda," Aileen segera membuka suara. " Jangan memikirkan saya. Bila Anda merasa terganggu oleh kehadiran saya, saya akan menepi."
Tetapi Evans berpendapat lain. " Aileen," ia memegang siku kanan gadis itu dan membungkuk mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu, " Di meja sana ada banyak makanan. Engkau bisa memilih apa pun yang kausukai."
" Aku tahu," Aileen kesal. Bahkan Evans pun memperlakukannya seperti seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
" Tunggulah aku di sana," matanya mengarah pada dinding di seberang, " Aku akan segera menyusulmu."
Aileen mengangguk.
" Gadis kecilmu sungguh mempesona dan penurut," lagi-lagi pria itu memberi komentar akan Aileen.
" Ia memang mempesona tetapi," Evans menambahkan dengan senyum terkulum, " Ia tidak sepenurut seperti yang kaulihat."
" Diakah orang yang membuatmu sering menghilang dari kantor?" tanya yang lain.
Evans tertawa. " Dia pasti marah kalau mendengarmu."
" Diakah yang membuatmu bertapa?" yang lain mencari ketegasan.
Evans hanya tertawa namun matanya terus memperhatikan Aileen yang dengan gembira memilih cake.
RatuBuku
" Anda bisa gendut dengan cake sebanyak itu."
Aileen terperanjat.
" Anda suka cake?"
Sesuatu dari pria itu membuat Aileen merasa tidak nyaman. " Ya, saya suka makanan manis."
" Saya memperhatikannya dari tadi," pria muda itu mengakui.
Aileen sadar bukan hanya pria itu seorang yang memperhatikannya sejak awal. Baik pria maupun wanita di tempat ini terus memperhatikannya dengan penuh ingin tahu sejak ia menginjakkan kaki di sini terutama ketika ia mulai menyantap berbagai macam cake yang tersedia di meja.
Tetapi, siapa yang mempedulikannya? Setiap tamu mempunyai hak untuk menyantap makanan yang tersedia.
" Apakah Anda sendirian?"
Pertanyaan itu cukup untuk memberitahu Aileen apa yang ada di kepala pria itu. " Tidak," Aileen menjawab tegas tetapi ia enggan memberitahu dengan siapa ia datang.
" Apakah pria itu mempunyai kesibukan lain?"
" Benar," Aileen berharap pria itu segera pergi. Dalam hatinya ia bertanya-tanya mengapa Evans tidak segera datang.
" Sampai pasangan Anda itu datang, boleh saya menemani Anda?"
Tentu saja tidak! Tetapi demi kesopanan, Aileen menjawab, " Tentu," dan berharap dadanya tidak terlalu terbuka untuk menjadi santapan sedap mata pria itu.
Mata kelabu Evans menggelap. Sinar matanya yang tajam menusuk pemandangan di depannya pada Aileen yang tersenyum ramah pada pria di sisinya. Keakraban mereka membakar hati Evans.
" Permisi," ia berpamitan pada rekan-rekan bisnisnya.
Langkah-langkahnya yang lebar menggetarkan lantai.
Mendengar langkah-langkah mendekat, Aileen memalingkan kepala. " Evans," Aileen tersenyum lega, " Aku& " senyum di wajahnya menghilang oleh raut murka Evans.
" Maaf, Tuan. Ia tidak bisa menemanimu lebih lama lagi," Evans mengambil piring di tangan Aileen dan meletakkannya di meja. Kemudian, tanpa berbasabasi ia menarik Aileen dengan kasar.
Aileen kesulitan mengimbangi langkah lebar Evans. " Kita mau ke mana?"
Evans tak menjawab. Raut mukanya keras.
Tak ada protes dari Aileen. Gadis itu bersyukur bila Evans menjauhkannya dari tempat ini. Ia sudah ingin meninggalkan tempat ini semenjak ia menginjakkan kaki di sini.
Evans membawa Aileen menyeberangi Hall pesta yang luas dan berhenti di pintu masuk.
" Saya akan segera mengeluarkan mobil Anda, Tuan," pria penyambut tamu segera berlari ke tempat parkir.
Aileen lega. Akhirnya mereka akan meninggalkan tempat itu.
Tak sampai lima menit, mobil Evans tiba di depan mereka.
Seorang pria segera membuka pintu untuk Aileen dan membungkuk hormat.
" Masuk," Evans mendorong kasar Aileen lalu ia menuju pintu kemudi.
Aileen memperhatikan Evans dengan heran.
Evans menjalankan mobil meninggalkan rumah megah itu.
Melalui sudut matanya, Aileen memperhatikan Evans yang menyetir dengan wajah tegang.
Ia tidak mengerti mengapa Evans menjadi sinis. Aileen tidak dapat mengartikan raut keras Evans. Biasanya Evans akan mengutarakan kekesalannya. Evans tidak pernah memasang raut wajah ini padanya. Sikapnya itu membuat Aileen merasa tidak nyaman.
Untuk mengusir perasaan itu, ia memandang keluar jendela. Ia tidak dapat mengerti jalan pikiran lelaki dan ia tidak mau terlalu memikirkannya. Aileen memperhatikan sinar-sinar bangunan dan pepohonan yang muncul satu persatu di jendela lalu menghilang. Matanya terpaku pada pemandangan yang silih berganti itu. Ia menikmati perjalanan pertama dan terakhirnya ini. Takkan ada lagi pesta ketiga yang dihadiri orang-orang kaya dan gaun malam yang terbuka ini.
Tiba-tiba Aileen menyadari betapa lemahnya pendiriannya. Benar Evans membelikan gaun ini untuk dikenakannya dalam pesta ini. Benar Evans memaksanya datang ke pesta ini dengan gaun malam ini. Benar Evans memesan salon khusus untuk mendandaninya. Namun tidak berarti ia harus menuruti semua keinginan Evans. Ia bisa menolak datang. Ia bisa menolak mengenakan gaun ini. Tapi&
Semua telah terjadi. Untuk apa sekarang ia mempersoalkannya?
Saat ini yang terpenting untuk Aileen adalah ia sudah meninggalkan tempat yang tidak nyaman itu ke kamarnya yang aman.
Aileen heran menyadari mobil berhenti di pinggir jalan. Ia melihat Evans dengan bingung dan mendapati pemuda itu tengah menelungkupkan kepala di setir mobilnya dengan bersadar pada lengannya.
Ini memang yang terbaik. Lebih baik mereka berhenti daripada menantang bahaya dengan membiarkan Evans menyetir dalam keadaan mengantuk.
" Sungguh konyol."
Aileen melihat Evans dengan heran.
" Aku merasa konyol."
Apakah pemuda ini sedang mengingau?
" Aku memaksamu datang menemaniku dengan tujuan membuatmu senang. Aku berhasil tapi aku memaksamu pulang."
Aileen tidak dapat memahami Evans sepenuhnya tetapi mulutnya tidak perlu menanti otaknya untuk menanggapi, " Tak mengapa. Sejujurnya, aku tidak suka tempat itu."
Evans tersenyum tipis. " Aku mengerti."
Keduanya kembali terdiam.
Aileen kembali pada keasyikan awalnya. Matanya memandang keluar tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia hampir melupakan keberadaan Evans ketika pria itu kembali memecah kesunyian.
" Aku minta maaf."
Aileen berpaling. Kata-kata itu terasa asing di telinganya.
" Sebenarnya tamu-tamu tak harus datang berdua."
Aileen tersenyum simpul. Ia tahu pria lebih senang datang berdua dalam pestapesta semacam ini.
" Tapi aku mengajakmu karena aku ingin menunjukkan pada teman-temanku gadis yang akan menjadi pendampingku untuk sisa hidupku."
Kata-kata inilah yang tidak diketahui Aileen. Gadis itu hanya terperangah.
Evans mengangkat kepalanya dari kemudi dan menggenggam tangan Aileen. " Kau bersedia?"
" Aku& ," Aileen merasa lidahnya kelu. Matanya bergerak-gerak menghindari pandangan Evans.
" Aku tahu kau masih mencintai Geert tapi aku mempunyai kepercayaan diri aku pasti dapat membuatmu mencintaiku."
Aileen terdiam. Mengapa hingga di saat seperti inipun Evans tidak dapat memepercayainya?
" Aileen?" Evans menuntut jawaban Aileen dengan tidak sabar.
Evans pasti tidak sepenuhnya menyadari apa yang sedang dikatakannya saat ini. Aileen tahu besok pemuda ini akan melupakan saat ini.
" Jangan bercanda," Aileen melepaskan tangannya, " Kalau aku serius, baru tahu rasa kau."
" Sebaliknya, aku akan sangat senang," Evans membenarkan. Sekali lagi ia menggenggam tangan Aileen dan kali ini ia tidak akan melepaskannya sebelum Aileen menjawabnya.
" Aku& ." Aileen tidak tahu haruskah ia menerimanya atau menolaknya. Ia tidak berbohong ketika ia memberitahu Evans ia pernah mempunyai keinginan menjadi istrinya. Namun keinginan masa kanak-kanak itu sudah& lama hilang.
Benarkah itu? Aileen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tak peduli sekeras apa usahanya mengingkari kenyataan itu, sebagian dari dirinya bahagia ketika Evans menjemputnya, sebagian dari dirinya berbunga-bunga ketika Evans membuatnya tersanjung.
" Sudah diputuskan," seperti biasa, Evans mengambil keputusan di atas kebingungan Aileen, " Kau akan menjadi kekasihku."
Aileen kaget.
" Setidaknya kau harus memberiku kesempatan membuatmu melupakan Geert. Andai sampai pada saatnya kau tetap tidak bisa melupakan Geert, aku menyerah."
" Aku tidak pernah memikirkan Geert," Aileen membenarkan.
" Semua sudah diputuskan!" Evans puas dengan keputusan yang dibuatnya itu.
" Evans& ," Aileen menelan kembali kata-katanya melihat wajah puas Evans.
Evans bukan pria yang bisa diubah ketika ia menunjukkan wajah ini. Namun Aileen yakin pemuda itu akan melupakan malam ini secepat ia berganti pasangan.
Aileen percaya Evans tengah mabuk.
RatuBuku
Chapter 9
Aileen meremas majalah di tangannya.
" Mengapa engkau tidak memberitahuku?" Sigrid mengulang kembali protesnya yang terus berkumandang sejak ia membaca majalah itu.
Di sampul majalah itu terpasang potret Evans merangkulkan tangannya dengan mesra di pinggang seorang gadis muda bergaun hitam yang seksi. Wajah gadis itu memandang sisi lain kamera tetapi Aileen tahu siapa gadis itu, demikian pula Sigrid. Menambah suasana mesra foto tersebut, sederet judul besar terpampang: " Pacar Baru Evans Renz!!! Dan yang Terakhir?"
Aileen geram.
Mengapa Evans membiarkan ini terjadi!? Evans dengan segala kekayaan dan kekuasaannya tentu dapat mencegah hal ini.
" Mengapa kau tidak memberitahuku kau telah bertunangan dengan Evans?" desak Sigrid lagi.
" Aku tidak bertunangan dengan Evans!" bantah Aileen.
" Tetapi majalah itu tidak berkata demikian."
Aileen segera membuka halaman berita yang memuat dirinya dan Evans. Semakin ia membacanya, semakin melebar matanya dan semakin memanas emosinya. Mengapa Evans membiarkan berita semacam ini!? Mengapa Evans membiarkan orang-orang mengarang pernyataannya sesuka hati mereka!?
Apanya yang gadis pujaan Evans!?? Apanya yang cinta sejatinya!?
Evans tidak mungkin mengatakannya! Evans, sang playboy, adalah sepupunya!!
Yang membuat Aileen semakin gemas adalah kenyataan mereka telah diikuti sejak ulang tahun Evans!
Artikel itu memang tidak menyebutkan namanya juga tidak menyebutkan tempat tinggalnya tetapi mereka memasang foto-fotonya bersama Evans baik ketika mereka merayakan ulang tahun Evans maupun ketika Evans membawanya ke pesta sosial semalam. Bahkan, foto ketika Evans menyematkan cincin di jemarinya!!!
Evans tidak mungkin tidak menyadari mereka tengah diikuti. Evans tidak mungkin tidak tahu ia adalah satu dari sekian incaran para paparazzi. Dari segala pencegahan yang bisa dilakukan, mengapa Evans memilih memesan restoran? Mengapa ia membiarkan orang lain mengetahui rencananya!??
" Aileen?" Sigrid khawatir.
Aileen Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aileen melempar majalah itu di meja.
" Kau mau ke mana?" Sigrid mencegah.
" Aku akan membuat perhitungan dengan pemuda itu!" Aileen melepaskan diri. Begitu tergesa-gesanya ia hingga ia hampir menabrak Helena yang hendak memasuki ruangan.
Helena melihat kepergian Aileen dengan penuh tanda tanya. " Mau ke mana dia?" tanyanya pada putrinya, " Mengapa ia tampak murka?"
" Ia pergi menemui Evans," Sigrid menjawab.
" Apa yang terjadi pada mereka? Apa mereka bertengkar?" tanya Helena lagi.
" Kau akan mengerti setelah melihat ini," Sigrid memberikan majalah yang hampir tidak berbentuk itu kepada ibunya.
RatuBuku
" Kali ini kau sudah melebihi batas, Evans."
" Aku tahu, Mama."
" Ayahmu tidak senang."
" Aku tahu," kata Evans lagi.
" Beritahu aku, Evans, apa kali ini kau serius?"
" Ya," Evans duduk tegak, " Aileen adalah kekasih terakhirku dan satu-satunya cinta sejatiku."
" Aku akan senang sekali kalau kau benar-benar serius. Tetapi kalau kau hanya ingin bermain-main, lebih baik kau berhenti saat ini juga. Ini bukan permainan yang lucu."
" Aku tidak pernah seserius ini," Evans menegaskan.
" Aku lega. Engkau membiarkan hal ini terjadi sudah menjadi sebuah bukti keseriusanmu. Tetapi penegasanmu adalah bukti yang terkuat. Aku berharap kalian bisa segera menikah."
" Aku juga berharap demikian."
Wanita di seberang telepon tertawa. " Kulihat kali ini kau benar-benar jatuh cinta."
" Aileen adalah gadis yang mempesona. Aku akui aku selalu takut pria lain akan merebutnya dariku."
" Karena itu kau membiarkan mereka menulis gosip ini?"
" Ini bukan gosip. Ini adalah kenyataan," Evans membenarkan. " Membiarkan berita itu tersebar luas berarti membantuku menyingkirkan setiap pria yang tertarik pada Aileen. Mama, kau tidak tahu betapa banyak tamu pria di restoran itu yang jatuh hati pada Aileen."
" Karena itukah kau memindahkan kantormu ke restoran mereka?"
" Itu adalah salah satu alasanku," Evans mengakui.
" Kulihat kalian harus segera disatukan sebelum kau menghancurkan bisnis keluarga kita."
" Aku juga sangat menginginkannya, Mama, tetapi harus kuakui ini bukan hal yang mudah."
" Aileen masih tidak dapat melupakan Geert?" tanya Kathy.
" Ia selalu membantahnya tetapi aku tahu ia terus memikirkan Geert."
" Aileen pasti marah dengan berita ini."
" Mungkin," Evans mengakui, " Tetapi itu bukan masalah besar. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi kalau aku mengkhawatirkannya."
" Kulihat kali ini engkau menggunakan segala cara untuk mendapatkan Aileen."
" Ya. Aku harus menggunakan semua cara yang terpikirkan olehku. Ia bukan gadis yang mudah ditaklukan."
" Engkau tidak mengejarnya karena itu bukan?" lagi-lagi Kathy dibuat khawatir oleh komentar putranya.
" Tentu saja tidak, Mama. Ia memiliki segala yang kuinginkan dari seorang wanita. Ia adalah satu-satunya gadis yang sanggup mengacaukan duniaku dan juga membuatku bahagia. Bersamanya seperti berada di dunia penuh kejutan yang menarik."
" Aileen pasti gembira mendengarnya."
" Ia tidak mempercayaiku," keluh Evans, " Ia terus menegaskan aku adalah seorang kakak baginya."
" Itu adalah dampak dari perbuatanmu sendiri."
" Ya," Evans juga menyadarinya. " Aku yakin aku pasti bisa mendapatkannya. Ia pernah jatuh cinta padaku dan aku pasti bisa membuatnya jatuh cinta lagi padaku untuk yang terakhir kalinya."
" Ia pernah jatuh cinta padamu!?" Kathy Renz terperanjat, " Benarkah itu?"
" Ia memberitahuku sendiri. Tetapi, katanya, itu hanyalah perasaan seorang gadis kecil dan ia sudah tidak lagi merasakannya sekarang."
" Aku percaya kau pasti bisa mendapatkannya kembali. Percayalah padaku, Evans, seorang gadis selalu memendam perasaan pada cinta pertamanya."
" EVANS RENZ!!" pintu ruangan kantor terbuka lebar.
Evans terkejut melihat sepasang mata murka gadis yang melangkah masuk dengan langkah-langkah tegasnya.
" Aku akan meneleponmu lagi," katanya menutup pembicaraan.
" Kabari aku kalau ia sudah mengangguk," Kathy mengingatkan dengan antusias.
" Ia sudah menerima cincinku."
Kathy terperanjat. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, putranya telah menutup telepon.
" Maafkan saya. Saya telah berusaha mencegah tetapi Nona ini tidak menghiraukan larangan saya."
" Tinggalkan kami berdua," Evans memerintah. Ketika berita itu dimuat, ia sadar cepat atau lambat Aileen pasti muncul.
Sekretaris Evans pun meninggalkan kantor Evans. Tak lupa ia menutup pintu untuk memberi mereka privasi.
" Jelaskan apa maksud semua ini!" Aileen menggebrak meja di hadapan Evans.
" Apa maksudmu?" Evans menautkan jari-jemarinya di atas meja dan memasang sikap tidak bersalah.
" Kau tahu maksudku!" Aileen merasa ia hampir gila oleh sikap tenang Evans. " Kau tahu mereka tengah membuntuti kita. Kau tahu mereka berpesta ria dengan bualan mereka tetapi mengapa kau membiarkan mereka!?"
" Mereka tidak membual. Mereka hanya menulis cerita nyata."
" Cerita nyata apa!? Antara kau dan aku tidak ada apa-apa!"
" Aku tidak menduga daya ingatmu selemah ini."
" Apa maksudmu!?" Aileen tidak menyukai ketenangan Evans di saat ia sudah hampir meledak.
Evans berdiri dan mencondongkan badan ke Aileen. " Sekarang aku adalah kekasihmu," ia mengingatkan dengan tersenyum.
Aileen terperanjat. " I& itu& itu& " Rona merah menghiasi wajah pucatnya.
Evans menyukai reaksi Aileen ini. " Kau bahkan sudah bersedia menikah denganku," ia dengan sengaja menggoda Aileen.
" Menikah denganmu!?" Aileen kaget. " Jangan bercanda!"
" Aku tidak bercanda. Engkau juga sudah menerima cincin pertunanganmu."
" Cincin tunangan?" Aileen kembali bertanya heran. Simpul-simpul kebingungan di kepalanya terus bertambah. " Kapan kau memberikannya?" Aileen menyadari Evans tengah memperhatikan sesuatu darinya dan ia mengikuti arah pandangan Evans dengan waspada. Mata Aileen tertumbuk pada cincin yang Evans sematkan di jari manis tangan kanannya pada hari ulang tahun Evans.
Aileen terperanjat. Evans hanya tersenyum melihat reaksi Aileen.
" Ini?" Aileen tidak percaya. " Tapi katamu& katamu ini& ," mata Aileen berpindah-pindah antara cincin di jari manisnya dan Evans. Ia berharap Evans hanya bercanda namun ia tidak menemukan satupun tanda yang ia cari dari wajah yang tersenyum itu. Sepasang mata yang menatapnya serius, mulai membuat genderang di dadanya bertabuhan. " A-aku& aku," Aileen berusaha melepas cincinnya dengan jari-jarinya yang gemetaran.
" Jangan kau lakukan itu," Evans menangkap tangan Aileen. Ia menjauhkan tangan kiri Aileen dan tangannya yang lain meremas lembut jari-jemari tangan kanannya. " Aku tidak akan membiarkan kau melakukannya," ia memperingati Aileen dengan keseriusan yang membuat genderang di hati Aileen berbunyi semakin keras. " Ini adalah segel hubungan kita," Evans menunduk mencium cincin di jari Aileen.
Sentuhan lembut di jari-jemarinya membakar wajah Aileen. Aileen ingin menutupi wajahnya namun dengan kedua tangannya di genggaman Evans, ia hanya dapat berharap wajahnya tidak memerah.
Evans tersenyum lembut melihat Aileen yang tersipu. " Kau benar-benar manis," ia menyukai rona wajah Aileen yang semakin memerah.
Pernyataan itu membangunkan Aileen dari mimpi. Ia ingat Evans pernah berkata ia ingin mempunyai adik perempuan yang semanis dirinya. Dengan memendam kekecewaannya, Aileen berkata, " Karena itu kau ingin mempunyai adik perempuan sepertiku."
" Benar," Evans menyahut spontan.
" Aku benar, bukan?"
Sekarang giliran Evans yang heran.
" Kau hanya menggodaku," Aileen menarik tangannya, " Sejak dulu kau hanya menganggapku sebagai adikmu."
" Tidak!" Evans kembali mencengkeram kedua pergelangan tangan Aileen. " Aku tidak pernah menganggapmu sebagai adikku."
" Sudahlah, Evans. Lelucon ini tidak lucu." Aileen tidak suka cara Evans membuatnya berdebar-debar kemudian menyakitinya.
" Aku serius!" Evans berkata tegas, " Kau ingin bukti?"
Sesuatu di wajah Evans membuat Aileen waspada. Sebelum ia sempat menyadarinya, Evans sudah memutari meja kerjanya dan berdiri di depannya.
" A-apa yang akan kaulakukan?" Aileen panik.
" Menurutmu?" cara Evans mendekat membuat Aileen mundur. Pemuda itu terus menyudutkan Aileen sehingga gadis itu terjerembab di sofa panjang depan meja kerjanya.
Evans tersenyum puas. Ia menekan kedua tangan Aileen di sofa. Dan dengan tubuhnya yang besar, ia memenjarakan Aileen di sofa panjang kantornya.
Aileen panik namun& ia juga berdebar-debar. Ia takut namun ia juga menantikan tindakan Evans selanjutnya. Perasaan ini sungguh luar biasa. Aileen tidak sanggup mengungkapkan perasaan campur aduk yang menyebar dari dadanya hingga ke seluruh tubuhnya.
Evans dapat merasakan getaran tubuh Aileen namun ia tidak berniat melepaskan Aileen. Sebaliknya, ia mempersempit jarak di antara mereka.
Aileen menutup matanya dengan spontan. Sesaat setelahnya ia dapat merasakan hembusan nafas Evans menggelitik wajahnya. Ketegangan yang menguasainya membuatnya tidak melakukan apa yang pasti sudah dilakukannya di saat normal. Sentuhan lembut yang menyentuh bibirnya sudah benar-benar membuatnya melupakan rasa gelinya.
Seseorang mengetuk pintu. Aileen dan Evans langsung memisahkan diri dengan kaget.
Serasa seperti dibangunkan dari mimpi indah, pikiran Aileen kacau balau. Ia duduk tegang di kursi dengan kepala menunduk. Sedangkan Evans mengambil langkah-langkah lebar ke meja kerjanya.
" Masuk!" katanya sambil membolak-balik kertas kerjanya.
Seorang wanita berbaju seksi memasuki ruangan. Matanya yang jeli langsung melihat Aileen yang memainkan jari jemarinya di pangkuannya.
" Maaf, saya tidak tahu adik Anda ada di sini."
Evans melihat Aileen yang tidak terusik oleh kehadiran kepala department human resourcenya. Diam-diam ia mensyukuri gangguan wanita itu yang tepat waktu ini. Andai ia tadi tidak mengetuk pintu, Evans tidak dapat menjamin apa yang sekarang sudah terjadi. Ia benar-benar marah oleh ketidakpercayaan Aileen sehingga sesaat lalu kemarahan menguasainya.
" Ada apa?" tanya Evans.
" Ada beberapa surat yang perlu segera Anda periksa dan tanda tangani. Suratsurat ini mendesak." Mata wanita tu melirik Aileen.
" Aku mengerti," Evans menerima surat-surat itu.
Aileen merasa tidak nyaman oleh lirikan wanita itu. Wanita itu pasti telah mengenalinya dan ia tidak perlu menebak pikiran wanita itu. " Evans," panggilnya menarik perhatian pemuda itu, " Aku akan pulang dulu. Jangan lupa bereskan masalah ini."
" Tunggu!" Evans berdiri, " Aku akan mengantarmu."
" Tidak perlu," Aileen menolak, " Aku bisa pulang sendiri. Kau masih punya banyak pekerjaan. Bye& "
" TUNGGU!" Evans langsung menyambar tangan Aileen. " Taruh berkas-berkas itu di mejaku. Aku akan segera kembali."
" Baik."
Aileen melihat sinar kecemburuan di wajah wanita cantik itu tetapi ia tidak peduli.
" Aku akan mengantarmu pulang," Evans menuntunnya pergi.
" Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri."
" Cerewet!" bentak Evans.
Aileen terdiam.
" Tuan Renz," sekretaris Evans langsung berdiri menyambut kemunculan mereka. " Telepon terus berdering mencari Anda. Menurut petugas jaga, beberapa wartawan ingin bertemu Anda."
" Ini semua salahmu," Aileen melirik Evans. Evans berjalan ke jendela dan melihat kerumunan di bawah gedung. Lalu melihat Aileen.
" Kau tidak membuat hidupku mudah," Aileen terus menyalahkan Evans, " Kau tidak tahu bagaimana aku harus menghindari mereka dalam perjalanan ke sini. Aku bahkan tidak bisa membayangkan aku bisa secerdik itu. Tetapi sepandaipandainya aku menyamar, mereka pasti bisa menemukanku. Bagi mereka, menemukan tempat tinggalku bagaikan menelepon rumah mereka sendiri."
Ia tidak memikirkannya! Ia sama sekali tidak memikirkannya ketika ia memesan tempat di restoran. Ia juga tidak memikirkannya ketika ia mengetahui para paparazzi mendapatkan fotonya bersama Aileen.
Evans pucat pasi. Ia sering melihat berita orang-orang terkenal mengalami kecelakaan hanya karena ingin menghindari para paparazzi. Ia tidak memikirkannya!
" Aileen," Evans memeluk gadis itu erat-erat. Untunglah gadis ini bisa datang ke sisinya dengan selamat.
Evans berpaling pada sekretarisnya. Dengan wajah seriusnya, ia berkata, " Siapkan mobil di pintu belakang. " Juga siapkan pesawat. Setengah jam lagi aku akan segera tiba di bandara." Evans meremas tangan Aileen dan menarik gadis itu kembali ke dalam kantornya.
" Lepaskan!" Aileen memberontak.
" Diam, Aileen!" suara dan wajah tegang Evans membuat Aileen tunduk.
" Berikan padaku," Evans lalu memerintah sang manager yang masih berada di sana. Tanpa melepaskan Aileen, ia memeriksa berkas-berkas itu dan menandatanganinya.
Tepat setelah Evans membereskan berkas-berkas itu, sang sekretaris Evans masuk untuk memberitahu mobil telah siap.
" Segera hubungi aku bila terjadi sesuatu," Evans memberikan tas kerjanya kepada Aileen lalu menyimpan laptopnya. Tanpa memberi kesempatan pada gadis itu untuk memahami keadaan, Evans kembali menggenggam tangannya dan menariknya pergi.
" Kita akan ke mana?" akhirnya Aileen mempunyai keberanian untuk bertanya setelah mereka berada di dalam lift.
" Kita akan pergi menyepi hingga keadaan tenang."
" Menyepi ke mana?" gerutu Aileen, " Mereka tidak ubahnya seperti lalat yang menyebalkan. Mengapa kau tidak mengadakan konferensi press atau semacamnya untuk menutup mulut mereka. Kau pasti bisa." " Itu adalah tindakan bodoh yang memberi mereka umpan," Evans menerangkan, " Saat ini langkah yang paling tepat adalah menghilang sampai mereka menemukan umpan baru."
" Ah, tentu saja kau berpengalaman menghadapi mereka."
" Menarikmu dalam keadaan ini adalah kesalahanku," Evans menyesal, " Percayalah padaku keadaan akan kembali normal dalam waktu singkat."
" Kapan?"
" Sudah, jangan menggerutu terus," Evans meletakkan tangan di atas kepala Aileen, " Keriputmu akan bertambah banyak kalau kau terus menggerutu," ia menggosok kepala Aileen.
Aileen Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Lepaskan aku!" Aileen menyingkir. " Aku bukan anak kecil."
" Percayalah padaku. Aku tidak ingin kau terus membenciku." Evans tersenyum melihat Aileen memeluk tas kerjanya erat-erat. " Daripada memeluknya, bukankah lebih baik kau memeluk pemiliknya?" ia mengambil alih tas kerjanya. Aileen hanya berdiri kebingungan.
" Kita masih punya banyak waktu untuk bermesraan tetapi tidak di sini," Evans kembali menggenggam tangan Aileen ketika pintu lift terbuka.
RatuBuku
Chapter 10
Aileen bersandar di pagar serambi dan melepaskan desahan bosannya.
Evans tersenyum melihatnya. " Kau masih marah padaku?"
Aileen menolak untuk melihat Evans. Evans berkata mereka hanya perlu menyingkir setidaknya selama dua hari tetapi& ini sudah hari kelima mereka berada di pulau kecil milik keluarga Renz dan gosip akan mereka masih belum mereda.
Para kuli koran berspekulasi akan melenyapnya mereka berdua. Dan demi menambah maraknya suasana, Kathy Renz, ibu kandung Evans berkomentar ia sangat senang karena akhirnya putranya akan menikah.
Sejak Evans menyelamatkan nya ke pulau kecil ini, Aileen hanya sekali menghubungi keluarga Wilder. Itupun di malam Evans menyelamatkan nya dan hanya untuk memberitahu mereka bahwa ia ada bersama Evans. Setelahnya Aileen tidak pernah menghubungi mereka juga tidak pernah muncul di universitasnya.
Aileen termenung. Sejauh mana sekarang pelajarannya. Dua minggu lagi adalah ujian akhir ujian penentu kelulusannya tetapi ia membolos. Untungnya, mungkin, ia tidak mempunyai kelas pada hari Jum at dan pada hari Rabu serta Kamis ia hanya mempunyai dua kelas. Ditambah kenyataan hari ini adalah hari Sabtu, total ia membolos tiga kelas.
Aileen berharap Senin lusa ia bisa kembali ke kehidupan normalnya.
" Aku mengaku bersalah karena telah salah perhitungan tetapi setidaknya aku tidak menelantarkanmu."
Aileen melihat Evans lalu kembali pada lamunannya. Benar, Evans tidak menelantarkannya. Mereka datang tanpa membawa apapun namun Evans, entah bagaimana, bisa mendapatkan baju untuknya mulai dari baju dalam hingga baju yang sekarang dikenakannya. Yang harus Aileen akui adalah ketepatan Evans dalam memilih ukurannya.
" Karena kita sudah berada di sini, mengapa kita tidak menikmatinya?"
Pertanyaan itu berhasil membuat Aileen memalingkan kepalanya pada Evans.
" Kau mau berenang denganku?"
" Berenang?" Aileen melihat sekeliling. Selain bangunan villa keluarga Renz ini, ia tidak melihat bangunan lain apalagi kolam renang. " Di mana?"
" Di mana pun kau mau," Evans tersenyum sambil merentangkan tangan.
Aileen melihat laut di sekeliling pulau dengan mata nanar. Ia tidak bermaksud&
" Baju renang pesananku untukmu sudah tiba pagi ini."
" B-ba& baju renang?" Aileen pucat pasi. Hilang sudahlah alasan utamanya.
" Kau pasti tidak sabar melihat baju renang pilihanku," Evans tersenyum puas, " Aku menjamin pilihanku tidak buruk."
" Aku sudah tahu," gumam Aileen. Siapa lagi yang memilih baju-baju terbuka yang sekarang dikenakannya ini kalau bukan Evans? Kecuali modelnya, yang menurut Aileen, terlalu terbuka, Aileen menyukai tiap baju yang dipilih Evans khusus untuknya.
" Cepat!" Evans mendorong Aileen, " Segeralah bersiap-siap. Aku akan menyuruh seseorang menyiapkan bekal piknik kita."
" A& aku tidak ingin berenang."
" Mengapa? Hari ini sangat baik untuk berenang, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin."
" Aku tidak ingin berenang!" Aileen menegaskan.
" Segeralah bersiap-siap," desak Evans, " Kau hanya akan membuang waktu di sini."
" Aku tidak mau!" Aileen bersikeras.
" Mengapa?" Evans keheranan. " Apa kau tidak bisa berenang? Aku akan mengajarimu dengan senang hati."
" A-aku," Aileen menghindari wajah Evans dan membuat pengakuan, " Tidak berani berenang di laut."
Evans terperanjat. " Bukankah kau bisa berenang?"
" Itu beda!" Aileen malu mengakui ia masih sering takut berenang di tempat di mana ia tidak bisa menyentuh lantai walau ia suka berenang dan menikmati menyelam di dalam air.
" Tidak ada yang beda. Selama kau bisa berenang, kau tidak akan tengelam."
" Sudahlah!" Aileen kesal, " Aku akan ke pantai bersamamu tetapi aku tidak akan berenang."
" Kita akan membicarakannya kemudian," Evans memutuskan, " Jangan lupa mengenakan baju renangmu. Aku akan menantimu di bawah. Sepuluh menit lagi kita akan pergi." Dan untuk terakhir kalinya, ia mengingatkan, " Jangan lupa baju renangmu."
Ini adalah satu dari sekian yang tidak disukai Aileen dari Evans. Namun Aileen lebih tidak menyukai pendiriannya yang lemah.
Tak sampai sepuluh menit kemudian ia sudah berdiri di depan Evans.
" Baju renangmu?" itulah pertanyaan pertama yang diucapkan Evans.
" Aku sudah mengenakannya," Evans tentu tidak ingin ia memamerkannya sekarang, bukan?
" Kau sudah membawa handuk?"
" Aku tidak berniat berenang," gumam Aileen.
" Aku sudah menebaknya," Evans tersenyum. " Ayo berangkat," Evans menggenggam tangan Aileen.
" Ini sudah menjadi kebiasaan barumu hari-hari belakangan ini," komentar Aileen.
" Apa?"
" Ini," Aileen mengangkat tangannya yang digenggam Evans erat-erat.
" Apa salahnya? Engkau adalah kekasihku," Evans sudah mengatakannya ribuan kali sejak mereka berada di sini, " Dan ini hanyalah satu-satunya caraku untuk memastikan kau tidak akan pergi."
" Aku tidak akan ke mana-mana. Kalaupun aku ingin, aku tidak dapat," komentar Aileen lagi. Sejak ia berada di sini, Aileen sudah memperhatikan satusatunya transportasi mereka dengan daratan hanyalah perahu yang tidak ada dan helikopter yang hanya muncul sekali untuk mengantar keperluan mereka.
" Aku belum mendengar pendapatmu tentang baju renang pilihanku."
" Aku tidak menyukainya," Aileen menjawab tajam.
Evans tertawa lepas. Apa lagi reaksi yang bisa ia harapkan dari gadis jaman pertengahan ini? Sekarang ia bisa menutupi tubuhnya dengan gaunnya tetapi beberapa langkah lagi&
Evans tersenyum puas.
" Cari tempat yang kau sukai," Evans memberitahu ketika mereka sudah menginjakkan kaki di hamparan pantai hangat.
Aileen dengan segera menemukan tepat sejuk di bawah pohon.
Sesuai dengan kehendak Aileen, Evans membiarkan gadis itu menebar tikar. Sambil menanti Aileen, Evans melepas bajunya.
" Evans," Aileen melaporkan, " Kau boleh meletakkan keranjang& " Pipi Aileen memerah. Ia bukan gadis naif yang tidak pernah melihat pria dalam pakaian renang. Tetapi& melihat pria yang diseganinya hanya mengenakan celana renang adalah hal lain.
Evans segera memindahkan keranjang di kakinya ke tengah tikar beserta bajunya. " Kau bisa meletakkan bajumu di sini. Tidak akan ada yang mengambilnya."
Tentu saja Aileen mengetahuinya! Selain mereka dan beberapa pelayan keluarga Renz, tidak ada orang lain di pulau ini.
" Kau tidak berenang?" alis Evans terangkat, " Kita sudah tiba di pantai dan kau tidak berenang?"
Ia juga ingin berenang tetapi& " Kalau kau ingin berenang, berenanglah sendiri!" Aileen membuang wajah.
" Percayalah ini akan menyenangkan," Evans berdiri di belakang gadis itu. " Sama sekali tidak menakutkan." Tangannya bergerak menarik tali pundak gaun Aileen lepas dari pundak gadis itu.
" Apa yang kaulakukan!?" Aileen menghadap Evans sambil mencengkeram bajunya erat-erat.
" Membantumu melepas baju," Evans menjawab tanpa rasa bersalah.
Pipi Aileen serta merta memerah. " Aku tidak butuh bantuanmu!"
" Benarkah?" Evans tersenyum. Ini bukan alasannya memilih gaun dengan potongan dada terbuka untuk Aileen. Ini juga baru pertama kalinya ia menyadari betapa tepatnya ia memilih gaun dengan bahu setali untuk Aileen.
Dengan terpaksa, Aileen melepas gaunnya di bawah tatapan mata Evans.
" Cepat!" Evans langsung menarik tangan Aileen begitu gadis itu meletakkan bajunya di atas tikar.
" T-tunggu!" Aileen panik. Walaupun ia melepas gaunnya, tidak berarti ia mau berenang.
" Ada apa?" Evans melihat Aileen dengan heran. Sesaat kemudian ia menyadari, " Kau ingin mengoles krim anti matahari?"
" Ti& tidak," Aileen membuang muka. Sesungguhnya, ia sudah mengenakannya sebelum menemui Evans.
Evans mengulum senyumnya. " Mengapa kau tidak memberiku kesempatan melayanimu?" protesnya.
" Terserah padaku!" Aileen menjauhkan wajahnya yang memanas dari Evans. " Mengapa kau tidak segera berenang?"
" Mengapa kau tidak mengatakannya dari tadi?" Evans menarik Aileen ke pantai.
" Tunggu, Evans!" Aileen panik, " Aku tidak ingin berenang! Aku& aku& "
" Jangan khawatir," tentu saja Evans masih ingat ketakutan Aileen akan berenang di laut. " Aku akan terus menggenggam tanganmu," Evans meyakinkan, " Tidak ada yang perlu kautakuti."
" Tapi& ," Aileen ragu-ragu.
" Percayalah padaku," Evans menarik Aileen ke tengah laut.
" EVANS!!!" Aileen merapatkan diri pada Evans dan merangkul lengannya eraterat. Aileen merasa gelombang lautan mulai menenggelamkan dirinya.
" Percayalah padaku," Evans melepaskan tangan Aileen dari lengannya namun ia masih tetap menggenggam tangan gadis itu. Evans mengangkat kakinya dan mulai berenang.
Aileen mau tidak mau juga ikut berenang. Seperti pikirannya, berenang di laut berbeda dengan berenang di dalam kolam renang. Di dalam kolam renang, ia tidak pernah merasakan gelombang besar yang mengombang-ambingkan tubuhnya. Di dalam kolam renang juga tidak ada ombak vertikal yang mengangkat dan menurunkan tubuhnya. Namun& di dalam kolam renang ia tidak akan dapat melihat pemandangan bawah laut yang cantik seperti ini.
Aileen menghirup nafas dalam-dalam dan menyelam ke dalam air. Ia gembira melihat gerakan-gerakan kecil di lantai laut. Ia senang melihat ikan-ikan yang berlaian ke dalam tempat persembunyian mereka ketika ia mendekat. Ia terpesona oleh tarian tumbuhan laut.
Evans tersenyum memperhatikan Aileen. Sesaat lalu gadis itu masih ketakutan sekarang ia sudah hanyut dalam kegembiraan. Evans tidak melepaskan tangan Aileen. Ia sudah berjanji padanya untuk menjaganya dan ia tidak dapat membiarkan Aileen lepas dari pandangannya. Walaupun ia berkata berenang di laut tidak berbahaya, namun tidak berarti bahaya itu benar-benar tidak ada. Evans tidak dapat menjamin ombak laut tidak akan mengganas secara tiba-tiba. Evans hanya dapat menjamin dengan tubuhnya yang kurus kecil itu Aileen pasti dihanyutkan ombak laut dengan mudah.
Evans mulai merasa heran. Hampir semenit lamanya mereka menyelam di dalam laut tanpa alat bantu apa pun. Manusia pada umumnya tidak sanggup menahan nafas lebih dari semenit walaupun di dalam air. Ia yang sering berenang pun tidak sanggup menahan nafas lama-lama. Namun Aileen sepertinya masih tidak berniat kembali ke permukaan.
Aileen melihat permukaan laut. Ia tidak menyelam terlalu dalam. Ia masih bisa bertahan beberapa saat dan kemudian kembali ke permukaan laut untuk mengambil nafas. Ia ingin memperhatikan sekumpulan ikan menghilang di balik karang.
Evans memperhatikan Aileen yang sama sekali tidak seperti kehabisan nafas. Mungkin gadis ini tidak selemah yang ia bayangkan.
Aileen mulai bergerak ke permukaan laut. Ia merasa ia mulai mencapai limitnya namun ia percaya ia pasti segera mencapai permukaan laut.
Aileen heran. Ia merasa ia sudah berenang cukup lama namun ia masih tidak mencapai permukaan yang bersinar itu. Aileen merasa dadanya mulai sesak namun ia masih belum mencapai permukaan yang serasa dalam jangkauannya itu.
Aileen panik. Seseorang menariknya ke permukaan air dengan cepat.
Aileen kaget. Sesaat kemudian ia sudah berada di permukaan air. Nafasnya tersenggal-senggal. Dengan rakusnya, ia menghirup udara melalui mulutnya. Sebuah tangan besar memegang kepalanya dan merapatkannya ke dada telanjang.
Aileen merasa begitu lega. Sedetik lalu ia sempat berpikir ia akan mati tenggelam. Ia merasa tenang dan aman. Tangannya memeluk dada itu dan ia membaringkan kepala di dada itu dengan mata terpejam.
" Kau benar-benar membuatku kaget."
Aileen terperanjat. Ia segera menjauhkan diri.
Tangan kanan Evans yang melingkari pinggangnya tidak mengijinkannya menjauhkan diri lebih jauh dari dua puluh sentimeter. Tangan kirinya yang masih memegang kepalanya juga tidak mengijinkannya mengubah posisinya.
" Lain kali jangan menyelam melebihi batas kemampuanmu," Evans memperingati dengan serius.
Aileen tidak sanggup melihat pria di hadapannya.
" Kalau kau ingin melihat pemandangan bawah laut, kita bisa menggunakan peralatan selam. Aku membawamu ke sini untuk berenang bukan untuk menenggelamkan diri!"
" Maaf," gumam Aileen dengan kepala tertunduk.
" Kau benar-benar membuat jantungku copot," ia kembali memeluk Aileen. Aileen tidak memberontak.
Evans menautkan jarinya di antara jari-jari Aileen. Seketika ia menyadari sesuatu yang janggal. Ia menarik tangan kiri Aileen ke hadapannya. " Di mana cincinmu?" tanyanya panik.
" Aku meninggalkannya di kamar."
" Mengapa kau melepaskannya!?" Evans marah.
" Aku tidak ingin ia rusak oleh air laut," Aileen membela diri dan menjelaskan, " Perhiasan mudah berubah warna bila terkena air laut."
Amarah Evans mereda secepat munculnya. " Seharusnya kau memberitahuku."
" Untuk apa?" Aileen keheranan.
" Untuk mencegahku khawatir," Evans memberitahu kemudian ia memberi contoh, " Seperti barusan, aku mengira cincinmu jatuh ke dalam laut."
" Aku tidak seceroboh itu," Aileen tidak suka cara Evans berbicara yang seperti menuduhnya itu.
" Benar tapi kau pelupa," sambung Evans.
Aileen membuang wajah dengan kesal. Ia kaget melihat laut di sekeliling mereka. Tangannya menggapai Evans dengan panik. Matanya memandang tepi pantai di kejauhan dengan tidak percaya. Pasti ombak laut telah membawa mereka sejauh ini dari pantai tanpa mereka sadari.
Evans kembali memeluk Aileen. " Sekarang kau baru sadar kita sudah hampir ke tengah laut?" Evans tersenyum geli.
Aileen terlalu panik memikirkan kakinya yang tidak berpijak pada lantai laut untuk membalas Evans.
Evans menyadari kepanikan Aileen itu. " Kita kembali ke pantai," ia melingkarkan lengan Aileen di lehernya kemudian melingkarkan lengannya ke pundak Aileen dan berenang ke tepi pantai.
Aileen Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Secara spontan Aileen menggerakkan kakinya untuk mengimbangi gerakan Evans. Tidak satupun yang ia pikirkan saat ini selain segera ke tempat di mana kakinya bisa berpijak. Karenanya ia begitu lega ketika kakinya menyentuh pasir.
" Kau benar-benar aneh," komentar Evans, " Kau bisa berenang tetapi kau takut berenang di tempat dalam. Apa yang kau khawatirkan? Selama kau bisa berenang, kau tidak akan tenggelam."
" Tidak ada urusannya denganmu!" Aileen membuang muka.
Evans tertawa geli. Selama beberapa hari tinggal bersama Aileen di pulau ini, ia semakin mengenali watak Aileen yang tidak pernah diketahuinya. Aileen adalah gadis yang rajin. Ia suka bangun pagi tetapi ia sudah tidak dapat membuka mata melebihi tengah malam. Ia suka melakukan bersih-bersih dan ia tidak suka berdiam diri. Selalu ada saja pekerjaan rumah tangga yang bisa ia temukan untuk menghabiskan waktu kosong. Aileen juga tidak suka melihatnya meletakkan barang sembarangan. Entah sudah berapa kali Aileen mengomelinya karena hal-hal kecil seperti meletakkan handuk di atas kursi dapur.
Evans menyukai semua penemuan barunya akan Aileen. Namun yang paling disukainya adalah reaksi Aileen ketika ia malu. Ketika gadis itu merasa malu ia akan membuang wajah dengan kesal atau menggerak-gerakkan bola matanya. Ketika ia ditanyai pertanyaan yang membuatnya malu, ia pasti akan berusaha mengalihkan pembicaraan. Begitu mudahnya ia dimengerti dan begitu manisnya reaksinya sehingga Evans senang menggodanya.
Evans kembali menautkan jari-jarinya di antara jari Aileen. " Apa kau mau berjalan-jalan di tepi pantai?" tanyanya.
" Dengan baju renang ini?" tanya Aileen, " Apa aku tidak bisa mengganti baju dulu?"
" Tidak perlu," Evans menuntun Aileen.
" Tunggu, Evans!" Aileen memberontak. Sudah sejak lama ia menginginkan bikini yang seksi seperti ini. Ia selalu ingin tampak menarik tetapi ia tidak menyukai perasaan tidak nyaman ini. Aileen merasakan keinginan yang kuat untuk menutupi bagian-bagian tubuhnya yang terbuka. " Setidaknya biarkan aku mengenakan sesuatu."
Evans memperhatikan Aileen yang menutupi dadanya dengan tangannya. " Tidak akan ada yang melihatmu kecuali aku."
" Itu yang tidak aku sukai," Aileen memalingkan kepala.
" Kita masih punya bekal piknik," Evans mengingatkan.
Aileen mendesah putus asa.
RatuBuku
" Aileen?" Evans mengetuk pintu kamar Aileen dengan perlahan. " Aileen, makan malam sudah siap." Evans memutuskan untuk masuk ketika Aileen masih belum menjawab.
" Aileen?" Evans mencari-cari sosok Aileen di dalam ruangan. Ia yakin gadis itu ada di dalam. Mereka berpisah setengah jam lalu untuk membersihkan badan dari air laut. Mereka juga telah berjanji akan bertemu lagi untuk makan malam.
Evans melihat sesosok gadis berbaring di atas meja serambi hanya dengan mengenakan baju renang minimnya.
" Aileen, jangan tidur di sini," ia menggoyang pundak Aileen dengan perlahan, " Kau bisa jatuh sakit."
" Hmm& ," Aileen mengerang dalam mimpinya.
" Kau bisa sakit kalau kau tidur di sini," ia memberi tahu dengan lembut.
Aileen sama sekali tidak menyahut.
Evans duduk di sisi Aileen. Aileen pasti lelah setelah seharian bermain di pantai. Hanya sekali mereka berenang di laut setelahnya Aileen menolak berenang bagaimana pun kerasnya paksaan Evans. Selebihnya, mereka hanya bermain di tepi pantai seperti anak kecil dan menikmati makan siang mereka.
Evans memandangi Aileen dengan bahagia. Lima hari belakangan ini gadis ini membuat hidupnya dipenuhi oleh kebahagiaan yang tidak pernah ia rasakan bersama wanita lain. Gadis ini telah memenuhi seluruh sudut hidupnya sehingga Evans tidak yakin ia bisa hidup tanpanya.
Tidur tenang Aileen sama sekali tidak terusik.
Evans mengulurkan telunjuknya menyentuh bibir Aileen. Beberapa hari lalu ia hampir saja mencium gadis itu. Andai tidak diganggu sekretarisnya, ia pasti sudah mencium Aileen. Evans berpikir bagaimanakah rasanya ciuman Aileen. Ibu jari dan telunjuknya sudah berpindah ke dagu Aileen.
" Hmm& ," Aileen kembali mengerang dalam mimpinya.
Gadis manis yang tanpa perlindungan ini benar-benar menggoda!
Evans mendekatkan wajahnya.
" Evans& ," gumam Aileen.
Evans terperanjat. Ia segera menjauhkan diri dari Aileen. " Kau bisa sakit kalau kau tidur di sini," sekali lagi ia memberitahu. Lagi-lagi ia hampir kehilangan kontrol.
" Hmm& " Aileen mengganti posisi kepalanya.
Evans gemas. Di sini ia berusaha mengekang diri. Di sana gadis ini terus tidak menyadari bahaya yang mengancamnya.
" Jangan salahkan aku," ia memperingati dan mengangkat tubuh yang tak berdaya itu.
Aileen menggeliat begitu punggungnya menyentuh kasur empuk dan mengerang. Evans gemas dibuatnya.
" Siapa?" Aileen menggosok matanya. " Evans?" tanyanya dengan suara mengantuk.
" Selain aku, siapa lagi yang bisa memasuki kamarmu?" tanya Evans.
Aileen duduk di tempat tidur. Matanya masih enggan membuka.
" Aku tidak berkomentar kalau kau ingin memamerkan tubuh molekmu tetapi aku tidak mau kau jatuh sakit."
Aileen terperanjat. Ia segera menyadari keadaannya saat ini. Aileen meraih selimut dan menutupi tubuhnya dari pandangan Evans. " Kau tidak& tidak& ," Aileen malu, " Bukan?"
" Tidak apa?" Evans tergoda.
" Kau tahu& "
" Tidak, aku tidak tahu," Evans sengaja.
Aileen sadar Evans tidak akan mempermudahnya. " Ah, sudahlah! Lupakan apa yang kukatakan," ia menyerah, " Kau tidak mungkin melakukannya."
" Sulit mengatakannya," Evans berkomentar, " Bagaimanapun juga aku adalah pria normal."
Aileen menatap Evans dengan matanya yang melebar. " Itu& itu tidak mungkin."
" Kau ingin bukti?" Evans bertanya, " Aku bisa memberikannya setiap saat terutama sekarang."
" Bukti apa?"
" Menurutmu apa yang bisa dilakukan seorang pria dan wanita yang berduaan di dalam kamar?" Ia menangkap tangan Aileen dan mendorongnya ke tempat tidur. " Terutama ketika sang wanita hanya mengenakan bikini?" Aileen panik. Tangannya tidak bisa bergerak di bawah tekanan Evans. Tubuhnya terpenjara oleh tubuh Evans yang berada di atasnya. Aileen takut. Kali ini ia tidak dapat merasakan apa pun selain ketakutan dan kepanikan.
Evans tersenyum. Ia tahu ia sudah membuat Aileen melihatnya sebagai seorang pria tetapi ia masih tidak berniat melepaskan gadis yang mempesona ini.
Tubuh Aileen bergetar hebat. Matanya tertutup rapat ketika Evans mulai mendekatkan wajahnya. Ia menyadari posisinya yang tidak menguntungkan ini. Ia menyadari sepenuhnya bahaya yang mengancam ketika seorang pria mengurung seorang gadis yang hanya mengenakan bikini di tempat tidur terutama ketika pria itu hanya mengenakan sehelai celana renang.
Evans mendaratkan ciuman di dahi Aileen.
Aileen membuka matanya dengan kaget.
" Kau kecewa?" Evans menggoda.
" T-tidak," Aileen membuang wajahnya yang memerah.
" Jangan khawatir. Aku tidak akan melakukan apa pun yang akan mencelakaimu," Evans melepaskan Aileen, " Aku tidak akan menyentuhmu sebelum kita menikah. Tentu saja itu termasuk ini," telunjuk Evans menyapu bibir Aileen.
Dada Aileen mulai berdebar keras.
" Aku ingin memberimu ciuman yang tidak akan pernah kaulupakan."
Pernyataan itu membuat jantung Aileen berdebar kian keras.
" Segeralah mandi," Evans memunggungi Aileen. " Aku sudah lapar."
Aileen bangkit dan mulai mencari baju di lemari baju. Segera setelah mendapatkan baju yang diinginkannya, ia melesat ke kamar mandi.
Evans duduk lemas di tempat tidur.
Hanya Tuhan yang tahu apa yang membuatnya berhenti. Benar ia adalah orang yang menyalakan api namun Aileen, tanpa gadis itu sadari, membuat api itu kian membara.
Dengan wanita lain, Evans pasti tidak mencoba untuk menahan diri. Namun Aileen bukan mereka. Ia adalah seorang gadis manis abad pertengahan yang anggun dan sopan.
Demi keheranannya sendiri, Evans tahu apa yang Aileen inginkan dari hubungan sepasang kekasih dan apa yang tidak disukainya.
Bila ia masih ingin mendapatkan Aileen, ia harus menjaga jarak yang cukup aman dengan Aileen. Namun Evans tidak yakin ia mampu bertahan untuk waktu yang lama. Untuk itu pertama-tama ia harus melakukan sesuatu terhadap situasi saat ini.
RatuBuku
Chapter 11
Aileen bimbang.
Apakah Evans masih ada di dalam? Bagaimana ia harus melihat pemuda itu?
Evans pasti sudah melihatnya setengah telanjang. Evans bahkan sudah memeluk tubuhnya yang hanya tertutup bikini minim.
Tangan Aileen sudah menggenggam pegangan pintu tetapi hatinya masih belum siap untuk memutarnya.
Aileen menatap pintu kamar mandi. Ia tidak bisa selamanya bersembunyi dari Evans. Ia sadar ia tidak boleh berlama-lama di dalam kamar mandi. Tidak ada yang bisa memastikan tindakan Evans jika ia tidak segera keluar.
Aileen memantapkan hatinya untuk membuka pintu.
Dengan perlahan-lahan bagaikan pencuri, Aileen menapakkan kaki keluar. Matanya langsung mencari-cari sosok Evans.
Aileen lega mengetahui Evans sudah tidak ada di dalam kamarnya.
Aileen duduk di depan meja rias dan mencari sisir di dalam laci. Jarinya menyentuh sesuatu yang dingin dan bulat. Aileen mengeluarkan benda itu. Aileen membawa cincin di tangannya ke sinar terang dari jendela.
Sinar matahari memantulkan sinar yang cemerlang di puncak berlian cincin yang Evans pesan khusus untuknya. Sebatang emas putih melingkar anggun. Kedua ujungnya bertautan membentuk mata dengan berlian putih di tengahnya.
Evans benar-benar tahu seleranya. Sederhana dan anggun! Walau ia tidak menginginkannya, Aileen tidak dapat menyangkal ia menyukai cincin ini bukan karena nilainya tetapi karena bentuknya. Takkan pernah ada hari ia berhenti mengagumi cincin ini.
Aileen sadar ia harus segera mengenakan cincin ini kembali sebelum Evans kembali marah.
" Berikan padaku."
Aileen kaget.
Evans berlutut di depan Aileen dan mengambil cincin di tangannya dengan satu tangan dan tangan Aileen dengan tangan yang lain.
" Kutegaskan padamu, mulai hari ini hanya aku yang boleh memasang cincin di jari manismu ini. Tentu saja, hanya aku yang boleh melepasnya." Evans memasukkan cincin itu di jari manis kanan Aileen.
Lagi-lagi Evans mengisi hati Aileen dengan haru dan harapan.
" Aileen," Evans menautkan jari-jemarinya di antara jari-jemari Aileen, " Setelah ujianmu selesai dan setelah upacara kelulusanmu, menikahlah denganku." Dada Aileen berdegup kencang oleh tatapan lembut Evans. Matanya mengitari sekeliling ruangan untuk menghindari tatapan itu.
" Tatap aku, Aileen," tangan kanan Evans merangkum pipi Aileen sementara tangan kirinya tetap bertautan dengan tangan Aileen.
Aileen menatap Evans malu-malu.
" Kau mau menikahiku, bukan?" Evans meyakinkan dirinya sendiri.
Wajah Aileen terpaku ke Evans tetapi bola matanya kembali menghindar. Ia ingin menghilang dari hadapan Evans.
" Aku tidak akan melarangmu bila kau ingin berkarir namun aku tidak bisa membiarkanmu bekerja di sembarang tempat."
Mata Aileen terpaku pada Evans.
" Keamananmu adalah pertimbangan utamaku," Evans menjawab pertanyaan di mata itu, " Engkau adalah santapan lezat bagi mereka yang ingin memeras harta keluarga Renz. Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya." Evans menatap Aileen lekat-lekat, " Kau bisa memahami keputusanku?"
Aileen mengangguk. Ia terlalu dipenuhi keharuan untuk dapat mengeluarkan suara.
Evans menganggap kediaman Aileen itu sebagai jawabannya.
" Setelah kuliahmu selesai, kita akan pulang untuk membicarakan pernikahan kita dengan orang tuamu dan orang tuaku."
" Pu& lang& ?" Bahagia seketika menghilang dari wajah Aileen.
" Jangan khawatir," Evans meremas lembut tangan Aileen, " Orang tuamu pasti merestui kita."
Sinar mata Aileen kian kosong.
" Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," Evans berdiri dan memeluk Aileen, " Aku tetap akan menikahimu dengan atau tanpa restu mereka."
Aileen mencengkeram lengan Evans. Andaikan saja Evans tahu apa yang dikhawatirkannya& Andaikan saja ia tahu apa yang ditakutkannya&
Pada akhirnya waktu terus berlalu tanpa mempedulikan perasaan Aileen dan hari itu pun tiba.
" Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," Evans menggenggam tangan Aileen. " Mereka tidak akan menentang."
Tentu saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan! Mereka suka menjalin hubungan keluarga dengan Renz. Evans pasti dapat menikahi seorang LaSalle. Hanya saja&
Aileen memperhatikan daratan nun jauh di bawah.
" Kita bukan sepupu dalam arti sebenarnya," Evans mengulurkan tangan di belakang kepala Aileen dan menariknya ke pundaknya, " Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Tidak akan ada yang menentang hubungan kita."
Bagaimana ia diharapkan menghadapi masa depan yang terpampang jelas di hadapannya? Bagaimana ia harus menyambut kenyataan yang tidak ia inginkan? " Jangan khawatir," Evans meremas tangan Aileen dengan lembut.
Aileen balas meremas tangan Evans dengan erat.
Andaikan saja ia bisa mempercayai kata-kata itu&
RatuBuku
Aileen Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Aku akan turun untuk menyapa orang tuamu," kata Evans ketika mobil berhenti di depan rumah keluarga LaSalle.
Aileen mengangguk. Ia merasa ia masih belum siap menemui orang tuanya.
Sopir keluarga Renz mengeluarkan koper Aileen sementara gadis itu membunyikan bel pintu.
Evans berdiri di belakang Aileen turut menanti seseorang membuka pintu.
Seorang pelayan membuka pintu. Di dalam terlihat Josef LaSalle sudah menanti kedatangan mereka dengan tidak sabar.
" Selamat datang," Josef menyambut, " Masuklah, Evans, masuklah."
" Selamat malam," Evans menyapa.
Pelayan membantu Aileen membawa kopernya.
Evans menoleh pada Aileen. " Segeralah beristirahat," pesannya, " Aku ingin membicarakan beberapa hal dengan orang tuamu."
Aileen mengangguk.
Josef membawa Evans memasuki ruang duduk.
Aileen terus memperhatikan mereka hingga pintu tertutup dan tanpa banyak bicara ia mengikuti pelayan yang sudah membawa pergi kopernya.
Ia memang menyanggupi pesan Evans tetapi hatinya tidak tenang. Segera setelah memastikan kopernya sudah masuk kamar, ia melesat kembali ke lantai bawah.
Aileen bersandar di pintu. Sesekali matanya melirik ruangan pintu ruangan tempat orang tuanya dan Evans berbicara. Sesekali matanya berpaling pada mobil keluarga Renz yang menanti Evans. Sesekali pula matanya beralih pada lain. Ia gelisah menantikan kemunculan Evans.
" Kau menantiku?" Evans mengagetkan Aileen.
" Evans," Aileen menjatuhkan diri di dada pemuda itu.
Evans tersenyum. " Aku tidak tahu kau begitu merindukanku," ia memeluk Aileen.
Aileen memeluk Evans erat-erat. Ia butuh memastikan dirinya pemuda ini masih ada di sini.
" Kau bisa bernapas lega sekarang," Evans membelai rambut panjang Aileen, " Orang tuamu tidak menentang hubungan kita."
Tentu saja! Mereka tertarik pada harta warisan Evans! Tapi&
" Masuklah ke kamarmu dan beristirahatlah yang cukup," Evans menjauhkan Aileen, " Besok aku akan datang setelah berunding dengan orang tuaku."
Aileen menatap Evans penuh harapan.
" Kau terlalu mencemaskan banyak hal." Evans melihat kecemasan di mata Aileen, " Orang tuaku tidak akan menentang hubungan kita. Sebaliknya, Aileen, aku dapat menyakinkanmu mereka sangat senang. Sekarang tidurlah dan berhenti berpikir. Aku akan memastikan semuanya berjalan sempurna." " Aku ingin mengantarmu." Setidaknya Aileen perlu meyakinkan diri Evans ada di sini untuknya.
" Tidak," Evans menolak tegas, " Akulah yang ingin melihatmu naik ke kamarmu," dan ia menegaskan, " Aku tidak akan pergi sebelum kau masuk kamar." Aileen menatap Evans. Ia enggan berpisah dengan Evans. Ia takut ia tidak akan dapat melihat Evans seperti ini lagi.
" Beristirahatlah, Aileen," Evans memerintah, " Aku tidak ingin kau kecapaian."
Dengan enggan Aileen meninggalkan Evans.
" Aileen!" Evans menahan Aileen, " Selamat malam," ia mencium kening gadis itu dan berpesan, " Aku akan menanti sampai kau sudah ada di dalam kamar."
Aileen melangkahkan kaki menjauhi Evans dengan enggan. Namun ia tidak mempunyai pilihan lain. Dengan sama enggannya, ia membuka jendela kamarnya. Evans masih di bawah seperti janjinya. Ia tersenyum ketika melihat sosok Aileen. Senyumnya mengembang ketika ia melambaikan tangan.
Aileen membalas lambaian itu. Matanya memperhatikan Evans memasuki pintu mobil yang sudah terbuka untuknya. Hatinya sedih mengikuti mobil keluarga Renz meninggalkan halaman rumah dan menghilang di belokan.
Aileen takut. Ia tidak berani menghadapi hari esok.
Andai memungkinkan, ia ingin waktu berhenti di detik ini juga.
" Evans& ," Aileen ingin pemuda itu tinggal di sisinya. Ia membutuhkan segala rasa aman yang bisa diberikan pemuda itu.
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar Gerbang Nasib Postern Of Fate Karya Pengemis Binal 21 Muslihat Cinta Sang
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama