Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz Bagian 4
tho, Mas?" Jono menepuk-nepuk ringan punggungku
untuk meredakan batuk karena kopi yang nyasar
salah masuk ke jalan nafas.
Aku mengangguk-angguk sambil melambaikan
tangan pada Jono, memberi isyarat agar dia meng?
hentikan aksinya. Kurasa wajahku merah padam
sekarang, karena malu, marah dan entah apa lagi
yang melintas di kepalaku, bahkan aku sendiri pun
tak bisa memilahnya. Kenapa orang-orang sampai
berpikiran seperti itu?
"Maaf, ya semuanya, saya mau sedikit menjelas?
kan sebelum semuanya mengambil kesimpulan yang
salah di sini. Saya tegaskan sekali lagi, saya hanya
menggantikan Pak Surya untuk sementara sebelum
penggantinya ditetapkan. Itu pun karena saya asisten
Pak Surya sebelum beliau pindah ke lantai 6. Karena
selama ini saya banyak tau tentang tugas Pak Surya
yang dialihkan ke saya, jadi Pak Surya merasa saya
bisa melanjutkan sisa pekerjaan yang tertunda, itu
yang pertama. Yang kedua adalah, saya dan Ayana,
putri Pak Surya, tidak ada hubungan apa-apa. Kami
hanya berteman biasa. Jadi gak ada hubungannya
kerjaan saya sekarang ini dengan putri Pak Surya.
230
230
Nah, jadi nanti kalau ada yang bergosip lagi, tolong
di jelaskan seperti yang saya bilang. Karena jujur saja,
saya gak enak sama keluarga Pak Surya kalau begini
urusannya," kututup pidatoku sambil memutarmutar mug besar di tangan.
"Saya masih tetep ndak percaya, sumpah demi
jenggot Bapak saya yang ndak pernah di potong. Saya
ndak percaya sama Mas Juna. Walaupun Mas Juna
bilang cuma temenan sama Mbak Ayana, tapi bagi
saya yang liat, hati Mbak Ayana itu sudah condong
ke Mas Juna, sama saja dengan hatinya Mas Juna yang
sudah nyangkut di Mbak Ayana. Mata Mas Juna sama
Mbak Ayana itu sudah ngomong banyak banget, Mas.
Jadi mau Mas Juna ngomong apa juga, saya ndak
bakalan percaya sama sekali." Edi menatapku serius
sambil menopang dagunya dengan telapak tangan
yang terbuka.
"Terserah deh, Di, saya juga gak rugi kok kalau
situ gak percaya sama saya."
"Tapi Mbak Ayana ke mana sih mas kok ndak da?
teng-dateng ke sini? Saya kangen sama Mbak Ayana."
Jono ikutan menopang dagunya dan mena?tapku se?
perti aku ini tontonan gratisan di pasar malam.
"Gak tau, emangnya saya bapaknya? Kok nanya?
nya ke saya?"
"Yah, sapa tau gitu Mas Juna telpon-telponan te?
rus sama Mbak Ayana. Saya kan pengen tau kabarnya.
Rasanya sudah lama banget saya ndak ketemu sama
Mbak Ayana. Terakhir ketemu Selasa minggu lalu,
trus sampe Minggu ndak ketemu lagi. Terus Senen
231
231
cuma liat bentaran pas turun dari lip lagi jalan bareng
sama Mas Juna ketawa-tawa sambil pegangan tangan
bawa keranjang gede kaya tukang sayur itu. Nah, abis
itu ndak pernah liat lagi sampe sekarang."
"Kan saya udah bilang kalo saya gak tau, Edi
Maryono, saya bukan bapaknya. Silahkan tanya Pak
Surya kalo kangen sama Ayana." Kugertakkan ge?
rahamku gemas mendengar Edi yang berbicara tanpa
henti tentang Ayana.
Kenapa juga harus membahas Ayana sekarang?
Apa belum cukup aku disiksa dengan ingatan me?
malukan yang ingin kuhapus selamanya dari bank
memori di otakku??
"Jeeeeeh ... kok malah marah. Mas Juna kangen
juga, yo?. Halah, mesti kangen ini kalo begini, lagaklagaknya sudah sama kayak Pak Parno kalo lagi
kangen sama Bu Sumarti. Marah-marah kesel ndak
jelas tapi mukanya merah pas digodain. Terus purapura sok sibuk banyak kerjaan, padahal, cuma trik
buat ngilangin kangen. Iyo, tho Mas, kangen tho?
Ngaku Masss ... kita-kita ngerti kok."
Rasanya saat ini ingin kuguyur muka Jono dengan
kopi di tanganku, tapi kok sayang banget karena aku
sedang dalam kondisi butuh kopi yang sangat akut.
Hasilnya aku hanya melirik sebal pada Edi dan Jono.
"Husss ... jangan digodain Mas Arjuno-nya, nanti
kamu berdua kena tulah, lho kalo kebanyakan godain
orang yang lagi terserang penyakit kangen begini."
Pak Parno tersenyum yang bagiku tampak sangat
mengerikan saat ini. Aku kangen? Sama anak kecil
232
232
labil itu? Makasih banyak.?
"Saya cuma mikir, lha wong saya yang bukan
pacarnya bukan apa-apanyalah yang jelas, kangen
banget sama Mbak Ayana. Apalagi Mas Juna, ya? Tiga
hari ini tiap saya anterin minum buat Pak Surya, saya
ndak pernah liat Mbak Ayana." Mata Edi menerawang
jauh. Tampak sangat menghayati lamunannya sen?
diri.
Tapi benar juga, tiga hari sudah aku tak mende?
ngar kabar apapun dari Ayana. Sejak hari Senin ke?
maren aku memang seperti lost contact dengan anak
itu, selain karena Pak Surya pindah ruangan ke lantai
atas, aku juga ditenggelamkan dengan begitu banyak
pekerjaan yang harus ku-handle. Meskipun banyak
staf yang membantu, tapi tetap saja pos terakhir ada
padaku.
Hhmm jadi dia pun gak ada di lantai atas?
Apa Ayana marah? Kurasa aku memang terlalu kasar
padanya Senin kemaren, tapi kurasa sikapku bisa
dibenarkan mengingat perbuatan kami yang sudah
melampaui batas. Mau tak mau aku ingat lagi perte?
muan terakhirku dengannya, wajah penuh air mata
yang berusaha dia sembunyikan, kesedihan dan luka
yang amat jelas terlihat dari ekspresinya. Jujur ini
adalah pertama kalinya aku melihat Ayana dalam
kondisi seperti itu.
Apa aku kangen? Entahlah.
Kamu kangen, J?
Rasanya satu sisi hatiku meneriakkan pertanyaan
itu berulang kali. Kangen?
233
233
Tiga hari ini kepalaku selalu terarah ke lift begitu
mendengar dentingnya, entah berharap untuk apa.
Mungkin berharap dia datang dengan senyumnya
lalu duduk diatas mejaku seperti biasanya. Apa itu
ka?ngen? Aku juga berubah seperti ABG kegan?jenan
yang bolak-balik mengecek notifikasi di ponsel, juga
memeriksa chat window di Messenger walaupun aku
tak tau entah untuk apa atau siapa aku berharap,
apa itu juga bisa dikategorikan kangen? Ahh gak
mungkin aku kangen, aku cuma merasa bersalah
pada A?yana. Ya, hanya perasaan bersalah yang meng?
han?tui k?arena aku sudah terlalu kasar padanya. Ya,
pasti hanya karena itu kan?
Lalu kenapa aku selalu teringat dia sejak hari itu?
Bahkan dengan sangat menjijikkan aku menikmati
tidur di atas ranjang di mana kami bergumul Senin
lalu, menghirup aromanya yang tertinggal di ban?tal?
ku, sambil membayangkan bagaimana ram?butnya
yang halus tergerai di sana, bagaimana tubuhnya
menelusup di bawah selimut memeluk guling yang
selalu kujadikan teman tidur tiap malam. Ingat?an
tentang itu selalu saja datang dengan setia, mem?
porak-porandakan hatiku saat malam, saat tak ada
lagi yang kukerjakan, saat hanya kesendirian yang
jadi teman. Bayangan Ayana yang hadir di ranjang
bersamaku begitu menggoda, saat kepalanya yang
selalu bergoyang lucu rebah di dadaku, saat bibirnya
yang manis ... STOP! STOP!
Hentikan Juna bodoh! Hentikaaaaaaaan!
"Juna hei Arjuna ... kamu gak papa? Kamu
234
234
pusing J?"? Sebuah suara feminin yang aku yakin ba?
nget suara perempuan berada tepat didepanku.
Aku mendongakkan kepala dan mendapati Dian
membungkuk ke arahku, tampak khawatir. Lah, kok
aku udah duduk manis di sini? Bukannya aku tadi di
pantry bersama gerombolan pantry boy sarap itu?
Siapa yang pindahin aku ke sini? Apa aku melamun
dan tak sadar sudah berjalan bagai zombie ke mejaku
lagi?
"Juna ... heloooooo?? Any body home?" Dian
melambai-lambaikan kertas di tangannya di depan
mukaku.
"Hmm ehhh enggak, aku gak papa. Ada apa?"
"Ini laporan yang kamu minta tadi pagi, maaf
agak telat. Soalnya aku kasih laporan dulu ke sub
divisi marketing."?
"Ooohh iya. Gak papa, thanks ?ya, Dian."?
"Kamu beneran gak papa?"
Aku hanya bisa melongo dengan cakepnya saat
dia memperhatikan wajahku dengan seksama. Apa
Dian baru menyadari pesonaku sekarang ini? Ke
mana aja mbak selama ini?
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa? Ada yang salah dengan wajahku?"
"Enggak sih, heran aja. Kamu pusing, ya? Kok tadi
pas aku dateng lagi jedot-jedotin kepala ke meja?"
Mata Dian yang menyelidik membuatku sedikit
khawatir kalau-kalau dia bisa membaca pikiranku
beberapa menit yang lalu. Ahh, gak mungkin kan,
setauku emaknya Dian bukan keturunan dukun, jadi
mustahil dia tau apa yang aku pikirin.
235
235
"Gak papa kok, kamu kenapa tiba-tiba mau sok
tau begitu?" Kulirik dia sedikit curiga sambil berpurapura memeriksa laporan yang dia bawa.
"Enggak. Aneh aja liat kamu kucel gini. Biasanya
kan Arjuna itu rapi, seger dan selalu keliatan ceria
dan optimis. Gak kaya sekarang. Kamu kenapa Juna?
Bahkan kejadian Nina kemaren gak bikin kamu
semenyedihkan ini. Kamu lagi patah hati? Sama
Ayana?" Senyum mengejek Dian membuatku benarbenar merasa terhina. Apa kata bocah satu ini? Aku
patah hati? Isshhh tak usahhh yaaaa!
"Sok tau kamu Dian. Orang sok tau itu keba?
nyakan malah gak tau apa-apa, lho."
"Tau gak obatnya patah hati karena cewek? Cari
cewek lagi. Dengan begitu patah hati kamu langsung
terobati."
Tak kuhiraukan Dian yang nyerocos panjang
lebar, tanganku sibuk membuat catatan di kertas
yang diberikan Dian tadi. Tapi mau tak mau otakku
berpikir keras, benar juga apa yang dia bilang. Kalau
mau melupakan Ayana dan semua kegilaan yang per?
nah kami lakukan, aku harus mencari pengalih per?
hatian yang bisa membuat aku lupa. Ide membuat
diriku ke?ce?lakaan tadinya sungguh-sungguh brilian.
Gak se?ngaja nabrak pembatas jalan, kepala terben?
tur, lalu terbangun di rumah sakit dengan kondisi
amnesia seperti di sinetron-sinetron. Haaaaaa ...
pintar sekali Juna, sungguh pintar. Doa aja gak ada
Malaikat Izroil sedang lewat dan mengajakmu jalanjalan tapi gak mulangin lagi ruhmu ke body seksimu
236
236
ini.?Dasar kelewat pinter!
"Udah, nih. Banyak yang masih harus diperbaiki,
jangan lupa kesekretariatan umum selalu di pantau,
banyak anak baru soalnya. Jangan sampai ada yang
protes seperti minggu lalu cuma gara-gara keter?
lambatan surat keluar."?
"Oke, Boss. Ngomong-ngomong cocok juga kamu
jadi jadi bos. Latihan jadi menantu Pak Surya, ya?
Hahahahhaahha." Tawa Dian yang gak kenal seko?
lahan membahana menyakitkan telinga.?
Sialan si Dian, seneng banget bisa nertawain
aku. Puas banget kali hidup dia, nemuin aku dalam
kondisi serba ?enggak banget? begini. Walaupun
kalau dipikir-pikir, sih, bener juga apa yang dibilang
Dian. Kalau gak bisa cari pengalih perhatian dengan
amnesia atau sejenisnya, mungkin dengan mencari
?sese?orang? bisa membuatku lupa dengan semua
kejadian yang kualami belakangan ini.
"Dian!" Kuteriakkan namanya keras sebelum aku
kehilangan keberanian.
Kepala Dian muncul di pintu tepat seperti per?
kiraanku, karena belum lama kulihat punggungnya
menghilang di baliknya "Kenapa ?"
"Sini ,deh, aku mau nanya." Oke Juna tampakkan
muka serius. Bagaimana pun ini demi masa depanmu
dan hatimu tentu saja.
"Ada yang kurang?"?
"Dian, kamu udah punya cowok?"
Wajah penasaran Dian seketika berubah menjadi
wajah penuh curiga. Matanya menyipit dan dia menyi?
8:33:30 AM
237
237
langkan tangannya didada. Pose bertahan tentu saja.?
"Kenapa tiba-tiba kamu nanya kehidupan
asmara?ku? Apa hubungannya sama kamu?" Wajah
Dian benar-benar terlihat tak suka. Tapi aku sudah
nekat, siapapun jadilah!
"Tadinya, sih enggak, tapi sekarang jelas berhu?
bungan."
"Baru putus bulan lalu, kenapa?"
"Jadi statusmu single alias jomblo, kan? Gak
ada suami, pacar atau pasangan tetap lainnya, kan?"
Kutunggu Dian menganggukkan kepalanya kemu?
dian melanjutkan lagi "Nikah sama aku, yuk!"
?
?
8:33:30 AM
238
Dua belas
Dian menaikkan alisnya yang dibentuk tipis itu de?
ngan sedikit keheranan. Kemudian dia menggelenggelengkan kepala seperti kebingungan. Ahh, apa
yang ada di otak perempuan satu ini, tinggal iya atau
enggak apa susahnya. Pake lama banget mikirnya.
"Juna kamu beneran sakit, ya? Saranku men?
dingan kamu ambil cuti, deh atau refresing dulu.
Biar otak kamu sedikit rileks dan gak tegang begini."
Gadis aneh itu balik kanan meninggalkanku dengan
pera?saan terhina yang dalam. Apa maksudnya coba?
"Hei, Dian, ada yang salah sama omonganku?
Gak enak banget respon kamu." Kususul Dian yang
sudah berjalan sampai pintu dan berdiri tepat di
hadapannya, menghalangi jalannya.
"Jelaslah. Dian, kamu gak punya cowok, kan, kita
nikah yuk. Tau gak, itu sama aja kaya kamu ngajak
aku beli bakso Pak Min di ujung lapangan sana.
Gampang banget. Kamu pikir nikah itu tinggal jalan,
terus jadi?" Dengan mencibir Dian menirukan per?
kataanku. Sialan ni cewek!
"Gampanglah, kita ke rumahmu sekarang, nga?
dep orangtuamu, tinggal undang Pak erte atau
8:33:30 AM
239
239
tetang?gamu siapa kek, akad nikah, jadi, deh. Besok
baru kita urus surat-suratnya ke KUA." Kurentangkan
tanganku didepan Dian, mengisyaratkan proses yang
begitu mudah untuk menuju sebuah pernikahan.
"Juna, kamu kalau mau gila, gila sendiri aja,
jangan ngajak-ngajak orang."?
"Dian!" Kutarik lagi tangan perempuan tak tau diri
ini karena dia sudah berlalu lagi dari hadapanku.
"Apalagi Juna? Aku capek ngadepin kamu. Bisa
gila tau gak?"
"Ya, udah, kamu tinggal bilang iya trus kita nikah.
Selesai urusannya, kan?"
"Plis, deh."
"Apa lagi, sih yang kamu cari? Aku udah berpeng?
hasilan tetap, punya usaha sampingan, punya apar?
temen dan kendaraan pribadi walaupun masih nyicil,
aku suka anak kecil, penyayang, bertanggung jawab
dan dapat dipercaya, juga dari keluarga baik-baik.
Soal tampang aku yakin banget kamu gak bakalan
malu kalo ngenalin aku ke keluarga dan tementemenmu nanti. So?" Kubanting juga harga diriku
demi mendapat harga jual tertinggi.
"Kamu kayak ?lagi daftar di biro jodoh, deh. Udah
ah, aku mau ke bawah lagi."
"Lalu jawabannya?"
"Jawaban apa lagi, sih?"
"Ya, lamaran akulah." Kubuat nada suaraku sam?
pai keliatan sangat tersinggung dengan kalimat-kali?
mat Dian yang tak kunjung memberikan kejelasan.
"Juna kamu serius mau nikah?
8:33:30 AM
240
240
"Seriuslah, emang kamu gak pengen nikah?"
"Aku juga pengen dan serius, tapi dengan orang
yang beneran cinta sama aku, sayang sama aku, dan
benar-benar melihat kalau aku adalah masa depan?
nya. Bukan dengan orang patah hati yang hanya
men?jadikan aku pelariannya." Dian merunduk dan
melewatiku menuju lift yang kemudian kuhalangi
lagi.
"Kamu mau cinta? Oke aku janji bakalan belajar
mencintai kamu setelah kita nikah nanti."
"Juna," Gadis didepanku ini menghembuskan na?
fasnya perlahan "Kenapa kamu melamarku? Kenapa
gak orang lain, Azsumi misalnya atau Imelda, Meta,
Rindi, Rulya masih banyak yang lain kan?"
"Ya, kan adanya kamu, lagian Aszumi udah
ditak??sir Riza, gak mungkin juga kan aku ambil cemcemannya dia. Riza kan udah kaya adekku sendiri."
"Nah, kan bener, jangan-jangan sebenernya kamu
mau lamar siapapun yang ada depan kamu tadi.
Bahkan kalau Edi pake rok pun pasti kamu ajak nikah
juga. Tau gak, kamu bener-bener sakit. Baiknya kamu
cari dulu, deh obat dari rasa sakitmu itu, jangan sem?
barangan ?ngelamar anak orang."?
"Kamu ngomong apa, sih?"?
"Tanya hatimu. Siapa yang ada di sini," Jari t?e?
lunjuk Dian yang lentik dan berkutek ungu me?ne?
kan dadaku lembut. "Jangan ingkari apa ?yang di?pilih
hatimu. Bahkan orang buta pun bisa merasa?kannya.
Kejarlah, mungkin kau akan lebih tenang. Dan jangan
cari pelarian bodoh atau kamu akan menyesal pada
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
8:33:30 AM
241
241
akhirnya."?
? Dian meninggalkanku yang sukses bengong di
depan lift. Apa, sih maksudnya perempuan satu ini?
Aku udah banting harga diri dan rasa malu dengan
melamarnya kenapa tanggepannya malah gitu??
"Satu lagi, Juna," Dian bersuara keras sebelum
pintu lift tertutup, membuatku berbalik menoleh
padanya. "Kamu memang layak disukai, tapi kalau
kamu cuma jadiin aku pelarian, sorry aja, harga diriku
lebih tinggi dari itu!"
?
* * *
Pagi yang mendung saat mobilku keluar dari base?
ment parkiran gedung apartemen menyusuri jalanan
yang sudah ramai. Kulirik jam di dashboard 05.59.
Bah, biasanya aku masih di kamarku bergelung de?
ngan bantal guling yang hangat, tapi sekarang aku
malahan harus berangkat pagi buta begini. Kalau saja
gak ada pertemuan dengan Finance Manager aku gak
bakalan sudi berangkat sepagi ini.
Lama-lama kenapa aku ?merasa Pak Surya benarbenar gak memberi aku ruang untuk bergerak,? ya?
Aku jadi takut ini ajang Pak Surya buat balas den?
dam ? karena aku sudah mesra-mesraan sama anak?
nya. Tapi kenapa balas dendamnya aneh begini? Tapi
... ya elah Junaaa ... siapa eluu sampe Pak Surya mikir
buat balas dendam?
Meski begitu, jauh di sudut hati sebenarnya aku
ingin tau apa ?yang ?Pak Surya pikirkan tentang aku
8:33:30 AM
242
242
dan Ayana. Apa beliau tau apa yang kami berdua
laku?kan? Apa beliau tau sejauh mana hubunganku
de?ngan Ayana? Apa Pak Surya akan meloloskanku
dengan mudah kalau aku nekat datang ke rumahnya
dan meminta putrinya? Pak Surya tentu akan memi?
lih yang sepadan buat jadi pendamping hidup Ayana,
kan? Bukan dengan laki-laki yang bahkan pantas jadi
pamannya.
Astagaaaaa ... simpan pemikiran gila itu
Arjuna! ?Kamu positif sinting, stress akut. Apa yang
ada di otak bebalmu itu? Bagaimana bisa kamu
berfikir s?eperti itu tentang Ayana. Dasar bodoh
bodoh ... bodoh. Gimana bisa kamu mikir sejauh
itu? Bahhhh ... beneran otakku perlu disetel ulang
ini. Masa aku sampai mikir masa depan hubunganku
dengan Ayana. Ngaca woiii ... ngaca! Kamu cuma
pegawai ren?dah?an Juna, inget itu!
Aku segera berlari menuju lift begitu sampai, ber?
harap bertemu Jono atau Edi untuk minta dibuat?kan
teh hangat sekedar menipu perut keron?conganku.
Tapi hingga sampai di ruangan tak ada satupun
makhluk pantry yang kulihat, malahan aku dibuat
kaget dengan kehadiran Bu Mey yang sedang asik
memperbaiki riasan wajahnya.
"Pagi Juna."
"Bu Mey? Wow, surprise yang menyenangkan.
Mimpi apa bisa didatengin sekretaris Direktur Utama
di sini." Kuberikan cengiran usilku pada Bu Mey yang
sudah pasti akan meradang karena ucapanku.
"Sudahlah Jun, jangan meledek."
8:33:30 AM
243
243
"Lah, iya kan, bu. Sekretaris Direktur Utama
sam??pai ada di sini itu merupakan kemajuan besar."
Aku terkekeh geli karena puas menggoda Bu Mey.
Ter??nya?ta aku merindukan sekali tante-tante cerewet
satu ini, walaupun beliau sangat mirip radio rusak,
tapi kami adalah tim solid yang cukup tahan banting
meng?hadapi Pak Surya dan kebiasaan gilanya dalam
bekerja.
"Tumben pagi-pagi di sini, gak ke atas Bu?"
"Dua minggu ke depan saya disuruh bantuin kamu
di sini. Surya ngeliat kamu keteteran. Sepertinya
kamu memang butuh sekretaris."
"Haaahhhh ... syukurlah, bisa santai, dong saya,
bu. Ya, ampun hidup udah kaya dikejar rampok be?
berapa hari ini. Kalo ada Bu Mey hidup saya rasanya
akan jadi lebih indah." Aku tersenyum lebar sambil
mengeluarkan peralatan perangku dari dalam tas.
"Enak aja, justru saya yang mau nyantai sedikit,
kamu tau sendiri kerja bareng Surya seperti apa. Dia
kan seperti robot tak kenal waktu, kalau saya tidak
minta istirahat pasti dia kasih kerjaan nonstop. Lagi
pula saya kan membantu kamu untuk hal-hal remeh
saja. Urusan yang berhubungan dengan Surya tetap
saya yang pegang."
Aku terkekeh pelan mendengar gerutuan Bu
Mey, ternyata suara cerewet radio rusak inipun bisa
ngangenin. "Nah, kalo Bu Mey di sini dua minggu,
yang bantuin Pak Surya siapa di atas?"
Lama tak kudengar jawaban Bu Mey hingga aku
mengalihkan mataku dari charger laptop di tangan
8:33:30 AM
244
244
karena merasakan tatapan tajam Bu Mey padaku.
Kenapa aku malah dipelototin? Bukannya jawab aja
ini emak satu.
"Kamu pura-pura tidak tau atau emang gak tau,
Juna?"
Aku tak mengerti dengan ucapan Bu Mey, apa?lagi
nadanya yang membuatku mengerutkan dahi.
"Pak Surya tidak memberikan instruksi untuk
dua minggu ke depan? Kemaren kamu rapat dengan
Pak Surya dan Pak Petrus, kan?"
"Pak Surya cuma bilang buat evaluasi dan moni?
toring seperti biasa. Lalu laporan untuk dua minggu
ke depan dirapatkan sama Pak Amran dan Bu Siska.
Itu aja. Kenapa, bu?" Aku menjawab hati-hati wa?lau?
pun jantungku berdebar tak karuan menunggu ja?
waban Bu Mey. Kenapa aku takut dengan jawaban Bu
Mey?
"Surya dan Ayana ke Belanda hari ini. Saya yang
memesan tiketnya dari hari Jumat minggu lalu.
Kupikir kamu sudah tau dari Ayana. Senin kemarin
Ayana tidak memberitahumu?"
Aku tertegun sejenak, jadi dia akan pergi? Benarbenar pergi? Kenapa? Kenapa sekarang? Kenapa dia
gak ngomong apa-apa sama aku? Kenapa dia gak
menghubungiku? Apa dia gak mau sekedar menga?
takan sesuatu atau apapun lah padaku sebelum pergi?
Ataukah dia marah padaku?
"Ow ... i-itu me ... memang Ayana pernah ...
per?nah bilang mau mau ke sana. Cuma ... ehm
... emmm saya a-saya gak tau waktunya." Kuatur
8:33:30 AM
245
245
napasku yang tiba-tiba sedikit sesak, ah, mungkin
ikat?an dasiku terlalu ketat. Sebaiknya kulonggarkan
se?dikit daripada aku tercekik dan sesak nafas.
"Kamu tidak mengantar ke bandara?" Bu Mey
me?natapku serius dari balik kaca mata minusnya,
membuatku salah tingkah. Tanganku masih berusaha
me?ngendurkan dasi, tapi kenapa aku gemeteran? Apa
kata Bu Mey tadi? Aku anterin ke bandara? Trus,?aku
mau apa ke sana? Say good bye? Trus? Siapa elu Juna?
"Eh ... eemmm gak usah deh, bu. Emm ... nanti
aja ka-kalau dia ... dia balik lagi ke sini kan bi-bisa
ngobrolll ... lagi." Kukendalikan suaraku yang sialan?
nya bergetar. Kenapa aku?
"Juna," Suara Bu Mey yang keras dan tegas mau tak
mau membuatku berpaling pada beliau. "Saya p?esan
tiket buat Surya dan Ayana untuk keberangkatan
hari ini, dan sayangnya tiket pulang yang saya pesan
hanya untuk Surya. Saya dengar dari Surya, Ayana
mau sekolah di sana."
Aku mendengar suara benda keras yang jatuh,
apa itu? Charger laptopku kah? Ahh, entahlah, aku
bahkan tak ingat apa yang kupegang tadi.?
"Juna ... Arjuna!" Bu Mey berdiri di depanku,
mengguncang bahuku keras dan sesekali menepuknepuk ?pipiku.
Hei, sejak kapan Bu Mey di depanku? Sejak kapan
juga aku duduk di kursi? Sepertinya aku kembali
menjadi orang idiot karena hanya bisa menatap Bu
Mey tanpa bisa melakukan apa-apa.
"Juna kamu tidak apa-apa?"
8:33:30 AM
246
246
Gak papa? Tentu saja aku gak papa, kan?
Memangnya kenapa? Aku baik-baik saja, kan? Gak
akan ada pengaruhnya ada Ayana atau enggak di
sini? Lagi pula dia kan hanya anak kecil usil yang
selalu menggangguku kerja. Gak ada masalah kan?
Sepertinya, sih begitu. Tapi...
"Juna ... kamu mau ketemu dia?"?
"Saya ketemu Ayana? Bu-buat a-apa? Emmm ...
eng?gak usah bu, saya ... saya mau kerja lagi." Ter?
gesa, aku memeriksa tumpukan map di meja, kenapa
tanganku bergetar? Oh, iya, aku belum sarap?an kan
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi? Dan setelah ini aku ada pertemuan dengan
bagian keuangan dan ada laporan dari mar?keting
yang harus kuperiksa, mungkin sampai siang, lalu
aku kon?sultasi sama Pak Surya, setelah itu pasti
Ayana sudah menungguku buat makan siang kan?
Ayana...
"Juna, apa ada urusan yang belum selesai antara
kamu dan dia?" Bu Mey menatapku lekat, tampak
pri?hatin. Tapi urusan? Urusan apa? Bukankah semua?
nya baik-baik saja?
"Apaan sih, bu? Kalau dia mau pergi itu urusan
dia kan? Saya saya itu bukan ... bukan kapasitas
saya untuk ... untuk.."
"Juna. Saya tau ini tak ada hubungannya dengan
saya. Tapi saya rasa kamu perlu menemuinya sebe?
lum dia pergi. Mungkin ada sesuatu yang perlu kamu
katakan? Beberapa bulan ini kamu sangat dekat de?
ngan dia, kan? Yah anggaplah salam perpisahan atau
apalah."
8:33:30 AM
247
247
"Tapi bu..."
"Terserah kamu Juna. Flight-nya jam 10.15" Bu
Mey berlalu menuju mejanya, meninggalkanku yang
masih sibuk dengan pikiranku sendiri.
Ayana pergi? Benar-benar pergi? Tapi kalau aku
menemuinya apa yang harus kukatakan? Bahkan aku
pun gak tau definisi hubunganku dan Ayana selama
ini. Jadi kalaupun aku menemuinya, sebagai apa?
Aaarggghhhhhh...
Pertemuan terakhir kami malah diwarnai dengan
satu hal yang sangat buruk, dan aku pun bersikap
kasar pada gadis itu. Jadi sekarang apa yang harus
kukatakan? Minta maaf? Apa dia mau menerimanya?
Ataukah dia akan membenci dan memakiku?
Tapi kurasa tidak, Ayana bukan gadis seperti itu
kan? Hatinya terlalu polos bahkan untuk memikir?
kan sebuah kata umpatan. Tapi kalau aku ke sana
sekarang bukankah ada Pak Surya? Apa yang harus
kukatakan pada Pak Surya?
"Kesempatan tidak datang dua kali Arjuna. Jangan
sampai kamu menyesali sesuatu yang harusnya tak
perlu kau sesali." Suara Bu Mey membuatku meng?
alihkan mata pada beliau. Bu Mey menatapku tajam,
tangannya memutar-mutar pulpen, persis seperti
yang biasa Ayana lakukan. Ah, Ayana...
Apa aku memang harus minta maaf? Ya, kurasa
aku memang harus minta maaf. Dan aku pasti akan
menyesal selamanya kalau tak sempat meminta maaf
pada gadis itu. Aku harus minta maaf dan berterima
kasih kurasa. Karena diakui atau tidak, beberapa bulan
8:33:30 AM
248
248
ini dia yang mengurusku, bahkan mengalihkanku
dari kemungkinan patah hati karena Nina. Dia gadis
yang sangat baik, kan? Kurasa aku memang harus
berterimakasih dan minta maaf padanya, sekarang,
sebelum dia pergi.
Sebelum keberanianku luntur, aku berlari me?nu?
ju lift. Benar kata Bu Mey, kesempatan tak akan da?
tang dua kali. Masa bodoh dengan Pak Surya, pecat
saja aku, pak kalau gak suka. Aku harus bertemu
Ayana!
"Astaghfirullahaladziiiiiiiiimmmmmmm... Mas
Junaaaaa! Saya hampir nggelundong?
kejatohan galon ini Mas. Mbok, ya kalo lari yang
cantik gitu, biar ndak nabrak-nabrak."
"Sorry, Di buru-buru." Kembali aku melangkah
cepat ke arah lift, tak memedulikan Edi yang kaget
kehilangan keseimbangan dengan galon air minum
yang diangkat di bahunya. Sebelum akhirnya menya?
dari sesuatu. " Edi, bawa motor gak? Pinjem, dong."
"Motor, mas? Ada. Mio matic warna item yang
ada stiker merah tulisannya ?cewekku bohay banget?
parkirnya di samping motor Satria merah punya Mas
Imam." Edi mengangsurkan kunci motor yang segera
saja kusambar.
Aku benar-benar gak tau untuk apa aku ber?
tingkah segila ini, aku juga gak tau apa yang harus
kukatakan padanya nanti. Yang kutau aku harus
menemuinya. Aku harus bertemu dengannya. Tak
kupedulikan umpatan pemilik sedan metalik yang
kuserobot jalannya di dekat papan reklame besar di
8:33:30 AM
249
249
perempatan dekat kantor. Aku pun tak menghirau?
kan lampu merah yang masih menyala terang dan
langsung ngebut ke arah Selatan. Aku harus segera
sampai. Namun kebimbangan menyergapku tibatiba? Ke rumahnya atau langsung bandara? Sekilas
kulirik jam di pergelangan tangan 07.20 ?Semoga saja
mereka belum berangkat.
Suara ban motor yang mendecit di aspal karena di
rem mendadak tak begitu kuperhatikan saat kulihat
taksi hitam berlogo burung terparkir di depan rumah
besar itu. Hatiku kebat-kebit. Lalu apa sekarang?
Sembarangan saja kuparkir motor Edi di depan
gerbang dan perlahan memasuki halaman luasnya,
mencari Ayana atau Pak Surya? Atau aaarrggghh
entahlah. Namun kakiku seperti punya pikiran sen?
diri, terus saja dia melangkah mendekati taksi hitam
itu dan aku hanya terpaku memperhatikan seorang
laki-laki setengah tua memasukkan koper-koper ke
dalam bagasi.
Apalagi sekarang?
Kebingungan menyergap saat aku sedang mem?
pertimbangkan langkah apa selanjutnya yang harus
kuambil ketika sebuah suara sukses membuatku
membeku.
"Kakak."
Suara lembut itu terdengar, suara yang amat
kukenal dan beberapa hari ini kutunggu. Ayana?
Perlahan kepalaku berputar ke arah teras rumah dan
mendapatinya tersenyum lemah. Ya Tuhan, berapa
lama aku tak melihatnya? Kenapa rasanya sudah
8:33:30 AM
250
250
sangat lama sejak aku mengusap rambut coklat itu,
kenapa rasanya sudah sangat lama sejak terakhir
kuhirup wangi tubuhnya. Itu sudah sangat-sangat
lama.
Mataku tak bisa teralihkan saat dia perlahan
men?dekat dan berdiri tepat di depanku, sangat dekat.
Kupandangi wajahnya lekat, baru kusadari bayangan
hitam di bawah matanya yang cekung, pipinya yang
sepertinya bertambah tirus, dan bibirnya yang pucat.
Kenapa dengannya?
"Ka kamu ... per ... per-gii?"
Dia mengangguk lemah, tapi tak memberikan
senyuman lagi padaku.
"Ow ... O..o-ke. Mmh kapan ... kapan kamu
pulang?"
Dahinya berkerut dan dia masih menatapku
dalam diam. Gelengannya membuat hatiku retak.
Jadi?
"Ini ... ini salahku, kan? Kamu marah?"
"Ayana gak akan pernah bisa marah sama Kak
Juna," bisiknya pelan. Ya, Tuhan aku merindukan
suara itu. Ya aku merindukannya, sangat.
"Lalu kenapa Ayana?" Ah ... suaraku terdengar
pedih, bahkan di telingaku sendiri. "Oke, aku emang
salah, aku kasar. Tapi ... tapi kamu tau aku
aku ... hhhhhh ... oke ... apa yang harus kulakukan
sekarang? Aku gak pernah bermaksud membuat
kamu tersinggung, aku ... aku kamu .. kamu..."
"Kak." Ayana kembali menggeleng pelan. Entah
apa maksudnya? Apa dia tak membiarkanku bicara?
8:33:30 AM
251
251
"Setelah semua kegilaan ini," tanpa sadar suara?
ku meninggi "Kamu pergi begitu saja Ayana? Apa
maumu, ha?"
"Kakak..." Tubuh itu menabrakku keras, mem?
buatku mundur beberapa langkah sebelum kemudian
tubuhnya yang hangat mendekapku erat. Pelukan
yang kurindu.
"Kenapa Ayana ... kenapa? Kenapa sekarang?"
"Paling tidak kita berpisah saat semua kenang?
an masih terasa indah. Hingga hingga tak ada hal
buruk ... yang bisa kita ingat dari semua ini." Isak?
annya membuatku teriris.
"Kalau aku mengubah sikapku apa kamu gak
akan pergi? Aku janji...."
"Ssshhh ... jangan. Jangan pernah katakan apaapa. Ayana gak mau denger," Jemarinya menutup
bibirku rapat, matanya basah dan aku benar-benar
tak ingin melihat dia seperti ini "Jangan pernah
salahkan dirimu untuk apapun, percayalah, Tuhan
punya kehendak lain dan itu yang terbaik." Tangan?
nya kembali memeluk erat, kemejaku sudah lembab
oleh air matanya tapi aku tak perduli. Benar-benar
tak perduli.
"Aku boleh mengunjungimu kapan-kapan, kan?
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berapa lama kamu di sana?"
"Enggak. Ini adalah akhir dari semuanya. Lupa?
kan aku, lanjutkan hidupmu seperti aku akan melan?
jutkan hidupku. Carilah orang lain, lupakan aku ...
lupakan aku, kumohon. Anggaplah ... anggaplah ini
hanya satu fase hidup yang harus kita jalani."?
8:33:30 AM
252
252
Melupakannya? Apa dia sudah gila? Setelah se?
mua hal sinting yang telah kami lakukan bersama?
Dia minta aku melupakannya? Begitu mudahnya kah
ini untuknya?
"Apa kamu menghukumku karena perlakuan
burukku selama ini Ayana? Kalau iya, katakan de?
ngan apa aku harus menebusnya? Katakan Ayana."
Kutelusupkan wajahku pada rambut coklatnya yang
tebal, menghirup wanginya, menguncinya dalam
ingatanku.?Jangan pergi.
"Angel kita akan terlambat."
Suara berat milik Pak Surya terdengar jauh. Tapi
aku tak perduli apapun sekarang ini. Wajahnyalah
yang memenuhi mata dan pikiranku, wajah yang
pucat dan penuh air mata. Demi Tuhan, aku tak ingin
melihat dia menangis, aku ingin melihat senyumnya,
tawanya, kerlingan usilnya.
Mataku berkabut saat jemarinya yang halus me?
ngusap dahiku, alis, mata, rahang semua ba?gian
wajahku. Aku tak pernah sesedih ini, tapi hatiku
benar-benar teriris melihatnya menggigit bibir?
nya yang b?ergetar menahan tangis yang sudah pe?
cah.? Kutangkup wajahnya dengan tanganku, me?
nyatukan dahi kami. Saat ini aku hanya bisa berharap
satu hal, waktu akan terhenti, dan membiarkanku
memiliki lebih banyak saat-saat gila bersamanya.
"Kenapa? Kenapa Ayana?"
"Ik hou van je Arjuna. Daag." Bisikan lembutnya
membuat seluruh tubuhku merinding, bibirnya te?
ra?sa dingin di pipiku. Meninggalkan jejak basah air
8:33:30 AM
253
253
mata di sana. Dan dia pun berlalu menuju pintu taksi
yang terbuka. Tak menoleh lagi, sedikitpun tidak.
Dia pergi, meninggalkanku dengan retakan hati yang
pelan-pelan luruh menjadi butiran halus. Kehilang?an.
Aku masih di sini, di tempatku berdiri, di tempat
dia meninggalkanku dengan harapan yang tercabut.
Bahkan setelah taksi itu tak terlihat lagi, aku masih
di sini. Mencoba mengingat semua hal menyebalkan
tentang dia yang bisa membuatku membencinya, yang
bisa membuat aku melupakan kenangan hari ini.
Aku ingin benar-benar membencinya, aku tak
ingin mengingatnya. Tapi seperti apa yang di ucapkan
Ayana, kenangan bersamanya terlalu manis untuk
dilupakan, kenangan tentangnya semuanya adalah
keindahan. Semua hal menyebalkan itu kurindukan,
semua hal bodoh dan gila itu kuinginkan lagi.
Tetesan pertama air dari langit tak juga mem?
buatku?beranjak. Tidak, aku tak bisa pergi. Aku masih
berharap taksi hitam itu kembali lagi, membawa?nya
padaku. Aku masih berharap dia datang dengan ce?
ngiran nakalnya, mengatakan kalau ini hanya ber?
canda. Iya, kan? Biasanya dia memang begitu, kan?
Aku tak keberatan untuk kebohongan satu ini. Dus?
tailah aku seribu kali tentang ini, aku akan terima
Ayana, tapi pulanglah.
?
* * *
"Pak mau ke mana?" Seorang perempuan dengan
das?ter lusuh menghampiri seorang lelaki tua yang
8:33:30 AM
254
254
tergopoh-gopoh berlari ke arah teras depan mem?
bawa sebuah payung besar.
Lelaki itu tak menjawab, hanya mengarahkan
d?agunya ke halaman rumah di mana hujan deras
meng?guyur menciptakan pantulan air besar-besar
di atas conblock. Lelaki tua itu mengembangkan pa?
yungnya lebar, dia berlari ditengah guyuran air yang
seperti di tumpahkan langsung dari langit ke arah
halaman, di mana ada seorang pria muda berdiri me?
nantang hujan.
"Den, masuk dulu. Ujannya bakalan lama ini."
Lelaki tua itu berteriak keras di tengah gemu?ruh
hujan.
Tapi pria muda itu masih diam, seperti tak men?
dengar apapun. Lelaki tua itu berpindah ke depan
si pria muda, memayunginya dan kembali berteriak
k?eras. "Den masuk ke dalem, nanti sakit."
Saat itulah lelaki tua itu melihat wajah paling
putus asa yang pernah dilihatnya, dengan mata merah
dan tatapan kosong dia terlihat begitu menyedih?kan.
Pria muda itu masih diam dan bahkan tak melihat ke
arahnya.
Tubuhnya basah, air ?hujan telah bercampur de?
ngan air mata yang sepertinya tak berhenti mengalir
dari mata yang sudah kehilangan harapan. Lelaki tua
itu hanya menggeleng, sebelum akhirnya kem?bali
memasuki rumah besar bercat putih itu. Me?ning?
galkan pria muda itu dalam pelukan hujan.?
?
?
8:33:30 AM
255
Tiga belas
"Kata Dokter Erika semua baik-baik aja, perkiraannya
sih masuk minggu ke-11 tapi gak tau juga soalnya aku
juga lupa-lupa inget kapan terakhir dapet mens?
truasi."
"Berarti pas ke Raja Ampat sebenernya udah
hamil, dong? Untung gak papa, Vi."
"Hu-um mbak, aku gak tau pas itu. Gak berasa
juga. Alhamdulillahnya, sih gak papa."
"Padahal pas?honeymoon?kemaren pasti gak ada
istirahatnya ya, Vi, naik turun ranjang terus?"
"Mas Ezraaaaa ... usil ahhh!"
"Nah, karena sekarang udah tau pasti, jangan
terlalu capek Viona. Bilang terus terang sama David
kalau kamu lagi gak mood atau lagi capek. Jadi dia
gak minta jatah terus-terusan. Kalian kan itungannya
masih penganten baru, jadi suka lupa waktu dan lupa
diri gara-gara keasyikan. Eh, tapi sepertinya kamu
juga selalu mood ya, Vi? Lupa Mas Ezra."
"Mamaaaaaaa Mas Ezra, nih rese banget. Mbak
Era urusin tuh suaminya ketularan usilnya Juna."
Gelak tawa memenuhi ruangan, aku hanya bisa
tersenyum mengikuti obrolan mereka semua. Viona,
8:33:30 AM
256
256
adekku yang paling manis tapi menyebalkan sedunia
itu memang sedang hamil. Semua orang senang
tentu saja, tapi sumpah demi apapun dia sangat me?
repotkan. Ada saja permintaannya yang harus dipe?
nuhi, suaminya si playboy gila dan mesum itu pun
selalu saja memanjakannya dengan mengabulkan
semua ngidam anehnya.
Contohnya saja siang ini, kami semua harus
meng?hadiri makan siang bersama di rumah Tante
Deasy?sejak hamil Vio memang lebih betah di
rumah mertuanya dari pada di rumah Mama. Yang
menyebalkan dari makan siang kali ini adalah un?
dangannya yang seperti pemaksaan debt collector.
Telpon dari Vio, Mas Dave maupun Iva seperti
teror yang sangat menyeramkan. Bahkan terkadang
tengah malam pun tak segan Vio menelpon hanya
untuk mengingatkan acara makan siang. Dan itu
terjadi sejak seminggu yang lalu. Bayangkan saja,
untuk undangan makan siang hari Sabtu ini ? kami
harus terima teror hariannya sejak Sabtu minggu
lalu.?Gilaaaaaa!
Mungkin teror-teror inilah yang menyebabkan
jiwa usil Mas Ezra bangkit dari kubur. Siapa yang
menyangka Mas Ezra yang sedingin kulkas bisa
mem-bully Vio? Mas Ezra mungkin satu-satunya
orang yang gak akan bisa ketawa walaupun ada Sule
jungkir balik ?di depannya. Jadi, bagaimana bisa orang
yang bahkan gak pernah tersenyum itu mem-bully
Viona? Itu adalah keajaiban dunia ke-8 yang harus
didaftarkan ke UNESCO, kurasa.
8:33:30 AM
257
257
"Ini kayanya adeknya Iva bakalan super manja,
nih. Liat aja emaknya pas hamil begini tingkahnya.
Sabar aja Dave, nanti kalau udah gak masuk akal
permintaannya, taulah gimana cara ngebalesnya."
Mas Ezra berbicara sambil terkekeh pelan yang
dibalas Vio dengan meleletkan lidah, sedangkan ?Mas
Dave masih saja menatap Vio dengan pandangan
memuja.?Bahhhh.
"Untuk perempuan hamil gak masalah kok
aktivitas seksual, asal dilakukan dengan hati-hati dan
gak ada keluhan dari ibunya sendiri."
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mbak Eraaaaa... apaan siih? Pada, rese nih
orang-orang." Vio menyembunyikan wajahnya yang
me?merah di balik bahu Mas Dave yang tentu saja me?
nim?bulkan tawa dari para penontonnya. Ah, dasar
emak labil satu ini, masih bisa aja dia malu-malu
begitu.
"Eeeehh, bener itu Viona. Memangnya dokter
Erika gak ngomong sama kamu?"
"Papi rasa belum dijelasin sama dokter obgynnya pun, itu adalah hal pertama yang David tanyain
ha..ha..ha..ha..." Gelegar tawa Om Liem memancing
tawa kami semua.
Objek bully kami hanya tersenyum kecut ?namun
tak membalas ejekan Om Liem. Yah, siapapun pasti
tau kebiasaan kedua pasangan ini yang mirip kelinci
ABG. Gimana enggak, dari awal menikah Mas Dave
tak segan menyeret Vio dan mereka akan berpamitan
pergi ke kamar walaupun kami semua sedang terlibat
obrolan seru. Itu tak hanya terjadi di rumah mereka,
8:33:30 AM
258
258
bahkan di rumah Mama dan Tante Deasy pun ini
terjadi. Benar-benar terlalu!?
"Yang penting jaga makanan kamu, tapi bener
sih jangan terlalu capek, vitaminnya jangan lupa
diminum."
"Iya Mbak Era, ini nih Dave udah kayak polisi,
tiap saat ingetin minum vitamin, suruh minum susu,
suruh makan yang banyak, padahal ini badan Vio
udah naik 2 kilo beratnya." Vio melirik Mas Dave
dengan wajah cemberut.?
"Kan biar kamu kuat sayang, biar baby-nya juga
sehat," ujar Mas Dave sambil membelai rambut pan?
jang Vio dan satu tangannya mengusap perut adikku
itu dengan sayang.
"Iyaaaa suami cerewet, suapin lagi, dong. Aaa..."
Tanpa canggung Vio meminta Mas Dave menyuapi?
nya dengan asinan bogor yang tadi dibawa Mbak
Era.
Dan kami semua kembali tertawa melihat ting?
kahnya yang seperti anak kecil. Bener-bener nyebelin
bocah satu ini, bagaimana bisa sikapnya berubah
drastis seperti ini? Iya, sih dari dulu Vio memang
manja dan juga cengeng. Tapi sejak hamil kuakui
kadar manjanya naik tajam, melewati ambang batas
normal yang dipebolehkan untuk makhluk hidup
kebanyakan kurasa. Vio juga jadi suka ngambek
yang kadang terlihat lucu karena dikit-dikit dia akan
berteriak ?Mamiiii...? atau ?Daveee...? atau ?Mamaaaa...?
kalau ada satu hal yang gak dia sukai. Dan itu semua
diterima suami dan mertuanya dengan senyuman
8:33:30 AM
259
259
bahagia. Hahh, aneh sekali bukan?
Meski begitu, aku sangat bersyukur karena adik?
ku tersayang itu memiliki orang-orang yang sangat
men?cintainya. Kehamilannya disambut sebagai su?
atu berkah yang besar oleh Om Liem dan Tante
Deasy. Setiap minggu Tante Deasy bahkan menggelar
penga?jian di panti asuhan yang dikelolanya, berdoa
mengharapkan keselamatan pada Vio dan calon
bayinya. Menurut Vio pun kontrol terakhirnya ke
dokter kandungan ditemani oleh orang tua Mas
Dave, karena mereka tak sabar ingin melihat cucu
keduanya di mesin USG.
"Hei, kalian berdua jangan terlalu mesra begitu,
kasian Arjuna belum punya pasangan. Nanti kalau
dia pengen bisa bingung dia." Suara Om Liem yang
mengandung senyum mengalihkanku dari es teh
yang tengah kuminum.
"Apa sih Om, biasa ajalah. Mereka kan emang
telat masa ABG-nya. Jadi saya mah gak heran."
"Iya nih, kapan mau mantu ini Mbak Rosie?"
Tante Deasy seperti menemukan topik rumpian baru
dan langsung merangsek duduk di samping Mama.?
"Enggak tau itu si Juna, belum ngenalin siapasiapa ke rumah. Yang terakhir enggak denger lagi
gimana kabarnya."
"Apa perlu Om yang nyariin Juna? Mami, itu anak?
nya Thalita siapa namanya? Sepertinya cocok buat
Juna." Om Liem menatap Tante Deasy serius. Aku?
pun nyaris memutar mata karena aktivitas nyony?anyonya rumpi ini.
8:33:30 AM
260
260
"Ooohh, si Kalila. Kebetulan Lila bulan depan
pulang dari Singapur, baru mau lulus dia. Gimana
Arjuna, mau gak Tante kenalin? Cantik, lho anaknya."
Tante Deasy berbicara padaku dengan wajah berbinar
yang bagiku tampak sangat mengerikan.
"Makasih, Tante. Mungkin gak sekarang. Nantinantilah."
"Kenapa Juna, kamu gak suka dijodohin? Anggep
aja ini kenalan biasa dulu. Nanti kalau cocok baru
lanjut, gimana?" Suara tante Deasy yang pena?saran
membuatku mendongak. Dan aku kebingung?an
men?jawab pertanyaan satu ini. Kenalan?
"Mungkin dia memang belum mau, lagi pula
baru 27 umurnya. Dia kan laki-laki, harus siap dulu
semuanya kalau mau jadi kepala keluarga," ujar Papa,
tersenyum padaku. Oke terima kasih papa, kuang?gap
itu bantuan dari gangguan para orang-orang ingin
tau ini.
"Lagian siapa yang mau sama Juna kalo tam?pang?
nya begitu coba. Jelek banget sih sekarang lu J, kucel,
gondrong, berantakan, kayanya lu sekarang juga ku?
rusan, deh. Nyari duit gak usah maksa kenapa?"
"Apaan sih lu nenek cerewet, ikutan aja. Udah
urusin aja itu perut, gak usah urusin yang laen!" Ku?
pelototi Vio yang masih asik mengunyah asin?an?nya.
"Mamaaaaaa..."
"Sudaaaahhh, ya ampun VionaArjuunaa...gak
malu udah pada tua." Mama melotot pada kami ber?
gantian "Hati-hati, lho Vio, kalau kebanyakan ngatain
Juna nanti adeknya Iva mirip sama Juna."
8:33:30 AM
261
261
"Gak mauuu, ahh, masa anakku mirip Juna. Eh,
tapi seriusan, deh J lu berantakan, mau gak ke bar?ber?
shop langganannya Dave sama Papi? Enak ada paket
perawatannya juga, buat ngerawat muka lu yang udah
keliatan tua itu."?
Meneguk banyak-banyak es teh di gelas, kuacuh?
kan saja ocehan Vio yang sialnya malah jadi bahan
tertawaan semua orang.
"Atau bisa juga kamu main-mainlah dulu ke kan?
tor Om, siapa tau ada yang nyangkut satu. Itu temen
atau pasiennya Sierra mungkin ada yang menarik
h?atimu?" Om Liem tampaknya belum menyerah
dengan usahanya mencarikan jodoh buatku.
"Om Liem, pasien saya kan anak kecil semua.
Masa Juna mau sama anak-anak."?
"Isshh, seleranya Juna kan emang anak-anak,
Mbak Era gak tau, ya?" Suara Vio membuatku bung?
kam dari jawaban yang sudah di ujung lidah. Per?
nyataannya menohok dalam. Tapi aku bahkan tak
berminat membalasnya.?
Menyerah dengan suasana yang mulai tak kon?
dusif, aku berpamitan ke halaman samping. Melari?
kan diri kurasa jalan terbaik dari pada aku jadi objek
bully lebih lama. Kulangkahkan kaki dengan malas
menuju halaman samping dimana ada kolam besar
berisi koi.
Melihat puluhan koi berebut pelet yang kutabur?
kan membuatku tersenyum kecil. Andai hidup begitu
tenang seperti koi-koi ini, mungkin semuanya akan
terasa mudah. Mereka tak perlu berpikir apapun,
8:33:30 AM
262
262
hanya makan, berenang, bereproduksi dan mati.
Kalau saja semua segampang itu.
Namun hidup memang tak pernah berjalan de?
ngan sederhana bukan? Banyak hal yang terjadi dan
berputar membuat hidup penuh warna dan tantang?
an.?Walau tak demikian yang kurasakan. Aku bahkan
tak tau bila di hadapkan pada dua pilihan, hidup
penuh tantangan, atau hidup seperti koi yang hanya
mengikuti siklus hidupnya.
Sekarang ini bahkan aku gak punya kehidupan
lain, hanya tidur, kerja dan sesekali menuruti ke?
mauan adik dan keponakanku yang manja. Di luar
itu kehidupan sosialku tak menarik lagi. Yang kutau
sekarang adalah ?membuat otakku sesibuk mungkin.
Meski aku juga tak tau apa yang kucari, untuk siapa
aku kerja layaknya orang gila. Semua terasa datar dan
membosankan.
Aku menghitung hari seperti menghitung bulir
padi di tengah sawah yang luas, terasa melelahkan
dan percuma. Walaupun aku tak tau apa yang mem?
buatku demikian, tapi aku tetap melakukannya.
Apa aku menunggu? Entahlah, aku pun tak tau apa
yang kutunggu. Semuanya baik-baik saja, semua???
nya normal kembali, semuanya seperti s?emula.
Tam??pak?nya? semua memang baik-baik saja dan m?e?
mang? seharusnya? baik-baik saja, kan? Tapi apakah
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memang seperti itu? Aku tak tau, lagi pula memang?
nya apa yang kuharapkan?
Pak Surya sudah kembali dari Belanda seminggu
yang lalu, tapi beliau tak menyinggung apapun. Tidak
8:33:30 AM
263
263
kejadian sebelum keberangkatannya ataupun ten?
tang?dia. Intensitas pertemuanku dengan Pak S?urya
pun makin jarang sekarang ini karena pengganti
beliau juga sudah ditetapkan, jadi yang berhubungan
langsung dengan Pak Surya adalah GM, bukan aku si
asisten. Meski begitu kadang aku sedikit merasa Pak
Surya menghindariku, ataukah hanya perasaanku?
Entahlah.? Aku gak tau apakah perasaanku yang se?
dikit sensitif ataukah memang begitu kejadiannya,
sepertinya Pak Surya memang jauh lebih dingin
d?alam bersikap.
"Kalau aku tak salah liat, saat ini sang Arjuna
sedang resah hatinya. Masalah sebesar apa yang mem?
buat seorang Arjuna tampak begitu menyedihkan
seperti saat ini?"
Tak usah menoleh pun aku tau kalau itu suara
playboy tua mesum yang sekarang menjabat adek
iparku itu.
"Masalah? Siapa yang punya masalah? Gak ada,
kok, gak usah jadi tukang gosip."
Sebuah tepukan ringan di pundak kurasakan,
sebelum postur tinggi tegap itu ikut duduk bersila
di sampingku. "Siapa yang mau kamu bohongi Juna?
Dirimu sendiri? Bahkan orang awam pun bisa meli?
hat kalau banyak hal berubah dalam dirimu. Semua
orang tau kalau ada yang gak beres sama kamu. Kalau
diliat-liat satu kesimpulan yang bisa ditarik adalah
ada beban pikiran besar yang sedang kau tanggung.
Jika seorang laki-laki banyak beban pekerjaan
biasa??nya dia akan mengalihkannya dengan hobi,
8:33:30 AM
264
264
atau pergi bersenang-senang. Tapi kalau ada lelaki
kusut, kehilangan cahaya hidup dan seperti orang
kebingungan sepanjang waktu, bisa kusimpulkan
kalau dia bermasalah dengan hatinya? Benarkah
itu?" Playboy mesum itu masih berbicara panjang
lebar walaupun tak kuhiraukan sama sekali.
"Diam kamu adek ipar, atau kupecat kamu dari
silsilah keluarga!"
Tawanya yang keras membuatku menoleh, apa
sih maunya manusia satu ini? Apa dia sudah ketu?
laran penyakit usilnya Vio sampai-sampai mau tau
urusan orang? Mana ada, sih laki-laki yang sok repot
dan usil ngeliat orang lagi diem begini?
"Semua orang mengkhawatirkanmu. Vio apalagi,
dia sangat-sangat khawatir, cuma dia takut terbawa
emosi kalau ngomong langsung sama kamu."
"Baguslah kalau dia udah mulai gak usil sama aku
berarti aman dunia." Kujawab pendek saja omongan
si mata keranjang ini.
"Kamu kenapa Juna? Aku belum pernah meli?
hatmu seketus ini. Celetukanmu yang biasanya lucu
pun sekarang rasanya garing. Tak ada rasa sama
sekali." Matanya ?terarah padaku walaupun aku terus
melihat ke arah kolam.
"Kasih Royco mas biar ada rasa. Enakan yang rasa
sapi dari pada ayam!"
"Hahahahhahaaha ... Juna Juna ... emm apa ini
tentang eks-mu itu?"
Aku menatap mas Dave bingung. Eks-ku? Siapa
sebenernya yang sedang diobrolin laki-laki tua ini?
8:33:30 AM
265
265
"Eks-ku? Siapa Mas?"
"Nina, siapa lagi? Yang dulu kamu ceritain na?
ma?nya Nina, kan?" Wajahnya yang berubah bingung
membuatku pelan-pelan menyadari maksud per?
kataannya.
"Ooohh, Nina. Oo, iya ... dia. Enggak tuh, Juna
udah jarang ketemu dia. Belakangan Juna sibuk, jadi
gak pernah ketemu dia."
Aku baru tersadar kalau selama sebulan lebih aku
sama sekali tak ingat Nina, bahkan aku sepertinya tak
pernah melihatnya lagi. Atau aku yang tak menya?
darinya? Entahlah aku gak ngerti juga.
"Kalau ABG itu gimana kabarnya? Apa dia masih
suka mengganggumu?"
Kepalaku berputar pelan menghadap Mas Dave,
kulihat keingintahuan yang amat besar di matanya.
Kembali kulemparkan segenggam pelet ke dalam
kolam, mencoba berkonsentrasi pada warna-warni
indah di bawah sana. Mencoba mengabaikan per?
tanyaan playboy mesum ini. Haruskah kubercerita
pada Mas Dave? Haruskah kukatakan kalau aku lebih
suka gangguannya dari pada seperti saat ini tanpa ada
kejelasan berita darinya?
"Dia pergi."
Rasanya aku bisa melihat Mas Dave mengang?
kat alisnya tinggi dari ekor mataku. Apa yang dia
tangkap?
"Kapan?"
"Bulan lalu, dia mau ... mau se-sekolah ke ... ke
... keluar kota." Kuputuskan sedikit berbohong pada
8:33:30 AM
266
266
Mas Dave. Aku gak ?mau dia curiga bahwa yang kami
bicarakan adalah putri sahabatnya.
"Lost contact?"
"Dia gak mau aku menemuinya, dia juga mau
aku melupakannya." Apa aku terdengar semerana
ini? Kenapa suaraku pun terasa menyedihkan di
telingaku.?
"Lalu kamu menerima begitu saja? Kenapa tak
temui dia dan ungkapkan perasaanmu padanya?
Apa?pun yang dikatakannya nanti, itu kau pikirkan
saja belakangan. Paling tidak kalian sama-sama tau
apa isi hati masing-masing dan hatimu akan sedikit
lega karenanya."
"Apa-an sih Mas, Juna gak ada apa-apa sama dia.
Dari mana Mas dapet kesimpulan macam itu? Dia
kan cuma anak kecil yang ... yang ... kebetulan ... ke?
betulan...."
"Yang kebetulan memporak-porandakan hatimu.
Yang kebetulan mengubah pandanganmu tentang
hidup. Yang kebetulan memalingkanmu dari dunia
tempatmu berpijak selama ini. Yang hanya dengan
kehadirannya menenangkanmu. Yang hanya ingin
kau lihat senyumnya sepanjang hari. Yang tanpanya
bahkan kau tak tau apa arti hidupmu. Yang padanya?
lah terbersit kata ?aku ingin pulang? di pikiranmu.
Begitukah Juna? Dan bagaimana aku mengambil ke?
simpulan? Dari caramu membicarakannya terlihat
sekali kamu patah hati karena dia."
Kalimat Mas Dave yang panjang membuatku
tertegun. Ya ... dia hanya seorang gadis kecil yang ... ya
8:33:30 AM
267
267
memang seperti itu, seperti yang diungkapkan playboy
tua sialan itu. Dia hanya gadis kecil, hanya gadis kecil
yang saat ini ingin kucekik sampai sesak nafas karena
membuatku kehilangan seluruh konsentrasiku da?
lam menjalani hari-hariku yang membosankan ini.
Yang sangat ingin kuseret sekarang juga dari negara
kompeni itu untuk kembali padaku.
"Gak usah pidato, Mas. Bosen, ahh."
"Juna apa kamu tak menyadari apa artinya itu?
Kamu jatuh cinta Juna, dan sekarang kamu dalam
tahap mengingkarinya, mengingkari apa yang hati
rasakan, apa yang hatimu pilih, apa yang hatimu mau.
Dan kamu lupa satu hal, kalau cinta sudah me?mi?
lihmu, tak ada cukup tempat untukmu sem?bunyi."
"Ck ... bulshit dengan cinta. Apalagi dia ... dia
... dia baru genap 17 tahun." Kulemparkan lagi se?
genggam pelet kedalam kolam koi, membuat ikan
berwarna-warni itu kembali saling menari berebutan.
Peduli amat kalau nanti koi-koi ini pada mati karena
keracunan pelet.
"Aku pernah dalam posisimu, Juna, dan itu
menyakitkan. Aku tau rasanya. Saranku cuma satu,
perjuangkan dia dan setelah cukup umur nikahin."
Kekehannya yang pelan membuatku berpaling.
Sum?pah rasanya ingin kusumpal mulut adek ipar
kurang ajar ini dengan sekantung pelet di tanganku
karena berani memberikan saran gila seperti itu.
Apa maksudnya nikahin? Ini yang jadi topik bahasan
anak bau kencur berumur 17 tahun, gue kudu nunggu
berapa lamaaa?
8:33:30 AM
268
268
"Bisa kasih saran masuk akal gak? Gak usah asal
ngomong, ah."
"Juna, tidak ada yang masuk akal kalau sudah
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhubungan dengan cinta. Semua hal yang di luar
nalar pun bisa kamu lakukan kalau itu atas nama
cinta. Apa aku pernah cerita kalau aku sudah mem?
beli sebuah apartemen di Wellington karena tau Vio
mau ke sana? Padahal saat itu aku tau Vio tak suka
padaku, aku juga tau dia masih 18 tahun. Apa pikirmu
masuk akal seorang eksekutif muda mengejar anak
baru baligh?" Playboy tua itu tersenyum kecil "Tapi
aku melakukannya, karena aku mencintainya. Wa?
lau?pun saat itu aku belum menyadarinya sama sekali.
Jangan buat kesalahan hanya karena kebim?bang?
anmu Juna!"
Aku ? masih melihat ke arah kolam, dengan pu?
luhan koi beraneka warna yang berkejaran di bawah?
ku. Apa yang harus kulakukan sekarang?
* * *
?
"Kamu gak mau nginep di rumah, Juna? Udah lama
lho gak pulang. Ke rumah, yuk?" Mama menahan le?
nganku saat aku hendak melangkah melewati pintu.
"Juna lagi banyak kerjaan Mam, nanti aja ya kalo
senggang waktunya. Juna pasti pulang." Sehalu?s
mungkin kucoba menolak ajakan Mama u?ntuk me?
nginap, kendati sudah sebulan lebih aku tak p?ulang.
Bukan apa-apa sih, entah kenapa sekarang ini aku sa?
ngat tidak nyaman berlama-lama berkumpul dengan
8:33:30 AM
269
269
banyak orang. Apalagi tatapan Mama s?eringkali terasa
menyelidik, membuatku merasa diinterogasi.
"J, gue serius, deh lu butuh ke barbershop, Dave
mau ke sana sekarang. Iya kan, sayang?" Vio ber?
bicara dengan mata berkedip-kedip penuh konspi?rasi
dengan tangan yang masih saja menggelayut manja
pada Mas Dave "Ikut ya, J?"
"Gak usah Vi, makasih sebelumnya. Udahan, ah
gue mau pulang dulu, gampang entar kalo mau po?
tong rambut." Segera saja aku melenggang ke mobil?
ku setelah berpamitan dengan semua orang.
Aku memang berpamitan pulang lebih dulu de??
ngan alasan banyak kerjaan numpuk. Meski alas?an
sebenarnya adalah aku gak tahan lagi dengan per?
hatian mereka yang berlebih padaku. Kenapa semua
orang tiba-tiba jadi cerewet begini? Apa mereka
gak tau kalau mereka sudah melanggar kenya?man?
anku sekarang? Aku butuh diacuhkan, aku butuh
diabaikan, aku butuh menghilang. Dan itu tak akan
pernah kudapatkan jika aku berkumpul dengan me?
reka s?emua.
Haahhh... memangnya kenapa kalo aku kucel?
Emang jadi masalah kalo aku berantakan? Ada yang
rugi gitu, kalau rambutku gondrong? Toh gak ada
yang liat, kan? Gak ada juga yang punya kepenting?an
dengan mukaku, kan? Kenapa terlalu dipermasalah?
in coba?
Tapi mau tak mau kulihat juga bayanganku di
kaca spion. Apa memang itu aku? Perasaanku saja
ataukah memang pipiku lebih tirus? Tapi bener juga
8:33:30 AM
270
270
kata Vio, rambutku sudah mencapai kerah, terakhir
kali potong rambut sebulan yang lalu atau lebih.
I?tupun karena saat itu Ayana ... aarrggghhhh ke?napa
masalah potong rambutpun kembali ke anak itu!
Kembali kupusatkan perhatian pada jalanan yang
padat, ikut berdesakan di antara antrian mobil yang
yang merayap di tengah kemacetan Sabtu sore. Otak
dan tubuhku serasa dalam mode otomatis saat ini,
tak memikirkan apapun dan hanya seperti robot saat
aku membayar tol. Aku pun masih diam dengan otak
kosong saat mesin mobilku mati dan sedikit kebi?
ngungan di mana aku memarkirkan mobil saat ini.
Bagai orang bodoh kulayangkan pandangan ke
sekitar, ada deretan pohon mindi yang menjulang
besar di pinggir jalan yang berpaving block. Suara
deburan air sayup kudengar ditengah ramainya sua?
sana sore dengan udara yang sedikit panas. Pantai.
Jadi ke sinilah kakiku melangkah. Ke tempat di mana
pernah ada dia.
Aku di sini sendiri, duduk di atas pasir dengan
naungan pelepah kelapa. Menatap langit yang me?
rona merah karena bola api itu tenggelam dibatas
horizon.
Hai, gadis kecil, aku di sini, melihat sunset ini
untukmu. Bukankah dulu kau pernah bilang ini
indah? Tapi kenapa tidak bagiku sekarang? Kenapa
s?emuanya terasa datar dan hampa.
Hei, gadis kecil, apakah kau di sana juga tengah
menatap matahari? Matahari yang sama tentu saja.
Tapi apakah semua seindah hari itu? Kenapa semua
8:33:30 AM
271
271
terasa berbeda sekarang?
Hei gadis menyebalkan, kenapa semua hal terasa
membosankan dengan tawa dan keriuhan? Taukah
kamu, aku di sini, di pantai yang sama, tempat yang
sama, menghirup udara yang sama namun semua tak
lagi sama, karena ?tak ada kamu.
Hei, gadis tengil, taukah kau apa yang paling ku?
inginkan saat ini? Aku ingin memutar waktu. Agar aku
bisa makin menghargai saat-saat bersamamu. Agar
aku bisa puas menikmati senyum dan candamu. ?
Andai kau bisa melihatku di sini, mungkin kamu
akan tertawa. Karena kau melihatku menangis se?
malam. Mungkin kau akan mengejek, melihat lemah?
nya hatiku setelah kau tinggalkan.
Ayana
Kalau nanti aku kangen kamu, aku akan meng?
ingat hari ini sebagai kenangan terindah yang pernah
kumiliki. Percayakah? Aku hanya perlu memejamkan
mata dan kamu akan hadir. Itu karena kamu selalu
hidup dalam anganku
Perlahan kumenutup mata, menikmati semilir
angin yang membuat rambutku makin berantakan,
samar sepertinya aroma itu kucium lagi, makin me?
nguat saat kurasakan belaian lembut di kulitku.
Kakak....
Kubelai sisi wajahnya, merengkuhnya dalam
geng??gaman eratku. Pelan jariku menyusuri setiap
inci wajahnya. Mata indahnya yang berbayang abuabu menatapku sayu, senyum terukir di bibirnya
yang se?warna kelopak mawar. Jariku mengusap
8:33:30 AM
272
272
tulang pipinya yang tinggi, hidungnya yang mungil
lalu berpindah ke bibirnya. Semuanya masih sama,
seperti yang kuingat. Kuraih dia dalam pelukanku,
merasakan hangat yang selalu kurindu, merasakan
garis tubuhnya yang lekat padaku.
Aku di sini, mendekap erat tubuhnya, dalam
buaian angin yang mengirimkan getar kerinduan
yang menyentak hebat disetiap pembuluh darahku.
Ini berat, terlalu berat. Aku nyaris tak sanggup me?
nanggungnya lagi. Derita ini menggerogoti hatiku,
meninggalkan ruang kosong yang dia tinggal pergi.
"Aku kangen kamu, kangen banget, sayang."
Masih erat kupeluk dia, rasanya tak ingin kulepas
lagi. Aku tak ingin membuka mataku, tidak. Aku
takut dia akan pergi lagi. Aku ingin selamanya disini,
bersama kenangan ini,?bersamamu.
Aku masih di sini, merintih sedih, saat aku sadar
hanya sang bayu yang mendekapku.?
?
8:33:30 AM
273
Empat belas
"Juna."
Tanganku masih di atas keyboard saat suara itu
memanggil. Mendongak, kudapati Nina berdiri tepat
di depan meja. Mataku melirik cepat penunjuk waktu
di sudut kanan layar laptop 17.30 ini sudah lewat jauh
dari jam pulang kantor. Kenapa Nina masih ada di
sini?
"Hai, Nina, kok belum pulang? Ada apa?"?
"Aku mau ngomong sebentar sama kamu Juna, ada
waktu?" Lembut suara gadis di depanku ini mem??buat
konsentrasiku yang tinggal separoh tertuju p?adanya.
"Tentu. Mau sambil makan di luar? Atau di sini
aja?" Kugeser laptop sedikit ke sebelah kanan, dan
menatap dia sepenuhnya.
"Enggak usah J, di sini aja. Aku sebenernya
aku emang sengaja ke sini. Aku tau sekarang kamu
selalu pulang malem, jadi aku nekat nemuin kamu
pas jam pulang kantor." Terlihat sedikit gugup, kedua
tangannya saling meremas.
"Ow Oke." bangkit dari kursi, kutarik sebuah
kursi kedekatnya, kami pun duduk berhadap-hadap?
an. "Ada apa Nina? Kamu ada masalah?"
8:33:30 AM
274
274
"Aku mau pamitan sama kamu J, eemmm ... mulai
hari ini aku resmi resign dari sini. Aku mau bilang
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makasih banyak buat semua perhatian dan kebaikan
kamu selama kita kenal. Itu berarti banget buat aku."
Tak terduga. Mungkin itu kata yang tepat untuk
menggambarkan situasi ini. Oke, mungkin tidak
tepat seperti itu, karena jujur saja sebulan belakangan
aku juga tak terlalu tau perkembangan orang-orang
di sekitarku. Sepertinya belakangan ini aku memang
benar-benar tenggelam dalam pekerjaan hingga tak
memberi kesempatan otakku untuk memikirkan
hal lain diluar meja kerja. Jadi apakah ada gosip atau
kabar tentang Nina hingga membuat dia memutus?
kan resign?
"Kenapa? Ada masalah? Kamu gak nyaman di
sini? Bukannya karir kamu bagus, Nin?"
Gadis di hadapanku ini hanya tersenyum kecil
lalu menghembuskan nafas panjang "Banyak hal
yang membuat aku akhirnya memutuskan untuk
resign. Tidak nyaman hanyalah sebagian kecil alas?
annya, walaupun kuakui itu juga kesalahanku sen?
diri. Lagipula tujuanku sekarang bukanlah karier
lagi, banyak hal yang ternyata lebih penting dari pada
karier."
"Apa ini ada hubungannya denganku? Kamu
kamu resign karena aku?" tanyaku hati-hati.
"Tidak, bukan sepenuhnya. Tapi kamu dan apa
yang terjadi pada kita membuatku menyadari be?
berapa hal. Banyak yang harus kuperbaiki dari
hidupku, banyak hal yang harus diubah dalam cara
8:33:30 AM
275
275
pandangku dan kurasa aku akan mendapatkannya
dengan cara pergi dari sini terlebih dahulu."
Aku menatapnya dalam diam, mencoba mencer?
na setiap kata yang dia ucapkan. Mencoba menelaah
maksud tersembunyi dari setiap kalimatnya. Tapi
mungkin saja otakku tak bisa bekerja lagi dengan
benar karena aku masih belum bisa memahami se?
penuhnya maksud Nina.
"Maksudmu? Apakah ada hal mendasar lain
yang ... yang membuat kamu ... kamu berpikir untuk
resign? Nina dengar kalau ini tentang kita, aku...."
"Juna," Nina memotongku tiba-tiba, seulas se?
nyum bermain di bibirnya. Wajahnya tampak menyi?
ratkan ketenangan. "Apa yang terjadi antara kamu
dan aku adalah hal yang patut disyukuri. Aku ber?
terima kasih karena pernah menjadi bagian dari
perjalanan hidupmu. Darimu aku belajar banyak
hal, ketenangan, kepercayaan, penghargaan, peng?
hormatan, dan banyak hal yang lainnya. Namun,
sepenuhnya aku sadar kalau kita gak akan mungkin
bisa sejalan. Kamu patut untuk mendapatkan yang
lebih dari aku, dalam segala hal."
"Kamu ke mana kamu akan pergi?" Kulontar?
kan pertanyaan yang sedari tadi kusimpan. Aku
t?erlalu bingung dengan percakapan ini.
"Aku akan pergi ke tempat di mana aku bisa me?
lihat dunia dengan warna yang berbeda. Aku ingin
menempatkan segala sesuatunya dalam perspektif
yang benar, maka dari itu aku ingin menyendiri untuk
sementara. Jauh dari semuanya dan merenungi serta
8:33:30 AM
276
276
memperbaiki semua kesalahan-kesalahan hidup yang
pernah kubuat. Aku ingin berubah, J." Senyum tulus
menghiasi wajah cantik yang dulu pernah kukagumi.
Namun itu ?membuatku justru merasa bersalah.
"Jadi ini memang masih ada hubungannya de?
nganku kan, Nin? Apakah jika ... jika ... rencana per?
nikahan kita tetap berjalan kamu akan tetap pergi?"
Entah kenapa perasaan berdosa merayapi hatiku saat
Nina mengungkapkan rencana kepergiannya. Apa?
kah ini memang tidak ada hubungannya dengan ku?
Ck kenapa tidak ada sesuatu yang bisa kulakukan
dengan benar?
"Kamu baik, Juna, sangat baik. Tapi satu yang aku
yakini sekarang adalah laki-laki yang baik itu hanya
untuk perempuan baik-baik, begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu aku ingin memperbaiki diri. Aku i?ngin
memantaskan diri agar kelak aku bisa bersanding
dengan imamku. Seseorang yang dikirimkan Tuhan,
yang mana pastinya itulah yang terbaik untukku. Gak
mungkin sekarang ini aku memaksakan kehendak
untuk berjodoh denganmu, sedang aku belum siap
sama sekali untuk menjadi istri dan ibu yang baik.
Kelak jika kita bertemu dan berjodoh aku akan
bersyukur, karena akhirnya kamu dan aku memang
ditakdirkan bersama. Namun jika tidak, aku akan
tetap mensyukurinya karena perjalanan hidup telah
memberikan banyak pelajaran yang membuat kita
sama-sama bisa memetik hikmah dari semua ini."
Nina tersenyum lembut. Kata-katanya sungguh me?
nenangkan dan terdengar sangat bijak.?
8:33:30 AM
277
277
Aku iri padanya, sangat. Bagaimana mungkin
dia bisa secepat ini memaknai hidup dengan pikiran
yang begitu positif dan dewasa. Sedang aku hanya
bisa meratapi nasib dan keadaan yang seakan hanya
berputar-putar di sekelilingku.
Nina, kukumpulkan lagi semua rasa yang dulu
pernah ada untuknya, menggali sudut hati terdalam
agar aku bisa sedikit saja bersimpati pada gadis ini.
Bukankah kami pernah menjalin sebuah romansa?
Tapi kenapa semua hal sekarang rasanya hambar,
datar. Sudah berapa lama kami putus? Setahun?
Dua tahun? Aahh tidak, mungkin baru sebulan yang
lalu atau ... entahlah. Aku sudah lama lupa dengan
perhitungan waktu. Hatikupun sudah mati, tak bisa
lagi merasa.
"Kalau begitu aku aku aku minta maaf ka?
lau ada apapun sesuatu dariku yang menyinggung
perasaanmu ataupun membuatmu tak nyaman. Aku
benar-benar tak tau harus...."
"Juna ... Arjuna hei, jangan pernah merasa bersa?
lah atau tak nyaman. Aku justru sangat bersyukur
per?nah dipertemukan denganmu. Karena pada akhir??
nya apa yang terjadi di antara kita dan semua ke?pu?
tusanmu membawaku pada kesadaran dan kepu???
tus??an yang memang seharusnya kuambil dari dulu.
Mungkin jika dari awal kamu mau menerimaku kem?
bali aku akan tetap menjadi orang bodoh yang tak
mampu mengambil pelajaran dari setiap masalah.
Itulah kenapa aku merasa harus berterima kasih
padamu Juna." Nina mengusap punggung tanganku
8:33:30 AM
278
278
p?elan, menyalurkan rasa tenang yang sedari tadi
h?ilang karena rasa bersalah.
"Selama ini aku tak pernah berpikir positif ten?
tang suatu hubungan, bahkan seringkali aku meng?
anggap brengsek kaum laki-laki. Mungkin karena
cerminan orangtuaku yang bermasalah dalam per?
nikahan mereka, membuatku sulit untuk percaya
pada suatu hubungan. Tapi kamu mengubahnya Juna,
aku juga ingin berterima kasih untuk itu. Dan kini,
kepergianku juga dalam rangka membersihkan hati
dan pikiran, agar aku bisa memaknai hidup dengan
lebih baik lagi."
"Bagaimana dengan ... Mas Yudi?" Pertanyaan itu
terlontar begitu saja tanpa bisa kucegah, membuat
gadis di depanku ini ?tersenyum pahit.
"Kami sudah membicarakan semuanya. Aku
gak mungkin merusak apa yang sudah terjalin. Mas
Yudi punya keluarga, punya tanggung jawab. Dan
apa yang terjadi pada kami adalah suatu kesalahan
besar. Dia tak harus bertanggung jawab atas apapun
karena memang tak ada yang harus dipertanggung
jawabkan. Apapun yang terjadi setelah malam itu
adalah konsekuensi yang harus aku hadapi. Biarlah
ini menjadi ... menjadi pelajaran untukku dan untuk?
nya tentu saja." Mata Nina tampak berkilat sebelum
akhirnya mengerjap dan tersenyum kembali. "Kurasa
sudah cukup, aku harus pergi sekarang. Sekali lagi,
makasih ya, Juna. Untuk semuanya."
"Mau kuantar Nin?" Aku masih saja terjebak oleh
situasi tak nyaman ini dan tak tahu apa lagi yang
8:33:30 AM
279
279
harus kubicarakan. Kuikuti dia berdiri dan berjalan
mengiringinya kepintu.
"Gak usah Juna, Aku udah mesen taksi di bawah.
Ngomong-omong, kamu berantakan banget? Ini
ram?but ... ya ampuunnnn." Nina menyentuh rambut
yang kukucir sembarangan dengan karet gelang yang
kudapat dari Edi tadi siang. "Dan sejak kapan kamu
merokok?" Nina mengalihkan pandangan pada asbak
di meja yang sudah dipenuhi puntung rokok.
Aku hanya tersenyum getir menghadapi per?
tanyaannya. Apa yang harus kujawab?
"Kamu masih mengharapkan dia, Juna? Kamu
terlihat hancur sekali. Kurasa kita sama-sama meng?
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harapkan sesuatu yang mustahil, ya. Tapi apapun itu,
please jangan hancurkan dirimu sendiri." Wajah gadis
di depanku ini berkerut terlihat prihatin dan aku pun
hanya membalas dengan anggukan singkat yang aku
juga gak tau apa makna anggukanku.
Kupencet tombol lift dan mengantarkannya sam?
pai dia masuk. "Hati-hati di jalan, Nina."
"Makasih sekali lagi. Kudoakan kamu ditunjuk?
kan jalan terbaik dan mendapat apa yang kamu ha?
rapkan. Bye Juna." Lambaian tangannya adalah hal
terakhir yang kulihat sebelum pintu lift tertutup me?
ninggalkanku sendirian, lagi.
?
* * *
Kubuka pintu apartemen, menyambut sunyi yang
segera saja menghampiri. Sepi dan hampa. Segera
8:33:30 AM
280
280
saja kumulai aktifitasku seperti biasa, mandi dengan
cepat dan segera menikmati makan malam yang aku
lupa menunya lalu dilanjutkan dengan nonton tele?visi
yang aku lupa apa acaranya. Mungkin nanti ber?main
gitar dengan nada yang tak kukenal lalu segera naik
ke tempat tidur, menelusup di balik selimut berdoa
agar segera diberikan kantuk berat yang membuatku
segera memejamkan mata agar tak terlambat ngantor
besok.
Tak ada yang istimewa bukan? Memang tidak.
Aku bahkan kadang lupa apakah aku sudah makan
atau belum, lupa kenapa barang ini bisa sampai di sini
atau barang itu bisa sampai di situ. Apa aku pernah
bilang kalau aku bingung saat pagi-pagi kutemukan
banyak pecahan gelas dan piring di dapurku? Aku
juga bingung kenapa itu bisa terjadi, karena aku
sudah lupa banyak hal.
Banyak hal yang terlupakan, banyak hal yang
ingin aku lupakan. Semua hal ingin kulupakan. Tapi
selalu saja aku ingat hari itu. Otakku tak bisa lupa saat
pagi itu air matanya jatuh ditelapak tanganku, saat
dia bahkan tak menoleh kepadaku. Saat Tuhan tak
mengabulkan doaku untuk membawanya kembali.
Aku ingat, sangat jelas. Itu semua terjadi 197 hari
yang lalu. Dan selama itu aku tak mampu keluar dari
penjara yang kuciptakan sendiri.
Kulirik jam di pergelangan tangan, sebelas
malam. Oke, waktunya tidur Juna. Dengan langkah
yang seperti sudah diprogram aku menelusup ke
dalam selimut, memeluk guling dan memejamkan
8:33:30 AM
281
281
mata. Aku tidur ... aku tidur ... aku tidur ... kuucapkan
mantera yang aku tahu tak berguna sama sekali.
Aku memang akan tidur, tapi nanti, entah berapa
jam lagi. Dan selama itu akan memeluk guling dan
memejamkan mata dalam diam. Bahkan obat tidur
pun tak mampu membuatku jatuh dalam lelap.
?Tak ... tik ... tak ... tik ... tak ... tik....
Detak jam terdengar satu-satu di telinga, ter?
tangkap jelas dalam malam yang terasa sangat sunyi.
Satu domba ... dua domba ... tiga domba ... seratus
duapuluh domba ... tiga ratus lima puluh domba ...
lima ratus dua puluh tujuh domba....
Kubuka mata lagi, oke aku bosan, yah memang
biasanya akan ada sembilan ratusan domba di kepala?
ku sebelum akhirnya aku tak ingat apa-apa lagi. Tapi
entah kenapa malam ini semua domba itu begitu
berisik hingga membuatku tak ingin menghitungnya
lagi. Bersandar pada kepala ranjang aku duduk, hanya
duduk dan menunggu kantuk itu datang.
01.55
Oke, Juna, mungkin kau bisa mengerjakan lapor?
an dari Divisi Marketing yang diberikan Aszumi tadi
sore, jadi besok pagi sudah siap dengan manis di
meja Pak Amran. Dengan malas kubuka laptop dan
mulai meneliti file-file di flashdisk sampai rasa bosan
kembali datang. Sialan, kenapa denganku?
Oke, game online Juna, udah lama banget kan
gak maen game? Bagaimana kalau mengintip akun
socmedmu??Just for fun, Ok?
Kubuka Twitter, Facebook, Whatsapp, juga
8:33:30 AM
282
282
Messenger di email. Mengintip dunia maya yang
benar-benar asing kurasa. Oke, kuakui aku memang
tak selalu eksis dulu, lalu buat apa aku membuka
semua akun-akun sialan ? ini? Sign out dari Twitter
dan Facebook aku tertarik membuka chatwindow
di messeng?er. Siapa tau ada teman yang bisa diajak
ngobrol. Hmm, hanya ada dua orang yang online jam
segini. Kulihat tanda yang berkedip hijau di sana.
Erlangga Bayuadji dan ... Ayana!
Tanganku gemetar hebat, jantungku berdetak
c?epat. Benarkah ini dia? Tuhan tolong jangan biar?
kan aku hanya berharap. Dengan jemari masih ber?
getar aku mengetik di keyboard berulang kali dan
menghapusnya karena selalu saja salah memencet
huruf dan juga karena aku bingung apa yang harus
kuketik.
"Ayana."?
Kupejamkan mata dan berkomat-kamit mem?
baca doa. Tolong ini benar-benar dia, Tolonglah.
Satu menit ... dua menit ... tiga menit ... lima menit
kutunggu, tapi tak ada tanda-tanda pesanku dibalas.?
Aku hanya menatap pasrah pada layar, meyakin?
kan diri kalau itu bukan halusinasi. Tapi ya, itu
benar-benar namanya. Ayana Gabrielle, begitulah
yang tertulis. Kupelototi layar di depanku, kalau
perlu akan kutunggu sampai pagi. Entah kenapa aku
sudah sangat bahagia melihat ada satu tanda bahwa
memang benar-benar ada seorang Ayana, bahwa
semua kegilaanku benar-benar ada penyebabnya.
Kak Juna
8:33:30 AM
283
283
Aku nyaris menjerit, menangis dan tertawa ber?
samaan saat kulihat ada dua kata tercetak jelas di
sana. Jariku makin gemetaran di atas keyboard, ribuan
kata yang bersliweran di otakku rasanya tak mampu
dimun?culkan dalam sebuah kalimat sederhana u?n?
tuk mengatakan betapa aku sangat menunggu saat
ini tiba.
"Ayana, ini beneran kamu, kan? Apa kabar?"
Baik kak Juna, kakak gimana kabarnya?
Aku? Aku nyaris mati merindukanmu Ayana.
"Kak Juna baik-baik aja. Ayana lagi ngapain?"
Ayana lagi nungguin sunset di sini kak, kebetulan cuaca
lagi bagus. Kakak lagi ngapain?
Sesak di dadaku makin menghimpit dalam.
Tahu?kah kamu Ayana, aku tak sanggup lagi melihat
sunset karena ingat kamu. Itulah kenapa aku selalu
menghindar keluar sore hari. Semua hal hanya meng?
ingatkanku tentangmu.
"Lagi ngitung domba, tapi dombanya udah abis. Jadi
Kak Juna ngitung hari aja, sampai Ayana pulang."
Iiihhh Kak Juna jadi pinter ngegombal, ya sekarang.
Aku terkekeh, membayangkan wajahnya yang
sekarang ini pasti bersemu merah.
"Ayana, skype yuk." Lama kunantikan jawaban dari
sana yang tak juga sampai. Ke mana lagi dia?
"Ayanaaa... sayaaaanggg..."
Apa sih kakak, gak boleh ngomong pake sayang, ah
"Kenapa?"
Kan kita udah putus
"Yah, itukan kata Ayana, kan Kak Juna belum mutusin.
8:33:30 AM
284
284
Ya, sayang ya, skype, yuk."
Enggak, ah, Ayana belom mandi. Ntar ketauan j?eleknya
lagi.
Aku tertawa keras membaca chatnya. Ah, Ayana.
"Ayana gak asik, ah, kenapa sih ga mau skype? Kalo
gitu Kak Juna telpon, ya?"
Gak mau
"Kenapa?"
Nanti Belinda marah-marah kalo tau Ayana lagi telpontelponan. Kan taunya Belinda, Ayana masuk kamar mau
tidur, bukan mau liat sunset.
"Belinda?"
Iya, Belinda itu tante Ayana, kak, di sini Ayana tinggal
sama Belinda dan Piter suaminya. Kak Juna udah makan?
"Udah, Ayana udah makan?"
Udah, ini baru aja selesai makan malem. Kak, bukannya
disana udah lewat tengah malem? Kok Kak Juna gak
bobo??
Ah, Ayana, aku bahkan rela tak tidur setiap ma?
lam jika itu artinya bisa bercakap walau lewat tulisan
seperti ini.
"Enggak ngantuk, Ayana."
Nanti Kak Juna sakit, loh
Ayana, jiwa dan hatiku sudah sakit sejak kamu
tinggal pergi.
"Ayana."
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Iya, kak
"Kak Juna kangen."
Lama sekali tak ada balasan dari sana, bahkan
aku sempat terpikir dia tertidur. Tapi benarkah??
8:33:30 AM
285
285
Bisakah kita tak usah membahas ini?
"Kenapa Ayana?"
Ini hanya akan membuat kita saling menyakiti, kak.
"Ayana please nomer telpon, aku ingin bicara se?
karang!"
Buat apa?
"Please Ayana, aku mau ngomong. Apa aku perlu
memohon?"
Sederet nomer telpon diketikkan Ayana kemu?
dian. Tak sabar kusambar ponselku dan men-dial
nomer itu. Pada deringan ketiga kudengar suara yang
amat kurindu.
"Halloo..." Suaranya basah, serak seperti mena?
ngis. Kerongkonganku tercekat oleh rasa sesak yang
menghimpit.
"Ayana," aku tak mampu untuk lebih dari sekedar
bisikan. "Kak Juna kangen sayang, kangen banget
sama Ayana."
"Ka-kaakkkk..."?Suaranya yang pecah oleh tangis
di seberang sana membuatku menggigit bibir kuatkuat. Aku tak sanggup menahan ini lebih lama. Aku
sangat merindu.
"Ayana maaf karena aku terlambat menyadari?
nya, maaf karena aku selama ini aku mengingkari
semuanya. Aku ...?I love you baby."?
Jangan kak ... jangan ... ini sudah ... sudah....
"Ayana apa lagi yang perlu kuungkapkan pada?
mu? Atau apa perlu aku ke Belanda agar kamu yakin?
Kamu mau aku memohon-mohon? Akan kulaku?kan
itu, asal kamu mau nerima aku. Anggap aku gila,
8:33:30 AM
286
286
tapi aku gak bisa nahan ini. Aku kangen kamu, aku
sayang kamu, aku butuh kamu." Mataku berkabut
dan basah oleh air mata. Isakan disana juga terdengar
l?ebih kencang lagi.
"Ayana gak bisa janjiin apapun kak, tidak pula
suatu hubungan."
"Kenapa? Apa karena aku?"
"Enggak, ini gak ada hubungannya sama Kak
Juna. Ini dari Ayana sendiri, Ayana gak mau kita
sama-sama berharap padahal itu sulit."
Apa maksud gadis ini? Aku tak bisa mencerna
s?atupun kalimatnya.
"Bisakah kita jalani ini dulu. Aku berikan kamu
kebebasan kalau nanti kamu pergi, aku gak bisa
tanpa kamu, tapi aku juga gak mau mengikatmu
kalau itu bukan keinginanmu." Kutunggu namun tak
ada sahutan apapun dari sana. "Ayana..."
"Iya, kak. Bisakah ... bisakah kita bahas ini lain
waktu aja?"
"Oke, kalau itu maumu. Tapi aku mau kamu tau,
aku akan tetap menunggumu."
Aku mendengar dia terisak di sana dan aku tak
suka mendengarnya. "Ayana, tolong jangan nangis.
Aku gak suka kalau kamu sedih. Maaf kalau aku
nakutin kamu, aku gak ada maksud jahat atau apapun
itu."
"Enggak kak, Ayana hanya ... hanya ngerasa ini ...
ini ... hhhh ... kenapa semua harus seperti ini, kak?"
Aku mengusap pipiku yang basah, ahh, kenapa
aku juga secengeng ini?
8:33:30 AM
287
287
Kami masih di telpon lima belas menit kemudia?n.
Membicarakan hal-hal tak penting yang terasa amat
penting sekarang. Sampai kemudian aku harus rela
membiarkan dia pergi karena harus tidur. Mening?
galkanku yang juga masuk peraduan saat malam
s?udah hampir diujung.?
Malam ini untuk pertama kalinya, setelah enam
bulan lebih aku bisa tidur nyenyak. Malam ini aku tau
apa yang akan kulakukan besok. Malam ini setelah
entah berapa kali aku merasa hilang, aku tau apa
tujuanku.?
Ayana....
Selamat tidur sayang.
8:33:30 AM
288
Lima belas
"Oke, aku setuju aja. Cuma inget Za, jangan sampe
order-order dari pelanggan lama terbengkalai sam?
pai bikin mereka kecewa hanya karena kita ngejar
proyek ini. Bagaimanapun mereka yang buat usaha
kita besar." Kuserahkan lagi map berwarna biru di
tanganku pada Riza bertepatan dengan pintu lift
yang terbuka. Bersamaan, kami melangkah menuju
pintu keluar di ujung lobby.
"Sipp Bang, aku udah lama cek pasar. Sulitnya
nembus penerbit major bikin banyak writer ngelirik
self publishing. Makanya aku yakin banget kita bisa
diterima. Temen-temen kuliahku dulu juga banya?k
yang mau freelance di kita. Buat promo, aku bikin
p?enawaran paket-paket khusus buat peluncuran
brand baru, jadi nanti editing, lay out, desain cover
semua kita kerjain. Mereka tinggal terima ?beres, tapi
untuk seterusnya, sih bayar. Abang juga gak usah
k?hawatir, ide ini ?udah mateng dari beberapa bulan
lalu. Kru juga udah siap terjun, pokoknya tinggal
nunggu persetujuan abanglah."
"Trus kenapa baru sekarang kamu kasih tau aku?"
Langkahku terhenti dan menatap juniorku ini lama.
8:33:30 AM
289
289
Emang, sih aku gak tau banyak tentang teknis usaha
kami, tapi tetap saja aku selalu memantau semuanya.
Bahkan sampai detil terkecil. Lalu kenapa ide untuk
pelebaran usaha percetakan kami ini malah baru
kutahu sekarang di saat semua udah siap?
"Lha, kan kemaren-kemaren Abang lagi galau
akut. Riza takut nambah pikiran kalo tau-tau dateng
trus kasih usulan ini. Makanya Riza matengin dulu
semuanya, sekalian nyari ide buat konsep yang
lebih? cihuy? lagi. Biar Abang pas baca proposalnya
lang?sung setuju. Kemaren Emak bilang kalo Abang
udah normalan lagi, udah semingguan lebih kata
Emak. Ya, udah aku baru ke sini sekarang." Bocah itu
malah cengengesan gak jelas sambil memamerkan
senyum amit-amitnya
"Ck ... sok tau kamu. Emak sama anak sama-sama
sok tau urusan orang." Kutinju pelan lengannya dan
kembali berjalan santai menyusuri lobby yang cukup
panjang.
"Yeeee, si Abang, Riza mah serius Bang. Tapi
kemaren keren juga tuh rambut gondrong, coba kalo
dia liat ya, Bang, pasti abis dijambak itu rambut,"
Langkah cepatnya mensejajariku dan muka sok tau?nya
kembali kulihat karena tiba-tiba dia mengubah cara
jalannya dengan berjalan mundur tepat di depanku.
"Jadi?" Dengan wajah ingin tahu dia menaik-turun?
kan alisnya, masih dengan senyuman yang berani
t?aruhan masih kalah cakepnya dari senyumanku.
"Jadi ... ayam-ayamku?" ujarku sembari meniru?
kan sebuah iklan mie instan yang lagi rame di tivi.?
8:33:30 AM
290
290
"Ah, Abang. Jadii ... sekarang ini Abang udah bisa
move on atau malah jadian sama dia?" Dengan keras
kepala lawan bicaraku ini tetap? kekeuh meminta
jawaban yang sumpah demi apapun aku males ja?
wabnya. Kulirik dia sekilas sambil berusaha sekuat
tenaga menahan senyum yang entah kenapa tiba-tiba
pe?ngen ikutan eksis saat ini.
"Kalau dari senyumnya, sih kayanya jadian ini.
Waaahhh, jadi ceritanya Abang LDR, niiihhhh?
Ciyeeeee ... walau jarak memisahkan kita berdua...
kuselalu dekat di hatimu.... Simpanlah rasa rindumu
hanya untukku ... kukan datang ... untukmu ... oh
rinduku...." Seperti orang gila, bocah di depanku
ini berteriak-teriak menyanyikan sebuah lagu lama
yang membuat aku kembali tersenyum lebar men?
dengarnya. Ya, ampuun!
"Udah Za, gak usah diomongin. Aku takut ada
orang salah paham ntar. Gak usah ada yang tau juga."
Kembali kutonjok pelan bahunya sambil berusaha
meredakan senyum yang benar-benar tak bisa ku?
tahan nampang di wajah gantengku ini.
"Eeyaaaaaa ... Bang Juna bisa malu juga. Haaahhh
... cintaaa ... cinta ... ckck ... yok, bang balapan, siapa
kawin duluan?" ?
Kutatap bocah ingusan ini dengan tatapan horor.
Gila, nih bocah, baru juga genep 22 tahun udah
ngomongin kawin mulu. "Heh sunat dulu kamu Za,
baru ngomongin kawin!"
"Yaaahhh, ngomong aja Abang takut kalah
saing sama aku, Bang. Kalo Riza mah ogah nunggu
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
8:33:30 AM
291
291
kelamaan. Ntar kesiksa kaya Abang lagi. Begitu dia
mau, langsung seret ke KUA, beressss." Cengiran
lebarnya benar-benar penghinaan besar buatku. Apa
maksud bayi besar ini? Kurang ajar banget, ngeledek
ini mah namanya.
"Heh, emang dia mau sama kamu? Ada juga
abis mukamu digigit sama kucing galak macam dia
sebelum berani ngajak kawin."
"Yaelahhhh, ke dukun Bang kalo perlu, jadi."
Riza menghentikan kalimatnya dan menatap ke de?
pan dengan wajah bengong yang demi Tuhan terlihat
bego. Aku mengikuti arah matanya dan menemukan
apa yang dilihatnya tanpa berkedip.
Aszumi tampak bersungut-sungut memarahi se?
ku?riti yang hanya menunduk menghadapi omelan?
nya. Muka gadis itu seperti baju belum disetrika,
banyak kerut hingga tampak keriput. Ya, ampun,
mau aja si Riza sama nenek-nenek macem dia.
"Hai Mi, kenapa?" Kuhampiri mereka yang masih
seperti adegan syuting ibu tiri dan pembantunya.
"Ini, nih Pak Ahmad, aku kan minta dipesenin
taksi dari tadi. Eh, begitu taksi datang, bukannya
disuruh nunggu malah dikasih ke orang, padahal aku
kan lagi buru-buru."
"Emang mau ke mana? Pulang?"
"Enggak, ini kan Bu Irma mau ketemu? buyer.
Mereka mau makan bareng di restoran seafood di
Keba?yoran Baru. Nah, ada data yang ketinggalan, aku
yang disuruh anter ke sana. Duhh, mana udah sore
lagi, barusan udah nelpon taksi lagi, tapi gak tau kapan
8:33:30 AM
292
292
datengnya." Muka perempuan di depanku ini tam??bah
cemberut sambil matanya sesekali memelototi Pak
Ahmad yang tampak pasrah.
"Ya udah, pake mobilku mau, gak?"
"Ngebut tapi, ya? Aku buru-buru nih, udah di?
tunggu Bu Irma."
"Iyaaaa. Tapi abis itu makan sekalian ya di sana?"
"Beres J, yuk ah, buruan."
"Za, anterin Aszumi." Kulemparkan kunci mo?
bil?ku pada Riza yang langsung diterimanya dengan
muka berbinar.
"OGAHHHHHH!"
"Beres, Bang."
Dua suara dengan nada yang berbeda terdengar
bersamaan, membuatku menahan senyum.
"Aku gak mau sama dia, aku maunya sama kamu!"
Dengan nada tinggi Aszumi sedikit ber?teriak ter?ta?
han padaku, namun matanya tetap tak mau m?enoleh
s?edikitpun pada Riza.
"Yeee ... aku udah punya cewek, Mi, masa kamu
maunya sama aku. Lagian apa kata cewekku kalau tau
aku bawa perempuan lain di mobil. Udah sama Riza
aja sono." Kudorong bahu Riza hingga mendekat ke
arah Aszumi yang langsung dihindari oleh perem?
puan tak tau diri itu.
"Enggak, ah mending aku naik taksi aja, deh."
Sambil menghentak-hentakkan kaki dia berlalu
dan segera saja menuju pintu ganda yang mengarah
ke?luar. Belum juga sempat dia membuka pintu,
tangannya tiba-tiba meraih sebuah ponsel tipis dari
8:33:30 AM
293
293
saku blazer yang segera didekatkan ke telinganya.
"Iya, Bu ... mmhh ... iya ... iya ... segera, bu ... oke."
Aku hanya tersenyum puas sambil melirik ke
arah Riza yang masih seperti orang bengong karena
kebanyakan nonton video porno. Sedangkan si
Aszumi berbalik menghadap kami berdua sambil
memamerkan mulutnya yang mengerucut makin
tinggi.?
"Juna anterin!"
"Ck dibilangin sama Riza aja. Aku gak bisa,
mau ke rumah sakit nengok adekku. Cepetan Za,
sana anterin nenek cerewet ini ke restoran seafood di
Keba?yoran Baru, yang deket GOR tau, kan?"
?"Iya iya Bang, tau."?
Menoleh pada Aszumi, kudorong lagi Riza ke
arahnya. "Nih, Mi supir kamu hari ini. Dia siap
bawa kamu ke mana aja, ke KUA juga dia mau." Aku
hanya terkekeh saat Aszumi mengacungkan tinju?nya
padaku. "O, iya Mi, dia masih polos, perjaka tulen,
jangan diperkosa, ya. Nanti emaknya nuntut baru tau
rasa kamu."
"Junaaaaaa!"
Aku terbahak keras menyaksikan kemarahan
A?szumi yang berbanding terbalik dengan seringai
k?ebahagiaan Riza. Mereka berlalu dariku dan aku
masih saja tertawa melihat kedua pasangan aneh
itu yang akhirnya mengundang beberapa orang me?
nolehkan kepala mereka padaku.
"Pesenan siapa pak?" tanyaku pada Pak Ahmad
saat ada sebuah taksi biru mendekat.
8:33:31 AM
294
294
"Ini tadi saya pesen lagi buat Mbak Aszumi, mas.
Tapi Mbaknya udah pergi, ya udah gak jadi."
"Gak papa saya ambil aja. Thanks ya, pak." Kulam?
baikan tangan pada sekuriti berbaju hitam itu sambil
membuka pintu taksi.
Sambil menahan seringaian, kusebutkan alamat
sebuah rumah sakit bersalin di Kebayoran Baru
pada pak supir. Kalau saja Azumi tau aku juga mau
ke Kebayoran Baru, dia pasti akan siap menusukku
dengan jarum jahit karena malah membiarkannya
hanya jalan berdua dengan Riza.
Bodo amat, ah, Aszumi aja yang gak tau diri.
Walaupun berondong, Riza jelas sangat memenuhi
syarat kalo mau dijadiin pasangan hidup. Dan aku
akan sangat mendukung kalau Riza akan tetap maju
walaupun sudah berulang kali ditolak Aszumi.
Kukeluarkan ponselku, melihat gadis kecil yang
foto profilnya sudah kujadikan screensaver di gadget?
ku agar bisa kulihat sepanjang hari. Entah kenapa
aku selalu saja gemas melihat senyumnya, kugigit
juga kamu Ayana!
Akupun akan tetap bertahan dan menunggumu
nona, sampai kamu pulang dan mau tanda tangan
surat nikah!
?
* * *
?
Suasana suite tempat Vio menginap sedikit ramai saat
aku melangkahkan kaki masuk. Ada Tante Deasy,
juga Om Liem, Mama, Papa, juga Iva dan tentu saja
8:33:31 AM
295
295
Mas Dave. Mereka sedang mengobrol seru saat aku
datang.
"Uncle J........"
Seperti biasa teriakan histeris itu akan terdengar
saat si nyonya kecil yang cerewet itu melihat unclenya yang ganteng ini. Dia berlari dan melompat
dengan lincah dalam pelukanku "Kok baru dateng,
siihhh, kan Iva udah mau pulang?"
Aku hanya tersenyum menanggapi gerutuan
Iva, mulutnya cemberut, persis banget sama Vio pas
masih kecil. "Uncle J kena macet baby D. Lagian, kan
Uncle J ke sininya abis pulang kantor."
"Tetep aja gak asik, ah." Wajah cemberut itu tibatiba berubah ceria. "Uncle J, Iva punya dedek bayi,
dong. Cakep banget. Uncle J harus liat, ya, baby-nya
lucuuu. Namanya Dewa."
"O, ya? Mirip Uncle J, dong kalo cakep?" Kutam?
pakkan ekspresi setertarik mungkin pada Iva, bocah
satu ini kalo gak diladenin biasanya akan ngam?be?k
parah.
"Iiiihhh, enggaklah, mirip sama Iva dong. Eh,
mi?rip Daddy, kan baby-nya laki-laki. Uncle J ikutan
pu?lang ke rumah Oma yuk, biar Iva ada temennya.
Nanti kalo Iva cuma sendirian, Oma sama Opa past?i
nyu?ruh Iva bobok cepet, terus yaa besok pagi Iva pasti
berangkat sekolahnya dianterin Opa. Padahal Opa
kalau bawa mobil pelaaannn banget. Iva bisa ter??lam?
bat. Ya Uncle J, ikutan nginep di rumah Oma ya?"
Aku mendengar celoteh Iva yang tanpa titik dan
koma dan sama sekali gak nyambung itu sambil
8:33:31 AM
296
296
berjalan menghampiri ranjang tempat Vio sedang
duduk menyandar dengan Mas Dave yang selalu
menggenggam tangannya.
"Nanti aja kalo weekend, ya Baby D, Uncle J
lagi banyak banget kerjaan." Kuperhatikan wajah
keponakanku yang masih saja menampakkan muka
tak sedap. Dia menolak memandangku dan hanya
mempermainkan kancing kemejaku.
"Janji, yaa..."
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iyaaa..."
"Ivaa, yuk pulang. Udah sore, besok ke sini lagi
temenin dedeknya, ya." Mama mengulurkan tangan
ke Iva yang segera disambut keponakan cantikku
itu. Dan setelah beberapa jurus bujukan akhirnya
si nyonya kecil cerewet itu mau juga menanggalkan
muka cemberutnya dan dengan sukarela pulang
bersama Mama dan Papa. Bersamaan juga dengan
Om Liem yang juga berpamitan.?
"Heiii, Vio, gimana, udah baikan?" Kudekati adik
semata wayangku itu. Dia tampak segar dan wajah??
nya bersinar-sinar. Kuusap pelan rambutnya dan me?
ngecup singkat puncak kepalanya. Mas Dave tak per?
nah jauh dari sisinya, tangan mereka ma?sih bertaut.
Kebahagiaan kentara sekali di wajah keduanya.
"Udah J, tapi biasalah Dave kan mirip sipir pen?
jara yang ngawasin aku terus. Jadi udah kayak orang
penyakitan gak boleh ini-itu dari kemaren. Lu lang?
sung dari kantor?"
"Iya, baru juga keluar. Mana baby-nya?" Kulayang?
kan pandangan ke seluruh ruangan yang menurut?ku
8:33:31 AM
297
297
terlalu mewah untuk dipakai menginap orang yang
baru saja beranak, mencari tanda-tanda adanya
makh??luk mungil yang mungkin saja menuruni garis
wajahku.
"Eiittsss, jangan deket-deket. Kalo mau deketin
cuci tangan dulu. Lu, kan baru dari luar, ntar babynya kena virus lagi. Gih, sana di kamar mandi biar
steril tangannya." Vio mendorongku yang hanya bisa
memutar mata ?menanggapi kecerewetan nenek sihir
satu ini. Namun tetap saja aku menurut dan ngeloyor
kekamar mandi.
Dia kecil, sangat kecil. Rambutnya hitam legam
dengan kulit sangat merah hingga nyaris gelap.
Alis?nya tebal dengan bulu mata yang juga lebat,
Pipinya yang montok tampak lucu dengan mata yang
terpejam, dia tertidur.
"Cakep, ya? Mau gendong gak Juna?" Tante Deasy
tersenyum di sampingku saat aku tertegun melihat
sosok mungil yang diletakkan dalam tempat tidur
beroda yang ditutup kelambu putih transparan itu.
"Eeeehh, jangaaaann, ntar jatoh gimana? Kan
Juna belom punya anak, emang dia bisa gendong?"
Teriakan panik Vio merendahkan harga diriku,
mem?buatku menyesali kenapa dia punya banyak
kemiripan dengan wajah menawanku ini.
"Sayang, dulu Juna juga sering kok gendong Iva,
gak papa. Lagian kan dengan gitu dia bisa kepengen
cepet-cepet punya bayi juga." Tawa kecil Mas Dave
yang serupa ejekan hanya kuhadiahi cibiran sinis.
Dan sebelum ada protes lagi dari Vio, bayi mungil
8:33:31 AM
298
298
itu sudah dipindahkan Tante Deasy dalam buaianku.
"Enteng banget sih Vi, gak salah bayinya ini? Kecil,
ya?"
"Hushhh sembarangan, ini udah gede Arjuna.
Beratnya waktu lahir 3800 gram, panjangnya 51 cm.
Lebih gede dari Iva yang dulu cuma tiga kilo. Vio aja
sampe teriak-teriak pas ngelahirin. Tuh, David kena
jambak, kena pukul, kena tonjok, ahh entah udah
diapain aja sama Vio pas kemaren kontraksi. Tapi, ya
biarin aja, memang harus digituin laki-laki. Biar tau
rasanya perempuan melahirkan." Tante Deasy terus
saja berbicara panjang sambil melirik Mas Dave yang
masih seperti pasangan sedang pertama kali jatuh
cinta saat ?melihat Vio.
"Iyaaa Mami, Dave rela, deh diapain sama aja
sama Vio, asal abis yang ini masih mau hamil lagi ...
adududuuhhhh ... sayang sakit. Kok nyubit?" Play?
boy tua itu mengusap-usap lengannya dengan wajah
berkerut.
"Lagian, ini aja belum sembuh sakitnya udah
ngomongin hamil lagi. Kamu, mah!"
"Iya ... iya nggak sayang. Vio cantik ah, jangan
marah dong. Iya, deh boleh cubit, boleh pukul, semua
boleh, dehhh."
Aku hanya menggeleng menyaksikan tingkah
para ABG tua itu. Ini beneran masa remaja terlambat,
ya begini. Orang kudu maklum sama tingkah lebay
dan alay mereka. Isshhh!
"Pengen gak Juna? Ayoo makanya cepetan ?nikah.
Nanti kan bisa bikin sendiri. Masa Viona udah dua,
8:33:31 AM
299
299
Juna belum juga punya. Ayolah, apa mau Tante
kenalin beneran sama anak temen Tante?"
Tersenyum pahit kugelengkan kepala saat Tant?e
Deasy melancarkan aksi perjodohannya. Gawat emang
deket-deket sama tante-tante yang punya baka?t buka
biro jodoh gini. Aku yakin selama belum ada janur
kuning melambai di depan rumah, pasti Tante Deasy
akan tetap berjuang sampai titik darah penghabisan!
Dan apa katanya tadi? Bikin anak? Jaahhhh, dikira
bikin kue apa, gampang banget ngomongnya!
"Makasih Tante, Juna udah ada calon. Mau nyan??
tai dulu cari duit." Berusaha sesopan mungkin kuberi?
kan senyum paling menawanku sambil berharap
Tante Deasy tak terpesona karenanya.
"Baguslah kalo begitu. Tante ikutan bingung,
lho Juna kalau kamu belom nikah juga, anak Tante
kan cuma David. Sudah menikah pula. Tante pengen
nge?rasain ngunduh mantu, pengen ngerasain bikin
pesta, pengen ngerasain ribetnya persiapan pernikah?
an. Harapan Tante, ya cuma kamu." Kata-kata Tante
Deasy membuatku mengerutkan kening saking
bi?ngungnya. Gila, nih emak sama anak sama aja,
penya?kit sok tau dan sok sibuknya emang turunan
se?pertinya.
Gerakan kecil di lenganku membuatku meno?
lehkan kepala. Tiba-tiba bayi dalam gendonganku
itu menguap, mulutnya membentuk O kecil dan dia
sedikit menggeliat, membuat wajahnya yang merah
makin tambah merah. Matanya berkejap dua kali dan
dia terlihat sedikit gelisah.
8:33:31 AM
300
300
Aku tertegun, tak tau kenapa, tiba-tiba bayangan
sesosok bayi mungil dengan rambut coklat dan mata
abu-abu terlintas dibenakku. Bayiku. Pasti lucu
sekali. Tak sadar aku tersenyum
"Keliatannya baby Dewa udah laper lagi, nih. Sini
Juna, biar dikasih ASI dulu sama Vio." Tante Deasy
meraih bayi mungil itu dan membawanya pada
Viona.
Mas Dave yang sedari tadi hanya tersenyumsenyum, melepaskan genggaman tangannya dan
memberikan tempat untuk Tante Deasy yang akan
membatu Vio memberikan ?makan? untuk bayinya.
"Minum apa Juna." Mas Dave menggiringku ke
ruang duduk yang sedikit terpisah dengan ranjang
Vio sambil menghampiri kulkas di sudut ruangan
"Apa aja Mas."
"Gimana kerjaan kamu? Beres?" Adik ipar tua itu
duduk di sampingku sambil mengangsurkan minum?
an dalam kemasan yang segera saja kutenggak. Aku
baru sadar kalau aku kehausan.
"So far? baik-baik aja. Malah agak santai, secara
Pak Amran kan gak segila Pak Surya kalau kerja. Tapi
beban kerjaan tambah banyak karena ada penam?
bah?an satu divisi lagi."
"Jadi ... udah ketemu?"
Aku menoleh dan hanya menatap playboy mesum
itu dengan wajah bingung. Apa maksudnya? Apa sih
yang sedang diomongin laki-laki tua ini?
"Apaan mas?"
"ABG itu, kamu udah ketemu dia?" Wajahnya
8:33:31 AM
301
301
tam?pak menyiratkan ketertarikan saat aku terse?
nyum dan sedikit malu menanggapinya.
"Kok nanya itu mas? Sok tau, ah." Mencoba ber?
kelit kutenggak lagi minumanku.
"Terakhir kita ketemu lebih dari dua minggu
yang lalu di rumah Mama, saat itu tampilanmu ma?
sih seperti manusia goa, rambut gondrong, muka
kusut dan keliatan berantakan banget. Aku malah
punya ide buat ngasih kamu sumbangan shampoo
atau sabun karena kamu seperti orang yang berharihari gak mandi."
Refleks kupukul manusia mesum itu dengan
gulungan koran di tanganku yang hanya dibalasnya
dengan senyuman. "Sembarangan!"
"Lalu kulihat kamu tiga atau empat hari yang lalu
pas aku ada janji sama Surya. Gak sengaja liat kamu
mau masuk lift. Aku nyaris gak ngenalin karena ber?
bulan-bulan terbiasa ngeliat tampang jelekmu itu.
Makanya aku nanya kamu udah ketemu sama ABG
itu? Kok bisa cepet banget ganti penampilan?"
Aku tersenyum sampai bibir seksiku ini pegal
demi mendengar si playboy yang sok kecakepan itu
berbicara. "Udahlah."
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eeemmm ... jadi Juna udah punya pacar sekarang?
Di mana dia, kenapa lama banget kamu gak ambil
keputusan, bukannya disamperin dari dulu juga."
"Eeemmm dia ... dia di ... di di Su Surabaya
Mas. Iiiya ... di Surabaya." Aku nyengir dan ?berharap
Mas Dave tidak menangkap kebohonganku.
"Cuma di Surabaya dan kamu membutuhkan
8:33:31 AM
302
302
waktu selama ini? Juna ... Juna kalau aku jadi kamu,
kususul dia ke Surabaya. Kawinin."
"Eeehh sembarangan banget ngomong. Dia
kan masih kecil."
"Jadi ceritanya kamu mau nunggu, nih sekarang?
Nunggu sampe dia gede dan cukup umur buat diajak
ngadep penghulu? Aiihh, manis banget sih, J. Aahh,
Juna akhirnya bertekuk lutut sama ABG." Tawa
serak playboy tua ini benar-benar membuatku ingin
menghajar mulut tidak sopannya itu.
"Awas kalo Viona sampe tau, kuculik ?bayi itu dan
kubawa kabur!"
"Enak aja, makanya bikin sendiri. Cepetan tuh
kawinin bocahnya, abis itu bikin sendiri yang banyak.
Bikinnya enak kok J, gampang lagi. Apa perlu aku
ajarin?"
"Tutup mulutmu penjahat tua! Beneran bocor
nih mulut."
Dan dasar ABG tua tak tau diri, dia malah ter?
tawa keras menanggapi omelanku yang sudah me?
nyamai nenek-nenek PMS. Akhirnya kulemparkan
gulungan kertas koran di tanganku ke arahnya demi
menghentikan tertawanya yang benar-benar tak
kenal bangku sekolahan.
?
* * *
?
Mandi beres, makan beres, pake parfum beres, semua
oke dan dalam tampilan memuaskan. Aku sudah
d?alam kondisi seprima mungkin, saat menghadap
8:33:31 AM
303
303
laptop. Aku mau kencan! Yah kegiatan rutinku
selama hampir sepuluh bulan ini, chatting nyaris
setiap malam dengan calon nyonya besar.?
Bolak balik kuperiksa chat room, menunggu si
nyonya Arjuna ?itu muncul. Walaupun masih kurang
10 menit dari jam biasanya dia menyapa, tapi aku
m?emang selalu saja lebih awal menyalakan laptop.
Takut dia menunggu.
Senyumku terkembang lebar melihat namanya
berkedip hijau disana. Ini benar-benar gak masuk
akal, aku bahkan gak liat mukanya. Hanya nama
dan suara yang selalu saja memberikan pengharap?
an tanp?a ujung padaku selama ?ini. Jariku mengetik
c?epat pada keyboard, menyapanya.
"Ayana...."
Kakak udah online aja, dari tadi?
"Enggak kok, baru nyampe rumah, makan trus
mandi. Baru, deh nyalain lappy."
Malem-malem begini dari mana, kak? Hayoooo...
dugem, ya?
"Eitsss, enggak, dong, ngapain dugem. Kak Juna
tadi makan siang di rumah Maminya Vio, tau-tau si
Vio pingsan. Udah, deh kami semua panik bawa ?dia
ke RS, pulangnya ikut mobil Papa ke rumah, kelupaan
kalo motor masih di rumah Tante Deasy, akhirnya
balik lagi. Eh, malah ujan, akhirnya neduh dulu di
warung."
Kak Vio sakit?
Berbulan-bulan kami melakukan komunikasi
seperti ini, aku memang sering bercerita banyak
8:33:31 AM
304
304
tentang hidupku. Hingga Ayana cukup familier
dengan nama-nama anggota keluargaku.
"Iya, parah lagi."
Iyakah? Sakit apa Kak?
"Hamil lagi."
Hahhhhh?
Aku tertawa sampai perutku terasa sakit, mem?
bayangkan wajah Ayana yang pastinya shock dengan
kabar ini. Gimana enggak, itu si Dewa umurnya baru
sembilan bulan dan dia harus sudah bersiap jadi
kakak. ?
Kak, bukannya Baby Dewa masih kecil, ya?
"Baru 9 bulan sayang. Mereka sepertinya emang
produksinya gak pernah berenti."
Eh, tapi gak papa sih, malah enak lagi bisa punya
banyak sodara. Gak kaya Ayana yang sendirian mulu.
Apalagi kalo liat Baby Dewa, iihhh gemessss banget.
Kalo dibolehin, pasti udah Ayana bawa kabur, tuh si
Baby Dewa.
Aku tersenyum kecil, Ayana memang sering
kukirimi foto-foto Dewa, dan dia selalu kegirangan
saat ada foto terbaru Dewa yang memang sangat lucu
sekali. "Ayana mau punya baby?"
Maulah, bisa menikah dan punya anak adalah
impian terbesar Ayana, kak.
"Impian terbesar kamu cuma itu, Ayana?"
Iya. Emang gak boleh? Suka-suka, dong, keingin?
an tiap orang kan beda-beda.
"Ahh, kalo impian Kak Juna lebih besar lagi."
Apa-an?
8:33:31 AM
305
305
"Membantu kamu mewujudkan impianmu."
Gombaaaaaallllll... iiihhhh....
Aku tertawa kencang sekali sampai mataku ba?
sah, tak bisa membayangkan bagaimana wajah Ayana
di sana. "Beneran. Itu impian terbesar Kak Juna seka?
rang ini."
Udah, aahh jangan suka ngerayu ABG, sono nikah
aja. Keburu tua lho. Kasian banget, sih jadi bujang gak
laku!
"Ntar dululah."
Kenapa? Belum punya calon, ya?
"Udah dong."
Siapa?
"Noni-noni Belanda yang siap kuseret pulang
kalo bikin aku nunggu lama."
Aaaahhh, Kak Juna gak lucu!
Aku kembali tertawa melihat isi chat kami, betapa
aku sekarang telah bertransformasi menjadi tukang
rayu yang tingkat ke-alay-an nya bisa memecahkan
rekor MURI "Ayana... Ayanaa sayaaangggg."
Apaa?
"Skype, yuk...."
Enggak
"Kenapa, sih gak pernah mau diajak skype?" Aku
The Name Of Rose Karya Umberta Eco Si Pemaki Tuhan Karya Karl May Sonata Masa Lalu Karya Marga T
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama