Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati Bagian 1
Saraswati, Risa
Ananta Prahadi/ Risa Sarawati; penyunting, Dewi Fita? cet.I ?Jakarta Rak Buku, 2014
iv + 280 halaman; 14 x 20 cm
I. Novel I. Judul
II. Dewi Fita
Aku terduduk malas di bangku kelasku, seperti biasa
hari ini terasa begitu menjemukan. Lagi?lagi pelajaran
tidak penting, tata busana. Seharusnya pelajaran ini
dihapuskan dari muka bumi. Kalau semua anak sekolah
sepertiku bisa membuat taplak atau baju dengan cara
menjahit sendiri, bagaimana dengan nasib para penjahit
dan pengrajin? Lagi pula, memang masih ada ya orang?orang yang memakai pakaian hasil jahitannya sendiri?
Kurasa ini semua hanyalah omong kosong. Jika saatnya
mengumpulkan tugas, biasanya kuserahkan pakaian
jadi yang kubeli di toko baju, atau bahkan taplak yang
kubeli di toko kelontong untuk memenuhi tugas demi
mendapat nilai. Hidup jangan dibuat susah.
"Tania, mana tugasmu?" Bu Atis guru tata busana
menghampiriku. "Nggak bawa," aku menjawabnya
sambil memberikan tatapan angkuh. Tak ada respon
apa pun darinya selain berlalu, karena dia tahu percuma
berdebat denganku. Toh, itu takkan pernah merubah
tabiatku menjadi lebih baik. Kupandangi barisan
sebelah kanan, tampak murid laki?laki di kelas sedang
asik menyolder timah di atas plat besi. Kepalaku mulai
menggerutu, bagaimana bisa orang?orang di negara ini
berpikiran terbuka jika sejak duduk di bangku sekolah
saja antara perempuan dan laki?laki sudah diarahkan
menjadi berbeda, tentu saja dengan alasan sudah
kodratnya. Jika anak?anak perempuan wajib mengikuti
kelas Tata Busana, anak laki?laki wajib mengikuti kelas
Elektro. Sungguh aku tak bisa mengikuti jalan pikiran
guru?guru di sekolah ini.
Di kelas ini, bahkan di sekolah ini, aku tak memiliki
seorang pun teman. Bukan aku yang menutup diri,
tapi mereka semua menganggapku aneh dan gila. Aku
ingat, dulu saat masa orientasi siswa hanya aku satu?satunya siswa yang menolak untuk mengikuti kegiatan
itu. Beberapa kakak kelas menganggapku sombong,
dan beberapa di antaranya menyerangku dengan kata?kata kasar disertai ejekan. Aku tak peduli, aku tinggal
membalas teriakan mereka dengan cacian yang lebih
pedas dari bibirku.
Pernah suatu kali ada seorang anak kelas 3 men?datangiku, tanpa hujan tanpa angin tiba?tiba saja dia
menjambak rambutku sambil meneriaki aku dengan
kata?kata kasar. Dia bilang aku adalah perempuan
jalang yang tak punya sopan santun dan rasa hormat
terhadap senior. Anak itu belum mengenalku. Dia
tak pernah tahu bahwa aku adalah perempuan galak
bertemperamen tinggi, bahkan keluargaku sendiri tak
pernah berani mengusikku. Yang kulakukan saat itu
adalah, berdiri di hadapannya, menjambak rambutnya,
lalu menonjok wajahnya hingga darah bercucuran keluar
dari hidungnya. Setelah itu, tak ada satu pun murid di
sekolah ini yang berani mengusikku lagi, juga tak ada
satu pun yang berani berkenalan denganku. Menurutku,
ini adalah sesuatu yang baik. Memiliki teman hanya
melatih kita pintar berbasa?basi, dan kurasa itu sungguh
tak perlu.
Orang bilang aku adalah perempuan aneh, bahkan
ayah dan ibuku mengakui itu. Aku lebih suka berdiam
diri dan melukis sesuatu di dalam kamar, dibandingkan
harus berinteraksi dengan orangtua, adik, dan kakakku.
Aku lebih suka menyimpan uang?uang pemberian
ayah di dalam kotak bekas biskuit yang kemudian
ku kubur di halaman belakang rumah dibandingkan
harus menyimpannya di bank seperti yang keluargaku
lakukan. Aku lebih suka memakan nasi kerak, nasi
basi yang dijemur dan dikeringkan setiap harinya
dibandingkan harus memakan makanan enak yang biasa
dimakan orang lain. Aku hanya akan mengerjakan hal?hal yang ku anggap penting, yang tidak terlalu penting
tentu saja akan kuabaikan, termasuk pekerjaan rumah
yang ditugaskan oleh sekolah. Jika sedang terlalu asyik
berimajinasi di dalam kepala dan menuangkannya ke
dalam lukisan, seringkali aku memutuskan untuk tidak
pergi ke sekolah. Aku lebih memilih untuk diam di
kamarku hingga berhari?hari. Begitulah aku, menurutku
sekolah bukanlah sesuatu yang harus dinomorsatukan.
Saat surat?surat teguran dari sekolah berdatangan ke
rumah, kedua orangtuaku mulai panik kebingungan,
karena tak ingin anak mereka di?drop out dari sekolah.
Ibuku bilang, "Minimal lulus SMA aja Tan, habis
itu kalau kamu mau melukis atau ngambil kuliah
yang kamu suka silahkan. Jangan sok idealis Tan,
kamu masih seumur jagung. Dan ingat, kamu anak
perempuan. Harus punya bekal untuk mendapatkan
suami yang pantas untukmu nanti." Pemikiran ibu yang
terlalu konvensional ini yang akhirnya menjauhkan
hubungan kami, berkali?kali aku terlibat perang mulut
dengannya. Umurku kini 18, seharusnya sudah duduk
di kelas 3. Namun, dua tahun aku tinggal kelas akibat
kuatnya sikapku dalam mempertahankan idealisme
ini. Sungguh, aku tak peduli pada siapa pun. Segala
keputusan hidupku aku yang tentukan, toh akhirnya di
dalam kubur pun jasadku akan tertidur sendirian.
Sekarang masih pukul 10 pagi, dan masih tersisa
1 jam lagi untuk tetap diam di kelas tata busana ini.
::
"Hoammm..., kupejamkan kedua mataku sambil
membiarkan tubuhku duduk dengan sangat malas di atas
kursi kayu, bangkuku di kelas. Hal yang paling kusukai
saat sedang bosan adalah membuat cerita di dalam
kepala, tentu saja cerita itu nantinya akan kutuangkan
ke dalam sebuah lukisan. Mataku tertutup rapat, sedang
kepalaku mulai membuat imajinasi?imajinasi tinggi
tentang hal?hal aneh yang bisa kubuat di sana.
Baiklah, hari ini tema cerita di kepalaku adalah taplak
ajaib, mungkin terinspirasi dari pelajaran tata busana
sialan ini. Bibirku mulai tersenyum membayangkan
seekor binatang bulat bermata satu, binatang itu tak
punya tangan dan kaki, hanya bisa menggelinding
sambil terus berbunyi "aw aw". Binatang itu begitu
terkejut melihat sebuah taplak bertengger di atas ranting
pohon. Taplak itu membuatnya terpana, karena terbuat
dari emas yang menyala?nyala. Untuk sesaat dia merasa
senang karena hanya dia yang ada di sana, berarti taplak
itu adalah miliknya dan dia dapat mengambilnya dengan
mudah. Sesaat kemudian dia mulai resah, karena dia
tak punya tangan dan kaki untuk menaiki pohon dan
mengambil taplak itu. Dalam keresahannya tiba?tiba dia
mendengar sesuatu dari atas pohon. Astaga! Ternyata
suara itu berasal dari taplak ajaib yang memiliki dua
buah mata dan sebuah bibir!
Taplak itu berkata, "Perhatian?perhatian, semuanya
tolong lihat ke depan! Perhatian! Tolong semuanya
lihat ke depan! Tania, Bangun!!!" suara Bu Atis berhasil
mengacaukan cerita di dalam kepalaku. "Sialan!"
mulutku bergumam kecil. Kutegakkan posisi dudukku
kini, mencoba memandang lurus ke depan meski
sesungguhnya hatiku begitu kesal.
"Ya, semuanya tolong perhatikan Ibu! Perhatian
perhatian.... Hei, kamu, Yono, duduk yang benar!" Bu
Atis tampak mulai kesal saat kata?katanya tak terlalu
digubris murid laki?lakinya. "Ibu akan memperkenalkan
siswa baru pada kalian semua, kebetulan dia baru bisa
masuk hari ini jam pelajaran ketiga. Sini, ayo masuk,
Nak!" Bu Atis terlihat melambaikan tangannya pada
seseorang yang sepertinya sudah menunggu sejak tadi
di depan pintu kelas. Tak lama dari situ, masuklah
seorang anak laki?laki berseragam lusuh berjalan pelan
sambil terus tersenyum memandang ke arah anak?anak
kelas yang mulai fokus memperhatikannya. "Udik!" lagi?lagi bibirku menggerutu pelan.
"Ya, anak?anakku, ini adalah Ananta Prahadi, dia
siswa baru pindahan dari Kota Subang. Mulai sekarang,
dia akan menjadi teman kalian di kelas ini. Ayo Ananta,
kamu boleh memperkenalkan diri kepada teman?teman
barumu!" dengan sangat ramah Bu Atis mempersilahkan
anak udik itu untuk memperkenalkan dirinya.
"Hola halal!!! Nama saya Ananta Prahadi, panggil
saja Anta! Umur saya 17, saya pindahan dari Kota
Subang, single, cukup tampan, yah yah yah kan? Bohong
kalau temen?temen bilang saya jelek hehehe. Apalagi,
ya? Oh iya, rajin sholat, dan pandai bersih?bersih
rumah! Insya Allah kalau berteman sama saya kalian
nggak akan rugi, soalnya saya juga hobi bersih?bersihin
rumah orang. Salam kenal!!" Suaranya terdengar keras
dan melengking.
Sontak seisi kelas tertawa kegelian mendengar per?kenalan anak baru pindahan dari Subang ini, hanya aku
yang mencibirkan bibir kepadanya. Cibiran itu rupanya
tertangkap olehnya, dan anak itu menganggukkan
kepalanya kepadaku sambil terus tersenyum, "Terima
kasih buat Teteh cantik di ujung sana, bibirnya seksi
sekali apalagi kalau sedang mencibir seperti itu. Salam
kenal yah, Teteh cantik!"
Seisi kelas yang sejak tadi riuh oleh suara tawa tiba?tiba menjadi hening, beberapa anak terlihat kaget dan
mencoba memberi isyarat agar dia berhenti berceloteh
tentangku pada anak baru itu dengan cara melotot.
Setelah sekian lama berada di kelas ini, hanya anak
baru sok kenal itu yang berani menyapaku dengan
sapaan seperti itu. Dugaan mereka bahwa aku akan
menyerang anak baru itu dengan kata?kata kasar bisa
terlihat dari gerak gerik mereka yang kikuk dengan
situasi ini. Namun mereka salah, karena yang kulakukan
selanjutnya hanya tersenyum sinis menatap anak baru
itu, lalu memejamkan mata untuk melanjutkan cerita
lukisan yang tadi sempat terhenti.
93%
"Teh, Teh... Teh Tatan, boleh saya duduk di
sebelah Teteh?" anak baru bernama Anta itu tiba?tiba
menghampiri mejaku. "Teh Tatan? Teh? Diam tanda
setuju yah, ini mah setuju artinya. Harus setuju soalnya
bu guru yang nyuruh saya duduk di sini. Yah yah yah?"
Dia lantas mengangkat tasku di kursi sebelah lalu
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menaruhnya di lantai sebelah kiri tempatku duduk. Aku
terus menerus memejamkan mata berusaha tak terusik
oleh anak udik ini.
"Teh, jangan tidur atuh Teh, ayo kenalan Teh!" Ke?kesalanku mulai memuncak karena suara melengking
itu tetap saja membuyarkan imajinasi di kepala.
Kubuka mataku, lalu mulai memasang tatapan kesalku
kepadanya.
"Pertama, namaku Tania! Kedua, aku tak pernah
menikah dengan abangmu jadi jangan panggil aku
dengan sebutan Teteh! Ketiga, kau boleh duduk di sini
selama mulutmu terkunci rapat dan tak mengeluarkan
kata?kata tidak penting! Keempat, jangan pernah
berbicara denganku!" Dengan suara keras kuteriaki dia
hingga seisi kelas memalingkan wajah ke arah kami.
Anak baru itu tersenyum lebar menatapku lalu me?nyapukan pandangannya ke seisi kelas, "Si Teteh Tatan
galak yah, saya jadi takut, tapi nggak apa?apa lah. Okei,
Anta nurut sama aturan?aturan yang Teteh buat...
hehehe."
"Tania!!! !" teriakku lagi.
"I.. i... iya Tantan Tan Tan Tania," dengan gaya
gugup Anta mencoba mengajakku bercanda, dan
tentu saja, tak berhasil membuatku tertawa. Mulutku
bersungut?sungut kesal, beberapa teman kelas kini
terlihat berusaha memperingatkan Anta agar berhatihati terhadapku dengan cara berbisik.
Sudah hampir enam tahun aku bersahabat dengan
Anta, sejak pertama kali dia memaksa duduk di
kursiku. Tak ada yang berubah dengan diriku, begitu
pula dengannya. Aku masih tetap wanita aneh, dan
Anta masih menjadi seorang laki?laki udik. Bangku
kuliah sempat ku rasakan, atas paksaan ayah dan ibuku
yang ingin agar aku bersekolah sama seperti saudara?saudaraku yang lain. Wajar saja jika Ayah mempunyai
obsesi tinggi untukku. Kakak laki?lakiku yang bernama
Tama kini sedang menempuh studi SB?nya di Amerika,
mengambil bidang manajemen bisnis. Adikku Tiara,
menjadi langganan siswa terbaik di sekolahnya hampir
setiap tahun. Tiara bahkan dengan mudah masuk
unversitas negeri mengambil bidang kedokteran, dan
setiap semester dia lalui dengan begitu mudah tanpa
hambatan.
Sedangkan aku, yang ingin kulakukan setelah
tamat sekolah hanyalah melukis. Ayah tak pernah bisa
mendebatku, namun dia berusaha membujukku agar
mau melanjutkan kuliah di sebuah peguruan tinggi
negeri, mengambil jurusan seni murni. Dia bilang,
belajar di sana bisa membuat pengetahuanku tentang
seni menjadi lebih terbuka. Akhirnya aku setuju.
Kemampuan melukisku tak perlu diragukan lagi, karena
ternyata aku berhasil lolos tes masuk di universitas itu.
10
Namun sayang, hanya satu tahun aku bertahan
mempelajari seni murni. Aku kembali pada kebiasaanku,
tak suka diatur oleh banyak peraturan tak masuk akal.
Aku memutuskan untuk menyalurkan bakatku di
rumah saja. Ayah yang menyerah padaku, akhirnya
membuatkanku sebuah studio di lantai empat rumah
kami, menghadap langsung pada pegunungan Bandung
Utara yang terbentang di luar sana. Tak ada hal lain yang
ingin kulakukan selain menuangkan cerita di dalam
kepalaku ke atas sebuah kanvas.
Lain ceritanya dengan Anta, dia terlalu pintar
untuk mengabaikan sekolahnya. Namun, dia tak punya
biaya untuk melanjutkan pendidikannya hingga ke
bangku kuliah. Pembiayaan sekolahnya terputus akibat
kematian sang Paman yang sangat tiba?tiba. Padahal
menurutnya, hanya sang Paman lah satu?satunya
keluarga yang dia miliki, sementara kedua orangtuanya
telah lama meninggal.
Anta yang sebatang kara begitu kusayangi. Ke?teguhan hatinya untuk tetap mendampingiku yang
keras kepala inilah yang menyebabkan aku kini begitu
peduli padanya, rasanya tak ada manusia sesabar Ananta
Prahadi di dunia ini. Aku berhasil membujuk kedua
orangtuaku untuk memberinya izin tinggal di paviliun
belakang rumahku. Bahkan aku berhasil membujuk
11
ayah untuk membiayai pendidikannya di bangku kuliah,
namun Anta menolaknya dengan halus. Menurutnya,
jika memang akan melanjutkan kuliah, dia akan
melanjutkan dengan uang yang dia cari sendiri. Aku tak
berani berkomentar apa?apa mengenai prinsipnya yang
satu ini, bagiku itu terdengar sangat konyol.
Semenjak tinggal di rumah ini, Anta bermetamorfosa
menjadi sebuah jembatan penghubung antara aku
dengan anggota keluarga yang lain, terutama dengan
ibu. Melalui Anta, mereka kini tahu apa pun yang
kuinginkan, juga apa pun yang ada di dalam kepalaku.
Anta masih ceria seperti pertama kali mengenalnya,
tidak heran kalau seluruh anggota keluargaku selalu
terhibur olehnya. Kadang aku merasa bahwa satu?satunya hal baik yang bisa kulakukan untuk keluargaku
adalah membawa Anta menjadi bagian dari keluarga ini.
12
Akhirnya aku memutuskan untuk menekuni
profesi melukis secara otodidak. Meski sebagian besar
pelukis lain memandang sebelah mata terhadapku
karena latar belakang pendidikan seni yang tidak jelas,
tapi Ananta selalu memotivasiku untuk tetap percaya
diri terhadap hasil karyaku. Ia juga yang berupaya
untuk menjual hasil?hasil karyaku. Hasilnya ternyata
tak terlalu buruk, terbukti dari peminat lukisanku yang
cukup banyak.
Tapi seperti biasa, aku tak bisa menjual hasil karya
isi kepalaku pada sembarang orang. Ada beberapa
persyaratan khusus bagi calon pembeli lukisanlukisanku.
13
Pembeli hanya orang?orang yang menggunakan
sapaan "Saya & Kamu", bukan "Lo & Gue", atau "Aku &
Kamu" pada saat kali pertama kami berkenalan. Bagiku,
sapaan "Saya & Kamu" adalah sapaan paling wajar
bagi seseorang yang baru kenal. Jika menyapa dengan
sapaan selain itu, kuanggap calon pembeliku sok kenal
dan sombong.
Pembeli dilarang keras menanyakan makna lukisan
yang kubuat, karena terkadang bahkan aku sendiri tak
mengerti isi kepalaku ini.
Dan yang terakhir, tidak boleh ada satupun kata?kata
yang mengisyaratkan bahwa lukisanku mirip lukisan
seniman lain. Oh, sungguh aku sangat benci hal yang
satu ini.
Jika semua persyaratan itu lolos, maka selanjutnya
urusan Anta yang akan melakukan penawaran harga.
Anta sudah tahu betul apa yang aku mau. Enam tahun
pertemanan membuatnya benar?benar mengerti se?orang Tania yang begitu egois dan memiliki dunia
sendiri.
Selama berteman dengan Anta, pertanyaan me?ngenai tingkat kenormalan cara bersosialisasi kami
selalu saja menjadi tanda tanya besar. Oh iya, hingga
14
kini dia tetap memanggilku dengan sebutan "Teteh".
Anak itu terkadang bebal, tapi untuk hal ini aku
menyerah, biar saja dia memanggilku sesuka hatinya.
Anta pernah bercerita kepadaku banyak yang penasaran
bagaimana kami berkomunikasi. Anta selalu menjawab
dengan kata?kata hiperbola khasnya, "Teh Tatan itu
yah, mahkluk Tuhan paling langka yang harus kita
lestarikan. Mungkin di dunia ini hanya ada satu jenis
mahkluk hidup semacam Teteh Tatanll Dan saya Anta,
sebagai manusia yang beradab dan menjunjung tinggi
pelestarian budaya maka bertindak sebagai pelestari
Teteh Tatan. Tuhan memang mengutus saya untuk
menjaga Teteh Tatan. Jadi maaf, saya tidak bisa bersih?bersih di rumah kalian karena saya sudah dibuking sama
Tuhan untuk menjaga Teteh Tatan."
Beberapa di antara mereka juga mencurigai adanya
percik asmara antara aku dan Anta, lagi?lagi Anta yang
menjelaskan kepada mereka. Sedangkan aku? Haha
mana punya waktu mengklarifikasi masalah tidak
penting seperti itu. Tak perlu kutunjukkan bagaimana
peduliku pada Anta karena dia pun tahu aku tak pernah
begini baik kepada orang lain. Ibu pernah mendatangiku,
dia sangat penasaran pada hubunganku dengan Anta.
Menurutnya, Anta bukan laki?laki yang terlalu hebat
ataupun terlalu unik, namun mengapa aku yang seperti
ini bisa berteman dengannya? Pertanyaan ibu kujawab
15
dengan kalimat pendek. "Tuhan menciptakan Anta
untukku, Bu."
"Teteh Tatan, uang Teteh yang ada di tabungan Anta
sudah semakin banyak. Punya rencana untuk dicairkan?
Sayang loh, itu bisa dipakai untuk membeli barang?barang yang Teteh mau," setengah berlagak serius
Anta duduk di sampingku yang tengah bersantai duduk
di sofa teras ruang melukisku. "Sudah ku bilang, panggil
aku Tania! Enam tahun berteman tak cukup ya untuk
membuatmu sadar kalau aku tak suka dipanggil Teh
atau Teteh atau Mbak atau apa pun itulah!" Tampangku
agak kesal saat menjawab pertanyaan Anta.
"Biar bagaimana pun, umur Teteh itu lebih tua
daripada saya. Saya harus menyantuni Teteh dong. Harus
sopan Teh, sopann!!" Anta berbicara nyerocos sambil
tertawa. "Yang harus disantuni itu kamu, bukan aku.
Yang yatim piatu itu kamu kan? Heh?!" Aku tahu Anta
sudah terbiasa dengan gaya bercandaku yang kadang
terkesan kurang ajar. "Ah, si Teteh mah, selalu aja kayak
gini. Ini uang mau dikemanain, Tetehhh?" Anta kini
menunjukkan wajah kesal sambil terus menatap kedua
mataku bagai anak anjing kelaparan.
16
"Sebagian belikan kanvas dan alat?alat lukisku,
sebagian untuk beli keperluan hidupmu. Sebagian
besarnya masukkan ke dalam tabunganmu, aku titip
dulu." Kuangkat tubuhku dari sofa dan bermaksud
masuk ke dalam kamarku untuk tidur siang. "Eh si Teteh
yah, terus aja dititip ke tabungan saya. Sudah menumpuk
Teh, numpuk banget!" Anta berusaha menarik tanganku
namun kuhempaskan kasar cengkramannya, jika sudah
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti ini Anta mengerti aku takkan pernah bisa dia
ganggu lagi.
"Bukkkk!" Suara itu membuat mataku terbuka lebar.
Baru saja 10 menit mataku terpejam, tiba?tiba
tubuhku terperanjat kaget mendengar suatu benturan
keras di lantai bawah. Suara ketukan pintu menyusul
kekagetanku setelahnya, begitu mengganggu telingaku.
"Mbaak, Mbak Taniaa... Mbak Taniaaa, cepat keluar
Mbak cepat keluar Mbakk!!!" Ini pasti suara Bi Eha,
pembantu rumah yang bekerja di rumah orangtuaku
sejak aku balita. "Yaa? Ada apa, Bi Eha?" Aku tak akan
membuka pintu kamarku sebelum aku tahu seberapa
penting urusannya, meski saat itu hatiku masih
17
terkaget?kaget coba menebak asal suara keras yang baru
saja kudengar.
"Kang Anta, Mbaaakll Kang Antaaaa!!! Jatuh
barusan dari tanggal! Tolong, Mbaaak!!! Cepetan bawa
Kang Anta ke rumah sakit" Kang Anta nggak bangun
bangun, Mbaak!" Bi Eha terdengar semakin histeris,
kata?kata yang keluar dari mulutnya pun berhasil
membuatku terkejut hebat dan segera melompat dari
tempat tidurku, membuka pintu kamar, dan berlarian
menuju lantai satu rumahku.
"Antaaaaaaa!!! Astaga, kenapa kamu? Apa yang
terjadi kepadamu?! Alam semesta tolong selamatkan
Anta!!!!!" Aku berteriak saat beberapa orang anggota
keluargaku mengerumuni Anta yang terlentang tak
sadarkan diri di antara genangan darah. Entah darah
dari bagian tubuh yang mana tapi anggota keluargaku
yang saat itu didominasi kaum hawa tak ada yang berani
memegang tubuh Anta karena ketakutan.
Kuangkat tubuh Anta yang terlelap bagai sedang ber?mimpi. Entah darimana datangnya kekuatan ini karena
kini benar?benar kedua tanganku berhasil mengangkat
tubuhnya. Aku pun akhirnya mengetahui luka kepalanya
yang membuat genangan darah membasahi lantai.
"Tiara, cepat setiri mobilku menuju rumah sakit
terdekat! Bi Eha, ikut aku!" Tiba?tiba saja mulutku me18
ngomando adik dan pembantuku untuk membantuku
menyelamatkan Anta.
Sudah 23 hari lewat 17 jam 13 menit 6 detik,
tubuhnya terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit.
Sahabatku satu?satunya tak juga tersadar dari tidur
yang begitu lama. Sudah selama itu pula kupindahkan
sebagian furniture kamarku ke ruang rumah sakit
tempat dia terbaring. Aku tak peduli biaya yang harus
kukeluarkan untuk menyelamatkannya. Aku tak peduli
pada kanvas?kanvas kosong yang seharusnya kulukisi
dengan lukisan?lukisan baru. Aku juga tak peduli
pada larangan menginap di rumah sakit oleh kedua
orangtuaku yang mengkhawatirkan kondisiku akibat
terus menerus menunggu Anta.
"Hhhh, Anta Anta, bangunlah bodoh! Aku sudah
lelah menangis, ternyata betul mengeluarkan air mata
itu rasanya menyakitkan. Bangunlahh...," kubisikkan
kata?kata itu di telinganya. Sejauh ini respon paling
positif yang dilakukan olehnya hanyalah menjentikkan
jari telunjuknya, sungguh menyebalkan.
Belum pernah aku sebegini peduli pada orang lain
selain diriku sendiri. Pernah beberapa kali ibu dan Tiara
19
masuk rumah sakit, tak pernah sekali pun kutengok
mereka atau bahkan menanyakan kondisi kesehatan
mereka. Namun kali ini berbeda, Anta sudah menjadi
bagian penting dari diriku. Tanpa harus banyak berbicara
dia sudah mengerti betulbagaimana cara menghadapiku.
Dia satu?satunya mahluk yang bisa mengerti aku. Dan
kini aku benar?benar merasa kehilangan arah, aku tak
suka melihatnya terkulai lemah tak sadarkan diri.
Anta terkena gegar otak akibat benturan kepala yang
terlalu keras menyentuh lantai, kulit kepalanya robek
hingga harus menerima beberapa jahitan. Jahitan di
kepalanya sudah hampir mengering, namun kondisiAnta
masih koma. Ibuku hampir putus asa melihat kondisi
Anta yang semakin lama semakin mengkhawatirkan,
selalu memintaku bersabar dan berdoa seolah Antaku
telah mati. Pemikiran ibu yang konyol mengenai
nasib Anta selalu membuatku berang dan lagi?lagi
mendebatnya. Aku tidak suka pada pemikiran ibu yang
terkadang kolot dan negatif.
Sedangkan aku sebaliknya. Aku menolak berpikir
hal negatif akan terjadi pada sahabatku. Aku yakin
keajaiban akan datang untuk seseorang yang baik hati
seperti Anta. Hidupnya masih panjang, itu juga yang
kuyakini.
20
"Kepada Ibu Tania, Ibu Tania, Ibu Tania dari Pondok
Hijau. Diharapkan untuk segera datang ke ruang Al.
Kepada Ibu Tania, Ibu Tania. Diharapkan untuk segera
datang ke ruang Al," suara panggilan dari operator
memanggil namaku begitu jelas hingga hampir
memekakkan telinga. Pagi itu aku sedang membeli
sarapan untuk mengisi perutku di kantin rumah sakit.
Kutinggalkan makanan yang belum sempat kubayar,
berlarian menuju kamar Al, kamar tempat Anta
terbaring tak sadarkan diri. Aku yakin, ada sesuatu yang
terjadi kepada Anta.
"Ya, Sus??? Dok? Ada apa ini??" kepanikanku
semakin menjadi saat melihat beberapa suster dan
seorang dokter sedang mengelilingi Anta. "Mbak Tania
tenang dulu, mari kemari, mungkin ini saat yang Mbak
nanti," wajah dokter begitu sumringah, begitu pun para
suster. "Anta?!" Anta?!" Kau bangunnn??? Antaaaa!!!
Terima kasih alam semesta!!!" Aku berteriak histeris
melihat Anta tersenyum begitu lebar melihatku.
"Teh Tatan...," bisiknya lemah. "Mbak, Mbak Tania
jangan terlalu aktif di sekitar Mas Anta yah, kepalanya
masih butuh penyesuaian. Jangan terlalu dibebani
oleh pikiran?pikiran dan obrolan yang terlalu berat.
Masih beruntung loh Mas Anta ini tidak kehilangan
ingatannya," dokter tersenyum sambil mengedipkan
matanya kepadaku.
21
"Kapan kami boleh pulang?" pertanyaan itu melun?cur begitu saja dari mulutku. "Kami? Hahaha, Mbak
Tania bisa pulang kapan saja, tapi Mas Anta, nanti
dulu ya! Tunggu sampai kondisinya membaik," lagi?lagi
dokter itu mengedipkan matanya. "Dok... Dok... te
rima ka sih ya, Dok." Anta ikut bersuara walaupun
masih sangat lemah.
Anta tak banyak bicara, namun matanya terus
menerus memandangiku sambil tersenyum getir, anak
ini kini menjadi amat dramatis. Aku lebih banyak bicara
kepadanya, menceritakan isi kepalaku, dan rencana?rencana setelah dia diizinkan pulang nanti. Aku
bilang padanya, "Anta, setelah kau pulang nanti, kita
gunakan uang tabungan hasil penjualan lukisan untuk
jalan?jalan ke Transylvania, ya? Aku selalu penasaran
dengan negara itu, aku ingin bertemu Dracula!" Anta
tersenyum menatapku, "Iya Teteh. Ayo! Anta mah ikut
aja ke mana Teteh pergi," dia terus menerus tersenyum
memandangiku yang tak pernah berhenti berceloteh.
Hanya pada mahkluk ini aku bisa berubah menjadi
seperti ini. Hanya pada dia aku bisa begitu bahagia
melihatnya kembali bangun dari tidur yang panjang....
22
Walaupun sebenarnya Anta yang dirawat, tapi
rasanya seperti aku yang baru saja sakit. Sepulangnya
Anta ke rumah, giliran badanku yang terasa remuk
redam, mungkin karena berminggu?minggu menemani
Anta di rumah sakit dengan ruang yang sangat terbatas
antara kamar, Wc, dan kantin.
"Hoammmm, aku ngantuk sekali, Bi Eha tolong
liatin Anta di kamarnya ya! Siapa tau dia butuh sesuatu.
Aku mau ke atas, ngantuk!" kulangkahkan kakiku
menaiki anak tangga menuju kamar. "Beres Mbak,
laksanakan! Tapi Mbak Tania, jangan lupa makan ya!
Bi Eha takut nanti malah Mbak Tania yang sakit," Bi
Eha menimpali perkataanku. "Berisik!" hanya itu yang
keluar dari mulutku. Sejak kecil aku tak pernah bersikap
23
baik pada wanita paruh baya ini, padahal dia cukup setia
mengabdi pada keluarga ini. Namun Bi Eha tak pernah
protes pada sikap kasarku, dia selalu mengerti aku, dan
tetap memperlakukanku dengan sopan.
Dokter mengatakan kondisi Anta sudah lumayan
membaik, hanya saja semua orang di sekitarnya harus
ekstra hati?hati menghadapi Anta yang cidera otaknya
masih belum sembuh secara total. Sebenarnya untuk
yang satu itu, aku agak kesulitan. Biasanya kugantungkan
seluruh kebutuhan sehari?hariku pada anak itu, dan kini
aku harus bisa menangani juga mengatasinya sendiri,
termasuk mengatasi kebiasaan berteriak?teriakku pada
Anta saat aku membutuhkan bantuannya.
Anta masih saja nekat membantu Bi Eha mencuci
piring, bahkan menawari ibu atau Tiara untuk membantu
pekerjaan?pekerjaan mereka di rumah, padahal kondisi
fisiknya masih sangat lemah. Jika dia sudah berbuat
bodoh seperti itu, maka aku yang akan berteriak?teriak
memarahi orang?orang yang akan dibantu olehnya.
Tentu saja tak berani kumarahi Anta, karena kondisi
kepalanya yang terkadang masih membuatnya sering
merasa kesakitan dan pusing.
Tak satu pun kubiarkan menggerecoki Anta yang
kini jadi semakin pendiam. Heran, anak itu benar?benar
berubah, mulutnya tak lagi bawel, sikapnya tak seceria
24
dulu. Tapi tak mengapa, mungkin lama kelamaan dia
akan kembali normal. Beberapa kali aku dibuat kesal
oleh sikap Anta yang selalu bengong jika kuajak bicara,
tak bisa kuungkapkan kekesalanku ini padanya. Alhasil,
beberapa kanvas lukisanku hancur berantakan karena
kubanting saat rasa kesal itu memuncak.
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tok tok tok," suara pintu kamarku diketuk pelan
oleh seseorang. "Masuk!" padahal mataku baru saja akan
terpejam, membuat emosiku agak tersulut karenanya.
Pintu kamar terbuka sedikit, kulihat sesosok laki?laki
kurus dan pucat berdiri di sana, mataku terbelalak kaget
melihat sosok itu.
"GILAAAA! Untuk apa kamu naik ke sini Anta?!" Ini
lantai tiga loh, Antal! SINTING! Dasar nggak becus si
Bi Eha, harusnya dia saja yang kemarill" Aku berteriak
sambil berlari menghampiri Anta. "Ng nggak apa?apa kok, Teh. Anta boleh masuk?" dengan polosnya
dia menanyakan hal itu. "Kamu ini otaknya di mana
sih? Biasanya juga kamu nyelonong masuk ke kamar
ini. Aduh! Kalo kamu jatuh lagi gimana?!" kupapah
tubuhnya dan mendudukkannya di tempat tidurku.
"Terima kasih Teh. Anta ke sini mau ngeliat lukisan?lukisan baru Teteh...," wajahnya terlihat dipaksakan
tersenyum. "Gak ada, aku berhenti melukis," dengan
ketus kujawab pertanyaannya.
25
Tanpa menunggu dia bertanya, kujelaskan padanya
bahwa aku tak akan melukis hingga kondisi kesehatannya
membaik. Kepalanya tertunduk resah, "Teteh jangan
gitu beban Anta jadi semakin berat." Mataku melotot
menatapnya, "Heh! Udik, baru sekarang kamu mikirin
beban?! Harusnya kamu sadar, dengan kamu sakit begini
ya kamu memang menjadi bebanku. Tapi kalau kamu
sembuh, kamu gak lagi jadi beban dan aku bisa melukis
lagi! Jadi, aku mohon nih padamu, denger ya! Ini baru
pertama kalinya aku memohon sama orang lain. Jadi,
aku mohon... lekaslah sembuh!! Aku menderita melihat
kamu begini menyedihkan."
Matanya tiba?tiba saja menoleh ke arahku, terlihat
berkaca?kaca. "Teteh tolong stop, Teteh. Jangan bilang
hal seperti ini lagi ya, Teteh...," Anta menatapku dengan
penuh harap. Aku tercengang melihat sikap Anta siang
itu, tak pernah sekali pun kulihat dia menangis seperti
ini selama aku mengenalnya. Dia benar?benar berubah,
tanda tanya besar mengisi kepalaku tentang apa yang
sebenarnya terjadi pada Anta yang kukenal. Tak satu
pun kata keluar dari bibirku melihatnya seperti itu.
Dia berhasil membuatku merasa bersalah atas apa yang
baru saja kuucapkan kepadanya, padahal aku hanya
bermaksud menyemangatinya agar segera sembuh.
Tentu saja, dengan caraku yang memang selalu saja
emosional.
26
Anta meninggalkan kamarku lunglai, menolak untuk
kupapah. Sebelum akhirnya menghilang dari balik
pintu, wajahnya menatap ke arahku sedih.
"Teteh, jangan sakit ya. Teteh banyakin makan, bosen
Anta teh liat badan Teteh kayak tengkorak hidup. Model
bukan, peragawati bukan, tiang listrik bukan, ngapain
atuh Teteh teh badannya mesti kurus banget kayak
begitu?" Segurat senyum terukir di wajahnya, sementara
aku yang sejak tadi kebingungan atas sikap Anta sontak
tertawa terbahak?bahak mendengar perkataannya
barusan. "Yaaaayyyllll Si Udik sudah kembaliiiiillll"
Keadaan Anta sudah jauh lebih baik kini, sikapnya
yang sempat menjadi aneh pun sudah kembali normal
seperti dulu lagi. Aku kembali melanjutkan kegiatan
melukisku sedangkan dia kembali sibuk memasarkan
lukisan?lukisanku itu pada kolektor yang sudah
menunggu. "Teh, tah kalau yang ini Anta suka pisan!
Bagus Teteh, ih! Lihat, ada binatang?binatang lucunya
kayak kelinci. Teteh teh kalau ngelukis yang kayak gini
atuh Teh, kaharti Teteh... mmmh maksudnya mudah
dimengerti. Aduh apa yah kata?kata yang pas buat
27
ngungkap." Anta masih berbicara sambil tak henti
memandangi kanvas yang sedang kububuhi warna.
"Heh! Seenaknya banget sih kamu! Dilarang
komentarl! Enak aja, masa yang kayak gini kamu bilang
kelinci?" Dasar Udik! lni tuh gambar meteooor Anta,
hey INI METEOR!" Kupotong kata?kata yang belum
selesai terucap dari bibirnya sambil berteriak keras.
"Masa meteor adanya di tanah, ah dasar lieur seniman
mah, teu ngarti..." Anta membalikan tubuhnya dan
segera berlalu dari hadapanku, sementara bibirku ikut
mengumpat sambil mencibir saat melihatnya keluar
dari studio.
Hatiku tertawa melihat sikapAnta yang begitu lugu dan
polos, lagi-lagi di dalam benakku tersirat rasa bersyukur
pada Tuhan karena telah mempertemukan aku dengan Anta
yang kini menjadi manusia paling berarti di dalam hidupku.
Meski tak ada percik cinta dalam hubungan kami, tapi 100
persen aku yakin bahwa dia adalah segalanya bagiku lebih
dari keluargaku sendiri.
Aku masih sering melihat Anta melamun sendirian
di teras paviliunnya yang bisa terlihat dengan jelas dari
jendela studio dan kamarku. Tatapan matanya kosong,
28
seperti malam ini. Kuperhatikan dia lama dari atas
studio, bertanya?tanya sebenarnya apa yang sedang
dia lamunkan. Ketakutanku hanya satu, aku takut dia
tidak merasa betah lagi tinggal di rumah ini dan bekerja
bersamaku. Tak kubayangkan betapa kelimpungannya
hidupku tanpa Anta, hanya dia satu?satunya orang yang
bisa menghadapi segala kekuranganku dengan sabar.
Aku membayangkan bagaimana rasanya jika
Ananta Prahadi?ku tak lagi ada di sisiku, mungkin aku
akan menjadi seekor anak burung yang kelimpungan
mencari induknya. Bagiku Anta tak hanya sekadar
sahabat, dia juga bagaikan pembimbingku yang mampu
mengendalikan kerasnya sikapku dengan sangat baik.
Tubuhku bergidik memikirkan hal itu. Tidak, aku tidak
boleh terlalu jauh berpikir ke sana, dia tak mungkin tega
meninggalkanku yang merasa tak memiliki siapa pun di
dunia ini selain dirinya.
Malam ini aku sedang tidak tertarik untuk meng?ganggunya. Biasanya kulempari dia dengan benda kecil
dari atas sini untuk membuyarkan lamunannya. Namun,
kali ini kuputuskan untuk mengawasi saja sampai berapa
lama dia mampu bertahan melamun seperti orang stres.
Diam?diam tanganku mengambil kanvas kecil, lalu
mulai melukis apa yang sedang kuperhatikan. Kulukis
dia yang sedang duduk termenung jauh di sana, begitu
29
lama hingga lukisanku selesai pun dia masih memaku
tak bergerak. Ada apa dengan Antaku?
"Teh, siang ini Anta mau ketemu klien yah! Dia
tertarik buat bawa beberapa lukisan buat dijual di
galerinya. Alhamdulillah, galerinya ada di Swiss. Semoga
penawarannya menarik Teh, kan lumayan yah nanti
Teteh sama saya bisa terbang ke sana beli cokelat yang
banyak!" matanya begitu berbinar saat menceritakan
apa yang akan dilakukannya hari ini padaku.
"Halah Anta, gak usah majang lukisan di pameran
juga kita bisa pergi ke Swiss. Jangan kayak orang susah
ah!" bibirku selalu menggerutu seperti itu menanggapi
kata?katanya. "Eh ari si Teteh, lumayan atuh gratis ari
Teteh! Sekalian bisa cari jodoh nanti di sana ih Teteh ini
mah cocok pisan buat Teteh. Teteh mah harus nikahnya
sama bule atau kalau orang sini mah harus sama orang
gila sekalian...." Suaranya terdengar pelan seolah
sopan, dan kulihat wajah Anta kini terlihat kemerahan
menahan tawa.
"Ehhh, sialan kamu Anta!!! Kalau cuma orang gila
yangmengerti aku, berarti kamu juga gila! ! ! ! Yaudah sana
pergi lah, kamu ngerusak imajinasiku, menyebalkan!
30
Sana sana sana!" sambil cemberut kuperintahkan dia
segera pergi meninggalkan studio.
"Teh, Teteh harus lihat nanti klien yang punya
galerinya, kasep pisan Teteh, campuran Prancis sama
Cigondewa!" Anta masih sempat menggodaku sesaat
sebelum keluar dari studioku. Kupelototi dia dengan
wajah sangat kesal, anak ini benar?benar sedang
menyebalkan! Kuambil sebuah mug yang sejak tadi
tersimpan di meja kecil di sebelahku, lalu tanpa ragu
melemparkan mug itu ke arahnya. Namun Anta sudah
terbiasa dengan hal ini. Dengan sigap dia menghindari
lemparan mug itu hingga terdengar suara pecahan yang
begitu keras saat mug itu bertabrakan dengan pintu
studio. Anta menjulurkan lidahnya kepadaku, lalu
rneninggalkan studio sambil tertawa?tawa puas.
"Apa lagi yang pecah, Mbak Taniaaaa??" suara Bi
Eha terdengar sama dari bawah sana, dia memang
sudah terbiasa dengan suara?suara lemparan benda dari
dalam studioku. "Hatinyaaaaa, Biii...," Anta berteriak
menanggapi pertanyaan Bi Eha dari luar studio sambil
diiringi gelak tawa mereka setelahnya. Aku berteriak
sangat keras, "Setannnnnnnnnn! ! ! !"
31
"Teh Tatan, ini kenalin... namanya Pierre. Dia yang
saya ceritain waktu itu, pemilik galeri di Swiss yang
ingin bawa lukisan Teteh ke galerinya," dengan senyum
khas miliknya, Anta sangat sumringah membawa laki?laki setengah bule itu ke studio. Saat itu aku tengah
menyelesaikan lukisan yang sudah seminggu ini
kugarap.
"Diam, jangan banyak bicara dulu. Silahkan keluar
tunggu di sana, aku sedang serius!" tak kubiarkan
kepalaku berlama?lama menatap keduanya karena kini
kedua mataku sudah terfokus lagi pada kanvas yang ada
di depanku. Laki?laki itu tersenyum lebar menatapku.
Lumayan tampan sih, tapi aku tak peduli. Karena yang
kupedulikan adalah apa yang sedang ada di hadapanku
kini. Dan aku sedang bergelut dengan imajinasiku untuk
membereskannya.
Anta mendengus kesal menimpaliku, "Heuh, angger
dia mah. Maaf Mister yah, Tania memang begitu
kalau sudah asik melukis. Kita ngobrol saja di luar ya?
Sambil nunggu dia beres melukis?" kulihat sekilas Anta
membawa laki?laki itu pergi dari studio menuju teras
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
luar, entah apa yang mereka lakukan di sana.
32
"Ya, ada apa?" kulangkahkan kakiku malas?malasan
mendekati keduanya yang tengah asikberbincan g di teras
studio. "Wow, cepat sekali, sudah bereskah lukisannya,
Tania?" setengah terbata laki?laki itu bertanya sambil
tersenyum menatapku. Aku menatap laki?laki itu
kesal, lalu mendelikkan mataku ke atas seolah sedang
berisyarat, "Siapa kamu? Sok kenal!" Namun, yang
keluar dari mulutku bukan kata?kata dalam isyarat
itu, melainkan, "Sudah, bisa kenalan dulu kan sebelum
berkomentar?" Kuulurkan tangan kiriku, karena
tangan kananku sedang sibuk memilin rambutku yang
sedikit berantakan. "Tehh, ih yang sopan! Pake tangan
kanan!!" Anta tiba?tiba saja menepis uluran tanganku
dan mengangkat paksa tangan kananku dengan kedua
tangannya. "Hahaha sudahlah tidak apa?apa, Anta. Halo
Tania, nama saya Pierre. Senang akhirnya bisa berjumpa
dengan kamu pelukis favorit saya, saya suka semua
karya?karyamu." Pierre kembali tersenyum riang sambil
tak melepaskan tanganku yang sejak tadi disambut oleh
kedua tangannya.
Akumerasa risih oleh sikap murah senyum berlebihan
laki?laki ini, belum pernah rasanya aku berkenalan
dengan seseorang yang tak begini sopan. Kuhempaskan
tangannya dengan kasar, "Ada apa ya Anda ke sini?" Dia
tampak terkejut atas reaksiku yang kini mulai terlihat
33
kesal, namun Anta segera menengahi kami, "Teh, jangan
gitu atuh ah. Dia ini datang ke sini mau milih lukisan
Teteh yang mau dipajang di galerinya nanti. Ya, Mister,
ya?" Laki?laki bernama Pierre itu kembali tertawa pada
Anta, "Panggil saya Pierre, Anta. Hahahaha." Mereka
berdua tertawa di depanku yang masih merasa kesal
pada bule sok akrab ini.
Tiba?tiba saja emosiku terpancing, dan berkata,
"TUNGGU!" membuat keduanya terlihat kaget dan
berhenti tertawa. "Sebentar sebentar, maaf apa
tadi kamu bilang, Anta? Si Albino ini mau pilih?pilih
lukisanku? lyah, begitu? Enak saja pilih?pilih!!! Aturan
dari mana itu??? Hanya aku yang boleh menentukan
lukisan mana yang akan kamu bawa ke galerimu!!! Kamu
pikir siapa kamu bisa seenaknya memilih?!! Kalau kamu
masih mau ambil silahkan, kalau tidak suka dengan
aturan saya, ya silahkan pergi juga! Saya tidak butuh
yang seperti ini!" Jari telunjukku terangkat keatas, tak
henti menunjuki laki?laki itu dengan kasar.
Pierre tampak shock dengan sikapku, namun kulihat
Anta segera mencairkan rasa kagetnya dengan cara
mengedipkan sebelah matanya pada Pierre sambil
menarik laki?laki itu menjauh dariku, membisikkan
sesuatu di telinganya. "Bencong!" umpatku.
34
"Mbak Tania, siapa itu yang kemarin datang?
Ganteng sekali Mbak, Bi Eha baru loh liat laki?laki
seganteng itu! Kirain cuman ada di tipi?tipi aja yang
kayak gitu teh Mbak. Gak kuat Bi Eha mah liatnya...."
Bi Eha tiba?tiba muncul di kamarku dan mulai
membukakan tirai kamar satu per satu, sinar matahari
mulai mengganggu mataku. "Gak kuat kenapa atuh Bi
Eha teh?" Anta menyusul di belakangnya. "Gak kuat
pengen ngawinin!" suara tawa mereka berdua mulai
menggelegar membuat ribut kamarku.
"DIAMMMMM KALIAN SEMUA BERISIIIKKKK!!!"
Aku berteriak?teriak sambil menutup kepalaku dengan
bantal. "Eh, ada macan ngamuk Bi, sana Bi Eha pergi
biar saya yang menaklukan si macan ngamuk!" Anta
35
memberi kode disusul gerakan secepat kilat Bi Eha
yang tampak kaget mendengar teriakan marahku pagi
itu. Anta sekarang tampak tersenyum sumringah di sisi
tempat tidurku, "Selamat pagi Teteh Tatan yang cantik,
baik budi, ramah, dan gemar berteriak, bangun yuk!
Pagi ini saya mau ajak Teteh ketemu Pierre si bule kasep
itu lagi. Dia mau presentasi galerinya yang di Swiss itu
Teh, yuk?!".
Mataku melotot hampir keluar, "Apa?! Ketemu si
Albino itu lagi? Nggak mau!!! Aku males!" Anta yang
kurang ajar mulai menariki selimut yang sejak tadi
menutupi tubuhku, "Eh ari si Teteh jangan begitu,
kita harus menyambut rezeki kita dengan bahagia dan
lapang dada. Swiss, Teh!! Swissll Abis itu kita kan bisa
jalan?jalan ke mana... eta geuning yang tempat Drakula
tea. Hayohhhhll Teteh Tatan sudah berjanji sama Anta
mau bawa Anta ke sana!"
Jika sudah begitu, aku tak bisa menolaknya. Anta
berhasil membangunkanku pagi itu dalam keadaan kesal
dan marah, nam un tetap saja tubuhku bergerak bangun dan
bersiap atas keinginannya. M ungkin hanya Anta yang bisa
membuatku seperti ini. Sampai detik ini akumenganggapnya
sebagai manusia ajaib yang bisa menaklukanku, si macan
betina.
36
"Anta, kenapa sih kamu ngotot banget mem?pertemukan aku dengan si Albino itu?" kukemudikan
setir mobilku menuju tempat kami janjian dengan
Pierre. "Teh, jangan sembarangan menyebut nama
orang. Namanya Pierre, bukan Albino!" wajah Anta
kini tampak serius menatapku. "Iya, iya sori... Pierre
deh bukan si Albino. Kenapa sih Ta? Kenapa kamu
semangat banget sama proyek ini?" dengan sedikit kesal
kutanyakan kembali pertanyaan itu.
"Gini Teh, sebagai menejer marketing Teteh, menurut
Anta sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk Teteh
melebarkan sayap sebagai pelukis yang berbakat. Selama
ini meskipun karya Teteh sudah cukup mahal dan
diminati orang se?lndonesia, tapi kan belum pernah ada
peluang yang pas untuk membawa karya?karya Teteh
ini di kancah internasional? Nah, sekarang si Pierre ini
memberikan celah yang bagus untuk Teteh menuju ke
sana. Anta juga pilih?pilih atuh Teh, menentukan kira?kira cocok atau nggak dengan Teteh. Kemarin?kemarin
juga kan ada peluang ke Singapura, Cina, Amerika,
semuanya Anta tolak karena kerjasamanya pasti gak
akan sesuai dengan Teteh Tatan. Si bule ini orangnya
sangat baik, dan kerjasama yang ditawarkannya juga
37
oke! Makanya, sok atuh Teh agak dibuka matanya lebar?lebar, coba kenali si bule ini karena dia memang orang
yang sangat baik!" Anta tersenyum lebar menatapku
dari kursinya.
"Hmmm. .. cukup rasional. Tapi ini keinginanmu yah,
Anta! Aku hanya ikut peranmu saja. Kalau bukan karena
kamu, aku malas sekali harus sampai seperti ini!" tiba?tiba wajah Anta yang pucat pasi saat di rumah sakit
melintas di kepalaku, perasaan kasihan terhadapnya
muncul begitu cepat. "Iya Teteh, pokonya Teteh mah
ikutin aja jalan ceritanya yah! Insya Allah, barokah!"
Anta mulai tertawa senang. Tanganku mencubit per?gelangan tangannya dengan sangat keras hingga dia
mengaduh kesakitan. Hatiku terasa tenang melihatnya
bisa tertawa dan mengaduh seperti hari ini.
Si Albino itu tengah duduk di sebuah kursi yang
menghadap langsung ke pemandangan hutan, se?benarnya memang tempatnya duduk adalah spot
favoritku di restoran hotel ini. Aku sering mengunjungi
tempat ini untuk sekadar makan malam bersama
keluargaku ataupun Anta. Si Albino ini ternyata sudah
satu minggu menginap di sini. Katanya sih tujuannya
38
mengunjungi kota ini hanyalah agar bisa bertemu
denganku.
"Halo Pierre, kami datang tepat waktu kan?" Anta
menyapanya lebih dulu disusul kemudian aku yang
langsung menarik kursi di sebelah si Albino. "Hai!"
kusunggingkan senyum seadanya. Si Albino me?malingkan wajahnya kepadaku sambil melepas kaca?mata hitam yang sejak tadi dipakainya, "Hai! Selamat
pagi, Tanial! Kamu cantik sekali pagi ini...."
Entah kenapa tiba?tiba aku merasa malu dengan
sapaannya barusan, terlebih kini wajahnya benar?benar dekat dengan wajahku, dan aku baru menyadari
betapa tampannya laki?laki ini. Astaga! Sepertinya baru
pertama kali ini dalam hidupku menyebut seorang laki?laki dengan sebutan tampan, meski dalam hati sekali
pun.
Namun reaksiku selalu di luar dugaan, karena kini
sebuah sendok makan sudah berada di tangan kananku
dan kulemparkan tepat menyentuh kepalanya dengan
cukup keras hingga dia terlihat kaget dan kesakitan.
"Kalau bicara jangan dekat?dekat yah! Tidak sopan!!!
Aku tidak suka laki?laki rese penggoda! Dasar Albino!"
Entah kenapa aku harus bersikap seperti itu. Hati
kecilku merasa malu melakukannya karena sebenarnya
aku cukup senang melihat wajahnya begitu dekat
dengan wajahku.
39
"Hush!!! Tuh geura si Teh Tatan mah, bener?bener
kelakuannya teh kayak binatang! Udah ah, jangan malu?maluin Anta atuh Teh! Kan tadi janji mau bersikap baik!
Wajar atuh da dia mah bule, mungkin bule mah emang
gitu cara ngobrolnya!" Anta memarahiku yang kini hanya
tertunduk diam. "Saya tidak apa?apa kok, sakit sedikit.
Maafkan saya kalau tidak sopan Tania, mohon maaf
sepenuh hati," si Albino tersenyum menatapku. Benar
kata Bi Eha, wajahnya begitu tampan... bagai dipahat
malaikat. Seberkas senyum terukir lagi di wajahku, aku
tak tahu kenapa padanya aku jadi begitu murah senyum?
Pertemuan dengan si Albino hari ini cukup mem?buatku berkesan. Benar kata Anta, penawaran kerjasama
yang ditawarkan olehnya memang tidak merugikanku,
bahkan sangat menguntungkan aku. Terlebih lagi, dia
bersedia menerima karya?karya yang memang kupilih
sendiri untuk galerinya. Sepanjang sore hingga malam
tanpa sadar aku terus melamunkan sosok si Albino.
Selain tampan, dia juga sangat ramah dan selera
humornya cukup bagus, tidak menyebalkan seperti lakilaki pada umumnya.
40
"Teh, Teteh lagi seneng, yah?" Anta yang sejak tadi
menemaniku melamun menatap langit?langit kamar
mulai berbicara. "Nggak, biasa aja! Kenapa emang?"
tanpa menatapnya aku terus memandangi langit?langit
kamar dengan posisi terlentang di atas tempat tidur.
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Malam ini Teteh keliatan sumringah pisan, beda dari
biasanya. Lagi mikirin apa sih?" Anta mulai menanyaiku.
"Mikirin kamu dong! Siapa lagi?" aku tertawa ringan.
"Tah kan, ini teh bener?bener gak biasa loh. Selama
mengenal Teteh belum pernah Anta ngeliat Teteh kayak
gini," Anta mulai bangun dari posisi terlentangnya.
Aku masih saja tak mau bergerak dari posisi ter?lentangku, "Anta, si Albino itu, lumayan juga yah."
Aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu karena Anta tak
lagi bersuara, sedangkan aku sepertinya tertidur sangat
lelap. Kepala dan mimpiku malam itu dipenuhi sosoksosok si Albino yang cukup mengusik perhatianku.
"Selamat pagiii, Antal!!! Hey, bangun hey, bangun
bangun bangunnnn!!!!" kurecoki tempat tidur Anta
pagi itu. Entah setan apa yang sedang merasukiku,
karena sudah sejak pukul tujuh tadi aku terbangun dan
memberanikan diri untuk mandi dengan menggunakan
41
air dingin. Tak pernah kurasakan sensasi seperti ini
sebelumnya, luar biasa menyenangkan.
Anta tampak bingung melihat kehadiranku yang
tiba?tiba, "Teteh, ari Teteh kenapa? lh, aneh kayak
nugelo. Mau apa Teteh teh ke sini?" Kutarik selimut
yang menutupi kaki Anta, "Bangun!!! Temani aku yuk?!
Aku ingin ketemu si Albino! Hehehe...," kututupi wajah
dengan kedua tanganku. "Ya ampunnnn, subhanallah
alhamdulillah wasyukurillahh!!! Terima kasih ya Allah,
ternyata si Teteh Tatan teh wanita normal. Kirain selama
ini dia teh kantong keresek yang kelakuannya luar biasa
dan gak suka laki?laki!" Anta tiba?tiba loncat dari tempat
tidurnya lalu duduk di bawah tempat tidurnya dengan
posisi kedua tangannya mengarah ke atas seolah sedang
berbicara kepada Tuhan.
"Heh, berisik!!! Cepetan mandi dan cari tau di mana
si Albino sekarang! Bilang aja kamu ngajak dia sarapan!
Kamu ya! Bukan aku!" Entah kenapa aku merasa begitu
bahagia pagi itu. Senang rasanya membayangkan akan
bertemu Pierre lagi mmmmh, bahkan aku lupa dengan
sebutan albinonya.
Sepertinya aku sedang jatuh cinta, belum pernah
sebelumnya kurasakan rasa seperti ini, begitu cepat timbul
dan tumbuh di dalam hatiku, meledak?ledak dan tak
42
terkendali, sungguh aku tak pernah mengalami sensasi
seperti ini.
"Aduh teh, si Pierre nggak ngebales?bales SMS Anta.
Kumaha atuh? Mungkin dia masih tidur Teh jam segini
mah. Kan kita nggak janjian sama dia buat ketemu
lagi hari ini Teh, kumaha atuh yah?" Anta tampak
kebingungan. Aku tersenyum sangat lebar, "Kita datangi
aja kamarnya yuk? Beliin makanan aja buat sarapannya
dia, gimana?" Anta tampak melotot mendengar apa
yang baru saja terucap dari bibirku. "lh takut gini ih
sama Teteh Tatan yang sekarang, kayak kucing yang lagi
kumincir. Beneran ini teh Teteh Tatanku? Bukan ucing
gering kan?" "Euh!!! Cepat ah jangan banyak bacot, yuk
kita cari sarapan buat Pierre. . .," wajahku tertunduk malu
menyebut namanya. Anta kembali bereaksi, "Pierre
Pierre, ah! Si Albino biasanya juga!!!"
Aku dan Anta sudah berdiri di depan kamarnya,
dengan sebungkus kupat tahu di tanganku. Anta yang
memilih menu ini. Karena katanya, bule pasti jarang
makan kupat tahu yang merupakan makanan khas
tanah sunda. Entahlah anak itu benar?benar sok tahu,
aku sih menurut saja.
43
Sudah 5 menit ini Anta menekan bel kamarnya,
namun tetap tak ada jawaban dari dalam sana. "Bener
gak sih ini kamarnya? Jangan?jangan dari tadi kita
berdiri di depan kamar kosong?!" aku mulai kesal. "lh
bener Teteh, nih kan lihat kartu namanya, kamar 315
kan, bener?" Anta menunjukan tulisan di balik kartu
nama Pierre. "Atau mungkin dia sudah pulang yah,
Anta?" kutekuk wajahku ke bawah, sedikit perasaan
kecewa muncul.
Sekarang sudah hampir 15 menit berlalu dan
masih saja belum ada jawaban dari dalam kamar itu.
Kesabaranku mulai habis, akhirnya kuputuskan untuk
menggantungkan bungkusan kupat tahu itu pada
gagang pintu kamar no 315. Aku tak peduli dia ada atau
tidak, yang pasti pagi ini aku cukup kecewa karena tak
berhasil bertemu dengannya.
Kutarik tangan Anta dengan keras, "Pulang yuk!
Cintaku bertepuk sebelah tangan! Setan! Albino setan!
Bule setan!" Anta menurut saja ketika tangannya
kutarik dengan kasar, mulutnya tampak mengumpat ke
arahku, "Si macan jadi deui, heuh!" Kami terus berjalan
melewati lorong?lorong kamar, kamar 315 memang
berada agak jauh dari posisi lift. Dengan serampangan
aku terus berjalan cepat, sekali?kali kutendang tempat
sampah yang ada di pojok?pojok lorong kamar.
44
Saat berada di depan lift, kutekan?tekan semua
tombolnya dengan kasar. Anta hanya terdiam me?maku di sampingku, dia tahu aku sedang sangat
kesal dan tak bisa diganggu. Pintu lift terbuka, saat
hendak kulangkahkan kakiku ke dalamnya, tiba?tiba
Anta menarik tanganku dengan keras agar mundur.
Aku yang sejak tadi menunduk kesal mulai marah
dan memalingkan wajahku pada Anta, namun Anta
memberiku isyarat agar menatap lurus ke dalam lift.
Saat itulah kulihat Pierre berada di dalam lift, tak
sadar dengan keberadaan kami yang tengah berdiri
di depannya. Di sana juga lah kulihat Pierre sedang
memeluki seorang perempuan muda, sedan g perempuan
itu membalas pelukannya dengan sangat kencang.
Untuk beberapa detik aku hanya terpaku, namun
selanjutnya emosi menguasai kepalaku dengan
sangat cepat. Mulutku meneriakkan satu kata,
"BERENGSEKK!!!!" Lalu, mulai membalikkan badanku
sambil berlari menuju tangga darurat.
Aku tak peduli pada siapa pun yang mungkin melihatku
seperti orang gila pagi itu. Sambil berlari menapaki tangga?tangga darurat, air mataku berjatuhan hebat seperti hujan.
Hatiku terasa sangat sakit....
45
"Antu, hatiku sakit sekali... sakitttt sekali sampai?sampai rasanya napasku ini terasa sesak. Kenapa bisa
begini? Kamu pernah merasakan seperti ini, Anta?"
sambil terus mencucurkan air mata, kupandangi Anta
yang tengah sibuk membereskan beberapa benda di
lantai yang menjadi sasaran amukanku beberapa saat
tadi.
"Teh, yang seperti itu tuh namanya patah hati. Saya
pernah mengalami perasaan seperti itu, yang pertama
ketika Ambu meninggal. Lalu, mengalaminya lagi ketika
Abah meninggal menyusul Ambu. Rasanya merasa
sendirian, tak punya siapa?siapa lagi. Sakitnya bukan
main." Sekilas raut wajah Anta terlihat sangat sedih,
namun dia menepis kesedihannya dengan berkata,
47
"Tapi sesakit?sakitnya saya ya Teh, belum pernah da
ngelempar?lempar barang kayak gini. Untung aja tadi
gelasnya kena ke perut Anta, coba kalau kena tipi...
aduhhh berabe, harga tipi 90 inch kayak gini kan mahal
pisan!!! Hehehe...," dia terlihat memaksakan untuk
tertawa.
Aku lantas merasa tak enak akan sikapku tadi yang
sepertinya berlebihan. Lagi pula rasanya kesedihanku
ini tak serumet kesedihan Anta. "Maaf Anta, aku nggak
tahu kalau masalahmu ternyata lebih ribet daripada
masalahku," kutundukkan kepalaku.
Tiba?tiba saja Anta datang menghampiriku, di?raihnya kepalaku agar terangkat menatap ke arah
wajahnya, "Teh, tidak ada hal yang ribet di dunia ini.
Yang membuatnya ribet adalah cara kita menyikapinya.
Patah hati, sakit hati, kehilangan seseorang, itu hanya
sebagian kecil proses yang harus kita jalani dalam
kehidupan singkat seorang manusia. Nikmati saja Teh,
kadang kesakitan adalah jembatan yang baik untuk
kita menyeberangi tingkat kedewasaan," matanya kini
terlihat sangat hangat, sedangkan senyumnya terlihat
sangat tulus menatapku.
Air mataku kembali berjatuhan, "Astaga Anta, se?umur hidupku baru kali ini kudengar kata?kata begitu
indah seperti barusan. Aku nggak pernah nyangka
kamu bakal ngomong kayak gitu, belajar dari mana
48
sih?" Anta tertawa ringan, "Itu omongan Nini saya
yang di?translate ke Bahasa Indonesia, Teh. Yang pinter
tuh ya Nini saya, saya mah gini aja lah, karung goni.
Hahahaha!" Kami tertawa lepas, karenanya kini aku
bisa sedikit lupa pada kejadian pagi tadi. Bayangan
tentang Pierre sedikit terhapus dalam ingatanku. Aku
bahagia memiliki seorang sahabat yang selalu bisa
mengerti bagaimana cara berbicara denganku, bahkan
dia mengerti bagaimana membuatku tenang.
"Teh!! Teh Tatan!!! Bangunn!! Cepet bangun!!"
suara Anta terdengar nyaring di telingaku. "Duhh, jam
berapa sih ini? Ngantuk tauu!!" sambil ogah?ogahan
kugerakkan tubuhku sedikit, lalu kembali memejamkan
mataku. "Teteh!! Bangun!!! lni serius!! Teteh harus lihat,
si Pierre ada di halaman rumah Teteh!!" Anta kembali
menggerak tubuhku dengan kasar.
Mataku tiba?tiba saja terbuka lebar setelah men?dengar nama itu. Mataku menatap jam dinding yang
saat itu menunjukkan pukul 11 malam, "Apa?! Si Albino
itu datang?! Mau ngapain?! Nggak sudi aku ketemu
dia! NGGAK SUDI!!!" Anta terlihat resah, "Tapi Teteh,
katanya ini sangat penting. Dia bilang mau menjelaskan
49
sesuatu. Mmmh bahkan dia bawa si, mmmh... si cewek
itu Teh, cewek yang di lift tadi." Entah kenapa emosiku
kembali tersulut, dan bahkan membara lebih agresif
daripada sebelumnya.
"USIR DIA DARI RUMAH INI!!! AKU TAK MAU
LAGI MELIHAT LAKl?LAKI ITU!!! BATALKAN SEMUA
PERJANJIAN DENGANNYA!!!! AKU BENCI DIA!!!"
Suaraku menggelegar berteriak?teriak pada Anta, se?mentara anak itu hanya terlihat kebingungan dan takut
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat reaksi marahku. Dia hanya menganggukkan
kepalanya, lalu dengan cepat meninggalkan kamarku
dengan tergopoh?gopoh. Aku terdiam sendiri dalam
kamarku setelahnya, tak lagi bisa melanjutkan tidurku.
Dalam kepalaku terus berputar bayangan tentang
kebencianku pada Pierre, hati kecilku berkata.
"Kau menjijikkan, Tania! Dia bahkan belum tentu me
nyukaim u, lalu kenapa kau harus marah kepadanya? Hanya
kau yang jatuh cinta kepadanya, kau harus ingat itu! Kau
hanya mempermalukan dirimu sendiri, Tania."
Hingga menjelangpagi mataku tak juga bisa tertutup,
hatiku was?was memikirkan apa yang sebenarnya akan
50
dibicarakan oleh Pierre padaku tadi malam. Pukul
setengah lima subuh kuturuni tangga menuju paviliun
Anta, "Ta... Anta, kamu udah bangun?" sambil tak
henti tanganku mengetuk pintunya. Tanpa menunggu
lama Anta muncul di balik pintu, mengenakan sarung
berwarna hitam. "Teh, ada apa subuh?subuh begini? Sini
masuk!" Kulangkahkan kakiku menuju tempat tidurnya,
"Aku nggak bisa tidur, mau numpang tidur di sini, ya?"
Anta menggelengkan kepalanya, "Bukan muhrim, ngga
boleh tidur bersebelahan."
Emosiku mulaitersulut, "Halahh! ! Kamu sebulan lebih
di rumah sakit aku tungguin juga aku nggak keberatan,
kok! Rese banget, sih!" Tiba?tiba Anta tertawa keras,
"Hahahaha nah kan nah kan tuan puteri Tania banget
nih, pancing aja sedikit langsung ngaburudul ambek?ambekan. Ya boleh atuh Teteh cantik, sok mangga kalau
mau tidur tiap malem di sini juga silahkan saja, ini kan
rumah Teteh juga bukan rumah Anta. Hahaha, maaf
saya cuman bercanda, Teh."
Aku yang tadi marah mulai tersenyum kesal me?natapnya, tanganku terangkat tinggi hendak memukul
tangannya. Anta mengelak dariku dengan lincah,
"Eits, udah wudhu... gak boleh kena eits eits... bukan
muhrim!!" Kukejar dirinya sambil terus mengarahkan
tanganku padanya, lalu memeluki tubuhnya dengan
kencang tanpa dia bisa mengelak lagi. "Syukurinnnnn! !!
51
Hayo, sana wudhu lagiiii!!! Hahaha, makan tuh
muhrimmm!!!" lagi?lagi kami tertawa lepas pagi itu, dan
tawa itu berhasil membuatku tertidur pulas di tempat
tidurnya hingga berjam?jam.
Aku terbangun saat waktu menunjukkan pukul 2
siang, kulihat sekelilingku sudah tak ada tanda?tanda
kehidupan. Paviliun Anta terlihat sangat rapih dan
bersih, wangi bunga sedap malam tercium dari segala
penjuru ruangan. Anak ini memang sangat klasik dan
antik, sejak dulu kebiasaannya memang menata bunga
sedap malam yang hampir dua hari sekali dibelinya di
pasar kembang. Untung saja dia hanya menyimpan
bunga?bunga itu, bukan memakannya.
Ada aroma lain dari ruangan ini, mataku tertuju pada
sebuah nampan berisi lontong kari ayam dan segelas air
teh yang tersusun rapih di atas meja belajar milik Anta.
Kudekati meja itu seiring dengan bergejolaknya cacingcacing di perutku. Di atas nampan itu tertulis,
52
"Kepada Teteh 'Iiztan si tuan putri pemarah, ini lontong Rafi
favorit/lnta [oh, . . Eefinyajaafl, d'i Kehon Kawung. ifaEis'Ran yafz!
jlnta pergi (fufu ada urusan, Kayaknya Baru pufang mafam. Ulfanti
mafam Euafaa "Teteh maa udar di &amarjqnta [agi siahaan. "Tapi
itu artinya Teteh tefz tega sama Anta. Sekarang ajah Badan jflnta
pegelipegefligrena tadi su6u/i tidurcfi atas 116111! Hahaha, Eecand'a
&etang, Ch'ali. Sealmat mefaQisya! Semoga moodnya Gagas!"
Sambil memakan lontong kari mulutku terus
menerus tersenyum membaca tulisan pesan Anta
berulang?ulang, anak ini begitu polos dan menyebalkan.
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, dan aku kini
sedang melamun memikirkan apa yang akan kulukis.
Kanvas putih ini sejak tadi tak sedikit pun kusentuh,
padahal dia sudah berdiri tegap dan siap tepat di
depanku. Tiba?tiba saja ideku muncul, rasa?rasanya aku
perlu melukis sosok Anta. Selama ini aku selalu melukis
apa pun yang ada di dalam kepalaku. Saat ini kepalaku
tengah dipenuhi sosok Anta sahabatku yang sangat
konyol. Aku mulai teringat coretan di kanvas kecil
saat tak sengaja melukis Anta yang tengah melamun
53
tempo hari, kuambil kanvas kecil itu lalu kemudian
memindahkan apa yang kugambar di atasnya ke atas
kanvas yang lebih besar.
Saat tengah asyik melukis, tiba?tiba telepon geng?gamku berbunyi menandakan sebuah pesan masuk. Tak
kuhiraukan pesan itu. 15 menit kemudian berbunyi lagi,
menandakan pesan kedua masuk. Namun, tetap tak
kuhiraukan karena aku terus menerus berkonsentrasi
pada kanvasku. Lima belas menit selanjutnya bunyi itu
kudengar lagi, kali ini menggangguku karena sepertinya
ada dua pesan baru yang masuk. Itu artinya, ada 4
pesan yang telah kuabaikan saat itu. Kulemparkan kuas
dengan sedikit kesal, mengambil telepon genggamku,
dan mulai membaca pesan demi pesan.
: Pesan 1 : +62813247776
"Hi Tania, are you okay?"
?PierreEntah kenapa saat membaca pesan ini, hatiku
berdebar sangat kencang. Aku yakin, pasti Anta yang
memberikan nomorku ini kepadanya. Sebelumnya aku
tak pernah memberikan nomor telepon genggamku
secara sembarangan kepada orang lain apalagi kepada
klien. Kubuka pesan selanjutnya...
54
: Pesan 2 : +62813247776
"Semalam saya ke rumah kamu, Anta bilang kamu
sakit. Are you okay?"
?Pierre
: Pesan 3 : +62813247776
"Just reply this msg 'YES or No' to answer my
question. Is it Tania's number?"
?Pierre
: Pesan 4 : +62813247776
"Jawab tolong 'YA or TIDAK' apakah benar ini
number telephone Tania?"
?Pierre
Untuk sesaat aku terdiam memikirkan apa yang
barusan kubaca, kupikir manusia albino ini tak akan
lagi muncul dalam hidupku. Dalam kemarahan hatiku,
aku masih merasa kebingungan harus menjawab apa,
tak ada Anta yang bisa kumintai pendapat. Tiba?tiba,
memori peristiwa kemarin pagi kembali berkelebat
dalam kepalaku, bayangan tentang manusia Albino
itu yang sedang memeluk seorang wanita berambut
panjang.
Kuangkat telepon genggamku dan mulai membalas
pesannya hanya dengan satu kata, "TIDAK". Sebelum
55
menutupnya, dengan otomatis tanganku memilih tom?bol 'simpan', tak hanya nomor teleponnya yang ku?simpan, tapi pesan?pesan itu pun tak luput kumasuk?kan ke dalam memori telepon genggamku. Mataku
terpejam, meragukan diriku sendiri yang ternyata masih
tak bisa melupakan wajah indah seorang Pierre. Tak
perlu menunggu lama, lagi?lagi dia membalas pesanku.
Pesan baru : Manusia Albino
"Ok, maaf mengganggu. Terima kasih" :)
Kurentangkan tubuhku di atas tempat tidur sambil
menghela napas begitu panjang, seolah habis melakukan
sebuah hal yang sangat berat. Kepalaku kini memikirkan
pesan?pesan itu, ada banyak pertanyaan?pertanyaan
tidak penting di dalamnya. "Kenapa dia mencariku?",
"Jangan-jangan sebenarnya dia suka aku?", "Bisa jadi
wanita itu hanya cewek yang ngefans padanya! Ya tidak?!".
Arrrrggggh... Anta!!! Harusnya dia ada di sini saat ini
membantuku menjawab pertanyaan?pertanyaan bodoh
ini.
Kuangkat telepon genggamku dan mulai mencari
nomor telepon Anta, aku bermaksud menyuruhnya
untuk segera pulang. Saat nada sambung terus menerus
menunggu Anta untuk mengangkat telepon, hatiku
masih saja memikirkan tentang Pierre. Berkali?kali
56
kucoba menelepon Anta, berkali?kali itu pula dia tak
juga mengangkatnya. Emosiku mulai terpancing, dan
mulutku siap berserapah memakinya saat akhirnya dia
angkat sambungan teleponku ini. Akhirnya teleponku
diangkat, aku sudah bersiap meneriaki laki?laki bodoh
itu. Namun, tiba?tiba saja aku menarik kembali niatku
itu. Di seberang sambungan sana bukan Anta yang
berbicara, melainkan suara seorang perempuan.
"Halo? Halo? Siapa ini?" suara perempuan itu
terdengar gugup. Aku menjawabnya dengan ketus,
"Nggak bisa baca yah nama di layar handphone yang
sedang kau pegang!!! Kamu siapa?! Pencuri handphone
ya?!" Pikiranku mendadak negatif terhadap perempuan
ini, Anta tak pernah mengenalkan seorang wanita pun
kepadaku, aku yakin betul telepon genggamnya telah
dicuri orang. "Ayo, ngaku!!!!" aku kembali meneriakinya.
Tak ada jawaban dari sambungan telepon sana,
perempuan itu tak menjawab semua teriakan dan
pertanyaanku. Tak lama kudengar suara telepon yang
terputus, tut tut tut.
57
"Bi Eha, Bibi liat Anta?" waktu menunjukkan pukul 8
pagi dan Bi Eha tampak kaget melihat penampakanku
di meja makan pagi itu. "Mmmh, belum lihat Mbak,
mungkin masih tidur di kamarnya," Bi Eha tampak
canggung. "Anu Mbak Tania, Bi Eha belum sempat
bikinin Mbak kerak nasi, kan biasanya Mbak Tania
bangun jam 12. Mbak Tania mau nunggu nggak? Biar
Bibi bikinin dulu kerak nasinya?" dengan sedikit gugup
Bi Eha menanyaiku.
Seperti biasa, mulutku menjawabnya dengan sangat
ketus. "Gak usah! Emangnya mukaku ini keliatan kayak
orang kelaparan, yah?! Kalau biasa ngasih aku makan
jam 12, ya udah jam 12 aja nanti, gak usah sok baik
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
deh! Bibi aja sana yang makan!! Lagian, kok kayaknya
59
sekarang badan Bibi keliatan kurus?! Gemukin lagi ah,
Bi! Aku gak, suka liatnya!" sambil berlalu kulihat wajah
Bi Eha tampak melongo melihatku berbicara seperti
itu. Sejak pertama kali bertemu Bi Eha, mulutku tak
pernah berkata manis kepadanya. Bisa jadi, kata?kataku
barusan merupakan kalimat termanis yang pernah
didengarnya. Entah kenapa pagi ini aku lebih perhatian
padanya, mungkin karena SMS semalam... entahlah.
Kulangkahkan kakiku menuju paviliun Anta, ke?palaku melongok ke sana?kemari mencoba me?nembus isi jendela kamarnya. "Antaaaaa... woyyy,
bangunnnnn!!!! Antaaa, bangunnnnn!!!" mulutku me?neriakkan namanya. Tak ada jawaban, hening seperti
tak berpenghuni. Sepertinya Anta sudah pergi dan
beraktivitas sejak tadi pagi, tumben dia tak mengunjungi
kamarku. Padahal biasanya dia selalu meminta izinku
jika akan bepergian. Meski aku sedang terlelap pulas,
biasanya tanpa ragu dia akan membangunkanku. Ke
mana dia ya?
Akhirnya kuputuskan untuk kembali menemui Bi
Eha yang masih asyik berkutat dengan menu sarapan
pagi ini. "Bi!! Anta nggak ada di kamarnya ah! Ke mana
dia, Bi? Masa Bibi gak lihat dia sih tadi pagi?" dengan
kening yang dipenuhi kerutan kutanya Bi Eha. "Suwer
neng, Bi Eha nggak liat Kang Anta sejak tadi pagi... eh
malahan sejak subuh, Neng! Kan tadi Bibi udah beres60
beresin rumah sejak jam 5!" Bi Eha tampak bersemangat
membela dirinya. "Terus Anta ke mana dong?!" sambil
berlalu kugumamkan pertanyaan itu. Bi Eha berceletuk
pelan, "Ke rupuk." Kupalingkan wajahku cepat sambil
memelototinya, lalu kuacungkan kepalan tanganku ke
arahnya, "HEH!"
Aku tengah berdiri di atas hamparan rumput yang
luas, menghirup udara yang begitu dingin menusuk.
Kicauan burung terdengar riang di sekelilingku, di
manakah aku ini? Aku begitu merindukan suasana
seperti ini. Bandung kota tempatku tinggal tak lagi
punya tempat seperti ini, terlalu banyak bangunan
yang menyita hamparan rumput hingga tak pernah lagi
kurasakan udara sesegar kali ini.
Kubiarkan lamunanku menguasai diriku yang se?dang begitu bersemangat, menatap kosong ke mana
saja tanpa menyadari ada sebuah titik berwarna putih
jauh di ujung sana. Lama kelamaan akhirnya mata ini
menangkapnya juga, terus memicing menatap titik itu
yang kian lama kian membesar. Titik putih itu mulai
membentuk sebuah sosok, mataku terus menerus
61
berusaha menelanjangi sosok itu. Hatiku mulai resah,
karena sosok itu semakin dekat, menuju ke arahku.
Aku tak percaya atas apa yang kini sedang berdiri
begitu dekat di depanku, mataku tak henti berkedip
mencoba menjawab tanda tanya besar di hatiku. Apakah
ini mimpi?
Tak perlu menunggu lama atas jawaban itu, karena
tiba?tiba sosok itu menjawabnya. "Bukan Tania, ini
bukan mimpi." Sosok itu adalah Pierre, laki?laki yang
benar?benar mengacaukan hidupku belakangan ini.
Laki?laki yang palin g kub enci sekaligus kusukai. Waj ahku
tersipu malu mendengarnya berkata seperti itu, jelas ini
tak seperti biasanya. Pelan dan terus tersenyum aku
membalas jawabannya, "Ini lebih dari sekadar mimpi."
Pierre tersenyum begitu indah, kulihat sebuah
kebahagiaan di matanya yang semakin berseri. Tanpa
berkata apa?apa lagi dia mendekatiku seolah hendak
memelukku, tapi bukan itu yang dia lakukan. Tangan
kanannya tiba?tiba menarik sebelah tanganku,
mengajakku pergi bersamanya. Aku tak kuasa untuk
menolaknya, asalkan bersamanya aku rela dibawa ke
manapun kakinya melangkah. Aku bermetamorfosa
menjadi Tania yang berbeda jika di dekatnya, dan aku
mensyukuri itu. Pierre telah mengubah segalanya,
bahkan aku berhasil melupakan amarah dan kesalku
62
kepadanya, yang kuinginkan sekarang adalah melang?kah bersamanya.
Entah ke mana dia akan menuju, tangannya masih
begitu erat menggenggamku. Tiba?tiba saja sebuah suara
terdengar begitu jelas di telinga, "Mbaaaaak... Mbak
Tania Mbaaaak!!!!" Kutolehkan kepalaku ke arah suara
itu berasal, kuhentikan langkahku karenanya. "Mbak
Taniaaaa, bangunnnn!!!! Ibu nyariin Mbak tuh!! Mbak
Mbak Mbak Mbak bangun bangun bangun bangun!!!!"
Mataku tiba?tiba terbuka lebar, karena suara itu benar?benar pekak di telingaku.
"Setan" Apa?apaan sih kamu?! Bisa lebih sopan kan
kalau bangunin orang?!" kupelototi adikku Tiara yang
kini tengah berjalan?jalan mengelilingi kamarku. "Iya
Mbak, maaf. Tapi aku udah bangunin Mbak dari tadi loh,
susahnya bukan main. Bangun gih Mbak, Ibu nungguin
Mbak di kamarnya. Katanya sih penting banget...,"
kulihat Tiara tampak sungkan menatap wajahku karena
kini dia mencoba mengalihkan pandangannya dengan
cara melongok ke arah luar jendela kamarku.
"Aku n g gak suka cara kamu Tiara! ! Kalau kamu berani
kayak gini lagi, aku akan sangat marah!! Pergi kamu dari
kamar ini!!" aku berteriak?teriak seperti orang gila. Tiara
tampak cemberut, mulutnya bersungut?sungut kesal.
Sambil meninggalkan kamarku, kudengar dia meracau
pelan. "Ya Alloh sembuhkan penyakit Mbakku ini."
63
Sambil malas?malasan kuangkat juga tubuhku dari
atas tempat tidur. Rupanya aku telah melanjutkan
tidurku tadi pagi, dan tak terasa kini waktu menunjuk?kan pukul 5 sore. Perasaanku sore itu begitu campur
aduk, di satu sisi aku bahagia bisa bertemu Pierre dan
meyakini bahwa itu bukanlah mimpi. Namun, di sisi lain
aku harus menerima kalau ternyata itu hanyalah mimpi.
Tanpa mandi, tanpa berganti pakaian, kulangkahkan
kakiku menuju kamar ibu yang katanya ingin bertemu
denganku.
Selama hidup satu atap dengan keluargaku, harus
kuakui aku jarang sekali bertatap muka dengan mereka.
Hanya Anta dan Bi Eha yang sering berkomunikasi
denganku, sementara yang lainnya tidak. Sepertinya
mereka memang enggan berbicara denganku meski
mereka adalah ibu, ayah, dan adikku sendiri. Tanpa
mengetuk pintu aku menerobos masuk ke dalam kamar
tidur ibuku, kulihat dia sedang duduk sendiri di beranda
kamarnya.
"Halo Bu, ada apa? Lain kali jangan ganggu aku
tidur ya. Ayo cepat ada apa Bu?" kujatuhkan tubuhku di
atas tempat tidur. "Kebiasaan, anak perempuan jangan
tidur melulu nanti susah dapet rezeki!" Ibu berdiri
meninggalkan kursinya lalu mendekatiku. "Pekerjaanku
membutuhkan banyak waktu untuk tidur, dan uangku
lebih banyak daripada orang?orang yang waktu tidurnya
64
sedikit karena dipakai untuk banting tulang cari uang,"
kini kupejamkan mataku sambil tiduran di tempat tidur
ibu.
"Jangan begitu Tan, kalau kamu lebih teratur pasti
uang dan rezekimu juga lebih banyak daripada sekarang,"
suara ibu mulai terdengar kesal. "Buat apa banyak uang?
Gaya hidupku tak seperti kebanyakan orang. Tanpa
uang pun sepertinya aku akan tetap hidup bahagia.
Hidup normal dengan caraku," kubuka kedua mataku
dan seharusnya ibu tahu kalau emosiku sekarang mulai
tersulut.
"Memang tak ada habisnya berbicara denganmu Tan,
kamu orang yang selalu merasa benar dan sangat egois.
Masih untung si Anta itu mau bekerjasama denganmu,
Ibu ragu apakah ada laki?laki yang mau jadi suamimu?!
Yang mau jadi suamimu ya paling?paling si Anta itu,
yang seumur hidup akan terus kamu injak?injak." Tanpa
menatapku mulut ibu terus bergerak ke sana?kemari
mengeluarkan bunyi?bunyian yang semakin memancin g
rasa marahku.
"Demi Alam Semesta dan segala isinya maafkan
Ibuku yang berkata asal seperti tak pernah belajar! Ibu!
Jadi maksud Ibu itu apa? Mau Ibu itu apa?! Ibu berbicara
seolah tak pernah mengenalku!!! Aku ini anakmu! Dan
kau harusnya jadi orang paling mengerti aku! Ibu mau
65
aku pergi dari rumah ini?! Baik kalau memang itu mau
Ibu!!" emosiku kini memuncak.
"Astaghrullah, Tania! Jangan berkata seperti itu
pada Ibu! Ibu tak pernah bermaksud seperti itu!! Tolong
jangan seperti itu Tania." Ibu tiba?tiba saja meraung,
menangis, dan terjatuh. "IBUUUUUU!!!!!" aku berteriak
kencang.
Aku yang begitu marah kini mulai panik. Walau
dianggap sebagai wanita aneh, namun aku tak pernah
kuat melihat orang menangis, terlebih orang itu adalah
ibuku sendiri. Kuangkat tubuhnya, dan kini tangannya
merangkul tubuhku begitu erat, memelukku seakan
melarangku untuk melakukan hal bodoh. "Tania, maaf?kan Ibu, tolong jangan berpikir untuk pergi dari rumah
ini. Ibu bersyukur masih tahu keberadaanmu meskipun
kita tak pernah saling bicara. Ibu merasa tenang berada
satu atap denganmu," tanpa berhenti menangis ibu
memelukku semakin erat. "Iya Bu, santai aja," meski
khawatir pada keadaannya aku masih tetap saja ketus.
Ibu kini terbaring di atas tempat tidurnya, di
sampingnya ada aku dan Tiara yang tadi tiba?tiba menerobos masuk ke dalam kamar ibu saat mendengar
66
teriakanku. Tanpa ragu aku mulai kembali menanyai
ibu, "Bu, sebenarnya maksud Ibu menemuiku itu untuk
apa sih?" Ibu tersenyum menatapku, "Ibu kangen kamu
Tania, rasanya sudah sangat lama tak banyak berbicara
denganmu." Kupalingkan wajahku ke arah beranda,
"Oh," jawabku singkat.
Tiara tiba?tiba ikut berbicara, "Iya Mbak, kita semua
kangen sama Mbak. Ayah juga semalam bilang gitu.
Kita jarang berbicara kan, Mbak? Dan sedihnya, kami
hanya mendengar teriakan?teriakan Mbak saja di atas
sana, atau suara pecahan benda?benda yang kami tak
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah tahu apa itu." Kupalingkan sedikit wajahku
pada Tiara, "Sebenarnya kalian tinggal datang dan
menanyaiku, jangan terlalu mendramatisir situasi lah."
Ibu memegangi tangan Tiara, aku tahu betul maksudnya
adalah agar Tiara tak lagi berbicara mendebatku.
"Seharusnya Ibu tak seperti ini, maafkan Ibu ya,
Tan. Karaktermu memang seperti ini sejak dulu, dan
Ibu harus menerima itu. Termasuk kamu juga Tiara,
Mbakmu ini memang begini," kepala Ibu mengangguk
sambil tak henti menatap Tiara, Tiara membalasnya
dengan senyuman.
"Bu, meman g aku ini kenapa? Apakah aku ini kurang
waras di mata kalian?" Kuturunkan nada bicaraku
berusaha membuat percakapan ibu dan anak ini menjadi
lebih kondusif. "Kamu sangat waras, bahkan mungkin
67
lebih waras daripada kami. Hanya saja kamu terlalu
istimewa, hingga terkadang kami yang biasa saja tak
bisa memahami sebenarnya siapa kamu, apa maumu,"
Ibu tak henti tersenyum menatapku. "Lalu, aku harus
bersikap bagaimana agar kalian bisa memahamiku?"
kembali kubertanya. "Mungkin kau harus mencari
seseorang yang bisa menyeimbangkan keistimewaanmu,
membuatmu lebih dimengerti oleh banyak orang.
Menambal kekuranganmu dengan kelebihannya, begitu
pula sebaliknya." Wajah ibu kini tampak lebih serius,
diikuti oleh Tiara yang kini mengangguk?angguk seolah
paham betul apa yang sedang Ibu bicarakan.
Kutatap wajah mereka satu per satu, wajah ibuku,
lalu kemudian wajah Tiara. "Kalau menurutmu seperti
itu Bu, dan kau menganggap ucapan Ibu benar, Tiara.
Maka kalian telah membohongiku. Ternyata aku tak
seistimewa itu. Jika aku seorang yang istimewa, tentu
aku tak punya kekurangan. Dan tentu saja, aku tak
perlu penambal yang kubutuhkan untuk menambal
segala kekuranganku. Ibu, Tiara, kalian tahu apa yang
kubutuhkan? Yang kubutuhkan adalah orang yang
sama istimewa sepertiku. Bukan sebagai penambal
kekurangan, tapi dia dan aku akan menjadi dua orang
istimewa yang menyusun sebuah kehidupan yang jauh
lebih istimewa daripada orang?orang pada umumnya.
Aku bukan orang setengah, dan aku tak perlu laki?laki
68
setengah yang akan membuat hidup kami menjadi 1 jika
bersatu. Aku adalah satu, dan aku akan bersatu dengan
orang berangka satu yang akan membuat kami menjadi
2 jika disatukan. There is no two become one, there's two
become two," aku berdiri santai lalu mulai melangkahkan
kakiku keluar dari kamar ibu. Masih jelas kuingat
bagaimana wajah ibu dan Tiara yang tampak melongo
kaget mendengar kata?kata yang baru saja keluar dari
mulutku.
"Maafkan aku Bu, aku sebenarnya tidak ingin menyakiti
perasaanmu. Tapi beginilah aku, Ibu tahu aku memang
seperti ini sejak dulu dan hati kecilku selalu berharap
seandainya Ibuku bisa memahamiku lebih dari siapa pun."
69
Kejadian kemarin sore masih berdengung di ke?palaku. Bayangan tentang kedua orangtuaku, Tiara,
dan kata?kata yang keluar dari mulut ibu seolah
menghantuiku pagi ini. Sepertinya semalaman aku
tidak bisa tertidur dengan nyenyak, karena beberapa
kali mataku terbuka lebar untuk memastikan pukul
berapakah itu. Sekali?kali kulongokkan kepalaku ke arah
paviliun Anta, hanya untuk memastikan apakah dia
sudah datang atau belum. Namun, lampu depan paviliun
itu tetap padam seperti sedang tak berpenghuni.
Ke mana Anta? Aku terus bertanya?tanya, semen?tara nomornya tak bisa kuhubungi sama sekali. Teng?gorokanku kering kerontang, kuangkat tubuhku untuk
mengambil gelas dan air putih yang selalu tersedia di
71
sebelah tempat tidurku. Badanku rasanya sakit sekali,
entah karena salah posisi tidur atau karena terlalu
banyak angin yang masuk ke dalam pori?pori kulitku.
Aku baru sadar semalaman jendela kamarku terbuka
bebas.
Dalam keadaan lemas kuteguk air putih di mug milik?kubagaibinatangyangsedangkehausan, saat itulah suara
bising itu kembali muncul... tepat di belakang telingaku,
disertai sebuah pukulan di punggungku. "Hayohhh!!!!"
suara itu mengagetkanku, sekaligus membuat semua air
yang masuk ke dalam mulutku kembali berhamburan
membasahi baju yang kukenakan.
"ANJRIT! ! !" mulutku sontak berteriak kaget. Kulihat
Anta sudah berdiri tegap sambil tersenyum?senyum
seperti orang gila di depanku. "Teteh Tatan kesayangan
Anta, selamat pagiiiii!!!!. dia kembali berteriak dengan
gaya khasnya. Mataku kini mulai memasang ancang?ancang untuk melotot karena kesal, "Heh!!! Lihat nih
airnya jadi tumpah semua!! J angan ngagetin gitu dong!!
Gak sopan banget sih! Udah ilang, tiba?tiba dateng
ngagetin! Setan!" Anta tertawa puas, "Ih angger si Teteh
mah, memang sengaja Anta ngagetin Teteh Tatan biar
nggak ngantuk lagi hehehe. Teteh, jangan marah yah
kemarin Anta teh pergi nggak bilang?bilang ke Teteh.
Ada urusan keluarga mendadak di Subang," ucapnya
72
sambil menyodorkan tisu untuk membersihkan sisa?sisa air di bajuku.
Kutepis lengannya, "Halah, alesan! Kupikir kau sudah
yatim piatu gak punya sanak sodara. Jangan ngarang
deh!" Anta kini berlutut di depanku, kedua tangannya
memegangi kakiku dengan erat. "Aih jangan marah atuh
Teh, suwer Anta ketemu sama sodara Anta. Ya memang
Anta yatim piatu, tapi Anta kan masih punya sodara di
sana. Maaf ya Tetehku yang cantik dan judes, sok atuh
Anta harus ngapain biar Teteh nggak marah?" matanya
terlihat memohon sedang mulutnya merengek seperti
anak kecil.
Aku mulai terkekeh melihat tingkahnya, kutarik
kedua tangannya sambil memeluknya dengan sangat
keras. "Antaaaaaaaaaa!!!!!! Aku rindu sekali pada?muuuu!!! Banyak hal yang terjadi kepadaku dua hari
teriak seperti orang gila sedangkan Anta kini hanya
terdiam kebingungan melihat reaksiku yang tak biasa.
Hari itu, aku dan Anta duduk berduaan di atas rooftop
rumahku. Kuceritakan segala hal yang sejak kemarin
ingin kuceritakan kepadanya. Tak henti tanganku terus
memeluk tubuhnya, sementara dia hanya mengangguk?angguk mendengar semua ceritaku. Angin dan cuaca
mendung Kota Bandung hari ini membuat segalanya
73
terasa melankolis. Dua cangkir kopi susu yang 5 menit
lalu masih mendidih pun kini terlihat sudah mendingin,
mereka sama sekali tak kami sentuh.
"Teh, kenapa harus pura?pura sih? Anta yakin si
Pierre itu pasti punya alasan kenapa dia menghubungi
Teteh lagi. Nggak tau kenapa ya Teh, tapi perasaan Anta
mah bilang kalau dia tuh sebenarnya gak ada apa?apa
sama si cewek rambut panjang kayak kunti itu. Nah
sekarang Teteh pikir yah, kalau dia gak punya perasaan
apa?apa ke Teteh, ngapain atuh dia harus dateng ke
sini buat menjelaskan sesuatu ke Teteh?" Mata Anta
kini menerawang jauh ke perbukitan di depan kami
sedangkan aku tertawa kecil mendengarnya menyebut
kata kunti.
"Dan Teh, untuk masalah Ibu, sebenarnya Anta ngga
bisa terlalu masuk, karena ini masalah pribadi keluarga
Teteh. Tapi Teh, ini mah yah pemikiran dari Anta si anak
yatim piatuya, Teh. Coba Teteh posisikan diri diAnta, dan
rasakan bagaimana kerinduan Anta terhadap orangtua
Anta yang udah gak ada. Ingat Teh, suatu saat ayah dan
ibu Teteh juga bakal nggak ada. Dan saat itu terjadi, Anta
yakin akan ada sebuah penyesalan di hati Teteh kenapa
dulu nggak begini kenapa dulu nggak begitu. Mumpung
sekarang keduanya masih ada dan sehat wal aflat, coba
robah keadaan kaku ini, Teh. Mereka adalah harta Teteh
yang paling berharga, termasuk Teh Tiara dan Mas
74
Tama juga yah. Dan sebenarnya hanya mereka yang
bisa mengerti Teteh, jauh melebihi pengertian Anta ke
Teteh. Saran Anta sekarang untuk kedua masalah Teteh,
coba buka mata, hati, dan telinga Teteh. Jika semuanya
terbuka, Anta yakin Teteh Tatan akan melihat semua ini
adalah sesuatu yang harus dipertahankan."
Aku hanya terdiam meresapi semua kata?kata
Anta yang terdengar begitu dewasa, dengan sedikit
perasaan malu terselip di dalamnya. Namun, kini yang
kulakukan untuk menanggapi kata?katanya adalah
mengangkat tanganku lalu memukulkannya dengan
keras di punggungnya, "Sok tau kamu!" Anta menarik
tubuhnya dari tubuhku, lalu tangannya menjambak
rambutku dengan keras, "Dasar si batu!!!" Kami berdua
kembali berpelukan, kembali mentertawakan diri kami.
Aku bahagia berada di sisi Anta, dan kulihat begitu pun
sebaliknya.
"Teh, coba pinjem HP Teteh!!" Anta tiba?tiba men?dekatiku yang sejak tadi begitu asik membubuhkan
warna pada lukisan baruku. Lukisan "Anta" yang sejak
kemarin kugarap dengan sengaja kusembunyikan dulu.
Aku tak ingin Anta tahu bahwa aku melukis sosoknya.
75
"Mau ngapain?!" kugenggam telepon genggamku kini
dengan sangat erat seolah tak ingin direbut olehnya.
"Siniin ah! Mau nebeng SMS, Anta gak ada pulsa!!"
dengan cekatan dia merebut telepon genggam itu.
"Ah, dasar orang susah! Pulsa aja nggak punya, huh!"
kupalingkan wajahku kembali berkonsentrasi pada
kanvas. "Nih Teh, nuhun." Anta menaruh telepon
genggam itu kembali pada tempatnya sebelum akhirnya
dia keluar meninggalkan studioku.
Telepon genggamku tiba?tiba berbunyi, tanda pesan
masuk. "Antaaaa! !! Tuh ada balesan, woy!" aku berteriak?teriak memanggil Anta. Dia balas meneriakiku dari luar
studio, "Tolong dibales, Tehhhh!" Hatiku mulai merasa
tak enak, pasti ada sesuatu yang gak beres nih. Dengan
cepat kuambil telepon genggamku, lalu mulai membaca
pesan itu.
$Pesan Baru : Manusia Albino
I know its you Tania, saya ingin bertemu kamu
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera. Bisakah?
Samar kudengar balasan dari teriakanku di luar sana,
"H ahahahahahahahahaha sukurinnnnn ! ! ! !" Tanganku
bergetar hebat membaca pesan itu, konsentrasiku
pada lukisan pun buyar seketika. Anta sialan itu telah
76
mengirimkan sebuah pesan untuk Pierre, tanganku
sibuk membaca pesan apa yang sudah dikirim olehnya.
: Pesan terkirim : Manusia Albino
Hai Pierre, maafkan saya Betul ini nomor
saya... Tania .
Tanganku masih bergetar, namun memberanikan
diri untuk menekan tombol balas.
%
Halo Pierre, ya ini Tania. Buat apa bertemu
epada : Manusia Albino
saya?
Terkirim.
Pesan baru : Manusia Albino
there's something to explained.
Balas kepada : Manusia Albino
See you at 7 pm, in my studio.
Tanganku kini mulai berkeringat, tak percaya
atas apa yang baru saja kulakukan. "Gila gila gila!!!!
Ngapainnnnn coba Taniaaaa?!?!?! Akkkkks!! !! Harusnya
gak usah dibales gituuuuuu aaaaaaaa!!!!!! !! Sialannnn!!!"
77
aku berteriak?teriak sendirian seperti orang gila.
"Antaaaaaaa, sini heyyyyy, Antaaaaaa anak ontaaa!!!"
tiba?tiba aku berlarian sambil terus berteriak?teriak
keluar studio lalu menuruni anak tangga dengan begitu
cepat.
Kulihat ada Tiara dan ibu di bawah sana sedang
duduk berdua, mereka tercengang melihatku berteriak'?
teriak. "Sadar, Taniall Ibu meneriakiku. Tak kugubris
teriakannya karena kini aku mulai membelokkan
tubuhku ke arah paviliun Anta. "Antaaaaaaaa Antaaaaaaa
Antaaaaaaaaaa Antaaaaaaaaaaa," kugedor?gedor pintu
paviliunnya dengan semangat 45.
Anak itu membukakan pintu kamarnya dengan
wajah penuh senyuman. Aku yang sejak tadi tak sabar
menemuinya segera berhamburan masuk ke dalam
paviliun itu. "Antaaaa, kamu gila kamu gilaaaa!!! Tapi
aku suka kegilaanmu!" kupeluk tubuhnya dengan
penuh kegembiraan. Anta sedikit mengaduh karenanya.
"Aduh, Teh ih sakiiit...," dia mendorong tubuhku pelan.
"Terima kasih yah Anta, aku cukup senang... hehehe.
Tapi aku harus bagaimana? Aku harus pake baju apa,
Anta??? Huhu aku tegang sekali ini!" kali ini kugoyang?goyangkan bahunya dengan keras. "Teh Teh... sadar
ih jangan kaya nugelo!!!" Anta menepis tanganku dari
bahunya. Aku tertawa?tawa sendirian, sementara Anta
tak sedikit pun tertawa.
78
Entah dari mana datangnya dia, karena kini di
sebelah Anta tiba?tiba saja berdiri seorang perempuan
kecil berkerudung, wajahnya cukup cantik namun
terlihat sangat lugu. "Siapa dia?!" tawaku terhenti
karenanya. Wajah Anta tampak pucat pasi melihat
reaksiku. "Oh Teh, mmmh kenalin ini Sukma. Mmmh...
Teh, dia tunangan Anta." Bagai petir di siang bolong,
kata?kata dari mulut Anta yang baru saja kudengar
berhasil membuatku mematung hingga beberapa detik,
mataku kembali melotot, emosiku terbakar cepat....
Segala kegembiraan yang baru saja kurasakan men
dadak lenyap. Terima kasih Anta atas kata-kata yang
kauucapkan.
79
Aku masing tercengang mendengar apa yang di?ucapkan oleh Anta, hatiku berdebar kencang dan
kuyakin tak lama lagi emosiku akan kembali meledak
seperti biasanya. Benar saja, hanya membutuhkan satu
menit untuk menunggu ledakan itu.
"Apa kau bilang? Tunangan?! Hal bodoh apalagi ini?
Drama apa yang sedang kau mainkan, Anta?! Di mana
kau temukan wanita KAMPUNGAN ini?!" Aku berteriak?teriak kini, sedang kedua tanganku menegang sambil
tak henti menunjuki mereka. Tepat setelah kata?kata itu
kulontarkan, tiba?tiba saja aku melihat sebuah tatapan
yang tak pernah kulihat selama ini darinya. Tatapan itu
begitu menusuk jantungku, tatapan seorang laki?laki
yang begitu marah dan jijik terhadapku.
81
"JANGAN MENERIAKI DIA! Teteh boleh saja me?neriaki Anta dengan sesuka hati! Tapi, perempuan
istimewa ini belum terbiasa mendengar teriakan dan
cacian itu! Kalau Teteh menghormati saya, maka
hormati juga dia! Dia sudah menjadi bagian hidup saya
sekarang! TOLONG HARGAI ITU!" Anta meneriakiku
dengan sangat marah.
Aku kembali tercengang, sungguh tak pernah aku
menyangka sahabatku Anta mampu meneriakiku
seperti itu. Roda dunia sedang berputar, dan aku
merasa sedang berada di putaran terbawah, terjepit
lalu terhimpit. Belum sempat kubalas teriakannya,
Anta yang emosi menarik tangan perempuan bernama
Sukma itu dan membawanya pergi meninggalkanku
yang kini bersimpuh di lantai kamar paviliunnya. Air
mataku berjatuhan hebat, tangisku mulai pecah.
Rupanya ibu dan Tiara mendengar teriakan?teriakan
kami, dengan tergopoh?gopoh mereka mendatangiku
yang masih belum beranjak dari atas lantai. "Tania apa
yang terjadi, Nak?!" Ibu coba meraih dan mengangkat
tubuhku. Kuhempaskan tangan ibu, "Tidak! Tidak
terjadi apa?apa! Sudah lepaskan aku, Bu! Aku bukan anak
manja!" Kini giliran Tiara yang mencoba mengajakku
berdiri, "Mbak, sudah Mbak, jangan nangis lagi, ayo
bangun, Mbak gak usah cerita apa?apa juga gak apa?apa. Tapi, tolong Mbak berhenti menangis dan keluar
82
dari kamar ini, ya Mbak?" dengan sangat hati?hati Tiara
berusaha membujukku. "Diam kamu anak sok tau!!!
Pergi kamu dari sini!! Tolong, Ibu juga pergi dari sini!
Aku sedang ingin sendiriann!!!!" Tanganku menunjuk
ke arah pintu depan paviliun Anta, dan mereka berdua
menuruti kata?kataku.
Aku kembali sendiri, masih menangis dan meraung
bagai binatang yang sedang melolong karena terluka.
Kepalaku dipenuhi berbagai macam pikiran, kebanyakan
berisi kemarahan dan kebencian mendadakku terhadap
Anta.
"Mbak Tania, Mbak! Bangun, Mbak!" suara Bi Eha
yang terdengar cukup panik berhasil membangunkanku
dari tidur. Lagi?lagi aku tertidur, namun tak ingat kapan
mataku terpejam karena tubuhku masih tertidur di atas
lantai kamar Anta, sepertinya tadi aku menangis hingga
ketiduran.
"Apa sih?! Jangan ganggu aku!" kujawab Bi Eha
dengan sangat ketus. "Mbak, itu Mbak... si Bulepotan
dateng Mbak, di ruang tamu!" sambil terengah Bi
Eha terus berbicara. "Siapa sih bulepotan?!?!" aku
membentaknya. Namun tak lama setelah ku bentak
83
Bi Eha tiba?tiba saja mataku melotot, dan bayangan
Pierre melintas dengan cepat. "Astaga Bi Eha! Si Pierre
yah? Aduh gimana ini aduh...," dengan panik aku berlari
keluar paviliun Anta, dan seketika itu juga aku lupa pada
kejadian tadi siang.
Awalnya kaki?kaki ini mengendap kecil menuju
ruan g tamu, namun saat mendengar suara Pierre sedang
bercakap?cakap dengan seseorang, aku mempercepat
langkah untuk segera melihat. Dengan kaus hitam dan
celana jeans sobek dia sedang duduk di sofa ruang tamu,
berbicara serius dengan ayah. "Hai, Pierre," kucoba untuk
berpura?pura santai sambil melemparkan tubuhku ke
atas sofa tepat di sebelah Ayah. "Tania!" dengan sedikit
berteriak Pierre menyapaku penuh semangat. Ayah
tampak kikuk melihatku duduk di sampingnya dengan
wajah kusut, "Oke, Pierre, Tania sudah ada. Nice to meet
you, Pierre," Ayah mengangkat tubuhnya lalu berjalan
meninggalkan kami tanpa melihat ke arahku.
Untuk beberapa saat tak satu pun kata mampu keluar
dari mulutku dan Pierre, bahkan mata kami tak berani
untuk saling bertemu. Dalam keheningan akhirnya aku
angkat bicara, "Ikut aku ke studio."
84
"Tania, boleh saya bicara maaf padamu?" Pierre
membuka topik pembicaraan saat kami berdua mulai
memasuki studio lukisku. "Tunggu, jangan sekarang!"
jawabku ketus sambil terus berjalan ke arah luar studio.
Di luar studio aku melihat dua kursi dengan posisi tak
beraturan, bahkan aku masih melihat dua gelas berisi
kopi dingin.
Pikiranku kembali teringat pada Anta, kursi itu baru
kami duduki kemarin. Di sanalah aku memeluk tubuh?nya erat sambil terus bercerita dan mendengarkan
semua petuah?petuah sok bijaknya. Kopi yang tak
sempat kami minum pun posisinya belum berubah, dua
gelas kopi itu menjadi saksi indahnya persahabatanku
dengan Anta kemarin malam.
"Sudah bisa bicara?" pertanyaan Pierre mem?buyarkan lamunanku. "Belum," kududukkan tubuhku
di atas kursi lalu menyelimutkan selimut yang
sengaja kubawa keluar dari dalam studio, menutupi
tubuhku. "Sekarang sudah?" lagi?lagi manusia albino
itu menanyaiku. "Penting ya?" jawabku. "Sangat!"
dia menjawabnya dengan antusias. "Awas, kalau
tidak penting!" kupejamkan kedua mataku sam?bil mendongakkan kepala menatap langit malam ini
yang tampak sepi tanpa bintang.
Pierre tampaknya tertarik untuk mengikuti gayaku, karena kini dia duduk di sampingku sambil men85
dongakkan kepala. "I'm sorry." ucapnya pelan.
"Untuk?" jawabku tanpa menoleh kepadanya. "Untuk
tidak memahami kamu...," bisa kulihat dari sisi mata
kananku dia kini sedang menatap arahku. "Kamu bukan
ibuku, juga bukan ayahku. Tak perlu memahamiku,
susah!" ucapku sambil mulai memandangi langit dengan
mata telanjang. "Tidak susah, karena ternyata saya bisa
paham sekarang...," dia kembali berbicara. "Paham
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa?!" wajahku kini berbalik menatapnya dengan
tatapan kesal. "Mmmh jangan cepat marah, nanti cepat
tua hehe. Mmmh... saya paham, kalau kamu ternyata
cukup memerhatikan saya," senyumnya mengembang
lebar.
Emosiku mulai terkena percikan amarah, "Apa
maksudmu?! Bule gila! Enak aja!!! Jangan ngomong
macam?macam! Mana mungkin aku perhatiin kamu!"
dadaku terengah naik turun. "Kalau sedang marah
kamu lucu sekali, Tania." Tangan kanannya menyentuh
tanganku dan saat itu juga kuhempaskan dengan
sangat kasar. "Berengsek! Dasar laki?laki jahat! Pasti
kau nakal dan suka mempermainkan wanita! Aku yakin
itu! Kau harus ingat satu hal, aku bukan wanita yang
bisa kau permainkan! Ooooh... Jadi, kepentinganmu
ke sini hanya untuk begini?! Membuatku marah?! Iya?!
Pergi" Aku tak ingin melihatmu lagi!" Entah dari mana
86
datangnya amarah ini karena sekarang emosiku begitu
meledak seperti banteng mengamuk.
Dan entah dari mana asalnya air mata ini, karena
mereka kini kembali meluncur jatuh membasahi
kedua belah pipiku. Bayangan tentang Anta kembali
berseliweran, mericuhkan isi kepalaku bahkan ricuhnya
lebih besar dari kekecewaanku pada Pierre yang saat
itu pernah membuatku begitu kesakitan. Perasaanku
benar?benar dipermainkan, dan kali ini sakitnya terasa
berlipat?lipat.
"Tania." Pierre hanya bisa berbisik pelan. Dia
terlihat kebingungan sekaligus sedih melihatku marah
dan menangis di sisinya. Bukannya meninggalkanku,
dia malah mendekatkan kursinya agar semakin dekat
dengan kursiku. Tanpa ragu dia rapatkan tubuhnya
ke tubuhku. Aku tak begitu menyadari saat tiba?tiba
tangannya mendekap memeluk tubuhku kencang
sementara tangannya sibuk mengelusi rambut dan
kepalaku. Pertahananku lumpuh dalam dekapan Pierre,
rasa marah dan emosi yang begitu menyiksaku melemah
secara perlahan. Tanganku membalas pelukannya,
dalam pelukan Pierre aku terus menangis....
"Tania, jangan bersedih... saya tahu kamu sedang
memikirkan sebuah hal yang membuatmu begitu marah.
I 'm here for you, Tania. Jangan jadikan saya musuh kamu.
87
O iya, salam kenal untukmu dari wanita yang waktu itu
kamu lihat di lift. Kami baru saja bertemu setelah 20
tahun terpisah, dia adik perempuan saya. Kamu harus
berkenalan dengannya, dia anak perempuan yang sangat
menyenangkan." Pierre berbisik pelan di telingaku
sambil tak henti mengusap rambutku.
Aku tak peduli Pierre, tapi terima kasih telah berusaha
menjelaskan semua ini untukku. Yang kubutuhkan adalah
sebuah pelukan seperti ini, pelukan yang biasanya kudapat
dari Anta.
88
Sudah satu minggu tak ada kabar yang kuterima
dari Anta. Kerinduanku akan kehadirannya semakin
memuncak, tapi aku tak kuasa merendahkan harga
diriku untuk sekadar mengiriminya pesan atau telepon
bertanya tentang kabar dan keberadaannya. Begitu
pun sebaliknya, rupanya kini anak itu punya harga
diri begitu tinggi terhadapku, dan aku yakin ini semua
pasti perbuatan wanita kampungan itu. Namun di balik
kepergiannya, ada sebuah hikmah yang kuambil. Kini
hubunganku dengan Pierre cukup membaik, bahkan
lebih dari baik.
Hampir setiap hari Pierre menggantikan posisi
Anta, menemaniku melukis di dalam studio. Tapi tetap
saja, aku belum bisa sepenuhnya memperlakukan dia
89
layaknya perlakuanku terhadap Anta. Sedikit demi
sedikit Pierre mampu menghapuskan kesedihan yang
belakangan ini cukup memusingkanku.
"Mbak Tania, mas bule sudah datang tuh, Mbak!" Bi
Eha meneriakiku dari bawah sana. Dengan sigap kuambil
tas gendongku dan segera turun untuk menemui Pierre
yang hari itu memang berencana menjemputku untuk
pergi bertamasya. Ini adalah idenya, menurutnya aku
harus pergi menikmati matahari kota ini sebelum
kulitku membusuk jika terus menerus mendekam di
dalam studio.
"Mbak, Mbak Tania tapi si Mas Bule dateng sama
cewek cantik loh Mbak. Mbak gak apa?apa?" dengan
setengah berbisik Bi Eha memberitahuku. "Iya, aku tahu.
J angan bergosip lah! Jangan mikir macam?macam!"
kujawab Bi Eha dengan ketus. Bi Eha terlihat kecewa
melihat reaksiku. Dia percepat langkahnya untuk
mendahuluiku dan membukakan pintu bawah untukku.
"Silahkan menjemput pangeran bulemu Mbak Tania."
dengan senyum jahil Bi Eha menatapku. "Berisik! !!!" Aku
cukup gusar dengan tingkah lakunya yang kini semakin
berani terhadapku.
"Selamat pagi, Tania." dengan senyum khasnya
Pierre menatapku penuh sumringah, berlebihan
memang. "Pagi." jawabku santai. "Dan ini...?" kutatap
dari atas sampai telapak kaki, sosok wanita yang
90
ada di sebelah Pierre. "Nah, ini dia Dania. Dia adik
perempuanku," Pierre memegangi tangan wanita itu
seolah memaksanya untuk berjabat tangan denganku.
"Tenang Kak, aku pasti akan bersalaman dengannya,"
sambil tertawa wanita itu melepaskan genggaman
tangan Pierre lalu mengarahkan tangannya kepadaku.
"Halo Kak Tania yang cantik, kenalkan namaku Dania.
22 tahun, masih kuliah, sudah punya pacar tapi hampir
putus karena ternyata pacarku bau ketiak. Seumur
hidup merindukan kakakku ini yang selama ini hanya
mengenalinya dari cerita mama. Dan aku senang
sekali hari ini diajaknya datang kemari, katanya mau
dikenalkan sama calon pacarnya dan diajak tamasya
bersama!" Anak perempuan ini terus berbicara tanpa
henti dengan nada bicara riang dan memekakkan
telinga.
"Kau ini gila yah?" sambil tersenyum sinis kujabat
tangannya dengan kasar. "Sedikit, tapi tak segila
kakakku yang sepertinya sedang tergila?gila padamu,
Kak. Hihihihi...," Dania kini cengengesan tak karuan.
"Shut up, Dania!!! Kamu membuat saya malu!!!" kini
Pierre yang tampak gusar akan sikap adiknya.
Aku tersenyum geli melihat kakak beradik ini,
keduanya terlihat aneh, dan sejujurnya aku selalu
menyukai orang?orang tidak konvensional seperti
mereka. Kulihat kini keduanya ikut tertawa bersamaku,
91
mungkin mentertawakan diri mereka sendiri. Kami
seperti sekumpulan manusia?manusia aneh pagi itu.
"Jadi kita mau ke mana?" akhirnya aku angkat
bicara. "Ya, ke mana kita?" Pierre bertanya kembali
padaku, membuat kedua mataku kini menonjol
keluar karena kaget, seharusnya dia tahu akan ke
mana kami hari ini. "Kemana dong kita?" Dania ikut
bicara. "Kaliannnnnnnnnnlllll" aku meneriaki mereka
dengan kesal. Mereka berdua kini kembali tertawa,
mentertawakanku yang terlihat begitu kesal. "See?
That's my girl, Dania. Seperti banteng yang selalu
siap mengamuk, hahaha!!" Pierre berbicara satu arah
pada adiknya. "Apa? Banteng katamu?" Aku kembali
berteriak, kali ini kepada Pierre.
Dania maju satu langkah dan kini dia berdiri di antara
kami, "Hahahaha! Sudah, cukup! Karena aku adalah
anak gaul kota ini, biarkan aku membawa kalian berdua
ke tempat?tempat seru!!! lni tamasya kan? Outdoor
kan? Serahkan padaku!!!" Pierre mengedipkan sebelah
matanya ke arahku. Tanpa kusadari bibirku membalas
kerlingannya dengan senyuman. Tak bisa kuabaikan
bagaimana pipiku kini terasa memanas, lantas merona,
karena kerlingan itu.
Dalam kesedihanku akan kepergian Anta, ada ke?bahagiaan yang dicipta Pierre untuk hidupku. Hari
ini, aku, Pierre, dan adiknya Dania yang sempat ku92
cemburui, telah melewatkan beberapa jam istimewa
bersama?sama. Dania mengajak kami melintasi jalanan
berbukit di daerah Lembang, lalu mempertontonkan
kepiawaiannya berkuda, dan tak lupa mengajak kami
untuk ikut berkuda bersamanya. Tanpa kusadari,
sepanjang hari ini aku terus tertawa tanpa henti.
Sepertinya baru kali ini bisa kunikmati saat?saat
menyenangkan, yang rasanya saat bersama Anta pun
tak sampai begini senang. Tanpa canggung, Pierre mulai
berani menggandeng tanganku, dan tanpa sungkan aku
mulai memeluk tubuhnya saat udara dingin Lembang
menusuk di kulitku.
Pierre memberikan suasana baru dalam hidupku, dan
adiknya, Dania, membawakanku sebuah jawaban bahwa
tak semua teman perempuan itu menyebalkan. Dalam
gelak tawa tadi siang, hatiku bersedih memikirkan
seandainya saja hubunganku dengan Tiara dan Mas
Tama bisa seperti mereka, sulit rasanya membangun
sebuah jembatan antara aku dengan keluargaku.
Dania tertidur kelelahan di dalam mobil, sedang
Pierre tampak bersedih mengantarku pulang malam ini.
Dengan lunglai dia berjalan malas?malasan di halaman
93
rumahku. "Kau kenapa sih?" aku cukup terganggu
melihat sikapnya. "Sedih," jawabannya tak membuatku
puas. "Atas apa?" seperti biasa, nada bicaraku mulai
ketus. "Saya sedih hari ini berakhir. Saya bahagia
sekali melihat kamu dan Dania bisa akrab dan tertawa
bersama, ingin rasanya mengulang kembali beberapa
jam ke belakang." Wajahnya menunduk ke bawah hingga
tak bisa kulihat bagaimana matanya berbicara.
Sambil tersenyum aku menggengam jemari tangan?nya, "Kan masih ada besok?" Pierre mengangguk
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelan, "Tapi kamu wanita yang susah ditebak, saya
tidak tahu apakah besok kamu akan ceria atau murung
seperti biasanya. Dan hari ini kamu terlihat sangat
ceria. Bolehkah saya minta agar kamu selalu seperti
ini?" Diangkat wajahnya kini menatap lurus ke arah
mataku, dengan tatapan memohon dan penuh harap.
"Aku tak bisa janji, Pierre. Kita lihat saja nanti... jika
aku bisa terus ceria dan bahagia di sisimu, berarti kamu
berhasil menaklukanku." Aku mulai mengacak?ngacak
rambutnya dengan tanganku sambil tak berhenti
tersenyum.
Bisa kulihat betapa senangnya dia mendengar
kata?kata yang baru saja keluar dari bibirku. Entah
apa yang kupikirkan karena tak biasanya aku berkata
demikian manis pada orang lain, bahkan kepada Anta
yang bertahun?tahun kukenal. Satu minggu ini terasa
94
bagai satu tahun bagi perkembangan hubunganku
dengan Pierre. Dia datang di saat yang sangat tepat.
Saat aku kehilangan sebuah pegangan yang bisa saja
menjerumuskan aku masuk ke dalam lubang kesendirian
yang lebih dalam.
Dia bukan laki?laki berengsek seperti apa yang
selama ini kuduga, sebaliknya... dia memperlakukanku
begitu sopan. "Bye Pierre, terima kasih untuk hari ini...,"
kubalikkan tubuhku saat akhirnya waktu berpisah
dengannya malam ini tiba. Pierre hanya mengangguk
pelan sambil tak berhenti tersenyum. Namun, tiba?tiba
dia memanggil namaku, "Tania." Kubalikkan kembali
tubuhku menatapnya, "Ya?"
"Tak perlu menjadi orang lain saat bersama saya, kamu
bisa ceritakan apa pun pada saya. Bersikap buruk pada saya
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah Pendekar Naga Putih 02 Dedemit Bukit Wiro Sableng 108 Hantu Muka Dua
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama