Ceritasilat Novel Online

Ananta Prahadi 2

Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati Bagian 2

pun tidak apa-apajika memangitu dirimu yang sebenarnya,

saya akan menerima itu. Kamu harus tahu, saya selalu

menyukai kamu sejak kita belum saling berkenalan. Dan

saya mulai menyayangi kamu, sejak kita saling mengenal.

Dan kamu harus tahu, happiness is here... only when

you*re near. Whatever you are, I just want to be near

::

you.

Mataku berkaca?kaca mengiringi kepulangannya

malam itu, terharu akan kata?kata yang diucapkannya

95

barusan untukku. Seumur hidup, rasanya baru kali ini

merasa begitu jatuh cinta pada seorang laki?laki. Dan

betapa beruntungnya aku karena dia adalah laki?laki

yang baik, dan menanggapi respon cintaku dengan

sangat indah.

Dalam haru ini aku mulai tersenyum, namun tiba?tiba membayangkan sosok Sukma, tunangan Anta. Kali

ini aku tak marah mengingatnya, karena aku berpikir

mungkin Sukma juga sama baiknya seperti Pierre.

Dan tak menutup kemungkinan bagi Anta merasa

bahagia sepertiku karena sikap manis Sukma padanya.

Sepertinya aku harus merubah sikapku pada mereka...

aku harus berhenti menjadi sesosok monster egois.

"Ha halo... Anta?" dengan canggung kutelepon

Anta malam itu. Bukan suaranya yang kudengar

di ujung telepon sana, melainkan suara lembut se?orang perempuan. "Siapa ya? Ada perlu apa?" suara

perempuan itu balas bertanya padaku. Ada perasaan

kesal dalam benakku, sepertinya tidak mungkin Anta

tak menyimpan nomor teleponku di telepon genggam

miliknya. Dan dalam hatiku berkata, seharusnya

perempuan ini tak perlu lagi berbasa?basi menanyakan

siapa yang sedang berbicara dengannya jika namaku

tertera di layar teleponnya.

96

"Aku, Tania. Ini pasti Sukma kan?" kucoba tetap

sopan pada perempuan ini. "Ya, saya Sukma. Ada

perlu apa ya, Teh Tania?" kembali dia mengulang per?tanyaannya, namun kali ini dengan nada bicara judes.

"Aku ingin berbicara dengan Anta, bisakah?" meski

begitu sulit menahan kekesalan ini tapi aku tetap

mencoba sopan padanya. "Tidak bisa, dia sedang tidur.

Maaf ya, Teh. Lain kali saja telepon lagi!" Sukma begitu

ketus menjawab permohonanku.

Dada ini terasa berdebar hebat, kekesalan mulai

memuncak. Namun tiba?tiba saja sekelebat bayangan

Pierre dan segala sikap manisnya membayangi kepalaku,

menahan segala emosi yang hampir meledak. Bukan

amarah yang keluar dari mulutku untuk menjawab

keketusan Sukma melainkan, "Baiklah, jika dia sudah

terbangun... mmmh nanti ataupun besok, tolong bilang

padanya aku mencarinya. Aku hanya ingin memohon

maaf kepadanya, juga kepadamu, Sukma. Maaf telah

bersikap kasar kepada kalian, sungguh aku hanya ingin

menjadi seorang sahabat yang baik untuk Anta. Dan

semoga kita juga bisa bersahabat ya, Sukma...."

Aku menunggu jawaban darinya, berharap Sukma

akan memberikan sebuah reward untuk usahaku

bersikap sopan kepadanya. Namun jawabannya di luar

dugaanku, "Baik, akan saya sampaikan pesan Teteh

pada Anta. Tapi untuk bersahabat dengan Teteh,

97

kayaknya akan sulit buat saya. Saya hanya perempuan

kampungan yang tak pantas berteman dengan seorang

tuan putri angkuh seperti Teh Tania. Terima kasih untuk

penawarannya, Teh." Lalu, telepon itu ditutup dengan

kasar, tanpa menungguku menjawab perkataannya.

Aku terdiam sendirian, mematung bagai tak bernyawa.

Seharusnya jika mendapat perlakuan seperti ini,

aku akan melemparkan semua barang yang ada di

sekelilingku dengan sangat brutal. Seharusnya aku ber?teriak?teriak kalut seperti biasanya. Namun, semua

itu tak kulakukan. Saat ini aku hanya ingin menangis,

dan meyakinkan diriku bahwa dia bersikap seperti itu

karena kesalahan dan keegoisanku saat kali pertama

mengenalnya. J auh di lubuk hatiku aku berpikir jangan?jangan sikapku selama ini juga seperti itu kepada semua

orang. Tiba?tiba aku sedang merasakan bagaimana

rasanya menghadapi seseorang yang memiliki sikap

buruk sepertiku.

Maafkan aku Tuhan, sungguh aku ingin sebuah

kesempatan untuk memperbaiki sikapku...

Kubenamkan wajahku di atas bantal tempat tidur,

masih tak percaya atas kasarnya sikap Sukma kepadaku.

98

Kepalaku terus menerus bertanya, "Kenapa kau tak

mendampratnya, Tania? wanita itu sangat kurang ajar

terhadapmu!!!!" Namun, hatiku berkata lain, "Kau harus

menerimanya, Tania. Sikap perempuan itu tadi, adalah

sebuah cerminan untukmu yang memiliki sikap seperti

itu juga. Dan kau tak pernah sadar telah menyakiti

banyak perasaan orang lain ."

Air mata menetes di pelupuk mataku, lagi?lagi

aku bertanya?tanya bagaimana mungkin seorang

aku berubah menjadi wanita dramatis yang cengeng?

Tapi malam ini, aku sangat menikmati perasaan ini

sambil sesekali memikirkan harus bagaimana kini aku

bersikap. Pikiranku melayang ke mana saja, terkadang

Anta muncul di dalamnya, kemudian Pierre, Dania,

Tiara, Sukma, ibu, ayah, Mas Tama... bahkan kadang Bi

Eha. Hidupku ini memang begitu sepi ya? Tidak banyak

orang yang kukenal selain mereka.

Dering telepon tiba?tiba saja mengagetkanku, ter?dengar begitu keras di telinga saat aku mulai hendak

tertidur setelah lama melamun. Kulihat layar telepon

genggamku cepat?cepat, ada nama Anta di sana. Awalnya

aku hanya bengong, namun segera tersadar bahwa aku

harus segera mengangkat panggilan telepon itu.

"Antaaaa!!!!!!" suaraku terdengar melengking saat

akhirnya telepon itu kuangkat. Di seberang sambungan terdengar suara yang begitu kurindukan, "Teh

99

Tataaaaaannnnnnllll Gusti nu agung sono pisan Teteh!!!

Anta kangen pisan sama Teteh Tania kesayangan Anta!"

Suara Anta tak kalah nyaringnya dengan teriakanku.

"Terima kasih Alam Semesta untuk kebahagiaan

ini! Antaaaaaaaaaa, cepat pulaaaaaaaang!!!! Aku

rinduuuuuuuuuuuuuuulll! Lekas pulang, ajak saja

tunanganmu itu untuk tinggal bersama kita!" Air mata

benar?benar berurai hebat kini, kebahagiaan ini tak bisa

kugambarkan dengan kata?kata apa pun.

Tiba?tiba Anta tak lagi berteriak disambungan

telepon, hening sekali. "Halo? Halo? Anta? Halo? Anta!"

aku mulai cemas. Kupikir sambungannya memang

terputus, namun ternyata tidak, karena kini suara itu

muncul lagi namun dengan nada bicara yang lebih pilu

daripada sebelumnya.

"Belum bisa sekarang Teteh, tapi nanti Anta akan

datang... kalau semuanya sudah beres. Teteh sehat ya,

jangan lupa untuk terus melukis. Titip salam untuk

Pierre, Teh."

tut tut tut

Kali ini benar?benar mati, tak ada lagi suaranya.

100

Hari ini terasa begitu kelabu bagiku. Entahlah, rasa?nya suara Anta dini hari tadi masih terus menghantuiku.

Ada apa sebenarnya dengan anak itu? Pikiran jahatku

mengenai tunangannya yang menyebalkan mulai

menguasai. Terakhir kulihat wajahnya, anak itu terlihat

sangat lugu dan polos, aku bahkan menganggapnya

seperti anak?anakperempuan cengeng yang selalu minta

dilindungi oleh kekasihnya. Berani benar dia berbicara

seperti itu kepadaku, kepalaku terus menghujatnya.

Ah, tapi sudahlah, yang terpenting adalah Anta sudah

bersikap normal kepadaku, dan dia tidak marah seperti

yang kubayangkan sebelumnya.

Mataku menerawang jauh keluar jendela kamar

yang pagi itu kubuka lebar?lebar. Sambil menghirup

101

udara dingin Kota Bandung, aku terus melamunkan

apa yang sedang terjadi belakangan ini di hidupku. Eh,

tapi tunggu dulu, kenapa Anta titip salam untuk Pierre?

Dari mana Anta tahu bahwa kini aku dekat dengan

Pierre? Bahkan, sebelumnya aku tak pernah bercerita

kepadanya soal kedekatan kami ini. Aku mulai curiga,

jangan?jangan sebenarnya Pierre dan Anta bersekong?kol untuk mengelabuiku?! Napasku tiba?tiba menderu,

emosi menyeruak tanpa sebab. Kuambil telepon

genggamku, dan menekan nomor Pierre, kecurigaanku

ini membutuhkan kepastian.

Aku lupa pada kemanisan Pierre semalam, karena

suaraku langsung meninggi saat suaranya terdengar di

sambungan telepon sana. "Pierrell Jelaskan kepadaku,

apa kau bersekongkol dengan Anta? Aku tahu,

sebenarnya kau dan Anta tengah bekerjasama untuk

suatu hal yang tak aku tahu! Iya, kan?" tanpa basa?basi

kuberondong Pierre dengan banyak pertanyaan. "Wait,

tunggu Tania. Apa itu ber kongkol? I don't get it. What's

wrong Tania? Saya baru saja bangun," Pierre agak kesal

padaku, terdengar dari nada bicaranya.

"Dengar baik?baik. Apakah kamu bekerjasama de?ngan Anta? Apakah kamu sebenarnya tahu apa yang

terjadi pada hidupku dan Anta belakangan ini?!" emosiku kian meledak.

102

"Dengar baik?baik Tania, saya tidak pernah me?rencanakan suatu hal bersama Anta! Saya tidak ber?bicara dengannya selain saat bersamamu. Dan dengar

Tania, kesedihanmu terhadap Anta membuat saya

muak! I 'm sick and tired of it! Sepertinya kamu jatuh cinta

kepadanya? Is it right?" Pierre menjawab pertanyaanku

dengan sangat marah, aku tak pernah mengira

jawabannya akan seperti ini.

Seumur hidup, baru kali ini aku berusaha merajuk

pada seseorang, dan orang itu adalah Pierre. Semenjak

kemarahannya tadi pagi di telepon, perasaanku

mendadak sedih tak karuan. Perasaan bersalah

menyergapku setelahnya, apalagi setelah Pierre

menutup sambungan telepon tanpa menungguku

menjawab pertanyaan konyolnya. Berulang kali ku?coba menghubunginya lagi, namun tak satu kali pun

teleponku diangkat olehnya. Aku sudah kehilangan

Anta, dan aku tak ingin kehilangan lagi orang yang kali

ini telah membuatku benar?benar jatuh cinta.

Kini aku berdiri di depan kamar hotelnya, masih di
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hotel yang sama seperti waktu itu. Sudah berkali?kali

103

kutekan bel di pintu kamar itu, namun nihil, tak ada

jawaban dari dalam sana. Akhirnya kuputuskan untuk

menuju resepsionis menanyakan keberadaan penghuni

kamar itu. Betapa kesalnya aku saat resepsionis hotel

mengatakan kepadaku bahwa sudah satu minggu

lamanya tamu hotel bernama Pierre Renard tak lagi

menginap di hotel itu. Ke mana dia? Dengan kesal aku

tak berhenti memikirkannya. Rasanya kebebasanku

yang selama ini kujunjung tiba?tiba hancur dirobohkan

oleh dua laki?laki brengsek!!! Tapi, aku tak bisa berpura?pura tak peduli pada mereka berdua.

Tiba?tiba saja wajah Dania melintas, dan aku

ingat, kemarin kami sempat bertukar nomor telepon.

Kutelepon Dania, demi mencari keberadaan Pierre,

meski sebenarnya hati kecilku merasa malu akan hal ini.

Bagiku, ini seperti masalah cengeng yang menjijikkan.

Tapi tidak bagi perasaanku, aku ingin Pierre tahu

bahwa aku begitu peduli kepadanya, jauh melebihi

peduliku terhadap Anta. Eh, tapi apa benar seperti itu?

Hmmm entahlah, setidaknya Pierre masih bisa kugapai,

sementara mengenai Anta, aku benar?benar buta.

"Halo, Dania?" dengan ragu kusapa Dania yang

terdengar sangat ceria siang itu. "Haiiii Mbak Tania!!!

)

Ada apa menelponku? Hihi...,' jawab Dania dengan

gaya khasnya. "Hmmm mmmh... kamu tahu di

mana Pierre?" dengan malu akhirnya kuucapkan juga

104

pertanyaan itu. "Kasih tau nggak yaaa? Kasih tau jangan

yaaa? Mau tau aja? Atau mau tau bangetttt?" Dania

terus cekikikan. "Serius!" jawabku ketus. "Yah... calon

kakak ipar galaknya minta ampun nih hihi. Iya deh, Kak

Pierre lagi bantu Mama masak tuh di dapur hihi. Sini

deh, Mbak" Kita coba masakannya Kak Pierre enak atau

nggak hehehe," dengan cueknya Dania mengundangku

datang ke rumahnya.

"Oh, jadi dia ada di rumahmu. Tidur di sana juga?",

masih dengan ketus kutanyai dia. "Iiiiih masa nggak

tau sih? Udah seminggu kali, Kak. Rumah kami kan

rumahnya Kak Pierre juga. Udah?udah, sini deh

Kak, daerah Jalan Hegarmanah yah, nggak jauh dari

supermarket Setiabudi. Nanti aku jemput Kakak, oke?"

dengan polosnya Dania terus bercerocos. "Mmmh,

aku boleh minta satu hal dari kamu?" dengan sedikit

memohon aku bertanya. "Apa itu?" Dania mulai

terdengar kebingungan. "Tolong, jangan bilang Pierre

kalau aku mau datang. Please?" setengah berbisik aku

bertanya. "Yayyyyyy!!!! Aku suka surprise!!! Ya ya ya ya

aku ngerti!!! Okeeee Mbak Tania cantikku!" Dania kini

berteriak?teriak seperti orang gila. Tiba?tiba, Dania

berhenti tertawa, lalu bertanya serius padaku, "Astaga!

Kak, apa ini hari ulang tahun Kak Pierre?" Tanpa

menjawabnya, kuputus sambungan telepon dengan

kasar. "Dumb blonde!" bibirku menggerutu.

105

Cuaca siang ini cukup panas, tapi tidak terasa panas

saat kakiku berdiri tepat di bawah pohon beringin yang

berdiri tegak dan rimbun di depan halaman rumah

Mama Pierre dan Dania. Sejak tadi Dania memaksaku

untuk masuk, tapi aku menolaknya, karena aku ingin

berbicara empat mata dengan Pierre terlebih dahulu.

Kuminta Pierre menghampiriku di sini, namun sudah

10 menit aku berdiri, dia tak kunjung datang. Halaman

rumah ini begitu luas, dengan hamparan rumput hijau

beratus?ratus meter persegi. Aku yang sejak tadi berdiri

akhirnya memutuskan untuk duduk di atas rerumputan

ini. Entah kenapa, rasanya seperti pernah mengalami

suasana seperti ini, namun entah di mana itu, benar?benar terasa seperti dejavu.

Sosok yang sejak tadi kutunggu akhirnya muncul dari

kejauhan, mengenakan kemeja putih dan celana putih

santai, melenggang tanpa alas kaki. Hatiku berdegup

kencang, menanti reaksi terburuk dari seorang Pierre

yang tadi pagi terdengar cukup marah kepadaku. Lambat

laun sosok itu semakin mendekat, dan ekspresi wajahnya

kini bisa terlihat lebih jelas. Hatiku meleleh saat wajah

itu mengembangkan senyum khasnya menatapku, tak

seperti yang kuduga sebelumnya. Tanpa berkata?kata

106

dia terus mendekatiku, tak sedetik pun membiarkanku

mengucap sapa. Tangannya terbuka lebar di depanku,

lalu mendekap tubuhku dengan sangat erat. Bayangan

tentang mimpi waktu itu langsung menyentak, ya,

benar! Kejadian ini pernah terjadi di mimpiku! Aku

ingat sekarang.

Pierre terus menerus memelukku kencang tanpa

melepasnya, sesekali tangan kananku mencubit sebelah

pipiku memastikan kalau ini bukanlah sebuah mimpi.

"Tidak, ini bukan mimpi, Tania."

"Thank you Tania, terima kasih. Saya pikir kamu tidak

akan datang, namun ternyata saya salah. Maaf kekasar?an saya pagi tadi. Saya tidak bersekongkol dengan Anta,

hehe sekarang saya tahu arti kata jelek itu hehe. Oh

iya, saya tak pernah merasa cemburu pada Anta, setiap

orang bebas menentukan perasaannya, termasuk kamu,

Tania. Dan maaf, saya tidak angkat telepon kamu. Saya

hanya ingin tahu, apakah kamu peduli pada saya atau

tidak. Saya tahu, kamu tidak pernah tahu di mana saya

tinggal, dengan siapa saya tidur, karena kamu tak pernah

sekali pun bertanya tentang semua itu kepada saya. Dan

kedatanganmu ke sini, meyakinkan saya bahwa kamu

peduli pada saya...," Pierre mendekapku lebih keras

setelahnya.

Dan aku membalas dekapan itu, tanpa sadar bibirku

berkata, "Tidak hanya peduli. I'm in love with you,

107

Pierre." Sepertinya Pierre terkejut pada kata?kata yang

baru saja terlontar tanpa sadar dari bibirku.

Dekapannya mengendor, dan kini matanya ter?lihat berbinar. Mataku terpaku saat matanya terus

menelusuk jauh masuk ke dalam retinaku, wajahnya

terus mendekat sementara wajahku diam mematung.

Siang itu, kami berciuman untuk pertama kalinya. Dan

ini adalah ciuman pertamaku, aku bahagia... hanya itu

yang bisa kuungkapkan. Rasanya seperti melayang,

dan aku ingin terus melayang karena tak sedetik pun

perasaan ini membiarkan segala masalah masuk ke

dalamnya.

Hingga malam menjelang, aku masih bertahan di

rumah Mama Pierre. Aku, Pierre, Dania, dan mamanya,

memutuskan untuk memasak bersama. Gelak tawa

mewarnai sepanjang hari itu, lagi?lagi Pierre membawa

banyak tawa ke dalam hidupku. Aku benar?benar

menikmati rasanya menjadi seorang manusia, karena

selama ini aku terlalu larut menjadi seorang manusia

planet. Pierre dan keluarganya mampu menarikku untuk

menginjakkan kaki di atas tanah dan memperkenalkan

betapa indahnya memiliki sebuah keluarga. Meski ke108

luarga mereka bercerai berai, tapi hubungan ketiganya

begitu hangat dan akrab. Mama Karni, mama Pierre dan

Dania, adalah sosok seorang ibu yang sangat bijaksana

dan lembut. Hatiku terus menerus berbisik lirih....

Seandainya ibuku seperti dia seandainya keluargaku

seperti keluarga ini.

Aku pulan g ke rumah dengan wajah ceria, tak seperti

biasanya. Entahlah, aku mulai membuka pikiranku

tentang kehidupan normal bersama keluargaku

di rumah. Ingin rasanya memperbaiki kondisi hu?bunganku dengan mereka, aku ingin nyaman tinggal

di rumah seperti saat berada di rumah Mama Karni.

Dengan riang kulangkahkan kakiku menuju rumah,

Pierre tak mengantarku pulang karena aku datang

ke rumahnya dengan mengendarai mobilku. "Halooo

Buu, Tiara? Yahh?" Aku berteriak?teriak memanggil

seluruh anggota keluargaku. Nihil, tak ada jawaban dari

setiap sudut rumah. Mataku terus berkeliling mencari

keberadaan mereka, namun tak berhasil kutemukan.

Akhirnya kuputuskan untuk mencari Bi Eha, satusatunya penunggu rumah yang biasanya tak pernah

109

susah dicari. "Bi Ehaaaaa, Biiii. Halooooo Bi Eha

genduuuutttt, di mana keberadaanmu Bi Ehaaa???" Dari

arah halaman belakang kulihat Bi Eha berlari tergopoh?gopoh menghampiriku. "Waslap non Mbak Tania? Aya

naooon?" Bi Eha tampak terengah mengatur napasnya.

"Ke mana orang?orang?" tanyaku. "Ada kok Mbak, Ibu

sama Bapak ada di dalam kamar, mungkin sedang di

balkon Mbak. Coba aja cari di dalam kamar...." Tanpa

ba bi bu kutinggalkan Bi Eha yang nampaknya masih

berbicara denganku, samar kudengar dia mengumpat.

"Uh dasar, tuan putriiiii...."

"Bu, Ayah?" kulongokkan kepalaku ke dalam kamar

orang tuaku. "Tania!!!" Ibu tampak terkejut melihat

kemunculanku. Ayah sama terkejutnya seperti ibu,

keduanya tiba?tiba menghampiriku dengan cepat. Aku

cukup heran dengan sikap mereka, "Loh loh loh loh,

ada apa, Bu? Yah?" Ayah tampak serius, sementara ibu

terlihat khawatir menatapku. "Tadi Tiara mendapat

telepon, entah siapa itu. Namun sepertinya telepon itu

cukup genting Tan, karena Tiara langsung buru?buru

pergi meninggalkan rumah ini. Tanpa berganti pakaian,

tanpa membawa tasnya." ibu menyerocos cepat.

Kupotong kata?katanya, "Oke oke, lalu apa

hubungannya denganku? Mungkin saja dia memang

mendapat telepon dari rumah sakit tempat dia koas

kan, Bu? Kayaknya itu hal yang wajar deh!" Ayah

110

menggeleng?gelengkan kepalanya resah, membuatku

mulai merasa khawatir. "Sebelum pergi, kami sempat

menanyai Tiara tentang telepon itu. Dia bilang, ini ada

hubungannya dengan Anta, Tan."

Bagai petir di siang hari, aku merasa tersambar

hebat mendengarnya. Perasaan bahagiaku mendadak

luluh karena hal ini, badanku bergetar, air mata mulai

berjatuhan. "Tiara pergi ke mana, Bu? Yah? Ke mana

diaaaa?????" aku berteriak?teriak setelahnya.
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perasaan bersalah menggelayut hebat di hatiku, kenapa

hari ini aku bisa melupakan Anta? Dan kenapa Anta tak

menghubungiku? Kenapa harus Tiara yang dia telepon?

Kenapa bukan aku? Lalu apa yang terjadi pada Anta?

Kenapa aku tak tahu apa-apa?

Badanku ambruk seketika, ayah dan ibu mem?bopongku untuk berdiri sambil tak henti mereka men?coba menghiburku, meski mereka tahu itu percuma.

"Yah, ke mana Tiara, Yah? Ke mana dia, Yah? Aku harus

mencarinya!!! Tolong beritahu aku, toloong!!!" aku

menangis sejadinya. Kedua orangtuaku bahkan tak tahu

ke mana perginya Tiara. Mereka bilang mereka sudah

mencoba menghubungi tempat anak itu koas, namun

Tiara tak ada di sana. Ibu masih mendekap tubuhku,

ayah masih sibuk menghubungi Tiara.

111

Aku yang sejak tadi menangis tiba?tiba berdiri,

menghapus air mataku, lalu berlari keluar rumah. Kedua

orangtuaku tampak kaget melihatnya, mereka mencoba

menahanku... namun tak berhasil, aku mendobrak

pertahanan mereka yang coba menghalangiku. "Aku

harus mencari mereka! Aku harus tahu apa yang terjadi

pada Anta." bibirku terus menggumamkan kata?kata

itu.

112

Dalam kegelapan langit malam ini, mataku terus

memicing ke segala arah, mencari setiap rumah sakit

yang ada di kota ini. Beratus jalan kulalui, berpuluh

lorong rumah sakit kutelusuri, sedang perasaan bersalah

tak juga menyurut dari dalam diriku. Betapa buruknya

diriku ini sebagai sahabat untuk Ananta Prahadi,

seharusnya aku tahu apa yang terjadi kepadanya saat

ini.

"Tuhan ke mana lagi aku harus mencarinya."

bibirku bergetar, air mata tak juga berhenti mengalir.

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, tak ada

satu pun pertanda keberadaan Anta, Sukma, maupun

Tiara. Tak pernah kurasakan rasa putus asa begini besar,

seperti keputusasaanku malam ini. Telepon genggamku

113

tak berhenti berdering. Ibu, ayah, Pierre, terus menerus

menghubungiku sejak tadi. Tak satu pun kupedulikan,

aku sedang tak ingin diganggu... aku hanya ingin

menemukan Anta.

Aku terduduk kini, di salah satu sudut lorong rumah

sakit. Yang aku tahu, di rumah sakit inilah adikku

Tiara sedang menjalankan koas untuk menyelesaikan

sekolahnya di fakultas kedokteran. Harapanku saat ini

adalah melihat sosok Tiara, Sukma, dan Anta di sini. Aku

yakin mereka pasti ada di sini. Rasa lelah tak terelakan,

waktu menunjukkan pukul 4 pagi kini. Tanpa terasa,

aku tertidur sambil menelungkupkan kepalaku dan

menempelkannya rapat pada kedua paha yang sengaja

kutekuk untuk menghalau udara dingin. Saat tengah

terlelap, tubuhku dikagetkan oleh dekapan hangat

tubuh seseorang. "Anta?!" refleks kubuka kedua mataku

sambil merentangkan kedua tanganku.

Dekapan itu mengendur, menjauh beberapa

sentimeter dari tubuhku, namun kemudian terasa

kembali mendekat lantas kembali memeluk tubuh

dinginku. "Ayo kita pulang, Tania. Saya tidak mau

melihatmu sakit. Anta pasti akan datang, tak usah

khawatir. Kamu bisa menunggunya di rumah," suara

hangat Pierre meruntuhkan pertahananku untuk tak

lagi menangis saat itu.

114

Air mata lagi?lagi mengalir deras dari kedua pelupuk

mataku, "Pierre, I'm tired of crying, but I cannot hold the

tears back. I 'm too confused, Pierre. I don't want to be like

this, such a horrible person." Pierre menyunggingkan

senyumnya menatapku, sambil perlahan mengusap

pelipisku yang mulai membeku, "Go on and cry, Tania.

God creates tears to cry. And God created me to see those

tears Howing out of your eyes"

Bibirku tersenyum menatap wajahnya, dan mem?biarkan tanganku dibimbingnya berdiri dan me?ninggalkan lorong rumah sakit itu. Entah kenapa, kaki

ini terasa begitu kaku saat dipaksakan untuk berdiri.

Tanpa sadar, bibir ini mengerang menahan sakit

saat rasa ngilu menjalar dari kedua kakiku, mungkin

mereka masih kaku karena terlalu lama terdiam

dalam posisi yang sama. Pierre tampak kaget melihat

kondisiku, tanpa bertanya dia mengangkat tubuhku dan

menggendongnya dengan cepat.

Awalnya aku menolak, namun Pierre tak bergeming

pada penolakanku, dia terus menggendong tubuhku

dan membawaku pergi meninggalkan lorong itu.

Kupeluk tubuhnya erat, beberapa orang menatap kami

dengan tatapan aneh dan nyinyir, namun kami tak

peduli. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari

mulut kami saat Pierre mulai mengendalikan mobil

115

yang sejak tadi menemaniku menjelajah setiap sudut

Kota Bandung untuk pulang. Tangan kirinya tak henti

mengelus rambutku yang berantakan, sementara aku

hanya terpaku membiarkan mataku kosong menembus

pikiran?pikiran tentang Anta yang mungkin saja tak

pernah akan kembali lagi.

Ibu dan ayah tampak lega melihatku akhirnya

muncul di ruang tamu rumah. Mata ibu tampak sembab

akibat menangis, sementara ayah tersenyum ramah

menatap Pierre, seolah berkata, "Terima kasih telah

membawa putriku pulang." Pierre tidak pulang pagi itu,

dia memutuskan untuk menemaniku di kamar hingga

aku benar?benar bisa tertidur. Tubuhku berbaring

lemah di sisi Pierre yang tak henti mendekapku di atas

tempat tidur, "Tidurlah Tania, saya yakin sahabatmu

itu akan datang lagi.... Saya akan menjagamu dari segala

mimpi buruk yang sedang menimpa hidupm u".

Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku siang itu,

seperti baru terbangun setelah bertahun?tahun tak

sadarkan diri. Sudah tidak ada Pierre di sisiku, mungkin

dia sudah pulang saat aku tertidur. Sekilas kutatap

wajahku saat sedang melewati cermin kamar, astaga...

116

buruk sekali kondisinya, bengkak hingga nyaris tak

membentuk wajah seorang perempuan. Aku terlalu

banyak menangis malam tadi, hingga rasa?rasanya

mataku ini terlalu lelah bahkan untuk dipakai berkedip.

Hampir saja kubuka mulut untuk meneriakkan nama

Bi Eha. Aku hanya butuh segelas air putih untuk

menghilangkan dahaga di tenggorokanku yang terasa

mulai sakit. Namun kuurungkan, sepertinya lebih baik

aku turun saja ke dapur... bertahun?tahun aku menyiksa

Bi Eha dengan teriakan?teriakan kasarku, sungguh

siang itu aku merasa tidak enak akan sikap burukku

kepadanya.

Meski lunglai, kulangkahkan kakiku menuju dapur

yang ada di lantai bawah, berat sekali. Suasana bagian

bawah rumah kali itu terasa lain dari biasanya, sepi

bagai tak berpenghuni. Kulongokkan kepalaku mencari

seseorang yang mungkin bisa kuajak bicara, namun

nihil. Kulanjutkan langkahku, mengambil sebuah gelas

lalu mengisinya dengan air putih. Aneh, pikirku. Bahkan

Bi Eha yang selalu ada di dapur ini pun siang itu tak

terlihat penampakannya.

Tanganku masih memegang gelas, mulutku masih

meneguk air putih yang ada di dalamnya, saat tiba?tiba suara Bi Eha mengagetkanku dari arah belakang

hingga air yang sedang kuminum berhamburan ke

segala arah keluar dari mulutku. "Mbak Tania!!! Aduh

117

Bi Eha kaget suganteh siapa, kirain Bibi ada maling!!!!"

Bi Eha beteriak dengan suara keras. "Astaga Biii...

aduh aduh, tuh kan jadi berantakan air minumnya"

tanganku sibuk mengambil tisu untuk mengeringkan

bagian depan bajuku yang basah. "Yang lain ke mana ya,

Bi?" aku mulai menanyainya. Bi Eha tampak canggung

mendengar pertanyaanku, namun dia akhirnya men?jawabnya... pelan dan terdengar hati?hati. "Semua ada

di kamar Kang Anta, Mbak...."

Gelas yang sejak tadi kupegangi tiba?tiba saja

meluncur cepat dari tanganku, jatuh dan pecah, saat

dengan kasar bertubrukan dengan lantai marmer dapur.

Tanpa berkata, aku berlari menuju paviliun Anta.

"Antaaaall!!!" bibirku berteriak sambil membuka

pintu paviliun kamarnya dengan paksa. Pintu itu terbuka

lebar, dan benar saja... seluruh anggota keluargaku

tampak berkumpul di sana, termasuk Sukma. Mereka

tampak mengelilingi tempat tidur Anta, dan mundur

saat aku mulai mendekati tempat tidur itu. Hatiku

berdebar kencang, aliran darahku terasa berhenti sesaat

saat kulihat tubuh sahabatku tampak terbaring lemah

di sana, air mata mulai menetes lagi. "Antaaaa!!! Kenapa

kamu Anta?!" bibirku kembali berteriak. Tubuhku

bergerak lebih cepat dan memaksakan diri untuk ikut

terbaring di sisi tubuh lemahnya. Ibu, ayah, Tiara, dan

Sukma berusaha mencegahku, namun tak kupedulikan.

118

Bibirku terus memanggil namanya, "Anta kenapa

sih kamu, Anta?!!? Bangun Anta! Aku rindu sekali

Antaku!!!" Pelan namun tetap kurasakan, tangan Anta

perlahan bergerak lalu menyentuh tanganku yang sejak

tadi berusaha menggerakkan tubuhnya. Lirih sekali dia

berbisik, "Teteh Tatan kesayangan Anta, Anta pulang...."

Air mata kini mengalir deras, tak kupedulikan bagai?mana nyinyirnya tatapan Sukma melihat kami bersikap

seperti seolah tak pernah berjumpa berpuluh tahun.

Mungkin anak itu kesal melihat keakraban kami, karena

kini tangannya benar?benar menyentuh pundakku

sambil berucap, "Sudah Teh, jangan mengganggu Anta!

Dia butuh istirahat! Bukan drama semacam ini!" Bisa

kulihat bagaimana ekspresi kedua orangtuaku atas

ucapan Sukma yang begitu sinis terhadapku, namun

kekagetan itu tak terlihat dari wajah Tiara bahkan Anta.

"Iya Mbak, biarin Anta istirahat dulu," Tiara membela

Sukma.

Hampir saja mulutku berteriak meneriaki mereka,
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun urung saat melihat Anta tersenyum lemas

menatapku sambil menganggukkan kepalanya pelan.

Tubuhku mundur beberapa langkah, "Anta, kamu nggak

boleh kayak gini lagi ya, aku tak kuat menahan beban

sendirian." bibirku mengucap kalimat itu.

119

Akhirnya Tiara menceritakan apa yang telah terjadi

pada Anta, rupanya gegar otak ringan akibat terjatuh

dari tangga tempo hari lah penyebabnya. Rasa sakit

kadang menjalar di kepalanya, hanya saja kemarin anak

itu tak tahan lagi menahan sakit. Aku baru tahu, ternyata

Sukma dan Tiara sudah saling mengenal. Rupanya

Sukma adalah seorang calon perawat yang mendapat

tugas di rumah sakit tempat Tiara koas, dan memang

Sukma lah yang berinisiatif untuk menghubungi Tiara

pada waktu itu.

Aku paham betul alasan Sukma tak menghubungiku,

bisa kulihat dengan jelas di matanya kebencian dia

terhadapku. Sikap Sukma begitu baik pada anggota

keluargaku yang lain, bahkan pada Bi Eha. Namun

kepadaku, seperti biasa, sangat ketus dan galak. Aku

tak keluhkan hal itu, yang kupedulikan kini hanyalah

kesehatan Anta. Beruntung kini anak itu mau kembali

tinggal di paviliun rumahku, walaupun kini ada Sukma

yang tinggal di paviliun lainnya di rumah ini. Ayah dan

ibu memutuskan untuk membiarkan keduanya ada di

sini, setidaknya sampai kesehatan Anta benar?benar

pulih.

Pierre datang siang itu, membawa beberapa bungkus

makanan untuk makan siang keluargaku. Wajahnya

120

tampak sumringah saat melihat aku yang siang itu

tampak lebih periang dari biasanya. "Pierre!!!" aku

berteriak sambil berjingkrak menuju ke arahnya. Tanpa

menunggu kata?kata lain meluncur dari mulutku,

dia berbicara, "Ya! I know Tania, Anta sudah kembali

bukan? Benar kataku kan?" sambil tak henti terkekeh

menatapku. "Ya, Pierre! Dan aku sangatbahagia! !! Terima

kasih telah menjagaku semalaman!!!" kulingkarkan

kedua tanganku di lehernya. Dia kembali terkekeh,

"Jangankan malam ini, seumur hidup menjagamu pun

aku bersedia, Tania."

Kami berdua tak tahu ada dua pasang mata me?mandangi kami siang itu dari arah kamar, pemilik dua

pasang mata itu keluar dari kamar dan mulai mengusik

kami dengan berbicara, "Ehmm... jadi maksudmu kamu

akan melamar Tania dan menjadikannya istri, Pierre?"

Ayah melintas di sekitar kami diikuti Ibu yang kini

tersenyum lebar. Wajah Pierre merah padam, sedang

mulutku mulai meluncurkan kata?kata tampikkan pada

mereka. "Ayah! Ibu! Kalian menguping pembicaraan

kami ya? Aku baru akan menikah nanti kalau Tiara

sudah menikah duluan dan punya 4 anak!" Entah apa

yang kuucapkan namun kini kulihat semua orang yang

ada di sekelilingku tertawa mendengar apa yang baru

saja kuucapkan, termasuk Pierre.

121

"Enak saja!!! Aku menikah nanti 10 tahun lagi!

Kalau menungguku selama itu, mungkin Mbak sudah

terlalu tua dan bau tanah!" Tiara tiba?tiba muncul dan

ikut bersuara. ibu angkat bicara, "Hush! Sembarangan

kalian ini!" Namun, bentakan ibu memecahkan gelak

tawa yang cukup lama, mungkin bisa dibilang ini adalah

momen langka di keluarga ini. Suasana hari itu lain dari

biasanya, aku merasa keluarga ini menjadi lebih hangat

dari sebelumnya. Hatiku berbisik kecil,

"Tuhan terima kasih telah mengembalikan Anta ke

dalam hidup kami... hanya dia yang bisa merubahku men
jadi seorang perempuan yang lebih baik."

122

"Sukma, boleh aku berbicara empat mata saja

dengan sahabatku?" malam itu aku meminta izin

kepada Sukma. Wajah ketus itu kembali muncul, "Ada

apa ya, Teh?" Aku terdiam memikirkan kata?kata

sopan untuk menjawabnya, kurasa anak ini berhasil

membuatku takut. "Mmmh aku hanya ingin melepas

rindu dengannya," hati?hati sekali aku berbicara. Sukma

terlihat mengernyitkan keningnya, "Bisa besok lagi

kan? Kang Anta masih belum bisa banyak bicara, harus

bener?bener bedrest!"

Aku mengangguk pelan, kutatap wajah Anta yang

masih terbaring lelah sambil memejamkan matanya.

"Baiklah, besok aku ke sini lagi ya mmmh, kalau

kamu tak keberatan, izinkan aku menggantikan kamu

123

menungguinya, boleh?" kupasang wajah penuh harap.

"Teteh nggak mengerti apa?apa soal medis, sudah

biar saya saja yang menunggui dia," Sukma tampak

berang mendengar permintaanku barusan. Tanpa

kembali bertanya, kubalikkan tubuhku untuk pergi

meninggalkan paviliun itu. Namun baru beberapa

langkah aku berjalan, tiba?tiba kudengar suara itu.

"Teteh Tatan... mau ke mana? Udah di sini aja sama

Anta, Insya Allah walaupun ngga mandi 8 hari, Anta

mah tetep kasep dan wangi." Pelan sekali, namun

suara itu berhasil membalikkan tubuhku kembali, dan

menarik banyak air mata haru untuk memenuhi bola

mataku. Sukma tampak gusar, namun kulihat Anta

meremas tangannya sambil mengedipkan sebelah mata

menatapnya, seolah sedang berbicara, "Kau keluar

saja, aku baik?baik saja bersama Tania." Aku begitu

bersemangat mendekati tubuh lemah Anta, sementara

Sukma tampak kesal meninggalkan kami berdua di sana.

Kuremas tangan Anta dengan lembut, lagi?lagi air mata

menetes saat kurasakan detak nadinya begitu lemah.

Sudah hampir satu minggu Anta terbaring lemah di

atas tempat tidur paviliunnya, hampir setiap hari aku

merasa cemas akan keadaannya. Namun, Sukma selalu

saja menghalang?halangiku untuk menemani Anta.

Biasanya saat aku mulai memohon pada Sukma, Anta

tengah tertidur lelap, mungkin karena obat?obatan yang

124

dikonsumsinya saat inilah yang membuatnya selalu

tertidur. Beruntung, malam ini aku datang saat Anta

sedang terbangun dari tidurnya.

"Jangan sakit Anta, aku tak kuat melihatmu seperti

ini. Aku ingin melihatmu kembali cerewet dan ceria, aku

ingin melihatmu bahagia," mulutku terus berbicara.

Anta menatapku sambil tersenyum, "Teteh Tatan

kesayangan Anta kenapa jadi cengeng begini? Anta

bahagia sekali Teh, bisa kembali ketemu Teteh. Bisa

merasakan udara rumah ini juga membuat Anta merasa

sangat senang. Kalau masalah cerewet, tenang ajah... 2

hari lagi juga Teteh Tatan bakal pusing mendengar Anta

cerewet." Aku tertawa kecil mendengarnya berbicara

seperti itu, kata?kata yang keluar dari mulutnya

belakangan ini sangat kurindukan. Dan bagiku, ini

adalah sebuah momen berharga yang sangat mahal.

"Anta, bolehkah aku tidur di sini, malam ini?" mataku

kembali berkaca?kaca menatapnya. Dia tertawa men?dengarnya, "Astaghrullah si Teteh mah sok aneh?aneh

wae... boleh atuh, Teteh..." Aku tersenyum lebar, lalu

memeluknya sambil sesekali mengencangkan pelukan

itu. "Terima kasih Anta. . . ." Tiba?tiba, dia menjerit lemah,

"Nyeri, Tetehl! Jangan keras?keras teuing meluknya!"

Kami tertawa lepas setelahnya, saling berbisik bercerita

tentang apa saja hingga tertidur sampai keesokan

harinya.

125

Pagi ini Bi Eha memasak banyak sekali makanan,

bahkan tambahan beberapa jajanan pasar yang dia beli

di pasar tampak berwarna?warni menceriakan suasana

meja makan. Anta sudah lebih sehat, ikut duduk

berkumpul mengelilingi meja makan besar rumah ini.

Ada ayah, ibu, Tiara, Sukma, aku, dan sebentar lagi

Pierre akan datang untuk ikut sarapan bersama kami

semua. Suasana begitu hangat, aku tak henti tertawa

berbincang dengan seluruh anggota keluargaku. Sekali?kali Anta berkelakar polos dan lucu dengan khasnya,

membuat kami semua tertawa. Sukma masih saja tak

ramah terhadapku, namun dia masih bisa bersikap sopan

dan ikut tertawa jika ayah, ibu, atau Tiara berceloteh.

Bahagia ini baru pertama kali ku rasakan, selama

ini aku selalu menganggap keluargaku kaku dan dingin.

Namun, kini aku mengerti, sebenarnya mereka adalah

keluargayan g sangat menyenangkan, hanya aku saj ayan g

menutup diriku dari mereka semua. Bisa kulihat mata

ibuku tampak berseri?seri bahagia menatap perubahan

diriku yang mungkin baginya cukup signifikan. Sungguh

aku menyukai diriku yang sekarang, dan lagi?lagi untuk

pertama kalinya aku merasa mencintai hidupku.

126

"Halo semua, selamat pagi...," Pierre datang dan

langsung menyapa semua orang yang ada di ruang

makan. Matanya langsung menatap ke arah Anta,

"Bagaimana kesehatanmu sekarang, Anta?" Anta

tersenyum kaku, menatap ke arahku lalu menatap

ke arah Pierre. "Baik Pierre, sudah sehat... tapi belum

seganteng kamu sih, kumaha atuh?" Semua yang ada di

sana tertawa mendengar komentarnya, tak terkecuali

Sukma yang sejak tadi tak banyak bicara. Kupukul manja

tangan Anta, "Dasar anak kampung," ucapku sambil

tertawa. Pierre terlihat berbeda pagi itu, entahlah...

sepertinya ada yang lain dari penampilannya hari itu.

Kupersilahkan dia duduk di sampingku. Kebahagiaanku

sempurna, di samping kiri ku ada Anta, sementara di

sebelah kananku ada Pierre.

Mataku menyipit menatap Pierre, "Ada yang beda

dari kamu, Pierre. Apa ya?" Pierre tampak bingung,

"Apa ya? Mmmh... kumis? Saya baru cukur tadi pagi,"

jawabnya gugup. Kugelengkan kepalaku. Anta ikut

berbicara, "Karang (tahi lalat) nya ilang satu yah?"

"What? Karang? Apa itu?" Pierre tampak bingung.

Kami kembali tertawa. Sekarang semua ikut berbicara,
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menebak sesuatu yang lain dari penampilan Pierre pagi

itu. Gelak tawa kembali terdengar di ruang makan pagi

itu, karena tak satu pun berhasil menebak perubahan

pada diri Pierre hari itu. Aku terdiam sejenak saat yang

127

lain masih mencoba menebak, lalu kemudian mataku

terbelalak senang. "AKU TAHU AKU TAHUN!!! Kamu

membawa tas!!! Tas kecil itu!!! Kamu tidak pernah

bawa tas kan sebelumnya?" Aku tertawa senang sambil

meraih tas kecil yang digantungkan Pierre di tangan

kanannya, namun Pierre menepis tanganku seolah tak

boleh memegang apalagi merebut tasnya.

Aku mengernyitkan dahi atas sikap Pierre yang

biasanya tak pernah melarangku melakukan apa pun

terhadapnya, "Hih! Pelit amat!!!" jawabku. Sementara

itu Tiara mencibirkan bibirnya seolah kecewa atas

jawaban dari tanda tanya besar yang sejak tadi coba dia

tebak. "Yeee! Kirain apaan yang berubah dari Kak Pierre,

Mbak. Cape?cape kita nebak eh taunya cuman tas!" bibir

Tiara menekuk kesal.

Pierre tersenyum malu, namun tampak senang

melihat reaksi kekecewaan semua orang yang duduk di

atas meja makan rumahku. "Ya, kamu benar Tania, saya

senang ternyata kamu tahu apa yang berbeda dari saya.

Seumur hidup saya memang jarang sekali membawa

tas apalagi tas kecil seperti ini!" Pierre mengangkat tas

kecil itu lalu memperlihatkannya kepada kami semua.

Aku ikut tertawa, "Hahaha aku hebat ya! Apa itu isinya

Pierre?"

Tiba?tiba saja Pierre berhenti tertawa, wajahnya menegang bagai ketakutan. "Iya, apa sih isinya, Kak?" Tiara

128

ikut berkomentar. Lalu tiba?tiba saja ayahku berceloteh,

"Nah! Ini seru nih, bagaimana kalau kita mulai menebak

lagi isi tas Pierre?" Tanpa menunggu semua mengiyakan

gagasannya, ayah mulai menyerang Pierre yang tampak

kebingungan dengan tebakan pertamanya, "Rokok dan

korek api?" Pierre tampak kaget, dengan terbata dia

berkata, "I'm not a smoker, Sin" Ayah mengangguk?anggukkan kepalanya sambil kembali berpikir. Tiara

mulai menebak, "Aku tahu aku tahu!! Pasti isinya uang

dan kartu kredit kan?" Pierre kembali menggelengkan

kepalanya, "Saya menyimpannya di dalam dompet,

Tiara." Tiara kembali cemberut. Tiba?tiba saja ibu ikut?ikutan menebak, "Ibu tahu! Itu pasti tisu, sisir dan

lipbalm! Karena Tante lihat bibirmu selalu terlihat agak

berwarna pink!" semua serentak menatap ibu dengan

tatapan heran, termasuk aku dan Pierre. "Ibu salah yah?"

wajah ibu tampak merah padam setelahnya. Melihat

reaksi ibu yang tampak malu membuat kami semua

tertawa terbahak?bahak, aku berteriak meneriaki Pierre,

"Hahaha sepertinya tebakan ibuku benar!! Hayoooo

jangan?jangan kau diam?diam suka berdandan, ayo

ngaku!" aku melanjutkan tawaku. Pierre kini terlihat

salah tingkah, wajahnya sama merahnya dengan wajah

ibuku.

"Saya boleh ikut menebak?" suara Sukma terdengar

samar di tengah derai tawa kami semua, namun berhasil

129

membuat kami semua menghentikan tawa kami.

Sukma kembali berbicara, "Maaf, saya boleh menebak?"

tanpa sadar kami semua menganggukkan kepala

kami, tak terkecuali Anta yang kini mengusap kepala

anak perempuan sambil tersenyum. Pemandangan

itu sungguh menjijikkan, aku merasa Anta?ku telah

direnggut olehnya. "Boleh, apa tebakanmu?" aku me?maksakan diri untuk tersenyum kecil pada Sukma.

"Cincin?" Sukma menebak isi tas Pierre tanpa me?natap ke arahku.

Semua yang mendengar tebakan Sukma lantas ter?diam, tak mengomentari apa pun. Aku tercengang, lalu

sesaat kemudian tertawa?tawa menertawakan tebakan

Sukma yang sangat konyol, "Hahahaha Sukma, kau pikir

Pierre ini tukang aksesoris??? Hahahaha!" Aku terus

tertawa sambil mulai menepuk?nepuk bahu Pieere.

Tawaku terhenti saat mataku beradu pandang dengan

mata Pierre, dia terlihat sangat tegang dan gugup

menatapku. "Apa?!" aku menanyakan arti tatapan itu

dengan sangat ketus.

Pierre yang sejak tadi duduk di sampingku dengan

wajah tegang tiba?tiba berdiri, sementara tangan

kanannya meremas bahuku dengan cukup keras.

Tangannya membuka tas yang dibawanya, lalu menge?luarkan isi di dalam tas itu. "Mungkin ini terlalu cepat,

dan saya tidak punya pengalaman untuk ini. Mama

130

saya bilang, di negara ini, untuk mengungkapkan hal

ini harus diketahui oleh seluruh keluarga. Mmmh...

saya pikir, mmmmh saya pikir.... Ini waktu yang sangat

tepat... mmmh," Pierre terbata?bata.

Aku cukup kesal melihat tingkah anehnya itu,

"Ngomong yang bener, woy!" Ibu memelototiku, se?mentara Anta tampak menahan tawa saat melihat

ekspresiku yang tiba?tiba menunduk takut karena

tatapan mata ibuku.

"Benar apa tebakan Sukma. Di dalam tas kecil

ini ada sebuah cincin yang saya bawa untuk kamu,

Tania. Tania, maukah kamu menjadi istri saya?" Pierre

mengubah posisinya menjadi berlutut di lantai sambil

mengeluarkan kotak yang sejak tadi dipegangnya,

membuka isinya. Ada sebuah cincin di dalamnya...

"Aku terpaku... begitu juga semua orang yang ada di

ruangan makan pagi itu...."

131

P ie rre masih dalam posisi berlutut di bawah kakiku,

sambil memegangi sebuah kotak berisi cincin berwarna

hitam, dan mengarahkannya kepadaku. Entah perasaan

apa ini, rasanya wajahku terbakar karena kini terasa

begitu panas daripada sebelumnya. Bibirku bergetar

hebat, entah karena terharu atau mungkin marah.

Perasaanku campur aduk saat ini, kuarahkan tatapanku

pada Anta, dan kulihat dia menganggukkan kepalanya

kepadaku. Tapi tatapan itu, tatapan yang Anta beri

kepadaku bukanlah tatapan mata seorang Anta saat

sedang mendukungku melakukan sesuatu. Bagiku,

anggukan kepalanya merupakan sebuah isyarat bahwa

Pierre sedang melakukan sebuah kesalahan.

133

Kuangkat tanganku tinggi?tinggi. Aku bisa melihat

bagaimana ayah, ibu, Tiara, bahkan semua orang yang

ada di meja makan ini membelalakkan matanya, mereka

semua tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Tidak!!!!" Aku berteriak sangat keras pada Pierre,

sementara tangan yang tadi kuangkat tinggi berhasil

membuat kotak berisi cincin di tangannya berhamburan

hingga terjatuh. Pierre tampak kaget atas reaksiku ini,

wajahnya kini menengadah kearahku, tatapan matanya

nanar.

"Kau ini gila! Aku pikir kamu mengerti aku, benar?benar memahamiku! Aku ini wanita bebas! Aku

tidak suka diikat oleh hal semacam ini!! Kau boleh

menyayangiku, aku juga tidak keberatan mulai me?nyayangimu. Tapi untuk hal seperti ini, sungguh sangat

menjijikkan, Pierre!" tanpa menunggunya berkata?kata,

aku meneriaki Pierre dengan segala pendapat yang ada

di dalam kepalaku. Aku kembali berteriak, namun kali

ini dengan sedikit terengah. "Tidak, Pierre! Terima

kasih untuk tawaran baikmu ini, untuk saat ini aku tidak

tertarik! Pergi kau dari rumahku, pergi!" wajahku terasa

lebih panas dari sebelumnya, dan air mata menetes

dengan cepat. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi,

karena di tengah kemarahanku ini tiba?tiba saja hatiku

terasa begitu sakit menatap Pierre yang kini tampak

menundukkan kepalanya sedih.

134

Pierre masih menundukkan kepalanya beberapa saat,

namun kemudian berdiri dengan ekspresi wajah yang

180 derajat berbeda daripada sebelumnya. Matanya

terlihat merah, entah karena air mata atau entah karena

marah. Aku cukup kaget dengan pemandangan ini, dan

terdiam menunggu apa yang akan Pierre katakan atau

bahkan lakukan kepadaku setelah ini.

"Jika kamu hanya berharap selalu dimengerti maka

tak akan ada yang pernah bisa mengerti siapa kamu,

Tania. Jika kamu ingin dimengerti, coba sedikit buka

pikiran dangkal kamu, dan mulailah mengerti apa yang

harus kamu lakukan terhadap orang lain. Saya sangat

mencintaimu, dan saya pikir kamu merasakan hal yang

sama. Tapi ternyata saya salah, kamu hanya mencintai

dirimu sendiri... dan tak bisa membagi itu dengan orang

lain, termasuk saya. Saya tidak pernah menyesal atas

apa yang saya lalui bersama kamu, termasuk kejadian

hari ini. Setidaknya saya telah mencoba suatu hal yang

saya rasa harus saya perjuangkan. Saya hanya tak punya

kesempatan saja, untuk melangkah bersama kamu. Dan

mulai saat ini, saya tak akan lagi berusaha mengejar

kesempatan itu. Terima kasih Tania." dengan tatapan

tenang Pierre melangkah mundur. Bisa kulihat bagai?mana bibirnya bergetar pelan berusaha menahan emosi

yang seharusnya meledak akibat ulahku.

135

Pierre tidak sedikit pun terlihat marah, dengan

sopan dia anggukkan kepalanya pada seluruh anggota

keluargaku. Dia melangkahkan kakinya tanpa me?nungguku berbicara.

Saat Pierre terus melangkah pulang, mataku mulai

sembab dan panas. Kutatap wajah kedua orangtuaku,

mereka terlihat begitu sedih. Lalu kupalingkan wajahku

pada Anta, berharap mendapat dukungan darinya atas

keputusanku ini. Namun yang kulihat kini Anta hanya

tertunduk, tak berani menatapku. Tiara menutup wajah

dengan kedua tangannya, hanya Sukma yang berani

memelototiku saat itu dengan tatapan kebenciannya

yang semakin menjadi?jadi terhadapku.

"Asikkk, Kak Pierre nikah!!! Asik asik asik!!!" tiba?tiba Dania muncul dari balik pintu ruang tamu, sambil

berlarian ke arah ruang makan. Di belakangnya tampak

Mama Karni berjalan santai, di tangannya kulihat

beberapa bungkusan plastik. Pierre masih berjalan ke

arah ruang tamu, badannya masih bisa kulihat dari

tempatku dan anggota keluargaku yang lain terdiam.

"Aduh!" suara Dania terdengar lebih keras saat kulihat

tubuhnya bertabrakan dengan tubuh Pierre yang

136
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan menuju arah berlawanan dengannya. Mama

Karni kini berdiri di samping mereka, tersenyum me?natapku lalu menganggukkan kepalanya pada kedua

orangtuaku.

"Ma, Dania, kita pulang saja," Pierre menarik

tangan Dania, lalu meraih tangan Mama Karni dengan

lembut. Wajah Pierre menengok ke arahku, matanya

berkedip sambil menyunggingkan senyum. Hatiku

hancur melihat senyuman itu, sementara kepalaku tak

bisa berpikir tentang kejadian apa lagi yang sepertinya

akan terjadi setelah ini. "Tapi, Kak!" Dania protes akan

sikap kakaknya. Pierre menarik tangan Dania lebih

keras, sementara Mama Karni mulai mengerti apa yang

sedang terjadi. "Maaf Tania, jika Pierre, Dania, dan saya

mengganggu acara keluarganya Tania. Maafkan kami,

Ibu, Bapak." ucap Mama Karni menatap ke arah ayah

dan ibuku sambil ikut menarik tangan Dania untuk

segera keluar dari rumahku.

Ayah dan ibu tampak bingung, tak tahu bahwa

keceriaan pagi itu akan menguap begitu cepat. Kulihat

ibu mulai menutup wajahnya sambil menangis,

sementara ayah berusaha menenangkan ibu dengan

mengusap?usap punggung ibu. Tiara memelototiku, dia

tampak kecewa atas sikapku. Sementara Anta masih

menundukkan kepalanya. Kepalaku tampak berputar?putar, degup jantungku terdengar kencang. Aku benci

137

pada situasi ini, situasi ketika aku merasa sangat

bersalah dan kecewa terhadap diriku sendiri. Namun,

seperti biasa, aku tak pandai bersikap baik... dan

mengubah semua kekecewaan itu dengan amarah yang

tiba?tiba tersulut hebat.

"Apa?! Kalian semua menyalahkan aku? Iya, begitu?!

Ini adalah hidupku!!! Aku tak mau peduli pada semua

drama menyebalkan ini!!! Aku lebih baik hidup sendiri!!

Agar tak ada tatapan?tatapan yang kulihat dari orang?orang macam kalian ini!!" Tanganku terangkat dan

menunjuki satu per satu orang yang duduk di ruang

makan ini.

Belum sempat kulanjutkan amarahku ini, tiba?tiba saja aku dan semua orang dikagetkan oleh sebuah

teriakan dari arah ruang tamu depan. Teriakan itu

terdengar seperti cacian, semakin lama semakin jelas...

karena pemilik teriakan itu kini tampak di depan kami.

"Jika tak mau drama, pergilah ke tengah hutan!

Atau, pergi sajalah ke neraka! Mungkin di sana kau

akan mengerti caranya menghargai hidup! Kau tak

hanya egois! Tapi kau sangat menyebalkan!!! Kau tak

tahu bagaimana resahnya kakakku semalaman menanti

pagi ini, dan bagaimana sikap mamaku yang terus

meyakinkannya bahwa kau adalah wanita yang hebat!

Ya, kau memang hebat! Kau paling hebat menyakiti

orang?orang yang menyayangimu!!!! Semoga hidupmu

138

bahagia!" Dania membalikan tubuhnya lalu berlari

dengan sangat cepat meninggalkan ruang demi ruang

rumah ini, dengan air mata yang terus bercucuran

membasahi pipinya.

"Tuhan, hatiku sakit sekali. Aku sangat membenci diriku

ini, Tuhan...."

139

sudah enam hari aku mengurung diri di dalam

kamar, sejak kejadian pagi itu. Tak ada satu pun yang

berani datang untuk sekadar menenangkanku, termasuk

Anta. Kamarku terlihat seperti kapal pecah, pecahan

kaca dari gelas dan piring yang kulemparkan dengan

kasar berserakan di mana?mana. Sudah tak kupedulikan

lagi bagaimana buruknya kondisi wajah dan tubuhku

akibat terus menerus menangisi kebodohanku.

Pierre benar?benar menghilang dari hidupku hingga

detik ini. Tak ada lagi SMS, telepon, maupun tatapan

mata indahnya, semua hilang sejak kejadian pagi itu.

Aku berharap seluruh keluargaku mendukung apa yang

kulakukan, tapi itu tak terjadi. Aku berharap Anta akan

menghiburku, namun itu pun tak terjadi. Mungkin

141

fisiknya belum kuat untuk mendatangiku ke kamar,

tapi hati kecilku lebih mempercayai bahwa Anta tengah

menghukumku atas sikap burukku pada Pierre tempo

hari.

Dunia sedang tidak menyenangkan, hatiku sedang

didera awan mendung yang terus menerus menggelayut.

Kuambil gelas terakhir yang ada di samping tempat

tidurku, masih berisi kopi susu buatan Bi Eha. Setiap

pagi Bi Eha tak pernah kapok menyuguhiku dengan

makanan dan minuman untuk mengisi perutku,

meskipun seringkali aku melemparkan seluruh isinya ke

dinding kamarku jika tiba?tiba suasana hatiku berubah

memburuk.

"Praaaaaang!" suara gelas terdengar memecah ke?heningan kamar, gelas berisi kopi susu itu kuhempaskan

dengan kasar. Lagi?lagi aku menangis tersedu?sedu, sambil terus berteriak, "Aku bodohhhhh!!!

Aku bodohhhh!!! Aku manusia paling tolol sealam

semesta! Alam sedang membencikuuu!!!!" Suara derap

kaki terdengar di luar sana, semakin lama semakin

terdengar jelas. Kututup wajahku dengan bantal yang

sudah begitu lusuh oleh air mataku, kuangkat wajahku

sebentar dan kembali berteriak, "JANGAN ADA YANG

MASUKKKK!!!! SIAPA PUN TAK BOLEH MENYENTUH

KAMAR lNlllIl!!!!" Bayangan tentang Pierre kembali

mengusik pikiranku, air mata terus bercucuran tanpa

142

bisa kuhentikan, baru kali ini aku merasa begitu rapuh.

Kubenamkan tubuhku ke dalam bed cover, lalu kembali

berteriak?teriak seperti orang gila.

"Tania! Bangun!!!" suara itu terdengar begitu jelas

di samping tempat tidur. Aku tak bergerak, tetap dalam

posisiku, lalu kembali berteriak menanggapi siapa pun

yang tengah berusaha membuatku berdiri dari tempat

tidur ini, "Diam"!!! Kau tak tahu apa?apa!!!" Tiba?tiba saja bed cover yang sejak tadi menenggelamkan

tubuhku diangkat dengan paksa, "Kalau memang aku

tak tahu apa?apa, coba jelaskan sekarang padaku apa

masalahmu!"

Emosiku tersulut mendengar kata?kata dan per?lakuan menyebalkan orang itu, kubalikan tubuhku ber?siap menyerang orang itu dengan segala cacian yang

akan segera meluncur dari bibirku yang mulai bergetar

hebat. "Kau!" Namun, hanya berhenti sampai di situ.

Karena kini di hadapanku telah berdiri seorang laki?laki

berbadan tinggi dan besar yang sangat aku takuti, Mas

Tama.

"Kupikir sikapmu sudah berubah, Tania! Tapi, ter?nyata kau sama saja seperti terakhir kali aku bertemu

denganmu! Ayah dan Ibu sampai harus membelikan

tiket untukku pulang demi untuk mengendalikan

sikapmu yang semakin tak masuk akal! Cepat berdiri!

Aku tak suka melihatmu begini menyedihkan!" Mas

143

Tama terlihat sangat marah menatapku yang kini hanya

bisa terdiam sambil menundukkan kepala. "Mmmm

Mas... aku...," jawabku terbata. Tanpa menungguku me?lanjutkan kata?kata, dia memotongnya dengan cepat.

"Ganti bajumu! Ada yang harus kita kerjakan hari ini!

Aku tunggu kamu di bawah, secepatnya!" Dia lantas

membalikkan tubuhnya lalu meninggalkan kamarku

sambil membanting pintunya hingga menimbulkan

bunyi yang sangat mengganggu telingaku. Tanpa

menunggu lama aku bergegas mengganti pakaian yang

sudah lima hari ini tak kuganti, lalu berlari menuruni

anak tangga untuk menemui kakak laki?laki yang sangat

kutakuti.

Sejak kecil hanya Mas Tama yang mampu mengen?dalikan emosiku. Sikap dan wataknya hampir sama

sepertiku, namun logikanya berjalan lebih baik daripada

aku. Ayah selalu menugasinya untuk menjagaku, dan

dia melakukan itu. Hingga pada akhirnya saat aku

masih duduk di bangku SMP, dia memutuskan untuk

melanjutkan sekolahnya di Amerika, aku ingat... saat

itu dia masih duduk di bangku kelas 2 SMA.

Aku kehilangan sosoknya, sosok seorang kakak yang

sangat disiplin namun bisa membuatku tetap berjalan

lurus tak kehilangan arah. Saat dia pergi, langkahku

mulai goyah, dan aku tak mampu menekan segala ego

yang kerap membuat anggota keluargaku yang lain

144

menyerah. Saat dia pulang, aku selalu bersikap baik

di hadapannya. Namun dia tak pernah berlama?lama

tinggal di negeri ini, apalagi setelah dia mendapat

beasiswa S2 bahkan beasiswa SB di negeri paman Sam,

Mas Tama tak lagi sering pulang.

"Mas," ucapku sambil menundukkan kepala. "Pakai

jaket yang tebal, aku akan membawamu keluar dari

rumah ini!" dia masih membentaki aku. "Bi Ehaaaaaa,"

bibirku meneriakkan nama Bi Eha bermaksud untuk

memintanya membawakan jaket di kamarku. Namun,

lagi?lagi Mas Tama berteriak, "Kau punya kaki! Ambil

sendiri! Cepat! Aku paling tidak suka menunggu!" Bi Eha

datang tergopoh?gopoh, "Mbak Tan." aku mendelik

sinis pada Bi Eha, "Nggak jadi!" Dengan cepat aku

berlarian kembali menaiki anak tangga untuk membawa

jaketku, lalu segera melangkahkan kakiku ke arah garasi

tempat Mas Tama menunggu untuk membawaku pergi,

entah ke mana.

"Kita mau ke mana, Mas?" dengan sungkan aku me?nanyakan hal itu, namun dia tetap diam dan melajukan

mobil milik ayah yang kami tumpangi dengan cepat.

Sepanjang jalan hanya keheningan yang ku rasakan,

sesekali kuberanikan diri menatapnya dari tempatku

duduk. Kakak laki?lakiku sudah terlihat lebih dewasa

kini dan aku merasa sangat terintimidasi oleh kedewasaannya. "Aku tahu kau lapar, Tan," tiba?tiba dia

145

berbicara, lalu membelokkan kendaraan yang kami

tumpangi ke sebuah restoran kuno tempat favorit

keluargaku makan siang saat aku, Mas Tama, Tiara,

masih kecil dulu.

Tempat ini masih sama seperti dulu, tak banyak

berubah. Hanya saja bangunannya terlihat sangat

kuno, karena berdiri di tengah bangunan?bangunan

modern yang kini berjejer di sekelilingnya. Mas Tama

memilih sebuah meja melingkar, tempat yang selalu ibu

pilih saat kami semua mendatangi restoran ini. Tanpa

melihat buku menu, dia langsung memanggil pelayan
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

restoran itu dan memesan makanan. "Teh, saya minta

nasi goreng 2 porsi, nasi rames juga 2 porsi, es teh manis

2, lalu kopi susu juga 2, dan saya minta poffertjes 2 porsi

untuk disajikan setelah makan, oke?!" Tatapan matanya

pada pelayan itu terlihat begitu ramah, jauh berbeda

dengan tatapannya kepadaku.

Aku tercengang melihatnya memesan banyak

makanan, "Mas, untuk siapa makanan?makanan yang

kamu pesan itu?" kuberanikan diri untuk bertanya.

"Untuk kita berdua." jawabnya santai sambil melepas

kacamata hitam yang sejak tadi dipakainya. "Kau perlu

makan, Tania. Aku tak suka melihatmu seperti ini,

aku ingin melihatmu makan banyak. Dan aku akan

menemanimu untuk menghabiskan makanan?makanan

146

itu. Kalau kau berani menolak keinginanku ini, kau tahu

kan apa yang akan kulakukan kepadamu?" Tatapannya

kini kembali berubah, sementara wajahnya terlihat

dingin.

"Mas, kau tidak sayang lagi padaku, ya?" entah

kenapa kata?kata itu keluar dari mulutku. Dia terlihat

terkejut mendengarnya, dengan ketus kembali dia jawab

pertanyaanku, "Untuk apa aku kembali ke sini jika aku

tak menyayangimu."

Secercah senyum terukir di bibirku, sudah lama rasanya

tak tersenyum seperti ini..

Aku dan Mas Tama tak lagi berbicara, kami sama?sama sibuk menghabiskan makanan yang begitu

banyak dipesan. Mengingat?ingat rasanya, menikmati

setiap sendok nasi dan lauk pauk yang masuk ke dalam

mulutku, berhasil membawaku kembali ke masa kecil

kami. Aku baru tersadar sekarang, dulu keluargaku

pernah begitu akrab dan dekat. Di tempat ini kami

berlima berkumpul menikmati masakan favorit ayah

dan ibu, sambil menceritakan setiap ke giatan yang kami

147

lakukan. Aku dulu begitu suka tertawa, terlebih jika ada

Mas Tama di sisiku. Walaupun dia kakak yang galak,

tapi aku dan Tiara tahu itu hanya caranya agar bisa

menuntun adik?adiknya dengan baik. Mataku berkaca?kaca, mungkin karena lintasan memori masa kecil itu.

"Cengeng!" Mas Tama tiba?tiba berkomentar, sambil

tak henti memasukkan pofertjes ke dalam mulutnya

sebagai hidangan penutup. Kuusap kedua mataku

dengan cepat, "Aku cuma rindu masa kecil kita, Mas...."

Matanya kini terfokus menatap mataku, bibirnya mulai

tersenyum. "Kau masih adikku, Tania. Kamu masih

punya hati. Kupikir kau sudah mati rasa dengan hal?hal sekecil ini," tangannya mengacak?acak rambutku

dengan lembut. "Aku sengaja mengajakmu ke sini. Yaaa,

selain aku rindu masakan di restoran ini, aku hanya

ingin membuktikan perkataan Ayah dan Ibu tentangmu

yang katanya sudah sangat berubah," Mas Tama kembali

menunjukkan tatapan seriusnya. Bibirku tersenyum

sinis, "Dasar pengadu."

"Katanya kau sedang gila karena cinta, benar

begitu?" Mas Tama terkekeh kini. Kepalaku kembali

tertunduk, "Ini bukan bahan tertawaan, Mas." Tawanya

semakin menjadi, "Hahahaha... Tania si galak dan

sangar ini ternyata kalah juga oleh cinta, hahahahha!"

"Diam, Mas!" nada bicaraku mulai meninggi. Mas Tama

menghentikan tawanya, "Kau berani meninggikan

148

suaramu kepadaku?! Hah?" Laki?laki ini memang

satu?satunya orang yang bisa membungkam mulut

besarku, aku hanya kembali terdiam setelahnya. "Aku

ini sama sepertimu, tak bisa mengontrol emosiku yang

bisa datang kapan saja. Tapi, yang membedakan aku

dan kamu adalah, aku tahu kepada siapa aku harus

menahan segala luapan emosi ini. Jika terhadapmu, aku

bisa melepaskannya dengan bebas, karena kau adalah

adikku, dan kebetulan kau adalah adik yang sangat

tolol," matanya kembali menusuk.

"Perlakuanku pada Tiara tidak sama seperti pada?mu. Karena hanya dengan cara seperti ini kau bisa

mengerti sesuatu yang seharusnya tak kau lakukan.

Aku menunggu saat ketika aku tak lagi memarahimu,

sejak dulu kutunggu saat seperti itu. Tapi Tania,

kau selalu membuatku kesal. Ayah dan Ibu terlalu

memanjakanmu, sementara aku tak bisa setiap saat

bersamamu. Harusnya kamu ini mulai dewasa, karena

memang secara umur kau sudah dewasa. Tapi astaga,

kamu tak pernah merubah sikap burukmu. Kupikir

si Anta itu telah berhasil menjadi mediator yang baik,

tapi ternyata tidak. Belum lagi kudengar cerita tentang

pacar setengah bulemu itu, kupikir adik kesayanganku

ini sudah bisa membuka pikirannya. Hah, ternyata nol

besar! Ujung?ujungnya tetap aku yang harus terjun

149

langsung menanganimu!" Mas Tama melanjutkan pem?bicaraan.

"Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, Mas. Aku

ingin bahagia dengan caraku sendiri...," akhirnya aku

memberanikan diri untuk berbicara. "Ya, itu bagus.

Tapi dengan caramu ini, apakah kau berbahagia seperti

apa yang kau inginkan?" dia mulai menanyaiku.

Kugelengkan kepalaku pelan. "Nah, berarti ada yang

salah dengan dirimu! Seharusnya kamu mencari cara

lain untuk membuat dirimu bahagia. Jika kamu terus

menerus berkutik dengan idealisme?mu itu, kurasa

selamanya kau tak akan pernah bahagia," Mas Tama

menghela napas panjang.

"Sekarang aku tanya yah Tan, kamu merasa nyaman

nggak kalau kamu hidup sendirian tanpa ada siapa pun

yang menemanimu? Bahkan tanpa Bi Eha sekali pun.

Kamu nyaman nggak?" dengan wajah seriusnya Mas

Tama kembali menanyaiku. Kugelengkan lagi kepalaku,

kali ini lebih cepat daripada sebelumnya. "See? Kamu

harus merubah idealisme?mu, kamu harus menahan

egomu. Kalau terus seperti ini, kamu tak akan pernah

bahagia, Tania."

Wajahku menengadah padanya, "Lalu aku harus

bagaimana, Mas?" Dia mendelikkan kedua bola matanya

ke atas, "Mana kutahu! Sekarang habiskan saja dulu

makananmu! Aku tak akan meninggalkan tempat ini

150

sebelum kau habiskan semua makanan ini. Di belahan

bumi yang lain, banyak sekali orang yang kelaparan.

Kau harus menghargai makanan yang ada di depanmu!"

Bibirku menekuk hebat, berusaha memprotes kata?katanya. Tangannya memukul meja pelan, "Heh! Berani

melawanku?!"

151

"Mas, kita mau ke mana lagi?" aku cukup tegang

berada disamping kakak laki?lakiku ini. "Diam jangan

banyak tanya, aku yang nyetir, ya aku yang tentukan

ke mana kita mau pergi!" dengan gaya khasnya dia

menimpaliku. Lagi?lagi aku dibuatnya terdiam. J alanan

Bandung hari ini lumayan lengang, Mas Tama memacu

mobil dengan kecepatan agak tinggi. Kami melewati

jalanan Setiabudi, namun tidak membelokkannya ke

arah Pondok Hijau, lokasi rumah kami. Mobil melaju

menuju Lembang, lalu terus menerus dipacunya hingga

kami berada d daerah Tangkuban Perahu. Masih dilanda

rasa penasaran, aku terus berdiam diri menanti hal apa

yang akan dilakukan Mas Tama setelah ini.

153

Mas Tama memarkirkan mobil ditengah?tengah

Hutan Cikole, di sekitar kawasan gunung Tangkuban

Perahu. "Turun!" dengan ketus dia menyuruhku turun

dari mobil. "Ngapain sih, Mas?" aku mulai kesal akan

sikap aneh kakakku ini. "Udah, nurut aja lah, turun

cepet!" ditariknya tanganku dengan kasar. Aku berdiri

tepat di sampingnya dalam keadaan kesal dan bingung.

Mas Tama meninggalkanku sesaat, mengambil sesuatu

dari dalam mobil.

Aku melihat tangannya tengah memegang se?buah kain panjang berwarna hitam, wajahnya mulai

memperlihatkan senyuman. "Kamu jangan protes

ya, oke?! Turuti saja apa kataku," Mas Tama mulai

mendekatiku sambil membalikkan tubuhku mem?belakanginya, dipasangnya kain hitam itu tepat di

mataku, menutup kedua mataku. "Duh, Mas... ngapain

sih? Ini nggak penting! Aku tak mau membuang

waktuku dengan melakukan hal?hal tolol seperti ini!"

kekesalanku mulai tak bisa terbendung lagi. Mas Tama

sama sekali tak menggubrisku, diputarkannya badanku

dengan cepat, "Teruslah berputar, Tan! Beputarlah

hingga badanmu terjatuh!" Tangannya masih terus

memegangi badanku dan memutarnya dengan cepat,

hingga aku tak bisa menahan tubuhku agar tetap berdiri

di tempat.

154

Mulutku berteriak?teriak, namun tak berusaha

membuka penutup mata atau menghentikan badanku

untuk berhenti berputar. "Mas! Aku ini masih adik?mu, Mas! Jangan berbuat seenakmu, Mas!!!! Kau bisa

menyakitiku!"

Dia tetap tak bersuara, alih?alih semakin cepat

memutar tubuhku. Aku mulai menangis, seperti anak

kecil. "Masss... aku lelah, Mas... Tolong berhentilah,

Mas...," tangisku semakin pecah. Tangannya berhenti

memutarkan tubuhku, namun kini tubuhku menjadi

oleng dan sempoyongan. "Mas... Aku lelah, Mas,"

tangisku mulai reda, berganti dengan rengekan manja

seorang anak perempuan. Pertahananku ambruk

juga, pada suatu titik aku akhirnya terjatuh di atas

rerumputan yang mengelilingiku, Mas Tama tak me?nahanku. Dengan paksa, kubuka kain hitam yang sejak

tadi menutupi mataku.

Entah apa yang kini merasuki tubuhku, karena

setelah terjatuh, sekarang aku kembali menangis

kencang sambil terus meracau tak jelas. Mas Tama ikut

duduk tak jauh dariku, mataku kabur oleh genangan air

mata yang mulai berjatuhan. "Tania, luapkan segalanya

padaku, sekarang," Mas Tama berteriak ke arahku.

Aku tak menggubrisnya, masih terfokus pada segala

kesakitan yang kini kurasakan. Bukan sakit secara

155

fisik, namun sakit di dalam hati yang entah dari mana

datangnya. Mulutku kembali meracau...
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku lelah Mas!! Aku membenci diriku sendiri, dan

aku sangat tersiksa harus tetap berada di dalam tubuh

yang kubenci ini!!! Aku menyayangi semua orang yang

ada di sekelilingku, aku sayang ayah, ibu, Tiara, Mas

Tama, Ananta, Pi... Pierre Semuanya aku sayang!

Tapi aku tak tahu bagaimana seharusnya aku bersikap!

Alam semesta sedang mengucilkan aku, Mas. Aku

lelaaaaaaaah...," tangisku semakin menjadi. "Tolong

ajari aku bagaimana caranya menyayangi diriku sendiri!

Tolong, Mas... aku hidup dalam segala keegoisanku,

dan aku sangat tak menikmati hasilnya. Aku tak

pernah merasa begitu terpuruk, namun saat ini aku

sedang berada di dasar kerak Bumi, dalam keadaan jauh

terpuruk dari yang pernah kubayangkan, tertanam di

dalamnya."

Mas Tama mendekati aku, tangannya terbuka lebar

ke arah tubuhku. Tanpa komando, aku melayangkan

tubuhku dalam rengkuhan kedua tangannya. Tubuhku

memeluknya, tanganku meremas bahunya, aku sangat

merindukan pelukan ini... yang sebelumnya selalu

kudapatkan saat kami masih tinggal di bawah atap yang

sama. Mas Tama terus menerus mengusapi rambutku

yang berantakan karena terpaan angin, bibirnya mulai

berbisik ditelingaku. "Tania, kamu punya hati yangbesar.

156

Jika kau pikir dirimu ini begitu buruk, tak mungkin kau

akan begini histeris berteriak membenci dirimu. Dalam

segala keegoisan dan ketidakbahagiaanmu, kamu masih

memikirkan perasaan orang lain, dan kamu masih

menyayangi orang?orang yang ada di sekelilingmu."

"Mas, aku harus bagaimana?" kuusap air mata yang

tak pernah berhenti mengalir, sambil menengadah?kan wajahku menatapnya. Wajah Mas Tama kini

berbeda daripada sebelumnya, sebuah senyuman tulus

terukir di bibirnya. Dengan tatapan lembut dia mulai

berbicara... sangat pelan, "Pencipta alam semesta

sedang mengujimu, alam semesta sedang mengikuti

perintah sang pencipta. Bukan sedang mengucilkan,

namun alam semesta sedang memberimu waktu untuk

memutar otak. Mereka tahu kau adalah wanita kuat,

dan mereka tahu bahwa kamu adalah wanita berhati

baik. Sebenarnya kau tahu bagaimana seharusnya cerita

hidupmu ini berjalan, dan sebenarnya kau juga tahu

bagaimana caranya membuat dirimu bahagia. Kau tahu

tidak, Tan?"

Tangannya menghapus air mata yang jatuh di pipiku,

"Jika kamu bahagia, maka orang?orang di sekelilingmu

juga akan bahagia. Bukan hanya sekadar pepatah,

namun saat kau membuat orang lain tidak nyaman

dengan sikapmu, maka ketidaknyamanan mereka akan

membuatmu menjadi tidak bahagia. Kamu adalah adik

157

yang paling kusayangi, bahkan mungkin melebihi rasa

sayangku terhadap diriku sendiri. Jadilah seperti yang

seharusnya, Tan. Aku bukan orang yang sembarangan

memilih seseorang untuk kusayangi, kau harus ingat

itu. Dan kau adalah salah satu orang beruntung di dunia

ini, karena berhasil mendapatkan rasa sayangku."

"Pantas kamu susah dapat jodoh, Mas," bibirku

tersenyum lebar sambil melepaskankan tubuhku dari

pelukannya. "Sialan kamu!" Mas Tama terlihat kesal

dan menjambak rambutku pelan. Aku tertawa puas,

diiringi tangis haru yang sebenarnya sangat tergugah

saat mendengar apa yang dia ucapkan padaku. Mas

Tama ikut tertawa, sambil kembali meraih tubuhku, dan

memeluknya kembali.

Di tengah cuaca dingin dan berkabut aku dan kakakku

berpelukan, seperti dulu saat jarak tak memisahkan

kami. Sebuah harapan tumbuh dalam benakku, aku harus

mewujudkannya....

158

Mas Tama sudah kembali ke Amerika, dia hanya

tinggal di kota ini selama satu minggu. Konon, ada

pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan terlalu lama di

kampus tempatnya kuliah sekaligus bekerja sebagai

asisten dosen. Aku begitu berterima kasih pada ayah

dan ibuku, karena memang hanya Mas Tama yang

berhasil mengembalikan kondisiku, menjadi seorang

wanita normal lagi. Keadaan Anta juga sudah semakin

membaik, dia sering keluar mengurus entah apa itu.

Sukma masih tinggal di rumah ini, semakin hari semakin

akrab dengan Tiara. Sempat terlintas kecemburuanku

saat melihat kedekatan mereka, tapi aku sadar...

mungkin Tiara memang membutuhkan teman seperti

Sukma di rumah ini, bukan seperti aku yang selalu tak

acuh padanya.

159

Hari ini aku kembali melukis, walau belum tahu

apa yang akan kutuangkan di atas kanvas putih ini.

Aku meluangkan waktu sejenak untuk mencari ide,

kemudian tanganku mulai menggoreskan pola dan

membubuhkan banyak hal kecil yang ingin kutuangkan

siang itu. Bayangan tentang Pierre perlahan mulai

terhapuskan. Aku tak lagi menangis seperti anak kecil,

dan aku tak lagi berharap dia akan kembali ke dalam

pelukanku. Mas Tama banyak menanamkan pola

pikirnya kepadaku, sedikit?sedikit aku mulai belajar

untuk mengurangi ego dan idealisme dalam hidup.

Aku ingin bahagia, sesederhana itu saja keinginanku.

Dan aku ingin orang?orang yang ada di sekelilingku

mensyukuri kebahagiaanku, bukan tersiksa di atas

kebahagiaan yang kurasakan.

"Teh, lagi ngelukis apa? Gedung apa itu, Teh?"

Anta tiba?tiba menghampiriku. "Nggak tau, mungkin

ini kastil Drakula. Tapi aku juga nggak terlalu yakin

sih," jawabku sambil terus menorehkan kuas ke atas

kanvas. Anta duduk sambil tersenyum di sampingku,

"Teh, Anta seneng melihat Teteh kini benar?benar

berubah. Alhamdulillah, Allah telah membuat Teteh

kesayangan Anta ini menjadi seseorang yang jauh lebih

menyenangkan." Bibirku tersenyum mendengarnya,

namun mataku tak juga teralihkan untuk menatapnya.

160

"Sukma ke mana?" tanyaku cuek. Anta berdiri, lalu

merebahkan badannya di atas sofa yang ada di dalam

studio lukisku. "Dia pergi sama Teh Tiara, ke rumah

sakit. Katanya kebetulan jadwal tugasnya sama dengan

jadwal coas Teh Tiara." Wajahku berubah kecut, "Oh."

Anta kemudian bertanya kepadaku, "Teteh masih

nggak suka sama Sukma? Dia orangnya baik Teh, cuma

memang wajahnya terlihat judes saja." Aku terdiam

tak merespon pertanyaannya, bukan karena memang

membenci Sukma, hanya saja aku memang tak tahu

bagaimana menanggapinya. Anta sepertinya tahu

apa yang sedang kupikirkan saat itu, dengan cepat

dia alihkan topik pembicaraan ini. "Teh, ngomong?ngomong soal kastil Drakula. Kenapa kita tidak pergi

saja ke Transylvania? Hayooooh... Teteh kan pernah

janji sama Anta, kapan janji itu mau ditepati?"

Tanganku berhenti melukis, tubuhku lalu beralih

menatap Anta dengan wajah yang begitu berbeda

daripada sebelumnya. "Astaga, Anta! Aku hampir lupa

pada janji itu! Benar apa katamu, sebaiknya kita pergi

ke Transylvanial! Bersamamu, kan? Besok segera urus

persyaratan visa dan tiket kita untuk ke sana, oke?!" aku

begitu bersemangat membahas hal yang satu ini. Anta

tertawa puas, karena akhirnya dia berhasil membuatku

lebih ceria daripada sebelumnya.

161

"Hahahaha, asik!!! J alan?jalan, euy!!! Asikkkk... Anta

mau ke luar negeri, akhirnya kepake juga nih paspor.

Padahal tau nggak Teh, dulu ada dukun di kampung

Anta yang bilang seumur hidup Anta nggak akan pernah

ke luar negeri! Hahaha matak percaya mah ka Allah ya

Teh, jangan ke dukun! Yihaaaa!!!"

Kulemparkan kuas ke arah wajahnya, "Dasar udik!"

Kami tertawa setelahnya, seperti dulu lagi, seolah tak

pernah ada sosok Pierre ataupun Sukma di dalam hidup

kami.

"Kang, serius Akang teh mau pergi ke luar negeri?

Jangan ambil resiko lah Kang, kali ini tolong dengerin

Sukma," kudengar Sukma merengek manja di dalam

paviliun Anta. Malam itu aku hendak mengajak Anta

untuk naik ke studio lukis, memperlihatkan hasil akhir

dari lukisan kastilku. Tanpa sengaja aku menguping

pembicaraan mereka dari luar pintu paviliun. "Insya

Allah, Akang akan baik?baik saja, jangan khawatir

atuh Sukma. Akang cuman pergi 2 minggu, gak akan

pergi selamanya," Anta berbicara dengan lembut pada

tunangannya. Aku semakin penasaran mendengarkan

162

pembicaraan mereka berdua, tanpa sadar tubuhku

semakin rapat menguping di pintu paviliun itu.

"Tapi sangat tidak aman bagi Kang Anta! Sukma

mah gak akan ngasih izin, titik!" suara Sukma terdengar

bergetar seperti hendak menangis. Secercah senyuman

tiba?tiba terukir di bibirku, jahat memang... tapi kali ini

aku merasa dibela oleh Anta. "Sukma, jangan seperti itu!

Akang teh udah pernah cerita sama Sukma kalau Akang

sama Teh Tania sudah berencana pergi ke luar negeri!"

suara Anta tiba?tiba saja terdengar meninggi. "Iya, tapi

itu kan dulu! Rencana itu dibuat saat Akang belum tahu

segalanya!" Sukma mulai terdengar menangis kini. Dahi

ku berkerut mendengar kata?kata Sukma, segalanya?

Apa sih maksudnya?

Belum sempat terjawab pertanyaan di dalam

kepalaku, tiba?tiba saja kudengar Sukma kembali

berteriak, "Baik! Kalau Akang keras kepala, biar Sukma

bicara sama Teh Tania saja! Mungkin hanya dia yang

bisa mengendalikan sikap keras kepala akang!" Kulihat

sekilas dari balik jendela, ekspresi Anta yang tampak

emosi memandang Sukma. "Sok aja sana Sukma, kalau

kamu bersikap seperti itu, kamu tak hanya menyakiti
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akang, tapi kamu juga menyakiti Teh Tatan!" Suara

Sukma semakin meninggi daripada sebelumnya, "Tania

lagi Tania lagi, apa bagusnya sih wanita batu itu? Sudah

163

mah pikasebeleun, keras kepala, galak, gak peduli orang

sekitarnya, masih saja Akang bela?belain dia?! Cik,

atuh Kang sadar, sadar!! Dia hanya peduli pada dirinya

sendiri, catet itu Kang!" Mataku melotot hampir keluar,

rasanya tak bisa kuterima kata?kata kejam dari mulut

seorang wanita kampungan seperti Sukma.

Hampir saja aku melangkahkan kakiku ke dalam

paviliun itu untuk melabrak Sukma yang sangat kurang

ajar, namun tiba?tiba kuurungkan niat itu. Sudahlah,

toh dia tidak mengatakan hal itu di depan kedua mataku.

Biar saja mereka yang menyelesaikan masalah mereka

berdua saja, aku lebih baik pura?pura tak tahu menahu

tentang perdebatan mereka malam ini.

Aku tak tertarik untuk kembali menguping, kulangkah
kan kakiku untuk mundur. Senyuman kecil masih tersirat

di wajahku, meski telingaku cukup terusik oleh kata-kata

pedas Sukma. Hatiku berbisik, "Anta lebih menyayangiku

dibandingkan wanita kampungan itu...."

"Tan, kamu sudah persiapkan kepergianmu nanti

dengan baik?" Ayah menanyaiku pagi itu. "Sudah dong,

164

Anta yang mengurus semuanya. Visa beres, tiket beres,

tinggal uang jajan saja yang belum beres. Gimana dong,

Yah?" kukedipkan kedua mataku berkali?kali sambil

menatap ayah. Ayah tertawa melihatku bersikap seperti

itu, "Kamu ini mirip sekali ibumu, Tan. Baru kali ini

Ayah sadar kalau kamu ini anak ibumu, hahahaha!" Ibu

tersenyum kecut di sampingnya, "Yang mirip bagian

mananya ya? Wajah, atau bagian minta uangnya, hah?"

Aku dan ayah tertawa melihat ekspresi ibu yang tampak

kesal pada ayah.

Tiara duduk tak jauh dari sofa tempat kami bertiga

tertawa?tawa, wajahnya tampak tak senang menatap

ke arahku. "Mbak, yakin mau berangkat?" tiba?tiba dia

berbicara seperti itu kepadaku. Kukerutkan keningku,

"Yakin dong! Perjalanan ini kan sudah direncanakan

lama sekali olehku dan Anta." Tiara menghela napas

panjang, "Gak sekalian ngajak Sukma?" Dengan ketus

kujawab pertanyaannya, "Rencana ini dibuat sebelum

wanita itu hadir." Tiara terlihat kesal mendengar jawab?anku, "Wanita itu punya nama. Namanya Sukma. Dan

dia bukanlah orang lain, dia adalah tunangan dari

laki?laki bernama Anta yang akan kau ajak pergi jalan?jalan!" Tiara mengangkat badannya dari kursi tempat

dia duduk, lalu meninggalkan kami semua yang kini

memasang wajah tercengang.

165

Baru kali ini kulihat Tiara bersikap seperti itu

kepadaku, sikapnya mengingatkan aku pada diriku

sendiri. Ayah dan ibu juga tampak heran dengan sikap

anak bungsunya tadi, baru kali ini kami semua melihat

Tiara berbicara begitu ketus terhadapku, kakaknya.

??w

Segala sesuatunya telah disusun dengan baik

oleh Anta. Besok adalah hari keberangkatan kami

ke Eropa, mewujudkan cita?cita yang belum sempat

terwujud. Hatiku begitu gembira menanti liburan ini,

sudah lama tak berduaan bertualang bersama Anta,

sahabatku. Padahal saat belum ada banyak orang?orang

baru di hidup kami, kami selalu saja ke mana?mana

berdua tanpa diganggu siapa pun. Sementara itu sikap

Tiara terhadapku semakin menyebalkan, belum lagi

sikap Sukma yang selalu memalingkan wajahnya saat

berpapasan denganku.

"Teh, nanti di sana kita akan ditemenin sama Ester

yah? Dia salah satu temen SMA kita loh, yang kebetulan

bekerja di Polandia. Dia semangat banget mau jadi tour

guide buat kita di sana nanti!" wajah Anta tampakberseriseri. "Ester? Yang mana yah?" aku tampak kebingungan

166

dan sangat asing dengan nama itu. Anta menggelelng?gelengkan kepalanya, "Astaganaga Omaygoddragon si

Teteh mah ah kebangetan! Teteh teh 3 tahun sekelas

terus sama si Cici Ester. ltu loh Teh, yang sipit?sipit

dipanggil Cici sama anak?anak kelas! Masa nggak

inget?! wajah Anta mulai terlihat kesal. "Yang matanya

sipit kayaknya banyak deh, mata kamu juga agak sipit.

Mmmh... nggak tuh, aku nggak kenal siapa itu Ester.

Tapi dia pasti kenal aku kan?" aku tersenyum tengil.

"Ya nggak mungkin nggak kenal Teteh atuh, Teteh itu

seorang monster paling terkenal di sekolah. Antik!!"

Anta asal?asalan menanggapiku. Aku tertawa begitu

puas melihat reaksinya siang itu, sungguh ini adalah

masa yang sangat menyenangkan bagiku.

Sudah sejak beberapa hari yang lalu kami ber?dua sibuk membereskan segala keperluan untuk ke?berangkatan kami ke Eropa. Namun, malam ini aku me?milih untuk berdiam diri di dalam studio, menikmati

lamunan sambil ditemani secangkir kopi favoritku. Biar

saja Anta yang melengkapi segala keperluan kami nanti

di sana, aku ingin meminta izin kepada lukisan?lukisan

setengah jadi yang belum tuntas kuselesaikan. Seperti

orang gila, aku berbicara sendirian menatap lukisan?lukisan itu satu per satu. "Hey, kalian... aku pergi dulu

ya! Cuma dua minggu kok, nggak lama. Aku mau cari

167

inspirasi dulu disa." Belum selesai kuselesaikan dialog

gila ini, tiba?tiba Sukma menerobos masuk ke dalam

studio dan memotong kata?kataku.

"Stop! Hentikan kegilaan Teteh! Teteh, saya mohon

sama Teteh. Tolongjangan bawa Kang Anta pergi, tolong

Teh.... Saya mau melakukan apa pun asalkan Teteh

membiarkan Kang Anta tetap ada di sini, tolong Teh....

Saya sangat memohon untuk yang satu ini," Sukma

menangis hebat sambil bersimpuh di bawah kakiku.

Aku cukup kaget melihat pemandangan ini, bibirku

kelu tak bisa berkata?kata. Belum sempat kujawab

permohonannya, kulihat Anta berlari kearah kami

sambil terengah?engah. Tangannya sigap mengangkat

tubuh Sukma untuk berdiri. "Neng!!! Ari Eneng teh

otaknya ada di mana? Sudah Akang tegaskan, Akang

akan tetap pergi! Apa pun itu resikonya. Neng tahu

Akang akan bagaimana kalau Neng tidak mengizinkan

Akang pergi? Sudah, ini adalah keputusan Akang! Kamu

jangan ikut campur!!!" Anta terlihat sangat marah, dan

kemarahannya membungkam mulutku terlebih mulut

Sukma.

Kulihat Sukma berjalan lunglai meninggalkan

studioku, diiringi Anta yang mencoba menenangkan?ku dengan mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

Tangannya memegangi punggung Sukma, mengelusnya

168

dengan tegas seolah mencoba menghibur tunangannya

yang kini tampak terlihat sangat terpukul.

169

Kami duduk bersebelahan, dengan pemandangan

awan gelap di sisi kiri jendela pesawat yang kami

tumpangi. Anta masih saja termenung. Aku mengerti

betul di dalam kepalanya pasti tengah memikirkan

Sukma yang tadi tampak tak rela membiarkan kami per?gi berdua saja dalam perjalanan liburan ini. Rengekan

wajah Sukma saat di bandara tadi masih terbayang,

belum lagi kata?katanya yang mengusik telingaku.

Perempuan itu begitu posesif, aku mulai tak bisa

menahan kebencian kepadanya.

"Anta. . .," ujarku lirih. "Ya?" Anta menjawabnya pelan.

Kuambil sebelah tangan Anta yang sejak tadi tampak

resah mencabuti kulit?kulit kasar di sekitar kukunya.

"Kau gugup?" sambil mulai kuremas tangannya lembut.

171

"Sedikit" senyum dipaksakan menghiasi wajahnya.

Kupegangi tangannya lebih kencang lagi, "Jangan

gugup, kan ada aku di sini...." Anta tampak serius

menatapku kini, membuatku sedikit sungkan dengan

tatapan itu. "Kenapa? Ada yang salah dengan kata?kataku??" aku mulai kikuk. Anta kembali tersenyum,

namun tak memalingkan tatapannya dari mataku,

"Ada, tak biasanya Teteh seperti ini pada Anta. Tapi

terima kasih Teh, telah memberikan kehidupan yang

begitu penuh makna di hidup Anta. Terima kasih telah

menjaga Anta dengan baik, jangan khawatirkan Anta,

karena seharusnya Anta lah yang selalu sigap membuat

?

Teteh tenang.... Tubuhku mendadak mematung

mendengar kata?kata yang keluar dari mulut Anta.

Kulepaskan genggamanku dari tangannya, lalu kuambil

koran yang tadi diberikan pramugari kepadaku, kulipat,

dan memukulkannya di kepala Anta dengan keras.

"Ngomong apa sih?! Nggak jelas! Sableng!"

Hampir 24 jam kami menempuh perjalanan menuju

negara pertama yang akan kami datangi seteleh se?belumnya sempat transit selama 3 jam di Dubai. Kaki

ini terasa sangat pegal, berkali?kali kuminta Anta untuk

172

memijati tumit hingga telapak kakiku. Sebenarnya

keinginanku sih langsung saja menuju Rumania

untuk melihat kastil di Transylvania. Namun Ananta

si pengatur itu bersikukuh agar kami transit terlebih

dahulu di Polandia untuk bertemu tourguide jadi?jadian

pilihannya, namanya Ester. Akhirnya kami sampai juga

di Polandia, tepatnya di Kota Krakow. Kedatangan kami

berdua disambut langsung oleh Ester. Entahlah... saat

bertemu dengannya pun aku merasa tidak pernah satu

sekolah dengannya. Anta sendiri tak lagi terlihat resah

seperti tadi saat kami masih menempuh perjalanan

kemari.

Aduh gusti, makin hari makin sipit aja si Cici Ester!!!"

ucap Anta sambil memeluk tubuh Ester yang gemuk.

Ester membalas pelukan Anta, "Aduh Anta, sono pisan! !!

Sekarang makin kasep aja elu teh!" dengan logat cina

sunda kentalnya Ester sama antusiasnya dengan Anta.

"Ehm...," aku berdeham kecil membuyarkan pelukan

mereka. Anta menarik kencang lenganku, "Nahhh teh

Tatan, iniloh si Cici Cici Ester ituu! Pasti inget kannn?!"

Ester malu?malu menatap wajahku, "Hey Tania, apa

kabar?" Hampir saja aku menggelengkan kepalaku tanda

tak mengenalnya, namun kuurungkan. "Eh iya iya, aku

ingat.... Hay Ester, terima kasih sudah mau menyambut

kedatangan kami di Eropa. Kamu tidak sedang sibuk?"
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

173

Ester tampak terkejut mendengarku berbicara, namun

keterkejutannya tak berlangsung lama karena kini

wajahnya berseri?seri senang, "Tania, demi menemani

kalian di sini, gua rela loh ambil cuti dari kantor... hihi."

Cuaca Polandia September ini terasa cukup menusuk

kulit. Walau cuaca cukup cerah menaungi negara Eropa

Timur ini, namun suasananya masih terasa sendu,

sepi, dan dingin. Aku, Anta, dan Ester memakai jaket

beberapa lapis untuk menghalau rasa dingin itu. Kami

menaiki taksi menuju apartemen Ester, rencananya

kami akan menginap dua malam di tempatnya sebelum

melanjutkan perjalanan kami ke Rumania.

Sepanjang perjalanan menuju apartemen Ester,

mataku seperti dimanj akan oleh pemandangan kota ini.

Bangunan?bangunan yang memang dilestarikan dan

dirawat dengan baik memenuhi sudut kota ini. Mereka

seolah menjadi saksi bisu betapa kota ini berhasil keluar

dari kekacauan di peran g dunia kedua. Belum lagi taman?taman kota yang membuat mata semakin nyaman dan

udara sejuk. Aku langsung teringat Bandung zaman

dulu saat kotaku masih asri.

Apartemen Ester cukup nyaman, tidak terlalu besar

tapi aku merasa kerasan berada di dalamnya. Ester

menawariku tidur bersamanya, namun aku memilih

tidur bersama Anta di kamar tamu apartemennya.

174

Apartemen itu hanya punya dua kamar tidur, aku tak

mau menghabiskan malam dengan perasaan kikuk

berada di samping Ester. Jam sudah menunjukkan pukul

11 malam waktu Eropa Timur, namun mataku masih

belum bisa terpejam, rasanya masih tak percaya bahwa

perjalananku bersama Anta benar?benar bisa terwujud.

"Anta." ucapku sambil memandangi langit?langit

kamar yang kini terasa hangat karena penghangat

ruangan. "Ya, Teh?" jawab Anta sambil ikut meman?dangi langit?langit sepertiku. "Kamu bahagia?" tanyaku.

"Sangat Teh, tak bisa Anta gambarkan betapa bahagianya

Anta sekarang. Akhirnya bisa bepergian liburan dengan

Teteh, sesuatu yang selalu Anta mimpikan."

"Ah gombal kamu, bilang aja kalau kamu bahagia

karena akhirnya bisa pergi ke luar negeri," jawabku

sinis. Anta membalikkan tubuhnya ke arahku, "Teh,

Anta tak peduli kita pergi ke luar negeri, luar kota, atau

luar kampung, luar Nagreg. Yang paling penting buat

Anta adalah, dengan siapa Anta pergi," dengan cepat dia

balikkan lagi tubuhnya, kembali menatap langit?langit.

"Oh...," aku tak bisa lagi menanggapi kata?katanya.

Wajahku terasa panas, dan memerah karena malu. Entah

kenapa, kata?kata Anta begitu membuatku bahagia.

175

Ester ternyata orang yang benar?benar baik, untuk

kali keduanya mmmmh... setelah Dania, aku mengenal

seorang teman perempuan yang baik dan terlihat tulus

kepadaku. Hari ini kami diajak Ester mengunjungi

banyak tempat menyenangkan di Krakow. Pusat kota

Krakow terdiri dari Krakow Old Town, Kazimierz, dan

Wawel Castle.

Kami mendatangi ketiga distrik itu, salah satu yang

menjadi favoritku adalah old town yang bisa kita sebut

kota tua, atau dalam bahasa Polandnya disebut Stare

Miasto. Saat kami bertandang ke sana, kota ini cukup

ramai oleh turis yang ingin menikmati keindahan

sejarah Polandia dalam kota itu. Tak heran kalau

daerah ini termasuk dalam salah satu UNESCO World

Heritage Sites. Di kota ini kami menikmati keindahan

arsitektur zaman dulu, yang ternyata sangat kaya. Kami

juga dimanjakan oleh karya?karya seni yang menghiasi

seluruh kota.

Anta begitu ceria hari itu, tak henti berdecak

kagum, terutama pada saat kami menginjakkan kaki di

Wawel Castle, istana raja?raja Polandia zaman dahulu

kala yang begitu luas dan mencengangkan. Walaupun

istana ini telah menjadi museum yang menyimpan

berbagai macam karya seni dari berbagai aliran, namun

kemegahannya masih sangat terasa.

176

Tak henti aku dan Ester dibuatnya tertawa kegelian,

saat dia membayangkan bagaimana jika dia menjadi

raja dan memiliki istana seluas ini. "Teh, Anta mah mau

bikin lapangan futsal yang banyak di sekitar sini. Biarin

aja, biar pun kaya dan banyak duit, kalau Anta yang jadi

raja Anta bakal tetap berwirausaha," ucapnya polos.

Imajinasiku berkeliaran saat kaki kami mengunjungi

Kamp Konsentrasi Auschwitz. Ester bercerita, di tempat

ini terjadi banyak sekali darah, air mata, dan kekerasan.

Sekitar 1,5 juta orang Yahudi, Polandia, Gypsi, dan

para tahanan perang pun mati dibunuh di tempat ini.

Menurutnya, banyak tempat menyeramkan di Polandia

yang justru menarik untuk kami datangi, karena konon

katanya di belahan Eropa lain mungkin akan jarang

sekali ditemui tempat?tempat seperti ini. Bibirku tak

pernah berhenti tersenyum memandangi pemandangan

luar biasa bangunan bersejarah di kota ini, terlihat

suram namun ekletik. Anta tak berhenti berfoto, selalu

saja membidikan kamera saku yang dibawanya. "Teh,

sini atuh fofotoan sama Anta!" dan lagi?lagi kami berdua

berfoto bersama dengan Ester sebagai fotografernya.

Ester tidak bosan menemani kami ke banyak tempat

menarik lain di negara ini. Sebagai orang Indonesia yang

bekerja lama di kedubes Polandia, Ester memiliki banyak

informasi yang menarik untuk aku dan Anta. Aku merasa

177

menjadi Tania yang baru. Tania yang sedang berlibur

bersama sahabat?sahabatnya ini adalah perempuan

yang sangat murah senyum dan suka bergembira.

"Tan, gua pikir elu mah sombong pisan! Dari zaman

SMA elu kagak pernah baik sama anak?anak di sekolah.

Haseum!" Ester mulai berani berbicara seperti itu

kepadaku. Aku tertawa ringan, "Tak kenal maka tak

sayang dong." Anta menanggapi obrolan kami, "Eits,

Anta juga kenal lama baru sekarang kok ngelihat si teh

Tatan ini membaik, Ci! Suwer, ya memang si Teteh Tatan

asalnya sombong dan pikasebeleun!" Ester tertawa lepas,

sementara aku mulai cemberut dan sewot. "Heh, Udik!!!

Jangan mulai lagi! Aku tinggalin loh, awas aja!" Anta

tertawa sambil memeluk leherku, "Kesayangan Antaa...

hihi!" ucapnya sambil mengacak rambutku lembut.

"Eh, ke heula. Kalian pacaran yah?" Ester tiba?tiba

memotong. Anta segera melepaskan pelukannya dari

leherku, sementara tanganku mendorong tubuhnya

keras. "No way!!!" jawabku. "Amit?amit juga!" jawab

Anta sambil mencibirkan bibirnya. Ester tertawa

melihat tingkah kami berdua, "Awas ah kualat!!! Jadi

bogoh nanti teh suka?sukaan, pacaran, nikah aja deh

hahahaha." Aku dan Anta berpandangan kaget, namun

lagi?lagi wajahku tersipu malu. Dan sepertinya tak hanya

aku yang merasa malu, karena kulihat kini wajah Anta

bersemu kemerahan sambil menundukkan kepalanya.

178

"Anta, elu sehat?" kudengar Ester bertanya kepada

Anta di dapurnya. Segera kudatangi mereka, "Hah?!

Sakit apa kamu, Anta? ?" Ester men g gelen gkan kepalanya

menatapku, sementara itu di depannya kulihat Anta

tampak membungkuk lemas. "Anta! Kenapa???" ku?percepat langkahku sambil mengangkat tubuhnya yang

terlihat sangat lemas. Kubopong Anta menuju kursi

ruang tamu apartemen Ester, dan membaringkannya di

sana.

Anta terbaring lemah di hadapanku dan Ester,

bibirnya tampak pucat, dan baru kusadari kini betapa

jauh lebih kurusnya tubuh Anta kini. Air mata mulai

menetes di pipiku, "Anta, kenapa lagi kamuuu?! Tolong

jangan sakit, kita kan sedang berlibuuur," dan aku

sekaran g benar?benar menangis. "Teh." Anta akhirnya

meresponku. "Udah ah jangan cengeng, Anta mah emang

suka begini. Sering sekali Anta lemes karena kurang

darah, kalau kata si Sukma mah Anta teh anemia," dia

berusaha menghiburku. "Ada obatnya nggak?! Bawa

nggak?!" aku semakin panik. Anta menganggukkan

kepalanya pelan, "Ada. Ci, tolong bawain obat Anta dong,

di dalam tas, di kotak warna biru. Punten yah Ci," Anta

meminta Ester membawakan obatnya. Tergopoh?gopoh

179

Ester membawakan obat yang Anta maksud, dan aku

membantu Anta meminum obatnya.

Setelah meminum obat?obatan itu, Anta mulai

terlihat teler dan semakin lemah. Sebelum tertidur

lelap, dia masih sempat mengucapkan maaf kepadaku

dan Ester karena merusak rencana kami hari ini. Anak

itu memang bodoh, bagiku kesehatannya jauh lebih

penting dibandingkan jalan?jalan.

180

KondiSi Anta yang mengkhawatirkan membuat

kami menunda keberangkatan kami ke Rumania selama

dua hari. Aku sama sekali tak mengabari keluarga

kami di Indonesia mengenai ini, Anta memintaku

agar merahasiakannya pada mereka. Perasaanku agak

terkoyak, entahlah... sepertinya Anta memang benar?benar menyayangi tunangannya, sampai?sampai tak

ingin Sukma mengkhawatirkan kondisi fisiknya yang

sedang tak baik?baik saja.

Aku sangat panik hari kemarin, saat tiba?tiba kulihat

darah berceceran dari hidung Anta. Aku dan Ester sama

paniknya, kami tak tahu apa yang sebenarnya sedang

terjadi pada tubuh Anta. Kami berdua berspekulasi bagai

seorang dokter ahli, menyimpulkan bahwa Anta terkena

181

penyakit anemia dan epitaskis ringan yang disebabkan

perubahan udara atau tekanan atmosfir. Istilah?istilah

itu kami dapat dari internet, karena Anta begitu keras

kepala menolak ajakan kami berdua memeriksakan

kondisinya pada dokter.

Awalnya aku kesal pada sikap Anta, namun dengan

mudah hatiku luluh saat melihat ia memohon agar
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak membawanya ke rumah sakit. Beruntung Ester

adalah orang yang pandai menenangkan orang?orang

di sekitarnya, termasuk aku yang lebih tenang setelah

kami berdiskusi mengenai kesehatan Anta. Dia yakin,

Anta baik?baik saja, itu hanyalah penyakit biasa yang

tak perlu dikhawatirkan. Malam itu, aku aku terus

terjaga menemani Anta yang kadang menggigil lemah

kedinginan dan meracau saat tubuhnya tiba?tiba

mendadak panas.

"Selamat pagiiiiiiii, gadis?gadisku yang gareulissssss!!

suara Anta mengusik lelapnya tidurku dan Ester. Tanpa

terasa, kami tertidur di atas karpet kamar tempat Anta

beristirahat pulas. "Hadeuuuh si Ananta, pagawean teh

bikin kaget orang ajah!" suara Ester terdengar kesal.

"Whoaaaaa, Antakuuu, sudah sehat?!" aku melonjak

182

cepat menaiki tempat tidurAnta dan mulai memeluknya.

Anta mencoba merenggangkan pelukanku, "Duh, Teteh,

ampun sakit tau! Udah sehat nih, sehat pisan! Ayo kita

mencari Drakula!! Yu yu yu geura mandi, Anta gak sabar

ke markasnya Drakula!" Pagi itu Anta berubah seperti

sedia kala. Anak itu memang ajaib, aku tak pernah bisa

menduga hal apa yang akan terjadi selanjutnya.

Malam itu kami memutuskan untuk terbang ke

Bucharest, ibukota Rumania. Awalnya Ester mengajak

kami menaiki kereta api, namun mengingat kondisi

Anta yang tak memungkinkan, akhirnya aku bersikukuh

untuk menempuh perjalanan memakai pesawat terbang.

Kami bertiga duduk dalam kursi yang berjejer sama,

Ester asik membaca buku tentang sejarah Rumania yang

sengaja dibawanya, sedangkan aku sibuk memegangi

tangan Anta yang masih saja terlihat sedikit menggigil.

"Teh, Anta sudah baik?baik saja. Bener Teh, jangan

khawatir, oke?! Kita harus bersenang?senang!" Anta

terus berusaha menghiburku. "Iya, tapi kamu ini

masih sakit Anta. Lihat coba badan kamu, kurusnya

kebangetan!!! Kulit kamu juga pucat banget! Dan nafsu

183

makanmu jadi sangat berkurang! Kamu menyebalkan

deh, Anta!" suaraku mulai meninggi.

"Heuh! Nggak di mana nggak di mana, debat terus!

Udah atuh cukup debatnya, malu sama penumpang lain

ih!" Ester akhirnya berkomentar. Pada akhirnya kami

bertiga benar?benar diam, namun aku tetap tak mau

melepaskan genggamanku dari tangan Anta.

Bucharest tak seindah Krakow, padahal sudah

sejak lama kubayangkan kota ini sebagai surga dunia.

Mungkin karena ini sudah terlalu larut untuk menikmati

keindahan kota Bucharest. Namun tetap saja, ibukota

Rumania ini terlalu suram bagiku, mungkin bagi Anta

dan Esterjuga. Karena kini mulut kami bersungut?sungut

kesal melihat melihat keadaan di sini, "Teh, kenapa kok

kayak begini yah kotanya?" Anta lah yang terlihat paling

kecewa saat itu. J ika dibandingkan dengan Krakow yang

sejuk dan asri, menurutku Bucharest terlihat agak lebih

kotor. Sungguh berbeda dengan apa yang pernah kulihat

di internet, yang menggambarkan betapa elegannya

kota ini, bahkan mereka menyebutnya sebagai "Paris

Kecil". Mungkin karena kota ini juga menjadi pusat

industri dan komersial Rumania, sehingga daerahnya

terasa padat, tak ubahnya seperti Jakarta.

Saat taksi yang kami tumpangi melaju menuju hotel,

berkali?kali Anta berteriak menyebutkan beberapa nama

184

pertokoan supermarket yang sama seperti dia lihat di

Indonesia. "Gila teh! Ini mah Indonesia, bukan Eropa!"

Cuaca masih cukup dingin, tidak bersalju namun

tetap membuat badanku bergetar kedinginan. Kami

berada di sebuah hotel yang cukup mewah kali ini,

Anta yang telah mem?booking dan mengatur segalanya.

Ester terlihat senang melihat ruangan klasik superbesar

tempat kami akan tidur malam ini, "Wihhh, tajir dasar si

Tania!" ucapnya cuek. "Hush! Yang kaya tuh si Anta, dia

kan yangngatur dan booking. Aku sih tinggal duduk manis

ajah hehehe," kusunggingkan senyum bahagia menatap

Anta. Anta menimpali sambil bersungut?sungut, "Yeee,

Ci Ester! Kalo si Teh Tatan dikasih kamar yang biasa?biasa ajah, dia pasti marah?marah!" Kupukul kepalanya

dengan bantal yang kupegang, "Sembarangan!"

Ester ikut memukulku dengan bantal yang dia

pegangi, "Kawin kawin hey kalian harus kawin!!!"

Seketika itu juga aku dan Anta terdiam, lalu secara

bersamaan menatap Ester. "Eh, apa? Gua salah? Hih, da

kalian mah cocok tauuu, cuman sama?sama gak sadar

aja! Hahahaha," Ester kembali bercuap. Anta berdiri

tiba?tiba, disusul oleh aku yang tak sabar ingin segera

memukul Ester dengan bantal.

185

Malam itu kami bertiga tertawa puas, saling memukul

bantal hingga beberapa kali kami terpental akibat pukulan

yang terlalu keras. Perjalanan ini terlalu menyenangkan...

Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, dan kami

bertiga masih malas?malasan di atas tempat tidur. Agak

terlalu siang untuk kami memulai perjalanan menuju

Transylvania. "Ta, Anta... Bangun! Kita terlambat nih!

Ester! Heh! Bangunnnn!!!!"berusaha keras kubangunkan

keduanya. Ester malas?malasan membuka matanya

lalu menenggelamkan lagi tubuhnya ke atas kasur.

Sementara Anta, dia sama sekali tak bergerak. "Heh,

Anta! Woyyy! Bangunnn!!!" tanpa sengaja tanganku

mencubit pipinya dengan sangat keras. Anta diam tak

bergeming...

"Ester! Ester, bangun!!! Anta kenapa ini????" suaraku

mulai meninggi, membangunkan Ester dengan cepat.

"Hah?! Kenapa lagi si Anta?" Ester sama paniknya

denganku. Kami berdua sama?sama melihat tubuh Anta

yang tampak lebih pucat daripada sebelumnya, matanya

terpejam dengan tenang, sedikit pun tak terusik oleh

suara dan cubitanku.

186

Lagi?lagi aku mulai menangis, suara Ester juga

terdengar mulai khawatir. "Bangun, Anta! Bangunnnn!!"

Ester mulai ikut berteriak membangunkan Anta.

Tangisku kini benar?benar pecah, sambil terus berteriak

aku coba menampari pipi Anta dengan cukup keras,

berharap dia segera terbangun. Cara itu tetap tak

membuatnya terbangun, aku mulai meraung. . . "Antaaaa,

jangan pergi Anta.... Tolong jangan tinggalkan akuuuu,"

badanku mundur perlahan, lalu menyudut di antara

pintu dan dinding kamar, menutup kedua mata dengan

tanganku.

"Teh... sadar, Teh." suara Anta membuatku mem?belalakan mata dengan cepat. "Anta?"

Kulihat kini Anta tengah tertawa, di sebelahnya ikut

tertawapula Ester. Hampir saja aku memarahi keduanya,

namun Anta segera memb eritahuku bahwa sej ak tadi aku

tertidur sambil terus menerus meneriakan namanya.

Rupanya sejak tadi aku sedang bermimpi, karena kini

Anta tampak segar bugar dan rapi, tak kalah rapinya

dengan Ester yang sudah siap menjelajah Transylvania

hari ini. "Cepet ah mandi! Udah jam 8 pagi nih! Ayo ayo,

semangat!" Ester berbicara begitu semangat.

Kuangkat tubuhku cepat, namun kepalaku masih

memikirkan mimpi buruk yang baru saja kualami. Ester

memberikan handuk kepadaku, sambil berbicara pelan

187

di telinga, "Lu suka ya sama si Anta? Sampai dibawa?bawa ke mimpi hihihi. Bilang gih Tan, mumpung jauh

dari Indonesia. Entah kenapa, gua yakin... dia cuman

tunangan boong?boongan sama ceweknya." Lagi?lagi

untuk yang ke sekian kalinya kata?kata Ester membuatku

tercengang.

188

Udara pagi ini begitu cerah, meski dingin tapi

matahari pagi tampak sangat mendukung kami untuk

berkegiatan di hari itu. Transylvania adalah tujuan

kami hari itu, namun saat keluar dari lobi hotel dan

melihat pemandangan menarik di depan mata, aku

berceloteh, "Ta, Ter, kayanya kita harus keliling?keliling

dulu di kota ini deh. Besok aja ke kastil Drakulanya

ya?" Tanpa menunggu lama, mereka berdua kompak

menganggukkan kepala dengan mantap.

Kami bertiga berjalan menelusuri jalanan Kota

Bucharest, Anta tetap sibuk dengan kameranya, se?dangkan Ester sibuk dengan peta dan brosur?brosur

tujuan wisata di negara paling miskin di Eropa ini.

Walaupun berpredikat termiskin, sepertinya tetap saja

189

negara ini terlihat lebih megah daripada negara?negara

di Asia. Harus kuakui, untuk ukuran Eropa, negara ini

agak kotor. Namun tetap saja, bangunan?bangunan

arsitektur ekletik tampak berdiri menjulang di kanan

kiri jalan.

Rumania di masa lalunya adalah negara Eropa palin g

maju jika dibandingkan negara?negara Eropa lainnya.

Sayang, negara ini pernah mengalami bencana alam

besar di tahun 1977 yang menyebabkan infrastruktur

menjadi kacau balau, dan menelan ribuan korban jiwa.

Negara ini juga menjadi porak poranda saat perang dunia

kedua, belum lagi kekuasaan rezim komunisme negara

ini yang berhasil menghancurkan beberapa bangunan

bersejarah, digantikan oleh bangunan arsitektur

modern. Hanya ada beberapa bangunan bersejarah yang

masih kuat berdiri tegak, dan saat ini Rumania tengah

berusaha kembali bangkit dari keterpurukan. Senang

akhirnya bisa menginjakkan kakiku di atas tanah negeri

ini, kedua orangtuaku tak pernah tertarik menapaki

Eropa Timur. Walaupun saat kecil dulu, aku, Ayah, Ibu,

Mas Tama, dan Tiara pernah berlibur ke Eropa, tapi

kami hanya mengunjungi negara?negara di Eropa Barat.

"Teh, liat itu teh! Ada nenek?nenek kayak orang

Ciwidey!" tangan Anta menunjuk seorang nenek tua

penduduk lokal Bucharest yang memakai baju serba

190

menumpuk seperti wanita?wanita Indonesia yang
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal di daerah perkebunan teh. "Ah Anta, jangan

kampungan ah. Itu tuh si nenek kedinginan, makanya

segala dipake!" aku menanggapinya asal?asalan. "Tetep

aja Teh, kayak orang Ciwidey, sagala ditempelin! Tar yah

tungguin, Anta mau motret si Nini dulu," ujarnya sambil

bergegas mengarahkan kameranya pada sang nenek,

untung saja nenek itu tengah duduk santai terkantuk?kantuk di depan sebuah kios.

Ester tetap sibuk dengan petanya, namun tak lama

karena kini matanya tampak begitu antusias. "Tan!

Ada gedung Parlemen Rumania di kota ini! Katanya sih

keren dan sayang untuk dilewatkan! Paling besar kedua

di dunia, dan terberat di dunia! Yu ah! Kuat teu, Anta?"

matanya menatap Anta dengan tatapan melecehkan.

Anta mengambil langkah seribu di depan kami, "Heh!

Anta teh laki?laki satu?satunya di sini, ingat itu! Anta

harus lebih kuat daripada kalian! Hayu ah lesgow!"


Pendekar Rajawali Sakti 72 Korban Ratu Trio Detektif 04 Misteri Hantu Hijau Misteri Elang Hitam Karya Aryani W

Cari Blog Ini