Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati Bagian 3
Gedung Parlemen Rumania memang sangat megah.
Bahkan gedung berbentuk kotak ini sudah terlihat
sangat mengintimidasi. Jalan masuknya dihiasi oleh
kolam kecil dengan air mancur yang sangat indah.
Beruntung kami ke sana pagi dan bisa mengikuti tur
yang disediakan juga dalam bahasa Inggris. Sayang
sekali tur ini hanya membawa kami ke beberapa ruang
191
kecil, ruang pertemuan dan ruang Senat. Padahal aku
ingin sekali melihat bunker nuklir yang sangat megah
yang ada di dalam gedung ini.
Aku dan Ester sama?sama menonton Anta yang
semakin sibuk menganggumi segala sesuatu yang ada di
sana, "Ta! Jangan terlalu cape, inget kondisi badan elu!"
Ester mulai meneriaki Anta. Kami memutuskan untuk
beristirahat sejenak. "Tuh kan, teu beunang dibejaan!
Sini duduk sebelah gua!" Ester mengeluarkan minyak
angin yang diakunya merupakan barang penting yang
wajib ada di dalam tasnya selama tinggal di Eropa. "lh
bau ih," kujauhkan tubuhku dari Ester yang mulai
memijati leher Anta.
"Anta, kamu baik?baik aja kan?" Anta hanya me?ngangguk pelan ke arahku, matanya kembali terpejam
menikmati pijatan tangan Ester. "Kita pulang aja yuk?
Kayaknya kondisi kamu belum baik. Aku gak mau
kamu kenapa?napa,Ta." Mata Anta melotot seketika
menatapku, "Ih! Enak aja! Gak bisa teh, Anta masih
mau jalan?jalan! Hari ini kita ke kastil Drakula aja lah,
titik!" Kini Anta memaksakan tubuhnya untuk berdiri,
"Hayu teh! Masih jam 11. Ada kereta menuju sana jam
11.30 nanti, Anta bisa tidur di dalam kereta!" tangannya
memaksaku untuk ikut berdiri dan meninggalkan
gedung itu.
192
Wajah Ester tampak sumringah, "Yes yes yes! Lets
go!!! Demen nih gue sama orang yang semangatnya
membara!" Aku tak pernah bisa menolak permintaan
Anta. Kulangkahkan kakiku malas, meski hatiku ber?sorak sorai. Aku sangat ingin melihat bangunan?bangunan suram di Transylvania, mimpiku dan Anta
akan segera terwujud.
Wilayah Transylvania yang paling terkenal adalah
Bran, tempat istana?istana bermitos Drakula itu berada.
Kami bertiga menaiki kereta api selama 2 jam lebih, dan
selama itu pula Anta tampak terlelap. Saat Anta tertidur
di sampingku, kudengar napasnya begitu berat seperti
sedang mengalami sesak yang cukup parah. Sekali?kali kulihat tangannya memegangi perutnya seperti
sedang kesakitan. Kepalaku terus memikirkan apa yang
sebenarnya terjadi pada anak ini, dahiku selalu berkerut
sambil sesekali memegangi pergelangan tangannya.
"Tenang Tan, dia cuman kecapean. Lu jangan terlalu
khawatir deh, dia baik?baik aja. Mending lu liatin pe?mandangan indah ini, jarang?jarang kan lu bisa liat kayak
beginian?", Ester berbicara tanpa melihatku, matanya
193
terus memandangi pegunungan juga pepohonan pinus
yang terbentang indah di kanan kiri kereta kami,
menghantarkan kami menuju Kota Brasov, sebelum
akhirnya berakhir di Bran.
Setibanya di Brasov, kami memutuskan untuk
menaiki taksi menuju Bran, Anta bersikeras agar kami
menaiki bis dengan alasan lebih ekonomis. Namun, aku
yang masih sangat khawatir dengan kesehatan Anta
bersikeras untuk menaiki taksi saja. Sempat terjadi
perdebatan antara aku dan Anta, dan lagi?lagi Ester lah
yang berusaha menjadi penengah.
"Ini teh udah sampai belum? Mana kastil Drakula?nya?" Anta bersuara. "Noh!" tangan Ester menunjuk ke
arah atas perbukitan. "Hahhh? Harus jalan?? Gak ada
apaa gitu yang ngangkut kita ke sana?" Anta terlihat
resah. "Gak ada, kan katanya kamu laki?laki? Masa
nggak kuat?" ucapku sambil tersenyum sinis. "Oke, tapi
pelan yah jalannya." Anta memohon.
Karni mulai menapaki perbukitan menuju kastil,
lumayan jauh dan terjal. Akan tetapi kakiku ini terasa
sangat ringan, mungkin rasa lelahku teralihkan oleh
194
bayangan kemegahan Bran Castle. Berkali?kali Anta
meminta waktu istirahat, aku dan Ester yang tak sabar
menuju puncak bukit mulai merasa kesal oleh sikap
Anta. "Heh! Manja, ih!" ucap Ester. Hampir saja aku ikut
meneriaki Anta, namun setelah melihat wajah pucat
dan napasnya yang payah, mulutku bungkam tak ingin
membuatnya menjadi lebih tertekan. Kulambatkan
langkah, menunggunya sambil memberikan sebelah
tanganku untuk membantunya berjalan.
Tangan kami terus bergenggaman, getaran itu kembali
muncul....
Saat ini aku, Anta, dan Ester berdiri terkagum?kagum menatap sebuah istana megah nan suram yang
selama ini hanya bisa kubayangkan di dalam kepalaku.
Senyum terus mengembang dari bibirku, Anta dan
Ester hanya bisa terpaku menatap kastil indah ini. "Teh,
;
subhanallah... kita sudah sampai di sini, Teh." suara
Anta bergetar seperti hendak menangis. Kugenggam
tangannya lebih erat, "Anta, janjiku padamu sudah
terpenuhi." Anta menghadapkan tubuhnya ke arahku,
tangannya terbuka lebar menyambut tubuhku yang
refleks menuju kepadanya, kami berpelukan kencang.
Ester tak berkomentar, sekilas kulihat dia ikut tersenyum menatap kami.
195
"Ci Ester, tolong fotoin Anta sama Teh Tatan
dong! Anta akan terus mengenang hari ini!" dengan
penuh semangat Anta memberikan kameranya pada
Ester. Kami berfoto sambil berpelukan, mataku terus
terpejam berada dalam dekapan sahabatku. "Anta,
jangan tinggalin aku ya," entah dari mana kata?kata itu datang. Anta menjauhkan tubuhku darinya,
"Teh jangan bicara seperti itu!" Ester yang sejak tadi
tak banyak berkomentar mulai ikut berbicara, "Sudah
sudah, kita udah sampai di sini. Gua gak mau liat
sinetron! Yuk masuk ah!" Kutundukkan kepalaku, ingin
rasanya menggali tanah dan membenamkan diri di
dalamnya karena malu. Anta melakukan hal yang sama,
tapi bukan rasa malu yang kulihat darinya, melainkan
perasaan yang begitu sedih...
Bran Castle yang sering disebut kastil Drakula
sebenarnya adalah sebuah istana penting yang juga
berfungsi sebagai mercusuar negara Rumania. Istana ini
terletak di tengah wilayah Transylvania dan Wallachia,
sebuah kota di negara Rumania. Nama istana ini semakin
terkenal setelah sering disebut dalam novel Dracula
196
karya Bram Stoker. Walaupun novel ini hanya sebuah
karya fiksi, namun tetap saja kini istana ini menjadi
sangat lekat dengan sosok Drakula. Banyak orang
percaya bahwa di sinilah Drakula tinggal, termasuk aku
yang memang selalu suka pada sosok Drakula.
Memasuki kastil itu bagai masuk ke dalam negeri
khayalanku, tempat biasa kulukiskan imajinasi. Tak
henti aku berdecak kagum sambil terus menelusuri
lorong demi lorong, ruangan demi ruangan kastil. Kastil
ini berdiri megah walaupun usianya sudah ratusan
tahun. Sebagai salah satu tujuan wisata, kastil ini sangat
besih dan terawat. Interior kastil ini banyak didominasi
oleh kayu dengan warna cokelat gelap. Banyak furniture
di dalamnya yang terbuat dari kayu, mulai dari lantai,
lemari?lemari, kursi, meja, hingga tempat tidur. Kami
juga bisa mengagumi koleksi baju besi dan mahkota
kerajaan.
Kepalaku membayangkan bagaimana Drakula ting?gal di kastil ini, seandainya aku ada di zamannya dan
hanya menjadi budaknya, sungguh aku rela menjadi
korbannya. Lamunanku terusik oleh Anta yang lagi?lagi
berceloteh, "Mana Drakulanaaa, Tetehhhh? Ah mitos
geuningan!" napasnya lebih ngos?ngosan daripada
sebelumnya. Ester memukul kepala Anta pelan dengan
peta miliknya, "Itu mah memang mitos, dodol!" Aku
197
tertawa sambil kembali memeluk Anta, "Nikmati saja
keindahan ini Anta, jika kamu selalu penasaran dengan
apa yang ada di kepalaku. Ya seperti inilah kira?kira."
Anta bergidik dalam pelukanku, "lh, dasar gila." Aku
memeluknya lebih kencang, "Aku gila karenamu!
Hahahaha." Ester memandangku aneh, kupikir Anta
juga akan memandangiku seperti itu, namun ternyata
tidak. "Anta juga gelo karena Teteh...," jawabnya serius.
Kata?kata Anta membuatku kikuk, dan tak berani me?natap matanya lama?lama. Berkali?kali kualihkan pan?danganku saat berbicara dengan Anta. Hari ini adalah
hari paling indah di hidupku, aku tak ingin terbangun
dari mimpi ini. Kuanggap ini adalah sebuah mimpi,
karena kini aku tengah berada di tempat impianku,
bersama orang yang sangat kusayangi. Sepanjang hari
ini tangan Anta terus menggenggam tanganku erat, aku
begitu menikmati genggaman itu. Tuhan, terima kasih
untuk hari yang begitu indah....
"Teh, perut Anta keram nggak tau kenapa. Duduk
dulu sebentar ya?" Anta menarik tanganku tiba?tiba,
memintaku menemaninya terduduk di kursi stasiun
kereta api Brasov. Ester sudah berjalan lebih dulu,
memeriksa jadwal kereta api yang akan membawa kami
198
pulang ke Bucharest. "Kamu lapar, Ta?" aku mulai panik.
"Nggak, Teh, tadi kan kita udah makan banyak. Keram
sedikit kok, Teh. Teteh duduk sebentar di sini ya temenin
Anta?" wajahnya berusaha tersenyum meski aku tahu
dia sedang menahan sesuatu yang menyakitkan di
dalam perutnya.
"Anta, aku tak pernah tahu kalau badanmu begini
rapuh. Kupikir kamu orang yang sangat kuat. J atuh dari
tangga saja kamu masih bisa bertahan hidup. Maafin
aku yah Ta, kalau selama ini sepertinya kurang peduli
sama diri kamu," kutundukkan wajahku. "Teh, jangan
seperti itu. Apa Teteh tau? Seumur hidup Anta, Teteh
adalah orang yang paling peduli pada kelangsungan
hidup Anta. Justru Anta pengen bilang maaf sama
Teteh karena tak bisa berbuat banyak untuk Teteh,"
Anta berbicara dengan sangat serius.
Kupandangi wajah pucatnya, "Anta, aku ini manusia
planet. Dan kamu adalah manusia supernormal yang
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhasil membuatku menapakkan kaki di atas tanah.
Tahu tidak? Segala sesuatu yang membuatmu bahagia,
maka akan membuatku bahagia juga. Aku tak tahu
bagaimana lagi harus berterima kasih kepadamu atas
kebahagiaan yang kini aku rasakan."
Anta tersenyum resah, lalu bertanya kepadaku, "Teh,
sebenarnya Anta ingin meminta sesuatu dari Teteh."
199
Sambil tersenyum kuanggukkan kepalaku, "Apa pun itu,
Anta."
"Tolong biarkan Anta pergi dari hidup Teteh dan
berbahagia bersama Sukma...."
200
Sebuah tamparan baru kuterima dari bibir
sahabatku, Ananta Prahadi. Bayangan tentang perasaan
kami yang mungkin saja saling tertaut harus ku
kubur dalam?dalam. Sepanjang perjalanan menuju
Bucharest kami sama?sama mematung. Ester duduk
di samping Anta, sedang aku memilih untuk duduk
sendirian bersama orang asing. Berkali?kali bola mataku
menangkap Anta yang duduk di belakang sana tengah
memandangiku dengan sedih, berkali?kali pula kulihat
Ester tampak kebingungan sambil bertanya, "Ada apa
sih kalian berdua?"
Di dalam kamar hotel pun aku memilih menjauh dari
Anta, memutuskan untuk melamun sendirian di balkon
hotel sambil menikmati pemandangan Kota Bucharest di
201
malam hari. Tak ada yang berani menggangguku malam
itu, perasaanku sedang hancur. Genggaman tangan itu,
kata?kata itu, pelukan itu, ternyata hanya berarti bagiku
seorang. Ananta tetaplah menganggap dirinya seorang
sahabat bagiku, tak lebih dari itu. Hatiku terus menjerit,
mempertanyakan tentang nilai diriku yang mungkin
memang dinilai begitu rendah di mata Anta. "Seberapa
bagusnya sih si Sukma???" kepalaku terus bertanya
seperti itu.
"Teh, Anta mau bicara dengan Teteh, boleh?" tiba?tiba suara Anta membuyarkan lamunan. "Buat apa
kamu ke sini? Mau menghiburku, hah?! Cukup Anta, tak
usah lagi berbicara kepadaku, aku sudah sangat kecewa
karenamu!" suaraku meninggi tanpa ancang?ancang.
Anta tertunduk namun tak lantas menjauh dariku,
"Ada yang harus Anta jelaskan pada Teteh, tolong Teteh
mengerti Anta." Mataku melotot, emosiku memuncak,
"Penjelasan? Apalagi? Tak usah! Aku sudah muak
denganmu, Anta! Kamu pikir mudah bagiku menyukai
seseorang? Dan setelah sekian lama ini baru aku
sadar bahwa aku tak hanya menyayangimu melainkan
mencintaimu, kau pikir ini semua gampang? Dan
setelah apa yang kau lakukan terhadapku, sekarang kau
memintaku untuk mengerti dirimu? Bebal kamu Anta!"
Air mata benar?benar tak tertahankan lagi, aku
menangis tersedu kini sambil mengepalkan kedua
202
tanganku. Anta tampak bengong terkaget?kaget, "Teh,
istigfar Teh... Ini Anta, sahabat Teteh. Teteh tak boleh
mencintai Anta, Anta ini bukan siapa?siapa! Anta hanya
seekor kucing yang Teteh pungut di jalanan, dan kucing
ini sekarang tengah berusaha membuat Teteh bahagia.
Bahagia Teh, bukan menangis seperti ini...."
"Kamu ingin membuat aku bahagia? Kalau begitu
aku mohon, tolong cintai aku...," sambil terus menangis
aku bersimpuh memegangi kaki Anta.
"Astaghrullah, Teteh jangan begini. Teteh kesayangan
Anta tak boleh cengeng seperti ini, apalagi memohon
seperti ini kepada Anta," tangannya berusaha meraih
kedua tanganku untuk berdiri, namun kuhempaskan.
"Jangan berpura?pura baik kepadaku! Kamu hanya
kasihan, kan? Tak lebih dari itu, kan? Cepat jawab!
Bisakah kau mencintaiku? Maukah kamu menghabiskan
sisa hidupmu bersamaku?"
Anta kini menangis, sama sepertiku. Sambil terus
mencucurkan air mata, kulihat kepalanya tertunduk
sambil menggelengkan kepalanya pelan ke kiri dan ke
kanan. "Cukup! ! Kamu tak perlu menangis! Kamu benar?benar jahat, Ananta! Aku menyesal, sangat menyesal
telah peduli kepadamu! Persetan dengan tujuanmu
yang sangat mulia, ingin membuatku bahagia! Ini yang
kamu sebut bahagia? Hah? Selamanya aku tak ingin
mengenalmu! Dengar baik?baik, mulai saat ini kamu
203
hanyalah bagian kecil dari masa laluku. Bagian paling
buruk!"
Aku berlari menuju kamar, membereskan semua
pakaianku, memasukkannya ke dalam koper. Ester ter?cengang menatapku, aku tahu sejak tadi dia menguping
perdebatanku dengan Anta. "Ter, aku pergi malam ini.
Aku akan membeli tiket paling pagi menuju Paris. Tolong
urus bajingan itu, pastikan dia pulang ke Indonesia dan
kembali ke pelukan tunangannya yang kampungan.
Terima kasih sudah menemaniku beberapa hari ini, aku
akan menghubungimu lain waktu."
Tak kubiarkan Ester berkomentar, yang kulakukan
hanya memeluknya sesaat lalu pergi meninggalkan
hotel menuju bandara. Sedikit pun tak kupalingkan
wajahku menatap ke belakang, aku ingin terus berjalan
tanpa menatapnya lagi.
Sesuatu kembali menohok ulu hatiku, rasanya sakit
sekali..
Pukul 7.15 pesawatku terbang menuju Paris, kota
yang sebelumnya tak akan ku kunjungi. Dalam diam aku
merasakan hening yang begitu menakutkan, tak pernah
kurasakan sebelumnya seperti ini. Kaki ini melangkah
204
lunglai, di tengah hiruk pikuk Bandara Charles De
Gaulle, Paris. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi,
dan aku tak tahu harus menuju ke mana. Aku hanya
ingin terdiam merenung, melepas segala penat yang
membuatku hampir gila. Sama sekali tak kupikirkan
bagaimana perasaan Anta mengenai tindakanku ini, aku
benar?benar ingin melupakannya. Melalui informasi
internet di telepon genggamku, kuputuskan untuk ber?istirahat di sebuah hotel yang letaknya sangat dekat
dengan Menara Eiffel.
Kulihat wajah?wajah yang sangat bahagia sepanjang
perjalanan menuju hotel, sopir taksi yang kunaiki tak
henti berbasa?basi mencoba menghiburku yang acuh
tak acuh padanya. Berkali?kali hatiku bertanya entah
pada siapa, "Kapan aku bisa seperti mereka? Tertawa
dengan lepas tanpa beban. Kau sedang membenciku
ya? Atau aku ini eksperimen gagalmu?" sambil terus
memandangi langit cerah Kota Paris pagi itu.
Aku terduduk lelah, membawa koper hitamku yang
ternyata cukup berat. Berkali?kali kuhela napas seperti
tengah membuang beban. Mataku berkeliling, menatap
desain modern minimalis kamar hotel yang kutinggali.
Sambil berjalan malas, ku buka jendela kamar untuk
sekadar merasakan terpaan angin dingin kota ini.
Mataku terbelalak takjub, ketika beradu dengan
pemandangan Menara Eiffel yang menjulang indah.
205
Perlahan kedua bola mata itu digenangi air lagi, aku
sedang sangat rapuh. "Tidak, aku tak boleh terpuruk!
Kau kuat, Tania! Kau bukan perempuan cengeng!"
hatiku memberontak. Amarah kembali menguasaiku
tanpa sebab, sambil menggeram kututup cepat jendela
yang telah terbuka, begitu pula dengan tirai jendela
itu. Cahaya sedang tak bersahabat denganku, aku ingin
sesuatu yang lebih kelam dan gelap, aku sedang ingin
menikmati kesakitan ini.
"Kriiing... kriiiing," suara telepon genggam berhasil
membangunkanku dari tidur. "Halo, Halo!!! Tania?
Sayang, kamu di mana? Baik?baik aja, Nak?" suara
ibu terdengar begitu pekak di telinga. "Hmmm, baik!"
jawabku ketus. "Kamu sekarang sendirian? Atau
ditemani siapa? Jangan buat Ibu khawatir, Tan! Anta
tadi telfon katanya dia pulang hari ini ke Indonesia, tapi
kamu tidak. Ceritakan sama Ibu, Tan Kenapa kamu?"
Mendengar nama itu disebut oleh ibu, kekesalanku
bagai tersulut. "Bu, denger. Aku baik?baik saja, dan aku
sedang tidak ingin diganggu, oke?! Nanti aku SMS?in
posisiku, tapi aku saat ini sedang ingin sendirian, Ibu
206
ngerti?" kuputuskan sambungan telepon dengan kasar,
aku sedang tak ingin dibujuk atau dikasihani.
Suara telepon berdering lagi, dan kulihat masih
nama ibu yang terpampang di layar telepon. Meski
berang, aku masih tak kuasa jika tak mengangkatnya.
"Apa, Bu?" jawabku. "Tolong beritahu Ibu di mana kamu
tinggal!" Ibu bertanya. Kukerutkan keningku, "Ibu mau
ke sini?" "Tidak, Ibu hanya tak ingin terlalu khawatir.
Setidaknya kalau Ibu tahu di mana kamu tinggal, Ibu
bisa mencarimu ke sana kalau kalau kamu hilang kabar."
Kuhela napas panjang, "Pullman Eiffel Tower Hotel."
Suara ibu terdengar lebih lega, "Baiklah, terima kasih
ya, Tan. Selamat berlibur di sana, tenangkan pikiranmu.
Ingat , Tan, jangan bunuh diri ya. .. mmmh." Aku menutup
saluran telepon ibu kembali dengan perasaan kesal.
Kupejamkan kedua mataku, tapi perutku terasa ber?gejolak karena lapar. Kuputuskan untuk mencari makan
karena memang sejak tadi malam tak satu pun jenis
makanan mengendap di dalam perut. Konon restoran
hotel ini punya pemandangan terbaik di Paris, lagi?lagi Menara Eiffel. Aku tak peduli pemandangannya,
yang kuinginkan hanyalah makan hingga kekenyangan
untuk persediaan perutku hingga esok hari. Kupilih
sebuah meja 2 kursi di dekat kaca restoran, terasa begitu
dekat dengan Menara Eiffel. Beberapa pasangan tampak
207
antusias mengabadikan momen dengan berfoto terus
menerus tanpa henti di dekatku, bibir ini diam?diam
mencibir menatap mereka, "Cih." Sambil menikmati
menu khas hotel, mataku terus berkeliling ke sana
kemari.
Beberapa pemandangan pasangan?pasangan muda
hingga tua terus menghiasi bola mata ini, perasaan muak
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai menyeruak. Entah kenapa, menatap orang?orang
ini saja membuatku menjadi kesal dan ingin segera pergi
menuju kamar. Menara Eiffel jadi tak istimewa lagi jika
dilihat hanya sendirian dalam perasaan kalut sepertiku
saat ini.
Aku benci kota ini.
Kacau sekali wajahku pagi ini, berantakan dan
sangat sembab. Aku berkaca sambil terus menerus
memerhatikan betapa jeleknya aku jika terus terpuruk
seperti ini. Suasana di dalam kamarku masih gelap,
jendela beserta tirainya belum ingin kubuka. Dengan
malas, kulangkahkan kakiku ini menuju kamar mandi.
Dalam gelap kaki ini tak jelas melihat apa yang akan
dilewatinya, tanpa sengaja kakiku bertabrakan dengan
koper hingga keseimbangan tubuhku tak lagi terjaga.
208
Dalam hitungan detik tubuhku jatuh ke lantai, kepalaku
memb entur lantai dengan sangat keras. Sesuatu mengalir
perlahan dari atas pelipisku, sambil mengaduh aku coba
pertahankan kesadaranku. Tubuhku merangkak ke sana
kemari, gelapnya kamar ini membuatku sulit bergerak.
Tanganku menggapai segala arah, hingga beradu dengan
telepon genggamku. Kutekan tombol telepon genggam,
ada nama ibu di sana.
"Bu... tolong Tania..."
setelah itu, semua mendadak menjadi kabur....
209
Kubuka mata ini pelan, segalanya tampak silau
dan berkilauan. Cahaya dari segala arah masuk meski
terkadang begitu kabur. Samar kulihat bayangan
hitam berlalu lalang, siapa mereka? Di mana aku?
Sebuah bayangan tampak lebih besar berada tak jauh
dariku. Semakin lama semakin membesar, napasnya
pun terdengar di telingaku. Kubuka mata lebih lebar
dari sebelumnya, aku tengah berada di ruangan asing,
serba putih. Bayangan itu tiba?tiba berdiri, lalu berlari
meninggalkanku. Setengah berteriak dengan bahasa
Prancis, seolah memanggil orang lain. Bayangan itu
kembali di dekatku, ditemani oleh 2 bayangan.
"Elle s'est levee madame, mais elle s'en dort encore. Est
ce qu'elle est conscient?" bayangan itu panik berteriak ke
211
arah dua bayangan yang baru datang. Bayangan baru
itu menjawabnya dengan berkata, "Sait tranquille, elle
a besoin de temps." Aku tak mengerti apa yang mereka
bicarakan. Rasa penasaranku semakin besar, mata ini
kupaksakan untuk kembali terbuka pelan, mulutku
lantas berkata, "Where am I?"
"Tania!!!! Kamu sudah bangun! 'Ihanks God!"
bayangan itu berteriak di dekatku. Tangannya memeluk
tubuhku, dan pelukan itu menyadarkanku siapa sosok
bayangan yang sejak tadi berteriak?teriak di dekatku.
Sambil bergumam lirih kusebut namanya, "Pierre..."
"Ibumu yang mengabari saya, dia terdengar begitu
khawatir. Saya berada di Swiss kemarin, maafkan saya
tak bisa langsung membantumu ke rumah sakit. Untung
saya bisa telepon resepsionis untuk bantu kamu. Kamu
tidur cukup lama, sekarang bagaimana keadaanmu,
Tania?" dengan wajah khawatirnya Pierre tak berhenti
bicara. Aku ternganga melihat sosoknya kini kembali
muncul di hidupku. Kupikir tak akan pernah melihatnya
lagi. Kuangkat tangan kananku lemah, menutup
mulutnya yang tak berhenti bicara. Air mataku menetes
pelan, mulutku kemb ali meman g gil namanya, "Pierre. . . ."
212
Mungkin aku adalah perempuan paling beruntung di
dunia, dan paling menyebalkan tentu saja. Bagaimana
tidak, saat kehilangan yang satunya, selalu yang satunya
kembali datang. Kubuka kedua tanganku, bermaksud
memeluk Pierre yang ternyata sangat kurindukan.
Namun reaksinya tak sesuai dengan inginku, Pierre
menjauhkan badannya dariku. "Don't be like this, Tania.
Ifyou don't want to be with me, don't pretend to miss me.
Biarkan kita saling menjaga jarak...."
Tamparan pahit kembali kurasakan, aku benar?benar
ditinggalkan. Semua orang tengah membenciku, hingga
aku tak yakin bisa kembali memercayai diriku yang
sudah terlalu banyak bersalah. Kutundukkan kepalaku
sedih, tangan Pierre tiba?tiba menggenggam tanganku.
"Jangan bersedih, Tania. Itu hanya akan membuat
kamu semakin sakit. Tersenyumlah, mungkin itu akan
membantumu cepat pulih. Saya ingin mengajakmu
mengunjungi beberapa tempat yang mungkin bisa
mengembalikan senyum itu."
Bagai anak kecil yang kehilangan arah, aku
mengangguk penuh semangat sambil tak henti meng?hapus air mata yang berlinang di wajahku. Pierre ter?seyum lega, tangannya lantas mengusap kepalaku
lembut. "Awww...," tangannya tak sengaja menyentuh
dahiku, membuatnya terasa linu hingga aku mengaduh.
"Ups, maafkan saya tak sengaja," ucapnya panik. Aku
213
mulai sadar ada sesuatu yang tak beres dengan dahi ini,
"Pierre, bisakah kau ambilkan cermin?" Dengan sigap
Pierre mendatangi suster dan berusaha meminjam
cermin pada wanita muda berpakaian putih itu.
Kupandangi dahi dan kepalaku melalui cermin yang
dipinjamkan suster, entah dari mana datangnya tawa ini
karena kini aku nyaris terbahak seperti orang gila. "Hay,
kamu baik?baik saja? Kenapa? Ada apa?" Pierre kembali
panik. "No, I 'm hne. Aku hanya merasa jahitan di dahiku
ini sangat keren! Aku merasa seperti Frankenstein
hahaha," jawabku sambil memandangi luka bekas
jahitan di wajah. Pierre tertawa bersamaku kini, "Demi
Tuhan, saya pikir kamu sudah menjadi gila! Hahahaha."
Hanya butuh satu hari lagi untukku beristirahat
di rumah sakit kota ini, itu pun karena aku bersikeras
agar segera keluar dari sana. Aku ingin menikmati
udara luar, bersama laki?laki yang telah cukup lama
menghilang dari pandangan mataku. Rupanya Pierre
telah membereskan koper dan segala administrasi
hotel, lalu dia membawaku ke tempat tinggal papanya,
tak jauh dari kota. Menurutnya, rumah itu sedang tak
214
berpenghuni, karena sang Papa sedang mengunjungi
tunangannya yang berdomisili di Filipina.
Kedatanganku di rumah itu disambut gonggongan
beberapa anak anjing peliharaan papa Pierre, mereka
tampak antusias melihat kami berdua. Pierre men?ciumi anak?anak anjing itu sebelum akhirnya mem?persilahkanku masuk ke dalam rumahnya. Sejak tadi
aku cukup dibuat kagum oleh pemandangan di sekitar
rumah, dan sekarang dibuat lebih kagum oleh desain
juga segala interior yang ada di dalamnya. Sepertinya
Papa Pierre adalah seorang seniman, atau mungkin saja
seorang kolektor karya seni. Ruangan demi ruangan
dipenuhi oleh lukisan?lukisan yang ternyata berasal dari
banyak negara.
Wajahku mungkin tak bisa menyembunyikan rasa
kagum, hingga akhirnya Pierre mengomentarinya.
"Kamu seperti anak kecil yang menemukan sebuah
lolipop. Ini adalah koleksi Papa saya, dan hobi Papa
menurun pada saya. Lusa nanti, akan saya tunjukkan."
Wajahku mengernyit, "Lusa? Kenapa harus lusa?" Pierre
tersenyum penuh makna, "Lihat saja nanti. Sekarang,
yang kamu harus lakukan adalah menghubungi
keluargamu di Indonesia. Mereka sangat khawatirkan
kamu." Tangan Pierre menyerahkan telepon kepadaku,
yang rupanya sudah tersambung dengan ayah.
215
"Tania!!! Kamu sudah sehat? Nggak apa?apa, kan?"
suara ayah terdengar parau. "Baik kok, Tania baik?baik
saja di sini," ujarku. Belum sempat ayah berbicara lagi,
tiba?tiba yang kudengar suara ibu. "Tannnn, wuaduh
kamu ini ampuun untung Ibu udah catat alamat
hotelmu! Firasat Ibu betul kannn! Cepat pulang, Tan!
Kami semua khawa...," pembicaraan ibu terputus. Kini
suara ayah lagi yang terdengar, "Sudah Tan, jangan
dengarkan ibumu. Sebaiknya kamu beristirahat dulu
ya, kabari kami jika kamu hendak pulang. Mana coba
Pierre, Ayah mau bicara padanya."
Kuserahkan telepon itu pada Pierre yang sejak tadi
terdiam memandangiku berbicara dengan ayah dan ibu,
"Nih...." Pierre membawa teleponnya menjauh dariku,
kemudian berbicara dengan ayahku, entah apa yang
mereka bicarakan. Aku tersenyum melihat sosoknya
dari belakang, begitu ingin aku memeluknya. Namun
perasaan sedih itu muncul lagi.
"Kau ini wanita hina, Tania! Jangan pernah berharap
mendapatkan sesuatu yang mulia!" hatiku terus berkata se
perti itu.
216
Aku terbangun dari tidur yang sangat nyenyak,
tidur terlama setelah beberapa hari ini melewati masa
yang sulit. Berlapis selimut menutupi tubuhku yang
cukup mengigil karena cuaca dingin. Tadi malam tak
sebanyak ini jumlah selimutnya, pasti Pierre yang
menambahnya. Kamar yang kutiduri merupakan
kamar Pierre, sedang Pierre memilih untuk tidur di
kamar tamu rumah itu. Meski asing dengan suasana
di sekelilingku, namun bibir ini tak henti tersenyum
memandangi banyak bingkai foto yang membingkai
wajah Pierre dari tahun ke tahun. Senyumnya tak
pernah berubah, sejak kecil manusia ini memiliki
senyum terhangat di dunia. Tubuhku berdiri, mendekati bingkai?bingkai itu.
217
"Selamat pagi, Tania!" suara Pierre dari arah pintu
kamar mengagetkanku, Sambil tersentak kaget ku?rasakan wajahku memanas karena malu. Aku sebenarnya
tak ingin terlihat tersenyum memandangi foto?foto
Pierre, semoga saja dia tak melihatnya. "Mmmh
pagi, Pierre," jawabku kaku. "Ini sudah jam 11 siang,
turunlah. Meski sudah tak bisa dibilang sarapan, tapi
saya membuat sesuatu menyerupai menu sarapan
untuk kamu," matanya yang indah menatapku ramah.
Kepalaku mengangguk cepat, tak bisa kupungkiri bahwa
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perutku ini terus bergejolak sejak tadi.
Pierre membuatkanku roti isi dadar telur, daging
asap, dan keju. Aku menghabiskan empat poton g roti itu
dengan lahap hingga tak tersisa satu pun roti untuknya.
Pierre tertawa senang melihatku begitu kalap, "Kamu
seperti seekor macan yang tak pernah diberi makan.
Tapi saya senang melihatmu begitu menikmati masakan
saya." Sambil bersungut?sungut aku menanggapinya,
"Ini karena aku lapar saja. Jika tidak lapar, aku tak akan
sudi memakannya walau secuil." Pierre kembali tertawa,
kali ini lebih keras daripada tawa sebelumnya. "Kamu
tidak pernah berubah, Tania."
218
Tangan Pierre memegangi tanganku dengan cukup
keras, namun dia terus berjalan cepat tanpa melihatku
yang mulai kesal karena genggaman itu. Belum lagi
mataku yang begitu gelap karena sejak keluar rumahnya
terus ditutupi oleh dasi milik Pierre. Entah ke mana
laki?laki ini akan membawaku pergi. Aku menurutinya
saja, toh aku juga tak tahu harus ke mana jika sendirian
berjalan?jalan di kota ini. "Masih lama? Aku bosan,
Pierre!" kekesalanku mulai memuncak. "Sebentar lagi,"
jawabnya santai. Setelah menaiki taksi cukup lama, kini
dia mengajakku berjalan cukup jauh. "Kau membawaku
ke mana sih?" kembali ku berteriak. Pierre tak menjawab
pertanyaanku, malah mempercepat langkahnya hingga
hatiku semakin terasa panas.
Tapi sesuatu yang tak asing kini tengah kudengarkan,
musik ini! Rasanya aku pernah mendengar musik?musik sirkus klasik yang saat ini terdengar di telingaku.
Sebelum sempat ku menebak, Pierre menghentikan
langkahnya.
"Kamu bisa membuka matamu, Tania," ucap Pierre
setelah membuka dasi yang menempel lekat di kedua
mataku. Perlahan kubuka kedua mataku, dan terperanj at
atas apa yang kulihat, "Pierre!!! Disneyland?! Serius,
kamu membawaku ke sini?" aku menjerit senang. Pierre
tertawa kini, "Ya, Disneyland! Ini tempat favorit kamu
219
sejak kecil kan? Betulkah?" Kuanggukkan kepalaku
mantap, "Ya! Aku selalu suka Disneyland! Terima kasih
Pierre, aku hampir saja melupakan tempat favoritku ini!"
kembali aku berteriak sambil mendekatkan tubuhku ke
tubuhnya bermaksud hendak memeluknya lagi. Pierre
menjauh lagi, dia tak mau kupeluk.
Kesenanganku terhenti tiba?tiba, namun Pierre se?pertinya mengerti, dengan cepat dia raih tanganku dan
menariknya kembali. Kami berlarian ke dalam istana
masa kecilku. Saat kukecil dulu, aku menganggap taman
bermain seperti Disneyland adalah istanaku.
Aku sudah pernah bermain bersama keluargaku di
taman hiburan paling terkenal di dunia ini, pantas saja
telingaku sangat tak asing mendengar alunan musik
yang berkumandang di sepanjang wilayahnya. Sudah
lama sekali sejak terakhir aku dan keluargaku kemari.
Aku hampir tak mengingat lagi bagaimana tepatnya
kesenangan yang bisa kurasakan di sini. Dengan penuh
antusias Pierre mengaj akku terus berlari mencoba semua
wahana. Berkali?kali aku tertawa puas hingga kelelahan,
namun bertemu dengan tokoh?tokoh Disney favoritku
berhasil mengubur rasa lelah itu. Walau terlihat agak
menjaga jarak denganku, Pierre tampak ikut menikmati
suasana hari itu dengan penuh tawa.
Permainan bernuansakan tokoh Peter Pan, Buzz,
Mickey, tak satu pun terlewatkan. Aku juga begitu ter220
pukau oleh pertunjukkan utama hari itu yang berjudul
"How to be a magician", lalu berlanjut pertunjukan
"Mickey on ice", dan yang paling kutunggu?tunggu adalah
"Princess Parade" yang berlangsung meriah di pukul 5
sore.
Keceriaan Disneyland berhasil mengembalikan
memori masa kecil dulu, saat tak sedetik pun waktu
kubuang untuk kesedihan. Pierre tak keberatan jika
kugenggam tangannya, berkali?kali kupegang sangat
erat hanya sekadar untuk menunjukkan betapa
bahagianya aku hari ini. Kata?kata "Terima kasih" selalu
terucap dari bibirku, sungguh hal yang sangat jarang
kulakukan. Tanpa sadar, aku telah menunjukkan sikap
terpendamku yang sebenarnya sangat kekanakkan pada
Pierre.
"Kamu mau pulang, Tania?" Pierre bertanya. Saat itu
waktu menunjukkan pukul 7 malam, dan kugelengkan
kepalaku. "Tidak, aku masih mau berada di sini hingga
tempat ini tutup." Pierre tersenyum menatapku,
"Kesehatanmu belum terlalu pulih, sebaiknya kamu
" ::
banyak beristirahat. Istirahat bisa besok?besok, biarkan aku menikmati kesenangan ini, Pierre," ucapku
221
tanpa memandangnya. Tiba?tiba aku bersorak keras,
"Hey! Aku masih ingin menikmati wahana Space
Mountain Mission, Star Tours, dan tentu saja, Rumah
Hantu!!!" Sekarang giliran Pierre yang menggelengkan
kepalanya diiringi tawa khasnya. "Terserah kamu saja,
ok?"
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam,
tubuhku benar?benar lelah. "Pierre, aku lelah...," suaraku
terdengar parau. "Sudah saya bilang, seharusnya kamu
tak banyak bermain. Ayo kita segera pulang! Saya tidak
mau kamu mati kelelahan di sini," Pierre terdengar lebih
galak dari biasanya.
Entah kenapa tiba?tiba kaki ini terasa sangat ngilu,
badanku tak kuat tertopang oleh keduanya hingga
membuatku hampir jatuh sempoyongan. Pierre terlihat
sangat kaget, tanpa banyak bicara diangkatnya tubuhku.
Aku tengah dibawa ke masa itu, saat Pierre melakukan
hal yang sama kepadaku di lorong rumah sakit. Kini aku
berada dalam dekapannya yang begitu kuat mengangkat
tubuh lelahku. Saat seperti ini, Pierre tak bisa mengelak
dari pelukanku. Sedikit menyebalkan memang, tapi
sungguh aku tak berpura?pura sakit hanya untuk
memeluknya.
Pierre tak banyak bicara, begitu pula aku. Sepanjang
perjalanan di dalam taksi, tubuhku terus memeluknya.
Dia tampak canggung dengan situasi ini, sementara
222
:;
aku coba mengenyahkan rasa itu. "Pierre..., suaraku
memecah keheningan. "Ya?" jawabnya pelan. "Aku ingin
melihat Menara Eiffel... bolehkah?" dengan sangat
hati?hati aku meminta. "Sekarang? Tapi kamu sudah
sangat kelelahan. Saya tidak mau kamu semakin sakit.
Besok saja, boleh?" jawaban Pierre mengecewakanku.
Kuarahkan pandanganku keluar jendela taksi, "Aku
sudah melihat Menara Eiffel itu sejak beberapa hari
yang lalu. Tapi aku benci melihatnya, dia menjulang
terlalu sombong hingga aku merasa sedang diolok?olok
olehnya. Aku hanya ingin tahu, sebenarnya dia memang
sombong atau tidak? Aku benar?benar ingin tahu
keindahan menara itu. Jika bersama kamu, apakah akan
tetap sombong? Atau terlihat indah?"
Pierre berbicara dalam bahasa Perancis dengan
sang sopir taksi, entah apa itu. Aku baru mengerti
saat tiba?tiba taksi yang kami tumpangi berhenti
tak jauh dari menara khas kota ini. Senyum kembali
terukir di wajahku, masih dalam gendongan Pierre
dia membawaku lebih dekat lagi menuju menara.
Mataku berbinar, terperangah pada keindahan menara
Eiffel di malam hari. Ada sesuatu yang magis saat
memandangnya. Kilauan lampunya seolah menambah
keanggunan menara yang sangat terkenal di dunia ini.
Entah dari mana datangnya, karena dengan cepat
aku membisikkan kata?kata di telinganya, "Menara
223
Eiffel ini sangat indah, benar apa kata orang. Terima
kasih telah membuatnya terlihat jauh lebih indah di
mataku...." Pierre tersenyum menatapku, dalarn senyum
itu matanya terlihat berkaca?kaca. Tak ada sepatah kata
pun yang dia ucapkan kepadaku malam itu, hanya saja
dekapan tangannya saat menggendong tubuhku terasa
lebih kuat daripada sebelumnya.
Pierre menemaniku hingga tertidur lelap malam itu,
dia bisa saja melihat bagaimana bibirku tersenyum lebar
menikmati tidur. Di saat dunia tengah memusuhiku, laki?laki ini selalu saja ada. Tuhan, aku benar?benar merasa
sangat bersyukur jika ternyata si Albino ini memanglah
jodohku. Mungkin aku adalah wanita paling tak tahu
diuntung di dunia ini, tapi sungguh aku mau berubah
untuknya. Dalam tidur malam itu pun aku masih saja
membayangkan apa yang telah kami lalui hari kemarin,
terlalu indah untuk dilupakan begitu saja.
"Cepat bangun! Kita harus cepat?cepat pergi ke
stasiun kereta!" teriakan Pierre mengagetkanku esok
harinya, pagi sekali. "Mau ke mana kita?" aku masih
bingung karena terbangun dengan cara seperti itu.
"Nanti akan kuberitahu!" jawabnya singkat. Pierre
telah menyiapkan segalanya, dari mulai baju yang akan
224
kukenakan setelah mandi, hingga koper yang sudah
siap dibawa pergi. Kepalaku menebak?nebak hendak ke
mana lagi kami hari ini, namun Pierre tak memberiku
jawaban.
Berlarian kami memasuki Stasiun Gare De Lyon, Paris.
Pierre begitu sibuk mengangkut koperku dan memasuk?kannya ke dalam bagasi kereta. "Mau ke mana kita?"
lagi?lagi aku bertanya setelah kami berdua duduk di
kursi kereta. Sambil tersenyum Pierre berkata, "Nikmati
saja perjalanannya, nanti kamu akan tahu sendiri."
225
Sejauh mata memandang, aku disuguhi oleh pemandangan yang begitu menakjubkan. Pepohonan hijau
diselingi dengan langit biru cerah, seolah mendukung
rencana apa pun yang Pierre miliki hari itu. Hati dan
pikiranku mendadak jadi sangat tenang, seperti ada
napas buatan yang pemandangan?pemandangan itu
berikan kepadaku. Pierre duduk di sampingku, dia ikut
menikmatinya. Mulutku tak lagi bertanya ke mana
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia akan membawaku pergi. Ketenangan seperti ini
rasanya sudah tak lama hilang dari kehidupanku, tak
usah kuganggu dengan pertanyaan?pertanyaan konyol
di dalam kepalaku.
Banyak penumpang yang memilih untuk tidur, tapi
tidak dengan kami berdua. Beberapa kali kami tertawa
227
saat kami membahas lagi kesenangan kemarin di
Disneyland. Sisanya, bibir kami tersenyum sedangkan
mulut kami memilih untuk diam tak banyak bicara. Karni
memilih untuk memanjakan kedua mata kami dengan
pemandangan yang sangat indah. Tak terasa, kereta
cepat yang kami tumpangi sudah melaju selama 4 jam
hingga akhirnya berhenti di sebuah stasiun bertuliskan,
"Laussan". Mataku memandang Pierre dengan tatapan
seolah bertanya, "Sedang di mana kita?" Pierre mengerti
arti tatapan itu, dia menjawabnya dengan berkata.
"Welcome to Switzerland...."
Wajahku tak mampu menyembunyikan segala keka?guman, mataku tak bisa menutupi kebahagiaan lainnya
yang telah Pierre ciptakan. "Pierre, aku suka sekali
negara ini. Kota tempatmu tinggal sangat menakjubkan,
bagai di negeri dongeng," tak henti ku memuji Pierre.
"Ini belum seberapa, kamu harus lihat tempat tinggal
saya. Kecil, tapi saya rasa kamu akan suka!" Pierre terus
mengajakku berjalan.
Sopir Pierre sudah membawa koper dan segala
perlengkapanku, sementara kami berdua dibiarkan
berkeliling kota tanpa kendaraan. Pierre sudah tak
228
canggung memelukku, dan dengan segala sikap ke?kanakkanku, aku senantiasa menggelayut manja di
tangannya. Kota ini seperti membawa kedamaian dan
ketenangan. Ritmenya yang santai, penduduknya yang
ramah, serta bangunannya yang romantis membuat aku
merasa sangat nyaman.
Aku sedang begitu jatuh cinta, pada kota ini, dan
tentu saja pada manusia yang membawaku ke tempat ini,
seakan aku lupa pada segala sesuatu yang telah terjadi
kepadaku belakangan ini. "Mmmh, tapi sebaiknya j angan
pulang dulu," Pierre bergumam sendirian. "Tania,
kamu lapar? Ada sebuah tempat makan favoritku, kamu
harus coba," tanpa ragu kuanggukkan kepalaku penuh
semangat.
Pierre membawaku ke sebuah jalanan dengan paving
block yang menanjak, banyak orang berlalu lalang di
sana. Beberapa pertokoan kulihat di kanan kiri jalan,
tak terkecuali barisan kafe kecil. "Itu!" tangan Pierre
mengarah pada kafe paling sempit dan kecil. "Tempat
ini?" jawabku keheranan setelah melongok masuk ke
dalam, "Tidak salah? Apa yang membuat tempat ini
spesial?" Pierre tersenyum menatapku, "Saya tidak suka
tempat yang ramai. Kafe ini adalah tempat yang paling
jarang didatangi orang. Dan lihatlah pelayannya!" ujar
Pierre kembali menunjuk ke dalam kafe. Di sana kulihat
sepasang kakek dan nenek yang tengah melamun berdua
229
menanti pembeli, "Kenapa mereka?" "Meskipun kafe itu
sepi, mereka berdua tak pernah menutup tempat ini.
Saya cukup dibuat takjub oleh mereka, selalu ramah
menyapa siapa saja yang lewat, apalagi yang menjadi
pelanggan mereka. Kadang saya bermimpi suatu saat
akan hidup seperti mereka bersama istri saya," mata
Pierre tampak menerawang kosong.
Aku tertawa cukup lama, menertawakan sikap Pierre
yang menurutku siang itu cukup melankolis. "Hahaha
sumpah, itu alasan teraneh yang pernah kudengar
untuk mendatangi kafe itu. Terus, cita rasa makanan
dan minuman yang disajikan bagaimana? Istimewa?"
tanyaku lagi. Pierre menggelengkan kepala, "Sayangnya
tidak terlalu enak, tapi mungkin jika ke sana bersamamu,
akan terasa enak."
Bisa kurasakan bagaimana kini wajahku memerah
karena malu mendengar kata?kata Pierre, tanpa banyak
berkata Pierre mulai menuntunku masuk ke dalam kafe
itu. Benar saja, kakek nenek pemilik sekaligus penjaga
kafe itu sangat ramah melayani kami berdua, hanya
aku dan Pierre yang datang ke tempat itu, dan mereka
benar?benar memperlakukan kami bagai sepasang raja
dan ratu. "See?" Pierre tersenyum puas melihatku mulai
merasakan betapa istimewanya tempat ini.
Kami menikmati sepotong sandwich dan hot
chocolate, memang rasanya biasa saja, tapi berulang
230
kali Pierre berkata, "Benar kan, jadi terasa sangat
enak!" Belum pernah aku diperlakukan begini istimewa
oleh laki?laki, hanya Pierre yang tak bisa membuatku
berhenti tersenyum. Pierre bercerita, hampir setiap
hari dia melewati deretan kafe dan pertokoan di jalanan
ini. Ini adalah tempat banyak orang di kota "Laussane"
bertemu dan membicarakan segala hal tentang bisnis
mereka.
Tempat tinggal Pierre berjarak cukup jauh dari sini,
namun menurutnya sore hari adalah momen paling
pas untuk pulang ke tempatnya. Seharian ini dia ingin
mengajakku ke beberapa tempat yang sangat ingin dia
tunjukkan, baginya kota ini adalah kampung halaman
kedua setelah Indonesia. Prancis adalah negara asal
ayah Pierre, tapi semenjak Pierre memutuskan untuk
hijrah dan bekerja di Swiss, dia merasa kota ini adalah
tanah asalnya yang benar?benar susah dia lepaskan.
"Kamu tahu, Tania? Lausanne punya banyak ba?ngunan yang luar biasa keren. Aku akan mengajakmu
mengelilingi bangunan?bangunan itu. Kamu masih bisa
berjalan? Tidak lelah?" Pierre tak henti menanyaiku.
Lagi?lagi aku tertawa, "Tidak, sayang rasanya mem?biarkan aku berlelah?lelah di tempat yang begini indah.
Ayo, tunjukkan padaku tempat?tempat keren itu!"
231
Tak salah apayang Pierre bilang, bangunan?bangunan
bersejarah di kota ini luar biasa indah. Entahlah, bagiku
indah dalam arti yang sebenar?benarnya, megah dan
sangat anggun. Saat di Rumania, bangunan yang
kulihat terlihat suram dan menyimpan sesuatu yang
terasa magis. Namun, beda halnya dengan bangunan?bangunan di kota ini, sangat dipenuhi cahaya.
Pierre membawakuke Lausanne Cathedral, bangunan
ini berdiri begitu kokoh dan megah meski umurnya
sudah hampir 1000 tahun. Ukiran di dalamnya sangat
unik dan cantik. Langit?langit gereja ini juga didesain
sedemikian rupa sehingga menambah kemegahannya.
Di dalam gereja ini kami juga mengunjungi organ pipa
yang sangat besar dan disusun dari 7000 pipa.
Aku tak membawa alat rekam apa pun dalam per?jalananku, biar semuanya kurekam lekat dalam kepalaku
saja. Sudah banyak ide berlalu lalang dalam kepalaku,
ingin rasanya segera menuangkannya ke dalam lukisan.
Pierre tampak menangkap isi kepalaku, "Kamu ingin
melukis ya?" ujarnya seraya tersenyum. Kuanggukkan
kepalaku sambil menekukkan bibirku ke arah bawah.
"Di rumah saya nanti banyak sekali kanvas kosong.
Sebagai penyuka karya seni lukis, saya berkali?kali
mencoba membeli kanvas, berharap saya bisa melukis
hehehe. Tapi memang bakat saya bukan di situ. Pakailah
kanvas?kanvas kosong itu nanti! Tempat tinggal saya
232
juga sepertinya cocok untuk dijadikan studio lukismu. . .,"
Pierre menatapku sambil tersenyum.
Suara hatiku yang tengil ikut berkomentar, "Kalau
memang tempat tinggalmu begitu menyenangkan. Ajak
saja sekalian aku untuk tinggal bersamamu," hihi dasar
gila.
"Tania, kamu kenapa tertawa sendirian?" kulihat
kini Pierre mengernyitkan keningnya. Aku langsung
gelagapan, "Ehm tidak, aku hanya membayangkan hal
konyol. Tak usah dibahas," sambil menarik tangannya
meninggalkan Cathedral yang menakjubkan ini. "Ke
mana lagi kita?" tanyaku pada Pierre. Sesekali Pierre
menatap jam di tangan kanannya, baru kusadari laki?laki ini selalu memakai jam di tangan sebelah kanan,
tidak umum.
"Kamu suka angsa?" Pierre bertanya. "Tidak, dulu
Ayah pernah menawariku sup angsa, tapi aku tidak tega
untuk memakannya," jawabku polos. Pierre tampak
sangat terkejut, matanya melotot ngeri. "What? Ayahmu
memakan angsa? Are you sure?" Pierre benar?benar
terkejut. "Iya, memang seperti itu. Tunggu tunggu,
maksud kamu apa sih? Kamu mau mengajakku makan
daging angsa, kan?" aku kembali bertanya. Pierre
mulai tertawa?tawa aneh, "Hahaha tidak mungkin
hewan secantik itu saya makan, Tania. Saya bermaksud
mengajakmu ke taman angsa, memandangi betapa
233
indahnya mahkluk itu. Mau?" Wajahku kembali terasa
panas, sungguh untuk hal yang satu ini aku merasa
sangat malu. "Mau," jawabku pelan.
Aku dan Pierre kini duduk beralaskan rerumputan
hijau yang dingin dan lembab, menghadap ke sebuah
danau tengah kota bernama "Lac Sauvabelin". Lagi?lagi pemandangan menakjubkan terhampar luas
membentang di kedua pelupuk mataku, kali ini berasal
dari ratusan angsa hitam dan putih yang tampak
anggun juga elok berenang mengelilingi danau. Pierre
membeli sekantung remah roti, menebarnya di sekitar
angsa?angsa yang dilindungi itu, mereka berhamburan
ke arah Pierre mencoba mematuk remah?remah itu.
"Tuhan, bolehkah selamanya kurasakan kedamaian seperti
ini?" hati baikku yang kini berbicara.
Tanpa terasa rasa lelah menggerogoti tubuhku,
tanpa memejamkan mata pun sebetulnya aku sudah
merasa senang bagai bermimpi indah. Tapi rasa kantuk
menyerang tiba?tiba, membuatku yang sejak tadi asyik
memperhatikan Pierre dari belakang mulai terlelap
tidur. Sendirian di atas hamparan rumput hijau ini....
234
Aku terbangun di sebuah kamar yang begitu hangat,
bahkan aku berani tertidur tanpa selimut di kamar ini.
Kepalaku cukup bingung membayangkan sebelumnya
aku sedang menatap angsa?angsa yang berkejaran ke
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana kemari, sedangkan kini aku tertidur di tempat tidur
kayu yang terlihat sangat kuno. Namun, hey! Aku baru
sadar, di sekeliling kamar ini adalah kaca tanpa gorden.
Mataku kembali berkeliling, terpojok pada sebuah
pemandangan di depan yang menyajikan sebuah danau
luas dengan langitnya yang berwarna jingga. "Astaga, di
mana aku ini?" bibirku bergumam sendiri.
Di samping tempat tidurku terdapat sebuah meja
kecil, kulihat segelas air putih dan secarik kertas
tersimpan di atasnya. Kuambil kertas itu, dan membacanya.
235
"Hey putri tidur, bangunlah. Saya menunggu kamu di
dermaga..."
Pierre
Tanpa berpikir panjang, bergegas kuberlari men?cari pintu keluar dari kamar ini. Selama mencari jalan
keluar, mataku kembali dibuat kagum oleh rumah ini,
selain didominasi oleh kaca, rumah ini juga dipenuhi
oleh kayu?kayu tua, bahkan lantainya sekali pun. Hingga
setiap kuberjalan, suara lantai terdengar berderak?derak.
Di kanan?kiri ruangan selalu saja terpajang lukisan, dan
yang membuatku terperangah adalah pajangan sebuah
lukisan di ruang tamu bawah, lukisan yang sangat besar
dan tak asing bagi diriku. Ya, itu adalah lukisanku 5
tahun yang lalu, saat sedang tergila?gila pada langit dan
segala bintang juga imajinasiku di dalamnya.
Aku baru tahu, rupanya pembelinya adalah dia.
Udara luar tak senyaman di dalam rumah, ternyata
seluruh ruangan di rumah itu memakai heater untuk
menghangatkan udara, hingga udara terasa hangat
dan nyaman. Kakiku yang bertelanjang tanpa alas
mulai terasa linu saat menginjak tanah luar, dinginnya
236
keterlaluan hingga membuat bulu kuduk berdiri naik
ke ubun?ubun. "Pierre" panggilku. Tak ada jawaban,
kaki ini coba terus melangkah menuju dermaga yang tak
jauh dari halaman depan rumah.
"Tania, kemari!" akhirnya kulihat Pierre duduk
di tepian dermaga. Wajahku tersenyum melihatnya.
"Tempat apa ini, Pierre?" jawabku sambil duduk di
sebelahnya. Tanpa kursi, kami berdua duduk bersila di
atas dek kayu yang menjorok ke tengah danau. "Kamu
pasti kedinginan, boleh saya peluk kamu?" tawar Pierre
yang tentu saja tak kutolak.
"Ini adalah rumah saya, Tania. Danau ini juga rumah
saya, tempat saya memikirkan segala hal," Pierre me?nerawangkan matanya lepas. "Termasuk memikirkan
aku?" iseng aku menggodanya. Pierre tersenyum
sambil mengencangkan pelukannya, "Tentu saja." Ku?hembuskan napas panjang, dan menyadari betapa
indah rumah dan danau miliknya. Kami berdua saling
berpelukan di balik selimut tebal yang dibawanya turut
serta menikmati pemandangan indah sore itu. Jauh
di dasar hatiku, jika saja udara tak sedingin sore ini,
ingin rasanya tetap berada dalam pelukannya seperti
sekarang.
"Pierre, aku ingin melukis. Bisakah kau sediakan
kanvas kosong untukku?" tiba?tiba saja ide itu ter237
lintas. Pierre tersenyum menatapku, "Saya sudah me?nyiapkannya untuk kamu," ujarnya sambil menunjuk
sebuah kanvas kosong di tepian dermaga. Kuanggukkan
kepalaku tanda senang, "Kumohon, tetaplah duduk
di sini dengan posisi seperti ini. Aku ingin melukismu
dari belakang, bolehkah?" Pierre tampak kaget men?dengarnya, namun kemudian tersenyum sambil me?nganggukkan kepalanya. Sebelum aku beranjak men?dekati kanvas, Pierre menyematkan selimut yang
sejak tadi dipakainya ke tubuhku, "Agar kamu tidak
kedinginan." dia berbisik pelan di telingaku.
Lukisan setengah jadi hasil karyaku tadi tengah di?perhatikan olehnya dengan saksama, sedang aku duduk
di sebelah perapian ruang tamunya menghalau rasa
dingin yang telah membuat jemariku menjadi kaku.
"Aku akan menyelesaikannya besok," ucapku. Pierre
menoleh ke arahku, "Kamu terlalu berbakat." Aku
tersenyum menatapnya, "Jika sedang dipenuhi inspirasi
kuakui aku lumayan berbakat. Tapi seringnya tidak, kok.
Hehehe." Pierre berjalan ke arah dapur, menuangkan
semangkuk sup yang baru saja dibuatnya untukku.
238
"Sangat Indonesia, merendah dan tidak suka dipuji,"
ujarnya pelan sambil terkekeh.
"Enak sekali, Pierre!" ungkapku saat memasukkan
sendok sup pertama ke dalam mulut. "Saya berbakat
memasak ya?!" Pierre menanyaiku. "Sangat!" jawabku
mantap. "Saya juga sangat suka membereskan rumah,
dan menyayangi wanita yang saya sayangi dengan
tulus," Pierre menambahkan. Wajahku tersipu malu
mendengarnya berbicara seperti itu, entah kenapa. "Tapi
sayang, wanita yang saya sayang telah menolak saya....
She's broke my heart," dengan wajah setengah meledek
Pierre mengejekku. Sungguh aku malu mendengar kata?katanya, kututup wajahku dengan kedua tanganku,
"Stoppppp, Pierre I don't wanna hear it! Please!" Pierre
tertawa sangat kencang setelah itu, terbahak?bahak
menertawakan aku yang malu dan tak mau membuka
wajahku untuk beberapa saat.
Kami tertidur di sebelah perapian malam itu, dengan
selimut menumpuk dan perut kekenyangan. Semalam?an kami menertawakan apa saja, seolah tak pernah ada
cerita buruk di masa sebelumnya. Aku masih ingat,
semalam sebelum aku tertidur, Pierre sempat mencium
keningku. Aku tak tahu apa arti di balik ciuman dan
pelukannya. Sungguh aku tak mau tahu dan lelah untuk
menebak?nebak, berulang kali aku dikecewakan oleh
tebakan?tebakanku yang jarang tepat.
239
"Tania!!! Kapan pulang? Ibu dan Ayah rindu!!!!" suara
ibu memekakkan telingaku. Pierre duduk di sampingku
sambil terkikik menempelkan telepon genggam milik?nya di telingaku. "Ibuu...," aku menanggapi teriakan
ibu dengan malas?malasan. "Pulang yah Tan, Tiara mau
wisuda loh. Mas Tama juga rencananya pulang minggu
ini...," lbu melanjutkan. Mataku melotot seketika, "Mas
Tama pulang? Baik Bu, Tania pulang lusa dari sini."
Terdengar suara tawa ringan ibu di sambungan telepon
sana. "Sudah, kasihkan lagi teleponnya sama Pierre.
Ayah mau bicara dengannya," ucap ibu lagi. Kuserahkan
telepon genggam itu pada Pierre, lalu menenggelamkan
lagi kepalaku ke dalam sofa dan selimut paling nyaman
sedunia milik Pierre. Pierre tampak menjauh dariku, dan
lagi?lagi untuk yang kesekian kalinya tampak berbicara
cukup serius dengan ayah, entah membicarakan apa.
Ku kernyitkan dahi saat kulihat Pierre mengakhiri
obrolan teleponnya dengan ayah. Seolah menangkap
pertanyaan di dahiku, Pierre bercerita. "Saya akan
membelikanmu tiket untuk pulang, Tania. Penerbangan
dari Prancis untuk lusa, ya?" Pierre mendekatiku sambil
mengacak?ngacak rambutku. "Kamu ikut pulang?"
tanyaku. Pierre menggelengkan kepalanya sambil ter240
senyum, "Ada pameran yang harus saya datangi minggu
depan. Sebenarnya saya ingin ajak kamu mengunjungi
galeri tempat saya bekerja, tapi saat ini masih renovasi."
Kutekuk bibirku tanda kesal, "Tapi kita akan bertemu
lagi kan nantinya?" Pierre terkekeh, "Tergantung,"
jawabnya.
Sebenarnya hari ini Pierre mengajakku untuk
kembali menelusuri kota, namun aku memilih untuk
melanjutkan lukisanku saja di rumahnya, dan me?mintanya untuk kembali membuatkan masakan?masakan yang dia kuasai. Bagiku, ini seperti surga.
Melukis di tempat yang sangat luar biasa indahnya,
ditemani oleh seorang yang juga luar biasa. Tuhan,
sungguh aku rela menghabiskan sisa hidupku di kota ini
jika saja situasinya selalu seperti ini. Dalam lamunanku,
meski enggan membayangkan sosoknya, namun tetap
saja sekeleb at bayangan Ananta Prahadi kembali muncul.
Padahal aku tahu, saat ini Pierre tengah membuatku
terbuai dalam kebahagiaan, dan aku sama sekali tak
ingin membangkitkan kenangan kebencianku pada
Anta. Hampir saja air mata kembali tergenang di kedua
pelupuk mataku, tapi berhasil kutahan saat kulihat
Pierre mendekatiku sambil tersenyum dengan begitu
sempurna. "Tidak aku tak boleh lagi mengingatnya.
Selamanya dia hanya akan menjadi masa lalu yang tak
ingin kuungkit lagi...", hatiku berbisik.
241
Dermaga Pierre ini menjadi lokasi favoritku. Sudah
berjam?jam kuhabiskan waktuku di tempat ini, Pierre
mondar mandir membawakan sesajen untukku hingga
akhirnya lukisan itu bisa kuselesaikan. Lukisan yang
kulukis adalah lukisan Pierre yang kemarin sore duduk
dengan sangat anggunnya di dermaga ini, dengan warna
senja khas Eropa yang luar biasa menakjubkan. Aku
hanya ingin menghadiahi Pierre lukisanku ini, sebagai
bentuk terima kasihku atas perjalanan menyenangkan
di Eropa yang dia habiskan bersamaku. Pierre tampak
sangat bahagia menerimanya, berkali?kali berucap
terima kasih kepadaku, dan langsung memajang lukisan
itu di kamarnya.
"Besok aku pulang, dan aku berharap bisa me?ngunjungi rumah ini lagi secepatnya," ucapku sambil
menatap kosong ke arah danau. Pierre tak berkata?kata, yang dia lakukan hanyalah memeluk tubuhku
dari belakang. "Pierre, terima kasih untuk hari?hari
menyenangkan ini. Sesampainya di Bandung, aku akan
menghadapi lagi realita hidupku yang mungkin tak
seindah ini. Doakan aku berhasil melewatinya, ya!"
candaku sambil setengah berteriak. Kini Pierre tertawa
bersamaku, tangannya tak lantas mengendurkan
pelukannya.
242
Sejak sore tadi aku dan Pierre sudah siap menunggu
pesawat menuju Jakarta di Bandara Charles De Gaulle,
Paris. Terakhir kali aku menginjakkan kaki di bandara
ini, aku menangis dan merasa sendirian. Dunia begitu
cepat berputar untukku, karena kini rasanya sungguh
berbeda. Meski laki?laki ini bukan milikku, tapi aku
merasa tak lagi sendirian. Ingin kutebus bergalon?galon
air mata yang sempat terurai karena banyak hal, aku
bahagia... hanya itu yang kurasakan saat ini.
Panggilan untuk penumpang Qatar Airways menuju
Jakarta sudah terdengar, Pierre menuntunku untuk
segera bergegas masuk ke gate karena di sini tak ada
kelonggaran bagi siapa pun yang terlambat masuk ke
dalam pesawat. Sebelum pergi, aku berpamitan untuk
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kesekian kalinya pada Pierre seolah kami tak akan
pernah bertemu lagi. "Pierre, aku pulang ya...," berkali?kali kuucapkan kata itu.
Aku berjalan lunglai sambil melambaikan tanganku
ke arah Pierre. Laki?laki itu tiba?tiba berlari mendekati?ku, langkahku terhenti karenanya. Tangannya terbuka
lebar, memelukku dengan erat. Bibirnya sangat dekat
dengan telingaku, antara setengah sadar kudengar dia
berbisik sangat kecil di telingaku.
243
"Tania, sekali lagi saya minta darimu. Would you marry
me?"
Dunia ada di genggamanku kini.
244
Sejuta keceriaan kubawa pulang sesampainya di
rumah. Ayah, ibu, dan Tiara menyambutku dengan
gembira. Berkali?kali ibu memeriksa dahiku yang cidera
tempo hari, sesungguhnya bahkan aku lupa pernah
cidera karena terjatuh. Selama bersama Pierre, aku tak
merasakan sedikit pun kepedihan. Tiara adikku yang
belakangan ini bersikap menyebalkan pun tak biasanya
begitu ramah menyambut kepulanganku. "Mbak, aku
kangen kamu...," ungkapnya begitu kuinjakkan kaki di
rumah. "Pierre nggak ikut pulang, Tan?" Ayah mem?buyarkan prosesi kangen?kangenanku malam itu.
Kugelengkan kepala sambil tersenyum, "Nggak, Ayah.
Tapi mungkin tak lama lagi dia akan pulang kemari. Ada
beberapa hal yang harus dia urus di sini, nanti tapi."
lanjutku sambil terus tersenyum.
245
Rupanya ibu cukup penasaran atas sikapku, "Urusan
apa, Tan?" Tiara memilin?milin rambutku yang kusut
akibat perjalanan jauh, "Iya, Mbak. Urusan apa? Mbak
damai yah sama dia?" tanya Tiara.
Senyumku semakin terkembang lebar, sambil malu?malu aku berkata, "Aku dan Pierre akan menikah."
Hampir tak ada yang tak melongo mendengar per?kataanku barusan. Ibu memekik bagai melihat setan,
"Apa?! Coba kamu bilang sekali lagi! Ibu nggak denger!"
Kutundukkan kepalaku dalam?dalam, "Aku akan
menikah dengan Pierre, secepatnya." Tiara menarik ram?butku keras?keras, "Jangan bohong! Aku nggak percaya,
Mbak!" Kugelengkan kepalaku mantap, "Aku nggak
bohong...." Ibu dan Tiara menjerit?jerit seperti orang
gila setelahnya, sedang ayah tertawa lepas, mungkin
baru kali ini kulihat keceriaan di rumah ini. Aku bahagia
melihat mereka semua berbahagia atas hal indah yang
sedang kualami.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus kuhadapi,
mempersiapkan segala sesuatunya untuk pernikahanku
dan Pierre yang tak mau menunggu lama?lama. Hal
paling penting yang harus kulakukan adalah mendatangi
Dania dan Mama Karni yang sedang begitu marah
kepadaku. Semoga saja mereka berdua mau memaafkan
aku yang sempat begitu tolol mencampakkan Pierre,
laki?laki kesayangan mereka berdua.
246
Kuketuk pelan pintu rumah bercat serba putih itu.
Aku sudah menyiapkan mental untuk menghadapi
sikap Dania yang mungkin akan begitu murka melihat
kehadiranku di rumahnya. Semalam aku dan Pierre
berbicara cukup lama di telepon, dia meyakinkanku bah?wa adik dan mamanya tidak semengerikan itu. Pierre
sebenarnya tak memintaku untuk datang dan memohon
maaf pada keluarganya, menurutnya mungkin dengan
melihatnya bahagia saja kedua wanita yang paling dekat
dengannya itu tak bisa berbuat apa?apa selain merestui
pernikahan kami. Namun, aku bersikeras untuk tetap
datang dan meminta maaf atas apa yang telah ku
perbuat terhadap mereka.
"Mau apa kamu datang lagi?" Dania menyambutku
dengan gertakan dari balik pintu rumahnya. Aku
berdiam sesaat, mencoba berpikiran jernih untuk tetap
tenang dan menjalankan apa yang akan kulakukan
siang itu sesuai dengan rencana. "Aku ingin berbicara
denganmu." jawabku lirih. "Bicara apa lagi? Aku sudah
tidak sudi melihatmu! Begitu pula mamaku, kami tak
ingin melihatmu lagi! Pergi kau dari sini!" Dania kembali
menggertakku. "Tolong izinkan aku bicara sebentar
saja, tolong Dania."
247
Mama Karni muncul pertama kali di balik pintu,
sementara Dania terlihat menyudut di sudut ruang tamu
rumah itu, sambil memelototi aku penuh kebencian.
"Tante," kupanggil Mama Karni sambil tertuduk
malu. Berbeda dengan sikap Dania, Mama Karni
terlihat jauh lebih ramah daripada biasanya. "Tania, sini
masuk, Sayang. Ada apa kamu datang kemari, Nak?"
Mama Karni meraih tanganku untuk masuk ke dalam
rumahnya. Dania terlihat berang melihatku masuk ke
dalam ruang tamu rumahnya. "Ma, usir perempuan itu!
Tidak usah berbaik hati kepadanya, nggak tahu malu!"
Dania kembali meneriaki aku.
"Tante, aku datang ke sini untuk memohon maaf atas
apa yang pernah kulakukan terhadap Tante, Dania, dan
Pierre. Sungguh aku malu sekali, ingin rasanyamengubur
diriku yang menyebalkan ini dalam tanah." lanjutku
sambil terus menundukkan wajah. Dania kembali
bersuara, "Kenapa tidak kau kubur saja dirimu? Tak usah
sok merajuk pada mamaku!" Mama Karni mulai kesal
mendengar segala ocehan Dania, "Dania! Mama nggak
pernah ngajarin kamu berbicara tidak sopan seperti itu!
Cepat, minta maaf sama Tania!" Dania melenguh kesal
sambil mendelikkan matanya ke arahku. Kuraih tangan
Mama Karni sambil menggelengkan kepalaku. "Jangan,
Tante, aku memang pantas diperlakukan seperti ini."
248
"Kamu datang hanya untuk minta maaf saja?"
tanya Mama Karni penuh curiga. Kutundukkan lagi
kepalaku karena malu, "Tidak, Tante. Aku datang untuk
menyampaikan sebuah berita." "Berita apa?!" Dania
kembali menyerobot kata?kataku. "Aku dan Pierre, akan
menikah. . . ," jawabku pelan.
Mama Karni tampak meneteskan air mata haru,
wajahnya terlihat begitu bahagia. Sementara itu kulihat
Dania tampak shock mendengar kata?kataku, "Kau tidak
bercanda? Kau tidak sedang bersandiwara? Kenapa
bisa?" nada bicaranya mulai melemah. Aku tahu ini
adalah kesempatanku, akhirnya kujelaskan segalanya
dari nol hingga tuntas. Kuyakinkan keduanya bahwa
kali ini aku tidak main?main, dan 100% aku merasa
yakin bahwa aku dan Pierre memang ditakdirkan untuk
bersama.
Kulihat kini Dania mulai melunak, Mama Karni
tak henti memeluk tubuhku. Kami bertiga tertawa
setelahnya, saling memaafkan satu sama lain, dan
dengan rendah hati kuminta keduanya membantuku
menyiapkan segala persiapan untuk pernikahan aku
dan Pierre. Semalam di telepon, aku dan Pierre sepakat
bahwa pernikahan kami akan digelar tak lama setelah
Tiara wisuda, karena aku berharap Mas Tama akan turut
hadir dalam prosesinya.
249
Selain sibuk mengurusi wisuda Tiara, keluargaku
kini disibukkan oleh persiapan pernikahanku dengan
Pierre yang serba mendadak. Tak ada satu pun yang
merasa keberatan atas kesibukan ini, termasuk aku
yang sangat bersuka cita menyambutnya. Tak sabar
rasanya segera menjalani hidup sempurna bersama
Pierre, laki?laki yang telah membangkitkan aku dari
segala keterpurukan. Mereka bilang aku berubah, ibu,
Tiara, ayah, bahkan Bi Eha menyadari hal itu. Tania yang
merupakan sosok seekor monster bisa bermetamorfosa
dengan begitu cepat menjadi seorang wanita normal,
begitu mereka bilang. Aku tak merasa keberatan dengan
perubahan yang terjadi ini, tawa bahagia tak pernah
surut dari bibirku yang selama ini selalu saja terkesan
menekuk.
"Mbak, kamu mau undang Anta dan Sukma, kan?"
Tiara menanyaiku saat kami berdua makan siang di luar
setelah seharian mencari seragam untuk pernikahanku.
"Nggak," jawabku tanpa nada. Tiara terdiam kini, entah
apa yang ada di kepalanya namun sepintas dia terlihat
sangat murung. "Anta sakit, Mbak," ucapnya lagi. Aku
terus menyuapkan sendok demi sendok makan siang
tanpa melihat ke arah Tiara yang terdengar sangat
250
mengkhawatirkan, "Aku tak peduli." "Tapi, Mbak,"
Tiara hendak melanjutkan kata?katanya, namun
kupotong dengan cepat. "Dia sudah punya perawat
pribadi, tak perlu lah aku menggerecoki hidupnya
lagi. Tiara, kamu bisa kan bantu Mbak?" tanyaku pada
Tiara. Tiara menganggukkan kepalanya pelan, lalu
kulanjutkan kata?kataku. "Tolong Mbak untuk tak lagi
bahas?bahas soal Ananta Prahadi. Bagiku dia hanyalah
sebuah masa lalu yang sangat kelam, oke?" Tiara kembali
menganggukkan kepalanya, namun kali ini dengan
ekspresi wajah yang terlihat sangat sedih.
Tak ada lagi yang membahas tentang Ananta Prahadi
setelahnya, termasuk kedua orangtuaku yang mungkin
sudah diberitahu Tiara agar tak lagi membahas
tentangnya di hadapanku. Terkadang aku masih
menatap paviliunnya dari kamarku, namun aku tak
mau meningat?ngingat lagi siapa yang pernah tinggal di
paviliun itu.
Bagiku Ananta Prahadi hanya sepenggal masa lalu
yang tak harus kuingat lagi, bahkan untuk selamanya.
Masa depanku sudah terbentang di depan mata, aku
tak ingin lagi mengaburkannya hanya karena seseorang
yang tak jelas juntrungannya. Perasaanku terhadap
Anta sudah benar?benar tertutup rapat. Segala
kenangan tentang waktu yang panjang bersamanya
sudah kumasukkan ke dalam sebuah kotak hitam,
251
membuangnya jauh dari hati dan pikiranku, dan secara
sadar telah kubakar hingga abunya beterbangan ke
mana?mana, tak lagi kembali.
Besok Mas Tama datang, disusul oleh Pierre esok
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lusa. Sabtu besok adalah upacara wisuda Tiara, dan
pernikahanku tepat di hari Minggunya. Tak boleh ada
pikiran apa pun yang ada di kepalaku selain menanti
hari itu tiba, hari yang kuharap bisa merubah segalanya
menjadi lebih baik. Aku sudah berbicara dengan Pierre,
keluargaku, juga Mama Karni dan Dania, bahwa setelah
pernikahan itu dilaksanakan, aku akan menemani Pierre
di Swiss dan menjalani hidup sebagai wanita normal
bersamanya di sana. Aku bisa melanjutkan melukis,
sementara Pierre bisa dengan leluasa memasarkan
lukisan?lukisanku.
Tak ada yang lebih sempurna dari rencana?rencana
indah ini. Tuhan menciptakan Pierre untukku, begitu
pun aku yang memang tercipta hanya untuk Pierre.
252
Ibu dan Tiara duduk di sampingku, keduanya tak
henti meremas tanganku coba menenangkan aku yang
sejak tadi resah. Ayah duduk di sana bersama Pierre
yang siap mengikrarkan akad pernikahan, sedang Mas
Tama duduk di tengah dengan tenang mendampingi
keduanya. Sesekali Mas Tama memalingkan wajahnya
sambil tersenyum melihat ke arahku. Di belakang sana
ada Ronan, Papa Pierre yang datang bersama Maria,
tunangannya. Tak jauh dari Papa Ronan tampak Mama
Karni dan Dania yang duduk bersebelahan, Mama Karni
tak henti mengusap wajahnya yang terus meneteskan
air mata haru.
Hari yang kunanti telah tiba, semua orang yang
ada di hidupku datang untuk menyaksikan momen
253
paling langka di hidupku ini. Dari tempatku duduk
bibirku tersenyum menatap Pierre yang tampak aneh
menggunakan setelan khas tanah Jawa, suku asal ayah
dan ibuku. Sesekali dia anggukkan kepalanya sambil
terus tersenyum menatapku yang hari itu mengenakan
kebaya berwarna putih. Sempat sebelum prosesi ini
berlangsung, Pierre mendatangiku dan berkata bahwa
hari ini aku terlihat begitu menawan di matanya.
Hingga saat itu akhirnya tiba, saat ikrar terucap
dari bibir Pierre bahwa selamanya dia akan menjagaku
sebagai satu?satunya wanita yang akan menemani?nya hingga akhir hayat. Air mataku menetes hebat,
haru karena hal seperti ini ternyata bisa terjadi juga
di hidupku. Semua yang ada di situ memandangiku
dengan senyum yang tak luput dari wajah mereka.
Aku tahu betul, tak pernah ada yang menyangka si
Tania monster ini akhirnya akan mengalami fase
sebagai seorang wanita normal.
Pierre mendekap tubuhku erat, bibirnya tak henti
tersenyum sambil berucap, "Istriku". Aku tenggelam
dalam kebahagiaan dan kehangatan pelukan seorang
Pierre yang kini menjadi suamiku, laki?laki yang kupikir
hanya akan menjadi bagian dari kenangan akhirnya
benar?benar bisa kupeluk dengan erat. Kupandangi jari
manis tangan kiriku, sebuah cincin berwarna hitam
yang sempat kulempar hingga membuat hatinya terluka
254
kini tersemat di atasnya. Tak ada yang bisa mengganti
kebahagiaan ini.
Tuhan, terima kasih... aku bahagia....
"Mbak, aku tahu Mbak mungkin tidak suka dengan
ini, tapi aku harus menyampaikan surat ini. Dosa aku
Mbak kalau tidak memberikannya kepadamu," Tiara
memberikan sepucuk surat sesaat sebelum aku hendak
bertolak pergi meninggalkan tanah air bersama Pierre.
"Apa ini?" tanyaku penuh curiga. "Baca saja nanti di
dalam pesawat, Mbak," Tiara berusaha memasukkan
surat yang tadi hampir kupegang ke dalam tasku.
"Tan, hebat kamu nyusul aku!" Mas Tama kembali
berkelakar soal aku yang melangkahinya lebih dulu
menikah. Aku dibuatnya kembali tertawa, "Mas, aku kan
udah minta maaf berapa kali. Aku harus beliin kamu apa
dong, Mas, untuk menebus permintaan maafku? Kata
Ibu wajib loh hukumnya membelikan sesuatu untuk
kamu yang aku langkahi." Mas Tama hanya tertawa
mendengar kata?kataku sambil memukul ringan pundak
Pierre dia berkata, "Hadiahi aku keponakan yang lucu
saja, lah. Biar aku ada alasan untuk selalu pulang ke tanah
air, oke?" Pierre tampak malu mendengar kata?kata Mas
Tama, namun dia menjawabnya dengan berkata, "Kamu
255
mau berapa keponakan, Tama? Saya dan Tania akan
memberimu banyak keponakan, tenang saja." Tiara,
Mas Tama, dan Dania yang ikut mengantar kami ke
bandara hari itu tertawa bersama?sama mendengarnya.
Wajahku sepertinya merah padam karena malu. Kupukul
manja pundak Pierre. Ia mengaduh sambil mencium
keningku tanpa malu di hadapan semuanya.
Dania yang sejak tadi diam tiba?tiba bersuara, "Mas
Tama, kalau suka anak kecil aku siap kok ngasih Mas
Tama anak yang banyak...," sontak semua tertawa.
Dania sudah kembali menjadi anak perempuan yang
sangat menyenangkan, dalam hitungan jam dia sudah
bisa begitu akrab dengan Mas Tama dan Tiara.
"Tiara, jaga Ayah dan Ibu yah. Mbak pergi dulu,
oh iya jaga Bi Eha juga yah huhu aku akan sangat
merindukan kalian," ucapku sesaat sebelum pesawat
yang aku dan Pierre tumpangi akan segera tinggal
landas. Tiara mengangguk mantap, "Tenang aja Mbak,
kalau mereka rindu Mbak... dengan senang hati aku siap
mengantar mereka mengunjungi Mbak di sana."
Kupeluki tubuh mereka satu per satu. Aku akan
meninggalkan segala kenangan indah dan buruk di
negeri ini, memulai hidupku dengan Pierre di negeri
yang telah menjadi tempat tinggal Pierre selama ini.
256
Aku duduk di samping Pierre yang kini telah menjadi
suamiku, tepat di samping jendela pesawat di barisan
ketiga. Mataku menembus ke dalam awan langit siang
ini yang begitu cerah menghantarkan kepergian kami.
Tangan Pierre terus menerus menggenggam tanganku,
sesekali mencengkramnya sangat keras seolah masih
belum percaya apa yang terjadi di hidupnya dalam waktu
yang begitu cepat.
Lagi?lagi kupandangi cincin yang melingkar di jari
manis kami berdua, sesekali tersenyum menatapnya,
lalu kemudian kutatap wajah Pierre yang selamanya akan
kutatap di sisa penghabisan umurku. Kepalaku tiba?tiba
teringat pada sebuah kertas surat yang dimasukkan oleh
Tiara ke dalam tas ku. Pesannya adalah membaca surat
itu setelah kami berangkat.
Kubuka surat itu, tak ada nama pengirimnya. Namun,
tiba?tiba saja hatiku berdegup kencang saat menatap
deretan huruf yang berbaris memenuhi kertas surat itu.
Huruf?huruf ini adalah tulisan tangan seseorang yang
pernah begitu dekat di hidupku. Tulisan tangan seorang
Ananta Prahadi.
257
Kepada Tetehku,
Teh Tania yang paling cantiQdi dunia
Saat Teteh membaca isi tulisan tangan Anta ia:; mungkin %tefl
sedang mengapung terbang Ke Eefa/ian d unia yang sangat jauli dari
jlnta. Teh. Tiara menceritakan semuanya antuMnta, tofongjangan
marah kepadanya Qarena "Teh Tiara sudah EerQaH-Qafi mengingatkan
jlnta agar tak) berbuat bodoh dan membuat &ahahagian "Tell "Tania
yang sudah Begitu sempurna menjadi rusak;
Teh, Anta i/iut bahagia atas segakz yang terjadi di hidup %teh.
Meskipun taQ melihatnya secara langsung, tapi Anta tahu Eetaf &
bagaimana berubahnya "TeteIiQu Tatan menjadi seorang perempuan
yang [nar biasa cantik dan EaiE Iiatz'. Semua orang yang ada di
sekeliling 'Teteli menjadi sangat Bahagia. jangan salafi, mesEj/lnta
jauh dan" Titah. .. tapi jlnta iliat Berbahagia untuk Teteh. Tida/i
asafz membahas bagaimana sedihnya ]lnta mefifzat fI'ete/i rIntan
menangis Qarena Anta, buat jlnta itu adalah sebuah &egagafan.
Seharusnya jllnta menjaga Teteh Luangan Barks tapi ,?Inta menyia
nyialian kesempatan itu.
aux, jlnta hanya ingin Berterima Iiasifz atas segafa Kesempatan
yang sudah ama Beri untuk, jlnta. ]lnta bisa mengenal dunia
yang sangat indah adalah berkat Teteh. "Ya, memang berkat jilbab
dan Ambu Anta sih, da bufian Teteh yang mefahirkan jlnta. Tapi; !
mefafui %teh. .. Anta Banyali mengalami ftaf 511175; yang filiafz dan
_Hmbu jlnta taksempat Een" untqulnta. (Persahabatan Kita adafa/l
258
yang paling hehat di hidup Anta, dan selamanya Anta nggah
ahan pernah menghapus itu, 'Ieh. Suatu saat ji/ia Tuhan Bertanya
Kepada jlnta siapa orang yang ingin jlnta temui sehelum mati;
]lnta ahan menja'wah orang itu adalah Tania, sahahat selialigus
perempuan langka yang paling ]lnta sayangi. ]iha masa itu tidah
ada, maha/qnta ingin sehali meminta Kepada Tuhan agar suatu saat
dipertemu/ian lagi dengan Teteh.
aaa, semoga selamanya ama hahagia. (Pierre memang lahi?lahj
yang sangat istimewa, jZlnta tahu itu sejah) pertama Kali Bertemu
dengannya. jika ada lahj-lahj yang Bisa diandalhan untuhmenjaga
Teteh, maha Qiemz adalah orang yang paling tepat. "Tugas jlnta
sudah selesai sejoli lama, jangan naili darah soal tugas ini Tih. ..
Huta hanya ingin Teteh menjadi lebih mandiri dari saat pertama hah
hita hertemu. Teteh huhan manusia planet seperti apa yang hiasa
Teteh hihzng pada Anta, justru hagi ]Inta "Teteh adalah manusia
paling normaldi maha hami ini' yang Berusaha menyadarhan orang
orang di sehelilingnya agar Berpihjran waras tah melulu memihjrhan
apa liata orang lain.
Teh, tolong mulai sekarang jangan pernah herpihjran hahwa
Teteh aneh. Anta selalu sedih jika mengingat hal itu melihat
Teteh menderita harena menganggap diri Teteh adahih manusia yang
sangat Buruh Kalau Boleh gomhalmah ya, Teteh teh di pusti?pusti
hu ]Inta, disayang?sayang dan dlindungi seperti harta Kesayangan
]lnta yang paling herharga di dunia. Tolong Teteh sadari halitu. . ..
Teh, maaf mengganggu perjalanan "Teteh yang munghjn sudah
tah lagi mau mengingat tentang ]!nta. Selamatjalan Teh "Tania
259
kesayangan Anta, selamat melangkah menuju hidup yang lehih
hahagia daripada sehelumnya. jlnta Bahagiajiha teteh juga bahagia.
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
LX Ananta f'rahadz ]
Air mataku menetes deras, sementara tanganku
meremas kertas surat pemberian Anta. Pierre tampak
bingung melihat reaksiku yang tiba?tiba seperti itu,
diambilnya beberapa tisu untuk menghapus bulir air
mata. "Kenapa?" tanya Pierre kebingungan. Kugelengkan
kepalaku, "Tidak apa?apa, aku baru saja menerima surat
dari si udik Anta."
Pierre tersenyum menatapku, pelukannya semakin
kencang di tubuhku. "Saya harus banyak berterima
kasih pada anak itu. Dia yang mengenalkan saya pada
kamu Tania. Dan mengajari saya banyak tentangmu"
Bibirku tersenyum pilu, mengingat kembali tentang
Ananta Prahadi.
260
P ierre mengajakku pulang menengok tanah air,
sebelum usia kehamilanku menginjak usia 8 bulan dan
tidak bisa bepergian ke mana?mana. Sudah 6 bulan
lamanya badanku diisi oleh mahluk kecil yang kerap kali
menendang?nendang bagian bawah perutku, rasanya
aneh punya kehidupan lain di dalam perut. Tuhan
begitu canggih membuat hal yang sulit dimengerti nalar
manusia, seperti contohnya mahkluk kecil ini yang tiba?tiba saja muncul dan menyempurnakan kehidupanku
yang sudah sempurna.
Pierre memang laki?laki yang sangat bisa diandalkan,
kasih sayangnya membuatku merasa sangat nyaman
tinggal di negeri orang. Hasil karyaku pun semakin
produktif, beberapa lukisanku berhasil dipasarkan di
261
beberapa galeri di Eropa. Hidupku terlalu indah untuk
tak kusyukuri, semuanya berjalan begitu cepat bagai
sudah tergambar jelas hendak ke mana mereka berjalan.
Aku dan Pierre sudah menginjakkan kaki kami di
Kota Bandung, tempat segalanya berawal. Diam?diam
aku sangat merindukan rumahku, dan udara studio
yang sudah hampir dua tahun kutinggalkan. Beberapa
kali sempat ayah, ibu, dan Tiara mengunjungiku di
Lausanne, tapi tetap saja aku merindukan mereka
semua. Belum lagi Dania dan Mama Karni yang begitu
ingin bertemu denganku dan mengelus perut ini,
mereka selalu terdengar histeris jika saling bertelepon
dengan kami.
"Mbak Taniaaaaaa!!!!" Bi Eha menjerit?jerit senang
melihatku yang berbadan dua masuk ke dalam rumah
bersama Pierre. Wanita tua ini memang sungguh baik
hati, sambil menangis dia memelukku kencang, aku
tertawa dibuatnya. ("Ibu ada, Bi?" tanyaku. Bi Eha
menjelaskan bahwa sejak siang semua orang yang ada di
rumahku sibuk bersiap menyambut kedatangan kami,
saking sibuknya sampai?sampai belum pulang ke rumah
hingga selarut ini. Aku tertawa?tawa mendengar Bi Eha
bercerita, oh aku rindu sekali rumah ini.
Pierre memapahku naik ke kamar, aku yang
memintanya untuk membawaku ke sana. Aku hanya
rindu berada di dalamnya, dan menghirup udara sejuk
262
khas kota Bandung dari jendela kamarku. Kubuka
jendela kamarku lebar?lebar, memandang jauh mataku
menembus pemandangan Gunung Tangkuban Perahu
yang menjulang tinggi di depan sana. Kupejamkan
kedua mataku, sambil menarik napas dalam?dalam
merasakan betapa sejuknya kota ini. Bandung memang
tak sedingin Swiss, tapi tetap saja tak ada yang bisa
menggantikan kecantikan kota ini di mataku bahkan
Swiss sekali pun.
Pierre duduk di sebelahku, menggenggam tanganku
sambil mengelusi perut buncitku. "Seperti apa dia nanti
ya, Tania," tanyanya sambil mulai menciumi perutku.
Aku tertawa kegelian, "Hentikan, Pierre. Sepertinya
anakmu tidak suka kau ciumi seperti itu. Semoga saja
dia mirip kamu, aku bisa pusing jadi ibunya jika sikapnya
seperti aku hihi...." Pierre ikut tertawa bersamaku,
"Tenang saja, saya tahu kok bagaimana menghadapi
orang seperti kamu." Matanya menatap lekat?lekat ke
arah perutku, "Papa akan menjaga kamu...."
Sambil terus tersenyum, kuelusi kepala dan rambut
Pierre dengan penuh kasih sayang. Laki?laki ini hampir
setiap hari membuatku tersenyum seperti ini, sebagai
seorang wanita... aku merasa sangat dihargai olehnya.
Sikapnya sejak pertama kami menikah tak pernah
sekali pun berubah. Sambil mengingat kebaikan Pierre,
mataku tiba?tiba menengok paviliun kosong yang ada di
263
bawah sana. Ingatan tentang Ananta Prahadi tiba?tiba
menyergapku, hatiku deg?degan mengingatnya.
Aku berdiri seketika, Pierre cukup bingung melihat
reaksiku ini. Ada sesuatu yang menyita kepalaku di
dalam lemari sana, dan aku berjalan mendekati lemari
itu, berharap benda itu masih ada di sana.
Ya, kanvas itu masih ada disana, isinya adalah lukisan
Ananta Prahadi yang sedang duduk di paviliunnya,
kulukis tanpa sepengetahuannya dari atas sini. Air mata
tiba?tiba saja berlinang dari pelupuk mataku, menatap
lukisan tentangnya. Pierre mendekatiku, "Kamu rindu
Ananta?" Kuanggukkan kepalaku, "Sangat." Entah dari
mana datangnya air mata ini karena kini mereka terus
berhamburan tanpa henti. "Pierre, antar aku menemui
Anta. Aku ingin memberikan lukisan ini kepadanya."
Pierre menganggukkan kepalanya sambil tersenyum,
tangannya tak henti coba menghapus air mataku yang
terus berjatuhan.
Kehebohan terjadi seketika saat anggota keluargaku
satu per satu datang mengunjungi kamarku keesokan
harinya. Ayah, ibu, dan Tiara, tampak sangat antusias
264
mengusapi perutku yang buncit. Mereka meneb ak?nebak
kira?kira anak di dalam perutku ini berjenis kelamin
apa, dan mirip siapa. Aku dibuat tertawa terpingkal?pingkal melihat aksi Tiara yang menggambarkan
bagaimana anak ini nantinya. Suasana rumah ini begitu
hangat, aku tak henti memeluki ibu yang selalu terlihat
menangis haru sambil memeluk tubuhku. Pierre ada di
tengah?tengah kami, ikut bercerita tentang banyak hal
yang tak henti membuat seluruh anggota keluargaku
berdecak kagum.
Dania dan Mama Karni datang tak lama setelah kami
semua berkumpul, mereka ikut menambah kehebohan
menjadi semakin tak terkendali. Mama Karni tetap
seperti biasanya, namun Dania kini agak terlihat lain.
Dia sudah bekerja di sebuah bank swasta, menjadi sosok
wanita yang lebih cantik dan dewasa. Berkali?kali Tiara
memojokkan Dania soal Mas Tama, konon Dania dan
Mas Tama kini jadi semakin akrab. Entahlah tentang
kebenarannya, namun kulihat wajah Dania memerah
setiap kali disinggung soal Mas Tama.
Dalam gelak tawa kami hari itu, tiba?tiba pertanyaan
itu muncul begitu saja dari bibirku.
"Bagaimana kabar Antaku? Apakah kalian semua
pernah bertemu lagi dengannya?"
265
Dalam hitungan detik pertanyaanku berhasil me?lenyapkan gelak tawa yang sejak tadi bergulir di rumah
ini. Seketika itu keadaan menjadi hening, semua mematung mendengar nama Anta kusebut.
Aku duduk di kursi belakang mobil yang melaju
sangat kencang, ditemani Pierre yang terus menerus
menggenggam tanganku erat. Air mata terus ber?jatuhan di pipiku, tak bisa kutahan walau sedikit.
Semua bungkam mengenai Ananta Prahadi, Tiara hanya
memberikanku alamat rumah Anta di Subang. Sopir
ayah membawa kami berdua melaju cepat di jalanan
menuju Kota Subang esoknya.
Tadi sempat emosiku yang selama ini hilang kembali
meluap?luap, tertumpah pada Tiara yang hanya bisa
menangis saat bibirku berkali?kali menyebut nama
Anta. Luapan emosiku yang penasaran tentang apa yang
terjadi pada Anta tak berhasil membuat Tiara bicara.
Ayah dan ibu juga melakukan hal yang sama, mereka
lebih memilih untuk diam dan membiarkanku mencari
tahu sendiri apa yang terjadi pada sahabatku.
"Kang Anta dan Sukma meminta Mbak Tania untuk
datang sendiri ke sana dan mencari tahu apa yang telah
266
terjadi di sana," itu kata?kata Tiara yang membuatku
tak bisa berhenti memikirkan nasib Anta. Jahat betul
keluargaku, membiarkan aku yang tengah berbadan
dua ini harus rela dikerubungi rasa penasaran dan
takut. Pierre tak bisa banyak berbuat, dia hanya coba
menenangkanku dengan cara menggenggam jemariku
dan memeluk tubuhku.
Dalam waktu satu jam, mobil yang kami tumpangi
berhasil mencapai Kota Subang. Cukup cepat daripada
seharusnya, karena berkali?kali aku meneriaki Pak
Nana sopir ayah untuk cepat?cepat menancapkan gas
mobilnya. Aku tak sabar untuk segera tahu apa yang
telah terjadi pada sahabatku.
Desa tempat Ananta Prahadi berasal cukup terpencil,
bahkan harus ditempuh dalam waktu 45 menit dari Kota
Subang. Tidak susah mencari alamat yang diberikan oleh
Tiara pada kami, karena kini aku sudah berdiri di depan
pintu rumah sederhana berwarna serba hijau. Konon ini
adalah rumah Ananta yang dulu pernah ditinggalinya
bersama Abah dan Ambu yang selalu disebut?sebut
olehnya. Hatiku mulai was?was menanti di depan pintu,
kubiarkan Pierre yang mengetuk pintu rumah itu.
Sukma muncul dari balik pintu, bisa kulihat wajah?nya cukup terkejut melihat penampakan aku dan Pierre
di depan rumahnya. Kupikir dia akan bersikap judes
seperti biasanya, namun kali ini lain. Saat matanya
267
beradu pandang dengan mataku, tiba?tiba Sukma me?nangis pilu bagai anak kecil kehilangan ibunya.
"Teh Tania." ucapnya sambil tak berhenti mena?ngis.
Aku terpaku melihat reaksi Sukma yang tak biasa.
Tak mau berlama?lama, aku langsung menanyakan
Anta. "Mana Anta? Di mana dia?" setengah berteriak
aku mulai meraih bahu Sukma dan mengguncangkan?nya dengan keras. Sukma menangis lebih keras kini,
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipeluknya tubuhku dengan paksa hingga membuatku
memberontak berusaha melepaskan pelukan Sukma
yang aneh ini. "Apa ini?! Apa maksudnya?!" aku kembali
meneriaki Sukma.
"Mana Anantaku? Mana dia?!" aku terus meneriaki
Sukma.
268
"Halo Teteh Tania kesayangan Anta. Alhamdulillah,
ternyata akhirnya Teteh datang juga ke kampung
halaman Anta. Lumayan ya Teh di sini agak panas, tapi
di rumah ini Anta dulu sempat tumbuh menjadi anak
yang sangat kasep dan menyenangkan. Di rumah ini
pula Anta bertekad untuk mengadu nasib menjadi
orang bener ke Kota Bandung. Nuhun Teteh sudah
menyempatkan datang ke sini...," kulihat Anta berbicara
dengan gaya khasnya, dia memakai kemeja putih.
"Teteh, maafkan Anta selama ini membohongi
Teteh mengenai pertunangan Anta dengan Sukma.
Kenalkan sekali lagi yah, Sukma ini adalah sepupu Anta
yang paling bawel," kupandangi Sukma dengan tatapan
heran. Sambil terus menangis Sukma menganggukkan
269
kepalanya pelan, dan mengomandoku untuk kembali
melihat rekaman Video Anta.
"Sukma ini gak sengaja ketemu Anta di rumah
sakit, Anta jadi pasien ehhh dia ternyata sudah jadi
perawat andal. Sejak saat itu, si bawel ini tidak mau
lepas dari Anta, dia keukeuh mau merawat Anta cenah,"
Anta melanjutkan pembicaraannya di video itu. Lalu
kuperhatikan dengan seksama fisiknya saat dia bilang
bahwa dia adalah pasien sedangkan Sukma sebagai
perawatnya. Astaga aku baru sadar, Ananta Prahadiku
memang tampak jauh lebih kurus dari saat terakhir
kali kumelihatnya, kulitnya terlihat sangat pucat dan
menakutkan.
"Teteh ingat saat Anta lama koma di rumah sakit
karena jatuh? Sepulang dari rumah sakit, Anta teh diberi
tahu dokter bahwa ternyata Anta sakit. Sakitnya agak
keras, tapi bukan kerasukan ya, Teh!" sambil menangis
aku mulai dibuatnya tertawa. Anak ini tak pernah
berubah, tapi kali ini tangisku terasa sakit sekali hingga
menusuk ulu hati.
"Dokter zaman sekarang gegabahnya melebihi
Tuhan. Anta dibilang gak akan bertahan lama Teh,
makanya Anta cukup kaget dengan berita itu. Sukma
tahu tentang ini, makanya langsung heboh menawarkan
diri untuk menjaga Anta. Pada dasarnya Anta teh nggak
peduli kalau Anta sakit, karena Anta merasa badan
270
Anta sangat sehat! Lebih sehat dari Teteh yang peot
kurus kering kayak tengkorak hidup!" Aku mulai gusar,
kutarik tangan Sukma dan mengguncangkannya dengan
keras, "Sakit apa dia Sukmaaaa?!" Sukma menjawabku
hanya dengan tangisan dan tanda bahwa Anta akan
menjelaskan segalanya. Tangannya menunjuk kembali
pada rekaman Video di televisi.
"Teteh jangan emosi sama dokternya yah, katanya
Anta kena kanker darah. Makanya dia minta Anta untuk
rajin kemo dan melakukan banyak sekali pengobatan.
Maafkan selama ini Anta sering sekali kabur me?ninggalkan pekerjaan?pekerjaan Anta. Teh Tiara juga
beberapa kali pernah mengantar Anta, bukan Anta pilih
kasih sehingga hanya memberi tahu Teh Tiara, tapi
waktu itu Teh Tiara mergokin Anta dan Sukma kemo
di rumah sakit. Hampura sekali lagi ya Teteh, maafkan
Anta."
Air mata semakin banyak berjatuhan di pipi, aku
merasakan kepedihan yang amat mendalam saat melihat
video ini. Rasa bersalah mulai menguasai pikiranku.
Pierre tak henti coba menenangkan aku yang mulai
terlihat resah dan hampir histeris.
"Teh, dalam video ini, Anta ingin mengucapkan
banyak terima kasih. Untuk jalan?jalan yang menye?nangkan sebelum Anta harus menjalani kemo yang
paling menyakitkan. Akhirnya terwujud juga jalan271
jalan ke luar negeri, kirain paspor Anta akan kosong
melompong, alhamdulillah terisi juga. Maafkan telah
membuat Teh Tania resah dan kebingungan menghadapi
Anta. Percaya sama Anta, semua sikap Anta terhadap
Teteh hanya karena rasa sayang Anta yang begitu besar
kepada Teteh. Anta melakukan ini agar Teteh mandiri
dan tak lagi menggantungkan hidup Teteh pada Anta
yang mungkin tak berumur panjang." Wajah Anta
mulai terlihat sedih menyiratkan luka yang teramat
dalam.
"Teh, terima kasih telah membuat hidup Anta yang
singkat ini menjadi sangat berwarna. Abah dan Ambu
akan sangat berterima kasih kepada Teteh Tania yang
telah mengangkat harkat martabat derajat anaknya
menjadi seperti sekarang. Hidup Anta sangat komplit
Teh, dan Teteh yang membuat segalanya menjadi
komplit, kayak bakso lah... paket komplit," sambil
tertawa ringan kulihat Anta mulai menangis, aku yang
melihatnya ikut menangis, kali ini lebih keras daripada
sebelumnya.
"Teh, Pierre adalah malaikat. Anta sangat yakin dia
akan membuat hidup Teteh jauh lebih bahagia daripada
sebelumnya. Sejak pertama melihatnya, Anta tahu
bukan Anta laki?laki yang Tuhan ciptakan untuk Teteh,
seperti yang biasa Teteh bilang tentang Anta. Laki?laki
itu pastilah Pierre. Anta sangat yakin kalau Teteh akan
272
sangat berbahagia dengannya. Anta hampir kehilangan
akal saat melihat Teteh menolak cincin yang Pierre
tawarkan, karena menurut Anta itu adalah hal paling
bodoh yang pernah Teteh lakukan seumur hidup Teteh,"
Pierre memegangi jemariku lebih keras, tangannya terus
menerus memeluk aku yang semakin menangis keras.
"Tapi Anta tahu, Teteh bukan orang bodoh, dan
Teteh akan memperbaiki segala kesalahan Teteh"
"Teh, sedih rasanya jika mengingat terakhir kali kita
bertemu dalam keadaan saling tak bicara, dan Teteh
sedang sangat membenci Anta. Anta hanya berharap,
setelah penjelasan Anta ini, tak ada lagi marah di hati
Teteh terhadap Anta. Anta hanya ingin melihat Teteh
bahagia... itu saja. Tolong jangan membenci Anta," kali
ini suara Anta terdengar mengecil dan serak. Air mata
berlinangan dari kedua matanya, kepalanya menunduk
sedih.
"Jika Teteh melihat Video ini, berarti Anta memang
sudah tidak ada. Jika masih ada, tentu Anta akan
menjelaskannya langsung kepada Teteh. J ika Teteh
melihat video ini, berarti praduga dokter benar, dan
Anta tidak bisa mempertahankan hidup Anta dengan
baik." Anta semakin tertunduk menangis. Aku sudah tak
tahan mendengar kata?katanya, sambil terus menangis
aku bersimpuh jatuh memeluk kaki Pierre.
273
"Teteh tetap melukis ya, berkarya mengisi hari?hari
dengan imajinasi Teteh yang sangat luar biasa. Tolong
berhenti marah?marah, dan mulailah tersenyum untuk
semua orang yang ada di sekeliling Teteh. Dunia ini
terlalu indah untuk kita abaikan, hidup terlalu singkat
untuk diisi dengan amarah. Teh, Anta selalu ada untuk
Teteh, bahkan saat Anta tak ada pun... jangan pernah
merasa sendirian, karena Anta akan selalu ada, minimal
di dalam hati dan pikiran Teteh. Angkat dagu Teteh,
tersenyum, dan teruslah berpikiran positif tentang
hidup. Semesta tidak sejahat yang Teteh pikirkan."
Kulihat Anta berhenti berbicara, videonya tak
bergerak lagi. Kata?kata terakhirnya membuatku se?makin jatuh, bersimpuh, dan menangis keras. Sukma
ikut menangis di sampingku, kupeluk tubuhnya erat.
Baru kali ini aku merasa begitu menyayangi wanita ini,
wanita yang selama ini kuanggap musuh karena telah
merebut Ananta Prahadi dari hidupku. Pierre ikut
menundukkan kepalanya, bersedih atas apa yang baru
saja sama sama kami lihat.
"Sukma, di mana dia sekarang berada?" pertanyaanku kembali memecah tangis.
274
Aku bersimpuh di atas gundukan tanah kuburan
dengan nisan bertuliskan nama "Ananta Prahadi" di
atasnya. Sahabat pertamaku, yang selama ini me?nuntunku menjadi seorang wanita seperti sekarang ini.
Air mata terus bercucuran mengingat segala sesuatu
yang pernah kami alami berdua. Kepalaku mengingat
saat pertama kali dia masuk ke kelas tata busana, saat
menceramahiku tentang hidup, tentang perdebatan
kami, dan juga tentang perjalanan terakhir kami ke
Transylvania.
Hati kecilku menjerit hebat mengingat betapa
bodohnya aku yang sangat tak peka tentang keadaan?nya. Terjawab sudah semua segala pertanyaan dalam
kepalaku mengenai sosoknya yang selama ini tiba?tiba
menjadi misterius. Tangisku tak bisa berhenti, bayi
yang ada di dalam perutku menendang?nendan g agresif
karenanya. Pierre duduk di sampingku, wajahnya
tertunduk sedih melihat rumah baru Ananta yang tak
lagi sama seperti kami.
Aku meminta sedikit waktu pada Pierre untuk sen?dirian di sana, bersimpuh di samping rumah terakhir
sahabatku. Aku hanya ingin berbicara empat mata
dengannya. Entah kenapa aku begitu yakin bahwa Anta
ada di sana, mendengarkanku.
"Anta, kenapa baru sekarang kamu menceritakan
segalanya? Kamu jahat, membiarkan aku selama
275
ini selalu menebak?nebak sendirian. Tapi, mungkin
sekarang tubuh kamu nggak sakit lagi ya, Ta? Dan
mungkin sekarang kamu sudah ketemu sama Abah
dan Ambu kamu di sana, ya? Sampaikan salam kenalku
untuk mereka berdua yah. 0 iya, kenalkan juga ini, bayi
yang ada di dalam perutku. Sayang sekali, anakku ini tak
bisa mengenal kamu, Ta. Tapi jangan khawatir, aku akan
menceritakan segala tentangmu kepadanya. Tentang
keudikanmu, tentang sikap konyolmu, tentang kamu
yang baik hati dan bisa merubah aku menjadi wanita
Ananta Prahadi Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang merasa sangat istimewa," napasku tercekat dan
kembali tersedu?sedu menangis sendirian.
"Ta, aku berterima kasih pada Tuhan karena telah
mempertemukan kita berdua. Harusnya aku menemui
Bu Atis, guru tata busana yang telah menyuruhmu
duduk di sampingku saat itu. Mungkin jika tidak
duduk bersebelahan, kita tak akan sedekat ini. Ta, aku
ingin merubah sikapku. Selama ini aku selalu bersikap
buruk terhadap orang lain, terutama pada kamu. Aku
ingin memberi contoh pada anak ini agar bersikap baik
terhadap semua orang. Kamu juga, Ta yang sebenarnya
telah menyadarkan aku bahwa hidup terlalu sia?sia jika
hanya diisi dengan amarah dan sikap buruk," kutarik
napas dalam?dalam sambil mencoba tersenyum.
"Ta, aku pulang dulu ya. Baik?baik kamu di sana,
jangan membuat pusing Abah dan Ambumu. Oh iya,
276
aku janji akan menjadi sahabat Sukma yang sekarang
tampak sangat terpukul atas kepergian kamu, Ta. Aku
baru sadar kalau dia seorang malaikat, sama seperti
kamu. Terima kasih telah menceritakan segalanya buat
aku. Aku bawa Videomu boleh yah, Ta? Pasti boleh!"
seperti seorang gila aku tersenyum sendirian sambil
menangis mengelus batu nisan kuburan Anta.
"Ta, aku akan tetap melukis, tetap berkarya. Demi
kamu demi hidupku... demi segala cita?cita kita,"
kembali aku tersenyum. "Dan Tuhan, tolong jaga anak
ini di sana. Manusia udik ini terlalu baik hati untuk
diabaikan." hatiku berbisik lirih sambil menatap
langit siang itu yang tampak kelabu, air mata kembali
bercucuran.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan desa itu, mem?bawa sejuta kesedihan sekaligus ketenangan yang tak
bisa kugambarkan dengan kata?kata. Selamanya aku tak
akan lagi melihat sosok Ananta Prahadi, tapi selamanya
jiwanya akan melekat kuat dalam sanubariku.
"Pierre...," kupandangi wajah Pierre yang masih ikut
berduka di sampingku. "Ya, Sayang?" jawabnya pelan.
"Bolehkah kunamai anak ini dengan nama Ananta?" air
277
mata kembali menetes di wajahku. Pierre tersenyum
menatapku, dia mengangguk pelan sambil mengusap
rambutku. Kupeluk dia dengan lembut, sebagai ungkapan terima kasihku padanya.
"Anta, terima kasih telah mengenalkanku dengan si
Bule Albino ini. Terima kasih telah mengajariku banyak
hal.... Aku kini bisa menapakkan kedua kakiku di atas
tanah. Ini semua karenamu, Anta. Baik-baik di sana ya,
Anta. Kita berada di bawah langit yang sama, tak ada yang
bisa memisahkan aku dan kamu."
278
Lahir di Bandung 24 Februari
1985, putri pertama dari dua ber?saudara. Bekerja paruh waktu
sebagai Vokalis sebuah band ber
nama Sarasvati. Bekerja paruh
waktu sebagai penulis, yang saat
ini telah melahirkan 3 buku berjudul Danur (2012),
Maddah (2012), dan Sunyaruri (2013). Bekerja paruh
waktu sebagai presenter acara misteri di televisi swasta
Indonesia. Bekerja penuh waktu sebagai Pegawai Negeri
Sipil dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Bandung,
mengurus sebuah padepokan seni bernama Mayang
Sunda.
"Ananta Prahadi", merupakan karya tulis keempat
yang dilahirkannya. Hasil coretan yang sempat me
279
ngendap satu tahun lamanya ini baginya merupakan
sebuah tantangan baru, dimana akhirnya dia mencoba
menyalurkan semua imajinasinya ke dalam sebuah
tulisan fiksi. Melahirkan "Ananta Prahadi" tak ada
bedanya dengan melahirkan buku untuk pertama
kalinya, melepaskan diri dari sosok penulis cerita mistis
adalah sesuatu yang cukup sulit ditaklukan. Semoga saja
"Ananta Prahadi" mampu menaklukannya, membuka
jalan menuju tulisan?tulisan lainnya yang mungkin saja
berbeda.
Tamat
Satria Gendeng 14 Tiga Pendekar Aneh Tusuk Kondai Pusaka Karya S D Liong Sembilan Pusaka Wasiat Dewa Pengelana
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama