Berislam Dengan Senyum Karya Ali Abdullah Bagian 3
Meneladani Aisyah
P erempuan itu tidak selayaknya hanya berkutat pada
urusan dapur, sumur, dan kasur. Perempuan itu harus berani membuat gebrakan!" terang Nisa dalam mempresentasikan makalahnya di depan kelas tentang perempuan.
Presentasi berjalan dengan baik. Apalagi, Nisa adalah mahasiswi tercantik di kelas. Tentu saja, presentasinya banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa lakilaki. Ngajiyo pun demikian. " Sekali-kali melihat yang bening," batinnya.
" Akan tetapi, paradigma yang ada tentang perempuan di masa kini masih terlampau konservatif. Begitu juga pihak kaum perempuan sendiri. Mereka cukup sekolah sampai selesai, habis itu cari pasangan yang mapan, menikah, punya anak, dan jadi ibu rumah tangga yang baik. Padahal, potensi perempuan begitu besar di ranah sosial. Perempuan bisa lebih dari sekadar menjadi ibu rumah tangga," Nisa semakin menggebu-gebu dalam presentasinya. "
Sementara itu, teman-teman mahasiswa laki-laki yang lain tidak menyimak presentasi dari Nisa tersebut. Mereka justru larut dalam kecantikan Nisa itu.
" Kita harus meneladani Aisyah. Walaupun seorang perempuan, tetapi beliau berani untuk memimpin perang. Itulah Aisyah, seorang perempuan hebat yang pernah ada dalam sejarah peradaban Islam," Nisa memberikan contoh.
Mendengar penjelasan dari Nisa yang mencontohkan Aisyah, Ngajiyo tiba-tiba terperanjat. Dia pun mengacungkan jarinya.
Melihat Ngajiyo mengacungkan jari, Nisa pun mempersilakan, " Ya, silakan Ngajiyo!"
" Saya akui, memang Aisyah itu memimpin perang. Tapi kan kalah dalam perang! Hayo...." ujar Ngajiyo menggoda.
" Ya, memang kalah. Tapi kan dia bisa memimpin...!" sahut Nisa yang tidak mau kalah.
" Buat apa memimpin kalau yang dipimpinnya itu kalah. Hehehe...." Ngajiyo semakin asyik menggoda.
" Ya pokoknya gitu deh...!" Nisa kebingungan menanggapi Ngajiyo.
Dasar Ngajiyo, sukanya menggoda orang yang lagi serius. Hahaha....
Gerakan feminisme kini semakin marak, kebanyakan dari mereka menuntut persamaan gender. Lebih dari itu, mereka menuntut budaya patriarkat yang terlalu mengekang perempuan. Tidak hanya itu, gerakan feminisme bahkan mengecam berbagai hal yang dirasa melecehkan perempuan. Hak-hak perempuan sangat diperjuangkan.
Yang patut menjadi catatan bagi kita adalah bahwa Islam itu memuliakan perempuan. Islam datang tidak hanya untuk memberi pencerahan kepada umat manusia, lebih spesifik lagi, Islam juga datang untuk membebaskan kaum perempuan dari tradisi-tradisi yang merendahkan perempuan.
Lebih baik, kita baca sejarah dulu, ketika Arab pada masa jahiliah. Sebelum Islam datang di tanah Arab, budaya Arab begitu rendahnya. Tradisi menggubah syair dan puisi menjadi satu hal yang bisa dibanggakan. Sementara itu, moralitas mereka sangat nista, terutama terkait kaum perempuan. Kaum perempuan bisa diperjualbelikan. Lebih dari itu, bahkan perempuan bisa diwariskan. Jika seorang ayah itu telah meninggal, maka anaknya yang laki-laki itu mewarisi ibunya. Dengan demikian, seorang ibu itu adalah harta warisan.
Tidak hanya itu, di Arab masa jahiliah juga berkembang tradisi yang bejat. Jika orangtua itu melahirkan anak perempuan, itu merupakan aib. Terutama jika sang ayah adalah orang terpandang, tentu saja memiliki anak perempuan yang baru saja dilahirkan oleh istrinya itu adalah aib dan rasa malu yang tidak tertanggungkan. Oleh karenanya, banyak kasus pembunuhan bayi perempuan demi menghindari rasa malu. Demikianlah tradisi amoralitas bangsa Arab jahiliah. Kaum laki-laki hanya seenaknya sendiri sementara kaum perempuan tidak dimanusiakan. Kaum perempuan tidak dianggap manusia, tetapi dianggap sebagai benda yang bisa diperjualbelikan, diwariskan, dan bahkan dibunuh begitu saja. Sungguh rendah derajat kaum perempuan di Arab ketika itu.
Islam datang dengan ajaran yang sangat manusiawi nan penuh kasih sayang. Harga diri, martabat, harkat, dan derajat perempuan diangkat sedemikian rupa. Jika dahulu seorang laki-laki itu bisa beristri lebih dari empat, Islam membatasinya dengan empat istri saja agar para istri bisa terpelihara dengan baik. Sementara itu, Rasulullah saw., memberikan keteladanan tentang poligami. Rasulullah saw., berpoligami bukan karena untuk pemuasan nafsu, tetapi untuk menolong para perempuan yang rentan dan susah dalam menjalani kehidupan. Mereka yang hidup ke
susahan karena suaminya meninggal dan kerepotan mengurus kehidupan dikarenakan miskin, Rasulullah saw., datang untuk memberikan pertolongan. Bisa kita buktikan hal itu bahwa Rasulullah saw., menikahi para janda yang memang kesusahan dan miskin, bukan sekadar pemuasan nafsu berahi. Di antara para istri beliau, hanya istri pertama Rasulullah saw., yang kaya, yakni Khadijah, yang lainnya miskin dan terbuang. Bahkan hanya Aisyah yang masih perawan, sedangkan yang lainnya itu sudah berstatus janda dan miskin papa. Jika mereka tidak ditolong, mereka akan rentan jatuh pada kehidupan yang nista dan sengsara.
Rasulullah saw., pun mengajarkan bahwa surga itu berada di telapak kaki ibu, dan ibu adalah perempuan. Mengapa bukan di telapak kaki ayah? Karena, peran ibu sebagai orangtua itu dimuliakan oleh Islam.
Ketika Rasulullah saw., ditanya perihal siapa yang wajib dihormati, beliau menjawab ibu sebanyak tiga kali, baru setelah itu ayah. Artinya, perempuan di dalam Islam tidak seperti yang diteriakkan oleh para pengamat dari Barat bahwa Islam itu merendahkan perempuan. Menurut pandangan Barat, Islam itu mengekang perempuan dengan seabrek tatanan dan aturan. Padahal, pandangan seperti itu adalah salah kaprah. Mari kita urai sedikit saja.
Islam mengajarkan agar perempuan itu menutup auratnya dan berjilbab. Pakaian seperti itu adalah pakaian yang sopan dan perempuan terlihat lebih terlindungi. Coba kita tebak, laki-laki yang baik itu akan memilih perempuan mana yang akan dijadikan sebagai istrinya? Perempuan yang berpakaian sopan dan tertutup auratnya atau perempuan seksi yang hanya berpakaian mini? Jelas, jawabannya adalah yang berpakaian sopan dan tertutup auratnya. Lakilaki yang baik itu akan memilih perempuan yang baik. Bukankah yang demikian itu merupakan perlindungan bagi kaum perempuan? Perempuan yang baik itu dipilih oleh laki-laki yang baik agar dirinya terjaga. Andai saja perempuan itu dinikahi oleh laki-laki yang tidak baik, bisa jadi ia akan disia-siakannya. Itulah salah satu hikmah dari konsep ajaran Islam tentang perempuan. Dengan demikian, orang-orang Barat telah salah menilai bahwa Islam itu merendahkan perempuan.
Selain itu, seorang ibu adalah perempuan. Ibu itu harus dihormati oleh semua anaknya. Jika durhaka kepada ibu, maka Islam mengecam anak tersebut dan Allah Swt., menjanjikan azab kepada anak yang durhaka kepada ibu. Bukankah hal itu untuk memuliakan perempuan?
Dengan demikian, tanpa dimuliakan pun perempuan itu sudah mulia. Asalkan nilai-nilai Islam benar-benar menjadi landasan. Itulah Islam, agama yang penuh kasih sayang. Islam mengatur sedemikian rupa, bahkan terkait tentang perempuan.
Qunut atau Tidak?
A khir-akhir ini, masyarakat di kampung sering mem
perbincangkan perihal shalat Subuh. Sebagaimana biasanya, Haji Karso adalah seorang yang ditunjuk untuk menjadi imam di masjid. Akan tetapi, sekarang ini Haji Karso sedang ada keperluan di luar kota. Katanya, lagi menjenguk saudaranya. Sementara itu, masjid di kampung kehilangan imamnya. Akhirnya, Adin sering kali menggantikan Haji Karso sebagai imam.
Beberapa hari ini, Adin menjadi imam di masjid. Meskipun dia masih muda, dia ditunjuk masyarakat karena sering berdakwah sehingga dia dipercaya untuk menjadi imam. Suatu subuh, ketika Adin menjadi imam untuk kali pertama pada shalat Subuh, kegegeran terjadi. Jika Haji Karso yang mengimami shalat Subuh, selalu ada doa qunut pada iktidal kedua. Sementara itu, Adin tidak membaca doa qunut. Masyarakat pun bingung.
" Adin, shalatnya kok nggak pake qunut?" tanya Pak Karman selepas shalat Subuh.
" Nggak apa-apa, Pak. Justru yang benar itu nggak pake qunut," jawab Adin.
" Tapi, Haji Karso selalu pake qunut!" ujar Pak Bandi.
" Itu nggak benar. Yang benar itu nggak pake qunut. Justru shalat yang pake qunut itu salah. Makanya, mulai dari sekarang, kita shalat Subuh nggak usah pake qunut," jelas Adin lagi.
Peristiwa shalat Subuh tanpa qunut itu pun menjadi bahan pembicaraan banyak orang di kampung. Mereka pada bingung, yang benar itu yang mana? Pakai qunut atau tidak?
Kebetulan, hari itu Ngajiyo baru saja sampai rumah dari pondok. Seperti biasa, Ngajiyo bersantai-santai di gardu ronda yang ada di pinggir sawah depan rumahnya itu. Angin semilir dari sawah begitu membuatnya nyaman di tengah-tengah terik matahari.
Datanglah Pak Bandi ke gardu ronda itu. Ngajiyo dan Pak Bandi kemudian terlibat dalam sebuah obrolan.
" Ji, tadi pagi jemaah shalat Subuh diimami oleh Adin," kata Pak Bandi memulai percakapan.
" Lho, memangnya Haji Karso ke mana?" tanya Adin.
" Haji Karso sedang pergi ke luar kota. Nah, biasanya, Haji Karso itu pake qunut kalau shalat Subuh. Eh... tadi pagi Adin nggak pake qunut."
" Oh... begitu ya?!"
" Iya, kata Adin malah pake qunut itu salah. Tapi, dari dulu kan kalau shalat Subuh pake qunut terus. Jadi, salah terus dong shalatnya? Sah nggak shalatnya kalau gitu?"
" Ah... nggak apa-apa, Pak. Mau pake qunut atau nggak, itu ya terserah. Tapi, kalau di masjid kita itu terbiasa pake qunut, hendaknya nggak usah diubah. Nanti masyarakat malah geger dan bingung."
" Sekarang saja sudah geger kok, Ji. Lha wong tadi pagi Adin nggak pake qunut. Adin juga bilang kalau pake qunut itu salah. Ya masyarakat jadi geger to...!" tegas Pak Bandi.
" Hahaha... ya sudah. Lebih baik masalah ini tidak digegerkan lebih lanjut. Nanti malah saling menyalahkan," ujar
Ngajiyo. pustaka-indo.blogspot.comh t t p
Perbedaan cara beribadah umat Islam memang kerap kali menjadi persoalan tersendiri. Lebih dari itu, terkadang hal tersebut membuat sekat-sekat di ranah sosial. Bahkan perbedaan itu sering juga membuat perpecahan di dalam tubuh umat Islam. Termasuk juga perbedaan shalat Subuh antara golongan yang memakai doa qunut dan golongan yang tidak. Pada dasarnya, qunut itu bukan menjadi masalah. Mau pakai qunut atau tidak, shalat Subuh tetap sah karena hukumnya hanya sebatas sunah. Jika memakai qunut itu mendapatkan kesunahan dan jika tidak memakai qunut maka shalat Subuh tetap sah. Beres kan?
Masalah perbedaan terkait qunut tersebut tidak perlu diperselisihkan. Jika semua orang mikirnya hanya sebatas sebagaimana dalam cerita, masalah tidak akan rumit. Yang jadi masalah adalah ketika perbedaan itu dipermasalahkan padahal asalnya tidak jadi masalah. Orang-orang yang memakai qunut tidak mau shalat berjemaah dengan imam yang tidak memakai qunut, begitu pula sebaliknya. Padahal, itu hanya persoalan cabang (far iyah), bukan pokok (ushuliyah). Maksudnya, permasalahan qunut itu hanya masalah " sepele" yang pada dasarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Akan tetapi, kini masalah tersebut justru membesar dan berpengaruh pada ranah sosial
masyarakat. Akibatnya, umat Islam justru terpecah belah hanya karena masalah qunut.
Dalam berbagai referensi dari kitab-kitab turats, yakni kitab-kitab klasik yang ditulis oleh para ulama, dinyatakan bahwa qunut itu sunah ab adh, yakni sunah dalam shalat yang apabila ditnggalkan itu hendaknya diganti dengan sujud sahwi. Sementara itu, dalil dari qunut itu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abu Hurairah. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah saw., ketika mengangkat kepalanya (bangun) dari rukuk (posisi iktidal) ketika shalat Subuh pada rakaat kedua, mengangkat kedua tangan seraya berdoa dengan doa qunut. (lihat kitab Mughny Al-Muhtaj : 1/166)
Dalil Hadis dari Abu Hurairah tersebut setidaknya cukup jelas menjadi argumentasi tentang qunut. Dengan demikian, jika ada orang yang mengatakan bahwa qunut itu tidak diperbolehkan dan dianggap salah, itu merupakan pendapat yang tidak ada argumentasinya. Meski demikian, jika shalat Subuh tanpa bacaan doa qunut pun tidak menjadi masalah. Para ulama menyatakan bahwa qunut hanyalah sunah ab adh, bukan wajib. Artinya, qunut hanyalah permasalahan sunah, maka hendaknya tidak dibawa pada permasalahan yang serius. Apalagi dibesar-besarkan sehingga terjadi perpecahan di antara umat Islam.
Ada sebuah kisah menarik dari KH. Hasyim Asy ari dan KH. Ahmad Dahlan, dua ulama dari Indonesia yang bersahabat tetapi berbeda pendapat. KH. Hasyim Asy ari mendirikan organisasi masyarakat yang bernama Nahdlatul Ulama, sedangkan KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi masyarakat yang bernama Muhammadiyah. Kedua organisasi masyarakat tersebut menjadi organisasi yang sangat besar hingga sekarang. Salah satu yang membedakan antara Nahdlatul Ulama dengan Muhammadiyah dalam hal ubudiah adalah bahwa jemaah Nahdlatul Ulama menggunakan qunut ketika shalat Subuh sementara Muhammadiyah tidak.
Suatu ketika, KH. Hasyim Asy ari beserta para pengikutnya dan KH. Ahmad Dahlan beserta para pengikutnya berangkat ke suatu tempat secara bersamasama. Perjalanan mereka pun memakan waktu hingga beberapa hari. Ketika mereka shalat Subuh, mereka melakukannya secara berjemaah. Ketika yang menjadi imam jemaah shalat Subuh itu adalah KH. Hasyim Asy ari, justru tidak memakai doa qunut. Ketika ditanya oleh para pengikutnya kenapa tidak memakai qunut, jawabannya adalah untuk menghormati KH. Ahmad Dahlan dan para pengikutnya yang tidak pakai qunut. Di lain hari, shalat Subuh yang mengimami adalah KH. Ahmad Dahlan. Ketika itu justru malah memakai qunut. Ketika ditanya oleh para pengikutnya kenapa memakai qunut, jawabannya adalah un
tuk menghormati KH. Hasyim Asy ari beserta para pengikutnya yang memakai qunut. Kesimpulannya, baik shalat Subuh dengan qunut atau tidak itu samasama tidak batal shalatnya. Justru alasan dari dua orang ulama tersebut bukan dilihat dari sisi syariat, melainkan dari sisi sosial untuk menghormati orang lain dan menjaga ukhuwah islamiyah.
Setidaknya, kisah tersebut bisa dijadikan keteladanan bagi kita untuk tidak saling mempersalahkan hal-hal yang bersifat khilafiah. Alangkah baiknya jika kita tidak membuat jurang-jurang pemisah di antara umat Islam hanya karena perbedaan pendapat terkait doa qunut. Ironis sekali jika kita masih memperdebatkan dan mempermasalahkannya sehingga umat Islam Indonesia terpecah belah. Perlu kita ketahui, orang-orang Barat yang tidak beragama Islam itu sudah bisa ke bulan, bikin pesawat terbang, bikin kapal selam, dan bikin lain sebagainya. Anehnya, kita sebagai umat Islam justru baru sampai pada masalah qunut dan tidak qunut. Benar-benar ketinggalan...!!! Hendaknya kita merenung, kapan kita bisa bikin rumah terbang sementara kita masih berkutat pada persoalan qunut?
Menjadi Pengemis
H ari itu, Ngajiyo dan Hadi berangkat ke kampus bersa
ma. Mereka berboncengan dalam satu motor, karena jam kuliah mereka sama. Perjalanan menuju kampus dari pesantren kira-kira memakan waktu hingga dua puluh menit. Untuk sampai ke kampus pun harus melewati beberapa lampu merah yang ramai kendaraan. Di salah satu lampu merah, ada seorang ibu-ibu yang menggendong anak kecil. Si ibu-ibu itu meminta-minta kepada para pengendara yang tengah berhenti karena sedang menyala lampu merah. Sambil menengadahkan tangan dan bilang " nyuwun paring-paring" , si ibu-ibu itu mendapat perhatian banyak orang dan dikasih beberapa recehan.
" Ji, enak sekali ya, pengemis itu. Tinggal menengadahkan tangan, dia langsung dapat uang," gumam Hadi.
" Kalau kamu mau seperti itu, lakukan saja, Di! Jadilah pengemis!. Hahaha...," sahut Ngajiyo.
" Weh... ngawur, kamu! Siapa juga yang mau harga dirinya jatuh. Ketimbang jadi pengemis, mending jadi pengutang tapi nggak bayar. Hahaha...," ujar Hadi.
" Wah... kacau, kamu!" kata Ngajiyo.
" Ya memang benar, kan?"
" Pantas saja uangku yang kamu utang bulan lalu belum kamu bayar. Hadeh..."
" Hehehe... kan pilihanku sudah jelas. Ketimbang jadi pengemis mending jadi pengutang tapi nggak bayar." " Itu malah lebih bahaya, Di!"
" Bahaya kenapa?"
" Kalau utang itu kan harus dibayar. Kalau nggak dibayar, itu dosa. Kalau pengemis kan nggak bayar. Kalau kamu nggak bayar utang, mending kamu jadi pengemis saja deh!"
" Haahh... nggak mau ah!"
" Makanya, balikin uangku! Hehehe...!" " Ya, tapi kiriman bulan depan ya?!"
Pengemis menjadi pemandangan yang tidak asing lagi, terutama di perempatan jalan besar, di pinggiran pasar, di tempat-tempat perbelanjaan, dan di berbagai tempat keramaian orang. Pengemis menjadi satu sisi dari kota-kota besar sebagai satu sisi lainnya, layaknya dua sisi keping uang recehan. Namun demikian, pengemis juga menjadi satu perhatian tersendiri. Bahkan, kini seseorang yang memberikan uang kepada pengemis itu terkena pasal dan ancaman hukumannya adalah denda atau penjara.
Setidaknya, adanya pengemis itu disebabkan oleh dua perkara yang mendasar. Pertama, seseorang itu menjadi pengemis karena malas bekerja. Ada sebuah kasus yang diceritakan oleh seorang kawan. Sepasang suami istri menjadi pengemis dengan mendatangi rumah ke rumah. Si suami bagian satu wilayah dan si istri di bagian satu wilayah yang lain. Keduanya itu mengemis karena merasa bahwa mengemis itu tidak sulit, hanya sekadar menemui siapa pun kemudian menengadahkan tangan ditambah dengan memasang muka melas dan kata-kata yang bisa menyentuh hati orang. Dalam waktu sebulan, mereka bisa mengumpulkan uang hingga lebih dari tiga juta rupiah. Uang tersebut digunakan untuk acara pernikahan anaknya.
Pasangan tersebut malas bekerja sehingga mengemis menjadi jalan pintas bagi mereka untuk suatu kebutuhan. Sungguh ironis, mereka berhasil menahan rasa
malu dengan mengemis hanya karena malas. Hal itu merupakan kerendahan mentalitas manusia. Akan tetapi, mereka juga tidak tahu harus bagaimana lagi untuk mencari penghidupan selain dengan jalan mengemis.
Mengemis memang merupakan jalan alternatif untuk mendapatkan penghasilan. Asalkan tidak tahu malu dan uang tidak dihasilkan dari mencuri, para pengemis menganggap itu sah-sah saja. Berdasarkan persepsi tersebut, pengemis makin berani bahkan terorganisir. Para pengemis sepertinya membuat kesepakatan untuk mengemis di berbagai titik keramaian. Ada pula seseorang yang mengorganisasi para pengemis sehingga dia bisa mengeruk keuntungan dari para pengemis itu. Sungguh nista sekali mereka.
Ada juga kasus lain yang menggemparkan di kota besar, Jakarta. Beberapa waktu lalu sempat heboh seorang laki-laki tua yang datang ke Jakarta. Dia pun mengemis di sana dan selama satu bulan, uang yang dihasilkannya pun mencapai belasan hingga dua puluhan juta rupiah. Bayangkan, karyawan saja tidak sampai sedemikian banyak gajinya. Padahal, karyawan itu dituntut tidak boleh malas dan harus giat bekerja, kalau malas ia akan dipecat. Sementara itu, si pengemis karena malas malah mengenis di jalan dan lebih menghasilkan. Bagaimana dengan realitas tersebut?
Kedua, seseorang menjadi pengemis karena memang sudah tidak ada cara lain yang bisa dijadikan pegangan untuk bertahan hidup. Seseorang yang sangat miskin papa dan tidak mempunyai potensi serta bakat untuk bekerja, mau tidak mau harus mengemis. Bagaimana jalan itu bisa ditempuh? Modal untuk usaha benar-benar tidak ada. Kebutuhan perut merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa lagi ditunda-tunda. Sementara itu, lapangan pekerjaan yang ada membutuhkan bakat dan keterampilan khusus. Berbagai desakan hidup justru datang secara bertubi-tubi. Mau bagaimana lagi? Mau tidak mau, seseorang itu harus membuang rasa malu untuk meminta-minta kepada orang-orang yang ditemuinya. Daripada utang tetapi tidak bisa membayar, daripada merepotkan orang lain untuk menanggung hidupnya, maka menjadi pengemis menjadi jalan satu-satunya untuk bertahan hidup.
Pada dasarnya, keberadaan pengemis seperti itu merupakan kritik bagi pemerintahan kita dan penyelenggara negara ini. Ketika rakyat jelata kesusahan untuk mencari penghidupan, para elite justru terbuai dalam mimpi karena tidur nyenyak di kasur yang empuk. Di saat para rakyat miskin kekurangan makanan, di saat itu pula para elite memesan makanan mahal di sebuah restoran berkelas. Di saat ada banyak busung lapar dan gizi buruk, di saat yang sama ada yang berpenyakitan karena obesitas, kebanyakan
makan. Ketika rakyat menahan malu mengais sesuap nasi dari jalan, para elite justru menutupi rasa malu mereka dengan diam-diam mengambil uang rakyat.
Ironisme di negeri ini memang terjadi. Saat di depan kita ada lubang yang menganga, pasti di tempat lain ada tanah yang menumpuk. Ironis. Namun demikian, di dunia ini juga berlaku hukum keseimbangan. Jika di depan kita ada lubang yang menganga tersebut tentunya lubang itu menjadi ada karena dikeruk oleh seseorang dan kerukan tersebut ditaruh di suatu tempat. Begitu pula dengan hukum keseimbangan di negeri ini. Di depan kita ada rakyat jelata yang rela menahan malu menjadi pengemis untuk bertahan hidup, pasti ada yang mengeruk hak mereka, entah itu siapa.
Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat tentu memiliki para penyelenggara negara, karena telah tertata dan teratur dalam sebuan tatanan kenegaraan, tentunya penyelenggara negara harus menata juga akses-akses kehidupan masyarakat seluruhnya. Akan tetapi, keberpihakan kepada rakyat miskin papa justru tidak menjadi prioritas. Alih-alih memberikan akses penghidupan bagi rakyat jelata, banyak dari para penyelenggara negara justru merampok uang negara yang seharusnya menjadi hak bagi rakyat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) seakan menjadi hal yang tidak bisa dihilangkan. Alih-alih
menghukum para pelaku KKN, penegak hukum pun dimanipulasi sehingga para pelaku KKN bisa bebas melenggang untuk menguras lagi uang negara.
Sudah Kaya,
Tidak Perlu Shalat Duha
S esampainya di kampus, pagi itu Ngajiyo langsung me
nuju kelas. Ternyata, jam kuliah diundur sampai satu jam mendatang. Kecele lagi deh. Ya sudah, Ngajiyo pun berlalu. Kemudian menuju masjid, karena waktu sudah masuk waktu Duha, Ngajiyo melakukan shalat duha. Setelah selesai shalat duha, Ngajiyo kembali lagi ke kelas. Sembari menanti waktu kuliah tiba, Ngajiyo mendatangi kerumunan teman-temannya yang duduk melingkar di taman fakultas depan kelas.
" Dari mana, Ji? Kok kayaknya tadi kamu pergi?" tanya Fauzan.
" Iya, tadi saya sudah ke sini. Terus saya ke masjid," jawab Ngajiyo.
" Weits... rajin banget ke masjid! Ngapain?" tanya Ngajiyo lagi.
" Nggak apa-apa. Cuma pengin ke masjid aja kok!" jawab Ngajiyo.
" Weh... tadi kamu pasti shalat duha kan!" sahut Lucky.
" Wow... benar, Ji? Kamu tadi shalat duha? Wah... rajin banget kamu ini!" ujar Fauzan lagi.
" Memangnya kenapa?" tanya Ngajiyo.
" Shalat Duha itu kan shalat minta rezeki. Berarti kamu ini miskin ya? Kamu mau berapa, sini saya kasih duiiiit! Hahaha...," ledek Lucky.
" Kalau saya nggak perlu shalat duha. Saya kan sudah kaya!" ujar Fauzan.
" Ya, saya ini memang miskin dibandingkan dengan Allah Yang Mahakaya. Jadi, saya perlu shalat duha. Kalau kalian kaya, memang ada yang menjamin kalian akan kaya seterusnya? Siapa juga yang memberi kalian kekayaan itu?" kata Ngajiyo.
Lagi-lagi Fauzan dan Lucky merenung dan mati kutu lagi.
Shalat duha merupakan salah satu dari varian shalatshalat sunah yang dianjurkan oleh agama Islam. Waktu dilakukannya shalat duha adalah waktu duha, yaitu ketika matahari sepenggelahan naik hingga menjelang waktu shalat Zuhur tiba. Hukum mengerjakan shalat duha ini adalah sunah, artinya jika seseorang mengerjakannya maka akan mendapatkan pahala, tetapi jika seseorang meninggalkannya pun tidak akan berbuah dosa.
Meski demikian, shalat duha merupakan shalat sunah yang ditekankan untuk dikerjakan karena berbagai keutamaannya. Di sisi lain, bentuk ketaatan seorang muslim itu juga ditinjau dari seberapa jauh ia melakukan peribadatan dan ritual-ritual sunah, bukan wajib. Mengapa demikian?
Wajar saja seseorang melakukan hal-hal yang diwajibkan, seperti shalat wajib lima waktu. Seorang muslim yang mengerjakan shalat lima waktu itu memperoleh pahala dan tentunya menghindarkan diri dari dosa. Dengan demikian, gugurlah kewajibannya itu meskipun hanya gugur dalam arti syariat, bukan hakikat. Artinya, seseorang melakukan kewajiban shalat lima waktu itu bisa saja hanya dengan niatan menggugurkan kewajiban. Asalkan kewajiban sudah digugurkan, maka akan terhindar dari dosa dan siksa neraka. Akan tetapi, jika kewajiban tersebut diubah hukum pembebanannya menjadi sunah, belum tentu ia akan melaksanakannya.
Berbeda dengan seorang muslim yang istikamah mengerjakan berbagai kesunahan, seperti shalat duha. Ia mengerjakan kesunahan shalat duha karena memang ia benar-benar mencari dan mengharapkan rida Allah Swt. Ia tidak hanya sekadar menggugurkan kewajiban dengan shalat wajib, tetapi ia bahkan mengerjakan shalat duha yang hukumnya sunah.
Dengan demikian, barometer ketaatan seorang muslim pada agamanya bukan terletak pada pelaksanaan ritual-ritual dan ibadah-ibadah yang hukum pembebanannya wajib. Akan tetapi, terletak pada seberapa jauh, seberapa dalam, dan seberapa banyak seseorang itu menunaikan ritual-ritual dan ibadah-ibadah yang hukumnya sunah.
Seseorang yang ketaatannya kuat, maka ia tidak akan pernah meninggalkan kewajiban-kewajibannya selagi tidak ada uzur yang menghalanginya secara paksa. Di sisi lain, ia juga akan mencari keberkahan dan rida Allah Swt., untuk senantiasa menambah kualitas keimanan dan ketakwaannya kepada-Nya dengan mengerjakan berbagai kesunahan.
Banyak orang yang menafsirkan bahwa shalat duha ini adalah shalat untuk memperlancar rezeki atau minta rezeki. Memang benar bahwa shalat tersebut difungsikan untuk tujuan tersebut. Akan tetapi, jika tujuannya hanyalah rezeki tanpa mengingat Zat
yang memberi rezeki, maka hal itu hanya sia-sia belaka. Oleh karenanya, shalat duha tidak sebatas untuk tujuan memohon rezeki, tetapi juga berzikir untuk mengingat Allah Yang Maha Memberi rezeki.
Dengan demikian, salah apabila shalat duha ini hanya dilakukan oleh orang-orang miskin sementara orangorang yang sudah kaya tidak perlu shalat duha. Shalat duha bukan saja untuk melancarkan rezeki, melainkan juga untuk mengingat Allah Sang Pemberi rezeki dan bersyukur kepada-Nya atas rezeki yang diberikan. Oleh karena itu, shalat duha tidak dikhususkan bagi orang-orang miskin sebagaimana pandangan Fauzan dan Lucky dalam kisah tersebut. Shalat duha disunahkan bagi setiap umat Islam sebagai bentuk penghambaan diri kepada Sang Maha Pemberi rezeki, sebagai bentuk bersyukur, dan tentunya sebagai bentuk doa agar rezekinya diperlancar meskipun sudah kaya karena tidak ada yang bisa menjadi kecuali Dia.
Benar jawaban Ngajiyo pada cerita tersebut bahwa manusia itu memang miskin dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Zat Yang Mahakaya. Oleh karena itu, sudah selayaknya manusia itu terus-menerus memohon kepada-Nya karena hanya kepada- Nyalah kita memohon dan menyembah.
Bangun Kesiangan
J ika liburan tiba, Ngajiyo selalu pulang ke kampung ha
lamannya. Sebenarnya antara pondok dan rumahnya hanya butuh waktu setengah jam perjalanan dengan sepeda motor, sehingga Ngajiyo sering pulang. Akan tetapi, Ngajiyo selalu bikin resah ibunya. Masalahnya sepele, Ngajiyo sering bangun kesiangan. Azan Subuh pukul setengah lima, tetapi malah bangun pukul setengah enam. Kondisi di luar memang sudah agak terang meskipun matahari masih agak malu di ufuk timur. Akan tetapi, kamar Ngajiyo itu selalu gelap kalau pagi karena jendelanya tertutup dan lampu kamar dimatikan, bahkan pintu kamarnya dikunci.
" Jiyo... bangun! Sudah azan Subuh. Sana bangun terus shalat!" teriak ibunya membangunkan dari luar kamar.
Bukannya bangun, Ngajiyo malah tetap tidur dengan dengkurnya yang cukup keras. Begitulah setiap kali Ngajiyo di rumah, dia selalu bangun siang.
Pukul setengah enam pagi, Ngajiyo baru bangun untuk shalat Subuh. Dia mengerjakan shalat Subuh di kamarnya sendiri yang gelap, setelah itu dia tidur lagi.
Melihat kelakuan seperti itu, ibu pun heran. Sudah bangun telat, lalu bangun sebentar untuk shalat Subuh, setelah itu tidur lagi. Tentunya ibu merasa kesal dengan tingkah Ngajiyo itu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ngajiyo baru keluar dari kamarnya dalam keadaan masih mengantuk. Melihat Ngajiyo sudah bangun, ibu pun mendatangi Ngajiyo.
" Kamu itu, lho, Le! Sudah bangun telat, Subuh telah, eh habis Subuh tidur lagi!" bentak Ibu.
" Hehehe... biar dapat pahala, Bu!" jawab Ngajiyo enteng sambil menguap.
" Lho, pahala apanya? Lha wong kamu itu Subuh saja telat kok dapat pahala. Bukan pahala, tapi dosa!"
" Begini lho, Bu. Kamarku kan gelap. Sengaja saya tutup jendela dan saya matikan lampu biar gelap. Kalau sudah gelap, malaikat kan menyangka hari masih gelap dan masih malam. Jadi, shalat Subuh saya tadi dicatat oleh malaikat sebagai shalat malam, shalat tahajud. Kalau begitu kan dapat pahala karena malaikat mencatatnya sebagai ibadah malam! Hehehe...," Ngajiyo beralasan.
" Alahhh... kamu itu, Le. Mana mungkin malaikat bisa dibohongi," kata Ibu sambil berlalu.
Islam tidak hanya mengatur hal-hal besar seperti tauhid, hukum, ajaran moral, dan syariat. Tetapi juga mengatur hal-hal yang mengiringi itu semua, yakni manajemen waktu. Rasulullah saw., bersabda bahwa hendaknya kita mengingat lima perkara sebelum lima perkara; sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, dan hidup sebelum mati. Lima perkara sebelum lima perkara tersebut pada dasarnya merupakan pelajaran bagi kita untuk mengatur waktu, menyempatkan waktu yang ada untuk berbuat hal-hal yang positif, dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar tidak terbuang dengan sia-sia serta tidak menyesal di kemudian hari.
Pepatah Arab mengatakan bahwa waktu itu seperti pedang, jika kita tidak menebasnya (memanfaatkannya), maka kita akan tertebas oleh pedang tersebut. Pesan dari pepatah tersebut adalah bahwa waktu itu berbahaya layaknya pedang. Pedang itu bisa jinak jika orang bisa memanfaatkannya dengan baik dan bisa digunakan untuk berbagai keperluan seperti berperang. Jika orang yang menggunakan itu adalah orang yang pintar mengendalikan pedang, maka akan menjadi senjata yang hebat dan melindungi pemegangnya dari serangan musuh. Akan tetapi jika pedang tersebut digunakan oleh orang yang tidak ahlinya, bisa jadi malah akan menusuk perut pemegangnya, atau paling tidak melukai sebagian dari anggota tubunya.
Itulah pengibaratan waktu yang sungguh berbahaya. Seseorang yang bisa mengatur waktu, hidupnya akan senantiasa terjadwal dan tertib. Sementara itu, seseorang yang tidak bisa mengatur waktu, ia akan senantiasa tidak tepat waktu dan justru ia akan sering terburu-buru. Biasanya karena terburu-buru, sesuatu yang tidak diinginkan pun bisa terjadi. Misal, terburu-buru di dalam perjalanan saat berkendara bisa mengakibatkan kecelakaan. Kita akan termakan oleh waktu jika kita tidak bertindak dan menaklukkan waktu itu.
Islam mengatur waktu dengan sedemikian rupa indahnya. Shalat lima waktu merupakan salah satu ajaran yang hukumnya wajib " ain, tetapi di sisi lain juga mengingatkan kita agar tersadarkan oleh waktu. Pada pagi buta saat fajar menyingsing, umat Islam diwajibkan untuk shalat Subuh. Setelah shalat Subuh pun dimakruhkan untuk tidur lagi. Umat Islam dituntut untuk rajin dan disiplin sehingga kita dituntut bangun di pagi hari. Tidak lain hal itu adalah untuk mempersiapkan berbagai hal yang akan dijalani di hari itu.
Ketika matahari sedang terik, umat Islam diingatkan akan waktu lagi dengan masuknya shalat Zuhur. Hal itu menyiratkan bahwa manusia hendaknya tidak terlalu larut dalam pekerjaan dan berbagai aktivitas, tetapi juga untuk istirahat sejenak, meluangkan
waktu untuk mengguyur muka dengan air wudu dan gerakan sehat empat rakaat. Lagi-lagi, shalat Zuhur mengingatkan kita agar disiplin dan mencintai tubuh kita sendiri dari kelelahan beraktivitas dan bekerja untuk sekadar istirahat sejenak.
Ketika waktu Asar, umat Islam kembali diperingatkan agar sadar bahwa waktu telah beranjak sore. Waktu ini hendaknya digunakan oleh umat Islam untuk mempersiapkan diri menyambut kegelapan. Ada yang mengatakan bahwa kegelapan malam itu tidak selalu bersahabat, untuk itulah waktu Asar secara tersirat mengingatkan umat Islam tentang waktu.
Ketika waktu Magrib datang, umat Islam hendaknya sadar diri bahwa waktu sudah mulai petang dan matahari pun sudah tidak lagi bersinar. Matahari hanya menyisakan awan merah di ufuk barat. Untuk itulah manusia diingatkan agar benar-benar siap untuk menjalani waktu malam.
Sementara itu, waktu Isya juga memperingatkan umat Islam agar malam tidak digunakan untuk hal yang sia-sia. Istirahat memang perlu, selain itu waktu Isya juga merupakan waktu untuk mengevaluasi diri dari berbagai aktivitas yang dikerjakan sedari pagi. Waktu tersebut juga mengingatkan agar umat Islam itu beristirahat, merehatkan badan yang seharian beraktivitas. Istirahat adalah penjaga keseimbangan
dalam kesehatan tubuh. Tanpa istirahat, manusia akan kelelahan.
Itulah bukti bahwa agama Islam mengajarkan kedisiplinan. Akan tetapi, kini banyak di antara kita yang hanya menyia-nyiakan waktu. Waktu yang ada justru sering kali kita gunakan untuk bermain-main. Lima waktu shalat yang pada dasarnya sebagai " alarm" waktu bagi kita justru kita abaikan begitu saja. Sementara itu, kita sering sekali tidak mendahulukan shalat, padahal shalat itu melatih kita untuk disiplin. Masih mending jika kita shalat meskipun telat, lebih parahnya lagi adalah sudah malas untuk melakukan berbagai kegiatan, ditambah dengan meninggalkan shalat wajib. Wal iyadzu billah....
Oleh karena itu, janganlah kita seperti Ngajiyo dalam cerita tersebut! Walaupun alasannya biar dapat pahala karena membohongi malaikat, itu hanya alasan bagi orang-orang yang malas. Islam melatih diri kita untuk disiplin. Dengan hidup disiplin, hidup kita akan menjadi teratur dan tertib. Kemudian atur waktu sedemikian rupa untuk kehidupan kita. Buatlah rencana hidup hingga jangka panjang dengan memulai membiasakan diri untuk disiplin, kemudian biasakan disiplin dengan mulai shalat tepat pada waktunya.
Rezeki
Dipatuk Ayam
N gajiyo memang keterlaluan. Setiap pagi, selalu ke
siangan sehingga shalat Subuh pun telat. Parahnya lagi, setelah shalat Subuh, dia kembali lagi ke ranjang untuk tidur lagi. Walau kesal, ibu tetap sabar dan istikamah untuk membangunkan meskipun Ngajiyo tidak pernah bisa dibangunkannya. Hahaha....
" Jiyo, bangun! Habis Subuh kok malah tidur lagi. Nanti rezekimu dipatuk ayam kalau tidur pagi-pagi!" teriak Ibu membangunkan Ngajiyo dari luar kamar.
Dengan samar-samar, Ngajiyo mendengarkan teriakan ibunya itu. Akan tetapi, dia tidak menggubrisnya dan tetap pada pendirian yaitu tidur.
" Jiyo, bangun! Nanti rezekimu dipatuk ayam lho...!" teriak Ibu di hari berikutnya.
Meski sudah dibangunkan, Ngajiyo selalu istikamah untuk tidur setelah Subuh meskipun shalatnya juga telat, pukul setengah enam. Tidak hanya itu, Ngajiyo juga selalu istikamah bangun pukul sembilan pagi. Padahal, ibu sela
lu membangunkannya dengan berteriak dari luar kamar, " Rezekimu dipatuk ayam lho...!"
Suatu hari, Ngajiyo merasa bosan dengan teriakan ibunya yang mengganggu tidur paginya. Akhirnya, dia pun berulah. Ayam-ayam yang dipelihara oleh ibunya pun ditangkapi. Seluruh ayam tersebut kemudian ditaruh di dalam kandang sehingga tidak bisa keluar.
Keesokan harinya, Ngajiyo tetap melakukan kebiasaannya di pagi hari, tidur. Sementara itu, ibu juga tetap melakukan kebiasaannya di pagi hari, membangunkan Ngajiyo.
" Jiyo, cepat bangun! Nanti rezekimu dipatuk ayam lho...!" teriak ibu dari luar kamar.
Mendengar teriakan ibu yang setiap hari tidak berubah, Ngajiyo pun menyahut dengan suara yang terdengar malas.
" Bu, ayamnya sudah dikurung. Rezekiku nggak akan dipatuk ayam lagi!" balas Ngajiyo.
" Hahhh...!" Ibu kaget.
Pagi adalah awal waktu bagi manusia untuk memulai kegiatan dalam hidupnya. Di pagi itu pula, rasa semangat menjadi penentu dalam kegiatannya sehari. Jika pagi diawali dengan hal yang buruk, maka siang hingga malamnya akan terpengaruh dengan keburukan di pagi hari itu. Oleh karena itu, mengawali kebaikan di pagi hari akan menjadi penyemangat tersendiri untuk menuntaskan waktu sehari dari pagi sampai malam dengan kebaikan pula.
Shalat Subuh merupakan awal yang baik untuk memulai hari. Shalat Subuh merupakan ritual peribadatan yang menghubungkan antara manusia dan Tuhannya. Dengan kata lain, shalat Subuh adalah doa, munajat, dan rasa syukur manusia (terutama umat Islam) kepada Allah Swt., yang telah berkenan memberikan kesempatan lagi untuk bisa bangun di pagi hari.
Akan tetapi, jika setelah shalat Subuh itu dilanjutkan dengan bermalas-malasan, atau bahkan tidur lagi, sungguh hal itu menjadi awal yang buruk. Setelah shalat Subuh adalah waktu untuk mempersiapkan diri menjalani hari agar sehari itu menjadi hari yang tidak sia-sia. Waktu tersebut adalah pemantik bagi kegiatan selanjutnya. Jika setelah shalat Subuh justru dilanjutkan dengan kembali ke ranjang dan tidur, sungguh hal itu merupakan penghancur rasa semangat yang seharusnya digelorakan.
Orang-orang sukses itu tidak tidur di pagi hari. Mulai pagi hari, mereka mengawalinya dengan berbagai kegiatan positif. Kegiatan tersebut dilakukan secara terus-menerus setiap pagi, maka semangat mereka pun terjaga dan bahkan semakin meningkat. Jika semangat meningkat, maka sikap optimis pun menjadi hal yang begitu menggelora. Keberhasilanlah yang didapatkan dari kebiasaan baik di pagi hari itu.
Pagi hari sering dikatikan dengan semangat dan kegairahan. Selain itu, semangat dan gairah di pagi hari juga sering dikaitkan dengan keberhasilan dan kesuksesan. Oleh karenanya, memanfaatkan waktu pagi sebaik mungkin akan memberikan dampak optimisme untuk meraih keberhasilan dan kesuksesan. Dengan catatan, istikamah adalah hal yang selalu dilakukan. Artinya, istikamah untuk memanfaatkan waktu pagi menjadi hal yang tidak bisa ditinggalkan untuk meraih kesuksesan dan keberhasilan.
Islam pun memperhatikan waktu pagi itu. Bahkan, Rasulullah saw., mendoakan keberkahan bagi umat Islam di pagi hari. Hal itu sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
Nabi saw., berdoa, " Ya Allah, berkahilah umatku di pagi hari. Beliau saw., biasa mengirim sariyah atau pasukan perang di awal pagi dan Sakhru merupakan seorang pedagang yang biasa mengantar kafilah dagangnya di
awal pagi sehingga dia sejahtera dan hartanya bertambah."
Hadis tersebut cukup menjadi dalil bagi kita agar kita senantiasa memanfaatkan waktu pagi untuk halhal yang positif. Misalkan, kita belajar di waktu pagi, membereskan berbagai urusan mulai dari waktu pagi, bekerja mulai dari pagi, dan lain sebagainya yang dimulai dari pagi. Pagi memberikan rasa optimisme bagi orang-orang yang memanfaatkannya. Bahkan, bagi mereka adalah keberkahan tersendiri karena Rasulullah saw., telah mendoakan keberkahan bagi umatnya di pagi hari. Jangan sampai keberkahan tersebut kita tinggalkan begitu saja dengan bermalas-malasan atau justru malah tidur! Bergegaslah bangun, shalat Subuh, dan lakukan hal-hal positif!
Pepatah Barat mengatakan bahwa burung yang terbang pagilah yang akan mendapatkan cacing. Sementara itu, ajaran arif orang Jawa mengatakan bahwa janganlan tidur di pagi hari karena rezeki akan dipatuk oleh ayam. Kedua pepatah tersebut pada dasarnya mengingatkan kita agar kita jangan sampai melewatkan waktu pagi dengan hal yang siasia. Hendaklah kita memanfaatkan waktu pagi sebaik mungkin untuk meraih keberkahan, keberhasilan, dan impian-impian.
Mengetes Kiai
S uatu malam, perut Ngajiyo keroncongan. Dia pun
mengajak Hadi untuk keluar, cari makan. Jika malammalam begini, Ngajiyo suka sekali nongkrong di warung Cak Nas. Mereka berdua pun segera menyalakan mesin motor dan segera tancap gas.
Tiba-tiba, Kiai ada di depan teras rumah dan memanggil Ngajiyo.
" Jiyo, sini!" panggil Kiai.
Ngajiyo pun langsung turun dari motor dan memenuhi panggilan Kiai.
" Iya, Kiai!" jawab Ngajiyo.
" Kamu mau ke mana?" tanya Kiai.
" Mau keluar dulu. Ke warung Cak Nas," jawab Ngajiyo.
" Kalau begitu, aku nitip ya! Tolong belikan rokok, seperti biasa! Ini uangnya. Nanti kalau pulang, langsung masuk rumah. Tak tunggu di dalam, ya!"
" Iya, Kiai."
Ngajiyo pun menerima uang dari Kiai yang akan dibelikannya rokok. Setelah itu, Ngajiyo dan Hadi langsung tancap gas menuju warung Cak Nas. Perut Ngajiyo memang sudah lapar.
Sesampai di warung Cak Nas, mereka berdua memesan dua piring mi rebus dan dua gelas teh manis hangat. Sambil menunggu pesanan, mereka berdua larut dalam obrolan tentang berbagai hal. Obrolan mereka berdua pun berlanjut sambil menyantap mi rebus dan menyeruput teh manis hangat ketika sudah disajikan. Ketika makanan dan minuman sudah habis, mereka masih ngobrol. Tidak terasa, hampir dua jam mereka mengobrol di warung Cak Nas itu.
" Kriing...," tiba-tiba HP milik Ngajiyo berdering. Ngajiyo pun membuka HP-nya. Ternyata ada SMS yang masuk.
" Dari siapa, Ji?" tanya Hadi. " Dari Kiai," jawab Ngajiyo. " Waduh, terus bagaimana?"
" Ya sudah, biarin aja. Saya sengaja mengulur-ulur waktu biar Kiai menunggu sampai lama. Hehehe...," kata Ngajiyo.
" Wah, kamu itu sembarangan. Kiai kan nitip rokok dari tadi pas kita mau berangkat. Kita di sini sudah hampir dua jam lho. Kiai menunggu sangat lama, dong!" ucap Hadi khawatir.
" Biarin aja, Di! Saya sengaja mau mengetes kiai kok."
" Mengetes Kiai? Mengetes bagaimana maksudmu?"
" Orang yang disebut kiai itu adalah orang yang sabar dan tidak marah kepada orang yang berbuat salah kepadanya. Jadi, nanti kalau misalkan kiai itu marah kepada saya, berarti statusnya sebagai kiai perlu dipertanyakan," jawab Ngajiyo.
" Wah, kamu itu ada-ada saja, Ji. Kiai itu ya jelas kiai to! Mengasuh pesantren, mengajar, dan sering berdakwah. Beliau itu memang kiai, kok kamu malah berani-beraninya mengetes kekiaiannya?"
" Hahaha... biarin aja, Di. Saya cuma pingin tahu aja bagaimana reaksi kiai nanti. Kalau beliau tidak marah, beliau itu benar-benar kiai."
" Tapi ini sudah hampir dua jam, lho," kata Hadi.
" Ya sudah, sebentar lagi kita pulang. Sekarang kan sudah jam sebelas kurang seperempat. Nanti kalau jam sebelas pas, kita pulang," ujar Ngajiyo.
" Oke, tapi aku nggak berani nemenin kamu ke rumah kiai lho...!"
" Santai, biar aku saja yang ke rumah Kiai!"
Benar, tepat pukul sebelas malam mereka berdua pulang. Sebelumnya, mereka mampir ke warung kelontong yang masih buka untuk membeli rokok titipan kiai. Setelah itu, mereka pun balik ke pondok.
Berislam Dengan Senyum Karya Ali Abdullah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Assalamu alaikum...," sapa Ngajiyo saat mau masuk rumah Kiai.
" Wa alaikumussalam..." jawab Kiai sambil senyum. " Sini, Ji. Masuk!"
Ngajiyo pun masuk. Dia langsung menyodorkan rokok yang tadi dipesan oleh Kiai.
" Ini rokoknya, Kiai!" kata Ngajiyo.
" Oh iya, terima kasih ya...!"
Ngajiyo memperhatikan Kiai. Ternyata, beliau tidak marah. Bahkan tidak ada tanda-tanda kekesalan dari wajah kiai.
" Wah, ini benar-benar orang yang disebut kiai," batin Ngajiyo.
Setelah menyulut rokok, kiai pun mengajak ngobrol Ngajiyo tentang kegiatan santri dan diskusi kitab kuning di ruang tamu tersebut. Bahkan, Ngajiyo diajak mengobrol hingga larut malam sampai-sampai mata Ngajiyo meremmelek.
" Aduh, udah ngantuk kok ngobrolnya nggak selesai-selesai ya! Maunya mengetes kiai, eh malah sekarang ganti kiai yang mengetes saya," batin Ngajiyo menggerutu.
Kiai itu sebuah gelar yang disematkan kepada seseorang yang berkualitas keislaman dan keimanannya. Kiai itu bukan gelar akademik seperti sarjana, magister, dan doktor. Kiai juga bukan gelar profesi sebagaimana dokter, guru, dan lain sebagainya. Gelar kiai itu lain dari yang lain. Gelar kiai itu tidak didapat dari dirinya sendiri, tetapi orang lain yang menilai.
Gelar kiai itu tidak didapatkan melalui jalan sekolah formal. Gelar kiai juga bukan gelar karena ia mempunyai profesi pekerjaan. Gelar itu murni karena ia adalah orang yang benar-benar mempunyai kualitas keimanan dan keislaman yang mendalam. Gelar kiai juga bukan gelar untuk disombong-sombongkan, karena pada dasarnya, orang yang dijuluki sebagai kiai itu bukanlah orang yang suka pamer atau sombong.
Namun demikian, kini banyak orang yang bergelar kiai. Entah bagaimana prosesnya, banyak stasiun televisi yang mengangkat seseorang menjadi kiai. Dengan demikian, gelar kiai itu adalah gelar yang didapatkan seseorang jika sudah bisa masuk televisi untuk berdakwah. Hahaha....
Dalam berbagai acara televisi, banyak program acara yang mengangkat program dakwah Islam. Program acara tersebut, diisi dakwah-dakwah oleh kiai yang gelarnya hanya karena masuk televisi. Di satu sisi, memang bagus di stasiun televisi ada acara dakwah, se
hingga dakwah Islam bisa disiarkan secara lebih luas jangkauannya. Para kiai di televisi itu mengkhotbahkan tetang moral, akhlak, dan hal-hal lain yang bersifat keagamaan. Dalam menyampaikan suatu seruan, tentunya para kiai di televisi itu turut memperkuat isi dakwahnya dengan berbagai dalil dari Al-Qur an dan hadis. Namun sayangnya, banyak di antara mereka yang salah dalam melafalkan dalil-dalil tersebut. Bacaannya pun tidak fasih dan banyak salahnya. Akan tetapi, hal itu tidaklah terlalu menjadi masalah. Yang penting, kini umat Islam ada yang mengingatkan melalui para kiai di televisi itu. Dengan demikian, ada semacam amar maruf nahi mungkar dari televisi. Meskipun banyak salahnya, yang penting masyarakat bisa mencerna ajaran Islam lebih santun daripada seruan yang hanya bilang " Allahu akbar" tetapi menggunakan aksi-aksi perusakan berbagai fasilitas umum. Dalam televisi, gelar kiai tidak beda jauh dengan gelar ustaz. Sebagaimana kiai, pada dasarnya gelar ustaz di Indonesia itu gelar yang disematkan kepada orang yang mempunyai kualitas keimanan dan keislaman. Hanya saja, derajatnya masih tinggi kiai jika dilihat dari ranah sosial perspektif masyarakat Indonesia. Gelar ustaz juga disematkan oleh orang lain kepada seseorang yang memang layak disebut ustaz. Dengan demikian, gelar ustaz itu juga seperti gelar kiai, tidak muncul dari dirinya sendiri tetapi orang lainlah yang menilai dan memberikan julukan ustaz.
Kasusnya sama seperti kiai. Kini ustaz juga menjadi tren di televisi. Bahkan, ada program acara yang melakukan kontes ustaz-ustazah. Jika begitu adanya, gelar ustaz itu adalah gelar yang didapatkan dari kontes di televisi. Hehehe....
Kini berbagai program televisi juga menampilkan para ustaz untuk berdakwah. Kasusnya sama dengan kiai produk televisi, ketika berdakwah banyak yang salah dalam pengucapan dalil dari Al-Qur an dan hadis serta bacaannya kurang fasih. Akan tetapi, hal itu bisa dimaklumi karena memang kualitas mereka hanya kualitas televisi, bukan kualitas keislaman dan keimanan yang sesungguhnya.
Sungguh gelar kiai dan ustaz itu mengalami pergeseran. Bisa jadi, kiai dan ustaz yang diproduksi oleh televisi itu marah ketika dites oleh Ngajiyo. Andai saja Ngajiyo mengetes mereka, jadinya akan lucu. Hahaha....
Mengetes Wali
D i kampung, kini tengah geger akan keberadaan se
orang tokoh bernama Syekh Ridwan. Dia datang ke kampung untuk berdakwah. Kegemarannya adalah beriktikaf di masjid. Dia datang ke kampung sejak seminggu lalu. Konon, dia datang ke kampung itu karena hidayah dari Allah Swt.
Warga kampung pun menaruh hormat kepadanya, termasuk juga Haji Karso selaku ketua takmir masjid. Dia begitu dihormati, terlebih lagi setelah ada kejadian menarik yang membuatnya tenar dan banyak diperbincangkan. Siang itu, hujan deras melanda, sehingga banyak warga yang baru bekerja di sawah berteduh di gardu ronda. Mereka menanti hujan reda sambil mengobrol ngalor-ngidul. Tiba-tiba, Syekh Ridwan itu ikut berteduh di gardu ronda tersebut.
" Kalian ingin hujan ini reda?" tanya Syekh Ridwan tibatiba.
" Iya...," jawab mereka serentak.
" Mari berdoa bersama saya!" kata Syekh Ridwan.
Syekh Ridwan pun komat-kamit melafalkan beberapa doa sedangkan orang-orang yang ada di gardu itu turut mengamini. Tiba-tiba, hujan pun mereda. Hujan deras yang tadinya mengguyur pun berubah menjadi gerimis rintikrintik. Tidak lama kemudian, gerimis pun tidak ada.
Semenjak kejadian itu, para warga meyakini bahwa Syekh Ridwan itu bukan orang sembarangan. Syekh Ridwan pun dianggap sebagai wali oleh para warga. Banyak warga yang menganggapnya wali, maka para warga pun saling berdatangan untuk meminta doa. Pak Amat yang cucunya sakit, meminta agar didoakan. Kok ya secara kebetulan, cucunya itu kemudian sembuh. Pak Tono yang sedang meriang pun meminta doa kepada Syekh Ridwan. Tidak lama kemudian, meriang pun hilang. Dengan demikian, Syekh Ridwan kini menjadi topik perbincangan warga. Bahkan berita tersebut sampai terdengar di desa tetangga.
Siang itu, Ngajiyo baru datang dari pesantren. Sudah sebulan ini Ngajiyo tidak pulang. Baru kali ini Ngajiyo kembali bersua dengan kampungnya. Seperti biasa, Ngajiyo duduk-duduk di gardu ronda pinggir sawah dekat rumahnya. Di gardu itu, Ngajiyo mengobrol dengan temannya, Agus.
" Eh, Ji. Kamu sudah dengar kabar tentang Syekh Ridwan?" tanya Agus.
" Syekh Ridwan? Siapa dia?" tanya Ngajiyo penasaran.
" Oh iya ya, kamu kan baru aja pulang ke rumah. Jadi kamu nggak tahu. Begini, Ji. Syekh Ridwan itu wali di kampung ini. Dia baru saja datang ke kampung ini beberapa hari yang lalu. Tapi masyarakat sudah meyakininya bahwa dia seorang wali," Agus menjelaskan.
" Apa buktinya?" tanya Ngajiyo lagi.
" Ketika hujan, dia berdoa agar hujan itu reda. Seketika itu juga, hujan pun reda. Kemarin ada beberapa warga yang sakit, kemudian mereka meminta doa Syekh Ridwan. Mereka pun sembuh," Agus menerangkan.
Ngajiyo pun hanya mengangguk-anggukkan kepala. Dari keterangan Agus tersebut, Ngajiyo ingin sekali bertemu dengan Syekh Ridwan. Sore itu, Ngajiyo pun bertemu dengan Syekh Ridwan di masjid. Mereka larut dalam obrolan di bagian serambi masjid kampung.
" Assalamu alaikum...," sapa Ngajiyo. " Wa alaikumussalam...," jawab Syekh Ridwan. " Perkenalkan, saya Ngajiyo, Syekh!"
" Oh ya, Ngajiyo. Ada urusan apa ke sini?"
" Nggak ada apa-apa. Hanya ingin berbincang-bincang saja, Syekh."
" Oh... begitu. Silakan!"
" Syekh itu dari mana ya? Kok bisa datang ke sini?" tanya Ngajiyo.
" Saya dari sebuah majelis dakwah. Saya datang ke sini karena beberapa hari lalu saya bermimpi bahwa ada seseorang yang menyuruh saya datang ke kampung ini untuk berdakwah. Itu adalah petunjuk dari Allah, menurut saya," jawab Syek Ridwan.
" Menurut Syekh, bagaimana dengan masyarakat di kampung ini?"
" Masyarakatnya baik. Alhamdulillah..."
" Begini, Syekh. Sebenarnya, Pak RT itu orangnya galak lho. Sedikit-sedikit bentak. Dia selalu menyalahkan orang lain. Dia pikir, dia sendiri yang paling benar. Aduh, masyarakat di sini juga pada nggak suka sama Pak RT itu!" Ngajiyo memancing Syekh.
" Iya, kemarin saya juga mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan. Saya kan tinggal di masjid, tapi Pak RT seolah-olah tidak mengizinkan saya tinggal di sini. Bahkan kemarin saya hampir diusir kalau tidak ada banyak warga yang membela saya," ternyata, Syekh terpancing juga untuk menggunjing orang.
Setelah mendengar perkataan Syekh Ridwan itu, Ngajiyo pun segera minta pamit. Dalam hati dia bilang, " Wali kalau diajak menggunjing kok malah mau. Wali itu kan orang yang bersih hatinya dan suci pikirannya. Eh, diajak
membicarakan keburukan orang lain kok malah mau. Hahaha... dasar wali bohongan!"
Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap Ngajiyo. Dia tidak hanya mampu mengetes kiai dan ustaz, bahkan mengetes wali pun bisa. Jika ada yang mengaku nabi, dia akan mengetes nabi. Hahaha.... Dasar Ngajiyo!
Wali Allah dalam perspektif Islam adalah kekasih Allah. Seorang wali merupakan orang yang benarbenar bisa membuktikan diri di mata Allah sebagai seorang yang patuh dan taat kepada Allah dengan penuh rasa cinta. Tidak jarang bahwa kecintaan wali kepada Allah itu juga berbalas sehingga Allah sering sekali mengabulkan doa-doanya.
Bagi kebanyakan orang, terutama masyarakat Islam Jawa atau Indonesia, wali itu mempunyai kelebihankelebihan tertentu. Ada hal-hal ajaib yang aneh atau mustahil tetapi bisa terjadi karena " sesuatu" yang dilakukan oleh wali itu. Misal, dalam cerita-cerita tentang wali sanga, kita sering mendengar kesaktiankesaktian mereka untuk melakukan hal-hal yang aneh bin ajaib. Itulah wali.
Nah, Ngajiyo dalam cerita tersebut mempunyai cara unik untuk mengetes wali. Wali itu memang orang yang bersih hatinya dan suci pikirannya. Orang yang menjadi wali itu tidak akan menggunjing (gibah) atau menceritakan keburukan-keburukan orang lain. Hal itu sebagaimana yang dulu pernah dikatakan oleh KH. Ali Maksum, seorang ulama dari Yogyakarta. Menurutnya, mengetes seorang yang mengaku wali itu mudah. Jika dia diajak untuk menggibah kok tidak mau tetapi malah mengalihkan pembicaraan dan membicarakan hal lain yang tidak gibah, bisa jadi dia itu memang benar-benar wali walaupun belum tentu
benar. Akan tetapi, jika seseorang yang mengaku wali itu diajak untuk menggibah kok mau, sebagaimana Syekh Ridwan dalam cerita, maka sudah pasti bahwa dia itu bukanlah wali. Wali merupakan kekasih Allah yang patut untuk kita teladani keimanan dan keislamannya. Dengan catatan, ini bukan wali band yang ngetop dengan lagu " Bang Toyib" lho...! hehehe....
Wali yang dimaksud adalah orang suci yang tingkatan spiritualitasnya telah sampai pada maqam (kedudukan) yang sangat tinggi. Mereka itu sangat mencintai Allah dan sebaliknya karena mereka adalah hambahamba yang benar-benar bisa membuktikan diri di mata Allah sebagai hamba-hamba yang saleh. Mereka tidak menghiraukan keduniawian, mereka hanya mengingat Allah dan terus mengingat Allah.
Sungguh, hamba-hamba Allah yang seperti itu sangat mulia di sisi Allah. Mereka senantiasa memuji Allah. Sementara itu, kita masih sibuk dengan urusan-urusan kita yang begitu melenakan kita sehingga kita lupa dari mengingat Allah. Wajar saja jika doa yang senantiasa kita panjatkan itu tidak kunjung mendapat jawaban karena memang kualitas cinta kita kepada Allah itu belum seberapa dibandingkan kecintaan para wali kepada-Nya. Inilah keteladanan bagi kita agar kita semakin mengingat Allah dalam berbagai hal yang kita lakukan.
Lafal Iqamah
W aktu Magrib sudah tiba, azan pun berkumandang
dari masjid-masjid. Di kampung, ketika itu yang menjadi muazin adalah Pak Paijan, karena azan sudah berkumandang, para warga yang ingin shalat Magrib berjemaah di masjid pun segera bergegas.
Ketika azan sudah selesai, para jemaah yang sudah datang kemudian melakukan shalat sunah. Ada pula yang baru datang ke masjid dan segera berwudu. Sementara itu, Haji Karso yang biasa menjadi imam belum juga datang. Sembari menanti jemaah dan imam datang, Pak Paijan pun melantunkan selawatan.
" Allahumma shalli " ala muhammad, ya rabbi shalli " alaihi wasallim..." Pak Paijan melantunkan selawat dengan diikuti oleh para jemaah yang ada hingga beberapa kali.
Setelah jemaah sudah banyak dan kebetulan Haji Karso sudah datang, Pak Paijan pun segera berdiri untuk melafalkan iqamah. Masih terngiang-ngiang dengan lafal selawat yang lafal awalnya berbunyi " Allahumma" , Pak Paijan ternyata salah melafalkan iqamah.
" Allahumma, allahumma. Asyahadu anla ilaha illallah..." Pak Paijan melafalkan iqamah dengan salah.
" Geeerrrrr...," sontak para jemaah pun tertawa.
Pak Paijan pun langsung meralat lafal iqamahnya, mengulang iqamah.
" Allahu akbar, allahu akbar...," Pak Paijan mengulang iqamahnya.
Pusat-pusat perbelanjaan masih tetap ramai. Tempat-tempat hiburan masih saja terdapat banyak orang yang bersenang-senang, di tepian jalan pun orang-orang masih asyik dengan berbagai kegiatan mereka. Begitu pula di kantor, orang-orang masih sibuk melototi setumpuk pekerjaan. Ketika seruan azan dikumandangkan, orang-orang terlihat masih sibuk dengan berbagai urusan sendiri-sendiri. Bahkan di sisi lain, masjid terlihat sepi bagaikan tempat yang tidak pernah terjamah.
Kita sering menjumpai realitas seperti itu, sebuah keadaan yang ketika azan dikumandangkan, masjidmasjid masih sepi. Bahkan ketika iqamah dikumandangkan, jemaah yang berkumpul untuk menunaikan salah fardu secara berjemaah hanya sedikit orang, tidak lebih dari satu atau dua saf saja. Padahal, kumandang azan adalah panggilan dan peringatan bagi umat Islam agar mengingat waktu dan yang terpenting adalah mengingat Allah Swt.
Padahal, ketika azan dikumandangkan pun, kita yang mendengar disunahkan untuk mengikuti bacaan azan. Lebih dari itu, mengikuti bacaan azan yang dilantunkan oleh muazin tidak hanya bersifat syar i, tetapi juga agar kita segera bergegas untuk menjawab seruan tersebut dengan mendatangi masjid atau musala.
Dengan demikian, mengikuti bacaan muazin ini pada dasarnya mengajak kita untuk menjawab seruan azan, tidak hanya secara lisan, tetapi juga dengan perbuatan yang nyata, yaitu menunda urusan-urusan keduniawian dan segera menyeru azan dengan mendirikan shalat secara berjemaah. Telah kita ketahui bahwa pada dasarnya azan adalah lafal pertanda masuknya waktu shalat fardu. Jika kita mendengarkan azan, maka hendaknya kita berhenti dari berbagai urusan kita untuk segera menyeru azan tersebut dengan mengikuti bacaan muazin dan segera bersuci (wudu) untuk mendirikan shalat.
Azan merupakan tanda pengingat waktu bagi kita untuk tidak melulu melakukan kegiatan-kegiatan kita. Kita diharuskan pula untuk mendirikan shalat fardu yang telah diingatkan oleh kumandang azan. Oleh karena itu, hendaknya kita menyongsong panggilan atau seruan tersebut dengan mengikuti bacaan muazin sembari mempersiapkan diri menuju gerbang Allah Swt., dan segera mengetuknya.
Akan tetapi, sering kali kita terlalu sibuk dengan berbagai urusan kita, mengabaikan seruan tersebut karena kebisingan dari berbagai mesin yang ada di sekitar kita. Bisa juga karena terlalu ramai di sebuah keramaian pusat perbelanjaan. Bisa juga karena azan tersebut terhalang oleh desing suara kendaraan di jalan-jalan sehingga kita tidak mengingat Allah Swt.
Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi kita sebagai umat Islam untuk senantiasa memperdengarkan azan sebisa mungkin agar kita selalu teringat akan waktu dan tentunya ingat untuk berzikir kepada Allah Swt., Zat yang layak untuk disembah dan dimintai pertolongan.
Shalat fardu merupakan kewajiban umat Islam. Satu kali shalat, tidak sampai menghabiskan waktu setengah jam. Shalat hanya dikerjakan dengan waktu beberapa menit saja. Akan tetapi, shalat yang memakan waktu beberapa menit saja itu justru sering kita abaikan. Entah dengan alasan " nanggung" atau apa, kita justru sering terlihat santai ketika azan dan iqamah diperdengarkan dari pengeras suara masjid dan musala. Hal inilah yang harus kita perhatikan, bukankan shalat fardu itu hanya lima waktu? Lima waktu terlampau sedikit dibandingkan dalam waktu sehari. Oleh karena itu, hendaknya kita menyempatkan waktu yang sedikit itu untuk menunaikan kewajiban. Bukankan yang lima waktu itu melatih kita sebagai umat Islam untuk berdisiplin?
Selamat Hari Raya
J i, saya kan dulu kan sekolah di SMA. Nah, kemarin saya
ketemu sama guru agama saya ketika di SMA dulu. Saya kok jadi ingat sesuatu ya, Ji!" kata Agus kepada Ngajiyo saat mereka berada di gardu ronda sore itu.
" Ingat apa, Ji?" tanya Ngajiyo.
" Beberapa hari lagi akan ada tanggal merah, hari libur natal. Kalau orang Islam mengucapkan selamat hari Natal kepada orang Kristen itu nggak boleh ya? Dulu kata guru agama saya sih begitu!"
Ngajiyo berpikir sejenak. Hanya sejenak, bukan dua jenak atau tiga jenak. Ngajiyo kembali angkat bicara.
" Memangnya kamu mau mengucapkan selamat hari Natal untuk siapa? Di kampung kita kan nggak ada yang beragama Kristen, Gus! Di kampung sebelah juga nggak ada."
" Oh... iya ya...! Betul juga kamu! Hehehe...."
Mengucapkan selamat hari Natal atau mengucapkan selamat hari raya kepada orang-orang yang tidak beragama Islam memang masih menjadi perdebatan. Sebagian mengatakan hal itu tidak boleh dan haram, sementara yang lainnya mengatakan boleh-boleh saja asalkan keimanannya tetap pada Islam.
Perbedaan pendapat tersebut sering kali menjadi pembicaraan serius mengingat kita hidup di Indonesia ini berdampingan dengan masyarakat yang tidak beragama Islam. Meskipun mayoritas agama yang dipeluk adalah Islam sementara non-Islam sangat sedikit" bahkan di kampung Ngajiyo tidak ada yang non Islam" tetap saja nilai-nilai toleransi harus ditegakkan. Selain itu, toleransi tersebut juga bertujuan agar persatuan dan kesatuan Indonesia tetap utuh dan dapat dipertahankan. Selain itu juga agar kerukunan sosial dalam hidup terciptakan.
Perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat hari raya kepada orang-orang yang bukan beragama Islam, sering kali terjadi sikap sentimen antara mereka yang berbeda pendapat. Padahal, mereka itu sama-sama umat Islam yang hidup di Indonesia. Pihak yang mengharamkan pengucapan selamat hari raya kepada non-Islam itu sering sekali menyalahkan orang-orang yang membolehkan pengucapan hari raya kepada non-Islam. Sebaliknya, pihak
yang membolehkan juga menganggap bahwa orangorang yang mengharamkan pengucapan hari raya kepada agama lain selain Islam itu kolot dan kaku. Kedua pendapat tersebut akhirnya memecah umat Islam.
Mungkin beginilah " takdir" yang telah dituliskan oleh Tuhan bagi masyarakat Islam Indonesia. Mereka hanya disibukkan dengan perbedaan-perbedaan yang memunculkan perpecahan. Di awal telah kita singgung perbedaan antara pihak yang menggunakan doa qunut ketika subuh dan yang tidak menggunakannya, juga perbedaan antara pihak yang shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat dan delapan rakaat. Semua itu ternyata cukup menimbulkan sikap sentimen dan sensitivitas di masyarakat dan para petinggi ormas. Tidak hanya itu, ternyata pebedaan pendapat antara pihak yang mengharamkan pengucapan hari raya kepada agama lain dengan pihak yang membolehkan pengucapan hari raya agama lain juga menimbulkan sikap saling tuding dan menyalahkan. Biar bagaimanapun, perbedaan pendapat semacam itu ternyata telah membuat keresahan tersendiri. Mereka bersikukuh dengan pedapat sendiri. Sementara itu, mereka juga saling mengklaim kebenaran pendapat sendiri. Akibatnya, terjadilah klaim kebenaran dan saling menyalahkan pendapat orang lain. Merasa dirinya
paling benar dan menganggap orang lain itu selalu salah adalah hal yang menjadi ekor dari perbedaan tersebut.
Yang menjadi pertanyaan, apakah perbedaan pendapat itu menguntungkan bagi masing-masing pihak yang berselisih?
Begini saja enaknya. Kita ambil jalan tengah saja biar aman. Bukankah Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan bahwa sebaik-baik perkara itu adalah yang tengah-tengahnya? Tidak terlalu ke kanan dan tidak terlalu ke kiri. Tidak terlalu ke bawah dan tidak terlalu ke atas. Tidak terlalu bagus dan tidak terlalu jelek. Tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin. Tidak terlalu putih dan tidak terlalu hitam. Tidak terlalu laki-laki dan tidak terlalu perempuan. Eh... sebentar, ralat untuk yang terakhir tadi.
Kembali ke pembahasan. Sebenarnya, pengucapan selamat hari raya kepada orang yang bukan beragama Islam itu perlu atau tidak? Inilah persoalannya, bukan boleh atau tidak, tetapi perlu atau tidak. Jika di kampung atau di daerah kita itu tidak ada orang yang berlainan agama alias semuanya Islam, apakah kita harus repot-repot datang ke daerah yang di situ ada orang yang berlainan agama hanya untuk mengatakan selamat hari raya kepadanya? Ataukah kita ha
rus repot-repot datang ke gereja, pura, wihara, atau lain sebagainya hanya untuk mengucapkan selamat hari raya kepada orang-orang yang beragama lain? Perlukah hal itu?
Kemudian, jika di kampung kita ada orang yang berlainan agama, sebutlah Kristen, apakah bentuk dari toleransi itu harus mengucapkan selamat hari raya Natal kepadanya? Jika mengucapkan selamat hari raya Natal itu sebagai wujud toleransi, apakah selain hari Natal kita tidak bisa bertoleransi? Perlukah kita mengucapkan selamat hari Natal kepadanya sebagai wujud toleransi?
Kalau pembaca bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis yakin bahwa pembaca akan memahami.
Toleransi itu tidak sebatas mengucapkan selamat hari raya. Kita bergaul dengan mereka secara baikbaik itu toleransi. Kita saling membantu dalam persoalan sosial dengan mereka itu salah satu wujud dari toleransi. Jika kita melakukan itu, pada dasarnya itu sudah cukup bagi kita untuk toleransi. Toh, agama kita juga tidak mengharamkan bergaul dengan orang-orang yang tidak beragama Islam. Islam tidak melarang itu. Sementara itu, dalil yang ada itu memang ditafsiri secara berbeda oleh masing-masing umat. Jadi, wajar saja di antara umat Islam ada yang
membolehkan dan ada yang mengharamkan dalam hal pengucapan selamat hari raya kepada orang-orang yang berlainan agama. Baiknya, yang membolehkan ya silakan saja mengucapkan selamat hari raya kepada orang yang bukan beragama Islam, dan yang mengharamkan ya silakan saja karena itu hak mereka! Cukup adil bukan? Sebaiknya, hal itu tidak usah dimasukkan ke dalam hati. Lha wong itu hak mereka masingmasing kok...!
Sebagai catatan renungan bagi kita semua. Pada dasarnya, pengucapan selamat hari raya kepada agama lain itu hanyalah salah satu bentuk toleransi agar tercipta kerukunan sosial. Itulah tujuannya, kerukunan sosial. Anehnya, orang-orang yang berbeda pendapat itu malah tidak rukun karena hanya masalah perbedaan boleh atau tidaknya pengucapan hari raya kepada agama lain. Kepada orang-orang yang beragama lain bisa rukun, eh... kok kepada orang-orang sesama Islam yang berbeda pendapat kok malah tidak rukun? Ada apa ini sebenarnya? Tujuannya untuk menciptakan kerukunan hidup kok malah jadi tidak rukun? Ironis banget gitu loch...!!!
Satu lagi, hari raya umat Islam pun (Idul Fitri & Idul Adha) juga sering berbeda hari. Anehnya, banyak di antara kita yang tidak saling mengucapkan selamat hari raya hanya karena hari raya jatuh pada hari yang berbeda. Jika kepada orang yang beragama selain
Islam saja bisa toleransi, kenapa yang sesama Islam hanya berbeda hari raya saja tidak bisa bertoleransi? Hayo... kena, kaan!
Ziarah Kubur
M asyarakat di kampung baru saja pulang dari ber
bagai daerah di Jawa Timur. Mereka melakukan ziarah kubur ke makam-makam para wali yang ada di Jawa Timur. Satu bus besar menjadi alat transportasi yang mengantarkan mereka mengelilingi Jawa Timur ke makam-makam para wali itu.
" Gus, bagaimana ziarah kemarin?" tanya Ngajiyo kepada Agus yang kemarin baru pulang dari ziarah.
" Alhamdulillah lancar, Ji. Senang rasanya bisa ziarah ke makam para wali. Jalan-jalan sampai Jawa Timur! Hehehe...," ujar Agus.
" Oh... begitu ya. Terus, apa yang kamu dapat?"
" Banyak, Ji. Saya kemarin dapat banyak dari ziarah. Saya kan kemarin beli sarung, peci, kaos, dan ragam pernahpernik lainnya. Pokoknya banyak deh yang saya dapatkan dari ziarah... hehehe..."
" Hahh... kok dapat itu?!?"
" Memangnya kenapa, Ji?" tanya Agus.
" Maksudnya, pesan apa yang kamu dapat dari ziarah kubur para wali itu?" tanya Ngajiyo menegaskan.
" Dapat apa ya? Ehm... pesan yang didapat adalah bahwa letak makam para wali itu jauh. Terus, di sekitar makam para wali itu banyak orang berdagang. Oh ya, di sana juga banyak pengunjungnya. Itu pesan yang saya dapat, Ji!"
" Hadewh... ternyata kamu memang nggak dapat apa-apa, Gus. Ziarah jauh-jauh nggak dapat apa-apa kecuali jalanjalan," gerutu Ngajiyo.
Pada awalnya, Rasulullah saw., melarang para sahabat untuk berziarah kubur. Ketika itu, kekuatan imam kaum muslim yang masih sedikit itu belum terlalu kuat sehingga ziarah kubur itu niatannya dikhawatirkan dekat dengan kemusyrikan. Hal itu dikarenakan bahwa tradisi Arab sebelum Islam ke kuburan itu adalah untuk meminta-minta atau lain sebagainya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal, meminta-minta itu hanya kepada Allah Swt., bukan kepada si mayit yang tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu, mendoakan si mayit bukanlah tujuan ziarah kubur. Oleh karenanya, Rasulullah saw., melarang praktik ziarah kubur.
Setelah kekuatan iman umat muslim ketika itu sudah kuat, Rasulullah saw., justru memerintahkannya. Dengan demikian, ziarah kubur merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang tidak lain memang benar-benar dianjurkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah saw., paham bahwa ketika itu tradisi meminta-minta dan lainnya di makam sudah tidak berlaku lagi. Yang ada adalah ziarah kubur, mendoakan si mayit sekaligus bermuhasabah bahwasanya kelak manusia itu akan meninggalkan alam dunia.
Dengan demikian, setidaknya tujuan untuk berziarah kubur itu ada dua. Pertama, mendoakan si mayit dan kedua, mengingat kematian. Itulah yang dimaksudkan Rasulullah saw., dengan ziarah kubur, sehingga
orang-orang Islam yang telah melakukan ziarah kubur itu bertambah keimanannya dan senantiasa bertambah baik akhlaknya karena mengingat kematian.
Seharusnya, orang yang telah berziarah kubur itu terus memperbaiki diri dan menjadi lebih baik. Indikatornya adalah ibadah tambah khusyuk, akhlak tambah baik, semakin rendah hati, semakin sering mengingat Allah, dan lain sebagainya. Intinya, seseorang yang berziarah kubur itu adalah mengingat kematian. Si peziarah tentunya sadar bahwa kelak akan mati sebagaimana orang yang telah diziarahi itu.
Yang patut diziarahi adalah keluarga sendiri yang telah lebih dahulu menghadap Yang Kuasa, misalkan orangtua, kakek-nenek, atau saudara lainnya yang telah meninggal. Mereka itulah seharusnya yang diutamakan untuk diziarahi. Mengapa demikian? Karena, ziarah itu untuk mendoakan si mayit. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang terdekat kita yang sepatutnya mendapatkan doa dari kita sebagai keluarga dekat. Apalagi adalah kedua orangtua yang diziarahi itu. Mendoakan kebaikan kepada mereka tentunya akan berbuah kebaikan bagi kita yang menziarahi.
Kini, masyarakat Islam Indonesia sering sekali mengadakan program acara ziarah ke makam para wali dan orang-orang saleh atau terkenal, seperti ziarah
ke makam wali sanga, para kiai, tokoh terkenal, dan orang-orang saleh lainnya. Makam mereka pun selalu ramai peziarah yang hendak berziarah. Bahkan, area pemakaman pun layaknya tempat wisata.
Tidak ada yang salah dan tidak ada yang disalahkan dari berziarah ke makam-makam tersebut. Mungkin ada yang punya pikiran, " Makam orang saleh kenapa diziarahi? Mereka kan sudah banyak pahala, buat apa diziarahi?" Telah kita ketahui bersama bahwa tujuan ziarah kubur itu tidak hanya mendoakan si mayit. Jika si mayit itu adalah orang yang saleh dan sudah banyak pahala, seperti para wali dan kiai, tentunya tanpa kita doakan melalui ziarah kubur pun mereka sudah tenang di sisi-Nya. Mengapa kita perlu berziarah? Ziarah itu tidak hanya mendoakan si mayit, tetapi juga untuk mengingat kematian. Tidak ada yang salah dari menziarahi makam-makam orang saleh tersebut untuk mengingat kematian.
Mungkin (lagi) ada yang punya pikiran, " Mengapa jauh-jauh ke makam orang saleh untuk berziarah? Bukankah di dekat rumah kita, ada keluarga kita yang perlu kita ziarahi kalau hanya untuk mengingat kematian?" Ya, memang begitulah. Untuk mengingat kematian, pada dasarnya kita tidak perlu jauh-jauh membuang energi, waktu, dan biaya untuk ke makam mereka jika niatnya hanya mengingat kematian. Makam yang ada di dekat kita pun bisa dijadikan media
si mengingat kematian. Dengan demikian, mengapa berziarah ke makam para wali dan orang-orang saleh lainnya yang jauh? Karena, selain bertujuan mendoakan si mayit dan mengingat kematian, ada nilai plus tersendiri. Nilai plus itu berupa keteladanan. Orangorang saleh yang diziarahi tersebut adalah orangorang yang patut untuk diteladani kesalehan mereka agar kesalehan kita juga turut meningkat.
Selain itu, ziarah ke makam para orang saleh atau para wali itu memang banyak manfaat yang kita dapatkan, tidak hanya mendoakan si mayit yang tentunya juga berdoa untuk diri sendiri, tidak hanya mengingat kematian, dan nilai-nilai keteladanan dari kesalehan mereka yang didapatkan. Yang pasti, dalam perjalanan menuju makam mereka yang jauh pun pasti ada yang diambil hikmah. Misalnya, kita menjadi mengenal suatu wilayah, kita bisa bertadabbur alam karena melakukan perjalanan, kita jadi bisa bersyukur karena kita masih diberi kesempatan untuk jalan-jalan, kita jadi bisa menambah pengalaman kita, kita bisa menghibur hati kita dari berbagai kepenatan karena melihat alam sekitar, dan lain sebagainya.
Dengan demikian halnya, salah jika ziarah kubur itu dianggap bidah. Memang sebagian umat Islam ada yang menganggap bidah ziarah kubur. Namun demikian, ziarah kubur itu penting bagi kita yang masih hidup asalkan niat kita ditata dengan baik. Ziarah
kubur, terutama ke makam para wali yang letaknya jauh dari tempat kita bermukim, hendaknya tidak diniati hanya sekadar jalan-jalan. Alangkah baiknya jika kita niatkan untuk beribadah dan semakin mendekatkan diri kepada Allah karena kita bisa mengambil berbagai hikmah dari perjalanan ke makam para wali. Hikmah itulah yang perlu kita ambil dan kita jadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga untuk terus memperbaiki diri sendiri.
Korupsi Itu Boleh
S ore itu, Agus terlihat sendiri di gardu ronda. Mukanya
terlihat kusut dan cemberut. Mungkin ada masalah yang mendera dirinya. Melihat kondisi Agus yang demikian itu, Ngajiyo pun mendatanginya ke gardu.
" Gus, ada apa? Kok mukamu cemberut gitu?" tanya Ngajiyo.
" Nggak apa-apa, Ji. Saya hanya bingung saja!" jawab Ngajiyo.
" Bingung kenapa, Gus? Kamu punya masalah?"
" Bukan hanya saya yang punya masalah, Ji. Seluruh masyarakat di Indonesia ini punya masalah."
" Ya itu jelaslah! Setiap manusia itu kan nggak mungkin nggak punya masalah!"
" Begini, Ji. Tadi kan saya baru nonton televisi. Di beritaberita televisi, kok di Indonesia ini banyak pejabat yang korupsi ya? Beritanya banyak sekali. Mereka itu kan menguras harta kita. Mereka itu membuat rakyat ini miskin."
" Lho, kalau soal korupsi kan sudah lama, Gus. Memang dari dulu korupsi itu sudah memiskinkan negara kita kok!"
" Maka dari itulah saya sedih, Ji," ujar Agus.
" Sedih kenapa, Gus?" selidik Ngajiyo.
" Yang saya pikirkan, mengapa mereka tega korupsi. Padahal hidup kita saja sering kesusahan. Apalagi saya ini, masih pengangguran. Mau mendaftar kerja, eh kalah saing dengan mereka yang bisa nyogok. Wah, budaya korupsi ternyata sudah sampai di dunia kerja juga. Akhirnya ya seperti inilah keadaan saya, Ji!" ungkap Agus lemas.
" Sabar, mungkin itu belum waktunya saja. Bisa jadi kalau kamu mendaftar kerja dan menduduki posisi penting di pekerjaan, kamu malah justru keblinger dan gantian berbuat korupsi, Gus. Hehehe...."
" Ah, kamu bisa saja, Ji."
" Hehehe... oya, seandainya kamu jadi pejabat, sebenarnya kamu itu boleh korupsi kok. Korupsi itu halal!" kata Ngajiyo.
" Boleh korupsi, masak sih?"
" Iya, asalkan uang yang dikorupsi itu dikembalikan lagi kepada rakyat. Misalkan kamu korupsi uang negara. Nah, uang yang kamu korupsi itu kemudian kamu bagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkan secara merata,
membuat rumah sakit gratis, membuat sekolah gratis, dan tentunya membuat warung makan gratis. Hehehe.... Insya Allah itu malah boleh, karena kalau yang korupsi orang lain, mungkin uang yang dikorupsi itu hanya untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat. Hahaha...!" ujar Ngajiyo.
" Hahaha... kamu ada-ada saja, Ji! Kalau begitu, suatu saat saya akan korupsi untuk menyejahterakan rakyat!" tandas Agus.
Korupsi di Indonesia merupakan penyakit yang susah untuk disembuhkan. Tingginya angka korupsi tersebut membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa pesakitan yang hanya semakin memperlihatkan sekat-sekat antara si kaya dan si miskin. Lebih dari itu, korupsi menjadi sebuah fenomena yang paling dimaklumi kewajarannya di Indonesia karena terjadi di setiap lini dan sektor pemerintahan. Bahkan, korupsi telah menjadi semacam keniscayaan bagi masyarakat Indonesia dan menjadi rahasia umum untuk konsumsi publik.
Hampir setiap hari, berita korupsi selalu menjadi headline news media massa, baik cetak maupun elektronik. Ketika satu kasus korupsi belum diselesaikan secara tuntas oleh penegak hukum, muncul lagi kasus korupsi yang menyeret oknum lain. Ketika kasus kedua belum selesai, disusullah kasus korupsi yang bisa saja terkait dengan kasus pertama dan kedua tadi. Melihat pemberitaan hal itu dari media, masyarakat pun hanya bisa geram dan sebatas mengelus dada, tanpa bisa berbuat lebih banyak lagi. Dengan demikian, rakyat selalu menjadi pihak yang sakit hati, tertindas, tertipu, dan terbohongi.
Padahal, Indonesia merupakan sebuah negara dengan 100% penduduknya memeluk agama. Di setiap kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP), pasti tertera isian dari kolom agama tersebut, entah
itu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu. Hal itu menunjukkan bahwa agama menjadi faktor penting dalam berperikehidupan masyarakat Indonesia. Tidak jarang, sikap sentimen dan saling klaim pembenaran agama menjadi sesuatu yang dibela mati-matian. Di sisi lain, agama menjadi semacam keyakinan yang diidentitaskan sebagai diferensiasi, sehingga fanatisme terhadap agama tidak jarang melahirkan kericuhan ketika sebuah agama dihina.
Dengan demikian, agama adalah urat nadi masyarakat Indonesia. Dalam agama pula, ajaran demi ajaran dituahkan melalui kitab suci masing-masing kepercayaan. Sementara itu, tidak satu pun agama yang mengajarkan korupsi. Akan tetapi, banyaknya orang yang membela agama dan menyatakan diri sebagai orang beragama tersebut tidak sepadan dengan orang yang mengamalkan ajaran-ajaran agama.
Dalam Al-Qur an, Injil, Alkitab, Weda, dan Bagawad Gita, dan kitab-kitab suci lainnya tidak ditemukan ajaran untuk korupsi. Malah kitab-kitab suci tersebut mengharamkan korupsi" mengambil hak orang lain dengan jalan yang tidak dibenarkan. Lantas, di mana letak kesalahannya, ketika 100% penduduk beragama ini membuat Indonesia menjadi negara korup?
Sebuah penelitian menyatakan bahwa di Swedia, 23% penduduknya tidak percaya akan adanya Tuhan alias
ateis. Namun demikian, Swedia justru menjadi negara dengan peringkat tiga dunia yang paling bersih. Hal itu merupakan kontradiksi dengan realitas yang ada di Indonesia, yang 100% penduduknya adalah umat beragama tetapi justru menduduki peringkat atas dengan status negara terkorup di dunia.
Karl Marx mungkin benar dengan pernyataannya bahwa agama itu candu dan hal itu terjadi di Indonesia saat ini dengan angka korupsi yang sangat tinggi. Agama dipahami hanya sebagai identitas yang membuat diferensiasi sosial antara penganut agama yang satu dengan yang lainnya. Tidak jarang pula bahwa agama hanya ditampakkan wajah seramnya melalui aksi terorisme, radikalisme, dan fanatisme buta. Padahal, agama yang dibawa oleh para nabi dan para pencerah budi adalah kesantunan, pencerahan moral-spiritual, dan wujud kasih sayang terhadap umat manusia dan dunia.
Esensi agama adalah membawa perdamaian, menebas habis penindasan, dan membawa obor penerangan spiritual umat manusia. Akan tetapi, agama terlanjur menjadi candu yang tidak dihayati dalam kehidupan. Apalagi, jika sudah terkait dengan politik yang penuh dengan intrik-intriknya, bisa jadi partai politik yang berasaskan agama tertentu justru para personelnya malah bertindak korup.
Hal itu menandakan bahwa agama tidak dimaknai sebagai simbol keberadaan Tuhan. Pada dasarnya, agama merupakan representasi dari keberadaan Tuhan, bukan berupa doktrinal atau dogma semata yang mengikat. Keberadaan Tuhan menyelinap di balik agama. Dengan demikian, berkeyakinan terhadap suatu agama berarti mengakui dan meyakini keberadaan Tuhan. Dan, Tuhan selalu membimbing umat manusia ke jalan yang benar, bukan menyuruh untuk menindas dan merampas hak orang lain secara tidak benar sebagaimana tindakan korupsi.
Rasa-rasanya, benar apa yang dinyatakan oleh seorang filsuf kenamaan asal Jerman, Friedrich Nietzsche, bahwa Tuhan telah mati. Dalam konteks ini, " Tuhan telah mati" tidak ditanggapi secara harfiah, bahwa " Tuhan kini secara fisik sudah mati" ; atau sebaliknya. Inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teologi.
Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu memercayai tatanan kosmis apa pun karena manusia sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, menurut Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri" kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum
moral yang objektif dan universal, yang mengikat semua individu.
Celakanya lagi, kematian Tuhan tersebut diamini oleh fenomena tindakan korupsi yang marak di Indonesia. Dengan demikian, sungguh menjadi hal yang kontraproduktif antara kaum beragama tetapi mengakui bahwa Tuhan telah mati.
Dengan demikian, agama harus dimaknai sebagai kontrol sosial dan individual secara universal. Agama harus dihidupkan dengan sikap religiusitas yang mewarnai setiap perikehidupan masyarakat Indonesia. Di sisi lain, agama juga harus dijadikan sebagai senjata untuk melawan korupsi.
Aduh, pembahasannya terlalu berat ya? Ya sudah, jangan diambil hati, tapi ambillah hati untuk lauk makan nanti setelah baca buku ini! Hehehe....
Makanan Tidak Enak
M bak Imah adalah istri dari Mas Ahmad, kakak Nga
jiyo. Mas Ahmad dan Mbak Imah sudah setahun ini menikah. Mereka tidak tinggal bersama orangtua. Mereka membangun rumah di desa sebelah. Mas Ahmad sangat mencintai Mbak Imah, istrinya, meskipun tidak bisa memasak.
Suatu ketika, Mas Ahmad sedang pergi ke luar kota, ada urusan penting. Sementara itu, Mbak Imah menginap di rumah mertuanya, yakni di rumah Ngajiyo. Ketika itu, Mbak Imah curhat dengan ibu.
" Bu, saya ini nggak bisa masak. Masakan saya itu nggak enak. Kadang keasinan, kadang kurang asin, kadang hambar. Pokoknya, masakan saya itu benar-benar nggak karuan rasanya. Saya sedih, saya itu nggak bisa membuat masakah yang enak buat Mas Ahmad," Mbak Imah curhat.
" Lha, terus suamimu kepiye?" tanya Ibu.
" Itulah masalahnya, Bu. Mas Ahmad selalu bilang kalau masakan saya itu enak. Padahal, saya sendiri merasa bahwa masakan saya itu nggak enak. Kalau itu bukan masakan saya, pasti saya nggak doyan," jawab Mbak Imah.
" Kok bisa? Masakan nggak enak kok dibilang enak sama Mas Ahmad?" tiba-tiba Ngajiyo ikut nimbrung.
" Saya nggak tahu, Ji. Masmu itu memang seperti itu. Malah saya sendiri yang merasa bersalah. Sebagai seorang istri kok nggak bisa masak yang enak buat suami," kata Mbak Imah.
" Hahaha... masmu itu memang aneh, Ji...," sahut ibu.
" Ji, tolong besok tanyakan sama Mas Ahmad kalau dia sudah pulang. Tolong tanya, kenapa masakan nggak enak kok dibilang enak! Tolong ya, biar saya tahu!" pinta Mbak Imah kepada Ngajiyo.
" Oke... siap!"
Keesokan harinya, Mas Ahmad pulang dari luar kota. Dia pun menjemput Mbak Imah di rumah Ngajiyo. Sebelum mereka pulang, Ngajiyo pun bertanya kepada Mas Ahmad dengan bersandiwara.
" Mas, Mbak Imah selama di sini kan masak. Masakannya itu nggak enak. Kok jenengan mau-mau saja dengan masakannya?" tanya Ngajiyo berpura-pura.
" Hahaha... kenapa dipermasalahkan, Ji?" tanya Mas Ahmad.
" Bukan begitu. Jenengan kan selalu makan masakannya. Kok bisa ditelan? Hehehe...."
" Kamu itu bilang masakan istri saya nggak enak karena kamu nggak bisa bersyukur. Kalau kamu bisa bersyukur, kamu akan merasakan keenakannya. Saya selalu bersyukur karena sudah diberikan makan oleh Allah. Jadi, apa yang diberikan oleh Allah itu saya syukuri, tidak boleh saya tolak. Termasuk masakan istri saya itu, saya bersyukur Allah sudah memberikan makanan kepada saya yang berupa masakan istri. Masak saya menolak pemberian Allah? Kufur nikmat dong!"
" Jlebbb..." Ngajiyo pun tertegun dengan masnya itu.
" Makanya, Ji. Kamu itu harus bisa bersyukur dengan apa yang telah diberikan. Kalau sudah bersyukur, makanan nggak enak pun kamu akan doyan karena kamu bisa bersyukur. Coba saja kamu nggak ada makanan dan kamu lapar, pasti kamu akan mencari-cari makanan. Oleh karena itu, kalau sudah ada makanan disediakan, ya dimakan. Jangan dikomentari nggak enak!" jelas Mas Ahmad.
Ngajiyo hanya bisa melongo dan menelan ludah, kagum dengan sang kakak yang selalu bersyukur.
Allah Swt., berfirman dalam QS. Ibrahim ayat 7: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; " Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" .
Dari ayat tersebut, kita dapat memetik pelajaran bahwa syukur merupakan sebuah ungkapan terima kasih makhluk kepada Allah Swt. Melalui ayat tersebut, Allah Swt., memerintahkan kepada umat manusia agar bersyukur. Ayat tersebut setidaknya menyiratkan dua hal penting; kabar bahagia (penghargaan) dan kabar buruk (ancaman). Kabar bahagia yang disampaikan melalui firman Allah Swt., berupa balasan bagi orang-orang yang bersyukur, yakni Allah Swt., akan menambah nikmat kepada mereka. Sementara itu, kabar buruknya adalah ancaman kepada orangorang yang kufur atas nikmat Allah Swt., yang telah dianugerahkan. Tidak tanggung-tanggung, ancaman dari kufur nikmat adalah azab yang pedih.
Pada dasarnya, nikmat Tuhan yang telah diberikan kepada kita itu banyak sekali. Bahkan, kalkulator tercanggih di dunia pun tidak akan bisa menghitungnya secara keseluruhan. Mari kita urai sebagian kecil kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, sedikit saja, tidak usah terlalu banyak.
Berislam Dengan Senyum Karya Ali Abdullah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seandainya ketika kita bangun tidur di pagi hari, tiba-tiba kaki kita kram selama beberapa menit. Tentunya kita akan mengerang kerepotan karena tidak bisa berjalan. Padahal, itu hanya kram sebentar saja, tidak sampai kakinya tidak berfungsi selamanya lagi. Hanya " hal kecil" tersebut tentunya telah membuat kita kerepotan, apalagi ketidakfungsian bagian dari tubuh kita yang lain dan lebih parah. Tentunya, seketika itu juga kita akan merasakan bahwa ternyata kesehatan itu mahal harganya, kenikmatan yang tiada tara. Namun demikian, ketika kita diberikan kesehatan dan kenormalan anggota-anggota tubuh kita setiap hari, kita tidak mengingatnya. Dengan demikian, nyatalah bahwa kenikmatan yang Allah Swt., berikan kepada kita dan makhluk yang lainnya pun sangat banyak dan tidak bisa dihitung secara matematis.
Sampai kapan pun, kita tidak akan bisa menghitung pemberian Allah Swt., kepada kita. Bahkan kenikmatan tersebut tidak pandang bulu. Maksudnya, Allah Swt., tidak hanya memberikan kenikmatan-kenikmatan hidup dan kenormalan kepada hamba-hamba-Nya yang saleh, tetapi juga kepada orang-orang yang kufur terhadap nikmat-Nya pun diberinya kenikmatan yang banyak pula.
Bersyukur juga berpengaruh pada sisi psikologis manusia. Orang yang sering bersyukur akan terlihat
lebih bahagia karena ia pada dasarnya telah merelakan apa yang telah dimilikinya. Oleh karena itu, ia tidak menuntut berbagai hal yang bisa jadi mustahil untuknya. Dengan demikian, syukur juga menyimpan sikap hidup sederhana tetapi juga menjadi pelecut semangat hidup untuk bahagia. Dengan hidup yang bahagia, tentunya raga akan menjadi sehat daripada orang yang tidak pernah bersyukur dan selalu merasa kurang atas apa yang telah dimilikinya.
Mas Ahmad contohnya. Dia selalu bersyukur atas makanan yang dimasak oleh istrinya meskipun rasanya tidak enak. Mas Ahmad selalu bersyukur, makanan tidak enak pun disyukurinya dan dia justru doyan dengan makanan tidak enak itu. Mas Ahmad bisa menerima apa adanya dengan rasa syukur. Sungguh luar biasa.
Dengan demikian, rasa syukur itu bisa membuahkan sikap menerima apa adanya, nampa ing pandum (bahasa Jawa). Sebaliknya, orang yang tidak bersyukur terbiasa menolak dengan apa yang tidak disukainya. Tidak hanya itu, orang yang tidak bersyukur tidak pernah merasa puas dengan kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah berikan kepadanya. Itulah yang kemudian memicu sifat keserakahan.
Bisa jadi, keserakahan para pejabat kita yang korup itu memang didasari oleh tidak disyukurinya nikmat yang ada. Para pejabat itu gajinya sudah tinggi, tapi karena tidak disyukuri, maka mereka tidak puas dengan gaji yang sudah tinggi itu. Mereka merasa gaji itu masih sedikit dan kurang. Oleh karenanya, jalan korupsi diambil sebagai pemuas nafsunya.
Daftar Pustaka
Al-Qur an Al-Karim
Al-Dimasyqa, Al-" Allamah Al-Syaikh Muhammad Jamal Al- Diin Al-Qasimiy. Mau izhah Al-Mu minin, Maktabah Dar Ihya Al-Kutub Al-" Arabiyah,(tt).
Al-Jarrah, Nawaf. 2013. Buku Pintar Khutbah Rasulullah saw.: 668 Khutbah Penggugah Iman dan Penyempurna Akhlak. Jakarta: Zaman.
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al- Bashri Al-Mawardi. 1992. Adab Al-Dunya wa Al-Din. Libanon: Darul Fikr.
Al-Nawawi, Imam Hafidz Faqih Abu Zakaria Muhyiddin Yahya. 1955.Al-Adzkar Al-Nawawiyah. Surabaya: Darul " Ilmi.
. Riyadh Al-Shalihin min Kalami Sasyyid Al-Mursalin. Surabaya: Darul " Ilmi. (tt).
Al-Syabrawi, Syekh Abdul Khaliq. 2012. Buku Saku Psikologi Sufi. Jakarta: Zaman.
Athailah, Ibnu. 2013. Tajul " Arus: Pelatihan Lengkap Mendidik Jiwa. Jakarta: Zaman.
Bagir, Haidar. 2013. Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan. Jakarta: Mizan.
Chodjim, Achmad. 2013. Hidup Penuh Makna. Jakarta: Zaman.
Elfiky, Ibrahim. 2013. Excellent Life. Jakarta: Zaman.
Hashman, Ade. 2012. Rahasia Kesehatan Rasulullah: Meneladani Gaya Hidup Sehat Nabi Muhammad saw. Jakarta: Noura Books.
Maksum, M. Syukron. 2011. Alhamdulillah Doaku Terkabul. Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Mustaqim, Abdul. 2011. Spiritualitas Kematian: Meraih Hidup Indah dan Husnul Khatimah. Yogyakarta: Kaukaba.
Siroj, Said Aqil. 2012. Dialog Tasawuf Kiai Said: Akidah, Tasawuf, dan Relasi Antarumat Beragama. Surabaya: Khalista.
Tentang Penulis
ALI ABDULLAH, aktif dalam kegiatan dakwah umat. Tulisan-tulisannya dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial, politik, dan lain sebagainya telah tersebar di berbagai media massa, baik lokal maupun nasional. Saat ini, penulis masih sibuk dengan dunia literasi untuk melahirkan karya-karya lainnya, baik berbentuk buku maupun artikel. Ia menganggap bahwa itu merupakan bagian dari dakwah.
" Membaca buku ini saya dibuat tersenyum-senyum sendiri. Kisahnya lucu nan menggelikan, tetapi juga mengandung hikmah. Bila Anda ingin membaca buku keislaman sambil tertawa riang, bacalah buku ini. Hehehe...." " M. Iqbal Dawami, Editor buku nonfiksi Islam
" Membacanya tidak hanya membuat kita tertawa, tetapi juga tercerahkan. Mengapa? Karena, buku ini tidak hanya bahan tertawaan, tetapi juga bahan inspirasi Islam."
" Muhammadun As, Pimpinan Redaksi Majalah BANGKIT
" Islam yang melontarkan teriakan " Allahu Akbar kemudian dibarengi dengan pengrusakan itu bikin kita takut. Islam yang melontarkan kasih sayang dengan senyum itu bikin kita tertarik. Maka dari itu, berislamlah dengan " senyum !"
" Noval Maliki, Peresensi Buku
Adalah Muhammad Ngajiyo, seorang santri dari sebuah pondok pesantren yang menjalani kehidupan di kota sebagai mahasiswa dan di desa sebagai pemuda biasa. Di kota, dia bertemu berbagai kalangan dalam dunia intelektual yang memaksanya berpikir kritis tentang Islam, tetapi tetap santun. Sementara itu, di desa, dia bertemu kearifan dan keawaman masyarakatnya tentang Islam yang memaksanya menempuh jalur dakwah, tetapi tetap santun.
Meskipun dia tetap santun di kota dan di desa, tapi sesungguhnya dia adalah orang yang cerdik dan konyol. Bagaimana kisah Ngajiyo dalam mengamalkan keilmuan yang didapatkannya dari pesantren? Bagaimana kecerdikan dan kekonyolannya ketika menghadapi orang-orang kota yang bergelut dengan dunia intelektual? Bagaimana kecerdikan dan kekonyolannya ketika menghadapi orang-orang desa yang arif tetapi awam?
Silakan menyimak ulasan-ulasan di dalam buku ini dan ambil hikmahnya! Paling tidak, Anda akan tersenyum.
B e r i s l a m
d e n g a n S e n y u m
Tamat
Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa Siluman Tikus Terbang Chi Kung Hok Hud Animorphs 50 Ultimate
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama