Bintang Jatuh Karya Silvarani Bagian 1
??BINTANG JATUH
oleh Silvarani
GM 20101140044
Copyright 2014 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok I lt. 5 Jl. Palmerah Barat No. 29 37 Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama Anggota IAPI, Jakarta, 2014
Editor
Gita Savitri
Desain sampul Suprianto
Seter
Nur Wulan Dari
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian Atau isi seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit www.gramediapustakautama.com
ISBN 978-602-03-0968-2
Prolog
Ruang Inap Rumah Sakit Cipto, Jakarta Pusat, 20.06 WIB PLAAAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kananku. Berkali-kali aku memutuskan hubungan dengan seorang perempuan, baru kali ini aku ditampar di bagian pipi kanan. Biasanya di pipi kiri. Ya! Itu karena mantanku kali ini kidal.
Beribu kalimat tanya dan kalimat seru terlontar dari mulutnya, menghujaniku. Aku diam saja. Aku tak menyalahkannya. Semua yang dia katakan benar seribu persen.
Lantas mau apa?
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia mau benci aku.
Dia mau marah sampai ubun-ubun. Aku terima saja.
" Alena! Tenang, Alena!" Aku mengguncangkan bahunya. " Aku tahu kamu sedih banget, tapi tolong.... Jaga amarah kamu! Jangan teriak-teriak! Ini rumah sakit. "
" Biarin! Biarin!" Alena meronta-ronta. Rambut panjang lurusnya yang sering kupuji awut-awutan. Dia terlihat tak suka kusentuh. Aku menoleh ke belakang. Di ambang pintu ruang inap bapakku, Mbak Winta, mbakyuku yang tahun ini genap berusia 30 tahun, menyaksikan pertengkaran kami. Aku tak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya saat menyaksikan pertengkaranku dengan Alena. Ekspresi wajahnya datar.
Alena berlari meninggalkanku. Entakan hak sepatunya menggema di lorong ruang inap kelas I Rumah Sakit Cipto, Jakarta Pusat. Sepatu yang dia kenakan adalah sepatu baru berwarna merah terang. Dia baru membelinya tiga minggu yang lalu. Aku ingat betul... karena aku yang memilihkannya.
Sebenarnya aku ingin mengejarnya, tetapi logikaku menolak. Aku tak boleh mengejarnya. Aku harus konsisten dengan keputusanku.
Setelah Alena menghilang dari pandangan, entakan hak sepatunya pun berlalu dari pendengaran. Tak ada bunyi lain yang kudengar. Malam Jumat ini, suasana rumah sakit sepi sekali.
" Bin, Bapak gole i koe 1 ." Mbak Winta menghampiriku. Diusapusapnya punggungku. Dia pamerkan juga senyum tanggungnya. Seolah dia tahu apa yang sedang kurasakan detik ini.
Aku menjalani hubungan dengan Alena kurang lebih tiga tahun. Sebelumnya, aku dan dia hanya teman satu SMA. Saat kami satu sekolah dulu, kami tidak pernah bergaul atau ngobrol secara intens. Namun, teman sebangkunya di kelas Ilmu Alam 1 adalah sahabatku di OSIS. Dengan perantara sahabat itulah kami kemudian dekat, bertemu lagi saat kuliah padahal kampusku dan kampus Alena berbeda kota dan akhirnya jadian.
Bagiku, Alena adalah perempuan yang selama ini kucari. Dia perhatian, keibuan, feminin, perasaannya halus, kalem, dan tak neko-neko. Dia suka minder dengan kacamata tebal dan behel di gi
ginya, tetapi aku selalu memujinya bahwa dia terlihat manis dengan atribut-atribut itu.
Lalu, mengapa aku memutuskan hubungan dengannya? Aku merasa....
Aku dan dia sudah berbeda visi dan misi.
Keluarga Alena terus mendesakku untuk melamarnya, sementara aku tidak bisa. Mbak Winta belum menikah. Aku tak boleh melangkahinya. Dalam budaya keluarga besarku, mendahului kakak untuk naik pelaminan itu tidak diperbolehkan. Konon, rumah tangga sang adik nantinya tidak berjalan mulus. Aku sendiri tak tahu dari mana kepercayaan itu berasal.
Pacar mbakyuku sendiri berkali-kali sudah berencana melamarnya, tetapi mbakyuku itu punya prinsip bahwa dia akan menikah setelah Bapak sembuh. Padahal kalau aku lihat kondisi Bapak, sampai sekarang tak ada kemajuan. Bicara pun tak terlalu jelas. Stroke, jantung, dan diabetes adalah penyakit-penyakit yang harus beliau hadapi.
Jadi, begitulah keadaanku....
Aku tak punya pilihan lain selain memutuskan hubungan dengan Alena yang terus mendesakku untuk menikah. Aku tak bisa melangkahi mbakyuku. Konsentrasi keluarga kami saat ini juga bukan berpusat pada pernikahan, melainkan kesembuhan bapak. " Kali ini aku sedih, Mbak.... " Kupeluk mbakyuku, spontan. " Maain Mbak ya. " Suaranya hampir terisak. " Bapak durung dangan.... 2 "
" Ora popo to Mbak...," jawabku lemas. " Alena juga ndak mau nunggu. Wis to?! Ikhlaske wae.... Bukan jodoh barangkali& ." " Sekarang apa rencana kamu, Bin?" Mbak Winta melepaskan 2 Bahasa Jawa: " Bapak belum sembuh...."
pelukanku. Diusap-usapnya pipi kananku yang tadi ditampar Alena. " Mbak bebaskan kamu untuk ndak jaga Bapak dulu kalau kamu mau pergi menenangkan diri. "
" Aku boleh pergi, Mbak?"
" Untuk sementara waktu.... " Mbak Winta memejamkan mata, kemudian membukanya lagi.
" Aku disuruh atasanku untuk ikut seminar jurnalistik dan mengisi salah satu sesinya di Jogja, tapi aku tolak karena harus jaga Bapak. Jadi, orang lain yang berangkat. "
" Kenapa ditolak?"
" Nanti Mbak Winta sendirian di rumah sakit.... "
" Ora popo 3 . Pergilah.... Siapa tahu kamu bisa menemukan kesenangan tersendiri di sana, Bin. Lagi pula, kamu kan wartawan, pasti kamu bisa ketemu banyak wartawan senior dan mendapat banyak ilmu di seminar itu. "
" Aku boleh pergi, Mbak?" ungkapku tanpa senyum. " Jadi, aku bilang ke atasanku, aku saja yang berangkat?"
Mbak Winta mengangguk.
Kusunggingkan senyum kemudian kupeluk Mbak Winta. Sekelebat, aku teringat masa kecil. Aku sering tidur dalam pelukan Mbak Winta sambil dinyanyikan tembang Jawa. Aku rindu masa itu, masa saat aku melihat sosok perempuan sebagai sosok yang lembut, penyayang, dan penuh kasih sayang. Namun, siapa yang bisa menebak, ternyata sepanjang hidupku aku mendapatkan tamparan justru dari perempuan. 3
3 Bahasa Jawa: " Nggak apa-apa."
1
Hijrah
E mpat hari kemudian, sore sehabis liputan kasus korupsi, seper
ti biasa aku ke rumah sakit. Selain melihat Bapak dan memijat kakinya sebentar, aku mau pamit karena akan pergi ke Yogyakarta. Aku baru memesan tiketnya secara online kemarin siang, untung masih ada satu kursi kereta kosong. Kulirik arloji yang melingkar di tangan kiriku. Aku harus segera ke stasiun, keretaku berangkat jam 18.50 WIB.
" Pak.... Bapak. Aku pergi dulu ya, Pak. " Aku meraih tangan kanan Bapak yang diinfus. Kukecup tangannya agak lama. Ada perasaan tak tega meninggalkan beliau. Namun, aku merasa harus hengkang sesaat dari Jakarta. Saat ini, kala ingat Jakarta, aku ingat Alena.
" Biin.... " Suara Bapak terdengar lirih. Aku dekatkan telingaku ke mulut keringnya.
" Jangan... paksa... dirimu... untuk... cepat-cepat... cepat-cepat... melupakannya.... " ucap Bapak perlahan. " Kamu... kamu dulu berkenalan... sampai mencintainya... pelan-pelan to?"
Aku melirik Bapak. Kemudian ke arah Mbakyu yang berdiri tak jauh dari kami.
" Begitu juga... begitu juga untuk melupakannya... pelan-pelanlah, Cah Bagus.... "
Aku kurang setuju dengan saran Bapak. Menurutku, mencintai dan melupakan tak bisa disamakan. Ketika kita memutuskan untuk mencintai seseorang, terkadang hal itu tak kita rencanakan. Lain halnya jika melupakan seseorang. Ada unsur kesengajaan di situ, bahkan ada kewajiban untuk itu.
Jadi, tak ada hubungan kita harus pelan-pelan atau cepat-cepat melupakan seseorang.
Sembari memanggul tas ransel dan mengenakan topi kebesaranku, aku ungkapkan saja sudut pandangku kepada Bapak tentang makna " mencintai" dan " melupakan" yang menurutku tak bisa disamakan. Bapak tampak tak ingin berkomentar. Akan tetapi, begitu aku berpamitan dengan Mbak Winta di ambang pintu, kakak perempuanku itu berkata, " Mbak lebih setuju dengan pendapat Bapak. "
" Kenapa?" aku mengerutkan dahi.
" Menurut Mbak, waktu kita mencintai seseorang, itu juga kesengajaan. Sama seperti melupakan. Ketika kamu mencintai seseorang, kamu sadar akan perasaanmu. Buktinya, kamu sengaja membuka hatimu untuknya, to?"
Aku tak langsung menjawab. Kupandang lama kedua mata kecil Mbak Winta yang kata Alena mirip sekali denganku. Ah, sial! Kenapa nama itu aku ucapkan lagi meski dalam hati?
" Bintang ndak ngerti, Mbak. " Senyumku kupaksakan lebar. " Dan... dan ndak mau mikirin juga. "
" Ya wes...." Mbak Winta memeluk seraya mengelus-elus punggungku di depan pintu ruang inap Bapak.
"
Untuk menjangkau kereta api menuju Jogja di Stasiun Senen, aku memilih angkutan umum jurusan Kampung Melayu Senen yang melewati rumah sakit. Saat baru saja ingin menaruh smartphone ke dalam kantung jaket jins-ku, ada panggilan telepon menyapa. Dari Lexi.
Cewek peranakan Sunda-Prancis yang berprofesi sebagai model ini adalah sahabatku dan Alena. Dialah yang menjadi teman sebangku Alena ketika SMA dan membantuku mendekati Alena.
Malas aku angkat! Pasti Alena sudah curhat sesuatu pada Lexi. Aku pasti disalahkan habis-habisan. Soalnya, jarang-jarang Lexi menelepon.
Tapi....
Aku jadi kepo juga mengapa Lexi meneleponku. Apa aku angkat saja, ya?
Ya, sudahlah! Kuangkat saja. Kita tidak akan pernah tahu dugaan kita benar atau tidak kalau kita tidak membuktikannya sendiri.
" Ya, Lex? Kenapa?" sapaku dalam angkot tujuan Senen. Di angkot ini hanya ada aku, sang sopir, dan tiga ibu-ibu. Sepertinya aman-aman saja kalau aku angkat telepon di sini.
Lexi tak langsung menjawab, tetapi aku sudah siap kalau dia menyerangku dengan hujatan: " Lo apain si Alena? Dia sampe nangis sesenggukan gitu?!" atau " Bodoh lo, Bin! Nyia-nyiain Alena! Kurang baik apa coba dia?" atau " Ngapain dulu gue capek-capek deketin lo berdua?!" atau " Lo itu cowok paling dungu menurut gue! Pasti abis ini, banyak cowok yang rebutan pingin jadi cowok Alena! Dan jauh lebih keren daripada lo!" atau " Bin, lo putus sama Alena? Nih, gue kenalin cewek baru lagi!"
Namun, sepertinya pertanyaan terakhir itu tidak mungkin terja
di.
" Woii, Bin! Kok lo diem aja sih?! Dengerin omongan gue nggak sih?!" teriak Lexi di seberang sana. Rupanya dia sudah bicara, ya?
" Eh, apa?! Lo udah ngomong?! Ngomong apa?!" tanyaku sambil cengar-cengir.
" Hiiiih... Masa gue ulang sih? Itu& Lo ngapain ke Jogja? Sekarang gue sama temen-temen lagi di Cipto jenguk bokap lo. Kata Mbak Winta lo tadi pamit ke Jogja. Kok nggak bilang-bilang kalo lo mau pergi ke Jogja?"
" Sama temen-temen ke Cipto? Siapa aja?"
" Ada gue, Reno, Mario, Mia, Veli. Lengkap deh. Kecuali Alena. " " Oh.... "
" Lo ngapain ke Jogja, Bin?"
" Tanya Mbak Winta aja deh. Dia tau kok ngapain gue ke Jogja. " " Yeee.... Ya, udah. Have fun ya di Jogja. Byeee.... "
" Eh, Lex?"
" Ya?"
" Lo nggak mau nanya pertanyaan lain ke gue?" " Hah? Pertanyaan apa, Bin?"
Kugaruk kepalaku, menelan ludah, dan akhirnya bertanya lagi. " Alena cerita sesuatu ke elo, Lex?"
Di seberang sana, Lexi terdengar sedang berbicara sebentar dengan seseorang. Mungkin dengan Mario, Mia, atau Reno. Kelihatannya mereka sedang menanyakan keberadaanku.
Bukannya aku geer, tapi kami memang selalu menanyakan kabar dan keberadaan satu sama lain. Aku rasa pada detik ini Lexi, Mario, Reno, Veli, dan Mia juga dalam posisi terjepit. Di satu sisi, mereka pasti prihatin terhadap Alena, tetapi mereka juga prihatin terhadapku. Makanya, mungkin seharusnya jangan pernah pacaran dengan teman satu permainan. Kalau putus, merepotkan temanteman yang lain.
" Cerita. Tapi cuma curhat sedikit aja. " Akhirnya Lexi menjawab pertanyanku.
" Terus apa katanya? Pasti menghina-hina gue, ya?!" tebakku dengan nada bicara agak keras.
" Hmm.... Iya sih. Wajarlah. Dia sampai nangis sesenggukan. " " Terus? Lo nggak benci sama gue kan, Lex? Atau lo mau baikbaikin gue karena kepo sama hubungan gue sekarang? Jadi lo mau denger cerita dari sudut pandang gue dulu? Abis itu lo aduin deh ke Alena. "
" Yeee... geer! Ngapain juga gue kepo? Biarlah itu jadi urusan lo sama Alena. Walaupun gue bingung karena posisi gue... temen lo dan dia. "
" Iya ya.... Hmm.... Gini aja, Lex. Bilang aja sama Alena, jadian aja dia sama Reno! Jomblo juga kan Reno? Daripada si Reno galau melulu. "
" Elo ya, Bin! Lo kalo ngomong tuh nggak pernah dipikir! Mantan lo yang baru lo putusin lo suruh jadian sama Reno? Gimana ceritanya coba? Turun berok gue ngurusin lo!"
" Siapa juga yang minta diurusin?! Gue kan cuma mengemukakan pendapat. Memangnya nggak boleh? Udah zaman demokrasi, kan? Eh, mantan Reno udah jadi model terkenal ya, Lex? Satu PH sama lo?"
" Ehem! Perasaan kita lagi ngomongin masalah lo sama Alena deh. Kenapa lo loncat ke topik Reno sama mantannya?!"
" Sori, kebablasan. Oh iya Lex, gue mau minta tolong. Mau curhat. "
" Ya? Kenapa? Mau dicariin cewek? Tuh si Reno minta dicariin cewek. Lo juga pasti, kan? Kalian ini... cowok jablay!"
" Memangnya kalo dikenalin langsung jadi pacar? Kan bisa aja cuma jadi temen ngobrol. "
" Ya terserah lo sih. Terus kenapa? Cepetan nih! Gratisan pulsa gue mau abis! Gue tutup, ya?"
" Sebentar, Lex! Jangan ditutup dulu. Gue nggak minta dikenalin ke cewek, kok. "
" Terus?"
" Gue cuma mau curhat. " " Curhat apa?"
Aku menelan ludah, bersiap untuk berbicara serius kali ini. " Sebenernya, Lex... "
" Ya? Ngomongnya jangan sepotong-potong dong!" " Gue pingin nikah.... "
" Hah?!"
" Iya, pingin nikah! Berumah tangga! Tapi gimana? Kakak gue nggak bolehin gue ngelangkahin dia. Dia sendiri bilang mau menikah setelah bokap kami sembuh. Jadi, ya... harus gue turutin deh. "
Ketiga ibu-ibu penumpang angkot melirik kepadaku beberapa kali. Sialan! Tampaknya mereka menguping obrolanku di telepon. Biarin aja deh! Kenal juga enggak.
"
Kulangkahkan kakiku menuju Stasiun Senen. Sudah tiga malam Jakarta tak bosan-bosannya menangis. Maksudku, hujan selalu mengguyur Jakarta tak henti-henti. Akibatnya banyak kubangan air di jalanan.
" k&Mengapa kau nya.... lakan api.... cinta di hatiku? Membakar... jiwa yang merana...k&"
Manusia pertama yang kulihat di stasiun ini adalah sekelompok pengamen. Rata-rata mereka masih muda. Mungkin seusiaku yang hampir seperempat abad.
Aku jadi ingat, lagu yang dibawakan oleh sekelompok pengamen itu adalah lagu mendiang Nike Ardilla. Kalau tidak salah judulnya Sandiwara Cinta. Sewaktu aku masih kecil, sebelum Bapak sakit, Bapak sering mendengarkan lagu-lagu Lady Rocker Indonesia macam Nike Ardilla, Nicky Astria, Anggun C. Sasmi, atau Nafa Urbach sambil mencuci motor kesayangannya.
Mengapa pikiranku melayang ke mana-mana? Tidak apa-apa deh! Hitung-hitung mengingat masa lalu yang menyenangkan. Jauh sebelum kukenal Alena.
Jauh sebelum Bapak sakit.
" k&Kata manismu... membuatku... yakin kepadamu... hingga membuatku terlenak&"
Ahahaha.... Mengapa tiba-tiba aku jadi membayangkan Alena yang menyanyikan lagu lawas itu? Sepertinya pas dengan apa yang sedang dia rasakan saat ini.
"
" k&Semua terserah padamu.... Aku begini adanya.... Kuhormati keputusanmu.... Apa pun.... yang akan... kau ka... takan.... k&"
Entah mengapa, lagu lawas berjudul Tak Ada Dusta di Antara Kita yang terdengar dari radio kecil tukang sol sepatu stasiun kembali kuperhatikan liriknya. Seingatku, lagu ini dibawakan oleh almarhum Broery Marantika dan Dewi Yull. Ya, ampun! Mengapa lagu-lagu yang diputar lagu-lagu tahun 1990-an? Woi, abang tukang sol sepatu! Move on dong!
Ya....
Move on!
Entah mengapa, aku suka dengan kata-kata move on. " k&Sebelum terlanjur... kita jauh melangkah... kau katakan... saja... k&" Kali ini, aku merasa bait lagu itu sesuai dengan perasaanku. Seminggu yang lalu, aku memberikan wewenang kepada Alena untuk memberikan keputusan. Dia ingin menungguku sampai Bapak sembuh atau tidak. Nyatanya tidak. Tapi, memang aku begini adanya, aku tidak bisa melangkahi Mbak Winta. Alena akhirnya memilih putus.
Ya, Tuhan! Mengapa aku jadi seperti pujangga picisan begini? Mencocokkan lirik lagu yang kudengar dengan suasana hati.
Setelah antre masuk peron stasiun sambil menunjukkan tiket dan KTP, aku melangkah menuju kantin stasiun.
" Rokok satu, Mas!" seruku pada seorang penjaga kantin. Sambil menunggu kereta yang datang sepuluh menit lagi, aku ingin bersantai dulu.
Kuhirup batang rokok itu dalam-dalam. Ternyata aku masih ingat caranya. Padahal, terakhir aku mengonsumsinya sekitar lima tahun lalu.
" Bin, aku suka deh kamu nggak ngerokok. "
Ucapan Alena saat awal jadian melayang-layang di benak. Aku sendiri bingung kenapa malam ini aku merokok. Padahal, aku bukan seorang perokok. Apakah ini wujud pemberontakan? Kepada siapa? Kepada Alena-kah? Tapi, jauh sebelum dia jadi pacarku, aku juga bukan perokok.
Hah! Kenapa aku terus-terusan berpikir ke masa lalu? Padahal, waktu terus berputar ke depan.
" k&Demiii masaaa& Sesungguhnya manusia& kerugian& k&"
Setelah beberapa menit duduk-duduk di kantin stasiun, aku mendengar seuntai lagu religi menyapa telingaku. Kalau tak salah, judul lagunya Demi Masa.
Yup! Lagi-lagi lagu yang terdengar di telinga sesuai dengan apa yang sedang kupikirkan.
" k&Melainkaaan... yang beriman& dan beramal saleeeh...k&"
Kutengok ke arah suara lagu itu berasal. Ternyata seorang pemuda penjaga kantin stasiun yang memasangnya dari ponsel. Berbeda dengan dua lagu yang kudengar sebelumnya, aku merasa lagu ini tak hanya sekadar lagu. Ada suatu pesan yang ingin disebarkan kepada manusia, sosok makhluk yang menurut lagu itu mengalami kerugian. Kecuali yang beriman dan beramal saleh.
Hatiku kembali bertanya, aku termasuk kategori manusia yang mana?
Manusia yang sedang patah hati masuk kategori yang mana? Apakah manusia yang sedang patah hati termasuk manusia yang merugi karena membuang-buang waktu untuk memikirkan luka patah hatinya?
Lalu, apa itu hati? Di mana letaknya?
Jika raga ini dibelah, tak akan ditemui wujudnya.
Namun jika hati sudah sakit, dia bisa membodohi otak, menghambat jantung berdetak, dan menyesakkan paru-paru.
Apa yang sedang terjadi padaku? Mengapa aku jadi lemah dan berpikir yang aneh-aneh begini?
Kuisap rokokku sambil mendengarkan lirik lagu religi itu. Tibatiba hatiku bertanya.
Apa kabar, Allah?
Apa kabar penguasa waktu yang selama ini aku lupakan? Apa kabar penciptaku yang selama ini kalah kucintai dibandingkan Alena?
"
-Demi Masa
Dipopulerkan oleh Raihan
Demi masa....
Sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan...
Yang beriman dan yang beramal saleh
Demi masa....
Sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan....
Nasihat kepada kebenaran dan kesabaran
Gunakan kesempatan yang masih diberi Moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan Karena ia takkan kembali
Ingat lima perkara Sebelum lima perkara
Sehat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit Hidup sebelum mati
Al- Ashr (Surah 103) Termasuk surah Makkiyah.
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan nasihatmenasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.
2
Apa Kabar, Allah?
I ngatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu...."
(Al-Baqarah: 152).
Kubaca sekilas sebaris kalimat di kertas yang tergantung di dinding. Sepertinya pemilik kantin di stasiun ini sangat religius. Tak hanya mendengarkan lagu religius, tetapi juga memajang potongan ayat Al-Qur an.
" Maaf, Mas. Bisa dimatikan rokoknya? Saya nggak tahan sama bau asapnya. "
Lamunanku terhenti seketika. Seorang cewek berkerudung hijau tosca yang duduk di meja sebelah menegurku. Aku segera menoleh. Cantik juga, pikirku. Namun, aku lebih tertarik memperhatikan tangannya yang sedang menulis di buku agendanya. Dia menulis dengan tangan kiri.
Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutku. Mulutku asik mengisap rokok dan mengepulkan asap.
" Memangnya di sini ada papan Dilarang Merokok?" responsku nyolot.
Cewek itu tak menjawab. Padahal, kalau kulihat dari penampilannya yang fashionable dan pandangan matanya yang tajam, dia sebenarnya punya nyali untuk menyanggahku. Kelihatannya dia ce
"
wek yang tegas dan tak takut apa pun. Namun, kenapa dia diam saja menerima gertakanku?
Ya, Allah! Mengapa Kau pertemukan aku dengannya? Kalau akhirnya kami harus berpisah seperti ini?
Tulisan di agendanya menarik perhatianku. Ho... aku jadi punya hipotesis sementara. Mungkin cewek berkerudung ini sedang galau, makanya dia tak mau banyak berdebat denganku. Baiklah kalau begitu. Apa salahnya menuruti permintaan seorang cewek yang sedang rapuh?
" Oke.... Saya matikan rokoknya. Maaf ya, sudah mengganggu kenyamanan," ucapku akhirnya sembari beranjak dari kantin. Kereta api sebentar lagi akan datang. Aku ingin duduk-duduk di kursi dekat peron saja. Uniknya, cewek itu membuntutiku.
Apakah kami naik kereta yang sama?
Kalau memang iya, aku jadi ingin berkenalan dengannya. Mungkin kami dapat bertukar kisah tentang patah hati.
"
Bintang Jatuh Karya Silvarani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di kereta, ternyata tempat duduk cewek berkerudung hijau tosca itu tepat di depanku. Bangku kami berhadap-hadapan. Rupanya dia pergi ke Jogja bersama temannya yang mengenakan kerudung putih. Yah& semoga saja temannya tidak menghalangiku untuk PDKT.
Meski hanya berdua, bawaan mereka banyak sekali. Dua ransel, dua koper kecil, dan tiga tas tenteng.
Sejak aku datang, lalu menaruh ranselku di rak atas dan duduk beberapa menit, kedua cewek berkerudung itu masih sibuk mengatur posisi barang. Akhirnya, aku menawarkan diri untuk membantu. " Bisa dibantu, Mbak?" tanyaku.
Cewek berkerudung hijau tosca itu menengok ke arahku. Dari tatapan matanya yang membelalak beberapa detik, aku menerka bahwa dia ingat padaku yang beberapa saat lalu berdebat dengannya soal rokok di kantin.
" Eh.... Terima kasih.... Nggak usah, Mas," balasnya ramah sambil menunduk. Kemudian melanjutkan lagi mengangkat barangbarangnya.
Tanpa berpikir panjang, kuambil saja sebuah tas tenteng yang berada dalam genggaman temannya yang berkerudung putih.
Cewek berkerudung putih itu tak berkata apa-apa, tetapi gestur tubuhnya terkejut atas sikapku yang merebut barangnya tiba-tiba dan menaruhnya di rak atas.
Cewek berkerudung hijau tosca itu pun menyadari apa yang aku lakukan. Aku kira dia akan marah karena aku ngotot membantunya menaruh barang-barang di atas rak. Ternyata tidak. Dia malah tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Ah& berarti sebenarnya dia tak keberatan kubantu. Dia mungkin menolak bantuanku karena jaim.
Setelah duduk, aku berniat membuka percakapan dengannya. Tetapi, aku lantas bingung. Kira-kira, apa ya yang harus kutanyakan?
Cewek berkerudung hijau tosca itu memandang ke luar kereta melalui jendela. Mata beningnya berkali-kali menitikkan air mata. Namun, dia cepat-cepat menyekanya. Aku jadi ingat tulisan yang dia tulis di agendanya tadi. Dia pasti benar-benar sedang galau.
Kereta api mulai berjalan meninggalkan stasiun. Petugas kereta datang berkeliling untuk memeriksa tiket setiap penumpang. Aku jadi ingat, dulu aku pernah sedikit bersitegang dengan petugas kereta karena tiketku terselip. Ya! Tiketku ternyata terselip di dompet Alena. Huh, Alena!
Ya! Dia pernah menemaniku liputan di kota Cirebon seharian.
Selama perjalanan menuju Cirebon, kami berdua tak habis berbagi kisah dan bercanda.
Kuseka wajahku dengan tangan sembari melihat pemandangan di luar. Aku menghela napas dan mencoba menghapus bayang Alena dari benak. Ketika kuarahkan pandanganku ke depan, cewek berkerudung hijau tosca sedang melamun sambil memandangi jendela. Raut wajahnya agak murung.
" Abis putus ya, Mbak?" Aku tidak tahu setan apa yang merasuki diriku. Mengapa aku berani menanyakan hal sepribadi itu pada orang yang baru kutemui? Apalagi orang itu sempat marah padaku tadi.
Nyatanya, cewek berkerudung hijau tosca itu perlahan-lahan mengalihkan pandangannya ke arahku. Ekspresi wajahnya masih angkuh. Aku balas saja wajah juteknya dengan senyuman.
Kulihat ada senyuman kecil di wajahnya. Tak apa-apa kecil. Yang penting dia membalas.
"
Hampir tengah malam, Kereta Ekonomi Senja Mega sudah sangat jauh meninggalkan Stasiun Senen. Meninggalkan Jakarta. Meninggalkan Bapak dan Mbak Winta. Meninggalkan Rumah Sakit Cipto yang sudah menjadi rumah kedua untukku. Meninggalkan temantemanku. Lexi. Mario. Mia. Reno. Dan Veli.
Meninggalkan Alena dan kenangan yang terukir. Meninggalkan semua yang ada di Jakarta.
Yah... walau hanya untuk sesaat. Toh nanti aku akan kembali lagi ke kota sibuk itu.
" Tadi Anda tanya apa?" ucap cewek berkerudung hijau tosca tiba-tiba sambil menoleh ke arahku. Aku perhatikan gaya berpakaiannya, casual long dress bunga-bunga, cardigan, sepatu sandal yang sepertinya tidak murah, kuku berkilau, dan smartphone seharga hampir 10 juta. Orang seperti dia seharusnya bisa naik kereta api kelas eksekutif.
" Hmm.... Sori kalau gue lancang," jawabku seadanya. " Kayaknya saya pernah liat Anda?" responsnya dengan nada ragu.
" Di kantin?" tebakku.
Selain si cewek berkerudung putih yang menjadi teman seperjalanan cewek itu, di sebelahku kebetulan juga ada penumpang lain, seorang laki-laki muda berambut gondrong dan bertopi yang sedang terlelap.
Seandainya kedua bangku di sebelah kami kosong, aku pasti lebih leluasa mengobrol dengan cewek berkerudung hijau tosca ini. Kelihatannya dia cukup seru diajak ngobrol.
Baru saja aku ingin membuka pembicaraan, cewek berkerudung hijau tosca itu memandang jendela dan mulai menangis lagi. Tak sampai ada suara yang keluar. Setiap kali air matanya menetes, dia langsung cepat-cepat menyekanya dengan tangan.
" Oh iya, pertanyaan gue belum dijawab. Jadi? Lo baru putus?" Niatku untuk mengajaknya bicara lagi-lagi mengalihkan perhatiannya dari jendela.
" Kalau iya kenapa, kalau enggak kenapa?" responsnya datar. " Enggak kenapa-kenapa. Cuma nanya...," jawabku sambil senyum-senyum tak jelas.
" Mamaaa! Takuuut! Egi takuuuuut. Egi mimpi buruk, Maaa!" Rengekan anak kecil menghentikan pembicaraan kami berdua. Beginilah nasib naik kereta ekonomi. Ketenangan jarang-jarang aku rasakan. Tapi baguslah! Aku jadi tidak punya kesempatan untuk melamun.
" Gue juga soalnya. " Aku kembali berbicara padanya.
" Juga apa?"
" Juga baru putus. "
" Oh.... " Cewek itu mengangguk. " Ke Jogja untuk menghibur diri?"
" Enggak. Gue lagi ada kerjaan di sana. Kalo lo?"
" Kalau saya mau cari hiburan. Sekalian menjenguk Eyang Putri saya. "
Aku ikut-ikutan cewek berkerudung ini memandangi jendela. Gelap. Tak terlihat apa-apa. Hanya beberapa titik lampu di kejauhan.
" Hmm... nama lo siapa?" ungkapku malu-malu. Sambil memandang jendela, dia berkata, " Saya.... " " Iya. Elo. Nama lo siapa?"
" Hmm.... " Cewek itu memiringkan kepalanya. " Iya, Saya.... " " Iya, Anda. Saya ingin tahu nama Anda," jawabku jadi bingung. " Iya. Saya.... "
" Iya?" Aku mengerutkan dahi. " .... "
" .... "
JES JES JES JES JES JES! Diam menggantung.
Tidak ada suara apa-apa kecuali suara kereta.
" Nama saya.... Saya," jawabnya sekali lagi. Pada akhirnya, aku mengerti maksudnya.
" Oh... nama lo itu Saya?" " Iya. "
" Ho.... Nama lo Saya? Hahaha!" Aku tertawa sambil menggarukgaruk rambut cepakku. " Sori, sori, gue baru ngeh. Salam kenal, Saya. Gue Bintang. Oh iya, lo nulis pakai tangan kiri, ya?"
Pertanyaanku yang kedua mengenai tangan kiri ternyata membuatnya tak nyaman. Bukan maksudku ingin mengorek kepribadiannya sebagai orang kidal. Haaah! Aku sendiri bingung mengapa pertanyaan sejenis itu yang keluar dari mulutku. Apakah cewek kidal seperti Alena begitu menarik buatku?
" Memangnya kenapa? Sebuah kekurangankah kalau saya kidal?" jawabnya dengan mimik tak enak.
" Eh, bukan, bukan.... Jangan tersinggung. "
Saya membetulkan cara duduknya. Temannya yang duduk di sampingnya mulai mengantuk dan sesekali menyenderkan kepalanya di bahu Saya. " Lalu? Kenapa kamu antusias sekali melihat saya kidal?"
" Mantan gue kidal," potongku tiba-tiba. " Oh.... " Saya agak melunak. " Baru putus?" " Iya. Kan tadi gue udah bilang. Lupa, ya?"
" Ngomong-ngomong, tahu dari mana kalau saya sudah putus?" tanyanya tanpa menggubris sindiranku barusan.
" Tadi gue liat lo nulis sesuatu yang kayaknya desperate banget di agenda lo. "
" Oh.... Itu.... " Saya kembali memandang jendela. " Cepat sekali menyimpulkan kalau saya baru putus. Bisa saja kan saya itu seorang penulis yang sedang membuat kata-kata indah untuk novel?"
" Kalau memang sedang menulis, kenapa sampai menangis segala? Takut novelnya tidak best seller-kah?"
Pertanyaan terakhirku tak dijawab oleh Saya. Sudah beberapa menit berlalu, sesekali dia masih menangis sambil memandang ke luar. Sampai akhirnya, dia tertidur. Aku yang mati gaya karena tidak punya teman ngobrol akhirnya iseng mengambil smartphone dari kantung jaket.
Ada pesan WhatsApp dari Lexi. Aku segera membacanya.
Lexi : Gue nginep di rmh Alena, Bin! Alena masih curhat ke gue
sampe sekarang! Kulirik jam tanganku. Saat ini pukul 23.50 malam. Pesan dari Lexi terkirim jam 21.21 WIB.
Kenapa dia baru curhat skrng? Putusnya kan udah kemaren-kemaren! Btw, msh curhat? Aku mengetik balasan untuk Lexi. Rupanya Lexi langsung menjawab: Menurut looo? Ya, masihlah! Aku : Eh, masih bangun lo, Lex? Terus? Lo jd sebel bgt sama gue gitu?! Eh, Lex, gue kenalan sama cewek di kereta. Kyknya orgnya menarik. Baru putus jg doi. Gue deketin dia aja gimana?
Lexi : Ngapain lo minta izin sgala ma gue? Lo kira gue emak lo? Ya, deketin aja klo lo mau! Ah gilaaaaaaa! Ngebayangin jadi gue nggak sih lo? Kuping denger curhatan plus tangisan Alena, tp mata baca chatting lo yg nyeritain cewek lain. Untung gue lagi pake masker, ekspresi gue jd nggak ketahuan sm Alena!
Aku : Derita lo! Ahahahaaa!
Lexi : Bin! Alena ngambek nih gue main hape mulu. Nggak denger
curhatnya. Udahan ya... Have fun sm cewek baru. Aku : Oke! Gue jg mau ngobrol lg sama Saya. Hehehe....
"
" Saya menangis bukan karena putus. Saya sudah putus dua tahun yang lalu. " Obrolan tak jelasku dengan Lexi terhenti. Saya terbangun dan menjawab pernyataan yang kulontarkan beberapa menit lalu.
" Kenapa lo bisa putus? Putusnya sudah dua tahun yang lalu, tapi sedihnya sampai sekarang?" tanyaku lagi penuh perhatian. " Siapa yang masih sedih sampai sekarang?" balasnya. " Tadi siapa yang nangis sambil liat jendela?"
" Mmm.... Iya, tadi saya memang agak sedih. Tapi bukan menangisi mantan. Saya teringat almarhum Eyang Kakung yang meninggal tahun lalu. Sekarang Eyang Putri tinggal sendirian di Jogja. B e liau lagi sakit. Makanya, saya dan Nely mau menjenguk Eyang. " Saya menunjuk temannya yang sedang tertidur di bahunya. " Oh& . Gue kira lo galau ingat mantan lo. "
Saya tak membalas kata-kataku. Dia hanya tersenyum. " Terus? Kata-kata di agenda lo itu apa?"
" Kan saya tadi sudah bilang. Bisa saja kan tulisan yang kamu baca itu potongan kalimat di novel. "
Aku menghela napas sambil terkekeh. " Lo putus kenapa?" Rasa ingin tahuku kembali menyeruak.
" Apa saya harus cerita? Kita baru kenal lho. Lagi pula itu cerita basi. Sudah dua tahun yang lalu, kan?" balasnya.
" Terus kenapa kalau udah dua tahun? Apa perlu gue cerita duluan? Habis gue cerita, baru lo cerita. "
Saya tak menggubris omonganku. Dia malah memalingkan wajahnya ke jendela kembali.
Kereta api berhenti di Stasiun Cirebon. Aku jadi ingat momen jalan-jalan berdua dengan Alena ke Cirebon. Waktu itu, aku masih berstatus wartawan magang. Seniorku di tempat kerja memintaku menulis liputan tentang ragam kuliner di Cirebon. Bersama Alena, aku mencicipi berbagai kuliner di kota pesisir utara Jawa itu, seperti mie koclok mie rebus berkuah santan , nasi jamblang, empal gentong, nasi lengko dengan kerupuk aci, dan membeli oleh-oleh Tjampolay sirup manis khas Cirebon. Kami berangkat subuh dari Jakarta dan meninggalkan Cirebon sekitar jam sepuluh malam. Sebenarnya, aku sudah selesai meliput sorenya, tetapi Alena minta ditemani keliling-keliling Kota Udang itu untuk mencari batik. Akhirnya, dapatlah sepotong blazer batik Cirebon berwarna merah, warna favorit Alena. Batik Cirebon berbeda dengan batik Solo atau Jogja. Warna-warna batik Cirebon lebih mencolok daripada batik Solo atau Jogja yang dominan cokelat. Itulah ciri khasnya.
Aku ingat betul, pada akhirnya aku menulis dua artikel untuk tempat magangku. Artikel pertama tentang kuliner Cirebon, artikel kedua tentang batik Cirebon. Gara-gara Alena bersikukuh mencari batik, aku jadi terinspirasi menulis tentang batik. Tak sia-sia, aku mendapatkan bonus traktiran dari seniorku di tempat magang. Ups! Mengapa Alena lagi yang ada dalam pikiranku? Untung seminar jurnalistik yang akan kuhadiri ini diadakan di Jogja, bukan di Cirebon. Seandainya di Cirebon, mungkin akan banyak lagi kisah tentang Alena yang muncul dalam ingatan.
" Huacih! Huacih! Huacih!" seorang kakek-kakek bersin. Keras sekali suara bersinnya hingga membuat seorang balita terbangun. Kemudian merengek. Suasana di kereta kembali riuh.
Aku merasa resah karena lagi-lagi teringat Alena. Aku harus mengalihkan pikiranku cepat-cepat. Lebih baik aku ngobrol saja dengan Saya.
" Gue sayang dia dan dia sayang gue. " Aku mulai bercerita. Saya menoleh ke arahku dengan ekspresi datar. " Tapi kita putus karena dia ingin cepat-cepat menikah," lanjutku dengan suara lantang, berusaha mengalahkan suara-suara riuh tak jelas di kereta. " Tapi gue nggak bisa. Mbak gue.... Hmm, maksud gue kakak gue... dia belum mau nikah. Sedangkan gue nggak mau melangkahi dia. Mbakyu gue punya prinsip bahwa dia akan menikah setelah Bapak sembuh. Tapi nggak tau deh Bapak sembuhnya kapan. Kemarin aja opname lagi. " " Jadi, mantan kamu nggak mau nunggu?" Saya mulai antusias. Aku menggeleng. " Alena terus didesak keluarganya untuk cepatcepat menikah. "
" Alena... namanya bagus. "
Aku mengangguk. Aku akui, Alena memang nama yang bagus. Kereta api mulai berjalan lagi meninggalkan Stasiun Cirebon. Seorang ibu dengan dua anaknya baru saja menaiki kereta dari stasiun tersebut. Sang ibu mengenakan batik Cirebon berwarna merah. Motifnya memang jauh berbeda dengan motif batik Cirebon milik Alena, tetapi aku jadi teringat lagi dengan sosok Alena yang tengah mengenakan baju batik Cirebon merahnya itu.
" Hoooooogh! Hoooooogh!" Mas-mas yang duduk di sebelahku mulai mengorok. Bunyi ngoroknya aneh. Ya sebenarnya persetan dengan bunyi ngoroknya, tetapi itu benar-benar mengganggu.
"
Kereta api terus melaju. Di gerbong kereta tempat Saya dan aku duduk, hampir semua orang tertidur lelap. Termasuk si kakek yang suka bersin maupun bayi yang tadi merengek.
" Sori ya& . " Aku memandang jendela. " Mungkin lo menganggap gue aneh karena gue cerita tentang hal pribadi ke orang yang baru gue kenal kayak lo. Cuma.... Gue memang nggak tahu mau berbagi kisah sama siapa. Semua teman gue ya temannya mantan gue juga. Dan mantan gue ini kalo ngomong tentang kesalahan gue jago banget. Gue jadi males. "
" Nggak apa-apa kok. Kebetulan saya juga suka ngobrol. Dan keliatannya kamu memang lagi pingin cerita. "
" hank you," balasku sambil tersenyum. " Oh iya, lo sendiri kan pernah putus. Terus, gimana cara lo move on?"
" Apa? Move on?" " Iya. "
Saya tersenyum. " Hmm& jujur aja, saya nggak tahu kapan tepatnya saya move on. Saya juga nggak pernah niat untuk move on waktu itu. Tiba-tiba lupa aja. "
" Oh, ya?" komenku singkat, berharap Saya akan melanjutkan ceritanya sendiri.
" Setelah putus, saya mencoba menjadi Saya yang lebih baik. Saya menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang menurut saya lebih bermanfaat. Bukannya mengingat-ingat Elang lagi. " " Nama mantan lo Elang?"
" Iya. Namanya Elang. " Saya mengangguk. " Sesuai namanya, ternyata dia seperti elang yang ingin terbang bebas meraih mimpi di langit. Mungkin baginya, saya ini penghalang. Jadi ketika saya sangat mencintainya, Elang pergi tiba-tiba. "
" Pergi ke mana?"
" Pergi ke pelaminan. Ironis, ya? Hahaha& ," jawab Saya diakhiri tawa.
" Hah? Pelaminan?"
" Elang memilih menikah dengan sahabatnya. Ternyata selama pacaran sama saya, dia punya perasaan mendalam terhadap sahabatnya. "
" Waaah...," aku bingung harus berkata apa. " Terus gimana? Lo galau banget dong waktu itu?"
" Banget. Sampai akhirnya, saya menemukan sesuatu yang mengisi kekosongan hati saya& . "
" Apa? Pasti cowok baru. " " Bukan. "
" Jadi?" " Tuhan. " " Tuhan?"
" Allah. Allah yang Maha Menguasai Hati semua makhluk-Nya. Termasuk hati Elang yang tiba-tiba condong pada sahabatnya. Itu pasti atas kehendak-Nya. "
Percakapan kami terhenti. Ada petugas kereta yang menawarkan sewa bantal. Saya menyewa satu yang kemudian dia letakkan di kepala Nely.
" Jadi?" tandasku. " Jadi apa?"
" Kamu sudah terima semuanya?" " Sudah. " Saya tersenyum.
" Gi... gimana caranya?" tanyaku ingin tahu. Saat ini, aku benarbenar ingin menjadi Bintang yang melupakan Alena. Kalau ada obat antigalau, meski rasanya pahit atau harganya selangit, pasti kubeli.
" Libatkan Allah dalam setiap langkahmu. Saat putus, saya menemukan suatu kesalahan saya selama berpacaran dengan Elang. " " Apa itu?"
" Selama berpacaran dengan Elang, saya lupa pada Allah. Bahkan rasa cinta saya kepada Elang mengalahkan rasa cinta saya kepada kedua orangtua, dan parahnya juga mengalahkan rasa cinta saya pada Allah. "
Aku tertegun mendengar jawaban Saya. Apakah pernyataan itu juga cocok untuk menjawab alasan berakhirnya kisahku dengan Alena?
Apakah aku lebih mencintai Alena daripada Allah? Tiba-tiba smartphone Saya yang di dalam tas bergetar. Saya segera mengeluarkannya.
Saya mengutak-atik smartphone itu. Kemudian smartphone tersebut dia matikan dan masukkan kembali ke dalam tas. Katanya, baterainya sudah mau habis, jadi dimatikan dulu supaya tetap bisa digunakan sesampai di Jogja.
" Hmm... Kalau hapenya udah nyala lagi, gue minta nomor hape lo, ya?" pintaku agak ragu.
" Untuk?"
Aku memutar-mutarkan mataku. " Hmm.... Ngobrol-ngobrol. " " Nanti saja, ya?" Wajah Saya tampak bimbang.
" Nanti aja? Kenapa? Kapan? Nanti di pelaminan? Hahaha& . " Niatku untuk melucu langsung punah. Saya tidak menan gg apinya. Dia malah mengembalikan pandangannya ke jendela kereta.
3
Shalat dalam Kereta
Alena 00.05 AM : Without u, i will survive Alena 00.09 AM : I will survive
Alena 00.15 AM : Sehabis topan badai pasti ada pelangi Alena 00.18 AM : Mencintaimu seperti menghadang topan badai
B eberapa status Alena di akun media sosial miliknya menarik per
hatianku, tetapi memenatkan pikiran. Dalam keadaan hanya aku yang terjaga di gerbong kereta ekonomi menuju Yogyakarta dini hari ini, pikiranku melayang ke mana-mana karena membaca status-status Alena. Saat ini, aku tak bisa mengidentiikasi perasaanku. Marahkah?
Sedihkah?
Kangenkah padanya? Mati rasakah?
Atau....
Siap jatuh cintakah?
Entahlah. Yang pasti aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai manusia, yaitu melanjutkan hidup.
Alena terus menulis apa yang dia rasakan di media sosial. Jujur! Aku paling malas dengan orang yang mencurahkan isi hatinya di ruang publik seperti itu. Bukankah jika seluruh dunia tahu, kita akan menanggung malu?
Tanganku tiba-tiba tergoda untuk chating dengan Lexi yang sedang menginap di rumah Alena. Ingin rasanya aku mengetahui situasi kamar Alena saat ini. Apakah sesi curhat seputar kekejamanku versi Alena masih berlangsung?
Namun, justru kemudian aku bingung. Apa perlu aku tanyakan hal itu kepada Lexi?
Sepertinya sih, tak usah. Lagi pula, aku mulai mengantuk. Lebih baik aku tidur.
" Nggak tidur, Bin?" Suara Saya menggeser perhatianku. " Eh... ini gue mau tidur," jawabku seraya memasukan smartphon e ke dalam saku jaket jinsku. Kemudian aku masukkan jaketku ke dalam tas ransel. Aku malas mengenakannya. Udara di gerbong kereta ekonomi agak panas. Padahal AC-nya menyala.
" Grrroooookkk!" Mas-mas ngorok yang duduk di sampingku membersihkan dahak di tenggorokannya. Sumpah! Aku terganggu sekali. Mengapa dia selalu mengeluarkan suara-suara aneh saat aku berbincang-bincang dengan Alena? Benar-benar tak bisa melihat orang sedang berbunga-bunga!
Eh, salah!
Berbincang-bincang dengan Saya maksudku.
Saya menempelkan kedua telapak tangannya di dinding kereta. Aku tak mengerti dia sedang apa. Mungkin tengah memeriksa material gerbong kereta. Alena juga suka begitu. Alena adalah seorang desainer interior. Setiap kali bepergian dengannya ke suatu tempat, dia pasti mengetuk-ngetuk dinding bangunan dan memantau setiap sudut ruangan. Siapa tahu bangunan atau ruangan yang dia datangi memberinya ide dalam menciptakan rancangan interior yang keren.
Kalau memang begitu, apa Saya juga seorang desainer interior? Atau arsitek?
Setelah Saya menempelkan kedua telapak tangannya di dinding kereta, dia meniup telapak tangannya dan mengusap wajahnya. Aku jadi bingung, Saya sedang apa?
Aku tercenung memperhatikan Saya. Setelah itu, dia tempelkan lagi kedua telapak tangannya ke dinding kereta, dia tiup kedua telapak tangannya dan mengusap kedua sisi luar telapak tangannya. Pertama-tama yang kanan. Kemudian yang kiri.
" Saya& lo ngapain?" tanyaku bercampur heran.
Saya tak langsung menjawab. Dia malah mengangkat kedua tangannya seperti orang sedang berdoa. Kemudian dia basuh lagi wajahnya sambil berkata, " Aamiin.... "
" Bintang, maaf, tadi saya nggak langsung jawab pertanyaanmu. Saya lagi bertayamum. "
" Tayamum?" ulangku.
Saya mengangguk. Lalu dia menunduk, mulutnya komat-kamit. " Allahu akbar...," ucapnya lirih. Rupanya cewek ini sedang shalat. Shalat apa dini hari begini? Shalat Tahajud? Wah.... Terakhir kali aku melakukannya adalah ketika ikut pesantren kilat semasa SMA.
Berkali-kali aku melirik ke arah Saya. Entah mengapa mataku tak mau lepas darinya. Saya memang cantik, baik, supel, pintar, religius, dan di mataku dia terlihat sebagai gadis yang bijak. Anehnya, rasa ingin PDKT dengannya sedikit memudar. Aku tak hanya ingin PDKT dengannya, tetapi aku juga ingin PDKT dengan ilmunya. Tepatnya, semua ilmu yang dia ketahui tentang& Allah dan Islam. Tanpa ada yang menyuruh, aku ikut bertayamum. Aku tempelkan kedua telapak tanganku di dinding kereta. Setelah itu, aku basuh wajahku. Aku ulangi gerakan pertama, baru kubasuh kedua tanganku.
Aku sudah hampir melaksanakan shalat Tahajud saat tiba-tiba aku ingat ajaran guru agamaku sewaktu SMA: kita tak boleh melaksanakan shalat Tahajud jika kita belum melaksanakan shalat Isya.
Karena aku belum shalat Isya, segera aku urungkan niatku untuk shalat Tahajud. Masalahnya, aku lupa batas waktu melaksanakan shalat Isya.
Daripada salah, lebih baik aku tunggu Saya selesai mengerjakan shalat malamnya.
"
Kurang lebih tujuh menit kemudian, Saya sudah menyelesaikan shalat Tahajud-nya. Tanpa menunggu lagi, aku lontarkan saja beberapa pertanyaan kepadanya.
" Saya, tadi tayamum gue bener nggak?"
" Saya, yang diusap tangan kanan dulu baru tangan kiri, kan?" " Oh iya, gue mau shalat Tahajud, tapi gue belum shalat Isya. Berarti gue harus shalat Isya dulu, ya?"
" Saya, niat kalo mau shalat Isya gimana sih?" " Tapi, masih bisa shalat Isya nggak, ya?"
Kedua mata Saya tertuju kepadaku. Kelihatannya dia bingung menjawab berondongan pertanyaan dariku. Sampai akhirnya dia terkekeh sebentar. " Bintang... Bintang.... Kamu lucu juga ya. Banyak nanya kayak murid-murid saya. "
" Murid-murid?"
" Iya, saya guru di taman kanak-kanak dekat rumah. " " Waaah.... " Lagi-lagi aku terkagum-kagum pada Saya. " Terus? Tadi nanya apa aja, Bin? Saya jawab ya.... " Aku mengangguk antusias.
" Saya kan nggak lihat kamu tayamumnya gimana. Kalau kamu nggak keberatan, bisa diulang?"
" Tentu. " Kutempelkan kedua telapak tanganku di dinding kereta, kemudian aku basuh wajahku. Aku tempelkan lagi kedua telapak tanganku di dinding kereta. Setelah itu, aku basuh kedua telapak tangan bagian luar dan dalam. Pertama-tama telapak yang kanan, lalu telapak yang kiri.
" Bener kok, Bin. Setelah itu, kamu berdoa. " " Doa apa?"
" Doanya sama seperti doa selesai berwudhu. " " Gue nggak hafal. " Aku cengengesan. " Ikuti saya ya.... "
" Oke. "
Doa setelah Wudhu/Tayamum
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, tidak ada yang dapat menyekutukan-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku orang yang bertobat dan jadikan aku orang yang menjaga kebersihan dan jadikanlah aku hamba- Mu yang saleh.
4
Butir-Butir Debu
B utiran debu tayamum menyentuh wajah dan kedua telapak
tanganku. Setelah melafalkan doa sehabis wudhu, aku segera melaksanakan shalat Isya. Kali ini kucoba melaksanakan ibadah dengan khusyuk.
Biasanya ketika shalat, aku hanya membaca bacaan shalat tanpa meresapi artinya. Namun kali ini, aku mencoba memikirkan artinya sedikit demi sedikit. Sepertinya aku terkena pengaruh Saya yang barusan memberitahuku arti doa sesudah berwudhu. Aku tertarik dengan arti doa tersebut. Selain bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan kita dan Muhammad adalah nabi kita, dalam doa tersebut kita juga meminta agar tetap dijadikan orang yang bertobat dan menjaga kebersihan. Bagi umat Islam, kebersihan itu sebagian dari iman.
" Allahu akbar& . " Kuangkat kedua tanganku sambil melafalkan takbir kepada Allah. Biasanya sehabis takbiratul ihram, aku langsung membaca Surah Al-Fatihah saat bersedekap. Tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
Saat ini, aku ingin membaca doa Ititah yang pernah diajarkan guru agamaku di sekolah. Sebelumnya Saya mengatakan bahwa sebaiknya doa Ititah yang berisi kalimat-kalimat keagungan juga dibaca agar shalat kita lebih sempurna.
Doa It itah
Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan dan aku bukanlah termasuk orang-orang
musyrik. Shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya. Demikianlah aku diperintah dan aku termasuk orang-orang muslim. (Hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Muslim, dan Ibnu Abi Syaibah.)
Setelah membaca doa It itah, lidah dan bibirku bergerak-gerak melirihkan Surah Al-Fatihah, surah pertama dalam Al-Qur an.
Al-Fatihah (Surah 1) Termasuk surah Makkiyah.
1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai Hari Pembalasan.
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus, 7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (jalan) mereka yang sesat.
Bintang Jatuh Karya Silvarani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sehabis membaca Surah Al-Fatihah, aku memilih Surah Al-Ikhlash di rakaat pertama. Waktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar di Semarang, teman sebangkuku pernah bertanya pada guru agama kami di kelas. Pertanyaannya waktu itu: " Mengapa tidak ada kata ikhlas dalam Surah Al-Ikhlash?"
Guru agamaku menjawab, " Dengan meyakini kata demi kata dalam Surah Al-Ikhlash yang menceritakan tentang keesaan Allah, berarti kita termasuk golongan orang-orang yang ikhlas menjalankan agama Islam. Hidup dan mati, Insya Allah dalam keadaan Islam, beriman, dan bertakwa. Amin ya rabbal alamin. " Surah Al-Ikhlash (Surah 112) Termasuk surah Makkiyah.
1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. 2. Katakanlah: " Dialah Allah, Yang Maha Esa. 3. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
4. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, 5. dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia."
" Allahu akbar. " Bibir dan lidahku melafazkan takbir kembali. Kemudian aku rukuk. Cara rukuk ketika menjalankan shalat di kereta atau selama duduk dalam perjalanan adalah dengan membungkukkan badan sedikit. Doa yang kubaca:
Mahasuci Tuhanku yang Mahaagung. (Dibaca 3 kali.)
" Sami Allaahu liman hamidah. " Gerakan selanjutnya adalah iktidal. Doa yang kubaca:
Allah mendengar orang yang memuji-Nya. Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik, dan penuh dengan berkah.
"
Setelah iktidal, aku menundukkan badanku agak lebih dalam, tanda sujud. Doa yang kubaca sama dengan doa ketika aku rukuk.
Mahasuci Tuhanku yang Mahatinggi. (Dibaca 3 kali.)
" Allahu akbar. " Kini aku menegakkan badanku kembali, tanda duduk di antara dua sujud. Doa yang kubaca:
Ya Allah, ampunilah aku, sayangilah aku, cukupkanlah kekuranganku, angkatlah derajatku, tunjukilah aku, selamatkanlah aku, dan berilah aku rezeki yang halal.
Aku resapi kata demi kata bacaan shalatku. Hingga akhirnya aku sampai pada akhir rakaat keempat, gerakan tahiyatul akhir. Kulirihkan bacaan tahiyat, shalawat, dan doa sebelum salam:
Segala kehormatan, keberkahan, rahmat, dan kebaikan adalah milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat Allah dan berkah-Nya (tetap tercurahkan) atasmu, wahai Nabi. Semoga keselamatan (tetap terlimpahkan) atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah. Wahai Allah! Limpahkanlah rahmat kepada penghulu kami, Nabi Muhammad dan kepada keluarga penghulu kami Nabi Muhammad. Sebagaimana telah Engkau limpahkan rahmat kepada penghulu kami, Nabi Ibrahim dan kepada keluarganya. Dan limpahkanlah berkah kepada penghulu kami, Nabi Muhammad dan kepada keluarganya. Sebagaimana telah Engkau limpahkan berkah kepada penghulu kami, Nabi Ibrahim dan kepada keluarganya. Sungguh di alam semesta ini, Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia.
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa Neraka Jahanam dan dari siksa kubur, dan dari fitnah kehidupan, fitnah setelah mati,
dan dari kejahatan fitnah al-Masih Al-Dajjal. " Assalamualaikum warahmatullah.... " Aku menoleh ke kanan. " Assalamualaikum warahmatullah.... " Kemudian ke kiri.
Kuusap wajahku dan siap berdoa. Semoga Allah menerima shalatku ini, shalat yang jarang kulakukan.
5
Siapa Saya?
S aya sudah menerima riend request Facebook dan Path dariku.
Sambil menunggu kantuk selepas shalat Isya dan Tahajud, aku mengutak-atik timeline, biodata, dan foto-foto yang ada di akun media sosialnya itu melalui smartphone.
Rupanya Saya jarang meng-update akun media sosialnya. Post terakhirnya sudah sekitar setahun lalu. Jadi, tidak sulit menemukan post setahun atau dua tahun yang lalu. Dari situlah aku mengetahui sosok mantan pacarnya yang bernama Elang.
Aku membuka album foto berjudul " Me and Him" . Di album itu hanya ada dua orang yang di-tag: Saya Andromeda Larasati dan Elang Adiguna Dharmansyah.
Penasaran, aku klik saja nama Elang untuk melihat proil Facebook-nya. Sayangnya, dia sepertinya cukup tertutup. Tak ada satu pun informasi yang bisa kulihat di akunnya, kecuali nama dan jenis kelaminnya.
Aku kembali melihat album foto Saya yang berjudul " Me and Him" .
Dari beberapa foto di album itu, aku jadi tahu sosok Elang. Badannya tinggi. Kulitnya sawo matang. Wajahnya tak terlalu jelas karena dia sering mengenakan kacamata hitam. Kamera SLR selalu menggantung di leher atau dia selempangkan di badannya.
Hampir setiap hari Elang mengisi wall Saya dengan kalimatkalimat romantis dan link lagu romantis dari Youtube. Di beberapa foto, dia tampak merangkul Saya yang belum berhijab dengan senyum sumringah. Dia tampak sangat mencintai Saya. Mungkin melebihi rasa cintaku pada Alena atau rasa cinta Alena padaku di masa lalu.
Aku jadi penasaran.
Apa yang terjadi padanya sehingga laki-laki itu melepas Saya? Apa benar seperti yang Saya katakan bahwa Elang seperti elang yang ingin terbang tanpa ada yang melarang? Bahwa dia ingin bertualang terbang ke langit yang lebih tinggi?
Jika benar begitu, apa Elang tak pernah berpikir kalau di langit yang lebih tinggi itu dia bisa saja menemui halilintar yang dahsyat, dinginnya udara, atau awan kelabu yang semakin menghalangi jalannya?
Apa dia yakin dapat menerjangnya tanpa Saya?
Atau dia sengaja melepaskan Saya justru untuk menghindarkannya dari kegelapan langit?
"
Elang Adiguna Dharmansyah (10 Juli 2010. 18 comments) " Hi, Hon.... Ini aku bikin lagu buat kamu. Cek blogku http://SayaElang. blognotes.com"
Penyakit kepoku semakin akut. Aku klik saja blog milik Elang. Waduh! Sepertinya dia mempunyai jiwa petualang yang sangat besar. Blog itu berisi foto-foto hasil karya Elang. Sebagian besar foto tersebut menggambarkan keindahan alam tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, seperti Danau Toba, Pulau Seribu, Bunaken, Tanah Lot, Gunung Salak, Lombok, Raja Ampat, dan Pantai Pataya.
Oh! Ternyata ada yang jauh lebih unik.
Di semua foto itu, ada sosok Saya yang belum berhijab sedang tersenyum manis.
"
Alena 03.50 AM : Menjalin hubungan tanpa mau menikah sama saja seperti kuliah tanpa mau wisuda.
Alena 02.29 AM : Cinta yang gagal sama lo adalah pengalaman untuk mendapatkan cinta yang abadi bersama orang lain.
Setelah kekepoanku terhadap Elang berakhir, status Alena di media sosial kembali terbaca. Haduuuh! Bikin runyam otak saja.
Entah mengapa, aku jadi kesal dengan Alena. Dalam hati aku bertanya, siapa yang tidak ingin menikah dengannya? Aku ingin menikah dengannya, tetapi tidak sekarang. Bapakku masih sakit. Aku ingin dia menungguku. Kalau tidak bisa, apa boleh buat? Putus, kan?
Malam saat aku dan Alena memutuskan hubungan, aku memberikan dua pilihan padanya, yaitu aku membantunya bicara pada ayahnya yang terus mendesaknya untuk menikah, atau kami putus saja karena aku tak bisa menikah sebelum Bapak sembuh dan Mbak Winta menikah.
Saat memberikan dua pilihan itu kepadanya, aku yakin Alena akan memilih yang pertama. Dia sudah banyak menceritakan mimpinya di masa depan bersamaku. Gara-gara itu, aku juga sudah merencanakan banyak hal untuk hidup bersamanya kelak. Memang aku akui bahwa sebelumnya aku berpikir hubungan dengan Alena tak akan serius. Suatu hari, kami berdua pasti putus. Namun, ternyata Alena tidak memperlihatkan sikap main-main. Dia ingin merajut hubungan yang serius, dan aku pun siap.
Tahu-tahu, Alena memilih yang kedua. Aku benar-benar terkejut. Dia mengatakan bahwa aku tidak bisa diharapkan sehingga dia memilih putus. Aku yang dalam keadaan terpuruk karena Bapak sakit, tak bisa lagi berargumen. Aku mengangguk saja.
Dan, aku malah ditampar.
Sekarang, dia menulis status-status di media sosial yang membuat perasaanku tak enak. Benar-benar childish! Padahal, aku sudah menawarkan seribu cara untuk mempertahankan hubungan kami. Aku bukannya tidak mau menikah dengannya, aku hanya ingin dia menunggu sampai Bapak sembuh. Kalaupun dia benar-benar ingin menikah tahun ini, beri aku waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar aku bisa bicara dengan Mbak Winta dan Bapak. Nyatanya, dia tak memberiku kesempatan.
Membaca status-statusnya itu, aku jadi ingin bicara padanya. Tanpa berpikir panjang, aku kirimkan pesan chat kepada Alena. Aku ingin menjelaskan padanya bahwa aku tidak seperti apa yang dia pikirkan. Kalau dia mau sedikit mengerti, aku bisa saja membuka hati lagi untuknya dan menghadapi semua kesulitan bersamasama. Menghadapi ayahnya, Mbak Winta, dan bapakku. Aku : Len?
Ternyata Alena langsung membalas chat-ku. Dia tidak tidur? Apa masih curhat dengan Lexi? Ya ampun!
Alena : Ya?
Aku : Aku baca status media sosialmu. Kenapa nulisnya begitu?
Alena : Memangnya kenapa? Bukan buat lo kok. Aku : Salah gue di mana sih?
Alena : Bukan buat lo kok. Aku : Len...
Alena : Bukan buat lo... JES JES JES JES JES JES!
Kereta terus melaju. Selain aku, tak ada orang lain yang terjaga. Saya pun sudah terlelap dengan kedua tangan dilipat di dadanya. Aku lanjutkan saja mengirimkan pesan chat kepada Alena. Aku : Len, dulu kan gue pernah bilang ke lo klo gue punya pikiran nikah sama lo, tapi tunggu bokap gue sembuh. Justru gue yg ngerasa lo tipu. Lo terlihat mau nunggu gue. Lo jg udah banyak cerita tentang masa depan kita. Bikin gue makin yakin sama lo. Eh, taunya lo nggak mau nunggu dan milih putus. Gue jg galau abis kita putus gini!
Alena : Gue didesek Bokap buat nikah taun ini, tau! Lo nggak bisa,
ya udah.... Aku : Kan gue udah nawarin supaya gue ketemu dan ngomong sama bokap lo? Klo emang bokap lo nggak mau nerima, ayo kita sama2 ngomong sama Mbak Winta. Siapa tau mbakku melunak dan mau menikah segera. Pokoknya kita hadapi sama-sama, Len. Btw, lo nggak tidur, ya? Istirahat, Len. Alena : Nggak usah, Bin. Gue udah capek sama hubungan kita. Aku : Kita hadapi sama-sama, Len! Gue jg pernah kok ada di fase kayak lo. Capek sama hubungan ini. Tapi kita nggak boleh nyerah gitu aja, kan? Masa mengorbankan hubungan kita yg udah kita bangun ini?
Alena : Tapi gue jadi capek, Bin.
Aku : Jadi, gue harus gimana, Len? Apa pun gue lakuin klo gitu. Alena : Gini deh... Hubungan itu yg jalanin 2 org, kan? Aku : Ya?
Alena : Lo bisa bayangin kan klo cm 1 org yg jalanin, ya bukan hu
bungan namanya. Aku : Maksudnya? Siapa 1 org itu?
Alena : Ya elo! Elo yg katanya mau usaha ngomong ma bokap gue. Aku : Jadi, lo nggak mau nyoba buat ngomong sama ortu lo? Lo
nggak mau nyoba mempertahankan hubungan ini, Len? Alena : Kan gue tadi udah bilang klo gue capek.
Aku : Berarti alasan putus bukan krn didesak nikah dong? Tp krn lo udah capek? Buktinya gue tawarin buat ngomong ma bokap lo, lo nggak mau? Padahal gue juga udah mau ngomong sama Mbak Winta. Ya... cukup tau aja sih gue. Lo udah capek berarti. Jgn jadiin didesak nikah cepat-cepat sebagai alasan. Pake nampar gue segala di rumah sakit!
Alena : Tapi gue emang udah disuruh nikah! Gue tidur dulu ya. Ca
pek! Entah mengapa, aku jadi bingung dengan jalan pikiran Alena. Menurut laporan Lexi, Alena curhat sambil menangis. Kalau memang iya, mengapa ketika aku ajak dirinya balikan dan menghadapi semuanya bersama-sama, dia tak mau?
Masa Lexi bohong?
Atau... Alena gengsi menunjukkan kesedihannya padaku? Aku juga sedih karena Alena memosisikanku sebagai pendosa yang membuatnya patah hati dan memamerkan kesalahanku di media sosial. Padahal, aku sudah menawarkan solusi, tapi dia sendiri yang menolak. Yah... yang mengajukan pilihan putus memang aku, tetapi yang memilih untuk putus adalah dirinya yang sulit ditebak.
Jadi, kusimpulkan saja, mungkin dia tidak butuh aku dalam hidupnya. Yang dia butuhkan adalah pendamping yang bisa me nikahinya sesegera mungkin.
Alena 04.30 AM : Jika mempertahankan hubungan membuat lo capek, lepaskan saja org nggak guna itu. Move on!
Alena mengganti statusnya lagi. Ya Tuhan! Aku jadi serbasalah. Merenung. Aku mencoba untuk merenung. Aku baca ulang percakapan kami berdua barusan. Sungguh kelihatan sekali perbedaannya. Aku mengetik kalimat-kalimat yang panjang. Aku mencoba menjelaskan semua yang kurasakan sampai detail. Jemariku lincah dan pegal memencet setiap keypad di smartphone-ku. Sedangkan Alena? Dia hanya menjawab dengan kalimat-kalimat yang singkat dan terkesan tidak mau berpikir. Ujung-ujungnya, dia bilang bahwa dia capek.
Kuperhatikan foto proil Alena di akun media sosialnya selama beberapa detik. Foto itu bergambar dirinya sedang duduk sambil meminum ruit punch. Aku yang mengambilnya ketika kami makan malam bersama. Malam itu, Alena mentraktirku karena dia mendapatkan proyek interior untuk sebuah kafe yang khusus menyajikan masakan Italia di Senopati. Aku ingat masa-masa menyenangkan itu.
Namun, ketika aku teringat sikapnya barusan, jari-jemariku sontak bergerak melakukan sesuatu.
Aku mengklik tombol " delete" .
Dan, namanya hilang begitu saja dari datar pertemanan akun media sosialku.
Maaf, Alena....
Aku ingin tidur dulu. Capek!
6
Skenario Allah I
A lena Fairuza Listyaningrum. Itulah namanya. Pacar serius per
tamaku. Seorang Alena dapat mengubah pribadi seorang Bintang yang playboy, mementingkan karier, dan menomorsekiankan pernikahan (aku dulu punya target menikah pada usia 30 tahun) menjadi seorang Bintang yang serius terhadap hubungan percintaan, ingin cepat-cepat menikah, dan mengejar karier bersama pasangan.
Siapa sebenarnya Alena?
Mengapa dia bisa mengubah diriku sampai 180 derajat? Tiga puluh satu Desember 2010. Itulah tanggal aku bertemu lagi dengannya sejak kami lulus SMA. Resmi berpacarannya sih Maret 2012. Kami bisa jadian karena peran sahabat kami, Lexi. Aku dan Lexi memang akrab karena kami sama-sama anggota OSIS di SMA. Ketika kuliah pun, kami satu universitas. Kami berdua menjadi mahasiswa baru angkatan 2006 di UI, Depok. Lexi mengambil Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, sedangkan aku berkuliah di FISIP, mengambil Jurusan Jurnalistik.
Bagaimana dengan Alena?
Dia juga sahabat Lexi dan mereka berdua tergabung dalam geng " Jomblo Lady" . Di geng nggak penting itu, Lexi sering kena ultimatum karena teman-temannya mengira aku adalah pacarnya. Nyatanya tidak, kami hanya sahabat. Aku menganggap sifat dan kepribadian Lexi itu mirip denganku. Bedanya, jenis kelamin kami saja. Haha.
Sudah lama aku memperhatikan Alena. Setiap kali aku ikut nongkrong dengan geng itu, aku tergerak untuk mengenalnya lebih dalam. Menurutku, di antara enam cewek geng " Jomblo Lady" , Alena-lah yang paling " alien" .
Mengapa aku sebut " alien" ?
Nanti kalian juga tahu sendiri. Aku suka memanggilnya " Alena Alien" dalam hati.
Jika melihat sepintas, anak bungsu dan satu-satunya perempuan dari lima bersaudara ini terlihat kalem. Setiap ke sekolah, rambut panjangnya selalu diikat setengah. Dia mengenakan kacamata dan behel. Dari penjaga sekolah sampai kepala sekolah, semuanya diberi senyum oleh Alena jika berpapasan di jalan.
Untuk urusan prestasi, Alena terbilang menonjol. Saat SMP, dia ikut program akselerasi dan berhasil menamatkan SMP dalam waktu dua tahun. Saat SMA, dia menjadi perwakilan sekolah dalam Olimpiade Fisika tingkat DKI Jakarta. Dia menyabet juara ke-3. Dari kelas 1 sampai kelas 3, dia selalu mendapat ranking 1. Pernah sekali dia " tersandung" dan merosot ke ranking 8. Kata Lexi, Alena langsung minta ditemani jalan-jalan ke Puncak untuk menenangkan diri.
Dia merasa bodoh karena dari langganan ranking 1, bisa jatuh ke ranking 8.
" Maaf, Bintang. Aku harus pulang. Abangku yang ketiga udah jemput. "
Susah sekali mengajak Alena pulang sekolah bareng. Keempat abangnya sangat menjaganya. Belakangan aku baru tahu bahwa dalam keluarganya, Alena adalah satu-satunya anak perempuan dan satu-satunya anak yang berprestasi cemerlang. Orangtuanya sangat bangga padanya. Wajar kalau mereka berdua sangat menjaga Alena yang bagaikan berlian dalam keluarganya ini.
" Ayahku marah Bin, karena aku mau ambil Desain Interior di ITB. Harusnya kedokteran katanya. " Begitu curhatnya suatu hari menjelang kelulusan kami. Kami berdua bisa ngobrol karena kami sama-sama menemani Lexi mencari baju untuk prom night SMA di sebuah butik. " Kata ayahku nggak bermasa depan. Menurutnya, buat apa aku milih jurusan IPA di SMA kalo pas kuliah aku pilih jurusan desain. Ayahku kolot, Bin! Aku akan buktikan, kalau jurusanku ini nggak boleh disepelein! Aku akan lulus tepat waktu dan jadi desainer interior yang luar biasa keren!"
" Wahaha...! Amin, Len. Eh, itu Lexi udah bayar bajunya. Yuk Len, cabut. "
Saat itu, aku boleh tertawa. Ternyata empat tahun kemudian, apa yang dikatakan Alena mulai menjadi kenyataan.
Setelah kami semua diwisuda, tepatnya di pengujung 2010, Lexi mengadakan reuni SMA kecil-kecilan di rumahnya, sekalian merayakan tahun baru. Dia mengundang geng " Jomblo Lady" dan beberapa teman akrabnya. Di situlah aku bertemu Alena lagi. " Sarap tuh si Alena!" bisik Lexi padaku dalam acara itu. " Kenapa sarap?"
" Gokil tuh anak! Sekarang dia udah kerja di kantor dosennya. Katanya sih masih bantu-bantu mendesain interior apartemen studio, tapi udah disuruh ngajar juga. " Lexi geleng-geleng.
" Yah... gue juga udah kerja di kantor koran lokal," jawabku tak mau kalah sambil meneguk es buah. Ternyata es buahnya kemanisan. Pasti Lexi yang bikin. Payah nih anak....
" Eh, gue belum selesai ngomong!" Lexi memukulku. " Di ITB, dia jadi mahasiswa berprestasi. Cum laude, Bok! Mau lanjut S-2 di UK, katanya. "
" Ah, sarap tuh cewek!" Akhirnya aku ikut-ikutan bilang sarap. Sebenarnya, aku cukup kaget Alena mau hadir di acara reuni itu. Soalnya waktu SMA, dia cukup antisosial. Dia hanya mau bergaul dengan orang-orang yang menurutnya membuatnya berkembang. Di acara-acara ulang tahun sweet seventeen teman-teman misalnya, dia tak pernah datang. Uniknya, dia selalu menitipkan kado untuk yang berulang tahun kepada Lexi yang selalu datang ke pesta.
" Lexi! Es buahnya kok manis banget, ya? Aku nggak suka. " Alena mendatangi kami yang sedang berbisik-bisik membicarakan dirinya. Dia orangnya memang begitu. Kalau nggak suka, ya bilang nggak suka.
" Hei, Bintang. Sekarang kerja di mana?" Sapa Alena waktu itu seraya tersenyum. Begitulah orang seambisius Alena jika membuka percakapan dengan teman yang sudah lama tak bertemu. Bukannya kabar yang ditanya, malah pekerjaan.
Di reuni itulah aku banyak berbincang dan merasa akrab dengannya. Aku merasa dia adalah wanita yang cerdas. Bibit unggul menurutku. Hehehe.
" Minggu besok ada pameran buku arsitektur dan desain di Senayan City. Mau nemenin ke sana, Bin?" Di tengah-tengah obrolan, Alena menyelipkan ajakan yang menurutku sayang untuk dilewatkan. Mengapa sayang? Jarang-jarang orang sedingin Alena mau mengajak seorang cowok untuk menemaninya pergi. " Minggu besoknya hari apa? Hari Minggu?" tanyaku. Alena menggeleng. " Sabtu sore. Sampe malam aja yuk. Soalnya bukunya bagus-bagus. "
" Oh, gitu. Oke. Tapi, Len?" " Ya?"
Tiba-tiba, aku merasa ada yang tanggung. Ibarat sedang bermain badminton, ada bola yang harus di-smash.
" Malam minggu ke pameran buku?" Aku menaikkan alis. " Memangnya nggak ada yang marah, malam minggunya diganggu sama pameran buku?"
" Hahaha. Siapa yang marah?" Alena tertawa.
" Minta dianterin gue lagi. Memangnya lo nggak punya pacar?" tanyaku to the point.
" Enggak!" jawabnya langsung. Aku diam.
Dia juga diam. Aku bingung.
Dia juga bingung.
Pada akhirnya, aku memecah suasana yang canggung itu. " Gue juga nggak ada yang marahin sih, kalo malam minggu gue diganggu. " " Oh.... Ahahahaa.... " Kami berdua tertawa.
Mulai dari situ, sebulan lamanya kami selalu menghabiskan malam minggu bersama. Tapi, tempat-tempat yang kami kunjungi adalah tempat yang tak biasa untuk PDKT. Mulai dari pameran buku, seminar tentang desain interior, pameran beasiswa S-2, dan toko buku.
Ya, toko buku! Di toko buku, kami pernah menghabiskan waktu lebih dari dua jam.
" Bin, temenin aku ke toko buku sebentar ya. " Dia menarik lengan bajuku. " Sebentar" menurut Alena, ternyata dua jam.
Di toko buku itu, aku membaca majalah, komik, dan sedikit buku tentang jurnalistik.
Sedangkan Alena?
Untuk membaca satu buku arsitektur saja, dia bisa menghabiskan waktu 30 menit. Satu per satu halamannya dibaca secara serius. Gambarnya diperhatikan. Kadang dia potret dengan smartphonenya. Tapi entah mengapa, aku senang memperhatikan wajahnya yang sedang serius menunduk memandangi tulisan-tulisan itu. Sepertinya, ada satu koneksi imaji antara buku dan Alena. Namun, bentuk dari imaji itu hanya Alena dan Tuhan yang tahu.
" Len? Ayo! Gue bete nih di toko buku. " Aku menggaruk-garuk kepala.
" Sebentar, Bin. Seru nih. Buku ini tentang arsitektur Eropa abad pertengahan dan Renaissance. Pasti Lexi yang di Sastra Prancis punya buku-bukunya deh," katanya berbinar.
Ya Tuhan! Dia lebih tertarik dengan buku-buku tebal itu? Apakah buku-buku itu jauh lebih ganteng daripada gue?
Dari situ, aku mulai berpikir kalau Alena ini membosankan. Sampai akhirnya, dua jam kemudian, " Ya udah yuk, Bin. Kita makan malam. "
" Lho? Kamu nggak jadi beli bukunya?"
Alena menggeleng. " Memang nggak mau beli, cuma mau baca aja. Lumayan, kan? Nggak usah keluar uang, tapi banyak ilmu yang didapat. "
" Hah?! Ooh... oke," jawabku singkat. Ya ampun! Kita udah dua jam di toko buku tapi... tidak ada buku yang dibeli.
"
Aku juga memperhatikan cara Alena memesan makanan di restoran. Dia tak pernah memesan makanan yang pernah dia makan sebelumnya. Katanya, dia ingin mencoba semua menu makanan yang ada di dunia ini sepanjang hidupnya.
Tapi, yang kusuka darinya adalah... enak atau tidak makanan yang dia pesan, dia konsisten menghabiskannya.
Mungkin baginya, hal itu sebagai bentuk tanggung jawab. " Gue punya target, Bin. Umur 24 gue nikah. Berarti dua tahun lagi, ya?" ungkapnya sambil mengunyah makanan yang dia pesan. Aneh juga dia membicarakan topik itu denganku. " Biar beda usia gue sama anak gue nggak jauh," katanya lagi. " Lho? Katanya mau S-2 di UK?"
" Memang kenapa? Ya gue bawa anak gue. " " Lah? Suami lo? Ikut ke UK?"
" Kalo dia mau. "
" Kalo dia nggak mau, Len?"
" Makanya Bin, setiap gue kenal sama cowok yang menurut gue berpeluang untuk jadi partner masa depan gue, gue bilang ke dia kalo gue mau S-2 di UK. Kalau dia nggak terima kemauan gue, silakan mundur. Daripada nanti perasaan dia terlanjur dalam sama gue. "
" Oh, gitu," kataku bingung.
" Kalo lo, Bin? Gimana kalau istri lo mau ambil S-2 di luar negeri? Lo mau ikut dia atau nggak bisa ninggalin karier lo di Indonesia?"
" Hah? Uhuk! Uhuk!" Aku jadi keselek. Jujur! Aku takut menjawab pertanyaannya yang lebih cocok disebut " pancingan" .
Alena tak menghiraukan batukku. Dia malah melanjutkan oceha nnya. " Gue itu anak kelima dari lima bersaudara, Bin. Kalo lo, anak kedua dari dua bersaudara, ya? Sama-sama anak bungsu kita. Kakak lo udah nikah? Kalau empat abang gue udah nikah semua," lanjutnya. " Jadi, keluarga gue bener-bener nungguin gue nikah nih. "
Pendekar Pulau Neraka 17 Rahasia Dara Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Bodoh 2 Kemelut Di Telaga Dewa
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama