Bintang Jatuh Karya Silvarani Bagian 2
Aku jadi panas dingin. Mengapa topik malam hari ini jadi seputar pernikahan? Bikin aku susah menelan saja.
" Gue itu, Bin... pingin ambil S-2 karena... gue pingin anak gue liat gue dan terpacu untuk jadi seperti gue. "
" Oh, gitu. Hmm... kalo cowok? Kamu nyari cowok yang kayak gimana?" Aku iseng bertanya.
" Gue nyari cowok yang bisa berkembang sama gue. " " Misalnya, S-2 di UK juga gitu?"
" Jangan S-2 pas gue S-2! Gantian! Kalo punya anak repot! Tapi gue pingin suami gue itu jadi profesor. "
" UHUK! UHUK!" Aku batuk lagi. Di kamus hidupku, aku belum punya mimpi untuk jadi profesor.
" Tapi tenang aja, Bin. Lo pasti bisa jadi profesor. "
" Gue pasti bisa jadi profesor?" Aku mengulangi ucapannya. " Kenapa mesti gue?"
Alena menunduk. Tiba-tiba wajahnya memerah. Apa maksudnya? Apakah sesosok suami yang menjadi profesor di benaknya itu adalah aku?
" Hmm.... Kalau resepsi pernikahan, Bin...," lanjutnya, " gue pingin garden party. "
" Oh.... "
" Waktunya malam hari, biar lebih romantis. " Alena terus bercerita tentang angan-angannya. Kedua matanya berputar-putar ke atas. " Terus banyak bunga-bunga melati atau mawar putih. Pokoknya serbaputih. Terus ada alunan biola dan piano. Temenku kan dikit, jadi pernikahannya lebih eksklusif. "
" Oh.... " Dari tadi aku hanya bisa mengucapkan " Oh.... " " Menurut lo gimana Bin, kalo eksklusif gitu? Temen-temen lo kan banyak, dan jurnalis biasanya doyan ketawa, nongkrong-nong - krong, dan nggak suka sama pesta yang hening gitu. Iya ya, Bin?"
Aku mengenyitkan dahi. " Kok jadi temen-temen gue? Memangnya lo mau undang mereka juga kalo lo nikah? Sama lo aja mereka nggak kenal, apalagi sama suami lo? Ahahaha.... " Aku tertawa geer.
Alena menunduk lagi. Terlihat sekali dia begitu gencar menebar sinyal. Waduh! Apa aku tembak saja malam ini?
" Len?"
" Ya?" Alena berhenti mengunyah nasi goreng tom yamnya. " Gue mau ngomong sama lo. " Kujantankan diriku. " Apa?" Alena tersenyum ragu.
Aku katakan saja apa yang ada di benakku. " Gue kagum sama lo, Len. "
" Gue juga kagum sama lo, Bin," responsnya antusias. Kedua mata kami saling memandang.
" Jadi?" Di balik kacamatanya, kedua mata Alena menatap nanar, tetapi tajam.
" Kalau lo mau...," aku menantang tatapan matanya yang nanar itu, " kita coba buat jadian. "
"
Begitulah awal hubunganku dengan Alena. Aku yang tadinya skeptis dalam menilai cinta dan menganggap gerbang pernikahan masih jauh, mulai digiring perlahan untuk berpikir ke arah sana oleh seorang Alena. Aku yang semula playboy dan malas bersinggungan dengan cinta, berubah ingin menjadi seorang suami dari seseorang yang kucintai.
Siapa?
Ya, tentu saja orang yang sedang dekat denganku. Alena.
"
" Aku pingin banget S-2 ke UK. Terus aku pingin banget buka biro konsultan desainer interior sendiri, Bin. Biar kalo aku punya anak, aku bisa kerja sambil mengurus anakku. Dia harus lihat ibunya kerja supaya dia tahu susahnya cari uang. "
" Terus suamimu?"
" Ya, makanya. Aku buka usaha sendiri biar aku ada waktu untuk suamiku juga. "
Ya Tuhan! Sejak saat itu, aku batal hanya menjadikannya pacar. Aku benar-benar berpikir untuk menjadikannya istri. Dia adalah seorang perempuan yang berpikiran jauh ke depan. Sayangnya, itu hanya di awal.
"
Terima kasih, Tuhan! Kau telah mempertemukanku dengannya. He is my hero. I love you.
Thank u for your kindness. Nice saturday night, My Boy. Pre wed yang romantis di mana, ya?
" Cieeee, Bintaaaaang! Uhuuuuuuy!" seru Lexi dan kawankawan pada suatu sore. Seminggu setelah aku jadian dengan Alena, kami berkumpul dengan beberapa teman semasa SMA lainnya, untuk membicarakan rencanaku mengajak mereka bergabung dalam divisi media online surat kabar tempatku bekerja. Bosku di kantor tidak keberatan karena dia percaya pada penilaianku, yah walaupun mereka harus melalui beberapa tes juga.
Bukannya ngomongin kerjaan, mereka malah godain aku dan Alena. Kata mereka, di media sosial Alena selalu mengungkapkan kalimat bernapaskan cinta (lebay), penuh nuansa romantis dan pujian atasku. Aku yang tadinya biasa-biasa saja terhadap Alena, mulai berpikir bahwa hubungan kami tidak bisa disepelekan. Dia kelihatan ingin serius denganku.
" Waaaaah.... Bakal ke UK nih lo berdua. " Lexi merangkulku dari belakang " Ahahaha! Nanti, kalo gue jadi S-2 di Prancis, gue ngesot ke UK ya, Bin? Gangguin kalian. Main sama anak kalian. Hihihi. " " Anak! Anak!" omelku. " Gue jadiin babysiter lo, Lex! Ahahaha. " Aku sendiri tak terlalu menghiraukan status-status yang dibuat Alena di media sosial. Menurutku, mungkin dia sedang kasmaran. Aku sendiri biasa-biasa saja.
Aku biasa-biasa saja karena merasa belum melakukan apa-apa dalam hubungan ini. Kami berdua masih dalam tahap saling menumbuhkan rasa sayang. Namun, mengapa Alena terlihat begitu mencintaiku, dan terus memujaku?
Apa aku seluar biasa itu?
" Bintaaang! Main dong ke kantorku. Nih, temen-temen aku penasaran sama kamu. Penasaran sama Bintang yang ganteng," sapa Alena suatu hari di telepon. Aku merasa sikapnya berlebihan. Mengapa dia begitu excited terhadapku?
" Itu tandanya Alena bangga punya pacar lo, Bin," puji Lexi seraya membetulkan kerah kemejaku di kantor media online yang berupa paviliun rumah yang kami sewa tak jauh dari gedung kantor pusat.
" Kenapa bangga, Lex?" Aku jadi rendah diri.
" Lo kan ganteng! Muka lo kayak aktor Korea. Hahaha! Tinggi! Pinter! Artikel-artikel lo tentang politik selalu disetujui! Baik juga! Pengertian... and stylist!" pujinya.
" Iya. Cuma maksud gue.... " " Apa?"
" Alena selalu telepon gue dan bilang I love you . Lex, kami kan baru seminggu jadian? Kok dia udah sayang banget sama gue?" " Lah? Kan lo pacarnya. "
" Maksud gue, dia jatuh cinta sama gue yang jadi pacarnya atau jatuh cinta sama perasaan jatuh cinta karena lagi punya pacar?"
" Hah? Gue nggak ngerti. Jelimet bin rempong deh lo jadi cowok!"
" Kecuali nih, Lex. Gue udah ngasih dia sesuatu. Misalnya, gue bantuin kerjaan dia, anterin dia ke mana-mana atau cium dia atau peluk dia atau jagain dia atau apalah.... Baru dia bisa bilang I love you . Lah ini baru seminggu jadian. Sayang aja belum, apalagi cinta. "
" Maksud lo? Lo ragu sama perasaan Alena? Lo ngerasa dia omong doang?"
" Iya.... Terus Lex, dia cerita apa di kantornya sampe-sampe semua orang kantornya penasaran sama gue?"
" Udah, lo ikutin aja! Apa sih salahnya bikin orang seneng? Lo juga bakal kenal orang-orang baru kan di kantor Alena?" " Iya siiih. "
Lexi meraih smartphone-nya yang terus bergetar. Kemudian dia terkekeh sambil berkata, " hank you Bintang, udah mau main ke kantor. Ikon senyum. "
" Apaan, Lex?"
" Gue baca statusnya Alena di smartphone. Dia nulis begitu. " " Lah?! Gue kan belom nyampe kantornya?"
" Udah sana cepetan! Itu tandanya dia udah nggak sabar nungguin lo. "
" Oke. "
" By the way Bin, gue mau tanya, lo sendiri gimana sama Alena? Lo yang nembak, tapi kok bukan lo yang excited? Nggak kayak Alena lo, Bin. Kayaknya dia kasmaran banget sama lo. Statusnya di Facebook, Twiter, atau media sosial lain pasti tentang lo. "
Aku hanya menggaruk-garuk kepala. " Hmm.... Sayang sih sayang, tapi biarlah hanya gue dan Tuhan yang tahu seberapa sayang gue sama Alena. Nggak perlu sampai gue tulis di media sosial. "
Karena baru memulai hubungan, aku merasa belum terlalu sayang terhadap Alena. Jadi, bagaimana bisa aku kasmaran? Aku mengambil hipotesis awal. Mungkin Alena sedang menikmati rasa jatuh cintanya saja. Belum tentu karena aku, tetapi karena rasanya. Kebetulan saja saat ini aku adalah pacarnya. Jadi, dia jadikan aku objek dari rasanya itu.
Mungkin, ya?
"
" Bin, kamu kalau pakai baju itu bagus deh!"
" Bin, kamu kalau rambutnya dipotong kayak gitu ganteng deh. " " Bin, have a nice dream. Mimpiin aku ya, Sayang?" Setiap kali aku hang out dengan Alena, dia banyak memintaku untuk mengubah penampilan. Katanya, dia suka tipe laki-laki yang memakai baju beginilah, yang rambutnya begitulah. Aku tak pernah mengikuti. Awalnya dia ngambek, tetapi lama-lama menyerah. Mungkin lelah juga meminta.
Pernah aku berpikir, apa Alena mencintai sosokku yang ada dalam imajinasinya? Bukan diriku yang memang ada di hadapannya. Aku jadi bosan dengan hubungan kami.
Namun, tiap kali aku bosan, Alena mungkin " menangkap" sinyal itu dan mengambil langkah yang menurunkan kadarku untuk putus dengannya.
Misalnya, suatu hari dia berucap, " Bin, abangku yang kedua ulang tahun. Datang ya, Sayang. "
Aku yang tadinya malas melanjutkan hubungan kami, banting setir ke arah serius. Aku juga tak tega menghancurkan mimpinya untuk pergi ke UK bersamaku. Lagi pula, dari statusnya di media sosial, dia tampak mencintai dan memujaku.
Begitu aku cerita ke Lexi, dia berkomentar, " Alena ngajak serius itu, Bin! Lo udah diajak bertemu keluarganya. Siap nikah lo sama dia?"
Aku menjawab, " Siap aja. Tapi, kalau bokap gue udah sembuh. " " Alena udah lo kasih tahu?"
" Udah. "
" Terus, apa katanya?"
" Katanya, nggak masalah, Lex. Dia mau nunggu gue sampai kapan pun. "
" Oooooh& . So sweeeet& !" Lexi mengerlingkan mata.
7
Sinar Bintang
O h, ini yang namanya Bintang!"
" Hai, Bintang. Salam kenal ya. "
" Halo, Bintang. Gue Niken. Sama kayak Alena, gue juga desainer junior di sini. "
" Halo, Bintang. Gue Rado. Sama kayak Niken dan Alena, gue desainer junior di sini. "
" Oh, ini pacarmu, Len? Nice to meet you, Bintang. Gue Mbak Belinda, staf keuangan di sini. "
" Hai, Bintang! Gue Bella dari bagian administrasi! Eh, mau duduk? Di sofa sana kosong tuh. Yuk duduk di situ. "
" Bintang kalau mau minum, bilang OB aja ya! Oh iya, salam kenal! Gue Gading dari bagian kreatif. Kata Alena, pagi tadi tulisanmu masuk koran, ya?"
Entah sudah berapa " Halo" dan " Hai" yang kudapatkan. Semuan ya berasal dari teman-teman kantor Alena di biro arsitektur dan desain interior tempatnya bekerja. Kalau aku hitung-hitung, di kantor itu ada sekitar 20 orang.
Dan saat ini, ke-20 orang itu memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Wajah mereka penuh senyum, dan tak hentihentinya menggoda Alena. Wajah Alena pun merona merah.
"
" Alena Sayang.... " Seseorang bernama Mbak Belinda, kalau aku tidak salah ingat, membelai rambut panjang Alena. " Tunggu apa lagi? Jangan terlalu lama pacaran. " Komentar Mbak Belinda itu kontan mengundang godaan yang lebih banyak untukku dan Alena.
" Setiap hari yang diomongin Alena di kantor pasti tentang Bintang. " Seorang wanita muda dengan gaya pakaian gipsy tiba-tiba ikut berkomentar. " Kata Alena, artikel-artikel kamu selalu dimuat, ya? Pinter dong!"
" Jodoh berarti sama Alena! Sama-sama pinter!" sahut yang lain. " Amiiiin.... Ahahaha!" Alena tertawa kegirangan. " Ikut ke UK ya, Bin?"
" Cieeee, Alena.... " Ucapan Alena barusan langsung disoraki teman-teman kantornya. Terus terang, aku jadi kurang nyaman dengan pujian dan sorakan yang menurutku berlebihan itu.
Aku jadi menebak-nebak, apa yang diomongkan oleh Alena di kantor? Apa mungkin dia berteriak kepada teman-temannya, " Teman-teman! Pacar gue ganteng lhooo! Namanya Bintang. Artikelnya selalu masuk koran ternama lhoo!" Masa begitu?
" Bin! Abis ini ke ruangan bosku ya. Dia penasaran sama kamu abis denger ceritaku. "
" Hah? Kamu cerita apa, Len?"
" Ada deh pokoknya. Udaaaah& kamu ikut aku ya, Bin. " Tak tahulah apa yang Alena ceritakan kepada orang sekantornya tentangku!
Yang jelas, aku kurang suka dipamer-pamerkan begitu.
"
Sepulang dari kantor, Alena memohon padaku agar mau ikut dirinya dan teman-teman kantornya makan malam bersama. Kira-kira ada lima orang. Karena mereka semua menggunakan mobil Mbak Belinda, Alena memintaku untuk menitipkan motorku pada satpam kantor. Ketika menitipkan motor pun Alena sempat memamerkanku pada sang satpam.
" Wah! Mbak Alena serasi lho sama mas jurnalisnya!" Seorang satpam bergingsul mengacungkan jempol kepada Alena. Mendengar pujian dari satpam, Alena terus terkekeh.
Sepanjang perjalanan dari pos satpam ke lokasi parkir mobil Mbak Belinda, aku mengungkapkan kebingunganku pada Alena. " Len, kamu cerita apa ke temen-temen kantormu? Kok respons mereka heboh banget? Kayak aku ini artis aja!"
Alena merapikan jepit yang dia selipkan di rambut panjangnya yang hitam berkilau. " Aaah... nggak usah kamu pikirin, Bin. Tementemen kantorku memang heboh banget. Mereka cuma penasaran aja sama kamu. "
" Kok mereka tahu kalau artikelku sering muncul di koran?" Langkah kaki Alena terhenti. Kemudian, dia memandangku dengan mimik sendu. " Apa salah Bin, kalau aku banggain kamu di depan mereka? Aku kan bangga sama kamu. Aku cinta sama kamu. "
Aku jadi merasa bersalah. Seharusnya aku bisa lebih santai dengan semua yang dilakukan Alena. Biarlah dia memujiku sampai setinggi langit. Hanya saja, aku takut...
Roda kehidupan itu terus berputar. Sewaktu-waktu nanti, aku pasti bisa berada di bawah. Ketika aku berada di titik itu, apakah Alena tetap mencintaiku? Karena sepertinya, dia mencintai sosokku yang bisa dia banggakan di depan teman-teman kantornya.
"
" Bin, Mas Agus baca artikelmu di koran pagi ini! Kamu nulis tentang budaya Betawi, kan?!" Suatu siang, Alena meneleponku hanya untuk menyampaikan rasa bangganya yang menjulang padaku. Dia membuatku semakin semangat menulis artikel.
" Iya, Alena Sayang. Kamu baca juga ya," sapaku lembut dan sumringah. Aku makin mencintai Alena.
" Jurnalis cerdas kayak kamu ini harus ke luar negeri, Bin! Biar bisa mengolaborasikan pemikiranmu dengan apa yang kamu lihat di luar sana," celetuk Alena di seberang sana. " Misalnya ke UK gitu. Ahahaha.... "
Kutanggapi perkataan Alena dengan tawa. Tampak sekali kalau dia berharap diriku mau menemaninya ke UK. Sejauh ini memang belum pernah ada jawaban pasti dariku. Aku belum berani mendahului takdir yang Di Atas. Namun tanpa diketahui siapa pun, aku sudah mempersiapkan diri mencari beasiswa S-2 ke UK dan mengamini harapan-harapan Alena.
Sayangnya, harapan-harapanku sering bertubrukan dengan realitas. Bapakku sakit-sakitan dan mbakyuku tak rela jika dirinya harus ditinggal olehku dalam keadaan Bapak sakit. Alena tahu itu. Jadi, sudah tugasku untuk membuat Alena sabar menunggu.
"
" Yah, begitulah ceritaku. " Aku meneguk air mineral botol di depan Saya. Tampak sekali dia begitu serius mendengar ceritaku. Aku sendiri bingung mengapa bisa menceritakan kisah percintaanku kepada orang yang baru kukenal.
" Kalau lo mau berkomentar aneh, nggak apa-apa," tambahku. " Ah, enggak! Nggak ada yang aneh kok. " Saya tersenyum. " Tapi, kelihatan banget Alena sayang banget sama kamu, ya?" " Ya itu dia!" Aku menjentikkan jari. " Sayangnya itu di mana? Sayang karena aku bisa dibangga-banggain ke temen-temennya? Atau gimana? Karena ketika aku jatuh dan nggak bisa dibanggain, Alena pergi. "
Kereta ekonomi tujuan Yogyakarta yang kunaiki menyusuri rel dengan cukup kencang. Pada masa silam, aku pernah bermimpi ingin menyusuri berbagai pelosok dunia dengan seseorang. Namanya Alena.
Saya kembali bertayamum. Kulirik jam, hampir pukul lima pagi. Waktu shalat Subuh tiba.
" Bintang, ayo Subuh dulu," ajak Saya ramah. Aku pun mengikuti.
" Say! Tayamum itu karena nggak ada air, ya?" Sebelum bertayamum, aku mencoba menanyakan hal itu pada Saya.
Saya mengangguk. " Iya Bin. Selain itu, sebagai pengganti air wudhu kalau kita sedang sakit dan tak boleh kena air. " " Ooohh.... " Aku tercenung sebentar.
" Ayo, Bin! Tayamum!" ajak Saya sekali lagi. Aku pun mengikuti.
8
Hati Ciptaan Allah
K upandangi jendela sambil menyenderkan kepala. Gerimis tak
kunjung berhenti. Bulir-bulir air menempel erat di jendela. Meski kereta bergerak cepat, bulir-bulir itu tak kunjung lepas. Seolah mereka ingin selalu lekat di sana, ikut hingga pemberhentian terakhir.
Meski shalat Subuh-ku barusan tidak diawali wudhu, aku merasakan wajahku begitu sejuk seperti terkena air. Hatiku pun agak tenang. Semoga saja ketenangan ini selalu ada sepanjang waktu.
" Kalau saya boleh berkomentar atas ceritamu tadi, Bin," ucap Saya, " berhentilah menyalahkan perasaan Alena. "
Mataku agak membelalak.
" Maaf... kalau saya lancang. " Saya menunduk. " Tapi, kamu nggak bisa menyalahkan perasaan Alena yang kamu anggap hanya sayang sama kamu ketika kamu membuatnya bangga. Kemudian membuang kamu ketika kamu terpuruk. Kita nggak pernah tahu perasaan orang, Bin. Termasuk orang itu sendiri. "
" Maksud kamu?" Alis mataku bertaut. " Apa maksudmu Alena nggak tahu perasaannya sendiri?"
Saya tidak langsung menjawab. Aku rasa dia sebenarnya sungkan memberi masukan padaku, tetapi mungkin dia merasa harus menyampaikannya.
" Seperti yang pernah saya bilang ke kamu," ucapnya sungguhsungguh, " Bintang atau siapa pun nggak ada yang tahu perasaan Alena. Termasuk Alena sendiri. Kalau dulu dia sayang dan selalu membanggakan kamu, kemudian sekarang meninggalkan kamu ketika kamu jatuh, Bapak sakit, dan belum bisa menikahinya, anggap saja itu karena Allah yang membolak-balikkan perasaannya. " Aku terdiam mendengar kata-kata Saya.
" Itulah mengapa manusia tidak boleh sombong. Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menentukan. Sombong tidak cuma ditunjukkan oleh harta, pangkat, jabatan, ilmu, atau keimanan yang dimiliki seseorang, tetapi juga cinta yang ada di hati seseorang itu. Kalau seseorang merasa kekuatan cintanya begitu besar dan merasa tak ada kekuatan apa pun yang dapat menandinginnya, justru di situ Allah akan memberinya ujian. Salah satunya, dengan dipisahkan. Karena itu, selalu libatkan Allah dalam urusan hatimu. Jangan mencintai orang dengan perasaan buta. "
Aku memejamkan kedua mataku, mencoba meresapi apa yang dikatakan oleh Saya.
" Yah, gerimis!" Suara lembut itu kembali menyergap sanubari. Itu suara Alena. Yang menggema dari bayang-bayang masa laluku. Kukenang sebentar seraya memperhatikan bulir-bulir air hujan di jendela kereta api.
" Ya... kamu nggak bawa motor ya, Sayang? Bisa keujanan deh kamu. " Alena berada di luar kantornya bersamaku saat itu. Jam makan siang sudah berakhir, tetapi Alena masih menemaniku di depan kantornya. Ada seorang kawan Alena yang berulang tahun dan dia mengundangku untuk ikut merayakan. Mungkin karena aku adalah cowok Alena.
" Kamu ada liputan nggak, Bin? Aduh jadi nggak enak nih ngambil waktu kamu. Abis Mbak Cindy pingin banget pas potong tumpeng ada kamu, Bin. Dia mau kamu ikut ngerayain ultah dia juga. " Alena menaruh kedua tangan di balik badannya, seperti sikap istirahat di tempat dalam kegiatan baris-berbaris.
" Ah iya, nggak apa-apa. " Aku menggeleng. Aku memang tulus bela-belain datang ke kantor Alena. Tidak enak juga menolak ajakan Mbak Cindy via SMS. Aku senang terlibat dalam kegiatan kantor ini. Jumlah karyawannya memang hanya 20 orang, tetapi ributnya seperti 50 orang. Aku pernah mendatangi beberapa biro arsitektur dan desain lainnya. Kesimpulannya, tidak ada biro yang sekompak dan seberisik ini. Apalagi semuanya menerima kehadiranku.
" Oh iya, Bin. Kemarin Mas Waluyo muji artikel kamu yang tentang nasib TKW," celetuk Alena. Gerimis berubah menjadi hujan. Sangat deras dan dingin.
" Mas Waluyo?" Aku memandang langit. Bisa kacau kalau hujan semakin lebat. Aku bakal terjebak di kantor Alena.
" Itu tuh... yang aku kenalin waktu resepsi pernikahan Mbak Belinda. Inget nggak?" Alena ikut-ikutan memandang langit. " By the way Bin, ujannya makin deres. Apa kamu mau masuk ke dalam aja? Kamu ada kerjaan nggak hari ini? Libur sehari, kan? Besok baru liputan?"
Aku menggelengkan kepala. " Hari ini nggak ada liputan sih... tapi besok pagi kayaknya lembur dua hari berturut-turut. "
Alena menarik lenganku, mengajakku masuk ke dalam kantor. " Ya udah, kamu di kantorku aja sekarang. Nanti kita pulang bareng. Biar kita juga ada waktu sama-sama. "
Sweet and lovely.
Tak pernah kusangka sebelumnya. Orang sekeras dan seambisius Alena bisa begitu manis dan menyenangkan di hadapanku. Di kantornya, aku tak berhenti jadi pusat perhatian. Sampai-sampai ada seorang bos Alena yang tiba-tiba mengajakku berbagi cerita.
Sang bos yang bernama Eko itu ternyata sama sepertiku, perantau asal Semarang. Ketika melihat kami berdua ngobrol di lobi kantor, Alena yang kebetulan sedang mencari bosnya karena ada yang harus ditandatangani tampak sumringah.
" Eh, Mas Eko! Ini Bintang!" serunya berbinar. " Bintang, ini Mas Eko, bosku. Mas Eko suka baca tulisanmu yang tentang arsitektur rumat adat. "
" Iya. Sudah kenalan kok, Len. " Mas Eko tersenyum lebar. " Tadi saya yang negur duluan. Saya ingat-ingat... wajahnya seperti yang ada di foto proil Facebook kamu. Saya yakin, pasti ini jurnalis favorit saya! Langsung aja saya sapa!"
" Ahahaha.... Artikel nggak bermutu itu, Mas," kataku merendah. " Kapan-kapan kalau ada proyek rumah bergaya rumat adat, hubungin Bintang aja, Mas," ujar Alena antusias. " Pengetahuan dia soal Indonesia luas. Nggak kayak aku. Oh iya, ada temen yang suka juga sama tulisan kamu, Bin. Besok aku kenalin ya. "
Selama Alena menyanjungku di kantornya, aku pasrah saja. Sebenarnya aku ingin merendah di depan teman-teman kantornya. Namun, aku tak tega pada Alena. Wajahnya berseri-seri sekali ketika memujiku di depan semua orang.
" Kita, anak-anak Arsi Desain, pasti selalu share link artikel kamu, Bin. " Tiba-tiba seorang kawan Alena merangkulku dari belakang. Kalau tidak salah, namanya Mas Dito. Sedikit demi sedikit, aku mulai hafal dengan nama orang yang berlalu-lalang di kantor ini. " Wajib hukumnya!" seru Alena.
Itulah Alena. Pujian atasku selalu dilontarkannya setiap hari. Sering kali kubertanya dalam hati, apa benar aku sehebat itu?
9
Bintang & Alena s Story
Dua tahun yang lalu.
Kantor Media Online, paviliun rumah Menteng.
L ex, apa gue itu mengagumkan?"
" Apaan, Bin? Siapa yang mengagumkan? Kok pertanyaan lo bikin gue mules sih?" Lexi menyeduh secangkir kopi espresso. Katanya, peluncuran tas Chanel di Plaza Senayan kemarin malam membuatnya pulang malam dan mengantuk. Lexi menjadi salah satu model yang berjalan di catwalk dan menjinjing tas asal Prancis itu.
Aku memandang Lexi yang tampak begitu menikmati kopi buatannya. Sebelum meminumnya, dia menghirup aroma kopinya dulu. Kayak iklan aja!
" Gue serius, Lex. " Aku membungkukkan badanku sedikit agar posisi wajahku dan wajahnya setara.
" Seumur hidup, gue nggak pernah dipuji-puji seheboh itu sama orang. Alena cerita apa ya, di kantornya?" lanjutku. " Makanya, sebagai rekan kerja dan sobat gue yang selalu baca, ngasih komentar,
"
dan ngritik tulisan gue, gue pingin tanya sama lo, apakah gue semenawan itu? Elo aja nggak pernah muji gue!"
" Aduh, Bin! Rempong amat sih lo jadi cowok?!" Lexi berhenti meneguk kopi.
" Emang cowok nggak boleh rempong? Diskriminasi gender lo, Lex!" hardikku menggunakan kata " gender" kepada Lexi yang senang mengikuti isu feminisme.
Setelah menambahkan air panas untuk kopinya, Lexi melanjutkan ocehannya. " Lo harusnya seneng punya pacar kayak Alena. Dia selalu banggain lo! Daripada lo dihina-hina, disiksa, dikeroyok, dianiaya secara isik maupun psikis dunia dan akhirat?!" ungkapnya berlebihan.
" Tapi gue pingin tau. Apa gue sehebat itu? Bapak dan Mbak Winta aja nggak pernah terlalu muji kayak begitu. "
Sambil memandangi akuarium kantor yang penuh ikan hias warna-warni, Lexi mencoba berpendapat. " Bin, lo biarin aja Alena banggain lo ke temen-temen kantornya. Daripada dia banggain satpam kantornya ke elo? Itu baru masalah!" Lexi mengetuk-ngetuk dinding akuarium, iseng mengagetkan beberapa ikan yang berenang di dalam sana. " Lo juga harus coba bayangin jadi Alena. Mungkin dia lagi seneng banget punya pacar. Coba lo bayangin! Empat tahun kuliah mulu sampe jadi mahasiswa berprestasi, cum laude, dan mau S-2 ke UK. Mungkin saat ini, dia merasa berbungabunga banget ada lo dalam hidupnya. "
Lexi kembali memandangiku. " Udahlah! Anggep aja Alena itu penyemangat lo buat nulis artikel lebih banyak dan lebih kritis lagi. "
" Tapi, Lex.... " Aku masih rempong dan Lexi tetap kesal. " Roda kehidupan itu kan terus berputar. "
" Lalu?"
" Kalau gue lagi di bawah, gimana? Apa dia akan tetap bangga dan menyemangati gue?"
Lexi diam.
" Atau malah berhenti?" lanjutku. " Gue mendingan nggak pernah dipuji daripada dipuji tapi abis itu dibuang. "
" Iiih, Bintang! Negatif mulu sih otak lo! Udah ah! Gue mau kerja!" Lexi melengos pergi.
Ketika sedang asyik berbincang-bincang dengan Lexi, teleponku berdering. Rupanya Mbak Winta menelepon.
" Hello, Mbak? Kenapa, Mbak?"
" Bin, tadi Bapak check up. Dokter menyarankan Bapak dioperasi. Menurutmu gimana, Bin?"
" Ya wes. Operasi wae," komentarku seadanya.
" Biayanya itu lho, Bin. Dari mana? Asuransi nggak mau bayar penuh. "
" Oh iya, ya. " Kepalaku mendadak pusing.
Mulai saat itu, aku berbagi cerita sedih seputar kesehatan Bapak kepada Alena. Aku menelepon, ketemuan, atau chating dengan dirinya setiap kali kesehatan Bapak menurun.
Di saat itulah, aku merasa, rasa cinta Alena juga melemah. Mungkin dia melihat, Bintang yang dulu bersinar terang mulai meredup.
" Ya, sabar aja. Nanti pasti sembuh. " Komentar Alena selalu seperti itu. Tak berkembang.
Teman-teman di kantornya pun tak ada lagi yang memujiku setiap kali aku ke sana untuk menjemput Alena. Memang, sejak Bapak sakit, aku hanya menjadi editor. Aku tidak menulis artikel sesering dulu.
Ya! Mungkin tak ada yang suka dengan redupan Bintang.
"
Bintang Jatuh Karya Silvarani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Ayahku mendesakku untuk menikah tahun depan, Bin. "
Bintang tersenyum penuh arti. Seolah dia sudah menduga aku akan berkata demikian suatu hari.
" Dan kamu udah tau kan, jawabanku?" Bintang melipat tangannya. Posisinya masih menyender di dinding, sementara aku tidak. Jarak kami lumayan dekat, tetapi anehnya rasa sayang, cinta, hasrat, dan perasaan-perasaan yang tak terkendalikan selama dua tahun kemarin itu entah berada di mana.
Mungkin rasa-rasa itu bisa kembali lagi kalau Bintang mengikuti kemauanku.
" Kalau kamu udah tau jawabannya, ya aku juga nggak tahu deh. Semuanya terserah kamu, Len. " Bintang tampak pasrah. Sudah kuduga! Dia tak berani mengambil langkah untuk mengalah dan bicara pada Mbak Winta.
Tap! Tap! Tap! Tap! Tap!
Seorang suster menyusuri lorong dan melewati kami berdua. " Malam, Mas Bintang! Mbak!" sapanya kepada kami berdua. Senyumannya lumayan melunturkan emosi.
" Kamu masih mau nunggu aku nggak?" Setelah suster itu menjauh, Bintang kembali berkata-kata.
Aku menggeleng.
" Len...," mimik Bintang serius sekali, " aku bukannya nggak mau nikah sama kamu. Aku mau! Kamu udah cerita ke aku kalau kamu pingin nikah dengan konsep garden party yang sederhana tapi eksklusif. Terus baju yang kita kenakan serbaputih. Kebaya kamu putih dengan model yang simpel, tapi elegan. Terus ada bunga-bunga di setiap gubuk makanan. Dekorasi pestanya kamu yang desain. Aku tinggal ikut aja, Len. "
Aku diam saja. Sengaja membiarkan dia puas mengeluarkan uneg-unegnya.
" Soal rumah juga gitu. Kamu bilang mau tinggal di rumah yang seperti inilah. Di daerah itulah. Tipe yang beginilah. Model pagar, taman, dan halaman depannya begitulah. Terus kamu tanya aku tentang tipe rumah kesukaanku. Aku jawab minimalis. Kalau aku nggak mau nikah sama kamu, ngapain aku jawab?"
Aku masih diam. Aku pandangi langit-langit lorong rumah sakit. Daya imajinasiku tiba-tiba bergejolak. Aku pernah membaca buku tentang arsitektur Batavia, di situ dikatakan bahwa dulunya rumah sakit ini adalah rumah sakit Belanda. Awalnya rumah sakit ini bernama CBZ.
" Cuma itu yang aku minta dari kamu. Tunggu! Tunggu aku, Len. "
Kukembalikan fokus pikiranku pada Bintang. Khayalanku tentang bangunan dan interior rumah sakit zaman Batavia kukesampingkan dulu.
" Kenapa bola mata kamu ke mana-mana? Kamu masih dengerin aku ngomong, kan?" Bintang berhenti bicara. Dia memang sudah kenal aku dan daya khayalku yang sering tak terkendali. Aku merasa seperti maling yang tertangkap basah.
" Len? Masih fokus dan minat ngomongin hubungan kita, kan?" Bintang mendekatkan badannya ke arahku.
Aku mundur beberapa langkah. " I... iya," jawabku sedikit terbata. " Gini aja deh!" Bintang kembali menyandarkan badannya ke dinding. " Aku kasih kamu dua pilihan. Pilihan yang pertama, izinkan aku untuk ketemu sama ayah kamu. Aku akan ngomong baikbaik supaya pernikahan kita diundur. Aku nggak bisa ninggalin Mbak Winta gitu aja. "
" Aku nggak setuju!" sergahku. " Ayahku udah ngotot, Bin! Aku anak bungsu! Semua abang-abangku udah nikah. Aku juga pingin membahagiakan kedua orangtuaku. "
" Aku juga anak bungsu!" potong Bintang. " Umurku juga makin tua, Bin. "
" Ya, umurku juga makin tua!" Bintang mulai tak bisa mengendalikan dirinya. " Bukan cuma kamu yang punya rencana masa depan, Len! Aku juga punya. Cuma yang aku minta, tunggu!"
" Tunggu sampai kapan?!" Aku mulai tak bisa mengendalikan emosiku. Namun, aku segera menenangkan diri kembali. Ini rumah sakit. Banyak orang sakit beristirahat di sini.
" Ya, aku nggak tahu! Aku nggak tahu kapan Tuhan mau mengangkat penyakit bapakku. " Bintang mengangkat kedua tangannya, tanda benar-benar pasrah.
" Sebenarnya, aku udah tahu jawaban kamu, Bin. Kamu tetap nggak bisa nikahin aku dalam waktu dekat! Aku tahu bakal kayak gini," ungkapku. " Makanya, dari kemaren aku juga udah sengaja bikin hubungan kita tuh kayak benang kusut, tapi kamu nggak sadarsadar! Kamu lurusin lagi benang itu! Teruuuuus kamu lurusin lagi!" " Benang kusut?" Wajah ganteng Bintang kelewat serius. " Iya. " Aku mengangguk mantap.
Kami berdua tertunduk. Tak tahu ingin berbicara apa. Tanpa kuduga, ternyata Bintang sadar dengan apa yang sudah kulakukan beberapa hari belakangan. Setelah menghela napas, dia berkata, " Oh, itulah kenapa kamu merengek minta jemput di tempat kerja kamu padahal aku lagi nungguin Bapak, terus kamu ngam - bek? Atau pas chat kamu tidak lagi menggunakan kata Sayang sebanyak dulu? Atau kamu selalu bilang kalau aku lebih baik nulis artikel, padahal kamu mau nonton dan jalan -jalan ke mal sendirian aja? Pokoknya kamu bikin aku nggak nyaman biar aku akhiri hubungan ini, kan?"
" Iya! Nah, itu kamu tahu! Kenapa baru sekarang sadarnya?!" Aku melotot. " Aku juga speechless waktu kamu ternyata nyusul aku yang lagi jalan-jalan di mal sendirian. Kamu beneran jemput aku di tempat proyek. Aku udah lama-lamain, tapi kamu tetep nungguin sampe setengah jam di parkiran! Pokoknya aku udah bikin kesal kamu, tapi kamu nggak kesal-kesal! Kamu nggak nyadar-nyadar! Kamu tetap sabar! Aku sampe bingung harus berulah apalagi supaya kamu pingin hubungan kita berakhir?!"
" Tega kamu, Len?! Aku nggak kesal-kesal sama kamu ya karena aku sayang sama kamu. "
" Aku terpaksa melakukannya, Bin. Soalnya aku tahu jawaban kamu! Kalau aku ajak nikah, kamu pasti nggak siap! Sementara ayahku mendesak aku terus. Buntu kan jalannya?!"
Hening lagi.
Walaupun kami berdua saling berbisik, aku merasa tak enak juga membuat kegaduhan di sini. Kulirik pintu ruang inap bapak Bintang yang berjarak lima meter dari kami. Mbak Winta tengah berdiri di ambang pintu.
" Pilihan yang kedua!" Bintang mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. " Putus!" Ekspresinya penuh rasa puas. " Kamu pilih yang mana, Alena Sayang?"
"
Bintang dan Alena.
Dua manusia yang banyak diacungi jempol oleh orang-orang di sekitar mereka.
Bintang supel dan cerdas. Alena fokus dan genius.
Bintang memperluas wawasan dengan bergaul, mendengarkan atau menonton berita/ilm dokumenter, dan mengikuti seminar.
Alena memperluas wawasan dengan membaca buku, mendalami ilmu yang dia pelajari selama ini, dan mendatangi berbagai tempat serta ruang untuk memperkaya idenya.
Bintang jago menganalisis berbagai realitas yang terjadi di sekitarnya. Mulai dari realitas sosial budaya, ekonomi, sampai politik.
Alena jago dalam menata ruang, merancang berbagai furnitur dan pajangan, serta mengombinasikan warna yang tepat untuk suatu ruangan agar setiap orang yang memasukinya merasa nyaman. Daya khayalnya tinggi.
Bintang supel dan cerdas. Alena fokus dan genius. Namun mereka...
Bodoh.
Dan dungu.
Dalam menganalisis dan merancang... Hati....
"
Alena dan Bintang saling bertatapan. Urat wajah mereka sama-sama menegang. Tak ada senyuman. Tak ada kebahagiaan terpancar dari keduanya. Apalagi cinta.
Apa kabar dengan cinta mereka? Mungkin sudah terkubur di dasar tanah.
Alena berharap, Bintang memberikan pilihan ketiga. Meski hatinya sudah tak mencintai Bintang dan siap membuka hati untuk orang lain, Alena masih memberi Bintang kesempatan. Alena ingin Bintang memberikan pilihan ketiga berupa kesediaannya untuk bicara pada Mbak Winta agar boleh menikah duluan. Alena juga rela jika setelah menikah, Bintang harus membagi waktu antara dirinya dan penyakit bapaknya.
Namun melihat gelegat Bintang, Alena yakin pilihan ketiga seperti itu tak pernah terpikirkan. Alena yakin, Bintang tak berani berurusan dengan Mbak Winta mengenai masalah ini. Alot!
"
Lidah Bintang ingin sekali melafalkan pilihan yang ketiga. Dia bisa saja menawari Alena pilihan baru berupa kesanggupan dirinya untuk bicara pada Mbak Winta jika ayah Alena benar-benar ingin anak bungsunya segera menikah. Bintang bisa saja bersujud di hadapan kakaknya, memohon izin untuk melangkah lebih dulu ke pelaminan. Semua itu akan dia lakukan karena dia mencintai Alena. Dia ingin menaklukkan masa depan bersama perempuan itu.
Namun, saat ini Bintang takut pada amarah Alena. Bintang takut hatinya sakit lagi. Dia yakin, saat ini Alena marah besar! Alena membenci dirinya! Kalaupun dia tawarkan pilihan ketiga, Alena pasti menolaknya.
Daripada gondok, lebih baik tak usah memberikan pilihan ketiga pada Alena.
" Kalau aku pilih yang kedua, gimana?" Alena yang hanya setinggi dagu Bintang mendongak.
Bintang menegakkan badan dan tak lagi bersandar pada dinding. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung celana jinsnya dan berkata dengan ekspresi arogan.
" Oke!"
PLAK!
Saat itulah Alena menampar Bintang.
Mungkin dia kecewa karena Bintang tak memberikan pilihan ketiga.
Sedangkan Bintang merasa, mungkin Alena memang sudah membenci dirinya.
10
Maha Membolak-balikkan Hati
B intang... bangun, Bin.... Udah mau sampai. " Seseorang meng
guncang-guncang badanku. Rupanya Saya. Aku segera membuka mataku dan meregangkan otot-ototku.
" Haaah.... Udah sampai Stasiun Tugu?" tanyaku sambil menguap. Entah mengapa, aku lelah sekali.
Kulirik jam tanganku. Saat ini waktu menunjukkan pukul 06.58 WIB. Lama juga aku tertidur sehabis shalat Subuh.
Sembari mengambil tas ransel di rak atas, aku terus menguap. Kepalaku penat sekali. Kenapa, ya?
Sambil menunggu kereta berhenti, aku mengecek smartphoneku. Ada lima missed calls dan tiga pesan chat. Lima missed calls dari Lexi semua.
Aduh! Firasatku tak enak.
Aku membuka ketiga chat itu. Chat itu datang dari Mbak Winta, Reno si Galau, dan Lexi.
Pertama-tama, aku membuka chat dari Mbak Winta. Mbak Winta : Bin, sdh sampai Jogja? Bin, gula Bapak naik subuh tadi. Bapak jd meracau. Omongannya kacau. Marahmarah jg. Bin, bisa tlp?
"
Aku segera membalas. Kepalaku tambah pusing. Aku : Mbak, masih tdr? Klo bangun, tak telepon, Mbak. Chat kedua yang kubuka adalah chat dari Reno si Galau. Ngapain dia? Jangan-jangan curhat mantannya lagi.
Reno : Bin, kt si Bos, lo di Jogja ttp hrs nulis and angkat berita ke
web. Jgn liburan aja! Haha.... Langsung kubalas: Iya. Ntar gue tulis berita sambil dikipasin dayang
dayang keraton. Hahaha. Chat yang ketiga datang dari Lexi. Aduh! Jantungku jadi berdetak kencang. Aku malas membacanya sekarang. Nanti sajalah. Apalagi keretaku sudah berhenti di Stasiun Tugu.
"
Stasiun Tugu Yogyakarta. Aku benar-benar tak sabar untuk menikmati udara segar di Daerah Istimewa ini. Kali ini pikiranku harus dicuci bersih.
" Bin, kamu mau ke mana aja di Jogja?" Saya bertanya dengan senyum tulus.
" Nggak tahu. " Aku membantu Saya menurunkan barang-barangnya dari rak gerbong. " Harus angkat berita juga soalnya. " " Oh iya, kamu kerja di surat kabar apa?"
" Di Realitas Ibukota dan media online-nya. "
" Hmm.... Kira-kira aku bisa jadi kontributor nggak, ya?" " Kontributor apa? Kamu mau jadi kontributor foto?" " Betul! Kok tahu kalau saya suka foto? Iya, Bin. Saya punya banyak foto-foto wisata alam Indonesia. Ada Bunaken, Tanah Lot, Danau Toba.... Banyak, Bin. "
Aku hanya tersenyum menanggapi Saya. Sebenarnya aku penasaran dengan suasana hatinya. Bagaimana bisa dia menyebutkan dengan santai berbagai tempat yang pernah dia datangi bersama Elang, mantannya. Apa dia tidak terpengaruh oleh kenangan-kenangan bersama Elang? Apa karena kisahnya sudah berakhir sangat lama?
"
" Dari sini, kita naik becak aja. Cuma lima ribu. " Aku melenggang menuju pintu keluar Stasiun Tugu.
" Lho?! Memangnya kita mau barengan?" Saya tampak heran seraya beradu pandang dengan Nely.
Releks, aku mengangguk. " Yuk! Gue bosen nih kalo cuma jalan-jalan sendiri. Please.... "
Saya bertatapan lagi dengan Nely.
" Gue lagi butuh temen banget nih buat jalan-jalan keliling Jogja! Lagi kosong banget pikiran gue!"
" Gini aja, saya dan Nely ke rumah Eyang dulu. Setelah saya menaruh barang dan melihat keadaan Eyang, kami akan kembali lagi ke Stasiun Tugu. Bagaimana, Bin?"
" Oh, iya.... Lo kan mau ke rumah Eyang, ya? Perlu gue anter?" " Nggak usah, Bin. Kamu tunggu di sini aja. "
Aku mengangguk. " Oke kalau gitu. " " Saya minta nomor hapemu aja, Bin. Boleh?" Aku tersenyum. " Dengan senang hati. "
"
Sepeninggal Saya, aku duduk-duduk di Stasiun Tugu. Seraya melihat sekeliling, aku menunggu telepon dari Mbak Winta. Hatiku waswas. Aku sangat cemas dengan kesehatan Bapak.
Aku bangkit dari tempat duduk dan melangkah ke toilet umum stasiun. Toilet Stasiun Tugu lumayan bersih. Penjaga toiletnya adalah seorang kakek-kakek kurus yang masih gesit mengepel dan membersihkan setiap sudut toilet. Selintas aku berpikir, dulu kakek-kakek ini pernah galau nggak ya waktu muda? Hahaha.
Smartphone di saku jaket jinsku bergetar. Aku yang hendak buang air kecil terpaksa melihat dulu siapa yang menghubungi. Rupanya Lexi.
Aku kira Mbak Winta.
Haduh! Ngapain sih nih bocah udah telepon gue pagi-pagi? " Napa, Lex?" jawabku setengah hati. Kujepitkan telepon genggamku di antara bahu dan pipi.
" BIIIIIIIIIN?! NGAPAIN LO?!" teriak Lexi delapan oktaf di seberang sana.
" Pipis," jawabku apa adanya.
" YEEEE! Bukan! Lo ngapain sama Alena?" " Ngapain apa?"
" Lo delete dan block Alena dari semua media sosial yang lo punya?! Kenapa?! Aduh! Alena marah-marah mulu sama gue!"
" Ya udah! Mending lo pergi aja dari rumah Alena! Daripada lo dimarah-marahin sama dia!"
" Tapi, kenapa lo delete dia?"
" Apa pertanyaan itu harus gue jawab? Kalau nggak gue jawab gimana?"
Dari smartphone-ku, aku bisa mendengar suara Alena yang sedang marah-marah. Tak terlalu jelas apa kata-katanya. Satu kalimat yang kudengar adalah " Lex, bilangin sama temen lo itu! Kemaren gue emang sayang sama dia! Tapi sekarang, benci! Benci sebencibencinya!"
Teriakan Alena bagai puntung rokok yang siap dijatuhkan ke kubangan bensin. Menyulut kebakaran! Menyulut panas hati! Emosiku langsung memuncak.
" Eh, Lex! Kasih teleponmu ke Alena! Gue mau ngomong!" teriakku di toilet. Si kakek penjaga toilet sepertinya terkejut sampai langsung menengok ke arahku.
" Enggak, Bin.... Kalian berdua lagi emosi banget.... Lo tenangin diri dulu ya. Gue di sini tenangin Alena. " Lexi yang biasanya cuek, nyablak, dan keras jika bicara, kini menghalus. Mungkin dia terkejut juga mendengar nada bicaraku yang meninggi.
Namun, aku tak mau mendengar kata-katanya. " Kasih, Lex! Gue mesti ngomong sama Alena!"
" JANGAN BENTAK-BENTAK DONG AH!" " Eh sori, Lex!"
Diam sejenak. Kini yang marah jadi tiga orang; aku, Alena, dan Lexi.
" Bin, boleh nggak kali ini gue yang curhat sama lo?" Suara Lexi terdengar bergetar di seberang sana. Aku yakin sekali... dia mencoba meredam emosinya. " Di sini, Alena jelekin lo ke gue. Di telepon, lo jelekin Alena ke gue. Gue tuh pusing, tau?! Kalian berdua tuh sahabat gue! Dan gue sebenernya sakit kalau ada orang yang menjelekkan sahabat gue sendiri! Apalagi yang menjelekkan itu sahabat gue juga! Gue tuh sayang sama kalian berdua, tau!"
Aku jadi bingung ingin berkomentar apa. Jarang sekali Lexi bersikap melankolis seperti itu. Tampaknya, ungkapan barusan benarbenar berasal dari relung hatinya yang paling dalam.
" Bin, gue nggak minta lo dan Alena kembali seperti dulu, tapi jangan begini!" pintanya agak meringis.
" Eh, Lex!" Aku masih marah, tetapi berusaha kuredam kali ini. " Kok lo ngomongnya ke gue?! Sampein ke Alena dong! Kan dia yang katanya benci sama gue?! Dia yang menganggap gue sebagai penyebab dari patah hatinya?"
" Pertanyaan gue cuma satu, Bin. Kenapa lo delete Alena dari media sosial lo? Dia jadi marah dan benci sama lo! Bin, Alena bilang dia sebenernya mau baik sama lo, tapi karena lo men-delete dia begitu, dia terpukul banget dan benci lo setengah mati. "
" Udahlah, Lex! Terserah dia mau benci gue atau gimana. Di sini gue juga sedih banget! Gue kecewa karena Alena menyalahkan gue. Gue kan udah nawarin dia berbagai jalan, tapi dia sendiri yang bilang capek dan minta putus. Dia yang capek menjalin hubungan, kok dia juga yang ribet ngelepasin?"
Lexi menghela napas. " Jadi, maksud lo men-delete Alena adalah untuk melepaskan dia? Lo juga udah nggak mau temenan lagi sama dia, Bin?"
" Bukan nggak mau temenan sama dia. Udahlah, Lex. Masalah ini nggak perlu diperlebar lagi. Gue juga nggak tau kenapa gue ngedelete dia kayak anak kecil gini. Gue cuma butuh jaga jarak sama dia untuk menenangkan hati. "
" Ya udahlah, Bin.... Alena ngajakin gue sarapan nih. " " Iya, sana makan dulu. Gimana ya, Lex? Dia boleh benci banget sama gue dan menjadikan gue kambing hitam, tapi ya... gue nggak bisa melakukan hal yang sama ke dia. "
" Jadi, lo masih sayang sama Alena?"
" Siapa yang masih sayang? Sepertinya nggak ada yang berani nunjukin kasih sayang ke orang yang marah-marah kayak begitu. "
"
Aku melangkah keluar dari Stasiun Tugu. Rasa kesal membuatku lapar dan ingin sarapan. Aku hampiri salah seorang tukang becak yang berjejer rapi dan tampak sabar menunggu calon penumpang di depan stasiun. Biasanya aku senang berbasa-basi dengan tukang becak, tetapi kali ini aku sedang malas. Suasana hatiku sedang berantakan.
Atas saran bapak tukang becak, kami menuju Nasi Gudeg Bu Imah. Aku sarapan di warung kecil itu.
Saat makan, aku memperhatikan sepasang kekasih yang duduk di seberangku. Aku amati jemari mereka yang saling menggenggam meski mereka sedang sarapan. Benar-benar merasa dunia ini milik mereka berdua. Jangan-jangan, dulu aku dan Alena juga seperti itu.
Tiba-tiba, ada seonggok kerinduan tersendiri untuk bersentuhan dengan perempuan. Dulu, Alena sering sekali menggenggam jemariku. Saat dia senang, sedih, takut, bingung, ingin menyeberang jalan atau hanya ingin memastikan bahwa aku selalu ada di sisinya.
Aku pun demikian. Kala senang, sedih, takut, bingung, atau hanya ingin berada di sisinya, genggaman tangannya begitu memberiku kekuataan. Sangat miris mengingat bahwa tangan itu jugalah yang menampar pipiku. Yang mungkin saja menyeka air mata dari luka hati yang kubuat. Yang mungkin saja nantinya.... Nantinya menggenggam tangan laki-laki lain.
Tiba-tiba smartphone-ku berbunyi. Aku sudah mengubahnya ke mode standar saat keluar dari toilet tadi. Cepat-cepat aku angkat telepon itu, siapa tahu dari Mbak Winta.
Rupanya Saya yang menelepon. " Assalamualaikum, Bin!" " Waalaikumussalam, Saya. "
" Bin, ternyata Eyang lagi di rumah Bude. Sekarang saya sama Nely menuju Stasiun Tugu. Jadi jalan-jalan keliling Jogja? Kamu di mana sekarang?"
" Gue lagi sarapan di Warung Gudeg Bu Imah. "
" Oh, Gudeg Bu Imah? Itu warung langganan almarhum Eyang Kakung saya. Saya ke sana ya. Oh iya, Bin. Kamu mau lele asap?" " Lele asap?"
" Budeku jualan lele asap khas Jogja. Saya bawain ya. Sekalian promosi nih ceritanya. Hehehe.... "
" Ooh... gitu. Boleh deh. hank you ya, Say. " " Sama-sama. Assalamualaikum. "
" Waalaikumussalam. " Kututup smartphone-ku.
11
Saya s Story
Y a, Allah! Kuatkanlah hatinya melewati ujian-Mu! Hamba ya
kin sekali bahwa Engkau tidak akan pernah memberikan ujian yang tak bisa dilewati hamba-Mu. "
Itulah potongan doaku di akhir shalat Dhuha. Sambil becermin di kamar Eyang dan membetulkan letak kerudung, pikiranku melayang ke Bintang. Mungkin berlebihan karena doa itu tertuju untuk orang yang baru kukenal di kereta tadi malam. Namun, aku pernah berada di posisinya sehingga aku tahu betapa sakit dan terpuruknya dia saat ini. Apalagi, dia juga mengaku sedang jauh dari-Mu, Ya Allah.
Bintang Ilham Prayoga, saudara seiman yang baru kukenal hari ini, tetapi sudah kuanggap sebagai sahabat atau saudara sendiri.
Aku sendiri bingung mengapa dia begitu menarik perhatianku untuk lebih mengenalnya dan tak menolak tawarannya untuk berkeliling Yogyakarta bersama. Padahal, aku baru mengenalnya beberapa jam yang lalu di kereta. Apa benar hanya karena aku pernah berada di posisinya?
Yogyakarta adalah kota kenangan bagiku dan Elang, orang terdekatku pada masa lalu. Aku begitu mencintainya waktu itu. Sampai-sampai aku hampir melawan orangtua yang memandang Elang sebelah mata hanya karena tindikannya di lidah dan alis kanan.
"
" Saya! Eyang Kakung sakit keras. Dia terus-menerus memanggilmu. Cuma kamu yang belum datang ke Jogja," kata Eyang Putri suatu hari melalui telepon. Waktu itu, aku sedang menemani Elang pindah kontrakan di Jakarta.
" Elang, aku harus ke Jogja hari ini. Eyangku sakit. Maain aku ya. Aku nggak bisa bantuin kamu pindah kontrakan. "
" Ya udah, kamu ke Jogja aja. Nanti Silly juga datang bantuin aku bersih-bersih kontrakan baruku," jawab Elang menyebut nama istrinya kelak.
" Silly? Kamu minta tolong Silly beres-beres kontrakan kamu? Elang, aku ini pacar kamu! Kenapa dia yang beres-beres kontrakan kamu?" tanyaku di teras rumah kontrakan Elang. Aku sedikit malu karena perkelahian kami ditonton beberapa teman Elang yang sama-sama mengontrak.
" Yah... abis kamu kan mau ke Eyang Kakungmu! Ya udah sana& !" Mimik Elang tampak tak ikhlas melepasku pergi menjenguk Eyang Kakung.
Begitulah kisahku. Bisa ditebak, sehabis itu aku pergi naik kereta ke Yogyakarta dengan perasaan galau. Elang dan Silly tertangkap basah bermesraan di media sosial. Aku sendiri berpikir mungkin mereka sengaja memancingku agar cemburu dan marah.
Dalam perjalanan menuju Yogyakarta, Eyang Putri menelepon lagi. Kali itu untuk mengabarkan bahwa Eyang Kakung telah meninggalkan kami untuk selamanya. Aku menjadi satu-satunya cucu yang tak sempat bertemu dengan beliau.
Sontak aku menangis di kereta api. Aku rindu Eyang Kakung. Aku rindu memeluk dan dipeluknya. Aku menangis sejadi-jadinya.
Sejak saat itu setiap kali melakukan perjalanan dengan kereta api, aku teringat kembali pada rasa penyesalanku. Seandainya saja aku menuruti perkataan Eyang Putri untuk datang ke Jogja jauhjauh hari dan tidak menemani Elang pindah kontrakan, mungkin aku sempat bertemu dengan Eyang Kakung. Aku benar-benar menyesal.
Rasa sesalku begitu tak terbendung. Komentar-komentar mesra antara Elang dan Silly sudah tak mempan membuatku sedih. Air mataku terkuras habis untuk Eyang Kakung.
Pulang dari Jogja, sepeninggal Eyang Kakung aku menemukan fakta bahwa Elang memang berselingkuh dengan Silly, sahabatnya sendiri. Selama aku di Jogja, rupanya mereka semakin dekat. Elang beralasan bahwa kami sudah tidak cocok dan dia akan menikahi Silly.
Sejak saat itu, aku mengintrospeksi diri. Kucoba mendekatkan diri kepada Tuhan, Zat yang selalu menjadi tempat mengadu Eyang Kakung selama beliau hidup. Benar kata Eyangku! Menyelimuti hati dengan zikir dan shalawat memang menyejukkan hati. Seandainya saja aku lakukan itu sejak dulu.
Bintang Ilham Prayoga. Aku merasakan kekosongan yang pernah dia rasakan. Pagi, siang, sore, dan malam hanya habis memikirkan mantan kekasih. Tak diminta, tetapi bayang itu muncul menghantui. Bukan perkara gampang melupakan orang yang pernah dekat dengan kita.
Namun, aku belajar dari rasa sakitku. Semua hal di dunia ini, entah menyenangkan atau menyakitkan, tak mungkin terjadi tanpa seizin-Nya. Mungkin Elang adalah cara Allah mengingatkanku, untuk mengembalikan jalanku agar tak jauh-jauh dari-Nya. Aku pun ingin Bintang memahami itu.
12
Wisata Hati
S aya, Nely, dan aku menyusuri Jalan Malioboro dengan berjalan
kaki. Sepanjang jalan, Saya tidak berhenti bercerita. Dia yang sebelumnya sudah sering ke Jogja bersemangat sekali menjabarkan apa saja kekayaan budaya dan kuliner di Jogja. Dia tidak tahu kalau keluargaku juga banyak yang tinggal di Jogja. Waktu aku kecil, Bapak sering mengajakku dan Mbak Winta ke kota ini. Toh jarak Semarang Jogja tidak begitu jauh.
Tiba-tiba aku jadi teringat kondisi Bapak. Kok Mbak Winta tidak menghubungiku lagi, ya? Aku memutuskan untuk menelepon mbakyuku itu.
" Ada apa, Bin? Kok kamu kelihatan cemas gitu?" Saya berhenti bercerita. Ada secercah kesenangan karena diperhatikan oleh wanita yang baru kukenal. Menarik, lagi.
" Ah, enggak. " Aku buru-buru menggeleng supaya terlihat tegar di hadapannya.
" Ditelepon Alena, ya?" Saya memiringkan kepalanya. " Hah? Bukan. Mau telepon Bapak. "
" Kenapa bapakmu?"
" Sebentar ya. Gue mau telepon Mbak Winta dulu. "
"
" Halo? Mbak Winta? Bapak gimana, Mbak? Wis mendingan, Mbak? 4 " Aku merasa ragaku di Yogyakarta, tetapi jiwaku tertinggal di Jakarta.
Mbak Winta menjawab dengan tenang. " Udah, Bin. Udah mendingan. "
Namun, jawabannya yang singkat malah membuatku waswas. " Gulanya gimana? Bapak udah tenang?"
" Sampai sekarang sih... Bapak masih tidur, Bin. Udah... nggak usah dipikirin. Kamu di sana lagi ngapain? Sudah sampai, kan?" " Udah, Mbak. Ini lagi di Malioboro. "
" Ya sudah. Kamu senang-senang saja dulu. Jernihkan pikiranmu. Bersihkan hatimu dari luka dan benci terhadap seseorang. Kemudian tenang, ikhlas, dan siap melangkah lagi. Di sana kamu jangan lupa shalat lho, Bin! Minta Gusti Allah menenangkan hatimu. " " Iya, Mbak. "
" Kamu udah sarapan, Bin? Jangan lupa makan ya. Kamu kalau udah nulis artikel sering lupa makan. "
" Iya, Mbak. Aku udah sarapan kok. " " Ya sudah kalo begitu. "
"
Tempat wisata pertama yang kami datangi adalah Keraton Jogja. Dari Malioboro, kami menaiki dua becak. Aku duduk di becak pertama, sedangkan Saya dan Nely duduk di becak kedua. Perjalanan tidak terlalu lama. Kami melewati Jalan Malioboro yang dipenuhi pedagang kaki lima. Barang-barang yang dijual beragam, mulai dari pakaian batik, tas, aksesori etnik, sandal batik, makanan, jajanan pasar, bakpia, sampai es dawet yang menyegarkan.
4 Bahasa Jawa: Sudah mendingan?
Tuk tik tak... Tik tuk... Tik tak.. Tik tuk...
Bintang Jatuh Karya Silvarani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara sepatu kuda mengalihkan perhatianku. Delman di sebelah kananku melaju perlahan, membawa seorang kakek bersama keempat cucunya. Menggunakan bahasa Jawa, sang kakek menjelaskan berbagai hal tentang batik dan kota Yogyakarta.
Sesampai di kompleks keraton, kami turun dari becak dan memandang sekeliling. Di depan kompleks keraton, rupanya ada sisasisa gerobak dan tenda bekas pesta rakyat tadi malam.
Menurutku, Jogja memang lebih tenteram dan santai daripada Jakarta. Hati ini pun jadi tenteram dan sejenak bisa melepaskan kepenatanku yang tersisa dari ibu kota.
" Bintang, kamu udah pernah ke keraton sebelumnya?" tanya Saya.
Aku mengangguk. " Udah, Say! Waktu gue masih SD. Gue bertiga ke sini sama Bapak dan kakak perempuan gue. "
" Oh.... "
" Kalau kamu?" aku balik bertanya.
" Pernah... dulu sama temen-temen kuliah," jawab Saya. " Untung sama temen kuliah ya, bukan sama mantan. Kalau sama mantan, pasti kenangannya jadi buruk. Hahaha. " " Hahaha! Kamu salah, Bin!"
" Salah kenapa?"
" Salah satu dari temen-temen kuliahku itu ya... mantanku, Bin. " " Hah? Eh, sori!"
" Kok sori? Ya nggak apa-apalah, Bin. "
Di tengah percakapan kami, Nely mencolek Saya dan menunjuk loket pintu masuk Keraton Jogja. Rupanya dia mengajak kami untuk cepat-cepat masuk.
" Bin, masuk yuk!"
" Ayo!" Aku mengangguk.
Tadinya aku menganggap jalan-jalan bertiga hanya dengan Saya dan Nely bisa saja membosankan. Maklum, aku biasanya bepergian dengan teman-teman cowok yang berisik dan doyan bercanda selama perjalanan. Kadang-kadang, Alena kesal karena aku kelihatan asyik sendiri dengan teman-teman dan jarang menghubunginya di Jakarta.
Ups...! Bahas Alena lagi!
" Bin, kayaknya lagi ada pertunjukan tari deh di pendopo keraton! Ke sana yuk!" ajak Saya seraya mengenakan kacamata hitam untuk melindungi matanya dari terik matahari. Benar juga! Aku juga harus mengenakan kacamata hitamku.
Ternyata, jalan-jalan bersama Saya dan Nely tidak membosankan. Selama perjalanan, kami banyak berbincang-bincang tentang apa yang kami lihat di sekeliling kami. Misalnya saja saat kami menonton pertunjukan tari ini. Saya bercerita bahwa ketika SD, Nely pernah mementaskan tarian Jawa di sekolahnya.
" Oooh! Kamu bisa nari, Nely? Keren banget!" komentarku setengah berteriak. Nely tersenyum tersipu malu. Sambil memandangi gerak mulutku, Nely memperhatikan gerakan tangan Saya yang menyimbolkan bahasa isyarat. Mengapa Saya menggunakan bahasa isyarat kepada Nely? Apakah Nely seorang tunarungu? Pantas saja dari tadi aku belum mendengar suaranya.
" Saaay& . " Bisikku kepada Saya. " Nely itu...," kutunjuk telingaku, " maaf, Saya. "
Saya mengangguk. " Iya, Bin. Sudah dari kecil, tapi dia luar biasa. " " Luar biasa?"
" Nely hafal Al-Qur an," bisiknya dengan nada bangga. " Wow!" seruku. Rupanya keterbatasan Nely bukan menjadi alasan baginya untuk belajar Islam. Aku yang memiliki isik normal jadi tersentil.
Dari cerita Saya, aku baru tahu bahwa Nely ternyata mengenakan alat bantu dengar. Namun, karena musik pengiring tarian cukup keras, dia harus memperhatikan gerak tangan Saya.
" Tapi... dulu... pasti... kamu... belum... pake... kerudung... deh!" ucapku perlahan agar Nely mengerti.
" Ah!" Nely mengangguk. " Au... uah... be... ijab... In...tang... 5 " jawab Nely sambil menyimbolkan perkataannya dengan bahasa isyarat.
" Wah! Sudah... berhijab... tapi... menari... tarian Jawa? Boleh, ya...?" Aku jadi ingin tahu.
Nely mengangguk. Kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Ternyata smartphone. " In... ang, li... hat! 6 " Nely menunjukkan sesuatu di layar smartphone-nya. Rupanya penjelasan seputar hijab.
Kubaca artikel itu dengan cepat. Di sana tertulis bahwa Islam melarang segala aktivitas manusia yang dapat menyebabkan mereka lalai dan melupakan kewajibannya sebagai umat Islam. Begitu pula dengan menari. Jika kita menjadi penari yang mengakibatkan para penontonnya melupakan Allah atau membuat nafsu mereka timbul karena goyangan yang erotis, tarian tersebut haram hukumnya. Jika tarian tersebut tidak erotis, dibolehkan.
Dalam artikel itu juga ada beberapa hal yang baru kuketahui. Salah satunya adalah anjuran agar sebaiknya sebuah tarian ditonton oleh mahram dan keluarga. Atau jika para penarinya laki-laki, harus ditonton oleh laki-laki. Begitu pula sebaiknya. Jika para penari adalah wanita, harus wanita yang menontonnya. 7 Jika pada akhirnya ada la
5 Nely: Aku sudah berhijab, Bintang. 6 Nely: Bintang, lihat!
7 htp://seni.musikdebu.com/babX.htm
wan jenis yang ikut menonton, sebaiknya gerakan para penari tidak erotis agar menjaga syahwat para penontonnya. Terakhir, Islam juga mengajarkan bahwa penari laki-laki sebaiknya berperan sebagai penari laki-laki. Begitu juga dengan penari perempuan, mereka harus memerankan tokoh perempuan di panggung. Jika penari laki-laki menyerupai wanita atau melakukan gerakan menyerupai gerakan wanita dan penari wanita melakukan gerakan yang mirip laki-laki, hukumnya haram. Mungkin karena jadi mirip dengan kaum Nabi Luth as. yang pada akhirnya diberi azab oleh Allah Swt.
Setelah beberapa saat menyaksikan pertunjukan tari Sekar Pudyastuti, kami menyusuri setiap sudut keraton. Rupanya, Saya tak hanya fasih menjelaskan hukum Islam, tetapi juga sejarah Kesultanan Yogyakarta. Misalnya bagaimana awalnya masyarakat Jawa mengenal Islam. Semuanya dijelaskan oleh Saya.
Kurang lebih, penjelasan Saya sudah pernah kuketahui sebelumnya dari mata pelajaran Sejarah dulu di sekolah. Sebelum Islam datang ke tanah Jawa, masyarakat Jawa memeluk agama Hindu atau Buddha. Setelah Islam masuk ke tanah Jawa, penyebarannya tak terlepas dari peran para Wali Songo.
" Ada tiga teori masuknya Islam ke Indonesia, Bin. " Saya mulai bercerita saat kami bertiga memotret koleksi kereta kuda keraton. " Teori pertama mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia karena peran pedagang Gujarat pada abad ke-13. Teori kedua mengatakan bahwa Islam sudah ada sejak abad ke-7 yang dibawa oleh para pedagang Arab. Yang terakhir, Islam masuk ke Indonesia berkat pedagang Persia pada abad ke-13. Aku pribadi lebih percaya kalau Islam sudah ada sejak abad ke-7. Buktinya, ada makam Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 1082 di Gresik. 8 "
8 htp://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia
" Apa hubungan Fatimah binti Maimun sama masuknya Islam di Indonesia?" tanyaku asal. " Karena namanya udah islami, ya?"
" Iya, Bin," angguk Saya antusias. " Kapan-kapan kalau kita ke Gresik, kita ke makamnya dan aku akan ceritakan semua tentang Fatimah binti Maimun. "
" Wah! Apa yang kamu tahu tentang Fatimah, Say?" " Kata almarhum eyang kakungku, Fatimah binti Maimun itu adalah perempuan beragama Islam yang diduga berasal dari golongan bangsawan. Batu nisannya ditulis dalam bahasa Arab dengan huruf kaligrai bergaya Kui. "
" Kui? Apa itu, Say?"
" Kui itu salah satu jenis seni kaligrai. Kalau huruf hijaiyah yang dibentuk Kui itu biasanya kelihatan lebih kurus dan kotak. " " Kurus?"
" Kayak gini nih, Bin. " Saya memperlihatkan sebuah gambar di smartphone-nya. Setelah aku pikir-pikir, aku pernah melihat kaligrai seperti itu di masjid kantor. Ternyata kaligrai pun ada jenisnya. Salah satunya kaligrai Kui.
" Oh... gitu. Terus, terus...?! Cerita lagi Say, tentang Fatimah binti Maimun. "
" Iya, Bin. Makam Fatimah itu ada di desa Leran, Gresik, Jawa Timur. "
Saya menceritakan semua hal yang dia ketahui tentang Fatimah binti Maimun. Saya menjelaskan bahwa menurut sumber tertulis tertua, " Sajarah Banten" , pada tahun 1600-an terdapat legenda mengenai seorang putri dari Leran. Disebutkan bahwa pada masa Is lamisasi Jawa, seorang bernama Putri Suwari dari Leran ditunangkan dengan raja terakhir dari Majapahit. Menurut peneliti asal Prancis bernama Moquete yang sempat berkunjung dan meneliti langsung ke Gresik, Putri Suwari itulah nama asli Fatimah binti Maimun.
" Bin, kok kamu bengong sambil mangap gitu sih?!" Saya tertawa cekikikan. " Bosen ya, denger ceritaku?"
" Eh enggak, Say! Aku malah speechless sama pengetahuan kamu tentang Islam di nusantara. Kamu keren banget, Say!"
" Alhamdulillah. Makasih, Bintang. Tapi sebenernya kamu bisa baca semua itu di Wikipedia. Selain denger cerita dari almarhum eyang kakungku dulu, aku juga hobi baca Wikipedia soalnya. Hihihi...," ucap Saya merendah. Setelah itu, dia lanjutkan lagi kisah tentang makam Fatimah binti Maimun. Katanya, ada tujuh baris tulisan di makamnya yang sempat ditulis oleh Moquete dan diterjemahkan oleh M. Yamin. Kira-kira artinya seperti ini:
Atas nama Tuhan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah Tiap-tiap makhluk yang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana Tetapi wajah Tuhan-mu yang bersemarak dan gemilang itu
tetap kekal adanya Inilah kuburan wanita yang menjadi kurban syahid bernama
Fatimah binti Maimun Putra Hibatu llah yang berpulang pada hari Jumiyad ketika tujuh
sudah berlewat bulan Rajab dan pada tahun 495 Yang menjadi kemurahan Tuhan Allah Yang Mahatinggi Bersama pula Rasul-Nya Mulia
" Baris pertama itu basmalah, sedangkan baris kedua dan ketiganya diambil dari kutipan Surah Ar-Rahmaan ayat 25 26," terang Saya dengan wajah antusias.
13
Bertamu ke Rumah Allah
S etelah mendengar celoteh Saya tentang sejarah Islam di Indone
sia, aku jadi ingin mengetahui lebih dalam tentang hal-hal yang diceritakan oleh Saya. Aku banyak bertanya tentang Wali Songo dan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Hari ini aku bersyukur bisa berkenalan dan merajut pertemanan dengan seseorang seperti Saya. " Allahu akbar Allahu akbar.... " Terdengar suara azan Zuhur. " Bin, ayo kita shalat dulu. Kita shalat di Masjid Kauman aja. " " Itu di mana?"
" Deket alun-alun keraton kok. Masjid Kauman itu juga masjid bersejarah, Bin. Dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I dan seorang kiai. "
" Wah.... Pasti keren deh arsitekturnya. "
"
Kulangkahkan kakiku memasuki Masjid Agung Kauman, masjid yang konon menjadi tempat Sri Sultan dan mereka yang tinggal di keraton melaksanakan shalat. Bangunan ini adalah bangunan bersejarah. Dahulu, masjid ini menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jogja. Aku tahu semua itu dari Saya.
" Bade shalat bareng, Mas? 9 " Seorang pria muda menyapaku yang sedang menikmati keindahan interior masjid.
" Eh iya, Mas. " Aku mengangguk.
Aku melaksanakan shalat Zuhur berjemaah. " Allahu akbar. "
Aku rukuk, iktidal, sujud, duduk di antara dua sujud, sujud kembali, dan pada akhirnya duduk tahiyat akhir. Perasaanku begitu tenang saat melaksanakan shalat. Menurutku, ada kekuatan lebih besar yang seharusnya lebih kuagungkan, melebihi kekuatan cinta yang bisa berakhir.
" Assalamualaikum.... " Aku mengikuti imam mengucapkan salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah itu, tak lupa aku menyalami beberapa jemaah di dekatku. Kata guru agamaku di sekolah dulu, inilah salah satu nikmatnya shalat berjemaah. Kita dapat berinteraksi dengan saudara sesama muslim.
Para jemaah kemudian memanjatkan doa. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Semua jemaah menundukkan kepala dan mengangkat kedua tangannya. Semuanya begitu khusyuk.
Anehnya, aku tak tahu doa apa yang ingin kupanjatkan kepada Allah. Aku bingung merangkai kata. Aku bingung harus berkata apa agar doaku diterima. Aku takut keinginanku terlalu banyak. Aku masih malu dengan apa yang terjadi padaku.
Malu?
Ya, malu.
Dulu, aku yakin sekali bahwa Alena akan menjadi istriku. Nyatanya, Allah dengan mudah membalikkan itu semua. Manusia boleh berencana, tetapi Allah yang menentukan.
Suasana di Masjid Agung sebenarnya cukup ramai. Anehnya, 9 Bahasa Jawa halus: Mau shalat bareng, Mas?
suara yang terdengar tidak riuh. Kedua telingaku hanya mendengar lirihan bacaan shalat beberapa jemaah dan suara seorang bapak yang tengah mengaji di pojok kanan masjid.
Tiba-tiba pikiranku berlarian ke mana-mana. Aku bertanya dalam hati, kira-kira sudah berapa kali bapak itu menyelesaikan bacaan Al-Qur an-nya? Sudah berapa kali khatam? Aku baru menyadari bahwa dalam hidupku, aku hanya pernah khatam 1 kali. Ada sesuatu yang mengambang di kedua mataku. Apa ini? Air mata?
Aku tak sedang bersedih, tetapi mengapa air mataku menetes di pipi?
Apa karena sekelebat benakku sempat mengingat Bapak? Ternyata selain berpisah dengan Alena, ada sesuatu yang lebih aku takutkan, yaitu berpisah dengan Bapak. Seketika aku ingin meminta kepada Allah supaya mencabut penyakit Bapak. Aku ingin diberikan waktu untuk membahagiakan Bapak. Meski aku tahu bahwa aku tidak akan dapat membalas kebaikan dan kasih sayang yang selama ini Bapak curahkan kepadaku.
Tiba-tiba aku mengerti dengan apa kekosongan hati ini harus terisi, kepada siapa kekosongan cinta ini akan kuberikan. Jawabannya mudah.
Allah, Bapak, dan Mbak Winta.
Di hatiku kini hanya ada Allah, Bapak, dan Mbak Winta. Bapak... cepatlah Bapak sembuh.
Dan... maakan Bintang, Pak. Maakan Bintang karena belum memberikan apa-apa kepada Bapak.
Maakan Bintang jika hati ini terkadang kesal dengan keadaan ini, dengan sakitnya Bapak. Karena Bapak sakit, Bintang merasa tak dapat hidup bersama Alena. Bintang tahu sekarang....
Bukan karena Bapak sakit, melainkan karena Alena bukan jodoh Bintang.
Kubasuh kedua tanganku ke wajah. Semoga apa yang kupanjatkan kepada Allah terwujud.
Amin ya rabbal alamin....
"
Selesai berdoa, aku beranjak dari tempat shalat dan duduk di pojok masjid.
Kuedarkan pandanganku. Ternyata memperhatikan orang satu per satu menciptakan kesenangan tersendiri. Benar saja! Saat ini, seorang bapak menarik perhatianku. Dia shalat sampai 8 rakaat. Shalat apa itu? Tarawih?
Ah! Aku jadi ingin bertanya pada Saya.
Suara tangis bayi terdengar di telinga. Begitu aku menoleh, ternyata bayi itu tengah berada dalam dekapan sang ayah. Aku jadi ingat lagi dengan Bapak. Sejak ibu meninggal, aku hanya mengenal satu orangtua. Beliau adalah Bapak.
Pemandangan menarik di masjid ini tak hanya itu. Di tengahtengah ruangan, duduk seorang pria muda yang sedang mengajari seorang tunanetra mengaji. Mendadak, aku bertambah malu. Jika seorang yang terbatas penglihatannya saja begitu semangat belajar membaca Al-Qur an, bagaimana denganku?
Kubalikkan badanku menuju pintu keluar. Sebenarnya aku bisa saja buru-buru meninggalkan masjid, tetapi ada pemandangan indah lain yang menarik perhatianku. Pemandangan itu adalah seorang pria berpakaian lusuh sedang mengembalikan dompet seorang bapak berpakaian bagus. Katanya, " Dompetnya jatuh, Pak. "
"
" Bintang!"
" Saya! Eh, sori ya aku agak lama di dalam," ucapku agak tak enak hati.
" Iya nggak apa-apa, Bin. "
" Namanya juga orang galau. Butuh waktu lebih lama berdoa sama Allah. Hahaha. "
" Bin& jangan ngomong gitu! Kamu harus menyugesti dirimu kalau kamu nggak galau. Soal berdoa sama Allah, galau atau enggak, kan kita harus tetap berdoa sama Allah. "
" Eh iya, bener. "
" Mmm.... Aku juga pernah kok ada di posisimu. Tapi, percaya deh. Allah nggak akan kasih ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. " " Iya, Say. "
Kami lalu berkeliling Kampung Kauman. Melihat deretan rumah yang para penghuninya hidup rukun dan kental dengan suasana religius. Kata Saya, saat Ramadhan tiba lorong-lorong di Kampung Kauman menjadi ramai karena banyak warga yang menjual takjil.
" Oh iya, Say. Jadi inget... tadi di masjid ada bapak-bapak shalat 8 rakaat. Itu shalat apa, ya? Tarawih?" tanyaku ketika kami keluar dari Kampung Kauman.
Saya memutar-mutar bola matanya ke atas, seperti sedang mengira-ngira. " Mungkin shalat sunah? Atau shalat jamak. " " Shalat jamak?" alisku bertaut.
" Mungkin bapak itu musair atau sedang ingin melakukan perjalanan jauh sebentar lagi. Jadi, shalat Zuhur dibarengi dengan shalat Ashar. "
" Oh iya, ya! Bisa begitu!" aku menjentikkan jari. " Aturan tadi aku shalat jamak juga tuh. Aku kan musair. "
Saya mengangguk. " Nggak apa-apa Bin kalau kamu nggak jamak tadi. Nanti Ashar-nya pas di penginapan aja," jawab Saya menyejukkan.
14
Skenario Allah II
K esederhanaan kota Yogyakarta menyejukkan hati. Bersama
Saya dan Nely, aku keliling Jogja dengan berjalan kaki. Berpuluh-puluh tukang becak menawari kami untuk menggunakan jasa mereka. Namun, kami tak mau. Kami lebih senang berjalan kaki.
Tempat wisata kedua yang kami kunjungi adalah Benteng Vredeburg. Tampak beberapa tukang becak mangkal di depan pintu gerbang benteng peninggalan Belanda itu. Tak jauh dari situ, ibuibu penjual jamu dan penjual nasi kucing sibuk menawarkan dagangan kepada pengunjung. Menurutku, pemandangan yang kulihat ini cukup menarik. Melihat bangunannya membuat kita merasa di Belanda, tetapi menyaksikan para tukang becak dan ibu penjaja makanan di depan gerbang membuatku merasa berada di tanah Jawa. Ya, memang aku sedang berada di Jogja sih.
" Aku selalu berencana ke sini sama Alena. Saya, tolong fotoin gue di depan tulisan Vredeburg itu dong. " Tunjukku antusias. Karena sinar matahari cukup menyengat, aku mengenakan kacamata hitam.
"
" k&Indonesia... tanah airku. Tanah tumpah darahku. k&" " k&Di sanalah... Aku berdiri. Jadi pandu ibuku. k&"
Lagu Indonesia Raya yang terdengar dari pengeras suara sejenak memunculkan rasa nasionalismeku. Aku jadi ingat masa-masa sebelum aku berpacaran dengan Alena. Aku sering mengunjungi tempat-tempat bersejarah bersama Lexi, Mia, Mario, atau Reno. Kami pasti berfoto-foto, tertawa-tertawa, seolah tak ada beban. Aku rindu pada diriku saat itu.
" Saya, dulu aku pingin banget nipu temen-temen. " Aku memotret banyak objek sambil ngobrol dengan Saya.
" Nipu gimana, Bin?"
" Dulu aku pingin banget foto-foto di benteng ini sama Alena dan bilang sama temen-temen kalau kami lagi di Belanda. Ahahaha. Tapi ya gitu... nggak kesampaian. "
" Ooh.... Hahaha. " Saya tertawa datar. Semoga saja dia tak risih karena aku mengungkit-ungkit Alena.
Tiba-tiba, smartphone-ku berdering. Telepon dari Lexi. Ada apa lagi ini?
Ketika kuangkat telepon itu, Saya tetap berada di dekatku. Hanya saja, dia berbincang dengan sepupunya.
" Halo, Lex! What s up?"
" Hai, Biiin& gimana Jogja? Udah ke mana aja?"
" Basa-basi banget lo, Lex. Mau ngomong apa? Cepetan!" seruku sambil melirik ke arah Saya. Sepertinya dia mendengar percakapanku.
" Hehehe.... " Lexi cengengesan di seberang sana. " Tau aja lo Bin, ada yang mau gue omongin. Iya nih, gue mau ngomongin kerjaan. " " Hah? Kerjaan apa?"
" Bos kita, Mas Andre...," suara Lexi berubah lemas, " nanyain.... Lo belum bikin artikel analisis politik 2014, ya?"
" Waduh! Gue lupa. " Aku menepuk jidat. Artikel itu belum kulanjutkan lagi sejak Alena datang ke rumah sakit dan kami putus beberapa hari lalu.
" Terus, Mas Andre juga nyuruh lo cari bahan berita di Jogja. Tentang kuliner, jalan-jalan, atau event yang sedang berlangsung di Jogja. "
Ramuan Drama Cinta Karya Clara Ng Jalan Simpang Diatas Bukit Karya Herman 02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama