Ceritasilat Novel Online

Bintang Jatuh 3

Bintang Jatuh Karya Silvarani Bagian 3

" Oke... oke...," jawabku sambil garuk-garuk kepala. " Lo gimana sih, Bin?" cecar Lexi lagi. " Di kereta lo ngapain aja? Kan bisa nulis artikel analisis politik dikit-dikit. Biasanya lo nggak masalah nulis di kereta atau bus. "

" Lupa gue!" Aku beralasan.

" Kenapa bisa lupa? Segalau-galaunya gue sama mantan gue, gue masih inget tugas-tugas gue. "

" Lex! Jangan bawa-bawa galau ya! Sensitif!" ancamku. Di seberang sana, Lexi bicara sendiri. " Wah! Bintang lagi sensitif! Gimana gue mau nyampein kabar yang satu lagi?" " Kabar apa nih?" Aku mengenyitkan dahi.

"

Smartphone masih tertempel di telingaku. Pembicaraan dengan Lexi masih berlanjut. Di dekatku, Saya dan sepupunya berfoto di beberapa diorama koleksi museum. Ruangan museum ini terasa nyaman sekali dengan AC dan pengharum ruangan yang segar.

" Apa lo bilang, Lex?! Alena bakal nikah?! Ni... kah?! Sama siapa?" teriakku memecah kesunyian di ruang diorama. Tak jauh dari tempatku berdiri, Saya dan sepupunya sontak melihat ke arahku. Kelihatannya mereka mendengar apa yang aku bicarakan. " Iya, Bin. Alena akan menikah pertengahan tahun ini, Bin. " " Sama siapa?!" Ekspresi wajahku terpantul di kaca salah satu dioram a, benar-benar seperti orang ketinggalan kereta.

" Gue tadinya nggak mau ngomong Bin, tapi gue harus nampar lo dengan kejadian ini! C est la vie, pas le paradis! 10 "

" Sama siapa? Gila! Dia kan baru putus sama gue lima hari yang lalu?" Mulutku menganga lebar.

" Hmm.... Lo sering main ke kantor Alena, kan?" Lexi mencoba menjawab dengan tenang.

" Iya, sering. "

" Hmm.... Berarti mungkin nama ini pernah lo denger. Heru. Lo pernah denger?"

" Heru? Heru? Enggak. Eh?" Dahiku berkerut mencoba mengingat. " Eh, iya. Iya. Gue inget. Tapi gue cuma satu kali ketemu dia. Waktu Alena minta tolong gue buat temenin dia ketemu klien di Hotel Shangri-La. Heru itu kalo nggak salah senior Alena di ITB, kan?"

" Iya.... "

" Serius lo, Lex? Alena bakal nikah sama Heru? Tapi... bukannya Heru udah punya tunangan? Soalnya, abis ketemu sama klien di Shangri-La waktu itu, tunangan Heru datang. Terus Heru pulang sama tuh cewek. Kata Alena, cewek itu tunangannya. " " Lo kapan ketemu Heru di Shangri-La?" " Udah lama sih. Sekitar Februari 2013. "

" Udah setahun, ya? Nah, enam bulan lalu, Heru putus sama tunangannya. "

" Enam bulan lalu?" Alis mataku bertaut. " Alena mulai nyebelin dan suka buat masalah yang bikin rumit hubungan enam bulan terakhir ini sih. "

" Bikin rumit hubungan? Maksudnya, Bin?"

" Waktu kami putus di Cipto, Alena ngaku kalau dia udah coba 10 Bahasa Prancis: Ini hidup, bukan surga.

bikin rumit hubungan kami, tapi guenya nggak sadar-sadar. Dia jadi kesel sendiri. "

" Alena pernah bilang ke gue waktu gue nginep di rumahnya, pas malam tahun baru. Dari awal masuk kantor, dia udah kagum sama Heru. Tapi berhubung Heru udah punya tunangan, kekaguman dia nggak dia kutak-katik lagi. "

" Dari awal masuk kantor? Kapan itu? Sebelum kenal deket sama gue, ya? Sebelum reuni yang di rumah lo itu? Yang dia bilang es buahnya kemanisan? Desember 2010 kan kita reunian di rumah lo, Lex?"

" Alena kerja di biro Arsi mulai Agustus 2010. Ya... berarti dari waktu itu. "

" SIAL!" Tanganku kukepal erat-erat.

Aku memijat-mijat kepalaku yang tiba-tiba seperti dihantam palu. Wajahku memerah. " Lo tau dari mana, Lex? Dia cerita sendiri ke elo atau lo analisis sendiri?"

" Kan gue udah bilang, Alena sendiri yang cerita kalau dia kagum sama Heru sejak baru masuk di Biro Arsi. Tapi, pas ketemu sama lo di reuni dan lo ngajak pacaran, dia serius mau sama lo, Bin. " " Jadi, dia mau sama gue karena Heru udah punya cewek, kan?" " Bin.... "

" Jadi pas Heru putus, Alena pasti berteriak dalam hati, Inilah momen yang gue nanti-nantikan! Hahaha! "

" Bin.... " Lexi kehilangan kata-kata.

" Lex, gue udah terima kalau Alena bukan milik gue lagi. Dia ninggalin gue dalam keadaan bokap gue sakit, kerjaan gue lagi bikin pusing, pemasukan gue seret, dan lain-lain, gue terima. " " Oke.... "

" Cuma yang gue nggak abis pikir... gue ngerasa dibohongin, Lex. Apalagi selama pacaran sama gue, justru Alena yang selalu membicarakan tentang pernikahan. Ya, gue geer-lah. Gue jadi berpikiran Alena mau nikah sama gue. Terakhir, kalau memang dia udah dekat dengan si Heru itu dari sebelum kami putus, kenapa dia yang seolah-olah sedih setengah mampus? Dia yang sedih! Dia yang nampar gue di rumah sakit! Dia yang nangis-nangis ke elo sampe lo ganggu gue lewat telepon berkali-kali! Kenapa dia yang nggak tenang dan marah-marah terus? Kan dia udah punya Heru?!" Kedua mataku mungkin berkaca-kaca.

" Sorry to say, Bin. Tapi, abis lo delete Alena dari media sosial tadi malem, dia curhat sama gue dan telepon Heru sambil nangisnangis. Paginya Heru jemput Alena, terus mereka pergi. " " Ternyata bener. Ternyata bener. "

" Apa, Bin?"

" Waktu Alena nulis status-status nyebelin di media sosial, gue merasa tersindir karena Alena menjadikan gue sebagai orang yang salah dalam hubungan ini. Tapi pas gue ajak ngomong di chat, dia bilang kalau status-status itu bukan buat gue. Ternyata memang bukan buat gue. Tapi, buat narik perhatian Heru. Biar Heru ikutikutan menyalahkan gue, membela Alena, dan jadi pahlawan buat Alena. "

" Hei, hei, Bintang. Jangan negative thinking ah!"

" Status-status Alena di media sosial yang isinya marah-marah itu ternyata buat cari perhatian Heru aja. Biar Heru nanya, Hei Alena, kamu kenapa marah-marah? Kamu ribut sama Bintang? Bintang bikin kamu sakit hati, ya? Sini... sini sama Mas Heru. Cup cup cup! Wahahaha! Sial!" aku meracau.

Lexi terdiam.

" Hoi! Kalau lo mau sama Heru, silakan, Cantik! Nggak melanggar hukum pidana, perdata, UUD, atau norma-norma yang ada di masyarakat, kok. Gue udah ikhlas seikhlas-ikhlasnya!" aku seolaholah bicara pada Alena. Aku jadi emosi. " Cuma abis putus, jangan bikin gue merasa bersalah dan jadiin gue alat yang bikin dia bisa tambah lengket sama Heru dong?! Kan dia udah menang?! Mau nikah tahun ini, kan? Udah dong! Gue udah masuk tempat sampah, tolong jangan diobok-obok lagi!"

" .... "

" Oh... gue tau. Alena nggak seneng kali ya kalau gue bisa happyhappy aja abis putus sama dia. Dia pingin gue merasa bersalah. Nggak rida dunia akhirat gue bisa move on. Pinginnya gue sengsara dan menyesalkan mengapa hubungan ini harus berakhir. Alena ngarep gue terjun dari Monas kali ya, setelah gue tau dia bakal nikah sama Heru. Atau terjun dari menara sutet terus kesetrum karena kelilit kabel listriknya?!"

" Bin.... " Lexi hanya menyebut namaku lagi.

" Kesal gue, Lex! Drama banget sih Alena itu?! Kalau udah putus dan dapet pengganti gue, ya udah dong ya? Kenapa masih bikin otak gue pusing? Nggak rela liat gue move on cepet? Gue sewa Ferrari juga nih! Biar bisa move on secepat kilat. "

" Ya... meracaulah terus kalau itu bikin lo happy, Bin!" Lexi terdengar mulai kesal dengan ocehanku. " Sekarang lo mesti move on dan bersiap buat acara seminar besok. Kata Mas Andre, lo besok jadi pembicara juga kan, di acara seminar? Ngisi topik Pengenalan Dunia Jurnalistik untuk Generasi Muda . Pesertanya anak-anak SD di Jogja, kan? Ya kan, Bin?"

" Setelah gue pikir-pikir, Lex, gue males jadi pembicara. " " Lah? Kenapa?"

" Hahaha.... Lo nggak liat kondisi gue sekarang, Lex? Gimana mau ngasih motivasi kalau gue aja lemes kayak gini. "

" Bin, lo nggak boleh jalan di tempat kayak gini dong. Mana Bintang yang dulunya selalu penuh semangat? Mana?! Mungkin lo emang nggak berarti buat Alena, tapi nggak buat orang lain! Masih banyak orang yang butuh lo! Bokap lo, Mbak Winta, gue, Reno, temen-temen lain, termasuk anak-anak SD di seminar besok!" Aku tak berkomentar. Mendadak malas.

Malas melakukan apa pun.

"

" Halo, Bin? Bin?" seru Lexi di seberang sana.

" Ya, Lex?" Aku duduk di kursi museum. " Kenapa kok cepet banget?"

" Cepet banget apa?"

" Alena pindah ke lain hati. "

" Udahlah, Bin! Alena udah nggak inget lo lagi. "

" Gue.... Gue masih sayang sama dia, Lex. " Akhirnya aku mengakui perasaanku.

" Ya... itu sih hak lo buat tetep sayang sama dia. Nggak dilarang UUD dan norma-norma yang berlaku di masyarakat kok," canda Lexi meniru omonganku.

Anehnya, aku enggan membalas lelucon Lexi. Kedua mataku masih terpasung memandangi layar tablet di tanganku. Aku melihat foto Alena bersama Heru di media sosial. Aku merasa ada aura intim, keceriaan, kecerahan, dan kekompakan di foto itu. Mungkin belum ada rasa sayang dan cinta, tetapi kelihatan sekali mereka berdua siap menumbuhkannya.

" Lex... ini cepet banget lho. " Aku masih terus bicara. " Gue pernah kenalan sama Heru... Di Shangri-La. " Suaraku terbata-bata. " Gue pernah ngobrol dua tiga kalimat sama Heru. Heru... gue tau Heru. " Aku mulai meracau lagi.

Lexi menghela napas.

" Lex... gue masih ingat betapa berbinar-binarnya Alena ngomong sama gue.... Katanya, dia cinta sama gue. Itu belum lama, Lex. "

Mungkin sekarang Lexi merasa aku lebay. Aslinya, aku bukanlah orang yang seperti ini. Ternyata benar, putus cinta membuat orang menjadi lemah dan berubah 180 derajat.

" Wake up, Bin! Lo harus menghadapi hari esok!" Tiba-tiba Lexi berteriak dari seberang sana.

" Yang butuh lo nggak cuma Alena, Bin! Percayalah, banyak orangorang di sekitar lo yang butuh lo. Termasuk pembaca artikel lo!" Aku hanya manggut-manggut seperti burung. " Mana Bintang yang dulu?!"

" Emang Bintang yang dulu itu kayak gimana?" bisikku lemas. " Bintang yang dulu itu adalah... Bintang yang berinisiatif mengajak temen-temennya gabung di media online surat kabarnya. Dia adalah seorang pemimpin di kantor. Penyemangat buat semua temen-temennya. Bintang yang aktif jadi pembicara di beberapa acara LSM. Bintang yang antusias kalau didaulat jadi moderator dalam acara diskusi-diskusi jurnalistik.... Mana, Bin?! Mana Bintang yang itu?!"

" .... "

" Sekarang ada kesempatan buat lo mengisi seminar. Supaya lo bisa membagi ilmu buat generasi pengganti kita nanti. Ayolah, Bin! Masa lo sia-siain kesempatan itu?! Bangkit, Bin!"

Aku menghela napas panjang. Pikirku benar juga apa yang dikatakan Lexi. Lebih baik aku membagi ilmuku agar bermanfaat bagi orang lain daripada cuma meratapi nasib. Mumpung kesempatan itu ada di depan mata. " Ya, Lex! Gue akan coba!" Aku akhirnya mengikuti keinginan Lexi.

" Coba apa?"

" Jadi Bintang seperti yang lo bilang itu. "

"

Menghabiskan hari bersama Saya membunuh kekosonganku.

Setiap aku melucu, Saya selalu tertawa. Aku rindu membuat perempuan tertawa. Dulu perempuan itu Alena.

" Aku percaya... setan dan malaikat itu adalah dua wajah manusia. " Tiba-tiba Saya mengatakan hal yang aneh.

" Apa?"

" Iya. Contohnya kamu, Bin. Dalam waktu yang bersamaan, kamu bisa menghadapi Alena dengan wajah setanmu, tetapi menghadapiku dengan wajah malaikatmu. Aku tak kenal kamu secara mendalam, tapi pasti dulu Alena pernah berhadapan dengan wajah malaikatmu. Dan menikmatinya sampai batas yang ditentukan oleh Tuhan. "

" Hah?"

" Hihihi.... " Saya tertawa sambil menutup mulutnya. " Kata-kataku aneh, ya?"

" Nggak aneh kok. Cuma ajaib. " " Hahaha...!"

Setelah beberapa saat saling diam dan hanya memotret sekeliling, aku kembali mengeluarkan suara. " Kamu bener kok, Say. Dalam waktu yang bersamaan, aku bisa melemparkan sumpah serapah ke Alena, tapi bisa ketawa-ketawa sama kamu. Ya... berarti manusia itu kayak permen Nano-Nano, ya? Manis, asem, asin di mulut dalam waktu yang bersamaan. Kalau manusia, bisa jahat, baik, ngeselin, nggak ngeselin dalam waktu yang bersamaan. "

" Uhuk! Uhuk!" Saya tersedak. Wajah cantiknya memerah. " Kok nyambungnya jadi permen Nano-Nano sih, Bin? Aku jadi pingin ketawa. Sampe keselek!"

" Lah? Gue nggak bermaksud melucu kok!" " Hahaha!"

Kalau boleh jujur, aku sebenarnya masih sedih karena belum bisa melupakan Alena. Namun, rasa itu hilang entah ke mana kala aku bersama Saya, dan menorehkan canda padanya. Tuhan, aku jadi ingin lebih dekat lagi dengan Saya meski aku tahu dia mungkin mempunyai " seseorang" .

Ya.... Atas izin-Mu ya, Allah.... Minimal aku bisa menjadi sahabatnya.

"

Setelah puas berjalan mengelilingi Benteng Vredeburg, kami bertiga berpisah. Saya dan sepupunya pergi ke rumah Eyang, sementara aku mencari penginapan di dekat Stasiun Tugu. Untungnya, rumah eyang Saya juga tidak terlalu jauh dari Stasiun Tugu. Semoga saja kami bisa bertemu dan berbincang-bincang lagi.

15

Langkah Baru

S esampai di salah satu penginapan dekat Stasiun Tugu, aku lang
sung mendaratkan tubuhku di ranjang. Baru kusadari bahwa aku lelah. Lelah raga. Lelah jiwa. Dan lelah perasaan. Saya.

Dia datang pada saat yang tepat. Saat aku sedang terperosok. Aku menemukan cahaya baru ketika bersamanya. Semua kisah dan kata-katanya yang menenangkan adalah obat rasa sakitku karena Alena.

Aku tahu bahwa Saya dipertemukan denganku bukan sebagai jodoh, tetapi sebagai kawan yang menunjukkan jalan terang yang seharusnya kulewati.

Aku mengganti bajuku yang sejak kemarin malam kupakai. Aku mandi, shalat Ashar, dan menyiapkan bahan untuk seminar besok. Ya, besok aku harus menghadiri seminar jurnalistik sekaligus menjadi pembicara dalam salah satu sesi untuk anak-anak. Biasanya aku aktif bertanya dan berpendapat dalam acara-acara seperti itu. Galau karena Alena sempat membuatku malas-malasan mengikuti seminar. Karena ada Saya, semangatku kembali.

Saya, met tidur ya J

Malamnya aku mengirim pesan padanya sebelum tidur. Ya, A llah! Aku tahu dia memang bukan digariskan untukku, tetapi aku ingin mengucapkan selamat tidur padanya. Mungkin karena aku belum bisa melupakan kebiasaanku mengatakan selamat tidur pada seorang perempuan. Semoga saja Saya tidak berpikir macammacam.

Semoga saja kami bisa selalu bersahabat.

"

Keesokan paginya, aku bersiap-siap menghadiri seminar. Kemeja biru tua, dasi hitam, celana panjang hitam, jam tangan hitam, dan sepatu pantofel membuatku terlihat cukup keren. Yah... setidaknya menurutku.

" Gue keren. " " Gue keren. " " Gue keren. "

Di depan cermin, aku sugestikan kalimat itu pada diriku. Konsentrasiku harus berpusat pada seminar hari ini. Pikiran tentang Alena harus kubuang jauh-jauh.

Bin, hari ini seminar, ya? Good luck, Dude!

Pesan dari Reno si Galau. Jarang-jarang dia mengirim pesan seperti itu padaku. Pasti dia berpikir aku sedang galau.

Dan entah mengapa, aku tidak suka dianggap galau. Iyee... gue hari ini seminar. Gue smngt kok, Bro! balasku pada Reno.

"

Agar aku bisa melihat banyak hal sepanjang perjalanan, aku memilih berjalan kaki. Tak memakai kendaraan umum atau becak. Toh lokasi seminarnya tidak telalu jauh dari penginapanku.

Sampai di tempat seminar, aku langsung mengenali beberapa rekan jurnalis yang seangkatan denganku. Aku langsung menyapa mereka yang balik menyapaku dengan hangat. Senang juga bertemu dengan teman-teman seprofesi pada saat aku perlu pencerahan.

Tema seminar yang kuhadiri adalah sosialisasi media baru atau media online kepada pelajar di desa. Meski program internet masuk desa sudah banyak, ternyata masih sedikit pelajar yang dapat memanfaatkannya secara efektif dalam proses mereka menuntut ilmu. Karena itulah kami para jurnalis media online diminta untuk mengemukakan pendapat, mencari solusi bersama, dan mendengarkan presentasi beberapa narasumber tentang strategi mereka agar media online dapat diterapkan oleh semua lapisan di pelosok nusantara. Hmm....

Darahku berdesir. Otakku berputar.

Ternyata ada hal yang jauh lebih penting untuk kupikirkan daripada Alena.

Namun sebelum aku mengikuti seminar tersebut, aku harus mengisi satu seminar singkat untuk murid-murid SD. Lebih tepat disebut talkshow sih sebenarnya. Acaranya tidak lama, hanya 1 jam. Meski begitu, antusias anak-anak yang mengikuti seminar sangat terasa. Aku tak menyangka, pada usia sebelia itu ketertarikan mereka terhadap dunia jurnalistik sudah tumbuh. Sebagian besar yang hadir adalah anak-anak yang aktif di mading atau majalah internal sekolah.

Setelah menunaikan tanggung jawabku sebagai pembicara di acara seminar untuk anak-anak, kini saatnya aku yang menjadi peserta seminar. Seminar yang aku ikuti ini dimulai jam 10.00. Aku sudah tidak sabar untuk memulainya.

" Mas Bintang, apa kabar?" Saat cofee break, seorang pria tua, kurus, dan berkacamata menghampiriku. Dia adalah seorang jurnalis senior dan penulis buku-buku berbau politik serta pemerintahan di Indonesia. Aku senang berbincang-bincang dengan beliau. Pada tahun 2010, kami sering terlibat pembicaraan menarik.

" Mas Bintang, mau bantu saya untuk jadi pembicara di depan anak-anak asuh di LSM saya dan teman-teman? Bangkitkan semangat menulis mereka. " Jurnalis senior yang sangat kusegani itu tersenyum.

Selintas aku berpikir, mengapa harus aku?

Seolah membaca pikiranku, beliau mengutarakan alasannya tanpa harus kutanya. " Mas Bintang kan masih muda. Jiwa dan semangat Mas Bintang saya rasakan betul dalam tulisan-tulisan Mas Bintang. Saya merasa, semangat Anda harus ditransfer ke penerus bangsa ini. "

Aku tersenyum lebar. Pujian seperti itu tentu saja mengobati luka hati yang sedang kurasakan sekarang ini. Aku jadi teringat mimpiku dulu. Aku ingin membangun sekolah jurnalistik bersama rekan-rekan yang lain.

Aku juga seperti diingatkan kembali pada aku yang dulu. Aku adalah orang yang punya semangat hebat dan misi besar untuk membangun generasi muda agar cinta pada tanah airnya. Karena aku seorang jurnalis, aku tuangkan semuanya lewat tulisan-tulisanku.

" Maaf, Anda yang namanya Mas Bintang, ya?" Seorang perempuan yang tampak lebih muda dariku datang menyapa. Dia mengaku mahasiswi sebuah universitas negeri di Yogyakarta. " Bisa periksa presentasi tentang strategi sosialisasi media online yang saya buat, Mas? Saya takut ada kesalahan. "

Tak mau mengganggu konsultasi si mahasiswi, sang jurnalis senior beranjak pergi setelah sebelumnya mengingatkanku supaya mempertimbangkan tawarannya. Aku mengangguk dan mengucapkan banyak terima kasih kepada beliau.

Setelah kubaca sekilas, ternyata analisisnya kurang mendetail. Akibatnya, strategi yang dia tawarkan tidak tepat sasaran. " Oh, gitu ya, Mas? Aduh... saya bodoh banget. "

" Jangan menganggap bodoh diri sendiri," ucapku seraya mengedit sedikit pekerjaan mahasiswi itu di laptop. " Nanti saya bantuin kamu jawab pertanyaan. "

" Wah.... Terima kasih, Mas. "

Sejenak, aku merasa bahagia. Bahagia karena tahu ternyata aku masih dibutuhkan dan berguna bagi orang lain.

"

" Mas Bintang Ilham Prayoga dari media online realitasnews.com. " Di tengah diskusi para jurnalis tentang penyebaran informasi di seluruh nusantara, seseorang bertanya kepadaku, " Saya ingin bertanya. Bagaimana bisa media online masuk ke sekolah pedalaman? Anak-anaknya saja banyak yang tak sekolah! Baca tulis saja tak bisa. "

" Kita jangan bicara pedalaman dulu," jawabku tegas dan menarik perhatian para peserta seminar. " Kita lakukan secara bertahap. Mari kita perkenalkan di lingkup desa terlebih dahulu. Setelah desa berhasil, baru kita pikirkan tentang media online di pedalaman. Yang pasti, kita butuh sekolah sebagai wadah yang memperkenalkan mereka pada media online. "

Seminar berjalan dengan baik. Dari awal, aku sudah banyak memberikan komentar dan pertanyaan. Ide standarku tentang peran sekolah dalam sosialisasi media online bagi para pelajar menjadi pembahasan yang cukup panjang. Aku sungguh menemukan hasrat intelektualitasku lagi. Terima kasih ya, Allah.

16

Pamit

H ari ini adalah hari terakhirku di Yogyakarta. Sebelum berang
kat ke Stasiun Tugu, aku mampir ke rumah eyang Saya. Aku ingin pamit pada Saya secara langsung.

Begitu aku mengucapkan salam, Nely membukakan pintu. Kubuka kacamata hitamku dan tersenyum padanya.

" Saya ada?" tanyaku pada Nely dengan gerak bibir yang jelas. " A& ha...," Nely mengangguk. " I& lah& an& du& duk.... " Dia mempersilakan aku untuk duduk di ruang tamu. Tak berapa lama, Saya keluar menemuiku. " Assalamualaikum, Bintang. "

" Waalaikumussalam, Saya. " " Mau minum apa, Bin?"

" Ah, nggak usah repot-repot. Gue nggak lama kok. " " Tapi, kamu pasti haus. Saya bikinin dulu ya. "

" Nggak usah, Saya. Gue beneran nggak lama kok. Mau pamitan aja. Gue mau balik ke Jakarta. "

" Oh gitu. "

" Ini ada sedikit makanan buat Saya sekeluarga. Cuma gudeg sih. Lo udah bosen juga kali. "

" Ah, enggak kok. Makasih ya, Bin. " " Oh iya, Say. Gue juga mau ngucapin terima kasih. " " Terima kasih?"

" Iya.... Karena denger cerita-cerita lo kemarin, gue jadi pingin tahu lebih banyak tentang Islam. Gue pingin deket sama Allah juga. "

" Ah, Bin! Itu kan karena kamu sendiri. Karena hatimu sendiri yang mengikhlaskan dirimu untuk bergerak ke jalan Allah, Bin. " " Makasih ya, Say. "

" Sama-sama, Bin. Hati-hati di jalan ya. Keep in touch. " " Okee. Assalamualaikum. "

" Waalaikumussalam. "

"

Hujan rintik-rintik menyapa Jakarta subuh ini. Jendela kereta api yang kutumpangi ternodai bulir-bulir air yang bening. Aku jadi tak bisa melihat pemandangan di luar sana dengan jelas.

Tanpa kusadari, kereta api sudah memasuki area Stasiun Senen. Para penumpang bersiap turun dan mengambil barang mereka di atas rak barang. Demikian juga diriku.

" Iya, Sayang. Aku baru sampe. Kamu di mana?" Seorang perempuan muda yang duduk di belakangku mengangkat telepon. Mungkin dari pacarnya. Subuh-subuh sang pacar rela menjemputnya ke Stasiun Senen. Romantis sekali, pikirku. Dulu, aku juga pernah menjemput Alena saat subuh. Dia dan seorang rekan kantornya baru pulang dari Semarang karena harus menemui salah satu klien mereka di sana.

Kulangkahkan kakiku dengan lemas. Kenapa aku ini? Kenapa aku kembali tak bergairah menjalani hidup? Seharusnya aku tak boleh begini.

"

Aku kembali dari kantor sekitar jam empat sore. Sepanjang hari di kantor, Lexi dan Reno tak henti-hentinya meledek kisah percintaanku. Mulai dari menyanyi lagu-lagu bertema galau sampai mendaftarkan aku ke biro jodoh di koran-koran abal. Lexi tuh yang paling kurang asem! Dia menelepon salah satu cewek yang mempromosikan diri di koran abal itu. Katanya, " Halo, Mbak. Nih temen saya. Perjaka tulen dan perkasa. Dia siap menampung kasih sayang gadis ranum lho, Mbak.... Ketemuan di hotel malem minggu ini?.... Oke!"

Cewek di telepon itu terdengar begitu bersemangat. Ah dasar! Aku doakan saja Lexi cepat dapat pacar. Biar kerjaannya bukan cuma meledek percintaan orang lain. Ya... ngomong-ngomong soal Lexi, aku serius lho ingin dia cepat-cepat dapat pacar. Menurutku, dia cantik, baik, pintar, modis, dan perhatian pada semua temannya. Banyak juga temanku yang ingin berkenalan dengannya. Sayangnya, Lexi langsung mundur jika seorang cowok kelihatan tipe gombal.

Menjelang maghrib, seperti biasa aku menjenguk Bapak di rumah sakit. Apa yang kupandang dan kudengar di depan gerbang rumah sakit mengingatkanku pada Alena. Dulu, Alena selalu menemaniku menjenguk Bapak. Apa yang kami lihat di depan gerbang rumah sakit, mulai dari bajaj, bemo, taksi, orang-orang yang berjualan, hingga ambulans, pasti menjadi bahan obrolan kami. Begitu pula dengan apa yang kami dengar. Suara kendaraan bermotor, teriakan tukang parkir, atau teriakan kenek bus selalu menarik perhatian kami. Alena, Alena.... Kebersamaanku dengannya bagaikan pelangi yang muncul setelah hujan. Indah, namun tak bertahan lama.

" Lho, Mas Bintang? Tumben sendiri? Mbak Alena mana?" Seorang tukang sapu taman rumah sakit menyapaku. Dia sedang duduk santai sambil menikmati gorengan.

Aku hanya tersenyum. Ternyata masih banyak orang yang belum tahu tentang kesendirianku. Dan terkadang, ketika kau sudah merasa berhasil move on, kau akan kesal pada orang-orang yang menanyaimu seperti itu. Aku sendiri tak mau memberitahu tentang kisahku. Biar saja mereka mengetahuinya sendiri dengan mata atau telinga mereka.

Di kantin rumah sakit, aku membeli susu cokelat seperti biasa. Aku merasa susu cokelat panas di kantin ini lumayan spesial. Rasanya lebih " cokelat" daripada susu cokelat panas buatanku atau Mbak Winta.

" Tumben sendirian, Mas Bintang?" Ibu-ibu penjual minuman menanyakan pertanyaan yang sama dengan tukang sapu tadi. Ya, Tuhan! Aku baru sadar. Kemarin, Alena begitu lekat dalam kehidupanku. Setiap langkahku selalu ditemaninya sehingga ketika dia tidak ada, aku seperti kehilangan separuh ragaku.

Tentang perasaan kehilangan ini Reno pernah mengatakan sesuatu kepadaku. Dia adalah penggemar sejarah dan ilsafat barat. Salah satu ilsuf barat yang dia kagumi adalah Sartre, ilsuf asal Prancis. Pemikiran dari ilsuf tersebut bernama Eksistensialisme. Kira-kira beginilah isi pemikiran Sartre: Manusia dapat dikatakan eksis ketika dia memusatkan segala sesuatu di dunia ini kepada dirinya. Semua yang ada di luar diri adalah semu. Semua yang ada di luar diri manusia bisa datang dan pergi seenaknya. Termasuk kekasih. Jadi, apa pun yang terjadi dengan kekasih kita, kita harus tetap semangat untuk melanjutkan hidup, harus tetap eksis.

Ya... aku telan saja omongannya. Nyatanya, Reno juga belum move on dari mantan kekasihnya yang sekarang model papan atas. Hasrat untuk memilikinya kembali memang sudah hilang, tetapi Reno sering menjadikan mantannya itu sebagai sumber inspirasi lukisannya. Berarti, sang mantan masih berputar-putar di benaknya, kan?

Begitulah kisah percintaan teman-temanku. Dulu di antara kami semua, sebenarnya kisah cintaku yang paling biasa-biasa saja, tidak dramatis, dan... punya kemungkinan besar untuk berakhir bahagia. Karena itu, aku sering memberikan masukan tentang percintaan kepada para sahabatku. Mulai dari Lexi yang kupaksa membuka hati pada laki-laki. Lalu Reno yang kusuruh mencari perempuan lain.

Ternyata, Tuhan mengujiku. Kini, justru aku yang mendengarkan masukan dari para sahabatku. Parahnya, semua yang mereka katakan padaku adalah kata-kataku dahulu ketika memberikan masukan kepada mereka di depan Alena.

17

Sabar

H ai, Bin! Kok gue udah jarang liat Alena ke sini sih?" Seorang

cewek bernama Vera menyapaku di lit kantor. Vera adalah teman Alena semasa kuliah. Saat ini, kami bekerja dalam satu gedung meskipun kantor kami berbeda. Aku bekerja di Realitas Ibukota, sementara Vera bekerja di sebuah kantor periklanan sebagai staf administrasi.

Menurutku, tak mungkin banget Vera tidak tahu bahwa aku sudah putus dengan Alena. Sampai saat ini, mereka masih akrab. Dulu jika Alena mampir ke kantorku, pasti dia menghampiri kantor Vera di lantai 14.

" Iya," jawabku singkat.

" Alena ke mana, Bin? Kapan dia ke sini lagi?" Aku mengangkat bahu.

" Iiih, kok cuma angkat bahu sih? Lagi mau ngasih surprise, ya?" " Surprise apa?"

" Diem-diem, tahu-tahu tahun ini kalian nikah. " " Hahaha. " Aku tertawa hambar.

"

"

Sejak kejadian di lit, Vera jadi sering datang ke kantorku. Mulai dari minta tolong soal kerjaan sampai meminjam selotip, lem, atau numpang nge-print. Aku sendiri curiga bahwa semua itu hanya alasan. Masa temen di kantornya nggak ada yang punya lem atau selotip? Sebelumnya dia tak pernah datang ke ruanganku, apalagi meminta tolong sesuatu.

" Lho, Bin, kok foto lo bareng Alena udah nggak ada lagi di meja kerja lo?" Tanya Vera dengan mimik sinis.

" Foto yang mana?"

" Foto yang Alena meluk lo di acara ulang tahunnya dulu. " " Oh, iya. Udah gue copot. "

" Lho, kenapa? Nanti Alena sedih dong, Bin!" " Alena udah punya yang baru. "

" Hah? Punya yang baru apaan, Bin? Kalian udah putus?" Aku melirik ke arah Lexi dan Reno yang kebetulan saat itu ada di ruanganku di kantor pusat. Kami baru saja rapat dengan beberapa atasan kami. Mereka membalas lirikanku penuh arti. " Kapan Bin kalian putus?" Vera mendekatkan badannya. " Bukannya lo udah ngucapin selamat jadian di Path-nya Alena, ya?"

" Eh kok lo tau? Iiih.... Masih kepo sama Path-nya Alena, ya?" ledeknya. " Hahahaaaaa.... Iiih, Bintang kepo! Bintang kepo! Hahaha.... " tawanya menyebalkan.

Sorenya, Vera kembali mendatangi ruanganku.

" Bintang! Bintang!" serunya heboh hingga hampir menabrak Lexi yang sedang berjalan menuju pintu keluar.

" Adduuuuuh, Vera! Jalan pake mata dong!" amuk Lexi. Vera membalas dengan nyolot. " Heh! Di mana-mana jalan tuh pake kaki! Minggir! Gue mau lewat!"

" Ngapain sih lo ke sini? Mau manas-manasin Bintang lagi?!" Lexi melotot.

" Apaan sih lo, Lex? Udah sana! Gue mau ketemu Bintang!" Vera tersenyum licik kemudian berjalan ke mejaku. Heboh sekali.

" Eh, Vera! Hobi banget ke ruangan gue. Kenapa? Mau numpang nge-print lagi?" sapaku tanpa melihat ke arahnya.

" Bukan, Bin. " Vera duduk di atas meja kantorku sambil memilin-milin rambutnya yang dikucir dan dicat pirang. Mencolok sekali gayanya. " Hmm& . Hmm& . Lo mau nikah, ya?"
Bintang Jatuh Karya Silvarani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Hah? Nikah?" Aku beranjak dari kursiku, menjauh dari Vera. " Iya. Kabarnya lo mau nikah, Bin. Gosipnya udah sampe lantai ruangan kantor gue. Serius lo, Bin? Ceweknya kayak gimana? Cewek yang pernah lo mention di Twiter, ya? Yang ketemu di kereta?" " Maksud lo Saya?"

" Iya. " Tatap Vera tajam.

" Hah?! Emang orang-orang sekantor lo kenal sama Saya? Kok bisa sampe digosipin gitu?"

" Yee.... Bukan Saya-nya yang terkenal di kantor gue, tapi elo Bin. Jadi elo deh yang digosipin. "

" Ya... gue aminin deh doa lo kalo gue mau nikah, tapi ya belum tentu sama Saya. "

" Eh, ya ampun! Gue salah ngomong, Bin! Kok elo sih yang mau nikah?! Alena! Iya, Alena!"

DEG! Tiba-tiba jantungku berdegup kencang.

" Alena yang mau nikah! Sama si Heru! Alena kan sering main ke kantor gue dulu. Dulu& waktu masih jadi pacar lo. Jadi, orangorang di kantor gue kenal dan masih juga ngomongin Alena. "

" Oh.... " Kulirik Reno yang sedang menulis artikel di laptopnya, cekikikan melihat kelakuan Vera.

" Eh, sori, Bin. Lo nggak apa-apa kan gue ngomong gini?" " Hah? Enggak. "

" Sori ya, Bin. Gue nggak bermaksud bikin lo inget Alena lagi. Sori ya, Bin. "

" Iya! Iya!"

" Lo sekarang mau kerja, ya?"

" Iya. " Aku mengangguk seraya memaksakan senyum. " Oke. Gue ke atas dulu ya, Bin. "

" Oke. "

" Oh iya, Bin. " Setelah turun dari meja kantorku, Vera membalikkan badannya ke arahku.

" Lo masih sakit hati sama Alena, Bin?" tanyanya ingin tahu. " Apalagi sekarang dia mau nikah. "

" Siapa? Gue?" tunjukku. " Iya. "

" Heh! Kuda Poni!" teriak Reno tiba-tiba. " Kenapa sih lo rempong amat pingin tau perasaan Bintang?! Kepo bener sih lo! Disuruh Alena, ya?!"

" Iiih apaan sih lo?! Ngapain juga Alena nyuruh gue?! Kurang kerjaan banget! Yang ada sekarang dia lagi repot ngurusin persiapan nikahnya. Nikahnya kan mau di hotel si Heru. Keluarga Heru tajir gitu deh. Lo diundang nggak, Bin?"

" Nih cewek! Gue lakban juga mulut lo!" Reno panas. " Udah! Udah, Ren! Sabar!" Aku mengangkat kedua tanganku, berusaha menenangkan Reno. Setelah itu, aku menoleh ke arah Vera. " Ver! Lo kayaknya punya banyak pertanyaan buat gue?! Apa perlu gue bikin konferensi pers tentang perasaaan gue?"

" Yah, Bin, lo marah, ya? Aduh maaf ya, Bin. Gue doain lo cepet dapet pengganti Alena. Alena juga pasti seneng kalo lo udah bisa melupakan dia. "

" Heh! Kuda Poni!" Reno melempar penghapus pensil ke arah Vera. " Gue potong juga rambut lo pake gunting rumput ya! Emang lo kira si Bintang masih sendiri karena belum melupakan Alena?! Hiiih! Enggak tau lo? Justru sekarang Bintang lagi keren-kerennya mengejar mimpi dan karier. "

" Apaan sih lo?! Weeeeek!" Vera menjulurkan lidah.

" Ver, katanya lo mau ke atas, kan?" Aku membuka pintu ruang kerja, mempersilakan Vera untuk keluar.

" Oke! Gue akan balik ke kantor gue! Tapi gue mau nanya satu hal lagi!" Vera berjalan mendekati pintu.

" Oke, gue akan jawab biar nanti malam lo bisa tidur ya," responsku sabar.

" Alena ngundang lo nggak?" Kedua mata Vera mendelik. " Sampe sekarang gue belum terima undangan. "

" Lo jadi pingin cepet-cepet nikah nggak, liat Alena nikah?" Vera tak berhenti bertanya.

" Jangankan Alena, liat kodok berduaan di empang aja bikin gue pingin cepet-cepet nikah," jawab gue asal. " Udahan ya tanya-tanyanya. Memangnya lo nggak ada kerjaan ya, bisa keluyuran lama di sini?" Kutarik lengan Vera, mengeluarkannya dari ruangan, dan menutup pintu.

Fiuh!

" Cewek kurang kerjaan! Apa coba tujuan dia ke sini? Cuma manas-manasin lo aja kayak microwave!" Reno masih sewot. " Udahlah, Ren! Santai aja!"

" Lo juga! Santai aja! Santai aja!" Reno mendekatiku. " Lo kok diem aja sih diinjek-injek kayak gitu sama si Vera?! Pasti abis ini dia cerita-cerita sama Alena kalo lo udah tahu Alena mau nikah. Terus ngetawain lo, Bin. Bin, gue cariin cewek deh! Biar kalo Alena pikir lo belum move on, lo bisa buktiin. Biar temen-temen Alena nggak gangguin lo lagi, Bin. "

" Udahlah. Santai aja. " Kurangkul Reno. " Berarti niat gue punya pacar udah jelek dong?! Masa tujuan gue punya pacar supaya Alena mikir gue udah move on dari dia? Berarti bukan karena gue sayang sama cewek gue itu dong?!"

" Abis& bete-in banget temen Alena itu. Kalo gue jadi lo, Vera udah gue katain pikun tadi! Nggak mungkin banget dia lupa kalo yang nikah itu Alena. Bukan elo. "

" Ya udahlah! Biarin aja!"

" Ngapain sih, si Vera harus ngurusin orang?! Nggak ada yang seru di hidupnya apa, sampe-sampe ngurusin hidup orang lain?" " Nah itu lo tau!"

" Hahahahaha!"

" Gue juga bingung sama temen-temen Alena. Sebenernya gue mau aja tetep temenan sama Alena dan Vera, tapi kelakuan mereka yang ajaib bikin gue jadi males. "

" Sama Alena sendiri, lo masih dendam, Bin?"

" Sebenernya enggak. Cuma bingung aja sama kelakuan orangorang di sekitar Alena. "

" Terus kalo diundang, lo mau datang?" " Nah?! Lo kepo juga nih?! Hahaha.... " " Hahaha.... Kalo gue kan sahabat lo, Bin. "

" Hahaha.... Yah, abis putus aja Alena nggak pernah ngomong sama gue. Kecuali satu kali waktu chat di kereta. Itu juga gue yang mulai. Jadi, boro-boro diundang. Tapi kalo diundang, insya Allah gue datang. "

" Berharap diundang nggak?" " Biasa aja. "

18

Pancaroba

P ikiran-pikiran tentang Alena lama-lama hilang dari benak. Se
hari-hari, aku lebih banyak mengerahkan tenaga dan pikiranku untuk urusan kantor, LSM anak jalanan, keluarga, teman-teman, dan tentu saja, Allah. Aku tak tahu perasaan apa ini. Namun setiap kali mendengar azan, aku langsung ingin cepat-cepat ke masjid. Aku rindu menghadap-Nya dan merendahkan diri. Tiba-tiba aku merasa bahwa Dia-lah yang membantuku melupakan Alena. Jadi, apa balasanku? Kurasa, ibadahku tak akan mampu membalas kebaikan yang diberikan oleh Allah. Kebaikan Allah bukan hanya membolak-balikkan perasaanku, tetapi juga kebaikan dan anugerah yang Ia berikan selama aku hidup.

" Allahuakbar.... Allahuakbar.... "

Baru saja azan Ashar berkumandang, aku sudah duduk di masjid kantor. Suara sang muazin begitu merdu, mengingatkanku pada suara yang berkumandang di Masjid Kauman Yogyakarta. Menurutku, berbahagialah orang yang bisa mengumandangkan azan. Pahalanya tidak hanya karena dia bersedia mengeluarkan suara indahnya, tetapi karena dia juga menyampaikan pesan kepada orangorang di sekitarnya untuk segera melaksanakan shalat di masjid. Aku jadi ingin belajar mengumandangkan azan.

" Hei Bin, sejak diputusin Alena, gue jadi sering liat lo ke sini! Kenapa lo? Tobat? Apa minta jodoh?" Seorang kawan editor dari kanal sepak bola menegurku.

" Hah? Ya... anggap aja begitu. " " Kok iya sih?! Bukannya nyangkal lo!"

" Ngapain nyangkal? Kemarin gue nyangkal, dibilang belum move on. Gue diem aja, malah dikira belum move on beneran. Gue becandain, katanya gue denial. Jadi, gimana?! Gue bilang aja anggap aja iya. "

" Kalo lo mau dianggap iya, berarti lo ngaku dong kalo belum move on?"

" Ya... anggap aja iya. " " Wah, iya?!"

" Ssst& azan nih. Jangan berisik! Sayang kalo dilewatin!" " Sok lo, Bin!"

"

" Bin, ngapain si Aden ngobrol-ngobrol sama lo pas shalat Ashar tadi?" Di ruang kerja, Reno yang datang untuk mengambil beberapa materi foto mencoba mengorek informasi.

" Tumben lo nanya-nanya? Udah ketularan kepo, ya?" tanggapku santai.

" Bukan gitu. Setau gue Vera sama Aden lumayan akrab. Jangan sampe lo jadi bahan gosip mereka berdua!"

" Hah! Nggak bakal! Masa si Aden tukang gosip sih?" " Ah, lo nggak tau aja, Bin!"

" Ah, terserah deh! Gue lagi mau ngedit artikel-artikel politik yang masuk ke koran kita nih. "

" Lo kalo dikasih tau, nyepelein sih, Bin. " " Bukannya gue nyepelein. Cuma gue bingung aja. Kenapa justru orang-orang di sekitar gue yang lebay, padahal gue biasa aja? Tapi, ya... mungkin salah gue juga. "

" Nah, kan! Nggak cuma diem aja digosipin, ternyata lo juga nyalahin diri lo sendiri. Kenapa sih lo, Bin? Kok jadi ngerasa lo yang salah?!"

" Mungkin dulu gue kepedean cerita ke lo semua kalo gue bakal nikah sama Alena. Alena suka nanya-nanya katering, tempat nikah, suvenir, dan lain-lain ke gue. Jadi pas gue nggak jadi gini, lo semua heboh. "

" Yah, Bin. Lo heboh kan gara-gara si Alena heboh duluan. " " Udah deh, Ren! Gue males bahasnya. Itu udah kemarin. Ada yang lebih indah daripada kemarin, kan?"

" Apa?"

" Masa depan yang masih misteri. Hehehe. "

"

Qada dan Qadar.

Waktu masih duduk di bangku sekolah, aku sering mendengarnya dari guru agama. Sayangnya, saat itu aku tak terlalu memperhatikan. Aku malah asyik tidur dan lempar-lemparan kertas dengan temanku yang duduk di ujung ruang kelas. Baru saat inilah, aku mulai tertarik untuk mengetahuinya lebih dalam.

Kuambil sebuah buku dari rak buku di kantor paviliun Menteng. Entah punya siapa.

Judulnya Apa itu Qada dan Qadar?

Kubuka dan kubaca beberapa lembar halaman buku. Aku jadi ingin tahu sendiri apa itu Qada dan Qadar. Aku hanya tahu bahwa keduanya termasuk dalam Rukun Islam.

Setelah membaca paragraf pertama buku itu, aku baru tahu bahwa Qada dan Qadar adalah bagian dari Rukun Iman. Bukan Rukun Islam seperti yang kukira sebelumnya.

Rukun Islam Syahadat

Shalat

Puasa Zakat Haji

Rukun Iman

Iman kepada Allah

Iman kepada Malaikat

Iman kepada Kitab-Kitab Allah

Iman kepada Nabi-Nabi

Iman kepada Hari Akhir

Iman kepada Qada dan Qadar

" Bin! Serius banget baca bukunya. Baca buku apaan lo?" Lexi merebut buku yang kubaca dan membaca isinya sekilas.

" Qada dan Qadar? Buset, Bin! Tumben banget lo baca ginian?" ledek Reno.

Aku segera merebut buku itu kembali. " Mendingan tumben daripada nggak pernah sama sekali. "

Lexi dan Reno bengong memperhatikanku yang kembali membaca buku. Aku biarkan saja mereka begitu.

Aku kembali menikmati kata demi kata yang tertera dalam buku itu. Aku jadi teringat dengan kata-kata Saya. Dia pernah mengatakan padaku bahwa hati itu ciptaan Allah. Allah jugalah yang menetapkan hati setiap manusia untuk condong pada apa pun. Termasuk Alena yang dibuat-Nya berbalik tak mencintaiku lagi. Setiap ketetapan dan perubahan itu pasti atas kehendak Allah. Jadi, manusia hanya bisa menerima.

Semua yang dikatakan oleh Saya ternyata ada dalam buku ini. Qada dan Qadar. Qada adalah ketetapan Allah yang sudah berlaku sejak dahulu kala. Tak bisa diubah. Misalnya saja langit berwarna biru. Hari dimulai dari pagi, siang, sore, dan malam. Api itu panas. Salju itu dingin. Manusia segenius apa pun tak bisa mengubahnya. Ya, Allah! Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Bukan. Bukan karena aku takut, melainkan kagum dan merasa sangat kecil di hadapan Allah. Itu baru segelintir fenomena di Bumi yang kutahu karena aku tinggal di Bumi. Bagaimana di luar angkasa? Di luar Bima Sakti? Hmm.... Membayangkannya saja membuatku merinding lagi.

" Bin, gue mau ngomong serius deh sama lo!" Ternyata Reno masih duduk di sebelahku. Kedua matanya tertuju kepadaku. " Kenapa, Ren?" tanyaku balik.

Karena Reno malah terdiam, aku kembali membaca buku di tanganku. Kini aku mencoba mengenal lebih dekat apa itu Qadar.

Lagi-lagi, apa yang aku baca dalam buku ini tentang Qadar, semuanya pernah Saya katakan kepadaku. Qadar adalah takdir. Semua takdir yang baik maupun yang kurang baik bagi manusia adalah kehendak Allah. Semua takdir baik yang berbuah kesenangan, canda, dan tawa adalah ujian. Semua takdir buruk yang berbuah kesedihan, tangis, dan duka juga ujian. Manusia yang lulus ujian adalah manusia yang dalam kondisi senang ataupun sedih, dia tetap ingat pada Allah.

Di buku ini juga dikatakan bahwa semua hal atau takdir yang dianggap manusia buruk dan tak bisa diterima dengan ikhlas, pasti suatu hari nanti bisa ditangkap hikmahnya. Pasti suatu hari nanti, manusia balik bersyukur atau minimal menerima takdir yang digariskan oleh Allah. Hal itu karena di balik musibah, pasti ada hikmah yang menyertainya. Manusia yang naik kelas bukanlah manusia yang malah marah-marah atau menyekutukan Allah karena takdir kurang baiknya, tetapi mereka yang berubah menjadi manusia yang lebih mulia dan lebih tebal imannya.

Bapak sakit, diminta Mbak Winta untuk tidak menikah dulu, dan diputusin Alena mungkin adalah ujian-ujian dari Allah. Mungkin beberapa qadar yang akhir-akhir ini kurasakan adalah pengingat dari-Nya. Kalau memang iya, aku jadi berbalik ingin mengucapkan terima kasih pada Allah. Terima kasih karena telah dipilih menjadi salah satu manusia yang disentil untuk mengingat-Nya. Daripada aku disentil setelah masuk neraka?

" Bin! Banyak orang bilang, kalau lagi sedih manusia jadi inget Tuhan, Bin! Mungkin lo termasuk salah satunya nih!" Reno menepuk pundakku.

" Oh.... Lo tadi mau ngomong itu?" tatapku santai. Reno mengangguk. Kedua tangannya dia lipat. " Gue seneng sih Bin, lo tobat begini. Asal jangan cuma dijadiin pelarian aja, Bin. "

" Maksud lo, pelarian gimana?" Kualihkan perhatianku dari buku ke Reno dan Lexi.

" Bukannya gue gosipin orang nih, Bin! Tapi gue punya temen. Dia baru diputusin ceweknya. Terus langsung deh tuh! Jadi rajin shalat! Banyak sedekah! Puasa Senin-Kamis! Eh pas punya cewek baru, balik lagi kayak dulu. Shalatnya jadi bolong-bolong. Pas Ramadhan juga jadi bolong-bolong lagi puasanya. Jadi, cuma pas susah doang mohon-mohon sama Allah. Gue harap lo nggak kayak gitu, Bin. "

Anehnya ketika mendengar cerita Reno, aku tak marah atau kesal. Aku malah mengucapkan terima kasih. " Waaah, Ren! hank s ya, udah diceritain kayak gitu. Gue jadi bisa jaga-jaga. Ya& gue nggak tau Ren, nanti gue bakal seperti apa. Apakah ketika nanti dikasih kesenangan, gue malah menjauh dari Allah lagi atau gimana. Sebagai manusia, gue selalu berusaha untuk tetap di jalan yang lurus aja. "

" Amiiin, Bin! Amin!"

" Cuma& gue nggak tau ya, Ren. Gue sendiri nggak merasa kalau sekarang ini gue lagi sedih terus jadi inget Allah. Bokap gue sakit dan diputusin Alena itu udah gue terima. Gue malah bersyukur karena cobaan itu justru bikin gue jadi inget sama Allah. Daaan& ada satu perasaan aneh juga yang lagi gue rasain, Ren. " " Apa?"

" Gue merasa, mungkin Allah udah mengatur semuanya. Gue diputusin Alena, terus gue pingin nenangin diri ke Jogja. Di kereta menuju Jogja, gue ketemu Saya. Terus Saya banyak cerita tentang Allah dan Islam. Akhirnya, gue jadi kepo tentang Islam. Yah... rasanya gue lagi jalan di sebuah jalan yang diatur Allah, dan gue nggak tau ujungnya apa. Tapi gue sendiri pingin banget ujung jalan itu membawaku ke suatu tempat. "

" Tempat apa emang? Lo mau jalan itu menuju ke mana?" " Nggak mau ngasi tau, ah! Nanti lo malah ketawa lagi, Ren! Malah ngatain gue salah minum obat!"

" Yaelah! Kagak, Biiin! Apaan cepetan?" " Janji nggak ngatain?"

" Iya. Janji. "

" Menuju surga Allah, Ren. "

" Oh, my God, Bin! Kata-kata loooo...! Sadis, Bro!" " Hahaha. "

" Oh iya, Bin! Gue juga punya cerita. " Lexi tak mau ketinggalan berbagi kisah. " Gue juga punya temen nih. Sekali lagi, ini bukan gosip ya.... Nah, temen gue ini tadinya rajin beribadah sama Allah. Nah, begitu dikasih ujian, dia malah marah-marah sama Allah dan males ibadah. Ini kebalikan dari kisah temen Reno yang diputusin sama ceweknya itu, Bin. Kalau temen gue yang alim ini, dia ninggalin Allah justru ketika dikasih kesedihan. Pas dianugerahi kesenangan, dia rajin beribadah. Mungkin pas hatinya happy, dia jadi mood untuk beribadah dan mendekatkan diri sama Allah. "

" Oh gitu.... Jadi, macem-macem ya orang. " " Iya, Bin. "

" Waduh, Lex! hanks juga ya.... Cerita-cerita temen-temen lo berdua sangat menginspirasi gue. Gue sendiri bingung kenapa gue jadi sok alim begini. Semakin gue pingin deket dengan Allah dan Islam, semakin gue sayang dan pingin tahu lebih banyak lagi. Gue juga tambah merasa kalau Allah itu Mahabesar. "

" Alhamdulillah.... " ucap Reno dari hati terdalam.

" Dan semakin gue cari tahu tentang Qada dan Qadar," lanjutku, " gue semakin ikhlas menerima semua hal yang akhir-akhir ini menimpa gue. Gue juga semakin takut untuk ngegosip karena menurut gue semua hal yang terjadi sama orang yang gue gosipin itu bisa aja menimpa gue. Malu kan lo, kalo apa yang lo omongin ke orang berbalik ke elo? Ya, kayak gue gini. Dulu gue ikut-ikutan ngomongin senior kita di kantor yang batal nikah. Gue bilang ke orang-orang kalo dia itu mungkin nggak bisa ngilangin sifat egoisnya. Jadi, calon istrinya batalin pernikahan mereka. Terus gue yakin banget Alena bakal nikah sama gue. Gue cerita ke semua orang tentang rencana pernikahan kami. Pingin konsep garden party dengan dekorasi yang dirancang Alena sendiri, bla bla bla.... Tahunya, impian Alena untuk nikah tahun ini memang terwujud, tapi sama orang lain. " " Iya, Bin. " Lexi mengangguk.

" Makanya gue juga takut nanggepin Vera! Lo berdua boleh bilang gue payah karena diem aja atau nggak ngomelin si Vera, tapi itu gue lakukan demi kebaikan gue juga. Demi kebaikan Alena dan Vera juga. Lo kebayang nggak, kalo gue kepancing dan ikutan emosi?! Gue dosa! Vera yang denger dan mungkin nyampein ke Alena juga ikut berdosa! Alena yang denger dan lagi fokus dengan ibadahnya, maksud gue fokus dengan pernikahannya, juga dosa! Ya, kan?! Jadi, mendingan gue diem aja! Toh dendam cuma bikin otak sama muka gue lecek! Bisa kurang kan, kegantengan gue! Hahaha!"

" Dasar lo, Bin! Gue udah serius dengerin juga! Lo malah ngelawak!"

" Hehehe.... "

" Gue minta maaf ya Bin, kalo gue kesannya suka ngomporin lo!" Reno menepuk bahuku. " Bukannya gue mau bikin lo ngomelngomel atau nambah dosa, Bin! Tapi si Vera itu emang udah kelewatan, Bin! Dia kayaknya penasaran sama kadar emosi lo setelah tahu Alena mau nikah! Dia kayaknya pingin banget lo marah! Biar kalo lo marah, dia bisa ketawa-ketawa nyampein ke Alena. Dan Alena merasa seneng karena lo dianggap masih belum terima dia nikah sama Heru. "

" Lo tau dari mana si Vera bakal nyampein ke Alena?" " Pasti Vera disuruh Alena, Bin! Kali ini, lo jangan sok suci deh, Bin! Ini gue yakin banget! Alena tuh pingin lo galau! Udah jadi kepuasan tersendiri tau, ninggalin mantan nikah. " Reno mengungkapkan pikiran negatifnya.

" Haaah, Ren! Bodo amat deh! Mau Vera disuruh Alena atau itu tindakan dia sendiri, gue nggak peduli. Pokoknya gue nggak mau buang-buang waktu gue buat gosipin Alena. "

" Iya Bin, gue percaya kok sama lo. Satu lagi, Bin," tukas Lexi. " Gue minta maaf udah nyuruh-nyuruh lo buru-buru cari cewek. Gue akuin, gue salah. Kalo gue pikir-pikir sekarang, nantinya itu cewek cuma jadi pembuktian lo ke Alena kalo lo udah move on. Kalo ceweknya cinta beneran sama lo, kasian dia, Bin. "

" Ya, kan?! Malah ngorbanin perasaaan orang, kan?! Malah ngelibatin orang yang nggak tau apa-apa dalam masalah lo sendiri! Gue nggak mau jadiin cewek gue nanti sebagai rebound girl! Gue jadian sama dia bukan untuk nunjukin ke Alena dan Vera kalau gue bisa move on, tapi untuk nunjukin ke cewek gue itu kalo gue memang diciptakan buat dia. "

" Sumpah, Bin! Kata-kata loooo...! Hahaha!" " Tapi bener, kan?"

" Lo harus bersyukur juga Bin ada si Vera!" " Kenapa?"

" Vera datang buat menguji hati dan emosi lo, Bin! Ngeliat lo bergeming sama kelakuannya, gue yakin lo naik kelas ke golongan orang-orang sabar yang disayang Allah. "

" Hahaha! Bisa aja lo, Ren! Jadi ustaz aja sana!" seruku sambil menepuk bahunya.

19

Mantan

B in! Mau nemenin gue ngempesin ban mobil cewek mantan

gue nggak?!" Di parkiran motor kantor, seorang kawan dari bagian redaksi menghampiriku. Namanya Gia. Ketika pertama kali bekerja di sini, aku sempat tertarik padanya. Aku ingat betul. Alena sampai marah sekali karena dia menebak aku ingin dekat dengan cewek bertubuh mungil dan berwajah imut ini. Wah! Untung saja aku tak mencoba PDKT dengannya. Ternyata dia punya watak kekanak-kanakan. Beberapa bulan terakhir, dia sering curhat tentang mantan pacarnya yang sudah punya cewek lagi. Padahal, dulu yang mutusin Gia sendiri.

" Ngempesin ban mobil cewek mantan lo?" Alisku bertaut. " Iya, Biiin! Kata temen gue, tuh cewek lagi meeting di gedung sebelah. Yuk, Bin!" Gia menarik tanganku dengan penuh percaya diri, seolah aku setuju dengan rencana bulusnya.

" Hei! Hei!" Kulepaskan tanganku dari genggamannya. " Ngapain sih lo, Gi? Kalo ada CCTV di tempat parkirnya gimana? Lagi pula, emang lo tau dia parkir di mana? Basement gedung sebelah kan sampe B3. "

" Aaah, bodo amatlah! Lagian temen gue udah bilang kok, kalo tuh cewek parkir di B2!" Gia menarik lenganku lagi.

" Gue bilang enggak, ya enggak!" tegasku. " Lagian ngapain sih lo kempesin ban mobil tuh cewek? Dia yang dulu jadi orang ketiga antara lo sama mantan lo?"

" Bukan. Ini cewek barunya kok. Baru seminggu jadian. " " Lah, terus? Lo punya masalah apa sama cewek ini? Kan pacarnya udah jadi mantan lo! Apa urusannya sama lo?!"

Gia terdiam.

" Yang ada malah lo diketawain sama tuh cewek. Lo dianggap pesakitan culun yang bahagia dengan cara ngerusak kebahagiaan orang lain. Bukan dengan meraih kebahagian itu sendiri lewat kegiatan positif. "

" Halah! Sok bijak lo, Bin! Lo nggak pernah tau rasanya jadi gue! Gue kira mantan gue mau balik sama gue. Tahunya malah kenalan dan jadian sama cewek lain. "

" Kayak gimana sih rasanya jadi elo? Gue batal nikah, woy! Alena udah sama cowok lain yang lebih mapan. Coba liat! Mana yang harusnya lebih pantes galau, gue atau elo?!"

" Hah? Emang lo putus sama Alena? OMG, gue ketinggalan berita! Serius lo?"

Aku jadi sadar kalau tindakanku salah. Aku malah menambah seorang lagi untuk kepo dengan urusanku.

" Kok bisa, Bin?! Lo boong, ya?! Kalau lo nggak boong, aduh.... Lo harus kejar Alena, Bin! Dia nguji lo doang kali?!"

Aku langsung mengenakan helm, melanjutkan niatku untuk pulang ke kontrakan. " Ah, tau deh! Gue balik dulu ya!"

" Eh, Bin! Bin! Cerita dong, Bin! Kenapa putus?" " Daripada kepo, mending lo ke gedung sebelah aja deh!" " Ngapain ke gedung sebelah? Ada Alena?"

" Kempesin ban mobil cewek mantan lo!" sambarku asal seraya menancap gas motor dan pergi meninggalkan Gia.

" Hah dasar lo, Biiiiiiiiiiiiiiiin!" teriaknya terdengar dari belakang.

"

" Welcome back to Stars 1.448 FM!!! Sore para starlight di luar sana! Ketemu lagi bareng Nika dan Ryan dalam acaraaaa& Stars on the track ." Suara nyaring penyiar radio metropolitan menyapa pendengaran. Selama perjalanan menuju kontrakan, aku mendengarkan siaran dua orang sobatku ini di motor. Nika adalah teman sekelasku ketika SMA, sementara Ryan adalah temanku di sebuah LSM yang mengurusi anak-anak jalanan. Mereka berdua dulu satu SMP. Tak hanya satu sekolah, mereka juga pacaran ketika itu. Ketika SMA, mereka putus. Aku ingat betul Nika nangis-nangis di toilet sekolah karena diputusin Ryan dengan alasan beda sekolah.

Setelah lulus kuliah, rupanya takdir mempertemukan mereka berdua di tempat kerja yang sama. Sampai sekarang, mereka menjadi partner siaran. Dua bulan terakhir ini, mereka berdua mulai nongol di televisi sebagai host acara musik.

Lucu memang kalau dipikir-pikir. Sekarang mereka berdua bisa kerja bareng dan akrab. Apa sepasang mantan bisa seperti mereka? Tapi, mereka jadian kan pas SMP dan putus pas SMA. Sudah lama sekali. Ditambah lagi, biasanya masa-masa remaja seperti itu bukanlah masa menjalani hubungan dengan serius. Jadi, luka lama pun sekejap hilang.

" Kali ini gue akan muterin lagu Liar Liar dari Cris Cab featuring Pharrell! Yup, do you know Pharrell? He is my outrageous musician! My idol since I was in Junior High School!" Seperti biasa suara Nika terdengar ceria dan semangat di earphone-ku.

" Waktu SMP itu ya, si Nika pernah nangis-nangis minta bonyoknya beliin dia tiket konsernya Pharrell! Nggak dibolehin, eh dia ngadu ke gue!" kenang Ryan.

" Ngapain ya, waktu itu gue ngadu ke lo?" pancing Nika. " Kan dulu gue orang yang paling deket sama lo. Ehem... Was... " Suara Ryan dibuat-buat sendu dan galau.

Kemudian dilanjutkan dengan tawa ngakak Nika. " Hahaha! Oh iya, gue lupa! Gue udah move on sih!"

" Sialan lo, Nik!"

" Hahaha! Oke deh! Ini dia Liar Liar! Cocok banget buat Ryan yang lagi diboongin sama ceweknya!"

" Waaah, parah lo nyebut merek!" Ryan tertawa yang kemudian terpotong oleh intro lagu, dan aku pun mencoba menikmati lagu itu. Beat-nya yang santai mampu menggeser rasa stresku karena macet dan bising di jalan.

Nika benar. Lagu ini memang cocok untuk Ryan yang lagi dibohongi ceweknya. Aku pernah berada di posisi Ryan, dan aku sendiri merasa lirik lagu ini juga cocok untukku. Cocok untuk perasaanku yang dulu maksudnya. Perasaan saat aku merasa dibohongi oleh seseorang yang justru selalu kujadikan tempat berbagi kejujuran dan rasa sayang.

Hah! Kenapa aku jadi mengaitkannya lagi dengan Alena? Memang rasa cintaku padanya sudah hilang. Benci pun tidak. Namun, ada satu jenis perasaan yang ternyata masih tersisa di hati. Perasaan itu adalah perasaan sakit dan tak menyangka dia bisa berbuat begitu kepadaku pada masa lalu. Aku tahu aku harus cepatcepat menghilangkan rasa sakit itu. Karena menurutku, manusia diciptakan bukan hanya untuk meratap, tetapi untuk melanjutkan hidup ke masa depan. Buktinya, Allah ciptakan mata yang bisa melihat kejauhan, kedua kaki yang berjalan, hidung yang memangsa oksigen, dan mulut yang berbicara, semuanya di depan.

Kecuali kedua telinga. Kedua telinga diletakkan di kiri dan kanan. Mungkin maksudnya agar kita waspada dengan selentinganselentingan miring, tetapi cukup untuk didengar saja, tak perlu dikomentari atau diratapi terus-menerus sampai lupa melangkah ke depan.

"

Sebuah undangan pernikahan tergeletak di atas meja teras. Di sana tertulis nama Alena dan Heru. Anehnya, aku releks mendoakan semoga mereka berdua bahagia.

" Tadi ada tukang pos ke sini, Mas Bintang. " Suji, si penjual gorengan yang ngetem di depan kontrakan berteriak dari luar pagar. " Undangan dari Mbak Alena, ya?" tanyanya kepo.

Sambil menyunggingkan senyum, kuanggukkan kepala. " Jangan sedih, Mas Bintang! Insya Allah jodoh Mas Bintang nanti lebih baik, lebih salihah, lebih perhatian, lebih cantik daripada Mbak Alena," seru Suji yang berpikir aku galau setengah mati. Kuanggukkan kepala saja dan mengamini.

Baru saja aku melangkahkan kaki memasuki rumah, smartphone-ku berdering. Vera menelepon.

" Halo, Ver? Ada apa?" sapaku

" Bin, undangan Alena udah sampe atau belum?" tanyanya dengan nada bicara terburu-buru.

" Udah, Ver. "

" Terus gimana, Bin? Lo mau datang?! Kalau lo mau datang, kita berangkat bareng aja!"

" Berangkat bareng? Ayo!"

" Tapi gue berangkat sama Heni dan Galuh juga. "

" Heni dan Galuh?" Aku mengerutkan dahi. " Perasaan pernah denger nama itu. "

" Iya, Bin. Heni dan Galuh itu sepupu Alena yang kembar. Mereka baru datang ke Jakarta dan mau berangkat bareng gue Sabtu nanti. Mau bareng juga? Mungkin kita berangkat dari pagi, Bin. Biar bisa bantuin persiapan akad. Gue udah tanya sama Heni dan Galuh. Kata mereka berdua, nggak apa-apa kok gue ngajak lo. Mereka berdua juga udah kenal lo. Mereka berdua nggak lupa sama lo, Bin. "

Kukerutkan dahi untuk kesekian kali. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Maakan aku ya, Allah... Tapi kira-kira, otak Vera itu ada di mana?

" Halo, Bin? Kok lo diem aja, Bin? Gimana, Bin?"

" Berangkat bareng sama Heni dan Galuh?" kuulang pertanyaan Vera.

" Iya, Bin! Eh, kenapa? Lo masih nggak bisa ya, akrab kayak dulu sama Heni dan Galuh? Masih sakit hati ya, Bin?"

" Bukan sakit hati. Terakhir kali gue ketemu Heni dan Galuh itu dua tahun yang lalu. Udah lama banget. Gue juga nggak enak kalo nanti suasananya garing di perjalanan. "

" Kenapa, Bin? Karena dua taun lalu lo masih jadi cowok Alena ya, Bin? Takut malah ditanya-tanya kenapa putus, ya? Atau jadi dibanding-bandingin sama Heru? Emang sih, Heru lebih keren dan mapan. Tapi lo jangan ciut, Bin! Gue ada di pihak lo kalo mereka ngehina lo, Bin. "

Kukerutkan keningku lagi. Ingin rasanya aku berpikir positif terhadap tawaran Vera. Akan tetapi, kenapa aku semakin tak mengerti dengan jalan pikirannya? Kalau begini, sulit bagiku untuk berpikir positif terhadap niatnya.

Tiba-tiba suara Vera tak terdengar lagi di telinga. Kulihat monitor smartphone-ku, rupanya sudah mati. Bateraiku habis. Hah! Terima kasih ya, Allah! Engkau telah menyelamatkanku.
Bintang Jatuh Karya Silvarani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku akui bahwa aku hanya manusia biasa. Aku jadi penasaran dengan motivasi Vera yang sering menggangguku seputar kabar tentang Alena. Apa dia mempunyai rasa sakit hati pada Alena? Dengan Heru? Atau denganku?

Ah, sudahlah!

Akhirnya kuputuskan untuk tak mau tahu.

Setelah menaruh ransel dan tas kamera, aku mengecek e-mailku melalui laptop dan mencoba membaca isinya satu per satu. Rupanya ada e-mail dari Saya.

Bintang! Nomor ponselmu hilang, Bin! Smartphone-ku rusak, tapi aku sudah kirim undangan pernikahanku lewat e-mail dua minggu yang lalu. Bagaimana? Sudah dibuka?

Undangan pernikahan?

Ternyata memang ada. Kuucapkan hamdalah atas kebahagiaan Saya. Kubuka e-mail dari Saya dua minggu lalu dan tercengang dengan isi undangan itu. Saya menikah Sabtu ini di Jogja. Harinya sama dengan hari pernikahan Alena.

Aku benar-benar bingung setengah mati. Kira-kira, aku pergi ke pernikahan Alena atau Saya? Salahkah naluriku kalau aku merasa ingin pergi ke pernikahan Saya? Dia memang orang yang baru kukenal, tetapi aku senang bertemu dan menyambung tali silahturahim dengan orang seperti dia. Apalagi pada hari spesialnya. Tanpa berpikir panjang, aku cepat-cepat pesan tiket ke Jogja.

"

" Gimana, Bin? Lo jadi datang Sabtu besok? Bareng yuuuk! Heni sama Galuh udah oke. " Vera menghubungiku lagi ketika aku sedang menjenguk Bapak di rumah sakit.

" Sori, Ver. Gue nggak bisa ke pernikahan Alena. Ada sobat gue nikah di Jogja. " Buru-buru aku keluar kamar inap. Di sampingku, Mbak Winta memperhatikanku, seperti ingin tahu isi pembicaraanku di telepon.

" Sobat lo siapa sih? Saya, ya?! Emang Alena bukan sobat lo?" ledek Vera di seberang sana.

" Gue udah bilang sama Alena kalo gue nggak bisa datang. Gue minta maaf banget. "

" Yah, Bin.... Ini kan sekali seumur hidup buat Alena, Bin. " " Aduh! Gue minta maaf banget! Gue udah bilang Alena kok, kalau gue nggak bisa datang. "

" Iiih Bintang jahat. Lo ngelupain temen lama. Lo lebih milih datang ke pernikahan temen baru lo. Alena pasti sedih. "

Kumatikan telepon dari Vera. Begitu aku berbalik, Mbak Winta sudah berdiri di depanku.

" Bin," sapanya lembut seraya mengusap rambutku. " Maaf Bin, sebelumnya. Tapi Mbak mau nanya, Alena mau nikah?"

Kusunggingkan senyum ke arah Mbak Winta sambil mengangguk, sekaligus mengisyaratkan padanya bahwa insya Allah aku ikhlas melepas Alena.

" Maain Mbak ya, Biiin!" Mbak Winta menangis dalam pelukanku. " Kamu mungkin jodoh sama Alena kalau& kalau kamu kemarin nikah... Ndak usah nungguin Mbak& ," isaknya sesenggukan.

Kupeluk erat kakak perempuanku satu-satunya itu. Kukatakan padanya bahwa semua itu bukan kesalahan Mbak Winta sama sekali. Ini sudah jalan dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Penguasa Kehidupan dan Kematian semua makhluk ciptaan-Nya.

" Bintang.... " Air mata membasahi pipi Mbak Winta dan bagian bahu kausku. " Selama kamu di Jogja kemarin, Mbak terus-terusan menangis. Mbak merasa bersalah atas berakhirnya hubunganmu dengan Alena. Alena itu anak baik. Kamu juga anak baik, Bin. Hanya saja& hanya saja& ," Mbak Winta menelan ludah, " hanya saja... kalian belum berjodoh& . "

" Iya, Mbak. Nggak usah dibahas lagi. " Kulepas pelukan Mbak Winta dan mengusap air matanya.

" Kamu sendiri nanti datang ke pernikahan Alena, Bin?" " Keliatannya enggak, Mbak. Kancaku yang kemarin kuceritakan ke Mbak, nikah juga pada tanggal yang sama. "

" Yang kamu bilang tahu banyak tentang Islam itu?" " Iya, Mbak. "

" Oh, gitu.... Jadi, kamu benar nggak datang ke pernikahan Alena?"

" Enggak, Mbak. "

" Tapi kamu udah menyelamati Alena, kan? Dan bilang kalau nggak bisa datang?"

Tak langsung kujawab pertanyaan Mbak Winta. Aku mungkin bisa berbohong kepada Vera, tetapi tidak kepada Mbak Winta. Aku menggeleng. " Belum bilang, Mbak. "

" Kamu bilang dong Bin sama Alena. Ucapkan selamat!" Kuanggukkan kepala seraya menggenggam smartphone-ku. Ingin rasanya kuhubungi Alena sekarang juga. Agar aku tidak merasa seperti orang yang dikejar utang.

"

" Halo? Alena?" Di kantin rumah sakit sambil makan malam seorang diri, aku menelepon Alena.

" Bin& tang& ?" ucapnya ragu-ragu.

" Maaf, Alena. Gue nggak bisa datang ke acara pernikahan lo. Di hari yang sama ada temen gue yang nikah juga," ucapku cepat tanpa jeda.

" .... " Di seberang sana, Alena tak menjawab apa-apa. " Halo? Sori, Len. " Kuputar-putar bola mataku. Entah apa yang kurasakan saat ini. Galau tidak. Senang juga tidak.

" Siapa? Bintang?" Terdengar sayup-sayup suara laki-laki di seberang sana. Mungkin suara Heru. Dan mungkin juga Alena menjawab bahwa memang aku yang menelepon.

" Halo, Bintang? A& apa kabar? Eh iya, ada apa, Bin?" Suara Alena yang semula kecil menjadi besar dan agak gugup.

Kuulangi lagi pernyataanku. " Iya, Len. Gue nggak bisa datang. Maaf ya. Oh iya, kabar gue baik, alhamdulillah. Kabar lo gimana, Len?"

" Baik juga," ucap Alena, kali ini dengan nada lebih ceria. " Oh, nggak bisa datang? Iya, nggak apa-apa. "

" Sori ya, Len. " Kugaruk-garuk kepalaku, bingung ingin berkata apa. " Hmm.... Gue doain elo dan Heru menjadi keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah. Bertahan samapai maut memisahkan. Barakallah pokoknya, Len. "

" Iya, Bintang. Makasiiih. " Suara Alena benar-benar ceria. Mungkin bodoh, tetapi aku ikut senang.

" Oke deh, Len. Udah dulu ya. Assalamualaikum... " Kuputuskan untuk mengakhiri percakapan.

" Waalaikumussalam.... " jawab Alena setelah itu.

Kutaruh smartphone-ku di atas meja dan kulanjutkan makan malamku. Belum semenit aku selesai bicara dengan Alena, Vera mengirimkan pesan kepadaku.

Bin, gimana? Mau ke kawinan Alena nggak? Klo lo mau, kita barengan nih berangkat.&

Kudiamkan saja pertanyaan Vera. Lebih baik aku nikmati menu makan malam kali ini.

"

Kutapakkan kakiku di Stasiun Tugu Yogyakarta. Sampai hari ini, Vera masih menanyakan apakah aku datang atau tidak ke pernikahan Alena. Kuhela napas panjang. Lama-lama, tindak tanduk Vera lucu juga untuk hiburan.

Melihat sekeliling stasiun, aku jadi teringat masa-masa bersama Saya. Aku bersyukur bisa mengenal sahabat, saudara seiman seperti dirinya. Sejak bertemu dengannya, aku merasa terlahir kembali menjadi Bintang yang baru, Bintang yang lebih baik. Selamat untuknya. Aku turut bahagia sebagai seorang sahabat. Sungguh beruntung laki-laki yang mendapatkan dirinya. " Makasih ya Bin, sudah hadir. " Saya menyambutku seraya tersenyum di pelaminan. " Ini suamiku. " Di sampingnya, sang suami membalas jabatan tanganku. Doa untuk kedua mempelai ini kulafalkan dalam hati.

Semoga berbahagia.

Epilog

A ku percaya bahwa Allah bersama orang yang sabar. Setelah

aku pulang dari Yogyakarta, Vera masih sering berkunjung ke ruanganku. Sembari meminjam barang-barang yang kurang penting, dia menyampaikan perkembangan mengenai rumah tangga Alena kepadaku. Dimulai dari Alena yang begitu cantik saat pesta pernikahannya, bulan madu mereka yang mewah ke Eropa, Alena dan Heru yang membeli rumah baru, kehamilan Alena, prediksi bahwa Alena mengandung bayi kembar, dan lain-lain. Padahal, aku tak meminta kisah itu sama sekali.

" Kapan-kapan, lo selotip aja mulut si Vera, Bin!" Reno masih saja panas dengan kelakuan Vera. Aku sendiri hanya menanggapinya dengan tawa dan tak terlalu kupikirkan.

Pada akhirnya, Vera punya kekasih yang mengajaknya menikah. Pada saat itulah dia berhenti mendatangiku ataupun menceritakan segala sesuatu tentang Alena. Saat Vera menikah, aku tak bisa datang. Aku benar-benar bersyukur karena aku mendapatkan beasiswa S-2 di London. Sekarang aku mengerti. Alena dipertemukan denganku bukan sebagai jodoh, tetapi sebagai pendorongku untuk mendapatkan beasiswa berkuliah di UK.

Di sanalah, Allah mempertemukanku dengan seseorang. Sama-sama seorang pelajar dari Indonesia.

"

Tak banyak yang berubah dalam keluargaku. Bapak memang membaik, tetapi masih harus menjalani rawat jalan. Saat liburan semester, aku menyempatkan diri pulang ke Semarang untuk menghadiri pernikahan Mbak Winta. Pada kesempatan itu pulalah aku bercerita tentang seseorang kepada Bapak dan Mbak Winta.

" Habis lulus, coba kamu utarakan perasaanmu, bawa dia ke sini, dan kenalkan ke Mbak dan Bapak, Bin. " Setelah upacara pernikahan Mbak Winta selesai, sambil menyantap menu makan siang di ruang VIP keluarga, Mbak Winta berbicara serius kepadaku.

Sambil menyeruput soto ayam, aku berkata, " Semoga saja& aku bisa cepat-cepat menyusul. "

" Hahaha!" tawa keluarga kecilku. Begitu bahagia. Aamiin....

Tamat

Tentang Pengarang

S ilvarani lahir di Jakarta pada 6 September 1988. Setelah menye
lesaikan kuliah di Sastra Prancis UI dan Magister Komunikasi UI, salah satu hal yang dilakukannya adalah melanjutkan hobinya menulis novel, naskah drama, dan skenario ilm (meski jumlahnya masih sedikit).

Bagi pengarang, menulis novel adalah salah satu cara berkomunikasi dengan orang-orang atau teman-teman di luar sana. Temanteman yang sudah pengarang kenal maupun yang belum. Semoga saja novel ini berguna bagi para pembaca.

Ingin berkenalan atau bertukar ide dengan Silvarani? Silakan kontak:

Twiter : silvaranibooks Instagram : nadiasilvarani

Silvaranibooks Email : storydesilva@gmail.com

Penerbit

PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok I, Lt. 5

Jl. Palmerah Barat 29 37 Jakarta 10270

NOVEL

Maha Membolak-Balikkan Hati.

Bintang, seorang jurnalis muda, tidak pernah ambil pusing soal kuasa Allah yang satu ini, sampai& PLAAAK! Tamparan keras mendarat di pipinya. Alena, gadis genius yang beberapa detik lalu masih dia yakini sebagai calon istri, kini malah resmi menjadi mantannya.

Bintang pun disadarkan pada satu kenyataan: Begitu mudah hati manusia berubah jika Allah sudah berkehendak.

Bingung dan patah hati, Bintang lantas menerima tawaran pergi ke Yogya untuk menenangkan diri sekaligus menyelesaikan tugas. Dalam perjalanan naik kereta, seorang gadis kembali menamparnya, kali dengan pesona dan keluasan pengetahuan agama seluk-beluk shalat, tata cara bertayamum, juga sejarah Islam di nusantara. Tak pelak suatu rasa, perlahan namun pasti, tumbuh dalam hati Bintang.

Akankah Bintang menemukan cinta baru? Siapkah dia menjalani rencana Allah yang lebih besar?


Perguruan Sejati Karya Khu Lung Fear Street Pesta Semalam Suntuk All Pendekar Naga Putih 41 Hantu Laut Pajang

Cari Blog Ini