Biru Jingga
Ditulis oleh Hilma Triesnanda
C 2014 Hilma Triesnanda
Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang
Diterbitkan Pertama kali oleh:
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia?Jakarta 2014
Anggota IKAPI, Jakarta
Editor: N. Luky Andari
998141879
ISBN :978-602-02-4783-0
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan
menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
UCAPAN TERIMA KASIH
Cinta memiliki banyak arti dan makna, bergantung
pada bagaimana manusia memandangnya. Cinta
juga memiliki banyak korelasi terhadap berbagai hal,
seperti tentang perjuangan dan pengorbanan. Sama
halnya bagaimana saya memandang dan mengartikan
cinta pada kisah ini. Bagi saya, cinta tak lain adalah
sebuah sikap yang tak berpamrih. Bagi saya, cinta
adalah kepingan?kepingan hati yang diisi oleh
berbagai macam rasa. Tidak peduli seberapa banyak
kepingan cinta itu disusun, hanya meyakini bahwa
cinta itu utuh dalam hati.
Terbitnya novel pertama saya ini telah melalui
proses yang panjang. Terombang?ambing dalam emosi
yang dibuat untuk menguatkan setiap karakter tokoh.
Menyelami setiap kejadian yang mungkin saja terjadi
pada saya maupun seluruh pembaca. Oleh karena itu,
saya mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh
pihak yang telah mendukung terciptanya BIRU
JINGGA ini. Kepada Allah Swt., kedua orangtua
saya, abang dan kakak saya, juga calon suami saya
Ferdyanto Samantha (yang insya Allah tahun ini resmi
menjadi imam saya), terima kasih atas segenap cinta
tak bertepi yang kalian berikan kepada saya selama
ini. Selain itu, terima kasih kepada editor saya, Luky
Andari dan PT. Elex Media Komputindo khususnya
QUANTA yang memercayakan BIRU JINGGA
dapat terbit. Salman Aditya yang mengenalkan saya
pada penerbit ini; Mas Hanif, Mas Khalid, dan Mas
Dony sebagai teman?teman berbagi suka duka selama
di kantor. Terima kasih juga kepada seluruh pihak
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Kepada seluruh pembaca, harapanku adalah
kalian dapat menikmati setiap kata yang terurai, setiap
cerita yang terungkap, dan mendapatkan hikmah dari
kisah ini, sekaligus dapat memberi warna baru bagi
kehidupan kalian dalam memaknai CINTA. Terima
kasih telah memilih BIRU JINGGA sebagai salah
satu buku teman di saat senggang ataupun pengantar
waktu tidur kalian. Selamat menikmati.
HILMA TRIESNANDA
"Dan di antara tanda?tanda kekuasaan?Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri?istri darijenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan?Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar?benar terdapat tanda?tanda bagi kaum yang berpikir."
( Ar?Rum: 21)
Pagi itu, suara klakson dari rangkaian besi panjang
telah terdengar, tanda akan segera datang dan bersiap
mengangkut mereka para pejuang. Pejuang bagi
diri sendiri, keluarga, maupun bagi orang banyak
yang memang membutuhkannya. Pagi itu mentari
belum terlihat sempurna, sebagian sinarnya tertutup
awan gelap yang membuat setiap orang berprediksi
bahwa hari itu akan turun hujan deras. Pukul enam
lebih sepuluh menit. Di pojok peron stasiun Pondok
Ranji, ia berdiri. Tempat yang tidak pernah berubah
sejak setahun empat bulan lalu. Deretan manusia
lainnya perlahan mulai berdiri melewati batas garis
aman, memasang kuda?kuda, berharap mereka dapat
menembus pagar betis yang telah siap menangkal
mereka yang akan masuk ke dalam. Mereka, para
penumpang di stasiun Pondok Ranji, sudah tidak
peduli dengan teriakan petugas yang tidak henti?hentinya mengingatkan untuk tidak melewati batas
garis aman. Bagi mereka, bisa menerobos masuk ke
dalam kereta merupakan awal perjuangan yang harus
dilakukan setiap pagi.
"Perhatikan di jalur dua, dipersiapkan ma?suk kereta tujuan Tanah Abang. Bagi para
penumpang diharapkan tidak melewati batas
garis arnan. Dihimbau juga kepada para
penumpang untuk tidak saling mendorong
dan tetaplah jaga kexeuzrnatan Anda!"
Aksi film Matriks pun dimulai. Begitu pintu gerbong
terbuka, sekejap setiap orang mendorong diri mereka
sendiri dan orang lain, berusaha memaksa tubuh
mereka, setidaknya sebagian dari tubuh mereka masuk
ke dalam kereta. Pagar betis itu pun luluh lantak.
Drama perjuangan yang sudah biasa dinikmati setiap
hari oleh seluruh penumpang kereta. Perjuangan
bagaimana anak?anak manusia mengejar impian
mereka. Mengais rezeki dari Tuhannya. Berharap
mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan
juga keluarganya.
Tidak bedanya dengan gadis itu. Lebih dari
setahun ia berjuang seperti manusia?manusia lainnya.
Mereka yang mengandalkan transportasi massal berupa
kereta listrik untuk mencapai tempat di mana mereka
mengais rezeki. Suka tidak suka, sakit tidak sakit,
kuat tidak kuat, itulah jalan yang harus ditempuh.
Mengeluh saja tidak akan menghasilkan apa?apa. Jadi,
ia lebih suka diam dan membenamkan dirinya dengan
berzikir. Jujur saja, celotehan?celotehan kotor kerap
kali keluar dari mulut sebagian kecil penumpang
yang selalu mengeluhkan kondisi transportasi massal
tersebut. Transportasi massal yang murah, saking
murahnya bahkan terkesan murahan. Meskipun
nama transportasi itu kereta listrik AC, namun
kenyataannya sangat mengecewakan. AC kereta
sering mati. Jumlah penumpang yang membludak
hingga terkadang susah untuk berdiri pun, kerap kali
memakan korban. Alias korban penumpang pingsan
karena kekurangan oksigen.
Gadis dengan tas ransel hitam itu pun menikmati
perjalanannya dalam diam. Berdiri persis di depan
pintu otomatis. Menahan berat tubuhnya dan tubuh
orang?orang di belakangnya tiap kali kereta berjalan
miring mengikuti alur rel. Memperhatikan jalanan
panjang yang dilaluinya. Dari balik pintu otomatis,
ia melihat awan hitam yang tadi menghalangi sinar
matahari kini berangsur lenyap. Diikuti dengan sinar
mentari yang berubah menjadi cerah.
Lima belas menit berlalu. Setelah melewati dua
stasiun, yaitu stasiun Kebayoran dan Palmerah, kereta
pun memasuki stasiun Tanah Abang. Kereta masuk di
jalur enam. Terlihat kereta tujuan Bogor sudah datang
di jalur tiga. Ini berarti perjuangan kembali dimulai.
Kebanyakan dari penumpang kereta merupakan
pegawai yang bekerja di daerah Jakarta Pusat, sehingga
mereka harus transit di Tanah Abang dan melanjutkan
perjalanan menggunakan kereta tujuan Bogor atau
Depok. Melihat kereta Bogor sudah bertengger di
jalur tiga, ia dan penumpang lainnya pun bersiap?siap untuk berlari mengejar kereta selanjutnya. Benar
saja, begitu pintu otomatis terbuka, seperti serbuk
sari yang terbang terbawa oleh hembusan angin.
Wuzzz... semua penumpang berhamburan, berlari
menaiki anak tangga dan pindah ke jalur tiga secepat
kilat. Aksi dorong?mendorong kembali terulang.
Gemuruh langkah seribu orang?orang menghiasi
suasana stasiun Tanah Abang setiap pagi. Dengan
napas terengah?engah, baik muda maupun tua, laki?laki maupun perempuan, semuanya sama saja. Tujuan
mereka hanya satu. Jangan sampai tertinggal kereta
selanjutnya.
Hosh... hosh... hosh.
"Alhamdulillah masih terkejar" ujar gadis itu
dengan napas terengah?engah. "Sesampai di kantor,
aku harus langsung pesan kue nih, mudah?mudahan
masih sempat waktunya," ia melihat jam tangannya
yang saat itu menunjukkan pukul enam lebih tiga
puluh menit.
"Mbak Ai!" tiba?tiba saja seseorang menepuk
pundak gadis itu. Ternyata salah seorang rekan
kerjanya yang juga satu bagian.
"Eh, Bu Retno! Dikira siapa," sahutnya. "Kok
tadi aku nggak lihat Bu Retno di kereta Serpong?"
"Iya mbak. Kebetulan tadi aku dapat duduk.
Lumayan Mbak, jadi nggak capek berdiri dan desak?desakan," Ibu Retno menyeringai.
"Enaknya. . ."
Minanti Jingga nama gadis itu, biasa dipanggil
Ai. Ia bekerja di salah satu bank swasta di daerah
Sudirman sebagai seorang sekretaris. Tubuhnya tinggi,
besar, dan berkacamata. Iajuga mengenakan hijab. Ai
baru bekerja satu tahun empat bulan di perusahaan
itu. Ia baru saja lulus dari kampusnya dengan gelar
sarjana Pertanian. Aneh memang, seorang sarjana
pertanian justru bekerja di dunia perbankan. Namun,
itulah kenyataannya. Banyak orang yang bekerja tidak
sesuai dengan bidang pendidikannya. Alasannya, "Toh
perusahaan yang bersangkutan mau mempekerjakan
kita".
"Mbak Ai, nanti jadi meeting semua business
manager?" tanya Bu Retno sambil membetulkan
posisi tas jinjingnya.
(5)
"Iya, Bu, insya Allah jadi. Tadi aku sudah remind
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semua BM juga kok."
Tak terasa kereta pun tiba di stasiun Sudirman
setelah melalui stasiun Karet. Ai dan Bu Retno
bergegas keluar dan berjalan cepat menuju ujung
peron dan menyeberang rel. Sepanjang pagi selama
di perjalanan, semua orang dituntut bergerak cepat,
termasuk Ai dan Bu Retno. Begitulah sejatinya
kehidupan. Hanya orang?orang yang bergerak lebih
cepat dari yang lainnya saja yang dapat bertahan dan
sukses.
Akhirnya, Ai dan Bu Retno tiba di kantor.
Beberapa front/iner sudah terlihat rapi dan lalu?lalang di banking hall. Terlihat juga 01%[6 hay sedang
membersihkan pintu kaca. Hiruk pikuk di kantor
mulai terasa. Ai dan Bu Retno menuju lantai satu,
tempat di mana ruangan mereka berada. Ruangan
yang cukup luas itu diisi oleh sekitar lima puluh
pegawai. Pagi itu ruangan masih terlihat sepi dan
gelap. Belum ada aktivitas. Hanya ada lantunan musik
berasal dari ponsel Wee hay yang sengaja dipasang
keras?keras, "biar nggak sepi," katanya.
Ai segera menuju mejanya yang berada cukup
jauh dari pintu masuk, namun sangat dekat dengan
meja pimpinannya. Setelah meng?input absensi di
komputer, ia pun memanggil 0 ee hay yang sedang
membagikan gelas minuman ke meja?meja pegawai.
"Mas Herman!" Ai melambaikan tangannya.
"Iya, Mbak. Ada apa?" Herman menghampiri
sambil membawakan gelas minum untuk Ai.
"Mas, tolong beliin kue buat rapat pagi ini
dong. Beli aja surabi sepuluh buah, batagor sepuluh
porsi, dan air jeruk hangatnya juga sepuluh yah. Ini
uangnya," Ai menyodorkan uang dan catatan kecil
untuk mas Herman.
"Siap Mbak Ai!"
Pagi itu Ai sudah sibuk dengan persiapan rapat
yang akan dilaksanakan pukul sembilan nanti. Ia
harus memastikan bahwa tidak ada yang terlupakan.
Bahan rapat, ruangan rapat, laptop untuk presentasi,
dan yang terutama adalah ketersediaan makanannya.
Semalam, tiba?tiba saja pimpinannya meminta untuk
diadakan rapat internal manajemen.
Waktu menunjukkan tepat pukul delapan, Pak
Erwin Hadinata datang. Ia merupakan pimpinan
Ai, biasa dipanggil "Pak Win". Pak Win merupakan
pimpinan yang disiplin dan tegas. Meskipun
terkadang terlihat dingin, tetapi ia adalah pimpinan
yang sangat memperhatikan perkembangan anak
buahnya. Pak Win juga merupakan pimpinan yang
berkarakter dan kharismatik. Dulu, awal Ai bekerja,
ia sempat berencana keluar karena tidak sanggup
berhadapan dengan atasannya yang selalu terkesan
dingin dan keras. Namun seiring berjalannya waktu,
justru Ai merasa sangat senang dipimpin olehnya. Ada
banyak ilmu yang ia dapatkan selama menjadi anak
buah Pak Win yang tidak ternilai harganya.
"Bagaimana, Ai? Apa semuanya sudah siap?"
"Sudah, Pak," jawab Ai cepat.
"Oke, good. Nanti pukul sembilan jangan lupa
panggil semua manajer yah,"
"Baik, Pak."
Masih tersisa waktu kurang lebih empat puluh
lima menit. Sementara Pak Win membaca koran,
Ai bersiap?siap dan mengecek kembali persiapan
rapat, mulai dari menyetel laptop dan proyektor,
menampilkan bahan presentasi, daftar hadir rapat,
hingga menu sarapan yang dipesannya tadi. Selesai.
Ai kembali ke ruangan. Tak terasa hampir pukul
sembilan. Ai menghubungi seluruh Business Manager
dan memintanya untuk berkumpul di ruang rapat.
Tepat pukul sembilan. Setelah seluruh peserta
rapat berkumpul di ruangan, Ai segera memanggil
pimpinannya dan menginformasikan bahwa rapat
siap untuk dimulai. Namun ketika Ai kembali ke
ruangan, terlihat Pak Win sedang mengobrol dengan
seorang pria. Ai memutuskan berdiri di belakang pria
itu, berharap Pak Win menoleh ke arahnya. Hal yang
sudah biasa dilakukan Ai tiap kali ia ingin menyelak
pembicaraan atasannya dengan orang lain.
"Ada apa, Ai?"
"Maaf, Pak. Semua manajer sudah kumpul di
ruangan."
"Oke," sahut pak Win sambil mengacungkan
jempol. "Oh iya, Ai. Ini Mas Atta. Dia yang akan
menggantikan pekerjaan pengolahan data yang biasa
kamu lakukan selama belum mendapat pengganti
Mas Ardy. Nah sekarang, Mas Atta inilah yang
menggantikan posisi Mas Ardy untuk selanjutnya. Jadi
kamu sekarang sudah bisa fokus dengan pekerjaanmu
saja. Nanti tolong dibantu yah."
Ardy merupakan staf ahli perencanaan atau
biasa dikenal dengan istilah Business Development
Offer. Namun, sejak tiga tahun lalu, ketika Ardy
mengundurkan diri, posisi itu lama kosong. Hingga
akhirnya pekerjaan itu sementara dialihkan kepada
siapa saja yang menjadi sekretaris kepala cabang, alias
sekretaris Pak Win.
Atta. Pria berpostur tinggi tegap itu menoleh
dan tersenyum kepada Ai. Lesung pipi menghiasi
wajah pria berkulit cokelat tersebut. Dengan ramah ia
kembali memperkenalkan dirinya, "Saya Atta. Mohon
bantuannya," ucapnya dengan ramah.
"Ai."
" Oke, Mas Atta, mejakerjamu tepat di depan meja
Ai. Silakan. Selamat bergabung dengan kami. Semoga
GD
betah dan dapat memberikan manfaat bagi cabang.
"
Saya tinggal rapat dulu, Pak Win mengulurkan
tangannya yang langsung disambut oleh Atta. "Ayo,
Ai, kita mulai rapatnya. Kamu siapkan notulensinya,
yah!"
"Baik, Pak Win."
Pak Win dan Ai bergegas ke ruang rapat. Pak Win
memulai rapat dan melanjutkan dengan presentasi.
Materi rapat kali itu yaitu mengenai perkembangan
performa cabang selama satu bulan. Dilanjutkan
dengan beberapa isu penting di perusahaan.
Sementara Pak Win menjelaskan, Ai sibuk mencatat
seluruh pembahasan yang disampaikan oleh Pak Win.
Diskusi pun biasa dilakukan antara Pak Win dengan
para Business Manager. Berbagai macam persoalan,
baik internal maupun eksternal selalu dibahas dengan
detail. Hampir tidak ada yang terlewat. Setiap
perkembangan pasti diutarakan secara terbuka tiap
kali rapat bulanan dengan Pak Win.
Dua jam berlalu. Rapat selesai tepat pukul
sebelas siang dan berjalan lancar. Pak Win langsung
pergi untuk makan siang bersama dengan nasabah di
daerah Thamrin. Sementara Ai dan Business Manager
lainnya kembali ke ruangan.
"Alhamdulillah... akhirnya selesai juga," ujar
Ai sambil menghempaskan tubuhnya ke kursi.
Tangannya penuh dengan print out materi rapat,
laptop, dan buku catatannya.
"Eh Ai lup yu, udah selese rapatnye?!" tanya Mas
Danar, salah seorang asisten marketing yang duduk
persis di sebelahnya. "Mane nih kuenya? Kok kagak
ade sih?!" lucu memang mendengar seorang asli
keturunan Batak berbicara dengan logat Betawi.
"Haduuuh berisik deh! Ai lup yu, ai lup yu.
Nggak suka ih, Mas Danar," sahut Ai dengan sewot.
Manyun.
"Jangan gitu loh, Dan! Nanti sore nggak dikasih
roti baru tau rasa," jawab seorang pria berparas
oriental dengan rambut pelontos. Hasbi namanya.
Ia adalah salah seorang marketing yang juga duduk
berdekatan dengan Ai. Meskipun berwajah oriental,
tetapi Hasbi adalah seorang keturunan Sunda tulen.
Oleh karena itu ia biasa dipanggil "kang" oleh rekan?rekan kerja lainnya.
"Iye juga yah, lupa ane, Kang! Hahahaaa,"
Danar tertawa terbahak?bahak.
Mereka bertiga pun tertawa terbahak?bahak.
Hingga tiba?tiba baru sadar bahwa ada orang baru di
tengah?tengah mereka.
"Eh, ada tetangga baru, sampai lupa. Haduuh
maaf yah, Mas Atta. Di sini memang seperti ini.
Rusuh! Hehee...," Ai menoleh, menatap Atta yang
sedari tadi memperhatikan mereka.
63
"Oh, nggak apa?apa, Mbak," jawab Atta sambil
tersenyum.
"Eh, sudah kenal kan sama yang lainnya?" tanya
Ai yang tersadar bahwa ia belum mengenalkan Atta
kepada rekan?rekan kerja satu ruangan lainnya.
" Sudah tadi,"
" Syukur deh. Maaf yah, tadi saya buru?buru mau
rapat jadi nggak sempat deh."
"Bagaimana sih kamu, Ai? Untung saja ada Lyra
yang bisa bantu kenalkan," celetuk Hasbi.
"Iya maaf, soalnya tadi bentrok dengan rapat."
"Waaahhh paraaahhh nih...," Danar mengompor?kompori.
"Huuaaa. .. Sudah dong. . .," Ai memelas.
Wajah Ai pun memerah karena disudutkan oleh
Hasbi dan Danar. Sekilas ia menatap pria yang ada di
depannya itu. Sekali lagi ia melihat sepasang lesung
pipi terukir manis di kedua pipi Atta. Lesung pipi
yang membuat senyum Atta begitu indah dipandang.
Bahkan senyum Atta telah membuat pipi Ai semakin
memerah.
Atta merupakan pegawai baru di kantor.
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelumnya ia bekerja di perusahaan konsultan.
Pengalamannya di dunia kerja terbilang berpenga?laman, kurang lebih sudah sekitar enam tahun. Ia
sempat bekerja sebagai marketing junior di salah satu
69
bank swasta terkemuka di Indonesia, hingga akhirnya
pindah ke perusahaan konsultan. Empat tahun ia
bekerja sebagai seorang analis proyek juga analis
keuangan di sana.
Hari itu berjalan dengan sempurna. Langit
kembali cerah. Hujan tidak turun sama sekali
meskipun tadi pagi langit terlihat gelap. Sibuknya
pekerjaan tidak pula menyurutkan kebahagiaan Ai
sepanjang hari. Tidak terbias raut sedih ataupun
muram di wajah cantiknya hari ini. Melainkan hanya
senyum dan tawa yang mengembang dari bibirnya.
"Terima kasih ya Allah atas segala nikmat yang
Engkau berikan untukku hari ini. Terima kasih. . .."
Commuter line malam melaju dengan cepat
membawa ratusan penumpang kembali ke kediaman
mereka masing?masing. Mengangkut setiap raga yang
lelah untuk segera menepi dan meleburkan dirinya
berkumpul dengan keluarga. Melepas penat, berbagi
kasih, atau hanya sekadar mencium kening orang?orang yang dicintainya.
Buzzz... Buzzz.
Ponsel Ai bergetar dan diiringi sebuah lagu. Tertulis
nama "Pak Erwin Hadinata" di layar. Ai yang saat
itu tengah berada dalam kereta menuju kantor tidak
sadar bahwa ponselnya berbunyi. Tak lama setelah itu,
BBM masuk.
Ai, hari ini saya mendadak keluar kota. Lusa adajdw
rapat direksi. Tolong bantu Atta menyiapkan bahan
rapatnya. lVIaterinya diambil dari laporan kinerja
bulan lalu sj. Tks.
Ai masih belum menyadari ada pesan BBM dari
Pak Win hingga ia tiba di kantor. Begitu membaca
pesan tersebut, ia pun segera membalasnya dan
menginformasikan bahwa bahan presentasi rapat
akan segera disiapkan. Tak terasa ternyata sudah dua
69
minggu lamanya Atta bergabung. Sebagian besar
tugasnya kini dialihkan ke Atta, sehingga Ai hanya
fokus pada pekerjaan yang berkaitan langsung dengan
Pak Win saja.
Selama dua minggu terakhir Atta beradaptasi
dengan cepat, baik dalam hal pekerjaan maupun
pergaulan. Atta sudah mulai terbiasa dengan gaya
bercanda rekan?rekan kerjanya, terutama teman?teman sebelahnya, yaitu Hasbi, Danar, dan Ai.
Atta sudah tidak lagi canggung. Bahkan untuk bisa
menarik perhatian ketiga rekannya, ia memiliki trik
khusus. Selalu menyiapkan cemilan! Ya, itulah trik
yang membuatnya berhasil diterima dengan baik di
sana. Kebetulan ketiga temannya termasuk orang
yang tidak malu?malu dalam hal makanan.
Pernah suatu pagi, ketika mereka semua belum
sarapan dan kelaparan, Danar angkat bicara, "Duh,
laper yak! Biasanya ada roti niih! Hehehe." Mendengar
kalimat seperti itu, Atta pun segera bangkit dari
kursinya. Dalam sekejap, tiba?tiba ia datang dengan
membawa sebuah kantong plastik putih bertuliskan
salah satu minimarket dekat kantornya. Kantong
plastik itu berisi sebungkus roti sobek! Pengorbanan
yang pantas diacungkan jempol.
Pukul 09.45 WIB. Satu jam berlalu semenjak
Ai memberitahukan pesan Pak Win kepada Atta, ia
pun sibuk menjelaskan kepada Atta mengenai rincian
bahan rapat apa saja yang harus dibuatnya.
"Mbak Ai, saya belum mengerti untuk buat
laporan seperti itu," keluh Atta kepada Ai yang berdiri
tepat di sampingnya.
"Pasti bisa, Mas. Coba lihat deh bentuk laporan
yang saya buat bulan lalu. Kamu cukup ambil data
dari bagian operasional, terus kamu olah dari data itu.
Data dari mereka pun sebenarnya bukan data mentah,
jadi kamu tinggal menggabungkan beberapa data dan
menyimpulkannya," Ai menjelaskan. "Nah, yang itu
coba dibuka deh filenya," Ai menunjuk salah satu file
powerpoint yang tertera di layar monitor.
Selama berdiskusi, Atta hanya mengangguk?angguk. Sesekali menoleh dan memperhatikan Ai.
Kemudian mengangguk?angguk lagi. Dan terkadang
tertawa. Ai memang cukup pandai mencairkan
suasana. Meskipun ia terkenal judes, tetapi sebenarnya
ia adalah seorang wanita yang memiliki selera humor
tinggi.
"Ya sudah, nanti kalau ada yang nggak mengerti,
kamu tanya aku aja. Sekarang kamu coba kerjakan
dulu yah," ujar Ai sambil berjalan meninggalkan meja
Atta.
"Eh Mbak, jangan pergi dulu," ujar Atta cepat
menghentikan langkah Ai.
GD
"Haduuh, emang saya mau ke mana? Mejaku aja
di depan mejamu, Mas!"
"Hehehe...," Atta tersenyum lebar. Manis sekali.
Lelaki berkulit cokelat itu memang memiliki aura
yang berbeda. Ia tidak tampan, tapi menarik. Entah
apa yang membuatnya terlihat menarik. Bentuk
rahangnya kokoh, hidungnya mancung besar, bola
matanya hitam bulat sempurna, dan lesung pipi
yang selalu terhias setiap kali ia bicara dan tersenyum
menyempurnakan auranya. Tatapan matanya begitu
lembut dan dalam, seolah tidak ada satu orang pun
yang mampu menjangkau isi hati Atta hanya melalui
sorot matanya.
Sementara Ai. Gadis berbalut hijab, berkacamata,
dengan tubuh bongsornya itu terkenal tertutup
bahkan ada yang bilang judes. Sikapnya yang lebih
banyak diam membuat banyak rekan?rekan kerjanya
menyangka bahwa ia adalah orang yang tertutup.
Padahal kenyataannya sama sekali tidak demikian.
Memang kekurangan terbesar Ai adalah lebih mudah
melakukan pendekatan personal dibandingkan
pendekatan massal, sehingga yang muncul adalah
kesan tertutup dan judes. Ai juga merupakan wanita
yang paling anti berkerumun hanya untuk bergosip.
Ia lebih memilih diam dan duduk manis di depan
komputernya saja, atau bercanda dengan kedua
temannya yaitu Hasbi dan Danar.
Hari menjelang siang, azan Zuhur berkuman?dang. Dilihatnya Atta menghentikan pekerjaannya
dan beranjak dari meja. Diam?diam Ai memperhatikan
sikap Atta yang satu itu. Selalu dan tidak terkecuali,
setiap memasuki waktu salat dan azan telah
berkumandang, Atta segera beranjak dari mejanya.
Ai pun penasaran dan memberanikan diri bertanya
sebelum Atta pergi.
"Kamu salat di masjid bawah yah?" Atta
menjawab pertanyaan Ai hanya dengan senyuman.
Atta memang lelaki yang cukup mengesankan baginya.
Bukan hanya kebiasaannya yang selalu salat tepat
waktu dan berjemaah di masjid, tetapi juga sikap Atta
yang lainnya. Atta memang baru dua minggu bekerja
sebagai rekan kerja, tetapi Atta mampu membuat
gadis muda itu terkesan padanya.
Melihat sikap Atta yang seperti itu, Ai pun
terenyuh. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Selama
ini, ia lebih sering menunda?nunda salat karena alasan
pekerjaan yang belum selesai atau sedang tanggung.
Hati Ai pun tergerak mengikuti Atta untuk mulai
membiasakan diri salat tepat waktu. Selesai salat
ia pun segera kembali ke ruangan dan mengambil
bekal makan siangnya. Berhubung di pantry penuh,
Ai memutuskan makan di meja kerja saja sambil
melanjutkan pekerjaannya. Tak lama ia melihat Atta
kembali.
" Gimana Mas presentasinya? Apa sudah siap?"
"Oh iya, Mbak, tinggal sedikit lagi," jawab Atta
sambil memasang kembali jam tangannya. Rambutnya
masih basah karena air wudu. Kemudian Atta kembali
menatap layar komputernya. Raut wajahnya berubah
menjadi serius. Keningnya mengernyit. Matanya
hampir?hampir tak berkedip.
"Ada masalah, nggak?" tanya Ai. Kedua bola mata
mereka bertatapan satu sama lain, menyeberangi batas
kubikel meja mereka berdua.
" Sejauh ini belum sih Mbak. Saya coba selesaikan
dulu, nanti tolong MbakAi review yah."
"Oke," hampir tiga jam berlalu, tepat pukul
empat sore, Atta memanggil Ai dan memintanya
untuk melihat hasil pekerjaannya. Ai menghampiri
Atta, menyeret kursi kosong, dan duduk tepat di
sebelah Atta.
"Hmmm...," Ai memperhatikan setiap slide
yang Atta buat. Sesekali mengangguk, tersenyum, lalu
mengangguk lagi. "Goodjo/z, Mas!" ujar Ai sembari
tersenyum ke arah Atta. "Cuma ada sedikit tambahan
aja sih, mungkin lebih baik kalau tabel dari setiap
grafiknya ditampilkan. Jadi jelas poin?poinnya. Tapi
secara keseluruhan sudah representatif kok."
"Begitu yah, Mbak? Karena saya pikir tadi dari
grafik aja sudah cukup, ternyata belum komuni?katif. . .," sahut Atta sambil menoleh ke arah Ai.
"Bukannya nggak komunikatif, tapi biar lebih
jelas aja. Hehehee," giliran Ai yang tertawa simpul.
Manis sekali. Atta pun ikut tertawa kecil.
Setelah menyelesaikan presentasi sebagai bahan
rapat untuk lusa, Ai bersiap?siap pulang. Hari itu Ai
manfaatkan untuk tidak lembur, karena kebetulan
Pak Win sedang tidak di kantor.
" Teng go kamu, Ai?" tanya Danar yang dari tadi
masih sibuk dengan pekerjaannya membuat memo?memo transaksi nasabah.
"Iya dong, Om, mumpung bisa pulang cepet
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nih," sahut Ai cepat sambil meng?input absen pulang.
Dilihat jam dinding masih menunjukkan pukul
lima lebih lima menit. Seharusnya ia masih sempat
mengejar kereta langsung tujuan Serpong dari stasiun
Sudirman. Jadwal keberangkatan kereta pukul lima
lebih lima belas menit.
" Kok kamu pulang sekarang sih, Ai?" tanya Hasbi
kali ini. Seperti biasa, Hasbi adalah orang kedua yang
selalu membuat niat pulang teng go Ai terhambat
selain Pak Win, karena Hasbi sering memberikan
pekerjaan di setiap injury time.
"Maaf yah Kang. Kali ini aku mau pulang cepat.
Okeh?! Dadaahh semuanya.... Assalamualaikum," Ai
segera berlari dan meninggalkan rekan?rekannya yang
63
masih sibuk bekerja.
"Dasar kamu, Ai. Wes, hati?hati!" teriak Hasbi
mengiringi langkah seribu Ai yang sudah menghilang
dari pandangan.
Kopaja 19 sudah mengetem di depan kantor.
Bersama pegawai?pegawai lainnya, Ai ikut berlarian
menghampiri kopaja tersebut.
"Stasiun?stasiun?stasiun!!!!" teriak kondektur me?manggil para calon penumpang. Tidak butuh waktu
lebih dari semenit untuk mengisi bus tua tersebut.
Sang sopir pun langsung tancap gas dan melaju
kencang. Sore itu jalanan masih lengang sehingga bus
dapat mencapai stasiun cukup dengan waktu tempuh
enam puluh detik saja. Kebetulan kantor Ai sangat
dekat dengan stasiun Sudirman yang jaraknya sekitar
tiga ratus meter.
Sesampainya di depan jalan menuju terowongan
ke arah stasiun, para penumpang bus langsung turun
berhamburan. Berlarian tak berarah. Saling salip?menyalip di antara kerumunan. Menuruni anak?anak
tangga, menyeberang di antara kemacetan mobil?mobil, berlari kembali di dalam terowongan, hingga
akhirnya memasuki sebuah tempat yang bertuliskan,
"STASIUN SUDIRMAN".
Ketika Ai sampai di stasisun dan mengantre
tapping, tiba?tiba saja Ai melihat sebuah kereta datang
GD
di jalur satu, jalur yang mengarah ke stasiun Tanah
Abang.
"Loh Pak, itu kereta ke mana?!" tanya Ai kepada
petugas tapping.
"Ke Serpong, Bu."
"Kok sudah datang aja?! Bukannya jam lima
lebih lima belas menit?" Ai terkejut dan mulai panik.
Kereta sudah membunyikan klakson sementara ia
masih harus antre tapping in. "Haduuh lama banget
sih nih...," akhirnya setelah menunggu antrean tiga
orang di depannya, Ai berlari mengejar pintu otomatis
kereta yang hampir tertutup. "Tunggu!"
Tiiiitttt. .. pintu otomatis tertutup.
"Fiiuhhh...." Ai membuang napas panjang.
Hampir saja ia tertinggal kereta. "Makasih yah, Mas,"
ujar Ai kepada seorang pemuda yang tadi menarik
tangan Ai dan berusaha menahan pintu otomatis
dengan badannya. Ai tersenyum kepada sesosok pria
yang menolongnya tadi.
"Sama?sama, Mbak," jawab pria tersebut sambil
tersenyum.
Hening. Tidak ada percakapan lanjutan. Ai
masih mengatur napasnya yang tak beraturan. Baru
saja ia menerobos pintu kereta yang sedikit lagi
menutup dan bersiap menjepitnya jika pria tadi tidak
menahannya. Begitulah perjuangan seorang ROKER.
63
Istilah yang digunakan bagi para penumpang kereta,
alias "Rombongan Kereta". Setiap hari, pagi dan sore,
mereka harus berjuang mengejar kereta. Mengantre
di tempat tapping, berdesak?desakan, terkadang
menahan panas karena AC kereta tidak menyala atau
tidak berfungsi dengan baik, dan juga sering kali
harus bersabar apabila jadwal kereta terlambat karena
mengalami gangguan. Tidak sedikit penumpang yang
mengeluh dengan semua permasalahan tersebut,
termasuk Ai. Meskipun begitu, ia tetap saja setia
menjadi seorang roker. Ia berpikir bila menggunakan
kereta sebagai alat transportasi, akan jauh lebih efektif
dan efisien jika dibandingkan dengan menggunakan
alat transportasi lainnya.
Setelah berhasil menstabilkan napas dan detak
jantungnya, Ai pun beranjak dari gerbong tempat ia
masuk tadi dan pindah ke gerbong khusus wanita. Ai
memang merasa lebih aman berada di gerbong khusus
wanita yang terletak paling ujung, yaitu gerbong
pertama atau terakhir. Semenjak perbuatan?perbuatan
asusila yang kerap kali menimpanya setiap berada di
gerbong campur, Ai merasa kesal dan memutuskan
untuk selalu berada di gerbong wanita apa pun
kondisinya. Tak apa berdesak?desakan sampai susah
napas, daripada harus mendapatkan perlakuan tidak
senonoh dari para lelaki hidung belang yang sengaja
memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Benar?benar dalam kesempitan. Mengingat kondisi di dalam
kereta yang begitu padat, bahkan sangat padat sehingga
membuat antara badan yang satu dan yang lainnya
menempel dan saling bergesekan. Pemadangan yang
ironis, memang! Tetapi itulah kenyataannya. Tidak
tahu kepada siapa harus mengadu, karena percuma
saja tidak ada tindakan solutif atas permasalahan
klasik tersebut.
Semburat senja mulai terlihat. Sinar matahari
yang berwarna oranye tampak sempurna di ufuk barat.
Beberapa serat awan menutupi matahari yang hampir
hilang pertanda segera datangnya malam. Di balik
jendela kereta, di tengah keramaian dan kepadatan
penumpang, Ai menikmati sore itu. Pemadangan yang
selalu membuatnya terenyuh. Setiap kali menatap
langit sore beranjak malam. Ai merenungkan dirinya.
Mengingat kembali apa saja yang sudah dilakukannya
sepanjang hari. Apakah ia sudah melakukan banyak
hal yang bermanfaat? Apakah hari ini lebih baik dari
kemarin? Atau justru lebih buruk? Ai membatin.
Pikirannya menerawang jauh dan cepat bersamaan
dengan laju kereta.
Sebenarnya belakangan ini ada hal yang menjadi
beban pikiran Ai. Permasalahan yang sebenarnya
sudah bertahun?tahun ia hadapi, tetapi tidak pernah
GB
kunjung selesai. Jatuh bangun ia berusaha menye?lesaikannya. Masalah yang selalu menyedot seluruh
energinya. Ingin rasanya Ai berhenti sebentar saja dan
melupakan segala permasalahan itu. Ingin rasanya Ai
diberikan kesempatan oleh Allah untuk menikmati
masa mudanya dengan keceriaan. Tidak melulu
dihantui oleh kekhawatiran atas suatu hal yang
seharusnya tidak perlu ia khawatirkan. Sudah cukup
belasan tahun silam, jauh sejak ia masih duduk di
bangku sekolah dasar, Ai menutup diri dari keceriaan
masa?masa muda di usianya saat itu.
"Ya Allah... kuatkan aku atas segauz ujian yang Kau
berikan, dan kzpangkan jakznku mebzlui kemudahan
yang Kau janjikan, " lirih Ai dalam hatinya. Malam
tiba. Tidak ada lagi semburat senja di langit sana.
Yang ada hanya gemerlap warna?warni lampu
kota. Memendarkan kilatan cahaya yang cantik.
Membalut gelapnya malam tanpa bintang dan bulan.
Ai tersenyum dalam diamnya, sekali lagi berusaha
menikmati keindahan malam itu. "Semoga besok akan
jauh lebih baik dari hari ini. Besok juga seterusnya.
Aaminn."
"Bukankah Kami teLah meLapangkan untukmu dadamu?
Dan Kami teLah menghiLangkan daripadamu bebanmu, yang
memberatkan punggungmu? Dan kami tinggikan bagimu sebutan
(nama)mu, karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
NLaka apabila kamu teLah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanLah dengan sungguh?sungguh (urusan) yang lain, dan
hanya kepada TuhanmuLah hendaknya kamu berharap."
(QS. Al?lnsyirah: 1?8)
Semilir angin malam berhembus dari celah?celah
ventilasi jendela, menerobos masuk ke dalam kamar
Ai. Menyentuh lembut kulitnya. Hening. Tidak ada
suara binatang ataupun suara lainnya. Hawa sejuk
mendadak menyergap. Begitu teduh. Di waktu?
63
waktu seperti itulah Allah Swt., turun ke bumi
untuk melihat hamba?hamba?Nya. Memperhatikan
makhluk?makhluk ciptaan?Nya satu per satu. Jibril
pun ikut turun lalu membentangkan sayapnya yang
seluas langit. Terbang atas izin Tuhannya. Tertunduk
malu melihat tingkah laku anak cucu Adam as.,
yang kebanyakan dari mereka masih terlelap dalam
tidurnya.
Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari.
Tak lama terdengar alarm ponsel Ai berdering. Ia
menggeliat. Mengerjap?kerjapkan matanya. Dengan
mata setengah terbuka, ia berusaha meraih ponsel yang
terletak di meja, persis di sebelah tempat tidurnya.
Sejenak ia mengumpulkan seluruh kesadarannya
kemudian bangun dan beranjak berwudu. Ai
selalu memanfaatkan waktu mustajab itu dengan
bersimpuh di hadapan Tuhannya, Allah Swt. Dengan
segala kerendahan hati, Ai membenamkan dirinya
dalam salat. Menangis. Bersimpuh peluh bersujud
di hadapan Allah Swt., meluapkan segala emosinya.
Meleburkan tangisannya dalam doa. Bergetarlah bibir
Ai tatkala melantunkan zikir dan doanya.
"Ya Allah, di waktu malam?Mu yang mustajab ini,
aku bersimpuh di hadapan?Mu, memohon belas kasih?Mu atas segabz ujian dan cobaan yang [Qiu berikan.
Demi nama?Mu yang Agung dan Suci, aku tidak
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bermaksud untuk menobzknya, tetapi semoga Engkau
berkenan menguatkan jiwa dan ragaku, kzhir dan
batinku....
Ya Albzh yang Maha Rahim, aku percaya pada
semua janji?janji?Mu bahwa sebzlu ada kemudahan
setekzh kesulitan. Engkau juga berjanji, siapa yang
meminta kepada?Mu, niscaya akan Engkau kabulkan.
Engkau tahu perasaanku ya Alkzh... sungguh
Engkau tahu isi hatiku. . ., "suara Ai mulai serak parau.
Tenggorokannya tercekat. Sakit rasanya. Air mata pun
membuncah dari kedua mata indahnya. Mengalir
deras membasahi pipinya yang lembut. Menetes
hingga jatuh ke atas sajadah.
"Ya Allah... jujur sampai saat ini aku tidak tahu
untuk apa aku hidup. Yang aku tahu dan pahami
hanyabzh aku hidup untuk membalas jasa kedua
orangtuaku. Aku rekz bekerja mati?matian untuk
mereka. Aku juga rekz menahan semua keinginanku
demi mereka. Keceriaan yang sebzlu kuimpikan di masa
mudaku dulu, rela pubz aku tinggalkan semata?mata
demi menjaga perasaannya, tetapi jauh di dalam lubuk
hatiku, aku ingin diberikan kebebasan untuk bermimpi
dan mewujudkan mimpiku itu ya Alkzh... meskipun
hanya sekali saja.
Kadang aku iri melihat teman?temanku yang
dengan sangat mudahnya mewujudkan impian me?
reka, mekzkukan semua hal yang ingin mereka kzkukan.
Maafkan aku atas rasa iri ini ya Alkzh. .. Aku hanyalah
manusia biasa, yang juga memiliki perasaan. Rasa iri,
cemburu, dan yang bzinnya. Tetapi aku sadar, aku tidak
bisa seperti mereka. Aku masih punya orangtua yang
harus aku jaga perasaannya. Siang malam aku bekerja,
membanting tulang hanya untuk mereka. Hanya untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dan aku
ikhlas...
Sekali lagi ya Allah, aku percaya atas kebesaran?Mu. Engkau yang Maha Menjadikan atas segabz
sesuatunya dan aku berlindung pada?Mu untuk itu.
Aku berlindung kepada?Mu dari segabz perkara hidup
yang aku hadapi. Aku juga berlindung kepada?M u dari
ketentuan dan ketetapan yang Kau berikan untukku.
Sesungguhnya Engkau telah memberikan yang terbaik
untukku sekzma ini. Maafkan aku jika aku mengufuri
nikmat?Mu. Duhai yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat, dan yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Semoga Engkau berkenan mendengar dan
mengabulkan permohonanku ya Rabb... Insya Albzh,
aamiin ya Rabbalalamin. "
Ai menelungkupkan kedua tangannya. Mem?basuhnya ke wajah. Menghapus air matanya yang
sedari tadi mengalir deras, lalu bersujud. Dapat ia
rasakan ketenangan dalam jiwanya. Kehangatan yang
sekejap menyelimuti dadanya yang sesak. Seakan?akan
nur Tuhannya memeluk hangat dan lembut hatinya
lalu berbisik, "Percaya pada?Ku, sungguh Aku sesuai
prasangka hamba?hambaKu".
"Kak Ai!" terdengar suara seorang wanita berteriak
memanggil namanya dari kejauhan. Ai mencari
sumber suara itu dan ia mendapati seorang wanita
berparas cantik, berbalut jilbab berwarna toska dan
gamis yang menjuntai panjang hingga menutupi
mata kakinya. Wanita itu melambaikan tangannya.
Tersenyum lebar dan berlari menghampirinya. Betapa
terkejutnya Ai, ia bertemu adik kelasnya sewaktu
kuliah dulu yang sudah lama tidak ia jumpai.
"Assalamualaikum, Kak Ai!" gadis itu langsung
meraih tangan Ai lalu memeluknya kegirangan. "Ya
Allah, kita udah lama banget nggak ketemu. . ."
"Wa"alaikumsalam, Resa... Kamu makin cantik
sekarang, sudah berhijab," jawab Ai dengan senyum
manis mengembang di wajahnya. Resa adalah adik
kelasnya yang cukup dekat dengan Ai sewaktu kuliah
dulu. Mereka memang tidak sefakultas, tetapi mereka
satu kostan. Kurang lebih tiga tahun mereka tinggal
bersama dalam satu atap. Maka sangat tidak aneh kalau
Resa begitu dekat dan merindukan Ai sampai?sampai
GD
kegirangan seperti yang baru saja dilakukannya.
"Gimana kabar kamu, Sa? Udah lulus, kan?"
"Alhamdulillah sudah, Kak. Malahan udah kerja
sekarang. Hehee..."
"Wah, syukur kalau begitu. Kerja di mana kamu?"
"Kerja sama suamiku, Kak...," Resa menjawab
pertanyaan Ai malu?malu. Pipinya yang putih seketika
merona semu?semu merah.
"Kamu udah nikah?!!" sontak Ai terkejut
mendengar ucapan Resa. "Sejak kapan? Kok aku
nggak diundang?"
"Baru kok, Kak. Dua bulan yang lalu lebih
tepatnya," Resa menunjukkan jari manis kanannya
kepada Ai. Terlihat sebuah cincin berwarna perak
melingkar di sana. "Iya maaf aku nggak undang
Kakak. Acaranya juga sederhana kok, hanya terbatas
untuk keluarga saja. Sekarang aku lagi mau jenguk
mertuaku, Kak. Karena rumahnya di Tangerang,
makanya aku naik kereta dari Tanah Abang. Tadi aku
diantar sama suamiku sampai sini, kalau dia lanjut ke
kantor."
"Oh begitu.. Selamat ya sayang udah jadi istri!
Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah,
warrahmah."
"Aamiin... Makasih ya, Kak. Eh iya, kalau Kak
Ai sudah nikah juga belum?"
GD
"Hahahaa... belum neng. Punya calon aja belum,"
Ai tertawa mendengar pertanyaan Resa.
"Sstt... bukan belum punya Kak, tapi belum
datang aja jodohnya. Kalau punya mah sudah pasti
punya. Setiap manusia sudah punya jodohnya masing?masing. Itu tinggal masalah waktu bertemunya aja,
Kak. Atau jangan?jangan Kak Ai nya nih yang nggak
ngasih jawaban ke laki?lakinya?!" ledek Resa.
"Resa... Resa... mana mungkin aku begitu? Ya
pokoknya doakan aja yang terbaik buat aku, semoga
dapat yang terbaik dari Allah. Aamiin. . ."
Perbincangan seru itupun terputus karena
kereta tujuan Depok sudah datang. Untung saja
mereka masih sempat bertukar nomor telepon. Di
perjalanan, Ai jadi terenyuh sendiri. "Iya yah, aku
belum punya jodoh. Hhh, jangankan memikirkan
jodoh, waktuku sudah habis untuk memikirkan
kehidupan keluargaku. Yang selalu ada dalam pikiran
ini adalah bagaimana aku bisa menghidupi mereka
dengan layak, memenuhi segala kebutuhan mereka,
melunasi utang?utang yang dulu mereka pinjam
untuk membiayai kuliah anak?anaknya, dan terutama
ingin sekali aku memberangkatkan mereka ke tanah
suci. Ya Allah, semoga Engkau meridai niatku ini dan
Engkau berikan kelapangan juga kemudahan bagiku
untuk mewujudkannya. Aamiin," Ai membatin.
63
Sempat terbersit dalam hati Ai, mungkinkah ia
mendapatkan pasangan sementara ia tidak pernah
mencarinya. Jangankan untuk mencari, sekadar untuk
memikirkannya saja hampir tidak pernah. Meskipun
banyak teman sejawatnya yang telah menikah, bahkan
memiliki anak, tapi Ai tetap saja bertahan dengan
kesendiriannya. Meskipun terlihat tidak peduli,
namun jauh dalam lubuk hatinya kekhawatiran itu
pasti ada. Khawatir kapan ia bertemujodohnya? Seperti
apa jodohnya kelak? Mampukah ia membimbing Ai?
Mampukah ia menerima segala kekurangan Ai? Dan
masih banyak lagi hal lainnya yang selalu membuat Ai
takut. Seumur hidupnya Ai belum pernah memiliki
hubungan spesial dengan laki?laki, meskipun teman
laki?lakinya terbilang cukup banyak. Tetapi sejauh
ini belum ada yang mampu menggetarkan hatinya.
Semuanya hanya sebatas teman.
Sering kali beberapa sahabatnya berencana
mengenalkan Ai dengan pria?pria yang menurut
mereka cocok dengan Ai, tetapi semua ditolak. Dengan
enteng Ai menolak perkenalan itu dan berkata, "jodoh
itu nggak perlu dipaksakan. Biarkan ia datang dengan
caranya sendiri". Mendengar hal itu sahabatnya Ai
menjadi geram dan gemas. Berulang kali mereka
menegaskan pada Ai bahwa jodoh itu seperti rezeki,
harus dicari. Bahkan pernah salah seorang sahabatnya
berkata, "buat dapat durian runtuh aja, kamu harus
berjalan di daerah yang emang ada pohon duriannya.
Nggak mungkin kamu jalan di tanah lapang terus
berharap mendapatkan durian runtuh! Kalau dapat
belalang sih mungkin aja".
Begitulah kerasnya Ai. Bahkan ia terlalu keras
pada dirinya sendiri. Sebenarnya orangtua Ai tidak
pernah menuntutnya untuk bekerja keras mem?banting tulang demi keluarga. Namun, Ai tidak tega
melihat dan menyadari banyaknya permasalahan yang
dihadapi kedua orangtuanya, sehingga ia merasa harus
bekerja lebih dan lebih keras lagi. Hal itu pula yang
membuat Ai terlihat tertutup dan muram. Namun
ada yang berbeda di diri Ai belakangan ini. Ada hal
yang secara tidak sadar membuatnya selalu tersenyum
dan terlihat ceria apa pun kondisinya saat itu. Perasaan
yang berbeda dari biasanya dan Ai menikmatinya.
"Mas Atta, kok nggak ada cemilan lagi sih?!" big boss
Danar bertanya enteng kepada Atta yang tengah serius
mengolah data, seperti biasanya.
"Ah? Ada apa, Mas?" sahut Atta bingung. Ia tidak
begitu memperhatikan pertanyaan Danar barusan.
"Widiiih, serius amat kerjanya sampai nggak
dengar omongan aku? Atau jangan?jangan pura?pura
nggak denger nih?" celetuk Danar sambil menyeringai.
69
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Waduh," spontan Atta berekspresi. "Aku
beneran nggak dengar, Mas."
Mendengar keributan antara Danar dan Atta,
Hasbi pun langsung berdiri dan menjorokkan
badannya hingga melewati kubikel mejanya.
Menerobos ke meja Atta dan berkata, "Kok?nggak?ada?cemilan?lagi?sih?Mas?Atta??"
"Hahahahaaaaa," spontan meledak tawa di antara
Danar, Hasbi, dan Atta sendiri. Mereka terpingkal?pingkal melihat tingkah Hasbi yang begitu expressiue
dan unpredictable.
"Haduuh, iya nih maaf ya, aku belum sempat
beli cemilan," jawab Atta polos.
"Ya ampun, santai aje kali Mas, aku juga bercanda
kok," sahut Danar. "Tapi kalau mau diseriusin juga
boleh. Hehehee."
"Waduuh."
Ai yang saat itu baru kembali ke ruangan heran
melihat ketiga temannya itu sedang asyik bercanda.
"Ada apa sih? Kok seru banget? Ikutan dong!" seru Ai
sambil menaruh beberapa dokumen ke atas dropbox
inbox milik Pak Win.
"Aaah telat kamu, nggak lucu lagi sekarang,"
sahut Hasbi cepat. "Eh, Pak Win ke kantor nggak, Ai?
Kok sudah pukul sepuluh masih belum datang?"
"Sampai lunch ada meeting di luar, Kang.
Sepertinya baru datang sekitar pukul dua. Memang
kenapa, Kang? Ada yang mau dibahas dengan Bapak?"
"Nggak juga sih, cuma tanya aja," Hasbi memang
terkenal paling kepo. Meskipun begitu, Hasbi pula
yang paling mudah dimintai tolong oleh Ai.
"Eh, kok hari ini seret yah? Biasanya ada cemilan
nih," ujar Ai berusaha memberi kode kepada Danar
dan Hasbi.
"BASIIIIII!!!! Sudah dibahas tadi...," spontan
Danar dan Hasbi menjawab pertanyaan Ai yang
tadinya ingin meledek Atta, justru Ai yang dibuat
terkejut oleh teriakan kedua temannya.
Melihat kejadian itu Atta tertawa puas sekali.
Ia tertawa sampai?sampai menggaruk kepalanya
yang tidak gatal. Kemudian sesaat mata Atta dan Ai
bertabrakan. Mereka saling menatap satu sama lain.
Kedua lesung pipi Atta kembali tampak. Tiba?tiba
jantung Ai berdegup kencang dan ia merasa malu.
Pipinya memerah. Ai tertunduk. Ia sungguh malu.
Ya Allah, kenapa aku semalu ini? Ya Allah... sorot
matanya....
Sementara Danar dan Hasbi masih meledek Ai,
Atta hanya tersenyum simpul.
Suasana di antara empat kubikel itu kini hidup
kembali setelah hampir enam bulan lamanya mati.
GD
Penghuni meja Atta dulu adalah orang yang cukup
dekat dengan Ai. Ia sering membantu Ai dalam banyak
hal, terutama dalam hal pekerjaan. Kebetulan usia
di antara mereka berdua tidak berbeda jauh, hanya
terpaut dua tahun. Namun semenjak enam bulan lalu,
ia dimutasikan ke divisi lain. Hingga akhirnya, tepat
satu bulan lalu, meja itu kini berpenghuni kembali.
Beruntungnya, penghuni meja itu juga merupakan
orang yang baik seperti penghuni sebelumnya. Selera
humornya juga tinggi dan ia selalu mampu membuat
Ai tersenyum bahkan tertawa lepas.
Hal yang sangat jarang sekali dilakukan Ai di
kantor adalah mengobrol dan tertawa. Ia lebih sering
tertunduk diam di depan komputernya. Mengerjakan
pekerjaannya dengan sangat serius. Kalaupun ter?tawa, pastilah saat itu suasananya benar?benar sangat
lucu. Namun beda sekali setelah kedatangan Atta. Ai
menjadi lebih sering bercerita, tersenyum, dan ter?tawa. Ada saja obrolan yang membuat mereka dekat.
Selain memang mereka adalah partner kerja dan
bertanggung jawab langsung kepada Pak Win ber?kaitan dengan laporan, mereka juga memiliki hobi
yang sama, yaitu menulis.
"Hmmm, kayaknya lapar juga yah," ujar Atta
lirih. Ia beranjak dari kursinya, merapikan mejanya
yang sebenarnya tidak berantakan, menggaruk
kepalanya sekali, menoleh ke arah Danar, Hasbi, dan
Ai. Kemudian ia pergi sambil tersenyum. Hanya Ai
yang melihat semua tingkah Atta yang terkadang aneh
itu. Sekali lagi, ujung?ujung bibir Ai bergerak ke atas.
Sebuah senyum simpul menghiasi wajahnya. Tanpa ia
sadari, matanya berbinar. Hatinya mendadak terasa
hangat, dan dadanya berdebar. Irama detak jantung
Ai seakan berlagu dengan indah.
Tak lama setelah itu, kali ini Atta kembali dari
minimarket dengan membawa sebuah bungkusan
berwarna putih yang terlihat cukup besar.
"Oi...oi... Kerupuk kulit!" dengan bangganya
Atta mengeluarkan isi bungkusan yang dibawanya tadi
yang ternyata berisi kerupuk kulit. Matanya berbinar
ketika menunjukkan cemilan yang dibelinya itu. Ia
tahu betul bahwa kerupuk kulit, cookies sponge rasa
cokelat, dan good times, merupakan cemilan favorit
ketiga temannya tersebut.
"Wooowww... kerupyuk kyulith?!" sahut Danar
dengan logat sok berbahasa Inggris itu. Matanya
seolah penuh bintang yang memancarkan sinarnya.
"Mau zong syaya...." Spontan tingkah Danar tersebut
mengundang tawa Atta dan Ai, kecuali Hasbi
yang sedang sibuk dengan teleponnya. Kebetulan
nasabahnya menelepon menanyakan progres rencana
pembiayaan yang sedang diajukannya.
"Temanya seperti berbagi pada kaum duafa
yah," lirih Ai saat menyadari bagaimana Atta selalu
membelikan cemilan untuk mereka yang kerap
kelaparan. Entah benar?benar kelaparan, atau meledek
Atta secara halus, yang pasti Atta tetap saja bersedia
dengan senang hati memberi makan teman?temannya
itu.
"Bodo ah, yang penting makaaannn... Yuk
mariii!" Danar menggerak?gerakkan jarinya seperti
penari dan langsungsajamengambil guntingmembuka
plastik kerupuk kulit kemudian memakannya dengan
sangat lahap.
"Kang, ada kerupuk kulit tuh, mau nggak?"
Ai menawarkannya kepada Hasbi yang baru selesai
menutup teleponnya. Serius menatap komputernya
sambil memijit?mijit kepalanya. Itu adalah kebiasaan
Hasbi tiap kali ia sedang serius, pastilah ia memijit?mijit kepalanya yang pelontos.
"Iya nanti aja. Sok aja duluan,"
"Nanti ane habiskan loh, Kang!" ledek Danar.
"Sok aja habiskan," jawab Hasbi singkat dan
datar. Tanpa ekspresi sedikit pun.
"Ssstt... Dia lagi serius, Mas Danar. Jangan
diganggu dulu," celetuk Ai.
"Hehehee. . .." Saat suasana hening dan tidak ada
percakapan sama sekali, tiba?tiba saja Atta memanggil
Ai.
"Mbak Ai, mau kopi?"
Ai mendongak, memalingkan matanya dari layar
komputer ke arah Atta. Terlihat Atta menyodorkan
sebungkus kopi favoritnya. "Makasih, tapi aku nggak
minum kopi."
"Ya sudah kalau begitu," baru saja Atta berdiri
dan hendak ke pantry untuk membuat kopi tiba?tiba
saja ada yang menyeletuk.
"Kalau itu aku mau, Mas," ujar Hasbi sambil
terkekeh?kekeh.
"Hahaha. Silakan, Kang. Ini."
"Makasih yah,"
Tak terasa waktu sudah menunjukkan tepat pukul
dua belas siang, azan pun berkumandang. Selesai
membuat kopi, Atta langsung membuka sepatunya,
menggantinya dengan sandal, lalu pergi. Ai pun tahu
ke mana Atta pergi, sudah pasti ia pergi ke masjid.
"Subhanallah" Ai membatin.
Sebenarnya cukup banyak laki?laki yang salat
di masjid, tetapi hanya Atta yang menarik perhatian
Ai. Entah karena Atta duduk di depan meja Ai atau
memang ada alasan yang lain. Ai sendiri tidak tahu
apa alasan pastinya. Yang ia sadari hanyalah kenyataan
bahwa ia memperhatikan Atta diam?diam. Pura?pura
tidak peduli, tetapi mengamati.
Ya Allah. .. ada apa denganku.? Kenapa aku
memperhatikannya? Dan kenapa hati ini berdesir tiap
kali mata kami saling menatap? Kenapa ya Allah.?
Ketika cinta bertasbih nadiku berdenyut merdu
Kembang kempis dadaku merangkai butir cinta
Garis tangan tergambar tak bisa aku menentang
sujud syukur pada?Mu atas segaLa cinta....
Melantun merdu lagu soundstrack film KETIKA
CINTA BERTASBIH yang dinyanyikan Melly
Goeslaw featuring Amee, dari mp3 pbzyer ponsel
Ai. Di tengah derasnya hujan yang mengguyur kota
Jakarta sepanjang hari, Ai duduk sendiri menepi di
bangku yang tersedia di stasiun Sudirman. Menunggu
kereta yang tak kunjung datang. Dinginnya angin
malam menyergap tubuh Ai yang basah akibat terkena
semburan hujan di perjalanan pulang membuatnya
gemetar. Kalau saja tadi pagi ia tidak lupa membawa
jaket, mungkin tidak akan menggigil.
Malam itu stasiun Sudirman tidak terlalu ramai.
Mungkin karena hujan deras yang tak kunjung
berhenti membuat penumpang lainnya malas
berhujan?hujanan. Lebih baik menunggu reda. Beda
halnya dengan Ai, tak apa bila harus kehujanan yang
penting bisa cepat sampai di rumah. Bulan November
memang sudah memasuki bulan penghujan hingga
puncaknya nanti di bulan Januari sampai Februari.
Lagu itu masih melantun. Lirik lagu itu membuat
Ai menerawang jauh ke dalam memori dan hatinya.
Ia sadar betul bahwa ada yang berbeda pada dirinya
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akhir?akhir ini. Perasaan bahagia selalu menyelimuti
hati Ai. Tidak ada lagi raut wajah muram. Tidak ada
lagi bayang?bayang kesedihan. Semua terasa indah.
Keindahan yang tak tampak tapi terasa begitu
nyata dan dekat. Sesekali dadanya sesak. Jantungnya
berdegup kencang. Aliran darahnya seolah mengalir
lebih deras dari biasanya. Perasaan apa itu?
Mungkinkah itu cinta? Sama persis seperti lirik lagu
yang baru saja didengarnya? Benarkah itu cinta?
Perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Ai berusaha mengingat bagaimana awal mula
perasaan itu muncul. Dari mana datangnya? Sejak
kapan? Dan bagaimana bisa? Ia mencoba menyeruak
kembali ingatannya. Mengobrak?abrik setiap sel?sel memorinya. Bertanya kepada mereka satu per
satu. Ai menghela napas panjang. Entah apa yang
didapatkannya.
Mungkinkah itu karenamu? Bagaimana bisa?
YaAllah, dada ini sakit rasanya... tapi kenapa
aku justru menikmatinya? Apakah ini yang
namanya jatuh cinta? Bagaimana ini, ya
Allah? Aku tidak kuat menahan gejolaknya.
Dirasakan oleh Ai jemari?jemarinya bergetar,
telapak tangannya menjadi dingin. Jelas bukan karena
badannya yang kedinginan, tetapi terjadi sesaat setelah
ia mendapati perasaannya terbang jauh mengarah ke
lamunan wajah pria itu.
ATTA.
Pria yang baru saja dikenalnya tidak lebih dari tiga
bulan lalu. Entah bagaimana caranya ia bisa merasuk
ke dalam hati Ai. Seorang wanita yang tidak pernah
memberi ruang kepada pria mana pun untuk masuk
ke dalamnya. Berbeda dengan Atta. Diam?diam dan
perlahan. Semua hal tentangnya berhasil mencuri
perhatian Ai. Bisa jadi kedekatan mereka belakangan
ini yang membuat perasaan itu muncul. Perasaan
nyaman yang dirasakan Ai tiap kali ia bersama dengan
Atta.
Kini cinta itu telah datang dan cinta itu bernama
Atta. Ai jadi teringat percakapannya dengan Atta
beberapa waktu lalu. Bermula dari cerita Ai tentang
keinginannya berkeliling dunia, Atta pun memulai
berbagi cerita.
"Oh jadi Mas Atta suka traveling yah? Sudah
ke mana aja, Mas?" tanya Ai dengan wajah penuh
semangat. Ingin sekali ia mendengar cerita Atta tentang
perjalanannya. Siang itu, kali pertama Atta membuka
cerita kepada orang lain tentang hobi traveling?nya.
Biasanya Atta tidak suka bercerita tentang semua
perjalanannya. Namun entah kenapa kali ini ia rela
berbagi cerita dengan Ai, yang notabenenya baru
dikenalnya beberapa bulan lalu.
"Hmmm, ke mana aja yah? Aku belum pergi ke
banyak tempat kok. Hehehe...," jawab Atta malu?malu.
"Ah Mas Atta mah begitu. Ayo dong cerita!
Aku juga mau tahu bagaimana indahnya dunia di
luar sana...," Ai memelas. Dengan wajah polosnya
dan kata?kata Ai yang begitu sederhana justru
menggetarkan hati Atta. Ia tidak menyangka jawaban
seperti itu yang akan didapatinya. Sebenarnya Atta
juga suka memperhatikan Ai. Ia menilai bahwa Ai
adalah seorang wanita yang berbeda dari wanita pada
umumnya. Ia begitu sederhana, polos, dan rendah
hati. Bahkan beberapa kali ia merasakan hatinya
terenyuh tiap kali melihat senyum Ai yang selalu
terlukis indah jika ia sedang membuat lelucon atau
sekadar menggoda Ai. Ai memang berbeda. Dia spesial.
" Kita mau mulai dari mana nih? Atau mulai dari
tempat yang paling berkesan buat aku aja yah...," ujar
Atta lembut.
"Boleh, apa pun!" sahut Ai cepat.
"Ah kamu kepo banget sih!" ledek Atta kepada
Ai yang saat itu sudah pasang wajah serius. Menanti
cerita Atta.
"Aaah Mas Atta!"
"Hahahaa...," Atta tertawa lepas. Jantungnya
berdegup kencang tak beraturan. Sorot lembut mata
itu muncul kembali. Menatap Ai begitu dalam.
Hatinya berdesir. "Ya Allah, gadis ini...," Atta
membatin.
"Jadi bagaimana ini? Mau cerita nggak?"
"Iya, iyaaa. Judes banget sih, Bu," Celetuk Atta.
Meledek. Cerita pun dimulai. Atta mendekatkan
wajahnya pada kubikel yang memisahkan mereka
berdua. Mata mereka saling bertemu pandang.
Tatapan di antara keduanya begitu teduh. Yang bisa
jadi membuat orang?orang di sekelilingnya merasakan
gelombang yang berbeda di antara mereka berdua.
"Kamu udah pernah ke Bromo?"
Ai menggeleng. "Aku belum pernah ke mana
pun," jawab Ai lirih.
"Ya nggak perlu sampai meratap begitu juga kali!"
"Aaahh, dari tadi ngeledekin aku terus nih, jadi
bete...."
"Habisnya ekspresimu itu berlebihan banget.
Yowis, aku lanjutkan," sejenak Atta mengambil
napas panjang dan kembali melanjutkan ceritanya.
"Bromo itu adalah tempat di bumi Indonesia yang
paling bagus menurutku. Pahatan tangan Allah yang
paling sempurna. Di tengah?tengah kaldera, ada dua
gunung berapi aktif. Dan di tengahnya ada sebuah
kawah yang membentuk lubang besar. Entah apa isi
di dalamnya. Pastinya sih sangat dalam. Kalau saja ada
yang terpeleset ke dalam kawah itu, nggak tahu akan
bagaimana nasibnya." Atta menerawang, berusaha
mengingat kembali keindahan Bromo. "Waktu itu
aku berangkat siang menjelang sore dari kaki gunung.
Jadi sewaktu di puncak, aku berencana melihat sunset,
bukan sunrise."
"Loh, bukannya kalau ke Bromo itu bagusnya
pas sunrise?" Ai tiba?tiba memotong cerita Atta.
"Suka?suka aku dong, mau lihat sunset atau
sunrise."
" Galak amat jawabnya. . .," Ai mencibir.
" Pokoknya, baik sunset maupun sunrise, semuanya
terlihat sangat indah di Bromo. Ada juga ilalang?ilalang yang terhampar luas di lautan pasir. Aku jamin
kamu nggak akan pernah berhenti memuji Allah
selama kamu di sana," Atta menghentikan ceritanya.
Kemudian ia mengambil ponsel dan mengotak?atiknya, seakan ada yang ingin ia perlihatkan pada Ai.
"Nah, ini! Coba lihat fotonya. Bagus kan?"
ternyata Atta menunjukkan beberapa foto perjalanan?nya di Bromo yang masih ia simpan di ponselnya.
"Tapi jangan digeser, yah! Lihat yang itu dulu aja."
"Mana coba aku lihat!" Ai meraih ponsel Atta
dan "Subhanallah. . .. Bagus banget Mas Atta," terlihat
kedua bola mata Ai berbinar ketika melihat keindahan
foto yang berhasil diabadikan oleh Atta. Tergambar
sembirat senja yang indah di balik awan. Dari atas
ketinggian Gunung Bromo. Di balik gumpalan?gumpalan awan dan kabut. Tercipta suasana senja yang
begitu menawan. Warna biru dan jingga sempurna
menyelimuti langit Bromo.
Kemudian Atta juga menunjukkan foto?foto
yang lainnya. Tempat?tempat indah lainnya di
kawasan Gunung Bromo. Maha Besar Allah dengan
segala ciptaan?Nya. Ai hanya mampu berdecak kagum
dan tak henti?hentinya memuji kebesaran Allah Swt.
Meskipun ia belum melihatnya secara langsung, tetapi
Ai sudah mampu merasakan keindahan Bromo.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Atta.
"Bagus sih, tapi kenapa fotonya kebanyakan
foto kamu lagi narsis yah?" jawab Ai dengan wajah
innocent.
"Haduuh, bukannya berterima kasih," Atta
mendengus. "Bukan foto sembarangan loh ini! Susah
payah aku mengambil gambarnya."
"Iyaaa?iyaaaa. . .. Hmmm, aku jadi mau ke sana,"
ujar Ai dengan suara yang hampir tidak terdengar.
" Kenapa?" tanya Atta.
Ai menggeleng.
" Kenapa??" tanya Atta lagi.
"Aku jadi mau ke sana. .. ke Bromo."
"Ya pergilah! Rasakan sendiri dinginnya berada
di atas puncak tertinggi kedua di tanah Jawa. Lihat
sendiri indahnya sunset atau sunrise dari atas ketinggian
Bromo. Dan abadikan sendiri di dalam ingatanmu
semua keindahan itu," Atta tersenyum manis sekali.
"Tapi aku nggak mungkin ke sana."
"Loh, kenapa?"
"Mahal. .. Sayang uangnya."
"Siapa bilang? Murah kok."
"Bagi kamu, nggak bagi aku," Ai menghela napas.
Sekali lagi, ketika ia ingin melakukan hal yang ingin
ia lakukan, tapi terhambat oleh keterbatasan uang
yang dimilikinya. Di mana gaji yang ia miliki harus
dibagi dua untuk biaya hidup keluarganya. Belum lagi
cicilan membayar utang. Bagaimana mungkin ia bisa
setega itu kepada orangtuanya? Bagaimana mungkin
ia bisa jalan?jalan tetapi harus mengorbankan uang
untuk biaya hidup keluarga?
"Ya sudah, kalau nggak bisa dalam waktu dekat,
kamu kan bisa pergi di lain waktu. Insya Allah kamu
bisa ke sana. Asalkan kamu percaya, kamu pasti bisa.
Mulai sekarang kamu menabung dulu aja sedikit?sedikit, pasti nanti terkumpul juga kok," seolah?olah
tahu dan mengerti alasan mengapa Ai berkata seperti
itu, Atta berusaha meyakinkan Ai. Ia tersenyum
lembut sekali kepada Ai. "Insya Allah."
Sekali lagi dengan sebuah senyuman, tatapan
mata yang teduh dan dalam, serta sebuah kalimat
"INSYA ALLAH" bak mantra yang dalam hitungan
seper sekian detik mampu menenangkan hati Ai.
Atta selalu punya cara untuk menenangkan hatinya.
Atta selalu punya cara untuk membuat Ai tersenyum
kembali meskipun sebenarnya saat itu ia sedang tidak
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin tersenyum, karena Atta selalu mampu untuk
mengerti Ai.
Akhirnya setelah menunggu kereta hingga satu
jam di stasiun Sudirman, kereta yang dinanti pun
datang. Semua orang, termasuk Ai yang sedari tadi
menunggu, berduyun?duyun masuk ke dalam kereta.
Hujan mulai reda, tetapi angin malam semakin
GD
berhembus kencang dan dingin. Dari balik jendela
kereta, Ai memperhatikan gedung?gedung tinggi
pencakar langit yang selalu kokoh berdiri. Dihiasi
lampu?lampu kota yang berpendar, melebur membias
bersamaan dengan tetesan air hujan dan sorot lampu?lampu mobil yang melintas. Begitu indah.
Ai melihat jam tangannya, menunjukkan pukul
setengah delapan malam. Kereta Tanah Abang?Serpong pasti sudah menunggu di Tanah Abang. Tepat
pukul sembilan belas lebih empat puluh lima menit
kereta akan berangkat. "Semoga masih terkejar," ujar
Ai lirih.
Perjalanan pulang ke rumah hari ini sangat
lama. Menghabiskan waktu sekitar dua jam dari
total perjalanan. Satu jam lebih lama dari biasanya.
Meskipun begitu, Ai sama sekali tidak merasa bosan.
Lamunannya akan sosok Atta, membuat waktu terasa
berlalu dengan cepat. Bahkan ingin sekali rasanya
waktu berjalan lebih cepat lagi. Agar besok ia bisa
kembali melihat senyum Atta yang menenangkan.
Bisa kembali mendengar cerita?cerita Atta tentang
keindahan alam.
Sudah hampir satu bulan ini Ai semakin dekat
dengan Atta, banyak hal yang sudah mereka ceritakan
satu sama lain. Bahkan semenjak cerita perjalanan
Atta ke Bromo dan ketidakmampuan Ai untuk pergi
&
ke sana dengan alasan biaya, Ai semakin terbuka
tentang kondisi perekonomian keluarganya kepada
Atta. Bahkan momen ketika Ai bercerita tentang
kondisi keluarganya, Atta menasihatinya hingga Ai
terkejut dan tidak akan pernah melupakan nasihat
sederhana itu.
"Aku pengin melakukan banyak hal yang ingin
aku lakukan, Mas, tapi aku nggak bisa," cerita Ai
suatu waktu pada Atta. Suaranya serak parau. Mata Ai
berkaca?kaca. Kepalanya tertunduk. Dalam.
"Memangnya apa yang ingin kamu lakukan tapi
nggak bisa?" wajah Atta begitu tenang. Menatap Ai
dengan simpati. Ai menahan napas sejenak. Kemudian
menghembuskannya dalam?dalam.
"Kadang aku iri dengan teman?temanku. Rasa?nya mereka mudah sekali mendapatkan yang mereka
mau. Sementara aku, dari kecil selalu menahan diri.
Menahan semua keinginanku. Ada masa di mana aku
mau pergi bersenang?bersenang dengan teman?teman,
makan?makan di mal, dan jalan?jalan. Yaa pokoknya
bersenang?senang. Tapi aku nggak bisa melakukannya.
Kondisi orangtuaku yang tidak memungkinkannya.
Semua bermula sejak krisis tahun sembilan puluh
delapan. Waktu itu papa mamaku di?PHK. Yang
lebih menyakitkan, uang pesangon papa mamaku
ludes diambil orang. Saat itu, papaku berencana
63
kerja sama dengan orang lain untuk mendirikan
perusahaan konsultan. Tapi kenyataannya ternyata
papaku ditipu. Sementara uangnya sudah diambil
oleh mereka. Sempat berurusan dengan polisi tapi
tidak ada hasil," Ai menyeringai. Tersenyum kecut
pada dirinya sendiri. Semua kenangan pahit di masa
remaja hingga kuliah dulu membuncah. Mengeruak
dan berhamburan tidak terarah.
".... aku menghabiskan masa remajaku hanya
di meja belajar. Kata Papa, cuma dengan menjadi
orang yang pintar dan cerdaslah kamu akan meraih
kesuksesan. Tapi apa. . ..?" suara Ai tertahan. Tercekat.
Denyut nadinya mulai tak beraturan. Tubuhnya
gemetar menahan gejolak emosi dalam dirinya yang
telah ia pendam dan kubur dalam?dalam selama ini.
"Kamu tahu, Mas? Aku ini cumbzude! Tiga tahun tujuh
bulan aku berhasil menyelesaikan kuliahku. Aku juga
menjadi lulusan terbaik di kampus. Tapi setelah lulus
apa? Setahun pertama dari kelulusanku, aku hanya
menjadi seorang pegawai outsourcing! Gajiku hanya
cukup untuk ongkos kerja aja," sesaat Ai menghela
napas lalu melanjutkan kembali.
"Memang salahku yang memaksakan keadaan.
Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah aku ingin
segera mendapatkan pekerjaan. Apa pun pekerjaannya.
Karena apa. . .? Hanya karena aku tidak mau menjadi
beban orangtuaku lagi. . .. Dan kebetulan saat itu ada
lowongan di perusahaan outsourcing, jadi aku apply
ke sana. Hanya outsourcing?lah satu?satunya tempat
yang proses penyeleksiannya cepat. Sebenarnya
waktu itu aku sudah mengirim surat lamaran ke
perusahaan?perusahaan bonafit dan juga ikut jobj?zir
di beberapa tempat. Cukup banyak panggilan, tetapi
proses seleksinya sangat lama. Sedangkan aku harus
sesegera mungkin mendapatkan pekerjaan. Dan saat
itu... orangtuaku baru saja mengeluarkan uang lima
juta lebih untuk biaya berobatku gara?gara aku positif
sakit DBD sehari setelah acara wisuda," sejauh ini Ai
masih mampu menahan dorongan air matanya yang
terus memaksa keluar. Tetapi ia tidak bisa menahan
raut wajahnya yang menampakkan kesedihan sangat
dalam. Atta menatap Ai saksama. Hampir?hampir tak
berkedip. Hatinya terenyuh. Ingin rasanya ia meme?gang tangan Ai dan menenangkannya. Namun hal
tesebut tidak akan pernah mungkin bisa dilakukan?nya.
" . . .. Hampir di akhir masa kontrakku dulu, kira?kira dua bulan lamanya, aku melihat ada lowongan
di sini. Meskipun hanya menjadi sekretaris, yang
aku pikir saat itu adalah lowongan tersebut diproses
langsung oleh perusahaan atau under company. Tidak
melalui perusahaan outsource lagi. Dan Alhamdulillah. ..
63
satu tahun empat bulan sudah aku berada di sini.
Meskipun aku merasa masih belum puas dengan
apa yang aku dapatkan sekarang, tapi aku tetap
berusaha menikmatinya." Ai berusaha tersenyum.
Memejamkan matanya yang hampir basah karena air
mata. Hening. Tidak ada cerita lanjutan dari Ai.
"Sudah ceritanya?" tanya Atta dingin. Betapa
terkejutnya Ai. Panjang lebar ia bercerita. Bersusah
payah menahan air matanya yang memaksa keluar.
Juga menahan gejolak emosinya sekuat tenaga. Tetapi
Atta justru tega bertanya dengan sikap dingin seperti
itu. Seolah?olah ia merasa tidak peduli atas apa
yang baru saja didengarnya. Sontak Ai mendongak
dan menatap tajam wajah pria yang duduk tepat di
depannya.
"Maksudnya??"
Atta menyeringai. Menggeleng?gelengkan kepala?nya. "Kamu masih sehat, bisa ketawa lebar, gendut
lagi. Syukuri dong!" Atta berkata dengan sangat
lantang. Matanya membelalak. Tatapannya tajam.
Bahkan ia berani menunjuk?nunjuk Ai dengan jari
telunjuknya. Persis seperti seorang atasan yang sedang
memarahi bawahannya.
Deg!
Jantung Ai rasanya mau copot saat itu. Tidak
tahu harus berkata apa. Ai hanya diam. Bergeming.
Terpaku. Tak percaya atas apa yang baru saja
didengarnya.
"Setiap manusia punya masalahnya masing?masing. Cuma kita nggak tahu aja. Kalau mereka
nggak cerita, mana mungkin kita tahu. Apa yang
kamu ceritakan barusan, mungkin memang itu jalan
hidupmu... dan itu yang terbaik untukmu menurut
Allah," Atta mulai berkata perlahan.
". .. jauh sebelum kamu lahir ke dunia ini, kamu
sudah buat perjanjian dengan Allah. Kamu tahu apa
saja yang akan terjadi di kehidupanmu. Dan kamu
menyetujuinya. Artinya apa? Itu berarti kamu merasa
diri kamu mampu untuk melaluinya. .. karena kamu
kuat! Jadi jangan pernah menyesali atas perjalanan
hidupmu.
Tugas kamu hanyalah berikhtiar dan berdoa.
Hanya dua itu yang harus dilakukan setiap manusia. ..
jika kamu merasa belum puas atas kehidupanmu
sekarang, teruslah berusaha dan berdoa. Jangan
berhenti! Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri. . .," Atta berhenti sejenak.
Merenungkan apa yang baru saja diucapkannya.
"Kamu paham maksud aku?"
Perasaan Ai seketika berubah. Kemarahan yang
baru saja dirasakannya, luruh seketika. Begitu damai.
63
Hangat. Tenteram. Ai tersenyum kepada pria yang
telah mencuri perhatiannya belakangan ini. Semakin
Atta menyirami hati Ai dengan semua kebaikan yang
ada pada dirinya, semakin merekah bunga?bunga
cinta itu.
"Insya Allah. Pasti akan ada hikmah di balik
semuanya," Atta menatap lekat wanita dengan hijab
berwarna merah jambu yang ada di depannya. Bisa ia
lihat senyum manis terukir kembali di wajah wanita
itu. Matanya berbinar penuh harapan baru dan Atta
membalas senyuman itu dengan lembut.
jangan pernah menangis di depanku... jangan
pernah bersedih kzgi di hadapanku. .. sungguh
aku tidak mau melihatmu bersedih karena
aku sadar bahwa aku tidak akan pernah bisa
menghapus air matamu....
"Dan (ingatLahjuga), tatkaLa Tuhanmu mewuaklumkan,
Sesungguhnya)" ika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, danj ika kamu mengingkari (nikrruat?Ku),
maka sesungguhnya azab?Ku sangat pedih.
(QS. lbrahim: 7)
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bismillahirrahmanirrahim...
Tulisan ini sengaja aku tulis sebagai bentuk curahan isi hatiku
yang tidak wuampu aku bendung Lagi
GejoLak rasa bahagia yang tak berbentuk, tapi mengisi penuh
relung hatiku yang kosong
Tidak satu ceLah pun luput darinya...
Setiap rasa yang kau beri teLah menempati tempat terdalam
Bahkan aku sendiri tidak mampu mergangkaunya...
Kali pertama daLam hidupku, aku merasakan perasaan ini.
Gelisah tapi bahagia, sesak tetapi menenangkan.
Entah dari wuana asalnya, seperti apa wvy'udnya, aku tidak peduli.
Aku hanya bisa berucap syukur kepada AlLah Swt., yang teLah
menitipkan perasaan ini kepadaku.
Dan aku berterima kasih padamu yang telah menumbuhkanjuga
merekahkannya.
Bunga?bunga cinta di taman hatiku.
Aku berharap perasaan ini keLak tidak membutakan mata hatiku
Wahai Cinta Aku tidak akan membunuhmu, tetapi akujuga
tidak mau mewuaksamu berkembangjika memang seharusnya kau
tidak berkembang
Aku akan membiarkanmu tumbuh secara wajar, tidak berlebihan
Karena sungguh yang berlebihan itu hanya akan membawaku
pada kenistaan
Demi cinta yang kurasakan dan demi nan/ua AlLah Swt.,
yang mendatangkan cinta itu
kutitipkan cinta ini kepadamu...
Jika men/uang kita memiliki goresan kisah yang sama, dalam kitab
Lauhul mahfrdz yang tersimpan rapi di atas arasy, pastiLah takdir
akan mempersatukan kita
Dan ia akan menemukanjaLannya sendiri...
Tidak peduli bagairruanapun rintangannya
Karena takdir memiliki cara sendiri untuk bisa bertemu
dengan pemiliknya
ia tidak akan pernah tersesat, waLau geLap menghalangi
Atas nan/ua cinta yang aku rasakan saat ini, aku pasrahkan
semuanya kepada sang NLaha Cinta
Kutitipkan hati ini apa adanya
Kupanjatkan doa?doa terindah untuk kita, semoga yang terbaikLah
yang akan kita dapat.
Setiap lirih doa dan zikir yang terucap dari bibir ini, aku tujukan
untukmu dan untukku
Biarkan mereka meLayang tinggi ke atas arasy hingga bertemu
sang Khalik, menyampaikan kepada seluruh penghuni Langit dan
seisinya
Bercerita tentang kita dan bertanya akan seperti apakah akhirnya
Padamu aku ucapkan banyak terirrua kasih atas segaLanya
Kebaikan, kenangan, dan segaLa perhatianmu padaku
Sungguh aku sangat tersanjung dan merasa beruntung
karena aku mengenalmu
PercayaLah bahwa aku benar?benar bersujud syukur
kepada Rabbku yang teLah mengenalkanmu padaku
Engkau datang di waktu yang tepat, yaitu di saat aku hampir
berhenti dan takut untuk bermimpi
Bahkan di saat aku hampir hancur oleh ketidakpercayaanku
kepada Tuhanku sendiri
Dengan segala kerendahan hatimu, kau angkat aku ke atas
untuk berani kembali menatap dunia yang indah,
dunia yang hampir ingin aku tinggalkan
Kaujuga yakinkan aku untuk percaya pada mimpi?mimpiku
bahwa suatu saat keLak ia akan terwurgud
Terima kasih atas kepecayaan dan keberanian yang teLah kau
berikan untukku...
Terima kasihjuga atas rasa yang indah ini
insya Allah aku akan menjaganya hingga kebenaran takdir atas
kita tiba dan menunjukkan jaLannya.
Ai mengakhiri tulisannya. Kemudian ia tutup buku itu
rapat?rapat dan disimpannya dalam laci. Ia rebahkan
dirinya di atas ranjang. Menatap langit?langit kamar.
Berdoa. Tersenyum dan berkata dalam hatinya,
"Langit begitu luas dan indah. .. tidak sesempit langit?langit kamar ini. Di mana pun aku berada, aku selalu
melihat langit yang sama. Biru... Jingga... Di mana
aku memulai dan aku berhenti, langit tetap sama.
Tidak pernah berubah. Itulah mengapa aku suka
sekali menatapmu, wahai langit. .. karena itu tetaplah
menaungiku dengan keindahanmu."
"Dan orang?orang yang berkata, Ya Tuhan kami, anugerahkanLah
kepada kami istri?istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), danjadikanLah kami iri/nam
bagi orang?orang yang bertakwa.
(QS. Al?Furqan: 74)
< (* >
Terdengar dering suara telepon dari ponsel Ai. Siang
itu, seperti biasa setiap hari libur, Ai sibuk di dapur
membantu ibunya memasak. Ponsel terus berdering
tetapi Ai tidak mendengarnya.
"Ai.... Ai, telepon kamu bunyi tuh!" Mama
berteriak memanggil Ai dari ruang tamu.
""Kenapa, Ma?" sahut Ai dari dapur. Ia tidak
mendengar jelas suara mamanya barusan. Ponsel Ai
masih terus berdering, akhirnya Mama mengambilnya
dan membawanya kepada Ai. ""Ini, ada telepon
masuk."
""Oh iya! Makasih, Ma."
Tertulis nama RESA di layar. Segera Ai
mengangkat telepon. Terdengar suara dari ujung sana.
""Halo, assalamulaikum," Ai mengawali.
""Wa"alaikumsalam, Kak. Ini Resa," Terdengar
suara yang sangat gaduh di belakang Resa. ""Kakak ada
waktu kosong nggak? Kebetulan aku lagi di Bintaro.
Baru saja selesai dari acara di sini. Bisa ketemu, Kak?
Mumpung dekat dengan rumah Kakak nih."
""Oh begitu? Boleh dong, cantik. Tapi sekarang
aku lagi masak nih. Habis Zuhur saja bagaimana?
Posisi kamu di mana?"
""Aku lagi di Masjid Baiturrahman Bintaro, Kak.
Ketemuan di sini saja yah."
""Iya aku tahu. Oke, di sana saja. Kamu tunggu
yah, Sa!"
"Siap, Kak! Hehehe...."
Setelah menyelesaikan semua masakannya, Ai
bergegas mandi dan siap?siap berangkat. Waktu me?
nunjukkan pukul dua belas siang, Ai bergegas salat.
Beruntung hari itu hujan tidak turun setelah bebe?rapa hari kemarin hujan deras selalu mengguyur kota
Jakarta dan sekitarnya. Sejak pertemuan Ai dan Resa di
stasiun, baru kali ini Resa menghubunginya. Tumben.
Pikir Ai. Entah hanya sekadar melepas kangen atau
ada hal lainnya, yang pasti Ai senang sekali. Sudah
lama ia tidak ngobrol lama dengan Resa, alias curhat.
""Ma, Ai pergi dulu yah. Mau ketemu Resa,
teman satu kostan dulu. Mama masih ingat, kan?" Ai
berpamitan sambil mencium tangan Mama.
""Oh Resa yang cantik itu... Iya, Mama masih
ingat kok. Salam buat Resa, yah. Kenapa nggak diajak
ke rumah aja, Ai?"
""Nggak apa?apa, Ma. Lagian kasihan juga kalau
Resa yang ke sini. Dia kan nggak tahu jalan."
""Ya sudah, hati?hati di jalan. Kamu naik angkot
atau bawa motor?"
"Bawa motor aja, Ma. Biar cepat."
""Ingat, jangan ngebut!" Mama mengingatkan
putri bungsunya itu.
""Oke Maaa. . ."
Ai melajukan motornya menuju Masjid
Baiturrahman yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
Butuh waktu sepuluh menit saja untuk bisa sampai
di sana. Sepanjang jalan Ai sempat berpikir untuk
menceritakan perasaan bahagia yang belakangan ini
menyertainya. Ingin sekali ia luapkan semua emosi
kebahagiaan itu kepada seseorang dan Resa sepertinya
datang di saat yang tepat. Resa pasti bisa memberikan
pandangan dan saran terbaik untuk Ai.
"Kak Ai!" terlihat Resa melambaikan tangannya
tinggi?tinggi. Ai menoleh dan mencari asal suara.
Dilihatnya Resa sedang berdiri di pojok ruangan
masjid. Resa tersenyum lebar ke arah Ai. Cantik
sekali gadis itu. Berbalut gamis polos berwarna pastel
dan pasmina bermotif bunga mawar. Ai membalas
tersenyum. Manis. Kemudian menghampiri Resa.
""Assalamualaikum," seru Resa sambil mencium
pipi kanan dan kiri Ai. Kebiasaan sesama saudara
muslim tiap kali mereka bertemu.
""Wa"alaikumsalam, cantik," balas Ai yang masih
berdecak kagum melihat perubahan signifikan pada
adik kelasnya itu. Jauh berbeda dari sosok Resa yang
dulu. Yang selalu memakai rok mini, baju ketat,
rambut juga dicat berwarna burgundy. Kini sudah
berganti menjadi sosok Resa yang sangat anggun.
""Kakak, maaf yah aku baru hubungi Kakak
lagi..."
""Nggak apa?apa, Sa. Aku juga belum sempat
hubungi kamu," Ai tersenyum. ""Oh iya, kamu ada
acara apa di sini?"
""Alhamdulillah tadi baru ikut kajian, Kak.
Temanya bagus buat pengantin baru! Hehee. . .," rona
merah seketika menyergap wajah putih Resa. Malu.
"" Ciiieee. . . Memang apa temanya?" Ai ikut malu?malu. Ia pun senyum?senyum sendiri melihat sikap
salah tingkah Resa.
""Merangkai untaian cinta belahan jiwa, Kak,"
Resa menjawab pertanyaan Ai dengan suara sangat
pelan. Hampir berbisik.
""Hahahaa... temanya so sweet banget, yah," kini
pipi Ai ikutan memerah.
""Justru itu, Kak. Dari temanya aja sudah oke.
Makanya aku jadi penasaran dan langsung deh ke sini
buat tahu apa isinya. Dan alhamdulillah baguuuuusss
banget, Kak!"
""Oh iya? Terus apa isinya?"
""Hmmm apa, yah?" Resa mencoba mengingat
poin?poin penting isi kajian tadi. "Oh iya, jadi
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begini Kak ceritanya...," Resa menjelaskan panjang
lebar. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Resa,
Ai perhatikan baik?baik. Sesekali ia mengangguk.
Mencerna. Kemudian mengangguk lagi.
"".... Setiap manusia itu sudah memiliki belahan
jiwanya masing?masing. Seperti firman Allah dalam
surah Yasin ayat tiga puluh enam yang berbunyi
"Mahasuci Allah yang telah menciptakan pasangan?pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan
oleh bumi dan dari diri mereka, maupun dari apa yang
tidak mereka ketahui". Yang menjadi permasalahan
hanyalah kapan kita bisa bertemu dengannya.
Namun, jodoh itu seperti rezeki, ia tidak datang
dengan sendirinya, tetapi diupayakan. Dalam hal ini
maksudnya ikhtiar dan berdoa. Sama halnya dengan
seorang suami istri. Sekalipun mereka sudah bersatu
dalam suatu ikatan pernikahan, bukan berarti masalah
berhenti sampai di situ. Tetapi masing?masing dari
mereka harus terus berupaya menjaga agar ikatan suci
pernikahannya dapat tetap terjaga. Ikhtiar dan berdoa
harus tetap dilakukan." Resa berhenti sejenak.
Kemudian melanjutkan.
""Selain itu diceritakan juga, bahwa belahan jiwa
kita itu seperti cerminan diri kita sendiri. Semakin
baik diri kita, maka belahan kita pun akan semakin
baik pula. Seperti firman Allah yang menyatakan
bahwa wanita baik?baik akan mendapatkan laki?laki
baik pula. Itu sudah janji Allah dan janganlah kita
meragukannya. Kalau apa yang kita alami ternyata
berbeda dengan apa yang tertulis pada Al?Qur"an,
jangan salahkan isi Qur"annya. Tapi bertanyalah apa
kesalahan kita? Kenapa bisa sampai seperti itu? Jangan
pernah meragukan Allah karena Allah tidak pernah
berbohong. Yakin bahwa Ia akan selalu memberikan
yang terbaik untuk kita. Dalam berumah tangga pun
demikian. Terus perbaiki diri kita. Perkuat salat tepat
waktunya, zikirnya, salat malamnya, dan ibadah?ibadah lainnya yang akan membawa kita pada tingkat
ketakwaan lebih tinggi."
""Seorang suami istri harus saling mengingatkan,
menghargai, dan memahami satu sama lain.
Seorang suami harus selalu membimbing istrinya
dan seorang istri harus selalu taat kepada suami
selama itu dalam jalan kebaikan. Keluarga sakinah,
mawaddah, dan warrahmah tidak hadir begitu saja.
Tetapi membutuhkan perjuangan yang hebat!" Resa
mengakhiri kalimatnya.
Betapa senangnya Ai bisa bertemu dengan
Resa hari ini. Hatinya sangat tenteram mendengar
penjelasan Resa mengenai materi kajian yang baru saja
diikutinya. Ai pun semakin yakin untuk menceritakan
masalah yang sudah membuatnya gelisah belakangan
ini. Ia pun mulai angkat bicara.
""Sa. .. aku ingin cerita sesuatu, boleh?"
""Hihiii... Kak Ai masih canggung aja, deh. Kita
kan sudah seperti saudara sendiri, kenapa harus
izin segala?" Resa tertawa kecil mendengar kalimat
Ai barusan. ""Ada apa kakakku sayang? Aaahhh...
jangan?jangan tentang belahan jiwa Kakak yah?!" Resa
meledek Ai puas.
""Sstttt... Malu tauuuu," Ai menutup wajahnya
dengan tangan. Ia benar?benar malu. Sangat wajar
karena ini merupakan kali pertama Ai bercerita
mengenai perasaannya tentang seorang pria.
""Masya Allah. . . siapa laki?laki yang akhirnya bisa
meruntuhkan gunung es hati Kak Ai? Sungguh luar
biasa laki?laki itu."
""Hmm. .. berlebihan kamu," Ai mencibir.
""Teruuuss. .. Gimana ceritanya?" kedua bola
mata Resa yang bulat hitam pekat berbinar?binar. Tak
sabar rasanya ia ingin mendengar cerita Ai. Resa tahu
betul sosok seorang Ai. Dia selalu berjuang menutupi
hatinya yang rapuh. Berusaha membuat hatinya
dingin seperti gunung es yang kokoh. Namun melihat
raut wajah kebahagiaan yang jelas terpancar dari wajah
Ai barusan, Resa mengucap syukur dalam hatinya. Ia
ikut senang karena pada akhirnya, perasaan cinta itu
datang di hati Ai. Karena Ai memang pantas untuk
mendapatkannya.
""Aku nggak tahu dari mana harus mulai cerita, Sa.
Aku benar?benar nggak tahu. Yang aku tahu perasaan
itu muncul tiba?tiba," Ai menahan napas sejenak.
""Dia berbeda. Maksudku berbeda di mataku dari yang
lainnya. Pertemuan pertama kami biasa aja, nggak ada
yang istimewa. Tapi kira?kira dua bulan belakangan
ini ada yang beda di hatiku. Diam?diam aku jadi suka
memperhatikannya. Semua gerak?geriknya. Tingkah
lakunya. Setiap kalimat yang terucap dari bibirnya.
Satu pun tidak terlewat dari pengamatanku!
Dia rekan kerjaku, Sa."
""Oooooh, pantas saja Kakak dengan sangat
mudah memperhatikan dia," celetuk Resa.
""Kami duduk berhadap?hadapan. Hanya
dipisahkan sebuah kubikel yang tingginya tidak akan
menghalangi mata kami untuk berpandangan. Sesekali
suka tertangkap basah saat kami mencoba melirik,
tetapi kami bersikap biasa saja seolah tidak ada apa?apa. Dan memang tidak terjadi apa?apa sih...," Ai
menghembuskan napas panjang. Ia tersenyum simpul
jika mengingat kembali tingkahnya belakangan ini
pada Atta.
""Sampai suatu ketika kami menjadi begitu
dekat. Bermula dari obrolan ringan. Semenjak
aku tau ia seorang traveler dan sudah mengunjungi
beberapa tempat, aku jadi tertarik untuk mendengar
pengalaman?pengalamannya. Dan benar Sa... dia
mampu menceritakan keindahan dunia di luar sana
yang selalu ingin aku lihat! Bukan itu saja. Anehnya,
setiap kali aku ada masalah dan merasa sedih, sadar
atau nggak sadar, dia mampu menepis kesedihanku,
Sa. Sikapnya yang terkadang menurutku aneh, tetapi
justu ia mampu buat aku tertawa kembali. .. seketika
perasaanku jadi tenang dibuatnya. Dia juga selalu
mengucapkan kalimat?kalimat mujarab yang dan
menjadi kalimat istimewa. . ."
""Bukan kalimatnya yang istimewa, Kak. Tetapi
yang mengucapkannyalah yang ISTIMEWA," Resa
menggenggam tangan Ai yang sedari tadi tidak bisa
diam. Memilin jari?jarinya. Tangannya terus bergerak
seolah berusaha menahan gejolak di dirinya.
""Dia laki?laki yang hebat. Sungguh, dia benar?benar hebat. . .," Resa tersenyum kepada Ai. ""Jadi apa
yang ingin Kakak lakukan sekarang?"
""Aku nggak tahu, Sa. Dan nggak mungkin pula
aku mengutarakan isi hatiku padanya,"
""Subhanallah!" Ketika mendengar ucapan Ai
yang tidak mungkin mengutarakan isi hatinya kepa?da laki?laki itu, tiba?tiba saja Resa terpikirkan se?suatu. "Benar?benar suatu kebetulan yang tidak
kebetulan. . .," Resa setengah berteriak. Ia sama sekali
terkejut dengan semua kejadian yang dialaminya saat
itu.
""Kenapa, Sa??"
""Bagaimana kalau Kakak mengutarakan isi hati
Kakak dengan cara yang berbeda?"
""Maksud kamu?"
""Kakak masih suka menulis? Membuat cerita
seperti dulu."
63
""Masih tapi sudah nggak sesering dulu. Itu pun
bukan membuat cerita, hanya sekadar menulis di
catatan harianku aja. Memangnya ada apa?"
""Nah, cocok kalau begitu Kak! Coba Kakak baca
ini," tiba?tiba Resa mengeluarkan selembar brosur
perlombaan menulis cerpen. Brosur itu didapat Resa
seminggu lalu dari salah seorang teman suaminya yang
bekerja di perusahaan penerbit. Kebetulan sedang
diadakan lomba membuat cerpen. Dua puluh cerpen
terbaik akan diterbitkan menjadi buku kumpulan
cerpen.
""Maksudmu. . ."
Resa mengangguk. Meyakinkan. ""Kakak pasti
bisa, insya Allah ada jalannya. Mungkin melalui
tulisan Kakak ini, perasaan Kakak yang sebenarnya
kepada laki?laki itu dapat tersampaikan."
""Kenapa kamu bisa yakin kalau cerpenku bisa
dimuat? Ini kan kompetisi, Sa. . .. Saingannya banyak.
Terus sekalipun aku lolos, bagaimana caranya dia baca
cerpenku? Memangnya dia pasti akan membeli buku
itu dan tahu kalau cerita yang aku buat itu untuknya?
Nggak semudah itu Resa," Ai tertunduk lemah. Ia
masih tidak habis pikir jika harus menyampaikan isi
hatinya melalui cerpen yang ia tahu betul itu tidak
akan berhasil. ""Lagi pula setahuku, dia nggak suka
baca cerpen atau novel. . ."
""Kita nggak akan pernah tahu selama kita belum
mencobanya, Ka. Lagipula nggak ada salahnya kakak
coba menulis dulu. Akhirnya bagaimana, tinggal kita
serahkan pada Allah. Bukannya tadi aku sudah bilang,
yang penting ikhtiar dan berdoa dulu. Sisanya biar
Allah yang menyelesaikannya," Resa menggenggam
erat tangan Ai.
"Jadi . . . kapan deadline pengumpulan cerpennya?"
""Dua minggu lagi, Kak,"
"APAAA???!!! DUA MINGGU???!!!" sontak
Ai berteriak. Terkejut mendengar jawaban Resa.
Bagaimana mungkin ia bisa membuat cerpen dalam
waktu dua minggu? Apalagi sudah lama sekali ia tidak
membuat cerita seperti itu. Terakhir kali ia membuat
cerita fiksi yaitu sewaktu masih SMA dulu.
""Ayolaah, Kak Ai pasti bisa. Jangan berpikir
menangnya Kak. Yang penting, Kakak bisa meluapkan
semua emosi Kakak di cerpen itu. Setiap kata yang
mengalir ditulis langsung berdasarkan perasaan kakak.
Apa yang ingin disampaikan, ya tinggal kakak tulis.
Ingin seperti apa jadinya, juga kakak tulis. Lakukan
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seakan?akan kakak sedang berhadapan dengannya.
Uraikan satu per satu. Pastikan tidak ada yang
tertinggal.
Bagaimana awal mula kakak bisa memiliki
perasaan padanya. Bagaimana perasaan bahagia itu
63
bertakhta di hati Kakak. Bagaimanasikap dan perhatian
dia ke Kakak. Kakak deskripsikan semuanya," untuk
kesekian kalinya Resa tersenyum. Meyakinkan Ai
bahwa itulah cara terbaik untuk mengutarakan isi
hatinya kepada laki?laki yang dicintainya itu.
Cukup lama menimbang?nimbang saran Resa,
akhirnya Ai menyerah. Ia pun mengiyakan untuk
mengikuti perlombaan tersebut. Semoga saja ide
yang tidak biasa itu berhasil. Dan bisa jadi itulah
lanjutan takdir yang harus ia jalani. Sore itu berakhir
dengan pertemuan yang sarat makna. Resa dengan
ide ""beraninya" kini seolah memberikan PR besar
kepada Ai. Di mana Ai harus mulai menulis cerpen
tentangnya sendiri. Tentang pengalaman saat ia jatuh
cinta kepada rekan kerjanya. Laki?laki yang dibilang
hebat oleh Resa. Juga Ai pastinya.
Mentari beranjak menjauh. Perlahan. Hanya
menyisakan secerca warna jingga di ufuk barat.
Semburat senja terlukis indah di balik awan. Terbias
sempurna selepas tetesan hujan turun membasahi
bumi. Di dalam Masjid At?Takwa, ia duduk bersimpuh
menghadap kiblat. Menyudahi bacaannya. Barisan?barisan syair terindah sepanjang masa. Bahkan saking
indahnya sehingga tidak ada seorang penyair dunia
tersohor sekalipun mampu menandinginya. Tinta
seluas samudra mana pun tak mampu menerjemahkan
keindahan kata?kata yang terurai sangat indah, bacaan
itu adalah Al?Qur"an.
Sudah dijanjikan, barangsiapa yang membaca dan
mendengarnya, mereka akan merasakan ketenangan
Mahadahsyat. Setiap kalimat yang terucap, mampu
menggetarkan jiwa?jiwa manusia. Sungguh Mahabesar
63
Allah Swt., yang telah menurunkan Al?Qur"an sebagai
penuntun umat manusia. Tidak akan mampu manusia
berjalan tanpa tuntunan?Nya.
""Shadaqallahul"adzim...," ia menutup Qur"an?nya. Meletakkannya kembali di atas lemari dengan
rapi. Ia alihkan pandangannya keluar masjid. Sejenak
ia pejamkan matanya. Membenamkan diri dalam
keindahan senja. Hening.
""Ya Allah... apakah aku telah berbuat kesalahan?
Apa yang telah kuperbuat hingga aku harus
merasakan ini? Kenapa seperti ini?" Atta menghela
napas. Ia tutup wajahnya dengan tangan. Pikirannya
menerawang jauh ke angkasa. Pergi menjauh bersama
jejak mentari. Mencari titik kembali.
Sudah satu bulan belakangan ini ia merasakan
keraguan di dalam hatinya. Keraguan yang tak
berujung. Keraguan yang seharusnya tidak pernah
terjadi. Kenapa tiba?tiba ia ragu terhadap pilihannya
sendiri. Pilihan yang telah ia tetapkan jauh sebelum ia
mengenalnya.
""Kenapa wajah gadis itu selalu terbayang
di benakku? Sejak kapan ia bertakhta di alam
bawah sadarku? Dan kenapa ini bisa terjadi?" Atta
menggeleng?gelengkan kepalanya. Dadanya berge?muruh. ""Dia begitu sederhana. Apa adanya. Senyum?nya tulus. Tatapannya teduh. Dan hati ini tidak
pernah bisa berhenti memujinya... Ya Allah, aku
harus bagaimana? Ai... Kenapa Ai?"
Atta benar?benar berada dalam masalah besar. Ia
sadar betul ia tidak boleh jatuh hati kepada wanita
lain. Karena ia...
Malam benar?benar datang. Atta bergegas
pulang setelah melaksanakan salat Magrib berjemaah.
Gelap. Tak ada bulan. Tak ada bintang. Tak ada yang
menemani. Tetapi langit tidak pernah bersedih, karena
ia tidak benar?benar sendiri. Jauh di atas sana, di
galaksi yang luas, langit diselimuti oleh jutaan bintang
yang terus berpendar. Bulan yang selalu beredar. Juga
matahari yang terus?menerus meluapkan semburan
cahaya api. Hanya saja mata kita terbatas. Tidak
mampu memandang lebih jauh dan lebih tinggi.
Memang seperti itulah Allah menciptakan manusia.
Penuh dengan keterbatasan.
Sesampai di kostan, Atta rebahkan dirinya di
atas ranjang. Meskipun raganya terlihat baik?baik
saja, tetapi tidak dengan jiwanya. Ia seperti hampa.
Tidak bernyawa. Pikirannya kosong. Tidak tahu harus
berbuat apa. Semakin ia mencoba untuk mengingkari
hati kecilnya, semakin ia merasa sakit. Rasanya lebih
sakit dari tertusuk duri yang paling tajam sekalipun.
Saat ia semakin larut dalam lamunannya, ponselnya
berbunyi.
63
Deg!
Atta salah tingkah. Sementara ponsel masih
terus berdering. Ia takut tidak bisa menyembunyikan
perasaannya yang sedang kacau. Setelah mengatur
napasnya, Atta memutuskan untuk mengangkat
telepon itu.
"Assalamu"alaikum,"
""Wa"alaikumsalam Mas Atta." terdengar suara
seorang gadis di ujung telepon sana. Sarah namanya.
"Aku nggak ganggu kan?
""Nggak kok. Di mana ini sekarang? Apa sudah
sampai di rumah?" Atta berusaha bersikap wajar.
Meskipun jantungnya masih berdetak tak beraturan.
""Alhamdulillah, sudah Mas. Aku sampai di rumah
tadi sore, menjelang Magrib. Mas Atta lagi apa?"
""Aku lagi rebahan aja. Tadi baru pulang dari
masjid. Oh iya, bagaimana kabar Bapak sama Ibu?"
""Sehat, Mas. Alhamdulillah. Mereka semua
kangen loh sama Mas Atta. Katanya kapan main lagi
ke Jogja?"
""Iya Sar, insya Allah. Kalau ada waktu, pasti
aku usahakan main ke rumah. Tapi aku mohon maaf
belum sempat menjenguk bapak dan ibumu dalam
waktu dekat ini. Kamu kan tahu aku baru saja pindah
kerja dan pekerjaan baruku ini sangat sulit untuk bisa
ditinggal. . ."
""Nggak apa?apa Mas. Nanti kalau ada waktu,
Mas Atta bisa main ke rumah lagi. Aduh maaf Mas
Atta, Sarah dipanggil Ibu. Sarah tutup teleponnya
yah."
""Oh iya, Sar nggak apa?apa. Salam buat bapak
dan ibumu yah,"
""Pasti, Mas. Assalamualaikum. . . "
""Wa"alaikumsalam,"
Tuuuutt tuuuutttt. . ..
Sarah. Usianya terpaut dua tahun lebih muda dari
Atta. Gadis yang ia kenal sudah lama. Bahkan sangat
lama, sejak ia kuliah dulu di Jogja. Sarah merupakan
putri kerabat ayah Atta yang kebetulan juga kuliah
di kampus yang sama dengannya. Sarah sendiri lahir
dan besar di Jogja. Namun setahun yang lalu, setelah
ia lulus kuliah, ia merantau ke Jakarta. Beruntung ia
mendapatkan pekerjaan yang kebetulan kostannya
tidak berada jauh dari kantor Atta.
Saat ini Atta memang memiliki hubungan
dekat dengan Sarah. Entah apa nama hubungan itu.
Sarah jatuh hati pada sosok Atta yang bertanggung
jawab, dapat diandalkan, dan selalu ada untuk Sarah
di saat ia membutuhkannya. Sarah sendiri sudah
mengutarakan perasaannya. Waktu itu Atta tidak
tahu harus menjawab apa, karena yang ia rasakan
hanyalah perasaan sayang seperti seorang kakak kepa?
da adiknya. Namun karena tidak tega melihat ke?tulusan hati Sarah, Atta pun memutuskan untuk
menerima perasaan itu. Atta hanya berharap, semoga
dengan seiring berjalannya waktu, rasa cintanya dapat
tumbuh perlahan. Sayang, hingga kini perasaan itu
masih belum tumbuh juga. Bahkan yang ada hanyalah
rasa sesal mendalam karena ia seolah telah memberi
harapan kosong kepada Sarah. Seorang gadis yang
sangat mencintainya.
YaAllah... aku berada dalam kesesatan yang nyata
Semua begitu gelap bahkan aku tidak bisa melihat
diriku sendiri
Ingin rasanya aku berlari mencari cahaya, tetapi ke
arah mana aku harus berlari
Wahai Rahiim...
Jangan tenggelamkan aku dalam lautan keraguan
Sungguh keragu?raguan itu datangnya dari setan
Berikan aku petunjuk?Mu ya Rabb. ..
Hati ini milik?Mu dan hanya Engkau yang mampu
membolak?balikkannya
Kepada?Mu kupanjatkan doa
Dan kepada?Mu kupercayakan hatiku seutuhnya. . .
Kelak kepada siapa hati ini berlabuh, maka jadikan
ia seseorang yang menenangkanku
Yang tidak sekalipun membuatku ragu kepadanya...
Kemudian jadikan ia sebaik?baiknya pasangan
dunia dan akhiratku...
Malam semakin larut. Bersamaan dengan larutnya
kegelisahan dan keraguan yang dirasakan Atta saat
itu. Di sebuah kamar yang dingin dan sempit. Dihiasi
lampu bohlam yang menerangi setiap sudut kamar.
Atta pejamkan matanya rapat?rapat. Hanya terdengar
suara jangkrik dan lantunan merdu lagu Afgan yang
menemaninya.
Ku menatap daLam kelam
Tiada yang bisa kulihat
Selain nama?Mu ya Allah
Esok ataukah nanti
Ampuni semua salahku
Lindungi aku dari segala fitnah
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kau tempatku meminta
Kau beriku bahagia
jadikan aku sekan/nanya
Hamba?Mu yang seLalu bertakwa
Ampuniku ya AlLah
Yang sering melupakan?Mu
Saat Kau limpahkan karunia?Mu
DaLam sunyi aku bersvgud
****
Ai melihat kalender yang terletak di atas mejanya.
Tanggal 03 Desember adalah tanggal batas pengum?pulan cerpen. Hari ini tepat tanggal 24 November.
Waktu yang dimiliki Ai tersisa sembilan hari lagi. Ia
bingung harus membuat cerpen seperti apa. Kisah
yang ingin ia tulis adalah pengalaman dan perasaan
hatinya sendiri. Bukan cerita fiktif yang selama ini
sering ia buat. Ada begitu banyak kata?kata yang
ingin ia curahkan. Ada banyak kenangan yang ingin ia
abadikan dan ada banyak sekali harapan yang ingin ia
ungkapkan. Tetapi tidak dalam bentuk cerpen, karena
cerpen harus ditulis dengan singkat dan lugas. Ia
sadar bahwa cerpen tidak mampu menampung semua
curahan isi hatinya saat ini.
""Ya Allah. .. apa yang harus aku tulis? Dari mana
aku harus memulainya? Dan apakah cara ini adalah
cara terbaik untukku? Bagaimana jika ini hanya akan
menjadi bumerang bagi hubungan kami? Aku tidak
mau kedekatan kami yang baru saja terjalin sebentar
ini harus hancur hanya karena keegoisanku. Hanya
karena aku tidak mampu menahan perasaanku
padanya? Aku takut ya Allah. . ."
Ketika Ai masih berdialog serius dengan dirinya,
mama datang. Tanpa Ai sadari, mama memperhatikan
Ai sambil tersenyum. Mama memandang Ai kecilnya
yang kini tumbuh menjadi gadis dewasa yang manis.
Di balik kacamatanya, mama masih dapat lihat mata
bening putrinya yang selalu memancarkan ketulusan.
Mama mendekati Ai lalu membelai lembut rambut
putrinya.
"Mama??" sontak Ai menoleh. Terkejut melihat
mama tiba?tiba sudah ada di belakangnya. Tersenyum.
Terlihat garis?garis halus kerutan di kelopak mata
mama. Bola matanya tak lagi hitam sempurna. Ber?angsur memudar, berubah menjadi cokelat tua. Ram?butnya juga sudah dipenuhi dengan uban.
""Putri kecil Mama sekarang sudah besar. Tum?buh menjadi seorang gadis yang cantik, pintar, dan
juga salehah. Hmmm... rasanya sudah lama sekali
nggak membelai rambut Ai seperti ini. Padahal
dulu, waktu Ai masih sekolah, Ai selalu merengek
minta rambutnya dibelai dan disisir oleh Mama. Ai
selalu teriak, "maunya disisir sama mama!"" Mama
mengenang masa kecil Ai dulu. Kemudian tersenyum.
""Tapi sekarang, semenjak Ai sudah besar, Ai selalu
menolak jika mama mau bantu sisirkan rambut Ai.
"Mamaaaa.. Ai kan udah besar, malu dong,"" ucap
mama sambil mengusap rambut Ai.
""Kamu tau sayang? Mama selalu merasa sedih
tiap kali ingat apa yang menimpa keluarga kita. Semua
menjadi terasa begitu sulit sejak Mama dan Papa
di?PHK. Gara?gara itu, bahkan kamu dan kakak?kakakmu terpaksa membantu Papa Mama berjualan
kue di sekolah.... Mama masih ingat dengan jelas
semua pengorbanan kalian, sayang...," suara Mama
mulai serak. Matanya berkaca?kaca. Tatapannya
nanar. Semua kenangan tentang masa lalu keluarga
itu mengeruak kembali dalam ingatan Mama.
Tidak mudah bagi Mama untuk bisa melalui
semua masalah itu. Begitujuga dengan Papa. Sampai?sampai papa harus mengejar penipu itu hingga ke
Wonogiri hanya dengan bermodalkan uang dua
ratus ribu rupiah. Berminggu?minggu Papa nggak
pulang, tidak ada tempat berteduh, dan menahan
lapar. Bahkan sampai berjalan kaki puluhan kilometer
hanya untuk dapat menagih haknya. Tetapi apa? Papa
nggak dapat apa?apa. .. Yang Papa dapatkan hanyalah
kekecewaan.
"" . apa Ai masih ingat? Dulu, sewaktu papa
masih mengejar penipu itu, bertepatan dengan ulang
tahun Ai yang kedua belas. Saat itu, Papa telepon
dan mau bicara dengan Ai, tapi kamu menolak dan
mengatakan kalau Papa jahat karena nggak pulang ke
rumah," Mama lalu menghela napasnya. Mama mulai
terisak, Ai mengusap?usap punggung mamanya,
berusaha menenangkannya.
Lalu, Mama melanjutkan bicaranya, ""Seandainya
kamu tahu sayang. . . saat itu Papa menangis di telepon.
Papa minta maaf pada Mama karena tidak bisa berada
di sisi kita saat itu. Papa juga minta tolong cium
kening Ai untuk Papa, karena kangen sekali dengan
kamu, sayang...," Mama tidak kuat lagi menahan
air matanya yang terus mendobrak memaksa keluar.
Tetes air mata itu mengalir begitu deras. Membasahi
pipinya yang tak lagi halus seperti dulu. Tubuh Mama
lunglai.
""Mama. . . kenapa mama bicara seperti itu? Mama
jangan menangis... Mama jangan menangis...." Ai
pun langsung berdiri dan membawa mama duduk
di ranjang. Ia dekap mamanya erat. Ia cium kening
Mama lama.
""Nak, Mama dan Papa minta maaf karena kami
nggak bisa membahagiakan kalian. Maafkan kami
yang tidak bisa memenuhi semua keinginan kalian.
Tapi percayalah, selama kami hidup, cinta kami tidak
akan pernah berhenti. Mama dan Papa hanya bisa
membekali kalian dengan ilmu dunia dan agama.
Kami ingin sekali melihat kalian bahagia dan sukses.
Kami sangat menyayangi kalian, sangaaaat sayang,"
Mama lalu menghapus air matanya sendiri. Mama
terpaku, tak tahu harus berbuat apa. Bibir Mama
bergetar, dadanya mulai sesak.
"Ai...," ucap Mama lirih. Ai mengangguk.
""Percayalah Nak, Allah itu Mahaadil, Maha
Melihat. Gusti Allah tidak tidur, dan akan melihat
perjuangan hidup kalian selama ini. Jadi, Mama harap,
kamu tetap yakin bahwa suatu saat nanti akan meraih
kebahagiaan yang selalu kamu impikan. Mimpi?mimpi serta cita?citamu. Bila kamu yakin, insya Allah,
pasti akan terwujud. Jangan pernah menyerah, berdoa
dan mintalah kepada Allah. Itu akan menolongmu,"
Mama menghela napas panjang.
Ai memeluk Mama erat dan mencium kening
Mama berkali?kali. ""Ai sayang Mama, sayang
banget.... Maafkan Ai ya Ma, kalau pernah menyakiti
hati Mama dan Papa. Maafkan Ai...," kemudian Ai
bersimpuh di kaki mamanya.
Papa yang dari tadi berdiri dan mendengar
pembicaraan mereka di balik pintu, tak kuasa
menahan tangis. Hatinya hancur. Tidak tega melihat
dua wanita yang sangat disayanginya menangis.
Mengulang kembali kisah perjuangan mereka untuk
bisa bertahan hidup. Dalam lubuk hati Papa, ia lebih
merasakan sakit. Ia merasa gagal sebagai seorang ayah
karena tidak mampu memberikan yang terbaik untuk
keluarganya. Batin Papa menjerit. Ingin rasanya ia
kembali ke masa lalu untuk mengganti semua kena?ngan pahit itu menjadi kenangan manis. Namun apa
daya. Itulah takdir Allah yang harus ia jalani. Tetapi ia
tetap bersyukur, karena anak?anaknya sudah tumbuh
menjadi anak?anak yang membanggakan. Meski
dulu harus terseok?seok, tetapi sekali lagi. Allah Swt.,
menepati janji?Nya. Sungguh tidak akan mungkin
mereka bisa bertahan belasan tahun lamanya, jika
bukan karena pertolongan Allah Swt., melalui tangan?tangan gaibnya. Terbukti hingga sekarang, mereka
tetap bisa hidup meski dalam keterbatasan.
"Ya sudah. .. yuk kita berhenti menangisnya. Maaf
Kekuatan Gaib Serial Tom Swift Rencana Paling Sempurna Best Laid Plans Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan