yah sayang, Mama terbawa emosi barusan," air mata
Mama sudah reda. Ia sudah kembali tersenyum. Ai
mengangguk sambil menghapus pipinya yang basah.
""Oh iya, belakangan ini Mama lihat kamu galau. Ada
apa sayang?"
""Iiiih Mama... tau?tau?an galau. Emang galau
itu apa?" Ai mencibir.
""Waah, Mama gini?gini gaul tahu!"
""Hihiiii.. Iya sih, Mama emang Mama paling
gaul sedunia. . . ."
""Jadii??? Siapa laki?laki yang sudah buat putri
kesayangan Mama ini jadi galau?"
"Mmaamaa.. Ai malu nih."
""Loh kok malu?"
""Iyalaaah... Lagian Mama kok bisa tahu itu
karena laki?laki?"
"" Sayaang, Mama ini yang melahirkan kamu. Dan
kamu adalah bagian dari diri Mama. Jelas Mama tahu
apa yang sedang kamu rasakan," Mama mencubit
mesra hidung putrinya.
""Mama benar mau tahu?" Ai menatap Mama
malu. Matanya berbinar?binar. Mama mengangguk.
Tersenyum.
Ai kembali membuka lembaran?lembaran
kenangan yang ia miliki dengan Atta. Ia buka setiap
lembar kenangan itu perlahan. Mencoba menilik
lebih dalam.
"Namanya Atta," Ai mulai berbicara. ""Dia rekan
kerja baru Ai di kantor. Kami baru saling kenal kira?kira tiga bulan yang lalu. Atta nggak tampan, tapi ia
punya lesung pipi yang menawan... matanya selalu
berbinar dan memancarkan kebaikan," Ai tersenyum
lebar. Membayangkan Atta yang sangat lekat dalam
ingatannya.
""Atta selalu bisa membuat Ai tersenyum apa
pun kondisinya. Atta selalu punya cara untuk bisa
membahagiakan Ai. Meskipun terkadang caranya
aneh, tapi kenyataannya Atta berhasil! Hampir
nggak pernah Atta berbicara tentang kesedihan. Ia
selalu berbicara tentang kebahagiaan.... Oh iya,
Atta itu suka sekali traveling, Ma! Dan Atta selalu
menceritakan tempat?tempat indah yang pernah ia
kunjungi. Juga foto?fotonya," bayangan tentang Atta
terus menerawang di pikiran Ai.
""Atta selalu membuat Ai berani bermimpi,
Ma.... Dulu, semenjak Ai merasa hidup Ai nggak ada
perubahan, dalam arti belum bisa meraih apa yang Ai
inginkan, Ai jadi takut untuk bermimpi lagi. Ai hidup
dalam ketakutan yang luar biasa.. Ai takut kecewa,
Ma...," sesaat air muka Ai berubah, lalu ia tersenyum.
""Namun Atta merobohkan semua ketakutan
itu! Atta, dengan senjata andalannya, ia mampu
menyusun kembali reruntuhan puing?puing mimpi
Ai yang berserakan. Ia bangun satu per satu hingga
menjadi utuh kembali. . .," lanjut Ai bersemangat.
""Apa senjata andalannya itu, Sayang?" Mama
semakin penasaran. Tidak pernah ia melihat raut
wajah Ai begitu serius hanya untuk sekadar bercerita
tentang perasannya.
Ai menyeringai. ""Insya Allah. Ya, hanya dengan
kata "Insya Allah", Ma. Aneh kan?! Tapi itulah
faktanya." Ai menoleh ke Mama. Tersenyum.
""Apa kamu benar?benar mencintainya, Sayang?"
pertanyaan Mama mengejutkan Ai.
Tak bergeming. Ai hanya tertunduk.
""Apa kamu sudah yakin bahwa kamu benar?benar mencintainya?" tanya Mama sekali lagi. ""Jawab
Sayang. Jangan ragu," pinta Mama dengan sedikit
memaksa.
""Iya, Ma... Ai mencintai Atta. Ai benar?benar
mencintainya. .. tapi Ai takut kalau perasaan ini hanya
akan menjadi kenistaan. Ai takut kalau perasaan ini
nggak berbalas. Ai takut kecewa, Ma...," Ai memeluk
Mama. Ia sandarkan semua kegelisahan hatinya di
dalam dekapan Mama. Mama mengusap lembut
kepala Ai.
""Cinta itu indah Sayang. Biarkan ia tumbuh di
hatimu. Cinta itu tentang rasa. Ada rasa bahagia. Sedih.
Takut. Kecewa dan sebagainya. Semua itu bergantung
pada bagaimana cara kamu memandang cinta itu
sendiri... Kalau Ai memang sudah yakin dengan
perasaan Ai, berdoalah. Minta kepada Allah untuk
menunjukkan jalannya. Allah yang Maha Membolak?balikkan hati hamba?hamba?Nya. Dan kamu harus
percaya itu Sayang. Tapi. . .. Selain berdoa, kamu juga
harus berusaha," ucap Mama sambil tersenyum.
""Maksud Mama?"
""Kenapa kamu nggak utarakan isi hati kamu ke
Atta?"
""Utarakan isi hati?"
""Loh, apa salah? Khadijah, istri Rasulullah saw.,
saja datang melamar Rasulullah saw. Kenapa ia me?lakukan itu? Karena ia yakin dengan perasaannya.
Ia juga yakin Rasulullah tidak akan menyakitinya.
Sekalipun jika lamaran Khadijah ditolak olehnya."
"Sebenarnya... Resa memberikan ini ke Ai,"
lalu Ai mengambil brosur lomba penulisan cerpen
yang ia simpan di tasnya. Ai menunjukkannya dan
Mama membaca brosur itu saksama. ""Kata Resa,
mungkin cerpen itu bisa jadi media bagi Ai untuk bisa
menyampaikan perasaan Ai ke Atta."
""Benar ini! Kamu bisa sampaikan semua perasaan
kamu ke Atta tanpa merasa malu."
""Tapi Ai nggak tahu harus mulai dari mana, Ma.
Rasanya format cerpen yang singkat nggak cukup
untuk menampung semua perasaan Ai ke Atta."
""Siapa bilang? Bagaimana cara kamu tadi
menjelaskan perasaan kamu dan penggambaran kamu
tentang Atta ke Mama barusan, itu sudah sangat
mewakili perasaan kamu, Sayang. Mama sendiri aja
sampai kaget mendengar kata?kata yang kamu uraikan
tentang Atta barusan. Apalagi raut wajah kamu yang
begitu menampakkan rasa cintamu padanya."
""Apa ini nggak akan jadi masalah, Ma?"
""Ai... Jangan pernah takut untuk mecoba.
Anggap saja ini ikhtiar kamu dalam mendapatkan
jodoh kamu. Dan kalau memang kamu berjodoh
dengan Atta, Allah pasti akan mudahkan jalannya."
""Jadi lanjutkan aja, Ma?" tanya Ai menegaskan.
"" Raih kebahagiaan kamu, Nak! Jika memang Atta
adalah kebahagiaan sejati yang selalu kamu impikan,
maka kejarlah! Dan jangan pernah takut pada hal?hal
yang belum pasti."
Mama mengakhiri kalimatnya. Kemudian ia
bangkit dan mencium kening Ai dengan lembut.
Ia pun pergi meninggalkan Ai yang masih terpaku
di sudut ranjangnya. Mencoba meyakinkan dirinya
sendiri bahwa semua akan baik?baik saja.
Apa pun hasilnya, aku akan perjuangkan
perasaan ini. Ierena aku yakin bahwa perasa?an ini tulus dan suci... dan semoga Allah
memberkahinya. Aamiin. . ..
Ai kembali ke mejanya. Membuka laptop. Berpikir
sejenak, judul apa yang terbaik untuk cerpennya. Tak
butuh waktu lama, ia pun menemukannya.
Bismillah... ridailah ikhtiarku ini ya Allah....
Program Microsoft word pun dibuka. Ia ketik satu
per satu huruf yang akan menjadi judul cerpennya.
Hingga terbentuklah kalimat....
BIRU JINGGA
28 November 2013. Lima hari menjelang batas
akhir lomba. Ai berangkat ke kantor dengan
penuh rasa senang. Semalam ia berhasil membuat
separuh dari cerpen tentang isi hatinya kepada Atta.
Kekhawatirannya tidak bisa menguraikan setiap
kenangan yang ia miliki untuk Atta melalui kata?kata terbantahkan. Gejolak cintanya telah menjelma
menjadi pena. Menguraikan kalimat?kalimat indah
tertulis di nasakah cerpennya. Ai pun memutuskan
untuk memberitahukan Atta mengenai perlombaan
penulisan cerpen tersebut. Bukan bermaksud
menceritakan tujuan dari keikutsertaannya dalam
perlombaan itu, tetapi ia ingin ceritakan kepada Atta
bahwa ia mulai menulis lagi. Hobi sejak kecilnya yang
sudah lama ia tinggalkan. Namun niat tersebut Ai
urungkan hingga cerpen tersebut rampung. "Biar itu
menjadi kejutan untuk Atta," pikir Ai.
""Makasih ya Allah atas jalan yang Kau tunjukkan
ini... semoga dapat berakhir dengan indah. Aamiin,"
hanya kalimat itu yang berulang kali terucap dari
bibir Ai.
Kekuatan cinta benar?benar telah merasuk dalam
jiwanya. Begitu kuat. Menakjubkan! Tak tergantikan
oleh apa pun. Kali pertama Ai merasakan kesucian
cinta. Dan cinta itu sangat tulus. Ai menjadi tidak
sabar bertemu Atta. Tak sabar untuk kembali melihat
lesung?lesung pipi yang menawan. Tatapan mata
yang teduh. Juga sikap?sikap Atta lainnya yang selalu
membuat Ai tersenyum.
Matahari sudah menampakkan dirinya dengan
sempurna. Meninggi di ujung cakrawala. Terik sudah
bisa dirasakan meski tidak membuat silau hingga
harus memicingkan mata. Gumpalan?gumpalan awan
putih turut menghiasi langit biru yang luas. Terlihat
sedikit kawanan burung gereja terbang melintas cepat.
Jalan protokol masih terlihat cukup lengang. Mobil?mobil mewah dan bus kota melaju dengan kecepatan
lebih dari 60 km per jam. Wajar, hari ini adalah hari
Senin. Hari di mana hampir sebagian besar pegawai
masih merasa malas untuk berangkat kerja.
Jam tangan Ai menunjukkan pukul tujuh
lewat lima menit. Kondisi kantor masih cukup sepi.
Ruangan luas tempat ia bekerja pun masih gelap.
Hanya ada beberapa lampu di pojok ruangan saja
yang menyala serta dua orang office boy, yang sedang
bersih?bersih.
""Assalamualaikum!" Ai memberi salam kepada
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Supri dan Mas Herman yang sedang sibuk dengan
kain pel juga kemoceng. Tersenyum lebar. Wajahnya
sumringah sekali. Berjalan cepat menuju kursinya.
""Wa"alaikumsalam Mbak," sahut mereka bersa?maan.
""Waaah, kayaknya Mbak Ai lagi senang banget
hari ini! Bukannya gajian masih lama yah, Mbak?"
tanya Pak Supri. Meledek. Diiringi tawa kecil yang
masih bisa didengar oleh Ai.
""Iih Pak Supri bisa aja... kalau ini lebih
membahagiakan dari sekadar gaji, Pak!" Ai menarik
kursinya. Menghempaskan tubuhnya. Meletakkan tas
ransel hitamnya yang selalu berisi bekal makan siang
dari mama. Lalu meneguk beberapa teguk air putih
yang sudah tersedia dengan apik di meja kerjanya.
""Terus apa dong?" sahut Pak Supri. Masih
penasaran.
""Adaaa deh... hehehee...," sahut Ai cepat. Senyum
masih mengembang di wajahnya. Sejenak ia pandangi
kubikel tepat di depan meja kerjanya tersebut.
Kubikel yang selama ini memisahkan Ai dengan Atta.
Kubikel yang menjadi saksi bisu tiap kali mata mereka
bertumbu pandang. Dan juga rona semu?semu merah
tiap kali hati Ai bergetar ketika melihat senyuman
manis Atta.
""Astaghfirullah. .. Sudah cukup! Nggak baik
terus?menerus melamun!" Ai mengingatkan dirinya
sendiri. Ia tidak mau terus larut dalam dawai
cintanya. Ia takut kecewa. Kemudian Ai beranjak dan
bergegas menuju toilet, merapikan dandanannya dan
dilanjutkan dengan salat duha. Meskipun hanya dua
rakaat, tetapi Ai selalu menyempatkan dirinya untuk
salat duha.
Hari itu Ai terlihat begitu anggun. Ia mengenakan
long dress tanpa lengan berwarna ungu muda, dengan
sedikit kerut di bagian pinggang. Dilengkapi semi
blazer berwarna peach. Juga berbalut jilbab segitiga
berwarna dasar peach, senada dengan semi blazernya,
bermotif kupu?kupu kecil warna?warni.
Sesampainya di toilet, ternyata sudah ada rekan?rekan lainnya yang juga sedang dandan. Seperti biasa,
suasana toilet wanita tiap pagi selalu ramai. Selain
karena jumlah orang yang berada di dalamnya, tapi
juga karena celotehan?celotehan para wanita tersebut.
Ada yang bercerita tentang perjalanannya di bus,
kereta, atau tentang tugas?tugas yang di?pending.
Pada dasarnya, Ai merupakan wanita yang ham?pir tidak pernah berdandan. Kalau bukan karena ada
rapat penting yang mengharuskannya berdandan
sebagai seorang banker profesional, ia biasa hanya
menata wajahnya dengan bedak tabur dan lipstik saja.
Warna lipstik yang digunakan pun selalu berwarna
natural sehingga tidak terlalu mencolok. Jadi tidak
butuh waktu lama bagi Ai untuk berlama?lama di
toilet. Satu?satunya alasan yang membuatnya lama
berada di dalam toilet adalah MENGANTRE. Ruang
toilet yang tidak terlalu banyak dan sempit, membuat
para wanita itu pun harus bergantian bila ingin
berdandan ataupun berwudhu.
Tak terasa doa pagi dan jingle perusahaan telah
didengungkan. Pertanda bahwa sudah pukul delapan
tepat. Ai pun bergegas keluar. Meninggalkan rekan?rekan kerja lainnya yang masih asyik mengobrol sambil
berdandan. Ai pun menuju musala yang terletak persis
di sebelah ruang kerjanya. Sebelum masuk ke musala,
Ai selalu mengintip ke dalam ruangan untuk melihat
apakah Pak Win sudah datang atau belum. Kebiasaan
Ai yang tidak bisa ia hilangkan. Namun ternyata, kali
ini bukan Pak Win yang ia dapati. Melainkan Atta!
Dilihatnya Atta sudah mulai sibuk dengan gambar?gambar slide powerpoint di layar monitornya.
Mulai. Jantung Ai berdetak cepat. Denyut
nadinya tak beraturan. Ia menahan napas dan
menghembuskannya dalam?dalam. Perlahan. Ia coba
tenangkan dirinya. Ai buru?buru masuk ke musala
dan mengenakan mukena lalu salat. Ia buang jauh?jauh desir hatinya. Fokus kepada Tuhannya. Ai takut
Allah melihatnya dalam keadaan "mendua". Meski
cintanya kepada Atta telah bertakhta dalam hati,
tetapi Ai lebih takut kehilangan cinta Allah daripada
cintanya untuk Atta.
"Ya Allah, jagalah hati ini tetap suci. jangan
biarkan cinta ini membuatku lupa pada?Mu. Tapi
jadikanlah cinta ini semakin mendekatkankupada?Mu.
Bimbinglah cinta ini agar selalu berada di jalan yang
lurus. Aamiin... "Ai mengakhiri doanya. Kemudian ia
segera kembali ke ruangan sebelum Pak Win datang.
""Eh Ai lup yu baru keliatan...," celetuk Danar
begitu melihat Ai sudah ada di mejanya.
""Apaan sih Mas Danar!" sahut Ai setengah
berbisik. Sekilas ia lintaskan pandangannya ke
seberang kubikel. Ia lihat Atta masih sibuk menatap
layar monitornya. Entah tugas apa yang tengah
dikerjakan oleh Atta. Yang pasti hal tersebut cukup
aneh. Tidak biasanya pagi?pagi wajah Atta sudah
seserius itu. Ai penasaran.
""Mas Atta lagi ngerjain apa? Serius banget pagi?pagi," tanya Ai dengan tenang.
""Bukan apa?apa," sahutnya dingin. Sama sekali
tidak ada ekspresi. Bahkan untuk menatap Ai saja
tidak Atta lakukan.
""Ada apa ini?? Kenapa begini?" " Ai membatin.
""Memangnya mau ada rapat yah?" tanya Ai lagi. Ia
ingin memastikan bahwa semuanya baik?baik saja.
""Nggak,"
Astaghjirulkzh. .. apa ini ya Allah? Apa ini???....
Karena malu, Ai pun memutuskan untuk diam.
Ai tidak tahu apa yang telah terjadi. Mengapa Atta
berubah menjadi sangat dingin. Bukan Atta yang
biasanya. Jujur Ai sangat terkejut dengan perubahan
sikap Atta barusan. Tapi Ai masih berusaha berpikir
positif. Mungkin Atta sedang ada masalah dan tidak
ingin diganggu.
Ai kembali fokus pada pekerjaannya sendiri. Saat
ini ia mendapat tugas dari Pak Win untuk membuat
daftar marketing yang belum menyampaikan analisis
risiko pembiayaan atas masing?masing akun kelola?annya. Di mana selanjutnya daftar marketing beserta
akun pembiyaannya tersebut akan dilaporkan ke divisi
manajemen risiko untuk ditindaklanjuti. Usut punya
usut, ternyata daftar tersebut akan menjadi salah satu
bahan rapat direksi besok pagi.
Hening. Tak ada percakapan sama sekali di antara
empat kubikel itu. Termasuk dua kubikel antara Ai
dan Atta. Padahal biasanya dua kubikel itulah yang
selalu hidup. Penuh dengan obrolan dan canda tawa.
Namun kini penghuni kubikel tersebut sepertinya
sedang inginkan ketenangan.
Waktu berjalan sangat lamban. Ai mulai gelisah.
Diam?diam, berkali?kali ia coba menatap bola mata
Atta dari balik kubikelnya. Tetap sama. Apa yang
sebenarnya terjadi pada Atta, Ai benar?benar tidak
tahu. Seolah ada perang dingin di antara mereka.
Keadaan menjadi semakin tidak enak karena Danar
dan Hasbi juga sedang sibuk dengan pekerjaannya
masing?masing. Ingin rasanyaAi memecah keheningan
itu tapi bingung harus berbuat apa. Semenit berpikir,
akhirnya memutuskan ke minimarket dan membeli
beberapa cemilan. "Mungkin akan cair dengan
makanan" pikir Ai.
Beberapa jenis makanan ringan dibelinya,
termasuk cemilan favorit empat sekawan itu. Kali ini
harus berakhir. Ai tidak tahan jika sehari saja tidak
tertawa bersama Atta. Rasanya sakit sekali dada Ai.
Besar harapannya untuk bisa bercengkerama dengan
Atta. Setelah selesai membayar, Ai kembali ke lantai
satu. Tempat ruangannya berada.
""Siapa yang belum sarapan??! Taraaaaa!!! Aku beli
banyak makanan loh." dengan nada suara riang
Ai memecah kesunyian di antara Hasbi, Danar, dan
Atta. Matanya berbinar menatap teman?temannya
itu. Ai mengambil biskuit terlebih dahulu kemudian
menunjukkannya dengan bangga.
""Woooww... chocochips!" sahut Hasbi cepat. "I
love chocochips . . . nyyaammmm."
"Ai lop tuuu...," Danar menyambar omongan
Hasbi. Seperti petir.
""Ah, kamu mah ikut?ikut aja, sob!" celetuk Hasbi.
""Biariinn soobbbb. .. Ane emang suka.
Hehehee. . ."
Atta?? Sama sekali tidak merespons. Ai kecewa. Ia
hanya tertunduk.
""Dibuka dong Ai, goodtimes?nya. Udah ngiler
niih"
""Oh iya sebentar Kang," Ai mengambil gunting.
Diguntingnya pinggiran sisi plastik, kemudian dise?rahkan ke Hasbi.
"Kang! Sendirian bae... mau dong eiyke!"
"Bentaarrr. . ."
Bukannya ikut minta makanan tersebut, Atta
justru bangkit dari kursinya. Pergi.
""Eh mau ke mane, Mas? Kagak mau kue?" Danar
menghentikan langkah Atta.
""Sok aja Mas Danar, aku masih kenyang."
""Ah belagu nih Mas Atta! Kapan kamu sarapan
sampai bilang kenyang?" ledek Danar.
Atta benar?benar pergi. Entah ke mana. Mata Ai
bergerak mengikuti arah langkah Atta hingga akhirnya
tak terlihat lagi.
Astaghjirulbzh... kenapa dadaku sakit? Sesak.
""Kenape Ai? Bengong aja dari tadi," tanya Danar
membuyarkan lamunan singkat Ai.
""Aku nggak bengong. Cuma lagi mikir aja."
""Waduuuh... gaya banget lagi berpikir. Itu mah
kelihatan banget bengongnya kali, Ai!"
"Sok tahu ah..," Ai membalas singkat. Mencibir
temannya itu.
Ternyata Atta pergi ke toilet. Ia ambil wudu.
Mencoba menenangkan dirinya yang gusar. Jauh
di dalam lubuk hati Atta, tidak mampu ia berbuat
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti itu. Mendiamkan Ai seolah?olah ia tidak
ada. Mengalihkan pandangannya dari wajah lugu
Ai. Berpura?pura serius mengerjakan pekerjaan
yang sebenarnya tidak ada. Menjawab pertanyaan
Ai dengan singkat dan dingin. Sungguh bukanlah
perkara mudah bagi Atta. Bagaimana pun juga Ai
telah memiliki tempat di hati Atta. Meski hanya
setitik, tapi tempat itu sangat dalam.
Atta sadar betul bahwa ia memiliki janji kepada
Sarah. Berjanji untuk berusaha mencintai gadis
itu sepenuh hatinya. Menjaga Sarah di saat ia jauh
dari orangtuanya yang berada di Jogja. Prahara itu
datang seiring kedekatannya dengan Ai. Gadis lugu,
sederhana, dan lembut itu membuatnya terjerumus
dalam alunan cinta. Perasaan yang tidak pernah ia
berikan untuk Sarah. Namun janji tetaplah janji.
Harus tetap ditepati.
Kenapa kita harus bertemu Ai? Kenapa kita
harus bertemu. . .?
Jangan menatapku dengan sorotmata itu lagi. ..
jangan pernah tersenyum untukku lagi... aku
jelas?jelas tidak bisa membahagiakanmu lebih
lama. Kamu akan hancur jika kamu tahu
bahwa aku sudah tidak sendiri... aku bisa
merasakan kehadiran cinta di antara kita.
Meski bibirmu tidak pernah mengucapkannya,
tapi hati ini mampu menerjemahkan semua
isyarat yang kau berikan untukku.
Aku bukanlah pria yang tepat untuk
mendampingimu. Aku tidak pantas menerima
ketulusan cintamu... aku juga tidak mau
melihatmu terluka karena aku. Meneteskan
air matamu hanya karena aku... karena aku
sangat sadar bahwa aku tidak akan pernah
bisa menghapus air matamu sampai kapan
pun.
Aku nggak akan pernah bisa Ai....
Atta membasuh kembali mukanya dengan air. Ber?harap dinginnya air mampu mendinginkan hatinya.
Ternyata tidak. Tidak ada yang mampu mendingin?
kan hati Atta yang panas.
""Loh, Sob... ngapain ente di sini??" tiba?tiba
terdengar suara yang Atta kenal. Memanggilnya. Ia
pun menoleh. Ternyata Danar. Ia baru saja masuk.
Kemudian melihat Atta tengah menundukkan
wajahnya ke wastafel. Basah.
""Eh, Mas Danar!" betapa terkejutnya Atta. ""Sejak
kapan di sini?" selidik Atta.
""Baru kok. Eh pas saya masuk, Mas Atta lagi
begitu."
"Hahaha.. Jangan bilang "begitu" juga kali Mas,
kesannya aku habis ngapain,"
""Iya juga sih," Danar menggaruk?garuk kepala?nya. ""Emangnya ente kenapa, Mas? Lagi suntuk yah?
Minum kopi gih, di mejaku ada satu sachet kopi kalau
mau,"
""Ah nggak usah Mas. Cuma lagi banyak pikiran
aja."
""Hahaaa... Gaya banget sih Mas," Danar tertawa
terbahak?bahak.
""Yowis Mas Danar, aku duluan yah."
""Okeee!"
Merasa tidak enak berlama?lama di luar,
Atta kembali ke ruangan. Dari balik pintu masuk
yang terbuat dari kaca, Atta bisa melihat Ai dari
jauh. Dilihatnya wajah Ai tidak riang seperti hari?hari kemarin. Saat di mana mereka begitu akrab.
Menikmati obrolan ringan. Cerita tentang keindahan?keindahan tempat di belahan bumi lainnya. Tertawa
mengomentari foto?foto narsis Atta. Dan hal?hal
menyenangkan lainnya yang membuat chemistry di
antara mereka berdua tercipta. Atta bisa melihat raut
wajah sedih itu. Meski Ai sesekali tersenyum, berusaha
menutupi kesedihan itu, tapi tidak dengan matanya.
Sekilas Atta melirik ke arah Ai. Mata mereka
menatap satu sama lain. Satu detik. Dua detik. Atta
segera menarik pandangannya. Hati Atta goyah.
Tubuhnya lunglai. Begitu pula dengan Ai. Melihat
sikap Atta seperti itu, ingin rasanya ia menangis.
Tapi jelas tidak mungkin ia melakukannya. Hening.
Keributan yang terjadi di ruangan itu tidak mampu
menembus kesunyian di antara Ai dan Atta.
Tidak bisa seperti ini. Aku harus bertanya.
Aku harus tau apa yang sebenarnya terjadi.
Ai meraih ponselnya. Mencari media chatting yang
biasa ia dan Atta lakukan tiap kali mereka ingin bicara
tanpa diketahui orang lain. Whatsapp. Ai cari kontak
Atta. Mulai mengetik.
Mas Atta
Ada apa?
Sakit yah?
Send.
Tidak ada respons. Ai menghela napas panjang.
Namun tiba?tiba lampu di ponsel Ai menyala!
Pertanda ada pesan masuk. Dibukanya.
Nggak
Atta membalas.
Kenapa diam aja?
Marah sama aku?
Aku salah apa?
Ai membalas lagi.
Nggak
Tenang aja
Cuma lagi males
Ai habis akal. Ia menyerah. Ai membalas untuk yang
terakhir kali.
Ya sudah
Jangan marah sama aku yah
Kalau Mas Atta marah, aku bisa ketawa sama siapa lagi
nanti?
"Astaghfirullah... gadis ini..., " Atta membatin. Sama
sekali ia tidak menyangka jawaban seperti itu yang
akan didapatkan. Sesederhana itukah? Sesederhana
itukah hingga kau bisa memendam rasa untukku,
Ai? Hanya karena aku bisa membuatmu tertawa? Apa
benar hanya sebatas itu? Ya Allah... betapa jahatnya
aku! Aku telah menyiksa perasaannya. Harapannya.
... apakah benar hanya aku yang bisa membuatmu
tertawa dan bahagia? Apa yang aku miliki Ai? Aku
tidak memiliki apa?apa. Aku bahkan tidak lebih dari
sekadar penjahat untukmu! Apa yang tekzh aku lakukan
hingga kamu seperti ini? jangan berbuat seperti itu...
Hidup ini sangat indah Ai. Nikmatilah! Berbahagialah!
karena kamu memang pantas bahagia. . .. "
Atta pun memutuskan membalas whatsapp Ai.
Apaaa siiiiii
Emangnya aku badut?
Bisa bikin kamu ketawa
Apa yang terjadi? Bukannya memperbaiki suasana, Ai
justru semakin merasa tidak enak. Ai memojokkan
dirinya. ""Aku pasti berbuat kesalahan," batin Ai. Ia
pun memutuskan untuk tidak melanjutkan chatting
itu. Ai tundukkan kepalanya dalam?dalam. Matanya
sudah berkaca?kaca. Ia tidak berani mengangkat
kepala. Khawatir air matanya menetes ketika melihat
raut wajah Atta yang sangat dingin itu.
Kenapa kamu berubah, Mas? Apa salahku? Apa aku
telah melakukan kesalahan? Tapi apa? Jelaskan mas
Atta... tolong jelaskan padaku. Jangan diamkan aku
seperti ini, sakit mas rasanya. .. sakit....
Hari itu pun berakhir. Hingga jam kantor usai, Atta
tidak mengubah sikapnya. Ia tetap mengacuhkan Ai.
Tanpa kata. Tanpa penjelasan sedikit pun. Suasana
di antara mereka bagai angin musim gugur. Dingin.
Sepertinya bunga?bunga cinta di hati Ai mulai pucat.
Siap meranggas. Entah selanjutnya bagaimana. Ai
hanya bisa menanti dalam diam. Semoga kondisi
seperti itu dapat cepat berakhir. Hanya itu harapan
terbesar Ai.
SETIAP DETIK
PUNYA CERITA
""Resa... sepertinya aku nggak sanggup melanjutkan
cerpen itu."
""Loh, ada apa Kak? Bukannya Kak Ai sudah
hampir menyelesaikannya? Kenapa sekarang tiba?tiba
bilang nggak bisa melanjutkan? Ada apa, Kak?"
""Atta, Sa... Atta."
""Ada apa dengan Mas Atta?"
""Dia berubah... sudah dua hari ini kami nggak
bicara. Jangankan bicara, sekadar untuk menatap
aja nggak. Aku nggak ngerti kenapa dia berubah,
semuanya terjadi begitu aja, Sa...," Ai menahan
kata?katanya. Berusaha membendung air mata yang
hampir tumpah. Menggigit bibirnya.
""Tenang Kak Ai. .. Kakak jangan berpikir negatif
dulu, mungkin Mas Atta memang sedang ada masa?lah. Lagian kan ini baru dua hari. Kalau sudah tiga
hari, baru kakak coba tanya baik?baik langsung
dengan Mas Atta."
""Sudah, Sa. Aku sudah tanya sejak pertama
kali dia diemin aku, dan dia cuma jawab "nggak ada
apa?apa". Nggak lebih dari itu," Ai menghela napas
panjang.
""Ya sudah, sekarang Kak Ai maunya gimana?
Mau stop di sini aja? Menghentikan apa yang sudah
kakak mulai? Apa itu mau kakak? Kakak yakin?"
""Aku nggak tau... sama sekali nggak tahu harus
bagaimana," terdengar desahan di ujung telepon.
Berat.
""Ayolah Kak, mana Kak Ai yang kuat? Yang
selalu pegang teguh keyakinannya? Di mana Kak
Ai yang tidak pernah berhenti di tengah jalan? Apa
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun dan bagaimana pun kondisinya?" Resa mencoba
menguatkan Ai. Meskipun sadar masalah perasaan
bukanlah perkara mudah, apalagi buat Ai yang baru
kali pertama jatuh cinta. Tapi itulah kenyataannya.
Cinta tak selamanya indah. Ada saatnya ia seolah pergi
menjauh. Walaupun sebenarnya ia selalu ada. Semua
hanya bergantung pada cara kita memandang cinta
itu. Bagaimana kita mengartikannya. Merasakannya.
Juga memaknainya.
""Ingat Kak, luapkan semua perasaan Kakak
di cerpen itu. Apa yang dirasakan dan yang Kakak
harapkan. Karena kita nggak akan pernah tahu seperti
apa akhirnya, jadi lakukan aja semampu yang Kakak
bisa. Setelah kita berusaha, sisanya biarkan Allah
yang memainkan perannya," Resa menjawab dengan
lembut.
""Makasih, Sa. Makasih karena kamu sudah
menguatkan keyakinanku atas perasaan ini. Meski?pun aku nggak pernah tahu perasaan Atta ke aku,
tapi cukup ketulusan cinta ini yang membuatku
bahagia. Aku mencintainya karena Allah, maka aku
serahkan cinta ini kepada Allah juga. Jika memang
kami berjodoh, maka takdir akan menemui jalannya
sendiri."
Bulir?bulir air mata Ai tak mampu dibendung.
Menetes perlahan. Membasahi ujung?ujung bibirnya
yang tersenyum. Hatinya terasa lega.
""Aku yakin Kakak bisa. Lakukan dengan hati
tulus. Buang jauh?jauh emosi dan pamrih Kakak.
Insya Allah semuanya akan berjalan dengan lancar,
asal kakak yakin."
Telepon ditutup. Ai kini merasa jauh lebih baik.
Semenjak kejadian dua hari lalu, perasaannya memang
kacau. Kekecewaan, kesedihan, gamang, berkecamuk
menjadi satu. Tidak memberikan sedikit ruang bagi
Ai untuk menilik satu per satu dan menentukan sikap.
Emosi merajai hatinya yang gusar.
63
Halaman empat. Tersisa kurang lebih tiga halaman
lagi untuk menjadikannya sebuah cerita pendek utuh.
Ai mengambil laptopnya. Membuka kembali file yang
bernama "cerpenku". Tampak ratusan kata berderet
menjadi satu membentuk kalimat?kalimat indah.
Kalimat yang begitu hidup. Sarat makna. Tersurat dan
tersirat. Bergumul bak awan panas yang baru keluar
dari kawah gunung berapi. Bergejolak. Membumbung
tinggi ke angkasa. Berusaha menyebarluaskannya
ke seluruh penjuru langit. Jika awan panas gunung
berapi membuat kerusakan, tetapi kalimat?kalimat
Ai justru membuat kedamaian bagi siapa saja yang
membacanya.
Dengan mengucap basmallah, Ai kembali mulai
memainkan jari?jarinya di atas keyboard. Huruf demi
huruf membentuk kata. Kata demi kata bersatu
membentuk kalimat hingga menjadi sebuah alinea.
Sesekali jemarinya berhenti. Ia pejamkan matanya.
Mencoba merasakan getaran dalam jiwanya. Getaran
yang selalu ia rasakan setiap kali mengingat Atta.
Cinta Ai kepada Atta memang sangat tulus dan
sederhana. Tidak muluk?muluk. Tidak perlu rayuan
manis. Tidak perlu sikap?sikap mesra yang dibangun
dengan kemunafikan. Cukup dengan tetap membuat?nya tersenyum dan tertawa. Cukup dengan obrolan?obrolan ringan tentang keindahan dunia yang belum
63
pernah Ai lihat. Juga cukup dengan kata?kata bijak
yang kerap kali terlontar dari bibir Atta. Itu sudah
lebih dari cukup bagi Ai.
Mas Atta, kelak jika kamu membaca cerita
ini, apakah kamu akan menyadari bahwa
cerita ini adalah cerita tentang kita? kaulah
pria yang kugambarkan ini adalah dirimu?
Dan perasaan cinta yang mengalir indah
di setiap kata adakzh bentuk rasa cintaku
kepadamu? Sungguh, aku tidak tahu apakah
cerita ini akan tersampaikan atau tidak.
Dan apa tanggapanmu setelah membacanya.
Harapan terbesarku adabzeh cerita ini mampu
menjadi prasasti yang senantiasa berdiri kokoh
di hatiku. Bukti atas tulusnya perasaan ini
padamu. Cerita ini juga akan menjadi syair
lagu terindah di sepanjang hidupku.
Tiga jam berlalu. Waktu menunjukkan pukul sebelas
malam. Betapa terkejutnya Ai. Siapa sangka bahwa
cerpen itu kini telah rampung! Ya, cerita pendek
yang Ai tulis sudah mencapai halaman ketujuh. Itu
berarti ia telah berhasil menuntaskan seluruh halaman
yang harus ia ciptakan untuk menjadi sebuah cerita
pendek. Ai tersenyum puas. Matanya berbinar. Dada?nya bergemuruh menyaksikan apa yang baru saja
63
dilakukannya. Batas waktu pengumpulan cerpen pun
masih tersisa tiga hari lagi. Cukup baginya untuk
membaca ulang dan merevisi. Ai juga masih bisa
meminta Resa untuk membacanya dan memberikan
komentar.
""Aaahh... Alhamdulillah...," Ai tersenyum
lebar sekali. Gigi?giginya yang putih bersih terlihat
sempurna. Beberapa helai anak rambut yang dibiarkan
jatuh di sekitar telinganya membuatnya semakin
menawan. Pupil matanya yang kecil membesar.
Takjub! ""Ya Allah... akhirnya selesai juga.. Kalau
bukan karena kuasa?Mu, aku pasti tidak akan bisa
melakukan ini semua. Terima kasih ya Allah."
Setelah merapikan format tulisan dan membaca
untuk yang terakhir kali, Ai mengirim e?mail ke
Resa. Berharap besok pagi, Resa berkenan untuk
membacanya dan memberikan komentar.
To: varesaGgmail.com
Subject: Biru Jingga
Assalamualaikum Resa sayang...
Alhamdulillah akhirnya aku bisa menyelesai?kan cerpen ini. Kalaiibukan karena dukunganmu
mungkin sekarang lembaran?lembaran cerita
yang sudah aku tulis hanya akan menjadi file
yang sia?sia di laptopku.
Oh iya, aku sengaja kirim cerpen ini.
Semoga kamu berkenan untuk membacanya dan
mengomentari jika ada yang kurang menurutmu.
Bagaimanapun juga kamu kan produserku,
hehee. Berhubung waktunya mepet, kalau
boleh aku tunggu balasannya besok yah
sayang agar masih sempat aku revisi.
Sekali lagi makasih banyak Resa atas ban?tuannya. Betapa beruntungnya aku memiliki
seorang teman sekaligus adik sepertimu.
Salam untuk suamimu yah C
Wassalmualaikum.
Salam sayang,
Ai
? Send ?
Selanjutnya Ai mengopi file itu ke hard disk?nya.
Mematikan laptop. Kemudian menghempaskan
tubuhnya ke ranjang. Mengangkat rambut panjangnya
melintasi bantal. Merebahkan kepalanya. Menatap
langit?langit kamarnya. Sinar lampu pijar berwarna
putih berpendar dengan sangat terang. Putih. Silau.
Ai pun memejamkan matanya rapat?rapat. Berzikir
dan berdoa dalam hati hingga terlelap tidur.
"Waaah ada singkong kukus keju!!" teriak Ai sambil
berjalan menuruni anak?anak tangga. Lincah.
63
30 November 2013. Hari Sabtu pagi. Di ruang
makan, papa tengah menikmati singkong kukus keju
buatan Mama sambil menyeruput kopi hitamnya.
Uban yang hampir memenuhi kepala Papa, tidak
membuat Papa terlihat lebih tua dari usianya. Papa
tetap terlihat gagah meski usianya telah melebihi
separuh abad. Tubuh tegapnya yang selama ini
senantiasa melindungi istri dan anak?anaknya tidak
berubah. Leher jenjangnya. Rahang kuatnya. Juga
lengan besarnya tidak luput dimakan usia.
""Pagi?pagi udah teriak makanan aja nih gadis.
Bukannya bantuin Mama nyiapin sarapan. Bagaimana
mau dapat jodoh kalau jauh dari dapur?" ledek Papa.
""Iiiih Papa, kok malah doain anaknyajauh jodoh
sih? Huhuu."
""Loh Papa justru ingatkan kamu. Nah, supaya
jodoh kamu dekat, kamu juga harus dekat?dekat
dengan dapur. . .."
""Mamaaa. .. Papa tega sama Ai. .. kan cuma kali
ini aja Ai nggak bantu masak."
""Sudah?sudaaah... Papa kan cuma bercanda
Sayang. Kamu kan selalu dekat sama dapur, tuh
buktinya tiap Mama selesai masak, kamu selalu datang
tepat waktu terus nyicipin deh!"
""Mamaaaaaaa. . .."
""Hahahaa," Papa dan Pama tertawa bersama.
Mereka menatap satu sama lain. Menyaksikan bahwa
putri kecilnya kini sudah tumbuh menjadi gadis
luar biasa. Cantik. Salehah. Pintar. Dan pastinya
selalu membanggakan kedua orangtuanya. Setahun
yang lalu baru saja kakak perempuan Ai menikah.
Itu berarti tidak lama lagi Ai akan segera menyusul.
Mungkin satu atau dua tahun lagi. Atau mungkin
bahkan kurang dari setahun ini! Siapa tahu? Jika Allah
sudah berkehendak, maka apa pun akan terjadi. Kun
fllyclkun.
""Ma, belakangan ini Papa lihat sepertinya ada
yang beda yah sama Ai. Ada apa sih, Ma?" tanya
Papa menyelidik setelah menyudahi gigitan terakhir
singkong kukus kejunya.
""Loh, Papa belum tahu? Anak kita ini lagi jatuh
cinta, Papa!"
""Oh iya?! Waah, Papa ketinggalan cinta dalam
berita dong,"
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
""Iiih apaan sih... dari tadi ledekin Ai melulu,"
Ai mencibir. Malu. Wajahnya merah padam. Salah
tingkah.
""Jadi, siapa pria beruntung itu, Ma?"
""Teman kantornya, Pa. Atta namanya. Benar
kan Sayang?" Mama menoleh. Melirik genit ke Ai.
Sementara Ai hanya bisa mengangguk. ""Oh iya, jadi
bagaimana kelanjutan perlombaan cerpen itu? Sudah
kamu kirim?"
63
""Belum, Ma. Deadline sih sebentar lagi. Semalam
baru aja selesai dan sekarang lagi menunggu komentar
dari Resa. Siapa tahu dia bisa kasih saran sebagai
pembaca," jawab Ai bersemangat.
""Lomba cerpen? Buat apa?" papa bertanya heran.
""Jadi begini loh, Pa. . . Ai sengaja ikut perlombaan
cerpen untuk bisa mengutarakan perasaannya pada
Atta. Yaa, syukur kalau bisa menang juga," jelas Mama
singkat.
""Lalu, kalau sudah selesai, bagaimana caranya
teman kamu tau perasaan kamu? Siapa tadi namanya?
Papa lupa."
""Atta," jawab Ai.
"Ah iya, Atta,"
Hening. Ai terdiam. Jujur sampai saat ini Ai
sendiri masih mencari cara untuk memberikan tulisan
yang dibuatnya itu ke Atta. Entah bagaimana caranya,
Ai juga masih memikirkannya.
""Insya Allah ada jalannya, Pa," jawab Mama
singkat.
""Nggak bisa begitu, Ma. Lagi pula kenapa nggak
kamu kasih langsung aja? Kalau memang kamu yakin
dengan Atta, ya sangat wajar jika kamu berikan cerpen
itu padanya. Dan sebetulnya tidak peduli menang
atau kalah, selesai cerpen itu dibuat, yah langsung
saja diberikan ke yang bersangkutan. Daripada kamu
menyesal karena sudah buang?buang waktu. Ingat,
setiap detik apa pun bisa terjadi. Setiap detik akan
selalu ada sejarah yang tercipta. Dan sejarah tidak
pernah menunggu, karena itu buatlah sejarah untuk
dirimu sendiri!" jawab Papa sambil mengambil
singkong rebus kembali.
"" Bagi papa, tidak masalah pria atau wanita duluan
yang menyatakan perasaannya. Selama kamu yakin
dan kamu siap menanggung risiko, lakukan saja. Dan
selama kamu menyatakannya dengan cara yang benar,
ya sah?sah saja kamu lakukan itu. Memang, semua
yang berkaitan dengan perasaan pasti terasa tabu dan
sensitif Tapi yang harus diingat dan diperhatikan
adalah bahwa jodoh itu dijemput bukan ditunggu.
Tapi bukan berarti, kita sebagai manusia dengan
mudahnya mengumbar perasaan dan kata cinta.
Sejatinya cinta itu suci dan tidak main?main. Makanya
papa tegaskan sekali lagi. Selama kamu yakin dengan
perasaanmu, ya silakan kamu utarakan. Tapi... jika
kamu belum yakin, lebih baik diam. Tunggu sampai
kamu benar?benar yakin. Dan mintalah Allah untuk
segera memberikan jalan keluarnya."
""Jadi menurut Papa lebih baik bagaimana?"
""Kok, tanya Papa? Tanya diri kamu sendiri.
Apa yang ingin kamu lakukan. Papa yakin kamu
sudah punya jawabannya, tapi kamu masih ragu saja.
Bukannya begitu?" Papa tersenyum penuh makna
sambil melanjutkan makannya.
Ibarat asap, yang mulanya terlihat dengan jelas,
lalu lama?kelamaan lenyap. Namun, asap itu tetap
menimbulkan bau. Seperti itulah kata?kata papa
menurut Ai. Meskipun sudah selesai dibahas, tetapi
tetap menimbulkan sejuta pertanyaan baginya yang
harus dijawab. Apa yang dikatakan Papa memang
benar. Sejarah itu diciptakan, bukan ditunggu.
Namun, mampukah Ai menciptakan sejarahnya
sendiri? Sementara ia teringat bahwa beberapa hari
lalu, ia tidak berbicara dengan Atta dan hampir me?mutuskan untuk berhenti menulis cerpen. Apakah
dengan kondisi seperti itu ia masih sempat memikir?kan untuk menyatakan perasaannya kepada Atta?
Sedangkan ia merasa hubungannya dengan Atta
dapat kembali seperti semula jauh lebih dari cukup
dan lebih penting dari sekadar perasaannya semata.
Atau mungkinkah ini jawaban dari semua doa?doa Ai
selama ini? Haruskah berakhir secepat ini? Bahkan di
saat ia baru saja memulai merajut mimpi?mimpinya.
Ai masih gamang. Tidak tahu harus melakukan
apa selanjutnya. Baginya, ia sudah bisa menyelesaikan
cerpen itu adalah salah satu bentuk ikhtiarnya yang
sangat besar setelah apa yang baru saja terjadi. Dan
satu hal. Ai masih berharap bahwa dengan berakhirnya
cerpen yang ia tulis, bukan berarti berakhir pula
semua harapan?harapannya. Berakhir hanya dengan
rangkaian kata?kata di atas kertas saja. Tanpa makna.
Meskipun ia sering berkilah bahwa ia ikhlas dengan
apa pun takdir Allah, tapi siapa sangka bahwa jauh di
dalam lubuk hatinya ia masih menyimpan asa untuk
Atta. Asa bahwa Atta adalah imam yang ia dambakan
selama ini. Imam yang senantiasa mengingatkan Ai
pada kebesaran Allah. Seorang imam yang selalu
mendampingi Ai di saat suka maupun duka. Dan
seorang imam yang akan menjadikan Ai sebagai satu?satunya bidadari di surga bagi Atta.
Sesungguhnya, seorang istri yang salehah adalah
pemimpin para bidadari?bidadari surga dan ia
akan mendampingi suaminya dengan kekal di
surga.
Selesai melaksanakan salat Asar, Ai kembali membuka
laptopnya. Mencari file yang berjudul "cerpenku".
Dapat. Ia amati judul yang tertera di halaman pertama.
Entah mengapa dua kata tersebut muncul begitu saja
di kepalanya saat itu. Tanpa berpikir panjang, bahkan
tanpa tahu alasannya, ia langsung menjadikan dua
warna tersebut menjadi intisari dari cerita yang ia
63
buat.
BIRU JINGGA. Dua warna. Dua kata. Namun
sarat makna. Ai meraba?raba memorinya. Kenapa
harus dua kata itu? Kenapa bukan kata yang lainnya?
Kalau boleh jujur, hingga detik ini Ai sendiri sama
sekali tidak tahu alasannya. Yang ada di pikirannya saat
itu adalah ia ingin sekali bisa melihat fajar dan senja
bersama dengan Atta. Bukan sekali saja, tetapi setiap
fajar dan senja sepanjang hidupnya. Di mana pun
fajar dan senja itu datang dan terlihat, bagaimanapun
keadaannya, Ai tidak peduli. Asalkan bersama Atta,
maka dua warna itu akan terlihat sangat indah bagi
Ai.
Ketika larut dalam khayalannya, tiba?tiba saja
ponsel Ai berdering. Resa menelepon.
""Assalamualaikum," Ai mengawali pembicaraan.
""Wa"alaikumsalam, Kak," terdengar suara sendu
di ujung telepon. Lirih sekali.
""Resa, kamu kenapa? Kamu habis menangis?"
Ai panik. Sudah lama sekali, mungkin lebih dari
dua tahun yang lalu, Ai tidak pernah mendengar
Resa menangis. Terakhir adalah sewaktu perpisahan
kelulusan Ai dahulu.
Diam. Resa tidak menjawab. Hanya terdengar
lirih suara isak tangis.
"" Sa, apa kamu baik?baik aja?"
Resa menggeleng dari balik telepon. Resa tidak
sanggup melanjutkan kata?katanya. Air mata yang
63
mengalir deras membuatnya sibuk mengusap dengan
jemarinya yang halus. Berkali?kali.
""Sa... ada apa? Jangan bikin kakak khawatir!"
""Masya Allah. Masya Allah. Masya Allah. . .."
Betapa bingungnya Ai. Mengapa tiba?tiba saja
Resa mengucapkan lafaz "masya Allah" sedangkan ia
sedang menangis.
""Masya Allah atas indahnya cinta yang Allah
titipkan padamu, Kak," Resa mulai bicara. ""Aku
nggak bisa berkata apa?apa selain masya Allah...,"
ucapnya tersedu.
"" . .. bagaimana Kakak bisa melakukan ini semua?
Bagaimana kakak bisa berujar dengan zuhud di
saat cinta menguasai hati Kakak? Bagaimana Kakak
bisa menyimpan besarnya harapan Kakak terhadap
cinta itu sedalam samudra? Bagaimana Kakak bisa
menerbangkan semua keegoisan Kakak ke atas langit
dan membiarkannya pergi menjauh dari kakak...?
Bagaimana bisa Kak? Bagaimana bisa? Bahkan aku
nggak habis pikir dengan apa yang telah aku baca."
Kini Ai mengerti apa yang sedang Resa bahas.
Mendengar semua pertanyaan Resa, Ai hanya bisa
tersenyum.
""Wallahi Sa... Demi Allah yang Mahasempurna.
Sungguh aku nggak sesempurna apa yang kamu
bayangkan. Dan sungguh kesempurnaan hanyalah
milik Allah aja. Apa yang kamu baca adalah bentuk
63
kesempurnaan sang Maha Cinta. Aku hanyalah
perantara yang kebetulan dititipkan sedikit saja dari
kesempurnaan itu...
alhamdulillah, Allah berbaik hati karena telah
menitipkan cinta yang suci itu padaku. Dan aku
nggak mau mengotorinya dengan semua kezalimanku
sebagai manusia. Makhluk yang lemah. Apa yang
aku rasakan, aku ingin Allah?lah yang menjaganya.
Cukup Allah saja yang mengurusnya. Meskipun
nggak mudah, tapi itulah tugasku," ucap Ai sambil
tersenyum.
""Demi nama Allah yang Maha Indah, sungguh
keindahan itu jelas dan nyata ada pada dirimu, Kak.
Aku berdoa semoga keindahan itu juga dapat dilihat
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh pria yang kau cintai dan yang kau harapkan.
SemogaAllah membuka mata kepala dan mata hatinya
agar ia dapat melihat dengan jelas siapa wanita yang
mencintainya itu. Sudah sepatutnya ia bersyukur jika
ia telah mengetahuinya. . .," ujar Resa dengan lantang.
Suaranya tak lagi parau.
"" . . . dan jika waktu itu tiba, semoga para malaikat
membentangkan sayapnya, berdoa dan memohon
kepada Rabbnya, semoga kalian dipersatukan dalam
ikatan suci pernikahan. Pernikahan yang abadi untuk
selamanya.. Aamiin," ucap Resa melanjutkan.
""Aamiin... makasih banyak atas doa dan
dukunganmu, Sa. Aku selalu berharap dan berdoa
semoga akhir yang terbaik?lah yang akan kudapat. Apa
pun keputusan Allah, pastilah aku nggak akan pernah
mampu mengingkarinya. Karena sudah menjadi
keyakinanku untuk memercayakan sepenuhnya pada
Allah ta" ala."
""Insya Allah, Kak. . .."
Mereka berdua pun tersenyum di balik telepon
masing?masing.
"Oh iya, Kak. Menurutku cerpen Kakak ini
sudah nggak ada yang perlu direvisi. Langsung saja
dikirim," Resa mengatakan dengan penuh semangat.
""Alhamdulillah kalau begitu. Eh, tapi apa kamu
yakin nggak ada yang perlu direvisi?"
""Cerpen Kakak sudah buat aku nangis bombay
seperti ini, masih nanya apa perlu direvisi?? Wahh
sombongnya mentang?mentang jago menulis. . . ."
""Hahahaa, bukan begitu Sa. Masalahnya adalah
posisi kamu sebagai temanku, jadi secara nggak
langsung emosi kamu cenderung lebih cepat larut
dengan jalan ceritanya."
"" Kakak mau tahu nggak?"
""Apa?"
""Tadi sebelum aku baca cerpen Kakak, suamiku
sudah baca duluan. Aku sengaja kasih dia lebih dulu
karena aku tadi lagi repot masak."
"APAAA???!! Suamimu juga ikut baca??!!"
63
""Justru itu, karena nanggung sudah mau selesai
masaknya, jadi aku suruh dia baca lebih dulu. Lalu
tiba?tiba aku dengar suamiku sesegukan. Aku kaget.
Dari dapur aku langsung lari ke kamar. Ternyata dia
nangis gara?gara baca cerpen Kakak. . .."
""Ah masa sih? Kamu bikin kakak geer aja nih. . .,"
Ai tersipu malu.
""Beneran Kak, untuk apa aku bohong? Dan
benarlah, pas giliranku, selesai membacanya, aku
langsung nelepon Kakak. Aku mau langsung nangis
di depan penulisnya! Hehee. . .."
""Syukur alhamdulillah kalau begitu... jadi besok
pagi udah bisa aku kirim via e?mail dan hari Seninnya
aku kirim via pos. Semoga aja kalian berdua bisa
mewakili suara juri yah."
""Insya Allah sudah cukup, Kak. Lagi pula,
bukannya Kakak bilang bahwa menang atau kalah itu
nggak terlalu penting? Yang penting adalah perasaan
Kakak dapat tersampaikan dengan baik. Benar, kan?"
""Benar sekali, Sa. Yang penting adalah aku
bisa mengutarakan semua yang kurasakan dan yang
kuharapkan," Ai memejamkan matanya. Terlihat
bayangan wajah Atta di sana.
Terima kasih Atta... terima kasih....
JADILAH
YANG PERTAMA
02 Desember, Senin siang. Sejak pagi hingga sekarang,
Atta masih belum menunjukkan perubahan sikapnya.
Tetap dingin dan terlihat menghindar. Namun kali
ini Ai tidak mau larut dalam sikap dingin Atta. Ia
akan mengembalikan keadaan hubungan mereka
seperti dulu. Selesai menghabiskan makan siangnya di
pantry, tepat pukul dua belas lebih empat puluh lima
menit, ia pun kembali ke mejanya. Kondisi kantor
saat itu belum ramai. Banyak dari rekan?rekan kantor
Ai belum kembali, menghabiskan jam istirahatnya di
luar. Dilihatnya Atta tidak makan siang di luar seperti
biasanya, kali ini ia memilih makan siang di ruangan
saja.
""Mas Atta makan apa?" tanya Ai berusaha
mencairkan suasana. Ai berdiri dan menghadap ke
arah meja Atta.
63
""Apa?" sahut Atta cepat. Kepalanya mendongak.
Ai tersenyum. Betapa senangnya ia, Atta mau
menatapnya. Lagi.
""Mas Atta makan apa? Lahap banget."
""Ooh... Iya nih, lapar," Atta kembali menunduk.
Fokus dengan makanannya saja. Tidak ada jawaban
lagi. Berhenti sampai di situ.
Sadar menjadi seperti itu, Ai hanya mendesah
dalam hati. Ia pun mulai membuka pembicaraan
kembali, tetapi dengan tema yang berbeda. Semalam
Ai sudah memutuskan untuk memberi tahu Atta
mengenai perlombaan cerpen yang ia ikuti saat ini.
Mungkin sikap Atta akan berubah dan tertarik.
""Mas Atta, tahu nggak? Aku lagi ikut perlombaan
cerpen, lho!" Ai berujar dengan lantang dan bangga.
Tidak peduli bagaimana tanggapan Atta saat
mendengarnya, ia tetap saja bercerita.
""Aku diajak salah seorang teman lamaku.
Kebetulan dia tahu aku suka menulis. Apalagi diajuga
tahu kalau saat ini aku sedang ja. . .," Ai menghentikan
bicaranya.
Deg!
Ya Allah apa yang aku lakukan??? Hampir aja
aku keceplosan! Semoga aja Atta nggak dengar
bagian tadi.
Ai panik. Ia langsung diam. Salah tingkah. Berbeda
dengan Atta. Ia dengar semua yang dikatakan Ai.
Tidak ada satu pun yang luput dari pendengaran
dan perhatiannya meskipun ia bersikap seolah tidak
peduli. Satu menit berlalu tanpa pembicaraan lanjutan
hingga akhirnya justru Atta?lah yang melanjutkan.
""Jadi, ceritanya kamu mau nyombong ke aku?!
Hah??! Dasar pongahjemawa!" MataAtta membelalak.
Diam. Satu. Dua. Tiga.
""Hihiiihiiii...." Sontak Ai terkejut mendengar
jawaban Atta. Ia pun terpingkal?pingkal dibuatnya.
Sangat di luar dugaan. Atta benar?benar telah kembali.
""Mas Atta... Mas Atta... Hehehee," Ai masih
tertawa kecil. Menggeleng?gelengkan kepalanya.
""Kok tertawa? Bukannya menyesali diri! Sana
cepat, menyesali diri di belakang tembok pantry!"
""Hahahaa." tawa Ai pun meledak kembali.
"Duh, menyerah saya... Hihiii."
Jauh lebih penting dari itu semua. Betapa
senangnya Ai. Bahkan sangat senang. Mendapati
Atta sudah bisa membuat dirinya kembali tertawa
dengan sikap konyolnya. Hal yang sudah lama sekali
Ai rindukan dari Atta. Keceriaan. Kehangatan. Dan
perasaan bahagia yang sangat sederhana.
"Terima kasih ya Allah... Terima kasih, " ucap
lirih Ai. Ia pun menatap Atta dari balik kubikelnya.
Tinggi kursi mereka yang dapat diatur ketinggiannya,
membuat mereka lebih mudah melihat satu sama lain
tanpa terhalangi oleh apa pun. Dan kali ini mereka
melakukannya.
"Ya Allah, sepertinya aku memang tidak bisa
melakukan kebodohan ini lebih lama lagi. Semakin aku
menghindarinya justru semakin dia menguasai hati ini.
Perasaan bersalah ini. Perasaan tidak mau kehilangan
senyumnya, sorot matanya, dan semua keindahan juga
ketulusan yang terpancar dari dirinya.. Demi nama?Mu yang Maha Agung ya Rabb, betapa tak sanggup diri
ini melakukannya... saat ini biarkan semua berjalan
apa adanya. Akan aku biarkan semua berjalan atas
izin?Mu. Satu hal Selama aku masih bisa melihat
senyumnya, meski hanya bisa melihat dia tersenyum,
akan aku lakukan apa pun untuknya... Karena aku
hanya ingin melihatnya bahagia dan sebzlu bahagia..., "
Atta berujar dalam hati.
Mereka pun menatap satu sama lain. Berbalas
senyum. Sadar atau tidak, itu benar?benar terjadi.
Mereka memang tidak saling berucap, tetapi mata
mereka saling bicara. Seolah merayakan kembali
keceriaan mereka yang sempat hilang beberapa hari
lalu.
""Jadi, cerita apa yang kamu buat?" tanya Atta
menyelidik. Ia sadar betul apa yang tadi Ai ceritakan.
Ada kalimat yang terputus, sengaja tidak dilanjutkan.
Atta pun penasaran.
""Adaaa deh! Mau tau aja atau mau tau banget??"
ledek Ai.
""Haduuuh, nyombong lagi dia!" sahut Atta cepat
sambil mengibaskan tangannya.
""Hihiii. .. Memangnya Mas Atta mau tahu lebih
detail?"
""Ya, iyalah! Bukan apa?apa sih, tapi aku ragu aja
kamu bisa ikut perlombaan cerpen seperti itu. . ."
""Ih, kok Mas Atta bilangnya gitu, sih?? Mas Atta
kan tahu kalau aku suka menulis," jawab Ai sewot.
""Iya sih, kamu emang pernah mengklaim dirimu
hobi dan jago nulis. Tapi kan belum terbukti bagus
atau nggak?nya. Iya, kan?"
""Astaghfirullah... Nggak begitu juga kali, Mas
Atta," Ai manyun.
""Hahaha."
""Lagi pula, kalau emang karyaku nggak bagus,
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
temanku nggak akan menawarkan perlombaan itu.
Aku juga sadar diri kok Mas," jawab Ai ketus.
""Ciieee. .. ada yang ngambek... Hahahaa."
Hati mereka berdua pun berdesir, sungguh
suasana yang sangat mereka rindukan. Namun apa
daya, ada hati dan perasaan yang harus mereka jaga.
Atta, di satu sisi ia menyadari bahwa Ai menaruh
63
hati padanya dan ia pun memiliki perasaan yang
sama, tapi di sisi lain ada Sarah yang terlebih dahulu
memberikan cintanya kepada Atta.
Sedangkan Ai, di satu sisi ia sangat mencintai
Atta, tapi di sisi lainnya ia tidak tau apakah mungkin
Atta memiliki perasaan yang sama untuknya. Selain
itu, Ai tidak mau kehilangan Atta hanya karena
keegoisannya semata.
""Kalau boleh tau, tujuanmu ikut lomba itu apa?
Kamu mau jadi penulis terkenal seperti cita?citamu
itu yah? Dan bisa berkeliling dunia lewat goresan
pena yang kamu buat? Seperti yang dulu pernah kamu
ceritakan ke aku?" tanya Atta meyakinkan Ai.
""Yaaa, siapa sih yang nggak mau mewujudkan
cita?citanya? Aku memang ingin menjadi penulis
terkenal dan bisa berkeliling dunia, tapi saat ini
ada alasan yang jauh lebih penting dari itu..." Ai
menghentikan ucapannya. Mendesah lirih.
""Insya Allah... insya Allah kamu akan
mendapatkan apa yang kamu cita?citakan," Atta
menatap Ai lekat. Tersenyum hangat untuknya.
Akhirnya, sekali lagi senyum menawan Atta
menghiasi wajahnya. Sorot matanya yang teduh
sangat menyejukkan hati Ai.
""Oh iya, aku boleh minta sesuatu?" tanya Atta.
""Apa?"
63
""Apa aku boleh membacanya?"
Deg!
Jantung Ai rasanya mau copot! Bagaimana
mungkin Atta mengatakan hal itu? Apa Ai tidak salah
dengar? Atau Atta yang salah bicara? Ai mengerjap?kerjapkan matanya. Tak percaya. Tetapi yang barusan
didengarnya sangat nyata. Jelas?jelas Atta minta izin
untuk membaca cerpen itu.
""Heiii... Halloooo." Atta mengibas?kibaskan
kertas HVS ke wajah Ai hingga memecahkan
lamunannya.
"IYAA!!!"
""Waduuuhh.. biasa aja kali jawabnya."
""Iiiih apaan sih! Tadi itu aku kaget tahu!"
""Apa siih kamu teriak?teriak melulu setiap
ngomong sama aku," Atta menggaruk?garuk
kepalanya. ""Oh iya, cerpen itu sekarang sudah
sampai mana pengerjaannya? Terus kapan harus
dikumpulkan?"
""Alhamdulillah sudah rampung, Mas. Aku juga
sudah kirim via e?mail dan pos. Deadlinenya besok,
tanggal 03 Desember 2013."
""Pengumumannya?"
""Dua minggu setelah itu. Tanggal 17 Desember."
Atta mengangguk paham. Tersenyum simpul.
"Jadi... Apa boleh aku baca cerpennya? Yaa...
daripada nanti kamu sedih karena nggak menang dan
63
nggak ada yang baca cerpennya selain juri, lebih baik
dikasih ke aku. Lumayan buat menyenangkan diri
sendiri. Anggap aja aku pembaca pertamamu! "
""Astaghfirullah.. Kesannya karyaku tuh jelek
banget ya, Mas,"
Atta menyeringai.
Ya Allah apakah ini benar?benarjalannya?Apakah
ia sungguh?sungguh ingin baca cerpenku? Bukankah ia
tidak tertarik membaca cerita selain membaca koran,
majalah, dan twitter? Kenapa ia ingin membacanya?
Dan apakah aku siap dengan reaksi Mas Atta setelah
ia membaca cerita itu? Tetapi bukankah aku memang
menginginkan dia tahu perasaanku? Ya Albzh, apa yang
harus kulakukan?
Ai berdialog dengan dirinya sendiri. Berharap
akan menemukan jawaban di sana.
""Duh, lama banget sih buat jawab aja. . ."
""Iya, boleh. Tapi tunggu setelah pengumuman
yah."
""Loh, kenapa begitu? Kenapa nggak sekarang
aja?"
""Ng. .. ng... nggak mau! Karena kamu pasti hina?hina karyaku dan aku jadi pesimis kalah sebelum
pengumuman!" Ai menjawab pertanyaan Atta
meledak?ledak.
""Biasa aja juga dong jawabnya, nggak usah pake
urat! Astagfirullah... untung aku nggak punya penyakit
jantung atau asma. Bisa kumat nih kalau dibentak?bentak terus sama kamu," Atta geleng?geleng sambil
mengusap?usap dadanya. ""Hhhh... yowis, nanti aja
setelah pengumuman. Janji yah."
""Iya."
Allah memang selalu punya rencana. Di saat
Papa Ai meyakinkannya untuk memberikan langsung
cerpen itu pada Atta, keadaannya justru terbalik. Atta?lah yang meminta untuk membacanya. Meskipun
jauh di dalam lubuk hati Ai ingin rasanya memberikan
print out cerpen itu sekarang juga, tapi jujur ia belum
siap menerima risiko yang akan terjadi ke depannya.
Menurutnya, menunggu hasil pengumuman jauh
lebih baik baginya. Selain itu ia masih memiliki waktu
untuk menguatkan mental dan menata perasaannya.
Meskipun sebenarnya saat itu adalah saat terpenting
bagi Ai untuk menciptakan sendiri sejarahnya, tetapi
pada kenyataannya Ai belum bisa melakukan hal itu.
Ia masih takut kecewa ataupun perasaan lainnya. Ia
lebih memilih menunda pencatatan sejarahnya. Bagi
Ai, sejarah tidak hanya untuk diciptakan, tetapi
sejarah juga menentukan masa depan. Dan Ai tidak
mau merusak masa depannya dengan tindakan bodoh
sesaatnya saja.
"Sabar Ai... tunggu dua minggu lagi dan semua?nya akan terjawab, " ujar Ai dalam hatinya.
63
Semoga penantianku selama ini akan berakhir dengan
indah. Aku harap demikian ya Allah. .. Semoga sampai
saat itu terjadi, akhir yang terbaiklah yang akan
kudapat Aamiin.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Warung
makanan di sepanjang jalan Dukuh Atas masih terlihat
cukup ramai. Beberapa pegawai kantor sedang asyik
menyantap makan malam mereka. Ada yang sendiri,
berdua?bertiga, bahkan ada yang bergerombol.
Terlihat seorang gadis mengenakan jilbab berwarna
marun dengan balutan blazer berwarna krem duduk
sendiri. Berulang kali melihat jam tangannya. Sesekali
mendesah. Melihat ke jalanan yang ramai dengan
lalu?lalang orang juga kendaraan. Lampu?lampu
gedung tinggi yang menembus batas awan, terlihat
sangat terang. Memendarkan cahaya, menerangi
malam yang gelap.
Tak lama terdengar gemuruh langkah cepat
menghampiri gadis itu.
""Duh, maaf yah Sar, aku terlambat," pria itu
berkata sambil duduk.
Sarah. Gadis yang sedari tadi menunggunya,
mendongak. Terlihat raut wajah kesal pada paras
manisnya. Wajar, ia sudah menunggu Atta lebih dari
setengah jam. Sendirian.
""Iya Mas, nggak apa?apa. Cuma agak bosan
sedikit aja sih," Sarah menjawab sambil mencoba ter?senyum.
""Iya aku tau, maaf yah. Tadi aku masih ada
kerjaan yang harus diselesaikan untuk laporan besok
pagi," jawab Atta menjelaskan alasan mengapa ia
terlambat. ""Oh iya, kamu sudah pesan makan atau
belum? Biar aku pesankan kalau belum."
""Belum. Lagi pula aku bingung mau makan apa,
tiba?tiba jadi nggak lapar."
Ternyata Sarah masih kesal. Ia memalingkan
wajahnya dari Atta dan pura?pura sibuk dengan
ponselnya.
""Jangan begitu dong, Sar. Ya sudah, biar Mas aja
yang pesankan makanannya, yah," Atta pun beranjak
dan berkeliling mencari penjual makanan apa saja
yang masih buka. Akhirnya ia memutuskan memesan
soto ayam dua porsi dan dua gelas teh manis hangat.
Musim hujan saat itu membuat ibu kota sangat
dingin. Terutama pada malam hari.
Atta kembali ke meja. Dilihatnya raut wajah
Sarah masih kesal. Sifat Sarah yang satu itu memang
sulit sekali diubah. Sekali saja sudah kesal atau marah,
maka untuk bisa mengembalikan mood?nya terkadang
membutuhkan usaha. Namun Atta paham betul apa
yang harus dilakukannya.
""Sar. .. sudah dong ngambeknya. Mas kan sudah
minta maaf."
63
""Iya sudah nggak apa?apa kok, Mas."
""Kalau emang sudah nggak apa?apa, lalu kenapa
mukanya masih ada lipatan seperti jilbab yang belum
disetrika?"
""Iih apaan sih Mas Atta?! Muka cantik begini kok
disamain seperti jilbab kusut?" sahut Sarah cepat. Ia
pun tersenyum simpul.
""Nah, itu baru Sarah yang Mas kenal. Kalau tadi
siapa, tuh? Mas nggak kenal."
""Hehehee... Iya. Maafin Sarah yah, Mas.
Habisnya lama banget sih datangnya. Janjinya cuma
telat sepuluh menit, eh nggak tahunya malah lebih
dari setengah jam," Sarah mendengus.
""Iya, Mas Atta memang salah. Maaf yah, Sar."
""Oh iya, ini ada titipan dari ibu," Sarah
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyodorkan sebuah goody bag berwarna hijau muda,
bertuliskan Go Green, kepada Atta. Entah apa isinya.
""... Waktu Sarah pulang dari Jogja, ibu belum
sempat masak apa?apa. Jadinya, ibu mengirim paket
aja dan baru datang tadi sore ."
""Lho, apa ini?" Atta mengambil goody bag lalu
membukanya. ""Wah, bakpia buatan Ibu! Waduuh,
banyak banget, Sar. Buat apa aku dibawakan bakpia
sebanyak ini?"
"" Kata Ibu, Mas Atta harus banyak makan bakpia
biar sehat."
"Hahahaa.. Nggak mungkin ibumu bicara
begitu. Itu pasti karanganmu aja," Atta tertawa lepas.
""Nggak percaya? Coba aja Mas telepon Ibu."
""Iya?iya. .. Ngomong?ngomong, terima kasih,
yah. Sampaikan juga salam untuk ibumu. Duh, malah
jadi enak nih."
""Apa? Jadi enak? Hihiii. .. Dasar Mas Atta!"
Tak lama soto ayam dua porsi dan teh manis
hangat pesanan mereka pun datang. Asap putih
samar?samar mengepul di atas kedua mangkuk dan
gelas mereka. Tanpa banyak bicara, mereka berdua
langsung melahap makanannya. Sesekali menyeruput
teh manis hangat yang luar biasa nikmatnya. Di tengah
dinginnya semilir angin malam musim penghujan, teh
manis hangat sudah pasti menjadi minuman favorit.
""Mas... Sarah boleh tanya sesuatu?"
""Boleh dong," jawab Atta singkat. Ia masih asyik
menyantap soto ayamnya. Sebenarnya Atta sudah
sangat lapar sejak tadi sore, tapi karena pekerjaannya
terlalu banyak, ia pun tidak sempat membeli cemilan
sore seperti biasanya.
""Mas Atta serius kan sama hubungan kita?"
""Uhuk!" Atta tersedak. Ia sama sekali tidak
menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya.
""Duh maaf, Mas. Aku ngagetin Mas Atta, yah?"
Sarah terkejut melihat Atta tersedak. Ia pun buru?buru
mengambil tisu dan menyodorkannya pada Atta.
Atta menggeleng. Sambil meneguk teh manis
hangat yang tiba?tiba menjadi dingin, Atta berusaha
mengatur irama jantungnya. Satu?dua menit berlalu.
Hening. Hanya terdengar suara deru mobil dan
pegawai?pegawai kantor yang lalu?lalang di sekitar
mereka.
Atta mengambil napas panjang. Lalu mulai
bicara.
""Sejak awal Sarah menyatakan perasaan ke Mas
Atta, dan sejak Mas menerima perasaan Sarah, maka
sejak saat itu pula hubungan kita menjadi serius. Insya
Allah hingga saat ini nggak ada yang berubah,"
""Sarah tahu Mas Atta nggak akan pernah
menyakiti Sarah. Tapi, rasanya ada yang berubah dari
dirimu belakangan ini, Mas."
""Maksudnya?"
""Matamu, Mas... Aku bisa lihat dari matamu
kalau ada rahasia di sana," Sarah menatap Atta lekat.
""Apa ada yang ingin Mas Atta bicarakan dengan Sarah?
Jujur aja, Mas. .. Karena Sarah sadar, waktu itu Sarah
yang meminta Mas Atta untuk menjalin hubungan
dengan Sarah."
Atta menunduk. Ia sama sekali tidak tahu harus
menjawab apa. Baginya, Sarah adalah seorang adik
dan seorang gadis yang harus dijaga perasaannya.
Bagi Atta, Sarah tidak pantas untuk kecewa apalagi
sakit hati dengan mengetahui bahwa kenyataannya
Atta masih belum bisa mencintai Sarah seperti
Sarah mencintai dirinya. Jauh di lubuk hati Atta, ia
tahu betul bagaimana dulu Sarah berjuang untuk
mendapatkan cintanya. Bahkan ia rela menunggu
cinta Atta hingga saat ini. Sementara Ai. Seorang
gadis yang baru dikenalnya tiga bulan terakhir, justru
dengan mudahnya bertakhta di benak dan hati Atta.
Itu pun terjadi begitu saja tanpa disengaja apalagi
direncanakan.
""Mas, jangan bohongi diri sendiri. Jangan
bohongi hati Mas Atta lagi... Jangan pernah bohongi
siapa pun, Mas. Keseriusan hubungan kita memang
baru berjalan satu tahun, tapi aku mengenalmu sudah
lama. Sejak kita masih kuliah dan aku paham betul
bagaimana dirimu. Bagaimana tatapan matamu...
aku memang mencintaimu dengan segenap
hatiku. Tapi kenyataannya adalah hingga detik ini...
hingga detik ini kata cinta tidak pernah terlontar dari
bibir mas Atta," tatapan Sarah nanar. Hatinya bagai
disayat saat ia harus mengatakan hal itu. Namun
perasaan Sarah akan terasa jauh lebih sakit bila Atta
membohonginya.
""Bukan begitu, Sarah. Bukan seperti itu. . ."
""Lalu apa?"
""Lebih dari sekadar kata cinta Sarah. . ."
""Janji? Apa sebatas janji? Apa janji yang dulu
Mas ucapkan bahwa Mas akan berusaha mencintaiku
lebih penting dari perasaan dan kejujuran hati Mas
sendiri?" Sarah tidak melepaskan pandangannya dari
Atta. Ia terus memperhatikan pupil mata Atta yang
semakin membesar. Ada keraguan di sana. Sarah bisa
melihatnya dengan jelas.
""... jika benar janji adalah akar permasalahannya,
maka sekarang aku akan menagihnya,"
""Maksudmu?"
""Aku mau kita segera menikah, Mas."
""Apa? Menikah??"
""Jika memang Mas bertahan denganku karena
janji, maka aku menagihnya sekarang. Aku mau kita
menikah secepatnya."
""Sarah..."
""Sampai kapan pun... Berapa pun lamanya,
aku rela menunggu Mas Atta. Nggak peduli berapa
lama waktu yang terbuang. Selama aku berada di
sisimu, maka semua akan berjalan baik?baik aja.
Mas Atta nggak perlu khawatir. Aku sudah terbiasa
menunggumu."
Rintik hujan mulai turun membasahi aspal
yang hitam. Beberapa orang mengeluarkan payung
dari tas kemudian membukanya. Ada pula yang
menerobos hujan dan membiarkan rerintik hujan
jatuh membasahi tubuhnya.
""Sudah malam, lebih baik kamu pulang. Aku
akan mengantarmu sampai ke kostan," ajak Atta.
Sarah mengangguk paham. Ia mengerti bahwa
Atta perlu waktu untuk menjawab pertanyaannya.
Attajuga perlu waktu untukjujur pada dirinya sendiri.
Mereka pun berjalan di bawah naungan rintik
hujan. Namun tidak berada di bawah payung yang
sama. Atta memilih berjalan sendirian tanpa payung.
Dalam kekosongan, Atta berjalan meniti jalan aspal
yang hitam. Tidak ada percakapan. Seperti biasanya.
Sarah sendiri memilih diam dan berjalan di depan
Atta. Sarah sadar bahwa apa yang dikatakannya tadi
akan membuat Atta semakin gusar. Meskipun begitu,
menurut Sarah, itu adalah jalan terbaik bagi Atta
untuk jujur pada dirinya sendiri. Sarah juga sudah
memantapkan hatinya atas apa pun jawaban Atta
kelak. Kalau memang kepahitan yang didapatnya,
Sarah yakin bahwa kepahitan di awal jauh lebih manis
daripada kepahitan di sepanjang hidupnya.
Tak butuh waktu lama. Cukup lima belas menit
berjalan kaki, mereka tiba di depan kostan Sarah.
Sebuah rumah tingkat dua, jendela kamar yang masih
terbuka dan gelap, tepat menghadap arah jalan, di
sanalah kamar Sarah berada. Atta berhenti tepat di
belakang Sarah. Jaket hijau lumut Atta terlihat sedikit
basah bekas tetesan hujan di sepanjang perjalanan.
Sarah menoleh.
""Lain kali, jangan berjalan di belakangku, Mas.
Belajarlah berjalan di sampingku. Aku rasa itu lebih
menyenangkan," Sarah tersenyum kecil.
""Saat ini tugasku hanyalah untuk menjagamu,
Sarah. Karena itu, aku lebih memilih berjalan
di belakangmu. Ya sudah, aku pamit dulu," ujar
Atta mengakhiri pertemuan mereka malam itu.
""Assalamualaikum."
""Wa"alaikumsalam."
Perlahan Atta lenyap di balik gelapnya malam.
Melangkahkan kakinya cepat. Menghilang bersama
hembusan angin malam. Selalu dan tak pernah
berubah. Sarah hanya bisa menatap punggung Atta
dari kejauhan.
"Apakah sampai kapan pun aku tidak pernah bisa
menatap wajahmu setiap kali kita berjalan bersama?"
Tanpa sadar air mata Sarah menetes. Basah.
"Itubzh mengapa sampai sekarang aku meragukan
perasaanmu padaku, Mas. Aku mohon, jujurlah...
Jangan bohongi aku lagi. "
****
jika cinta tak perlu diungkap tapi cukup dirasa,
lalu kenapa sakit hatijustrujangan dirasakan
tapi diungkapkan?
Karena jika tidak diungkapkan, rasanya sangat menyakitkan.
jika terluka itu adalah bagian dari serpihan cinta yang utuh,
tapi kenapa goresan luka pada setiap serpihan cinta tidak bisa
diobati oleh apa pun seLain dengan melepaskannya satu per satu?
Kemudian membiarkan serpihan yang baru mengisi
sisi?sisiyang kosong.
Lalu
jika bermimpi tentang kebahagiaan, menua bersamamu selalu
menjadi teman setia di malam?maLamku,
tetapi kenapajustru air mata adalah pendamping yang nyata?
Apa yang harus kuLakukan sekarang?
Bisakah kau menuntunku? Bisakah kau ajarkan?
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Atau setidaknya bisakah kau melihat aku sekarang? Agar kau tau
bagaimana aku saat ini LihatLah walau sebentar saja. ataukah...
Cinta?
""Tumben jam segini si Ai belum datang?"
""Eh iya yah, aku kok baru ngeh."
Danar dan Hasbi bertanya?tanya kenapa Ai
belum terlihat pagi itu. Tidak ada pesan lewat BBM,
SMS, maupun telepon mengenai kabarnya. Jam
dinding besar berwarna hitam yang tergantung kokoh
di dinding kantor menujukkan pukul sembilan pagi.
""Iya, aneh. Nggak biasanya Ai belum datang.
Apa nggak masuk yah? Duh, khawatir Ai kenapa?kenapa di jalan?!!" Hasbi sangat panik. Maklum,
Hasbi adalah yang tertua di antara mereka berempat
dan sudah seperti kakak bagi Ai. ""Sob, coba telepon
deh!"
Atta hanya diam memperhatikan perbincangan
kedua temannya. Seolah tidak peduli namun dalam
hatinya bergetar. Ikut khawatir, bahkan mungkin
lebih khawatir dibandingkan Danar dan Hasbi.
Jantungnya bergemuruh tak keruan, ikut cemas, dan
ingin mengetahui kabar dari Ai secepatnya.
"Hallo?? Ai??" Terdengar Danar menelepon Ai
dan sepertinya ada jawaban di ujung telepon sana.
""Hallo, Ai. Ini aku, Danar. Eh, kamu di mana ini?
Kok nggak ada kabar? Kita khawatir nih!
Astaghfirullah. .. Iya?iya. Yowis lah, kamu
istirahat aja. Cepat sembuh yah, sepi nih nggak ada
kamu. Heheehee. Oke, wa"alaikumsalam."
Tut... tuuut....
Danar menutup telepon.
""Kenapa Ai, Sob? Sakit?" tanya Hasbi cepat
setelah telepon ditutup.
"Iya, Kang. Pendarahan lambung lagi."
"Astaghfirullah. .. Hhh, dia suka nunda?nunda
makan, sih! Kambuh lagi kan jadinya," Hasbi
menggeleng?gelengkan kepalanya. ""Tapi nggak
diopname, kan?"
""Alhamdulillah nggak, Kang. Emang bandel sih si
Ai, sok kuat padahal kondisi badannya lemah banget!"
Mendengar percakapan itu, Atta langsung meraih
ponselnya. Ingin rasanya menelepon tapi ragu. Apakah
pantas ia menghubungi Ai di saat seperti ini? Setelah
Sarah memintanya untuk dinikahi? Masih pantaskah
ia menaruh perhatian pada Ai? Masih bolehkah?
""Eh Atta, kamu nggak peduli teman kita sakit?
Kok diam aja dari tadi? Tega ih," celetuk Danar.
"Peduli?lah, Mas. Aku juga sedih dengarnya, tapi
mau bagaimana? Aku cuma bisa berdoa semoga Ai
cepat sembuh."
Danar menggaruk pipinya yang tidak gatal seolah
tidak suka dengan respons Atta. Menatap malas Atta.
""Kasihan Ai, pasti sakit banget rasanya...," ujar
Danar lirih.
Rasanya Atta tidak bisa menahan gejolak
dadanya. Rasa cemas mendobrak segala benteng
ketidakpantasan yang ia pikirkan sejak tadi. Atta
meraih ponselnya yang tergeletak di meja kemudian
berjalan keluar. Mencari tempat yang tenang baginya
untuk bisa berbicara dengan Ai, dipilihnya lorong
tempat lift berada. Atta mulai mencari nomor Ai di
daftar kontak. Kemudian Atta menyentuh gambar
telepon pada layar smartphone?nya. Terdengar nada
sambung. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Aneh, lebih dari
sepuluh kali nada sambung tetapi tidak ada respons.
Kenapa teleponku tidak diangkat? Apa ia sedang
tidur? Tetapi bukannya baru saja Danar menelepon?
Masa secepat itu ia tidur? Atau mungkin ponselnya lagi
di?charge dan ditinggal di kamar?
Atta bertanya?tanya pada dirinya sendiri.
Ayolah Ai, angkat teleponnya....
Tidak ada respons. Atta memutuskan untuk
mengulangnya. Kembali terdengar nada sambung.
Sekali. Dua kali. Hingga terdengar suara "maaf"
operator pun tetap tidak ada respons.
""Sepertinya aku memang mengganggunya. Malu
rasanya. Mungkin memang aku tidak pantas untuk
melakukan ini semua," Atta menghela napas panjang.
Mengusap wajahnya berkali?kali. Mengangguk?angguk sendiri seakan mengerti "sesuatu". Ia pun
hendak beranjak kembali ke ruangan hingga tiba?tiba
ponselnya berbunyi.
Ai is calling
Betapa terkejutnya Atta. Tanpa ragu dan berlama?lama, ia pun langsung mengangkat teleponnya.
""Assalamualaikum,"
""Wa"alaikumsalam, Mas Atta. Tadi nelepon yah?"
Suara itu... masih saja menggetarkan jiwa ini,
perasaan ini. Meski hanya suaranya, tetapi getaran
yang ia berikan rasanya persis seolah ia berada di
hadapanku.
""Oh iya."
""Maaf, tadi aku sedang sarapan, sedangkan
hapeku di kamar. Ada apa, Mas? Ada kerjaan yang
ingin ditanyakah?"
""Bukan."
""Lho, terus ada apa? Aku pikir mau tanya tentang
kerjaan. Duh, maaf yah Mas, aku nggak bisa masuk
hari ini. Jadi belum bisa bantu kalau ada yang nggak
Mas paham."
""Kamu masih pikirin kerjaan? Di saat kondisi
kamu begini, kamu masih sempat pikirin kerjaan?
Dan parahnya itu bukan kerjaan kamu, tapi kerjaan
aku!" mendadak Atta meninggikan suaranya.
""Mas Atta kenapa marah?" tanya Ai heran. Lirih.
""Kamu pikir aku suka mendengar ucapan kamu
barusan? Kamu pikir aku akan senang karena kamu
masih sempat pikirin aku, gitu? Dan apa kamu pikir
aku akan bilang, aku nggak bisa kerja tanpa kamu di
sini?!"
""Astaghfirullah.. Kenapa kamu jadi marah sama
aku?"
Beberapa detik berlalu tanpa suara. Hanya
terdengar samar?samar hembusan napas dari kedua
anak manusia yang sedang dilanda cinta dalam diam.
Ponsel mereka masih setia menggantung di telinga.
""Aku khawatir," Atta membuka suara. Mencoba
menyampaikan apa yang dikatakan hati dan
pikirannya. Senyum mengembang di wajah Ai,
namun sayang Atta tidak bisa melihat senyum itu.
""Aku nggak suka kamu sakit... dan aku nggak
mau kamu sakit."
Air mata Ai menetes. Pertama kali ia mendengar
kalimat perhatian seperti itu dari Atta. Sebelumnya
dan selama ini Atta tidak pernah menunjukkan
perasaannya dalam bentuk apa pun, meski hanya kata?kata. Karena selama ini, semua perasaan itu hanya
terucap melalui tatapan mata yang tak bersuara.
Sekali lagi, ponsel mereka dibiarkan menggan?tung tanpa percakapan. Beberapa detik berlalu begitu
saja. Hingga hanya terdengar tawa dari ujung telepon
Atta.
""Hahaahaa... Mas Atta... Mas Atta. .. Kamu lucu
banget sih!"
Sontak Atta kebingungan. Kenapa Ai tertawa?
Jelas?jelas Atta baru saja menunjukkan perhatiannya.
Perasaan yang selama ini ia pendam. Tapi kenapa
seakan menjadi lelucon bagi Ai?
""Kok kamu ketawa? Emangnya aku lagi
ngelawak??!"
""Ya iyalah aku ketawa! Coba ulang deh kata?katamu barusan. Aneh banget tahu, Mas... Aku tuh
kayak lagi sakit parah aja."
"Aneh?? Oh, jadi menurutmu aneh yah?"
""Iyalah, berlebihan tahu, nggak?! Hahahaa..."
""Makin kenceng lagi ketawanya, bukannya me?nyesali diri di balik tembok! Aaahh, dasar tembem!"
"Iyaaaa... Nanti aku menyesali diri di balik
bantal aja, deh. Hehehee,"
Senyum menghiasi wajah Atta. Sudut?sudut
matanya naik dan mengerucut. Lesung pipi indahnya
pun terlihat.
""Ya sudah kalau begitu, kamu cepet sembuh yah.
Dijaga makannya, jangan sampai telat makan. Kamu
memang nggak sakit parah, tapi bagi aku pendarahan
lambung itu juga parah."
63
""Kamu tahu dari mana aku pendarahan
lambung?"
""Mas Danar. Tadi dia cerita ke aku dan Kang
Hasbi."
""Ahh dasar si Bernard bear!" celetuk Ai.
""Janji yah, kamu nggak akan telat makan lagi."
"Iya, aku janji," Ai mengangguk pelan. Ia
berusaha keras agar suaranya tidak berubah menjadi
serak karena menahan tangisnya. ""Mas. . ."
""Iya?"
""Makasih yah sudah peduli sama aku."
""Bukan hal penting untuk diucapkan."
""Selagi aku masih bisa mengucapkan rasa terima
kasihku, kenapa harus dipendam?"
""Iya, aku tau. Yowis, aku mau kerja lagi. Nggak
enak juga keluar lama?lama. Assalamualaikum."
""Wa"alaikumsalam."
Telepon ditutup. Atta segera berbalik dan hendak
kembali ke ruangan. Namun tiba?tiba saja ia melihat
seseorang berdiri di belakangnya.
""Mas Danar?!"
""Sebenarnya sudah lama aku mau omongin ini, tapi
aku selalu ragu. Tapi karena kejadian tadi, sekarang
aku jadi yakin kalau dugaanku nggak salah."
63
Cuaca siang hari itu sangat terik. Setelah hampir
selama seminggu Jakarta diguyur hujan, baru hari itu
matahari bertengger lama di langit. Memancarkan
panasnya yang terpendam selama ini. Tenda?tenda
warung makan pun kembali penuh oleh para pegawai
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kantor yang memanfaatkan momen tersebut untuk
makan siang bersama rekan?rekannya di luar. Hal
serupa pun dilakukan oleh Danar dan Atta.
""Maksud Mas Danar apa yah?"
""Yaelah Mas, kita sama?sama cowok. Kamu tahu
lah maksudku," Danar menyeruput es kelapa jeruk
yang ada di hadapannya. ""Pada dasarnya aku senang
kalau ngeliat Ai senang, tapi masalahnya adalah aku
tahu kalau kebahagiaan itu nggak akan berlangsung
lama."
Nasi tongseng yang masih mengepul dari
mangkuk pesanan Atta seolah tidak menarik untuk
dimakan. Rasa lapar Atta hilang begitu saja. Entah
akan berakhir seperti apa perbincangan dua pria
dewasa itu kali ini, Atta hanya bisa pasrah dan
mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.
""Awalnya aku dukung banget hubungan spesial
kalian yang mungkin kalian pikir aku nggak bisa
lihat, meskipun sebenarnya aku bisa lihat dengan
jelas hubungan itu," Danar mengutip kata hubungan
dengan kedua jari telujuk dan jari tengahnya. Mem?
63
beri penegasan. ""Tapi sejak malam itu. . . aku rasa lebih
baik kamu hentikan sebelum semuanya terlambat,
Mas."
Kali ini Atta benar?benar tidak mengerti apa yang
Danar bicarakan. Hubungan spesial? Kejadian malam
itu? Berhenti? Maksudnya apa?? Namun Atta sengaja
diam dan memberikan kesempatan bagi Danar untuk
menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu.
""... Ai itu polos. Bahkan sangat polos. Aku bisa
jamin kalau dia belum pernah merasakan jatuh cinta
sebelumnya, seperti yang sekarang dia rasakan. Dan
cinta itu bernama Atta," Danar menyuap nasi pecel
lelenya. Diam. Kemudian berkata...
""Gadis yang bersama kamu malam itu, calon
kamu, kan?"
Deg!
Betapa terkejutnya Atta. Bagaimana mungkin
Danar bisa bertanya tentang Sarah? Apa benar yang
dimaksud Danar adalah Sarah? Seingat Atta malam
itu, Danar, Ai, dan Hasbi sudah pulang sebelum
Magrib. Lalu dari mana Danar tahu bahwa malam
itu Atta bersama Sarah? Atta mulai gusar. Sesekali
mengusap wajahnya.
""Kamu pasti bingung kenapa aku bisa tahu.
Sebelumnya aku minta maaf, Sob. Dua kali ngeliat
kejadian yang seharusnya nggak dilihat. Sebenarnya
malam itu aku belum pulang. Emang sih aku sudah
keluar ruangan dari jam setengah enam, tapi aku
masih di kantor. Malam itu aku lagi nunggu istri
karena katanya mau pulang bareng. Tapi karena lapar,
selesai salat Magrib, aku langsung ke sini buat cari
makan sambil nunggu istri. Kebetulan aku duduk
di belakangmu. Tadinya aku mau negur, tapi karena
kelihatannya kalian serius banget, jadi ya aku diam
aja....
. sampai akhirnya aku dengar jelas semua
pembicaraan kalian. Waktu itu juga aku yakin bahwa
gadis itu pasti calonmu. Cuma karena aku pikir, saat
itu kamu nggak ada hubungan spesial sama Ai, yaa
aku nggak perlu tau kelanjutan cerita kamu dengan
calonmu. Tapi gara?gara kejadian tadi pagi. .. aku rasa
aku harus mengingatkanmu sebagai teman.
Jujur sih, aku nggak dengar semuanya. Aku cuma
dengar waktu kamu minta Ai berjanji untuk nggak
sakit lagi. Menurutku aneh aja. Sekalipun aku dekat
sebagai teman dan mungkin seperti abangnya sendiri
bagi Ai, tapi aku nggak pernah melakukan seperti
yang kamu lakukan. Bahkan dengan kamu nelepon
Ai diam?diam aja itu udah nggak wajar.
Di sini aku berbicara sebagai seorang pria sejati,
tanpa embel?embel. Bagaimanapun juga aku adalah
teman kalian berdua. Aku mau ingetin jangan sampai
63
kamu menyakiti hati kedua gadis itu. Pilih satu di
antara mereka. Dan pilih dengan hati kamu, bukan
dengan emosi sesaat. Aku percaya Mas Atta adalah
orang yang baik dan akan bersikap bijak. Emang
terkadang hati ini sulit dijaga. Bahkan mungkin
akal sehat sekalipun nggak mampu mengontrolnya.
Karena itulah, hanya pria sejati yang mampu bersikap
bijak dan jujur pada dirinya sendiri. Dia nggak
akan menyakiti dan mengecewakan cintanya. Pesan
aku, tentukan sekarang Mas, jangan sampai kamu
menyesal. Siapa pun yang kamu pilih, sumpah itu
nggak ada urusannya dan kepentingannya sama sekali
buat aku, secara aku sudah punya istri dan dua anak,
jadi kamu nggak perlu khawatir. Yang terpenting, aku
cuma ingin melihat teman?temanku bahagia, baik
kamu, juga Ai."
Atta tersenyum. Ia paham maksud dan arah
pembicaraan Danar. Ia pun tidak marah karena Danar
mengetahui masalah yang sedang ia hadapi saat itu.
Kebimbangan dalam memilih dan memutuskan calon
pendamping hidupnya, mitra taatnya, dan ibu dari
anak?anak yang saleh.
""Aku paham, Mas. Makasih yah sudah diingatkan.
Insya Allah aku akan bersikap bijak."
""Gitu dong, Sob! Itu baru pria sejati!"
Tak disangka, ternyata selama ini Danar
memperhatikan kedekatan yang terjalin antara Atta
dan Ai. Memang wajar jika Danar berasumsi bahwa
kedekatan antara Atta dan Ai memiliki makna yang
berbeda. Karena selama ini, Ai merupakan orang
yang cenderung tertutup. Namun sejak kedatangan
Atta, Ai terlihat begitu terbuka, bahkan ceria. Selalu
ada saja yang membuat mereka berdua tertawa.
Entah apa yang dibicarakan, tapi terlihatnya sangat
membahagiakan untuk mereka berdua. Apalagi setiap
kali mereka meributkan hal?hal kecil, meskipun
sebenarnya tidak perlu diributkan, chemistry yang
tercipta justru semakin kuat. Persis seperti kejadian
sewaktu Atta bertanya mengenai e?mailnya yang
bermasalah.
""Duh, bagaimana ini??! Aku salah klik e?mail!
Haduh, bahaya nih, Ai!!" teriak Atta seketika. Ia pun
memanggil Ai berkali?kali namun tidak direspons.
Saat itu Ai sedang sibuk membuat laporan untuk Pak
Win. ""Ai! Ai! Ih, malah didiemin."
""Sebentar, Mas."
""Ai, sebentar. Ini penting banget!"
""Iya, kenapa?" jawab Ai tanpa melihat ke arah
Atta. Matanya tetap tertuju pada layar monitornya.
""Aku kirim e?mail ke alamat g?mailku, tapi
malah ke klik yang corporate dan sudah telanjur aku
send. Kalau kita kirim e?mail ke diri kita sendiri, pasti
orang?orang sekantor terima e?mail itu! Duh, bahaya
63
banget ini, Ai! Isinya laporan aku untuk Pak Win.
Nggak lucu kan kalau laporan itu sampai masuk ke
inbox?nya direksi?!" jelas Atta panjang lebar dengan
wajah paniknya. ""Astaghfirullah...."
""Ya, nggak mungkin?lah, Mas. Aku sering kok
kirim e?mail ke alamat e?mailku sendiri. Baik?baik aja
kok, nggak ada yang complain ."
""Ih kata siapa kamu?! Aku inget banget kok,
temanku yang jago IT bilang, kalau mau kirim e?mail
ke semua orang se?corporate, tinggal send ke alamat
e?mail sendiri aja."
""Kalau begitu, harusnya e?mail dari kamu masuk
dong ke aku. Buktinya nggak ada tuh," kali ini Ai
berhenti mengetik dan memalingkan pandangannya
ke Atta.
""Ya sudah, aku minta nomor ekstension bagian
IT dong! Kamu sok tahu, ih!"
""Kok malah kamu sewot sama aku? Tadi kamu
nanya, udah aku jawab, eh malah sewot!"
""Udah deh, cepetan minta nomornya!"
Ai pun geram. Ia sebutkan nomor itu lalu kembali
bekerja. Tidak peduli jika Atta memanggilnya lagi.
Atta pun menelepon bagian IT. Tak lama terdengar
Atta tertawa dan berkata, ""Oh, begitu.... Syukur
deh, Mas. Makasih ya." Benar saja, setelah selesai
mengonfirmasi ke bagian IT dan puas mendapatkan
jawaban, Atta pun memanggil Ai.
""Ternyata kamu benar, Ai. Nggak ada masalah.
Hhhh, setidaknya aku puas sekarang," ujar Atta
sambil menatap Ai, namun Ai tidak menoleh sedikit
pun. ""Ih, aku ajak ngomong malah didiemin."
""Menurutmu? Aku kesellah. Kamu tadi tanya
dan aku udah jawab, tapi kamu malah sewot. Lagian
kamu juga nggak pernah percaya sama aku."
""Ya bukannya begitu, aku kan tadi lagi panik!
Coba bayangkan kalau laporan itu masuk ke inbox
direksi!"
""Kenapa harus aku bayangin? Secara aku tahu
kalau itu nggak akan terjadi," jawab Ai geram.
""Eh! Berisik banget sih kalian! Bisa diem nggak?"
tiba?tiba saja Danar bersuara dan mengagetkan Atta
juga Ai yang masih berantem.
""Itu tuh, Mas Atta. Nyebelin!" sahut Ai sambil
melotot. Kali itu Ai benar?benar jengkel dengan Atta
untuk pertama kalinya.
""Kok aku?!" jawab Atta cepat tak mau kalah.
"" Sssttt!! Kalian ini kayak anak kecil aja ribut?ribut.
Udah diam! Lagian kamu juga Ai, bukannya diam aja.
Eh malah ngejawab terus," Danar menengahi.
""Loh, kenapa aku yang salah??" tanya Ai
menuntut kebenaran.
""Sudah?sudaaaahhh... Kalian ini lucu, yah.
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ribut kalian itu seperti ributnya suami istri. Ribut
tapi mesra!" celetuk Hasbi kali ini. Hasbi yang
sebenarnya tidak ikut campur, pada akhirnya buka
suara. Mungkin karena gemas melihat sahut?sahutan
antara Atta dan Ai yang tak kunjung selesai. Hebatnya,
kalimat Hasbi pun mampu mengunci bibir Atta dan
Ai. Tidak ada lagi jawaban di antara mereka berdua.
""Hahahaaaa, benar banget tuh Kang!" sahut
Danar cepat sambil tertawa terbahak?terbahak.
Rona merah pun terhias di wajah Atta dan Ai.
Mereka menunduk dan diam seribu bahasa. Hanya
gestur mereka yang seolah berbicara, "apa benar
begitu?"
SEMUANYA
TERSIMPAN DI SINI
03 Desember 2013
Assalamu"alaikum
MaLam ini adalah malam terakhir batas penyerahan cerpen
kompetisiyang aku ikuti. MeLalui saran seorang sahabat, aku
dengan segaLa kekuranganku daLam menulis, memberanikan diri
untuk ikut serta dengan satu tujuan, yaitu agar suatu saat kau
akan tahu perasaanku. Semua perasaan yang aku ungkap melalui
tulisanku.
Bukan hadiah kemenangan ataupun materi yang aku inginkan,
tetapi cukup bagiku dapat menyatakan seluruh rasa yang kupunya
untukmu. Lewat rangkaian kata yang tak pernah terucap,
tentang sebuah rasa dan kenangan yang terukir indah setiap kali
bersarmamu.
Mengenalmu dalam kurun waktu yang singkat adakah anugerah
terindah bagiku. Menjadi bagian dari ribuan orang yang pernah
mengisi kehidupanmu adakah kebahagiaan tersendiri untukku.
Aku tak akan memaksamu atau memaksa pencintamu untuk
terus bersamaku. Aku hanya butuh beberapa saat agar aku bisa
merasakan arti hadirku untukmu. Meski aku dengan keegoisan
yang kupunya mengekang rasa tulusku daLam mencintaimu.
Wahai engkau yang kucinta...
Tanpa sadar, waktu semakin mendekatkan kita. WaLau aku tahu
waktujuga yang akan memisahkannya. Aku tidak peduli. Karena
aku tahu, waktu tak bisa kugenggam. Ia akan terus bergulir sesuai
kodratnya. Begitu pula aku dan kamu. Tak bisa memungkiri takdir
yang teLah ditetapkan?Nya untuk kita.
Mungkin sekitar dua minggu Lagi, semuanya benar?benar akan
terungkap. Tentang cinta dalam diam. Tentang sebentuk rasa yang
terpendam. Dan tentang harap yang tak berbatas. Dua minggu
Lagi, aku akan penuhi janjiku padamu sepertiyang kau minta
dariku dulu. Bahwa aku akan menyerahkan ceritaku untuk kau
baca. Cerita yang kubuat tentang kita. Tentang cerita yang ingin
aku sempurnakan dengan akhir nyata yang indah.
Wahai engkau yang kucinta...
Benar aku memiliki cinta kepadamu sejak pertama kali aku
merasakan getaran yang berbeda saat bersarruamu. Saat kau
panggil namaku. Saat kau mengingatkanku pada Rabb yang
hampir aku lupakan. Saat aku khiLaf dan hampir terjerumus
dalam kekufuran. Dengan keyakinan yang selalu kau bawa, kau
angkat aku dan kembalikan aku padajaLan yang benar. Tentu
dengan izin Tuhan kita.
Aku percaya tidak ada yang kebetuLan di dunia ini. Pertemuan
kita pastilah ada artinya. Tetapi aku tidak perlu mencari tahu
apa arti itu. Namun sebelum perpisahan datang dan mengakhiri
semua yang tercipta, biarkan aku menikmati apa yang tersaji di
antara kita berdua. Biarkan setiap detik yang kita lalui adalah
kebahagiaan agar aku bisa terus menyimpannya dalam hatiku
yang terdaLam.
Wahai engkau yang kucinta...
jika Tuhan memang menakdirkan kita bersama, di mana pun
berada, bagaimana pun cara dan jalannya, kapan pun itu terjadi,
sudah pasti kita akan dipertemukan kembali.
Ai meletakkan pulpennya. Menghela napas panjang.
Menghembuskannya. Membiarkan rasa gusar yang
menyergapnya beberapa hari terakhir larut memuai
bersama udara. Sungguh tak bisa dipungkiri bagai?mana kacaunya perasaan ia saat itu. Rasanya begitu
berantakan. Tak keruan. Hanya terlihat bibir
mungilnya yang sesekali digigit. Pertanda hatinya
yang gusar.
Ia baca kembali surat yang baru saja selesai ia
tulis. Perlahan. Kata demi kata. Tak ada yang perlu
ditambah atau dikurangi. Sepertinya sudah cukup
mewakili perasaannya. Apa yang tertulis, itulah yang
ada di pikirannya. Harapannya. Kekhawatirannya.
Dan juga keyakinannya. Tidak mudah bagi seorang
gadis polos seperti Ai mampu bertahan dengan
hatinya yang rapuh. Meski cinta yang tumbuh di
hatinya belum besar, tetapi sayangnya akar cinta itu
telah tertancap dalam. Juga kuat. Sekalipun bunga?bunga cinta itu berguguran, kenyataannya akar itu
tetap hidup.
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam.
Ai merapikan kertas?kertas yang berserakan. Melipat
surat itu, memasukkannya ke dalam amplop berwarna
biru, kemudian menyimpannya di dalam laci.
Malam sudah cukup larut. Ai beranjak ke ranjang.
Merebahkan tubuhnya. Mencoba memejamkan
mata dan berdoa lirih. Memohon kepada Allah agar
diberikan ketenangan dan keikhlasan dalam meng?hadapi segala permasalahannya.
"Kelak, surat itu akan aku berikan padamu,
Mas. Kelak, surat itu akan menjadi awal dan akhir
bagi hubungan kita selanjutnya. Entah bagaimana
kelanjutannya, aku hanya bisa menjadi pemain di
dunia yang fana ini. Begitu pula dirimu. karena itu,
aku pasrahkan dan kembalikan semuanya pada Allah,
sang Maha Sutradara. Hanya dengan izin?Nya semua
dapat terjadi.... "
*****
04 Desember. Pukul dua dini hari. Gemuruh hujan
terdengar berisik dari atap kamar. Bersahut?sahutan.
Lampu sebuah kamar terlihat masih menyala. Sangat
terang. Memancarkan sinarnya hingga ke sudut?sudut
kamar tanpa batas. Gadis itu, sudah hampir satu
minggu terakhir tidak bisa tidur pulas. Pikirannya
penuh dengan pertanyaan. Kegundahan. Lelaki yang
dicintainya dengan sepenuh hati ternyata belum juga
membalas cintanya. Bermacam?macam cara telah
dilakukan. Hasilnya tetap nihil. Satu hal yang tidak
masuk akal bagi Sarah, mengapa Atta masih mau
bertahan menjalin hubungan dengannya? Kenapa
pula ia tidak jujur saja pada perasaannya sendiri? Dan
kekhawatiran Sarah bahwa Atta telah menemukan
cinta sejatinya apakah benar?benar terjadi? Lalu siapa
gadis itu? Bagaimana ia bisa meluluhkan hati Atta
yang dingin? Sementara Sarah yang sudah mengenal
Attajauh lebih dulu pun tidak berhasil. Seperti apakah
gadis beruntung itu? Sungguh Sarah penasaran dan
ingin bertemu dengannya.
"Ya Allah, jika memang ini harus berakhir.... jika
aku memang tercipta bukan untuknya, maka ikhlaskan
aku. Berikan aku petunjuk?Mu. Dan berikanlah jalan
terbaik untuk kehidupanku. Jangan Kau jadikan
cintaku ini menjadi penderitaan untuk orang yang
kucintai. . ., "
Air mata Sarah mengalir dari pipinya yang
lembut. Bola matanya yang kecokelatan basah.
Tatapannya nanar. Ia benamkan wajahnya dengan
guling dan ia peluk erat.
.. apakah aku nggak pantas untuk kamu cintai,
Mas? Kenapa kedekatan kita yang sudah terjalin lama
ini tidak berarti apa?apa untukmu?Apa kurangku? Dan
apa kelebihan gadis itu sampai kau mudah jatuh cinta
padanya?
Sarah kembali menitikkan air mata. Dadanya
terasa sesak. Jujur sampai saat ini hatinya masih
hancur untuk bisa menerima keadaan. Satu tahun
menjalin hubungan dekat dengan Atta dan kini harus
menghadapi kenyataan bahwa Atta telah menemukan
dermaga pelabuhan cintanya. Sayangnya pelabuhan
itu bukan Sarah.
"Astaghfirullah... rasanya sakit ya Allah. Aku
sungguh?sungguh mencintainya dan aku belum rela
kehilangannya. Bisa saja aku mempertahankannya,
tapi aku juga nggak mau memaksanya untuk terus
bersamaku. Apalagi untuk menikahiku jika hanya
kebohongan yang akan kudapatkan ke depannya. "
Sarah beranjak dari ranjang. Berjalan lunglai ke
arah meja tulisnya. Mencari sebuah buku berwarna
hijau muda. Buku itu berada di antara buku?buku
lainnya, yang kebanyakan adalah buku novel fiktif
kesukaannya. Sekilas buku bersampul hijau muda itu
tampak usang. Lembarannya pun tak lagi berwarna
putih sempurna. Sarah mengambil buku tersebut lalu
membuka setiap lembarnya perlahan. Tepat di ujung
ranjang, ia duduk dan mengamati buku tersebut.
Buku itu bukanlah buku diary, melainkan buku
kuliah Atta yang diberikannya kepada Sarah sewaktu
kuliah dulu. Atta sengaja memberikan buku itu karena
Sarah mengeluh tidak mengerti mata kuliah tersebut.
Kalau dipikir?pikir memang tidak ada yang spesial
dari buku itu, hingga sampailah Sarah pada salah satu
halaman. Di situ terdapat sebuah foto wisuda Atta.
Terlihat juga seorang gadis bersanding di sebelahnya
mengenakan semi kebaya dan rok songket. Cantik
sekali. Sarah pun tersenyum, lamunan membawanya
kembali ke masa enam tahun silam saat ia menemani
prosesi wisuda Atta.
Foto berukuran 4R itu pun menampakkan
kebahagiaan mereka berdua. Di mana Atta terlihat
sangat gagah mengenakan jas hitam lengkap dengan
toga, berdiri sambil memegang sebuket bunga yang
sengaja dibeli Sarah khusus untuknya. Sarah terlihat
sangat cantik dan anggun berbalut semi kebaya
berwarna oranye dan songket berwarna dasar emas
tersebut. Senyum merekah menghiasi wajah mereka.
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rasanya sudah lama sekali mereka tidak terlihat begitu
dekat dan bahagia seperti yang terabadikan di dalam
foto. Bahkan mungkin itu adalah kali pertama dan
terakhir kali bagi Sarah berfoto bersama Atta tanpa ada
orang lain di sekitarnya. Sekali lagi, Sarah merasakan
air mata yang semakin deras mengalir di pipinya yang
lembut. Sesekali sesenggukan. Mencoba mengusap air
matanya dengan jemari yang tak kunjung henti.
Sarah jadi teringat satu tahun belakangan, ketika
ia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya
kepada Atta. Sarah yakin betul bahwa suatu saat Atta
akan sungguh?sungguh mencintainya. Tidak hanya
sekadar menjadi teman atau adik. Melainkan perasaan
cinta seorang pria kepada wanitanya. Wanita yang
selalu ingin ia lindungi, kasihi, dan dampingi. Tak
peduli jarak dan waktu yang memisahkan, asalkan tetap
menjadi bagian dari kehidupannya, aral rintangan
apa pun takkan jadi masalah. Sampai akhirnya kini
waktu menjawab semuanya. Apa yang diharapkan
dan diyakini Sarah tidak sesuai dengan kenyataan
meski berat tapi itulah yang terjadi. Sekarang Sarah
hanya bisa pasrah dan mencoba berharap?sekali lagi
keajaiban akan berpihak padanya. Berharap jikalau
Atta dapat mencintainya sepenuh hati.
****
Langit tak lagi gelap. Semburat jingga terlukis indah
di sana. Berserat?serat. Berjenjang dan tersusun acak
nan sempurna. Sayup?sayup terdengar suara kicauan
burung beterbangan ke sana kemari tanpa arah pasti.
Mungkin hanya sekadar memberi salam bagi para
penghuni bumi, termasuk Atta. Ia pun membuka
jendela kamarnya yang dibatasi teralis hitam. Ia hirup
sejuknya udara pagi ditambah sedikit embun yang
turun ke bumi. Begitu menenangkan. Bekas?bekas
sisa hujan pun masih membekas di jendela dan aspal.
Basah.
Beberapa orang mulai terlihat hilir mudik di
gang. Juga satu?dua motor dengan karung berisi
sayuran yang diletakkan di jok belakang. Memang di
sekitar kostan Atta ada cukup banyak rumah makan.
Jadi pemandangan seperti itu bukanlah sesuatu yang
asing baginya. Ketika Atta sedang menikmati suasana
pagi yang syahdu, ponselnya berbunyi. Ada pesan
BBM masuk.
""Siapa pagi?pagi begini sudah BBM?" lirih Atta
sembari berjalan ke tempat tidurnya.
"" Sarah?? Ada apa?" Atta membaca pesan tersebut.
Assalamualaikum Mas Atta, maaf ganggu. Apa hari ini
bs ketemu?
Atta membalas.
Waalaikumsalam, boleh. Jam brp?
Tak lama balasan datang dari Sarah.
Kalojam mkn siang blh, Mas?
Atta membalas lagi.
Ok, insya Allah. Nt aku kabari lg, di tmpt biasa aja ya
Balasan terakhir Sarah.
Ok, mks mas
Tiba?tiba Atta teringat percakapan tempo hari dengan
Danar. Ia memang sudah sepatutnya menentukan
pilihan. Semua pasti ada risiko, itulah kehidupan.
Kita tidak bisa memiliki semuanya. Harus ada yang
dikorbankan. Termasuk cinta. Meskipun sakit, apa
boleh dikata. Seorang pria sejati harus bertanggung
jawab terhadap apa yang telah diucapkannya, bukan
apa yang diharapkannya.
Apa pun yang akan terjadi siang ini, Atta harap
itulah takdirnya. Ketetapan dari Sang Mahakuasa
untuk ia jalani. Tidak lari dari kenyataan. Hadapi
dengan ikhlas, maka insya Allah kebahagiaan akan
menyertai. Percaya pada Allah, Zat yang tak pernah
mengingkari janji.
""Ya Allah, aku percaya bahwa Kau tidak akan
keliru menakdirkan hidup hamba?Mu. Semua sudah
tercatat dalam lauhul mahfudz. Tak ada satu pun
yang bisa mengubahnya. Sekalipun aku berdoa dan
meminta?Mu untuk mengubahnya, aku tetap lebih
percayakan semuanya atas ketetapan?Mu. Karena
Engkau lebih tahu mana yang terbaik untukku.
Cinta ini dari?Mu, dan sekarang aku kembalikan
pada?Mu. Termasuk dirinya. Aku harap semoga dia
bisa mendapatkan cinta yang lebih layak daripada
cinta yang kupunya untuknya...." Atta menatap langit
yang terbentang luas. Perlahan jingga menghilang.
Tergantikan oleh gagahnya biru. Ditemani gumpalan
awan yang sedikit menghalangi sinar mentari.
""Maafkan aku... Ai. Seandainya saja aku
mengenalmu lebih dulu. Seandainya saja."
****
""Iya, Mas. Keretanya gangguan, nih! Kayaknya aku
baru sampai di kantor sekitar jam sembilan. Tadi sih
aku udah izin sama Pak Win."
"Iye?iye, kamu hati?hati aja."
"Oke, Mas Danar. Tengkyu yah."
Tut... tut... tut....
63
Ai mematikan teleponnya. Musim hujan seperti
sekarang memang selalu mengundang masalah
transportasi. Tidak hanya macet di jalan?jalan
protokol dan gang?gang tikus, tapi juga gangguan
kereta. Bayangkan saja jika rel kereta ikut kena banjir.
Bagaimana kereta bisa jalan jika relnya saja tergenang?
Itulah yang dihadapi Ai pagi itu. Hujan deras
mengguyur kota Jakarta dan Bogor semalam sehingga
membuat beberapa debit air di kali naik. Apalagi
diperparah dengan dibukanya pintu air Katulampa.
Sudah pasti dampaknya adalah meluapnya kali?kali di Jakarta. Termasuk kali Angke yang jalurnya
melalui stasiun Tanah Abang. Air yang menggenangi
rel stasiun Tanah Abang memang tidak tinggi, tetapi
akibatnya ada beberapa jalur yang tidak bisa dilalui.
Salah satunya adalah jalur enam, yaitu jalur tujuan
Serpong?Tanah Abang. Jalur kereta yang selalu dilalui
oleh Ai.
Saat menelepon Danar, posisi Ai masih di stasiun
Kebayoran. Sementara jam telah menunjukkan pukul
setengah delapan. Ai masih harus melalui empat
stasiun lagi untuk sampai di kantor, yaitu stasiun
Palmerah, stasiun Tanah Abang tempat transit, stasiun
Karet, dan stasiun Sudirman. Saat ini kereta Ai masih
menunggu antrean untuk bisa masuk stasiun Tanah
Abang karena jalur yang bisa dilalui hanya satu jalur,
yaitu jalur lima.
63
Suasana di dalam kereta mulai ribut. Orang?orang mengeluh telat tiba di kantor, capai berdiri,
hingga kesal pada pemerintah karena tidak tanggap
banjir. Padahal banjir adalah masalah tahunan yang
pasti datang. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung
jawab pemerintah untuk menyelesaikan masalah klasik
tersebut. Terutama tempat?tempat umum seperti
stasiun dan jalan?jalan protokol harus cepat ditangani.
Misalnya stasiun Tanah Abang, begitu banjir meluap
dan menggenangi rel kereta, harusnya disediakan alat
penyedot air dan dibuatkan daerah resapan.
Akhirnya setelah hampir menunggu tiga puluh
menit, Ai tiba di stasiun Tanah Abang. Perjuangan
belum berakhir sampai di situ. Kereta tujuan Bogor
baru persiapan masuk stasiun Kampung Bandan.
Artinya Ai perlu menunggu sekitar sepuluh menit
hingga kereta tiba di Stasiun Tanah Abang. Sambil
menunggu, Ai menengok ke sekeliling, siapa tahu ada
teman?teman rombongan kereta lainnya yang bernasib
sama dengannya. Memang hari itu, Ai berangkat telat
dari rumah. Jika biasanya ia naik kereta pukul enam
lebih dua puluh menit, maka pagi itu ia naik kereta
pukul enam lebih empat puluh lima menit.
"Perhatikan jalur tiga. Perhatikan di jalur
tiga. Dipersiapkan masuk kereta tujuan
Bogor. Kepada para penumpang harap tidak
saling dorong. Perhatikan keselamatan Anda.
63
Dan periksa kembali tiket juga barang
bawaan Anda. Pastikan tidak tertinggal di
stasiun Tanah Abang. Terima kasih telah
menggunakan jasa KAI. Mohon maaf atas
keterlambatan dan ketidaknyamanannya. "
Tak lama terdengar klakson dari rangkaian baja
yang gagah tersebut dari arah utara. Para penumpang
langsung bersiap?siap di sekitar batas garis aman
dan berdesak?desakan. Tidak peduli peringatan dari
petugas stasiun, mau desak?desakan atau tidak, bagi
penumpang yang terpenting adalah bisa masuk ke
dalam kereta dan sampai di tujuan masing?masing.
Sama halnya dengan Ai. Cukup mengeluarkan
sedikit tenaga yang terfokus di kaki dan tangan,
badan gempalnya pun mampu mendorong tubuhnya
masuk ke dalam. Kondisi yang crowded dan arogansi
penumpang lain, menuntut Ai lebih gesit dan lincah.
Kurang lebih lima menit kemudian, kereta Ai
tiba di stasiun Sudirman. Ai segera menyeberang
ke peron jalur satu dan lari sekencang?kencangnya.
Dengan sangat gesit ia menyalip orang?orang yang
ada di depannya.
""Permisi... permisi," Ai melihat jam tangannya.
Jam menunjukkan pukul setengah sembilan lewat
lima menit. ""Huft, udah jam segini aja."
Sesampainya di gate tap out, Ai segera menem?pelkan kartu multitrip dan mendorong counter.
Kembali berlari kecil di bawah kolong jiy over dukuh
bawah. Menyeberang kembali. Menaiki beberapa anak
tangga hingga akhirnya tiba di jalan besar Sudirman.
Kemudian berlari kecil kembali. Tinggal sekitar tiga
ratus meter lagi mencapai kantor.
""Alhamdulillah... akhirnya sampai juga...
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hosh hosh... hosh," Ai terengah?engah. Mengatur
napas. Kembali menaiki tangga. Dan begitu sampai
di ruangan, Ai terkejut. Ternyata masih sepi!
""Heiii, udah nyampe Ai!" teriak Danar
menyambut kedatangan Ai.
Berjalan masuk sambil melihat ke sekeliling
ruangan, Ai masih terkejut. Kenapa ruangan masih
sepi?? Dia pikir dia sudah sangat telat. Walaupun
ternyata kenyataannya tidak!
Jam dinding memang menunjukkan pukul
delapan empat puluh lima menit, tapi kondisi
ruangan terlihat seperti baru pukul tujuh pagi karena
hanya baru ada sekitar tujuh orang yang sudah berada
di ruangan, termasuk Danar, Hasbi, dan... Atta.
""Ini beneran yah? Baru segini aja yang datang?"
tanya Ai sambil melongok untuk kesekian kalinya.
""Ya ampuuun, tahu begitu aku mending jalan santai
aja, nggak perlu lari?lari seperti mau ambil gaji."
63
""Hahahahaaaaa. Sapa juga yang nyuruh kamu
lari?!" jawab Danar terpingkal?pingkal.
"" Soalnya tadi aku cari?cari teman di stasiun Tanah
Abang, tapi nggak ada. Aku pikir udah pada sampai
di kantor. Hhhh, nyesel deh udah lari?lari segala," Ai
mengeluh sambil melepas jaket merahnya.
""Ya sudah sih, nggak usah ngegerutu juga."
"Iya sih. . ."
""Kamu tumben telat, Ai? Kenapa?"
""Aahh, panjang ceritanya, Om. Besok?besok aja
deh yah, aku lagi capek nih habis lari?lari."
""Yaelah, besok?besok mah nggak usah cerita
aje kaleee!" sahut Danar sewot. Jawaban Danar
sontak memecah tawa Hasbi dan Atta. Begitulah
pertemanan empat sekawan itu. Selalu ada saja yang
menyenangkan, meskipun tak menampik ada pula
ketegangan yang kerap kali terjadi di antara mereka.
Seperti sering kalinya Ai kesal dengan sikap Hasbi
yang suka memburu?buru pekerjaan, Danar yang
Heng Thian Siau To Karya Liang Ie Shen Wiro Sableng 102 Bola Bola Iblis Pendekar Pedang Matahari 3 Iblis Bukit