suka jahil, dan Atta yang sering pamer setiap cerita
tentang perjalanan traveling?nya.
""Duh lapar nih," Ai mengeluh kelaparan setelah
tadi mengeluh capai. ""Mas Atta nggak laper?"
""Nggak, emang kenapa?"
""Tapi aku lapar," Ai pasang muka memelas.
""Terus?"
""Kamu ke koperasi dong, beli cemilan...
Hehehee."
""Ogah ah!"
""Biasa aja kali jawabnya," jawab Ai. Manyun.
""Eh asal kamu tau yah, tiap kali aku bawa?bawa
kantong kresek habis beli makanan dari koperasi, pasti
ada aja yang bilang, "habis ngeborong, Mas?""
""Buahahahahaahaaa," lagi?lagi meledak tawa di
kerumunan empat sekawan itu. Saking berisiknya
tawa Hasbi, Danar, dan Ai, membuat rekan?rekan
kerja mereka melirik. Hasbi, Danar, dan Ai merasa
geli mendengar cerita Atta barusan. Apalagi ekspresi
muka Atta yang sepertinya sangat menghayati ketika
kejadian itu berlangsung.
""Malah ketawa, bukannya menyesali diri."
"Atta... Atta... Kasian banget sih ente," ledek
Hasbi. ""Ente juga sih, mau aja kemarin?kemarin
disuruh Ai beli cemilan."
""Yaaah, habisnya dipaksa sih, Kang. Kalau nggak
diikutin maunya, pasti manyun. Lihat sendiri kan tadi
waktu dia manyun?"
""Ah, itu mah bukannya manyun. Emang setting?an mukanya Ai begitu!"
""Enak aja!" sahut Ai cepat.
""Oh iya, kondisi lambung kamu gimana?" tanya
Hasbi.
63
""Ah?" Ai tidak terlalu mendengar pertanyaan
Hasbi karena sedang mengecek e?mail masuk di
inbox Pak Win. Sudah menjadi tugas harian Ai untuk
mengecek inbox Pak Win, lalu menge?print?nya jika
penting. Termasuk jika ada undangan, maka Ai harus
memasukkannya ke dalam outlook calendar Pak Win.
""Kenapa, Kang? Maaf aku nggak dengar barusan."
""Lambung kamu, Neng. Bagaimana? Apa sudah
baikan?"
""Alhamdulillah, sudah lebih baik. Yaaa meskipun
masih harus jaga makan, sih."
""Syukur atuh. Makanya jangan diet?diet, deh!
Aku nggak masalah kok kamu endut."
""Idiih, malas banget dengarnya! Siapa juga yang
diet? Terus, ngapain juga aku diet buat kamu, Kang."
""Iya nih, sudah deh nggak usah diet?diet. Biar
aku ada temennya!" sahut Danar. Sumringah.
""Haduuh, ini lagi Bernard Bear."
""Hahahaaa," Hasbi dan Atta tertawa bersama.
Kecuali Danar. Dia langsung mencibir dan cemberut.
Memang bila diteliti secara saksama, empat
sekawan itu memiliki kesamaan yang tak bisa
dipungkiri. Yaitu kenyataan bahwa mereka tergabung
dalam kelompok orang?orang "sehat". Danar, lelaki
bertubuh besar, tinggi dan lebar, dengan kepala
pelontos, sering menyebut dirinya sendiri BIG BRO.
Hasbi, laki?laki berwajah separuh Cina?separuh
Arab, perut buncit, dan kepala juga pelontos, sering
disebut BOBOHO. Ai, seorang gadis dengan tubuh
tinggi dan bongsor, sering kali dipanggil ENDUT
oleh rekan?rekan kerjanya. Lalu yang terakhir, adalah
Atta. Sebenarnya dia tidak setinggi dan sebesar Danar,
tidak juga sebuncit Hasbi, tetapi harus diakui bahwa
perutnya sedikit terlihat maju. Apalagi sejak pertama
kali ia bergabung, waktu itu perutnya terlihat buncit.
Namun belakangan ini, perutnya terlihat sedikit
mengecil. Atta selalu mengklaim perutnya yang
kini tak buncit lagi adalah berkat kegemarannya
makan ikan. Saking gemarnya makan ikan, setiap
kali memesan makanan ke office boy, ia cukup bilang
"seperti yang biasanya, Mas". Tak lain dan tak bukan,
nasi putih dan ikan tuna. SAJA.
*****
Setelah selesai salat Zuhur, Atta segera menemui Sarah
yang sudah menunggunya dari tadi. Mereka janjian
bertemu di restoran yang berada di gedung sebelah
kantor. Atta sengaja memilih tempat itu agar mereka
dapat mengobrol dengan tenang. Tidak terganggu
oleh berisiknya ingar?bingar mesin mobil dan motor
yang lalu lalang di pinggir jalan. Sesampainya di
restoran, Atta mencari sosok Sarah. Dilihatnya Sarah
sedang melambaikan tangan.
""Assalamualaikum."
""Wa"alaikumsalam. Kamu sudah lama, Sar?"
""Belum, Mas. Yaa baru sekitar sepuluh menit."
""Oh, syukur deh. Oh iya, sudah pesan makan
belum?"
""Sudah. Aku pesankan juga untuk Mas Atta."
""Aku kan belum pilih menunya."
""Tapi aku pesan makanan yang biasa Mas Atta
pesan kok," jawab Sarah lirih. Ia merasa bersalah.
Padahal biasanya Atta selalu meminta dipesankan
makanan dengan menu yang sama setiap kali mereka
makan di restoran itu. ""Aku pesan kakap asam manis
buat Mas. Tapi kalau nggak suka, Mas Atta bisa pesan
lagi kok."
""Ya sudah nggak apa?apa. Mubazir kalau nggak
dimakan. Lagian kamu kan tahu kalau aku nggak
mungkin ngebiarin makanan tergeletak begitu aja
di hadapanku. Pasti aku makan," Atta tersenyum
simpul. Melihat hal itu, hati Sarah langsung tenang.
Dia pikir Atta akan marah kepadanya. Untung saja
tidak. Begitulah Atta. Ia selalu bersikap bijak.
" Kamu nggak kerja?"
"Aku cuti hari ini."
""Oh cuti? Pantesan aja tumben ajak makan siang
bareng. Padahal biasanya kan kita cuma bisa ketemu
setelah jam pulang kerja."
""Iya, Mas. Aku sengaja cuti hari ini. Rasanya
badanku kurang sehat. Beberapa malam kemarin aku
nggak bisa tidur. Selalu terbangun tiap tengah malam.
Pikiran juga rasanya nggak fokus."
""Kamu sakit?"
""Nggak sih, tapi lagi drop aja. Banyak pikiran
mungkin, yah? Hehee," Sarah mencoba memberi
kode bahwa kondisi itu terjadi karena Sarah selalu
memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Atta.
Sebenarnya tanpa Sarah menyindir seperti itu pun,
Atta sudah mengerti. Namun Atta cenderung diam
dan tidak perlu larut dalam suasana emosional. Atta
sendiri juga mengalami hal yang sama. Bagaimana
ia tidak bisa tidur. Terbangun setiap tengah malam
dan ia manfaatkan untuk bermunajat pada Allah.
Memohon petunjuk dari?Nya.
Tak lama pesanan Sarah datang. Seorang
pramusaji membawakan dua piring nasi, sepiring
irisan kakap asam manis, sapo tahu, dan dua gelas jus
stroberi.
""Pesanannya sudah lengkap yah, Bu," ujar
pramusaji.
""Iya sudah. Makasih, Mbak," jawab Sarah. ""Wah
makanannya sudah datang. Ayo Mas, kita makan
sekarang," Atta mengangguk. Mereka pun mulai
menyantap makan siang tersebut.
""Jadi, apa yang mau kamu bicarakan, Sar?" tanya
Atta setelah selesai menelan kunyahan pertamanya.
"Ya?"
""Nggak apa?apa, Sar. Bilang aja terus terang. Apa
yang mau kamu bicarakan sama aku?"
""Kita mau bahas sambil makan aja? Apa nggak
sebaiknya setelah selesai makan?" jawab Sarah.
""Aku pikir, lebih baik sekarang aja. Maaf, Mas
nggak bisa lama?lama karena masih ada pekerjaan
yang harus diselesaikan."
""Oh begitu. . .," terlihat raut kekecewaan di wajah
Sarah. Memang kesalahannya meminta pertemuan itu
pada saat jam makan siang, bukan setelah jam pulang
kerja. ""Emm... Mengenai pertanyaan Sarah waktu
itu."
""Kita akan menikah."
Deg!
Sarah terkejut dengan apa yang baru saja
didengarnya. Barusan Atta bilang mereka akan
menikah. Apakah itu lelucon?
""Apa, Mas?" tanya Sarah menegaskan.
""Kita akan menikah. Hanya saja aku mohon,
tolong jangan dalam waktu dekat. Bagaimanapun
juga aku belum mempersiapkan apa?apa untuk per?nikahan kita nanti. Aku juga belum minta restu pada
orangtuaku dan orangtuamu. Insya Allah, aku juga
akan terus belajar mencintaimu."
Mata Sarah berkaca?kaca. Bergeming. Waktu
rasanya berhenti detik itu juga. Jantung Sarah
berdegup kencang. Hatinya berdesir. Aneh. Bukannya
tersenyum bahagia, justru malah air mata tumpah
membasahi pipinya. Kekhawatiran dan keraguan
menyergap hati Sarah seketika.
""Kamu kenapa nangis, Sar?" tanya Atta panik.
Buru?buru ia berikan saputangannya pada Sarah.
""Ini, hapus air matamu," Sarah meraih saputangan
yang diberikan Atta. Kemudian menghapusnya. Sarah
masih tidak habis pikir dengan semua kalimat yang
diucapkan Atta barusan. Sebenarnya pertemuan itu
sengaja dirancang karena Sarah ingin katakan bahwa
ia rela melepas Atta. Namun kenapa kondisinya
berubah? Kenapa justru tiba?tiba Atta bilang bahwa ia
akan menikahi Sarah?
Bibir Sarah pun tak bisa digerakkan. Terkunci
rapat. Ia bingung harus menjawab apa. Di satu sisi, ia
merasa senang karena Atta mau menikahi dan belajar
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk mencintainya. Namun di sisi lain, ia takut
bahwa pernikahan mereka kelak akan terasa hampa
karena Sarah tahu kalau cinta Atta sudah dimiliki
gadis lain.
""Harusnya aku bersyukur karena memiliki
seorang wanita yang tulus memberikan sepenuh
hatinya untukku. Seorang wanita yang rela menung?
guku di sepanjang hidupnya. Lalu, apa alasan aku
untuk menyia?nyiakan wanita itu? Aku nggak punya
alasan untuk menolaknya, kan?" Atta tersenyum.
Kedua lesung pipinya tampak sempurna. ""Dengan
bismillah, aku akan belajar menjadi imam yang baik
untuk kamu, Sarah."
Air mata yang sempat berhenti, kini terurai
kembali. Pecah bersamaan dengan kebahagiaan?sebenar?benarnya kebahagiaan, yang pertama kali
Sarah rasakan. Entah dari mana datangnya keajaiban
itu, tapi sungguh Sarah bersyukur pada Allah.
""Terima kasih ya Allah... terima kasih. . .," gumam
Sarah dalam hatinya.
"jika ini yang terbaik, bimbing aku ya Allah.
Namun jika aku salah, berikan aku petunjuk?Mu. Aku
percaya bahwa Kau akan selalu menuntunku," Atta
membatin.
*****
10 Desember 2013. Di sebuah ruangan yang tak besar,
berdinding kaca, terlihat lima orang tengah serius
berdiskusi. Tiga orang pria dan dua orang wanita
berdebat mempertahankan argumen mereka masing?masing. Di atas sebuah meja panjang terbuat dari kayu
jati, ditemani beberapa tumpukan kertas dan cangkir?cangkir kopi yang telah kosong, perdebatan sengit
terus berlangsung. Mungkin sudah lebih dari delapan
jam mereka belum bisa memutuskan. Siang telah
berlalu. Matahari sebentar lagi kembali ke peraduan.
Bayang?bayang pepohonan semakin panjang. Sudah
dua hari berlalu sejak penyortiran dilakukan, kini
tinggal pemutusan naskah?naskah mana saja yang
pantas menjadi juara.
""Menurut saya cerita ini original. Belum ada
yang begitu seoriginal seperti ini," ujar seorang pria
berkacamata. Sambil memutar?mutar pulpennya, ia
berusaha meyakinkan juri lainnya.
""Tapi bahasanya terlalu mentah, masih banyak
yang harus dipoles. Sedangkan cerita ini jauh lebih
matang. Alurnya menarik dan redaksinya juga
sempurna."
""Iya sih, kamu benar. Tapi cerita yang kamu
maksud itu terlalu biasa, terlalu remaja. Kisahnya
juga mudah ditebak. Kalau cerita ini punya jalan
cerita yang unpredictable. Kesederhanaan perasaan
yang diceritakan penulisnya justru menjadi fondasi
yang kuat dari setiap latarnya. Nggak muluk?muluk.
Apa adanya tapi punya "wow factor" yang bisa bikin
pembaca hanyut dalam emosi penulis."
""Kenapa kamu sangat mempertahankan cerita
itu sih, Ta? Kita ini cuma tinggal putusin urutan
juaranya aja, loh. Kita tau cerita itu bagus, tapi belum
bisa untuk jadi juara satu. Masih terlalu mentah dan
harus banyak belajar lagi. Sementara ini kan sebuah
kompetisi. Yaa kecuali kalau kamu mau reputasi dan
kredibilitas kita sebagai dewan juri dipertanyakan.
Kenapa kita pilih cerita itu jadi juara satu," jawab
seorang wanita yang menjadi ketua tim juri.
"Iya, Ta. Kenapa kamu gigih banget perjuangin
cerita itu, sih? Memangnya kamu kenal dengan
penulisnya?" celetuk salah seorang juri lainnya.
""Nggak sih."
""Nah, ya sudah. Kalau begitu sudah bisa
diputuskan yah juara satunya," ujar ketua tim juri.
""Oke, sudah final. Langsung putuskan saja,
Mbak," jawab seluruh juri kecuali Sapta.
Palu sudah diketok. Nama?nama pemenang pun
disebutkan satu per satu. Hanya Sapta yang terlihat
kurang puas. Entah kenapa rasanya ia memiliki
penilaian yang berbeda dengan cerpen yang ia
pertahankan dari tadi. Emosinya seolah masuk ke
dalam cerita tersebut. Ia pun memutuskan untuk
membawa naskah cerpen itu ke rumah untuk dibaca
ulang. Ia ingin memastikan bahwa instingnya sebagai
seorang penulis lepas sekaligus editor tidak salah.
Benar?benar ada yang menarik dari cerita itu. Sebuah
makna yang tidak bisa dilihat dengan kasatmata, tapi
hanya bisa dirasakan. Memang ada beberapa bagian
yang kurang, tapi pada dasarnya tidak signifikan.
Selesai acara penjurian dan pencatatan seluruh
nama pemenang, Sapta bergegas pulang. Pria berusia
tiga puluh tahun itu, melesatkan mobilnya menuju
apartemen yang terletak di daerah Pakubuwono. Setiap
kali terjebak macet karena padatnya jalanan ibu kota,
Sapta menyempatkan dirinya membaca lembaran?lembaran naskah yang dibawanya. Berulang?ulang
ia baca naskah tersebut dengan saksama. Menyelisik
lebih dalam dari setiap kejadian yang diungkap pada
cerita.
""Aku penasaran dengan penulisnya. Cerita ini
bukan fiksi, aku bisa rasakan itu," mata Sapta berpaling
ke jendela yang sengaja dibukanya. Semilir angin
sore menjelang malam menyapu lembut rambutnya.
Menggerakkan beberapa helai rambut yang terjuntai
di dahinya. Di balik kacamatanya, terlihat sepasang
mata yang indah. Panjang dan tajam seperti elang. Bola
mata berwarna hitam pekat. Alisnya tebal. Struktur
rahang yang halus, dengan sedikit jambang dan kumis
tipis, membuat pria tersebut telihat matang.
Satu setengah jam lebih perjalanan menuju
apartemen, akhirnya Sapta sampai. Bertempat
di lantai sembilan membuat Sapta dapat melihat
indahnya suasana ibu kota malam hari. Setelah
meletakkan tas dan jaket converse biru dongkernya
di sofa, ia berlalu ke dapur. Membuka lemari es dan
mengambil sebuah minuman kopi kaleng favoritnya.
Berjalan ke depan jendela. Berdiri dan menatap langit
yang kini gelap. Hanya dimeriahkan lampu?lampu
gedung di sekitarnya dan kendaraan yang tak pernah
sepi melintas. Meneguk kopi dinginnya sesekali.
Sapta tersenyum simpul ketika membaca
kembali nama penulis cerpen tersebut. Bergumam
dalam hati. Mencoba membayangkan rupa wanita
yang mengganggu benaknya dua hari terakhir.
Tepat saat kali pertama ia membaca naskah tersebut.
188
""Nama yang unik. Seunik pemikiran dan setiap detail
perasaan yang diungkapnya," Sapta kembali meneguk
kopinya. ""Mungkin sekarang kamu belum bisa
ditemukan oleh orang lain bahwa kamu spesial, tapi
aku akan menunjukkannya. Jika kamu hanya kurang
dipoles sedikit, maka aku yang akan memoles dan
menyempurnakannya."
Kamar yang sengaja dibiarkan temaram oleh
Sapta, membuat pantulan cahaya dari luar jendela
tampak sempurna. Juga memberikan kesempatan bagi
bulan purnama dan sedikit bintang di langit terlihat
tersenyum indah di batas cakrawala.
Sapta, salah seorang editor di perusahaan penerbit
yang cukup terkemuka di Indonesia, di usianya
yang terbilang cukup matang, ia masih saja hidup
melajang. Belum terbesit di benaknya untuk menikah.
Entah apa yang dicari Sapta sementara kariernya
sebagai seorang editor tengah menanjak. Beberapa
wanita kenalannya tidak ada satu pun yang menarik
perhatian dan hatinya. Bahkan ia cenderung tertarik
oleh kesibukan yang tiada henti menyita waktu dan
tenaganya. Berprofesi sebagai seorang editor memang
tidaklah mudah, di mana ia harus berkonsentrasi
penuh pada naskah?naskah para penulis yang akan
disempurnakan olehnya. Kadang hal seperti itulah
yang menjadi tameng terkuat Sapta setiap kali ibu dan
rekan?rekannya menyinggung mengenai pernikahan.
Pernah sekali Sapta jatuh hati pada seorang gadis,
namun itu terjadi jauh sebelum ia menjadi seorang
editor. Kejadian itu terjadi saat ia masih bekerja di
sebuah perusahaan media cetak sebagai wartawan.
Mungkin hampir sekitar tujuh tahun yang lalu.
Usianya waktu itu baru menginjak dua puluh tiga
tahun. Lulus dari fakultas komunikasi, ia memutuskan
bekerja di media cetak. Itu pun tidak berlangsung
lama, hanya sekitar setahun.
Gadis yang sempat mengisi relung hati Sapta kala
itu tak lain adalah rekan kerjanya sendiri. Sayang, dua
bulan sejak kedekatan mereka ternyata gadis tersebut
telah dijodohkan oleh orangtuanya. Gadis itu pun
langsung diberangkatkan ke Jepang untuk menemani
suaminya yang bekerja sekaligus S2 di sana. Akhirnya
genap setahun bekerja sebagai wartawan, Sapta
memutuskan resign dan melamar ke perusahaan yang
kini membesarkan namanya. Berbekal pengalamannya
sebagai seorang wartawan, Sapta pun mencoba
pengalaman baru dengan menjadi seorang editor.
Kemauan belajar yang keras, mudah bergaul, dan
memiliki insting yang cukup tajam, ia pun kini laris
diminta menjadi juri di beberapa kompetisi menulis.
Dan kini sepertinya secercah cahaya itu datang
kembali. Melalui sebuah karya seorang penulis
amatir, Sapta merasakan sesuatu yang berbeda me?
nyergap hatinya. Tidak peduli kapan datangnya,
yang pasti Sapta sendiri bingung kenapa ia begitu
mempertahankan cerita tersebut menjadi pemenang
pertama. Ia pun yakin jika suatu saat karya itu akan
booming. Oleh karena itu, saat penyerahan hadiah,
Sapta berencana untuk berkenalan langsung dengan
gadis tersebut. Juga ada ada beberapa hal yang ingin
ia bicarakan. Rasanya sudah tak sabar ingin bertemu.
Desiran hati yang telah lama hilang, kini kembali. Ya,
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia telah kembali.
***
20 Desember 2013.
""Ai," panggil Pak Win yang sedang duduk di
mejanya. Kepalanya menggeleng beberapa kali.
Secarik kertas yang tengah dibacanya seolah tidak bisa
ia pahami.
"Iya, Pak," sahutAi. Ia pun bergegas menghampiri
pak Win dan duduk tepat di depannya. Pak Win
menatap lekat sekretarisnya itu. Berusaha memahami
apa yang ada di pikiran Ai. Ia masih belum juga paham
dan percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Pak
Win mengusap?usap keningnya. Lalu membetulkan
posisi kacamata dan bertanya.
""Kamu kenapa?"
""Nggak apa?apa, Pak."
""Tapi kenapa?? Apa masalahmu sampai harus
begini?"
""Saya hanya ingin mewujudkan impian lama
saya."
""Jadi itu adalah impianmu?"
Ai mengangguk. ""Saya mohon doa restunya,
Pak."
""Yah, kalau memang begitu keputusanmu. Saya
tidak akan menahan. Semoga apa yang sudah kamu
pilih, dapat kamu pertanggungjawabkan. Totalitaslah
dalam segala hal. Yakin bahwa Allah pasti membalas
semua jerih payah kamu. Apalagi jika memang ini
adalah impian lamamu, seharusnya kamu berjuang
lebih keras untuk membangunnya menjadi lebih baik
dan jauh lebih baik lagi. Semoga sukses, Ai. Terima
kasih banyak sudah membantu saya selama ini. Saya
juga minta maaf jika ada salah, dan pasti saya ada
salah. Bagaimanapun juga, saya hanya ingin mendidik
kamu dan rekan?rekan lainnya untuk maju dan tahan
banting dalam kondisi apa pun."
""Aamiin, terima kasih Pak Win. Saya juga minta
maaf atas semua kekurangan saya selama ini. Sekali
lagi terima kasih, Pak."
Pak Win mengulurkan tangannya. Ai pun meraih
dan menjabat tangan Pak Win. Rasanya sedih sekali
saat itu. Saat Ai harus melepaskan jabat tangan Pak
Win yang dirasa sudah seperti ayahnya sendiri. Malam
itu, Pak Win benar?benar tidak menyangka bahwa Ai,
sekretarisnya, mengajukan surat pengunduran diri.
Tepat sebelum Pak Win pulang, ia sempatkan
membuka selembar amplop cokelat yang ternyata
berisi surat dari Ai.
Suasana kantor berangsur sepi. Seperti biasanya,
setiap hari Jumat, orang?orang lebih memilih pulang
on time daripada lembur. Rata?rata mereka lebih
suka menghabiskan malam bersama keluarganya
lebih lama dibandingkan hari lainnya. Ada juga yang
memanfaatkannya dengan bermain futsal di lapangan
belakang kantor. Berbeda dengan yang lain, Ai justru
sengaja pulang malam karena ia tahu bahwa pasti
Pak Win memanggilnya setelah membaca surat yang
sengaja ia letakkan di atas meja sejak sore tadi. Mulai
malam itu, maka tepat satu bulan yang akan datang,
Ai sudah tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan
tersebut.
Ai memutuskan resign sejak pertemuannya
dengan Sapta seminggu lalu. ..
****
Jumat, 13 Desember 2013
""Assalamualaikum."
""Wa"alaikumsalam, Kak Ai!!!"
""Astaghfirullah, Resa! Kenapa kamu teriak?teriak
begini? Sakit nih kupingku."
" Kakak di mana ini?"
""Ya di kantor, dong sayang. Ada apa?"
""Iiih, pasti Kakak belum cek e?mail deh!"
" Cek e?mail? Aku dari pagi buka e?mail kok."
"Yang Kakak buka e?mail yang mana?"
""E?mail kantor."
""Ya Allah, Kakaaak. .. Sudah sana cepat, cek
e?mail kakak dulu sekarang!"
""Ada apa sih emangnya?"
""Nggak usah banyak tanya, tinggal kikuin
aja. Nanti telepon aku lagi yah, kalau sudah baca.
Assalamualaikum,"
""Wa"alaikumsalam."
Tut... tuttt... tuuutt.
Resa menutup teleponnya. Sementara Ai masih
bingung dengan apa yang terjadi. Kenapa Resa sangat
bersemangat dan tergesa?gesa seperti itu. Tanpa pikir
panjang, ia pun langsung membuka web browser dan
mengetik laman G?mail. Loading. Tak lama ia masuk
ke menu inbox dan...
Dengan ini kami mengucapkan selamat kepada
MlNANTl JlNGGA dengan judul BIRU JlNGGA
sebagai juara dua pada perlombaan menulis
cerpen tahun 2013. Selanjutnya karya Anda
akan kami tampilkan pada buku kami dan
Anda berhak mendapatkan hadiah uang tunai
sebesar Rp20.000.000.
Harap kepada pemenang untuk hadir pada acara
penyerahan hadiah yang akan diselenggarakan
pada hari Senin, 16 Desember 2013, pukul
09.00 WIB bertempat di Hotel Mulia, Senayan.
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi
contact person di bawah ini.
Kemala (08111887654 atau 021?8982237) atau
Erik (087810510510 atau 021?8982237)
Air mata Ai berlinang ketika ia selesai membaca isi
e?mail tersebut. Sampai?sampai ia tidak sadar bahwa
Danar dan Hasbi memperhatikannya.
""Subhanallah... alhamdulillah ya Allah..
alhamdulillah" Ai mengucapkan lafaz tahmid
berkali?kali. Ia masih belum memercayai apa yang
baru saja dibacanya. Berhasil menjadi juara dua dan
mengalahkan peserta lain yang mungkin jauh lebih
bagus darinya, membuat adrenalin Ai meningkat.
Memacu jantung berdetak lebih cepat.
""Kamu kenapa, Ai?" tanya Danar cepat setelah
mendengar Ai mengucap syukur berkali?kali.
""Naskahku, Mas! Aku juara dua!"
""Naskah?? Juara dua?? Apaan sih, aku nggak
ngerti nih!"
""Pokoknya begitu deh... Nanti aku jelasin lagi
yah, sekarang aku mau menelepon temanku."
Ai pun meraih ponsel pintarnya. Berjalan keluar
ruangan, lalu menelepon Resa.
""Assalamualaikum, Sa!" ujarAi lantang.
""Wa"alaikumsalam. .. Gimana Kak, apa sudah
dicek?"
Ai manggut?manggut meskipun Resa tidak bisa
melihatnya. ""Iya, Sa. Aku juara dua! Alhamdulillah. . . "
""Iya, Kak. Alhamdulillah. . .. Selamat yah, Kak
Ai! Aku tahu kalau Kakak pasti akan jadi pemenang..
Selamat yah, Kak! Aku bangga banget punya Kakak
seperti Kak Ai."
""Makasih Sayang... ngomong?ngomong, kamu
tahu dari mana kalau hari ini pengumumannya?"
""Aku cek di alamat web?nya, Kak. Karena aku
ingat kalau hari ini tanggal pengumuman, jadi aku cek
deh. Ternyata di homepage?nya ada info tentang hasil
lomba termasuk nama?nama pemenangnya. Terus aku
lihat nama KakAi di urutan kedua. Langsung deh aku
telepon Kakak. Soalnya aku tahu Kakak pasti sibuk di
kantor jadi lupa tanggal."
""Kamu benar banget, Sa. Kemarin pekerjaanku
banyak banget sampai lupa kalau hari ini pengumu?mannya. Hehehee... makasi ya."
""Iya nggak apa?apa, yang penting kan Kakak jadi
pemenang!" jawab Resa sangat senang. ""Oh iya, terus
di e?mail Kakak ada info apa?"
""Hari Senin aku diminta ke Hotel Mulia untuk
acara penyerahan hadiah. Berarti aku harus cuti nih. ..
Duh, dadakan banget! Bisa nggak yah ajuin cuti
mendadak?"
""Insya Allah bisa. Kakak jelasin aja alasannya."
"Hmmm.... Ya, mudah?mudahan aja bisa deh.
Yowis, aku lanjut kerja lagi yah, Sa. Nanti aku kabari
kamu lagi. Assalamualaikum."
""Iya, Kak. Waalaikumsalam."
Selesai menutup telepon, Ai bergegas kembali
ke ruangan. Pertama?tama ia buat form pengajuan
cuti. Kemudian ia letakkan di dropbox Pak Win.
Semoga saja Pak Win kembali ke kantor setelah
salat Jumat hingga bisa di?approve. Selanjutnya Ai
pun melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Raut
wajah Ai berseri?seri. Senyum terus mengembang di
sudut?sudut pipinya. Sumringah. Hasbi dan Danar
kebingungan melihat Ai. Mereka bertatapan sambil
mengangkat bahu masing?masing.
"Sayang kamu nggak masuk hari ini, Mas.
Seandainya Mas Atta ada, aku pasti berbagi kebahagia?an ini denganmu. Hanya ingin berbagi kebahagiaan. . ., "
gumam Ai dalam hati. Tiba?tiba raut wajahnya
menjadi sedih. Senyumnya lenyap. Hasbi dan Danar
yang masih memperhatikan sejak tadi semakin
bingung.
""Ai?" Danar memanggil Ai. Tidak ada respons.
""Ai??" Bergeming. ""Ai!!!" teriak Danar geregetan.
""ASTAGHFIRULLAH!" jawab Ai terkaget?kaget. ""Apaan sih, Mas Danar?! Bikin aku kaget aja!"
""Yeeee... Habisnya kamu dipanggil dari tadi
nggak nyahut, malah bengong."
""Tapi kan nggak teriak juga panggilnya...," Ai
mengusap?usap dadanya. Rasanya benar?benar kaget.
""Eh, kamu kenapa sih? Aneh banget tahu! Bentar?bentar senyum, terus sedih. Serem tahu, Ai. . . ."
""Iya, nih. Kita kan kasihan lihatnya," Hasbi
menambahkan.
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
""Kok kasihan?? Emangnya aku kenapa?
Hahahaaa. . . ."
""Tuh kan sekarang malah ketawa! Emang benar
yah kata Atta, kamu tuh aneh. Sebentar?bentar
senyum, sedih, ketawa, marah?marah."
""Enak aja! Itu mah Mas Atta?nya aja yang
berlebihan," Ai mencibir.
""Terus kamu kenapa? Cerita dong.... Pelit
banget sih," ujar Danar lirih dengan memasag muka
cemberut.
""Oh iya, yah! Tadi kan aku janji mau cerita,
heheee." Ai tertawa kecil. Wajahnya kembali
berseri. ""Jadi ceritanya, beberapa waktu lalu aku ikut
lomba penulisan cerpen dan barusan pengumuman
pemenangnya. Alhamdulillah aku juara kedua! "
""Oh iya?!" tanya Danar dan Hasbi serempak.
""Iyaaaaaa," mataAi berbinar?binar. Senyum lebar
mengembang di wajah imutnya. Gigi?giginya yang
putih tampak sempurna. Manis sekali. Danar dan
Hasbi tanpa ragu langsung berdiri, menghampiri Ai.
""Waaahhh, selamat Ai. Aku bangga sama kamu,"
ujar Hasbi. Ia pun mengulurkan tangannya memberi
selamat. Diikuti dengan Danar.
""Keren Ai, aku nggak sangka kamu bisa buat
cerpen. Menang pula," celetuk Danar.
""Makasih yah teman?teman. . .."
""Harus traktir syukuran nih!" Danar langsung
mengusap?usap perutnya yang besar.
""Insya Allah, nanti yah. Hari Senin baru acara
penyerahan hadiah. Lagian Mas Atta kan lagi cuti,
jadi nanti aja sekalian tunggu Mas Atta."
""Iya nih, Danar. Sabaaarrr. Yang penting tetap
ditraktir."
""Hhhh, dasaaarrr."
****
Senin pagi, 16 Desember 2013.
Hari yang ditunggu tiba. Ai sudah berada di lobi
Hotel Mulia. Banyak sekali orang?orang di sana.
Ada panitia?terlihat dari baju seragam dan ID yang
melingkar di lehernya, para pemenang yang berjumlah
dua puluh orang, dan beberapa wartawan. Ai takjub
sekali dengan apa yang dilihatnya. Baru kali ini ia
mengikuti acara seperti itu. Ai pun berkenalan dengan
beberapa pemenang, bercerita tentang keseharian
masing?masing. Karena perlombaan tersebut merupa?kan perlombaan tingkat nasional, maka ada juga
yang berasal dari luar Jakarta, seperti Bandung,
Solo, Padang, Jambi, Bali, Maluku, Balikpapan, dan
Makassar. Kebanyakan dari kedua puluh pemenang
tersebut adalah mahasiswa. Maklum karena salah satu
persyaratan lomba yaitu berusia 18?25 tahun. Hanya
Ai dan tujuh orang lainnya yang sudah bekerja.
Tidak lama kemudian, sekitar pukul 08.30 WIB,
Ai dan para pemenang diminta untuk masuk ke
ruangan. Di sebuah ruangan yang cukup besar, beralas
karpet bercorak merah dan emas, dengan gemerlap
lampu hotel, Ai duduk di kursi deret kedua bersama
teman?teman yang baru saja dikenalnya. Mereka
berbincang?bincang dan merasa tidak sabar untuk
masuk ke acara inti, yaitu penyerahan hadiah. Suasana
saat itu sangat ramai dan riuh dengan kegembiraan
masing?masing pemenang. Ditambah lagi sesekali
lampu blitz kamera DSLR ikut memeriahkan.
Wartawan sudah beraksi mengambil foto snapshot
para pemenang. Memang penyelenggara perlombaan
penulisan cerpen tersebut adalah salah satu penerbit
terkemuka di Indonesia, maka wajar jika acara tersebut
terbilang meriah.
Tepat pukul sembilan ketua panitia dan tim
juri masuk ke ruangan. Dimulai dengan sambutan
ketua panitia dan dilanjutkan oleh kepala penerbit
mengucapkan selamat atas kemenangan yang diraih
oleh dua puluh orang penulis muda. Kompetisi
tersebut memang dikhususkan bagi penulis pemula
yang bertujuan mencari bakat?bakat anak muda
dalam menulis. Hasilnya mengagumkan.
"Kami bangga sekali karena kompetisi ini
diikuti oleh enam ratus sembilan penulis muda yang
berbakat. Banyak sekali naskah?naskah menarik.
Ternyata di Indonesia tersimpan calon?calon penulis
besar yang mengagumkan. Di usia kalian yang masih
muda, kalian telah memiliki ide?ide cerita yang bagus
sekali dan patut dikembangkan. Dengan banyak
berlatih, saya jamin kalian akan menjadi penulis
tersohor, seperti JK. Rowling, Ayu Utami, Dee, dan
masih banyak lagi. Jangan cepat puas terhadap apa
yang telah kalian dapatkan hari ini. Tapi teruskanlah!
Terus menulis. Jangan pernah berhenti! Percayalah,
suatu saat karya kalian akan membawa kalian menuju
tempat yang jauh lebih indah dari bayangan kalian,"
sepenggal sambutan dari kepala penerbit kepada para
pemenang.
Bapak paruh baya tersebut terlihat sangat ber?semangat. Beliau memang sudah melalang buana di
bidang jurnalistik. Memulai karier sebagai seorang
jurnalis, pimpinan redaktor salah satu stasiun televisi
swasta, kini beliau menjabat sebagai kepala penerbit
di perusahaan yang telah ia kembangkan dalam kurun
waktu lima tahun terakhir.
Selesai sambutan dari kepala penerbit dan ketua
tim juri, kini memasuki acara inti yaitu penyerahan
hadiah. MC mengambil alih acara dan menyebutkan
satu per satu nama?nama pemenang dimulai dari
urutan terakhir. Gemuruh kemeriahan dan sorot
lampu juga blitz kamera membuat suasana semakin
khidmat. Mata Ai berkaca?kaca. Jujur sampai detik
ini ia masih belum bisa memercayai bahwa ia berada
di antara kemeriahan acara bergengsi tersebut. Tidak
tanggung?tanggung, bahkan ia berhasil menyabet
posisi kedua sebagai pemenang. Di luar dugaan
dan harapan. Karena memang bukan itulah yang ia
harapkan saat pertama kali mengikuti perlombaan,
melainkan hanya ingin mengutarakan perasaannya
lewat cerita yang terangkai indah melalui kata?kata.
Namun ternyata Allah punya rencana lain, dan
rencana itu jauh lebih indah. Di saat hatinya masih
sedih karena cintanya adalah cinta terlarang, justru
Allah mewujudkan impian lamanya. Impian untuk
menjadi seorang penulis.
Sejak kecil Ai ingin sekali menjadi seorang
penulis. Oleh karena itu, kerap kali Ai menyempatkan
diri menulis beberapa cerita di waktu senggangnya.
Namun cerita itu hanya untuk konsumsi pribadi
dan beberapa teman terdekatnya saja. Hingga
akhirnya datanglah Atta dalam kehidupan Ai. Atta
membuatnya menulis kembali setelah cukup lama
berhenti dari hobi lamanya itu. Karena rasa cintanya
pada Atta yang tak terungkap, berkat dorongan Resa,
Ai pun mencoba mengungkapkannya lewat cerpen
yang ia ikut sertakan dalam perlombaan tersebut.
Sayang, setelah cerpen itu rampung, justru Ai baru
mengetahui bahwa Atta tidak lagi sendiri. Ya, Atta
tidak sendiri. Ia sudah memiliki pasangan bahkan
calon istri.
Malam itu, di bawah rerintik hujan, di depan
ATM seberang tenda tempat Atta dan seorang
gadis makan malam bersama, Ai berada di sana.
Tertutupi payung dan tersamarkan temaram lampu
taman Dukuh Bawah, Atta tidak sadar bahwa Ai
melihat semuanya, meskipun tidak dapat mendengar
pembicaraannya. Ai hanya meyakini satu hal bahwa
pastilah orang spesial jika Atta makan malam bersama
hanya berdua dengan seorang wanita. Bukti itu cukup
bagi Ai untuk menyimpulkan bahwa Atta tidak sen?
diri. Dan Ai tidak pantas untuk mengganggu hubu?ngan mereka. Cukuplah perasaannya melebur dan
memuai bersama kebahagiaan yang dirasakannya
saat ini. Kebahagiaan mendapati dirinya kini diakui
sebagai seorang penulis muda berbakat. Sudah cukup
seperti itu.
""Selanjutnya adalah penyerahan hadiah bagi
tiga besar. Kami sambut dengan bangga MINANTI
JINGGA!! Silakan maju ke panggung kepada Minanti
Jingga." seru MC membuyarkan lamunan Ai.
Ai pun bergegas ke panggung. Berbalut long dress
bermotif polka dot warna merah, outfit semi blazer
polos berwarna silver, dan jilbab polos model Turkish
warna merah muda, Ai terlihat sangat cantik. Senyum
lebar menghiasi paras imutnya. Sedikit sapuan blush
on berwarna oranye membuatnya terlihat cerah.
Semua mata tertuju padanya. Memang hanyaAi yang
terlihat begitu menawan.
"Cantik sekali runner up kita ini! Secantik
namanya," seru MC. Ai hanya tersenyum. ""Oke,
selanjutnya kami minta kepada Mas Sapta untuk
memberikan trofi dan simbolik hadiah uang tunainya
kepada Mbak Minanti."
Sapta, pria yang sangat memperjuangkan Ai
saat penilaian dulu, akhirnya kini bertemu dengan
Ai. Sapta sengaja meminta kepada MC agar dirinya
yang menyerahkan hadiah tersebut langsung kepada
Ai. Betapa terkejutnya ia. Ai memang terlihat sangat
menawan. Bahkan hatinya berdesir ketika melihat
Ai berjalan menuju panggung. Tanpa sadar sudut
bibirnya naik menyudut ke atas. Tersenyum. Matanya
tajam memperhatikan gerak?gerik Ai.
""Selamat, yah! Karyamu sangat menarik," ujar
Sapta saat menjabat tangan Ai.
""Terima kasih, Pak," jawab Ai dengan sebuah
senyuman.
Setelah berfoto?foto sejenak, mereka pun kembali
ke kursi masing?masing. Tak lama acara penyerahan
hadiah pun selesai dan dilanjutkan dengan ramah
tamah. Ai bersama teman?teman barunya beranjak
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuju bufet yang telah tersedia di luar ruangan.
Waktu menunjukkan pukul 1 1.30 WIB.Ai mengambil
makan siang secukupnya dan memilih makan di
dalam ruangan dibandingkan berdiri di luar. Baru
saja duduk, tiba?tiba ada seseorang menghampirinya.
Sapta.
"" Kosong? Boleh saya duduk di sini?" tanya Sapta.
Suara bas?nya mengagetkan Ai.
""Eh? Oh iya, silakan."
""Nggak makan di luar?"
""Nggak, di sini aja. Lebih enak kalau duduk.
Hehehe."
""Iya benar, lebih enak kalau duduk," Sapta
manggut?manggut.
"Nggak ikut makan, Pak?" tanya Ai sambil
menyuap makanannya.
""Belum lapar, nanti aja. Oh iya, kamu kerja atau
kuliah?"
"Saya kerja, Pak. Hari ini sengaja ambil cuti."
""Di mana?"
""Di bank."
""Sebagai apa?"
""Sekretaris."
""Oh pantas."
"Kenapa memangnya?" kening Ai mengernyit.
Menyelidik.
""Hahahaa, nggak apa?apa. Cuma terlihat aja
dari gayanya. Beda kan sama saya, lebih kasual dan
cenderung urakan."
""Urakan? Nggak kok, itu masih tahap wajar."
""Oh iya?! Saya pikir saya urakan. Hahahaa."
""Hehehe."
""Eh iya kenalkan. Saya Sapta," Sapta mengulurkan
tangannya.
""Ai," jawab Ai menyambut tangan Sapta.
""Panggilannya "Ai"? kenapa bukan "Jingga" atau
"Minan"?"
""Itu juga boleh, kalau Ai lebih simpel aja
menyebutnya."
""Oh begitu. .. Ya sudah, saya ikut aja deh," Sapta
kemudian mengeluarkan kartu namanya dari dompet.
Lalu menyerahkannya pada Ai. ""Ini kartu nama saya.
Saya bekerja sebagai editor. Sebenarnya saya punya
tawaran menarik buat kamu."
""Tawaran?? Tawaran apa yah, Pak?"
"" Duh, saya lupa pakai krim antiaging belakangan
ini, pasti kerutan di muka saya makin banyak deh!
Hhhh," seru Sapta sambil menepuk keningnya.
"Hah?? Krim antiaging?"
""Iya, buktinya dari tadi kamu panggil saya "Pak"
terus. Artinya kerutan di muka saya makin banyak,
kan? Sampai?sampai saya terlihat sangat tua!"
"" Hahahahaaaa. . ."
""Kok malah ketawa? Bukannya minta maaf."
""Ups! Maaf."
""No need," jawab Sapta cepat. ""Panggil nama
saja, yah. Biar lebih akrab. Saya masih muda kok, ya
meskipun nggak muda?muda banget."
""Rasanya lebih enak kalau ada "Mas"nya deh."
""Nah, itu lebih boleh. Kalau langsung nama saya
kasihan sama kamu nanti dikiranya seumuran dengan
saya," sahut Sapta dengan wajah sok datar.
""Hahahaaa," Ai sampai berhenti makan karena
dari tadi tertawa. ""Oh iya, tadi katanya ada tawaran
untuk saya. Tawaran apa yah, Mas?"
""Hmmm, begini Ai. Jujur saya suka banget sama
cerpenmu. So original' Belum pernah saya menemukan
cerita seoriginal itu selama saya menjadi editor. Dan
saya tertarik untuk mempromosikan cerpen kamu itu
untuk menjadi novel. Cuma untuk membuat novel itu
tidak semudah membuat cerpen. Di mana setting yang
kamu buat tentunya jauh lebih banyak. Alur menjadi
faktor terpenting. Letak klimaks dan antiklimaks
juga menjadi fokus yang harus diperhatikan. Intinya
challenges membuat novel itu lebih besar daripada
membuat cerpen. Tapi... jika kamu berhasil dan
kamu sukses menyempurnakan cerita kamu menjadi
novel, saya yakin karier kamu sebagai seorang
penulis muda berbakat akan semakin terbuka dan
diperhitungkan dalam penerbitan. Namun sebelum
jauh saya berbicara tentang dunia menulis, saya mau
tanya, apa kamu berminat? Atau kamu sudah cukup
puas dengan yang kamu dapat sekarang ini? Karena di
setiap keputusan, pasti ada pengorbanan."
Ai gamang. Tidak merespons.
""Oke, saya tahu kalau kamu harus berpikir dulu
mengenai hal ini. Jadi, saya akan beri kamu waktu.
Apa seminggu cukup?"
""Maaf, maksudnya pengorbanan itu apa yah?" Ai
mencoba ingin tahu lebih detail sebelum ia mengambil
keputusan.
""Intinya, menulis itu membutuhkan effort dan
waktu yang luar biasa banyaknya, Ai. Kamu nggak
bisa menulis kalau pikiranmu bercabang apalagi
dalam waktu yang lama. Karena bagaimanapun juga
editor dan penerbit akan memberi deadline pada
setiap penulis. Lain halnya jika kamu memang tidak
terlalu fokus dalam menulis, dalam arti menulis
hanya menjadi hobi semata. Jika memang begitu,
maka editor biasanya akan berpikir ulang untuk
menyempurnakan naskah sang penulis. Karena editor
sendiri pun punya target...
Kalau memang Ai berminat menerima
tawaran saya, dari sekarang saya akan bilang bahwa
waktu yang kamu butuhkan untuk menulis akan
jauh lebih banyak dari biasanya. Karena saya akan
beri deadline ke kamu. Setiap progres pasti saya beri
target waktu. Sementara jika Ai masih bekerja, saya
hanya khawatir kalau Ai nggak fokus dan nggak bisa
menyelesaikan naskah. Memang, pengorbanan kamu
itu sangat berisiko, di mana kamu harus memilih
antara bekerja di bank atau menjadi penulis. Tapi
kamu nggak perlu khawatir, sekalipun proyek saya
untuk mengorbitkan karyamu tidak berhasil, saya
akan bertanggung jawab. Jujur, sebelumnya saya
sudah mendiskusikan hal ini dengan kepala penerbit
di perusahaan saya. Pada dasarnya beliau tertarik
dengan naskahmu dan mendukung proyek saya ini.
Karena itu sekarang tinggal keputusan Ai mau atau
tidak terima tawaran saya."
""Begitu yah?" wajah Ai tampak bingung.
""Tenang, kamu punya waktu seminggu untuk
berpikir. Kalau sudah oke, kamu bisa hubungi saya."
""Insya Allah. Nanti saya kabari Mas Sapta."
""Oke, terima kasih Ai. Saya harap kabar baik
yang saya dapat."
""Insya Allah."
****
Dulu aku menyukai langit karena aku merasa Langit adil.
Tidak pernah membeda?bedakan siapa pun yang memandangnya.
Ia tetap menampakkan hal yang sama, yaitu keindahan.
Di mana pun aku berdiri, aku akan sekalu memandang Langit
yang sama. Langit yang begitu luas. Saking luasnya aku bahkan
sampai lupa betapa sempitnya tempatku berpijak.
Namun kini aku punya aLasan lain mengapa aku sekali
memandang Langit. Tempat yang tinggi dan luas itu
menyadarkanku bahwa aku tidak akan pernah bisa meraihmu.
Sekalipun aku terbang ke angkasa, sesungguhnya semua hanyaLah
ilusi. Aku hanya bisa merasakan kehadiranmu di sisiku,
tapi tidak bisa menggenggammu dengan tanganku.
Kamu biru, akujingga. Dua warna berbeda yang terikat
daLam satu dimensiwaktu yang sama dan singkat. Ketika fajar
menyingsing di tepian cakrawaLa, saat itu kita akan bersama.
Bersama?sama menikmati keindahan yang kita miliki dan
63
berikan satu sama lain. Namun ketika matahari beranjak tinggi,
aku lenyap. Kemudian saat mentari tergelincir dan kembali ke
peraduan, sekali Lagi kita dipertemukan. Tetap daLam waktu yang
singkat. Seperti itulah keadaannya, kita tidak akan pernah bersatu
seLamanya. Kini, biarlah waktu yang singkat itu menciptakan
kenangan abadi yang indah bagi seluruh penghuni Langit
dan bumi yang menyaksikannya.
Setelah berpikir panjang dan meminta restu dari
kedua orangtuanya, Ai yakin untuk menerima tawaran
Sapta. Meskipun terasa berat, tapi Ai yakin bahwa kini
gilirannya untuk mengejar mimpi?mimpinya. Mimpi
yang selama ini ia pendam. Namun karena Allah telah
membuka jalan baginya, maka tidak ada lagi keraguan
ataupun alasan lain bagi Ai untuk mengingkarinya.
Mungkin di awal akan terasa berat karena Ai harus
memulai dari nol. Tapi itu adalah awal terbaik
daripada ia harus membiarkan kesempatannya hilang
begitu saja. Better late than never!
Ai pun sudah mengajukan surat pengunduran
dirinya kemarin. Sejauh ini belum ada teman?teman
kantornya yang tahu, termasuk Danar, Hasbi, dan
Atta. Ai sengaja masih merahasiakannya hingga
surat pengundurannya disetujui oleh Pak Win. Kini
hal itu sudah terjadi. Kemarin malam Pak Win
sudah menyetujuinya dengan berat hati. Namun
63
itulah kehidupan. Selalu ada pilihan. Keputusan
keluar dari perusahaan yang mengenalkannya pada
Atta kini harus ditinggalkan. Bukan karena tak
berbalasnya cinta Ai, tapi karena mimpi besar Ai telah
menjemputnya. Ya meskipun tidak bisa dipungkiri
bahwa hancurnya perasaan Ai juga turut sedikit
memengaruhi keputusannya.
""Ya Allah, inikah rencana?Mu? Jika benar, maka
aku tidak akan menoleh lagi ke belakang. Jalan baru
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah terbuka, dan aku akan berjalan ke sana. Tuntun
aku, ya Allah. Terangi jalanku. Kuatkan hati dan
kaki ini selama melangkah." Ai menangis dalam
salat malamnya. Hatinya masih terasa berat harus
meninggalkan semua kenangan yang tercipta. Hampir
dua tahun bergabung dengan perusahaan yang
membesarkannya, perusahaan yang mengenalkannya
dengan teman?teman yang baik, juga cintanya.
""Mulai dari awal bukanlah hal mudah bagiku.
Harus belajar dan berusaha lebih keras. Mengerahkan
semua tenaga dan waktu hanya demi satu tujuan,
yaitu mewujudkan mimpi?mimpiku. Menjadi
seorang penulis. Ya, itu adalah impian terbesarku sejak
kecil. Menciptakan banyak karya yang bermanfaat
bagi orang lain, mensyiarkan ayat?ayat?Mu dengan
cara yang baik dan mudah diterima segala kalangan,
63
dan pastinya menjadi ladang amal bagiku. Karena
itu bantulah hamba?Mu ini, ya Rabb. Ridai niatku,
mudahkan langkahku. Besar harapanku pada?Mu dari
segala kebaikan dan keberkahan atas setiap perkara
hidup yang aku hadapi. Besar harapanku pada?Mu dari segala kebaikan dan keberkahan atas setiap
ketentuan dan ketetapan yang Kau berikan untukku. . .
Hanya itu pintaku, kabulkanlah ya Allah... Aamiin ya
Rabbal"alamin."
Ai mengusap air mata yang sedari tadi menetes.
Mukenanya basah. Matanya sembap. Selalu di tiap
sepertiga malam, Ai menyempatkan diri untuk
melaksanakan salat tahajud. Terasa sekali perbedaannya
apabila berdoa di tengah malam. Seolah?olah tidak
ada jarak antara seorang hamba dengan penciptanya.
Seolah?olah Allah turun dan mendekap lembut setiap
hamba yang bersimpuh menghadapnya.
Selesai berdoa dan merapikan sajadah juga
mukena, Ai kembali ke ranjang. Merebahkan dirinya
sebentar sambil menunggu azan Subuh. Pikirannya
melayang membayangkan bagaimana reaksi Danar,
Hasbi, dan Atta bila mengetahui dirinya sudah tidak
lagi bekerja mulai bulan depan. Ai juga teringat
mengenai janji Atta kalau dia mau membaca cerpen
tersebut. Anehnya hingga detik ini Atta belum
menepati janjinya.
""Apakah mungkin karena wanita itu?" irama
jantung Ai tak beraturan. Setiap kali ia ingat kejadian
malam itu, hatinya terasa sakit. ""Harusnya dari awal
aku sadar kalau cinta ini memang tak berbalas. Cinta
ini hanya milikku seorang. Dan kamu telah mencintai
orang lain. Sejuta impianku tentangmu akan aku
kembalikan pada Allah. Sekarang giliranku untuk
membuka lembaran baru dan membiarkan pena
takdirku menulis kisah selanjutnya. Insya Allah aku
ikhlas, Mas. Berat memang, tapi harus dihadapi. Dan
aku akan tegar.
Aku nggak akan menangisi semua yang telah
terjadi. Aku justru berterima kasih karena kamu telah
menghidupkan benih?benih cintadi hatiku. Benih yang
kupikir aku nggak memilikinya. Benih yang hampir
aku biarkan membusuk di jiwaku. Alhamdulillah...
sekali lagi kamu menyelamatkannya. Sama seperti saat
kamu menguatkan dan menyadarkanku bahwa hidup
adalah kebahagiaan. Jadi aku akan terus berbahagia
apa pun kondisinya. Kamu telah mengajarkanku
bagaiman cara menikmati hidup ini. Bagaimana
cara kita berbagi kebahagiaan. Kelak, jika kita
dipertemukan lagi semoga kita akan bertemu dalam
keadaan yang jauh lebih baik dari sekarang... Insya
Allah."
****
63
30 Desember 2013
""Ai, aku boleh nambah sepiring nasi kan? Masih
lapar nih!" seru Danar seraya menunjukkan piringnya
yang telah kosong sedangkan lauknya masih ada.
""Boleeehh... mau nambah sebakul juga boleh
kalau sanggup mah," jawab Ai.
""Nggak gitu juga kalii."
""Aaahh, nggak usah malu?malu, Dan!" ledek
Hasbi.
""Ogah kalau nambah nasi sebakul tapi nggak
nambah lauk, emangnya ane ayam makan nasi
doang??"
""Hahahahaaaaa," Ai, Hasbi, dan Atta tertawa
serempak. Geli melihat tingkah Danar yang gembul.
Meskipun wajahnya terlihat sangar, tapi hatinya
selembut sutera. Kalimat itu yang biasa dilontarkan
Hasbi tentang Danar. Selain itu, meskipun asal dari
tanah Batak, tapi logatnya seperti pendekar Betawi.
Siang itu, mereka bertiga ditraktir makan siang
oleh Ai. Sesuai janjinya, kalau Atta sudah masuk
maka Ai akan mengadakan syukuran kecil?kecilan
atas keberhasilannya memenangkan lomba menulis
cerpen beberapa waktu lalu, ditambah menyesuaikan
jadwal mereka. Mereka makan siang di rumah makan
langganan Danar. Kalau urusan tempat makan
enak, Danar ahlinya. Oleh karena itu Ai percayakan
tempatnya pada Danar, sementara yang lainnya ikut
saja.
""Jadi, ini acara syukuran kamu yah, Ai?"
"Yaaa, bisa dibilang begitu, Mas."
""Wah aku jadi enak nih, ditraktir udah tapi
ngucapin selamatnya belum."
""Parah ente, Ta!" celetuk Danar.
""Hehehee... Iya?iya. Selamat yah, Ai! Aku
bangga sama kamu. Maaf yah waktu itu aku meledek
kamu nggak bisa menulis. . . waktu itu sebenarnya aku
cuma mengulang sejarahnya Aqua. Dulu itu, sebelum
menjadi perusahaan air minum terbesar di Indonesia
seperti sekarang, Aqua sering diledek. Siapa juga yang
mau beli air putih kemasan? Tapi buktinya sekarang?
Aqua merajai suplai air minum di Indonesia. Nah,
aku terapkan prinsip itu ke kamu... kalau sebelum
berjuang aja, aku sudah gadang?gadangkan kamu,
nanti malah kamu besar kepala! Eh, terus nggak jadi
menang.... Hehehee."
""Iyaaaa, tauuuuuu. . .," Ai pasang muka cemberut.
Manyun.
""Mbak, hati?hati bibirnya jatuh. Nggak ada
ember di sini," ledek Hasbi.
""Hahahaaa," lagi?lagi mereka tertawa bersama.
Sebenarnya, hari itu adalah kali pertama mereka
makan siang bersama di luar. Dan akan menjadi
terakhir kalinya pula.
63
""Hmmm... aku mau ucapin makasih atas
pertemanan kita selama ini," Ai mengawali
pembicaraan serius. ""Kang Hasbi, Mas Danar, dan
Mas Atta, kalian adalah teman terbaikku di sini.
Kita sering ketawa bareng, saling meledek meskipun
terkadang menyakitkan, dan pastinya sering bantu
aku tiap kali ada kesulitan. . .."
""Kamu kenapa, Ai? Berlebihan banget deh bilang
gitu segala," ujar Hasbi.
""Tahu nih, Ai. Nggakjelas banget," timpal Danar.
""Sebentar lagi, kalian akan bertemu dengan
penggantiku. Jangan galak?galak yah sama dia! Apalagi
diledek?diledek seperti kalian ngeledekin aku."
"Maksudnya??" tanya Danar cepat.
""Aku sudah ajukan surat pengunduran diriku
ke Pak Win seminggu yang lalu. Beliau juga sudah
approve. Tinggal diproses di personalia. Insya Allah
bulan depan, aku sudah efektif berhenti dari sini," Ai
menunduk kepalanya. Air mataya hampir jatuh, tapi
ia tahan. Matanya berkaca?kaca.
""APA??? RESIGN??!"
""Jadi ini acara perpisahan? Bukannya syukuran
kamu?!"
Atta memalingkan wajahnya. Ia tidak sanggup
melihat Ai. Atta tertegun. Ia tidak habis pikir, kenapa
euphoria yang baru saja mereka nikmati kini berakhir
dengan kesedihan. Kenapa mendadak? Padahal
beberapa hari terakhir Ai masih terlihat biasa saja.
Tidak ada gelagat mau berpisah. Hubungannya
dengan Ai pun tidak ada yang berubah. Seperti
sekarang ini. Atta mengusap wajahnya. Menyadarkan
dirinya sendiri bahwa ini bukanlah mimpi.
""Maaf teman?teman... bukannya nggak mau
cerita, aku cuma tunggu sampai kepastian dari Pak
Win kalau beliau mengizinkan aku resign. Berkat
ikut lomba, kesempatan aku untuk menjadi penulis
terbuka lebar. Bahkan aku dapat tawaran untuk
membuat novel melanjutkan dari cerpen kemarin.
Cuma konsekuensinya, aku harus pilih salah satu.
Pilih tetap bekerja atau fokus menjadi penulis. Karena
menjadi penulis itu impianku sejak kecil, jadi aku
pilih keluar dari kantor dan fokus menulis."
""Aneh! Menulis kan nggak perlu sampai resign?
Emangnya setiap hari kamu bakal berjibaku sama
laptop dan mengarang cerita? Kamu kan bisa meman?faatkan waktu libur atau malam hari sepulang kerja,"
sanggah Danar. Ia tidak setuju dengan pemikiran dan
argumen Ai.
""Mas Danar emang benar, tapi aku sudah
memilih jalan itu. Aku nggak mungkin kembali
lagi. Di sini... aku mohon doa dari teman?teman,
semoga langkah yang aku ambil tepat dan diberikan
kelancaran ke depannya. Sebelum Mas Danar bilang
begitu, aku juga sudah memikirkannya. Aku sempat
berpikir bahwa menulis itu nggak melulu tiap hari dan
seharian penuh. Tapi kembali lagi. Dalam melakukan
suatu hal, kita harus fokus. Nggak bisa setengah?setengah. Karena yang setengah?setengah hasilnya
juga setengah?setengah," Ai mencoba tersenyum.
Nadinya berdenyut cepat sekali. Tubuhnya lunglai.
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak mudah untuk berbicara setegar itu di depan
teman?temannya. Apalagi di depan pria yang ia cintai.
""Kalau kamu berhenti kerja, kamu dapat
penghasilan dari mana sampai novel kamu benar?benar rampung dan terbit?" lanjut Danar.
""Rezeki kita sudah diatur oleh Allah. Jadi nggak
perlu khawatir. Lagi pula hadiah kemarin insya Allah
cukup sampai enam atau tujuh bulan ke depan.
Rencananya juga setelah efektif berhenti dari kantor,
aku akan mulai menulis novel. Aku dikasih tenggat
waktu dua bulan untuk bisa menyelesaikannya.
Insya Allah, kalau berhasil penghasilanku akan
jauh lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan
hidup aku dan orangtuaku. Selain itu, kedua puluh
pemenang kompetisi yang cerpennya dibukukan,
akan mendapatkan fee dari setiap eksemplar buku
yang terjual. Jadi. .. aku nggak akan terlalu khawatir.
Masalah ke depannya, aku nggak mau pikirkan
sekarang. Selama aku berikhtiar, insya Allah ada aja
jalan keluarnya."
""Ya sudah, kalau kamu sudah yakin. Jujur,
aku benar?benar bangga sama kamu, Ai. Usiamu
mungkin masih muda, tapi pemikiranmu matang.
Nggak mudah untuk keluar dari zona nyaman, tapi
kamu berani ambil risiko. Aku percaya, selama kamu
yakin kamu bisa, ya kejarlah! Jangan pernah takut
pada sesuatu yang belum terjadi. Kita boleh khawatir,
tapi jangan jadikan kekhawatiran itu menguasai
diri kita yang nantinya hanya akan mengekang kita
dari keberhasilan di luar sana. Yang penting terus
berusaha," ujar Hasbi sambil tersenyum lebar sambil
mengacungkan jempol pada Ai.
""Insya Allah. .. insya Allah," Atta ikut tersenyum
simpul. Matanya bertemu dengan mata Ai. Kedua
pasang mata itu seolah berbicara satu sama lain. Entah
apa yang dibicarakan, tapi rasanya sangat damai.
""Makasih yah teman?teman semua. Jangan
lupain aku, yah."
""Nggak dooonngggg. . ..." jawab ketiga temannya
kompak.
Kesedihan itu sirna. Mereka kembali tertawa
bersama. Saling meledek satu sama lain. Memanfaat?kan setiap detik dengan kenangan bahagia. Mengulang
kekonyolan yang biasa tersaji di hari?hari mereka. Agar
63
saat Ai benar?benar pergi nanti, kenangan indahlah
yang ia bawa. Bagaimana pun juga, kebersamaan itu
telah terjalin cukup lama. Ikatan batin satu sama lain
telah terangkai sempurna. Empat sekawan.
****
20 Januari 2014, tanpa terasa sudah hampir sebulan
sejak pengajuan resign. Ini hari terakhir Ai bekerja,
besok ia hanya akan berpamitan dengan teman?temannya. Tiga minggu belakangan Ai hanya di?sibukkan dengan penyelesaian proyek novel barunya?kelanjutan cerpen, dan tandem kepada pegawai baru
yang akan menggantikannya.
Azan Magrib selesai berkumandang. Ai masih di
kantor. Membereskan barang?barangnya. Merapikan
semua dokumen?dokumen yang belum sempat ia
rapikan. Sore itu Hasbi dan Danar pulang lebih dulu.
Hanya tinggal Atta yang masih berkutat dengan
persiapan laporan akhir bulan untuk Pak Win.
""Eh, sudah selesai azan, yah?" tanya Atta pada Ai.
""Iya, Mas. Aku baru aja mau wudu."
""Ayo, kita salat dulu," ajak Atta sambil melepas
jam tangannya.
""Ayo," sahut Ai. Ia pun meninggalkan beberapa
dokumen yang masih tergeletak random di mejanya.
Mereka pun beriringan berjalan keluar ruangan
hingga tiba?tiba Atta bersuara.
63
""Oh iya."
""Kenapa, Mas?"
"" Cerpenmu, mana? Bukannya mau diperlihatkan
ke aku?"
Deg!
Ternyata Atta masih ingat janjinya. Ai pikir Atta
sudah lupa atau sengaja melupakannya.
""Lihat dong! "
"Hah??"
""Kok, "hah"??"
""Kamu masih mau baca?"
""Ya iyalaaah," jawab Atta dengan muka
menjengkelkan. ""Pokoknya besok dibawa yah! Aku
mau baca."
Belum sempat menjawab, Atta sudah berlalu
cepat. Di tikungan koridor, Atta berjalan ke arah
tangga darurat menuju masjid, sedangkan Ai berjalan
lurus ke arah toilet.
"Nggak perlu tunggu besok, karena cerpen itu
sudah aku cetak dan kusimpan di laciku jauh sebelum
pengumuman. Tepatnya sejak kamu minta untuk
membacanya, " gumam Ai dalam hati.
Selesai ambil wudu, Ai bergegas salat. Mengejar
salat berjemaah yang biasa dilakukan di perusahaan
itu. Salah satu alasan terkuat yang membuat Ai sulit
meninggalkan tempat itu adalah lingkungannya yang
63
sangat damai. Di mana nuansa rohaniah sangat kental
terasa.
Jam tangan Ai menunjukkan pukul setengah
tujuh. Pekerjaan Ai belum selesai, sementara perutnya
menjerit kelaparan. Ai lupa pesan makan malam
pada office boy yang piket. Ia pun memutuskan beli
makanan sendiri di minimarket. Ia ambil dompet dan
ponselnya, lalu keluar. Sambil memikirkan makanan
apa yang akan dibelinya nanti, ponselnya berbunyi.
Tertulis nama Sapta di sana.
""Mas Sapta??" lirihnya. Ia pun mengangkat
telepon itu. ""Assalamualaikum."
""Wa"alaikumsalam," terdengar suara berat Sapta
di ujung telepon. ""Aku ganggu, nggak?"
""Nggak, Mas. Ada apa yah? Tumben telepon
malam?malam?"
""Iya nih, sorry. Aku mau omongin tentang proyek
kita. Setelah aku baca ulang naskahmu aku rasa ada
part yang harus lebih ditajamkan perspektifnya. Juga
pencitraan kamu tentang part itu karena menjadi
salah satu klimaks dari naskahmu."
""Oh iya? Part yang mana yah, Mas?"
""Bromo."
""Hahaaa... Aduh aku jadi malu," begitu dengar
jawaban Sapta, spontan Ai tertawa.
""Aku tahu kenapa kamu tertawa. Pasti karena
kamu belum pernah ke sana kan?"
""Iyaaa," jawab Ai malu?malu. ""Mas Sapta tahu
aja."
""Tentu saja aku tahu. Aku udah malang?melintang di dunia menulis. Jadi aku bisa bedakan
mana pengalaman yang real dan yang hanya tahu dari
luar. Salah satunya ya cerita kamu tentang bromo ini.
Masih terlalu polos. Belum dapat feel?nya. Tapi nice
try?lah. Bisa sedikit ditolerir."
""Aduh, malu banget aku."
""Nah, karena sekarang kamu buat versi novelnya,
jadi nggak bisa polos seperti cerpenmu dulu. Kamu
harus bisa menjelaskan setiap peristiwa dengan detail.
Bukan cuma kulitnya aja. Apalagi kalau sudah masuk
bagian yang penting dalam cerita."
""Maksud Mas Sapta, gimana yah?" Ai berhenti di
pintu keluar ketika pembicaraan semakin serius.
""Aku mau ajak kamu ke Bromo. Besok."
"APA??? KE BROMO?! BESOK??"
""Iya. Besok siang, kamu sudah nggak kerja
kan? Soalnya deadline kita hanya dua bulan untuk
menyelesaikan novel kamu, ya otomatis kita harus
berangkat ke sana secepatnya. Nggak perlu lama?lama. Dua hari cukup. Kita berangkat besok siang
ke Surabaya, lalu lanjut perjalanan darat ke Malang.
Nanti kita menginap di daerah kaki Bromo saja.
Malam dini hari, sekitar jam tiga kita berangkat ke
63
puncak untuk lihat sunrise. Persis sesuai alur ceritamu.
Setelah itu kita langsung turun, istirahat sebentar lagi
di penginapan. Sorenya kita kembali ke Jakarta dari
Surabaya lagi saja biar mudah. Memang agak crowded
dan capek sih, tapi pasti bisa dijalani."
""Tapi kenapa Mas Sapta nggak bilang dulu ke
aku? Aku belum izin sama orangtuaku."
""Tenang aja, aku sudah menelepon ibumu. Aku
minta izin beliau untuk mengajakmu ke Bromo."
""Begitu yah, Mas...," Ai berujar lirih. Otaknya
masih mencerna kalimat?kalimat Sapta. Hanya satu
yang mengganjal di pikirannya. ""Hmmm... lalu
kita cuma pergi berdua saja? Memangnya mamaku
izinkan?"
""Hahahaa... Kamu polos banget sih! Yaa nggak?lah. Karena aku tahu kita nggak mungkin cuma
berdua, aku sudah ajak temanku. Kebetulan dia nggak
sibuk, jadi mau ikut bersama kita," Sapta tertawa
geli mendengar pertanyaan Ai. Baru kali pertama ia
mendengar pertanyaan polos dari seorang penulis
seperti itu.
""Hhhhh. .. syukur kalau begitu."
""Kalau begitu confirm yah.. Aku jemput besok
siang di rumah."
""Iya, Mas."
""Aku minta maaf kalau kesannya aku menekan
kamu, tapi begitulah dunia menulis. Kalau kamu
mau maju, kamu harus bisa memanfaatkan setiap hari
bahkan setiap detik yang kamu punya dengan sebaik?baiknya. Apalagi sekarang kita sedang ada proyek
besar. Aku yakin semua akan berbuah manis kalau
kita sungguh?sungguh. Aku percaya Ai bisa," Sapta
tersenyum lembut meski Ai tidak mengetahuinya.
""Makasih atas kepercayaan Mas Sapta ke aku.
Insya Allah aku akan melakukan yang terbaik," Ai
tersenyum kecil. Telepon ditutup. Ai masih terdiam di
balik pintu keluar. Saking seriusnya berpikir, bahkan
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia tidak sadar kalau dari tadi ada Atta di seberang.
Atta pun mendengar semua pembicaraan Ai. Kali
pertama Atta merasakan cemburu ketika mendengar
nama seorang pria disebut oleh Ai. Apalagi nama
itu terdengar asing baginya. Ditambah pria tersebut
mengajakAi pergi ke Bromo. Rasanya hati Atta panas.
Jujur, Atta belum bisa melepaskan cintanya kepada Ai
begitu saja meskipun ia telah berjanji akan menikahi
Sarah. Juga berjanji akan belajar mencintai Sarah.
Tersadar perutnya terus menjerit kelaparan,
Ai pun bergegas ke minimarket. Warna?warni lam?pu terpancar indah dari gedung seberang. Sorot
lampu dominan warna oranye campur biru tersebut
menjadi pemandangan indah setiap malam. Namun
sayang keindahan tersebut sulit diabadikan dengan
kamera ponsel biasa seperti yang Ai miliki. Jadi ia
63
hanya bisa merekam dan mengabadikannya dalam
ingatan. Ai jadi teringat dulu salah satu foto yang
pernah ditunjukkan Atta padanya. Foto tersebut
menampilkan sebuah gedung, tak lain adalah gedung
di samping kantornya, di suatu sore. Bernaung langit
senja dengan sedikit sisa?sisa warna biru. ""One of your
best sunset picture," kata Ai ketika itu. Sampai kini,
foto itu pun masih disimpannya.
Setelah selesai membeli sebungkus roti sobek dan
susu kotak, Ai kembali ke ruangan. Dilihatnya Atta
sudah kembali dari masjid.
""Kamu beli apa?" tanya Atta ketika melihat Ai
datang membawa kantong plastik putih.
"Makan malam," jawab Ai singkat.
""Apa?"
""Roti sama susu, hehehee."
""Iiih, nggak pagi nggak malam makannya roti
melulu."
""Emang kenapa?" Ai mengernyitkan dahinya.
""Kan sehat."
""Tapi bikin kamu makin endut... Coba deh,
kamu cubit sedikit rotinya terus kamu siram air
minum. Pasti mekar!"
""Jadi maksud kamu, kalau kebanyakan makan
roti nanti badan aku ikut?ikutan mekar, gitu??"
"Iyaaa.... Makanya daripada kamu makin "mekar",
lebih baik dikasih ke aku."
""Hhhh, dasar! Bilang aja kalau kamu mau."
""Hahahaaa."
Suasana seperti itulah yang terkadang membuat
Ai sulit menghempas bayangan tentang Atta di
benaknya. Yang membuat Ai sulit melupakan
perasaannya sendiri bahwa ia mencintainya. Atta
selalu bisa membuat Ai tersenyum, tertawa, bahkan
jengkel dalam waktu yang bersamaan. Aneh memang.
""Ai."
""Hmm," sahut Ai sambil mengunyah rotinya.
""Ai."
""Hmm."
""Iiih, aku manggil kok nggak dijawab?"
""Aku udah jawab tadiiiii," jawab Ai dengan suara
keras kali ini. Sampai?sampai rekan?rekan kerja yang
duduk tidak jauh dari mereka menoleh.
""Tuh kan, kamu ih suaranya." Atta berbisik.
""Kan katamu barusan aku nggak jawab dari tadi,
yaa aku jawab keras aja."
""Nggak harus teriak?teriak juga kalii."
""Kenapa?"
""Kamu yakin bisa buat novel?" tanya Atta dengan
tatapan lugu. Cenderung tidak percaya.
""Maksudnya?" mata Ai membelalak.
""Hehehehee. .. Nggak, aku bercanda doang.
Begitu aja sewot."
""Pastilah sewot," sahut Ai cepat.
""Sewot bukannya teknik analisis bisnis yang
terkenal itu yah?" tanya Atta dengan wajah pura?pura
polos.
""ITU SWOT!!!"
"" Hahahahaaaa. . . ."
""Aaahh sudah ah, bikin jengkel aja deh. Sudah
menyepelekan bakat dan kemampuanku, sekarang
malah sok?sok nanya yang nggak penting," Ai
cemberut. Wajahnya ditekuk.
"Hahahaa. Ingat sejarah Aqua." ledek Atta.
""Bersakit?sakit dihina dulu, bersenang?senang sukses
kemudian," Atta tertawa terkekeh?kekeh. Lesung
pipinya terlihat sempurna. Matanya berbinar. Sorot
matanya lekat menatap Ai yang sedang manyun.
""Iyaaaa.... Aku nggak akan lupa sejarahnya
Aqua. Lihat aja nanti, kalau aku sudah terkenal, kamu
bakal nyesel karena sudah ngeledek aku."
""Aamiin. .. Semoga kamu bisa sukses yah," jawab
Atta lembut.
""Tumben kamu bilang bagus begitu."
""Kok tumben?"
""Iyalah, setelah tadi menghina?hina aku."
""Tuh kan. Aku bukan menghina kamu, tapi lagi
menyemangati kamu. Sudah ah, begitu saja marah.
Kamu nggak pernah berubah. Bentar?bentar ketawa,
bentar?bentar marah, terus nangis ..... "
"
""Hmm.
Suasana ruangan mereka masih cukup ramai.
Ada beberapa yang berkutat dengan komputernya,
asyik mengobrol sambil menghabiskan makan ma?lam. Ada juga yang sedang siap?siap pulang. Men?dekati pukul tujuh malam dan Ai hampir selesai.
Terlihat dua kardus berukuran sedang menumpuk di
samping mejanya. Rencananya besok ia akan minta
tolong office boy supaya menyimpannya di gudang.
Sementara dokumen penting harian, ia simpan dalam
box file yang terletak rapi di atas mejanya. Lacinya
pun sudah bersih. Hanya tersisa satu bundel naskah
cerpennya. Juga sebuah surat yang dulu pernah ia
buat untuk Atta. Surat tersebut memang sengaja ia
bawa ke kantor. Menunggu waktu yang tepat untuk
diserahkan pada Atta.
Berhubung besok siang Ai harus berangkat ke
Bromo, artinya tidak lebih dari setengah hari Ai berada
di kantor. Rencananya ia hanya akan berpamitan pada
Pak Win dan rekan?rekan kerja lainnya. Berarti juga
bahwa besok adalah hari terakhir Ai bertemu dengan
Atta.
""Yup, selesaiii...," Ai pun siap?siap pulang.
Hingga tiba?tiba...
""Boleh bicara di luar sebentar?" tanya Atta yang
sontak mengagetkan Ai. Nada suaranya serius. Atta
belum pernah berbicara dengan nada suara seserius
itu sebelumnya.
63
""Apa?"
""Boleh bicara sebentar?"
""Ya bicara aja, pakai izin segala." jawab Ai
bingung.
""Aku serius. Boleh nggak? Atau kamu memang
mau pulang sekarang?"
""Oh. .. Iya boleh, sebentar aja kan?" Ai menatap
Atta heran. Rasanya sangat janggal. Belum pernah ia
melihat Atta seperti itu.
""Iya, sebentar. Sekalian bawa tas aja biar kamu
nggak bolak?balik. Kayaknya lebih enak kalau
bicaranya di lobi bawah."
Ai mengangguk. Ia segera meng?input absensi
pulang lalu mengambil tas ranselnya. Atta berjalan
lebih dulu.
""Aku tunggu di lobi," ujarnya sambil berlalu.
Sambil memandangi punggung Atta dari
belakang, Ai terus berpikir keras. Ada apa tiba?tiba
Atta mengajaknya bicara serius berdua saja. Apakah
penting sekali?
Sesampainya di lobi, ternyata ruangan sudah
sepi. Hanya ada Pak Joko, satpam yang bertugas
malam itu. Pak Joko pun sedang asyik mendengarkan
radio di ruang ganti satpam dengan pintu yang sedikit
terbuka. Atta duduk di sofa. Ai menghampirinya.
Kemudian duduk di sebelah Atta.
63
""... Sebenarnya aku kaget banget waktu kamu
bilang sudah mengajukan surat resign ke Pak Win.
Kenapa mendadak? Kenapa nggak cerita ke aku
seperti biasanya kamu cerita?"
""Aku kan sudah jelaskan semua alasannya dan
memang hanya itu alasannya."
""Kamu bohong. Mungkin Mas Danar dan Kang
Hasbi bisa kamu bohongi, tapi nggak buat aku. Aku
tahu kamu, Ai."
""Apa yang Mas Atta tahu tentang aku?"
Atta diam. Tak menjawab.
""Sudah lebih dari sebulan sejak pengumuman
lomba, kenapa baru sekarang Mas Atta menagih janji?
Kenapa baru ingat kalau Mas Atta mau membacanya?"
giliran Ai yang bertanya.
""Karena aku. . ."
Suara gaduh radio pak Joko dari dalam ruang
ganti tak menutupi ketegangan di antara mereka. Ai
dan Atta sama?sama terdiam terpaku. Bingung dari
mana harus memulainya. Masing?masing dari mereka
berusaha untuk tidak menyakiti satu sama lain.
Mencoba merangkai kata?kata terbaiknya.
""Aku... minta maaf Ai. Aku benar?benar minta
maaf...," ujar Atta lirih. Ia sama sekali tidak berani
menatap Ai. Pandangannya nanar. Bias dalam
gelapnya lobi bawah yang hanya diterangi lampu?lampu dari lantai satu dan kamar ganti satpam.
63
""Nggak perlu minta maaf, Mas. Sebenarnya
malam itu, aku ada di sana. Aku melihat Mas Atta
sedang bersama seorang wanita. Dia cantik sekali...
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
walaupun aku nggak tahu apa yang kalian bicarakan,
tapi sepertinya sangat serius. Lagi pula kalau bukan
orang yang spesial, Mas Atta nggak mungkin berduaan
dengan seorang wanita kan?" Ai menggigit bibirnya.
Waktu rasanya berjalan lambat. Jarum jam seolah
kehilangan energi. Atau justru bumi memang berhenti
berputar sesaat?
""Sarah... namanya," Ai menoleh. Menatap Atta
yang tertunduk. ""Kami teman kuliah, lebih tepatnya
dia adik kelasku. Dia juga anak teman ayahku.
Kebetulan kami sefakultas. Kondisi itu membuat
kami jadi dekat." Atta menghentikan kalimatnya. Ia
pikir Ai hanya perlu cukup tahu bagian itu saja, tidak
lebih. Ai tidak perlu tahu bagaimana perasaan Sarah
padanya, juga sebaliknya. Semuanya tidak penting
untuk diceritakan.
""Nama yang cantik... secantik wajahnya... persis
seperti istri Nabi Ibrahim yang terkenal karena
kecantikannya," Ai tersenyum lebar. Ai benar?benar
memuji kecantikan paras Sarah. Ai masih ingat betul
rupa gadis itu.
"" Cerpenmu, apa masih boleh aku membacanya?"
Lama tidak merespons. Namun akhirnya Ai
mengangguk.
""Besok tolong bawakan, yah."
Ai diam.
"" Seandainya saja kita bertemu jauh lebih dulu. . ."
""Jangan salahkan waktu. Jangan salahkan
takdir. Karena waktu dan takdir nggak pernah
salah. Bagaimanapun juga, Mas Atta sudah menjadi
seseorang yang terbaik dalam kehidupanku makasih
yah, Mas," Ai tersenyum lebar. Menguatkan dirinya
sendiri.
Malam itu, meskipun tidak secara gamblang
mereka mengutarakan perasaan mereka masing?masing, tetapi mereka bisa mengerti satu sama lain.
Terkadang memang manusia tidak perlu terlalu
banyak bicara karena mata dan hati mereka jauh
lebih paham atas apa yang terjadi. Karena biasanya,
apa yang tak terungkap akan lebih bisa dirasakan dari
apa yang dikatakan. Sama halnya dengan cinta dan
perasaan. Ketulusan yang terpancar dari hati akan
sampai ke hati. Menembus segala sesuatu yang nyata.
Tertancap tepat di tempat seharusnya.
*****
"Aku nggak menyangka akhirnya bisa ke Bromo!"
ujar Ai antusias. Ia berjalan memasuki ruang boarding
bersama Sapta dan seorang editor wanita, rekan kerja
Sapta. Sesuai janji Sapta pada orangtua Ai, ia pun
63
mengajak rekan kerjanya untuk ikut ke Bromo. Citra
namanya.
""Nah nanti, kamu nikmati betul suasana di sana
yah. Biar penggambarannya di novel lebih riil. Sayang
kalau jalan ceritanya sudah bagus tapi kurang di
pendeskripsiannya," sahut Sapta.
""Betul Mbak Ai. Cerita yang digambarkan
karena si penulis pernah mengalaminya atau berada
di sana, akan jauh lebih mengena di hati pembaca.
Karena setiap kalimat yang detail akan membuat
pembaca bisa berimajinasi lebih dalam dibandingkan
dengan kalimat?kalimat mentah. Maksudnya mentah
itu kalau penggambaran yang dibuat si penulis hanya
mengandalkan dari data?data sekunder, seperi artikel
atau informasi orang lain," jelas Citra panjang lebar.
Kebetulan Citra berusia tidak jauh berbeda dari Ai,
makanya mereka mudah akrab.
""Tapi bukan berarti penulis harus pernah
mengalami semua yang diceritakannya. Setidaknya, ia
bisa bersikap seolah?olah mengalami sendiri kejadian
itu. Menyelami apa yang ditulisnya. Jadi nggak
sembarang menulis. Makanya dulu aku pernah bilang
bahwa menulis itu membutuhkan energi yang besar.
Karena ia harus memainkan perasaannya sedemikian
rupa agar pesan yang disampaikan melalui cerita yang
dibuatnya dapat benar?benar terasa oleh pembaca,"
tambah Sapta.
""Aku semakin kelihatan amatiran yah, hehehee."
Setelah melewati ruang boarding, mereka pun
memasuki pesawat. Ai, Sapta, dan Citra duduk
terpisah. Kebetulan mereka tidak bisa memilih kursi
berdekatan karena memang jumlah kursi yang tersedia
ketika itu tidak banyak. Tidak ada pilihan. Namun Ai
beruntung, ia duduk di dekat jendela sehingga bisa
melihat langit sepuasnya tanpa terhalangi apa pun.
Setelah mengikuti instruksi pramugari memakai
sabuk pengaman dan instruksi lainnya, pesawat
maskapai nasional tujuan Surabaya siap lepas landas.
Pilot telah menjalankan pesawat perlahan. Berjalan
melintasi landasan pacu. Mengambil posisi terbang.
Deru baling?baling pesawat terdengar samar?samar.
Rasanya Ai tidak sabar ingin cepat?cepat lepas landas
agar bisa memfoto langit.
"Flight attandent, take of position," ujar kepala
pramugari.
Ibarat mobil yang sedang menancap gas, suara
deru mesin pesawat pun terdengar demikian. Naiknya
kecepatan laju dimulai. Pesawat melaju kencang tanda
lepas landas. Dan. . . kini pesawat tersebut mengudara.
Sayap pesawat yang gagah memainkan perannya
dengan sangat baik. Membentang di angkasa. Terlihat
miniatur bangunan dari atas langit. Gumpalan awan
putih yang menawan. Langit biru yang luas tak ber?
63
batas. Mata Ai terus membelalak. Tersenyum lebar
menikmati pemandangan daratan dari atas langit.
Beruntung cuaca hari itu cerah dengan sedikit awan.
Perjalanan menuju Surabaya pun dimulai.
Sementara itu. . .
""Kenapa kamu nggak beri tahu aku dari awal?
Kenapa Ai?"
Atta duduk lemas di kursinya. Terus?menerus
menyesali yang terjadi. Ia pun menyalahkan dirinya
sendiri karena tidak berani menyatakan perasaannya
ke Ai sejak ia yakin bahwa perasaan itu adalah cinta.
Hingga akhirnya Sarah memintanya menikah. Jauh
sebelum itu, seandainya Atta berani jujur pada
dirinya sendiri dan Sarah, mungkin kejadiannya tidak
seperti sekarang. Mungkin Ai tidak akan ke Bromo
tanpanya. Menyaksikan keindahan Bromo sendiri.
Lebih tepatnya, tidak membiarkan Ai pergi bersama
pria lain.
""Kenapa aku harus datang terlambat hari ini?
Kenapa aku harus membiarkannya pergi begitu saja?!"
Atta bergumam keras dalam hatinya. Ia benar?benar
menyesal tidak bertemu Ai hari ini, yang mungkin
menjadi pertemuan terakhirnya.
Semalam Ai meletakkan naskah cerpen dan
suratnya di meja Atta, sebelum ia turun menemui
Atta di lobi. Ai sengaja memberikan naskah itu secara
tidak langsung, karena Ai takut terlihat lemah di
depan Atta. Ai pun tahu kalau Atta besok pagi ada
rapat, makaAi pun memutuskan memberikan naskah
cerpen tersebut malam itu juga. Ia letakkan di atas
meja Atta. Ia simpan naskah dalam plastik transparans
dan sebuah kertas notes berwarna hijau di luarnya.
7?) Mas Atta,
As my promises, hope you enjoy the story Im
sorry for all the mistakes. And I wish you are
happy. Many thanks,
Ai
Atta menangis dalam diam. Dadanya bergemuruh.
Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ceritanya
telah usai. Ia benar?benar tidak menyangka betapa
tulus cinta Ai. Setulus cintanya untuk Ai. Namun
apa daya. Takdir tak berpihak pada mereka. Takdir
telah memiliki rencananya sendiri. Rencana yang
sepertinya ingin memisahkan mereka dengan cara
terbaiknya. Tidak ada tangis yang terlihat. Tidak ada
kata?kata perih yang terucap. Semuanya tersimpan
baik di hati masing?masing. Hanya bisa berserah diri
atas ketetapan?Nya. Berharap itulah jalan terbaik
bagi mereka berdua. Meskipun dalam hati Atta terus
merasa bersalah, tapi tidak dapat mengubah keadaan.
Hanya bisa menghadapi kenyataan dengan sebaik?baiknya.
****
Awal April. Kelopak bunga bermekaran. Menampak?kan kecantikannya. Rona merah muda sepanjang mata
memandang membuat mata Ai tak henti membela?lak lima hari belakangan. Harum wewangian yang
selalu ia idam?idamkan kini nyata dapat dihirupnya.
Kesegaran yang disajikan oleh udara di tempat ia
berpijak sangatlah damai. Membuat dirinya tak
berhenti berdecak kagum dan berucap syukur kepada
sang Maha Cipta. Siapa sangka, gadis lugu yang dulu
takut bermimpi kini tak lagi takut membuka mata
dan hatinya lebar?lebar. Ia biarkan setiap hembusan
mimpi dan cita?cita menyusup masuk ke dalam relung
hatinya. Ia tanam dan tumbuh kembangkan. Tak ada
lagi kerisauan. Apalagi keraguan. Karena Allah, sang
penentu mimpi, telah membuktikan bahwa semua
impian Ai dapat terwujud. Lihatlah sekarang! Ia
benar?benar mendapatkan apa yang diinginkannya
selama ini.
Di sebuah taman yang penuh dengan derap
langkah orang?orang yang melintas, Ai duduk di salah
satu bangku panjang berwarna hitam. Membenarkan
mantel dan syalnya. Hari itu ia mengenakan mantel
berwarna merah menyala dan syal yang terbuat dari
wool berwarna hitam polos. Tangannya digerak?gerakkan sesekali agar tidak kaku. Wajar, itu adalah
kali pertama ia berada di negara beriklim subtropis,
di mana saat itu sedang musim semi. Sisa?sisa angin
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
musim dingin masih terasa baginya. Ai tersenyum
melihat dirinya sekarang ini. Nikmat mana lagi
yang harus ia ingkari? Sungguh tidak ada! Tidak ada
satu pun yang menjadi alasan bagi Ai untuk tidak
bersyukur. Sekalipun selama satu tahun terakhir ia
harus berjuang keras untuk dapat melupakan sosok
itu.
Ya... lebih dari setahun sudah sejak Ai
memutuskan untuk berhenti bekerja dan beralih
profesi sebagai seorang penulis. Berkat dorongan
Sapta dan keyakinannya yang kuat, ia mengambil
kesempatan itu. Kesempatan sekaligus risiko yang
sama?sama mengintainya. Take it or leave it! Namun,
berkat kegigihannya, ia pun dapat melalui jalan terjal
tersebut. Tidak mudah di awal, tapi pada akhirnya
berbuah manis. Sekali saja ia salah langkah, maka
penyesalan panjang yang akan ditanggungnya.
Ai menatap sosok di sebelahnya. Sosok yang
sudah hampir setahun ini mengisi hari?harinya.
Penuh dengan perjuangan, ia percayakan sebagian
dari mimpinya kepada sosok itu. Pria bersweater
hitam, syal berwarna abu?abu tua, duduk tersenyum
memandang sekelilingnya. Entah apa yang ada di
dalam benaknya. Mungkin tidakjauh beda dengan Ai,
atau justru berbeda sama sekali. Yang pasti, ia terlihat
seolah sangat menikmati kondisi seperti sekarang itu.
Semilir angin menerpa lembut wajah Ai. Hawa
dingin musim semi perlahan menaikkan bulu
kuduknya. Secara langsung atau tidak, Ai masih terus
mencoba beradaptasi dengan perbedaan suhu yang
biasa ia rasakan di Indonesia. Sosok disebelahnya pun
tersenyum.
""Nggak terasa besok kita sudah harus pulang ke
Jakarta, yah?"
""Iya, padahal rasanya baru kemarin aku
menginjakkan kakiku di sini. Di negeri impianku..."
""Aku tahu. Kelihatan dari raut wajahmu lima hari
ini. Kamu selalu tersenyum dan tertawa girang. Jujur,
aku juga merasakan hal yang sama. Ini pertama kalinya
aku ke sini. Jepang memang indah yah...," Sapta
menatap Ai lekat. Matanya sedikit dipicingkan akibat
silau matahari. Namun sorot matanya yang lembut
tak tertutupi oleh apa pun. Termasuk kacamatanya.
Di balik sikap dinginnya, Sapta ternyata sosok yang
sangat lembut dan sensitif. Mungkin karena kisah
cintanya di masa lalu membuatnya menjadi sedikit
tertutup. Tapi tidak kepada Ai. Justru ia bercerita
tentang banyak hal, baik tentang kehidupan,
perjuangan, persahabatan, maupun cinta.
""Bukannya Mas Sapta bilang kalau wanita itu
pindah ke Jepang?" tanya Ai sambil menatap Sapta.
""Apa nggak ada keinginan untuk menemuinya?"
"" .. Aku nggak pernah berkomunikasi
dengannya lagi sejak ia menikah. Sama sekali tidak
pernah. Hubungan kami sudah berakhir, untuk apa
mencarinya? Dia juga pasti sudah bahagia bersama
suaminya sekarang."
""Mas yakin? Seingatku dulu Mas Sapta bilang
bahwa ia terpaksa menikah karena dijodohkan.
Bagaimana Mas bisa yakin kalau sekarang dia
bahagia?" Ai mengernyitkan dahinya. Pertanyaan itu
seolah menjadi penegas bagi pertanyaannya sendiri
tentang Atta. Bagaimana perasaan Atta saat ini?
Apakah dia bahagia bersama Sarah?
""Kami memang saling mencintai, tapi itu dulu.
Cinta datang karena waktu dan kebersamaan. Selama
kita menghabiskan banyak waktu dengan orang yang
selalu hadir dalam hidup kita, perlahan cinta itu pun
akan datang. Tidak ada yang tidak mungkin. Tidak
ada yang abadi. Termasuk cinta kami...," Sapta
memalingkan wajahnya dari Ai. Menatap langit biru
yang luas dan indah. Mengambil napas dalam?dalam
lalu menghembuskannya. ""Dia wanita yang hebat,
Ai. Dia bukan orang yang egois. Sangat penurut. Juga
taat. Ia rela mengorbankan perasaannya kepadaku
demi mengikuti kemauan orangtuanya adalah bukti
nyata ketaatannya kepada Allah. Dan aku yakin Allah
telah memilihkan yang terbaik untuknya."
Ai tersenyum. Ia memejamkan matanya. Hal
yang sama mungkin terjadi pada Atta. Lebih baik
ia lupakan Atta lalu membuka lembaran baru. Ada
banyak cinta yang menantinya. Dari mana datangnya
cinta itu. Ke mana hatinya akan berlabuh. Biarlah
waktu yang menuntunnya. Biarlah waktu memainkan
perannya. Tugas manusia hanyalah terus berjalan dan
membuka diri. Dan yakin bahwa takdir tidak pernah
salah.
Ai mengambil sebuah foto dari dalam tas
selempangnya. Ia balik foto itu. Di bagian belakangnya
yang polos, ia tulis sesuatu di sana.
Bromo?Shinjuku?Kawaguchi?Tokyo?Shibuya
Ai mencentang Bromo, Shinjuku, Kawaguchi, dan
Tokyo. Tersisa satu tempat yang belum ia kunjungi.
Shibuya. Stasiun terpadat di Jepang, bahkan mungkin
di dunia. Stasiun yang sangat terkenal dengan monu?men seekor anjing bernama Hachiko menjadi tempat
tujuan terakhir Ai di Jepang.
""Itu apa?" tanya Sapta yang dari tadi memper?hatikan Ai mencoret?coret bagian belakang foto yang
dipegangnya.
""Ini?" Ai menoleh.
""Bukankah itu foto yah? Foto apa? Kenapa
dicoret?coret belakangnya?"
Ai membalik kembali foto tersebut hingga tampak
bagian depan. Terlihat gambar stasiun Shibuya di sana
lengkap dengan monumen anjing Hachiko.
"Itu Shibuya kan?"
Ai mengangguk. Tersenyum simpul.
""Lalu yang di belakang itu nama?nama apa?
Kalau aku boleh tebak, bukannya itu tempat?tempat
yang kamu kunjungi?"
Ai mengangguk lagi. Lalu berkata...
""Dulu ada seseorang yang sangat sombong
bertanya padaku seperti ini, "eh, Hachiko itu cerita
tentang apa sih? Emangnya anjing itu kenapa? Kok
terkenal banget?" lalu aku menjawab. Aku bilang
kalau Hachiko itu adalah kisah nyata di Jepang
tentang seekor anjing yang setia pada tuannya yang
buta. Saking setianya, ketika sang tuan nggak pulang?pulang karena telah meninggal, Hachiko masih setia
menunggu di stasiun Shibuya sampai tuannya datang.
Namun sang tuan tetap nggak pernah datang hingga
akhirnya Hachiko mati. Lalu Mas Sapta tahu dia
bilang apa? Dia bilang "oh begitu.. aku baru tahu
ketika aku di sana". Jadi waktu itu dia pamer karena
dia sudah pernah ke Jepang. Dan baru tahu cerita
tentang Hachiko ketika sedang di Jepang. Kalau
bukan sombong, apa namanya coba? Iya kan?!" Ai
bercerita dengan menggebu?gebu. Ia praktikkan per?sis gaya obrolan mereka ketika itu.
"Hahahahaaaa.. Ai. ai... Masa yang seperti
itu kamu bilang sombong? Mungkin aja dia emang
benar?benar baru tahu cerita tentang Hachiko."
""Bukan cuma itu... Dia juga pernah cerita
tentang Kawaguchi begini, "Kamu tau nggak, Ai?
Biasanya kan bus berhenti di terminal atau di halte,
nah kalau di Jepang beda. Di Stasiun Kawaguchi,
ternyata ada juga bus yang berhenti di sana. Aneh
kan?! Aku juga baru tahu tentang hal itu di sana. Oh
iya ada lagi! Di Jepang itu vending machine?nya nggak
cuma jual minuman, tapi juga makanan. Keren kan?
Hmmmm... Suasana di sana juga enak banget, Ai..
Udaranya sejuk, pemandangan di sepanjang jalan ke
danaunya juga indah. Kamu tau rumah?rumah yang
ada di film Doraemon kan? Nah, persis seperti itu
rumah?rumah pedesaan di sana, Ai! Dan...". Belum
selesai dia ngomong, aku langsung sahutin aja "dan
kamu baru tau itu pas di sana kan?!""
""Hahaha... Kok sepertinya dia ahli banget bikin
kamu kesal yah?" Sapta terpingkal?pingkal melihat Ai
bercerita.
""Lebih parahnya Mas... ada satu lagi yang buat
aku makin kesal!"
""Apa?"
""Setelah dia cerita tentang semua pengalamannya
di Jepang, dia sempat menawariku sisa oleh?oleh dari
Jepang. Dia bilang hanya sabun cair yang tersisa.
Tapi... kenyataannya sampai sekarang sabun cair
itu sama sekali nggak dikasih ke aku! Menyebalkan
banget kan?!"
"" Hahahaaa. . . Mungkin dia lupa."
""Aaah, apa pun alasannya tetap aja dia itu me?nyebalkan dan sombong bin jemawa!" Ai mendengus.
Hormon adrenalinnya selalu meningkat setiap kali ia
mengingat semua kenangan tentang Atta. Membuat
nadinya berdenyut cepat. Dan pastinya selalu antusias.
Meskipun bibirnya bicara seolah?olah kesal, tapi
matanya menunjukkan hal yang berbeda. Tatapan
mata Ai pasti bebinar?binar setiap kali menyebut
nama Atta.
""Lalu maksud dari kota?kota yang kamu
centangin itu apa?"
Ai terdiam. Tidak bersungut?sungut seperti
barusan yang dilakukannya.
""Sepertinya setiap tempat itu punya makna besar.
Dan kenapa Shibuya kamu tempatkan paling akhir?
Apa selanjutnya kamu akan ke Shibuya?"
"".... Kota?kota ini emang bermakna banget buat
aku, Mas. Pertama, aku ke Bromo. Ke tempat yang
aku bisa jatuh cinta lebih dulu jauh sebelum aku
melihatnya. Hingga akhirnya Mas mengajakku ke
sana. Aku bisa merasakan sendiri setiap keindahan
yang Bromo suguhkan untuk aku. Lalu Jepang.
Lagi?lagi karena Mas Sapta aku bisa berada di negeri
impianku. Negeri yang ternyatajuga pernah disinggahi
olehnya. .. termasuk keempat kota ini."
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat kegigihan Ai yang mau belajar dan
bekerja keras meningkatkan kemampuan menulisnya,
juga keberhasilan Ai membuat debut novel pertamanya
yang berangkat dari cerpen miliknya tersebut, Sapta
pun mengajakAi jalan?jalan ke Jepang. Selain memang
sedang ada proyek lanjutan untuk novel berikutnya
dengan latar belakang Jepang, Sapta ingat betul cerita
Ai bahwa ia sangat menyukai bunga Sakura dan ingin
sekali bisa melihatnya langsung. Oleh karena itu,
diam?diam Sapta memberikan kejutan kepada Ai
berupa perjalanan wisata ke Jepang selama seminggu.
""Dia pernah bercerita tentang indahnya Jepang.
Ketika dia tahu kalau aku sangat menyukai Jepang,
ia pun berbagi pengalamannya selama di sini. Mulai
dari Tokyo Sky Tree, mahalnya naik shinkansen, salah
lihat gunung yang dia pikir itu gunung Fuji ketika
di Kawaguchi, danau Kawaguchi yang luas, termasuk
monumen Hachiko di Shibuya. Dan sekarang
aku berada di sini, Mas. Di negara yang dia bilang
romantis karena keteraturan dan kebersihannya.
Kalau Mas Sapta ingat?ingat, kita sudah melewati
semua tempat?tempat itu kan? Kita ke Tokyo Sky
Tree, Kawaguchi, dan Shinjuku. Mungkin bagi Mas
Sapta semua biasa aja karena memang semuanya
adalah tempat?tempat wisata, tapi beda untukku. Aku
sengaja menyempatkan untuk mengunjungi semua
tempat itu karena aku ingin membuktikan sendiri
semua pernyataannya. Semua cerita yang dulu pernah
ia bagi padaku. Dan ternyata dia benar," pikiran Ai
melayang. Membayangkan masa?masa dulu ketika
bersama Atta. Ia tersenyum kecil.
""Lalu tentang Shibuya... kenapa aku meletak?kannya di akhir karena...."
""Karena kamu mau menjadi seperti Hachiko
yang setia menunggu tuannya, kan?" Sapta memotong
kalimat Ai. ""Benar kan?"
Ai menggeleng. ""Salah. Justru aku nggak ingin
seperti Hachiko yang setia menunggu. Berbeda dengan
Hachiko yang nggak tahu kalau tuannya sudah mati,
aku tau bahwa cintanya memang nggak bisa kumiliki.
Ia sudah memilih sendiri jalan hidupnya. Dan aku
juga mau melanjutkan kehidupanku yang baru," mata
Ai berkaca?kaca. Tenggorokannya tercekat karena
harus menahan air matanya agar tidak tumpah.
""Tapi sebelumnya, aku mau ke Shibuya terlebih
dahulu. Aku mau meninggalkan foto ini di sana.
Dekat monumen Hachiko. Karena sesampainya
di Jakarta, aku mau memulainya kembali dari awal
dengan kisah yang baru... Kalau Mas Sapta nggak
mau ikut juga nggak apa?apa, aku bisa sendiri."
""Aku bertanggung jawab atas kamu selama di
sini, jadi aku pasti ikut."
""Hahahaa, bisa aja Mas Sapta. Bilang aja kalau
mau ikut jalan?jalan."
Ketika sedang asyik bercanda, tiba?tiba ada yang
menarik perhatian Ai. Tak jauh dari tempat ia duduk,
ada seorang pria mengenakan mantel berwarna cokelat
muda dan topi berwarna hitam sedang berjalan.
Sekilas Ai teringat pada seseorang. Postur tubuh pria
itu rasanya tidak asing baginya. Pria tersebut berjalan
ke arah seberang sambil membawa sesuatu yang di?genggamnya. Ai terus memperhatikan pria tersebut.
""Kenapa Ai? Kamu lihat apa?" tanya Sapta me?ngagetkannya.
63
""Oh nggak ada apa?apa, Mas," jawab Ai cepat
sambil menoleh ke Sapta. Namun dalam sekejap
saja pria tersebut menghilang. Entah ke mana. Ai
menghela napas.
""Nggak mungkin, aku pasti salah orang," gumam
Ai dalam hati.
"Ai." Sapta memanggil Ai lembut.
Ai menoleh. Menatap pria berkacamata yang
duduk di sampingnya. Mata mereka bertemu. Ai
dapat melihat dirinya di sana.
""Iya, Mas?"
""Nggak mudah buatku untuk bisa melupakan
dia... tapi berada dekat denganmu, bayang?bayang
masa laluku hilang. Nggak ada lagi kegusaran di
hatiku. Rasanya tenang." bola mata Sapta tak
berpaling dari mata Ai. Sesekali semilir angin
dingin Ueno Park yang berhembus sama sekali tak
menggentarkan hatinya. Sapta terus menatap lekat
Ai. Anak?anak rambut depan Sapta bergerak lembut
kena terpaan angin.
""Kalau boleh, aku mau terus seperti ini. Terus
merasa tenang. Nggak ada lagi kekhawatiran seperti
yang ada di hatiku selama ini," Sapta melanjutkan
bicaranya.
""Mas Sapta. . .."
""Apa Ai mau menjadi penenang di setiap waktu
yang aku lalui? Menjadi penunjuk arah tiap kali aku
dihadapkan pada persimpangan kehidupan?"
"A.. a?ku...," belum sempat Ai menjawab, tiba?tiba saja ponsel Sapta berbunyi.
""Ai, maaf aku tinggal sebentar yah, ada telepon
dari kantor."
""Oh iya, Mas,"
Sungguh Ai tidak yakin dengan perasaannya.
Kenapa mendadak? Di saat ia belum bisa
mengikhlaskan sosok Atta seutuhnya. Apalagi baru
saja ia melihat sosok pria seperti. . ..
""Oh iya!"
Tersadar tentang sosok pria tersebut dan merasa
sangat penasaran, Ai pun pergi ke arah pria tadi
berjalan. Tidak jauh dari tempat mereka duduk, tepat
di pinggir bangku taman, dilihatnya sebuah botol kaca
berisi bunga sakura dan secarik kertas di dalamnya. Ai
terkejut.
""Bukannya itu bunga sakura? Kenapa ada di
dalam botol? Lalu kertas apa itu?" Ai celingak?celinguk. Memperhatikan kondisi sekitar. Tidak ada
keberadaan sosok pria tadi di sana. Juga orang lain
yang mungkin pemilik botol tersebut. ""Mungkinkah
ia sengaja meninggalkan botolnya di sana?" pikir
Ai. Karena rasa penasarannya semakin besar, ia pun
63
memberanikan diri untuk membuka botol tersebut.
Ternyata benar bunga sakura. Ai semakin penasaran.
Kemudian ia mengambil kertas tersebut dan duduk.
Membuka kertas yang dipegangnya perlahan lalu
membacanya.
Satu tahun bukanlah waktu yang mudah buat
aku bisa melupakanmu. Sekeras apa pun aku
mencoba, kamu selalu ada di hatiku. Bunga
ini. .. aku sengaja petik untukmu. Seandainya
saja aku bisa memberikannya langsung
kepadamu. .. wahai gadis yang sangat
menyukai bingit dan bunga sakura. jingga?ku
Seketika air mataAi pecah. Deras mengalir di pipinya.
Matanya berpencar mencari sosok pria itu. Atta! Dia
ada di sini. Ai berlari mengitari tempat itu. Berusaha
mencarinya. Sesekali memanggil nama Atta.
Kamu di mana Mas Atta? Kamu di mana??
Selesai menerima telepon, Sapta kembali ke
tempat ia dan Ai duduk. Kosong. Tak ada Ai di sana.
Sapta kebingungan. Ke mana Ai pergi? Anehnya
tas dan barang?barang Ai lainnya masih tergeletak
di bangku. Sapta pun bergegas mencari Ai sambil
mencoba meneleponnya.
"Sir! You left your luggage!" terdengar seseorang
berteriak memanggil Sapta tetapi ia tidak men?
dengarnya. Matanya fokus mencari Ai yang meng?hilang tiba?tiba. Ketika pria itu hendak berjalan
kembali dan membiarkan barang?barang itu, ada
yang menarik perhatiannya. Ia melihat sebuah
foto tercecer di antara barang?barang lainnya, ia
tercengang. Hatinya berdesir. Ia ambil foto tersebut
dan memperhatikannya saksama.
""Shibuya?" ia pun membalik foto tersebut.
Dilihatnya coretan?coretan yang dibuat Ai barusan.
""Bromo?Shinjuku?Tokyo?Kawaguchi?Shibuya?"
Deg!
""Ai?"
Ya, pria itu adalah Atta. Pria yang sedang dicari
Ai saat itu. Atta.
Kamu di sini, Ai? IQimu di sini....
****
Di hari aku benar?benar kehilanganmu, tanpa
sadar hatiku ikut melayang bersama bayang?bayang?mu, Ai. Ternyata aku tidak bisa melupakanmu.
Dan Sarah melihatnya. Sarah pun memutuskan
untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan ka?mi. Ia menyadarkanku bahwa cinta suci yang ku?miliki untukmu tidak patut dihancurkan karena
ketidakj uj uranku pada diriku sendiri dan dirinya. Sarah
juga memutuskan untuk melanjutkan pendidikan
63
S2 di Jerman. Katanya lebih baik menjauh sambil
berusaha menikmati kehidupan yang baru di sana.
Dia juga bilang bahwa mungkin dia akan bertemu
pria baru yang jauh lebih baik dariku. Tempat baru,
suasana baru, orang?orang baru, juga cinta yang baru.
"Jodoh itu pilihan, Mas. Kalau Mas Atta sudah
memilih wanita itu menjadi jodohmu, seharusnya
kamu memperjuangkannya. Bukannya lari dan
mengingkarinya begitu saja.. terlebih lagi hanya gara?gara merasa nggak enak sama aku. Lagipula aku nggak
mau hanya memiliki bayang?bayang Mas Atta, karena
jiwa Mas Atta yang utuh sudah menjadi miliknya. "
Meskipun begitu, kenyataannya sekarang, aku
tetap kehilanganmu, Ai. Aku tidak bisa mengutarakan
isi hatiku yang sebenarnya. Demi Allah, seandainya
aku dipertemukan denganmu kembali, aku tidak
akan membohongi dirimu lagi. Aku akan ungkapkan
semua yang terpendam. Aku akan teriakkan semua
perasaanku, keinginanku, dan akan mengatakan
betapa aku mencintaimu. Sungguh aku mencintaimu,
Ai!
Aku juga akan petikkan banyak bunga sakura
untukmu. Aku akan foto jutaan langit yang aku
Biru Jingga Karya Hilma Triesnanda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lihat khusus untukmu. Aku akan berhenti meledek
bakat menulismu. Aku akan melakukan semua yang
kamu minta. Asalkan kamu berhenti berpikir bahwa
aku adalah birumu. Aku bukan birumu, Ai. Aku
adalah langitmu. Tempat di mana seharusnya kamu
berada. Tempat dimana seharusnya kamu bernaung.
Percayalah Ai, aku bukan birumu, tapi aku adalah
langitmu...
Wahai engkau yang kucinta...
jika Tuhan memang menakdirkan kita bersama, di mana pun
berada, bagaimana pun cara danjalannya, kapan pun itu terjadi,
sudah pasti kita akan dipertemukan kembali....
TAMAT
Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Empat Serangkai Pulau Rahasia Secret Wiro Sableng 130 Meraga Sukma