Bride Wannabe Karya Christina Juzwar Bagian 1
Christina Juzwar
Bride Wannabe/Christina Juzwar;
penyunting, Fitria Sis Nariswari.?Yogyakarta: Bentang, 2014.
ISBN 978-602-291-043-5
1. Fiksi Indonesia. I. Judul. II. Fitria Sis Nariswari.
899.221 3
E-book ini didistribusikan oleh:
Mizan Digital Publishing
Gedung Ratu Prabu I Lantai 6
Jln. T.B. Simatupang Kav. 20
Jakarta 12560 - Indonesia
Phone.: +62-21-78842005
Fax.: +62-21-78842009
email: mizandigitalpublishing@mizan.com
website: www.mizan.com
No matter how long the distance between us.
No matter how different the road that we
take.
But if in the end, we?ll still see each other.
I will call you my soulmate.
(Christina Juzwar)
ebook by pustaka-indo.blogspot.com
Suatu sore, kabar pernikahan datang kepadaku ketika aku
sedang berada di kamarku pada hari libur yang
menyenangkan. Mataku tak lepas menatap layar laptop
meskipun tanganku sedang sibuk meraih segelas es jeruk. Di
halaman Facebook-ku sudah ada sebuah pesan yang masuk
dengan judul, "Surprise!"
Ternyata dari salah seorang teman SMA-ku, Olla. Dia akan
menikah.
Aku terkejut, senang, sekaligus terharu. Aku mengenal Olla
sejak kelas 1 SMA dan berpisah ketika kami memilih
universitas yang berbeda. Namun, pertemanan kami tetap
terjalin hingga sekarang. Terkadang kami menyapa lewat
Facebook, BBM, maupun SMS. Setahuku, Olla tidak pernah
cerita tentang pacar-pacarnya. Kami memang dekat, tetapi
untuk hal itu, dia sangat tertutup. Jika aku bertanya siapa
pacarnya, dia hanya melemparkan lelucon untuk menutupinya.
Begitu juga waktu SMA, Olla yang bertubuh subur?tetapi
selalu dikelilingi oleh teman-teman karena periang dan baik itu
?tidak pernah terdengar naksir seorang cowok terlebih
pacaran.
Aku menatap foto Olla yang tidak banyak berubah, kecuali
tubuhnya yang memang lebih ramping. Namun, senyum bahagia
yang tercetak di wajahnya semakin membuatku terharu. Aku
menatap foto calon suaminya, ternyata orang asing. Calon
suaminya berambut pirang dan bermata biru jernih.
Sebuah cerita singkat menemani undangan pernikahan
~1~
tersebut. Beginilah yang ditulisnya kepadaku.
Dear, Neneng Sascha ....
Guess what? I'm getting married! Ajaib
enggak, sih? Percaya enggak, sih, lo? Gue
aja masih enggak percaya, tetapi
keajaiban terjadi di mana saja dan kapan
saja, bukan? Gue sebenarnya enggak
hopeless. Seperti yang lo tahu, kan,
Neng? Gue enggak pernah pacaran, sampai
orangtua gue panik.
Sampai akhirnya, karena enggak tahan
melihat nyokap gue nangis terus, gue
nekat ikut online dating di internet.
Seperti yang gue bilang, keajaiban
terjadi dan gue bertemu dengan Dean. Dia
berasal dari Amerika dan gue merasa dia
adalah jodoh gue, my soulmate. Gue
terharu ketika dia mengajak gue menikah
setelah kami berpacaran selama dua tahun.
Memang, sih, gue enggak kasih tahu lo
karena gue malu dan agak sangsi dengan
hubungan ini. Hubungan yang berasal dari
online dating, kan, takutnya bersifat
semu dan penuh kebohongan, ternyata
tidak. Dean serius, bahkan sampai
mengajak orangtuanya kemari!
Gue percaya jodoh itu datang dari
Tuhan. Pada saat yang tepat, Dia akan
mengirimkannya kepada kita. Kami akan
menikah di Amerika dan sori enggak bisa
undang lo, hanya keluarga yang diajak ke
~2~
sana. Lagian, gue bisa bokek bayarin lo
ke Amerika, he he he .... But, I really
need your prayers, supaya semua
terlancarkan jalannya. I'll be updating
our honeymoon for the next message, ya!:)
Miss you, Neng ....
Olla
Sudah ada setitik air di sudut mataku yang siap turun ke
pipi, sampai aku harus melepas kacamataku yang berminus dua.
Surat yang begitu indah ditulis oleh Olla, temanku. Dia
membagi kebahagiaannya dengan cara yang begitu sederhana,
tetapi aku benar-benar merasakan kebahagiaannya. Mungkin
karena aku sudah mengenalnya sejak dulu dan menjadi bagian
dari salah satu saksi hidupnya.
Ternyata Olla menemukan soulmate-nya di online dating.
Jarak yang terbentang begitu jauh bisa berjodoh hanya dengan
sebuah jaringan internet. Aku masih juga tidak percaya di
antara perasaan bahagia untuknya. Karena penasaran, aku pun
mencoba browsing tentang online dating ini. Ternyata
informasi yang diberikan lebih memberikan pengaruh pesimis
daripada optimis. Namun, siapa yang bisa menebaknya, bukan?
Dua orang terdekatku mengenal pasangannya lewat online
dating, dan sampai sekarang masih baik-baik saja, bahkan salah
satunya akan menikah. Secara pribadi aku tidak terlalu
memercayainya, tapi ada bukti nyata. And I?m happy for
them.
Setidaknya, hubungan mereka lebih baik daripada hubungan
yang sedang aku jalani.
~3~
Aku sedang bergelut dengan gantungan baju yang
bertumpuk di gudang ketika Baby masuk melalui pintu
depan, diiringi bunyi lonceng yang aku gantung di atas pintu.
Dengan bunyi lonceng itu, kami bisa tahu ketika pelanggan atau
tamu masuk ke butik. Ternyata yang masuk adalah Baby. Dia
masuk dengan keadaan yang tidak seperti biasanya, agak kusam,
kucel, dan seperti belum mandi. Aku menyipitkan mata. Bukan
karena aku sedang tidak memakai kacamata, melainkan karena
kelakuan aneh Baby. She?s so ... gloomy.
Aku memandangnya dari balik kacamataku dengan sedikit
curiga. Kepalaku yang muncul dari dalam gudang mengikuti
langkah Baby. Sepertinya, ia pun menyadari apa yang aku
lakukan. Namun, Baby hanya merespons dengan lambaian
tangan yang sedikit malas kepadaku.
Baby berjalan menuju meja kasir. Entah apa yang
diinginkannya, tetapi terlihat ia sedang mengubek-ubek lemari
yang terletak tepat di bawah meja kasir. Aku kembali
memasukkan kepalaku ke gudang untuk membereskan
gantungan baju yang banyaknya melebihi tumpukan sampah di
tempat pembuangan akhir, yang rasanya sedari tadi tidak juga
beres dan rapi.
Pagi tadi begitu datang, aku mengecek barang-barang di
gudang besar dan merapikannya sedikit. Aku hampir saja
mengamuk ketika membuka salah satu pintu gudang kecil yang
tepat bersebelahan dengan gudang besar dan mendapati semua
gantungan baju berhamburan seperti salju yang langsung
~4~
mengubur kakiku. Aku bertanya kepada salah seorang
pegawaiku yang kebetulan memang masuk pagi ini, Dini, tetapi
ia tidak tahu-menahu mengenai keadaan ini. Sesudah itu, aku
tidak bisa bertanya kepada siapa pun karena memang tidak ada
orang yang bisa ditanyai. Mau tak mau aku harus
membereskannya. Great, kerjaan bertambah.
Pada usia yang ke-28 tahun ini, sebenarnya aku merasa
sangat beruntung. Ketika aku hendak membebaskan diri dari
jam kantor yang membuat otak serasa beku dan buntu, serta
membuat efek keterbelakangan mental karena bos egois yang
bisa mengubah perintah dan delegasi tugas dalam hitungan
detik, Baby, adik sepupuku yang hanya beda umur dalam
hitungan bulan, memberikan pencerahan bagaikan matahari
yang bersinar pada malam hari.
Akhirnya, sebuah butik yang dua tahun lalu aku dirikan
bersama Baby cukup membuat bangga dan lega karena bisa
terlepas dari atmosfer kerja nine to five yang membosankan.
Bermodalkan tempat yang lumayan strategis di daerah Kemang,
kemampuan Baby dalam desain grafis dan kecintaannya pada
fashion menjadi nilai tambah berkali-kali lipat untuk
mewujudkan keinginanku dan Baby: mendirikan butik impian
kami.
Selesai membereskan gantungan baju, aku kembali menengok
ke meja kasir, tetapi tidak mendapati sosok Baby di sana. Aku
mulai mencarinya, tapi yang aku lihat hanyalah dua pegawaiku
yang sedang bersiap untuk membuka butik. Aku naik ke Lantai
2 di bagian pakaian dalam, tas, sepatu, dan aksesori. Di sana
terdapat sofa merah yang besar dan empuk yang biasanya
menjadi tempat mengusir lelah dan bersantai. Tempat ini
pulalah yang menjadi tempat beristirahat buat aku dan Baby
~5~
untuk mengobrol setelah butik tutup pada malam hari. Obrolan
kami beragam, mulai dari urusan butik, urusan gaul, hingga
urusan pria.
Benar saja, aku mendapati Baby sedang terduduk lesu. Ia
menggenggam ponsel kesayangannya yang bersarung hijau
terang dan seperti sedang mengetik sesuatu, tetapi mulutnya
manyun. Aku mengempaskan diri di sebelahnya dan
menyebabkan badan Baby sedikit terguncang. Dia cuma
melirikku sesaat, lalu kembali asyik dengan ponselnya.
Aku diam dan menunggu. Jam yang terpasang di dinding
sudah menunjukkan pukul 8.30 pagi. Aku tetap menunggu Baby
berbicara. Kakiku bergoyang-goyang mengikuti irama lagu
Rihanna yang terdengar sayup-sayup dari bawah. Biasanya untuk
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepagi ini, musik memang tidak terpasang hingga ke lantai atas.
Sekarang posisi duduk Baby semakin merosot. Ia melempar
ponselnya ke dalam tas yang tergeletak di bawah kakinya.
"Kusam amat, sih, lo," sapaku sambil tetap mengikuti irama
lagu Rihanna dengan melodi yang sedikit mengentak. Baby
melirikku malas. "Daripada lo. Udah kayak abis tidur dua hari
di gudang."
Aku segera berkaca pada salah satu cermin besar yang
kebetulan terpasang di sana. Benar yang dikatakan Baby. Aku
mengusap keningku yang agak lebar dengan tisu dari kantong
celana jeans, juga pipiku yang ada freckles cokelat samar yang
berminyak. Aku lihat juga ada sedikit noda debu di daguku
yang dihiasi tahi lalat kecil. Aku turut menghapusnya.
Rambutku yang sebahu berpotongan shaggy sudah terikat acak,
dan aku tidak berminat untuk menyisirnya sampai detik ini.
I?m a mess.
Baiklah, jangan berharap setelah berjam-jam di gudang,
penampilan masih akan tetap rapi. Namun, aku tidak peduli.
Aku memang tidak terlalu memedulikan penampilanku.
~6~
Kebalikan dari aku, Baby sangat girly, mungkin sejak dia
baru lahir. Bisa saja begitu keluar dari kandungan ibunya, dia
sudah memakai lipstik, atau sewaktu hamil Baby, ibunya
mengidam lipstik. Secara natural, dia memang terlahir sebagai
seorang perempuan yang feminin. Dia adalah tipe perempuan
yang sebagian besar pria akan bersedia menjadi pacarnya dan
akan jatuh cinta sejak kali pertama melihatnya. Rambut
panjangnya ikal sempurna, riasan selalu menempel di wajah,
dan ratusan sepatu dengan hak minimal lima sentimeter yang
menemani langkah kakinya secara bergantian selalu terawat
dengan baik di setiap transparant box.
"Urusan gue udah beres di gudang, berikutnya giliran lo.
Gue udah capek bergelut dengan gantungan baju."
"Emang kenapa gantungannya?"
"Gantungan baju berantakan sekali. Begitu gue buka pintu
gudang baju-baju itu langsung jatuh," ungkapku dengan napas
berat.
Baby mengangkat bahunya. "Iya, gue tahu. Semalam gue
malas beresinnya."
Akhirnya, aku tahu siapa yang membuat gantungan baju
tersebut berantakan. "Oh, jadi lo yang membuat gantungan
gantungan itu berantakan?" kataku sambil mendengus sedikit
kesal.
"Ada urusan yang lebih penting ketimbang ngurusin
gantungan baju. Hidup gue aja seruwet gantungan baju itu,"
oceh Baby asal. Tak seperti biasanya. Pasti Baby sedang ada
masalah.
"Lo kenapa, sih? Bete amat."
"Hidup itu memang penuh kebetean, hidup bete!" sahutnya
sewot.
Aku tertawa mendengarnya. Aku pun mengubah posisi
duduk menghadap kanan sehingga bisa berhadapan dengan
sepupuku yang lagi suntuk ini. Aku mengacak-acak rambutnya
~7~
hingga membuatnya belingsatan, "Jangan dong, Cha ."
"Makanya, kalau hangout, jam dua harus pulang, tidur dan
istirahat. Biarpun bete, bisa seger lagi dan selanjutnya bisa
berpikir yang jernih."
"Kayak nenek-nenek nasihatnya. Perasaan dulu Oma enggak
sebawel lo, deh," gerutunya asal.
"Dinasihati malah begitu," gerutuku. Baby hendak berdiri,
tetapi aku menahannya hingga ia terjatuh lagi di sofa.
"Apa-apaan sih, Cha?" omel Baby dengan mata mendelik.
"Cerita dulu, kenapa lo bisa sampai begini? Hangout,
enggak pulang, dan datang ke sini dalam keadaan berantakan?"
Baby mengaduk-aduk tasnya dan menemukan sebuah ikat
rambut, kemudian mengikat rambutnya membentuk cepol di
puncak kepala. "Males, Cha, ceritanya."
"Tumben," sahutku dengan santai. "Biasanya lo enggak
ditanya juga cerita kayak ember bocor."
Yang membuatku heran, Baby tidak tertawa ataupun marah,
ia malah menggigiti kukunya perlahan. Pandangannya
menerawang, mungkin kembali lagi ke tempat hangout-nya
semalam. Aku memperhatikannya dengan saksama. Matanya
yang menerawang mulai berkaca-kaca. Aku panik.
"Hei, ada apa, sih?" tanyaku, kali ini dengan serius karena
sepertinya Baby bakalan menangis kencang.
Baby menggeleng, berusaha menghapus air matanya yang
mulai mengambang di pelupuk mata dengan mengedipkan
matanya. Namun, sepertinya tidak berhasil. Dugaanku benar.
Air mata mulai turun di pipinya.
"Gue berantem sama William kemarin. Dia ninggalin gue
begitu aja. Sebel!"
Aku berusaha mencerna kata-katanya. William? Aku masih
mempertanyakan nama itu dalam hati.
"Tunggu tunggu William??? Dia ada di sini? Kok bisa?
Kapan datangnya?" aku bertanya kepada Baby bertubi-tubi. Baby
~8~
menarik napas panjang dan membuangnya keras-keras. "Will
datang kemarin sore. Kami bertemu di apartemennya ...."
"Dia punya apartemen di sini?" potongku dengan gemas.
Kenapa Baby tidak memberitahuku apa-apa? Apakah ini sebuah
rahasia yang tidak pantas aku ketahui?
"Lo mau dengar apa enggak, sih, Cha? Jangan potong cerita
gue, dong."
"Iya . Iya ...." Aku mengangkat tanganku pertanda aku
akan diam. Biarlah semua rasa penasaranku tetap menjadi
rahasia. Mungkin buat Baby tidak terlalu penting untuk
diceritakan.
Baby pun melanjutkan, "Lalu kami pergi hangout, ramai
ramai dengan teman-teman kuliah gue. Sesampainya di sana,
ada teman kuliah gue juga, cowok yang dari dulu ngejar-ngejar
gue, deketin gue terus. Meskipun gue udah menyingkir dan
menolaknya, orang itu enggak kapok. Will melihat itu semua
dan dia marah. Gue ditinggal pulang."
Baby berhenti dengan ceritanya. Aku menunggu.
"That?s all?"
Baby melirikku tajam. "Lo mau dengar apa? Gue putus,
gitu?"
Aku tidak menghiraukan kata-kata judesnya. "Ya, enggak
kali. Terus lo udah bicara lagi belum?"
"Dia enggak mau bicara sama gue."
"Datang ke apartemennya?"
"Udah, tapi dia enggak ada. Enggak tahu ke mana."
Hening lagi. Baby dan aku sama-sama berpikir. "Sudahlah,
Beb, nanti dia juga akan bicara lagi sama lo. Dia, kan, sebatang
kara di sini, pasti bakal cari lo juga."
"Siapa bilang dia sebatang kara? Temannya banyak, kok, di
sini."
~9~
Aku berdiri dan merenggangkan pinggangku dengan
memutarkannya ke kanan dan ke kiri. "Terserah, deh. Will
pasti akan menghubungi lo, Dear. Sekarang lo mandi dulu, biar
segar."
Aku berjalan menuruni tangga dengan santai. Baby
mengekoriku dengan langkah yang malas. Waktu sudah
menunjukkan pukul 10.00 pagi. Pengunjung pertama telah
datang dan masuk, terbukti dengan bunyi bel di pintu depan.
Aku melihat sekeliling untuk memastikan segala sesuatunya
sudah beres, lalu menunggu Baby selesai mandi.
Pada saat menunggu, aku mencoba untuk menghubungi Ben,
pacarku, tapi hingga deringan kesepuluh, tidak diangkat juga.
Sudah seminggu ini aku belum bertemu dengan Ben karena
kesibukannya di kantor. Dia sedang ada proyek besar yang
mengharuskannya selalu berhubungan dengan kantor pusatnya
di Chicago, Amerika Serikat. Sebulan sekali ia harus pergi ke
sana selama satu minggu.
Setelah beberapa kali mengulangi sambungan teleponku, aku
pun menyerah karena tetap tak diangkat olehnya. Aku
meletakkan ponselku di dekat meja kasir dengan kesal. Pada
saat yang bersamaan, Baby selesai mandi. Ia terlihat lebih segar
dibandingkan 15 menit yang lalu. Bukan itu saja, wajahnya juga
terlihat lebih cerah. Senyuman sudah tampak di wajahnya.
Tidak ada lagi mulut yang manyun.
"Lo bener, Cha. Will barusan telepon, dia malah yang minta
maaf," ujar Baby sambil tersenyum lega.
Perkataan Baby terputus ketika salah seorang pegawaiku
menghampiri kami dengan membawa bunga hasil pesanan dari
toko bunga langgananku untuk menghiasi butik. Ah, sudah
datang, tepat waktu pula!
"Mau ditaruh di mana, Mbak Sascha?"
"Taruh dulu di meja belakang kasir, nanti biar saya yang atur
tempat untuk menatanya."
~10~
Aku kembali memandang Baby dan tersenyum penuh
kemenangan. "Tuh, kan, gue bilang apa."
"Siang ini dia mau ke sini, mau ngajak gue special lunch."
Matanya menerawang senang.
"Cie .... Special lunch." Aku melirik Baby dengan kerlingan
yang kubuat-buat dan membuat Baby melirik sadis karena
ledekanku yang agak norak. "Ya sudah, asal pekerjaan
diselesaikan dulu, ya. Kita mulai saja, deh, sekarang. Semakin
cepat semakin baik," kataku sambil menunjuk pembukuan yang
sudah kubawa untuk segera dikerjakan.
"Yes, Mam!" serunya dengan memberi tanda hormat.
Aku menoleh ke sana kemari. "Lo cari apa?" tanya Baby.
"Kacamata gue."
Baby memutar bola matanya. Dia sudah ilfil dengan
keteledoranku, terutama soal kacamata. Aku masuk ke ruang
kerjaku yang mungil, tidak ada. Kemudian, aku mendengar
Baby berteriak, "Nih! Ada di sofa, nenek pikun!"
Aku tertawa dan segera menyusulnya ke atas.
Ketika kami sedang mengerjakan pembukuan itu, tiba-tiba aku
teringat sesuatu dan menghentikan kegiatanku.
"Beb, lo masih ingat teman SMA gue, Olla?"
Baby mengerutkan keningnya dan berpikir. Kemudian, ia
menyahut, "Kayaknya masih ingat, deh. Yang gemuk itu, kan?"
Aku mengangguk. "Dia mau married."
"Oh, ya? Wow! Congratulation! Kalau enggak salah, dulu lo
pernah cerita, dia enggak pernah punya pacar sama sekali?"
"Dan, lo tahu Olla dan calon suaminya ketemu di mana?"
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baby menggeleng.
~11~
"Di online dating! Hanya dua tahun kenalan terus
menikah."
Mata Baby terbelalak. Bulu matanya seketika naik semua.
"Really? Ternyata bukan hanya gue, ya, yang ketemu pasangan
di online, malah hubungan mereka berhasil sampai menikah!
Again, congrats! Ini membuktikan kalau lo bisa mendapatkan
jodoh di mana saja, termasuk di dunia maya. DI INTERNET,"
Baby menegaskan kata-katanya yang terakhir.
Aku tahu Baby sengaja menyindirku karena dia memang
tahu bahwa aku selalu berkata dan berasumsi bahwa dunia maya
tidaklah seramah yang kita pikirkan. "Ya, tetapi persentasenya,
kan, lebih banyak yang gagal dibandingkan yang berhasil,"
ledekku.
"Yes, tetapi jangan mengecilkan kemungkinannya, dong."
Baby masih mempertahankan argumennya. "Bukan masalah
tempat ketemunya, tetapi ikatan batin dan kecocokannya yang
lebih penting," Baby menambahi pendapatnya.
"Iya, deh, Miss Cupid Online," ledekku.
"Eh, seharusnya bikin lo tambah miris, kan, Olla ketemu
jodoh di online, pacaran dua tahun dan menikah. Lo? Ketemu
di dunia nyata, tetapi pacaran delapan tahun kayak cicak yang
merayap," ledek Baby dengan kejam sambil tertawa terbahak
bahak.
"Sialan!" gerutuku.
Meskipun aku tahu Baby hanya bercanda dengan lelucon
tentang kenyataan hubungan pacaranku, tapi perkataannya
membangkitkan lagi pertanyaan yang sudah sering kali timbul
tenggelam di dalam hati dan pikiranku. Kapan, ya, aku
mempunyai kabar gembira yang akan aku sampaikan kepada
orang-orang terdekatku bahwa aku akan menikah?
Setelah beberapa saat kami tenggelam dalam angka dan
hitungan yang bikin mabuk, Baby mengangkat kepalanya. "Lo
harus tanya ke Ben."
~12~
Aku ikut mengangkat kepalaku.
"Tanya apaan?"
"Kejelasan hubungan kalian."
Aku melepas kacamataku dan menatap Baby, yang wajahnya
lebih serius daripada biasanya. "Lo ngomong begitu karena
enggak enak sama gue, ya? Beb, I?m fine."
"No, you are not. Gue tahu pasti, hati lo mengganjal. Lo
udah kayak kembaran gue, so I feel you."
Aku tertawa. Baby berkata lagi, "Sudah waktunya lo tegas.
Gue yakin banget Ben enggak akan bergerak sama sekali,
kecuali lo duluan."
Aku meresapi kata-katanya. Tak lama, aku melihat Baby
mencabut selembar sticky note, dan mulai menulis sesuatu.
Ia menyodorkannya kepadaku.
Aku mengambilnya. "Apaan, sih?" Lalu, aku tertawa kecil.
"Gue masih belum butuh ini, Beb."
"In case ...." Baby mengangkat telunjuknya. "Kalau ada apa
apa. Online dating bisa jadi alternatif lo."
"Gue masih pacaran sama Ben, Beb!"
"Iya, gue tahu. Tapi, menggantung, kan? Lo tahu gue benci
banget Ben melakukan itu sama lo. Delapan tahun itu bukan
waktu yang sebentar, Cha. Pokoknya simpan dulu kertas itu, itu
semua situs web online dating yang tepercaya menurut gue.
Tapi, lo harus jaga-jaga juga. Enggak semua orang berniat
baik."
Aku mencibir mendengarnya. "See? Lo yang ngomong
sendiri, lho."
Baby mencubit lenganku. "Gue, kan, bilang enggak semua
orang. Pasti ada juga yang baik, Cha! Hilangkan, tuh, pikiran
negatif."
"Gue hanya coba untuk realistis, Beb." Aku melipat kertas
tersebut. "Gue simpan dulu, ya."
~13~
"Pokoknya kalo lo udah putus dari Ben, ingat kertas itu.
Ingat gue!"
"Iya deh, Bu. Iya."
~14~
U
3
ntungnya pembukuan Butik Darling tidak memakan
waktu yang lama. Aku mengembuskan napas lega ketika
akhirnya sudah selesai. Baby mengangkat tangannya tinggi-tinggi
untuk melonggarkan otot-otot yang terasa kaku. Tak lama
kemudian, ponselnya berdering. Ia pun girang setengah mati. Ia
menjawab telepon yang masuk sambil menyingkir dari
hadapanku.
Aku menyibukkan diri dengan menata bunga yang tadi baru
datang. Sepertinya, aku ingin memindahkannya ke atas karena
di lantai bawah sudah ada karangan bunga yang aku pesan
beberapa hari yang lalu. Aku membawanya ke atas dan aku puas
melihat betapa cantiknya bunga lili yang aku pesan untuk kali
ini.
Aku pencinta bunga.
Jangan salah, meskipun penampilanku tak sekeren Baby,
tetapi aku masih mempunyai aura feminin. Aku suka sekali
dengan bunga. Bagiku, bunga adalah salah satu makhluk hidup
paling cantik yang ada di dunia ini. Dari sekian banyak bunga,
favoritku adalah mawar dan lili. Aku memilih bunga mawar
karena mempunyai bentuk yang glamor dengan warna?warna
atraktif. Mawar adalah bunga yang feminin dan identik dengan
perasaan romantis.
Sementara itu, bunga lili mempunyai bentuk yang simpel,
tetapi indah. Kelopaknya tidak banyak, tetapi terlihat kokoh.
Bagiku bunga lili melambangkan kekuatan. Semacam juga
filosofi bahwa terkadang wanita dianggap lemah, tetapi
~15~
sebenarnya wanita juga mempunyai kekuatan yang tak bisa
dianggap remeh.
Berbicara tentang butik, ternyata banyak orang yang tak
percaya ketika aku hendak mendirikan butik. Memang, sih,
penampilanku tidak terlalu mendukung. Aku tidak modis,
santai, dan jauh dari kesan glamor. Malah beberapa orang
menyangsikan diriku. "Sascha? Mau punya butik? Enggak salah,
tuh?" Begitulah komentar beberapa orang ketika kusampaikan
maksudku untuk membuka butik.
Please, don?t jugde a book by its cover. Aku punya passion
yang besar di butik ini. Bukan dalam pakaian, aksesori, atau
pernak-pernik cantik lainnya, mungkin itu bagian Baby. Aku
punya passion yang besar dalam hal mengembangkan bisnis
butik ini. Aku ingin sekali mempunyai beberapa butik seperti
ini yang selalu ramai dikunjungi banyak orang dan menuai
keuntungan yang besar. Dalam impianku, butik ini akan
bercabang-cabang seperti dahan pohon. Sebenarnya, aku ingin
sekali mempunyai toko bunga. Namun, rasanya untuk sekarang
ini, mimpi itu masih harus aku tunda. Mungkin nanti bisa
terwujud. Entah kapan.
Dari kejauhan, aku masih memperhatikan gerak-gerik Baby. Ia
menyandarkan diri di tembok, sesekali memainkan rambutnya,
dan tertawa malu-malu. Aku tersenyum melihat sosok Baby yang
sedang jatuh cinta. Sekelilingnya menjadi terlihat begitu indah
dan romantis. Kemudian, aku tertegun menatapnya seolah tidak
percaya. Baby terlihat begitu cantik. Ternyata jatuh cinta juga
mampu membuat seluruh wajahnya berbinar cantik penuh
kebahagiaan.
Aku pun berkata kepada diriku sendiri, kapan kali terakhir
aku merasakan jatuh cinta yang begitu indah? Aku sendiri sudah
~16~
lupa karena aku sudah bersama Ben sejak delapan tahun yang
lalu. Rasanya, itulah kali terakhir aku mengalami dan merasakan
jatuh cinta.
"Cha! Elo lagi ngelamunin apa, sih? Gue pergi dulu, ya! Will
udah jemput di depan, bye!" teriak Baby yang membangunkan
lamunanku. Aku hanya melambai hingga pintu butik tertutup
dengan agak kencang karena Baby pergi dengan terburu-buru.
Butik sudah tutup pada pukul 7.00 malam. Aku memutuskan
untuk tidak pulang tepat waktu malam ini karena akan
membereskan ruangan kerjaku yang mungil, tetapi sungguh
berantakan. Pegawaiku akan pulang pada pukul 8.00 malam
ketika mereka telah menyelesaikan semuanya, termasuk
membereskan dan membersihkan butik. Menyapu dan
mengepel adalah agenda yang harus mereka kerjakan sebelum
pulang.
Ketika jam sudah menunjukkan pukul 8.00 malam, mereka
pamit pulang, bersamaan denganku yang sudah selesai
membereskan isi ruangan kerjaku. Aku naik ke Lantai 2 dan
duduk di sofa merah, melepas kacamataku yang bertengger di
hidungku, kemudian melemparkannya begitu saja.
Baru saja aku duduk beberapa menit di sofa tersebut, tiba
tiba pintu butik berdenting cukup keras dan membuatku
terlonjak. Seharusnya, sudah tidak ada pelanggan malam-malam
begini karena aku sudah memasang tanda CLOSED di pintu.
Aku menyesali diriku yang lupa untuk menguncinya. Tak lama
terdengar suara yang sudah sangat kukenal, "Cha? Kamu ada di
atas?"
Aku pun mengembuskan napas lega. Ternyata Ben. Kenapa
dia tidak bilang jika ingin datang ke sini? Aku pun buru-buru
membereskan rambutku yang sudah awut-awutan dan turun ke
bawah.
"Aku di sini."
"Hei, Dear, sori tentang telepon tadi siang. Aku sedang
~17~
conference meeting dengan kantor pusat, jadi aku tidak bisa
mengangkatnya."
Jadi, dia tahu aku meneleponnya? Namun, mengapa
tidak meneleponku kembali? Hatiku bertanya-tanya, merasa
janggal.
"Aku juga tidak bisa meneleponmu balik karena aku harus
pergi ke tempat klien di Pondok Indah. Aku baru pulang dari
sana."
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban atas
pertanyaan hatiku meskipun aku tidak merasa puas. Ben terlihat
mondar-mandir di dalam butik dengan memegang ponsel,
terlihat sibuk mengirimkan SMS atau semacamnya. Aku hanya
bisa memperhatikannya. Tak lama, ia pun tersadar dan segera
menyimpan ponselnya di saku celana.
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Udahan urusan kantornya?"
"Udah. Maaf, ya, Cha. Belakangan ini pekerjaan di kantor
benar-benar menyita waktu. Eh, kita dinner, yuk. Mau, kan?"
Aku tersenyum. "Tapi, aku yang milih tempatnya, ya,"
kataku. Aku mengambil tasku di bawah meja kasir. Kemudian,
aku teringat sesuatu.
"Mau ke mana?" tanya Ben bingung melihatku naik ke atas
lagi.
"Kacamataku ketinggalan." Aku mencari-carinya dan berhasil
menemukannya. Setelah itu, aku turun kembali, mematikan
semua lampu dan membiarkan tanganku digandeng olehnya.
Jika melihat Ben dan aku berjalan berdampingan, kami
seperti saudara saja. Tidak heran banyak orang yang mengira
kami adik dan kakak. Kami sama-sama berkacamata, meski aku
jarang memakainya, dan sama-sama mempunyai profil tubuh
yang ramping. Wajah kami putih, lonjong, tetapi tulang pipi
Ben lebih bagus dan lebih keras. Senyum satu sisi yang menjadi
ciri khas kami berdua, lesung pipit kami sama, yaitu di sebelah
kiri.
~18~
Akan tetapi, di antara persamaan yang kami miliki, tetap ada
perbedaannya. Mataku kecil khas oriental dengan alis yang tipis
juga. Mata Ben juga kecil, tetapi tidak sesipit milikku. Alisnya
yang tebal membuat mata Ben jadi setajam elang. Hidungku
kecil, sangat berbeda dengan hidung Ben yang mancung. Satu
lagi perbedaannya, yaitu sifat kami. Ben lebih serius dan
hidupnya sangat teratur jika dibandingkan aku yang suka
bercanda, gampang lupa, dan gampang panik. Kami juga tidak
tahu bagaimana kami bisa memiliki chemistry dan bisa bersatu
selama delapan tahun ini.
Aku sering sekali ditanya apakah aku tidak bosan dengan
hubungan yang panjang dan lama ini. Tentu saja bosan. Aku
dan Ben bukan robot. Dulu, kami punya cara praktis untuk
mengakali semuanya. Kami membuat peraturan untuk tidak
bertemu selama satu minggu. Sebagai penggantinya, kami
meluangkan waktu bersama teman-teman yang lain, atau
beraktivitas yang lainnya. Hingga salah satu dari kami akan
menelepon, artinya kami sudah tidak bosan lagi.
Akan tetapi, seperti yang aku katakan, itu dulu. Sekarang,
sejak Ben sibuk dengan pekerjaan dan jabatan baru di
kantornya sebagai marketing manager untuk produk baju dan
jas dari luar negeri, rasanya cara praktis itu sudah tidak
berpengaruh lagi. Terkadang aku dan Ben bisa tidak bertemu
selama dua minggu, bahkan sebulan. Ben juga mulai jarang
menelepon.
Jika menelepon, itu pun tak sampai lima menit, dan yang
diceritakan tentu saja pekerjaannya, bukan menanyakan
kabarku. Aku selalu protes akan hal ini. Namun, ketika aku
meributkan hal ini, Ben pasti lebih bisa berargumen karena ia
pintar berbicara dan berkelit. Hasilnya? Yang pasti aku kalah
dan dia menang. Ia akan memenangkan pekerjaannya.
"Kenapa, sih, lo enggak nikah aja, Cha?" Suatu saat ketika
masa pacaranku memasuki tahun keenam, Baby mengajukan
pertanyaan yang sebenarnya sudah aku tunggu-tunggu akan
~19~
keluar dari mulut Ben. Namun, sayang, sampai sekarang tak
kunjung aku dengar juga. Pertanyaan Baby tersebut membuatku
sangat keki, kenapa keluarnya harus dari mulut Baby?
Memangnya dia yang akan menikahiku?
Memang, sih, di usiaku sekarang ini, apalagi dengan masa
pacaran yang cukup lama, tidak mustahil bagiku dan Ben untuk
menikah. Sama-sama sudah matang, sudah mempunyai
pekerjaan yang mapan, dan Ben sudah mempunyai rumah dari
hasil kerja kerasnya.
Apa lagi yang ditunggu? Mama sudah menyindir-nyindir aku
dari sindiran yang superhalus hingga pertanyaan blakblakan,
begitu juga Baby dan semua orang yang aku kenal. Namun, bisa
ditebak, tidak pernah satu kali pun Ben mengajukannya
kepadaku, menanyakannya, terlebih memberi kejutan dengan
berlutut di hadapanku. Nol besar.
Sudah berkali-kali juga aku menyindirnya. Sekarang aku
sudah sampai pada satu titik yang pada akhirnya aku capek,
hanya diam, dan menunggu, tetapi hatiku memberontak terus.
Ketika kami sudah berada di mobil menuju ke Restoran
Dakken di Kemang selatan, ponsel Ben berbunyi. Ben
mengangkatnya dan terlibat pembicaraan yang serius dengan
seseorang, yang kemungkinan besar dari kantornya. Aku tahu
karena nada suara Ben yang berbeda.
"Kenapa bisa seperti itu? Bukannya semua berkas sudah
selesai dan terkirim?"
Ben diam mendengarkan penjelasan dari lawan bicaranya.
Aku melirik untuk melihat raut wajah Ben yang sedikit tegang
dan kesal.
"Kalau memang ada tambahan, harus direvisi ulang semua
bujet yang sudah kita ajukan."
Ben terdiam lagi, kemudian ia berkata, "Baik, saya akan ke
sana." Lalu, Ben menutup teleponnya, dan ia menatapku.
"Dear, maaf, aku harus antar kamu pulang sekarang."
~20~
"Kok, pulang?" Aku mengerutkan keningku. "Kita, kan, mau
dinner."
Ben memutar haluan mobilnya menuju ke rumahku. "Ada
urusan kantor yang sangat mendadak. Ternyata kantor pusat
meminta perhitungan bujet yang baru. Aku janji akan gantikan
makan malam ini secepatnya, ya."
Again. Cancelled. Mendadak mood-ku langsung terjun
bebas ke sebuah lubang yang tak berujung, sebuah lubang yang
sama yang sering aku lewati. Sudah keberapa puluh kalinya Ben
membatalkan janji seperti ini. Suatu waktu, Ben membatalkan
janji pada menit terakhir ketika aku sudah menunggu satu jam
di sebuah restoran yang kami sepakati.
Pada hari lain, Ben pernah tidak hadir di undangan ulang
tahun mamaku dan dia tidak memberikan kabar sama sekali.
Dia berdalih sudah meneleponku, tapi ponselku mati. Dan, dia
justru terbang ke Singapura karena ada meeting mendadak.
Semua itu terjadi karena satu hal: pekerjaan Ben.
"Rasanya aku udah biasa dengan situasi seperti ini," aku
berkata dengan sangat sinis, berusaha menyindirnya.
"Gimana kalau besok siang aku datang ke butik?" Ben masih
mencoba mencari solusi untuk pembatalan malam ini. Tetapi,
aku sudah tidak terlalu peduli dan enggan untuk
mendengarkannya.
"Enggak bisa. Memangnya yang punya kerjaan?yang kamu
junjung selangit itu cuma kamu saja?" sahutku ketus.
Ben menarik napas panjang. Dia merasakan keketusanku.
"Cha, aku, kan, sudah minta maaf. Ini sangat penting ...."
Aku mengangkat tanganku untuk menghentikan ucapan Ben.
"Terserah."
Mobil Ben sudah berhenti di depan rumahku. "Aku telepon
nanti, ya."
Aku tidak menyahut. Aku membanting pintu mobilnya
dengan keras karena emosi yang terlalu menyesakkan dada.
~21~
Lalu, segera masuk ke rumah dan bergegas mandi. Mandi
cukup bisa membantuku untuk menghilangkan penat. Baru saja
selesai mengeringkan rambut, ponselku berbunyi. Aku
membaca nama yang tercantum di layar, Baby. Padahal, aku
sedang malas berbicara. Dengan supertega, aku mematikan
sambungannya. Tak lama, Baby menelepon lagi. Aku
mendengus kesal sambil menekan tombol end di ponselku. Baru
beberapa detik, ia menelepon lagi.
"Apa???" sahutku dengan galak.
"Kok, dimatiin terus, sih, telepon gue?"
"Lo bisa lihat jam enggak?"
"Bisa, setengah sepuluh, kan?" jawabnya dengan polos. "Gue
ada kabar gembira!" serunya dengan semangat.
"Aduh, enggak bisa tunggu sampai besok? Besok aja ketemu
di butik, gue lagi enggak mood, nih!" Aku pura-pura menguap.
Aku benar-benar tidak ingin mendengar kabar gembira yang
akan Baby sampaikan ketika aku sedang tidak merasakan
kegembiraan apa pun.
"Jangan gitu, dong, Cha. Dengerin gue dulu, gue janji
enggak lama-lama, cerita selengkapnya akan gue ceritain besok,"
rajuk Baby. "Please?"
Aku menyerah. "Ya ... ya udah apaan?"
"Tahan napas, ya .... Gue dilamar Will," dia berkata sambil
menahan napasnya dengan gembira. Sepertinya, dia sedang
menahan diri untuk tidak menjerit-jerit.
"APA???" aku menjerit hingga hampir terguling dari tempat
tidur.
"Aduh, jangan teriak gitu, dong! Will yang ada di sebelah gue
sampai dengar suara lo."
"Lo lo di ...." aku tergagap.
"Iya, gue dilamar Will!" serunya dengan gembira.
"Oh." Seperti kertas yang terkena air, detik itu juga tubuhku
langsung lemas. Great! Kenapa tidak sekalian saja semua orang
~22~
di dunia ini memberitahuku kabar gembira yang mereka miliki?
Mungkin bagi Baby itu adalah kabar gembira, tetapi untukku
.
"Reaksi lo, kok, standar banget, sih?" omel Baby.
Aku mencoba tersenyum meskipun hambar. Toh, Baby tidak
bisa melihatnya. "Enggak, gue kaget aja. Selamat, ya, Beb, I?m
so happy for you."
"Iya, Cha. Thanks, ya."
"Memangnya udah lo jawab?"
"Sudah dong," sahutnya ceria.
Telepon dari Baby tadi membuatku kembali termenung.
Hatiku rasanya begitu kosong dan sungguh nelangsa mengingat
bahwa Baby dan Will yang baru berpacaran dalam hitungan
bulan, bahkan belum mencapai satu tahun sudah berani
memutuskan untuk menikah. Sangat sukar dipercaya. Mereka
bertemu saja jarang, tetapi apa yang terjadi? Ternyata mereka
berhasil menjaga hubungan tersebut, malah sudah akan
melangkah ke satu jenjang yang lebih tinggi, yaitu pernikahan.
Ini adalah kabar bahagia kedua yang aku dengar dari kedua
orang terdekatku. Mereka sama-sama bertemu di online, yang
ibaratnya lautan yang penuh dengan ikan hiu, tetapi mereka
berhasil melewatinya dan akan menikah. Sementara aku?
Wajahku memerah ketika terlintas hubunganku dengan Ben
dalam benak. Dadaku terasa sesak dan aku malu dengan diriku
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengingat hubunganku dengan Ben yang rasanya sudah seabad,
tetapi masih saja jalan di tempat.
Sejujurnya, aku sudah muak dengan semua ini. Rasanya
sangat tidak adil. Dengan kabar bahagia yang diembuskan oleh
Baby, kenyataan pahit sudah tertoreh dengan tinta tebal di
keningku. Ia akan menikah, sedangkan nasibku masih tidak
jelas.
Bukannya aku tidak bahagia dengan hubunganku dengan
Ben, aku ingat bahwa aku PERNAH bahagia. Pernah, aku
~23~
memikirkan kata yang mengandung makna masa lampau itu.
Sikap dan kecintaan Ben pada pekerjaannyalah yang membuat
rasa itu semakin luntur. Aku sungguh lelah.
~24~
T
4
"erjadi begitu saja, Cha. Kami sedang asyik ngobrol, tiba
tiba saja Will diam dan memandangi gue. Tatapannya
dalam banget. Sebenarnya, gue agak-agak ngeri gitu, soalnya gue
enggak pernah melihat Will segitu seriusnya. Sampai akhirnya
Will malah ngomong, ?I cannot imagine to spend the rest of
my life without you, Baby. Will you marry me??"
Aku langsung menghentikan kegiatanku dan menatap Baby
seolah ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Planet Mars.
Kacamataku sampai melorot. "Apa? William ngomong kayak
gitu? How come? Gue enggak pernah tahu kalau Will sangat
romantis and able to say those ... you know ... words."
"I know!" pekik Baby dengan raut wajah yang masih sukar
memercayainya. Aku melihat pipinya kembali blushing. "Gue
sampai enggak berkedip. Ini Will atau bukan, sih? Gila! Gue
mana percaya? Gue tanya aja lagi, ?What do you mean??"
"Lalu?"
"Lalu, dia mengulangi lagi kalimatnya, ?You and I, Baby ....
What if we get married? Will you marry me??"
"Terus lo jawab apa?" potongku dengan suara yang sedikit
terpendam puluhan baju yang baru datang.
Baby berhenti dengan urusan aksesorinya. Ia masih
menggenggam kalung dan ikat pinggang, kemudian menatapku
dengan matanya yang cantik dan berlapis bulu mata yang tertata
apik.
"Gue cuma bisa terpana dan tiba-tiba air mata gue mengalir.
~25~
Gue terharu. Gue benar-benar tidak menyangka, karena
sepertinya Will bukan orang yang serius dalam menjalin suatu
hubungan, but I?m gonna get married!"
Kemudian, Baby mendesah senang, yang akhirnya malah jadi
melamun. Aku tidak heran. Tidak ada perempuan yang bisa
melupakan pengalaman yang begitu manis dan indah seperti
yang dialami oleh Baby semalam. Jika aku yang mengalaminya,
aku pun tidak akan bisa melupakannya, bahkan akan terus
mengingatnya setiap menit dan setiap detiknya.
Akan tetapi, sayangnya, hal itu tidak terjadi kepadaku. Entah
belum terjadi, atau bisa saja tidak akan pernah terjadi. Baby
sudah mendahuluiku.
"Well, congrats again on your engagement, Beb. Lo
berhasil membuat gue iri." Aku menarik napas panjang sambil
menatap nanar baju-baju yang bertebaran di sekeliling kami.
Wajahku pasti berubah dan menjadi muram karena Baby
menatapku dengan saksama. Raut wajahnya jadi seakan merasa
bersalah.
"Jangan gitu dong ngomongnya, Cha."
Aku tertawa. "Gue bercanda kali. I?m so happy for you."
Aku melembutkan suaraku. Baby membalasnya dengan
senyuman yang tersungging. Dentingan lonceng di pintu masuk
menyadarkan kami. Aku menoleh ke arah pintu masuk. Dini,
pegawaiku yang kebagian shift siang baru masuk.
Kedatangannya menyadarkan aku untuk kembali bekerja dan
mengubur masalahku di relung hatiku yang paling dalam. Aku
tahu Baby masih memperhatikanku diam-diam, tetapi dia
memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.
Suasana butik menjadi sepi. Alunan lagu Ke$ha tepat pada
~26~
penghabisan. Kedua pegawaiku sudah pulang sedari tadi, begitu
juga Baby. Aku memutuskan untuk tinggal sejenak. Setelah
menikmati waktu santai dengan suasana butik yang sepi, aku
mengangkat pantatku dari sofa yang membuat busanya naik lagi
ke permukaan. Aku menuju kasir untuk menelepon Ben. Aku
tidak mendapatkan kabar darinya sejak kemarin malam. Dia
berjanji untuk meneleponku, tetapi nyatanya tidak satu deringan
pun yang aku terima di ponselku.
Aku menempelkan gagang telepon di telingaku. Berpuluh
puluh deringan menyapaku, tapi tak satu pun suara Ben yang
menyahut. Aku menyerah pada deringan yang kira-kira kelima
puluh serta setelah menekan ulang nomor teleponnya yang
kesepuluh kalinya.
Seakan sudah terlalu terbiasa dengan situasi seperti ini, aku
pun pulang sendiri tanpa menunggu balasan telepon darinya. Di
luar hujan sudah mulai membasahi aspal yang membuatnya
menghitam seperti langit malam.
Aku berlari-lari kecil menghindari air yang makin lama
makin deras turun dari langit, dengan gerakan yang cepat
membuka pintu mobil, kemudian mengempaskan diri dengan
lega di belakang kemudi. Aku mengemudikan mobil dengan
perlahan menembus hujan, diiringi lagu yang mengalun lembut
dari salah satu stasiun radio. Tiba-tiba lagu berubah. Suara
Bruno Mars menyapa telingaku. Sialnya, lagu yang
dinyanyikannya adalah yang berjudul "Marry You".
Sialan, kok bisa tepat banget, ya? hatiku berbisik. Lagu ini
memang seperti menyindir apa yang aku rasakan. Namun, aku
tak berniat menggantinya. Aku membiarkan lagu tersebut
menggiringku pada rasa rindu yang perlahan menyergap relung
hatiku. Aku menghela napas ketika kembali teringat akan
kebahagiaan yang sedang dirasakan oleh Baby dan Will.
Tanpa terasa, aku sudah sampai di rumah. Tanpa bersuara,
aku masuk ke rumah dan langsung mendekam di dalam kamar.
Saat itu sudah pukul 8.00 malam. Rumah terlihat sepi, hanya
~27~
terdengar suara jangkrik yang menyapa hujan.
Anne, adikku yang masih SMP, tidak kelihatan. Sepertinya,
dia berada di dalam kamar. Mama dan Papa mungkin sedang
asyik menikmati tontonan televisi di ruang keluarga yang
terletak di pojok rumah. Setelah selesai berberes diri, aku
mencoba menghubungi Ben kembali. Kali ini benar-benar tak
tersambung karena nada sambung menyebutkan bahwa
teleponnya mati.
Rasa cemas menyergapku tanpa ampun. Kali ini aku benar
benar meragukan hubungan delapan tahun antara aku dan Ben,
apakah akan berhasil atau tidak sama sekali. Aku menutup
mata, dan berharap akan menemukan masa depan bersamanya,
sebagaimana yang dulu sering aku impikan. Namun, yang aku
lihat hanyalah warna hitam, gelap gulita tanpa berujung, tanpa
kejelasan sama sekali.
Keesokan harinya, aku dan Baby tiba di butik menjelang
malam. Butik sudah mulai sepi. Baby mengecek stok barang
lewat komputer yang menyatu dengan mesin kasir, sedangkan
aku mulai merapikan baju-baju yang tergantung berantakan
setelah pembeli melihat dan mencobanya.
Tiba-tiba ada teriakan dari depan, "Cha, handphone lo
bunyi!"
Aku bergegas ke meja kasir tempat aku meletakkan tasku.
Aku melihat layarnya yang berkedip-kedip, nama Ben tertera di
layarnya. Baru muncul rupanya. Aku menarik napas dan .
"Halo?" Aku mengangkatnya.
"Hey, so sorry about last night," sahut suara berat yang
sangat aku kenal.
"Hm ...," aku menjawab asal sambil tetap membereskan
~28~
baju-baju.
"Kamu marah, ya?" tanya Ben.
Aku menjawab dengan suara yang tinggi, "Enggak tahu, ya.
Menurut kamu, apakah aku perlu marah?"
"Iya, aku tahu aku salah, Dear. Aku enggak angkat telepon
kamu, terus telepon aku juga mati ...," sahutnya dengan ucapan
yang menggantung.
"Terus?"
"Ada principal dari USA datang ke sini dan aku harus
menemani mereka."
"Memangnya enggak sempat telepon semenit aja atau kirim
sebaris SMS?" seruku dengan gemas. "That?s an easy thing to
do, Ben," tambahku sedikit sarkastis.
"Iya ... iya aku tahu .... Tapi ...."
Aku diam saja mendengar suara Ben yang menjelaskan
panjang lebar seolah gerbong kereta. Sekarang aku duduk
sambil menunduk, memainkan jari-jari tanganku. Malas
mendengarnya.
"Dear? Kamu masih di sana, kan?" suara Ben terdengar
sedikit keras. Sekarang aku mendengar suara yang sangat ramai
di belakang Ben. Suara tawa dan orang-orang yang sedang
berbincang-bincang. Aku tetap diam.
"Aku masih di kantor ...," suara Ben mengeras untuk
mengimbangi suara di belakangnya. "Begini, sebentar lagi aku
akan pulang, dan aku jemput kamu di butik, ya. Kita makan
malam. Aku janji, Dear. Aku sudah mau jalan. See you later,
OK?"
Aku menutup telepon dengan gemas tanpa mengucapkan apa
pun, kemudian berjalan menuju kasir. Baby muncul dari arah
belakang. Ia sudah membawa tas di bahu, tanda ia sudah siap
untuk pergi. "Mau pulang enggak? Sebentar lagi kita tutup.
Enggak ada orang juga, kok."
"Gue tunggu di sini aja. Bentar lagi Ben jemput."
~29~
Baby memandangiku. "Ben? Nongol juga tuh orang. Kapan
telepon?"
"Barusan," jawabku lesu.
"Lo yang telepon atau dia?"
"Dia."
Baby mengangkat bahunya. "Ya udah, lo baik-baik aja, kan?"
Aku mengangguk. Tak lama, lonceng pintu butik berdenting,
tanda Baby sudah keluar.
Rasanya aku sudah menunggu seabad, tetapi ia tidak datang
juga. Padahal, hujan yang menimpa atap dan mengeluarkan
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara yang cukup keras sudah turun sedari tadi. Aku melihat
jam tanganku, sudah pukul 8.00 malam. Suasana sepi dan Ben
belum juga datang. Padahal, ia menelepon pukul 6.00 petang.
Dan, aku tahu perjalanan dari kantornya kemari tidak butuh
waktu hingga dua jam.
Aku turun ke bawah bertepatan dengan kedatangan Ben. Aku
membuka pintu depan dan Ben pun masuk. "Sori, ya, telat.
Jalanan macet banget. Hujan."
Seperti biasa, aku mendengar beribu alasan yang keluar dari
mulutnya. Namun, aku tetap merapatkan mulutku dan
mengambil tas di dekat meja kasir. Rupanya Ben menyadari
diriku yang lebih diam daripada biasanya. "Kamu kenapa?"
Aku menggeleng. "Kita pulang aja, yuk?"
"Kamu enggak mau makan?"
"Makan di rumah aja, Mama pasti masak. Aku juga ingin
bicara sama kamu. Lebih enak ngobrol di rumah."
Ben mengangguk menyetujuinya. Di dalam mobil, aku juga
tidak banyak berbicara, Ben yang lebih banyak bercerita
mengenai pekerjaannya. Aku hanya memandangi jendela yang
~30~
masih berembun sisa hujan tadi. Jalanan pun masih terlihat
basah. Tidak ada satu pun ucapan Ben yang masuk ke telingaku.
Akhirnya, kami pun tiba di rumah yang disambut oleh
Mama. Benar saja, makanan masih tersedia. Aku pamit untuk
mandi dan berganti baju, sedangkan Ben makan terlebih dahulu.
Mama yang memang senang menjamu tamu, langsung sibuk
melayani Ben.
Tubuhku terasa sangat nyaman ketika terguyur oleh air
hangat. Sangat kontras dengan cuaca dingin di luar sana. Rasa
kantuk yang dari tadi menyerang perlahan hilang dan tubuhku
mulai terasa rileks dan segar. Setelah mandi dan berganti
pakaian yang bersih, aku bergabung dengan Ben di meja makan.
"Makan, Cha," kata Mama.
"Iya, Ma, aku lapar."
Mama tersenyum dan langsung menyendokkan nasi ke
piringku. Aku melirik Ben yang masih lahap menikmati
masakan Mama. Dia memang paling suka masakan Mama.
Orangtuanya tinggal di Surabaya sehingga dia sudah
menganggap Mama sebagai ibunya, begitu juga Mama yang
sudah menganggap Ben sebagai anaknya. Bahkan, tak jarang
Mama memasak spesial untuk Ben dan membungkuskannya
untuk ia makan di apartemennya.
"Mau tambah, Ben?" suara Mama mengisi keheningan di
meja makan.
"Enggak, sudah kenyang banget, Tante. Terima kasih
banyak," sahut Ben sambil mengelus-elus perutnya dengan puas.
Mama tersenyum melihat tingkah Ben, sedangkan aku tetap
diam sambil memperhatikannya dengan saksama. Mama mulai
membereskan meja makan, dan aku membantunya.
Tak lama, ponsel Ben berbunyi dengan nyaring. Ia menjauh
dariku dan Mama. Aku memperhatikannya. Cukup lama, dan
sepertinya percakapan tersebut cukup alot karena aku melihat
Ben sampai menggunakan bahasa tubuhnya ketika berbicara
~31~
dengan sang penelepon. Sampai akhirnya ia menyudahi
pembicaraannya dan menghampiriku.
"Siapa? Kantor?" Sebelum ia sempat bicara, aku sudah
menebaknya lebih dahulu.
Ben mengangguk. "Aku harus kembali ke kantor. Banyak
kerjaan."
Darahku langsung mendidih. Kembali ke kantor. Banyak
kerjaan. Sudah terlalu sering aku mendengar kalimat-kalimat
yang memuakkan itu. Sekarang aku harus mendengarnya
kembali. Sampai kapan?
"Aku ingin bicara, Ben. Aku sudah bilang tadi di mobil.
Ingat, kan?"
Ben tersenyum. "Besok saja, ya, Dear. Aku sedang dikejar
deadline. Ada kesalahan report yang dibuat anak buahku."
"Ini penting," ujarku dengan dingin. "Lagian ini sudah
hampir pukul 9.00 malam. Kan, bisa dikerjain besok, Ben."
"Tapi, ini lebih penting, Cha. Mereka harus terima laporan
itu sekarang."
"Jadi, bagi kamu aku enggak penting? Kamu pikir aku
enggak butuh kamu?" Nada suaraku terdengar sangat tajam.
Napasku terasa berat karena aku mencoba untuk menahan
amarah yang sudah menggumpal di dada. Senyum Ben
menghilang. Raut wajahnya menjadi keras dan kaku.
"Tolong, Cha. Jangan sekarang ."
"Kalau enggak sekarang, kapan? KAPAN, BEN?" aku
berteriak. Suaraku cukup keras sampai Mama menoleh untuk
mencari tahu. Ben yang merasa malu segera menarikku keluar
dari ruang makan.
"Kamu kenapa, sih? Memangnya ada masalah apa sampai
kamu jadi begini?"
Aku tertawa. Aku bisa merasakan tawa yang keluar dari
mulutku begitu pahit. "Masalah apa? Kamu tidak tahu masalah
apa yang sedang terjadi di antara kita?"
~32~
Ben menggelengkan kepala. "Semuanya bisa kita bicarakan
baik-baik, Cha. Tapi, tidak sekarang."
"Kapan? Sampai kapan aku harus menunggu kamu? Sampai
kapan aku harus terus mengerti, Ben?" jeritku.
Tanpa menghilangkan nadanya yang membentakku, Ben
berbisik, "Kecilkan suaramu, Cha! Ini sangat penting untukku!
Pekerjaan ini sangat penting! Kenapa, sih, kamu enggak mau
mengerti juga?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Enggak mengerti? Aku sudah
cukup mengerti selama lebih dari enam bulan ini, Ben. Aku
sudah cukup mengalah untuk membiarkan kamu tenggelam
dalam pekerjaan yang kamu dewakan itu."
Ben memegang keningnya yang sudah penuh dengan peluh.
Matanya berkilat dan rahangnya mengeras. "Kita bicarakan
nanti. Aku tunggu sampai kamu tenang."
Ben meninggalkan aku begitu saja. Aku terpaku di tempatku
berdiri dan melihatnya pergi begitu saja dengan mobilnya.
Bahkan, dia tidak mau menyelesaikan masalah ini terlebih
dahulu. Dia memilih melarikan diri.
Aku masuk ke kamar dengan lemas bercampur kekesalan
yang rasanya masih menumpuk di dadaku. Rasanya sangat
sesak, hingga akhirnya aku menangis, untuk mengeluarkan rasa
sesak itu. Aku tidak pernah menginginkan kejadian seperti ini
mengingat apa yang sudah kami jalani selama delapan tahun.
Namun, siapa yang bisa menebak? Tidak ada satu pun. Begitu
juga aku. Manusia terkadang memang hanya bisa berharap dan
berusaha, tetapi semua Tuhan yang berkuasa.
~33~
S
5
eminggu kemudian, aku masih belum juga mendengar
kabar dari Ben. Aku tidak berniat untuk menghubunginya
terlebih dahulu. Aku ingin melihat langkah apa yang akan
diambil oleh Ben. Aku berharap dia menghubungiku terlebih
dulu, lalu meminta maaf. Namun, aku sadar, hal itu akan sia-sia
dan membuatku lebih sedih lagi.
Aku sampai di butik tanpa membawa semangat sama sekali.
Hari jadi terasa begitu lama. Aku pandangi jam dinding yang
paling dekat denganku. Rasanya aku sudah duduk seabad di
sini, tetapi jam itu tak menunjukkan tanda-tanda untuk maju
dan mengurai hari. Aku menelungkupkan kepalaku di lututku
dan mengerang putus asa.
Aku tidak tahan dengan rasa bosan ini. Jadi, kuputuskan
untuk pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Aku berjalan tanpa
tujuan yang berarti. Hanya melakukan window shopping.
Hingga tiba-tiba ada yang memanggil namaku.
"Sascha?"
Aku menengok ke belakang.
Ben.
Ia berdiri tak jauh. Aku terpaku melihatnya. Sejujurnya, aku
tidak mengharapkan pertemuan ini dan aku juga tidak tahu
harus berbuat apa ketika Ben berjalan menghampiriku.
Aku sedikit menyesal mengapa memilih mendatangi mal ini.
Jika saja aku cepat menyadari bahwa kantor Ben terletak tepat
di sebelah mal ini dan aku sebenarnya tahu bahwa ia sering
~34~
sekali makan siang di sini. Stupid me! Aku mengutuki diriku
dalam hati. Aku menggigiti bibirku, yang selalu aku lakukan
ketika dilanda gelisah.
"Hei," sapanya. "Hm ... kamu sendirian?"
Suaranya terdengar sedikit gugup, begitu juga bahasa
tubuhnya. Aku mengangguk.
"Apa kabar, Cha?"
Aku mengerutkan keningku. Kegelisahanku berkurang ketika
mendengar pertanyaannya, dan berganti kesal. Apa kabar?
Hanya itu? Setelah apa yang terjadi dengan kami hingga tidak
bicara selama satu minggu? Ben juga mengucapkannya seolah
tidak ada masalah. Apa kabar itu rasanya tidak pantas, aku
bukanlah orang asing baginya.
Atau, ia sudah menganggapnya seperti itu? Aku sebagai orang
asing?
"Baik," jawabku dengan singkat.
Tiba-tiba di belakang Ben datang empat orang yang
menyapanya, "Hei, Ben. Masih ada yang mau dicari enggak?"
Ben sedikit terkejut dan sepertinya tidak siap untuk
kehadiran mereka. Mau tidak mau Ben memperkenalkan
diriku. Kegugupannya bertambah. Sebelah tangannya mengusap
tengkuknya. "Guys, kenalkan, ini Sascha. Sascha, mereka
teman-teman kantorku."
Satu per satu teman-teman Ben mulai menyalamiku. Ada
Frans, cowok gemuk berkacamata, terus ada Nidya, perempuan
yang kelihatannya tomboi dengan potongan rambut cepak,
kemudian ada Greg, bule yang tubuhnya tinggi dan kurus, serta
Charles, seorang pria yang klimis dan berpenampilan sangat
rapi.
"Hai," aku menyapa mereka.
"Wah, pacarnya, ya?" goda temannya Ben yang bertubuh
subur bernama Frans.
Semuanya tertawa, begitu juga Ben meskipun dengan agak
~35~
salah tingkah. "Iya, pacarku."
"Sudah cepetan nikah kenapa you, Ben? Jangan ditunda
tunda, apalagi cewek lo cantik begini."
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua tertawa lagi, tetapi aku tidak karena terdengar sangat
janggal. Apalagi suasana di antara aku dan Ben sedang tidak
enak. Namun, yang membuatku terpaku adalah apa yang
diucapkan Ben selanjutnya. "Enggaklah, masih lama."
Aku menatap Ben. Masih lama? Seketika hatiku sakit.
Kalau saja mereka tahu sudah berapa lama aku berpacaran
dengan Ben, mereka pasti akan menertawakannya.
"Pokoknya dipegangin," ujar Frans yang ditujukan
kepadaku. "Banyak yang naksir Ben." Lalu, Frans tertawa
terbahak-bahak hingga perutnya bergoyang hebat yang langsung
menular pada semuanya. Namun, tetap tidak untukku.
Entah apa yang lucu dari perkataan itu karena bagiku apa
yang mereka katakan sangatlah tidak lucu. Bahkan, aku hanya
bisa termangu melihat reaksi Ben yang juga ikut tertawa
bersama teman-temannya ini. Apakah dia tidak merasakannya?
Dia tidak masalah dengan itu?
Lalu, mereka pamit untuk kembali ke kantor, begitu juga
Ben. Sebelum berlalu, Ben berkata kepadaku, "Hm, kamu
besok ada waktu? Kita bisa makan malam dan dan
membicarakan mengenai masalah kita ."
Ah, ternyata ia masih ingat. Aku diam dan menatap
matanya. Lalu, mengedikkan bahuku. "Enggak tahu, deh, Ben.
Kalau aku jawab iya, aku malah kecewa sendiri karena nanti
kamu batalin lagi."
Sepertinya, Ben cukup tersindir. "Besok aku cuti. Aku sudah
mengajukannya cukup lama. Kali ini aku enggak akan batalin,"
ujar Ben dengan mantap. Aku kembali mencari kebenaran di
matanya. Tetap harus aku buktikan, apakah kesungguhan yang
dipancarkan oleh matanya akan disertai dengan kehadirannya
hari esok. Dengan enggan yang menggelayut, aku pun
~36~
mengangguk.
Terlebih lagi, aku harus mendapatkan jawaban tentang apa
yang ia katakan kepada teman-temannya hari ini.
Aku menunggu dengan gelisah. Es teh lemon yang aku pesan
tidak juga aku sentuh hingga esnya mencair dan gelasnya
berembun. Setiap menit, aku melirik jam tangan yang
melingkar di pergelangan tanganku. Sudah pukul 7.00 malam,
padahal Ben berjanji akan datang pada pukul setengah tujuh dan
bertemu denganku di Restoran Venice yang menjadi favoritnya.
Aku memilin rambutku yang sepundak dan kakiku yang
terbungkus ballet shoes berwarna hitam bergerak terus untuk
mengusir gelisah. Maxi dress sederhana, yang aku pinjam dari
Baby, rasanya sudah semakin lecek.
Kemarin Ben mengatakan bahwa dirinya cuti, tetapi tetap
saja aku tidak memercayai ucapannya dan benar saja. Pagi
harinya, ia mengabariku bahwa ada panggilan meeting
mendadak di kantornya.
Aku hampir kehilangan kesabaranku, sampai akhirnya Baby
menelepon dan menjadi penolongku. Rupanya ia
membutuhkanku pagi itu juga, untuk urusan penting di butik
karena koleksi terbaru Butik Darling sudah terlambat datang
sampai lima hari. Kesibukan di butik membuatku melupakan
kemarahanku, setidaknya untuk sementara waktu.
Sudah hampir tiga puluh menit, dan Ben belum juga muncul.
Aku sudah bersiap menggenggam ponselku untuk menelepon
Ben dan memakinya. Namun, dia tiba tepat sebelum aku
menekan tombol berwarna hijau itu.
"Sascha, maaf telat. Macet. Jakarta memang enggak pernah
bersahabat dengan kita."
~37~
Aku mendengus pelan. Alasan klise, hati kecilku berkata
dengan sendirinya. Aku tetap menatap Ben yang sedang duduk
di hadapanku. Lalu, ia memanggil pelayan dan memesan kopi
dingin.
"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan, Dear?"
Untuk sesaat aku memperhatikan wajah Ben yang memang
tidak banyak berubah sejak dahulu. Aku menatap matanya lebih
dalam, dan hal ini rupanya membuatnya tidak nyaman. Dia
membuang matanya ke arah lain untuk menghindari tatapan
mataku.
"Menurut kamu, hubungan kita seperti apa, sih, Ben?"
tanyaku secara langsung. Ben sedikit terkejut, dan dia
menutupinya dengan meneguk kopi dinginnya. Dia berdeham.
"Maksud kamu?"
"Apakah hubungan kita baik-baik saja?"
Kening Ben berkerut. "Tentu saja baik-baik. Apa ini soal
yang kemarin di rumah kamu? Jika soal itu, aku minta maaf.
Aku capek, pekerjaan lagi banyak ...."
Aku segera memotong perkataannya. "Bukan hanya itu, Ben.
Ini mengenai semuanya. Hubungan kita secara keseluruhan."
"Aku masih enggak ngerti, Cha."
Aku menghela napas. "Ben, kita sudah pacaran selama
delapan tahun, hampir sembilan tahun. Apakah enggak ada
artinya buat kamu?"
"Tentu saja ada. Aku mensyukuri hubungan ini."
"Jadi? Apakah kamu ingin selamanya seperti ini?"
"Maksud kamu apa, sih?" Ben mulai gerah.
Aku menatap Ben dengan tajam. "Ben, jangan pura-pura
enggak ngerti, deh. Jujur saja, aku muak karena kamu lebih
cinta pekerjaanmu daripada merawat dan mempertahankan
hubungan kita ini. Sekarang, aku sebagai pacarmu, ingin
memastikan, kapan kamu ada rencana untuk membangun
sebuah pernikahan?"
~38~
Kata pernikahan yang aku katakan terang-terangan rupanya
membuat Ben cukup shock. Wajahnya langsung pucat dan ia
tidak bisa berkata apa pun. Aku melihat ia berusaha
menenangkan dirinya sendiri dengan menarik napas beberapa
kali, lalu ia berkata kepadaku, "Jadi, ini yang ingin kamu
tanyakan kepadaku?"
Aku mendengus. "Kalau kamu masih ingat, aku
mempertanyakan ini berkali-kali, tetapi kamu selalu
menghindar. Aku ingin tahu aja, sampai kapan kamu mau
menggantung aku seperti ini tanpa kepastian?"
Ben terdiam, dia terlihat gelisah dan tegang. Apalagi,
kemudian ponselnya bergetar terus menandakan telepon serta
SMS yang masuk. Namun, dia tidak mengangkatnya. Kami
berdua terdiam. Aku menunggunya untuk berbicara.
"Apakah hal itu sangat penting untuk kamu, Cha?"
Aku menatap matanya lekat. "Kamu tahu jawabannya, Ben."
Dia terdiam beberapa saat. Lalu, berkata lagi, "Pekerjaan ini
sudah menjadi impianku sejak dahulu. Ini masa depan, Cha.
Masa depan kita! Aku memikirkan kamu juga!"
Aku tertawa dengan sangat miris. "Kita? Tetapi, aku merasa
aku enggak pernah ada di dalam masa depan kamu. Kamu
enggak peduli sama aku. Yang aku lihat kamu selalu melihat
dirimu sendiri."
"Itu enggak benar!" bantah Ben dengan sedikit keras.
"Kalau kamu peduli, kamu enggak akan memperlakukan aku
seperti ini. Sejak kamu bekerja di sini, kamu sudah banyak
berubah. Yang ada di pikiran kamu hanyalah kerja, kerja, dan
kerja. Jadi, maaf kalau aku enggak merasa ada di dalam masa
depan kamu. Di masa depan yang kamu katakan itu hanya ada
kamu dan pekerjaanmu."
"Kamu benar-benar enggak ngerti, Cha ...."
"Aku sudah cukup berusaha dan cukup mengerti selama
beberapa tahun, Ben! Jika kamu melibatkanku di masa
~39~
depanmu, kamu pasti akan berusaha, setidaknya sedikit saja
untuk menjaga hubungan kita. Tetapi, apa yang aku dapat? Aku
hanyalah nomor dua. Dengan mudah kamu mementingkan
pekerjaan kamu daripada diriku, daripada kita. Coba kamu
hitung berapa banyak janji yang kamu sepelekan, batalkan, dan
lewatkan, bahkan yang sampai enggak ada kabar sama sekali?"
Ben terdiam. Mungkin dia merasa tersindir ketika sering
sekali membatalkan janjinya. Lalu, ketika kami terdiam, lagi
lagi ponselnya berbunyi dan Ben sepertinya menahan diri untuk
tidak mengangkatnya.
Aku sudah sangat ingin mengambilnya dan mencelupkannya
ke dalam es teh lemonku. Dan, yang bikin tambah emosi adalah
perhatian Ben jadi teralihkan. Aku rasa dia tidak
mendengarkanku seratus persen.
"Kamu tahu enggak, hatiku sakit banget waktu kamu bilang
ke teman-temanmu bahwa pernikahan kita masih lama. Coba
kalau mereka tahu sudah berapa lama kita pacaran, aku yakin
banget, mereka pasti bakal menertawakan kita," ujarku dengan
sinis.
Ucapanku tersebut membuat wajah Ben memerah, entah
marah atau malu. Aku melanjutkannya kembali, "Apakah itu
penjelasan yang masuk akal mengapa kamu tidak pernah
mengajakku menikah? Karena masih lama?"
"Aku baru tiga puluh tahun, Cha. Masa depanku masih
panjang! Aku masih ingin bekerja, dan posisiku di sini sangat
bagus untuk mendapatkan promosi! Kita bisa menikah kapan
saja, tetapi mendapatkan pekerjaan ini? Ini sudah susah payah
aku dapatkan!" jelas Ben dengan sedikit emosi.
Hatiku mencelus mendengarnya. Menikah bisa kapan saja?
Susah payah untuk mendapatkan pekerjaan? Aku terdiam dan
menatapnya lekat. Hatiku sungguh sakit mendengarnya. Aku
ingin menangis saat itu juga. Namun, aku mencoba
menahannya.
~40~
Rupanya si penelepon tidak menyerah juga. Ponsel Ben
kembali bergetar dan kali ini Ben mengangkatnya. Aku sungguh
tidak tahan mendengar ponsel berengsek itu berdering terus.
Aku langsung mengambil tasku dan pergi meninggalkannya.
"Sascha!" Aku mendengar Ben meneriakkan namaku. Aku
tidak peduli ada berapa banyak pasang mata yang menatapku.
Aku tetap berjalan keluar dan menyelip di antara mobil-mobil
yang terparkir lumayan padat di parkiran Restoran Venice ini.
Ben berhasil menyusulku dan menarik tanganku.
"Tunggu, Cha!"
"Enggak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ben. Aku mengerti.
Jadi, pernikahan hanya akan menahan langkahmu untuk sukses.
Pernikahan ini hal yang sepele. Artinya aku juga."
"Sascha ...." Ben menatapku dengan frustrasi. "Aku hanya
minta kamu sabar, karena aku yakin sekali bahwa aku melihat
masa depanku bersama kamu. Hanya kamu, Cha. Please, aku
enggak ingin menyia-nyiakan hubungan kita yang sudah terjalin
sangat lama ini."
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Air mata mengalir di pipiku. "Sori, tapi aku enggak bisa
melihatnya. Bukan aku yang sia-siakan, tapi kamu."
Ketika aku hendak berbalik lagi, Ben masih belum mau
melepaskan tanganku. "Jangan pergi dulu, Cha. Tolong,
mengerti!"
Aku memberanikan diri untuk menantangnya. "Sampai
kapan? Aku butuh kepastian Ben, sampai kapan?"
Ben terdiam. Ia memegang keningnya. "Aku tidak .
Sascha, aku tidak bisa kasih kepastiannya. Tapi, aku janji untuk
lebih memperhatikan kamu dan hubungan kita."
Aku menggeleng, lalu tawa getir keluar bersamaan dengan air
mataku. "Tadi kamu tanya, apakah menikah itu begitu penting?
Ya, bagiku penting. Kita sudah sama-sama dewasa, matang. Aku
enggak bisa menikah kapan saja. Aku ingin punya anak dan
keluarga. Jika harus menunggumu tanpa kepastian, aku enggak
~41~
bisa." Perlahan aku menghapus air mataku.
"Kalau kamu bilang kamu bersusah payah mendapatkan
pekerjaanmu itu, bagaimana dengan hubungan kita? Aku susah
payah mempertahankannya, sampai hampir sembilan tahun,
tapi kamu malah meremehkannya. Aku mengerti, aku sudah
enggak penting lagi buat kamu," suaraku serak.
Ben terpaku. Aku berkata perlahan, "Kalau kamu bilang
bahwa menikah itu kapan saja, lebih baik kamu pilih
perempuan yang siap mendampingimu ketika kamu siap. Kita
sampai di sini saja, Ben."
Aku kembali berjalan, tetapi rupanya Ben tidak terima
dengan ucapanku dan ia menghalangi jalanku. "Apa maksud
kamu kita sampai di sini? Kamu mau kita putus?"
"Ini yang terbaik."
Tiba-tiba Ben mencengkeram lengan atasku erat. "Enggak,
Cha! Aku enggak mau!"
Aku mencoba untuk mengibaskan tangannya, tetapi
cengkeramannya terlalu kuat dan membuatku kesakitan.
"Lepaskan, Ben."
"Please, Cha. Kita bisa bicarakan ini baik-baik."
"Ben, dengar!" seruku sambil mengentakkan tangan Ben.
"Aku enggak mau bersama seseorang yang menganggap
pernikahan itu enggak penting. Sekarang kamu enggak anggap
ini penting, jika kesuksesan pekerjaan mengikuti kamu terus.
Lalu, siapa yang bisa menjamin kamu akan tetap menginginkan
pernikahan? Buat kamu, menikah bisa kapan saja, kan? Tapi,
aku? Aku ingin punya anak, jika aku harus menunggu sampai
umurku empat puluh tahun, risikonya terlalu besar."
"Kita bisa bicarakan baik-baik, Cha. Aku akan pikirkan
jalan keluarnya."
"Jalan keluar seperti apa? Kalau kamu serius, kamu pasti
sudah menyusunnya di pikiranmu."
Ben tetap tidak memberikan aku jalan. "Aku nggak siap,
~42~
Cha."
"Minggir, Ben."
Tiba-tiba Ben berteriak. Untung saja tempat parkir sepi dari
orang. "Kenapa baru sekarang? Dulu kamu enggak pernah
meributkan hal ini!"
Aku menatap Ben dengan dingin. "Apa perlu aku ingatkan?
Aku udah terlalu sering mengungkit hal ini, tetapi kamu enggak
pernah mendengarkan, Ben."
Ben menaruh kedua tangannya di kepala dengan kesal.
Rahangnya mengeras, dan aku tahu dia marah, juga frustrasi.
"Aku pulang dulu."
"Aku tahu kenapa kamu bisa begini! Kamu sudah
dipengaruhi orang lain, kan? Siapa yang pengaruhi kamu?
Jangan-jangan sepupu kamu itu, ya?" Nada suara Ben terdengar
berbeda. Aku menghentikan langkahku ketika dia sudah
membawa-bawa Baby. Aku enggak suka kalau dia mulai
menyalahkan orang lain.
Dia tertawa sinis. "Aku tahu, Cha. Pasti Baby yang merasuki
kamu. Siapa lagi? Dia sudah mau menikah? Terus memanas
manasi kamu?"
Aku tertegun. Nada suaranya tidak aku kenali sebagai Ben.
Dia seperti mengejek dan menyepelekan. Aku memutuskan
untuk tidak mendengarkannya. Namun, Ben tidak berhenti
sampai di situ, dia mengikutiku sembari berkata dengan dingin,
"Kamu tahu aku enggak akan membiarkan kamu pergi begitu
saja, Sascha."
Aku tidak menghiraukannya. Ben tidak sadar masalah yang
sebenarnya terjadi di antara kami berdua. Pembicaraan tadi
tidak akan berujung ke mana pun. Stuck di jalan buntu. Ia
tidak akan menyadari kesalahannya. Jangankan sadar, meminta
maaf pun tidak.
"Atau, kamu sudah punya pacar lain, ya?" seruan Ben
membuatku terkesiap. Aku berbalik. Omongannya mulai
~43~
melantur.
"Kamu enggak bisa menuduh orang sembarangan, Ben.
Jangan meracau, deh."
Akan tetapi, Ben tertawa sinis. "Bisa saja! Buktinya kamu
tiba-tiba saja mendesak aku. Atau, jangan-jangan kamu sudah
hamil dengan orang lain?"
Perkataan Ben membuatku shock. Aku menahan napas dan
hatiku bergejolak tidak menerima tuduhan yang begitu jahat
terhadapku. Aku berjalan mendekati Ben dan PLAK! Aku
menamparnya. Dia memegangi pipinya dan matanya menatap
nyalang kepadaku.
"Tarik tuduhan kamu, Ben! Kamu jahat sekali!" teriakku
dengan suara yang bergetar menahan marah dan tangis. Air
mata sakit hati sudah mengalir di pipi. Namun, sepertinya Ben
sudah terlalu kalap karena dia meneruskan ucapannya yang
sangat menyakitkan tersebut. "Itu bukan tuduhan, tetapi
kenyataan, bukan? Kamu tiba-tiba meminta kita untuk menikah?
Apa lagi kalau bukan kamu sudah selingkuh dengan orang lain
dan memaksaku menikahimu supaya anak kamu itu ada status
yang jelas? Betul, kan? Kamu ternyata wanita murahan, Cha."
Ben benar-benar keterlaluan dan dia sudah kehilangan akal
sehatnya. Ketika aku hendak menamparnya kembali atas
ucapannya yang semakin menyakitkan itu, dia menangkis
tanganku dan mendorong tubuhku dengan sangat keras hingga
aku terdorong dan berputar ke belakang, lalu menabrak sebuah
mobil yang berada di belakangku. Tidak hanya tubuhku saja,
tetapi juga wajahku menghantam mobil itu. Tasku terjatuh.
"Aduh!" Aku berteriak kesakitan dan memegangi wajah
sebelah kiriku yang terbentur cukup keras. Aku memegangi
pelipisku yang berdenyut sakit dan aku melihat tanganku, yang
tercetak darah segar. Rupanya wajahku menghantam bagian
pinggir mobil yang terdapat penghalang air hujan.
Ben melihat darah di tangan serta pelipisku. Dia terkejut.
~44~
Seketika wajahnya mengendur dan menyesal. "Cha, maaf
maaf aku ." Dia mendekatiku, tetapi aku berjalan
mundur. "Berengsek kamu! Jangan dekati aku!"
Aku mengambil tasku dan segera berlari mencari taksi yang
untung saja sedang melintas di depanku. Aku buru-buru masuk.
Aku sempat menengok ke belakang, dan bersyukur Ben tidak
mengikutiku. Sepanjang perjalanan pulang, bahkan aku tidak
bisa menangis lagi karena terlalu shock. Namun, setelah sampai
di rumah dan melihat di cermin hasil perbuatannya, aku
langsung menangis tiada henti.
Aku baru tahu bagaimana rasanya sakit hati karena cinta.
Meskipun aku sudah memasuki usia 28 tahun, hanya ada Ben
seorang yang mengisi hatiku. Tidak pernah ada lelaki lain. Aku
baru kali pertama pacaran, itu dengan Ben. Bukannya tidak
laku, banyak lelaki yang mengejarku, bahkan sejak SMP, SMA,
tak terhitung yang mengutarakan perasaannya terhadapku.
Hanya saja, aku tidak pernah merasa cocok, hingga aku
bertemu dengan Ben.
Patah hati ini ternyata rasanya tidak enak. Apalagi, ketika
perpisahan ini juga diiringi dengan tindakan kasar.
Ben sukses membuat aku terluka, baik fisik maupun hati.
Kalau saja aku pernah merasakannya sedari dahulu,
bergonta-ganti pacar dan merasakan jatuh cinta, putus cinta
yang berkali-kali, kurasa sakitnya mungkin tidak akan terasa
sampai seperti ini. Namun, yang ini sungguh berbeda. Aku
terpukul dan trauma atas tindakan Ben yang tidak aku sangka
sama sekali. Semenjak malam itu, aku mengurung diri di dalam
kamar. Aku berusaha menyembunyikan masalah ini dari
keluargaku, tetapi rupanya tidak ada yang bisa disembunyikan,
~45~
terutama ketika lebam di wajahku semakin terlihat jelas dengan
warna biru, merah, dan kuning.
Mama terkejut ketika ia memasuki kamarku untuk
menanyakan apa yang terjadi dengan diriku. Mama tidak
marah. Dia lebih lega karena Ben tidak melakukan hal buruk
lainnya. Namun, aku tahu, dia sangat kecewa karena Mama
sudah menganggap Ben seperti anaknya sendiri.
Kalau Papa jelas sekali marah. Bahkan, memintaku untuk
tidak menemuinya lagi. "Kalau sekarang saja dia kasar
kepadamu, bagaimana jika sudah menikah? Dia bisa
memukulimu!"
Papa sepertinya menghubungi Ben meskipun Mama dan aku
sudah melarangnya. Hal ini terbukti bahwa beberapa saat
kemudian, Ben menghubungiku, tetapi tidak kuangkat.
Berpuluh telepon dan SMS yang tak kuhiraukan akhirnya
membuat Ben menyerah.
"Ma, aku salah enggak, ya?" tanyaku esok siang ketika kami
sedang menikmati tontonan di televisi.
"Salah kenapa?"
"Seperti yang Ben bilang. Memangnya aku salah minta
kepastian kepadanya mengenai hubungan ini? Aku sudah capek
menunggu. Kenapa segalanya harus tentang dirinya? Gimana
denganku? Kenapa Ben enggak pernah mau mengerti meskipun
dia selalu minta aku untuk mengerti dirinya?"
Mama memelukku. Aku bergelung nyaman di pelukannya.
"Semua hubungan pasti mempunyai masalah, Cha. Baik yang
masih pacaran, maupun yang sudah menikah. Kita enggak bisa
melarikan diri dari masalah. Yang bisa kita lakukan adalah
menghadapi dan menyelesaikannya, apa pun hasilnya, baik atau
buruk. Ben memilih menyelesaikannya dengan cara yang salah.
Menurut Mama, bisa jadi dia enggak bisa membagi waktunya
di tengah tekanan pekerjaannya serta target yang ingin dia
capai, ditambah desakan dari kamu, membuatnya panik. Dia
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
~46~
enggak siap menerima semuanya."
"Tapi, kita sudah bersama selama hampir sembilan tahun,
Ma." Mengatakannya membuat dadaku sesak.
"Enggak perlu menyesal, Cha. Ada yang menikah sampai tiga
puluh tahun tetap bercerai. Waktu hanyalah sebuah angka.
Pendewasaan seseorang tidak akan berhenti sampai dia
meninggal. Dan, cocok atau tidaknya pasangan itu akan tetap
berjalan dan disesuaikan, sampai mereka terpisahkan. Jadi,
tidak ada orang yang benar-benar cocok satu sama lain. Gimana
pun juga, pribadi setiap orang berbeda satu sama lain. Tidak
ada habisnya. Orang bisa berubah seiring berjalannya waktu,
maka dari itu penyesuaian harus tetap ada ketika dia hidup
bersosialisasi dengan orang lain."
Aku terdiam mencoba menyerap ucapan Mama. Kemudian,
Mama menepuk tanganku lembut. "Tapi, Mama bersyukur
kamu harus pacaran dengan Ben selama sembilan tahun. Kalau
kamu sudah menikah dan kamu baru tahu bahwa emosinya
tidak bisa dikendalikan, apa jadinya? Mama enggak
membencinya, tetapi Mama menyesalinya kenapa dia harus
berlaku seperti itu. Selama ini Mama berpikir dia orang yang
cukup tenang."
"Kenapa dia tetap mau mempertahankan aku, sekalipun dia
enggak tahu apakah akan menikahiku atau enggak? Aku enggak
ngerti ."
"Mungkin Ben takut. Kalau menurut Mama, dia sedang
bimbang dan prioritasnya sudah jauh berbeda dengan yang
dahulu."
"Antara aku dan pekerjaan yang dia kagumi itu?" Jariku
membentuk tanda petik di udara sewaktu menyebut kata
"kagumi".
Mama mengangguk. Lalu, ia bangkit. "Sudah, jangan
dipikirkan. Tenangkan diri kamu dulu. Mama tahu ini berat,
tetapi semuanya akan berlalu. Anggap saja ini jalan yang harus
~47~
kamu tempuh. Mungkin kamu tidak berjodoh dengan Ben."
Kondisiku sudah sampai ke telinga Baby. Dia datang ke
rumah pada malam harinya. Kali ini aku cukup kaget melihat
reaksi Baby yang biasanya marah dan penuh emosi, ternyata
malah menangis melihat mataku yang bengkak dan biru. Dia
memelukku sambil sesenggukan. Saking begitu dekatnya diriku
dengan Baby, dia sampai bisa merasakan sakitnya ketika ada
yang menyakitiku.
"Seharusnya, gue temenin lo malam itu. Gue nyesel, Cha!
Nyesel!"
Aku menghapus air mataku. "Sudahlah, Beb. Memang
harusnya kandas begini."
Baby langsung memelukku. Kami pun menangis bersama.
~48~
S
6
atu bulan kemudian.
Ponselku berbunyi. Aku mencarinya, dan ternyata terjatuh
ke bawah tempat tidur. Aku melihat nama si penelepon dengan
mata menyipit. Ternyata Baby. Ya, siapa lagi? Dia yang selalu
rajin meneleponku untuk mengetahui kondisiku sejak kejadian
patah hati yang bisa dibilang cukup buruk.
"Halo?" jawabku malas-malasan.
"Lagi apa?"
"Bengong."
"Mikirin apa, sih?"
Aku menarik napas, pertanyaan yang diajukan oleh Baby
juga selalu sama. "Nasib gue," sahutku sambil membereskan
rambutku yang acak-acakan. Aku menuju jendela dan melihat
hujan sudah mulai turun. Langit terlihat gelap dengan awan
awan hitam yang menggantung, seperti hatiku saat ini.
Aku tahu satu bulan telah berlalu sejak aku benar-benar
resmi putus dari Ben, tetapi aku tidak menyangka bahwa
efeknya cukup menohok diriku.
"Jangan terlalu dipikirin, Cha. Please, it?s not worth it. Ini
sudah lebih dari satu bulan, lho. Kenapa lo masih kayak begini?
Mengurung diri di kamar, nangis, nyesel. Ben enggak pantas
dapat itu semua!"
Aku kembali memeluk guling dan menggigiti kuku tanganku.
"Ternyata lebih susah daripada yang gue kira, Beb. Enggak
~49~
semua teori bisa sejalan dengan kenyataan yang harus
dihadapi," sahutku jujur. Terdengar Baby berdecak. "Jangan
cengeng! Lo harus bangun dan bangkit."
"Yup, dan gue jadi zombie gentayangan," sahutku sarkastis.
Baby menggeram. Sepertinya, dia makin jengkel
menghadapiku. "Gue serius, Cha! Cari kegiatan lain yang di
dalamnya enggak termasuk tidur dan melamun. Atau kalau
perlu, gue izinkan lo cuti, tanpa batasan waktu. Lo boleh pergi
jalan-jalan, kalau perlu sampai Bali dan Papua."
"Lo bercanda, kan, Beb? Gue jalan-jalan sendirian? Lo mau
gue bunuh diri?"
Suara Baby melunak. "Enggak sampai segitu juga, sih.
Pikiran pesimis lo, tuh, harus dihilangkan. Apa yang lo kerjakan
sekarang malah bikin lo tambah terpuruk."
Baby berkata lagi, kali ini dengan sangat putus asa. "Lo tahu,
kan, gue cuma ingin yang terbaik buat lo, Cha."
Aku terharu. "Iya, gue tahu. Gue janji enggak aneh-aneh. It
takes time, tapi gue yakin akan sembuh dengan sendirinya."
"Sebenarnya, gue sedikit meragukan ucapan lo itu. Secara, lo
baru kali pertama pacaran dan putus hanya dari satu orang
pacar. Tapi, gue akan pegang ucapan lo itu. Promise me you?ll
be fine, Cha."
"Gue janji, Beb. Dukungan lo berarti banget buat gue,"
ucapku dengan tulus.
"Pokoknya ingat aja. Enggak mungkin, kan, lo mau
menghabiskan waktu lo untuk bersedih dan terpuruk terus,
secara waktu lo delapan tahun itu udah terbuang sia-sia? Apalagi
dengan bonus akhir kelakuan mantan lo yang tak terpuji itu?"
ujar Baby dengan tak kalah tulusnya. "Call me anytime you
need me, okay?"
Aku menutup telepon dari Baby. Kemudian, mataku tertuju
pada bantal yang sudah aku tiduri dari semalam. Di sana aku
mendapatkan bekas air mata. Aku merabanya.
~50~
Bekas air mata itu mengingatkanku kepada Ben. Yang
merayap di benakku bukanlah kisah cinta kami berdua selama
lebih dari delapan tahun itu. Namun, sikap dan ucapan
kasarnya kepadaku.
Seperti bilah pedang yang mengoyak hati. Sakit.
Lantas aku mengambil bantal itu, dan membuka sarungnya
serta melemparnya ke bawah. Tak lama, aku menerima pesan di
ponselku: Baby.
Eh ngomong-ngomong, lo masih nyimpen, kan,
alamat situs web online dating yang gue kasih,
kan? Sudah saatnya gue ingetin lo lagi, nih. Ini
salah satu cara supaya lo move on. DICOBA, YA!
Aku tertawa membaca pesan itu dan tanpa terasa
mengalirkan sedikit kekuatan ke dalam hatiku.
Aku mengisi hari dengan membuka laptop dan iseng
browsing. Di Facebook, ternyata Olla sudah mengunggah
beberapa foto pernikahannya. Beberapa di-tag ke namaku. Aku
membuka satu per satu foto-foto yang berjumlah cukup banyak,
140 buah. Olla terlihat begitu bahagia. Tawanya lebar dan
penuh cinta. Hatiku bercampur aduk lagi. Antara senang dan
sedih.
Setidaknya, masih ada orang yang lebih beruntung
daripadaku.
Tepat pukul 5.00 sore. Aku mematikan beberapa lampu di
dalam butik. Tulisan OPEN yang tergantung di depan pintu
butik aku putar sehingga dari luar terbaca tulisan CLOSED.
Butik Darling baru saja tutup, dan hari ini kami tutup lebih
~51~
awal daripada biasanya.
Karena hari ini Baby libur, jadi sepanjang hari aku sendirian.
Aku baru masuk kembali setelah cukup lama tidak datang ke
butik. Aku akui aku rindu kesibukan ini dan seharusnya sudah
aku lakukan sejak kemarin. Karena itulah, aku menyuruh Baby
untuk libur selama beberapa hari, mengganti hari-hari yang
telah diisinya ketika aku masih terpuruk karena patah hati.
Setelah menutup butik, aku memutuskan untuk pergi ke
toko buah yang terletak tidak jauh dari Butik Darling sehingga
aku memilih untuk berjalan kaki. Setibanya di toko buah
tersebut, hidungku sudah menangkap berbagai macam wangi
buah yang terasa menyegarkan. Perasaanku jadi relaks. Aku
segera mengambil keranjang dan plastik, lalu asyik memilih
jeruk dan mangga harum manis yang sangat menggiurkan dan
membuatku tidak sabar untuk menyantapnya.
Toko buah, done. Aku keluar dan berjalan santai sambil cuci
mata menikmati toko-toko yang terhampar di sepanjang jalan
itu. Kakiku berhenti melangkah di sebuah kedai makan, yang
suasananya terlihat selalu menyenangkan.
Aku sering datang ke tempat makan bernama Kedai Nona
ini. Dan, sepertinya hari ini aku bisa memanjakan diriku
dengan mampir ke dalam.
Mataku tertancap pada etalase ice cream yang berbentuk
cembung. Air liurku terbit tanpa diminta melihat gundukan ice
cream yang menggiurkan itu. Rasa strawberry itu pasti enak,
yang vanilla juga, apalagi dark chocolate. Aku mau semuanya!
"Sore, Sascha!"
Aku mengangkat wajahku, dan aku melihat seorang
perempuan yang sederhana, tetapi sangat cantik. Maksudku
cantiknya bukan karena polesan make-up, melainkan cantik
natural. Setiap melihat perempuan itu, aku selalu teringat diri
sendiri, karena perawakan kami yang mirip. Aku tersenyum
kepadanya.
~52~
"Hai, Karla."
"Mau beli ice cream?" tanya perempuan itu kembali,
mungkin karena tidak ada respons dariku. Aku segera
tersenyum dan berkata, "Iya, aku lagi bingung milihnya. Aku
mau semuanya."
Karla tertawa. Kemudian, ia mengambil dua buah sendok
kecil dan menyendokkannya kedua rasa ice cream. "Coba ini,
deh. Rasa baru, vanilla mint dan macadamia nut caramel."
Aku pun lantas mencobanya. Enak! Dengan cepat aku
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memilihnya. "Aku minta rasa cokelat dan yang macadamia nut
caramel, deh. Untuk take away, ya, La."
"Siap!"
Dengan cekatan, ia mulai menyendokkan dua rasa ice cream
yang sudah aku pilih ke dalam paper cup dan menyerahkannya
kepadaku. Aku menoleh ke sekeliling. Ah, kenangan muncul
lagi dan berdesakan hendak keluar dari memoriku. Aku dan
Ben dulu suka kemari. Kedai Nona memang salah satu tempat
makan favoritku. Kami pun mengenal pemiliknya, Karla dan
tunangannya Evan.
"Ben, kok, udah enggak kelihatan lagi, Cha?"
Aku meringis. Dia memang belum tahu apa-apa soal
hubunganku yang sudah tamat. Aku menjawabnya dengan
singkat, "Sibuk. Jadi, kapan nih, wedding-nya? Kok, kayaknya
santai-santai aja, La."
Karla tertawa. "Ya beginilah. Kalau menyiapkannya sama
Evan emang slow banget."
Aku ikut tertawa. "Yang penting beres."
Karla mengacungkan jempolnya. "Benar sekali."
"Sampai ketemu lagi, La. Thanks for the ice cream."
"Sama-sama, Cha."
Aku keluar dari Kedai Nona dan mulai menikmati ice cream
yang sudah tersisa setengah.
"Sascha!"
~53~
Seseorang meneriakkan namaku. Aku menoleh. Ternyata
Karla. Ia berlari-lari mendekatiku dengan membawa kantong
plastik putih.
"Belanjaanmu ketinggalan."
Aku tertawa menahan malu. "Aku benar-benar pelupa.
Thanks, ya."
Karla tertawa dan melambaikan tangannya. Ia berbalik dan
berjalan santai kembali ke Kedai Nona. Meninggalkan aku yang
hanya geleng-geleng kepala dengan kecerobohan dan sifat
pelupaku yang sepertinya tidak akan pernah membaik.
Sepertinya, aku harus menerima kenyataan tersebut.
Aku menghabiskan ice cream-ku dalam sekejap. Aku
mencari tong sampah, dan melihatnya tak jauh dari tempatku
berdiri, lalu berjalan menghampirinya. Kemudian, aku
menyadari bahwa tong sampah tersebut terletak tepat di
samping sebuah toko yang agak suram. Aku melongok.
Ternyata tempat itu bukan toko, melainkan sebuah galeri. Aku
melihat pengumuman di papan yang kecil tetapi bersih
tertempel di jendelanya.
Pameran fotografi: Unspoken Stories
Pkl. 10.00?20.00
Seakan ada yang menarikku ke dalam, aku pun melangkah
masuk. Di dalam aku mendengar musik mengalun yang
terdengar samar. Terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang yang
terlihat sedang menikmati pameran tersebut. Ruangan yang
lengang dan dingin. Aku mengusap tengkukku yang tak tertutup
rambut untuk mengurangi rasa dingin.
Foto-foto yang menjadi objek pameran terpasang di dinding
berwarna hitam yang semakin menambah suram suasana.
Apalagi lampu yang terlihat terang hanyalah lampu yang
menyinari foto-foto tersebut. Terasa kelam, tetapi entah
~54~
mengapa malah menenangkan.
Aku mulai berkeliling. Sebenarnya, aku jarang mendatangi
pameran fotografi atau lukisan, karena bagiku sedikit
membosankan. Namun, sekarang tidak ada salahnya. Aku juga
sedang tidak ada pekerjaan, dan sekadar menghabiskan waktu.
Foto-foto yang dipamerkan berwarna hitam putih, atau
sephia kecokelatan. Terlihat dramatis. Foto-foto tersebut
kebanyakan tentang alam, yang sepertinya di medan perang.
Di salah satu pojokan, yang memisahkan bagian foto yang
berjudul "The Untold Stories of War", aku memasuki
kumpulan foto yang berjudul "The Untold Stories of Love".
Aku berhenti di depan sebuah foto dan terpaku diam.
Sebuah foto hitam putih, yang berisi seorang perempuan
berbaju pengantin putih sederhana, wajahnya yang cantik
terekam dari samping, sedang menggandeng pasangannya yang
berbaju seragam tentara dalam posisi setengah membungkuk.
Tentara itu mengayuh kursi roda yang berhiaskan pita dan
bunga-bunga. Mereka saling menatap dengan penuh cinta
dengan wajah yang berdekatan. Aku mendesah perlahan,
romantis sekali.
Kemudian, ketika aku beranjak ke sebelah foto tersebut, ada
foto yang membuatku tercekat. Seorang nenek yang terbaring di
tempat tidur, dan sedang dipasangkan lipstik oleh suaminya
dengan penuh kasih sayang. Aku cukup lama memandangi foto
ini. Tatapan si kakek yang penuh cinta dan begitu serius ketika
sedang melukis bibir istrinya?meskipun tatapan istrinya begitu
kosong. Foto itu begitu menyihirku. Mataku mulai memanas.
Aku buru-buru beranjak.
Lalu, di sebelah foto tersebut, ada foto kakek dan nenek yang
sedang duduk di bangku taman dengan dedaunan yang
bertebaran di sekeliling mereka. Keduanya sedang asyik
membaca sebuah buku. Buku itu mereka baca bersama sehingga
wajah mereka berdekatan agar bisa membaca dengan jelas. Ah,
~55~
lagi-lagi foto yang membuat mataku berkaca-kaca. Sungguh
indah.
Sebuah ide tebersit di pikiranku. Aku segera menghubungi
pemilik galeri?yang kebetulan sedang berada di sana
berbincang dengan salah seorang pengunjung. Tanpa berpikir
panjang aku membeli dua foto, yang satu foto si kakek-nenek
yang sedang membaca dan yang lain foto pengantin berkursi
roda. Keduanya merupakan foto yang paling memikat hatiku.
Sekeluarnya dari galeri itu, aku menenteng foto tersebut
dengan hati yang lega karena aku merasa sudah melakukan hal
yang benar. Foto-foto ini pasti akan menjadi hadiah yang bagus.
Akan tetapi, gara-gara foto-foto itulah tiba-tiba saja terlintas
di benakku semua saran gila Baby. Saran agar aku bergabung di
dating site dan ikut kencan online. Usulan Baby tersebut
sekarang sedang mengusik hatiku.
Rencana itu berkecamuk di pikiranku berpacu antara ragu
dan penasaran. Karena terlalu memikirkannya, aku bermimpi
tentang online dating itu. Di dalam mimpiku, aku mendaftar
di online dating dan membuat janji bertemu dengan seseorang
yang tidak aku kenal. Dia tampan dan berkacamata. Rambutnya
pirang dengan mata biru yang sangat memikat. Di dalam mimpi
itu, aku jatuh cinta. Terasa hingga aku terbangun. Aku
mendesah bahagia, meski aku tahu itu hanyalah mimpi.
Sejenak, aku membulatkan tekad untuk ikut online dating
itu, lalu hilang karena ragu yang membubung. Tak lama, tekad
itu muncul kembali. Aku benar-benar akan menyalahkan sepupu
centilku itu kenapa aku jadi plin-plan seperti ini!
~56~
"C
7
ha, tolong gantiin gue dulu, dong. Gue mau telepon
supplier. Lo terusin beresin ini, ya." Aku mengangguk
dan segera menggantikan pekerjaan Baby di gudang.
Beberapa saat setelahnya, Baby malah mendapati aku sedang
melamun untuk keseribu kalinya sambil menatap tumpukan
pakaian dalam yang sedang aku rapikan di gudang. Tak lama
aku tersadar ketika Baby menceletuk.
"Yang pantas dilamunkan itu cuma lelaki tampan, Cha.
Bukan pakaian dalam wanita. Kecuali lo lagi mikirin untuk
memakai salah satu dari pakaian dalam itu sewaktu lo
memutuskan untuk melepas keperawanan lo."
Aku menatap Baby dari balik kacamataku yang melorot dari
pangkal hidung dengan sedikit linglung. Aku tidak menangkap
dengan jelas apa yang diucapkannya.
"Ha? Lo ngomong apa, sih, bawa-bawa keperawanan?"
sahutku cengok.
Baby menggeleng-gelengkan kepalanya. "Benar, deh, sekarang
gue mulai khawatir sama lo. Lo masih suka melamun. Bayangin
aja, dari satu jam yang lalu, pekerjaan ini enggak beres-beres
juga. Badan lo emang ada di sini, tetapi pikiran lo enggak."
Baby duduk di sebelahku dan bergerak cepat. "Lo udah
ngikutin saran gue belum?"
Aku tahu apa yang dimaksud oleh Baby. Online dating.
Semakin aku memikirkannya, perutku seperti diaduk-aduk
karena gelisah dan ragu. Begitu banyak pertanyaan yang
~57~
berkecamuk di benakku. Apakah aku bisa membuka hati
pascaputus dari Ben?
Jika aku membuka hatiku, berarti aku harus siap untuk
menerima risiko: untuk kembali sakit hati dan mendapatkan
pria yang persis sama atau kejadian yang lebih kurang sama.
Aku memegang perutku yang semakin bergemuruh, juga mulas.
Aku mulai panik memikirkan segala kemungkinan. Sepertinya,
ini pertanda bahwa aku belum siap.
"Cha, lo enggak jawab pertanyaan gue," Baby bersuara lagi.
Perutku semakin mulas. "Gue pertimbangkan, kok."
Jawaban yang aman meski raut wajah Baby tak puas.
"Beb," aku memanggilnya lagi.
"Hm?"
"Gue boleh pulang duluan enggak? Gue enggak enak badan,
nih." Aku sedikit berbohong kepada Baby sembari memijat
tengkukku. Aku perlu waktu sendiri untuk berpikir. Kali ini,
benar-benar berpikir. Tidak seperti hari-hari kemarin saat aku
lebih memilih untuk membiarkan diriku sendiri tersiksa tanpa
menggunakan akal sehatku.
Baby menatapku dengan saksama, sepertinya dia sedikit
curiga. "Kayaknya tadi pagi lo baik-baik aja, deh. Ada
hubungannya dengan Ben, ya? Dia telepon lo?"
Aku memutar bola mataku, aku mulai segan jika semua
masalahku selalu dihubungkan dengan Ben. Sebenarnya, aku
sedang memikirkan ucapan Baby sebelumnya, dan tidak ada
setitik pun hubungannya dengan mantanku itu.
"Please, deh, Beb. Bisa enggak, sih, enggak usah nyebut
nama dia lagi? Nama itu udah terlarang. Dari semalam gue
emang udah bersin-bersin. Badan gue rasanya berat banget."
Dia pun menyetujuinya. "Ya udah, enggak apa-apa, hari ini
gue yang jaga. Lo istirahat aja dulu." Aku bergegas mengambil
tas dan mencium pipi Baby sekilas sebagai tanda terima kasih
atas pengertiannya. Aku tidak membawa mobil hari ini sehingga
~58~
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku harus mencegat taksi di depan butik.
Mama heran melihatku sudah sampai di rumah siang hari
begini. "Kok, pulang cepat, Cha? Di butik ada siapa?"
"Ada Baby, Mam. Aku lagi enggak enak badan, mau tiduran
aja." Aku menggunakan alasan yang sama dengan alasan yang
aku utarakan ke Baby.
"Ya sudah, kamu istirahat saja, ya. Nanti Mama suruh Bibi
bikinin teh manis hangat buat kamu."
Aku berganti baju dengan celana pendek dan kaus yang besar
dan nyaman. Aku membanting tubuhku ke ranjang yang empuk
dan memandangi langit-langit. Rasanya pikiranku semacam
benang kusut, dan aku sedang mencari cara bagaimana
meluruskannya kembali.
Pertanyaan Baby yang membuatku mulas terbang
mendekatiku lagi. Apakah diriku siap? Aku termenung sejenak
sebelum akhirnya sadar. Jawaban sebenarnya sudah aku
genggam. Namun, saking eratnya?mungkin karena kaku dan
takut, aku sampai tidak berani untuk membuka dan melihatnya.
Aku harus melakukan sesuatu. Aku tahu, karena aku
mengenal diriku. Sebagai pemegang kendali hidupku, sekarang
atau tidak sama sekali atau semua akan terlambat. Aku harus
buka genggaman tanganku itu.
Tiba-tiba suntikan semangat menyusup ke dalam urat
nadiku. Aku tidak tahu datangnya dari mana. Namun,
seharusnya aku tidak perlu khawatir. Masa lalu seharusnya bisa
menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga, bukan
penghambat.
Mungkin saja aku akan kembali salah melangkah dan dengan
bodohnya kembali memilih pria seperti Ben. Namun, kalaupun
~59~
sampai terjebak kembali, aku sudah tahu jalan keluarnya. I?ve
learned.
Dan, Baby benar. Ben sudah merusak kesempatannya. Dia
tidak berhak memenuhi pikiranku lagi, dicintai lagi, dan
menempati hatiku lagi semenjak dia sudah berlaku kasar
kepadaku. Pria kasar tak berhak mendapatkan tempat di hati
wanita mana pun.
Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil laptop,
kemudian menyalakannya. Aku juga mengambil tasku yang
tergeletak di karpet dan mengaduk-aduk isinya untuk
menemukan kertas yang diberi Baby tempo lalu.
Kertas pemberian Baby kutemukan sudah dalam keadaan
lecek dan aku mencoba menyetrikanya di meja dengan
tanganku. Aku menatap kertas lecek itu dan menimbang
nimbang kira-kira situs web mana yang akan aku kunjungi
terlebih dulu. Bergantian aku menatap layar laptopku yang
sudah terbuka pada bagian browsing dan kertas lecek itu.
Aku membetulkan letak kacamataku, mengucir rambutku,
dan mulai mengetik semua alamat situs web yang sudah Baby
tuliskan di kertas tersebut. Ada coupledating.com,
findingtruelove.com, soulmatecouple.com, dan
findingsoulmate.com. Baru saja aku mengetik dua alamat
website, pintu kamarku diketuk. Aku pun cepat-cepat menutup
laptop dan berbaring di ranjang. Mama masuk membawa
segelas besar teh manis hangat yang masih mengepul.
"Nih, Cha, teh manis hangatnya."
"Thanks, ya, Mam." Aku menyeruputnya sedikit.
Tenggorokanku langsung terasa hangat.
"Kalau kamu enggak enak badan minum obat, ya, minta Bibi
ambilin."
"Beres, Mam, jangan khawatir, cuma perlu tidur aja, kok."
Mama tersenyum dan keluar dari kamarku tanpa banyak
kata lagi. Aku kembali mengambil laptop dan melanjutkan
~60~
pencarianku. Begitu banyak alamat situs web yang harus
dikunjungi membuat aku pusing tujuh keliling. Aku
mencobanya satu per satu.
Keningku berkerut berkali-kali lipat, bukan karena
kebingungan. Sebenarnya, masuk ke jaringan online dating
seperti ini mudah, cukup mengisi formulir yang disediakan di
dalam situs webnya. Namun, aku saja yang malas dan merasa
ribet karena pengisiannya ada beberapa tahapan. Aku harus
mendaftar dahulu, kemudian mengisi biodata atau profil yang
semenarik mungkin. Pada akhirnya, aku hanya mengisi profil
dengan hal-hal yang diperlukan saja, seperti hobi, pekerjaan,
umur, agama, dan yang pastinya foto.
Kemudian, aku masuk ke kolom untuk tipe pria yang aku
inginkan. Aku menuliskan segala macam kriteria yang penting,
seperti umur, pekerjaan, agama, dan yang penting hobi dan
keluarganya.
Aku bersandar lega ke punggung kursi. Selesai juga mengisi
semuanya. Sekarang tinggal menunggu respons dari anggota
anggota yang ada, yang akan dikirimkan melalui surel.
Semestinya aku juga bisa mencari, sih, by searching
berdasarkan kriteria pria yang aku tulis. Namun, itu tidak aku
lakukan karena kesannya aku hopeless banget. Jadi, aku
memutuskan untuk menunggu saja. Biar mereka yang
mencariku. Menunggu lebih baik daripada mencari,
mengurangi setidaknya setengah dari kerepotan yang ada.
Selain lega, aku juga jadi gelisah menunggu respons yang
masuk. Alhasil, sepanjang sisa hari itu, aku seperti orang yang
linglung. Tak ada kegiatan atau pekerjaan yang bisa aku
kerjakan dengan baik. Membawa tumpukan majalah ke kamar
mandi. Bukan hanya itu, aku malah pakai sabun mandi untuk
sampo, kemudian membawa pakaian kotor dan membuangnya
di tempat sampah. Aku mengutuk kerja otakku kali ini. Damn!
Semua orang di rumah juga sedikit bingung dengan
kelakuanku. Untungnya mereka tidak menegur?atau mungkin
~61~
maklum. Biasanya Anne akan mengomel jika melihat aku yang
serampangan. Dia mengungkit-ungkit bahwa aku juga selalu
mengomelinya jika dirinya berantakan.
Kali ini tidak ada komentar atau omelan dari mulutnya.
Mungkin dia segan dan pasti berpikir bahwa kelakuanku yang
aneh itu ada hubungannya dengan putusnya hubunganku dengan
Ben.
Aku hanya bisa menghela napas. Semoga saja ketololanku ini
tidak berlanjut hingga seminggu ke depan.
Malamnya, aku memutuskan untuk menelepon Baby. Aku
butuh pelepasan dari rasa gelisah ini. Dia pasti akan sangat
gembira jika aku menceritakan apa yang sudah aku lakukan.
"Feel better?"
"Lumayan. Butik rame enggak?" Aku mengalihkan
pembicaraan.
"Banget. Thanks to me. Lo lagi apa?"
"Gue lagi berdiri di depan balkon dan siap terjun ke bawah."
"Sascha! Enggak lucu!" seru Baby.
Aku terkekeh pelan mendengar suara paniknya. Bibirnya
yang terpulas warna merah muda itu pasti sedang monyong lima
sentimeter. "Sorry."
"Terus, ngapain telepon gue? Mau cerita? Gue siap, nih,
dengerin."
Baby selalu tahu apa yang aku rasakan. "Gue yakin lo pasti
akan senang dengan apa yang sudah gue kerjakan selama gue di
rumah tadi, karena gue sudah melakukan apa yang lo sarankan."
Aku menaikkan suaraku.
Baby sempat terdiam beberapa saat sebelum dia menyadari
apa yang aku bicarakan. Suaranya menukik. "Serius lo? Seribu
~62~
rius?!" Lalu, ia menjerit-jerit kegirangan. Baby selalu
mendramatisasi sesuatu yang membuatnya senang atau sedih
berlebihan, seperti kali ini. Aku berdecak kesal. Reaksi Baby
yang berlebihan itu seperti baru mendengar aku dilamar oleh
Pangeran Harry.
I wish for that. Nothing is impossible, isn?t it?
"Terima kasih, ya, sudah meracuni hidup gue," ujarku
sarkastis.
Baby tertawa senang untuk beberapa saat. Merayakan
kemenangannya. "You?re welcome, Dear. Gue pikir lo enggak
akan melakukannya. Ternyata lo luluh juga ... hahaha," tawa
Baby masih sangat girang.
Yeah, I know, she celebrates her victory karena berhasil
membuat aku ikut online dating, sesuatu yang dulu sangat aku
tentang.
"Gue enggak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau
tidak, dan jujur gue takut. Tapi, karena gue udah terlanjur
nyebur?dan sudah kepalang basah, mau enggak mau gue harus
berenang."
Suara Baby masih tinggi. "Sascha, kenapa, sih, masih ragu?
Kan, udah ada contoh yang nyata! Lepas dulu kacamata kuda lo.
Gue dan Will berhasil. Olla dan pasangannya udah menikah.
Buang, tuh, keraguan lo."
"Setiap pasangan kan berbeda, Beb. Enggak semua akan
bernasib sama kayak lo atau Olla, terutama kalau gue melihat
nasib gue yang emang dari sananya amburadul." Aku masih
berkilah, tetapi Baby tetap ngotot.
"Mencoba itu enggak salah. Lo dulu belajar naik sepeda juga
pakai jatuh. Pasti pertamanya juga lo takut, kan? Kalau lo terus
bersahabat dengan rasa takut itu, gue yakin lo enggak bakal bisa
naik sepeda sampai sekarang."
Aku memutar bola mataku mendengar Baby yang mulai
mengeluarkan jurus bijaksananya. "Pokoknya, jalani aja dulu.
~63~
Let God do the rest," seru Baby masih dengan suaranya yang
girang. "Baiklah kalau begitu, update me, ya. Gotta go now.
Will mau telepon gue. Bye!"
"Bye!"
Aku mendesah seraya mematikan telepon dan merebahkan
tubuhku di ranjang. Baby dan tunangannya, William, memang
bertemu di online dating seperti ini. Namun, aku tidak seperti
Baby?yang cantik, percaya diri, dan supel. Barangkali tidak
ada orang yang tidak senang berteman dengannya. Begitu juga
pria?yang berlomba-lomba mendekatinya tak terhitung
jumlahnya. Namun, selain itu, Baby memang cenderung lebih
nekat dibandingkan denganku.
Dulu ketika Baby sedang mencoba-coba online dating dan
berkenalan dengan begitu banyak pria asing, aku yang ketar
ketir. Dia malah santai dan percaya diri. Para pria itu minta
bertemu, dia selalu mengiyakan. Kenekatannya itu berbuah
manis, yaitu bertemu dengan William?yang untungnya sangat
baik.
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sewaktu William dipertemukan dengan keluarga besarku,
seluruhnya langsung jatuh cinta, tak terkecuali mamaku, tanteku
?mama Baby. Tak bisa dimungkiri, terlihat jelas jika Baby
lebih dominan dibandingkan William yang terlalu penurut
kepada Baby. Namun, menurutku bagus. Baby yang cerewet
berdampingan dengan William yang diam dan tenang. William
bisa menenangkan Baby yang cerewet. Bagiku, mereka bertemu
pada saat yang tepat karena bisa saling melengkapi.
Mereka sama-sama beruntung. They find their soulmate.
Aku menggulingkan badanku hingga ke posisi tengkurap.
Bagaimana dengan aku? Setelah kegagalan yang membuat
hidupku selama delapan tahun sia-sia begitu saja, hatiku diliputi
rasa khawatir. Pikiranku berkecamuk hingga tanpa sadar aku
menggigiti kuku jari tanganku dan bibirku.
Bagaimana jika aku bertemu dengan orang yang aneh-aneh,
~64~
yang punya niat jahat? Aku bergidik. Rasanya sudah parno saja,
padahal aku belum tahu kelanjutan respons para anggota situs
web yang lain. Pikiranku berkecamuk antara iya dan tidak,
antara kemungkinan bahagia atau patah hati lagi, bahkan antara
menikah atau tidak. Entahlah. Aku benar-benar serius
memikirkan hal ini.
~65~
G
8
ara-gara sibuk di butik hingga tepar sepulangnya dari
sana, aku baru ingat dengan semua online dating yang
aku ikuti pagi ini. Apakah sudah ada yang mengirimiku surel?
Dengan terburu-buru, aku bangun dari tempat tidur dan duduk
di meja, membuka laptop dan menyalakannya dengan tidak
sabar. Rambutku yang masih awut-awutan aku rapikan dengan
jari dan mengusap wajahku untuk menenangkan diri. Aku turut
mencari kacamataku yang terselip di bantal, lalu memakainya.
Kotak masuk di surelku terlihat penuh, sebagai pertanda ada
beberapa pesan yang masuk. Aku menarik napas panjang dan
membukanya. Aku hitung ada sepuluh pesan yang masuk.
Aku mulai membacanya satu per satu.
Mark from New Zealand
From: Mark40NZ@Halloween.com
To: flowergirl@yahoo.com
Dear Sascha,
Glad to find you here! I?m Mark, and
I?m from New Zealand. I?m 40 years old,
divorced with 2 kids. We can chat now,
can you give me your IM, please? And your
Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja Pendekar Rajawali Sakti 76 Iblis
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama