Ceritasilat Novel Online

Bride Wannabe 2

Bride Wannabe Karya Christina Juzwar Bagian 2

phone number?

Sincerely,

~66~

Mark Ford

Aku merinding begitu selesai membacanya. Mataku langsung

tertuju pada foto yang ada di layar laptop. Dalam foto tersebut,

terlihat sosok yang bernama Mark, berambut putih,

berkacamata hitam dan berkumis tebal sekali hingga

menyerupai sapu ijuk. No way I?m gonna answer that one.

Melihat kumisnya saja sudah bikin aku takut dan geli. Aku

beralih pada surel yang kedua,

Can We Chat?

From: FunGuy@Lovebirds.com

To: Flowergirl@yahoo.com

Hi Darling,

I?m the man that you want, of course!

My name is Guy Tanned, from USA and I?m

35 years old. I?m single and will love

you more than anyone. We can talk now if

you give me your phone number and your

Yahoo! Messenger ID. And I like Jakarta,

and had been there for a while last year.

Hope to see you soon ....

Kiss xxx,

Guy

Aku mencebik. Surel yang ini benar-benar menggelikan. Aku

menggeleng-gelengkan kepala dan menutup surel tersebut. I will

skip this one, definitely. Lalu, membuka surel yang lainnya.

Yang satu ini, baca subject-nya saja bikin mataku mendelik.

~67~

Do you want to be my wife?

From: Baby_cool@warning.com

TO: Flowergirl@yahoo.com

Hi Darling ....

I like your pictures, you are exactly

what I want in my life, I have to propose

to you right now! I?m Frans from France,

I?m 50 years old and I?m divorced with no

kids. Can we have a video chat, please

... please ... please ....

Yours truly,

Frans

Aku menganga. Aku tidak mengerti apa yang ada dalam

pikirannya. He sounds so desperate. Aku menggaruk-garuk

kepalaku dengan frustrasi. Jangan-jangan dia memang sudah

kebelet dan depresi. Aku menghela napas. Poor him.

Aku rasa, semua proses online dating ini memang bisa

membuat siapa pun yang mengikutinya menjadi sedikit gila.

Namun, harus aku akui, membaca semua surel itu membuatku

terhibur dan berpikir. Berbagai macam tingkah laku dari orang
orang yang frustrasi mencari pasangan hidup, atau sekadar

iseng. No one knows, right?

Akan tetapi, melihat kelakuan yang aneh dari pria kesepian

atau pria iseng ini membuatku jadi ragu. Adakah pria yang

tergolong "normal" yang mengikuti ajang online dating ini?

Maksudku, yang benar-benar ingin mencari pasangan hidupnya.

Mungkin ada, tetapi ibarat mencari jarum di antara

tumpukan jerami. Yang ada malah bikin mata jadi juling. Aku

tidak mengatakan ini mustahil. Bisa saja ditemukan soulmate,

~68~

tetapi membutuhkan keajaiban. Atau, memang sudah digariskan

berjodoh.

Ketika aku membaca lagi salah satu surel yang masuk ke

kotak masukku, aku tidak tahu harus berbuat apa selain

meringis dan menyumpah dalam hati. Isi surelnya lebih dari

ajaib. Pria itu menceritakan kisah sedih yang terlalu tragis,

hingga terkesan palsu. Tentang istrinya meninggal, anjingnya

mati, dan kesepian hatinya.

Aku mendengus. Yeah, right! Aku mengarahkan kursorku

ke tombol delete dan menghapus surel tersebut. Sungguh

menyedihkan dan terlalu mengganggu. Aku tidak akan percaya

pada omong kosong seperti itu.

Dengan gemas, aku mematikan laptop. Semua surel lama

yang telah masuk ke kotak masuk aku hapus karena tidak ada

satu pun yang cocok dan semuanya sungguh menggelikan. Aku

melirik ke jam dinding. Aku sudah harus bersiap-siap pergi ke

butik.

Hari ini aku akan ada di butik tanpa Baby, karena dia ada

urusan untuk mempersiapkan pernikahannya dengan Will. Aku

menghela napas menyadari bahwa pernikahan Baby sudah

semakin dekat. Lalu, bagaimana denganku? Hanya satu kata,

mengenaskan.

Aku membuka komputer di ruang kerjaku yang mungil. Ruang

kerjaku itu terletak di belakang butik, yang menyempil di antara

pantry dan ruang kerja milik Baby yang jarang sekali

digunakan.

Mataku melebar begitu membuka akun surel. Ya, Tuhan,

ternyata kotak masukku kebanjiran pesan masuk lagi.

Mataku makin memelotot. Ada sekitar tiga puluh pesan yang

~69~

masuk. Lebih banyak daripada yang tadi pagi. Padahal, hanya

berjarak dua jam daripada aku mematikan laptop dan bersiap

ke butik.

Aku membukanya satu per satu. Ada yang dari Rusia,

Jepang, Malaysia, Singapura, Amerika, Iran, Arab Saudi, dan

banyak negara lainnya. Ada beberapa bahkan sedang berada di

Indonesia, baik yang sedang berlibur maupun untuk urusan

pekerjaan.

Aku mulai memilah. Yang dari Jepang ini lumayan cute,

seperti penyanyi pop Jepang. Duh, sayangnya, usianya masih 20

tahun. Meskipun kondisiku mengenaskan, aku tidak pernah

berpikir akan berpacaran dengan berondong. It?s never in

million years. Tanpa pikir panjang, aku menghapus si orang

Jepang dari daftarku. Berikutnya, ada orang Belanda, bernama

George yang sedang berada di Indonesia.

Jika aku lihat dari surelnya, dia baru tiga bulan berada di

Jakarta, bekerja di salah satu bank asing. Aku langsung cek

umurnya. Tiga puluh tahun, cocok! Aku hanya melihat sekilas

fotonya, cukup tampan, berkacamata, rambut pirang, badannya

lumayan tinggi, 180 sentimeter. Senyumnya lumayan manis ...

dan dia minta bertemu muka.

Aku langsung panik. Ini bukan skenario yang aku inginkan.

Jika hanya chatting sama sekali tidak menjadi masalah.

Namun, bertemu muka? Aku tidak siap. Tidak akan siap.

Membayangkannya saja aku tidak berani.

Aku menarik napas untuk menenangkan diri. Aku sengaja

tidak membalas surelnya, karena aku mencoba melihat surel

yang lain dulu.

Hasilnya? Aku hanya mendapatkan tiga surel yang bisa

menjadi pertimbangan untuk langkah selanjutnya, yaitu George

dari Belanda, Hans dari Swedia, dan Keith dari Singapura.

Ketiganya, yang ternyata secara tidak sengaja, memang

sedang berada di Indonesia. George sedang berada di Jakarta,

~70~

Hans di Bali, dan Keith berada di Surabaya. Dan, tanpa aku

sadari terlebih dahulu, ketiganya ingin bertemu langsung.

Damn! Aku meneliti foto dan profil mereka lagi. Jika dilihat

dari foto-fotonya, mereka seperti orang kebanyakan dengan

wajah yang cukup tampan, paling tidak menurutku. Profil yang

ditulis pun tidak menunjukkan keanehan.

Sejauh ini, aku belum membalas semua surel mereka. Sudah

aku duga, memikirkan hal ini semakin membuat aku panik.

Keringat dingin dan mulas. Perpaduan yang tak menyenangkan.

Aku butuh bantuan dari seseorang. Aku segera mengambil

ponselku. Dan, tak lama bala bantuanku menyahut.

"Lo mah mikir mulu kerjanya. Nanti kalau mikirnya terlalu

matang bisa gosong, Bu! Yang ada entar lo nyesel."

Sudah kuduga, Baby menanggapi ceritaku dengan

kejutekannya. Padahal, aku belum menjelaskannya panjang

lebar. Biasanya aku malas menanggapinya dan memilih untuk

cuek. Namun, sekarang aku benar-benar mengharapkan suatu

ide atau jawaban atas kegalauan hatiku mengenai rencana

sinting ini. Aku meminta Baby untuk memikirkan jalan keluar

yang terbaik untukku.

"Gue enggak butuh omelan lo. Gue butuh jalan keluar. Bantu

gue!" ujarku lebih terdengar seperti memaksa alih-alih minta

tolong. Aku tak peduli. Baby harus bantu aku.

"Gue ke rumah lo entar malam, deh!" serunya jutek.

"Bagus!"

Baby muncul di rumahku tepat pukul 20.00. Bukannya

menanyakan masalah yang aku bicarakan dengan nada panik

sore tadi, ia malah terlihat santai. Dan, masih sempat mencari

gunting kuku, lalu asyik menggunting dan mengikir kukunya.

~71~

Untung saja, dia tidak sekalian memakai kutek. Aku jadi gemas

ingin mencubit pipinya.

"Jadi?" Aku memberi penekanan pada suaraku dengan mata

memelotot. "Emang lo harus gunting kuku dulu, ya, biar dapat

pencerahan? Beeebbb, kasih gue solusi, dong! Ini masalah hidup

dan mati, tahu!"

Baby mendesah dan memberikan pandangan Oh-dear
Sascha-you-are-so-naive-and-stupid-and-lebay yang

membuatnya terlihat seperti drama queen. Soal itu, tidak ada

yang bisa mengalahkan Baby, deh! Ia menyibakkan rambutnya

dan memberi senyum yang melankolis bercampur seringai yang

mirip serigala. Lalu, ia menjitak kepalaku yang membuatku

mengaduh kesakitan.

"Yah, janjian ketemu, dong, Neng! Di-approve! Manfaatkan

kesempatan yang ada! Mereka, kan, lagi ada di Indonesia, apa

salahnya, sih, ketemuan dan blind date? Tunjukkan aura lo

yang bisa membuat hidung para lelaki kembang kempis karena

begitu terpesona. Siapa tahu, kan, he?s the one."

Aku semakin tidak bisa menerima teorinya yang lebay dan

campur drama itu. "Eh, namanya aja udah online dating. We

are supposed to be kencan di dunia maya. Ngapain langsung

ketemu? Itu, kan, bisa diatur nanti. Jangka panjang. Kalau

langsung bertemu, kan, ibaratnya di dunia nyata lo one night

stand. Baru kenal, langsung bobok bareng. Sama saja di dunia

maya, baru kirim-kiriman email, langsung ketemu," protesku

panjang lebar.

Baby mendengus dan tak mau kalah. "Perumpamaan lo

norak, Cha. Ibaratnya, nih, kalau lo lagi pakai baju hijau,
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepatu, tas, dan lipstik lo juga harus hijau, gitu? Itu terlarang

sekali di dunia fashion, My Dear. Yang ada lo malah dikira

lontong berjalan. Begitu juga di sini. Ikuti alurnya,

permainannya, tabrak sana, tabrak sini, malah bagus karena

bisa memompa adrenalin lo yang udah aus itu."

~72~

Baby merapikan duduknya dan melanjutkan ucapannya

sebelum aku sempat membantah. "Pertama, lo harus balas

email mereka. Basa-basi dulu. Selanjutnya, lihat appointment

yang telah dibuat, apakah memungkinkan untuk bertemu. Kalau

bisa di Jakarta, tapi lebih baik lagi kalau enggak di Jakarta, kan,

bisa sekalian jalan-jalan. Kalau semua oke, bikin janji

ketemuan. Voila! Lo lihat mereka dari ujung rambut sampai

ujung kaki."

Aku memutar bola mataku. Dengan setengah berteriak, aku

berkata kepadanya, "Beb, you are not h-e-l-p-i-ng! Ini enggak

segampang lo berhitung satu tambah satu, tahu!"

Gantian Baby sekarang yang memutar bola matanya. Ia

mengambil laptopku dan menyalakannya. Ia membuka program

Microsoft Word dan mulai menulis sesuatu di dalamnya. Aku

tak bisa melihat apa yang ia tulis, karena seluruh badannya

menutupi laptop. Setelah beberapa menit mengetik, dia

menunjukkan hasilnya. Aku membacanya. Rupanya ia menulis

tiga surel untuk masing-masing pria yang sudah aku pilih.

Dear George,

It?s nice to get to know you. Just

because you are here, I accept your

request for our first meeting. How about

two more weeks ... hm ... on Saturday

maybe? We can meet at Grand Indonesia

Mall. Around 5 pm?

See ya!

Sascha

Hi Hans,

~73~

Well, thank you for your nice email. I

think we can meet, but I?m afraid I can?t

go to Bali because of work. Can you come

to Jakarta? I?m looking forward to hear

the good news.

Bye!

Sascha

Hi Keith,

I?m glad to hear from you, but because

you are in Surabaya, I?m afraid we cannot

meet because I have overloaded work in my

boutique, what if we meet at Jakarta in

two more weeks? On Sunday? I?m looking

forward to hear from you ....

See ya!

Sascha

Setelah selesai membacanya, aku memandangi Baby yang

sedang menunjukkan senyuman semringah yang bangga campur

bahagia. Heran. Baby malah senyum-senyum, padahal aku

sedang panik luar dalam.

"Dua minggu lagi? Serius lo?" Aku mengerang meneriakkan

namanya dengan supergemas. "Emangnya harus ketemu?

Enggak, kan? Enggak wajib hukumnya, Bebbb ." Aku

menatap Baby putus asa.

Baby masih menunjukkan senyum mautnya dan berkata,

"Serius, dong. Kita tunggu saja jawaban dari mereka. Udah,

~74~

deh, percaya sama gue. Langsung aja ketemu, mumpung

mereka ada di sini. Lo enggak mau sia-siakan waktu lo hanya di

dunia maya aja, kan? Sooner is better, Darling."

Aku menelan ludah, sekarang saja aku sudah berkeringat

dingin. Padahal, masih dua minggu lagi. "Kok, lo yakin kalau

mereka akan kasih jawaban? You read minds, don?t you?"

Baby terkekeh pelan. "I know men. Trust me. Mereka pasti

akan jawab."

Aku mendesah sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku

menyerah menghadapi Baby dengan berbagai pola pikirnya.

Sekarang tinggal menunggu hasilnya, semoga saja dia benar.

Kalau tidak, rasanya ingin sekali aku menjitak kepala Baby.

~75~

B

9

aby benar. Aku mendapatkan surel balasan dengan cepat.

Aku menarik napas panjang dan mulai membacanya

dengan dada berdebar tak keruan.

Finally!

From: George_W33@yahoo.com

To: flowergirl@yahoo.com

Dear Sascha,

Hey, I think this is the right time to

meet you. Yes, we can meet on Saturday.

August, 8th, right? 5 pm will be great. I

know that mall. Grand Indonesia. I?m

wearing white shirt, jeans, and a hat. My

phone number is 0812345123 ... Can?t wait

to see you!

Sincerely,

George

Dia bersedia bertemu Sabtu? Aku menarik napas panjang

perlahan agar diriku kembali tenang. Aku tidak memikirkan

surel dari George terlebih dulu karena masih ada surel yang

kedua, yaitu yang berasal dari Hans, yang posisinya saat ini

berada di Bali.

~76~

See you in Jakarta!

From: Hans_Starwars@gmail.com

To: flowergirl@yahoo.com

Hi Sascha!

Well, you are lucky because I?ll be in

Jakarta on Wednesday, August 5th, in two

more weeks, so we can meet on Saturday at

August 8th, is that OK? I will never have

a chance to meet you again because I?ll

be leaving Jakarta to Singapore on Sunday

morning. We can meet at Plaza Indonesia,

I have a meeting to catch up there in the

morning We can meet at 5 pm, my phone

number is 0818281281.

Looking forward to see you,

Hans

Aku mengucek-ngucek mata. Hari Sabtu juga? Dua minggu

lagi? Aku menutup mata dan memikirkan kebetulan yang telah

terjadi. Bagaimana mungkin waktu bertemu yang mereka buat

bisa berbarengan? Keringat sudah mulai membasahi keningku.

Aku mulai panik. Kepalaku pening. Aku mencoba memikirkan

segala kemungkinan yang ada.

Apakah aku harus membatalkannya dan menjadi pengecut

atau aku harus meminta hari yang lain? Aku menutup mata dan

menggigit bibirku. Secara otomatis, aku mencabut kacamataku,

kemudian menggosok mataku yang lelah.

Perasaan yang tidak nyaman semakin menyelimutiku. Masih

ada satu surel lagi, yaitu surel Keith dari Singapura yang sedang

melakukan business trip di Surabaya.

~77~

Aku memakai kembali kacamataku. Harap-harap cemas, aku

membuka surelnya, lalu membacanya perlahan.

Thank you for responding.

From: Keith_Cho@gmail.com

To: flowergirl@yahoo.com

Hi Dear ...

Unfortunately, I?ll be landing in

Jakarta to meet my colleague on Saturday

at August 8th, around 1 pm, so maybe we

can meet at Nikko Hotel where I will be

staying in Jakarta at around 3 pm. Before

that, thank you so much for letting me to

know you more. Please have the

receptionist at the lobby to phone my

room when you arrive (of course you have

to mention my name ... haha)

See you there!

Keith

Ya, Tuhan!

Mereka semua ingin ketemuan hari Sabtu dua minggu lagi,

pada 8 Agustus. Ketiga orang itu ingin bertemu pada hari yang

sama! Aku menutup mukaku dengan kedua tangan, berharap ini

hanya mimpi. Oh-My-God.

Mengapa hal ini bisa terjadi kepadaku? Aku mulai menyesal

karena termakan rayuan Baby untuk ikut kencan seperti ini.

Aku juga menyalahkan Baby lagi karena dengan seenaknya

membuat janji. Aku benar-benar tidak siap menghadapi semua

online dating crap, terutama ketika mendapatkan kasus tak

terduga seperti ini!

~78~

Bagaimana mungkin harus bertemu dan berkencan dengan

tiga lelaki dalam satu hari? SATU HARI! Damn! Rasanya aku

ingin berteriak sekencang-kencangnya karena frustrasi.

Oh, God. Aku berjalan menuju ranjang dan mengubur

diriku di antara tumpukan bantal dan selimut, sementara

pikiranku mencari jalan akan kejutan ini. Aku benar-benar

hopeless.

Rasanya, aku ingin menghilang ditelan bumi saja. Sungguh,

ini benar-benar mimpi buruk.

Spontan aku bangun dari tempat tidur dan mondar-mandir

di dalam kamar dengan pikiran yang berkecamuk. Aku

mengambil ponselku dengan tergesa-gesa, kemudian mencari

nomor telepon Baby. Nada sambungnya terdengar mengganggu

telingaku.

Sial! Baby tidak mengangkat teleponku. Ke mana pula, nih,

anak? Pada saat genting seperti ini malah menghilang. Aku

kembali menghubunginya. Double sial! Teleponku di-reject oleh

Baby. Ingin rasanya aku melempar ponsel ini ke kepala Baby.

Urusan penting apa yang sedang dia kerjakan, sementara

urusanku ini lebih penting daripada segalanya! Ini urgen! Urusan

hidup dan mati!

Baiklah, mendapati Baby yang tidak bisa dihubungi
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuatku semakin panik. Aku mulai mengirim SMS

kepadanya?dengan nada penuh ancaman untuk segera

mengangkat teleponku atau menyuruhnya untuk segera datang

ke rumah. Baru saja aku menekan send, pintu kamarku

diketuk, membuatku terlonjak kaget.

Setahuku tidak ada siapa-siapa di rumah selain diriku.

Mama dan Papa sedang ke supermarket, Anne sedang menginap

di rumah Tante Hilda, dan Bibi tadi pamit mau ke warung

sebentar.

Lalu, siapa yang mengetuk? Aku malah bengong menatap

pintu kamar yang masih mengeluarkan bunyi ketukan. Tak lama

~79~

dari balik ketukan yang semakin menggebu itu, aku mendengar

suara Baby yang berteriak, "Cha, lo di dalam enggak? Nyahut

kenapa? WOI!!!"

Aku menarik napas superlega. Aku segera membuka pintu.

"Ke mana aja, sih, lo? Susah banget cari lo, tahu!" aku langsung

mencerocos.

"Lo juga lama amat nyahutnya, gue kan ngeri. Kok enggak

ada siapa-siapa di rumah, memangnya pada ke mana?"

"Lah, yang bukain pintu siapa?"

"Si Bibi."

"Itu artinya ada orang, Bego!" aku mengomel. "Gue telepon

dan SMS kenapa enggak diangkat, sih? Sibuk amat!"

"Nih, gue juga terimanya waktu gue baru sampai di rumah

lo. Ada apaan? Kok, kayaknya mendesak? Udah cek email?

Jangan sampai lo bilang belum ya, gue bisa stroke di tempat,"

cerocos Baby tanpa henti sambil melempar tasnya ke ranjangku.

Ia menaruh bokongnya di ranjang dengan posisi siap rebahan

sambil memainkan ponselnya.

"Sekarang bukan waktunya untuk santai-santai dan main

handphone." Aku merebutnya yang langsung diprotes oleh

Baby. "Eh, jangan diambil, dong!" serunya sambil berusaha

mengambilnya kembali. Aku mengayunkannya ke sana kemari

menghindari tangan Baby, sambil berkata, "Beb, dengerin gue.

Gue udah terima ketiga email itu. Guess what? Good news!

Semuanya bisa ketemuan. Pada hari Sabtu, dua minggu lagi."

Baby langsung menghentikan aksinya mengejarku demi

mendapatkan ponselnya. Dia diam terpaku dan menatapku.

Matanya membulat. "Hari Sabtu? KETIGA-TIGANYA?" Dia

menjerit hampir tersedak.

Aku mengangguk.

"Sabtu semua?" Baby menegaskan kembali apa yang sudah

aku katakan.

Anggukan kepalaku kian melemah. Lemas memikirkan

~80~

kekacauan ini.

Tak disangka, Baby malah nyengir, lalu tertawa terbahak
bahak hingga tubuhnya terempas dan terguling-guling di tempat

tidurku. Dia memegangi perutnya yang kesakitan akibat aksi

tawanya yang tak bisa dihentikan.

Sambil berkacak pinggang, aku berdiri di hadapannya. "Apa,

sih, yang lo tertawakan? Enggak lucu tahu, Beb! Pokoknya lo

harus cari cara gimana gue bisa melewati itu semua atau kalau

perlu lo yang balas tuh email untuk batalin semuanya."

Baby berhenti tertawa ketika mendengar pernyataanku.

Sialan, aku malah lengah. Dengan sigap, ia merebut kembali

ponselnya. "Hah? Berhenti? Batalin? Enggak boleh! Pokoknya lo

enggak boleh mundur. Gue kenal lo, jiwa lo enggak chicken
chicken amat."

"Biarin. Mau jadi chicken, jadi turkey, bahkan jadi bebek,

gue enggak peduli! Pokoknya batalin!"

Baby langsung memotong omonganku, "Asal! Pokoknya lo

tenang aja, deh, Cha. Gue yang atur semuanya, dan lo tinggal

bawa badan buat ketemu mereka."

Aku memelas. "Beb, it?s not as easy as you think. Coba lo

bayangkan, mereka minta ketemu di tiga tempat. Lo tahu

sendiri jalanan di Jakarta kayak apa. Memangnya ada eskalator

yang menghubungkan ketiga tempat itu? Yang ada pada kencan

terakhir, gue udah kucel sekucel-kucelnya."

Sekarang Baby berkacak pinggang di depanku. Ia menarik

napas dan berkata, "Sascha, lo tuh bicara seolah tiga tempat itu

jauh dan jaraknya seperti dari satu planet ke planet lain. Jangan

konyol. Tiga tempat itu dekat. Apa salahnya, sih, dijalani? Sejak

kapan lo jadi gampang menyerah? Ragu boleh, gue ngerti,

semua ini baru buat lo. Perasaan takut dan khawatir juga

enggak salah. Tapi, menyerah? It?s a big NO!" Baby

menggoyangkan jari telunjuknya dan kepalanya juga ikut

bergoyang ala bintang film Bollywood. "Pertemuan ini bukan

~81~

untuk membuat lo jadi seorang pacar atau cari pacar. Kalau

enggak cocok, kan, bisa menjadi teman. Namanya juga

penjajakan."

Aku menarik napas panjang, lalu berpikir sejenak. Perkataan

Baby memang benar. Mengapa tidak? Sudah tinggal selangkah

lagi, buat apa aku mundur? Lagi pula, jika aku

membatalkannya, apakah aku tidak akan penasaran?

"Ya sudahlah!" Aku menyerah, diikuti dengan sorakan riang

dari Baby. Tanpa jeda waktu lagi, ia mulai membuat rencana.

Dimulai dari bertemu dengan Keith di Hotel Nikko pada pukul

3.00 sore, kemudian bertemu dengan Hans di Plaza Indonesia

pada pukul 5.00 sore. Baby harus menulis surel balasan ke

George untuk minta mundur waktu menjadi pukul 7.00 malam

karena waktu yang dijanjikannya bentrok dengan Hans.

Aku benar-benar tidak terpikir, bagaimana caranya berputar
putar di sekitar bundaran HI hanya dalam waktu yang sesingkat

itu. Belum lagi nanti kena macet, waktu pertemuan yang molor,

dan lain sebagainya yang sekarang membuat kepalaku

berdenyut.

"Pakai mobil gue aja, gue rela, kok, jadi sopir lo sehari itu,

meskipun gue lagi ulang tahun. Enggak lama, paling makan

waktu 3?4 jam aja," Baby berdiplomatis. Aku tahu ucapannya

itu mengandung arti antara mau dikasihani dan dipuja-puja

karena sudah menjadi martir buat diriku. Baby mulai lagi

dramanya. Aku jadi keki setengah mati.

"Mestinya lo terima kasih dan sembah sujud sama gue,"

tambahnya mulai melantur. Aku ingin mengabaikan drama yang

dibuatnya. Sayangnya, kali ini aku tak bisa. Aku butuh dia

untuk tiga kencan buta ini. Jadi, meskipun tingkahnya

membuatku bertambah jengkel, aku tetap tersenyum manis.

"Iya, terima kasih, ya, sepupuku sayang yang baik hati. Gue

janji, deh, beliin lo kado yang cakep. Tapi, gue pikir-pikir,

kenapa enggak naik taksi saja, lebih cepat dan tidak usah repot

~82~

memikirkan tempat parkir," aku memberi usul.

Baby menyetujuinya. "Bener juga lo, Cha. Jadi, lo mau kasih

gue kado apa?" Ia langsung mengalihkan pembicaraan.

"Sebagai balas budi, gue belikan lo bra dan celana dalam La

Senza saja, deh," jawabku dengan asal pula. Baby mesem
mesem mendengarnya. Ia melanjutkan kembali pembicaraan

rencana Sabtu nanti.

"Oke, maksimal waktu untuk setiap pertemuan adalah satu

jam. Lebih dari itu, tidak bisa, mengingat situasi dan kondisi

Jakarta yang macet banget ...."

Aku memotong, "Hah? Maksimal satu jam? Lo enggak

meracau, kan? Gimana caranya lo kenalan dalam waktu satu

jam?"

Baby mengibaskan tangannya. "Udah, jangan bawel. Semua

ini, kan, rencana saja. Kita mana tahu, sih, di lapangannya

seperti apa? We?ll never know, Dear. Jadi, kita rencanakan

dulu, ya, baru kita serahkan kepada Tuhan bagaimana

pelaksanaannya. He knows the best."

Keningku berkerut dan menyindirnya. "Bijaksana sekali,

Beb."

"Thank you, I?ll take that as a compliment," sahut Baby

narsis. "Oke, gue terusin ya, sekarang kita tinggal tentukan

tempat pertemuan untuk yang di Plaza Indonesia dan Grand

Indonesia. Kalau di Hotel Nikko, sih, ketemuan di lobi aja,

duduk-duduk, ngobrol-ngobrol. Untuk yang di Plaza Indonesia,

sebaiknya kita ngopi-ngopi santai, karena kalau kita makan

besar, akan memakan waktu yang lama. Baru, deh, kalau di

Grand Indonesia, kita bisa sekalian dinner. Sepertinya, enakan

di Social House saja, ya. Good food, nice place."

Kemudian, aku mendapatkan pencerahan. "Kayaknya lo

taruh mobil di Grand Indonesia aja, deh, Beb, kemudian kita

naik taksi ke Nikko. Lebih mudah dan menghemat waktu.

Setelah itu, kita balik Plaza Indonesia, dan terakhir

~83~

menyeberang ke Grand Indonesia."

Baby menganggut-anggut, entah menyetujui usulku atau

sedang berpikir. Aku memperhatikannya. "Beb?"

"Hm?" sahutnya sambil menatapku.

"Lo dengar enggak apa yang gue jelaskan tadi?"

"Dengar, kok." Baby mengangguk dan tersenyum. "Kenapa?"

"Karena raut wajah lo benar-benar nunjukin kalau pikiran lo

ada di Planet Mars."

"Ketemu alien, dong," jawab Baby asal.

"Beb!" seruku dengan kesal.

"Iya, Non. Gue dengar. Eh, sebentar ...." Baby mencari

ponselnya yang berbunyi. Pasti dari Will. Aku membiarkannya

berbicara selama beberapa saat, dan setelah mematikannya, ia

langsung membereskan tas. "Gue pulang dulu. Will udah nunggu

di rumah," seru Baby.

Aku mengejar Baby yang sudah duluan beberapa langkah di

depan. "Ngapain, sih, buru-buru? Nginap, deh!" aku

merayunya.

Baby mencibir. "Gimana, sih? Si Will kan lagi di rumah,

masa gue cuekin?"

"Biar aja, kan, masih ada nyokap dan bokap lo yang bakalan

ngajak dia ngobrol."

Baby mengecup pipiku dan melambaikan tangannya tanpa

memedulikan rayuanku. "Bye, Cha! Sampai besok di butik, ya!"

Aku hanya bisa pasrah. Tepat saat Baby masuk ke mobilnya,

mobil yang berisi Mama dan Papa muncul dan berhenti di

belakang mobil Baby. Baby mengeluarkan tangannya dari

jendela dan melambaikannya kepada Mama dan Papa yang

dibalas dengan suara klakson mobil Papa, kemudian mobilnya

berlalu pergi di kegelapan malam.

"Kok, Baby enggak nginap, Cha?" tanya Mama sambil

mengeluarkan belanjaan dari bagasi mobil. Aku berdiri di

sampingnya untuk membantu.
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

~84~

"Enggak mau. Will di rumah lagi nunggu dia pulang."

"Enggak terasa, ya, Baby mau menikah," ujar Mama

mendesah kepada Papa dan aku ketika sedang mengeluarkan

barang belanjaan dari bagasi mobil.

"Waktu berlalu dengan cepat," ujar Papa. "Rasanya masih

hari kemarin ngajak dia dan kamu naik motor dan berkeliling

kompleks." Papa mengenang masa lalu.

"Tetapi, yang penting, calonnya sekarang adalah yang

terbaik," sahut Mama, "Will sangat baik, Baby pasti akan dijaga

dengan baik olehnya."

Aku mengangguk. "Baby sangat beruntung."

Mama menatapku dan berkata dengan lembut, "Mama juga

selalu doakan kamu supaya kamu dapat jodoh terbaik yang

dikirimkan Tuhan untukmu. Yang penting, jangan berhenti

berharap dan berdoa. Tuhan pasti akan memberikan yang

terbaik."

Aku mengangguk. Iya, semoga saja.

~85~

T

10

his is the day.

Sabtu yang membuatku mulas, senewen, sampai jungkir

balik. Rasanya ingin sekali bergelung di balik selimut dan

mengubur diri di dalamnya sampai hari berikutnya. Ya, Tuhan,

mengapa harus ada Sabtu ini? Aku menggerutu tak keruan.

Aku memutuskan untuk tidak pergi ke butik, begitu juga

dengan Baby. Dia hendak menghabiskan waktu sebanyak

mungkin dengan Will pada hari ulang tahunnya ini, karena aku

akan menculiknya untuk misi online dating?yang mungkin

akan memakan waktu seharian. Jadi, aku tetap diam di dalam

kamar sampai pukul 11.00 siang sembari mempersiapkan diri.

Akan tetapi, aku yang tak kunjung keluar kamar membuat

Mama mengetuk kamarku. "Cha? Kamu sakit?"

Aku segera membuka pintu kamar. Mama berdiri di depan

pintu dengan wajah yang penuh tanda tanya dan kekhawatiran

tergurat di antaranya.

"Kok, kamu di kamar terus? Kamu sakit?"

"Enggak, kok, Mam." Aku menggeleng sambil bersiap-siap

untuk mandi.

"Terus, kamu enggak ke butik?"

"Hari ini enggak. Lagi pengin santai. Sebentar lagi aku dan

Baby mau pergi, kan, Baby hari ini ulang tahun. Dia mau

traktir," aku membeberkan alasanku.

Mama mengangguk. "Mama, kok, bisa lupa Baby ulang

tahun, ya? Nanti Mama telepon Baby, deh."

~86~

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Aku pun

berangkat menuju Grand Indonesia diantar oleh Pak Darwin,

sopir Papa yang kebetulan lagi tidak ada pekerjaan di rumah.

Jalanan terlihat lengang, tetapi begitu sampai di Bundaran Hotel

Indonesia menjadi sedikit tersendat karena banyak kendaraan

yang bertumpuk di sana. Aku tiba tepat pada pukul 1.00 siang.

Baby sudah tiba terlebih dahulu di Grand Indonesia. Dari

kejauhan, aku melihat sepupuku yang cantik itu berjalan dengan

sepatu hak tingginya. Rambutnya yang panjang diikat ke atas

menjadi ekor kuda yang kentara sekali habis dicatok karena

rambutnya sangat lurus. Baby terlihat cukup santai pada hari

ulang tahunnya kali ini. Dia memakai baju terusan berwarna

hitam yang simpel dan kardigan berwarna putih. Baby

melambaikan tangannya begitu melihat sosokku.

"Hai!" seru Baby dengan suaranya yang ceria. "Gue suka

pakaian lo."

Aku meringis. "Enggak terlalu norak, kan?" tanyaku sambil

menatap celana jeans-ku yang berpadu dengan kaus berwarna

putih, long cardigan biru muda, serta sepatu wedges yang juga

berbahan jeans.

Baby mengacungkan kedua jempolnya dan tersenyum lebar

untuk meyakinkan diriku. "Enggak norak, kok. Simple but

fresh."

Akan tetapi, bukan pujian Baby yang membuat aku tertarik,

melainkan sebuah cincin yang sangat berkilau hingga

menyilaukan mata yang melingkari jari manisnya. Baby enggak

pernah punya cincin seperti itu. Aku tahu sekali bahwa cincin

itu baru. Aku menarik tangannya, dan mengagumi cincinnya

dari dekat. "Wow! Enggak salah, nih? Silau banget!" seruku

~87~

norak.

Baby menarik tangannya sambil memelotot. "Ini kado dari

Will. Bagus, ya? Kado ulang tahun sekaligus kado tunangan."

Dia memperhatikan cincinnya sambil senyum-senyum. Lalu, dia

tersadar dengan sendirinya. "Eh? Sudah, ayo kita cari taksi

sekarang."

Kami langsung menuju lobi yang di depannya terdapat

pangkalan taksi warna biru. Kami pun langsung mengempaskan

tubuh ke dalam. Baby memberi komando kepada sopir taksi,

"Pak, ke Hotel Nikko."

Si sopir taksi, seorang bapak-bapak setengah baya dengan

kumis yang melintang seperti Pak Raden menoleh ke belakang

dengan tampang yang terlihat sangar. Wajahnya sungguh tidak

ramah dan tidak ada senyum sama sekali.

"Ke mana, Neng?" suaranya berat dan sedikit ketus.

"Hotel Nikko." Baby mengulangi.

"Lah, itu kan dekat, Neng. Ngapain juga naik taksi?"

Baby sewot. Aku bisa melihat taring dan tanduknya hampir

keluar. "Lah, Bapak, kan, sopir taksi. Harus mau mengantarkan

ke mana saja tujuan penumpang. Udah ah, Pak, cepat

berangkat!"

"Neng enggak lihat apa itu jalanan macet di depan?" Sopir

taksi itu ikutan sewot.

"Ngeyel amat, sih, Pak! Entar saya bayar double! Pokoknya

jalan sekarang atau saya pindah taksi lain!" ancam Baby galak.

Sopir taksi itu pun membalikkan badan dan mulai

menjalankan mobilnya. Tentunya sambil menggerutu. Baby juga

enggak mau kalah. Tampang galak serta judesnya masih

terpasang. Aku hanya bisa memandang Baby dengan takjub.

Wajah cantik Baby cukup mampu menyembunyikan singa tidur,

yang bisa tiba-tiba bangun dalam kondisi tertentu, seperti kali

ini. Tapi, aku benar-benar salut dengan keberanian Baby.

~88~

Untungnya jalanan yang tadinya macet, menjadi lebih terurai

dan lancar. Kami tiba lebih cepat daripada waktu yang

dijanjikan. Aku dan Baby sudah duduk di lobi pada pukul

setengah tiga sore. Sebelumnya, aku menyebutkan nama Keith

kepada resepsionis hotel dan memintanya untuk mengabari

Keith bahwa kami sudah menunggu di bawah. Setelah

menelepon, sang resepsionis mengabarkan Keith akan segera

turun ke lobi.

Aku menunggu dengan sangat gelisah. Bolak-balik

menyilangkan kakiku, menggoyang-goyangkannya dan

mengedarkan pandanganku ke segala penjuru lobi. Baby

memperhatikanku dan tersenyum simpul.

"Gelisah amat, sih?"

Aku menatapnya tajam. "Menurut lo?"

"Iya, tapi lo senewennya kayak remaja baru mau kencan

pertama. Lo udah pernah lihat fotonya, kan?"

"Sudah."

"Aneh enggak mukanya?"

Aku menggeleng ragu.

"Gue jadi ngeri," goda Baby. Aku memelototinya. Sialan.

Bukannya menenangkan, ini malah bikin aku tambah deg
degan, takut, dan gelisah. Campur aduk kayak gado-gado.

Baby mengangkat bahu dan kembali asyik dengan ponselnya.

Lima belas menit kemudian, seorang lelaki yang sangat

jangkung dan kurus menghampiri kami berdua. Aku dan Baby

sampai harus mendongak untuk melihat wajahnya.

"Hi, Sascha?"

Glek. Aku menelan ludah. Lalu, melongo. Aku benar-benar

melongo melihat lelaki ini.

"I?m Keith. It?s nice to meet you finally."

~89~

Baby menendang kakiku karena aku dengan terang-terangan

masih saja menampakkan wajah melongo di hadapan Keith.

Aku tersadar dan tersenyum dengan gugup serta menjabat

tangan yang disodorkan olehnya.

"Oh, hi. It?s nice to meet you too."

"Sudah lama?" tanya Keith sambil duduk di hadapan aku dan

Baby. Sebelum aku menjawab, Baby sudah terlebih dahulu

menjawabnya dengan senang hati supaya tidak terjadi kekakuan

yang akan membuat suasana menjadi lebih garing. "Belum lama,

kok, baru 15 menit."

"Saya juga baru sampai lebih awal. Sekitar pukul 14.00,"

sahut Keith.

Aku masih meneliti lelaki yang ada di hadapanku. Dia

memang mirip dengan foto yang dikirimnya melalui surel tempo

hari. Namun, dalam fotonya tersebut, ia terlihat sedikit gemuk.

Rambut masih tetap hitam, khas orang Asia, tapi aku bisa tahu

ia berdarah campuran.

"Sorry, sepertinya kamu terlihat lebih gemuk di foto yang

telah kamu berikan tempo lalu." Akhirnya, aku memberanikan

diri untuk bertanya. Terus terang saja, perbedaannya cukup

mencolok. Keith yang aku lihat sekarang ini seperti orang yang

habis sakit atau mungkin "ngobat".

Aku jadi bergidik. Aku tahu, seharusnya aku tidak menilai

dari penampilannya dahulu. Tapi, sungguh. Foto dan

penampilannya sekarang bedanya bagai langit dan bumi. Dalam

foto dia tampak segar, sementara sekarang, dia cekung, tidak

bergairah, dan terlihat membosankan.

Keith mengangguk. "Yes, foto itu diambil sudah dua tahun

yang lalu. I?m sorry I didn?t give you the new one karena saya

tidak mempunyainya. Saya sekarang terlihat kurusan karena

saya memutuskan untuk menjaga makan, saya ingin menjadi

vegetarian."

Kini gantian Baby yang terkejut mendengar penuturan Keith.

~90~

"Vegetarian?" celetuknya spontan.

Keith mengangguk lagi. Kemudian, Keith mengajak Baby dan

aku pindah ke sebuah restoran di dalam Hotel Nikko.

"Kamu tidak seperti orang Asia pada umumnya, ya? Apakah

kamu berdarah campuran?" aku bertanya lagi.

"Yes, saya berdarah campuran. Ayah saya berasal dari
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiongkok, dan ibu saya berasal dari Prancis. Tetapi, saya lahir

dan besar di Prancis," jawab Keith.

"Mau makan?" Keith menawarkan.

Aku menggeleng, sedangkan Baby berkata, "Orange juice,

please."

"Kamu yakin tidak mau apa-apa?" Keith mengalihkan

pandangannya ke arahku. Enggak enak juga, sih,

membiarkannya makan sendirian. Aku berubah pikiran dan

ikut memesan semangkuk mushroom cream soup. Keith

memanggil pelayan untuk memesan makanan setelah melihat

menu yang disediakan.

"Saya mau order this salad, jangan pakai tomat dan onion,

please bumbunya sedikit saja dengan tambahan black pepper

disediakan di piring. Kemudian, I want this grilled tofu,

jangan terlalu matang, dan sausnya jangan pedas. Remember,

no chilli and jangan kasih cucumber, karena saya tidak suka.

Oh iya, please put a small portion of beans. That?s it. Thank

you."

Oh, my God. Aku dan Baby bertatapan. Apa, sih,

masalahnya dengan salad itu? Ini yang namanya vegetarian?

Pantas saja badannya jadi kurus. Mengaku vegetarian, tetapi

banyak sayuran yang tidak disukainya. Bagaimana, sih? Mau

makan saja bawel?

"So, how?s life?" Dia kembali memandang kami berdua.

"Not much," sahut Baby dengan senyum palsunya.

"So you are Sascha?s cousin?"

~91~

Baby mengangguk.

"So tell me about your boutique." Kali ini Keith

memandangku.

Aku pun bercerita meskipun agak malas karena tanggapan

Keith agak membosankan. Begitu aku selesai bercerita,

makanan kami datang. Baru saja pelayannya hendak pergi,

Keith menahannya sambil menunjuk makanan yang sudah

dipesannya.

"Excuse me, I said I want the beans in small portion, this

is too much for me, and the sauce is too spicy. I can smell it.

And, oh, please remove the corn from the salad, please.

Thank you."

Tanganku yang hendak menyendokkan sup berhenti begitu

saja di depan mulut. Aku menganga melihat pemandangan ajaib

di hadapanku ini. Baby mendengus pelan dan hanya aku yang

bisa mendengarnya. Aku terus menganga, tetapi Keith tetap

tidak menyadarinya. Sekali lagi, Baby harus menendang kakiku

supaya aku mengatupkan rahangku.

Tiba-tiba saja aku tidak ingin makan. This is totally wrong.

Aku menatap sup krim lezat itu dengan tidak berselera sama

sekali. Semua gara-gara this insane vegetarian guy. He?s just

too annoying. Padahal, hanya perkara sepiring salad. Aku

melirik Baby yang sedang asyik meminum orange juice sambil

memainkan ponselnya. Namun, aku tahu sebenarnya Baby

sedang menahan diri untuk tidak mengeluarkan sumpah

serapahnya, atau pun tertawa, atau bahkan menyiram orange

juice miliknya ke wajah Keith.

Aku segera menulis sesuatu di ponsel dan mengirimkannya

kepada Baby. Ia pun mengangguk begitu selesai membacanya.

Aku berkata kepada Keith dengan muka penuh penyesalan,

"Keith, I?m so sorry, saya mendapatkan SMS from my

employee bahwa ada masalah di boutique. We have to go

now." Aku mengacungkan ponselku.

~92~

"So soon? It?s too bad, kita belum bicara banyak. But thank

you anyway," sahut Keith sambil berdiri untuk mengantarkan

kami. "I hope we can meet again soon."

"Yeah, hopefully." But no, thank you, aku melanjutkannya

dalam hati.

Keith memelukku yang makin menegaskan bahwa tinggiku

hanya sebatas dadanya. Baby segera menarikku untuk segera

berlalu dari sana. Kami mendapatkan taksi dengan cepat. Baby

dan aku langsung menarik napas lega begitu duduk di dalam

taksi.

"Untung saja kita bisa terlepas dari maniak vegetarian itu!"

Baby ikutan menarik napas lega.

"Gue mau gila lihat dia makan. Rasanya gue pengin teriak

kepadanya, makan aja semuanya, Bawel!"

Baby menambahkan sembari mencibir kesal, "Vegetarian?

Itu mah diet, bukan vegetarian. Enggak heran badannya jadi

seperti tiang listrik begitu. Terus lo lihat enggak matanya yang

sedikit cekung? Enggak sehat. Kayak orang kurang tidur, atau

orang ?ngobat?, you name it."

Kemudian, Baby tertawa membayangkan pertemuan tadi.

Dia pun tertawa terbahak-bahak sampai sopir taksi melirik

melalui kaca spion ingin tahu apa yang sudah terjadi.

"Gue, sih, enggak berani membayangkan lo pacaran sama

tiang listrik itu."

"Yang ada gue ikut-ikutan ceking kayak dia."

"Tapi, dia akan jadi teman diet yang cukup menarik, lho,

Cha. Either nafsu makan lo hilang sama sekali atau dia akan

mengatur makanan lo," Baby menggodaku.

Aku memelotot sambil mencubit pinggangnya. "Resek lo!"

semburku.

"Kita berharap aja, semoga kencan yang berikutnya enggak

aneh seperti tadi," kata Baby sambil tetap tertawa.

~93~

Pertemuan berikutnya di Plaza Indonesia dengan Hans tidak

jauh berbeda tingkat keparahannya. Penampilan Hans sama

sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam foto. Penampilan

di dalam foto: berkacamata, berewokan, ganteng, dan kulit

kecokelatan. Penampilan yang ada di depanku sekarang: gendut,

tetap berkacamata hanya beda frame, dan berkulit putih pucat.

Oh, no. I?m screwed.

Aku benar-benar pucat begitu kali pertama bertemu. Rasanya

mau pingsan saat itu juga. Kalau Baby lain lagi. Dia tertawa

mengikik sampai harus menutup mulutnya untuk meredam tawa

yang setiap saat akan meledak. Namun, bukan penampilannya

saja yang membuatku hampir pingsan, melainkan juga selera

makannya. Ya Tuhan, ini benar-benar kebalikan 180 derajat

dari Keith.

Ketika kami sudah bertemu dan sedang memesan makanan,

dia memesan begitu banyak makanan. Maksudku, sangat-sangat

banyak.

"You want to eat all of these?" tanyaku kepada Hans sambil

menunjuk makanan yang sudah terhidang di meja. Aku benar
benar tercekat. Kira-kira ada lima porsi dengan berbagai macam

menu. Bahkan, Baby sampai tercekat melihat porsi makanan

yang superbesar itu. Wajahnya pucat dan terlihat mual.

Sepertinya, dia siap untuk muntah saat itu juga.

"Kamu boleh pesan yang lain kalau mau," sahutnya dengan

polos, dan tentunya sambil mengunyah. "Aku terbiasa makan

sebanyak ini."

Baby hampir tersedak dengan green tea yang sedang

diminumnya. Tanpa sempat berbasa-basi lebih lanjut, Baby

segera menarikku agar kami tidak perlu berlama-lama bersama

monster tukang makan itu.

~94~

"Well done, Cha! Lo pintar banget memilih teman!" sindir

Baby begitu kami sudah keluar dari restoran tersebut.

Aku semakin kesal mendengar sindiran Baby. "Jangan

salahin gue, dong, kalau ternyata dia bohong!" Aku membela

diri. "Dia pasang foto yang beda!"

"Tapi, setidaknya pake video call dulu, kek, kan sekarang

sudah zamannya Skype? Tahu, kan, teknologi yang namanya

Skype?"

"Mana sempat, Beb! Lagi pula siapa yang menyuruh gue

untuk kirim email agar bertemu secara langsung dan segera?

Lo, kan?" balasku karena tidak mau disalahkan. Lalu, kami

berdiam diri, sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

"Tadinya bukannya kita mau ngopi-ngopi aja di Plaza

Indonesia, ya? Kenapa dia pesan makanan sebanyak itu, ya?

Where?s the coffee?" Aku baru menyadari mengenai apa yang

barusan terjadi di Plaza Indonesia begitu kami sudah sampai di

Grand Indonesia, tempat kencan yang terakhir.

Tawa Baby meledak. Dia terbahak-bahak sampai

mengeluarkan air mata. Mungkin dia belum bisa melupakan

porsi makanan yang terhidang di meja tadi, dan juga

penampilan Hans. Aku tertular tawanya. Kami tertawa bersama.

Entah menertawakan selera makan Hans yang rasanya cukup

untuk sepuluh orang, atau kebodohanku yang memilih orang

yang salah. Sudah tidak ada gunanya untuk marah, bukan?

Tertawa dalam kepahitan, itulah yang kami lakukan. Kami

menertawakan kesialanku.

Kami berjalan menyusuri lorong di Grand Indonesia. Waktu

sudah sore, tetapi masih terlalu pagi bagi kami untuk kencan

yang terakhir. Kami memutuskan untuk langsung memesan

~95~

tempat di Social House. Aku sungguh-sungguh lapar. Jadi, kami

memesan makanan terlebih dahulu.

Aku pun sudah mengirimkan SMS kepada George bahwa

kami sudah tiba di Social House. Rasa gelisah semakin

menderaku, terutama setelah kami mengalami dua pertemuan

sebelumnya yang gagal total.

Satu jam kemudian, sebuah SMS masuk dari George. Dia

sudah sampai dan sedang menuju Social House. Tak lama,

muncullah seorang pria asing yang cukup tampan, dengan

potongan rambut yang sedikit panjang, berpakaian rapi dengan

kemeja putih serta celana jeans. Baby menyikutku.

"Ssst! Ganteng juga!" Wajah Baby semringah. Mungkin lega

karena dua orang sebelumnya membuat mood-nya drop. Kalau

aku? So far, sih, cukup lega.

"Hello!" seru George. Ia tersenyum dengan gugup. Aku bisa

merasakan bahwa ia gugup, yang otomatis membuatku

bertambah gugup dan gelisah. But, he?s cute, though. "Hi! I?m

Sascha, and this is my cousin, Baby." Kami saling berjabat

tangan.

"Hi." Baby tersenyum manis.

"Kamu sudah makan?" tanyaku begitu ia duduk di

hadapanku.

"No no not yet."

Aku merasa ada yang aneh dengan intonasi bicaranya. "O

O OK, hm have you oo ordered yet?"

Oh God. It?s official. I?m cursed.
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tahu pendengaranku masih sangat normal. Dia gagap.

Ya Tuhan, aku jadi teringat pada film The King?s Speech yang

baru saja aku tonton bersama Baby di DVD. Aku melirik Baby,

tapi raut wajahnya tidak terbaca. Dia tetap terlihat cool. Atau,

mungkin arti diam Baby bisa diterjemahkan bahwa dia cuek

bebek karena sudah terlalu bete. Dia masih asyik memandangi

menu untuk memesan minuman. Aku menendang kakinya. Dia

~96~

lantas melirik dengan lirikan mautnya. Aku segera mengambil

menu dan pura-pura serius membacanya.

"Saa sas cha, do do you want to order ann

anytt thing el se?"

"Pardon me?" Sungguh, aku bukannya dengan sengaja

menggoda keterbatasannya, tetapi aku benar-benar tidak bisa

mengerti apa yang ia bicarakan.

"Do you wan t to oo rder again?" George

mengulangi kalimatnya. Kali ini kegelisahan George semakin

terlihat jelas. Dia menggaruk-garuk kepalanya, lebih tepatnya

menarik-narik rambutnya yang berminyak. Terlihat semakin

sering ketika dia terlihat gugup. Jari-jarinya menyusuri

kepalanya. Entah dia menyadari apa yang dilakukannya tersebut,

tetapi buatku yang melihatnya, jelas-jelas tidak menyenangkan,

malah sangat-sangat mengganggu. Apakah dia sering

melakukannya? Kalau iya, seharusnya tadi aku tidak perlu

berjabat tangan dengannya.

Aku speechless. Aku hanya bisa terdiam sambil menatap

George dengan tatapan mata yang setengah kosong, antara jari
jari yang asyik menggaruk kepalanya, dan wajahnya yang saking

gelisahnya sehingga terlihat dia akan mengeluarkan isi perutnya.

Sungguh beruntung aku membawa malaikatku, Baby.

"Saya sepertinya mau order lagi. I want fried rice and a cup

of coffee, please," kata Baby sambil tersenyum manis. "Kamu

mau makan lagi, Cha?" Tatapannya penuh arti.

"Oh saya onion ring and potato platter, please."

"OK, that?s all," sahut Baby dan menutup menu yang

berada di hadapannya.

Waktu berjalan dengan sangat lambat. Aku benar-benar ilfil

dan tidak bersemangat lagi. Semangatku hilang tertelan oleh

kata-kata yang diucapkan George yang terpatah-patah itu.

Setelah satu jam berlalu, meski bagiku rasanya sudah melewati

10 jam bersamanya, kami pun memutuskan untuk pamit

~97~

dengan segudang alasan yang lain.

Baby masih sempat berbasa-basi pula. Ingin rasanya aku

bopong Baby keluar agar tidak perlu basa-basi lagi. Enough is

enough.

Baru saja kami hendak melangkah pergi, George

memanggilku. Ia mendekatiku dengan senyumnya yang gugup.

Aduh, mau apa lagi, sih, dia?

"Sascha, apakah kii tt a bis a bert ... emu la gi?"

Aku terpaku, lalu tersenyum dengan sangat kaku karena aku

tidak tahu harus berbuat apa, serta menjawab apa. George pun

berjanji akan meneleponku. Aku menyetujuinya sambil

berharap agar hal itu tidak terjadi.

Sepertinya, aku harus mengganti nomor telepon.

Ketika kami sudah berada di mobil Baby, aku lega, teramat

sangat lega. Namun, perasaan lega yang tidak terlalu

menyenangkan. Aku menutup mataku dan ingin rasanya aku

ditelan sampai ke perut bumi. Aku benar-benar sial. Bagaimana

bisa semua kencan dan pertemuan hari ini ternyata berakhir

dengan buruk? Mengapa aku bisa memilih orang-orang yang

tidak sesuai? Bukan, bukan .

"Lo memang lagi sial deh, Cha! Sialnya kebangetan!

Ketemunya orang-orang aneh semua."

There, she said it.

Aku bukannya sial saja, melainkan dikutuk.

"Lo harus mandi kembang," usul Baby.

"Usul yang bagus." Tak lama, ponselku berbunyi. Aku segera

meraih tas dan membongkarnya. Aku shock begitu membaca

nama peneleponnya.

Ben.

~98~

Aku menyodorkan ponselku kepada Baby dengan panik.

"Dari Ben!" seruku spontan. Mau apa dia meneleponku?

Mau mengacaukan hidupku lagi?

"APA?" Mata Baby membelalak. "Jangan diangkat! Kita

sudah cukup sial pada hari ini, jangan-jangan dia malah akan

menambah kesialan kita jadi genap, lengkap, dan sempurna,"

seru Baby dengan galak.

Aku menuruti apa yang Baby ucapkan. Aku mendiamkannya

hingga mati dengan sendirinya. Rupanya Ben tidak menyerah,

dia masih terus meneleponku. Setelah tiga kali berdering,

akhirnya dia berhenti meneleponku. Namun, cukup dengan

telepon yang tak terangkat tersebut, membuat hari sialku

semakin bertambah-tambah.

Ketika mobil Baby melintasi sebuah toko bunga, aku

memaksanya untuk berhenti. Kemudian, aku membeli bunga

lili, bunga mawar, dan bunga carnation dengan berbagai warna.

Sewaktu aku masuk lagi ke mobil, wangi bunga yang semerbak

langsung memenuhi udara di dalam mobil. "Buat apa lo beli

bunga sebanyak itu? Bukannya bunga di butik masih bagus
bagus?"

"Buat mandi kembang!" aku berkata dengan ketus. "Gue

harus buang sial!"

Perlahan bibirnya menyunggingkan senyum yang makin lama

semakin lebar dan aku pun tidak tahan untuk tidak ikut

tersenyum. Akhirnya, kami tertawa hingga air mata kami

berlinang. Oh, barangkali nasib sedang ingin bercanda!

~99~

S

11

iang hari ini sangat panas dan membuat waktu terasa

berjalan lambat sekali. Bagiku jam dinding berukuran

besar itu tidak menunjukkan pergerakan yang berarti. Karena

setiap aku menengok ke arah jam tersebut, rasanya jarum

penunjuknya tidak juga bergerak dari angka dua.

Aku pesimis bahwa aku akan berhasil melewati hari ini

dengan baik. Rasa kantuk benar-benar menyerang dengan ganas.

Mataku sampai susah untuk terbuka lebar karena kelopak mata

yang begitu berat.

Belum lagi butik yang sedang sepi, membuatku tidak bisa

melakukan apa-apa kecuali memandangi sinar matahari yang

mampu menembus kaca di butik. Aku sempat

mempertimbangkan untuk menutup butik lebih cepat dan tidur

di kasurku yang nyaman.

Aku tergoda sekali untuk melakukannya sampai ketika ....

"Hellooo!"

Sebuah sapaan yang riang diikuti dengan suara lonceng yang

berdenting karena terkena sentakan pintu di butik beradu

menyemarakkan suasana. Aku tak perlu melihat siapa yang

datang untuk memastikannya karena suara itu sudah begitu

familier.

"Cha? Ada di mana?" Suara itu bertambah melengking.

"Nih, gue bawakan lo seseorang."

Seseorang? Siapa? Pangeran berkuda yang hendak

menyelamatkanku dari kebosanan ini?

~100~

Aku keluar dari ruang kerjaku untuk menyambutnya.

"Chaaa! Di mana, sih, lo?"

Aku tahu butik sedang sepi, tapi tidak perlu memasang

pengeras suara sampai sekencang itu. Aku hendak

menyemprotnya karena sudah berteriak-teriak di butik, tetapi

seseorang yang dimaksud Baby itu membungkam mulutku.

Anne.

Aku mendelik. Mengapa adikku bisa ada di butik? Ralat,

bagaimana adikku yang baru kelas 3 SMP itu bisa bersama
sama Baby dan sekarang berada di butik?

"Kok, ada di sini?" aku bertanya kepada Anne.

"Jemputannya enggak ada, sopirnya sakit, jadi aku minta

tolong Kak Baby buat jemput," seru Anne dengan gaya yang

centil. Ia berjalan masuk, lalu mencomot salah satu bunga

mawar merah yang terpajang di dekat pintu masuk.

"Kenapa enggak bilang sama Kakak? Kan, bisa Kakak yang

jemput. Atau Mama," aku protes sambil menyelamatkan bunga

mawar tersebut dari tangan Anne serta menaruhnya lagi di vas.

Mengapa juga Anne malah merepotkan Baby?

"Jemput pakai apa? Pakai bajaj? Enggak mau kalau Kakak

jemput pakai bajaj. Mama, kan, lagi pergi. Lupa, ya?" Anne

meledekku.

Oh iya, mobilku sedang diservis. Dan, tadi pagi Mama

bilang mau pergi ke rumah sakit menjenguk temannya.

"It?s OK, Cha, tadi gue sekalian lewat sekolahnya. Jadi, gue

bisa jemput." Baby menengahi kami berdua.

Aku memutar bola mataku. Baby selalu membela Anne. Ia

memang sayang kepada adikku itu. Mungkin karena dia anak

tunggal, jadi sudah menganggap keluargaku seperti keluarganya.

Bahkan, Anne bisa dibilang lebih akrab dengan Baby

dibandingkan denganku.

"Udah makan belum?" tanyaku kepada Anne.

Anne menggeleng.

~101~

"Beb, lo udah makan?"

Baby menggeleng. Dia sibuk menghitung di belakang meja

kasir.

Aku berkata kepada salah seorang pegawaiku, "Din, tolong

pesankan nasi padang di sebelah. Nasinya setengah saja, lauk

pakai rendang dan ayam, tiga bungkus."

"Aku mau pakai telur juga," Anne menimpali.

"Ya sudah, pakai telur," aku mengulangi kata-kata Anne.

"Kak, ada jus jeruk enggak?"

"Enggak ada, bawel, ah!"

"Idih, judes banget, sih!" Anne manyun dan ia berlari ke

atas. Aku mendengar Anne bersenandung pelan. Untung Anne

sedang tidak bernafsu untuk bertengkar denganku, karena

mood-ku hari ini benar-benar sedang kacau berantakan. Untuk

beberapa saat, suasana kembali tenang. Anne anteng di atas,

Baby di kasir, dan aku duduk di ruang kerjaku,

mempertimbangkan apakah aku harus tidur atau tidak.

"Mbak Sascha?"

Panggilan tersebut membuyarkan lamunanku. Aku melihat

Dini sudah berada di depan ruang kerjaku yang pintunya
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbuka sambil membawa kantong yang berisi nasi padang. Aku

memandangi wajahnya yang sabar. Dini adalah salah seorang

pegawaiku yang paling lama di sini. Dia sudah ikut dengan aku

dan Baby sejak kali pertama butik ini berdiri.

"Terima kasih, ya, Din. Tolong dibukakan di pantri, ya."

Dari anak tangga paling bawah, aku memanggil adikku

cukup keras, mumpung lagi enggak ada pembeli.

"Anne!!! Nasi padangnya udah datang, nih!"

Tak lama Anne turun. Ia datang dengan sebuah novel di

tangannya.

"Makannya di pantri, Ne," kataku sambil berjalan menuju

ke pantri. Anne mengikutiku tanpa bersuara. Aku membuka

nasi padang tersebut di piring dan menyerahkannya kepada

~102~

Anne, lalu membuka bungkusan milikku sendiri. Anne langsung

melahap nasi padangnya. Sepertinya, dia sudah kelaparan. Aku

sendiri memilih untuk melahapnya perlahan. Pantri menjadi

sunyi, yang terdengar hanyalah suara sendok garpu yang saling

beradu dengan piring. Aku sempat melirik Anne yang sedang

asyik menikmati makan siangnya sambil membaca novel yang

tadi ia bawa.

"Kak?" Tiba-tiba suara Anne memecah kesunyian.

"Hm?" sahutku sambil terus mengunyah.

"Kak Ben masih suka menelepon Kakak enggak?"

Mulutku berhenti mengunyah. Aku menatap Anne dengan

terkejut. Aku tidak mengerti bagaimana Anne bisa bertanya

seperti itu. Anne tahu aku putus dengan Ben, tapi dia tidak

pernah menanyakannya secara langsung.

Baru kali ini dia membawa-bawa nama Ben di hadapanku.

"Emangnya kenapa?" aku bertanya dengan hati-hati.

Anne mengangkat bahunya dengan cuek sambil menyuap

makanannya. "Beberapa hari ini Kak Ben telepon atau SMS

Anne."

TRING!

Tanganku mendadak lemas dan aku menjatuhkan sendokku

begitu saja. Terdengar dentingan yang cukup keras ketika

sendok beradu dengan piring. Aku sangat shock. Anne

menatapku dengan penuh tanda tanya. Mungkin karena melihat

reaksiku yang aneh dan wajahku yang memucat.

"Emangnya enggak boleh, ya?"

Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diriku lagi.

Aku bertanya sambil menahan kekesalan yang perlahan mulai

muncul ke permukaan. Ben gagal menghubungiku, dan mencari

cara lain: Anne.

"Dia ngomong apa?"

Anne berpikir sejenak. Hidungnya mengerut. Ia

menjawabnya dengan santai, "Cuma menanyakan kabar aku,

~103~

terus kabar Mama-Papa, dan kabar Kakak aja, sih."

Aku terdiam sambil memainkan nasi padangku yang masih

menumpuk di piring. Lalu, aku menunggu apa yang akan Anne

katakan lagi mengenai Ben. Namun, Anne hanya diam.

"Itu doang?"

Anne mengangguk.

"Benar? Kamu jangan bohong sama Kakak, ya."

Jari Anne membentuk huruf V dan menatapku malas.

"Beneran, Kak. Kalau enggak percaya, tanya aja Kak Ben,"

sahut Anne asal.

Aku mendelik. "Bilang ke Kakak, ya, kalau Kak Ben telepon

lagi. Jangan ngomong apa pun sama dia. Tentang apa pun, oke?

Kalau dia tanya macam-macam, kamu bikin alasan aja untuk

menyudahi teleponnya."

Anne mengangguk lagi, kemudian menghabiskan nasi

padangnya. Namun, setelah makan, Anne tidak beranjak juga.

Dia malah melempar pertanyaan. "Kak? Memangnya Kakak

putusnya enggak baik-baik, ya? Abisnya Kak Ben suaranya

memelas gitu. Agak jijik sih, tapi, ya, gitu deh."

Aku melirik si ABG yang kepo dan bawel ini. Dia

menungguku dengan sabar, tapi tidak menyurutkan wajahnya

yang masih diliputi rasa penasaran. Aku mengambil gelas di

samping piringku dan meminum air putih yang terisi di

dalamnya. "Sangat tidak baik."

"Mama sama Papa tahu enggak?"

Aku mengangguk. "Ingat ya, Ne. Yang penting kamu harus

lapor Kakak kalau Kak Ben telepon atau SMS kamu lagi. Kalau

perlu teleponnya enggak usah diangkat," aku mengingatkan

Anne lagi.

"Iya iya ." Anne menyeruput habis es teh tawarnya.

Rupanya ia belum juga selesai. Adikku yang bongsor ini malah

mencondongkan badannya ke arahku lagi. "Emang apa, sih,

yang bikin Kakak bisa putus? Kan, Kakak pacarannya udah

~104~

lama? Enggak sayang, Kak?"

Aku berdecak kesal. "Udah, ah, jangan banyak tanya. Kakak

enggak mau ingat-ingat lagi."

Anne cemberut. "Pelit, ih! Biar, entar aku tanya sama Kak

Baby aja."

"Ingat ya, Ne. Jangan angkat teleponnya lagi!" aku

mengingatkannya untuk kesekian kalinya. Kalau perlu sejuta

kali. Karena aku tahu, Anne dan Ben dulu cukup akrab. Ben

sungguh licik. Dia pasti mencoba manfaatkan Anne untuk

mencari info tentang aku.

"Iya, iya," sahut Anne malas.

"Telepon siapa yang tidak boleh diangkat?"

Baby menyambar begitu masuk ke pantri. Dia berjalan, lalu

duduk di seberang Anne, tepat di sebelahku. Dia menuang air

dingin yang berada di meja ke gelas yang dibawanya.

"Telepon Kak Ben," jawab Anne santai.

Baby terdiam dan menatapku dengan wajahnya yang sedikit

pucat, tetapi lebih banyak bercampur kemarahan. Matanya

membulat.

"Lo yakin, Ne?"

Anne mengangguk. "Tadi udah cerita sama Kak Sascha,

kok."

Kemudian, Baby menatap Anne dengan tajam. "Pokoknya,

kalau dia menelepon lagi, jangan angkat. Ingat? Jangan angkat!

Lalu, lapor sama Kak Baby, ya!"

Anne tertegun menatap Baby yang sudah emosi. Baby

memang cepat sekali emosi, terutama yang berkaitan dengan

Ben.

"Anne?! Dengar enggak?"

Anne berdiri dengan kesal. "Iya, dengar! Aku, kan, enggak

budek! Aneh, Kak Sascha yang putus, kok, Kak Baby yang

marah-marah? Udah enggak usah pada ngomel kali. Putus, ya,

putus aja. Masih banyak cowok, kok," cerocos Anne sambil

~105~

berjalan keluar dari pantri.

Sepeninggal Anne, emosi Baby masih belum surut. "Coba aja

dia menghubungi Anne lagi. Pakai jalan pintas lagi. Awas aja!

Gue cukur habis sampai gundul tuh orang!" gerutu Baby.

~106~

S

12

epulangnya dari butik, aku segera mengecek surel karena

sedang menunggu balasan surel dari salah satu penyuplai di

Hongkong yang baru aku kirimi surel siang menjelang sore tadi.

Ternyata belum ada balasan. Jadi, yang aku kerjakan adalah

menghapus surel tidak penting lainnya, terutama surel

penawaran perkenalan dari beberapa anggota dating site yang

aku ikuti beberapa minggu yang lalu itu.

Aku memang sudah kehilangan minat untuk ikut-ikutan

online dating lagi karena ketiga kencan yang aku ikuti berakhir

buruk. Meski begitu, aku juga malas untuk menghapus

keanggotaanku karena ribet. Jadi, aku membiarkan surel

perkenalan menyampah di inbox, dan aku hapus tanpa aku baca

lagi.

Tanganku sudah seperti robot mengarahkan kursor mouse ke

tombol delete. Sampai aku melihat beberapa surel dari orang

yang sama. Kebanyakan para pria yang mengirimiku surel,

hanya mengirimkan satu surel.

Yang ini agak berbeda. Dia mengirimkan empat surel. Aku

mengecek namanya.

Oliver Dawson.

Aku penasaran melihat tanggal yang tertera di surel yang

pertama hingga surel yang terakhir. Jangka waktunya sekitar tiga

minggu. Aku jadi sangsi. Namun, aku penasaran. Akhirnya, aku

memutuskan untuk membacanya. Nothing to loose, kok, aku

menghibur diriku sendiri. Bagaimanapun penampilannya, aku

tidak akan menanggapinya. Aku sudah berjanji kepada diriku

~107~

sendiri mengingat kebodohan yang sudah aku lakukan satu

bulan yang lalu.

No more interaction with online dating. Forever. Untuk

selamanya. For good.

Aku pun mulai membuka surel pertama, yang terletak di

paling bawah.

Surel yang pertama: dia mengajakku berkenalan. Dia juga

menjelaskan bahwa dia mengetahui surelku dari dating site

yang aku ikuti.

Surel yang kedua: dia bercerita tentang tanah kelahirannya,

Inggris. Dia lahir di London.

Surel yang ketiga: beberapa foto dirinya dikirimkannya

kepadaku. Aku berhenti di surel ini dan tertegun. Mataku terus

menatap foto yang sekarang terpampang di layar laptopku.

What is he doing? Apa dia sudah gila? Emangnya dia sulit

dapat pasangan di dunia nyata sampai harus mencarinya

kemari?

Aku mengedipkan mataku berkali-kali agar aku tidak salah

lihat atau berhalusinasi. Kacamataku sudah terpasang dan

pandanganku sempurna.

Pria ini sangat tampan.

Dia berambut pirang kecokelatan, kacamata bingkai hitam

tebal menaungi mata cokelat hazelnut-nya. Wajahnya bersih,

meski aku bisa melihat 5 o?clock shadow yang berbayang di

sekitar dagu dan pipinya. Di atas bibirnya ada bekas luka yang

menyerupai garis putih kecil yang mengenai bibir atasnya.

Dia sangat tampan. Definitely. Seketika aku merasakan

getaran di hatiku dan kepakan sayap kupu-kupu di perutku.

Oh, God. Aku menggelengkan kepalaku. Sepertinya, aku

sudah cukup sinting. Sudah berapa kali aku menyebutkan

bahwa dia tampan? Seperti tersihir, aku mendekatkan wajahku
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke layar laptop. Matanya yang berwarna kecokelatan itu

semakin jelas. Namun, bukan warna matanya yang membuatku

~108~

terpesona, melainkan sorotnya yang hangat dan ramah.

Kemudian, aku tersadar. Penampilan bisa menipu. Ralat,

foto bisa sangat-sangat menipu. Mungkin saja foto ini bukan

miliknya. Tidak ada yang mustahil di dunia internet yang amat

sangat luas ini. Bukan hanya umur atau foto saja yang

dipalsukan, juga pekerjaan, sampai status. Tidak sedikit yang

aslinya berstatus menikah, seketika menjadi single demi

mendapatkan pasangan di sini. Hanya untuk bersenang-senang.

Aku menghela napas dan membaca surel yang terakhir: dia

bertanya kepadaku mengapa aku tidak membalas surelnya?

Aku bersandar di kursiku. Keraguan masih terus

menyelimuti. Hatiku mencelus dan aku sudah memutuskan.

Aku tidak akan memercayainya. Sukar untukku menempatkan

kepercayaan saat diriku memang tidak mengizinkannya untuk

membulatkan kata tersebut. Lantas aku mematikan dan

meninggalkan laptopku tanpa membalas semua surelnya.

Tekadku sudah bulat. Aku akan menghapus keanggotaanku di

dating site. Tak ada lagi alasan malas atau tidak sempat.

Cukup sudah menerima surel yang datang bertubi-tubi yang

kebanyakan omong kosong pria-pria kesepian dan kurang

kerjaan. Setelah mengalami tiga kejadian tak mengenakkan, aku

yakin 90 persen yang bergabung itu palsu. Sepuluh persen

lainnya adalah orang-orang yang hopeless dalam mendapatkan

pasangan di dunia nyata.

Tepat ketika keanggotaanku sudah terhapus, sebuah surel

masuk ke kotak masukku.

Dari Oliver.

Surel kelima darinya ini tidak menanyakan hal yang sama, ia

malah bercerita tentang dirinya, tentang pekerjaannya, dan

~109~

sekaligus hobinya, yaitu seorang fotografer.

Terakhir, dia menuliskan bahwa dia serius ingin berkenalan

denganku.

Aku tertegun.

Sewaktu aku hendak mematikan laptop, aku mendengar

bisikan dari hati kecilku, yang mengharuskanku membalas

surelnya. Aku mencoba mengabaikannya. Hanya saja bisikan itu

semakin kuat dan terdengar nyaring, tak hanya di hatiku, tetapi

juga di telingaku. Aku bimbang.

Hello there ....

From: flowergirl@yahoo.com

To: Oliver_D@yahoo.com

Dear Oliver,

First of all, I would like to thank you

for your emails. Sorry for the late

reply. So, I have read your profile from

the dating site. Some question popped in

my head.

1. Are those your real pictures?

2. Why did you want to join this dating

site?

I can?t trust anyone, so I have to be

more careful. I won?t reply again if

you?d be asking any bizarre question, or

saying any strange or stupid words.

Thanks.

Me,

Sascha Indrawati

~110~

Aku membaca ulang surel yang barusan aku tulis untuk

Oliver. Aku akui, not a nice reply at all. But, what the heck.

Aku tidak peduli.

Tujuan sewaktu mengirimkan surel tersebut hanya satu. Aku

ingin tahu niatnya. Tulus atau hanya bermain-main saja. Aku

menekan tombol send tanpa membawa beban apa-apa.

Kalaupun punya niat jelek, dia pasti tidak akan membalas

surelku.

That?s it. Aku memantapkan diri. Aku tidak akan menunggu

balasannya, karena aku yakin dia tidak akan membalasnya.

Re: Hello there ....

From: Oliver_D@yahoo.com

To: flowergirl@yahoo.com

Hi, Sascha or flowergirl?

Wow, I can?t believe you finally

replied my email after a month. So how

are you? I?m doing good here. OK, I will

answer your questions. It seems that you

are not an easily trusting person. But

that?s fine. I understand.

The answers:

1. Those are really my pictures. I?ll

send you others within this email. (With

my dog Scarlet-a golden retriever)

2. Why join this site? Funny, because I

don?t really know. My friends suggested

it to me and I said why not? And I?m glad

to have found you because I have friend

~111~

who lives in Jakarta. We are equal now.

So, to be honest, I?m looking for a

friend or love relationship. It depends

on how it?s gonna end up. But we have to

know each other first in order to find

what kind of relationship that match to

us, right?

Hope I answered your questions.

Sincerely,

-O
I was wrong.

Keesokan harinya, begitu aku membuka surel, Oliver sudah

membalasnya. Aku sampai tak percaya begitu melihatnya.

Cukup lama aku termangu membaca balasannya.

Actually, I?m blown away.

Senyum perlahan menghiasi wajahku. Funny. Surel yang

ditulis sama seriusnya dengan surel yang aku tuliskan

kepadanya. Aku membuka satu per satu foto yang ia lampirkan.

Kali ini ada sepuluh foto, yang sebagian besar bersama

anjingnya, Scarlet. Mungkin dia memang tidak sedang

berbohong.

Hello there ....

From: flowergirl@yahoo.com

To: Oliver_D@yahoo.com

Sorry for my rude email. I had a bad

experience in online dating with 3 worst

dates ever. I don?t know if I could trust

you, but I hope that you want to do it

~112~

slowly. I?m just curious why a man like

you want to join this kinda cheesy dating

site? And you told me you work as

photographer?

Thanks,

Sascha.

Re: Hello there ....

From: Oliver_D@yahoo.com

To: flowergirl@yahoo.com

Apology accepted, Sascha. No need to be

curious, I just can tell you that it?s

not easy for me to find a real

relationship out there, at least for me.

This is the other option.

Yes, I?m a photographer. It really

suits me, I love traveling and taking

great pictures.

Again, I swear with my bloody heart,

those are my pictures. I?m not that kind

of person who will do lies, but I do

understand if you didn?t believe me one

hundred percent.

I think that?s all for now ... can?t

wait for your next email.

Wink.

Oliver

~113~

Layaknya sungai, hubunganku dengan Oliver mengalir begitu

saja. Tanpa disadari, kami sudah saling mengenal. Aku tahu

bahwa keluarga Oliver tinggal di West Manchester, dan dia

tinggal di Crawford Street. Dia bekerja sebagai fotografer dan

punya studio mini di rumahnya. Hobinya menonton bola dan

tentu saja, fotografi. Keluarganya juga punya restoran dan dia

penyayang anjing. Aku juga sudah menceritakan hal-hal dasar

mengenai diriku seperti keluargaku, pekerjaanku, dan

kecintaanku terhadap bunga. I pretty enjoy this kind of

friendship.

~114~

"S

13

ascha Indrawati!"

Aku hampir tersedak kopi susu yang hendak kuminum.

Beberapa tetes sukses mendarat di celana jeans-ku. Aku

menaruh mok kopiku dan melepas kacamataku yang sempat

berembun ketika aku menghirup kopi panas tersebut.

"Bisa enggak, sih, manggilnya baik-baik dikit, Beb? Jarak lo

dengan gue enggak lebih dari satu meter!" omelku.

"Lo kenapa datang pagi-pagi?" Kening Baby berkerut. Dia

tak menggubris omelanku. Pertanyaannya itu membuatku

tertegun. Oh, iya, jadwalku hari ini seharusnya siang.

Aku datang pagi karena ingin mengobrol dengan Oliver

dengan tenang. Ruang kerjaku ini bisa menjadi pelarian yang

tepat. Di rumah pun sebenarnya bisa, tetapi terkadang Mama

mengajak ngobrol. Kalau di sini, begitu aku menutup pintu, tak

ada yang akan mengetuknya, kecuali Baby tentu saja. Sialnya,

aku lupa jika jadwalnya hari ini juga pagi.

Aku pura-pura cuek dan mengangkat bahu seolah tidak ada

yang harus diributkan. "Enggak ada apa-apa. Gue lagi kepingin

datang pagi aja."

Baby masuk ke ruang kerjaku yang mungil. Dia mendekatiku

dengan gaya yang dramatis. Dia menyipitkan mata dan
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahnya sekarang berada hanya berjarak sekepalan tangan.

Rambutnya yang ikal berjatuhan menutupi dadanya. Baby

menggeleng dengan bibir mencebik. "Pasti ada sesuatu."

Bibirku melengkung ke bawah. "Jangan berlebihan, deh.

~115~

Emangnya mau rajin enggak boleh?"

Baby menggeleng. Sekarang dia duduk di sebelahku,

berimpit-impitan. "Bukan itu aja. Sekarang aura lo jadi bagus

dan cerah. Kayak ada sesuatu yang membuat lo kembali

bersemangat."

Aku tersenyum dan menoyor kepala Baby dengan penuh rasa

sayang. "Sejak kapan lo jadi peramal, sih, Neng Baby?"

Baby mengentakkan kakinya yang tanpa sepatu dengan

gemas. "Sascha Indrawati! Gue udah kenal lo sejak lo masih bau

iler, sekarang lo harus cerita sama gue!"

"Lo tahu dari mana gue ada apa-apaan?"

"Dari baunya aja gue udah tahu!" Baby ngotot. "Lo udah

punya pacar, ya?"

Aku mendelik, tapi tak urung membuat jantungku mau

copot. Tuduhan Baby seperti mengena. "Sembarangan! Enggak

ada pacar!"

Aku bangkit dan meninggalkan Baby di ruang kerjaku. Aku

tidak ingin cerita dahulu perihal hubungan pertemananku

dengan Oliver. Setidaknya, untuk sekarang ini. Ini masih sangat

baru. Ibaratnya adonan kuenya juga baru dituangkan, belum

tentu akan menjadi kue dan matang.

Akan tetapi, tidak bisa dimungkiri, aku sungguh senang bisa

mengenalnya dan aku bersyukur mengambil keputusan yang

tepat untuk menjawab surelnya. Oliver benar-benar berbeda

dari orang yang aku kenal lewat dating site, paling tidak jika

dibandingkan tiga orang sebelumnya. Buatku dia normal dan

mampu membuatku tertawa. Aku tidak ingin kehilangan

momen ini. Yang mungkin sewaktu-waktu akan hilang.

Setelah mengambil majalah dari lantai atas, aku pergi ke

dapur untuk mengambil minum. Baby masih juga memberikan

tatapan penuh curiga, apalagi setelah aku meninggalkannya

begitu saja. Aku memilih untuk memasang tampang polos

seolah tak terjadi apa-apa.

~116~

Baru saja aku keluar dari dapur, ponselku berbunyi,

menandakan pesan yang masuk. Dari Oliver.

Oliver: Hi!

Flowergirl: Hi there! You are late.

Oliver: I know. I?m so sorry. So tired. Where are

you?

Flowergirl: At the boutique. Kamu baru bangun?

It?s already midnight in your place, Oliver.

Oliver: Yup. It?s OK. I don?t mind. Aku, kan, sudah

janji sama kamu.

Flowergirl: Tapi, aku ngerti kok, kalau kamu masih

mengantuk. Enggak apa-apa. Jangan dipaksakan

bangun.

Oliver: Jangan khawatir, Sascha. I?m OK. Tapi,

Scarlet masih belum bangun. Ngoroknya kencang

sekali. Setidaknya tidak sepi.

Flowergirl: Ow ... sweet Scarlet. Jangan

dibangunkan, kasihan.

Oliver: I won?t. Kalau dia sampai bangun,

dipastikan dia akan menyeretku keluar untuk

berjalan-jalan.

Flowergirl: Go ahead, lazy boy.

Oliver: No way. Too cold and dark.

Flowergirl: Kalau begitu, lebih baik kamu ikut

tidur lagi bersama Scarlet. Kamu pasti masih

mengantuk. Bagaimana kalau kita ngobrol nanti

setelah kamu sudah pulang kerja?

Oliver: Yes, kamu mengingatkan aku betapa

sibuknya pekerjaanku besok. Baiklah. Aku akan

susul Scarlet ke alam mimpi.

Flowergirl: Say hi to Scarlet for me.

~117~

Oliver: Only Scarlet? How about me?

Flowergirl: Haha. You too, Oliver. Sweet dream.

Oliver: Bye, Sascha.

"Mbak Sascha, ada kiriman bunga."

Sekitar pukul 3.00 sore, Evi, salah seorang pegawaiku

mempersilakan seseorang yang membawa vas bunga yang cukup

besar. Ada dua vas yang berisi mawar berwarna merah jambu

serta bunga lili putih yang sangat cantik. Aku menatap bunga
bunga tersebut dengan bingung.

"Dari siapa, Vi? Aku enggak memesan bunga."

Evi menandatangani surat pengiriman dan menyerahkannya

kepadaku. Di dalam surat tersebut, tidak ada nama

pengirimnya. Aku memeriksa rimbunan di antara tangkai
tangkai bunga.

Sebuah kartu yang cukup besar terselip di antaranya. Aku

mengambilnya, lalu membacanya sambil menggeleng-gelengkan

kepala.

Ternyata orang ini tidak menyerah juga. Sekarang dia nekat

merebut hatiku dengan mengirim bunga segar favoritku.

Apakah ia tidak mengenal Baby setelah PERNAH pacaran

denganku selama delapan tahun? Baby, yang kebenciannya

kepada Ben sudah pada titik maksimum, pasti akan murka

begitu melihat bunga-bunga ini. Tidak tanggung-tanggung, Baby

bisa meminjam nuklir dari Korea Utara dan Ben akan

diledakkan sampai tak bersisa.

Terlambat. Baby sudah keburu melihat bunga-bunga

tersebut. Aku segera menyembunyikan kartu yang ada di tangan

ke belakang punggungku. Mata Baby yang tajam melihatnya.

"Dari siapa itu?" Suaranya terdengar curiga. Ia berkacak

~118~

pinggang.

"Gue, kok, yang beli."

Mata Baby menyipit. "Lo sadar enggak, sih, kalau lagi

bohong hidung lo makin panjang. Enggak mungkin lo yang beli.

Semua bunga yang ada di sini masih segar, kok." Ia membuka

telapak tangannya dan menyorongkannya kepadaku. "Sini gue

lihat kartunya."

Aku menyerah. Matanya yang menyipit segera membelalak

begitu tahu siapa yang mengirimkannya. Gawat. Dia mulai

membacanya dengan sinis, "Dear Sascha, semoga bunga-bunga

ini bisa mewakili diriku. Aku ingin mengatakan bahwa aku

sangat menyesal maafkan aku ."

Lalu, Baby menutup kartu itu dengan senyum malas. "Mau

gombal, kok, gagal total begitu. Buang semua bunganya." Dia

menyerahkan kartu tersebut kepadaku kembali. Aku tertawa

lega karena sepupuku itu tidak meledak. Aku membuang kartu

tersebut tanpa repot aku baca lagi.

Menjelang malam, Baby mengetuk pintu ruang kerjaku. Aku

menoleh sembari mencopot kacamataku.

"Yuk, kita jalan sekarang? Sekalian tutup aja."

Aku memang sudah berjanji kepada Baby untuk

menemaninya melihat kebaya pengantinnya. Sekarang sudah

pukul setengah tujuh. Usulan Baby barusan memang lebih baik,

daripada harus bolak-balik kemari.

Aku buru-buru menyimpan kerjaanku, lalu mematikan

komputer di depanku.

Ketika kami hendak menutup pintu, sontak tanganku

meraba-raba kantong celana jeans-ku. "Tunggu, Beb!"

"Apa? Ada yang ketinggalan?"

~119~

Aku berlari-lari kecil masuk lagi. Tak lama keluar sembari

mengacungkan ponselku yang ketinggalan dengan cengiran yang

lebar.

"Yakin enggak ada yang ketinggalan lagi? Dompet, kacamata,

kepala?"

Aku menjulurkan lidah kepadanya.

"Bye, Darling. Sampai besok, ya!" seru Baby pada butik

sebelum ia mematikan lampu dan mengunci pintu.

~120~

A

14

ku memandangi Baby yang sedang mematut diri di depan

kaca. Wajahnya serius, memperhatikan setiap detail dari

tubuhnya. Sebuah kebaya cantik sudah melekat di tubuhnya

yang langsing. Dia juga sengaja menggelung rambut ikalnya ke

atas agar leher jenjangnya terlihat. Meskipun belum selesai

seratus persen, kebaya tersebut sudah terlihat menawan.

Aku terpukau. Baby yang aku lihat detik ini memancarkan

aura wanita dewasa dan anggun. Berbeda dengan Baby yang aku

kenal, Baby yang bawel, suka manyun, judes, suka membuat

rusuh, dan terkadang bertingkah kekanakan.

Perasaanku mendadak mellow. Sebagian dari diriku merasa

sudah kehilangan dirinya. Bagaimanapun, cepat atau lambat,

aku harus melepas Baby. Dia punya keluarga yang baru. Sedekat

apa pun hubungan yang pernah terjalin di antara kami, pasti

akan menjauh. Berjarak. Apalagi, Baby akan pindah ke

Australia.

"Cha, oke enggak? Ada yang kurang?"

Suara Baby menyadarkanku. Aku tersenyum dan

mengacungkan kedua jempolku. Baby masih mematut dirinya di

cermin besar. Melihat Baby dengan kebayanya membuat aku

teringat pada percakapan kami beberapa waktu yang lalu.

Dia memilih untuk mengenakan kebaya yang dipadukan

dengan rok putih berbentuk duyung untuk bagian bawahnya.

Kebaya yang Baby pilih berwarna putih gading bercampur warna

keemasan dengan model bahu yang agak terbuka.

"Cantik sekali, Beb," aku berkata kepadanya ketika dia

~121~

sedang berjalan mengelilingi ruang ganti.

Baby memberikan senyum terima kasih kepadaku lewat

cermin berukuran besar yang memantulkan dirinya. Begitu

perancang kebayanya masuk, mereka langsung berbincang

mengenai beberapa hal yang ingin diubahnya.

Selagi asyik memperhatikan Baby berdiskusi, ponselku

berbunyi. Ada sebuah pesan masuk.

Oliver! Aku sempat lupa bahwa kami janji akan ngobrol

kembali.

Oliver_D: Hi, Flower Girl.

Flowergirl: Hai, Oliver. Still in a photoshoot?

Oliver_D: Yup. Where are you?
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Flowergirl: Aku lagi nemenin sepupuku mencoba

baju pengantin. Dia akan menikah dalam waktu

dekat.

Oliver_D: Really? Oh, wow. Congratulation! I?m so

happy for her.

Flowergirl: Thank you. Aku senang, tapi juga

sedih.

Oliver_D: Kenapa?

Flowergirl: Aku akan sangat kehilangan dia.

Rasanya aku tidak akan siap. Dia akan pindah ke

Australia setelah menikah. Dan, aku akan

sendirian.

Oliver_D: Don?t be sad, Sascha. Kalian sangat

dekat, ya?

Flowergirl: Kami sudah seperti anak kembar.

Oliver_D: At least, you have to think, if she?s

happy, you?d be happy.

Flowergirl: I know.

Oliver_D: Hey, don?t worry, I?ll be here for you.

~122~

Jika kamu sedang ada kesulitan, kamu bisa bicara

kepadaku. Aku akan mendengarkanmu. Even

there?s a football match, I will skip it for you.

Flowergirl: Oliver, you are so sweet . Thank you.

Tapi, kamu sangat jauh. Gimana kalau aku butuh

tangan buat aku genggam? Atau bahu untuk

menumpahkan tangisku?

Oliver_D: Sascha, jauh dekatnya jarak tidak akan

terasa jika kita memang sudah bersedia untuk

membantu dengan tulus. Jarak yang jauh bisa

menjadi dekat, meskipun tidak ada tangan untuk

digenggam atau bahu untuk menumpahkan

tangis, but we have hearts. We have feelings.

That?s the most important thing.

Aku tertegun. Tulisan Oliver begitu mengena di hatiku.

Entah bagaimana Oliver bisa melakukannya, ketika aku

membacanya pun, aku bisa merasakan kehadirannya. Dia

begitu dekat di sisiku. Rasanya dia benar-benar memelukku

dengan kata-katanya. Hatiku menghangat. Lalu, perlahan ada

barisan kupu-kupu yang terbang di dalam perutku.

Oliver_D: You are so quiet . Are you still there?

Flowergirl: Sorry, aku masih di sini.

Oliver_D: Apakah kata-kataku mengganggumu?

Flowergirl: No no, sangat tidak mengganggu,

aku malah terharu karena kamu begitu baik.

Oliver_D: Aku tersanjung . Thank you .

Flowergirl: No, thank you .

Oliver_D: So, don?t be sad, OK? Berjanjilah kamu

akan mencariku jika kamu membutuhkan

seseorang untuk berbagi.

Flowergirl: I promise.

~123~

Oliver_D: Hey, you know, I?m gonna do an exciting

trip to Paris next week with my friends.

Flowergirl: Wow, now I?m envy you. What will you

do in Paris?

Oliver_D: Photo huntings. We are going to shoot

some historic buildings.

Flowergirl: Very interesting. Do you mind showing

me your pictures when you come back to London?

Oliver_D: Sure, I will email some pictures to you

later. Do you have any request?

Flowergirl: Hmmm . Some hot French guys?

Oliver_D: Why? So, I?m not hot enough for you?

Or should I burn myself?

Flowergirl: Hahahaha ....

"Cha? Lo, kok, ketawa-ketawa sendiri?"

Aku mendapatkan Baby yang sudah mendelik sewot.

Aku hanya bisa cengar-cengir malu. Sumpah, aku tidak sadar

dengan tawaku yang refleks keluar begitu saja. Sepertinya,

perbincanganku dengan Oliver sudah menyedot jiwaku sampai

ke dunia maya sehingga tidak menyadari keadaan sekitar.

"Lagi ngobrol apa lagi main, sih?" Baby masih saja

penasaran.

Aku menjawabnya sesantai mungkin, "Ngobrol sama teman

lama gue. Udah lanjutin lagi aja fitting-nya, biar cepat selesai."

Baby berbalik memunggungiku, meski aku masih bisa

mendengarnya menggerutu.

Flowergirl: Oke, sekarang cerita, pengalaman yang

paling memalukan yang pernah kamu alami?

Oliver_D: Hm mungkin ketika aku dan teman

kencanku sedang bermain bola salju, saking

~124~

bersemangatnya, aku melempar bola salju yang

sangat besar dan tepat mengenai wajahnya.

Flowergirl: Auch! That must be hurts .

Oliver_D: Not as hurt as my cheek. She was very

angry and slapped me, dan pergilah gadis

impianku.

Flowergirl: Poor you.

Oliver_D: Also when I was at Baker Street,

suddenly I fell down without any reason and all

my mates were laughing at me, ALSO peoples

over there, it was so crowded, made my face

turned red. And when I tried to get up, I fell down

again for the second time, a humiliating time of

the year!

Flowergirl: Hahaha! That?s so funny!

Oliver_D: Bagaimana denganmu?

Flowergirl: Oke, aku pernah melakukan tiga blind

date yang aku dapatkan dari dating site dalam satu

hari dan semua berantakan. Salah satunya

vegetarian pemilih yang tidak suka makan sayur,

yang lainnya pemakan segalanya hingga hampir

membuatku mual, dan yang terakhir, terlalu gagap

hingga aku tidak mengerti apa yang diucapkan

olehnya.

Oliver_D: Hahaha! That?s a bloody awful and

hilarious!

Flowergirl: Yes, it is!

Oliver_D: I can?t stop laughing! Hahaha.

Flowergirl: Don?t laugh!

Oliver_D: But I can?t help it, hahaha.

Aku menyempatkan diri untuk mencari tahu sampai mana

kemajuan sesi fitting yang sedang dilakukan oleh Baby.

~125~

Ternyata dia sudah berganti baju dan sedang beres-beres.

Untung saja aku menyadarinya terlebih dahulu. Aku pun pamit

kepada Oliver.

Flowergirl: Oliver? I have to go now, sepupuku

sudah selesai fitting baju. Dia pasti bawel dan

akan tambah bawel jika melihat mataku tak lepas

dari ponselku.

Oliver_D: OK, talk to you later. Take care, Sascha.

Flowergirl: You too .

Oliver_D: Bye .

"Gue perhatikan dari tadi lo asyik chat dengan seseorang, siapa,

sih?" tanya Baby. Ia sedang menikmati spagetinya di Kedai

Nona. Sepertinya, dia juga sama kelaparannya dengan diriku.

Aku tidak menghiraukan pertanyaannya untuk beberapa saat.

Aku menikmati terlebih dahulu makanan yang terhidang di

hadapanku. Caesar salad yang menjadi favoritku kulahap

sampai habis dalam waktu yang singkat. Makan malamku

ditutup dengan coffee with vanilla float.

"Lo dari tadi asyik chat dengan seseorang." Baby menunjuk

ponselku begitu melihatku sudah selesai makan. Tatapannya

penuh ancaman. "Jangan bilang hanya teman, ya."

"Memang teman, kok," jawabku singkat.

"Teman? Setahu gue, lo enggak punya teman yang bisa bikin

lo tertawa bahagia dan wajah bersemu merah."

Itulah mengapa terkadang aku malas berdebat dengan Baby.

Lidahnya pintar sekali membuat lawan bicaranya tak berkutik.

Aku mengangkat bahu dan tetap memasang wajah seolah tak

ada hal istimewa yang perlu dibahas. Aku pun berharap wajahku

~126~

tidak sampai memerah gara-gara teringat Oliver saat

pembicaraan ini berlangsung.

"Hanya teman lama, kok, Beb."

"Ya, teman lama lo, kan, punya nama. Siapa?"

"Lo enggak kenal."

"Apakah perlu gue kenal?"

"Enggak juga, sih."

"Ganteng enggak?"

Mataku menyipit. Pertanyaan jebakan. Untung aku segera

menyadarinya. "Tanya aja kepada Tuhan yang menciptakannya.

Dia lebih tahu."

Baby masih belum menyerah juga. "Sudah berapa lama

kenalnya?"

"Baby! Enggak ada yang patut lo curigai. Gue enggak akan

ngomong apa-apa lagi."

Wajah Baby berbinar-binar. Ia menepuk meja di

hadapannya. Tetap mengeluarkan jurus ngototnya. "Nah!

Berarti ada yang lo rahasiakan dari gue, nih. Ayo, cerita!"

Aku ikutan ngotot, "Enggak ada yang perlu diceritakan,

titik!"

Baby diam dan mulutnya manyun karena tidak berhasil

membujukku untuk membuka suara. Aku tahu ia ngambek.

Namun, bukan Baby namanya kalau menyerah begitu saja. Dia

pasti sedang memikirkan cara agar bisa mengetahui rahasia

yang sedang aku sembunyikan.

~127~

"G

15

ue tambah gendut enggak, sih?"

Baby bertanya kepadaku yang sedang duduk di sebuah

sofa besar berwarna ungu dengan bahan beludru sambil

membaca majalah. Sofa itu bukan terletak di ruang keluarga,

melainkan di kamar Baby.

Aku menurunkan majalah yang sedang aku baca dan

memperhatikannya untuk sesaat, lalu menggeleng. "Enggak."

Mataku kembali menyusuri artikel di majalah. Baby tidak
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puas dengan jawabanku. Dia bertanya lagi sambil mematut

bayangannya sendiri di cermin seukuran tubuh. Tubuhnya

berputar-putar. "Yakin? Gue merasa pinggul gue, kok, tambah

lebar, ya? Dan, lihat nih, perut gue," Baby menepuk-nepuk

perutnya. "Kok, jadi gede banget, ya?"

Aku menurunkan majalah yang sedang kubaca untuk

kesekian puluh kalinya. Kali ini aku lebih ingin menerkamnya

alih-alih menenangkannya. "Beb, dengar gue. Pinggul lo enggak

tambah besar, dan perut lo sudah rata seperti papan cucian.

Terakhir lo nimbang juga turun dua kilo. Jadi, sepertinya lo lagi

halusinasi. Lo lagi melihat bayangan orang lain di cermin itu."

"Kalau besok kebaya gue enggak muat gimana, dong? Lo

masih punya korset lagi enggak? Gue pinjam, deh!"

Sekarang aku bukan hanya ingin menerkamnya, melainkan

mengulitinya hidup-hidup.

~128~

Hari pernikahan Baby sudah di depan mata. Tepatnya besok.

Baby sudah uring-uringan, mungkin sejak dua hari yang lalu.

Nervous, katanya. Menurutku, Will yang lebih nervous

daripada Baby. Dia jarang keluar dari kamar hotel dan sudah

seperti orang linglung. Aku khawatir ia akan hilang ingatan pada

hari mereka mengucapkan janji setianya.

Aku harus meneleponnya setiap tiga jam sekali. Hanya untuk

memastikan bahwa dia baik-baik saja. Untungnya keluarga Will

juga menginap di hotel tersebut. Setidaknya, ada yang

menjaganya sementara aku direpotkan oleh Baby.

Malam ini aku harus menginap di rumah Baby karena acara

akan dimulai sejak pagi hari. Bukan hanya itu, aku menginap

untuk membantunya menghilangkan segala macam kegugupan

yang akan lebih sering hinggap di pikirannya, yang sangat

mungkin berakibat fatal.

"Gue gugup. Gue panik." Tiba-tiba terdengar suara Baby di

tengah kegelapan kamar. Aku yang sudah nyaris tertidur harus

melebarkan mata kembali. Padahal, aku sudah hampir pulas.

Aku menatap jam dinding. Ternyata sudah menjelang pagi.

"Kenapa lo enggak tidur aja, sih?" Aku mengerang.

"Gimana bisa tidur? Gue enggak bisa tidur!"

"Pejamkan mata lo dan pikirkan bulan madu."

Hening. Aku pikir usulanku cukup ampuh. Ternyata tidak

juga. Aku kembali mendengar Baby bersuara, "Nanti kalau ada

jerawat muncul besok pagi gimana, Cha? Bisa ditutupin enggak,

ya?"

"Tidur Beb, kalau enggak nanti mata lo kayak panda."

"Masa, sih?"

"Tidur, Beb."

"Kalau saat pemberkatan nikah gue kebelet pipis gimana?

Boleh ke toilet dulu enggak, ya?"

"Baby!" Aku jadi gemas.

~129~

"Gue serius, Cha!" Baby enggak mau kalah.

"Entar gue sediakan botol plastik biar lo bisa pipis di situ."

"Mana bisa!" Baby membalas dengan sewot.

Aku pura-pura mendengkur supaya dia tahu bahwa dia

sedang bermonolog. Aku hanya mempunyai waktu beberapa

jam untuk beristirahat sebelum pagi.

Keesokan harinya, kami harus bangun pagi, bahkan sebelum

matahari terbit. Aku hampir saja menyeret Baby keluar dari

selimutnya karena dia tidak bangun meski alarm sudah

berteriak. Aku bisa menebak, pasti karena dia tidak bisa tidur

semalaman dan baru bisa tidur menjelang pagi. Aku

memaksanya untuk mandi.

Ketika Baby baru saja masuk ke kamar mandi, make-up

artist yang akan mendandani Baby sudah muncul di depan

pintu. Setelah selesai mandi, sepertinya dia sudah jauh lebih

tenang dan segar. Dia tidak berkata apa-apa dan lebih pasrah

menyerahkan segala urusan kepadaku dan sang make-up artist.

Sang pengantin wanita sudah siap pada pukul 8.00 pagi.

Meskipun sering sekali melihat Baby berdandan full make-up

yang sangat cantik, aku tetap merasa takjub dan terpana ketika

melihatnya keluar dari kamar kali ini. Rasanya semuanya yang

ada pada dirinya sempurna, dan baju pengantinnya membuatnya

menjadi lebih bersinar. Sempurna. Aku sungguh terharu.

"Aneh, ya? Apa yang aneh?" Dalam seketika Baby panik

ketika melihat wajahku berubah menjadi redup.

Aku menggeleng. "Enggak, kok, enggak ada yang aneh. Lo

cantik sekali, Beb. Gue benar-benar pangling." Baby

tersenyum haru. Lalu, aku menyerahkan sebuah bungkusan

kepadanya. Dia menatapnya dengan heran. "Apa ini?"

~130~

"Kado pernikahan buat lo dan Will."

Baby langsung merobek dan membuka kertas

pembungkusnya. Dia memekik begitu melihatnya, kemudian

menoleh dengan air mata yang hampir tumpah. Dia bergegas

menghampiriku dan mencium pipiku. "Thanks, Cha." Dia

berbisik di telingaku. "Bagus banget. Lo dapat di mana foto

sebagus ini?"

"Di galeri kecil di Kemang."

"Pasti gue pajang di rumah." Baby terus menatap foto berisi

kakek-nenek yang sedang membaca buku itu dengan haru. Aku

menghadiahkannya kepada Baby karena foto tersebut benar
benar mewakili sebuah perayaan pernikahan. Aku ingin ia dan

Will akan langgeng terus, seperti kakek dan nenek dalam foto

tersebut.

Mata Baby tidak lepas dari foto tersebut, dan dia berbisik

dengan suara yang serak, "Mudah-mudahan gue dan Will seperti

mereka ya, Cha."

Hampir saja aku berurai air mata mendengar kata-katanya.

Namun, aku menahannya. Jika aku menangis, Baby pasti akan

ikut menangis, kemudian hancurlah sudah masterpiece yang

sudah diciptakan oleh sang make-up artist. Aku tidak mau

membuat riasan Baby berantakan.

Ketika mobil pengantin sudah terlihat di depan rumah, aku

membawakan buket bunga milik Baby dan milikku sendiri.

Kami bergegas sambil tertawa-tawa. Orangtua Baby sudah pergi

ke gereja terlebih dahulu. Di dalam mobil VW Combi yang

dipilih Baby, kami lebih banyak diam. Hingga akhirnya kami

sampai di sebuah gereja kecil di wilayah utara Jakarta. Mataku

menangkap keluarga yang sudah berkumpul setelah mobil

terparkir di halaman gereja. Sebelum aku turun, Baby

menggenggam tanganku.

"Cha, terima kasih, ya."

Mataku sudah berembun karena menahan tangis haru. Aku

~131~

tersenyum dan mencium pipinya untuk memberinya semangat.

"Good luck! Ingat, jangan pingsan, karena kalau lo pingsan,

Will pasti akan pingsan, dan akan jadi bencana."

Mata Baby yang berkaca-kaca menyipit karena tawanya. Aku

pun keluar dan membuka pintu mobil untuk Baby. Banyak

orang yang menahan napas dan mendesah begitu melihat Baby

dengan kecantikan dan keanggunannya. Aku memberikan buket

bunga kepadanya dan dia pun berjalan menuju pintu gereja, aku

mengikutinya di belakang. Om Tirta, papa Baby, sudah

menunggu untuk mengantarkannya ke altar.

Begitu alunan lagu dari Lea Salonga yang berjudul "Two

Words" bergaung, aku mulai berjalan perlahan di lorong kecil

tersebut. Mataku menangkap sosok Mama, Papa, dan Anne

duduk di samping kiri. Embusan napas lega keluar begitu aku

tiba di depan.

Tak lama, barulah Baby berjalan bersama Om Tirta. Aku

melihat Will sudah menunggu di depan dekat altar dengan

senyum yang lebih lebar daripada biasanya. Aku bisa melihatnya

menatap Baby dengan pandangan yang penuh cinta. Mata

mereka saling bertemu dan terkumpul segala kekaguman dan

cinta di antara keduanya.

Lagu pengiring selesai ketika Baby sampai di depan altar.

Will menggandeng tangan Baby. Upacara berjalan dengan

khidmat. Sampai tiba waktunya pengucapan janji pernikahan,

mereka berdiri berhadapan satu sama lain.

Will mengucapkan janjinya dengan sedikit gugup, "I can?t

live without you. And I can?t imagine that. My life would

be empty as an empty jar won?t fill with anything. I,

William John, asked you my beloved, Baby Christina. To fill

my emptiness with your laugh, smile, tears, and joy. So, my

jar will always full of love and our togetherness. Be my wife,

and i will be your husband till death do us apart."

Dilanjutkan dengan Baby yang mengucapkan sumpahnya

~132~

dengan air mata siap tumpah kapan saja, "You are the one who

always holding my hand so tight. You are the one that give

me brave to face this universe. I?m not only need you, but I

want you to be with me forever. Never let go my hand, dear

William John. Today, I, Baby Christina will take a place as

your wife. Not only today, but till death do us apart."

Rasanya upacara pemberkatan berjalan begitu cepat karena

tiba-tiba saja kami sudah berjalan mengiringi Baby dan Will

menuju mobil mereka. Kami akan berkumpul lagi siang ini di

sebuah restoran dengan konsep garden party, hanya untuk

keluarga dan teman dekat.

Aku berjalan pelan menuju sisi luar gereja. Terlihat Baby dan

Will yang sedang berfoto di depan gereja, kadang hanya berdua

saja, dan terkadang ramai riuh bersama keluarga dan teman
teman dekat keduanya. Tawa mereka begitu lebar.

Menjelang malam, setelah pesta yang sangat menyenangkan itu

berakhir, Baby dan Will langsung berangkat menuju ke bandara.

Pesawat mereka yang menuju Melbourne, Australia akan

berangkat hampir tengah malam.

Seusai pesta, mereka masih mempunyai cukup waktu untuk

berganti baju dan menuju ke bandara. Aku yang akan

mengantarkan mereka. Luapan kegembiraan masih sangat

terasa. Kami berbincang tiada henti selama di mobil.

Akan tetapi, ketika saatnya mereka harus check-in, Baby

tidak bisa membendung air matanya. Dia memelukku dengan

sangat erat.

"Gue akan kangen sama lo, Cha!"

Aku membalas pelukan itu lebih erat lagi. Aku mencoba

untuk tegar, tetapi air mataku akhirnya tumpah juga. Ini terlalu

~133~

berat. Separuh dari hatiku menginginkan mereka untuk tinggal,

tetapi separuhnya lagi begitu bahagia dan menginginkan mereka

meraih kebahagiaan lebih dari apa pun.

Baby menghapus air matanya. "Gue akan selalu menunggu
Bride Wannabe Karya Christina Juzwar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kabar bahagia, dan ingat, kali ini dari lo. Janji, ya, Cha!" Aku

melepas kepergian mereka. Baby dan Will berjalan cepat tanpa

melepaskan genggaman erat tangan mereka satu sama lain.

Sebelum ia menghilang ditelan kerumunan orang, Baby

memutar badannya dan meniupkan ciuman ke arahku. Sambil

berjalan mundur, jari dari kedua tangannya saling bertaut untuk

membentuk sebuah lambang hati. Dia menunjuk ke arahku.

Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang masih saja lucu

pada detik-detik kami berpisah.

Aku sempat terdiam lama sebelum menyadari bahwa

sosoknya sudah tak tampak. Lalu, aku berjalan pulang. Belum

pernah aku merasakan kesepian yang teramat sangat. Begitu aku

sudah berada di mobil, Oliver menghubungiku.

Oliver_D: How?s everything? Apakah

pernikahannya berjalan dengan lancar?

Flowergirl: Kamu masih bangun, Oliver?

Oliver_D: Aku belum tidur. Aku menunggu kamu.

Flowergirl: She?s gone now. Aku enggak pernah

merasa begitu kesepian seperti sekarang ini.

Oliver_D: Kamu tidak sendirian, Sascha.

Flowergirl: I am. I?m all alone. I hate myself. I hate

to feel this kind of way.

Oliver_D: Kalau aku berada di sisimu, aku pasti

akan memelukmu dan mengatakan bahwa semua

akan baik-baik saja.

Flowergirl: Sayangnya kamu tidak ada di sini,

Oliver.

Oliver_D: Aku selalu ada di sini aku akan

~134~

memutarkanmu sebuah lagu just listen to it .

Tak lama, terdengar nada masuk di ponselku, dan aku segera

membuka file kiriman dari Oliver. Lagu yang menyejukkan

hatiku terdengar dalam hitungan detik. Irama lagu tersebut

membuatku ingin ikut bernyanyi.

Aku tersenyum dan larut mendengarkan lagu itu. Sungguh

ajaib, suasana hatiku menjadi tidak sesedih sebelumnya. Lalu,

aku menyalakan mobil dan mengendarainya perlahan. Aku

memutar lagu tersebut berkali-kali hingga tak terasa mobilku

sudah memasuki garasi rumah.

Flowergirl: Thank you for the song.

Oliver_D: It?s Jason Mraz, called "1000 Things".

One of my favourite.

Flowergirl: I think it?s gotta be one of my favourite

too from now on. And now I know who is your

favourite singer.

Oliver_D: Apakah berhasil menghilangkan

sedihmu?

Flowergirl: Kamu tidak akan percaya, tetapi cukup

ampuh lagu yang sangat indah.

Oliver_D: Sedih itu tidak bisa langsung sembuh

begitu saja, Sascha. Akan ada proses. Ini adalah

yang pertama. Akan ada kedua, ketiga, lalu

seterusnya. Dan, tanpa sadar sedih itu akan hilang

dengan sendirinya.

Flowergirl: Aku senang mendapatkannya darimu.

Oliver_D: My pleasure, asal kamu bisa tersenyum

lagi. Aku akan kirim satu lagu lagi sebelum

menutup percakapan kita. Have a good rest,

Sascha.

Flowergirl: You too, Oliver. Thank you so much.

~135~

Sebuah file masuk kembali. Kali ini ada judul yang

menyertai lagu itu dan membuatku terkesiap. Sebuah lagu lagi

dari Jason Mraz dengan judul "Song for a Friend". Aku

mendengarkan lagu kiriman Oliver sampai habis dan

mengulanginya sekali lagi. Namun, kali ini, hatiku tidak

menerimanya. Hatiku mencelus.

Setelah lagu pertama yang begitu membuai hatiku, lagu

kedua ini rasanya seperti menampar pipiku begitu keras. Jadi,

inikah yang dirasakan Oliver terhadapku? Hanya seorang teman?

Segurat kekecewaan merambati hatiku. Aku tahu, seharusnya

aku tidak boleh merasa kecewa, karena seperti itulah hubungan

kami saat ini.

~136~

I

16

ni sudah minggu kedua sejak kepergian Baby ke Benua

Australia bersama William. Layaknya orang yang patah hati,

aku menjalani hari-hariku tanpa semangat. Rasanya semangat

itu padam tersiram air dingin dan tidak mampu aku nyalakan

kembali. Meskipun aku tetap menjalankan butik seperti

biasanya, rasanya nyawaku tidak berada di tempat yang

seharusnya.

Terlebih setelah kiriman dua lagu yang membuat hatiku

terasa jungkir balik tak keruan, Oliver menghilang. Sudah

beberapa hari ini tidak ada satu kabar pun darinya. Tak seperti

biasanya. Aku mencoba untuk menghubunginya. Mengiriminya

surel, meninggalkan pesan di ponselnya meskipun aku tahu

ponselnya sedang tidak aktif. Tak ada balasan sampai detik ini

juga. Aku mulai khawatir yang tersusupi dengan sedikit rasa

kecewa.

Segala hal sepertinya masuk akal dan bisa saja terjadi, tetapi

aku tidak bisa menemukan jawaban yang pasti untuk akal

sehatku. Cara ini membuatku semakin bertambah kesal,

terutama ketika apa yang diperbuatnya ini mengingatkanku

akan Ben.

Tanpa sadar aku jadi uring-uringan. Semua rasanya terlihat

salah di mataku. Aku juga jadi lebih diam daripada biasanya,

serta menjadi pemarah. Mama dan Papa tak bersuara, Anne

complain dan mengeluh mengenai sikapku, dan para pegawai di

Butik Darling hanya bisa diam seribu bahasa.

Mama tiba-tiba mendatangiku di butik. Aku cukup terkejut

~137~

karena Mama jarang sekali datang ke butik kecuali ada urusan

sangat penting yang melibatkan dirinya.

"Kamu kayaknya kesepian, deh, bisa sampai begitu." Mama

mengeluarkan unek-uneknya ketika kami sedang duduk berdua

di dalam ruangan kerjaku. Aku paham sekarang mengapa

Mama datang ke butik hari ini. Aku meliriknya. Mama tidak

sedang menatapku, tetapi sedang mengamati ruangan kerjaku.

Mungkin risi karena ruanganku memang tidak bisa dibilang

rapi. Aku sudah pernah mencoba untuk merapikannya, tetapi

sia-sia. "Enggak ah, biasa saja, kok, Mam," aku masih

mengelak. Mama tersenyum memandangiku. "Biasa, tapi kok

uring-uringan melulu? Semua kena omel. Masa hal kecil yang

sepatutnya enggak dipermasalahkan, kok, bisa jadi besar?"

Aku cemberut. Aku sangat tahu apa yang sedang Mama

bicarakan. Ini pasti Anne yang mengadukan semua hal ke

Mama. Aku terdiam. Mama bicara lagi, kali ini dengan nada

yang serius, "Baby sudah pergi ke Melbourne. Biasanya, kan,

kamu selalu bersama dia. Kalian selalu melakukan kegiatan

berdua. Wajar, kok, kalau kamu kehilangan dan kesepian,

Cha."

Lidahku kelu. Aku benci saat Mama mengatakan hal yang

benar. Aku juga benci jika apa yang Mama katakan benar-benar

aku rasakan sekarang ini. "Apa ada hal lain yang mengganggu

pikiranmu sekarang?" tanya Mama penuh selidik. Aku

meliriknya sekali lagi sembari mengutuk dalam hati. Damn!

Pikiranku tentu saja langsung melayang nun jauh ke London.

Sosok Oliver memenuhi benakku. Aku menghela napas. Aku

akui, menghilangnya Oliver secara misterius sangat

menggangguku, tetapi tidak mungkin aku mengatakannya

kepada Mama. Aku menggeleng dan mencoba menyunggingkan

senyum. "Enggak ada kok, Mam, mood aku emang lagi jelek

beberapa hari ini. Sori karena semuanya jadi kena."

Mama tertawa kecil melihatku bungkam. "Tetap enggak mau

bicara sama Mama, nih? Mama bingung aja, rasanya enggak

~138~

mungkin, deh, kamu terpuruk dengan kepergian Baby sebegitu

lama. Beberapa bulan yang lalu, Mama sudah melihat kamu

kembali tersenyum. Wajah kamu sudah merona merah, seperti

ada yang mengisi kehidupan kamu lagi. Mama lega banget.

Tetapi sekarang? Kok, jadi cemberut lagi?"

Aku pandangi wajah Mama dengan saksama. Mama masih

cantik meskipun sudah memasuki usia lima puluh tahun. Kerut
kerut di wajahnya tidak menghalangi kecantikannya untuk

terpancar keluar. Namun, sepertinya senyumnya itu yang

mungkin membuat Papa dulu jatuh hati kepadanya. Dia tidak

pernah melepas senyumnya yang benar-benar terasa tulus

tersebut.

Aku ikut tersenyum santai, meski hatiku mengatakan

sebaliknya. Terus terang saja dadaku berdebar keras. Perasaan

ini menyiksaku. Aku ingin mengeluarkannya, tetapi aku tak

berani. "Jangan sekarang, deh, Mam."

Mama mengangguk, lalu mencium keningku. Aku membalas

dengan mencium pipinya yang beraroma vanilla. Hm, aku jadi

teringat dengan Baby yang juga menyukai aroma vanilla.

Hatiku kembali nelangsa. Aku kembali merindukannya, dan

kembali teringat Oliver. "Ya sudah, kalau kamu sudah siap,

kamu tahu, kan, di mana harus mencari Mama," kata Mama


Pendekar Rajawali Sakti 175 Manusia Century Karya Sarah Singleton Pendekar Cambuk Naga 9 Iblis Pulau

Cari Blog Ini